biografi buya hamka

22
Biografi Buya Hamka

Upload: ououououou

Post on 27-Nov-2015

138 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 2: Biografi Buya Hamka

Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan

meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim

Amrullah, disingkat menjadi HAMKA.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal

dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang

dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang

merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada

tahun 1906.

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul

Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang

amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek,

Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau

dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau,

sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua.

Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di

Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab.

HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama

terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.

Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing

Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian

dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,

Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi

rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun

1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri

Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara

menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia

(Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,

sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa

Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur

Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan

Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris

dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean

Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar

pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas

Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil

mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau

mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah,

tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang

Page 3: Biografi Buya Hamka

Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan

pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah

di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di

Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada

tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31

di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26

Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua

umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981

karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti

politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali

penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di

Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional,

Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama

dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah

Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan

oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau

mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari

penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia,

anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional,

Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan,

penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa

buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.

Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,

beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah

menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen.

Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang

mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura

termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan

Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa

seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor

Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan

Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih

terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima

sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di

seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Page 4: Biografi Buya Hamka

Buya Hamka ~ketika

ulama tak bisa dibeli~

Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan

ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21

Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada

pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan

jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan.

Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan

kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya

Page 5: Biografi Buya Hamka

mengharapkan agar mundurnya Hamka ―jangan sampai dipergunakan golongan tertentu

untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.‖

Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri mengungkapkan pada pers,

pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi

Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal,

meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali,

Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi

Departemen Agama dalam hal umat Islam. ―Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor

keluar,‖ katanya.

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah.

Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari

Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga

beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya

fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan

bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani

Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.

Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar,

terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi

seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati

undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi

bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya ―bocor‖nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat

menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam

pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat

menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya

beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas

permintaan Departemen Agama. ―Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu

yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum

disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,‖ kata E.Z. Muttaqien,

salah satu Ketua MUI.

Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka

kemudian minta iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, ―Tidak tepat kalau

saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.‖ Kemudian inilah

yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. ―Tidak logis apabila Menteri Agama yang

berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah

yang mesti berhenti,‖ kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang

dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya

―kesalahpahaman‖ antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut.

“Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya

ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini,

bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini

menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat

pencabutan MUI 30 April itu ―tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan

(nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.‖ HAMKA juga

menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli

Page 6: Biografi Buya Hamka

agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk

Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.

Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya

memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam

pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi

Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ‘kebakaran jenggot‘.

Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan

pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke

penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ‖Panji Masyarat‖ pernah dibredel

Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ‖Demokrasi Kita‖ yang

terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang

dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari

Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji.

Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada

kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad

Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu

sebagai bagian dari ―politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama‖. Ulama

mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran ―ulama yang tidak bisa

dibeli―. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan

diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.

******

TAK ada lagi Buya Hamka. orang tak akan menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak

akan mendengarkan suaranya yang serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada

pengajian subuh lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu akan

tak ada lagi. Selama-lamanya.

Ulama sangat penting itu berpulang ―di hari baik bulan baik‖, hari Jum‘at 21 Ramadhan (24

Juli), ―ketika bulan puasa masuk tahap ketiga‖ atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian

orang santri. Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring jenazahnya ke

pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh dikatakan semuanya orangorang

yang berpuasa dan baru turun dari sembahyang Jum‘at. Entah apa yang menggertak mereka

itu: dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran (meninggal pukul

10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul – 14.30), ribuan para pelayat memenuhi

jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet panjang di daerah Kebayoran Lama dan

Tanah Kusir.

Hamka memang sudah hampir tidak berarti ―golongan‖ agama. Juga tidak hanya seorang

―kiai‖. Barangkali memang inilah ulama pertama yang dipunyai Indonesia, yang sangat

paham ―hidup di luar masjid‖. .

Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di

sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau. ―Nama ibuku

Shafiyah,‖ katanya dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. ―Beliau meninggal pada usia

masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang putra. Lima dengan

ayahku dan lima pula dengan suaminya yang kedua. Ibuku cantik! . . . ‖ la sangat memuja

Page 7: Biografi Buya Hamka

ibunya — sebagaimana juga istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia

kagumi, hanya sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam hidup intelektualnya –meski

dengan pengaruh sangat kuat.

Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor

honoris causa — dari Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga

mendapat gelar yang sama di tahun 1958 –dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib yang

masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang, bagi siapa yang

membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk jiwa anak muda yang bengal namun

lembut itu. Si Malik itu seorang jagoan kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari

ke Jawa dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut pergerakan, lari ke

Mekah — dan akan tinggal di sana kalau saja tidak dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang.

Dan jangan lupa: pemuda ini juga bercinta — di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi

kawin. Ia sendiri mengakui sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung

dan perajuk, ―juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis‖ . . . Memang sangat manusiawi. Ia

memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan ayahnya: mengganti kedudukannya

sebagai ulama, seperti juga neneknya dan ayah neneknya.

Tapi bahwa ia tak seperti mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya kepada poligami: Hamka

termasuk ulama yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah

keluarga yang pecah, yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam untuk menggugah

jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan penghayatannya kepada adat

Minangkabau, yang menjadi modal pokok roman-romannya yang memeras air mata: Di

Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput

Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan.

Hamka bukan sekedar ―ulama yang bersastra‖. Ia ulama, dan ia pengarang. Hanya segi sastra

itu makin mundur ke belakang sejalan dengan usianya yang menua, maupun tugas-tugasnya

yang menjadi makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir Qur‘annya yang 30 jilid, yang

diberinya judul dengan nama masjid yang dicintainya, Al Azhar, kemampuan kepengarangan

itu tidak lahir dalam wujud bahasa yang disengaja indah Namun orang toh tahu bahwa

caranya bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara rezim

Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian ‗. Kepada seratusan ibu-ibu

di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada terasa menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa

Hamka. ―mudah memaafkan dan menyesuaikan diri‖, terlihat dari misalnya pergaulannya

dengan keluarga Bung Karno — Nyonya Fatmawati terutama — yang sangat baik sampai

akhir hayat.

Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin rohani yang paling pokok jadi pelayan. Asal

jangan ditekan, dan jangan dibeli. Kata-katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu

selesai dicetak, merupakan salah satu firasat. ―Nampaknya, tugas yang menjadi beban selama

ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . ‖ Dan panggilan itu pun datang

kini.

―Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita

kehilangan seorang sastrawan besar, ‖ komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas

jenazah almarhum di pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama

Indonesia sekarang ini mengakui: ―Akhir-akhir ini beban Buya Hamka memang sangat berat.

Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi memikul beban itu.‖

Page 8: Biografi Buya Hamka

*****

Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M.

Natsir yang mengurai kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas

menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI.

KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu……!

(dikutip dari buku ―Mengenang 100 tahun HAMKA‖)

Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang

sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul ―Kepada saudaraku M Natsir‖.

DAFTAR

Saudaraku Hamka,

Lama, suaramu tak kudengar lagi

Lama…

Kadang-kadang,

Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,

Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,

Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,

Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,

Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.

Tiba-tiba,

Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,

Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,

Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,

Page 9: Biografi Buya Hamka

Yang biasa bersenandung itu,

Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.

Aku tersentak,

Darahku berdebar,

Air mataku menyenak,

Girang, diliputi syukur

Pancangkan !

Pancangkan olehmu, wahai Bilal !

Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,

Walau karihal kafirun…

Berjuta kawan sefaham bersiap masuk

Kedalam ”daftarmu” … *

Saudaramu, Tempat, 23 Mei 1959

*****

Update 7 Oktober 2011 ( Masalah Fatwa Haram Mengikuti Upacara Natal)

Update tulisan ini sehubungan dengan ada komentar dari sahabat tentang tulisan : ―Fatwa

yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti

upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa‖ … kata

―mengharapkan‖ mungkin maksudnya ―mengharamkan‖ … tetapi saya tidak meralat tulisan

itu karena sesuai dengan sumber yang ada di Majalah Tempo. Saya coba cari dan telusuri

seputar tulisan diatas ternyata di Majalah Tempo edisi sebelumnya 16 Mei 1981 memuat

berita seputar fatwa haram itu. Berikut urainnya :

Fatwa dan Kebocoran (Konon) (ref)

ADA yang sedikit kabur sekitar fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan

mengikuti upacara Natal bagi umat Islam. Fatwa itu, disiarkan sementara pers minggu lalu,

berasal dari buletin Majlis Ulama edisi April dan ditandatangani KHM Syukri Ghozali dan

Drs. H. Mas‘udi, sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Yang menarik: hanya

satu hari setelah penyiaran itu, dimuat pula ‗surat pencabutannya — kali ini dari pimpinan

pucuk, yakni Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko sebagai ketua umum dan

sekretaris umum MUI.

Dalam surat keputusan itu praktis difatwakan pula soal yang sama tapi dengan tekanan

berbeda. ―Pada dasarnya,‖ disebut sebagai diktum kedua dari empat diktum, ‖ menghadiri

perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan . . . ‖ Yang juga

menarik: bunyi ―fatwa‖ terakhir itu sejalan benar dengan isi pidato Menteri Agama Alamsyah

sebelumnya — dalam acara ‗Kegiatan Bersama Antar Umat Beragama‘ di Jambi, 6 Maret.

Tapi yang barangkali paling menarik Prof. Hamka kemudian, secara pribadi, menulis di salah

satu harian yang memuat berita fatwa itu, Kompas.

Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI tersebut ―tidaklah mempengaruhi sedikit

juga kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.‖ Apa

Page 10: Biografi Buya Hamka

maksudnya sebenarnya? Apa yang terjadi? Betulkah yang terjadi sekedar kurangnya

koordinasi? Ataukah surat pencabutan itu, sebelumnya, dikeluarkan karena ada ―tekanan ―?

Tak ada satu sumber pun yang bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara

tuntas. Tapi ada penjelasan tentang sebuah ―kebocoran‖.

Semua tokoh MUI menyatakan, fatwa itu sebenarnya hanya untuk ―kalangan dalam‖: para

pengurus MU di daerah-daerah. Dan memang dikirimkan kepada mereka dengan surat nomor

sekian-sekian tertanggal 27 Maret –jadi sudah lama — untuk menjadi pedoman para ulama

itu. Tapi mengapa dimuat di buletin, yang bisa dibaca tidak hanya oleh para pengurus MU,

kalau begitu? ―Itu untuk informasi intern saja,‖ jawab KH Hasan Basri, salah seorang ketua

MUI. Agak aneh barangkali — namun buletin itu memang dicetak hanya sekitar 300

eksemplar.

Menurut Kiai Syukri, fatwa Komisi itu sebetulnya dulu dibuat (7 Maret) untuk ―bahan

menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam.‖ Jadi seharusnya

memang ―tidak perlu bocor keluar.‖ Tapi bagi Burhani Tjokrohandoko, yang juga Dirjen

Bimas Islam dan Urusan Haji departemen tersebut, ―kebocoran‖ itu sebenarnya dipandang

dari segi belum disahkannya fatwa itu oleh Sidang Pleno. Baru oleh Dewan Pengurus Harian.

Menurut Kiai Syukri, yang hadir dari Pengurus Harian itu tak kurang dari 0% — lebih dari 50

orang. Burhani sendiri berhalangan datang waktu itu, tapi Hamka hadir. Hanya ketua umum

itu memang belum membubuhkan tanda tangan. Toh keputusan itu sudah sah rupanya

(berdasar wewenang Komisi Fatwa) untuk dibawa ke Menteri Agama. Sebab, kata para

pimpinan MUI, keputusan tersebut memang dibikin atas desakan umat — antara lain yang

menulis berbagai surat ke Departemen Agama, menanyakan masalah perayaan Natal yang

diselenggarakan orang-orang Islam. Lalu ada surat dari Departemen Agama, meminta agar

dikeluarkan fatwa tentang itu.

Bahkan menurut Hamka, pernah ada pembicaraan antara Buya dan Menteri Agama

sehubungan dengan hal tersebut. Kiai Syukri menuturkan, bahwa di Kantor MUI (sebelum

pindah — dari Masjid Al Azhar ke Masjid Istiqlal, 11 Mei kemarin) terdapat sekitar 30 surat

yang meminta MUI mengeluarkan pedoman. Tetap Ditakutkan Itu memang bisa

mengingatkan pada kasus seperti perayaan Natal untuk gelandangan, yang pernah diprakarsai

Pendeta Lumy di Senayan dulu. Atau, seperti disebut dalam pertimbangan fatwa sendiri,

kasus-kasus ―kekurang mengertian‖ umat Islam sendiri di daerah-daerah. Pokoknya segala

hal yang menyangkut soal ‗kristenisasi‘, yang rupanya tetap ditakutkan.

Hanya saja, fatwa MUI kali ini ditanggapi sebagai sesuatu yang kaku dan merepotkan.

Bayangkan: para pejabat yang Islam, misalnya, dengan fatwa tersebut bisa tak dibenarkan

datang ke perayaan Natal. luga ketua RT, misalnya. ―Maklum, yang bikin memang para

ulama yang dalam soal hukum letterlijk saja,‖ kata Kiai Hasan Basri membenarkan kekakuan

itu. Dan itulah sebabnya surat pencabutan itu bermanfaat, katanya. Fungsinya, dalam soal

fatwanya sendiri, ―menerangkan yang mujmal, ‖ yang masih umum. Yakni: apa yang

dimaksud ―mengikuti upacara Natal‖ dalam fatwa tadi. O, ternyata: mengikuti peribadatan.

Bukan sekedar hadir. Jadi tak ada yang bertentangan, tak ada yang dicabut, kata Hamka,

sambil tertawa. Apa pun yang sesungguhnya terjadi, Departemen. Agama memang akan

mengadakan pertemuan dengan Badan Musyawarah Antar Umat Beragama di Jakarta 25

Mei. Pembicaraannya yang terpenting memang soal ―perayaan apa saja yang dapat dihadiri

pemeluk agama lain,‖ seperti dituturkan Menteri Alamsyah kepada pers

Page 11: Biografi Buya Hamka

Buya Hamka dan

Syafruddin Prawiranegara Jadi

Pahlawan Nasional

Buya Hamka (inet)

dakwatuna.com – Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar

pahlawan nasional kepada tujuh tokoh bangsa yang telah berjuang demi kepentingan negara.

Tidak hanya mereka yang berjuang dengan senjata, tetapi juga melalui jalur politik dan

bidang-bidang lainnya.

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 113 TK 2011, berikut nama-nama pahlawan tersebut.

1. Alm Syafruddin Prawiranegara

2. KH. Idham Chalid (Kalsel)

3. Alm. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) (Sumbar)

4. Alm. Ki Sarmidi Mangunsakoro (Yogyakarta)

5. Alm. I Gusti Ketut Pudja (Bali)

6. Alm. Sri Susuhunan Paku Buwono X (Jateng)

7. Alm. Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyoni (Yogyakarta)

Pemberian tanda gelara diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada ahli

waris di Istana Negara,

Buya Hamka: Cahaya Yang Hilang Ayah hanya takut tidak bisa jawab pertanyaan Munkar Nakir!

Page 12: Biografi Buya Hamka

Pertanyaan ini diajukan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kepada ayahnya

mengenai soal keengganannya untuk melakukan seikere (membungkuk ke arah matahari) atas

perintah tentara Jepang. Sang ayah, sebagai tokoh pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji

Karim Amrullah, yang juga kondang dengan sebutan Haji Rasul itu, tentu saja menolak

mentah-mentah perintah yang berkonotasi menyembah matahari itu. Ia pun sadar sepenuhnya

akan risikonya.

Tapi, demi keyakinan terhadap nilai akidah , maka perintah memberi hormat kepada dewa

matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim Amrullah itulah yang

kemudian oleh Hamka terus dibawa sepanjang usia. Berkali-kali dalam situasi genting ia

berani menyatakan diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu

berarti membuka lebar pintu penjara.

Hamka yang lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, mampu

menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman hingga akhir masa hidupnya.

Sebagai anak manusia yang lahir di bumi Minangkabau, Hamka memang tidak sempat

mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Sekolahnya hanya dijalani selama tiga tahun.

Namun, karena bakat intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan bahasa Arab,

ia kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani, bahkan seringkali disebut salah

satu ulama besar Asia Tenggara.

Darah dari pihak orang tua sebagai tokoh pembaru ajaran Islam dan perjuangan nasional

kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa kanak sudah akrab dengan berbagai

pembicaraan mengenai dunia keilmuan. Diskusi yang dilakukan sang ayah bersama rekan-

rekannya yang memelopori gerakan Islam Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar

tertanam kuat di hatinya.

Dan, layaknya seorang anak muda yang gelisah dan didukung kebiasaan orang Minangkabau

yang suka merantau, Hamka sejak usia sangat belia sudah seringkali meninggalkan rumah.

Pada umur 16 tahun misalnya, ia sudah pergi ke Yogyakarta untuk menimba ilmu dari

berbagai tokoh pergerakan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, H Oemar Said

Tjokroaminoto, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin. Kursus-kursus para tokoh

pergerakan yang diadakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta, untuk

beberapa lama diikutinya. Alhasil, jiwa pergerakannya menjadi tumbuh semakin kuat, apalagi

setelah ia tinggal di rumah iparnya yang menjadi ketua cabang Persyarikatan

Muhammadiyah, A.R Mansur di Pekalongan. Di situlah Hamka mendapat udara

pengalamanpertamanya di dalam mengurus keorganisasian.

Setelah beberapa lama tinggal bersama iparnya, pada Juli 1925, Hamka pulang kampung ke

Sumatera Barat. Ia kembali ke rumah ayahnya yang berada di Gatangan, Padangpanjang.

Disitulah ia kemudian mendirikan Majelis Tabligh Muhammadiyah. Semenjak itulah sejarah

kiprah Hamka dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu dimulai. Dan baru

berakhir beberapa puluh tahun ke depan sebelum ia wafat.

Berhaji Sembari Mencari Ilmu ke Mekah Setelah sekitar dua tahun berkiprah di kampung halamannya, padaFebruari 1927 Hamka

berangkat ke Mekah. Selain untuk menunaikan ibadahhaji, kepergiannya itu juga

dimanfaatkan untuk menimba ilmu dengantinggal di sana selama setengah tahun. Sembari

mengkaji ilmu agama ke berbagai tokoh keagamaan Islam yang mengajar di Baitul Haram,

untuk mencukupi biaya hidup sehari-harinya, Hamka bekerja pada sebuah percetakan. Ia baru

Page 13: Biografi Buya Hamka

pulang ke tanah air sekitar bulan Juni 1927 dan langsung menuju ke Medan. Di sana ia

kemudian pergi ke daerah perkebunan yang ada di sekitar wilayah pantai timur Sumatera

(Deli) untuk menjadi guru agama. Pekerjaan ini dilakoninya sekitar lima bulan. Pada akhir

tahun 1927, ia baru sampai kembali ke kampung halamannya di Padangpanjang.

Keterlibatannya dalam organisasi Muhammadiyah semakin intens ketika pada tahun 1928 ia

diundang menjadi peserta kongres Muhammadiyah yang diselenggarakan di Solo. Dan

setelah pulang, karirnya di persyarikatan semakin gemilang. Hamka secara berangsur

memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian Ketua

Majelis Tabligh, sampai akhirnya meraih jabatan Ketua Muhammadiyah Cabang

Padangpanjang. Bahkan, pada tahun 1930 ia mendapat tugas khusus dari

pengurus pusat persyarikatan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis. Hamka

di sini sudah mulai diakui eksistensinya.

Usai mendirikan cabang di Bengkalis, pada 1931 Pengurus Pusat Muhammadiyah mengutus

Hamka pergi ke Makassar. Tugas yang harus diembannya adalah menjadi mubalig dalam

rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar

Muhammadiyah ke-21 yang diselenggarakan pada Mei 1932. Hamka tinggal di sana selama

dua tahun. Pada 1934 ia kembali ke Padangpanjang untuk kemudian diangkat menjadi

Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.

Berdakwah di atas Gagasan Roman Kiprah Hamka dalam pergerakan semakin gencar setelah ia pindah ke Medan, pada 22

Januari 1936. Persyarikatan Muhammadiyah semakin meluas ke segenap wilayah Sumatera

bagian timur. Pada sisi lain, secara perlahan tapi pasti kemampuan intelektual dan

kepenulisannya juga semakin terasah, terutama setelah ia memimpin majalah

PedomanMasyarakat dan Pedoman Islam (1938-1941). Berbagai artikel keagamaan serta

cerita pendek ditulisnya dengan bahasa dan logika yang demikian jernih. Bakat menulisnya

sebagai sastrawan serius pada dekade ini juga berkembang secara simultan dengan

kemampuan orasinya yang amat memukau.

Selain sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan berbagai karya roman seperti:

Di Bawah Lindungan Ka bah (1938),

Tenggelamnnya Kapal van Der Wick (1939),

Merantau ke Deli (1940),

Di dalam LembahKehidupan (1940, kumpulan cerita pendek).

Isi berbagai romannya itu tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia

pergi ke Mekah dan tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh

perkebunan yang ada di Sumatera bagian timur.

Pada kurun waktu ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku yang diterbitkan pada

tahun 1939 itu diberi judul Tasawuf Modern. Hamka dalam buku ini mengkritisi

kecenderungan dari berbagai aliran tasawuf yang berpretensi negatif terhadap kehidupan

dunia. Tasawuf banyak dijadikan sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan dunia

yang sering dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka dalam buku ini berusaha

merubah persepsi itu. Ia menyerukan tasawuf positip yang tidak bersikap asketisme. Katanya,

menjadi Muslim sejati bukannya menjauhkan diri dari dunia, tapi terjun secara langsung ke

dalamnya. Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran.

Page 14: Biografi Buya Hamka

Kemudian, pada tahun 1942 bersamaan dengan jatuhnya koloni Hindia Belanda ke dalam

tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah

Sumatera Timur. Posisi jabatan yang diterima pada masa sulit ekonomi ini dijalaninya selama

tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1945 ia memutuskan untuk melepaskan jabatan tersebut

karena pindah ke Sumatera Barat. Di sana Hamka terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan

Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.

Menjelang pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan Roem Royen pada

tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat ke Jakarta. Kali ini Hamka merintis

karir sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang

oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Melihat kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu itu

menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam, baik

yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.

Beberapa perguruan tinggi yang sempat menjadi tempat mengajarnya itu antara lain;

Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta,

Universitas Islam Jakarta,

Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah diPadangpanjang,

Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan

Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan.

Uniknya lagi, di tengah kesibukannya sebagai pengajar di berbagai universitas itu, Hamka

sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Katanya, buku yang

ditulisnya ini adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya yang sangat teguh hati.

Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah buah hatinya dimana ia pernah dijuluki

sebagai Si Bujang Jauh karena begitu sering dan lamanya merantau pergi ke berbagai negeri

dan daerah.

Di sela kegiatannya mengajar di berbagai universitas itu, Hamka mengulang kembali

kepergiannya untuk beribadah haji ke tanah suci. Sama dengan kepergian hajinya yang

dilakukan 24 tahun silam, kepergiannya ke Mekah kali ini juga disertai dengan perjalanannya

ke beberapa negara yang berada di kawasan semenanjung Arabia. Hamka sendiri sangat

menikmati lawatannya itu. Apalagi ketika berada di Mesir. Ia menyempatkan diri untuk

menemui berbagai sastrawan kondang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui berbagai

tulisannya, seperti Husein dan Fikri Abadah. Mereka saling bertemu, bertukar pikiran dan

minat dalam bidang sastera dan kehidupan umat secara keseluruhan.

Sama halnya dengan kepulangan haji pertamanya, sekembalinya dari lawatannya ke berbagai

negara di Timur Tengah itu, inspirasi untuk membuat karya sastera pun tumbuh kembali.

Lahirlah kemudian beberapa karya roman seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah

Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Bagi banyak kritikus sastera banyak diantara mereka

menyebut bahwa, Hamka dalam penulisan karyanya itu banyak terpengaruh pujangga Mesir.

Ini tampaknya dapat dipahami sebab ia seringkali menyatakan terkagum-kagum pada

beberapa penulis karya dari negeri piramid itu, salah satunya adalah Al Manfaluthi.

Usai pulang dari kunjungan ke beberapa negara Arab, pada tahun 1952 ia mendapat

kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat. Hamka datang ke negara itu

atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika. Ia mengunjungi berbagai tempat, seperti

negara bagian California, untuk memberikan ceramah yang berkaitan dengan agama.

Kunjungan ke Amerika kali ini ternyata hanya merupakan kunjungan pembuka saja. Setelah

Page 15: Biografi Buya Hamka

itu ia kemudian kerapkali diundang ke sana, baik atas undangan dari negara bersangkutan

maupun datang sebagai anggota delegasi yang mewakili Indonesia.

Pada kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate mewakili Partai

Masyumi dari hasil Pemilu 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah

pemilihan Masyumi di Jawa Tengah. Dalam badan ini Hamka bersuara nyaring menentang

demokrasi terpimpin. Pada sebuah acara di Bandung, pada tahun 1958 ia secara terbuka

menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno itu.

Namun, di tengah panas dan padatnya perdebatan, Hamka pada tahun itu juga sempat

mendapat undangan menjadi anggota delegasi Indonesia untuk mengikuti Simposium Islam

di Lahore. Setelah itu, kemudian dia berkunjung lagi ke Mesir. Dalam kesempatan kali ini dia

mendapat kehormatan bidang intelektual sangat penting, yakni mendapat gelar Doktor

Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di forum itu, ia menyampaikan pidato

pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa dengan topik bahasan mengenai Pengaruh

Muhammad Abduh di Indonesia.

Dalam kesempatan ini Hamka menguraikan kebangkitan pembaharuan ajaran Islam yang

terjadi di Indonesia, mulai dari munculnya gerakan Sumatera Thawalib, Muhammadiyah. Al

Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar doktor luar biasa seperti ini ternyata diterimanya lagi

enam belas tahun kemudian, yakni pada tahun 1974 dari University Kebangsaan, Malaysia.

Gelar ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak. Seraya

memberikan gelar, dalam pidatonya sang perdana menteri itu berkata bahwa, Hamka bukan

lagi hanya milik bangsa Indonesia. Tetapi, juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa

Asia Tenggara.

Menapak di antara Dua Orde Masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan politik sebagai

panglima. Waktu itu Soekarno menginginkan agar bangsa Indonesia betul-betul mandiri. Ia

serukan gerakan untuk melawan imperialisme barat, yang disebut sebagai kekuatan neo-

kolonialisme baru. Pada satu sisi ide ini berhasil cukup baik. Posisi Indonesia menjadi

penting dan menjadi salah satu kekuatan sentral gerakan non blok. Namun, pada sisi yang

lain perbaikan ekonomi ternyata tidak dapat berjalan baik. Pertentangan politik, terutama

antara golongan nasionalis dan Islam menjadi-jadi, di mana kemudian mencapai puncaknya

ketika pembicaraan mengenai konstitusi negara menjadi buntu. Baik pihak yang anti dan

pendukung ide negara Islam terus saja tidak mampu berhasil mencapai kata sepakat. Dan

Hamka hadir dalam percaturan perdebatan itu.

Sayangnya, Presiden Soekarno tidak sabar melihat perdebatan itu. Dengan alasan adanya

ancaman perpecahan bangsa yang serius, Soekarno pada 5 Juli 1959 kemudian mengeluarkan

Dekrit Presiden, yang diantaranya adalah menyatakan pembubarkan Badan Konstituante dan

kembali kepada konstitusi negara pada UUD 1945. Menyikapi keadaan tersebut, Hamka pada

tahun yang sama, yakni Juli 1959, mengambil inisiatif menerbitkan majalah tengah bulanan,

Panji Masyarakat. Hamka duduk sebagai pemimpin redaksinya. Sedangkan mengenai isi

majalahnya, Hamka memberi acuan untuk memuat tulisan yang menitikberatkan kepada soal-

soal kebudayaan dan pengetahuan ajaran Islam.

Tetapi sayangnya, majalah ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun. Majalah Panji

Masyarakat dibubarkan oleh pemerintahan rezim Soekarno, tepatnya pada tanggal 17

Agustus 1960. Alasan pembredeilan: karena majalah memuat tulisan Dr Mohamad Hatta

Page 16: Biografi Buya Hamka

yang berjudul Demokrasi Kita. Sebagai imbasnya, Hamka kemudian memutuskan diri untuk

lebih memusatkan pada kegiatan dakwah Islamiyah dengan mengelola Masjid Agung Al-

Azhar yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.

Dalam dunia politik pemuatan tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat itu memang

membuat kehebohan besar. Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta dalam

mengelola negara terbuka dengan nyata. Dalam tulisan itu Hatta mengkritik keras sistem

demokrasi terpimpin yang dijalankan karibnya, Soekarno. Menurutnya, demokrasi yang

tengah dijalankannya itu bukan demokrasi. Mengapa demikian? Sebab, ada sebagian kecil

orang menguasai sebagian besar orang. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri,

di mana harus ada persamaan pada setiap manusia. Maka, demokrasi seperti itu, tulis Bung

Hatta, a priori harus ditolak.

Panasanya persaingan politik pada sisi lain juga kemudian meniupkan badai fitnah kepada

Hamka. Jaringan kelompok politik kiri membuat

tuduhan bahwa roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah merupakan plagiat dari

roman sastrawan Perancis, Alphonse Karr yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh

Al Manfaluthi. Reaksi pro kontra segera saja menyergapnya. Golongan yang tidak suka akan

adanya pengaruh agama di Indonesia memanfaatkan betul polemik ini untuk menghancurkan

nama baiknya. Saat itu hanya HB Jassin dan kelompok budayawan yang tergabung dalam

Manifes Kebudayaan (Manikebu) saja yang gigih membelanya. Berbagai tulisan atas polemik

ini kemudian pada tahun 1964 dikumpulkan dan diterbitkan oleh Junus Amir Hamzah dengan

judul Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik.

Usaha penjatuhan citra kepada Hamka ternyata tidak hanya melalui karya sastera saja. Tanpa

dasar serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27 Januari 1964 tiba-tiba saja ia ditangkap oleh

alat keamanan negara. Hamka kemudian dimasukkan ke dalam tahanan tanpa ada sebuah

keputusan. Ia berada di penjara bersama para tahanan politik lainnya, seperti Muchtar Lubis,

sampai tumbangnya tampuk kekuasaan Soekarno. Bagi penguasa, Hamka saat itu dianggap

sebagai orang berbahaya.

Namun, bagi Hamka sendiri, masuknya dia ke dalam penjara malahan seringkali dikatakan

sebagai rahmat Allah. Menurutnya, akibat banyaknya luang waktu dipenjara maka ia dapat

menyelesaikan tafsir Alquran, yakni Tafsir Al-Azhar (30 juz). Saya tidak bisa

membayangkan kapan saya bisa menyelesaikan tafsir ini kalau berada di luar. Yang pasti

kalau tidak dipenjara maka saya selalu punya banyak kesibukan. Akhirnya, tafsir ini sampai

akhir hayat saya mungkin tidak akan pernah dapat diselesaikan, kata Hamka ketika

menceritakan masa-masa meringkuk di dalam penjara. Selain itu, beberapa tahun kemudian

Hamka juga mengakui bahwa tafsir Alquran ini adalah merupakan karya terbaiknya.

Menjadi Imam dalam Shalat Jenazahnya Bung Karno Seperti sunnatullah, bahwa penguasa itu datang dan pergi silih berganti, maka setelah naiknya

Presiden Soeharto dalam tampuk kekuasaan negara, secara perlahan kondisi fisik presiden

Soekarno setelah itu pun terus menyurut. Berbeda dengan ketika berkuasa, hari-hari terakhir

Panglima Besar Revolusi ini berlangsung dengan pahit. Soekarno tersingkir dari kehidupan

ramai sehari-hari. Ia terasing dengan kondisi sakit yang akut di rumahnya. Soekarno terkena

tahanan kota. Ia tidak diperbolehkan menerima tamu dan bepergian. Pada tahun 1971

Soekarno pun meninggal dunia.

Page 17: Biografi Buya Hamka

Mendengar Soekarno meninggal, maka Hamka pun pergi untuk bertakziah. Tidak cukup

dengan itu, Hamka kemudian mengimami shalat jenazah mantan presiden pertama itu. Pada

saat itu orang sempat terkejut dan bingung ketika Hamka bersedia hadir dalam acara tersebut.

Mereka tahu Soekarno-lah dahulu yang memutuskan untuk memasukkannya dalam penjara.

Saya sudah memaafkannya. Dibalik segala kesalahannya sebagai manusia, Soekarno itu

banyak jasanya, kata Hamka.

Setelah itu, masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto bergerak semakin cepat.

Hamka semakin dalam menceburkan diri ke berbagai aktivitas keagamaan. Secara rutin ia

berceramah ke berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri. Setiap pagi sehabis Subuh

siraman rohaninya yang disiarkan secara nasional melalui RRI terdengar ke berbagai penjuru

pelosok tanah air. Dengan suara khas serak-serak basahnya, Hamka membahas berbagai soal

kehidupan, mulai tingkat sangat sepele seperti cara bersuci yang benar sampai kepada

persoalan sangat serius, misalnya soal tasawuf. Saking banyaknya penggemar, maka

ceramahnya pun banyak diperjualbelikan dalam bentuk rekaman di tokok-toko kaset.

Pada tahun 1975, Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis

Ulama Indonesia (MUI). Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi, bila itu diterima maka ia

tidak akan mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat

Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat massif. Namun, Hamka menepis keraguan itu

dengan mengambil langkah memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI dari pada

berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal waktu itu adalah kalau tidak hati-hati

nasib ulama itu akan seperti kue bika , yakni bila MUI terpanggang dari atas (pemerintah)

dan bawah (masyarakat) terlalu panas, maka situasinyaakan menjadi sulit. Bahkan MUI bisa

akan mengalami kemunduran serius.

Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI menjadi terasa sangat kental ketika

pada awal dekader 80-an, lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan fatwa

mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam

mengikuti perayaan keagamaan itu. Adanya fatwa itu kontan saja membuat geger publik.

Apalagi terasa waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi.

Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam yang

tidak bersedia ikut merayakan natal maka mereka dianggap orang berbahaya, fundamentalis,

dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah.

Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun mendapat

kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang

menyatakan bahwa keputusannya itu akan mengancam persatuan negara. Hamka yang waktu

itu berada dalam posisi sulit, antara mencabut dan meneruskan fatwa itu, akhirnya kemudian

memutuskan untuk meletakkan jabatannya. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981.

Bagi pengamat politik, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI adalah merupakan

cerminan dari pribadinya. Bahkan, mereka pun mengatakan sepeninggal Hamka, kemandirian

lembaga ini semakin sulit. Demi melanggengkan hegemoni Orde Baru kemudian terbukti

melakukan pelemahan institusi keagamaan secara habis-habisan itu. Fatwa MUI sepeninggal

dia terasa menjadi tidak lagi menggigit. Posisi lembaga ini semakin lemah dan terkesan hanya

sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat Islam belaka.

Hamka yang wafat di Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena yang sangat banyak

jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah yang sudah dibukukan. Ini belum termasuk

Page 18: Biografi Buya Hamka

berbagai cerita pendek dan karangan panjang yang tersebar di berbagai penerbitan, media

massa, dan forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam

bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada

sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka

(UHAMKA). Berbagai karya tulisnya yang meliputi banyak bidang kajian seperti politik,

sejarah, budaya, akhlak dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh publik,

termasuk menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan risalah tesis dan disertasi.

Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.

Buya HAMKA Nasionalisme Agama

untuk Membangun Negeri

Posted by Muhammad Joe Sekigawa on October 24, 2011 · 6 Comments

Sumber Gambar

Bismillahirrohmaanirrohiim,,

Beliau yang bernama lengkap Haji Abdullah Malik Karim Amrullah ini memang kerab

dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan Buya Hamka. Buya sendiri merupakan

panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi,abuya, berasal dari bahasa

Arab yang artinya ayahku, atau seseorang yang dihormati. Sedangkan Hamka sendiri

merupakan singkatan dari nama panjang beliau tersebut.

Page 19: Biografi Buya Hamka

Hamka kecil memang telah dididik oleh ayahnya dengan kehidupan Islami yang menyeluruh,

ia juga sangat dekat dan menyenangi bahasa Arab. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin

Amrullah, dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di

Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Beliau merupakan seorang tokoh

utama dari gerakan pembaharuan atau modernisme Islam di Minangkabau yang terkenal

dengan sebutan Kaum Muda.

Hamka juga merupakan seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti

filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran

bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di

Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti,

dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis,

Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee,

Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar

pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas

Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil

mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Beliau adalah sosok yang patut dicontoh oleh para pemuda saat ini. Bagaimana tidak, seorang

Hamka yang memiliki kemampuan bahasa Arab yang tinggi tersebut, tidak pernah anti pada

hal-hal baru yang tentu saja tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Apa

yang dilakukan oleh beliau merupakan satu gerakan revolusioner pada zamannya, di mana

pada saat itu kebanyakan intelektual hanya berkutat di salah satunya, bidang agama atau

bidang non agama saja, namun beliau malah dengan nafas Islam-lah mempelajari berbagai

pemikiran dari ilmuan Barat untuk dikaji dan diteliti guna kepentingan umat. Bahkan, di

bidang sastra, Buya Hamka banyak menelurkan karya-karya sastra fenomenal seperti

Tenggelamnya Kapal Vanderwijck (1937), Dibawah lindungan Kabah (1936), Merantau ke

Deli (1940), Terusir, dan Keadilan Ilahi selain karya Besar Tafsir Al Qur‘an yang legendaris,

Tafsir Al Azhar (1966)

Sosok Hamka juga tak lepas dari peranannya di bidang perpolitikan bangsa karena ia teringat

betul pesan dari ayahandanya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930

di Bukittinggi, “Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju

kebenaran”. Hamka aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia

mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid‘ah,

tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang

Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929. Kegiatan politik Hamka bermula pada

tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945,

beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato

dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat

menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Kemudian sejak tahun 1950-an

Hamka bergabung dengan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan bahkan

beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan

Raya Umum 1955.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan,

penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah

surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah.

Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,

Page 20: Biografi Buya Hamka

beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah

menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Mari kita bayangkan bersama, seorang Ulama yang juga Sastrawan, juga seorang Wartawan

yang banyak menulis tentang gema perubahan Negara Indonesia yang lebih baik berdasarkan

Al Qur‘an dan As Sunnah. Hamka adalah orang yang berdedikasi tinggi terhadap ilmu

pengetahuan, paham akan keanekaragaman, gemar menciptakan inovasi perubahan, namun

tak pernah melepaskan ikatan-ikatan dasar sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sosok penuh

inspirasi yang membuat kagum banyak kawan maupun lawan, dan semuanya itu dimulai dari

Hamka muda. Betul, sedari awal Hamka telah mengazamkan diri untuk membuat perubahan

yang lebih baik bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia-nya, bangsa Indonesia

milik kita bersama.

Begitu luar biasa sepak terjang dari Buya Hamka ini hingga Majelis tertinggi Universitas Al-

Azhar, Cairo, Mesir memberikan gelar Doctor Honoris Causa (Ustadziyah Fakhriyah) pada

Hamka tahun 1959. Universitas Kebangsaan Malaysia pun juga memberi gelar yang sama

dibidang kesusastraan tahun 1974. Sedangkan Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta juga

memberi gelar Profesor Kehormatan pada tahun 1966.

Dalam dekade 1970-an sampai awal 1980-an kalau orang bertanya, siapa pemimpin ulama

Indonesia? Jawaban yang pasti adalah Buya Hamka. Sosok Hamka sebagai ulama dan

pujangga Islam Indonesia tidak hanya dikenal luas di tanah air, tapi juga di luar negeri.

Tampilnya sebagai ulama penjaga akidah umat sangat termahsyur namun tetap santun dengan

penuh kebijaksanaan.

Pada akhirnya, kita benar-benar merindukan sosok penerus dari generasi muda yang memiliki

tingkat kualitas sekaliber Buya Hamka. Ya, harapan itu masih ada, dan kita lah para pemuda

yang mengemban tanggung jawab tersebut. Maju terus untuk memimpin perubahan dan

mengehentak peradaban, menuju Indonesia yang lebih baik.

Salam semangat menciptakan perubahan, Muhammad Joe Sekigawa (4-c Rehsos STKS

Bandung 2008

Page 21: Biografi Buya Hamka

Tokoh: Buya Hamka

Buya HAMKA

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul

Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat

terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau,

Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali

sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya

dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika

usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang

Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah

mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti

Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki

Bagus Hadikusumo. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di

Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.

Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas

Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau

diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo,

Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama

oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya

memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin

Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,

sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa

Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur

Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan

Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris

dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean

Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar

pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas

Page 22: Biografi Buya Hamka

Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah

bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan

Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai

tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang.

Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.

Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua

tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau

terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi

Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali

pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada

tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli

1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum

Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena

nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan politik Hamka bermula

pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam.

Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke

Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada

tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia

menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya

Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun

1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno

karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-

Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka

diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota

Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan,

penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah

akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada

tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.

Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar.

Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan

Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel

dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-

novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan

Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah

dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional

dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar,

1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk

Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Hamka telah pulang ke

rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini

dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama

dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk

Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

*)sumber: wikipedia.org