mengenang 100 tahun hamka

66
Mengenang 100 Tahun HAMKA Dan Aku pun Masukkan dalam Daftarmu H aji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Ham ka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kam pung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkan Karim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah. Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelar kehormatan yang disandangnya. Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalam tradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah Minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaris tidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek dari garis keturunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung. Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago. 1) Sebagai pejuang, Hamka memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI. Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus Professor Doctor Hamka”. Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti 2

Upload: my-al-iman

Post on 04-Aug-2015

633 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamka memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI.Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari UniversitasKebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus Professor Doctor Hamka”.

TRANSCRIPT

Page 1: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Dan Aku pun

Masukkan dalam

Daftarmu

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Hamka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau,

Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkanKarim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalahnama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.

Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelarkehormatan yang disandangnya. Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalamtradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatahMinang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaristidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusakaturun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek dari garisketurunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung.

Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulamabesar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat denganjabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamkamemperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI.Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar“Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir,pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari UniversitasKebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, TunAbdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagaiPerdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus ProfessorDoctor Hamka”.

Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenaldengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti

2

Page 2: Mengenang 100 Tahun HAMKA

namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku.Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim binAmrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) diMinangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M diKepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau,Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulamaberpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayahNagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad Amrullah.

Menarik untuk disimak bahwa Syeikh Muhammad Amrullah yang bergelarTuanku Kisa-i adalah pengikut kuat mahdzab Safi’i yang memimpin ThariqatNaqsyabandiyah di Minangkabau. Kaifiyat (tata cara peribadatan) yangdiberlakukan dalam aliran-aliran thariqat, misalnya ajaran “Rabithah” yangmewajibkan pengikutnya “menghadirkan” sosok guru dalam ingatannyasebelum memulai menjalankan suluk, mendapat tentangan keras Haji Rasulyang meyakininya sebagai bid’ah. Hebatnya, walau berseberangan dalampemahaman agama, hubungan ayah anak tetap berlangsung dengan mesralantaran Haji Rasul adalah putera kesayangan Tuanku Kisa-i dan demikianhormat serta cintanya Haji Rasul kepada ayahanda Syaikh Amrullah.

Pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” seperti itusebenarnya telah berlangsung hampir satu abad lamanya, ditandai dengandimulainya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori HajiMiskin dan tujuh orang ulama Minang lainnya yang termahsyur dengan julukan“Harimau Nan Salapan”. Gerakan pembaharuan Islam ini dipengaruhikemenangan gerakan Salafiyah pada abad ke 18 di Timur Tengah yang didirikanoleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahab yang bertujuan memurnikan kembaliagama Islam dari bid’ah, yakni amalan-amalan ibadah yang tidak pernahdiajarkan Rasulullah S.A.W.

Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam), beserta dua orangulama seangkatannya yakni Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak LimaPuluh) dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) padamasa awal gerakan pembaharuan Islam itu sedang berguru di Mekah. Pada1802, mereka kembali ke Minang dan mempropagandakan gerakanpembaharuan Islam yang mereka dapati selama belajar di Mekah. Bersama

3

Page 3: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

lima orang ulama yang kemudian mendukungnya sehingga mereka dijulukiHarimau nan Salapan, Haji Miskin beserta pengikut-pengikutnya itulah yangkemudian dikenal sebagai “Kaum Paderi” yang menempati posisi penting dalamsejarah perjuangan di masa penjajahan Belanda. Di antara delapan ulamapemimpin Paderi, yang paling menonjol karena sikapnya yang tegas dalamberdakwah adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau inilah yang mula-mulamengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda.

Pada 1901, yakni seratus tahun setelah kembalinya Haji Miskin dari Mekahyang melahirkan gerakan pembaharuan Islam di Minang, Haji Rasul pun kembalidari Mekah ke kampung halaman membawa semangat serupa hingga mencapaipuncaknya dengan didirkannya perguruan Sumatera Thawalib.

Maka sebelum lebih lanjut menuturkan kehidupan Hamka, patutlahdiuraikan secara singkat sosok Syeikh Muhammad Amrullah dan puteranyaHaji Abdul Karim Amrullah. Diuraikan juga secara singkat tradisi keulamaandi dalam keluarga Amrullah yang menurut silsilahnya sampai kepada TuankuPariaman alias Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Koto. Tradisi keulamaankeluarga Amrullah dan pergeseran pemahaman Islam tradisional masyarakatMinangkabau menuju pemahaman Islam moderen (yang mencapai puncaknyadi masa dakwah Haji Rasul) inilah yang kental mewarnai perjalanan hidupHamka kemudian.

Nenek moyang hamka

DARAH PEJUANG PANGLIMA PERANGTUANKU IMAM BONJOLTuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam Bonjol di

masa perang melawan penjajah Belanda yang dikenal sebagai “Perang Paderi”(1821-1837). Dia seorang ulama dari Pauh Pariaman bernama Abdullah Arifyang datang ke Minangkabau dan bergiat dalam dakwah di “Ampat Koto Agam”yakni Koto Tuo, Koto Gadang, Bangka, dan Guguk. Tuanku Pariaman semulatidak tertarik melibatkan diri dalam konflik melawan Belanda yang telahdikobarkan Kaum Paderi, di bawah komando Tuanku Nan Renceh. Beliaumenghindari konflik fisik yang akan merugikan rakyat jelata dan memilih bergiatdalam dakwah. Apalagi, gerakan pembaharuan Islam yang dibawa Harimau

4

Page 4: Mengenang 100 Tahun HAMKA

nan Salapan semula tidak mendapat simpati kalangan ulama tua. Tak herankalau gelombang perang yang mereka pelopori melawan Belanda pun tidakmendapat sambutan.

Tetapi keadaan berubah setelah Tuanku Suruaso menyerahkan AlamMinangkabau ke tangan Belanda pada 10 Februari 1821 dan menimbulkanperlawanan di mana-mana. Minangkabau berubah menjadi lautan api, gerakan-gerakan dakwah terganggu karenanya sehingga para ulama terpanggil terjunke garis depan peperangan. Perbedaan paham dalam dakwah lebur dalamsemangat anti penjajahan.

Konflik senjata pertama antara Belanda dengan Kaum Paderi (ulama) terjadisetelah Nagari Sulit Air diserbu tentara Belanda pada April 1821. Setelah itupeperangan berkecamuk di mana-mana dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjolyang dipilih para ulama sebagai pemimpin tertinggi Kaum Paderi. Pusatpertahanan Kaum Paderi berada di Bonjol, daerah strategis yang sulit dijangkaudan dibentengi tiga daerah yang sangat kuat yakni Lawang, Matur, dan Andalas.Mustahil menjangkau Bonjol tanpa lebih dahulu menaklukkan tiga daerah yangpertahanannya dipercayakan ke pundak Tuanku Pariaman.

Karena kalah dalam persenjataan dan mulai timbul bibit-bibit pembelotanmembuat beberapa kantung perlawanan Paderi berhasil dikuasai Belanda.Matur pun kemudian ditaklukkan tentara Belanda yang setelah melakukanpengepungan ketat pada Agustus 1832, sepuluh tahun lebih setelah peperanganberkecamuk. Tuanku Pariaman menarik pasukan ke Andalas dan bertahandengan gigih di sana. Belanda nyaris gagal menaklukkan Andalas karena medanyang sangat sulit. Dengan licik, Belanda mengerahkan pasukan dari Jawa yangmerupakan sisa laskar Sentot Alibasya, yakni salah seorang panglima perangPangeran Diponegoro saat berkecamuk perang Diponegoro di Jawa yangberakhir pada 1820.

Laskar Sentot yang telah dikuasai Belanda menyerang Andalas di bawahpimpinan Tumenggung Mondrosudiro. Meski pertahanan telah pecah danbenteng Andalas telah jatuh, empat ribu pasukan Paderi di bawah komandoTuanku Pariaman bertahan mati-matian dengan tombak dan parang. Sayangnya,kekuatan sudah tidak berimbang. Tuanku Pariaman dan beberapa pengiringnyaditangkap dan sisa laskar Paderi menarik diri ke Bonjol.

5

Page 5: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Setelah Andalas jatuh, Belanda merangsek ke Lawang, lalu menaklukkanCubadak Lilin, Merambung, dan Sungai Puar. Di Sungai Puar Belanda berhasilmenangkap panglima perang Kaum Paderi lainnya, yakni Tuanku Nan Tinggi.Tertangkapnya Tuanku Nan Tinggi menyebabkan seluruh Nagari Delapan Kotomenyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Termasuk di antara yangmenyerahkan diri adalah Tuanku Mansiangan, ulama tua paling berpengaruhyang kemudian dipenggal lehernya oleh Belanda karena dianggap sebagai biangpembakar semangat perlawanan para ulama.

Para panglima Paderi di Bonjol terpecah menjadi dua kubu. Yang pertamamenghendaki tetap melanjutkan perlawanan sampai tetes darah terakhir,sementara yang lain menyatakan lebih baik menyerah dan melanjutkan perjuangandengan cara lain. Tuanku Imam Bonjol sedih menghadapi perpecahan KaumPaderi. Beliau pun memilih mengasingkan diri ke Lubuk Sikaping.

Karena banyak pimpinan Paderi yang datang menyerahkan diri, Belandadengan mudah menaklukkan Bonjol. Dari sana, Belanda mengirim pasukanmenjemput Tuanku Imam di Lubuk Sikaping. Kolonel Elout yang menjadipemimpin pasukan Belanda menawari Tuanku Imam Bonjol untuk menyerahkantampuk kepemimpinan atas Nagari Bonjol kepada angkatan muda mengingatusia beliau telah tua (60 tahun). Ini adalah akal licik Belanda untuk menguasaisepenuhnya negeri jajahan dengan mengangkat pemimpin yang telah tundukkepada mereka.

Merasa tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan, Tuanku Imam Bonjolmenyetujui usul itu. Maka diangkatlah Tuanku Muda menjadi Regen (setingkatBupati) Alahan Panjang (Bonjol). Di luar sepengetahuan Belanda, peralihankekuasaan itu hanyalah taktik Tuanku Imam Bonjol. Begitu Belandamelanjutkan penyerbuan ke Nagari Rao dan wilayah lainnya, Bonjol punkembali bangkit. Tuanku Muda yang menjabat sebagai Regen mati dibunuhTuanku Nan Garang. Tuanku Imam kembali tampil memimpin perjuanganKaum Paderi hingga Bonjol kembali bisa ditaklukkan pada 1837, lima tahunsetelah penaklukkan pertama.

Setelah pertahanan pecah, Tuanku Imam Bonjol diminta menghadapResiden di Bukit Tinggi. Ini adalah tipuan licik seperti yang digunakan Belandasaat mengundang Pangeran Diponegoro berunding di Magelang tetapi kemudian

6

Page 6: Mengenang 100 Tahun HAMKA

melucuti senjata dan menangkap Diponegoro. Di Bukit Tinggi, Tuanku ImamBonjol tidak mendapai Residen, melainkan satu kompi tentara Belanda yangtelah bersiaga dan langsung menangkapnya. Tuanku Imam dibawa ke Padang,lalu dibawa ke Jakarta. Dari Jakarta beliau diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon.Terakhir Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. Di sana ulama pemimpinKaum Paderi yang harum namanya itu meninggal.

Sedangkan Tuanku Pariaman yang lebih dahulu tertangkap kemudiandibebaskan setelah terjadi perjanjian-perjanjian pembebasan tawanan perang.Pemimpin-pemimpin Paderi banyak yang mendapat jabatan baru dari Belandasebagai Regen atau Laras, jabatan adat buatan Belanda setingkat Camat dimasa sekarang. Tawaran serupa diberikan kepada Tuanku Pariaman tetapidijawab bahwa beliau akan kembali saja ke kampung-kampung yang pernahdikuasainya untuk kembali berdakwah sebagai ulama.

HAJI RASUL, TOKOH TAJDID NUSANTARADi antara murid-murid Tuanku Pariaman, terdapat seorang ulama terkenal

asal Nagari Danau (Maninjau) bernama Abdullah Saleh yang kemudian menjadipenguasa di Guguk Katur sehingga digelari Tuanku Syaikh Guguk Katur.Abdullah Saleh dikawinkan dengan puteri Tuanku Pariaman bernama SitiSaerah. Buah perkawinan mereka adalah Amrullah dan Bayanullah.

Amrullah lahir pada 6 Rajab 1256 H (1839 M). Sejak kecil dia dididiksecara ketat dalam ilmu agama oleh ayahnya, Tuanku Guguk Katur. Kemudiansejak usia 14 tahun, dia dibawa kakeknya Tuanku Pariaman ke Koto Tuo untukdididik ilmu agama yang lebih tinggi. Setelah dirasa cukup, pada 1864 Amrullahkembali ke Danau setelah sebelumnya mendapat gelar ulama yakni Fakih Kisa-i. Sesuai tradisi di Minangkabau, seorang yang telah mampu menghafal AlQur’an mendapat gelar Fakih. Tingkat yang lebih tinggi adalah Syaikh,kemudian Tuanku. Nama Kisa-i diambil dari nama salah seorang di antaratujuh Qari’ (ahli membaca Qur’an) yang mahsyur di masa Rasulullah.

Fakih Kisa-i kemudian menjadi ulama terkenal yang mengembangkanThariqat Naqsyabandiyah dan segera mendapat gelaran Syaikh, kemudianbergelar ulama tertinggi yaitu Tuanku Kisa-i. Mengikuti tradisi dakwahmatrilineal Minangkabau, Tuanku Kisa-i kerap melakukan perjalanan jauh

7

Page 7: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

untuk berdakwah dan mengajarkan thariqat. Seiring namanya yang kianharum, Tuanku Kisa-i merasa perlu menambah ilmu agamanya, sehinggakemudian berangkat ke Mekah. Lima tahun Tuanku Kisa-i menetap di Mekahdan berguru kepada ulama mahsyur Sayid Zaini Dahlan, Syaikh MuhammadHasbullah, dan beberapa ulama lain. Di antara santri seangkatannya yanglebih muda usia dari beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwiyang kelak menjadi ulama besar sekaligus guru dari putera Tuanku Kisa-iyaitu Abdul Karim bin Amrullah.

Sekembali dari mekah, nama Tuanku Kisa-i makin harum dan berpengaruhsehingga dalam catatan Hamka terdapat kisah-kisah di seputar kakeknya ituyang terkesan mengeramatkan sosok ulama tersebut. Walau kisah-kisah ituberasal dari saksi sejarah, namun Hamka tidak memberi penekanan berlebihkarena dia lebih cenderung kepada gerakan tajdid ayahnya, Abdul KarimAmrullah, yang menentang juga pengkultusan terhadap ulama. 2)

Dalam tradisi keagamaan di Minang, seorang yang dipandang sebagai ulamabesar akan menarik suku-suku adat untuk “menjemput” sang ulama. Artinya,ulama tersebut diminta menikahi salah seorang anak gadis dari suku yangmenjemput. Demikian halnya dengan Tuanku Kisa-i yang beberapa kali“dijemput” oleh ninik mamak suku lain sehingga beliau mempunyai beberapaistri. Dari Andung Tarwasa, istri ke tiga beliau asal Batung Panjang, TuankuKisa-i memiliki tujuh anak. Dua anak pertama perempuan, lalu lahir anak ketiga pada 10 Februari 1879 yang diberi nama Muhammad Rasul.

Sejak kecil Muhammad Rasul telah menunjukkan bakat kecerdasan.Orangtuanya pun mendidik secara ketat dalam kehidupan beragama karena dipundaknyalah tertumpu tongkat estafet keulamaan Tuanku Kisa-i. Sejak usiatujuh tahun, Muhammad Rasul telah diwajibkan mendirikan shalat dan puasapada bulan Ramadan. Selanjutnya pada usia 10 tahun, paman beliau yangbernama Haji Abdus Samad membawanya ke Sibalantai, Tarusan, Painan, untukbelajar al-Quran kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Setahunkemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu belajar menulis dalam hurufArab kepada Adam, anak seorang ulama Minang bernama Tuanku Said. TuankuSaid adalah murid Tuanku Kisa-i yang menonjol.

Pada usia 13 tahun, Muhammad Rasul mulai belajar ilmu Nahwu dan Sharaf

8

Page 8: Mengenang 100 Tahun HAMKA

dari ayahnya. Setelah tamat, ayahnya mengantar anak itu ke Sungai Rotan,Pariaman, untuk menuntut ilmu kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.Empat tahun Muhammad Rasul berguru pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.Pada 1894, saat berusia 17 tahun, Tuanku Kisa-i membawa anaknya ke Mekahuntuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama Mekah. Menurutcatatan Hamka, guru utama Muhammad Rasul ialah Syeikh Ahmad KhatibMinangkabauwi. Beliau juga berguru kepada Syeikh Abdullah Jamidin, SyeikhUtsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid, Syeikh Saleh Ba Fadhal, SyeikhHamid Jeddah, Syeikh Sa’id Yaman, dan seorang penganut paham pembaharuanIslam yaitu Syeikh Tahir Jalaluddin.

Saat belajar di Mekah, Muhammad Rasul menunaikan ibadah haji. Sesuaitradisi pada waktu itu, beliau mengganti namanya menjadi Karim Amrullah.Tetapi sepulang beliau ke Minangkabau (1901), Tuanku Kisa-i lebih senangmemperkenalkan anaknya itu kepada masyarakat dengan kata-kata, “Inilahanakku Rasul yang telah berhaji,” sehingga orang lebih sering memanggilnyaHaji Rasul.

Mengenai salah seorang guru Haji Rasul yang mempunyai pengaruh besar,Hamka menulis: “Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani, pengarangkitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia benci kepadaSyeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya di kalanganulama-ulama tua di Indonesia, sehingga payah menghapuskannya).”3)

Dari keterangan Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang berasal daridunia Melayu yang menjadi guru Haji Rasul di Mekah. Mereka adalah SyeikhAhmad Khatib Minangkabauwi (Syeikh Ahmad Khatib yang berasal dariMinangkabau) dan Syeikh Utsman Sarawak. Namun Wan Mohd ShaghirAbdullah, ulama Malaysia asal Riau yang dijuluki “Penulis Ulama Nusantara”menyebut juga dari sumber-sumbernya bahwa Haji Rasul berguru kepada ulama-ulama Melayu lain yang terkenal di Mekah ketika itu. Di antara mereka adalahSyeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani, dan SyeikhAhmad al-Fathani yang merupakan kakek Wan Mohd. Shaghir Abdullah.4)

Shaghir Abdullah, yang disebut-sebut sebagai “Perpustakaan HidupManuskrip Klasik Melayu” itu, menggarisbawahi catatan Hamka yang menyebutbahwa Haji Rasul “pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani”. Berdasar

9

Page 9: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

penelitian yang dilakukannya, Syeikh Yusuf Nabhani adalah ulama di Beirutyang tidak pernah mengajar di Mekah. “Kemungkinan,” tulis Shaghir Abdullah,“Haji Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhanidi Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik dari Buya Hamka maupun literaturlain mengenai hal ini.”5)

Menilik masa-masa pembelajaran Muhammad Rasul di Mekah antara 1312H/1894 M hingga musim haji 1323 H/Januari-Februari 1906 M dan kepulanganbeliau ke Minangkabau tak lama setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwaHaji Rasul seangkatan dengan beberapa orang ulama Melayu yang agakberdekatan tahun kelahirannya dan sempat belajar kepada guru-guru yang samadi Mekah. Mereka ialah Syeikh Muhammad Sa’id dari Linggi, Kadi Haji AbuBakar Hasan Muar, dari Johor, Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, dariMinangkabau, Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, dan banyak lagi.

Ulama-ulama tersebut di atas dikenal sebagai tokoh-tokoh golongan -menggunakan istilah populer masa itu- “Islam Tua” atau dalam istilah sekarangIslam Tradisional. Maka agak mengherankan ketika timbul pertentangan yangluar biasa antara Haji Rasul dengan ayahnya, Tuanku Kisa-i, sepulang beliauke Minangkabau. Pertentangan itu disebabkan perbedaan tajam dalam jalanpemikiran dan pemahaman Islam di antara keduanya. Tuan Kisa-i yang berharapputeranya akan melanjutkan tradisi pemikiran “Islam Tua” ternyata mendapatidi dalam diri Haji Rasul telah tumbuh pemikiran-pemikiran baru yangbertentangan dengan tradisi Islam di Minangkabau.

Padahal jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya hanya seorang saja guru HajiRasul yang termasuk dalam golongan “Islam Muda” atau saat ini kitamenyebutnya Islam moderen, yakni Syeikh Tahir Jalaluddin. Demikian jugakitab-kitab klasik yang didalami Muhammad Rasul seperti kitab Fath al-Mu’in,Tafsir Jalalain, dan lain-lain adalah rujukan utama golongan “Islam Tua”.

Namun telah diketahui bahwa Syeikh Tahir Jalaluddin bersama SyeikhMuhammad Nur al-Fathani dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja ImamSambas) adalah murid-murid utama Muhammad Abduh dan Sayid RasyidRidha, pelopor pembaharuan Islam di Mesir. Ajaran Tahir Jalaluddin rupanyasangat mempengaruhi pemahaman agama Muhammad Rasul. Haji Rasul sangatmengagumi kitab Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha. Kitab itu begitu mewarnai

10

Page 10: Mengenang 100 Tahun HAMKA

jalan pemikirannya, melebihi pendalaman ilmu dari kitab-kitab karangan IbnuTaimiyah, Ibnu Qayyim, dan Syeikh Muhammad Abdul Wahhab. Dari sana,Haji Rasul pun mulai mendalami kitab-kitab karangan Syeikh MuhammadAbduh, tokoh yang kemudian menjadi patron ke-Islamannya.

Di dalam “Ayahku”, Hamka menguraikan dengan jujur pertentanganpemikiran Islam di antara dua tokoh yang tak lain adalah ayah dan kakeknya.Kejujuran Hamka ini mencerminkan kebesaran dirinya karena tak seganmenyampaikan kepada khalayak “sesuatu yang tabu” menyangkut darahdagingnya sendiri. Namun demikian, kehalusan budi dan kebijakasanaanHamka kuat tercermin dengan tidak menggambarkan pertentangan TuanKisa-i dengan Muhammad Rasul secara personal. Hamka hanya menguraimasalah perbedaan pemahaman agama yang memang harus disampaikansebagai pelajaran untuk umat.

Tulis Hamka, “Kedatangan (Haji Rasul-pen) di kampung disambut dengangembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik kalangan lebai-lebai atau kalanganninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan kecewa juga ... Syeikh AhmadKhatib (Minangkabauwi-pen) juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui caratarekat yang memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah(Tuan Kisa-i) sendiri adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi.”6)

Meski dengan tegas Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi melarangpraktik-praktik agama yang dicemari “kaifiat-kaifiat yang bid’ah-bid’ah” (danhal itu pula yang kemudian diajarkan oleh Haji Rasul sepulang keMinangkabau), tetapi banyak di antara murid-murid Syaikh Ahmad Khatibyang tetap konsisten mengamalkan thariqat. Di antara mereka yang terkenalialah Syeikh Khathib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi yangmenyusun kitab “Miftah al-Din”. Juga ulama “Kaum Tua” lain bernama SyeikhSulaiman ar-Rasuli. Kuatnya thariqat waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasulbanyak mendapat tentangan dari ulama-ulama Minangkabau. Yang paling kerasmenentang adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka.

Haji Rasul pernah meminta fatwa kepada guru besarnya, Syeikh AhmadKhatib Minangkabauwi mengenai kaifiat-kaifiat dalam thariqat Naqsyabandiyah.Pertanyaan Haji Rasul dijawab Syeikh Ahmad Khatib dengan menulis sebuahkitab yang mengupas kesalahan-kesalahan thariqat Naqsyabandiyah. Oleh

11

Page 11: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Muhammad Sa’ad Mungka, kitab itu dibantah dengan menulis kitab tandinganyang membela thariqat. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi sangat marahmembaca kitab karangan Muhammad Sa’ad Mungka sehingga menulis lagisebuah kitab yang “menguliti” dalil-dalil pembelaan thariqat Naqsyabandiyahyang dikemukakan Muhammad Sa’ad Mungka.

Haji Rasul gembira mendapatkan penegasan dari gurunya bahwapenentangannya terhadap praktik-praktik bid’ah “Kaum Tua” adalah benar.Kitab-kitab tulisan Syeikh Ahmad Khatib memberinya inspirasi untuk menuliskitab serupa guna mendukung usaha dakwahnya. Sejak saat itu, Haji Rasulrajin menulis. Setidaknya ada 26 judul kitab yang disusunnya. Oleh Hamka,karya-karya ayahnya dibagi dalam dua kategori periodisasi. Periode pertama,adalah kitab-kitab yang ditulis dalam rentang waktu 1908 hingga 1923 berjumlah15 judul. Periode ke dua, yakni 11 judul kitab yang ditulis antara 1928 hingga1943, yaitu setelah Haji Rasul mengikuti Kongres Islam di Mesir. MenurutHamka, “Karangan-karangannya itulah yang menjadi ‘soal besar’ dan ‘membuat ribut’dalam zamannya.”

Melalui kitab-kitabnya, Haji Rasul menyebaran ajaran-ajaran yang dianggap“ganjil” dan “moderen”. Ajaran-ajaran itu telah menggoncangkan masyarakatMinang pada 1920-an. Sebagai gerakan pembaharuan pada masa-masa yang sangatawal, penentangan datang dari banyak pihak yang tidak suka. Bahkan di Malaysiabuku-buku karangan Haji Rasul dilarang beredar. Hamka menulis, “Sehingga buku-buku itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak, Kelantan,Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit Kaum Muda!”.

Peran Haji Rasul dalam gerakan pembaharuan Islam mencapai puncaknyaketika beliau menjadi salah seorang anggota redaksi Majalah Islam “Al Munir”.Majalah ini didirikan oleh rekan seperjuangan Haji Rasul yaitu Haji AbdullahAhmad di Padang. Edisi perdananya terbit pada 1 April 1911. Haji Rasulmengasuh rubrik tanya jawab seputar agama Islam. Pemikiran-pemikiran beliauyang tertuang dalam rubrik itu begitu mengguncang paham Islam tradisionalsehingga “Al Munir” mendapat sambutan luas dari pembaca. Di rubrik tanyajawab itu, Haji Rasul menggunakan nama pena H.A.K.A., akronim dari namanyasetelah berhaji yaitu Haji Abdul Karim (bin) Amrullah.

Kedalaman wawasan agama H.A.K.A. memang telah diakui masyarakat

12

Page 12: Mengenang 100 Tahun HAMKA

luas, baik di kawasan Nusantara (Melanesia) bahkan sampai ke Timur Tengah.Pengukuhan atas intelektualitas Haji Rasul adalah dengan diterimanyapenghargaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang agama pada KonferensiKhilafah di Kairo, tahun 1926.7)

Selain itu beliau juga dikenal sangat berani melawan pemerintahan kolonialBelanda, juga kepada penjajah Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, dia terang-terangan menolak kewajiban seikerei (hormat bendera yang dilambangkan dengandewa matahari), dengan ritual sejenis ruku’ dalam Islam sebagai bentukpenghormatan kepada Kaisar Jepang.

Luasnya wawasan dan keteguhan sikap seperti itulah yang kemudiandiaktualisasikan ke dalam dakwah melaui “Al Munir”. Sebagai corong gerakanpembaharuan Islam, pengaruh “Al Munir” yang demikian hebat tidak hanyaterasa di Minangkabau, tetapi seluruh Sumatera, bahkan hingga Sulawesi,Kalimantan, Jawa, dan Malaysia. Di Yogyakarta, dengan meminta izin kepadaHaji Abdul Karim, “Al Munir” diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH.Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan, tokoh gerakan pembaharuan Islam diJawa, menggunakan “Al Munir” sebagai materi pelajaran bagi murid-muridnyadalam organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912.

Sebaliknya, pertemuan Haji Abdul Karim Amrullah dengan KH. AhmadDahlan dalam kunjungannya ke Yogyakarta pada 1917, telah mengilhamiberdirinya perguruan “Sumatera Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh murid-murid H.A.K.A. pada 1918 dan diikuti berdirinya perkumpulan-perkumpulanmurid (thawalib) di berbagai daerah di Sumatera dengan nama masing-masing.Di “Sumatera Thawalib” yang mengadopsi model sekolah modern alaMuhammadiyah, H.A.K.A. mengajar sebagai guru kelas VII.

Majalah Islam pertama di Tanah Air itu diilhami Majalah Islam yangditerbitkan Muhammad Abduh dan Sayid Jamalludin Al-Afghani selama dalammasa pembuangan di Paris. Majalah berjudul “Al Urwatul Wutsqa” itu terbitperdana pada 13 Maret 1884, namun tidak berumur panjang. Kurang darisetahun dan hanya sempat terbit 18 edisi, “Al Urwatul Wutsqa” tidak lagi terbit.

Sayid Jamalludin Al-Afghani wafat pada Maret 1896. Sebelumnya,Muhammad Abduh telah mendapat pengampunan dan kembali ke Mesir. RasyidRidha, murid utama Muhammad Abduh menyusul gurunya ke Mesir kemudian

13

Page 13: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

menerbitkan kembali sebuah Majalah Islam berjudul “Al Manar” pada 1898sebagai kelanjutan “Al Urwatul Wutsqa”. Majalah ini tutup pada 1937 setelahRasyid Ridha wafat pada tahun yang sama.

Pengaruh kedua majalah itu mendunia. Seorang ulama Singapura bernamaMuhammad bin Salim Alkalali bersama sahabatnya Muhammad Taher binMuhammad Jalaluddin Al Azhari asal Minangkabau pun menerbitkan MajalahIslam “Al Imam” pada 1906. Salah seorang wakil (kontributor) adalah HajiAbdul Karim bin Tuanku Kisa-i. Majalah ini tutup pada 1909, disusul kemudianterbitnya “Al Munir” di Padang.

Produktifitas Haji Abdul Karim Amrullah dalam menulis kitab dankepiawaiannya berdakwah melalui dunia jurnalistik ini kelak menurun kepadaHamka, suatu kelebihan yang jarang dimiliki ulama-ulama seratus tahun setelahHamka dilahirkan.

KELUARGA HAJI RASULKetika pertama kali pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syaikh Ahmad

Khatib Minangkabauwi, Haji Rasul menetap di negeri itu selama tujuh tahun(1894-1901). Sekembali ke kampung halaman, beliau dilantik sebagai “puteramahkota” Tuanku Kisa-i dengan diberi gelar Tuanku Syeikh Nan Mudo.Bersamaan dengan itu, ayahnya pun mendapat gelar Tuanku Syeikh Nan Tuo.

Tak lama berada di Nagari Danau, Haji Rasul dinikahkan dengan Raihanahbinti Haji Zakaria dari suku Tanjung. Pernikahan ini berlangsung ataspermintaan ayahnya. Maksud Tuanku Kisa-i adalah meredakan gelora anakmuda yang baru saja menimba ilmu di seberang lautan itu. Rupanya, siasatayahnya tersebut mengena. Haji Rasul demikian bahagia dinikahkan dengangadis cantik yang disebutnya sebagai Raihanatu Qalbi (bunga yang mekar dihati), dan agak berkuranglah kebengalannya akibat bergaul intens dengan guruyang radikal selama tujuh tahun di Mekah. Pernikahan itu berbuah seorangputeri yang dinamai Fathimah.

Sedang hangat-hangatnya membina keluarga baru, Tuanku Kisa-i kembalimengutus Haji Rasul ke Mekah untuk mengantar adik-adiknya berguru di sana.Maka Haji Rasul pun berangkat beserta istri tercinta walau harus meninggalkanFathimah dalam asuhan salah seorang bibinya karena ibunda Raihanah (nenek

14

Page 14: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Fathimah) keberatan jika cucu kesayangannya dibawa ke Mekah.Di Mekah, Haji Rasul kembali menghadap Syaikh Ahmad Khatib

Minangkabauwi untuk kembali menimba ilmu dari sang guru. Tetapi SyeikhAhmad Khatib menolak maksud Haji Rasul karena dinilainya anak murid itusudah cukup memiliki ilmu untuk menjadi seorang guru. Beliau pun ditugasimengajar ilmu agama dan hanya diijinkan menemui gurunya jika menemukanpersolan yang tak mampu dijawab sendiri oleh Haji Rasul.

Demikian gembira Haji Rasul mendapat tugas baru yang diartikannyasebagai pengakuan bahwa ilmu agamanya telah cukup. Dia pun bertekadmenetap lebih lama lagi di Mekah.

Kebahagiaannya semakin lengkap ketika Raihanah kembali hamil. Namundi tengah kebahagiaan itu, Allah memberikan ujian berat baginya; bayi laki-laki yang dilahirkan istri tercinta meninggal dalam usia satu hari. Setelah itu,Raihanah jatuh sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk sehingga limabulan kemudian menyusul putera mereka kembali ke haribaan Allah S.W.T.

Haji Rasul begitu berduka. Tekadnya untuk menetap di Mekah pupus. Beliaupun memenuhi panggilan Tuanku Kisa-i untuk kembali ke Maninjau danmelanjutkan tugas sebagai pemimpin umat di kampung halaman. Setelahmengerjakan haji pada 1906 dan memakai mengganti namanya dengan AbdulKarim, beliau pulang.

Pembesar-pembesar suku Tanjung yang kecewa karena terputus hubungandengan keluarga Amrullah meminta Haji Rasul menikahi adik mendiang istrinyayang bernama Siti Syafiah Tanjung binti Haji Zakaria. Padahal waktu itu Syafiahtelah ditunangkan dengan anak Tuanku Laras. Tetapi dengan segala resiko,pertunangan itu dibatalkan keluarga demi mempertahankan hubungan kekerabatandengan keluarga Amrullah. Maka Haji Rasul pun setuju menikahi Syafiah.

Sebelumnya Haji Rasul telah menikah dengan gadis bernama Hindun,mendapatkan beberapa anak yang semua meninggal di masa kecil. Hanya anakbungsu bernama Abdul Wudud yang berumur panjang. Sedangkanpernikahannya dengan Syafiah yang merupakan istri ke tiga, beliau memperolehempat anak; putera yang paling tua dinamai Abdul Malik (Hamka), lalu AbdulKudus, kemudian puteri ke tiga bernama Asma, dan bungsu bernama AbdulMu’thi. Setelah Syafiah, Haji Rasul juga menikah dengan Rafi’ah binti Sutan

15

Page 15: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Palembang. Sama seperti pernikahannya dengan Hindun, dari Rafi’ah Haji Rasulmemperoleh beberapa anak yang meninggal pada usia dini. Hanya anak bernamaAbdul Bari yang mencapai usia 25 tahun (meninggal dalam penjara di Padang,dihukum karena menulis buku Suluh yang Gilang Gemilang).

Haji Rasul kemudian bercerai dari dua istrinya, yakni Syafiah dan Rafi’ah.Beliau hidup bersama dengan Hindun dalam waktu yang lama. Pada tahun1941 Syeikh Amrullah alias Haji Rasul ditangkap dan diasingkan oleh pihakBelanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggappotensial mengganggu keamanan dan keselamatan umum pada masa itu.Akhirnya beliau wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelumproklamasi. Pada 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya,Muara Pauh-Sungai Batang, Maninjau.

Abdul Malik Karim Amrullah, Melanjutkan

Jejak Ayah

Abdul Malik lahir pada Ahad malam, 16 Februari 1908 bertepatan dengan13 Muharram 1326. Tangal lahir ini menjadi istimewa jika dikaitkan denganmeninggalnya Tuanku Kisa-i (kakek Abdul Malik) pada Senin, 2 Rabi’ulAkh1325 H. Jika dihitung, Abdul Malik dilahirkan tepat 9 bulan 10 hari setelahkakeknya meninggal. Suatu kali, nenek Tarwasa (istri Tuanku Kisa-i yangberusia lebih panjang daripada suaminya) pernah berkata kepada Abdul Malikbahwa secara fisik dan pembawaan diri, ia lebih mirip Tuanku Kisa-i daripadaHaji Rasul. Tentu saja Allah menciptakan setiap individu sebagai mahluk-Nyayang berbeda. Adapun peristiwa serba kebetulan itu menjadi terasa istimewa,sesungguhnya rahasianya berada di tangan Allah semata. Wallahua’lam.

Masa Kecil

Di masa kecilnya Abdul Malik yang biasa dipanggil Malik, hidup di kampungbersama ayah bundanya. Dia merupakan anak kesayangan Haji Rasul karenasebagai anak lelaki tertua, Malik menjadi tumpuan untuk melanjutkankepemimpinan umat. Tetapi metode dakwah Syeikh Abdul Karim yangcenderung keras dan tak kenal kompromi terbawa pula dalam cara beliaumendidik anak-anaknya. Hal itu rupanya tidak begitu berkenan di hati Malik.

16

Page 16: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Ia tumbuh menjadi anak dengan jiwa pemberontak.Sebagaimana umumnya anak-anak di Minangkabau, dia belajar mengaji

dan tidur di surau selain belajar pencak silat. Dia juga masuk sekolah desasampai kelas 2 tingkat dasar. Sore harinya ia belajar agama di Sekolah Diniyah(sekolah agama-madrasah) yang didirikan oleh Engku Zainuddin Labai El-Yunusi ulama yang sepaham dengan Haji Rasul.8)

Oleh Hamka dilukiskan pada masa itu merupakan zaman yang seindah-indahnya pada dirinya. Pagi pergi ke sekolah dengan bergegas, supaya dapatbermain sebelum bersekolah, sampai pukul sepuluh tengah hari. Kemudianbermain-main lagi, bercari-carian (petak umpet), main galah, bergelut, bertinju,main banting-bantingan, seperti layaknya anak-anak lainnya bermain.

Tapi kemudian masa kecilnya yang indah itu berakhir. Malik mengikutiayahandanya yang mengajar di Sumatera Thawalib di Padang Panjang dantinggal di sana. Ia berkesempatan belajar di perguruan Thawalib yang dipimpinoleh ayahnya selama beberapa waktu, namun tak sampai tamat. Selama belajardi Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai. Malik sangat malas belajardan seringkali meninggalkan sekolahnya selama beberapa hari.

Malik berpembawaan romantis. Salah satu kesukaannya ialah mengembaramengunjungi perguruan pencak silat, mendengar senandung dan Kaba, yaitukisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dansaluang (alat musik tiup khas Minang). Kegemarannya yang lain ialah menontonfilm, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahandanya yangmerupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton. Melaluihobbi itulah seringkali ia mendapat inspirasi untuk menulis.

Mengenai sifat pemberontak dan kesenangannya mengembara, Hamka dalamsalah satu bukunya berjudul “Falsafah Hidup” menulis, “Tetapi entah bagaimana,dari umur sepuluh tahun, telah tampak jiwa saya melawan beliau.... Jiwa beliau adalahjiwa diktator.... Kalau sekiranya cara beliau mendidik itu sajalah, maulah saya terbuang,menjadi anak yang tidak berguna. Saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak maumengaji, saya bosan mendengar kitab Fiqh yang diajarkan di Thawalib.”

Selain sifat keras Haji Rasul dalam mendidik anak-anaknya, kerengganganhubungan itu bisa juga dipahami oleh karena kesibukan ayahnya sebagai da’ikelana dalam tradisi matrilineal Minangkabau. Haji Rasul kerap meninggalkan

17

Page 17: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

rumah dalam waktu lama untuk memenuhi panggilan dakwah, sehingga Malikkecil lebih dekat kepada salah seorang pamannya.

Saat Malik berusia 12 tahun, kedua orangtuanya bercerai. Hal ini berakibatterhadap perkembangan kejiwaannya. Malik merasa kurang mendapatkan kasihsayang yang sewajarnya dari kedua orangtuanya. Apalagi ibunya pun kemudianmenikah lagi dengan orang lain. Perceraian itu juga mengakibatkan keretakanhubungan keluarga besar ayah-ibunya.

Malik yang kemudian mengikuti ayahnya pindah ke Padang Panjang, harusmenghadapi cemoohan dari keluarga ayahnya sendiri. Menurut adat Minang,seorang anak lelaki dianggap tidak pantas tinggal bersama ayahnya yang tidaklagi beristrikan ibu kandungnya. Sebaliknya, untuk tinggal bersama ibunya punMalik tidak merasa nyaman, karena ada bapak tiri. Beruntung neneknya begitumenyayangi Malik sejak bocah itu dilahirkan. Malik pun tinggal dan lebihbanyak menghabiskan masa kecil bersama Neneknya.

Kondisi Malik menimbulkan kekhawatiran yang mendalam pada ayahnya,sebab seperti diutarakan sebelumnya, dia adalah tumpuan harapan Haji Rasuluntuk melanjutkan kepemimpinan umat. Haji Rasul pun mengirim Malik belajarpada Syeikh Ibrahim Musa di Parabek, lima kilometer dari Bukittinggi. Saatitulah minat baca Malik mulai nampak. Ia rajin menyimak karya-karya sastrabaik yang berbahasa Melayu maupun bahasa Arab. Kegemarannya membacaserta mengembara sambil menikmati sekaligus mengagumi keindahan panoramaalam Minangkabau yang memiliki bukit-bukit, gunung-gunung dan danauditambah lingkungan keluarga yang taat beragama, telah menjadi dasar pertamabagi pertumbuhan jiwa seorang Abdul Malik di masa mudanya.9)

Menemukan Jati Diri

Sepanjang abad ke-19, pembaharuan Islam merupakan wacana dominandi Mekah dan Madinah. Sebagai jantung dunia Islam, perkembangan ini meluassampai ke Ranah Minang, dibawa oleh banyak ulama negara-negara Melayuyang mengkaji langsung ilmu agama di pusatnya, Mekah. Keadaan itumengancam posisi adat dan thareqat yang menjamur di Sumatera Barat sejakabad ke-18, menyusul kemunduran Pagarruyung sebagai pusat teladan.

Serangan pertama terhadap adat-thareqat datang bersama kepulangan tiga

18

Page 18: Mengenang 100 Tahun HAMKA

ulama (Haji Miskin dan kawan-kawan) pada 1802. Penetrasi ajaran merekamengobarkan pertikaian, berujung Perang Paderi. Serangan kedua meledakmenyusul kepulangan ayah Abdul Malik dari Mekkah (1901 dan 1906), yangmengibarkan bendera “Kaum Muda”, berhadapan dengan “Kaum Tua”, bahkanayahnya sendiri, Syekh Amrullah (Tuanku Kisa-i) yang menjadi pemimpinthareqat Naqsabandiyah di Sumatera Barat.

Pada masa-masa seperti itulah Abdul Malik mulai menapaki dunia ilmupengetahuan (agama). Dia menyaksikan arkeologi pengetahuan yang terbelah.Jejak-jejak Islam thareqat masih tersisa yang berhadap-hadapan dengan wacanabaru pembaharuan Islam. Kondisi demikian sangat mempengaruhiperkembangan pribadi Abdul Malik karena pelaku-pelaku sentral sejarahperkembangan Islam di Nusantara, khususnya Sumatera Barat, itu tak lainkakek dan ayah kandungnya sendiri.

Pergesekan antara dunia kakek dan ayah mendorong Abdul Malik untukmelampauinya. Walau hanya berbekal pendidikan formal yang minim, yakniantara 1916 sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan SekolahDiniyah di Parabek, kemudian dilanjutkan belajar di Sumatera Thawalib di PadangPanjang yang didirikan murid-murid ayahnya, Abdul Malik memiliki kecerdasanalami yang menojol. Kemampuan baca tulis (Arab, Latin, dan Jawi)-nya di atasrata-rata. Dipicu keberjarakan dengan ayah dan etos perantauan Minangkabau,mendorong Abdul Malik mengembara mencari jati diri.

Memasuki abad 20, di pulau Jawa mulai timbul gerakan-gerakan politikdan keagamaan, seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Omar SaidTjokroaminoto. Juga Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji AhmadDahlan di Yogyakarta, yang alirannya sejalan dengan paham pemikiran HajiRasul. Selain itu gerakan-gerakan nasionalis juga mulai timbul, kesemuanyabertujuan untuk menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinanSoekarno. Bahkan aliran komunis juga muncul di Jawa dipelopori oleh Alimin,Tan Malaka dan lain-lain. Berita-berita sekitar kebangkitan partai politik itutelah sampai juga ke Minangkabau dan menjadi buah pembicaraan khalayak disana. Ini menjadi dorongan kuat bagi Abdul Malik sehingga pada 1924 iamerantau ke Jawa dengan Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Abdul Malik menumpang di rumah pamannya Jakfar

19

Page 19: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Amrullah, seorang pedagang batik. Selama bermukim di sana, dia aktifmengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Organisasi Sarekat Islam, bahkanmasuk menjadi anggota organisasi yang kemudian menjadi partai politik itu.

Dalam beberapa hal ia belajar langsung pada H.O.S. Tjokroaminoto,pimpinan Sarekat Islam. Abdul Malik juga mereguk pengetahuan sosiologi dariSoerjopranoto, filsafat dan sejarah (Islam) dari K.H. Mas Mansur, dan tafsirdari Ki Bagus Hadikusumo. Di Jawa, Abdul Malik juga sempat mengembarake Bandung, bertemu tokoh Masyumi A. Hassan dan M. Natsir yangmemberinya kesempatan belajar menulis dalam majalah “Pembela Islam”.

Di luar PSI, Abdul malik aktif sebagai anggota Muhammadiyah, syarikatkeIslaman yang memiliki kesesuaian paham dengannya. Dia pun berkenalandan rajin mengikuti pengajian yang diberikan pemimpin-pemimpinMuhammadiyah seperti K.H.Mochtar, K.H.Fachruddin, dan lain-lain.

Beberapa lama di Yogyakarta, Abdul Malik menemui A.R.Sutan Mansur,suami kakak tirinya Fatimah (anak Haji Rasul dari isteri pertama) di Pekalongan.Abdul Malik pun berguru pada A.R.Sutan Mansur yang waktu itu menjabatsebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan.

Keterlibatan Abdul Malik dalam jaringan organisasi dan penambahanpengetahuan yang demikian luas membentuknya menjadi ulama muda berjiwakosmopolitan. Namun, sebagai putera Minang, Abdul Malik tetap memilikietos puritan dalam keluwesan pergaulan disertai kelapangan jiwa yangmengantarnya menjadi pribadi berkarakter dan produktif dengan tetap tolerandan estetik dalam usia yang masih belia.

Pada 1925, Abdul Malik kembali ke Minang. Walau masih dalam usia 17tahun, ia telah menjadi ulama muda yang disegani. Keterpikatannya pada senidakwah di atas panggung yang ditemuinya pada orator-orator ulung di Jawa,membuatnya merintis kursus-kursus pidato untuk kalangan seusianya. AbdulMalik rajin mencatat dan merangkum pidato kawan-kawannya, kemudianditerbitkan menjadi buku. Dia sendiri yang menjadi editor buku yang diberi judul“Khatib ul-Ummah”. Inilah karya perdana Abdul Malik sebagai seorang penulis.

Melihat perkembangan buah hatinya yang demikian hebat dalam hal tulismenulis dan pidato, Haji Rasul sangat gembira. Namun menuruti adatnyayang keras, yang tercetus justru sebuah kritik tajam, “Pidato-pidato saja adalah

20

Page 20: Mengenang 100 Tahun HAMKA

percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu”.10)

Dua tahun di kampung halaman, pada 1927 Abdul Malik pergi tanpa pamitkepada ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalampengetahuan (Islam) pada ulama-ulama di sana. Dia sengaja kabur dari rumahsebagai jawaban atas kritik ayahnya. Dari Mekah, dia pun berkirim surat kepadaayahnya, memberitahukan bahwa dia telah menunaikan ibadah haji.

Di Mekah, Abdul Malik sempat bekerja di perusahaan percetakan-penerbitan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi yang merupakan mertuaSyeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Imam dan Khatib Masjidil Haram,guru besar ayahnya.

Di tempatnya bekerja itu, “kegilaan” Abdul Malik dalam membaca kitabterpenuhi dengan melimpahnya kitab-kitab klasik, buku-buku dan majalah–buletin Islam dalam Bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.Tujuannya bekerja, selain agar bisa menumpang hidup adalah untuk menyerapilmu Syeikh Ahmad Khatib yang begitu diidolakan ayahnya.

Setelah menunaikan haji (sejak saat itu menyandang nama Haji Abdul MalikKarim Amrullah - Hamka), dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, iaberjumpa H. Agus Salim. Tokoh Muhammadiyah itu menyarankan agar Hamkasegera pulang ke Tanah Air. “Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkutpergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebihbaik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri,” kata Agus Salim.11)

Kata-kata pemimpin besar itu oleh Hamka dianggap sebagai suatu“titah”. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukimdi Mekah. Tetapi bukannya pulang ke Padang Panjang di mana ayahnyatinggal, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuh kapal yangmembawanya pulang.

Produktif Menulis

Di Medan Hamka mulai mengirimkan tulisan-tulisannya untuk Surat kabarPembela Islam di Bandung dan berkorespondensi dengan M. Natsir, A. Hassan,dan tokoh pembaruan Islam lainnya. Hamka juga bekerja di Harian Pelita Andalasdan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekah.

21

Page 21: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Tulisannya diminati banyak orang, di antaranya adalah Muhammad Ismail Lubis,pemilik majalah Seruan Islam. Hamka pun diminta menuliskan karangan lainnyadi majalah tersebut. Selain itu Hamka kerap mengirimkan tulisannya ke SuaraMuhammadiyah yang dipimpin H.Fakhruddin di Yogyakarta.

Walau sangat produktif, namun penghargaan atas karya tulis pada masa itumasih demikian kecil, tak cukup untuk menutup biaya hidup. Hamka bernasibbaik, ia diminta oleh pedagang-pedagang kecil yang umumnya para perantaudari Sumatera Barat untuk menjadi guru agama. Dari pekerjaannya sebagaiguru ini ia mendapatkan honor yang cukup untuk membiayai hidupnya.

Pada tahun 1928 keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasaMinangkabau “Si Sabariyah”. Di tahun yang sama ia pun memimpin majalahKemauan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor. Kemudian setahunberikutnya, 1929 terbit pula buku-bukunya yang lain; “Agama dan Perempuan”,“Pembela Islam”, “Adat Minangkabau”, “Agama Islam” (buku ini disita polisipenjajah karena dianggap berbahaya bagi pemerintah jajahan), “KepentinganTabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj”, dan berbagai karya lainnya.

“Si Sabariyah” laris di pasaran. Kenyataan ini membuat semangat Hamkadalam berdakwah melalui tulisan menyala-nyala karena karya-karyanyamendapat apresiasi luas. Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa dalammelaksanakan kewajiban dakwah, Hamka memiliki kualitas tersendiri karenamenguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.

Karya Hamka yang menjadi tonggak kepujanggaannya adalah “LailaMajnun” yang diilhami sebuah cerita pendek berjudul “Majdulin” yang dibacanyadalam sebuah majalah Arab. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbitutama pada waktu itu. Hal ini sangat membesarkan hati Hamka yang masihberusia muda dan semakin memacunya untuk lebih giat lagi menulis danmengarang. Dari karya-karyanya yang kemudian diterbitkan Balai Pustaka,nama Hamka pun dalam khasanah sastra nasional tercatat sebagai salah satupujangga angkatan Balai Pustaka.

Rujuk, lalu Kembali Merantau

Nama besar keluarga Amrullah, serta tradisi setempat yang selalumenyambut kepulangan seorang Haji dari Mekah untuk diserap ilmunya,

22

Page 22: Mengenang 100 Tahun HAMKA

membuat keputusan Hamka tidak langsung pulang ke Padang Panjang menuaikecaman. Orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim suratmemintanya pulang. Namun Hamka membangkang, bahkan ia membalas surat-surat itu dengan menyatakan bahwa tidak ada gunanya Hamka kembali kekampung. Surat Hamka itu pun diadukan kepada Haji Rasul.

Tak kalah cerdik, ulama tua itu mengirim A.R.Sutan Mansur untuk menjemputHamka. Karisma dan pribadi lembut guru sekaligus kakak iparnya itu membuatHamka luluh. Akhirnya ia pulang ke kampung dan diterima ayahnya dengan rasaharu yang dalam. Kata Haji Rasul, “Mengapa tidak engkau beritahu bahwa begitumulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itumaksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.”

Hamka berurai air mendapat sambutan sehangat itu dari seorang ayah yangsepanjang masa mudanya terasa begitu jauh dari kehidupannya. Hapus sudahfigur seorang ayah yang keras dan dingin. Terbuka pula tabir kasih sayang yangselama itu digunakan Haji Rasul untuk mendidik anak kesayangannya itu.Hubungan Hamka yang oleh ayahnya kerap disebut sebagai “Si Bujang Jauh”yang penuh warna dengan Haji Rasul, kelak melahirkan sebuah karya biografiyang demikian kuat yang oleh Hamka diberi judul “Ayahku”. Buku ini adalahkarya apresiatif sebagai simbol cintanya pada Sang Ayah.

Hamka kembali terlibat aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Pada 1928,Hamka diangkat menjadi ketua cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.Di sana, Hamka mendirikan sekolah-madrasah “Kulliyatul Muballighin” bersama-sama pengurus Muhammadiyah lainnya. Dia ditunjuk sebagai “Kepala Sekolah”sekaligus pengajarnya. Pada 1929, saat berusia 21 tahun Hamka dinikahkandengan seorang gadis bernama Siti Raham.

Keterlibatannya dalam pengurus Muhammadiyah membuat hubungannyadengan tokoh-tokoh organisasi semakin erat. Hamka kerap berdiskusi danbelajar pada Agus Salim mengenai tauhid, filsafat, tasauf, dan politik. HajiAgus Salim adalah seorang ulama yang begitu luas penguasaan bidangpengetahuan sehingga pantas menyandang gelar pujangga, filosof, jurnalis,orator, politikus, sekaligus pemimpin rakyat. Di mata Hamka, beliau adalahseorang manusia yang nilainya lebih dari sejuta manusia. Sehingga menurutnya,guru besarnya itu adalah seorang pembaharu Islam yang kedudukannya sama

23

Page 23: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

dengan Muhammad Abduh di Mesir.Pada 1930, Konggres Muhammadiyah ke XIX dilaksanakan di Bukittinggi.

Pada saat itulah Hamka menunjukkan kepiawaiannya berorasi dalam pidatoyang berjudul “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”. Pidato memikat dalamkonggres nasional yang dihadiri ribuan utusan Muhammadiyah dari daerah-daerah lain itu secara tidak resmi telah menempatkan Hamka sebagai SingaPodium baru.

Setahun kemudian Hamka diutus ke Makassar untuk berdakwah di sanaoleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Selain itu, Hamkamengemban tugas khusus mempersiapkan Konggres Muhammadiyah ke 21(Mei 1932) di Makassar. Di sana Hamka menetap selama tiga tahun. Selamadi Makassar, selain menjadi muballigh, Hamka tetap rajin menulis artikeluntuk dikirim ke beberapa surat kabar di Jakarta dan Medan. Hamka jugamenerbitkan jurnal pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan berjudul“al-Mahdi” yang redaksi sekaligus dan administrasinya diurus sendiri. Jurnalitu sayangnya hanya bertahan 9 kali penerbitan. Selain “al-Mahdi” Hamkajuga menerbitkan majalah “Tentera” periode waktu dan tempat yang samayang terbit 4 edisi.

Di Muhammadiyah, karir Hamka terus berlanjut hingga pada KonferensiMuhammadiyah Sumatera Barat (1946), Hamka terpilih menjadi ketua MajlisPimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, menggantikan S.Y. SutanMangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Jabatan itu diembannyasampai 1949.

Pada Konggres-konggres Muhammadiyah berikutnya, Hamka diangkatsebagai anggota Pimpinan Pusat. Tetapi pada Konggres tahun 1971 yangkembali diadakan di Makassar, Hamka tidak lagi bersedia duduk dalamPimpinan Pusat Muhammadiyah mengingat faktor usia. Sejak saat itu, beliauditetapkan sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terusmelekat padanya sampai akhir hayatnya.

Pujangga, Pejuang

Pada tahun 1936 tugasnya di Makassar berakhir. Hamka pun diminta olehteman-temannya ke Medan untuk memimpin majalah “Pedoman Masyarakat”.

24

Page 24: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Saat itu, tiras majalah Islam yang terbit bulanan itu baru 500 eksemplar. Dibawah kepemimpinannya (1936-1942) “Pedoman Masyarakat” berkembangdengan pesat, tiras majalah mencapai 4.000 eksemplar. Jumlah terbitan yangpada masa itu tergolong sangat besar. Di “Pedoman Masyarakat” inilah HajiAbdul Malik Karim Amrullah pertama kali menggunakan nama pena Hamka(akronim namanya) yang kemudian menjadi nama populernya.

Melalui majalah ini lahirlah karya-karya besar dalam lapangan agama,filsafat, tasauf, dan roman. Ada yang dimuat di Pedoman Masyarakat ada pulayang ditulis lepas. Dalam bidang agama dan filsafat, karya Hamka antara lain“Tentang Bahagia” (yang dikemudian hari diterbitkan dengan judul; TasaufModeren), “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, dan “Lembaga Budi”.

Melalui rubrik cerita bersambung di majalah yang dipimpinnya, Hamkamelahirkan karya-karya sastra jempolan. Di antaranya empat judul karya yangditulisnya bersamaan dalam rentang waktu tiga tahun (1937-1940), yakni “DiBawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wyck”, “Merantau keDeli”, dan “Di dalam Lembah Kehidupan”. Judul terakhir adalah sebuah kumpulancerita pendek. Selain keempat judul itu, Hamka juga menuliskan beberapakarya sastra lain, di antaranya “Terusir”, “Keadilan Illahi”, dan banyak lagi.

Baik Majalah “Pedoman Masyarakat” maupun buku-buku agama dan karyasastra Hamka kemudian tersebar dan dibaca luas di seluruh Indonesia, jugadibaca banyak orang di Malaysia.

Pada Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia. Pada tahun itu pula “PedomanMasyarakat” berhenti penerbitannya.

Seperti ayahnya, Hamka adalah sosok ulama yang konsisten (istiqomah)dalam beragama. Namun sebagai cucu buyut Tuanku Pariaman, panglimaperang Tuanku Imam Bonjol semasa Perang Paderi, darah nasionalis jugamengalir kental di tubuhnya. Hal itu dibuktikannya dengan terjun langsung kegaris depan Laskar Gerilya Kemerdekaan yang menentang kembalinya penjajahBelanda ke Indonesia di Medan pada 1945. Masa-masa konflik ini, pidato-pidato Hamka yang garang berhasil membakar semangat para pejuang laiknyamotivator perjuangan ulung Bung Tomo yang berhasil membakar api perlawanansemesta terhadap tentara NICA di Surabaya. Pada 1947, Hamka diangkatmenjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia.

25

Page 25: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Pada 1950, Hamka memulai karir sebagai Pegawai Kementrian Agama.Beliau bertugas sebagai dosen di berbagai Perguruan Tinggi Islam, yakni diPerguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas IslamJakarta, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Universitas IslamSumatera Utara, dan bertugas sebagai dosen Fakultas Hukum dan FalsafahMuhammadiyah di Padang Panjang.

Di tahun itu juga Hamka menunaikan ibadah haji ke dua dan melanjtkanlawatan ke beberapa negara Arab. Ibadah haji ke dua dan kenang-kenanganatas perjalanan ini dituliskannya menjadi tiga buah buku: “Mandi Cahaya diTanah Suci”, “Di Lembah Sungai Nil”, dan “Di Tepi Sungai Dajlah”.

Dua tahun kemudian Hamka diundang Departemen Luar Negeri AmerikaSerikat untuk berkunjung ke negara itu. Hamka melawat selama empat bulandi Amerika Serikat. Beliau berangkat melalui Eropa dan pulangnya singgahsebentar di Australia. Dari lawatannya ini, kembali Hamka menghasilkan bukuberjudul “4 Bulan di Amerika” sebagai buah tangan.

Pada 1958 Hamka menjadi anggota delegasi Indonesia untuk SimposiumIslam di Lahore. Dari sana Hamka melanjutkan lawatan ke Mesir. Perjalanankali ini merupakan penggal sejarah yang sangat penting dalam kehidupan Hamkaseperti yang akan diuraikan pada bagian berikut.

Tahun 1959 Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat”.Majalah yang didirikannya bersama K.H. Fakih Usman itu dibreidel olehSoekarno pada 17 Agustus 1960 karena memuat artikel berjudul “DemokrasiKita” tulisan Muhammad Hatta yang mengkritik tajam konsep DemokrasiTerpimpin Soekarno.

Al-Azhar, Pusaka Peninggalan Buya Hamka

Pada 1956, Hamka selesai membangun sebuah rumah kediaman di bilanganKebayoran Baru. Di depan rumah itu terdapat sebuah lapangan luas yangdisediakan pemerintah untuk membangun sebuah masjid agung. Rencanapembangunan masjid agung itu membuat Hamka begitu gembira karena baginyaapabila sebuah masjid berada di depan rumah, maka akan mudah mendidikanak-anak dalam kehidupan Islami.

Dua tahun kemudian, sebuah peristiwa penting terjadi dalam hidup Hamka.

26

Page 26: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Dia diundang oleh Universitas Punjab di Lahore, Pakistan, untuk menghadirisebuah seminar Islam. Di sanalah Hamka berkenalan dengan seorang pemikirbesar Islam Dr. Muhammad al-Bahay.

Usai mengikuti seminar, Hamka melanjutakan lawatan ke Mesir atasundangan Mu’tamar Islamy, yang Sekretaris Jenderalnya ialah Sayid Anwar Sadat,salah seorang perwira anggota “Dewan Revolusi Mesir” di samping PresidenJamal Abdel Nasser. Kedudukan Hamka sebagai anggota PimpinanMuhammadiyah, rupanya telah membuat beliau begitu dikenal oleh masyarakatMesir, terutama di kalangan akademisi Universitas Al-Azhar. Namanya jugaharum di lingkungan “As-Syubbanul Muslimun”, organisasi Islam yang berhaluansama dengan Muhammadiyah. Hal ini tak terlepas dari peran Duta Besar Mesirdi Indonesia pada waktu itu, Sayyid Ali Fahmi al-Amrousi dan AtaseKebudayaan Indonesia di Mesir, Raden Hidayat, yang memperkenalkan Hamkakepada masyarakat Mesir. Lawatan Hamka ke Mesir kebetulan bertepatandengan kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno ke sana sehingga Saiyid AliFahmi al-Amrousi pun tengah berada di negerinya.

Maka, terjadilah kesepakatan antara Mu’tamar Islamy dan “As-SyubbanulMuslimun” dengan Universitas Al-Azhar untuk mengundang Hamkamengadakan suatu muhadharah (ceramah) di gedung As-Syubbanul Muslimun gunamemperkenalkan lebih jauh pandangan hidup Hamka kepada masyarakatakademisi dan pergerakan di Mesir. Buya menyambut hangat undangan tersebutdan menyiapkan sebuah makalah berjudul “Pengaruh Faham Muhammad Abduhdi Indonesia dan Malaya”.

Ceramah Hamka beroleh sambutan luar biasa. Dari sebuah acara yangsemula direncanakan sederhana saja, ceramah itu telah berubah menjadi sebuahstudium generale (kuliah umum) yang dihadiri sarjana-sarjana dan ulama kenamaanMesir. Di antara yang hadir, tercatat nama-nama seperti Prof. Dr. Osman Amin,Dr. Muhammad Al-Bahay, Syaikh Ahmad Syarbasyi, Ketua Umum As-SyubbanulMuslimun, dan Wakil Rektor Universitas Al-Azhar (kala itu) Syeikh MahmoudSyaltout. Mereka memberikan apresiasi begitu tinggi kepada orang Indonesiayang ternyata lebih mendalami dan memahami pemikiran Muhammad Abduhdaripada kebanyakan orang Mesir sendiri.

Usai kuliah umum yang menghebohkan itu, Hamka melanjutkan lawatanke Saudi Arabia memenuhi undangan Raja Saud. Kesempatan itu digunakan

27

Page 27: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Hamka untuk berziarah ke makam Rasulullah di Madinah dalam kapasitassebagai tamu negara.

Beberapa hari di Madinah, Raja Saud mengundang Buya sebagai tamu pribadiRaja Arab Saudi itu. Sedang menjadi tamu raja, tiba-tiba datang pula kawatdari Mesir yang disampaikan oleh Duta Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi al-Amrousi yang berisi rencana Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelarilmiah tertinggi kepada Buya Hamka, yakni gelar Ustadzyyah Fakhriyah (DoctorHonoris Causa).

Gelar Ustadzyyah Fakhriyah itu merupakan penghargaan kehormatanakademis pertama yang diberikan Universitas Al-Azhar kepada orang yangdianggap patut menerimanya. Penghargaan itu terwujud atas usulan KepadaDepartemen Kebudayaan Al-Azhar, Dr. Muhammad Al Bahay. Namun upacarapemberian gelar kehormatan itu tidak bisa segera dilaksanakan meskipunHamka telah kembali ke Mesir dari kunjungannya ke Saudi Arabia disebabkanpanitia perlu menyusun protokol pelantikan yang sebelumnya belum pernahdilakukan. Bahkan rencananya, pemberian gelar Doctor Honoris Causa ituakan disahkan oleh Jamal Abdel Nasser, Presiden Mesir waktu itu. Al-Bahaymeminta Buya Hamka agar bersabar tinggal lebih lama di Mesir karena segalapersiapan pelantikan itu butuh waktu satu hingga dua minggu.

Minggu-minggu akhir bulan Februari 1958 itu, suhu politik di Mesirmenghangat dengan penggabungan Republik Mesir dengan Republik Suriah.Suasana gegap gempita dan kesibukan luar biasa mewarnai hari-hari yang dipenuhidemonstrasi dan pawai-pawai raksasa. Kesibukan itu melanda juga ke dalamUniversitas Al-Azhar sehingga rencana penganugerahan gelar Ustadzyyah Fakhriyahkepada Hamka terhambat. Pada akhirnya, disampaikan kepada Hamka untukmenunggu hingga akhir bulan Ramadhan 1378 H (awal bulan April 1958).

Walau tak mudah bagi seorang Hamka untuk melakukan perjalanan ke luarnegeri, tetapi pada waktu itu beliau memutuskan untuk kembali lebih dahulu keTanah Air karena krisis politik tengah terjadi di dalam negeri. Hamka mendapatkabar kalau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) telahmelakukan pemberontakan di Sumatera. Dan pada penghujung bulan Febriari1958 itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah membom Painan yang terletakdi pesisir selatan Sumatera Barat. Mendapati Minangkabau, bumi kelahirannya

28

Page 28: Mengenang 100 Tahun HAMKA

dalam bahaya besar, Hamka yang memiliki jiwa pejuang memutuskan pulangdan menunda urusan penganugerahan gelar kehormatan itu.

Sekembali ke Tanah Air, Hamka mendapati pembangunan Masjid Agungdi depan rumah tinggalnya telah selesai tetapi belum boleh digunakan untukberibadah. Menurut Syamsurrijal, Walikota Jakarta Raya pada waktu itu yangmenjadi Ketua Panitia Pembangunan Masjid Agung Kebayoran, masjid barubisa digunakan beribadah setelah diresmikan oleh Presiden Soekarno. Hamkagusar. Beliau mendesak Syamsurrijal agar diperbolehkan menggunakan MasjidAgung sambil menunggu kesediaan Presiden Soekarno meresmikannya.Menurutnya, ruh masjid barulah menyala apabila dipakai guna beribadah.Apalagi pada waktu itu telah datang bulan Ramadhan.

Demikianlah Hamka mulai melaksanakan shalat di Masjid AgungKebayoran Baru. Berangsur jamaah mulai ramai setelah pada awalnya hanyadiikuti 5 sampai 6 orang saja. Hamka pun secara tidak resmi telah diangkatmenjadi Imam Masjid Agung Kebayoran Baru. Selain memimpin shalat limawaktu, setiap usai shalat Shubuh, Beliau mulai memberikan penjelasanmengenai ayat-ayat Al Qur’an selama 45 menit kepada jamaah. Inilah cikalbakal tersusunnya magnum opus Buya Hamka yang kelak dikenali sebagai kitabTafsir Al-Azhar.

Barangkali sejauh ini khalayak menilai kitab tafsir itulah puncak karya ulamamulti dimensi itu. Tetapi dalam pengantar yang dituliskan sendiri oleh Hamkamengenai alasan di balik pemberian judul “Al-Azhar” pada kitab tafsirnya,jelas tersirat bahwa terdapat suatu gagasan besar yang layak disebut sebagairuh perjuangan Buya Hamka dalam perjuangan Islam yang tidak akan pernahberhenti sampai pada tersusunnya sebuah kitab tafsir lengkap belaka. Ruhperjuangan itu tak lain sebuah institusi pergerakan Islam yang berpusat di MasjidAgung Kebayoran yang kelak sama kita kenal sebagai Masjid Agung Al-Azhar.Untuk lebih jelasnya, baik kita simak fragmen penting dalam kehidupan beliauberikutnya.

Maret 1959 datang undangan dari Duta Besar Mesir yang baru, ialah SayyidAli Fahmi kepada Hamka. Rupanya pemberian gelar Doctor Honoris Causaoleh Universitas Al-Azhar kepada Hamka telah dilakukan dan bel (tabungijazah) berwarna biru pun disampaikan kepada Hamka dalam sebuah upacara

29

Page 29: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

yang penuh khidmad di kantor Kedutaan Besar Mesir. Pada ijazah itutercantum keterangan “Raqam I”, artinya penghargaan gelar akademis itumerupakan penghargaan pertama sejak Al-Azhar menetapkan peraturanmengenainya. Hamka adalah orang pertama yang mendapat gelar H.C. dariUniversitas Al-Azhar, Kairo.

Inilah momentum penting dalam sejarah perjuangan Hamka. Dalampengantar Tafsir Al-Azhar, mengenai hal itu Hamka menulis, “Ijazah yang amatpenting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima dengan penuh keharuan. Sebabdia ditandatangani oleh Presiden R.P.A. sendiri, Jamal Abdel Nasser dan Syeikh Jami’Al-Azhar yang baru, yang Al-Azhar sangat mencapai martabat yang gilang gemilangselama dalam pimpinan beliau. Itulah Syeikh Mahmoud Syaltout, (beluai meninggalpada akhir tahun 1963). Dan beliau turut hadir dalam muhadharah saya di gedung“asy-Syubbanul Muslimun” itu.”12)

Hamka menulis surat kepada Mahdoud Syaltout berisi pernyataanterimakasih kepada Al-Azhar dan semua orang yang telah membantunyamemperoleh penghargaan itu. Surat itu dibalas oleh Syaikh Jami’ Al-Azhardengan menambahkan pujian, “Sesungguhnya tatkala Al-Azhar memutuskan hendakmemberikan penghargaan itu, ialah karena dia telah mengetahui betapa perjuangan tuanselama ini dalam usaha menegakkan kesatuan kaum Muslimin di Asia Timur, dansebagaimana pula tuan telah memancangkan tonggak-tonggak untuk kekokohan Islam.Maka Al-Azhar sangatlah merasa berbahagia karena telah meletakkan kepercayaanitu ke atas diri tuan dan dianggapnyalah tuan sebagai puteranya yang setia kepadanyadan kepada pokok-pokok pendirian Islam, yang Al-Azhar telah berjuang selama iniuntuk mengibarkan benderanya.”13)

Gelar Ustadzyyah Fakhriyah beserta surat Mahmoud Syaltout itu begitumemotivasi Hamka untuk melanjutkan syiar Islam yang berpusat di MasjidAgung Kebayoran Baru. Hamka semakin sering menyampaikan pelajaran tafsirusai shalat Shubuh. Disebabkan oleh bermacam kegiatan pengajian dankhutbah-khutbah Jum’at Hamka yang memukau, Masjid Agung KebayoranBaru pun mulai dipadati jama’ah.

Pada Desember 1960, Syaikh Mahmoud Syaltout disertai Dr. MuhammadAl-Bahay (sosok yang diyakini Hamka berada di balik sukses Mahmoud Syaltoutmemajukan Al-Azhar) berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara. Salah

30

Page 30: Mengenang 100 Tahun HAMKA

satu agenda kunjungan adalah menziarahi Masjid Agung Kebayoran Baru.Melihat sendiri perjuangan Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru, MahmoudSyaltout dalam sambutannya antara lain menyatakan, “Bahwa mulai hari ini,saya sebagai Syeikh (Rektor) dari Jami’ Al-Azhar memberikan bagi masjid ini nama“Al-Azhar”, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo.” Sejak saat itu, semua orang sepakat melekatkan nama MasjidAgung Al- Azhar sebagai pengganti nama Masjid Agung Kebayoran Baru.

Diluar segala macam kesibukannya yang luar biasa, Hamka terusmelanjutkan memberikan pelajaran tafsir di Masjid Agung Al -Azhar. Januari1962, Perpustakaan Islam Al-Azhar yang didirikan setahun sebelumnya,menerbitkan sebuah majalah bernama “Gema Islam” di mana Hamka menjadipemimpin redaksinya. Segala kegiatan Masjid Agung, terutama pelajaran tafsiroleh Hamka dimuat secara berkala di dalam majalah itu. Luasnya peredaran“Gema Islam” membuat kegiatan menyampaikan tafsir ba’da shalat Shubuhdiikuti oleh takmir-takmir masjid lain di Indonesia. Rangkaian pelajaran tafsirba’da shubuh yang dimuat dalam “Gema Islam” itu oleh Hamka diberi judulTafsir Al-Azhar, merujuk kepada tempat di mana tafsir itu diberikan sekaliguspenghargaan pribadi Hamka kepada Al-Azhar (Mesir). Tulis Hamka, “Atas usuldari tata usaha majalah di waktu itu, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, segala pelajaran“Tafsir” waktu Shubuh itu dimuatlah di dalam majalah Gema Islam tersebut. Langsungsaya berikan nama baginya Tafsir Al-Azhar, sebab “Tafsir” ini timbul di dalam MasjidAgung Al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syeikh Jami’ Al-Azhar sendiri.Merangkaplah dia sebagai alamat terimakasih saya atas penghargaan yang diberikanoleh Al-Azhar kepada diri saya.”14)

Terbetik dalam benak Hamka ketika mulai menyusun Tafsir Al-Azhar untukmenjadikannya sebagai peninggalan pusaka bagi bangsa dan ummat musliminIndonesia sepeninggalnya kelak dari alam fana ini. Terlebih lagi, begitu besardorongan di hatinya untuk mempersembahkan Tafsir Al-Azhar sebagai “balasan”atas penghargaan yang telah diterimanya dari Universitas Al-Azhar, Kairo.Penghargaan, yang menurut Hamka, disebabkan oleh rasa cinta orang Mesirkepada seorang ulamanya (Muhammad Abduh) yang dipandang sebagai peloporpembaharuan Islam di Mesir. Oleh karenanya, penghargaan tertinggi pantasdiberikan kepada orang yang memuliakan dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran

31

Page 31: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Muhammad Abduh, yaitu kepada Haji Abdul Malik Karim Amrullah.Jika disimak sedemikian dalam rasa syukur Hamka atas gelar Ustadzyyah

Fakhriyah yang diterimanya dari Universitas Al-Azhar tidak aenh kalau kerjakerasnya menyusun Tafsir pun didedikasikan kepada Universitas Al-Azhar.Dan jika diingat kembali pesan Syaikh Mahmoud Syaltout agar Masjid AgungKebayoran Baru kelak menjadi pusat gerakan pembaharuan Islam seperti halnyaAl-Azhar di Mesir, maka ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamkadari Masjid Agung Al-Azhar merupakan pusaka peninggalan Hamka yangnilainya sama besar dengan kitab Tafsir Al-Azhar itu sendiri.

Tafsir Al-Azhar, yang diakui sebagai karya terbesar Hamka telah selesaidisusun melalui berbagai rintangan yang tidak mudah sebagaimana akan diuraikanselanjutnya. Tetapi ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamka belumdan tidak akan pernah selesai. Menjadi kewajiban generasi selanjutnyalah untuktidak sekadar mewarisi kebesaran Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tetapimelanjutkan perjuangan beliau dalam menegakkan Islam di bumi Indonesia danmenjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat pergerakannya.

Tafsir Al-Azhar, Hikmah di Balik Fitnah

Sejak menjadi Imam Masjid, Buya Hamka memulai memberikan pelajarantafsir Al Qur’an tiap selesai memimpin shalat subuh. Surat yang pertama kalidikaji adalah surat Al-Kahfi, juzu XV. Tafsir-tafsir yang diuraikannya, yangdimulai sejak akhir 1958, kemudian dimuat secara berkala di Majalah GemaIslam terbitan Perpustakaan Al Azhar mulai Januari 1962 hingga Januari 1964.

Mulai saat itu terbetik di hati Hamka untuk menyusun tafsir dalam kitab-kitab yang kemudian diberi judul Tafsir Al Azhar. Pemberian judul kitabtafsirnya itu tak lepas dari sejarah berdirinya Masjid Agung Al Azhar sepertidiuraikan sebelumnya. Tetapi, meski telah berjalan selama enam tahun, belumjuga seluruh ayat-ayat Al Qur’an selesai ditafsirkan.

27 Januari 1964, berlakulah takdir Allah yang oleh Hamka dikiaskandengan kalimat, “Jika langit hendak jatuh, bagaimanalah telunjuk bisamenahannya.”15) Siang itu, usai memberikan pengajian mingguan di MasjidAgung, Buya “dijemput” empat orang polisi berpakaian preman, lengkapdengan Surat Perintah Penahanan Sementara. Di dalamnya disebutkan bahwa

32

Page 32: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Hamka diduga melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No 11/1963. Tanpaketerangan lebih jelas, Hamka digelandang ke Departemen AngkatanKepolisian (DEPAK), ditahan selama 2 jam, kemudian dibawa ke Cimacan,Puncak, Bogor. Empat hari Hamka ditahan di sebuah bungalow Polisi diCimacan. Pada 31 Januari 1964, beliau dipindahan ke Sekolah KepolisianSukabumi setelah sebelumnya sempat mampir di sebuah bu-ngalow lain diPuncak di mana beliau bersua tokoh Masyumi H. Kasman Singodimedjoyang telah dua bulan ditahan rejim Soekarno.

Di tahanan Sukabumi Hamka diinterogasi secara maraton denganbermacam cara, baik dengan bujukan lembut maupun dengan paksaan,sindiran, ejekan, hingga hinaan agar mengakui tuduhan yang dialamatkankepadanya. Masa-masa yang tak pernah terbayangkan bakal menimpa seorangulama yang “lurus-lurus saja” itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tapiwalau berat ujian yang harus ditanggung, Hamka tak putus menjalani ibadahwajib puasa Ramadhan!

Tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah melakukan rapat-rapat gelap,menjadi anggota gerakan gelap untuk menentang Presiden Soekarno danPemerintah Republik Indonesia yang sah.16) Salah satu biang tuduhan adalahkuliahnya pada Oktober 1963 di Institut Agama Islam Negeri (sekarangUniversitas Islam Negeri) Ciputat yang dianggap menghasut mahasiswa untukmelanjutkan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureuh, M. Natsir danSyafruddin Prawiranegara. Rupanya, di antara segelintir saja mahasiswa yangmengikuti kuliah Ilmu Tasauf yang disampaikan Hamka, terdapat intel rejimSoekarno.17)

Berbagai tuduhan lain, di antaranya menjalin kontak dengan kaki tanganTengku Abdul Rahman dalam lawatan beliau ke Pontianak pada September1963, mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963 untukmerencanakan pembunuhan terhadap Menteri Agama waktu itu H. SaifuddinZuhri dan melakukan kudeta, dan sebagainya. Intinya, aktivitas dakwah BuyaHamka di tengah masyarakat dianggap sebagai gerakan kontra revolusi yangketentuan hukum bagi pelakunya ditetapkan melalui surat PenetapanPresiden.

Dari Sukabumi, Hamka kembali dipindah ke Cimacan bersama seorang

33

Page 33: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

tahanan lain bernama Ghazali Sahlan (dituduh sebagai komplotan makar Hamkadan kawan-kawan) pada 8 April 1964. Tiga bulan Buya Hamka ditahan di sana,lalu atas permintaan beliau karena cuaca Puncak yang dingin mengganggukesehatannya, Hamka dipindahkan ke Megamendung pada 15 Juni. Hamka barudibebaskan setelah terjadi peristiwa pemberontakan PKI, 30 September 1965.

Keseluruhan, Hamka ditahan selama dua tahun empat bulan, hanya karenaperbedaan pandangan politik dengan Presiden Soekarno, terutama mengenaiPancasila sebagai dasar/falsafah negara. Mengenai peristiwa kelam ini, Hamkamenulis, “Melihat tanggal mulai Pen.Pres. itu diundangkan, beratlah persangkaansaya bahwa Pen.Pres. ini yang terutama ditujukan ialah kepada diri saya sendiri. Sebabsaya dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 14 Oktober 1963, sedangPen.Pres. itu diundang-undangkan pada tanggal 14 Oktober 1963.” 18)

Fitnah keji disusul dengan penahanan tanpa peradilan itu tak pelak adalahpuncak ketegangan hubungan antara Buya Hampa dengan Presiden Soekarno.Padahal, sesuai sifat Buya Hamka yang romantis, secara pribadi PresidenSoekarno adalah sosok yang dikaguminya dan pernah pula disanjungsedemikian tingginya oleh Hamka. Petikan kisah kunjungan PresidenSoekarno ke Sumatera (Barat) pada Juni 1948 ketika seluruh rakyat Sumateramengangkat senjata menentang kembalinya penjajah Belanda di mana Hamkaterjun ke garis depan, sangat pas melukiskan romantika hubungan pribadiHamka-Soekarno.19)

Dalam ziarah Presiden ke Sumatera itulah Hamka yang telah lama mengenaldan saling mengagumi dengan Soekarno memiliki kesempatan bertatap mukalangsung tatkala Presiden RI itu menginspeksi pasukan TNI dan LaskarKemerdekaan Sumatera.

Usai inspeksi, dilangsungkan acara ramah tamah, dilanjutkan pemberiantanda mata oleh tokoh-tokoh Sumatera kepada Soekarno. Beragam cenderamata, mulai keris, selendang, tongkat bergagang emas, dan sebagainya, telahbertumpuk di meja sebagai hadiah kepada Soekarno. Bahkan GubernurSumatera waktu itu, Mr. Teuku Mohd. Daud atas nama Propinsi Sumateramenghadiahkan sebuah kapal terbang. Setelah itu acara hendak ditutup, namunHamka menghampiri MC dan menyatakan akan memberikan hadiah pula.

Mutahar, sang MC, buru-buru berseru, “Paduka yang mulia, penutup dari

34

Page 34: Mengenang 100 Tahun HAMKA

pertemuan ini adalah Pujangga Hamka hendak memberikan hadiahnya!”Maka tampillah Hamka ke depan berhadapan dengan Soekarno. Beliau lalu

berkata dengan lantang, “Paduka yang mulia, saya pun akan memberikan hadiah,tetapi bukan barang, bukan tongkat emas, bukan kapal terbang! Itu semuanya tak adapadaku. Tapi aku akan memberikan hadiah yang lebih mahal dari itu semua. Dansemua orang tak sanggup memberikannya. Hanya aku yang sanggup. Yang akankuhadiahkan adalah rangkuman kata-kata!”

Hamka melanjutkan bahwa rangkuman kata-kata itu adalah ungkapanperasaan TNI dan Barisan-barisan Laskar Kemerdekaan kepada Presidennyayang tak sanggup mereka ungkapkan. Dan hanya Hamka lah yang sanggupmewakili mereka semua untuk mengungkapkannya, maka Hamka punmembacakan puisi tanpa teks berikut:

Sansai Jua Aku Sudahnya

Sahabatku Amat

Adakah engkau masih teringat

Tatkala kita berdiri rapat

Berbaris-baris memberi hormat,

Kupegang teguh gagang bedilku

Pandang tenang hadap ke muka

Tidak bergerik tidak bergerak

Tidak melengong ke kiri kanan

Laksana patung tegak di taman

Kecil rasanya bumi Allah

Entah di mana aku berdiri

Entah di langit entah di bumi

Kuingat diri

Kurangkah lagi

Beliau pun lalu di depan kita

Memeriksa barisan kita

Hening bening, renap gema

Tenang tegap ia melangkah

Terdengar rumput terpijak

Aku pun tak tahu lagi

Apa yang akan terjadi

Tiba-tiba tak kusangka

Ditentang aku beliau tegak

Matanya tenang jernih dalam

Dilindung alis hitam lebat

Menembus jantung menimbul cinta

Dipegangnya daguku

Diperbaikinya hadapku

35

Page 35: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

Dilekatkannya kancing bajuku

Dan beliaupun pergi

Terdengar rumput terpijak

....................................

Amat, Oh Amat!

Hilang segala kepayahan

Hilang segala kepenatan

Lupa segala penderitaan

Amat-Amat!

Kalau begini naga-naganya

Hanyut juga aku sudahnya

Sansai juga aku sudahnya

Matanya. lidahnya, telunjuknya

Mengerahkan daku menentang tofan

Memandang murah harga maut

Oh, Amat!

Jika kutewas sekali ini

Di medan perang di garis depan

Hanya sebuah pesan harapku

Kuburkan aku dengan bajuku

Bekas dijamah tangan beliau.

Puisi itu telah mengungkap seberapa besar kekaguman dan kemesraanhubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Namun perbedaan pandanganpolitik, juga perbedaan tajam kedua pribadi besar itu dalam pemahaman agamaIslam di kemudian hari, telah membawa Hamka tertimpa fitnah besar dalamsejarah hidupnya. Fitnah yang di baliknya ternyata tersemayam sebuah hikmah!

Selama dua tahun lebih dalam tahanan, Hamka yang terkucil dari duniaramai justru merasakan kedekatan yang demikian intim dengan Sang Khalik.Seluruh waktunya tercurah untuk menjalankan ibadah, mendekatkan dirikepada Sumber dari Segala Sumber Kehidupan. Dalam suasana yang demikiantransendental, Buya Hamka melanjutkan penafsiran Al Qur’an hingga berhasilmenyusunnya menjadi sebuah kitab lengkap 30 Juz Tafsir Al-Azhar.

Dengan rendah hati Hamka mengakui bahwa jika tidak terjadi fitnah atasdirinya, rasa-rasanya sulit bagi beliau menyelesaikan pekerjaan besar itumengingat faktor usia dan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah.

Salah seorang putera beliau pernah mengusulkan agar pada pengantar kitabtafsirnya, Hamka menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telahmenjatuhkan fitnah kepadanya. Sebab, lantaran fitnah itu beliau ditahan, dan

36

Page 36: Mengenang 100 Tahun HAMKA

karena penahanan itu Hamka berhasil menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Hamkamenolak. Beliau menegaskan untuk tetap berpegang pada pendirian tauhid;hanya mengucap syukur dan puji-pujian bagi Allah semata.

Rasa syukur yang demikian besar telah menghapus segala sakit hati. Sejarahmencatat, ketika Soekarno wafat, Buya Hamkalah yang memimpin shalat jenazahPresiden pertama RI, kawan sekaligus lawan dalam kehidupannya itu.

Masukkan Daftarmu

Konsistensi Ulama yang Mampu

Melahirkan Umat

Hamka dikenal sebagai ulama yang memegang teguh prinsip beragama.Sikap istiqamah sebagai mahluk Allah ini menempati kedudukan tertinggi dijiwanya, melebihi segala kedudukan di dunia. Hal ini tercermin dalam karirpolitik dan kepegawaian beliau.

Sarekat Islam, organisasi yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam (PSI)di mana Hamka menjadi salah satu anggotanya, sejak 1925 berafiliasi denganorganisasi Islam lainnya menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)pada 1950. Karier politiknya berpuncak ketika bergabung menjadi JuruKampanye Masyumi. Melalui pemilu 1955 yang dinilai sebagai pemilu palingdemokratis sepanjang sejarah Republik Indonesia, Hamka terpilih menjadi salahseorang anggota konstituante dari Masyumi.

Sebagai anggota konstitante, pada sidang di Bandung (1957) Hamkamenyampaikan pidato menolak gagasan Presiden Soekarno yang inginmenerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Dewan Konstituante kemudiandibubarkan oleh Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno kemudian jugamembubarkan Masyumi dan menyatakannya sebagai partai terlarang pada 1960.

Sebelum Masyumi dibubarkan, Hamka yang sejak 1950 berstatus sebagaipegawai negeri di Kementrian Agama, terlebih dahulu berhadapan dengan rejimSoekarno yang melarang pegawai negeri gologan “F” merangkap sebagaianggota partai. Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai pegawai negeri(yang pada waktu itu gajinya merupakan tulang punggung keluarga) danmelanjutkan karir politiknya di Masyumi. Sebelum mengundurkan diri, Hamka

37

Page 37: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

bertanya kepada istrinya, pilihan mana yang hendak diambil: tetap menjadiPNS dan menikmati pendapatan yang pasti atau melanjutkan perjuangan untukumat melalui parpol. Dengan ketabahan seorang istri pejuang, pendampinghidupnya menjawab tegas, “Jadi Hamka sajalah!”

Perseteruannya dengan Presiden Soekarno terus berlanjut. Pada 17Agustus 1960, majalah “Panji Masyarakat” yang diterbitkannya sebagai corongdakwah Islam dibreidel. Puncaknya pada 1964 Hamka ditangkap dengantuduhan melanggar Penetapan Presiden Anti Subversi seperti diuraikan padabagian sebelumnya.

Tahun 1966 rejim Soekarno tumbang, digantikan rejim Orde Baru di bawahPresiden Soeharto. Hamka bebas dan kembali menerbitkan “Panji Masyarakat”pada 1967. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota BadanMusyawarah Kebajikan Nasional, Anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia,dan Anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Karismanya sebagai ulama mengantarnya terpilih sebagai Ketua MajlisUlama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada 1981, jabatan itu diletakkannyasetelah fatwa larangan mengahadiri Natal Bersama bagi umat Islam ditentangrejim Soeharto. Soeharto mengutus Alamsyah Ratuperwiranegara, MenteriAgama, agar Hamka mencabut fatwa tersebut. Tetapi kepada Alamsyah,Hamka menegaskan kembali prinsipnya yang menempatkan kebenaran agamadi atas segala kepentingan dunia dan memilih meletakkan jabatan demimempertahankan keyakinan bahwa fatwa yang dikeluarkannya adalah haq.

Sejak saat itu Hamka lebih banyak mengabdikan hidupnya untukmembangun umat yang berpusat di Masjid Agung Al-Azhar. Melalui Al-Azhar,Hamka yang acap disebut dengan panggilan Buya (Abuya=ayah) Hamkaberhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas Islam moderen. OlehH. Syuhada Bachri, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Hamka disebutsebagai ulama yang mampu melahirkan ummat dengan empat karakteristikutama: memiliki iman yang bisa melahirkan keikhlasan, memiliki ilmu yangbisa melahirkan amal, memili akhlak yang bisa melahirkan keteladanan, danmemiliki wawasan kekinian yang bisa melahirkan semangat dakwah. Empatkarakteristik itulah yang melekat pada sosok Buya Hamka sebagai ulama.

Karakteristik Buya Hamka itu terekam dengan sangat jelas pada puisi yang

38

Page 38: Mengenang 100 Tahun HAMKA

dituliskannya secara khusus untuk Muhammad Natsir. Puisi ini ditulis BuyaHamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsiryang mengurai kelemahan sistem kehidupan buatan manusia dan dengan tegasmenawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasarnegara RI.

Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu .......!

H. Hussein Umar, Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yangtelah mangkat pada 19 April 2007, adalah salah seorang pengagum Buya Hamka

39

Page 39: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Mengenang 100 Tahun HAMKA

dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya seperti Prof. Kasman Singodimedjo.Sebagaimana Hamka dan Kasman Singodimedjo, Hussein Umar juga seorangorator ulung yang tak hanya cakap berpidato di atas panggung, namun seluruhwaktu, tenaga, dan pikiran dicurahkan untuk dakwah.

Dua jam sebelum dibawa ke rumah sakit sehari sebelum beliau dipanggilpulang ke haribaan Allah, Hussein Umar bercerita tentang tokoh-tokoh yangdikaguminya itu kepada Adian Husaini, aktifis muda Dewan Dakwah. Adianmencatat, salah satu hal yang ditekankan Hussein Umar adalah puisi Hamkayang ditulis untuk M. Natsir di atas. Berikut catatan Adian Husaini yangdipublikasikannya melalui situs www.hidayatullah.com.

Ketika itu, Bang Hussein bertanya kepada saya,”Sudah baca puisi Hamkayang ditulis untuk Pak Natsir dalam sidang Konstituante?”

Saya jawab, “Belum!”Ia lalu berdiri, masuk ke dalam kamar dan mengambil sebuah buku berjudul

“Islam Sebagai Dasar Negara”, karya Moh. Natsir, terbitan Dewan DakwahIslamiyah Indonesia. Bang Hussein memang kami kenal sebagai orang yangrajin dan telaten dalam mengkoleksi data-data yang penting.

“Ini bacalah!,” ujarnya menunjuk pada puisi Hamka yang tertera dalambagian depan buku “Islam sebagai Dasar Negara”.

Saya pun terpana membaca puisi tersebut, kata demi kata, baris demi baris.Inilah puisi gubahan Hamka yang diberi judul “Kepada Saudaraku M. Natsir”.Puisi ini ditulis Hamka di Ruang Sidang Konstituante pada 13 November 1957,setelah mendengar pidato Moh. Natsir di Majlis Konstituante.

Dalam kondisi tubuh yang lemah, tapi dengan suara yang bergetar, BangHussein mengucapkan dua baris terakhir puisi Hamka: Dan aku punmasukkan, dalam Daftarmu!

Ulama istimewa itu kembali menemui Sang Khaliq sewaktu berusia 73tahun lima bulan, bertepatan dengan tanggal 24 Juli 1981 pukul 10.41.08 w.i.b.Beliau wafat dengan tenang disksikan oleh segenap keluarga, sahabat, dankawan-kawan seperjuangan.

40

Page 40: Mengenang 100 Tahun HAMKA

notes

1)Kebudayaan Minangkabau berpusat di Pagarruyung yang wilayah-wilayahnya dibagi kedalam tiga luhak (Agam, Tanah Datar, dan Luhak Limapuluh), sekarang setara kabupaten. Didalam luhak terdapat nagari-nagari dan koto-koto yang pada masa berkembangnya Islammemiliki hak otonomi untuk menetapkan hukum adat tersendiri bagi nagari-nagari itu. Dibawah pengaruh ulama-ulama yang usai menimba ilmu di Mekah, hukum adat telah dijiwai olehSyari’ah walau tetap mempertahankan corak dari dua arus besar adat Minang yakni adat KotoPiliang dan adat Budi Caniago. (Hamka; Ayahku, Pustaka Panjimas, cet. IV, 1982, hal. 5-10)

2)Hamka menyinggung-nyinggung masalah kisah-kisah menakjubkan seputar kakeknya,Tuanku Kisa-i, namun dengan bijak tidak memberi komentar apapun atas kisah-kisah tersebutmelainkan hanya menekankan komentar yang sampai kepadanya bahwa “doa Tuanku Kisa-imustajab”. (Ibid, hal.47)

3)(Ibid, hal.47)4)Wan Muhammad Shaghir Abdullah (1945-2006), lahir di Pulau Midai, Riau, Indonesia,

kemudian menetap di Taman Melewar, Gombak, Kuala Lumpur, Malaysia. Ia berasal darikeluarga ulama. Kakeknya adalah Syeikh Ahmad al-Fathani (1856-1908), ulama kenamaanyang menetap di Mekah dan menjadi salah seorang guru Haji Rasul, sedangkan ibunyaketurunan keluarga besar Syeikh Daud Abdullah al-Fathani. Shagir Abdullah menekuni duniamanuksrip klasik Melayu dan banyak menghabiskan hidupnya untuk menggali teks klasiktulisan ulama Nusantara. Pada usia 12 tahun beliau mengembara ke seluruh Asia Tenggarauntuk menghimpun khazanah itu selama empat dekade. Shagir Abdullah berhasil menghimpunberatus-ratus manuskrip asli baik dalam tulisan Jawi (Melayu) atau Arab. Di antaranya adayang berusia lebih dari 500 tahun. Sepanjang hidupnya, beliau telah menghasilkan 100 judulkarya asli yang memaparkan biografi ulama, karya, pemikiran, dan sejarah perjuangan, dananalisis serta kritik terhadap tokoh yang ditulisnya. Karya-karyanya menjadi rujukan kalanganakademisi, di antaranya yang menyangkut rekam jejak ulama Nusantara adalah WawasanPemikiran Islam Ulama Asia Tenggara Jilid 1- Jilid 7. (www.ulama-nusantara-baru.com)

5)Wan Mohd. Shagir Abdullah, Haji Abdul Karim Amrullah - Tokoh Tajdid Nusantara,(www.ulama-nusantara-baru.com)

6)(Hamka, Ayahku, ibid, hal. 61)7)(Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan

Jepang, Pustaka Jaya, Jakarta 1985, hal. 41).8)(Rusydi Hamka, Makalah Seminar Pemikiran Hamka di Tanah Melayu, 2000, hal. 5)9)(Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid I cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal. 68-72).10)(Hamka, Kenang-kenangan..., ibid, hal. 105).11)(Hamka, Kenang-kenangan..., ibid, hal. 111)12)(Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu I-II, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982, hal.46)13)(Ibid, hal.47)14)(Ibid, hal.48)15)(Ibid, hal.52)16)(Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, Pustaka Panjimas, cet. II,

Jakarta, 1983, hal. 238)17)(Hamka, Tafsir..., Ibid, hal.51)18)(Hamka, Tafsir..., Ibid, hal.52)19)(Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Pustaka Antara, Kuala Lumpur, cet. II, 1982, hal. 432-

442)

41

Page 41: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Biografi Biografi Biografi Biografi Haji Haji Haji Haji Abdul Abdul Abdul Abdul Malik Malik Malik Malik Karim Karim Karim Karim AmrullahAmrullahAmrullahAmrullah

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. HAMKA lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik, sama ada Islam ataupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-'Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang pemidato yang handal.

Page 42: Mengenang 100 Tahun HAMKA

HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh kerajaan Indonesia.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Page 43: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin). Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo, Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ulama setempat. Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah. Pada Februari 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim lebih kurang 6 bulan. Selama di Makkah, ia bekerja di sebuah percetakan. Pada bulan Juli, Hamka kembali ke tanah air dengan tujuan Medan. Di Medan ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir 1927, ia kembali ke kampung halamannya. Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Page 44: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Pada 1928, Hamka menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh, sampai menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Pada 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Ujungpandang untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Ujungpandang. Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan memulai karirnya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim. Tahun 1950 itu juga HAMKA mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang apa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajah. Sebelumnya Hamka menulis Di Bawah Naungan Ka’bah (1938), Tenggelamrrya Kapal van der Wljk (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku (1949).

Page 45: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah

Rumah Kelahiran Buya Hamka

Page 46: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai. Daftar Karya Buya Hamka

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. 2. Si Sabariah. (1928) 3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929. 4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929). 5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). 6. Kepentingan melakukan tabligh (1929). 7. Hikmat Isra' dan Mikraj. 8. Arkanul Islam (1932) di Makassar. 9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka. 10. Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar. 11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar. 12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934. 13. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai

Pustaka. 14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman

Masyarakat, Balai Pustaka. 15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai

Pustaka. 16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku

Syarkawi. 17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940. 18. Tuan Direktur 1939. 19. Dijemput mamaknya,1939. 20. Keadilan Ilahy 1939. 21. Tashawwuf Modern 1939. 22. Falsafah Hidup 1939.

Page 47: Mengenang 100 Tahun HAMKA

23. Lembaga Hidup 1940. 24. Lembaga Budi 1940. 25. Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepun 1943). 26. Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah

revolusi 1946. 27. Negara Islam (1946). 28. Islam dan Demokrasi,1946. 29. Revolusi Pikiran,1946. 30. Revolusi Agama,1946. 31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946. 32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946. 33. Didalam Lembah cita-cita,1946. 34. Sesudah naskah Renville,1947. 35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947. 36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang

Konperansi Meja Bundar. 37. Ayahku,1950 di Jakarta. 38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950. 39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950. 40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950. 41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908

sampai pd tahun 1950. 42. Kenangan-kenangan hidup 2. 43. Kenangan-kenangan hidup 3. 44. Kenangan-kenangan hidup 4. 45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur

sampai 1950. 46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2. 47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3. 48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4. 49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun

1950. 50. Pribadi,1950. 51. Agama dan perempuan,1939. 52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang. 53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat,

dibukukan 1950). 54. Pelajaran Agama Islam,1956. 55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952. 56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1. 57. Empat bulan di Amerika Jilid 2. 58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di

Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.

Page 48: Mengenang 100 Tahun HAMKA

59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.

60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.

61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta. 62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang. 63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970. 64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang. 65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang. 66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968. 67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah). 68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah). 69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di

Universiti Keristan 1970. 70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat. 71. Himpunan Khutbah-khutbah. 72. Urat Tunggang Pancasila. 73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974. 74. Sejarah Islam di Sumatera. 75. Bohong di Dunia. 76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres

Muhammadiyah di Padang). 77. Pandangan Hidup Muslim,1960. 78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973. 79. [Tafsir Al-Azhar] Juzu' 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara

oleh Sukarno.

Page 49: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Berikut akan penulis kutipkan buku-buku tersebut 1. Di Bawah Lindungan Kaabah

Judul : Di Bawah Lindungan Kaabah Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Novel Mukasurat :84 halaman Cetakan Ketiga : 2006 ISBN : 9839422413

HAMKA lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan meninggal dunia pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik, seorang pujangga dan ahli falsafah Islam. “…Baru sekarang adinda beroleh berita di mana Abang sekarang. Telah hampir dua tahun hilang saja dari mata, laksana seekor burung yang terlepas dari sangkarnya sepeninggal yang empunya pergi. Kadang-kadang adinda sesali diri sendiri, agaknya adinda telah bersalah besar, sehingga Kakanda pergi dengan tak memberi tahu lebih dahulu. Hanya kepada surat Abang itu, surat yang hanya sekali itu dinda terima selama hidup, adinda tumpahkan air mata, kerana hanya menumpahkan air mata itulah kepandaian yang paling perhabisan bagi orang perempuan. Tetapi surat itu bisu, meskipun ia telah lapuk dalam lipatan dan telah layu kerana kerap dibaca, rahsia itu tidak juga dapat dibukanya. Sekarang Abang, badan adinda sakit-sakit, ajal entah berlaku pagi hari, entah besok petang, gerak Allah siapa tahu. Besarlah pengharapan bertemu…”

Page 50: Mengenang 100 Tahun HAMKA

2. Di Dalam Lembah Kehidupan

Judul : Di Dalam Lembah Kehidupan Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Kumpulan Cerpen Mukasurat :207 halaman Cetakan Pertama : 2006 ISBN : 9839422758

Sesungguhnya kumpulan gubahan yang saya beri nama “Di Dalam Lembah Kehidupan” ini adalah kumpulan airmata, kesedihan dari rintihan yang diderita oleh segolongan manusia di atas dunia ini. Airmata mereka itu sudah mengalir ke tanah dan hilang lenyap dalam pasir. Seorang pun tidak peduli akan hal itu. Bagaimana orang akan peduli, padahal orang sedang dibayangi kesenangan dan kemewahan?Moga-moga hikayat-hikayat pendek ini terbaca juga oleh orang yang senang hidupnya. Moga-moga mereka insaf, bahawa di sebalik tabirnya adalah orang yang susah dan sulit keadaannya; bahawa tidak sedikit makhluk yang kecewa dan melarat, yang sudah patgah sayapnya sebelum terbang, terkulai dan jatuh, sehingga tidak dapat berbangkit lagi.Bagi orang yang melarat itu pun mudah-mudahan cerita ini berfaedah pula. Agak kurang duka hatinya apabila diketahuinya, bahawasanya ada juga orang lain yang senasib dengan dia.Dan bagi mereka yang bersedih hati itu karangan ini aku jadikan persembahan dan peringatan bahawa saya pun turut meratap dalam ratapnya.Kandungan 3. Falsafah Hidup

Judul : Falsafah Hidup Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :489 halaman Cetakan Kedua : 2006 ISBN : 9839422480

Page 51: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Dengan perjuangan kita dilahirkan. Di dalam gerak tangis kita mulai membuka mata. Di dalam bedungan ibu kita menggerakkan badan melepaskan ikatan bedung. Lepas dari asuhan ibu, kita merangkak, kita ansur tegak dan kita jatuh, lalu kita tegak lagi dan jatuh lagi. Kemudian tegak terus untuk pergi berjuang ke medan permainan, lalu ke medan hidup, lalu ke perjuangan dalam batin kita sendiri, menegakkan yang baik dan melawan yang buruk. Selama hidup kita kerjakan demikian, menjalankan titah perintah Tuhan Yang Maha Esa. Berapa pun yang dapat kita kerjakan, harus kita syukuri. Setiap hari atau masa kita hitunglah laba dan rugi. Sampai kelak datang panggilan. Panggilan yang tidak dapat ditakhirkan walau satu saat dan tak dapat pula ditaqdimkan walaupun satu saat. Panggilan yang tak dapat dielakkan oleh setiap yang bernyawa.Maka terbukalah pintu kubur. Maknanya pindahlah kita dari hidup fana kepada hidup baqa, dari hidup dunia kepada hidup akhirat. Demikianlah kita menempuh hidup; lahir, berjuang dan akhirnya mati.Betapa juapun kita harus percaya, bahawa kebaikan juga yang menang. Sebab asal-usul kejahatan kita bukan jahat, hanya baik semata. Kalau kejahatan pernah menang, hanyalah lantaran dorongan nafsu. Bila nafsu telah reda, kebaikan jualah yang kita junjung. Sebab itu hendaklah kita percaya hidup penuh dengan Iman dan baik sangka kepada Tuhan. Itulah Falsafah Hidup.Kandungan 4. Falsafah Ketuhanan

Judul : Falsafah Ketuhanan Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :178 halaman Cetakan Pertama : 2006 ISBN : 9839422766

Alam terbentang luas dan manusia hidup di dalamnya. Dalam pancaindera dan akal yang ada padanya, manusia dapat mempersaksikan Alam itu dalam segala sifat dan lakunya. ADa kebesaran, keajaiban dan keindahan, dan ada perubahan-perubahan yang tetap. Kehidupan manusia itu sendiri tidak dapat diceraikan

Page 52: Mengenang 100 Tahun HAMKA

dengan Alam itu.Maka yang mula-mula timbul pada manusia itu adalah perasaan bahawa ada sesuatu yang menguasai Alam ini. Dia yang mengatur dan menyusun perjalanannya. Dia yang menjadikan segalanya. Dia Yang Maha Kuasa atas setiap sesuatu yang ada.Kesan pertama bahawa Ada Yang Maha Kuasa itu meratalah pada segenap manusia. Kerana kesan inilah yang tumbuh bilamana akalnya sudah mulai berjalan. bahawasanya ada sesuatu kekuatan tersembunyi di latar yang nampak ini. Yang selalu dirasai adanya, tetapi tidak dapat ditunjukkan tempatnya. Tidaklah pernah terpisah perasaan ini, walaupun bagaimana kepintaran manusia ataupun dia masih berfikir sederhana. Pada zaman akal itu mulai bertumbuh (primitif), khayalnya akan adanya yang ada itu diberinya berupa, menjadi perlambangan daripada perasaannya sendiri. 5. Hak Asasi Manusia Dalam Islam & Deklarasi PBB

Judul : Hak Asasi Manusia Dalam Islam & Deklarasi PBB Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :198 halaman Cetakan Pertama : 2002 Cetakan Kedua : 2005 ISBN : 9839422499

Jika kita menilik sejarah timbulnya segala konsep Hak Asasi Manusia, sama ada dari permulaannya di Inggeris kemudian di Amerika, juga di Perancis, pada Perang Dunia Pertama, dan Perang Dunia Kedua. Malah mungkin sekarang, era dunia tanpa sempadan dengan dalih membenteras keganasan; semuanya adalah usaha manusia Barat membebaskan diri daripada perhambaan, mencari kemerdekaan yang sejati, sama ada peribadi mahupun untuk bangsa.Tetapi, apabila keadaan telah agak merdeka, mulailah timbul kembali nafsu-nafsu jahat manusia, lalu berusaha dengan pelbagai daya agar deklarasi-deklarasi itu tetap termaktub sebagai “Barang Suci”, tetapi tidak dijalankan kalau akan merugikan diri, dan teruslah dipropagandakan dan diperbesarkan, kalau kita yang beruntung dan orang lain dapat dirugikan.Demikian, manusia yang mencari Hak Asasi Manusia; yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka. Seperti diucapkan oleh Saidina Umar bin Khattab, Kalifah ke-2 dari Rasulullah (S.A.W.) pemimpin Daulah Islamiyah, yang berkata bahawa : “…Mengapa

Page 53: Mengenang 100 Tahun HAMKA

hendak kau perhambakan manusia, padahal dia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” Perkataan ini telah diucapkan lebih 14 abad yang lalu, jauh sebelum wujudnya Deklarasi ciptaan Barat.Dalam perkara inilah Prof. Dr. Hamka memberi penilaian dan pandangan Islam tentang Hak Asasi Manusia dan membandingkannya dengan Deklarasi PBB yang menjadi rujukan manusia sejagat.

Kandungan BAB 1 : SYARIAT ISLAM Apakah Erti Syariat Islam? Pengertian Syariat Manusia Memerlukan Islam Dakwah Islam Untuk Seluruh Manusia Dasar-dasar Syariat Islam Tujuan Dari Jalan Mencapainya Apakah Perkara Yang Termasuk Dalam Cakupan Syariat Islam? Kesimpulan Fahaman yang Mengelirukan Tepat Pada Masanya Krisis Politik Mesir Kabinet Sa’ad Zaghlul Pasya Jatuh Ayah Saya Kembali Dari Muktamar Ulama di Kaherah (1926) Ingin Pembaharuan Kebangkitan Sarjana-sarjana Islam Apologi ? Islam Untuk Dunia dan Akhirat Khalifah Allah Kota Mekah Kekuasaan Allah Adalah Mutlak Hubungan Dengan Kuasa Ansar Bai’at Aqabah Yang Kedua Hijrah Dengan Orang Yahudi Kesan Syaikh Mahmoud Syaltout Hijrah Sebagai Deklarasi Kemerdekaan Jika Terkabul Agama : Dunia dan Akhirat

Page 54: Mengenang 100 Tahun HAMKA

BAB 2 : ISLAM : AKIDAH, SYARIAH & IBADAH Islam, Akidah, Syariah dan Ibadah Pendahuluan Akidah Apa Erti Akidah Akidah Tumbuh SEcara Semulajadi Makruf dan Munkar Hubungan Akidah Dengan Masyarakat Mengenal Allah Keindahan Meramu Alam Mencari Tuhan Tiada Tuhan melainkan Allah Iman Kepada Muhammad (S.A.W.) Iman Kepada Qada’ dan Qadar Jika Akidah itu Diperas Melihat Islam Sebagai “Orang Dalam” Pesan Kenegaraan Ketaatan Keadilan Syariah Iman dan Amal Salih Membuat Undang-undang dan Kebebasan Berfikir Negara adalah Bahagian Dari Agama Perbandingan Masjid Dengan Gereja Kemerdekaan Belum Berisi Di Tanah Air Indonesia Kenang-kenangan Syariat Islam Prof. D.r Hazairin SH Tentang Syariat Islam Pesanan Dari Rasulullah Penegak Keadilan Korupsi Jauhi Penguasa Yang Zalim Jangan Ambisi (Inginkan Pangkat) Amar Makruf Nahi Munkar Jihad Yang Paling Besar

Page 55: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Ibadah Mahu Atau Pun Tidak Mahu! Bercermin Kepada Alam Nikah Kahwin Hidup dan Usaha Hadis-hadis Bangun Pagi-pagi Keberanian Hidup Masuk Pasar Saudagar-saudagar Yang Jujur Pertanian Upah Buruh Tujuh Orang Yang akan Mendapat Perlindungan Semuanya Ibadat Di Sini Perlunya Jihad BAB 3 : HUBUNGAN ANTARA AGAMA & NEGARA MENURUT ISLAM Hubungan Antara Agama dan Negara Menurut Islam Iman Sebagai Dasar Beragama Iman dan Amal Salih Kristian dan Negara Yahudi dan Negara Sikap Islam Terhadap Negara Akidah dan Syariah Pemisah Agama dengan Negara Dari mana Timbulnya Kata-kata ini? Islam dan Negara Politik Pertahanan Negara Penutup BAB 4 : HAK ASASI MANUSIA DALAM DEKLARASI PBB DAN ISLAM Perbandingan Antara Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi PBB dan Islam Pendahuluan Mengenai Materinya Ghetto (Daerah Kediaman Orang Yahudi) Hak Wanita

Page 56: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Hukum Murtad Islam Suatu Sistem Tidak Ada Paksaan Dalam Agama Islam Dimajukan Dengan Pedang Teknik Propaganda Tidak Ada yang Menyukai Murtad Negara-negara Islam Menerima? Seruan Kita Majlis Umum PBB Mengumumkan BAB 5 : ISLAM BANGKITKAN KEMERDEKAAN & KEBERANIAN Doktrin Islam Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian Hapsak Pancasila

6. Hamka Pujangga Islam - Kebanggaan Rumpun Melayu

(Menatap Peribadi dan Martabatnya)

Judul : Hamka Pujangga Islam - Kebanggaan Rumpun Melayu (Menatap Peribadi dan Martabatnya)

Pengarang : H. Rusydi Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Biografi Mukasurat :396 halaman Cetakan Pertama : 2005 ISBN : 9839422464

Banyak perkara yang belum diketahui oleh orang ramai, perihal peribadi dan martabat Prof. Dr. Hamka, termaktub dalam buku ini. Dan banyak pula dokumen yang belum tersiar, yang selama ini ingin kita ketahui duduk perkaranya; seperti pengalaman Hamka selama dipenjarakan oleh Presiden Sukarno, dan sikap Hamka yang meletak jawatan sebagai Yang Dipertua Majlis Ulama Indonesia, sebelum habis tempoh jawatannya. Dan, banyak lagi.Selain perkara umum, agama dan politik, tak kurang menariknya ialah kehidupan peribadi Hamka sebagai seorang : Suami, Ayah, Datuk dan Mamak serta orang tua

Page 57: Mengenang 100 Tahun HAMKA

daripada suatu keluarga Syeikh (Tuan Guru) asal Minangkabau yang punyai budaya dan adat resam tersendiri.Penulis juga mengetengahkan kemahiranj Hamka membahagi waktu antara mengarang, berkhutbah, ceramah, beri syarahan dan kuliah subuh, membaca buku dan tilawah Al-Quran serta menerima ramai tetamu yang meminta nasihat. Nasihat masalah keluarga, urusan peribadi dan lain lagi; sehinggalah orang ramai perlu beratur mengunggu giliran, seperti halnya hendak berjumpa doktor perubatan di klinik atau hospital. Semua itu dilakukannya penuh ikhlas, tanpa mendapat bayaran, apatah lagi meminta. Ia kerana Allah, demi membantu sesama insan. Itulah pengabdiannya kepada Allah, menerusi kasih sayang kepada sesama ummah.Sudah pasti, hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang amat bernilai lagi berharga bagi kita untuk mengenali, menatap peribadi dan martabah Prof. Dr. Hamka.

Kandungan Pengantar Penerbit Pengantar Penerbit Pustaka Panjimas Pengantar Penulis Catatan Latar Belakang Kehidupan Hamka Tongkat-tongkat Buya Hamka Ubat Hati Ayah dan Ubat dari Anak Tanah Deli Untung-untungan Dari Hari ke Hari Fatwa Dalam Humor Muru’ah 1 Muru’ah 2 Anak-anak Kesebelas Masalah Metropolitan Merindukan Cucu Kemandang Dakwah Terpegang di Pangkal Bedil Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia Jambatan Ummah dan Pemerintah Menjelang Akhir Hayat dan Penutup Lampiran-lampiran I. Catatan Dalam Tahanan Regim Sukarno II. Sambutan Sebagai Ketua Umum Majlis Ulama III. Toleransi (Kerukunan Beragama) IV. Surat Peribadi untuk Pak Harto V. Pembahasan dari Hal Intisari UUD `45

Page 58: Mengenang 100 Tahun HAMKA

VI. Surat kepada Pangkopkamtib Sudomo VII. Surat Jawapan dari Pangkopkamtib Sudomo VIII. Karya-karya Buku Sejak Menulis dan Mengarang 1928 (Usia, 17 Tahun)

7. Islam & Adat Minangkabau

Judul : Islam & Adat Minangkabau Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :356 halaman Cetakan Pertama : 2006 ISBN : 9839422774

Pada hakikatnya di Minangkabau orang laki-laki amat sengsara. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Hanya sebentar sahaja dia tinggal di dalam rumah ibunya, iaitu sampai umur 6 tahun. Selepas itu, dia sudah mesti tidur di surau bersama-sama temannya sambil belajar mengaji Al-Quran. Malu benar bagi anak Minangkabau tidur di rumah apabila sudah pandai melangkah ke surau. Setelah patut beristeri, dia menjadi semenda ke rumah isterinya, dan dia tidak ada kuasa di dalam rumah itu. Kalau dia bercerai dari sana, dialah yang mesti membawa bungkusannya dan berangkat.Demikian adat Minangkabau yang dikatakan sebagai :”Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah, Syarak mengatakan, Adat memakai, Masjid sebuah, balairung seruang”Ketika buku ini mulai tersiar nescaya pihak nenek-mamak yang berfaham kolot dengan serta-merta menyatakan kemarahannya, malahan ada pula bermaksud hendak menculik penulis kerana dipandang hendak meruntuh adat. Bahkan ada yang menuduh bahawa penulis adalah kakitangan “Nica” (penjajah), iaitu tuduhan yang mudah saja dilemparkan kepada setiap orang yang disenangi pada masa itu.

Page 59: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Kandungan Pengantar Penerbit 1. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi Pendahuluan Kebesaran dan Kebudayaan Benteng yang Teguh Susunan Masyarakat Zaman Perubahan Bagaimana di Alam Minangkabau Sendiri Menghadaplah ke Muka Ratap Jiwa Anak Minang di Rantau Kedudukan Ninik Mamak Rumah Gadang Membangunkan Minangkabau Baru (Dalam Rangka Kesatuan Bangsa Indonesia) Sekolah Tinggi, Universitas & Fakultas Sastra Daerah Raja-raja Peralihan 2. Adat Minangkabau dan Harta Pusaka Pendahuluan Lambang Kesatuan Adat Keelokan ADat Minangkabau Pendapat dan Fatwa Ulama-ulama Minangkabau Tentang Harta Pusaka Segi Kelemahan Harta Tua Anak Minang Terbuka Mata Zaman Baru Ulasan 3. Hubungan Timbal Balik Adat dan Syarak Dalam Kebudayaan Minangkabau 4. Adat nan Kawi, Syarak yang Lazim 5. Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Thaher Jalaluddin Pendahuluan Zaman Perantaraan Pembaharuan Gelombang Kedua

Page 60: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Empat Orang Murid Yang Pulang ke Minangkabau Syeikh Thaher Jalaluddin Al-Azhari Al-Falaki Kesimpulan Penutup 6. Muhammadiyah di Minangkabau

8. Kesepaduan Iman & Amal Salih

Judul : Kesepaduan Iman & Amal Salih Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :198 halaman Cetakan Pertama : 2003 ISBN : 9839422537

Hubungan di antara Iman dengan amal, adalah hubungan antara budi dan perangai. Kalau kita percaya kepad aAllah tentu kita cinta kepada-Nya, tentu kita sudi berkorban menuruti apa yang terpakai dalam alam ini, adalah cinta palsu. Apatah lagi terhadap Allah, nescaya iman palsu, Islam palsu.Memperakui diri seorang Islam padahal tidak mengerjakan solat lima waktu, cubalah fikirkan, betulkah pengakuan itu? Mendakwa diri seorang Islam, padahal enggan mengeluarkan zakat? Sebab apa? Apakah lantaran merasa bahawa harta itu bukan pemberian Tuhan? Mengakui diri seorang Islam, pahal enggan melakukan puasa Ramadhan. Apakah sebabnya? Bukankah ini lantaran pengakuan itu belum bulat? Lain di mulut lain pula di hati?Anda hendak berjuang, menegakkan cita-cita Islam, dalam masyarakat, dalam negara, ekonomi, politik dan sebagainya, padahal solat lima waktu anda tinggalkan. Hal ini petanda rumah yang hendak anda bina itu, anda tegakkan di atas tiang yang lapuk. Atau anda mendirikan rumah tidak memakai tiang. Maka selamanya rumah itu tidak akan tegak. Rumah baru berdiri, apabila dimulai dari sendinya.Demikian pula dalam beragama, harus dimulai dari sendinya. Jika tidak, petanda bahawa pengakuan belum betul, kepercayaan belum duduk, maknanya iman belum ada. Kalau iman belum ada, nescaya Islam pun belum ada. Cubalah tanyai hati sendiri. Apakah beratnya mengerjakan perintah? … Demikian ungkapan Prof. Dr. Hamka dalam buku ini.

Page 61: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Kandungan Pengantar Penerbit Pengantar Penyusun Iman dan Amal Salih atau Akidah dan Syariah Mendustakan Agama Mencari Jalan Ke Luar Pertentangan Batin Mawas Diri Menuju Cita Kemuliaan Ibadah dan Hubungannya Dengan Jiwa Tanggungan Negara, Masyarakat dan Rumahtangga Sinar Cahaya Iman Makhluk Pilihan Yang Membuat Kita Gagal Kehidupan Budi Pekerti Nabi Muhammad (S.A.W.) Tujuh Belas Ramadhan

9. Lembaga Budi - Perhiasan Insan Cemerlang

Judul : Lembaga Budi - Perhiasan Insan Cemerlang Pengarang : Prof. Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :224 halaman Cetakan Pertama : 2003 ISBN : 9839422529

Kelebihan dan perbezaan manusia daripada makhluk lain, ialah manusia itu bilamana bergerak, gerak dan gerinya itu timbul dari dalam, bukan dari luar. Segala usaha, pekerjaan, langkah yang dilangkahkan, semuanya itu timbul daripada suatu maksud yang tertentu dan datang dari suatu perasaan yang tinggi, yang mempunyai kekuasaan penuh dalam dirinya. Tidak demikian dengan binatang. Gerak-geri binatang hanya tunduk kepada gharizah semata-mata, tidak disertai oleh pertimbangan.Kerana, pada manusia itu ada kekuatan menimbang, wajiblah ikhtiarnya itu dibawanya kepada yang lebih dalam. Pengalamannya, penderitaannya, kejatuhannya, kegagalan dan kecewa dan seumpamanya, semua itu laksana wang

Page 62: Mengenang 100 Tahun HAMKA

sekolah, wang bayaran bagi keinsafannya menimbang dan berusaha pada zaman yang akan datang. Keutamaan budi, itulah tujuan yang akhir. Menyingkirkan diri dari kebinatangan, itulah cita-cita yang mulia. Bukit itulah yang didaki orang budiman, setengah jatuh dan setengah bangun, ada yang tidak tahan, ada yang lemah kakinya, lalu terjatuh dan tidak bangun lagi. Ada pula yang tegak kembali, dan melangkah terus perlahan-lahan tapi pastinya, tidak mengenal putus asa.Hidup berbudi itu tujuan kita, kata Prof. Dr. Hamka : Diribut runduklah padi, Dicupak Datuk Temanggung; Hidup kalau tidak berbudi, Duduk tegak ke mari canggung.

Kandungan

Pengantar Penerbit Pendahuluan Budi Yang Mulia Sebab Budi Menjadi Rosak Penyakit Budi Tinjauan Ibnu Maskawih Pendapat Muhyiddin Ibnu Arabi Pendapat Ahli Falsafah Ibnu Hazm Pendapat Imam Ghazali Tanda-tanda Penyakit Jiwa dan Tanda Sembuhnya Bagaimana Mengenal Kekurangan Diri Budi Orang Yang Memegang Pemerintahan Budi Yang MUlia Pada Raja Budi Orang Yang Membuka Syarikat Budi Yang Mulia Pada Pedagang Sifat Dalam Bekerja Budi Yang Mulia Pada Pengarang

Page 63: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Tinjauan Budi Ubat Akhlak Tujuan Menjatuhkan Hukuman Dosa Pada Masyarakat Percikan Pengalaman

10. Merantau Ke Deli

Judul : Merantau Ke Deli Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Novel Mukasurat :181 halaman Cetakan Kedua : 2004 ISBN : 9839422421

HAMKA lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan meninggal dunia pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik, seorang pujangga dan ahli falsafah Islam.”… O, abang! Banyak… banyak sekali yang teringat olehku. Kian lama saya menangis, kian banyak yang terupa, sehingga air mataku jatuh tak tertahan-tahan. Pertama, sudah terbayang-bayang di muka saya bagaimana kesengsaraan yang akan kita tempuh, yang berat dan ringannya akan terpikul di atas bahu abang sendiri. Akan sanggupkah abang beristeri seorang lagi? Bukanlah menurut adat kampung halaman abang sendiri… seorang lelaki ke mana pun dia merantau, maka hasil pencariannya itu mesti ditumpahkannya di muka isterinya. Hawa nafsu orang kampung mesti abang cukupkan, apa lagi hawa nafsu isteri sendiri.Dia meminta sawah dan rumah, meminta perkakas gelang dan perhiasan-perhiasan yang lain. Dan dia tidak akan tahu dari mana abang memeras tenaga untuk keperlukannya itu. Selama ini isteri abang hanya adinda seorang, adinda tidak mengharapkan senang atau harta benda abang. Berilah adinda sehelai selimut penutup badan, berilah sepertegak kain penutup tubuh, beroleh nasi setempurung pagi setempurung petang, cukuplah sudah bagiku. Tetapi kalau abang beristeri seorang lagi, apalagi dia lebih muda, sekampung pula, abang akan sengsara, percayalah!”

Page 64: Mengenang 100 Tahun HAMKA

Kandungan 1. Malam Gajian 2. Pertemuan 3. Kahwin 4. Hakikat Rumahtangga 5. Keberuntungan 6. Pulang 7. Angin Berkisar 8. Surat Dari Kampung 9. Perkahwinan 10. Dua Kapal Satu Juragan 11. Pecah 12. Menuruti Adat Lembaga 13. Tegak Lagi 14. Memenuhi Cita-cita 15. Pertemuan dan Perpisahan 16. Penutup

11. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Judul : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Novel Mukasurat :286 halaman Cetakan Keempat : 2007 ISBN : 9833707294

HAMKA lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan meninggal dunia pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik, seorang pujangga dan ahli falsafah Islam.”…Di dalam usia 31 tahun (1938), masa darah muda masih cepat alirannya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, pada waktu itulah ‘ilham’ Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini mula kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin.Setelah itu ia diterbitkan menjadi buku… Belum berapa lama tersiar, ia pun habis. Ramai pemuda berkata : “Seakan-akan tuan

Page 65: Mengenang 100 Tahun HAMKA

menceritakan nasibku sendiri.” Ada pula yang berkata : ” Barangkali tuan sendiri yang tuan ceritakan…”

Kandungan Pendahuluan 1. Anak orang terbuang 2. Yatim piatu 3. Menuju negeri nenek moyang 4. Tanah asal 5. Cahaya hidup 6. Berkirim-kiriman suarat 7. Pemandangan di dusun 8. Berangkat 9. Di Padang Panjang 10. Pacu Kuda dan Pasar Malam 11. Bimbang 12. Meminang 13. Pertimbangan 14. Pengharapan yang putus 15. Perkahwinan 16. Menempuh hidup 17. Jiwa Pengarang 18. Surat-surat Hayati kepada Khadijah 19. Kelab Anak Sumatera 20. Rumahtangga 21. Hati Zainuddin 22. Dekat, tetapi berjauhan 23. Surat cerai 24. Air mata penghabisan 25. Pulang 26. Surat Hayati yang penghabisan 27. Sepeninggal Hayati 28. Penutup

Page 66: Mengenang 100 Tahun HAMKA

12. Terusir

Judul : Terusir Pengarang : Prof. Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Genre : Novel Mukasurat : 112 halaman Cetakan Pertama : 2007 ISBN : 9789833707102

Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan kembali ke Rahmatullah pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani dan dihormati di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik. Beliau juga adalah seorang pujangga ulung dan ahli fikir Islam tersohor.”Diberinya gelaran yang buruk kepada perempuan itu, dinamainya ’sampah masyarakat’, dinamainya ‘bunga mengandungi racun’, ‘kupu-kupu malam’ dan lain-lain nama yang hina dan buruk. Padahal dia sendiri yang menyuruh mereka sesat ke dalam lembah itu.”"Dikutuk perempuan itu, ditimpakan segala macam kesalahan kepadanya, dikatakan dia wakil iblis, perdayaan syaitan, pahdal lela Aktivitas lainnya :

1. Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942 2. Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956 3. Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-

1953 4. Tafsir Al-Azhar Online