toksisitas obat anestesi lokal - erepo.unud.ac.id

29
LAPORAN KASUS TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan,SpAn.MARS DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2019

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

LAPORAN KASUS

TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL

dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan,SpAn.MARS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR

2019

Page 2: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

1

BAB I

LANDASAN TEORI

Pendahuluan

Penggunaan obat anestesi lokal telah berkembang secara luas dan sering digunakan dalam

praktek klinis sejak lebih dari satu abad dan pencarian obat anestesi lokal yang ideal untuk

anestesia dan analgesia terus dilakukan. Obat anestesi lokal dikatakan ideal adalah onset kerja

yang cepat, durasi kerja dapat diukur, yang menghasilkan blokade yang selektif dan

reversibel tanpa resiko toksisitas lokal ( neurotoksik dan miotoksik ) dan toksisitas sistemik (

neurologis dan kardiovaskuler ). Toksisitas obat anestesi lokal dibagi atas tiga katagori :

toksisitas lokal, toksisitas sistemik dan reaksi alergi. Toksisitas sistemik obat anestesi lokal

(“LAST” = Local Anesthetic Systemic Toxicity) telah ditemukan dan dilaporkan sejak tahun

1880 setelah penggunaan kokain dalam praktek klinis dan toksisitas ini merupakan

komplikasi regional anestesi paling berat dan paling ditakutkan. ( Vivian dkk, 2011;

Dippenar, 2007 )

Toksisitas sistemik akibat penggunaan obat anestesi lokal untuk anestesi regional

berupa kejang dikatakan 1 – 4 per 1000 pasien, 7,5 – 20 per 10.000 blok saraf perifer, 4 per

10.000 pada tindakan epidural. ( Stoelting, 2006; Caroline dkk, 2010 ). Tanda dan gejala

toksisitas sistemik obat anestesi lokal yang paling sering terjadi pada sistim saraf pusat (SSP)

dan kardiovaskular (KV) disamping gejala lain. The American Society of Regional

Anesthesia and Pain Medicine (ASRA) tahun 2001 dalam simposium toksisitas obat anestesi

lokal di Miami dan kemudian mempubilkasikan review artikel strategi resusitasi pada

toksisitas jantung yang disebabkan oleh anestetik lokal dengan menggunakan infus emulsi

lemak. Demikian juga pada tahun 2008 ASRA Practice Advisory on Neurological

Complications of Regional Anesthesia and Pain Medicine menitikberatkan pada keselamatan

pasien selama anestesi regional. Penggunaan terapi lemak secara signifikan sebagai terapi

terakhir untuk toksisitas sistemik obat anestesi lokal. ( Joseph dkk, 2010 )

Pencegahan merupakan kriteria standar untuk meningkatkan keselamatan pasien

selama menjalani anestesi regional. Namun bila terjadi toksisitas obat anestesi lokal,

diagnosis awal merupakan langkah awal menentukan keberhasilan pengobatan.

Mempersiapkan rencana tindakan sebelumnya dan alat-alat resusitasi yang lengkap dan

tersedia juga memberikan kontribusi menyelamatkan nyawa pasien. Penatalaksanan jalan

nafas, oksigenasi, ventilasi dan bantuan hidup dasar adalah syarat mutlak keberhasilan

Page 3: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

2

resusitasi. Kewaspadaan dan kesiapsiagaan serta tindakan yang cepat akan meningkatkan

keberhasilan dari komplikasi obat anestesi lokal. ( Stoelting dkk, 2006; Neal dkk, 2010 ).

Page 4: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

3

BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ni Ketut Taluh

Umur : 71 tahun

Agama : Hindu

Alamat : Br. Dinas Kaler Antiga Manggis Karangasem

MRS tanggal : 18 Maret 2011

CM : 01 46 57 19

Jam masuk : 12.00 WITA

Keluhan Utama: Peranakan turun

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan Peranakan turun sejak ± 1 tahun yang lalu. Dikatakan

bertambah turun bila pasien berdiri. BAB / BAK (+), nyeri pada kemaluan kadang dirasakan.

Os memiliki 5 orang putra yang semuanya lahir spontan di tolong bidan. Menopause (+)

sekjak sekitar 13 tahun yang lalu.

Riwayat Perkawinan : Kawin 1 kali

Riwayat Kehamilan : Anak I. ♂, spontan, Bidan, † usia 1,5 tahun

Anak II, ♂, spontan, Bidan, 34 tahun

Anak III, ♂, spontan, Bidan,† usia 1,5 tahun

Anak IV, ♂, spontan, Bidan, usia 30 tahun

Anak V, ♂, spontan, Bidan, usia 25 tahun

Riwayat Penyakit Sistemik (DM, Astma, HT, jantung, kejang ) : tidak ada.

Riwayat Alergi makanan dan Obat : disangkal

Riwayat Operasi sebelumnya: tidak pernah

Pemeriksaan Fisik : BB : 50 kg TB : 147 cm BMI : 23,73 kg/m2

Kesadaran : CM, mata an -/- ikterik -/-

Respirasi : RR : 16x/mnt; Ves +/+ Rh -/- Wh -/- ; Mallampati I

Kardiovascular : TD 100/60 mmHg; N 80 x/mnt, S1 S2 Tunggal, Regular,

Murmur (-)

Page 5: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

4

Abdomen : Distensi (+), Bising Usus (+) Normal

Urogenital : BAK (+) Normal

Muskuloskeletal : Flexi deflexi leher dbn, gigi goyang (-), Ompong (+),diskus

interspinosum teraba

Status Gynecologis

Abdomen : TFU tidak teraba, BU(+) normal, Nyeri tekan (-)

Vulva / Vagina : Inspeksi terlihat potrosi uterus dinding depan dan belakang,

Nyeri tekan (+) dan tampak erosi portio.

Pemeriksaan Penunjang :

DL (28/2 11) : WBC 8,9 103/UL ; RBC 4,24 103/UL ; HB 10,0 gr/dL; HCT 32,2 % ; PLT

400 103/UL;

SGOT 19 U/L ; SGPT 9 U/L; Alb 3,0 gr/dL; GDS 113 mg/dL; Na 142,2 mEq/L; K

3,56 mEq/L; BUN 7,4 mg/dL; SC 1,07 mg/dL

BT 1’00” / CT 8’00”; PT 15,4 (14,5); APTT 33,0 (31,6) INR 1,16;

(22/10 10) Thorax Ro : Cor CTR 60% dan Pul dalam batas normal

(18/3 11) EKG : Irama sinus, dengan HR 72x/mnt, Axis Normal,ST-T Changes (-), kesan

normal EKG

Diagnosis Kerja/Diagnosis Banding:

Prolaps Uteri Grade IV + Cystorectocele grade IV, Status Fisik ASA 2

Tx : Kolpokleisis

21 Maret 2011, pukul 09.30

Dilakukan operasi kolpokleisis

Laporan Anestesi :

Pukul 09.25 dilakukan tindakan anestesi regional anestesi blok subaraknoid ( BSA ).

Blok subaraknoid dilakukan di L3-4 liquor (+) jernih kemudian dilakukan injeksi Bupivacain

0,5% heavy secara perlahan sebanyak 12,5 mg. Pasien kemudian diposisikan supine dan

setelah menunggu 3-5 menit pasien diposisikan litotomy. Pada saat diposisikan litothomy

pasien masih dapat menggerakkan kedua tungkainya sehingga diputuskan untuk melakukan

Page 6: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

5

re spinal. Blok spinal anestesi kembali dilakukan di tempat yang sama di L3-4, liquor tampak

mengalir lancar dan dilakukan injeksi bupivacain 0,5% heavy sebanyak 10 mg.

Pasien kembali diposisikan supine dan ditunggu 3-5 menit dan kemudian diposisikan

litotomy.

Selama tindakan, pasien batuk-batuk untuk mengeluarkan liur yang agak lengket. Diberikan

sedasi midazolam 1 mg untuk mencoba menidurkan pasien. Namun pasien belum tersedasi

sehingga di berikan kembali midazolam secara titrasi sampai maximal 4 mg. Namun

penderita tetap tidak tersedasi dan tetap berusaha mengeluarkan lendir dengan

membatukannya. Diputuskan untuk menidurkan pasien dengan memberikan volatile dengan

menyungkup penderita dan setelah sekitar 3-5 menit penderita tertidur dengan nafas spontan,

volatile pun dimatikan dan dilanjutkan dengan O2 100 %.

Sekitar 10 menit menjelang operasi selesai, penderita menggerakkan kedua tungkai beberapa

kali namun tidak sampai mengganggu operator.

Operasi selesai, pasien dibangunkan, pasien membuka mata namun kontak (-), pasien tampak

mulai gelisah sambil tetap berusaha mengeluarkan ludah dan kami coba tetap memberikan

oksigen dan mencoba mengajak penderita berbicara namun penderita tetap tidak

menunjukkan kontak dan penderita mulai mengalami twitching pada tungkai atas dan bawah.

Setelah beberapa menit kemudian penderita mulai kejang lagi dengan tipe tonik klonik

kemudian diberikan propofol bolus 50 mg, penderita pun tertidur. Setiap kejang, terjadi

peningkatan denyut jantung hingga 150 kali / menit disertai peningkatan tekanan darah

hingga mencapai 160/100 mmHg. Kemudian dilakukan pemeriksaan AGD. Pukul 13.00

hasil AGD Menunjukkan asidosis respiratorik dengan gambaran AGD : 7,03/84/370/22,20/-

9,3/100%/Hb 10,2/Na 139/K 3,9 dan diputuskan untuk dilakukan intubasi pada pukul 13.10

selama dikontrol pasien masih mengalami kejang beberapa kali dengan tipe tonik klonik

dengan durasi kejang antara 30 detik sampai 1,5 menit, dan diberikan diazepam 10 mg bolus

dilanjutkan dengan phenytoin 600 mg drip dalam 100 cc NaCl 0,9%. Pukul 14.06 kembali di

periksa AGD dengan hasil 7,53/25/150/20,9/-1/100%/Na 140/K 3,7/Hb 9,6. Pasien beberapa

kali masih mengalami kejang dan pada pukul 14.41 kembali di periksa AGD dengan hasil :

7,2/62/99/24,2/-4,3/96%/Na 140/K 3,4/Hb 10,2

Dilakukan CT scan kepala tanpa dan dengan kontras menunjukkan hasil kesan dalam batas

normal.

Penderita kemudian dirawat di ICU dengan kontrol ventilasi. Selama perawatan tekanan

darah 73/47 nadi 80x/mnt dan dilakukan loading RL 500 cc, koloid 500 cc

Dobutamine titrasi.

Page 7: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

6

Lab: Hb 6,9 g/dl WBC 17,3, HCT 21,8%, PLT 298

GOT 31,4 GPT 116,6 Alb 1,8 Bun 16,05 Sc 0,92 GDS 124,5

Transfusi 2 kolf PRC (500 cc)

AGD pagi: 7,35/43/203/25,4/0,1/100%

Weaning ventilator. CVC 450/12/40%/5

Setelah dikontrol kurang lebih 16 jam penderita akhirnya di ekstubasi dangen kesadaran CM

dan kontak (+). Drip phenitoin dilanjutkan dan penderita masih di evaluasi di ICU selama 24

jam ke depan dan pada tanggal 23 Maret 2011 pukul 12.10 penderita dipindahkan ke ruangan.

Evaluasi diruangan 6 sampai 24 jam setelah penderita dipindahkan penderita tampak stabil

dengan kontak (+). Namun pukul 18.00 (sekitar 30 jam setelah pindah) penderita tampak

mulai gelisah kembali dan kemudian pukul 19.00 dilakukan pemeriksaan AGD dengan hasil

7,49 / 30 / 51 / 22,9 / 0,3 / 89 / Na 136 / K 4,1 dan pasien kembali di observasi di ruang

intensif. Selama perawatan penderita dengan nafas spontan dengan oksigen sungkup muka

dengan kondisi vital sign labil dan produksi urine kurang dari 1 cc/kgBB /jam. Selama

perawatan penderita dilakukan obeservasi tanda vital dan dilakukan nebulizer setelah

perawatan sekitar 10 jam penderita mulai stabil dan dilanjutkan observasi 24 jam kedepan

dan penderita tampak stabil hingga akhirnya penderita dipindahkan kembali ke ruangan.

Selama 4 hari perawatan di ruangan, penderita nampak stabil dengan kondisi umum yang

semakin membaik.

Penderita pun mulai belajar mobilisasi sejak tanggal 28 Maret 2011 dan setelah kondisi

kembali baik dan mobilisasi (+) pada tanggal 30 Maret 2011 penderita diizinkan untuk

pulang serta dilanjutkan dengan kontrol poliklinis gynecologi.

Page 8: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

7

BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien ini tindakan anestesi dilakukan dengan tekhnik regional blok subaraknoid dan

secara anamnesa, pemeriksaan fisik maupun penunjang tidak ada kontraindikasi untuk

tekhnik tersebut. Kejang yang terjadi pada pasien ini setelah tindakan anestesi spinal ada

beberapa kemungkinan :1. Intoksikasi obat anestesi lokal ke sistemik sehingga toksik

terhadap susunan saraf pusat, 2. High blok yang menyebabkan hipoventilasi sehingga terjadi

retensi CO2 yang berefek terjadi oedem otak ( tekanan intrakranial meningkat ) yang

mengakibatkan kejang.

Pada kasus ini diduga terjadi toksisitas obat anestesi lokal bupivakain pada sistem saraf pusat

( SSP ) yang dicurigai masuk dan terserap ke dalam pembuluh darah. Toksisitas sistemik obat

anestesi lokal terjadi akibat dari injeksi tanpa disengaja baik secara intraarterial, intravena

atau injeksi jaringan perifer, semuanya dapat mengakibatkan konsentrasi obat anestesi lokal

berlebihan dari tempat suntikan sehingga terjadi toksik. ( Morgan, 2006; Lui, 2010 ). Ada

kemungkinan obat anestesi lokal masuk ke ruang epidural karena pergeseran jarum spinal

saat aspirasi, sehingga obat anestesi lokal terserap ke dalam pembuluh darah sistemik.

Setiap injeksi aspirasi jarum atau kateter untuk mengetahui false negatif sebesar 2% setiap

intervensi diagnosis. ( Neal, 2010 ).

Dikatakan SSP lebih sensitif terhadap toksisitas obat anestesi lokal dibanding dengan KV.

Intoksikasi SSP terdiri dari dua proses patofisiologi, dimulai dari fase eksitasi ( menggigil,

otot tremor, kejang tonik-klonik) hal ini dikarenakan adanya blokade pada jalur pusat inhibisi

dan terakhir fase depresi (hipoventilasi, kolaps pernafasan) diakibatkan exitatory dan

inhibitory neuronal blockade. Pasien termasuk dalam katagori pasien usia lanjut/tua dimana

pasien usia tua terjadi absorpsi obat anestesi lokal yang memanjang karena massa otot dan

cardiac output-nya menurun menyangkut perubahan anatomi dan fisiologis per-sistem organ

yang terjadi, meskipun dengan dua kali tindakan spinal dengan dosis total 22,5 mg dikatakan

tidak melampaui dosis maksimalnya. ( Lui, 2010 ).

Hal ini didukung oleh gejala yang bermula dari gelisah dan gangguan pada mulut yang

kemungkinan adanya rasa tidak enak (rasa seperti logam ? ). Gejala pendukung lainnya

dengan adanya bangkitan kejang yang mulanya fokal pada ekstremitas dan diikuti dengan

kejang seluruh tubuh dengan type tonik klonik disertai penurunan kesadaran karena kontak

tidak ada meskipun pasien terlihat membuka mata. Penurunan kesadaran ini menyebabkan

pasien tidak dapat menjaga sistem pernafasannya dan ini juga yang menyebabkan terjadinya

Page 9: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

8

retensi CO2 yang memperparah kondisi pasien ataupun hipoventilasi yang terjadi

menyebabkan terjadinya retensi CO2 yang kemudian CO2 ini menyebabkan toksik pada otak

sehingga terjadi penurunan kesadaran.

Riwayat kejang sebelumnya tidak ada dan tidak ditemukannya kelainan pada pemeriksaan

CT-Scan kepala baik tanpa maupun dengan kontras yang mungkin menjadi penyebab

timbulnya kejang. Pada pasien ini terjadi asidosis respiratorik.

Penderita kemudian ditangani dengan fokus utama pada:

- Management jalan nafas: ventilasi dengan oksigen 100 % ( intubasi ) dan

membuang CO2 dengan mengendalikan nafas.

- Mengatasi kejang : benzodiazepine

- Serta pengawasan ketat lebih dari 12 jam pasca kejang untuk memonitor

kejadian toksisitas pada jantung. ( Neal dkk, 2010 ).

Pada sistem kardiovaskuler pada saat kejang terjadi takikardi dan hipertensi yang kemudian

selama perawatan di ruang intensif terjadi penurunan tekanan darah / hipotensi ( Lui, 2010 )

yang mana sangat mungkin diakibatkan oleh pengaruh bupivakain, sehingga diputuskan

diberikan topangan dobutamin dengan memastikan sebelumnya volume intravaskuler cukup.

Setelah dikontrol kurang lebih 16 jam penderita akhirnya di ekstubasi dengan kesadaran CM.

Penderita masih di evaluasi di ICU selama 24 jam ke depan dan pada tanggal 23 Maret 2011

pukul 12.10 penderita dipindahkan ke ruangan.

Farmakologi Obat Anestesi Lokal

Obat anestetik lokal merupakan suatu obat dengan ikatan kimia yang mampu menghambat

konduksi saraf perifer dan sentral apabila disuntikkan di daerah perjalanan serabut saraf

dengan dosis tertentu tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada serabut saraf.

Peningkatan konsentrasi obat anestesi lokal akan mengganggu transmisi impuls otonom,

somatik sensorik dan somatik motorik sehingga timbul blokade sistim saraf otonom ( SSO ),

anestesi sensorik dan paralisis otot skeletal di daerah yang diinervasi oleh saraf yang

dipengaruhinya. ( Stoelting dkk, 2006 ).

Setiap obat anestesi lokal berbeda dalam hal potensi obat (potency), waktu awal kerja

obat (onset time or latency), durasi efek obat (duration of effect) dan toksisitas (toxicity).

Dengan demikian pemilihan obat akan sangat berpengaruh pada individu yang

memerlukannya.

Page 10: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

9

Terdapat dua golongan utama obat anestetik lokal, yaitu :

1). Golongan Ester :

Kokain, benzokain, ametokain, prokain, tetrakain dan kloroprokain. Golongan

ini di metabolisme oleh enzim pseudokolinesterase secara cepat dan hasil

metabolitnya akan dikeluarkan lewat urin.

2). Golongan Amida :

Lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain dan

levobupivakain.

Golongan ini dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati, kecepatan

metabolisme tergantung pada spesifikasi obat, metabolisme lebih lambat, hasil

metabolisme dan sebagian kecil bentuk utuh diekskresikan keluar melalui urin.

Struktur kimia dari anestetik lokal terdiri dari tiga bagian: bagian lipofilik (aromatik),

intermediate linkage dan bagian hidrofilik (amina sekunder atau tersier). Bagian lipofilik

meningkatkan partisi ke dalam membran plasma, meningkatkan potensi dan masa kerja.

Bagian hidrofilik berperanan dalam pengikatan obat anestesi dengan saluran natrium. (

Morgan, 2006; Stoelting , 2006 ).

Tabel farmakologi obat anestesi lokal

1.1. Farmakokinetik

Obat anestesi lokal merupakan basa lemah yang mempunyai pK diatas pH

fisiologis. Akibatnya < 50% anestetik lokal dalam bentuk lipid-soluble non ionized pada pH

fisiologis. Obat anestesi lokal memiliki pKa mendekati pH fisiologis akan menghasilkan

onset kerja cepat, hal ini menggambarkan rasio optimal fraksi ionisasi dan non ionisasi fraksi

obat. Absorpsi obat anestesi lokal sangat dipengaruhi oleh tempat suntikan, penambahan

vasokonstriktor dan karakteristik dari obat anestesi lokal. Sedangkan distribusinya sangat

tergantung pada perfusi jaringan, koefisien partisi jaringan / darah dan massa jaringan. (

Stoelting, 2006; Lui, 2010 ). Obat anestesi lokal secara umum sangat tinggi terikat protein

Page 11: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

10

terutama alpha-1 glycoprotein ( AAG ). Pasien usia tua terjadi absorpsi obat anestesi lokal

yang memanjang karena massa otot dan cardiac output-nya menurun. ( Bourne, 2010 ).

Obat anestetik lokal golongan amida akan berikatan kuat dengan protein plasma. Pada

praktek klinis, anestetik lokal sering ditambahkan vasokonstriktor epinefrin dengan tujuan

untuk menurunkan absorpsi dan mengurangi distribusi ke sirkulasi sistemik. ( Barash, 2006 ).

Karena sedikit terdapat aktivitas esterase pada cairan serebrospinal, anestetik golongan ester

secara lambat dimetabolisme setelah diinjeksikan subarachnoid. Obat anestesi lokal golongan

amida dimetabolisme oleh enzim hati, sehingga harus hati-hati digunakan pada pasien dengan

penyakit hati (misalnya dengan mengurangi dosis). Suatu metabolit dari prilokain dapat

menyebabkan methemoglobinemia. ( Stoelting, 2006; Lui, 2010 ).

Obat anestesi lokal mempunyai efek samping pada SSP, KV, otot polos, saraf-otot, sistem

imun dan ganglia autonom. Bupivakain (golongan amida) lebih toksik pada KV, semua obat

anestesi lokal dapat menurunkan eksitabilitas elektris, laju konduksi dan kekuatan kontraksi

jantung, sebagaimana halnya menginduksi vasodilatasi dan penurunan tonus vaskuler.

Kadang-kadang konsentrasi rendah menyebabkan kolaps KV. Dengan mempengaruhi otot

polos, menurunkan kontraksi kolon dan kontraksi dari otot uterus. Pada neuromuskular

junction (NMJ), konsentrasi toksik dapat mengurangi aktivasi otot. Pada konsentrasi toksik

obat anestesi lokal memblok saluran kalium. ( Stoelting, 2006; David, 2007; Bourne, 2010 ).

1.2. Farmakodinamik

1.2.1.Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja utama dari obat anestesi lokal adalah melakukan blokade pintu

saluran ion natrium. Membran akson saraf yang mengalami eksitasi dan badan sel saraf yang

mengalami eksitasi, mempertahankan potensial transmembran istirahat sebesar - 90 hingga -

60 mV. Selama eksitasi, saluran natrium ini akan terbuka dan natrium masuk secara cepat

membuat membran mengalami depolarisasi sehingga terjadi keseimbangan natrium-kalium

(+ 40mV). Sebagai akibat dari depolarisasi, saluran natrium akan tertutup (inaktif) dan

saluran kalium akan terbuka. Aliran kalium yang keluar ini akan menyebabkan repolarisasi

membran sehingga tercapai keseimbangan potensial (-95 mV), repolarisasi ini akan membuat

saluran natrium berada pada stadium istirahat. Gradien ion transmembran diatur oleh pompa

natrium. Sifat ini serupa dengan yang ditemukan pada otot jantung dan obat anestesi lokal

ternyata memiliki sifat yang sama pada kedua jaringan ini. ( Benjamin, 1981; Emma, 2010;

Bourne, 2010 ).

Page 12: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

11

1.2.2. Karakteristik stuktur kerja obat anestesi lokal

Makin kecil dan makin lipofilik suatu obat anestesi lokal, maka makin cepat interaksi

dengan reseptor saluran natrium. Lidokain, prokain, dan mepivakain lebih larut air

dibandingkan dengan tetrakain, etidokain, dan bupivakain. Bupivakain lebih poten dan

memiliki durasi kerja yang lebih lama dan juga terikat lebih kuat dengan protein.

1.2.3. Kerja lain pada saraf

Obat anestesi lokal dapat melakukan hambatan pada saraf, namun kerja pada saraf

tidak hanya ditujukan terhadap hilangnya sensasi. Meskipun kadang-kadang pasien kita

inginkan untuk mengalami paralisis, namun hal tersebut juga akan menurunkan kemampuan

pasien untuk bekerja sama, seperti misalnya mengedan pada kasus obstetri. Selama anestesi

spinal, paralisis motorik dapat mengganggu aktivitas pernafasan dan saraf otonom yang

dihambat dapat menyebabkan terjadinya hipotensi. Blokade residual pada saraf autonom

dapat pula mengganggu fungsi dari kandung kencing (menyebabkan retensi urin) .

Bagaimanapun, serabut saraf berbeda satu dengan yang lain dalam suseptibilitasnya

menerima anestetik lokal karena adanya perbedaan ukuran dan juga perbedaan mielinisasi

(Tabel 1 ). Apabila diberikan obat anestesi lokal, maka yang paling awal teranestesi adalah

serabut saraf tipe B dan C yang lebih kecil, kemudian baru diikuti oleh serabut saraf tipe A

dan delta sehingga saraf nyeri akan terblok pertama, sensasi yang lain baru akan menghilang

kemudian dan kemampuan motorik akan terakhir teranestesi. ( Hines, 2004 )

Tabel 1. Ukuran dan kepekaan terhadap blok serat saraf.

Diameter

(µm) Myelination

Conduction

Velocity (m/s)

Sensitivity

To Block

Type A

Alpha

Propioception, motor

12-20

Heavy

70-120

+

Beta Touch, pressure 5-12 Heavy 30-70 ++

Gamma Muscle spindles 3-6 Heavy 15-30 ++

Delta Pain, temperature 2-5 Heavy 12-30 +++

Type B Preganglionic autonomic < 3 Light 3-15 ++++

Type C

Dorsal root

Pain

0.4-1.2

None

0.5-2.3

++++

Sympathetic Post ganglionic 0.3-1.3 None 0.7-2.3 ++++

Page 13: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

12

1.2.4. Efek pada membran eksitasi yang lain

Obat anestesi lokal memiliki efek hambatan yang rendah pada sistem neuromuskular

yang memang memiliki peran yang tidak terlalu besar dalam klinis. Namun efeknya pada otot

jantung memiliki pengaruh besar dalam klinis. Beberapa obat dipergunakan sebagai

antiaritmia pada konsentrasi yang lebih rendah daripada yang dibutuhkan untuk

menyebabkan hambatan pada sistem saraf, sementara bahan yang lain (contoh: bupivakain)

dapat menyebabkan aritmia yang letal pada konsentrasi yang cukup tinggi.

Gejala Klinis Toksisitas Sistemik Obat Anestesi Lokal

Toksisitas sistemik obat anestesi lokal terjadi akibat dari injeksi tanpa disengaja baik secara

intraarterial, intravena atau injeksi jaringan perifer, semuanya dapat mengakibatkan

konsentrasi obat anestesi lokal berlebihan dari tempat suntikan sehingga terjadi toksik. (

Morgan, 2006; Lui, 2010 ).

Sistim saraf pusat (SSP) dan kardiovaskular (KV) merupakan target organ toksis utama

dimana kadar anestetik lokal dalam darah meningkat. SSP lebih sensitif terhadap toksisitas

anestetik lokal dibanding dengan KV. Intoksisikasi SSP terdiri dari dua proses patofisiologi,

dimulai dari fase eksitasi ( menggigil, otot tremor, kejang tonik-klonik) hal ini dikarenakan

adanya blokade pada jalur pusat inhibisi dan terakhir fase depresi (hipoventilasi, kolaps

pernafasan) diakibatkan exitatory dan inhibitory neuronal blockade. Patofisiologi intoksikasi

obat anestesi lokal pada KV terjadi baik secara langsung dan tidak langsung. Eksitasi SSP

mengaktifasi sistem saraf simpatik yang dapat mengakibatkan takikardi dan hipertensi. ( Lui,

2010 ).

Mekanisme kerja toksisitas sistemik obat anestesi lokal yaitu:

Page 14: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

13

Gambar 3.1. Gambaran skematis mengenai 2 tahap toksisitas sistemik obat anestesi lokal. Eksitasi SSP

akan mengaktifasi sistem saraf simpatik yang dapat mengakibatkan peningkatan denyut nadi dan tekanan darah

yang bisa saja menutupi efek yang ditimbulkan oleh obat anestesi lokal. Demikian juga, penyuntikan langsung

obat anestesi lokal ke pusat medula dapat mengakibatkan aritmia dan hipotensi.

2.1. Sistem Saraf Pusat

Gejala klasik toksisitas sistemik obat anestesi lokal pada stimulasi SSP adalah

mengantuk, kepala terasa ringan, adanya gangguan penglihatan dan pendengaran, serta

perasaan lelah, kaku dan rasa tebal pada daerah sirkumoral, lidah terasa logam (metallic

taste), nistagmus dan kedutan pada otot. Pada konsentrasi tinggi akan terjadi kejang tonik

klonik diikuti dengan atau depresi SSP (koma, kolaps pernafasan). Gambaran klasik

toksisitas sistemik anestetik lokal dimana toksisitas jantung tidak terjadi tanpa didahului oleh

toksisitas pada SSP. Tanda dan gejala toksisitas pada SSP sekitar 89 % dimana 45% tanpa

gangguan KV sedangkan gejala SSP dan KV sekitar 44%. Dari tanda dan gejala toksisitas

SSP frekwensi distribusi yang dominan adalah kejang (68%), agitasi (11%), pusing,

mengantuk, sakit pendengaran, perioral, bingung, disforia dan disarthria (18%) dan

kehilangan kesadaran (7%). ( Dippenar, 2007; Neal, 2010; Gregorio, 2010 ).

Page 15: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

14

Gambar 3.2. Frekwensi distribusi gejala toksisitas sistemik anestetik lokal pada SSP

2.2. Sistem Kardiovaskular

Tanda dan gejala toksisitas KV terjadi sekunder dari injeksi intravaskular terutama di

arteri karotis dan vertebralis muncul secara bersamaan atau didahului dengan kejang

kemudian secara progresif terjadi eksitasi jantung seperti hipertensi, takikardi, aritmia

ventrikel. Dengan adanya peningkatan konsentrasi darah, eksitasi jantung mungkin dapat

diikuti dengan depresi jantung yaitu bradikardi, asistol, penurunan kontraktilitas jantung dan

hipotensi. Terutama sekali pada obat anestesi lokal yang sangat poten terjadi toksisitas

jantung yang dapat muncul secara simultan atau didahului oleh aktivitas kejang. ( Lui, 2010).

Gejala klinis toksisitas KV frekwensi distribusi dominan yaitu bradikardi atau asistol

(27%), diikuti hipotensi (18%), takikardi (16%), ventrikel takikardi/ ventrikel fibrilasi (13%)

bermacam-macam gejala (12%), ST change, nyeri, sesak, hipertensi (9%) dan ventrikel

ektopik (5%). ( Gregorio, 2010 ).

Page 16: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

15

Gambar 3.3. Frekwensi distribusi gejala toksisitas sistemik anestetik lokal pada KV

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ikatan bupivakain lebih poten,

komponen obat anestesi lokal masa kerja panjang dibandingkan lidokain (kurang poten dan

komponen anestetik lokal pendek) sehingga bupivakain lebih potensi menghambat

elektrofisiologi dan fungsi kontraktilitas jantung. Selain itu pemberian bupivakain dosis

cukup besar dapat memblok jantung secara sempurna atau mendepresi aktivitas pacemaker

jantung secara abnormal. Penelitian lain juga menemukan bahwa bupivakain mempunyai

efek depresi konduksi jantung sehingga menyebabkan blok atrioventrikular dan potensial

reentrant arrhythnia.

Bupivakain lebih kardiotoksik dibandingkan obat anestesi lokal yang lain. Hal ini

menunjukkan bahwa bupivakain menghambat saluran natrium yang disebabkan aksi potensial

yang panjang pada sel jantung (dibandingkan pada serat saraf). Penelitian menunjukkan

bahwa gangguan yang paling sering terjadi pada intoksikasi bupivakain adalah irama

idioventrikular pelan dengan kompleks QRS luas dan kadang dapat ditemukan adanya

disosiasi elektromekanik. ( Levsky, 2005 ).

Bupivakain memiliki isomer R (+) menghambat saluran natrium jantung lebih besar

sehingga terjadi perlambatan konduksi AV dan lebih toksik dibandingkan dengan isomer S(-)

levobupivakain dan ropivakain.

2.3. Sistim Hematologi

Pemberian prilokain dalam dosis besar (>10 mg/kg) untuk anestesi regional dapat

menyebabkan terjadinya akumulasi metabolit o-toluidine, suatu bahan pengoksidasi yang

mampu mengubah hemoglobin menjadi met-hemoglobin. Apabila terdapat met-hemoglobin

Page 17: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

16

yang cukup (3-5 mg/dL), pasien akan tampak menjadi sianotik dan darah akan berwarna

coklat. Meskipun kadar met-hemoglobin sedang masih dapat ditoleransi dengan baik oleh

individu yang sehat, namun dapat menyebabkan dekompensasi pada pasien dengan penyakit

jantung atau paru. Terapi yang dapat dilakukan adalah pemberian bahan penurun

methemoglobin secara intravena (seperti methylene blue atau asam askorbat) yang akan

dengan cepat mengubah met-hemoglobin kembali menjadi hemoglobin.

2.4. Reaksi Alergi

Anestetik lokal tipe ester dimetabolisme menjadi derivat p-asam amino benzoat.

Metabolit ini menyebabkan reaksi alergi pada sejumlah kecil populasi. Amid tidak dapat

dimetabolisme menjadi p-asam amino benzoat, dan reaksi alergi terhadap golongan amid ini

relatif jarang.

Diagnosis Toksisitas Sistemik Obat Anestesi Lokal

Gambaran klasik LAST termasuk gejala klinis stimulasi SSP seperti perubahan pendengaran,

mati rasa, lidah terasa seperti logam dan agitasi yang mengarah pada terjadinya kejang dan

atau depresi SSP (koma, kolaps pernafasan). Gambaran klasik toksisitas sistemik obat

anestesi lokal dimana toksisitas jantung tidak terjadi tanpa didahului toksisitas pada SSP.

Berdasarkan American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine 2010

rekomendasi LAST merupakan hal yang paling penting dibandingkan terapi oleh karena

tidak ada petunjuk dan metode yang paling tepat dalam mendeteksi toksisitas.

Rekomendasi pencegahan toksisitas sistemik lokal anestesi

• Tidak ada langkah tunggal yang dapat mencegah LAST dalam praktek klinis

• Gunakan efektif dosis rendah obat anestesi lokal ( dosis = volume x konsentrasi )

• Gunakan injeksi obat anestesi lokal secara incremental pemberian 3 -5 ml, dengan

jarak waktu 15-30 detik setiap injeksi. Pada saat pendekatan jarum sebagai landmark,

mencari parasthesia atau stimulasi elektrik, waktu antara injeksi meliputi satu kali

sirkulasi waktu ( 30-45 detik); walaupun resiko bergeraknya jarum antara injeksi

waktu sirkulasi mungkin meningkat pada daerah ektremitas bawah yang terblok.

Penggunaan incremental dosis besar yang diperlukan untuk mengurangi dosis

Page 18: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

17

kumulatif dari setiap kejadiaan LAST. Injeksi incremental mungkin kurang penting

pada penggunaan ultrasound, pergerakan jarum sering dipakai sebagai petunjuk.

• Setiap injeksi aspirasi jarum atau kateter untuk mengetahui false negatif sebesar 2%

setiap intervensi diagnosis.

• Adanya potensi dosis toksik injeksi anestetik lokal, tanda intravaskular digunakan

sebagai rekomendasi. Walaupun epinefrin bukan merupakan petunjuk yang sempurna

dan dipakai secara umum oleh praktisi untuk pertimbangan terapi, kemungkinan

resiko yang lebih besar pada pasien :

- Injeksi epinefrin intravaskular 10 – 15 μg/mL pada dewasa menghasilkan

peningkatan denyut nadi ≥ 10 kali atau tekanan darah sistolik meningkat ≥ 15

mmHg tanpa β bloker, usia lanjut, aktif bekerja, atau anestesi umum/neuraxial.

- Injeksi epinefrin intravaskular 0,5 μg/kg pada anak-anak menghasilkan

peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 15 mmHg.

- Ketepatan dosis subtoksik obat anestesi lokal dapat menghasilkan gejala subjektif

sampai toksisitas sistemik ringan ( gangguan pendengaran, eksitasi, rasa logam,

dll) pada pasien tidak dipremedikasi.

- Fentanyl 100 μg menghasilkan sedasi jika diinjeksikan intravaskuler pada pasien.

• Penggunaan ultrasound dapat mengurangi frekwensi injeksi intravaskuler, tapi belum

terbukti pada manusia secara aktual mengurangi LAST. Laporan individu LAST

dijelaskan meskipun dengan UGRA. Keefektifan penggunaan ultrasound secara

keseluhan dapat mengurangi frekwensi LAST.

Ketepatan diagnosis LAST sangat diperlukan untuk mengurangi angaka mortalitas dan

morbiditas. Rekomendasi untuk diagnosis LAST berdasarkan American Society of Regional

Anesthesia and Pain Medicine 2010 adalah sebagai berikut:

Rekomendasi diagnosis LAST

➢ Gambaran klasik LAST adalah gejala subjektif stimulasi SSP yang progresif (agitasi,

perubahan pendengaran, lidah terasa seperti logam atau tiba-tiba perubahan

kejiwaan), diikuti dengan kejang kemudian depresi SSP ( mengantuk, koma atau

Page 19: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

18

kolaps pernafasan). Akhir dari rangkaian kesatuan ini, tanda utama dari toksisitas

jantung (hipertensi, takikardi atau aritmia ventrikel) kemudian mengarah pada depersi

jantung (bradikardi, block konduksi, asistol, penurunan kontraktilitas jantung).

Adapun gambaran klasik variasi substansial, meliputi:

- Adanya toksisitas SPP dan jantung secara simultan

- Toksisitas jantung tanpa gejala prodromal dan gejala toksisitas SSP

- Dengan demikian praktisi harus waspada adanya LAST yang tidak diduga.

➢ Waktu terjadinya LAST bermacam-macam. Saat pemberian secara cepat (< 60 detik )

anestetik lokal intravascular dapat masuk secara langsung di dalam otak, sedangkan

pemberian injeksi intravascular intermiten secara lambat 1-5 menit, injeksi

ekstermitas bawah atau absorpsi di jaringan lambat. Karena pada LAST dapat terjadi

> 15 menit setelah injeksi, Pasien yang mendapat obat anestesi lokal dengan potensial

dosis toksik sebaiknya dimonitoring secara ketat paling kurang 30 menit setelah

injeksi.

➢ Pada laporan kasus LAST dengan kelainan jantung, neurologi, paru, ginjal, hepar atau

penyakit metabolik. Peningkatan kewaspadaan mungkin dapat dijamin pada pasien

ini, terutama sekali jika pasien dengan usia yang ekstrim.

➢ Secara keseluruhan variabilitas LAST tanda dan gejala, waktu onset, dan berkaitan

dengan berbagai penyakit disarankan agar praktisi dapat mempertahankan dibawah

ambang batas dengan mempertimbangkan diagnosis LAST pada pasien abnormal atau

tidak diduga adanya tanda dan gejala pada SSP atau jantung setelah memberikan obat

anestesi lokal dosis minimal.

Penatalaksanaan Toksisitas Sistemik Obat Anestesi Lokal

Prioritas utama penatalaksanaan LAST adalah management jalan nafas, support KV dan

pengurangan efek sistemik anestetik lokal. Tidak seperti penatalaksanaan konvensional

kasus henti jantung, kunci utama keberhasilan penanganan LAST adalah penanganan jalan

nafas. Hal ini telah dilaporkan oleh Moone dkk sejak setengah abad yang lalu dengan

mencegah hipoksia dan asidosis secara cepat, memberikan oksigenasi dan ventilasi dapat

menghentikan kolaps KV dan kejang. Jika muncul kejang, pasien harus segera dikontrol

untuk mencegah cedera dan asidosis. Benzodiazepin merupakan obat yang ideal untuk

Page 20: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

19

menghentikan kejang karena memiliki potensi yang terbatas pada depresi jantung. ( Neal dkk,

2010 ).

Therapi emulsi lemak telah didukung baik secara teoritis dan ekperimental secara

luas dalam beberapa dekade, Krieglstein dkk 1974, menyimpulkan bahwa emulsi lemak

dalam darah dapat mengikat obat yang larut dalam lemak sehingga terjadi pemecahan fraksi

di dalam plasma dan menurunkan kemampuaan ikatan obat-obat yang larut dalam lemak.

Pada penelitian lain juga menyebutkan bahwa penggunaan klinis resusitasi lemak telah

dipakai sebagai terapi antidote toksisitas sistemik obat anestesi lokal dalam dekade sekarang

ini.

Mekanisme kerja lemak mesih belum jelas atau belum dapat dimengerti secara

keseluruhan dalam menghilangkan toksisitas yang disebabkan oleh obat anestesi lokal. Pada

awalnya penelitian yang dilakukan oleh Weinberg dkk, 1998 dugaan bahwa pemberian lemak

dapat mempotensiasi toksisitas jantung oleh karena lemak dapat menghambat metabolisme

mitokondria dan akumulasi dari sitoplasma asam lemak. Namun percobaan pada hipotesa ini

menunjukan hal yang berlawanan dari terapi awal atau resusitasi dengan lemak secara

substansial menggeser kurva respon dosis dari kardiotoksis bupivakain pada binatang

percobaan yang menyebabkan selamat dari dosis letal anestesi. Didorong dengan adanya

penemuan yang mengejutkan maka Weinberg dkk mendukung beberapa penelitian serial

yang membuktikan efikasi pemberian intravena lemak untuk penatalaksanaan kardiotoksik

resisten dari bupivakain pada beberapa binatang percobaan. Sehingga mekanisme kerja utama

umumnya berhubungan dengan kemampuan mengekstraksi bupivakain atau obat yang larut

dalam lemak (lipofilik) lainnya (atau cairan plasma atau target jaringan), yang kemudian

mengurangi konsentrasi efektifitas pada lokasi sasaran kerjanya.(“lipid sink”). ( Lui, 2010;

Neal, 2010; Keerath, 2010; Kruger, 2009 ). Cara lain atau sebagai tambahan bupivakain telah

menunjukkan kemampuan menghambat transport asam lemak pada membran inti

mitokondria dan lemak berfungsi untuk mengatasi hambatan ini sehingga dapat berfungsi

untuk mengembalikan energi dalam miokardium (gambar 2 ).

Suatu penelitian ekperimental tambahan dan pengalaman klinis lebih lanjut jelas

diperlukan untuk memahami dan mengetahui mekanisme dan mengidentifikasi parameter

optimal pemberian obat, manfaat klinis secara luas dan setiap efek samping yang potensial

Page 21: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

20

Gambar 2. Tempat terjadinya dan pontesial kardiotoksisitas bupivakain. Pemberian lemak dapat digunakan

sebagai sekunder efek positif dalam 2 mekanisme yaitu (1) “lipid sink”, bupivakain dipecah dalam lemak,

mengurangi efektifitas fraksi bebas bupivakain untuk berikatan dengan jaringan jantung, (2) Lemak sebagai

bahan dasar yang dapat mengatasi hilangnya energi dalam jantung yang disebabkan oleh hambatan translokasi

acylcarnitine bupivakain.

Penggunaan emulsi lemak sebagai antidot pada toksisitas jantung yang diakibatkan

oleh obat anestesi lokal telah dilaporkan dapat mengembalikan kestabilan hemodinamik oleh

karena overdosis dari obat-obat yang larut dalam lemak (lipofilik), namun infus lemak bukan

berarti aman tanpa resiko. Dimana infus emulsi lemak menghasilkan cytokinin dari sel darah

putih mononuclear, sangat berespon terhadap jamur Candida dimana diduga dapat

meningkatkan resiko terjadinya infeksi, pemberian emulsi lemak melalui intravena perifer

dapat terjadi tromboflebitis, dapat merusak fungsi sistim retikuloendotel pembuluh darah dan

terjadi perubahan respon terhadap inflamasi selama terapi jangka panjang termasuk reaksi

alergi dan reaksi inflamasi. Demikian juga dapat terjadi emboli lemak di paru-paru, lien,

hepar, plasenta dan otak terutama bila partikel emulsi lemak berdiameter lebih dari 5 mm.

Terjadinya hipertensi pulmonum bila pemberian lemak dengan dosis besar 100 mg/kg/menit.

( Brull, 2008 ). Pada penelitian lainnya melaporkan terjadinya fat overloading syndrome

dimana kecepatan pemberian infus emulsi lemak 20% (rata-rata kecepatan maksimal 9,96

gr/kg/hari) pada 4 infant terjadi emboli lemak paru setelah pemberian parenteral nutrisi dosis

besar dan meninggal, hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi. Hubungan antara

peningkatan protein C dengan aglutinisasi lemak ditemukan adanya bahan globulin lemak

ukuran besar yang dapat menempel dalam paru-paru sehingga menutupi kapiler paru

sehingga menyebabkan terjadinya ventilasi-perfusi mismatch .

Page 22: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

21

Rekomendasi untuk penatalaksanaan LAST berdasarkan American Society of

Regional Anesthesia and Pain Medicine 2010 adalah sebagai berikut.

Rekomendasi untuk penatalaksanaan LAST

❖ Jika tanda dan gejala LAST muncul, management jalan nafas harus cepat tepat dan

efektif karena merupakan hal yang sangat penting utuk mencegah hipoksia dan

asidosis dimana diketahui potensial LAST.

❖ Jika terjadinya kejang, harus dapat dihentikan cepat dengan benzodiasepin. Jika

benzodiasepin tidak tersedia dapat diberikan propofol dosis kecil atau thiopental

masih dapat diterima. Fakta kedepan dapat digunakan emulsi lemak untuk mengobati

kejang.

❖ Meskipun propofol dapat menghentikan kejang, dosis besar dapat mendepresi fungsi

jantung; Propofol sebaiknya dihindari pada kasus kelainan jantung. Jika kejang

menetap walapun sudah diberikan benzodiasepin, suksinilkolin dosis kecil atau obat

pelumpuh otot serupa dapat dipertimbangkan untuk meminimalkan asidosis dan

hipoksia.

❖ Jika terjadi kardiak arrest, direkomendasikan standard Advanced Cardiac Life Support

dengan mengikuti :

- Jika epinefrin digunakan, dosis kecil inisial ( 10-100 μg bolus pada dewasa)

lebih disukai.

- Vasopressin tidak direkomendasikan

- Hindari calcium channel blockers dan β adrenergic reseptor blocker.

- Jika berkembang menjadi aritmia ventrikel, amiodaron lebih dipilih;

penatalaksanaan dengan obat anestesi lokal ( lidokain atau prokainamid) tidak

direkomendasikan.

- Terapi emulsi lemak:

Mempertimbangkan pemberian pada saat tanda awal LAST setelah

penanganan jalan nafas.

Page 23: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

22

Dosis:

▪ Bolus emulsi lemak 20 % 1,5 mL/kg

▪ Dilanjutkan infus 0,25 mL/kg/menit paling sedikit 10 menti setelah

tercapai kestabilan sirkulasi.

▪ Jika kestabilan sirkulasi tidak tercapai, pertimbangkan pengulangan

bolus dan meningkatkan infus 0,5 mL/kg/menit

▪ Kira-kira emulasi lemak 10 mL/kg selama 30 menit

direkomendasikan sampai batas atas untuk dosis inisial.

❖ Propofol bukan sebagai pengganti emulsi lemak.

Kegagalan respon emulsi lemak dan terapi vasopressor sebaiknya dengan cepat dilakukan

cardiopulmonary bypass (CPB). Karena keterlambatan mempertimbangkan mulai

penggunaan CPB.

Untuk mempermudah penatalaksanaan LAST, Ameican Society of Regional Anesthesia and

Pain Medicine 2010 membuatkan panduan praktis dimana dalam panduan ini menjelaskan

langkah-langkah yang dapat dilakukan bila menemukan kasus LAST

Panduan praktis penatalaksaan toksisitas sistemik obat anestesi lokal berdasarkan American

Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine 2010

Pada pasien yang mengalami tanda dan gejala toksisitas sistemik anestetik lokal

Cari pertolongan

Fokus utama:

- Penanganan jalan nafas: ventilasi dengan oksigen 100 %

- Atasi kejang : benzodiazepin lebih dipilih

- Basic and Advanced Cardiac Life Support (BLS/ACLS) : mungkin diperlukan

sebagai usaha lanjutan.

Infus emulsi lemak 20% ( pasien dengan parastesia BB 70 kg )

- Bolus IV 1,5 mL/kg selama 1 menit ( 100 mL)

Page 24: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

23

- Infus kontinyu 0,25 mL/kg /menit ( 18 mL/menit ; disesuaikan dengan roller

clamp)

- Pengulangan bolus 1 atau 2 kali pada kolaps kardiovaskular persisten

- Kecepatan infus double 0,5 mL/kg/menit jika tekanan darah rendah

- Infus kontinyu paling kurang 10 menit setelah tercapainya stabilitas sirkulasi

- Direkomendasikan batas atas: kira-kira emulsi lemak 10mL/kg selesai pada

30 menit pertama.

Hindari vasopressin, calcium channel blocker, β-blocker atau anestetik lokal.

Siap siaga fasilitas terdekat yang mempunyai kemampuan cardiopulmonary bypass

Hindari propofol pada pasien yang memiliki gejala ketidakstabilan kardiovaskular

Direkomendasikan monitoring yang lebih lama (≥ 12 jam) setelah gejala toksisitas

kardiovaskular karena depresi kardiovaskular yang disebabkan oleh anestetik lokal

dapat menetap atau muncul kembali setelah terapi.

Dengan banyaknya penelitian yang menggunakan emulsi lemak dalam menangani toksisitas

oleh karena anestetik lokal sehingga disarankan untuk menyediakan emulsi lemak di dalam

ruang operasi di setiap institusi karena sebelumnya telah memberikan pengalaman positif.

Infus lemak diberikan secepatnya setelah munculnya gejala awal tetapi sebelum terjadinya

kejang.

ASRA menyarankan penggunaan dosis obat anestesi lokal secukupnya untuk

menghindari toksisitas sistemik dan menentukan rencana penanganan komplikasi bila ada.

Menyediakan kotak yang berisi alat-alat resusitasi, infus emulsi lemak di setiap kamar

operasi serta mengirimkan instruksi penggunaan emulsi lemak berdasarkan panduan

penatalaksanaan toksisitas sistemik obat anestesi lokal di organisasi lipid rescue.

Page 25: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

24

Pada akhirnya seorang anestesiologis selalu dilatih dan waspada terhadap setiap

peristiwa yang memungkinkan terjadinya kejadiaan yang dapat mengancam nyawa pasien

pada setiap melakukan anestesi regional.

Page 26: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

25

©The Association of Anaesthetists of Great Britain & Ireland 2007.

Page 27: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

26

KESIMPULAN

Penggunaan obat anestesi lokal telah berkembang secara luas dan sering digunakan dalam

praktek klinis. Toksisitas obat anestesi lokal sangat mungkin terjadi dan pencegahan

merupakan kriteria standar untuk meningkatkan keselamatan pasien selama menjalani

anestesi baik blok neuraksial maupun blok perifer dan tanda dan gejala toksisitas sistemik

obat anestesi lokal harus segera dikenali untuk bisa dengan segera dilakukan penanganan.

Berdasarkan American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine 2010 rekomendasi

LAST merupakan hal yang paling penting dibandingkan terapi oleh karena tidak ada

petunjuk dan metode yang paling tepat dalam mendeteksi dan penanganan toksisitas obat

anestesi lokal..

Page 28: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

27

Daftar Pustaka

1. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK 2006. Local Anesthetics. Clinical Anesthesia

fifth edition; 453-69.

2. Benjamin GC 1981. Physiology and Pharmacology of Local Aesthetic Agents.

Anethesia Progress. 98-104.

3. Bourne E, Wright C, Royse C 2010. A review of local anesthetic cardiotoxicity and

treatment with lipid emulsion. Local and Regional Anesthesia;3: 11-19.

4. Brull SJ 2008. Lipid Emulsion for the Treatment of Local Anesthetic Toxicity: Patient

Safety Implications. Anesthesia and Analgesia; 106 ( 5 ).

5. Cave G, Harvey M 2009. Intravenous Lipid Emulsion as Antidote Beyond Local

Anesthetic Toxicity: A Systematic Review. Academic Emergency Medicine;16 : 815-

24.

6. Copeland SE, Gu XQ, Mather LE 2008. The Effects of General Anesthesia on the

Central Nervous and Cardiovascular System Toxicity of Local Anesthetics.

Anesthesia and Analgesia; 106 ( 5 ).

7. David JS, Ferreri C, Amour J, Vivien B, Eve O, Petit P, Riou B, Gueugniaud PY

2007. Effect of bupivacaine, levobupivacaine and ropivacaine on myocardial

relaxation. Can J Anesth; 54 ( 3 ): 208-17.

8. Dippenar JM 2007. Local anaesthetic toxicity. SAAJA;13 ( 3 ):23-28.

9. Di Gregorio, Weinberg GL 2010. Local Anesthetic Systemic Toxicity. Reg Anes &

Pain Medicine; 35(2):140-4.

10. Hines RL 2004. Anesthesia and Anesthetic Adjuvants. Adult Perioperative

Anesthesia; 5: 137 – 67.

11. Keerath K 2010. Intralipid. Dep of An. Kwazulu Natal Univ.

12. Kosh MC, Miller AD, Michels JE 2010. Intravenous lipid emulsion for treatment of

local anaesthetic toxicity. Therapeutic and Clinical Risk Management ;6: 449 – 451.

13. Kruger CJ, Marwick PC, Levin AI 2009. Lipid rescue : the use of lipid emulsions to

treat local anaesthetic toxicity. SAJAA; 15 ( 5 ): 20 -8.

14. Levsky ME, Miller MA 2005. Cardiovascular Collapse from Low Dose Bupivacaine.

Can J Clin Pharmacol;12 ( 3 ): 240 – 5.

15. Litz RJ, Roessel T, Heller AR, Stehr SN 2008. Reversal of Central Nervous System

and Cardiac Toxicity After Local Anesthetic Intoxication by Lipid Emulsion

Injection. Anesthesia and Analgesia; 106 ( 5 ).

Page 29: TOKSISITAS OBAT ANESTESI LOKAL - erepo.unud.ac.id

28

16. Lui KC, Chow YF 2010. Safe use of local anaesthetic: prevention and management of

systemic toxicity. Hong Kong Med J;16: 470 – 5.

17. Mather LE, Copeland SE, Ladd LA 2005. Acute Toxicity of Local Anesthetic:

Underlying Pharmacokinetic and Pharmacodynamic Concepts. Reg Anesth Pain Med

;30 ( 6 ): 553 –66.

18. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ 2006. Local Anesthetics. Clinical

Anesthesiology fourth edition; 14: 236-75.

19. Neal JM, Bernard CM, Butterworth JF, Gregorio GD, Drasner K, Hejtmanek MR,

Mulroy MF, Rosenquist RW, Weinberg GL 2010. ASRA practice advisory on local

nesthetic systemic toxicity. Reg Anesth Pain Med ;35: 152 – 161.

20. Renehan EM, Enneking FK, Varshney M, Partch R, Denis DM, Morey TE 2005. Reg

Anesth Pain Med ;30 ( 4 ): 380 – 4.

21. Rowlingson JC 2008. Lipid Rescue: A Step Forward in Patient Safety? Likely So!.

Anesthesia and Analgesia; 106 ( 5 ).

22. Stoelting RK, Hiller SC 2006. Local Anesthetics. Pharmacology and Physiology in

Anesthetic Practice fourth edition; 7 : 179-203.

23. Varela H, Burns SM 2010. Use of Lipid Emulsion for Treatment of Local Anesthetic

Toxicity: A Case Report. AANA J; 78 ( 5 ): 359-63.

24. Vivian HY, Tsui CH 2010. Novelty without toxicity: a quest for safer local

anesthetic. Can J Anesth; 58 : 8-13.