tni dalam evolusi negara republik indonesia

44

Upload: dodik-ariyanto

Post on 06-Dec-2015

63 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Abad ke-20 seakan menjadi saksi menjamurnya ‘Negara-Bangsa’, sebuah proses di mana keterlibatan institusi ‘Tentara’ seringkali terjadi dan dalam kasus tertentu bahkan dilihat sebagai keharusan. Tugas pokok Tentara adalah mempertahankan negara dari ancaman baik eksternal maupun internal, sehingga secara teori, Militer harus netral dalam arti tidak terlibat dalam urusan-urusan di luar tugas utamanya. Namun di dalam praktek, Tentara justru secara aktif memainkan berbagai peran seperti politik dan ekonomi. Sebagai misal di Rusia ketika terjadi penolakan terhadap rejim Marxist-Leninist, Militer berperan sebagai ‘Liberator’, BUKAN bagi rakyat maupun negara Rusia, melainkan bagi partai politik tertentu. Sejarah bahkan menunjukkan bahwa sejak tahun 1950an, Militer terlibat secara aktif dalam politik di berbagai negara berkembang, dan lebih ekstrim lagi, Militer mengambil alih kekuasaan negara dan menggunakannya sebagai instrumen yang melayani kepentingan mereka. Pada saat yang lain, Militer mengambil langkah-langkah yang justru diharapkanoleh rakyat, misalnya mengakhiri deadlock di kalangan politisi Sipil atau melakukan perubahan radikal untuk mengakhiri status quo. Tentara juga sering terlibat di dalam pembangunan sosial ekonomi Negara Bangsa, dan bahkan dominan dalam menentukan kebijakan pembangunan melalui ‘military-based leadership’. Dalam situasi ini, peran Tentara bukan hanya menentukan kehidupan sosial ekonomi, namun juga dianggap sebagai ‘penyelamat’ bangsa dan negara sekaligus agen pembangunan serta modernisasi, peran yang secara tradisional dimiliki oleh anggota kerajaan (monarkhi), bangsawan (aristokrasi), maupun partai politik (demokrasi).

TRANSCRIPT

TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM EVOLUSI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Dodik Ariyanto, Ph.D.

Abad ke-20 seakan menjadi saksi menjamurnya ‘Negara-Bangsa’, sebuah proses di mana keterlibatan institusi ‘Tentara’ seringkali terjadi dan dalam kasus tertentu bahkan dilihat sebagai keharusan. Tugas pokok Tentara adalah mempertahankan negara dari ancaman baik eksternal maupun internal, sehingga secara teori, Militer harus netral dalam arti tidak terlibat dalam urusan-urusan di luar tugas utamanya. Namun di dalam praktek, Tentara justru secara aktif memainkan berbagai peran seperti politik dan ekonomi. Sebagai misal di Rusia ketika terjadi penolakan terhadap rejim Marxist-Leninist, Militer berperan sebagai ‘Liberator’, BUKAN bagi rakyat maupun negara Rusia, melainkan bagi partai politik tertentu. Sejarah bahkan menunjukkan bahwa sejak tahun 1950an, Militer terlibat secara aktif dalam politik di berbagai negara berkembang, dan lebih ekstrim lagi, Militer mengambil alih kekuasaan negara dan menggunakannya sebagai instrumen yang melayani kepentingan mereka. Pada saat yang lain, Militer mengambil langkah-langkah yang justru diharapkanoleh rakyat, misalnya mengakhiri deadlock di kalangan politisi Sipil atau melakukan perubahan radikal untuk mengakhiri status quo. Tentara juga sering terlibat di dalam pembangunan sosial ekonomi Negara Bangsa, dan bahkan dominan dalam menentukan kebijakan pembangunan melalui ‘military-based leadership’. Dalam situasi ini, peran Tentara bukan hanya menentukan kehidupan sosial ekonomi, namun juga dianggap sebagai ‘penyelamat’ bangsa dan negara sekaligus agen pembangunan serta modernisasi, peran yang secara tradisional dimiliki oleh anggota kerajaan (monarkhi), bangsawan (aristokrasi), maupun partai politik (demokrasi).

Keterlibatan Tentara dalam politik negara-negara modern, khususnya di dunia ketiga, telah lama menjadi perhatian para ilmuwan. Pemikir seperti Samuel Huntington, Harold Morris Janowitz, S.E. Finer, Amos Perlmutter, H. Daalder, Robert W. Jackman, dan Eric Nordlinger telah melakukan berbagai analisis komprehensive mengenai fenomena ini dan berusaha menjawab pertanyaan “Mengapa di banyak negara, Militer terlibat secara aktif pada berbagai aspek kehidupan negara, dan bahkan mengambil alih seluruh kekuasaan negara?

Daalder, sebagai misal, menawarkan empat jawaban atas fenomena tersebut. Pertama, Militer merupakan salah satu ‘institusi’ tertua dalam peradaban modern, dan bahkan dalam masyarakat tradisional sekalipun, sehingga dengan sendirinya menjadi kekuatan potensial par excellence dalam masyarakat. Potensi tersebut semakin muncul ketika elit Sipil secara sengaja ‘mengundang’ intervensi Militer demi mencapai tujuan mereka atau dalam istilah Daalder “cutting edge”; Kedua, di dalam masyarakat tradisional, karir Militer seringkali digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan status sosial. Di banyak negara, mayoritas anggota Militer direkrut dari kelompok masyarakat yang berstatus sosial rendah, sementara untuk menapak jenjang yang lebih tinggi memerlukan persaingan yang super ketat. Menurut Daalder, stratifikasi rigid tersebut akhirnya membentuk kharakter unik dalam tubuh Militer, termasuk kecenderungan membenarkan pengambilalihan sesuatu dengan cara kekerasan”; Ketiga, Militer pada dasarnya tidak homogen, melainkan sebuah ‘korporasi tunggal’ yang memiliki kepentingan kolektif. Artinya, selain terpisah-pisah secara natural dalam Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, masing-masing elemen tersebut masih terbagi-bagi lagi dalam strata-strata yang sangat heterogen. Hal ini menimbulkan tingkatan-tingkatan hirarkhis yang, menurut Daalder, dapat mengakibatkan terbentuknya berbagai perilaku sesuai dengan tingkatan, termasuk antara lain perilaku intervensi yang dalam berbagai kasus, terjadi di kalangan elit atau elit menengah Militer. Keempat, Daalder menjelaskan revolusi Militer dari perspektif kegagalan Sipil. Daalder berargumen bahwa kemerdekaan secara otomatis meningkatkan ekspektasi yang tidak mungkin terpenuhi 100 % meskipun berada dalam lingkungan paling kondusif sekalipun. Sementara itu, para elit politik akan selalu dihadapkan pada tantangan tersebut dan, oleh karena berbagai faktor, ternyata tidak mampu memenuhi 100% ekspektasi publik. Dalam situasi tersebut, menurut Daalder, Militer akan memiliki kecenderungan untuk masuk ke arena politik, karena ‘ruh’ Militer sebagai ‘The Guardian of the Nation’, membuat dirinya merasa harus berbuat sesuatu ketika terjadi anarkisme berkepanjangan di bawah kepemimpinan Sipil. Militer berpandangan bahwaapabila ia tidak berbuat sesuatu, kekuatan luar dapat masuk dan menjelma menjadi kekuatan imperialis (sebagaimana dapat dilihat pada kasus Irak dan

2

Afghanistan pada masa kini). Kepemilikan senjata, masih menurut Daalder, memudahkan Militer untuk mencapai tujuan ini .

Mengingat hubungan Sipil-Militer di berbagai negara sangatlah kompleks, argument Daalder di atas tidak dapat dipakai sebagai rumus umum yang mampu menjelaskan setiap fenomena keterlibatan Militer di arena politik negara berkembang, termasuk Indonesia yang memiliki warna Militer yang berbeda dengan negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, fokus yang ditekankan dalam artikel ini sedikit bergeser dari Daalder, yaitu, ‘Bagaimana Militer menempatkan dirinya dalam masyarakat tertentu?’ atau lebih pesifik lagi ‘Bagaimana Tentara nasional Indonesia menempatkan dirinya di dalam Negara Republik Indonesia?’

Agar kita memiliki dasar pemahaman yang lebih baik tentang Militer di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi terlebih dahulu yaitu: Pertama, intervensi Militer adalah fenomena umum di negara-negara yang ‘relatif muda’ di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan Indonesia termasuk dalam kategori ini. Kedua, sebagai sebuah institusi ‘korporasi’, Militer di negara-negara yang relatif baru tersebut mengadopsi pola organisasi Dunia Barat, sehingga penilaian terhadap Militer Indonesia pada artikel ini akan kita dasarkan pada ‘Western concepts’. Ketiga, Militer bukanlah organisasi yang 100% independen dengan orientasi permanen. Keberadaanya selalu dikaitkan dengan adanya ‘Klien’ dan di dalam berperilaku Militer dapat dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan di sekitarnya, sehingga ia dapat memiliki orientasi yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Berdasarkan tiga pertimbangan di atas, maka model teoritis yang paling relevan untuk memahami Militer di Indonesia adalah model yang ditawarkan oleh Perlmutter, yang mengklasifikasikan Tentara ke dalam tiga kategori, yaitu: Tentara Profesional, Tentara Praetorian, dan Tentara Revolusioner.

Tentara Profesional, Tentara Praetorian, dan Tentara Revolusioner menurut definisi Perlmutter

Perlmutter adalah seorang pakar Militer dengan fokus pada Militer di Mesir dan Israel. Ia mengidentifikasi paling tidak 3 (tiga) tipe Militer yang, menurut Perlmutter, muncul akibat stimulus eksternal yang berasal dari kekuasaan Sipil. Tipe pertama, Tentara Profesional, terkait dengan masyarakat yang Pemerintahan Sipilnya relatif berhasil menjamin ketertiban sosial dan stabilitas politik. Tipe kedua, Tentara Praetorian, muncul akibat Pemerintahan Sipil tidak mampu menjamin keamanan dan ketertiban sosial–situasi yang diasosiasikan dengan kekacauan dan instabilitas politik. Tipe ketiga, Tentara Revolusioner, diasosiasikan dengan situasi ‘negara-dalam masa-transisi’ di mana stabilitas politik yang ingin diwujudkan oleh Pemerintahan Sipil masih bersifat ‘’tanda tanya’ meskipun ketertiban sosial cukup terjaga .

Tentara Profesional

Secara harfiah, istilah ‘profesional’ merujuk pada orang yang bekerja dengan kecakapan atau latar belakang keahlian yang sesuai, sehingga secara umum memenuhi kriteria-kriteria tertentu, seperti: kualifikasi akademis, spesialisasi keilmuan, keahlian, kualitas pekerjaan, memiliki standard etika dan perilaku, dan juga semangat serta motivasi tertentu.

Definisi ‘Tentara Profesional’ tidaklah clear-cut sebagaimana definisi di atas, melainkan bervariasi tergantung pada perspektif dan tujuan yang ingin dicapai. Perlmutter sendiri menekankan kriteria profesionalisme yang disebutkan Huntington, yaitu: (1) memiliki keahlian1; (2) loyal kepada klien2; (3) berbentuk korporasi; dan (4) memiliki ideologi3; seraya menambahkan kriterianya sendiri, yaitu: 5) sekuler4

dan 6) merupakan sarana mobilitas sosial5 .

1 Keahlian Militer, menurut para ilmuwan, terkait dengan kemampuannya untuk mengatasi ancaman dengan menggunakan kekuatan fisik dan kekerasan, dan kemampuan tersebut hanya dapat diperoleh melalui latihan.

2 Setiap profesi harus mengabdi pada Klien. Dokter memerlukan pasien, pengacara membutuhkan Klien, dan guru memerlukan murid. Begitu pula, Tentara tidak akan pernah menjadi profesional apabila tidak ada Klien yang menggunakan jasa mereka, baik itu negara, masyarakat, kerajaan, kekaisaran, partai politik, atau Klien apa saja yang dapat dipilih oleh Tentara.

3 Doktrin yang berisi nilai, aturan serta prosedur yang harus dijadikan pedoman bagi setiap anggota Militer dalam bertindak dan berperilaku.

4 Independen terhadap kelompok-kelompok sektarian seperti kasta, kelas, suku dan semacamnya. 5 Promosi dan seleksi anggota dengan berdasarkan kecakapan atau keahlian.

3

Tentara Praetorian

Istilah ‘Praetorian’ berasal dari sejarah Romawi6, yang didefinisikan oleh Perlmutter sebagai“.....situasi di mana Militer merupakan aktor politik independen dengan mengandalkan kekuatan memaksa-nya” . Tentara Praetorian, oleh karenanya, adalah jenis Tentara yang terlibat secara aktif di dalam politik sebuah Negara, sebagaimana praktek yang terjadi di Negara Romawi. Namun demikian, istilah Praetorian dalam konteks modern agak berbeda dari masa Romawi. Menurut Perlmutter: 1) pada era modern, Tentara Praetorian cenderung menciptakan Pemerintahan sendiri dengan cara menyerahkan kememimpinan negara kepada anggota Tentara atau kepada kelompok-kelompok yang pro terhadap Tentara; 2) Di era modern, intervensi Tentara terhadap proses politik TIDAK dilakukan secara langsung MELAINKAN melalui afiliasi dalam organ-organ negara seperti Parlemen atau cabang-cabang Eksekutif; 3) Praetorian modern muncul BUKAN karena keinginan penguasa/Presiden ataupun legitimasi Parlemen, MELAINKAN lebih diakibatkan oleh lemahnya institusi Sipil; dan 4) Praetorian modern cenderung muncul ketika Pemimpin/Presiden Sipil mulai kehilangan legitimasi .

Berdasarkan pada definisi Perlmutter di atas, maka keberadaan Tentara Praetorian di era modern diasosiasikan dengan beberapa kharakter, yaitu: Pertama, pengetahuan profesional BUKAN menjadi perhatian utama bagi Tentara Praetorian, dan training/latihan TIDAK dipakai sebagai syarat utama untuk promosi dan karir, meskipun sekolah atau pusat latihan Militer tetap ada; Kedua, kesetiaan Tentara Praetorian diberikan kepada ‘Klien’ yang bisa berupa Negara, Bangsa, kelompok atau suku tertentu, komandan Militer, atau Pemerintahan-Junta. Kriteria utama kesetiaan tersebut didasarkan semata-mata pada kemampuan sang ‘Klien’ untuk mengamankan kepentingan Tentara; Ketiga, sebagaimana Tentara pada umumnya, Tentara Praetorian juga mengedepankan korporasi sebagai mekanisme dalam mengorganisir diri; Keempat, pola subordinasi pada Tentara Praetorian dapat sewaktu-waktu berubah menyesuaikan keadaan, dan; Kelima, secara ideologis, Tentara Praetorian lebih bersifat tradisional, materialis tetapi anti-sosialis, sedangkan Tentara Profesional biasanya sangat konservatif .

Tentara Revolusioner

Dalam situasi tertentu, revolusi identik dengan krisis yang biasanya merujuk pada terjadinya perubahan fundamental dalam waktu yang sangat singkat. Di dalam ilmu politik, sebagai misal, istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan transisi kekuasaan yang seringkali didahului oleh konfrontasi yang menghadapkan kekuatan revolusioner dengan status quo, antara kelompok reformis dengan incumbent, antara kelompok progresif dengan kelompok konservatif, atau, dalam kasus negara yang baru berdiri, antara kelompok pergerakan dengan kekuatan kolonial. Kelompok pertama biasanya berupaya untuk memaksakan perubahan radikal atau reformasi, sedangkan kelompok kedua mencoba bertahan. Ketika kedua belah pihak relatif sama kuat, maka konfrontasi adalah sesuatu yang paling mungkin terjadi7.

6 Menurut Bingham, Tentara Praetorian adalah Unit Elit Militer Romawi yang memiliki tugas utama melindungi Kaisar dan keluarganya (semacam Paspampres di Indonesia). Lama kelamaan, unit tersebut berubah menjadi Tentara pribadi Kaisar, dengan kekuatan dan tanggung jawab jauh lebih besar dari sekedar Tentara biasa. Mereka bertanggung jawab atas tugas-tugas khusus kemiliteran termasuk mengurusi masalah-masalah administrasi di Roma. Evolusi tersebut, menurut Bingham, terjadi karena kedekatan hubungan antara unit Tentara tersebut dengan Kaisar, yang merasa lebih menguntungkan untuk menggunakan unit Tentara tersebut bagi kepentingannya sendiri daripada untuk kepentingan negara, khususnya untuk mengingatkan rakyat atau siapapun dalam negara, agar tidak mencoba berbuat macam-macam terhadap Kaisar.—Lihat: Sandra Bingham, "The Praetorian Guard in the Political and Social Life of Julio Claudian Rome" (Ph.D. Dissertation, The University of British Columbia, 1997)., p.ii. Tentara Praeorian, oleh karenanya, dapat didefiniskan sebagai Pasukan Pengamanan Kaisar yang akhirnya berubah menjadi penguasa yang sebenarnya. Kata Nordlinger, “Mereka akhirnya menggunakan kekuatan Militernya untuk menjungkirkan Kaisar dan menguasai serta memaksa Parlemen Romawi untuk memilih kaisar pengganti seperti yang mereka kehendaki ”—lihat: Eric Nordlinger, Soldiers in Politics: Military Coups and Governments (Enlewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1977)., p.2-3

7 Meskipun terdapat korelasi antara revolusi dengan krisis, antara krisis dengan keamanan, dan antara keamanan dengan Tentara, namun tipe Tentara Revolusioner tidak harus terkait secara langsung dengan revolusi itu sendiri. Tentara Revolusioner yang akan kita bahas dalam artikel ini adalah jenis Tentara yang memiliki kharakteristik tertentu terlepas dari adanya revolusi atau tidak.

4

Menurut Perlmutter, Tentara Revolusioner sesungguhnya “.....adalah salah satu tipeTentara terbaik, Tentara professional yang sangat disiplin” sehingga merupakan jenis/varian Tentara Profesional, namun ‘profesional’ di sini dalam arti yang sedikit berbeda. Berdasarkan kriteria-kriteria ‘profesional’ sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat paling tidak 6 (enam) perbedaan yang dapat disarikan dari pengamatan Perlmutter: Pertama, pengetahuan spesifik yang dipersyaratkan oleh jenis Tentara Profesional memiliki standard yang relatif tinggi (misal: Perwira Lulusan Akabri). Dalam konteks Tentara Revolusioner, pengetahuan profesional yang dipersyaratkan relatif sulit diukur karena didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat (misalnya: memiliki jam terbang tinggi karena sudah lama berjuang mengangkat senjata); Kedua, Klien Tentara Profesional adalah negara, sedangkan Klien Tentara Revolusioner dapat berupa kelompok, laskar, Institusi atau bahkan sekedar individu yang memimpin revolusi; Ketiga, Tentara Profesional menganggap Korporasi sebagai satu-satunya mekanisme untuk mengorganisir diri, sedangkan tipe Revolusioner menolak premis tersebut. Menurut Perlmutter, penolakan tersebut merupakan faktor pembeda utama antara Tentara Profesional dengan Tentara Revolusioner. Mengutip Perlmutter,“orientasi, organisasi, dan kecenderungan Tentara Revolusioner adalah anti-korporasi atau non-korporasi . Oleh karenanya, indikator-indikator Korporasi– seperti hirarkhi, organisasi yang kohesif, kesatuan, dan subordinasi–diabaikan oleh Tentara Revolusioner; Keempat, sistem komando dalam Tentara Profesional sangatlah ketat, dengan sedikit pengecualian pada keadaaan darurat perang. Dalam Tentara Revolusioner, sistem komando hampir selalu dapat diabaikan setiap saat ketika dianggap perlu; Kelima, dari perspectif ideologi, jelas bahwa ideologi Revolusioner merupakan ruh Tentara Revolusioner, sedangkan Tentara Profesional berideologi konservatif. Enam, kecenderungan Tentara Profesional untuk melakukan intervensi politik sangatlah rendah meskipun Pemerintahan dipimpin oleh seorang Sipil sekalipun. Tipe Revolusioner agak sedikit berbeda. Keinginan untuk melakukan intervensi sangat tinggi pada masa pra-revolusi hingga selama masa revolusi, tetapi akan menurun begitu revolusi telah usai.

Penolakan Tentara Revolusioner terhadap Korporasi membuat Tentara jenis ini menjadi kurang formal, kurang hirarkhis, kurang menyatu, dan kadangkala terkesan mengabaikan ‘profesionalme’ . Akibatnya, seorang figur dapat direkrut atau dipromosikan pada posisi strategis di lingkungan Militer tanpa harus mempertimbangkan pendidikan formal, training, kondisi medis, dan semacamnya, sebagaimana secara jenaka digambarkan dalam Film Nagabonar. Rekrutmen bersifat terbuka, yang berarti siapa saja yang bisa berperang dan setia pada perjuangan dapat bergabung dan naik pangkat, sedangkan jabatan atau pangkat dapat diberikan tanpa perlu pengakuan pihak luar .

Berdasarkan karakter unik tersebut maka Perlmutter menyebutkan beberapa indikator perilaku Tentara Revolusioner. Indikator pertama adalah penyerahan diri kepada pemimpin revolusi. Pada awalnya, perilaku ini dapat dianggap sebagai ‘perilaku umum’ Tentara Revolusioner, sehingga sifatnya sementara. Ketika revolusi berakhir, Tentara jenis ini akan mengalami perubahan perilaku, yang dalam istilah Perlmutter, behavioural cycle. Indikator lainnya yaitu menyangkut Klien. Menurut Perlmutter, kesetiaan Tentara Revolusioner pada dasarnya diberikan kepada Bangsa, akan tetapi ketika waktu berlalu, kesetiaan Tentara Revolusioner akan berubah. Menurut Perlmutter, Klien Tentara Revolusioner sesungguhnya adalah Revolusi itu sendiri. Sebaliknya, Klien Tentara Profesional adalah Negara dan Bangsa, namun ketika sang pemimpin revolusi mulai mengidentifikasikan dirinya dengan negara atau rejim, maka Tentara Profesional akan mengalami ambivalensi, dan ia mungkin menjadi lebih loyal kepada Bangsa daripada kepada Rejim.

Model Perlmutter akan kita pakai untuk memahami Tentara Indonesia pada 5 masa yang berbeda: 1) masa perjuangan hingga awal kemerdekaan; 2) masa awal kemerdekaan; 3) masa Demokrasi Terpimpin; 4) masa Suharto, dan; 5) masa Demokrasi pasca-1998.

Tentara Indonesia pada masa perjuangan hingga awal kemerdekaan

Tentara Indonesia adalah produk revolusi. Ia tidak diciptakan oleh sebuah Negara Sipil, namun melahirkan dirinya sendiri. Bahkan, Tentara Indonesia ikut berkontribusi mendirikan Negara Indonesia, yang kemudian menjadi Klien-nya. Embryo-nya dapat dilacak pada mobilisasi massa yang dilakukan oleh Jepang saat Perang Dunia II.

5

Pada tahun 1940, Nazi Jerman menginvasi Hindia Belanda yang akhirnya merubah peta peperangan baik di Eropa maupun di Pasifik8. Di front Eropa, Belanda berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya namun hanya bertahan selama beberapa hari. Tanggal 15 Mei, Pemerintah Belanda menyatakan menyerah dan mengungsikan Pemerintahannya ke Inggris. Meskipun wilayahnya dikuasai Nazi, Belanda masih tetap mengendalikan koloni-koloninya di Asia Tenggara, karena perang belum usai dan Belanda masih berharap dapat merebut kembali wilayahnya dengan bantuan Sekutu. Ada pula spekulasi bahwa Belanda akan menggunakan wilayah-wilayah jajahannya untuk membangun kembali kekuatan karena Pemerintah di pengasingan sangat kekurangan sumber daya. Menyusul kekalahan Belanda di rumahnya sendiri, otoritas Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) menetapkan status darurat perang.

Segera setelah penetapan status darurat, otoritas Belanda mengetatkan perdagangan antara Hindia Belanda dengan musuh-musuh potensialnya, termasuk Jepang. Seluruh ekspor Hindia Belanda ke Jepang dihentikan pada Juli 1940, yang mengundang reaksi keras dari Jepang. Jepang kemudian mengirim delegasi ke Hindia Belanda yang dipimpin oleh Kobayashi dengan misi untuk menegosiasikan perdagangan dengan otoritas Belanda. Setelah serangkaian negosiasi sulit dengan Van Mook, misi tersebut pulang dengan hasil, akrena perdagangan kembali dibuka dengan syarat Jepang mengecualikan Hindia Belanda dari proyek Asia Timur Raya-nya9. Kobayashi menerima syarat itu sehingga Deklarasi Kesepakatan ditandatangani pada 26 Oktober 1940.

Situasi damai tersebut tidak berlangsung lama karena pada Januari 1941, misi baru yang dipimpin oleh Yoshizawa merapat ke Batavia dengan misi untuk memaksa Belanda agar menyerahkan Hindia Belanda bergabung dengan Asia Timur Raya, yang ditolak mentah-mentah oleh Van Mook10. Belanda menyatakan tidak ada konsesi lagi bagi Jepang dan Belanda akan membekukan seluruh Aset Jepang di Hindia Belanda. Peristiwa ini menandai gagalnya diplomasi Van Mook dan Kobayashi. Sadar bahwa aksi Militer Jepang setiap saat dapat terjadi, Van Mook terbang ke Amerika untuk mencari bantuan11.

Pada Juli 1941, keinginan Jepang untuk melakukan ekspansi ke Selatan semakin jelas dengan pernyataan Kaisar pada 25 Juli bahwa Indochina seharusnya menjadi wilayah protektorat Jepang. Jepang kemudian menginvasi Malaya pada bulan Desember, mendaratkan pasukan di pantai selatan Thailand serta pantai utara Malaysia. Pada bulan itu juga Jepang menyerang Filipina seraya melakukan konfrontasi dengan Inggris di Kuching, Serawak. Pada Januari 1941, Jepang mengambil alih Manila, Sabah, dan Brunei. Kampanye Militer Jepang meluas ke Hindia Belanda dengan menyerang Borneo (Kalimantan) dan Celebes (Sulawesi), yang kemudian diikuti dengan serangan atas Tarakan, Menado, Balikpapan, Kendari, dan Ambon. Amerika kehilangan Filipina, Inggris kehilangan Malaya dan Singapura, sehingga mereka harus hengkang meninggalkan Belanda sendirian di Hindia Belanda. Dalam sebulan, Jepang telah mengambil alih Pontianak, Makasar, Surabaya, Cilacap, Palembang, dan wilayah-wilayah Hindia Belanda kecuali Papua Barat. Pada akhir tahun 1941, Jepang telah mengambil alih sepenuhnya wilayah Hindia Belanda.

8 Invasi Nazi ke Belanda berlangsung selama 4 hari (10-14 Mei 1940). Referensi mengenai peristiwa tersebut dapat dilihat misalnya pada: William L. Shirer, The Rise and Fall of the Third Reich: A History of Nazi Germany (New York: Simon & Schuster, 1960).

9Sejak tahun 1930an, Jepang selalu meminta Indochina dan Hindia Belanda untuk secara sukarela menjadi Bagian dari Asia Timur Raya, sebuah konsep yang digagas oleh Kaisar Hirohito bersama dengan Tentara Jepang. Tujuan utama konsep ini adalah untuk menbangun Blok Asia yang, menurut perspektif Jepang, dapat digunakan sebagai counter-balancing bagi dominasi Barat di Asia pada saat itu. Kenyataannya, konsep tersebut dimanipulasi oleh Jepang untuk mengeksploitasi rakyat di negara-negara Asia demi kepentingan Jepang --Lihat: Joyce C Lebra, Japan's Greater East Asia Co-Prosperity Sphere in World War Ii: Selected Readings and Documents (Oxford: Oxford University Press, 1975). Barangkali, konsep ini juga telah menginspirasi Sukarno ketika ia menggagas Gerakan Non-Blok pada tahun 1950an.

10 Penolakan Van Mook atas proposal Yohizawa merupakan faktor pemicu ekspansi Jepand ke Asia Tenggara tahun 1942. Referensi mengenai hal ini, lihat: Harry Jindrich Benda, The Crescent and the Rising Sun : Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. (The Hague: Van Hoeve, 1958)., especially chapter 4.

11 Van Mook tampaknya faham bahwa Amerika mungkin enggan membantu, sehingga dengan buru-buru Belanda mendirikan Akademi Militer di Bandung, Jawa Barat, dengan tujuan untuk merekrut serta melatih pribumi yang dapat sewaktu-waktu digunakan ketika Jepang menyerang. Nasution, pencipta Doktrin Dwi Fungsi ABRI, antara lain adalah produk awal akademi buatan Belanda ini. Sejarah pendirian Akademi Militer ini dapat dilihat di: Indonesia, Cuplikan Sejarah Perjuangan Tni-Angkatan Darat (Jakarta: Dinas Sejarah Militer, Angkatan Darat, 1972).

6

Jepang segera mengkonsolidasikan kekuasannya dengan menerapkan serangkaian kebijakan. Pertama ia berusaha meyakinkan rakyat bahwa mereka bukanlah kekuatan kolonial, melainkan saudara se-Asia yang ingin membebaskan bangsa Asia dari eksploitasi Barat, propaganda yang terbukti efektif. Kedatangan Jepang dielu-elukan, dan ketika rakyat diminta membantu melawan Sekutu, rakyat secara serta merta menunjukkan antusiasme. Hal ini terlihat dari testimony Hamka: “Ribuan orang berkumpul di depan masjid Agung, untuk menyambut (Jepang) dengan teriakan ‘Banzai’” .

Untuk menunjukkan itikad baiknya, otoritas Jepang memanggil Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, para tokoh nasionalis terkemuka pada saat itu, ke Jakarta12. Saat pertemuan, Jepang mengutarakan beberapa rencana yang mungkin bagi Hindia Belanda, termasuk menawari Sukarno sebagai Kepala Pemerintahan Indonesia13. Enam bulan kemudian, Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) untuk membantu perang Jepang melawan Sekutu. Untuk menggalang dukungan pribumi, kepemimpinan organisasi ini diserahkan kepada Sukarno, sedangkan Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur, juga menduduki posisi penting dalam organisasi tersebut.

Strategi ini terbukti efektif dalam menggalang kepercayaan dan simpati pribumi, khususnya setelah pidato P.M. Tojo pada 7 Juli 1943, yang menjanjikan Pemerintahan terbatas bagi rakyat Indonesia 14, sehingga rakyat Indonesia sangat antusias mendukung Jepang. Ketika Jepang mulai mengorganisir Heiho untuk merekrut pemuda pribumi pada April 1943, banyak pemuda Indonesia yang mendaftar15.

Pendirian Heiho mulanya bertujuan untuk mendukung pasukan Jepang di medan perangdengan tugas-tugas sekunder seperti membangun barak, jembatan, logistik, dan sejenisnya. Oleh karena perang semakin berkecamuk, otoritas Jepang kemudian membiarkan Heiho berperang hingga ke Birma dan Morotai . Belakangan, Jepang merasa bahwa milisi Heiho sangat membantu mereka, sehingga mereka tak ragu-ragu untuk membentuk organisasi lain yang mirip dengan Heiho. Pada Oktober 1943 , Jepang mengorganisir Pembela Tanah Air (PETA). Pada bulan Desember 1943, milisi bersenjata Muslim di bawah Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)16 juga didirikan dengan nama Barisan Hizbullah17.

12 Kesempatan ini digunakan oleh Sukarno, Hatta, dan Sjahrir untuk membicarakan agenda kemerdekaan bagi Hindia Belanda, dan ketiga tokoh tersebut menyepakati ‘Operasi menuju Kemerdekaan’. Sukarno bertanggung jawab untuk menggalang massa, Hatta bertanggung jawab untuk berdiplomasi menggalang dukungan Negara asing dan juga pihak-pihak yang bersimpati bagi kemerdekaan Indonesia, sedangkan Sjahrir bertanggung jawab mengkoordinasikan gerakan ‘bawah tanah’—Lihat: The Jakarta Post, "The Little Known Prime Minister," The Jakarta Post 2009.

13 Dari berbagai sudut pandang, situasi pada masa itu tidak mendiakan banyak pilihan bagi para Nasionalis Indonesia kecuali bekerja sama dengan Jepang—bahkan Belanda yang memiliki sumber daya sekalipun tidak mampu bertahan dari serangan Jepang. Pada gilirannya, keputusan nasionalis untuk bekerja sama dengan Jepang tersebut digunakan oleh Belanda untuk menuduh Sukarno dan Hatta sebagai Kolaborator Jepang. Lihat: Cindy Adams, Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams (1966)., p.168

14 Bagi rakyat Indonesia pada waktu itu, janji P.M. Tojo dipandang sebagai bentuk ketulusan Jepang yang ingin memberikan kemerdekaan bagi Indonesia di masa yang akan datang, khususnya mengingat pengalaman buruk dengan Belanda di tahun 1941 ketika Belanda menolak memberikan kemerdekaan kepada orang-orang yang hidup di Hindia Belanda sementara ia meratifikasi Atlantic Charter pada Agustus 1941. Padahal, Charter tersebut antara lain berisi klausul penghargaan hak-hak dasar manusia. Ketika Ratu Wilhelmina berpidato di London pada 6 Desember 1942 dan menjanjikan reformasi hubungan dengan wilayah koloni pasca perang, rakyat Indonesia melihatnya sebagai strategi Belanda untuk memperoleh dukungan dari pribumi—Lihat: Harry J. Benda, "The Beginnings of the Japanese Occupation of Java " The Far Eastern Quarterly Vol. 15, no. No. 4 (1956).

15 Pada akhir 1945, tak kurang dari dua juta orang Indonesia bergabung dalam Putera dan Heiho. Informasi mengenai Heiho dapat dilihat pada: Kaori Maekawa, "The Heiho During the Japanese Occupation in Indonesia," in Asian Labor in the Wartime Japanese Empire, ed. Paul H Kratoska (Singapore: NUS Press, 2006)., p.192. Tidak ada catatan resmi mengenai jumlah pribumi yang bergabung dengan Putera. Namun demikian, karena Putera terdiri atas beberapa organisasi satelit seperti Persatuan Guru Indonesia, Perkumpulan Pegawai Post, Telegraph dan Radio, Isteri Indonesia, Barisan Banteng, Badan Perantara Pelajar-Pelajar Indonesia, dan Ikatan Sport Indonesia, dapat diperkirakan jumlah personilnya tidak kurang dari satu juta orang.

16 Pendirian Masyumi didukung oleh Jepang dengan tujuan untuk mengendalikan umat Muslim di Hindia Belanda. Lihat:M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, C. 1300 to the Present (Bloomington: Indiana University Press, 1981)., p.194. Setelah merdeka tahun 1945, Masyumi berubah menjadi Partai Masyumi yang kemudian menjadi salah satu dari empat partai besar pemenang Pemilu tahun 1955. Informasi lengkap mengenai Masyumi, lihat: Robert Lucius, "A House Divided: The Decline and Fall of the Masyumi (1950-1956)" (US Naval Postgraduate School, 2003).

17 Mayoritas anggota organisasi-organisasi ini direkrut dari kelompok masyarakat yang disebut Pemuda yang sesungguhnya tidak masuk dalam kategori sosial tertentu, karena mereka berasal dari berbagai strata—kelas ningrat, menengah, dan bawah—di kota maupun di desa, dan juga dari berbagai latar belakang suku dan ideologi. Secara harfiah, Pemuda berarti berjiwa muda yang tidak selalu berkorelasi dengan usia. Dalam perspektif Jepang, Pemuda artinya siapa saja yang fisiknya

7

Dari perspektif Jepang, tujuan utama pendirian organisasi-organisasi tersebut adalah memobilisir sumber daya guna mendukung perang mereka, namun kebijakan ini bagaikan pisau bermata dua. Pada saat organisasi-organisasi ini memberikan dukungan kepada Jepang, para tokoh nasionalis menggunakan mereka sebagai alat untuk memutar perjuangan menuju kemerdekaan. Organisasi-organisasi tersebut sangat krusial bagi para nasionalis karena paling tidak dua alasan: pertama, mereka dapat digunakan sebagai alat untuk menunjukkan dukungan mereka kepada Jepang, sehingga para tokoh pergerakan dapat lebih leluasa melakukan gerakan bawah tanah tanpa dicurigai oleh Jepang, dan; kedua, orang-orang pribumi mendapatkan latihan, pengetahuan adminitrasi dasar, dan akses terhadap strategi perang modern yang sangat bermanfaat bagi persiapan kemerdekaan. Pada pertengahan-1945, terdapat tidak kurang dari 120.000 pasukan terlatih yang tergabung dalam Peta, jumlah yang cukup besar untuk mulai membangun Tentara18.

Di sinilah cikal bakal Tentara Indonesia dimulai. Setelah berlangsung tiga tahun, kebijakan mobilisasi massa yang dilakukan oleh Jepang telah menyebarkan ‘keahlian militer’ di kalangan Pemuda, disamping menimbulkan apa yang disebut ‘politisasi masyarakat’. Pada tahun 1945, sebagian besar masyarakat yang hidup di Hindia Belanda mulai menyadari pentingnya kemerdekaan yang memerlukan perjuangan. Perasaan tersebut bahkan semakin kuat ketika ternyata Jepang tidak berbeda dengan imperialis lainnya19. Beberapa tokoh nasionalis yang memperoleh pendidikan selama masa Politik Etis Belanda20 mulai merasa percaya diri untuk memimpin rakyat Hindia Belanda melakukan revolusi. Segera setelah Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu, Pemuda, yang telah berubah menjadi pasukan terlatih, dengan mudah menjadi aktor penting paralel dengan elit Sipil yang memainkan peran pemimpin politik.

Pada 14 Agustus 1945, Amerika menjatuhkan Bom Atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, yang membuat Jepang menyerah di seluruh medan perang, termasuk Asia dan Pasifik . Berita tersebut menyebar cepat ke Hindia Belanda yang serta merta menimbulkan ketidakpastian mengenai masa depan Hindia Belanda, sementara Angkatan Darat dan Laut Jepang masih bercokol di wilayah tersebut21. Mengantisipasi setiap kemungkinan, Sukarno dan Hatta terbang ke Vietnam pada hari yang sama untuk bertemu Marshall Terrauchi, Komandan Utama otoritas Jepang di pasifik, sehingga Sukarno dan Hatta mendengar langsung mengenai kekalahan Jepang22. Pada pertemuan tersebut, Terrauchi juga sempat menyatakan kekhawatiran atas masa depan Hindia Belanda dan ia berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada

memungkinkan untuk berperang dan belum terkontaminasi oleh Belanda. Tentang Pemuda, lihat: T.B. Simatupang, Pelopor Dalam Perang, Pelopor Dalam Damai (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).

18 Banyak tokoh Tentara Indonesia di era kemerdekaan pernah bergabung dengan Peta, seperti Sudirman dan Suharto. Mengenai Peta, Lihat: Nugroho Notosusanto, Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang (Jakarta: Gramedia, 1979).

19 Terdapat paling tidak tiga faktor yang membangkitkan sentimen anti-Jepang di kalangan pribumi, yaitu:1) Kerja Paksa---banyak laki-laki dewasa pribumi yang dipaksa untuk bekerja berat tanpa upah guna membangun konstruksi untuk pasukan Jepang di wilayah-wilayah perang di Birma dan Suriname. Mereka diperlakukan semena-mena dan ribuan diantara nya dilaporkan meninggal atau hilang; 2) Perampasan---Tentara Jepang mengambil paksa makanan, pakaian dan benda-benda berharga dari pribumi yang mengakibatkan terjadinya kelaparan dan kemiskinan serta wabah Hongerodem di hampir seluruh bagian pulau Jawa; 3) Jugun Ianfu—Tentara Jepang mengambil paksa perempuan-perempuan pribumi dan menggunakan mereka untuk menghibur Tentara-Tentara Jepang. Catatan mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang terekam di berbagai referensi. Catatan cukup lengkap, lihat misalnya: Drea et.al., Researching Japanese War Crimes Records: Introductory Essays (Washington, DC: National Archives and Records Administration for the Nazi War Crimes and Japanese Imperial Government Records Interagency Working Group, 2006).

20 Politik Etis adalah kebijakan yang diterapkan di wilayah Hindia Belanda sejak awal abad ke-20 sebagai jawaban atas tuntutan yang muncul baik dari kalangan nasionalis pribumi maupun dari kelompok intelektual di Belanda. Latar belakang kebijakan ini adalah kondisi sosial pribumi yang sangat miskin dan terbelakang, sementara kekayaan mereka dikeruk oleh Belanda selama ratusan tahun. Politik Etis adalah konsep yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan pribumi melalui, antara lain, pendidikan. Faktanya, Belanda membawa pendidikan ke Hindia Belanda dengan tujuan mendapatkan tenaga terlatih untuk bekerja di perkebunan-perkebunan mereka atau untuk mengisi posisi administrasi yang mereka perlukan. Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, adalah diantara yang menikmati kebijakan ini. Tentang Politik etis, lihat: Eduard Schmutzer, Dutch Colonial Policy and the Search for Identity in Indonesia 1920-1931 (Leiden: E.J. Brill's Archive, 1977)., chapter three; and also Benda, The Crescent and the Rising Sun : Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. ., p.35-39

21 Cerita tentang keadaan menjelang akhir pendudukan Jepang, lihat: Benda, The Crescent and the Rising Sun : Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. ., Bab 8

22 Hasil pembicaraan antara Sukarno dengan Terrauci direkam oleh Miyoshi Shunkichiro yang saat itu berperan sebagai penerjemah—Lihat: Miyoshi Shunkichiro, "My Recollections of the Military Occupation in Java, No 14," Kokusai Mondai 80 67, November 1996 (1996).

8

tanggal 24 Agustus. Janji tersebut ditanggapi curiga oleh nasionalis Indonesia pada saat itu kecuali Sukarno23 . Sesungguhnya, Sukarno dan para pemimpin Sipil kala itu merasa tidak yakin dengan situasi yang ada sehingga mereka enggan mengambil langkah-langkah besar. Sementara itu, Pemuda yang juga mendengar berita mengenai kekalahan Jepang di Pasifik, memutuskan untuk segera bertindak. Pada 15 Agustus, mereka mulai meminta Tentara Jepang menyerah dan mengepung markas-markas mereka dengan menggunakan senjata seadanya. Mereka juga meminta para tokoh nasionalis untuk segera memproklamirkan kemerdekaan, tetapi Sukarno dan Hatta menolaknya, sehingga menimbulkan insiden pada 16 Agustus 1945, atau sehari sebelum Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Dini hari tanggal 16 Agustus, para Pemuda ‘menculik’ Sukarno dan Hatta, memaksa mereka untuk segera memproklamirkan kemerdekaan24. Tampaknya Pemuda berhasil memaksa Sukarno dan Hatta, karena pada hari yang sama, Sukarno dan Hatta bertemu Jenderal Yamamoto dan malam harinya menginap di rumah Laksamana Maeda Tadashi . Setelah mereka yakin bahwa Jepang tidak lagi memiliki kekuatan untuk memutuskan masa depan Indonesia, pada pagi harinya yaitu tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno membacakan teks singkat yang menandai kemerdekaan Indonesia. Saat itu, Pemuda siap mempertahankan republik yang baru lahir tersebut.

Ketika kemerdekaan dideklarasikan, Indonesia belum memiliki Pemerintah maupun Tentara, sementara terdapat jutaan Pemuda terlatih yang menunggu peran untuk dimainkan. Mereka tersebar di seluruh kepulauan, tidak terorganisir, sebagian bersenjata, meskipun masih terbatas. Mereka sangat patriotis, namun memerlukan leadership dan pedoman. Sebagaimana digambarkan oleh Syahrir:

Saat ini kondisi psikologis Pemuda sungguh tragis. Meskipun semangat mereka terbakar, tetapi mereka bingung dan tidak bisa memutuskan karena mereka tidak faham mengenai potensi dan tujuan perjuangan yang mereka lakukan. Visi mereka sangat terbatas. Banyak diantara mereka hanya bisa meneriakkan “Merdeka atau Mati”. Ketika mereka merasa kemerdekaan masih belum pasti, dan ternyata mereka masih hidup, mereka mulai diliputi oleh keraguan.

Sementara itu, para pemimpin Sipil sibuk mempersiapkan institusi yang diperlukan untuk menjalankan negara yang baru diproklamirkan. Pada 29 Agustus, Indonesia mengadopsi Konstitusi yang disusun oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia--PPKI. Pada 18 Agustus, Sukarno dan Hatta dinobatkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. PPKI dirubah namanya menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai Parlemen di tingkat pusat. Di daerah, lembaga serupa juga didirikan dengan nama Komite Nasional Indonesia (KNI) yang berfungsi sebagai Parlemen di tingkat Daerah25. Sukarno dkk juga membentuk Pemerintahan dengan sejumlah menteri untuk mengisi Kabinet. Yang mengejutkan, dalam daftar menteri tersebut tidak terlihat sebutan Menteri Pertahanan26, sebuah fakta yang menimbulkan spekulasi mengenai keengganan Sukarno membentuk Tentara. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 22 Agustus cukup mengecewakan Pemuda. Meskipun BKR dinyatakan sebagai Tentara Nasional dan mayoritas anggotanya adalah pensiunan Peta dan Heiho, organisasinya dicantolkan ke Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP), keputusan yang jauh dari harapan Pemuda. Selain itu, BKR jelas bukan Tentara Nasional karena ia tidak terorganisir secara terpusat, tidak memiliki markas besar, dam pembentukannya tergantung pada inisiatif KNI. Indikator paling jelas bahwa Pemerintah enggan membentuk Tentara Nasional adalah ketiadaan menteri yang mengatur Tentara di Kabinet. Selain itu, meskipun Pemerintah Pusat mengeluarkan edaran ke daerah-daerah mengenai pembentukan BKR, saat itu tidak tersedia pedoman yang jelas, sehingga edaran tersebut cenderung diabaikan.

23 Menurut Legge, Sukarno terlalu mempercayai Terrauchi. Ia juga merasa khawatir jika otoritas Jepang nantinya tidak benar-benar memberikan apa yang dijanjikan.

24 Insiden tersebut dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok, yaitu ketika beberapa tokoh Pemuda seperti Wikana, Soekarni, dan Chaerul Saleh menjemput paksa Sukarno dan Hatta dari rumah mereka dan kemudian menahan mereka di sebuah rumah di Rengasdengklok (Jakarta Timur). Para Pemuda tersebut memaksa Sukarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan karena jika tidak, Pemuda mengancam akan mengambil alih peran pemimpin dari tangan para tokoh nasionalis. Cerita lengkap mengenai Peristiwa Rengasdengklok, lihat: Sanusi Wirasoeminta, Rengasdengklok, Tentara Peta Dan Proklamasi 17 Agustus 1945 (Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995).

25 Tentang PPKI, KNIP, dan KNI, lihat: Archive, "Indonesian Serial 1942-1950," (Yogyakarta: Perpustakaan Negara, 1974).

26 Lihat: Indonesian Government, "Archive: Susunan Kabinet Presidensial 2 September 1945-14 Novermber 1945," (Jakarta).

9

Ketika Pemuda menyadari bahwa mereka tidak segera mendapatkan perintah dan arahan dari Pemerintah Pusat, mereka berinisiatif untuk membentuk Tentara dan mempertahankan diri sendiri. Mereka mulai melucuti senjata Tentara Jepangdan mengorganisir diri dalam unit-unit bersenjata yang dikenal sebagai Laskar27. Mereka yang berafiliasi pada kelompok sosial tertentu juga mengorganisir diri mereka pada unit Militer sectarian, seperti Barisan Pelopor (BP) dan Barisan Hisbullah—yang berafiliasi kepada organisasi Islam tertentu. Sebelum Jakarta menginstruksikan Pemuda di daerah-daerah untuk membentuk BKR Daerah, organisasi-organisasi bersenjata sedang membentuk Tentara. Ketika perintah untuk membentuk BKR datang, yang dilakukan hanya merubah nama Laskar yang telah ada28.

Keengganan Pemerintah untuk membangun Tentara berakhir pada 29 September ketika Jenderal Sir Phillip Christison, Komandan Pasukan Sekutu di Indonesia, mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak melihat Sukarno dan pemimpin Indonesia lainnya sebagai antek Jepang dan bahwa ia dan pasukannya tidak akan mengintervensi masalah internal Indonesia—karena Sekutu datang dengan misi hanya melucuti Tentara Jepang, membebaskan para tahanan perang, dan kemudian pulang29. Beberapa hari kemudian, Christison kembali mengeluarkan pernyataan bahwa secara pribadi ia mengakui kekuasaan de facto Pemerintahan Sukarno dan Hatta. Bagi Sukarno, pernyataan ini merupakan isyarat bahwa pembentukan Tentara tidak akan dilihat sebagai ancaman oleh Sekutu. Tanpa menunda waktu, pada tanggal 5 Oktober Sukarno mendeklarasikan berdirinya Tentara Nasional yang diberi namaTentara Keselamatan Rakyat (TKR). Namun demikian, tidak berbeda dengan kasus BKR, pembentukan TKR tidak disambut dengan cukup baik oleh Pemuda, terutama karena pembentukannya tidak diikuti instruksi jelas. Mengutip kata-kata Anderson, “Pengumuman mengenai pembentukan TKR hampir tidak membawa dampak apapun dan tidak lebih dari sekedar mengubah nama BKR dan kelompok bersenjata lainnya tanpa mengubah hubungan mereka dengan Jakarta” . Pengumuman Sukarno, oleh karenanya, berdampak kecil bagi pertempuran-pertempuran di daerah, karena Pemuda dan Laskar seperti bertindak sendiri-sendiri dan mengabaikan perintah pemimpin Sipil. Artinya, Pemerintahan Sipil tidak mengendalikan Tentara, dan konfrontasi antara Laskar dengan Tentara Sekutu pecah di berbagai daerah seperti Surabaya, Magelang, Solo, dan Yogyakarta30. Semua insiden tersebut terjadi tanpa adanya instruksi dari elit politik. Bahkan ketika terjadi pertempuran berdarah Surabaya antara Laskar Pemuda dan Sekutu, Sukarno diminta untuk meyakinkan Pemuda agar menyerah31.

Segera setelah TKR berdiri, Sukarno menunjuk Amir Syarifuddin, seorang aktivis bawah tanah32, sebagai Menteri Penerangan yang juga bertanggung jawab untuk masalah-masalah keamanan. Selama gerakan bawah tanahnya, Syarifuddin menjalin kontak dengan eks-KNIL33 antara lain dengan Urip Sumohardjo dan Didi Kartasasmita. Kedua nama ini adalah produk dari kebijakan Belanda yang merekrut sejumlah kecil

27 Laskar atau Lasykar, menurut Anderson, adalah ‘organisasi perjuangan’ yang ia ia gambarkan sebagai ‘muncul dari sisa-sisa masa pendudukan Jepang, terbentuk secara bottom up berdasarkan kesamaan aliran, asal etnis, kedekatan geographis, atau sekedar pertemanan—Lihat: Benedict R. O'G Anderson, "The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1949" (Cornell University, 1967)., p.338.

28 Pernyataan ini dipinjam dari Anderson-lihat: ———, Java in Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 (Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 1972)., p.235

29 Menurut Anderson, Belanda memprotes pernyataan Christison dan meminta Sekutu untuk memecat dia, sebuah tuntutan yang akhirnya dipenuhi oleh Pemerintah Inggris pada Januar 1946—Lihat: ———, "The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1946" (Cornell University, 1967)., p.190

30 Konfrontasi tersebut merupakan indikator jelas bahwa Pemuda dan Laskar merupakan unit-unit Militer yang efektif meskipun terpisah-pisah, berukuran kecil, dan relatif kurang terorganisir. Menurut Nasution, setelah gerakan melucuti Tentara Jepang, terkumpul 10.000 senjata di Sumatra, 10.000 di Jawa Barat, dan 30.000 di Jawa Tengah dan Timur—Dengan begitu besar jumlah senjata di tangan 150.000 Pemuda yang terlatih secara Militer, menurut Nasution, “kita dapat meluncurkan operasi Militer yang lebih hebat dari apa yang dilakukan oleh Sekutu dan Belanda di Indonesia antara 1945-1949--Abdul Haris Nasution, Tjatatan2 Sekitar Politik Militer Indonesia (Jakarta: Pembimbing, 1955)., p.18

31 Bagi Tentara, kesediaan Sukarno memenuhi keinginan Sekutu pada saat Konfrontasi Surabaya sering dilihat sebagai kelemahan Pemerintah vis-a-vis kekuatan kolonial. Asumsi tersebut terbukti setahun kemudian ketika Sukarno dan Pemerintahan Sipilnya memutuskan untuk ‘menyerah’ kepada Sekutu dan membiarkan Tentara melanjutkan pertempurannya sendiri.

32 Amir Syariffuddin dipenjara oleh Jepang selama masa pendudukan karena kegiatan bawah tanahnya. Ia juga merupakan aktivis beraliran kiri yang menjalin hubungan baik dengan para sosialis lainnya di lingkaran Sukarno seperti Sjahrir. Pada tahun 1948, Syarifuddin terbunuh karena terlibat dalam Affair Madiun. Mengenai Amir Syarifuddin, lihat: Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2005)., chapter 4

33 Tentara Belanda yang ditempatkan di wilayah Hindia Belanda.

10

pribumi dari keluarga ningrat dengan tujuan untuk menjalin kontak dengan raja-raja atau pembesar pribumi . Ketika Jepang hampir meluncurkan perangnya melawan Sekutu di Pasifik, Belanda memperluas kebijakan tersebut dengan merekrut pribumi dari kelas sosial lebih rendah dan melatih mereka di Akademi Militer Bandung. Diantaranya yang merupakan produk Akademi Militer ini adalah Abdul Harris Nasution34, Tahi Bonar Simatupang, dan Alex Kawilarang. Mungkin Karena hubungan pertemanan, atau mungkin mempertimbangkan pengalaman di bidang Militer, sehingga Syariffudin meminta kedua eks-KNIL tersebut untuk bergabung dengan TKR. Posisi puncak TKR, Kepala Staf TKR, diberikan kepada Urip Sumohardjo dengan pertimbangan senioritas. Sementara Urip menjadi Kepala Staf, Didi Kartasasmita memegang posisi kunci di markas besar TKR di Yogyakarta sekaligus menjabat sebagai Komandan Teritorial untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Pada tahap ini, dapat disiimpulkan bahwa pengisian jabatan di TKR berdasarkan standard Militer profesional karena para komandan strategis dipilih dengan mempertimbangkan keahlian Militer dan pengetahuan di bidang kemiliteran. Namun demikian, aspek leadership di TKR belum dapat dikatakan kohesif sebagaimana dijumpai pada Tentara Profesional. Faktor yang jelas adalah bahwa Urip Soemohardjo dan Didi Kartasasmita berasal dari strata yang berbeda dengan Nasution, Simatupang, dan Kawilarang. Selain itu, ketika Urip dan Didi cenderung mengidentifikasikan diri mereka sebagai Tentara Profesional, Nasution dan kawan-kawannya merasa lebih nyaman dipanggil sebagai Pemuda Pejuang . Hal ini berarti Tentara (TKR) masih belum kohesif, dan semakin diperburuk lagi dengan kenyataan bahwa Pemerintah Sipil (Sukarno&Hatta) tidak mempu mengendalikan Tentara. Sebagaimana disaksikan oleh Didi Kartasasmita,

Pada bulan Oktober 1945 saya menerima perintah dari Pemerintah Republik untuk mengorganisir satu divisi TKR di Jawa Barat....Jadi saya dirikan satu divisi dengan pola dari atas ke bawah. Tetapi kenyataannya prosesnya berjalan sebaliknya, yaitu dari bawah ke atas. ...Komandan masing-masing unit dipilih oleh pasukannya sendiri, masing-masing seksi memilih komandan seksinya sendiri, dan seterusnya. Persyaratan untuk terpilih sebagai komandan tidak terkait dengan ada atau tidaknya pengetahuan yang cukup tentang pekerjaannya. Popularitas adalah satu-satunya syarat. Hubungan hirarkhis hampir tidak ada. Jadi, TKR pada saat itu bukanlah Tentara melainkan kelompok Pemuda dengan kemampuan yang berbeda-beda. Biaya untuk menopang Divisi ini berasal dari orang-orang di sekitar kita35.

Serupa dengan testimoni Didi, pengalaman Nasution juga tak kalah menariknya. Ia berkata dalam memoirnya:

Pemilihan para komandan tidaklah selalu mudah, karena unit-unit itu telah ada sebelumnya, tercipta dari inisiatif pribadi, dan hampir tak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah mereka. Saya diperintahkan untuk membuat susunan mereka menjadi ‘lebih Militer”.Tetapi yang bisa saya lakukan hanya menetapkan komandan-komandan yang sudah terpilih. Suatu saat saya pergi ke Garut dengan niat untuk menunjuk seseorang untuk menjadi komandan resimen—jabatan yang sudah ada di tangan serang bekas hakim..... calon saya untuk resimen ini, seorang bekas komandan kompi Peta, datang bersama saya ke Garut. Lagi-lagi, saya hanya mengukuhkan komandan yang sudah ada, karena calon saya ditolak oleh pasukan36.

Karena Pemuda dan Laskar cenderung mengabaikan perintah Urip, artinya secara de facto Tentara tidak dalam kendali pimpinan politik. Kekuatan sesungguhnya tetap berada di tangan Pemuda danLaskar yang mengorganisir diri di BKR serta lebih setia kepada Komandan lokal. Termasuk dalam kategori ini adalah Sudirman, yang sangat populer di antara pasukannya di Jawa Tengah37.

34 Selain latihan Militer di KNIL, Nasution juga menikmati latihan Militer dari Jepang selama tiga bulan sebagai instruktur Seinendan, salah satu organisasi Militer bentukan Jepang—Lihat: Abdul Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, Vol.1 (Jakarta: Gunung Agung, 1982).

35 Dikutip dari: Dutch Government, Interogation of Didi Kartasasmita of 9 November 1948 (Batavia: Royal Dutch Archive, General Secretary Box VII No.24, 1948).

36 Lihat: Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, Vol.1., p.21637 Sudirman adalah faktor penting untuk menjelaskan bagaimana kharakter Tentara Indonesia pada masa itu. Asumsi ini

didasarkan pada fakta bahwa ia bukan hanya lebih populer dan lebih kharismatik di kalangan Pemuda dan Laskar dibanding Pemerintah, namun juga karena pendekatan yang ia ambil telah membuat Tentara Indonesia masuk dalam kategori Revolusioner sampai dengan pertengahan tahun 1950an. Kenyataan bahwa Sudirman mengakui Pemerintahan Sipil yang dipimpin oleh Sukarno,

11

Menghadapi situasi sulit tersebut, khususnya setelah pertumpahan darah di Surabaya, Urip berinisiatif mengumpulan perwakilan Pemuda dan Laskar guna melakukan dialog dengan TKR. Dialog ini dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan terkait dengan strategi melawan Sekutu serta guna menghadapi kemungkinan kembalinya Belanda, dan pada saat yang sama dapat digunakan untuk mempersempit jurang perbedaan antara Pimpinan Politik dan Tentara de facto38. Sebuah Konferensi akhirnya terselenggara di Yogyakarta pada 11 November, dihadiri oleh seluruh Komandan Laskar di Pulau Jawa dan Sumatra serta oleh wakil Pemerintah pusat, yang hasilnya adalah kesepakatan memilih Sudirman sebagai Pimpinan tertinggi Tentara.

Munculnya Sudirman sebagai pimpinan tertinggi Tentara tidak menyediakan pilihan lain bagi Sukarno kecuali mengakomodir. Sukarno dan Pimpinan Politik lainnya sangat membutuhkan dukungan Tentara dibanding misalnya dukungan Tentara Inggris sekalipun, sehingga Sukarno memutuskan untuk meng- endorse keputusan tersebut. TKR kemudian direorganisasikan dan diubah namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Sudirman disumpah sebagai Panglima Besar TRI pada 21 Mei 1946 dan diberi pangkat Jenderal penuh, sedangkan Urip tetap menempati posisi lamanya sebagai Kepala Staf . Masing-masing Panglima Divisi diberi pangkat Mayor-Jenderal sedangkan Kepala Staf Divisi diberi pangkat Letnan-Kolonel.

Kesediaan Sudirman untuk disumpah dan dipromosikan oleh Sukarno, serta kesediaannya untuk mere-organisasikan TKR (bersama Pemuda dan Laskar) dan kemudian membentuk TRI, kesemuanya menandai pergeseran karakter Tentara dari Tipe Revolusioner menjadi Profesional. Pertama, the Pemuda dan Laskar sekarang menjadi lebih corporate di dalam tubuh TRI; Kedua, Sudirman sekarang telah menjadi Jenderal Sudirman, seorang anggota Tentara, sedang lainnya menjadi letnan Jenderal, Mayor Jenderal, Kolonel, Letnan Kolonel dan seterusnya, yang berarti adanya hirarkhi struktural dalam TRI; Ketiga, Klien Tentara sekarang adalah negara, yang antara lain diwakili oleh Pemerintah Sipil, dan; Keempat, pangkat dan promosi dalam tubuh TRI didasarkan pada kemampuan dan pengetahuan. Semua fakta ini menunjukkan karakter Tentara Profesional yang berlangsung hingga tahun 1959, ketika Sukarno menyingkirkan Demokrasi Liberal dari landscape politik Indonesia.

Pada 18 Desember 1948, Belanda mengejutkan dunia dengan menyatakan bahwa mereka membatalkan Perjanjian Renville39. Pernyataan tersebut diikuti oleh serangan massal terhadap Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 (Agresi Belanda II), yang mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar dalam strategi Militer maupun Pemerintahan. Anggota Pemerintahan Sipil, termasuk Sukarno, Hatta, dan Syahrir, memutuskan untuk menyerah kepada Belanda, namun Tentara menolak. Tentara memutuskan untuk terus berperang melawan Belanda dengan menggunakan taktik Perang Gerilya meskipun kepemimpinan Sipil tidak ada. Sudirman memerintahkan Kolonel Nasution, wakilnya, untuk membagi Tentara ke dalam dua kekuatan, yaitu Tentara Bergerak (mobile) dan Tentara Territorial, sedangkan Sudirman sendiri menggalang rakyat untuk melakukan Perang Total40. Meskipun strategi Sudirman menunjukkan semacam otonomi

dan pada saat yang sama Sudirman bisa bertindak sendiri tanpa intervensi elit politik mungkin telah pula menginspirasi Nasution ketika menciptakan Doktrin Dwi Fungsi yang diadopsi oleh Tentara Indonesia pada masa berikutnya. Kisah tentang Sudirman, lihat: Ian MacFarling, ed. General Sudirman: The Leader Who Finally Destroyed Colonialism in Indones ia (Canberra: Australian Defense Studies Center,1995).

38 Sementara Pemuda dan Laskar terus melawan Sekutu di seluruh Pulau Jawa dan Sumatra, Pimpinan Politik di Jakarta memiliki pendekatan yang berbeda dalam menghadapi Sekutu. Menurut kalkulasi mereka, Sekutu terlalu kuat untuk dilawan, dan juga adanya kepercayaan bahwa Sekutu tidak ingin menjadinkan Indonesia sebagai musuh . Dengan berpihak kepada Inggris, Sukarno dkk berharap Sekutu tidak akan membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.

39 Menanggapi protes Amerika, India, Australia, dan Uni Soviet atas agresi Militer Belanda pada bulan Juli 1947, Belanda sepakat untuk bicara dengan wakil Indonesia. Pada 8 Desember 1947, sebuah pertemuan berlangsung di atas Kapal U.S.S. Renville di bawah pengawasan PBB. Perjanjian tersebut menentukan peta gencatan senjata yang menguntungkan pihak Belanda, sehingga Partai utama di Indonesia seperti PNI dan Masyumi menolak Perjanjian tersebut. Tentang Perjanjian Renville, lihat: George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia. (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1952)., chapter IX

40 Tentara bergerak berfungsi untuk mengejutkan musuh dengan berkonsentrasi menyerang markas-markas musuh di manapun mereka berada, sedangkan Tentara teritorial bertugas menentukan lokas-lokasi yang dapat dipakai sebagai basis resistensi rakyat dalam melawan musuh. Kenyataannya, Tentara teritorial berfungsi sebagai birokrasi yang ‘supersede’ mesin Sipil yang ada. Peran teritorial ini pada masa berikutnya menjadi pembenaran atas konsep Nasution mengenai Dwi Fungsi Tentara—Lihat: T.B. Simatupang, Report from Banaran: Experiences During the People's (Translated by Benedict Anderson and Efinbeth Grave) (New York: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, 1972)., p.128-129

12

Tentara vis-a-vis Pemerintahan Sipil, namun loyalitas Tentara tetap diberikan kepada negara dan orientasinya masih tetap profesional. Hal ini terlihat dari testimoni Simatupang atas perintah Sudirman:

Pertama, Republik Indonesia akan terus berjuang sebagai sebuah negara dan dengan menggunakan instrumen negara. Kedua, tak peduli betapa sulitnya situasi perang, Pemerintahan harus tetap berlanjut—termasuk misalnya, di daerah-daerah yang terisolasi, yang sering dilewati oleh patroli Belanda, atau di mana Pos Militer Belanda didirikan secara permanen. Untuk tujuan itu, aparat Sipil di berbagai tingkatan harus didampingi oleh anggota Tentara, dan urusan besar harus didelegasikan kepada daerah. Ketiga, administrasi Tentara harus diutamakan sebagai sarana untuk bertahan, yaitu, sarana untuk memobilisir dan mengorganisasi kekuatan tempur serta sarana untuk memberdayakan segenap sumber daya setempat dalam perjuangan.

Pola ke arah profesionalisme bahkan terus berlanjut memasuki tahun 1950an, dan tak ada keraguan lagi bahwa Tentara Indonesia pada masa itu adalah Tentara Profesional. Terdapat paling tidak tiga faktor yang menyebabkan trend itu tetap bertahan, yaitu:

1. Menyusul terjadinya transfer kekuasaan dari Belanda ke Pemerintah Indonesia pada Desember 1949, Indonesia mengadopsi Konstitusi baru yang dikenal dengan Undang-Undang Sementara tahun 1959. Konstitusi ini jelas disusun berdasarkan standard Demokrasi Liberal, yang mengharuskan Tentara untuk tunduk pada supremasi Sipil.

2. Komando Tentara berada di tangan figur yang memiliki cara pandang modern, seperti Nasution dan Simatupang. Pada tahun 1950, Nasution menempati posisi Kepala Staf, sedangkan Simatupang menggantikan Sudirman sebagai Panglima Besar TRI, yang saat itu telah berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI)41. Nasution dan Simatupang berharap dapat menciptakan Tentara yang berukuran lebih kecil, tetapi lebih modern dan profesional. Demi mencapai tujuan ini, pada tahun 1952, mereka memutuskan untuk melakukan restrukturisasi dan reorganisasi.

3. Setelah Jenderal Sudirman meninggal pada Januari 1950, Tentara kehilangan tokoh sekaligus Pemimpin yang tak tergantikan—Sudirman sangat populer sebagai figur pemersatu Tentara yang begitu heterogen, sementara rendahnya kohesivitas merupakan faktor utama yang membuat Tentara menjadi obyek intervensi Sipil, khususnya pada era Demokrasi Parlementer ketika mayoritas kekuasaan negara berada di tangan partai politik.

Trend tersebut mulai berubah sejak tahun 1957 ketika Sukarno mulai menggeser Demokrasi Liberal dari sistem politik Indonesia.

Tentara Tipe Campuran di bawah Sukarno

Periode 1956-1957 adalah periode paling kritis sejak pengalihan kekuasaan dari Belanda pada Desember 1949. Koalisi Pemerintahan antara PNI-Masyumi-NU di bawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ternyata tidak membawa perubahan apapun kecuali korupsi dan inflasi yang menenggelamkan ekonomi negara pada Maret 195742. Badan Konstituante (Parlemen hasil pemilu 1955), yang diberi mandat untuk membuat Konstitusi, berakhir dengan deadlock terkait dengan masalah ideologi. Pada waktu yang relatif sama, terjadi insiden-insiden yang melibatkan internal TNI. Tentara Divisi Siliwangi (Jawa Barat) berusaha melakukan Kudeta tetapi gagal. Kolonel Sumual mengambil alih bagian timur Indonesia, menandai dimulainya pemberontakan Permesta di Makasar, Sulawesi Selatan. Di Manado (Sulawesi Utara), Tentara setempat mendeklarasikan Negara Otonom Sulawesi Utara. Pemberontakan di Sumatra dan Aceh menjadi semakin aktif, sehingga kepercayaan rakyat terhadap kemampuan Pemerintah dalam menjaga ketertiban semakin

41 Perubahan nama ini merupakan kelanjutan dari reorganisasi TNI sejak Agustus 1947 dengan tujuan untuk menempatkan Tentara di bawah kendali Kementerian Pertahanan.Reorganisasi ini tidak membawa dampak apapun kecuali sekedar perubahan nama, sehingga tidak perlu dibahas panjang lebar.

42 Situasi pada masa Pemerintahan Ali Sastroamidjojo, Lihat: Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University Press, 1962)., chapter VIII

13

menurun. Nasution memerintahkan penangkapan politisi yang terlibat korupsi dan mendamprat Pemerintah Sipil atas meluasnya instabilitas43.

Sebelum turun, Ali Sastroamidjodjo mengumumkan keadaaan darurat berdasarkan dua pertimbangan: 1) Peristiwa Juni44, dan; 2) Ketegangan antara Jakarta dengan Daerah45. Pengumuman ini bukan hanya menandai keadaan darurat yang tengah berlangsung, namun berarti pula kesempatan bagi Tentara untuk menunjukkan kekuatannya. Hal ini terbukti dengan munculnya inisiatif Tentara agar Indonesia kembali pada Sistem Presidensial sebagaimana pernah diberlakukan sebelum 195046.

Inisiatif ini bukannya tanpa alasan. Oleh karena Pemerintahan Sipil tidak efektif, Nasution, yang pernah mengalami intervensi Sipil sebelumnya, berusaha menemukan cara untuk melegalkan peran sosial-politik Tentara. Dalam benak Nasution, mengambil alih kekuasaan negara bukanlah ide yang baik, sementara Sukarno dapat menjadi ‘Kawan’ potensial untuk memuluskan upaya tersebut, karena menurut UUDS 1950, Presiden memiliki kekuasaan relatif terbatas meskipun Sukarno figur yang sangat berpengaruh. Singkatnya, Tentara memerlukan Sukarno untuk mendukung peran sosial-politiknya, sedangkan Sukarno memerlukan dukungan Tentara untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar.

Teori Konspirasi ini dibuktikan dengan Pernyataan Tentara pada 12 November 1958 mengenai prinsip ‘Jalan Tengah’, ideologi baru yang mengartikulasikan keinginan Tentara dalam memposisikan dirinya di dalam masyarakat. Menurut interpretasi Nasution atas konsep tersebut, “..... untuk menyatukan kembali semangat juang nasional, untuk menggali Pemerintahan dan strukturnya yang ideal setelah sistem liberal gagal membawa stabilitas” 47. Kemudian, Tentara mengusulkan agar demokrasi liberal ditinggalkan melalui pemberlakuan kembali Konstitusi revolusioner 1945. Usulan Tentara tersebut adalah konfirmasi atas teori konspirasi sebagaimana diuraikan di atas48.

Menyikapi usulan ini, pada Juli 1959 Sukarno secara resmi mengumumkan pemberlakuan kembali UUD 1945, yang diikuti dengan pembubaran Parlemen (Badan Konstituante)49. Sukarno juga membekukan

43 Lev menggambarkan situasinya sebagai berikut— “Tentara marah akibat kebingungan yang ditimbulkan oleh partai politik, korupsi, persaingan ideologi, instabilitas politik, semua yang mereka percaya sebagai,....yang harus dituduh sebagai faktor kemunduran negara”—lihat: Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, Monograph Series (Ithaca: Southeast Asia Program, Department of Asian Studies, Cornell University, 1966)., p.59

44 Menyusul pembentukan Kabinet baru pada Juli 1953, Iwa Kusuma Sumantri, beraliran kiri, terpilih sebagai Menteri Pertahanan. Selama menjabat, ia mengeluarkan kebijakan yang menyinggung Tentara, seperti misalnya Kebijakan Simpatik bagi aktor Affair Madiun 1948 yang telah ditangkap dan dieksekusi oleh Tentara, serta kebijakan lain yang dianggap memperburuk perpecahan di tubuh Tentara terkait dengan upaya pembubaran Parlemen pada 17 Oktober 1952. Ketidaksukaan Tentara tersebut berlanjut hingga beberapa tahun kemudian dan mencapai puncaknya ketika Iwa (atas nama Pemerintah) menunjuk Bambang Utojo sebagai Kepala Staf TNI tanpa meminta persetujuan Pimpinan TNI. Keputusan ini dianggap TNI sebagai intervensi Sipil terhadap internal TNI yang “tidak dapat diterima”. Akibatnya adalah boikot Tentara terhadap Pemerintah yang dikenal dengan Peristiwa Juni. Tentang peristiwa ini, lihat: Ali Sastroamijoyo, Milestone on My Journey: The Memoirs of Ali Sastroamijoyo, Indonesian Patriot and Political Leader (Queensland: University of Queensland Press, 1979).

45 Sejak 1953, ketidakpuasan meluasa ke seluruh wilayah Indonesia sehingga menimbulkan ketegangan antara Jakarta dengan daerah-daerah—yang paling parah adalah ketegangan yang berujung pada pemberontakan PRRI/Permesta.

46 Beberapa peristiwa mengundang kecurigaan mengenai kemungkinan adanya tawar menawar antara Tentara dan Sukarno menjelang diajukannya inisiatif ini, antara lain yaitu penunjukan dua orang Kolonel (Sambas Atmadinata dari Angkatan Darat dan Nazir dari Angkatan laut) sebagai menteri Kabinet sejak April 1957. Lihat: Nugroho Notosusanto, Pejuang Dan Prajurit (Jakarta: Sinar Harapan, 1984)., p.76

47 Lev menginterpretasikan pidato Nasution sebagai “tidak hanya sebagai ‘Alat Sipil’ sebagaimana di negara-negara Barat atau ‘Rejim Militer’ yang mendominasi kekuasaan negara, melainkan salah satu dari banyak kekuatan dalam masyarakat , sebuah kekuatan yang berjuang demi rakyat bersama-sama dengan kekuatan lain dalam masyarakat”--Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959., p.172

48 Dari perspektif Tentara, pengadopsian kembali UUD 1945 memiliki paling tidak dua keuntungan: 1) hal ini dapat digunakan untuk menunjukkan kepada publik dan kepada partai politik bahwa Tentara berada di pihak Sukarno; dan 2) keputusan tersebut akan membenarkan landasan hukum bagi peran sosial politik Tentara. Mengikuti interpretasi Nasution, di bawah UUD 1945, masih terdapat perwakilan-perwakilan dari kekuatan politik lain seperti partai politik, kelompok fungsional, perwakilan daerah, dsb. Bagi Nasution, Tentara jelas merupakan bagian dari kelompok fungsional yang tidak berbeda dari petani, artis, jurnalis, guru agama, pekerja, perempuan, pemuda, dan intelektual—lihat: Abdul Haris Nasution, Toward the People's Army (Jakarta: CV Delegasi, 1964)., p.20

49 Menyusul terjadinya deadlock Konstituante pada sesi November 1956, Sukarno secara informal meminta agar sistem kepartaian diakhiri dan sebagai gantinya mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin. Hal ini bertujuan untuk mempersatukan

14

beberapa partai utama seperti Masyumi dan PSI dengan alasan pimpinan mereka terlibat pemberontakan di daerah. Ketika PNI berada di bawah bayangan Sukarno, PKI menjadi satu-satunya partai yang memiliki kekuatan signifikan yang kemudian (pada era Demokrasi Terpimpim) menjadi rival utama Tentara50. Oleh karena itu, Dekrit Sukarno bukan hanya mencerminkan akomodasi Pimpinan Sipil terhadap keinginan Tentara, melainkan juga menjadi jalan untuk mengurangi peran partai politik sekaligus meningkatkan peran kelompok fungsional dalam sistem piolitik. Selain itu, Dekrit 5 Juli 1959 telah memberi ruang bagi keterlibatan Tentara dalam politik.

Kesetiaan kepada Pancasila dan kepada Sukarno sebagai Pemimpin Negara

Sejak kesediaan Sudirman menerima posisi Panglima pada tahun 1946, Tentara Indonesia hanya loyal kepada negara. Kesetiaan tersebut tercermin dari kepatuhan Tentara kepada elit politik yang mewakili otoritas negara. Tentara juga menjaga jarak dengan politik serta dengan elit politik yang masih berkonflik mengenai ideologi negara. Bahkan ketika Demokrasi Parlementer dijalankan di awal tahun 1950an, yaitu masa ketika partai politik menjamur bak cendawan di musim hujan, orientasi Tentara tetap tak berubah –Tentara tidak mau ikut campur dan menyerahkan masalah tersebut kepada partai politik. Orientasi itu baru berubah mulai tahun 1957, yaitu ketika Tentara mulai intensif mengurus masalah politik, khususnya pada saat-saat menjelang Dekrit. Pidato Nasution di Seskoad pada 7 Agustus 1961, yang mengatakan bahwa Tentara mendukung keputusan Sukarno untuk mengeliminir beberapa partai politik beserta ideologi mereka merupakan indikator perubahan orientasi Tentara. Dalam pidatonya Nasution juga menyebutkan bahwaTentara setia kepada Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di Indonesia51.

Orientasi baru tersebut dipertegas oleh Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) pada bulan Maret 1962 dengan dumumkannya doktrin baru yang didasarkan pada prinsip ‘Jalan Tengah’52. Kesimpulannya, Tentara tetap mempertahankan karakter profesional, namun kesetiaannya sekarang diarahkan kepada Pancasila dan kepada Sukarno.

Tentara Praetorian di bawah Rejim Suharto

Menyusul gagalnya kudeta yang dilakukan oleh Komunis pada tahun 1965, situasi politik di Indonesia berubah drastis. PKI yang merupakan rival utama Tentara, lenyap dari kancah politik Indonesia dalam sekejap. Presiden Sukarno, yang dicurigai terlibat dengan konspirasi politik terkait dengan Kudeta tersebut, juga berkurang kekuasannya secara signfikan. Partai politik dan kelompok Islam belum juga pulih akibat ‘hantaman’ Sukarno pada tahun 1950an. Pada tanggal 11 Maret, 1966, Sukarno mengalihkan otoritas negara untuk memelihara ketertiban kepada Suharto, sebuah keputusan yang memberi lebih banyak lagi kekuasaan kepada Tentara. Kesemuanya itu menjadikan Tentara sebagai satu-satunya kekuatan politik yang efektif di Indonesia.

Menciptakan Doktrin Baru dan Komando Militer

Kabinet serta Perwakilan-Perwakilan partai politik dan juga untuk menciptakan institusi alternatif bagi Badan Konstituante yang tidak efektif. Pada saat yang sama, konsep ini memberi kekuasaan lebih kepada Sukarno sebagai Individu.

50 Feith menyampaikan analisis serupa mengenai hal ini. Menurut Feith, “Presiden Sukarno dan Pimpinan Tentara Mayor Jenderal Nasution adalah elemen kekuatan utama dalam pemerintahan......Sukarno terus kekurangan dukungan organisasi politik di pihaknya sendiri (PNI). Guna memaksimalkan pengaruhnya vis-a-vis Tentara, maka, dia perlu dukungan dari kelompok politik lain yang berseberangan dengan Tentara ....hanya PKI yang bisa memberi Sukarno dukungan tersebut ....sehingga, Sukarno berkali-kali melindungi PKI dari upaya Nasution untuk mengurangi kekuatan partai itu”—lihat: Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. ., p.591-592

51 Lihat: Guy J Pauker, The Indonesian Doctrine of Territorial Warfare and Territorial Management (California: The Rand Corporation, 1973)., p.170

52 Mengutip komentar Pauker atas doktrin tersebut, “Untuk menyukseskan perang teritorial, perhatian harus dipusatkan pada hal-hal berikut: 1) Stabilisasi medan perang; 2) Kesadaran bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang hanya memiliki satu interpretasi; 3) Kepemimpinan tunggal yang dapat dirasakan secara konstan; 4) Integrasi ketiga Angkatan (Darat, Laut, dan Udara) dan penggunaan mereka pada perang teritorial berdasarkan kemampuan negara; 5) Rencana menyeluruh yang akan memaksimalkan sumber daya; 6) Manajemen teritorial yang memungkinkan terjadinya swa-daya dalam melakukan perang” Ibid., p.56

15

Sadar bahwa dirinya menjadi kekuatan politik dominan, Tentara kemudian menyelenggarakan seminar di Seskoad Bandung pada 25-31 Agustus 1966 yang hasilnya adalah doktrin baru yang yang lebih relevan dengan situasi saat itu53, yaitu Tri Ubaya Cakti (Tiga Usaha Suci), yang menyebutkan bahwa Tentara memiliki tiga tugas utama: 1) Pertahanan Darat Nasional; 2) Kekaryaan; dan 3) Pembinaan. Tugas pertama terkait dengan ancaman musuh, tugas kedua terkait dengan operasi intelejen serta investigasi, dan yang terakhir terkait dengan upaya menjamin ketertiban di daerah dan wilayah54. Secara konsep, doktrin baru ini memuat prinsip-prinsip doktrin Perang Rakyat Semesta (Perang Gerilya) dan Pembinaan Wilayah (manajemen territorial) yang pernah diadopsi oleh Sudirman. Perbedaannya adalah, kali ini Tentara sedang bersiap-siap untuk secara aktif menjalankan kekuasaan negara55.

Doktrin ini dijabarkan lebih rinci dalam pedoman yang disebut Tjatur Dharma Eka Karma –Empat Kewajiban Menuju Satu Tujuan (TJADEK), yang memberi pembenaran fungsi ganda Tentara Indonesia. Menurut pedoman ini, Cakupan Tugas Angkatan Bersenjata Indonesia diklasifikasikan pada tujuh bidang56:

1. Elemen yang mampu menghancurkan musuh yang datang dari depan

2. Elemen yang mampu menghancurkan musuh di laut dan udara sebelum mereka mendarat di wilayah Indonesia

3. Pertahanan udara nasional yang mempu menghancurkan musuh sebelum mereka berhasil menjangkau obyek-obyek vital

4. Pertahanan maritim nasional yang mampu menghancurkan musuh di laut

5. Angkatan Gabungan (AD, AU, dan AL)

6. Elemen Teritorial dan perang gerilya yang mampu memastikan pertahanan jangka panjang, bergerak di darat, laut, dan udara

7. Elemen khusus yang mampu mengatasi instabilitas sosial seperti subversi dan infiltrasi

Doktrin dan Pedoman baru ini dikukuhkan melalui Kepres RI No.132/196757 yang sekaligus menetapkan Tujuh Perintah Operasional sebagai manifestasi atas doktrin tersebut. Sebuah unit khusus juga dibentuk: Komando Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan (Kopkamtib). Suharto sendiri yang meresmikan unit khusus ini melalui Keputusan Presiden No. 9/1974 dan menggunakannya sebagai alat untuk melakukan penetrasi terhadap seluruh aspek sistem politik58.

Selanjutnya, sistem manajemen teritorial yang dibangun oleh Nasution ditransformasikan menjadi birokrasi Militer yang canggih, dalam bentuk Komando Militer yang paralel dengan birokrasi Sipil.

1. Komando Daerah Militer (Kodam) pada tingkat propinsi53 Seminar serupa di tempat yang sama sebenarnya pernah diselenggarakan setahun sebelumnya, namun tidak perlu

dibahas karena hasilnya sangat dipengaruhi oleh suasana Demokrasi Terpimpin. Selain itu, pada saat itu Tentara bukanlah satu-satunya kekuatan yang hadir dalam seminar, sehingga kita anggap kurang relevan untuk analisis kita kali ini.

54 Mengenai doktrin ini, lihat: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat, "Sendi-Sendi Perjuangan Tni-Ad," (Bandung: Disjarahad, 1979).

55 Menurut doktrin asli mengenai manajemen teritorial yang digagas oleh Nasution, keterlibatan Tentara dalam politik dibatasi oleh kapasitas Tentara sebagai salah satu kekuatan diantara kekuatan-kekuatan sosial lainnya.

56 Indonesia, "Doktrin Territorial Nusantara," (Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, 1978).57 ———, "Keppres Ri No.132/1967 Tentang Pokok-Pokok Organisasi Dan Prosedur Bidang Pertahanan Dan

Keamanan," (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1967).58 Pembentukan Kopkamtib menandai permulaan peran dominan Tentara pada perpolitikan Indonesia. Unit ini tidak

hanya menjadi alat Pemerintah untuk menjamin ketertiban dan keamanan, tetapi juga membuat Tentara mampu mempengaruhi setiap kebijakan dan strategi terkait dengan keamanan nasional maupun bidang-bidang lainnya. Pada tahun 1988, Kopkamtib berubah nama menjadi Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (BAKORSTANAS)—tetapi karakter maupun tanggung jawabnya tidak berubah. Mengenai Kopkamtib atau Bakorstanas, lihat: Hamish McDonald, Suharto’s Indonesia (Melbourne: Fontana & Collines, 1980). Mengenai Tugas Fungsi Bakorstanas,lihat: Indonesia, "Keppres No.29/1988 Tentang Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional," (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1988).

16

2. Komando Resort Militer (Korem) pada tingkat kotamadya

3. Komando Distrik Militer (Kodim) pada tingkat kabupaten

4. Komando Rayon Militer (Koramil) pada tingkat kecamatan, dan

5. Bintara Pembina Desa (Babinsa) pada tingkat desa59.

Kegagalan Sipil dalam menjalankan Pemerintahan pada masa sebelumnya merupakan alasan bagi keberadaan doktrin-doktrin tersebut, disamping alasan lain yaitu kecenderungan ‘disintegratif’ sistem demokrasi yang berdasarkan partai politik. Dengan kata lain, sejak pertengahan tahun 1960an, ada kesan publik bahwa Tentara adalah satu-satunya elemen yang mampu menjalankan negara60.

Dampak logis dari ideologi Dwi Fungsi adalah bahwa Tentara harus terlibat dalam setiap aspek kehidupan bernegara, karena Tentara bukan hanya ‘Pemersatu’, tetapi juga ‘Penyelamat’61 Bangsa. Selain itu, Tentara mengidentifikasikan diri sebagai dinamisator yang ingin memajukan negara. Seperti dijelaskan Suharto pada tahun 1969, Tentara ingin membuat masyarakat menjadi dinamis dengan cara ‘Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani’62.

Depolitisasi dan Reorganisasi Tentara

Suharto tampaknya belajar banyak dari pendahulu-pendahulunya mengenai bagaimana mengatur Tentara, khususnya dari pengalaman Nasution di tahun 1950an dan 1960an. Pada tahun 1950an, misalnya, Nasution pernah membangun struktur Militer yang mengakibatkan tingginya politisasi Tentara, situasi yang menyulitkan bagi Pemimpin Sipil karena Tentara sulit dikendalikan,terutama pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Sukarno. Suharto menyadari kekurangan itu dan segera melakukan restrukturisasi institusi Tentara pada tahun 1967.

Target pertama adalah jajaran Komando. Posisi Kepala Staf diturunkan dari posisi tertinggi Tentara ke tingkat kedua tanpa diberi kewenangan mengendalikan pasukan secara langsung63. Suharto juga menghapus unit intelejen yang dikendalikan Kepala Staf serta membubarkan rencana, anggaran, dan pasukan elitnya yang sebelumnya memiliki akses pada urusan politik . Dengan begitu, Suharto dapat mendepolitisir Tentara. Selain itu, dengan memindahkan kekuasaan Kepala Staf kepada Mabes Tentara dan Kementerian Pertahanan di Jakarta, Suharto dapat mengkonsentrasikan kekuatan Tentara di tangannya64.

Suharto juga mengeliminasi figur-figur tertentu yang dianggal potensial menjadi lawan. Figur seperti HR Dharsono65, Kemal Idris, dan Sarwo Edhi Wibowo, yang kesemuanya merupakan komandan pasukan di Jawa dan pernah mem-backup Suharto pada saat operasi melawan Komunis tahun 1965, diberhentikan

59 David Jenkins, Suharto and His Generals (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1984).Bab II60 Seorang penasehat politik Suharto, misalnya mengatakan “ABRI adalah satu-satunya kelompok dalam masyarakat

yang lahir bersamaan dengan lahirnya institusi baru, yaitu negara yang berdasarkan Pancasila....Itu karena ABRI memiliki kemampuan serta tradisi dalam mengatasi ideologi dan kepentingan kelompok yang berbeda-beda, yang membuatnya menjadi pemimpin negara” Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional (Jakarta: Yayasan proklamasi, CSIS, 1974). p.109

61 Beberapa catatan sejarah disebutkan untuk argumen ini, misalnya: perang melawan Belanda selama masa revolusi, pembasmian pemberontakan PKI tahun1948, perang melawan Darul Islam/TII tahun 1950an, perang melawan pemberontak PRRI tahun 1957, dan operasi melawan Kudeta Komunis tahun 1965—lihat: Abdul Haris Nasution, Kekaryaan Abri (Jakarta: Seruling Masa, 1971). p.41

62 Penjelasan lengkap mengenai konsep ini, lihat: R.W. Liddle, "Suharto's Indonesia: Personal Rule and Political Institutions," Pacific Affairs Vol 58 No.1 (Spring 1985) (1985)., p.84-85; Notosusanto, Pejuang Dan Prajurit., p.288

63 Lihat: The Editors, "Current Data on the Indonesian Army Elite," Indonesia Vol 7, April 1969 (1969).64 Analisis serupa juga disampaikan oleh Crouch—Lihat: Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca:

Cornell University Press, 1978)., p.24065 HR Dharsono dari Divisi Jawa Barat misalnya, dikenal dekat dengan PSI yang beraliran kiri dan ia pernah

mengembangkan gagasannya sendiri tentang Orde Baru yang berbeda Suharto—Lihat: R.W. Liddle, "Modernizing Indonesian Politics," in Political Participation in Modern Indonesia, Monograph Series, ed. R.W. Liddle (New Haven: Yale University, 1973)., p.177-206

17

pada paruh kedua tahun 1960an . Semua upaya ini mencapai puncaknya pada reorganisasi massal tahun 1969, yaitu pada saat sebagian besar pos Militer di Jakarta dan daerah-daerah direformasi dan dimutasikan. Posisi-posisi strategis diberikan kepada figur-figur dekat Suharto atau yang secara politis tidak potensial menjadi lawan. Periode ini, oleh karenanya, dapat dianggap sebagai masa konsolidasi kekuasaan Suharto.

Memasuki tahun 1970an, Suharto menjadi Pemimpin Sipil sekaligus Pemimpin Politik yang kuat dan disegani. Lawan-lawan politiknya hampir tidak memiliki kekuatan dalam sistem politik. Doktrin Dwi Fungsi telah dimodifikasi dan diterapkan sesuai kepentingan Rejim. Nasution mulai diabaikan peran dan keberadaannya. Untuk mempertahankan posisi kuatnya, Suharto mempromosikan orang-orang terdekatnya seperti Mayor Jenderal Ali Murtopo66 dan Jenderal Soemitro67 ke posisi paling strategis.

Namun kombinasi ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan oleh Suharto, karena kedua Jenderal tersebut justru berkompetisi agar lebih dekat dengan pusat kekuasaan. Konflik ini bermuara pada kerusuhan besar di Jakarta pada awal tahun 1974 saat kunjungan Perdana Menteri Jepang, atau insiden yang dikenal sebagai Peristiwa Limabelas Januari-Malari . Meskipun demikian, usaha Suharto untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya ternyata sangat berhasil, sehingga konflik antara pembantu-pembantu terdekatnya hampir tidak membawa pengaruh apapun terhadap sikap Tentara yang telah berhasil ‘dikendalikan’. Segera setelah karir Soemitro berakhir menyusul kerusuhan tersebut, Suharto kembali mempercayakan pos-pos penting Tentara kepada orang yang ia percayai, seperti Jenderal LB Moerdani, Laksamana Soedomo, Jenderal Yoga Sugama, Jenderal Maraden Panggabean, dan Jenderal Mohamad Jusuf .

Melayani Rejim ‘at all cost’

Dalam menentukan figur-figur yang akan mengisi pos-pos strategis Tentara, Suharto menggunakan dua macam kriteria: 1) Suharto sendiri memiliki tingkat kepercayaan terhadap mereka, atau 2) mereka dipastikan tidak akan menentang Suharto. Jenderal Murdani, Jenderal Sugama, dan Laksamana Sudomo memenuhi kriteria-kriteria tersebut, karena mereka dikenal dekat dengan Suharto sejak jaman Sukarno.

Khususnya di bawah Murdani dan Sudomo bahwa Tentara Indonesia menjadi, dalam istilah Jenderal Soemitro, ‘alat kekuasaan’68 daripada sebagai alat negara, khususnya karena Tentara telah ‘dibersihkan’, di-depolitisir, dan digunakan untuk mengamankan kebijakan Rejim. Pada tahun 1966, ketika Suharto mewarisi Tentara yang terkontaminasi oleh ideologi Demokrasi Terpimpin, Tentara sangat sulit untuk dikendalikan, termasuk oleh Presiden Sukarno sendiri69. Sejak tahun 1969, ketika Suharto melakukan langkah-langkah reorganisasi, Tentara menjadi ‘neutralized’. Kelompok kiri dan juga para simpatisan Sukarno dipenjarakan, sedangkan lawan-lawan potensial di tubuh Tentara di-‘disiplinkan’ atau disingkirkan. Aktivitas pensiunan Jenderal juga diawasi (karena Murdani diberi kekuasaan Intelejen). Komando Tentara dipusatkan di Markas Besar Tentara di Jakarta sehingga dekat dalam pengawasan Suharto. Namun begitu, subordinasi Tentara pada Suharto tidak terasa menganggu karena Suharto sendiri adalah Jenderal yang menjadi Presiden karena dukungan Tentara. Secara psikologis, para anggota Tentara melihat Suharto

66 Suharto mengatakan dalam memoirnya, ‘Beberapa orang berpikir bahwa Ali Moertopo adalah orang yang menentukan segalanya. Mengapa? Mungkin karena dia bicaranya lancar, berani, dan sebagai Asisten Khusus saya, dia tentunya dekat dengan saya dan mereka berpikir semuanya tergantung pada dia....Itu tidak benar’—Lihat: Suharto, G Swipayana, and KH Ramadhan, Soeharto, My Thoughts, Words, and Deeds (Jakarta: Lamtoro Gung Persada, 1991)., p.378

67 Perubahan ini adalah bagian dari usaha Suharto untuk membawa Panitia Sosial Politik dari Markas Besar Tentara ke lingkungan Suharto yang kemudian berfungsi sebagai think thank-nya.

68 Dalam sebuah kesempatan setelah pensiun sebagai Komandan Tentara, Sumitro mengatakan bahwa Tentara Indonesia mengalami degradasi dari ‘alat negara’ menjadi ‘alat kekuasaan’ yang, menurut Sumitro, terjadi karena ketidakpastian situasi dan juga karena pasal-pasal dalam UUD 1945 yang belum belum ditranformasikan ke dalam peraturan yang jelas—lihat: Gatra, "Untuk Apa Soemitro Menggebrak?," Gatra 1995.

69 Menyusul Kudeta tahun 1965, Sukarno memberi perintah kepada Tentara untuk mengambil langkah-langkah yang tertentu, tetapi Tentara menolak memenuhi perintah tersebut. Sebaliknya, Tentara justru memiliki inisiatif sendiri dan ‘memaksa’ Sukarno untuk menuruti inisiatif tersebut. Kejadian ini mirip dengan kejadian ketika Sudirman pada 1949 menolak perintah Sukarno agar menyerah kepada Belanda---lihat: Harold Crouch, "Another Look at Te Indonesian Coup," Indonesia Vol 15 (April 1973) (1973).

18

sebagai pemimpinnya dan bukan melihatnya sebagai orang lain, terlebih karena Suharto mengidentifikasikan dirinya sebagai Tentara daripada Sipil70.

Selain itu, seleksi pimpinan dalam struktur Tentara tidak dibatasi secara ketat. Tak lama setelah Murdani dipromosikan, ia mengalihkan pos-pos komando Tentara dari generasi 1945 kepada lulusan Akademi Militer Magelang dan Bandung, yang antara lain dilakukan dengan maksud untuk mengeliminir Jenderal-Jenderal Senior simpatisan Sukarno. Selain itu, upaya Murdani untuk memusatkan kekuatan Tentara di Markas Besar akan jauh lebih mudah ketika generasi yang lebih fresh menjadi Komando71. Pada posisi puncak, satu-satunya kriteria adalah restu Suharto. Sepanjang Suharto tidak menunjukkan keberatan, siapapun dapat dipromosikan tanpa harus mempertimbangkan kemampuan, pangkat, umur atau senioritas.

Menuju Tentara Profesional

Tanggal 21 Mei 1998 adalah hari terakhir kekuasaan Suharto yang telah berlangsung selama 32 tahun. Di ruang credential di Istana Negara, ia menyampaikan pidato terakhirnya sebagai Presiden yang antara lain berisi pernyataan mundur dari jabatan Presiden.

Pada hari yang sama, Wiranto, Panglima Tentara sekaligus Menteri Pertahanan, membuat pernyataan di depan publik yang berbunyi sebagai berikut:

1) Memahami situasi yang berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstitusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI;

2) ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945;

3) Dalam hal ini, ABRI akan tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan bangsa;

4) Menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya;

5) ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.

Pernyataan Jenderal Wiranto bahwa Tentara “mendukung dan menyambut baik” keinginan Suharto untuk mundur dari jabatannya, menunjukkan bahwa Tentara sekali lagi mengubah orientasinya. Sebagaimana telah kita analisis sebelumnya, pada tahun 1966 Tentara pernah memutuskan untuk mendirikan ‘Pemerintahan yang dihormati, Pemerintahan yang kuat dan progresif’, sikap yang kemudian diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap Jenderal Suharto sebagai Presiden dan juga dalam bentuk perilaku sebagai penjaga rejim selama rentang waktu 32 tahun. Dengan pernyataan Wiranto tersebut, ‘ the role was simply over’, karena Tentara sekarang membiarkan Suharto dan rejimnya jatuh tanpa melakukan pembelaan yang cukup signifikan72. Komitmen terakhir Tentara hanyalah janji bahwa Tentara akan menlindungi keselamatan serta kehormatan Suharto dan keluarganya. Kesetiaan Tentara sekarang juga

70 Suharto mengakui dalam memoirnya, “...pensiunnya saya dari tentara aktif bukan berarti saya telah berhenti mengabdi kepada Tentara. Apalagi, hukum mengatakan bahwa pensiunan Tentara tetap menjadi Tentara Cadangan ”--Suharto, Swipayana, and Ramadhan, Soeharto, My Thoughts, Words, and Deeds., p.279

71 Menurut Vatikiotis, pendekatan ini adalah strategi karena latar belakang Murdani adalah intelejen—lihat: Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Suharto: Order, Development, and Pressure for Change (London: Routledge, 1994)., Ibid.

72 Perilaku tersebut ini menimbulkan spekulasi yang relatif belum terjawab hingga saat ini, yaitu “Mengapa Tentara pada saat itu tidak mengambil alih saja kekuasaan dari Suharto dan melanjutkan dominasinya?”

19

telah bergeser, yang semula kepada rejim yang berkuasa, sekarang berubah kepada Negara/Bangsa, sebagaimana disebutkan dalam poin 3 Pernyataan di atas.

Perubahan orientasi ini ditegaskan kembali oleh Wiranto di Jawa Barat pada tanggal 17 Juli, 1998, ketika ia menyampaikan paradigma baru Tentara yang memuat prinsip-prinsip fundamental sebagai berikut:

1) ABRI tidak harus berada di garis depan;

2) ABRI tidak akan lagi mendominasi melainkan hanya mempengaruhi;

3) ABRI harus merubah cara mempengaruhi;

4) ABRI siap berbagi kekuasaan dengan politisi Sipil.

Menyusul pernyataan ini, sejak 1999 Tentara Indonesia menjaga jarak dari politik seraya berusaha untuk kembali pada konsep asli ‘Dwi Fungsi’ gagasan Nasution, di mana Tentara hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kekuatan dalam masyarakat, kekuatan yang berjuang demi masyarakat dan bersama-sama masyarakat”73. Paradigma ‘limited’ tersebut kemudian diadopsi dan diterapkan oleh Tentara dengan tujuan untuk membawa Tentara di bawah kendali Sipil dalam sistem demokrasi.

Reformasi Tentara

Konsisten dengan paradigma baru tersebut, Tentara segera melakukan langkah-langkah penyesuaian, dimulai dari reformasi struktural dalam organisasinya. Upaya pertama adalah mengembalikan 17 Komando Daerah Militer pada kondisi sebelum tahun 1980an, yang diumumkan oleh Wiranto pada Mei 1999 dengan alasan bahwa Tentara harus lebih dekat kepada masyarakat74. Kodam baru, yaitu Kodam XVI Pattimura, didirikan di Maluku sesaat setelah pengumuman Wiranto, sedangkan enam Kodam lainnya akan untuk didirikan atau ditingkatkan dari Korem-Korem yang sudah ada75. Pada Maret 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan dua Keputusan yang membubarkan Bakorstanas (Kopkamtib) dan Litsus76. Pada April 2000 Tentara mengumumkan penarikan keberadaan Tentara di tingkat desa (Babinsa) dan kecamatan (Koramil) yang kemudian diikuti dengan reformasi struktural di tubuh Tentara. Pada Mei 2000, Menteri Pertahanan, Juwono Sudharsono mengumumkan rencana menghapus posisi Panglima (Pangab) dan menggantikannya dengan Kepala Staf Gabungan (Kasgab), yang tidak lagi memiliki jabatan setingkat menteri tetapi ditempatkan di bawah Kementerian Pertahanan77. Pada Sidang MPR Agustus tahun yang sama, RUU baru diloloskan, yang mengharuskan adanya persetujuan DPR dalam pemilihan Panglima serta memberikan kewenangan kepada Wakil Presiden untuk terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan strategis di tubuh Tentara. Pada1 Juli 2000, Kepolisian Republik Indonesia dipisahkan dari tubuh TNI dan ditempatkan langsung di bawah Presiden, sedangkan rencana lain juga diumumkan, yaitu mengenai penambahan jumlah personil Tentara dan merubah nomenklatur kepangkatan Polri dari nomenklatur Tentara menjadi Nomenklatur yang disesuaikan dengan konvensi kepolisian internasional. Tentara juga mengumumkan

73 Kesimpulan ini dipinjam dari Lev—lihat: Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959., p.191-192

74 The Editors berargumen bahwa pembentukan Kodam-Kodam baru bertujuan untuk menambah pos-pos baru untuk mengakomodir perwira-perwira yang kehilangan jabatan akibat hilangnya fungsi Kekaryaan—lihat: The Editors, "Civil-Military Relations since the Fall of Suharto," Indonesia Vol 70 (October 2000) (2000)., Ibid.

75 Sebagai misal, Korem 161 Wirasakti di Kupang, Nusatenggara Timur, ditingkatkan statusnya menjadi Kodam—dikutip dari kutipan the Editors’ kepada Media Indonesia, "Korem 161/Wirasakti Ntt Dijadikan Kodam," Media Indonesia 1999.

76 Litsus atau Penelitian Khusus, adalah persyaratan bagi setiap PNS di mana Tentara dapat menolak penunjukan atau promosi aparat apabila yang bersangkutan tidak ‘Bersih Lingkungan’, lihat: Stefan Eklof, Power and Political Culture in Suharto's Indonesia: The Indonesian Democratic Party and the Decline of the New Order (1986-1998) (NIAS Press, 2005)., p.146; Editors, "Civil-Military Relations since the Fall of Suharto.", p.134. Menurut laporan Media, penghapusan Bakorstanas mengakibatkan 271 kolonel dan 3 Jenderal kehilangan jabatan. Lihat: Media Indonesia, "Kelompok Cilangkap Dominan," Media Indonesia 2000.

77 Menurut konsep Juwono, posisi Kasgab akan dirotasikan setiap tiga tahun diantara ketiga angkatan (AD, AL, dan AU) untuk menghindarkan ‘perasaan ditinggalkan’ pada salah satu angkatan--Suara Merdeka, "Jabatan Kasgab Digilir Tiap 3 Tahun," Suara Merdeka 2000.

20

pengurangan jumlah anggota pasukan Khusus (Kopassus), dan juga jumlah personel di tiga angkatan, meskipun organisasinya justru dikembangkan78.

Reformasi struktural juga dilakukan pada tataran elit. Selama masa Pemerintahan Habibie hingga Oktober 1999, Jenderal Wiranto masih mengendalikan mayoritas kekuasaan Tentara, karena ia menjabat sebagai Panglima sekaligus sebagai Menteri Koordinator Bidang politik dan Keamanan. Ketika Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, kekuatan Tentara terpolarisasi karena di dalam Kabinetnya, Wahid menempatkan beberapa Jenderal dan Wiranto sendiri dalam jabatan menteri: Jenderal Wiranto menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Pertambangan dan Energi; Letnan Jenderal Agum Gumelar sebagai Menteri Transportasi; Laksamada Madya Freddy Numbery sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Letnan Jenderal (purn) Soerjadi Soedirdja Menteri Dalam Negeri. Pos Menteri Pertahanan diberikan kepada Sipil, yaitu Juwono Sudharsono, sedangkan posisi Kasgab (Panglima) diberikan kepada Laksamana Widodo Adi Sucipto dari Angkatan Laut. Di Markas Besar Tentara, Kepala Staf, Jenderal Soebagyo HS digantikan dengan Jenderal Tyasno Sudarto pada Desember 1999, yang diikuti dengan pergantian besar-besaran pada pos komando pada bulan Maret dan Juni tahun berikutnya yang mengalihkan kepemimpinan Tentara dari tangan kelas Senior ke kelas yang lebih junior. Rasionalisasi bahkan hingga ke tingkat lebih bawah lagi. Dari Maret hingga Mei 1998, tujuh pimpinan Kodam (Pangdam) dimutasikan, yaitu: Kodam I, III, IV, VI, VII, VIII, and IX.

Semua kejadian ini, menandai perubahan signifikan dalam orientasi Tentara, dari jenis Praetorian menuju Tentara Profesional, tren yang masih terus berlanjut hingga saat ini.

Kesimpulan

Karakter dan orientasi Tentara Revolusioner model Perlmutter sesuai dengan Tentara Indonesia pada masa pasca-Kolonial. Pada tahun 1950an, Tentara Indonesia masih mempertahankan warna Revolusionernya sebagai warisan dari masa perjuangan melawan Belanda. Awalnya, Pemuda yang dilatih selama periode mobilisasi Jepang, membentuk Laskar (unit bersenjata) yang kemudian mengorganisir diri. Selama periode ini, Tentara Indonesia sangat efektif dan efisien meskipun ukurannya relatif kecil dan sifatnya regional (di daerah-daerah), loyal kepada Negara, tetapi sangat tidak-terorganisir pada tingkat nasional serta TIDAK berada di bawah kendali Pemerintah Sipil. Keengganan Pemerintah Sipil untuk membangun Tentara resmi pada akhir masa pendudukan Jepang serta tingginya ketidakpastian di era revolusi, membuat Tentara membangun dirinya sendiri tanpa ada campur tangan Pemerintah Sipil. Akibatnya, Tentara Indonesia memiliki loyalitas ganda, yaitu kepada: (1) Komandan, yang percaya bahwa kemerdekaan harus dicapai melalui perjuangan fisik sehingga memilih untuk menyerang Jepang dan Belanda, dan; (2) Pemimpin Sipil yang memilih menggunakan diplomasi damai dan pendekatan terukur dalam mencapai kemerdekaan. Hingga pertengahan tahun 1950an, Tentara secara aktif terlibat dalam politik, namun memasuki paruh kedua tahun 1950an, orientasi Tentara bergeser ke arah profesionalisme, dengan Negara Demokratis sebagai Kliennya, sehingga kriteria Tentara Profesional yang dikemukakan Perlmutter relevan untuk menjelaskan Tentara Indonesia pada periode ini.

Satu-satunya pengecualian adalah pada masa Monarkhi Presidensial Sipil di bawah Sukarno, karena ketika Sukarno menginisiasi 'Demokrasi Terpimpin', ia berusaha mentransformasikan Tentara pada tipe ‘Luar Biasa’ atau ‘di luar kebiasaan’ karena Tentara saat itu memiliki karakter Revolusioner namun loyalitasnya diberikan BUKAN kepada revolusi MELAINKAN kepada ideologi Pancasila dan kepada Sukarno sebagai pribadi yang memimpin revolusi. Pola ini tidak ditemukan dalam model Perlmutter, karena Tentara Revolusioner dalam definisi Perlmutter hanya loyal pada Gerakan ‘Revolusi’ dan bukan kepada pemimpin revolusi sebagai individual. Disamping itu, Tentara ‘dipaksa’ untuk menjadi revolusioner, yang dikondisikan secara politik oleh Sukarno dengan jargon ‘Revolusi Belum Selesai’. Secara konseptual, oleh karenanya, sulit untuk mengklasifikasikan Tentara Indonesia pada era Demokrasi Terpimpin, namun untuk sementara waktu dapat dispekulasikan bahwa pergeseran tersebut dikarenakan oleh kelemahan Tentara Indonesia pada waktu itu dibanding pada masa sebelumnya, yaitu awal hingga pertengahan tahun 1950an. Alasan

78 Korps Marinir dikembangkan dari dua brigade dengan total 13.000 anggota, ditingkatkan menjadi tiga brigade dengan total jumlah anggota yang sama; Pasukan Khusus TNI AU (Paskhas) juga ditingkatkan dari enam menjadi sepuluh; Kostrad juga dikembangkan tetapi detailnya tidak diketahui—lihat: Editors, "Civil-Military Relations since the Fall of Suharto.", Ibid.

21

utama spekulasi ini adalah karena pada waktu itu sebenarnya Tentara punya kesempatan untuk menjadi Profesional namun tidak dilakukan.

Ketika Tentara mengganti Sukarno dengan Suharto dan membiarkan Suharto membangun Monarkhi-Presidensial-Militer, Tentara berubah menjadi Praetorian. Meskipun Tentara Indonesia pernah Profesional di masa sebelumnya, di era Suharto Tentara secara bertahap berubah menjadi instrumen/alat otoritarianisme rejim Suharto. Sejak awal tahun 1970an, Tentara menjadi institusi politik paling powerful di Indonesia sekaligus menjadi pilar utama rejim yang berkuasa. Peran politiknya dirasionalisasikan melalui doktrin Dwi Fungsi yang menjadikan Tentara sebagai sayap pertahanan negara yang bertanggung jawab menjaga keamanan negara, sekaligus menjadi instrumen pembangunan. Doktrin Dwi Fungsi ternyata merupakan sebuah ‘anachronism’ karena Tentara justru menjadi penjaga kebijakan Suharto daripada menjadi sayap pertahanan Bangsa.

Kriteria Profesional cocok untuk menggambarkan Tentara Indonesia pasca-1998 di bawah sistem Pemerintahan Presidensial Demokrasi. Ketika Tentara secara politis meninggalkan Suharto pada tahun 1998 dan mendukung demokratisasi, orientasinya mulai bergeser ke arah Profesional. Selain itu, sejak 1998 Tentara Indonesia memutuskan ‘kembali ke barak’, sehingga Ia tidak hanya melepaskan diri dari politik, namun juga meninggalkan kursinya di DPR maupun di DPRD. Seorang anggota aktif harus memilih pensiun dari Tentara ketika ia memutuskan untuk mengisi pos lain di luar Tentara, kenyataan yang sungguh kontras dengan situasi selama Pemerintahan Suharto. Meskipun politisi Sipil dari partai politik terus meminta dukungan dari Tentara maupun dari figur-figur terkemuka di dalam institusi Tentara, namun keterlibatan perwira Tentara dalam politik dapat dikatakan sangat terbatas, itupun dalam kapasitas pribadi, karena Tentara secara INSTITUSI telah memutuskan untuk menolak memberikan dukungan kepada partai politik sebagaimana pernah ia lakukan terhadap Golkar pada masa Orde Baru. Reformasi bertahap yang dilakukan sejak 1998 semakin menegaskan kontrol Sipil terhadap Tentara sekaligus membawa transparansi terkait Anggaran dan Kegiatan Tentara.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Cindy. Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams1966.Anderson, Benedict R. O'G. Java in Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946.

Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 1972.———. "The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1946." Cornell University, 1967.———. "The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1949." Cornell University, 1967.Archive. "Indonesian Serial 1942-1950." Yogyakarta: Perpustakaan Negara, 1974.Barton, Greg. Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT Equinox

Publishing Indonesia, 2006.Benda, Harry J. . "The Beginnings of the Japanese Occupation of Java " The Far Eastern Quarterly

Vol. 15, no. No. 4 (1956): pp. 541-60 Benda, Harry Jindrich The Crescent and the Rising Sun : Indonesian Islam under the Japanese

Occupation, 1942-1945. . The Hague: Van Hoeve, 1958.Bhakti, I.N., Sri Yanuarti, and Muchamad Nurhasyim. "Military Politics, Ethnicity, and Conflict in

Indonesia." CRISE Working Paper No. 62, January 2009 (2009).Bingham, Sandra. "The Praetorian Guard in the Political and Social Life of Julio Claudian Rome."

Ph.D. Dissertation, The University of British Columbia, 1997.Cipta Adi Pustaka. "Ensiklopedi Nasional Indonesia." Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989.Cribb, R. Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian

Revolution 1945-1949. London: Equinox Publishing, 2008.

22

Crouch, Harold. "The 15 January Affairs in Indonesia." Paper presented at the Dyason House Paper, 1974.

———. "Another Look at Te Indonesian Coup." Indonesia Vol 15 (April 1973), (1973).———. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.———. "Indonesia: The Rise and Fall of Suharto's Generals." Third World Quarterly Vol.10 No.1

(January 1988), (1988).Daalder, H. The Role of the Military in the Emerging Countries, Publication of the Institute of

Social Studies. S-Gravenhage: Mouton & CO, 1962.Dick, Howard. "Japans Economic Expansion in the Netherlands Indies between the First and

Second World Wars." Journal of Souteast Asian Studies Vol NN No.2 , September 1989, (1989).

Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat. "Sendi-Sendi Perjuangan Tni-Ad." Bandung: Disjarahad, 1979.Dower, John W. War without Mercy: Race and Power in the Pacific War. New York: Pantheon

Books, 1986.Drea et.al. Researching Japanese War Crimes Records: Introductory Essays. Washington, DC:

National Archives and Records Administration for the Nazi War Crimes and Japanese Imperial Government Records Interagency Working Group, 2006.

Dutch Government. Interogation of Didi Kartasasmita of 9 November 1948. Batavia: Royal Dutch Archive, General Secretary Box VII No.24, 1948.

Editors, The. "Civil-Military Relations since the Fall of Suharto." Indonesia Vol 70 (October 2000), (2000).

———. "Current Data on the Indonesian Army Elite." Indonesia Vol 7, April 1969, (1969).Eklof, Stefan. Power and Political Culture in Suharto's Indonesia: The Indonesian Democratic

Party and the Decline of the New Order (1986-1998): NIAS Press, 2005.Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. . Ithaca: Modern Indonesia

Project, Cornell University Press, 1962.Finer, S. The Man on Horseback. Harmondswort: Penguin, 1976.Gatra. "Untuk Apa Soemitro Menggebrak?" Gatra, 1995.Hamka. "Sikap Dan Kewadjiban Kaoem Moeslimin Di Zaman Baroe." In Moeslimin Soematra

Baroe. Medan: Badan Penjiaran Bunka-Ka, 1943.Harvey, Barbara Sillars Permesta: Half a Rebellion. Ithaca: SEAP Publications, 1977.Hasegawa, Tsuyoshi. The End of the Pacific War: Reappraisals. California: Stanford University

Press, 2007.Huntington, S. The Soldier and the State. Cambridge: Harvard University Press, 1957.Indonesia. Cuplikan Sejarah Perjuangan Tni-Angkatan Darat. Jakarta: Dinas Sejarah Militer,

Angkatan Darat, 1972.———. "Doktrin Territorial Nusantara." Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, 1978.———. "Keppres No.29/1988 Tentang Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas

Nasional." Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1988.———. "Keppres Ri No.132/1967 Tentang Pokok-Pokok Organisasi Dan Prosedur Bidang

Pertahanan Dan Keamanan." Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1967.Indonesian Government. "Archive: Susunan Kabinet Presidensial 2 September 1945-14

Novermber 1945." Jakarta.Jackman, Robert W. "Politicians in Uniform: Military Governments and Social Change in the

Third World." The American Political Science Review Vol. 70 No 4 (December 1976), (1976): pp. 1078-97.

Janowitz, Morris. The Professional Soldier. Chicago: Free Press, 1960.

23

Jawa Pos. "Juwono Soal Rencana Perombakan Struktur Militer: Pnglima Tni Digusur, Diganti Kasgab." Jawa Pos, 2000.

Jenkins, David. Suharto and His Generals. Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1984.

Kahin, George McTurnan Nationalism and Revolution in Indonesia. . Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1952.

Lebra, Joyce C. Japan's Greater East Asia Co-Prosperity Sphere in World War Ii: Selected Readings and Documents. Oxford: Oxford University Press, 1975.

Legge, J.D. Sukarno: A Political Biography. London: Allen Lane the Penguin Press, 1972.Lev, Daniel S. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, Monograph

Series. Ithaca: Southeast Asia Program, Department of Asian Studies, Cornell University, 1966.

Liddle, R.W. "Modernizing Indonesian Politics." In Political Participation in Modern Indonesia, Monograph Series, edited by R.W. Liddle. New Haven: Yale University, 1973.

———. "Suharto's Indonesia: Personal Rule and Political Institutions." Pacific Affairs Vol 58 No.1 (Spring 1985), (1985).

Lucius, Robert. "A House Divided: The Decline and Fall of the Masyumi (1950-1956)." US Naval Postgraduate School, 2003.

MacFarling, Ian, ed. General Sudirman: The Leader Who Finally Destroyed Colonialism in Indonesia. Canberra: Australian Defense Studies Center, 1995.

Maekawa, Kaori. "The Heiho During the Japanese Occupation in Indonesia." In Asian Labor in the Wartime Japanese Empire, edited by Paul H Kratoska. Singapore: NUS Press, 2006.

McDonald, Hamish. Suharto’s Indonesia. Melbourne: Fontana & Collines, 1980.Media Indonesia. "Kelompok Cilangkap Dominan." Media Indonesia, 2000.———. "Korem 161/Wirasakti Ntt Dijadikan Kodam." Media Indonesia, 1999.Moertopo, Ali. Strategi Politik Nasional. Jakarta: Yayasan proklamasi, CSIS, 1974.Nasution, Abdul Haris. Kekaryaan Abri. Jakarta: Seruling Masa, 1971.———. Memenuhi Panggilan Tugas, Vol.1. Jakarta: Gunung Agung, 1982.———. Tjatatan2 Sekitar Politik Militer Indonesia. Jakarta: Pembimbing, 1955.———. Tni Vol.1. Jakarta: Seruling Masa, 1970.———. Toward the People's Army. Jakarta: CV Delegasi, 1964.Nomura, Minoru. "The Dutch East Indies and the Japanese Armed Forces." edited by National

Defense College Military History Department. Tokyo, 2007.Nordlinger, Eric. "Soldiers in Mufti: The Impact of Military Rule Upon Economic and Social

Change in the Non-Western States." The American Political Science Review Vol. 64 No 4 (December 1970), (1970): pp.1131-48.

———. Soldiers in Politics: Military Coups and Governments. Enlewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1977.

Notosusanto, Nugroho. Pejuang Dan Prajurit. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.———. Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang. Jakarta: Gramedia, 1979.Pauker, Guy J. The Indonesian Doctrine of Territorial Warfare and Territorial Management.

California: The Rand Corporation, 1973.Perlmutter, Amos. Egypt: The Praetorian State. New Jersey: Transaction Inc., 1974.———. The Military and Politics in Modern Times: On Professional, Praetorians, and

Revolutionary Soldiers. New Haven and London: Yale University Press, 1977.———. Politics and the Military in Israel 1967-1977: F. Cass, 1978.

24

———. "The Praetorian State and the Praetorian Army: Toward a Taxonomy of Civil Military Relations in Developing Polities." Comparative Politics Vol. 1 No 3 (April 1969), (1969): pp. 382-404.

Pour, Julius. Murdani: Profile of a Soldier's Statesman. Jakarta: Yayasan kejuangan Panglima Besar Soedirman, 1993.

Raliby, Osman. Documenta Historica. Jakarta: Bulan Bintang, 1953.Ramadhan, KH. Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1994.Republika. "Wiranto: Abri Kembangkan Paradigma Peran Baru Sospol." Republika, 1998.Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia, C. 1300 to the Present. Bloomington: Indiana

University Press, 1981.Sastroamijoyo, Ali. Milestone on My Journey: The Memoirs of Ali Sastroamijoyo, Indonesian

Patriot and Political Leader. Queensland: University of Queensland Press, 1979.Schmutzer, Eduard. Dutch Colonial Policy and the Search for Identity in Indonesia 1920-1931 .

Leiden: E.J. Brill's Archive, 1977.Shirer, William L. The Rise and Fall of the Third Reich: A History of Nazi Germany. New York:

Simon & Schuster, 1960.Shunkichiro, Miyoshi. "My Recollections of the Military Occupation in Java, No 14." Kokusai

Mondai 80 67, November 1996, (1996).Simatupang, T.B. Pelopor Dalam Perang, Pelopor Dalam Damai. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.———. Report from Banaran: Experiences During the People's (Translated by Benedict Anderson

and Efinbeth Grave). New York: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, 1972.

Soebroto, Rohmah Soemohardjo. Urip Soemohardjo Letnan Jenderal Tni. Jakarta: Gunung Agung, 1971.

Suara Merdeka. "Jabatan Kasgab Digilir Tiap 3 Tahun." Suara Merdeka, 2000.Suharto, G Swipayana, and KH Ramadhan. Soeharto, My Thoughts, Words, and Deeds. Jakarta:

Lamtoro Gung Persada, 1991.Sujatmoko, Bambang. "Dwifungsi Di Tiga Zaman." Gatra, 1997.Sundhaussen, Ulf. "The Military: Structure, Procedures, and Effects on Indonesian Society." In

Political Power and Communications in Indonesia, edited by K.D. Jackson. Berkeley: University of California Press, 1978.

Syahrir, Sutan. Our Struggle. Ithaca: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Programme, Cornell University, 1968.

Tarling, Nicholas. The Cambridge History of Souteast Asia: From World War Ii to the Present. Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

The Jakarta Post. "The Little Known Prime Minister." The Jakarta Post, 2009.Van Dijk, C. Rebellion under the Banner of Islam : The Darul Islam in Indonesia, Verhandelingen

Van Het Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- En Volkenkunde ; 94 The Hague: Martinus Nijhoff, 1981.

Vatikiotis, Michael R.J. Indonesian Politics under Suharto: Order, Development, and Pressure for Change. London: Routledge, 1994.

Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.Wehl, David. The Birth of Indonesia. London: Allen & Unwin, 1948.Wirasoeminta, Sanusi. Rengasdengklok, Tentara Peta Dan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta:

Yayasan Pustaka Nusatama, 1995.Wiwoho, and Chaeruddin. Memori Jenderal Yoga: . Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1990.

25

26