tmh8 amukan pendekar edan

76
Tujuh Manusia Harimau (8) Amukan Pendekar Edan Motinggo Busye IBU-IBU yang masih menyusui anaknya sudah merasa takut dimana-mana. Kisah anak-anak yang diculik, yang kemudian ditinggalkan dibawah pohon dalam keadaan bolong kepalanya, semakin mengerikan. Sudah banyak ibu-ibu di desa Serunai tidak berani hamil lagi. Sebab Jika pun hamil mereka merasa percuma karena nanti apabila lahir sehari dua hari akan kehilangan anaknya karena diculik. Juga di desa Surya Mulih yang aman damai semenjak diperintah Nyi Surya, mulai resah. Keresahan itu pun terasa sampai ke desa bukit Api yang terkenal memiliki banyak pendekar tersembunyi. Tetapi desa Kumayan pun tak luput dari ketakutan yang sama. Ketika Gumara masih mengobati Ki Lading Ganda, muncullah diambang pintu Ki Putih Kelabu. Melihat keadaan Ki Lading Ganda, Ki Putih Kelabu bertanya: “Belum ada perubahan untuk sembuh?” “Belum, tuan Guru. Silahkan masuk”, ujar Gumara. Ki Lading Ganda diangkut oleh orang utas setelah ditemukan jatuh dari Guha Lembah Surilam. la masih dalam keadaan gila. “Guru Gumara”, ujar Ki Putih Kelabu, “Rasanya anda cuma menghabiskan waktu mengobati Ki Lading Ganda. Ki Jengger sendiri sudah gagal, karena memang cuma Pita Loka yang mampu menyembuhkan penyakit gila ini”. “Memang saya cuma berusaha”, kata Gumara. “Tapi hal yang lebih penting lagi adalah harapan penduduk Kumayan kepada kita berdua. Memang Ki Jengger benar, Guru! Beliau memegang silsilah tujuh manusia harimau yang bukan palsu. Memang kita berdua disini yang sebenarnya sudah ditetapkan sebagai harimau-harimau yang syah. Bukti Ki Talim sendiri bayinya kena culik dan tetap tak berdaya. Sudah aku baca Kitab Tujuh yang aseli, memang tinggal kita berdua saja harimau-harimau yang syah !. Tapi kesahihan kita berdua belum syah apabila kita belum mampu menyergap wanita edan penculik bayi itu. Siapa menurut pendapat anda yang punya ilmu hitam yang kejam itu?” “Siapa saja boleh diduga, asal jangan tuan Guru menduga Harwati”, kata Gumara. “Tapi kuharap juga tuan jangan menyangka puteriku Pita Loka !” ujar Ki Putih Kelabu. “Yang membingungkan memang karena saksi mata yang kebetulan melihat

Upload: antondndndnnd

Post on 04-Oct-2015

59 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Among other requirements, you should upload something that is not already on Scribd and that you have permission to use. The best way to make sure what you are uploading will meet our quality standards is to upload something you wrote yourself, which will always be accepted.Among other requirements, you should upload something that is not already on Scribd and that you have permission to use. The best way to make sure what you are uploading will meet our quality standards is to upload something you wrote yourself, which will always be accepted.Among other requirements, you should upload something that is not already on Scribd and that you have permission to use. The best way to make sure what you are uploading will meet our quality standards is to upload something you wrote yourself, which will always be accepted.Among other requirements, you should upload something that is not already on Scribd and that you have permission to use. The best way to make sure what you are uploading will meet our quality standards is to upload something you wrote yourself, which will always be accepted.Among other requirements, you should upload something that is not already on Scribd and that you have permission to use. The best way to make sure what you are uploading will meet our quality standards is to upload something you wrote yourself, which will always be accepted.nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn

TRANSCRIPT

  • Tujuh Manusia Harimau (8)Amukan Pendekar EdanMotinggo Busye

    IBU-IBU yang masih menyusui anaknya sudah merasa takut dimana-mana. Kisah anak-anak yang diculik, yang kemudian ditinggalkan dibawah pohon dalam keadaan bolong kepalanya, semakin mengerikan.

    Sudah banyak ibu-ibu di desa Serunai tidak berani hamil lagi. Sebab Jika pun hamil mereka merasa percuma karena nanti apabila lahir sehari dua hari akan kehilangan anaknya karena diculik. Juga di desa Surya Mulih yang aman damai semenjak diperintah Nyi Surya, mulai resah. Keresahan itu pun terasa sampai ke desa bukit Api yang terkenal memiliki banyak pendekar tersembunyi.

    Tetapi desa Kumayan pun tak luput dari ketakutan yang sama. Ketika Gumara masih mengobati Ki Lading Ganda, muncullah diambang pintu Ki Putih Kelabu. Melihat keadaan Ki Lading Ganda, Ki Putih Kelabu bertanya: Belum ada perubahan untuk sembuh?

    Belum, tuan Guru. Silahkan masuk, ujar Gumara.

    Ki Lading Ganda diangkut oleh orang utas setelah ditemukan jatuh dari Guha Lembah Surilam. la masih dalam keadaan gila.

    Guru Gumara, ujar Ki Putih Kelabu, Rasanya anda cuma menghabiskan waktu mengobati Ki Lading Ganda. Ki Jengger sendiri sudah gagal, karena memang cuma Pita Loka yang mampu menyembuhkan penyakit gila ini.

    Memang saya cuma berusaha, kata Gumara.

    Tapi hal yang lebih penting lagi adalah harapan penduduk Kumayan kepada kita berdua. Memang Ki Jengger benar, Guru! Beliau memegang silsilah tujuh manusia harimau yang bukan palsu. Memang kita berdua disini yang sebenarnya sudah ditetapkan sebagai harimau-harimau yang syah. Bukti Ki Talim sendiri bayinya kena culik dan tetap tak berdaya. Sudah aku baca Kitab Tujuh yang aseli, memang tinggal kita berdua saja harimau-harimau yang syah !. Tapi kesahihan kita berdua belum syah apabila kita belum mampu menyergap wanita edan penculik bayi itu. Siapa menurut pendapat anda yang punya ilmu hitam yang kejam itu?

    Siapa saja boleh diduga, asal jangan tuan Guru menduga Harwati, kata Gumara.

    Tapi kuharap juga tuan jangan menyangka puteriku Pita Loka ! ujar Ki Putih Kelabu.

    Yang membingungkan memang karena saksi mata yang kebetulan melihat

  • penculikan bayi itu menyebutkan wanita penculik itu edan. Jadi saya tak bisa menyalahkan penduduk sini yang mengira itu Harwati. Kau sendiri tak bisa menyangkal bahwa Harwati masih dalam keadaan edan, kan ?

    Gumara tenang, kendati wajahnya merah padam. Dia lalu berkata; Memang saya malah yang lebih mengetahui, bahwa pelajaran yang dituntut oleh Harwati selama ini, sampai dia gila, melalui guru-guru berilmu setan. Andaikata Ki Rotan masih hidup, dia akan lebih parah darisekarang. Ki Rotan ini bukan orang pertama yang menyeret Harwati ke ilmu setan. Harwati sendiri pernah belajar pada Ki Pata !

    Ki Pata mata Ki Putih Kelabu melotot.

    Ya, Ki Pata...apa anda kenal dia?

    Dia teman masa kecilku!

    Dia penduduk desa Tulus, yang semula menjadi murid yoga Rama Yogi, lalu mendapat serangan kejam dari padepokan Ki Rotan. Ilmunya yang lebih mengutamakan samadhi dia tinggalkan. Dia murtad. Lalu dia mendirikan padepokan sendiri dengan Ilmu Kobra. Harwati pernah mewarisi ilmu ini, dan saya gagal mencegahnya. Tapi bagaimanapun, saya tidak yakin bahwa Hanwati mennpelajari ilmu pemakan bayi. Betapapun, dia berdarah Ki Karat, ayahku....Ayahku berdarah harimau seperti juga anda. Cobalah tuan Guru jangan berburuk sangka pada Harwati.

    Penduduk yang berburuk sangka, Guru Gumara! kata Ki Putih Kelabu.

    Omongan mereka harus tuan cegah kalau begitu! ujar Gumara. Gumara masih memijit bagian atas mata Ki Lading Ganda yang tak mau membuka matanya itu sejak diobati. Lalu dia memberi isyarat pada Alif supaya menggendong Ki Lading Ganda masuk kamar. Memang nasib pendekar ini amat buruk. Keluarganya tak sudi menerimanya kembali dalam keadaan gila.

    Dan muncullah pula diambang pintu pendekar muda Dasa Laksana, murid Ki Putih Kelabu. Dia melapor: Tuan Guru, bayi Tankaya baru saja diculik oleh pendekar edan.

    Gumara cepat menyela: Pendekar edan? Kamu yakin orang edan bisa jadi pendekar dan kamu yakin gelar pendekar bisa pula menculik bayi?

    Mayit bayi itu ditemui dibawah pohon rusasa dekat sumur, dalam keadaan kepalanya bolong, kata Dasa Laksana.

    Gumara cepat menyambar kain sarung. Lalu diliiitkannya kain sarung itu ke lehernya, dan dia mengajak Ki Putih Kelabu dan muridnya menuju rumah Tankaya.

  • BEGITU mereka sampai di rumah Tankaya, maka Nyi Tankaya meratap. Tankaya langsung menuding Gumara: Harap Tuan Guru buka mayit bayi kami, supaya engkau tahu betapa kejamnya Pendekar Edan Harwatimemakan benak bayi kami!

    Ucapan itu menyengat telinga Gumara. Namun kesabarannya luar biasa. Dia amat tenang menuju ke tempat bayi itu dibaringkan, tertutup kain batik. Dan disingkapkannya kain penutup itu. Lalu dia lihat kepala bayi itu bolong. Mayat itu tak lagi punya otak, sudah dihisap oleh wanita edan yang menculik itu.

    Ditutupnya kembaii kain batik itu. Gumara menatap Tankaya. Dia mencoba meyakinkan: Katakanlah penculik yang kejam ini pendekar edan, walaupun sepengetahuanku tak pernah ada pendekar yang edan sebab orang edan tak layak disebut pendekar. Tapi, sekiranya ada pendekar edan, maka sebaiknya jangan dikaitkan dengan nama Harwati!

    Suaranya lembut tapi hatinya tersiksa. Tankaya masih belum puas. Dan mempertanyakan: Jika memang Harwati tidak menculik bayi, tentu dia menetap di satu tempat!

    Memang dia menetap di satu tempat. Sungguh menderita keadaannya di tempat itu! ujar Gumara.

    Dimana tempat itui tanya Tankaya.

    Disebuah guha, di Lembah Surilam, ujar Gumara.

    Anda menjamin dia ada disitu sekarang ini?

    Saya menjaminnya. Dia memang gila disana. Mungkin dia akan gila terus menerus disana, sampai mati. Jelas buat tuan jaminan saya? tanya Gumara.

    Tankaya tak menjawab. Lalu menyeleluk Abung Legoyo: Kunci dari semua bencana ini sebetulnya terpikul dibahu seorang pendekar wanita, puteri Tuan Guru Putih Kelabu. Hanya dia yang bisa menyembuhkan kegilaan Harwati. Tapi kita pernah mendengar sendiri, dia menolak. Karena cemburu.

    Wajah Ki Putih Kelabu merah padam.

    Baiklah kalau begitu tuduhannya. Ini baru satu orang yang menuduh dan mempersalahkan puteriku. Tapi jika nanti tuduhan ini menjalar ke seluruh Kumayan, mau tak mau saya tak bisa berdiam diri. Saya akan cari puteriku yang menghilang itu sampai ketemu. Lalu aku paksa dia mengobati kegilaan Harwati, supaya pendekar edan ini jangan lagi membuat kekacauan ibu-ibu yang memiliki bayi! kata Ki Putih Kelabu, yang langsung membuat Gumara tak bisa menahan kesabarannya, hingga Gumara bertanya: Tahukah tuan Guru, bahwa anda terlalu agung untuk menuduh Harwati sebagai pendekar edan yang memakan otak bayi? Tidak menyesalkah tuan Guru yang mulia mengatakan hal

  • itu didepan mayit di rumah duka ini? Bukankah tuduhan itu mencoreng muka semua turunan Ki Karat?

    Aku ada usul, tuan-tuan, Tankaya menengahi, Kesucian hati Guru Gumara maupun Ki Putih Kelabu tidak pernah kami ragukan. Tapi kesucian hati Harwati maupun Pita Loka tentu belum kita buktikan. Kini kembali kepada jaminan Ki Gumara tadi...

    ...Mengenai Harwati? potong Gumara.

    Ya. Karena saya sangsi apa betul Harwati itu menetap di satu tempat yang disebut Guha Surilam. Tempat itu sulit ditempuh. Terutama bagi kami orang awam. Jangan-jangan keterangan ini sekedar melindungi nama baik Ki Ka.

    Tuan bisa saya bantu untuk ke sana . Nah, baikiah sekarang.Juga tuan bersama saya, dengan saksi-saksi Ki Putih Kefabu dan muridnya Dasa Laksana dan kalau perlu seorang lagi. Abung Legoyo. Mari kita berangkat ke sana untuk memuaskan hati anda. Sekaligus membuktikan bahwa Harwati tidak terlibat dan menetap di guha itu dalam keadaan edan

    Tankaya maupun Abung Legoyo kebingungan dengan tantangan itu. Tapi ketika Tankaya menyatakan Baik saya ikut anda. Abung Legoyo pun menyatakan kesediaan.

    Tuan Guru memegang tangan Abung Legoyo, dan saya memegang tangan Tankaya, ujar Gumara pada Ki Putih Kelabu.

    Apa yang dimaksud memegang tangan kami? tanya Tankaya.

    Supaya anda tak merasa letih berjalan ke sana . Dan waktu bisa lebih dipersingkat, ujar Gumara. Lalu mereka meninggalkan rumah duka itu. Begitu memasuki semak dan jalan pintas, Gumara memegang tangan Tankaya. Langkahnya menggebubu, dan Tankaya keheranan karena irama langkahnya seakan-akan tidak pula berpijak di bumi. Begitupun Abung Legoyo, keheranan bersangatan .karena tidak merasa seperti melangkah melainkan sedikit melayang. Juga keheranan apabila dia menerjang pohonan maka robohlah pohonan itu.

    Dan lebih heran lagi ketika mereka menuruni lembah tanpa ngeri.

    JUGA, ketika mereka harus meloncat batu runcing demi batu runcing yang bagai tombak di dasar lembah itu, mereka berdua ini. Abung Legoyo dan Takaya sama keheranan. Mereka tak sempat bercakap. Tapi juga tak mengeluh lelah.

    Itulah guha itu, di atas itu, kata Gumara.

    Untuk pertama kali aku melihat ada guha disitu, ujar Ki Putih Kelabu.

  • Guha itu kini menjadi guha setan, ujar Gumara.

    Saya tak ingin naik ke sana , kata Tankaya.

    Saya juga tidak, ujar Abung Legoyo.

    Kalau begitu biarlah saya dan Ki Putih Kelabu saja yang memanjat ke atas. Tuan Tankaya... harap tuan percaya kesaksian Ki Putih Kelabu, bahwa Harwati ada di atas situ, dalam guha itu!

    Bagaimana supaya saya puas, kalian berdua sebagai pendekar besar membawanya ke bawah? tanya Tankaya

    Usul yang baik, ujar Ki Putih Kelabu.

    Baik kalau begitu, kendati susah menyergap Harwati karena tenaganya tenaga setan.

    Kalau perlu kita pingsankan, kata Ki Putih Kelabu.

    Biar aku yang menetak urat darah pingsannya nanti.

    Tankaya puas sekali. Baik dia maupun Abung Legoyo, sama terheran-heran melihat dua pendekar kesohor ini memanjati dinding lembah itu bagai dua ekor cicak yang saling berpacu.

    Setiba dibibir guha, memang dua pendekar itu agak kesulitan, namun akhirnya mereka berdua berhasil masuk ke dalam guha.

    Gelap.

    Dan sunyil Tak ada tanda nafas kehidupan.

    Harwati, dimana kau? tanya Gumara lembut, karena curiga bahwa Harwati bersembunyi.

    Tak ada jawaban. Ki Putih Kelabu lalu memoleskan ludahnya pada sepuluh kuku jari tangannya. Dan bersinarlah kuku itu bagaikan lampu. Dan teranglah keadaan dalam guha itu. Namun tak tampak Harwati dalam guha yang menyeramkan itu.

    Gumara terhempas malu. Dia menatap ke wajah Ki Putih Kelabu dan berkata: Saya tak perlu turun lagi. Saya malu bertemu muka dengan dua orang awam itu. Orang awam hanya ingin bukti, bukan ingin penjelasan berupa alasan. Tuan turunlah ke bawah sendirian.

    Tuhan marah padamu karena jaminan kepastian, ujar Ki Putih Kelabu.

  • Saya harus hukum diriku sendiri, Saya akan bertapa seorang diri di sini selama 40 hari, tuan Guru. Saya malu..., dan Gumara menjatuhkan dirinya kepermukaan guha itu, dan airmatanya bercucuran.

    Jangan bersedih hati. Tiap pendekar mesti kena uji, kata Ki Putih Kelabu.

    Kalau begitu turunlah, Katakan pada mereka berdua apa yang kita lihat, sebab anda dipercayakan sebagai saksi. Dan sampaikan salam maaf saya kepada mereka berdua.

    Baik.

    Juga maaf saya yang tulus kepada Tuan Guru sendiri.

    Baik, kata Ki Putih Kelabu. Gumara masih menggeletak kecewa. Dan Ki Putih Kelabu turun dengan meluncur pada dinding guha itu.

    Apa yang saya lihat adalah seperti dikatakan Guru Gumara, ujar Ki Putih Kelabu kepada Tankaya dan Abung Legoyo.

    Kami kurang jelas, kata Tankaya.

    Apa yang dikatakan Gumara adalah apa yang saya lihat. Itulah keterangan saya sebagai saksi. Dan Gumara itu orang yang tulus, bisa dipercaya kata-katanya.

    Jadi memang sulit membawa Harwati ke bawah? tanya Tankaya.

    Yang tuan katakan itu betul, kata Ki Putih Kelabu.

    Lalu dipegangnya tangan Tankaya dan tangan Abung Legoyo, dan berlompatanlah tiga manusia di malam kelam itu di atas tombak-tombak batu alam sampai ke tepi lembah, kemudian memanjati lembah dengan ringan dan kemudian sampai dipucuk lembah disambut oleh Dasa Laksana.

    Kemudian mereka sampai ke rumah duka Tankaya. Dan Tankaya mengumumkan keterangan pada orang yang melayat: Ucapan Gumara bisa dipercaya. Bukan Harwati yang menculik dan memakan otak bayi kami, tapi wanita edan yang lain.

    Apa anda tidak tertipu? tanya isteri Tankaya.

    Kami membuktikannya sendiri, Sekarang pun Gumara masih dalam guha untuk membujuk Harwati turun tapi tak bisa, kata Tankaya.

    Tapi keterangan Tankaya itu tak menghibur para ibu-ibu , bukannya ingin tahusiapa pendekar edan itu. Mereka tak memerlukan pengusutan. Tapi mereka

  • memerlukan penumpasan.Ketika bayi Tankaya dikuburkan, banyak orang hadir juga anak-anak sekolah. Tankaya berpidato : Bayi kami ini adalah korban ketiga penculikan bayi. Kematian harus diiklaskan karena hal itu pekerjaan Tuhan Maha Kuasa. Tapi kita yang hidup tak boleh menyerah. Banyak ibu-ibu di Kumayan ini yang kebetulan belum tertimpa musibah, sekarang ini dalam ketakutan. Kami harap, baik dari pihak keamanan, maupun dari pihak dunia persilatan akan membantu mengurangi kecemasan. Karena pendekar wanita memakan otak bayi, sekalipun pendekar itu bukannya Harwati puteri almarhum Ki Karat, namun kejadian ini tak lepas dari rimba persilatan yang kita orang awam kurang faham, Kebetulan hadir pada pemakaman ini Ki Putih Kelabu, yang mungkin dapat menjelaskan cara penumpasannya.

    Baiklah saya sambut ucapan Tankaya sekarang juga, ujar Ki Putih Kelabu, Tiap murid ada gurunya. Tiap persilatan ada medannya. Tak bisa disangkal, wanita gila yang kejam ini tentu ada gurunya. Cuma medan yang dia pilih ternyata sesat. Yaitu bayi tak berdosa. Saya sebagai orang tua yang dipercaya yang kebetulan memiliki beban ahlak untuk menumpas kejahatan, akan menerima kewajiban ini. Tapi kalian yang mengaku awam pun jangan lengah. Tiap gelagat mencurigakan, lapor pada saya.

    Kebetulan hari itu hari Kamis.

    Besoknya hari Jumat, karena itu malam itu malam Jumat Kliwon. Banyak ibu-ibu melemparkan air berkembang tujuh dalam kendi yang dipecah di depan rumah. Banyak yang membakar setanggi dan menyan. Tapi malam Jumat Kliwon ini dirasa aneh. Sebab sejak waktu isya anjing banyak yang melolong.

    Setan sedang berkelilingdi sini, ujar lbu Kabulono.

    Ibu itu mendekapi bayinya. Dan bayinya menyedot putik teteknya amat kuat sehingga dia meringis. Pak Kabulono duduk di pinggir tempat tidur. Di rumahnya tidak memasang asap menyan atau setanggi. Tapi dia mendadak berkata pada isterinya : Sepertinya saya merasakan bau menyan.

    Saya juga , ujar isterinya merinding.

    Saya merinding, bu, kata pak Kabulono.

    Saya juga merinding, pak, kata isterinya.Suami isteri itu ketakutan. Mereka sama-sama mencemaskan sang bayi. Lalu sang suami bertanya:tadi pintu belakang ada kamu kunci?

    Ada .

    Wah, ketakutan kita kali ini melebihi ketakutan perampokan sengit 10 tahun yang lalu, kata Kabulono.

    Tolong periksa lagi pintu belakang dan depan, Pak, ujar Bu Kabulono.

  • Ha? Aku takut! ujar sang suami. Suami isteri itu menatap pada bayi yang sudah melepaskan kemotan bibirnya pada tetek sang ibu, Mereka cemas, jangan-jangan malam ini bayi mereka jadi korban penculikan.

    Seingatmu, masih ada berapa bayi lagi yang belum diculik di sini, Bu? tanya Kabulono pada isterinya.

    Aku bersama sebelas ibu lainnya. Tiga ibu sudah kena culik. Dan terakhir Pak Tankaya dan isterinya ketimpa musibah. Tadi pagi baru dikuburkan bayinya. Bagaimana perasaan kau, Pak?

    Aku sangsi pada anak ini, kata Kabulono, lalu menundukkan kepala mencium kening bayinya.

    Bau menyan lagi! mendadak isterinya setengah kecut berucap. Dan Kabulono mulai kebingungan.

    Ya, bau menyannya hebat, kata Kabulono.

    Jangan-jangan pendekar edan itu sedang mengelilingi rumah kita, kata sang isteri.

    Mari kita menyerah saja, ujar sang suami, yang mandi keringat dan merasakan lagi bau menyan. Lalu bau kembang.

    Bau kembang mayit, Bu, apa kau rasakan? tanya sang suami. Bu Kabulono memejamkan mata, dan mulai menangis: Ya, bau kembang lagi, bau kembang mayit. Kurasa, penculik bayi ini bukan manusia. Tapi orang halus, Pak.

    Kita jangan tidur, Bu. Bau menyan dan kembang semakin menyengat, kata suaminya. Ketika keduanya merinding ngeri, mendadak mereka saling bertatapan muka.

    Keduanya melotot ngeri! Mereka mendengar ada orang melangkah dibelakang dapur.

    Wah, itu dia rupanya, Bu. Kini giliran bayi kita, ujar Pak Kabulono, mulai mencucurkan air mata!

    SUAMI isteri itu saling berdekapan sembari mendekapi sang bayi. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dibelakang.

    Aduh, Bu! Itu dia, ujar sang suami, yang lebih ngeri dan merinding. Tapi isterinya berkata lebih sabar: Tapi mungkin saja itu bukan penculik. Mungkin itu tetangga kita.

    Pintu itu diketuk lagi. Bu Kabulono memberanikan diri bertanya: Siapa yang ngetok pintu itu? Kali ini belum kedengaran sahutan. Dan sang suami

  • berkata: Jangan tanya lagil Itu pasti pendekar edan penculik!

    Keduanya tegang. Pintu itu diketuk-ketuk lagi, sampai Bu Kabulono memberanikan diri bertanya: Siapa ngetok itu!

    Saya.

    Siapa?

    Harwati, Saya haus. Saya lapar, terdengar sahutan.

    Bu Kabulono segera mendekapi bayinya, Aduh, nak, kau akan celaka, nak.

    Menjeritlah, Bu supaya ketahuan orang, kata sang suami.

    Kaulah, Pak.

    Suaraku tak mau keluar..., ujar Kabulono.

    Aku lapar... Buka... Buka,.., terdengar suara. Pak Kabulono gemetaran, juga isterinya. Dan karena mereka tak mau membuka, rupanya pintu itu tak dikunci. Pintu itu terbuka,...

    Satu sosok wanita dengan rambut terurai, bertongkat melangkah masuk. Bu Kabulono biarpun ngeri mendekapi anaknya, memang yakin itu tentunya Harwati anak Ki Karat. Juga sang suami masih sempat mengingat wajah itu.

    Suami isteri yang ketakutan itu merengek.

    Jangan ambil anak kami... jangan..,..

    Aku lapar, ujar Harwati yang rambutnya kusut masai, bertongkat. Harwati semakin maju. Ada keinginan menjerit. Tapi Bu Kabulono tak kuasa. Suaranya tercekik sendiri si kerongkongan. Pak Kabulono sudah pasrah. Tubuhnya basah bermandi keringat. Namun dia mencoba memperkuat batin denga memperhatikan gerak-gerik Harwati. Harwati berdiri di ambang pintu kamar dengan bola mata mengerikan. Dia menyeringai. Rasanya seperti mengintip bayi yang didekap bu Kabulono.

    Dalam ketegangan begitu, Harwati masih saja berdiri, menyeringai mengerikan.

    Itu apa yang didekap ? makanan? tanya Harwati.

    Aduh janganjangandiakalau kau lapar, ambil apa saja makanan di meja itu! Harwati melihat tunjuk bu Kabulono. Lalu dia keheranan mundar-mandir mengelilingi meja. Begitu tutup nasi dia buka, langsung saja dia angkat bakul nasi dan dia lahap makan nasi itu tanpa menyuap, mulutnya seperti mulut babi yang makan ampas dedak. Dan dalam sekejap mata nasi sebakul itu habis. Sisa nasi itu masih ada di pinggir bibir.

  • Suami isteri itu masih tegang, tak menyaksikan perbuatan Harwati. Lallu mereka berdekapan lagi melihat Harwati melintas pintu. Tapi dia terus melangkah sampai keluar rumah.

    Dan senyaplah!

    Legalah hati suami isteri itu. Sang isteri berkata : Ayoh segera tutup pintu belakang itu, pak!

    Aku belum pasti dia sudah pergi, ujar sang suami.

    Kalau begitu dekapi bayi ini, Pak, kata sang isteri.

    Kabulono menggantikan posisi isterinya. Dia mendekapi bayi. Dan wanita itu menjadi berani turun dari tempat tidur lalu ke belakang. Memang dengan nafas yang megap-megap dia melangkah menuju pintu.

    Lalu ditutupnya dengan kemampuan kilat. Dan lalu dia lari ngacir masuk kamar dan menghempas dengan nafas terhempas pula. Keesokan paginya, didepan kantor polisi bertekuk lututlah Pak Mujabir dengan meratap: Pak, tolonglah! Anak kami diculik wanita gila itu subuh tadi dan belum ketemu.

    Tiga polisi mengikuti Pak Mujabir setelah mencatat proses verbal. Dan bayi yang terculik itu ternyata ditaruh dibalik pagar bambu sumur ditutupi karung. Kepalanya kerowak, bolong. Otaknya sudah disadap sang penyadap.

    Kami tadi malam kebetulan melihat wanita edan itu, ujar seorang anak muda.Bagaimana rupanya?

    Rambutnya kusut. Bertongkat. Dan memang mirip Kak Harwati anaknya Ki Karat, kata anak muda itu.

    Kita harus minta bantuan Guru Gumara, kata letnan polisi Jarusi.

    Dia sedang bertapa di guha, ujar Ki Putih Kelabu yang dimintai mengangkat bayi ke dalam rumah. Dalam kebingungan begitu, Ki Putih Kelabu berkata pada suami isteri yang berduka: Biar aku jemput Gumara nanti malam!

    Ki PUTIH KELABU tiba-tiba menyadari, bahwa tidak ada gunaya menemui Gumara. Yang lebih penting lagi menemukan putrinya sendiri, Pita Loka. Dia akan berpegang pada ucapan Ki Jengger bahwa saat ini dia lah satu-satunya di Kumayan sebagai Harimau tertua. Dan karena itu harus memikul tanggung jawab apabila kekacauan terjadi akibat kejadian yang menyeret-nyeret nama dunia kependekaran.

    Malam ini dia rembug dengan Dasa Laksana, muridnya.

    Siapkan kuda dua ekor untuk kau dan untuk saya. Kit aharus menemukan Pita

  • Loka dengan cara apapun. Sebab beberapa bukti sudah jelas bahwa Harwati dengan ilmu setan yang membuat dia gila ini sudah ngawur. Tidak boleh terjadi lagi dia menyedot otak bayi di Kumayan ini. Karena Cuma Pita Loka yang bisa menyembuhkannya maka kita harus cari Pita Loka sampai ketemu demikian ujar Ki Putih Kelabu.

    Dengan patuh Dasa Laksana pergi ke rumah Lurah. Lurah tentu saja dengan senang hati meminjamkan dua ekor kudanya, kuda jenis Sumbawa yang tegap.

    Harusnya keberangkatan itu di rencanakan lewat tengah malam.

    Tetapi di rumah keluarga Ayoman Burawa sedang terjadi kegaduhan. Seorang wanita dengan rambut kusut masai memasuki rumahnya untuk menculik bayi. Dan ternyata Ayoman berani melakukan perlawanan. Wanita mendadak mau membunuh Ayoman sehingga Ayoman berteriak.

    Ketika itu masuklah satu wanita lagi yang keadaan rambutnya lebih mengerikan. Wanita ini dikira Ayoman adalah komplotan wanita pertama. Tetapi mendadak wanita yang muncul itu menggetarkan suaranya mirip auman harimau.

    Ayoh pulangkan bayi itu, kalau tidak turunan Ki Karat akan menerkammu!

    Wanita penculik itu memulangkan bayi pada Ayoman Burawa yang sedang keheranan.

    Siapa kamu? tanya wanita penculik.

    Aku Ki Harwati, putri Ki Lebai Karat yang selalu menguntit kamu menculik dan memakan bayi-bayi disini.

    Kurang ajar! Keluar kau, perlihatkan padaku ilmu kau!

    Ayoman Burawa ternganga heran.

    Dan lebih heran lagi ketika dilihatnya orang kusut masai yang mengaku Ki Harwati itu, menyeret wanita penculik keluar rumah Ayoman Burawa. Ayoman Burawa terkesima lalu menyerahkan bayinya pada isterinya.

    Ayoman keluar rumah melihat kejadian yang mentakjubkan!

    Dua pendekar wanita sedang adu kekuatan dalam kegelapan malam. Tidak jelas baginya lagi mana yang Ki Harwati maupun lawannya.

    Ki Putih Kelabu maupun Dasa Laksana sudah berada ditempat kejadian karena ada orang yang melaporkan padanya. Tapi baginya belum jelas siapakah dua pendekar wanita itu. la kuatir, salah seorang diantara yang dua itu adalah Pita Loka putrinya sendiri. Maka dia segera berteriak: Pita Loka Hati-hati

  • menghadapi lawan!

    Ki Harwati barusan saja melakukan tendangan berbalik sehingga wanita penculik itu tersungkur. Mungkin pingsan.Harwati lalu berdiri tegap dan berkata ke arah Ki Putih Kelabu: Saya bukan Pita Loka! Saya Harwati! Saya tidak menculik bayi.

    Ki Putih Kelabu tercengang. Lebih tercengang lagi dia melihat betapa cekatannya Harwati menangkis serangan mendadak dari wanita tak dikenal yang jadi lawannya itu.

    Sementara terjadi pergumulan seru, Ayoman Burawa mendekati Ki Putih Kelabu dan berkata: Tuan guru, kita sudah salah tuduh. Lawan Harwati itulah penculik bayi yang sebenarnya. Bayi saya hampir saja berhasil dirampasnya, untung dibela oleh Harwati!

    Ha?

    Saya tidak berdusta, ujar Ayoman Burawa.

    Ki Putih Kelabu langsung terjun ke arena, setelah dapat membedakan mana yang Harwati dan mana yang bukan.

    Bedanya cuma pada ikat kepala. Yang pakai ikat kepala itu lawannyaHarwati.

    Ki Putih Kelabu langsung memulai dengan jurus harimau mengitari lawan. Dia kemudian menghambur dengan cakar tertuju pada sasaran yang kebetulan sedang mundur mengambil kuda-kuda untuk menyerang Harwati. Sergapan itu mengenai kedua bahu lawannya, yang liat tangguh memutar badan dan menjungkirkan Ki Putih Kelabu, Tetapi dengan berkelebat Ki Putih Kelabu sudah menjelma jadi harimau, ini ketahuan ketika ekor harimau itu mengibas dan membelit leher wanita penculik itu. Wanita penculik itu menjerit lantang.

    Sang harimau tidak memberi ampunan lagi. Dia mencekiknya terus kendati dengan ligat sekali wanita penculik berjungkiran. Tampak pergumulan itu makin melemah dan melemah. Lalu mengaumlah suara dahsyat. Tapi kemudian orang melihat Ki Putih Kelabu yang sudah berdiri.

    Dimana Ki harwati ?, tanya Ki Putih Kelabu.

    Barulah orang menjadi sadar dan mencari dimana Harwati. Ternyata Harwati tidak tampak lagi. Tapi tidak ada yang tahu, bahwa Harwati barusan saja bicara dengan istri Ayoman Burawa. Katanya : Untunglah bayimu selamat, Bu. Yang selama ini menculik adalah murid-murid Ki Kembar saja. Dia barusan muncul mencari mangsa karena mengetahui kepala anak ibu kucirnya tiga. Nah, selamat tinggal.

    Kemana kau , Harwati?

  • saya akan melanjutkan perjalanan, Bu.

    Apa kamu perlu pakaian yang baik?

    Ini cukup, kata Harwati

    Lalu ia menghambur bagai roket dan meloncat dari pohon ke pohon tanpa diketahui orang.

    Di lapangan, Ki Putih Kelabu masih bertanya lagi pada Dasa Laksana : Sudah kamu temukan Harwati Ki Dasa?

    Belum, ujar Dasa Laksana, Tapi barusan saya baru diberitahu seseorang bahwa ada wanita yang meloncat dari pohon ke pohon , terus ke arah selatan.

    Ah, sayang dia begitu berjasa tapi terlepas begitu saja., ujar Ki Putih Kelabu.

    Siang itu banyak orang yang menontoni mayat yang masih terkapar di lapangan itu. Sebagian besar mukanya babak belur. Memar. Tapi bahu dan dadanya koyak berbekas cakaran. Nama Ki Putih Kelabu dibicarakan seharian itu. Dan muncullah Ayoman Burawa membawa berita. Dia menceritakan Harwati mengucapkan selamat tinggal kepada isterinya.

    Yang terpenting, isteri saya punya kesan Harwati tidak gila, ujar Ayoman Burawa.

    Memang begitu adat persilatan. Pengertian edan dalam diri pendekar yang sedang menuntut ilmu berbeda dengan orang-orang gila biasa. Kini terbukti bahwa Ki Jengger benar. Itu dibacanya pada Kitab Tujuh yang aseli, yaitu , ada diantara turunan Ki Karat harus melakukan rimba edan bagai salah satu godokan kawah candradimuka. Tapi yang lebih penting lagi adalah kesaksian saya mengenai bajingan persilatan yang baru kubunuh , Ayoman!

    Kesaksian apa yang tuan guru lihat?

    Yang telah kubunuh itu adalah Nyi Kembar.

    Nyi Kembar itu siapa, tuan guru? tanya Ayoman Burawa.

    Isteri Ki Kembar. Ki Kembar adalah dua orang guru ilmu iblis yang padepokannya ada di Bukit Kembar. Ilmu itu aneh. Dua anak kembar yang kemudian disebut Ki Kembar, menuntut ilmu tapi dia harus mencari isteri yang terdiri dari dua bayi kembar wanita.Lalu mengembaralah dia kemana-mana melihat ibu-ibu yang baru melahirkan bayi. Tiap ibu yang baru melahirkan bayi satu bukan kembar lalu diculik dan dimakannya benaknya. Sampai kemudian ditemukan ibu yang melahirkan bayi kembar. Lalu Ki Kembar menyerahkan bayi kembar itu kepada sang guru. Menjelang bayi-bayi itu

  • menjadi anak perawan, waktu itulah dua pemuda kembar itu memperdalam ilmu iblisnya. Setelah dua bayi kembar tadi jadi perawan, lalu dikawini. Tapi dua-duanya mandul. Ki Kembar mati, yang tinggal adalah Nyi Kembar. Dua penganut ilmu iblis ini akhirnya menamakan dirinya juga Ki Kembar. Itulah cerita yang kudengar. Tapi sekarang sudah menjadi kenyataan bahwa satu dari pendekar yang kejam ini sudah mati. Kukira Harwati, pergi untuk mencari Ki Kembar yang satu lagi. Mudah-mudahan begitu. Namun kasihan, dia masih dalam keadaan gila. Karena itu kita tetap perlu mencari Pita Loka.

    Saya akan mengawal tuan, ujar Dasa Laksana.

    Tentu. Ini bagian dari mata pelajaranmu dariku! kata Ki Putih Kelabu.

    Keberangkatan Ki Putih Kelabu kali ini tanpa rahasia.

    Sebab Lurah sudah memerintahkan penduduk Kumayan untuk melepas beliau. Beliau dianggap berjasa sekali. Memang selama ini nama beliau kurang kesohor sebab terhimpit oleh ketenaran almarhum Ki Lebai Karat.

    Dua ekor kuda meringkik. Lalu Ki Putih Kelabu berkata: Aku jamin, selama aku mengembara. tidak ada pendekar busuk yang bisa mengacau Kumayan. Ludahku akan kutinggalkan dibumi desa ini.... beliau meludah ke empat jurusan, kemudian mengatakan Selamat tinggal!

    Selamat jalan, tuan Gurul suara penduduk gegap gempita.

    Suara derap kaki kuda itu kemudian menjauh ke arah selatan, Kuda-kuda itu menerobos semak belukar, dan ketika tiba diperbatasan beliau berkata pada Dasa Laksana: Kita ke Bukit Api.Dimana dan siapa disana, Ki Guru?

    Aku telah puluhan tahun tidak jumpa dengan Ki Surya Pinanti di Bukit Api. Agaknya Pita Loka memperdalam ilmunya disana, ujar Ki Putih Kelabu.

    KUDAkuda itu menyeberangi sungai dan membelah sungai itu dengan belahan yang mengagumkan seperti ketika Nabi Musa membelah Laut Merah.

    Tepat ketika dua ekor kuda yang ditunggangi Ki Putih Kelabu dan Dasa Laksana itu mendaki Bukit Merah itu, maka muncullah di sore itu seekor harimau tua, sehingga Ki Putih Kelabu segera berkata pada Dasa Laksana: Dasa, ayoh cepat turun. Kita disambut oleh seorang Guru Besar.

    Mereka turun dari kuda. Lalu Ki Putih Kelabu berkata pada Dasa Laksana dengan tegas: Tuntunlah kudaku keatas.

    Dasa Laksana dengan cekatan menuntun kuda menaiki bukit, Ki Putih Kelabu menggeram, lalu menjelma menjadi seekor harimau. Dua harimau saling berhadapan. Dan kemudian saling bergulat-gulatan jungkir balik!

    Tapi...tentu tidak ada yang kalah dan yang menang. Itulah upacara rindu

  • antara seperguruan.

    Dan kemudian, kemudian sekali, kedua-dua harimau yang sudah saling kangen itu sudah menjelma kembali sebagai dua pendekar Ki Buaya Pinanti dan Ki Putih Kelabu!

    Anakmu sudah kulatih baik! kata Ki Surya Pinanti.

    Dia ada disini sekarang ini!

    Ha?

    Dia ada disini?

    Kau jangan mengigau. Aku hanya melatihnya sampai Ilmu Api. Selanjutnya ia harus mencarinya sendiri. Jadi kedatanganmu ke padepokan Bukit Api ada kaitannya dengan Pita Loka?

    Ya, Ki Surya Pinanti

    Tentu ada sesuatu yang penting, kata Ki Surya Pinanti.

    Lalu Ki Putih Kelabu diajak memasuki padepokan. Nyi Surya Pinanti muncul membawa minuman. Minuman madu.

    Ada berita sedih dari salah satu saudara kita yang sudah almarhum.

    Harwati puteri Ki Karat? tanya Ki Surya Pinanti.

    Betul. Dia dalam keadaan gila.

    Memang begitu yang aku dengar dari Ki Jengger, ujar Ki Surya Pinanti.

    Anakku itu memang keras kepala. kata Ki Putih Kelabu.

    Bukan dia yang keras kepala, Ki Putih Kelabu. Tetapi setiap pendekar yang akan mencapai kematangan setingkat Guru, perlu melalui berbagai cobaan. Apa bedanya dengan keadaan kita dulu. sebelum kita disyahkan Jadi harimau. Bukan begitu?

    Ki Putih Kelabu meminum madu itu lagi. Beliau lalu berkata: Betapapun juga, setidaknya kedatangan saya in untuk mengucapkan terimakasih. Kalau Pita Loka tidak bermukim disini sekarang, itu memang sudah suratan!

    Bahkan dia menolak mengobati kegilaan Harwati adalah suratan. Semua sudah saya baca kembali dalam Kitab Tujuh. Kegilaan Harwati ini pun sudah suratan. Mereka mewarisi Kitab Tujuh hanya sebagai suatu lompatan ke jurus depan. Didepan mereka itu sedang menunggu suatu Kitab yang lebih hebat dari Kitab yang kita warisi. Yaitu Kitab Harimau Putih. Semoga anak turunan yang mewarisi kitab itu kelak cukup tabah dan bukannya bercerai berai!

  • Ki Putih Kelabu menunggu habisnya wejangan KiSurya Pinanti. Baru dia kemudian berkata: Jadi dunia persilatan ini masih akan berlanjut?

    Akan berlanjut terus. seirama dengan persenjataan nuklir dan roket. Bedanya, roket tidak punya rohani. Tapi seorang pendekar memiliki rohani. Memiliki ruh. Coba tuan pikirkan, siapa yang mendorong tuan ke Bukit Api ini jika bukan ruh pendekar? Hanyamembuang waktu.

    Karena ikatan batinku dengan Ki Karat, ujar Ki Putih Kelabu, Aku kasihan melihat Harwati mengembara dalam kegilaan. Sedangkan kunci obatnya ada ditangan anakku, yang sebenarnya mampu menyembuhkan Harwati.

    Kini Ki Guru tak perlu risau lagi, ujar Ki Surya Pinanti, Semua soal sudah ada tatanannya dan ada yang Menata. Jadi bukan tidak mungkin bahwa gilanya Harwati tanpa suatu keperluan.

    Kata-kata orang bijaksana dan arif memang selalu terbukti kebenarannya. Dalam perjalanan mau pulang ke Kumayan, Ki Putih Kelabu dan Dasa Laksana harus berbelok ke desa Serunai karena tebing kulon runtuh.

    Desa Serunai dalam keadaan tegang! Seorang pendekar wanita sedang mengobrak-abrik desa itu dan telah menewaskan sebelas orang penduduk. Padahal, desa ini pernah mengalami bencana hebat ketika kehilangan seratus orang yang terbaik sebagai tumbal dan mangsa ilmu iblis.

    Penduduk ketakutan, meratap, menjerit dan menangis!

    Ki Putih Kelabu berkata pada Dasa Laksana: Kau awasi keadaanku disini! Ini tentu pendekar gila yang bikin gara-gara!

    Baik, tuan. Tuan akan saya awasi terus!

    Lalu menghamburlah Ki Putih Kelabu keudara dengan suara auman yang seram. Dia sudah sekelebatan tahu, bahwa satu perguruan sifat iblis sedang melakukan kezaliman di desa Serunai. Harimau tua itu segera mencakar seorang pendekar yang mau menelanjangi seorang gadis yang diseretnya dari dalam rumah.

    DENGAN cakarnya dikoyaknya pendekar sinting itu sehingga tubuhnya benar-benar terbelah dua, kecuali kepalanya!

    Seketika itu juga terdengarlah suara gemuruh kaki kuda menghilang menuju ke tenggara.

    Sekarang aku tahu. ujar Ki Putih Kelabu, Bahwa yang melakukan kejahatan ini sama dengan yang di Kumayan. Kembarannya Nyi Kembar. Terbukti mereka menuju ke Bukit Kembar itu I

    Saya akan memeriksa yang tinggal. ujar Dasa Laksana.

  • Yang tinggal cuma satu itulah. Yang sudah mampus saya koyak tadi dan itu cukup menjadi mata pelajaran bagi Kembaran lblis itu.

    Kita pulang sekarang, tuan Guru!?

    Kita minum tuak dulu disini. Tuak disini sangat enak karena dicampur sari madu,

    Tapi di awal malam itu. warung sudah tutup sejak munculnya teror Nyi Kembar. Rumah rumah pun sudah terkunci.

    Ki Putih Kelabu mengetuk pintu sebuah warung yang tutup. Pemiliknya, Tola ketakutan.

    Saya Ki Putih Kelabu bukan orang jahat. Sayalah yang sudah mengusir penjahat dari Bukit Kembar tadi. Ki Putih Kelabu menjelaskan. Lalu agar lebih meyakinkan pemilik warung, beliau menambahi; Saya sudah lama merindukan minuman tuak Serunai yang nikmat.

    Tola menoleh pada isterinya. Isterinya mengangguk.

    Lalu Tola membuka pintu. Ki Putih Kelabu membungkuk diikuti oleh Dasa Laksana.

    Ini muridku. Kami kebetulan lewat ke sini ketika kami mendengar desa ini dilanda ketakutan. Tapi percayalah, mereka tak berani kembali ke sini lagi. Boleh kami duduk?

    Silahkan tuan Guru, ujar Tola.

    Ki Putih Kelabu bersama Dasa Laksana duduk dengan sopan.

    Tuak panas ya!? ujar sang Guru.

    Baik, tuan.

    Sembari menikmati minuman tuak panas yang sedap itu,

    Ki Putih Kelabu bertanya: Sudah berapa kali Nyi Kembar menyerang desa kalian?

    Ini yang kedua. Tapi untunglah yang pertama mereka dapat di usir oleh pendekar sinting yang mengamuk.

    Kenalkah kalian pendekar edan itu? tanya Ki Putih Kelabu.

    Kami mengenalnya. Setahu kami dulu dia melatih silat disini, cuma saja silat itu mungkin silat sesat. Seratus penduduk semuanya mati ketika diajaknya menyerbu Desa Surya Mulih, begitupun kuda-kuda semua mati. Dan

  • lima pengawalnya hasil culikan dari desa Tulus pun mati. Mereka menyerbu bersama Ki Rotan.

    Sebentar nak, ujar Ki Putih Kelabu seraya menghirup tuak, Kamu katakan Ki Rotan terlibat bersama Harwati?

    Ya. Kami selalu akan mengenang dukacita itu. Tapi ketika Ki Kembar mengobrak-abrik desa Serunai, justru Ki Harwati, dalam keadaan sinting, muncul membela kami dan telah diusirnya para penjahat itu ke tenggara.

    Jangan ingat segala yang buruk mengenai Ki Harwati. Ingatlah yang baik-baik saja yang pernah dia sumbangkan untuk menentramkan hati kalian. Tanpa bantuannya, tentu sudah dihabisi desa kalian ini!

    Bahkan mereka sudah membakar dua rumah, ujar Tola.

    Sungguh jahat ilmu iblis Ki Kembar. Tapi jika kami nanti melanjutkan perjalanan, aku ada pesan untuk Harwati.

    Melanjutkan perjalanan ,tuan Guru?, tanya Tola.

    Tuan jangan meninggalkan desa kami dulu, tuan Guru! Kami mohon sangat, karena kami takut dan sudah tidak bisa tidur sejak serangan pertama. Mereka kejam dan beringas, ujar isteri Tola.

    Tapi aku tak bisa menunda., ujar Ki Putih Kelabu. Sebab akupun sedang mencari puteriku.

    Ah, tuan Guru. Kami kira tuan Guru mau bermukim di desa kami agak lebih lama, ujar Tola.

    Kami butuh ada pendekar yang melindungi kami, kata isteri Tola. Lalu Ki Putih Kelabu menoleh pada Dasa Laksana.

    Pahamkah kau mengapa aku melihat wajahmu, Dasa? tanya sang Guru.Saya paham, tuan.

    Kalau begitu siapkan kudaku. Biar aku sendiri yang pergi. Dan kau kutitipkan amanat, agar menjadi anak panah pertama jika para pengacau itu datang ke sini., ujar Ki Putih Kelabu dengan nada takzim.

    Dasa Laksana berdiam sejenak. Tola bertanya :Jadi pendekar muda inikah yang akan membela kami?

    Kuulangi :Dia akan menjadi anak panah pertama yang melesat untuk menangkis serangan Nyi Kembar. Jelas?

    Ribuan terima kasih, tuan, ujar Tola yang langsung memeluk dengkul Ki Putih Kelabu.

  • Dan dalam perjalanan berkuda meninggalkan desa serunai di lembah bawah sana yang selama ini tak dikenalnya, terdengar suara jerit pekik manusia. Suara itu dibawa oleh angin dari lembah bawah sana itu. Tapi Ki Putih Kel;abu mengalami kesulitan dengan kudanya.

    Beliau melihat tebing ini terlalu curam. Namun beliau sudah menduga, pastilah jerit pekik manusia di bawah itu tentunya karena munculnya sang pengacau lagi. Jangan-jangan Nyi Kembar lagi!

    Padahal yang membuat penduduk desa kecil itu menjerit bukanlah karena mereka yang terancam. Tetapi mereka belum pernah menyaksikan suatu perkelahian yang begitu seru semacam sekarang ini.

    Ketika itu matahari akan terbit. Gerombolan Nyi Kembar baru akan memasuki desa itu, namun sudah dicegat oleh seorang pendekar wanita compang-camping dengan sepasang pedang ditangannya.

    Lima belas ekor kuda meringkik. Ketika itulah Harwati mencegat para pengacau itu, yang menurut par asaksi mata di desa itu, semula tidak menggunakan pedangnya. Pendekar wanita itu langsung meloncat ke udara, dengan bunyi auman harimau, namun dia bukan harimau! Dia tanpa pedang, tapi melayani lawan dengan tangan kosong!

    Mereka juga heran sejak kapan pendekar wanita itu mendapatkan pedang. Sebenarnya hal itu terjadi dalam sekelebatan. Denagn jurus kesintingan, dia mengamuk menerkam, tapi kemudian dikibaskan oleh Nyi Kembar, dan terjungkirlah dia ke semak dalam keadaan tak berdaya. Mendadak dia mendengar suara berseru :Harwati!Surandar!

    Dua pedang melayang bagai kilatan di subuh hari itu..langsung ditangkap gagangnya oleh Harwati. Dengan dua pedang itulah pertempuran itu dilayani oleh pendekar sinting yang numpang menginap di desa kecil itu.

    Mereka semua terkagum-kagum. Orang yang numpang menginap selama tiga malam tanpa makan itu ternyata seorang pendekar yang luar biasa, Mereka intip dari celah rumah bambu mereka betapa dua pedang itu melayani tombak-tombak yang melayang dan meleset tak jadi mengenai tubuhnya.

    Nyi Kembar penasaran. Dia menghambur keudara, dan dengan kayu bulat lima hasta itu sebagai senjatanya... dia menjatuhkan diri ke bumi lalu memutar tubuhnya. Ki Harwati justru masuk diantara putaran kayu bulat itu agar dua pedangnya berhasil membacok tubuh lawannya. Tapi tiap pedang itu mengenai, lalu membal. Dan membal terus sehingga Harwati cepat meloncat ke luar dari putaran kayu bulat di tangan Nyi Kembar. Pedang itu kini digunakannya untuk membacok kayu bulat itu, Mata pedang Surandar itu langsung masuk ke kayu bulat itu, dan disinilah teruji ketrampilan pendekar. Kayu bulat yang dipegang Nyi Kembar, dan pedang yang sudah berkait dengan kayu bundar itu, yang gagangnya dipegang erat oleh Harwati, membuat keduanya harus saling membantu keseimbangan agar jangan terkena celaka.

  • Rupanya mata pedang Surandar itu masuk begitu dalam ke kayu bulat itu sehingga dua pendekar yang sama kuat itu saling membantingkan diri ke tanah agar senjatanya tidak lepas. Harwati mengibaskan Pedang Surandar yang satu lagi, yang di tangan kiri agar mengenai kepala Nyi Kembar.

    Begitu pedang itu mengenai kening Nyi Kembar, ternyata hanya bunyi logam melenting saja yang kedengaran.Makin lama kegesitan dua pendekar yang bertahan memegangi senjata seraya menyeimbangkan diri dalam jumpalitan itu... semakin kuat, sehingga yang justru terbongkar adalah tanah-tanah sekitar. Bahkan bekas telapak kaki kedua pendekar itu membuat bolongan bekas di tanah.

    Anak buah Nyi Kembar ada yang tidak bisa menahan diri. Dia terjun dengan keberanian ibiis memasuki pertempuran seru itu, sebagai orang ketiga. Tapi pukulan tongkat bulat anak buah ini ditangkis oleh pedang di tangan kiri Harwati! Pedang itu melengket memasuki tongkat bulat itu.,..Anak buah Nyi Kembar ini sial. Dia lumat terinjak jumpalitan kaki Ki Harwati dan kaki Nyi Kembar sendiri.

    Tubuhnya hancur. Ketika itu pulalah seekor kuda menyeruduk dari arah kulon Ki Putih Kelabu mengaum seraya menghamburkan diri ke udara, dan dia telah menjelma menjadi harimau lapar. Dua cakarannya langsung menyergap dua anak buah Nyi Kembar yang terlambat naik ke kuda, lalu kedua-duanya jatuh dibanting oleh harimau tua yang muncul mendadak.

    Harimau tua itu menghambur memasuki pergulatan Ki Harwati lawan Nyi Kembar! Tapi ini pulalah yang membuat mata pedang Harwati lepas dari kayu bulat di tangan Nyi Kembar, dan dalam sekelebatan, lebih cepat dari kilat, Nyi Kembar menghambur ke punggung kudanya dan menghilang. Tapi anak buahnya yang kebingungan menjadi mangsa cakaran Ki Putih Kelabu yang mengamuk!

    Ketika sudah tak ada lawan lagi, Ki Putih Kelabu berseru: Ki Harwatil Harwati muncul dengan senyum menyeringai. Dia sudah mirip orang gila kembali dan... tanpa memegang pedang, Dia duduk disebuah bangku panjang, lalu tiduran di sana, seperti dia tidur di sana tiga hari yang lalu tanpa makan.

    KI PUTIH KELABU merasa hiba melihat keadaan Harwati. Pakaiannya compang camping. Sebahagian rambutnva sudah menyatu satu dengan lainnya. Rambut itu sudah mirip sarang burung! Dan karena kehibaan hati itu Ki Putih Kelabu ingin sekali membawanya ke Kumayan.

    Diperhatikannya calon pendekar besar itu menggeletak dl atas bale bambu tanpa mempedulikan siapapun. Dihampirinya puteri almarhum pendekar besar Ki Karat itu....

    Nak Harwati, ujarnya, dengan lembut. Tapi Harwati diam saja.

    Nah, kenalkah kamu pada saya nak? Harwati menatap Ki Guru itu. Mata itu cuma menatap kosong. Kosong bagai bola kaca. Seakan tidak mengenalnya!

  • Maukah kau pulang ke Kumayan? tanya Ki Putih Kelabu Harwati menggeletak saja. Ki Putih Kelabu putus asa. Lalu dia berkata pada beberapa orang desa kecil itu:

    Saya akan pergi. Saya akan mengucapkan terimakasih kepada kalian. Totonglah urus dia. Dia ini calon pendekar besar. Dan dia ini puteri pendekar besar yang saya sudah anggap saudara saya sendiri!

    Ki Putih Kelabu lalu mencari kudanya. Setelah beliau naik ke punggung kuda, beliau bertanya pada penduduk desa itu: Apa nama desa kalian ini?

    Desa Meranti, tuan Guru, ujar seorang lelaki tua.

    Baikiah. Saya titipkan orang ini. Sebenarnya gadis ini bukan orang gila. Dia dalam keadaan ngelmu. Dia orang baik, kata Ki Putih Kelabu.

    Memang dia baik, tuan Guru, Dia telah dua kali mem bantu kami untuk membela diri atas kebiadaban gerombolan Nyi Kembar, ujar lelaki tua desa itu.

    Maaf. Saya datang kesini sudah meninggalkan sampah-sampah. Mayat-mayat gerombolan Nyi Kembar itu yang saya maksudkan dengan sampah. Dan seperti juga sampah, dia mengotori desa. Karena itu buanglah sampah-sampah itu, lalu Ki Putih Kelabu menendang ujung tumitnya pada paha kudanya, dan kuda itu meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya, dan kemudian menghambur ke depan dipacu oleh pendekar tua itu.

    Mendadak Harwati bagai tersintak dari tidur, padahal ia tak tidur. Lalu dia ketawa sendiri! Orang-orang desa yang awam itu hanya menontoninya. Ketua desa itu lalu berkata pada penduduk: Marilah kita biarkan dia dengan dunianya. Kita kembali ke rumah masing-masing. Mayat-mayat itu lemparkan saja ke hutan supaya dimakan oleh srigala- srigala.

    Kita coba membujuknya supaya dia mau makan, Pak, ujar seorang perempuan tua.

    Ya, sudah tiga hari tiga malam dia tidak makan, kata perempuan lain lagi. Tetapi tetua desa itu berkata: Orang yang ilmunya tinggi, sudah tak membutuhkan makanan lagi. Dia makan dengan udara dari langit itu.

    Tetapi secara mendadak Harwati melangkah menghampiri seorang perempuan tua. Mulanya perempuan tua tadi ketakutan. Harwati berkata padanya: Aku lapar, Bu!

    Oh ya? Mari, mari ke rumahku, biar kau kujamu makan, kata perempuan tua itu. la mendadak seperti manusia normal kembali. lbu itu menjamu Harwati makan di rumahnya. Tapi dia tidak menyentuh piring aluminium itu, melainkan langsung mengambil bakul berisi nasi. Dan dilahapnya nasi sebakul itu sampai habis.

  • Kau tidur di sini, ya Nak? bujuk perempuan tua itu.

    Harwati diam saja. Lalu dia seperti tergoda oleh satu nada yang mendenging di telinganya!Dia melompat dengan cekatan ke luar rumah. Dan sebelum perempuan tua itu bertanya, dilihatnya Harwati sudah menghambur ke udara lalu hinggap dipohon sawo dan meloncat lagi ke pohon nangka dan kemudian dia hanya kelihatan bagai lompatan bola api dan pohon ke pohon, terus ke atas tebing.

    Sungguh ajaib, ujar perempuan tua yang menyaksikan keanehan itu, Dan memanglah sungguh ajaib. Bagai angin membubu Harwati berlari terus ke satu arah, arah kuIon, sampai kemudian dia sudah berdiri di pintu gerbang desa Serunai.

    Dia menyandar saja di bawah pohon beringin. Padahal seharusnya dia ikut terlibat dengan kejadian yang disaksikannya! Ya, sambil terkekeh-kekeh Harwati melihat seorang lelaki muda, pendekar Dasa Laksana, sedang menangkis pukulan-pukulan kayu bulat Nyi Kembar.

    Ketika satu sabetan melintang kayu bulat itu mengenai punggung Dasa Laksana, pendekar muda itu tersungkur. Namun dia masih sempat menangkis pukulan Nyi Kembar dengan kakinya, sebelum kayu bulat itu menghantam kepalanya. Dasa Laksana bangkit, dan dengan berdiri tegak kini dia menangkis hantaman kayu bulat dengan kuakan kedua tangan. Itulah kuak tangkisan api.

    Tiap kayu bulat itu menghantam, kedua tangan Dasa Laksana menguakkannya lagi. Dan membersitlah percikan api!

    Harwati tertarik oleh apa yang dia saksikan. Dia melangkah meninggalkan pohon beringin itu, lalu mendekati tempat perkelahian. Mendadak tiga orang anak buah Nyi Kembar berlarian mencari kudanya, lalu melompat ke punggung kuda masing-masing. .

    Padahal Harwati tidak melibatkan diri dalam persilatan yang dia kagumi itu. Dia terkekeh-kekeh apabila dilihatnya Nyi Kembar menghantamkan senjatanya lalu dia sendiri terbanting berguliran di tanah berkat tangkisan Dasa Laksana. Nyi Kembar kesal melihat ada orang terkekeh-kekeh. Tapi ketika dilihatnya yang terkekeh itu adalah Harwati, dia langsung berbalik menghantamkan senjatanya ke arah tubuh Harwati. Tapi yang terkena adalah punggung Dasa Laksana, yang mencegat hantaman itu dengan tubuhnya sendiri. Dan ketika hantaman berikutnya, kayu bulat itu justru terpegang oleh genggaman Harwati dan dia langsung balikkan badan sehingga Nyi Kembar terlempar. Senjatanya kini berada di tangan Harwati. Nyi Kembar kebingungan. Dia kini merasa satu lawan dua. Ketika dia mau panggil anak buahnya, anak buahnya justru melarikan diri tertebih dahulu. Nyi Kembar putus asa seketika itu juga. Setelah tengak-tengok kiri kanan maka dia berlagak mau menyerang Dasa Laksana yang tetap berdiri tegak. Tapi seketika itu Juga Nyi Kembar melarikan diri dan naik ke punggung kudanya. Harwati

  • melemparkan kayu bulat itu kearah Nyi Kembar. Nyi Kembar menyanggep senjatanya. Ketika itu berhamburan pulalah tawa terkekeh Harwati.

    Nyi Kembar geram, lalu meludah. Dan kemudian memacu kudanya meninggalkan desa Serunai. Harwati menoleh pada Dasa Laksana. Matanya berbinar pada lelaki perkasa itu, seakan batinnya tergoncang. Dasa Laksana bertanya padanya: Kaukah puteri Ki Lebai Karat yang termashur itu?

    Ya. Mari mandi, ujar Harwati.

    Mandi? tanya Dasa Laksana keheranan.

    Mari kita mandi di Pancuran Burung lblis, di bukit Sana itu, ajak Harwati.

    Tidak. Ilmu kami bukan ilmu iblis, ujar Dasa Laksana.

    Kamu tentu murid Ki Putih Kelabu, ujar Harwati.

    Benar.

    Kau mesti diberi hadiah. Di sini ada tuak yang enak, karena penyadunya tukang tuak yang ulung. Mari ikut aku, kata Harwati. Dasa Laksana kali ini mengikuti Harwati. Dia cuma heran, tingkah lakunya kali ini bukan tingkah orang edan.

    Ketika memasuki warung, dia heran karena tak ada lagi bambu-bambu buluh yang biasanya digantungkan ditepi warung. Bambu itu biasanya ada, dan berisi tuak. Dengan kesal Harwati menggebrak meja dan berseru: Ajang Batur! Hai Ajang Baturl Keluar! Beri aku tuakmu yang enak!

    Seorang perempuan cantik keluar. Harwati membentaknya: Mana Ajang Batur! Aku mau minum tuak!

    Ki Kobra.,., ujar perempuan cantik itu.

    Aku bukan Ki Kobral Aku Ki Harwati! Mana Ajang Batur suamimu!

    Apakah tuan lupa... bahwa suamiku tewas bersama 100 pasukan yang menyerbu Lembah Surya Mulih? Dia tewas bersama kudanya, kata perempuan itu.

    Mendengar keterangan itu, Harwati terbelalak kaget. Tiba-tiba dia ingat pasukan berkuda yang kocar-kacir karena serang Nenek Tua dengan senjatanya cambuk asap itu.

    Kuda dan manusia saling tabrakan, ada yang berhamburan masuk jurang tebing.

    Bukan seratus orang yang tewas... Tapi 105 orang. Yang selamat cuma dua orang. Rupanya diantara anak buahku itu ada Ajang Batur, Oh..., lalu dia merasa pusing.

  • Dia jatuh di tanah dan menggelepar seperti orang ayan. Dan ketika Dasa Laksana mau mengangkatnya, sebuah tenaga dalam yang dahsyat melemparkan pendekar muda itu keluar.

    Harwati mengamuk. Kegilaannya mengerikan! Dan kemudian dia berlompatan dari pohon ke pohon, turun ke lembah bawah dan kemudian tiba kembali ke desa Meranti dalam keadaan lelah terhuyung. Dia menggeletak kembali di atas bale bambu di depan rumah tetua. Begitu dia tiba-tiba tersentak setelah tidur beberapa jam, dia berkata: Aku laparl Beri aku makan!

    Mari ikut lbu, ujar perempuan tua diantara yang menonton, Bukankah kau sebelum ini juga makan di rumahku? Tubuh Harwati bagaikan tidak berdaya. Dia dipapah perempuan tua itu, dibantu oteh Pak Tetua desa. Kali ini dia tak menunggu hidangan. Dia langsung menuju tungku. Nasi yang berada dikerucut kukusan itu dimakannya seketika itu juga dengan lahap dan tuntas.

    SEMENTARA itu, Ki Putih Kelabu sudah tiba di Kumayan. la langsung ke rumah Lurah memulangkan kuda. Kemudian bertanya: Ada berita penting selama saya meninggalkan Kumayan, Pak Lurah?

    Ada , sahut Pak Lurah.

    Beritahu saya.

    Guru Gumara sudah kembali. Bahkan sudah mengajar di SMP dan SMA kembali, ujar sang Lurah.

    Ki Putih Kelabu sengaja lewat di sekolah tempat Gumara sedang mengajar. Tapi beliau tidak mampir. Setiba dirumah, Ki Putih Kelabu menghempaskan tubuhnya di bale. Dia lelah sekali.

    Tetapi seraya menelentang begitu beliau membayangkan putri yang dia sayangi. Di mana Pita Loka sekarang? Mengapa aku mengikuti nasehat Ki Surya Pinanti agar membiarkannya mengembara? Ternyata sudah menjelang sore ketika Ki Putih Kelabu masih gelisah memikirkan nasib Pita Loka, dan kedengaran ketukan pintu.

    Siapa?

    Gumara.

    Oh, kaul Masuk, masuk!

    Ketika Gumara sudah dipersilakan duduk, Ki Putih Kelabu berkata ; Di samping aku gembira kau sudah mengajar, perlu kuberitahukan padamu, bahwa adik tirimu Harwati sekarang ini berada di desa kecil Meranti. Tak jauh letaknya dari desa Serunai. Keadaannya compang-camping dan menyedihkan. Aku sudah membujuknya agar dia mau dibawa pulang ke sini, tapi dia hanya diam,

  • Gumara hanya berdiam diri.

    Kelihatannya dia tak hirau dengan cerita Ki Putih Kelabu. Lalu pendekar tua itu bertanya : Tentu anda ke sini ada satu maksud,

    Ya.

    Ada yang ingin tuan tanyakan, Guru?

    Saya ingin menanyakan Pita Loka. Saya kira Ki Guru membawa pulang Pita Loka. Tampaknya tidak ada, lalu terdengarlah nafas panjang Gumara dan kemudian ia berdiri.

    Dudukiah, ujar Ki Putih Kelabu.

    Cuma sekedar itu saya ke sini, ujar Gumara, kemudian dia pamitan. Dan tak ada alasan pendekar tua itu untuk mencegahnya pergi. Setiba di rumahnya dia bertanya pada Alif : Sudah kau antar sari daun sirih itu ke rumah Ki Lading Ganda?

    Sudah. Tapi ia tetap saja tak sudi meminumnya, kata Alif.

    Mungkin ruhku dalam keadaan kotor, Alif. Biasanya setiap mimpi berujud kenyataan. Kali ini gagal. Aku pernah bermimpi di guha Surilam, bahwa Harwati sedang bermukim di desa Meranti. Ketika aku ke sana , dia tak ada. Lalu aku bermimpi lagi mengenai daun sirih untuk pengobat sakit gila Ki Lading Ganda. Ternyata tak ada perubahan. Mungkin aku perlu membersihkan diri lagi untuk satu jangka waktu yang agak lama.

    Kasihan anak-anak SMP dan SMA akan terlantar jika tuan Guru bolos lagi mengajar. Tuan Guru Kepala sudah berkeluh kesah pada saya karena tuan amat sering membolos. Di sini, mana ada lagi tenaga pengajar, tuan?

    Itu aku pahami, Bahkan aku pernah meminta dipecat saja. Tapi celakanya dia menganggap aku ini bukan sekedar Guru SMP dan SMA. Dia menganggap aku ini seorang superman. Aku pendekar hebat. Padahal aku hanya manusia biasa, yang memiliki kelebihan tapi juga kekurangan. Inilah susahnya jadi orang kampung.

    Sekarang apa yang tuan Guru pikirkan? tanya Alif.

    Aku merasa perlu bertapa. Aku ingin mendapatkan ilham, di mana kini Pita Loka berada.

    Tuan tentu amat mencintainya, kata Alif.

    Memang saya mencintainya. Keadaan ini sejak semula sudah tidak menjadi cerita baru lagi jika sekiranya tidak ada Harwati. Sungguh aneh, dia, adik tiri sendiri, bisa mencintaiku!

  • Saya dengar itu tidak betul. Dia bukan sedarah dengan tuan, karena tuan sebetulnya cuma anak angkat Ki Karat, ujar Alif.

    Gumara melongo ! Dia heran, belakangan ini banyak dia dengar cerita demikian. Ketika la pernah tersesat ke padepokan Ki Kembar, juga Ki Kembar menceritakan hal ini!

    Tanpa ia sadari ia mengaum bagai harimau, sehingga Alif melompat ketakutan. Alif mandi keringat. Dengan gemetar dia berkata : Maafkan saya, tuan Guru. Saya takut tuan jadi marah,

    Gumara hanya berdiam diri. Ketika hidangan makan malam disediakan oleh Alif, Gumara berkata : Lupakah kau, aku masih menjalani puasa putih, siang malam?

    Mana ada orang berpuasa siang malam, tuan Guru?

    Orang mati puasa siang malam. Aku sekarang ini sedang menjalani mati, Ucapan itu membuat Alif melongo.

    DAN pagi ini, pagi yang cemerlang ini, ketika Gumara bangun tidur didengarnya bisikan halus. Gumara bukan bermimpi! Ini adalah wisik.

    Guru. Ke mana pun saya pergi, engkau adalah Guru, suara bisikan ini jelas adalah suara wanita.

    Siapa anda? tanya Gumara.

    Aku, Pita Loka.

    Pita Loka? Gumara terperanjat, hampir saja tak bisa menguasai diri.

    Jangan bimbang. Jangan heran. Betapapun Guru adalah Guru. Saya sekarang ini sudah sampai pada tingkatan mengirimkan wisik. Saya dapat menghubungi ruh anda dalam jarak tak terbatas dengan bisikan.

    Pita Lokal Di mana kau sekarang ini?

    Aku berada di dukuh salah seorang pendekar harimau yang tertinggi. Aku berada di dukuh Ki Ca Hya.

    Ki Ca Hya?

    Ya. Kenapa harus kaget?

    Ki Ca Hya adalah Guru dengan ilmu tertinggi, Beliau tidak bisa kita jumpai secara berhadapan muka. Karena dia hanya memperlihatkan cahayanya saja. Jadi kau sudah mendapatkan ilmu Cahaya? tanya Gumara bersemangat.Lalu tak ada suara wisik lagi.

  • Pita Loka! seru Gumara. Tak ada wisik lagi dan tak ada wisik lagi.

    Ketika itu, di Dukuh Ki Ca Hya, Pita Loka sedang memejamkan mata dengan hening. Sedangkan di hadapannya Ki Ca Hya mengawasi, dua-duanya dalam keadaan bersila.

    Lalu sang Guru membuka mata. Dengan suara perlahan dia bertanya : Sampaikah getaran suaramu padanya?

    Sampai. Dia bercakap-cakap dengan bibirnya, tapi saya berbicara dengan getaran roh, kata Pita Loka.

    Bagus.

    Bagaimana dengan mata saya yang buta, Ki Guru?

    Kau masih akan tetap dalam keadaan buta, anakkul Pekerjaan besarmu menunggu di depan. Kau harus terus melatih getaran roh sampai bisa menggetarkan rohmu itu semakin tajam. Ketajaman adalah rahasia semua ilmu putih. Tapi seputih-putih ilmu adalah ilmu yang tercantum dalam Kitab Harimau Putih.

    Adakah harimau putih itu?

    Ada . Bulunya putih seperti halusnya bulu kelinci. Tapi ilmu yang setinggi itu mungkin tidak akan pernah dimiliki oleh generasi Tujuh Harimau. Mungkin keturunannya kelak. Siapa tahu itu keturunan kau nanti, Pita Loka?

    Saya? Si buta jelek ini akan punya turunan? tanya Pita Loka.

    Aku bilang siapa tahu. Rahasia itu semuanya ada dalam Kitab Tujuh, tapi orang yang satu-satunya memiliki dan memahami isinya sudah mati, Ki Tunggal Surya Mulih. Pewarisnya kelak akan mengetahui soal itu, sedangkan saya tidak tahu siapa pewaris ilmu Ki Tunggal yang sebenarnya.

    Pita Loka terdiam beberapa saat. Ada satu soal yang masih dirisaukannya, tentu. Siapapun yang bernasib seperti dia akan risau semacamnya pula. Yaitu kebutaan mata. Kenapa kau menangis, nak? tanya Ki Ca Hya setelah melihat tetesan airmata Pita Loka berhamburan.

    Ki Guru telah mengetahui.

    Memang jika seorang pendekar wanita jatuh cinta, berbeda dengan pendekar pria, Saya yakin, babwa sebenarnya Gumara itu mencintaimu juga, ujar Ki Ca Hya,

    Aduh, inilah yang diharapkan Pita Loka. Kepastian ini.

    Seorang pendekar besar seperti Ki Ca Hya, jika sudah bicara soal yakin, itu pertanda ucapannya bisa dipegang.

  • Cuma, anakku, untuk sampai ke sana , dibutuhkan berbagai pengalaman matang. Perkataan Ki tidaklah semudah mengucapkannva. Semua pendekar yang sudah merasa pandai bersilat, lalu merasa dirinya Ki. Ki itu Suhu dalam ilmu orang Cina. Suhu itu Guru. Dan setiap Guru sebetuinya harus sudah siap mewariskan ilmu. Selagi pewarisnya belum tersedia, dia belum berhak dianggap Ki, atau, Guru, atau, Suhu. Jelas?

    Jadi Ki Guru sudah yakin jodohku ini Gumara? tanya Pita Loka.

    Aku cuma yakin bahwa dia mencintaimu. Soal jodoh, itu bukan bagian saya maupun Gumara. Sekarang, kuharap kau bersabar, Tinggal saja di ruang pertapa ini untuk beberapa lama. Untuk mempertajam ilmu getaran. Ilmu getaran ini kunci semua cabang persilatan, nak. Lalu sang Guru meninggalkan muridnya di ruang pertapa itu. Dan Pita Loka mencoba mempertajam getaran. Getaran itu harus dimulai dengan gerak duduk. Dalam duduk ada gerak yang bukan digerakkan otot, melainkan oleh getaran. Tubuh sang murid akan menggeletar. Lalu posisi kembali ke semula.

    KI PUTIH KELABU barusan saja mandi bunga di malam Jumat Kliwon itu. Beliau ingin mendapatkan ketenangan. Beliau sudah tak hendak memikirkan putrinya Pita Loka, maupun nasib muridnya Dasa Laksana. Ketika ia merebahkan diri di bale bambu dalam rumahnya, dia tiba-tiba mendengar desir suara nging yang panjang di telinga kanannya. Menurut Guru beliau dahulu, suara nging di telinga kanan bagi seorang pesilat haruslah dipertanyakan. Maka dengan agak gemetar, bibir Ki Putih Kelabu bertanya:

    Roh siapa yang bergetar pada telingaku sekarang?

    Pita Loka, terdengar suara wisik.

    Ha? Pita Loka?

    Aku. Putri bapak.

    Oh, anakku. Rupanya kau dalam keadaan sejahlera. Di mana kau sekarang anakku?

    Saya sedang meguru dengan teman ayahanda, suara wisik menjelaskan.

    Ini tidak ada lain dari Ki Ca Hya. Hanya murid Ki Ca Hya yang pandai menyampaikan getaran roh. Jadi kau berada di pedukuhan Ki Ca Hya?

    Benar, ayahanda. Air mata Ki Putih Kelabu seketika itu juga bercucuran.

    O, nak. Aku bersyukur kau sampai pada beliau, Semua harimau menyegani Harimau Tua itu. Berapa lama kau akan meguru di sana , nak? Lalu lenyaplah wisik itu, Pita Loka tak diperkenankan menceritakannya. Dan kegembiraan yang meluap-luap itu membuat Ki Putih Kelabu mengenakan pakaian kupluk sebonya, lalu melangkah tegar menuju rumah Guru Gumara.

  • Hanya Alif yang ada di rumah.

    Di mana Guru Gumara? tanya Ki Putih Kelabu.

    Beliau hanya meninggalkan selembar surat ini untuk Guru Kepala SMP dan SMA yang mesti saya sampaikan besok pagi, tuan Guru.

    Tidakkah kamu mendengar pesannya bahwa dia ke Pedukuhan tertentu?

    Ya, ya, Ke pedukuhan. Guru Gumara cuma bilang akan meminjam kuda Ki Lading Ganda yang nganggur sejak guru itu gila. Lalu dibilangnya, akan pergi jauh. Ya, ya, disebutnya ke Pedukuhan.

    Ki Putih Kelabu terharu : O, begitu besarnya cintanya kepada putriku, Tidak aku sangka ada lelaki yang cintanya sebesar cinta Guru Gumara. Lagi-lagi, Ki Guru yang tua itu harus mencucurkan airmatanya. Dia memegang bahu Alif seraya berkata : Alif. Jika dua orang awam, pria dan wanita, yang saling mencintai, mungkin tidak banyak ujian dan cobaannya, maka ujiannya akan berlipat ganda. lblis-iblis membenci mereka. Halangannya adalah raja-raja iblis yang mewariskan ilmunya kepada pendekar-pendekar ilmu hitam!

    Saya tak mengerti, tuan Guru, ujar Alif.

    Ya, tak apalah. Karena kau orang awam, ujar Ki Putih Kelabu, lalu pamitan.

    Beliau mendatangi rumah Ki Lading Ganda. Didapatinya Ki Lading Ganda dalam keadaan mirip orang tolol.

    Sayang, setelah aku ketahui dari Ki Jengger, temyata dia bukan seorang pewaris harimau yang tujuh, Nyi Lading Ganda. Tiap orang yang tidak berhak pada sesuatu secara syah, menanggung beban. Tapi inilah suratan nasibnya. Memang berat.

    Dibelainya kepala orang yang mengira dirinya Harimau Kumayan itu, yang temyata Cuma tertipu oleh Kitab Tujuh yang palsu. Kependekaran yang didapatkannya selama ini ternyata disodorkan oleh iblis yang sengaja menggoda dirinya sehingga merasa salah seorang Harimau Kumayan.

    Jika anakku kembali, semoga dia sudi menyembuhkan Lading Ganda. Tapi kemampuan menyembuhkan itu berdasarkan ilham. Jika ilham tidak bersetuju, dia takkan mengobati, Tapi jika setuju, tentu dia mau. Contohnya Harwati. Bahkan Ki Jengger sendiri yang memintanya, ia menolak menyembuhkan kegilaan Harwatil, ujar pendekar tua itu.

    Nyi Lading Ganda terisak-isak : Kapankah putri tuan guru itu kembali? Kami pun selalu berharap la cepat kembali.

    Langkah, jodoh, rejeki dan maut, bukan manusia yang bisa menentukannya.

  • Hanya Tuhan Maha Pemilik Nasib yang menentukannya. Kita sekedar berusaha.

    Tapi masih untung nasib suamiku ketimbang nasib Harwati. Kasihan anak Ki Karat itu, harus mengembara dengan segala cobaan, kata Nyi Ganda.

    Bahkan kini pun dia masih menghadapi bahaya. Tapi itu semua perjalanan nasib seorang calon pendekar ulung. Karena ia turunan Ki Lebai Karat tidaklah mungkin ia akan menderita terus. Penderitaan seorang pendekar dengan landasan ilmu putih adalah mengusir iblis yang hinggap dalam tubuhnya. Kurasa kini Harwati mengalami perjuangan lebih berat!

    Dugaan Ki Putih Kelabu itu betul. Harwati kini jadi tontonan.

    PENDUDUK desa Serunai rupanya sedang dibantai.Mayat-mayat bergelimpangan. Harwati kelabakan. Dan, yang lebih kelabakan lagi adalah Dasa Laksana. Karena itulah Nyi Kembar semakin merajalela. Dia berputar dengan kudanya, dan dia sabet punggung pendekar muda itu hingga tersungkur tak bergerak lagi. Melihat Dasa Laksana tersungkur, Harwati mengamuk. Bagaikan terbang ketika satu jurus angin ribut melontarkan tubuhnya menghajar punggung Nyi Kembar. Dua kaki Harwati menjepit pinggang Nyi Kembar, Kuda meringkik seketika! Dua kaki Harwati tetap menjepit, dan gebrakan telapak tangannya melakukan jurus bacokan ke leher Nyi Kembar yang merasa semakin lemah, urat darahnya di leher seperti membeku, lalu dia jatuh ke tanah dalam keadaan tertelungkup, terhimpit oleh Harwati ... dan kuda yang ditunggangi itu meringkik dengan dua kaki ke atas. Kuda itu bagai menjerit melihat keadaan Nyi Kembar.

    Harwati melihat lagi seorang penduduk Serunai, ibu tua renta, dibantai kepalanya dengan kayu bulat, senjata khas pasukan Nyi Kembar. Harwati jadi geram dan buas melihat keganasan itu. Dia berputar bagai gasing terbang menyergap si pembantai. Lima jarinya menembus dada anak buah Nyi Kembar dan ketika pengganas itu jatuh ke tanah, lima pancuran darah muncrat dari dada orang itu.

    Anak buah Nyi Kembar semuanya larl. Tinggal seekor kuda saja yang meringkik memutari Nyi Kembar yang masih tertelungkup.

    Harwati melihat sekeliling. Pasukan pengacau sudah berlalu semuanya. Tapi mayat-mayat bergelimpangan dalam po sisi mengerikan. Seakan-akan seluruh bumi Serunai tertimbun mayat.

    Ketika Harwati lengah dalam batin terharu, ketika itu pulalah Nyi Kembar bangkit, lalu cepat berdiri dan cepat pula menyambar tubuh Dasa Laksana lalu membawanya naik ke punggung kuda. Melihat Dasa Laksana kena culik, Harwati jadi kaget. Dia terkesima sesaat karena menyangka Nyi Kembar tadi sudah mampus. Terkesima inilah yang membuat dia terlambat melompat untuk menerjunkan diri dari udara menghajar kepala Nyi Kembar yang dilarikan kudanya dan menggendong Dasa Laksana itu. Namun tetap meleset beberapa jari saja, sehingga terjangan Harwati tak mengenai. Malah tubuhnya menabrak pohon Serunai dan robohlah pohon Serunai itu terbongkar dari tanah bersama

  • akar-akamya yang tercerabut.

    Nafas Harwati Jadi sesak. Tetapi waktu untuk mengejar sudah tidak ada lagi. la sedih melihat keadaan desa Serunai yang punah oleh serbuan kejam Nyi Kembar yang sepertinya membalas dendam.

    Waktu Harwati bersedih melihat duka-cita abadi begini, dia sepertinya tidak dalam keadaan edan. Dia menangis terisak-isak. Lalu dia mendengar suara seorang tua, rupanya satu-satunya lelaki yang masih hidup.

    Harwati cepat mendekati tubuh tua yang menggelepar dalam keadaan sekarat itu.

    Pak Bisu! seru Harwati. Dia mencoba mengangkat lelaki tua itu, Lelaki tua yang selama ini dikenal bisu itu berkata ; Tak perlu ditolong lagi, nak. Aku menepati janji turunan penduduk Serunai, Aku bukan bisu selama ini, nak. Aku hanya membisu. Aku mencoba memendam sejarah masa silam desa ini. Aku melarikan diri dari pedukuhan Kembar di bukit sebelah sana itu, karena ingkar pada ilmu dari dua lelaki kembar yang melamar dua adik kembarku. Sepuluh tahun lamanya aku mencoba menghancurkan ilmu busuk itu. Sampai dua lelaki kembar itu tewas lalu aku melarikan diri ke sini. Aku menyamar di sini sebagai orang bisu yang dikasihani. Tapi rupanya, setetah matinya Ki Kembar, maka dua adik kembarku masih melanjutkan warisan ilmu iblis itu ... dan inilah akhirnya. Aku mati. Cuma sebelum aku mati aku ingin berpesan karena aku salah seorang yang pernah membaca Rahasia Kitab Tujuh. Yaitu bahwa kau sebagai turunan Ki Karat akan mewarisi kerja keras untuk memusnahkan semua ilmu hitam dan kotor di kawasan Tujuh Bukit. Dan tentang lelaki yang diculik tadi, adalah tugasmu untuk menyelamatkan dia, sebab dia pewaris ilmu Ki Putih Kelabu. Sekarang, babakan baru akan kau mulai lagi. lkuti terus sampai ke mana pun salah seorang dari adik kembarku yang masih hidup. Namanya yang indah. Sari Mawar, serukanlah ... agar dia insyaf, nak. Kini aku hanya bisa menyatakan bahwa ..., lalu tercerabutlah nyawa lelaki tua yang selama ini- disangka bisu.

    Harwati menghela nafas. Inilah akhir sejarah desa Serunai setelah sebelumnya sudah menyerahkan 100 nyawa penduduknya di Lembah Kulon.

    Sepi dan hening.

    Harwati masih berdiri terpaku bagai patung. Dia mencucurkan airmata. Namun kemudian dadanya sesak. Dan dia lantas berubah seperti orang edan kembali. Dia berputar-putar ibarat bangau putih yang mengitari sarang, Tiap benda dan pohon yang terkena putarannya tumbang.

    DAN KETIKA dia dalam putarannya yang penuh keedanan itu, yang menumbangkan rumah-rumah yang tak ada gunanya lagi itu .... Harwati berteriak senyaring-nyaringnya. Teriakan itu terdengar oleh Pita Loka yang sedang menyusuri sisi desa Serunai. Makin bergegas dia melangkah. Makin jelas teriak edan itu. Sampai di gerbang dilihatnya sosok yang menggila itu. Sungguh mengerikan ketika pesilat itu merubuhkan sebuah rumah dengan tenaga yang

  • sangat luar biasa.

    Apa yang sedang diperbuatnya? tanya Pita Loka heran.

    Dia sedang menjalani masa edan dari suatu gemblengan ilmu persilatan yang tinggi, kedengaran wisik. Pita Loka tidak lagi melakukan komunikasi dengan Ki Ca Hya, gurunya.

    Tapi dia harus mendengar wisik hatinya sendiri, berupa suara. Suara yang konkrit. Ini justru lebih sulit. Sebab tidak setiap wisik bisa dipercaya. Jika batin kotor, wisik itu bukan berarti suaranya sendiri. Melainkan suara raja iblis. Dan bila salah tangkap telinganya yang mendengar itu bisa mendapat petunjuk yang sesat!

    Bukankah dia Harwati? ucap Pita Loka.

    Memang dia Harwati. Dia menjadi gila dan akan terus gila karena kau tidak sudi mengobatinya, terdesak wisik.

    Lalu, roboh lagilah sebuah rumah. Rumah terakhir yang dirobohkan oleh tenaga edan Harwati. Debu mengepul ke udara, disertai teriak Harwati.

    Desa Serunai sudah rata. Dan Harwati secara tiba-tiba melihat sosok-sosok manusia berdiri dekat gerbang. Harwati menyeringai menghampiri orang yang berdiri itu.Sebelum tiba dia bertanya : Siapa kau? Siapa?

    Aku. Pita Loka, sahut Pita Loka.

    Siapa Pita Loka?

    Aku pendekar buta bermata satu. Harwati melompat cekatan dan kemudian memegang bahu Pita Loka : Aku bisa mengobati orang buta!

    Tapi aku tidak bisa mengobati orang gila, kata Pita Loka.

    Siapa kamu? tanya Harwati keheranan.

    Aku sainganmu.

    Apa itu saingan?

    Aku musuhmu, kata Pita Loka. Harwati melompat mundur dan mulai memasang kuda-kuda. Harwati berteriak dalam jarak 10 depa dan menantang : Ayoh serang aku!

    Pita Loka mendengar wisik : Jangan serang dia. Obati dia agar dia berhutang budi kepadamu.

    Wisik itu ditertawakan Pita Loka : Aku tahu engkau Raja lblis yang menggodaku. Dalam ilmu persilatan, tidak ada istilah hutang budi. Yang

  • mempunyai istilah itu Cuma iblis, Aku tahu, nenek moyang desa Serunai ini dulu mengikuti ilmu iblis, berguru pada Burung lblis bermandikan pancuran iblis dan menyembahnya. Jangan goda aku.

    Harwati secara mendadak melakukan persiapan tempur. Dia mengitari Pita Loka dengan jurus bangau putib mengitari sarang. Pita Loka tidak merubah tegak. Begitu dia mendengar wisik : Kanan!, seketika dia melakukan tangkisan dari serangan arah kanan, dan dia tangkap kaki Harwati yang hampir menerjang lehernya. Seketika ditangkap dipelintir dan dihamburkannya tubuh Harwati dan Harwati dalam keadaan tegak, namun tak bisa bergerak lagi karena dua telapak kaki Harwati terbenam. Tapi Harwati mengamuk cepat hingga terbongkarlah tanah itu. Bagaikan bangau dia terbang ke udara. Tapi bagai harimau Pita Loka melompat ke udara dan bertabrakanlah keduanya di udara dengan pukulan dan tangkisan sampai keduanya jatuh ke tanah.

    Dua pendekar itu sama merasa.telapak kakinya terbenam ke tanah. Dan sama menghambur lagi sampai tanah yang tadi terinjak meninggalkan bekas dan tanah yang menghambur.

    Keduanya kini malah bagaikan dua ekor harimau kumbang yang bertarung di udara. Ketika tabrakan tubuh mereka terjadi, dua-duanya saling buyar tersebab benturan masing-masing. Dan sama hinggap di pohonan, lalu menghambur lagi ke udara dan berbenturan lagi dengan dahsyat.

    Dua-duanya hingga lagi di dahan, lalu sama menghambur lagi ke udara yang kali ini saling menyergap dan sama-sama jatuh.

    Di tanah keduanya berdiri berhadapan. Dalam jarak dekat dua-duanya melakukan pukulan-pukulan lamban karena sama menggunakan tenaga dalam. Ketika keduanya menguji telapak tangan masing-masing, telapak tangan itu saling menempel dan geser menggeser. Pada mulanya keringat. Kemudian telapak tangan mereka seperti sama hangus. Sedikit demi sedikit asap keluar dari telapak-telapak tangan yang bergesekan itu. Mata Harwati tampak melotot. Mata Pita Loka juga melotot. Telapak tangan mereka melepuh. Sama melepuh! Sebagian kulit yang hangus bahkan lepas dan berjatuhan. Tapi dua-duanya sama tangguh.Tapi tak seorangpun di antara dua pendekar ini yang mau menyerah.

    BIARPUN dua-duanya sama-sama bertahan dengan menahan pernafasan, namun tenaga mereka belum tenaga seorang suhu. Tenaga itu habis. Dan dua-duanya jatuh ditanam dalam keadaan tak sadarkan diri.

    Dan sampai malam menjadi gulita, Harwati dan Pita Loka masih sama-sama menggeletak, Namun Pita Loka yang lebih dahulu sadarkan diri. Dia kaget karena di tubuhnya ada dua buah pedang. Pedang itu tidak dikenalnya sebelumnya. Sebetulnya, pedang itu adalah pedang kembar Surandar.

    Pita Loka tegak. Akan dipungutnya pedang itu karena mengira itu pedang hadiah secara ghaib. Tapi didengarnya wisik : Jangan ambil. Itu senjata milik Harwati.

  • Pita Loka mundur. Mundur. Kemudian berlalu. Belum sempat sampai ke gerbang desa, Pita Loka mendengar seruan : Hai, jangan lari!

    Pita Loka membalik. Dilihatnya Harwati sudah sadarkan diri. Malahan sudah tegak dengan gagah memegang dua pedang di tangannya.

    Jangan lari sebelum aku pisahkan kepalamu dengan badanmu, ayoh! teriak Harwati.

    Musuh pantang dicari, tapi kalau menantang jangan dielakkan, ujar wisik di telinganya.

    Namun Pita Loka hanya tegak dengan tegap, menanti,menanti, sembari mengatur pernafasannya. Dan ini membuat pendekar edan itu semakin keedanan. Dia hanya meloncat-loncat mengelilingi Pita Loka dengan permainan pedangnya. Namun Pita Loka siap siaga.

    Sementara itu, Nyi Kembar sedang meniup kepala Dasa Laksana. Tiupan sihir itu berhasil. Nyi Kembar berseru :

    Ayoh berangkat ke Serunai untuk menyergap dua pendekar Kumayan. Tapi kamu harus memulai dulu menghancurkan mereka, Dasa Laksana! Kami di belakangmu!

    Baik, Nyi Kembar! Saya akan hancurkan mereka, kata Dasa Laksana.

    Ayoh sekarang! Kita harus di sana sebelum fajar. Mata-matamu sudah meyakinkanku, bahwa dua pendekar itu sedang siap bertempur.... kita masuk dalam keadaan mereka sedang bertempur, karena kita akan memancing di air keruh dan musti merebut selendang Pita Loka dan pedang Harwati .... Dan, ingat, Dasa Laksana, kamu harus mengutamakan kehancuran Harwati, sebab pedang Surandar itu lebih kuinginkan daripada selendang hijau Pita Loka!

    Siap, tuan Gurul dan Dasa Laksana meloncat ke punggung kudanya. Dan ketika fajar menyingsing, Harwati masih saja mengitari Pita Loka dengan jurus bangau putih mengkitari sarang. Pita Loka waspada terus, menunggu kemungkinan serangan curian. Mata dua pedang Surandar berkilat-kilat yang dikibas-kibaskan Harwati dalam mengitari Pita Loka itu. Dan, seperti sudah ditebaknya, Pita Loka berkelit ketika Harwati menghambur untuk menebas lehernya, Mata pedang itu terpeleset ketika mengenai bahu kanan Pita Loka, dan Harwati terhambur ke udara oleh tendangan balasan. Harwati merubah jurusnya menjadi jurus bangau kawin agar dia dapat menebas dada lawannya, tetapi Pita Loka menangkisnya dengan menyergap pergelangan Harwati, lalu membantingnya seketika. Harwati membal ke udara karena dua pedang itu menghantam tanah. Ketika ini pulalah Harwati seperti sadar beberapa saat! Dia ingat, kelebihan pedang Surandar adalah bila dia dihentakkan ke bumi lalu membuat pemegangnya membal. Begitulah ketika Pita Loka sudah ketemu cara penyergapan, dia meloncat dengan kaki keatas lalu menyergap Harwati yang cepat menghantam mata pedang ke bumi. Sehingga dalam keadaan tubuhnya dicengkeram Pita Loka, maka Pita Loka ikut terseret ke udara.

  • Keduanya jatuh di bumi, dan menjelang jatuh pedang sudah dihantamkan ke bumi, sehingga dalam keadaan terkena sergap cengkeraman itu Pita Loka ikut bersama tubuh Harwati terbang ke udara.Matahari mulai menerangi bumi.

    Harwati berhasil lepas dari cengkeraman Pita Loka, Ketika dia mengayunkan pedang Surandar kanan dan kiri...ketika itulah terdengar derap telapak kaki kuda yang banyak sekali.

    Kita kena serbu! seru Pita Loka.

    Musuh pun sudah mengepung dari segala penjuru. Tetapi Harwati masih melakukan serangan pada Pita Loka yang cuma menangkis dan menangkis karena dilihatnya seorang pendekar muda melompat dari kuda dan memegang senjata kayu -bulat - toya yang dengan serta merta menyerang Harwati. Harwati berteriak: Hai Dasa Laksana kamu ya! tetapi toya itu diayunkan ke arah kepala Harwati, namunsudah dijepit oleh ketiak Pita Loka menjelang kepala Harwati remuk. Dasa Laksana ikut bersama Pita Loka yang mengepit toya itu dan dengan jungkiran salto maka terlepaskan kayu bulat itu dari tangan Dasa Laksana yang terlempar jumpalitan.

    Pita Loka hampir membuang toya yang dianggapnya senjata murahan itu, tapi kemudian didengarnya wisik: Jangan. Awas kiri!.

    Dia memutar tubuh ke kiri dan melakukan tangkisan ketika mendadak Nyi Kembar menghantamkan kayu bulat ke kepala Pita Loka dan gagal...

    DASA Laksana kebingungan karena tiba-tiba sadar bahwa dia sudah terkena sihir Nyi Kembar. Ketika dia melihat Nyi Kembar menyerang Harwati dengan ilmu setan kawin, maka dihantamnya kepala Nyi Kembar sebelum beberapa kali tendangannya sulit ditangkis oleh pedang Harwati. Ilmu kebal Nyi Kembar cukup ampuh. Sehingga pedang Surandar terlepas dari tangan Harwati, jatuh ke tanah, membal lagi ke udara, dan Nyi Kembar ingin melompat untuk mengambil pedang itu.

    Ketika itulah toya ditangan Dasa Laksana menyabet tulang kering kaki Nyi Kembar, dan Nyi Kembar Jatuh jumpalitan. Ketika itu Pita Loka hanya berdiri tegak. la cuma menonton pertempuran seru dua lawan satu. Nyi Kembar memang cukup kebal menghadapi pedang Surandar yang dihantamkan berkali-kali oleh Harwati. Harwati lega karena pedang yang sebuah lagi sudah ditangan Dasa Laksana.

    Betapapun kebalnya Nyi Kembar menahankan mata pedang dari sabetan Harwati dan Dasa Laksana, dia akhirnya kualahan juga. Dia lari secepat kilat menuju kudanya lalu melompat ke punggung kuda.

    Harwati mengejarnya dengan berlompatan dari dahan ke dahan pohonan terus menyusul Nyi Kembar dengan pasukannya ke arah tenggara. Dasa Laksana berhasil membacok anak buah Nyi Kembar. Dan kudanya dia rebut dan dengan

  • tenaga mudanya dia pacu kudanya menyusul Harwati. Tampak jelas Harwati melompat dari pohon ke pohon. Dan ketika kuda yang ditungganginya sudah sejajar dengan Harwati; Dasa Laksana berseru: Melompat ke sini, Ki Harwati!

    Harwati melompat dari pucuk pohon pucung, melayang dan kemudian pantatnya sudah menemplok dibelakang tubuh Dasa Laksana. Dasa memacu kudanya lebih cekatan, turun naik bukit.

    Setiba di kaki Bukit Kembar, Harwati berkata: Kita berhenti disini supaya dia mengira kita tidak mengejamya lagi.

    Dasa Laksana turun dari kuda. Harwati masih di punggung kuda. Dengan suara manja dia berkata: Gendonglah aku supaya aku bisa turun.

    Kau bisa molompat sendiri kebawah, ujar Dasa Laksana.

    Aku ingin supaya kau menggendong saya, kata Harwati.

    Perasaan pendekar muda itu mendadak tahu apa yang dikehendaki Harwati. Tapi karena merasa berhutang budi bisa lepas dari sihir pendekar Nyi Kembar, dia menuruti keinginan Harwati. Ketika itu ia cuma merasa terpaksa menggendong Harwati, lantas berkata: Sebenarnya ilmuku pantang menyentuh wanita.

    memang itu pantangan jika wanitanya tidak suka. Beda dengan Jika kau gendong wanita yang menolakmu.

    Harwati menggeletak diatas rumput. Matahari akan tenggelam ketika itu. Sinarnya yang kekuningan, membuat dua paha Harwati tampak bagai tembaga yang menggiurkan.

    Aku letih. Tulang-tulangku merasa ngilu. Maukah kau menguruti saya! Cuma memijat-mijat saja!

    Itu pantang dalam ilmuku. Heran sekali memang, orang semua menganggap kamu pendekar edan. Tapi berhadapan dengan saya kamu sepertinya wajar dan sehat.

    Aku gila tanpa pria. Tapi aku segar dan sehat karena bersama kau, kata Harwati.

    Ketika itu pikiran Dasa Laksana kacau. Dan sesungguhnya dia tergoda ketika paha itu dilihatnya sampai dua kali.

    Cepat Dasa Laksana membuang muka. Lalu berkata:

    Aku jangan sampai kau goda hingga melanggar pantangan yang diwejang oleh Guruku.

  • Hei, itu sungai! seru Harwati lagi.

    Kalau sungai, kenapa?

    Aku ingin mandi! kata Harwati.

    Mandilah sendiri kesana!

    Tidak, aku ingin mandi bersamamu Dasa Laksana!

    Itu lebih pantangan lagi! Seluruh pelajaranku akan kembali pada Guru jika aku melakukan pelanggaran, kata Dasa Laksana.

    Baik, aku akan mandi sendiri, ujar Harwati.Dasa Laksana langsung menghempaskan tubuhnya di rumputan. Terdengar suara tubuh Harwati yang mencebur masuk ke sungai.

    Dasa Laksana belum habis heran. Mengapa dia yang sudah dikenal edan sepertinya berubah jadi manusia wajar? Diambilnya dua pedang Surandar. Dia mencoba meneliti huruf gundul yang tertera di pedang itu. Tapi ia tak dapat membacanya. Lalu terdengarlah suara: Tolooong!

    Dasa Laksana berdiri, dan melihat Harwati sedang menggapai-gapai di sungai.

    Tolong...!

    Apa!

    Ambilkan pakaianku! seru Harwati.

    DASA LAKSANA hampir saja tergoda. Jika saja dia sempat melihat Harwati dalam keadaan telanjang bulat, ia akan merana. Kesaktian kependekarannya yang sudah dia dapat dari Ki Putih Kelabu akan copot dengan serta merta. Dia akan jadi orang awam menghadapi belantara yang mengerikan ini. Lalu dia anggap saja teriakan Harwati tidak ada. Dia langsung melompat ke kuda dan memacu kudanya kembali ke arah desa Serunai. Dia ingin berjasa pada gurunya dengan jalan membujuk Pita Loka agar kembali ke Kumayan. Dia butuh agar disayang oleh Ki Putih Kelabu jika berhasil membujuk Pita Loka!

    Tapi Harwati yang melihat Dasa Laksana mendadak meninggalkannya, seketika itu juga bagai orang edan memaki-maki dengan ucapan-ucapan kutukan yang kotor. Dengan bertelanjang bulat dia melompat dari dalam sungai, lalu berpakaian dsngan menggerutu!

    Dipegangnya pedang Surandar dengan dua tangannya!

    Dia mengamuk dengan membabi buta sehingga pedang yang saling beradu itu bagai kilat dan petir ketika malam mulai tiba. Dengan penuh kegilaan Harwati melompat ke atas pohon, lalu melompat lagi dan melompat lagi.

  • Barulah ketika matahari terbit, lompatan edan itu akhirnya sampai bertepatan ketika Dasa Laksana selesai menguburkan mayat penduduk Serunai dengan penguburan satu lobang. Harwati muncul diam-diam. Dua pedang di tangannya. Dia melihat Dasa Laksana bicara dengan Pita Loka yang baru membuang pacul. .

    Katakan pada ayahku, bahwa pengembaraan ilmuku masih jauh, ucap Pita Loka.

    Aku berharap, jika aku sudah naik ke punggung kuda, hendaknya kau ikut bersamaku ke Kumayan, ujar Dasa Laksana.

    Tiba-tiba Pita Loka dan Dasa Laksana mendengar bunyi pedang beradu. Keduanya sama serentak menoleh kearah suara itu. Tampaklah Harwati dengan gerak edan berteriak dahsyat: Bajingaaaaaaaaaaan!

    Dalam sekejap mata mata pedang itu berkelebatan hampir menebas leher Dasa Laksana jika tidak segera dipintasi oleh Pita Loka yang menghadang pedang itu dengan gerak jurus diam.

    Jurus diam itu adalah yang tersulit dari semua ilmu persilatan jasad wadag. Seluruh pernfasan dengan hidung itulah yang membuat pedang Surandar itu membal kembali sebelum menyentuh bagian tubuh Pita Loka. Harwati semakin edan dan dengan membabi buta serta penasaran pedang Surandar itu berkali-kali disabetkannya ke tubuh lawannya. Terakhir, Pita Loka mendengar wisik: Hantam bahunya dengan sisi tetapak tangan kirimu!

    Sisi telapak tangan kiri Pita Loka mendarat cermat pada bahu Harwati. Pedang ditangan kanan Harwati lepas. Harwati ambrol tersungkur dan tidak sadarkan diri.

    Pita Loka masih tegak. Dia butuh wisik lagi. Lalu didengarlah wisik itu: Berjalanlah ke timur. Sekarang juga.

    Pita Loka tanpa mengucap sepatah kata meninggalkan Dasa Laksana yang terpelongo menyaksikan dahsyatnya perang tanding yang barusan terjadi. la masih terpelongo menyaksikan perginya Pita Loka. Lalu Dasa Laksana melangkah mendekati tubuh Harwati yang masih menggeletak. Lalu perasaan kasihannya bangkit, Dia menyaksikan seorang pendekar yang menderita penyakit edan ini haruslah melewati kesengsaraan.

    Dasa Laksana mulai bimbang. Dia tidak tahu apa kewajiban yang mesti dilakukan selanjutnya. Jika Harwati sadarkan diri nanti, ada dua kemungkinan akan terjadi. Kedua-duanya merugikan bagi dirinya.

    Pertama, jika Harwati sadar lalu masih marah dengan gila seperti tadi, bisa saja kepala terpisah dari tubuh karena ditebas pendekar edan itu.

  • Kedua, jika dia sadarkan diri lalu kembali menggoda dengan rayuan birahi, mungkin saja godaan itu mempan. Lalu seluruh ilmu pewarisan Ki Putih Kelabu akan menjadi abu. Musnah!

    Cuma, mengapa Harwati begitu marah? Apa karena ditinggalkan? Atau karena salah duga lalu cemburu?

    Dasa Laksana masih dibekali perasaan halus manusiawi, rasanya tak layak meninggalkan Harwati yang masih hidup. Sedang mayit penduduk Serunai saja pun dikuburkan!

    Tap! kebimbangan adalah bagian dari bakat kependekaran. Kebimbangan dalam melakukan tindakan yang belum terwujud, menjadi pendekar berjiwa besar. Itulah pesan Ki Putih Kelabu.

    Maka dia putuskan pergi dari situ, Entah kemana, terserahlah. Yang terang dia melompat ke punggung kuda. Tapi menjelang kuda itu dipacunya, kedengaran suara berhiba-hiba: Tolong aku...tolong aku!

    Dasa Laksana hampir saja memacu kudanya kalau tidak segera dia mendengar jeritan memilukan: Kasihani aku....!

    Dasa Laksana loncat turun dari kudanya. Dia hampiri Harwati. Harwati dalam keadaan lemah dan berkata: Beri aku makan dan minum. Aku lapar dan haus.

    SIFAT mudah kasihannya Dasa Laksana menonjol sekali, Segala perbuatan manusia, kebaikan dan keburukannya memang tergantung dari niatnya. Dan niat Dasa Laksana bukanlah untuk mencari kenikmatan sewaktu dia menyuapi Harwati yang makan dengan lahap. Nasi dan makanan itu hampir basi, diperdapat dari puing-puing rumah yang roboh di Serunai itu.

    Harwati makan dan minum dengan lahap. Untunglah masih ada sisa tuak yang belum hancur tabung bambunya. Tuak adalah minuman pokok desa ini.

    Aku kedinginan, ujar Harwati.

    Ya, aku tahu. Desa ini memang desa yang tinggi, bukan? Jadi udara disini dingin. Kau pendekar. Harus mampu menahan dingin bukan?

    Kamu baik sekali, Dasa Laksana, ujar Harwati.

    Aku berbuat baik bukan sembarangan. Aku tahu kepada siapa aku musti berbuat baik. Aku tahu turunan siapa kau, kata Dasa Laksana.

    Aku putri pendekar Lebai Karat, kata Harwati.

    Aku sudah tahu. Dan kelihatannya kau sehat-sehat saja, (Padahal maksud ucapan itu adalah: Kamu kelihatannya tidak gila.

  • Aku lapar lagi, ujar Harwati.

    Baiklah, Kau tunggu disini.

    Nanti dulu! ujar Harwati mencegah sebelum Dasa Laksana berlari.

    Ada apa?

    Duduklah dulu. Aku mau tanya sesuatu. Rasa-rasanya, kau meninggalkan saya ketika saya mandi disungai. Ter nyata kau sengaja menemui Pita Loka. Untuk apa kau menemuinya?

    Aku menemui Pita Loka karena dua niat. Pertama ingin melihat keadaannya lalu membujuknya pulang ke Kumayan. Sebab aku ini murid ayahnya. Jika aku membawanya ke Kumayan, tentu sang Guru akan senang atas jasa baikku. Kau tahu, setiap murid ingin menanamkan jasa baik pada Guru. Baru dia tidak dilupakan Guru. Bukan begitu?

    Yang kedua? tanya Harwati.

    Teringat olehku mayat bergelimpangan. Belum dikubur, Lalu aku mengajak Pita Loka untuk menguburkan mayat itu dalam satu lobang, dan waktu itulah engkau datang, bukan?

    Ya. Aku datang dengan amat kesal, kata Harwati.

    Kau tentu curiga juga, kata Dasa Laksana.

    Aku bukan saja curiga. Tapi aku benci! Benci!

    Dasa Laksana dilirik oleh Harwati, lalu tampaklah matanya berbinar-binar menyinarkan kebirahian seseorang yang butuh kasih.

    Sebentar aku akan mencari makanan untukmu., kata Dasa Laksana.

    Tapi sekarang ini aku tidak lapar lagi, kata Harwati.

    Ha? Koq bisa gitu?

    Aku sekarang kenyang. Aku jadi kenyang karena kamu temani aku berbicara, Maukah kau menemani saya bicara sampai malam?

    Tentu.

    Aku ingin membicarakan tentang diriku yang malang .

    Silahkan.

    Maka jawablah pribahasaku ini. Dalam ilmu silat pribahasa adalah bagian dari jurus hati. Pernahkan kau dapat wejangan ini dari Gurumu?

  • Ya. Dalam persilatan, salah bicara, nyawa melayang.

    Nah, kalau begitu kau pernah tahu apa itu kembang, kata Harwati.

    Kembang itu bunga, kata Dasa Laksana.

    Bunga itu wangi.

    Tentu. Putik bunga itu wangi, kata Dasa Laksana,

    Lalu pernah pula kamu mengetahui kumbang?

    Tentu. Kumbang itu nama binatang.