16 pendekar jembel dewikz

1116
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Hiat Kut Tan Sin Karya : Liang Ie Shen Sumber Dimhad Website Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http:// http://dewikz.byethost22.com/

Upload: yudirwan-tanjung

Post on 15-Dec-2015

270 views

Category:

Documents


31 download

TRANSCRIPT

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Hiat Kut Tan Sin

    Karya : Liang Ie Shen

    Sumber Dimhad Website

    Ebook oleh : Dewi KZ

    http://kangzusi.com/ atau http:// http://dewikz.byethost22.com/

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Sunyi-senyap suasana pegunungan, hanya suara pekik kera yang terkadang menyelinap di antara suara kicauan burung memecah kesunyian itu. Di tengah suasana sunyi itulah ada seorang pemuda sedang mengayunkan langkahnya di lembah pegunungan. Dia adalah murid terkecil Lui Tjin-tju, ketua Bu-tong-pay, namanya Tjin Goan-ko. Tatkala itu ia lagi menyusuri jalanan terjal di lereng gunung Tji-lay-san.

    Tji-lay-san adalah sebuah gunung ternama di barat-daya propinsi Soatang, yaitu terletak di selatan kabupaten Thay-an. Jadi menjulang berhadapan dengan gunung Thay (Altai) yang terletak di utara Thay-an,

    Tji-lay-san itu tidak terlalu tinggi, tapi lantaran tiada sesuatu hasil bumi apapun, juga tidak banyak binatang liar, maka penduduknya pun sangat jarang. Lantaran itulah sepanjang jalan menuju pegunungan Tji-lay-san yang dilalui Tjin Goan-ko, belum pernah ditemuinya seorang pun.

    Walaupun berjalan seorang diri dan kesepian, tapi di dalam hati Tjin Goan-ko justru terasa sangat hangat. Suara kicauan burung pegunungan itu seakan-akan paduan suara yang mengingatkan dia pada ujar orang kuno bahwa suara burung itu seperti sedang mencari sahabat. Dan perjalanannya ke Tong-peng-koan kali ini justru adalah kesempatan bagus baginya untuk berkawan dengan ksatria-ksatria sejagad yang berkumpul di sana.

    Di tengah suasana kesepian itu Tjin Goan-ko sudah membayangkan betapa ramainya pesta yang akan dihadirinya itu. Pikirnya, "Hari ini adalah tanggal sepuluh bulan delapan, setelah melintasi Tji-lay-san, dalam waktu dua hari aku sudah dapat sampai di rumah keluarga Kang. Hari pestanya adalah Pek-gwe Tjap-go (tanggal 15 bulan delapan), jadi aku datang lebih dulu tiga hari sebelumnya, entah di sana sudah ada tamu lain atau tidak. Kalau tidak ada, wah tentu aku akan merasa rikuh, tapi Kang-tayhiap terkenal sangat simpatik, tentu beliau takkan mencela kedatanganku yang kurang layak itu."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Kiranya tanggal 15 bulan delapan adalah hari perkawinan putri kesayangan Kang Hay-thian yang termashur itu. Putrinya, yaitu Kang Hiau-hu akan menikah dengan Ubun Hiong, murid Kang Hay-thian sendiri yang menjadi ahli-warisnya pula. Hari bahagia itu telah ditetapkan pada hari raya Tiong-tjhiu yang baik itu. Sebagai tokoh terkemuka dari dunia persilatan, ketika diketahui akan berita baik itu, dengan sendirinya tokoh-tokoh dari aliran lain akan hadir atau mengirim utusan untuk mengucapkan selamat kepadanya. Dan Tjin Goan-ko adalah utusan Bu-tong-pay.

    Sebenarnya jago-jago Bu-tong-pay tidaklah sedikit, bahkan kalau mengingat kedudukan Kang Hay-thian sebagai jago nomor satu pada zaman ini, untuk menghadiri pesta pernikahan putrinya itu sepantasnya Bu-tong-pay mesti mengirim seorang wakil dari angkatan yang setingkat sebagai tanda penghormatannya kepada Kang Hay-thian, tapi Tjin Goan-ko meski cuma murid Lui Tjin-tju yang buncit, namun dia mempunyai bakat yang bagus, tinggi ilmu silatnya malahan di atas segenap Suheng-suhengnya, maka Lui Tjin-tju paling sayang padanya dan bermaksud memupuk anak muda ini. Sebab itulah pada saat Tjin Goan-ko tamat belajar dan untuk pertama kalinya keluar lantas diberi tugas sebagai wakil pribadinya untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Kang Hay-thian.

    Lui Tjin-tju tahu Kang Hay-thian paling suka kepada ksatria muda, jika murid kesayangannya ini yang diutus ke rumah Kang Hay-thian, ia yakin Kang Hay-thian pasti akan menaruh perhatian khusus dan akan merasa senang malah, tak nanti Kang Hay-thian akan merasa direndahkan karena ketidak hadiran Lui Tjin-tju sendiri.

    Tapi lantaran Tjin Goan-ko baru untuk pertama kali berkelana, orang keluarga Kang juga tidak kenal padanya, maka Lui Tjin-tju sengaja menulis sepucuk surat perkenalan

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    dan dibawakan pada Tjin Goan-ko, berikut kartu undangan yang diterima dari Kang Hay-thian itu.

    Maka pada saat itulah Tjin Goan-ko sedang membayangkan secara muluk-muluk perkenalannya dengan para jago terkemuka di seluruh dunia.

    Selagi Tjin Goan-ko merasa gembira sekali di antara hembusan angin, tiba-tiba terendus olehnya bau wangi bunga Kui yang harum semerbak. Waktu Goan-ko menoleh, dilihatnya di lereng bukit sana ada sebuah rumah yang dibangun membelakangi bukit dan cukup megah dengan gentingnya yang berwarna hijau dan dinding tembok dilabur kemerah-merahan. Terang itu bukan rumah kaum pemburu, tapi pasti rumah keluarga orang berduit. Rupanya di taman bunga situ tertanam banyak pohon Kui yang sedang mekar bunganya, maka bau wangi sayup-sayup terbawa angin hingga terendus oleh Tjin Goan-ko.

    Tatkala itu sudah mendekati senja dengan pemandangannya yang indah. Diam-diam Tjin Goan-ko menimang-nimang, "Hari sudah hampir malam, keluar dari Tji-lay-san ini belum tentu akan mendapatkan tempat bermalam, ada baiknya bila aku mohon menumpang kepada tuan rumah itu."

    Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Entah orang macam apakah pemilik rumah itu? Suhu telah berpesan agar berhati-hati dalam perjalanannya. Tampaknya memang luar biasa keluarga yang hidup terpencil di pegunungan sunyi ini, mana boleh aku sembarangan minta bermalam di sana. Aku sudah terbiasa tidur di tempat terbuka di atas gunung, jika tidak menemukan tempat menginap juga tidak menjadi halangan bagiku."

    Cuma Tjin Goan-ko sesungguhnya sudah amat lelah selama beberapa hari dalam perjalanan. Ia menghirup napas dalam-dalam, hawa sejuk dan bau harum membuat semangatnya

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    menjadi segar. Setelah mengulet kemalas-malasan, kemudian Goan-ko duduk mengaso di tepi jalan.

    Tiba-tiba terdengar di dalam taman bunga rumah itu ada suara seorang pemuda sedang berkata, "Asap mengepul lurus di gurun luas!"

    Lalu ada suara seorang perempuan muda menanggapi pula, "Bola matahari tenggelam di balik sungai panjang!"

    Selain belajar silat, Tjin Goan-ko juga diberi pelajaran kesusastraan oleh Lui Tjin-tju, maka sedikit banyak ia pun bisa bersyair. Setelah mendengar ucapan kedua muda-mudi di dalam taman itu, Goan-ko menjadi heran mengapa mereka tidak bersyair di kamar baca, sebaliknya bersanjak di taman bunga, pula syair yang diucapkan mereka itu tidak lengkap, melainkan cuma satu dua bait saja.

    Letak rumah orang itu berada di bawah, sedangkan Goan-ko duduk di bagian tanjakan yang lebih tinggi sehingga pandangannya dapat mencapai keadaan di dalam taman bunga itu. Bukan maksudnya hendak mengintip, tapi lantaran ingin tahu, tanpa terasa ia memandang ke jurusan datangnya suara itu.

    Tadinya kedua muda-mudi itu tertutup oleh semak-semak bunga, tapi kini sudah berada di suatu tempat terbuka di dalam taman itu.

    Kelihatan tangan masing-masing memegang sebatang pedang. Terdengar si pemuda sedang berkata pula, "Jurus 'Asap mengepul lurus di gurun luas' yang kau mainkan sudah betul, hanya tenaganya saja masih kurang kuat. Sebaliknya jurus 'Bola matahari tenggelam di balik sungai' itu yang kurang tepat mainnya, kau harus berlatih lagi. Coba lihat caraku ini!"

    Habis berkata, pedangnya bergerak, ia menggores suatu lingkaran sehingga menimbulkan cahaya pedang yang gemi-

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    lapan, tubuh pemuda itu seakan-akan terbungkus di dalam lingkaran sinar pedang.

    Segera si nona menirukan gerakan pedang si pemuda, akan tetapi selalu kurang tepat, lingkarannya kurang bulat. Si nona menjadi uring-uringan dan ngambek tak mau main lagi.

    "Jangan putus asa, jurus ini aku sendiri hampir sebulan baru dapat memainkannya dengan baik, kau baru berlatih tiga hari sudah tentu belum apa-apa," kata si pemuda.

    "Baiklah, jurus ini boleh kulatih besok pagi, sekarang kau perlihatkan jurus 'Asap mengepul lurus di gurun luas' tadi, aku ingin tahu sebab apa tenagaku selalu tidak cukup," pinta si nona

    Si pemuda menurut, pedangnya lantas menusuk ke depan dengan lurus seperti sambaran panah. Begitu hebat kekuatannya sampai kelopak-kelopak bunga Kui di atas pohon sama rontok bertebaran.

    Walaupun Tjin Goan-ko tidak berada di dalam taman, tapi melihat rontoknya daun-daun bunga itu ia pun seperti merasakan betapa hebat menderunya angin senjata. Diam-diam ia terkejut, pikirnya, "Ilmu pedang yang dimainkan pemuda ini memang ilmu pedang kelas tinggi, kekuatannya juga hebat. Entah berasal dari aliran manakah dia?"

    Dan baru sekarang Goan-ko mengetahui bahwa kedua muda-mudi itu sebenarnya sedang berlatih ilmu pedang, beberapa bait syair kuno yang mereka ucapkan tadi adalah nama-nama jurus ilmu pedang yang mereka mainkan itu.

    Terdengar si pemuda sedang memberi petunjuk, "Waktu pedang ditusukkan ke depan, siku sedikit melengkung, tenaga terhimpun di dalam perut dan siap dikerahkan, dengan demikian kekuatan tusukan tentu akan cukup hebat."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Beberapa kali si nona mengulangi jurus ilmu pedangnya dan lambat-laun dapat juga membikin rontok sedikit daun bunga.

    Dengan tertawa si pemuda memuji, "Bagus, bakatmu memang lebih tinggi daripada diriku, jurus ini sudah boleh bagimu."

    "Marilah kita coba-coba bergebrak beberapa jurus," ajak si nona. "Nah awas, mulai!"

    Berbareng pedangnya terus menusuk dengan cepat sambi! mengucapkan satu bait syair.

    "Bagus," seru si pemuda. "Awas serangan balasanku!"

    Begitulah seketika sinar pedang berhamburan, setiap jurus serangan muda-mudi itu selalu menyesuaikan keadaan dengan arti suaru bait syair kuno. Begitu cepat putaran pedang mereka sehingga Tjin Goan-ko merasa silau. Pikirnya, "Pantas Suhu sering memberi pesan bahwa di dunia Kangouw teramat banyak tokoh-tokoh kosen tersembunyi, di mana pun terdapat orang pandai. Ilmu pdang pemuda ini entah dari golongan mana, tapi jelas ilmu pedangnya tidak di bawah ilmu pedang Bu-tong-pay kami."

    Berpikir demikian, timbul hasratnya untuk berkenalan dengan pemuda itu.

    Selagi Tjin Goan-ko termenung, terdengar di sebelah sana si pemuda itu berseru, "Awas serangan!"

    Berbareng pedangnya lantas menusuk, tapi si nona sempat menangkis dan balas menyerang satu kali, pedangnya memotong miring ke depan, akan tetapi rupanya dia kalah kuat tenaganya, ketika pedang si pemuda menyampuk ke bawah, "Trang", benturan itu membikin pedang si nona terpental jatuh.

    Melihat begitu bagus ilmu pedang si pemuda, hampir saja Tjin Goan-ko bersorak memuji. Syukur dia masih bisa

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    menahan diri, sebelum suaranya tercetus sempat ditelan kembali mentah-mentah.

    Nampak si pemuda itu menjemputkan pedang si nona, katanya dengan mengiring tertawa, "Maaf, aku tak sempat menahan tenagaku sehingga memukul jatuh pedangmu. Marilah kita coba-coba lagi."

    "Sudahlah, aku emoh lagi," sahut si nona ngambek.

    "Eh, kita kan cuma latihan saja, mengapa engkau anggap sungguh-sungguh?" ujar si pemuda.

    "Kalau cuma latihan saja, mengapa kau pukul jatuh pedangku?" kata si nona.

    "Mengapa tidak," sahut si pemuda. "Mataku memandang empat penjuru, telingaku mendengar delapan arah. Jika betul ada orang lain yang menyaksikan, hm, lihat saja aku akan menyeret dia keluar ke sini."

    Mendengar kata-kata yang seakan-akan ditujukan kepadanya, tanpa terasa Tjin Goan-ko mengkeret dan menyembunyikan dirinya lebih rapat.

    Sebenarnya ada hasrat Goan-ko untuk berkenalan dengan muda-mudi itu. Kini setelah mendengar pembicaraan mereka itu baru dia sadar bahwa dirinya memang tidak pantas muncul begitu saja. Maklumlah, orang persilatan umumnya sekali-kali tidak ingin orang luar menyaksikan di kala mereka sedang berlatih ilmu silat perguruannya sendiri. Sebab itu adalah suatu pantangan besar untuk mengintip orang berlatih.

    Diam-diam Goan-ko membatin, "Untung mereka tidak memergoki diriku, jika tidak, tentu akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Nanti kalau sudah sampai di rumah Kang-tayhiap akan kutanya asal-usul keluarga ini, setelah jelas rasanya masih belum terlambat aku mengikat persahabatan dengan mereka."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Mestinya Goan-ko ingin menyingkir pergi, tapi kedua muda-mudi itu masih di dalam taman, jika Goan-ko bergerak tentu akan ketahuan. Sebab itulah walaupun Goan-ko tiada niat mengintip mereka berlatih, sekarang terpaksa ia harus mengintip terus.

    Terdengar si pemuda sedang berkata, "Adik Siang, kita kan cuma saling belajar saja, memang ilmu pedang ini aku lebih mahir daripada kau, tapi kalau bicara tentang menggunakan senjata rahasia, akulah yang harus belajar padamu. Ehm, betul, kita tidak berlatih pedang lagi, marilah berlatih senjata rahasia saja. Katanya kau punya Bwe-hoa-tjiam (jarum berbentuk bunga Bwe) sangat lihai, coba perlihatkan satu jurus sekedar menambah pengalamanku."

    Dengan dipuji dan diumpak begitu, dari uring-uringan si nona berubah menjadi senang, katanya, "Kau tidak perlu memuji diriku. Kata ayahku, kakekmu adalah jago nomor satu di dunia ini, masakah iimu senjata rahasiamu kalah daripada aku? Barangkali kau sengaja hendak membikin malu lagi padaku."

    Goan-ko terkesiap mendengar ucapan nona itu, pikirnya, "Jago nomor satu di dunia ini, bukankah dia adalah Kang-tay-hiap yang termashur itu? Dari mana bisa muncul seorang jago nomor satu lagi? Jika kakek pemuda ini adalah Kang-tayhiap, rasanya tidak mungkin, sebab umur Kang-tayhiap baru 40-an lebih, putrinya juga baru akan dikawinkan, darimana dia bisa mempunyai seorang cucu keponakan, selamanya juga tidak pernah terdengar beliau punya saudara dari sanak famili lain."

    Dalam pada itu terdengar si pemuda menjawab dengan tertawa, "Soal ilmu silat memang masing-masing mempunyai keistimewaannya sendiri-sendiri. Seperti ilmu Tiam-hiat dan senjata rahasia keluargamu, biasanya juga sangat dikagumi oleh kakekku. Kau jangan rendah hati, kita harus saling belajar."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Semula Tjin Goan-ko mengira kedua muda-mudi itu adalah saudara perguruan yang sedang berlatih, baru sekarang diketahui bahwa dugaannya ternyata salah.

    "Baiklah, jika kau berkeras ingin melihat sedikit kepan-daianku, tapi kau jangan menertawakan, dan terpaksa aku main sebisanya," kata si nona. Habis itu ia lantas meraup keluar se-genggam Bwe-hoa-tjiam dan berkata pula seperti menggumam sendirian, "Cara bagaimana melatihnya? Ya, biarlah aku menjatuhkan kawanan tawon yang menjemukan itu."

    Di atas pohon Kui di depan si nona kebetulan ada segerombolan tawon madu yang sedang mengisap sari bunga. Mendadak si nona angkat tangannya, terlihat sinar emas gemilapan, sebagian besar kawanan tawon itu lantas jatuh berhamburan.

    "Bagus, kepandaian bagus!" sorak si pemuda. "Setiap ekor tawon yang jatuh itu terkena sebuah jarummu. Kepandaian ini benar-benar luar biasa."

    "Ah, kau terlalu memuji saja," sahut si nona dengan tertawa. "Sekarang kau coba!"

    Melihat kepandaian nona itu, diam-diam Goan-ko terkesiap juga, hanya saja ia anggap cara si nona rada-rada kejam.

    Dalam pada itu terdengar si pemuda berkata, "Baiklah, kau ingin tahu kepandaianku yang tak berarti, terpaksa aku menurut saja"

    Habis berkata, mendadak ia berpaling dan tangannya terus diacungkan ke depan.

    "He, sasaran apa yang kau arah?" tanya si nona. Pada saat itulah Tjin Goan-ko lantas merasa mendesirnya angin, senjata rahasia orang tahu-tahu telah menyambar ke arahnya. Kiranya si pemuda menggunakan Goan-ko sebagai sasaran senjata rahasianya.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Karena tidak menyangka, hampir saja Tjin Goan-ko termakan. Syukurlah pada detik yang menentukan itu ia sempat menggunakan tenaga jari yang hebat untuk menyelentik tiga kali, "criug-cring-cring", tiga buah Tau-kut-ting, paku penembus tulang, kena diselentik jatuh terpental. Namun jari Goan-ko terasa kesakitan juga, padahal jaraknya dengan pemuda tadi ada beberapa puluh meter jauhnya, tapi tenaga lemparan senjata rahasia pemuda itu ternyata sedemikian kuat, hal ini benar-benar membuat Tjin Goan-ko sangat terperanjat.

    Setelah menyambitkan senjata rahasia paku tadi, berbareng si pemuda lantas membentak, "Bocah darimana itu berani mengintip latihan kami? Lekas keluar kemari!"

    "Eh, kepandaian bocah ini tampaknya boleh juga," ujar si nona dengan tertawa.

    Memangnya Goan-ko ada maksud untuk berkenalan dengan mereka, cuma kuatir melanggar pantangan peraturan Kang-ouw, yaitu mengintip orang yang sedang berlatih, maka sejak tadi ia tak berani keluar. Sekarang sesudah konangan mau tak mau ia keluar juga dari tempat persembunyiannya. Segera ia melompat lewat pagar dan memberi salam kepada si pemuda, sapanya, "Sianto adalah Tjin Goan-ko, murid Bu-tong-pay yang kebetulan lewat di sini dan sekali-kali tiada niat sengaja mengintip latihan kalian. Harap saudara sudi memaafkan."

    Dengan memperkenalkan nama perguruannya, Goan-ko telah mentaati peraturan Kangouw serta sebagai tanda hormat kepada pihak tuan rumah dan terutama untuk menghindarkan salah paham. Maklum, Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua aliran terkemuka di dunia persilatan yang umumnya sangat disegani.

    Tak terduga pemuda itu ternyata dingin-dingin saja menerima salam Tjin Goan-ko tadi, jawabnya dengan ketus, "Peduli apa kau murid Bu-tong-pay apa bukan. Yang jelas kau

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    mengintip orang lain yang sedang berlatih, inilah tidak pantas."

    Betapa pun Tjin Goan-ko juga seorang pemuda yang masih berdarah panas dan tahu akan harga diri, terhadap sikap pemuda yang congkak itu, ia pun merasa dongkol maka dengan kaku ia pun menjawab, "Ilmu pedang saudara memang hebat, tapi anak murid Bu-tong-pay rasanya masih tidak sampai mencuri belajar ilmu pedang dari golongan lain."

    "Hm, kalau anak murid Bu-tong-pay lantas mau apa?" je-ngek pemuda itu. "Baik, biar kucoba-coba ilmu pedang Bu-tong-pay kalian."

    Habis berkata, pedangnya secepat kilat terus menyambar ke depan. Hanya sekali tusuk saja tiga tempat Hiat-to di badan Tjin Goan-ko diarahnya.

    Sudah tentu Goan-ko tidak tinggal diam, pikirnya, "Ah, tidak boleh memalukan nama baik perguruan sendiri."

    Segera ia pun melolos pedang untuk melayani serangan lawan.

    "Adik Siang, harap kau menyaksikan secara teliti!" seru si pemuda. "Sret" mendadak ia menusuk dengan jurus 'Asap mengepul lurus di gurun luas1, dengan cepat ujung pedangnya menusuk ke muka Tjin Goan-ko, yang diincar adalah matanya.

    Terkejut dan gusar pula Tjin Goan-ko, gerutunya di dalam hati, "Sekali pun benar aku telah mengintip latihanmu juga tidak seharusnya kau menyerang sekejam ini."

    Terpaksa Goan-ko mengeluarkan kepandaian andalannya, dengan jurus 'Hong-in-toan-hong' atau memutus awan memotong puncak, pedangnya menangkis dengan cepat berbareng terus dipuntir. Maka terdengarlah suara mendering nyaring, pedang si pemuda tadi tertangkis pergi, bahkan menyelonong tiga langkah ke samping.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Tiba-tiba si nona tertawa, serunya, "Ya, aku sudah menyaksikan dengan baik. Kiranya jurus seranganmu 'Asap mengepul lurus di gurun luas' itu dapat dipatahkan dengan cara demikian!"

    Sebenarnya maksud si pemuda ingin pamer ilmu pedangnya di hadapan si nona, tak terduga serangannya luput mengenai lawan, sebaliknya ia sendiri malah terdesak mundur. Keruan ia menjadi malu dan dari malu menjadi kalap. Bentaknya, "Baik, biar kau rasakan kelihaianku!"

    Berbareng pula pedangnya bergerak, dalam sekejap saja Tjin Goan-ko telah terkurung di tengah sinar pedangnya. Nyata pemuda itu menggunakan jurus serangan 'Bola matahari tenggelam di balik sungai1. Jika serangannya berhasil, tentu tubuh Tjin Goan-ko akan terpotong menjadi dua.

    Melihat serangan lawan makin lama semakin keji, Goan-ko menjadi naik darah juga, pikirnya, "Kalau aku tidak memberi sedikit rasa padanya, tentu dia akan menyangka aku takut padanya."

    Segera ia pun balas menyerang, ujung pedangnya menembus lingkaran sinar pedang lawan, dengan jurus 'Menyapu melintang enam kali', terdengarlah suara mendering yang nyaring, seketika sinar pedang lawan menjadi buyar. Nyata serangan si pemuda tadi kena dipatahkan pula.

    "Bagaimana, cukup belum?" tanya Goan-ko.

    Namun pemuda itu menjawab dengan teriakan kalap, "Menang atau kalah belum pasti, mengapa bilang cukup?" Berbareng itu berturut-turut ia menyerang tiga kali secara gencar dan lihai.

    Untung sebelumnya Tjin Goan-ko sudah mengikuti latihan kedua muda-mudi itu dan sudah paham jalan permainan pedangnya itu sehingga tidak sampai terdesak dan kelabakan.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Kalau menerima tanpa membalas rasanya kurang hormat!" seru Goan-ko. "Maaf, aku pun akan melancarkan serangan!"

    Cepat pedangnya bergerak ke kanan dan ke kiri beberapa kali, menyusul menusuk ke depan beberapa kali, sekaligus ia menyerang tujuh kali secepat kilat dan tiap jurus serangannya berbeda.

    Si nona sampai kesima menyaksikan serangan kilat itu, tanpa terasa ia berseru, "He, Bun-toako, ilmu pedangnya tampaknya lebih cepat daripada permainanmu!"

    Keruan wajah pemuda itu semakin masam, di bawah serangan Tjin Goan-ko yang gencar ia tidak sempat menjawab kata-kata si nona. Mendadak ia meloncat ke atas, pedangnya berputar, menyusu terdengar pula suara mendering berulang-ulang. Nyata serangan berantai Tjin Goan-ko tadi kena ditangkis juga olehnya. Melihat ilmu pedang pemuda itu sedemikian hebat, diam-diam Goan-ko merasa kagum juga.

    "Bagus!" puji Goan-ko. Habis ini maksudnya ia hendak mengakhiri pertandingan itu.

    Tak terduga si pemuda kembali menyerang pula sambil mendengus, "Hm, bagus atau jelek ilmu pedangku tidak perlu penilaianmu. Memangnya Bu-tong-pay kalian paling jempol, toh jurus 'Lian-goan-toat-beng-kiam-hoat' (ilmu pedang berantai pencabut nyawa) masih tak mampu merenggut nyawaku."

    Begitulah pemuda itu lantas melancarkan serangan pula secara gencar. Keruan Goan-ko sangat mendongkol, ia anggap orang benar-benar tidak tahu diri, terpaksa ia harus melabraknya sekuat tenaga.

    Maka terjadilah pertarungan sengit, begitu kencang pedang mereka sehingga akhirnya mereka seakan-akan terbungkus oleh sinar pedang masing-masing.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Menyaksikan itu, akhirnya si nona menjadi kuatir juga, pikirnya, "Dua harimau bertempur akhirnya tentu ada yang terluka. Jika Bun-toako tercidera tentu tidak enak, kalau pemuda she Tjin itu dilukai, ini pun tidak baik. Dia hanya kebetulan melihat kami sedang berlatih, betapa pun tidak perlu dilukai. Apalagi dia adalah murid Bu-tong-pay, jika terjadi apa-apa tentu akan menimbulkan persengketaan. Akan tetapi untuk memisahkan mereka aku sendiri pun tidak sanggup, lantas bagaimana baiknya ini?"

    Selagi si nona merasa bingung, sekonyong-konyong terdengar "creng" yang nyaring, sinar pedang yang berpancaran tadi mendadak buyar. Kiranya kedua pedang mereka pada suatu jurus telah saling beradu dan sekarang mereka sedang mengadu tenaga-

    Ketika kedua pedang beradu, segera pemuda she Bun itu menekan sekuatnya. Mestinya Tjin Goan-ko bermaksud menarik pedangnya dengan cepat. Tapi tiba-tiba terasa suatu tenaga kuat menerjang ke atas pedangnya. Sebagai pemuda yang juga berdarah panas, Goan-ko tidak mau kalah, jika pedang tetap ditarik kembali jangan-jangan dirinya akan disangka takut. Maka timbul niatnya untuk menjajal Lwekang lawan.

    Begitulah segera ia pun menyalurkan tenaga dalam untuk balas menyerang. Ketika tenaga dalam kedua belah pihak sudah saling hantam melalui senjata masing-masing, maka sukarlah bagi salah satu pihak untuk menyudahi pertandingan Lwekang demikian.

    Hanya sekejap saja kedua pemuda itu sudah sama mandi keringat. Cuma Tjin Goan-ko masih lebih tenang, sebaliknya pemuda she Bun itu tampaknya lebih berabe, hal ini terlihat dari otot-otot hijau yang menonjol di bagian jidatnya.

    Pertandingan Lwekang tidak dapat disamakan dengan pertandingan silat cara lain, sedikit lebih lemah saja tentu akan membahayakan jiwanya. Kini si pemuda she Bun itu baru

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    merasa menyesal dan gelisah, pikirnya, "Jika tahu bocah ini memiliki Lwekang sekuat ini tentu lebih baik aku bertanding pedang saja dengan dia. Sekarang keadaan sudah telanjur, jalan satu-satunya untuk memperoleh kemenangan adalah minta bantuan kepada adik Stan."

    Saat itu Goan-ko sudah di atas angin, cuma dia harus mencurahkan segenap pikiran dan tenaga untuk melayani pemuda she Bun itu, maka kalau saat itu ada seorang yang memiliki sedikit kepandaian saja sudah cukup menjatuhkan dia dari belakang.

    Pemuda she Bun itu sudah biasa membual dan sok sombong di hadapan si nona. Sekarang ia menjadi serba rikuh untuk meminta bantuannya. Diam-diam hatinya gelisah dan mendongkol pula. Ia menyesalkan si nona yang sudah melihat keadaannya runyam mengapa masih tinggal diam saja. Karena tiada jalan lain lagi, terpaksa ia memberi kedipan mata kepada si nona.

    Meski si nona bukan seorang ahli silat kelas tinggi, tapi menang atau kalah dari suatu pertandingan dapatlah dilihatnya juga. Cuma ia menjadi ragu-ragu, jika dia memberi bantuan dan menyerang Tjin Goan-ko dari belakang, akibatnya Goan-ko pasti akan dibunuh oleh Bun-toakonya. Padahal hanya urusan kecil saja seorang murid Bu-tong-pay harus terbunuh, betapa pun hal ini terasa tidak sampai hati. Sebaliknya kalau dia tidak memberi bantuan, jangan-jangan Bun-toako yang akan terluka atau terbunuh. Begitulah dengan pedang terhunus ia berdiri terpaku karena ragu-ragu.

    Goan-ko tidak tahu sikap si gadis yang berdiri di belakangnya itu, tapi ia melihat isyarat yang diberikan kepada si nona tadi. Ia pikir dirinya tiada punya permusuhan apa-apa dengan mereka, dari kegelisahan pemuda lawannya itu dapat diketahui keadaannya tentu sudah payah sehingga terpaksa ingin bantuan si nona, maka biarlah aku menyudahi saja pertarungan sengit ini.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Padahal dengan menyudahi pertarungan secara mendadak itu, Goan-ko sendiri harus menanggung resiko yang tidak kecil, sebab saat itu mereka sedang mengadu tenaga dalam, jika mendadak ia menarik kembali tenaganya itu dan pihak lawan terus menyerangnya secara dahsyat, maka Goan-ko sendiri pasti akan celaka. Namun Goan-ko mengukur jiwa rendah lawannya dengan jiwa besar seorang ksatria, ia anggap ilmu silat pemuda itu-pun cukup hebat, betapapun tentu orang akan tahu maksud baiknya menyudahi pertandingan itu dan rasanya takkan menyerangnya pada waktu dia menarik kembali tenaganya.

    Tapi nyatanya Tjin Goan-ko salah menduga, sebab apa yang dilakukan si pemuda benar-benar terlalu pengecut.

    Memangnya pemuda she Bun itu sudah merasa dendam lantaran Goan-ko ternyata lebih unggul, sehingga membuatnya malu di hadapan si nona. Kedua, biar pun si nona sudah melolos pedang, tapi sebegitu jauh masih tidak maju membantunya, hal ini makin menambah gusarnya. Maka ketika Goan-ko mendadak menarik kembali pedangnya, tanpa pikir lagi kesempatan itu digunakan untuk menusuk secepat kilat ke depan.

    Keruan Goan-ko terkejut, tapi dia adalah murid Bu-tong-pay yang berbakat, pada detik berbahaya itulah dia memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Dengan menggeser langkah, segera ia pun balas menyerang -dengan jurus 'Wan-kiong-sia-tiau' atau menarik busur memanah elang.

    Menurut teori, jurus serangannya ini akan memaksa lawan mau tak mau harus membatalkan serangan untuk menyelamatkan diri lebih dulu. Tak terduga pemuda she Bun itu agaknya sudah nekat. Waktu menyerang dia menggunakan segenap tenaganya tanpa memikirkan segala akibatnya, maka tampaknya kedua pihak tentu akan sama-sama kena serangan masing-masing. Si nona menjadi kuatir, teriaknya, "Ayah! Tolong lekas!" Pada saat itulah terdengar suara, 'cring-cring'

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    dua kali, pada waktu ujung pedang masing-masing hampir mengenai sasarannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang melayang tiba, secepat kilat kedua batang pedang kena diselentik sehingga sama-sama terlepas dari cekalan.

    Sekarang yang amat terkejut adalah Tjin Goan-ko. Betapa hebat tenaga dalam orang yang mampu menyelentik pedang mereka hingga terpental itu? Tenaga sehebat ini Goan-ko yakin gurunya masih mampu melakukannya, tapi paman gurunya seperti Siong-tjiok Todjin dan lain-lain toh rasanya masih belum sanggup. Jika pendatang yang belum jelas siapa ini bermaksud membuat celaka padanya, maka sukarlah dibayangkan akibatnya. Tapi kalau melihat pedang si pemuda she Bun juga ikut diselentik mencelat, agaknya orang kosen ini hanya ingin memisah pertarungan mereka itu dan tiada bermaksud jahat padanya.

    Waktu Goan-ko berpaling, kiranya orang itu adalah seorang laki-laki setengah umur berdandan sebagai Susing (kaum pelajar). Tingkah-lakunya sangat lemah lembut Selagi Goan-ko melongo heran, Susing setengah umur itu sudah memberi salam padanya dan menyapa, "Saudara cilik ini tentu terkejut. Maafkan anakku yang tidak tahu diri itu, aku ingin mintakan maaf baginya."

    Dengan muka merah padam si pemuda she Bun tadi masih ingin membela diri, "Ayah, dia.....dia....."

    Namun Susing setengah tua itu sudah lantas mendampratnya, "Diam! Bagaimana aku mengajarkan padamu, masakah kau boleh berbuat sekasar ini kepada tamu? Hayo, lekas minta maaf kepada tuan tamu."

    Goan-ko menjadi rikuh sendiri, lekas ia memberi hormat kepada Susing setengah tua itu dan berkata, "Harap tuan jangan menyalahkan putramu, sebab memang akulah yang salah."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Ya, dia telah mengintip latihan kami, lantaran itulah aku bergebrak dengan dia," timbrung si pemuda she Bun.

    Tapi Susing setengah umur itu menggeleng-geleng kepala dan mendengus, "Hm, aneh. Orang adalah murid Bu-tong-pay yang ternama, hanya beberapa gerakan cakar kucing macammu ini masakah ada nilainya untuk diintip orang?"

    Melihat orang itu mengomeli putranya, rasa dongkol Tjin Goan-ko lantas lenyap, bahkan timbul perasaan yang tidak enak. Cepat ia menyala, "Ah, ilmu pedang putra tuan sungguh sangat hebat, Tjayhe sangat kagum. Memang salahku karena tanpa sengaja telah mengintip, bahkan menerobos masuk kemari, perkenankan Tjayhe mohon maaf kepada tuan rumah."

    Mendadak Susing setengah umur itu bergelak tertawa.

    Goan-ko melengak karena tidak tahu apa sebabnya orang tertawa. Tiba-tiba Susing setengah umur itu menuding ke belakang dan berkata, "Hong-toako inilah tuan rumah di sini, aku sendiri juga menjadi tamunya."

    Waktu Goan-ko memandang ke arah yang ditunjuk, dilihatnya seorang laki-laki berumur 50-an tahun dan berjenggot panjang tampak sedang keluar dari pintu bulat sebelah sana Segera si nona tadi berlari memapak orang tua itu dan menyapa, "Ayah, mengapa baru sekarang engkau datang. Ai, tadi, tadi hampir saja....."

    "Aku sudah tahu, anak Siang," kata orang she Hong itu. "Sungguh beruntung kita kedatangan tamu dari golongan Bu-tong-pay, benar-benar tamu yang susah di undang. Maaf bila aku terlambat menyambut."

    Lekas Goan-ko memberi hormat kepada tuan rumah, lalu mohon tanya nama mereka. Maka barulah diketahui bahwa tuan rumahnya she Hong bernama Hong Tju-tjiau, putrinya itu bernama Hong Biau-siang. Susing setengah umur itu adalah Bun To-tjeng dan putranya bernama Bun Seng-tiong.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Kedatangan Tjin-siauhiap sungguh sangat menggembirakan kami," kata Hong Tju-tjiau kemudian. "Melihat ilmu pedang Tjin-siauhiap yang hebat tadi, agaknya adalah ajaran sendiri Lui-iotjianpwe dari peguruan kalian?"

    Baru sekarang Tjin Goan-ko sadar bahwa waktu dirinya bertarung dengan Bun Seng-Tiong tadi, sebenarnya mereka sudah mengintip di balik tembok sana. Kaum angkatan tua mengintip latihan kaum muda bukanlah sesuatu yang tidak sopan. Maka Goan-ko lantas menjawab dengan hormat, "Ya, beliau adalah guruku."

    "Aha, itulah lebih hebat lagi," seru Hong Tju-tjiau dengan tertawa. "Gurumu adalah bintang kejora di dunia persilatan yang sudah lama dikagumi. Syukur sekarang Tjin-siauhiap berkunjung kemari, harap sudi menerima suguhan secawan dua cawan arak gunung sekadar memenuhi kewajibanku sebagai tuan rumah."

    "Banyak terima kasih," sahut Goan-ko. "Wanpwe tak berani menerimanya."

    "Hari pun sudah gelap, pegunungan ini jau\ dari perkampungan, bila Tjin-siauhiap tidak menolak, biarlah aku menawarkan tempat bermalam bagimu," kata Hong Tju-tjiau pula.

    "Ah, jangan-jangan Tjin-siauhiap masih mendongkol lantaran kekurangajaran anakku itu," timbrung Bun To-tjeng dengan tertawa. "Tiong-dji, lekas meminta maaf kepada Tjin-siauhiap."

    Habis berkata, diam-diam ia mengedipi putranya itu. Bun Seng-tiong sebenarnya adalah pemuda yang sombong dan tidak nanti sudi minta maaf kepada orang lain, tapi sekarang ia seperti paham sesuatu, segera ia melangkah maju dan memberi hormat kepada Tjin Goan-ko, katanya, "Harap Tjin-heng sudi memaafkan kekasaranku tadi. Betapapun harap

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    engkau sudi tinggal barang dua tiga hari di sini agar Siaute sempat minta belajar kepada Tjin-heng."

    Memangnya sejak mula Tjin Goan-ko ada hasrat buat bersahabat dengan mereka, apalagi ia memang memerlukan suatu tempat untuk bermalam, jika terus menolak rasanya juga kurang baik, apalagi 'sandiwara' ayah dan anak she Bun itu membuatnya merasa serba salah, maka cepat ia menjawab, "Bun-heng tidak menarik panjang dosaku yang telah menerobos kemari secara sembrono, hal ini saja sudah membuat Siaute berterima kasih, apalagi tuan rumah sudi pula menerima diriku untuk bermalam di sini, jika aku masih menolak tentu akan berarti tidak menghormati tuan rumah. Ilmu pedang Bun-heng sendiri sangat hebat, ucapan minta belajar tadi sungguh Siaute sekali-kali tidak berani menerimanya."

    "Hahaha, bagus, bagus!" Hong Tju-tjiau bergelak tertawa.

    "Kalian boleh dikata tidak berkelahi tidak menjadi kenal. Tjin-Niauhiap memang harus tinggal beberapa hari di sini agar putriku yang bodoh itu pun sempat belajar lebih banyak darimu."

    "Ah, kepandaian kedua Lotjianpwe berpuluh kali lebih tinggi dariku, masakah Wanpwe berani terima penilaian setinggi ini?" sahut Goan-ko dengan muka merah. "Kali ini Wanpwe ada urusan harus menuju ke Tong-peng-koan, setelah mengganggu semalam, besok juga Wanpwe harus berangkat ke sana. Biarlah nunti pulangnya saja Wanpwe datang lagi untuk minta petunjuk kepada Lotjianpwe."

    "Baik, jika demikian aku pun tidak enak untuk menahan engkau," kata Tju-tjiau. "Marilah silakan masuk, sudah waktunya bersantap, harap Tjin-siauhiap jangan sungkan-sungkan."

    Begitulah mereka lantas menyambut Tjin Goan-ko ke ruangan dalam. Ternyata di situ sudah tersedia meja

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    perjamuan. Agaknya sebelumnya Hong Tju-tjiau sudah menyiapkan untuk menjamu tamunya.

    Melihat keramahan tuan rumah, Goan-ko menjadi sangsi, lapi kemudian ia menjawab kesangsian sendiri, ia pikir orang tentu bukan sungkan padanya, tapi adalah sebagai penghormatan kepada gurunya sebagai tokoh Bu-tong-pay yang umumnya memang disegani di dunia Kangouw.

    Setelah menyanding meja perjamuan itu, Hong Tju-tjiau dan Bun To-tjeng melayani Tjin Goan-ko dengan sangat baik, berulang-ulang mereka mengajak minum. Mestinya Goan-ko sanggup minum beberapa cawan arak, tapi tiba-tiba teringat kepada peringatan gurunya bahwa pergaulan di luaran harus berlaku hati-hati, lebih-lebih jangan suka banyak minum, terutama kalau bertemu orang yang belum dikenal asal-usulnya Karena itu ia lantas menolak suguhan arak itu dengan alasan besok pagi-pagi masih harus meneruskan perjalanan jauh.

    "Arak ini tidak keras," demikian Hong Tju-tjiau membujuk dengan tertawa. "Biar minum beberapa cawan juga takkan mabuk. Bolehlah kuminum dulu sebagai penghormatan, harap Tjin siauhiap sudi mengiringi nanti."

    Habis berkata secawan arak yang dipegangnya itu lantas ditenggak habis.

    Walaupun Tjin Goan-ko kurang luas pengetahuannya tentang peraturan Kangouw, tapi ia pun tahu arti minum lebih dulu pihak tuan rumah itu ialah untuk menunjukkan bahwa di dalam arak itu tiada sesuatu yang membahayakan dan dengan demikian untuk menghilangkan rasa curiga Tjin Goan-ko.

    Apalagi Goan-ko juga cukup mengetahui kepandaian Bun To-tjeng tadi, kepandaian tuan rumah belum diketahui, namun dengan kepandaian Bun To-tjeng saja sudah cukup untuk membunuhnya, bila mereka bermaksud jahat kepadanya

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    rasanya juga tidak perlu memasang perangkap dengan arak berbisa.

    Karena pikiran demikian, Goan-ko anggap bila dirinya masih sangsi lagi, hal ini tentu akan membikin kurang senang pihak tuan rumah. Maka setelah mengucapkan terima kasih, akhirnya ia pun minum habis secawan arak yang disuguhkan itu.

    Rasa arak itu memang betul tiada sesuatu yang luar biasa, malahan terasa harum segar di dalam perut. "Bagus, arak bagus!" demikian Goan-ko memuji.

    "Eh, tadi Tjin-siauhiap bilang tidak sanggup minum arak, tak tahunya adalah seorang ahli arak malah," kata Bun To-tjeng dengan tertawa. "Baiklah, biar aku pun menghormati Tjin-siauhiap dengan satu cawan."

    Lantaran dirinya sudah mengadu cawan dengan Hong Tju-tjiau, terpaksa Goan-ko juga minum secawan bersama-sama Bun To-tjeng.

    Menyusul Seng-tiong juga tampil untuk mengajak menghabiskan secawan, katanya, "Ucapan Hong-lopek tadi memang betul, kalau tidak berkelahi kita takkan kenal. Biarlah secawan ini anggaplah untuk memberi selamat kepada persahabatan kita."

    Diam-diam Goan-ko memperhitungkan, biar minum lagi beberapa cawan rasanya arak itu masih takkan memabukkannya, maka tanpa pikir ia pun minum lagi secawan bersama Bun Seng tiong.

    Tiba-tiba Hong Biau-siang berkata, "Arak apakah ini, ayah, sungguh wangi sekali. Biasanya jarang kulihat engkau minum arak ini? Biar aku pun ikut minum secawan."

    "Hus, anak perempuan tidak boleh minum arak!" sahut Hong Tju-tjiau dengan menarik muka.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Selamanya Hong Biau-siang tidak pernah diomeli sang ayah, apalagi di depan para tamu, keruan mukanya menjadi merah dan tertegun.

    Dengan tertawa Bun To-tjeng lantas berkata, "Ah, Hong-toako juga terlalu keras terhadap gadisnya. Sudahlah, ayahmu melarang kau minum, boleh kau menyuguhkan secawan saja kepada Tjin-siauhiap."

    "Tidak boleh minum ya sudah, memangnya kepingin?" demikian Hong Biau-siang menjadi ngambek, ia tidak jadi minum dan juga tidak menyuguh kepada Goan-ko.

    Goan-ko menjadi rikuh sendiri, katanya, "Wanpwe tidak sanggup minum terlalu banyak, tiga cawan tadi sudah melebihi lakaranku. Suguhan nona Hong biarlah anggap sudah kuterima saja."

    "Lantaran sejak kecil sudah ditinggalkan ibunya sehingga aku rada memanjakan dia, harap Tjin-siauhiap jangan menertawakannya," kata Hong Tju-tjiau.

    "Sudahlah, marilah kita bicara soal lain saja," sela Bun To-tjeng. "Eh, Tjin-siauhiap tadi seperti bilang hendak menuju ke Long-peng-koan bukan?"

    Goan-ko mengiakan.

    "Kang-tayhiap, Kang Hay-thian juga tinggal di sana, kaharnya pada tanggal 15 bulan ini akan mengawinkan putrinya, apakah Tjin-siauhiap mengetahui hal ini?" tanya Bun To-tjeng.

    "Wanpwe justru ditugaskan oleh guruku untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Kang-tayhiap," jawab Goan-ko.

    "Ya, aku memang sudah menduga demikian," ujar Hong Tju-tjiau. "Mengingat hubungan baik Bu-tong-pay kalian dengan Kang-tayhiap, jika Lui-taytjiangbun tidak dapat hadir

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    tentu juga akan mengirim murid kesayangannya untuk mewakilinya."

    "Ah, Hong-tjianpwe terlalu memuji saja," sahut Goan-ko. "Di dalam Bu-tong-pay kami, Tjayhe cuma seorang murid yang masih hijau, maka guruku sengaja menugaskan Tjayhe agar bisa menambah pengalaman."

    "Ai, Tjin-siauhiap terlalu rendah hati, sungguh sedikit orang muda yang mau merendah hati seperti kau, terimalah satu cawan sebagai penghormatanku," kata Hong Tju-tjiau.

    "Terima kasih, Wanpwe sesungguhnya tidak sanggup minum lagi," sahut Goan-ko.

    Aneh juga, arak yang dirasakan tawar oleh Goan-ko dan rasanya takkan membikin mabuk itu, kini tiba-tiba kepalanya terasa rada berat, kakinya terasa lemas dan enteng, nyata ia telah tujuh atau delapan bagian terpengaruh minuman keras itu.

    Dalam keadaan rada sinting itu, tiba-tiba teringat sesuatu oleh Goan-ko, tanyanya, "Apakah kedua Lotjianpwe juga menerima undangan keluarga Kang."

    Tji-lay-san hanya ratusan li jauhnya dari Tong-peng-koan, karena melihat kedua orang itu adalah tokoh-tokoh persilatan, maka Goan-ko mengira tentu pula kenalan Kang Hay-thian sehingga dia mengajukan pertanyaan demikian.

    Namun Hong Tju-tjiau menjawab dengan tertawa, "Aku tinggal menyepi di sini dan jarang bergaul dengan orang luar, meski nama Kang-tayhiap amat termashur, tapi aku tak pernah berkunjung padanya. Rasanya Kang-tayhiap juga takkan tahu orang gunung seperti diriku ini, darimana dia dapat mengirim undangan padaku?"

    "Ya, lebih-lebih aku hanya seorang Bu-beng-siau-tjut (prajurit tak bernama, maksudnya keroco) saja, tidak nanti

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    ada undangan keluarga Kang kepadaku," sambung Bun To-tjeng.

    "Ah, kedua Lotjianpwe adalah orang kosen yang hidup bebas, sungguh harus dihormati. Marilah kusuguhi kedua Lotjianpwe secawan," kata Goan-ko. Padahal tadi dia mengatakan tidak sanggup minum lagi, tapi sekarang ia justru mengajak minum pula.

    Melihat wajah Goan-ko merah membara, Biau-siang lantas berkata, "Tampaknya Tjin-siauhiap telah mabuk benar-benar, seluriknya jangan minum lagi."

    Hong Tju-tjiau melototi putrinya itu dan berkata, "Anak Siung, mengapa kau tak tahu aturan, ayahmu hanya mengajak minum tamu, mana ada orang mencegah tamu yang ingin minum?"

    "Hahaha, aku tidak mabuk, siapa bilang aku mabuk," seru tioan-ko tertawa. "Eh, nona Hong, marilah kita habiskan secawan!"

    Sembari bicara ia terus berbangku dengan memegangi cawan araknya, tapi baru jalan dua langkah dengan sempoyongan, mendadak ia jatuh terkulai dan tak sadarkan diri lagi.

    "Ayah, dia sudah mabuk begitu dan kau masih ajak dia minum," ujar Biau-siang.

    "Anak Siang, sekarang kau tentu mengetahui mengapa tadi dku melarang kau ikut minum," seru Hong Tju-tjiau dengan tertawa. "Arak ini bernama Djian-tjhit-tjui (mabuk seribu hari). Orang muda seperti kau, sekali pun mengulum obat penawar juga akan mabuk walau pun hanya minum secawan saja."

    Menyusul Hong Tju-tjiau lantas berpaling kepada Bun To-i|cng, katanya, "Namanya Djian-tjhit-tjui, tapi sebenarnya terlalu dibesarkan khasiatnya. Setelah minum tiga cawan tadi bocah ini sedikitnya juga takkan sadar selama tujuh hari tujuh

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    malam. Dan cara bagaimana kita perlakukan dia, kuserahkan saja kepadamu."

    "Bun-sioksiok, ayah, untuk apa kalian sengaja membuatnya mabuk?" tanya Hong Biau-siang bingung.

    Hong Tju-tjiau menjadi mendongkol, omelnya, "Orang tua edang bicara, kau jangan ikut-ikutan omong!"

    "Urusan ini toh tak dapat membohongi dia," ujar Bun To-tjeng tertawa, "Malahan mungkin dia diperlukan untuk ikut meramaikan pekerjaan kita, maka tiada halangannya dia diberitahu."

    "Baiklah, akan kukatakan padamu," kata Tju-tjiau kepada putrinya. "Bun-sioksiokmu mempunyai permusuhan turun-temurun dengan Kang Hay-thian, pada kesempatan Kang Hay-thian mengawinkan putrinya, Bun-sioksiokmu bermaksud membikin geger ke sana. Kebetulan bocah ini kesasar ke tempat kita ini, padanya terdapat kartu undangan Kang Hay-thian yang dapat kita pergunakan. Rasanya bocah ini terpaksa harus dibikin susah untuk sementara."

    "Jika orang menyebut Tayhiap (pendekar besar) kepada Kang Hay-thian, rasanya dia tentu seorang baik," kata Biau-siang. "Bun-siok-siok, cara bagaimana kau sampai bermusuhan dengan dia?"

    Pertanyaan Hong Biau-siang ini membikin Bun To-tjeng menjadi serba susah.

    Bun To-tjeng ini tak lain tak bukan adalah keponakan Bun Ting-bik, itu tokoh yang sangat disegani di pulau Bu-beng-to (pulau tak bernama di lautan timur).

    Bun Ting-bik adalah seorang guru besar ilmu silat, ia sendiri tidak punya anak, maka keponakannya itu telah dipungut sebagai putranya sendiri dan diajarkan segenap ilmu silatnya. Lebih 20 tahun yang lalu mereka berdua juga pernah menjelajahi daerah Tionggoan. Dengan ilmu 'Sam-siang-sin-

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    kang yang ampuh itu Bun Ting-bik pernah malang melintang di dunia Kang-ouw. Tapi kemudian ia terbentur Kim Si-ih dan berulang-ulang kena dikalahkan.

    Memangnya Bun Ting-bik bukan manusia baik-baik, setelah mengalami kekalahan, dia kena dipelet dan menjadi cakar alap-alap (kaki tangan) kerajaan Boan-djing. Pada pertempuran terakhir di atas Bin-san, ilmu silatnya kena dipunahkan oleh Kim Si-ih, tapi tidak ditamatkan jiwanya.

    Selama ikut berkelana di Tionggoan, Bun To-tjeng juga ikut menjadi cakar alap-alap kerajaan Boan, kalau pamannya mengikat permusuhan dengan Kim Sih-ih, maka ia sendiri pun mengikat permusuhan mendalam dengan murid Kim Si-ih, yaitu Kang Hay-thian. Soalnya disebabkan dia ingin memperistrikan Auwyang Wan, putri Auwyang Tiong-ho, tatkala mana Auw-lyang Wan sendiri diam-diam jatuh hati kepada Kang Hay-thian dan tidak sudi kawin dengan Bun To-tjeng, pada saat upacara pernikahan hendak dilangsungkan dia melarikan diri, kebetulan waktu itu Kang Hay-thian mendatangi rumah Auwyang Tiong-ho sehingga terjadi pertarungan dimana Bun To-tjeng terpukul hingga luka dalam.

    Kejadian itu sudah lewat lebih dari 20 tahun, Kang Hay-thian dan Auwyang Wan sama-sama sudah kawin dengan orang lain. Bun To-tjeng juga sudah pulang ke Bu-beng-to dan telah kawin serta punya anak. Namun dendam lama itu selama ini belum pernah dilupakannya (Peristiwa ini ada dalam Geger Dunia Persilatan).

    Setelah tekun berlatih selama 20 tahun di pulau terpencil itu, akhirnya Bun To-tjeng juga telah berhasil meyakinkan Sam-siang-sin-kang. Meski hidup paman dan keponakan ini jauh berada di pulau sunyi itu, tapi terhadap keadaan dunia persilatan di Tionggoan, mereka pun sering mendapat berita dan diketahui bahwa suami istri Kim Si-ih sudah lama mengasingkan diri entah kemana. Bahwa ketua Thian-san-pay, Teng Hiau-lan, ketua Siau-Iim-pay Thong-sian Siangdjin,

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    tokoh Go-bi-pay Kim-kong Siangdjin, tokoh-tokoh kelas wahid angkatan tua itu berturut-turut wafat. Setelah mengetahui kabar itu, timbul kembali ambisi Bun To-tjeng yang ingin merajai persilatan. Musuh satu-satunya yang masih ada dianggapnya cuma Kang Hay-thian seorang saja, maka dengan mengandung maksud menuntut balas segera ia menjelajahi Tionggoan pula bersama putranya yang bernama Dun Seng-tiong itu.

    Mengenai diri Hong Tju-tjiau, dia adalah satu di antara jago-jago bayangkara kerajaan Boan yang berhasil menyelamatkan diri dalam pertempuran besar di atas Bin-san pada 20 tahun yang lalu itu. Ia pernah mendapat petunjuk ilmu silat dari Bun

    Ting-bik, maka boleh dikata telah angkat saudara dengan Bun To-tjeng.

    Sesudah menyelamatkan diri, kuatir kalau orang-orang dari kalangan persilatan mencari perkara padanya, maka Hong Tju-tjiau tidak berani menjual diri pula kepada pihak kerajaan, ia mengasingkan diri dan tinggal menyepi di pegunungan Tji-lai sini. Kedatangan Bun To-tjeng kali ini lantas tinggat di rumahnya.

    Hong Tju-tjiau pribadi sudah tentu tidak berani main gila kepada Kang Hay-thian, tapi dengan dukungan Bun To-tjeng dengan sendirinya nyalinya menjadi besar. Begitulah maka kedua orang itu siang dan malam selalu memikirkan cara bagaimana bisa membalas sakit hati mereka.

    Setelah berhasil meyakinkan Sam-siang-sin-kang, seperti juga pamannya di masa dahulu, ambisi Bun To-tjeng sangat besar dan menilai diri sendiri teramat tinggi. Namun mau tak mau ia masih jeri juga terhadap ahli waris kesayangan Kim Si-ih, yaitu Kang Hay-thian, ia merasa belum yakin bisa mengalahkan Kang Hay-thian. Sebab itulah biar pun siang dan malam mereka ingin lekas dapat menuntut balas, tapi sebegitu

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    jauh mereka masih belum berani bertindak, mereka sedang menantikan kesempatan yang paling menguntungkan.

    Dan kesempatan yang baik itu kini telah tiba. Tiga hari lagi Kang Hay-thian akan mengawinkan putrinya, kebetulan utusan Bu-tong-pay yang akan hadir ke sana, yaitu Tjin Goan-ko pada saat yang diharapkan itu justru menerobos ke tempat kediaman Hong Tju-tjiau, maka Bun To-tjeng lantas memasang perangkap bersama Hong Tju-tjiau, Tjin Goan-ko terpancing untuk menceritakan maksud tujuan kedatangannya, lalu pemuda itu dibius dengan arak 'Djian-tjhit-tjui'. Bun To-tjeng, Hong Tju-tjiau dan Bun Seng-tiong bertiga sebelumnya sudah makan obat penawar sehingga mereka sendiri tidak sampai mabuk.

    Namun terhadap tipu muslihat itu sedikitpun Hong Biau-siang tidak tahu menahu, sebab itulah ia minta ikut minum arak dan membikin perjamuan rada runyam dan pertanyaannya juga membikin kikuk Bun To-tjeng.

    Syukur Hong Tju-tjiau lantas menyela, "Anak Siang, kau tidak perlu tanya urusan orang tua. Apa yang dilakukan ayah dan Mim-sioksiok tentu takkan salah."

    Dasar watak Hong Biau-siang memang aleman dan sok nif^in tahu segala, maka dengan mulut menjengkit ia tetap ber-tnnyn, "Anak justru ingin tahu, mengapa seorang Tayhiap yang irmtashur itu sampai dimusuhi oleh Bun-sioksiok?"

    "Memang, Kang Hay-thian disebut sebagai Tayhiap, tapi osungguhnya cuma nama kosong saja untuk mengapusi orang yang tidak tahu, padahal sesungguhnya....." kata Bun To-tjeng dengan tersenyum.

    "Sesungguhnya apa?" tanya Biau-siang. Bun To-tjeng melirik sekejap kepada Hong Tju-tjiau, lalu menjawab, "Boleh juga kukatakan padamu. Sesungguhnya Kang Hay-thian adalah pemberontak yang melawan pihak kerajaan."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Melawan kerajaan? Apa sih jeleknya jika begitu?" ujar Biau-siang. "Kemarin dulu aku mendengar pembicaraan beberapa orang pemburu di atas gunung, katanya pembesar kerajaan mla-rata adalah orang jahat semua, suka memeras rakyat, memungut pajak liar, merampas harta benda rakyat kecil dan macam-macam perbuatan tercela sehingga mereka terpaksa sembunyi di pegunungan dan hidup sebagai pemburu."

    Kiranya Hong Biau-siang ini dilahirkan sesudah Hong Tju-tjiau mengasingkan diri di Tji-lay-san. Lantaran takut dicari oleh kaum ksatria, maka Hong Tju-tjiau tidak pernah menceritakan asal-usulnya sendiri kepada putrinya itu.

    Tahun ini Hong Biau-siang baru berumur 19 tahun, selamanya tidak pernah keluar jauh dari rumah. Cuma sifatnya memang lincah dan suka berkeliaran di lereng gunung. Walaupun Tji-lay-san sangat sedikit penduduknya, tapi ada juga beberapa keluarga pemburu, di bawah gunung ada lebih banyak keluarga petani, dari mereka Hong Biau-siang mendengar cerita tentang Kang Hay-thian serta perbuatan kaum pembesar korup yang menindas rakyat. Cuma ia tidak tahu ayahnya sendiri sebenarnya juga jago bayangkara kerajaan.

    Maka Bun To-tjeng berkata pula dengan tertawa, "Nona yang baik, kau jangan percaya kepada cerita-cerita rakyat yang bodoh itu. Memang ada juga pembesar negeri yang jahat, tapi banyak pula yang baik. Bukankah kau pernah bersekolah dan membaca bahwa rakyat harus setia kepada junjungannya, jadi kerajaan yang berkuasa harus dipatuhi, mana boleh dilawan malah?"

    Memangnya Hong Biau-siang masih hijau, ia menjadi bingung mendengar ucapan Bun To-tjeng itu.

    Lalu Bun To-tjeng berkata pula, "Hong-toako, agaknya kau belum memberitahukan siapa dirimu kepada Titii (keponakan

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    perempuan). Jika usaha kita sekali ini berhasil, maka tidak perlu lagi kau merahasiakannya kepada putrimu ini."

    Hong Tju-tjiau mengangguk. Tapi Hong Biau-siang lantas berseru, "Ayah, apa maksud kalian ini? Selamanya ayah bilang dirinya adalah orang persilatan, selain ini apakah ada kedudukan lain?"

    "Anak bodoh, sabar dulu, tiga hari lagi ayah tentu akan memberitahukan padamu dengan jelas," kata Tju-tjiau dengan tertawa. "Mulai sekarang kau jangan lagi mengganggu pembicaraan orang tua. Bun-hiante, marilah kita bicara urusan pokok saja. Cara bagaimana kita harus menindak bocah ini," katanya sambil menuding Tjin Goan-ko yang menggeletak tak sadar itu.

    "Bocah ini akan tetap merupakan bibit bencana bila dibiarkan hidup terus, lebih baik sekali potong mampuskan dia saja," ujar Bun Seng-tiong.

    "Ya, dibunuh saja juga baik," sokong Bun To-tjeng.

    Segera Hong Biau-siang menimbrung lagi, "Baru saja kalian memperlakukan dia sebagai tamu terhormat, dia pun tidak berdosa apa-apa, mengapa kalian ingin membunuhnya?"

    "Kau ini tahu apa? Sudah kukatakan jangan mengganggu urusan orang tua, kembali kau mengacau lagi," semprot Hong Tju-tjiau. "Tapi, Bun-hiante, bocah ini adalah murid Bu-tong-pay?"

    Hong Tju-tjiau sendiri memiliki harta benda cukup besar, kuatir akibatnya akan merugikan dia, sedangkan Bun To-tjeng dengan enak saja dapat kabur.

    Bun To-tjeng menjadi kurang senang, tapi ia masih memerlukan kerjasama dari Hong Tju-tjiau, maka terpaksa ia berlagak tenang, katanya, "Baiklah, jiwanya sementara ini boleh ditunda, sesudah usaha kita berhasil barulah kita rundingkan lagi, toh dia tak mungkin bisa kabur."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Memangnya, sesudah minum 'Djian-tjhit-tjui sedikitnya dia akan mabuk tujuh hari tujuh malam," ujar Hong Tju-tjiau dengan perasaan lega.

    "Anak Tiong, seretlah bocah ini ke dalam kamar, kerjakan apa yang kukatakan," kata Bun To-tjeng kemudian.

    Bun Seng-tiong mengiakan, segera ia mengangkat tubuh Tjin Goan-ko dan menyeretnya ke kamarnya sendiri.

    "Ayah, kepalaku terasa pusing, aku akan pergi tidur saja," kata Biau-siang.

    "Baiklah, boleh kau pergi tidur saja daripada mengganggu di sini," sahut Hong Tju-tjiau.

    Sesudah Bun Seng-tiong dan Hong Biau-siang pergi, maka tertawalah Bun To-tjeng bersama Hong Tju-tjiau. Kata Bun To-tjeng, "Sungguh tidak nyana pada saat kita pusing memikirkan pelaksanaan rencana kita, tahu-tahu bocah ini menerobos kemari. Ini benar-benar kesempatan bagus yang dihadiahkan Thian kepada kita."

    "Cara bagaimana kita harus bertindak, coba Bun-hiante suka menerangkan," kata Hong Tju-tjiau.

    "Maksudku menyuruh anak Tiong menyaru sebagai bocah ini dan kita ikut dia menyelundup ke tempat Kang Hay-thian, kemudian....."

    "Nanti dulu," sela Tju-tjiau. "Caramu ada kelemahannya, padahal kita hanya punya sehelai kartu undangan."

    "Kartu undangan ini ditujukan kepada ketua Bu-tong-pay, tapi tidak menentukan bahwa kartu undangan ini hanya berlaku untuk seorang saja. Padahal anak murid Bu-tong sangat banyak, kita kan dapat memalsu sebagai orang Bu-tong-pay, sebagai pengiring bocah she Tjin ini. Kang Hay-thian terkenal suka bergaul, kalau kita datang menjadi tamunya masakah dia akan merintangi kita? Sudah tentu, jika orang yang tidak dikenal asal-usulnya memang sulit untuk menyusup

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    ke sana. Tapi sekarang kita hadir bersama murid Bu-tong-pay, tentu urusan akan berbeda."

    "Tapi, tapi kalau di antara tetamu itu ada yang kenal bocah she Tjin itu, lalu bagaimana?" tanya Tju-tjiau.

    "Ini sudah kupikirkan," jawab To-tjeng. "Pertama, bocah she Tjin ini baru pertama kali ini mengembara keluar, tokoh-tokoh Kangouw yang terkemuka tentu masih jarang yang kenal dia. Maka aku pun yakin di antara tamu-tamu Kang Hai thian tentu tiada yang kenal dia. Kedua, dari pamanku aku mendapatkan Di-yong-tan (obat rias muka), perawakan anak Tiong hampir serupa dengan bocah she Tjin ini, sesudah menyamar, kecuali gurunya atau orang-orang yang berdekatan dengan dia setiap hari, rasanya juga sukar untuk membedakannya Apalagi tujuan kita harus menyelundup ke sana dan tidak perlu tinggal terlalu lama."

    "Namun aku masih rada kuatir sebab dahulu pernah terjadi peristiwa yang serupa, maka besar kemungkinan Kang Hay-thian telah berjaga-jaga sebelumnya" ujar Tju-tjiau.

    "Apa kau maksudkan kejadian putra Yap Tu-hu yang memalsukan keponakan Kang Hay-thian dahulu itu?" tanya Bun To-tjeng. Meskipun dia tinggal terpencil di lautan, tapi setiba di Tionggoan ia sudah menyelidiki segala seluk beluk keluarga Kang. Sebab itulah ia pun mendapat tahu tentang kejadian Yap Leng-hong yang dipalsukan itu.

    "Ya" sahut Hong Tju-tjiau. "Lantaran sudah mengalami kejadian itu, maka dia tentu penuh waspada Sedangkan istri

    Kang Hay-thian juga seorang wanita yang cerdik dan lihai."

    "Kau masih belum paham urusan seluruhnya" ujar Bun To-tjeng. "Tampaknya kedua hal ini memang serupa, tapi sebenarnya berbeda dahulu Yap Leng-hong palsu pernah tinggal beberapa tahun lamanya di rumah Kang Hay-thian, sedangkan kita cuma perlu beberapa jam saja menyusup ke rumahnya Kedua Tjin Goan-ko ini adalah anak muda angkatan

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    baru, kita dapat memakai waktu yang tepat dan memasuki rumah Kang May-thian beberapa saat sebelum upacara perkawinan dilangsungkan. Untuk menyambut seorang tamu angkatan muda tentu tidak perlu dilakukan sendiri oleh tuan rumah dan cukup oleh petugas penyambut tamu saja rasanya Kang Hay-thian juga takkan mengundang anak muda ke tempat duduk yang utama, ini berarti Kang Hay-thian dan istrinya tiada sempat buat bertemu muka dengan Tjin Goan-ko palsu. Jelas keadaan demikian sangat berbeda dengan Yap Leng-hong palsu dahulu."

    "Lalu bagaimana tindakan kita sesudah menyusup ke sana?" tanya Tju-tjiau pula.

    "Itu adalah urusanku sendiri," kata Bun To-tjeng. "Mungkin aku belum mampu memenangkan Kang Hay-thian, tapi untuk melayani anak muridnya kuyakin sudah jauh dari cukup. Aku dapat menggunakan cara kilat sekaligus membekuk putri dan menantunya untuk dipakai sebagai sandera kau sendiri boleh menjaga anak Tiong saja, dalam keadaan kacau kalian lantas kabur terlebih dulu."

    Mendengar dirinya tidak perlu ikut bertempur, diam-diam Hong Tju-tjiau merasa lega ia pikir kalau urusan gagal dan Bun lo-tjeng dijatuhkan Kang Hay-thian, dalam keaadan kacau-balau dirinya masih ada kesempatan melarikan diri. Jika usaha membekuk sandera berhasil, maka resiko yang ditempuh inipun ada harganya untuk dilakukan.

    "Dan sudah tentu, setelah usaha kita berhasil, tenaga kalian ayah dan anak masih sangat diperlukan," kata Bun To-tjeng pula. "Setahuku, Kang Hay-thian teramat benci oleh pihak kerajaan, soalnya dia belum secara terang-terangan memberontak, ilmu silatnya juga teramat tinggi, maka seketika pihak kerajaan belum bisa mengapa-apakan dia."

    "Ya, sudah tentu pihak kerajaan ingin sekali bisa membunuh Kang Hay-thian, soalnya ilmu silat Kang Hay-thian memang luar biasa sehingga tiada orang yang berani

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    mengutik-utik dia, sebab itu pula Kang Hay-thian berani mengadakan pesta besar-besaran. Tapi, betapapun tinggi ilmu silat Kang Hay-thian sekarang, dengan datangnya Bun-hiante sekali ini tentu gelar jago nomor satu tidak akan menjadi miliknya lagi."

    Bun To-tjeng tertawa senang, katanya, "Ah, Hong-toako terlalu menilai tinggi diriku. Untuk bicara terus terang, sudah tentu aku tak gentar kepada Kang Hay-thian, tapi kalau satu lawan satu, mungkin kalah atau menang juga masih menjadi teka-teki. Cuma saja aku masih berani mengambil resiko menyusup ke rumahnya."

    "Ya, sudah tentu. Dengan kepandaian Bun-hiante, usahv mu sekali ini pasti akan berhasil dengan gilang gemilang," Hong Tju-tjiau mengumpak pula.

    "Setelah putri dan menantunya tertawan sebagai sandera, kukira Kang Hay-thian akan menjadi jeri dan tidak berani main gila lagi kepada kerajaan," kata To-tjeng pula. "Dan sesudah berhasil usaha kita menawan musuh, selanjurnya masih diperlukan bantuanmu. Kau pernah menjadi anggota bayangkara selama sepuluh tahun, tentu kau masih punya teman sejawat di kotaraja. Maka hasil usaha kita ini perlu bantuanmu untuk dilaporkan ke sana."

    Sudah tentu Hong Tju-tjiau paham maksud Bun To-tjeng yang kemaruk kedudukan dan kepingin pangkat itu. Jawabnya dengan tertawa, "Untuk ini tidak perlu Bun-laute kemukakan lagi. Sudah tentu kita takkan menyerahkan putri Kang Hay-thian secara percuma, pasti akan membicarakan syarat yang seimbang bagimu. Komandan-komandan Gi-lim-kun mungkin seketika tak bisa diganti, tapi untuk menjadi wakil komandan kukira masih tidak sukar dicapai."

    "Hahaha!" Bun To-tjeng tertawa senang. "Jika kelak aku menduduki tempat yang baik, tentu juga aku takkan lupa padamu. Kita ini kan ada rejeki dirasakan bersama, ada rugi dipikul berdua."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Aku akan merasa puas bilamana aku dapat kembali kepada jabatanku yang dulu," ujar Tju-tjiau tertawa. "Setelah kekalahan di Bin-san dahulu, aku tidak berani pulang ke kotaraja dan menyingkir ke pegunungan sunyi ini. Selama 20-an tahun mi aku tak pernah meninggalkan pegunungan ini, hidupku benar-benar sangat mengesalkan."

    "Dan sekarang adalah kesempatan bagus yang harus kita kerjakan sebaik-baiknya," kata To-tjeng. "Eh, ada sesuatu masih diperlukan bantuan Titli, dari kata-katanya tadi aku menjadi ragu-ragu, entah dia dapat melakukannya dengan baik atau tidak."

    "Urusan apa?" tanya Tju-tjiau.

    "Jika kita bertiga berangkat ke tempat Kang Hay-thian itu, maka bocah she Tjin itu harus dijaga oleh Biau-siang Titli. Tugas ini tidaklah sukar, aku hanya kuatir dia mempunyai jalan berpikirnya sendiri dan jangan-jangan dia malah akan membebaskan bocah itu, jika demikian tentu urusan kita bisa runyam."

    "Aku akan memperingatkan dia dengan sungguh-sungguh, kau jangan kuatir, betapapun terhadap kata-kataku dia masih tetap patuh," ujar Tju-tjiau.

    Begitulah pada saat itu juga Hong Biau-siang ternyata tidak kembali ke kamarnya seperti katanya tadi, tapi diam-diam dia pergi mengintai apa yang sedang dilakukan Bun Seng-tiong.

    Entah mengapa, selama berteman beberapa bulan dengan Bun Seng-tiong, terhadap ilmu silat pemuda itu memang Biau-siang sangat kagum, tapi hubungan di antara kedua muda-mudi itu seakan-akan terhalang oleh sesuatu yang sukar disebutkan. Kemudian waktu muncul Tjin Goan-ko, setelah dibandingkan, samar-samar Biau-siang merasa pada diri Bun Seng-tiong itu ngaknya tidak terdapat jiwa yang besar, tidak punya kepribadian yang luhur.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Sungguh aneh juga, meski Tjin Goan-ko baru pertama kali bertemu dengan dia, tapi Biau-siang sudah menaruh simpati padanya. Paling tidak ia anggap tingkah laku Tjin Goan-ko itu cukup untuk disebut sebagai seorang 'pendekar' yang baik.

    Kini Biau-siang hendak pergi mengintai Bun Seng-tiong, tapi yang benar ia merasa kuatir kalau-kalau Seng-tiong mencelakai Tjin Goan-ko. Ia merasa simpatik kepada Tjin Goan-ko yang tanpa berdosa telah dibikin susah, maka had kecilnya merasa tidak tentram walau pun dia sendiri tidak ikut di dalam komplotan keji ayahnya itu.

    Saat itu Bun Seng-tiong sudah menanggalkan pakaian Tjin Goan-ko dan ditukar dengan pakaiannya sendiri. Teringat pada pertandingan di taman siang tadi, diam-diam rasa dengkinya timbul pula, terutama bila ingat pujian Hong Biau-siang yang diberikan kepada ilmu pedang Tjin Goan-ko itu. Tiba-tiba ia melolos pedang dan diacungkan ke tenggorokan Tjin Goan-ko, pikirnya, "Sayang Hong-pepek tidak mau terima usulku, kalau tidak, alangkah baiknya jika sekali tusuk kumampuskan bocah ini. Hm, sekarang dia jatuh di bawah cengkeramanku, meski tak kubunuh, asalkan Pi-peh-kut (tulang pundak) bocah ini kubisui patah, tentu segala kepandaian silatnya akan punah. Permusuhan dengan Bu-tong-pay toh sudah terang terjadi, betapapun beras sudah menjadi nasi, rasanya Hong-pepek juga tak dapat menyalahkan aku."

    Sembari mengancam tenggorokan Tjin Goan-ko dengan ujung pedangnya, tapi Seng-tiong masih ragu-ragu dan seketika masih belum berani turun tangan. Ketika mendadak ia menjadi nekat dan akan memotong tulang pundak Tjin Goan-ko tanpa peduli akibatnya, sekonyong-konyong terdengar jeritan kaget di belakangnya, "He, Seng-tiong, apa yang hendak kau lakukan?"

    Kiranya Hong Biau-siang datang tepat pada waktunya dan sempat mencegah perbuatan keji Bun Seng-tiong. Waktu

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Seng-tiong menoleh, terpaksa ia menyapa dengan tertawa kikuk, "O, kiranya kau. Kau membikin kaget saja padaku."

    Menolehnya Bun Seng-tiong membuat Hong Biau-siang terkejut juga. Kiranya selain Bun Seng-tiong sudah menukar pakaian Tjin Goan-ko, bahkan wajahnya juga sudah dirias hampir mirip dengan murid Bu-tong-pay itu, sekilas hampir saja Biau-siang mengira yang dihadapinya adalah Tjin Goan-ko sendiri.

    Maka dengan mengomel Biau-siang menjawab, "Kaulah yang membikin kaget padaku. Mengapa kau hendak membunuh dia dan untuk apalagi kau menyamar sebagai dia?"

    "Mana bisa aku hendak membunuh dia? Soalnya kau tadi telah memuji dia, maka sekarang aku sengaja menakut-nakuti kau saja," sahut Seng-tiong dengan tertawa. "Eh, apakah kau pe-nujui bocah ini? Jika betul biarlah aku membunuhnya sungguh-sungguh."

    "Ngaco-belo, siapa yang kupenujui? Siapa pun tiada yang kupenujui?" sahut Biau-siang uring-uringan. "Kau bilang hendak menakut-nakuti aku dan pura-pura hendak membunuhnya. Tapi mengapa kau menyamar seperti dia pula? Apa maksudmu?"

    "Coba katakan dulu, mirip tidak penyamaranku ini?" tanya Seng-tiong tertawa.

    "Selain suara, hakikatnya kau seperti saudara kembarnya. Apakah kau memang hendak memalsukan dia? Untuk apa?"

    Tiba-tiba Bun Seng-tiong menyengir dan berlagak memberi hormat kepada Hong Biau-siang, lalu berkata dengan suara yang dibuat-buat, "Nona Hong, terimalah hormatku ini?"

    Nyata ia menirukan lagak lagu Tjin Goan-ko.

    "Cis," omel Biau-siang. "Bagaimana, kau belum lagi menjawab pertanyaanku tadi!"

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Ya, memang betul, aku memang sengaja menyaru sebagai dia," jawab Seng-tiong kemudian. "Bila kau ingin tahu lebih jelas boleh kau tanyakan kepada ayahmu sendiri."

    "Apakah ayah yang suruh kau berbuat demikian? Aku tidak percaya."

    "Kau tidak percaya boleh kau tanyakan pada ayahmu sekarang juga. Baiklah, mari kita ke depan sana, agar kau tidak selalu kualir aku mencelakai kau punya si dia."

    Biau-siang menjadi serba salah, pikirnya, "Perbuatanmu yang tidak pantas ini masakah terhitung seorang ksatria? Mengapa ayah menyuruh dia melakukan hal yang demikian secara sembunyi-sembunyi?"

    Setelah berpikir sejenak, lalu Hong Biau-siang menjawab, "Sudahlah, kepalaku rada pusing, aku akan pulang ke kamarku saja. Aku takkan percaya kepada omonganmu."

    Bun Seng-tiong yakin si nona takkan berani sembrono, maka mereka lantas keluar kamar, pintu kamar digembok lebih dulu. Lalu Seng-tiong berkata, "Baiklah silakan kau mengaso saja. Sebentar nanti kita bicara lagi."

    Waktu melihat penyamaran Bun Seng-tiong, Tju-tjiau merasa puas dan memuji akan kepandaiannya itu. Setelah memberi petunjuk seperlunya kepada sang putra tentang rencana mereka, lalu Bun To-tjeng berkata, "Hendaklah kau berlatih dengan baik, besok juga kita lantas berangkat ke sana"

    Ketika mengetahui Hong Biau-siang akan ditugaskan menjaga Tjin Goan-ko, diam-diam Bun Seng-tiong merasa tidak enak.

    Rupanya Hong Tju-tjiau dapat melihat sikap Bun Seng-tiong itu, katanya "Apakah kau merasa kuatir meninggalkan mereka di sini?"

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Kiranya Hong Tju-tjiau sudah ada maksud hendak berbe-sanan dengan Bun To-tjeng. Sebenarnya ia sangat senang melihat pergaulan Seng-tiong dan Biau-siang kian rapat dan menyangka mereka sudah cocok satu sama lain. Sebab itulah ia menyangka Seng-tiong merasa berat meninggalkan Biau-siang di rumah.

    Tentu saja Seng-tiong tidak dapat mengemukakan isi hatinya, terpaksa ia menjawab, "Bukannya aku merasa kuatir. Soalnya kulihat adik Siang seperti belum paham duduknya perkara dan menaruh simpati kepada bocah she Tjin itu. Aku berpendapat ada lebih baik Hong-lopek menjelaskan kepada adik Siang bahwa urusan kita ini menyangkut penuntutan sakit hati Hong-lopek sendiri, dengan demikian adik Siang tentu akan membantu dengan sepenuh tenaga dan pikiran."

    Setelah berpikir sejenak, kemudian Tju-tjiau berkata "Baiklah, sekarang juga akan kukatakan padanya."

    Kamar Hong Biau-siang terletak di bagian paling belakang, untuk ke sana harus melalui kamar Bun Seng-tiong dima-na disekap Tjin Goan-ko yang tak sadarkan diri itu.

    Ketika lewat kamar Seng-tiong, tiba-tiba timbul rasa curiga Bun To-tjeng. Menurut keyakinannya, orang yang mabuk tentu bernapas lebih berat daripada orang biasa. Dengan ketajaman pnnca indra Bun To-tjeng, dari luar kamar seharusnya ia dapat mendengar suara napas Tjin Goan-ko itu. Tapi sekarang tampaknya di dalam kamar itu sunyi senyap tiada sesuatu suara pun.

    "Entah, bagaimana keadaan bocah itu, marilah kita coba melongoknya" kata Bun To-tjeng.

    "Kukira dia masih pulas seperti babi mati," ujar Tju-tjiau dengan tertawa.

    Tak terduga begitu pintu kamar dibuka, keadaan di dalam kamar membuat mereka menjadi melongo kesima.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Ternyata daun jendela di sebelah sana tampak terpentang, bau harum arak Djian-tjhit-tjui itu sayup-sayup masih tercium, lapi kamar itu sudah kosong melompong, Tjin Goan-ko sudah tak nampak batang-hidungnya.

    Cepat Bun To-tjeng melompat keluar, dari atas gunung-gunungan di tengah taman dipandangnya sekitarnya tapi suasana malam sunyi kelam tiada bayangan seorang pun. Setelah masuk kembali, dengan suara petahan To-tjeng membisiki Hong Tju-m'au, "Cobalah tanya saja kepada putrimu."

    Kuatir dan gusar pula Hong Tju-tjiau, katanya "Jika budak itu yang melepaskan bocah she Tjin, sekali hantam tentu akan kubinasakan dia."

    "Hong-toako jangan marah dulu, paling betul ditanya dahulu," ujar To-tjeng.

    Segera Hong Tju-tjiau mendatangi kamar Hong Biau-siang dan menggedor pintu, serunya, "Anak Siang, sedang apa kau di dalam kamar? Lekas keluar!"

    "Kepalaku terasa pening dan ingin tidur," sahut Biau-siang dari dalam.

    "Keluar!" bentak Tju-tjiau.

    Maka terdengar suara kresak-kresek Hong Biau-siang turun dari tempat tidur serta mendekati pintu, sejenak kemudian pintu dibuka, mata si nona tampak masih keriyap-keriyap sepat, tanyanya, "Ada apa ayah? Tengah malam buta adakah sesuatu yang harus dirundingkan dengan aku?"

    Ketika Bun to-tjeng bertiga mengamat-amati keadaan kamar, tertampak di dalam kamar itu tiada sesuatu tanda ada orang lain kecuali Hong Biau-siang sendiri.

    Dengan suara bengis Hong Tju-tjiau lantas bertanya, "Di-manakah bocah she Tjin itu?"

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Biau-siang melengak, tapi mendadak air mukanya berubah, katanya dengan suara penasaran, "Apa artinya ini, ayah? Bukankah bocah itu telah kalian cekoki hingga mabuk? Hendak mencari dia kan mesti pergi ke kamar Bun-toako?"

    "Di hadapanku kau jangan berlagak pilon," semprot Tju-tjiau. "Bocah she Tjin itu telah kau lepaskan bukan?"

    Sungguh penasaran dan mendongkol Hong Biau-siang, tapi terasa juga rasa senang yang tak terkatakan ketika mendengar bahwa Tjin Goan-ko telah kabur. Segera ia menjawab, "Ayah, mengapa lupa bahwa bocah she Tjin itu dalam keadaan mabuk, cara bagaimana aku sanggup membawa dia keluar dan menyembunyikan dia? O, ayah, mengapa ayah menuduh putrimu sendiri tanpa alasan?"

    Lalu menangislah dia dengan sedih.

    Diam-diam Tju-tjiau dapat menerima alasan putrinya itu, rasanya dengan kepandaian Biau-siang yang terbatas itu takkan mampu melepaskan Tjin Goan-ko yang dalam keadaan tak bisa berkutik itu. Maka ia lantas berkata, "Baiklah, anggaplah aku ang salah paham padamu, kau jangan menangis lagi."

    Bun Seng-tiong sengaja hendak mencari muka, ia pun mendekati Biau-siang dan berkata, "Ya, karena salahku yang tak becus menjaga tawanan sehingga membikin adik Siang yang menderita penasaran."

    Biau-siang masih terguguk-guguk dan tak menggubris kepada pemuda itu.

    "Baiklah, mari kita coba memeriksa lagi lebih teliti," ajak Tju-tjiau. Lalu mereka bertiga pun meninggalkan kamar Biau-siang.

    Lebih dulu Tju-tjiau mendatangi kamar obatnya untuk memeriksa obat pemunah Djian-tjhit-tjui, tapi obat itu ternyata tersimpan dengan baik tanpa kurang sedikitpun.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Diam-diam Tju-tjiau merasa lega, katanya, "Memang aku kira anak Siang juga takkan berani mencuri obatku. Sekarang jelas obat pemunahnya tiada kurang sedikitpun, sedikitnya bocah itu akan mabuk tanpa sadar selama tujuh hari tujuh malam. Meski kita tak membunuhnya, tapi keadaan sama seperti terbunuh, sementara itu kita sudah sempat pergi pulang dari Tong-peng-koan."

    Sebaliknya Bun To-tjeng menjadi tidak tentram malah setelah terbukti hilangnya Tjin Goan-ko itu bukan dilepaskan oleh Hong Biau-siang. Katanya, "Aneh, dalam keadaan sadar bocah she Tjin itu pasti tidak bisa kabur dengan sendirinya. Dan inilah yang sedang kukuatirkan."

    Maklum, bila betul ada seorang yang mampu melarikan Tjin Goan-ko, maka kepandaian orang itu pasti tergolong kelas wahid, kalau tidak, mustail Bun To-tjeng tidak mendengar sesuatu suara apa pun.

    "Dengan menggondol satu orang, tentu mereka belum terlalu jauh dari sini," ujar Bun Seng-tiong.

    Segera mereka bertiga mengejar keluar dan mencari ubek-ubekan sampai belasan li jauhnya, namun tiada bayangan seorang pun yang diketemukan. Padahal luas Tji-lay-san itu ada ratusan li, sudah tentu mereka tidak dapat mencari ke setiap pelosok.

    Akhirnya Bun To-tjeng berkata, "Hong-toako, agaknya kepandaian orang itu tidak di bawah kita, besar kemungkinan saat ini dia sudah jauh meninggalkan Tji-lay-san."

    "Lalu, apakah kita tetap akan berangkat ke Tong-peng-koan atau tidak?" tanya Tju-tjiau.

    "Kesempatan baik sukar dicari, kita tetap melanjutkan rencana semula," kata Bun To-tjeng.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Tapi menghilangnya Tjin Goan-ko benar-benar membikin hati Hong Tju-tjiau tidak enak sehingga dari wajahnya kelihatan perasaannya yang ragu-ragu.

    Bun To-tjeng lantas menghiburnya, "Bukankah kau mengatakan bocah itu akan mabuk selama tujuh hari tujuh malam tanpa sadar. Sekalipun ada orang membawa lari dia juga takkan dapat mengorek sesuatu keterangan dari bocah she Tjin itu. Dan dengan sendiri tiada yang tahu rencana yang telah kita atur."

    "Tapi, tapi kalau orang Kang Hay-thian yang membawa lari dia, lantas bagaimana?" ujar Tju-tjiau.

    "Masakah Kang Hay-thian bisa meramal, darimana dia mengetahui bocah she Tjin itu kebetulan kesasar ke tempatmu ini?" kata Bun To-tjeng dengan tertawa.

    "Habis siapakah orangnya menurut persangkaanmu?"

    "Darimana aku tahu? Cuma, sekalipun orang itu juga tamu yang akan pergi ke tempat Kang Hay-thian juga kita tak perlu kualir. Pertama dia toh tidak mengetahui akan rencana kita. Kedua, setelah mengetahui bocah she Tjin itu bukan mabuk biasa, tentu dia akan mengira keracunan dan pasti akan buru-buru mencari tabib yang berdekatan di sini dan dia takkan sempat memburu ke Tong-peng-koan lagi. Sesungguhnya, jika kita ingin mengerjakan urusan besar betapapun kita harus berani mengambil resiko. Apakah kesempatan yang bagus ini akan kau sia-siakan begitu saja, Hong-toako?"

    Sebenarnya Hong Tju-tjiau masih takut-takut, tapi rangsangan pangkat dan hadiah besar telah membikin gelap pikirannya. Seketika ia menjadi tabah setelah digosok-gosok oleh Bun To-tjeng. Katanya kemudian, "Baiklah, seperti orang judi, memang kita harus berani bertaruh satu kali. Besok juga kita lantas berangkat. Cuma sekarang anak Siang sudah tiada tugas lagi, apakah dia perlu dibawa serta?"

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Kukira dia lebih baik disuruh menjaga rumah saja, sekali pun ada orang kosen yang menggerayangi rumahmu juga rasanya takkan mempersulit seorang gadis yang masih hijau," kata To-tjeng.

    Terpaksa Hong Tju-tjiau setuju. Setiba di rumah ia sudah menduga putrinya tentu akan ribut lagi jika Biau-Siang tidak diperbolehkan ikut Tak tersangka nona itu ternyata dingin-dingin saja ketika diberitahu persoalannya, katanya, "Memangnya aku lebih suka tinggal di rumah saja daripada ikut memalsukan tamu orang."

    Sikap Biau-siang yang lunak ini berbalik menimbulkan rasa curiga Hong Tju-tjiau. Pikirnya, "Bocah she Tjin itu telah menghilang secara aneh, jangan-jangan Biau-siang mengetahui persoalannya tapi sengaja tutup mulut?"

    Akan tetapi karena tiada sesuatu bukti, pula usul membiarkannya menjaga rumah juga datang dari dia sendiri, terpaksa ia tidak dapat mengubah maksudnya lagi. Besoknya mereka lantas berangkat ke Tong-peng-koan dengan rencana hendak menculik putri dan menantu Kang Hay-thian.

    Sesungguhnya memang bukan Hong Biau-siang yang melepaskan Tjin Goan-ko, bahkan siapa yang menolong Goan-ko juga dia tidak tahu menahu. Cuma dia lebih suka tinggal di rumah memang setengahnya dia berharap akan sempat bertemu pula dengan Goan-ko, di samping itu ia pun sudah jemu kepada $un Seng-tiong dan tidak ingin berada bersama lagi dengan pemuda itu.

    "Siapakah orang yang telah menolong pergi Tjin Goan-ko itu? Dia tidak punya obat pemunah, selama tujuh hari tujuh malam ini Goan-ko takkan sadar, lalu apa yang diperbuatnya?" begitulah Biau-siang menimang-nimang sendiri.

    Maksud Biau-siang ingin bertemu dengan Tjin Goan-ko bukanlah lantaran hatinya sudah bersemi cinta, walaupun dia memang menaruh hati kepada pemuda itu, namun apa pun

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    juga mereka baru saja kenal sehingga hakikatnya belum dapat bicara tentang cinta segala. Cuma disebabkan dia menghormat dan mengagumi sikap ksatria Tjin Goan-ko, maka dia berharap berkesempatan berbuat sesuatu yang berguna bagi pemuda itu. Yang dia pikir adalah semoga orang itu tidak mampu menyadarkan Tjin Goan-ko dan terpaksa harus datang lagi ke rumahnya untuk mencuri obat pemunah yang tempat penyimpanannya sangat dirahasiakan, untuk mana dialah yang akan mengambilkan obatnya dan diberikan kepadanya.

    Nyata pikiran Biau-siang itu terlalu kekanak-kanakan, ia tidak tahu bahwa ayahnya tidak sebodoh dugaannya. Bukan saja ayahnya sudah memeriksa penyimpanan obat pemunah itu, bahkan sudah membawa serta semua obat itu waktu berangkat ke Tong-peng-koan.

    Begitulah harapan Hong Biau-siang akan bertemu dengan Goan-ko selain untuk memenuhi rasa ingin tahu dimana Goan-ko bersembunyi pada saat itu, juga sesungguhnya dia ingin tahu tokoh macam apakah orang yang telah membawa lari Goan-ko itu.

    Habis siapakah gerangan orang yang menolong pergi Tjin Goan-ko itu? Tentang ini marilah kita ikuti dulu pengalaman Goan-ko yang aneh dan menarik.

    Tjin Goan-ko sendiri tidak tahu dia sudah mabuk sampai berapa lama, ketika sadar kembali, tiba-tiba ia merasa punggungnya menempel di atas tanah yang keras, lembab lagi dingin. Cepat ia meloncat bangun sambil kucek-kucek matanya dan celingukan kian kemari.

    Ternyata sekitarnya adalah pepohonan belaka, kiranya dirinya terbaring di tengah hutan, di atas tanah penuh lumut, tampaknya tempat yang jarang diinjak manusia, bahkan binatang pun tiada yang lewat di situ.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Sang surya tampak baru saja menongol, mutiara embun belum lagi kering, pantas punggungnya terasa lembab dan dingin.

    Setelah jelas keadaan sekitarnya, Goan-ko menjadi terhe-ran-heran dan mengira dirinya sedang mimpi buruk.

    Ia coba kucek-kucek matanya pula dengan air embun sehingga pikirannya rada jernih, maka mulailah ia teringat kepada kejadian perjamuan di rumah Hong Tju-tjiau, dimana dia telah disuguh tiga cawan arak berturut-turut.

    "Hanya tiga cawan arak saja mengapa aku menjadi mabuk?" demikian pikirnya. "Seumpama mabuk juga seharusnya aku berbaring di rumah keluarga Hong itu, mengapa aku bisa berada di sini? Ai, apa barangkali aku benar-benar sedang mimpi?"

    Tapi ketika ia coba menggigit jarinya sendiri, rasanya toh sangat sakit, jadi dirinya sekali-sekali bukan di alam mimpi.

    Sedang Goan-ko merasa bingung, tiba-tiba terdengar orang bergelak tertawa. Seorang pengemis muda tampak sedang mendatanginya sambil berjalan sembari bertembang.

    Yang ditembangkan pengemis muda itu adalah sebuah lagu kaum jembel yang bernama 'kembang kacang', lagunya jenaka menertawakan, malahan lagu itu seakan-akan menyindir Tjin Goan-ko yang telah kesengsem kepada anak dara orang dan akhirnya mabuk tak sadarkan diri.

    Tjin Goan-ko melihat pengemis muda itu rambutnya awut-awutan dan mukanya kotor, tapi baju yang dipakai biarpun banyak tambalan tampaknya rada bersih, usianya kira-kira baru 20-an tahun, jadi sebaya dengan Goan-ko sendiri.

    "He, siapa kau? Apa maksud tembangmu itu?" tegur Goan-ko.

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    "Apa maksudnya kau sendiri kan tahu," sahut jembel muda itu dengan menyeringai. "Eh, kenapa kau berada di sini apakah kau sedang mimpi?"

    Memangnya Goan-ko sedang menyangsikan dirinya apakah dalam mimpi, maka mukanya menjadi merah kena di katai oleh si jembel muda itu. Sahutnya kemudian, "Ya, aku justru tidak paham mengapa aku bisa berada di sini? Jika kau tahu harap kau suka menjelaskan."

    "Sudah tentu aku tahu, sebab akulah yang membikin kau sampai di sini," kata si jembel. "Bagaimana, apakah lelap tidurmu?"

    Goan-ko menjadi gusar, dampratnya, "Kiranya kau yang main gila padaku!"

    "Hm," si jembel mendengus, "Main gila? Huh, jika aku tidak membikin kau terbang ke sini mungkin saat ini kau telah binasa secara tidak sadar. Memang, di sini sudah tentu tidak seenak tidur di rumah keluarga Hong, jika kau senang boleh lekas kau pulang ke sana saja. Boleh minum lagi arak Djian-tjhit-tjui sepuas-puasnya agar kau dapat mimpi muluk-muluk lagi sesukamu."

    Sebisanya Goan-ko menahan mendongkolnya, katanya kemudian, "Aku takkan bertengkar dengan kau, masa bodoh jika kau ingin memaki diriku, tapi kau harus menjelaskan dulu apakah Djian-tjhit-tjui yang kau maksudkan itu? Memangnya kau maksudkan arak yang kuminum di rumah Hong Tju-tjiau itu adalah arak berbisa?"

    Sembari bicara ia coba mengatur napas dan mengerahkan tenaga dalam, tapi segala sesuatu berjalan dengan lancar dan tiada tanda-tanda keracunan.

    "Biarpun aku bilang arak itu berbisa juga tentu kau tidak percaya," kata si jembel. "Silakan kau bercermin sendiri ke tepi kolam sana."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Memang tidak jauh dari tempat Goan-ko berbaring situ terdapat sebuah kolam yang terjadi dari genangan air yang merembes keluar dari celah-celah mata air.

    Waktu Goan-ko bercermin ke tepi kolam itu, ternyata badannya sendiri sangat kotor, ini masih dapat dimengerti karena dirinya tadi terbaring ditempat yang lembab dan sudah tentu belepotan kotoran tanah. Yang mengherankan adalah badan-nya sendiri hanya memakai baju dalam yang tipis, baju luar sudah tak tampak lagi.

    Tentu kau sudah main gila lagi kepadaku, kemana kau telah membawa bajuku? omel Goan ko.

    Bajumu? Sudah kujual, kugadaikan , mau apa lagi kau? jawab si jembel dengan tertawa dingin. Ya, boleh au anggap saja aku yang telah mencuri bajumu

    Sungguh tak terkatakan mendongkolnya Goan-ko, bisa-bisa dia ingin menghajar jembel itu. Tapi ia masih bisa bersabar dan patuh kepada ajaran gurunya yang sering memperingatkan dia agar jangan sembrono dan suka pakai kekerasan terhadap siapa pun juga.

    Sikap Goan-ko yang hampir meledak itu rupanya dapat diketahui si jembel muda itu, dengan tertawa ia mengolok-olok, "Bagaimana? Kau tidak berterima kasih kepadaku sebaliknya mau berkelahi dengan aku ya?"

    Sedapat mungkin Goan-ko menahan perasaannya, tanyanya kemudian, "Kau bilang anggap saja kau yang mencuri bajuku, jika demikian siapakah pencuri yang sebenarnya?"

    "Sesungguhnya kau terlalu kurang ajar terhadapku," kata si jembel dengan kurang senang. "Cuma, mengingat kau adalah angkatan muda, maka aku dapat mengampuni kau. Namun, bila kau minta aku menjelaskan persoalannya padamu, maka kau harus minta maaf dulu kepadaku."

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    Terpaksa Goan-ko minta maaf, katanya, "Sekarang dapatkah kau ceritakan hal yang sebenarnya?"

    Baiklah, akan kuceritakan hal yang sebenarnya. Cuma, jangan-jangan kau tetap tak percaya padaku. Tentang bajumu itu, pencurinya bukan lain adalah Bun Seng-tiong, dia yang telah membelejeti kau."

    "Untuk apa dia membelejeti bajuku?" kata Goan-ko, benar saja dia belum berani mempercayai si jembel muda itu.

    "Darimana aku mengetahui untuk apa dia membelejeti bajumu, yang jelas memang dia yang melakukan hal itu."

    "Baiklah, anggaplah aku percaya pada ceritamu ini. Aku telah dicekoki dengan arak berbisa dan pemuda she Bun itu yang membelejeti bajuku. Jika demikian bukankah mereka adalah orang jahat? Ini kan terlalu aneh, padahal kalau mereka bermaksud jahat padaku kan tidak perlu memakai arak berbisa segala?"

    "Sudah kukatakan tadi, percaya atau tidak terserah padamu."

    "Untuk percaya kan aku harus mendapatkan alasan yang masuk diakal."

    "Yang kukatakan adalah kejadian sesungguhnya yang aku ketahui, yang tidak kuketahui pasti tak kukatakan secara ngawur. Jika kau ingin alasan yang masuk diakal, hm, darimana aku bis, tahu apa alasannya mereka berbuat demikian padamu? Ai, lebih baik kau saja yang bercerita, coba terangkan padaku sebenarnya kau hendak pergi kemana, apa yang hendak kau lakukan dan apa yang pernah kau ucapkan di rumah keluarga Hong itu. Eh, bisa jadi dari sini aku akan memperoleh bahan untuk menerka alasan apa sehingga mereka memperlakukan kau dengan cara demiki-an.

    Diam-diam Goan-ko berpendapat kepergiannya ke rumah Kang Hay-thian toh bukan sesuatu rahasia. Tapi pengemis

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    yang dekil ini toh bukan orang persilatan, buat apa kukatakan padanya. Maka dengan acuh tak acuh ia menjawab, "Urusanku boleh dikesampingkan, biar aku bertanya padamu lebih dulu."

    "Boleh juga, silakan tanya. Cuma untuk selanjurnya jika bicara hendaklah kau tambahkan suatu kata 'mohon', misalnya mohon tanya," jawab si jembel. Lalu dengan lagak tuan besar ia berduduk di atas sebuah batu dan menunggu pertanyaan Tjin Goan-ko.

    "Baik, mohon tanya, kalau menurut ceritamu tadi, jadi kau yang telah menolong aku ke sini. Dengan cara bagaimana kau menolong aku?

    "Itu kan terlalu gampang. Aku masuk ke rumah Hong Tju-tjiau dan memanggul kau ke sini."

    "Memangnya Bun To-tjeng dan Hong Tju-tjiau mau membiarkan kau pergi datang sesukanya?"

    "Jika aku ingin datang dan mau pergi pula, memangnya mereka bisa melarang aku? Hendaklah kau mengetahui bahwa saat ini mereka pun seperti kau seakan-akan di alam mimpi."

    "Hm, besar amat omonganmu. Mohon tanya berapa usia tuan tahun ini?" jengek Goan-ko dengan mendongol. Pikirnya dengan kepandaian Bun To-tjeng yang lihai itu masakah dapat diingusi seorang jembel macam kau?"

    Pengemis muda itu tampak melirik, katanya kemudian, "O, jadi maksudmu aku tidak mampu menolong kau? Apakah kau sangka hanya tokoh angkatan tua dunia persilatan yang sanggup menyelamatkan kau?"

    "Ya, kira-kira begitulah!" sahut Goan-ko dengan sengaja.

    "Huh, kau ini tentunya murid Lui Tjin-tju bukan?"

    Goan-ko sangat geram karena si pengemis muda itu menyebut nama gurunya secara kasar. Tapi ia pun terperanjat

  • Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

    mendengar asal-usulnya sendiri dapat diketahui dengan begitu saja. Segera ia pun menjawab, "Betul, ketua Bu-tong-pay memang guruku adanya."

    "Hahaha!" tiba-tiba jembel muda itu tertawa. "Bicara tentang tingkatan menurut orang Kangouw sebenarnya aku tidak biasa dan selamanya aku tidak ambil pusing kepada adat istiadat demikian. Tapi kalau kau ingin aku mengatakan terus terang, maka kau harus menjura tiga kali lebih dulu kepadaku."

    Goan-ko menjadi naik pitam, jawabnya dengan suara keras, "Mengapa aku harus menjura padamu? Memangnya kau ini kaum Lotjianpwe (angkatan tua)?"

    "Benar, bicara tentang umur memang aku belum tua, tapi tingkatanku cukup tua. Kau adalah tingkatan cucu muridku, gurumu lebih rendah satu angkatan daripadaku. Jika kau cuma menyembah tiga kali padaku sebenarnya masih murah bagimu."

    Goan-ko benar-benar tidak tahan amarahnya lagi, bentaknya gusar, "Masih tidak jadi soal jika kau mengolok-olok aku, tapi kau berani pula menghina guruku?"