7 pendekar thiansan -gankl

1142
7 PENDEKAR THIAN SAN (THIAN SAN TJHIT KIAM) Karya : Liang Ie Shen Disadur Oleh: Gan K.L. NGO-TAI-SAN adalah sebuah gunung yang tersohor di propinsi Soa-say, bukan karena keindahan alamnya yang permai, tetapi gunung ini lebih dikenal sebagai ‘tanah suci’ bagi pemeluk Buddha pada zaman itu. Kelenteng Djing-liang-si yang terdapat di atas gunung konon menurut cerita didirikan pada masa dinasti Han. Selama ribuan tahun kelenteng ini dianggap sebagai tempat keramat dan selalu dikunjungi oleh para pemuja Buddha. Sampai pada waktu Kaisar Khong-hi dari dinasti Boan-djing naik takhta, maharaja ini sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke Ngo-tai-san ini, entah ada sesuatu rahasia apa di balik kunjungannya itu, yang nyata berkat kunjungannya itu tidak sedikit kerusakan dan patung-patung Buddha dalam kelenteng

Upload: kalam-tukiman

Post on 20-Jul-2016

640 views

Category:

Documents


43 download

DESCRIPTION

Cerita silat

TRANSCRIPT

  • 7 PENDEKAR THIAN SAN (THIAN SAN TJHIT KIAM)

    Karya : Liang Ie ShenDisadur Oleh: Gan K.L.

    NGO-TAI-SAN adalah sebuah gunung yang tersohor di propinsi Soa-say, bukan karena keindahan alamnya yang permai, tetapi

    gunung ini lebih dikenal sebagai tanah suci bagi pemeluk

    Buddha pada zaman itu. Kelenteng Djing-liang-si yang terdapat

    di atas gunung konon menurut cerita didirikan pada masa dinasti

    Han. Selama ribuan tahun kelenteng ini dianggap sebagai

    tempat keramat dan selalu dikunjungi oleh para pemuja Buddha.

    Sampai pada waktu Kaisar Khong-hi dari dinasti Boan-djing naik

    takhta, maharaja ini sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke

    Ngo-tai-san ini, entah ada sesuatu rahasia apa di balik

    kunjungannya itu, yang nyata berkat kunjungannya itu tidak

    sedikit kerusakan dan patung-patung Buddha dalam kelenteng

  • Djing-liang-si itu telah diperbaharui. Dan karena itu pula,

    penyebaran agama Buddha di masa itu menjadi makin luas

    sehingga gunung itu, terutama puncak Leng-tji-hong yang indah

    selalu menjadi tempat wisata.

    Pada tahun ketiga belas Kaisar Khong-hi naik takhta, kebetulan

    tahun itu dilakukan upacara peresmian patung Buddha Bu-tju

    Po-sat di kelenteng Djing-liang-si. Menurut perayaan tradisional,

    upacara itu dilakukan pada tanggal 29 bulan 3. Akan tetapi baru

    menginjak bulan pertama tahun baru, para pengunjung sudah

    berduyun-duyun datang dari berbagai penjuru.

    Di atas gunung itu sendiri, ada lima buah pagoda perunggu

    yang berdiri dengan megahnya, pada tiap tingkat pagoda sudah

    dipasang lampu-lampu yang beraneka warna dan menyala terus

    menerus siang malam sejak mulai hari Sincia atau tahun baru

    Imlek. Karena itu, pemandangan pegunungan yang sudah indah

    itu bertambah lebih indah dan semarak.

    Ketika tiba hari perayaan itu, maka arus manusia semakin

    membanjir hingga ramainya susah dilukiskan. Sejak pagi jalan

    yang menuju ke atas gunung itu penuh sesak dengan manusia,

    baik pemuja agama Buddha maupun pengunjung biasa yang

    melulu datang untuk menonton keramaian saja.

    Di antara pengunjung yang berjubel itu ada seorang tua

    berjenggot panjang bersilang tiga, mukanya merah bercahaya

    dan berdandan seorang cendekiawan. Orang yang berjalan di

    sampingnya adalah seorang pemuda cakap bermuka putih,

    hanya suara pemuda ini lebih mirip kaum wanita.

    Orang tua itu bernama Pho Djing-tju, tidak saja terkenal karena

    ilmu pertabibannya yang tinggi tiada bandingannya, malahan

    ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya yang disebut Bu-kek-

    kiam-hoat sudah berada di tingkat yang tiada taranya. Sela-in

  • itu, ia pun tersohor karena kemahirannya dalam seni lukis dan

    kesusastraan, ia terhitung salah seorang kosen yang tersohor

    pa-da masa peralihan antara dinasti Beng dan dinasti Djing.

    Sedang pemuda ganteng itu sebenarnya adalah seorang gadis

    jelita yang sedang menyamar sebagai lelaki. Ia bernama Boh

    Wan-lian. Ayahnya bernama Boh Pi-kiang, juga seorang

    seniman terkenal pada permulaan zaman dinasti Djing, begitu

    dikagumi sehingga seorang seniwati pada zaman itu juga, yaitu

    Tang Siao-wan, jatuh hati padanya.

    Tang Siao-wan juga tergolong seniwati yang pandai, baik ilmu

    sastra maupun seni sulam dan lain-lain. Rupanya di antara jiwa

    kedua muda-mudi ini terdapat persamaan yang begitu cocok,

    maka mereka telah saling jatuh cinta dan mengikat janji sehidup

    semati.

    Akan tetapi sayang, bulan tidak selalu bundar, cinta pun tidak

    selamanya kekal. Karena nama Tang Siao-wan terlalu terkenal,

    akhirnya oleh seorang pembesar yang bernama Ang Seng-toh,

    Tang Siao-wan telah diambil dan dipaksa dijadikan barang

    upeti untuk Kaisar Sun Ti, maharaja pertama dinasti Djing. Dan

    karena Tang Siao-wan sangat disayangi maharaja itu, lalu ia

    dianugerahi gelar Kui-hui atau selir agung kesayangan Kaisar.

    Tentu saja Boh Pi-kiang yang kehilangan Tang Siao-wan

    menjadi merana, ia merasa hidupnya menjadi tak berguna lagi,

    maka akhirnya ia meninggal dalam keadaan yang sangat

    mengenaskan.

    Pho Djing-tju adalah sahabat Boh Pi-kiang, waktu mendengar

    sahabatnya ini meninggal, dari tempat jauh ia menyempatkan

    datang untuk melayat.

  • Tatkala itu Boh Wan-lian baru berumur tiga tahun, demi melihat

    rumah tangga sahabatnya berantakan dan bocah itu sebatang

    kara, ia merasa kasihan dan akhirnya Djing-tju membawanya

    pergi. Jadi sejak kecil Wan-lian sudah ikut sang paman ini dan

    mendapatkan pelajaran ilmu silat maupun ilmu surat yang cukup

    tinggi.

    Pada hari itu, bersama para pengunjung lain, mereka pesiar ke

    Ngo-tai-san. Dengan gembira Pho Djing-tju memandang ke

    kanan dan melihat ke kiri, sebaliknya Boh Wan-lian bermuka

    muram seperti ada sesuatu perasaan sedih yang

    disembunyikan.

    Tengah Pho Djing-tju terpesona oleh keramaian di pegunungan

    itu, tiba-tiba ia berseru heran pada si gadis, Lian-ji, coba lihatlah

    kedua orang itu!

    Waktu Wan-lian memandang ke arah yang ditunjuk, seketika ia

    menjadi kaget.

    Ternyata kedua orang yang dimaksudkan itu, yang seorang

    mirip setan gantung, badannya tinggi kurus bagai tiang bambu,

    mukanya pucat-pasi seperti mayat, sehingga menakutkan

    orang. Seorang lagi sebaliknya berperawakan pendek buntek,

    kepalanya botak sebesar gantang.

    Sebenarnya, Boh Wan-lian sedang masgul, tetapi demi melihat

    wajah kedua orang yang aneh ini, mula-mula ia terkejut, tapi

    kemudian ia tertawa geli pula oleh orang pendek buntek tadi.

    Rupanya suara tawanya dapat didengar oleh kedua orang itu,

    dan tiba-tiba mereka berpaling dengan mata melotot seperti lagi

    mencari siapa orang yang tertawa. Karena itu, lekas Pho Djing-

    tju menarik Wan-Iian dan menerobos pergi mencampurkan diri

    dengan orang banyak.

  • Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh terkenal di kalangan

    Kangouw, kata Pho Djing-tju kemudian, Yang tinggi itu

    bernama Siang Ing dan berjuluk Song-bun-sin (malaikat pintu

    gerbang maut) dan yang pendek bernama Thia Thong, berjuluk

    Thi-tah (pagoda baja). Kita masih ada tugas penting, maka

    sebaiknya jangan bentrok dengan kedua manusia aneh ini.

    Belum begitu jauh mereka melanjutkan perjalanan, sekonyong-

    konyong Boh Wan-lian melihat sesuatu. Lihatlah Hwe-sio itu,

    Pepek! katanya dengan penuh keheranan pada sang paman.

    Ketika Djing-tju memandang ke tempat yang ditunjuk, maka

    tertampak olehnya seorang Hwesio yang bermuka lebar,

    berkuping besar, sedang berdiri tegak di antara orang banyak

    yang berjubel itu, walaupun didesak dan didorong orang di

    sekitarnya, namun sedikitpun orang lain tak bisa menyenggol

    tubuhnya. Sebaliknya ketika ia melangkah, orang-orang di

    sekitarnya lantas menyingkir dengan sendirinya untuk memberi

    jalan padanya.

    Eh, kenapa Hwesio liar inipun datang ke sini? kata Pho Djing-

    tju heran sesudah mengenali padri itu. Hwesio ini selamanya

    tak pernah membaca kitab suci maupun sembahyang, ia pun

    tidak pernah pantang makanan seperti Hwesio lainnya,

    sebaliknya paling suka ikut campur urusan orang. Orang

    Kangouw memanggilnya Kuai-tau-to Thong-bing Hwesio.

    Sementara itu, dari tikungan jalan sebelah timur telah datang

    pula serombongan orang. Beberapa lelaki di antaranya

    menuntun kera, sedang di punggung mereka menggendong

    golok dan tombak, ada tambur dan gembreng, agaknya seperti

    pemain komidi. Yang mengepalai adalah seorang wanita,

    walaupun kain bajunya agak kasar, akan tetapi langkahnya kuat

    dan sikapnya agung.

  • Diam-diam Pho Djing-tju berkata pada Boh Wan-lian, Wanita ini

    bukan pemain komidi sembarangan, melihat sinar matanya,

    sedikitnya sudah latihan dua-tiga puluh tahun.

    Mereka berdua berjalan sambil bercakap, tidak terasa sudah

    melewati beberapa rombongan orang lagi. Sementara itu

    Hwesio aneh tadi yang berjalan di depan ternyata juga sedang

    memandang ke sana kemari seperti lagi mencari sesuatu.

    Pho Djing-tju tidak ingin bertemu muka dengan Hwesio itu,

    segera ia menarik Boh Wan-lian jalan ke arah lain, tiba-tiba

    dilihatnya seorang pemuda yang rupanya dapat melihat juga

    kelakuan si Hwesio yang aneh itu, pemuda ini seperti kurang

    percaya, maka dengan sengaja ia menubruk ke depan.

    Melihat itu diam-diam Pho Djing-tju berkata, Wah, bisa celaka

    dia! Dan betul saja, hanya terlihat Hwesio itu sedikit

    mengangkat pundaknya, kontan pemuda itu terhuyung tak dapat

    menahan diri lagi dan beruntun menabrak beberapa orang terus

    menubruk pula ke arah Boh Wan-lian.

    Pemuda itu agaknya menjadi gugup karena benturan itu, tanpa

    pikir panjang lagi tangannya lantas menjambret Boh Wan-lian

    dengan maksud untuk menahan dirinya, tidak terduga jam-

    bretan itu justru menuju ke dada Boh Wan-lian, keruan saja

    muka Boh Wan-lian menjadi merah, segera ia mengulur tangan

    menangkis. Waktu kedua tangan saling beradu, segera Wan-

    lian merasa kekuatan pemuda ini sangat besar. Sebenarnya ia

    hendak menggunakan Kim-na-jiu-hoat atau ilmu mencekal dari

    Bu-kek-cio untuk merobohkan orang, siapa tahu tangannya

    malah terpegang oleh balikan tangan pemuda tadi, ia menjadi

    malu sekali, segera ia sengkelit dengan keras tangan orang dan

    dengan menggunakan tenaga dalamnya ia memaksa pemuda

    itu pergi.

  • Dengan tenaga jambretannya tadi, pemuda itu dapat menahan

    dirinya, walaupun ia terdesak mundur oleh Boh Wan-lian tetapi

    sudah tidak tergopoh-gopoh sempoyongan lagi. Hanya tadi

    waktu menjambret tangan Boh Wan-lian, ia merasakan kulit

    badan orang licin empuk seperti seorang wanita, ia menjadi

    terkejut dan sesudah dapat menahan tubuhnya, lekas ia

    menengok ke belakang untuk meminta maaf, dan ketika ia

    melihat Boh Wan-lian adalah seorang pemuda, barulah hatinya

    merasa lega.

    Sementara itu Boh Wan-lian sudah jelas juga melihat pemuda

    tadi yang bermuka putih bersih, di antara sifat halusnya

    mengandung semangat yang gagah, tidak, lerasa kembali

    mukanya berubah merah pula, dan waktu pemuda itu

    menyatakan penyesalannya, terpaksa ia pun membalas

    hormatnya juga.

    Dalam pada itu Hwesio tadi telah menoleh ke belakang dan tiba-

    tiba tertawa terbahak pada pemuda itu.

    Kubentur kau dan ternyata tidak roboh, hitung-hitung kau ada

    sedikit kepandaian, sampai bertemu di belakang hari, demikian

    katanya.

    Pada saat Hwesio itu menoleh ke belakang tadi, Pho Djing-tju

    memalingkan muka ke jurusan lain, maka tidak ketahuan o-

    lehnya.

    Sesudah kejadian itu, Djing-tju dan Boh Wan-lian berjalan pula

    sambil bercakap-cakap. Tidak lama kemudian mereka sudah

    sampai di atas gunung. Mereka melihat ada satu regu serdadu

    Boan yang berbaris di kanan-kiri, kelenteng itu sebaliknya

    kosong sepi tanpa seorang pun.

  • Ketika Boh Wan-lian merasa heran dan ganjil, tiba-tiba

    terdengar percakapan pengunjung di sampingnya. Kata seorang

    tua, Agaknya sekali ini Hongsiang (Kaisar) tidak bisa datang

    sendiri, lihat tak ada kain beludru yang menggelari pelataran di

    luar sana, tiada pula barisan kehormatan, sampai pun penjaga

    di depan pintu kelenteng juga hanya beberapa puluh orang

    saja.

    Seorang lagi yang seperti hartawan kampungan menje-ngek

    dan berkata, Hal ini kau harus tanya kami baru bisa tahu,

    Hongsiang dulu pernah beberapa kali datang sembahyang, dan

    tiap kali kami yang membuat penyambutan. Kali ini Ok-jin-ong

    To Tok yang datang mewakili Hongsiang. Ok-jin-ong memang

    tidak suka dengan penyambutan yang berlebihan, waktu ia

    berkeliling, tempo-tempo hanya membawa beberapa orang

    pengawal saja!

    Menyusul seorang berdandan saudagar berdialek Tjiat-kang

    atau Kang-souw tiba-tiba bertanya, Ok-jin-ong yang kau sebut

    tadi, apakah bukan belasan tahun yang lalu pernah menjabat

    Liang-kang Te-tok dan bernama To Tok itu? Aku masih ingat

    waktu ia menikah di Hang-tjiu, dimana perayaan dibikin besar-

    besaran. Hanya saja, pada malam sebelum hari pernikahan,

    bekas pengikut Loh-ong dari dinasti yang lain telah menyerbu

    penjara dan membikin geger seluruh kota, hari berikutnya waktu

    upacara pernikahan, sampai tiada orang yang berani pergi

    menonton.

    Laukoh, obrolanmu telah melantur, kau bilang tiada yang berani

    pergi menonton, tetapi bagaimana kau bisa mengetahui upacara

    pernikahannya ramai sekali? kata hartawan kampungan tadi

    dengan tertawa. Eh, tentang perampokan penjara pada malam

    sebelum hari pernikahannya itu bagaimana jadinya? Coba

    ceritakanlah!

  • Tadinya saudagar itu menjadi merah mukanya karena debatan

    orang, tetapi kemudian setelah mengetahui hartawan

    kampungan itu ternyata begitu tertarik oleh cerita tentang

    penyerbuan penjara, lantas saja ia mengobrol lagi dengan

    berseri-seri.

    Melihat mereka mengobrol urusan yang tiada sangkut- pautnya,

    Boh Wan-lian tidak menaruh perhatian lagi. Sementara itu

    terdengar pula percakapan antara dua orang Siucai (pelajar) di

    samping sana, kata seorang di antaranya, Tidak diketahui

    mengapa Kaisar yang sekarang seperti begitu tertarik pada

    Ngo-tai-san, tidak lama naik takhta, beruntun sudah datang

    beberapa kali. Kali ini adalah hari pembukaan arca Buddha yang

    baru, sebaliknya malahan tidak datang. Eh, katanya penyair

    besar Go Bwe-djoan menciptakan sebuah syair yang

    berhubungan dengan kedatangan Hongsiang sembahyang ke

    Ngo-tai-san. tahukah kau?

    Aku datang dari kota-raja, bagaimana bisa tidak mengetahui,

    sahut kawannya. Di kota-raja syair ini tersebar luas dimana-

    mana, cuma tiada orang yang paham maksud isi syair yang

    aneh itu, tetapi Go Bwe-djoan adalah sastrawan kesayangan

    Kaisar yang dahulu, syair ini sedikitnya mengandung maksud

    tertentu.

    Mendengar percakapan mereka, hati Boh Wan-lian tergerak,

    tanpa terasa ia memandang mereka sekejap, karena itu kedua

    Siucai itupun tersenyum dan balas memandang.

    Mengapa gerbang kelenteng sampai kini masih terus tertutup

    rapat, bahkan tanah lapang di depan kosong melompong tiada

    satu orang pun? tanya Wan-lian menimbrung.

    Engkoh cilik ini mungkin baru pertama kali ini datang

    mengunjungi keramaian ini dan tak mengetahui peraturannya,

  • kata seorang tua lain menyela dari samping. Pintu gerbang itu

    harus menunggu dupa pertama yang disulut oleh Ok-jin-ong,

    kemudian haru dibuka dan Ok-Jin-ong menancapkan dupa itu di

    hio-io pertama Buddha, habis itu upacara sembahyang mulai

    diteruskan pengunjung yang datang.

    Selagi bercerita, tiba-tiba dari bawah gunung terdengar suara

    gembreng yang riuh, bendera melambai-lambai, sepasukan

    tentara yang mengapit sebuah tandu yang dipikul delapan orang

    telah naik ke atas gunung. Tidak lama kemudian tandu itu sudah

    sampai di depan kelenteng, di depan tandu ada dua buah

    lampion besar yang tertuliskan empat huruf besar, Ok-jin-ong-

    hu (dari istana Ok-jin-ong).

    Sementara itu, di tengah jalan ke atas gunung itu kembali terjadi

    suara ribut. Waktu Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian berpaling ke

    belakang, terlihat seorang perwira sedang menerobos di antara

    orang banyak dan mendesak maju dengan paksa. Ia naik ke

    atas gunung dengan langkah lebar, malahan di belakangnya

    mengikut seorang Lamma yang mengenakan jubah merah.

    Melihat perwira itu, Pho Djing-tju mengkerutkan kening.

    Mengapa iblis ini pun jauh-jauh datang menonton keramaian,

    demikian katanya dalam hati.

    Melihat Pho Djing-tju memandang orang dengan penuh heran.

    Boh Wan-lian lantas bertanya, Siapakah dia ini? Apakah ia

    lebih lihai dari Thong-bing Hwesio.

    Kau sekarang tak usah bertanya dulu, lain waktu akan kuberi

    tahu padamu, hari ini pasti akan ada tontonan yang

    menggemparkan! sahut Pho Djing-tju.

    Waktu itu sang surya mulai memancarkan sinarnya, kabut di

    angkasa Ngo-tai-san sudah tersapu bersih, bola matahari pagi

  • yang merah membara menyinari seluruh lembah gunung

    menyemarakkan suasana musim semi.

    Sementara itu, tandu Ok-jin-ong sudah berhenti di tengah tanah

    lapang dekat kelenteng, di bawah sinar matahari, joli yang

    berlapis beludru hijau dengan hiasan batu pualam hijau

    menyorotkan warna-warni yang menarik.

    Semua orang dengan tenang menantikan Ok-jin-ong menyulut

    dupa yang pertama, tiba-tiba dari samping kelenteng Djing-

    liang-si muncul seorang gadis dengan langkahnya yang lemah

    gemulai, muka si gadis itu berkedok selembar sutra tipis, ia

    membawa segenggam dupa dan menancapkan hio itu di depan

    pintu kelenteng, lalu ia bersembahyang sendiri bagaikan di

    sekitarnya tak ada manusia lain lagi.

    Peristiwa yang tiba-tiba itu telah membikin terkejut dan kalang-

    kabut para pengawal yang berada di situ. Mereka membentak

    dan memburu maju terus menangkap kedua tangan si gadis,

    gadis itu tidak melawan, ia membiarkan dirinya ditangkap bagai

    seekor anak ayam dan digusur ke depan joli Ok-jin-ong.

    Agaknya serdadu-serdadu itu hendak meminta keputusan Ok-

    jin-ong sendiri.

    Kejadian aneh dan mendadak itu pun membuat Pho Djing-tju

    terperanjat. Dan ketika ia ragu-ragu apakah harus turun tangan

    untuk menolong atau tidak, sekonyong-konyong dilihatnya gadis

    itu telah mengangkat kedua tangannya, seketika dua orang

    pengawal yang memegang tangannya terbanting pergi lebih

    setombak jauhnya.

    Dengan kecepatan luar biasa, gadis itu melolos sebatang

    pedang pendek mengkilap, sekali tangan kirinya memukul, ia

    membuat pintu joli yang berbatu permata itu hancur, pedang di

  • tangan kanan segera ditusukkan ke dalam dibarengi dengan

    suara bentakan, To Tok, inilah hari kematianmu!

    Tiba-tiba orang yang berada di dalam joli itu berseru terkejut,

    dengan cepat tangannya bergerak hendak mencekal lengan si

    gadis. Waktu itu si gadis hendak menusuk pula dengan sekuat

    tenaga, dengan mata melotot ia pandang orang, mendadak ia

    malah berseru kaget, cepat ia menarik kembali pedangnya dan

    segera mundur ke belakang.

    Pada saat itulah, tiba-tiba datang seorang pemuda melompat di

    antara orang banyak, hanya dengan tiga kati naik turun, bagai

    burung terbang cepatnya, belum sampai orangnya, senjata piau

    sudah dilepaskan lebih dahulu, sekali gerak beruntun tiga piau

    telah melaju ke dalam joli.

    Gadis tadi belum hilang kagetnya, ketika mendadak melihat

    senjata rahasia menyambar, dengan cepat ia melompat dan

    menyampuk senjata rahasia itu. Dengan kepandaiannya,

    sebenarnya beberapa senjata rahasia itu tidak sulit untuk

    disampuk jatuh semua, hanya karena perasaannya terguncang

    dan belum tenang kembali, maka sampirannya itu hanya

    berhasil mengenai dua buah piau saja, piau yang ketiga masih

    terus menerobos masuk ke dalam joli.

    Melihat si gadis dari kawan mendadak berbalik menjadi lawan

    dan malah menolong To Tok, tentu saja semua orang ter-heran-

    heran tak mengerti, sedang piau ketiga yang menembus ke

    dalam joli ternyata juga tidak menimbulkan reaksi apa-apa

    bagaikan batu kecemplung laut.

    Dalam pada itu, Thong-bing Hwesio telah tampil ke depan orang

    banyak, mendadak ia mengangkat tangan dan berseru, Jangan

    lepaskan To Tok!

  • Orang-orang yang berdandan sebagai pemain komidi tadi, Song

    Bun-sin Siang Ing, Thi-tah Thia Thong dan lainnya berbareng

    melompat dari gerombolan orang banyak.

    Dalam pada itu, pemuda yang melepaskan senjata rahasia tadi

    pun sudah berlari ke depan joli. Tak terduga, kerai joli tersingkap

    dan menyusul dari dalam joli menyambar keluar sebuah piau

    secepat kilat, maka segera terdengarlah pemuda itu menjerit

    karena terkena piau tersebut. Sementara itu beberapa ratus

    pengawal yang separoh mengelilingi joli, separah lainnya

    beramai melawan penyerbu-penyerbu itu, di samping itu

    beberapa perwira lain yang memiliki sedikit kepandaian silat

    segera maju hendak menangkap pemuda yang sudah roboh itu.

    Boh Wan-lian dapat melihat dengan jelas bahwa pemuda yang

    melepas piau itu bukan lain adalah pemuda yang tadi

    menumbuk dirinya itu. Waktu ia pandang lagi, ia lihat gadis yang

    berkedok tadi sedang memainkan pedangnya secepat angin

    hendak menerobos keluar dari kepungan, sekali cekal ia terus

    menyeret si pemuda. Pemuda itu bahu kirinya terkena piau dan

    mengucurkan darah, beruntung tidak terkena tempat yang

    berbahaya, maka ia masih dapat bertahan.

    Saat itu, di depan Djing-liang-si sudah merupakan medan

    pertempuran yang gaduh, pengunjung yang datang hendak

    menonton keramaian lari tunggang-langgang. Thong-bing

    Hwesio memainkan golok tunggalnya dengan kencang sekali

    dan susah ditahan, tetapi serdadu-serdadu itu sudah

    berpengalaman banyak dalam peperangan, walaupun telah

    diterjang dulu oleh mereka, tapi tidak menjadi kacau dan gugup.

    Song Bun-sin Siang Ing atau si malaikat gerbang maut dan Thi-

    tah Thia Thong, si pagoda besi, berdua dengan toya dan

    kapaknya, mereka bertempur sambil berteriak, Hai, jahanam To

  • Tok mengapa kau masih belum keluar untuk menerima kemati-

    an!

    Tetapi belum hilang suara teriakan mereka, kerai joli itu tiba-tiba

    tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita yang

    anggun dan berparas elok walau sudah setengah umur, ia

    berjalan pelahan dengan sikap tenang, sejenak kemudian baru

    ia bertanya, Kau mencari Ok-jin-ong ada keperluan apa?

    Kejadian tak terduga ini seketika membikin keributan di depan

    kelenteng jadi terhenti. Siang Ing dan Thia Thong tidak

    membentak dan berteriak lagi, Thong-bing Hwesio menurunkan

    goloknya, para pengawal pun tertegun dengan senjata masih

    terhunus, untuk sementara pertempuran terhenti.

    Kiranya Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan ini adalah bekas

    pengikut Loh-ong, kedatangan mereka kali ini ialah hendak

    menuntut balas pada To Tok.

    Waktu bangsa Boan-djing masuk ke daerah selatan,

    pemerintahan Beng di selatan masih dapat meneruskan

    perlawanan sedikit lama, berturut-turut diangkat raja-raja Hok-

    ong, Loh-ong dan Kwi-ong dari keturunan lurus kerajaan Beng.

    Loh-ong adalah angkatan pahlawan terkenal Thio Hong-gian

    dan Thio Bing-tjin.

    Loh-ong yang beribu-kota Siaohin di propinsi Tjiat-kang

    menamakan dirinya Mangkubumi dan bisa bertahan lima-enam

    tahun atas kerajaan kecilnya ini. Belakangan ia dapat

    ditaklukkan oleh jenderal bawahan To Tok yang bernama Tan

    Kim. Karena itu sisa-sisa pengikut Loh-ong yang bergerak di

    bawah tanah bermaksud menegakkan kembali kekuasaan

    mereka, tetapi karena rahasianya bocor, beberapa ratus orang

    telah tertangkap dan dipenjarakan oleh Hang-tjiu Tjong-ping.

    Lalu pada malam sebelum hari pernikahan To Tok, mereka

  • dapat membobol dan melarikan diri dari penjara. Dalam

    pertempuran yang ribut itu tidak sedikit kawan-kawan mereka

    yang menjadi korban. Oleh karena itu, bekas pengikut Loh-ong

    dengan To Tok boleh dikata musuh bebuyutan. {Bagian ini bisa

    dibaca dalam Chau Guan EngHiong, Pahlawan Padang

    Rumput)

    Peristiwa itu sudah lewat enam belas tahun, tetapi mereka

    masih mencoba lagi datang ke Ngo-tai-san dengan tujuan

    hendak menangkap To Tok dan dibuat sesajen sembahyang

    bagi kawan mereka yang sudah menjadi korban.

    Mereka semua adalah orang-orang gagah dan ksatria sejati,

    mereka hanya ingin To Tok yang menjadi sasaran mereka,

    sanak keluarganya tidak akan mereka ganggu. Kini melihat dari

    joli besar To Tok itu mendadak keluar seorang wanita yang

    agung, walaupun dapat diduga itu pasti adalah isteri To Tok

    atau Ong-hui, namun seketika itu mereka menjadi tercengang.

    Begitulah kedua belah pihak merandek sebentar, keadaan

    menjadi sangat canggung.

    Tiba-tiba Ok-ong-hui tersenyum dan kemudian berkata, Jika

    tidak ada apa-apa, bolehlah kalian bubar.

    Habis berkata ia mendorong pintu gerbang kelenteng dan

    hendak masuk ke dalam.

    Mendadak Song Bun-sin Siang Ing mengangkat toyanya dan

    berteriak, Yang melukai Thio-kongcu dengan piau adalah

    perempuan keparat ini, kalau ia sudah bermusuhan dengan kita,

    masa saudara-saudara akan melepaskan dia?

    Habis berkata begitu, tangannya bergerak maka segera

    beberapa jarum Song-bun-ciam menyambar ke belakang

  • kepala orang. Ok-ong-hui seperti tidak menggubris orang, waktu

    ia mendengar dari belakang ada suara sambaran angin, lekas ia

    membalikkan tangannya terus meraup hingga beberapa jarum

    itu dengan tepat kena ditangkapnya. Cara ia menangkap senjata

    rahasia ternyata sudah terlatih betul.

    Thong-bing Hwesio dan kawan-kawannya menjadi gusar sekali,

    segera mereka menggerakkan senjata dan menyerang maju

    lagi, namun dalam suasana yang ribut itu, Ok-ong-hui sudah

    masuk ke dalam Djing-liang-si.

    Ketika itu, dari bawah gunung kembali terdengar pula suara

    tambur dan terompet yang riuh sekali, satu pasukan berkuda

    dengan cepat telah memburu naik, dan barisan depan pasukan

    ini telah sampai di Leng-tji-hong, di depan kelenteng Djing-liang-

    si.

    Pasukan ini berseragam lengkap, tangan kanan mencekal golok

    dan tangan kiri memegang tameng, jika diserang senjata musuh

    mereka tangkis dengan tameng, sedang goloknya segera balas

    membacok.

    Maka terdengarlah suara trang-trang beradunya senjata

    dengan tameng, tidak lama kemudian seluruh kelenteng Djing-

    liang-si sudah dapat dikepung dengan rapat. Pasukan ini adalah

    pasukan penjaga istimewa pemerintah Boan, khusus bertugas

    menjaga istana dan kediaman pangeran-pangeran, pasukan

    serba guna ini jauh lebih kuat daripada pasukan kerajaan

    lainnya.

    Sementara itu, gadis berkedok tadi dengan pedang di tangan

    sedang melindungi pemuda yang terluka itu, ia masih berusaha

    menerjang keluar dari kepungan, ia maju dan mundur, hantam

    kanan dan kiri, yang jauh ditimpuk dengan senjata rahasia, yang

    dekat diserang dengan pedang, kecepatan dan kegesitannya

  • luar biasa, tiap kali ia berhasil menerobos pergi dimana ada

    kesempatan dan tempat luang. Dan selagi gadis itu sudah

    hampir lolos dari kepungan, mendadak dari depan telah

    mengadang pasukan berkuda tadi. Dan ketika ia hendak

    mencari jalan lain, tiba-tiba terdengar olehnya suara bentakan,

    Hendak lari kema-na! Menyusul pedang orang sudah

    menyerang secepat kilat.

    Lekas gadis berkedok itu menarik tubuhnya ke bawah, maka

    pedang musuh menyambar lewat di atas kepalanya dengan

    membawa sambaran angin yang keras. Habis ini mendadak ia

    menegakkan tubuh, pedang pendeknya dibalikkan ke atas untuk

    memotong pergelangan tangan musuh. Gerakannya ini benar-

    benar berbahaya sekali. Tidak nyana musuh pun bukan lawan

    lemah, ia tidak menarik kembali pedangnya, tetapi hanya

    pergelangan tangan sedikit memutar, segera ia pun mengetok

    pergelangan tangan si gadis dengan gagang pedangnya.

    Karenanya, masing-masing begitu bergerak lantas menarik

    kembali serangannya, mereka sama-sama menghindarkan

    serangan lawan yang berbahaya. Keduanya terkejut.

    Gadis itu mengangkat kepalanya memandang, ia lihat musuh

    yang bertanding dengan dirinya berperawakan kekar gagah dan

    keren, ia mengerti pasti bukan orang sembarangan. Tengah ia

    merasa sangsi, mendadak didengarnya suara bentakan, Itu dia

    si keparat To Tok!

    Gadis itu terkejut sekali, sementara itu ia mendengar lawannya

    telah menjawab dengan suara angkuh, Ya, betul, aku adalah

    To Tok adanya, mau apa kau?

    Yang mengenali To Tok dan membentak tadi adalah Song-bun-

    sin Siang Ing dan Thi-tah Thia Thong. Mereka berdua lebih

    dekat dengan To Tok, maka dengan mati-matian mereka

  • menerjang maju. Pedang pendek si gadis tadi pun sudah

    menyerang semakin kencang, akan tetapi tenaga To Tok besar

    dan kuat, bila terbentur pedangnya, si gadis lantas merasa

    tangannya pedas kesemutan. Karena itulah pemuda terluka

    yang berada di sampingnya menjadi kehilangan pelindung, ia

    telah kena dipukul roboh oleh bawahan To Tok dan tertangkap

    hidup-hidup.

    Sementara itu. Siang Ing dan Thia Thong sudah datang

    mendekat.

    Nona boleh mundur dulu! demikian seru mereka hampir

    serentak.

    Dengan gemas gadis berkedok memandang sekali lagi pada To

    Tok, ia mengerti dalam keadaan begitu, sukar baginya untuk

    bisa memperoleh kemenangan. Maka ia menurut, ia tarik

    pedangnya dan mengundurkan diri lebih dulu, kemudian ia

    berusaha menolong pemuda tadi.

    Di samping sana rangsekan Siang Ing dan Thia Thong ternyata

    sangat kuat sekali, berturut-turut mereka dapat memukul roboh

    belasan serdadu pasukan istimewa itu. To Tok menjadi gusar, ia

    membentak, Semua mundur, biar aku menangkap kedua

    penjahat itu!

    Pedangnya mendadak ditangkiskan, api meletik, tahu-tahu toya

    Siang Ing sudah terkutung pucuknya. Sebaliknya tameng To

    Tok terpecah belah oleh kapak Thia Thong. To Tok melempar

    tameng yang sudah pecah itu, ia menempur kedua lawannya

    dengan memainkan Hong-lui-kiam-hoat dari aliran Tiang-pek-

    san di Kwan-gwe dengan dahsyat.

    Setelah To Tok muncul keadaan lantas berubah banyak.

  • Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan berduyun-duyun lantas

    menerjang ke tempat To Tok berada, pasukan istimewa itu

    walaupun cukup lihai, tetapi karena di pegunungan yang dekak-

    dekuk ini, maka susah untuk mengadang dan mencegat,

    akhirnya dengan pelahan-lahan para pahlawan itu dapat

    menerjang maju lebih dekat.

    Thia Thong dan Siang Ing adalah orang gagah yang ternama di

    kalangan Kangouw, senjata mereka berat, tenaga pun besar,

    bertanding melawan To Tok boleh dikata setengah kati delapan

    tail alias sama kuat. Dalam pertarungan seru itu, toya Siang Ing

    menyapu, menerjang seperti seekor naga hidup, sedang kedua

    kapak Thia Thong pun menyambar, membacok seperti gunung

    yang menindih dari atas.

    To Tok bukan lawan yang lemah, pedang panjangnya begitu

    hebat dimainkan hingga membawa suara menderu, ia menusuk,

    memotong dan membabat, sinar pedangnya selalu mengitar di

    antara dua macam senjata lawan, sedikitpun tidak memberi

    kesempatan. Nyata kekuatan kedua pihak sama kuat.

    Dalam pertarungan seru itu, Thia Thong membentak dan kedua

    kapaknya membacok dari samping. To Tok bersiul panjang, ia

    angkat pedang dan melompat serta menikam kepala Thia

    Thong. Nampak kawannya terancam, Siang Ing lekas memutar

    toyanya, dengan jurus Ciang-liong-seng-thian atau ular naga

    membubung ke langit, ia tegakkan toyanya dan sedikit diangkat

    miring ke atas terus menyodok perut To Tok.

    To Tok berjumpalitan di udara dan dengan suara aneh

    pedangnya tiba-tiba ditimpukkan ke muka Siang Ing.

    Belum pernah Siang Ing melihat serangan semacam itu, lekas ia

    melompat berkelit, karena itu secepat kilat pedang itu

    menembus tubuh seorang pengawal hingga tembus.

  • Waktu itu, Thi-tah Thia Thong baru mengangkat kapaknya, ia

    mengincar dengan tepat terus membacok dengan kapak. Tak

    terduga To Tok bisa bergerak cepat sekali, ditambah pula Siang

    Ing tadi sudah mundur karena kaget, tekanan yang lain sudah

    berkurang, tiba-tiba ia memutar tubuh terus mementang tangan

    dan mencengkeram lengan kanan Thia Thong lalu diangkatnya.

    Tubuh Thia Thong yang sebesar kerbau diputar dengan cepat,

    kemudian dengan tertawa ia lemparkan ke udara seperti

    melempar bola saja.

    Thia Thong ternyata juga tidak lemah, kena diputar dan dilempar

    begitu, kedua kapaknya masih belum terlepas dari tangan,

    dengan gerak Le-hi-ting-sin atau ikan lele meletikkan tubuh, ia

    menjejak sekali di udara untuk kemudian menukik turun ke

    bawah.

    Nampak kawannya kena dipermainkan musuh, Thong-bing

    Hwesio menjadi gusar, dengan golok terhunus segera ia

    menubruk maju. Sementara itu, bawahan To Tok telah

    menjemput dan menyerahkan kembali pedang To Tok yang

    ditimpukkan tadi. Kini To Tok mulai naik darah, segera ia

    membacok. Dengan kalap Thong-bing menangkis dan dengan

    satu bentakan ia pun balas membabat dengan goloknya, maka

    terjadilah pertarungan yang seru.

    Bagaimana pun To Tok adalah Pangeran, Thong-bing Hwesio

    berani mengadu jiwa dengan serangan yang berbahaya,

    sebaliknya ia sendiri tidak berani. Karena itu ia menjadi jeri

    menghadapi orang kalap.

    Suatu waktu Thong-bing Hwesio mengangkat goloknya hendak

    menubruk pula, To Tok tak ingin terlibat lebih lama lagi,

    mendadak pedangnya diacungkan, pengawal di sampingnya

    segera maju membanjir menggantikan To Tok menahan

    serangan lawan. Waktu itu pasukan yang To Tok bawa beruntun

  • sudah naik gunung semua, mulai dari kaki gunung sampai

    tengah gunung pasukan itu berbaris panjang seperti ular naga,

    sedikitnya ada dua-tiga ribu orang, genderang berbunyi, seluruh

    gunung menjadi bergemuruh hingga menambah tegangnya

    suasana.

    Saat itu, wanita dari rombongan pemain komidi tiba-tiba

    melepaskan sebuah anak panah bersuara, dengan

    mengeluarkan sinar api biru anak panah itu menjulang naik ke

    angkasa. Panah berapi ini nyata adalah suatu tanda rahasia,

    begitu dilepaskan, bekas pengikut Loh-ong lantas berteriak

    sambil mundur, mereka berpencar menjadi dua jurusan dan

    memanjat ke atas gunung.

    Waktu To Tok berpaling, dengan cepat ia beradu pandang

    dengan wanita pemain komidi itu. Sebenarnya ia hendak

    mencegat Thong-bing Hwesio, kini ia berubah pikiran dan

    dengan cepat ia mengejar wanita itu.

    Wanita itu melangkah dengan enteng dan gesit, tetapi To Tok

    tidak kalah cepatnya, ia mengudak dengan kencang. Dan

    karena kejar mengejar ini, tanpa terasa ia telah terpancing ke

    tempat yang paling berbahaya di atas puncak Leng-tji-hong.

    To Tok memeriksa tempat sekitarnya, ia lihat batu-batu cadas

    dan tebing-tebing curam bersandingkan puncak-puncak yang

    terjal, jalan yang ia tempuh ini berliku-liku tak rata. Di bawah

    sana, pasukan pengawalnya sedang menguber bekas pengikut

    Loh-ong, sedang di atas puncak yang tinggi ini hanya ada dia

    sendiri dengan wanita tadi.

    Tiba-tiba pikirannya tergerak, ia menjadi ragu harus mengejar

    terus atau tidak?

  • Di lain pihak si wanita itu seperti tahu apa yang dia pikirkan, ia

    menoleh dan tersenyum dingin, segera tangannya bergerak,

    sebuah panah berapi telah menyambar mukanya. Lekas To Tok

    berkelit hingga panah berapi itu menyambar lewat masuk ke

    jurang.

    Sementara itu si wanita sudah berhenti di tempatnya, dengan

    pedang terhunus ia pandang To Tok dengan sikap tem-berang

    dan menantang.

    Begitu To Tok melihat sikap orang ini, ia menjadi sangat

    mendongkol, ia pikir dirinya sudah beratus kali mengalami

    pertempuran besar maupun kecil, masakah harus jeri terhadap

    seorang perempuan, apalagi wanita ini nampaknya rada mirip

    dengan pemimpin penyamun wanita dari Tjiat-kang yang

    bernama Lauw Yu-hong. Jika betul dia adanya dan bisa

    membinasa-kannya di sini, hal ini besar artinya bagi dirinya dan

    juga bagi kerajaan.

    Kiranya di atas meja kerja To Tok bertumpuk dengan laporan

    yang disebut sisa-sisa penyamun Tjiat-kang selatan, yakni

    bekas pengikut Loh-ong yang telah berhasil ditumpasnya

    sewaktu To Tok menjabat Liang-kang Te-tok (gubernur militer

    Tjiat-kang dan Kang-souw). Walaupun belakangan ia tak

    memegang jabatan itu lagi, tapi segala sesuatu yang

    berhubungan dengan gerak-gerik bekas pengikut Loh-ong selalu

    masih dilaporkan juga padanya oleh pembesar-pembesar negeri

    yang bersangkutan.

    Lauw Yu-hong yang disebut sebagai pemimpin penyamun

    wanita ini belum lama bani dikenal, ia adalah puteri Lauw Tjing-

    it, bekas perwira yang gagah perkasa di bawah Loh-ong, dai dia

    telah meneruskan perjuangan sesudah Loh-ong tewas. Setelah

    Lauw Tjing-it meninggal, beramai-ramai pengikut Loh-ong yang

  • lain lantas mengangkat Lauw Yu-hong sebagai pemimpin

    mereka, waktu itu. Lauw Yu-hong belum ada tiga puluh tahun.

    Walaupun usianya masih muda, namun bekas pengikut Loh-ong

    itu ternyata sangat tunduk padanya.

    Dalam laporan dinas yang pernah disampaikan pada To Tok

    tersebut, ada pula yang disertai dengan gambar Lauw Yu-hong,

    sebab itulah, begitu bertemu, lapat-lapat ia seperti sudah kenal

    rupanya.

    Kini secara terang-terangan To Tok diejek dan ditantang, keruan

    saja ia gusar, tanpa pikir lagi ia mengudak pula.

    Namun Lauw Yu-hong sudah menanti, ketika To Tok

    membacok, dengan gesitnya Yu-hong berkelit, berbareng

    pedangnya menyampuk ke kanan.

    Sekali menyerang tak berhasil, segera To Tok merangsek maju

    pula, kembali ia membabat dengan gemasnya. Tak ia duga,

    tiba-tiba Lauw Yu-hong memotong dari atas dengan pedangnya,

    dan begitu kedua senjata menempel, dengan sedikit memuntir

    terus menarik, tahu-tahu To Tok sendiri malah terbawa

    melangkah maju dengan terhuyung. Beruntung To Tok juga

    bukan orang lemah, pada saat tubuhnya menubruk ke depan,

    dengan cepat ia putar pedang sekuatnya untuk melepaskan diri

    dari pengaruh tenaga dalam Lauw Yu-hong, dengan pedangnya

    yang diputar cepat itu ia balas menyerang pula.

    Namun Yu-hong cukup cerdik, ilmu pedang Bu-kek-kiam-hoat

    adalah kombinasi kumpulan inti sari aliran Thay-kek-pay dan

    Bu-tong-pay. Pada waktu To Tok memutar pedang tadi,

    berbareng ia pun memutar pedangnya juga, maka terdengarlah

    suara trang yang nyaring, kembali dua senjata saling beradu.

    Habis itu Yu-hong menarik senjatanya terus mundur walaupun

    belum terkalahkan.

  • To Tok menjadi makin sengit, ia menguber pula dengan

    kencang. Saat itu mereka sudah berada di ujung suatu puncak

    gunung yang curam.

    Mendadak Yu-hong melompat ke depan lagi seperti burung

    terbang cepatnya, tahu-tahu ia sudah berdiri di atas sebuah

    jembatan batu yang melintang menghubungkan dua puncak.

    Jembatan batu ciptaan alam ini lebarnya hanya satu kaki saja

    dan panjangnya beberapa tombak, kedua sampingnya ada pula

    puncak gunung lain yang terjal dan di bawahnya adalah jurang

    yang dalamnya beribu tombak.

    Saking kencangnya To Tok mengejar, ia menjadi tak keburu

    menahan dirinya, tanpa pikir ia pun melompat ke jembatan batu

    itu.

    Di sinilah mendadak Lauw Yu-hong membalikkan tubuh, alisnya

    menegak, mukanya kereng, pedangnya diputar pula, kembali ia

    menggempur To Tok dengan sengit di atas jembatan alam itu.

    Jika Yu-hong menang dalam hal kegesitan dan ilmu

    mengentengkan tubuh, sedangkan To Tok lebih tenang dan ulet.

    Pertarungan ini sungguh seru luar biasa, kedua orang sama-

    sama memutar pedang mereka begitu rapat dan kencang

    hingga berwujud dua gulung sinar putih yang mengurung tubuh

    mereka masing-masing, dan meski sudah berlangsung ratusan

    jurus masih belum tahu siapa yang unggul atau terdesak.

    Sementara itu Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan yang

    diuber pasukan pengawal tadi, kini pun sudah sampai di atas

    puncak Leng-tji-hong. Ketika mereka tahu To Tok yang lagi

    bertempur dengan Yu-hong di tempat yang sangat berbahaya

    itu, tanpa terasa mereka ternganga. Baik serdadu-serdadu

    maupun Thong-bing dan kawan-kawan seketika menjadi lupa,

  • mereka sama melihat pertarungan mati-matian To Tok melawan

    Lauw Yu-hong di atas jembatan alam itu.

    Dalam pada itu, Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian sudah berada

    juga di atas suatu puncak gunung dan menyaksikan

    pertarungan sengit ini.

    Pho-pepek, lihatlah ilmu pedang yang dimainkan wanita itu

    apakah sama dengan Bu-kek-kiam-hoat kita? tiba-tiba Wan-lian

    bertanya sesudah melihat sebentar.

    Waktu itu Pho Djing-tju seperti lagi berpikir, maka sejurus

    kemudian barulah ia menjawab.

    Ya, kini aku sudah ingat. Kalau diurut, kau harus memanggilnya

    Suci (kakak), demikian sahutnya. Dua puluh tahun yang lalu,

    Suhengku Tan Su-lan bersahabat kental dengan seorang

    perwira Loh-ong yang bernama Lauw Tjing-it, puteri Lauw Tjing-

    it malah dia akui sebagai anak angkat. Dari mulai umur lima-

    enarn tahub, gadis cilik itu sudah diajarkan ilmu silat. Kini

    melihat kiam-hoat yang dia mainkan, tak salah lagi tentu dia

    adalah puteri Lauw Tjing-it itu. Sayang, ia kalah ulet dari To Tok,

    kalau soal ilmu pedang ia lebih unggul.

    Sementara mereka berbicara, pertarungan sudah tambah

    tegang lagi. Suatu saat, tiba-tiba Yu-hong memindahkan pedang

    ke tangan kiri, sesudah melancarkan satu serangan pura-pura,

    dengan cepat pula ia lantas melompat mundur. Kemudian

    tangan kanannya bergerak, tahu-tahu semacam benda kehitam-

    hitaman telah menutup ke atas kepala To Tok.

    Benda itu adalah senjata rahasia tunggal Lauw Yu-hong yang

    disebut Kim-hun-tau atau jaring sulam, terbuat dari kawat baja

    halus, di sekitar jaring penuh terpasang kaitan yang lembut.

  • Karena tak keburu berkelit, pundak To Tok telah tertutup oleh

    jaring itu hingga kena tercengkeram, waktu Lauw Yu-hong

    menarik kembali sekuatnya senjata rahasia ini, maka

    mengucurlah darah segar dari pundak To Tok karena kaitan-

    kaitan tajam dari jaring yang menempel di pundaknya.

    To Tok sedikit merintih karena sakit, tapi ia masih cukup gagah,

    kembali ia mainkan pedangnya hingga terbitlah angin kencang

    dan rapat untuk menjaga diri. Begitu pula Lauw Yu-hong, sekali

    senjata rahasianya berhasil, kembali ia merangsek, ia mencecar

    lawan dengan tipu serangan yang mematikan, mau tak mau To

    Tok mulai kewalahan, apalagi jaring yang masih menempel di

    pundaknya itu tak bisa dilepaskan.

    Selagi To Tok terancam bahaya, mendadak dari puncak sebelah

    kiri yang terjal ada orang berteriak, Aku datang!

    Dan menyusul pula suara teriakan orang lain lagi, Hai, Tjoh

    Tjiau-lam apa yang hendak kaulakukan?

    Sebelum lenyap suara teriakan itu, tahu-tahu dari atas telah

    terjun seorang ke atas jembatan alam itu, sebelum kakinya

    menancap di atas jembatan, dengan cepat sekali orang itu

    sudah membabat dengan pedangnya hingga tali jaring Kim-

    hun-tau yang mencengkeram pundak To Tok pun putus. Lalu

    orang ini mengadang di depan To Tok dan menggantikannya

    menempur Lauw Yu-hong.

    Kesempatan itu dipergunakan To Tok untuk mengeluarkan

    kaitan-kaitan yang masih menancap di kulit dagingnya, habis itu

    ia bermaksud mundur ke belakang, tiba-tiba ia melihat di ujung

    jembatan sana seorang Hwesio telah mengadang pula dengan

    tertawa.

  • Celaka tiga belas! pikirnya begitu ia mengenali yang

    mengadang adalah Kuai-tau-to Thong-bing Hwesio, ia menjadi

    kuatir. Tetapi segera ia menjadi gusar, daripada mati konyol,

    tiada jalan lain harus bertahan mati-matian, maka pedangnya

    diputar, segera Thong-bing dirangsek dengan kalap.

    Sementara itu dengan munculnya orang yang diteriaki sebagai

    Tjoh Tjiau-lam itu, semua orang yang hadir di situ terkejut. Pho

    Djing-tju sendiri pun mengkerutkan kening.

    Inilah orangnya si iblis yang kukatakan tadi, katanya pada Boh

    Wan-lian. Ia bernama Tjoh Tjiau-lam dan orang Kangouw

    menjulukinya Yu-Iiong-kiam, ia adalah murid Hui-bing Siansu.

    Pada dua puluh tahun yang lalu, bersama Njo Hun-tjong,

    mereka berdua disebut sebagai Thian-san-ji-kiam (dua

    pendekar pedang dari Thian-san). Cuma sayang jiwa mereka

    berdua sama sekali berlainan, Njo Hun-tjong jujur dan setia,

    selama hidupnya berjuang untuk nusa dan bangsa, sebaliknya

    Tjoh Tjiau-lam gila pangkat dan kemaruk harta, akhirnya ia kena

    dipelet pengkhianat besar Go Sam-kui dan diangkat menjadi

    pelatih pasukannya. Dan sesudah Njo Hun-tjong tewas secara

    aneh di tepi Tji-tong-kang di Hang-tjiu, anak murid Thian-san

    yang mewariskan Thian-san-kiam-hoat boleh dikata hanya

    tinggal dia seorang, tak heran kalau dia menjadi berani berbuat

    sewenang-wenang.

    Dalam pada itu, empat orang yang bertempur di atas jembatan

    alam itu tampaknya makin memuncak tegangnya. Di atas

    jembatan sesempit itu, untuk membalik badan saja rasanya

    susah, apalagi kini untuk bergebrak.

    Kiarn-Iioat atau ilmu pedang Tjoh Tjiau-lam benar-benar hebat

    dan liliai. Tiap kali Yu-hong menyerang dengan tipu mematikan

    dan bagi penonton tampaknya pasti akan mengenai

  • sasarannya, siapa tahu Tjiau-lam selalu dapat mematahkan

    serangan itu dengan gerak yang manis yang susah dimengerti,

    dan malahan bisa pula balas menyerang.

    Agaknya sudah tiba waktunya bagiku untuk turun tangan, kata

    Pho Djing-tju pada Boh Wan-lian setelah keadaan cukup

    genting.

    Saat itulah, ia melihat Tjoh Tjiau-lam telah mendesak Yu-hong

    lebih gencar lagi hingga si gadis ini tampak kewalahan dan tak

    berdaya.

    Karena itu, Djing-tju tak berani ayal, setelah memberi pesan

    pada Boh Wan-lian supaya jangan sembarangan bertindak,

    segera ia pun terjun ke atas jembatan itu seperti burung

    menyambar.

    Waktu itu justru Tjoh Tjiau-lam sedang melontarkan sebuah tipu

    serangan menusuk ke dada Lauw Yu-hong yang tak bisa

    dielakkannya. Maka kedatangan Pho Djing-tju persis tepat pada

    waktunya, dengan pedang Bu-kek-kiam, ia menikam dari atas,

    sedang tangan yang lain menjambret bahu Yu-hong dan

    dilemparkannya ke belakang dengan tenaga dalam yang maha

    besar.

    Dengan meminjam tenaga lemparan itulah, sekali jumpalitan,

    enteng sekali Yu-hong dapat menancapkan kakinya di atas

    puncak terjal di sebelah sana.

    Tjoh Tjiau-lam menangkis tikaman itu, segera ia merasa tenaga

    dalam orang yang datang itu terlalu besar. Sebenarnya ia

    bermaksud menyengkelit dan menjerumuskan orang ke dalam

    jurang selagi orang masih terapung di udara. Tak diduganya,

    begitu kedua senjata beradu, ia merasa ditekan oleh suatu

    kekuatan yang maha besar hingga ia sendiri tergetar mundur

  • dua tindak. Keruan saja ia terkejut dan dalam hati bertanya dari-

    manakah mendadak muncul seorang lawan setangguh ini?

    Tetapi ia berpikir pula, dengan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat

    yang tiada bandingannya, meski orang memiliki kepandaian

    tinggi dan ulet, tidak nanti bakalan lolos di bawah senjatanya.

    Maka tanpa pikir lagi segera ia merangsek maju pula, ia

    menyerang dengan kuat dan mengarah tubuh musuh yang

    berbahaya.

    Dengan kepandaian Pho Djing-tju yang berpuluh tahun terlatih,

    sekali tikam dari atas tadi luput merobohkan lawannya,

    betapapun juga, diam-diam Pho Djing-tju pun terkejut.

    Dalam sekejap saja, kedua orang itu sudah saling gebrak

    hingga lima-enam puluh jurus, kedua orang sama-sama tidak

    memberi kesempatan sedikitpun pada pihak lawan, pedang

    mereka gemerlapan menyilaukan mata, makin lama makin

    kencang hingga akhirnya dari jauh hanya tampak dua gumpal

    sinar membungkus dua bayangan hitam yang naik turun.

    Sekalipun Siang Ing dan Thia Thong sekalian terhitung jagoan

    juga, tidak urung mereka memandang dengan rasa kuatir, hati

    berdebar-debar dan menahan napas.

    Makin lama Tjoh Tjiau-lam semakin gagah, serangannya pun

    tambah cepat. Sebaliknya Pho Djing-tju tiba-tiba merubah ilmu

    pedangnya, gerakannya makin pelahan, walaupun demikian,

    betapa pun cepatnya pedang Tjiau-lam tetap tak dapat

    mendekatinya, kemana pedang Tjiau-lam mengarah, selalu

    terbentur balik oleh suatu kekuatan besar, penjagaan Pho Djing-

    tju begitu rapat bagai dilingkari selapis tembok baja yang kukuh.

    Sebagai seorang jagoan, Tjoh Tjiau-lam mengenal itu adalah

    ilmu pedang dari kelas berat, tanpa terasa hatinya terkesiap.

  • Begitulah, maka keadaan menjadi sama kuat, Tjoh Tjiau-lam tak

    mampu menembus pertahanan orang, sebaliknya Pho Djing-tju

    juga tak bisa lolos dari rangsekan Tjiau-lam, lambat laun

    keduanya mulai tak sabar dan gelisah.

    Sampailah pada suatu saat yang menentukan, sekonyong-

    konyong Pho Djing-tju menarik senjatanya dan sengaja memberi

    kesempatan pihak lawan. Betul saja Tjoh Tjiau-lam lantas

    menusuk, siapa tahu secepat kilat Pho Djing-tju mengegos

    sambil pedangnya menyampuk keras ke samping, berbareng

    sebelah tangannya ikut menghantam pula ke batok kepala

    musuh.

    Karena tidak berjaga-jaga atas serangan itu, dalam kagetnya

    lekas Tjoh Tjiau-lam menahan pedangnya yang disampuk,

    berbareng hantaman orang itu ia sambut dengan telapak tangan

    kirinya, maka terdengarlah suara plok yang keras disusul

    dengan suara jeritan orang ramai.

    Karena beradunya kedua tangan itu, ternyata baik Tjoh Tjiau-

    lam maupun Pho Djing-tju keduanya terjungkal ke dalam jurang

    bagai layang-layang putus benangnya.

    Mujur bagi Pho Djing-tju, sebab sesampainya di tengah jurang ia

    tersangkut sebatang pohon Siong tua yang tumbuh di tebing

    gunung, dengan cepat Djing-tju merangkul erat batang pohon itu

    untuk menahan terjerumus lebih jauh. Sebaliknya malang bagi

    Tjoh Tjiau-lam, di udara terbuka itu ia berjumpalitan beberapa

    kali tetapi tetap terjerumus ke jurang yang sangat dalam.

    Di lain pihak, waktu itu To Tok juga lagi terdesak oleh Thong-

    bing Hwesio hingga terus main mundur, akan tetapi di ujung

    jembatan yang lain, di sana sudah menunggu Lauw Yu-hong

    dengan pedang terhunus dan mata berapi.

  • Dalam pada itu pasukan yang dibawa To Tok itupun sudah

    mengepung rapat seluruh gunung hingga suasana ramai riuh

    dengan suara jerit tangis rakyat pengunjung, banyak pula bekas

    pengikut Loh-ong yang ikut terkepung tak sempat meloloskan

    diri. Sedangkan barisan pemanah dari pasukan To Tok sudah

    berdiri di atas puncak-puncak gunung dengan busur terpentang

    sedang menghujani orang banyak itu dengan panah,

    sungguhpun banyak batu-batu cadas dan teraling-aling oleh

    puncak gunung yang menonjol di sana-sini namun keadaan

    cukup gawat dan berbahaya.

    Dalam keadaan begitu, Lauw Yu-hong harus mengambil

    keputusan. To Tok yang mereka arah sudah di depan mata dan

    tinggal dibekuk saja, tetapi di samping itu ia mendengar suara

    jeritan dan tangisan rakyat yang tak berdosa karena hujan

    panah itu. Tiba-tiba ia mengeluarkan lagi anak panah berapi dan

    dibi-dikkan ke angkasa untuk memerintahkan Thong-bing

    Hwesio sekalian menghentikan pertempuran.

    Melihat isyarat itu, dengan heran Thong-bing Hwesio segera

    berhenti mendesak To Tok lebih jauh. Ia tidak habis mengerti,

    To Tok yang di depan mata tinggal dibekuk ini kenapa

    mendadak Yu-hong memberi perintah gencatan senjata?

    Tengah ia merasa heran dan bingung, terdengar Lauw Yu-hong

    sudah buka suara.

    Hai, To Tok, kau masih ingin hidup tidak?! demikian bentak

    pemimpin wanita itu.

    Namun To Tok menyambut orang dengan sikap angkuh dan

    dingin.

    Hm, kalau masih, mau apa? Dan kalau tidak, bagaimana?

    sahutnya.

  • Bila ingin hidup, lekas kau perintahkan tentaramu berhenti

    bertempur, kata Yu-hong. Hari ini anggap saja kami tidak

    bermusuhan denganmu, sebaliknya tak boleh kau menangkap

    rakyat yang tak berdosa.

    Tetapi bagaimana di kemudian hari? tanya To Tok setelah

    berpikir.

    Kemudian hari adalah urusan kemudian hari, kau tentu tak mau

    melewatkan kami, sebaliknya kami pun tak nanti

    mengampunimu, sahut Yu-hong.

    Kalau begitu masih cukup adil. Baiklah, akur! kata To Tok

    dengan gelak tertawa.

    Habis itu, pedangnya diacungkan ke atas dan memberi tanda

    sekali. Sungguh disiplin militer memang sangat keras, begitu

    perintah diberikan dan diteruskan pula berturut-turut dalam

    waktu sekejap saja, senjata-senjata sudah kembali ke

    sarungnya dan bekas pengikut Loh-ong pun bebas keluar dari

    kepungan, sedang rakyat pengunjung itupun berduyun-duyun

    turun gunung.

    Dengan golok masih terhunus Thong-bing Hwesio terpaku di

    tempatnya sambil mengawasi To Tok yang berjalan lewat di

    sampingnya, saking gemasnya ia mengertak gigi, musuh yang

    sudah berada dalam sangkar harus dilepaskan begitu saja.

    Bukan saja Thong-bing yang mengertak gigi, malah ada lagi

    seorang yang jauh lebih gemas dari dia, dia bukan lain adalah si

    gadis berkedok itu. Waktu itu ia sedang bersandar pada sebuah

    batu cadas, demi melihat To Tok bebas begitu saja, diam-diam

    tangannya merogoh baju seperti mengambil senjata rahasia.

  • Kelakuan si gadis ini dapat dilihat Siang Ing yang berdiri tidak

    jauh, lekas ia maju mencegah, Jangan, nona! Pemimpin kami

    sudah mengeluarkan perintah, soal kepercayaan harus kita

    pegang teguh! demikian katanya.

    Gadis itui terdiam oleh teguran orang, ia heran mengapa orang

    gagah seperti Siang Ing yang menjadi musuh kawakan To Tok

    bisa begitu tunduk terhadap perintah seorang wanita?

    Dalam pada itu, Pho Djing-tju sudah memanjat naik lagi. Lauw

    Yu-hong dan kawan-kawan merubung memberi hormat padanya

    dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan sang Susiok

    (paman guru) yang sudah lama tak bersua itu.

    Sesudah To Tok menghilang, kemudian Yu-hong memimpin

    pengikutnya melintasi puncak Leng-tji-hong dan turun gunung

    melalui jurusan lain. Gadis berkedok yang datangnya tidak

    bersama mereka, kinipun diajaknya ikut serta.

    Sepanjang jalan mereka hanya bungkam saja dan lesu. Ya,

    usaha gagal, tidak heran kalau mereka menjadi lemas dan

    gege-tun.

    Akan tetapi semua orang dapat memahami tindakan Lauw Yu-

    hong, adalah bijaksana jiwa orang banyak yang tak berdosa

    ditukar dengan jiwa seorang To Tok.

    Melihat paras Wan-lian yang cantik molek, Yu-hong menjadi

    tertarik oleh gadis ini, sepanjang jalan ia selalu mengajak bicara

    padanya, tetapi tidak demikian dengan Boh Wan-lian, hatinya

    seperti berduka, ia bicara dengan kurang bersemangat.

    Begitulah mereka berjalan dengan cepat, maka sesudah

    menyusuri lembah dan melintasi sebuah bukit, setelah puluhan li

    dilalui dalam waktu singkat, akhirnya tibalah mereka di suatu

  • perkampungan, di depan kampung itu sudah menunggu banyak

    orang.

    Ini adalah perkampungan Kangouw-cianpwe (angkatan tua

    kalangan persilatan) Bu Guan-ing, demikian kata Yu-hong pada

    Djing-tju. Di sinilah kami menumpang mondok.

    Apa maksudmu Bu Guan-ing dari Tjong-lam-pay yang tersohor

    itu? tanya Djing-tju. Kami adalah sahabat lama.

    Ya, betul, sahut Yu-hong.

    Baru saja mereka berbicara, dari dalam kampung telah keluar

    seorang memberi laporan pada Lauw Yu-hong. Orang itu adalah

    pengikut Loh-ong yang ditinggalkan di perkampungan ini. Orang

    itu berbisik pada Yu-hong beberapa patah kata, lalu terlihat

    pemimpin wanita ini mengkerutkan kening.

    Baiklah, tahulah aku, katanya kemudian. Beritahukan Cengcu

    (kepala kampung) bahwa kami akan mengaso dulu ke ruangan

    lain untuk membereskan sesuatu urusan, sesudah itu akan kami

    temui Cengcu dan Han-congthocu.

    Apakah Congthocu Thian-te-hwe, Han Tji-pang, telah datang?

    tanya Thong-bing Hwesio.

    Betul, sahut Yu-hong.

    Lalu Yu-hong membawa semua orang masuk ke dalam. Setelah

    masing-masing mengambil tempat duduk, kemudian ia buka

    suara lagi.

    Nona, demikian ia berkata pada gadis berkedok, Hendaklah

    jangan kausesalkan kami, kita cukup tegas membedakan antara

    budi dan dendam, tadi kau telah melindungi permaisuri To Tok,

    tetapi kemudian kaubela Thio-kongcu pula sekuat tenaga, hal ini

  • sungguh membikin kami menjadi bingung. Nona, jika tak

    keberatan, sudilah kiranya kau memberitahu maksud

    kedatanganmu ini dan memperkenalkan muka aslimu pada

    kami?

    Mula-mula gadis berkedok itu ragu-ragu, ia diam saja, tetapi

    kemudian pelahan-lahan ia pun menarik kain kedoknya.

    Pandangan semua orang terbeliak, bahkan ada yang bersuara

    heran.

    Setelah kedok si gadis dibuka, seketika itu semua orang

    terkesima. Ternyata wajah si gadis mirip benar dengan

    permaisuri To Tok, hanya dandanannya saja yang tidak secara

    bangsa Boan.

    Kau bangsa Han atau bangsa apa? tanya Thong-bing Hwesio

    dalam herannya.

    Tentu saja aku bangsa Han, sahut gadis itu sambil me-liriki

    orang.

    Sudikah nona memberitahu nama dan siapakah guru nona?

    Thia Thong ikut bertanya.

    Sudah tentu tiap orang punya nama sebagai tanda pengenal.

    Agar memudahkan, kalian boleh panggil aku Ie Lan-tju,

    demikian sahut gadis itu dengan tertawa. Mengenai perguruan,

    seorang gadis tak berguna seperti aku ini tak berani

    mencemarkan nama baiknya, maka lebih baik tak kukatakan.

    Apabila si gadis atau le Lan-tju memandang sikap ragu-ragu

    semua orang yang ada di situ, ia pun tahu tentu orang masih

    curiga atas dirinya. Oleh karena itu, dengan suara keras ia pun

    menjelaskan lebih lanjut.

  • Dan mengenai pertanyaan mengapa aku melindungi Ong-hui

    (permaisuri) To Tok, kalian semuanya adalah ksatria yang

    kiranya tak perlu diberi penjelasan panjang lebar, tentu kalian

    tahu bahwa tujuanku ialah membunuh To Tok, siapa tahu yang

    berada dalam joli adalah isterinya. Tentu saja aku tak bisa

    membunuh seorang wanita yang tak bersenjata. Dan soal Thio-

    kong-cu luka terkena piaunya, itu adalah kejadian sesudahnya.

    Tengah le Lan-tju berbicara, Pho Djing-tju yang sejak tadi

    mengawasi wajah orang, diam-diam ia menulis di secarik kertas

    dan menyuruh Boh Wan-lian menyodorkan pada Lauw Yu-hong.

    Waktu Yu-hong membaca, ia melihat di kertas itu tertulis, Sinar

    mata gadis ini guram buyar, semangatnya lesu, pasti ia sedang

    menderita batin.

    Yu-hong cukup mengenal sang Susiok ini sangat pandai dalam

    ilmu pertabiban, nyata apa yang ditulisnya itu cocok dengan

    pendapatnya. Maka sehabis si gadis itu bicara, dengan ramah ia

    pun menghiburnya, Nona, jangan kau curiga, pertanyaan kami

    tadi tidak lain hanya ingin mengikat persahabatan dengan orang

    seperti nona ini. Maka jika nona tidak menampik, aku yang

    beruntung lebih tua beberapa tahun, bolehlah aku memanggilmu

    sebagai Moy-moy (adik)!

    Habis berkata ia pun mendekati le Lan-tju, ia tarik si gadis duduk

    lebih dekat padanya.

    Gadis ini menjadi amat terharu hingga matanya tampak merah

    basah, dengan suara pelahan ia pun balas memanggil, Cici

    (kakak)!

    Perkenalan yang mesra ini membuat Thong-bing Hwesio dan

    yang lain-lain ikut merasa terharu.

  • Dalam pada itu demi mengetahui kedatangan Pho Djing-tju, Bu-

    cengcu, Bu Guan-ing senang sekali, khusus ia mengutus orang

    mengundang Pho Djing-tju bertemu dengannya.

    Karena memang sudah belasan tahun tak bertemu, tentu saja

    kedua orang tua ini saling rangkul. Mereka bercakap dengan

    asyiknya menceritakan pengalaman masing-masing selama ini.

    Pho-toako, demikian kata Bu Guan-ing sesudah lama bicara,

    Aku ada urusan, rasanya harus minta bantuanmu!

    Soal apakah, silakan berkata, sahut Djing-tju.

    Aku minta kau menjadi comblang, kata Bu Guan-ing.

    Aneh, tiada anak gadis yang kukenal, darimana aku bisa

    menjadi comblang? ujar Djing-tju. Jika kau maksudkan nona

    Boh yang ikut datang bersamaku itu, maka dapat kukatakan

    bahwa usianya masih terlalu muda untuk membicarakan

    perjodohannya.

    Aku bukan maksudkan Boh-siocia, kata Bu Guan-ing pula

    dengan tertawa. Tetapi yang kumaksudkan adalah keponakan

    perempuanmu si nona Lauw Yu-hong. Ia sudah piatu, juga tiada

    guru, kau adalah Susioknya, maka sedikitnya kau pun bisa ikut

    memutuskannya.

    Siapakah yang minta jasa baikmu ini? tanya Djing-tju.

    Toako, kalau disebut, orang inipun kiranya tidak terlalu

    merendahkan diri nona Lauw, sahut Guan-ing sambil mengelus

    jenggot. Dia adalah Congthocu dari Thian-te-hwe, Han Tji-

    pang. Orang ini berhati jujur, setia dan berbudi. Sebenarnya ia

    punya peternakan kuda, setelah tentara Boan menyerbu masuk,

    ia lantas meninggalkan usahanya itu dan menghimpun kekuatan

    serta mendirikan Thian-te-hwe. Oleh karena selama hidup selalu

  • merantau kian kemari, maka sampai kini walau sudah menginjak

    umur empat puluh tahun masih belum berkeluarga.

    Kita adalah orang-orang tua, kita tak tahu lagi bagaimana

    pikiran orang muda sekarang, demikian Bu Guan-ing

    meneruskan dengan menghela napas. Nona Lauw baik dalam

    segala hal, hanya ada sifatnya yang aneh, ialah bila orang

    mempersoalkan perjodohannya, segera ia menjadi tidak

    senang. Dahulu Han Tji-pang tidak sedikit memberi bantuan

    bagi pergerakannya, pernah ia mengutus kawannya mencoba

    untuk meminang nona Lauw, siapa tahu lamaran itu sedikitpun

    tak digubrisnya, padahal dengan kepandaiannya yang tinggi dan

    umurnya yang sudah lewat tiga puluhan, tetapi masih belum

    menikah dan malahan seperti tak mau menikah buat selamanya.

    Coba kaukatakan, bukankah ini sangat aneh?

    Mendengar cerita iri, Pho Djing-tju berpikir.

    Baiklah, aku boleh coba bertanya pada Yu-hong, tetapi dia mau

    atau tidak, itu adalah urusannya sendiri, katanya kemudian.

    Setelah dua sahabat lama ini mengobrol lagi ke timur dan ke

    barat, tak lama kemudian Bu Guan-ing mengajak, Marilah

    sekarang kita pergi menemui Han-congthocu.

    Baiklah, sahut Djing-tju.

    Dan sewaktu mereka sampai di depan sebuah kamar, tiba-tiba

    terdengar di dalam ada suara ngikik tertawa anak kecil, habis itu

    terdengar bocah itu berkata, Ayo, Han-sioksiok (paman Han),

    kau kalah, jangan kau ingkar janji, sekarang aku akan naik

    kuda.

    Waktu Guan-ing mendorong daun pintu kamar dan melangkah

    masuk, maka tertampak seorang laki-laki tegap sedang

  • merangkak di lantai, bermain kuda-kudaan dan di punggungnya

    menunggang seorang anak kecil belasan tahun sedang tertawa

    sambil bertepuk tangan.

    Sing-hua, jangan nakal! lekas Guan-ing membentak.

    Dengan cepat bocah itu melompat turun dari punggung orang,

    sedang laki-laki itupun berdiri, mukanya menjadi merah jengah

    dan menyengir, sikapnya gagah tapi rada malu-malu.

    He, Han-toako makin lama makin kekanak-kanakan, tentu saja

    Sing-hua si bocah ini bertambah manja, kata Bu Guan-ing

    dengan tertawa demi melihat kelakuan orang tadi.

    Habis itu ia pun memperkenalkan mereka pada Djing-tju.

    Ini adalah Congthocu Thian-te-hwe, Han Tji-pang, Han-toako,

    dan bocah ini adalah Sing-hua, puteraku satu-satunya yang

    kecil. Hayo, Sing-hua, lekas memberi hormat pada Pho-pepek

    dan minta sedikit hadiah perkenalannya.

    Umur Bu Sing-hua baru menginjak sebelas tahun, ia dilahirkan

    pada waktu Bu Guan-ing merayakan ulang tahun ke lima puluh,

    maka bocah ini sangat dimanjakan ayahnya. Tatkala itu dengan

    melompat-lompat ia hendak berlari pergi, ketika mendengar

    teriakan ayahnya itu, dengan cepat ia berlari balik dengan

    tangan membawa biji-biji catur.

    Han-sioksiok main catur denganku dan beruntun telah kalah

    tiga babak, tutur bocah itu dengan tertawa.

    Ya, si Sing-hua ini betul lihai, sela Han Tji-pang dengan

    bergelak tertawa pula. Aku baru saja belajar main dari buku

    petunjuk catur, siapa tahu bocah ini sama sekali tidak menurut

    teori, ia jalan sesukanya dan main caplok hingga aku

    kewalahan.

  • Ini namanya kapal besar terbalik di sungai, ujar Pho Djing-tju

    ikut tertawa. Makanya janganlah sekali-kali berpikir menurut

    buku pelajaran, teori demikian ini sudah ketinggalan zaman.

    Habis itu ia memanggil Sing-hua dan berkata padanya, Coba,

    sekarang kau boleh timpukkan semua biji catur di tanganmu itu

    padaku, biar Pepek (paman) mengajarkan main sulap padamu.

    Sing-hua menjadi ragu-ragu, ia pandang ayahnya.

    Pepek suruh kau menimpuknya, maka boleh kau timpuk saja,

    kata Guan-ing sambil tersenyum.

    Ya, timpuk saja, bahkan harus menimpuk dengan segenap

    tenaga dan seluruh kepandaianmu memakai senjata rahasia,

    agar aku bisa mengukur kepandaianmu, ujar Djing-tju lagi.

    Melihat sang ayah tidak mengomelinya, bahkan mendorongnya

    agar menimpuk, Sing-hua menjadi girang, ia mendapat hati.

    Maka sekali raup, kedua tangannya penuh menggenggam biji-

    biji catur itu terus diayunkan, ia menggunakan gerakan Boan-

    thian-hUa-uh atau hujan gerimis memenuhi langit, satu gerakan

    tipu menimpukkan senjata rahasia piau, ia hujani Pho Djing-tju

    dengan biji-biji caturnya itu.

    Bagus! seru Djing-tju sambil tertawa. Tiba-tiba ia pentang

    tangan, ia kebas lengan bajunya yang lebar itu dengan pe-lahan

    seperti penari, tahu-tahu biji catur sebanyak itu lenyap semua

    tanpa bekas. Dan ketika Djing-tju membuka lengan bajunya,

    maka menggelindinglah biji-biji catur itu ke lantai dari lengan

    bajunya itu.

    Semua orang tidak kepalang terkejutnya oleh kepandaian jago

    Bu-kek-pay ini, nyata dengan sekali kebas lengan bajunya

    seperti pemain opera saja, semua biji-biji catur tadi sudah

  • digulung masuk. Cara menangkap senjata rahasia ini betul-betul

    belum pernah mereka lihat.

    Dan rasanya yang pating girang adalah si Sing-hua, tanpa

    disuruh lagi ia mendekati Pho Djing-tju dan memohon agar

    diajarkan kepandaian itu padanya.

    Baiklah aku turunkan kepandaian ini pada Sing-hua sekedar

    hadiah perkenalanku, bagaimana menurut pendapatmu? kata

    Djing-tju kemudian pada Bu Guan-ing.

    Tentu saja berulang-ulang Bu Guan-ing menyatakan terima

    kasih, lekas ia perintahkan Sing-hua menjura pada orang tua ini.

    Dalam pada itu, seorang pelayan kelihatan masuk memberi

    laporan pada sang majikan.

    Baiklah kalau nona Lauw sudah siap, silakan antar mereka ke

    sini! perintah Guan-ing kemudian.

    Maka tidak lama terdengarlah di luar kamar riuh ramai dengan

    suara orang banyak. Belum masuk kamar sudah terdengar

    Thong-bing Hwesio, Siang Ing dan Thia Thong berteriak, Kau

    sudah datang, Han-toako, sungguh kami sudah kangen

    padamu!

    Sembari menggembor, mereka pun masuk terus merubung Han

    Tji-pang.

    Di belakang Thong-bing, menyusul pemimpin wanita mereka,

    Lauw Yu-hong. Wajahnya tersenyum simpul, sikapnya tegas

    dan agung.

    Di samping sana diam-diam Pho Djing-tju merasa serba susah,

    ia pikir urusan perjodohan memang aneh, dalam pandangannya,

    Han Tji-pang boleh dikata seorang laki-laki sejati, jujur dan setia

  • kawan, seperti sekarang ini, karena tahu Yu-hong ada urusan di

    Ngo-tai-san, dari jauh ia sengaja datang hendak membantu,

    kebaikan ini tentu tidak bisa dilakukan sembarang orang. Akan

    tetapi melihat sikap Yu-hong, tampaknya ia adem saja terhadap

    orang, rasanya urusan perjodohan ini susah dirangkap.

    Sedang Pho Djing-tju berpikir sendiri, menyusul dari luar telah

    masuk lagi dua orang. Yang seorang pendek kecil, tetapi sorot

    matanya tajam, sedang yang lain bermuka hitam, sikapnya

    kereng dan gagah.

    Sesudah Han Tji-pang memperkenalkan mereka, barulah

    diketahui bahwa yang pendek kecil itu bernama Njo It-wi, ia

    merupakan otak, juru pikir dari Thian-te-hwe. Dan yang gagah

    itu bernama Hua Tji-san, menjabat Huthocu atau wakil ketua

    Thian-te-hwe. Dari wajah kedua orang ini, tampaknya mereka

    agak tegang seperti ada sesuatu yang mereka hadapi.

    Maaf, sekarang marilah kita bicarakan urusan pokok, kata

    Lauw Yu-hong memulai sesudah semua orang duduk. Dahulu

    Han-congthocu pernah merundingkan soal penggabungan

    denganku. Kini aku berpendapat memang pokok tujuan kita

    sama, maksudnya kita menegakkan negeri leluhur dengan tiada

    perbedaan. Maka kami bekas pengikut Loh-ong bersedia masuk

    ke dalam perkumpulan kalian, Thian-te-hwe.

    Itu bagus sekali, tiba-tiba Njo lt-wi menyela. Cong-thocu dan

    kami akan menerima dengan segala senang hati.

    It-wi, kata Tji-pang cepat, Bukan begitu caranya!

    Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan menjadi heran, segera

    mereka pun bertanya, Apakah Congthocu maksudkan

  • Maksudku, soalnya bukan kami menerima kalian atau kalian

    yang menerima kami, sahut Tji-pang. Apabila kita sudah

    bergabung, maka tidak perlu harus membedakan siapa tuan

    rumah dan siapa tetamu. Maksudku ialah sudah sepantasnya

    nona Lauw yang menjadi Congthocu (ketua umum), bukankah

    aku ini hanya seorang kasar? Haha!

    Begitulah Tji-pang mengakhiri pembicaraannya dengan tertawa,

    dan selagi hendak disambungnya, tiba-tiba Lauw Yu-hong

    sudah menyela.

    Terima kasih atas maksud baik Han-congthocu itu, tapi aku

    berpendapat lebih baik jabatan itu dipangku Han-congthocu

    terus, Thian-te-hwe sudah mempunyai dasar yang kuat di

    daerah barat-Iaut, jumlah kami hanya sedikit, demikian kata Yu-

    hong.

    Betul itu, kata Njo It-wi. Memang sudah lama kami

    mengagumi kebijaksanaan nona Lauw, dan apa yang nona

    Lauw ucapkan tadi ternyata sangat tepat.

    Tak ia duga, mendadak Han Tji-pang memandang padanya

    dengan mata melotot.

    Kauhilang kagum, jika begitu, bukankah lebih-lebih harus

    mengangkat dia sebagai Congthocu? demikian katanya dengan

    suara rendah pada pembantunya ini.

    Njo It-wi menjadi kikuk, mau tak mau ia membenarkan,

    walaupun dalam hati ia mengharap Lauw Yu-hong menolak

    pengangkatan itu.

    Di luar dugaan, Yu-hong ternyata mempunyai perhitungan

    sendiri, ia tak menolak, bahkan menerima tawaran itu.

  • Kalau Han-thocu begitu percaya padaku, terpaksa aku tidak

    dapat menolaknya, demikian katanya.

    Tentu saja Han Tji-pang girang sekali. Thong-bing Hwesio

    sekalian pun ikut bergembira. Hanya Njo It-wi saja yang diam-

    diam tidak senang.

    Setelah itu lantas dirundingkan pemilihan hari baik untuk

    menetapkan upacara pembukaan gunung dan pengangkatan

    pengemudi. Malahan sebelum ada upacara tersebut atas

    permintaan Han Tji-pang sendiri, telah memerintahkan semua

    cabang-cabang dan pengikut-pengikut Thian-te-hwe supaya

    tunduk pada perintah Lauw Yu-hong, Congthocu yang baru.

    Seterusnya mereka lantas membicarakan pertempuran seru

    dengan To Tok dan Tjoh Tjiau-lam di Ngo-tai-san itu.

    Si iblis ini sungguh sukar dilawan, selain Pho-susiok, kita

    semua bukan tandingannya, kata Lauw Yu-hong. Sekali ini ia

    dapat terpukul jatuh ke dalam jurang oleh Pho-susiok, aku harap

    jiwanya melayang.

    Aku pun tak dapat menundukkan dia., kukira kalian jangan

    bergirang dahulu, dengan kepandaian silatnya itu belum tentu ia

    tewas terjatuh, kata Pho Djing-tju.

    Han Tji-pang mendengarkan percakapan itu dengan penuh

    perhatian, tiba-tiba ia menepuk tangan dan berkata, Aku jadi

    teringat pada seseorang yang mungkin dapat menundukkan si

    iblis ini.

    Siapakah dia? tanya Thong-bing Hwesio.

    Aku pun belum pernah kenal dia, aku hanya tahu ia dipanggil

    Thian-san-sin-bong Leng Bwe-hong, sahut Han Tji-pang.

  • Aneh sekali julukannya ini, kata Lauw Yu-hong.

    Ya, sebab di atas Thian-san ada tumbuh semacam tumbuhan

    berduri bong yang tajamnya luar biasa, benda inilah yang ia

    gunakan sebagai senjata rahasia, kata Han Tji-pang pula. Ia

    mempunyai ilmu pedang tinggi sekali, tindak-tanduknya tegas,

    oleh karena itu ia mendapatkan julukan itu. Malahan di daerah

    barat-daya sana, namanya sangat berpengaruh, sampai-sampai

    suku bangsa di Tibet, Mongol dan Sinkiang pun mengaguminya,

    rakyat penggembala dengan dia pun mempunyai hubungan

    yang baik, hanya ia selalu pergi datang sendirian, la

    menggabungkan diri dengan rakyat penggembala, untuk

    mencarinya tidaklah mudah. Sebelum aku datang di Soa-say

    sini, telah kuperintahkan beberapa saudara kita pergi mencari

    dia.

    Mendengar ada orang yang begitu hebat dan luar biasa, semua

    orang menjadi kagum dan heran sekali.

    Ilmu pedang orang ini begitu lihai, apakah dia ahli waris dari

    Hui-bing Siansu? Mengapa aku tidak pernah mendengarnya,

    tanya Pho Djing-tju.

    Entahlah, tapi ada juga yang menyebut dia Thian-san-kiam, itu

    disebabkan ia selalu pergi-datang di daerah sekitar Thian-san,

    tutur Han Tji-pang pula. Tentang Hui-bing Siansu, ia sudah

    beberapa puluh tahun tak pernah turun gunung, maka tidak

    pernah terdengar apakah ia telah menerima murid baru lagi

    Sementara tak usah pedulikan Thian-san-sin-bong apa segala,

    sebaiknya kita membicarakan hal-hal yang penting dulu, kata

    Lauw Yu-hong menepuk tangan pelahan untuk memutus

    percakapan orang. Pertama, mengenai Thio-kongcu yang telah

    terjebak di Ngo-tai-san, kalau tidak lekas ditolong keluar, itulah

    tidak enak terhadap ayahnya. Kedua, ialah To Tok yang datang

  • hari ini dengan membawa begitu banyak pasukan, tidak sesuai

    dengan tindakannya sehari-hari, di dalamnya tentu ada sesuatu

    yang tersembunyi. Setelah bangsa Boan memasuki Kwanlwe

    sampai kini sudah tiga puluh satu tahun. Di daerah tengah

    sudah aman dan tinggal Taiwan, Mongolia, Sinkiang dan Tibet

    yang belum masuk dalam petanya. Taiwan terpencil di luar

    lautan takkan banyak gunanya dalam pergerakan, tetapi daerah

    barat-laut dan sekitarnya, kalau suku-suku bangsa di sana bisa

    bersekutu melawan pemerintah Boan dan bekerja-sama dengan

    Taiwan, mungkin masih ada harapan. Aku mendengar kabar

    pemerintah Boan berniat menjajah ke barat-laut, kedatangan To

    Tok ini boleh jadi ada hubungannya dengan ini. Kita tidak bisa

    tidak harus menyelidikinya.

    Thio-kcngcu, siapakah dia? tanya Djing-tju tiba-tiba. Dia

    adalah anak Tayciangkun Thio Hong-gian almarhum, murid

    angkatan ketiga dari Tjong-lam-pay, sahut Lauw Yu-hong. Ia

    baru saja keluar pintu perguruan lantas terjebak di tangan

    musuh, tidak boleh tidak kita harus mencari daya upaya buat

    menolongnya.

    Thio Hong-gian adalah panglima perkasa yang melawan

    pemerintah Boan, juga panglima tertinggi dari seluruh pasukan

    Loh-ong dulu. Karena itu, semua orang menjadi bingung.

    Kalau para saudara tak mencerca diriku yang tua bangka Ini,

    malam ini biar aku bersama Boh-siocia pergi menyelidiki ke atas

    gunung! kata Pho Djing-tju sambil berdiri.

    Ilmu silat Pho Djing-tju sudah mencapai puncaknya, sudah tentu

    adalah pilihan yang paling cocok hanya semua orang belum

    mengetahui bagaimana dengan kepandaian Boh Wan-lian,

    maka seketika semua terdiam.

  • Lebih baik aku yang ikut pergi dengan Pho-cianpwe? seru

    Thong-Bing Hwesio tiba-tiba.

    Kepandaianku walaupun belum sempurna, tetapi kalau pergi

    bersama Pho-pepek, kukira tidak sampai terjadi apa-apa, kata

    Boh Wan-lian dengan tersenyum.

    Waktu itu kebetulan terdengar di luar ruangan ada berisik suara

    burung gagak

    Di atas pohon di luar sana ada seekor burung gagak, berisik

    suaranya membikin orang sebel, kata Pho Djing-tju tertawa.

    Wan-lian, coba kautangkap burung itu!

    Wan-lian menurut, ia berdiri, tiba-tiba ia pentang kedua

    tangannya dan tahu-tahu orangnya sudah berada di tengah

    pelataran, bahkan tanpa beraksi lagi, tubuhnya lurus menaik,

    dengan enteng ia meloncat ke pucuk pohon di luar itu, maka

    terdengarlah suara, Gaok!. Gagak itu baru saja hendak kabur

    sudah keburu disambar Boh Wan-lian yang lantas melompat

    turun kembali. Semua orang terpesona oleh kegesitan dan

    kecepatan si gadis.

    Ilmu mengentengkan tubuh sebagus ini, tentu saja dapat pergi!

    seru Thong-bing Hwesio sambil mengacungkan jempolnya. Dan

    semua orang tertawa.

    Malam itu, Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian telah bertukar

    pakaian berjalan malam, dalam keadaan gelap dan bintang

    suram mereka naik ke Ngo-tai-san dari jurusan utara.

    Ngo-tai-san adalah gunung tinggi yang tersohor, beberapa ribu

    pasukan pengawal yang To Tok bawa hanya dapat berjaga

    mengelilingi Djing-liang-si, dan tidak mungkin bisa merata di

    seluruh gunung. Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian dengan

  • kecepatan laksana burung terbang di malam yang gelap gulita

    merayap naik, tiada seorang pun yang dapat memergoki

    mereka.

    Dan sebelum sampai di tengah gunung, mendadak Pho Djing-tju

    berkata pada Boh Wan-lian dengan suara tertahan, Awas!

    Berbareng itu tubuhnya telah melayang jauh ke depan beberapa

    tombak, Boh Wan-lian pun segera menyusul. Tiba-tiba mereka

    melihat sesosok bayangan orang yang memakai kedok berada

    tidak jauh di depan, sekonyong-konyong orang ini pun berpaling

    kepada mereka.

    Dalam kegelapan Wan-lian dapat melihat yang memakai kedok

    itu adalah seorang gadis. Sepasang matanya yang tak tertutup

    kedok itu bersinar seperti bintang yang berkelap-kelip di langit

    yang gelap.

    Melihat Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian berdua dapat menyusul

    dirinya, gadis itu tersenyum, katanya, Kita masing-masing

    menempuh jalan sendiri saja! Lalu ia merangkap tangan

    memberi hormat dan segera berlari pergi pula melalui jalan yang

    lain.

    Suara gadis ini begitu dikenal, dan ketika Boh Wan-lian hendak

    mengejar lagi untuk melihat siapa sebenarnya orang ini, Pho

    Djing-tju keburu menariknya.

    Tak usah kejar dia, kata Pho Djing-tju, Ia adalah gadis

    berkedok sutra itu, Ie Lan-tju, tentu ia ada urusan lain, maka

    tidak bersedia jalan bersama kita.

    Mengapa tindakan gadis ini begitu aneh? pikir Boh Wan-lian

    diam-diam.

  • Maka cepat mereka melanjutkan perjalanan dengan

    menggunakan ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi, dalam

    sekejap mereka sudah sampai di depan Djing-liang-si. Waktu itu

    malam geiap gulita, lima buah pagoda tembaga mengitari Djing-

    liang-si, tiap pagoda, tingginya tiga belas tingkat, tiap tingkat di

    luarnya tergantung delapan belas pelita gelas, sehingga sekitar

    kelenteng itu tersorot terang. Barisan pengawal meronda kian

    kemari, menunjukkan penjagaan dilakukan ketat dan rapi sekali,

    ditambah di depan pagoda yang tengah, berbaris pula pasukan

    pemanah yang siap dengan anak panah terpasang di busurnya,

    suasana kelihatannya menjadi tegang sekali.

    Djing-tju dan Wan-lian mendekam di belakang batu besar,

    seketika tak punya akal bagaimana bisa masuk ke dalam.

    Tengah mereka berpikir, tiba-tiba angin menderu keras, batu

    pasir beterbangan, dan pada saat itu, tiga pelita di tingkat tiga

    pada pagoda tembaga yang sebelah kiri mendadak padam,

    dalam keadaan remang-remang ada sesosok bayangan orang

    berkelebat melayang naik. Pasukan pengawal mendadak

    berteriak, anak panah pun beterbangan seperti hujan. Dalam

    keributan itu, kembali menderu pula angin keras, tiga pelita di

    muka tingkat tiga pagoda yang tengah ikut padam juga.

    Melihat kesempatan baik itu, lekas Pho Djing-tju menarik Boh

    Wan-lian dan berseru tertahan, Lekas naik!

    Dalam keributan dan kegelapan itu mereka meloncat keluar,

    dengan enteng mereka melayang naik ke tingkat pertama

    pagoda yang tengah, yang merupakan pagoda induk, segera

    mereka merayap naik pula ke tingkat dua dan tiga, hanya

    sekejap saja mereka berdua sudah berada di atas pagoda.

    Malam ini ada jagoan berilmu tinggi dari kalangan persilatan

    yang datang, pelita tadi terang dipadamkan dengan timpukan

  • senjata rahasia sebangsa batu dengan menggunakan tenaga

    berat! demikian kata Pho Djing-tju pada Boh Wan-lian.

    Sementara itu, barisan pengawal di luar setelah ribut sebentar

    dan tak melihat ada orang, mereka sangsi mungkin burung

    malam yang telah melayang lewat, dan menduga pelita gelas itu

    padam oleh batu pasir yang terbawa angin keras tadi, mereka

    bahkan menyalakan obor terus berjaga lagi dan tidak mengusut

    lebih jauh.

    Di dalam pagoda induk itu tiap-tiap tingkat ternyata sangat luas,

    selain ruangan tengah yang besar, masih ada pula beberapa

    kamar. Setelah masuk ke dalam, segera Pho Djing-tju dan Boh

    Wan-lian pun memadamkan beberapa pelita yang ada di dalam

    dengan senjata rahasia mereka.

    Tidak lama kemudian, ada dua orang yang membawa lentera

    sedang mendatangi sambil sepanjang jalan mereka te-rus

    menggerundel, Malam ini mengapa angin begini ken-cang,

    pelita gelas di luar sirap, malahan yang di dalam pun tertiup

    padam juga, betul-betul ajaib!

    Djing-tju dan Wan-lian tidak ayal lagi, sekali lompat, bagaikan

    kilat mereka sudah berada di depan kedua orang itu, sekali jari

    menotok, berteriak saja belum kedua orang itu su-dah tertotok

    urat nadi gagu mereka.

    Setelah kedua orang itu dibikin tak berdaya, segera mereka

    diseret keluar serambi pagoda di bawah pelita yang menyorot

    dari tingkat empat. Djing-tju segera memeriksa orang, hampir

    saja ia berseru heran setelah jelas melihatnya.

    Kedua tawanan ini ternyata bukan serdadu pengawal, juga

    bukan orang biasa, dari dandanan mereka terlihat jelas adalah

    dua orang Thaykam atau orang kebiri, dayang kerajaan.

  • Pho Djing-tju masih kurang percaya, ia sengaja mengulur

    tangannya dan merogoh ke bagian bawah orang.

    Ya, tidak salah lagi! katanya.

    Melihat perbuatan sang paman, Boh Wan-lian memalingkan

    muka ke jurusan lain karena malunya. Mendadak Djing-tju sadar

    bahwa Boh Wan-lian adalah seorang gadis, ia menjadi jengah.

    Waktu mengulur tangan lagi, ia melepaskan totokan kedua

    orang tadi, lalu ia cengkeram mereka dan bertanya, Lekas

    jawab, apakah Hongsiang telah datang? Di mana dia sekarang?

    Jika berani berdusta, segera kudorong kau ke bawah pagoda!

    Pagoda tembaga itu tingginya berpuluh meter, dan karena

    ancaman itu, kedua orang Thaykam itu menjadi ketakutan.

    Hongsiang Hongsiang berada di tingkat enam, demikian sahut

    mereka dengan tak lancar.

    Segera Pho Djing-tju menggusur kedua Thaykam itu ke dalam

    pagoda lagi dan bersama Boh Wan-lian meloncat ke atas,

    beruntun mereka melewati tingkat empat dan lima.

    Sesampainya di luar tingkat enam, mereka mengintip ke dalam,

    betul saja terlihat ada beberapa Thaykam lain sedang

    mengantuk, di tengah ruangan ada satu tempat tidur besar yang

    tertutup kelambu sutra kuning.

    Yang tidur di dalam kelambu itu tentunya adalah Kaisar,

    demikian pikir mereka berdua.

    Maka Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian menyerbu ke dalam.

    Thaykam yang ada di dalam menjadi ribut, tetapi dengan cepat

    Boh Wan-lian telah menyingkap kelambu terus menjambret. Tak

    terduga, orang dalam kelambu itu ternyata tidak lemah, sekali

    badan membalik, dengan cepat orangnya sudah melompat

  • bangun, sebuah belati mengkilap tahu-tahu malah menusuk ke

    hulu hati Boh Wan-lian. Namun Wan-lian cukup cepat dan gesit,

    waktu tangannya membalik, ia dapat menahan tusukan orang itu

    yang hanya tinggal beberapa dim dari tubuhnya.

    Ilmu silat orang itu ternyata tidak rendah, tiba-tiba tangannya

    ditarik ke bawah, walaupun belatinya terlepas, tetapi tangannya

    juga lepas dari cekalan musuh, menyusul dengan cepat telapak

    tangan kirinya memukul ke iga kiri Boh Wan-lian. Lekas Wan-

    lian menangkis, ia menjadi terdesak mundur beberapa tindak.

    Orang itu menggeram kalap, segera ia menubruk maju. Tetapi ia

    lupa bahwa masih ada Pho Djing-tju. Secepat kilat orang tua ini

    memburu maju, begitu tangannya bergerak, ia tempeleng orang

    beberapa kali.

    Ketika orang itu bermaksud balas menghantam, namun Pho

    Djing-tju tak memberi kesempatan padanya, sekali cekal,

    dengan gerakan Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara memegang dan

    menangkap, tahu-tahu pergelangan tangannya telah terpegang

    erat-erat terus dipencet, keruan orang itu menjadi lemas dan tak

    berkutik lagi.

    Kiranya Djing-tju tahu, waktu Kaisar Khong-hi naik takhta

    umurnya tidak lebih belasan tahun, dan kini paling banyak pun

    baru berwujud pemuda dua puluhan tahun, padahal orang ini

    sudah setengah umur.

    Maka dengan pandangan mata tajam segera Djing-tju

    mengancam para Thaykam yang berada di situ untuk mengaku

    di-mana Kaisar Khong-hi berada.

    Dalam takutnya karena ancaman itu, semua Thaykam menatap

    seorang Thaykam tua yang rupanya menjadi pemimpin mereka.

  • Segera Thaykam tua itu didekati Pho Djing-tju, tiba-tiba ia sodok

    pelahan punggung dayang kebiri itu hingga ia merasa kesakitan

    yang meresap tulang. Thaykam itu merintih kesakitan dan

    berulang berteriak, Baiklah, akan kukatakan!

    Kaisar tidak berada di kamar ini, demikian ia memulai, rupanya

    dayang ini adalah dayang pribadi sang maharaja. Betul ia tadi

    tinggal di tingkat ini, tetapi di bawah pagoda ini terdapat jalan

    bawah tanah yang menembus ke kamar Hwesio tua, Hwesio

    pengawas kelenteng Djing-liang-si ini, maka sejak tadi ia sudah

    pergi menemui Hwesio itu melalui jalan itu.

    Dan siapa dia? tanya Djing-tju sambil menuding orang yang

    tiduran di dalam kelambu tadi.

    Dia hanya seorang padulu dari kerajaan, sahut Thaykam tua

    itu.

    Padulu adalah gelar kebesaran pemerintah Boan yang berarti

    perwira.

    Baiklah, sekarang kau boleh pilih, jika kau masih ingin hidup,

    maka semua harus menurut apa yang kuperintahkan, kata

    Djing-tju kemudian sesudah berpikir sejenak.

    Lekas Thaykam tua itu mengangguk tanda tunduk. Meski padulu

    itu bermaksud membangkang, namun di bawah cengkeraman

    Djing-tju, ia paham kalau tidak menyerah, sekalipun jiwanya

    diampuni