tinjauan_pustaka
DESCRIPTION
TINJAUAN_PUSTAKATINJAUAN_PUSTAKATINJAUAN_PUSTAKATINJAUAN_PUSTAKATRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Dasar Teori
Limnologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat air tawar, termasuk di
dalamnya sifat-sifat biologi, fisik dan kimianya. Sifat-sifat biologi terdiri dari kepadatan
plankton, sifat fisik terdiri dari suhu, warna, aroma, kecerahan dan kekeruhan,
sedangkan sifat kimia terdiri dari pH, oksigen terlarut, salinitas dan konduktifitas
(Lukman, 2010).
Perairan darat ialah semua badan air di daratan seperti sungai, danau, rawa
estuaria, reservoir, saluran dan genangan air. Komponen biotik perairan adalah semua
biota aquatic baik mikro maupun makro seperti bakteri, plankton, benthos, nekton serta
tumbuhan air payau. Komponen abiotik terdiri dari habitat badan air termasuk sedimen.
Komposisi fisika dan kimia dan proses transfer interaksi dengan lingkungan
sekelilingnya yaitu kondisi geologi, hidrologi, iklim dan perubahan antropogen dalam
badan air (Irianto, 2008).
Kecerahan merupakan daya tembus sinar matahari ke dalam perairan. Daya
tembus atau transpirasi ini dapat diamati secara langsung dengan menggunakan alat
bantu berupa piringan berwarna hitam dan putih. Alat yang dimaksud adalah Secchidisc.
Pengukuran kecerahan ini berfungsi untuk menduga jumlah kepadatan plankton pada
perairan.
Peningkatan suhu perairan dapat menyebabkan peningkatan kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya meningkatkan peningkatan
konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0C menyebabkan terjadinya
konsumsi oksigen oleh organisme aquatik sekitar 2-3 kali lipat. Selain itu peningkatan
1
suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh
mikroba.
Semakin banyak dan beranekaragamnya jenis plankton atau semakin tinggi
kepadatan plankton pada suatu parairan maka akan semakin banyak jenis dan jumlah
ikan yang terdapat pada perairan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan plankton
merupakan parameter penduga kualitas perairan dan penentu daerah fishing ground
(daerah tangkap). Selain itu, keberadaan plankton juga mempengaruhi warna pada
perairan, yang berasal dari daya penetrasi sinar matahari. Perairan yang berwarna di
permukaannya namun setelah diambil menjadi tidak berwarna maka perairan tersebut
banyak mengandung plankton dan disebut sebagai warna tampak.
Perhitungna kepadatan plankton pada suatu perairan berfungsi untuk mengetahui
keberadaan plankton di perairan tersebut. Keberadaan fitoplankton dalam ekosistem
perairan terutam perairan tawar dapat menunjang kelangsungan hidup organisme
lainnya. Namun apabila nilai kelimpahan plankton yang terlau tinggi akan membawa
dampak negatif.
Keberadaan benthos pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
lingkungan, baik biotic maupun abiotik. Factor biotik yang berpengaruh diantaranya
adalah produsen (fitoplankton) yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan
benthos. Adapun factor abiotiknya adalah parameter fisika dan kimia air diantaranya
DO, suhu, pH, arus, kebutuhan oksigen (BOD) dan kimia (COD) serta kandungan
Nitrogen (N) kedalaman air dan substarat dasar (Zaenal, 1992).
2
B. Tujuan
1. Mengetahui parameter fisika, kimia, dan biologi di perairan Rawa Bendungan
Tritih Cilacap.
2. Mengetahui kualitas air di perairan Rawa Bendungan Tritih Cilacap.
3
II. ISI
A. Hasil
4
B. Pembahasan
Rawa adalah lahan darat yang tergenang secara periodik atau terus menerus secara
alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat. Meskipun dalam keadaan
tergenang lahan ini tetap ditumbuhi oleh tubuhan. Lahan ini dapat dibedakan dari danau,
karena danau tergenang sepanjang tahun, genangannya lebig dalam, dan tidak ditumbuhi
oleh tanaman kecuali tumbuhan air. Genangan lahan rawa dapat disebabkan oleh
pasangnya air laut, genangan air hujan, atau luapan air sungai. Berdasarkan penyebab
genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa pasang surut, rawa lebak, dan
rawa peralihan.
Praktikum limnologi dilakukan di perairan Rawa Bendungan tritih kecamatan
Cilacap Utara. Latitude S 17° S 39800 dan 109° B 36540 dengan akurasi 10.79 m
beralamat di kesugihan. Perairan rawa bendungan ini dimanfaatkan sebagai tempat
pemancingan. Selan itu, disekitar peairan rawa bendungan ini dimanfaatkan sebagai
areal pertanian dan rumah penduduk.
Parameter fisik perairan dapat meliputi temperature, kedalaman, penetrasi cahaya,
Total Suspended Solid (TSS) dan Total Dissolve Solid (TDS). Parameter fisik sangat
berpengaruh pada kualitas air disuatu perairan. Selain parameter fisik terdapat pula
parameter kimia dan parameter biologi. Parameter kimia dalam suatu perairan juga
mempengaruhi kualitas air. Parameter kimia dapat dilihat melaui, Oksigen terlarut (DO),
Biological Oxygen Demand (BOD), CO2 bebas, Daya Menggabung Asam (DMA),
Chemical Oxygen Demand (COD), Nitrat dan Orthofosfat . Parameter biologi dapat
dilihat berdasarkan organisme yang hidup pada daerah perairan seperti kelimpahan
plankton, periphyton dan benthos (Odum,1971).
5
A. Parameter Fisik Perairan
Temperatur merupakan faktor penting dalam lingkungan perairan, karena
temperatur mempunyai pengaruh universal dan sering menjadi faktor pembatas dalam
suatu pertumbuhan serta sangat erat kaitannya dengan distribusi organisme akuatik,
karena sering kali organisme kurang mentolerir perubahan temperatur yang terjadi. Suhu
dalam air kurang bervariasi dibandingkan dengan suhu udara, tetapi merupakan faktor
pembatas yang utama karena organisme akuatik memiliki toleransi yang kecil terhadap
suhu (Odum, 1971). Pola suhu dalam suatu ekosistem perairan dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti ketinggian dari permukaan laut, musim, masa, naungan, waktu,
pengukuran, kedalaman air dan kegiatan manusia disekitar perairan (Sumawidjaja,
1975). Proses–proses metabolisme yang berlangsung di dalam tubuh suatu organisme
juga dipengaruhi oleh temperatur.
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
5
10
15
20
25
30
35
Suhu airSuhu udara
Diagram 1. Temperature (Celcius)
Hasil dari pengukuran suhu air di Rawa Bendungan Tritih dari stasiun 1 sampai
dengan stasiun 7 berkisar antara 240C – 32,50C sedangkan hasil pengukuran suhu udara
berkisar dari 27,750C - 330C. Hal ini masih menunjukan bahwa Rawa Bendungan Tritih
6
memiliki temperature yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Boyd (1986),
kisaran temperatur yang baik untuk usaha budidaya ikan adalah 25 0C–350C. Kisaran
suhu yang baik untuk perkembangan plankton adalah 20o-30o C. Suhu juga berperan
dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme aquatik memiliki kisaran
suhu tertentu (batas bawah dan batas atas) yang disukai bagi pertumbuhannya misalnya
alga dari phylum Chlorophyta dan Diatom akan tumbuh baik pada kisaran suhu berurut
– turut 30o – 35 oC dan 20o-30 o C. Phylum Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap
kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan keduanya (Effendi, 2003). Rawa
Bendungan Tritih Cilacap termasuk ke dalam kelas II, menurut PP no 82 tahun 2001
nilai baku mutu untuk temperatur sebesar deviasi 3.
Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi fitoplankton untuk
melaksanakan fotosintesis karena cahaya matahari memberikan energi kinetik, sehingga
jika tidak ada cahaya matahari, maka fotosintesis tidak berlangsung. Penetrasi cahaya
memang dipengaruhi oleh keberadaan tumbuhan air (Effendi,2003). Penetrasi cahaya
dipengaruhi oleh kedalaman suatu perairan sehingga semakin dalam perairan intensitas
cahaya yang masuk semakin berkurang. Keadaan tersebut akan mengurangi
pertumbuhan plankton sebagai pakan alami ikan, karena cahaya matahari merupakan
sumber energi plankton untuk melakukan proses fotosintesis. Oleh karena itu, penetrasi
cahaya dapat menjadi tolak ukur kesuburan perairan (Wardoyo, 1982). Kedalaman
merupakan salah satu faktor yang turut serta menentukan komposisi biota. Semakin
dalam suatu perairan, maka akan semakin kecil cahaya yang masuk, sehingga akan
menyebabkan proses fotosintesis menjadi terhambat. Kedalaman air yang baik untuk
kolam budidaya berkisar 70-100 cm (Welch, 1952).
7
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
0.5
1
1.5
2
2.5
Penetrasi cahaya (Meter)Kedalaman (Meter)
Diagram 2. Penetrasi Cahaya (M) dan Kedalaman (M)
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh nilai penetrasi cahaya di Rawa Bendungan
Tritih Cilcap berkisar dari 0.165 meter - 49.98375 meter. Setiap stasiun menunjukan
penetrasi cahaya yang berbeda tergantung pada kedalaman. Berdasarkan pustaka
penetrasi yang baik ditunjukan pada Stasiun 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Kedalam yang didapat
dri hasil pengukuran pada praktikum tidak menunjukan bahwa tempat tersebut baik
untuk usaha budidaya ikan. Hal yang memungkinkan terjadi pada praktikum adalah saat
pengambilan data kedalaman kurang benar sehingga tidak didapatkan data yang baik,
karena di lokasi praktikum menunjukan bawa tempat trsenut sangat baik untuk budidaya
ikan tetapi dari hasil kedalaman tidak sesuai. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut
Gufran (2005) mengatakan bahwa penetrasi cahaya yang baik bagi usaha budidaya ikan
lebih besar dari 30 cm yang diukur menggunakan keping secchi dan kedalaman yang
ideal untuk kolam-kolam pemeliharaan ikan adalah 60 – 150 cm.
Semakin dalam dasar kolam permukaan air di kolam tersebut, maka semakin luas
ruang gerak ikan. Salah satu pertimbangan dalam menentukan kedalaman suatu kolam,
8
yaitu kemampuan sinar matahari untuk menembus ke dasar kolam (Susanto, 1988).
Penetrasi cahaya akan menembus sempurna dengan kedalaman perairan 0,25-100 m
(Welch, 1952). Menurut Wardoyo (1982), kondisi perairan berdasarkan nilai transparasi
(penetrasi cahaya) perairan keruh (0,25-1,0 m); perairan sedikit keruh (1,0-5,0 m); dan
perairan jernih (>5 m).
Total Suspended Solid atau TSS adalah bahan-bahan tersuspensi yang tertahan di
milimeter pore dengan diameter pori 0.45 mikrometer. TSS terdiri dari lumpur, pasir
halus dan jasad renik yang disebabkan oleh kikisan tanah yang terbawa ke badan air.
Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung. Pengaruh langsung, yaitu mengganggu proses respirasi
organisme perairan, sedangkan pengaruh tidak langsung akan meningkatkan kekeruhan
perairan dan menurunkan produktivitas primer perairan (Wardoyo, 1982).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
50
100
150
200
250
300
TSS (mg/l)
Diagram 3. Total Suspended Solid (TSS)
Total Suspended Solid (TSS) dari hasil praktikum menunjukkan hasil bekisar
antara 6 mg/l – 257 mg/l. Hal ini menunjukan bahwa Rawa Bendungan Tritih memiliki
kualitas air yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Pascod (1973) bahwa
kandungan padatan tersuspensi dalam perairan tidak boleh lebih dari 1000 mg/l.
9
Menurut PP no 82 tahun 2001 nilai baku mutu untuk TSS paling besar adalah 400 mg/l.
Hal ini menunjukan bahwa Rawa Bendungan Tritih Cilacap pada semua stasiun
memenuhi standar baku mutu air untuk semua golongan.
Total Dissolve Solid (TDS) adalah bahan-bahan terlarut atau koloid yang tidak
tersaring pada kertas saring. TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik berupa ion
yang biasa terkandung dalam perairan. Konsentrasi TDS di dalam perairan sangat
bervariasi karena adanya nilai kelarutan mineral yang berbeda dalam suatu daerah
geologi. Konsentrasi TDS dalam air berikatan dengan granit, pasir silika, dan bahan
yang tidak terlarut lainnya. Konsentrasi TDS dalam air berikatan dengan granit, pasir
silika, dan bahan yang tidak terlarut lainnya (Wardoyo, 1982).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
50
100
150
200
250
300
TDS (mg/l)
Diagram 4. Total Dissolve Solid (TDS)
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan nilai TDS di Rawa Bendungan Tritih
Cilacap berkisar antara 190 mg/l - 278.8 mg/l. Hal ini menunjukan bahwa Rawa
Bendungan Tritih Cilacap memiliki kualitas air yang yang baik hal ini sesuai dengan PP
no 82 tahun 2001 nilai baku mutu untuk TDS sebesar 1000 mg/l – 2000 mg/l. Baku
mutu air Tahun 2001 menetapkan bahwa kadar maksimum TDS yang diperbolehkan
10
dalam penggunaan air golongan II adalah 1000 mg/l (Siradz et al., 2008 dalam Effendi
(2003)).
B. Parameter Kimia Perairan
Derajat keasaman (pH = potential of hydrogen) adalah logaritma negatif dari
kepekaan ion-ion H+ yang terlepas dalam suatu larutan. Nilai pH dalam perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktivitas biologi dan fotosintesis, suhu, O2
terlarut, alkalinitas, serta adanya anion dan kation (Ryadi, 1981). Nilai pH berkaitan erat
dengan karbondioksida. Semakin tinggi nilai pH, semakin rendah nilai keasaman dan
semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan asam (pH rendah) bersifat korosif.
pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amoniak yang dapat
terionisasi banyak ditemukan di perairan dengan pH rendah. Biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH. Standar baku untuk kehidupan biota akuatik adalah dengan nilai
pH sekitar 7-8.5. Nilai pH sangat mempengaruhi biota perairan (Mackereth et al, 1989
dalam Effendi (2003)).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 76.2
6.3
6.4
6.5
6.6
6.7
6.8
6.9
7
7.1
pH
Diagram 5. pH
11
Pengukuran derajat keasaman (pH) dilakukan dengan menggunakan kertas pH
Universal. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan pada stasiun 1 hingga 7
diperoleh nilai pH air Rawa Bendungan Tritih Cilacap berkisar 6,5-7. Hasil pengukuran
pH menunjukan nilai yang normal atau masih dalam baku mutu air untuk perikanan,
yakni berdasar PP No.82 Tahun 2002 baku mutu pH untuk perairan kelas 1-3 adalah
berkisar 6-9 dan kelas 4 berkisar 5-9.
Achjar (1986) menyatakan bahwa nilai pH berubah sepanjang hari akibat proses
fotosintesis tumbuhan air yang menurunkan CO2 pada siang hari sehingga
mengakibatkan pH meningkat. Nilai pH yang terdapat dalam perairan dapat
menggambarkan tingkat produktivitas perairan yaitu pH 5,5-6,5 menunjukkan bahwa
perairan tersebut tidak produktif; pH 6,5-7 menunjukkan bahwa perairan tersebut dapat
dikatakan produktif; dan pH 7,5-8,5 menunjukkan bahwa perairan tersebut sangat
produktif. Alga anggota Cyanobakteria biasanya lebih toleran terhadap pH netral samapi
dengan basa (Sachlan, 1982). Aktivitas fotosintetik yang tinggi akan menghasilkan ion
bikarbonat (HCO3-) lebih banyak dan konsekuensinya adalah meningkatnya nilai pH.
Kegiatan fikasi N sangat tergantung pada keberadaan mikroorganisme. Kinerja
mikroorganisme sangat tergantung pada nilai pH dan suhu (Wetzel, 1992).
Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen utama bagi organisme-
organisme air (Tim Survei Ekologi Perikanan IPB, 1977). Soeseno (1974) menyatakan
pula bahwa kandungan oksigen terlarut dalam perairan, selain berguna untuk keperluan
respirasi juga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas perairan. Kehidupan yang
layak bagi organisme perairan khususnya ikan adalah perairan yang mempunyai
kandungan oksigen terlarut tidak lebih dari 12 mg/L (Wardoyo, 1982). Soeseno (1974)
menyebutkan bahwa perairan yang mengandung oksigen terlarut 5 mg/L pada suhu 20-
12
300C cukup baik untuk kehidupan ikan dan akan mencapai kejenuhan apabila kandungan
oksigen sudah mencapai 7-9 mg/L.
Distribusi oksigen terlarut dalam perairan dangkal dipengaruhi oleh produksi dan
konsumsi oksigen, serta adanya proses pengadukan masa air oleh pengaruh turunnya
hujan. Tingkat keberhasilan hidup suatu hewan akuatik dipengaruhi oleh debit aliran air,
kandungan DO pada sedimen dan temperatur air. Tingginya kandungan oksigen terlarut
(DO) dipermukaan perairan berkaitan dengan aktifitas fotosintesis oleh fitoplankton,
sedangkan rendahnya kandungan DO pada lapisan dibawahnya dengan proses
penguraian bahan oraginik dari sisa – sisa hewan dan tumbuhan yang tenggelam ke
dasar perairan (Furhan,et.al, 2006).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
1
2
3
4
5
6
7
8
DO (mg/l)
Diagram 6. Oksigen Terlarut (DO) mg/l
Kandungan oksigen terlarut di Rawa Bendungan Tritih Cilacap berdasarkan hasil
praktikum berkisar antara 2,74 mg/l – 7,4 mg/l. Hal ini menunjukan bahwa kandungan
oksigen cukup baik pada beberapa stasiun tetapi kurang baik untuk beberapa stasiun,
dikarenakan pada stasiun 5 kandungan oksigen terarutnya cukup rendah hanya 2,74
mg/l, sedangkan untuk stasiun yang masih cukup baik ditunjukan oleh stasiun 1, 4, 6, 7.
13
Stasiun yang paling baik kadar oksigen terlarutnya ditunjukan oleh stasiun 7 yaitu5 mg/l
hal ini sesuai dengan pernyataan Cholik et al. (1986) kadar optimum oksigen untuk
pertumbuhan organisme perairan harus lebih besar dari 5 mg/L. Stasiun 2 menunjukan
bahwa kandungan oksigen terlarutnya sudah pada titik jenuh hal ini sesuai pernyataan
Soeseno (1974) perairan akan mencapai kejenuhan apabila kandungan oksigen sudah
mencapai 7-9 mg/L. Menurut PP no 82 tahun 2001 nilai baku mutu untuk oksigen
terlarut (DO) sebesar 4 mg/l.
Daya Menggabung Asam (DMA) dapat disebut sebagai nilai alkalinitas suatu
perairan yang menunjukkan kapasitas penyangga perairan dan dapat digunakan sebagai
parameter untuk menduga kesuburannya (Wardoyo, 1982). DMA adalah kapasitas air
untuk menerima proton, sama dengan larutan buffer. Besar kecilnya nilai DMA suatu
perairan dapat menunjukkan kapasitas penyangga dan tingkat kesuburannya (Siregar,
2000).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
50
100
150
200
250
DMA (mg/l)
Diagram 7. Daya Menggabung Asam (DMA) mg/l
Berdasarkan hasil praktikum nilai DMA yang diperoleh bervariasi berkisar mulai
dari 0-215,71 mg/l. Hasil jika dibandingkan dengan pustaka yang ada menunjukan
14
bahwa perairan kurang baik. Menurut Soeseno (1974), daya menggabung asam dapat
digunakan untuk menentukan baik buruknya perairan sebagai lingkungan hidup, yaitu
berkisar antara 2 – 2,5 mg/L. Apabila daya penggabung asam terlalu rendah, maka
perairan itu kurang baik daya penyangganya (soft water). Sebaliknya apabila daya
menggabung asamnya tinggi maka daya produksinya secara hayati (biogenic capacity)
cukup besar.
Karbondioksida dalam air berada dalam bentuk karbonat dan dalam bentuk bebas.
Karbondioksida dalam bentuk peralihan kedua bentuk itu, disebut karbon dioksida
agresif. Karbondioksida yang mula-mula digunakan oleh tetumbuhan untuk asimilasi
ialah karbondioksida bebas. Jika karbondioksida dalam bentuk bebas habis, maka
digunakan karbondioksida yang terlarut, yang berupa garam-garam bikarbonat yang
mudah larut dalam air. Kepekatan oksigen terlarut dalam air tergantung pada kepekatan
karbondioksida (Effendi, 2007). Karbondioksida dihasilkan melalui proses respirasi
tumbuhan dalam air, dan hasil metabolisme. Karbondioksida yang masuk ke dalam air
dari atmosfer merupakan faktor pembatas dalam proses fotosintesis serta proses
perombakan bahan organik dalam perairan (Saeni, 1989).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
2
4
6
8
10
12
CO2 bebas (mg/l)
Diagram 8. CO2 bebas (mg/l)
15
Kandungan CO2 bebas pada Rawa Bendungan Tritih berkisar antara 3.445-8.91
mg/l. Hal ini menunjukan bahwa kondisi perairan masih baik. Menurut Pescod (1973),
karbondioksida bebas dalam suatu perairan berkisar < 12 mg/L dan apabila CO2 bebas
ini telah habis dalam perairan, maka yang digunakan oleh organisme nabati adalah CO2
terikat.
Nilai BOD (Biological Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang
diukur pada temperatur 200C. Proses oksidasi secara biologis dibutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingan dengan proses senyawa kimia. Proses biokimia terhadap bahan
organik di dalam air berlangsung dengan dua tahap, yaitu dengan penguraian karbon dan
dilanjutkan dengan penguraian biokimia dari bahan organik. Pengukuran BOD
berdasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik,
yaitu senyawa yang dapat diuraikan secara biologis seperti senyawa dalam limbah
rumah tangga (Theriault, 1927 dalam Barus (2002)). Jumlah senyawa yang telah
diuraikan selama 5 hari akan mencapai kurang lebih 70%, maka BOD dilakukan
pengukuran selama 5 hari.
16
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
2
4
6
8
10
12
14
BOD (mg/l)
Diagram 9. BOD (Biological Oxygen Demand) mg/l
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan nilai BOD yang berkisar antara 0,85 –
11,1 mg/l. Hal ini menunjukan bahwa perairan masih baik menurut PP No 82 tahun
2001 nilai baku mutu untuk BOD berkisar mulai 2-12 sesuai dengan kelasnya . Nilai
BOD untuk Rawa Bendungan Tritih Cilacap menurut kelas 2 yaitu 3 mg/l. Nilai BOD
yang tinggi dalam perairan akan menyebabkan defisit oksigen sehingga mengganggu
kehidupan organisme perairan, dan pada akhirnya menyebabkan kematian. Perairan
yang masih baik untuk organisme perairan mempunyai nilai BOD < 3 mg/L (Lee et al.,
1978).
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi secara kimiawi bahan-bahan organik baik yang bisa didegradasi secara
biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non
biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Kandungan COD di perairan dipengaruhi oleh
curah hujan dan banyaknya bahan pencemar (polutan) yang masuk ke badan perairan
(Boyd, 1988).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
50
100
150
200
250
COD (mg/l)
Diagram 10. Chemical Oxygen Demand (COD) mg/l
17
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan nilai COD berkisar dari 16 mg/l – 208
mg/l. Hal ini menunjukan bahwa perairan kurang baik. Hal ini sesuai PP no 82 tahun
2001 nilai baku mutu untuk COD berkisar dari 10 - 100 mg/l untuk semua kelas. Rawa
Bendungan Tritih yang dimasukan kedalam kelas 2 memiliki nilai COD yang kurang
baik, karena nilai baku mutu untuk kelas 2 adalah 25 mg/l.
Nitrat (NO3-N) merupakan bentuk nitrogen utama bagi pertumbuhan tumbuhan di
perairan alami. Nitrat bersifat mudah larut dan bersifat stabil, yang dihasilkan dari
proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Bakteri yang berperan dalam
proses nitrifikasi sebagai produk nitrat adalah Nitrosomonas sp dan Nitrosobacter sp.
Kedua jenis bakteri tersebut adalah bakteri khemotrofik (bakteri yang mendapatkan
energi dari proses kimiawi). Nitrat bersama-sama dengan sinar matahari dan temperatur
mengontrol kelimpahan fitoplankton. Umumnya nitrat pada lapisan permukaan berkadar
rendah, karena permukaan perairan mendapat penyinaran matahari yang penuh sehingga
metabolisme fitoplankton berlangsung cepat. Nitrit (NO2-N) merupakan bentuk nitrogen
dari tingkat oksidasinya (+3) dan relatif tidak stabil dalam perairan. Nitrit merupakan
bentuk peralihan (intermediate) antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat
dan gas N (denitrifikasi). Nitrit umumnya hanya dapat dideteksi dalam jumlah kecil di
perairan karena merupakan senyawa yang tidak stabil dan dapat langsung berubah
menjadi nitrat atau tergantung aktivitas mikroorganisme (Odum, 1971).
18
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
Nitrat (mg/l)
Diagram 11. Nitrat mg/l
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan nilai nitrat pada perairan sangat rendah
yaitu berkisar antara 0,7 – 1,82 mg/l. Menurut PP no 82 tahun 2001 nilai baku mutu
untuk nitrat berkisar 10 mg/l – 20 mg/l sesuai dengan kelasnya. Rendahnya nilai nitrat
diperairan ini menunjukan kualitas air kurang baik. Berdasarkan kelasnya seharusnya
nilai nitrat diperairan kelas 2 adalah 10 mg/l.
Fosfor merupakan unsur penting dalam suatu ekosistem perairan, seperti halnya
nitrogen. Zat-zat organik terutama protein mengandung gugus fosfor, misalnya ATP,
yang terdapat di dalam sel makhluk hidup dan berperan penting dalam penyediaan
energi. Ekosistem fosfor terdapat dalam tiga bentuk senyawa yaitu senyawa fosfor
anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai senyawa
organic terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisme (Barus, 2002).
Menurut Goldman dan Horne (1983), bentuk anorganik fosfat sebagian besar adalah
ortofosfat (PO4-) dan sebagian lagi bentuk monofosfat (HPO4
-) dan dihydrogen fosfat
(H2PO4-).
19
Senyawa fosfat di dalam air akan terhidrolisis menjadi ortofosfat, yang
merupakan bentuk aktif dari fosfat. Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus
mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan
sebagai sumber fosfor. Kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih
dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan
industry tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat, oleh
karena itu perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tingi melebihi kebutuhan
normal organism akuatik alam akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Masduqi, 2004
dalam Effendi (2003)).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 70
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
Orthofosfat (mg/l)
Diagram 12. Orthofosfat mg/l
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil nilai othofosfat di Rawa Bendungan
Tritih Cilacap 0,006 mg/l – 0,072 mg/l. Hal ini menunjukan bahwa kondisi perairan
masih baik. Hal ini sesuai dengan PP no 82 tahun 2001 nilai baku mutu untuk fosfat
kelas 2 sebesar 0.2 mg/l. Menurut Wardoyo (1982) hanya unsur fosfat dalam bentuk
orthofosfat terlarut dalam air dan asam lemak yang dapat diserap oleh organisme nabati
20
(mikro dan makrofita). Kisaran fosfat dalam perairan yang mendukung pertumbuhan
organisme adalah < 0,023 mg/l. Menurut Wetzel (1975) nilai ortofosfat 0,031 – 0,100
mg/l menunjukan perairan yang subur/eutrofik. Kondisi seperti ini disebabkan karena
tingginya masukan materi organik total dan kondisi anaerob di dasar perairan yang
menyebabkan terjadinya perombakan bahan oleh bakteri dan pelepasan fosfor dari
sedimen ke perairan. Menurut Alifia,dkk (2003) bila kadar fosfat pada air alam sangat
rendah (< 0,01 mg/l) pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang keadaan ini
dinamakan oligotrop, bila kadar fosfat serta nutriet tinggi pertumbuhan tanaman dan
ganggang tidak terbatas lagi (keadaan Eutrop), sehingga tanaman tersebut dapat
menghabiskan oksigen dalam sungai atau kolam pada malam hari atau bila tanaman
tersebut mati dan dalam keadaansedang dicerna (digesti). Pelepasan dan pengikatan
orthofosfat dari dan ke sedimen sangat dipengaruhi oleh oksigen terlarut (DO). Bila
kandungan DO diperairan sangat rendah (mendekati anoksik) maka orthofosfat dari
permukaan sedimen akan terlepas ke kolom perairan diatasnya. Tingginya populasi
makroavertebrata dari jenis scaper biasanya dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi
nutrient seperti nitrat dan ortohofosfat.
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah termometer Celcius, deep
sounder, secchi disk, meteran, alat refluks (Erlenmeyer COD 250 ml dan kondensor
Liebig), Pembakar listrik, vacum filter, penampung, oven, desikator kabinet, vacum
pump, cawan penguapan, penangas air, tabung nessler, pinset, furnace, timbangan
analitik, botol winkler 250 ml, Erlenmeyer 250 ml, gelas ukur 100 ml, biuret dan statif,
corong biuret, pipet seukuran 1 ml, pipet tetes, spektrofotometer, gelas ukur 50 ml,
plankton net no.25, ember 10 l , ekman grab, cutter, botol sampel 2 buah, saringan atau
mess, botol film 25 ml, object glass, cover glass, mikroskop binokuler.
21
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kertas Whatman no.41, kertas
pH universal (0-14), air sampel yang telah dsaring dengan kertas Whatman no.41,
akuades, MnSO4, KOH-KI, Na2S2O3 0,025 N, H2SO4 pekat, indikator amilum, akuades,
Na2CO3 0,01 N, indikator Phenolpthalein (pp), HCl 0,1 N, indikator Methyle Orange
(MO), ZnSO4, NaOH, Reagen campuran, K2Cr2O7 0,025 N, Ag2SO4, H2S04, FAS (Fero
Amonium Sulfat) 0,1 N, Indikator femantrolin fero sulfat (feroin), sampel air, formalin
40%, asam fenol disulfonik, air suling, NH4OH, lugol dan kertas label.
Alat yang digunakan untuk mengukur suhu perairan adalah termometer Hg yang
berfungsi sebagai pengukur suhu satu perairan dengan satuan 0°C. Alat untuk mengukur
penetrasi cahaya adalah Secchi disk. Alat-alat yang digunakan untuk mengukur DO
yaitu botol Winkler gelap sebagai tempat air sampel yang akan diukur kandungan DO-
nya, pipet tetes 1 ml untuk mengambil larutan dalam jumlah sedikit, buret sebagai
tempat larutan titran dan titrasi, statif sebagai alat penyangga buret, corong untuk
merapatkan memasukkan larutan titran ke dalam buret dan klem untuk merapatkan buret
pada statif. Bahan yang digunakan yaitu air sampel Rawa Bendungan sebagai bahan
yang akan diukur kandungan oksigennya, larutan MnSO4 untuk mengikat O2, larutan
NaOH+KI untuk membentuk endapan coklat dan melepas iodida, larutan H2SO4 untuk
melarutkan endapan coklat dan sebagai indikator suasana asam, amilum sebagai
indikator warna ungu dan suasana basa, Na-thiosulfat sebagai larutan titran dan untuk
membentuk larutan bening.
Alat-alat yang digunakan untuk mengukur karbondioksida terlarut yaitu
erlenmeyer 250 ml sebagai tepat larutan yang akan dititrasi atau sebagai tempat sampel
yang akan diuji, pipet tetes 1 ml untuk mengambil larutan dalam jumlah sedikit, gelas
ukur 25 ml untuk mengukur volume air sampel, buret sebagai tempat larutan titran dan
22
untuk titrasi apabila air sampel mengandung CO2, statif sebagai penyangga buret, corong
untuk membantu memasukkan larutan titrasi ke dalam buret dan klem untuk merapatkan
bullet pada statif. Bahan yang dipakai dalam pengukuran CO2 bebas meliputi air sampel
dari Rawa bendungan, Indikator PP sebagai indikator waktu pink dan suasana basa,
Na2CO3 sebagai larutan titran dan untuk mengikat O2.
Alat untuk mengukur alkalinitas meliputi erlenmeyer 250 ml sebagai tempat
larutan yang akan dititrasi, kotak standard pH untuk mencocokkan perubahan warna
titer, pipet tetes untuk mengambil larutan dalam jumlah sedikit, buret sebagai tempat
larutan titran dan titrasi, statif sebagai alat penyangga buret, corong untuk memasukkan
larutan titran pada buret, kelm untuk merapatkan statif pada buret.
Bahan yang digunakan dalam pengukuran DMA (Daya Menggabung Asam
meliputi air sampel, pH meter, indikator PP sebagai indikator warna ungu/pink dan
sebagai suasana basa, indikator MO sebagai indikator warna orange dan pengkondisian
suasana asam, larutan HCI sebagai larutan titran dan penyuplai ion H+.
Alat yang digunakan dalam praktikum orthopospat yaitu beaker glass 100 ml
untuk menampung sementara larutan yang akan digunakan dan untuk mengukur volume
larutan, pipet tetes untuk mengambil larutan dalam jumlah sedikit, spektofotometer
untuk mengukur panjang gelombang dan untuk mengukur kandungan suatu larutan,
gelas ukur sebagai alat untuk mengukur volume larutan. Selain itu, orthopospat juga
menggunakan bahan sebagai berikut : larutan omonium molybdate – asam sulfat untuk
mengikat fosfat, larutan SnCI2 sebagai indikator suasana basa dan indikator warna biru,
air sampel dan aquadest sebagai kalibrasi agar alat tidak terkontaminasi dengan larutan
sebelumnya dan untuk mengencerkan larutan.
23
Alat yang digunakan dalam pengukuran nitrat nitrogen meliputi Cuvet sebagai alat
atau tempat air sampel yang akan diukur panjang gelombangnya pada spektofotometer,
hot plate untuk menghomogenkan larutan, beaker glass 100 ml untuk menampung
sementara larutan yang akan digunakan, gelas ukur untuk mengukur volume larutan,
spektofotometer untuk menghitung panjang gelombang suatu larutan, pipet tetes untuk
mengambil larutan dalam jumlah sedikit, dan washing bottle sebagai tempat aquadest.
Alat yang digunakan dalam pengukuran BOD (Biochemical Oxygen Demand)
meliputi botol Winkler sebagai tempat air sampel yang akan digunakan, pipet tetes,
buret sebagai tempat larutan titrasi, statif sebagai alat penyangga buret, corong untuk
memasukkan larutan titran dan klem untuk merapatkan statif pada buret. Selain itu,
pengukuran BOD juga menggunakan bahan meliputi larutan MnSO4 untuk mengikat
oksigen, NaOH+KI berfungsi membuat endapan coklat dan mengikat iodida, amilum
sebagai indikator warna ungu dan sebagai indikator basa, H2SO4 sebagai indikator suasa
asam dan melarutkan endapan coklat dan nathiosulfat sebagai larutan titran dan
membentuk larutan bening.
Perhitungan Indeks Keragaman Saprobik Perifiton Stasiun 3
X=C+3 D−B−3 AA+B+C+D
X=96+3 (360 )−0−3(0)
0+0+96+360
X=1176456
X=2,578
Perhitungan Indeks Keragaman Saprobik Plankton Stasiun 3
X=C+3 D−B−3 AA+B+C+D
X=453+3 (496 )−0−3(0)
0+0+453+496
24
X=1941949
X=2,045
Perhitungan Indeks Keragaman Saprobik BenthosStasiun 3
X=C+3 D−B−3 AA+B+C+D
X=0+3 (0 )−0−3(0)
0+0+0+0
X=00
X=0
Keterangan: X = Koefisien Saprobik berkisar dari -3 sampai +3
A = kelompok organisme dari Ciliata
B = kelompok organisme dari Euglenophyta
C = kelompok organisme dari Chlorococcales dan Diatomae
D = kelompok organisme dari Chrysophyceae, Peridinae dan
Conjugaceae
Indeks saprobik dengan penafsiran kualitas air secara biologis
Beban
Pencemaran
Derajat
PencemaranFase Saprobik Indeks Saprobik
Banyak Senyawa
OrganikSangat Tinggi
Polisaprobik
Poli/ α - Mesosaprobik
-3 s/d -2
-2 s/d -1,5
Senyawa Organik
dan AnorganikAgak Tinggi
α –Meso/polisaprobik
α –Mesosaprobik
-1,5 s/d -1
-1 s/d -0,5
Sedikit senyawa
organik dan
anorganik
Sedangα / β –Mesosaprobik
β/ α - Mesosaprobik
-0,5 s/d 0
0 s/d +0,5
Ringan/Rendahβ –Mesosaprobik
β Meso/oligosaprobik
+0,5 s/d +1
+1 s/d +1,5
Sangat ringanOligo/ β - Mesosaprobik
Oligosaprobik
+1,5 s/d +2
+2 s/d +3
Keterangan:
25
1. Fase Saprobik adalah fase perombakan (dekomposisi) bahan-bahan organik
2. Polisaprobik adalah fase yang dilakukan oleh banyak jenis jasad renik
3. Mesosaprobik adalah fase saprobik yang berlangsung pada tahap awal (bakteri)
4. Mesosaprobik adalah fase saprobik yang berlangsung pada tahap lanjut oleh
kelompok Ciliata.
5. Oligosaprobik adalah fase yang dilakukan oleh beberapa jasad renik (Dresscher &
Mark, 1974).
Tujuan dari perhitungan indeks saprobik komunitas plankton berguna untuk
menentukan tingkat pencemaran ekosistem perairan. Hasil yang didapatkan pada stasiun
3 memiliki keragaman plankton maupun perifiton yang tidak terlalu tinggi, namun
secara ekologis kondisi ekosistem tergolong masih baik. Hal ini ditunjukkan dengan
cukup tingginya nilai indeks keragaman planktonmaupun perifiton yang mencapai
kisaran 2,04 - 2,60 bermakna bahwa pencemaran di Rawa Bendungan masih ringan.
Menurut Lee at al. (1978) bahwa indeks keanekeragaman plankton > 2,0 menunjukkan
kondisi perairan tidak tercemar.
Analisa kualitas air berdasarkan indeks keragaman diatas dengan perhitungan
menurut Shannon-Wiener pada benthos yaitu didapatkan 1, 703 sehingga derajat
pencemaran perairan rawa bendungan dikategorikan tercemar ringan yaitu antara 1,6 –
2,0 dan kondisi kestabilan suatu komunitas perairan berdasarkan indeks keragaman pada
benthos dihasilkan komunitas perairan rawa bendungan ˂3 yaitu dalam keadaan stabil
pada komunitas perairan rawa bendungan. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman ini
menunjukkan bahwa kelimpahan individu pada masing-masing spesies tidak merata.
Jika dikaitkan dengan kondisi lingkungan, maka hal ini menunjukkan bahwa lingkungan
di daerah penelitian dianggap kurang atau tidak mampu mendukung bagi
26
berlangsungnya proses-proses kehidupan organisme secara baik. Ketidakmampuan
lingkungan tersebut, diduga disebabkan oleh perairan setempat sedang mendapat stress
atau tekanan ekologis yang cukup besar yang bisa berupa pencemaran atau adanya
kegiatan ekploitasi sumberdaya perikanan yang merusak habitat di daerah penelitian
(Yusuf, 2004).
Tabel 1. Klasifikasi derajat pencemaran menurut lee, et al (1978)
No Kualitas Air Indeks H’
1 Tidak tercemar ˃ 2,0
2 Tercemar ringan 1,6 - 2,0
3 Tercemar sedang 1,5 - 1,0
4 Tercemar berat < 1,0
Menurut Lee et al (1978), kondisi kestabilan suatu kemunitas dibedakan menjadi 3
kriteria berdasarkan indeks H’ tersebut, masing-masing :
Jika H’ < 1 , berarti komunitas dalamn keadaan tidak stabil
Jika 1<H’< 3, berarti komunitas dalamn keadaan sedang kestabilannya
Jika H’ > 3 , berarti komunitas dalam keadaan stabil
Perifiton adalah komunitas organisme yang hidup di atas atau sekitar substrat
yang tenggelam. Substrat tersebut dapat berupa batu-batuan, kayu, tumbuhan air yang
tenggelam, dan kadangkala pada hewan air. Berdasarkan tipe subsrat tempat
menempelnya, Epiphytic periphyton merupakan perifiton yang menempel pada daun
atau batang tumbuhan yang terendam pada suatu perairan (Ida, 2011)
Berdasarkan hasil perhitungan indeks shannon-wiener terhadap perifiton
didapatkan hasil 1,4 sehingga kualitas air menurut lee et al (1978) kualitas air perairan
27
rawa bendungan tercemar sedang, sedangkan kondisi kestabilan komunitas perairan
menunjukan indeks keragaman ˂3 yaitu dalam keadaan stabil pada perairan rawa
bendungan. perairan tersebut menggambarkan memiliki keseragaman populasi yang
cukup tinggi dan dominansi rendah sehingga penyebaran individu tiap jenis merata maka
tidak terdapat jenis yang mendominasi dan tidak terjadi persaingan baik terhadap tempat
maupun makanan (Ida, 2011). Sedangkan menurut indeks keragaman plankton
didaptkan hasil 3,6 yang berarti kualitas air perairan rawa bendungan tidak tercemar dan
menurut lee et al (1978) kondidi kestabilan air di perairan rawa bendungan masih stabil.
28
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Parameter fisika yaitu suhu air, penetrasi cahaya, TSS, dan TDS. Sedangkan
parameter kimia adalah BOD, COD, dan pH. Berdasarkan parameter biologinya
adalah perifiton, plankton, dan benthos.
2. Kualitas air di perairan Rawa Bendungan Tritih Cilacap yaitu menurut indeks
keragaman shannon wiener perifiton bahwa perairan tercemar sedang, sedangkan
indeks keragaman shannon wiener benthos perairan tercemar ringan, berdasarkan
indeks keragaman shannon wiener plankton perairan tidak tercemar.
29
DAFTAR PUSTAKA
Achjar, M. dan Rismunandar. 1986. Perikanan Darat. Sinar Baru, Bandung.
Barus, DR. Ing. Ternala Alexander. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi. Universitas Sumatra Utara, Medan.
Boyd, C.E., Licchopper. 1986. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Auburn University, USA.
Cholik, F., Artaty, dan Arifudin. 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Furhan, I. Ali, M. 2006. Limnological Study of River Soan (Punjab) Pakistan. Agric. Conspec.sci. Vol 71 (2006) no.2.
Ghufran, M. 2005. Pengelolaan Kualitas Air. Rineka Cipta, Jakarta.
Goldman, H., dan A. J. Horne. 1983. Limnology. McGraw-Hill Inc. Book Co, Japan.
Ida A, Syafril N, Efawani. 2011. Types of Epiphytic periphyton at Pandan Air (pandanus sp.) in Segati River Langgam Sub-District Pelalawan Regency, riau Department of Aquatic Resources Management Fisheries and Marine Sciense Faculty of Riau University.
Irianto, Heri. 2005. Patologi Perikanan. Gadjah Mada University press. Yogyakarta.
Lee, C. D., S. B. Wang, and C. L. Con. 1978. Benthic Macroinvertebrates and Fish as Biologycal Indicators of Water Quality with Reference to Community Diversity Index. Water Pollution Control in Developing Countries Asians. Insert Tech, Bangkok.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. Thrid Edition. W. B. Sounders Co, Philladelphia.
Pescod, M.B. 1973. Investigation of Ration Effluent and Standard for Tropical Countries Environment Enginering. Division Asia Institute Tech, Bangkok.
Sachlan, M. 1982. Planktonology. Fak. Peternakan dan Perikanan UNDIP.Saeni, M. S. 1989. Kimia Lingkungan. IPB, Bogor.
Semarang.
Siregar, A. 2000. Transparasi Limnologi. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
30
Soeseno, S. 1974. Limnologi. Sekolah Perikanan Darat Menengah Atas, Bogor.
Sumawidjaja, K. 1975. Limnologi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Susanto, Heru. 1988. Budidaya Ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tim Survey Ekologi Perikanan. 1977. Limnology. Sekolah Menengah Perikanan Darat. Bogor.
Wardoyo, S.T.H. 1982. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Dalam : Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air. (eds Dirjen Pengairan Dep. PU.), hal 293-300.
Welch, P. S. 1952. Lymnology 2nd Edition. Mc Graw Hill Book Company Inc,
Wetzel, R.G. 1983. Limnologi. Sauders College Publishing, Philadelphia.
Winarno, Kusumo. 2000. Pemantauan Kualitas Perairan Rawa Jabung berdasarkan Keanekaragaman dan Kekayaan Komunitas Bentos. Volume 2, Nomor 1 : 40 – 46.
Yusuf M, Gentur H. 2004. Dampak Pencemaran Terhadap Kualitas Perairan dan Strategi Adaptasi Organisme Makrobenthos di Perairan Pulau Tirangcawang Semarang. Ilmu Kelautan. Maret 2004. Vol. 9 (1) : 12- 42
Zaenal, Harianto., Pengetahuan plankton di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
31