tinjauan yuridis terhadap putusan pengadilan niaga jakarta pusat nomor 77

18
Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat nomor 77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST terkait Kasus Kepailitan PT Metro Batavia Air Tugas Pengganti UAS MK HUKUM PERUSAHAAN Dosen Pengampu : IMAM ISMANU,SH MH Disusun Oleh ; NUR IFTA MUFIDAH,SH NPK : 156010202111076 MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

Upload: yanuar-rozi-firmansyah

Post on 08-Jul-2016

246 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

nomor 77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST terkait Kasus Kepailitan PT

Metro Batavia Air

Tugas Pengganti UAS

MK HUKUM PERUSAHAAN

Dosen Pengampu : IMAM ISMANU,SH MH

Disusun Oleh ;

NUR IFTA MUFIDAH,SH

NPK : 156010202111076

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016

Page 2: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat nomor 77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST terkait Kasus Kepailitan PT

Metro Batavia Air

BAB I: PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang Masalah

Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal 1 ayat (1), kepailitan adalah sita umum atas

semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di

bawah pengawasan hakim pengawas. Dalam hal ini, debitur dinyatakan pailit oleh putusan

pengadilan apabila ia memiliki dua atau lebih kreditur dimana debitur tersebut tidak bisa

membayar lunas utangnya setidaknya salah satu dari kreditur tersebut hingga utang-utangnya

jatuh tempo. Kepailitan bisa diajukan oleh debitur itu sendiri atau oleh salah satu dari

krediturnya. Debitur yang telah dinyatakan pailit sudah tidak memiliki hak lagi atas segala

kekayaannya, dan hak atas kekayaannya tersebut berpindah ke tangan sang kreditur.

Pengurusan atau pemberesan harta yang telah pailit tersebut dilakukan oleh kurator dengan

diawasi oleh hakim pengawas.

Merupakan hal yang wajar apabila suatu perusahaan melaksanakan perjanjian utang

piutang untuk memenuhhi biaya operasional perusahaan. Apabila kewajiban mengembalikan

utang tersebut berjalan dengan lancar sesuai dengan perjanjian tersebut tentu tidak masalah.

Permasalahan akan timbul apabila perusahaan yang menjadi debitur mengalami kesulitan

untuk mengambalikan utangnya tersebut, yang mana ini akan berujung pada kepailitan.

Kepailitan adalah suatu kasus yang menandakan bahwa suatu debitur telah gagal

melaksanakan operasinya. Hal ini karena kewajiban debitur, yaitu pembayaran utang ke

pihak ketiga, yang merupakan prioritas pertama dalam struktur keuangan debitur tidak

terlaksana dengan baik. Seiring dengan berjalannya dinamika perekonomian Indonesia yang

fluktuatif, semua pihak yang menjalankan suatu usaha dihadapkan pada suatu tantangan baru,

yaitu bagaimana menangani utang dan juga bagaimana menghadapi piutang dari pihak lain.

Dalam menghadapi hal ini, pemerintah telah membuat suatu aturan yang memberikan

pedoman mengenai bagaimana penyelesaian kasus utang piutang yang berujung pada

kepailitan, yang dituangkan dalam UU No. 37 tahun 2004.

Kasus kepailitan telah menimpa banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia,

diantaranya Eastman Kadak Co. (Kodak), PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Asuransi

Page 3: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

Manulife), PT. Adam SkyConnection Airline (Adam Air), hingga PT. Metro Batavia, yang

merupakan perusahaan penerbangan maskapai udara Batavia Air. Dalam makalah ini, kita

akan membahas mengenai kasus kepailitan Batavia Air sebagai model kasus kepailitan di

Indonesia.

Disaat industri penerbangan Indonesia tengah mengalami pertumbuhan yang positif,

ada kabar menyedihkan mengenai kepailitan salah satu maskapai penerbangan Indonesia,

yaitu Batavia Air. Di tengah industri transportasi udara Indonesia yang sedang tumbuh

dengan cepat, Batavia Air justru terpuruk. Pasalnya, maskapai penerbangan ini dinyatakan

pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas permohonan salah satu kreditur Batavia Air,

yaitu International Lease Finance Corporation (ILFC).

Batavia Air dinyatakan pailit sejak tanggal 30 Januari 2013 atas surat putusan

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST. Akibatnya, Batavia

Air berhenti beroperasi sejak tanggal 31 Januari 2013. Kepailitan ini disebabkan oleh

permohonan pengajuan pailit Batavia Air oleh salah satu krediturnya, yaitu ILFC, lantaran

utang Batavia Air terhadap ILFC yang telah jatuh tempo pada 13 Desember 2012 sebesar

US$ 4.68 juta. Permohonan pailit itu diajukan oleh ILFC kepada Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat pada tanggal 20 Desember 2012. Selain dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang

dari Sierra Leasing Limited (SLL). Utang Batavia Air kepada SLL adalah sebesar US$ 4.94

juta dan jatuh tempo pada 13 Desember 2012 juga.

Proses kepailitan ini menyebabkan berbagai masalah mulai dari jumlah pesawat

Batavia Air yang semakin berkurang hingga tidak beroperasi sama sekali, dan bahkan

kepailitan ini memberikan dampak negatif kepada konsumen Batavia Air dimana mereka

yang telah membeli tiket disaat Batavia Air sedang mengalami proses putusan kepailitan

tidak medapatkan refund atau pengembalian uang atas tiket yang telah mereka beli.

B.Rumusan Masalah

Dari Latar belakang diatas penulis Merumuskan Permasalahan sebagai berikut ;

1. Bagaimana konsekwensi Yuridis setelah jatuhnya Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

nomor 77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST terkait Kasus Kepailitan PT Metro Batavia Air?

2. Bagaimana akibat Putusan tersebut terhadap Agen travel maupun penumpang sebagai

konsumen?

Page 4: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

BAB II: PEMBAHASAN

1.    Landasan TeoriKepailitan, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004, adalah sita umum

atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Pengadilan yang berwenang dalam proses

kepailitan suatu perusahaan adalah Pengadilan Niaga. Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal

2, pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu

a)     Debitur atau kreditur

b)     Kejaksaan

c)     Bank Indonesia, apabila debiturnya adalah Bank

d)     Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), apabila debiturnya adalah perusahaan efek, Bursa

Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

e)     Menteri Keuangan, apabila debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi,

Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Suatu permohonan pailit yang diajukan oleh pihak-pihak diatas harus memenuhi

persyaratan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat

ditagih, dan adanya dua atau lebih kreditur. Dalam kepailitan, ada tiga jenis kreditur, yaitu:

a)     Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak

sendiri. Golongan kreditur ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak

eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitur. Kreditur

pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas

kebendaan lainnya merupakan karakteristik kreditur separatis,

b)     Kreditur preferen, yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Hak

istimewa mengandung makna “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang

berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya.

c)     Kreditur konkuren, yaitu kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara

proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari

hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan.

Pembayaran utang dengan prioritas paling utama adalah pembayaran utang kepada kreditur

separatis. Lalu, prioritas kedua adalah kepada kreditur preferan, dan yang terakhir adalah

kepada kreditur konkruen.

Page 5: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

Suatu kepailitan tidak terjadi dalam suatu tahap yang mudah dan cepat, tetapi melalui

beberapa proses yang cukup panjang. Berikut adalah suatu proses kepailitan suatu debitur:

a)     Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga melalui panitera pengadilan

oleh penasehat hukum terdaftar,

b)     Dilakukan penyitaan umum (sita jaminan) atas kekayaan debitur untuk menjamin piutang

kreditur,

c)     Setelah pernyataan pailit ditetapkan, ditunjuk hakim pengawas dan kurator (pengurus dan

pelaksana kepailitan),

d)     Setelah itu diadakan rapat verifikasi (pencocokan dan klarifikasi piutang) yang melibatkan

hakim pengawas, kurator, kreditur terkait, dan debitur,

e)     Jika usul perdamaian debitur diterima (homologasi), kepailitan berakhir dan sisa tagihan yang

belum terbayar tidak dapat ditagih lagi,

f)      Jika usul perdamaian ditolak, Pengadilan Niaga sekaligus menetapkan putusan pailit debitur

dan kekayaan debitur berada dalam keadaan insolvensi (debitur tidak mampu membayar

utangnya dan kekayaannya menjadi harta pailit),

g)     Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak putusan pailit ditetapkan, kurator harus

mengumumnkannya dalam Berita Ngera RI dan dua surat kabar yang ditetapkan oleh hakim

pengawas,

h)     Jika pihak terkait tidak mengusulkan kurator tertentu, Balai Harta Peninggalan (BHP)

bertindak sebagai kurator dalm proses kepailitan

i)      Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan perbuatan debitur sebelum

putusan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur,

j)      Apabila piutang kreditur tidak cukup terbayar, untuk sisanya, status kreditur separatis

berubah menjadi kreditur konkruen,

k)     Terhadap putusan pailit dapat diajukan langsung kasasi ke Mahkamah Agung dan

permohonan peninjauan kembali (PK) apabila memenuhi syarat.

Page 6: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

2.    Kronologi Kepailitan Batavia Aira)     Peristiwa menjelang pailitnya Batavia Air

Utang ini bermula dari keinginan Batavia Air untuk mengikuti tender pelayanan haji

dengan menyewa (leasing) dua pesawat Airbus A330 dari ILFC. Namun, dari total kontrak

leasing selama 9 tahun, sudah 3 tahun berturut-turut Batavia Air kalah tender di Kementerian

Agama untuk mengangkut jemaah haji. Dalam gugatan ILFC, Batavia Air memiliki tagihan

sebesar USD 440rb di tahun pertama, USD 470rb di tahun kedua, USD 500rb di tahun ketiga

dan ke empat, dan USD 520rb di tahun kelima dan keenam. Keseluruhan utang dari ILFC

sebesar USD 4,68 juta ini memiliki tanggal jatuh tempo di 13 Desember 2012. Selain gugatan

dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang sebesar USD 4,94 juta kepada Sierra Leasing

Limited yang jatuh tempo di 13 Desember 2012 juga. Analisa dari OSK Research Sdn Bhd di

bulan Oktober 2012 memperkirakan total utang Batavia Air sebesar USD 40juta. Sebagai

perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki kewajiban untuk

memberikan laporan keuangan nya secara publik, sehingga dalam hal ini juga sulit untuk

memberikan menyimpulkan kondisi keuangan Batavia Air.

Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan ini diperparah dengan ketidak pedulian Batavia

Air dalam mendayagunakan kedua pesawat A330 ini untuk melayani rute-rute lain selama

menganggur. Barangkali yang juga kurang dipublikasikan di media cetak adalah adanya

kenaikan persyaratan deposit Travel Agent di Batavia Air per bulan April 2012. Persyaratan

minimum deposit yang sebelumnya sebesar 7.500.000, diubah menjadi minimum 15.000.000

rupiah. Kenaikan deposit ini hanya ditunjang dengan alasan untuk mengurangi “ribet” nya

administrasi penambahan deposit.

Di bulan Oktober 2012, Air Asia telah mengajukan rencana untuk mengakuisisi Batavia

Air senilai USD 80juta. Rencana akuisisi ini menjadi polemik yang cukup populer di

Indonesia karena kekuatiran akan masuk nya pihak luar ke dalam industri penerbagan

Nusantara. Namun tidak lama berselang, rencana tersebut kandas dengan keputusan Air Asia

untuk membatalkan transaksi tersebut dikarenakan “risiko bisnis dan penurunan pendapatan”.

Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti, seusai gagal nya akuisisi Batavia Air

oleh Air Asia, rute Batavia Air telah berkurang secara drastis, yang awal nya 64 rute, menjadi

44 rute saja. Namun di tengah pengurangan rute ini, airlines domestik lain malah

memperlihatkan penambahan rute yang cukup signifikan, terutama Air Asia, yang mulai

merambah ke rute-rute strategis Batavia Air, seperti Semarang-Singapura yang sebelumnya

hanya dilayani oleh Batavia Air.

Page 7: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

Di penghujung akhir Januari 2013, Batavia Air mulai mengalami penurunan secara

drastis, terutama diakibatkan oleh tuntutan pailit oleh ILFC. Kepercayaan calon penumpang

pun mulai berkurang, banyak penumpang kuatir akan terulang nya peristiwa tutup nya Adam

Air dan Mandala Air. Dalam penutupan dua airlines tersebut, tiket yang sudah dibeli oleh

penumpang banyak yg hilang tanpa pengembalian uang. Beberapa hoax messages pun juga

banyak beredar di BBM, terutama yang menyangkut akan segera ditutup nya Batavia Air oleh

Dirjen Perhubungan.

Tepat sehari menjelang keluarnya putusan pailit oleh pengadilan negeri Jaksel (30 Jan

2013), sempat terjadi pengajuan pencabutan gugatan pailit oleh ILFC. Namun pengajuan

pembatalan ini telah ditolak langsung oleh Batavia Air dikarenakan Batavia Air sudah

merasakan dampak penurunan kepercayaan publik secara drastis. Batavia Air pun mengakui

semua utang-utangnya tersebut. Dengan penolakan ini maka putusan pengadilan negeri Jaksel

berlanjut menjadi pailit bagi Batavia Air.

b)     Proses penyelesaian pailit oleh kurator

Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara lain

Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Sirait, dan Alba Sumahadi.

Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta Pusat.

Beberapa aktifitas yang sudah terjadwal ada sebagai berikut:

15 Feb 2013: Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pukul 09:00,

18 Feb 2013: Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk mengajukan tagihan

kreditur dan pajak di Kantor Kurator,

18 Feb – 1 Maret 2013: Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri sebagai

kreditur Batavia Air,

14 Maret 2013: Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator.

Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator Batavia Air (Turman

Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian tiket calon penumpang dapat dilakukan

dengan syarat ada investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang tiket

untuk bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.

c)     Akibat pailitnya Batavia Air bagi penumpang dan agen travel

Akibat putusan pailit Batavia, beberapa asosiasi travel agent sudah mencatatkan

kerugian mencapai milliaran rupiah. Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita) Jakarta dengan

anggota sekitar 1500 agen, memperkirakan dana deposit yang hilang mencapai 20 milliar

Page 8: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

rupiah. Sementara itu, Astindo Sulawesi Tengah mencatat kerugian uang deposit mencapai

500 juta rupiah.

Pasca penutupan Batavia Air, beberapa airlines telah menawarkan bantuan bagi

penumpang Batavia Air dengan booking ulang secara cuma-cuma. Tiger Airways (dan

Mandala Airlines) telah menawarkan rebooking gratis untuk rute-rute tertentu (CGK-SG,

CGK-PKB, CGK-Padang, dan CGK-SUB). Express Air juga mengakomodir penumpang

Batavia Air untuk rute Yogyakarta – Pontianak secara gratis.

d)     Langkah kedepan untuk mencegah terulangnya Batavia Air

Escrow Account untuk deposit travel agent dan tiket yang belum terpakai. Dengan

terjadinya kasus pailit Batavia Air, Astindo (Assosiasi Perusahaan Penjual Tiket

Penerbangan) mendesak Departemen Perhubungan untuk membuat peraturan baru dimana

deposit travel agent dan deposit tiket yang belum terpakai untuk ditempatkan dalam escrow

account atau akun penjaminan yang terpisah dari operasional perusahaan penerbangan.

Sehingga dalam kasus-kasus pailit seperti Batavia Air, deposit tersebut dapat diamankan

secara terpisah.

Proposal yang kedua adalah kerja sama dari Asosiasi Travel yang telah ada, antara lain

Astindo, Asita, maupun assosiasi-assosiasi lain nya, untuk membuat sebuah “early detection

system”. Early detection ini dapat menggunakan beberapa indikasi, antara lain: pengurangan

rute penerbangan secara signifikan, utang yang mulai gagal bayar, analisa perbandingan

uutang dengan aset perusahaan, dll. Dengan fasilitas seperti ini, iuran tahunan assosiasi-

assosiasi yang terkadang berjumlah cukup besar menjadi lebih berguna.

3.    Analisis Hukum / Yuridis

Proses pailit Batavia Air ini dilaksanakan atas suatu dasar hukum, yaitu UU No. 37

tahun 2004, yang mengatur tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Proses awal pailit dimulai dari permohonan pailit yang diajukan oleh ILFC. Permohonan ini

telah memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004,

yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya kreditur lain. Karena

itulah, permohonan ini ditindaklanjuti oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Lalu, proses

pembuktian juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu sesuai dengan pasal 164 HIR. Bukti

tersebut yaitu berupa pengakuan yang dilontarkan oleh Batavia Air atas utang-utang yang

dimilikinya.

Page 9: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

Tak ada kemampuan Batavia dalam membayar utangnya disebabkan karena force

majeur, yaitu kalah tender pelayanan transportasi ibadah haji dan umroh ini. Hal ini menjadi

biang kerok tersendatnya pembayaran. Karena, pesawat yang disewa tersebut diperuntukkan

melayani penumpang yang hendak melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah-Madinah.

Sehingga, sumber pembayaran sewa pesawat berasal dari pelayanan penumpang yang

melakukan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, dalil force majeur ini tidak dapat dibuktikan

dan disetujui karena tidak tercantum dalam perjanjian utangnya dengan ILFC. Perjanjian ini

merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan utang piutang kedua pihak tersebut. Namun

nyatanya, Batavia Air tidak dapat membuktikan dalil tersebut. Untuk itu, majelis hanya

mempertimbangkan apa yang dapat dibuktikan saja.

Kepailitan Batavia Air juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu surat putusan

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 30 Januari

2013.

Proses pembuktian yang dilakukan terhadap Batavia Air terbilang mudah karena

Batavia Air sendiri mengakui utang-utangnya tersebut. Akan tetapi, alasan Batavia Air tidak

bisa membayar utang-utangnya karena force majeur ditolak oleh pengadilan. Lalu, ketika

dilakukan verivikasi jumlah utang, terdapat perbedaan antara jumlah utang Batavia Air

menurut ILFC dan SLL. Pada akhirnya, perbedaan jumlah utang tersebut tidak menghalangi

dijatuhkannya putusan pernyataan pailit dikarenakan hakim hanya melihat fakta adanya

pengakuan utang. Apabila nantinya terdapat perbedaan jumlah utang, maka dapat

diselesaikan oleh kurator pada masa pencocokan utang.

Pemberhentian operasi Batavia Air ini menimbulkan tanda tanya dari berbagai pihak,

salah satunya adalah situs hukumonline.com. Ketika ditanya hukumonline.com untuk belajar

dari kasus Telkomsel agar tetap beroperasi, Raden Catur Wibowo, kuasa hukum Batavia Air,

mengatakan bahwa kasus tersebut berbeda. Pasalnya, industri penerbangan tidak sama

dengan industri telekomunikasi. Akibat dari permohonan pailit ini, semua pemilik pesawat

telah menarik pesawat-pesawatnya, Alhasil, Batavia hanya memiliki 14 pesawat yang

diberdayakan. “Dan itu sangat berat hanya mengoperasikan 14 pesawat. Kalau sudah ditarik,

apa yang mau kita operasikan,” pungkas Catur usai persidangan.

Menurut Suharto Abdul Majid, Ketua Forum Masyarakat Transportasi Indonesia

(MTI), kepailitan Batavia Air dinilai mencurigakan. Ada dua poin penting mengenai

kecurigaannya terhadap kepailitan Batavia Air. Yang pertama, berdasarkan ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, setiap perusahaan penerbangan

Page 10: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

diwajibkan memiliki dana cadangan yang memadai. Dalam hal ini berarti bahwa dalam

struktur keuangan maskapai penerbangan ada bank garansi yang menjamin. Suharto

menuturkan, dengan adanya garansi tersebut, jika terjadi sesuatu seperti kepailitan, sudah ada

jaminan bank yang dapat melunasi utang perusahaan penerbangan. Ia yakin Batavia Air

memiliki dana cadangan. Tetapi nyatanya, kasus kepailitan Batavia Air tidak dapat dihindari.

Lalu yang kedua, kepailitan Batavia Air ini terbilang tiba-tiba. Menurut Suharto, jangka

waktu penyelesaian utang Batavia Air tergantung kemauan perusahaan penerbangan itu.

Suharto mengatakan, jangka waktu penyelesaian utang bisa dilakukan dalam satu bulan,

bahkan satu tahun. "Peluang sengaja dipailitkan, bisa saja," kata Suharto.

Terlepas dari semua persepsi dan dugaan yang telah diarahkan kepada kasus kepailitan

Batavia Air, nyatanya kasus kepailitan Batavia Air ini telah menjadi suatu luka dalam industri

transportasi udara di Indonesia yang tidak dapat dihindari. Untuk itu, perlu dilakukan

perbaikan sistem keuangan maskapai penerbangan, yang harus dimulai dari regulasi oleh

pemerintah.

5.    Kesimpulan Kasus

Dengan adanya putusan dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yaitu berupa surat putusan

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 30 Januari

2013, maka secara hukum PT. Metro Batavia, yang merupakan perusahaan maskapai

penerbangan Batavia Air, dipailitkan. Dan mulai berhenti beroperasi sejak tanggal 31 Januari

2013 pukul 00:00, sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 37 tahun 2004 pasal 24 ayat (2).

Page 11: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

BAB III: PENUTUP

1.    Kesimpulan Kepailitan bisa saja menimpa setiap pihak atas kelalaiannya dalam mengoperasikan

dana pinjaman dari krediturnya. Proses menuju kepailitan tersebut dimulai dari permohonan

yang diajukan kepada Pengadilan Niaga, hingga ‘ketok palu’ yang menandakan bahwa suatu

debitur dinyatakan pailit. Kepailitan menyebabkan berbagai masalah dan kerugian. Kerugian

utama dirasakan oleh debitur karena aset-aset yang dimilikinya akan dinyatakan insolvensi

dan pada akhirnya akan dieksekusi oleh bank. Kerugian juga dialami oleh kreditur dimana

bisa saja piutang-piutangnya tidak tertagih secara penuh. Lalu, kepailitan terkadang juga

merugikan pihak konsemen dari debitur, seperti yang dialami oleh calon penumpang Batavia

Air.

2.    SaranDalam menghindari terjadinya kepailitan perusahaan-perusahaan di Indonesia, terutama

industri penerbangan udara, perlu adanya campur tangan pemerintah dalam hal regulasi

struktur keuangan perusahaan, misalnya peraturan mengenai jumlah dana cadangan yang

harus dimiliki perusahaan. Lalu, pemerintah juga harus memiliki instrumen yang kuat untuk

menilai kinerja perusahaan, misalnya melalui pembentukan tim khusus untuk mengevaluasi

laporan keuangan yang masuk dari perusahaan. Hal ini karena, bisa saja laporan keuangan

yang dibuat oleh suatu perusahaan berbeda-beda tergantung dari kebutuhannya. Lalu,

menurut Suharto, pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap kinerja keuangan atau

aspek bisnis perusahaan penerbangan. Suharto pun menyarankan Kementerian Perhubungan

untuk menyusun kriteria kesehatan keuangan perusahaan penebangan, sehingga secara dini

bisa diketahui indikasi ke arah kebankrutan maskapai.

Hal ini dilaksanakan agar kasus kepailitan perusahaan-perusahaan di Indonesia,

terutama maskapai penerbangan bisa dicegah dan tidak sampai terjadi.

Page 12: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 77

Sumber website-        http://splashurl.com/p2ld2nu

-        http://splashurl.com/nkkuq9k

-        http://splashurl.com/o6gd7jv

-        http://splashurl.com/nppnx6e

-        http://splashurl.com/pelgtrg

-        http://splashurl.com/ok73fxf

-        http://splashurl.com/nzubcw