tinjauan pustaka bab ii makalah enuresis

19
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Enuresis adalah pengeluaran urin yang terjadi pada orang yang pengendalian kandung kemihnya diharapkan sudah tercapai. Berdasarkan waktu, enuresis dibagi menjadi nocturnal enuresis (sleep wetting/bedwetting) yaitu enuresis yang terjadi pada malam hari, dan diurnal enuresis (awake wetting) yaitu enuresis pada siang hari. Sedangkan berdasarkan awal terjadinya enuresis dibagi menjadi enuresis primer, bila terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada priode normal dalam pengontrolan buang air kecil, serta enuresis sekunder yang terjadi setelah enam bulan sampai satu tahun dari priode dimana kontrol pengosongan urin sudah normal (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982; Sekarwana, 1993; Dalton, 2000). 2.2 Epidemiologi Nocturnal enuresis tanpa pengosongan urin yang jelas pada siang hari mengenai 20% sampai usia 5 tahun, kemudian berhenti secara spontan pada kira- kira 15 % anak tersebut setiap tahun (Gonzales, 2000). Menurut Tanagho (2008), anak perempuan dengan kandung kemih normal lebih cepat dapat mengontrol buang air kecilnya daripada anak laki-laki. Pada usia 6 tahun, 10% masih mengalami nocturnal enuresis, bahkan pada usia 14 tahun sebanyak 5% juga masih ada yang mengalami nocturnal enuresis. Didapati 50% kasus mengalami keterlambatan pematangan sistem saraf dan myoneurogenik intrinsik kandung kemih, 30% kasus dipengaruhi keadaan psikologis, dan 20% lainnya disebabkan oleh penyakit-penyakit organik. Dan biasanya nocturnal enuresis fungsional berhenti pada usia kurang lebih 10 tahun. Berdasarkan data yang didapat Hazza dan Tarawneh (2002) dari kuesioner yang diperoleh dari orang tua anak usia 6-8 tahun di sekolah dasar di Jordan, didapatkan 48,9% anak usia 6 tahun mengalami nocturnal enuresis, 21% pada anak usia 7 tahun, dan 8,4% pada usia 8 tahun. Prevalensi ini mungkin lebih Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Upload: handii-febrian

Post on 24-Apr-2015

171 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

TRANSCRIPT

Page 1: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Enuresis adalah pengeluaran urin yang terjadi pada orang yang

pengendalian kandung kemihnya diharapkan sudah tercapai. Berdasarkan waktu,

enuresis dibagi menjadi nocturnal enuresis (sleep wetting/bedwetting) yaitu

enuresis yang terjadi pada malam hari, dan diurnal enuresis (awake wetting) yaitu

enuresis pada siang hari. Sedangkan berdasarkan awal terjadinya enuresis dibagi

menjadi enuresis primer, bila terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada priode

normal dalam pengontrolan buang air kecil, serta enuresis sekunder yang terjadi

setelah enam bulan sampai satu tahun dari priode dimana kontrol pengosongan

urin sudah normal (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982; Sekarwana, 1993;

Dalton, 2000).

2.2 Epidemiologi

Nocturnal enuresis tanpa pengosongan urin yang jelas pada siang hari

mengenai 20% sampai usia 5 tahun, kemudian berhenti secara spontan pada kira-

kira 15 % anak tersebut setiap tahun (Gonzales, 2000).

Menurut Tanagho (2008), anak perempuan dengan kandung kemih normal

lebih cepat dapat mengontrol buang air kecilnya daripada anak laki-laki. Pada usia

6 tahun, 10% masih mengalami nocturnal enuresis, bahkan pada usia 14 tahun

sebanyak 5% juga masih ada yang mengalami nocturnal enuresis. Didapati 50%

kasus mengalami keterlambatan pematangan sistem saraf dan myoneurogenik

intrinsik kandung kemih, 30% kasus dipengaruhi keadaan psikologis, dan 20%

lainnya disebabkan oleh penyakit-penyakit organik. Dan biasanya nocturnal

enuresis fungsional berhenti pada usia kurang lebih 10 tahun.

Berdasarkan data yang didapat Hazza dan Tarawneh (2002) dari kuesioner

yang diperoleh dari orang tua anak usia 6-8 tahun di sekolah dasar di Jordan,

didapatkan 48,9% anak usia 6 tahun mengalami nocturnal enuresis, 21% pada

anak usia 7 tahun, dan 8,4% pada usia 8 tahun. Prevalensi ini mungkin lebih

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 2: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan Eropa karena adanya

faktor-faktor terkait.

Sedangkan dari epidemiologi yang diperoleh Yousef, Basaleem, dan Taher

(2009) dari 655 orang anak, maka didapati penurunan kejadian nocturnal

enuresis, sehingga pada usia 6-8 tahun hanya ditemukan sebanyak 31,5% dan

8,7% pada usia 15 tahun ke atas.

Adapun usia puncak anak-anak mengalami enuresis adalah usia 4-5 tahun

dengan komposisi 18% laki-laki dan 15% perempuan, pada usia 12 tahun

menurun menjadi 6% laki-laki dan 4% perempuan. Maka harus ada penanganan

dan penjelasan pada orang tua mengenai “Law of 15” yaitu: 15% anak mengalami

enuresis, 15% insidensinya berkurang pada setiap tahunnya, 15% disertai dengan

encopresis (pengeluaran tinja secara tidak layak), dan 15% mengalami enuresis

sekunder (Gray dan Moore, 2009).

2.3 Anatomi dan Fisiologi Normal Kandung Kemih

2.3.1 Anatomi Kandung Kemih

Kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai

penyimpanan urin. Pada laki-laki terletak tepat dibelakang simphisis pubis dan

didepan rektum, sedangkan kandung kemih wanita terletak dibawah uterus dan

didepan vagina. Kapasitas normal kandung kemih sebanyak 400-500 ml

(Tanagho, 2008).

Struktur kandung kemih berupa:

1. Dinding, dengan empat lapisan, yaitu:

a. Serosa, merupakan lapisan terluar yang berupa perpanjangan lapisan

peritoneal rongga pelvis.

b. Otot detrusor, yaitu lapisan tengah yang tersusun dari berkas-berkas otot

polos yang membentuk sudut agar kontraksi kandung kemih serentak ke

segala arah. Otot detrusor ini terdiri dari serat-serat otot polos, yaitu

lapisan dalam berupa longitudinal, tengah sirkular, dan luar longitudinal

(Tanagho, 2008).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 3: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

c. Submukosa, berupa jaringan ikat dibawah mukosa dan berhubungan

dengan muskularis.

d. Mukosa, yaitu lapisan terdalam berupa epitel transisional (Sloane, 2003;

Wibowo, 2009).

2. Trigonum vesicae merupakan area halus, triangular, dan relatif tidak dapat

berkembang yang terletak secara internal dibagian dasar kandung kemih.

Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga lubang yaitu dua disudut atas berupa

muara ureter dan satu pada apex berupa uretra (Wibowo dan Parayana,

2009; Guyton dan Hall, 2007).

Gambar 1 Anatomi Kandung Kemih (sectiocadaveris.wordpress.com)

Persarafan kandung kemih diurus oleh saraf yang berasal dari plexus

vesicalis dan plexus prostaticus yang merupakan bagian hypogastrium inferior.

Persarafan ini terdiri dari:

• Serabut motoris yang bersifat parasimpatis untuk persarafan otot destrusor

melalui nervus erigentes. Preganglion neuron parasimpatis berlokasi pada

nervus parasimpatis sakral di medula spinalis pada level sakral-2 sampai

dengan sakral-4.

• Serabut sensoris yang bersifat simpatis melalui nervus hypogastricus akan

terangsang pada peregangan kandung kemih sehingga memberi rasa

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 4: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

penuh, terbakar dan sesak kencing. Inervasi simpatis pada kandung kemih

dan uretra berasal dari intermediolateral nuclei di region torakolumbal

(torakal-10 sampai dengan lumbal-2) pada medula spinalis.

• Serabut simpatis untuk mempersarafi pembuluh darah. Inervasi somatik

pada rhapdospinkter uretra dan beberapa otot perineal yang diatur oleh

nervus pudendal. Serabut-serabut ini berasal dari sfingter motor neuron

yang berlokasi di cabang ventral medula spinalis sakral (sakral-2 sampai

dengan sakral-4) yang disebut nukleus onufis.

• Refleks detrusor memulai kontraksi involunter dari otot kandung kemih

karena peregangan dinding dan terjadi melalui serabut aferen dan eferen

system parasimpatis dari nervus splanchnicus pelvicus. Refleks detrusor

menjadi aktif bila terisi 100-150 cc urin (Thor dan Donatucci, 2004 dalam

Andersson, 2008; Wibowo dan Parayana, 2009).

Persarafan kandung kemih ini dikendalikan oleh:

1. Medula Spinalis

Pengandalian kandung kemih dan pengeluaran air kemih melalui sistem

simpatis dan parasimpatis. Parasimpatis berasal dari medula spinalis sakral 2-4,

yang keluar dari plexus pelvikus dan sakralis, menuju kandung kemih sebagai

nervus pudendal yang akan menyebabkan kontraksi pada otot-otot detrusor dan

dilatasi sfingter interna. Sedangkan saraf simpatis berasal dari medula spinalis

torakal 11 sampai lumbal 2, melalui plexus hypogastricus. Reseptor simpatis

terdiri dari reseptor α dan β. Reseptor α terletak di bagian leher kandung kemih

dan otot polos sekitar pangkal uretra yang menyebabkan kontraksi bagian bawah

kandung kemih, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih. Bila terjadi

inhibisi, maka relaksasi leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra,

sehingga terjadilah miksi. Reseptor β berada di korpus kandung kemih,

perangsangan reseptor ini mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor sehingga

terjadi pengisian. Inhibisi menyebabkan kontraksi otot detrusor dan peningkatan

tekanan kandung kemih diikuti pengosongan kandung kemih (Guyton dan Hall,

2007; Sloane, 2003).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 5: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

2. Otak

Otak memiliki pusat-pusat pengendali miksi yang diliputi oleh pontine

micturition center, yaitu: pusat perangsang miksi berupa pons anterior dan

hipotalamus posterior, dan pusat inhibisi pada otak tengah. Pada saat miksi, pusat-

pusat ini akan mempermudah pusat miksi di medula spinalis sakral untuk

memulai refleks miksi serta inhibisi kontraksi otot sfingter eksternum kandung

kemih, sehingga terjadilah pengeluaran urin (Sloane, 2003).

Pada kandung kemih terdapat penahan berupa ligamentum-ligamentum,

yaitu:

• Ligamentum mediale puboprostaticum (pubovesicale), pada laki-laki

melekat pada prostat dan dinding belakang tulang pubis, sedangkan pada

perempuan pada kolum vesika dan belakang pubis.

• Ligamentum laterale puboprostaticum yang melekat bersamaan dengan

mediale menuju arcus tendineus fascia pelvis.

• Ligamentum laterale vesicae yang melekat pada bagian posterolateral dari

fundus vesicae dan berlanjut ke plica rectovesicale pada laki-laki dan plica

rectouterina pada perempuan (Widodo dan Parayana, 2009).

2.3.2 Fisiologi Miksi

Miksi atau urinisasi merupakan proses pengosongan kandung kemih.

Setelah dibentuk oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih.

Aliran ini dipengaruhi oleh gaya tarik bumi, selain itu juga kontraksi peristaltik

otot polos dalam dinding ureter. Karena urin secara terus menerus dibentuk oleh

ginjal, kandung kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan yang cukup

(Sherwood, 2001).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 6: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

Mekanisme miksi bergantung pada inervasi parasimpatis dan simpatis juga

impuls saraf volunter. Pada pengeluaran urin dibutuhkan kontraksi aktif otot

detrusor, maka:

• Bagian otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi

sebagai sfingter uretra internal yang diinervasi oleh neuron parasimpatis.

• Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot

perineal transversa dibawah kendali volunter. Selain itu bagian

pubokoksigeus pada otot elevator juga berkontriksi dalam pembentukan

sfingter (Sekarwana, 1993; Sloane, 2003; Ward, Clarke, and Linden,

2002).

Rata-rata pengeluaran urin adalah ± 1,5 l per hari, walaupun bisa

berkurang hingga kurang dari 1 l per harinya dan meningkat hingga mendekati 20

l per hari (Ward, Clarke, dan Linden, 2002).

Refleks berkemih dicetuskan apabila reseptor-reseptor regang di dalam

dinding kandung kemih terangsang. Kandung kemih orang dewasa dapat

menampung sampai 250 atau 450 ml urin sebelum tegangan di dinding kandung

kemih untuk mengaktifkan reseptor regang. Makin besar peregangan melebihi

ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan reseptor. Selain refleks ini dimulai,

refleks ini bersifat regenerasi sendiri (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2001).

Refleks berkemih terjadi dengan cara:

• Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls

parasimpatis yang menjalankan melalui saraf splanknik pelvis ke kandung

kemih.

• Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi

sfingter internal dan eksternal (Sloane, 2003).

Pada anak-anak, miksi merupakan sebuah refleks lokal spinal dimana

pengosongan kandung kemih dengan pencapaian tekanan kritis. Sedangkan pada

dewasa, refleks ini dibawah kontrol volunter sehingga dapat diinhibisi oleh otak

(Thomas dan Stanley, 2007). Selama miksi, proses yang terjadi berupa:

• Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot

tersebut sehingga timbul keinginan untuk miksi.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 7: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

• Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit

sehingga penghambatan uvula menurun dan segmen bagian pertama uretra

melebar.

• Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih

untuk mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava.

• Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna

dan dasar panggul akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu

otot detrusor relaksasi kembali untuk pengisian urin selanjutnya (Wibowo

dan Parayan, 2009).

Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian

bawah dapat menyebabkan tidak sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau

tidak dapat menahan miksi, atau gejala-gejala kompleks kandung kemih yang

berlebihan dengan karakteristik berupa sesak dan miksi berulang-ulang dengan

atau tanpa inkontinensia urin (Abrams et al, 2002 dalam Andersson, 2008).

Pengisian dan pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit

saraf di otak, medula spinalis, dan ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas

otot polos di detrusor dan uretra. Suprapontin mempengaruhi keadaan “on-off

switch” pada saluran kemih bagian bawah dengan dua cara operasi yaitu

penyimpanan dan pengeluaran (Anderson dan Wein, 2004; Anderson dan Arner,

2004 dalam Andersson, 2008).

Berkemih dapat dicegah dengan kontraksi sfingter uretra eksterna yang

disadari. Namun, jika kandung kemih terus menerus diisi dan teregang, maka

kontrol sudah tidak mampu lagi mengendalikan (Sherwood, 2001).

Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai walaupun kandung kemih

belum tergang oleh relaksasi volunter sfingter uretra eksterna dan diafragma

pelvis. Penurunan lantai panggul juga memungkinkan kandung kemih turun, yang

secara simultan membuka sfingter uretra eksterna dan meregangkan kandung

kemih. Pengaktifan reseptor-reseptor regang menyebabkan kandung kemih

berkontraksi melalui refleks miksi. Pengosongan kandung kemih secara volunter

dapat dibantu oleh kontruksi dinding abdomen dan diafragma pernafasan yang

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 8: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga memeras kandung kemih untuk

mengosongkan isinya (Sherwood, 2001).

Jadi, refleks berkemih merupakan sebuah siklus yang lengkap. Terdiri

dari:

1. Kenaikan tekanan secara progresif

2. Periode tekanan menetap

3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal

Bila refleks miksi yang terjadi tidak mampu mengosongkan, keadaan

terinhibisi selama beberapa menit hingga 1 jam atau lebih sebelum terjadi refleks

berikutnya. Bila kandung kemih terus menerus diisi, akan terjadi refleks miksi

yang semakin sering dan kuat (Guyton dan Hall, 2007).

2.3.3 Perkembangan Pengendalian Kandung Kemih

Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan kandung kemih

tergantung dari:

• Kapasitas kandung kemih yang adekuat,

• Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih secara sadar untuk memulai

dan mengakhiri miksi.

• Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang atau menghambat

miksi pada berbagai tingkat kapasitas kandung kemih (Gray dan Moore,

2009).

Adapun usia perkembangan kandung kemih, yaitu:

• Neonatus, berkemih terjadi secara spontan dan merupakan refleks medula

spinalis. Bila jumlah urin bertambah, kandung kemih mengembang dan

terjadi refleks yang menimbulkan kontraksi otot detrusor dan relaksasi

otot sfingter eksternum kandung kemih.

• Usia 1-2 tahun, kapasitas kandung kemih bertambah serta maturasi lobus

frontalis dan parietalis otak. Sehingga anak sudah menyadari bila kandung

kemih penuh tapi belum mampu mengendalikan miksi.

• Usia 2,5 tahun, anak sudah tahu cara dan guna miksi sehingga anak sudah

dapat mengendalikan kandung kemih sesuai tempat dan waktu miksi.

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 9: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

• Usia 3 tahun, anak akan pergi ke kamar mandi bila ingin miksi dan sudah

dapat menahan miksi dalam waktu yang cukup lama, terutama saat

bermain dan biasanya akan miksi sekitar 8-14 kali / hari. Pada usia ini usia

ini anak sudah dapat mengendalikan miksi pada siang hari, pada malam

hari 75% anak usia 3,5 tahun sudah tidak mengalami nocturnal enuresis

(mengompol).

• Usia 4,5 tahun, anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih secara

lengkap.

• Usia 5 tahun, anak akan miksi sebanyak 5-8 kali / hari dan akan menolak

miksi bukan ditempatnya (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982;

Sekarwana, 1993).

Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks kandung kemih juga

menyebabkan rasa secara sadar bahwa kandung kemih penuh juga menyebabkan

timbulnya keinginan untuk miksi. Persepsi kandung kemih yang penuh muncul

sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas, sehingga memberi peringatan

bahwa proses miksi akan dimulai. Akibatnya, kontrol volunter terhadap miksi

yang dipelajari selama toilet training pada masa anak-anak dini dapat

mengalahkan refleks miksi. Sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi

sesuai keinginan orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung

kemih pertama kali mencapai titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor

regang. Apabila saat miksi tidak tepat sementara refleks miksi sudah dimulai,

pengosongan kandung kemih dapat secara sengaja dicegah dengan

mengencangkan sfingter eksterna dan diafragmapelvis sehingga impuls eksitatoris

volunter yang berasal dari korteks serebrum mengalahkan masukan inhibitorik

refleks dari reseptor regang ke neuron-neuron motorik yang terlibat sehingga otot-

otot ini tetap berkontraksi dan urin tidak keluar (Sherwood, 2001).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 10: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

2.4 Teori Perkembangan Anak

Dalam konsep jalur perkembangan menyatakan bahwa seorang anak dapat

melewati tahap suksesi. Teori-teori psikoanalitik mengungkapkan bahwa gagasan

tentang tahapan-tahapan itu secara kualitatif mamiliki jangka waktu yang berbeda

dalam perkembangan emosi dan kesadaran (Needlman, 1999). Adapun teori-teori

perkembangan tersebut:

1. Psikoseksual

Teori ini diungkapkan oleh Sigmund Freud yang menggambarkan lima

stadium perkembangan anak, yaitu:

• Fase oral (sejak lahir sampai 1 tahun), tempat pemusatan utama adalah

mulut, bibir, dan lidah sehingga kegiatan yang paling disukai anak pada

usaha ini adalah menggigit dan menghisap.

• Fase anal (1-3 tahun), tempat pemusatan adalah anus dan daerah

sekitarnya. Pada fase inilah anak seharusnya mendapatkan kontrol sfinkter

volunter (toilet training).

• Fase falik oedipal (3-5 tahun), genital merupakan pusat perhatian,

stimulant, dan kegembiraan. Pada masa ini anak senang memegang bagian

genital dan adanya kecemasan kastrasi (takut kehilangan atau cedera

genital). Selain itu pada fase ini juga terdapat Oedipus kompleks, dimana

anak menyukai orang tua yang berlawanan jenis dengannya.

• Fase laten (5-6 tahun sampai 11-12 tahun), pada fase ini keadaan dorongan

seksual relatif dan dengan resolusi kompleks oedipal. Dorongan seksual

relative dialihkan dengan tujuan yang lebih dapat diterima secara social,

seperti sekolah atau olahraga.

• Fase genital (11 - 12 tahun), fase ini merupakan stadium akhir

perkembangan psikoseksual, dimulai dengan pubertas dan kapasitas

biologis untuk orgasme tapi melibatkan kemampuan keintiman yang

sesungguhnya (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 11: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

2. Psikososial

Teori ini diungkapkan oleh Erik Erikson, dengan pembagian:

• Kepercayaan dasar (sensorik oral), fase ini terjadi pada kisaran usia 0-1

tahun, dimana kepercayaan dilanjutkan dengan mudahnya makan,

kedalaman tidur, dan relaksasi usus.

• Otonomi lawan rasa malu-malu dan ragu-ragu (muscular-anal), fase ini

terjadi pada usia 1-3 tahun dimana secara biologis termasuk berjalan,

belajar, makan sendiri, dan berbicara. Selain itu terdapat rasa malu saat

menyadari diri sendiri karena pemaparan negatif dan keraguan jika orang

tua menyisihkan anak.

• Inisiatif lawan rasa bersalah (motor penggerak genital), fase ini terjadi

pada usia 3-5 tahun dimana inisiatif timbul dalam tugas untuk kepentingan

aktifitas motorik maupun intelektual. Pada fase ini juga terdapat rasa

bersalah terhadap perenungan tujuan dan persaingan denga saudara

kandung.

• Keaktifan lawan rendah diri (laten), fase ini terjadi pada usia 6-12 tahun

dimana anak sibuk membangun, menciptakan, dan menyelesaikan.

• Identitas lawan difusi identitas, fase ini terjadi pada usia 11 tahun sampai

akhir mas remaja, dimana terdapat perjuangan untuk mengembangkan

identitas ego (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999).

3. Kognitif

Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang membagi:

• Fase sensori motor (tahap I-IV), fase ini terjadi dari lahir sampai dengan 2

tahun, dimana intelegensia terletak terutama pada tindakan dan gerak yang

terkoordinasi dibawah suatu pola perilaku sebagai respon stimulus

lingkungan tertentu.

• Fase sensori motor (tahap V-VI)

• Fase praoperasional (konkret), fase ini terjadi pada usia 7-11 tahun dimana

timbul pikiran logika mampu mengambil sudut pandang orang lain serta

mengingat angka, panjang, berat, dan volume.

• Fase operasional nyata

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 12: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

• Fase operasi formal (abstrak), fase ini terjadi mulai usia 11 tahun sampai

akhir usia remaja, dimana sudah mampu berfikir tentang pikiran

seseorang, menggunakan dua sistem referensi secara bersamaan dan untuk

memegang konsep kemungkinan (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010;

Needlmann, 1999).

Sedangkan menurut Anna Freud, aspek pertumbuhan dan perkembangan

normal pada anak-anak berupa ketergantungan menuju kemandirian, mengompol

menuju kontrol kandung kemih, dan keterikatan dalam diri sendiri menuju

persahabatan. Aspek-aspek ini mencerminkan pergerakan dari masa bayi yang

juga imatur menuju kompleksitas anak yang telah berkembang (Kaplan, Sadock,

dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999).

2.5 Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab dari nocturnal enuresis tidak diketahui dengan jelas tetapi ada

beberapa kemingkinan yang menjadi penyebab, seperti:

1. Faktor Genetik

Dari anamnesa didapati bahwa salah satu atau kedua orang tua mengalami

enuresis. Dari beberapa penelitian dasar genetik enuresis ditemukan pada kembar

monozigotik (identik) dan dizigotik (faternal) (Von Gontard, Schaumburg,

Hollmann, Eiberg, dan Ritting, 2001 dalam Gray dan Moore, 2009).

2. Faktor Urodinamik

Enuresis abnormal berhubungan denga kecilnya kapasitas kandung kemih

yang dipengaruhi oleh kontraksi detrusor yang berlebihan. Hal ini diduga akibat

kurangnya inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak adanya koordinasi antara

otot-otot detrusor dan otot-otot sfingter (Gray dan Moore, 2009; Sekarwana,

1993).

3. Faktor Antidiuretik

Nocturnal enuresis terjadi karena tingginya volume pengeluaran urin yang

dipengaruhi adanya perubahan ritme sikardian dari sekresi hormon antidiuretik

(ADH) (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 13: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

4. Faktor Kematangan Neurofisiologi

Terlambatnya mekanisme korteks dalam mengendalikan refleks

pembuangan urin dijadikan sebagai hipotesa kemungkinan terjadi nocturnal

enuresis dimana pada pemeriksaan EEG anak dengan nocturnal enuresis didapati

peningkatan serebral aritmia. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh tingkatan tidur

dalam dan pola tidur (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009; Sekarwan, 1993).

5. Faktor Keterlambatan Perkembangan Anak

Keterlambatan perkembangan dapat menjadi salah satu faktor, pada anak

yang terlambat berjalan juga akan terlambat belajar mengontrol miksi. Dimana

nocturnal enuresis merupakan manifestasi kematangan diri dari aspek individual

dalam perkembangan (Koff, 1997; Meadow dan Newell, 2003).

6. Faktor Psikologis

Biasanya hal ini terjadi karena adanya faktor stres selama priode

perkembangan antara usia 2-4 tahun. Stres psikologis berhubungan dengan

enuresis sehingga mempengaruhi perkembangan anak, seperti kelahiran saudara,

perceraian orang tua, pemaksaan fisik dan seksual, kematian dalam keluarga, serta

masalah disekolah. Hal ini dipengaruhi oleh stres emosional, kecemasan, serta

gangguan psikiatri. Dimana nocturnal enuresis merupakan usaha untuk

mendapatkan perhatian, seperti lahirnya adik menyebabkan perhatian orang tua

berkurang sehingga menyebabkan anak menjadi cemas dan anak melakukan hal

ini untuk mencari perhatian orang tuanya. Selain itu proses belajar dan stress

belajar dikemudian hari dapat menyebabkan kembalinya enuresis. Akan tetapi

kebanyakan anak mengalami nocturnal enuresis tidak mengalami sakit psikologis

(Gray dan Moore, 2009; Hogman dan Dech, 2007, Tanagho, 2008; Sekarwan,

1993).

7. Faktor Lain

Nocturnal enuresis dipengaruhi oleh saluran kemih abnormal seperti

obstruksi uretra maupun infeksi kandung kemih, ataupun kondisi-kondisi yang

dapat menyebabkan poliuria seperti diabetes atau insufisiensi ginjal (Meadow dan

Newell, 2003).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 14: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

Nocturnal enuresis dianggap abnormal menurut beberapa penelitian:

• Menurut Miller et al (1960), Oppel et al (1968), Kaffman dan Elizur

(1977) di tempat berbeda dengan kriteria inkontinensia yang mirip (1-3

bulan) dan dengan prospektif menyatakan bahwa anak-anak yang masih

mengalami nocturnal enuresis sampai usia 4 tahun, berbeda dengan usia

yang lebih muda, kemungkinan akan berhenti mengalami hal tersebut

selama 12 bulan (fall sharply).

• Di Baltime pada sampel anak laki-laki (Oppel et al, 1968) lebih dari 40%

anak usia 2 tahun berhenti mengalami nocturnal enuresis, pada tahun

berikutnya 20% pada anak usia 3 tahun, dan hanya 6% pada anak usia 4

tahun yang masih mengalami nocturnal enuresis.

• Kaffman dan Elizur pada tahun 1977 menyatakan enuresis pada anak usia

lebih dari 4 tahun memiliki lebih banyak masalah kebiasaan daripada yang

tidak, tetapi tidak dengan anak yang berusia 3 tahun. Jadi, nocturnal

enuresis masih dianggap normal sampai usia 3 tahun (Shaffer, 1985).

2.6 Diagnosa

Pada nocturnal enuresis gejala yang dikeluhkan berupa pengeluaran urin

dimalam hari, tanpa adanya rasa panas atau terbakar. Tetapi warna urin tetap

jernih (Tanagho, 2008).

Untuk menegakkan diagnosa dari nocturnal enuresis harus dilakukan:

1. Anamnesa

Dari anamnesa didapati onset untuk menentukan enuresis yang terjadi

berupa enuresis primer atau enuresis sekunder, frekuensi, keparahan dan

bagaimana keluarga menangani masalah ini, keadaan tidur atau saat terbangun,

pancaran urin, diawali rasa sesak, dan terjadi sekali-sekali atau terus menerus

(Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 15: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

Selain itu ditanyakan juga riwayat keluarga, dan riwayat penyakit

sebelumnya seperti diabetes insipidus, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis,

infeksi saluran kemih, konstipasi, serta tanyakan juga keadaan psikososial anak

dan keadaan keluarga (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009; Sekarwana,

1993).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi: inspeksi didaerah abdomen untuk melihat

distensi abdomen karena retensi tetapi biasanya pada pemeriksaan fisik tidak

ditemukan kelainan. Sedangkan palpasi dilakukan pada abdomen dan rektum

sesudah pengosongan urin dan serta awasi kekuatan dan kualitas arus urin (Gray

dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993).

Selain itu lakukan juga pemeriksaan refleks sfingter, sensasi perineal,

tonus anal, cara berjalan dan tulang belakang apakah terdapat kelainan medula

spinalis (Sekarwana, 1993).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan berupa urinalisis yang

diperoleh setelah puasa 1 malam dan evaluasi berat jenis spesifik atau osmolaritas

urin atau keduanya untuk menyampingkan poliuria sebagai penyebab frekuensi

inkontinensia (Gonzales. 2000).

Urinalisis yang dilakukan untuk melihat adanya infeksi (positif nitrat dan

leukosit), diabetes melitus (glukosuria), tumor saluran kemih (hematuria), dan

penyakit ginjal (proteinuria) (Gray dan Moore, 2003, Meadow dan Newell, 2003,

Sekarwana,1993).

Biakan urin dilakukan sebagai tes lanjutan bila urinalisis abnormal dan harus

dilakukan secara rutin untuk melihat patologi saluran kemih (Gray dan Moore,

2009).

4. Pemeriksaan Penunjang Lain

Foto X-Ray pada nocturnal enuresis dengan excretory urogram yang

diambil segera setelah miksi tidak ada kelainan dan terlihat tidak ada urin residu.

Urethroscopy dan ultrasaound ginjal dapat dilakukan, tetapi biasanya terlihat

normal (Gray dan Moore, 2009; Tanagho, 2008).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 16: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

Berdasarkan PPDGJ III pedoman diagnostik dari enuresis adalah:

• Suatu gangguan yang ditandai oleh buang air kecil tanpa kehendak, pada

siang dan/atau malam hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak, dan

bukan akibat dari kurangnya pengendalian kandung kemih akibat

gangguan neurologis, serangan epilepsi, atau kelainan struktural pada

saluran kemih.

• Tidak terdapat garis pemisah yang tegas antara gangguan enuresis dan

variasi normal usia seorang anak berhasil mencapai kemampuan

pengendalian kandung kemihnya. Namun demikian, enuresis tidak lazim

didiagnosis terhadap anak dibawah usia 5 tahun atau dengan usia mental

kurang dari 4 tahun.

• Bila enuresis berhubungan dengan suatu gangguan emosional atau

perilaku, yang lazim merupakan diagnosis utamanya, hanya bila terjadi

sedikitnya beberapa kali dalam seminggu.

• Enuresis ada kalanya timbul bersamaan dengan enkopresis, dalam hal ini

enkopresis yang diutamakan (Maslim, 2001).

2.7 Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari nocturnal enuresis dapat berupa:

1. Diurnal enuresis. Diurnal enuresis merupakan keadaan enuresis yang

terjadi pada siang hari (Sekarwana, 1993).

2. Obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pada penyakit ini terjadi

penurunan pancaran urin, nyeri, miksi terjadi siang dan malam, pyuria,

demam, serta sering terjadi distensi kandung kemih. Pada urogram

didapati dilatasi kandung kemih dan saluran kemih bagian atas. Karena

terjadi obstruksi kuat yang disebabkan spasme di otot dinding pelvis

menyebabkan kerusakan kandung kemih dan ginjal (Tanagho, 2008).

3. Infeksi saluran kemih. Infeksi yang terjadi tidak berhubungan dengan

obstruksi menimbulkan gejala frekuensi pada siang hari dan malam hari.

Penyakit ini disertai nyeri saat miksi, demam, anemi, dan pada urinalisis

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 17: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

dijumpai sel nanah atau bakteri atau keduanya yang disertai dengan

penurunan fungsi ginjal (Tanagho, 2008; Hagman dan Dech, 2003).

4. Penyakit Neurogenik. Pada anak dengan kelainan cabang atau batang saraf

sakralis dapat terjadi kegagalan dalam kontrol miksi baik disiang hari

maupun malam hari (Tanagho, 2008).

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Farmakologi

Obat-obat yang digunakan dalam menangani kasus-kasus enuresis berupa:

1. Desmopresin Acetate, merupakan antidiuretik yang meningkatkan

reabsorbsi air. Obat ini diberikan sebelum tidur dengan cara disemprotkan

ke hidung. Desmopresin dapat digunakan dalam mengurangi nocturnal

enuresis sampai anak dapat menahan miksi, tidak memiliki efek samping,

dan menunjukkan efek antienuretik yang signifikan. Tetapi desmopresin

kontra indikasi pada pasien dengan thrombotic thrombocytopenic purpura

(Gonzales, 2000; Meadow dan Newell, 2003; Tanagho, 2008; Veygradier,

Meyer, dan Loirat, 2006 dalam Gray dan Moore, 2009).

2. Imipramin, merupakan obat antidepresan trisiklik yang diminum 25 mg

sebelum makan malam (Meadow dan Newell, 2003; Tanagho, 2008).

Mekanisme kerjanya belum jelas, namun mempunyai efek signifikan pada

saat tidur (Mikkelsen, Rapoport, Nee, Gruenau, Mendelson, dan Grlinc,

1980 dalam Koff, 1997). Respon klinis obat ini bergantung pada kadar

plasma dalam darah, efek sampingnya berupa toksik dan lethal overdosis

bila digunakan dalam dosis besar (Jogensen, Lober, Christiansen, dan

Gram, 1980; Degatta Gracia, dan Acosta, 1984 dalam Koff 1997). Efek

samping yang terjadi dapat berupa iritabilitas, penurunan nafsu makan,

mual dan muntah (Yeung dan Shioe, 2007 dalam Gray dan Moore, 2009).

3. Obat-obat parasimpatolitik seperti atropine atau Belladona berguna

menurunkan tonus otot detrusor. Dapat juga digunakan Methaline bromide

25-27 mg sebelum tidur (Tanagho, 2008).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 18: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

4. Obat simpatomimetik seperti dextroamphetamine sulfate 5-10 mg sebelum

tidur ( Tanagho, 2008 ).

Obat-obatan ini tidak terlalu berguna karena sebagian besar akan

mengalami relaps saat penggunaan obat dihentikan (Meadow dan Newell, 2003).

2.8.2 Non Farmakologi

Terapi yang dapat dilakukan berupa:

1. Perubahan kebiasaan, yaitu mengurangi asupan air 2 jam sebelum tidur,

mencegah mengonsumsi minuman berkafein, orang tua membangunkan

anaknya pada malam hari untuk miksi denga cara mengidupkan lampu

atau mengusapkan handuk dingin diwajahnya, latihan menahan miksi

untuk memperbesar kapasitas kandung kemih agar waktu antara miksi

menjadi lebih lama, minta anak membantu membersihkan serta mengganti

alas tempat tidurnya dan mengganti piyama sendiri, serta memberi hadiah

bila anak tidak mengompol (Gray dan Moore, 2009; Meadow dan Newell,

2003; Sekarwan, 1993).

2. Miksi sebelum tidur, dimana anak diharuskan pergi ke toilet untuk buang

air kecil sebelum tidur pada setiap malamnya (Gauthier, Edelmann, dan

Barnett, 1982).

3. Menggunakan alarm, yang dilakukan selama 4-6 minggu disertai dengan

pemberian hadiah agar dapat lebih efektif. Alarm dipasang sebelum tidur

dan berbunyi atau bergetar saat miksi (Gray dan Moore, 2009; Hogmann

dan Dech, 2007, Sekarwan, 1993, Tanagho, 2008).

4. Psikoterapi, dengan cara adanya konseling pada anak dan harus dijelaskan

pada orang tua bahwa hal ini akan berhenti dengan sendirinya dan agar

lebih efektif dilakukan beberapa terapi, jadi diharapkan agar orang tua

tidak menghukum anak karena nocturnal enuresis akan memperberat

keadaan anak tersebut (Gray dan Moore, 2009; Tanagho, 2008).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara

Page 19: tinjauan pustaka BAB II makalah enuresis

2.8.3 Indikasi terapi

Nocturnal enuresis bukanlah sebuah penyakit, dan akan menghilang

dengan sendirinya. Oleh karena itu sebenarnya masalah ini tidak perlu diterapi

akan tetapi dicegah, dimana orang tua dituntut untuk melakukan beberapa

tindakan untuk menanggulangi masalah ini. Adapun hal yang sebaiknya dilakukan

berupa perubahan kebiasaan serta pengajaran terhadap anak untuk miksi sebelum

tidur. Sedangkan penggunaan obat-obatan tdak begitu disarankan, karena hanya

bersifat sementara (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982).

2. 9 Komplikasi dan Prognosis

Nocturnal enuresis dapat sembuh spontan tanpa diobati pada 10-20%

kasus per tahun. Penyembuhan terjadi bila orang tua dan anak sabar menunggu

(Sekarwana, 1993). Akan tetapi, bila tidak ada penanganan dan peran orang tua

dalam mengatasi nocturnal enuresis, dapat berkembang menjadi gangguan

psikogenik atau kecemasan (Tanagho, 2008 ).

Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara