tinjauan umum multifungsi...

132
Prosiding Multifungsi Pertanian, 2005 TINJAUAN UMUM MULTIFUNGSI PERTANIAN Multifunctionality of agriculture Fahmuddin Agus dan Edi Husen Balai Penelitian Tanah Jln. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 e-mail: [email protected] ABSTRAK Pertanian selama ini hanya dihargai karena kemampuannya menghasilkan bahan pangan, serat dan papan, sedangkan fungsi lain di bidang lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi belum banyak dikenal atau masih diabaikan. Penelitian di daerah aliran sungai (DAS) Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah tentang alih guna lahan dan dampaknya terhadap lingkungan memperlihatkan bahwa dengan semakin menyempitnya lahan hutan dan lahan pertanian berbasis pohon- pohonan dan meluasnya lahan permukiman dan industri menyebabkan berkurangnya fungsi DAS dalam mitigasi banjir dan penanggulan erosi. Studi di DAS Citarum, Jawa Barat memperlihatkan bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan lahan sawah dalam hal mitigasi banjir, konservasi sumber daya air, pengendalian erosi, daur ulang sampah organik, pelestarian daya tarik pedesaan, dan mitigasi kenaikan suhu udara yang dihitung dengan RCM (replacement cost method) adalah sekitar 51% dari nilai jual beras yang dihasilkan sawah di DAS tersebut. Keterbatasan metodologi menyebabkan beberapa fungsi penting lain seperti ketahanan pangan, sosial ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan pemelihara keanekaragaman hayati tidak dapat divaluasi secara ekonomi sehingga nilai 51% tersebut masih di bawah nilai taksiran. Di dalam sistem ekonomi, bahkan dalam kebijakan pemerintah yang berlaku dewasa ini, berbagai aspek multifungsi secara umum masih diperlakukan sebagai eksternalitas, artinya belum diperhitungkan sebagai bagian integral dalam perhitungan input dan output. Dengan demikian jasa-jasa ini merupakan sumbangan cuma-cuma yang diberikan petani terhadap masyarakat umum. Harga jual beras yang rendah dan nilai sewa lahan sawah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan lahan untuk perumahan dan industri merupakan akibat dari eksternalisasi multifungsi pertanian, sehingga bekerja di bidang pertanian bagi sebagian besar angkatan kerja menjadi pilihan terakhir. Salah satu akibatnya adalah terjadinya alih- guna sekitar satu juta ha lahan sawah berproduktivitas tinggi di Jawa selama periode 1981 - 1999 (sekitar 55.000 ha tahun -1 ). Konsep multifungsi ini menyimpulkan bahwa pertanian tidak dapat disubstitusi dengan sektor ekonomi lainnya. Apabila yang dinilai dari pertanian hanya produk barang yang tampak nyata (tangible) yang dapat dipasarkan (marketable) saja, maka akan berisiko terhadap semakin meningkatnya alih guna lahan dan selanjutnya menurunkan kelestarian kualitas lingkungan, ketahanan pangan, dan kestabilan sosial ekonomi. ISBN: 979-9474-42-6 1

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Prosiding Multifungsi Pertanian, 2005

    TINJAUAN UMUM MULTIFUNGSI PERTANIAN Multifunctionality of agriculture

    Fahmuddin Agus dan Edi Husen

    Balai Penelitian Tanah Jln. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

    e-mail: [email protected]

    ABSTRAK

    Pertanian selama ini hanya dihargai karena kemampuannya menghasilkan bahan pangan, serat dan papan, sedangkan fungsi lain di bidang lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi belum banyak dikenal atau masih diabaikan. Penelitian di daerah aliran sungai (DAS) Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah tentang alih guna lahan dan dampaknya terhadap lingkungan memperlihatkan bahwa dengan semakin menyempitnya lahan hutan dan lahan pertanian berbasis pohon-pohonan dan meluasnya lahan permukiman dan industri menyebabkan berkurangnya fungsi DAS dalam mitigasi banjir dan penanggulan erosi. Studi di DAS Citarum, Jawa Barat memperlihatkan bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan lahan sawah dalam hal mitigasi banjir, konservasi sumber daya air, pengendalian erosi, daur ulang sampah organik, pelestarian daya tarik pedesaan, dan mitigasi kenaikan suhu udara yang dihitung dengan RCM (replacement cost method) adalah sekitar 51% dari nilai jual beras yang dihasilkan sawah di DAS tersebut. Keterbatasan metodologi menyebabkan beberapa fungsi penting lain seperti ketahanan pangan, sosial ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan pemelihara keanekaragaman hayati tidak dapat divaluasi secara ekonomi sehingga nilai 51% tersebut masih di bawah nilai taksiran. Di dalam sistem ekonomi, bahkan dalam kebijakan pemerintah yang berlaku dewasa ini, berbagai aspek multifungsi secara umum masih diperlakukan sebagai eksternalitas, artinya belum diperhitungkan sebagai bagian integral dalam perhitungan input dan output. Dengan demikian jasa-jasa ini merupakan sumbangan cuma-cuma yang diberikan petani terhadap masyarakat umum. Harga jual beras yang rendah dan nilai sewa lahan sawah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan lahan untuk perumahan dan industri merupakan akibat dari eksternalisasi multifungsi pertanian, sehingga bekerja di bidang pertanian bagi sebagian besar angkatan kerja menjadi pilihan terakhir. Salah satu akibatnya adalah terjadinya alih-guna sekitar satu juta ha lahan sawah berproduktivitas tinggi di Jawa selama periode 1981 - 1999 (sekitar 55.000 ha tahun-1). Konsep multifungsi ini menyimpulkan bahwa pertanian tidak dapat disubstitusi dengan sektor ekonomi lainnya. Apabila yang dinilai dari pertanian hanya produk barang yang tampak nyata (tangible) yang dapat dipasarkan (marketable) saja, maka akan berisiko terhadap semakin meningkatnya alih guna lahan dan selanjutnya menurunkan kelestarian kualitas lingkungan, ketahanan pangan, dan kestabilan sosial ekonomi.

    ISBN: 979-9474-42-6 1

  • Agus dan Husen

    ABSTRACT

    Agriculture has been valued merely for their ability to produce food, fiber, and wood, while other important functions in environment, socio-cultural, and economy have not been recognized or otherwise been ignored. A study in Citarik Watershed in West Java and Kaligarang Watershed in Central Java on land use changes and their impact on the environment revealed that the decrease of forest and tree based-multistrata cropping areas and the increase of industrial and housing areas have reduced watershed’s functions in flood mitigation and soil loss prevention. A study in Citarum River Basin, West Java, using the replacement cost method (RCM) revealed that paddy field system produced services in terms of flood mitigation, preservation of water resources, soil erosion prevention, waste disposal, rural amenity and heat mitigation as high as about 51% equivalent to the marketable rice produced in the area. Limitation in the methodology excluded several important variables, including food security, socio-economic functions, job oppotunity, and biodiversity in the economic valuation such that the 51% value was an under-estimate. In the current economic and government policy systems these multifunctions are still considered as externalities; meaning that these aspects have not been integrated in the input-output calculations. As such, these services are farmers’ free contribution to the community at large. The low rice price and low land rent of paddy field compared to land for settlement and industrial developments are among the effects of externalization of multifunctionality such that agriculture become the last resort among most work force. In consequence, about 1 million ha of highly productive paddy field in Java have been converted during the period of 1981 to 1999. The overall concept of multifunctionality concluded that agriculture could not be substituted by any other economic sectors. Valuing only the tangible, marketable products of agriculture risks the country in the form of accelerating agricultural land conversion, degrading environmental quality, declining food security and socio-economic stability.

    PENDAHULUAN

    Sebagai negara agraris, pertanian Indonesia mempekerjakan angkatan kerja terbanyak (sekitar 44%) dibandingkan dengan sektor lain. Pertanian juga menyediakan sebagian besar kebutuhan pangan seluruh rakyat. Lahan sawah dan lahan kering menyediakan 85-100% kebutuhan beras di dalam negeri. Apabila tingkat kecukupan di dalam negeri (self sufficiency) menurun secara signifikan, akan terjadi pengurasan devisa negara untuk pembelian beras impor dan peningkatan harga beras di pasar internasional karena proporsi impor oleh Indonesia bisa mencapai 30% dari kuota beras yang diperdagangkan (Husein Sawit; Komunikasi pribadi).

    Banyak fungsi lain dari pertanian selain penyedia lapangan kerja dan penghasil pangan. Fungsi tersebut antara lain fungsi stabilisasi kualitas lingkungan

    2

  • Multifungsi Pertanian

    (mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat karbon, penyejuk dan penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati), pemelihara nilai sosial budaya dan daya tarik pedesaan (rural amenity), penyangga kestabilan ekonomi dalam keadaan krisis, penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation), dan berbagai jasa lainnya.

    Indikasi meningkatnya intensitas erosi dan meluasnya banjir dalam beberapa dekade terakhir, terkait dengan hilangnya sebagian fungsi lahan pertanian yang sudah beralih guna ke penggunaan non-pertanian, terutama ke areal perumahan dan industri. Dewasa ini pemahaman masyarakat terhadap fungsi pertanian pada umumnya masih terbatas pada fungsi penghasil barang yang dapat dipasarkan (marketable products), sedangkan fungsi penghasil jasa publik (public services) masih belum banyak diketahui, ataupun masih diabaikan. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat (termasuk pemerintah) terhadap multifungsi pertanian sangat diperlukan agar pertanian mendapat perlakuan dan penghargaan (reward) yang lebih layak sehingga dapat menjamin kelestarian usaha tani, mempertahankan kualitas lingkungan, dan memelihara stabilitas sosial ekonomi Indonesia.

    Makalah ini merupakan sintesis dari serangkaian hasil penelitian multifungsi pertanian yang dilaksanakan di daerah aliran sungai (DAS) Citarum, DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah yang dilaksanakan tahun 2001 sampai 2003, dan berdasarkan tinjauan pustaka yang berkaitan dengan multifungsi pertanian.

    PENGERTIAN MULTIFUNGSI PERTANIAN

    Sebagai penyokong utama kehidupan, pertanian perlu dilihat dalam dimensi yang lebih luas, yaitu tidak hanya semata-mata sebagai penghasil produk pertanian yang tampak nyata dan dapat dipasarkan (tangible and marketable), tetapi juga sebagai penghasil jasa yang tidak tampak nyata (intangible). Kebanyakan dari jasa tersebut tidak/belum diperhitungkan di dalam sistem pasar yang ada sekarang (non-marketable). Berbagai jasa atau fungsi positif yang disumbangkan oleh pertanian dikenal dengan “Multifungsi Pertanian” (OECD, 2001).

    Konsep multifungsi pertanian penting artinya dalam rangka mereposisikan peran sektor pertanian pada kedudukan yang semestinya, artinya memperhitungkan nilai berbagai jasa pertanian dan biaya untuk menghasilkan jasa tersebut yang dewasa ini masih berada di luar perhitungan ekonomi dan kebijakan (externalities). Tidak diperhitungkannya multifungsi pertanian menyebabkan sektor pertanian mudah dikalahkan oleh sektor lain, seperti sektor industri dan permukiman.

    3

  • Agus dan Husen

    Multifungsi pertanian mencakup fungsi lingkungan (mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, konservasi air tanah, penambat karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, pemelihara keanekaragaman hayati), pemelihara tradisi, budaya, dan kehidupan pedesaan, penyedia lapangan kerja, serta basis bagi ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi. Eom & Kang (2001) di Korea Selatan sudah mengidentifikasi 30 jenis multifungsi pertanian, 10 jenis diantaranya sudah populer atau memasyarakat. Hasil penelitian Irawan et al. (2004) di DAS Citarum, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang multifungsi pertanian masih rendah. Dari 10 sampai 13 jenis multifungsi pertanian yang sudah dikenal oleh masyarakat di negara maju, hanya 2 sampai 3 jenis multifungsi saja yang paling dikenal dan dipahami masyarakat, yaitu fungsi pemelihara pasokan air tanah, pengendali banjir, dan penyedia lapangan kerja. Fungsi ketahanan pangan yang lebih populer di kalangan pemerintahan tidak dianggap sebagai multifungsi oleh sebagian besar masyarakat karena ketahanan pangan sering disamakan dengan bahan pangan yang merupakan produk nyata yang dapat dipasarkan.

    Multifungsi pertanian mempunyai sifat non-exludability, yaitu jasa yang dihasilkan dapat dinikmati secara cuma-cuma, tidak saja oleh petani yang menghasilkannya, tetapi juga oleh masyarakat luas. Multifungsi pertanian juga bersifat non-rivalry, yaitu masyarakat dapat menikmati jasa tersebut tanpa harus berkompetisi karena jasa tersebut merupakan milik umum (public goods).

    Perbaikan kesuburan tanah sebagai hasil dari tindakan pemupukan dan konservasi bukan merupakan multifungsi pertanian karena manfaat tersebut hanya terbatas bagi lahan petani yang bersangkutan, sedangkan lahan di sekitarnya tidak mendapatkan manfaat tersebut (excluded). Akan tetapi pengurangan sedimentasi di daerah hilir dari hasil penerapan konservasi di daerah hulu dapat digolongkan sebagai multifungsi karena pengurangan sedimentasi memberikan manfaat bagi pengguna air di sepanjang aliran sungai di bagian hilir. Penambatan karbon (carbon sequestration) sebagai hasil penerapan sistem pertanian berbasis pohon-pohonan juga merupakan salah satu bentuk multifungsi pertanian karena terjadi pengurangan konsentrasi CO2 di atmosfer yang mampu mengurangi kenaikan suhu udara global (global warming). Perlambatan kenaikan suhu udara tidak hanya dinikmati oleh petani sebagai penghasil jasa, namun juga oleh masyarakat luas. Contoh lain dari multifungsi adalah daya tarik nilai budaya dan keindahan pedesaan (rural amenity). Keindahan dan keasrian pedesaan dapat dinikmati oleh siapa saja yang berkunjung ke pedesaan. Dibangunnya berbagai objek agrowisata merupakan cerminan bahwa masyarakat memerlukan rural amenity tersebut.

    4

  • Multifungsi Pertanian

    Multifungsi pertanian sering dirancukan dengan multiple cropping atau multistrata farming system yang menghasilkan berbagai bentuk hasil pertanian. Sebenarnya produk multiple cropping dapat dilihat dari dua sisi. Berbagai hasil tanaman seperti kacang-kacangan, biji-bijian, buah-buahan, dan sayur-sayuran merupakan hasil yang dapat dipasarkan sehingga bukan merupakan multifungsi. Akan tetapi dampak keanekaragaman hayati dan aksesibilitas berbagai produk pangan (salah satu bentuk ketahanan pangan) oleh penduduk di sekitarnya merupakan jasa yang tergolong multifungsi pertanian.

    Penilaian multifungsi pertanian dengan menggunakan metode ekonomi merupakan cara yang tidak mudah, namun sangat diperlukan sebagai bahan masukan untuk penetapan kebijakan. Bahkan sebagian multifungsi seperti keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, fungsi penyangga ekonomi (economic buffer) dalam keadaan krisis tidak dapat dinilai (atau belum ada metode penilaiannya) secara ekonomi.

    Metode yang digunakan untuk valuasi ekonomi pada umumnya merupakan perhitungan tidak langsung (indirect method), antara lain replacement cost method (RCM), contingent valuation method (CVM), travel cost method (TCM), hedonic cost method (HCM) (OECD, 2001; Yoshida, 2001; Yoshida & Goda, 2001; Chen 2001; Eom & Kang, 2001). Berbagai contoh lain dapat ditemukan dari hasil studi beberapa negara yang dikoordinir Food Agriculture Organization (FAO) di dalam http://www.fao.org/es/ESA/Roa/ROA-e/case_studies-e.htm.

    Metode RCM menghitung multifungsi pertanian dalam bentuk biaya pengembalian suatu fungsi apabila fungsi tersebut menghilang. Sebagai contoh, apabila lahan sawah yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengendali banjir menghilang atau berubah menjadi areal industri dan perumahan, maka untuk mengembalikan fungsi pengendalian banjir diperlukan misalnya dam pengendali banjir. RCM menghitung biaya pembangunan dan pemeliharaan dam per satuan volume air yang dapat ditampung dan per satuan waktu tertentu. Metode ini pernah dicoba oleh berbagai kalangan seperti Yoshida (2001) dan Agus et al. (2003).

    Metode CVM populer juga disebut sebagai willingness to pay (WTP) atau kemauan/kesanggupan membayar dari sisi pengguna jasa dan willingness to accept (WTA) atau kesanggupan/kemauan menerima imbalan dari sisi penghasil jasa. Untuk suatu jasa tertentu, misalnya jasa mitigasi banjir, responden pengguna jasa (penduduk hilir dan/atau pemerintah) ditanya kesanggupannya untuk berkontribusi kepada petani penghasil jasa agar petani dapat melakukan atau mempertahankan kegiatan yang memberikan manfaat mitigasi banjir tersebut. Teknik WTP dapat dilakukan secara tersendiri atau dapat juga dilakukan bersamaan dengan WTA. Di dalam WTA petani penghasil jasa dijadikan responden untuk menjawab pertanyaan

    5

  • Agus dan Husen

    berapa bayaran yang mau mereka terima untuk suatu tindakan mitigasi banjir. Metode ini sudah dicoba antara lain oleh Eom & Kang (2001) dan Manikmas & Agus (2004).

    ALIH GUNA LAHAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN

    Pemerintah Indonesia telah menetapkan program ketahanan pangan sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan pertanian. Ini mencakup usaha-usaha untuk meraih kembali swasembada pangan yang pada tahun 1984 berhasil dicapai. Akan tetapi, usaha pencapaian swasembada pangan ataupun kecukupan pangan ini dihadapkan pada berbagai masalah, terutama masalah meningkatnya alih guna lahan pertanian ke non-pertanian.

    Salah satu pemicu alih guna lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya insentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusaha tani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan kepada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca yang sulit diramalkan, serangan hama penyakit, tidak tersedianya sarana produksi, sulitnya pemasaran, dan berfluktuasinya harga produk pertanian. Pada sisi lain, impor beras yang terjadi, terutama pada waktu negara dalam keadaan surplus beras, ikut memperburuk permasalahan yang dihadapi petani karena harga beras impor pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan harga beras produksi dalam negeri. Kondisi ini memperlemah minat petani untuk berusaha tani, terutama di kalangan generasi muda yang selanjutnya berakibat pada meningkatnya laju alih-guna lahan pertanian. Alih guna lahan pertanian, terutama yang bersifat tidak dapat balik (irreversible), seperti alih guna dari lahan sawah ke areal permukiman dan industri, sangat berpengaruh pada fungsi sawah dalam menghasilkan berbagai jasa.

    Alih guna lahan Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan

    penggunaan lahan untuk pertanian dan penggunaan lain di luar pertanian maka alih guna dari lahan hutan menjadi lahan pertanian dan dari lahan pertanian menjadi areal permukiman dan industri tidak dapat dielakkan. Namun sebagian dari alih guna lahan tersebut terjadi dari lahan pertanian yang justru mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian dan dari lahan hutan dengan lereng curam menjadi lahan pertanian tanaman semusim yang rentan terhadap berbagai bencana.

    Hasil analisis oleh Irawan et al. (2001) menunjukkan bahwa dalam periode tahun 1981-1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di P. Jawa dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di luar P. Jawa telah menyusut dan beralih guna ke non-

    6

  • Multifungsi Pertanian

    pertanian (Tabel 1), terutama ke areal industri dan perumahan (Agus et al., 2003). Walaupun pada periode tersebut juga terjadi pencetakan sawah baru (0,5 juta ha di P. Jawa dan 2,7 juta ha di luar P. Jawa), upaya ini belum mampu memecahkan masalah kecukupan pangan nasional karena tingkat produktivitas lahan sawah baru masih jauh lebih rendah daripada lahan sawah lama. Penyusutan lawan sawah ini sudah tentu akan meningkatkan ketergantungan pemerintah terhadap beras impor guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat.

    Tabel 1. Alih guna dan pencetakan lahan sawah di Indonesia dari tahun 1981-1999

    Luas 1981 Beralih guna Pencetakan Selisih

    ha

    P. Jawa 3.491.000 1.002.055 518.224 -483.831

    Luar P. Jawa 3.567.000 625.459 2.702.939 2.077.480

    Indonesia 7.059.000 1.627.514 3.221.163 1.593.649

    Sumber: Diolah oleh Irawan et al. (2001) dari BPS (1982-2000).

    Pada umumnya lahan yang beralih guna tersebar pada areal lumbung beras

    nasional seperti di Pantura (pantai utara P. Jawa) dan di sekitar pusat pembangunan di dalam dan pinggir perkotaan. Daerah ini umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan sehingga berproduktivitas tinggi (dapat berproduksi pada dua musim tanam setiap tahun).

    Dengan asumsi bahwa lahan sawah yang dikonversi mempunyai produktivitas 5 ton gabah kering giling (GKG) per ha dalam musim hujan dan 3 ton GKG per ha dalam musim kemarau, maka jika alih guna lahan sawah tidak terjadi, produksi padi seharusnya menjadi 12,8 juta ton GKG per tahun (1,6 juta ha * 8 t GKG ha-1 tahun-1) lebih tinggi dari tingkat produksi sekarang. Jika dikonversi ke dalam beras dengan faktor rendemen 0,6, maka jumlah ini setara dengan 7,7 juta ton beras beras. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah beras impor seperti yang tertera pada Tabel 2. Ini berarti, dengan luas pencetakan sawah seperti tertera pada Tabel 1 dan tidak terjadi alih guna lahan sawah maka seharusnya Indonesia sudah surplus beras.

    Ketahanan pangan dan impor beras Ketahanan pangan mencakup pengertian jumlah pangan (quantity) yang

    cukup, mudah didapatkan (accessibility) oleh semua lapisan masyarakat, dan aman

    7

  • Agus dan Husen

    (safety) untuk dikonsumsi. Dalam hal jumlah pangan, beras sering menjadi pokok bahasan utama.

    Sawah merupakan penyedia utama beras. Luas panen padi sawah pada tahun 2003 adalah 11,5 juta ha, sedangkan luas panen padi gogo hanya sekitar 10% dari luasan tersebut. Pada tahun 2003 produksi beras dari sawah adalah 32,8 juta ton, sedangkan kontribusi dari lahan kering hanya sekitar 5% dari jumlah tersebut (Tabel 2). Dalam periode 1990 - 2003, sawah mampu memenuhi 85 sampai 100% dari kebutuhan beras dalam negeri. Tingkat ketergantungan Indonesia pada beras impor selama periode tersebut tertinggi pada tahun 1998 disebabkan tahun 1997 merupakan tahun El Nino sehingga cadangan beras Indonesia pada tahun 1998 sangat rendah. Kisaran jumlah impor beras dalam dekade terakhir berkisar antara 0,4 sampai 5,7 juta ton.

    Tabel 2. Luas panen, produksi, produktivitas, dan impor beras Indonesia tahun 1990-2003

    Tahun Luas panen Produktivitas Produksi

    gabah Produksi

    beras Impor beras

    x 1.000 ha t ha-1 x 1.000 t

    1990 10.502 4,30 45.179 29.366 29 1991 10.282 4,35 44.689 29.048 178 1992 11.103 4,34 48.240 31.356 634 1993 11.013 4,38 48.181 31.318 0 1994 10.734 4,35 46.641 30.317 876 1995 11.439 4,35 49.744 32.334 3.014 1996 11.569 4,41 51.101 33.215 1.090 1997 11.141 4,43 49.377 32.095 406 1998 11.613 4,17 48.472 30.537 5.765 1999 11.963 4,25 50.866 31.118 4.183 2000 11.793 4,40 51.898 32.345 1.513 2001 11.415 4,39 50.181 31.283 1.400 2002 11.521 4,47 51.490 32.369 3.100 2003 11.488 4,54 52.138 32.846 2.400 Sumber: Arifin (2004) mengutip data dari berbagai sumber.

    Impor beras merupakan langkah yang dapat dijustifikasi untuk mengisi

    defisit ketersediaan beras nasional apabila langkah lain untuk pengamanan cadangan beras sudah dilakukan. Akan tetapi meningkatnya ketergantungan terhadap beras impor akan menyebabkan pengurasan cadangan devisa negara. Selain itu, karena

    8

  • Multifungsi Pertanian

    Indonesia merupakan importir beras terbesar di dunia dewasa ini, peningkatan impor beras oleh Indonesia, misalnya dari 2 menjadi 4 juta ton per tahun akan mengakibatkan kenaikan harga beras dunia karena kuota perdagangan beras dunia per tahun hanya berkisar antara 12 sampai 15 juta ton. Selain itu, impor hanya dapat berlangsung apabila dunia (terutama negara eksportir dan importir) berada dalam keadaan aman. Apabila negara berada dalam keadaan bahaya seperti perang atau bencana alam, ketergantungan kepada impor akan sangat berisiko. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghasilkan beras atau pangan di dalam negeri (self reliance) jauh lebih aman dibandingkan dengan ketergantungan pada beras impor.

    Keberadaan lahan pertanian (sawah) tidak saja penting dalam hal luas total lahan, tetapi juga penting dari segi penyebarannya. Sawah yang tersebar luas di seluruh wilayah nusantara penting dalam arti lebih terdistribusinya beras sampai ke pelosok pedesaan. Selain itu, bagi petani miskin, memproduksi beras/pangan di lahannya sendiri akan meningkatkan kemampuan mereka mendapatkan (access) pangan tanpa harus mengeluarkan uang yang belum tentu tersedia.

    FUNGSI PERTANIAN DALAM BIDANG LINGKUNGAN

    Mitigasi banjir Mitigasi banjir (disebut juga sebagai daya sangga air) dari lahan pertanian

    adalah kemampuan lahan pertanian untuk menahan air hujan untuk sementara waktu selama dan sesaat sesudah peristiwa hujan. Air hujan ditahan oleh tajuk (kanopi) tanaman, tergenang di permukaan tanah, atau diserap oleh pori tanah.

    Hamparan sawah dapat dilihat sebagai kumpulan kolam-kolam alami atau dam-dam kecil penampung air hujan sebelum mengalir secara perlahan ke badan-badan air (sungai, danau). Di daerah-daerah dengan tingkat curah hujan tinggi, fungsi sawah ini menjadi sangat penting karena mampu mencegah atau mengurangi terjadinya debit air maksimum penyebab banjir di bagian hilir suatu kawasan DAS. Peran sawah ini sejak dulu tidak pernah berubah, tetapi luas lahan sawah terus menyusut karena beralih guna ke areal permukiman dan industri. Daya sangga air (mitagasi banjir) lahan sawah ditentukan oleh perbedaan tinggi pematang dengan tinggi muka air sebelum hujan. Sumbangan tajuk padi dan simpanan air pada pori tanah sangat kecil karena kecil luas total permukaan daun relatif kecil dan kadar air tanah relatif tetap (keadaan jenuh) sebelum dan sesudah peristiwa hujan.

    Untuk lahan hutan, kapasitas tajuk tanaman dalam menampung air cukup tinggi, demikian pula kapasitas pori tanah karena struktur tanah hutan relatif bagus, serasah yang tebalnya juga dapat terisi air, dan dalamnya sistem perakaran.

    9

  • Agus dan Husen

    Daya sangga air beberapa macam penggunaan lahan disajikan pada Gambar 1. Secara umum dapat dilihat bahwa daya mitigasi banjir lahan hutan paling tinggi, kemudian diikuti oleh lahan pertanian berbasis pohon-pohonan dan lahan sawah. Lahan pertanian tanaman semusim mempunyai nilai mitigasi banjir yang rendah dan areal perumahan dan industri mempunyai daya mitigasi banjir paling rendah. Dengan demikian, semakin meluas areal perumahan dan industri, semakin rentan hilir suatu DAS terhadap banjir.

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    Day

    a sa

    ngga

    air

    (mm

    )

    Kapasitas intersepsi tajuk 35 3 25 5 0

    Kapasitas genangan 10 92 10 20 10

    Absorpsi pori tanah 106 0 80 23 10

    Hutan Sawah Kebun Campuran

    Tegalan Pemukiman/ Industri

    Gambar 1. Daya sangga air (daya mitigasi banjir) berbagai tipe penggunaan lahan (Agus et al., 2003)

    Pengendali erosi

    Tingkat erosi berbagai tipe penggunaan lahan berbeda-beda, atau dengan kata lain daya kendali berbagai penggunaan lahan terhadap erosi berbeda-beda pula. Hutan, dengan tajuk bertingkat, penutupan permukaan tanah yang tebal oleh serasah, dan kapasitas infiltrasi tanahnya yang tinggi mempunyai daya sangga yang tinggi terhadap erosi. Erosi di lahan hutan primer biasanya tidak lebih dari 3 t ha-1 tahun-1. Semakin sedikit tajuk tanaman dan semakin sedikit penutupan permukaan tanah, semakin rendah pula daya kendalinya terhadap erosi. Dengan demikian, lahan dengan sistem pertanian berbasis tanaman pohon-pohonan dan adanya serasah yang menutupi permukaan tanah tingkat erosinya lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk pertanian tanaman semusim (Tabel 3).

    10

  • Multifungsi Pertanian

    Tabel 3. Erosi tanah pada berbagai penggunaan lahan di DAS Citarum, Jawa Barat berdasarkan prediksi dengan menggunakan Universal Soil Loss Equation

    Daerah aliran sungai Penggunaan lahan

    Saguling Cirata Jatiluhur t ha-1 tahun-1

    Hutan 0,1 0,2 0,1 Perkebunan teh 23 27 10 Perkebunan karet - 9 11 Sawah 0,3 0,4 1,4 Belukar 1,1 1,6 0,5 Lahan kering pangan 22 61 40

    Sumber: Sutono et al. (2003).

    Lahan sawah mempunyai proses erosi yang unik. Teras sawah dengan

    galengan atau pematang berfungsi menahan air di dalam petakan. Genangan air berfungsi melindungi permukaan tanah sawah dari pukulan air hujan. Apabila terjadi dispersi (pelepasan butir dari agregat tanah), maka pada sistem teras berpematang yang laju aliran air permukaannya dari satu teras ke teras berikutnya sangat lambat akan memungkinkan bagi butir tanah yang terdispersi tersebut untuk mengendap sehingga tidak hanyut terbawa air. Bahkan jika air irigasi yang masuk ke persawahan mengandung lumpur, lumpur tersebut berpeluang besar untuk mengendap dan tidak hanyut ke sungai.

    Erosi tanah dari hamparan sawah lebih rendah dari 2 t ha-1 tahun-1, dan ini hampir sama rendah dengan erosi dari hutan primer (Tabel 3 dan 4). Selain fenomena kecilnya erosi dan besarnya deposisi pada teras sawah, data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa erosi tanah dalam jumlah yang agak besar hanya terjadi pada waktu dan beberapa saat sesudah pengolahan tanah (pembajakan dan pelumpuran); tetapi sedimen yang terangkut tersebut sebagian besar akan mengendap pada petakan sawah di bawahnya sehingga erosi total yang keluar dari lahan sawah relatif kecil. Data ini menunjukkan bahwa sedimen yang mengendap (terdeposisi) di petakan lahan sawah jauh lebih besar dibandingkan dengan sedimen yang keluar dari petakan tersebut. Dengan kata lain sawah pada lahan berlereng dapat dianggap sebagai sistem penyaring (filter) sedimen.

    11

  • Agus dan Husen

    Table 4. Hasil pengamatan erosi tanah pada 18 petak lahan sawah dengan luas total 2.515 m2 selama dua musim tanam padi di Ungaran, Jawa Tengah

    Pertama Kedua Sedimen terangkut

    1 Nov’01-31 Jan’02 16 Mar-30 Jun’02

    Total sedimen yang masuk ke petakan sawah melalui air irigasi

    864 kg (3,4 t ha-1)

    1.567 kg (6,2 t ha-1)

    Total sedimen yang keluar dari petakan sawah

    347 kg (1,4 t ha-1)

    210 kg (0,8 t ha-1)

    Sedimen yang mengendap (terdeposisi) pada petakan

    517 kg (2 t ha-1)

    1357 kg (5,4 t ha-1)

    Sedimen yang terangkut keluar petakan saat pengolahan tanah

    181 kg (0,7 t ha-1)

    165 kg (0,6 t ha-1)

    Sumber: Kundarto et al. (2002).

    Pemelihara keindahan alam pedesaan dan keanekaragaman hayati Keindahan panorama alam pedesaan dengan hamparan lahan pertanian yang

    berwarna-warni mempunyai daya tarik bagi penduduk yang jenuh dengan keadaan di perkotaan. Untuk menikmati keasrian alam pedesaan, penduduk perkotaan bersedia mengeluarkan dana untuk transportasi, penginapan, dan konsumsi di pedesaan. Daya tarik ini biasanya juga dilengkapi dengan keunikan tatanan sosial budaya pedesaan yang jauh berbeda dengan keadaan di perkotaan.

    Selain indah dan asri, lingkungan lahan pertanian, terutama yang terdiri atas berbagai sistem penggunaan lahan, juga menjadi habitat bagi berbagai burung, mamalia, serangga, binatang kecil, mikroflora, dan fauna karena lingkungan pertanian menyediakan makanan yang berlimpah bagi perkembangbiakannya. Fungsi konservasi sumber daya hayati yang diberikan lahan pertanian ini menjadi penopang keberlanjutan ekosistem yang harmonis bagi generasi penerus.

    Penambat karbon dan pembersih udara Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang dapat

    menghalangi radiasi gelombang panjang yang dilepaskan bumi. Jumlah karbon di atmosfer diperkirakan sekitar 765 Pg (1 petogram = 1015 g) dengan perubahan tahunan (annual flux) melalui penambatan (fotosintesis) oleh tanaman sebesar 90-130 Pg dan pelepasan (emisi) ke atmosfer sebesar 40-60 Pg (Paul & Clark, 1996). Penciutan areal pertanian (dan hutan) akan mengurangi penambatan karbon dan

    12

  • Multifungsi Pertanian

    memperbesar emisi sehingga jumlahnya di atmosfer meningkat yang menimbulkan efek rumah kaca atau pemanasan global.

    Peristiwa fotosintesis tidak saja merubah karbon dioksida menjadi karbohidrat tetapi juga menghasilkan oksigen yang memberi efek segar (refreshing) bagi udara di sekitarnya. Selain itu, tanaman juga mampu menyerap bahan-bahan pencemar di udara seperti SO2 dan NO2 sehingga berfungsi sebagai pembersih udara. Sistem pertanian yang paling efektif dalam menambat karbon adalah sistem pohon-pohonan (Tabel 5). Penebangan dan pembakaran pohon menghasilkan gas CO2 dan memperburuk masalah pemanasan global.

    Pendaur ulang sampah organik Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan standar dan gaya hidup

    masyarakat akan meningkatkan jumlah konsumsi pangan yang sekaligus meningkatkan jumlah produksi sampah organik dan anorganik. Berbagai jenis mikroba perombak bahan organik di dalam tanah mampu mengubah sampah ini menjadi zat-zat hara yang diperlukan tanaman. Selain itu, bahan organik di dalam tanah juga berkontribusi dalam memperbaiki struktur tanah. Oleh karena itu, pengembalian atau pembuangan sisa-sisa tanaman dan sampah organik ke lahan pertanian tidak saja akan meningkatkan bahan organik dan unsur hara tanah, tetapi juga mengurangi biaya penumpukan sampah yang dapat mencemari lingkungan. Proses pengujian diperlukan untuk memastikan bahwa sampah organik tersebut tidak mengandung logam berat dan bahan berbahaya lainnya sebelum digunakan untuk pertanian.

    Nilai ekonomi fungsi lingkungan lahan sawah Agus et al. (2003) menilai beberapa fungsi lingkungan lahan sawah dengan

    menggunakan sistem estimasi ekonomi RCM di DAS Citarum. Luas lahan sawah di DAS Citarum adalah sekitar 160.000 ha (Wahyunto et al., 2001). Hasil penilaian menunjukkan bahwa nilai fungsi lingkungan lahan sawah di DAS ini bernilai sekitar 51% dari nilai jual produk yang dihasilkan lahan sawah ini (51% * $181.342.667 tahun-1 = $94.484.760 tahun-1. Dengan demikian fungsi lingkungan lahan sawah per ha adalah $94.484.760 tahun-1 : 160.000 ha = $570 tahun-1 atau setara dengan Rp 5.202.260 ha-1 tahun-1.

    Nilai multifungsi lahan sawah sejumlah Rp 5.202.260 ha-1 tahun-1 tersebut belum memperhitungkan berbagai fungsi penting lain seperti fungsi ketahanan pangan, penyangga ekonomi dalam keadaan krisis, kesempatan kerja, dan sebagainya. Namun berdasarkan pengalaman, misalnya bila terjadi kekurangan atau

    13

  • Agus dan Husen

    isu kekurangan beras (masalah ketahanan pangan), maka akan terjadi rush untuk menumpuk beras di kalangan distributor dan konsumen yang selanjutnya dapat mendatangkan kekacauan (chaos) yang biaya sosialnya sangat tinggi.

    IMPLIKASI

    Selain menghasilkan produk nyata yang bisa dipasarkan, pertanian mempunyai berbagai fungsi (multifungsi) dengan nilai yang signifikan. Sebagian dari fungsi tersebut dapat dinilai secara perhitungan ekonomi tidak langsung (indirect valuation), namun sebagian besar lainnya tidak dapat dinilai secara ekonomi karena terbatasnya metode valuasi yang tersedia. Dengan demikian berbagai penilaian multifungsi cenderung di bawah nilai taksiran yang sebenarnya (under estimate).

    Arah pembangunan dewasa ini lebih banyak berorientasi pada perhitungan ekonomi langsung dan sedikit sekali memperhatikan aspek biaya dan kontribusi sosial dari suatu penggunaan lahan. Berbagai kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, cenderung terfokus pada kegiatan yang memiliki keuntungan ekonomi jangka pendek dan belum banyak menyentuh multifungsi pertanian. Petani sebagai penghasil jasa multifungsi pertanian yang hasilnya dinikmati secara gratis oleh semua lapisan masyarakat sering menghadapi berbagai kendala usaha tani yang penuh risiko (cuaca yang sulit diramalkan, serangan hama penyakit, kesulitan pemasaran hasil, dan harga yang berfluktuasi). Akibatnya, minat petani mengembangkan usaha tani, khususnya bagi generasi muda terus menurun. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu terjadinya alih guna lahan pertanian ke non-pertanian.

    Alih guna lahan pertanian ke non-pertanian berdampak pada pemborosan biaya pembangunan infrastruktur pertanian, peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap produk pertanian impor, dan mengancam kelestarian sumber daya alam. Oleh karena itu, pertanian perlu direposisikan pada kedudukan yang lebih pantas. Hal ini dapat diwujudkan dengan meningkatkan insentif dan memperkecil kendala (disincentive) dalam berusaha tani. Apabila yang dinilai dari pertanian hanya produk barang yang nyata (tangible) yang dapat dipasarkan (marketable) saja, maka akan beresiko terhadap semakin meningkatnya alih guna lahan dan selanjutnya menurunkan kualitas lingkungan, ketahanan pangan, dan kestabilan sosial ekonomi.

    14

  • Multifungsi Pertanian

    DAFTAR PUSTAKA

    Agus, F., R. L. Watung, H. Suganda, S.H. Tala’ohu, Wahyunto, S. Sutono, A. Setiyanto, H. Mayrowani, A.R. Nurmanaf, and M. Kundarto. 2003. Assessment of environmental multifunctions of paddy farming in Citarum river basin, West Java, Indonesia. hlm.1-28 Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konservasi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    Arifin, B. 2004. Perlukah Indonesia berswasembada beras? Makalah disajikan pada Pekan Padi Nasional II di Sukamandi 15-19 Juli 2004.

    Chen, M. 2001. Evaluation of environmental services of agriculture in Taiwan. p. 169-189 In Proceedings International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October. 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary Edition).

    Eom, K.C. and K.K. Kang. 2001. Assessment of environmental multifunctions of rice paddy and upland farming in the Republic of Korea. p. 37-48 In Proceedings International Seminar on Multi-Functionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS., Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary Edition).

    Irawan, B., S. Friyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan Model Kelembagaan Konservasi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

    Irawan, E. Husen, Maswar, R.L. Watung, dan F. Agus. 2004. Persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap multifungsi pertanian: Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa Barat. hlm. 23-45 Dalam Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan. Bogor, 18 Desember 2003 dan Januari 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

    Kundarto, M., F. Agus, A. Maas, and B.H. Sunarminto. 2002. Water balance, soil erosion, and lateral transport of N, P, K in rice field system of Sub Watershed Kalibabon, Semarang. Paper presented at Preliminary Seminar of Multifuntionality of Paddy Field, Bogor 2, October 2002.

    Manikmas, O.A., and F. Agus. 2004. The Environmental Roles of Agriculture in Indonesia (Java, CVM Case Study). FAO (http://www.fao.org/es/ESA/ Roa/ROA-e/case_studies-e.htm)

    OECD (Organization of Economic Cooperation and Development). 2001. Multifunctionality: Towards an Analytical Framework. OECD. Paris. 159 p.

    Paul, E. A. and F.E. Clark. 1996. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic Press, Inc. USA. 339 p.

    15

  • Agus dan Husen

    Sutono, S., S.H. Tala’ohu, O. Sopandi, and F. Agus. 2003. Erosi pada berbagai penggunaan lahan di Das Citarum. hlm. 113-133 Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    Wahyunto, M. Zainal Abidin, A. Priyono, dan Sunaryo. 2001. Studi perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. hlm. 39-63 Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    Yoshida, K. 2001. An economic evaluation of the multifunctional roles of agriculture and rural areas in Japan. Technical Bulletin 154, August 2001 Food & Fertilizer Technology Center (FFTC). Taiwan.

    Yoshida, K. and M. Goda. 2001. Economic evaluation of multifunctional roles of agriculture in hilly and mountainous areas in Japan. p.191-200 In International Seminar on Multi-Functionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS. Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary Edition).

    16

  • Prosiding Multifungsi Pertanian, 2005

    PENILAIAN EKONOMI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN: STUDI KASUS DI SUB-

    DAS BESAI - DAS TULANG BAWANG, LAMPUNG Economic valuation of land use changes:

    A case study in Besai Sub-Watershed - Tulang Bawang Watershed, Lampung

    Jamartin Sihite Staf Pengajar FALTL, Universitas Trisakti, Jakarta

    ABSTRAK

    Konflik penggunaan lahan banyak terjadi karena perbedaan kepentingan di antara para pemangku kepentingan. Perbedaaan ini menyebabkan terjadinya konflik tujuan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) antara masyarakat hulu dan hilir. Di daerah hulu, tekanan penduduk menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi hutan menjadi kebun kopi menyebabkan terjadinya peningkatan erosi tanah dan aliran permukaan serta fluktuasi debit yang semakin besar. Untuk meminimalkan dampak dari perubahan penggunaan lahan, usaha tani kopi harus dikembangkan dengan pola kebun campuran/ agroforest kopi dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air. Upaya ini bisa meningkatkan produktivitas lahan 49% dan menurunkan erosi sampai lebih 80% dan meningkatkan manfaat langsung maupun tidak langsung yang lebih baik dibandingkan pola penggunaan lahan saat ini (eksisting). Pola ini menyebabkan keuntungan bersih menjadi berkurang tetapi valuasi ekonomi menunjukkan bahwa penerapan upaya konservasi tanah masih layak. Upaya ini menyebabkan manfaat yang diterima masyarakat hilir lebih besar. Total manfaat langsung yang diterima masyarakat bertambah 25% dan tidak langsung 27% atau total manfaat bertambah 26%. Agar manfaat dan biaya ini berjalan adil, maka masyarakat hilir harus mendukung biaya penerapan konservasi tanah dan air. Pemerintah harus berperan dalam memberikan penghargaan kepada masyarakat hulu untuk melindungi dan memperbaiki jasa lingkungan yang dihasilkan untuk masyarakat hilir, seperti dalam bentuk kredit konservasi.

    ABSTRACT

    Many conflicts over the use of land resources involve competing interest group with various different reasons. These different interests create conflicts between upstream and downstream in the watershed. In upstream, population pressure on land causes land use changes. The study showed that conversion of

    ISBN: 979-9474-42-6 17

  • Sihite

    forest to coffee plantation increased soil erosion and run-off, and in turn increased fluctuation of stream discharge in Besai. To minimize the impact of land use changes, coffee plantation should be developed in mix plantation/agroforest systems implementing soil and water conservation techniques. This practice increased direct and indirect benefits such as increased productivity as much as 49% and reduced soil erosion by more than 80%. Even though this practice decreased net benefit to the farmer, the total economic valuation showed that applying soil and water conservation techniques were still feasible. Furthermore, the soil and water conservation practice gave positive impacts to the downstream community such as the availability of water to run hydropower plant and reduced the cost for flushing of sediment in the hydropower plant. Direct benefit was 25% higher and indirect benefit to down stream society was 27% or total benefit became 26% higher than that of existing condition. Therefore, to balance the benefit and cost for protection natural resources, the community in the downstream area receiving the benefits should share the cost for implementing soil and water conservation techniques. Government should promote rewards for farmers in upstream area to restore and improve environmental services to the downstream area, such as conservation credit scheme.

    PENDAHULUAN

    Latar belakang Pertumbuhan populasi manusia dan bentuk kegiatannya mengakibatkan

    perubahan dalam penggunaan lahan. Perubahan ini berdampak pada penurunan kualitas lingkungan seperti bertambahnya lahan kritis, meningkatnya erosi tanah dan sedimentasi, dan terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dampak lingkungan akibat perubahan penggunaan lahan sering tidak diperhitungkan karena adanya keterbatasan dalam nilai barang dan jasa lingkungan (Bonnieux & Goffe, 1997). Perubahan penggunaan lahan ini berdampak pada manfaat langsung yang diperoleh akibat peningkatan pendapatan. Aktivitas ini terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh, namun pada sisi lain banyak manfaat dari perlindungan lingkungan yang hilang dan tidak diperhitungkan dalam merubah penggunaan lahan (Barbier, 1995; Crook & Clapp, 1998).

    Penelitian ini dilakukan di sub-daerah aliran sungai (DAS) Besai - DAS Tulangbawang, Lampung, yang didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain (i) bagian hulu sub-DAS Besai terdapat areal hutan lindung yang mulai digunakan penduduk sebagai areal kebun kopi dan merupakan daerah tangkapan air untuk DAS Besai dan (ii) di sub-DAS Besai dijumpai beberapa investasi nasional seperti pembangkit listrik, sehingga pengelolaan hulu menjadi prioritas penanganan.

    18

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    Penggunaan lahan di daerah sub-DAS Besai Hulu dari tahun 1970 - 1990

    memperlihatkan perubahan yang relatif besar. Pada tahun 1970 dijumpai areal berhutan sebesar 57% dan pada tahun 1990 tinggal 13%. Areal perkebunan yang tidak terdeteksi pada tahun 1970 telah berkembang mencapai 60% pada tahun 1990. Pertambahan luas kebun kopi selain mengurangi areal tanaman pangan (dari 21% pada tahun 1970 menjadi 0,1% pada tahun 1990) juga mengurangi luas hutan lindung. Perubahan penggunaan lahan ini masih terus terjadi dan pada tahun 1994 luas hutan sudah berkurang menjadi 11,16% dan kebun kopi sudah mencapai 44,76%. Mulai tahun 1984 selain perubahan luasan juga terjadi perubahan pola pengelolaan kopi dari monokultur menjadi kebun campuran (Syam et al., 1997).

    Perubahan penggunaan lahan di DAS Besai yang dulunya didominasi daerah berhutan menjadi kebun kopi menyebabkan terjadinya peningkatan erosi dan perubahan fluktuasi debit sungai. Rasio debit maksimum/minimum pada tahun 1975-1981 berkisar dari 7-16 dan semakin besar pada periode 1991-1995 yaitu 14-37. Pada sisi lain erosi tanah juga menunjukkan adanya perubahan dengan perubahan penggunaan lahan. Saat dilakukan penyusunan studi kelayakan (feasibility study) pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Besai pada tahun 1982, diketahui laju erosi di DAS Besai 7,9 t ha-1 tahun-1. Pemantauan sesaat yang dilakukan PLTA Besai tahun 1995 memperlihatkan adanya peningkatan erosi tanah sampai empat kali lebih besar. Dampak lingkungan ini tidak diperhitungkan oleh petani ketika mereka melakukan perubahan penggunaan lahan dalam rangka ekstensifikasi kebun kopi, sebab mereka tidak langsung terkena dampak ini.

    Dampak lain yang terkait dengan fluktuasi debit akibat perubahan lahan ini adalah ketersediaan air pada musim kemarau. Pada saat pra-kelayakan PLTA Besai, debit minimum tidak ada yang lebih kecil atau sama dengan 8,5 m3 detik-1, yaitu debit minimum yang dibutuhkan PLTA Besai untuk bisa beroperasi. Tetapi dari uji coba PLTA diketahui pada musim kemarau di tahun 1995 sudah ada debit musim kemarau di bawah 8,5 m3 detik-1 sehingga terjadi kehilangan kesempatan berproduksi listrik di PLTA Besai.

    Dampak lingkungan berupa erosi yang tinggi dapat diperbaiki melalui perbaikan pola penggunaan lahan dan penerapan usaha konservasi tanah-air. Upaya ini umumnya masih dilakukan secara parsial sehingga tidak terlalu efektif. Aktivitas konservasi tanah dan air masih dihitung sebagai biaya sosial dan bukan sebagai bagian aktivitas ekonomi yang terintegrasi dengan sistem produksi usaha tani (Hulfschmidt et al., 1996). Pengelolaan DAS yang efisien dan baik perlu memadukan faktor ekonomi dan dampak lingkungan secara terintegrasi (Onal et al., 1998).

    19

  • Sihite

    Tujuan 1. Mengetahui besar dampak perubahan penggunaan lahan terhadap erosi, aliran

    permukaan dan pendapatan petani serta nilai ekonomi dari dampak akibat perubahan penggunaan lahan di DAS Besai

    2. Memperoleh alternatif penggunaan lahan yang menghasilkan erosi rendah, layak finansial, meningkatkan pendapatan petani dan menyebabkan kerugian ekonomi rendah

    METODE PENELITIAN

    Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di wilayah sub-DAS Besai, DAS Tulangbawang -

    Lampung. Luas sub-DAS Besai Hulu adalah 40.000 ha dan berada di Kecamatan Sumberjaya. Tipe iklim di DAS Besai Hulu menurut klasifikasi Oldeman adalah tipe C. Rata-rata curah hujan bulanan di Stasiun Air Hitam, Sumber Jaya dan Fajar Bulan berturut-turut adalah 222, 213, dan 205 mm atau rata-rata curah hujan bulanan wilayah DAS Besai adalah 214 mm. Di DAS Besai dijumpai lahan datar (kelas lereng A) sebesar 33,30% dan lereng curam sampai sangat curam dijumpai 22,70% atau 77,30% merupakan areal datar sampai agak curam. Di lokasi penelitian juga dijumpai pembangkit listrik yaitu Besai Hydro-electric Power Project. Selain itu, di sub-DAS Besai juga dijumpai hutan lindung register 44 B dan 45 Bukit Rigis.

    Pengumpulan data Pengumpulan data dibedakan atas komponen biofisik (untuk kebutuhan

    penghitungan erosi tanah dan aliran permukaan) dan data sosial ekonomi (untuk menghitung kelayakan usaha tani, valuasi manfaat dan biaya).

    Pengambilan sampel erosi tanah dilakukan pada petak kecil ukuran 2 m x 5 m selama 3 bulan (musim hujan, November-Januari) dari lima pola kopi dominan. Data debit sungai menggunakan data sekunder yang dikumpulkan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan PLTA, yaitu debit Sungai Besai periode 1975-1997.

    Pengambilan sampel responden dilakukan dengan purposive sampling yaitu dari setiap desa sample ada tiga suku utama, yaitu Jawa, Sunda, dan Semandau. Pertimbangan yang dilakukan adalah pola penggunaan lahan kopi yang dilakukan berbeda dan menghasilkan dampak yang berbeda. Data primer responden diperoleh dari wawancara di 11 desa yang ada di Kecamatan Sumberjaya, sub-DAS Besai. Jumlah responden terpilih adalah 200 petani. Selain petani kopi, responden juga

    20

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    dikembangkan kepada masyarakat hilir pengguna jasa lingkungan, seperti kesediaan membayar (WTP: willingness to pay) untuk air yang mereka gunakan dan fungsi pengendalian banjir.

    Analisis data Tahapan pendekatan dan pelaksanaan penelitian secara umum terdiri atas

    dua tahapan yaitu pengukuran dampak fisik dan penilaian dampak dalam nilai ekonomi. Tahapan ini secara sederhana disajikan dalam Gambar 1.

    Analisis biofisik Analisis erosi tanah dilakukan dengan menggunakan data pengukuran petak

    kecil dan simulasi alternatif penggunaan lahan dengan hujan sesaat menggunakan model ANSWERS (Beasley & Huggins, 1991). Analisis hidrologi untuk melihat dampak perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan straight line method (Asdak, 2002) untuk memisahkan aliran dasar dan aliran langsung serta simulasi dengan ANSWERS. Simulasi dilakukan untuk melihat atau memperkirakan dampak perubahan penggunaan dan pengelolaan lahan terhadap komponen erosi dan aliran permukaan. Pada tahap ini, simulasi diarahkan untuk memenuhi syarat erosi rendah. Pilihan yang dilakukan dalam skenario simulasi didasarkan pada kemungkinan penggunaan lahan yang akan terjadi di DAS Besai dan upaya perbaikan konservasi tanah dan air. Simulasi yang dilakukan adalah: 1. Menggunakan kondisi penutupan lahan saat ini dengan agroteknologi yang ada

    (existing condition). Pada simulasi ini luas hutan 8,4% dan kopi diusahakan dengan lima pola (kondisi kebun kopi pada saat penelitian).

    2. Kopi tetap seperti pada simulasi 1, tetapi menambah luas hutan menjadi 30% dengan mengurangi areal semak belukar dan kopi (menambah hutan pada areal berlereng di atas 15%).

    3. Luas hutan seperti simulasi 1, tetapi menerapkan konservasi tanah berupa rorak pada seluruh usaha tani kopi (luas hutan tetap 8,4% luas DAS).

    4. Simulasi 3 dengan menerapkan teras gulud dan kebun campuran/multistrata/ agroforest kopi pada usaha tani kopi.

    5. Pola penggunaan lahan sesuai dengan RTRWP.

    21

  • Sihite

    Simulasi skenario penggunaan lahan dan agroteknologi

    Erosi dan sedimentasi rendah fluktuasi debit kecil

    Beberapa skenario penggunaan lahan dan agroteknologi terpilih yang memenuhi syarat

    Perhitungan manfaat lingkungan (valuasi ekonomi)

    An n alisis/evaluasi pola penggunaan lahayang ada sekarang

    Erosi dan sedimentasi rendah fluktuasi debit kecil

    Nilai ini menjadi acuan awal bagi penyusunan alternatif

    Ya Tidak

    Ya Tidak

    Penilaian: • Perubahan produktivitas • Pasar pengganti • Penggunaan harga bayangan

    Arahan kebijakan perencanaan pengelolaan DAS

    Erosi rendah Fluktuasi debit sungai kecil

    Onsite: produktivitas baik

    Off-site : sedimentasi rendah

    Produktivitas lahan kering di hulu

    Kapasitas reservoir dan irigasi baik

    Ketersediaan air antar-musim

    Produksi listrik

    Penilaian: • Biaya pemeliharaan • Nilai listrik

    Gambar 1. Pendekatan pelaksanaan penelitian di DAS Besai

    Outputs : hasil dari pengelolaan DAS – sub-DAS Besai

    Pola penggunaan lahan di DAS

    Analisis sosial ekonomi Analisis kelayakan usaha tani kopi dilakukan terhadap lima macam pola

    usaha tani dengan menghitung rasio manfaat dengan biaya (B/C rasio), IRR (interval rate of return) dan net present value (NPV). Penilaian ini dimaksudkan untuk (1) melihat kelayakan finansial usaha tani yang ada, dan (2) menentukan nilai ekonomi dari manfaat lingkungan. Pada tahap ini dilakukan analisis finansial terhadap

    22

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    beberapa usulan pola usaha tani untuk melihat apakah usaha tani tersebut layak atau tidak.

    Penghitungan manfaat dalam nilai ekonomi ini dilakukan baik untuk dampak pada on-site maupun off-site atau manfaat langsung maupun tidak langsung. Valuasi ekonomi dampak perubahan penggunaan lahan terutama untuk manfaat tidak langsung dilakukan dengan menggunakan pendekatan biaya ganti replacement cost method (RCM), contingent valuation method (CVM). Harga yang digunakan dalam penelitian ini adalah standar harga di lokasi pada tahun 2002.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Evaluasi perubahan penggunaan lahan

    Perubahan penggunaan lahan Kopi merupakan tanaman yang dominan di sub-DAS Besai. Kopi

    merupakan komoditas andalan bagi petani. Konversi lahan hutan menjadi kebun kopi berlangsung cukup intensif, bahkan areal reboisasi juga telah dikembalikan penduduk menjadi kopi. Evaluasi penggunaan lahan tahun 1975, 1985, 1994 dan 1997 memperlihatkan bahwa terjadi pertambahan areal kopi yang cukup signifikan. Pertambahan areal kopi sangat besar terjadi mulai tahun 1985 (Gambar 2). Jika pada tahun 1975 areal kebun kopi 9,9% dan umumnya diusahakan oleh masyarakat lokal (suku Semandau), maka pada tahun 1985 luas areal kebun kopi menjadi 42,5%.

    Pertambahan areal kebun kopi yang sangat besar terjadi pada periode 1975-1985 dan 1994-1997. Pada periode kedua (1994 -1997) terjadi pertambahan kebun kopi sebesar 26,5%. Penyebabnya diperkirakan sebagai akibat krisis moneter di mana sektor pertanian mendapatkan peluang sangat besar dari meningkatnya harga komoditas kopi yang tinggi akibat nilai tukar rupiah terhadap dolar yang lemah. Faktor ekonomi ini juga menjadi penyebab perubahan hutan lindung register 45 Bukit Rigis terutama akibat adanya pemahaman bahwa lahan pertanian lebih bernilai ekonomis dan menguntungkan dibanding hutan. Adanya pemahaman ini lahir karena manfaat langsung dari areal kopi dapat diterima petani, sedangkan jasa lingkungan yang dihasilkan hutan umumnya adalah manfaat tidak langsung (Hartwick et al., 2001).

    23

  • Sihite

    y

    0%10%20%30%40%50%60%70%80%

    1975 1985 1994 1997

    Tahun

    % L

    uas

    DAS

    Hutan Semak Belukar Kebun Kopi Sawah Tegalan Perkampungan

    Kopi (ha) = -62670 + 896 tahun r2 = 86,8%

    Hutan (ha) = 56359 - 559 tahun r2 = 85,3%

    Gambar 2. Perubahan penggunaan lahan di DAS Besai Hulu, 1975-1997

    Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap erosi tanah Perubahan penggunaan lahan dari berhutan menjadi kebun kopi telah

    menyebabkan terjadinya peningkatan erosi di tapak (on-site). Pada penggunaan lahan periode tahun 1975-1981 dengan hutan 42,67% dan kopi 9,87%, erosi tanah yang terjadi di DAS Besai adalah 12,08 t ha-1 tahun-1. Sejak periode tahun 1983-1988, areal tanaman kopi bertambah menjadi 42% dari hanya 9,87% dan diikuti dengan penurunan luas hutan dari 42,6% menjadi 14,34%. Kondisi ini menyebabkan terjadinya peningkatan erosi tanah menjadi 26,86 t ha-1 tahun-1 dan sudah lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransi, yaitu 22,4 t ha-1 tahun-1. Besar erosi ini terus meningkat sejalan dengan pertambahan kebun kopi dan berkurangnya hutan. Pada tahun 1997 ketika hutan tinggal 7,94% dan kopi sudah mencapai 71,23%, sehingga erosi tanah menjadi 49,93 t ha-1 tahun-1 (Tabel 1).

    Perubahan erosi akibat perubahan luasan areal hutan menjadi kebun kopi menunjukkan bahwa hutan lebih berfungsi dalam mengendalikan erosi tanah. Fungsi ini bisa berlangsung karena vegetasi di hutan mempunyai ciri strata berlapis (berstrata banyak), sistem perakaran tanaman hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi permukaan tanah. Kondisi ini menyebabkan pukulan air hujan mengalami reduksi sehingga daya rusak pukulan air hujan dan daya gerus tanah oleh aliran permukaan menjadi lebih kecil. Serasah yang lebih tebal di areal hutan menyebabkan bertambahnya kekasaran permukaan tanah dan menyebabkan pertambahan bahan organik, sehingga akan memperlambat aliran

    24

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    permukaan dan mengurangi daya rusak aliran permukaan pada tanah. Bahan organik yang lebih besar akan menyebabkan porositas tanah bertambah dan air lebih banyak bisa memasuki tanah sehingga jumlah aliran permukaan berkurang. Kondisi ini akan menyebabkan kapasitas aliran permukaan mengangkut bahan erosi juga berkurang dan erosi tanah menjadi lebih kecil. Berbagai hal menguntungkan ini tidak dijumpai pada kebun kopi di DAS Besai karena kebun kopi umumnya bervegetasi monokultur dengan permukaan yang cenderung bersih dari gulma dan serasah lainnya.

    Tabel 1. Prediksi erosi tanah di DAS Besai pada periode tahun 1975-1998

    Tahun Luas hutan Luas kopi Prediksi erosi

    ha t ha-1 tahun-1

    1975-1981 16168 (42,6%)* 3747 (9,9%) 12,08 a**

    1983-1989 5443 (14,3%) 16115 (42,5%) 26,86 b

    1990-1995 4258 (11,2%) 16989 (44,8%) 29,81 b

    1996-1998 3200 (8,4%) 27034 (71,2%) 49,93 c

    Keterangan: Erosi toleransi : 22,4 t ha-1 tahun-1 * Angka dalam kurung adalah % dari luas DAS ** Huruf yang berbeda setelah angka menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada α =5%

    Tabel 2. Hasil pengukuran erosi petak kecil pada lima macam pola kopi di DAS Besai, Lampung

    Pola pengusahaan kopi Prediksi erosi t ha-1 bulan-3

    Kopi pola 1: Monokultur dan Pionir (baru, < 2 tahun) 31,48a* Kopi pola 2: Monokultur, diatas 5 tahun 16,35b

    Kopi pola 3: Monokultur dan pakai rorak 10,34c

    Kopi pola 4: Monokultur dan bibit unggul, > 5 tahun 14,23b

    Kopi pola 5: Multistrata dan rorak 8,92c

    Keterangan : Erosi toleransi : 22,4 t ha-1 tahun-1Pengukuran petak dari pengamatan 3 bulan * Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dalam uji BNT (α = 5%)

    25

  • Sihite

    Kebun kopi merupakan areal yang paling luas penggunaannya di DAS Besai

    dan diusahakan dengan beberapa pola. Pola umum kebun kopi di DAS Besai dibagi dalam lima kelompok tergantung kepada pengelolaan kopi yang berkaitan dengan upaya pengendalian erosi. Pola usaha tani kopi yang berkembang tidak sama untuk setiap petani dan setiap pola menyebabkan erosi yang berbeda. Kopi pola 3 dan 5 merupakan pola usaha tani kopi dengan upaya konservasi tanah dan air seperti menggunakan rorak atau mengkombinasikan dengan tanaman keras atau buah-buahan, sedangkan pola 1, 2, dan 4 menggunakan pola tanam yang homogen (monokultur) dan tanpa upaya konservasi tanah dan air.

    Pola usaha tani kopi dengan upaya konservasi tanah dan air yaitu pola 3 (rorak) dan 5 (kebun campuran) memberikan dampak erosi yang lebih kecil dibandingkan dengan pola usaha tani kopi monokultur dan tanpa upaya konservasi tanah (Tabel 2). Pola multistrata ini memiliki tajuk yang berlapis dan serasah yang lebih merata serta beragam sepanjang tahun. Jenis tanaman yang berbeda pada multistrata atau agroforest kopi menyerupai strata hutan dan keragaman vegetasi yang ada menyebabkan laju dekomposisi serasah menjadi bervariasi dan umumnya menjadi lebih cepat dibanding tanaman yang homogen. Perbedaan ini selain disebabkan kemampuan melapuk dari setiap jenis bahan organik yang berbeda, juga disebabkan jumlah dan jenis mikroorganisme yang berperan dalam pelapukan pada areal multistrata juga lebih banyak (Widianingsih, 1991). Kondisi ini menyebabkan kandungan bahan organik bertambah, sifat fisik tanah lebih baik yang meng-akibatkan kecepatan aliran permukaan menjadi berkurang sehingga daya angkut dan daya gerus tanah oleh aliran permukaan berkurang. Ini menyebabkan jumlah tanah yang tererosi juga menjadi lebih rendah pada kopi multistrata dibandingkan dengan monokultur.

    Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap debit Data pengamatan debit sungai dan curah hujan di DAS Besai tahun 1975-

    1998 memperlihatkan bahwa jumlah hujan yang menjadi aliran langsung dan aliran dasar berkisar dari 9-17% dan 44-63%. Bagian dari hujan yang menjadi debit sungai menunjukkan kecenderungan peningkatan (Gambar 3). Nilai aliran dasar (base-flow) yang masih cukup besar (> 40% hujan menjadi aliran dasar) mengindikasikan bahwa kemampuan storage dari wilayah tangkapan DAS Besai masih cukup baik walau aliran langsung cenderung memperlihatkan trend peningkatan

    26

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    -0.1000.2000.3000.4000.5000.6000.7000.8000.900

    1970

    % H

    ujan

    menja

    di De

    bit

    0.00

    5.00

    10.00

    15.00

    20.00

    25.00

    30.00

    35.00

    40.00

    Janu

    ari

    Febru

    ari

    Ma

    Deb

    it (m

    3/de

    t)

    Gambar 3. Pola kecendperbedaan dDAS Besai H

    Pada periode 197

    hujan yang langsung mehutan berkurang dan kebair hujan yang langsundimana hutan tinggal 8,4yang langsung memasu

    % DRO = - 4.70 + 0.00242 tahun r2 = 41.4%

    1975 1980 1985 1990 1995 2000

    TahunDebit DRO BF

    (a)

    ret April Me

    iJu

    ni Juli

    Agus

    tus

    Septe

    mber

    Oktob

    er

    Nove

    mber

    Dese

    mber

    1975-1981 1983-1988 1990-1995 PLTA

    (b)

    erungan persen hujan menjadi aliran sungai (a) dan ebit musim hujan dan kemarau pada periode 1975-1998 di ulu (b)

    5-1981 dimana hutan masih cukup luas (42,6%), jumlah air masuki sungai < 10%. Pada periode setelah 1983 ketika un kopi bertambah luas, maka ada kecenderungan jumlah g memasuki sungai bertambah besar. Tahun 1996-1998 % dan kebun kopi sudah mencapai 71,2%, jumlah air hujan ki sungai bertambah 24,5% dibandingkan periode 1975-

    27

  • Sihite

    1981. Debit sungai pada musim hujan juga menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan akibat perubahan hutan menjadi kopi dan sebaliknya pada musim kemarau. Pada periode 1975-1981 debit musim hujan dan kemarau berturut-turut 25,4 m3 detik-1 dan 11,2 m3 detik-1 berubah menjadi 35,9 m3 detik-1 dan 7,7m3 detik-1

    pada periode 1996-1998. Pola ini juga tergambarkan dari nilai rasio debit maksimum dan minimum dimana pada periode 1975-1981 berkisar antara 7-12 menjadi 25-41 pada periode 1996-1998. Pada periode 1996-1998, luas kopi sangat besar dan hutan relatif kecil sehingga mengakibatkan jumlah air yang langsung memasuki sungai juga bertambah besar sehingga debit pada musim hujan bertambah besar. Keadaan ini menyebabkan proses infiltrasi air ke dalam tanah berkurang sehingga meng-akibatkan debit sungai pada musim kemarau menjadi lebih rendah daripada peng-gunaan lahan masih dominan hutan. Kondisi ini menunjukkan bahwa konversi hutan lindung menjadi areal kebun kopi dengan pola yang ada saat ini tidak menjamin berlangsungnya fungsi lindung (hidrologi dan erosi tanah) dari kawasan.

    Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun kopi menunjukkan adanya pertambahan nilai koefisien aliran permukaan dari 0,05 - 0,25 pada areal hutan menjadi 0,2 - 0,5 pada areal pertanian (Asdak, 2002). Ini berarti perubahan penggunaan lahan akan menyebabkan jumlah air yang menjadi aliran langsung ke sungai akan bertambah, khususnya pada musim hujan. Faktor kekasaran permukaan, serasah yang lebih banyak dan sistem perakaran yang lebih dalam menyebabkan kecepatan aliran permukaan akan lebih rendah dan akan memperbesar peluang terjadinya infiltrasi ke dalam tanah. Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab besar atau kecilnya jumlah air hujan yang akan langsung memasuki sungai. Selain pada debit, perubahan lahan hutan menjadi kopi berdampak kepada perubahan rasio debit maksimum – minimum (Qmaks/min) dan selanjutnya akan menyebabkan kehilangan kesempatan produksi listrik di PLTA terutama akibat rendahnya debit pada musim kemarau.

    Dampak ekonomi perubahan penggunaan lahan Dampak ekonomi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi kopi dari

    tahun 1975 - 1998 memperlihatkan pertambahan yang sangat besar. Erosi tanah yang meningkat selama periode tersebut menyebabkan semakin besarnya kehilangan hara dari lahan usaha tani kopi sehingga menyebabkan penurunan produktivitas kopi, dan pada sisi lain juga menyebabkan semakin menurunnya debit minimum di DAS Besai atau terjadi penurunan nilai jasa sebagai penyedia air akibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau di DAS Besai.

    28

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    Tabel 3. Kerugian ekonomi akibat perubahan penggunaan lahan di DAS Besai,

    1975-1998

    Biaya kerusakan lingkungan (Rp) Total Periode

    tahun Kehilangan akibat erosi

    Kehilangan listrik

    Kehilangan fungsi

    penyedia air DAS Besai Per ha

    Perubahan

    Rp tahun-1 Rp tahun-1 %

    75-81

    12.294.831.014 - 4.178.709.961

    16.473.540.975

    430.523 0,00

    83-88

    27.354.180.244 - 7.671.989.903

    35.026.170.147

    875.654 103,39

    90-95

    30.336.949.898 1.534.095.000

    7.979.410.550

    39.850.455.448

    996.261 131,41

    96-98

    50.816.209.842 4.327.878.000

    8.349.504.425

    63.493.592.267

    1.587.340 268,70

    Keterangan: Kehilangan akibat erosi tanah adalah menggunakan biaya ganti nilai hara yang hilang (setara pupuk) Fungsi penyedia air menggunakan pendekatan WTP untuk air rumah tangga, industri, dan pertanian

    Pada tahun 1975-1981 dengan luasan hutan masih dominan, nilai kerugian ekonomi di DAS Besai akibat kerusakan lingkungan adalah Rp 16,473,540,975. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan terjadinya kerugian ekonomi yang bertambah besar terutama akibat bertambahnya areal kebun kopi dan berkurangnya hutan. Tahun 1996/1997 dengan penutupan lahan kebun kopi sudah mencapai lebih dari 71,2% maka erosi bertambah besar (Tabel 1) dan ada kehilangan produksi listrik pada musim kemarau (Gambar 3b). Peningkatan dampak biofisik ini menyebabkan terjadinya peningkatan kerugian ekonomi yang terjadi yaitu Rp 63,493,592,267 atau bertambah 268% dibandingkan kondisi pada tahun 1975 dimana penggunaan lahan hutan masih dominan (Tabel 3).

    Simulasi perubahan penggunaan lahan

    Erosi tanah dan aliran permukaan Pola pengusahaan kopi yang dilakukan penduduk cukup beragam dan hanya

    sebagian kecil petani yang sudah menerapkan upaya konservasi tanah dengan menggunakan rorak dan atau guludan. Erosi yang besar terutama berasal dari kebun kebun kopi karena usaha tani kopi yang dilakukan petani umumnya tidak meng-gunakan konservasi tanah dan air. Kondisi ini terjadi karena aspek perlindungan tanah dan air belum menjadi prioritas bagi petani kopi dan menjadi penyebab fungsi perlindungan erosi dan hidrologi kawasan menjadi berkurang.

    29

  • Sihite

    Beberapa petani sudah mencoba mengkombinasikan penggunaan kebun

    campuran (kombinasi kopi dan tanaman keras atau hutan) dan upaya pengendalian erosi dengan upaya mekanis (rorak). Penggunaan rorak dapat menyebabkan erosi berkurang 77,25% dan aliran permukaan berkurang 16,44% dibandingkan kopi tanpa menggunakan rorak dan teras seperti yang dilakukan petani saat ini. Jika lahan kopi sebagian dirubah menjadi areal berhutan sehingga hutan menjadi 30% dari luas DAS, petani tidak menggunakan konservasi tanah dan air pada lahan usaha tani kopi, maka pola ini bisa menurunkan erosi tanah sampai 18,69% dan mengurangi aliran permukaan sebesar 2,09%. Ini menunjukkan bahwa penambahan luasan hutan dapat mengurangi erosi dan aliran permukaan di DAS Besai. Penurunan erosi dan aliran permukaan dengan menjadikan hutan sampai 30% DAS, ini masih lebih kecil dibandingkan dengan pola pengunaan lahan yang menggunakan konservasi tanah (rorak) dimana penurunan erosi dan aliran permukaan berturut-turut bisa mencapai 77,25% dan 16,44% (Tabel 4). Ini berarti menambah luas hutan menjadi 30% tetapi tanpa disertai penggunaan konservasi tanah di lahan usaha tani kopi masyarakat belum dapat menyebabkan fungsi lindung pencegahan erosi tanah dan hidrologi tercapai seperti yang diminta dalam SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/ 1980 tentang penetapan hutan lindung (fungsi dari hutan lindung adalah untuk mengendalikan erosi dan hidrologi).

    Tabel 4. Prediksi erosi tanah dari beberapa simulasi alternatif pola penggunaan lahan menggunakan model ANSWERS

    Erosi tanah Alternatif pola penggunaan lahan

    t ha-1 thn-1 % Perubahan

    % perubahan aliran

    permukaan

    Kondisi eksisting, hutan 8,4% 49,85b* 0,00 0,00 Hutan ditambah menjadi 30% DAS 40,57b -18,69 -2,09 Kebun kopi menggunakan rorak, hutan 8,4% 11,35a -77,25 -16,44 Kopi multistrata menggunakan rorak, gulud 5,95a -88,06 -16,44

    Sesuai RTRWP/TGHK 39,61b -20,51 -3,85 Keterangan: Erosi yang ditoleransi (TSL) : 22 ,4 t ha-1 tahun-1*Huruf yang sama setelah angka menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dalam uji BNT pada α = 5%

    30

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    Penggunaan konservasi tanah dan air pada lahan usaha tani kopi baik

    dengan menggunakan rorak atau kebun campuran dapat mengurangi erosi. Penurunan erosi > 80% terjadi bila penggunaan lahan menggunakan pola kebun campuran dikombinasikan dengan menerapkan rorak dan guludan. Penggunaan pola tanam kebun campuran yang memiliki strata berlapis dan dikombinasikan dengan penggunaan rorak serta guludan, menyebabkan efektivitas pengendalian erosi semakin besar. Kombinasi ini menyebabkan erosi tanah berkurang sampai 88,06% (Tabel 4).

    Pola penggunaan lahan lainnya adalah penggunaan lahan berdasarkan tata ruang Lampung. Di wilayah DAS Besai terdapat kawasan hutan lindung dan hutan suaka yang cukup besar. Jika sub-DAS Besai ini menggunakan pola penggunaan lahan sesuai dengan RTRW, maka erosi akan lebih rendah 20,51% dibandingkan dengan kondisi penggunaan lahan saat ini. Sedangkan aliran permukaan akan mengalami penurunan sebesar 3,85%. Hasil ini memperlihatkan bahwa hutan dan kopi mempunyai respon yang berbeda terhadap erosi tanah. Jika usaha tani kopi tidak dikembangkan dengan pola multistrata/agroforestry dan tidak disertai penerapan upaya konservasi tanah maka tidak akan bisa menyamai fungsi perlindungan hutan terhadap erosi tanah.

    Pendapatan dan kelayakan usaha Analisis pendapatan dan kelayakan usaha dilakukan pada pola usaha tani

    kopi yang signifikan menurunkan erosi yaitu pola kebun campuran atau agroforest dengan rorak. Berdasarkan wawancara dan pengamatan lapangan diketahui bahwa permasalahan utama bagi petani dalam menerapkan konservasi adalah (1) kondisi modal usaha dan (2) usaha tani kopi yang dikembangkan merupakan sumber utama pendapatan petani dan faktor harga yang fluktuatif. Permasalahan ini menjadi sangat krusial bagi petani berlahan kecil dengan sumber pendapatan hanya dari kebun kopi, walaupun rata-rata pendapatan petani kopi per ha menunjukkan bahwa biaya konservasi tidak terlalu memberatkan usaha tani mereka. Penerimaan petani dengan pola kebun kopi dengan rorak atau agroforest berbasis kopi menunjukkan tingkat penerimaan dan kelayakan finansial yang lebih baik dibandingkan pola saat ini (Tabel 5).

    31

  • Sihite

    Tabel 5. Penerimaan petani pada beberapa simulasi alternatif penggunaan lahan

    Penerimaan petani Kelayakan usaha (B/C) Simulasi perubahan

    penggunaan lahan di DAS Besai

    Erosi Biaya internal

    Erosi eksternal

    Erosi biaya internal

    Erosi biaya eksternal

    Rp ha-1

    Simulasi 1: Eksisting (hutan 8,4%, 5 pola kopi) 1.167.287 2.495.361 1,37 2,35 Simulasi 2: Simulasi 1 dengan 30% hutan 1.523.220 2.112.981 1,54 1,94 Simulasi 3: Simulasi 1 dengan rorak (hutan tetap 8,4%) 2.521.188 2.964.027 1,79 2,08 Simulasi 4: Simulasi 3 + gulud dan campuran 3.402.045 3.715.338 2,29 2,60 Simulasi 5: Penggunaan lahan sesuai RTRWP/TGHK 1.279.523 2.065.230 1,62 2,62

    Keterangan : Kelayakan usaha menggunakan nilai rasio manfaat dan biaya (B/C rasio)

    Simulasi 1 adalah kondisi eksisting dimana luas hutan 8,4% dan pola usaha

    tani kopi terdiri atas lima pola. Pendekatan dalam kelayakan yang dilakukan adalah menginternalkan kehilangan akibat erosi sebagai faktor biaya. Menambah areal hutan menjadi 30% (simulasi 2) menyebabkan berkurangnya penerimaan petani, tetapi bila kehilangan akibat erosi diperhitungkan sebagai biaya maka penambahan areal hutan menyebabkan erosi berkurang dan total manfaat menjadi lebih baik dibandingkan dengan kondisi eksisting (simulasi 1). Penerapan konservasi menyebabkan pertambahan biaya, tetapi pada sisi lain menyebabkan berkurangnya erosi dan bertambahnya produktivitas tanaman. Pada simulasi 4 dimana pola usaha tani yang diterapkan`adalah kebun campuran pola agroforest, maka penerimaan petani dan kelayakan usaha terlihat lebih baik dibandingkan kondisi saat ini. Pola 3 dan 4 merupakan pola alternatif yang memberikan manfaat langsung kepada petani jauh lebih baik dibandingkan pola yang ada saat ini, dan pola ini secara sosial sudah diterapkan sebagian petani di DAS Besai.

    Nilai ekonomis manfaat jasa lingkungan Manfaat yang diperoleh di daerah hulu adalah produktivitas lahan, tetapi

    dengan laju erosi yang besar dan sistem agroteknologi yang digunakan petani yang

    32

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    lebih mengutamakan ekstensifikasi, maka pendapatan petani tidak besar dan tidak berkelanjutan. Erosi tanah menyebabkan terjadinya kehilangan hara dan berarti kehilangan kesempatan berproduksi atau kehilangan pendapatan sebesar nilai tanah yang tererosi.

    Manfaat ekonomi dari setiap alternatif penggunaan lahan di DAS Besai merupakan total manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat tidak langsung dari suatu pengelolaan sangat banyak dan dalam penelitian ini dibatasi pada manfaat dari penutupan lahan seperti manfaat pengendali erosi, pencegahan banjir, penyediaan air pertanian, sedangkan keanekaragaman (biodiversity) dan penyerapan karbon belum diperhitungkan.

    Manfaat langsung yang diperoleh pada penggunaan lahan saat ini dimana kopi ada lima pola, sebagian tidak menerapkan konservasi tanah dan air adalah Rp 5.125.900 ha-1 dan manfaat tidak langsung Rp 3.948.388 ha-1. Penambahan areal hutan menjadi 30% menyebabkan manfaat langsung menjadi berkurang 7% dari kondisi penggunaan lahan saat ini walau memberikan pertambahan manfaat tidak langsung 19%. Pola usaha tani kopi dengan multistrata yang dikombinasikan dengan rorak dan gulud selain memberikan manfaat tidak langsung yang besar, juga memberikan manfaat langsung kepada petani seperti pertambahan produktivitas lahan sampai 49%. Jasa lingkungan yang dihasilkan merupakan akibat dari efektivitas pengelolaan kopi yang menyebabkan erosi rendah dan debit tidak berfluktuasi. Total manfaat langsung dari kopi multistrata adalah Rp 6,394,297 atau bertambah 25% dan manfaat tidak langsung Rp 5,001,858 atau bertambah 27%. Manfaat langsung maupun tidak langsung dari pola penggunaan lahan ini semuanya lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diberikan penggunaan lahan saat ini, yaitu bertambah 26% (Tabel 6). Ini menunjukkan bahwa lahan pertanian mempunyai banyak fungsi dan fungsi jasa lingkungan mempunyai peran yang cukup besar secara ekonomi.

    33

  • Sihite

    Tabel 6. Manfaat langsung dan tidak langsung dari beberapa alternatif penggunaan

    lahan di DAS Besai

    Simulasi beberapa alternatif penggunaan lahan

    Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Manfaat langsung dan tidak langsung dari beberapa alternatif penggunaan lahan Eksisting

    (hutan 8,4%)

    Simulasi 1 dengan 30%

    hutan

    Simulasi 1 dengan rorak (hutan 8,4%)

    Simulasi 3 + gulud dan kopi

    multi strata (hutan 8,4%)

    RTRWP/ TGHK

    Manfaat langsung

    Produktivitas (Rp ha-1 tahun-1) 2,495,361

    2,112,981(-15%)

    2,964,027 (+19%)

    3,715,338 (49%)

    2,065,230(-17%)

    Produksi listrik (Rp ha-1 tahun-1) 2,345,238 2,360,522 2,360,401 2,360,597 2,348,824

    Pemenuhan air minum (Rp ha-1 tahun-1) 95,584 96,427 96,427 96,427 95,782

    Kebutuhan industri (Rp ha-1 tahun-1) 187,668 217,695 218,446 219,459 195,175

    Produksi sawah (Rp ha-1 tahun-1) 2,048 2,476 2,476 2,476 2,006

    Total di DAS Besai 5,125,900 4,790,101(-7%) 5,641,777

    (+10%) 6,394,297

    (25%) 4,707,017

    (-8%)

    Manfaat tidak langsung

    Pengendalian erosi (Rp ha-1 tahun-1) 3,667,758

    4,406,071 (20%)

    4,552,993 (+24%)

    4,682,540 (28%)

    4,210,126 (+15%)

    Penyedia air pertanian (Rp ha-1 tahun-1) 235,326 240,244 274,013 274,013 244,386

    Pengendali banjir (Rp ha-1 tahun-1) 45,305 45,305 45,305 45,305 116,973

    Biodiversity, carbon sequestration* - - - - -

    Total di DAS Besai 3,948,388 4,691,620 (19%) 4,872,311

    (+23%) 5,001,858

    (27%) 4,571,485

    (+16%)

    Total manfaat di DAS Besai 9,074,288

    9,481,721 (4%)

    10,514,088 (+16%)

    11,396,155 (26%)

    9,278,502 (+ 2%)

    Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persen perbedaan dengan kondisi eksisting Nilai manfaat biodiversty dan penyerapan karbon belum dihitung dalam penelitian ini

    34

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    Kebijakan pengelolaan DAS

    Pengelolaan DAS diharapkan akan mendukung perbaikan lingkungan yang berkelanjutan. Pengelolaan ini merupakan kombinasi dari beberapa faktor seperti faktor teknologi, kebijakan, dan aktivitas yang bertujuan mengintegrasikan prinsip-prinsip sosial ekonomi dengan lingkungan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi keberhasilan tujuan pengelolaan DAS, seperti : (1) harus mendukung perbaikan produktivitas lahan; (2) harus mengurangi kemungkinan terjadinya risiko penurunan produksi; (3) harus bisa mendukung perlindungan sumber daya alam dan mencegah terjadinya degradasi kualitas tanah dan air; (4) harus layak secara ekonomi; dan (5) harus bisa diterima masyarakat (aspek sosial).

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa erosi yang besar akibat pertambahan kebun kopi dan pengurangan hutan harus dikendalikan, karena menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan agroteknologi bisa mengurangi laju erosi secara signifikan walau pada umumnya petani tidak melaksanakannya, karena tindakan ini berarti penambahan biaya di sisi petani, dan mereka tidak menerima secara langsung manfaat dari pengendalian erosi yang dilakukan.

    Pembangunan agroforest berbasis kopi di kawasan pengelolaan DAS Hasil penelitian menunjukkan adanya dampak peningkatan erosi, kehilangan

    produksi listrik, dan juga memperlihatkan bahwa dampak terhadap erosi bisa diperkecil, jika usaha tani kopi dilakukan dengan pola kebun campuran/agroforestry yang dipadukan dengan upaya konservasi tanah seperti rorak dan guludan. Upaya ini selain menyebabkan erosi lebih rendah dan di bawah erosi yang dapat ditoleransi juga berdampak pada pendapatan petani yang lebih baik, dan mendukung fungsi lindung dari hulu DAS Besai yang sebagian besar adalah hutan lindung. Agroforest berbasis kopi dapat dikembangkan pada areal hutan lindung dengan pendekatan pembangunan hutan kemasyarakatan dimana masyarakat memperoleh hak pengelolaan atas kawasan hutan lindung. Pola-pola agroforest berbasis kopi dapat dilakukan karena pola ini tidak melakukan pemanenan kayu dan fungsi pengendali erosi dan hidrologi dapat dicapai.

    Hak pengelolaan agroforest berbasis kopi sebaiknya diberikan kepada petani dalam kelompok-kelompok pengelola sehingga keberhasilan kelompok tersebut merupakan ”keberhasilan kolektif”. Hak pengelolaan ini berbentuk sertifikat tetapi ada aturan main yang harus dikembangkan dimana sertifikat ini tidak dapat ditransfer antar-kelompok namun dapat ditransfer antar-anggota dalam kelompok pengelola, sehingga pengawasan antar-anggota cukup efektif. Sanksi diberikan

    35

  • Sihite

    secara kelompok melalui denda maupun tidak diberikan lagi insentif bagi pengelola agroforest tersebut, bagi yang melanggar ketentuan dalam pengelolaan. Sedangkan pemerintah, swasta, dan NGO menjadi aktor eksternal yang mengawasi, menjadi fasilitator, dan penyedia dana. Sedangkan pemerintah sekaligus berfungsi sebagai regulator.

    Hutan lindung dan tata guna lahan Pemahaman bahwa hutan lindung harus bervegetasi hutan perlu dievaluasi.

    Penetapan ini sebenarnya dimaksudkan untuk menjamin fungsi lindung berupa hidrologi bukan biodiversity. Ini sejalan dengan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/ 1980 dimana penetapan hutan lindung adalah dalam rangka memelihara kemantapan tata air, mencegah banjir dan erosi. Dengan pemahaman ini maka wajar dan layak jika masyarakat melakukan konversi hutan menjadi kebun kopi sepanjang fungsi hidrologi dan pengendalian erosi tetap terjaga.

    Mengacu kepada kondisi DAS Besai dengan keberadaan hutan lindung, ada dua opsi kebijakan yang bisa dilakukan yaitu: 1. Jika dipertahankan fungsinya sehingga bisa mendekati fungsi sebagai hutan

    lindung, maka pola kebun kopi harus multistrata atau agroforest berbasis kopi dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air. Analisis penggunaan lahan menunjukkan bahwa dampak erosi dan aliran permukaan ini dapat dikendalikan jika kebun kopi dikembangkan dengan multistrata dan menerapkan konservasi tanah dan air. Ini berarti jika mengacu kepada SK Mentan No. 837, maka pengembangan agroforest kopi yang dipadukan dengan konservasi tanah dan air tidak bertentangan karena bisa memenuhi fungsi dari hutan lindung.

    2. Analisis peta lereng di DAS Besai menunjukkan bahwa banyak areal hutan lindung yang datar dan lahan berlereng di atas 40% cukup kecil. Ini berarti areal hutan lindung bisa dirubah menjadi bukan hutan lindung dengan melakukan evaluasi atau re-skoring hutan lindung sehingga masyarakat bisa berkebun kopi tanpa ”was-was” melanggar peraturan.

    Pemberdayaan pendukung dana petani hulu Pengelolaan lingkungan yang baik di hulu akan memberikan manfaat bagi

    penduduk di hilir. Adanya sebagian manfaat dari pengelolaan daerah hulu yang dinikmati oleh penduduk di hilir yang secara status ekonomi lebih baik dari penduduk hulu. Pemerintah seharusnya memperkenalkan dan mengembangkan format subsidi bagi konservasi di hulu sama seperti adanya program irigasi di daerah hilir. Subsidi ini bisa dilakukan dengan memberi pengurangan bunga kredit untuk

    36

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    melaksanakan upaya konservasi tanah yang dilakukan petani. Kredit yang dikembangkan di daerah hulu harus digunakan sebagai investasi yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya. Keberadaan sumber pendanaan ini akan menjadi faktor penting dalam pencegahan kerusakan lingkungan dan pengentasan kemiskinan, mengingat kemiskinan dan kerusakan lingkungan merupakan sebab akibat. Untuk itu, dalam managemen atau pengelolaan DAS, upaya mengembangkan sektor keuangan di pedesaan menjadi penting.

    Mengembangkan usaha tani kopi di hulu dengan menerapkan konservasi tanah dan air, akan berarti meningkatkan biaya dan menurunkan manfaat langsung yang diterima petani hulu, tetapi bisa dinikmati masyarakat hilir. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh daerah hilir dengan adanya pengelolaan di hulu harus bisa dinikmati oleh penduduk hulu lewat upaya transfer manfaat yang dipelopori oleh pemerintah. Pemerintah harus memfasilitasi transfer dan sharing manfaat ini kepada penduduk di hulu.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan 1. Perubahan penggunaan lahan di DAS Besai dari tahun 1975-1997 telah

    menyebabkan hutan berkurang dari 16.168 ha (42,6%) menjadi 3.200 ha (8,4%) dan menyebabkan pertambahan kebun kopi dari 3.747 ha (9,9%) menjadi 27.034 ha (71,2%).

    2. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kopi di DAS Besai menyebabkan terjadinya: (1) peningkatan erosi tanah yang signifikan dari 12,08 t ha-1 tahun-1 pada periode 1975-1981 (hutan 42,60%, kopi 9,9%) menjadi 49,93 t ha-1 tahun-1 pada periode 1996-1998 (hutan 8,4%, kopi 71.2%); (2) peningkatan rasio debit maksimum minimum dari 7-16 pada tahun 1975-1981 dan 25-41 pada periode tahun 1996-1998; (3) debit musim hujan lebih besar dan kemarau lebih rendah sehingga terjadi kehilangan produksi listrik pada musim kemarau, atau terjadi peningkatan kerugian secara ekonomi dari Rp 16.473.540.975 tahun-1 pada tahun 1975-1981 menjadi Rp 63.493.592.267 tahun-1 pada tahun 1996-1998.

    3. Hasil simulasi erosi memperlihatkan bahwa pola penggunaan lahan kebun kopi menggunakan rorak atau kombinasi dengan kebun campuran bisa menurunkan erosi 77,25% dan 88,06%. Erosi yang dihasilkan juga lebih rendah daripada erosi yang dapat ditoleransikan.

    37

  • Sihite

    4. Pola usaha tani kopi dengan rorak atau kebun campuran yang menggunakan

    rorak/gulud juga menghasilkan pendapatan petani yang lebih besar daripada kondisi saat ini, yaitu berturut-turut Rp 2.964.027 dan Rp 3.715.338. Pola ini memiliki nilai B/C rasio > 1.

    5. Total manfaat langsung dan tidak langsung dari pola usaha tani kopi multistrata atau agroforest kopi berturut-turut Rp 6.394.297 ha-1 dan Rp 5.001.858 ha-1. Nilai manfaat ini lebih besar dibandingkan manfaat langsung dan tidak langsung dari penggunaan lahan saat ini, yaitu Rp 5.125.900 ha-1 dan Rp 3.948.388 ha-1.

    Saran 1. Pengembangan usaha tani kopi di DAS Besai sebaiknya menggunakan usaha

    tani konservasi sehingga erosi dan aliran permukaan waktu musim hujan dapat berkurang dan bisa mendukung keberadaan PLTA Besai. Dukungan pemerintah dengan memberikan bantuan untuk konservasi sangat dibutuhkan mengingat kondisi petani di hulu DAS umumnya miskin, maka langkah yang harus diambil adalah meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani. Hal ini bisa dicapai dengan menerapkan sistem usaha tani terpadu, yaitu mengkombinasikan tanaman pangan, tanaman keras, dan peternakan yang sesuai dengan kaidah usaha tani konservasi tanah. Dengan sistem ini, petani melihat adanya keuntungan yang bisa diperoleh dan konservasi tanah yang dijalankan.

    2. Pemberdayaan petani dengan subsidi bagi biaya konservasi bisa dilakukan tetapi dengan melihat kelayakan usaha, maka pengembangan sistem kredit harus hati-hati karena usaha ini cukup sensitif dengan perubahan. Hal ini berakibat beratnya petani untuk melakukan usaha tani konservasi tanah. Langkah yang harus diambil pemerintah adalah menyediakan modal bagi petani melalui sarana kredit berbunga rendah di pedesaan yang bergulir bukan parsial per proyek.

    DAFTAR PUSTAKA

    Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada

    University Press. Hal 160-166. Barbier, E. B. 1995. The Economics of Forestry and Conservation : Economic

    Values and Policies. Commonwealth Forestry Review. Vol. 74.

    38

  • Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan

    Beasley, D. B. and L.F Huggins. 1991. ANSWERS (Areal Nonpoint Source

    Watershed Environment Response Simulation). User’s Manual. Second Edition-Second Printing. Agriculture Engineering Department Publication No. 5. Agriculture Experiment Stations. Purdue University.

    Bonnieux, F. and P. Le Goffe. 1997. Valuing the Benefits of Landscape Restoration: A case Study of the Cotentin in Lower-Normandy, France. Journal of Environmental Management. Vol 50. Academic Press

    Crook, C. and R.A. Clapp. 1998. Is market-oriented forest conservation a contradiction in terms? Environmental Conservation. Vol. 25 (2):131-145. Foundation for Environmental Conservation.

    Harrtwick, J. M., Ngo van Long, and H. Tian. 2001. Deforestation and Development in A Small Open Economy. Journal of Environmental Economics and Management. Vol. 41: 235-251. Academic Press.

    Hulfschmidt, M.M., D.E. James, A.D. Meister, B.T. Bower, and J.A. Dixon. 1996. Lingkungan, sistem alami dan pembangunan. hlm. 136-160 dalam Pedoman Penilaian Ekonomis. Gajahmada University Press. Yogjakarta.

    Onal, H., K.A. Algozin, M. Isik, and R. H. Hornbaker. 1998. Economically efficient watershed management with environmental impact and income distribution goals. Journal of Environmental Management 53: 241-253. Academic Press.

    Syam, T., H. Nishide, A.K. Salam, M. Utomo, A. K. Mahi, J. Lumbanraja, S. G. Nugroho, and M. Kimura. 1997. Land Use and Cover Changes in a Hilly Area of South Sumatra, Indonesia (from 1970 to 1990). Soil Science Plant Nutrition. Vol. 43 (3): 587-599.

    Widianingsih, D.E. 1991. Peranan Sistem Pertanaman Agroforestry dalam Penggunaan Lahan Kering Pertanian yang Berlereng Curam di DAS Cimanuk, Jawa Barat. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. IPB Bogor.

    39

  • Prosiding Multifungsi Pertanian, 2005

    LAND USE CHANGE AND FLOOD MITIGATION IN CITARUM AND KALIGARANG WATERSHEDS

    Robert L. Watung, Sidik