tinjauan akhir (pebruari 2005) -...
TRANSCRIPT
IV-75
TINJAUAN AKHIR (PEBRUARI 2005) :
PERKEMBANGAN DAN PROSPEK KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat
mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang
merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah
pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu
wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu
negara.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar (sekitar
210 juta jiwa pada tahun 2000) menghadapi tantangan yang sangat kompleks
dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan
pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta
merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan
pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan
kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar
akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan
ketahanan pangan.
Sesuai Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang pangan, pangan dalam
arti luas mencakup makanan dan minuman hasil-hasil tanaman dan ternak serta
ikan baik produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat
ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan
protein pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkal/kapita/hari dan 80 gr protein/kapita/
hari (Suryana, 2002). Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan energi dan
protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII
Tahun 2000 masing-masing sebesar 2500 Kkal/kapita/hari dan 55 gr
protein/kapita/ hari ( LIPI, 2000).
Walaupun secara makro ketersediaan pangan telah melebihi standar
kecukupan energi dan protein, namun kecukupan di tingkat nasional tersebut tidak
menjamin kecukupan konsumsi di tingkat rumahtangga atau individu. Tingkat
konsumsi per kapita per hari rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 1999
sebesar 1849 Kkal atau 82.2 persen dari standar kecukupan (BPS, Susenas
1999). Ketidakcukupan pangan ini tercermin pula adanya fakta (a) masih tingginya
IV-76
prevalensi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk masing-masing 24.9
persen dan dan 7.7 persen pada tahun 1999 (Suryana, 2002) dan (b) proporsi
rumahtangga rawan pangan di Indonesia tahun1999 yang diukur dengan indikator
silang antara tingkat konsumsi energi ≤ 80 persen dari standar kecukupan dan
pangsa pengeluaran pangan > 60 persen dari total pengeluaran mencapai sekitar
30 persen (Saliem, H.P dkk, 2001), serta (c) jumlah penduduk miskin di Indonesia
(yang juga dapat diidentikkan penduduk yang tidak atau kurang tahan pangan)
pada tahun 1998 sebesar 24.23 persen (Irawan dan Romdiati, 1999).
Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia
saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan
yang lebih cepat dari pada pertumbuhan penyediaannya (Suryana, 2002).
Permintaan yang meningkat cepat tersebut merupakan resultante dari
peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli
masyarakat dan perubahan selera. Sementara itu kapasitas produksi pangan
nasional pertumbuhannya lambat bahkan stagnan disebabkan oleh adanya
kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta stagnannya
pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidakseimbangan
pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional tersebut
mengakibatkan adanya kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan
nasional yang berasal dari impor. Ketergantungan terhadap pangan impor ini
diterjemahkan sebagai ketidakmadirian dalam penyediaan pangan nasional.
PENGUKURAN DAN KERAGAAN KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Kemandirian pangan merupakan salah satu dimensi pengukuran
ketahanan pangan. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
ketahanan pangan dari sisi kemandirian antara lain (1) ketergantungan
ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan domestik, (2)
ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada pangan impor dan atau net
impor (impor dikurangi ekspor), dan (3) ketergantungan ketersediaan pangan
terhadap transfer pangan dari pihak atau negara lain (Simatupang, 2000).
Dengan data yang tersedia, tulisan berikut akan mengukur kemandirian pangan
nasional dengan menggunakan indikator (1) dan (2).
IV-77
1. Ketergantungan Ketersediaan Pangan Nasional pada Produksi Pangan Domestik
Ketersediaan pangan nasional (KPN) merupakan penjumlahan dari produksi
pangan domestik (PPD) dengan impor pangan (IMP), transfer (TRF), stok atau
cadangan (STK), dikurangi ekspor pangan (EXP). Secara matematis hubungan
tersebut dapat ditulis:
KPN = PPD + IMP + TRF + STK – EXP (1a)
Ketersediaan pangan untuk konsumsi (KPK) merupakan pengurangan antara
ketersediaan pangan nasional (KPN) dengan penggunaan pangan untuk bibit
(BIT), pakan (PAK), industri pengolahan (IND), tercecer (TCR), dan penggunaan
lain (LAN). Secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
KPK = KPN – BIT – PAK – IND – TCR – LAN (1b) Dalam struktur Neraca Bahan Makanan, KPK tersaji dalam volume agregat
(ton), ketersediaan per kapita (kg/kapita/tahun), ketersediaan dalam zat gizi yaitu
bentuk energi (Kkal/kapita/hari), protein (gram/kapita/hari) dan lemak (gram/
kapita/hari).
Ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap produksi domestik
(KKPPD) diukur dari rasio produksi atau ketersediaan pangan domestik yang
dapat dikonsumsi (KPK) terhadap ketersediaan pangan nasional (KPN),
(Simatupang, 2000).
KKPPD = KPK/KPN * 100 % (1c)
KKPPD umumnya berkorelasi positif dengan ketersediaan pangan nasional dan
juga terhadap ketahanan pangan. Oleh karenanya semakin tinggi KKPPD
menunjukkan pula kemandirian pangan nasional yang tinggi.
2. Ketergantungan Ketersediaan Pangan Nasional pada Pangan Impor
Dalam mengukur ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada
pangan impor (KKPPI) digunakan dua indikator yaitu impor pangan kotor (IMP)
dan impor bersih atau net impor (IMP – EXP). Ukuran ketergantungan dituliskan
sebagai berikut:
IV-78
KKPPI = IPM/KPN * 100 % (2a)
KKPPI = (IMP – EXP)/KPN * 100 % (2b) Persamaan (2b) menurut Simatupang (2000) dapat dikatakan pula sebagai rasio
ketergantungan pada perdagangan (trade dependency ratio).
KKPPI umumnya berkorelasi negatif dengan ketersediaan pangan nasional
dan juga ketahanan pangan nasional. Oleh karenanya semakin tinggi KKPPI
menunjukkan pula kemandirian pangan nasional yang rendah atau rentan.
Dalam analisis akan dikaji ketersediaan pangan secara agregat dalam arti
pangan yang berasal dari hasil tanaman maupun hasil ternak serta pangan dalam
bentuk hasil primer maupun olahan. Analisis kemandirian pangan secara agregat,
satuan yang relevan digunakan untuk ketersediaan pangan, produksi, impor dan
ekspor adalah satuan energi (Kkal/kapita/hari). Selain itu akan dikaji pula
beberapa jenis atau kelompok pangan yang tingkat kemandiriannya rendah
(rentan) dan diidentifikasi faktor-faktor penentu rendahnya kemandirian beberapa
jenis pangan tersebut. Untuk kepentingan analisis kemandirian pangan menurut
jenis pangan maka satuan volume (ton), nilai maupun energi (Kkal) relevan
digunakan. Rentang waktu yang digunakan dalam analisis ini adalah dari tahun
1970-2002 dengan menggunakan data neraca bahan makanan yang diterbitkan
oleh FAO.
Kemandirian Pangan Dalam Bentuk Kalori
Dengan menggunakan indikator kemandirian pangan seperti diuraikan di
atas, keragaan perkembangan kemandirian pangan secara agregat dalam bentuk
kalori (Kkal/kapita/hari) selama kurun waktu 1970 – 2002 dapat disimak pada
Tabel 1 dan 1a.
Selama kurun waktu analisis, ketersediaan pangan nasional dalam bentuk
kalori didominasi oleh produksi dalam negeri. Hal ini ditunjukkan oleh pangsa
produksi dalam negeri terhadap ketersediaan pangan nasional rata-rata mencapai
lebih dari 95 persen (kecuali pada tahun 1977 dan 1978 sebesar 94 % dan 1995
hanya 92 %). Bahkan selama kurun waktu 1985-1994 dan 2000-2002 produksi
pangan dalam negeri melebihi tingkat ketersediaannya. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa secara umum KKPPD (sebagai salah satu ukuran
kemandirian pangan) nasional selama kurun waktu 1970–2002 dapat
dikategorikan cukup baik yang ditunjukkan oleh besarnya rata-rata rasio produksi
IV-79
domestik terhadap pemenuhan ketersediaan atau kebutuhan pangan nasional
sebesar 99 persen. Namun demikian mengingat adanya pertumbuhan permintaan
pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan pangan, fenomena
tersebut menuntut semua pihak yang terkait dengan kebijakan pangan nasional
untuk bersiap-siap merancang terobosan kebijakan yang dapat memacu
peningkatan produksi pangan untuk mengimbangi cepatnya laju permintaan.
Volume impor pangan selama kurun waktu 1970-2002 terlihat berfluktuasi
dengan kecenderungan yang meningkat. Hal ini terlihat dari rata-rata impor
pangan selama kurun waktu 1970-1994 yang masih di bawah 10 persen,
meningkat menjadi di atas 10 persen (dengan kisaran 10-16 %) selama kurun
waktu 1995-2002. Peningkatan volume impor pangan yang terjadi secara
konsisten selama kurun waktu analisis menuntut kewaspadaan kita untuk mampu
memberikan prioritas kepada pengembangan komoditas pangan yang memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar domestik maupun pasar
internasional. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa dalam era perdagangan bebas
saat ini kita tidak dapat membendung arus pangan impor masuk ke dalam negeri
di luar kebijakan tarif.
Kecenderungan peningkatan impor pangan, sebenarnya diikuti juga
dengan kecenderungan peningkatan ekspor pangan. Selama kurun waktu 1993-
2002, rata-rata ekspor pangan Indonesia telah mencapai di atas 10 persen,
dengan kisaran antara 6,0-28,0 persen. Imbangan antara peningkatan impor
dengan ekspor pangan mengakibatkan net impor pangan Indonesia relatif kecil.
Selama kurun waktu 1970-2000, net impor pangan Indonesia tidak pernah
melebihi 10 persen, kecuali kurun waktu dua tahun terakhir (2001-2002) net impor
pangan Indonesia mencapai 12-14 persen.
Selanjutnya, pada Tabel 2 dapat disimak pangsa masing-masing
komoditas dalam pemenuhan kebutuhan kalori dalam negeri selama kurun waktu
1970 – 2002. Dari berbagai jenis komoditas yang dianalisis, pangsa energi yang
berasal dari beras menempati porsi tertinggi (rata-rata lebih dari 50 persen).
Pangsa kalori yang berasal dari beras tertinggi terjadi pada tahun 1972 dan 1976
yang mencapai 57 persen lebih dan terendah pada tahun 1995-1996 yang
mencapai sekitar 49 persen. Dengan demikian, walaupun sangat kecil, namun
peran beras dalam menyumbang kebutuhan kalori menunjukkan kecenderungan
yang menurun.
IV-80
Dominasi penyediaan kalori dari beras salah satunya disebabkan oleh
semakin menurunnya penyediaan energi yang berasal dari tanaman umbi-umbian.
Pada tahun 1970, tanaman umbi-umbian masih menyumbang sekitar 14 persen
kebutuhan kalori, namun dalam perkembangannya pangsanya secara konsisten
mengalami penurunan hingga mencapai sekitar 6 persen pada tahun 2002.
Selain beras dan umbi-umbian, komoditas lain yang mempunyai pangsa
energi relatif besar terhadap produksi pangan domestik adalah bahan pemanis,
minyak nabati, minyak sayur dan gandum. Khusus untuk gandum, yang 100
persen merupakan komoditas impor, selama kurun waktu 1970-2002 walaupun
lambat, namun secara konsisten pangsanya terhadap pemenuhan kebutuhan
kalori semakin meningkat. Perkembangan peningkatan pangsa kalori yang berasal
dari gandum perlu diwaspadai mengingat gandum tidak dapat diproduksi di dalam
negeri. Apabila kecenderungan peningkatan ini tidak diperhatikan maka
dikhawatirkan di masa yang akan datang kemandirian pangan Indonesia akan
tergantung pada negara lain.
Dari Tabel 2 juga dapat terlihat bahwa secara norma gizi, proporsi
penyediaan pangan menurut komoditas dapat dikatakan kurang terdiversifikasi
secara proporsional. Pangsa energi yang berasal dari beras melebihi standar
anjuran (anjuran 50%) sementara sumber energi yang berasal dari kacang-
kacangan, sayuran, buah-buahan serta daging-dagingan masih kurang dari
anjuran/ rekomendasi. Rekomendasi yang dianjurkan pangsa energi berasal dari
kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan serta daging-dagingan berturut-turut
sebesar: 5 persen, 6 persen dan 12 persen dari ketersediaan pangan untuk
konsumsi (Hardinsyah, dkk. 2001).
Kemandirian Pangan Dalam Bentuk Protein
Berdasarkan Tabel 3 terlihat pangsa pemenuhan kebutuhan protein dalam
negeri selama kurun waktu 1970-2002. Dari berbagai komoditas yang dianalisis,
terlihat bahwa beras masih merupakan komoditi yang terbesar pangsanya dalam
menyumbang kebutuhan protein. Kondisi ini makin memperkukuh peran penting
beras dalam diet konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Walaupun
menunjukkan kecenderungan yang terus menurun, namun pangsa beras dalam
pemenuhan kebutuhan protein sampai dengan tahun tahun 2002 masih mencapai
sekitar 40 persen lebih. Pangsa beras dalam pemenuhan kebutuhan protein
sempat mencapai angka terendah sebesar 39 persen pada tahun 1995. Namun
IV-81
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, telah mendorong
peningkatan pangsa beras dalam pemenuhan kebutuhan protein menjadi sekitar
44 persen.
Penurunan pangsa beras dalam pemenuhan kebutuhan protein, salah
satunya dipicu oleh kenaikan pangsa kedelai, ikan dan daging, khususnya daging
ayam. Pangsa kedelai dalam pemenuhan kebutuhan protein meningkat cukup
besar dari sekitar 9 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 13 persen pada tahun
2002. Pangsa kedelai sempat mencapai sekitar 16 persen selama kurun waktu
1991-1994, namun kemudian mengalami penurunan hingga konsisten pada
kisaran sekitar 12 persen. Peningkatan pangsa kedelai dalam pemenuhan
kebutuhan protein cukup wajar mengingat komoditi tersebut merupakan yang
paling murah dibandingkan dengan komoditi daging maupun ikan. Masyarakat
Indonesia umumnya mengkonsumsi kedelai dalam bentuk produk olahan tahun
dan tempe.
Pangsa ikan, khususnya ikan laut, yang cukup besar dalam pemenuhan
kebutuhan protein cukup wajar mengingat Indonesia mempunyai potensi dan
kekayaan sumberdaya perikanan laut yang cukup besar. Mestinya pangsa ikan
dapat lebih tinggi lagi apabila pemsyarakatan konsumsi ikan (termasuk
ketersediaan dan daya beli) dapat lebih ditingkatkan lagi. Pangsa ikan dalam
pemenuhan kebutuhan protein, juga meningkat cukup besar dari sekitar 8 persen
pada tahun 1970 menjadi sekitar 11 persen pada tahun 2002.
Pangsa daging dalam pemenuhan kebutuhan protein, secara umum juga
mengalami peningkatan selama kurun waktu 1970-2002. Dari berbagai jenis
daging, pangsa daging ayam merupakan salah satu yang mengalami peningkatan,
walaupun cukup lamban, dari sekitar 0,41 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar
2 persen pada tahun 2002. Peningkatan pangsa daging ayam dalam pemenuhan
kebutuhan protein, tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah dalam
mengembangkan ayam broiler, sehingga masyarakat dapat mengkonsumsi daging
ayam dengan harga yang relatif terjangkau.
Berbeda dengan daging ayam, pangsa daging sapi dalam pemenuhan
kebutuhan protein, perkembangannya justru menunjukkan kecenderungan yang
menurun. Jika pada tahun 1970, pangsanya masih sekitar 2 persen, pada tahun
2002 hanya sekitar 1 persen. Penurunan pangsa daging sapi ini diduga
disebabkan karena harga daging sapi yang relatif mahal, sehingga hanya
dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan menengah ke atas.
IV-82
Analisis Kemandirian Beberapa Komoditas Bahan Pangan
Analisis kemandirian pangan beberapa jenis komoditas secara tunggal
menggunakan indikator yang sama dengan pengukuran kemandirian pangan
secara agregat, namun demikian faktor pembagi rasio ketergantungan bukan
ketersediaan atau kebutuhan pangan secara total tetapi ketersediaan atau
kebutuhan domestik masing-masing jenis pangan yang dianalisis. Dengan ukuran
seperti itu, kemandirian beberapa jenis atau komoditas pangan dapat diuraikan
sebagai berikut (Tabel 4, 5 dan 6).
Beras
Rasio produksi dalam negeri terhadap ketersediaan beras nasional selama
kurun waktu 1970-2002 berkisar antara 88 persen hingga 101 persen.
Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri di bawah 90 persen terjadi pada
tahun 1973, 1977, 1979 dan 1999, sementara ketersediaan beras dari produksi
dalam negeri di atas 100 persen, terjadi pada tahun 1985, 1986 dan 1993. Di luar
tahun-tahun tersebut ketersediaan produksi dalam negeri berkisar antara 90
persen hingga 99 persen.
Dengan indikator kemandirian pangan seperti di atas, maka untuk
komoditas beras menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan pangan beras penduduknya sebagian besar masih ditentukan oleh
produksi beras dalam negeri. Ketergantungan Indonesia pada pasar beras
internasional selama kurun waktu 1970 – 2001 rata-ratanya masih di bawah 10
persen. Walaupun secara persentase ketergantungan tersebut relatif kecil, namun
mengingat jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 240 juta jiwa lebih,
maka ketergantungan dalam volume maupun nilai impor beras secara psikologis
sangat mengkhawatirkan. Walau bagaimanapun informasi tentang ketergantungan
beras tersebut dapat dijadikan salah satu indikator dini dalam perumusan
kebijakan perberasan nasional. Dalam hal ini fluktuasi besarnya ketergantungan
pada pasar internasional dan adanya kecenderungan terjadi peningkatan dari
waktu ke waktu merupakan indikator yang perlu dicermati dan diantisipasi cara
mengatasinya.
Jagung
Dibandingkan dengan beras, perkembangan ketersediaan pangan jagung
yang berasal dari produksi dalam negeri selama kurun waktu 1970-2002
IV-83
kondisinya kurang begitu baik, karena menunjukkan kecenderungan yang terus
menurun. Pada tahun 1970, produksi jagung dalam negeri mencapai 111 persen
dari total ketersediaan jagung dalam negeri, namun berangsur-angsur mengalami
penurunan hingga pada tahun 2002 hanya mencapai sekitar 89 persen dari total
ketersediaan produksi dalam negeri. Bahkan kondisi sepuluh tahun terakhir (1993-
2002) produksi jagung dalam negeri menunjukkan kinerja yang paling buruk.
Selama kurun waktu tersebut, rata-rata impor jagung hampir mencapai sepuluh
persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi jagung dalam
negeri tidak dapat mengimbangi laju peningkatan permintaan. Kondisi ini perlu
diwaspadai, mengingat kebutuhan jagung tidak hanya untuk pangan saja, tetapi
juga untuk bahan baku pakan ternak.
Kedelai
Dibandingkan dengan beras dan jagung, perkembangan kemandirian
pangan kedelai merupakan yang terburuk. Kondisi swasembada kedelai yang
terjadi selama kurun waktu 1970-1974 ternyata tidak dapat dipertahankan dan
bahkan kondisinya terus memburuk hingga tahun 2002. Sejak tahun 1976,
ketergantungan pangan kedelai terhadap impor sudah mencapai 20 persen lebih,
dan pada tahun 2002 sudah mencapai 68 persen. Kondisi ini tentu sangat
mengkhawatirkan, mengingat kedelai merupakan bahan baku utama untuk
pembuatan tahu dan tempe, yang merupakan salah satu pangan olahan penyedia
protein yang paling banyak dikonsumsi masyakat Indonesia, khususnya
masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Apabila suatu saat harga
kedelai di pasar internasional tiba-tiba melonjak, maka dikhawatirkan sebagian
besar masyarakat Indonesia akan mengalami kekurangan protein.
Daging
Daging merupakan salah satu sumber pangan protein penting, sehingga
ketersediaannya sangat dibutuhkan untuk memenuhi keragaman pangan
masyarakat. Dari berbagai kajian empiris, konsumsi daging per kapita akan
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan atau daya beli
masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketersediaan daging untuk
pemenuhan kebutuhan dalam negeri, selama kurun waktu 1970-2001, sebagian
besar (sekitar 99 %) dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dengan demikian,
secara umum juga dapat dikatakan bahwa kemandirian pangan daging Indonesia
IV-84
selama ini cukup tinggi. Tingginya kemandirian pangan daging Indonesia karena
didukung oleh peningkatan produksi yang sangat pesat dari daging ayam dan
daging babi, sementara daging sapi walaupun menunjukkan kecenderungan yang
meningkat, namun kecil sekali.
Selama kurun waktu 1970-2001, produksi daging sapi meningkat relatif
kecil, yaitu dari sekitar 200 ribu ton pada tahun 1970 menjadi sekitar 368 ribu ton
pada tahun 2002. Produksi daging sapi sempat mencapai 400 ribu ton pada tahun
1994, namun sesudahnya mengalami penurunan kembali. Sebagai konsekuensi
dari lambatnya peningkatan produksi daging sapi dalam negeri, impor daging sapi
mengalami kecenderungan peningkatan yang cukup besar. Secara absolut,
selama kurun waktu 1992-2002, impor daging sapi mengalami peningkatan yang
cukup besar, yaitu dari sekitar 5 ribu ton pada tahun 1992, menjadi sekitar 16 ribu
ton lebih pada tahun 2002. Walaupun secara persentase peningkatan impor
daging sapi tersebut masih di bawah 10 persen dari total kebutuhan dalam negeri,
namun kecenderungan peningkatannya perlu diwaspadai oleh pemerintah.
Berbeda dengan daging sapi, perkembangan produksi daging ayam
selama kurun waktu 1970-2002 sangat mengesankan. Selama kurun waktu
tersebut, produksi daging ayam meningkat lebih dari 13 kali, yaitu dari sekitar 60
ribu ton pada tahun 1970 menjadi sekitar 842 ribu ton pada tahun 2002. Produksi
daging ayam mencapai angka tertinggi pada tahun 1996 yaitu mencapai sekitar
946 ribu ton. Namun akibat krisis moneter pada tahun 1997, produksi daging ayam
turun drastis menjadi sekitar 621 ribu ton pada tahun 1998 dan seiring dengan
semakin membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri, produksi daging ayam
kembali menunjukkan kinerja yang cukup baik mendekati sebelum krisis.
Telur dan Susu
Telur dan susu juga merupakan jenis pangan sumber protein yang cukup
penting. Selama kurun waktu 1970-2002, produksi kedua jenis pangan tersebut
secara absolut menunjukkan kecenderungan peningkatan yang cukup tinggi.
Sama seperti halnya daging ayam, produksi telur selama kurun waktu 1970-2002
menunjukkan peningkatan yang cukup spektakuler, yaitu dari sekitar 75 ribu ton
pada tahun 1970 menjadi sekitar 911 ribu ton pada tahun 2002. Peningkatan yang
cukup tinggi tersebut tidak terlepas dari keberhasilan kebijakan program
pembangunan peternakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya dalam
pengembangan telur ayam ras. Keberhasilan peningkatan produksi telur dalam
IV-85
negeri tersebut menjadikan Indonesia secara konsisten tetap mempertahankan
swasembada telur selama kurun waktu 1970-2002. Impor telur yang dilakukan
selama kurun waktu yang sama relatif sangat kecil, yaitu hanya berkisar antara
0,2-0,7 persen dari total kebutuhan telur dalam negeri.
Berbeda dengan keragaan kemandirian telur, pangan susu walaupun
secara absolut menunjukkan peningkatan produksi, namun jumlahnya masih
terlalu sedikit dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri. Selama kurun waktu
1970-2002, rata-rata produksi susu dalam negeri hanya mencukupi sekitar 30
persen dari total kebutuhan susu dalam negeri. Peningkatan produksi susu dalam
negeri ternyata juga diikuti oleh peningkatan impor susu yang cukup tinggi.
Selama kurun waktu 1999-2001, impor susu Indonesia mencapai 1000 ribu ton
lebih. Jumlah tersebut juga pernah terjadi selama kurun waktu 1982-1983. Kondisi
ini tentunya perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, mengingat
pangan susu semakin dibutuhkan, khususnya sebagai pangan pengganti ASI bagi
anak-anak usia balita.
Ikan
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebenarnya mempunyai
sumberdaya perikanan laut yang sangat besar. Disamping itu, Indonesia juga
mempunyai sumberdaya perikanan darat yang cukup besar. Sumberdaya yang
cukup besar tersebut, mestinya apabila dimanfaatkan secara optimal dapat
menghasilkan pangan ikan yang cukup beragam dan dengan harga yang
terjangkau bagi seluruh penduduk Indonesia. Produksi ikan dalam negeri selama
kurun waktu 1970-2002 menunjukkan peningkatan yang cukup besar, yaitu dari
sekitar 1.217 ribu ton pada tahun 1970 menjadi 5.027 ribu ton pada tahun 2002.
Dari sejumlah produksi tersebut, sebagian diekspor dan perkembangannya
selama kurun waktu yang sama menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Namun di sisi lain, impor pangan ikan Indonesia selama kurun waktu 1970-2002
juga menunjukkan peningkatan. Namun demikian, selama kurun waktu lima tahun
terakhir neraca ekspor-impor pangan ikan masih menunjukkan surplus ekspor
atau negatif net impor.
IV-86
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENINGKATAN KEMANDIRIAN PANGAN
Kebijakan dan strategi peningkatan kemandirian pangan nasional dapat
diidentikkan dengan kebijakan pangan yang mengacu pada pencapaian
ketahanan pangan yang berkelanjutan. Paradigma ketahanan pangan
berkelanjutan (SFSP) menegaskan bahwa ketersediaan pangan yang cukup
adalah penting tetapi tidak memadai untuk menjamin ketahanan pangan.
Walaupun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang dapat menderita
kelaparan karena mereka tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan
(Simatupang, 1999). Dalam kaitan ini kemampuan untuk menguasai pangan yang
cukup atau akses melalui pertukaran pasar atau non pasar (bantuan atau transfer)
merupakan determinan terpenting dalam ketahanan pangan. Selain itu
kerentanan atau vulnerabilitas (vulnerability) juga merupakan komponen penting
dalam ketahanan pangan.
Vulnerabilitas dalam ketahanan pangan dibedakan menjadi dua elemen
yaitu stabilitas dan keandalan atau reliabilitas. Stabilitas menunjukkan kerentanan
internal pada akses dan ketersediaan pangan terhadap gangguan domestik
seperti penurunan produksi pangan domestik dan goncangan ekonomi.
Sementara itu reliabilitas mengacu pada kerentanan eksternal pada akses dan
ketersediaan pangan terhadap perdagangan internasional (Sudaryanto, dkk.
2000).
Mengacu pada konsep kerentanan seperti diuraikan di atas serta fakta
keragaan dan perkembangan kemandirian pangan seperti telah dibahas
sebelumnya, maka dapat dipilih beberapa kebijakan sebagai berikut.
Pertama, kebijakan yang mempunyai dampak sangat positif dalam jangka
pendek adalah subsidi input, peningkatan harga output, dan perdagangan pangan
termasuk intervensi distribusi. Kedua, pilihan kebijakan yang sangat positif dalam
jangka panjang adalah perubahan teknologi, ekstensifikasi, jaring pengaman
ketahanan pangan, investasi infrastruktur, kebijaksanaan makro pendidikan dan
kesehatan. Ketiga, Kebijakan pembangunan sektor non pertanian memberikan
dampak positif medium, kebijakan diversifikasi pertanian dan pekerjaan umum
memberikan dampak positif yang rendah pada produksi pangan dalam jangka
panjang.
Berdasarkan kinerja kebijaksanaan masa lalu dan antisipasi pertumbuhan
ekonomi dan karakteristik pilihan kebijaksanaan, maka prospek kebijaksanaan
IV-87
pengembangan produksi pangan (khususnya tanaman pangan) adalah : Pertama,
meningkatkan produksi dalam negeri melalui perbaikan mutu intensifikasi,
perluasan areal, perbaikan jaringan irigasi, penyediaan sarana produksi yang
terjangkau oleh petani, pemberian insenif berproduksi melalui penerapan
kebijakan harga input maupun harga output; Kedua, pengembangan teknologi
panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil; Ketiga, pengembangan
varietas tipe baru (ideal plant tipe) untuk padi dan pengembangan varietas dengan
produktivitas tinggi untuk komodita pasar lainnya.
Tabel 1. Perkembangan Kemandirian Pangan Berdasarkan Pemenuhan
Kebutuhan Kalori, 1970-2001 (Kkal/kapita/hari)
Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor Total 1970 1830,90 117,80 88,05 29,75 1860,65 1971 1909,88 78,79 91,43 -12,63 1897,25 1972 1915,59 100,22 84,12 16,10 1931,69 1973 1900,04 204,02 88,00 116,02 2016,05 1974 1994,10 148,68 103,54 45,15 2039,25 1975 2023,69 108,84 101,65 7,19 2030,88 1976 1900,78 183,32 73,87 109,45 2010,22 1977 1926,85 207,75 80,56 127,19 2054,04 1978 1963,88 215,37 79,18 136,19 2100,07 1979 2043,73 211,32 98,15 113,17 2156,90 1980 2076,66 236,02 115,45 120,57 2197,23 1981 2160,69 181,65 56,55 125,10 2285,79 1982 2184,91 168,33 66,95 101,38 2286,29 1983 2253,36 180,87 87,57 93,30 2346,66 1984 2329,08 129,04 71,27 57,77 2386,85 1985 2510,92 94,09 195,87 -101,78 2409,15 1986 2451,96 107,32 120,23 -12,91 2439,04 1987 2508,58 139,58 159,14 -19,57 2489,01 1988 2622,07 166,58 204,11 -37,52 2584,55 1989 2647,82 173,02 209,82 -36,80 2611,02 1990 2729,82 126,23 232,25 -106,02 2623,81 1991 2761,51 177,05 250,35 -73,30 2688,21 1992 2757,58 219,79 213,47 6,32 2763,90 1993 2889,45 192,52 295,55 -103,03 2786,42 1994 2889,22 278,96 321,35 -42,38 2846,83 1995 2711,48 405,24 182,30 222,93 2934,41 1996 2750,39 356,53 223,74 132,79 2883,18 1997 3006,19 290,06 418,66 -128,60 2877,59 1998 2772,25 348,10 220,87 127,23 2899,48 1999 2891,30 474,98 435,19 39,79 2931,09 2000 3082,63 391,55 571,94 -180,39 2902,24 2001 3278,65 304,52 679,55 -375,03 2903,62 2002 3312,72 411,36 821,07 -409,71 2903,00
Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002)
IV-88
Tabel 1a. Perkembangan Pangsa Pemenuhan Kebutuhan Kalori Dari Beberapa Sumber Pangadaan, 1970-2001 (%)
Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor 1970 98,40 6,33 4,73 1,60 1971 100,67 4,15 4,82 -0,67 1972 99,17 5,19 4,35 0,83 1973 94,25 10,12 4,36 5,75 1974 97,79 7,29 5,08 2,21 1975 99,65 5,36 5,01 0,35 1976 94,56 9,12 3,67 5,44 1977 93,81 10,11 3,92 6,19 1978 93,52 10,26 3,77 6,48 1979 94,75 9,80 4,55 5,25 1980 94,51 10,74 5,25 5,49 1981 94,53 7,95 2,47 5,47 1982 95,57 7,36 2,93 4,43 1983 96,02 7,71 3,73 3,98 1984 97,58 5,41 2,99 2,42 1985 104,22 3,91 8,13 -4,22 1986 100,53 4,40 4,93 -0,53 1987 100,79 5,61 6,39 -0,79 1988 101,45 6,45 7,90 -1,45 1989 101,41 6,63 8,04 -1,41 1990 104,04 4,81 8,85 -4,04 1991 102,73 6,59 9,31 -2,73 1992 99,77 7,95 7,72 0,23 1993 103,70 6,91 10,61 -3,70 1994 101,49 9,80 11,29 -1,49 1995 92,40 13,81 6,21 7,60 1996 95,39 12,37 7,76 4,61 1997 104,47 10,08 14,55 -4,47 1998 95,61 12,01 7,62 4,39 1999 98,64 16,20 14,85 1,36 2000 106,22 13,49 19,71 -6,22 2001 112,92 10,49 23,40 -12,92 2002 114,11 14,17 28,28 -14,11
Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002)
IV-89
Tabel 2. Perkembangan Pangsa Pemenuhan Kebutuhan Kalori Dalam Negeri, 1970-2001 (%)
Produk 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 Rice (Milled Equivalent) 54,52 56,31 57,01 53,75 53,64 56,49 57,25 55,75 55,17 56,59 55,55 53,80 Maize 7,08 6,32 6,90 8,53 7,26 6,52 5,90 6,75 8,39 7,00 7,04 6,84 cereal Other 1,64 1,10 1,49 2,45 2,11 1,91 2,56 2,02 2,00 1,80 3,25 2,89 Starchy Roots 13,62 12,73 12,44 13,54 13,31 12,33 12,13 11,72 10,76 9,78 10,22 9,43 Sugarcrops 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sugar (Raw Equivalent) 3,59 3,93 3,63 3,29 3,82 4,00 4,26 4,54 4,65 4,89 4,95 5,08 Sugar & Sweeteners,other 2,49 2,51 2,43 2,00 2,36 2,02 2,05 1,78 1,62 1,43 1,21 1,89 Pulses 1,04 1,06 1,09 1,08 1,22 0,95 0,66 0,73 0,76 0,83 0,90 0,79 Treenuts 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 Soyabeans 2,02 2,03 1,95 1,77 2,00 2,05 2,33 1,95 2,30 2,52 2,12 2,91 Oilcrops,other 3,65 3,94 3,14 3,92 4,26 3,88 2,96 4,26 4,32 4,48 3,41 4,86 Vegetable Oils 4,14 3,96 3,83 3,68 4,05 4,06 4,57 4,78 4,68 5,06 5,43 5,63 Vegetables 0,93 0,94 0,92 0,87 0,86 0,88 0,66 0,61 0,64 0,65 0,66 0,63 Fruits - Excluding Wine 2,01 1,86 1,90 2,02 1,91 1,75 1,31 1,63 1,32 1,47 1,61 1,61 Stimulants 0,06 0,07 0,05 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,03 0,03 0,04 Spices 0,18 0,16 0,16 0,17 0,17 0,19 0,18 0,22 0,19 0,18 0,18 0,20 Alcoholic Beverages 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,05 0,04 0,05 0,04 0,04 0,05 0,05 Bovine Meat 0,47 0,45 0,44 0,44 0,47 0,48 0,49 0,49 0,47 0,43 0,42 0,41 Poultry Meat 0,10 0,11 0,12 0,11 0,12 0,13 0,13 0,13 0,14 0,16 0,19 0,19 Meat,other 0,64 0,70 0,73 0,60 0,60 0,56 0,62 0,59 0,56 0,64 0,60 0,65 Offals 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 Animal Fats 0,22 0,23 0,24 0,24 0,24 0,22 0,25 0,26 0,27 0,28 0,28 0,27 Milk – Excluding Butter 0,25 0,26 0,25 0,25 0,26 0,22 0,27 0,32 0,34 0,31 0,35 0,31 Eggs 0,11 0,12 0,11 0,11 0,12 0,14 0,14 0,15 0,17 0,17 0,27 0,27 Fish, Seafood 1,09 1,06 1,03 0,98 1,01 1,01 1,07 1,09 1,07 1,14 1,15 1,12 Aquatic Products, Other 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
IV-90
Tabel 2. Lanjutan…
1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
57,06 53,96 53,73 56,33 53,23 55,48 54,44 55,05 55,32 53,58 51,90 51,99 50,85 49,15 49,95 50,35 51,78 52,03 51,38 50,51
4,93 7,25 7,37 5,83 7,78 6,47 7,77 6,71 7,31 6,92 7,16 7,52 7,66 8,00 7,91 8,20 8,02 7,82 7,98 9,10
3,00 3,27 2,56 2,28 2,70 2,71 2,41 2,73 2,57 3,26 3,42 3,45 4,26 5,21 5,05 4,39 4,09 3,66 4,82 3,41
8,74 8,64 8,51 8,39 8,24 7,41 7,28 6,92 6,18 6,91 7,13 6,79 6,54 6,63 7,20 6,81 6,57 6,39 6,57 6,45
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
5,35 5,08 4,88 4,88 4,98 4,89 4,68 4,59 4,55 4,66 4,72 4,73 4,66 4,37 4,60 5,01 5,54 5,62 5,53 5,61
1,25 1,21 1,19 0,82 0,65 0,65 0,63 0,63 0,62 0,61 0,56 0,60 0,71 0,66 0,59 0,39 0,74 0,66 0,70 0,34
0,69 1,37 1,29 1,24 1,19 1,03 1,20 1,17 1,30 1,13 1,39 1,30 1,51 1,33 1,29 1,29 1,23 1,24 1,23 0,39
0,05 0,05 0,10 0,15 0,10 0,09 0,08 0,09 0,10 0,11 0,11 0,15 0,13 0,15 0,15 0,15 0,13 0,13 0,16 0,09
2,35 1,87 2,81 2,76 3,24 2,84 3,05 3,00 3,36 3,82 4,17 3,82 3,86 3,62 2,90 3,20 2,61 2,68 2,69 3,02
3,73 4,14 4,10 4,26 4,77 4,68 4,50 5,21 4,47 4,79 5,53 5,53 5,39 6,20 5,63 5,80 5,01 5,19 4,32 5,23
6,95 7,17 7,24 6,87 6,47 7,24 7,53 7,45 7,55 7,53 7,34 7,37 7,27 7,31 7,42 7,22 7,72 7,44 7,90 8,72
0,58 0,57 0,59 0,63 0,70 0,72 0,69 0,75 0,74 0,70 0,75 0,75 0,78 0,81 0,88 0,76 0,81 0,95 0,83 0,99
1,62 1,46 1,57 1,46 1,65 1,49 1,46 1,34 1,46 1,43 1,36 1,30 1,43 1,89 1,50 1,55 1,41 1,46 1,55 1,61
0,03 0,02 0,02 0,02 0,03 0,04 0,04 0,05 0,04 0,04 0,05 0,04 0,04 0,06 0,05 0,04 0,04 0,03 0,07 0,08
0,18 0,17 0,19 0,18 0,20 0,20 0,22 0,24 0,25 0,22 0,18 0,15 0,15 0,17 0,15 0,16 0,15 0,14 0,18 0,27
0,05 0,05 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 0,03 0,04 0,03 0,03 0,04 0,04 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05
0,41 0,35 0,36 0,36 0,35 0,34 0,33 0,34 0,34 0,33 0,36 0,41 0,38 0,34 0,38 0,39 0,36 0,37 0,37 0,35
0,20 0,25 0,25 0,28 0,29 0,31 0,31 0,33 0,37 0,40 0,36 0,45 0,51 0,52 0,57 0,53 0,36 0,40 0,41 0,45
0,67 0,84 0,94 1,00 1,08 1,05 1,10 1,13 1,21 1,22 1,19 1,24 1,26 1,05 1,10 1,15 1,09 1,26 0,72 0,79
0,09 0,10 0,11 0,11 0,12 0,12 0,12 0,12 0,13 0,13 0,13 0,15 0,15 0,14 0,16 0,15 0,12 0,14 0,13 0,13
0,28 0,32 0,32 0,33 0,35 0,32 0,34 0,33 0,33 0,36 0,35 0,38 0,37 0,33 0,34 0,34 0,32 0,38 0,25 0,25
0,34 0,34 0,32 0,30 0,30 0,29 0,27 0,26 0,26 0,28 0,29 0,29 0,31 0,34 0,32 0,31 0,27 0,39 0,37 0,35
0,28 0,28 0,31 0,31 0,35 0,35 0,32 0,32 0,33 0,33 0,36 0,34 0,40 0,41 0,44 0,43 0,29 0,29 0,38 0,42
1,17 1,25 1,20 1,18 1,20 1,23 1,21 1,21 1,18 1,19 1,16 1,21 1,33 1,24 1,39 1,34 1,31 1,27 1,39 1,37
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
50.47
7.75
5.27
6.37
0.00
5.51
0.34
0.41
0.03
3.03
4.93
8.65
0.90
1.65
0.07
0.28
0.03
0.31
0.45
0.83
0.14
0.28
0.34
0.48
1.48
0.00
100.00 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002)
IV-91
Tabel 3. Perkembangan Pangsa Pemenuhan Kebutuhan Protein Dalam Negeri, 1970-2001 (%)
Produk 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 Rice (Milled Equivalent) 50,83 52,34 52,63 50,18 50,24 52,26 52,64 51,80 50,10 50,89 49,91 47,55 51,71 Maize 8,50 7,64 8,30 10,37 8,79 7,85 7,05 8,16 9,90 8,20 8,31 8,05 5,94 cereal Other 2,10 1,41 1,90 3,17 2,72 2,45 3,30 2,67 2,57 2,27 4,10 3,64 3,87 Starchy Roots 3,91 3,76 3,58 3,89 3,84 3,64 3,56 3,41 2,82 2,55 2,40 2,26 2,09 Sugarcrops 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sugar (Raw Equivalent) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sugar & Sweeteners,other 0,29 0,31 0,28 0,24 0,29 0,24 0,24 0,24 0,20 0,17 0,15 0,25 0,15 Pulses 3,27 3,32 3,40 3,41 3,84 2,97 2,06 2,30 2,32 2,53 2,76 2,40 2,16 Treenuts 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,05 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,06 Soyabeans 8,99 9,07 8,70 7,95 8,96 9,11 10,33 8,76 10,06 10,92 9,28 12,68 10,47 Oilcrops,other 4,30 4,42 3,95 4,23 4,53 4,90 4,16 5,21 5,23 5,01 4,73 5,28 4,88 Vegetable Oils 0,00 0,00 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 Vegetables 1,87 1,92 1,85 1,74 1,72 1,76 1,36 1,28 1,31 1,31 1,32 1,24 1,18 Fruits - Excluding Wine 1,19 1,12 1,13 1,23 1,14 1,05 0,79 0,97 0,79 0,85 0,95 0,95 0,95 Stimulants 0,41 0,51 0,35 0,24 0,21 0,21 0,19 0,19 0,18 0,24 0,24 0,29 0,19 Spices 0,26 0,23 0,25 0,24 0,24 0,26 0,26 0,31 0,25 0,24 0,24 0,23 0,23 Alcoholic Beverages 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 Bovine Meat 1,58 1,51 1,50 1,55 1,62 1,64 1,67 1,61 1,49 1,39 1,36 1,32 1,37 Poultry Meat 0,41 0,49 0,53 0,51 0,52 0,55 0,57 0,57 0,59 0,70 0,84 0,85 0,89 Meat,other 1,19 1,25 1,30 1,11 1,12 1,07 1,12 1,11 1,04 1,18 1,10 1,14 1,21 Offals 0,70 0,72 0,73 0,68 0,71 0,71 0,74 0,76 0,70 0,70 0,71 0,70 0,74 Animal Fats 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 Milk - Excluding Butter 0,88 0,89 0,88 0,85 0,91 0,74 0,96 1,14 1,24 1,09 1,34 1,20 1,40 Eggs 0,39 0,43 0,40 0,41 0,45 0,50 0,50 0,57 0,59 0,61 0,97 0,97 1,06 Fish, Seafood 8,84 8,59 8,25 7,90 8,06 7,99 8,37 8,83 8,50 9,05 9,19 8,90 9,39 Aquatic Products, Other 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : Food Balance Sheet, FAO(2002)
IV-92
Tabel 3. Lanjutan
1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
47,84 46,06 48,46 44,32 47,28 45,84 46,48 45,50 43,82 41,78 42,03 40,24 39,28 40,56 40,83 44,04 43,94 42,88 42,72
8,62 8,54 6,80 8,76 7,48 8,87 7,69 8,17 7,65 7,78 8,23 8,18 8,62 8,66 8,98 9,21 8,87 8,99 10,38
4,18 3,18 2,86 3,27 3,36 2,95 3,37 3,06 3,85 3,99 4,03 4,87 6,02 5,92 5,13 5,02 4,45 5,81 4,17
2,20 2,15 2,14 2,02 1,92 1,88 1,90 1,78 1,72 1,76 1,72 1,64 1,70 1,77 1,65 1,76 1,65 1,70 1,67
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,14 0,14 0,10 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,05 0,06 0,08 0,07 0,06 0,03 0,08 0,08 0,08 0,03
4,24 3,90 3,75 3,49 3,08 3,55 3,49 3,76 3,27 3,94 3,70 4,19 3,75 3,70 3,68 3,67 3,67 3,60 1,17
0,06 0,14 0,17 0,11 0,11 0,09 0,11 0,12 0,15 0,14 0,19 0,15 0,18 0,18 0,18 0,17 0,17 0,20 0,13
8,26 12,08 11,91 13,53 12,16 12,92 12,73 13,90 15,65 16,80 15,49 15,30 14,47 11,76 12,97 11,11 11,25 11,23 12,78
4,91 4,95 4,91 5,36 4,88 4,77 5,08 4,84 5,00 5,28 5,07 4,93 5,61 5,42 5,32 4,74 4,78 4,63 4,91
0,00 0,00 0,02 0,02 0,00 0,02 0,00 0,02 0,02 0,02 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1,18 1,21 1,34 1,43 1,49 1,38 1,48 1,45 1,35 1,44 1,45 1,45 1,55 1,71 1,47 1,64 1,90 1,64 2,07
0,86 0,90 0,84 0,93 0,86 0,83 0,76 0,80 0,78 0,74 0,71 0,77 1,02 0,82 0,84 0,81 0,84 0,89 0,92
0,20 0,18 0,14 0,19 0,24 0,21 0,23 0,21 0,20 0,24 0,24 0,24 0,34 0,27 0,29 0,33 0,26 0,36 0,50
0,20 0,23 0,21 0,24 0,26 0,28 0,28 0,29 0,25 0,21 0,17 0,17 0,19 0,17 0,18 0,17 0,17 0,22 0,35
0,02 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02
1,16 1,15 1,17 1,10 1,10 1,03 1,06 1,04 1,02 1,06 1,21 1,12 1,02 1,16 1,19 1,13 1,17 1,17 1,09
1,12 1,11 1,24 1,24 1,38 1,37 1,46 1,59 1,73 1,53 1,92 2,14 2,19 2,41 2,26 1,59 1,76 1,82 2,02
1,55 1,60 1,67 1,80 1,75 1,81 1,85 1,90 1,88 1,83 1,92 1,84 1,58 1,69 1,77 1,72 1,93 1,17 1,26
0,77 0,78 0,82 0,82 0,84 0,83 0,86 0,89 0,92 0,90 1,02 1,02 0,97 1,07 1,04 0,89 1,01 0,92 0,95
0,06 0,06 0,08 0,07 0,07 0,07 0,07 0,09 0,08 0,08 0,08 0,08 0,07 0,08 0,08 0,08 0,09 0,05 0,06
1,39 1,23 0,99 0,91 0,88 0,83 0,71 0,65 0,76 0,79 0,79 0,86 0,99 0,90 0,87 0,78 1,31 1,08 1,07
1,02 1,11 1,13 1,22 1,25 1,14 1,13 1,13 1,14 1,23 1,17 1,34 1,39 1,50 1,47 1,02 1,01 1,32 1,50
10,01 9,29 9,23 9,08 9,53 9,23 9,18 8,72 8,67 8,40 8,78 9,40 8,95 10,17 9,76 10,02 9,67 10,24 10,24
0,00 0,02 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
42.12
8.74
6.40
1.56
0.00
0.00
0.00
1.25
0.00
12.79
4.37
0.00
1.87
0.94
0.47
0.31
0.00
0.94
2.03
1.40
0.94
0.00
1.25
1.72
10.92
0.00
100.00 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002)
IV-93
Tabel 4. Perkembangan Kemandirian Pangan Beras Indonesia, 1970-2001 (%)
Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor 1970 92,93 7,07 0,00 7,07 1971 96,29 3,71 0,00 3,71 1972 94,50 5,50 0,00 5,50 1973 88,23 11,77 0,00 11,77 1974 92,81 7,19 0,00 7,19 1975 95,46 4,55 0,00 4,54 1976 92,09 7,91 0,00 7,91 1977 88,49 11,51 0,00 11,51 1978 90,10 9,90 0,00 9,90 1979 89,89 10,11 0,00 10,11 1980 90,59 9,46 0,05 9,41 1981 97,53 2,47 0,00 2,47 1982 98,59 1,41 0,00 1,41 1983 95,14 4,86 0,00 4,86 1984 98,33 1,67 0,00 1,67 1985 100,82 0,20 1,02 -0,82 1986 100,33 0,19 0,52 -0,33 1987 99,83 0,30 0,13 0,17 1988 99,77 0,23 0,00 0,23 1989 99,40 0,96 0,36 0,60 1990 99,77 0,25 0,02 0,23 1991 99,33 0,68 0,00 0,67 1992 98,16 1,97 0,14 1,84 1993 101,02 0,11 1,13 -1,02 1994 98,50 2,05 0,55 1,50 1995 91,11 8,89 0,00 8,89 1996 93,93 6,07 0,00 6,07 1997 99,06 0,97 0,03 0,94 1998 91,72 8,29 0,01 8,28 1999 87,79 12,23 0,02 12,21 2000 96,23 3,78 0,01 3,77 2001 98,13 1,91 0,04 1,87 2002 94,50 5,52 0,02 5,51
Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002)
IV-94
Tabel 5. Perkembangan Kemandirian Pangan Jagung Indonesia, 1970-2001 (%)
Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor 1970 111,24 0,01 11,25 -11,24 1971 109,15 0,02 9,17 -9,15 1972 103,65 0,02 3,66 -3,65 1973 104,12 1,00 5,12 -4,12 1974 106,98 0,01 6,99 -6,98 1975 101,77 0,01 1,78 -1,77 1976 97,52 2,62 0,13 2,48 1977 99,87 0,46 0,33 0,13 1978 99,38 1,14 0,52 0,62 1979 97,89 2,29 0,19 2,11 1980 99,51 0,87 0,37 0,49 1981 100,03 0,19 0,22 -0,03 1982 97,36 2,65 0,02 2,64 1983 99,68 0,67 0,35 0,32 1984 101,76 1,32 3,08 -1,76 1985 98,85 1,23 0,08 1,15 1986 99,00 1,07 0,07 1,00 1987 95,86 4,23 0,09 4,14 1988 99,52 1,04 0,56 0,48 1989 103,21 0,81 4,03 -3,21 1990 101,86 0,35 2,21 -1,86 1991 95,33 5,19 0,52 4,67 1992 101,10 0,96 2,06 -1,10 1993 93,42 7,46 0,88 6,58 1994 85,77 14,71 0,47 14,23 1995 89,72 11,15 0,86 10,28 1996 93,83 6,44 0,28 6,17 1997 88,82 11,37 0,19 11,18 1998 103,12 3,31 6,43 -3,12 1999 94,44 6,52 0,95 5,56 2000 88,49 11,76 0,26 11,51 2001 90,41 10,47 0,88 9,59 2002 88,94 11,21 0,16 11,06
Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002)
IV-95
Tabel 6. Perkembangan Kemandirian Pangan Kedelai Indonesia, 1970-2001 (%)
Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor 1970 100,80 0,00 0,80 -0,80 1971 100,09 0,05 0,14 -0,09 1972 100,56 0,03 0,59 -0,56 1973 107,11 0,02 7,13 -7,11 1974 100,68 0,03 0,71 -0,68 1975 97,08 2,93 0,00 2,92 1976 75,30 24,78 0,08 24,71 1977 85,44 14,56 0,00 14,56 1978 82,53 17,47 0,00 17,47 1979 79,38 20,62 0,00 20,62 1980 86,61 13,39 0,00 13,39 1981 66,10 33,90 0,01 33,90 1982 59,09 40,91 0,00 40,91 1983 70,76 29,24 0,00 29,24 1984 65,74 34,26 0,00 34,26 1985 74,23 25,77 0,00 25,77 1986 77,32 22,68 0,00 22,68 1987 80,19 19,82 0,00 19,81 1988 73,17 26,84 0,00 26,83 1989 77,10 22,91 0,01 22,90 1990 73,33 26,68 0,01 26,67 1991 69,81 30,21 0,02 30,19 1992 73,04 27,12 0,16 26,96 1993 70,27 29,78 0,05 29,73 1994 66,17 33,85 0,02 33,83 1995 73,46 26,56 0,02 26,54 1996 67,05 33,00 0,05 32,95 1997 68,78 31,26 0,04 31,22 1998 79,19 20,82 0,01 20,81 1999 51,52 48,51 0,03 48,48 2000 44,38 55,71 0,09 55,62 2001 42,18 57,99 0,17 57,82 2002 32,37 67,72 0,09 67,63
Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002) D:\data\data\Anjak-2005 \Tinjauan Akhir