materi seminar 5 pebruari 2016

29
MATERI SEMINAR DALAM RANGKAH HUT PI 161, 2016 IPMANAPANDODE KOTA STUDY BANDUNG PENGANTAR UMUM Rasa Syukur kepada Tuhan Pantut di Panjatkan ke hadiratnya, sebab atas bimbingan dan Anugrahnya, kita berkumpul bersama di rungan ini untuk mengenang kembali peristiwa sacral di tanah Papau yang tercinta. Marilah kita memoret pulau yang berbentuk burung Kasuari ini dengan hati yang dingin sambil menatapnya. Sebab di tanah yang penuh dengan air susu dan madu itu diberkati oleh Tuhan melalui dua misionaris Zending menginjakkan kaki di pulau Dorei, Mansiman sambil mengucapkan doa sulung yang hingga saat ini kita kenal dengan kalimat”DENGAN NAMA ALLAH KAMI MENGINJAK TANAH INI’” tepatnya pada tanggal 5 Pebruari 1855. Dalam perayaan yang sangat bermakna ini saya secara pribadi dan keluarga menyampaikan salam dan profesiat atas terselenggarahkanya peringatan HUT Pekabaran Injil yang ke 161 tahun 2016. Merupakan kerjasama para mahasiswa yang berpayung dalam komunitas IPMANAPANDODE, sekota study Bandung ini. Selama kurang lebih 161 tahun silam Firman ALLAH berdiam diantara manusia-manusia Papua. Kabar gembira yang di bawah oleh kedua misionaris ini telah memutuskan tabir permusuhan dan membuka cakwalah agar memandang sesame manusia Papua secara keseluruhan. Seisi jagad raya bersorai sorai, berriang gembira setelah mendengarkan ucapan doa sulung yang dipanjatkan dalam semak belur di pulau bersejarah bagi bangsa Papua. Ketika itulah melalui doa sulung memutuskan mata rantai permusuhan antara suku, dan tercipta kedamaian. Dalam ulasan selanjutnya kita akan melihat beberapa aspek dalam pewartaan Injil hubungan dengan masyarakat, alam yang dibangun sebelum memulai karya Agung ALLAH”, diantaranya; 1. sepak terjang perjalan kedua misionaris menuju Papua kaitanya dengan hitoris (sejarah). 2. Apakah sebelum kehadiran kedua misionaris ada nilai-nilai

Upload: fransiskus-ign-bobii-sap

Post on 23-Jan-2017

158 views

Category:

Spiritual


1 download

TRANSCRIPT

MATERI SEMINAR DALAM RANGKAH HUT PI 161, 2016

IPMANAPANDODE KOTA STUDY BANDUNG

PENGANTAR UMUM

Rasa Syukur kepada Tuhan Pantut di Panjatkan ke hadiratnya, sebab atas bimbingan dan Anugrahnya, kita berkumpul bersama di rungan ini untuk mengenang kembali peristiwa sacral di tanah Papau yang tercinta. Marilah kita memoret pulau yang berbentuk burung Kasuari ini dengan hati yang dingin sambil menatapnya. Sebab di tanah yang penuh dengan air susu dan madu itu diberkati oleh Tuhan melalui dua misionaris Zending menginjakkan kaki di pulau Dorei, Mansiman sambil mengucapkan doa sulung yang hingga saat ini kita kenal dengan kalimat”DENGAN NAMA ALLAH KAMI MENGINJAK TANAH INI’” tepatnya pada tanggal 5 Pebruari 1855.

Dalam perayaan yang sangat bermakna ini saya secara pribadi dan keluarga menyampaikan salam dan profesiat atas terselenggarahkanya peringatan HUT Pekabaran Injil yang ke 161 tahun 2016. Merupakan kerjasama para mahasiswa yang berpayung dalam komunitas IPMANAPANDODE, sekota study Bandung ini. Selama kurang lebih 161 tahun silam Firman ALLAH berdiam diantara manusia-manusia Papua. Kabar gembira yang di bawah oleh kedua misionaris ini telah memutuskan tabir permusuhan dan membuka cakwalah agar memandang sesame manusia Papua secara keseluruhan. Seisi jagad raya bersorai sorai, berriang gembira setelah mendengarkan ucapan doa sulung yang dipanjatkan dalam semak belur di pulau bersejarah bagi bangsa Papua. Ketika itulah melalui doa sulung memutuskan mata rantai permusuhan antara suku, dan tercipta kedamaian.

Dalam ulasan selanjutnya kita akan melihat beberapa aspek dalam pewartaan Injil hubungan dengan masyarakat, alam yang dibangun sebelum memulai karya Agung ALLAH”, diantaranya;

1. sepak terjang perjalan kedua misionaris menuju Papua kaitanya dengan hitoris (sejarah).

2. Apakah sebelum kehadiran kedua misionaris ada nilai-nilai ajaran teologis lokal yang dihayati oleh masyarakat Papua…?

3. Munculnya tokoh-tokoh pengajar Teologis lokal di masing-masing daerah di wilayah Meuwodide, Kouyedaba (Yesus versi suku Mee), Auki Tekege, Zakeus Pakage, dan beberapa tokoh di wilayah Paniai.

Selain apa yang diutarakan diatas, akan dikembangkan berdasarkan setelah mendapatkan masukan, saran dan pendapat terkait dengan perkembangan agama di Papua. Namun secara khusus kita akan

membahas Agama asli, dan agama tertulis, serta gaya para leluhur mengembangkan ajaran yang dianut dalam teologi kontextual, sebagaimana yang termuat dalam buku “ Herman Tillemans Awee pito”.

SEBELUM memulai secara mendalam alangkah baiknya kita memahami terdahulu asal usul pulau New Guinea, ditemukan oleh orang Portugis yang bernama Meneses pada tahun 1526, sedangkan namanya oleh seorang Spanyol yang bernama Alvarado pada tahun 1528 (jadi 300 tahun kemudian) orang Belanda berupaya untuk membuat tempat pemukiman di Kolobai di Pantai barat yang diberi nama DUBUS bagian selatan Papua daerah Fakfak sesuai dengan nama komisaris Nederland Hindia namun pada tahun 1836 mereka menghentikan usaha mereka karena dianggap terlalu mahal dan sia-sia. Pada tahun 1847 ada beberapa Missionaris Khatolik yang bermukim di pantai timur laut, namun pada tahun 1852 mereka menghentikannya dan pindah ke pulau yang lain. Pemukiman besar yang pertama di Puau yang besar, kaya dan diberkati ini dan diklaim kepemilikannya selama 350 tahun barulah terjadi melalui kedua orang Jerman Ottow dan Geislert pada tahun 1855.

Nama Papua berasal dari kata dalam bahasa melayu, yaitu "Pua-Pua" yang berarti rambut keriting dan kemudian disingkat Papua. Orang Papua pada waktu itu sangat curiga terhadap orang asing. Disamping itu mereka terkenal untuk merampok dan berperang serta hidup dari berdagang. Rumah-rumah mereka dibangun diatas air untuk melindungi dari serangan musuh. Kebanggaan mereka adalah keberhasilan membunuh orang lain, yang ditandai dengan jumlah bulu sebagai hiasan kepala. Kebiasaan untuk memakai manusia juga dijumpai di Tanah Papua Waktu itu. Mencuri dan perzinahan dipandang sebagai pelanggaran yang besar dan mendapat hukuman yang besar pula. Seringkala pula terjadi pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru lahir dan orang-orang yang sakit keras dikubur hidup-hidup.

Bandung, 5 Pebruari, 2016

[email protected]. www.tigipeku.com

1

BAGIAN PERTAMA

MENGENAL MISIONARIS “OTTOW Dan GEISLLER”Geisiser dan Ottow berasal dari Berlin-Nederland, berangkat pada tanggal 25 April 1852, Geissier dan salah seorang rekan yang disiapkan Giosner, S neider berangkat ke Hrsmen bersama dengan Pdt. O.G.Heldring dan disana mereka tinggal dua bulan. Pdt. O.G. Heldring adalah seorang penggerak dibidang Missi Zending ke daerah-daerah bangsa kafir.

Kemudian mereka bertemu pula dengan seorang rekan Missionaris C.W. Ottouw yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh O.G. Heldring. Dan pada malam tanggal 26 Juni 1852 diutus menumpangi kapal, ABEL TASMAN berangkat ke Rotterdam dan menuju Batavia, (Jawa).

Pada tanggal 7 Oktober 1852 mereka tiba dengan selamat-aman di tanah Batavia. Di Batavia (tanah Jawa) C.W. Ottoe dan J.G. Geissier, selama satu setengah tahun, disana mereka belajar berbagai hal ilim negeri tropic di Papua. Sementara mereka di sana J.G. Geissler membuka dan memimpin suatu sekolah rakyat di Pusat Missi Belanda bagi penduduk pribumi di Batavia.

Pada bulan April 1854, mereka mendapat informasi dari seorang saudagar muda bernama "Ring" pemimpin dan pendiri Perhimpunan Missi memberitahu bahwa Pulau kecil Mansinam yang dekat dengan daratan Manokwari penduduknya ramah, terbuka (namun disini sebenarnya kala itu Tanah Papua penduduknya hidup tertutup, dianggap buas dan menolak orang asing).

Kedua misionaris sangat bersuka ria jika disana ( Manokwari) sebab Sultan dari Tidore di bawah Kekuasaan pemerintah Belanda tidak 1 Keganasan Alam Papua menjadi damai ketika bumi mendengarkan doa sulung” Dengan NAma Allah Kami Menginjak Tanah ini”. Tulisan tangan Pdt. Geisler yang disampaikan kepada pimpinan di Nederland, Belanda.

keberatan bila Missionaris Kristen datang ke Mansinam Papua. Surat jalan merekapun di setujui sampai ke Ternate oleh Pemerintah Balanda, Ottow dan Geisler sangat bersukacita atas berita keberangkatan ke Papua.

Geisler menulis dalam suratnya kepada Gossner sebagai berikut "Terpujilah Tuhan, sehingga waktunya telah tiba yang telah lama kami menantikan". Kami akan berangkat kesuatu tempat dimana belum ada seorang Massionaris datangi dan tinggal karenanya kami tidak dapat mengharapkan perlindungan dari Dia yang telah bersabda : Aku akan menyertai kamu sampai kepada akhir zaman (Matius, 28 : 20) Perpisahan dan mereka meninggalkan Batavia pada tanggal 9 Mei 1854.

Akhirnya 30 Mei 1854 tiba di Ternate, diterima oleh Pdt.J.E.Hoveker dan isteri (yang sejak 1833 sebagai Pdt. Jemaat Protestan yang kecil disitu). Disana mereka belajar dan memperdalam bahasa melayu serta belajar mengkaji berbagai informasi tentang situasi Papua. Di Ternate mereka bertahan selama setengah tahun. Sesudah itu Residen Balanda C.Bosscher dari Ternate diharapkan dapat menolong untuk perjalanan ke Papua. Rekan-rekan Missionaris di Batavia mengirimkan 200 Gulden kepada mereka. Seorang guru Wehker dari Ternate yang sangat kagum merelakan putranya yang bernama Frits berusia 12 tahun untuk menjadi pelayan bagi mereka. Merekapun diperbolehkan membawa barang-barang sebanyak yang mereka butuhkan. Perjalanan itu mereka dibekali beberapa ekor sapi, ayam, bebek, dan angsa.

Merka kemudian menerima surat jalan dari Sultan Tidore yang dogmanya Islam. Disaat residen Belanda menjelaskan kepada Sultan bahwa Ottow dan geissler mereka adalah Peneliti Alam. Tetapi Sultan yang sudah lama mengetahui identitas mereka, berkata "ah mereka kan missionaries pekabaran Injil" jangan merubah status mereka, biarkan mereka menyebarkan ke Kristenan mereka. Maka Sultan memberikan surat Ijin dan memerintahkan kepada para kepala suku untuk melindungi dan menolong mereka jika mereka kekurangan makanan.

A. TIBA DI DOREI MANSINAM, TAHUN 1855

Pada tanggal 12 Januari 1855 bertolaklah mereka dari Dermaga Ternate, menumpang Kapal Ternate menuju Pulau tujuan mereka Mansinam. Mereka berlayar selama 25 hari, dan pada tanggal 5 Februari 1855 Kapal Ternate tersebut membuang Jangkarnya (sauh) di depan pulau Manansbari (Mansinam), tepat pada pagi hari.

Dalam agenda harian Geisleer, menuliskan; “ kami tidak dapat membayangkan betapa besarnya rasa sukacita kami pada akhirnya dapat melihat tanah tujuan kami, Minggu pagi Zending Sauh membuang berlabuh di teluk Doreri. Matahari terbit dengan indahnya, ya semoga matahari yang sebenarnya, yaitu Rahmat Tuhan yang menyinari kami

dan orang-orang kafir yang malang itu yang telah sekian lamanya merana didalam kegelapan semoga Sang Gembala setia mengumpulkan mereka dibawah tongkat GembalaanNya yang lembut,”

Setelah kapal Ternate sandar di pulau Dorei, kedua penginjil itu masuk dalam semak-semak dan berlutut dan mencurahkan isi hati mereka sambil berdoa "Dalam Nama Allah kami menginjak kaki di Tanah ini" Mereka memohon kepada Tuhan Allah untuk memperoleh kekuatan, hikmat dan terang, agar dapat mamulai Missi Pekabaran Injil dengan baik. Tentang reaksi dan respond (penerimaan) penduduk pulau Manamsbari tidak dituliskan. 2

B. TANTANGAN AWAL DIHADAPI

PADA TANGGAL 5 Februari 1855 C.W.Ottow dan rekannya J.G.Gaissler tiba di Mansinan yang letaknya berhadapan dengan Dore (Manokwari). Sebagai tempat tinggal sementara mereka memakai sebuah gubuk gudang penumpang batu bara peninggalan para pelaut ditepi pantai. Situasi yang dihadapi mereka sangatlah sulit. Kapal yang menghantar mereka sudah kembali. Tidak ada orang kecuali Frits yang dapat diajak berbicara. Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Penduduk setempat tidak memahami maksud dan tujuan kedua orang asing ini untuk menetap di Mansinam. Dalam surat pengantar dikatakan Sultan Tidore mengirim mereka sebagi orang yang baik dan dengan maksud dan tujuan yang baik, tetapi hal itu tidak dapat mereka percayai, karena Sultan belum pernah melakukan kebaikan terhadap mereka

2 (F.C. Kamma, ajaib di mata kita, Jakarta BPK 1981 hal 87) Namun tentunya pendaratan dan kehadiran serta gerakan-gerakan mereka sebagai orang asing tak dilewatkan, terutama ketika kedua Mssionaris itu masuk kedalam semak-semak berlutut dan menyerahkan isi hati berdoa kepada Tuhan.

(penduduk-masyarakat Pulau Mansinam- tetapi juga Papua umumnya). Terlebih penduduk terbiasa harus menanggung ketidak adilan dari Sultan Tidore.

Dengan alasan pajak setiap tahun mereka dijarah dan anggota keluarga mereka dijadikan budak, sebab itu tidaklah mengherankan kalu mereka tidak mempercayai isi surat dari Sutan Tidore dengan segala penjelasannya. Dalam hidup sehari-hari nampak kecurigaan penduduk setempat terhadap Ottow dan Geissler, kendatipun mereka tidak berani untuk menyerang kedua orang asing itu, tetapi dimata mereka, sehingga menurut mereka cepat atau lambat kedua orang asing ini akan disingkirkan, oleh sebab itu Ottow dan Geissler bersikap selalu waspada.

C. MEMULAI KEGIATAN AWAL

Walaupun dalam tantangan yang hebat, mereka tidak perduli dengan kesulitan, namun terus memulai pekerjaan awal. Upaya mereka diawali dengan mencari kayu yang cocok untuk membuat perahu dihutan pulau Mansinam. Dengan tujuan membuat perahu sebagai sarana transportasi laut, juga untuk menyebrang kedaratan Manokwari, mencari tempat membangun rumah. Sebagai orang baru agak sulit mendapat pohon yang cocok untuk membuat perahu. Apalagi dikalah itu mereka belum mengenal satupun penduduk asli.

Sudah berupaya mencari kayu untuk membuat perahu, namun semua usahanya tidak membuahkan harapannya. Sebab kayu yang didapatnya kayu besi yang sebenarnya untuk membuat perahu. Mereka tidak kaku dalam kelemahan tersebut, namun terus berupaya untuk mendapatkannya dengan membeli perahu milik warga setempatnya dengan seharga 12 golden. Perahu tua itulah menjadi sarana transportasi yang andalan dalam mengawali seluruh karyanya di pulau tersebut. setelahnya membeli perahu, mereka mencari tempat membangun di Manokwari dengan menyebrang laut teluk Dorey, Kwawi dan kembali pada malam hari ke pulau Mansinam.

3Penginjil Ottow jatuh sakit dikarenakan bekerja begitu keras pagi hingga malam. Pertama-tama anak Frits menjadi sakit dan kemudian Ottow terkena kelenjar mata.akibatnya Ottow hampir meninggal . menghadapi keadaannya itu Geissler menulis dalam buku hariannya, saya sangat sedih dan memikirkannya, tetapi saya berdoa kepada Tuhan. “Tuhan saya membutuhkan dia dan orang-orang kafir ini membutuhkan dia, dem kerajaan-Mu, pulihkanlah dia kembali dan Tuhan yang Maha Mendengar seruan doa hamba-Nya” akhirnya Ottow sembuh dari kesakitannya. Tak lama kemudian kini gilirannya Gaissler jatuh sakit. demam Malaria menyerangnya. Juga terkena luka borok (abses) di kakinya yang sangat membahayakan. Ottow juga berulang kena radang otak. Demikian mereka berdua terbaring dalam kesakitan, lemah tanpa pertolongan siapapun di gubuk mereka.

Kini, penduduk setempat mulai menyadari jika orang asing yang ada di Mansinam tidak jahat. maka merekapun berdatangan melihat ketika kedua misionaris itu dalam keadaan sakit. Namun mereka tidak memberikan pertolongan hanya duduk-duduk saja dan pulang.

Dalam benaknya ketika penderitaan silih berganti kedua penginjil hanya bisa berdoa “ Mintalah, carilah, ketuklah. Meskipun kami tudak mempunyai harapan akan jalan keluar dari penderitaan ini, akan tetapi tetaplah benar apa yang Tuhan katakana : Tidak ada hal yang mustahil bagi mereka yang percaya, walaupun tidak terjadi mujizat yang luar biasa, tetapi Tuhan telah memimpin hati manusia seperti aliran sungai sehingga tanpa terduga.

Datanglah sebuah kapal uap ke Mansinam, sehingga harus kembali ke Ternate. Tetapi keputusan ini sangatlah berat baginya. Beberapa tuan besar diatas kapal tersebut termasuk dokter kapal berusaha untuk meyakinkannya, tetapi sia-sia karena masih tetap mau bertahan di Mansinam. Akhirnya Residen Belanda mengirim pesan sampai ketempat tidur dan mengatakan : “Saya memberikan kebebasan kapada Anda untuk datang ke Tanah Papua dan untuk berusaha hidup, tetapi karena kepada saya disampaikan Anda dalam keadaan kritis (hampir mati), maka saya hanya dapat mengatakan Anda harus

3 Camma Geissler menulis dengan sampai tiga kali pohon kayu yang kami pilih dan tebang adalah pohon kayu yang besar, kayu besi yang tidak cocok karena berat dan akhirnya pecah karena kana panas matahari maka kami hampir tidak berdaya lagi. Tetapi syukurlah saya melihat sebuah perahu di rumah orang Papua, dan saya beruntung dapat membelinya dengan harga 12 gelden. Dan akhirnya dengan Perahu itulah digunakan mereka untuk menyeberang ke daratan Manokwari Teluk Dore (Kwawi) dan di daratan Kwawi setiap hari mereka bekerja menebang pohon. Dan pada malam harinya mendayung kembali ke pulau Mansinam.

kembali. Demikianlah akhirnya saya menyerah dan ikut ke Ternate.”.sementara penginjil Ottow dan pembantu Frits bertahan di Mansinam.

Untuk mengatasi kesepian Ottow mengintensifkan hubungan dengan para penduduk terutama melalui imbal dagang. Ottow membeli hasil-hasil penduduk, kacang-kacangan, ikan, burung cenderawasih, kerang, perisai- senjata tradisional, teripang dan di jual kepada saudagar dari kapal Van Duivenbode, hasil uang dari penjualan tersebut digunakan untuk belanja kebutuhan pokok, obat-obatan. Pada tanggan 12 Januari 1856 (Gaissler) berangkat sengan kapal kembali ke Tanah Papua Mansinam di sertai 5 orang tukang kayu untuk membangun rumah disana.

D. TUGAS PEWARTAAN DI MULAI

pada tanggal 25 September 1858, datanglah 12 orang dalam kondisi lemah. Mereka adalah korban kecelakaan kapal Belgia "Constant" Kapal tersebut pada tanggal 12 Juni 1858, menabrak batu karang dan pecah akibat salah leinnya disebelah selatan pulau karang Mansinam. Orang-orang Papua yang ramah pada saat itu melihat punggung salah satu awak kapal terdapat tulisan doa dalam bahasa Belanda akhirnya membawa mereka kepada Ottow dan merawat serta memberi makan pada anak buah kapal yang kena musibah tersebut selama 6 bulan.

Kedua misionaris dengan bantuan dari tukang dari Kapal tersebut, bersama 4 orang tukang dari Halmahera (Gelela) Ottow mengadakan pelayanan kebaktian setiap hari Minggu kepada mereka dalam bahasa Belanda. Dengan penuh rasa syukur mereka meningalkan Mansinam dan menggunakan perahu layer pada tanggal 11 April 1859 dan tiba di Ternate 1 Juni 1859 dan dalam bulan Oktober tahun yang sama mereka tiba di Amsterdam.

Nb. Gaissler dalam buku hariannya menulis : sering berulang-ulang menolong para Pelaut yang karena kapal-kapal dagang Jerman dan Belanda yang karam di perairan Papua. Hal menolong bukanlah sesuatu yang mudah, karena membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit dan bersedia untuk merawat, memelihara sejumlah besar pelaut dan pengobatan.

PENYELAMATAN PARA PELAUT JERMAN YANG KAPALNYA KARAM

Pada bulan Maret 1857 mereka mendengar berita tenteng karamnya

Kapal dagang Jerman yang terdampar pada batu karang di kawasan Teluk Cenderawasih, untuk menyelamatkan anak buah Kapal demi terhindar dari perbudakan dan kematian sebab ada tiga (3) orang anak buah kapl itu sudah dibawa ke Windesi. Ottow dan Gaissler menyiapkan barang-barang dagang untuk barter dan uang menyewa sebuah perahu dengan 22 orang laki-laki tenaga pendukung, setelah melalui suatu perundingan untuk menentukan siapa diantara mereka yang harus berangkat, sebab seorang harus tinggal di Mansinam, akhirnya membuang undi, dan pilihan jatuh pada Gaissler. Sehngga ia yang berangkat dengan para pendayung, dan pada tanggal 11 April 1857 ia berhasil menyelamatkan dan menebus 3 orang awak kapal sedang yang seorang berada di tempat yang jauh, namun setelah mendengar berita bahwa ia telah meninggal, para bajak laut sudah mengambilnya dan membunuh dengan kejam di semenanjung Wandamen. Leh sebab itu Gaissler dan para pendayungnya segera berangkat kembali ke Mansinam. Ketiga awak kapal yang diselamatkan itu, mereka dalam keadaan sakit dan terus dirawat oleh Ottow dan Gaissler. Sesudah mereka sembuh lalu mereka berangkat dengan kapal dan tiba dengan sel

Sebagai tanda terima kasih kepada enyelamatan anak buah kapal Jerman dimana Pemerintah Belanda (Den Haag) mendengar bagaimana kedua missionaries  Ottow dan Gaissler mempertaruhkan nyawa dan milik mereka untuk menyelamatkan anak-anak buah kapal yang karam itu, kepada Ottow dan Gaissler diberikan hadiah kepada masing-masing sebesra 250 Gulden kepada mereka. Dalam agenda Gaissler menulis, Mereka merasa bersukacita bahwa sekarang mereka tidak perlu lagi hidup semata-mata dari uang persembahan Missi/Badan Zending, tetapi dapat hidup dari gaji Pemerintah Belanda, sehingga mereka lebih leluasa dalam menjalankan tugas.

amat di tanah air mereka (Jerman).

MANOKWARI KOTA ADMINISTRATIF (PEMERINTAH) TERSULUNG DI TANAH PAPUA

Kebupaten Manokwari adalah Kabupaten tersulng di Tanah Papua yang amat penting dalam sejarah peradaban dan perubahan budaya orang Papua. Oleh karena Kota Manokwari sebagai pusat penyebaran agama Kristen dan pusat Pemerintahan pertama di Tanah Papua. Kota Manokwari menjadi start Gereja (Zending) dengan Pemerintahan Belanda memulai pembangunan semesta (modern) bagi suku bangsa yang mendiami Tanah Papua. Kemungkinan atas dasar tersebut, orang Biak Numfor mengabadikan/mengungkapkannya dalam etimologi, dari tiga morfem dasar Mnu, Kampung- dan kwar, lama + "dia" itu) Kemudian disebut dengan nama Manokwari yang diartikan dengan ungkapan "Kampung yang didahulukan, tertua, terlama", dimana dimulainya sebuah peradaban dan budaya asing dalam konteks terang penyebaran

Kekristenan tentang Injil Kristus. Sejarah dengan mencatat sejak Tokoh Legendaris berkebangsaan Jerman yang pertamakali bergabung dalam missi Pekabaran Injil Zending (Goissner) Jerman (Heldering Nederland) di Tanah Papua melalui utusan Missionaris Ottow dan Gaissler yang mulai menginjakkan kaki di Pulau Mansinam tanggal 5 Februari 1855 dengan doa Sulung mereka, "Dengan Nama Allah kami menginjak Tanah ini". Menandakan bahwa pembangunan yang modern di Tanah Papua sudah dimulai sejak Injil Kristus atau penyebaran Agama Kristen mulai masuk dan menerangi kegelapan dan kekafiran orang Papua Tempo itu di Pulau Mansinam Manokwari. Oleh sebab itu, siapapun tidak dapat menyangkal bahwa hasil karya besar yang diperjuangakan dengan susahpayah oleh para Pekabar Injil dulu ituah yang setiap suku bangsa dari manapun yang mendiami bumi Telik Cenderawasih Tanah Papua boleh menikmati dan alami saat ini di era demokrasi-otonomisasi ini dalam berbagai bidang sektor pembangunan di Tanah Papua.

Dokumen sejarah Pekabaran Injil juga dapat mencatat bahwa atas jasa, kerja keras dan perjuangan gigih yang panjang yang dilakukan oleh zending (Gereja) terus menerus dan mendesak pemerintah Belanda untuk segera menetapkan dan melaksanakan pemerintahan secara definitive d Tanah Papua untuk menghentikan perlakuan yang betahun-tahun dilakukan oleh Kesultanan Tidore dan Pemerintah VOC dalam bentuk pembunuhan-perampasan harata benda-penjualan-pembelian budak pembakaran kampong-kampung penduduk orang Papua dan sesama etnis Papua saat itu. Oleh sebab itulah kota Manokeari pada tanggal 9 November 1896, Pemerintah Belanda secara definitive atau resmi memulai sistim Pemerintahan di Tanah Papua. Dengan demikian secara resmi di Kota Manokwarilah pihak Pemerintah Belanda ertama kali memulai system pemerintahannya untuk membangun orang Papua menuju kehidupan modern.

BAGIAN KEDUA

TEOLOGI LOKAL DALAM SUKU-SUKU DI PAPUA

A. AGAMA SUKU DALAM SUKU BIAK (1938-1943),

Gerakan koreri di Biak, Papua, merupakan salah satu gerakan mesianik, Gerakan ini pada mulanya merupakan

suatu pergerakan pembebasan orang-orang Biak dan Irian dari pengaruh kebudayaan Asing. Pada tahap berikutnya, gerakan ini merupakan suatu gerakan yang bersifat politis religius. Disebut demikian karena gerakan ini menentang kekuasaan asing (Belanda dan Jepang) serta agama Kristen yang disebarkan di Papua oleh para misionaris, yang kesemuanya dianggap sebagai penyebab penderitaan rakyat Papua. Sebagaimana gerakan mesianik, gerakan koreri memiliki seorang tokoh kharismatik yang memiliki ‘kekuatan’ lebih dari manusia pada umumnya. Tokoh tersebut berasal dari mitologi masyarakat Biak yang melegenda dan menjadi panutan hidup bagi masyarakat Biak.

Kata koreri berasal dari bahasa Biak, ko yang artinya kita, dan rer yang artinya ganti kulit, untuk mengubahnya menjadi kata sifat, diberikan imbuhan i. Artinya menjadi kita menggantikan kulit, dalam arti luas berarti kita menjadi barukembali.

Dalam arti luas kata korer dengan imbuhan i menjadi koreri berarti suatu kehidupan yang tidak mengenal penderitaan fisik maupun batin, tidak ada tekanan ekonomi, tekanan politik, penyakit atau mati, suatu kehidupan bahagia yang abadi sifatnya. Gerakan koreri merupakan gerakan perlawanan rakyat Papua kepada agama baru yang dibawa oleh orang Kulit Putih (agama Kristen) dan wujud kekecewaan masyarakat Papua terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kolonialis di Papua. Keresahan politik dan sosial yang dialami oleh masyarakat Papua, memunculkan adanya keinginan untuk mengembalikan kembali kehidupan “koreri” ke dalam kehidupan masyarakat Papua.

Besarnya pengaruh mitologi dalam kehidupan rakyat Papua dan kerinduan akan kehidupan yang sejahtera, menjadi faktor utama semakin meningkatnya jumlah pasukan koreri. Setelah gerakan koreri berhasil dibersihkan

oleh pemerintah Jepang tahun 1943, bermuncullanlah gerakan-gerakan mesianik lainnya di Papua yang melawan penjajahan Kulit Putih.Gerakan koreri pada mulanya merupakan suatu gerakan yang muncul karena wahyu dari Manggundi (tokoh mitologi Biak) melalui Angganitha sebagai konornya. Angganitha diperintah untuk menunjukkan jalan ke koreri bagi orang Biak dan orang Papua, dari penjelasan tersebut tampak bahwa aspek kultural mendominasi, yaitu keinginan untuk mengembalikan kebudayaan Biak dan Papua sebagai pedoman hidup mereka.

Akan tetapi pada tahap berikutnya, setelah Angganitha ditangkap, ada pihak-pihak yang memanfaatkan kebingungan pengikut Angganitha karena kehilangan sang pemimpin. Stephanus dan Birmori merangkul pengikut Angganitha untuk mewujudkan ambisi dan kepentingan politik mereka. Mereka memimpin gerakan Koreri untuk mengusir Belanda dan kemudian Jepang dari tanah Papua.

Gerakan koreri berlandaskan pada mitologi Biak, yang mengisahkan adanya seorang lelaki tua bernama Mananarmakeri (disebut juga Kayan Sanau atau Kayan Biak) yang memiliki rahasia koreri. Mananarmakeri meninggalkan orang Biak dan pergi ke arah Barat bersama rahasia korerinya dan berjanji akan kembali pada suatu saat. Kepergiannya disebabkan oleh sifat-sifat orang Biak yang lalim, dipenuhi nafsu duniawi, ketidakjujuran, ketidakadilan, dan suka menumpahkan darah. Ia akan kembali jika sifat-sifat itu telah ditinggalkan oleh orang-orang Biak.

Menurut mite Biak, suatu hari Manarmakeri menombak babi di kebunnya. Babi yang sudah kena itu lari dengan tombak di tubuhnya lalu masuk ke gua. Manarmakeri mengejar babi itu. Akan tetapi ketika tiba di gua itu ia tidak menemukan babi, melainkan mendengar suara yang menyapanya.

Suara ini menunjukkan kepada Manarmakeri suatu kampung yang indah sekali. Dan diantara para penghuni ada teman-teman Manarmakeri, yang dulu telah meninggal dunia, dan kini telah hidup kembali; yang dulu renta, kini menjadi belia. Suara itu bertanya: maukah kau seperti mereka itu? Manarmakeri menjawab: ya ! Tapi suara itu berkata lagi: waktumu belum sampai; kau masih berada dalam dunia sasor. Kemudian kampung yang indah itu –dunia koreri– lenyap dari pandangan Manarmakeri. Maka ia kembali ke rumahnya.Sesudah kejadian tersebut, Mananarmakeri kembali ke kebunnya dan menemukan semua hasil kebunnya telah hilang dan hanya menyisakan satu labu. Keindahan koreri yang tampak, membuat Mananarmakeri merenung terus menerus dan dia pun terkena penyakit kulit, karena itulah dia kemudian dijuluki Mananarmakeri (bahasa Biak, Man=laki-laki, armakeri=kudis). Mananarmakeri juga memiliki nama lain Kayan Sanau (kekayaan Kudis) dan Kayan Biak (Kekayaan Biak).

B. KEPERCAYAAN SUKU ASMAT

Sistem Kepercayaan Orang Asmat di Papua Selatan Orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari.

Dalam keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungai ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru

sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali;

Kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patug yang sangat indah serta membuat sebuah genderang em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya.

Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat (Zegwaard 1955)[1] Sesudah itu datang lagi seekor buaya raksasa yang juga mencoba menyerang kedua manusia pertama tadi, tetapi Fumeripitsy dapat membunuhnya juga; kepala buaya itu dipenggalnya dan badannya dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang kecil, yang dilemparkannya ke semua penjuru mata angin. Potongan buaya tadi itulah yang menjadi nenek-moyang suku-suku bangsa lain yang tinggal di sekeliling tempat tinggal orang Asmat dan yang menjadi musuh mereka.

Dengan demikian mite ini menggambarkan tindakan pengayauan pertama dan penciptaan manusia musuh Asmat oleh Fumeripitsy. Mite itu juga melambangkan proses daur ulang hidup dan mati, (Smith 1970; Schneebaum 1985). Konsep tradisional orang Asmat tentang hidup didasarkan pada keyakinan akan adanya suatu daerah di seberang ufuk terurai tadi. Kerena itu apabila nenek-moyang menghendaki kelanjutan keturunan, mereka mengirimkan suatu ruh tertentu ke bumi melalui seberkas sinar matahari, yang mendarat di atas atap rumah tempat tinggal wanita yang telah ditakdirkan menjadi ibu anak asal ruh tadi.

Wanita itu akan hamil dan kemudian melahirkan bayi. Walaupun orang Asmat tahu bahwa hubungan seks berkaitan dengan kelahiran bayi, fungsinya hanya untuk

memberi bentuk sebagai manusia kepada ruh yang masuk ke dalam kandungan ibu itu. Dalam hal ini peranan ayah si bayi sama dengan seorang pemahat patung yang memberi bentuk kepada kayu yang disediakan oleh alam kepadanya. (Zegwaard 1953).

Orang Asmat meyakini bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam ruh yang mereka bagi dalam tiga golongan, yaitu: yi-ow, atau ruh nenek moyang yang sifatnya pada dasarnya baik, terutama bagi keturunannya. osbopan, atau ruh jahat yang membawa penyakit dan bencana. dambin-ow auat roh jahat orang yang mati konyol (Zegwaard 1953). Ruh-ruh yi-ow adalah penjaga hutan-hutan sagu, danau-danau dan sungai-sungai yang penuh ikan dan hutan-hutan yang penuh binatang buruan.

Orang Asmat berkomunikasi secara simbolis dengan para yi-ow dengan berbagai upacara sajian berulang yang biasanya dipimpin oleh ndembero, atau pemuka upacara. Ruh-ruh ozbopan dianggap menghuni beberapa jenis pohon tertentu, gua-gua yang dalam, batu-batu besar yang mempunyai bentuk khusus, tetapi juga hidup dalam tubuh jenis-jenis binatang tertentu. Sakit dan bencana biasanya disebabkan oleh ruh jahat, yang juga harus dipuaskan oleh manusia dengan berbagai macam upacara sajian.

Berbeda dengan upacara-upacara sajian untuk berkomunikasi dengan para yi-ow, upacara sajian kepada para osbopan tak dilakukan secara berulang, tetapi hanya kalau ada orang yang sakit dan bila terjadi bencana. Ruh-ruh itu diupayakan agar tidak terlampau sering mendekati tempat tinggal manusia, dengan melakukan serangkaian pantangan, dan kadang-kadang dengan ilmu gaib protektif. Konsepsi orang Asmat mengenai maut sama dengan dalam banyak kebudayaan lain. Mereka yakin bahwa tiap makhluk manusia mempunyai paling sedikit enam jiwa yang menjiwai beberapa bagian tubuh yang berlainan. Berbagai macam penyakit yang diketahui oleh orang Asmat

disebabkan karena jiwa yang menjiwai bagian tubuh yang sakit itu sedang pergi atau menghilang.

Itulah sebabnya cara dan teknik yang digunakan dukun penyakit namer ow untuk menyembuhkan orang sakit adalah dengan mengupayakan atau membujuk jiwa yang pergi itu agar kembali ke tubuh si sakit tadi. Apabila beberapa jiwa yang telah pergi dan tak dapat dibujuk agar kembali, si sakit yang bersangkutan akan meninggal..

Demikian konsepsi orang Asmat tentang maut adalah perginya satu atau beberapa jiwa manusia untuk tak kembali lagi. Jiwa-jiwa yang membebaskan diri dari tubuh orang itu menjadi ruh yang berkeliaran sekitar tempat tinggal manusia. Sesudah beberapa waktu tertentu ruh akan pergi ke dunia ruh di belakang ufuk, dan hidup abadi di situ atau setelah beberapa waktu kembali ke bumi dan hidup kembali dalam tubuh seorang bayi

C.KEYAKINAN VERSI SUKU AMUNGME

MANUSIA Amungme meyakini bahwa mereka keluar dari lubang tanah. Pada mulanya mereka tinggal di suatu negeri, negeri yang indah, kaya, penuh ketenangan dan kedamaian. Karena negeri itu dipenuhi penduduk dan mau tidak mau meninggalkan negeri tersebut untuk mencari negeri lain yang baru. Untuk mencari negeri yang baru, mereka keluar dan berkumpul di suatu tempat diluar tanah untuk membagi manusia menurut suku dan bangsa. (bdk. Prosfektif Adama Youw Membangun Nabire, Frans IGN Bobii, 2008. Hal 87, tentang pembagian suku-suku di Pegunungan tengah).

Tempat ini dinamakan sebagai ”Kurima” artinya tempat orang berkumpul. Nama Kurima terdapat di Kabupaten

Wamena Propinsi Papua. Setelah semua berkumpul di Kurima, selanjutnya manusia dibagi lagi untuk menyebar ke seluruh dunia. Amungme juga dikenal suatu tempat yang namanya ”Me Alanggama” artinya tempat pembagian manusia menurut suku bangsa untuk menyebar ke seluruh dunia.

Dalam penciptaan versi Amungme ”Ungkangam-Me” yang menciptakan manusia dan segala isinya, Ungkangam-Me artinya Sang Pencipta. Beginilah cerita penciptaan versi Amungme, manusia keluar dari dalam tanah, meninggalkan negeri yang kaya, indah, dan penuh kedamaian. Pada saat itu, semua manusia sudah keluar meninggalkan negeri yang semula untuk menuju negeri lain yang bernama Kurima. Sebagian penduduk negeri itu sudah melakukan perjalanan, dua orang bersaudara yang mana kakaknya bisu dan tuli adiknya ganteng adanya yang keluar paling belakang.

Sampai ditengah jalan, adiknya yang ganteng mengetahui bahwa busur panahnya terlupa di tempat yang ditinggalkan, sehingga kembali mengambil busur panah tersebut dan setelah kembali, ditengah jalan kakaknya menutup jalan, adiknya tidak bisa melewatinya, disuruh pindah tidak mendengar karena bisu dan tuli. Karena keburuh ketinggalan, adiknya terpaksa membunuh kakak yang bisu. Karena membunuh kakaknya menggunakan panah yang terbuat dari bilik bambu, yang disebut ”Wem/Wemogomal/kilik ogomal” yang artinya panah tebal dari bambu, maka tambun kakaknya, antara tulang pinggul dan taliperut keluar bertebaran dan tambun tersebut diambil adiknya dan taruh dikepala.

Begitu keluar dari lubang tanah tiba diluar, tempat tersebut tadinya bagaikan surga, indah dan hijau, sungai berliku-liku mengalir dengan tenang, pinggir sungai meninggalkan pasir kerikil yang bersih, putih dan memancarkan cahaya sementara beberapa jarak dari sungai ke darat terdapat pohon-pohon cemara sejenis Chassoarina, memberikan

kesuburan pada tanaman disekitar, tidak ada gunung, tidak ada bukit, tidak ada jurang-jurang yang curam. Ketika adik itu menginjakan kaki ditempat itu, dengan selogan....atau yel-yel....kop-kop....keindahan yang bagaikan surga tiba-tiba berubah menjadi sebuah daratan yang bergunung-gunung, jurang-jurang yang curam dan sungai yang indah dan memberikan keindahan dinegeri itu berubah menjadi perusak negeri dan mengubah wajah negeri itu menjadi kacau balau.

Laki-laki itu, melakukan perjalanan hingga tiba di negeri menurut dia layak untuk didiami olehnya. Dalam konon ceritanya laki-laki yang membunuh kakak itu menjadi Gunung Nemang Kawi dan Tambun kakak yang dibawa itu menjadi salju abadi. Nama kakak beradik itu diabadikan menjadi nama moyang suku Amungme. Nama tersebut menjadi hak kesulungan dalam tradisi masyarakat Amungme. Nama laki-laki yang digambarkan dalam cerita di atas di zaman modern dengan bahasa Indonesia disebut Firman. Sepanjang sejarah masyarakat Amungme di atas Nemang kawi adalah tempat keramat dan setiap orang yang meninggal arwahnya bersemayam di Gunung Nemang Kawi.

Nemang Kawi benar-benar menjadi tempat yang suci dan agung. Setiap doa-doa diucapkan merupakan gambaran keagungan masyarakat Amungme terhadap puncak yang diselimuti salju abadi. Sampai saat ini banyak masyarakat Amungme memandang bahwa tempat itu suci dan agung. Setiap mereka memberikan kurban pemujaan yang dilakukan di Peyukate (nama asli) Reagcamp (nama sekarang/istilah PTFI), adalah tempat penyembahan dan pembahan memberikan kurban persembelian, berupa babi hitam dan putih.

Tempat yang keramat itu, berubah menjadi gedung-gedung bertingkat, dan tempat logistik operasional Materials Manajemen PTFI. Cerita yang turun temurun diyakini suku Amungme tidak meninggalkan benda berupa

bukti sejarah dan secara ilmiah kelihatan tidak logis namun itulah yang diyakini masyarakat Amungme. Begitu pula dengan salju abadi yang sebenarnya secara ilmu pengetahuan tidak mungkin terdapat salju di wilayah yang melewati garis khatulistiwa, namun kenyataannya itulah yang terjadi dan dikagumi oleh penduduk diseantero bumi, sebabnya diperhitungkan dalam salah satu keajaiban dunia. Dalam ceritanya bahwa gunung yang diagungkan masyarakat Amungme adalah manusia dan disanalah tempat berakhir arwah setiap orang yang meninggal. Isi dari segala kandungan mineral dalam gunung tersebut adalah otak hingga organ-organ tubuh orang tersebut. Pembunuhan kakak yang bisu dan tuli merupakan awal mulanya manusia berbuat dosa, masih dalam versi Amungme.Dalam bahasa Amungme disebut dengan ”Koak Nagam, karawin”. Koak artinya dosa, nagam artinya jaringan, dan karawin artinya memulai atau mengawali. Koak Nagam Karawin, artinya mengawali dengan perbuatan dosa atau manusia memulai dengan jaringan dosa.

Dalam sejarah penciptaan, mereka juga mengenal nama moyong orang hitam, putih, dan sawomatang (Asia, Eropa, dan Ras Negro/hitam). Amungme tahu benar dan dalam struktur sejarahnya setiap suku bangsa diciptakan oleh Ungkangam-Me (Sang Pencipta) lengkap negerinya, gunungnya, sungainya, tuan tanahnya, dusunnya, nama moyangnya, adat istiadat sampai dengan tata kehidupan masyarakat. Tidak ada seorang pun berhak untuk melanggar hak hakiki yang Tuhan berikan.

Sejarah ini turun temurun dipertahankan melalui sebuah pengajaran yang terus menerus sepanjang orang tua/tua adat masih hidup. Oleh karena itu dalam kehidupan bermasyarakat di masyarakat Amungme menghargai orang yang menjadi pemilik tanah adat, sungai, dusun, dan tahu adat-istiadat tempat tersebut masih sangat tinggi. Di masyarakat Amungme satu kelompok masyarakat mau

berburuh ke dusun kelompok masyarakat yang lain, harus minta izin dahulu kepada pemiliknya. Jangankan untuk berburuh, hanya melewati/meninggalkan bekas kaki saja harus minta izin. Belum dengan tempat-tempat keramat seperti di Gunung Nemang Kawi ”Chartenz”.

Hak kelompok masyarakat harus dihargai karena menurut cerita penciptaan Tuhan Menciptakan manusia lengkap dengan hak atas tanah, dusun, dan segala sesuatu yang dikandung didalamnya. Hak yang Tuhan berikan sejak manusia itu, diciptakan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Sehingga menurut logika manusia bahwa kalau melewati dusun satu kelompok masyarakat, itu hal biasa tetapi bagi Amungme itu bisa menjadi persoalan besar, karena berangkat dari hak yang Tuhan berikan sejak manusia diciptakan. Sehingga marga-marga tertentu dalam struktur masyarakat Amungme juga tidak dapat berimigrasi ke wilayah lain.

Penciptaan versi Amungme keunikan yang dimiliki adalah setiap tempat mengandung makna dan berdasarkan kejadian pada masa lalu. Misalnya nama ”Kurima” karena tempat itu, tempat berkumpul orang maka dinamai dengan ”Kurima” dan Me Alanggama karena tempat tersebut membagi manusia menurut suku dan bangsa maka dinamai Me Alanggama, dan seterusnya.

Begitu juga dengan nama Nemang Kawi. Memiliki nama yang unik dan memiliki makna tersendiri. “ Sebenarnya cerita penciptaan versi Amungme sedikit kemiripan dengan Alkitab. Sehingga pada saat Injil masuk di daerah Amungme atau Amungsa, menyebut Ellohim atau Tuhan Yahweh dengan sebutan Ungkangame dan pada awal Injil masuk di wilayah Amungsa tidak mengalami kendala/penolakan, seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Papua dalam sejarah misionaris mereka tinggalkan segala sesuatu, bertobat, dan menyerahkan diri untuk dibaptis dan menjadi pengikut Kristus.

D. PENGHAYATAN “ALLAH “MENURUT SUKU KAMORO

Masyarakat suku Kamoro mempunyai mitos-mitos yang dipercaya adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Mitos-mitos itu diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk lisan. Salah satu mitos yang terkenal di suku Kamoro, yaitu Uwao Nani (komodo). Selain itu, orang Kamoro meyakini bahwa alam sekitar pun memiliki kekuatan gaib. Benda yang diyakini mempunyai kekuatan gaib, seperti patungMbitoro yang terbuat dari kayu. Mbitoro adalah arwah yang diberi wujud dalam bentuk patung. Mbitoro berukirkan gambar tokoh-tokoh masyarakat leluhur yang telah meninggal dunia. Salah satu upacara adat sesuai sumber “Proses Pelaksanaan Ritus Inisiasi Karapao”.

Istilah karapao adalah nama sebuah ritus inisiasi bagi suku Kamoro. Katakarapao menunjukkan pada nama keempat rumah dalam mitos Uwao Nani (komodo). Ada beberapa jenis karapao yang dihidupi, yaitu pesta inisiasi (Tauri Karapao), pesta pelubangan hidung (Mirimo Karapao), pesta perahu (Kaware Karapao), pesta babi (Oo Karapao) dan pesta sagu (Ameta Karapao).

Secara umum ritus inisiasi karapaomempunyai tiga tahapan dasar, yaitu: 1. Tapena (Pemisahan) Pada tahap ini merupakan tahap pertama. Para inisian yang sebelumnya tidak berstatus, kemudian dikukuhkan melalui tapena sebagai seorang anak dalam masyarakat setempat (Airu). Tapena sendiri mempunyai tiga tahapan, yaitu tahap pendataan calontapena; tahap penancapan tongkat komando; tahap pengumuman masal tentang calon inisiasi; tahap pelaksanaan tapena, dan tahap akhir/penutup tapena yang ditandai dengan acara menabur tifa dalam rumah (Baurake). 2. Tauroko (Masa tibanya pemakaian cawat) Melalui tahapan ini, seseorang

mengalami pergeseran identitas diri, yakni identitas sebagai anak (Airu) kepada remaja (Butapoka).

Kata tauroko terdiri dari dua suku kata, yaitu “taur”, artinya cawat yang terbuat dari bahan janur pohon sagu untuk menutupi alat kemaluan dan “Oko”, artinya asli. Jadi, tauroko adalah pengenaan tauri (cawat) kepada para anggota inisian yang mulai beranjak pada masa remaja. 3. Karapao (Pembangunan rumah adat) Karapao adalah tahap akhir.

Di sini identitas seseorang bergeser lagi dari identitasnya seabgai remaja (butapoka) kepada kedewasaan (koapoka). Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kamoro, memiliki makna atau nilai tertentu. Melalui ritus inisiasi karapao dalam kehidupan orang Kamoro, dipandang sebagai cara pengelompokan sosial tradisional, setiap individu mulai mengenal identitas dirinya, yakni masuk ke dalam generasi dan sebagai anggota masyarakat setempat. Melalui ritus inisiasi karapao setiap anak laki-laki diantar masuk ke dalam kelompok sosial dan didewasakan dalam sejumlah bidang kehidupan, yakni religi, sosial ekonomi, seksualitas kesehatan dan politik, sekaligus sebagai pengenangan dengan menghadirkan kembali para leluhur dan tokoh-tokoh mistis yang pernah hidup pada masa lampau.

Daftar Pustaka/ dan Refrensi buku:

1. Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

2. Amelsvoort 1964: hlm. 53, Mengenal Bangsa Melayu/ Indonesia.

3. Amelsvoort 1964: hlm 55-56; Mengenal Bangsa Melayu.4. (Zegwaard 1953) 5. Smith 1970; Schneebaum 1985)6. [Yoseph Ikikitaro, 2004, Ritus Inisiasi Karapao Suku Komoro

dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi Kristen. (Suatu Tinjauan Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur. (Skripsi), hal 17-19.

7. Frans IGN Bobii, Prosfektif Adama Youw Membangun Nabire, Media Prima Papua, 2008. Hal 87.

8. Adas, Michael. (1988). Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali Press.

9. A.Ridha. (1993). Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Ideologis dan Penyebarannya). Jakarta: Al-Ishlahy Press.

10. Mansoben, Johsz R., Gerakan Koreri di Daerah Biak Antara (1938-1943). Dalam Majalah Prisma, tahun 1980, hlm 78-91.

11. Noer, Fauzi. (2005). Gerakan-gerakan Rakyat di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Resist Book.

www.ui.ac.id, Siaran Pers Koreri dalam Gerakan Perlawanan Papua Merdeka. Diakses pada 22 Maret 2010.

12. Bas Nanlohy, Akulturasi dalam Gerakan Koreri. Dalam http://teologipapua.blogspot.com/2008/08/akulturasi-dalam-gerakan-koreri.html, diakses pada 22 Maret 2010.

13. www.komunitas-papua.net.htm, Sejarah Politik Papua, diakses pada 22 Maret 2010.