tindak pidana perbarengan (concursus) perspektif...
TRANSCRIPT
TINDAK PIDANA PERBARENGAN (CONCURSUS) PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Analisis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
AFRIKAL
NIM : 1113045000047
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
iv
ABSTRAK
Afrikal, NIM 1113045000047, Tindak Pidana Perbarengan (Concursus)
Perpsektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam (Analisis Putusan
Mahkamah Agung RI No. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps. Strata Satu (S1), Program
Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017 M / 1438 H, 65 Halaman
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar hukuman bagi pelaku
tindak pidana perbarengan (concursus). Hal ini penulis kaji berdasarkan sudut
pandang hukum positif dan hukum Islam, baik hukuman menurut hukum pidana
positif ataupun hukum pidana Islam.
Adapun penelitian ini bersifat Deskriptif Analisis yang mengungkapkan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori yang menjadi
objek penelitian. Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan Analisis
Kualitatif dengan mencari data baik dari buku, jurnal, ataupun artikel yang
berkaitan dengan penelitian penulis. Adapun sumber hukum penulis gunakan
adalah bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan metode
yuridis-normatif.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, diketahui bahwa hukuman bagi
pelaku yang melakukan satu tindak pidana berbeda dengan hukuman yang
diberikan kepada pelaku yang melakukan lebih dari satu tindak pidana, dan dalam
Islam juga berbeda dalam memberikan hukuman bagi pelaku yang melakukan
beberapa tindak pidana. Seperti halnya dalam hukum Islam untuk menjatuhkan
hukuman tindak pidana perbarengan/ gabungan tindak pidana yaitu jika seseorang
pelaku yang melakukan tindak pidana Pembunuhan Berencana, Kekerasan
Terhadap Anak, dan Eksploitasi Ekonomi maka hukumannya di Qisas dan
hukuman lainnya menjadi gugur.
Kata Kunci : Perbarengan Tindak Pidana, Hukum Positif, Hukum Islam
Pembimbing I : Dr. Alfitra, SH, M. Hum
Pembimbing II : Ali Mansur, MA
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang, dan karunianya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul TINDAK PIDANA
PERBARENGAN (CONCURSUS) PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis Putusan Mahkamah Agung
RI No. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps). Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia kezaman peradaban
ilmu pengetahuan.
Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas akhir
dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh, telah selesai. Serta
penulis tidak lupa meminta maaf apabila didalam penulisan skripsi ini ada yang
kurang berkenan dihati para pembaca karena penulis menyadari bahwa penulis
masih jauh dari kesempurnaan
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
ungkapan rasa hormat yang amat mendalam. Penulis mengucapkan terimakasih.
Kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, P, hd. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. M. Nurul Irfan, MA, dan Nur Rohim, LLM. Kepala dan Sekretaris Prodi
Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Pembimbing Akademik dan seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
5. Dosen pembimbing Skripsi Dr. Alfitra, SH, M. Hum dan Ali Mansur, MA yang
selalu memberi pengarahan, pembelajaran yang baru bagi saya dengan penuh
pengikhlasan, kesabaran, dan keistiqomahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
6. Terkhusus kepada orang tua yang sangat saya cintai dan saya sayangi. Ayahanda
tercinta Halimil Hakim dan ibunda tercinta Alisuna Nurlis yang selalu
mendoakan dan memberikan semangat kepada ananda untuk menyelesaikan
skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan
dan membesarkan penulis hingga saat ini. Tidak akan pernah dan mustahil
mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang tua yang
selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan dan
menyelesaikan skripsi ini.
7. Trimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Paman dan bibi
penulis yaitu H. Aliyul Azim dan Ibu Dede, Hakim dan Bunde, Sapri dan Siti
Izna, yang telah membimbing, mendukung dan membantu membiayai
perkuliahan penulis sampai penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini.
8. Kepada kakak tercinta Mezi Melisra dan Imisliana yang selalu mensupport,
memberikan semangat dan selalu mendoakan penulis, serta juga buat adik
penulis Nabila Abel yang yang ikut mendoakan penulis dan tentunya selalulah
menjadi adik yang dibanggakan.
9. Trimkasih buat saudara-saudara penulis, Fauzul Azim, Jaky Riswanto, Al-Hikni,
Yutra Rinawati, Windyanarti Presta, Almukromin, Ahmad Jamil, dan juga
terimakasih juga buat saudara-saudara yang lainnya yang tidak disebutkan satu
persatu.
10. Trimakasih juga buat teman-teman Jurusan Hukum Pidana Islam UIN Jakarta,
angkatan 2013 yang telah mensupport penulis dalam perkuliahan dan juga
dalam penulisan skripsi ini.
11. Trimaksih buat orang-orang terdekat penulis yaitu teman-teman kosan Anharfi,
double ipong yaitu Irfan dan Alfan, dan trimaksih juga buat Siti Dahriah yang
selalu memberikan motivasi dan juga menemani selama proses pembuatan
skripsi ini,
12. Trimakasih juga buat sahabat-sahabat yang ikut serta membantu dalam
penulisan skripsi ini yaitu, Alpen, Aldi, Anwar, Andri, bewok, Johar, Neng
Hajatun, Dini Nurfitria dan tentunya tidak lupa juga trimaksih yang sebesar-
besarnya buat kakanda Surya Jaya, Mutiara Tani, dan Bujang Pasaman.
vii
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang membalas kebaikan mereka dengan kebaikan
berlipat ganda.
Jakarta, 19 Desember 2017
Afrikal
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.........................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN....................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................iii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR...........................................................................................v
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................................1
B. Identifikasi Masalah.........................................................................5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah.................................................6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................6
E. Review Kajian Terdahulu................................................................6
F. Metode Penelitian............................................................................7
G. Sistematika Penulisan......................................................................9
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PER
BARENGAN (CONCURSUS) PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Perspektif Hukum Pidana Positif
1. Pengertian Tindak Pidana Perbarengan......................................11
2. Dasar Hukum Tindak Pidana Perbarengan.................................12
3. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perbarengan...............................17
4. Teori Perbarengan Tindak Pidana..............................................19
B. Perspektif Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Perbarengan......................................21
2. Dasar Hukum Tindak Pidana Perbarengan.................................21
3. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perbarengan...............................22
4. Teori Perbarengan Tindak Pidana..............................................25
ix
BAB III PENGGABUNGAN HUKUMAN TINDAK PIDANA PENG-
ANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM
PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Perspektif Hukum Pidana Positif
1. Tindak Pidana Penganiayaan......................................................29
2. Tindak Pidana Pembunuhan ......................................................31
3. Penggabungan Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan dan
Pembunuhan...............................................................................33
B. Perspektif Hukum Pidana Islam
1. Tindak Pidana Penganiayaan......................................................34
2. Tindak Pidana Pembunuhan.......................................................37
3. Penggabungan Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan dan
Pembunuhan...............................................................................41
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR. 863 /
PID. B / 2015 / PN. DPS PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Deskripsi Kasus..............................................................................43
1. Kronologi Kasus........................................................................43
2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa.....................................................48
B. Putusan Hakim Mahkamah Agung.................................................50
C. Analisis Putusan Mahkamah Agung Perspektif Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam.....................................................52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................63
B. Saran..............................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................65
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian istilah delik dalam hukum pidana positif sama dengan penggunaan
istilah jarimah dalam hukum Islam. Jarimah mempunyai arti larangan-larangan
syara’ yang diancam dengan hukuman Had, Qisas, atau Ta’zir.1 Larangan yang
dimaksud adalah mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan
perbuatan yang diperintahkan, karena perintah dan larangan tersebut datang dari
syara’ maka perintah dan larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang yang
mukallaf.
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fiqh
jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian: yang pertama, al-rukn al-syari atau
unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan
sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang dan
menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana. Yang kedua, al-rukn al madi atau
unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dijatuhkan
pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah jarimah, baik yang bersifat
positif (aktif dalam melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif dalam
melakukan sesuatu). Yang ketiga, al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur
yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila,
anak dibawah umur atau sedang berada di bawah ancaman.2
Selain itu berkaitan dengan asas keadilan, seseorang harus di anggap tidak
bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan tidak terdapat
unsur keraguan sedikitpun menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Sejalan
dengan kaidah Ushul Fiqh, yaitu al-ashl bara’ah al-dzimmah (pada dasarnya setiap
orang terbebas dari berbagai tuntutan hukum). Maka, dalam hukum pidana Islam
asas praduga tak bersalah ini lebih tepatnya berupa asas yang menyatakan bahwa
seseorang harus tetap dianggap tidak bersalah sebelum diputus oleh majlis hakim
1 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Cet. ke-2) h. 9. 2 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 2-3.,
2
dalam sidang pengadilan bahwa yang bersangkutan telah nyata bersalah tanpa unsur
keraguan.3
Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat
dicapai dengan adanya sebuah hukum yang bersifat mengatur (relegen/anvullen
recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota
masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada
dan berlaku dalam masyarakat.
Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap
pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar
hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada
haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat. Untuk menjaga agar
peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh
anggota masyarakat.4
Setiap pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
yang dengan sengaja melakukan kesalahan dengan melanggar aturan hukum. Hal
inilah yang menjadi dasar pertanggungjawaban pidana sebagai suatu mekanisme
dimana pelaku kejahatan harus bertanggung jawab didepan hukum sesuai dengan
kesalahan yang dilakukannya.5
Dalam kehidupan manusia adakalanya sering ditemukan seseorang
melakukan perbuatan pidana tidak hanya murni satu jenis tetapi juga terdapat niat
untuk melakukan satu macam jarimah, namun yang terjadi justru beberapa jarimah
yang dilakukannya. Sebagai contoh, pada suatu malam A yang tidak mempunyai
Surat Izin Mengemudi, bahwa ia boleh mengemudi mobil, menjalankan
kendaraannya dalam kota dengan kecepatan yang lebih dari 40 km/jam, tanpa
memasang lampu. Dalam hal ini A telah melakukan tiga jenis pelanggaran: 1)
menjalankan kendaraan tanpa mempunyai Surat Izin Mengemudi, 2) melampaui
3 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), h.18. 4 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995, Cet. ke2), h. 48. 5 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:
Gramedia Widiaksara Indonesia, 2006), h. 13.
3
batas kecepatan mobil yang diperbolehkan dalam kota, dan 3) tidak memasang
lampu pada waktu malam hari.
Dari kasus ini timbul pertanyaan, bagaimanakah hukuman yang harus
dijatuhkan? Apakah A akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus karena menggandakan
tiga pelanggaran ataukah ia dijatuhi hanya satu hukuman saja tetapi yang terberat?.6
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi suatu penggabungan tindak
pidana atau perbarengan (concursus), dimana satu orang telah melakukan beberapa
peristiwa pidana. Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum positif sering
diistilahkan delik concursus7 yang diatur dalam bab VI buku 1 KUHP pasal 63–71.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:
“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana,
maka hanya salah satu dari aturan itu yang dipakai, jika pidana berlain maka
yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.
Dari pasal tersebut orang yang melakukan dua atau beberapa tindak pidana
sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana
dimaksud oleh pasal di atas.8
Sementara itu dalam hukum Islam gabungan melakukan tindak pidana ini
menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sebagaimana diketahui bahwa dalam
Syariat Islam terdapat bermacam-macam dan berbeda-beda dalam masalah
pidananya, sehingga boleh dikatakan bahwa untuk satu jenis pidana tertentu ada
hukumnya tersendiri, seperti mencuri dengan hukuman potong tangan,
pembunuhan dengan Qisas, Zina dengan Rajam dan lain-lain. Namun perlu ditinjau
kembali bahwa tidak semua peristiwa pidana itu ada ketentuannya dalam Nash Al
Qur’an maupun Al-hadis. Maka dalam hal ini para hakim diberikan wewenang
untuk memberikan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan secara berbarengan
atau bersamaan.
6 E. Utrecht, Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), h. 137. 7 Concursus diatur dalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP, dalam KUHP gabungan
melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten yaitu
satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana. 8 R. Soesilo, KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor:
Polikeia, 1981), h. 68.
4
Dalam hukum Islam dicontohkan dengan kasus pencurian yang diikuti
dengan pemerkosaan dan pembunuhan. Dalam hal ini apakah ia akan dijatuhi tiga
hukuman sekaligus yaitu hukuman potong tangan, Rajam dan kemudian hukuman
Qisas, ataukah ia hanya akan menjalani salah satu hukuman yang terberat saja yakni
hukuman Qisas. Para ulama berbeda pendapat mengenai bagaimana pemberian
hukuman bagi gabungan perbuatan ini. Bagaimana Islam memandang masalah ini
tentu berbeda dengan pandangan KUHP dalam menyelesaikan gabungan perbuatan
ini, dimana hal ini berkaitan erat dengan masalah pemberian pidana yang nantinya
akan dijatuhkan.
Seperti yang kita ketahui, bahwa pembunuhan merupakan suatu perbuatan
atau tindakan yang tidak manusiawi dan atau suatu perbuatan yang tidak
berperikemanusiaan, karena pembunuhan merupakan suatu tindak pidana terhadap
nyawa orang lain tanpa mempunyai rasa kemanusiaan. Pembunuhan juga
merupakan suatu perbuatan jahat yang dapat mengganggu keseimbangan hidup,
keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang tercela, ataupun
tidak patut.
Seperti halnya studi kasus yang akan penulis bahas tentang tindak pidana
pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Margriet Christina Megawe alias tely
terhadap anak angkatnya yaitu: Engeline Margriet Megawe yang baru berusia 8
tahun, dan adapun unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh ibu angkat dari
Engeline yaitu terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan Pembunuhan Berencana, melakukan
Eksploitasi ekonomi, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan
penelantaran dan Memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan
anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat
fungsi sosialnya.
Sebagaimana dakwaan Kesatu Primair melanggar pasal 340 KUHP, dan
Dakwaan Kedua melanggar 76 I jo Pasal 88 UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang–Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
5
Anak, dan Dakwaan Ketiga melanggar Pasal 76 B jo Pasal 77 B UU RI No. 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang–Undang RI No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Dakwaan Keempat melanggar Pasal 76 A huruf a
jo Pasal 77 UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang – Undang
RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.9
Bagaimana KUHP dalam menyelesaikan kasus tersebut tentunya sangat
berbeda sekali dengan Islam memandang masalah ini, maka dimana hal ini
berkaitan erat dengan masalah pemberian pidana yang nantinya akan dijatuhkan.
Adanya perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif dalam
menyelesaikan masalah ini menjadikan dasar bagi penyusun untuk mengadakan
penelitian lebih lanjut yaitu dengan cara membandingkan antara keduanya sehingga
nampak adanya segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Dari pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan
judul “TINDAK PIDANA PERBARENGAN (CONCURSUS) PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis
Putusan Mahkamah Agung RI No. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah diatas, dapat
diidentifikasi beberapa masalah, seperti tindak pidana perbarengan (concursus) di
Indonesia dan pandangan hukum Islam tentang perbarengan (concursus), dan
sanksi pidana perbarengan (concursus) dalam perspektif hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam. Dari berbagai masalah diatas, tidak semua permasalahan
tersebut menjadi fokus kajian dalam penelitian ini, serta hasil identifikasi yang
benar dan baik mampu memperlihatkan bahwa cakupan masalah yang mau diteliti
dirasakan terlalu luas, kompleks, sangat rumit, dan berjalin sebagian rupa dengan
masalah-masalah lainnya. Akibatnya, peneliti menyadari bahwa masalah yang
diteliti perlu diberi pembatasan, Adapun fokus kajian terhadap berbagai masalah
tersebut akan dibahas pada permasalahan selanjutnya.
9 Putusan Mahkamah Agung Nomor 863/Pid.B/2015/PN. Dps
6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Adapun batasan masalah yang akan menjadi pokok kajian dalam penelitian
ini yaitu Sanksi pidana perbarengan (concursus) dalam perspektif hukum pidana
positif dan hukum pidana Islam.
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana
Perbarengan (Concursus)?
2. Bagaimana Perspektif Hukum Islam Terhadap Sanksi dalam Putusan Mahkamah
Agung RI No. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps?
D. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis mengangkat judul ini adalah :
a. Untuk Mengetahui Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap
Tindak Pidana Perbarengan (concursus)?
b. Untuk Mengetahui Perspektif Hukum Islam Terhadap Sanksi dalam Putusan
Mahkamah Agung RI No. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps?
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:
a. Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan gambaran secara
umum tentang tindak pidana perbarengan (concursus) di Indonesia.
b. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca dalam
memahami tindak pidana perbarengan (concursus).
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa pengetahuan dibidang
hukum Islam tentang tindak pidana perbarengan (concursus).
E. Review Kajian Terdahulu
Dalam mendukung penelitian ini, peneliti telah menemukan beberapa skripsi,
karya ilmiah, jurnal ataupun artikel yang pernah ditulis oleh para penulis
sebelumnya yang berkaitan dengan penulisan judul skripsi ini. Meskipun berkaitan,
7
tulisan-tulisan yang telah ditulis oleh para penulis terdahulu tersebut terdapat
perbedaan sudut pandang, judul maupun pokok masalah yang diteliti, sehingga
tidak ada kesamaan didalam penyusunan skripsi ini. Beberapa penelitian yang
diteliti oleh peneliti terdahulu yang telah ada, ialah:
Skripsi yang ditulis oleh Agung Satria Negara yang diberi judul “Tinjauan
Yuridis Terhadap Concursus Dalam Delik Kesusilaan Dan Delik Pencurian”
(Studi kasus putusan No. 491/Pid.B/2012/PN. Mks), Konsentrasi Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2013.
Skripsi yang di tulis oleh Kurniawan Respati Sudarsono yang diberi judul
“Analisis Konstruksi Hukum Penuntut Umum Dalam Menyusun Dakwaan
Terhadap Tindak Pidana Yang Mengandung Perbarengan Dan Implikasi
Yuridisnya” (Studi kasus Nomor 22/Pid.B/2009/PN. TL Di Pengadilan Negri
Trenggalek), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010.
Oleh karena itu, bedasarkan beberapa skripsi ataupun karya ilmiah yang telah
diteliti oleh peneliti terdahulu, peneliti belum menemukan penelitian yang fokus
kepada “Tindak Pidana Perbarengan (Concursus) Perspektif Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No.
863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps”.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan juga pendekatan kualitatif yang mana
merupakan sebuah penelitian yang menekankan analisis proses dari proses berfikir
secara induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan dan fenomena yang
diamati, dan senatiasa menggunakan logika ilmiah. Penelitian kualitatif tidak
berarti tanpa menggunakan dukungan dari data Pendekatan kuantitatif, tetapi lebih
ditekankan pada kedalaman berfikir formal dari peneliti dalam menjawab
permasalahan yang dihadapi.10 Sedangkan, penelitian kuantitatif merupakan salah
10 Imam Gunawan, Metode Penelitian kualitatif teori dan praktik, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), 80.
8
satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis, terencana dan terstruktur
dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain penelitiannya. Namun dari dua
pendekatan penelitian tersebut, pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan
kualitatif yang mana metode yang membahas tentang analisis Putusan Mahkamah
Agung RI No. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps tentang sanksi perbarengan tindak
pidana perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana islam.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Merupakan metode tunggal yang digunakan dalam penelitian
normatif.11 Studi kepustakaan merupakan upaya pengidentifikasian secara
sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat
informasi. Berkaitan dengan tema, objek, dan masalah dalam suatu penelitian.
Adapun sumber data yang peneliti gunakan yakni:
a. Bahan hukum primer yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban
terhadap masalah penelitian.12 Dalam skripsi ini penulis menggunakan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Fiqh Jinayah, Pidana Islam di
Indonesia, AL-Tasry’ al-Jina’i al –Islamia karangan Abdul Qadir Audah.
b. Bahan hukum sekunder, yang penulis gunakan dalam skripsi ini yaitu kitab-
kitab terjemahan Hadis, artikel-artikel, buku-buku yang berkaitan dengan
penulisan dan makalah-makalah.
3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif. Analisis data
yang digunakan adalah analisis yuridis-normatif yang berarti membahas doktrin-
doktrin atau azaz-azaz dalam ilmu hukum. Penelitian yang menggunakan teknik
analisis yuridis-analisis yuridis-normatif yang berarti membahas doktrin-doktrin
atau azaz-azaz dalam ilmu hukum. Penelitian yang menggunakan teknik analisis
yuridis-normatif yang merupakan penelitian yang mengacu pada norma-norma
11 Hukum Normatif adalah hukum yang bedasarkan teori yang telah ada, dan dikembangkan
berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus utama pembahasan dalam penelitian yang
dilakukan. 12 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 158
9
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undang dan putusan pengadilan.
Serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang dipakai penulis bersumber dari buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Contoh kerangka acuan penulisan skripsi dari akademik
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
2017.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian skripsi ini, secara umum terbagi
menjadi lima bab, diantaranya sebagai berikut :
BAB I : Membahas tentang Pendahuluan yang menjelaskan gambaran
secara umum isi dari penelitian, yang terdiri atas cakupan (A)
Latar Belakang Masalah, (B) Identifikasi Masalah, (C)
Pembatasan dan Rumusan Masalah, (D) Tujuan dan Manfaat
Penelitian, (E) Review Kajian Terdahulu, (F) Metodologi
Penelitian, (G) Sistematika Penulisan.
BAB II : Membahas tentang bagaimana Tinjauan Umum Tentang Tindak
Pidana Perbarengan (Concursus) Perspektif Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam.
BAB III : Membahas tentang Penggabungan Tindak Pidana Penganiayaan
dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum
Pidana Islam.
BAB IV : Membahas tentang Analisis Hukum Positif dan Hukum Islam
Terhadap Sanksi Tindak Pidana Perbarengan (Concursus),
(Analisis Putusan M akamah Agung RI No. 863 / Pid. B / 2015 /
PN. Dps). Dalam kasus ini penulis juga menjeskan tentang dasar
hukum dan sanksi terhadap pelaku perbarengan tindak pidana.
10
BAB V : Membahas tentang Kesimpulan dan saran-saran dari penulis.
Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang tanggung jawab dari
rumusan masalah. Bagian kedua adalah saran. Saran merupakan
rekomendasi penulis kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang
hukum khususnya hukum acara pidana. Penutup ini di tempatkan
pada bagian akhir penulisan skripsi ini.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERBARENGAN
(CONCURSUS) PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM
PIDANA ISLAM
A. Perspektif Hukum Pidana Positif
1. Pengertian Tindak Pidana Perbarengan
Delik perbarengan perbuatan merupakan perbuatan pidana yang berbentuk
khusus, karena beberapa perbuatan pidana yang terjadi hakikatnya hanya dilakukan
oleh satu orang (samenloop van strafbare feiten). Samenloop/concursus dapat
diterjemahkan dengan kata Gabungan atau Perbarengan. Perbarengan adalah
terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang
pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang pertama dengan
tindak pidana yang berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.1
Pada pengulangan juga terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan
oleh satu orang. Perbedaan pokoknya adalah bahwa pada pengulangan tindak
pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan
mempidana pada sipembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau
seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah
diperlukan
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian
gabungan melakukan tindak pidana maka perlu diketahui bagaimana pendapat para
sarjana hukum dala m memberikan definisi mengenai gabungan melakukan tindak
pidana ini. Dalam KUHP, gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan
dengan concursus atau samenloop yaitu orang yang melakukan beberapa peristiwa
pidana.2
Mas’ad Ma’shum memberikan definisi gabungan melakukan tindak pidana
ini dengan beberapa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.3
1 Mahsur Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 134.
2 E. Utrecht, Hukum Pidana II (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), h.137.
3 Mas’ad Ma’shum, Hukum Pidana I (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
1989), h. 122.
12
Mr. Karni, memakai istilah ”delik yang tertindih tepat” karena pada
concursus nampak beberapa delik yang tertindih tepat yang ditimbulkan oleh
perbuatan si pembuat.4
2. Dasar Hukum Tindak Pidana Perbarengan
Perbarengan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang sangat
merugikan kepentingan hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat dari
pelaku yang hanya melakukan satu tindak pidana. Gabungan melakukan tindak
pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai dari pasal 63 sampai 71 buku I Bab
VI.5 Adapun bunyi pasal-pasal yang menjadi dasar hukum dari gabungan
melakukan tindak pidana ini, adalah:
a. Pasal 63 tentang Concursus Idealis
(1) Jika sesuatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai, jika pidana
berlainan, yang dikenakan yang memuat ancaman pokok yang paling
berat.
(2) Jika sesuatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus
itu sajalah yang digunakan.
Sedangkan ayat 2 menjelaskan apabila ada sesuatu perbuatan yang
dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus di samping pidana
yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai. Ini
sesuai dengan slogan kuno yang berbunyi lex specialis derogat lex
generalis.
b. Pasal 64 tentang Vorgezette Handeling
(1) Kalau antara beberapa perbuatan ada perhubungannya, meskipun
perbuatan itu masing-masing telah merupakan kejahatan atau
pelanggaran, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang
berturut-turut, maka hanyalah satu ketentuan pidana saja yang digunakan
ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya.
4 Zaenal Abidin, dkk, Hukum Pidana (Penerbitan Bersama Prapantja Jakarta dan Taufiq
makasar), h. 105. 5 Lihat Pasal 63-71 KUHP
13
(2) Begitu juga hanya satu ketentuan pidana yang dijalankan, apabila orang
disalahkan memalsukan atau merusak uang dan memakai benda, yang
terhadapnya dilakukan perbuatan memalsukan atau merusak uang itu.
(3) Akan tetapi jikalau kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373, 379
dan pasal 407 ayat pertama dilakukan dengan berturut-turut, serta jumlah
kerugian atas kepunyaan orang karena perbuatan itu lebih dari Rp. 25,-
maka dijalankan ketentuan pidana pasal 362, 372, 378, atau 406.
Pasal 64 menjadi dasar hukum bagi perbuatan berkelanjutan yaitu
antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya berkaitan. Tindak pidana
yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang berkelanjutan seperti
pencurian ringan (pasal 364), penggelapan ringan (pasal 373),
penggelapan biasa (pasal 372) selanjutnya beberapa penipuan ringan
(pasal 379), penipuan biasa (pasal 378), perusakan barang (pasal 407 ayat
1) dan juga perusakan barang biasa (pasal 406).
c. Pasal 65 tentang Concursus Realis
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri se hingga merupakan beberapa kejahatan,
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya
satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang
diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiganya.
Dalam pasal 65 adalah bentuk gabungan beberapa kejahatan
(concursus realis). Apabila terdapat seseorang yang melakukan beberapa
kejahatan, akan dijatuhi satu hukuman saja apabila hukuman yang
diancamkan adalah sejenis hukuman mana tidak boleh lebih dari
maksimum bagi kejahatan yang terberat ditambah dengan sepertiganya. P
Pasal 65 ini membahas tentang gabungan kejahatan yang
hukumannya sejenis.
14
d. Pasal 66 KUHP
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan,
yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan
pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
(2) Dalam Pidana denda adalah hal itu dihitung menurut lamanya maksimum
pidana kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Pasal 66 menjadi dasar hukum bagi gabungan beberapa perbuatan
(concursus realis) bedanya hukuman yang diancamkan bagi kejahatan-
kejahatan itu tidak sejenis. Maka dari itu hukuman yang dijatuhkan tidak
hanya satu melainkan tiap-tiap perbuatan itu dikenakan hukuman, namun
jumlah semuanya tidak boleh lebih dari hukuman yang terberat
ditambah dengan sepertiganya bagi hukuman denda diperhitungkan
hukuman kurangan penggantinya.
e. Pasal 67 KUHP
“Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, disamping itu
tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu,
dan pengumuman keputusan hakim.”
Pasal 67 dijelaskan bahwa hukuman kurungan dan hukuman denda
tidak dapat dijatuhkan berdampingan dengan hukuman mati atau hukuman
seumur hidup yang dikenakan.
f. Pasal 68 KUHP
(1) Berdasarkan hal-hal dalam pasal 65 dan 66, tentang pidana tambahan
berlaku ketentuan aturan sebagai berikut:
a. Pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, yang
lamanya, sekurang-kurangnya dua tahun, dan paling banyak lima
tahun melebihi pidana pokok hanya pidana denda saja, maka lamanya
pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun.
b. Pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan, dijatuhkan sendiri-
sendiri tanpa dikurangi.
c. Pidana merampas barang-barang tertentu, begitu juga dengan halnya
pidana kurungan pengganti karena barang-barang tidak diserahkan,
dijatuhkan sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
15
(2) Jumlah pidana kurungan pengganti jumlahnya tidak boleh melebihi
delapan bulan.
Pasal di atas berbicara mengenai apabila seorang hakim akan
menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu
yang sama jenisnya. Lamanya pencabutan harus sama dengan lamanya
hukuman penjara atau hukuman kurungan yang dijatuhkan, ditambah
dengan sedikit-dikitnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun.
Apabila hukuman tersebut tidak sama jenisnya, pencabutan hak itu
dijatuhkan pada tiap-tiap kejahatan yang dituduhkan, tanpa
dikurangi. Demikian pula apabila dijatuhkan hukuman tambahan berupa
perampasan barang-barang tertentu dari hukuman kurungan pengganti itu
tidak diserahkan, maka tiap-tiap hukuman harus dijatuhkan tanpa
dikurangi, sementara itu hukuman pengganti lainnya tidak boleh lebih dari
delapan bulan.
g. Pasal 69 KUHP
(1) Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis, di tentukan
menurut urutan dalam pasal 10.
(2) Jika hakim memilih antara beberapa pidana pokok, maka dalam
perbandingan hanya pidana yang terberat saja yang dipakai.
(3) Perbandingan beratnya pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut
maksimumnya masing-masing.
(4) Perbandingan lamanya pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan
menurut maksimumnya masing-masing.
Sebagaimana diketahui bahwa hukuman terdiri dari dua macam
yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan yang ketentuannya terdapat
dalam pasal 10, apabila terdapat dua hukuman yang berbeda maka
diharapkan dipilih hukuman yang terberat, perbandingan lamanya
hukuman yang tidak sejenis ditentukan oleh maksimumnya.
h. Pasal 70 KUHP
(1) Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 65 dan 66
antara pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan
16
pelanggaran, maka dijatuhkan pidana bagi tiap pelanggaran itu
dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
(2) Untuk pelanggaran, jumlah pidana kurungan dan pidana kurungan
pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan. sedangkan
jumlah pidana kurungan pengganti, paling banyak delapan bulan.
Pasal 70 memuat tentang Perbarengan kejahatan dengan
pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Maka dalam hal ini
setiap kejahatan harus dijatuhi hukuman tersendiri begitu juga dengan
pelanggaran harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri. Apabila terdapat
hukuman kurungan maka hal ini tidak lebih dari satu tahun empat bulan
sedang apabila mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak boleh
lebih dari delapan bulan.
i. Pasal 70 bis
“Ketika menerapkan pasal 65, 66 dan 70 maka kejahatan-kejahatan yang
berdasarkan dalam pasal 302, ayat (1), 352, 364, 373, 379, dan 482 dianggap
sebagai pelanggaran, tetapi jika dijatuhkan pidana penjara atas kejahatan-
kejahatan itu, jumlah paling banyak delapan bulan.”
Untuk menjalankan peraturan dalam pasal 65, 66, dan 70 maka untuk
kejahatan ringan harus dijatuhi hukuman sendiri-sendiri, dengan ketentuan
apabila dijatuhi hukuman penjara maka tidak boleh lebih dari delapan bulan.
j. Pasal 71 KUHP
(1) Jika seseorang telah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi
karena melakukan kejahatan atau pelanggaran sebelum ada putusan
pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhatikan pada pidana yang akan
dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalan bab ini mengenai
hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama.
Perbuatan yang dilakukan dalam bentuk gabungan tidak senantiasa
dapat diadili sekaligus dalam waktu yang sama. Dari pasal-pasal di atas
maka dapatlah diketahui bagaimana sistem pemberian hukuman bagi
pelaku tindak pidana gabungan.
17
3. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perbarengan
Perbarengan hukuman terjadi ketika terdapat gabungan melakukan tindak
pidana. Gabungan melakukan tindak pidana hanya ada ketika seseorang melakukan
beberapa tindak pidana sebelum ada ketetapan hukum final terhadap satu atau lebih
perbuatan-perbuatan itu. Dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabun gan
melakukan tindak pidana, yaitu:
a. Perbarengan Aturan (Concursus idealis)
Perbarengan peraturan yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih
dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai adalah sistem
absorbsi.6 Perbarengan aturan diartikan sebagai seseorang yang dalam
kenyataan sebenarnya hanya melakukan satu perbuatan pidana yang
dilakukannya tersebut jika dilihat dari sudut yuridis ternyata dapat dipandang
sama dengan telah melanggar dua atau lebih aturan hukum pidana.
Perbarengan aturan sendiri diatur dalam KUHP pasal 63 ayat (1) dan ayat (2).
Perbarengan Aturan terjadi apabila seorang melakukan satu tindak
pidana tetapi dengan melakukan satu tindak pidana itu ia memenuhi rumusan
dari beberapa ketentuan pidana. Contohnya: perkosaan yang dilakukan
dimuka umum, selain melanggar 2857 sekaligus pelanggaran pasal 2818
tentang kesusilaan.
Terdapat tiga model sanksi yang akan di jatuhkan kepada terdakwa
dalam perbarengan aturan, yaitu:
1. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana
yang dilanggar oleh terdakwa tersebut sama bobot dan jenisnya, maka
cukup dikenakan salah satunya saja.
6 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, cet. ke-2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 179. 7 Pasal 285 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” 8 Pasal 281 KUHP berbunyi : “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah : 1. Barang
siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; 2. Barang siapa dengan sengaja
dan didepan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melangar
kesusilaan.”
18
2. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana
yang dilanggar oleh terdakwa tersebut berbeda bobot dan jenisnya, maka
bobot dan jenis yang paling berat yang dijatuhkan.
3. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana
yang dilanggar oleh terdakwa tersebut tercantum didalam ketentuan
hukum pidana umum dan ketentuan hukum pidana khusus, maka sanksi
pidana yang dijatuhkan adalah yang terdapat dalam ketentuan hukum
pidana khusus.9
b. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)
Perbuatan berlanjut itu sendiri terdiri dari perbuatan pidana yang
masing-masing adalah berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian satu
sama lain. Jadi masing-masing perbuatan pidana itu mempunyai tempat,
waktu dan daluarsanya sendiri-sendiri.10
Dikatakan terjadinya perbuatan berlanjut jika seseorang yang dalam
kenyataannya memang melakukan beberapa perbuatan pidana, tetapi antara
perbuatan pidana yang satu dengan perbuatan pidana yang lainnya masing-
masing saling berhubungan erat satu sama lain karena bersumber dari satu
niat jahat pelaku, maka beberapa perbuatan pidana tersebut secara hukum
dianggap sebagai perbuatan berlanjut.11 Untuk perbuatan berlanjut diatur
dalam KUHP pasal 64 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Berdasarkan rumusan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan
berlanjut memiliki dua unsur. Pertama, adanya perbuatan baik berupa
kejahatan maupun pelanggaran. Kedua, antara perbuatan yang satu dengan
perbuatan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa, sehingga harus
dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
Selanjutnya, para ahli hukum pidana memiliki kesepahaman pendapat
bahwa untuk terjadinya perbuatan berlanjut harus memenuhi tiga syarat atau
ciri-ciri pokok yang merupakan satu-kesatuan, yaitu:
9 Mahsur Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 136. 10 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), h.
111. 11 Mahsur Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, h., 138.
19
1. Harus adanya satu keputusan kehendak si pembuat, dalam arti rentetan
beberapa perbuatan pidana yang terjadi harus timbul dari satu kehendak
atau niat jahat.
2. Beberapa perbutan pidana yang dilakukan haruslah sejenis atau paling
tidak sama kualifikasi deliknya.
3. Jarak waktu antara melakukan perbuatan pidana yang satu dengan
perbuatan pidana yang lain tidak boleh terlalu lama atau harus tidak dalam
tenggang waktu yang lama.12
c. Perbarengan Beberapa Perbuatan (Concursus Realis)
Perbarengan perbuatan terjadi jika seseorang yang melakukan dua atau
lebih kejahatan sehingga oleh karenanya ia secara hukum dipandang telah
melanggar d ua atau lebih aturan pidana, atau dengan kata lain, seseorang
melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain
dan masing-masing merupakan tindak pidana sendiri.13 Perbarengan
beberapa perbuatan diatur dalam Pasal 65 sampai pasal 71 KUHP.
4. Teori Perbarengan Tindak Pidana
Pada dasarnya teori perbarengan tindak pidana dimaksudkan untuk
menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana.
Dalam KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan hukuman
bagi pelaku tindak pidana Perbarengan,14 yaitu:
a. Teori Penyerapan Biasa (Absorptie Stelsel)
Teori ini terdapat dalam pasal yang khusus mengenai gabungan
perbuatan lahir (semu atau concursus idealis). Jadi, hanya aturan pidana yang
paling berat hukuman pokoknya yang dijatuhkan. Pasal tersebut berbunyi
sebagai berikut:
1. Jika sesuatu perbuatan dapat dihukum karena beberapa aturan pidana,
hanya satu saja dari aturan-aturan itu yang dijalankan. Jika hukumannya
berlainan, yang dijalankan ialah hukuman yank paling berat hukuman
pokoknya.
12 Mahsur Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, h., 139. 13 Mahsur Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, h., 136. 14 Mas’ad Ma’shum, Hukum Pidana I, h. 124-125.
20
2. Jika suatu perbuatan dapat dihukum karena aturan pidana umum dan
aturan pidana khusus, maka hanya pidana khusus itulah yang dijalankan.
b. Teori Penyerapan Keras (Vercherpte absobrtie stelsel)
Teori ini terdapat dalam pasal 65 mengenai perbuatan nyata (concursus
realis) yang diancam hukuman pokok yang semacam. Jadi, salah satu
hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan dengan
ditambah sepertiga dari maksimum hukuman yang seberat-seberatnya. Pasal
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jika ada golongan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya dipandang
sebagai suatu perbuatan bulat dan masing-masingnya merupakan
kejahatan yang terancam dengan hukuman pokok yang sama, maka hanya
satu hukuman saja yang dijatuhkan.
2. Maksimum hukuman itu ialah jumlah maksimum yang diancamkan atas
tiap-tiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang paling berat
ditambah sepertiga.
c. Teori berganda yang dikurangi (gematigde cumulatie stelsel)
Gabungan perbuatan nyata (concursus realis) yang terancam hukuman
pokok yang tidak sama. Pasal 66 tersebut berbunyi sebagai berikut:
“jika ada gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus
dipandang sebagai perbuatan bulat yang masing-masing merupakan
kejahatan yang terancam dengan pokok yang tidak semacam, maka
dijatuhkan tiap-tiap hukuman itu, akan tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
hukuman yang terbesar ditambah sepertiganya.”
Dalam praktiknya, teori penyerapan keras yang dianut oleh pasal 65
kalau berpegang kepada pendapat pertama tidak berbeda dengan teori yang
dianut oleh pasal 66.
d. Teori Berganda biasa
Semua hukuman yang dijatuhkan tidak dikurangi. Teori gabungan ini
dianut oleh pasal 67, yang ayat 1 yang berfungsi sebagai berikut:
“jika ada gabungan secara yang termaksud dalam pasal 65 dan 66 antara
pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran dengan pelanggaran,
maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak
dikurangi.”15
15 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, (Bogor: Kharisma ilmu, 2011), h.
141-142.
21
B. Perspektif Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Perbarengan
Pada dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau
jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis
hukuman yang terdapat dalam hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan
ketika terdapat seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda.
Dalam hukum Islam, gabungan hukuman terkenal dengan istilah ت عاددالعقبت (berbilangnya hukuman) dan جت معالعقبة .(terkumpulnya beberapa hukuman) الإ
Menurut A. Hanafi adalah seseorang yang memperbuat beberapa macam
jarimah dimana masing-masingnya belum mendapatkan putusan akhir.16
Menurut Abdul Qadir Audah adalah gabungan jarimah dikatakan ada ketika
seseorang melakukan beberapa macam jarimah yang berbeda dimana dari masing-
masing perbuatan tersebut belum mendapatkan putusan akhir dari seorang hakim.17
2. Dasar Hukum Tindak Pidana Perbarengan
Adapun ayat-ayat Al-qur’an yang berkaitan atau menjadi dasar hukum tindak
pidana perbarengan (concursus) yaitu:
a. Q.s. Al-Māidah (5): 33:
ورسولهوي اجزاؤاالمذ ينيار بونالله فساد اأني قت ملواإ نم الأرض أويصلمبواأوت قطمعسعونفي لافأوينفوام نالأ موأرجلهمم نخ ن ياوأيد يه الد في زي ذل كلهمخ رة لهمرض الأخ في
عذابعظ يم
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya danmembuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan diakhirat mereka
beroleh siksaan yang besar”.
16 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 326. 17 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri al-Jina’i al-Islamy, h., h.744.
22
b. Q.s. Al-An'am (6): 160:
اومنجآ لسنة ف لهعشرأمثاله وهملايظلمونلسمي ئة فلايجزىإ لاممث لهاءب منجآءب
Artinya: “Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala)
sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang
jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbangdengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.
c. Q.s. Asy-Syura (42): 40:
ث لهافمنعفاوأصلح الظمال وجزآؤاسي ئةسي ئة م م ينفأجرهعلىالله إ نمهلاي ب
Artinya: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka
barang siapa mema'afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan)
Allah.Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
3. Bentuk-bentuk Gabungan Tindak Pidana
Gabungan melakukan tindak pidana dalam Perspektif hukum Islam hanya ada
ketika seseorang melakukan beberapa jarimah sebelum ada ketetapan hukum final
terhadap satu atau lebih perbuatan-perbuatan itu. maka ada tiga kategori di bawah
ini, yaitu:
a. Gabungan Beberapa Jarimah yang Terdapat Ancaman Pidana Mati
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa seseorang yang melakukan
gabungan beberapa tindak pidana baik yang di dalamnya terdapat hukuman
mati ataupun tidak maka semua hukuman yang diancamkan harus
dilaksanakan. Sementara itu sebagian fuqaha berpendapat bahwa selain
hukuman mati berarti gugur dan hanya hukuman mati saja yang dilaksanakan.
Pendapat ini menurut Ibnu Mas’ud, Atha’, as-Sya’bi, an Nakhaiy, al-Auza’iy,
imam Ahmad bin Hanbal, imam Malik dan imam Abu Hanifah.18
18 Muh. Abu Zahrah, al_uquubah: al Jarimah wa al Uqubah fi al Fiqh al Islam (Beirut: Dar
al Fikr, t.t.), h. 298.
23
Golongan Hambaliyah, Hanafiyah dan malikiyah mengatakan bahwa
hukuman tersebut saling memasuki (at Tadāhul) yaitu antara hukuman yang
satu dengan yang lainnya saling masuk sehingga pelakunya hanya dikenai
satu hukuman yaitu hukuman mati saja sebagai hukuman yang terberat.
Pendapat ini juga didukung oleh Ibrahim al-Nakha’i bahwa hukuman
dicukupkan dengan pelaksanaan hukuman mati, sebab adanya kumpulan hak-
hak Allah yang murni dan maksud dari hukuman itu sendiri adalah untuk
peringatan. Dengan dijatuhkannya hukuman mati maka kebutuhan untuk
peringatan tersebut dirasa sudah cukup.19
Dalam masalah ini, pendapat Imam asy-Syafi’i dirasa cukup berat
dalam menentukan hukuman terhadap pelanggaran beberapa jarimah. Imam
asy-Syafi’i tidak mengakui adanya teori saling memasuki bahwa apabila
terjadi gabungan beberapa jarimah yang hukumannya berbeda-beda maka
hukuman tersebut harus dilaksanakan satu persatu dan hukuman tersebut
tidak dapat untuk memasuki antara sebagian pada sebagian yang lain.
b. Gabungan Beberapa Jarimah yang Tidak Terdapat Ancaman Pidana Mati
Jarimah zina ghairu mukhson, pencurian, minum khamr yang berulang
kali dan masing-masing belum mendapatkan keputusan akhir. Dalam masalah
ini terdapat dua pendapat, yaitu:
1) bahwa semua hukuman harus dilaksanakan. Alasannya yaitu sebab dari
adanya gabungan melakukan jarimah itu berbeda-beda dan lebih dari satu.
Berbilangnya (lebih dari satu) sebab membuat hukuman tidak dapat saling
memasuki atau digabung karena sebabnya juga berbeda-beda.20
Namun ulama berbeda pendapat mengenai hukuman mana yang
harus dilaksanakan terlebih dahulu. Syafi’iyah dan Hanabilah
melaksanakan hukuman yang paling ringan terlebih dahulu seperti had
minum khamr, had zina, pemotongan tangan untuk jarimah pencurian.
19 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu (Beirut: Dar al Fikr, t.t. , Jilid IV), h.
169. 20 Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muh. Ibn Qudamah, Al Mughni (Riyad:
Maktabah al Riyadi al Haditsah, t.t.), h. 299.
24
Hukuman potong dalam jarimah pencurian ini dapat saling memasuki
dengan hukuman potong tangan pada jarimah hirabah dengan perampasan
harta.
Sementara Malikiyah berpendapat bahwa hukuman potong harus
didahulukan dari pada hukuman jilid. Hanafiyah menyerahkan pemilihan
untuk menentukan hukuman mana yang akan dijatuhkan terlebih dahulu
kepada pemerintah. Apabila pemerintah menghendaki hukuman zina
didahulukan maka hukuman zina akan dilakukan, atau menghendaki
hukuman potong tangan yang didahulukan dan seterusnya.
Mereka beralasan bahwa had zina dan had pencurian ditetapkan
dengan Nash Al-Qur’an, sehingga mereka mengakhirkan hukuman minum
khamr dari pada hukuman zina dan pencurian karena jarimah minum
khamr ditetapkan dengan Sunnah Nabi. Dalam melaksanakan hukuman-
hukuman tersebut tidak berbarengan, tetapi dilaksanakan satu persatu
dalam waktu yang berbeda. Hal itu dikhawatirkan menimbulkan efek yang
tidak diharapkan dari penjatuhan hukuman yang sekaligus.21
2) Keadaan dimana terdapat gabungan beberapa jarimah22 yang hukumannya
merupakan hak Allah dan sekaligus hak hamba. Dalam hal ini terdapat tiga
hal, yaitu:
a) Di antara hukuman-hukuman tersebut tidak terdapat ancaman pidana
mati
Dalam hal ini dicontohkan hukuman untuk jarimah minum
khamr dan jarimah qodhaf23.
Hanabilah, Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa
seluruh hukuman harus dilaksanakan karena berbilangnya (lebih dari
satu) sebab jika sebabnya lebih dari satu jenis maka musababnya tidak
diragukan lagi pasti lebih dari satu juga atau berbilang.
21 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, h., 169. 22 Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta benda, atau lainnya. 23 Jarimah qodhaf adalah menuduh orang baik-baik berzina atau menafikkan nasabnya
lihat Ensklopedia Hukum Pidana Islam .
25
Sebagian Malikiyah berpendapat bahwa hudud yang
hukumannya sejenis, yaitu hukuman cambuk, bisa saling memasuki
atau digabungkan, alasannya yaitu ketika seseorang mabuk maka ia
dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat menimbulkan fitnah.
Adapun hukuman selain itu tidak bisa digabungkan.
b) Di antara hukuman-hukuman tersebut terdapat ancaman pidana mati
Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa jarimah yang di
dalamnya terdapat hak-hak Allah, maka hak Allah tersebut masuk ke
dalam hukuman mati. Adapun yang terdapat di dalamnya hak-hak
Adami maka harus dijatuhkan seluruhnya.24 Hukuman mati disini
kedudukannya sebagai hukuman had25 ataupun karena Qisas.
Apabila di dalam gabungan tersebut terdapat hukuman mati dan
hukuman-hukuman yang lain, maka hukuman lain harus didahulukan
dari pada hukuman mati. Dalam hal ini hak Adam didahulukan dari
pada hak Allah. Menurut Imam asy-Syafi’i jika hukuman-hukuman
yang ada dalam hak anak Adam adalah lebih ringan maka wajib
dilaksanakan.
c) Bertemunya dua hak pada satu ancaman yang akan dikenai hukuman
Sebagai contoh, terdapat dua hukuman yaitu Qisas dan rajam26,
dalam hal ini Jumhur Ulama sepakat untuk mendahulukan Qisas dari
pada rajam. Alasannya yaitu hukuman Qisas dapat dijadikan sebagai
penguat hukuman terhadap pemenuhan hak adami.27
4. Teori Perbarengan Tindak Pidana
) a. Teori Saling Melengkapiن زار يةالتمدخل (Teori saling melengkapi adalah ketika terjadi gabungan perbuatan (tindak
pidana), hukuman-hukumannya saling melengkapi sehingga karena kondisi ini
24 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Ad illatuhu, h., 170. 25 Had adalah sesuatu yang didefenisikan dengan adanya pembatasan (tahsir) dan
mencakup segala sesuatu serta menghalangi sesuatu yang lain untuk memasukinya dan
keluar darinya. 26 Rajam adalah siksaan hukuman mati bagi pelanggar hukum dengan cara dilempari batu. 27 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, h., 170.
26
semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti halnya melakukan satu
perbuatan.28
Teori tersebut didasarkan atas dua pertimbangan:
1. Meskipun jarimah yang dilakukan berganda tetapi semuanya itu jenisnya
sama. Maka sudah sewajarnya jika pelaku hanya dikenakan satu macam
hukuman saja. Contohnya pencurian berulang-ulang.
2. Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda berbeda
macamnya, namun hukumannya bisa saling melengkapi dan cukup satu
hukuman yang di jatuhkan untuk melindungi kepentingan yang sama.
Misalnya seseorang yang makan bangkai, darah dan daging babi cukup
dijatuhi satu hukuman karena hukuman tersebut dijatuhkan untuk
mencapai satu tujuan yaitu melindungi kepentingan seseorang dan juga
melindungi kepentingan masyarakat.29
) b. Teori Penyerapanن زار يةالجب (Pengertian penyerapan ialah menjatuhkan satu hukuman yang
mengakibatkan hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Dalam hal
ini, hukuman tersebut tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaan
hukuman tersebut dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman lain.30 Di
kalangan fuqaha’ belum ada kesepakatan tentang penerapan teori penyerapan.
Adapun Para Ulama berpendapat dalam memberikan hukuman dalam teori
penyerapan ini sebagai berikut:
Imam Malik berpendapat bahwa setiap hukuman hudud31 yang berkumpul
dengan hukuman mati sebagai hak allah (seperti tindak pidana murtad) atau
dengan hukuman Qisas32 sebagai hak seseorang maka hukuman hudud tersebut
28 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 143. 29 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), h. 168. 30 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 144. 31 Hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan sebagai hak Allah SWT atau hukuman
yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Dikatakan sebagai hak Allah
SWT karena hukuman hukuman ini tidak bisa digugurkan, baik oleh individu maupun
masyarakat. Lihat Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h. 41. 32 Qisas yaitu mengenakan sebuah tindakan (Sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti
tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban) Lihat Fiqih Jinayah M.
Nurul Irfan dan masyrofah h. 4.
27
tidak dapat dilaksanakan (karena hukuman mati telah menyerap hukuman hudud
tersebut) kecuali pada tindak pidana qadzaf, hukumannya telah dilaksanakan,
kemudian dibunuh.
Imam Ahmad bin Hanbal, berpendapat apabila berkumpul dua tindak
pidana hudud sebagai hak allah dan didalamnya ada hukuman mati, seperti
mencuri dan berzina muhshan33, atau meminum-minuman keras dan membunuh
ketika melakukan perampokan (hirabah)34, maka hanya hukuman mati saja yang
dilaksanakan, sedang hukuman-hukuman lain gugur. Bila hukuman hudud
berkumpul dengan hak-hak manusia (adamy) maka hak-hak manusia tersebut
harus dilaksanakan terlebih dahulu, sedangkan hak-hak Allah diserap oleh
hukuman hukuman mati, baik hukuman mati tersebut sebagai hukuman hudud
maupun Qisas.
Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak manusia
dengan hak Allah (hak masyarakat umum), hak manusialah yang didahulukan
karena manusia membutuhkan haknya. Bila hak tersebut sudah terlaksana, hak
Allah terhapus karena kondisi darurat. Jika hak Allah masih bisa dilaksanakan
dan hak Allah ini lebih dari satu, satu hak (hukuman) saja yang dijatuhkan, yaitu
hak yang dapat menggugurkan hak hukuman yang lain.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi,
“Hindarkanlah hukuman hudud semampu mungkin”
Jika seseorang membunuh lalu berzina gair muhsan lalu meminum-
minuman keras, dia hanya dijatuhi hukuman mati sebagai hukuman Qisas,
sedangkan hukuman zina dan meminum minuman menjadi gugur.35
Menurut Imam asy-Syafi’i tidak mengakui adanya teori penyerapan.
Menurutnya, semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi
(tadakhul). Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman hak manusia yang
33 Zina Muhson adalah orang yang sudah baliq, berakal, merdeka, dan bercampur dengan
orang yang sudah menikah dengan sah. Sedangkan hukumannya adala di rajam. Lihat
Ensklopedia Hukum Pidana Islam 34 Hirabah adalah keluar (rumah) untuk mengambil harta dengan cara paksa. Lihat
Ensklopedia Hukum Pidana Islam 35 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 145.
28
bukan hukuman mati, kemudian hak Allah (hak masyarakat) yang bukan
hukuman mati. Contohnya, apabila pada diri seseorang laki-laki berkumpul
beberapa hukuman had, seperti had zina ghair muhsan, had qazaf, had pencurian
had gangguan keamanan dengan membunuh, serta hukuman Qisas karena
membunuh, urutan penjatuhan hukuman-hukuman tersebut: had qazaf (delapan
puluh dera), kemudian ditahan (dikurung) sampai sembuh untuk kemudian
dijatuhi had zina (seratus dera), kemudian ditahan lagi sampai sembuh untuk
kemudian dipotong tangannya karena pencurian, terkakhir dijatuhi hukuman
mati sebagai hukuman atas gangguan keamanan. Kalau pelaku mati saat
menjalani hukuman-hukuman yang sebelumnya hapuslah hukuman-hukuman
berikutnya.36
36 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 146.
29
BAB III
PENGGABUNGAN HUKUMAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
DAN PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN
HUKUM PIDANA ISLAM
A. Perspektif Hukum Pidana Positif
1. Tindak Pidana Penganiayaan
a. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia yang merumuskan bahwa
penganiayaan berasal dari kata “Aniaya” yang berarti melakukan perbuatan
sewenang-wenang seperti melakukan penyiksaan dan penindasan. Berdasarkan
batasan pemaparan diatas, penganiayaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang
dapat mengakibatkan orang lain menderita atau merasakan sakit.1 Tindak pidana
penganiayaan atau mishandeling itu diatur dalam Bab ke-XX Buku ke- II KUHP,
yang dalam bentuknya yang pokok diatur dalam pasal 351 KHUP
Dari rumusan Pasal 351 KUHP orang dapat mengetahui, bahwa Undang-
Undang hanya berbicara mengenai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur
dari tindak pidana penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa
kesengajaan merugikan kesehatan (orang lain) itu adalah sama dengan
penganiayaan.
Atau penganiayaan itu ialah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan luka pada tubuh orang lain.2
b. Jenis-jenis Penganiayaan
Berdasarkan Buku Bab ke-XX Buku ke-II KUHP yang mengatur tentang
tindak pidana penganiayaan yaitu mulai dari Pasal 351 KUHP sampai dengan Pasal
358 KUHP, maka Jenis-jenis penganiayaan dapat diklasifikasikan atas 5 (lima)
jenis, yaitu:
1 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1987), h. 481. 2 P.A,F Lamintang, Theo Lamintang, Kejahatan terhadap nyawa, tubuh, & kesehatan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 131-132.
30
1. Penganiayaan Biasa
Jenis penganiayaan biasa ini diatur dalam Pasal 351 KUHP yang
rumusannya sebagai berikut:
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 2
(dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka-luka berat, si tersalah dihukum
selama-lamanya 5 (lima) tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara
selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan
sengaja.
(5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
2. Penganiayaan Ringan
Jenis penganiayaan ringan ini diatur dalam Pasal 352 KUHP, yang
rumusannya sebagai berikut:
(1) Selain dari pada apa yang tersebut dalam Pasal 353 KUHP dan Pasal
356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau
halangan untuk tidak melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai
penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratur
rupiah). Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiga, bila kejahatan
itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada
dibawah perintahnya.
(2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
3. Penganiayaan Yang Direncanakan Terlebih Dahulu
Jenis penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu ini diatur
dalam Pasal 353 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut:
(1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu
dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara
selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara
selama-lamanya 9 (sembilan) tahun.
31
4. Penganiayaan Berat
Jenis penganiayaan berat ini diatur dalam Pasal 354 KUHP, yang
rumusannya sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena
penganiayaan berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya 8
(delapan) tahun.
(2) Jika perbuatan menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum
penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.
5. Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu
Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu ini diatur
dalam Pasal 355 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut:
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih
dahulu, dihukum penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah
dihukum selama-lamanya 15 (lima belas) tahun.3
2. Tindak Pidana Pembunuhan
a. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu
pembunuhan.
Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan
sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang
lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat
berupa meninggalnya orang lain tersebut.
Kiranya sudah jelas bahwa yang tidak dikehendaki oleh undang-undang itu
sebenarnya ialah kesengajaan menimbulkan akibat meninggalnya orang lain.4
b. Jenis-jenis Pembunuhan
Undang-undang telah mengatur ketentuan-ketentuan pidana tentang
kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang itu dalam buku ke II Bab
ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas pasal, yakni dari pasal 338 sampai dengan
pasal 350.
3 Lihat KUHP Pasal 351-355. 4 P.A,F Lamintang, Theo Lamintang, kejahatan terhadap nyawa, tubuh, & kesehatan, h. 1.
32
Dalam pengaturan mengenai ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan-
kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa seseorang, undang-undang telah
bermaksud membuat perbedaan antara berbagai kejahatan yang dapat dilakukan
orang terhadap nyawa orang dengan memberi kejahatan tersebut dalam lima jenis
kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang masing-masing sebagai berikut:
1) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. dalam
pengertiannya yang umum, tentang kejahatan yang mana pembentuk
undang-undang selanjutnya juga masih membuat perbedaan antara
kesengajaan menghilangkan nyawa orang yang tidak direncanakan lebih
dahulu yang telah diberinya nama doodslag5 dengan kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain dengan direncanakan lebih dahulu yang
telah disebutnya moord.6 Doodslag diatur dalam pasal 338 KUHP
sedangkan moord diatur dalam pasal 340 KUHP.
2) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang anak yang
baru dilahirkan oleh ibunya sendiri. Tentang kejahatan ini selanjutnya
pembentuk undang-undang masih membuat perbedaan antara kesengajaan
menghilangkan nyawa seseorang anak yang baru dilahirkan ibunya sendiri
yang dilakukan tanpa direncanakan terlebih dahulu dengan kesengajaan
menghilangkan nyawa seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya
sendiri yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu. Jenis kejahatan
yang disebutkan terdahulu itu oleh pembentuk undang-undang telah disebut
sebagai kinderdoodslag7 dan diatur dalam pasal 341 KUHP, adapun
kejahatan yang disebutkan kemudian adalah kindermoord8 dan diatur dalam
pasal 342 KUHP.
5 Doodslag adalah salah satu jenis pembunuhan yang merupakan dalam bentuk pokok.
Maksud dalam bentuk pokok adalah bahwa dalam pembunuhan tersebut tidak memuat
unsur-unsur yang meringankan maupun memberatkan/ Pembunuhan biasa. 6 Moord adalah salah satu jenis pembunuhan dimana memuat unsur yang memberatkan/
Pembunuhan berencana. 7 Kinderdoodslag adalah dengan sengaja tidak direncanakan lebih dahulu membunuh
anaknya pada waktu dilahirkan atau tidak beberapa lama sesudah anaknya pada waktu
dilahirkan atau tidak beberapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan, bahwa ia
sudah melahirkan anak. Kejahatan ini dinamakan makar mati atau membunuh biasa anak. 8 Kindermoord adalah pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan dengan direncanakan lebih dahulu.
33
3) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan yang bersifat tegas dan sungguh-sungguh dari orang itu sendiri,
yakni sebagaimana telah diatur dalam pasal 344 KUHP.
4) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong orang melakukan bunuh diri atau
membantu orang lain melakukan bunuh diri sebagai mana telah diatur dalam
pasal 345 KUHP.
5) Kejahatan berupa kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita
atau menyebabkan anak yang berada dalam kandungan meninggal dunia.9
Pengguguran kandungan itu oleh pembentuk undang-undang telah disebut
dengan kata afdrijving.10
3. Penggabungan Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan dan Pembunuhan
Dalam tindak pidana penganiayaan disertai melakukan pembunuhan masuk
kedalam Tindak Pidana Perbarengan yaitu Perbarengan peraturan (concursus
Idealis) yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana.
Sistem pemberian pidana yang dipakai adalah sistem absorbsi.11 Perbarengan
aturan diartikan sebagai seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya hanya
melakukan satu perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut jika dilihat dari sudut
yuridis ternyata dapat dipandang sama dengan telah melanggar dua atau lebih
aturan hukum pidana. Perbarengan aturan sendiri diatur dalam KUHP pasal 63 ayat
(1) dan ayat (2).
Perbarengan Aturan terjadi apabila seorang melakukan satu tindak pidana
tetapi dengan melakukan satu tindak pidana itu ia memenuhi rumusan dari beberapa
ketentuan pidana. Contohnya: penganiyaan yang berujung kematian,
Adapun bentuk pemberian sanksi dalam Concursus Realis atau Perbarengan
Perbuatan telah diatur dalam pasal 63 ayat (1) dan (2) KUHP:
a. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang
dilanggar oleh terdakwa tersebut sama bobot dan jenisnya, maka cukup
dikenakan salah satunya saja.
9 P.A,F Lamintang, Theo Lamintang, kejahatan terhadap nyawa, tubuh, & kesehatan, h. 11-
12. 10 Afdrijving adalah pengguguran kandungan. 11 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011, cet. ke-2), h. 179.
34
b. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang
dilanggar oleh terdakwa tersebut berbeda bobot dan jenisnya, maka bobot dan
jenis yang paling berat yang dijatuhkan.
c. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang
dilanggar oleh terdakwa tersebut tercantum didalam ketentuan hukum pidana
umum dan ketentuan hukum pidana khusus, maka sanksi pidana yang
dijatuhkan adalah yang terdapat dalam ketentuan hukum pidana khusus.
B. Perspektif Hukum Pidana Islam
1. Tindak Pidana Penganiayaan
a. Pengertian Tindak Tidana Penganiayaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Penganiayaan” disebut sebagai
perbuatan yang menyakiti atau menganiaya manusia atau binatang, kezaliman,
penindasan, dan menyakitkan.
Menurut Abdul Qadir Audah bila ditarik dalam konteks kejahatan atau
jinayah yang berkenaan dengan tubuh (penganiayaan). Ia memberikan pengertian
penganiayaan sebagai tindak penyerangan yang tidak sampai mematikan seperti
pelukaan dan pemukulan.12
Menurut Madjloes, yang dimaksud dengan penganiayaan dalam hukum Islam
adalah dengan sengaja melakukan perbuatan sehingga menimbulkan cidera atau
cacat pada seseorang yang terkena perbuatan itu.13
Jadi dapat kita simpulkan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat ialah
perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh seseorang untuk menyakiti orang
lain atau menyiksa orang yang mengakibatkan luka parah pada seseorang yang
teraniaya, akan tetapi perbuatan tersebut tidak sampai menimbulkan kematian.
Ayat Al-Qur’an juga menjelaskan tentang tindak pidana penganiayaan, hal
tersebut dijelaskan didalam Q.s. Al-Maidah (5): 45:
نا عليهم فيهآأن الن فس بلن فس وال ذأن بلأأذأن والس ن عي بلعي والأنف بلأنف والأأ وكت ب أ فمن تصدق به ف هأو ك أ لهأ ومن لم يحكأم بمآأ بلس ن والأرأوح قصاصأ فأأولائك نزل اللهأ فارةأ
هأمأ الظالمأون
12 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri Al-jinai Al-Islami (Beirut: Dar Al-kutub,1963), h, 63. 13 Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam (Jakarta: CV. Amelia, 1980), h. 35.
35
Artinya: “Dan Kami telah menetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun)
ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.”
b. Jenis-jenis Penganiayaan
Adapun jenis-jenis penganiayaan, yaitu sebagai berikut:
1) Penganiayaan berupa memotong atau merusak anggota tubuh korban,
seperti memotong tangan, kaki, dan jari, mencabut kuku, mematahkan
hidung, mematahkan zakar/testis, mengiris telinga, merobek bibir,
mencongkel mata, melukai pelupuk dan bagian ujung mata, merontokkan
dan mematahkan gigi, serta menggunduli dan mencabut rambut kepala,
janggut, alis, atau kumis.
2) Menghilangkan fungsi anggota tubuh korban, walaupun secara fisik masih
utuh, misalnya, merusak pendengaran, membutakan mata, menghilangkan
fungsi daya penciuman dan rasa, membuat korban bisu, membuat korban
impoten dan mandul, serta membuat korban tidak dapat menggerakkan
tangan dan kakinya (lumpuh). Tidak hanya itu, penganiayaan dari sisi
psikis, seperti intimidasi dan teror, sehingga korban menjadi stres atau
bahkan gila, juga termasuk dalam kategori itu.
3) Penganiayaan fisik dibagian kepala dan wajah korban, dalam bahasa arab,
terdapat perbedaan istilah antara penganiayaan dibagian kepala dan tubuh.
Penganiyaan dibagian kepala disebut Al-Syajjaj, sedangkan dibagian
tubuh disebut Al-Jirahah. Lebih jauh, Abu Hanifah secara khusus
memahami bahwa istilah Al-Syajjaj hanya dipakai pada penganiayaan
fisik dibagian kepala dan wajah, tepatnya dibagian tulang, seperti tulang
dahi, kedua tulang pipi, kedua tulang pelipis, dan tulang dagu. Abu
Hanifah tidak menggunakan istilah ini untuk pemganiayaan terhadap kulit
kepala dan wajah. Sementara itu, ulama-ulama fiqh pada umumnya tidak
hanya membatasi pada penganiayaan bagian tulang kepala dan wajah,
tetapi semua jenis penganiayaan yang melukai bagian tersebut:
36
Dengan merinci jenis-jenis luka dibagian kepala dan wajah, Abu
Hanifah mengemukakan sebelas istilah yang berbeda satu sama lain, yaitu
sebagai berikut:
a) Al-Kharishah, yaitu pelukaan pada bagian permukaan kulit kepala
yang tidak sampai mengeluarkan darah.
b) Al-Damii’ah, yaitu pelukaan yang berakibat keluar darah, tetapi
hanya menetes seperti dalam tetesan air mata.
c) Ad-Daamiyyah/Ad-Damighad, yaitu pelukaan berakibat darah
bercucuran keluar cukup deras.
d) Al-Badi’ah, yaitu pelukaan yang berakibat terkoyak nya atau
terpotong nya daging dibagian kepala korban
e) A-Mutalahamah, yaitu pelukaan yang berakibat terpotongnya
daging bagian kepala lebih banyak dan lebih parah dibanding pada
kasus Al-Badi’ah.14
f) Al-Samhaq, yaitu Pelukaan yang berakibat terpotongnya daging
sehingga nampak lapisan antara kulit dan tulang kepala. Istilah ini
disebut juga Al-Syajjah.
g) Al-Mudhihah, yaitu pelukaan yang lebih parah dari pada Al-Samhaq.
Tulang korban mengalami keretakan kecil, seperti goresan jarum.
h) Al-Hasyimah, yaitu pelukaan yang mengakibatkan remuknya tulang
korban.
i) Al-Mangalah yaitu penganiayaan yang mengakibatkan tulang
korban menjadi remuk dan bergeser dari tempatnya semula.
j) Al-Amah yaitu penganiayaan yang mengakibatkan tulang menjadi
remuk dan bergeser, sekaligus tampak lapisan tipis antara tulang
tengkorak dan otak
k) Al-Damighah yaitu penganiayaan yang lebih parah dari pada Al-
Amah. Lapisan tipis antara tulang tengkorak dan otak menjadi robek
dan menembus otak korban.15
14 M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, h., 12. 15 Ibid, 12.
37
4) Peganiayaan dibagian tubuh korban, jenis yang disebut dengan istilah Al-
Jarh ini, terdiri dari dua macam, yaitu Al-Ja’ifah dan Ghair Al-Ja’ifah.
Maksud dari Al-Ja’ifah ialah pelukaan yang menembus perut atau dada
korban. Adapun yang disebut Ghair Al-Ja’ifah ialah semua jenis peukaan
yang tidak berhubungan dengan bagian tubuh korban
5) Penganiayaan yang tidak termasuk kedalam empat kategori diatas.
Penganiayaan ini tidak mengakibatkan timbulnya bekas luka yang tampak
dari luar tetapi mengakibatkan kelumpuhan, penyumbatan darah,
gangguan saraf, atau luka dalam dibagian organ vital.16
2. Tindak Pidana Pembunuhan
a. Pengertian Tindak Tidana Pembunuhan
Dalam Bahasa Arab, pembunuhan disebut “al-qatlu” yang artinya
mematikan. Pembunuhan termasuk kedalam dosa besar. Karena, pembunuhan
merupakan perbuatan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.17
Pengertian pembunuhan menurut Zainuddin Ali adalah suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang dan/atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang
dan/atau beberapa orang meninggal dunia.18
Pengertian pembunuhan menurut Ahmad Wardi Muslich adalah perbuatan
seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa, baik
perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.19
Ayat Al-Qur’an juga telah menjelaskan dilarangnya melakukan tindak pidana
pembunuhan, hal tersebut dijelaskan didalam Q.s. Al-An’am (6): 151:
ئ ا وبلوالدين إحس قأل ت عالوا أتلأ ماحرم ربكأم عليكأم ألاتأ كأم م ن ان ولات قت ألأوا أأولاد شركأوا به شي هأم ولات قربأوا ال ها ومابطن ولات ق إملاق ننأ ن رزأقأكأم وإي ت ألأوا الن فس الت حرم فواحش ماظهر من عقلأون اللهأ إلابلق ذلكأم وصاكأم به لعلكأم ت
16 Ibid, 13. 17 Andi Hamzah, Terminologi hukum pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 29. 18 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 24. 19 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 136-137.
38
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), "Marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak
di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).”
Dan Ayat Al-Qur’an juga menjelaskan didalam sejarah kehidupan umat
manusia, pembunuhan pertama kali dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Dua-
duanya adalah anak dari Nabi Adam A.S. Peristiwa tersebut dijelaskan oleh Allah
SWT dalam Q.s. Al-Maidah (5): 27-31:
من الأخر قال واتلأ عليهم ن بأ ابن ءادم بلق إذ ق رب ق أربن ف ت أقأب ل من أحدها ولم ي أت قبل ا ي ت قبلأ اللهأ من المأتقي لن مآأن بباسط يدي لئن بسطت إل يدك لت قت أ {27}لأق ت ألنك قال إن
إن أأريدأ أن ت بأوأ بثي وإثك ف تكأون من {28}إليك لأق ت ألك إن أخافأ الله رب العالمي يه ف قت لهأ فأصبح من فطوعت لهأ ن فسأهأ ق تل أخ {29}أصحاب النار وذلك جزآؤأا الظالمي
يهأ كيف ي أواري سوءة أخيه قال يوي لت {30}الاسرين ف ب عث اللهأ غأراب ي بحثأ ف الأرض ليأ {31}ادمي أعجزتأ أن أكأون مثل هذا الغأراب فأأواري سوءة أخي فأصبح من الن
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan
Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
korban, maka diterim a salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain(Qabil). Ia berkata (Qabil):"Aku pasti membunuhmu!".
Berkata Habil:"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-
orang yang bertaqwa". (27) Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu
kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akanmenggerakkan
tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada
Allah, Rabb seru sekalian alam". (28) Sesungguhnya aku ingin agar kamu
kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) ku dan dosamu sendiri, maka
kamu akan menjadi penghuni nereka, dan yang demikian itulah pembalasan
bagi orang-orang yang zalim". (29) Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya
menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka
jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (30) Kemudian Allah
menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat
39
saudaranya. Berkata Qabil:"Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu
berbuat seperti burung gagak ini lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang
menyesal.(31)”
b. Jenis-jenis Pembunuhan
Tidak setiap pelaku tindak pidana pembunuhan pasti diancam sanksi Qisas,
tetapi harus diteliti mengenai motivasi, cara, faktor pendorong, dan teknis
melakukan pembunuhan. Hal ini sangat penting dilakukan karena jarimah
pembunuhan oleh para ulama fiqh dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1.
Pembunuhan sengaja, 2. Pembunuhan semi sengaja, 3. Pembunuhan tersalah.20
Hukum Islam mengatur tindakan penghilangan nyawa manusia ada tiga
macam, yaitu sebagai berikut:
1. Pembunuhan Sengaja ( ق تلأ العمد) Pembunuhan sengaja adalah tindak pidana pembunuhan terencana
menggunakan alat yang dapat mematikan, baik berupa benda tumpul seperti
kayu batu maupun benda tajam seperti pisau dan sejenisnya.21
Al-Qur’an telah menjelaskan dasar penghukuman bagi pelaku tindak
pidana pembunuhan sengaja dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 178:
لى الأر بلأر والعبدأ يأي ها الذين ءامنأوا كأتب عليكأمأ القصاصأ ف بلعبد والأأنثى بلأأنثى القت أ فات باعأ بلمعرأ أ م ن رب كأم وف وأداء إليه بحسان ذلك تخ فمن عأفي لهأ من أخيه شيءأ فيفأ
ورحة فمن اعتدى ب عد ذلك ف لهأ عذاب أليمأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih.”
20 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 35. 21 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu As-Syafi’i Al-Muyassar, h. 154.
40
2. Pembunuhan Tidak Sengaja ( ق أتلأ شبه العمد)
Pembunuhan tidak sengaja adalah pelaku tidak berencana melakukan
pembunuhan. Misalnya dia melempari sesuatu seperti tembok, hewan, atau
pohon lalu lemparan tersebut mengenai orang atau dia terjatuh dari tempat
yang tinggi dan menimpa orang yang dibawahnya hingga tewas
Al-Qur’an telah menjelaskan dasar penghukuman bagi pelaku tindak
pidana pembunuhan tidak sengaja dalam Q.s. An-Nisa (4): 92:
أ من ق تل مأؤمن ا خطئ ا ف تحريرأ رق ب وماكان لمأؤمن أن ي قتأل مأؤمن ا إلا خطئ ا و ة مؤمنة وديةأأ ف مأسلمة إل أهله إلا أن يصدقأوا فإن كان ق بة مأؤمنة تحريرأ ر من ق وم عدأو لكأم وهأو مأؤمنأ
أ فدي ن هأم م يثاقأ نكأم وب ي أ مسلمة إل أهله وتحريرأ وإن كان من ق وم ب ي ق بة مؤمنة فمن لم ر ةأد فصيامأ شهرين مأت تابعي ت وبة م ن الله ا حكيم اي وكان اللهأ عليم
Artinya: "Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir)
yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa
yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
3. Pembunuhan Semi Sengaja Atau Sengaja Tapi Keliru (ق تلأ الطإ) Pembunuhan semi sengaja atau sengaja tapi keliru adalah berencana
melakukan pembunuhan dengan alat yang biasanya tidak mematikan.
Misalnya memukul seseorang dengan tongkat yang ringan atau cambuk dan
sebagainya yang tidak mematikan, lalu dia tewas.22
Sementara itu, sanksi pembunuhan semi sengaja atau tersalah berupa
diat mukhaffafah atau diat ringan, bukan diat mughallazhah atau diat berat
22 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu As-Syafi’i Al-Muyassar, h., 154.
41
sebab diat mughallazhah diantaranya diberlakukan pada pembunuhan
sengaja yang dimaafkan pihak keluarga korban.23
3. Penggabungan Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan dan Pembunuhan
Tindak pidana penganiayaan disertai melakukan pembunuhan dalam jarimah
perbarengan termasuk dalam Teori Penyerapan ( ن زاريةأ الب) Pengertian penyerapan
ialah menjatuhkan satu hukuman yang mengakibatkan hukuman-hukuman yang
lain tidak dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, hukuman tersebut tidak lain adalah
hukuman mati, dimana pelaksanaan hukuman tersebut dengan sendirinya menyerap
hukuman-hukuman lain.24
Di kalangan fuqaha’ belum ada kesepakatan tentang penerapan teori
penyerapan. Adapun Para Ulama berpendapat dalam memberikan hukuman dalam
teori penyerapan ini sebagai berikut:
Imam Malik berpendapat bahwa setiap hukuman hudud yang berkumpul
dengan hukuman mati sebagai hak allah (seperti tindak pidana murtad) atau dengan
hukuman Qisas sebagai hak seseorang maka hukuman hudud tersebut tidak dapat
dilaksanakan (karena hukuman mati telah menyerap hukuman hudud tersebut)
kecuali pada tindak pidana qazaf, hukumannya telah dilaksanakan, kemudian
dibunuh.25
Imam Ahmad bin Hanbal, berpendapat apabila berkumpul dua tindak pidana
hudud sebagai hak allah dan didalamnya ada hukuman mati , seperti mencuri dan
berzina muhshan, atau meminum-minuman keras dan membunuh ketika melakukan
perampokan (hirabah)26, maka hanya hukuman mati saja yang dilaksanakan,
sedangkan hukuman-hukuman lain gugur. Bila hukuman hudud berkumpul dengan
hak-hak manusia (adamy) maka hak-hak manusia tersebut harus dilaksanakan
terlebih dahulu, sedangkan hak-hak Allah diserap oleh hukuman hukuman mati,
baik hukuman mati tersebut sebagai hukuman hudud maupun Qisas.27
23 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 38. 24 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, (Bogor: Kharisma ilmu, 2011),
h. 144. 25 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 145. 26 Hirabah adalah pembegalan atau pencurian besar. Pembegalan adalah pengambilan
harta secara besar-besaran. Lihat Ensklopedia Hukum Pidana Islam 27 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 145.
42
Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak manusia
dengan hak Allah (hak masyarakat umum), hak manusialah yang didahulukan
karena manusia membutuhkan haknya. Bila hak tersebut sudah terlaksana, hak
Allah terhapus karena kondisi darurat. Jika hak Allah masih bisa dilaksanakan dan
hak Allah ini lebih dari satu, satu hak (hukuman) saja yang dijatuhkan, yaitu hak
yang dapat menggugurkan hak hukuman yang lain.
Menurut Imam asy-Syafi’i tidak mengakui adanya teori penyerapan.
Menurutnya, semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi
(tadakhul). Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman hak manusia yang bukan
hukuman mati, kemudian hak Allah (hak masyarakat) yang bukan hukuman mati.
Contohnya, apabila pada diri seseorang laki-laki berkumpul beberapa hukuman
had, seperti had zina ghair muhsan, had qazaf , had pencurian had gangguan
keamanan dengan membunuh, serta hukuman Qisas karena membunuh, urutan
penjatuhan hukuman-hukuman tersebut: had qazaf (delapan puluh dera), kemudian
ditahan (dikurung) sampai sembuh untuk kemudian dijatuhi had zina (seratus dera),
kemudian ditahan lagi sampai sembuh untuk kemudian dipotong tangannya karena
pencurian, terkakhir dijatuhi hukuman mati sebagai hukuman atas gangguan
keamanan. Kalau pelaku mati saat menjalani hukuman-hukuman yang sebelumnya
hapuslah hukuman-hukuman berikutnya.28
Jadi dari penjelasan diatas, maka penggabungan hukuman terhadap pelaku
tindak pidana penganiayaan lalu melakukan pembunuhan ada perbedaan pendapat
dikalangan Para Ulama, namun ulama seperti Imam Malik, Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Abu Hanifah dari tiga ulama ini satu pendapat bahwasanya untuk
pelaku pembunuhan dan penganiayaan akan di lakukan tindak pidana Qisas saja
dan untuk tindak pidana penganiayaan tidak dilaksanakan lagi karena sudah di serap
oleh hukuman Qisas.
Sedangkan lain halnya, Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwasanya untuk
pelaku tindak pidana pembunuhan dan pelaku tindak pidana penganiayaan harus
dilaksanakan hukumnya satu persatu karena Imam asy-Syafi’i tidak mengenal teori
penyerapan hukuman maka semua hukuman itu harus diterapkan.
28 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h.,146.
43
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 863 / PID. B /
2015 / PN. DPS. PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM
PIDANA ISLAM
A. Deskripsi Kasus
Dalam putusan perkara pidana yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung,
Penulis mendapatkan data dari putusan Mahkamah Agung terkait Tindak Pidana
Perbarengan (Concursus) yakni terdakwa melakukan melakukan Pembunuhan
Berencana, Memperlakukan anak secara diskriminatif/ Penganiayaan yang
mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga
menghambat fungsi sosialnya dan melakukan Eksploitasi ekonomi. Dalam kasus
ini terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely, tempat lahir Kalimantan
Timur, Umur/Tanggal lahir 60 Tahun/ 03 Maret 1955, Jenis kelamin Perempuan,
Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Jln. Sedap Malam, Nomor: 26 Denpasar
Timur Kota Denpasar, Agama Kristen Protestan, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga.
1. Kronologi Kasus
Bahwa terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely pada tanggal 16 Mei
2015 bertempat di rumah terdakwa di Jl. Sedap Malam No. 26 Denpasar atau pada
suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Denpasar, dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, yang dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut:
Bermula dari lahirnya korban seorang anak perempuan pada tanggal 19 Mei
2007 di salah satu klinik di Tibubeneng Canggu Kabupaten Badung dari pasangan
Achmad Rosyidi di KTP tertulis Rosidik dan Hamidah, setelah anak perempuan
tersebut berumur 3 hari selanjutnya kedua orang tua kandungnya pada tanggal 21
Mei 2007 menyerahkan anak perempuan tersebut kepada terdakwa Margriet
Christina Megawe selanjutnya terdakwa memberi nama Engeline Margriet
Megawe, dan atas penyerahan tersebut dibuatkan Akta Pengakuan Pengangkatan
Anak Nomor: 18 tanggal 24 Mei 2007 dihadapan notaris Anneke Wibowo yang
44
berkedudukan di Jl. Teuku Umar No. 174 Denpasar, namun oleh terdakwa Akta
tersebut tidak ditindak lanjuti dengan prosedur pengangkatan anak sampai
memperoleh Penetapan Pengadilan.1
Selama korban tinggal di rumah terdakwa di Jl. Sedap Malam No. 26
Denpasar tersebut korban tidur satu kamar dengan terdakwa dan yang tinggal dalam
rumah tersebut selain terdakwa bersama korban juga tinggal saksi Agustay Handa
May karena bekerja di rumah terdakwa dengan tugas- tugas membersihkan rumah,
memberikan makan ayam dan anjing peliharaan terdakwa, selain itu juga tinggal
Susiani dan Rahmad Handono kost di rumah terdakwa tersebut.2
Pada tanggal 15 Mei 2015 terdakwa telah memukul korban sehingga kedua
telinga dan hidung korban mengeluarkan darah, dan untuk menutupi perbuatan
terdakwa dengan semua akibat hukumnya terdakwa merencanakan untuk
menghilangkan nyawa korban yaitu pada 16 Mei 2015 bertempat di kamar terdakwa
dan juga kamar korban sekitar pukul 12.30 Wita, terdakwa telah memukul korban
dengan tangan kosong berkali kali-kearah wajah dan juga menjambak rambut
korban dan membenturkan kepala korban ke tembok sehingga korban Engeline
menangis dan berkata “MAMA CUKUP MA LEPAS MA” dan terakhir saksi
Agustay Handa May hanya mendengar “MAMA MAMA”.
Selanjutnya saksi Agustay Handa May membuka pintu kamar terdakwa dan
melihat terdakwa sedang memegang rambut korban dengan kedua tangannya
dengan keras dengan posisi tubuh korban miring menghadap ke tempat tidur,
kakinya menyentuh lantai, tangan kirinya tergulai lemas ke lantai akan tetapi posisi
kepalanya setinggi tempat tidur, selanjutnya terdakwa membanting kepala korban
ke lantai sehingga korban jatuh di lantai dengan kepala bagian belakang membentur
lantai, setelah itu korban tergulai lemas di lantai, selanjutnya saksi Agustay Handa
May dengan posisi berjongkok mengangkat bagian leher korban dengan tangan
kirinya sambil bertanya kepada terdakwa “BUK ALASAN APA IBU MEMUKULI
ENGELINE SEPERTI INI”, namun tiba-tiba terdakwa dengan menggunakan
1 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps, h. 6. 2 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps, h. 7.
45
tangan kirinya memegang tangan kanan saksi Agustay Handa May, sehingga saksi
Agustay Handa May meletakkan korban di lantai dengan kondisi korban saat itu
tidak berdaya lagi, matanya terbuka tetapi tidak bergerak, hanya jari tengah dan jari
manis tangan kiri korban saja yang bergerak lalu saksi Agustay Handa May berdiri.
Saat saksi Agustay Handa May berdiri terdakwa mendekatkan mukanya ke saksi
Agustay Handa May sambil berbisik “TOLONG KAMU JANGAN KASIH TAU
SIAPA-SIAPA KALAU AKU MEMUKUL ENGELINE, DAN TOLONG KAMU
JANGAN SAMPAI BUKA RAHASIA INI KALAU KAMU TIDAK BUKA
RAHASIA INI SAYA KASIH KAMU UANG RP. 200.000.000,- TANGGAL 24
AKU KASIH UANGNYA, LANGSUNG KAMU PULANG KE SUMBA DAN
JANGAN PERNAH KEMBALI-KEMBALI LAGI.
Setelah terdakwa membisikkan kata-kata tersebut di telinga saksi Agustay
Handa May, lalu terdakwa meminta saksi Agustay Handa May mengambil sprei
yang berada di kamar saksi Agustay Handa May dengan mengatakan “KAMU
AMBIL DULU KAIN SPREI YANG ADA DIKAMARMU” kemudian saksi
Agustay Handa May mengambil kain sprei dan membawanya ke kamar terdakwa.
Sesampainya di kamar terdakwa, selanjutnya terdakwa meminta saksi
Agustay Handa May membuka kain sprei tersebut kemudian terdakwa memegang
ujung kain sprei yang masih saksi Agustay Handa May pegang, kemudian terdakwa
meminta saksi Agustay Handa May untuk meletakkan korban di atas kain sprei
saksi Agustay Handa May mengangkat korban dengan tangan kiri di bawah kepala
korban dan tangan kanan di bawah badannya, setelah itu saksi Agustay Handa May
meletakkan badan korban di atas sprei dengan posisi tidur miring, kemudian
terdakwa menekukkan kedua kaki korban kearah dada. Selanjutnya terdakwa
mengatakan kepada saksi Agustay Handa May untuk mengambil tali yang berada
di bawah lemari korban , lalu saksi Agustay Handa May berjalan ke pintu belakang
dan ada lemari persis di depan pintu menghadap keluar
Saat tali tersebut diserahkan kepada terdakwa, selanjutnya terdakwa
mengatakan “PINJEM PISAUMU” dan saksi Agustay Handa May menjawab “YA
BU”, kemudian saksi Agustay Handa May keluar lagi lewat pintu kamar dan
46
mengambil sebilah pisau pegangan kayu ada lakban hitamnya ditempat cuci tangan,
selanjutnya terdakwa menggunakan pisau tersebut untuk memotong tali warna
coklat sedangkan tali warna biru dipotong sekitar ± 1 meter dengan menggunakan
korek api gas (warna kuning) kemudian ujung-ujungnya dibakar dengan
menggunakan korek gas.3
Bahwa kemudian terdakwa meminta saksi Agustay Handa May mengikatkan
tali tersebut di leher korban, selanjutnya saksi Tay Handa May melilitkan tali
tersebut di leher korban dengan cara tali biru digabung dengan tali warna coklat,
setelah gabungan tali tersebut menjadi satu dan panjang lalu saksi Agustay Handa
May melilitkan tali tersebut di leher korban sebanyak 2 (dua) kali.
Kemudian terdakwa meminta saksi Agustay Handa May untuk mengambil
boneka yang ada di laci lemari korban setelah itu saksi Agustay Handa May keluar
kamar terdakwa dan membuka lemari dengan kedua tangan dan mengambil boneka
Barbie rambut warna putih dilaci nomor 2 (dua), lalu membawanya ke kamar
terdakwa dan menyerahkannya kepada terdakwa, selanjutnya terdakwa meletakkan
boneka tersebut di atas dada korban. Kemudian terdakwa menginjak kaki kanan
korban.
Bahwa kemudian terdakwa meminta saksi Agustay Handa May untuk
membuka baju yang dikenakannya untuk diletakkan diatas badan korban,
selanjutnya saksi Agustay Handa May membuka baju yang dipakainya tersebut dan
diletakkan di atas tubuh korban. Selanjutnya terdakwa meminta saksi Agustay
Handa May membuka celana dalam yang dipakai korban lalu terdakwa dengan
memegang tangan kanan saksi Agustay Handa May menarik celana dalam yang
dipakai korban sampai celananya lepas.
Selanjutnya terdakwa meminta saksi Agustay Handa May untuk memperkosa
korban namun saksi Agustay Handa May tidak melakukannya dan berlari keluar
kekamarnya sendiri. Setelah dikamarnya saksi Agustay Handa May mencuci tangan
dikamar mandi kemudian mengganti celana yang dipakainya yaitu celana Jeans
pendek warna hitam dan mengambil kain korden warna merah, selanjutnya saksi
3 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps, h. 9.
47
Agustay Handa May membawa celana jeans dan korden tersebut ke kamar terdakwa
lalu celana tersebut oleh saksi Agustay Handa May diletakkan di atas tubuh korban
sedangkan korden warna merah diletakkan dibawah punggung korban dengan
posisi memanjang.
Kemudian terdakwa menanyakan rokok kepada saksi Agustay Handa May
dan setelah dijawab “ada” selanjutnya terdakwa meminta saksi Agustay Handa May
untuk membakar rokok tersebut dan setelah rokok terbakar terdakwa meminta saksi
Agustay Handa May untuk menyulutkan rokok yang sudah terbakar tersebut ke
bagian tubuh korban, namun saksi Agustay Handa May membuang rokok tersebut,
selanjutnya terdakwa mengambil rokok yang sudah terbakar tersebut dan
menyulutkannya ke bagian tubuh korban, selanjutnya terdakwa meminta saksi
Agustay Handa May untuk membungkus semua tubuh korban dan saksi Agustay
Handa May langsung membungkus tubuh korban dengan cara mengikat ujung sprei
dengan posisi silang.
Kemudian terdakwa meminta saksi Agustay Handa May menggali lubang
yang sudah ada di dekat kandang ayam yang baru dibuat oleh saksi Agustay Handa
May, lalu saksi Agustay Handa May langsung menuju kebelakang pekarangan
rumah terdakwa, kemudian dengan menggunakan cangkul menggali lubang yang
sudah ada kira–kira sedalam lutut saksi Agustay Handa May.
Bahwa pada saat saksi Agustay Handa May hendak selesai membuat lubang,
terdakwa memanggil saksi Agustay Handa May “GUS KOK KAMU LAMA
SEKALI” dan saksi Agustay Handa May jawab “SABAR BU”, kemudian terdakwa
kembali masuk ke kamar lewat pintu depan kamarnya dan saksi Agustay Handa
May masuk lewat pintu belakang (pintu geser), dan sesampainya saksi Agustay
Handa May di kamar terdakwa kemudian terdakwa meminta saksi Agustay Handa
May untuk membawa bungkusan tubuh korban ke belakang lewat pintu belakang
(pintu geser) sedangkan terdakwa keluar lewat pintu depan, dan sesampainya
terdakwa dan saksi Agustay Handa May dengan membawa tubuh korban di dekat
lubang lalu saksi Agustay Handa May meletakkan bungkusan yang berisi tubuh
korban di sebelah lubang, kemudian saksi Agustay Handa May langsung
48
memasukkan bungkusan yang berisi tubuh korban ke dalam lubang yang sudah
tersedia tersebut.
Kemudian terdakwa meminta saksi Agustay Handa May untuk mengubur
bungkusan yang berisi tubuh korban tersebut dan saksi Agustay Handa May
langsung menutup lubang itu dengan menggunakan cangkul menggaruk tanah di
pinggiran lubang menutupnya tidak sampai datar, setelah itu terdakwa meminta
saksi Agustay Handa May untuk mengambil bambu-bambu sisa membuat kandang
ayam, kemudian saksi Agustay Handa May mengambil sisa–sisa bambu di dekat
kandang dan meletakkannya di atas tanah tempat mengubur korban ENGELINE.
Selain itu terdakwa juga meminta saksi Agustay Handa May untuk mengambil
keranjang warna merah dekat tempat mencuci botol, kemudian saksi Agustay
Handa May pergi mengambil keranjang tersebut, setelah itu terdakwa memintanya
untuk meletakkan keranjang tersebut di sebelah bambu-bambu yang sudah saksi
Agustay Handa May taruh sebelumnya.
Kemudian terdakwa pergi mengambil makanan ayam lalu melemparkannya
ke atas tempat kuburan korban katanya “BIAR TIDAK KETAHUAN KALAU
DISINI ADA BEKAS GALIAN”, dan saksi Agustay Handa May pergi
meninggalkan tempat tersebut menuju ke kamarnya sendiri. Dan saat saksi Agustay
Handa May di kamarnya sendiri, terdakwa memanggil saksi Agustay Handa May
dan mengatakan “KALAU BU SUSIANI DAN PAK HANDONO PULANG
KAMU PURA-PURA TANYAIN TENTANG KEBERADAAN ENGELINE
DAN SAYA NANTI KELUAR PURA-PURA NANYA KE TETANGGA”.4
2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa
Berdasarkan surat dakwaan Penuntut Umum, Bahwa terdakwa telah didakwa
oleh penuntut umum dengan dakwaan yakni:
Bahwa Jaksa Penuntut Umum dengan susunan dakwaan gabungan antara
Kumulatif dengan Subsidiaritas, sehingga dengan susunan dakwaan yang demikian
tersebut, maka Majelis Hakim berkewajiban mempertimbangkan seluruh dakwaan
4 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps, h. 12.
49
kumulatif dan dengan mempertimbangkan dakwaan Primair terlebih dahulu yang
sebelum mempertimbangkan dakwaan subsidair dan selanjutnya, bila mana
dakwaan Primair telah terbukti maka dakwaan selanjutnya tidak perlu
dipertmbangkan lagi.
Menimbang, bahwa dalam dakwaan Kumulatif Kesatu yang dikombinasikan
dengan dakwaan Subsidiaritas, Terdakwa telah didakwa melakukan perbuatan:
a. Dakwaan Primair melanggar pasal 340 KUHP
b. Dakwaan Subsidair melanggar pasal 338 KUHP
c. Dakwaan Lebih Subsidair melanggar pasal 76 C jo pasal 80 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dalam dakwaan
Kumulatif Kedua, Ketiga dan Keempat, terdakwa telah didakwa melakukan
perbuatan.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, Jaksa Penuntut
Umum cukup alasan untuk menolak seluruh materi pembelaan baik yang
diajukan oleh Terdakwa maupun Penasehat Hukumnya, oleh karena itu
semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum, baik dakwaan Kumulatif Kesatu
Primair, dakwaan Kumulatif Kedua, dakwaan Kumulatif Ketiga dan dakwaan
Kumulatif Keempat, telah terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
Terdakwa untuk itu haruslah dinyatakan bersalah atas perbuatan yang
dilakukannya:
1) Bahwa selama pemeriksaan persidangan, Majelis tidak menemukan hal-
hal pada diri Terdakwa yang dapat dijadikan sebagai alasan pembenar
maupun alasan pemaaf yang dapat menghilangkan sifat melawan hukum
dari perbuatan yang dilakukannya, sehingga Terdakwa tersebut tetap dapat
dipertanggungjawabkan atas kesalahannya dan sudah sepantasnya untuk
dijatuhi pidana.
Sebelum menjatuhkan pidana akan di pertimbangkan terlebih dahulu
hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan bagi Terdakwa :
50
a) Yang memberatkan
- Perbuatan Terdakwa terhadap korban yang notabene anak angkatnya
termasuk perbuatan yang sangat keji.
- Perbuatan Terdakwa telah memutus harapan orang tua kandung
korban untuk menjadikan kehidupan korban lebih baik dikemudian
hari.
- Perbuatan Terdakwa telah memutus harapan bangsa ini untuk
menjadikan korban sebagai salah satu sumber daya dalam
membangun Negara Republik Indonesia ini untuk lebih baik di masa
mendatang.
- Terdakwa tidak mau mengakui perbuatannya.
b) Yang meringankan :
- Tidak ada ;
2) Berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan tesebut di
atas, dalam menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa tidak saja
mengedepankan pertimbangan dari sisi yuridis formalnya, akan tetapi
secara komprehensif Majelis juga harus mengedepankan pertimbangan
dari sisi sosiologis dan filosofisnya, sehingga lamanya pidana yang
dijatuhkan terhadap diri Terdakwa sebagaimana dalam amar putusan
Majelis sudah dipandang adil dan setimpal dengan kesalahan Terdakwa
dan diharapkan dapat memberikan efek jera dan pembelajaran bagi
masyarakat lainnya.
B. Putusan Hakim Mahkamah Agung
Pada perkara ini, setelah mendengar pembacaan surat dakwaan, keterangan
saksi-saksi dan terdakwa, setelah melihat dan meneliti barang bukti yang diajukan
dalam persidangan oleh penuntut umum dipengadilan tingkat pertama yaitu
Pengadilan Negri Denpasar telah memutuskan dengan putusan Mahkamah Agung
Nomor 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps yang berbunyi sebagaimana termuat dalam
amar putusan:
51
1. Menyatakan Terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan
Berencana, Melakukan Eksploitasi Terhadap Anak, Menelantarkan Anak dan
Perlakuan Diskriminasi Terhadap Anak”.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely
oleh karena itu dengan pidana penjara selama seumur hidup.
3. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
4. Menetapkan barang-barang bukti berupa:
a. 1 (satu) lembar formulir surat pendaftaran murid baru SD Negeri 12 Sanur
tahun ajaran 2013 /2014 atas nama Engeline Margriet Megawe yang ditanda
tangani oleh Kepala Sekolah SD Negeri 12 Sanur atas nama Ketut Ruta Spd.
b. 1 (satu) exemplar foto copy salinan pengakuan pengangkatan anak No. 18
tanggal 24 Mei 2007 yang sudah dilegalisir yang dikeluarkan oleh notaris
Anneke Wibowo, SH
c. 1 (satu) buah ember warna merah tanpa pegangan , dengan ukuran diameter
35 cm dan tinggi 30 cm, yang digunakan Engeline untuk mengangkut dan
memberi ayam makan.
d. 1 (satu) buah gayung warna biru ada pegangan,dengan ukuran diameter 14cm
dan tinggi 13cm, yang digunakan korban Engeline untuk mengambil
makanan ayam dari karung ke ember kemudian diambil makanan ayam dari
ember ketempat makanan ayam dikandang.
Dirampas untuk dimusnahkan:
1) 1 (satu) sprei warna putih ukuran 120 X 200.
2) 1 (satu) daster anak tanpa krah warna putih motif bola bola biru.
3) 1 (satu) boneka Barbie.
4) 1 (satu) celana dalam anak warna orange.
5) 1 (satu) kain korden warna merah motif batik.
5. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu
rupiah).5
5 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 863 / Pid. B/ 2015 / PN. Dps, h. 439.
52
C. Analisis Putusan Mahkamah Agung Perspektif Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam
1. Perspektif Hukum Pidana Positif
Berdasarkan fakta yang telah terungkap dipersidangan, maka dapatlah
dianalisis bahwa kejadian pembunuhan terhadap Engeline Margriet Megawe dapat
dikategorikan kepada tindak pidana pembunuhan berencana dengan kesengajaan
merampas nyawa orang lain.
Sedangkan pembunuhan berencana menurut kitab undang-undang hukum
pidana (KUHP) diatur dalam pasal 340 KUHP yang berbunyi: “barang siapa dengan
sengaja dan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, dipidana
karena pembunuhan yang direncanakan (moord) dengan pidana mati, atau penjara
seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun”.6 Pembunuhan berencana yaitu
kejahatan merampas nyawa manusia lain atau membunuh, setelah dilakukan
perencanaan mengenai waktu atau metode dengan tujuan memastikan pembunuhan
untuk menghindari penangkapan.7
Adapun unsur-unsur terdakwa yang didakwa melakukan perbuatan
melanggar Pasal 340 KUHP dengan unsur sebagai berikut:
a. Unsur "Barang Siapa"
Yang dimaksud dengan “Barang Siapa” adalah setiap orang yang dapat
dipandang sebagai subyek hukum, yang dalam kondisi sehat jasmani dan
rohani, orang tersebut memiliki kecakapan dan kemampuan untuk bertindak
serta bertanggungjawab dihadapan hukum, Terdakwa Margriet Christina
Megawe alias Tely yang dihadapkan ke depan persidangan oleh Penuntut
Umum, dari awal persidangan selalu menyatakan dirinya sehat dan pula
diawal persidangan dapat dengan jelas menerangkan identitas dirinya.
6 Lihat pasal 340 KUHP. 7 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 82.
53
b. Unsur “Dengan Sengaja”
Untuk menentukan adanya suatu “kesalahan”dalam suatu tindak pidana
termasuk dalam perkara pembunuhan, diisyaratkan adanya suatu unsur
“dengan sengaja” (opzetelijke) yaitu harus ada hubungan antara sikap batin
pelaku (Mens rea) dengan wujud perbuatan maupun akibatnya (Actus reus).
Bahwa selanjutnya dalam buku Memory Van Toelighting (MvT) dijelaskan
bahwa pidana tersebut dijatuhkan hendaknya kepada barang siapa melakukan
perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui
Teori Kehendak (Wilstheorie) dikemukakan oleh Von Hippel, antara
lain menyatakan bahwa kesengajaan adalah kehendak membuat suatu
tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu, akibat
dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut.
Dalam kasus ini tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa
merupakan tindakan kesengajaan melakukan pembunuhan dalam keadaan
sadar dan tidak dalam keadaan dibawah tekanan.
c. Unsur “Dengan Rencana Terlebih Dahulu”
Pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam pasal KUHP pada
pokoknya adalah pembunuhan dalam arti pasal 338 KUHP ditambah dengan
adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu, sehingga oleh karenanya pula
ancaman dalam pasal pembunuhan berencana lebih berat dari pembunuhan
dalam arti pasal 338 KUHP.
Adanya “perencanaan terlebih dahulu” dalam suatu tindak pidana dapat
dimaknai sebagai suatu sikap sipelaku yang memiliki waktu yang cukup
untuk berpikir antara timbulnya kehendak/niat dengan pelaksanaan
perbuatannya dengan cara bagaimana perbuatan itu akan dilakukan termasuk
memikirkan juga cara bagaimana agar kemudian orang tidak mengetahui
kalau telah terjadi suatu tindak pidana dan tidak dapat mengungkap siapa
pelaku ataupun bahkan mengarahkan agar orang lain dianggap sebagai pelaku
dari tindak pidana tersebut.
54
Dalam perencanaan masalah waktu tidaklah dapat dipastikan
batasannya, karena hal tersebut bersifat relatif, bisa panjang bisa juga pendek
tergantung kemampuan orangnya, apalagi berkaitan dengan tindak pidana
pembunuhan yang sudah tentunya harus faham bagian-bagian vital dari tubuh
manusia yang secara singkat dapat mewujudkan niatnya tersebut, atau bahkan
dalam waktu yang relatif tersebut ada waktu bagi pelaku untuk
mengurungkan kehendaknya. Untuk terdakwa tindakan pembunuhan yang
dilakukan merupakan pembunuhan berencana.
d. Unsur “Merampas Nyawa Orang Lain”
Fakta sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan unsur ke 2 dan
unsur ke 3 tersebut di atas yang berkaitan dengan awal tanggal 16 Mei 2015
diberitakan oleh Terdakwa hilangnya korban ENGELINE MARGRIET
MEGAWE, sedangkan faktanya korban ditemukan sudah menjadi mayat
terkubur di belakang kandang ayam di rumah tempat tinggal Terdakwa.
Bahwa adanya fakta yang bertolak belakang antara yang diberitakan
Terdakwa dengan kejadian yang sesungguhnya, maka dalam kaitan dengan
perkara aquo, Terdakwa telah melakukan pembohongan publik dan
memanipulasi keadaan, sehingga fakta tentang kondisi kepribadian dan
kejiwaan Terdakwa yang demikian tersebut sangatlah tepat dan tidak perlu
diragukan lagi untuk digolongkan sebagai cerminan sosok yang bercirikan
sering berbohong, memanipulatif dan curang, sebagaimana hasil pemeriksaan
yang dilakukan ahli psikologi forensik dr. Lely Setyawati, Sp. Kj, terhadap
diri Terdakwa. Bahwa benar menurut keterangan ahli polygraph untuk
pemeriksaan berikutnya Terdakwa menolak untuk diperiksa lagi. Bahwa
benar seseorang yang menolak diperiksa dengan Lie Detector karena dia
membela diri atau takut akan sesuatu.
Jadi, dapat dikatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa adalah
tindak pidana pembunuhan dengan kesengajaan, bukan itu saja terdakwa juga
secara berbarengan melakukan tindak pidana eksploitasi ekonomi, dan kekerasan/
penganiayaan terhadap anak.
55
Dengan adanya tiga tindak pidana yang berbarengan yang belum mempunyai
putusan akhir atau perbarengan melakukan tindak pidana dengan beberapa
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.8 Maka tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa adalah tindak pidana perbarengan (concursus), Walaupun dalam surat
putusan tersebut tidak menerangkan dan mencantumkan dasar-dasar hukum lainnya
yang menguatkan posisi tindak pidana perbarengan (concursus), tetapi kasus
tersebut masuk kedalam tindak pidana perbarengan. Oleh sebab itu, pasal yang tepat
dalam menjelaskan dan menjadi pertimbangan adalah Pasal 63 dan 64 KUHP
tentang perbarengan peraturan (Concursus Idealis) yang menjadi landasan penulis
untuk menganalisis kasus tersebut.
Dalam menentukan dasar hukum terdakwa Margriet Christina Megawe alias
Tely, penulis lebih fokus kepada pasal 63 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka
hanya salah satu diantara aturan itu yang dipakai, jika pidana berlain maka yang
dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.9
Dalam bentuk perbarengan peraturan (Concursus Idealis) untuk Sistem
pemberian pidana yang dipakai adalah sistem Asorbsi Stelsel.10 Adapun yang
dimaksud dengan Sistem Absorbsi Stelsel dalam sistem penjatuhan pidana ialah
pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan.11
Atas dasar pemaparan diatas penulis mendapatkan kesimpulan dalam kasus
tindak pidana perbarengan (Concursus) yang dilakukan oleh terdakwa Margriet
Christina Megawe alias Tely sesuai dengan putusan Pengadilan Negri Denpasar
Nomor 863 / Pid. B/ 2015 / PN yang menjatuhkan hukuman seumur hidup.
Sesuai dengan pasal yang dilanggar oleh terdakwa sebagai berikut
Memperhatikan ketentuan pasal 340 KUHP, pasal 76 I jo pasal 88 Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak , pasal 76 B jo pasal 77 B Undang-Undang Nomor
8 Mas’ad Ma’shum, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 122. 9 Lihat pasal 63 KUHP. 10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, h. 179. 11 Mas’ad Ma’shum, Hukum Pidana I, h., 124.
56
35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, pasal 76 A huruf a jo pasal 77 Undang-Undang Nomor
35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.12
Terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely melanggar pasal
pembunuhan berencana, pasal eksploitasi ekonomi kepada anak dibawah umur, dan
pasal kekerasan terhadap anak. Dalam semua pasal tersebut hukuman terberat ialah
hukuman pasal 340 KUHP yaitu pembunuhan berencana yaitu hukumannya dengan
pidana mati, atau penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun”. Maka
sesuai dengan dasar hukum Concursus Idealis maka hukuman yang diterapkan
kepada terdakwa adalah hukuman seumur hidup sedangkan hukuman yang lainnya
menjadi gugur.
1. Perspektif Hukum Pidana Islam
Dalam hukum Islam, semua tindak pidana yang menyangkut nyawa manusia
harus dipertanggung jawabkan, sesuai dengan perbuatannya baik tindak pidana itu
dilakukan dengan sengaja (Al-a’md) ataupun dengan tidak sengaja (Al-khata).13
Sementara itu, jika dikaitkan dengan materi pembahasan, dalam objek utama
kajian fiqh jinyah meliputi tiga masalah pokok yakni: Jarimah Qisas, Jarimah
hudud, Jarimah ta’zir.14 Adapun Jarimah Qisas terdiri atas jarimah pembunuhan
dan dalam putusan perkara pidana yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI
Nomor penganiayaan. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps, dalam putusan tersebut
terdakwa terdapat melakukan suatu tindak pidana dalam bentuk jamak dalam satu
kasus tindak pidana atau dalam hukum Islam disebut dengan dengan istilah
ta’adudul ‘uqubat (berbilangnya hukuman) dan al-ijtimaul ‘uqubah (terkumpulnya
beberapa hukuman). Untuk menentukan apakah unsur-unsur tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, maka dalam objek utama kajian fiqh jinayah tindak
pidana dapat dibedakan atas tiga bagian, yakni:
Pertama: Al-rukn al-syar’i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan
bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang
yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.15
12 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 863 / Pid. B/ 2015 / PN. Dps, h. 436. 13 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 210. 14 M. Nurul irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, h., 3. 15 M. Nurul irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, h., 2.
57
Dalam unsur-unsur Al-rukn al-syar’i tersebut terdakwa Margriet Christina
Megawe alias Tely telah terbukti melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana, pasal 76 I jo pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yaitu terdakwa melakukan tindakan Eksploitasi Terhadap Anak, Menelantarkan
Anak dan Perlakuan Diskriminasi Terhadap Anak.
Didalam Alquran juga telah menjelaskan melarang melakukan pembunuhan
apalagi melakukan tindakan pembunuhan terhadap anak seperti yang dijelaskan
dalam Q.s. Al-an’am (5): 140:
زق هم الله افتآء على الله قد ضلوا sقد خسر الذين ق ت لوا أولادهم سفها بغي علم وحرموا مار وماكانوا مهتدين
Artinya: Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka
karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa
yang Allah telah rezkikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-
adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka
mendapat petunjuk.
Di dalam Q.s. An-nisa’ (4): 93: juga menjelaskan dilarangnya melakukan
pembunuhan dengan sengaja, adapun bunyi ayatnya sebagai berikut:
دا فجزآؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذاب ومن ي قتل مؤمنا مت عم عظيما
Artinya: Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Pembubuhan juga di jelaskan dalam Q.s. Al-isra’ (17): 33:
ان فلايسرف ولات قت لوا الن فس الت حرم الله إلا بلق ومن قتل مظلوما ف قد جعلنا لولي ه سلط
ف القتل إنه كان منصورا
58
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan".
Dengan adanya beberapa ayat diatas tentang larangan melakukan
pembunuhan tersebut, dengan demikian ada Nash yang secara tegas melarang bagi
umat manusia untuk melakukan pembunuhan kepada sesama umat manusia ataupun
bahkan kepada anak sekalipun maka balasannnya ialah Neraka jahannam, kekal ia
di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya.
Kedua, al-rukn al madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan
bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan
sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu) maupun
yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu).16
Dalam unsur-unsur al-rukn al madi tersebut, menyatakan seseorang dapat
dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah jarimah, dalam
proses pengadilan terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan
Berencana, Melakukan Eksploitasi Terhadap Anak, Menelantarkan Anak dan
Perlakuan Diskriminasi Terhadap Anak. Serta terdakwa merupakan pelaku utama
atau bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu) sehingga mengakibatkan
korban Enggeline meninggal dunia.
Disamping itu, adapun pelaku terdakwa yang bersifat negatif (pasif
melakukan sesuatu) atau dalam hukum pidana disebut dengan Penyertaan
(Delneming)17 yakni Agustay Handa May hanya membantu melakukan tindak
pidana tersebut dan dijanjikan akan mendapatkan uang sebesar Rp. 200.000.000,00.
Ketiga, al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan
bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur
atau sedang berada di bawah ancaman.18
16 Ibid, h. 2. 17 Delneming adalah berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang lain
melakukan tindak pidana. lihat Asas-asas Hukum Pidana Wijono Prodjodikoro, h. 108. 18 M. Nurul irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, h., 3.
59
Dalam unsur-unsur al-rukn al-adabi, Didalam putusan Mahkamah Agung
tersebut bahwa terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely dalam surat
dakwaan Jaksa Penuntut Umum bahwa terdakwa termasuk orang yang sudah
dewasa, tidak gila, dan tidak dibawah ancaman dalam melakukan perbuatan
tersebut.19
Dari unsur-unsur jarimah dalam hukum Islam terdakwa Margriet Christina
Megawe alias Tely telah memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana tersebut,
bahwasanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
untuk itu terdakwa haruslah dinyatakan bersalah atas perbuatan yang dilakukannya
dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut.
Setelah semua unsur-unsur terpenuhi, maka penulis menyimpulkan
bahwasanya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa merupakan
perbarengan/gabungan tindak pidana yang dilakukan dalam satu waktu dan belum
mendapatkan akhir seperti yang dijelaskan oleh Abdul Qadir Audah dan A. Hanafi,
yaitu:
Gabungan jarimah dikatakan ada ketika seseorang melakukan beberapa
macam jarimah yang berbeda dimana dari masing-masing perbuatan tersebut belum
mendapatkan putusan akhir dari seorang hakim.20 Sama halnya dengan pendapat
yang diberikan oleh A. Hanafi, yaitu: Seseorang yang memperbuat beberapa
macam jarimah dimana masing-masingnya belum mendapatkan putusan akhir.21
Terdapat tiga tindak pidana yang dilakukan secara berbarengan oleh
terdakwa Margriet Christina Megawe alias Tely, dalam hemat penulis untuk
penjatuhan hukuman terhadap terdakwa dalam perspektif hukum Islam masuk
kedalam Teori Penyerapan ( ن زارية الجب), Yang dimaksud dengan teori penyerapan
ialah menjatuhkan satu hukuman yang mengakibatkan hukuman-hukuman yang
lain tidak dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, hukuman tersebut tidak lain adalah
19 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 863 / Pid. B/ 2015 / PN. Dps, h.1. 20 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri al-Jina’i al-Islamy, h., 744. 21 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Cet. ke-2) h.
326.
60
hukuman mati, dimana pelaksanaan hukuman tersebut dengan sendirinya menyerap
hukuman-hukuman lain.22
Adapun Para Ulama berpendapat dalam memberikan hukuman dalam teori
penyerapan ini sebagai berikut:
Imam Malik berpendapat bahwa setiap hukuman hudud yang berkumpul
dengan hukuman mati sebagai hak allah (seperti tindak pidana murtad) atau dengan
hukuman Qisas sebagai hak seseorang maka hukuman hudud tersebut tidak dapat
dilaksanakan (karena hukuman mati telah menyerap hukuman hudud tersebut)
kecuali pada tindak pidana qazaf, hukumannya telah dilaksanakan, kemudian
dibunuh.
Imam Ahmad bin Hanbal, berpendapat apabila berkumpul dua tindak pidana
hudud sebagai hak allah dan didalamnya ada hukuman mati, seperti mencuri dan
berzina muhshan, atau meminum-minuman keras dan membunuh ketika melakukan
perampokan (hirabah), maka hanya hukuman mati saja yang dilaksanakan, sedang
hukuman-hukuman lain gugur.
Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak manusia
dengan hak Allah (hak masyarakat umum), hak manusialah yang didahulukan
karena manusia membutuhkan haknya. Bila hak tersebut sudah terlaksana, hak
Allah terhapus karena kondisi darurat. Jika hak Allah masih bisa dilaksanakan dan
hak Allah ini lebih dari satu, satu hak (hukuman) saja yang dijatuhkan, yaitu hak
yang dapat menggugurkan hak hukuman yang lain. Jika seseorang membunuh lalu
berzina gair muhsan lalu meminum- minuman keras, dia hanya dijatuhi hukuman
mati sebagai hukuman Qisas, sedangkan hukuman zina dan meminum minuman
menjadi gugur.
Menurut Imam asy-Syafi’i tidak mengakui adanya teori penyerapan.
Menurutnya, semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi
(tadakhul). Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman hak manusia yang bukan
hukuman mati, kemudian hak Allah (hak masyarakat). Contohnya, apabila pada diri
seseorang laki-laki berkumpul beberapa hukuman had, seperti had zina ghair
22 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 144.
61
muhsan, had qazaf, had pencurian had gangguan keamanan dengan membunuh,
serta hukuman Qisas karena membunuh, urutan penjatuhan hukuman-hukuman
tersebut: had qazaf (delapan puluh dera), kemudian ditahan (dikurung) sampai
sembuh untuk kemudian dijatuhi had zina (seratus dera), kemudian ditahan lagi
sampai sembuh untuk kemudian dipotong tangannya karena pencurian, terkakhir
dijatuhi hukuman mati sebagai hukuman atas gangguan keamanan. Kalau pelaku
mati saat menjalani hukuman-hukuman yang sebelumnya hapuslah hukuman-
hukuman berikutnya.23
Jadi, kesimpulannya untuk terpidana Margriet Christina Megawe alias Tely
dalam hukum Islam di jatuhi hukuman Qisas atau hukuman mati sedangkan
hukuman yang lai-lainnya gugur. Sesuai dengan penjelasan Q.s. Al-Baqarah (2):
178:
لى الر بلر والعبد يأي ها الذين ءامنوا كتب عليكم القصاص ف بلعبد والأنثى بلأنثى القت فات باع بلمعر م ن رب كم فيوف وأداء إليه بإحسان ذلك تخ فمن عفي له من أخيه شيء ف
ورحة فمن اعتدى ب عد ذلك ف له عذاب أليم Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
(pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa
yang sangat pedih.
Hukuman Qisas atau hukuman mati dibahas juga dalam Q.s. Al-Maidah (5):
45:
نا عليهم فيهآأن الن فس بلن فس وال ذن بلأذن والس ن عي بلعي والأنف بلأنف والأ وكت ب فمن تصدق به ف هو ك له ومن لم يحكم بمآأ بلس ن والجروح قصاص فأولائك نزل الله فارة
هم الظالمون
23 Abdul Qadir Audah, Ensklopedia Hukum Pidana Islam, h., 146.
62
Artinya: Dan Kami telah menetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-
Taurat) bahwasannya nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
(pun) ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak Qisas) nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebgai berikut:
1. Dalam Perspektif hukum positif, Perbarengan tindak pidana merupakan
perbuatan pidana yang sangat merugikan kepentingan hukum, dimana pelakunya
harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya melakukan satu tindak pidana.
Perbarengan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam pasal 63 sampai
dengan pasal 71 KUHP. Dalam penjatuhan hukuman kepada terdakwa termasuk
kedalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yang bentuk tindak pidana perbarenganya
adalah perbarengan peraturan (Concursus Idealis) untuk Sistem pemberian
pidana yang dipakai adalah sistem Asorbsi Stelsel yaitu sistem penjatuhan pidana
yang terberat diantara beberapa pidana yang diancamkan. Maka, hukuman untuk
terdakwa yang melakukan tindak pidana perbarengan (concursus) dan tindak
pidana yang dilakukannya terdiri dari pembunuhan berencana yang disertai
dengan eksploitasi ekonomi, dan kekerasan terhadap anak yang hukumannya
penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.
2. Dalam Perspektif hukum Islam, semua tindak pidana yang menyangkut nyawa
manusia harus dipertanggung jawabkan, sesuai dengan perbuatannya baik tindak
pidana itu dilakukan dengan sengaja (Al-a’md) ataupun dengan tidak sengaja
(Al-khata). Dalam Gabungan jarimah dikatakan ada ketika seseorang melakukan
beberapa macam jarimah yang berbeda-beda dimana dari masing-masing
perbuatan tersebut belum mendapatkan putusan akhir dari Majlis Hakim. Untuk
penjatuhan hukuman terhadap terdakwa dalam perspektif hukum Islam masuk
kedalam Teori Penyerapan ( نزارية الجب) yaitu satu hukuman yang mengakibatkan
hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, terhadap
sanksi Putusan Mahkamah Agung RI No. 863 / Pid. B / 2015 / PN. Dps yang
terkait dengan tindak pidana perbarengan (concursus), dan hukuman kepada
terpidana dalam hukum Islam di jatuhi hukuman Qisas atau hukuman mati
sedangkan hukuman yang lain-lainnya gugur, hukuman Qisas bagi yang
64
melakukan pembunuhan juga dijelaskan dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 178 dan
Q.s. Al-Maidah (5): 45.
B. Saran
1. Dalam kasus pembunuhan ibu terhadap anak angkat di Denpasar ini dapat
menjadi suatu pelajaran buat semua kalangan masyarakat, terutama buat seorang
ibu yang memperlakukan anak secara diskrimanatif terhadap anak hingga
mengakibatkan kematian, yang mana seharusnya untuk seorang anak yang masih
dibawah umur tidak layak diperlakukan seperti itu. Tetapi, seorang anak
haruslah dibimbing dan diperlakukan sebaik-baik mungkin sebagai mana anak
yang memiliki hak dan mendapatkan kewajiban yang semestinya dari orang
tuanya.
2. Orang tua harus menjadi sahabat buat anaknya, dengan demikian anak merasa
bebas bercerita apa saja dan orang tua juga harus bisa menjaga kontrol emosinya
karna anak hanya akan menjadi korban akibat kontrol emosi orang tua yang tidak
terkontrol.
3. Sebaiknya dari pihak yang terkait atau pemerintah dalam hal ini Departemen
Sosial dapat mensosialisasikan dan mengajak kepada setiap masyakarat ataupun
keluarga untuk selalu membimbing dan memperlakukan anak sebaik-baik
mungkin dan dijauhkan dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga, agar
kejadian-kejadian seperti Almarhumm Angeline tidak terulang kembali.
65
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim.
Ali, Mahsur, Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Abidin, Zaenal, dkk, Hukum Pidana. (Penerbitan Bersama Prapantja Jakarta dan
Taufiq makasar)
Audah, Abdul Qadir, Ensklopedia Hukum Pidana Islam. Bogor: Kharisma ilmu,
2011.
Abu Zahrah, Muh al_uquubah: al-Jarimah wa al Uqubah fi al Fiqh al Islam,
Beirut: Dar al Fikr, t.t..
Al-Zuhaili, Wahbah, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, t.t., Jilid
IV
Abdullah, Abi Muhammad bin Ahmad bin Muh. Ibn Qudamah, Al Mughni, Riyad:
Maktabah al Riyadi al Haditsah, t.t
Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002.
Gunawan, Imam, Metode Penelitian kualitatif teori dan praktik. Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.
Hanafi, A, Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005.
Hamzah, Andi, Terminologi hukum pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
-----------, KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Irfan, Muhammad Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013.
Irfan, Muhammad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah, 2016.
Lamintang, P.A,F dan Theo Lamintang, Kejahatan terhadap nyawa, tubuh, &
kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam. Jakarta: CV. Amelia, 1980.
66
Ma’shum Mas’ad, Hukum Pidana I. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Kalijaga, 1989.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1987.
Soesilo, R, KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.
Bogor: Polikeia, 1981.
Saebani, Beni Ahmad, Metode Penelitian Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1981.
Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta,
1999.
Soesilo, R, KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.
Bogor: Polikeia, 1981.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Utrecht, E, Hukum Pidana II. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994
Wadong, Maulana Hasan, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak.
Jakarta: Gramedia Widiaksara Indonesia, 2006.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 863 / Pid. B/ 2015 / PN. Dps.
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 jo UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak