tinjauan “euthanasia” dalam hukum … · web viewdalam hal ini terdapat apa yang disebut...

163
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi perundang- undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun juga, karena masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau Pasal yang sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Adapun Pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke- 2, Bab IX Pasal 344 KUHP. 1

Upload: danghanh

Post on 26-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena

menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi

perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap

tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun juga, karena masalah euthanasia

menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau

Pasal yang sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Adapun

Pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan selanjutnya

adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang

menyangkut jiwa manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut

peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2, Bab IX Pasal 344 KUHP.

Persoalan hak asasi manusia merupakan persoalan universal. Setiap

kejadian yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan di manapun akan bernilai

tidak baik. Memang ada di beberapa bagian di bumi ini perbedaan nuansa dalam

memandang persoalan hak asasi manusia. Sebagai contoh, sebuah suku di Irian

Jaya membunuh tawanan perang dalam kasus perang antar suku dianggap bukan

suatu penistaan terhadap kemanusiaan, sementara daerah lain penyiksaan terhadap

orang/tawanan dianggap pelanggaran besar hak asasi. Tindakan mencabut hak

hidup, merendahkan nilai dan martabat kemanusiaan merupakan satu bentuk

pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pewarnaan nilai lokal dalam pelaksanaan

1

Page 2: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

hak asasi manusia, tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan dengan

menghapus tindakan yang non manusiawi. Masyarakat yang peduli soal hak

asasi manusia (HAM), mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka hanya

berbicara dan bersetuju di antara mereka sendiri. Mereka belum berhasil

membawa pihak lain, sebagai aktor yang sangat dominan, yaitu pemerintah ke

dalam forum diskursus (discourse) atau wacana itu. Apalagi mengajaknya untuk

mencari kemungkinan konsensus mengenai HAM. Para aktifis di luar

pemerintahan dan para pemimpin pemerintahan masih berjalan sendiri-sendiri.

Masing-masing bekerja dengan definisi yang berbeda mengenai HAM, masing-

masing punya urutan-urutan prioritas sendiri mengenai apa yang harus dilakukan

dan punya patokan sendiri bagaimana mengukur keberhasilan mereka.

Hak hidup harus dilindungi oleh negara terutama negara hukum. Itulah

sebabnya negara hukum yang baik menjunjung tinggi hak asas manusia. Hak asasi

manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan. Pengakuan dan

pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya yaitu melindungi hak asasi

manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan

dijunjung tinggi.

Menyangkut jiwa manusia dalam KUHP terdapat pada Pasal 338, 339,

340, 341. Selain dapat membaca bunyi pasal-pasal itu sendiri, kita pun dapat

mengetahui bagaimana pembentuk Undang-undang memandang jiwa manusia.

Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa

pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) menganggap

jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan milik

manusia yang lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan

2

Page 3: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan

jiwa manusia, dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara. Masalah

keselamatan jiwa daripada warga negara, dilindungi oleh negara. Dalam hal ini

tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan

kepentingan individu yang dituntut. Kepentingan masyarakat, bahwa seorang

yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan

hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat, dan

kepentingan orang yang dituntut, ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga

jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman.

Pandangan dari pembentuk undang-undang Hindia Belanda masih tetap

dianut oleh pemerintah masa Orde Baru. Ini terbukti dalam KUHP, perihal

keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin dengan tanpa perubahan

sedikit. Kenyataan, sampai sekarang tanpa membedakan agama, ras, warna kulit

dan ideologi, keselamatan dan keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin oleh

undang-undang. Hal ini merupakan pencerminan daripada prinsip equality before

the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan

jiwa manusia.

3

Page 4: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

B. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penulisan Tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah atas dasar hak untuk menentukan nasib sendiri praktek euthanasia

bisa dibenarkan

2. Bagaimana keterkaitan antara etika kedokteran dan Hukum Hak Asasi

Manusia dalam kasus euthanasia ?

3. Bagaimana peran dan prospek Hukum hak asasi manusia dalam memberikan

perlindungan terhadap hak hidup pasien pada praktek euthanasia ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian Tesis ini adalah sebagai berikut

1. Menganalisa apakah dengan Hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai

salah satu hak dasar yang diakui oleh Instrumen Hak Asazi Manusia bisa

menjadi dasar pembenaran praktek euthanasia

2. Menganalisa bagaimana keterkaitan antara etika kedokteran dan Hukum Hak

Asasi Manusia dengan euthanasia.

3. Menganalisa bagaimana peran dan prospek Hukum hak asasi manusia dalam

memberikan perlindungan pada hak hidup pasien pada praktek euthanasia

4

Page 5: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

dan fraktis untuk:

1. Secara teoretis, memberikan pemahaman adanya keterkaitan erat antara

Hukum HAM khususnya menyangkut perlindungan pasien dalam praktek

euthanasia dan etika kedokteran.

2. Secara praktis, memberikan gambaran tentang pentingnya penegakkan hukum

HAM dalam konteks praktek kedokteran terutama yang menyangkut hak

mempertahankan hidup bagi pasien pada kasus euthanasia.

5

Page 6: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Terminologi Tentang Euthanasia

Euthanasia dikenal sebagai tindakan seseorang untuk mengakhiri

hidupnya sendiri lantaran kehilangan peluang dan harapan. Hal ini biasanya

dilakukan oleh penderita penyakit parah dengan peluang hidup yang sangat kecil.

Tindakannya sendiri berupa “suntik mati” demi menepis penderitaan yang

berkepanjangan. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, khususnya dalam dunia

kedokteran, hal “merampas nyawa”, baik atas permintaan sendiri karena suatu

penyakit yang mustahil disembuhkan maupun atas dasar perikemanusiaan pasti

menimbulkan konflik, antara etika kedokteran, hukum pidana,dan hak asaz

manusian pada kasus euthanasia.

Dalam hal ini Bruce Vodiga dalam tulisannya “Euthanasia and the right to

die, moral, ethical and legal perspective” (II T/Chicago, Kent Law Review, Vol

51, Summer 1974, Number 1), mengungkapkan bahwa masalah euthanasia bukan

saja masalah semantik, tetapi juga masalah substansi.

Berkaitan dengan masalah euthanasia ini, Dr. J.E. Sahetapy, S.H., dalam

tulisannya pada majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, membedakan

euthanasia ke dalam tiga jenis, yaitu :

1. Action to permit death to occur

2. Failure to take action to prevent death

3. Positive action to cause death.

6

Page 7: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Dari ketiga perbedaan euthanasia tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa

pada jenis euthanasia yang pertama, kematian dapat terjadi karena pasien

sungguh menginginkan kematian. Dalam hal ini pasien sadar dan tahu bahwa

penyakit yang dideritanya tidak dapat disembuhkan walaupun telah diadakan

pengobatan dan perawatan secara baik. Oleh sebab itu pasien meminta kepada

dokter untuk tidak memberikan pengobatan kepadanya guna penyembuhan

penyakit yang dideritanya itu. Dalam hal ini Dokter memberikan izin segala

permohonan si pasien, jadi kematian si pasien terjadi atas kerja sama antara

pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia inilah yang biasa

disebut sebagai euthanasia dalam arti yang pasif (permission).

Pada banyak kasus, euthanasia dilakukan karena permintaan seseorang

yang sudah sekarat. Tapi ada juga kasus euthanasia yang dilakukan tim dokter,

karena sang pasien sudah tidak sanggup lagi untuk memohon. Dari sisi etika,

boleh tidaknya euthanasia masih terus diperdebatkan banyak kalangan. Bahkan

tak semua negara mengizinkan praktik euthanasia. Meskipun ada sejumlah

kalangan menilai alasan ‘meringankan penderitaan’ itu masuk akal, yang pasti

semua agama melarangnya. Menurut Islam, Allah yang menentukan panjang-

pendeknya umur manusia. Jika saatnya tiba, kematian itu tak dapat ditunda. Tak

seorang pun bisa mati tanpa izin Allah. Sebagaimana firmanNya bahwa

barangsiapa yang melakukan bunuh diri, Allah tidak akan membukakan pintu

surga baginya. (Sahih Bukhari).

Kematian bisa terjadi karena kelalaian atau kegagalan seorang dokter

dalam melakukan pengobatan. Hal ini terjadi bilamana dokter mengambil suatu

tindakan guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa-apa, karena ia

7

Page 8: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

tahu bahwa pengobatan yang akan diberikan kepada pasien sia-sia belaka.

Euthanasia jenis yang kedua ini sama dengan euthanasia jenis pertama.

perbedaannya terletak pada tindakan membiarkan pasien mati dengan sendirinya

tanpa mengadakan pencegahan. Pada jenis pertama, tindakan membiarkan

timbul antara pasien dan dokter yang merawatnya, sedangkan pada jenis yang

kedua, tindakan timbul hanya dari satu pihak saja, yaitu dari dokter yang

merawatnya.

Euthanasia terjadi karena tindakan yang aktif dari dokter untuk

mempercepat terjadinya kematian. Euthanasia jenis ini dokter yang bersifat aktif

dalam mempercepat kematian pasien dengan memberikan obat dosis tinggi yang

langsung menimbulkan kematian.

Rumusan yang terdapat dalam Pasal 344 KUHP, sesuai dengan jenis

euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang bersifat aktif. Masalahnya sekarang,

dapatkah Pasal 344 KUHP diterapkan atau dipakai sebagai dasar penuntutan

oleh Jaksa pada kasus euthanasia. Mengapa tidak ! Kalau tidak, pasti Pasal 344

KUHP itu tidak diciptakan. Tetapi waktu Pasal itu diciptakan oleh pemerintah

kolonial Belanda, dahulu dunia ilmu kedokteran belum semaju seperti sekarang

ini. Dalam Pasal tersebut dinyatakan: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain

atas permintaan sendiri” ditambah pula dengan kata-kata “yang jelas dinyatakan

dengan kesungguhan hati” (lopdiens uitdrukkelijk en ernstig verlangen).

Perumusan ini pasti menimbulkan kesulitan dalam proses pembuktian, karena

dapat dibayangkan, bahwa orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati

sudah pulang ke alam baka. Oleh sebab itu, pernyataan dengan kesungguhan hati

ini tidak boleh diucapkan secara lisan, sebaiknya dalam bentuk yang tertulis dan

8

Page 9: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

ditandatangani oleh saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktian di pengadilan

nanti, surat pernyataan ini dapat dipakai sebagai alat bukti.

Timbul masalah lagi, bagaimana jika yang bersangkutan tidak mampu lagi

berkomunikasi dalam bentuk dan dengan cara apapun, sehingga tidak dapat

menyatakan dengan kesungguhan hati ? Karena kita tahu bahwa dalam masalah

euthanasia biasanya pasien dalam keadaan mati tidak, hidup pun tidak (in a

persisten vegetative state). Sebagai contoh yang sangat populer adalah yang

terjadi di Amerika Serikat, yaitu kasus Karen Ann Quinlan, yang telah berada

dalam suatu “persistent vegetative state”. Mengenai kasus ini akan dibahas pada

bab yang berikutnya. Dalam hal yang demikian dapatkah seorang dokter dituntut

berdasarkan Pasal 344 KUHP. Kalau dilihat dari perumusan, baik dalam konteks

penafsiran yang dikenal dalam dunia ilmu hukum, maupun dalam bentuk

penafsiran baru, menurut penulis Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan pada

kasus euthanasia, karena untuk membuktikan apakah pasien dengan sungguh-

sungguh menginginkan kematiannya sendiri, sulit untuk dibuktikan karena pasien

yang sudah sakit parah apalagi kalau sudah dinyatakan koma oleh Dokter tidak

mungkin memberikan peryataan sendiri. Bagaimana dengan Pasal 340 KUHP,

dapatkah penuntut umum (jaksa) menuntut seorang dokter berdasarkan Pasal

tersebut, sebagaimana bunyi pasal 340 KUHP : “Barangsiapa sengaja dan dengan

rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan

dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.” Ataukah dapat

menuntutnya pula berdasarkan Pasal 338 KUHP, yakni pembunuhan biasa

(doodslag) yang menyatakan sebagai berikut : “Barangsiapa sengaja merampas

9

Page 10: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling

lama lima belas tahun.”

Apabila kita perhatikan lebih lanjut, dari ketiga Pasal tersebut di atas, yaitu

Pasal 338, 340 dan 344 KUHP, tiga-tiganya mengandung makna larangan untuk

membunuh. Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada perampasan

nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP aturan khususnya, karena dengan

dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu.” Oleh sebab itu, Pasal 340

KUHP ini biasa dikatakan sebagai Pasal pembunuhan yang direncanakan atau

pembunuhan berencana. Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa Pasal

344 KUHP pun merupakan aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini,

karena di samping Pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan

nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada Pasal

344 KUHP ditambahkan pula unsur “atas permintaan sendiri yang jelas

dinyatakan dengan kesungguhan hati.” Jadi masalah euthanasia ini dapat

menyangkut dua aturan hukum, yakni Pasal 338 dan Pasal 344 KUHP. Dalam hal

ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian

pidana. Concursus ideals diatur dalam Pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa

(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka

yang dikenakan hanya salah satu aturan, jika berbeda aturan yang dikenakan

yang memuat ancaman pidana pokok paling berat.

(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,

diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka yang khusus itulah yang

dikenakan.

10

Page 11: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas Lex specialis de rogat legi

generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus mengalahkan peraturan-

peraturan yang sifatnya umum. Yang dimaksud sebagai peraturan khusus disini

yakni Peraturan pidana yang memuat unsur-unsur yang termuat dalam peraturan

pidana umum, juga memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam

peraturan pidana khusus. Sehubungan dengan adanya concursus idealis ini,

Hazewinkel Suringa, mengatakan sebagai berikut : “Ada concursus idealis,

apabila pernyataan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, (noodzakelijk –

co ipso) juga masuk dalam peraturan pidana lain, baik karena banyaknya

peraturan-peraturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, maupun karena

diaktifkannya aturan-aturan lain berhubungan dengan cara dan tempat perbuatan

itu dilakukan, orang yang melakukan, dan obyek terhadap apa perbuatan itu

dilakukan.”

Dengan adanya hal-hal seperti tersebut di atas, menurut penulis masalah

euthanasia bisa menyangkut dua aturan hukum, yaitu Pasal 338 dan 344 KUHP,

dan yang dapat diterapkan Pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas lex

specialis derogat legi generali yang disebutkan dalam Pasal 63 (2) KUHP, maka

aturan pemidanaan yang dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan

karena ancaman pidana penjara pada Pasal 338 (yaitu 15 tahun), lebih berat

daripada ancaman pidana yang terdapat pada Pasal 344 KUHP (yang hanya 12

tahun). Hal ini dapat dimengerti karena dalam concursus idealis diterapkan sistem

absorbsi, sebagaimana disebutkan Pasal 63 (1) KUHP, yang memilih ancaman

pidana yang terberat. Oleh sebab itu, dalam KUHP kita, hanya ada satu Pasal

saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu Pasal 344 KUHP.

11

Page 12: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan. Dengan

demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya

melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan

diakui, dihormati dan dijunjung tinggi. Berlainan keadaannya di Inggris, dimana

tidak ada ketentuan yang tertulis (statutory definition) tentang pembunuhan

berencana (murder). Di Inggris hanya ada pembedaan antara lawful homicide

(pembunuhan yang sah) dan unlawful homicide (pembunuhan yang tidak sah).

Disamping itu dibedakan pula secara tajam antara actus reus (perbuatan pidana)

dan mens rea (pertanggungjawaban pidana), dengan mengembangkan

jurisprudensi yang ada di sana.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah diambil kesimpulan,

bahwa euthanasia di Indonesia dilarang. Larangan ini terdapat dalam Pasal 344

KUHP, yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi perumusan dalam Pasal

344 KUHP, dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkannya

dalam penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itulah,menurut

hemat penulis maka sebaiknya bunyi Pasal 344 KUHP tersebut dapatlah kiranya

untuk dirumuskan kembali, berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi

sekarang, dan telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Dan

rumusan baru tersebut diharapkan dapat memungkinkan atau memudahkan proses

penuntutan apabila terjadi kasus yang bersangkutan dengan masalah euthanasia.

B. Euthanasia Dikaitkan Dengan Tugas Profesional Dokter

Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada

sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-

12

Page 13: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Untuk itu setiap dokter perlu

menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan profesi dokter tersebut tetap

terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang

kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila

jabatan. Keahlian di bidang ilmu dan teknologi dapat memberi manfaat yang

besar kalau dalam prakteknya disertai oleh norma etik dan moral. Hal tersebut

diinsyafi oleh para dokter di seluruh dunia, dan hampir tiap Negara telah

mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik

tersebut didasarkan pada Sumpah Hipokrates, yang dirumuskan kembali dalam

pernyataan Himpunan Dokter Sedunia di London bulan Oktober 1949 dan

diperbaiki oleh Sidang ke-22 himpunan tersebut di Sydney bulan Agustus 1968.

Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui

serta mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara

mutlak pada diri seseorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat,

kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial

yang tidak diragukan. Oleh sebab itu, para dokter di seluruh dunia mendasarkan

tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik profesional yang

sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta berobat serta keselamatan

dan kepentingan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah kedokteran para

dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan

atas asas etik yang mengatur hubungan antara manusia pada umumnya. Di

samping itu harus memiliki akar dalam filsafat masyarakat yang diterima dan

dikembangkan terus dalam masyarakat itu.

13

Page 14: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam

Declaration of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter Sedunia

di Genewa pada bulan September 1948. Dalam deklarasi tersebut antara lain

dinyatakan sebagai berikut : “I will maintain the utmost respect for human life

from the time of conception, even under threat, I will not use my medical

knowledge contrary to the laws of humanity.”

Khusus di Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas dicantumkan

dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29

Oktober 1969, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang

Pernyataan Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober

1969. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.

Dalam bab II Pasal 9 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut,

dinyatakan bahwa : “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban

melindungi hidup mahluk insani.” Dengan demikian berarti, di negara mana pun

di dunia, seorang dokter mempunyai kewajiban untuk “menghormati setiap hidup

insani mulai saat terjadinya pembuahan.” Dalam hal ini berarti pula bahwa

bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus

melindungi dan mempertahankan hidup pasien tersebut. Mungkin pasien itu

sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan

sekarat akan tetapi dalam hal ini, dokter tidak boleh melepaskan diri dari

kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan

dalam sumpahnya. Semua perbuatan yang dilakukan dokter terhadap pasien

dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan

14

Page 15: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

sendirinya ia harus memberi pertolongan guna mempertahankan dan memelihara

kehidupan manusia. Walaupun kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasi

yang sangat membahayakan, tetapi tindakan ini diambil setelah dipertimbangkan

secara mendalam, bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya

sipasien terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi tersebut

mengandung banyak resiko. Untuk itu, sebelum operasi dimulai, perlu adanya

pernyataan persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya.

Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini

juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik kedokteran,

dokter tidak diperbolehkan :

1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah abortus provocatus

ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang. Sebagai contoh dapat kita lihat

dalam Pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut : “Seorang wanita yang

sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain

untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Disamping

Pasal 346 KUHP di atas, masih banyak Pasal-pasal lain yang menyatakan bahwa

abortus provocatus ini merupakan tindak pidana, misalnya Pasal-pasal 347, 348

dan Pasal 349 KUHP. Walaupun abortus provocatus ini merupakan perbuatan

yang terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang dokter, dengan

pertimbangan untuk pengobatan, apabila perbuatan itu merupakan satu-satunya

jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut. Keputusan untuk melakukan

abortus provocatus ini harus diambil sekurang-kurangnya oleh dua dokter,

dengan persetujuan tertulis daripada perempuan yang hamil dan suaminya, atau

15

Page 16: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

keluarganya yang terdekat. Abortus jenis inilah yang disebut sebagai abortus

provocatus therapeuticus.

Bagaimanapun abortus provocatus itu bentuknya, dan dengan alasan

apapun, dalam kehidupan masyarakat disamping dianggap sebagai kejahatan

KUHP, juga merupakan barang yang tabu, karena dilarang baik oleh agama, juga

sangat bertentangan dengan susila kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Nasroen

Yasabari S.H., mengatakan bahwa, abortus merupakan arang yang tercoreng di

kening dan lumpur yang terpoles di muka, serta aib yang berat bagi keluarga.

2. Euthanasia

Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, tidak mustahil pasien

yang penyakitnya sudah tidak dapat disembuhkan, minta agar hidupnya diakhiri

saja. Sampai sebegitu jauh, tidak semua orang setuju akan prinsip euthanasia.

Para dokter pun demikian halnya. Pada umumnya kelompok yang menentang,

mengemukakan alasan yang bertitik tolak dari segi religius. Menurut pandangan

mereka bahwa segala sesuatu yang dialami manusia sudah takdir dari Tuhan yang

harus diterima sebagai suatu karunia. Dengan demikian apabila seseorang

mengalami penderitaan dalam hidupnya seperti mengalami sakit yang parah harus

bisa diterima sebagai suatu cobaan hidup, karena betapapun berat cobaan yang

dialami, Tuhan pasti akan memberi jalan keluar. Oleh sebab itu mengakhiri hidup

seseorang yang sedang menerima cobaan dari Tuhan tidak dibenarkan, apapun

alasannya.Sebagaimana argumentasi yamg dikemukakan dalam penjelasan Kode

16

Page 17: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Etik Kedokteran Indonesia, Bab II, Pasal 9, yang sekaligus juga mencerminkan

sikap atau pandangan para dokter di Indonesia, tentang prinsip euthanasia.

Sebaliknya bagi kelompok yang menyetujui euthanasia, disertai dengan

argumentasi bahwa perbuatan itu, dilakukan atas dasar perikemanusiaan. Mereka

tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien, yang telah berulang kali

minta kepadanya agar penderitaannya itu diakhiri saja. Dalam hubungan ini dr.

R.Soerarjo Darsono, Direktur Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang, memberikan

contoh sebagai berikut :

a. Seorang wanita yang telah hamil tua, mengalami kecelakaan yang sangat

parah, sehingga lehernya putus dan mati. Masalahnya sekarang, bagaimana

dengan bayi yang masih berada dalam perut sang ibu itu, yang menurut

pemeriksaan dotker masih hidup. Bagaimana sikap seorang dokter dalam

menghadapi keadaan demikian. Apakah harus membuka perut si wanita tadi,

dan mengambil bayinya, ataukah membiarkannya begitu saja ? jika dilakukan,

apakah tidak mendahului kehendak Tuhan ? jadi merupakan suatu hal yang

sangat dilematis. Dalam hal ini ada pendapat diantara para dokter yang

mengatakan :

1) harus di buka, demi keselamatan dan kelangsungan hidup si bayi,

2) biarkan saja, biar Tuhan yang mengeluarkan.

b. Seorang yang menderita penyakit kanker ganas, pada stadium permulaan

memang tidak terasa sakit, namun pada stadium akhir, sakitnya bukan main

dan hampir mendekati dosis kematian. Dalam hal demikian, ada sebagian

dokter yang beranggapan sebaiknya diberi obat penghilang kesadaran dalam

dosis yang tinggi yang bisa saja menyebabkan orang tersebut mati dengan

17

Page 18: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

alasan untuk menghindari agar jangan terjadi penularan penyakit ini. Di lain

pihak menghendaki agar jangan diberi obat, dan jika terpaksa diberinya, maka

setidak-tidaknya hanya untuk mengurangi rasa sakitnya saja, dan dokter tetap

melindungi kehidupan pasien ini.

Dalam ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu :

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa

penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit

dengan memberikan obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang sakit dengan sengaja

atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dari ketiga jenis euthanasia di atas, ternyata pada jenis yang ketiga inilah yang

senada dengan euthanasia yang dilarang oleh hukum pidana kita, dan diatur dalam

Pasal 344 KUHP.

Di beberapa negara maju seperti Eropa dan Amerika mulai banyak

terdengar suara-suara yang pro terhadap prinsip euthanasia ini. Mereka berusaha

mengadakan suatu gerakan untuk menguatkannya dalam undang-undang

negaranya. Negara bagian Australi, Northern Territory menjadi negara pertama di

dunia yang mengijinkan euthanasia dengan Uunya. Meskipun hal itu tidak

berlangsung lama, dengan adanya keputusan senat Australia sehingga harus

ditarik kembali. Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan Undang-

undang yang mengijinkan euthanasia yang mulai berlaku sejak tanggal 1 april

2002. Pasien-pasien yang mengalami sakit manahun dan tak tersembuhkan, diberi

hak untuk mengakhiri hidupnya.

18

Page 19: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Bagi orang yang kontra terhadap prinsip euthanasia, berpendapat bahwa

tindakan demikian itu sama saja dengan membunuh. Kita di Indonesia, sebagai

Negara yang beragama dan ber-Pancasila, percaya kepada kekuasaan mutlak

daripada Tuhan Yang Mahaesa. Segala sesuatu diciptakan-Nya, dan penderitaan

yang dibebankan kepada manusia, ada arti dan maksudnya. Oleh sebab itu,

dokter harus mengerahkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk

meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup

C. “Euthanasia” dan Hak-hak Asasi Manusia

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus

kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia

dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai

siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung

misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan

dipelajari, bahkan akhir-akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan

buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak

menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks

dalam dunia manusia. Berbagai macam penyakit juga dapat dikenali satu demi

satu, dan sebagian besar penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian

besar penyakit non infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat

disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, dilakukan oleh manusia mempunyai

hakikat untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun

gangguan dalam proses pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang

19

Page 20: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

akhirnya dapat menunda proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia,

yaitu kematian.

Negara dalam usahanya melindungi dan mempertahankan hidup manusia,

kadang justru terjadi suatu peristiwa yang sangat kontradiktif. Dikatakan sangat

kontradiktif, karena sementara negara melindungi hak-hak asasi manusia,

terutama “hak untuk hidup”, sementara itu pula manusia diakhiri hidupnya lewat

jalan yang dianggapnya legal, yaitu lewat pengadilan dengan menjatuhkan pidana

mati.

Pandangan yang menentang adanya euthanasia yang mendasarkan dari

segi religius, seirama dengan pandangan dari segi hak asasi manusia. Kita tahu

bahwa dalam Universal Declaration of Human Rights dari PBB telah

mencantumkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula dalam Undang-

Undang Dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat dalam

deklarasi PBB itu. Diantara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin

hanya hak untuk mati saja yang tidak ada. Walaupun kedengarannya sangat ganjil,

tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya,

karena “hak untuk mati” ini dipandang telah tercakup pengertiannya dalam “hak

untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.

Pandangan yang menentang prinsip euthanasia di atas akan berbenturan

argumentasinya, dengan nasib seorang tertuduh yang divonis mati yang pada

umumnya masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau dengan

perkataan lain ingin menggunakan “hak untuk hidup”-nya. Disadari atau tidak,

bahwa jeritan hati kecilnya, pasti mengatakan keinginannya untuk tidak mati.

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa hakim telah memaksa kematian seseorang

20

Page 21: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Saya berpikir dapatkah sistem

penghukuman yang terdapat pada Pasal 10 KUHP yang diperuntukan bagi

terpidana mati dimana cara mengeksekusinya dengan tembak mati, dirubah

dengan cara dieuthanasia, paling tidak kalaupun penerapan Pasal 10 KUHP itu

sampai sekarang masih dipakai sebagai hukum positif di Indonesia, namun cara

pelaksanaan eksekusinya lebih manusiawi (sebagaimana yang diatur dalam

konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam,

tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia), dimana terdakwa bisa

mati tanpa harus merasakan sakit sebagaimana kalau harus ditembak, karena

sebenarnya secara pribadi saya tidak setuju dengan hukuman mati. Menurut saya

itu sama halnya dengan kita mendahului kehendak Tuhan. Lebih dari itu kalau

kita memahami betapa setiap orang tidak pernah berpikir atau ingin menjadi orang

jahat, karena biasanya keadaannlah yang mendesak seseorang sampai berbuat

jahat. Selain itu orang yang sudah merasa bersalah tanpa kita hukumpun batinnya

sudah merasa terhukum atas apa yang diperbuatnya. Demikian juga untuk orang

yang sudah sekarat, kalau dia bisa berpikir bahwa segala sesuatu yang

menimpanya atas ijin dari Allah yang harus diterimanya sebagai suatu cobaan

hidup, dia pasti akan berpikir seribu kali untuk menyerah dengan cara minta untuk

disuntik mati. Namun kembali bahwa manusia hanyalah mahluk biasa yang

kadang tidak bisa menerima begitu saja nasib yang menimpanya, apalagi kalau

hal itu berkaitan dengan suatu penyakit yang difonis dokter tidak mungkin untuk

sembuh dan jalan satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si

pasien tersebut, agar penderitaannya dapat segera berakhir. Nah, bila kematian

untuk menghilangkan penderitaan memang diminta oleh pasien, karena tidak ada

21

Page 22: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

lagi jalan lain, apakah permohonan untuk dieuthanasia itu tidak dapat dikabulkan.

Apakah kehendak untuk mati dalam kasus semacam ini tidak dapat dikatakan

sebagai suatu “hak asasi” dalam hal ini sebagai “hak untuk mati” ? Jika telah

diakui bahwa manusia mempunyai sejumlah hak asasi, apakah dipandang sebagai

suatu kesalahan apabila mengakui pula adanya “hak untuk mati” pada kasus

euthanasia?. Inilah persoalan yang sangat rumit yang harus bisa dipecahkan oleh

kita semua

Hakim juga manusia biasa dapat menentukan kematian seseorang, yang

mungkin masih segar bugar, dan sebenarnya orang tersebut masih menginginkan

untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai manusia biasa, menderita sakit

yang tak terhingga, tidak dapat menentukan kematian atas dirinya sendiri ?

Bukankah kematian yang diminta pasien itu merupakan satu-satunya jalan untuk

mencapai suatu tujuan akhir dari perjalanan hidup seseorang.

Bila jalan pikiran seperti tersebut di atas diterima untuk menyetujui

prinsip euthanasia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga merupakan suatu

asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak permintaan mati seseorang

pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak dapat disembuhkan lagi,

merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Sejalan dengan ini, dalam dunia kedokteran, orang yang menyetujui

prinsip euthanasia, dilakukan atas dasar perikemanusiaan terhadap sesama

manusia, barangkali dapat ditempuh jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip

euthanasia. Jadi, seorang tertuduh yang dijatuhi pidana mati, hendaknya diberi

kesempatan untuk mempergunakan hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup”.

22

Page 23: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Dengan cara tersebut di atas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk

mati”, kiranya sama-sama dihargai oleh hukum, terutama hukum pidana. Dengan

diakuinya “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia, dimaksudkan

untuk melindungi manusia terhadap penganiayaan atau penyiksaan dan kekejaman

serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari

sesama umat manusia. Hak asasi manusia yaitu hak-hak dasar yang dimiliki

manusia melekat dalam dirinya, bukan diberikan oleh masyarakat dan hukum

positif melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusi.

Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari bahasa asing “Droit

de I’homme (bahasa Perancis), Human Rights (bahasa Inggris). Dalam

pemakaiannya di beberapa negara, dikenal pula istilah-istilah dalam bahasa

Inggris yang dinyatakan sama dengan Human Rights seperti Natural Rights, Basic

And Indubitable Freedoms, Fundamental Rights, Civil Rights dan lain sebagainya

(Prakorso dan Nirwanto, 1984: 28).

Dalam sejarah perkembangan hak asasi manusia dimulai di Inggris pada

tahun 1688, di Inggris terjadi perebutan kekuasaan antara Raja James II (Katholik)

dengan saudaranya Mary II (Protestan) yang dimenangkan oleh Mary II/William

II (suaminya). Konflik tersebut dinamakan Gloriuos Revolution (Revolusi Besar).

Kemudian Raja William II menyusun Declaration and Bill of Rights 1689, berisi

pengakuan bahwa hak-hak rakyat dan anggota parlemen tidak boleh diganggu

gugat (dituntut) atas dasar ucapan-ucapannya. Adanya Bill of Rights tersebut

merupakan awal menuju ke monarkhi konstitusional (Anonimous, 1983, p. 209).

Bill of Rights merupakan salah satu dokumen penting untuk menghormati hak

asasi manusia.

23

Page 24: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Kalau kita lihat kembali perkembangan perjuangan hak asasi manusia di

Amerika Serikat, pada tahun 1776 disusunlah Piagam Bill of Rights (Virginia).

Piagam tersebut merupakan kesepakatan 13 negara Amerika Serikat yang

pertama. Dalam Bill of Rights tersebut memuat ketentuan antara lain: semua

manusia, karena kodratnya, bebas merdeka serta memiliki hak-hak yang tidak

dapat dipisahkan (dirampas) dengan sifat kemanusiannya. Hak tersebut antara

lain; hak hidup/kebebasan, hak memiliki, hak kebahagiaan dan keamanan.

Kemudian hak asasi manusia dipertegas lagi lewat Declaration of

Independence, 1788, asasnya pengakuan persamaan manusia, Tuhan telah

menciptakan manusia dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dirampas, antara

lain hak hidup, hak kebebasan, dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Pengakuan

hak asasi manusia dipertegas lagi oleh Presiden Franklin D. Roosevelt yang

diucap pada tahun 1941. unngkapan Franklin D. Roosevelt dikenal dengan Four

Freedom, isinya:

1. Kebebasan (kemerdekaan) berbicara (freedom to speech)

2. Kebebasan beragama (freedom to religion)

3. Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want)

4. Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear)

Dengan demikian, dalam hak asasi manusia terkandung beberapa sumpah yang

dapat dibenarkan:

a. Hak asasi manusia berasal/bersumber dari Tuhan sering disebut hukum alam

diberikan/dimiliki seluruh manusia perindividu tanpa membedakan status

orang perorang,

24

Page 25: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

b. Dalam hak asasi mengarah/mengutamakan lebih dahulu kepuasaan batin

(spiritual need) semua pihak yang dapat memberi konstribusi positif dan aktif

pada kepuasan lahir (biological need),

c. Penjabaran/aplikasi hak asasi manusia berkembang terus seirama dengan

perkembangan pikir, budaya, cita-cita manusia dan iptek,

d. Manusia yang kehilangan hak asasi manusianya, ia menjadi robot hidup yang

hanya bernapas.

e. Keberadaan hak asasi manusia tetap “melekat” pada setiap orang untuk

sepanjang hidupnya tanpa dapat diambil/dicabut, kecuali ada pelanggaran atas

aturan hukum yang berlaku, lewat keputusan hukum yang adil dan benar,

f. Keberadaan negara, antara lain untuk menghormati dan mempertahankan hak

asasi manusia sesuai dengan kesepakatan bersama demi pengembangan

martabat kemanusiaan,

g. Kesabaran memiliki dan melaksanakan hak asasi harus dikaitkan pula dengan

kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi.

Sebagaimana diketahui, salah satu indikasi untuk disebut sebagai negara

hukum, antara lain ditegakkannya hak asasi manusia, agar cepat tercapai, kata

Hans Kelsen, sebagaimana dikutip oleh H.A. Masyhur Effendi, “negara hukum

(Allgemeene Staatslehre) akan lahir, apabila sudah dekat sekali identiet der

Staatsordnung mit de rechtsordnung – identitas susunan negara dengan susunan

hukum – semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat

kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna”. Dengan demikian, negara

hukum tanpa mengakui, menghormati sampai melaksanakan sendi-sendi hak azasi

manusia tidak dapat dan tidak tepat untuk disebut sebagai negara hukum. Para ahli

25

Page 26: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Eropa Kontinental (Eropa daratan), antara lain Immanuel Kant, Julius Sthall

menyebut rechsstaat, sedangkan para ahli hukum Anglo Saxon (Inggris atau

Amerika) memakai istilah Rule of Law. Sthall menyebut adanya empat unsur dari

rechsstaat yaitu:

1. Adanya pengakuan hak asasi manusia,

2. Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut,

3. Pemerintahan berdasar peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur),

4. Adanya Peradilan tata Usaha Negara.

Dalam Rule of Law menurut A. V. Dicey mengandung tiga unsur dari

rechsstaat::

1. Hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang,

2. Persamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the law),

3. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) dan tidak adanya

kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.

Dari sudut pandang ini terbukti bahwa dengan disusunnya seperangkat

aturan hukum yang utama, dan bagaimana hak asasi manusia dilindungi, karena

tanpa adanya perlindungan hukum yang disepakati bersama, nasib hak asasi

manusia hanya akan merupakan satu kekuatan potensial yang sulit direalisasikan.

Persoalan hukum lebih lanjut, yaitu bagaimana mengkonstitusikan nilai-nilai hak

asasi dalam satu negara, sehingga setiap pejabat negara, pimpinan masyarakat

maupun semua warga negara menjadi terikat secara konstitusional untuk

melaksanakannya, sehingga penyelewengan atau tindakan di luar konstitusi

(tindakan inkonstitusional atau akonstitusional) akan mendapat sanksi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini kalau dikaitkan

26

Page 27: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

dengan hasil keputusan dalam pertemuan para ahli hukum di Bangkok 1965 yang

diselenggarakan oleh International Comission of Jurist, telah memperluas makna

atau syarat Rule of Law sebagai berikut:

1. Adanya perlindungan konstitusional,

2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak,

3. Pemilihan umum yang bebas,

4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat,

5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroperasi,

6. Pendidikan warga negara (civil education).

Adanya persamaan prinsip dengan ide hak asasi manusia, dapat

disimpulkan bahwa antara negara hukum dengan penegakan hak asasi merupakan

satu mata uang dengan sisi yang berbeda. Hal ini membawa konsekuensi kepada

kita untuk memilih sekaligus mengisi konsep hukum apa dan bagaimana yang

ditetapkan. Dalam menetapkan konsep tersebut, berbagai aspek pasti akan

mendapat pertimbangan (aspek kultural, sosial, ide, pandangan

hidup/cita-cita/tujuan bangsa yang bersangkutan dan lain-lain), serta berkaitan

pula dengan bagaimana cara mengimplementasikan, mengatur, menyusun

struktur/mekanisme yang tepat dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan

bernegara. Dengan demikian, ada keserasian antara cita-cita hukum, baik dalam

arti umum dan khusus. Lewat cara penyajian dalam satu struktur yang tepat, akan

menghasilkan keputusan yang tepat pula.

Tanpa adanya keserasian tersebut, maka cita-cita hukum yang begitu indah

dan mulia akan tetap berada pada alam abstrakt dan menjadi bagian dari ius

constituendum (hukum yang masih dianggap perlu, namun belum efektif) tidak

27

Page 28: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

menjadi ius constitutum (hukum yang telah ada/hukum positif). Dari pasangan ini

terbukti bahwa faktor “pengaturan/penyaluran” serta ide dan cita-cita bangsa yang

bersangkutan memegang peranan yang sangat penting. Bagaimana

mengalokasikan begitu banyak ide, cita-cita besar bangsa dalam berbagai

kekuatan/kelompok/lembaga yang tepat dengan pembagian tugas yang tegas pula,

diharapkan akan menghasilkan satu keputusan yang memuaskan bagi semua

pihak. Kepuasan tersebut akan relatif langgeng manakala segi-segi keterbukaan

dan dinamika masyarakat menjadi pegangan dan perhatian para pejabat negara.

Kalau dianalisa lebih dalam, hukum itu sendiri hakikatnya mempunyai jati

diri dan kepribadian. Keberadaan hukum, merupakan satu substansi yang sudah

ada. Keberadaan hukum itu sendiri bergumul dan menyatu dengan inti hukum

yang paling murni, keseimbangan/keadilan. Bertitik tolak dari pandangan

tersebut, hukum selain berisi kaidah/cita-cita, tetapi berfungsi juga sebagai alat

untuk mengubah/merekayasa masyarakat berfungsi (as a tool of social

engineerin) sebagaimana yang dikemukakan oleh Rosce Pound. Posisi hukum

semakin mantap bilamana tujuan dan fungsi hukum dalam masyarakat dapat

dipadukan. Dengan demikian kerja/tugas dan peranan hukum akan mudah

dipahami, terutama dalam menghadapi masalah-masalah konkrit yang timbul

dalam masyarakat, sehingga cita-cita hukum dapat segera terlaksana.

Karena itu, terciptanya yang dianggap adil, atau terciptanya keseimbangan

yang dianggap seimbang secara proporsional dan utuh, harus dikaitkan pula

dengan fungsi hukum secara konkrit dalam masyarakat, sehingga tingkah laku

yang diatur, pada hakikatnya demi ketertiban, kebenaran dan keadilan pula. Dari

uraian tersebut diatas, membuktikan bahwa hukum dalam masyarakat yang

28

Page 29: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

semakin moderen memerlukan sistem pemerintahan yang moderen pula, terutama

didalam mengikutsertakan warga masyarakat dalam membuat suatu produk

hukum. Negara dilihat dari sisi dan pendekatan hukum, merupakan organisasi

yang didirikan dan dipercaya untuk melindungi warga negaranya dengan hak

menetapkan/menyusun seperangkat aturan hukum (baik tertulis, maupun tidak)

semata-mata demi kebahagiaan, ketenteraman, kemakmuran bersama, serta

berkewajiban dan bertanggungjawab pula atas pelaksanaannya secara objektif.

Istilah asas hukum (general principal of law), menurut kamus Webster

berarti basic, rule of conduct dan integrity, atau menurut Merriam Webster Pocket

Dictionary, mengandung makna antara lain source, origin, basic truth of law;

dengan demikian, menurut Sunaryati Hartono, “suatu asas hukum harus berperan

sebagai sumber (source) atau asal (origin) yang mengandung suatu kaidah atau

kebenaran dasar (basic truth) yang memberi arah pada penyusunan kaidah-kaidah

hukum yang lebih konkrit, sehingga seluruh bidang hukum merupakan suatu

kesatuan yang utuh” (Hartono, 1987;6). Karena itu beberapa Pasal tentang hak

asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 1945, antara lain Pasal 27 (2),

28, 29, 31 dan dalam berbagai undang-undang pokok yang ada, merupakan asas

hukum yang perlu segera diperinci.

29

Page 30: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Untuk meneliti tentang euthanasia dalam perspektif hukum hak asasi

manusia metode yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif yang

bertujuan untuk mengetahui landasan yuridis dan filosofis pengaturan HAM

tentang hak hidup dan larangan mencabut hak hidup seseorang. Dengan tahapan

penelitian sebagai berikut:

1. Identitas Bahan-Bahan Hukum

Meliputi studi kepustakaan tentang bahan hukum primer dan sekunder serta

tertier yang menjadi objek penelitian terutama menyangkut masalah

doktorinal yang menjadi asas dan landasan pengaturan dibidang hak asasi

manusia tentang hak hidup dan atau hak untuk mempertahankan kehidupan.

2. Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan data dilakukan melalui tahapan berupa studi dokumen untuk

melihat azas-azas hukum, sistimatika hukum dan sinkronisasi dan peraturan

(Soekamto, 1984:30).

Data lain yang dikumpulkan berupa bahan-bahan hukum yang bersifat

sekunder seperti buku-buku, Jurnal, Mediamasa dan bahan-bahan lain yang

menyangkut etika kedokteran dan hak asasi manusia. Pengumpulan data lain

berupa kecenderungan praktek euthanasia dalam praktek kedokteran sebagai

bahan untuk membandingkan doktrin hukum tentang HAM dan ilmu

kedokteran.

30

Page 31: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

3. Analisa Bahan Hukum

Analisa data meliputi analisa secara deksriptif yuridis untuk menggambarkan

asas hukum dan sistimatika pengaturan tentang undang-undang praktek

kedokteran disinkronisasikan dengan undang-undang tentang HAM, untuk

mendapatkan gambaran yang tepat terhadap landasan perlindungan hak hidup

dalam praktek kedokteran.

31

Page 32: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Euthanasia Dikaitkan Dengan Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri

Hak untuk menentukan nasib sendiri dalam praktek euthanasia merupakan

problematik yang spesifik apakah itu melanggar hak asasi manusia atau tidak.

Dalam praktek biasanya pasien yang sekarat tidak mampu lagi menyatakan

kehendaknya atau membuat pilihan dan nasib dari pasien itu sudah berada di

tangan dokter. Biasanya dalam praktek apa yang menjadi kehendak pasien

diwakili oleh keluarga atau orang yang paling dekat yang menyetujui untuk

melakukan tindakan medik. Masalah euthanasia ini timbul, yaitu dari adanya

suatu dilema di atas, apakah seorang dokter mempunyai hak hukum untuk

mengakhiri hidup seorang pasien, atas permintaan pasien itu sendiri atau dari

keluarganya, dengan dalih untuk menghilangkan atau mengakhiri penderitaan

yang berkepanjangan. Persoalan yang paling spesifik disini menyangkut siapakah

yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia ketika terjadi praktek euthanasia

apakah dokter, pasien atau keluarga yang menyetujui dilakukan praktek

euthanasia.

Kriteria kematian karena permintaan sendiri (self determination) dan

kematian karena malpraktek yang dilakukan oleh dokter masih merupakan

problematik dalam penentuan konteks pelanggaran hak asasi manusia. Dengan

diketemukannya alat-alat kedokteran modern seperti “respirator” dan sistem

transplantasi, maka kriteria kematian justru lebih sulit untuk diterapkan.

Dikatakan, bisa saja suatu waktu pernapasan dan peredaran darah seseorang

32

Page 33: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

mendadak berhenti. Apakah yang demikian sudah dapat dipastikan bahwa orang

tersebut sudah meninggal. Apabila kita menganut definisi daripada kematian pada

umumnya secara yuridis tradisional, maka dalam keadaan tersebut orang itu sudah

dapat dikatakan meninggal.

Dalam banyak kasus, pengadilan selalu beranggapan bahwa selama orang

masih bernapas, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan meninggal. Namun

dalam perkembangan, dimana definisi kematian merupakan persoalan medis,

orang dalam keadaan koma tapi masih bernapas, belum tentu sudah meninggal,

walaupun seluruh organ sudah mati tapi produksi listrik pada otak masih

merangsang maka belum dapat dikatakan mati. Jadi untuk memastikan adanya

kematian, perlu dilakukan oleh tim dokter, yang terdiri dari dokter yang

merawatnya ditambah dengan seorang atau lebih neurolog.

1. Euthanasia dari aspek ilmu kedokteran

Dalam perspektif ilmu kedokteran kriteria kematian dan menghilangkan

nyawa terhadap pasien yang sedang sekarat menjadi hal yang mudah sekaligus

rumit. Aspek kematian dalam perspektif ilmu kedokteran tentu tidak sama dengan

kematian pada umumnya yang dikenal orang terutama pasien yang dalam keadaan

koma yang sudah kehilangan kesadarannya. Kapan terjadinya pembunuhan atau

pelanggaran atas hak hidup dari pasien yang dalam keadaan koma sangat sulit

dibuktikan dan memerlukan saksi ahli dalam hal ini tim dokter spesialis.

Penderita yang sudah sekarat dan tidak sadar berhari-hari, bahkan

berbulan-bulan, tetapi masih mampu hidup karena dibantu dengan sebuah

respirator dengan demikian hidup pasien tersebut tergantung sepenuhnya kepada

bantuan respirator itu. Apabila respirator ini dicabut, maka hidup si pasien akan

33

Page 34: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

segera berakhir. Masalahnya sekarang menjadi pelik dan rumit, bila seorang

pasien yang sudah sekarat dan tidak sadar selama berbulan-bulan, dan mengetahui

bahwa tidak lama lagi maut akan merenggut nyawanya, ia atau keluarganya

memohon kepada dokter untuk mengakhiri penderitaannya dengan jalan

mencabut”respirator tersebut. Bagaimana sikap seorang dokter dalam menghadapi

kenyataan seperti ini.

Dalam konteks mana self determination atau hak meminta mati dari pasien

diterapkan terutama menyangkut batasan-batasan yuridis terhadap hak tersebut.

Dalam keadaan seperti ini apakah keluarga berhak mewakili pasien memintakan

hak untuk mati sebagai implementasi dari self determination. Aspek lain

menyangkut bagaimana dengan dokter yang menyetujui permintaan tersebut,

apakah dokter itu melakukan pelanggaran hak asasi manusia karena mencabut

kehidupan seseorang. Hal inilah yang sangat sulit untuk dipecahkan, sebab disatu

sisi pasien merasa sudah tidak sanggup untuk menanggung penderitaan, karena ia

sadar bahwa segala usaha atau bantuan yang diberikan baik oleh Dokter maupun

keluarganya sudah tidak ada gunanya, dan dia merasa bahwa dia berhak untuk

menentukan nasibnya sendiri, begitupun halnya dengan Dokter, dia dahadapkan

pada dua pilihan yaitu antara perasaan kasian melihat penderitaan pasien yang

sudah sekarat dan kode etik kedokteran yang harus dipeganngnya teguh yakni

bahwa bagaimanapun keadaan pasien, sebagai seorang dokter dia berkewajiban

untuk memberikan dan mengusahakan penyembuhan sebaik mungkin. Ditambah

lagi dengan nantinya dia harus bertanggungjawab atas perbuatannya dihadapan

hukum karena melanggar hak asazi manusia (mencabut nyawa) dengan membantu

34

Page 35: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

atau membiarkan seorang pasien mati dengan cara tidak memberikan lagi

pertolongan medik.

Dalam Universal Declaration Of Human Rights dari PBB telah

mencantumkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula di dalam Undang-

Undang Dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat dalam

deklarasi PBB itu. Di antara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin

hanya hak untuk mati saja yang tidak ada. Walaupun kedengarannya sangat ganjil,

tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya,

karena “hak untuk mati” ini dipandang sebagai telah tercakup pengertiannya di

dalam “hak untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.

Jenis kematian menurut cara terjadinya, meliputi: orthothanasia,

dysthanasia dan euthanasia. Orthothanasia dan dysthanasia, kiranya tidak perlu

dibahas karena permasalahan dibatasi pada pokok masalah dalam tulisan. Dan

jenis kematian yang ketiga, yang masuk dalam kategori euthanasia atau biasa

disebut juga sebagai mercy killing. Pada prinsipnya hak untuk mati sangat

berkaitan erat dengan tanggung jawab dokter. Tanggung jawab dokter dibagi

dalam dua bagian yaitu tanggung jawab profesional dan tanggungab jawab

hukum. Tanggung jawab profesional dokter diatur dalam kode etik kedokteran

yang disebut “Tuchtrecht” artinya seorang dokter mempunyai tanggung jawab

profesional terhadap sejawatnya dan profesinya. Dengan demikian apabila

terbukti melakukan kesalahan, misalnya karena kelalaian, maka dikenakan

tanggung jawab hukum dan diadili. (Soekanto, 1989;147)

Sebagai seorang manusia biasa, sang dokter tidak sampai hati menolak

permintaan dari pasien dan keluarganya itu. Apalagi keadaan sipasien yang sudah

35

Page 36: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

sekarat berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang selama ini

diberikannya itu sudah tidak berpotensi lagi. Dikatakan mati, masih bernapas,

sekalipun secara “artificial”. Dipihak lain jika dokter memenuhi permintaan

pasien dan atau keluarganya itu maka dokter telah melanggar sumpah dan hukum.

Sebab melalui pertolongannya itu, misalnya dengan mencabut “respirator”, ia

telah mengakhiri hidup seseorang penderita, apalagi seseorang penderita tersebut

telah dipercayakan kepadanya untuk selalu dijaga mengenai kehidupannya. Dia

telah melanggar sumpah dokter yang telah diucapkannya sebelum menjalankan

profesinya sebagai dokter. Maka menurut hemat penulis, sekalipun atas dasar hak

untuk menentukan nasib sendiri, seseorang tidak dibenarkan meminta dirinya

dieuthanasia,dan keluarga atau dokter juga tidak boleh melakukan tindakan

euthanasia hanya atas dasar kasihan. Sebab kalau kita berpikir lebih jauh

sebenarnya disaat yang sedang sangat sulit itulah kita diuji seberapa besar

keimanan kita kepada Allah, karena sebenarnya betapapun beratnya penderitaan

yang dialami pasti ada hikmah dibalik semua itu. Karena Tuhan tidak akan

memberikan cobaan melebihi batas kemampuan manusia untuk

menyelesaikannya.

Meskipun hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination)

tidak disebutkan secara eksplisit dalam Universal Deciaration of Human Rights,

namun hak untuk menentukan nasib sendiri ini diatur secara khusus pada

Instrumen Hukum hak Asazi manusia yakni dalam ICCPR. Pada hakekatnya hak

ini merupakan hak alas bagi hak-hak dasar tertentu, termasuk hak-hak pasien

dalam pelayanan kesehatan. Dalam deklarasi yang disebut di atas ditemukan

pasal-pasal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan sebagai berikut:

36

Page 37: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Pasal 3 : "Setiap orang mempunyai hak atas kehidupan, kebebasan dan

keamanan dirinya"

Pasal 5 : "Tak seorangpun boleh disiksa dan dianiaya atau diperlakukan

dengan bengis, tak berperikemanusiaan atau diperkosa hak-hak

asasinya ..."

Pasal 9 : "Tak seoran-pun boleh ditahan dengan sewenang-wenang…..”

Pasal 12 : "Tak seorangpun boleh digangu kepasiniannya (privacynya) maupun

kerahasiaan surat-menyuratnya…”

Pasal 18 : "Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan suara dan kata

hatinya..."

Lebih lanjut Leenen mengemukakan bahwa dalam "International

Covenant of Civil and Political Rights" (1966) terdapat beberapa ketentuan

mengenai hak-hak dasar individual yang penting sekali dalam hubungannya

dengan menentukan nasib sendiri (Zef-beschikkingsrecht), sebagai berikut:

Pasal 1 : "Setiap orang mempunyai hak menentukan nasib sendiri"

Pasa1 6 : "Setiap orang mempunyai hak untuk hidup ... Tak seorang-pun boleh

dirampas nyawanya dengan semena-mena"

Pasal 7 : "Tak seorangpun boleh disiksa dan dianiaya atau diperlakukan

dengan bengis, tak berperikernanusiaan dan diperkosa hak-hak

asasinya..., khususnya tanpa persetujuannya tak seorangpun boleh

diobati dan dirawat atau diikutsertakan dalam eksperimentasi medik"

Pasa1 9 : "Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan dan keamanan

dirinya"

37

Page 38: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Pasal 10 : "Orang-orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan

dengan perikemanusiaan dan dengan menghormati harkat dan

martabatnya sebagai manusia"

Pasal 17 : "Tak seorangpun boleh dilecehkan kepasiniannya (privacynya) atau

kerahasiaan surat-menyuratnya

Pasal 18 : "Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan suara dan kata

hatinya….”

Pasal-pasal diatas pada prinsipnya mengemukakan hak-hak dasar dari

manusia yang tidak bisa dilecehkan termasuk hak-hak kepasiniannya (privasi)

yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun (Leenen, 1978;57). Konsep dasar hak

asasi manusia terfokus pada hak setiap orang atas kebebasan dan keamanan

terhadap diri sendiri termasuk pasien yang tidak pengidap menyakit menular.

Penahanan atas orang-orang yang mengidap penyakit menular, satu dan lain guna

mencegah penyebaran penyakit menular tersebut adalah sah. Kemudian penahan

sah atas orang-orang yang terganggu perkembangan pertumbuhan jiwanya, para

pemakai minuman keras secara berlebihan, kecanduan obat bius dan gelandangan-

gelandangan.”

Khusus untuk pasien menular maka penerapan atas asas kebebasan

dibatasi karena bisa membahayakan orang lain. Mengenai keamanan diri

seseorang, tampaknya masih perlu dirinci lebih lanjut lagi, terutama ruang lingkup

jangkauannya. Setiap orang mempunyai hak agar kehidupan pribadi dan

keluarganya dihormati, demikian pula kerahasiaan surat-menyuratnya.” Hak ini

berlaku umum dan tidak hanya terbatas pada intervensi pihak penguasa saja. Jadi

pada prinsipnya setiap individu berhak mendapat perlindungan dari pemerintah

38

Page 39: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

terutama menyangkut hak-hak pribadi termasuk hak asasi manusia. Konsep

perlindungan yang harus diberikan pemerintah menyangkut jaminan rasa aman,

jaminan ketenangan dan kebebasan untuk beraktifitas.

Hak ini tidak mengenal pembatasan, sekalipun suara atau kata batin dalam

situasi dan kondisi tertentu tidak dapat dijangkau. Namun dalam kaitan ini perlu

diatur lebih lanjut mengenai apa yang disebut keberatan-keberatan suara batin.

Saat ini tampaknya belum ada satu negara pun yang mengatur masalah hak-hak

menentukan nasib sendiri warganegara dalam pelayanan kesehatan secara

konstitusional. Padahal menurut penulis hal ini bisa menjadi alasan sesesorang

untuk mendapatkan hak tersebut. Dalam artian apabila tidak ada pembatasan

mengenai seberapa jauh atau dalam hal apa self determination bisa dimiliki oleh

seseorang maka hal ini bisa menimbulkan salah penafsiran. Karena seperti yang

tertuang dalam Instrumen Hukum Hak Azazi manusia Internasional (ICCPR),

bahwa self determination itu diperuntukan bagi negara yang dibawah tekanan

negara lain atau orang yang ingin mendapatkan suaka. Nah, kalau hal ini tidak

dipertegas atau dibatasi, maka self determination tersebut bisa jadi dasar bagi

seseorang yang sudah sakit parah untuk minta dirinya di euthanasia.Padahal dalam

Undang-undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asazi Manusia tidak saja

mengatur mengenai hak Asazi setiap orang tapi juga diatur mengenai kewajiban

dasar dan pembatasan dan larangan terhadap Hak-hak tersebut.

Untuk itu menurut hemat penulis sebaiknya negara-negara yang tergabung

dalam ASEAN memikirkan pengaturan hal-ikhwal tentang hak-hak asasi pada

umumnya dan hak menentukan nasib sendiri secara regional melalui traktat, dan

untuk pemerintah Indonesia lebih mempertegasnya lagi dalam suatu aturan,

39

Page 40: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

sehingga hal tersebut bisa menjadi landasan bagi orang, keluarga dan Dokter

dalam menghadapi kasus euthanasia.

Hak menentukan nasib sendiri adalah hak fundamental manusia. Sekalipun

hak tersebut berbeda antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain,

namun pada hakekatnya keinginan manusia untuk mengatur kehidupan sendiri

sesuai dengan pandangan pribadinya, mengadakan pilihan-pilihannya sendiri,

bahkan merencanakan sendiri pembentukan dan pengambilan keputusan untuk

dirinya sendiri merupakan sesuatu yang diakui umum.

Memang tak dapat disangkal bahwa dalam masyarakat yang berwatak

kolektivitas tidak sama luas-lingkup hak dasar ini dibandingkan dengan apa yang

berlaku bagi warganegara masyarakat yang individualistis. Jadi, dapat

disimpulkan di sini, otonomi manusia merupakan fundamen eksistensinya,

sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Internasional Hak-Hak Asasi

Manusia. Dengan kata lain, hak menentukan nasib sendiri sebagai salah satu hak

asasi manusia diperolehnya kerana ia manusia. Hak ini asli dan murni, tidak

diberikan kepada manusia oleh negara atau masyarakat, sekalipun tidak tertutup

kemungkinan bahwa dalam negara dan masyarakat terdapat pembatasan-

pembatasan tertentu terhadap hak-hak asasi tersebut.Untuk itu menurut penulis

memang harus ada batasan dalam hal mana self determination dapat digunakan

oleh setiap orang.

Pendekatan filosofi terhadap hak menentukan nasib sendiri bertolak dari

pemikiran bahwa manusia itu mempunyai kebebasan dan otonomi untuk

menentukan kehendaknya sendiri. Henkel dalam bukunya “Einfhrung in die

Rechtsphilosophie” 1964, menguraikan hak menentukan nasib sendiri sebagai

40

Page 41: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

berikut “der von Sinn, Zweck-und Werrerfassen getragenen, geistgelenkten

willenssteurung” (Kehendak yang secara sadar diarahkan oleh jiwa menuju

sesuatu tujuan yang pasti). Namun tujuan disini tampaknya terlalu luas dan samar-

samar, karena penentuan nasib sendiri dapat diarahkan, baik secara positif

maupun negatif. Dengan adanya hak menentukan nasib sendiri maka manusia

diberi pula tanggung jawab. Tanpa hak menentukan nasib sendiri, tidak mungkin

manusia dapat menilai benar atau salah dalam tindakan-tindakannya.

Selain mempunyai kebebasan, pada hakikatnya manusia ditentukan pula

oleh faktor-faktor lain, seperti aspek-aspek biologis, psikis dan sosial.

Sebagaimana Leenen mengungkapkan bahwa interaksi berbagai faktor tersebut

telah menempatkan manusia dalam suatu keadaan dimana ia harus hidup dalam

keterkaitan antara hak dan kebebasan. Manusia merupakan makhluk biologik.

Psikis dan sosial, kenyataan ini memberikan kepadanya kemampuan untuk

bertindak bebas dalam keterkaitan itu. Hak menentukan nasib sendiri dalam

pelayanan kesehatan tampaknya akan memegang peranan penting dikemudian

hari, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang

dalam kurun waktu lima puluh tahun belakangan ini memperlihatkan gebrakan-

gebrakan dan lonjakan-lonjakan yang luar biasa, yang pada gilirannya akan

mempengaruhi hak yang disebut di atas itu. Selain itu kenyataan menunjukkan

bahwa sisi permintaan dalam pelayanan kesehatan jauh melebihi sisi penawaran,

maka akan lebih terasa lagi campur tangan birokrasi dan hal ini bisa menjadi

ancaman bagi hak-hak asasi manusia, terutama hak menentukan nasib sendiri.

Maka menurut hemat penulis pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab

terhadap pelayanan kesehatan lebih menitik beratkan perhatian kepada masyarakat

41

Page 42: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

bawah dengan cara memberi pasilitas atau pelayanan kesehatan murah kepada

mereka yang kurang mampu untuk menghindari terjadinya kasus euthanasia,

sebab seperti yang kita ketahui bahwa selain penderitaan yang sudah tidak

tertahankan, penyebab orang minta dirinya untuk di euthanasia karena tidak

adanya biaya untuk berobat, apalagi bagi orang yang difonis dokter bahwa

penyakitnya tidak mungkin disembuhkan pada umumnya mengidap penyakit

ganas yang proses penyembuhannya memerlukan biaya yang sangat mahal.

Disinilah dituntut keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah yang mungkin

bisa terjadi.

Untuk itu perlu dikemukakan di sini bahwa hak menentukan nasib sendiri

sebagai hak alas (basisrecht) hak-hak lain dalam pelayanan kesehatan harus

dilihat dari konteks sosialnya. Dalam hubungan ini kita tidak hanya menelaah hak

manusia secara individu, melainkan hak-hak manusia seanteronya. Karena

bagaimanapun juga syarat pertama dan utama di sini ialah hukum harus

memberikan kepada seluruh warga negara kedudukan yang setara dan hak-hak

yang sama secara proporsional. Untuk itu menurut penulis sebaiknya pemerintah

lebih bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat terutama

orang-orang yang menderita penyakit yang difonis dokter tidak mungkin untuk

sembuh, yang kerena keterbatasan dan keadaan yang miskin sering menyerah

pada nasib sampai-sampai momohon untuk disuntik mati demi meringankan

penderitaan baik untuk dirinya dan keluarganya karena merasa tidak mungkin lagi

untuk sembuh dan hanya menjadi beban keluarga.

2. Euthanasia , Suicide dan Ajaran Agama

42

Page 43: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Dalam konteks pemahaman agama, hidup adalah milik Tuhan dan tidak

seorangpun yang berhak mengambil kehidupan kecuali Tuhan Sang Pencipta yang

mengambilnya. Prinsip tersebut menyebabkan, dalam agama orang membagi

kematian dalam dua bentuk yaitu kematian karena kehendak Tuhan dan kematian

bukan karena kehendak Tuhan (kehendak diri sendiri) atau kesengajaan

membiarkan kematian terjadi. Dalam konteks pengajaran agama pembunuhan atau

bunuh diri merupakan dosa karena mengakhiri hak hidup sebagai pemberian

Tuhan dan hanya Tuhanlah yang berhak mencabut nyawa seseorang. Itulah

sebabnya pembunuhan dan bunuh diri dilarang oleh agama.

Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah suicide atau

bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah suicide yang perlu dibahas adalah

apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk

melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan suatu

kejahatan. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal

melakukan bunuh diri dapat dipidana. Jadi, perbuatan bunuh diri yang gagal ini

merupakan Strafbaarfeit. Begitu pula di negara Israel, percobaan bunuh diri

merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.

Dilihat dari segi agama, baik itu agama Islam, Kristen, Katholik, dan

sebagainya, maka euthanasia dan suicide merupakan perbuatan yang dilarang.

Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu hanya berasal dari

penciptanya, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, perbuatan-perbuatan yang

menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang bukan berasal dari Yang

Mahaesa itu, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan,

oleh karenanya tidak dibenarkan.

43

Page 44: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Dalam hal ini agama Islam, yang secara mayoritas dianut oleh bangsa

Indonesia, jelas melarang adanya euthanasia dan suicide. Sehubungan dengan hal

ini, Hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh Annas r.a. sebagai

berikut : “Bahwa Rasulullah pernah bersabda : Janganlah tiap-tiap orang dari

kamu meminta-minta mati, karena kesukaran yang menimpanya. Jika memang

sangat perlu dia berbuat demikian, maka ucapkanlah doa sebagai berikut : Ya

Allah ! Panjangkanlah umurku, kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku,

dan matikanlah aku manakala memang mati lebih baik bagiku.”

Dari bunyi Hadits tersebut di atas, dinyatakan secara jelas bahwa

euthanasia itu dilarang dalam ajaran Islam. Disamping itu banyak sekali ayat-ayat

suci Alquran dan Hadits-hadits Nabi yang lain, yang melarang adanya suicide,

karena kebosanan akan hidup, dan umumnya karena takut akan tanggung jawab

hidup. Tindakan demikian ini sangat diharamkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini

dapat dilihat dari ayat-ayat Alquran seperti di bawah ini :

a.Surat An Nisa’ ayat 29 :

“Hai orang-orang beriman. Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan

curang. Kecuali dengan cara perdagangan yang berlaku dengan sukarela di

antaramu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha

Penyayang kepadamu.”

b.Surat Al An’aam ayat 151 :

“Katakanlah ! Marilah kubacakan apa-apa yang telah diharamkan Tuhan

kepadamu, yakni : Janganlah kamu mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun,

berbaktilah kepada kedua orang tuamu. Dan janganlah kamu membunuh anak-

anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada

44

Page 45: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

mereka juga. Janganlah kamu mendekati perbuatan keji yang terang maupun yang

tersembunyi. Dan janganlah kamu bunuh jiwa yang diharamkan Allah

membunuhnya, kecuali karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syariat.

Begitulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu supaya kamu memikirkannya.”

c. Surat Al Isra’ ayat 31 :

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarant. Kamilah

yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya

membunuh mereka adalah dosa yang besar.”

d.Surat Al A’raf ayat 34 :

“Bagi tiap-tiap umat itu ada batas waktu tertentu (ajal / mati), sebab itu bila datang

waktunya itu, mereka tidak dapat mengulurkan barang seketika dan tidak pula

dapat mempercepatnya”.

Dari ayat-ayat Alquran di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa agama

Islam melarang orang untuk melakukan bunuh diri (Surat An-Nisa’ ayat 29)

karena Tuhan adalah kasih dan sayang kepadanya. Larangan keras seseorang

membunuh orang lain, karena takut akan kemiskinan dan kemelaratan (Surat Al

An’aam ayat 151 dan Surat Al Isra’ ayat 31). Sedang Surat Al A’raf ayat 34

mengajarkan bahwa masalah mati dan hidup manusia itu ada di tangan Tuhan,

sehingga manusia tidak dapat menentukannya.

Motif pembunuhan pada umumnya karena ketakutan akan penderitaan

hidup atau kemiskinan, dan selanjutnya karena bosan akan hidup. Semua tindakan

kriminil yang berpangkal kepada ketakutan hidup, dibenci oleh Tuhan. Larangan

bukan saja terhadap tindakan pembunuhan, bahkan juga meminta mati saja

dilarang keras oleh Islam.

45

Page 46: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Menurut keterangan Annas bin Malik r.a. (yang diriwayatkan oleh

Ahmad), pernah Nabi berkunjung kepada seseorang yang sangat menderita

sewaktu “sekarat” menghadapi kematian. Peristiwa itu sangat mengejutkan Nabi,

kasihan melihat penderitaan dahsyat pada akhir hayatnya orang itu. Lalu terjadilah

tanya-jawab antara Nabi dengan dia :

+ Apakah pernah Anda mendoa atau meminta sesuatu kepada Allah ?

- Ada ! Saya meminta Allah supaya segala siksaan yang akan saya terima di

akhirat nanti biarlah Tuhan melakukannya di dunia.

+ Subahhanallah ! Pasti anda tidak akan kuat menanggungnya ! Bukankah Saya

sudah mengajarkan doa yang berbunyi, “Ya Allah, Berikanlah kami

kebahagiaan di dunia, serta peliharalah kami dari siksa neraka.”

Dengan adanya larangan pada Hadits Nabi tersebut, maka kedua pihak

tidak boleh : meminta mati karena tidak tahan penderitaan dunia, begitu juga

meminta siksaan di dunia supaya nanti di akhirat tidak disiksa lagi. Dalam kedua

peristiwa ini, Nabi memperingatkan doa yang selalu diajarkannya, supaya mohon

bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

Ditinjau dari segi agama Kristen (Katholik / Protestan) yang juga banyak

dianut oleh bangsa Indonesia, apa yang diuraikan di atas pun merupakan suatu

tindakan yang dilarang. Disamping itu, diajarkan pula bahwa soal hidup dan

matinya seseorang itu berada di tangan Tuhan. Sebagai contoh dapat diambil dari

Kitab Injil Perjanjian Baru karangan Matius dari hal kuatirkan nyawanya, sebagai

berikut : “Sebab itu Aku berkata kepadamu : Janganlah kamu kuatir akan hal

nyawamu, yakni apakah yang hendak kamu makan atau minum atau dari hal

46

Page 47: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

tubuhmu, apakah yang hendak kamu pakai. Bukankah nyawa itu lebih daripada

makanan dan tubuh itu lebih dari pakaian ?”(Pil. 4:6, 1 Ptr. 5:7, 1 Tim. 6:6, Ibr.

13:5). “Siapakah di antara kamu dengan kuatirnya dapat melanjutkan umurnya

barang sedikit pun ?” Dari ajaran ini, dapat diambil kesimpulan bahwa masalah

nyawa seseorang itu adalah lebih penting dari hal-hal lainnya, dan hidup serta

matinya seseorang itu ada di tangan Tuhan. Oleh sebab itu manusia tidak akan

dapat menentukannya, bila telah dikehendaki Tuhan, manusia tak akan dapat

mempercepat ataupun memperlambat barang sedikitpun.

Selanjutnya, pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip

euthanasia yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami manusia itu,

sudah menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan tujuan

tertentu. Tetapi disamping itu, oleh Tuhan, manusia juga diwajibkan berusaha

untuk menghilangkan penderitaannya. Namun dalam hal, pengobatan untuk

penyembuhan dan menghilangkan penderitaan sudah tidak mungkin lagi dan jalan

satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar

penderitaannya itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan

penderitaan memang diminta oleh pasien, karena merasa jalan lain untuk

menghilangkan penderitaan itu sudah tidak ada lagi, mengapa permohonan

euthanasia tidak dapat dikabulkan ? Apakah kehendak untuk mati dalam kasus

semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu “hak asasi” yang dalam hal ini

sebagai “hak untuk mati” ? Jika telah diakui bahwa manusia mempunyai sejumlah

hak asasi, apakah dipandang sebagai suatu kesalahan apabila kita mengakui pula

adanya “hak untuk mati” terhadap kasus, khususnya kasus semacam ini.Persoalan

inilah yang harus kita sikapi bersama, khususnya dalam terang hukum keenam

47

Page 48: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

yaitu”jangan membunuh”. Maka menurut penulis, dalam menghadapi masalah ini

kita harus lebih dapat memahami tentang berbagai hal, dengan terburu-buru

mangatakan bahwa euthanasia sama dengan pembunuhan sama salahnya dengan

tanpa pikir panjang mengatakan euthanasia merupakan hak asazi setiap orang.

Mengapa?, sebab persoalan kita tidak menyajikan pilihan hitam-putih yang

sederhana. Misalnya, pertama, sungguh sulit untuk kalau bukan mustahil

menentukan bahwa suatu penyakit benar-benar tidak dapat disembuhkan, kapan

orang dapat menentukan dengan pasti bahwa orang yang sakit parah tidak

mungkin disembuhkan. Bagaimana mendefinisikan istilah tidak dapat

disembuhkan itu? Apakah kanker termasuk didalamnya? Sekarang, mungkin ya.

Tapi siapa yang mengetahui perkembangan selanjutnya, beberapa bulan lagi, atau

beberapa tahun lagi. Kedua, siapakah yang berhak menentukan bahwa nyawa si

A atau si B, tidak perlu dipertahankan lagi? Apakah yang bersangkutan? kalau

ya, bukankah dalam pengalaman sehari-hari kita sering mendengar orang yang

mengalami sedikit kesulitan begitu mudah mengucap”lebih baik aku mati saja

sekarang”padahal itu reaksi spontan belaka. Kalau begitu, apakah keluarga yang

lebih berhak mengambil keputusan? mungkin saja. Tapi siapa yang dapat

menjamin, bahwa keputusan yang bulat selalu berarti keputusan yang benar?

Bagaimana kalau tidak tercapai kesepakatan antara keluarga tersebut. Bagaimana

bila dokter? Lebih masuk akal lagi, tapi jangan lupa seorang dokter hanya

mempertimbangkan satu aspek saja, yaitu aspek fisik dari kehidupan manusia.

Padahal kita tahu bahwa, kehidupan lebih dari itu. Bahkan ada banyak bukti,

termasuk kesaksian Paulus, bahwa justru disaat dalam penderitaan yang terdalam,

seseorang sering menemukan kekayaan rohani dan sukacita batiniyah yang tak

48

Page 49: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

terkatakan. Dan yang ketiga, dan ini yang paling berbahaya, mengabsahkan

euthanasia mudah sekali berakses pada pembenaran terhadap pembunuhan

semena-mena. Dan keberatan yang paling fundamental adalah bahwa, tak

seorangpun dan tidak satu lembagapun di muka bumi ini, yang pernah diberi

mandat oleh Tuhan, untuk menjadi pemegang kuasa atas hidup-mati manusia,

bahkan atas hidup matinya sendiri.

Jadi, apakah dengan demikian saya ingin mengatakan secara mutlak

bahwa euthanasia no? tidak juga, yang ingin saya kemukakan disini, pertama

bahwa pada dasarnya secara prinsipil, euthanasia tidak dapat dibenarkan, bahwa

euthanasia tidak dikehendaki Allah. Dan sebagai konsekuensinya, tidak boleh

ada hukum apapun yang mengabsahkan atau membenarkannya. Namun dalam

realitas kehidupan menunjukan bahwa selalu saja ada situasi-situasi khusus, yang

menuntut kebijakan, keluwesan dan pengecualian dari kita. Bahwa dalam

menghadapi situasi ini kekakuan berakibat lebih buruk, jadi memang ada keadaan

tertentu, dimana mempertahankan kehidupan berakibat lebih buruk dari pada

merelakan kematian.

Dalam hal ini, mempraktekan euthanasia tetap salah, bila toh terpaksa

dilakukan ia harus dilakukan dengan gentar, penuh penyesalan dan permohonan

pengampunan dan dapat dipertanggungjawabkan dengan syarat, pertama bahwa,

keputusan diambil, setelah benar-benar tidk ada kemungkinan lain yang lebih

baik, kedua keputusan diambil oleh semua pihak yang terkait, dan setelah

mempertimbangkan semua faktor dan terakhir keputusan dilaksanakan, tidak

dengan aktif membunuh (misalnya dengan menyuntikan racun) melainkan

dengan sekedar membiarkan penderita meninggal secara wajar.

49

Page 50: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Dasar pemikiran seorang hakim dalam menjatuhkan pidana mati,

biasanya didasarkan demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan

begitu saja, dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan tetapi

hendaknya jangan dilupakan, bahwa menyelamatkan kepentingan umum dan

keamanan negara, bukan satu-satunya jalan dengan menjatuhkan pidana mati.

Dengan kata lain, untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dan negara tidak

harus dilakukan dengan jalan menjatuhkan pidana mati terhadap si terdakwa,

sebab masih banyak cara yang dapat ditempuh, misalnya dengan menjatuhkan

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu, dan lain-

lain, asal harus diikuti pengawasan efektif dan pembinaan yang kontinyu,

sehingga orang yang dipidana penjara ini dapat berubah sikapnya, untuk kembali

ke jalan yang benar dan insyaf.

Kiranya sejalan dengan ini, maka dalam dunia kedokteran, bagi orang

yang menyetujui prinsip euthanasia dilakukan atas dasar perikemanusiaan

terhadap sesama manusia, yang tengah menderita sakit, yang tak dapat

disembuhkan lagi, seperti di Indonesia sekarang ini, barangkali dapat ditempuh

jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip euthanasia. Jadi, seorang tertuduh

yang dijatuhi pidana mati, hendaknya diberi kesempatan untuk mempergunakan

hak asasinya, yaitu “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati”. Apabila tertuduh

yang divonis mati tersebut dianggap menerima kematian atas dirinya. Dengan

demikian ia dianggap telah mempergunakan “hak untuk mati”-nya, dan pidana

mati yang telah dijatuhkan dapat dengan segera dieksekusi. Sebaliknya, bila

tertuduh menolak putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia

telah mempergunakan “hak untuk hidup”-nya. Dengan demikian harus dicarikan

50

Page 51: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

jalan keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa ini betul-betul dilindungi oleh

hukum dan dihargai hak asasinya.

Dengan cara tersebut di atas, baik “hak untuk hidup” dan “hak untuk

mati”, kiranya telah sama-sama dihargai oleh hukum, terutama hukum pidana.

Dengan diakuinya “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” dari manusia ini,

dimaksudkan untuk melindungi manusia terhadap penganiayaan atau penyiksaan

dan kekejaman serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak

berperikemanusiaan dari sesama umat manusia sebagaimana diatur dalam

konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam,

tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan

yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini. Tetapi bagaimanapun juga, karena

masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus

dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur

euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum

guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan

masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati

dengan masalah tersebut adalah peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2,

Bab IX Pasal 344 KUHP.

Sebelumnya, kalau diperhatikan pasal-pasal lain yang menyangkut jiwa

manusia dalam KUHP ini, seperti Pasal 338, 339, 340, 341, dan lain-lain, maka

selain dapat membaca bunyi pasal-pasal itu sendiri, kita pun dapat mengetahui

bagaimana sebenarnya pembentuk undang-undang mengenai, pandangannya

51

Page 52: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

terhadap jiwa manusia itu. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat

diketahui, bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia

Belanda), menganggap bahwa jiwa manusia sebagai miliknya yang paling

berharga. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang

perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia,

dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara. Jadi masalah

keselamatan jiwa daripada warga negara, selalu dilindungi negara. Dalam hal ini

tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan

kepentingan individu yang dituntut. “Kepentingan masyarakat, bahwa seorang

yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan

hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat, dan

kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa

sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau

memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu berat, tidak

seimbang dengan kesalahannya.” (Prodjodikoro, 1977;16)

Pasal 344 KUHP, disebutkan bahwa :“Barangsiapa merampas nyawa

orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan

hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Dari bunyi

Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan

melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu

dilakukan dengan alasan atas permintaan si korban sendiri. Sulit rasanya

membayangkan seseorang yang sampai hati “membunuh” atau dengan perkataan

lain “merampas nyawa” orang lain apalagi yang dikenalnya atau yang perlu

ditolongnya, sekalipun atas permintaan yang bersangkutan karena menderita sakit

52

Page 53: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

parah yang tak tersembuhkan misalnya. Namun dalam masa-masa mendatang,

karena sesuatu hal tidak mustahil permasalahan merampas nyawa orang lain yang

sangat dikasihani atau yang perlu untuk ditolong sulit untuk dihindari.

Lain di pengadilan, lain pula dengan dunia medis. Apabila di pengadilan

seorang hakim dapat menentukan kematian seseorang melalui pidana mati yang

dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senantiasa

melindungi mahluk hidup insani, sebagaimana ditetapkan dalam Kode Etik

Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” di dunia, terutama di negara-

negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien yang

sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kemudian diminta oleh

keluarganya supaya penderitaannya dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di

negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada

harapan lagi itu, mengajukan permintaan kepada pengadilan atau pejabat yang

berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati.

Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat

dengan definisi daripada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya

kenyataan bahwa profesi medis pada dewasa ini, sudah mampu menciptakan alat-

alat maupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan seseorang

yang mengalami kerusakan otak (brain death), tetapi jantungya tetap hidup dan

berdetak dengan bantuan sebuah “respirator”. Di negara-negara maju sudah

banyak yang memberikan definisi tentang kematian, tetapi definisi yang diajukan

itu hanya bersifat khusus. Jadi, sampai sekarang belum ada yang memberikan

definisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang bersifat umum.

Definisi khusus ini biasanya akibat kemajuan yang telah dicapai dalam bidang

53

Page 54: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan terbatas untuk

tujuan-tujuan operasi transplantasi organ tubuh (anatomical gifts). Sebagai suatu

contoh dapat disebutkan di sini definisi kematian yang telah diterima oleh The

American Association tahun 1975, yang menyatakan bahwa kematian adalah :

“For all legal purpose, a human body with irreversible cessation of total brain

function, according to medical practice, shall be considered dead.” Definisi

kematian ini diterima sebagai akibat daripada perkembangan ilmu kedokteran,

sehubungan dengan “organ transplants”, pencabutan hak-hak untuk menopang

kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupkan

kembali.

Pada perkembangan selanjutnya American Medical Association, tahun

1977 menyatakan tentang suatu definisi perundang-undangan tentang kematian

dengan kriteria tersebut di atas. Jauh sebelum itu, yakni tahun 1968 di Amerika

Serikat telah ditetapkan didalam The Uniform Anatomical Gift Act bahwa

seseorang yang berumur 18 tahun atau lebih, dapat memberikan seluruh atau

sebagian dari badannya pada saat kematiannya untuk tujuan-tujuan riset,

pengobatan dan transplantasi. Jadi, jelas bahwa sebenarnya definisi kematian yang

bersifat umum itu sangat diperlukan dan tidak hanya terbatas untuk tujuan

transplantasi organ saja. Dengan demikian maka seseorang yang “incompetent”

yang masih hidup karena dibantu dengan life support system, bisa dicabut life

support system-nya, sekalipun tindakan ini akan berakibat kematian bilamana

sudah terdapat bukti-butki yang tak dapat dibantah lagi, bahwa kematian biologis

tak dapat dielakkan lagi. Hal inilah yang termasuk dalam pengertian “hak untuk

mati”.

54

Page 55: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Dalam ilmu kedokteran, dijumpai apa yang disebut sebagai “mati suri”

dan “mati yang sebenarnya”. Disamping itu jika dilihat dari saat terjadinya

kematian, akan didapati istilah-istilah somatic death dan biological death yang

disebut sebagai “mati” dalam ilmu kedokteran adalah biological death. Tetapi

dalam perkembangannya yang selanjutnya, waktu yang dua jam itu dapat

diperpanjang sampai waktu 24 jam. Selama waktu 24 jam ini orang yang telah

meninggal tadi dites secara medis terus-menerus, apakah seluruh sel-sel tubuh

manusia ini sudah tidak berfungsi lagi atau tidak. Jadi hal ini hanya merupakan

percobaan medis saja.

Sekarang masalahnya, bagaimana dengan istilah kematian dalam ilmu

hukum ? Biasanya definisi mati yang dipakai di pengadilan-pengadilan terhadap

kasus yang terjadi, baik didalam maupun diluar negeri, menganggap bahwa

apabila masih bernapas, belum dikatakan mati. Jadi dikatakan mati, apabila orang

tersebut sudah tidak bernapas lagi. Memang pada banyak kasus yang terjadi,

misalnya pembunuhan, yang menyebabkan kematian, pada umumnya orang yang

dibunuh tersebut, setelah tidak bernapas lagi, kemudian dikubur begitu saja.

Dengan demikian proses selanjutnya di pengadilan, hakim mendefinisikan bahwa

orang tersebut mati terbunuh, yang akhirnya terdakwanya dikenakan sanksi sesuai

dengan pasal yang mengatur tentang pembunuhan itu. Kalau dipakai definisi

demikian, dan dihubungkan dengan masalah euthanasia, seorang yang sudah tidak

bernapas, sedang otaknya masih merangsang, jadi belum dikatakan sebagai brain

death, apakah ini juga disebut sebagai mati oleh pengadilan ? Oleh karena itulah,

perlu dirumuskan suatu definisi tentang kematian yang bersifat umum, yang dapat

menjangkau masalah medis dan juga dalam berbagai kasus yang berhubungan

55

Page 56: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

dengan hukum, terutama hukum pidana. Hal ini sangat penting dalam menangani

berbagai kasus yang berhubungan dengan euthanasia, yang selama ini belum

dapat ditolerir di Negara-negara yang sedang berkembang, terutama di Indonesia.

Walaupun euthanasia merupakan perbuatan yang terlarang dan diancam

pidana seperti diatur Pasal 344 KUHP, namun pencantuman larangan ini

dirasakan kurang efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus yang sampai

ke pengadilan. Oleh sebab itu, untuk perkembangan selanjutnya, penulis ingin

mengetengahkan dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia, dengan

mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHP, ataukah

menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagai suatu perbuatan yang tidak

dilarang, dengan mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah apa

yang disebut sebagai “dekriminalisasi”. Apabila yang ditempuh adalah tetap

mempertahankan euthanasia dalam segala bentuknya sebagai perbuatan yang

terlarang, maka perumusan Pasal 344 KUHP perlu ditinjau kembali. Hal ini

dimaksudkan untuk memberikan kelonggaran kepada penuntut untukl

memudahkan dalam mengadakan pembuktian terhadap kasus yang terjadi.

Selama ini mungkin saja euthanasia ini terjadi di Indonesia. Apakah

dengan terjadinya euthanasia itu kemudian penuntut umum dapat

membuktikannya ? Sulit rasanya hal ini untuk dipecahkan. Sepanjang yang pernah

ditanyatakan oleh penulis kepada para dokter, memang euthanasia (aktif) di

Indonesia belum pernah terjadi., kalaupun mungkin ada kasus yang sebenarnya

merupakan kasus euthanasia tapi karena pada umumnya masyarakat tidak banyak

tahu tentang dunia medis, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Sebagai contoh, seorang suami yang meminta tim Dokter sebuah rumah sakit di

56

Page 57: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Jakarta untuk melakukan tindakan euthansia terhadap istrinya, dengan alasan tidak

tega melihat kondisi istrinya yang terbaring ditempat tidur tanpa ada harapan

untuk sembuh setelah melahirkan anaknya yang kedua, apalagi biaya yang kian

menumpuk dan tidak mampu ia bayar mendorongnya untuk mendesak tim Dokter

untuk melakukan euthanasia tersebut. Namun permohonanya ditolak karena

euthanasia dilarang di Indonesia (permohonan yang dilakukan oleh Hasan

Kusuma untuk istrinya agian Isan Nauli tergolek koma setelah operasi cecar/22

oktober 2004) tetapi dengan kemajuan dan perkembangan keadaan yang semakin

maju, tidak mustahil euthanasia ini dilakukan secara diam-diam. Karena jelas

bahwa para dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan Dokter Indonesia

(IDI), sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, menganut paham bahwa

hidup dan mati tidak merupakan hak daripada manusia, melainkan hak dari Tuhan

Yang Mahaesa. Oleh sebab itu, para dokter di Indonesia, tidak menganut prinsip

euthanasia, sebab di samping masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan

Yang Maha Esa, juga melanggar Sumpah Hipokrates yang pernah diucapkan para

dokter.

Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia merupakan

perbuatan yang tidak terlarang, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini

misalnya :

A. Bagi pasien yang sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup menurut ukuran

dokter,

B. Usaha penyembuhan yang dilakukan sudah tidak berpotensi lagi.

C. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative state.

57

Page 58: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Bagi pasien yang dalam keadaan seperti ini, sebaiknya euthanasia dapat

dilakukan. Disamping syarat-syarat limitatif tersebut, dapat ditambahkan lagi,

misalnya dengan disertai permohonan tertulis dari pasien atau keluarganya,

dengan membubuhkan tanda tangannya, dan pada surat permohonan tersebut

ditandatangani pula oleh saksi-saksi. Jadi, euthanasia hanya dapat dilakukan

terhadap pasien yang memenuhi syarat-syarat tertentu tadi, dan tetap dilarang bila

dilakukan terhadap orang yang masih sehat, dan tidak memenuhi syarat-

syaratnya. Ini dimaksudkan dengan dibolehkannya euthanasia agar tidak

disalahgunakan penggunaannya.

B. Keterkaitan Etika Kedokteran dan Hak Asasi Manusia

Dalam Praktek Euthanasia

Aspek hukum dan HAM yang berkaitan dengan praktek euthanasia yaitu

keterkaitan antara dokter dengan ilmu pengetahuannya dan pasien dengan

penyakitnya dimana kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter

mempunyai kewajiban untuk menyembuhkan dan menolong pasien agar supaya

bisa mempertahankan hidup, sedangkan pasien mempunyai hak untuk

mempertahankan kehidupannya dan mendapatkan perlindungan dari malpraktek

yang mengancam jiwanya.

Disinilah hal yang mendasar yang menunjukkan keterkaitan antara ilmu

kedokteran dan perlindungan hak asasi manusia terutama hak pasien untuk

mempertahankan kehidupannya. Pasien berada pada posisi yang lemah

(bargaining position) dan biasanya pasien akan menurut semua kemauan dan

keinginan dari dokter yang merawatnya. Bargaining position dari pasien inilah

58

Page 59: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

yang menyebabkan pasien rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang

dilakukan oleh dokter atau rumah sakit dimana dia dirawat. Nasib dari pasien

tergantung daripada dokter atau rumah sakit yang merawatnya apalagi kalau

pasien dalam posisi koma dan tidak sadarkan diri yang menderita sakit yang

berkepanjangan.

Apabila seorang dokter dapat mengupayakan kesembuhan atau paling

kurang mengurangi rasa sakit bagi pasien, maka hubungan antara dokter dengan

pesien dapat bermuara pada hal-hal yang melegakan kedua pihak. Namun dapat

juga kita sadari bahwa dokter hanya manusia biasa, yang punya kelebihan dan

kekurangan, terutama dengan ilmu pengetahuannya. Artinya dalam situasi tertentu

seorang dokter, dapat saja melakukan hal-hal yang menurut pandangan umum di

anggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hukum, tapi menurut logika

seorang dokter, hal itu tidak bertentangan dengan pengetahuan yang ia miliki.

Dalam perjanjian terapeutik, dokter wajib berusaha menyembuhkan

pasien melalui ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, dengan penuh

kehati-hatian, cermat dan teliti atas kepercayaan yang diberikan pasien, Sementara

pasien wajib membayar pelayanan. Jadi antara dokter dengan pasien dalam

proses penyembuhan penyakit telah terjadi kontrak terapeutik. Menurut

Chrisdiono M Achadiat (1996) : Kontrak terapeutik digunakan ketika terjadi

hubungan profesional antara dokter dengan pasiennya, khususnya berkaitan

dengan usaha memperoleh kesembuhan. Namun dalam praktek kontrak terepautik

sering terjadi salah penafsiran baik oleh dokter maupun oleh pasien. Beberapa

kalangan dokter berasumsi, kontrak terapeutik tidak dapat digangu-gugat atau

dengan kata lain kebal hukum. Sedangkan disisi lain pihak pasien tidak menyadari

59

Page 60: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

arti suatu kontrak terapeutik khususnya mengenai isi atau objek perjanjian

tersebut. Objek dari perjanjian terapeutik itu sebenarnya adalah usaha yang

sebaik-baiknya dari sang dokter dan bukan untuk harus menyembuhkan

Seringkali terdengar pasien menuntut dokter, karena penyakitnya tidak berhasil

disembuhkan.

Keterkaitan antara ilmu kedokteran dan hak asasi manusia dalam

euthanasia yaitu antara etika (kode etik) kedokteran dan perlindungan hak hidup

bagi pasien dengan masalah tanggung jawab medik dari dokter sesuai dengan

etika profesi dimana dokter boleh mengambil tindakan apapun termasuk mencabut

nyawa pasien asal tidak bertentangan dengan etika Profesi.

Di beberapa Negara Eropa dan Amerika mulai banyak terdengar suara

yang pro-euthanasia. Mereka mengadakan gerakan untuk mengukuhkannya dalam

Undang-undang. Sebaliknya yang kontra-euthanasia berpendapat, bahwa

tindakan demikian sama dengan pembunuhan. Bagi kita di Indonesia, sebagai

umat beragama dan ber-Pancasila percaya kepada kekuatan mutlak dari Tuhan

Yang Maha Esa. Segala yang diciptakanNya dan penderitaan yang dibebankan

kepada mahlukNya mengandung makna dan maksud tertentu. Dokter harus

mengerahkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan

penderitaan dan memelihara kehidupan, tidak untuk mengakhirinya.

Menurut Gunawan konflik akan selalu terjadi dalam pemikiran dokter

yang melakukan euthanasia. Dua kepentingan yang bertentangan akan timbul.

Apakah tindakan euthanasia ini hanyalah semata-mata untuk menolong penderita

melepaskan diri dari rasa sakit dan penderitaannya atau apakah ada orang lain

yang lebih membutuhkan alat pernapasan buatan. Konflik bisa menjadi

60

Page 61: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

berkepanjangan sejalan dengan majunya teknologi kedokteran. Untuk

transplantasi ginjal misalnya, memerlukan organ ginjal yang masih segar. Organ

demikian bisa diperoleh dari tubuh manusia yang mati batang otak, dimana

sirkulasi darahnya masih normal, berkat digunakannya alat pacu jantung, maka

euthanasia dapat dilakukan untuk memperoleh donor ginjal itu.

1. Aspek Etika Kedokteran dalam euthanasia

Jika kita ingin menyoroti aspek etis dari euthanasia, perlu dimulai dengan

membedakan euthanasia sukarela (voluntir) dengan euthanasia tidak sukarela

(involuntir). Telah dijelaskan,bahwa euthanasia dengan suka rela terjadi bila ada

kesepakatan antara dokter dan pasien sedangkan euthanasia tidak sukarela

dilakukan tidak atas permintaan pasien. Walaupun euthanasia sukarela kerap kali

dibicarakan dalam kaitan dengan pembahasan etika mengenai bunuh diri, namun

ada dua alasan untuk membicarakan dua hal itu tersendiri. Yang pertama, bunuh

diri jelas merupakan suatu perhentian ditengah jalan dalam proses kehidupan dan

berlangsung dalam suatu konteks non-medis. Alasan kedua, euthanasia

merupakan antisipasi dari kematian yang pasti dan tidak dapat dihindarkan akibat

suatu penyakit.Sementara Euthanasia tidak sukarela menjadi lebih kompleks

karena pasien yang bersangkutan tidak kompeten. Dengan demikian pasien tidak

ikut serta dalam keputusan..

2. Etika kedokteran dalam euthanasia pasif dan aktif

Perbedaan lain yang penting juga adalah euthanasia aktif dan pasif.

Tindakan euthanasia tidak dapat dibenarkan secara moral, apabila itu berarti

tindakan yang mempunyai tujuan dan cara-cara yang secara langsung menentang

perikemanusiaan, karena menghendaki kematian pasien. Tindakan semacam itu

61

Page 62: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

bisa disebut sebagai euthanasia aktif . Disebut “euthanasia aktif ” karena

mempunyai tujuan kepada kematian pasien sendiri, atau karena cara-cara yang

dipakai secara langsung akan menyebabkan kematian. Misalnya, dokter

menyuntikkan obat yang diketahui akan mengakhiri hidup pasien.

Alasan utama mengapa orang menolak euthanasia aktif karena

menghentikan kehidupan manusia dengan cara demikian merupakan pelanggaran

tanggung jawab manusia. Karena Tuhan adalah pencipta dan mempunyai kuasa

penuh atas hidup dan mati. Euthanasia aktif menimbulkan kesulitan moral yang

serius. Tetapi konteks kesulitan-kesulitan ini, yaitu keadaan tanpa harapan seorang

pasien, juga merupakan pertimbangan moral yang penting. Dengan demikian,

perdebatan etis tentang euthanasia aktif ini berlangsung antara sebuah motif bagi

perbuatan kita, yaitu rasa kasihan terhadap pasien, dan sebuah aturan moral yang

juga berlaku bagi perbuatan kita, yaitu jangan membunuh.

Euthanasia aktif tidak dapat dibenarkan secara moral, karena tindakan

semacam itu sengaja mangakhiri kehidupan sebelum waktunya. Walaupun ada

nilai lain yang cukup tinggi yang akan dicapai dengan tindakan itu, misalnya

untuk menghindari pasien dari rasa sakit yang berat, tindakan itu tidak dapat

dibenarkan. Sebab, kehidupan merupakan nilai yang lebih tinggi daripada

pembebasan manusia dari rasa sakit yang berat. Tindakan itu tidak dapat

dibenarkan, walaupun atas permintaan pasien dan kelurganya. Sebab mereka pun

tidak mempunyai hak menentang kehendak Tuhan saat kematian atau akhir dari

kehidupan manusia. Tentu saja, tindakan euthanasia aktif lebih tidak dapat

dibenarkan lagi, apabila hal itu dilakukan oleh dokter tanpa persetujuan dari

pasien dan keluarganya.

62

Page 63: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

3. Bantuan dokter untuk menyelesaikan masalah pasien

Apabila euthanasia dimengerti sebagai bantuan dokter pada pasien yang

sudah mendekati akhir hidupnya dengan cara yang sesuai dengan

perikemanusiaan, maka euthanasia itu mempunyai nilai moral yang tinggi. Dalam

tindakan semacam itu, baik motivasi maupun caranya tidak bertentangan dengan

rasa hormat terhadap martabat manusia. Sebagai contoh, dokter memberikan

pilihan analgetik kepada seseorang penderita kanker yang tidak dapat

disembuhkan lagi dengan obat, maupun dengan tujuan agar pasien itu tidak terlalu

berat menderita sakit akibat kanker itu. Tujuannya baik, yakni untuk meringankan

rasa sakit. Caranya pun baik, yakni dengan memberikan pil-pil penenang yang

mengurangi rasa sakit. Namun akibat dari pemberian pil-pil tersebut bisa saja

membuat pasien mati. Euthanasia semacam ini disebut euthanasia aktif tidak

langsung. Disebut euthanasia karena pemberian pil-pil analgetik semacam itu

dapat sedikit mempercepat datangnya kematian, sekalipun kematian itu tidak

dikehendaki dokter. Maksud pemberian pil adalah membantu agar rasa sakit

berkurang, dengan demikian meringankan penderitaan pasien. Tindakan

euthanasia aktif tidak langsung masih sesuai dengan sumpah Hipoccrates yang

berjanji akan mempergunakan cara pengobatan yang menurut pengetahuan dan

pendapat (nya) adalah yang terbaik untuk pasien-pasien (nya) dan tidak akan

merugikan siapa pun.

4. Penghentian perawatan

Tindakan lain dari dokter yaitu dengan tidak memberi pengobatan karena

dia tahu bahwa pengobatan yang dilakukan percuma dengan melihat kondisi dari

pasien tersebut (euthanasia pasif).. Misalnya dokter mencabut respirator pada

63

Page 64: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

pasien yang menurut pemeriksaan dinyatakan telah mengalami kematian batang

otak dan berada dalam keadaan vegetatif persisten. Contoh lain, misalnya pasien

yang menderita kerusakan ginjal menolak usul dokter untuk mencuci darahnya

atau menerima ginjal baru, karena ia yakin bahwa cara itu akan membawa beban

financial (materi) yang terlalu berat bagi keluarganya. Dokter harus menerima

keputusan pasien itu, walaupun hal itu akan mengakibatkan kematian pasien.

Euthanasia pasif seperti itu dapat dibenarkan secara moral, asal alasan yang

dikemukakan oleh pasien sungguh jujur, sementara dokter pun tetap meneruskan

cara-cara perawatan yang “biasa”. Kalau dokter tahu bahwa pasien berasal dari

keluarga kaya raya, sehingga akan mampu membiayai proses cuci darah atau

transplantasi ginjal, dokter mengusulkan agar pasien akan menggunakan cara-cara

itu. Namun, pasien tetap mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya, dan

dokter harus menghormati keputusan itu. Yang jelas, harus tetap diperhatikan

bahwa manusia tidak diwajibkan untuk mempertahankan hidupnya dengan cara-

cara yang luar biasa. Maka, atas permintaan pasien dan keluarganya, dokter dapat

menghentikan atau mencegah pemberian perawatan atau pengobatan terhadap

pasien, walaupun tindakan itu akan menyebakan kematian pasien.

5. Mengedepankan etika kedokteran dan perlindungan hak hidup pasien

Sejak terwujudnya praktek kedokteran, masyarakat mengetahui dan

mengakui adanya beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri

seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja,

kerendahan hati serta integritas ilmiah yang tidak diragukan. Oleh sebab itu, para

dokter di seluruh dunia mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut

64

Page 65: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

dalam suatu etik profesional yang sepanjang masa mengutamakan penderita yang

minta berobat serta keselamatan dan kepentingan penderita tersebut.

Dokter merupakan profesi tertua yang telah memiliki kode etik. Kode

etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipoccrates, yang dirumuskan kembali

dalam pernyataan Himpunan Dokter se-dunia di London bulan Oktober 1949 dan

diperbaiki dalam sidang ke-22 himpunan tersebut di Sidney bulan Agustus 1968.

Kode etik adalah pemandu sikap dan perilaku. Pada hakikatnya, dokter sendirilah

yang menentukan sikap dan tindakannya sesuai dengan hati nuraninya. Dokter

harus memahami apa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai etika kedokteran dan

norma-norma yang berlaku di masyarakat.

6. Pengaruh sumpah dokter terhadap euthanasia

Aspek yang penting yang menyangkut keterkaitan ilmu kedokteran dan

hak asasi manusia dalam praktek euthanasia menyangkut sumpah dokter.

Tindakan medis dari dokter selalu didasarkan pada sumpah dokter dan kode etik

kedokteran. Itulah sebabnya tindakan-tindakan medis bersifat rahasia dan tertutup

Peraturan pemerintah tahun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia yang

bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sidney 1968

menyebutkan bahwa: “saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan

perikemanusiaan………”. “saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari

saat pembuahan…………”. Sedangkan Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam

Pasal 9, Bab II tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa:

“seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

mahluk insani”.

65

Page 66: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Dengan demikian, menurut etika kedokteran, seorang dokter tidak

diperbolehkan melakukan pengguguran kandungan (abortus provokatus) maupun

mengakhiri hidup seorang yang sakit (euthanasia) meskipun menurut

pengetahuan dan pangalamannya tidak akan sembuh lagi. Problematika yang

timbul disini apakah dokter dalam menanganai pasien yang sedang dalam keadaan

koma mengedepankan sumpah dokter atau melindungi hak asasi dari pasien untuk

hidup. Paradoks ini memang belum diatur dalam satu aturan yang positif bila

kedua hal ini berbenturan, mana yang harus dikedepankan, apakah etika

kedokteran atau hak asasi manusia. Dalam ilmu hukum dikenal asas hukum yaitu

lex specialis derogat legi generalie tentang pemberlakuan aturan-aturan khusus

yang mengesampingkan aturan-aturan umum dalam satu keadaan. Dalam

penanganan euthanasia, kalau asas hukum ini diterapkan tentunya dokter akan

menjadi bingung, manakah yang harus dikedepankan, etika atau perlindungan hak

asasi manusia

7. Batasan tentang kepastian kematian pasien

Akan tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang

otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara

keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Apabila seorang

dokter akan mencabut alat respirator harus mempunyai bukti yang cukup kuat,

bahwa alat itu sudah tidak mempunyai manfaat lagi. Penghentian tindakan

terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang sering

mengalami kasus serupa dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan

konsultasi dengan dokter lain yang juga berpengalaman, selain harus pula

66

Page 67: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup terbaik

yang diharapakan.

Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah

memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup

pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Profesor Olga Lelacic yang menyatakan

bahwa: “Dalam kenyataan, pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri

hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas

dari penderitaan karena penyakitnya (Samil, 1994;127).

8. Penerapan delik pidana dalam praktek euthanasia

Dokter yang melakukan praktek euthanasia dalam perspektif hukum

pidana telah melakukan pembunuhan, status dokter disebut pembunuh atau pelaku

perbuatan pidana. Sehubungan dengan hal ini, J.E. Sahetapy, Universitas

Airlangga Surabaya, pernah mengadakan suatu research terhadap masalah

euthanasia di Indonesia. Beliau mengatakan dalam tulisannya yang dimuat pada

Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, bahwa pengadilan-pengadilan di

Indonesia ini, belum pernah menangani kasus yang bertalian dengan Pasal 344

KUHP. Hal ini disebabkan karena:

1. If euthanasia has occured, it has never been discovered or reported to law

enforcement agencies,

2. Death was not considered euthanasia by the victim’s family or they are

ignorant of the law,

3. Although medical technology has reached an advanced stage in Indonesia,

the latest medical equipments to prolong life in hospital are not yet available

except probably in some hospital in Jakarta.

67

Page 68: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Seperti diketahui, bahwa Pasal 344 KUHP,yang dikenal sebagai Pasal

euthanasia yang aktif menyatakan bahwa : Barangsiapa merampas nyawa orang

lain atas permintaan sendiri, yang menyatakan dengan kesungguhan hati, diancam

pidana penjara paling lama dua belas tahun. Tetapi perumusan Pasal 344 KUHP

menimbulkan kesulitan di dalam pembuktian, yakni dengan adanya kata-kata

“atas permintaan sendiri”, yang disertai pula kata-kata “yang jelas dinyatakan

dengan kesungguhan hati”. Dapat dibayangkan bahwa orang yang menyatakan

dengan kesungguhan hati tersebut telah meninggal dunia. Kemudian timbul

masalah lagi, bagaimana jika orang yang bersangkutan itu tidak mampu untuk

berkomunikasi ? Untuk memberikan gambaran yang jelas, sebagai bahan

perbandingan, akan dikemukakan contoh kasus yang terjadi diluar negeri, sebagai

berikut : Kasus pertama, terjadi pada tahun 1976 di New Jersey, Amerika Serikat,

yang terkenal sebagai kasus Karen Ann Quinlan. Karena si gadis manis berusia 21

tahun, yang dipungut oleh keluarga Quinlan, ia menderita penyakit dan dalam

keadaan yang disebut in a persistent vegetative state, mati tidak, hidup pun tidak.

Karen hanya dapat bertahan dengan bantuan sebuah “respirator”. Keadaan Karen

bagaikan patung bertulang terbungkus kulit, bagaikan kerangka mayat saja.

Dapatkah dikatakan bahwa Karen masih hidup ? Bukankah Karen sudah tidak

dapat berbicara lagi ? Jangankan makan, bernapas pun sulit, jadi hidupnya

tergantung pada mesin. Para ahli kedokteran mengatakan bahwa apabila

“respirator” tersebut dilepaskan, akan berakibat lebih lanjut terhadap otaknya dan

Karen pun akan segera mati. Tetapi dalam hal ini dokter menolak menghentikan

penggunaan “respirator” tersebut. Kemudian Quinlan (ayah angkatnya) menuntut

agar Karen dinyatakan sebagai incompetent dan Quinlan ditunjuk sebagai

68

Page 69: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

guardian yang diizinkan untuk menghentikan segala tindakan medis yang dapat

memperpanjang hidup Karen. Selanjutnya pengadilan menolak tuntutan Quinlan

tersebut, tetapi New Jersey Supreme Court menyatakan dalam putusan banding,

bahwa seseorang mempunyai suatu hak yang disebut right to privacy dan khusus

dalam kasus Karen ini, bilamana Karen dapat melakukannya, dia pasti menolak

penggunaan “respirator” karena penderitaan yang dialaminya sangat hebat. Karen

membutuhkan 24 jam terus-menerus perawatan yang intensif, antiviotiks, bantuan

“respirator”, catheter dan feeding tube. Jadi jelas dalam hal ini kepentingan Karen

melebihi kepentingan para dokter yang merawatnya, dan negara. Pada akhirnya

Supreme Court memerintahkan agar the life support apparatus dicabut tanpa

adanya pertanggungan jawab sipil maupun kriminil.

Kasus yang kedua, terjadi di Florida, Amerika Serikat, tahun 1978, yang

terkenal dengan kasus Sats v. Perlmutter. Abe Perlmutter, berusia 73 tahun,

dalam keadaan sadar dan kompeten, mederita penyakit yang disebut sebagai

incurably amytropic lateral sclerosis. Penyakit ini sangat fatal, sebab dapat

mengakibatkan one’s muscles to wear away. Diagnosa terhadap Perlmutter

menyatakan bahwa dia hanya akan tahan hidup selama satu tahun, dan akan

segera mati, dalam waktu satu jam setelah “respirator”-nya dicabut. Dia sudah tiga

kali mencoba sendiri untuk mencabut “respirator” itu, dan minta dengan sangat

kepada anak perempuannya untuk mencabut alat tersebut. Para dokter dan rumah

sakit, menolak memberikan izin kepadanya untuk mencabut “respirator” tersebut,

sebab takut akibat hukumnya. Kemudian pengadilan (the Lower Court)

mengatakan bahwa Perlmutter hendaknya diizinkan untuk mencabut “respirator”

tersebut. State Attoney General mengajukan banding, dan Distric Court of

69

Page 70: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Appeals memperkuat keputusan tersebut. Tetapi The State Attorney General tidak

melanjutkan kasasinya lebih lanjut. Akhirnya Perlmutter meninggal dunia pada

tanggal 6 Oktober 1978, 41 jam sesudah “respirator”-nya dicabut.

Dari contoh dua kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di

Amerika Serikat diizinkan oleh hukum, walaupun terbatas kepada situasi dan

kondisi tertentu. Euthanasia dalam arti pasif dapat terjadi bilamana seseorang

yang “competent’ menggunakan hak untuk menolak medical treatment, sekalipun

akan mengakibatkan kematian atas dirinya sendiri. Begitu pula euthanasia dalam

arti aktif, dapat terjadi bilamana seseorang yang incompetent sesuai dengan

putusan pengadilan yang diminta oleh keluarganya untuk mencabut life support

system’s yang dapat mengakibatkan kematian si pasien, seandainya keadaan

pasien tersebut sudah tidak mungkin dapat diharapkan kesembuhannya.

10. Euthanasia dalam hukum positif Indonesia

Sekarang bagaimana halnya di Indonesia. Apakah kasus Karen Ann

Quinlan yang bikin heboh di Amerika Serikat itu dapat terjadi di Indonesia ?

Kiranya tidak mustahil kasus seperti ini terjadi di Indonesia, apabila rumah sakit

di Indonesia telah mempergunakan alat-alat kedokteran yang serba modern seperti

“respirator”, heartlung machines, organ transplants dan sebagainya, yang dapat

mencegah matinya seseorang pasien secara teknis untuk beberapa hari, minggu

dan bahkan mungkin untuk beberapa tahun.

Problema yang selanjutnya adalah seandainya kasus Karen Ann Quinlan

dan Staz v. Perlmutter ini benar-benar terjadi di Indonesia, apakah para dokter

dapat dituntut dengan Pasal 344 KUHP ? Kalau dilihat dari perumusan Pasal 344,

baik dalam konteks penafsiran, menurut hemat penulis Pasal ini tidak dapat

70

Page 71: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

diterapkan, karena rumusan Pasal tersebut yang mencantumkan adanya unsur

“atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” tidak dapat

dibuktikan. Kita tahu bahwa Karen dalam keadaan in competent serta dalam

keadaan mati tidak, hidup pun tidak. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, berbicara,

bergerak pun tidak dapat, apalagi menyatakan permintaan untuk mati, yang harus

diucapkan sendiri oleh Karen bukan oleh orang lain sekalipun keluarganya. Di

samping itu pasal tersebut mengandung makna bahwa jiwa manusia harus tetap

dilindungi, tidak saja dari ancaman orang lain, tetapi juga dari usaha orangnya

sendiri untuk mengakhiri hidupnya, karena sama saja dengan bunuh diri yang

dilarang oleh agama, dan hukum pidana positif Indonesia.

Walaupun demikian, untuk masa-masa mendatang, dalam rangka Ius

constituendum hukum pidana, rumusan Pasal 344 KUHP tersebut, perlu untuk

dirumuskan kembali, agar dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam hal

pembuktiannya. Hal ini perlu ditempuh mengingat sejak terbentuknya KUHP,

sampai sekarang belum ada kasus yang berhubungan dengan Pasal tersebut yang

sampai ke pengadilan, yang disebabkan karena :

a. Bila terjadi masalah yang berhubungan dengan Pasal tersebut, tidak pernah

dilaporkan kepada polisi, atau pejabat yang berwenang.

b. Kebanyakan orang Indonesia masih awam terhadap hukum, apalagi terhadap

masalah euthanasia

c. Alat-alat kedokteran di Indonesia, belum begitu modern, sehingga jarang

terjadi pencegahan kematian secara teknis.

Perumusan kembali dimaksud, agar supaya memperhatikan serta

memperhitungkan pula perkembangan dan kemajuan-kemajuan ilmu

71

Page 72: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

pengetahuan. Kematian janganlah dipandang sebagai suatu fungsi terpisah dari

konsepsi hidup sebagai suatu keseluruhan. Namun manusia bukanlah suatu robot

belaka. Karena itu, mau tidak mau, konsepsi “hak untuk hidup” tidak dapat

dipisahkan begitu saja dengan “hak untuk mati”. Hal ini berarti relevansi konsepsi

pengertian perbuatan pidana menjadi nyata, terutama apabila putusan pengadilan

secara jelas dan tegas, membedakan dan memisahkan antara pengertian perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Sebagaimana dijelaskan dalam kasus diatas, maka persoalannya bukanlah

semata-mata patuh dan takut terhadap hukum saja, apakah hukum hanya suatu

alat dalam kerangka konsepsi hidup manusia. Ataukah hukum menjadi suatu

tujuan yang memperhamba manusia. Dengan demikian hukum, juga termasuk

hukum Indonesia, baik saat ini, ataupun untuk masa yang akan datang,

seyogyanya jangan bersifat kaku dan statis. Hukum itu hendaknya lebih bersifat

fleksibel dan dinamis, berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan dalam

masyarakat. Dengan sifat yang fleksibel dan dinamis tersebut, diharapkan dapat

memecahkan segala persoalan, baik yang terjadi pada masa sekarang, maupun

masa yang akan datang.

C. Prosfek Hukum HAM Terhadap Perlindungan Hak-Hak Pasien Dari

Praktek Euthanasia

The rights of Health merupakan hak dari pasien dalam perawatan

kesehatan, tercakup didalamnya hak mempertahankan kehidupan. Dalam

Mukadimah Statuta WHO disebut adanya hak atas kesehatan, dalam konsep

Statuta tersebut tertulis "the right to health care", tetapi karena satu dan lain hal

72

Page 73: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

dokumen internasional ini menyebut "the right to health". Timbul pertanyaan,

apakah kata care ini sengaja dihilangkan dan tidak diberi komentar dalam memori

penjelasan? Konon salah satu alasan mengapa care ini dikeluarkan ialah uraian

modern tentang kesehatan yang dirumuskan sebagai: ."Suatu keadaan yang

ditandai oleh kesejahteraan fisik, mental dan sosial, dan bukan semata-mata

ketiadaan sakit, penyakit dan cacat." Konsep tersebut senada dengan Deklarasi

Universal Hak-hak Asasi Manusia yang tampaknya lebih dapat dipertanggung-

jawabkan secara yuridis. Ketentuan tersebut merumuskan antara lain: “……hak

memperoleh perlindungan kesehatan untuk setiap orang tanpa membedakan ras,

status, warna kulit, jenis kelamin, keyakinan politik, dan sebagainya".

Secara yuridis "hak atas kesehatan" pada hakekatnya kurang rasional,

contoh, Seorang konglomerat misalnya dapat saja memberi segudang obat-

obatan, menyewa dokter pribadi, namun segenggam kesehatan, sampai saat ini

belum ada yang dapat memasokkannya kepada yang bersangkutan. Ini barangkali

takdir Ilahi bahwa ada hal-ikhwal yang tak dapat dibeli dengan uang, baik oleh

sang konglomerat, maupun yang melarat. Oleh karena itu aspek kesehatan tidak

dapat dijadikan obyek persetujuan (terapeutik). Nah, kalau begitu apa saja yang

dapat dijadikan obyek sebuah kontrak? Dalam kaitan ini, pemeliharaan kesehatan

sebagai kumpulan sarana dan prasarana guna melindungi, menunjang dan

meningkatkan kesehatan manusia merupakan salah satu benda hukum, yang

mendapatkan perhatian yuridis. Ringkasnya, pelayanan kesehatan (pemeliharaan

kesehatan dalam arti sempit) merupakan obyek persetujuan pengobatan dan

perawatan.Yang dapat digolongkan pelayanan kesehatan antara lain ialah

pemeriksaan medik, diagnosis, terapi, anestesi, menulis resep obat-obatan,

73

Page 74: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

pengobatan dan perawatan di rumah sakit, peningkahan pasien, kontrol, pelayanan

pasca perawatan, pemberian keterangan medik, pemberian informasi, kerja sama

vertikal penyelenggara pelayanan kesehatan, dan sebagainya.

Hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas diakui umum sebagai hak

sosial, satu dan lain karena pemeliharaan kesehatan (termasuk pelayanan

kesehatan) sebagai sistem memberikan ruang dan peluang kepada setiap orang

untuk berpartisipasi dalam kesempatan-kesempatan yang diberikan, disediakan

atau ditawarkan oleh pergaulan hidup, Leenen menyebutkan hak-hak partisipasi

(participatie rechten), dan isi hak-hak ini sedang berkembang seiring dengan

kemajuan masyarakat. Jadi hak dasar sosial ini mengandung tanggung jawab

(bandingkan Pasal 29 Universal Deciaration of Human Rights, yang berbunyi:

"Everyone has duties to the community" dan seterusnya). Dan salah satu tanggung

jawab ialah ikhtiar untuk mempertahankan hak-hak dasar individu, antara lain hak

untuk menentukan nasib sendiri. Sesungguhnya hak atas pemeliharaan kesehatan

mempunyai jangkauan yang luas sekali jika dibandingkan dengan hak atas

pelayanan kesehatan, yang pada hakikatnya merupakan hak orang sakit, setidak-

tidaknya hak orang yang mencari pelayanan kesehatan.

Dalam Pasal 25 Universal Declaration Of Human Rights tercantum ketentuan-

ketentuan yang rnenyangkut hak-hak atas pemeliharaan kesehatan, yang secara

tidak langsung berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan, sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak atas suatu taraf hidup, yang layak bagi kesehatan dan

kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk didalamnya pangan, pakaian,

dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya yang diperlukan.

Hak-hak ini mencakup hak atas tunjangan dalam hal terjadi pengangguran,

74

Page 75: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

sakit, cacat, usia lanjut atau kehilangan mata pencaharian, yang disebabkan

oleh situasi dan kondisi diluar kehendak yang bersangkutan.

2. Ibu dan anak mempunyai hak atas pemeliharaan dan bantuan khusus. Semua

anak, baik yang sah maupun diluar kawin, menikmati perlindungan sosial

yang sama.

Perlindungan terhadap kesehatan dirumuskan dalam Pasal 12 persetujuan definitif

Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai berikut:

A. Negara-negara yang merupakan pihak dalam persetujuan ini mengakui hak

setiap orang atas kesehatan tubuh dan jiwa, yang diupayakan sebaik mungkin;

B. Langkah-langkah yang diambil negara-negara yang merupakan pihak pada

persetujuan ini, guna merealisasikan hak ini selengkap mungkin, antara lain

meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mencapai:

a) Pengurangan jumlah anak yang lahir mati dan kematian anak

pertumbuhan dan pengembangan anak secara sehat dan upaya yang

seiring dengan itu;

b) Perbaikan aspek-aspek higiena lingkungan hidup dan lingkungan kerja;

c) Pencegahan, penanganan dan pemberantasan penyakit epidemik dan

endemik.

d) Menciptakan suasana yang memberikan jaminan kepada setiap orang yang

bilamana menderita sakit akan memperoleh bantuan dan pelayanan medik.

Kalau pemeliharaan kesehatan berada dalam bidang makro, maka

pelayanan kesehatan lebih mengatur pelayanan kesehatan yang merupakan

hubungan langsung antara penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter, perawat

dan lain-lain) dan pencari bantuan pelayanan tersebut, secara mikro. Secara

75

Page 76: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

teoretis relasi dokter-pasien ini dapat kita bagi dalam tiga jenis kontrak, yang

dapat berakhir dengan suatu kontrak, sebagai berikut:

1. Hubungan dokter-penderita. Seseorang menemui dokter karena ia merasakan

ada sesuatu yang mengancam kesehatannya. Nalurinya membisikkan bahwa

ada gejala-gejala sakit dan penyakit yang sedang menggerogotinya. Orang lain

pun dapat melihat bahwa seseorang tertentu dirundung sakit dan penyakit, dan

memanggil atau menyuruh memanggil dokter. Dalam hubungan seperti ini

dokter adalah dewa penyelamat.

2. Hubungan dokter-pesien. Seseorang pergi ke dokter berdasarkan gejala-gejala

yang sudah diantisipasi (self-Milling prophecy). Pasien telah mengetahui, atau

setidak-tidaknya mengira telah mengetahui gejala-gejala tersebut dan dokter

hanya menegaskan benar tidaknya asumsi tersebut.

3. Hubungan dokter-konsumen. Relasi jenis ini pada umumnya kita temui pada

pemeriksaan medik preventif. Misalnya, seseorang pergi ke dokter atas

kemauan pihak ketiga, yang mungkin saja negara, majikan, dan sebagainya.

Dokter memeriksa orang yang disuruh pihak ketiga tersebut dan berikhtiar

menemukan penyakit yang belum diketahui, menegakkan diagnosis, dan jika

dianggap perlu diikuti oleh terapi. Sekalipun tujuan pertama adalah

pemeriksaan preventif, namun tidak tertutup kemungkinan diikuti oleh

tindakan-tindakan kuratif.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran telah menyebabkan

bidang pelayanan kesehatan menjadi semakin komplek. Sarana dan prasarana

pelayanan kesehatan makin canggih saja, dan makin mahal pula. Dalam sistem

kesehatan seperti ini tampaknya dokter bukan lagi sumber otoritas satu-satunya

76

Page 77: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

melainkan harus membagi kemampuan dan kehormatannya dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi, pada satu sisi Iptek akan mengambilalih peran

dokter. Saat ini Iptek terutama dalam bidang diagnostik, telah menjadikan dokter

(umum) seorang spesialis, malahan seorang pemasok jasa pelayanan kesehatan

tersebut mulai memperlihatkan perilaku konsumen, yang dalam perkembangannya

tidak mau begitu saja menerima pelayanan jasa. Adapun rincian hak-hak pasien

dalam konteks hak asasi manusia yaitu:

1. Hak atas informasi

Dalam konteks HAM dokter dan pasien berkedudukan sederajat dan

pasien harus mendapatkan haknya termasuk hak informasi. Hak-hak tersebut

yakni pasien harus diperlakukan sederajat termasuk untuk mendapatkan informasi

dan kebenaran diagnosa atas penyakitnya. Dari informasi ril pasien, dokter akan

menyampaikan kepada pasien pendapat dan pandangannya. ia perlu pula

menginformasikan pasien mengenai rencana pengobatan dan perawatan, berapa

lama pengobatan dan perawatan itu akan berlangsung dan efek-efek yang perlu

diantisipasi, seperti ketidaknyamanan yang akan dialami, sifat dan bentuk

komplikasi, dan sebagainya

Selama berlangsungnya konsultasi pasien-dokter ini, maka arus informasi dari

pasien ke dokter dan sebaliknya, berjalan tak putus-putus. Dalam kenyataan

banyak sekali pasien melalaikan pemberian informasi kepada dokter, bukan

karena ia tidak mau, tapi tidak tahu bagaimana mengutarakannya. Pada umumnya

pasien takut atau malu mengemukakan sesuatu yang serba salah, apalagi kepada

seseorang yang dianggapnya ahli dalam bidang medik. Dan kalau

memberitahukan yang benar, ia khawatir sakit dan penyakitnya, apalagi bila itu

77

Page 78: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

membawa nista baginya, diketahui orang banyak. Yuridis, hak atas informasi ini,

seperti pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain dalam struktur relasi dokter-

pasien, termasuk hukum perikatan dan hukum persetujuan. Namun, perlu

ditambahkan disini bahwa tentang hal ini tidak banyak yang diatur secara

eksplisit. Baik peradilan maupun doktrin menganggap hubungan hukum tersebut

lebih dikuasai oleh kebiasaan, hukum kebiasaan dan itikad baik, daripada

peraturan perundang-undangan.

Penelitian di beberapa negara maju menunjukkan bahwa pada urnumnya

dokter yang menjadi anggota perhimpunan profesi menyerahkan aspek hukum

dalam pelayanan medik kepada perhimpunan yang antara lain memberikan

perlindungan bagi para anggotanya dalam berbagai bidang, hubungan

kemasyarakatannya. Malahan banyak penyelenggara pelayanan medik yang

dengan setia taat pada ketetapan, keputusan dan pedoman kerja yang dikeluarkan

oleh perhimpunan profesi, menganggap dirinya sudah sadar hukum, mengetahui

undang-undang dan aturan-aturan yang setara dengan itu. Dengan perkataan lain:

jika perhimpunan profesi itu sendiri tidak membentuk peraturan-peraturan

internalnya sendiri, maka penguasalah yang akan membuatnya. Hal inilah yang

barangkali menyebabkan sementara para penyelenggara pelayanan medik

beranggapan bahwa peraturan internal yang pada hakikatnya lebih bersifat

petunjuk dan pedoman kerja daripada suatu aturan yuridis formal berlaku secara

umum.

Sebagai contoh tentang apa yang dikemukakan diatas adalah suatu putusan

Majelis Tata Tertib Medik Pusat Belanda mengenai hak atas informasi ini. Pada

tahun 1967 Majelis tersebut memutuskan bahwa dokter mempunyai hak informasi

78

Page 79: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

dan bukan sebagaimana menurut logikanya harus mempunyai kewajiban untuk

memberi informasi. Secara teori mungkin saja dokter sama sekali tidak memberi

informasi, namun dalam praktek keharusan untuk memberi informasi pada

umumnya dilihat sebagai suatu kewajiban. Secara formal dokter harus meminta

persetujuan pasien untuk diobati dan dirawat. Pada tindakan-tindakan serius dan

penuh risiko dokter harus memperoleh izin pasien. Namun, prosedur ini tidak

mempunyai makna sedikitpun bilamana pasien tidak diberikan informasi yang

memadai dan yang dilakukan dalam bahasa yang ia tidak kuasai. Pada umumnya

persetujuan pasien dianggap telah diberikan secara diam-diam.

Di Amerika Serikat mengenai informasi dan persetujuan antara kedua

pihak diungkapkan dalam istilah "informed concent", yang dalam Permenkes No.

585 Tahun 1989 dialihbahasakan sebagai persetujuan tindakan medik. Informed di

sini diartikan sebagai (pihak) yang telah memperoleh informasi dari (pihak) lain,

sedangkan consent bukan saja mengandung arti mengerti lingkup informasi yang

diberiakan itu, tetapi juga setuju akan dilakukan tindakan medik atas dirinya

berdasarkan informasi tersebut.

Pada umumnya dapat dikemukakan disini, bahwa masalah "informed

consent" merupakan sesuatu yang baru di dunia kedokteran, baik di negara-negara

maju, apalagi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dan hat tersebut

pada hakikatnya merupakan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

medik pada satu sisi, dan kesadaran hukum masyarakat serta semakin kritisnya

kaum konsumen terhadap hasil dan ikhtiar pemasaran barang dan jasa modern

pada sisi lain. Dalam praktek masalah "informed consent" menimbulkan berbagai

problematik bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan, terutama persoalan

79

Page 80: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

bahwa tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat apa yang terbaik dalam

peristiwa medik yang kongkrit, penyelesaian mutlak tidak dapat diandalkan di

sini, karena pada pemberian informasi terjadi suatu dialog antara dokter dan

pasien, yang harus terselenggara dengan itikad baik. Apalagi kalau dipikir bahwa

dalam proses pemberian informasi ini dokter sudah harus memberikan suatu

pertimbangan sebelum melakukan tindakan. Bukankah sakit dan penyakit tidak

berlangsung menurut skema dan sketsa yang tetap dan teratur? Demikian pula

kenyataan bahwa banyak sekali terjadi informasi sang dokter yang disalahartikan,

suatu gejala yang serius kadangkala diremehkan demikian pula sebaliknya.

Oleh karena itu sangat tinggi relevansi disini bahwa dokter menuangkan dalam

berkas mediknya informasi yang diberikannya kepada pasien, saat diberikannya

informasi tersebut dan alasan mengapa itu diberikan, maupun alasan mengapa

telah ditahannya atau tidak diberikannya informasi tersebut sesuai dengan

kebenaran. Sebaliknya, hakim dan pasien pada hakikatnya memberikan penilaian

kemudian (pasca akta), jika peristiwa dan kejadian telah menjadi kenyataan.

Kewajiban memberikan informasi masih dapat pula diberikan lebih lanjut

secara rasional. Namun informasi itu bukan merupakan suatu keharusan,

melainkan lebih bersifat petunjuk. Petunjuk pertama adalah bahwa dalam hal

terdapat keragu-raguan apakah pasien telah mengerti apa yang diinformasikan,

maka kita harus bertolak dari anggapan bahwa pemberian informasi kepadanya

kurang memadai. Sesungguhnya disini kita berhadapan dengan permasalahan

bahwa pasien dihadapkan kepada suatu materi yang cukup sulit untuk tidak

disebut rumit, yang harus dicerna dalam kondisi yang lebih sulit lagi. Petunjuk

selanjutnya ialah bahwa di dalam pemberian informasi ini dokter hanya wajib

80

Page 81: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

melakukannya yang baginya memberikan kepastian. Jadi, tidak dimaksudkan di

sini bahwa kepastian mutlak tentang diagnosis dan prognosis harus

diinformasikan, melainkan perkiraan-perkiraan, yang diambilnya itu, bertumpu

pada dasar-dasar yang rasional. Dan perlu diperhatikan, bahwa jangan sekali-kali

dokter mengungkapkan prasangka yang tak beralasan sebagai suatu kebenaran.

Pasien yang belum dewasa, alias dibawah umur dalam rangka kewajiban

urnum dokter memberikan informasi, pasien tersebut mempunyai juga hak atas

informasi tentang apa yang akan dilakukan dengan dirinya. Namun pemberian

informasi di sini lazimnya dihubungkan dan disesuaikan dengan umur yang

bersangkutan. Hak atas informasi tersebut dimiliki orang yang belum dewasa

terlepas dari persetujuan orang tua untuk itu, walaupun kita ketahui bahwa orang

tua mempunyai kekuasaan orang tua atas anak-anaknya yang belum dewasa.

Dalam Bab 3 telah kita bahas hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai hak

asasi manusia dalam pelayanan kesehatan, yang mulai berlaku pada saat manusia

itu lahir. Hak menentukan nasib sendiri merupakan pula salah satu hak manusia

yang penting. Tubuh manusia dari bagian ujung kaki dan ujung rambutnya

mewujudkan manusia selaku manusia. Jadi, para orang tua tidak mempunyai

patrin notestas atas tubuh anak-anaknya. Tambahan pula bahwa anak-anak

tersebut pada hakikatnya harus dilindungi terhadap tindakan-tindakan para orang

tuanya. Tujuan kekuasaan orang tua, bukan pemberian suatu hak menentukan

nasib sendiri atas anak-anaknya, melainkan pemberian kewajiban peningkatan

dan pembinaan atas anak-anaknya agar mereka berangsur-angsur memiliki hak

menentukan nasib sendiri setelah dewasa. Apa yang dimiliki anak tersebut selaku

subyek hukum dalam kerangka hak-hak asasi manusia sejak kelahirannya, harus

81

Page 82: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

dikembangkan oleh para orang tuanya.

Pengertian kekuasaan orang tua tidak didefinisikan secara identik dalam

undang-undang. Pasal 298 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi:

"Para orang tua mempunyai kewajiban mernelihara dan mendidik anak-anak

mereka yang belum dewasa". Lebih lanjut Pasal 299 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata memuat ketentuan bahwa "Sepanjang perkawinan bapak dan ibu,

tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua,

sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua" Dari

kedua ketentuan tersebut dapat kita jabarkan bahwa kekuasaan orang tua sebagai

suatu kewajiban untuk memberikan pemeliharaan, pendidikan, bantuan dan

perlindungan kepada anak-anaknya, terutama yang masih di bawah umur. Apalagi

kalau diingat bahwa para orang tua.dapat dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan

tersebut dalam hal mereka tidak sesuai atau tidak mampu menjalankan kekuasaan

itu.

Secara yuridis kekuasaan orang tua lebih banyak memperlihatkan aspek-

aspek hukum harta kekayaan. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

mengatur tentang kebelumdewasaan seseorang. Belum dewasa adalah mereka

yang belum mencapai umur duapuluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah

kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap duapuluh

satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

Kalau Undang-Undang Perdata Belanda menyatakan seseorang telah

dewasa jika ia menginjak usia delapan belas tahun, maka di Indonesia yang

notabene meresepsi Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, masih saja

menganggap umur dua puluh satu tahun sebagai batas kedewasaan menurut

82

Page 83: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

hukum. Padahal secara fisik tampaknya orang-orang Asia lebih cepat dewasa dan

mandiri daripada orang-orang Eropa. Itulah sebabnya perlu dipertimbangkan,

khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan untuk mempergunakan batas umur

progresif dalam penilaian anak-anak dibawah umur bertalian dengan hak

menentukan nasib sendiri, hak atas informasi dan pemberian persetujuan tindakan

medik.

Jika seseorang mencapai umur dua puluh satu tahun maka pada umumnya

ia cukup (bekwaam) untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum. ia diberi

status dewasa yang pada hakikatnya merupakan suatu pengertian hukum

(perdata). ia memiliki legal competency dan pada umumnya cakap bertindak

untuk dirinya sendiri, tanpa diwakili lagi oleh orang lain. Namun, tidak semua

orang dewasa cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Orang dewasa yang

terus menerus dirundung kedunguan, gangguan jiwa atau mata gelap harus

diletakkan dibawah pengampuan (onder curatele gesteld), demikian pula jika

yang bersangkutan hidup boros (pasa1433 KUHPerdata).

Kalau dalam praktek perundang- undangan, kita jumpai kekecualian

yuridis seperti apa yang diuraikan diatas, maka tidak terlalu salah jika dalam

rangka pelayanan kesehatan, yang lebih peka lagi permasalahannya, diterapkan

batas umur progresif bagi orang-orang yang belum dewasa. Dan lebih khusus lagi

dalam kerangka "informasi consent" dengan Segala seluk-beluknya, hal tersebut

perlu mendapatkan prioritas.

Belanda, misalnya Kelompok Kerja Perhimpunan Hukum Kesehatan yang

telah mengadakan penelitian dalam bidang ini berpendapat bahwa dokter berhak

untuk memberikan informasi baik kepada pasien yang belum dewasa maupun para

83

Page 84: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

orang tua atau walinya, kecuali pihak yang dibawah umur tersebut menaruh

keberatan atasnya. Suatu kekecualian terhadap apa yang disebut terakhir ialah

tidak memberikan informasi kepada para orang tua akan merugikan pasien yang

belum dewasa. Lain pula pendapat Leenen yang pada dasarnya menganggaap

pemberian informasi sebagai suatu kewajiban sedangkan pasien berwenang untuk

meminta informasi. Namun, betapapun juga selayaknyalah dalam hal dokter meng

hadapi pasien-pasien yang belum atau hampir dewasa, maka para orang tua harus

diberikan informasi kecuali jika pasien tersebut menaruh keberatan atasnya, atau

dokter mempunyai alasan-alasan kuat memperkirakan bahwa pasien yang

bersangkutan tidak menghendaki hal itu. Dapat disimpulkan disini bahwa pada

umumnya dalam memberikan informasi seperti yang diuraikan diatas kepada

pasien dibawah umur haruslah dibicarakan terlebih dahulu dengan orang tua

mereka, kecuali karena alasan-alasan seperti yang diuraikan diatas hal tersebut

tidak mungkin dilakukan.

Keadaan di Amerika Serikat tampaknya sudah "a step ahead" karena di

beberapa negara bagian telah memberlakukan undang-undang khusus tentang

persetujuan pasien-pasien dibawah umur untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh-

contoh dalam bidang ini adalah antara lain pengobatan dan perawatan penyakit

kelamin, donor darah, ketergantungan pada obat bius dan minuman keras,

pemeriksaan setelah perkosaan, reseptur pil keluarga berencana dan lain-lain. Ada

pula undang-undang, sebagai pelengkap apa yang disebut di atas, memberikan

ketentuan-ketentuan tentang keabsahan persetujuan pasien dibawah umur, diatas

empat belas tahun untuk pengobatan dan perawatan penyakit-penyakit spesifik.

Bahkan suatu statuta yang dikeluarkan oleh negara bagian Luisiana telah

84

Page 85: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

melangkah lebih lanjut lagi dengan memberikan keabsahan persetujuan anak di

bawah umur tanpa batas-batas umur yang ditetapkan dengan jelas bagi mereka

yang dirundung atau merasa dirundung sakit dan penyakit.

Selanjutnya dapat disampaikan kutipan hukum yurisprudensi di Arnerika

Serikat sebagai berikut: "The United States Supreme Court has deciared that the

provisions of a statute imposing a bianket requirement of parentel consent before

a minor female could obtain and abortion (when otherwise entitled to one) were

unconstitutional "See Pianned Parenthool of Central Mo. v. Danforth, 428 U.S.

52 (1976).

Dalam kasus yang lain diputuskan: "The parental consent for an abortion

could be required if the state provides an alternative procedure whereby the

patient could dispense with such consent if she could show either that she is

sufficiently mature to make the decision or that the abortion would be in her best

interest. See Belloti v. Baird, 433 U.S. 622 (1979) (plurality decision).

Dapat terjadi bahwa para orang tua menolak memberikan persetujuan

untuk pengobatan dan perawatan medik pada anak-anak mereka yang belum

dewasa. Beberapa penulis terkenal seperti Leenen, Rang, Van der Mijn

berpendapat bahwa pasien-pasien di bawah umur yang sudah lebih tua, dokter

dapat bertolak dari anggapan bahwa persetujuan pasien-pasien tersebut sudah

cukup, kecuali untuk tindakan-tindakan yang tergolong berat. Dalam suatu

tindakan medik yang secara medik perlu dilakukan, maka dalam kasus seperti itu

pada umumnya timbul pertentangan kepentingan antara para orang tua dan anak.

Jadi, sesuai dengan anggapan para pakar Belanda tersebut maka kepentingan anak

yang diutamakan. Anak tersebut memiliki hak-hak asasi manusia dan harus

85

Page 86: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

dilindungi terhadap akibat-akibat yang secara fisik dan psikhis merugikan, yang

pada hakikatnya disebabkan oleh penolakan para orang tua tersebut.

Sesungguhnya apa yang dikemukakan oleh para pelopor hukum kesehatan

di Belanda tersebut dapat dijalankan di negara mereka, satu dan lain karena

berbagai pranata pendukung sudah dilembagakan di sana. Antara lain kita kenal

beberapa lembaga hukum seperti peletakan dibawah pengawasan

(ondertoezichtstelling) vide Pasal 254 BW jo Pasal 257 BW. Malahan ada yang

menganjurkan diterapkannya tindakan-tindakan perlindungan terhadap anak untuk

suatu kasus insidental atau jika ini terlalu berat untuk dilaksanakan, maka

hendaknya dipertimbangkan adanya kemungkinan agar diselesaikan melalui

intervensi hakim yang dapat memberikan persetujuan penyelenggaraan pelayanan

medik.

Suatu contoh dari yurisprudensi Belanda adalah putusan Pengadilan Tinggi

Den Haag 26 Oktober 1965, N.J. 1967, 121, yang memutuskan peletakan di

bawah pengawasan seorang anak yang berumur tiga tahun yang menderita

kelainan pada matanya. Tanpa pelayanan medik yang memadai hal tersebut akan

mengakibatkan kerusakan tak terpulihkan pada retina. Pada pemeriksaan tingkat

pertama peletakan dibawah pengawasan ditolak (karena para orang tua menolak),

tapi Pengadilan Tinggi berpendapat lain. Contoh lain dalam kaitan ini adalah

putusan Pengadilan Negeri Dordrecht 27 Juni 1973, N.J. 1973, 432, mengenai

seorang anak dengan kelainan jantung yang serius, dan yang memerlukan

pembedahan "cito". Sang ibu memberikan persetujuannya, tapi ayahnya menolak,

atas dasar pertimbangan keagamaan. Sang ayah dibebaskan dari kekuasaan orang

tua, sehingga pada saat itu hanya ibu anak tersebut yang menjalankan kekuasaan

86

Page 87: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

orang tua. Berdasarkan pemberian persetujuan ini pembedahan dapat

dilaksanakan. Seperti telah diketengahkan diatas, para orang tua tidak mempunyai

wewenang menentukan nasib kehidupan anak-anaknya dan dalam hal ada

penolakan seperti itu maka perlu diambil tindakan seperlunya terhadap para orang

tua. Apa yang dapat ditolak oleh para orang dewasa berdasarkan keyakinan,

kepercayaannya, tidak boleh mereka terapkannya kepada anak jika karenanya

anak tersebut terancam nyawanya. Sedangkan beberapa penulis antara lain Rood-

de Boer mengemukakan bahwa perundang-undangan sendiri mengakui keberatan-

keberatan berdasarkan suara batin para orang tua yang pada umumnya merupakan

panutan anak-anaknya.

Kembali kepada permasalahan pemberian informasi kepada para pasien

yang belum dewasa pada hakikatnya kita berpatokan pada kemampuan intelektual

pihak yang diberi informasi untuk dapat menerima dan mencerna kesemuanya itu

sehingga tanpa paksaan atau desakan memberikan persetujuan agar dilakukan

tindakan-tindakan medik atas dirinya.

2. Hak untuk menentukan nasib sendiri dikaitkan dengan " informed consent "

Hak-hak dasar individu, membuka hati para penyusun Code Neurenberg

untuk menerapkan dua hal. Pertama, mereka dapat memilih jalan untuk kembali

pada rumusan Hippocrates lama dengan menggarisbawahi bahwa pemeriksaan

hanya dapat dilakukan bilamana hal itu dapat dibenarkan karena membawa

keuntungan bagi pasien/naracoba. Kedua, mereka dapat berpaut pada pemeriksaan

sesuai dengan hukum yang berlaku, dan yang dilakukan demi kepentingan

masyarakat, dan mereka dapat mengendalikannya terhadap ekses yang mungkin

timbul dengan jalan memberikan bentuk pada salah satu asas yang mempunyai

87

Page 88: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

daya membatasi kecenderungan-kecenderungan tersebut. Para penyusun dan pe-

rumusan kode tersebut telah memilih cara yang disebut terakhir. Pasal kedua kode

Neurenberg menjadikan terang-benderang bahwa asas bermanfaat bagi pergaulan

hidup, namun, masalah "informed consent" sebagai pasal pertama ialah

dimasukkan ke dalam, bukan untuk memudahkan pencapaian keuntungan-

keuntungan sosial, melainkan sebagai syarat dan ketentuan pembatasan. Hal

tersebut akan menyebabkan pengambilan kesimpulan yang tidak dapat ditawar-

tawar lagi. Setiap orang yang dalam pelayanan medik mengajukan persyaratan

"informed consent" untuk alasan-alasan lain kecuali nilai-nilai yang menganggap

persetujuan sebagai alat untuk memudahkan pemeriksaan bagi manfaat pergaulan

hidup, harus mengakui bahwa para individu mempunyai tuntutan-tuntutan tertentu

terhadap pergaulan hidup.

Walaupun "informed consent" dapat meningkatkan manfaat bagi pasien

dalam pergaulan hidup, namun akan transparan dari tujuan primernya berada di

atas tujuan lain pretensius ini. "Informed consent" dalam peristiwa-peristiwa

tersebut sebagai alasan untuk mengesampingkan hak-hak individu tertentu demi

kepentingan baik para pihak yang bersangkutan (manfaat-bagi-pasien/nara-coba,

maupun orang-orang lain serta manfaat bagi pergaulan hidup). Khususnya hak

individu menentukan nasib sendiri menyebabkan informed consent mutlak

diperlukan bagi semua tindakan dan bahkan atas semua pelanggaran terhadap

suasana kehidupan pribadi seseorang. Asas otonomi hak menentukan nasib sendiri

memberikan suatu dasar bebas dan mandiri bagi persyaratan informed consen,

yang terkadang dijabarkan dari kekhawatiran pemberian perlindungan individu

terhadap risiko-risiko, maupun melindungi pergaulan hidup terhadap penelitian-

88

Page 89: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

penelitian yang paling luas. Dengan mempergunakan otonomi tersebut sebagai

dasar maka pemberian persetujuan dapat dipandang sebagai negosiasi pembuatan

kontrak. Sesungguhnya ada bukti yuridis yang kuat bahwa teori penentuan nasib

sendiri tentang informed consent ini merupakan dasar filosofis syarat pemberian

persetujuan.

Pada hakikatnya ada petunjuk-petunjuk bahwa para penyusun pedoman

pemeriksaan eksperimental mengakui bahwa baik "informed consent" maupun

hak-hak lainnya tidak tunduk pada permasalahan mengenai manfaat dan

mudaratnya hal tersebut bagi para pasien dan pergaulan hidup. Nah, dalam hal

pemberian pertimbangan merupakan suatu conditio sine qua non, maka komisi-

komisi pertimbangan mempunyai tiga buah tugas sensial, yakni untuk menetapkan

apakah:

a. Risiko-risiko bagi para pasien diatur sedemikian rupa sehingga seimbang

dengan jumlah manfaat yang diperoleh pasien tersebut dan kepentingan

memperoleh pengetahuan, agar keputusan untuk memperkenankan pasien

dapat dibenarkan.

b. Hak-hak dan kesehatan masing-masing pasien dilindungi sepatutnya; dan

c. Diperoleh informed consent yang secara yuridis berhasilguna

dan berdayaguna serta menurut cara yang memadai dan serasi.

Jika benar asas menentukan nasib sendiri adalah dasar yang sebenarnya

bagi doktrin informed consent maka tampaknya hanya ada satu penjelasan yang

mungkin kita jumpai dalam kenyataan bahwa penilaian tentang perlindungan hak-

hak individu (sub 2) tergantung pada penilaian risiko bagi pasien (sub 3). Untuk

menjelaskan hal ini Veatch mengemukakan dua buah pikiran mengenai otonomi

89

Page 90: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

(right to self-determination) sebagai dasar bagi "informed consent".

Dasar yang pertama disebutnya "doktrin penentuan nasib sendiri yang

berdayakerja lemah". Menurut teori ini sang individu hanya mempunyai hak

menentukan nasib sendiri atas tindakan-tindakan pada tubuh atau kepasiniannya

(privacy), bilamana penerapan penentuan nasib sendiri menyentuh secara hakiki

kesejahteraannya. Dalam hal ini hak individu untuk menentukan nasib sendiri

terbatas pada bidang, yang di dalamnya diambil risiko-risiko.

Pada sisi lain, kata beliau, kita dapat berbicara tentang "doktrin penentuan

nasib sendiri dengan daya kerja lengkap". Bilamana individu senantiasa harus

diperlakukan sebagai tujuan dan sebagai alat, maka orang tersebut memiliki

otonom di semua bidang kehidupan dan tidak hanya dalam peristiwa-peristiwa di

mana manfaat dan mudarat asasi dipertaruhkan. Sebenarnya perlu diperkirakan

dalam batas-batas tertentu bahwa hak menentukan nasib sendiri memberikan

kepada individu hak untuk mengadakan pilihan yang pada hakikatnya

bertentangan dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. Jika dirumuskan seperti

itu, maka tampaknya tidak mungkin bahwa hak atas kehidupan, hak atas

kebebasan dan hak atas ikhtiar untuk mengejar kesejahteraan, dilakukan dengan

syarat "hanya dalam situasi dan kondisi dimana risiko dan manfaat memainkan

peranan.

Dari apa yang diuraikan diatas, dan mengingat pula bahwa relasi antara

dokter dan pasien tersebut adalah persetujuan dalam arti hukum, maka kepada

pasien perlu diberikan kepastian hukum yang menjadi haknya. Hak atas informasi

perlu direalisasikan terutama karena sifat kondisi pelayanan medik sarat dengan

pembatasan-pembatasan yang kadang-kadang menghimpit perwujudan hak

90

Page 91: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

tersebut dalam praktek. Van der Mijn merumuskannya sebagai berikut: "Tidak

dapat disangkal bahwa disini kita berhadapan dengan suatu hak mutlak dalam arti

bahwa dokter wajib mengemukakan semua peristiwa, pandangan dan harapan

kepada setiap pasien tentang semua kondisi dan koneksi. Disini kita jumpai suatu

hak relatif yang dibatasi oleh keadaan fisik dan psikhis pasien maupun oleh

ketidakpastian yang pada umumnya dihadapi sang dokter. Namun, demikian

lanjutnya, bagi pasien dan keluarganya, karena mulai disadari bahwa haruslah

lebih banyak keterbukaan diperlihatkan dalam hubungan dokter dengan pasien,

agar pasien merasakan tanggungjawabnya sendiri dalam tindakan-tindakan yang

diambil untuk mempertahankan kesehatannya".

Sesungguhnya hak atas informasi ini sudah diatur secara formal walupun

pada tahun 1981 dengan diterbitkannya peraturan pemerintah tentang bedah mayat

klinis dan bedah mayat anatomis serta transpiantasi alat dan atau jaringan tubuh.

Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut berbunyi: "Sebelum persetujuan

tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon

donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh

dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi,

akibat-akibatnya dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi". Kemudian

ayat (2 )pasal ini memuat ketentuan bahwa "Dokter sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) yakin benar, bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari

sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut". '

Hak atas informasi, kalau tidak mau disebut "informed consent" anno 1981

dan anno 1989 mengandung beberapa perbedaan. Pertamaa, hanya mengatur

pemberian persetujuan mengenai pencangkokan alat dan jaringan tubuh yang

91

Page 92: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

bersifat khusus, sedangkan yang disebut terakhir mengenai pemberian persetujuan

yang bersifat umum. Kedua, saat situasi dan urgensi penerbitan peraturan kedua

peraturan perundang-undangan tersebut jauh berbeda. Yang pertama berlangsung

dalam suasana yang relatif tenang, sedangkan yang kedua sarat dengan kasus

(Muhidin di Sukabumi, Adriani di Jakarta dan sebagainya). Ketiga, sanksi

terhadap pelanggaran pada yang satu lebih bersifat hukum pokok (hukum pidana,

perdata), sedangkan bagi yang lain hanya bersifat hukum tata-tertib.

3. Hak-hak Atas Keutuhan Tubuh

Manusia adalah jiwa, roh dan b adan. Ia merupakan suatu kesatuan. Kita

tidak dapat berbicara mengenai manusia hanya tubuhnya dan tidak pula hanya roh

dan jiwanya. Dengan kata lain tubuh manusia ikut menentukan keberadaan

individu sebagai manusia. Dalam makna tersebut dapat disimpulkan bahwa

manusia tidak memiliki tubuhnya, melainkan ia adalah tubuh itu sendiri dan tubuh

ini pada hakikatnya menempatkan manusia dalam ruang dan waktu. Dengan

tubuh tersebut manusia dikenal oleh sesamanya. Hal inilah yang menyebabkan

mengapa ketubuhan manusia mempunyai nilai besar dimata hukum.

Sesungguhnya relasi antara tubuh dan jiwa sejak dahulu merupakan problematik

filosofis yang utama.

Kenyataan bahwa manusia adalah tubuhnya tidak mengurangi peristiwa

bahwa selaku demikian secara holistik ia juga mempunyat aspek kebendaan, suatu

barang, yang dapat dimiliki. Strasser, dalam tulisannya "Bouwstenen voor een

filosofische anthropologie, 1965, 33 e.v."), mengemukakan bahwa manusia

mengalami dan menjalani tubuhnya melalui cara baik "quasi-objectief" maupun

"quasisubjectief". Dalam sudut pandangan objectif maka tubuh bagi manusia

92

Page 93: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

merupakan sesuatu obyek yang dapat diikhtiarkan umtuk dikuasai . Namun,

tubuh dapat dipandang pula secara subjektif, karena ia adalah "het vehikel van

onrc intentionele acten". ia memberikan peluamg bagi manusia untuk menjadi

manusia.

Dalam ilmu pengetahuan hukum maka posisi yuridis tubuh manusia merupakan

materi pengkajian dan diskusi. Bukankah didalam lalu-lintas hukum tubuh

manusia ini mernpunyai posisi khusus? Sejajar denigan pertanyaan apakah

manusia adalah atau mempunyai tubuhnya, maka pada satu sisi tubuh ini

dipandang sebagai "benda berwujud", yang dapat menjadi obyek eigendom, pada

sisi lain ia merupakan bagian (atau pernah nrerupakan bagian) pribadi manusia,

sehingga ia dibedakan dari benda-benda lain yang beredar dalam lalu lintas

hukum. Sebagai analogi dengan eigendom maka tampak dari manusia dapat

menentukan nasib tubuhnya. Misalnya menjalani atau menolak pengobatan dan

perawatan medik, menyerahkan organ-organ tertentu untuk maksud dan tujuan

transplantasi pada masa hidupnya (misalnya organ berpasangan seperti ginjal),

maupun setelah ia mati (misalnya ginjal, selaput bening atau kornea, jantung),

menyumbangkan darah atau sperma, menjual rambut, bahkan menghibahkan

tubuhnya pascamati kepada sebuah laboratorium anatomis untuk maksud dan

tujuan ilmiah. Selain itu manusia dapat menetapkan cara pengurusan tubuh

tersebut setelah ia meninggal dunia dikuburkan atau dikremasikan. Disini tampak

pula adanya kesejajaran dengan ketentuan-ketentuan hukum waris. Walaupun

demikian tubuh tersebut tidak sirna dengan benda-benda lain.

Kenyataan bahwa tubuh ikut membentuk atau telah membentuk pribadi

manusia, maka diletakkan pula pembatasan dalam memiliki tubuh tersebut.

93

Page 94: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Dengan demikian penghibahan jenazah kepada sebuah laboratorium anatomi

merupakan sesuatu yang terpuji, namun akan sangat bertentangan dengan asas

kepatutan dan kesucian untuk menyerahkan tubuh kepada sebuah kebun binatang

sebagai makanan bagi binatang-binatang buas.

Sesungguhnya tubuh manusia memainkan peran penting dalam pelayanan

kesehatan. Dengan sendirinya hak menentukan nasib sendiri tentang tubuh timbul

kepermukaan, misalnya mengizinkan tindakan-tindakan medik atas tubuh,

sedangkan permasalahan inseminasi buatan, sterilisasi, transeksualitas, eutanasia,

dan sebagainya maka hak menentukan nasib sendiri atas tubuh merupakan salah

satu inti permasalahan.

Dalam rangka donasi organ-organ, maka Dierkons dalam kaitan ini

mengutarakan dalam bukunya "Lichaam en lijk" bahwa donor tidak boleh

mengorbankan kehidupan dan kesehatannya untuk kepentingan pasien dan bahwa

dokter dalam hubungan ini hanya boleh bertindak bila ia tidak menghadapi resiko

kehilangan donor sebagaimana harapannya memenangkan pasiennya.

Permasalahan lain yang berhubungan dengan hak atas keutuhan tubuh adalah hak

untuk mengurung diri sendiri dan hak untuk mati, yang juga menyangkut

kekuasaan atas tubuh sendiri.

Kekuasaan orang lain atas tubuh tanpa izin orang yang bersangkutan

sangat terbatas jumlahnya. Para orang tua rnisalnya mempunyai kekuasaan orang

tua atas anak-anak mereka yang belum dewasa, namun mereka tidak mempunyai

kekuasaan memiliki tubuh anak-anak yang disebut tadi. Penguasa pun hanya

memiliki kekuasaan terbatas atas keutuhan tubuh para warganegaranya. Namun

untuk itu harus ada alasan-alasan khusus. Contoh, Undang-undang Pembasmian

94

Page 95: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Penyakit menular, ketentuan-ketentuan pengurusan jenazah di Amerika Serikat

misalnya tes darah wajib untuk pengemudi, dan sebagainya.

Dalam pelayanan kesehatan istilah penentuan nasib sendiri hanya muncul

kepermukaan secara sporadis. Pada umumnya dipakai istilah wajib wafak yang

mempunyai muatan yuridis yang tegas. Yang dimaksudkan dengan wajib wafak

ialah kewajiban pasien untuk membiarkan dirinya mengalami tindakan-tindakan

medik untuk mempertahankan kesehatannya. Di samping kewajiban tersebut

pasien mewafak banyak hal satu dan lain karena ketidaktahuan atau

kebelumdewasaan, sehingga dalam kenyataannya melebihi yang diperlukan,

seperti waktu tunggu yang panjang dan tindakan-tindakan kekanak-kanakan.

Namun ia sama sekali tidak menyadari hal tersebut dan ia menyesuaikan diri

dengan keadaan tersebut tanpa mengeluh. Dapat dikemukakan disini bahwa dalam

praktek pasien sedikit sekali menggunakan hak. Tidak ada pihak-pihak, termasuk

para penyelenggara pelayanan kesehatan, yang datang kesisi ranjang pasien untuk

memberitahukan hal tersebut.

Untuk menentukan apa yang akan dilakukan atas tubuh seseorang, maka

pertarna-tama diperlukan informasi. Bagaimana seseorang dapat menentukan apa

yang ia ingini atau tidak menghendakinya lagi, jika ia tidak mengetahui apa yang

menjadi permasalahan, bila ia tidak diberi informasi mengenai diagnosis, terapi

dan lain-lain. Tambahan pula selain terhadap pasien hak ini berperan pula bagi

lingkungan sang pasien (keluarga dekat, mitrakawin, apalagi hal-hal tersebut

menyangkut pasien-pasien tua-renta, anak-anak dan pasien koma). Jika kepada

pasien dan para dokter pada umumnya sangat hemat dengan informasi, maka

penyuluhan terhadap kaum keluarga pasien hanya ala kadarnya saja.

95

Page 96: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa sekalipun pasien telah diberikan informasi

secara memadai namun harus ada pendamping agar dapat membentuk dan

mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka ia tidak akan

mengandalkan hak menentukan nasib sendiri yang ia miliki. Dokter dan

penyelenggara pelayanan medik lainnya pun tampaknya tidak memberikan pasien

hak menentukan nasibnya. Mereka pun menghadapi kendala, bukan

menganggapnya sebagai ancaman. Pada umumnya dokter bukan penyuluh yang

baik padahal pemberian informasi yang memadai diikuti oleh pendamping

membantu pasien menerapkan hak menentukan nasib sendiri. Dalam situasi dan

kondisi tertentu dokter menghadapi permasalahan internal tentang apa yang

menurutnya layak dan dapat dipertanggungjawabkan. Dapat saja terjadi bahwa

dengan memegang teguh keyakinannya sendiri, secara etis ia dimintakan untuk

tidak saja melakukan tindakan medik tertentu, melainkan hal itu merupakan alasan

baginya untuk tidak merujuk lebih lanjut ke instansi penyelenggara pelayanan

kesehatan lainnya. Dengan demikian pada hakikatnya ia telah menutup pintu

pasien ke arah pernanfaatan hak menentukan nasib sendiri.

Salah satu kelemahan yang nampak dalam bidang ini ialah kurangnya

koordinasi dan kerjasama antara berbagai disiplin dan keahlian satu dengan yang

lain pada satu sisi, dan kurang diadakannya kontak langsung dengan pasien

berikut keluarganya. Akhirnya perlu disimak pula hal-ikhwal yang berkaitan

dengan tanggungjawab penyelenggara pelayanan medik, baik yuridis maupun etis.

4. Hak atas Kepasinian ( privacy )

Kepasinian dapat dirumuskan sebagai kebebasan pribadi individu untuk

mengasingkan diri dari pergaulan hidup untuk berada dalam kalangan keluarga

96

Page 97: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

sendiri atau berada sendirian sebatang kara. Pengisolasian diri inilah yang dicari

secara sukarela dan untuk sementara waktu oleh individu atau kelompok manusia.

Dalam pemisahan diri dari kalangan dan khalayak inilah, yang menurut Westin

(1970) dan beberapa peneliti, merupakan saripati pengertian kepasinian (privacy).

Saat ini pengertian kepasinian pada umumnya telah diberikan fungsi-

fungsi positif. Salah satu ialah bahwa dengan mengundurkan diri untuk sementara

waktu atau hidup sebatang kara, terciptalah peluang untuk membebaskan diri dari

ketegangan- ketegangan emosional kehidupan sosial dan berbagai peran yang

dimainkan individu bersangkutan, mengharuskannya terpenuhi bermacam-macam

persyaratan, antara lain terus-menerus membulatkan tekad, kewaspadaan dan

sebagainya. Selama ia berada dalam pengasingan ia dapat men"charge" kembali

dirinya dengan memperoleh kekuatan baru dan gairah kerja yang meluap-luap.

Kepasinian yang dialami seperli ini merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan

Gejala kepasinian (privacy) ini ditandai dan diwarnai suatu proses materiil

dan non materiil. Yang menyangkut sisi non materiil disini ialah upaya

melindungi suasana kehidupan pribadi yang berhubungan dengan kesehatan, pola

hidup seseorang dan pendirian serta keyakinannya terhadap campur tangan pihak

ketiga yang tidak diingini. Sedangkan sisi materil terangkat dalam bentuk

kebutuhan dapat menarik diri untuk sementara waktu dalam suasana ruang dan

peluang yang memadai.

Kepasinian dan penentuan nasib sendiri, terkait erat satu dengan yang

lain. Inti hak atas kepasinian adalah hak atas khalwat, pengasingan diri ditempat

yang sunyi untuk menenangkan pikiran, menyepikan diri ditempat yang sunyi.

Bahkan hak atas kepasinian ini dalam pelayanan kesehatan terangkat ke

97

Page 98: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

permukaan dalam suatu situasi hukum, yang melindungi individu dan keyakinan

pribadinya. Sebagai ajaran panutan diakui bahwa perlu dijunjung tinggi agar

setiap orang dapat mempercayakan sesuatu kepada penyelenggara pelayanan

kesehatan atau instansi yang memberikan pelayanan kesehatan. Dasar hukum

tersebut meletakkan kewajiban diatas pundak dokter dan mitra kerjanya pada satu

sisi dan berbagai sarana kesehatan pada sisi lain. Mengenai hal ini diatur juga

dalam KUHP Pasal 322 yang berbunyi: "Barangsiapa sengaja membuka rahasia

yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang

maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan

atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Dapat dikemukakan disini bahwa karena rahasia tersebut adalah hak milik

pasien sehingga ia dapat membebaskan dokter dari kewajiban berdiam diri,

setidak-tidaknya mengenai hal-ikhwal yang menyangkut kepentingannya. Namun,

bilamana dokter mengetahui bahwa pasien telah memberikan persetujuannya tidak

berdasarkan alasan-alasan yang memadai, maka kewajiban menyimpan rahasia

dokter tetap berlaku, karena pasien tidak dapat membebaskan dokter dari

kewajiban yuridisnya. Dalam situasi dan kondisi tertentu tanpa kewajiban yuridis

atau persetujuan pasien tampaknya kewajiban berdiam diri dokter dapat gugur.

Hal tersebut dapat terjadi demi kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Contoh kepentingan pribadi disini adalah pasien sakit ayan tinggal sebatang kara,

sedangkan contoh kepentingan umum disini ialah seorang pasien sedang

mengadakan rencana pembunuhan yang diketahui dokter. Kalau kewajiban

yuridis rahasia profesi tetap ditetapkan pembuat undang-undang, kepentingan

mana yang harus dijunjung tinggi, maka dalam situasi dan kondisi seperti ini

98

Page 99: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

timbang-menimbang antara kepentingan-kepentingan harus dilakukan sendiri oleh

pihak yang dibebani kewajiban. Dalam hal ini terjadi benturan antara dua

kepentingan tampaknya dokter harus mencari jalan keluar melalui etika medik.

Namun bagaimanapun juga keputusan ada ditangan dokter yang berhak

menerobos rahasia profesinya jika dalam mempertahankan kewajibannya tersebut

ada kekhawatiran terjadinya akibat-akibat yang dapat merugikan pasien, pihak

ketiga maupun kepentingan umum.

Dalam kerangka benturan antara berbagai kewajiban dapat pula diajukan

disini permasalahan khusus ialah pemberian keterangan kepada pihak kepolisian.

Demi kepentingan penyidikan misalnya dapat saja terjadi bahwa pihak kepolisian

mendatangi rumah sakit untuk memperoleh keterangan mengenai seseorang yang

diopname, katakan saja karena luka. Aturan dasar disini ialah bahwa dokter yang

mengobati dan merawat tidak boleh memberikan keterangan kepada polisi,

mengenai keberadaan seseorang dalam rumah sakit.

Pada dasarnya para pasien harus dapat mendatangi dokter dan rumah sakit

tanpa kekhawatiran untuk ditangkap. Rahasia profesi berada diatas penyidikan

kepolisian, yang merupakan salah satu latar belakang pengaturan kewajiban

berdiam diri dan hak untuk mengundurkan diri selaku saksi. Oleh karena itu,

pihak kepolisian harus tunduk pada aturan tersebut dan tidak berikhtiar

memperoleh keterangan mengenai kehadiran seseorang di rumah sakit atau

keadaannya melalui karyawan rumah sakit. Kepada karyawan rumah sakit harus

diinstruksikan untuk tidak memberikan keterangan yang berkaitan dengan apa

yang tersebut di atas kepada polisi. Pihak kepolisian harus mendatangi dokter

yang mengobati dan merawat, yang harus mengadakan timbang-menimbang

99

Page 100: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

antara benturan berbagai kewajiban yang dihadapinya. Di negeri Belanda sendiri

hal tersebut dipecahkan dengan jalan menyerahkan persoalan tersebut kepada

kejaksaan dan bukan kepada pihak kepolisian. Dalam hal tertentu dokter dapat

memberikan keterangan kepada dokter yang telah ditunjuk oleh pihak kepolisian,

asalkan identitas orang yang bersangkutan sudah diketahui polisi. Bagaimanapun

juga hal tersebut tetap merupakan pengungkapan rahasia profesi, sekalipun dalam

benturan berbagai kewajiban sebagai pegangan, pada umumnya dokter akan luput

dari tuntutan. Tidak pula tertutup kemungkinan bahwa pasien sebagai pemilik

rahasia tersebut memberi persetujuan untuk memberikan keterangan kepada

polisi, maka dalam hal ini dokter berhak memberikannya.

Pembukaan rahasia disini mempunyai sifat yang sama sekali lain.

Kenyataan bahwa dokter memberikan keterangan-keteranaan mengenai pasien

kepada dokter-dokter lain, bagi rahasia profesi hal tersebut tidak mernpunyai

makna sama sekali, satu dan lain karena dokter tersebut juga berkewajiban

berdiam diri terhadap para teman sejawatnya. Bagaimanapun juga dalam penilaian

mutu pelayanan kesehatan sang dokter, hal tersebut diperlukan dan dalam kaitan

ini tidak dapat dicegah bahwa beberapa data pasien diungkapkan. Dengan

demikian, para dokter yang berperanserta pada "medical audit" tersebut memiliki

rahasia profesi sendiri. Penerobosan rahasia profesi oleh dokter yang mengobati

dan merawat pasien dalam forum "medical audit", selama tidak ada peraturan

perundang-undangan untuk itu, mempunyai sifat adanya pertentangan antara

berbagai kewajiban yang dihadapi dokter.

100

Page 101: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Right to self determination tidak bisa menjadi dasar untuk pembenaran

praktek euthanasia bukan pelanggaran hak asasi manusia. Pada prinsipnya

seorang pasien yang dalam keadaan koma atau kritis tidak berdaya, tidak bisa

mempertahankan hak-haknya dan mengajukan pilihan hukum. Posisi yang

lemah (bargaining power) dari pasien rentan terhadap pelanggaran hak asasi

manusia yang dilakukan oleh dokter.

2. Keterkaitan etika kedokteran dan HAM terutama menyangkut kewenangan

dari dokter untuk menerapkan etika kedokteran atau perlindungan hak-hak

asasi manusia pasien dalam praktek euthanasia. Pilihan dari dokter itu

menentukan terlindungnya hak-hak hidup dari pasien. Kalau dokter memilih

untuk mengedepankan etika kedokteran maka hak-hak hidup dari pasien sulit

dilindungi.

3. Perlindungan hak asasi manusia terhadap pasien dalam praktek euthanasia

masih rentan dan belum jelas terutama menyangkut batasan-batasan

pelanggaran HAM yang dilanggar oleh dokter dan batasan-batasan

perlindungan terhadap pasien. Dalam praktek seringkali pasien menyerahkan

kepada keluarga untuk menentukan nasibnya. Sikap keluarga atau orang-

orang yang terdekat dari pasienlah yang sangat menentukan dilindunginya hak

hidup dari pasien atau tidak.

101

Page 102: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

B. SARAN

1. Harusnya ada dana khusus baik dari Pemerintah, terutama Pemda untuk

meringankan beban keluarga bagi pasien yang menderita sakit parah.

2. Pemerintah harus segera menetapkan aturan mengenai euthanasia dalam

iusconstitutum.

102

Page 103: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat. C.M. 2002. Euthanasia yang semakin Kontroversial. Medika/arsip/01

2002/top-1.htm.

Achadiat. C.M. 1996. dalam Suara Pembaharuan. 28 Nopember.

Anonimous. 1983. Grolier Academic Encyclopedia. Grolier International.

Anonimous. 2007. Undang-undang Hak Asasi Manusia. Penerbit. Visi Media.

Bertens. 2005. Etika. Penerbit. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Budiarjo, M. 1987. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia, Jakarta.

Budiman. A. 1993. Posisi Tawar Menawar Rakyat Dalam Hak Asasi Manusia.

Jawa Pos. Selasa Pahing. 2 Februari

Effendi. H.A. M. 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Hukum Nasional Dan

Hukum Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Gunawan. 1991. Memahami Etika Kedokteran. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

Hadiwardoyo. P. 1989. Etika Medis. Jakarta: Pustaka filsafat.

Hilman, 2004. Euthanasia. Sebuah pemikiran. 1004/12/0801.htm

Karyadi. P.Y.2001. Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,Penerbit.

Media Pressindo.

Leenen. 1978. Rechten van mensen in de gezondheidszorg. Samson Uitgeverij

Alphen aan de Rijn/Brussel.

Mahasin. A. 1979. Hak-hak Asasi Manusia: Dari Konstitusional ke Persoalan

Struktural. PRISMA No. 12 Desember.

Notohamidjodjo. D. 1970. Demi Keadilan Dan Kemanusiaan. BPK. Gunung

Mulia. Jakarta.

Oemar. S. A. 1991. Etika Profesional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana

Dokter. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Prakoso. D. dan D. A. Nirwanto. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan

Hukum Pidana. Ghalia Indonesia.

Prodjodikoro. W. 1977. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Sumur. Bandung.

Rahardjo. S. 1989. Asas-Asas Hukum Nasional. BPHN. Jakarta.

103

Page 104: TINJAUAN “EUTHANASIA” DALAM HUKUM … · Web viewDalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, dalam sistem pemberian pidana. Concursus ideals diatur dalam

Runciman. W.H. 1972. The Three Dimension of Social Inequity, dalam Andree

Beteille (ed)., Social Inequality. Penguin Books. Englan.

Samil. R. S. 1994. Etika Kedokteran Indonesia (Kumpulan Naskah). Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sanit. A. 1985. Hak Asasi Manusia, Kelas dan Negara : Keperluan Akan Suatu

Mekanisme; KEADILAN No. 1 Tahun III.

Schuyt. C.J.M. 1980. Keadilan dan Efektifitas Dalam Pembangunan Kesempatan

Hidup, yang dikutip oleh T. Mulya Lubis, Pembangunan dan Hak-hak

Asasi Manusia. PRISMA No. 1.

Smith. H. 1995. The Religion of Man (Agama agama manusia). Diterjemahkan

oleh Yayasan Obor Indonesia.

Soekanto. 1989. Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan). Penerbit.

IND-Hill-Co. Jakarta.

Sunaryati. H. 1987. Peranan dan Kedudukan Azas-Azas Hukum Dalam Kerangka

Hukum Nasional. FH. UNPAR. Bandung.

Tengker. F. 2005. Hak Pasien. Penerbit. CV Mandar Maju. Jakarta.

Veronica. Ch 2005. Penyalahgunaan Euthanasia Pasif. 2005/0205/27/hikmah/

utama02.htm

William. J. R. 2006. Medical Ethics Manual. Sagiran. 2006 (alih Bahasa), Pusat

Studi Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiya.

Yogyakarta.

Wiradharma. D. 1996. Hukum Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta.

Zaini. D. (Penerjemah). 2003. Qur,an Karim dan Terjemahan Artinya. UII Press.

Yogyakarta.

104