makalah agama euthanasia

45
TUGAS MAKALAH AGAMA PANDANGAN ISLAM TERHADAP EUTHANASIA OLEH : FEBRIANA RAHMADANI 140100162 KELAS A 1

Upload: febriana

Post on 03-Feb-2016

69 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

fk usu

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Agama Euthanasia

TUGAS MAKALAH AGAMA

PANDANGAN ISLAM TERHADAP EUTHANASIA

OLEH :

FEBRIANA RAHMADANI

140100162

KELAS A

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1

Page 2: Makalah Agama Euthanasia

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

terselesaikannya makalah EUTHANASIA. Makalah ini memberi perhatian besar

terhadap ilmu pengetahuan di masyarakat. Oleh karena itu, selain menyajikan

penjelasan-penjelasan mengenai hukum euthanasia di Indonesia, makalah ini juga

menyajikan tentang latar belakang serta baik buruknya atau dampak dari euthanasia

itu sendiri. Setiap bab yang dibahas akan mudah untuk dipahami.

Dalam menyusun makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan

bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu melalui kesempatan ini kami

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ramadhan Syahmedi Siregar, S.Ag, MA selaku Dosen Agama Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Rekan-rekan yang telah banyak membantu serta yang telah memberikan

masukan-masukan dalam penyususnan makalah ini.

Di dalam bab dapat kita temukan informasi yang berguna untuk mengetahui

dan menambah wawasan mahasiswa tentang “EUTHANASIA”. Makalah ini jauh

dari kata sempurna, maka dari itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang

membangun.

Medan, 11 Juni 2015

Penyusun

2

Page 3: Makalah Agama Euthanasia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................1

KATA PENGANTAR ..............................................................................................2

DAFTAR ISI .............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................4

A. Latar Belakang ..............................................................................................4

B. Rumusan Masalah .........................................................................................8

C. Tujuan ...........................................................................................................8

D. Manfaat .........................................................................................................8

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................10

A. Pengertian Euthanasia..................................................................................10

B. Macam-Macam Euthanasia..........................................................................10

C. Contoh Kasus Euthanasia.............................................................................13

D. Euthanasia menurut Kode Etik Kedokteran ................................................15

E. Euthanasia menurut Pandangan Syariah Islam............................................15

F. Kriteria Mati Menurut Pandangan Ilmu Kedokteran Dan Para Fuqaha

Menurut ilmu kedokteran.............................................................................21

G. Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia...........................................22

H. Hukum Euthanasia menurut UUD...............................................................23

I. Hukum Euthanasiamenurut Islam................................................................26

J. Motivasi Euthanasia.....................................................................................26

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................27

A. Kesimpulan..................................................................................................27

B. Saran.............................................................................................................28

3

Page 4: Makalah Agama Euthanasia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia yang semakin maju, peradaban manusia tampil

gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

persoalan-persoalan norma dan hokum kemasyarakatan dunia bisa bergeser,

sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Didalam

masyarakat modern seperti dibarat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat

menempati kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu, suatu produk

hokum yang baru dibuat.

Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam

masyarakat, maka interfretasi terhadap hokum pun bisa berubah. Masalah

euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para

praktisi hokum di Negara-negara barat. Di Indonesia ini juga pernah dibahas,

seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminar tahun

1985 yang melibatkan para ahli kedokteran ahli hokum positif dan hokum

islam. Mengenai pembahasan euthanasia ini masih terus di perdebatkan,

terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan

mati itu hak sapa, dan dari sudut mana ia dilihat. Dengan adanya makalah ini,

kami berharap dapat mengungkapkan suatu pandangan konprehensif mengenai

euthanasia menurut hukum islam, hukum positif dari segi ilmu kedokteran.

Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan

mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan

ketaatan manusia terhadap Tuhan. Karena itu, islam sangat memperhatikan

keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di rahim ibunya

sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup dan

kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan

4

Page 5: Makalah Agama Euthanasia

perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had

dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman

yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun hukuman di

akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan

Tuhan, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap

orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu

pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di

dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia

ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk

menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu

kematiannya

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik,

kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para

dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa

tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas

seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat

lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka

kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Penghentian pertolongan

tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia. Berdasarkan pada cara

terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:

1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,

2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,

3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak

dengan pertolongan dokter,

5

Page 6: Makalah Agama Euthanasia

Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang

dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan

meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan

biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal

demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative

Euthanasia masih  hangat  diperbincangkan sampai saat ini. Mulai dari

sudut pandang etik sampai sudut pandang berbagai agama di Indonesia.

Euthanasia menurut sebagian besar orang masih dianggap tabu dan menyalahi

aturan atau etik yang ada. Di lihat dari sudut pandang agama pun Euthanasia

memang masih diperdebatkan oleh para pemuka agama di Indonesia. Para

pemuka agama ini biasanya memperdebatkan tentang hukum – hukum agama

yang berlaku.

Euthanasia sebenarnya di kategorikan menjadi dua jenis yang pertama

adalah Euthanasia Aktif. Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat

proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-

alat pembantu medika . Sedangkan kategori yang kedua di sebut Euthanasia

Pasif. Euthanasia Pasif ini adalah suatu tindakan membiarkan pasien/penderita

yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan

maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda

kehidupan tidak terdapat lagi padanya.

6

Page 7: Makalah Agama Euthanasia

Faktor – faktor  Euthanasia sendiri sebenarnya ada bermacam – macam.

Faktor yang pertama adalah Faktor kemanusiaan . Maksudnya adalah

Euthanasia tersebut dilakukan oleh seorang dokter karena merasa kasihan

terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan yang secara medis sulit 

untuk disembuhkan. Di sini dokter tersebut memutuskan sendiri tindakan yang

akan dilakukannya menurut pertimbangan kesehatan pasien. Sedangkan faktor

yang kedua adalah Faktor Ekonomi . Maksud dari faktor ini adalah Euthanasia

dilakukan karena faktor ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan apabila

pasien terlalu lama dirawat dirumah sakit. Jadi pada kasus ini keluarga pasien

memang sudah tidak mampu menanggung biaya rumah sakit karena pasien

sudah terlalu lama dalam masa komanya. Pada kondisi ini pihak keluargalah

yang meminta agar alat – alat penyokong kehidupan pasien dicabut.

Euthasia sebenarnya memang merupakan kasus kontroversial yang

masih banyak diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Jika dilihat dari dua

kategori Euthanasia yang sudah dijabarkan diatas kita sebagai manusia tentu

dapat merasakan bahwa Euthanasia kategori Euthanasia aktif pasti terdengar

lebih kejam daripada Euthanasia Pasif. Di Euthanasia Aktif ini seorang dokter

yang melakukannya bisa dikatakan sebagai pembunuh oleh sebagian besar

orang.  Hal tersebut tentu sangat tidak enak di dengar dan dapat menurunkan

martabat dokter.

Saya sebagai seorang mahasiswa kedokteran tidak menyetujui adanya

fenomena Euthanasia Aktif dikarenakan hal tersebut memang tidak manusiawi,

7

Page 8: Makalah Agama Euthanasia

sangat kejam serta hukumnya haram dalam Agama Islam. kami sebenarnya juga

kurang begitu menyukai Euthanasia Pasif, namun dibandingkan dengan

Euthanasia Aktif, kategori ini lebih manusiawi.  Jika dilihat dari persepsi kami

sebagai seorang calon dokter profesional kami akan lebih memilih merawat

pasien dengan baik sampai sembuh atau pun sampai meninggal dengan tenang

dengan cara yang wajar tanpa adanya Euthanasia karena sampai sekarang pun

fenomena Euthanasia masih diperdebatkan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian Euthanasia?

2. Apa saja macam Euthanasia?

3. Bagaimana Kriteria Mati Menurut Pandangan Ilmu Kedokteran Dan Para

Fuqaha Menurut ilmu kedokteran?

4. Bagaimana hukum Euthanasia?

5. Apakah motivasi Euthanasia?

C. Tujuan Umum

Nilai umum:

1. Memahami urgensi peran intektualitas, emosional, dan spiritual dalam

kesehatan jiwa

2. Urgensi nilai-nilai spiritual dalam kesehatan jiwa.

Nilai Khusus:

1. Menjelaskan yang dimaksud dengan euthanasia

2. Menjelaskan bagaimana pelaksanaan euthanasia

8

Page 9: Makalah Agama Euthanasia

3. Menjelaskan bagaimana cara menangani masalah euthanasia

4. Menggambarkan bagaimana islam memandang euthanasia.

D. Manfaat

1. Dapat memahami penerapan nilai spiritual dan kemanusiaan dalam dunia

kedokteran.

2. Menyadari bahwa peran EQ, IQ dan SQ sangat penting dalam dunia

kedokteran.

3. Mengetahui seluk beluk euthanasia.

4. Dapat mengatasi masalah euthanasia dan solusi yang terbaik

9

Page 10: Makalah Agama Euthanasia

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Eutanasia

Euthanasia berasal dari kata Yunani eu berarti baik/gampang dan thanatos

artinya mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara mudah dan tanpa

rasa sakit. Oleh karna itu, euthanasia sering di sebut juga dengan istilah mercy

killing / a good death (mati dengan tenang). Istilah untuk pertolongan medis

adalah agar kesakitan atau penderitaan yang di alami seseorang yang akan

meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada

dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

Hal ini dapat terjadi karna pertolongan dokter atas permintaan pasien atau

keluarganya karna penderitaan yang sangat hebat, dan tiada akhir ataupun

tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa

menentu tersebut, tanpa memberikan pengbatan seperlunya. Euthanasia pada

hakikatnya adalah pencabutan nyawa seseorang yang menderita penyakit parah

atas dasar permintaan atau kepentingan orang itu sendiri. Euthanasia masih

menimbulkan problem keagamaan, hukum, dan moral di semua budaya dan

tradisi keagamaan.

2. Macam-macam Euthanasia

a. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah tindakan sengaja yang dilakukan oleh medis

untuk mengakhiri hidup pasiennya. Tindakan ini dilakukan untuk

mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan ataupun

melepaskan alat- alat pembantu medika, seperti melepaskan saluran zat asam,

melepas alat pemacu jantung dan sebagainya. Yang termasuk tindakan

10

Page 11: Makalah Agama Euthanasia

mempercepat proses kematian disini adalah jika pasien berdasarkan ukuran

dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker

ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan.

Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia.

Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang

sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan

pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).

b. Euthanasia Sukarela

Euthanasia sukarela adalah tindakan seorang pasien yang sakit keras

meminta pada petugas medis yang merawatnya untuk segera mengakhiri

hidupnya sebagai jalan keluar bagi rasa sakit yang dideritanya, maka

permintaan itu disebut euthanasia sukarela atau bunuh diri. Al - qur’an

melarang keras tindakan tersebut dalam Q.S. al- Nisa 4:29 yang artinya:

”janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah maha

Penyayang kepadamu.

Bunuh diri, baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang

lain. Menurut syariat adalah tindak kejahatan dan karenanya meerupakan dosa

di mata Allah Swt. Bunuh diri adalah dosa besar, karena adanya ancaman

khusus baginya, sebagaimana sabdanya:

“Barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka di neraka jahanam nanti besi itu

selalu di tangannya, ia menusuk-nusukkannya ke perutnya selama-lamanya.

Dan barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka di neraka jahanam

nanti ia akan terus meminumnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri

dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka di neraka jahanam nanti, ia akan

menjatuhkan (dirinya) selama-lamanya.” (HR. Muslim, 109)

Jika Allah berkehendak, dosa bunuh diri bisa diampuni, sebagaimana firman-

Nya:

11

Page 12: Makalah Agama Euthanasia

�ن� إ �ه� الل ال� �غ�ف�ر� ي �ن� أ ك� ر� �ش� ي �ه� ب �غ�ف�ر� و�ي م�ا د�ون� ذ��ل�ك� �م�ن� ل اء �ش� ي

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni

dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki.” (QS. An-Nisa: 48)

c. Euthanasia Pasif

Euthanasia pasif adalah ketiadaan penanganan yang seharusnya

diberikan oleh petugas medis untuknya, atau suatu tindakan membiarkan

pasien atau penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena

berdasarkan pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan

hidup atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karna

salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah.

Contohnya, bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke

otak (stroke) akibat tekanan darah yang terlaruh tinggi atau tidak memasang

alat bantu pernafasan pada pasien yang sakit parah, sehingga berdampak

kematian pada si pasien. Dalam konteks ini, petugas medis tersebut tidak

dikenai tanggungjawab atas tindakannya yang mengakibatkan kematian si

pasien.

Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan berikut :

1. Dari pihak pasien, meminta kepada dokter karena sudah tidak tahan

dengan penyakit yang dideritanya atau karena tidak ingin meninggalkan

beban ekonomi bagi keluarganya, dan pasien merasa bahwa harapan untuk

hidup sangat jauh. Dan apabila ini terjadi, maka hal tersebut merupakan

suatu refleksi iman. Sakit adalah ujian keimanan, jadi tidak tepat kalau di

selesaikan dengan mengakhiri hidup dengan euthanasia (aktif), kalaupun

pandangan medis bahwa pasien tidak dapat di sembukan lagi, atau biaya

terlalu mahal, maka tidaklah salah kalau ia meminta pulang saja dari

12

Page 13: Makalah Agama Euthanasia

rumah sakit. Jadi jelas, bahwa islam tidak membenarkan seorang yang

sakit berkeinginan mempercepat kematiannya.

2. Dari pihak keluarga atau wali, yang merasa kasihan terhadap penderitaan

si pasien dan tidak sanggup memikul biaya pengobatan, sementara pasien

masih terlihat menyimpan tanda- tanda kehidupan ( belum mati batang

otak ) Maka apabila dilakukan euthanasia, berarti perbuatan itu tergolong

pembunuhan sengaja. Surah An- nisa : 93 yang artinya: “Dan Barangsiapa

yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah

Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan

mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.

3. Dari pihak keluarga bekerja sama dengan dokter, karena menginginkan

harta pasien. Maka tindakan ini jelas sekali sebagai pembunuhan sengaja.

Dalam KUHP perbuatan ini di kategorikan sebagai pembunuhan

berencana . Jadi apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia

aktif yang berupa suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat

yang bersangkutan islam mengharamkannya.

Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli baik dari kalangan

kedokteran, ahli hukum pidana maupun para ulama sepakat

membolehkannya. Kebolehan euthanasia ini didasarkan atas pertimbangan

bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-

organ yang memberi kepastian hidup( mati batang otaknya)

3. Contoh Kasus

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker

ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan.

Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia.

Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang

13

Page 14: Makalah Agama Euthanasia

sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan

pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).

Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan

pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak

mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti

mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah

karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan

untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut

perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa

digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan

terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan

yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi

ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat

tinggi (Utomo, 2003:176).

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis,

orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak

yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan

penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita.

Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat

mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177). Menurut Deklarasi Lisabon

1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi

pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam

praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.

Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut

membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter

menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran

itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak

pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178)

14

Page 15: Makalah Agama Euthanasia

4. Euthanasia Menurut Kode Etik Kedokteran

Masalah euthanasia ini di negara indonesia adalah perbuatan yang dilarang.

Sebagaimana yang tertulis di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa

menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang

disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-

lamanya dua belas tahun.” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bias dituntut

oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas

permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut

merupakan perbuatan melawan hukum.

Selain itu, juga tertulis di dalam pasal 388 yang berbunyi: “Barang siapa

dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,

dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”

Sedangkan euthanasia yang diatur didalam Kode Etik Kedokteran yang

ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983, disebutkan

pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya

melindungi hidup makhluk insani.” Maka dari penjelasan pasal 10 itu dengan

tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa,

termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan

tugas seorang dokter.

5. Euthanasia Menurut Pandangan Syariah Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala

persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap

euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

15

Page 16: Makalah Agama Euthanasia

1) Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk

dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya

baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,

walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil

dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan

pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri

sendiri.

Misalnya firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS

Al-An’aam : 151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min

(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah

adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter

melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori

pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana

(jarimah) dan dosa besar.Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya

dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam

akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh

pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-

orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)

16

Page 17: Makalah Agama Euthanasia

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan

qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya

mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau

memaafkan/menyedekahkan.Firman Allah SWT :

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari

saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang

baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang

memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40

ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat

An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang

emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau

senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham,

atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki,

1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering

dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian

dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah

(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui

dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien

dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari

ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.

Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim

suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun

penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan

kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR

Bukhari dan Muslim).

17

Page 18: Makalah Agama Euthanasia

2)   Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk

dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan

berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada

gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena

itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara

menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah

hukumnya menurut Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita

tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu

wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan

pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya

mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang

mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah,

seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo,

2003:180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah

mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada

satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi

lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas

(wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits

tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan

penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR

Ahmad, dari Anas RA)

18

Page 19: Makalah Agama Euthanasia

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk

berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi

makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-

wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”

(An-Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita

berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan

itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru

menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain

itu membolehkan tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa

seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu

berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering

tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk

kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan

akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar

Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan

bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap

[saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak

tersingkap.”

Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari) Hadits di atas

menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan

hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir

ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah

19

Page 20: Makalah Agama Euthanasia

sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah

sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya

sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika

memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak

mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum

(1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si

pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan

pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya.

Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk

aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak

tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya

kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa

berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,

karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi. Berdasarkan

penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien

adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah.

Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan

pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah

matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi

dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter

tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung

jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500;

Utomo, 2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter,

disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah

orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien

tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak

penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

20

Page 21: Makalah Agama Euthanasia

6. Kriteria Mati Menurut Pandangan Ilmu Kedokteran Dan Para Fuqaha

Menurut ilmu kedokteran

Masalah euthanasia berkaitan erat dengan definisi mati. Dan definisi

mati itu sendiri mengalami perkembangan dikarenakan semakin majunya ilmu

pengetahuan, terutama dibidang teknologi kedokteran. Adapun perkembangan-

perkembangan definisi mati ialah:

- Dilihat pada nafas,

- berfungsinya jantung

- Gerak nadi

- Batang otak

Jadi, dari perkembangan definisi diatas. Para ahli kedokteran sepakat bahwa

yang menjadi patokan dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika

batang otak betul-betul sudah mati, maka harapan hidup seseorang sudah

terputus.

Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf)terdapat dua macam kematian otak,

yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual, dan

kematian batang otak. Kerusakan pada batang otak lebih fatal, karena dibagian

itulah terdapat pusat saraf penggerak yang merupakan motor semua saraf tubuh.

Menurut para Fuqaha

Menurut Dr. Peunoh Daly, menentukan ukuran hidup seseorang dengan empat

kriteria yaitu:

- Masih adanya gerak/nafas, baik gerakan sedikit maupun banyak

- Adanya suara maupun bunyi. Biasa terdapat pada mulut, jeritan tangis, rasa

haus dll

- Mempunyai kemampuan berfikir, terutama bagi orang dewasa

- Mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.

Dari keempat kriteria diatas, dapat diterapkan bagi rumah sakit yang

memiliki peralatan medis yang sederhana.

21

Page 22: Makalah Agama Euthanasia

7. Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia 

1.      Menurut Aspek Medis

Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema

yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba sulit.

Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa

derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi

pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing)

dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy

death). 

Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat

mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien menurut

hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa euthanasia

ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-

medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran,

euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II

(1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada

pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan

kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut

kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang

yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan

sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian

batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien

tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih

berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter

yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan

sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang

berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien,

kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan

22

Page 23: Makalah Agama Euthanasia

demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah

memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri

hidup pasien.

2.      Menurut Aspek Hukum

Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia

melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai

“pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi “barangsiapa menghilangkan nyawa

orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan

nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12

tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan

suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan

pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:

“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan

seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku

baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan kehidupan,

perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana

penjara....”. 

Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien

meninggal, dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain.

Selain itu pasal 35 mengatakan “barang siapa sengaja mendorong orang lain

untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana

kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun

kalau orang itu jadi bunuh diri.”

8. Hukum Euthanasia menurut UUD

Tindakan dokter yang sudah lepas tangan terhadap pasien yang gawat

dengan menyuruhnya pulang atau tetap di Rumah Sakit tanpa dilakukan tindakan

23

Page 24: Makalah Agama Euthanasia

medis lebih lanjut dapat dikategorikan sebagai euthanasia pasif sesuai dengan

pembagian di atas. Namun, Anda tidak menyebutkan apakah ada persetujuan

pihak keluarga maupun pasien dalam hal ini.

Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu

melanggar hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup. Dalam salah satu artikel

hukumonline Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar

KUHP, pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Komariah Emong

berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (“KUHP”) mengatur

tentang larangan  melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP yang

bunyinya:

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana

penjara paling lama dua belas tahun.”

Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah

euthanasia aktif dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di

Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan

euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini

adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan

sukarela.  

Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas

menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP

seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,

sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial,

agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.

Berkaca dari pengalaman di Belanda, Komariah mengatakan

prosedur euthanasia yang diberlakukan di Belanda tidak sembarangan. Diperlukan

penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan tersebut. Meskipun keluarga

24

Page 25: Makalah Agama Euthanasia

pasien menyatakan kehendaknya untuk melakukan euthanasia, namun pengadilan

bisa saja menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di

Belanda, kata Komariah, seorang keluarga pasien yang ingin

melakukan euthanasia sempat ditolak oleh pengadilan walaupun akhirnya

dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak ada jalan lain, tidak lagi

ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut nyawanya

melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses

tersebut. 

Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau

pihak yang memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter,

sehingga dokter tidak bisa disebut malpraktik. Selain penetapan pengadilan,

keterangan dari kejaksaan juga harus diminta agar di kemudian hari negara tidak

menuntut masalah euthanasia tersebut. Terlepas dari masalah di atas, menurutnya

hidup mati seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.

Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di

penghujung 2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan euthanasia ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun

permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto

Seno Adji,  tindakan euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan

karena alasan sosial ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar

nantinya pengajuan euthanasia tidak sewenang-wenang. Lebih jauh simak artikel

Euthanasia Dimungkinkan Dengan Syarat Limitatif dan Permohonan Euthanasia

Menimbulkan Pro dan Kontra.

Jadi, euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia

aktif dapat dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam

praktiknya tidak mudah menjerat pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi.

25

Page 26: Makalah Agama Euthanasia

9. Hukum Euthanasia Menurut Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala

persoalan di segala waktu dan tempat. Syariah Islam mengharamkan euthanasia

aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad),

walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya

tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-

dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan

pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.

بالحق� � إال الله م حر� التي النفس تقتلوا وال

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk

membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :

151)

خضئا إلا مؤمنا يقتل أن لمؤمن كان وما“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),

kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

10. Motivasi Euthanasia

Para pendukung euthanasia menjustifikasi pendirian mereka berdasarkan

hal-hal berikut:

a. Factor Ekonemi

b. Pertimbangan ruangan, tempat tidur, petugas, dan peralatan medis di

rumah sakit yang justru dapat dimanfaatkan oleh pasien-pasien yang lain

c. Mati dengan layak

26

Page 27: Makalah Agama Euthanasia

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan,

individu secara sadar dan berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk

mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman

verbal, yang akan mengakibat kan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.

Euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara

harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya

menghilangkan nyawa seseorang.

Macam-Macam Euthanasia:

1. Euthanasia Aktif

2. Euthanasia Pasif

3. Euthanasia Sukarela

Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi Kode Etik

Kedokteran, Undang-undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut islam, yang

menghukumkannya haram, terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter

yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja dengan

ancaman qishash-diyat. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif

atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.

Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ organ

utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.

Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, cortex otak dalam dunia

kedokteran sekarang masih bisa diatasi, artinya belum dapat dikatakan pasien

27

Page 28: Makalah Agama Euthanasia

sudah mati, karena masih ada harapan untuk disembuhkan, terutama rumah sakit

yang mempunyai peralatan yang lengkap. Maka tindakan euthanasia terhadap

pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.

B. Saran

Saran yang dapat saya berikan yaitu :

1. Bagi teman-teman janganlah kalian melakukan suntik mati, karena itu

dilarang oleh agama sesuai dengan (Q.S Al-an’am: 151) yang

berbunyi : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang

diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan

sesuatu (sebab) yang benar”.

2. Untuk akademik seharusnya lebih dapat memfasilitasi

mahasiswa/i dengan referensi-referensi buku yang terbaru

agar pengetahuan yang di dapat juga terbaru

3. Untuk masyarakat setelahnya dapat lebih mengembangkan

pengetahuan yang telah di dalam serta dapat meningkatkan

keingintahuan akan suatu hal.

28