tindak pidana ekonomi (tugas acr-prof hartiwi)

75
POLITIK HUKUM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORPORASI (CORPORATE CRIME) MELALUI PENDEKATAN RESTORATIF Oleh : Abdul Chair Ramadhan A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan bagi negara Dunia Ketiga di era globalisasi, khususnya di bidang ekonomi, memerlukan kerangka normatif untuk menjaga tertib sosial. Oleh sebab itu, diperlukan pembangunan hukum 1 untuk memfasilitasi kehidupan perekonomian. Hukum menjadi instrumen untuk melakukan perubahan di bidang 1 Pembangunan hukum mengandung makna ganda. Pertama, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbarui hukum positif sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian yang biasanya disebut sebagai modernisasi hukum. Kedua, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara ikut mengadakan perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun. Lihat: Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.231. Sedangkan Muladi dan Dwidja Priyatno mengatakan bahwa pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan, dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembaruan hukum secara terarah dan terpadu antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Lihat: Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi , Cet.1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.11-12. 1

Upload: lisanhal

Post on 09-Feb-2016

339 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

POLITIK HUKUM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORPORASI (CORPORATE CRIME) MELALUI

PENDEKATAN RESTORATIF

Oleh : Abdul Chair Ramadhan

A. Latar Belakang

Kegiatan pembangunan bagi negara Dunia Ketiga di era globalisasi,

khususnya di bidang ekonomi, memerlukan kerangka normatif untuk menjaga

tertib sosial. Oleh sebab itu, diperlukan pembangunan hukum1 untuk memfasilitasi

kehidupan perekonomian. Hukum menjadi instrumen untuk melakukan perubahan

di bidang ekonomi sesuai dengan tuntutan pergaulan masyarakat dunia yang

terwujud dalam hukum nasional. Dalam hal ini diharapkan kepentingan nasional

mampu beroperasi dalam tata pergaulan antarbangsa. Hukum berperan

melaksanakan fungsinya sebagai a tool of social engineering atau untuk

melakukan rekayasa sosial, khususnya dalam bidang kehidupan perekonomian. Hal

ini diilhami pemikiran Roscoe Pound yang sudah muncul sejak 1912.2

Perkembangan globalisasi, khususnya ekonomi bermuatan ekses positif

maupun negatif. Dalam hal ini perlunya peran hukum dalam kehidupan

perekonomian, yang bersifat nasional maupun internasional, yang tidak dapat

1 Pembangunan hukum mengandung makna ganda. Pertama, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbarui hukum positif sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian yang biasanya disebut sebagai modernisasi hukum. Kedua, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara ikut mengadakan perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun. Lihat: Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.231. Sedangkan Muladi dan Dwidja Priyatno mengatakan bahwa pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan, dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembaruan hukum secara terarah dan terpadu antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Lihat: Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet.1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.11-12.

2 Satjipto Rahardjo dalam Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana, Cet.1, (Bandung: Alumni, 2010), hlm.4.

1

Page 2: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

dibedakan lagi karena pengaturan hukum sudah menjadi global. Sehubungan

dengan potensi kriminal terkait dengan pendayagunaan hukum pidana untuk

menanggulangi kejahatan.3 Situasi global memunculkan tipe kejahatan berdimensi

baru khususnya di bidang ekonomi, yang berkembang sebagai kejahatan ekonomi

global. Ini menjadi tantangan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan. 4

Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No.7 Tahun 2005 Tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 dinyatakan

pada Lampirannya: adanya permasalahan pembangunan nasional Tahun 2004-2009

(ada 11), diantaranya: masih tingginya kejahatan konvensional dan transnasional,

masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan

keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan Hak Asasi Manusia

(HAM). Selanjutnya, dalam UU No.17 Tahun 2007 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, dinyatakan di antaranya

adanya tantangan, menyangkut ekonomi antara lain, bahwa secara eksternal,

tantangan tersebut dihadapkan pada situasi persaingan ekonomi antarnegara yang

makin runcing akibat makin pesat dan meluasnya proses globalisasi, dan juga

mengenai hukum, bahwa tantangan ke depan adalah mewujudkan sistem hukum

nasional yang mantap. Di samping itu, ditentukan adanya misi pembangunan

nasional, antara lain: mewujudkan bangsa yang berdaya saing, mewujudkan

masyarakat demokratis berlandaskan hukum.

Dalam perkembangan di bidang perekonomian, tidak dapat dihindari adanya

berbagai kriminalisasi maupun dekriminalisasi.5 Persoalan ini menjadi sangat

penting dalam pembahasan hukum pidana. Dikatakan demikian, oleh karena

keberadaan hukum pidana akan difungsikan dalam pengaturan kegiatan di bidang

3 Supanto, Perspektif Hukum Pidana Menghadapi Perkembangan Kejahatan Ekonomi Global, dalam Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 195

4 Ibid, hlm.196.5 Bahkan, perlu dipikirkan proses penalisasi maupun depenalisasi. Penentuan ketercelaan

terhadap suatu perbuatan sulit untuk mengukurnya. Satu pihak menganggap bahwa perbuatan tertentu masih berruang lingkup yang dibenarkan dalam dunia usaha, tetapi pihak lain berpendapat perbuatan tersebut sudah merupakan perbuatan yang tercela. Sudut pandang yang berbeda ini akan mempersulit penentuan ukuran proses kriminalisasi dan dekriminalisasi. Lihat: Loebby Loqman, Hukum Pidana di Bidang Perekonomian, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.5 Tahun XXIV Oktober, Jakarta: Fak.Hukum UI, 1994, hlm.390.

2

Page 3: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

perekonomian. Hukum pidana dimanfaatkan untuk menegakkan norma-norma di

bidang perekonomian, dalam rangka kebijakan pembangunan di bidang ekonomi.6

Berkaitan dengan hal ini Setiyono mengatakan bahwa perkembangan

ekonomi pada akhir-akhir ini membuat dunia usaha semakin kompleks. Banyaknya

berbagai macam barang dan jasa yang ditawarkan saat ini membuat persaingan

antar korporasi semakin tajam. Persaingan antar korporasi tersebut membuat

kemajuan di bidang ekonomi semakin pesat. Tetapi tidak boleh dilupakan di sini,

kemajuan bidang ekonomi yang pesat justru tidak akan melenyapkan terjadinya

suatu kejahatan. Bahkan hampir dapat dipastikan bahwa faktor dominan penyebab

perkembangan kejahatan ialah akibat dari perkembangan di bidang ekonomi.7

Munculnya kejahatan korporasi, memang tidak dapat dilepaskan dari tumbuh

dan berkembangnya korporasi. Apabila ditelusuri sejarah perkembangannya,

sebenarnya korporasi sudah dikenal sejak abad pertengahan, namun sifatnya

terbatas hanya sebagai sarana pengaturan pekerjaan kelompok para individual

seperti serikat kerja, perkumpulan gereja. Pada waktu itu, peranan korporasi lebih

ditekankan pada kelompok kerjasama daripada tujuan pemanfaatan penyediaan

modal seperti korporasi pada umumnya.8

Salah satu permasalahan dalam memfungsikan hukum pidana adalah

ditujukan kepada korporasi dalam kejahatan ekonomi.9 Tindak pidana ekonomi ini

diatur dalam berbagai undang-undang selain di dalam Undang-Undang Tindak

6 Bandingkan dengan Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana, Cet.1, (Bandung: Alumni, 2010), hlm.7.

7 Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm.63.8 Menurut Clinard dan Yeager pertumbuhan korporasi di awal abad XX dimana pada tahun

1909, di AS hanya ada 2 perusahaan industri United State Steel dan Standard Oil of New Jersey yang sekarang berganti nama menjadi Exxon, memiliki asset lebih kurang $ 500 juta setara dengan 42 milyar (mata uang tahun 1980-an). Tahun 1971 dua korporasi tersebut hasil penjualannya mendekati $ 47 milyar, kira-kira sama dengan dolar tetap untuk penjualan lebih dari 200.000 perusahaan industri tahun 1899. Pertumbuhan korporasi raksasa multinasional yang begitu cepat dapat mempekerjakan berpuluh-puluh tenaga kerja sangat mempengaruhi pilihan konsumen dan mendominasi segmen-segmen ekonomi dunia melalui operasi global mereka. Suatu hal yang perlu dicatat sehubungan dengan korporasi dewasa ini, tujuannnya diarahkan pada tercapainya tujuan pertumbuhan dan keuntungan, di samping itu, dengan permainan dari para pemegang saham sebagai peran kunci dalam operasionalnya, maka tidak heran jika korporasi itu sebenarnya merupakan a sociological organization and political instrument, an ecoNomormic force and judicial person. Lihat: Marshall B Clinard & Peter C Yeager, Corporate Crime, (New York: The Free Press,1980), hlm.1-2 & 48.

9 Kejahatan ekonomi adalah setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang perekonomian dan bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana. http://eprints.undip.ac.id (Diunduh tanggal 14 Maret 2013: jam, 21.15 WIB)

3

Page 4: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Pidana Ekonomi No.7/drt/1955.10 Kejahatan korporasi yang semakin canggih baik

bentuk atau jenisnya maupun modus operandinya sering melampui batas-batas

negara (trans-border crime) dan juga sering dipengaruhi oleh negara lain akibat era

globalisasi.11 Di samping itu, sebagai dampak era globalisasi, kejahatan korporasi

yang menonjol adalah price fixing (memainkan harga barang secara tidak sah),

false advertising (penipuan iklan) seperti di bidang farmasi (obat-obatan), dan

kejahatan lingkungan hidup (environmental crime)12, serta kejahatan perbankan,

seperti: cyber crime, money laundering, illegal logging, dan lain-lain.13

Berdasarkan laporan Kongres PBB VI tentang The Prevention of Crime and

The Treatment of Offenders (1980 di Caracas), diidentifikasikan bentuk-bentuk

penyimpangan di bidang ekonomi (economic abuse).14 Guiding principles for

10 Dalam perkembangannya, prinsip pertanggungjawaban korporasi dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan diubah kembali dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain-lain.

11 Sebagai contoh, pada awal 1990-an secara internasional perhatian terhadap kejahatan korporasi ini disebabkan antara lain dengan makin gencarnya perang melawan narkotika dilakukan oleh negara maju (dipimpin oleh Amerika Serikat). Perang ini juga ditunjukan pada sumber keuangan perdagangan narkotika internasional dan karena itu melibatkan perjuangan untuk mengajak negara-negara di dunia menyusun Anti Money Laundering Act. Sedangkan di Indonesia, tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 kemudian terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini tentu melibatkan dunia perbankan dan karena itu permasalahannya diperluas pada international financial crimes. Permasalahan money laundering ini tidak terbatas pada perdagangan narkotika karena telah lama diduga bahwa uang haram ini juga digunakan dalam perdagangan senjata secara tidak sah dan dalam memajukan terorisme, pandangan ini antara lain dianut oleh Center for International Financial Crimes Studies pada College of Law, University of Florida, USA yang menjadi penyelenggara dari International Conference on Money Laundering, Asset For-feiture and White Collar Crime di New York City, Februari 1994. Lihat: Mardjono Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi dan Cara Penanggulangannya, Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, (FH UNDIP, 1994), hlm.2.

12 Dwidja Priyatno,”Antisipasi Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Era Globalisasi”, dalam Karya Vira Jati No.90, tahun 1995, (Bandung: Seskoad, 1995), hlm.47-48.

13 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.5

14 Report of The United Nations Congress VI, hlm.67. Rinciannya: (a) tax evasion, (b) credit and custom fraud, (c) embezzlement of public funds, (d) misappropriation of public funds, (e) violations of currency regulation, (f) speculation and swindling in land transaction, (g) environmental offences, (h) over pricing, (i) over invoicing, (k) labour exploitation, (l) export and import of sub-standar and even dangerously unsafe products.

4

Page 5: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New

International Economic Order (United Nation Congres VII on The Prevention of

Crime and Treatment of Offenders) menentukan protection against industrial

crime, economic crime.15 Pada tahun 1991 diselenggarakan kongres PBB: The

Prevention of The Treatment of Offenders ke VIII16, yang dalam rekomendasinya

mengenai Crime prevention and criminal justice in the context of development.

Dalam Kongres PBB VIII tersebut dirumuskan problem corruption in public

administration menyebabkan kerusakan dan melemahnya ekonomi. Keprihatinan

dikemukakan Kongres PBB VIII mengenai the increase in the abuse of computers,

pengakuan secara serius terhadap kejahatan: transnational crimes, yang merusak

the political and economical stability of nation, yang perkembangannya

sophisticated and dynamic. Kongres PBB IX tahun 199517 menyepakati perlunya

memerangi organized crime. Pada tahun 2000 diselenggarakan Kongres PBB18

menentukan international Cooperation in Combating Transnational Crime: New

Challenges in the Twenty-first Century.

Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru,

walaupun telah banyak tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan,

tetapi proses penegakan hukumnya masih sangat lambat. Diterimanya korporasi

sebagai subjek tindak pidana menimbulkan permasalahan hukum pidana di

Indonesia, khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban pidana pada

korporasi. Apakah unsur kesalahan tetap dipertahankan seperti halnya pada

manusia, kesalahan dalam hukum pidana ini berarti mengenai

jantungnya.19Sehingga secara dogmatis dapat dikatakan bahwa dalam hukum

pidana unsur kesalahan harus ada, sebagai dasar untuk memidana si pembuat.20

15 The Secretariat Sevent United Nations Congrss of the Prevention on Crime and The Treatment of Offenders, 26 August-6 September 1985 (New York: United Nations,1986), hlm.9.

16 Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, 27 August – 7 September 1990 (New York: United Nations, 1991).

17 Ninth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, (Cairo 29 April – 8 May 1995).

18 Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, (Vienna 10-17 April 2000).

19 Sudarto, Hukum Pidana 1 (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH-UNDIP, 1987), hlm.86

20 Sebagai prospeknya mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, seperti yang terdapat di negara Anglo-Saxon (Inggris), di mana syarat adanya kesalahan sebagai prinsip umum untuk adanya pertanggungjawaban pidana dikenal dengan asas “mens rea”, menurut doktrin dikenal adanya “strict liability” dan “vicarious liability”, yaitu prinsip

5

Page 6: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami

perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli.

Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah

hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui

tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri

pada pengalaman di masa lampau.21 Begitupun dalam masalah pidana dan

pemidanaan terhadap korporasi.

Sebagaimana diketahui dalam penanganan suatu tindak pidana maka bobot

penanganan haruslah memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat baik

korban, pelaku, masyarakat maupun negara khususnya penggunaan asas “Ultimum

Remedium” yang menjadi prinsip utama, yang harus diperhatikan dalam

penanganan tindak pidana korporasi. Penanganan penyelesaian tindak pidana

korporasi memerlukan suatu bobot penangan yan harus memperhatikan collateral

consequencies-nya bagi para stake holders (para innocents shareholders, para

karyawan, nasabah, masyarakat termasuk Negara) sehingga proses

penyelesaiannya tidak akan mengganggu kelancaran aktivitas korporasi yang

merupakan penggerak roda perekonomian Negara.22

Seiring dalam hal korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,

maka pertanggungjawaban korporasi secara pidana harus diikuti dengan

menyediakan jenis pidana yang sesuai untuk diterapkan pada suatu korporasi.

Tidak semua jenis pidana yang ada dapat diterapkan atau dijatuhkan kepada

korporasi. Perlu diketahui, dengan dapat dipertanggungjawabkannya korporasi

secara pidana, tidak dengan sendirinya pengurus korporasi yang terdapat di

dalamnya tidak dapat dipersalahkan.23 Sulit sekali untuk menentukan kesalahan

korporasi yang merupakan urat nadi dari hukum pidana. Kesalahan yang

dilimpahkan kepada korporasi sebenarnya bukan kesalahan korporasi secara

pertanggungjawaban pidana tanpa harus mensyaratkan unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana, apakah dapat diterapkan dalam hukum pidana kita, yang sampai sekarang masih menganut asas kesalahan, khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana korporasi. Lebih lanjut, apakah korporasi dapat mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan atau kealpaan. Sehubungan dengan hal tersebut, dapatkah korporasi mempunyai alasan yang dapat menghapuskan pemidanaan, seperti halnya subjek hukum manusia.

21 Sholehuddin, Op.Cit, hlm.1.22 Ibid, hlm.vi23 Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, (Jakarta: Datacom,

2002), hlm.16.

6

Page 7: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

pribadi, sebab pada hakekatnya yang melakukan tindak pidana adalah orang

(pengurus korporasi). Terkait dengan sanksi pidana bagi pertanggungjawaban

korporasi yang ada dalam peraturan perundang-undangan, belum tertata secara

baik dan jelas mana yang termasuk pidana pokok, pidana tambahan serta tindakan.

Akibat ketidakjelasan sanksi pidnaa tersebut akan terjadi keragu-raguan pada

majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana, sehingga kecil kemungkinan

terwujudnya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal.

Salah satu alternatif dalam menanggulangi tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi adalah melalui pendekatan restoratif. Melalui pendekatan restoratif -

sebagai alternatif dari pendekatan represif atau retributif - dalam menangani

perkara tindak pidana korporasi, diharapkan penanganan terhadap tindak pidana

korporasi dapat lebih efisien, efektif dan berdayaguna. Dengan demikian dalam

tulisan makalah ini akan dilakukan kajian dan analisis tentang model

pertanggungjawaban pidana korporasi melalui pendekatan restoratif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalahan yang telah disampaikan di atas, maka

pokok permasalahan dalam penulisan makalah ini dapat dirumuskan yakni sebagai

berikut di bawah ini:

1. Bagaimana politik hukum pidana dalam perumusan korporasi

sebagai subjek hukum?

2. Bagaimana model pertanggungjawaban pidana oleh korporasi

melalui pendekatan resoratif?

C. Maksud dan Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk menggali, menghimpun dan

menginventarisir pendapat, pemikiran para ahli dalam bidang hukum tindak pidana

ekonomi yang disusun dalam bentuk pandangan dan pendapat dari para pakar.

Secara khusus dalam penulisan ini diarahkan untuk mengetahui dan menganalisis

tentang pertanggungjawaban korporasi melalui pendekatan restoratif.

Sedangkan tujuan disusunnya penulisan makalah ini yaitu sebagai

pemenuhan tugas mata kuliah tindak pidana ekonomi pada Program Doktor Ilmu

7

Page 8: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Hukum (PDIH) Universitas Negeri Sebelas Maret, atau setidak-tidaknya sebagai

salah satu sumber referensi bagi pihak-pihak yang memerlukan.

D. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Korporasi (Badan Hukum)

Secara etimologi kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation,

Jerman: korporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa Latin, yang

berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang

dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan

terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam. 24 Menurut Satjipto korporasi

adalah suatu badan hasil cipta hukum. Badan yang diciptakan itu terdiri dari

corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus

yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu

merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga

ditentukan oleh hukum.25

Secara terminologi kata korporasi oleh banyak ahli diberikan peristilahan

yang beragam, antara lain: Subekti dan Tjitrosudibio, yang dimaksud dengan

corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum.26

Menurut Wirjono, korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi

biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang merupakan

anggota dari korporasi itu, anggota mana juga memiliki kekuasaan dalam peraturan

korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam

peraturan korporasi.27

Apa yang disebut dengan badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar

suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana

terhadap badan ini diberi status sebagai subjek hukum.28 Sehingga subjek hukum

secara singkat dapat diartikan, yaitu mereka yang mempunyai hak dan kewajiban

dalam hukum yaitu manusia (natuurlijk person) dan sesuatu yang menurut

24 Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita (Jakarta: Pembangunan, 1955), hlm.83.

25 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.110.26 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hlm.34.27 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1987), hlm.7428 Ibid.

8

Page 9: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban,

yang terakhir ini disebut badan hukum.

Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini

sekedar suatu badan, namun dianggap badan ini dapat menjalankan segala tindakan

hukum dengan segala risiko yang timbul, terlepas dari pribadi-pribadi manusia

yang terhimpun di dalamnya, dalam hal ini mempunyai latar belakang pemikiran

tersendiri. Adapun latar belakang pemikiran penetapan Badan Hukum sebagai

subyek hukum, mengutip pendapat Rudhi Prasetya, menyebutkan: 29

“bahwa terjadinya penetapan tersebut tiada lain sekedar untuk mempermudah menunjuk siapa subyek hukumnya yang harus bertanggung jawab diantara sedemikian banyak orang-orang yang terhimpun dalam badan tersebut, andaikata terjadi akibat hukum, yaitu yang secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk “badan” itu adalah sebagai subjek hukum yang harus bertangung jawab.”

2. Teori Badan Hukum

Badan hukum sebagai salah satu subjek hukum memiliki berbagai teori. Dari

berbagai teori tersebut, menurut Erman Rajagukguk dapat digolongkan dalam dua

bagian besar, yaitu:30

Pertama: mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud

yang nyata, dianggap mempunyai “panca indra” sendiri seperti manusia.

Akibatnya, badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia.

Kedua adalah, mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai

wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia.

Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat kesalahan, maka kesalahan itu adalah

merupakan kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara

bersama-sama tersebut.

29 Rudhi Prasetya, Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-Penyimpangannya, Makalah disampaikan pada seminar nasional ”Kejahatan Korporasi” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP di Semarang pada tanggal 23-24 Nopember 1989, hlm.3.

30 Erman Rajaguguk, Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum, (Jakarta: Mitra Management Centre,1994), hlm. 2. Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan pertanggung jawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada dibelakang badan hukum tersebut. Pemahaman badan hukum demikian itu adalah merupakan pengertian umum. Badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT), dalam bentuk perkumpulan tertentu; ada pula yang berbentuk koperasi, dan BUMN dan lain sebagainya.

9

Page 10: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Lebih lanjut Erman Rajagukguk menjelaskan tentang kapan suatu

perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum. Suatu perkumpulan dapat

disebut sebagai suatu badan hukum adalah apabila memenuhi syarat-syarat

tertentu. Syarat-syarat dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu:31

1).  Syarat-syarat menurut doktrin, yaitu:

Menurut Meyers, sesuatu baru dapat dikatakan badan hukum jika terpenuhi 4

(empat) unsur, yaitu:

(1). Adanya kekayaan perkumpulan yang terpisah dari kekayaan anggota-

anggotanya.

(2). Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, dan

kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu orang

atau beberapa orang saja.

(3). Kepentingan tersebut harus untuk jangka waktu yang panjang.

(4). Harus ada kekayaan yang terpisah tidak saja untuk menjaga

kepentingan-kepentingan anggotanya, melainkan juga kepentingan-

kepentingan tertentu yang terpisah dari kepentingan-kepentingan

anggota-anggotanya.

Paham lain menambahkan, di samping 4 (empat) unsur tersebut di atas, yaitu

adanya organisasi yang teratur, badan hukum sebagai subjek

hukum merupakan kesatuan sendiri dengan organ-organnya melakukan

perbuatan-perbuatan hukum. Tentang tata cara bagaimana organ badan

hukum yang terdiri dari manusia-manusia itu bertindak, dipilih, diganti dan

sebagainya, ditentukan oleh Anggaran Dasar dan peraturan-peraturan

lainnya.

2).   Syarat-syarat menurut peraturan perundang-undangan, yaitu:

(1). Dinyatakan dengan tegas bahwa suatu organisasi mempunyai status

badan hukum, misalnya Perseroan Terbatas (PT) adalah suatu badan

hukum. Undang-undang juga mengatakan bahwa Bank Rakyat

Indonesia (BRI) adalah merupakan dan berstatus sebagai suatu badan

hukum, dan lain sebagainya.

31 Ibid.

10

Page 11: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

(2). Tidak dinyatakan secara tegas. Namun dapat ditarik kesimpulan dari

peraturan yang bersangkutan, bahwa badan itu adalah badan hukum,

misalnya suatu perkumpulan untuk dapat diakui sebagai badan hukum

harus mendapat pengakuan dari Departemen Kehakiman dan HAM atau

oleh pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman HAM.

3). Syarat-syarat menurut kebiasan dan Yurisprudensi (keputusan-keputusan

pengadilan).

Pertumbuhan korporasi di Indonesia (terutama dalam pengertian peraturan

perundang-undangan tersebut di atas) semakin berkembang dengan pesat,

baik dalam jumlahnya maupun dalam wujud macam bidang usaha yang

dikelolanya. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan dan pertumbuhan

industri yang bergerak di berbagai bidang seperti pertanian, kehutanan,

makanan, pharmasi, perbankan, elektronika, otomotif, perumahan,

konstruksi, transportasi, hiburan, dan masih banyak lagi. Setiap hari kita

dibanjiri dengan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

hingga untuk “investasi”. Hampir seluruh kebutuhan kita seperti diuraikan di

atas, dapat dilayani oleh korporasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sejak

dalam kandungan hingga ke liang kubur kita di bawah kekuasaan korporasi.

Untuk penyediaan keperluan semua ini, korporasi menyerap banyak tenaga

kerja, sehingga dengan keberadaan korporasi yang sedemikian ini tentunya

ikut mengurangi angka pengangguran, meski perlu diingat bahwa dengan

munculnya industri maka ribuan orang juga akan kehilangan pekerjaannya.

Belum lagi sumbangan yang dihasilkan baik berupa pajak maupun devisa,

sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga

menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti

pencemaran, pengrusakan sumber daya alam yang terbatas, persaingan

curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang

membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen.32

Kendati pun korporasi di samping bercorak positif, tapi di lain pihak juga

memberikan efek negatif yang sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat,

namun pertumbuhan dan peranan korporasi tetap eksis dan semakin membesar

32 I. S. Susanto, Kriminologi, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm.1.

11

Page 12: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

sehingga menjadikan masyarakat yang konsumtif semakin tergantung pada

keberadaan korporasi tersebut. Korporasi tumbuh bagai raksasa yang

mengangkangi banyak segi kehidupan masyarakat, sehingga mempunyai

konsekuensi terhadap keberadaan korporasi secara ekonomi, politik dan kekuasaan

semakin menguat.33

3. Tindak Pidana Korporasi

Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate

crime adalah “any criminal offense committed by and hence chargeable to a

corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing,

toxic waste dumping), often referred to as white collar crime.”34 Kejahatan

korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, dan oleh karena itu

dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau

karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut

sebagai “kejahatan kerah putih”.35

Pemikiran tentang kejahatan korporasi,36 banyak menimbulkan pro dan

kontra dikalangan ahli hukum, khususnya hukum pidana. Di dalam hukum pidana

ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin universitas delinguere non potest yaitu

korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana, ini dipengaruhi oleh pemikiran

yang menyatakan bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi

hukum, sehingga tidak mempunyai nilai moral yang diisyaratkan untuk dapat

dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik (tindak

pidana) mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus

reus).37 Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengaan timbulnya kerugian,

yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban atau criminal

liability. Kemudian mengundang perdebatan adalah bagaimana

33 Marshall B. Clinard & Peter C, Yeager, Corporate Crime, (New York: The Free Press1980), hlm.3.

34 Henry Campbell Black,  Black’s Law Dictionary, (West Publishing Co., St. Paul, Minnessota,  1990), hlm. 339.

35 Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, http://bismar.wordpress.com. (Diunduh tanggal 23 Maret 2013, Jam:15.30 WIB).

36 Sebagai bahan perbandingan berkaitan dengan kejahatan korporasi ini, baca lebih lanjut: Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Averroes Press, 2002).

37 Pertanggungjawaban Korporasi, http://www.wikimediaindonesia, diunduh tanggal 23 Maret 2013, Jam:16.00 WIB.

12

Page 13: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

korporasi mempertanggungjawabkan atau corporate liability mengingat bahwa

dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap

sebagai subjek hukum pidana adalah orang perorangan dalam konotasi biologis

yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut

asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat

melakukan tindak pidana.38

Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka terdapat perubahan

(pergeseran) wajah pelaku kejahatan di Indonesia, yang disebabkan oleh

perkembangan pembangunan nasional kita. Pergeseran dimaksud adalah tentang

kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan di sini bukanlah

manusia, tetapi adalah suatu kesatuan yang disamakan dengan manusia39.

Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (corporate crime) tergolong

“White Collar Criminality” (WCC). Mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro40

yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi adalah merupakan sebagian dari

WCC. Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam tahun 1939 dengan

batasan: “suatu pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial

ekonomi atas, dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya.” Mardjono Reksodiputro41

mengatakan: ”bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai bagian dari

WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah dalam rangka untuk

membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan pidana yang

dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi

atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas.”

Permasalahan hukum pidana yang timbul sehubungan dengan pertanggung

jawaban dan kesalahan justru ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan berskala

kegiatan besar. Dalam kegiatan pembangunan perekonomian kita selama dua

dasawarsa yang lalu, yang telah menumbuhkan berbagai perusahaan besar, maka

hukum, termasuk hukum pidana dituntut untuk turut berkembang agar dapat

38 Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya http://www.google.com, (Diunduh tanggal 23 Maret 2013, Jam:16.30 WIB).

39 Soedjono Dirdjosisworo, Anatomi Kejahatan Di Indonesia (Gelagat dan Proyeksi Antisipasinya Pada Awal Abad Ke 21), (Jakarta: PT Granesia, 1996), hlm.15.

40 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hlm.103.

41 Ibid, hlm. 105.

13

Page 14: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan yang telah dicapai itu yang berakibat

merugikan masyarakat dan negara.

E. Pembahasan dan Analisis

1. Politik Hukum Pemidanaan Korporasi

Berbagai upaya dalam menanggulangi kejahatan telah banyak dilakukan.

Salah satu di antara adalah dengan menggunakan sarana hukum pidana. Dalam

kaitan ini Zudan42 menyatakan bahwa hukum itu dibuat untuk manusia sehingga

hukum harus mampu mewujudkan peningkatan martabat manusia, kesejahteraan

masyarakat dan melahirkan kebahagiaan bagi umat manusia. Keberadaan hukum

juga terikat dengan ruang dan waktu. Dengan demikian, hukum harus dibangun

secara dinamis sesuai dengan perkembangan manusianya yang berada pada

tempatnya dan masanya sendiri-sendiri. Untuk itu, maka peranan politik hukum

dalam perumusan (formulasi) pemidanaan terhadap korporasi menjadi sangat

penting dan strategis.

Secara etimologis istilah politik hukum merupakan terjemahan dari istilah

hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata: recht dan

politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum, sedangkan kata politiek

di dalamnya terkandung pula arti beleid, yang biasanya diterjemahkan sebagai

kebijaksanaan atau kebijakan (policy).43 Mohammad Radhie memberikan arti

politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai

hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah hukum, perkembangan

hukum yang dibangun.44 Dengan demikian, politik hukum diartikan dalam arti

luas, yang meliputi kebijakan tentang hukum yang berlaku (ius constitutum)45 dan

hukum yang akan diberlakukan (ius constituendum)46. Sementara itu, Padmo

42 Satya Arinanto & Ninuk Triyanti, Memahami Hukum, Dari Konstruksi Sampai Implementasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.xviii

43 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm.235.

44 Teuku Mohammad Radhie, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, hlm.3.

45 Ius constitutum dalam kepustakaan ilmu hukum diartikan sebagai hukum yang berlaku kini dan yang akan datang. Ius constitutum itu sendiri adalah suatu istilah bahasa Latin yang berarti hukum yang telah ditetapkan. Lihat: Abdul Latif & Hasbi Ali, Poltik Hukum, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.37.

46 Ius constituendum dalam arti harfiah, yakni hukum yang seharusnya berlaku meliputi dua pengertian, yakni apa dan bagaimana hukum yang harus ditetapkan serta apa dan bagaimana

14

Page 15: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Wahyono memberikan arti politik hukum sebagai arah kebijakan mengenai hukum

yang akan di bentuk atau diberlakukan. Menurut Padmo, politik hukum adalah

sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum

yang akan di bentuk.47

Sedangkan menurut Mahfud, politik hukum adalah legal policy atau garis

kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan

hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai

tujuan negara yang mencakup proses pembuatan dan dan pelaksanaan hukum.

Dengan demikan, politik hukum merupakan proses memilih tentang hukum-hukum

yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut

atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan

negara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.48

Politik hukum (sekarang dan di masa yang akan datang) harus

memperhatikan pengaruh global. Dalam konteks global, politik hukum tidak dapat

semata-mata melindungi kepentingan nasional, tetapi juga harus melindungi

kepentingan internasional atau juga harus melindungi kepentingan lintas negara.

Dalam rangka merumuskan pola pertanggungjawaban korporasi, maka harus

dilakukan dengan “pendekatan integral” - terkait dengan upaya Pencegahan dan

Penanggulangan kejahatan (PPK) - ada keseimbangan antara “penal” dan “non-

penetapan hukum itu. Pembicaraan mengenai apa dan bagaimana hukum yang harus ditetapkan (ius constituendum) itu meliputi apakah hukum dan ketentuan hukum itu, bagaimana perumusan ketentuan hukum itu, bagaimana fungsi bahasa dalam perumusan ketentuan hukum itu, dan bagaimana isi ketentuan hukum itu. Menurut Oppenheim, hukum adalah a body of rules for human conduct within a community which by common consent of this community shall be enforced by external power. Dari definisi itu tampak bahwa hukum merupakan seperangkat ketentuan (rules) bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat. Ketentuan (rule) itu oleh Black diartikan a legal precept attaching a definite detailed legal consequence to a definite detailed statement of act. Dengan demikian, berdasarkan pengertian itu ketentuan hukum adalah suatu aturan yang menetapkan akibat hukum tertentu pada suatu fakta tertentu. Akibat hukum itu bila dilihat dari hukum tata negara dapat pula merupakan wewenang atau tugas. Adapun fakta dalam pengertian itu dapat merupakan suatu subjek, suatu keadaan atau perbuatan. Hukum yang harus ditetapkan sebagai ius constituendum itu dengan demikian adalah suatu ketentuan hukum, mungkin satu ketentuan hukum saja atau mungkin seperangkat ketentuan-ketentuan hukum.

47 Padmo Wahjono, Indonesia Negara berdasarkan Atas hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm.160.

48 Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.1.

15

Page 16: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

penal”.49 Sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal-law enforcement

Policy” yang fungsionalisasi/opresionalisasinya melalui beberapa tahap:50

1) formulasi (kebijakan legislatif/legislasi);

2) aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3) eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Tahap formulasi, yaitu tahap penegakkan hukum in abstracto oleh badan

pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan

legislatif/legislasi. Kebijakan legislatif/legislasi adalah suatu perencanaan atau

program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam

menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan

sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu.51

Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat

penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan.Tahap kedua ini dapat

pula disebut tahap kebijakan yudikatif.

Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh

aparat-aparat pelaksana pidana.Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif

atau administratif.52

Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya Pencegahan dan

Penanggulangan kejahatan (PPK) bukan hanya tugas aparat penegak/penerap

hukum, tetapi juga tugas aparat pemuat hukum (aparat legislatif); bahkan

kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya Pencegahan dan

Penanggulangan Kejahatan (PPK) melalaui penal policy. Oleh karena itu,

kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang

dapat menghambat upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) pada

tahap aplikasi dan eksekusi.

49 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung , Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.74-75.

50 Tentang ketiga tahapan ini, M. Cherif Basssiouni, mempergunakan istilah: proses legislatif, proses peradilan (judicial) dan proses administrasi atau tahap formulasi, aplikasi dan tahap eksekusi. Lihat: M. Cherif Basssiouni, Substantive Criminal Law, (Illionis,USA,Charles C.Thomas Publisher,1978), hlm.78.

51 Barda Nawawi Arief,Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara (Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1994), hlm.59.

52 Muladi, Kapita Selekta Sistem Paradilan Pidana, (Semarang,Badan Penerbit UNDIP,1995), hlm.13-14.

16

Page 17: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perspektif kebijakan

kriminal dan kebijakan pidana, tidak lepas dari tahap formulasi yang di dalamnya

menyangkut tentang definisi dari korporasi, latar belakang tahap perkembangan

korporasi sebagai subjek hukum pidana, perkembangan teori-teori

pertanggungjawaban pidana dan model pengaturan jenis sanksi pidana untuk

korporasi juga merupakan hal yang sangat penting. Dikatakan demikian oleh

karena apabila terdapat kelemahan perumusan dapat menghambat penegakan

hukum dalam rangka pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Di

samping itu berbicara masalah sistem pertanggungjawaban pidana dalam

perspektif kebijakan kriminal dan kebijakan pidana tidak dapat dilepaskan

bagaimana melakukan reorientasi dan reformulasi kebijakan legislasi terhadap

sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.

Tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana, secara

garis besarnya dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama , ditandai dengan usaha-

usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan

(natuurlijk persoon). Apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan

korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus

korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht)

kepada pengurus.53 Tahap ini, sebenarnya merupakan dasar bagi Pasal 51 W.v.Sr

Ned (Pasal 59 KUHP), yang sangat dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non

potest” yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.

Tahap kedua , korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi

yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para pengurusnya yang

secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan secara tegas

dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut.54 Dalam

tahap ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung masih belum

muncul55.

53 Mardjono Reksodiputro, Tinjauan Terhadap Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, Kertas Kerja pada Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi,di FH UNAIR, (Bandung, Binacipta,1982), hlm 51.

54 Schaffmeister. D.N. Keijzer & E. PH.Sutorius, Hukum Pidana,Editor Penerjemah J.E. Sahetapy, (Yogyakarta: Liberty,1995), hlm 276.

55 Contoh peraturan perundang-undangan dalam tahap ini : Undang-undang Nomor 12/Drt/1951,LN.1951-78 Tentang Senjata Api. Pasal 4 ayat (1) : “Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu

17

Page 18: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari

korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia Kedua. Dalam tahap

ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggung-

jawabannya menurut hukum pidana. Peraturan perundang-undangan yang

menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun

1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi,

yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang tentang Tindak Pidana Ekonomi.

Pasal 15 ayat (1), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 Tentang Pos, Pasal 19

ayat (3), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001, Pasal 20 ayat (1) Tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 4 ayat (1),

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana

berpengaruh juga terhadap kedudukan korporasi sebagai pembuat dan sifat

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan yaitu,

terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; dan

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

Untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan

kriteria umum sebagai berikut :

a. Apakah perbuatan itu diakui oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat

merugikan, mendatangkan korban;

b. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan

dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan

penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu

sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;

badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.”(kursif oleh penulis) Ayat (2) “Ketentuan pada ayat (1) di muka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.”

18

Page 19: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

c. Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga terjadi

ketidak seimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyata-nyata tidak

dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas penegak hukum;

d. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa

Indonesia, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sehingga

merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.56

2. Teori Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi 

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga

teorekenbaardheid atau criminal responbility, yang menjurus pemidanaan pelaku

dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka

dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Untuk

dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana bahwa yang

dilakukannya itu haruslah memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh

undang-undang. Dilihat dari kemampuan betanggungjawab, maka seseorang yang

mampu bertanggungjawab dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.57

Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan, maka berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana

korporasi ada beberapa doktrin tentang pertanggungjawaban pidana korporasi

antara lain: pertama; doktrin identifikasi (directing minds theory), kedua; doktrin

pertanggungjawab pengganti (vicarious liability), dan ketiga; doktrin

pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang (strict liability).

1) Doktrin identifikasi (directing minds theory)

Teori ini pada prinsipnya mengatakan bahwa setiap subjek hukum dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana, apabila terlebih dahulu dapat dibuktikan

adanya kesalahan atau yang dikenal dengan istilah mens rea (guilty mind) dengan

mengidentifikasi suatu kesalahan yang dilakukan oleh korporasi melalui cara

mengaitkan perbuatan mens rea para individu yang mewakili korporasi selaku

56 Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan…Op.Cit, hlm.62. 57 Muladi dan Priyatno Dwidja, Op.Cit, hlm.34.

19

Page 20: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

directing mind atau alter ego.58 Doktrin identifikasi59 (directing minds theory)

pada prinsipnya mengatakan, bahwa:60

“Mereka yang mengendalikan korporasi, untuk kepentingan pertanggungjawaban pidana, diperlakukan sebagai perwujudan korporasi: perbuatan-perbuatan dan sikap bathin (states of mind) dari mereka yang mengendalikan sebuah perusahaan menurut hukum adalah perbuatan-perbuatan dan sikap bathin dari perusahaan itu sendiri.”

Berdasarkan penjelasan di atas, apabila individu diberi wewenang untuk

bertindak atas nama dan selama menjalankan usaha korporasi tersebut, dimana

unsur mens rea yang ada dalam para individu tersebut dianggap sebagai unsur

mens rea bagi perusahaan, sehingga dengan demikian korporasi harus

bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam

58 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif, Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.48.

59 Teori ini diadopsi di Inggris sejak tahun 1915, yaitu melalui kasus Lennard’s Carrying Co. Ltd v. Asiatic Petroleum Co., [1915] A.C. 705, at 713 (H.L.).  Dalam kasus ini, Hakim Pengadilan berpendapat : “[A] corporation is an abstraction. It has no mind of its own anymore than it has a body of its own; its active and directing will must consequently be sought in the person of somebody who for some purposes maybe called an agent, but who is really the directing mind and will of the corporation, the very ego and centre of the personality of the corporation….For if Mr. Lennard was the directing mind of the company, then his action must, unless a corporation is not to be liable at all, have been an action which was the action of the company itself……” Terjemahan bebas: “Suatu korporasi adalah sebuah abstraksi. Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh sendiri;  kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut……Jika Tuan Lennard merupakan otak pengarah dari perusahaan, maka tindakannya pasti merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri.” Lihat: Gerry Ferguson, Corruption and Criminal Liability, http://www.icclr.law.ubc.ca/Publications/ Reports/ FergusonG.PDF, hlm.5. (Diunduh tanggal )Dalam kasus lain di Inggris, yaitu kasus Tesco Supermarkets Ltd v Nattrass [1972] A.C. 153, Hakim Pengadilan berpendapat : “The person who acts is not speaking or acting for the company. He is acting as the company and his mind which directs his acts is the mind of the company. If it is a guilty mind then that guilt is the guilt of the company.” Terjemahan bebas:“Orang yang bertindak bukan berbicara atau bertindak atas nama perusahaan.  Ia bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan.  Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan.”  http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability (Diunduh tanggal )Dengan kata lain unsur mens rea dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut.  Begitu pula dengan actus reus yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus perusahaan. Lihat: http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/(Diunduh tanggal )

60 Law Com No.237, 4 March 1996, London Stationery Office, hlm.67, sebagaimana dikutip oleh Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Op.Cit, hlm.48.

20

Page 21: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

perusahaan sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau

dalam urusan transaksi perusahaan.61 Dengan kata lain unsur mens rea dari

pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens

rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut.  Begitu pula dengan actus reus

yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus

perusahaan.

Menurut Peter sebagaimana dikutip oleh Dwidja, mengatakan bahwa:62

“Secara lebih khusus, tindak pidana dan sikap bathin dari pejabat senior dapat diangap menjadi sikap bathin atau tindakan perusahaan sendiri, (sedemikian rupa) untuk membentuk pertanggungjawaban pidana perusahaan. Unsur-unsur dari sebuah tindak pidana dapat dikumpulkan dari perbuatan dan sikap bathin dari beberapa pejabat seniornya, dalam lingkup keadaan yang layak.”

Sehubungan dengan hal tersebut Djoko Sarwoko mengemukakan bahwa

jikalau di dalam aktivitas korporasi di bidang hukum perdata terdapat

kemungkinan adanya penyimpangan yang dikenal dengan utra vires, yang dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara perdata, demikian pula jika terjadi

penyimpangan yang telah melanggar ketentuan-ketentuan di dalam hukum pidana.

Lebih lanjut, Roeslan berpendapat bahwa:63

“Membedakan dapat dipidananya perbuatan dengan dapat dipidananya orang yang melakukan perbuatan, atau membedakan tindak pidana dengan pertanggungjawaban atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya. Asas geen straf zonder schuld tidak mutlak berlaku. Artinya, untuk mempertaggungjawabkan koroporasi tidak selalu harus memperhatikan kesalahan pembuat, tetapi cukup mendasarkan adagium res ipsa loquitur (fakta sudah bicara sendiri). Karena realitas dalam masyarakat menunjukkan, bahwa kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan korporasi sangat besar, baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi maupun biaya sosial (social cost). Di samping itu, yang menjadi korban bukan hanya orang perorangan melainkan juga masyarakat dan negara.”

Pertanggungjawaban ini berbeda dengan pertanggungjawaban pidana

pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban ketat (strict liability),

61 Ibid, hlm.48-49.62 Petter Gillies, Criminal Law, Sidney, The Law Book Company Limited, 1990, Second

Edition, hlm.133 dalam: Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hlm.90.

63 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.29.

21

Page 22: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

dimana pada doktrin identifikasi ini, asas “mens rea” tidak dikesampingkan,

sedangkan pada doktrin vicarious liability dan doktrin strict liability tidak

disyaratkan asas “mens rea”, atau asas “mens rea” tidak berlaku mutlak.

2). Doktrin pertanggungjawab pengganti (vicarious liability)

Dalam hal pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, ada pula

pandangan yang mengatakan bahwa suatu korporasi dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana atas setiap tindakan dari pegawainya dan

pengurusnya, yang dikenal dengan vicarious liability.64

Menurut Black’s Law Dictionary, vicarious liability adalah:

“Liability that a supervisory party (such as an employer) bear for the actionable conduct of sub-ordinate or associate (such as an employee) because of the relationship between the two parties.”

Terjemahan bebas:

“Pertanggungjawaban dari suatu pihak supervisor (seperti seorang majikan) yang dikenakan atas perbuatan dari bawahannya atau asosiasinya (seperti seorang pegawai) oleh karena hubungan antara kedua belah pihak.”

Pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban seseorang tanpa

kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain (a vicarious liability

is one where in one person, though without personal fault, is more liable for the

conduct of another).65 Menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahan orang lain.

Pertanggungjawaban demikian hampir semuanya ditujukan pada delik Undang-

Undang (statutory offences). Dengan kata lain, tidak semua delik dapat dilakukan

64 Doktrin ini pada mulanya diadopsi di Inggris, menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi.  Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi.  Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol.  Berdasarkan hal ini, teori ini dikritik karena tidak mempedulikan unsur mens rea (guilty mind) dari mereka yang dibebankan pertanggungjawaban.  Pengadilan di Inggris dan Kanada telah menolak doktrin ini, dan mengadopsi teori identifikasi.  Namun, pendekatan doktrin ini masih digunakan di pengadilan federal Amerika Serikat. Christopher M. Little & Natasha Savoline,  Corporate Criminal Liability in Canada: The Criminalization of Occupational Health & Safety Offences , Filion Wakely Thorup Angeletti (Management Labour Lawyers),  hlm.8, Lihat: www.filion.on.ca/pdf/CML%202003%20Paper.pdf (Diunduh tanggal)

65 Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum Vol. 6-1999, hlm.33.

22

Page 23: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip

mengenai hal ini. Salah satunya adalah “employment principle.” 66

Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability diartikan sebagai

pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang

dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrong ful

acts of another). Pertanggungjawaban, misalnya terjadi dalam hal perbuatan-

perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu ada dalam ruang lingkup pekerjaan

atau jabatannya. Jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut

hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan

demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak

melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti

yang biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan.67

Menurut Marcus Flatcher dalam perkara pidana ada 2 (dua) syarat penting

yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan pidana dengan

pertanggungjawaban pengganti, syarat tersebut adalah:68

(1) Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara majikan

dan pegawai/pekerja;

(2) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut

berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Di samping 2 (dua) syarat tersebut di atas, terdapat 2 (dua) prinsip yang harus

dipenuhi dalam menerapkan vicarious liability, yaitu prinsip pendelegasian (the

delegation principle) dan prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan

(the servant’s act is the mater’s act in law).

Pengaturan tentang prinsip-prinsip vicarious liability, telah pula diatur dalam

Rancangan KUHP Tahun 2004, sebagaimana terlihat dalam rumusan Pasal 35 ayat

(3) yang menetapkan bahwa:

66 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), hlm.151.

67 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hlm.41.

68 Hanafi, Op.Cit,hlm. 34

23

Page 24: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

- Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak

pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-

undang.69

- Di dalam penjelasan pasal demi pasal (Penjelasan Pasal 35 ayat (3) )

Rancangan KUHP Tahun 2004, dikemukakan, bahwa:

Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa

kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan

pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu

tanggungjawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan

bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam

batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam

kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka

pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika

perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu

merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini

penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang

ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara

sewenang-wenang. Atas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini

dikenal sebagai asas tanggungjawab mutlak atas vicarious liability.

3). Doktrin pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang (strict

liability)

Dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat pula pandangan

yang mengatakan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa

membuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan, yaitu yang dikenal dengan

pertanggungjawaban mutlak, atau strict liability. Romli menyatakan bahwa hukum

pidana Inggris selain menganut asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a

harmful act without a blame worthy mental state is not punishable), juga

menganut prinsip pertanggungjawab mutlak tanpa harus membuktikan ada atau

tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip

pertanggungjawaban tersebut dikenal sebagai strict liability crimes.70 Prinsip

pertanggunggjawaban ini dikenal sebagai strict liability.

69 Lihat: Pasal 35 ayat (3) Rancangan KUHP Tahun 2004.70 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 76.

24

Page 25: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana

Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu pelanggaran

terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum. Termasuk ke dalam kategori

ini pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas ialah :

a. Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan;

b. Criminal libel atau defamation atau pencemaran nama baik seseorang; dan

c. Public nuissance atau mengganggu ketertiban masyarakat (umum).71

Di Inggris, prinsip pertanggungjawab mutlak atau “strict liability crimes”,

tersebut berlaku hanya terhadap perbuatan yang bersifat pelanggaran ringan dan

tidak terhadap pelanggaran yang bersifat berat.

Menurut Barda Nawawi Arief, pertanggungjawaban pidana ketat ini dapat

juga semata berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau

tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-

undang, misalnya undang-undang menetapkan sebagai suatu delik bagi :

1). Korporasi yang menjalankan usahanya tanpa ijin ;

2). Korporasi pemegang ijin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang

ditentukan dalam ijin itu;

3). Korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang tidak diasuransikan.72

Menurut L. B. Curson, dokrtin strict liability ini didasarkan pada alasan-

alasan sebagai berikut : 73

1). Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting

tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.

2). Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran

yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial.

3). Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang

bersangkutan.

Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted

Honderich. Alasan yang bisa dikemukakan untuk strict liability adalah :

1). Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu.

71 Ibid, hlm. 77.72 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003),

hlm.237-238.73 Muladi dan Priyatno Dwidja, Op.Cit, hlm.108.

25

Page 26: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

2). Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk

menghindari bahaya yang sangat luas.

3). Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.74

Prinsip-prinsip strict liability yang diatur dalam Rancangan KUHP Tahun

2004 dapat dilihat dari beberapa ketentuan antara lain dalam Pasal 35 ayat (2).

Pasal 35 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2004 menetapkan:

“Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.”

Di dalam penjelasan padal demi pasal (penjelasan Pasal 35 ayat (2)

Rancangan KUHP Tahun 2004) dikemukakan, bahwa:

“Ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti halnya ayat (2). Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas strict liability.”

Dapat dikatakan bahwa walaupun prinsip strict liability dan vicarious

liability dalam menetapkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi adalah

konsep sistem hukum common law, namun di dalam menetapkan kebijakan hukum

pidana, khususnya dalam kebijakan faktual mengenai pertanggungjawaban pidana

terhadap korporasi di Indonesia, telah mengadopsi kedua doktrin atau prinsip

tersebut, khususnya penerapan prinsip “pertanggungjawaban berdasarkan

kesalahan (liability based on fault).

Pengertian korporasi di dalam hukum pidana sebagai ius constituendum dapat

dijumpai dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Buku I 2004-2005 Pasal 182 yang

menyatakan, “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau

kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Ternyata

pengertian korporasi dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP 2004-2005, tersebut

mirip dengan pengertian korporasi di negara Belanda, sebagaimana terdapat dalam

74 Ibid.

26

Page 27: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

bukunya Van Bemmelen yang berjudul Ons Strafrecht I Het Materiele Strafrecht

Algemeen deel, antara lain menyatakan: 75

“Dalam naskah dari bab ini selalu dipakai dalil umum ‘kor-porasi’, dalam mana termasuk semua badan hukum khusus dan umum (maksudnya badan hukum privat dan badan hukum publik-pen), perkumpulan, yayasan, pendeknya semua perseroan yang tidak bersifat alamiah.”

Rumusan tersebut di atas kita jumpai dalam Pasal 51 W.v.S. Belanda, yang

berbunyi:

1). Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;

2). Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan

tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan

tindakan-tindakan yang tercantum dlaam undang-undang terhadap:

a. Badan hukum; atau

b. Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu,

demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pimpinan

melakukan tindakan yang dilarang itu; atau

c. Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama-sama.

3). Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan

tanpa hak badan hukum, perserikatan, dan yayasan.

Dengan demikian, ternyata korporasi dalam hukum pidana lebih luas

pengertiannya bila dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum

perdata. Sebab, korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau

non badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi mempunyai

kedudukan sebagai badan hukum. Pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana

korporasi dalam Rancangan KUHP Tahun 2004, dapat ditemukan dalam berbagai

pasal, antara lain sebagai berikut:

Pasal 46:

Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana

dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Penjelasan:

Cukup jelas

75 J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum, diterjemahkan oleh Hasnan, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm.239.

27

Page 28: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Pasal 47:

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu

perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan

tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam

anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang

bersangkutan.

Penjelasan:

Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat

pertanggungjawaban pidana bagi korporasi terdapat kemungkinan berikut.

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu

penguruslah yang bertanggungjawab.

2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan penguruslah yang

bertanggungjawab.

3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang

bertanggungjawab.

Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu

korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat

dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau

pengurusnya saja.

Pasal 48:

Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus

mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

Penjelasan:

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 tanggungjawab korporasi dalam

hukum pidana diterima sebagai suatu prinsip hukum. Namun korporasi tidak

dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap semua objek,

kecuali jika secara khusus telah ditentukan bahwa perbuatan tersebut masuk

dalam lingkungan usahanya. Hal ini harus secara tegas diatur dalam

Anggaran Dasar atau ketentuan lain yang berlaku sebagai Anggaran Dasar

dari korporasi yang bersangkutan.

Pasal 49:

28

Page 29: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

(1) Dalam pertimbangan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan

apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih

berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan

dalam putusan hakim.

Penjelasan:

Dalam hukum pidana, penjatuhan pidana selalu dipandang sebagai ultimum

remedium. Oleh karena itu, dalam menuntut korporasi harus dipertimbangkan

apakan bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih

berguna dibandingkan dengan tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika memang

telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang

lebih berguna, maka tuntutan pidana atas korporasi tersebut dapat

dikesampingkan. Pengeyampingan tuntutan pidana atas korporasi tersebut

harus didasarkan pada motif atau alasan yang jelas.

Pasal 50:

Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang

bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi

sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang

didakwakan kepada korporasi.

Penjelasan:

Cukup jelas.

Bentuk-bentuk kerugian dan juga korban akibat kejahatan korporasi, tidak

seketika itu dapat dirasakan (korban aktual), akan tetapi baru terasa dan terlihat

pada saat kemudian (korban potensial). Menurut Clinard dan Yeager, ada 6

(enam) jenis korban kejahatan korporasi berdasarkan studi yang dilakukannya

terhadap kejahatan korporasi, yaitu:76

1). Konsumen (keamanan atau kualitas produk). Bilamana resiko keamanan dan

kesehatan dihubungkan dengan penggunaan produk, maka konsumen telah

menjadi korban dari produk tersebut.

76 http://www.scribd.com/doc/60799942/4-Korban-Kejahatan-Korporasi diakses tanggal 20 Maret 2013, jam:15.30 WIB.

29

Page 30: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

2). Konsumen (kekuasaan ekonomi). Pelanggaran kredit yakni, yakni

memberikan informasi yang salah dalam periklanan denga tujuan untuk

mempengaruhi konsumen.

3). Sebaian besar sistem ekonomi telah terpengarruh oleh praktik-praktik

perdagangan yang tidak jujur secara langsung (pelanggaran terhadap

ketentuan anti monopoli dan pelanggaran-pelanggaran terhadaap peraturan

persaingan lainnya) dan kebanyakan pelanggaran keuangan kecuali yang

berkaitan dengan belanja konsumen.

4). Pelanggaran lingkuangan (Pencemaran udara dan air) yang menjadi korban

yakni lingkungan fisik.

5). Tenaga kerja menjadi korban dalam pelanggaran terhadap ketentuan upah.

6). Pemerintah menjadi korban, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atau

administrasi atau perintah pengadilan dan kasus-kasus penipuan pajak.

Secara Garis besar kerugian yang ditimbulkan kejahatan korporasi meliputi ;

1). Kerugian dibidang ekonomi.

Meskipun sulit mengukur secara tepat jumlah kerugian yang ditimbulkan

kejahatan korporasi, namun dalam berbagai peristiwa yang ditimbulkan

menunjukkan tingkat kerugian ekonomi yang luar biasa besarnya.

2). Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa.

Melalui studi di Amerika, banyaknya korban kematian dan cacat sebagai

akibat perbuatan korporasi baik dari produk yang dihasilkan oleh korporasi

maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korban adalah

masyarakat luas, konsumen dan pekerja korporasi itu sendiri.

3). Kerugian dibidang sosial dan moral.

Dampak yang ditimbulkan korporasi adalah merusak kepercayaan

masyarakat perilaku bisnis. Bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan

yang paling mencemaskan, bukan saja kerugian yang ditimbulkannya

melainkan merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis.77

Dengan melihat banyaknya korban yang ditimbulkan oleh korporasi, maka

sangatlah wajar jika korporasi juga harus bertanggungjawab atas semua

perbuatannya.

77 Mulyadi Mahmud dan Surbakti Feri Antono, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: PT Sofmedia, 2010), hlm.28.

30

Page 31: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

3. Pendekatan Restoratif dalam Menanggulangi Kejahatan

Pada dasarnya konsep pendekatan restoratif digunakan dalam penyelesaian

konflik atau kerusakan yang timbul akibar tindak pidana yang terjadi dalam

hubungan antara anggota masyarakat yang harus diselesaikan dan dipulihkan oleh

seluruh pihak secara bersama-sama. Penyelesaian ini dititikberatkan kepada

keseimbangan melalui pemberian kesempatan terhadap korban untuk berperan

dalam proses penyelesaian tindak pidana.

Umbreit memberikan batasan pengertian tentang restoratif ini, sebagai

berikut:78

“Keadilan restoratif adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.”

Terhadap pandangan tersebut, Daly mengatakan, bahwa konsep Umbreit

tersebut memfokuskan kepada memperbaiki kerusakan dan kerugian yang

disebabkan oleh tindak pidana, yang harus ditunjang melalui konsep restitusi, yaitu

mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang diderita oleh para

korban tindak pidana dan memfasilitasi terjadinya perdamaian.79

Tony Marshall mengatakan bahwa sebenarnya keadilan restoratif adalah

suatu konsep penyelesaian suatu tindak pidana tertentu yang melibatkan semua

pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus

mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana

tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa datang.80

Sedangkan Wright mengatakan, bahwa tujuan utama dari keadilan restoratif

adalah pemulihan sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi.81

78 Mark Umbreit, Family Group Conferencing: Implication for Crime Victims, The Center for Restoratative Justice, University of Minnesota, http://www. Ojp.us-doj/ovc/publications/infores/restorative_justice.html. (Diunduh tanggal 3 Juni 2013, jam: 21.30 WIB).

79 http: web.infotrac.gale-group.com. (Diunduh tanggal 3 Juni 2013, jam: 22.00 WIB).80 Tony Masrshal, Restorative Justice: An Overview, Londong: Home Office Research

Development and Statistic Directorate, 1999, hlm.5. Lihat: www.restorativejustice.org (Diunduh tanggal 3 Juni 2013, jam: 22.20 WIB).

81 Wright, 1991, hlm.117 diakses dari www.restorativejustice.org. (Diunduh tanggal 3 Juni 2013, jam: 21:40 WIB).

31

Page 32: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Prinsip utama penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif

merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar alat untuk mendorong

seseorang untuk melakukan kompromi terhadap terciptanya kesepakatan, tetapi

pendekatan dimaksud harus mampu menembus ruang hati dan pikiran para pihak

yang terlibat dalam proses penyelesaian dalam memahami makna dan tujuan

dilakukannya suatu pemulihan dan sanksi yang diterapkan adalah sanksi

memulihkan dan bersifat mencegah.82

Dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, Romli

menyebutkan bahwa pendekatan restoratif mencerminkan teori pemidanaan yang

mengutamakan penjeraan dan pencegahan khusus; pendekatan preventif, yaitu

merupakan sistem pencegahan kejahatan yang efektif; pendekatan restoratif, yaitu

pengaturan tentang pengembalian asset hasil tindak pidana termasuk mekanisme

dan proses penyitaan yang sangat diperlukan dalam menyelesaikan tindak pidana

korupsi83. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa pendekatan restoratif bertujuan

memulihkan keadaan yang bermasalah atau mengalami ketidakseimbangan

menjadi tidak bermasalah atau mencapai harmoni dalam kehidupan masyarakat

tertentu atau dapat memberi kemaslahatan bagi bangsa dan negara.84

Menurut Gandjar, restorative justice secara teoritis dan praktis dapat dipakai

dalam penyelesaian suatu tindak pidana, Gandjar menjelaskan sebagai berikut:85

“ Dalam kerangka filosofis, hadirnya pendekatan restorative justice dalam hukum pidana bukan bertujuan untuk mengabolisi hukum pidana, atau melebur hukum pidana dan hukum perdata, karena pendekatan restorative justice yang mengutamakan jalur mediasi antara korban dan pelaku. Pendekatan restorative justice justru mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula yaitu pada fungsi ultimum remidium, suatu senjata pamungkas bilamana upaya hukum lain sudah tidak dapat lagi digunakan dalam menghadapi suatu tindak pidana dalam masyarakat. Dalam tataran praktis penanganan dan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan restorative justice menawarkan alternative jawaban atas

82 Rufinus Hotmaulana Hutahuruk, Op.Cit, hlm.107.83 Romli Atmasasmita, Paper: Strategi Pemberantasan Korupsi Transnasional Paska Ratifikasi

Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, hlm.15.84 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Bogor: Kencana, 2003), hlm.73.85 Gandjar L Bondan, Karakteristik Korban Dari Setiap Tindak Pidana Yang Menjadi Fokus

AKtivitas Perlindungan Saksi Dan Korban (Korupsi, Terorisme, Narkotika, Pelanggaran HAM Dan Tindak Pidana Lain Yang Ditentukan LPSK) Dan Kewenangan LPSK dalam Rangka Pemberian Reparasi dan Kompensasi, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice, (Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hlm. 76.

32

Page 33: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

sejumlah masalah yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana, misalnya proses administrasi peradilan yang sulit, lama, dan mahal, penumpukan perkara atau putusan pengadilan yang tidak menampung kepentingan korban.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian

perkara melalui pendekatan restoratif adalah terwujudnya pemulihan atas

kerusakan dan kerugian yang diderita oleh para korban tindak pidana dan

diberikannya ganti kerugian terhadap para korban berdasarkan kesepakatan yang

disepakati bersama.

Di Indonesia perkara pidana diselesaikan melalui sistem peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana menurut Mardjono adalah sistem dalam suatu masyarakat

untuk menanggulangi kejahatan.86 Tujuan sistem peradilan pidana, yaitu:87

1). Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2). Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

3). Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatan.

Melihat rumusan tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana disebutkan di

atas, maka pendekatan restoratif menjadi salah satu alternatif dalam penyelesaian

perkara tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Ketiga tujuan sistem

peradilan pidana tersebut menjadi cocok untuk memfungsikan pendekatan

restoratif sebagai pelaksanaan prinsip ultimum remedium.

Bagi masyarakat Indonesia sebenarnya, pendekatan restoratif telah dikenal

dan dipraktikkan sejak zaman dahulu sebagaimana yang terdapat dalam hukum

adat. Jikalau dalam sistem peradilan pidana berdasarkan hukum barat, setiap tindak

pidana adalah pelanggaran hukum terhadap negara bukan orang-perorangan secara

pribadi, maka dalam hukum adat suatu tindak pidana dapat dipandang sebagai

suatu pelanggaran terhadap orang-perorangan, suatu pelanggaran terhadap suatu

golongan keluarga atau suatu pelanggaran terhadap suatu desa, sehingga mereka

86 Mardjono Reksodiputro (a), Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan buku ketiga , (Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007), hlm. 84.

87 Ibid.

33

Page 34: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

masing-masing berhak untuk mengurusnya.88 Penyelesaian sengketa di luar

pengadilan bagi bangsa Indonesia merupakan hal yang menjadi falsafah bangsa

Indonesia sejak dahulu kala, hanya penamaannya tidak memakai kalimat

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa ini merupakan

falsafah nenek moyang bangsa Indonesia yang telah berkembang di tengah-tengah

masyarakat, misalnya masyarakat antar daerah yang bertikai lebih mengutamakan

menyelesaikannya dalam bentuk musyawarah. Musyawarah ini telah diangkat ke

permukaan oleh pendiri bangsa Indonesia dengan mencantumkannya dalam UUD

1945.89

Pandangan yang sama juga dikemukakan Joni Emerzon, yang menyatakan

bahwa penyelesaian sengketa melalui lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian

Sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) secara tidak langsung sudah

berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seperti negosiasi, mediasi,

konsilidasi, dan arbitrase, walaupun tidak persis sama dengan apa yang dilakukan

di Australia dan Amerika yang sudah melembaga.90

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, penerapan pendekatan restoratif

merupakan suatu kebijakan yang relatif baru dan masih bersifat sektoral namun

demikian kebijakan tersebut adalah sesuai dan sejalan dengan deklarasi PBB yang

diselenggarakan pada tahun 2000, tertuang dalam Prinsip-Prinsip Pokok tentang

Penggunaan Program Keadilan Restoratif dalam Permasalahan-Permasalahan

Pidana (United Nations Declaration on the Basic Principles on the Use of

Restorative Justice Programmes in Criminal Matters). Dalam deklarasi tersebut

PBB telah menganjurkan agar setiap negara mendayagunakan konsep restorative

justice secara lebih luas pada suatu sistem peradilan pidana masing-masing negra

sebagaimana yang kemudian dipertegas dalam deklarasi Wina (Vienna Declaration

on Crime and Justice: “Meeting the Challenges of the Twenty-first Century”)

dalam butir 27 dan butir 28 yang menyebutkan.

27. We decide to introduce, wherw appropriate, national, regional and international action plans in support of victims of crime, such as mechanisms for meditation and restorative justice, and we establish 2002 as a target date

88 Rufinus Hotmaulana Hutahuruk, Op.Cit, hlm.108.89 Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

hlm.213.90 Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Jakarta: Gramedia

Pusraka Utama, 2001), hlm.26.

34

Page 35: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

for States to review their relevant practices, to develop further victim support services and awareness campaigns on the rights of victims and to consider the establishment of funds for victims, in addition to developing and implementating witness protection policies.

28. We encourage the development of restorative justice policies, procedures and programmes that are respectful of the rights, needs and interests of victims, offenders, communities, and all other parties.

Terjemahan

Kami memutuskan untuk memperkenalkan, jika sesuai, rencana-rencana tindakan untuk mendukung korban-korban kejahatan secara nasional, regional dan internasional, seperti mekanisme untuk mediasi dan keadilan restoratif, dan kami menetapkan tahun 2002 adalah sebagai tahun target bagi negara-negara untuk meninjau ulang praktik-praktik mereka yang relevan, agar dikembangkan lebih lanjut untuk mendukung pelayanan-pelayanan dukungan terhadap korban dan melakukan kampanye-kampanye yang bersifat memberikan kesadaran atas adanya hak-hak dari korban dan untuk mempertimbangkan penetapan pendanaan bagi korban, dan sebagai tambahan adalah dikembangkannya dan diimplementasikannya kebijakan-kebijakan perlindungan saksi.

Kami mendorong pengembangan kebijakan-kebijakan, tata-cara tata-cara, dan program-program keadilan restoratif, yang menghormati hak-hak, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan korban, pelaku, masyarakat, serta semua pihak lainnya.

Pendekatan restortif juga diadopsi dalam Konvensi UNCAC 2003 ini

sebagaimana diatur dalam salah satu pasalnya, yaitu Pasal 37 tentang kerjasama

dengan otoritas penegak hukum. Pasal 37 ayat (1) ini mewajibkan kepada setiap

negara yang menjadi pihak dalam konvensi UNCAC 200391 untuk mengambil

tindakan-tindakan yang sesuai untuk mendorong mereka yang turut serta atau yang

telah turut serta dalam suatu perbuatan pidana yang ditetapkan dalam konvensi

(korupsi), agar memberikan informasi yang berguna untuk penyidikan dan

pembuktian dan untuk menyediakan bantuan nyata dan khusus kepada para pejabat

yang berwenang, yang dapat memberikan kontribusi menjauhkan para pelaku dari

proses tindak pidana dan untuk memulihkan proses-proses itu.

Demikian juga dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-11

tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (Eleventh United Nations

91 Telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convetions Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) tanggal 18 April 2006.

35

Page 36: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Congress on Crime Prevention and Criminal Justice) yang diselenggarakan di

Bangkok Tahun 2005, telah ditegaskan kembali pendekatan restoratif. Butir 32

Deklarasi Bangkok tersebut di bawah judul “Sinergi dan Tanggapan: Persekutuan

Strategis dalam Pencegahan Tindak Pidana dan Peradilan Pidana (Synergies and

Responses: Strategic Alliances in Crime Prevention and Criminal Justice)”

menyebutkan sebagai berikut:

“To promote the interests of victims and teha rehabilitation of offenders, we recognize the importance of further developing restorative justice policies, procedures and programmes that include alternatives to prosecution, thereby avoiding possible adverse effect of imprisonment, helping to decrease the caseload of criminal couts and promoting the incorporation of restorative justice approaches into criminal justice systems, as appropriate.”

Terjemahan:

“Untuk meningkatkan kepentingan-kepentingan korban dan rehabilitasi pelanggar, diakui pentingnya mengembangkan kebijakan-kebijakan keadilan restoratif, prosedur-prosedur, dan program-program, yang meliputi alternatif-alternatif terhadap penuntutan, yaitu dengan cara menghindarkan efek-efek pemenjaraan, membantu menurunkan muatan atau tunggakan kasus dari pengadilan pidana dan meningkatkan penyatuan pendekatan-pendekatan keadilan restoratif ke dalam sistem-sistem peradilan pidana sebagaimana layaknya.”

4. Analisis Teori Hukum Terhadap Keberlakuan Restoratif Dalam

Tindak Pidana Korporasi

Pemenuhan rasa keadilan merupakan kunci dari seluruh rangkaian penegakan

hukum, sehingga hukum dapat dirasakan kemanfaatannya dan secara umum

hukum menjadi sarana pembangunan. Dengan demikian pendekatan restoratif

dalam tindak pidana terhadap korporasi melalui upaya pemulihan atas hak-hak

korban menjadi sangat relevan sebagai alternatif penerapan sanksi kepada

korporasi. Penerapan restoratif ini juga sangat berkaitan dengan aspek kemanfaatan

sebagaimana digambarkan oleh Roscue Pond sebagai berikut: “ law as tool of

social engineering”, yang artinya hukum dapat digunakan sebagai suatu sarana

pembaharuan (untuk membentuk, membangun, merubah), hukum sebagai sarana

rekayasa sosial.92 Pemenuhan rasa keadilan merupakan kunci dari seluruh

92 W. Friedman, Legal Theory, Dalam Naskah Akademis Tentang Peradilan Anak, Mahkamah Agung RI, Tahun 2005, hlm.8.

36

Page 37: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

rangkaian penegakan hukum, sehingga hukum dapat dirasakan kemanfaatannya

dan secara umum hukum menjadi sarana pembangunan. Keadilan merupakan suatu

hak yang harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku manusia di masyarakat agar

kepentingan masyarakat terlindungi, dengan adanya pengaturan hukum yang

bersendikan keadilan tersebut.

Sejalan dengan ini, Adam Smith merumuskan tentang keadilan komutatif,

dimana prinsip utama keadilan komutatif adalah no harm atau prinsip tidak

melukai dan merugikan orang lain. Keadilan komutatif ini menyangkut jaminan

dan penghargaan atas hak-hak individu, khususnya hak-hak asasi. Menurut Smith,

keadilan komutatif tidak hanya menyangkut pemulihan kembali kerusakan yang

terjadi, melainkan juga menyangkut pencegahan terhadap terlanggarnya hak dan

kepentingan pihak lain.93 Dengan lain kata dapat dikatakan bahwa keadilan

komunikatif tidak terutama terletak dalam melakukan suatu tindakan positif untuk

orang lain, melainkan terletak dalam tidak melakukan tindakan yang merugikan

orang lain. Tujuan keadilan adalah melindungi orang dari kerugian yang diderita

akibat orang lain.94Keadilan komutatif lalu tertuang dalam hukum yang tidak hanya

menetapkan pemulihan kerugian, melainkan juga hukum yang mengatur agar tidak

terjadi pelanggaran atas hak dan kepentingan pihak tertentu.95 Teori keadilan

berdasar Smith berkaitan dengan konsep resiprositas atau kesetaraan nilai dalam

pemulihan kembali kerugian maupun pertukaran ekonomi. Teori keadilan Smith

ini dikembangkan kemudian bahwa prinsip utama keadilan komunitatif tidak

melukai dan merugikan orang lain. Keadilan menurut Smith menyangkut adanya

jaminan dan penghargaan atas hak-hak individu.96

Sedangkan ditinjau dari aspek kemanfaatan, maka pendekatan restoratif juga

diyakini dapat memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang besar bagi para

korban tindak pidana korporasi. Seperti yang dikatakan oleh Jeremy Bentham

bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau

93 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. hlm.112.

94 Ibid, hlm.116.95 Ibid, hlm.112.96 Sri Gambir Melati Hatta, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan Perkembangannya,

Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Pidato diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 30 Agustus 2000, hlm.16.

37

Page 38: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat.

Penekanannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga masyarakat

mencari kebahagiaan dan hukum merupakan alatnya. Adanya negara dan hukum

semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas masyarakat.

Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau

kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan.

Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan. Kebaikan adalah

kesenangan atau penyebab kesenangan.97 Yang paling sesuai dengan manfaat atau

kepentingan seorang individu adalah yang cenderung memperbanyak jumlah

kebahagiaan itu. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat

adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang

membentuk masyarakat itu.98 Jeremy Bentham juga mengatakan bahwa

pemidanaan adalah tidak diperlukan apabila jenis-jenis lain dari pengendalian atau

pengawasan atau intervensi-intervensi telah berhasil dilakukan. Sedangkan Sally S.

Simpson menekankan bahwa penegakan upaya yang lebih luas haruslah dipusatkan

atas pengendalian-pengendalian yang bersifat informal dan intervensi-intervensi

(dari pemerintah).99

Paradigma yang dibangun dalam sistem peradilan pidana saat ini menentukan

bagaimana Negara harus memainkan peranannya berdasarkan kewenangan yang

dimilikinya, Negara memiliki otoritas untuk mengatur warganegara melalui organ-

organnya.100 Bahwa dasar dari pandangan ini menempatkan Negara sebagai

pemegang hak menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius

punale) dan hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak

pidana yang terjadi dalam masyarakat.101 Namun demikian, penggunaan lembaga

hukum pidana sebagai alat penanganan konflik menempatkan dirinya sebagai

mekanisme terkahir yang dimana lembaga lain tidak dapat menjalankan fungsinya

97 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh Nurhadi (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), hlm.26.

98 Ibid.99 Sally J.Simpson, Corporate Crime, Law, and Social, (Cambridge University Press, 2002),

hlm.9-10.100 Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku Reparasi dan

Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, (Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hlm. 27.

101 Ibid.

38

Page 39: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

untuk menangani konflik yang terjadi, dengan demikian hukum pidana bersifat

ultimun remidium.102 Pendekatan penegakan hukum dengan menggunakan

pendekatan restoratif pada tindak pidana korporasi lebih memberikan manfaat

besar dalam rangka upaya pemulihan atas hak-hak korban.

Proses restorative justice dalam perkara tindak pidana korporasi pada

dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan

upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk

diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya

bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita

sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan

penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat

diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan

atau pemulihan keadaan.

Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan

yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk

melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu

kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki

wewenang melakukan diskresi / pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan

oleh pihak tertentu, dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku / pelanggar agar

mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya

“perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana.

Keuntungan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam

menyelesaikan kasus-kasus pidana korporasi adalah bahwa pilihan penyelesaian

pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban (negara). Keuntungan

lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk

pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan

atau disepakati dengan pihak korban (negara). Dengan demikian, keadilan menjadi

buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban

(negara) dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim.

E. Penutup

1. Kesimpulan

102 Ibid.

39

Page 40: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perspektif kebijakan

kriminal dan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dengan pengertian kebijakan

kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian

integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai

kesejahteraan masyarakat masyarakat (social welfare). Apabila terdapat banyak

kelemahan dalam perumusan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka akan mempengaruhi pula

proses penegakan hukumnya. Pendekatan restoratif dalam penyelesaian kasus

tindak pidana korporasi dalam praktik hukum di Indonesia memiliki potensi yang

besar dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Melalui pendekatan restoratif ini

diyakini lebih menghargai hak-hak korban dan lebih mudah untuk melakukan

proses rehabilitasi pelaku pidana seraya mencari alternatif dari penuntutan dengan

cara menghindari efek-efek pemenjaraan yang selama ini masih dipergunakan

dalam sistem peradilan pidana pada umumnya. Keterlibatan pihak korban dalam

proses penyelesaian tindak pidana korporasi, merupakan cerminan dari

pelaksanaan prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan yang belum sepenuhnya

dapat ditempuh dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Pendekatan restoratif

memaknai keadilan hanya dapat diberikan melalui keterlibatan para pihak dalam

menyelesaikan suatu konflik yang timbul akibat tindak pidana, dan bukan sekadar

pemenuhan keadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Memberikan hak kepada pelaku dan korban untuk dapat menyelesaikan konflik

yang terjadi di antara mereka, merupakan hal yang utama dalam pandangan

pendekatan restoratif, karena pendekatan restoratif, memandang suatu tindak

pidana bukan semata-mata merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum negara

tetapi merupakan suatu perbuatan dari seseorang kepada orang lain yang

menimbukan kerusakan atau kerugian yang harus dipulihkan.

Prinsip utama dalam penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan

restoratif adalah bagaimana mencari upaya yang dapat mengatasai berbagai konflik

secara etis dan layak, mendorong seseorang untuk dapat melakukan kesepakatan

dalam penyelesaian yang akan ditempuhnya. Adapun bentuk sanksi yang dipilih

dalam pendekatan restoratif, adalah yang bersifat memulihkan dan menjauhi

40

Page 41: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

bentuk sanksi yang bersifat pemenjaraan, dan pemilihan atas sanksi tersebut

dilakukan atas dasar kesepakatan di antara kedua belah pihak.

Dalam pandangan pendekatan restoratif, pemilihan jenis sanksi yang bersifat

pemulihan ini dianggap jauh lebih penting dan lebih berdayaguna daripada sanksi

yang menekankan pada hukuman pemenjaraan yang merupakan pilihan alternatif

terakhir. Pendekatan restoratif dalam sistem hukum pidana Indonesia juga

merupakan amanat pelaksanaan dari asas yang tercantum dalam hukum pidana

yakni ultimum remedium. Dengan demikian, maka pendekatan restoratif dipandang

sangat efektif dalam menanggulangi tindak pidana korporasi oleh karena konsep

yang ditawarkan dalam pendekatan restoratif adalah di samping proses

penyelesaiannya lebih cepat dan sederhana, juga dapat meniadakan efek samping

yang pada umumnya sering terjadi dalam implementasi pendekatan represif

retributif.

2. Saran

Dalam kesempatan penulisan makalah ini, penulis menyampaikan

sumbangsarannya yakni sebagai berikut di bawah ini.

1). Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi, terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat selaku pihak

korban, maka diupayakan pendekatan restoratif terlebih dahulu dengan

melibatkan para korban dalam menentukan upaya pemulihan (sanksi) yang

akan ditempuh.

2). Diperlukan adanya suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang

kedudukan badan hukum (korporasi) yang di dalamnya ditentukan tentang

ssitem dan mekanisme penyelesaian perkara melalui pendekatan restoratif.

3). Diperlukan adanya suatu lembaga khusus yang menangani perkara korporasi

dengen pendekatan restoratif sehingga keberlakuan resrtoratif dalam

menangani perkara dimaksud dapat terwujud secara kelembagaan yang

otoritatif.

DAFTAR PUSTAKA

41

Page 42: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Buku

A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Yogyakarta:

Kanisius, 1996.

Abdul Latif & Hasbi Ali, Poltik Hukum, Cet.1, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan

Dengan Pidana Penjara, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1994.

__________, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, Bandung , Citra Aditya Bakti, 2001.

__________, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo,

2002.

__________, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2003.

Basssiouni M. Cherif , Substantive Criminal Law, Illionis,USA,Charles C.Thomas

Publisher,1978.

Black,  Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul,

Minnessota,  1990.

Bentham Jeremy, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan:

Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana),

diterjemahkan oleh Nurhadi, Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006.

Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1987.

Clinard Marshall B and Peter C Yeager. Corporate Crime. New York: The Free

Press, 1980.

Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, Bandung: CV. Utomo, 2004.

Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku

Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, Jakarta:

Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan

Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.

Erman Rajaguguk, Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum, Jakarta: Mitra

Management Centre,1994.

42

Page 43: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Gandjar L Bondan, Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice,

Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban

dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.

Gillies Petter, Criminal Law, Second Edition, Sidney, The Law Book Company

Limited, 1990,

I. S. Susanto, Kriminologi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

1995.

Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta:

Gramedia Pusraka Utama, 2001.

J.Simpson, Sally, Corporate Crime, Law, and Social, Cambridge University Press,

2002.

Keijzer Schaffmeister D.N, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana,Editor Penerjemah

J.E. Sahetapy, Yogyakarta: Liberty,1995.

Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Jakarta:

Datacom, 2002.

Mardjono Reksodiputro, Tinjauan Terhadap Perkembangan Delik-delik Khusus

Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, Kertas Kerja pada

Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Yang

Mengalami Modernisasi,di FH UNAIR, Bandung, Binacipta,1982.

___________, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h) Lembaga

Kriminologi Universitas Indonesia, 1994.

___________, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, kumpulan

karangan buku ketiga, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian

Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2010.

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet.1,

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, 1984.

43

Page 44: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Muladi, Kapita Selekta Sistem Paradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit

UNDIP, 1995.

Mulyadi Mahmud dan Surbakti Feri Antono, Politik Hukum Pidana Terhadap

Kejahatan Korporasi, Jakarta: PT Sofmedia, 2010.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara berdasarkan Atas hukum, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1986.

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 1996.

___________, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Bogor: Kencana, 2003.

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui

Pendekatan Restoratif, Suatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,

2013.

Satjipto Rahardjo dalam Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan

Hukum Pidana, Cet.1, Bandung: Alumni, 2010.

___________, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986.

___________, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni,Bandung, 1983

Satya Arinanto & Ninuk Triyanti, Memahami Hukum, Dari Konstruksi Sampai

Implementasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban

Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Averroes Press,

2002.

__________, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia Publishing, 2003.

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track

System dan Implementasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Soedjono Dirdjosisworo, Anatomi Kejahatan Di Indonesia (Gelagat dan Proyeksi

Antisipasinya Pada Awal Abad Ke 21), Jakarta: PT Granesia, 1996.

Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Jakarta:

Pembangunan, 1955.

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.

Sudarto, Hukum Pidana 1, Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH-

UNDIP, 1987.

44

Page 45: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Supanto, Perspektif Hukum Pidana Menghadapi Perkembangan Kejahatan

Ekonomi Global, dalam Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai

Implementasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.

__________, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana, Cet.1,

Bandung: Alumni, 2010.

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar, Jakarta: Sinar

Grafika, 2006.

Termorshuizen Marjanne, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Djambatan,

1999.

Van Bemmelen J. M., Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum,

diterjemahkan oleh Hasnan, Bandung: Binacipta, 1986.

Makalah, Jurnal, Pidato Pengukuhan, dll.

Dwidja Priyatno,”Antisipasi Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi dalam

Era Globalisasi”, dalam Karya Vira Jati No.90, tahun 1995, Bandung:

Seskoad, 1995.

Friedman W., Legal Theory, Dalam Naskah Akademis Tentang Peradilan Anak,

Mahkamah Agung RI, Tahun 2005.

Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum Vol. 6-

1999.

Loebby Loqman, Hukum Pidana di Bidang Perekonomian, Majalah Hukum dan

Pembangunan, No.5 Tahun XXIV Oktober, Jakarta: Fak.Hukum UI, 1994.

Mardjono Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi dan Cara Penanggulangannya,

Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, FH UNDIP, 1994.

Romli Atmasasmita, Paper: Strategi Pemberantasan Korupsi Transnasional Paska

Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003.

Rudhi Prasetya, Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi Dan

Penyimpangan-Penyimpangannya, Makalah disampaikan pada seminar

nasional ”Kejahatan Korporasi” yang diselenggarakan oleh Fakultas

Hukum UNDIP di Semarang pada tanggal 23-24 Nopember 1989.

Sri Gambir Melati Hatta, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan

Perkembangannya, Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan,

45

Page 46: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Pidato diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap

Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 30 Agustus

2000.

Teuku Mohammad Radhie, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka

Pembangunan Nasional, dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember

1973.

Internet

http://eprints.undip.ac.id (diunduh tanggal 14 Maret 2013: jam, 21.15 WIB).

http://bismar.wordpress.com. (diunduh tanggal 23 Maret 2013, Jam:15.30 WIB).

http://www.wikimediaindonesia. (diunduh tanggal 23 Maret 2013, Jam:16.00

WIB).

http://www.google.com. (diunduh tanggal 23 Maret 2013, Jam:16.30 WIB).

http://www.scribd.com. (diunduh tanggal 20 Maret 2013, jam:15.30 WIB).

http://www. Ojp.us-doj/ovc/publications/infores/restorative_justice.html. (diunduh

tanggal 3 Juni 2013, jam: 21.30 WIB).

http: web.infotrac.gale-group.com. (diunduh tanggal 3 Juni 2013, jam: 22.00

WIB).

www.restorativejustice.org. (diunduh tanggal 3 Juni 2013, jam: 22.00 WIB).

Dokumen

The Secretariat Sevent United Nations Congrss of the Prevention on Crime and

The Treatment of Offenders, 26 August-6 September 1985, New York: United

Nations,1986.

Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders, 27 August – 7 September 1990, New York: United Nations, 1991.

Ninth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders, Cairo 29 April – 8 May 1995.

Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders, Vienna 10-17 April 2000.

Peraturan Perundang-Undangan

46

Page 47: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 sebagaimana telah

diubah dengan Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan

Hidup sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan

United Nations Convetions Against Corruption, 2003 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang

Ketenagalistrikan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan

Gas Bumi

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Pasar Modal

Republik Indonesia, Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak

Pidana Ekonomi

Republik Indonesia, Undang-Undang Drt Nomor 17 Tahun 1951 Tentang

Penimbunan Barang-Barang.

47

Page 48: Tindak Pidana Ekonomi (Tugas Acr-prof Hartiwi)

48