tugas prof jamal (acr-uns)

67
KEDUDUKAN INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA Tugas Makalah : Hukum dan Teknologi Informasi Dosen Prof . Dr . Jamal Wiwoho , SH , M.Hum . Oleh: ABDUL CHAIR RAMADHAN

Upload: lisanhal

Post on 30-Nov-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

KEDUDUKAN INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES

PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA

Tugas Makalah : Hukum dan Teknologi InformasiDosen Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH, M.Hum.

Oleh:

ABDUL CHAIR RAMADHAN

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET

SURAKARTA 2013

Page 2: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di bidang

telekomunikasi, informasi dan komputer telah menghasilkan konvergensi dalam

aplikasinya. Konsekuensinya, terjadi pula konvergensi dalam peri kehidupan

manusia, termasuk dalam kegiatan industri dan perdagangan.1 Semakin pesatnya

perkembangan teknologi, informasi dan telekomunikasi, telah mengakibatkan

semakin beragamnya pula aneka jasa-jasa (features) fasilitas telekomunikasi yang

ada, serta semakin canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu

mengintegrasikan semua informasi.2

Perkembangan teknologi elektronika dari waktu ke waktu semakin berjalan

dengan pesat. Kecanggihannya telah mempengaruhi hampir seluruh aspek

kehidupan masyarakat baik dalam bidang politik, sosial, budaya, maupun ekonomi

dan bisnis. Salah satu media yang paling menonjol dalam transformasi elektronik

tersebut yaitu internet. Internet merupakan sarana komunikasi global yang dapat

mempersatukan individu-individu yang terpisah secara geografis di berbagai

belahan dunia sehingga menyebabkan hubungan masyarakat dunia menjadi tanpa

batas (borderless). Selaras dengan hal ini Lukman Prabowo menyatakan:3

“Internet sering di asosiasikan sebagai media tanpa batas dunia maya atau Cyberspace karena dimensi ruang, waktu, birokrasi, kemapanan dan tembok

1 A. Kusbiyandono, Makalah, Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-Commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2004, hlm.1

2 Arianto Mukti Wibowo, Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic Commerce, 1999, [email protected], hlm.3. (Diakses tanggal 2 Maret 2013, jam:18.45. WIB).

3 Lukman Prabowo, Makalah, Perspektif Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana yang dilakukan melalui Internet (cyber Crime), 2009, hlm 1.

Page 3: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

struktural yang selama ini ada di dunia nyata dengan mudah ditembus oleh teknologi ini. Demokratisasi, keterbukaan, kebebasan berbicara dan berekspresi, kompetisi bebas, perdagangan bebas yang diimbangi oleh kemampuan intelektual dan profesional yang tinggi menjadi ciri khas dunia informasi sekarang ini.”

Perubahan yang terjadi mencakup baik sisi lingkup jasanya, pelakunya,

maupun konsumennya.4 Perubahan tatanan sosial dan sistem sosial dalam

masyarakat akan membawa pengaruh yang sangat berarti bagi perkembangan

hukum. Hal yang tidak dapat disangkal, tantangan hukum yang dihadapi juga

berkembang. Selama ini, terdapat pandangan yang konservatif yang mengatakan

bahwa hukum senantiasa mengikuti di belakang kegiatan manusia pada setiap

dimensinya. Pandangan tersebut kini tidak sepenuhnya benar. Hukum yang baik

tidak hanya mengikuti kegiatan manusia, namun bahkan harus mampu

mengidentifikasi dan mengantisipasi permasalahan-permasalahan hukum yang

mungkin timbul di masa-masa yang akan datang, termasuk masalah-masalah yang

mungkin timbul sehubungan dengan kegiatan perniagaan elektronik (E-

Commerce).5

Dari berbagai permasalahan hukum yang timbul dalam bidang E-Commerce,

salah satunya adalah masalah kekuatan akta elektronik sebagai alat bukti dalam

perkara perdata. Terkait dengan keberadaan akta elektronik ini, maka peranan

hukum pembuktian (law of evidence) sangat menentukan bagi berlakunya akta

elektronik dalam proses litigasi. Dalam bidang pembuktian sangat bersifat

kompleks terkait dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa

lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Hukum pembuktian dalam

hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Kita ketahui bahwa

4 Mike Komar Kantaatmadja, Pengaturan Kontrak untuk Perdagangan Elektronik, dalam Buku Cyber Law: Suatu Pengantar (Jakarta: ELIPS II, 2002), hlm.1.

5 Imam Sjahputra, Problematika Hukum Internet Indonesia (Jakarta: Prehallindo, 2001), hlm.15.

Page 4: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak memelihara dan

mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum pembuktian itu

mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam RBg

dan HIR. Sedangkan secara materil, hukum pembuktian itu mengatur dapat

tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta

kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut.

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada

hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang dikemukakan.6 Pembuktian diperlukan dalam suatu

perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan (juridicto contentiosa)

maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan

(juridicto voluntair). Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah

untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan

benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti

apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila

penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar

gugatannya, maka gugatannya tersebut akan ditolak, namun apabila sebaliknya

maka gugatannya tersebut akan dikabulkan.7

Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran

yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan,

kesaksian, atau surat-surat, yang diajukan para pihak yang bersengketa

kemungkinan tidak benar, palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa

6 H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 83.

7 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 53.

Page 5: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

setiap perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat

diterima kedua belah pihak. Berkaitan dengan masalah pembuktian ini, Sudikno

Mertokusumo8, mengemukakan antara lain: "...Pada hakikatnya membuktikan

dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang

memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan....”

Menurut sistem HIR/RBG, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat

bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan

berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 164

HIR/284 RBG dan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu :9

1. Alat bukti tertulis.

2. Pembuktian dengan saksi.

3. Persangkaan-persangkaan.

4. Pengakuan.

5. Sumpah.

Alat-alat bukti yang didapatkan dalam perkara perdata tersebut harus

memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, maksudnya tidak mengada-

ada ataupun menyimpang dari yang sebenarnya, sehingga alat bukti tersebut dapat

dianggap sah secara hukum digunakan pada proses pembuktian sebagai bahan

pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusannya. Sistem pembuktiannya juga

mendasarkan pada kebenaran formil yang berarti hakim terikat pada apa yang

dikemukakan para pihak.

8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty,2002), hlm.107.

9 Ibid, hlm.148.

Page 6: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

Berbeda dengan sistem pembuktian pada perkara pidana yang menganut

sistem negatief wettelijke. Sistem pembuktian dalam perkara pidana para ahli

hukum berpendapat bahwa kebenaran yang dicari dalam perkara pidana adalah

kebenaran materiil (materiele waarheid). Kebenaran disini tidak semata-mata

mendasarkan pada alat bukti yang sah dan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang

berperkara di sidang pengadilan, tetapi juga harus disertai dengan keyakinan

hakim. Itulah sebabnya mengapa surat tidak dijadikan sebagai alat bukti utama,

melainkan keterangan yang diberikan oleh saksi. Hukum Acara Pidana mengenal 5

(lima) macam alat bukti yang sah, yaitu:10

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Selanjutnya, terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

hukum pembuktian juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan, yakni

dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, yaitu berdasarkan Pasal 5 mengakui informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan

menanggulangi maraknya perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik,

terutama dalam proses penegakan hukumnya (proses) beracaranya. Pasal 5 ayat (1)

dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

10 Lihat: Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Page 7: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

Elektronik telah memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara perdata

pada perkara-perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE, informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah

dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di

Indonesia. Alat bukti ini diperlukan untuk membuktikan suatu perbuatan hukum.

Kemudian, masalah yang mengemuka dan diatur dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah hal

yang berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari Informasi,

Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi, Dokumen, dan

Tanda Tangan Elektronik11. Juga secara umum dikatakan bahwa Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat

bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai

dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda

Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Di

samping itu Pasal 5 ayat 1 s/d ayat 3, secara tegas menyebutkan :  Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat

bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai

dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Namun dalam ayat (4) ada

pengecualian yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut undang-undang harus dibuat

dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut undang-

11 Lihat : Pasal 5 s.d 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Page 8: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat

pembuat akta.

Berkembangnya penggunaan sarana elektronik dalam berbagai transaksi, di

samping memberikan manfaat yang positif yakni adanya kemudahan bertaransaksi,

juga memberikan manfaat yang sangat besar bagi penyimpanan dokumen sebagai

hasil kegiatan usaha yang dilakukan. Namun, memang diakui bahwa disamping

keuntungan tersebut dalam penggunaan sarana elektronik terdapat pula kekurangan

atau kelemahannya apabila dihadapkan pada masalah alat bukti di pengadilan.

Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih

dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek pengadilan di Indonesia, penggunaan

data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang belum biasa digunakan.

Padahal di beberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi

pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara (perdata maupun pidana).

Masalah pengakuan data elektronik memang menjadi isu yang menarik

seiring dengan penggunaan teknologi informasi (internet). Beberapa negara seperti

Australia, Chili, China, Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan hukum

yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di

pengadilan. China misalnya, membuat peraturan khusus untuk mengakui data

elektronik. Salah satu pasal Contract Law of the People's Republic of China

1999.12

Dalam praktek bisnis, keberadaan dokumen elektronik ini menjadi satu

konsekuensi dengan perkembangan teknologi. Amerika Serikat telah mengakui

12 http://www.novexcn.com/contract_law_99.html> menyebutkan, "bukti tulisan" yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak (perjanjian) antara lain: surat dan data teks dalam berbagai bentuk, seperti telegram, teleks, faksimili, dan e-mail. (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam: 22.15 WIB)

Page 9: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

dokumen elektronik yang dihasilkan dalam praktek bisnis. Sejak Januari 2001,

Divisi Tindak Pidana Komputer dan Hak Milik Intelektual Departemen Kehakiman

Amerika telah membuat kebijakan khusus13 yang berkaitan dengan pengakuan

dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.14 Ditegaskan, jika

suatu praktek bisnis yang menggunakan perangkat elektronik (komputer) dalam

kegiatan bisnis, maka tidak ada satu alasan untuk menyetarakan dengan tulisan

asli. Cakupannya begitu luas, seperti persetujuan, rekaman, kompilasi data dalam

berbagai bentuk. Termasuk, undang-undang, opini dan hasil diagnosa yang

dihasilkan pada waktu transaksi itu dibuat atau yang dihasilkan melalui pertukaran

informasi dengan menggunakan komputer. Mengingat juga bahwa alat bukti

elektronik ini tidak dijumpai dalam doktrin awal Hukum Acara Perdata, sehingga

pembahasan lebih memfokuskan pada kedudukan informasi elektronik dan

dokumentasi elektronik menurut hukum acara perdata.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya,

maka dalam penulisan makalah ini pokok permasalahan adalah sebagai berikut:

bagaimanakah keabsahan (kekuatan) transaksi elektronik sebagai alat bukti dalam

proses pembuktian perkara perdata dalam perspektif sistem hukum perdata dan

menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi dan Transaksi

Elektronik

13 http://www.cybercrime.gov/searchmanual.htm Kebijakan Khusus Departemen Kehakiman Amerika. (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam: 22.30 WIB)

14 Suparlan, dalam www.depkominfo.com. Menuju Kepastian Hukum Di Bidang Informasi Dan Transaksi Elektronik . (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam: 20.25 WIB).

Page 10: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini selain dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata

kuliah Hukum dan Teknologi Informasi, juga bertujuan untuk mengetahui

keberadaan (kekuatan) informasi elektronik dan dokumen elektronik - termasuk

transaksi secara elektronik - sebagai alat bukti dalam proses pembuktian perkara

perdata. Dengan melakukan analisis berdasarkan landasan teori yang mendukung,

maka akan didapatkan suatu argumentasi ilmiah menyangkut kekuatan informasi

elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam proses perkara perdata

di pengadilan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dalam penulisan ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni

manfaat secara teoritis dan secara praktis, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi suatu kertas kerja acuan dalam

pengembangan hukum pembuktian perdata dalam kaitannya dengan

keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi dan

Transaksi Elektronik.

2. Manfaat Praktis

Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dalam penulisan ini diharapkan

setidak-tidaknya dapat menjadi salah satu sumber bacaan atau referensi bagi

pihak-pihak yang membutuhkan.

Page 11: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah

metode deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktik pelaksanaanya

yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Sedangkan metode pendekatan yang

dugunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut

dengan data sekunder berupa hukum positif dalam praktik peradilan perdata di

Indonesia. Sedangkan penelitian normatif itu sendiri dilakukan melalui penelitian

terhadap asas-asas hukum dan penelitian penerapan hukum dalam pelaksanaan

praktik peradilan perdata di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut yaitu

penelitan kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber data sekunder yang

terdiri dari: bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan

nasional, bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan hukum

primer, seperti: tulisan para ahli, buku-buku yang berkaitan, dan lain sebagainya.

Sedangkan bahan-bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan sekunder, anatara lain artikel, majalah, dan koran.

Sedangkan data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis adalah data

kepustakaan dan dokumen. Data kepustakaan meliputi bahan-bahan kepustakaan

berupa bahan atau sumber primer15. Bahan atau sumber primer ini terdiri dari

buku-buku, kertas kerja koperensi, lokakarya, seminar, dan simposium, laporan-

15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.34.

Page 12: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

laporan penelitian, majalah, disertasi atau tesis, dan sebagimya yang erat kaitannya

dengan sistem peradilan perdata, guna mendapatkan landasan teoritis dan

memperoleh informasi dalam bentuk ketentuan formal dan melalui naskah resmi

yang ada. Data dokumen pemerintah terdiri dari bahan-bahan hukum primer,

sekunder, dan tersier16, diantaranya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi

dan putusan-putusan pengadilan, rancangan undang-undang, laporan resmi

pemerintah, dan sebagainya sepanjang dianggap relevan dengan topik yang diteliti.

Setelah data diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis secara non statistik, oleh

karenanya penelitian ini akan menghasilkan dan memberikan nilai yang bersifat

kuantitatif. Metode analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah

metode analisis normatif kualitatif. Maksud dari normatif disini adalah bertitik

tolak peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan

maksud dari kualitatif disini adalah data yang berasal dari data sekunder.

16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Ul.Press, 1986), hlm. 52.

Page 13: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kepustakaan

1. Teori Pembuktian Dalam Hukum Perdata

Pemanfataan teknologi informasi di era digital telah memberikan kontribusi

yang sangat besar dalam mendorong perubahan sosial, ekonomi, budaya,

pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Pada hakekatnya sistem informasi

secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dengan

mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur,

sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya

mencakup fungsi input, process, output, storage, dan communications.17 Dengan

berlakunya rezim Informasi dan Transaksi Elektronik yang dituangkan di dalam

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 maka kita telah memasuki babak kehidupan

baru yang berbasis pada pemanfaatan teknologi informasi, media dan komunikasi

telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara

global. Sistem elektronik juga dipergunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem

informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan

telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses,

menganalisis menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi

elektronik.

Lebih lanjut, hukum acara perdata sebagai salah satu sistem bertujuan untuk

menyelesaikan pertentangan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh

17 Bambang Hari Wibowo, Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas Secara Ilmiah di Wilayah Hukum Polda Metro Jaya, Tesis, Program Pascasarjana Manejemen Sekuriti Universitas Indonesia, tahun 2011, hlm. 28.

Page 14: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

karena itu maka sub sistem pembuktian merupakan keseluruhan ketentuan tentang

pembuktian yang tersusun secara teratur yang satu sama lain saling kait mengkait,

dan bertujuan untuk dapat menentukan terbukti tidaknya suatu peristiwa tertentu

yang dikemukakan oleh para pihak di persidangan.

Menurut HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat bukti yang sah,

yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat

bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.

Dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata,

alat bukti terdiri atas:18

a.      Bukti tertulis (tulisan/surat)

Orang yang melakukan hubungan hukum perdata, tentulah dengan sengaja

ataupun tidak membuat alat bukti berbentuk tulisan dengan maksud agar

kelak dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.

Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan menggunakan akta,

jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum membahas

secara mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti

tertulis dibawah ini:

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa

yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan

ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri,

yang dibuat sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling

penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang

telah menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan

bertanggung jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874

18 Sudikno. Mertokusuno, Op.Cit, hlm.143.

Page 15: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

B.W. Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan

undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu

ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).

Dari penjelasan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat

oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. 

Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap, tidak berwenang atau

bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak

sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang

demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.19

Sedangkan akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk

pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-

mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.20

Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang

mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :

a)     Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,

b)     Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.

c)      Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat

oleh paling sedikit dua pihak.

Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah

tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari

tergugat.21 Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka

19 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 566.20 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.158.21 Ibid, hlm.607.

Page 16: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata.

Dengan demikian harus memenuhi syarat :

1). Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si

penandatangan;

2). Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang

disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda

tangan.

Selanjutnya  ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi

namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya

adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun

kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan

penunjukan barang aslinya.22

Singkatnya, segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut

akta di bawah tangan atau dengan kata lain segala jenis akta yang tidak

dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Tetapi dari segi hukum

pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta dibawah tangan,

diperlukan persyaratan pokok :

1) surat atau tulisan itu ditanda tangani;

2) isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum

(rechtshandeling) atau hubungan hukum (recht bettrekking);

3) sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut

didalamnya.

Daya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas dan setinggi

derajat akta otentik. Akta otentik memiliki daya pembuktian lahiriah, formil

22 Ibid, hlm.166.

Page 17: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

dan materiil. Tidak demikian dengan akta di bawah tangan, yang padanya

tidak mempunyai daya kekuatan pembuktian lahiriah, namun hanya terbatas

pada daya pembuktian formil dan materiil dengan bobot yang jauh lebih

rendah dibandingkan akta otentik.

Selanjutnya dalam Pasal 1867 KUHPerdata ditentukan bahwa pembuktian

dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan.

Pegertian “tulisan” dalam pasal tersebut dipastikan dalam bentuk tertulis di

atas kertas.23

b.      Bukti saksi

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan

tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara

lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang

dipanggil dalam persidangan.24 Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang

saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau

dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu

kesaksian. Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895

KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan

dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi

prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa

perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat

dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.

23 Pengertian semacam ini tentu sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman teknologi saat ini. Untuk itu perlu diketahui ketentuannya yang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan internasional.

24 Sudikno Mertokusumo, Ibid.

Page 18: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR

merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila

pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela,

meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang

bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat

menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila

tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct. Saksi yang

tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak

datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya

meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR). Syarat-syarat alat

bukti saksi adalah sebagai berikut:25

a)      Orang yang Cakap

Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi

menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata

antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak

menurut garis lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak

meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan

tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat menjadi saksi dalam perkara

sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat

(2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15

(lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH

Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya

(Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses

25 Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti,  http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html. (Diakses tanggal 4 Maret 2013, jam: 19.30 WIB).

Page 19: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

perkara sidang berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah

hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).

b)     Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan

Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan,

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan

Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang

sah sebagai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di depan

persidangan.

c)     Diperiksa Satu Persatu

Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1)

RBG. Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus

dipenuhi agar keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti.

Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam

persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal

144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para

pihak yang berperkara.

d)     Mengucapkan Sumpah

Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah

di depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan

apa yang sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan

sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR,

Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan

kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut agamanya untuk

Page 20: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan

keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.

e)     Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti

Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan

seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang

saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti

lain.

f)     Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan

Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam

Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut

ketentuan ini keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan

pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan

mengalami sendiri.

g)     Saling Persesuaian

Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH

Perdata. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang

bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling

bersesuain atau mutual confirmity antara yang satu dengan yang lain.

Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara

keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat kecocokan,

sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh

tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.

c.    Persangkaan

Page 21: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

Menurut Subekti, persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari

suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.26 Hal ini sejalan dengan

pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan

adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari

satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak

diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam

sebagaimana berikut:27

1). Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)

Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-

undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal

pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga

kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah

dibayar.

2). Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)

Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan

peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan

alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat

dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya

mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan

tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama

bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa

telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya

26 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2003), hlm.181.27 Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam Perkara Perdata. (Diakses tanggal 4 Maret 2013, jam: 19.30

WIB).

Page 22: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama

bertahun-tahun.

d.     Pengakuan;

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan

atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam

proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang

pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan

pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata

dan Pasal 174 HIR). Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak

yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara

yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang

dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala

hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa,

pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai

fakta atau peristiwa hukum. Lalu yang berwenang memberi pengakuan

menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan

adalah sebagai berikut:

a)    dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat

(Vide Pasal 174 HIR);

b)     kuasa hukum penggugat atau tergugat.

Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan

ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis

dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-

Page 23: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan

bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.28

e.      Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang

dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi

keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah

tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam

persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya

alat bukti lain. Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada

umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau

diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan

sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi

keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”.29

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang

“menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah

yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh

salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk

mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan

mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang

memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya,

jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan

dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak

untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak

28 Aza, Loc.Cit.29 Wahju Muljono, Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2002), hlm. 117.

Page 24: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah

yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika

rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh

Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan

akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak

menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula

memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim

apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia

menolak pengangkatan sumpah itu.30

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu

sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia

dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim

memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu

sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri

oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat

sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-

sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan

antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat

dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya

perkara. Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan

oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu

barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu

“permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan,

karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar

30 Subekti, Op. Cit, hlm.183.

Page 25: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan

suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan

permulaan pembuktian.31 Untuk lebih jelasnya penulis membuatkan tabel

tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;

SumpahDecissoir Suppletoir

1. Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawan;

2. Alat bukti kuat yang menentukan keputusan;

3. Dapat dikembalikan;4. Dilakukan dalam tiap keadaan.

1. Diminta oleh hakim (atas perintah hakim kepada salah satu pihak);

2. Merupakan alat bukti tambahan;3. Tidak dapat dikembalikan;4. Hanya dilakukan apabila telah ada

bukti permulaan bukti.

Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran)

yang diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan

sumpah dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai

suatu harga barang tertentu yang disengketakan.32

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa

memang rumusan alat bukti yang digunakan dalam sidang pengadilan masih

tergolong dalam alat bukti yang klasik yang mungkin sudah sangat tidak diragukan

kedudukannya dalam sidang pengadilan. Tetapi permasalahannya adalah seiring

dengan perkembangan zaman yang kemudian memberikan konsekuensi logis pada

perkembangan teknologi yang sekarang sering dijadikan sebagai alat bukti.

2. Doktrin Pengelompokan Alat Bukti

31 Ibid, hlm. 184.32 Bambang Sugeng A.S. dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara

Perdata (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.76.

Page 26: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

Dalam sistem hukum pembuktian, terdapat beberapa doktrin

pengelompokkan alat bukti, yang membagi alat-alat bukti ke dalam kategori

sebagai berikut:33

1). Oral Evidence

a. Perdata ( keterangan saksi, pengakuan dan sumpah ).

b. Pidana ( keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa ).

2). Documentary Evidence

a. Perdata ( surat dan persangkaan ).

b. Pidana ( surat dan petunjuk ).

3). Material Evidence

a. Perdata ( tidak dikenal )

b. Pidana (barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang

yang digunakan untuk membantu tindak pidana, barang yang merupakan

hasil dari suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak

pidana dan informasi dalam arti khusus ).

4). Electronic Evidence

Konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan elektronik.

Konsep ini terutama berkembang di negara-negara common law.

Pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas cakupan

alat bukti yang masuk kategori documentary evidence.

Adapun mengenai saat terjadinya kontrak dalam transaksi elektronik, maka

untuk menetapkannya dapat dikaitkan dengan teori-teori dalam hukum perjanjian,

yakni:

33 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm.100.

Page 27: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

1) Teori Kehendak (Wilstheorie) : dikaitkan dengan teori ini, maka terjadinya

kontrak adalah ketika pihak penerima menyatakan penerimaannya dengan

menulis e-mail;

2) Teori Pengiriman (Verzendtheorie): Bila menggunakan teori ini, maka

terjadinya kontrak adalah pada saat penerima mengirim e-mail tersebut;

3) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie): Menurut teori ini terjadinya kontrak

adalah sejak diketahuinya e-mail dari penerima oleh penawar:

4) Teori Kepercayaan (Vertrowentheorie): Menurut teori ini kontrak terjadi

pada saat pernyataan penerimaan tersebut selayaknya telah diterima oleh

penawar.

B. Analisis Keabsahan Transaksi Elektronik Dalam Perspektif Sistem

Hukum Perdata dan Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Tentang lnformasi dan Transaksi Elektronik

Keabsahan (kekuatan) suatu transaksi elektronik sebenarnya tidak perlu

diragukan lagi sepanjang telah terpenuhinya syarat-syarat kontrak. Dalam sistem

hukum Indonesia, sepanjang terdapat kesepakatan diantara para pihak; cakap

mereka yang membuatnya; atas suatu hal tertentu; dan berdasarkan suatu sebab

yang halal, maka transaksi tersebut seharusnya sah34, meskipun melalui proses

elektronik.

Menurut surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI

Nomor 37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988, mikrofilm atau mikrofische

dapat dijadikan alat bukti surat dengan catatan bila bisa dijamin keotentikannya

yang dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku

34 Lihat: Pasal 1320 KUHPerdata.

Page 28: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

terhadap perkara-perkara pidana maupun perdata. Menyangkut tandatangan

elektonik dalam akta elektronik pada transaksi elektronik, pertama-tama perlu

dibedakan antara tanda tangan elektronik (e-signature) dengan tanda tangan

digital (digital signature). Tanda tangan elektronik (e-signature) adalah data dalam

bentuk elektronik yang melekat atau secara logika dapat diasosiasikan sebagai

suatu pesan data (data message) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

penandatanganan pesan data tersebut untuk menunjukkan pesetujuannya terhadap

informasi yang terdapat dalam pesan data tersebut. Sedangkan tanda tangan digital

(digital signature) merupakan suatu istilah dari suatu teknologi tertentu dari E-

Signature.35

Dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 :

“ Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi

Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik

lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi“. Ketentuan Pasal

11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menganggap sah tanda tangan

elektronik yang berupa informasi elektronik dalam sebuah transaksi elektronik

yang menyatakan :

(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum

yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada

penanda tangan ;

b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses

penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda

tangan

35 A. Kusbiyandono, Op.Cit, hlm.124-125.

Page 29: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi

setelah waktu penandatanganan dapat diketahui ;

d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan

Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan

dapat diketahui ;

e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi ;

f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan

telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang

terkait.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditafsirkan bahwa fungsi tanda tangan

untuk mengotensifikasi penandatanganan dengan dokumen yang

ditandatanganinya. Sehingga pada saat penandatanganan membubuhkan tanda

tangan dalam bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan

dengan penandatanganan. Dalam transaksi elektronik keabsahan tanda tangan

digital harus diterima keabsahannya sebagai sebuah tanda tangan. Alasan yang

dapat menguatkan sebagai berikut :36

a. tanda tangan elektronik merupakan tanda-tanda yang bisa dibubuhkan oleh

seseorang atau beberapa orang yang diberi kuasa oleh yang berkehendak

untuk diikat secara hukum;

b. sebuah tanda tangan digital dapat dimasukkan dengan menggunakan

menggunakan peralatan mekanik, sebagaimana tanda tangan tradisional;

c. keamanan tanda tangan digital sama dengan keamanan tanda tangan

tradisional;

36 Ibid, hlm.129.

Page 30: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

d. sebagaimana tanda tangan biasa, tanda tangan elektronikpun dapat

diletakkan di bagian mana saja pada sebuah dokumen dan tidak harus

berada di bagian bawah dokumen kecuali hal tersebut diisyaratkan dalam

mekanisme legislasi.

Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan

dalam Pasal 5 s/d Pasal 12  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, secara umum dikatakan bahwa  bahwa

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti

yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya

dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum

yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi

persyaratan-persyaratan seperti yang telah ditentukan.

Pasal 5 ayat 1 s.d ayat 3, secara tegas menyebutkan:  Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum

yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum

Acara yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang ini. Namun dalam ayat (4) ada pengecualian yang menyebutkan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk: (a). surat

yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan (b). surat

beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk

akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 11 menyebutkan, Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum

dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a).

Page 31: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;

(b). data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan

elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan; (c). segala perubahan

terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan

dapat diketahui; (d). segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait

dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat

diketahui; (e). terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa

Penandatangannya; dan (f). terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa

Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik

yang terkait.

Pembuat undang-undang secara eksplisit dalam penjelasan umum dan Pasal 6

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi dan Transaksi

Elektronik berikut penjelasannya telah menyatakan bahwa dokumen elektronik

kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Pasal 6

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi

Elektronik, berbunyi:

”Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”

Dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

lnformasi danTransaksi Elektronik, disebutkan:

”Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, Informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada

Page 32: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.”

Jika dianalisa ketentuan Pasal 5 ayat 1, ayat 2, Pasal 6, Penjelasan Umum

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi danTransaksi

Elektronik dengan menggunakan metode logika induksi, maka kesimpulannya

yang dimaksud dengan kedudukan adalah fungsi; jadi informasi yang dibuat

melalui media elektronik ”fungsinya” disetarakan dengan informasi yang dibuat

dengan menggunakan media kertas; oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 Tentang lnformasi danTransaksi Elektronik sama sekali tidak

menentukan kedudukan hukum, dalam hal ini kedudukan, nilai, derajat, dan

kekuatan pembuktian dalam Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Tidak semua informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat

bukti yang sah. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

lnformasi danTransaksi Elektronik suatu informasi elektronik/dokumen elektronik

dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik

yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi Elektronik, yaitu sistem elektronik

yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

1). dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan

peraturan perundang-undangan;

2). dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan

keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik

tersebut;

Page 33: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

3). dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam

penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4). dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,

informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan

dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

5). memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan,

dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat

membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa

suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan, keutuhan,

keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik tersebut.

Bagaimanapun juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

lnformasi dan Transaksi Elektronik harus bisa menjelaskan bagaimana

membuktikan suatu sistem elektronik memenuhi syarat yg diatur dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi Elektronik agar

alat bukti berupa informasi/dokumen elektronik tidak dipertanyakan lagi

keabsahannya. Karena dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

lnformasi danTransaksi Elektronik sendiri pengaturan mengenai sistem elektronik

masih akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, maka sangat

diharapkan pengaturannya nanti dapat menghindari perdebatan yang tidak perlu

mengenai keabsahan alat bukti tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dokumen elektronik

dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal

yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan dokumen elektronik

Page 34: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang andal, aman dan

beroperasi sebagaimana mestinya.

Dari Pasal 1 point 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi danTransaksi Elektronik dapat

dikategorikan syarat formil dan materiil dari dokumen elektronik agar mempunyai

nilai pembuktian, yaitu :

1). berupa informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima

atau disimpan, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui

Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar...dan

seterusnya yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu memahaminya;

2). dinyatakan sah apabila menggunakan/berasal dari Sistem Elektronik sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang;

3). dianggap sah apabila informasi yang tecantum didalamnya dapat diakses,

ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan

sehingga menerangkan suatu keadaan.

Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan bahwa

dokumen elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian haruslah didukung

dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang

digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima atau menyimpan

dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang;

kemudian juga harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap

dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika

diterima oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut

Page 35: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

berasal dari orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak dapat

diingkari oleh pembuatnya (non repudiation).

Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, maka dapat dikatakan

dokumen elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian seperti bukti

permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian oleh

karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas

minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti

yang lain. Sedangkan nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada

pertimbangan hakim, yang dengan demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah

bebas (vrij bewijskracht).

Berdasarkan penalaran hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa dokumen

elektronik dalam hukum acara perdata dapat dikategorikan sebagai alat bukti

persangkaan Undang-undang yang dapat dibantah (rebuttable presumption of law)

atau setidak-tidaknya persangkaan hakim (rechtelijke vermoden).

Penafsiran hukum terhadap beberapa ketentuan yang menyangkut hukum

acara perdata perlu dilakukan dalam kaitannya dengan proses pembuktian secara

elektronik dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, seperti

penafsiran hukum secara sistematis dan ekstensif terhadap Pasal 1866 KUHPerdata

terkait dengan alat-alat bukti yang sah secara hukum yang juga dapat diberlakukan

dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik.

Proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti

elektronik pada dasarnya tidak berbeda dengan pembuktian pada perkara perdata

konvensional, tetapi dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti

elektronik terdapat beberapa hal yang bersifat elektronik yang menjadi hal utama

Page 36: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

dalam pembuktian, antara lain adanya informasi elektronik atau dokumen

elektronik. Ketentuan hukum mengenai pembuktian atas perkara perdata yang

menggunakan alat bukti elektronik telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)

UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa informasi dan

atau dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses

pembuktian perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dan alat bukti

elektronik tersebut dianggap pula sebagai perluasan dari alat bukti yang berlaku

dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini alat-alat bukti

yang terdapat dalam Pasal 1866 KUHPerdata.

Proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti

elektronik yang pernah terjadi, dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 1866

KUHPerdata juncto Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008, yaitu dengan cara mencari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik

yang ada dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dianggap

sebagai alat bukti surat sebagaimana termuat dalam Pasal 1866 KUHPerdata, yang

didasarkan penafsiran hukum secara ekstensif (diperluas). 

Makna yang diperluas adalah makna dari alat bukti surat itu sendiri, dalam

hal ini tidak hanya meliputi surat dalam arti fisik secara nyata tetapi juga surat

dalam arti dunia maya atau sering disebut paperless, sehingga informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik termaksud dapat diajukan sebagai alat bukti pada

proses pembuktian dalam kasus perdata yang menggunakan alat bukti elektronik.

Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik ini dapat pula dianggap

sebagai alat bukti petunjuk, namun demikian harus didukung oleh keterangan ahli

Page 37: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

bahwa alat bukti elektronik tersebut memang merupakan informasi elektronik dan

atau dokumen elektronik yang relevan dalam perkara perdata yang menggunakan

alat bukti elektronik yang sedang diperiksa. 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peraturan secara tertulis mengenai alat bukti elektronik di Indonesia masih

belum tercover dalam sebuah peraturan. Tetapi mengacu pada pembahasan

Page 38: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

mengenai alat bukti elektronik dalam sidang pengadilan mempunyai kedudukan

dan pengakuan yang sama dan setingkat dengan alat bukti dokumen yang lain.

Hal ini karena dalam proses transaksi perkara perdata manggunakan pasal 1320

KUHper yang menjelaskan bahwa dalam transaksi digantungkan pada kesepakatan

kedua belah pihak, sebagaimana dalam buku ke-3 tersebut KUHPer bersifat

terbuka. Artinya adalah buku ke-3 KUHPerdata mempunyai sifat fleksibel dimana

peraturan yang ada di dalamnya tidak berlaku selama ada peraturan perjanjian yang

menunjukkan dan telah dibuat oleh kedua belah pihak. Sehingga perjanjian

tersebut kemudian berlaku untuk pihak-pihak yang berjanji, sebagaimana asas

pacta sun servanda. Selain itu juga, maksud terbuka dalam buku ke-3 KUHPerdata

adalah setiap orang berhak untuk membuat dan menciptakan hak-hak baru selain

yang telah ditentukan dalam KUHPerdata. Kalau kedua belah pihak bersepakat

untuk menggunakan transaksi elektronik, maka itulah yang berlaku di pengadilan

dan selama tidak ada penyangkalan terhadap isi dokumen.

Dokumen elektronik merupakan salah satu bentuk perluasan alat bukti dalam

hukum acara terutama dalam hukum perdata berdasarkan pasal 5 Undang-Undang

No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di samping itu

dokumen elektronik dapat juga menjadi suatu akta otentik jika dapat diakses,

ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga

menerangkan suatu keadaan dan disertai pembubuhan tanda tangan elektronik,

serta sertifikasi elektronik. Dapat dikatakan bahwa peranan hukum pembuktian

(law of evidence) sangat menentukan bagi berlakunya akta elektronik dalam proses

litigasi.

Page 39: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

B. Saran

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan sumbangsarannya yakni

sebagai berikut:

Pertama, diperlukan ketegasan oleh Mahkamah Agung dalam rangka

penerimaan informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam praktek peradilan perdata.

Untuk kepentingan ini, diperlukan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung agar

berlaku efektif pada peradilan perdata, termasuk pula dalam peradilan pidana.

Kedua, integrasi informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat

bukti yang sah juga memerlukan dukungan bantuan teknis pihak-pihak yang

kompeten - sebagai saksi ahli - di bidangnya khususnya dalam pengujian alat bukti

di pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Bambang Sugeng A.S. dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi

Perkara Perdata Jakarta: Kencana, 2011.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi

Informasi, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Page 40: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2004.

Imam Sjahputra, Problematika Hukum Internet Indonesia, Jakarta: Prehallindo,

2001.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mike Komar Kantaatmadja, Pengaturan Kontrak untuk Perdagangan Elektronik,

dalam Buku Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: ELIPS II, 2002.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam

Teori dan Praktek, Bandung: Alumni, 1983.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Rajawali, 1985.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 2003.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:

Liberty,2002.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Ul. Press, 1986.

Wahju Muljono, Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia Yogyakarta:

Pustaka Yustisia, 2002.

Makalah, Jurnal, Mass Media, dll.

A. Kusbiyandono, Makalah, Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada

Transaksi E-Commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2004.

Bambang Hari Wibowo, Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas Secara Ilmiah di

Wilayah Hukum Polda Metro Jaya, Tesis, Program Pascasarjana

Manejemen Sekuriti Universitas Indonesia, tahun 2011.

Lukman Prabowo, Makalah, Perspektif Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana

yang dilakukan melalui Internet (cyber Crime), 2009.

Internet

Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam Perkara Perdata. (Diakses tanggal 4 Maret 2013,

jam: 19.30 WIB).

Page 41: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)

Arianto Mukti Wibowo, Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic

Commerce, 1999, [email protected], hlm.3. (Diakses tanggal 2

Maret 2013, jam:18.45. WIB).

Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti,

http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-

bukti.html. (Diakses tanggal 4 Maret 2013, jam: 19.30 WIB).

http://www.novexcn.com/contract_law_99.html (Diakses tanggal 3 Maret 2013,

jam: 22.15 WIB).

http://www.cybercrime.gov/searchmanual.htm Kebijakan Khusus Departemen

Kehakiman Amerika. (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam: 22.30 WIB).

Suparlan, dalam www.depkominfo.com. Menuju Kepastian Hukum Di Bidang

Informasi Dan Transaksi Elektronik . (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam:

20.25 WIB).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Herziene Inlandsch Reglement/Hukum Acara Perdata Indonesia yang Di-perbarui

(HIR),

Reglement tot Regeling van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En

Madura (RBG).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

Page 42: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)
Page 43: Tugas Prof Jamal (Acr-uns)