tgs_sos des - pembaharuan struktur ekonomi sosial desa

9
NAMA : Zaenul Mizan NIM : F1A007023 Kebijakan Daerah versus Kedaulatan Ekonomi Desa; Tinjauan Praktek Revitalisasi Pertanian di Banyumas Pada tanggal 11 Juni 2005, Presiden SBY mencanangkan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Program ini merupakan salah satu “Triple Track Strategy” Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2% tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari 9,7 % tahun 2004 menjadi 5,1 % tahun 2009, mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai antara lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6,6 % per tahun. Di samping itu rasio investasi terhadap GDP harus naik dari 16,0 % pada tahun 2004 menjadi 24,4 % pada tahun 2009; dan rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3,5 % per tahun. Penyusunan program ini diserahkan kepada Menko Perekonomian sebagai koordinatornya. Pencanangan program ini oleh pemerintah langsung mendapatkan reaksi dari banyak pihak, ada yang optimis, namun tidak sedikit pula yang memandang langkah ini dengan pesimis. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) memandang pesimis konsep ini akan berhasil. Agusdin Pulungan, Ketua HKTI, seperti dimuat

Upload: zen-mizan

Post on 21-Jun-2015

233 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: TGS_Sos Des - Pembaharuan Struktur Ekonomi Sosial Desa

NAMA : Zaenul Mizan

NIM : F1A007023

Kebijakan Daerah versus Kedaulatan Ekonomi Desa; Tinjauan Praktek

Revitalisasi Pertanian di Banyumas

Pada tanggal 11 Juni 2005, Presiden SBY mencanangkan Program Revitalisasi

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Program ini merupakan salah satu “Triple Track

Strategy” Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran,

serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16,6 % tahun

2004 menjadi 8,2% tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari 9,7 % tahun 2004

menjadi 5,1 % tahun 2009, mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi

untuk mencapai antara lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6,6 % per tahun. Di samping

itu rasio investasi terhadap GDP harus naik dari 16,0 % pada tahun 2004 menjadi 24,4 % pada

tahun 2009; dan rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3,5 % per

tahun. Penyusunan program ini diserahkan kepada Menko Perekonomian sebagai

koordinatornya.

Pencanangan program ini oleh pemerintah langsung mendapatkan reaksi dari banyak

pihak, ada yang optimis, namun tidak sedikit pula yang memandang langkah ini dengan pesimis.

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) memandang pesimis konsep ini akan berhasil.

Agusdin Pulungan, Ketua HKTI, seperti dimuat pada Tempo Interaktif menyatakan bahwa

program ini tidak akan berhasil jika di luar konsep reforma agraria. Menurutnya kebijakan

reformasi lahan (land reform) untuk upaya pengembangan pertanian sangat penting karena

kepemilikan lahan petani rata-rata hanya 0,3 hektar. Dr. Bomer Pasaribu seperti diberitakan

Media Indonesia On Line melihat pemerintah aparatur pemerintah belum sepenuhnya siap

merealisasikan program revitalisasi pertanian. Dia juga menyorot belum seriusnya pemerintah

dalam membangun inftastruktur pertanian terutama irigasi dan mengerem laju konversi lahan

pertanian. Fajar B. Hirawan dalam tulisannya di Jurnal Nasional menyorot lemahnya payung

hukum dan perundang-undangan program ini. Program yang bertujuan mulia ini tidak didukung

dengan perangkat undang-undang yang mengikat, baik melalui Peraturan Pemerintah (PP)

Page 2: TGS_Sos Des - Pembaharuan Struktur Ekonomi Sosial Desa

maupun Peraturan Presiden (Perpres). Bahkan beberapa substansi dalam dokumen revitalisasi

pertanian tidak tercantum secara eksplisit dalam dokumen politik pemerintah tentang RPJM

2005-2009 yang telah tertuang dalam Perpres Nomor 7 tahun 2005. Federasi Serikat Petani

Indonesia (FSPI) dalam catatan akhir tahun 2006-nya melihat bahwa setelah dicanangkan selama

setahun, tidak ada komitmen dasar pemerintah dalam pembangunan pertanian yang sentrumnya

ada di daerah pedesaan. Fokus pembangunan masih berkutat pada sektor investasi yang

mengharap masuknya modal asing, sektor moneter dan finansial. Pembangunan sektor pertanian

sebagai sektor riil yang menggerakkan ekonomi masyarakat masih terlupakan.

Terlepas dari pro kontra akan efektifitas pelaksanaan program tersebut oleh pemerintah,

ataupun ternyata program tersebut hanya menjadi jargon, isu tentang revitalisasi pertanian layak

menjadi perhatian bersama. Isu revitalisasi pertanian dapat diterjemahkan di masyarakat basis

sebagai amunisi politik untuk mendesak pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan sektor

pertanian rakyat, dengan membuat perangkat kebijakan yang melindungi produksi dan

pemasaran pertanian rakyat, dan memberikan anggaran pembangunan yang cukup untuk

mendukung pertanian. Pembangunan infrastruktur pertanian seperti perbaikan saluran irigasi,

dam dan bendungan tidak pernah serius dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran,

sementara belanja sektor lain dan belanja rutin selalu meningkat. Bahkan banyak daerah yang

menghamburkan anggaran belanja daerahnya untuk membiayai klub sepakbola., sungguh ironis.

Siswono Yudo Husodo, Ketua Dewan Pertimbangan HKTI, menyatakan pada Harian Kompas

bahwa penelitian yang dilakukannya terhadap APBD seluruh kabupaten di Indonesia 2005-2006

memperlihatkan bahwa tidak satuun kabupaten yang memiliki anggaran pertanian lebih dari 5

persen meskipun penduduknya adalah 70 persen petani.

Meninjau dokumen-dokumen pembangunan daerah Kabupaten Banyumas, konsep

pembangunan pertanian diterjemahkan dengan paradigma yang bertolak belakang dengan konsep

revitalisasi pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan dengan upaya menggaet investasi untuk

industrialisasi pertanian padat modal, yaitu dengan mengundang investor untuk menanamkan

modal di sektor agribisnis melalui koordinasi badan penanaman modal bersama empat kabupaten

yaitu Barlingmascakeb. Dengan demikian, pembangunan pertanian didorong dengan perangkat

kebijakan investasi, sebuah langkah yang tidak realistis dan jauh dari tujuan kemakmuran rakyat

Page 3: TGS_Sos Des - Pembaharuan Struktur Ekonomi Sosial Desa

tani. Hal tersebut menjadi bukti bahwa aparat di daerah tidak pernah paham dan belajar konsep

revitalisasi pertanian yang diinginkan pemerintah pusat secara utuh, dimana upaya

penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani,

sehingga program revitalisasi pertanian harus bertumpu pada empat kebijakan dasar yang

mendorong produktifitas pertanian rakyat dan peningkatan pendapatan petani, yaitu kebijakan

pertanahan umum dan tata ruang (reforma agraria), pembangunan infrastruktur pedesaan,

ketahanan pangan dan perdagangan pertanian.

Problem yang lebih mendasar lagi, paradigma pembangunan daerah juga masih terjebak

pada pemikiran klasik bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dipacu dengan masuknya

investasi modal untuk mendorong industrialisasi, menciptakan trickle down effect, yang akan

menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Pada wilayah dimana struktur

ekonomi masih didominasi sektor agraris, pertanian sebagai potensi dasar daerah tidak menjadi

sektor yang menjadi perhatian utama pembangunan. Pembangunan daerah justru diarahkan pada

konsep megapolitan, yaitu mengkonversi sektor pertanian menuju industri dan jasa dengan

memacu investasi sektor ini tanpa kendali. Akibatnya pertimbangan keseimbangan tata ruang

dan laju konversi tanah pertanian tak terhindarkan lagi. Laju konversi lahan pertanian di

Kabupaten Banyumas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Selama tiga tahun terakhir

laju konversi lahan pertanian di Kab. Banyumas menurut Kepala Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bapeda) Banyumas Hudi Utami, mencapai 125 ha per tahun atau 4.000

ha lahan subur hilang terkonversi. Ini setara 24.000 ton gabah, produksi rata-rata 1 ha lahan 5-6

ton gabah. Padahal, berdasarkan data tahun 2004, sektor pertanian menyumbang 24,28 %

terhadap PDRB Kabupaten Banyumas.

Contoh kasus lain, tuntutan petani untuk perbaikan saluran irigasi Daerah Irigasi

Banjaran, yang mengaliri 1.208 hektar lahan persawahan di Kecamatan Purwokerto Selatan,

Sokaraja dan Patikraja tak kunjung direalisasikan. Setelah beberapa kali petani melakukan aksi

dan dialog dengan DPRD, Pemerintah Kabupaten melalui Distairtamben dan UPT Pengairan

Purwokerto, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah melalui PSDA Serayu-Citanduy, tidak juga

membuahkan komitmen pemerintah yang tegas untuk menggolkan angaran pembangunan

saluran irigasi tersebut. Akibatnya ratusan hektar lahan sawah di Desa Patikraja, Kedungwringin,

Pegalongan, Kedungrandu, Sokawera, dan Wlahar Wetan mengalami kekeringan selama tiga

Page 4: TGS_Sos Des - Pembaharuan Struktur Ekonomi Sosial Desa

tahun terakhir ini. Padahal daerah tersebut merupakan lahan pertanian padi sawah dengan

produktifitas tertinggi di Kabupaten Banyumas, yaitu sebesar 5,7 ton/ha dalam setiap panen.

Masih di bidang irigasi, rencana Pemda Banyumas melalui PDAM untuk memanfaatkan aliran

air Sungai Banjaran untuk kebutuhan air bersih penduduk kota mendapat penolakan petani,

karena pengambilan aliran dipaercaya akan mengurangi debit irigasi, sementara saluran irigasi

juga belum diperbaiki. Kenyataan tersebut mencerminkan bahwa program revitalisasi pertanian

tidak menjadi agenda serius pemerintah daerah.

Revitalisasi Pertanian dan Kehutanan by leverage ; Praktek Demokratisasi

Ekonomi Desa oleh Rakyat

Sebagai perbandingan, warga Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang, dengan

jumlah penduduk besar tetapi memiliki lahan sempit telah berhasil merevitalisasi sektor

pertanian desanya jauh sebelum istilah tersebut menjadi populer secara swakarsa. Sejak tahun

2000, warga petani yang tergabung dalam Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (Setan

Ampera) telah berupaya mengelola lahan perkebunan yang terlantar seluas 110 hektar secara

kolektif. Pada awalnya gerakan yang dilakukan adalah gerakan reklaiming lahan, namun setelah

beberapa kali melakukan perbaikan organisasi, gerakan reklaiming juga diimbangi dengan

pengelolaan tata produksi yang baik untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian desa dan

meningkatkan pendapatan petani dan memelihara lingkungan. Lahan tersebut diredistribusi

penguasaan dan pengelolaannya kepada 287 anggota kelompok tani untuk budidaya tanaman

kayu, palawija, dan hijauan pakan untuk mendukung peternakan dengan sistem wanatani. Setelah

pengelolaan lahan dilakukan, produktifitas hasil pertanian dari desa tersebut meningkat, dari

palawija seperti ubi kayu, jagung, tanaman buah seperti pisang, tanaman kayu seperti albasia,

dan tanaman hijauan papan ternak seperti glisiridia.

Pada sektor kehutanan, upaya masyarakat desa hutan untuk mengambil alih

pengelolaan hutan di sekitar desa untuk kesejateraan masyarakat masih belum terkonsolidasi dan

terorganisasikan dengan baik. Yang marak adalah reklaiming atau pemanfaatan hutan secara

ilegal oleh masyarakat secara sendiri-sendiri, dan tidak diatur dan diperjuangkan bersama dalam

wadah organisasi Kebijakan PHBM yang merupakan langkah Perhutani untuk membuka kran

partisipasi dalam pengelolaan hutan masih bias dalam batasan kedaulatan masyarakat dalam

Page 5: TGS_Sos Des - Pembaharuan Struktur Ekonomi Sosial Desa

pengelolaan. Contoh upaya kolektif dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat dilakukan

oleh KTH Agrowilis di Desa Sokawera Kecamatan Cilongok, Serikat Tani Banyumas

Pekalongan (Stan Balong) dan Forum Pagergunung di sekitar hutan Gunung Slamet melalui

kerangka negoisasi dalam PHBM. Langkah merealisasikan konsep hutan desa, yaitu hutan

negara yang dikelola dan menjadi bagian administratif dalam pemerintahan desa masih

mengalami hambatan payung kebijakan dan kesiapan kelembagaan desa. Menurut Mohammad

Adib, salah seorang pegiat kehutanan rakyat, sebenarnya peluang untuk merealisasikan hutan

desa sebagai alternatif PHBM sudah terbuka, walaupun belum ada kebijakan resmi yang

mengatur. Namun persoalannya justru pada pemahaman pemerintah desa dalam memaknai hutan

sebagai aset desa, dan kesiapan kelembagaan desa untuk mengelola hutan untuk sumber

pendapatan desa yang bisa menyejahterakan masyarakat.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, kita dapat melihat praktek “revitalisasi pertanian” dari bawah, yaitu

langkah untuk menggali dan mengelola potensi desa untuk meningkatkan kesejahteraan melalui

peningkatan produksi ekonomi desa dilakukan atas kehendak dan kemampuan masyarakat secara

swadaya. Berangkat dari pengalaman tersebut, petani pedesaan juga dapat memaknai

“revitalisasi pertanian” sebagai gerakan peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani dengan

peningkatan produksi melalui penguasaan aset-aset produksi di desa yang dikelola secara

kolektif dan demokratis. Penguasaan dan pengelolaan aset-aset produksi yang dimaksud adalah

aset produksi pertanian sebagai soko guru perekonomian petani pedesaan, berupa kekayaan alam

yang ada di sekitar wilayah desa, baik lahan, hutan, sumber air, sungai dll. Bagi petani desa,

jargon revitalisasi pertanian dapat diterjemahkan sebagai ikhtiar mendesakkan pembaharuan

agraria dan pembaharuan desa, yaitu menata kembali struktur penguasaan dan pengelolaan

sumber agraria secara demokratis untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat desa.

Page 6: TGS_Sos Des - Pembaharuan Struktur Ekonomi Sosial Desa

Referensi:

Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005-2025: www.deptan.go.id,

HKTI Pesimis Presiden Yudhoyono: Tempo Interaktif, Kamis 9 Juni 2005.

Revitalisasi Pertanian Belum Dikonkretkan: Media Indonesia On Line, Minggu 9 Oktober 2005.

Revitalisasi pertanian: antara teori dan praktek: Jurnal Nasional, 18 Januari 2007

Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan: Grand Design dan Implementasi Jalan di Tempat;

Catatan Akhir Tahun 2006 FSPI

Dibutuhkan Kredit Khusus; APBD Kabupaten Tidak Lebih dari 5 Persen untuk Pertanian:

Kompas, Sabtu 9 Desember 2005.

Meluas, Konversi Lahan di Banyumas: Pikiran Rakyat Online, Jumat 29 Desember 2006