pembaharuan muhammadiyah

26
PEMBAHARUAN MUHAMMADIYAH DALAM DIALEKTIKA RASIO DAN TRADISI Oleh: Saefur Rochmat Abstrak: Sudah lebih dari 8 Indonesia belum bisa bangkit dari situasi krisis ekonomi, hal ini terjadi karena Indonesia mengalami krisis multidimensional yang muaranya adalah krisis budaya. Benar kata Tony Barnett, kita tidak kekurangan tenaga profesional dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun permasalahannya terletak pada konteks budaya bagi impelentasi keputusan teknis. Max Weber juga berkeyakinan kalau pemikiran agama mempunyai pengaruh besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Atau dengan kata lain, industri modern berkembang di Eropa setelah tersebarnya teologi Protestan dari Jean Calvin. Hal itu menyanggah pandangan bahwa agama merupakan unsur yang paling sulit mengalami perubahan dan perubahannya itu bersifat reaksioner terhadap perubahan masyarakat. Islam belum bisa tampil sebagai peradaban yang unggul karena belum berhasil mengembangkan suatu pemikiran keagamaan yang menyeluruh. Dalam kasus Indonesia, umat Islam dituntut mampu merumuskan budaya Islam Indonesianis. Pembaharuan Muhammadiyah juga masih bersifat parsialis karena hanya didasarkan pada aspek rasio (bersifat normatif berdasarkan al-Qur’an dan Hadits) dan melupakan tradisi bangsa Indonesia. Akibatnya, pembaharuan itu ditentang oleh mereka yang tinggal di daerah pedesaan yang hidup selaras dengan tradisi. I. Pendahuluan Pembangunan ekonomi di negara kita masih belum beranjak jauh dari situasi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada bulan November 1997, walaupun Era Reformasi sudah dicanangkan sejak Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998. Era Reformasi sudah berlangsung lebih dari 8 tahun, tapi belum ada hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena krisis yang terjadi di negara kita bukan hanya sekedar krisis ekonomi tetapi krisis budaya. Memang terdapat hubungan yang paralel antara aspek ekonomi atau material dan aspek budaya (immaterial) (Rochmat, 2005). Dalam bidang immaterial ini, kita belum berhasil merumuskan bentuk identitas budaya bangsa. Yang dimaksud 1

Upload: m-musafaro-mauludi

Post on 29-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

gerakan pembaharuan muhammadiyah

TRANSCRIPT

Page 1: Pembaharuan Muhammadiyah

PEMBAHARUAN MUHAMMADIYAH

DALAM DIALEKTIKA RASIO DAN TRADISI

Oleh: Saefur Rochmat

Abstrak:Sudah lebih dari 8 Indonesia belum bisa bangkit dari situasi krisis ekonomi, hal ini

terjadi karena Indonesia mengalami krisis multidimensional yang muaranya adalah krisis budaya. Benar kata Tony Barnett, kita tidak kekurangan tenaga profesional dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun permasalahannya terletak pada konteks budaya bagi impelentasi keputusan teknis. Max Weber juga berkeyakinan kalau pemikiran agama mempunyai pengaruh besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Atau dengan kata lain, industri modern berkembang di Eropa setelah tersebarnya teologi Protestan dari Jean Calvin. Hal itu menyanggah pandangan bahwa agama merupakan unsur yang paling sulit mengalami perubahan dan perubahannya itu bersifat reaksioner terhadap perubahan masyarakat.

Islam belum bisa tampil sebagai peradaban yang unggul karena belum berhasil mengembangkan suatu pemikiran keagamaan yang menyeluruh. Dalam kasus Indonesia, umat Islam dituntut mampu merumuskan budaya Islam Indonesianis. Pembaharuan Muhammadiyah juga masih bersifat parsialis karena hanya didasarkan pada aspek rasio (bersifat normatif berdasarkan al-Qur’an dan Hadits) dan melupakan tradisi bangsa Indonesia. Akibatnya, pembaharuan itu ditentang oleh mereka yang tinggal di daerah pedesaan yang hidup selaras dengan tradisi.

I. Pendahuluan

Pembangunan ekonomi di negara kita masih belum beranjak jauh dari situasi ketika

krisis ekonomi melanda Indonesia pada bulan November 1997, walaupun Era Reformasi

sudah dicanangkan sejak Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998. Era Reformasi

sudah berlangsung lebih dari 8 tahun, tapi belum ada hasil yang signifikan. Hal ini terjadi

karena krisis yang terjadi di negara kita bukan hanya sekedar krisis ekonomi tetapi krisis

budaya. Memang terdapat hubungan yang paralel antara aspek ekonomi atau material dan

aspek budaya (immaterial) (Rochmat, 2005).

Dalam bidang immaterial ini, kita belum berhasil merumuskan bentuk identitas

budaya bangsa. Yang dimaksud dengan negara Pancasila sebenarnya masih berproses

mencari bentuk. Negara Pancasila berpretensi sebagai negara yang tidak sekuler dan tidak

berdasarkan agama. Bentuk negara Pancasila dijadikan alternatif untuk menjaga keutuhan

bangsa Indonesia yang pluralis. Ancaman bangsa kita sudah dirumuskan sebagai SARA

(Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan).

Diharapkan umat Islam dapat memainkan peranan yang besar bagi terciptaya

identitas bangsa ini, mengingat mereka merupakan mayoritas penduduk Indonesia.

Kenyataannya, umat Islam belum berhasil merumuskan kebudayaan Islam Indonesianis

(budaya Pancasila) karena berbagai kelompok umat Islam masih mengalami hambatan

1

Page 2: Pembaharuan Muhammadiyah

komunikasi, dan kadang-kadang mereka mengembangkan ideologi yang tidak mudah

dicarikan titik temunya.

Adopsi ideologi tertentu oleh suatu kelompok adalah konsekuensi logis bagi agama

yang memiliki hubungan erat dan berpretensi untuk mengatur urusan duniawi. Hendaknya

tiap-tiap ideologi agama tidak mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran mutlak,

walaupun hal itu merupakan suatu sikap yang tidak mudah diwujudkan bagi gerakan yang

berpretensi dengan gerakan revolusioner. Hendaknya, mereka menyadari bahwa agama

bukanlah suatu ideologi, dan karenanya ideologi harus diarahkan untuk mewujudkan suatu

misi agama yang ingin menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia, seperti hak hidup

manusia, keadilan, kebebasan, kesejahteraan dan kemakmuran. Bila mereka menyadari

relasi peran ideologi dan agama maka tidaklah sulit bagi mereka untuk mengembangkan

suatu dialog bagi upaya mencari dan merumuskan suatu program bersama yang berguna

bagi kemanusiaan.

Tulisan ini membatasi keterkaitan agama sebagai ancaman kesatuan bangsa,

khsusnya dengan menganalisis model pembaharuan Muhammadiyah dilihat dari aspek

epistemologisnya agar mendapatkan gambaran mengenai proses perumusan kebenaran.

Untuk itu berturut-turut akan dibahas Pembaharuan Parsial Muhammadiyah, Pembaharuan

Kontekstual, dan diakhiri dengan Penutup.

II. Pembaharuan Parsial, Berdasarkan Rasio

Para tokoh pembaharu Islam cenderung melakukan pembaharuan yang sifatnya

normatif (berdasarkan rasio) dengan melupakan realitas sosiologis-historis suatu

komunitas Islam. Mereka hanya mendasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai

pedoman. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan suatu komunitas

yang menjadi sasaran dari pembaharuan itu, sehingga pembaharuan dapat berjalan secara

efektif. Komunitas tidak berada dalam suatu ruang hampa udara, di dalamnya berkembang

suatu tradisi/budaya yang hendaknya diperhitungkan agar pembaharuan dapat berjalan

efektif dan bukannya kontra-produktif.

Pembaharuan berdasarkan rasio memang dicanangkan sebagai paket sekali jadi,

ibarat obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Ini mustahil, karena tantangan

2

Page 3: Pembaharuan Muhammadiyah

suatu zaman berbeda-beda maka obatnya pun tentu berbeda. Memang secara rasio, suatu

obat “A” akan dapat mengobati suatu penyakit “A”, namun masing-masing pasien

memerlukan dosis yang berbeda-beda, disesuaikan dengan umur, kondisi kesehatan, dan

ada tidaknya alergi terhadap unsur obat tertentu.

Pembaharuan Muhammadiyah berangkat dari segi rasio ini. Memang rasionalitas

normatif ini dapat diterima umat Islam di daerah perkotaan yang relatif sudah terlepas dari

tradisi dan karenanya sedang memerlukan ikatan sosial baru. Kenyataanya, secara tidak

disadari Muhammadiyah berangkat dari realitas sosiologis-historis masyarakat Islam di

kauman Yogyakarta. Boleh dikata mereka adalah penduduk kota, karena tinggal di sekitar

keraton dan pada umumnya pendatang dari berbagai daerah. Mereka memerlukan ikatan

sosial baru yang dapat digunakan juga untuk mengatasi permasalahan yang melilitnya

seperti pekerjaan non-agraris, kesehatan, pendidikan, dan anak yatim piatu.

A. Praksis Muhammadiyah Vs Ideologi

Apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan merupakan suatu terobosan dengan

membentuk “organisasi” yang bentuknya bukan partai politik. Bentuk organisasi diadopsi

dari cara-cara modern yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Sehingga tidak

mengherankan bila KH Ahmad Dahlan tidak menghasilkan sejumlah buku keagamaan

karena dia lebih menekankan pada usaha paksis untuk merebut urusan duniawi. Berikut

komentar Prof. Dr. M. Amin Abdullah (1995: 27):

…pilihan itu bukan didasarkan pada hasil cermatan kajian literatur Islam klasik dan juga tidak memperoleh inspirasi dari konsep-konsep “teologis” atau “kalam” klasik yang telah “baku” dan “mapan” dalam literatur-literatur khazanah intelektual lama.

K.H. Dahlan meyakini agama bersifat manusiawi, agama yang mampu memberikan sesuatu

kepada manusia melalui berbagai bentuk amaliyah. Oleh karena itu dia menghindari

persoalan teologis, karena akan menghalangi agama untuk melakukan suatu tindakan nyata

melalui berbagai bentuk amaliyah yang bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang

afiliasi teologisnya. Teologi disini bukanlah sebagai suatu ilmu Ketuhanan yang bias nilai,

melainkan ada suatu bias kepentingan karena dirumuskan sendiri oleh manusia; dan hal ini

seringkali tidak disadari oleh umat Islam.

Ketika ada salah seorang santrinya mengusulkan agar agar K.H. Ahmad Dahlan

menulis kitab untuk menjelaskan pemikirannya yang inovatif itu, maka dia menjawab:

3

Page 4: Pembaharuan Muhammadiyah

“Apakah saudara ini menganggap saya orang gila?” dan jawaban itu diulangi sampai tiga

kali. Kyai Dahlan melihat sudah banyak kitab yang ditulis, yang menyebabkan umat

terpecah belah; dan ia tidak ingin menambah satu kitab lagi karena dikhawatirkan dapat

menambah runyam suasana. Dengan demikian, model dakwah K.H. Dahlan bersifat praktis

dan bukan ideologis (teologis) (Fachruddin, 1990: 420).

Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad Dahlan

(1868-1923). Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam dengan

menempuh jalan para modernis gerakan Salafiyah dari abad ke-19 seperti Jamaluddin al-

Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1856-1935).

Gerakan Salafiyah ini dipandang sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan yang

Qoyyim al-Jauziyah (1292-1350), yang berusaha untuk membuka pintu ijtihad; dan

dilanjutkan oleh Gerakan Wahabi di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Muhammad bin

Abdul Wahad (1703-1787) (Kamal, 1994: 6-7).

K.H. Ahmad Dahlan merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk

“Purifikasi dan Dinamisasi”. Purifikasi didasarkan pada asumsi bahwa kemunduran umat

Islam terjadi karena umat Islam tidak mengembangkan aqidah Islam yang benar, sehingga

harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan doktrin “segala sesuatu

diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur’an dan Hadits”. Sedangkan

dinamisasi diterapkan dalam bidang muammallah, dengan melakukan gerakan modernisasi

sepanjang sesuai dengan doktrin “semuanya boleh dikerjakan selama tidak ada larangan

atau tidak bertentangan Al-Qur’an dan Hadits.

Dari penelitian terbaru diketahui ada beberapa perbedaan antara pembaharuan

Muhammadiyah dengan pembaharuan yang dilakukan Abduh tersebut. Abduh lebih

menekankan pada pembaharuan di bidang muammalah (the social aspect of Islam) atau

lebih dikenal dengan progam modernisasi. Sementara Muhammadiyah lebih cenderung

menempuh jalan Muhammad Abdul Wahab dengan gerakan purifikasinya (the belief aspect

of Islam). Artinya Muhammadiyah menekankan ijtihad dalam bidang aqidah (ibadah) dan

sebaliknya Abduh menyeru ijtihad dalam bidang muammallah (duniawi) seperti politik,

pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

4

Page 5: Pembaharuan Muhammadiyah

Saya melihat ijtihad dalam bidang aqidah yang dilakukan Muhammadiyah adalah

aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan (budaya), bukan

aqidah mahdlah (ibadah murni). Karena ijtihad dalam bidang ibadah murni seperti shalat,

puasa, dan haji, dalam pandangan Syaikh Muhammad Al-Ghazali (1996: 129) sebaiknya

ditutup untuk mengurangi perpecahan di kalangan umat Islam. Dan kenyataannya

Muhammadiyah mendasarkan gerakan purifikasinya pada pemikiran madzhab fiqih yang

sudah ada, disamping dicari rujukannya langsung pada Al-Qur’an dan Hadits.

Ijtihad dalam bidang aqidah yang berkaitan dengan aspek budaya ini memang

penuh resiko karena pembicaraan mengenai iman (lebih luas dari aqidah) merupakan

pembicaraan yang sangat luas. Iman menempati segala sesuatu. Iman memiliki sifat-sifat

dan karakter tertentu, tetapi secara praktis tidak berbentuk tertentu. Ia teoritis dan

konseptual. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran 193 ‘Ya Tuhan kami,

sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah

kamu kepada Tuhanmu.” Maka kami pun beriman.’ (Ghazali, 1996: 129).

Iman tidak bisa dibatasi pada masalah aqidah saja maka pelaksanaan purifikasi di

lapangan mengalami kesulitan karena bid’ah yang dianggap dalam wilayah aqidah

bercampur aduk dengan bid’ah dalam wilayah budaya. Jika memang begitu yang terjadi,

maka pecoretan tradisi, budaya, adat istiadat perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian,

lantaran apa yang disebut budaya dan tradisi sesungguhnya jauh lebih luas daripada aqidah

(Abdullah, 2000: 11).

B. Ijtihad Muhammadiyah Vs Tradisi

Pembaharuan Muhammadiyah yang beranjak dari latar belakang sosio-historis

masyarakat kota itu, tidak dapat diterima dan menuai reaksi negatif dari kalangan umat

Islam di daerah pedesaan yang masih mempertahankan tradisi. Seperti dijelaskan di atas,

iman itu suatu konseptual, dan konsep yang ditawarkan Muhammadiyah tersebut tidak

sesuai dengan realitas kontekstual masyarakat desa yang memegang teguh tradisi. Bagi

Muslim di pedesaan, tradisi ini sangat penting karena telah memberi makna dan identitas

bagi kehidupannya. Bahkan kedalam tradisi ini telah diinfuskan nilai-nilai Islam. Karena itu

tuduhan sebagai penyebar penyakit TBC (Tahayyul, Bid’ah, da Churafat) sangat

menyakitkan.

5

Page 6: Pembaharuan Muhammadiyah

Kita bisa mengatakan pembaharuan Muhammadiyah itu masih bersifat realitas

parsial, karena hanya berangkat dari latarbelakang masyarakat perkotaan; dan karenanya

menuai reaksi negatif dari komunitas Islam di daerah pedesaan. Ini sangat disayangkan

karena Muhammadiyah juga berkepentingan untuk melakukan dinamisasi melalui program

modernisasi dalam bidang muammallah. Sebenarnya reaksi negatif ini dapat diminimalkan

menjadi sikap saling menghormati satu-sama lain, atau kalau mungkin dikembangkan sikap

kerjasama satu sama lain bila umat Islam Indonesia telah berhasil mengembangkan

kegiatan intelektual yang baik. Tentunya kegiatan intelektual waktu itu masih terbatas,

karena kita masih di bawah belenggu penjajah Belanda. Situasi sekarang saja belum ada

usaha yang serius dari seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah dan ormas Islam,

untuk mengembangkan kajian Islam dari berbagai disiplin ilmu, sebagai bahan referensi

untuk merumuskan pembaharuan Islam dengan daya jangkau yang lebih luas lagi.

Memang perlu disadari sejak awal kalau pembaharuan itu masih bersifat parsialis

agar ada kesadaran untuk melakukan pembaharuan yang terus-menerus. Karena

pembaharuan Islam memang bukan paket sekali jadi. Memang untuk merumuskan

pembaharuan Islam yang memiliki kemampuan sinergis dengan managerial global

membutuhkan waktu dalam proses sejarah yang lama dan kadang tidak mulus. Adalah sulit

untuk sejak dini merumuskan pembaharuan yang memiliki daya jangkauan global bila kita

belum memiliki informasi yang lengkap mengenai realitas sosiologis-historis semua

komunitas Islam. Karena masing-masing komunitas Islam tersebut memiliki keunikan

budaya yang harus diperlakukan secara khusus pula.

Yang perlu diperhatikan, setiap melakukan pembaharuan harus mengakui realitas

sosiologis-historis suatu komunitas Islam terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan

modifikasi terhadap suatu tradisi agar dapat menjawab tuntutan zaman. Caranya dengan

melakukan pemurnian alam pemikiran Islam yang masih terpengaruh oleh lapisan tipis

tradisi Hindu-Budha maupun nenek moyang, dengan tidak menghilangkan tradisi tersebut

yang merupakan konvensi atas keberterimaannya terhadap Islam. Pembaharuan diarahkan

untuk mendekati perintah yang tercantum di dalam Quran maupun Hadits, sebagai

idealisasinya.

6

Page 7: Pembaharuan Muhammadiyah

Variasi budaya berimplikasi pada variasi pembaharuan Islam. Memang disadari atau

tidak pembaruan selalu berangkat dari realitas sosiologis-historis suatu budaya. Karena itu

pembaharuan Islam seringkali dipandang penuh curiga oleh komunitas Islam lainnya yang

memiliki realitas sosiologis-historis yang berlainan. Memang ini wajar setiap memulai

pembaharuan dan kita dituntut bersikap dewasa terhadap mereka yang masih sangsi

terhadap komitment pembaharuan ini. Kita hendaknya mampu meyakinkan pembaharuan

ini juga sangat diperlukan dan selanjutnya berusaha menjalin kerjasama dengan berbagai

kelompok lain. Toleransi yang tulus di antara berbagai organisasi Islam di Indonesia ini

merupakan prasyarat bagi terciptanya budaya Islam Indonesianis.

Perlu diketahui, sepanjang sejarah Islam kita mendapatkan suatu fakta bahwa

sesama organisasi Islam sangat sulit mewujudkan suatu sikap toleransi. Konflik antara

Kekhalifahan Abbasiyah di Bangdad dengan Kekhalifahan Muawiyah di Spanyol tidaklah

karena perbedaan teologis/ideologis, tetapi mereka berebut klaim sebagai satu-satunya

penegak kebenaran yang sah. Demi menghancurkan lawannya, Kekhalifahan Abbasiyah

menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan Kristen seperti Kerajaan Perancis.

Pertentangan sesama umat itu melemahkan umat Islam sendiri, bahkan akhirnya Islam

harus tunduk pada peradaban Barat.

Pada sisi lain, sejarah Islam mencatat dengan tinta emas sikap toleransi umat Islam

terhadap penganut beragama lain. Mereka menghargai keyakinan agama lain, apalagi

agama Kristen, yang tergolong kedalam golongan ahli kitab (ahlul kitab) yang diakui

keberadaannya oleh al-Qur’an. Dalam situasi seperti itu umat Kristen belajar dari kesalahan

masa lalunya, dan mereka mengadopsi peradaban Islam yang lebih maju pada masanya.

Pada abad ke-12-14, Barat masih ketinggalan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, namun kemudian mereka berhasil membidani kelahiran modern science karena

telah berhasil mengembangkan suasana free and open discourse. Hal inilah yang menjadi

starting point Toby E. Huff untuk menulis bukunya The Rise of Early Modern Science. Dia

benar ketika mengatakan ‘The path to modern science is the path to free and open

discourse….’ (Huff, 1998: 46).

Tidak lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari dunia Islam bukan

karena Islam tidak cocok dengan ide-ide modern, tetapi karena umat Islam gagal dalam

7

Page 8: Pembaharuan Muhammadiyah

mengembangkan free and open discourse. Karena hanya dengan toleransi dan kebebasan

memungkinkan kita mengadopsi unsur-unsur peradaban lain yang positif bagi upaya

mengembangkan peradaban Islam sendiri dan memang kegiatan budaya dan intelektual

bersifat lintas budaya.

Sebenarnya permasalahan umat Islam tidak bersifat filosofis karena al-Qur’an tidak

bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Persoalannya terkait dengan permasalahan

“sosia-kultural”, berkaitan dengan hasil interpretasi terhadap al-Qur’an, yang seharusnya

bersifat relatif karena sebagai hasil pemikiran manusia yang terikat oleh ruang dan waktu;

namun pemikiran keagamaan itu dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak

boleh dikritik karena diyakininya sebagai teologi. Dengan demikian suatu persoalan sosio-

kultural telah diganti peran sebagai persoalan teologi, sehingga persoalan itu menjadi sulit

untuk diurai benang kusutnya. Contohnya, sampai awal abad ke-19 Kekhalifahan Turki

melarang penggunaan mesin print untuk menulis huruf Arab yang dianggapnya sebagai

bahasa Tuhan, namun bisa digunakan untuk mencetak huruf dari bahasa lainnya. Hal ini

berakibat pada mandegnya intelektual Islam, dan sebaliknya huruf Latin menjadi

berkembang pesat (Huff, 1998: 46).

C. Tradisi Muhammadiyah?

Selama ini orang selalu menentangkan istilah modern dengan tradisi, tidak

terkecuali dengan Muhammadiyah yang mengklaim dirinya sebagai organisasi Islam

modern. Konsekuensinya, apakah Muhammadiyah mengembangkan suatu tradisi, karena

tradisi selalu berakar dari masa lalu. Dalam bidang kebudayaan Muhammadiyah meniru

ide-ide kebudayaan modern tentang pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress), yang

merupakan turunan dari materialisme. Dengan demikian Muhammadiyah mgadopsi

struktur masyarakat modern.

Dalam melakukan pembaharuan, kaitannya dengan upaya dinamisasi,

Muhammadiyah mengembangkan pendekatan strukturalisme transendental di dalam

pemikiran keagamaannya, yaitu bertujuan ‘menerapkan ajaran-ajaran sosial yang

terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya’,

sebagaimana diyakini oleh cendekiawan Muhammadiyah Prof. Dr. Kuntowijoyo (2001: 9-

29). Dengan begitu Muhammadiyah meniru struktur masyarakat modern untuk

8

Page 9: Pembaharuan Muhammadiyah

mengimplementasikan ajaran Islam itu. Memang Muhammadiyah telah berhasil mengisi

struktur masyarakat modern di Indonesia dalam birokrasi, industri, perdagangan,

pendidikan, militer, dll.

Cendekiawan dari Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan (2000: v-xiv) menyebut

ada dua konsekuensi dari arah kebudayaan seperti itu, yaitu: Pertama adalah sifat elitisme

yang telah menjadikan Muhammadiyah sebagai privilege golongan menengah-ke-atas.

Kedua adalah pergeseran dari gerakan pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang

terjebak pada persoalan-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi karena orang modernis telah

melangkah terlalu jauh dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme bukan lagi

sekedar perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi.

Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan dampak negatif lainnya, kalu

Muhammadiyah sebagai “gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan”, karena kebudayaan

yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak dapat menjangkau

lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah tidak berusaha merubah

tradisi dari dalam, melainkan dengan membentuk gerakan baru yang berbasis masyarakat

kota. Dan untuk waktu yang lama tidak mengakomodasi masyarakat di daerah pedesaan

yang masih memegang tradisi.

Kuntowijoyo menganalisa keringnya misi kebudayaan dalam Muhammadiyah pada

struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat

kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yang

bersifat materialistis. Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis, yaitu memenuhi

kebutuhan-kebutuhan sesaat dalam masyarakat modern dan belum sempat mengupas

hakekat kemanusiaan. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal

dan organisatoris (Kuntowijoyo, 1991: 269).

Berdasarkan kritik-kritik dari kalangan intern di atas kita tahu ada unsur plus minus

yang inheren dalam hampir setiap tindakan. Dan kita konsisten untuk meminimalkan segi

minusnya dengan serangkaian kegiatan yang reformatif. Modal sudah ada. Eksistensi

Muhammadiyah sendiri suatu yang luar biasa. Hal ini tentu akan lain bila Muhammadiyah

9

Page 10: Pembaharuan Muhammadiyah

mengambil bentuk organisasi politik. Bukankah partai politik Islam mengalami pasang

surut, timbul dan tenggelam.

Muhammadiyah relatif sukses dalam menarik jumlah anggota maupun simpatisan

dan menjadi ormas keagaman terbesar kedua. Secara tidak langsung Muhammadiyah

mendorong lahirnya berbagai organisasi lain seperti Nahdlatul Ulama (NU) demi

menggairahkan modernisasi dalam agama Islam. Selanjutnya warna pembaharuan Islam

lebih menonjol ditentukan oleh proses dialektika Muhammadiyah dan NU di pentas sejarah

Indonesia.

III. Pembaharuan Konstektual, Mempertimbangkan Tradisi

Biasanya diterima asumsi bahwa agama dianggap sebagai unsur yang paling sukar

dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, bila dibandingkan

dengan unsur-unsur lain seperti: sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,

bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditimbulkan oleh sistem mata pencaharian, sistem

teknologi dan peralatan. Tetapi sejarah kehidupan bangsa kita yang panjang tidak

sepenuhnya dapat disesuaikan dengan asumsi tersebut. Berbagai agama datang dan

berkembang secara bergelombang ke Indonesia, mengganti agama yang lama dan

menanamkan ajaran-ajaran agama yang baru secara silih berganti, tetapi dalam

kenyataannya sistem mata-pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan yang

dikatakan sebagai unsur yang paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami

perubahan sejak pra-Hindu sampai kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru

menunjukkan agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu sebelum yang lain-lain

menglami perubahan.

Pandangan Snouck Hurgronje juga bertentangan dengan kenyataan sejarah bangsa

kita bahwa tiap-tiap periode sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada orang

beragama untuk meninjau kembali isi dari kekayaan aqidah dan agamanya. Pandangan itu

secara implisit bermakna bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran agama oleh

para penganutnya sifatnya reaktif karena adanya perubahan periode kebudayaan di mana

agama itu hidup. Ini juga bertentangan dengan pengalaman sejarah kebudayaan pada

umumnya yang menunjukkan bahwa pemahaman baru terhadap ajaran agama justru

10

Page 11: Pembaharuan Muhammadiyah

menumbuhkan periode baru dalam kebudayaan bangsa-bangsa (Wahid, 1999: 72).

Sejarah membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi

perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial,

maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara

kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. Hal

tersebut telah menjadi perhatian sosiolog Max Weber (1864-1924) dalam bukunya The

Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut dirumuskan pertanyaan:

Why capitalist industrialisation became a society-wide system in Europe and not in the

other places?. Jawabannya adalah pemikiran agama mempunyai pengaruh yang sangat

besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Dia menjelaskan industri modern

berkembang di Eropa setelah tersebarnya dan diterimanya teologi Protestan dari Jean

Calvin (1509-1564). Calvin sangat menekankan peranan rasio (akal) dalam pemahaman

agama, dan karenanya para pendukungnya bersikap rasional dalam kehidupan di dunia ini.

Max Weber berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme bekerja keras, menabung uang,

dan hidup ekonomis.

Dalam kasus agama Islam, pemikiran agama juga terus-menerus mengalami

pembaharuan untuk memberi makna terhadap perubahan dan perkembangan dalam

kehidupan di dunia dalam setiap manifestasinya. Akan tetapi pembaharuan Islam di era

modern masih belum berhasil secara optimal dan terasa kurang efektif; sebagai

konsekuensinya di bidang materi, umat Islam juga masih tertinggal dari peradaban Barat.

Memang beberapa negara Islam telah dapat mengikuti perkembangan teknologi modern,

tapi karena belum didukung oleh pemikiran agama yang mampu menopangnya maka

hasilnya masih jauh dari memuaskan. Tony Barnett (1995: vii) benar bahwa:

the main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists - countries such as …Pakistan have these aplenty; …. The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently ‘technical’ decisions are taken. [cetak tebal penulis].

Dengan kata lain, kemampuan teknis di dunia Islam belum dapat memberikan kontribusi

yang positif bagi kemajuan material secara luas karena belum ada kondisi yang kondusif

dalam aspek immaterial, seperti pemikiran agama.

M. Amin Abdullah (Abdullah, 2000: 13) menilai akar penolakan tradisi yang berbau

11

Page 12: Pembaharuan Muhammadiyah

TBC didasarkan pada keilmuan klasik yang sangat terpengaruh logika Yunani yang bersifat

hitam-putih, sehingga tidak dapat menjelaskan realitas kehidupan yang ada di lapangan.

Konfigurasi dan peta tata pola pikirnya terlalu skematis, sehingga tidak dapat

mempertimbangkan adanya bentuk konfigurasi yang over lapping (posisi jumbuh), yang

melibatkan sebagian dari dua sisi sekaligus. Padahal nash-nash al-Qur’an sendiri

memungkinkan adanya kategori “middle”, yang perlu dicermati secara lebih serius.

Kuntowijoyo (1995: 86-87) mengkritik TBC masih ditampilkan dalam realitas

subyektif, dan belum ditampilkan secara empiris-obyektif, dimana kita berada dalam

stuktur sosial yang berbeda. Konsep klasik tentang TBC yang disusun dengan cara pikir

deduktif yang menekankan segi rasio perlu dilengkapi dengan cara pikir induktif yang

bersifat empiris-historis. Dominasi pemahaman keagamaan yang tekstual normatif

cenderung mengabaikan kajian keislaman yang kontekstual hisorik. Inilah yang menjadikan

pemikiran Muhammadiyah terasa kurang aktual dan irrelevan dengan perubahan sosial

yang begitu cepat. Karenanya orang lebih mengenal gerakan Muhammadiyah sebagai

gerakan anti-TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat), dan bukan gerakan pembaharu sosial-

budaya (Mulkhan, 2000: ix).

Pendapat Syafii Maarif (2000: xxviii) bisa dijadikan starting point untuk

menjelaskan hubungan agama dengan peradaban. Beliau mengutip Al-Qur’an surat-surat

al-Shaf 9, al-Fath 28, dan al-Taubah 33 dan sampai pada kesimpulan kalau Islam harus

unggul dan menang berhadapan dengan agama-agama manapun di muka bumi ini.

Menurutnya keunggulan itu tidak saja dalam domain teologis-eskatologis, tetapi juga dalam

perlombaan peradaban. Dia menilai Islam yang unggul dalam sistem iman tapi kalah dalam

perlombaan peradaban karena ketegangan purifikasi dan dinamisasi belum menemukan

satu titik yang stabil.

Agar Islam dapat unggul dalam masalah peradaban modern maka Islam perlu

menangani persoalan peradaban, atau dengan kata lain Islam perlu menangani permasalah

kehidupan di dunia ini yang bersifat duniawi pula. Dalam konteks sekarang ini Islam perlu

merumuskan secara jelas partisipasinya dalam kehidupan modern, disamping tradisi.

Dengan begitu Islam tidak bisa lepas dari persoalan modernisasi dan globalisasi.

12

Page 13: Pembaharuan Muhammadiyah

Sedangkan dalam konteks Indonesia, Islam perlu merumuskan budaya Islam dalam

konteks Indonesia. Gerakan-gerakan Islam harus dikaitkan dengan gerakan nasional bangsa

Indonesia yang lebih luas agar mereka tidak teralienasi dari jaringan koalisi nasional,

disamping agar gerakan nasional itu selalu mendapat bimbingan dari agama. Bila terisolasi

dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan

akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga

melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu.

Hendaknya umat Islam membangun budaya yang bisa membangkitkan rasa

memiliki pada Islam dan sekaligus mengembangkan rasa cinta tanah air Indonesia yang

memiliki ciri kebhinekaan, yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-

keimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72). Karena Islam belum

berhasil mengembangkan suatu budaya Islam Indonesianis maka selama ini yang dikenal

sebagai pendukung gerakan nasional adalah partai-partai nasionalis seperti PNI. Bahkan

PKI yang berkeyakinan kemerdekaan sebagai suatu batu loncatan saja dianggap lebih

nasionalis. Hal ini terjadi karena gerakan Islam lebih asyik berbicara tentang masyarakat

Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW yang sudah berlangsun 14 abad yang lalu

daripada berbicara bagaimana mengisi kemerdekaan.

Islam yang dikaitkan dengan persoalan peradaban berarti menempatkan Islam

sebagai agama realitas, agama yang berpretensi untuk menangani masalah kemanusiaan

pada umumnya; dan di Indonesia, perlu menangani masalah keindonesiaan yang bhineka

tunggal ika. Gagasan Islam realitas merupakan konstruksi baru bagi umat Islam dalam

menghadapi persoalan-persoalan kontekstual. Di tengah kebingungannya menghadapi

realitas ini, Islam realitas seakan membuka tabir baru wajah Islam yang penuh dengan

khazanah dan nomenklatur berbagai aura pemikiran keagamaan yang kemudian dipadukan

dengan kondisi kontekstual.

Gagasan itu juga tidak hendak menanggalkan teks-teks keagamaan, atau apalagi

memisahkan agama dari realitas seperti gagasan sekularisasi. Tetapi, Islam realitas

mempunyai pretensi, bahwa ajaran agama tidak seharusnya dibawa hanya pada persoalan

simbolitas dan praktik-praktik 'mistifikasi', sehingga ajaran agama tidak mengena pada

aspek substansinya.

13

Page 14: Pembaharuan Muhammadiyah

Perhatian terhadap realitas sosiologis-historis berbagai komunitas Islam sangat

penting, mengingat masing-masing mewakili budaya tersendiri dengan berbagai bentuk

konvensinya, seperti diyakini sejarawan Thomas L. Haskell (1999: 3) bahwa: “…Nietzsche,

who had no qualms at all about asserting the priority of convention over reason, just so

long as he secured recognition that both were subordinate to the “will to power.”

Konvensi sebagai kesepakatan dari suatu komunitas harus dipertimbangkan terlebih dulu,

karena hal ini terkait erat dengan konteks sejarah berlangsungnya konvensi tersebut. Baru

dilakukan dialog seiring dengan berlalunya waktu agar dianggap lebih rasional.

Karena rasio bukan satu-satunya patokan bagi segala sesuatu. Sebagaimana

dikatakan Ibn Taimiyyah “al-Haqiqatu fii al-a’yan laa fii al-adzhan” (Kebenaran adalah

pada realita, bukan pada konsepsi-teoritis pada akal semata) (Abdullah, 2000: 2). Manusia

juga punya aspek perasaan, sebagai pemberi makna bagi hidup manusia di dunia. Hal

tersebut hanya didapatkan pada budaya atau tradisi suatu kelompok. Karena itu tradisi

harus diperhitungkan di dalam merumuskan pembaharuan Islam. Hal itu karena tradisi

merupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas, suatu yang dapat berubah tapi tidak

dapat dihilangkan sama sekali.

Memang harus disadari kalau tradisi bukanlah satu-satunya faktor yang

mempengaruhi pembangunan. Sebagaimana dikatakan Tony Barnett (1995) that the

development process requires an understanding of the economic, cultural and political

ways in which people organize their lives. Ahli sosiologi Lithman (1983), juga

berkeyakinan that development and underdevelopment relate not only to all aspects of

living of its society but also its relations to boarder social system that are to its neighboring

societies, to the city network, to the state system, regional system and the global system.

Namun secara internal, faktor yang paling mempengaruhi pembangunan adalah

tradisi. Memang kita tidak dapat mengabaikan faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial,

sejarah, geografi, dan agama; tetapi semuanya itu secara substansial terkait dengan tradisi

sebagai pemberi makna kehidupan, disamping sebagai pemberi identitas kelompok dalam

hubungannya dengan kelompok lain. Hal ini berarti perlu diterapkan strategi pembangunan

yang berbeda sesuai dengan tradisi yang ada (Ross, 1999: 42).

14

Page 15: Pembaharuan Muhammadiyah

Memang sulit melihat tradisi sebagai faktor dominan dalam revolusi (radical

development) karena tradisi itu sendiri multidimensi, namun tradisi ini menjadi kerangka

bagi perubahan yang radikal (revolusi). Revolusi ini sebenarnya bersifat multidimensional,

namun memanifestasi dalam aspek tertentu seperti politik atau ekonomi sebagai penyebab

langsungnya (casus belly).

IV. KESIMPULAN

Siapa pun yang melakukan pembaharuan hendaknya selalu menyadari sifat

keterbatasan yang melekat pada manusia. Sikap seperti itu menjadikan mereka berusaha

terus menyempurnakan usaha-usaha pembaharuan itu, disamping adanya kesediaan untuk

melakukan dialog konstruktif dengan berbagai kelompok lain dari kultur yang berbeda.

K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah sudah menyadari sifat keterbatasan

pemikiran manusia, dan kareanya dia tidak mau menuliskan hasil pemikirannya itu, namun

dia lebih menekankan pada segi praksis dari agama demi mengangkat harkat dan martabat

manusia. Dia tidak mau terlibat perdebatan sengit persoalan teologi/ideologi, dan dia betul

dalam memandang teologi sebagai alat yang harus tunduk pada misi agama yang pada

prinsipnya menekankan segi amalan/praksis demi mengangkat harkat dan martabat

manusia.

Muhammadiyah didirikan di daerah perkotaan dan pemikirannya itu tentunya cocok

bagi mereka yang memiliki realitas sosi-historis yang sama. Dan Muhammadiyah kurang

mendapat sambutan di daerah pedesaan karena dalam Muhammadiyah belum dilakukan

modifikasi pemikiran yang memungkinkan mencakup realitas sosio-historis daerah

pedesaan. Memang Muhammadiyah mendapat pengikut juga di daerah pedesaan berkat

amalan Muhammadiyah, dan bukankah Islam mengharapkan umatnya melakukan amalan

yang bias kepentingan, sebagaimana misi Islam adalah rahmatan lil’alamin (memberi

manfaat bagi semua orang, terlepas dari pertimbangan agama yang mereka anut).

Keberhasilan suatu pembaharuan sangat ditentukan oleh tingkat kecanggihan suatu

pemikiran. Fakta mayoritas Muslim dari daerah pedesaan tidak masuk Muhammadiyah

menunjukkan bahwa pemikiran Muhammadiyah masih belum mengakomodasi realitas

sosio-historis daerah pedesaan. Bila fakta ini disadari dan memang hal itu dianggapnya

15

Page 16: Pembaharuan Muhammadiyah

sebagai suatu ciri khas maka mereka akan dapat mengembangkan dialog yang konstruktif

dengan Nahdhatul Ulama (NU), suatu organisasi yang menjadi afiliasi mayoritas Muslim

daerah pedesaan. Bila semua organisasi atau kelompok Islam mampu memahami hal ini

maka mereka akan dapat menciptakan budaya Islam yang Indonesianis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H.M. Amin, 2000, “Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman”, in Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPP.

Abdullah, M. Amin, 1995, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”, Dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed.). Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Bandung: Mizan & KSL.

Barnett, Tony, 1995, Sociology and Development, London: Routledge.

Fachruddin, KH A.R., 1990, “Dari KH. A.R. Fachruddin untuk DR. Nurcholish Madjij”, dalam Sujarwanto dkk Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ghazali, Syaikh Muhammad Al-, 1996, Berdialog dengan Al-Qur’an: Memahami Pesan Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini, Bandung: Mizan.

Haskell, Thomas L., 1999, 3.

Huff, Toby E., 1998, The Rise of Modern Sciences, Cambridge: Cambridge University Press.

Kamal, Musthafa (dkk.), 1994, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Persatuan.

Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan.

Lithman, Yngve Georg., 1983, The Practice of Underdevelopment and the Theory of Development: the Canadian Indian Case. Stockholm: Stockholm Studies in Social Anthropology.

Maarif, Syafi’i, 2000, “Antara Purifikasi dan Dinamisasi”, dalam Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI.

Mulkhan, Abdul Munir, 2000, Menggugat Muhammadiyah, Yogyakarta: Fajar Pustaka.

Rochmat, Saefur, 2005, “Aspek Immaterial dalam Modernisasi”, Inovasi Vol. 17, No. 3.

Ross, Marc Howard, 1999, Culture and Identity in Comparative Political Analysis. In Lichbach and Zuckerman (ed.) Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure. New York: Cambridge University Press.

Wahid, Abdurrahman, 1998, “Islam, Anti-kekerasan, dan Transformasi Nasional”, dalam Glenn D. Paige, Chaiwat Satha Anand, dan Sarah Gilliatt, Islam tanpa Kekerasan, A.b. M. Taufik Rahman, Yogyakarta: LKIS.

Wahid, Abdurrahman, 1999, “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus Dari Jombang”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LkiS.

16

Page 17: Pembaharuan Muhammadiyah

BIODATA PENULISSaefur Rochmat, MIR lahir di Kebumen 22 November 1968. Dia adalah dosen Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY sejak tahun 1994. Pendidikan S1 diperoleh dari IKIP Yogyakarta dan S2 dari Ritsumeikan University, Jepang. Tulisannya dimuat pada jurnal internasional maupun nasional seperti Ritsumeikan International Affairs; International Journal of Social Sciences; Inovasi; MILLAH; Hermeneutik; Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan; dan Cakrawala Pendidikan.

17