pembaharuan pesantren

28
PEMBAHARAUAN PESANTREN DALAM MENYONGSONG ZAMAN Oleh : Asep Jamaludin BAB I PENDAHULUAN A. Sistem Pendidikan Pesantren Saat Ini Pesantren adalah institusi pendidikan yang berada di bawah pimpinan seorang atau beberapa kiai dan dibantu oleh sejumlah santri senior serta beberapa anggota keluarganya. Pesantren menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan kiai sebab ia merupakan tempat bagi sang kiai untuk mengembangkan dan melestarikan ajaran tradisi, dan pengaruhnya di masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang ikut mempengaruhi dan menentukan proses pendidikan nasional. Dalam perspektif historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) sebab lembaga yang serupa pesantren ini sudah ada di Nusantara sejak zaman kekuasaan Hindu-Budha. Dalam hal ini, para kiai tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga-lembaga tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif. Selain itu, produk pesantren juga dikonstruksi untuk memiliki kemampuan yang tinggi dalam merespons tantangan dan tuntutan

Upload: dadangmunawar

Post on 16-Jun-2015

1.116 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembaharuan Pesantren

PEMBAHARAUAN PESANTREN DALAM MENYONGSONG ZAMAN

Oleh : Asep Jamaludin

BAB I

PENDAHULUAN

A. Sistem Pendidikan Pesantren Saat Ini

Pesantren adalah institusi pendidikan yang berada di bawah pimpinan

seorang atau beberapa kiai dan dibantu oleh sejumlah santri senior serta beberapa

anggota keluarganya. Pesantren menjadi bagian yang sangat penting bagi

kehidupan kiai sebab ia merupakan tempat bagi sang kiai untuk mengembangkan

dan melestarikan ajaran tradisi, dan pengaruhnya di masyarakat. Menurut

Nurcholish Madjid, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang ikut

mempengaruhi dan menentukan proses pendidikan nasional. Dalam perspektif

historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga

mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) sebab lembaga yang serupa

pesantren ini sudah ada di Nusantara sejak zaman kekuasaan Hindu-Budha.

Dalam hal ini, para kiai tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga-lembaga

tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia

yang memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif.

Selain itu, produk pesantren juga dikonstruksi untuk memiliki kemampuan yang

tinggi dalam merespons tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan

waktu, dalam ranah nasional maupun internasional. Sesuai dengan tujuan

pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 3).

Di tengah kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren sebagai

lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini tentu saja harus sadar

bahwa penggiatan diri yang hanya berorientasi pada wilayah keagamaan tidak lagi

memadai. Maka pesantren harus proaktif dan memberikan ruang bagi

pembenahan dan pembaharuan sistem pendidikan pesantren dengan senantiasa

harus selalu apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespons

perkembangan dan pragmatisme budaya yang kian menggejala. Hal ini bisa

Page 2: Pembaharuan Pesantren

dijadikan pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren mensiasati

fenomena tersebut.

Sistem pendidikan pesantren yang ada sekarang begitu bervariasi hal ini

terjadi karena pesantren harus selalu waspada terhadap pargamatisme budaza

dalam mengembangkan sistem pendidikanya agar tidak keluar dari ruh pesantren

itu sendiri dan tujuan dari sistem pendidikan nasional. Disamping itu,

bervariasinya sistem pendidikan pesantren terjadi karena beberapa faktor

Pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Sebagaimana diketahui,

pada dasawarsa terakhir abad ke-19, Belanda mulai memperkenalkan sistem

pendidikan liberal. Tentu saja, dengan hadirnya lembaga pendidikan tersebut,

posisi pesantren semakin terancam. Meskipun demikian, kecurigaan pesantren

terhadap ancaman lembaga pendidikan kolonial tidak selalu berwujud penolakan

yang a priori. Karena, di balik penolakannya, ternyata diam-diam pesantren

melirik metode yang digunakannya untuk kemudian mencontohnya. Fenomena

“menolak sambil mencontoh”, demikian Karel Steenbrink (1994)

mengistilahkannya, tampak dalam perkembangan pesantren di Jawa. Ini terlihat,

misalnya, dengan diajarkannya pengetahuan umum semisal bahasa Melayu dan

Belanda, sejarah, ilmu hitung, ilmu bumi, dan sebagainya.

Kedua, perubahan orientasi keilmuan pendidikan pesantren. Tidak seperti

pada abad XVI-XVIII, orientasi keilmuan pesantren abad XX tidak lagi terpusat

ke Hijaz, melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, semisal Mesir,

Baghdad, atau bahkan ke Eropa. Perluasan jaringan intelektual yang tidak saja ke

Hijaz ini, tetapi juga ke wilayah lainnya, turut mewarnai produk keilmuan

pesantren dan diversivikasi literatur yang dihasilkannya. Lahirnya karya-karya

intelektual dengan ragam disiplin keilmuan, misalnya, menjadi bukti luasnya

cakupan keilmuan pesantren abad ini. Tidak seperti pada abad-abad sebelumnya

di mana intelektual pesantren hanya melahirkan karya-karya tentang akidah, fiqih,

dan tasawuf, intelektual pesantren abad ini di samping tiga disiplin itu telah

menghasilkan khazanah intelektual yang kaya, meliputi ilmu falak, mantiq,

sejarah, kritik sosial, dan semacamnya.

Ketiga, gerakan pembaharuan Islam. Munculnya gerakan pembaharuan

Islam di tanah air sebagai pengaruh pembaharuan Islam di belahan dunia lainnya

mulai tampak pada awal abad ke-20 ini lagi-lagi menjadikan pesantren sebagai

sasaran kritik. Sebagai dampak dari situasi ini, pesantren meresponsnya secara

Page 3: Pembaharuan Pesantren

beragam, mulai dari penolakan dan konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan

naif terhadap pola pendidikan Barat. Oleh karena itu, tidak sedikit pesantren yang

tetap pada pola lamanya dengan menolak segala hal yang berbau Barat.

Bertahannya pesantren-pesantren dengan sistem salaf, misalnya, dapat dijadikan

contoh fenomena ini. Sebalikya, di pihak lain, munculnya sejumlah pesantren

dengan label dan simbol-simbol yang tampak modern menjadi contoh lain

kuatnya pengaruh pendidikan Barat yang diusung para pembaharu bagi dunia

pesantren. Namun juga jangan dilupakan, ada respon lain di mana pesantren tetap

mempertahankan keunikankannya yang masih relevan (al-muhafadzah ‘ala al-

qadim al-shalih), namun di pihak yang lain, ia secara selektif mengadaptasi pola-

pola baru yang bisa menopang kelanggengan sistem pendidikan pesantren (al-

akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Akibat dari 3 faktor tersebut dan perbedaan cara merespon keadaan tersebut,

munculah variasi sistem pendidikan pesantren yang terjadi sekarang ini ke dalam

3 bagian; Pertama, Sistem pendidikan pesantren salafiyah (pesantren-pesantren

yang berada di pedalaman pedesaan). Kedua, sistem pendidikan pesantren modern

(Pesantren Gontor). Ketiga, Sistem pendidikan pesantren kombinasi/gabungan

(Pesantren Tebu Ireng Jombang). Lunturnya pamor Hijaz sebagai pusat kosmik

ngelmu -yang bisa jadi karena mundurnya sistem madrasah di tanah Arab selama

abad ke18 dan abad ke-19 (Van Bruinesen, 1995)- juga dapat dijadikan faktor

munculnya beragam variasi sistem pendidikan pesantren berikut diversifikasi

kurikulum yang diajarkannya. Dan ternyata, dalam perkembangannya, pesantren

(diharapkan) mampu melerai kesenjangan, atau bahkan pertentangan, antara

pendidikan agama di satu pihak dan pendidikan umum di pihak yang lain.

B. Perkembangan Zaman

Dalam perkembanganya pondok pesantren di Indonesia dewasa ini tidak

terlepas dari perkembangan pondok pesantren dari jaman ke jaman, hal ini bisa

dilihat dari seluruh sejarah Indonesia. Enam Abad sebelum berkembangnya

imperium Sriwijaya dan Mataram Kuno, penduduk wilayah nusantara dikenal

sebagai bangsa bahari dan mampu meramu peradaban dari luar menjadi bagian

dari peradaban nusantara yang hebat. Bisa dilihat dari peninggalan-

peninggalannya, yakni: Candi Borobudur, Prambanan, kekayaan peradaban

melayu dan jawa kuno, huruf sanskrit menjadi huruf honocoroko, sistem

Page 4: Pembaharuan Pesantren

pemerintahan kepulauan, dan sistem pertahan kelautan yang sangat tangguh.

Tahun 1400 – 1600, Indonesia menjadi pusat kegiatan perdagangan muslim  yang

terakhir ini tak lepas dari peranan pesantren, yang mulai dikembangakan pada

masa kesultanan di Malaka, Demak, Cirebon, Banten, Lampung, Banjar, Ternate,

Bone, Bima, dan Kesultanan Islam lainnya. Masa penjajahan Belanda, Indonesia

diisolasikan dari percaturan peradaban bangsa-bangsa lain sehingga pesantren

tidak mengenal sains dan teknologi serta dinamikanya juga melemah.

Melemahnya perkembangan pesantren berimbas pada melemahnya ketangguhan

bangsa Indonesia. Bangsa yang dulunya dikenal sebagai bangsa bahari dan

pedagang menjadi bangsa petani. Disadari betapa besar peran pesantren dalam

kancah perkembangan bangsa ini.

Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman

modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran

secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya

peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor

politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran

pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi, penjelasan di atas kiranya

cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya

modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang

tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang

masih tetap dipertahankan.Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan

pesantren di Indonesia pada saat itu sama sekali belum testandardisasi secara

kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang

sistemik.

Setelah kemerdekaan negara Indonesia,  terutama sejak transisi ke Orde

Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan

pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih

tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga

menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang

melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang

ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran

agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini

kebanyakan di Madrasah. Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam

Page 5: Pembaharuan Pesantren

membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren

secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri.

C. Kebutuhan Sumber Daya Manusia

Kiprah Pesantren dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) bagi

Negara Indonesia tercinta ini sudah dimulai dari sejak pra kolonial. Kemunculan

Pesantren pada masa pra kolonial kira-kira awal abad ke 16, menjadi awal

munculnya pencerdasan bangsa Indonesia, Dari kemunculan Pesantren inilah

bangsa Indonesia mulai mengenyam pembelajaran baik keagamaan dan cara

bermasyarakat dan bernegara. Pada masa kolonial Pesantren juga mengambil

peran yang jelas, banyak para lulusan pesantren menjadi tokoh-tokoh perjuangan

bangsa Indonesia, kita kenal Pangeran Dipenogoro, Imam bonjol, Cut Nyak Dien,

dan bahkan KH. Zenal Mustofa dari tasik Malaya dengan santrinya memberontak

penjajah Jepang, sehingga banyak diantara mereka yang gugur di medan perang

menjadi syuhada. Pada masa pasca Kemerdekaan Indonesia, munculah para tokoh

pendidikan seperti Ki Hasyim ‘Asy’ary dari Nahdlatul Ulama, Mohammad

Dahlan dari Muhammadiyyah, Ki Agus Salim, HS, Cokro Aminoto dan banyak

lagi yang lainnya. Mereka semua adalah para tokoh jebolan Pesantren yang begitu

besar jasanya terhadap kemerdekaan dan pengembangan pendidikan di Indonesia.

Semua ini terus berlanjut tanpa ada hentinya sampai zaman sekarang ini.

Untuk mengetahui bagaimana pesantren mencetak dan memenuhi sumber

daya manusia di setiap jaman dengan sistem pendidikannya yang berlaku pada

masing-masing pesantren, marilah kita lihat apa yang sebenarnya berlangsung di

dunia pesantren. Pada tingkat pertama dapat dikatakan secara pasti bahwa

pesantren tak lain adalah suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan,

mengembangkan, dan menyebarkan ilmu agama Islam bagi para santrinya.

Setelah terjadi banyak perubahan dalam masyarakat, sebagai akibat dari

pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya pesantren

tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah

arus perubahan yang deras, hal itulah pihak luar justru melihat keunikannya

sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak

modernisasi, sebagaimana dahulu, lembaga ini sudah berperan dalam menentang

kolonialisme, walaupun dengan cara uzlah (menghindar dan menutup diri)

(Dawam, 1985). Dari sekian banyak pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia,

Page 6: Pembaharuan Pesantren

terutama di Jawa Timur dan Madura, di Minangkabau disebut surau, di Aceh

rangkang meunasah dan di Pasundan disebut pondok sebagian besar memang

hamya mengajarkan agama. Jika langgar dan masjid merupakan tempat anak-anak

muda belajar rukun iman dan rukun Islam, maka pesantren adalah tempat belajar

para santrinya secara lebih mendalam dan lebih lanjut ilmu agama Islam yang

diajarkan secara sistematis, langsung dari dalam bahasa Arab serta berdasarkan

pembacaan kitab-kitab klasik karangan ulama-ulama besar untuk mencetak

sumber daya manusia yang berilmu dan berimtaq.. Mereka yang berhasil dalam

belajarnya, memang kemudian diharapkan menjadi kiai, ulama, muballigh atau

setidak-tidaknya sebagai guru agama. Deskripsi ini mempertegas bahwa sumber

daya manusia yang lahir dari pesantren mempunyai fungsi tertentu dalam proses

perkembangan masyarakat, setidak-tidaknya dalam proses sosialisasi anggota-

anggota masyarakat Indonesia “zaman dulu” atau masyarakat pedesaan yang

terbelakang, terpencil atau masyarakat di sekeliling pesantren dimana lembaga itu

berada serta lingkungan masyarakat yang jauh dari lokasi pesantren tetapi

mempunyai komunitas dan berada di bawah pengaruh pesantren besar. Dengan

kata lain, apa yang diajarkan di pesantren walaupun belum berkembang menjadi

ilmu yang lebih mapan, namun mampu menghasilkan para alumninya

memberikan dasar pada hidup berkebudayaan serta peradaban. Mereka yang

berada di lingkungan pesantren memang mempelajari agama, namun dalam

paham keagamaan itu mereka secara sadar mengetahui adanya pengertian “ilmu”,

sesuatu yang merupakan pangkal tolak dari penguasaan manusia pada alam fisik

dan lingkungan sosialnya. Masyarakat Indonesia yang pada umumnya beragama

Islam, lebih-lebih di daerah pedesaan jelas membutuhkan kepemimpinan

rohaniah. Pesantren sebagai pusat kegiatan spirituil, mampu memenuhi kebutuhan

ini. Kepemimpinan rohaniah dibutuhkan dalam masyarakat untuk menjaga

keharmonisan yang selalu didambakan di lingkungan itu. Kegiatan-kegiatan

keagamaan seperti shalat berjamaah di masjid, slametan atau syukuran,

melakukan upacara doa, sesorah atau kuliyah agama yang berisikan nasehat-

nasehat, berpuasa dan tarawih beramai-ramai pada bulan Ramadhan dan

kemudian berpesta Hari Raya Idul Fitri, menabuh bedug atau kenthongan di

masjid, upacara perkawinan dan seterusnya, adalah hal-hal yang mengisi dan

memberi makna hidup dalam masyarakat desa yang sering kali masih amat

pastoral. Mereka membutuhkan kepemimpinan yang dapat dipatuhi, tempat

Page 7: Pembaharuan Pesantren

meminta nasehat dan pertimbangan, meminta keputusan mengenai masalah yang

mereka perselisihkan dan wahana melempar tanya serta melimpahkan hormat.

Pesantren yang merupakan pusat pendidikan, sumber kepemimpinan informil dan

juga ruang bagi kegiatan masyarakatnya, sudah pasti mengandung berbagai

kemungkinan untuk menjalankan peranannya yang lebih luas. Gambaran tentang

kiai memang seringkali diasosiasikan sebagai tokoh yang kolot, fanatik, sulit

diajak berdialog dan juga mungkin puritan, suatu gambaran yang sebenarnya

bersifat a-priori, dan prasangka. Candraan seperti itu sebenarnya mengandung

aspek pribadi dan bukan aspek kelompok sosial, karena setiap kiai memiliki sikap

dan kepribadian yang tak sama.

Tuntutan abad pengetahuan dan teknologi modern dewasa ini pesantren

dituntut untuk mampu melahirkan sebagian alumninya menjadi ulama intelek

yang tidak hanya pandai dan paham tentang ilmu agama, melainkan pandai pula

dalam bidang ilmu pengetahuan umum lainnya, sehingga ke-ulama-annya

berimbang. Tidak hanya pandai mengaji dan berdakwah melainkan mampu diajak

diskusi di forum ilmiah di tengah-tengah para ilmuwan maupun cerdik pandai

lainnya sehingga predikat ke-ulama-annya mampu memberikan sumbangan

pemikiran dalam problem solving masalah masalah sosial yang timbul dalam

masyarakat modern sekarang ini. Bahkan lebih jauh lagi pesantren sekarang ini

dituntut untuk mampu melahirkan alumninya memiliki keterampilan di berbagai

bidang disiplin ilmu di samping ilmu keagamaanya, yang sudah tentu sangat

dibutuhkan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat yaitu

terwujudnya suatu masyarakat yang bertaqwa dan beriman serta memiliki tungkat

kesejahteraan yang cukup baik.

Page 8: Pembaharuan Pesantren

BAB II

PEMBAHARUAN PESANTREN

MENYONGSONG KEBUTUHAN ZAMAN

A. Pembaharuan Dalam Sistim Management Pengelolaan

Menurut Prof. DR. Sayid Agil Siroj, MA, terdapat beberapa hal yang selalu

ada dan sangat sulit diatasi dan dihadapi oleh Pesantren dalam melakukan

pengembangannya, salah satunya adalah manajemen kelembagaan. Manajemen

merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih

terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara sederhana dan tradisional.

Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya

ditangani oleh kiainya, apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang

masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian

(data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.

Dalam hal ini, pesantren perlu menata ulang dan terus berusaha berbenah diri..

Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan

dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak

pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih

bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini,

pesantren perlu menata ulang dan terus berusaha berbenah diri.

Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat

Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam.

Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya.

Padahal zaman sudah menuntut mereka agar mereka bisa akrab dengan komputer

dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.

Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana

budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap

mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di

tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi dan terus berupaya

menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.

Page 9: Pembaharuan Pesantren

Manajemen pendidikan pesantren tidak lagi bisa dianggap sebagai

“manajemen sosial” yang bebas dari keharusan pencapaian target dan

dikendalikan oleh subyek yang berwawasan “sempit”, misalnya dengan

pendekatan kekeluargaan seperti yang penulis jumpai di sebagian pesantren di

Indonesia Sesuatu yang dapat dikembangkan mengenai peran madrasah, pesantren

bahkan sekolah Islam sekalipun, adalah pada peran strategisnya dalam mengelola

pola manajemen strategik yang dapat menghasilkan rumusan (formulasi) dan

pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran-sasaran

perusahaan dalam hal ini disebut dengan Madrasah, Pesantren dan Sekolah Islam

(Agus Maulana, 1997: 20). Sesuatu yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan

pendidikan Islam ( pesantren, madrasah dan sekolah Islam) adalah pola

manajemen srategik keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan

(formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai

sasaran sasaran perusahaan dalam hal ini disebut madrasah (Agus Maulana, 1997:

20) Dalam konteks pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah Islam, apabila

penerapan “manajemen instruksional” dirumuskan dalam pola-pola praktis yang

kaku oleh pemegang kebijakan, akan mengakumulasikan kerawanan masalah.

Seperti proses pembelajaran yang kurang memadai, pengembangan sumber daya

manusia (SDM) yang tidak profesional dan lain sebagainya. Membiarkan pola

seperti ini berkembang (tanpa ada solusi alternatif menuju perkembangan

pesantren, madrasah dan sekolah Islam ke depan) pada saatnya akan mengancam

eksistensi pesantren, madrasah dan sekolah Islam itu sendiri. Yang terpenting dari

semua ini dalam melaksanakan pengelolaan manajemen madrasah terutama pada

perannya yang seluruh potensi yang dimiliki stakeholder dan kemudian secara

bersama menyusun program dan rencana pengembangan pesantren, madrasah dan

sekolah Islam secara bertahap serta meneguhkan kembali komitmen stakeholder

kepada pentingnya pendidikan Islam (madrasah) dalam rangka mempersiapkan

subyek didik yang cerdas, bermoral dan memiliki ketrampilan, sehingga dapat

memberikan kontribusi pemikiran perkembangan zaman. Sekilas apabila

diperhatikan, era globalisasi yang dijumpai masyarakat ternyata lebih memperkuat

perhatian orang terhadap pesantren. Di antara penyebabnya adalah dimungkinkan

karena adanya semangat untuk mencari pendidikan alternatif . Era global seakan

mengharuskan seseorang atau bahkan kepada komunitas masyarakat secara luas

untuk mencari , menggali dan mengembangkan pendidikan alternatif tersebut dan

Page 10: Pembaharuan Pesantren

sekaligus untuk memperbesar peluang keunggulan terutama yang terkait dengan

peran pesantren ,madrasah dan sekolah Islam yang ada di Indonesia ini.

B. Pembaharauan Sistem Pendidikan Yang Ada

Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren 'dipaksa'

memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan

sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin

ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian

ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put

pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat

Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan

pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu

pendidikannya. Tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang

memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif. Selain

itu, produk pesantren juga dikonstruksi untuk memiliki kemampuan yag tinggi

dalam merespons tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu,

dalam ranah nasional maupun internasional. Dengan demikian, ada tiga hal yang

bisa dilakukan oleh pesantren untuk mewujudkan visi transformasi sosial tersebut:

Pertama, tamaddun, yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola

secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan

dan semuanya ditangani oleh sang kiai. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah

diri. Kedua, tsaqâfah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat

Islam, agar kreatif dan produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran

Islam. Salah satu contoh keberhasilan adalah pesantren Sidogiri di Pasuruan.

Mereka masih setia memakai sarung, mencium tangan kiai, dan tradisi lainnya.

Namun, mereka sudah memanfaatkan komputer, memiliki badan usaha sendiri

yang sukses, aset yang besar dan kiainya tidak ikut campur tangan. Ketiga,

hadhârah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat

diwamai oleh jiwa dan tradisi Islam. Kita bisa menjumpai kata-kata dalam bahasa

Indonesia banyak yang mengadopsi ribuan kata dari bahasa Arab seperti adil,

musyawarah, hal ihwal, dewan, rahmat, dan lezat. Di sini, pesantren diharapkan

mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam

Page 11: Pembaharuan Pesantren

ditengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya

menyeragamkan budaya melalui produk-produk sains dan teknologi.

Pada tahun 1934, KH. Wahid Hasyim atas restu ayahnya, Hadratus Syekh

Hasyim Asy’ari, mendirikan madrasah Nidhomiyah di mana pengajaran

pengetahuan umum mencapai 70 persen dari keseluruhan kurikulum yang

diajarkan (Dhafier, 1994). Ini merupakan salah satu respons pesantren dalam

mensiasati tuntutan zaman yang tujuannya bukan mengurangi keunikan pesantren

itu sendiri, melainkan justru melengkapi dan memperluas cakupan keilmuannya.

Dalam konteks inilah pesantren di samping mempertahankan kurikulum yang

berbasis agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh dan

berkait erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat. Perlu ditegaskan di

sini bahwa  modifikasi dan improvisasi yang dilakukan pesantren  semestinya

hanya terbatas pada aspek teknis operasional-nya, bukan substansi pendidikan

pesantren itu sendiri. Karena, apabila improvisasi itu menyangkut substansi

pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya akan

tercerabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral yang menjadi citra

utama pendidikan pesantren. Teknis operasional yang dimaksud bisa berwujud

perencanaan pendidikan yang rasional, pembenahan kurikulum pesantren dalam

pola yang mudah dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam

pendidikan. Dengan pola perencanaan yang matang, terstruktur sembari

mempetimbangkan skala prioritas dan pembentukan kurikulum yang efektif dan

efisien dapat dipastikan pesantren mampu terus menancapkan pengaruhnya di

tengah-tengah masyarakat yang belakangan tampak mulai apatis, untuk tidak

mengatakan alergi dengan sistem pendidikan pesantren.

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial

keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena

pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus

dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan

perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung

maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren. Secara

khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30

Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1)  Pendidikan keagamaan

diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk

agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2)  Pendidikan keagamaan

Page 12: Pembaharuan Pesantren

berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang

memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli

ilmu agama. (3)  Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur

pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4)  Pendidikan keagamaan

berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

1. Penambahan Pendidkan Formal Melalui Paket A, B dan C

Bila melihat klasifikasi Zamahsyari Dlofir, Pesantren dibagi kedalam

beberapa tipe, yang kesemuannya bisa dijadikan alternative penambahan program

dan pengembangan Pesantren, kecuali tipe “A”, karena tipe “A” merupakan tipe

Pesantren Salafiyah sebagaimana yang ada sekarang ini yang belum mendapatkan

perubahan. Klasifikasi menurut beliau adalah sebagai berikut;

“Type A – (pesantren) Is that which retains the most traditional

characteristicswhere the students (santri) stay in boarding house (pondok) around

the kiyai’shouse; there is no set curriculum and thus the kiyai holds full authority

over theteaching-learning process including the type and depth of the offered

subjectmatter. The method of teaching is typically “traditional”, relying on the

(individualised instruction) and the bandongan (collective learning) methods.

Ineither one, the santri sits around the kiayi who reads, translates and explains

hislessons, which are repeated or followed by his students. The lessons only of

religious subjects and Arabic language, usually taken from or using

classicalreligious texts.

Type B – (pesantren) includes those which, besides offering the

traditionalinstructions in classical texts with sorongan and bandongan, have

madrasah (modern religious school) where both religious and secular subjects

are taught. The madrasah hasa curriulum of its own or adoptsthe curriculum set

by theMinistry of Religious Affairs.

Type C – (pesantren) is a pesantren which, along with providing

religiouseducation of a type B model with both traditional instruction

(sorogan,bandongan and madrasah system), has also an ordinary public

schooladministered by the Ministry of Education and Culture such as a

Primary(SD)and Secondary (SLTP and SLTA). Thus, a type-C pesantren is a type-

B pluspublic school.

Type –D (pesantren) is that which provides only boarding

accommodation tostudents. These students go to either madrasah or public

Page 13: Pembaharuan Pesantren

schools somewhereoutside this boarding complex. No formal instruction is given

in this type of pesantren. The function of kiayi is only as a counselor and spiritul

guide to create a religious atmosphere at the complex”9.

Dalam rangka mengembangkan pesantren, para Kiyai atau pengelola

Pesantren bisa mengembangkannya melalui model-model diatas dengan secara

bertahap. Bisa dari tipe A ke tipe B atau ke tipe C dan atau ke tipe D. Namun

tentu perubahan ini disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat

sekitar. Dengan demikian, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi

tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya.

Yaitu dengan cara mempertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab

kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan

mengimbanginya dengan pengajian tambahan, serta dengan cara lain yang bisa

dilakukan adalah dengan cara penambahan program paket A, B dan C. Program

ini diadakan agar para santri bisa mendapatkan Ijazah formal shingga mereka

tatkala keluar dari pesantren bisa melanjutkan belajar di lembaga formal yang

lebih tinggi. Jika hal ini bisa dilakukan maka Pesantren bisa memunculkan para

Ustadz, Ulama dan Fuqoha yang mumpuni.

2. Pengembangan Keterampilan Komputer dan Akses Pengetahuan

Melalui Internet

Peningkatan penguasaan teknologi komputer dan akses serta networking

merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan

teknologi komputer dan akses serta networking dunia pesantren masih terlihat

lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan

kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat

dengan jelas. Apalagi sekarang ini perkembangan Teknologi dan Informasi

mengalami kemajuan yang sangat pesat dan semaking dekatnya era globalisasi,

dimana jarak tidak merupakan hambatan, komunikasi bisa dilakukan kapan saja,

di mana saja, maka perlu suatu alat dan media yang dapat mendukung ke arah itu

yaitu pemanfaatan teknologi yang berbasis komputer dan peningkatan

pengetahuan dalam penguasaan akses dan networking (inertenet). Untuk

menjawab semua itu pesantren dituntut untuk mengembangkan kurikulumnya

dalam bidang keterampilan komputer dan penguasaan aksebilitas net working

yang dirasakan sangat perlu bagi pengembangan pesantren saat ini.

Page 14: Pembaharuan Pesantren

Penguasaan akan teknologi komputer dan aksebilitas networking (internet)

merupakan sarana bagi pesantren untuk dapat mengembangkan komunikasi

dengan dunia luar. Disamping itu juga merupakan salah satu sarana praktek untuk

memperkenalkan para santrinya dengan dunia teknologi maju dan sebagai media

untuk pengajaran, bukan hanya membuka wawasan regional tetapi juga go

international.

3. Pengembangan Life Skill Melalui Pendidikan Keterampilan

Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman

keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang

semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup

dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang

bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006). Pada saat Pesantren tidak hanya

berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam

perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana

pendidikan nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk

memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para

santrinya.

Pengembangan life skill melalui pendidikan keterampilan bisa

dimplementaskian melalui berbagai bidang disiplin ilmu diantaranya :

keterampilan di bidang pertanian, keterampilan di bidang perikanan dan

keterampilan di bidang peternakan. Pengembangan keahlian dan keterampilan

dibidang pertanian telah dilaksanakan oleh sebagian pesantren salah satunya

adalah Pesantren Al-ittifaq Ciwidey Kab. Bandung di bawah pengasuhan KH.

Fu’ad. Pesantren Al-ittifaq merupakan pesantren yang memberikan pengajaran

keagamaan dan pengetahuan umum dari kurikulum yang dilaksanakannya, di

samping itu pesantren Al-ittifaq juga mengembangkan kurikulum pendidikan

keterampilan di bidang pertanian, di mana para santrinya diajarkan tentang tata

cara pertanian mulai dari penaman, pengolahan, produksi sampai kepada

pemasaran.

Pada saat ini Pesantren Al-ittifaq telah melakukan kerjasama dengan

departemen pertanian, departemen koperasi dan UKM dan departemen

perindustrian dan perdagangan, juga dengan pihak swasta. Apalagi sekarang ini

banyak program pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat

Page 15: Pembaharuan Pesantren

pedesaan bekerjasama dengan pesantren melalui bidang pertanian, peternakan dan

perikanan salah satunya adalah program LM3.

BAB III

KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial

keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena

pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus

dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan

perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung

maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren

Pembaharuan dan pengembangan pesantren dalam menjawab tuntutan

perubahan jaman akan trelisasi apabila :

1. pengelolaannya tidak secara sederhana dan tradsional melainkan dengan pola

manajemen strategik yang dapat menghasilkan rumusan (formulasi) dan

pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran-sasaran

pesantren.

2. Sistem pendidikan yang dilaksanakan harus melakukan pembenahan internal

dan inovasi baru, di samping mempertahankan kurikulum yang berbasis

agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh dan berkait

erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat agar tetap mampu

meningkatkan mutu pendidikannya.

B. Penutup

Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam yaitu pesantren merupakan

khazanah yang perlu dilestarikan. Setiap pesantren mempunyai ciri khas dan

orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu

memberi pemahaman Islam secara kaffah. Dan hal ini juga harus didorong oleh

kemauan dari para pengelola pesantren itu sendiri untuk melakukan pembaharuan

Page 16: Pembaharuan Pesantren

pada aspek teknis operasional-nya, bukan pada substansi pendidikan pesantren itu

sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta. 1982.

Ismail, S.M (et al). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2002.

Lukens-Bull, Ronald A. Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era. Journal of Arabic and Islamic Studies. University of North Florida, Jacksonville.2004.

Rahardjo, Dawam M (Ed). Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Jakarta. 1985.

Suryo, Djoko Dr. Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam di Jawa. (diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000)

Thomas, Murray R. The Islamic Revival and Indonesian Education. Asian Survey, University of California Press.Vol. 28, No.9 (Sept. 1988).

Van Bruinessen, Martin. ‘Traditionalist’ and ‘Islamist’ pesantren in contemporary Indonesia. Paper presented at the ISIM workshop in ‘The Madrasah in Asia’, 23-24 Mei 2004.

Agus Maulana,MSM dalam Pearce Robinson,1997, Manajemen S trategik,Formulasi,Implementasi dan Pengenalian, Binarupa Aksara:Jakarta

Amin Haedari, dalam Jurnal Mihrab Vol. II, no 1 Juli 2007

Amin Haedari dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 1 Juli 2007 ,Mas’ud Abdurrahman; Dinamika Pesantren dan Madrasah;2002, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mastuhu, 1999, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam Ciputat : PT Logas Wacana Ilmu

Maksum,1999, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya , PT Logas Wacana Ilmu Mifathul Haq,2002,Bakti, No.130.Th XI

Page 17: Pembaharuan Pesantren

Azyumardi Azra dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 2 November 2007

Nurcholis Madjid, 1977, perjalanan; Jakarta:Paramadina.

Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004

Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi: menyingkap kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004.

Holger R. Stub, The Sosiology of Education, A Source Book, the Dorsey Press. London. 1975

J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.

Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafind Lukens-Bull,

Ronald A. Teaching Morality: Javanese Islamic Education in aGlobalizing Era. Journal of Arabic and Islamic Studies. University of North Florida, Jacksonville.2004.

Maclaine and Selby Smisth, Fundamental Issues in Australian Education, Ian Novak Publishing, Sydney, 1971

Nashir, H. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Pavalco. Ronald M. Sosiology of Education. Seccond Edition. F.E Peaccok Publisher INC. Ittasca Illions. Plorida State University.

Suryo, Djoko Dr. Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam di Jawa. (diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa,

Sarane Spence Boocock, Sosiology of Education, Seccond Edition, Houghton Miffin Company, New Jersy. 1980

Sarijo, M. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti, 1980Sternbrink. K.APesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES. 1986. Soeprapto, H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasinal (UU RI, No.2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya, (1994). Jakarta: Sinar Grafika.