dinamisasi pendidikan pesantren (studi pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/lp3mpb/jurnal/al...

29
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 91 DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran Modernisasi Pondok Pesantren KH. Abdurrahman Wahid) Rohani Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan KKG PAI Kabupaten Wonosobo, dan penulis buku-buku tentang pendidikan, ke-Islam-an dan ke-NU-an Abstrak Kemajuan dan dinamisasi Islam dapat dimulai dari pesantren yang memiliki kekuatan, kematangan dan watak progresif untuk selalu bergerak maju sekaligus selektif dalam mempertahankan nilai-nilai luhur moralitas di dalamnya. Kondisi tesebut merupakan bentuk dari sikap hati-hati kalangan pesantren dalam merespon perkembangan dan dinamika perubahan zaman. Pesantren sebagai subkultur dalam pandangan Gus Dur, berawal ketika Islam telah melembaga dalam institusi pendidikan yang dapat mengakulturasi budaya lokal dan kemudian melahirkan ekses budaya yang berorientasi pada transformasi kultural. Pesantren tidak hanya berkutat pada persoalan ajaran moral (morality volue’s), namun juga berkaitan dengan penjagaan keseimbangan transformasi sosial budaya kemasyarakatan. KH. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai tokoh multitalenta. Ia lihai berbicara tentang kebudayaan, politik, pendidikan bahkan “klenik.” Gagasan-gagasannya tentang pembaharuan pesantren telah menjadi daya dobrak tersendiri bagi peningkatan kualitas lembaga pendidikan asli nusantara ini ditengah dinamika perkembangan zaman dan arus globalisasi. Tantangan yang dihadapi pesantren tidak hanya datang dari internal umat Islam, akan tetapi yang terberat adalah menghadapi tantangan eksternal, berupa arus dunia yang semakin menglobal. Untuk menghadapi beberapa tantangan tersebut, pesantren harus melakukan pembenahan dan menjadi filter bagi arus negatif globalisasi dengan tetap berpegang teguh pada jati dirinya sebagai lembaga tafaqquh fi al-din. Pemikiran Gus Dur tentang dinamisasi (modernisasi) dan visinya bagi Pesantren adalah konsekuensi logis dari pendidikan yang ia terima, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Konstruksi gagasan Gus Dur berdasar pada pandangan dan visinya terhadap khasanah klasik (the legacy of the past) pendidikan pesantren yang diramu dengan metodologi dan ilmu-ilmu modern. Kata kunci: Modernisasi, Pendidikan Pesantren, Abdurrahman Wahid A. Pendahuluan Pendidikan Islam dewasa ini oleh beberapa kalangan dinilai masih berada dalam posisi problematik antara “determinisme historis” dan “realisme praktis”, yakni ketidakmampuannya keluar dari idealisasi kejayaan masa keemasan Islam dan keharusan menerima tuntutan-tuntutan modernisme yang berasal dari peradaban Barat. 42 Karenanya untuk menuju citra ideal pendidikan Islam sebagai sebuah proses transformasi sosial masyarakat haruslah dimulai dengan melakukan re-definisi dan re-konstruksi gagasan, tehnik belajar mengajar, tujuan serta kurikulum pendidikan Islam di semua tingkatan. 43 42 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, cet. I, (Yogyakarta, LKiS, 2008), hal. 3-5. 43 Abdul Munir Mulkhan SU, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hal.49.

Upload: nguyendiep

Post on 03-Apr-2018

247 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 91

DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN

(Studi Pemikiran Modernisasi Pondok Pesantren KH.

Abdurrahman Wahid)

Rohani

Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan KKG PAI Kabupaten Wonosobo,

dan penulis buku-buku tentang pendidikan, ke-Islam-an dan ke-NU-an

Abstrak

Kemajuan dan dinamisasi Islam dapat dimulai dari pesantren yang memiliki

kekuatan, kematangan dan watak progresif untuk selalu bergerak maju sekaligus

selektif dalam mempertahankan nilai-nilai luhur moralitas di dalamnya. Kondisi

tesebut merupakan bentuk dari sikap hati-hati kalangan pesantren dalam merespon

perkembangan dan dinamika perubahan zaman. Pesantren sebagai subkultur dalam

pandangan Gus Dur, berawal ketika Islam telah melembaga dalam institusi

pendidikan yang dapat mengakulturasi budaya lokal dan kemudian melahirkan ekses

budaya yang berorientasi pada transformasi kultural. Pesantren tidak hanya berkutat

pada persoalan ajaran moral (morality volue’s), namun juga berkaitan dengan

penjagaan keseimbangan transformasi sosial budaya kemasyarakatan.

KH. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai tokoh multitalenta. Ia lihai berbicara

tentang kebudayaan, politik, pendidikan bahkan “klenik.” Gagasan-gagasannya

tentang pembaharuan pesantren telah menjadi daya dobrak tersendiri bagi

peningkatan kualitas lembaga pendidikan asli nusantara ini ditengah dinamika

perkembangan zaman dan arus globalisasi. Tantangan yang dihadapi pesantren tidak

hanya datang dari internal umat Islam, akan tetapi yang terberat adalah menghadapi

tantangan eksternal, berupa arus dunia yang semakin menglobal. Untuk menghadapi

beberapa tantangan tersebut, pesantren harus melakukan pembenahan dan menjadi

filter bagi arus negatif globalisasi dengan tetap berpegang teguh pada jati dirinya

sebagai lembaga tafaqquh fi al-din.

Pemikiran Gus Dur tentang dinamisasi (modernisasi) dan visinya bagi Pesantren

adalah konsekuensi logis dari pendidikan yang ia terima, yaitu pendidikan pesantren

dan pendidikan Barat. Konstruksi gagasan Gus Dur berdasar pada pandangan dan

visinya terhadap khasanah klasik (the legacy of the past) pendidikan pesantren yang

diramu dengan metodologi dan ilmu-ilmu modern.

Kata kunci: Modernisasi, Pendidikan Pesantren, Abdurrahman Wahid

A. Pendahuluan

Pendidikan Islam dewasa ini oleh beberapa kalangan dinilai masih berada dalam

posisi problematik antara “determinisme historis” dan “realisme praktis”, yakni

ketidakmampuannya keluar dari idealisasi kejayaan masa keemasan Islam dan keharusan

menerima tuntutan-tuntutan modernisme yang berasal dari peradaban Barat.42 Karenanya

untuk menuju citra ideal pendidikan Islam sebagai sebuah proses transformasi sosial

masyarakat haruslah dimulai dengan melakukan re-definisi dan re-konstruksi gagasan,

tehnik belajar mengajar, tujuan serta kurikulum pendidikan Islam di semua tingkatan.43

42 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, cet. I, (Yogyakarta, LKiS, 2008), hal. 3-5.

43 Abdul Munir Mulkhan SU, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, cet.

I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hal.49.

Page 2: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

92 | ISSN: 2356-2447-XIII

Dalam hal ini, pesantren memegang peranan penting untuk melakukan terobosan-

terobosan metodologi agar gambaran pilu mengenai ketertinggalan, kemunduran, dan

kondisi serba tidak jelas yang melekat segera terselesaikan dengan baik. Dengan

ungkapan lain, pesantren diharapkan dapat mencari solusi yang tepat, sistematis, dan

berjangkauan luas ke depan untuk mencapai “keseimbangan antara kecenderungan

normatif kaum muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat”.44 Beberapa

terobosan ini mendesak untuk segera dilakukan agar pendidikan Islam (Pesantren) dapat

berperan dalam proses dinamisasi dan transformasi masyarakat dengan tetap mendasarkan

pada aspek-aspek budaya setempat yang telah menjadi warisan dan tradisi pemikiran masa

lampau (turâtś qadîm) dan tidak serampangan menerapkan konsep-konsep budaya Barat.

Prasyarat demikian niscaya untuk dilakukan agar umat Islam tidak tercerabut dari akar

kesejarahannya atau tidak kehilangan konsep budaya masa lampaunya dan tetap memiliki

kearifan dalam melihat proses modernisasi pendidikan sebagai proses historis yang utuh,

bukan sepotong-sepotong.45 Dalam konteks ini, KH. Abdurrahman Wahid mengatakan

bahwa “masa depan bangsa ini terletak pada sektor pendidikan”.46 Artinya maju

mundurnya bangsa dan umat Islam Indonesia sangat bergantung pada kualitas pendidikan

yang dijalankan.

Sebagai seorang ulama’ dan cendekiawan, Gus Dur dikenal luas memiliki perhatian

dan kegelisahan yang mendalam perihal nasib pendidikan sebagai upaya pencerdasan

bangsa. Ia sangat berkomitmen untuk membina dan mendidik tenaga-tenaga muda yang

mumpuni, berpengalaman dan berkarakter.47 Perhatian Gus Dur terhadap pendidikan

dapat dilihat dari dobrakannya terhadap pola pikir di lingkungan Nahdlatul Ulama,

pesantren, kampus dan LSM. Demikian juga, pencerahan dan paparannya dalam berbagai

forum seminar maupun ceramah yang diselenggarakan di berbagai tempat dengan

beragam tema pembahasan. Untuk memajukan bangsa melalui jalur pendidikan, menurut

Gus Dur, harus dimulai dengan merubah sistem pendidikan formal yang selama ini

berjalan di Indonesia dengan pendidikan berbasis masyarakat (community-based

education). Perubahan orientasi ini dimungkinkan karena dalam penilaiannya pola

pendidikan formal yang selama ini berjalan kurang (untuk tidak mengatakan tidak)

memiliki etika dan memberikan penekanan pada aspek moralitas. Penilaian ini dapat

dibuktikan dengan maraknya kecurangan dan fenomena jual-beli ijazah di tengah-tengah

masyarakat.48 Menurut Gus Dur pola pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana yang

dilakukan oleh pesantren merupakan pola yang tepat, hanya saja ia menyayangkan sikap

pemerintah yang tidak memberikan perhatian khusus terhadap lulusan pesantren.

44 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, cet. I,

(Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. 11.

45 Abdurrahman Wahid, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser, cet. I,

(Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 45-46.

46 M. Badi’ Zamanil Masnur, dkk., Pendidikan Kritis Transformatif; Panduan Pendidikan dan

Kaderisasi, (Jakarta: PB PMII, 2001), hal. 35.

47 Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, cet. I,

(Yogyakarta: LKiS: 1998), hal. 52..

48 Catatan pribadi penulis dalam acara pengajian di Pesantren al-Fadhil, Solotiyang, Loano, Purworejo,

Sabtu, 26 Oktober 2008. Lihat pula, Abdurrahman Wahid, “Pendidikan Berbasis Masyarakat Harus Dihargai”,

Harian Kedaulatan Rakyat, (28 Oktober 2008).

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 3: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 93

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari uraian diatas, maka fokus penelitian ini diarahkan pada rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep dan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang dinamisasi

pendidikan Pesantren?

2. Bagaimana kontribusi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dalam rangka

pengembangan pondok pesantren di Indonesia?

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian

yang data-datanya diperoleh dari studi pustaka atau literatur terkait yang memerlukan

olahan filosofis dan teoritis, kemudian disimpulkan dan diangkat relevansi serta

kontekstualitasnya. Selain itu, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai intelectual

biography research yang menekankan pada sejarah pemikiran seseorang.49

Dalam meng-

olah data, Penulis menggunakan dua pendekatan, pendekatan historis dan hermeneutik.50

Pendekatan historis dimaksudkan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara

sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi dan mensintetis bukti-

bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.51

Adapun dalam pengumpulan data, penulis berupaya untuk mengamati, mempelajari,

dan menelaah buku-buku atau naskah yang disusun oleh Gus Dur.52

Data-data tersebut

kemudian penulis jadikan sebagai sumber data primer untuk menemukan hal-hal yang

relevan dengan problem penelitian. Sedangkan berbagai tulisan tentang Gus Dur,

pemikiran-pemikiran, dan perjuangannya dijadikan sebagai sumber data sekunder untuk

memahami Gus Dur dan pandangannya tentang pendidikan. Namun demikian, penulis

49 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 136. Penelitian ini dapat

pula digategorikan dalam penelitian model historis faktual (MHF), yaitu penelitian yang dilakukan untuk

meneliti substansi teks (berupa pemikiran maupun gagasan tokoh) sebagai karya filsafat atau memiliki muatan

kefilsafatan. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hal. 109-110.

50 Hermeneutika berasal dari kata hermeneuien yang berarti pembicaraan, penerjemahan dan interpretasi

atau penafsiran. Berasal dari akar kata hermes yang berarti dewa yang bertugas membawa pesan-pesan kepada manusia secara umum. E. Sumaryono, Hermeneutic Sebagai Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius:

1995), hal. 23-24. Dalam tradisi keilmuan Islam, pendekatan hermeneutik ini dapat disejajarkan dengan ta’wil,

bukan tafsir. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 215.

51 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 16.

52 Karya-karya Gus Dur tersebut yaitu: (a) Bunga Rampai Pesantren; (b) Muslim di Tengah Pergumulan; (c) Mengurai Hubungan Agama dan Negara; (d) Kiai Menggugat, Gus Dur Menjawab: Sebuah Pergumulan

Wacana dan Transformasi; (e) Tabayun Gus Dur Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural; (f)

Tuhan tidak Perlu Dibela; (g) Melawan Melalui Lelucon; (h) Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan; (i) Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi; (j) Misteri

Kata-Kata; (k) Kolom-Kolom Abdurrahman Wahid era Lengser; (l) Islam Tanpa Kekerasan; (m) Menggerakkan

Tradisi; (n) Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, (o) Prisma Pemikiran Gus Dur; (p) Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur, dan; (q) Sekedar Mendahului: Bunga Rampai Kata Pengantar. Dalam

studi pustaka ini, penulis tidak hanya menggunakan pustaka dalam arti umum, yaitu buku-buku teks/artikel”

saja, namun juga kepustakaan cyber atau kepustakaan global yang terdapat dalam internet untuk menemukan data-data yang belum ditemukan dalam buku-buku teks. Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian

Ilmu-Ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 90.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 4: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

94 | ISSN: 2356-2447-XIII

berusaha untuk merujuk pada data-data primer, hal ini penulis lakukan agar informasi

yang terkumpul lebih otentik dan untuk menghindari ”bias”.

D. Kerangka Teori

Sesuai permasalahan di atas, studi ini dilakukan berdasarkan asumsi teoritik bahwa

gairah intelektualisme kaum pesantren (baca: NU) mempunyai latar belakang yang cukup

panjang dan dipengaruhi banyak hal. Reformasi pendidikan Islam dilakukan kalangan

pesantren dengan mengadopsi sistem pendidikan sekuler, tanpa meninggalkan sistem

pesantren yang telah dikenal sebelumnya menunjukkan gejala sangat dinamis dan maju.

Menurut Qonita Alya, dinamis berarti penuh semangat dan tenaga sehingga cepat

bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan.53

Sedangkan Poerwadarminta

memberi arti dinamis sebagai sifat (tabiat) yang bertenaga dan berkekuatan (sehingga

selalu bergerak dan selalu sanggup menyesuaikan diri dengan keadaan).54

Pergerakan

yang kontinyu dan berkesinambungan selalu menimbulkan dinamika, yaitu tenaga atau

kekuatan yang menggerakkan dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap

keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan interdependensi berkesinambungan

dan terus-menerus yang bersifat dinamis. Dengan demikian, dinamisasi adalah upaya

untuk selalu bergerak dan menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan keadaan baru dan

merespon secara kreatif keadaan yang sulit.55

Dalam konteks ini, Greg Barton memaknai dinamisasi sebagai “energik dan totalitas

hidup; penuh semangat dan tenaga, sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri

dengan keadaan dan sebagainya.”56

Menurut Nur Khalik Ridwan, dinamisasi merupakan

pengembangan sebuah tradisi yang diorientasikan pada kebutuhan-kebutahan yang

dianggap jauh lebih baik dan sempurna, baik dari sisi pertimbangan ekonomi, politik, dan

agama.57

Dalam terminologi Gus Dur, dinamisasi merupakan “perubahan ke arah

penyempurnaan keadaan’ yang mencakup dua hal, yakni menggalakkan nilai-nilai positif

yang telah ada dibarengi dengan menambahkan nilai-nilai baru yang lebih sempurna.

Dinamisasi, pada asasnya mencakup dua proses yaitu penggalakan kembali nilai-nilai

hidup positif yang telah ada, disamping mencakup pada pergantian nilai-nilai lama itu

dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian nilai itu

dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini, bahwa pengertian modernisasi

sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi. … Sedangkan kata dinamisasi itu

sendiri, dalam penggunaannya di sini akan memiliki konotasi/mafhum “perubahan ke arah

penyempurnaan keadaan”, dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada

53 Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia, (Bandung: PT. Indah Jaya Adipratama, 2009), hal. 160.

54 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. VII, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hal. 251.

55 Meity Taqdir Qadratillah (Ketua Tim), Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional, 2008), hal. 355. 56 Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-Dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid”, dalam Greg

Fealy dan Greg Barton (Ed.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, cet. I,

(Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. 177. 57 Nur Kholik Ridwan, “Gus Dur Tentang Tradisi dan Modernitas”, bahan diskusi di Griya GUS

DURian, (Yogyakarta, 27 April 2012), hal. 3.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 5: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 95

sebagai dasar. Dikemukakan prinsip itu di sini, karena ada keyakinan, konsep-konsep

yang dirasa asing oleh pesantren, akan menghadapi hambatan luar biasa nantinya. Kita

percaya pendekatan untuk memperoleh penerimaan dari pesantren sendiri, dalam jangka

panjang akan memberikan hasil yang lebih baik dari pada konsep manapun juga.58

Dengan demikian, konsep dinamisasi yang ditekankan oleh Gus Dur merupakan

upaya dekonstruktif dengan memadukan pola modern dan tradisi lokal (local wisdom).

Dalam konteks pendidikan Islam, dinamisasi dilakukan sebagai usaha rekonstruktif atas

beberapa kelemahan sistem pendidikan Islam ( termasuk pesantren di dalamnya) yang

mengalami kegagapan dalam menghadapi modernisasi. Dinamisasi tersebut dilakukan

dengan cara membuka cakrawala berfikir yang lebih luas dan menghilangkan dikotomi

antara ilmu agama (al-‘ulûm al-dîniyah) vis a vis ilmu umum (al-‘ulûm al-‘aqliyah).

Pendidikan yang inklusif dan non dikotomik ditujukan untuk menggali dan

mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan

(taharûr, liberation) dan mengembangkan tradisi (turâtś) keilmuan profetik yang

mempunyai komitmen pada humanisasi, liberasi, dan transendensi.

E. Pembahasan

1. Rekam Jejak K.H. Abdurrahman Wahid

KH. Abdurrahman Wahid (w. 2009) terlahir dari pasangan KH. Wahid Hasyim (w.

1953) bin KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947) dan Ny. Salichah (w. 1994) binti KH. Bisyri

Sansuri (w. 1980). Dalam dirinya mengalir dua trah sekaligus, yakni aristokrat

(bangsawan Jawa) dan elit agama (Islam).59 Ia tumbuh dan bergerak dari pesantren

Tebuireng sebagai seorang pendidik, pemikir dan penulis handal. Ide-idenya tentang

pesantren, Kyai, serta peran Islam kemudian berkembang menjadi gagasan yang

melampaui batas-batas komunal ke arah demokrasi, hak-hak asasi, problem mayoritas-

minoritas, pentingnya pluralisme, pemerintahan sipil dan kedudukan serta peran agama

dalam kehidupan dunia.60 Dalam menggambarkan “jati dirinya”, Gus Dur menulis,

“Ia dilahirkan di lingkungan pondok pesantren. Juga dididik di pesantren selama bertahun-

tahun. Tidak hanya melalui sekolah atau madrasah, tetapi juga melalui pengajian puasa yang

berpindah-pindah. Tahun ini ikut pengajian puasa di pondok Sarang, mengaji kepada kyai

Zubair Umar, si ‘jago fiqih’. Tahun berikutnya mengaji puasa di pondok lain, dengan

spesialisasi Ihya Ulumuddin. Tahun lain lagi mengambil tafsir dari kyai lain lagi. Kemudian ia

58 Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, cet, II, (Jakarta: Leppenas: 1983), hal. 41-51.

59 Terdapat berbagai informasi mengenai mata rantai silsilah (geneologi) Gus Dur, antara lain

menyebutkan bahwa ia: i) keturunan Cina; ii) keturunan Sunan Giri; iii) keturunan Brawijaya VI, iv) keturunan Sunan Gunung Jati, dan; v) keturunan Nabi dari jalur Basyaiban. Perbedaan (kerancuan) ini disebabkan oleh

tidak ditemukannya data yang valid mengenai latar belakang ayah dari Kiai Asy’ari, (kakek Kiai Hasyim

Asy’ari: Kiai Abdul Wahid). Data yang ditemukan hanya menyebut bahwa Abdul Wahid adalah salah satu komandan pasukan dalam perang Diponegoro (1925-1930). Ia lari dari kejaran Belanda dan menyamar dengan

bergonta-ganti nama sehingga sulit terlacak asal-usul pastinya. Ishomudin Hadziq, KH Hasyim Asy’ari: Figur

Ulama dan Pejuang Sejati, (Jombang: Pustaka Warisan Islam, 1999), hal. 9.

60 Ignas Kleden, “Pluralisme dan Nasionalisme: Gus Dur dan Frans Seda”, Kolom Tempo, (11-17 Januari

2010). Abdullah Faishol, Gus Dur: Jejak Sang Humanis dan Humoris, (Surakarta: Aswaja Institute Surakarta –

AIS, 2010); Maia Rosyida, Gus Dur: Asyik Gitu Loh!, cet. I, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007).

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 6: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

96 | ISSN: 2356-2447-XIII

belajar di Timur Tengah, lebih enam tahun lamanya. Kembali digelutinya kitab-kitab lama

yang dahulu diperolehnya di pesantren. Di samping kitab-kitab baru tentunya.61

Kutipan tersebut menggambarkan jati diri Gus Dur sebagai “orang dalam” pesantren.

Artinya ia lahir, tumbuh dan berkembang dari komunitas pesantren yang plural dan

homogen. Tahun 1954-1957, Gus Dur dikirim ibunya untuk belajar di pesantren Krapyak,

asuhan Kyai Ali Ma’sum (w. 1989) yang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat

visioner dan egaliter. Di Yogyakarta selain mendalami agama dan belajar di SMEP

(Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Yogyakarta, ia telah terbiasa membaca buku-buku

berbahasa asing dan mulai berkenalan dengan pertunjukan wayang kulit yang menjadi

daya tarik sendiri baginya.

Tahun 1957, melanjutkan studinya di pesantren Tegalrejo Magelang yang diasuh

Kyai Chudlori Ichsan (w. 1977), seorang pemuka NU yang sangat disegani, humanis,

saleh, penuh kasih dan apresiatif terhadap kebudayaan lokal. Kyai Chudlori menanamkan

kekayaan batin yang mendalam pada diri Gus Dur sehingga ia mulai mengenal ritus dan

praktik mistik dalam tradisi Islam Jawa, melakukan ziârah qubûr, żikir, mujâhadah, dan

membaca hizib untuk meneguhkan kekuatan diri dalam menghadapi masalah-masalah

sosial.62 Praktik-praktik ini membentuk keunikan tersendiri baginya dalam bentuk

pertautan antara kesadaran intelegensia dengan kedalaman spiritual dan perkawinan

(sinkretisme) antara Islam dengan tradisi lokal (local knowledge) budaya Jawa yang luhur.

Pada tahun 1958-1964, Gus Dur diminta oleh KH. Abdul Fatah Hasyim (w. 1977)

untuk mengajar tata bahasa Arab (qawâid al-lughah al-‘arâbiyah) dan bahasa Inggris di

Madrasah Mu’allimat Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang,63 sekaligus ia juga

diserahi tugas sebagai sekretaris pesantren untuk mengelola managemen dan melakukan

diplomasi dengan pihak luar pesantren. Di sela-sela kesibukan mengajar dan mengurus

managemen pesantren, sebagian waktunya ia pergunakan untuk membaca buku-buku

asing dan memperdalam berbagai macam kitab kepada KH. Abdul Fatah Hasyim, KH.

Masduqi dan KH. Bisyri Syansuri.

Dan selama masa studinya di Kairo, Baghdad dan beberapa universitas negara Eropa,

ketertarikan Gus Dur pada Islam fundamental semakin menipis, ia justeru semakin

mendalami pemikiran-pemikiran sosial-liberal yang bertitik tolak pada dimensi

humanisme dan pembebasan. Sepulang dari studinya di Timur Tengah dan Barat, pada

tahun 1971, Gus Dur merasa prihatin dengan kondisi dan perkembangan pesantren yang

saat itu sedang mengalami berbagai krisis. Jiwa humanis dan liberalnya merasa terpanggil

untuk membantu dan melakukan perubahan di pesantren. Ia bercerita;

Sepulang dari Timur tengah, di Cairo dan Baghdad, Ia berusaha memperoleh jatah program

doktor di Canada atau Amerika Serikat. Seperti kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu

berangkat. Namun, semua rencana itu buyar begitu melihat keadaan pondok pesantren di awal

61 Abdurrahman Wahid, “Perjuangan”, Warta NU, No. 3/Tahun IV, Mei 1988, Ramadhan 1408 H. hal, 1.

Dikutip dalam Ahmad Baso, “Gus Dur dan Dasar-Dasar Manhaji Pesantren Studies”, sumber internet:

[email protected], Tuesday, 9 November 2010 10:40:18.

62 Al-Zastrouw Ng, Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan?: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus

Dur, cet. I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 15.

63 Gus Dur mulai mengajar dalam usia 18 tahun. Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi

Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, cet. I, (Yogyakarta: LKiS: 1998), hal. 162.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 7: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 97

tahun-tahun tujuhpuluhan. Mengapa? Karena ia melihat ada krisis di pondok pesantren. Ada

krisis identitas.

Pesantren mulai mementingkan ijazah tertulis, melalui ujian sekolah formal. Asal lulus, sudah

cukup. Penguasaan ilmu-ilmu agama menjadi perhatian kedua, yang terpenting lulus ujian

tertulis. Ijazah lisan dari kyai, berisi perkenan untuk membaca dan mengatakan kitab,

digantikan oleh ijazah negara yang tidak menjamin kemampuan pemiliknya untuk

mengajarkan kitab agama sekecil apapun. Krisis sistem pendidikan. Juga ada krisis lain. Krisis

pada basis ekonomi pesantren di desa-desa. Hilangnya para orang kaya muslim. Semakin

menurunnya tingkat hidup di pedesaan. Pendukung pesantren semakin menipis kemampauan

keuangannya. Dukungan mereka dengan sendirinya akan lebih dititikberatkan pada dukungan

moral, karena tidak mampu menyediakan dukungan keuangan seperti dahulu.

Belum lagi krisis budaya, karena derasnya arus budaya asing masuk ke pesantren, sebagai

limbah dari banjir di luar pesantren. Tambah pula krisis politik. Karena cukup banyak

pesantren yang ingin tetap dekat dengan pemerintah, cukup juga jumlah pesantren yang lalu

masuk Golkar. Terjadi kemelut hubungan antara mereka yang di Golkar, dan pesantren yang

mendukung PPP. Keutuhan pesantren lalu terancam. Menghadapi rangkaian krisis pesantren,

ia membulatkan tekad untuk memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi pesantren.64

Kutipan di atas menggambarkan kegelisahan Gus Dur yang sebenarnya masih

tertarik untuk melanjutkan studi, namun niatan itu harus ditepiskannya saat ia melihat

adanya krisis pendidikan, identitas dan budaya yang telah menjalar di berbagai pondok

pesantren dan membutuhkan penanganan secepatnya. Kenyataan ini menjadikannya

bertekat untuk melakukan “pembaharuan dari dalam” agar jati diri pesantren tidak terkikis

di tengah arus globalisasi dan modernitas.

Gus Dur kemudian mulai melakukan kunjungan ke berbagai pesantren di Jawa

Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan dengan tertib dan rajin. Kunjungan-kunjungan ini

dimaksudkan guna mengetahui problem nyata yang dihadapi oleh pesantren. Saat itu, ia

mendapati pesantren sedang menghadapi berbagai tekanan dan serangan dari luar terkait

dengan sistem nilai tradisionalnya. Beberapa pesantren tanpa dibarengi pemikiran

mendalam, telah merubah kurikulumnya dengan kurikulum negeri yang semata-mata

dilakukan hanya untuk mendapatkan kucuran dana dan ijazah formal dari pemerintah.

Sebenarnya Gus Dur tidak berkeberatan dengan perubahan ini, hanya saja menurutnya,

untuk dapat menjaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya, pesantren harus tetap

menjalankan fungsi dan tugas pokoknya sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn.65

Di luar itu, Ia masih mendapati kenyataan banyaknya kemiskinan yang tersebar di

lingkungan pesantren. Karena keprihatinan ini, Gus Dur semakin konsentrasi pada

bagaimana membina dan memberdayakan masyarakat melalui pesantren. Keputusan ini

didorong pula dengan seruan Menteri Agama, Mukti Ali (w. 2004), agar melakukan

peremajaan sistem nilai pesantren dan menjadikannya sebagai agen perubahan (agent of

change) untuk pengembangan dan transformasi masyarakat Indonesia.

64 Abdurrahman Wahid, “Perjuangan”, dalam Warta NU, (No. 3/Tahun IV, Mei 1988), hal. 2.

65 Laporan Tim Kompas, “Pesantren: Dari Pendidikan Hingga Politik”, 14 Oktober 1996, hal. 20; Lihat

pula, Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal.

169-178.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 8: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

98 | ISSN: 2356-2447-XIII

2. Pemikiran Modernisasi Pondok Pesantren KH. Abdurrahman Wahid

Pesantren sebagai lembaga pendidikan asli nusantara (indegeneus), terbukti

keberadaannya telah mampu melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural di

tengah-tengah masyarakat.66 Pesantren telah mampu berada di garda depan dalam

melakukan perubahan sosial dalam rangka memajukan tatanan masyarakat sekitar. Dalam

hal ini, menjadi tugas pesantren untuk melakukan pencerahan masyarakat lewat

serangkaian pendidikan, dari metodologi, kurikulum sampai kebebasan memberikan kritik

dan pendapat. Pendobrakan kultur pesantren niscaya dilakukan untuk merangkum

berbagai ekspresi dan kebebasan berpendapat, terutama ketika berhadapan dengan

pemikiran-pemikiran baru. Hal ini dilakukan mengingat keberadaan pesantren memiliki

pengaruh dan nilai penting dalam mendidik dan mencerdaskan rakyat.

Figur Kyai di dalamnya telah menjadi seorang panutan dan tumpuan harapan

masyarakat sekitarnya. Secara akademis, Kyai selalu dapat menjawab persoalan yang

dikemukakan santri dan umatnya berdasar pegangan kitab kuning dan tidak jarang disertai

dengan humornya.67 Hampir semua karya-karya Gus Dur dapat dikatakan sebagai sebuah

karya yang transformatif. Sebab karya-karyanya telah mendorong perubahan dan

pergulatan yang dinamis, tidak kaku, dan inspiratif. Bahkan, ia mampu meletakkan Islam

dalam bingkai universal-humanis, yang mampu berdialog dan beradaptasi dengan realitas

sosial sesuai dengan perputaran dan dinamika zaman yang melingkupinya.

Dinamika pesantren memiliki identitas sendiri, yang dalam istilah Gus Dur disebut

sebagai subkultur yang mendasarkan pada unsur pokoknya, yakni pola kepemimpinan,

literatur kitab kuning yang dipelihara berabad-abad dan sistem nilai di dalamnya.68

Demikian juga semua mata pelajaran yang dipelajari di pesantren bersifat aplikatif

(diamalkan sehari-hari). Keberhasilan pendidikan pesantren dalam melahirkan para

pemimpin dan ulama yang berkualitas tinggi disebabkan karena sistem pendidikan yang

dikembangkan di dalamnya merupakan bimbingan pribadi yang menerapkan penguasaan

kualitatif, bukan kuantitatif an sich. Zamakhsyari Dhofier (l. 1941) mengatakan,

Tujuan pendidikan (pesantren) tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid

dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan

mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan

sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid diajar

mengenai etika agama di atas etika-etika yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukan

66 Secara historis, pesantren dinilai tidak hanya mengemban misi dan mengandung nuasa keislaman, tetapi

juga menjaga keaslian (indegeneus) Indonesia karena lembaga sejenis pesantren telah berdiri sejak masa Hindu-

Budha, sedangkan pesantren tinggal meneruskan dan mengislamkan saja. Nurcholis Madjid, “Merumuskan

Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren”, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hal. 3. Banyak ahli sejarah mengatakan bahwa pesantren pada

dasarnya adalah lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia pada masa Hindu-Budha yang bernama

“mandala”. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., hal. 41.

67 Humor merupakan ekspresi seorang kyai untuk ‘menghibur diri’ dari berbagai problem yang

dihadapinya. Selain itu, humor merupakan produk dari orang yang berakal dan menginspirasi orang untuk

tafakkur dan produktif. Salah satu wujud ekspresi selera humor yang hilang, kini menjelma dalam bom dan

kekerasan lainnya. Abdurrahman Wahid, “Pengantar”, dalam Mas Zaenal Muhyadin, Hoki: Humor Kyai Bareng

Kang Maman, cet. I, (Bandung: Nuansa, 2007), hal. 21 – 22.

68 Abdurahman Wahid, Bunga Rampai., hal. 9-25.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 9: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 99

untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi

menanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan

pengabdian kepada Tuhan.69

Keunikan sistem pendidikan pesantren yang berbasis pada kearifan budaya

masyarakat menjadikan pesantren tetap mampu survive di tengah-tengah sistem

pendidikan modern. Dalam konteks community based education, pesantren merupakan

model archaic dari sistem pendidikan tradisional yang dikelola oleh masyarakat secara

otonom. Kondisi ini telah menarik perhatian berbagai kalangan untuk melakukan kajian

mendalam terhadap sistem pendidikan pesantren.70 Bahkan, beberapa praktisi pendidikan

di Indonesia menyintensakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan

modern untuk menghadirkan wacana pendidikan alternatif. Hal itu dilakukan, karena

mereka memandang adanya beberapa kelebihan-kelebihan pesantren dibanding dengan

sistem pendidikan modern. Pertama, sistem pengasramaan (pemondokan) yang

memungkinkan Kyai (pendidik) melakukan tuntunan dan pengawasan kepada santri

secara langsung; kedua, hubungan personal (keakraban) yang terbangun antara santri dan

Kyai memungkinkan proses pendidikan yang kondusif bagi pemerolehan pendidikan;

ketiga, kemampuan pesantren mencetak lulusan yang mandiri, keempat, kesederhanaan

pola hidup di pesantren, dan; kelima, biaya pendidikan yang murah dan terjangkau.71

Selain itu, pesantren telah berhasil mengembangkan tradisi baru dengan tidak tercerabut

dari akar-akar kesejarahannya di masa lampau.72

Proses modernisasi pendidikan menuntut pesantren untuk bersedia melakukan

dinamisasi dan menerima perubahan dan perkembangan dengan tetap mempertahankan

sistem nilai-nilai luhur dan moralitas di dalamnya. Paham ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah

yang menjadi pegangan pesantren, keteladanan (modeling), kelenturan atau kekenyalan

budaya (cultural resistance) dan budaya keilmuan yang tinggi harus tetap dipertahankan.73

Menurut Gus Dur, pesantren sudah tidak saatnya lagi hanya mempertahankan kajian rutin

atas kitab kuning, namun harus mampu menggunakannya sebagai sumber inspiratif untuk

modernisasi, transformasi dan menjadikannya sebagai pangkalan untuk mendirikan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Pengembangan Swadaya

Masyarakat (LPSM). Hal ini dilakukan untuk mewujudkan integrasi organik antara nilai-

nilai lama dan visi budaya yang baru dengan mengedepankan rasionalitas untuk

69 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., hal. 45.

70 Abdurrahman Mas’ud, “Dunia Pesantren Merespon Globalisasi”, Kata Pengantar dalam Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika,cet. I, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hal. v.

71 Mahmud Arif, Pendidikan., hal. 168. Zamakhsyari Dhofier mengatakan banyak pengamat pendidikan

memberikan kritikan terhadap pesantren yang lebih menekankan pembangunan moral dan akhlak peserta didik

dengan melupakan aspek pencerdasan, sementara sekolah-sekolah modern menekankan pada pengembangan intelektual dengan mengabaikan pembinaan moral. Zamakhsyari Dhofier, “Pendidikan dan Sistem Politik:

Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional”, Jurnal Manarul Qur’an, (Edisi, No. II Desember 2002),

hal. 8; Abdurrahman Wahid, “Sumbangan Visi Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional”, dalam Sindhunata (Ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, cet. I,

(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 225.

72 Abdurrahman Wahid, “Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara”, dalam Komaruddin Hidayat dan

Ahmad Gaus AF (Ed.), Passing Over., hal. 163.

73 Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam Ismail SM, dkk (Ed.)¸ Dinamika

Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 26-33.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 10: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

100 | ISSN: 2356-2447-XIII

memunculkan kreativitas dari tradisi.74 Keberadaan LSM atau LPSM yang berangkat dari

pesantren akan bermuara pada terwujudnya pemberdayaan masyarakat yang berlandaskan

pada nilai-nilai religius yang humanis.

Melalui pola yang dijalankan demikian, pesantren dapat melakukan dinamisasi, yaitu

menggalakkan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada dan pergantian nilai-nilai

lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna.75 Dengan demikian,

jelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan dari gempuran pendidikan Barat,

melainkan mampu mengembangkan diri dan melakukan dinamisasi, baik dari segi isi

maupun bentuk. Pesantren senantiasa mengalami penyesuaian diri dengan kondisi dan

situasi dimana pesantren berada. Pesantren mampu melakukan pribumisasi (nativisasi)

ajaran Islam dalam beragam bentuknya, baik melalui kegiatan keterampilan maupun

pembukaan sekolah umum di lingkungan pesantren tanpa kehilangan jati dirinya sebgai

lembaga tafaqquh fi al-dîn.76

Nilai-nilai progresif dan inovatif diadopsi oleh pesantren sebagai suatu strategi

antisipatif dari ketertinggalan dengan model pendidikan lain. Karenanya, pesantren

mampu bertahan sekaligus bersanding dan bersaing dengan pendidikan modern.

Perubahan-perubahan ke arah dinamisasi pendidikan pesantren dilakukan dengan

pembinaan beberapa hal, antara lain meningkatkan mutu pelajaran.

...pembinaan mutu pengajaran di pesantren, yang meliputi proyek-proyek berikut:

penyusunan kurikulum yang lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat, penyusunan silabus

pengajaran yang dapat mengembangkan rasa kesejarahan (historicy) pada ahli-ahli agama

kita di masa depan, penataran periodik bagi tenaga-tenaga pengajar, penyediaan alat-alat

pengajaran yang lebih memadai bagi kebutuhan dan sebagainya.77

Penyataan Gus Dur ini merupakan sebuah pemikiran untuk melakukan dinamisasi

pendidikan pesantren. Di mana pesantren dituntut untuk melakukan perubahan dengan

menyusun ulang kurikulum yang dipakai, silabus pengajaran yang berbasis pada sejarah,

melakukan penataran (halaqah) untuk para tenaga pengajar dan melengkapi diri dengan

peralatan atau tekhnologi mutakhir agar dapat menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat.

Demikian halnya, usaha-usaha sosial, lembaga penilai mutu pendidikan, penerbitan buku-

buku pelajaran, pendirian lembaga penelitian, penciptaan forum diskusi dengan lembaga

pengetahuan lain dan pendirian perpustakaan harus segera dilakukan oleh pesantren.

Menurut Gus Dur, prasyarat utama bagi suatu proses dinamisasi dalam arti luas

adalah dengan melakukan rekonstruksi bahan-bahan pengajaran agama (kitab kuning)

dalam skala besar. Ia menulis,

Prasyarat utama bagi suatu proses dinamisasi berluas lingkup penuh dan dalam adalah

rekonstruksi bahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu agama dalam skala besar-besaran, baik kitab-

kitab kuno maupun buku-buku pengajaran “modern” ala Mahmud Junus dan Hasbi ash-

74 Abdurrahman Wahid, Melawan., hal. 300.

75 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 53. Berdasar pada kemampuan menyerap itu, maka

pesantren dapat menerima sistem sekolah yang memang memberi manfaat bagi dirinya. Dalam artian, pesantren

di Indonesia dapat menerima dari luar yang baik, tanpa harus kehilangan esensi dasarnya. Abdurrahman Wahid,

Mengurai., hal. 79 – 80.

76 Abdurrahman Wahid, Kumpulan., hal. 163.

77 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 60.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 11: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 101

Shidieqi, yang telah kehabisan daya pendorong untuk membangkitkan rasa kesejahteraan

(sense of belonging) dalam beragama. Dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, para santri

disuapi dengan kaidah-kaidah yang sudah tidak mampu mereka cernakan lagi. Penguasaan atas

kaidah-kaidah itu lalu menjadi masinal, tidak memperlihatkan watak berkembang lagi. Inilah

yang justeru harus dibuat rekonstruksinya, dengan tetap tidak meninggalkan pokok-pokok

ajaran keagamaan yang kita warisi selama ini. Tradisionalisme yang masak adalah jauh lebih

baik daripada sikap pseudo-modernisme yang dangkal.78

Dalam penilaian Gus Dur beberapa buku-buku (kitab) materi pendukung pembelajar-

an di pesantren sudah kurang relevan dan peka terhadap proses untuk menyejahterakan

masyarakat. Beberapa buku tersebut telah kehilangan watak berkembangnya, disebabkan

karena buku-buku yang diajarkan hanya berupa pengulangan materi dari tingkat dasar

sampai perguruan tinggi, karenanya buku-buku itu harus direkonstruksi. Hanya saja, yang

diperlukan dalam rekonstruksi bahan ajar di pesantren harus menekankan pada aspek-

aspek tradisional yang selama ini berjalan, agar tradisionalisme yang telah mengakar di

kalangan pesantren dapat menunjukkan elan vitalnya yang matang dan transformatif.

Dengan demikian, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk dinamisasi pendidik-

an Islam (pesantren) adalah pembaharuan substansi atau isi kurikulum pendidikan Islam,

pembaharuan managemen dan metodologi, pengaturan kelembagaan (kepemimpinan dan

diverifikasi lembaga), pembaharuan dan pengembangan fungsi pesantren dari sekedar

lembaga untuk tafaqquh fi al-dîn menjadi lembaga untuk transformasi masyarakat.

a. Arah Pengembangan Pendidikan Islam

Dinamisasi pendidikan Islam menuntut adanya berbagai perubahan mendasar

terhadap berbagai piranti pendidikan yang selama ini berjalan, salah satu hal yang tidak

kalah pentingnya adalah kesediaan Islam untuk melakukan dialog kritis dengan tradisi

Barat. Dialog ini dilakukan untuk mencari konsepsi-konsepsi yang tepat bagi proses

dinamisasi pendidikan Islam dengan tetap berpegang teguh pada tradisi dan budaya

sendiri, karena kalau budaya Barat ditelan mentah-mentah, akan berakibat pada

tercerabutnya umat Islam dari akar kesejarahannya yang dapat berakibat pada penguasaan

ilmu dan pemerolehan gelar akademik, namun kering dalam etika dan moralitas.

Akibat lebih lanjut dari kesalahan konseptual itu adalah apa yang terjadi di Indonesia,

yakni orientasi pendidikan hanya diperuntukkan bagi pendidikan formal untuk mencapai

gelar akademik belaka, sementara pendidikan non formal dan informal, seperti pesantren

dan konggregasi gereja luput dari bidikan pendidikan nasional dan secara formal tidak

diakui keilmuannya,79 meskipun alumni pendidikan non formal itu lebih menguasai ilmu

dari pada alumni pendidikan formal. Dalam hal ini, diperlukan arah pengembangan

pendidikan Islam di Indonesia dengan merumuskan idealisme pendidikan Islam,

pendekatan multi-disipliner dan pendidikan kritis-transformatif.

78 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 64.

79 Abdurrahman Wahid, Kumpulan., hal. 45-46; Abdurrahman Wahid, Membaca., hal. 49-51. Pendidikan

pesantren baru mendapat ‘angin segar’ dari Pemerintah setelah dikeluarkannya Peraturan pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Kebijakan ini pun, belum sepenuhnya berimbas pada

dataran praktis.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 12: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

102 | ISSN: 2356-2447-XIII

b. Idealisme Pendidikan Islam

Usaha-usaha dinamisasi pendidikan Islam dilakukan untuk membangun sistem

pendidikan Islam yang benar-benar dapat memberdayakan masyarakat, dimulai dari

merubah dan memberdayakan pendidik (guru, Kyai), santri (siswa) dan lulusan,

selanjutnya akan berpengaruh terhadap pemberdayaan masyarakat dan negara dalam arti

luas. Pemberdayaan yang berkesinambungan dan komprehensif inilah yang mengantarkan

peradaban Islam pada era kejayaannya.

Menurut Mujamil Qomar, dengan pemberdayaan tersebut masing-masing individu

memiliki kemampuan dan kemandirian yang kuat, kemampuan yang bisa diandalkan,

kemauan kuat untuk maju, dan kepedulian sosial yang tinggi.80 Akumulasi dari semua

elemen ini menjadi kekuatan besar yang dapat mengubah tatanan lama menjadi tatanan

baru yang lebih baik, yaitu suatu tatanan yang menjadi prasyarat lahirnya peradaban Islam

yang unggul dan kosmopolit. Pengembangan pendidikan Islam menuntut adanya

perencanaan secara terpadu dan menyeluruh. Idealisme pendidikan Islam bukan sekedar

modifikasi atau tambal sulam, namun memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan

reorientasi semua elemen atau unsur yang ada.

c. Rekonseptualisasi Kurikulum

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia merupakan lembaga

pendidikan yang dinamis dan transformatif. Hanya saja transformasi yang dilakukan

pesantren tidak bersifat radikal dengan merubah dan meghapus sistematika dan struktur

pendidikannya, akan tetapi melalui proses yang lentur dengan tetap menjaga nilai-nilai

positif di dalamnya dengan diimbangi dengan mengambil visi baru yang memiliki nilai

manfaat baginya, sehingga lambat laun pesantren tidak hanya berorientasi pada

penguasaan pengetahuan agama secara tuntas dan mendalam, melainkan lebih luas lagi

cakupannya pada bidang pengetahuan umum.81

Pola dinamisasi pesantren terlihat dalam struktur kurikulumnya, yang dalam

pandangan Gus Dur masih memperlihatkan sebuah pola tetap yang dapat diringkas dalam:

(a) kurikulum ditujukan untuk “mencetak” ulama; (b) struktur dasar kurikulum merupakan

pengajaran pengetahuan agama dan bentuk bimbingan pribadi seorang Kyai kepada

santrinya; (c) secara keseluruhan, kurikulum berwatak lentur atau fleksibel, dalam artian

kurikulum belum terstruktur dengan baik karena santri berkesempatan untuk mempelajari

suatu ilmu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.82

Kurikulum demikian kurang terstruktur dan kurang jelas untuk pencapaian tujuan

yang hendak dicapai pesantren, selain tekanan pada pembinaan pribadi dengan sikap

hidup tertentu yang pada gilirannya para santri kurang mempersiapkan lapangan pekerjaan

yang akan digelutinya setamat dari pesantren. Padahal setiap kurikulum yang terstruktur

dalam suatu satuan pendidikan harus bersifat fleksibel dan elastis, dalam artian terbuka

peluang untuk memberikan bahan pelajaran yang penting dan perlu bagi peserta didik.

80 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, cet. I,

(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hal. 235.

81 MA. Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 40.

82 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 145.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 13: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 103

Fleksibelitas dan elastisitas kurikulum ini tentu saja harus disesuaikan dengan

perubahan sosial yang terjadi. Tujuan dari struktur kurikulum di pesantren (lembaga

pendidikan Islam) semestinya diarahkan pada upaya mendekatkan diri kepada Tuhan

(taqarrub ila Allâh), menumbuhkan rasa toleransi (tasâmûh), menjunjung tinggi keadilan

(‘adalah), kesanggupan berfikir sederhana dan seimbang (tawâzûn), menanamkan

kesadaran untuk menyeru kebajikan dan meninggalkan kemunkaran (amar ma’rûf-nahy

munkar), mengedepankan nilai-nilai luhur yang telah mentradisi dan membantu mencapai

kematangan pribadi santri (peserta didik) agar dapat beradaptasi dengan lingkungan.

Menurut Gus Dur, kini saatnya pesantren melakukan rekonseptualisasi kurikulum

dengan menambahkan materi-materi umum sesuai pembidangan. Hal ini dilakukan agar

pesantren dapat menghasilkan alumni yang handal dalam agama sekaligus dapat

memasuki atau menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan tuntutan modernitas.

...(meskipun pesantren memiliki watak mandiri), namun ketidakmampuan pesantren untuk

menyediakan tenaga terlatih untuk lapangan kerja yang membutuhkan spesialisasi

tampaknya harus disayangkan. Ketiadaan arah jelas bagi kurikulumya dalam hubungannya

dengan penyediaan angkatan kerja yang membutuhkan spesialisasi tampaknya harus

dicemaskan... Konsekuensi lagis dari anggapan ini adalah kehendak dan harapan agar

pesantren bersedia membuka diri bagi pendidikan yang lebih menjurus dalam hubungannya

dengan penyediaan angkatan kerja.

Untuk memeriksa kebenaran harapan di atas, kita haruslah melakukan tinjauan atas garis-

garis besar berbagai jenis kurikulum pesantren yang berkembang dewasa ini. Akan tetapi,

untuk melakukan tinjauan seperti itu terlebih dahulu haruslah diketahui nilai-nilai yang

menopang kurikulum pesantren secara keseluruhan, karena tanpa mengenal nilai-nilai itu,

kita tidak akan mampu memahami mengapa kurikulum pesantren justeru berkembang

seperti yang kita kenal sekarang, setelah itu, barulah dapat dilakukan tinjauan atas

beberapa gagasan dan percobaan untuk mengembangkan suatu kurikulum baru di

pesantren. Terakhir, dapatlah nantinya dibuat suatu proyeksi tentang arah perkembangan

kurikulum pesantren dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja di masa yang

akan datang.83

Gagasan Gus Dur tentang rekonseptualisasi kurikulum pesantren itu diutarakan pada

acara Lokakarya Output Pesantren dan Penyediaan Angkatan Kerja yang diselenggarakan

oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Pendidikan Agama, Badan

Penelitian dan Pengembangan Agama di Jakarta, 9-11 Januari 1978. Pada waktu artikel ini

ditulis memang pesantren belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan tenaga

tehnis yang bekerja dalam spesialisasi tertentu di masyarakat. Nampaknya, pembukaan

sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren terpengaruh dengan gagasan ini, yakni

sebagai upaya pesantren untuk menjawab tantangan kebutuhan zaman.

Perkembangan berikutnya, pola dan sistem pendidikan pesantren mengalami proses

konvergensi, di mana beberapa pesantren membuka dan menyelenggarakan pendidikan

formal dengan menetapkan kurikulum nasional terintegrasi dalam sistem pendidikannya,

seperti Pesantren Al-Asya’ariyyah di Wonosobo, Pesantren Al-Iman di Purworejo,

Pesantren API Tegalrejo dan beberapa pesantren besar lainnya. Akan tetapi, secara umum,

dinamika perubahan dan dinamisasi yang terjadi di pesantren, tampaknya masih tergolong

83 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan, hal. 147.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 14: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

104 | ISSN: 2356-2447-XIII

lambat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini disebabkan karena pandangan

“konservatif” Kyai menghasilkan sistem perubahan yang pelan dan melalui tahapan-

tahapan yang tidak mudah untuk diamati, terlebih dengan adanya hambatan utama yang

menyangkut masalah kepemimpinan, metodologi, disorientasi dan masalah pembiayaan.84

Beberapa problem yang dihadapi tersebut harus segera dicari jalan keluar (solusi)nya,

agar proses dinamisasi pendidikan pesantren dapat berjalan lancar dan cepat untuk

menyesuaikan dengan tuntutan dan dinamika zaman. Demikian pula rekonseptualisasi

kurikulum pesantren dilakukan dengan tetap melihat jati diri pesantren sebagai lembaga

tafaqquh fi al-dîn dan nilai-nilai yang menopang kurikulumnya secara keseluruhan,

setelah itu baru dilakukan terobosan-terobosan baru dan proyeksi pengembangan

kurikulum. Dengan demikian, maka pesantren (pendidikan Islam) mampu menjembatani

problem keontetikan dan kemodernan (musykîlât al-ashâlat wa al-hadâtsah) secara

harmonis dan berkesinambungan.

d. Rekonseptualisasi Metode Pengajaran

Unsur kedua yang perlu dilakukan untuk mencapai idealisme pendidikan Islam

adalah rekonseptualisasi dan rekonstruksi metode (al-tarîqah) pengajaran. Metode

pendidikan memang masih terpakau pada model konvensional yang menekankan

penggunaan metode bandongan, sorogan, serta ceramah yang cenderung monolog dan

doktrinatif; mementingkan memori dibandingkan analisis dan dialog serta lebih

mementingkan materi dari pada metodologi dan menghalangi kebebasan peserta didik

untuk mengutarakan pendapatnya.85

Selama ini para pendidik biasanya masih terbatas pada usaha penyampaian materi

saja (doktriner) dan tidak pernah berfikir bagaimana menemukan metode yang tepat dan

sesuai dengan tingkat penguasaan kompetensi peserta didik, padahal, dalam pesantren

dikenal sebuah adagium yang menyatakan bahwa metode lebih penting dari pada materi

(al-tharîqah ahammu min al-mâdah). Oleh sebab itu, dalam beberapa materi pelajaran,

metode-metode hafalan dan doktriner harus segera ditinggalkan. Karena selain sudah

tidak menarik, metode ini kurang memberdayakan akal (logika) sebagai basis mencari

pengetahuan. Peserta didik hanya didekte dan “membeo” menirukan apa yang

disampaikan pendidik dan tidak mampu menggunakan nalarnya untuk memecahkan suatu

persoalan yang dihadapi.

Di sisi lain, rekonseptualisasi metode pengajaran dilakukan dengan menyampaikan

materi yang berbasis pada kenyataan (kontekstual) dan lebih menekankan pada pemberian

contoh yang baik (uswatun hasanah) dari pendidik serta penekanan pada “kultur kritik”.86

84 Abdurrahman Wahid, Prisma., hal. 112-116. Gambaran lebih detail mengenai hal ini, lihat

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa, cet. I, (Yogyakarta: 2009, Nawesea Press).

85 Mahmud Arif, Pendidikan., hal. 210. Padahal minimalisasi pentingnya arti kebebasan bagi seseorang,

merupakan hal yang sangat tidak edukatif. Abdurrahman Wahid, “Kepentingan Umum: Siapa Penentunya?”, Detik, 22-28 Juni 1994. Tulisan ini dimuat pula dalam majalah Aula dengan modivikasi judul. Lihat,

Abdurrahman Wahid, “Sam Bambungan”, Aula, (No. 07/Tahun XVI/ Juli 1994), hal. 68.

86 Menurut Gus Dur, metode yang jauh dari realitas hanya akan memberikan gambaran hayali yang

kurang bersentuhan dengan kenyataan-kenyataan hidup yang ada di masyarakat, dan pengetahuan yang didapat sebatas pada pengetahuan teoritis yang tidak aplikatif. Sementara metode uswatun hasanah, lebih aplikatif dan

kontekstual. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 95-96.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 15: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 105

Metode ini sudah sejak awal diperkenalkan oleh peradaban Islam, sebagaimana kritik

konstruktif al-Ghazâli (w. 1111) terhadap Ibn Sina (w. 1037) dalam Tahâfut al-Falâsifah

(Kerancauan Filsafat). Kemudian Ibn Rusyd (w. 1198) mengkritik al-Ghazali dalam

Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan [buku] Kerancuan Filsafat).87 Di sisi lain, pendidik

seharusnya bersifat penuh cinta, penyabar, penyayang, komunikatif dan demokratis

dengan memberikan perdebatan-perdebatan ilmiah.

...Kita sebaiknya (membiasakan) berdebat secara tulus dan jujur dengan cara mengedepankan

akal sehat dan hati yang jernih. Perbedaan adalah hal yang wajar dan manusiawi dalam

kehidupan ini. Jangan sikapi perbedaan dengan kekerasan... Mari kita wujudkan peradaban di

mana manusia saling menyintai, saling mengerti, dan saling menghidupi.88

Kutipan di atas memberikan penjelasan tentang arti pentingnya membangun metode

pendidikan yang humanis, yakni pendidikan yang menekankan pada perdebatan-

perdebatan ilmiah, penuh kesabaran, saling mencintai, memahani dan menyayangi antar

sesama manusia. Dalam konteks pendidikan, hubungan (metode) ini harus dibangun

antara pendidik dengan peserta didik; antar pendidik dan antar peserta didik. Hal ini

diperlukan karena tugas pendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu, tetapi lebih dari

itu, yaitu mendidik yang sifatnya mengikuti suatu nilai di luar ilmu pengetahuan yang

bersifat bebas itu.89

Terkait metode pendidikan agama (Islam), Gus Dur mengingatkan agar metode yang

dipakai adalah metode komprehensif dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan

yang humanis. Kaitannya dengan hal ini, Gus Dur menyayangkan penggunaan metode

yang selama ini masih terjebak dalam klaim kebenaran tunggal dan hitam-putih.

Tak dapat diingkari lagi, pendekatan seperti itu terhadap agama tentu akan dipenuhi oleh

keruwetan hubungan antar manusia, yang sebenarnya justeru jauh dari hakekat agama. Salah

satu ciri utama agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas-batas antar

manusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan

sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok

manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan umat manusia dari kungkungan

kemanusiaan yang penuh keterbatasan.90

Penyampaian materi pelajaran kepada peserta didik dengan pendekatan (metode)

hitam-putih, justeru akan menghilangkan dan menciutkan peran agama sebagai ‘alat

pembebasan’ seluruh manusia, dan hanya akan menghasilkan peserta didik yang terkotak

dalam agama atau idiologi sendiri. Padahal inti dari ajaran agama adalah universalitas

ajarannya sebagai rahmat dan pembebas yang mencakup seluruh umat manusia dan alam,

87 Zuhairi Misrawi, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, cet. I, (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2009), hal. 50.

88 Dinukil dalam Maman Imanulhaq Faqieh, Fatwa dan Canda Gus Dur, cet. I, (Jakarta: Penerbit Buku

Kompas, 2010), hal. 115.

89 Penanaman nilai harus dibentuk oleh pendidik (guru) karena aktivitas mendidik pendidikan, bukan

sekedar mengalihkan informasi atau pengetahuan, melainkan memberikan pengetahuan sekaligus mengimplikasikan nilai-nilai (baik-buruk) sekaligus menggunakan cara/jalan yang normatif baik. Noeng

Muhadjir, Ilmu Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kretatif, (Yogyakarta:

Rake Sarasin, 2000), hal. 20.

90 Abdurrahman Wahid, Sekedar Mendahului: Bunga Rampai Kata Pengantar, cet. I, (Bandung: Nuansa,

2011), hal. 77; Abdurrahman Wahid, “Kata Pengantar”, dalam Y.B. Mangun Wijaya, Menumbuhkan Sikap

Religius Anak-Anak, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. vi.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 16: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

106 | ISSN: 2356-2447-XIII

sebagaimana termaktub dalam QS. al-Anbiyâ’ [21]: 107, “wa mâ arsalnâka illa rahmatan

lil ‘âlamîn, Dan kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat

bagi seluruh alam”.

Dalam pandangan Gus Dur, perpaduan berbagai varian metode pendidikan akan

menjadikannya semakin inklusif, emansipatif dan eksploratif (baik yang bernuansa

agama, maupun kebudayaan) terhadap proses akulturasi dan asimilasi berbagai tradisi

budaya yang telah menjadi ‘ruh’ dakwah Islam. Perpaduan-perpaduan tersebut diperlukan

dalam rangka untuk mewujudkan peradaban Islam yang dinamis, maju dan inklusif.

e. Rekonstruksi Orientasi atau Tujuan Belajar

Pendidikan diarahkan sebagai proses penanaman nilai-nilai dan perluasan wawasan

serta kemampuan manusia untuk benar-benar tercerahkan. Dengan demikian, pendidikan

Islam harus dapat mengembangkan fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki

moralitas terhadap Allah, terhadap dirinya, dan alam keseluruhan.91 Pesantren, sebagai

salah satu lembaga pendidikan Islam, telah memerankan peran tersebut dengan baik.

Dengan kata lain, semua proses kegiatan yang dilakukan pesantren merupakan

implementasi dari ajaran luhur agama untuk mewujudkan keseimbangan hubungan

manusia dengan Tuhan (habl min Allâh) dan hubungan sesama manusia (habl min al-nâs).

Hanya saja, dalam amatan Gus Dur, pesantren masih belum semuanya berada dalam

keseimbangan antara penguatan skill dan pematangan moralitas. Beberapa pesantren

masih terjebak pada orientasi ‘agama’ an sich sehingga belum dapat memerankan diri

untuk menjawab tantangan-tantangan modernitas dan kebutuhan globalisasi yang terus

berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian melakukan kritik ke

dalam pesantren sebagai konsekuensi logis bagi proses modernisasi. Dalam amatan

Syaiful Arif, Gus Dur mengkritik sikap tertutup pesantren terhadap dinamika

perkembangan masyarakat dan arus modernitas. Pesantren harus berbenah diri dengan

melakukan perumusan ulang tujuan pendidikannya menjadi tidak sebatas menyiapkan

manusia yang bermoral dan berilmu tinggi, namun lebih dari itu, peserta didik (santri)

juga harus ditekankan untuk mewujudkan keseimbangan antara kesejahteraan individu

dengan kesejahteraan kolektif serta sebagai agen perubahan untuk mengusahakan

terwujudnya transformasi masyarakat.92 Tujuan demikian, menurut Gus Dur masih langka

dan terbatas di sementara pesantren.

Pendidikan (pesantren; Islam –pen) masih ditujukan pada pengembangan pengetahuan dan

kecakapan klasik yang umumnya bersifat teoretis belaka, sedangkan orientasi pada

pendayagunaan anak didik bagi perbaikan taraf hidup di pedesaan kebanyakan masih berupa

percobaan dalam ukuran terbatas belaka.93

Menjadikan pesantren sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat saat ini memang

kurang mendapat perhatian mendalam dari dalam kalangan pesantren sendiri. Hal ini,

disebabkan karena pendidikan pesantren masih berorientasi pada pengembangan ilmu

agama secara teoretis, sehingga orientasi pada penyiapan santri (peserta didik) yang dapat

91 Abd A’la, Pembaharuan Pesantren, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hal. 11.

92 Wawancara Syaiful Arif, 8 April 2012. Lihat pula Abdurrahman Wahid, “Paradigma Pengembangan

Masyarakat Melalui Pesantren”, Jurnal Pesantren, (No. 3/vol.V/1988), hal. 3-7.

93 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 100.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 17: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 107

menjadi pelopor dalam upaya pemberdayaan masyarakat masih minim (untuk tidak

mengatakan belum ada sama sekali).

Langkah yang perlu diambil antara lain, menurut Gus Dur, dengan mengadakan

pelatihan-pelatihan keterampilan dan membuat lembaga ‘sekolah umum’ di lingkungan

pesantren. Hanya saja, menurut Gus Dur, diperlukan adanya pencegahan terhadap

kemungkinan munculnya intelektualisme yang dangkal yang disebabkan oleh elitisasi

watak pendidikan. Dengan demikian, diharapkan dapat dicegah arus semakin deras untuk

menciptakan intelektualisme dangkal yang bersifat verbalistis di pesantren, yang

merupakan akibat utama elitisasi watak pendidikan itu.94

Penjelasan ini memberikan merupakan upaya preventif terhadap beberapa pesantren

yang melakukan pembaharuan namun terhenti dalam tataran teknis, yang terkesan hanya

menempatkan santri sebagai objek ‘peradaban teknis’ dari pembangunan, dalam artian

kesadaran nilai dan sistem keagamaan dan transformasi sosialnya belum bisa menjiwai

pola pendidikan non-keagamaan. Hal ini penting sekali disadari bersama, karena secara

sistematik, pendidikan tidak dapat dipahami secara parsial yang dapat mengakibatkan

permasalahan baru bagi umat Islam. Demikian kemungkinan-kemungkinan yang akan

terjadi, jika pendidikan Islam dan umum dipahami secara parsial. Karenanya pendidikan

Islam harus dipahami secara komprehensif dan integratif.

f. Pendekatan Multidisipliner Pendidikan Islam

Pendidikan Islam sebagai proses pemberdayaan dan transformasi masyarakat muslim

memiliki peran yang sangat penting dalam membanguan sebuah peradaban. Oleh

karenanya, pendidikan Islam tidak boleh terjebak dalam eksklusifisme yang sempit.

Pendidikan Islam harus bisa membuka diri (inklusif) dan melakukan terobosan-terobosan

bagi problematika umat manusia dengan pendekatan multidisipliner. Dengan kata lain,

untuk memajukan pendidikan Islam tidak harus hanya berlandas pada ajaran agama

semata, namun pendidikan Islam harus berdialog dengan disiplin keilmuan lain untuk

kepentingan pengembangan pendidikan Islam dan juga kemajuan peradaban manusia.

Para ulama dan cendekiawan Muslim abad ke-V Masehi, telah mengakses dan

mengembangkan ilmu pengetahuan dengan varian disiplin dan lintas sains. Hal itu

merupakan buah dari utuhnya memahami paradigma keilmuan. Mereka mampu menyerap

dan menggali hikmah dari setiap penciptaan dan kejadian sekecil apapun.95 Artinya, untuk

menjadi maju, pendidikan Islam harus dikembangkan secara dinamis dan

berkesinambungan dengan melakukan dialog dengan peradaban lain secara kritis,

proporsional dan kontekstual.

Dalam hubungan ini, terdapat dua pendekatan yang dapat dikemukakan, yaitu

tertutup (eksklusif) dan terbuka (inklusif).96 Pendekatan pertama mengasumsikan

pendidikan didekati dan dipandang sebagai ‘rumah tangga’ sendiri. Sedang pendekatan

94 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 109

95 Abdurrahmansyah, “Integrasi Paradigma Rusydian dan Ghazalian dalam Pengembangan Pendidikan

Islam, dalam M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam di Indonesia: Teori dan Metodologi, cet. I, (Yogyakarta:

Arruz Media, 2008), hal. 148.

96 Imam Barnadib, Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1996), hal.

7.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 18: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

108 | ISSN: 2356-2447-XIII

kedua melihat pendidikan dan segala problemnya sebagai hal-ihwal yang tidak semata

merupakan urusan rumah tangga sendiri, melainkan dipandang sebagai hal-hal yang

kontekstual dan terbuka terhadap beberapa bidang atau lingkungan yang relevan,

mendukung dan sesuai dengan perkembangan tuntutan zaman. Jika pendekatan ini yang

dijadikan pedoman, maka pendidikan Islam akan tetap eksis dan selalu up to date.

Selain itu, pendidikan Islam harus melakukan pengembangan dengan melakukan

pendekatan multidisipliner, dalam artian untuk mengembangkan dan memajukan

pendidikan Islam diperlukan memanfaatkan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti sejarah,

psikologi, biologi, kimia, sosiologi, antropologi, filsafat, tasawuf, teologi dan lain

sebagainya. Melalui pendekatan multidisiplener ini, beberapa ahli dari berbagai disiplin

ilmu bekerjasama mengadakan suatu penelitian dan pengembangan keilmuan yang

hasilnya dapat diintegrasikan sebagai suatu proyek besar untuk kemajuan Islam.

Bersatunya berbagai ahli tersebut, menurut Noeng Muhajir,97 akan lebih mengembangkan

kesatuan fungsional unit-unit disiplin ilmu. Pendekatan multidisipliner berbeda dengan

pendekatan interdisipliner. Titik tolak pendekatan yang pertama adalah disiplin ilmu

tertentu, dalam hal ini pendidikan Islam. Hasil studi disiplin lain dimanfaatkan oleh

disiplin tertentu tersebut.

Produk studi pendekatan multidisipliner merupakan usaha bersama dari berbagai

disiplin ilmu, sehingga hasilnya merupakan produk interdisipliner. Dalam bahasa lain,

dapatlah disimpulkan bahwa khasanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik

dan uniform, melainkan variatif dan pulral karena dihasilkan oleh pendekatan

multidisipliner.98 Produk kerja seorang guru agama, misalnya, merupakan produk

multisipliner beberapa kalangan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan bila

memenuhi kriteria: validitas, relevansi, integritas dan operasionalisasi. Jika tidak

memenuhi kriteria tersebut, maka harus ditinggalkan.

Dalam upaya memajukan pendidikan dan peradaban Islam, para cendekiawan

muslim telah mengkonstruk pemikirannya dengan memanfaatkan pendekatan

multidisipliner. Demikian pula Gus Dur, dalam beberapa tulisannya mengenai pendidikan

Islam, sering menggunakan pendekatan (memakai analisis) ekonomi, sosiologi,

antropologi, sejarah dan politik. Buku Kyai Nyentrik Membela Pemerintah,misalnya,

berisikan tentang tradisi pesantren dan pendidikan Islam dalam menjawab tantangan

modernitas yang didekati dari sudut pandang antropologi-sosiologi. Sementara dalam

buku Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Gus Dur lebih banyak menyoroti

pendidikan pesantren dari pendekatan sosiologi, sastra, geografi, ekonomi, leadership,

sosial-budaya dan sebagainya. Sementara tulisan-tulisan tentang pendidikan Islam yang

terdapat dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita dan Islam Kosmopolitan sangat

nampak pendekatan sejarah, kritis dan humanis berbasis ilmu-ilmu sosial. Demikian pula,

beberapa tulisan lainnya.

97 Noeng Muhajir, Kepemimpinan Adopsi: Inovasi untuk Pembangunan Masyarakat, (Yogyakarta: Rake

Press, 1987), hal. 13.

98 Mahmud Arif, “Kata Pengantar Penerjemah”, dalam Muhammad Jawwad Ridlo, Tiga Aliran Utama

Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif, cet. I, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

2002), hal. x.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 19: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 109

Dengan menggunakan telaah multidisipliner, Gus Dur mencoba mendialogkan antara

pesantren (pendidikan Islam) dengan piranti berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehingga

dinamisasi dan pengembangan pendidikan Islam dapat terwujud dan tampil dalam

percaturan keilmuan dalam skala yang lebih luas. Melalui pendekatan multidisipliner yang

digunakan, maka pada gilirannya akan menjadikan pendidikan Islam semakin eksis dan

relevan dengan konteks perkembangan zaman. Dialog dan persentuhan langsung

pesantren (pendidikan Islam) dengan disiplin-disiplin lainnya, akan melahirkan peradaban

dan kemajuan bagi umat Islam secara keseluruhan.

g. Pendidikan Islam Kritis – Transformatif

Karakter utama yang melekat dalam kehidupan pesantren adalah cita-cita sosialnya

untuk melakukan transformasi dan mengubah kondisi masyarakat menuju tatanan yang

lebih baik. Cita-cita yang dibungkus lewat pendidikan (tarbiyah) dan sosialisasi nilai-nilai

Islam (dakwâh) itu terinspirasi dari dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw., dan

para Walisongo. Para pemimpin Islam di masa lalu telah menunjukkan watak Islam yang

transformatif yang ditunjukkan dalam landasan etis gerakan dan elan pembebasannya.

Islam merupakan agama pembebas (a liberating religion) dari struktur yang tidak adil dan

menindas. Nabi Muhammad Saw., telah memulai gerakan pembebasnya di Makah dan

diteruskan oleh para Walisongo di Nusantara. Pandangan hidup demikian, juga dipegang

erat oleh para Kyai yang dengan sengaja melakukan “babat alas” untuk mendirikan

pesantren di daerah “hitam” dan “rawan” di pinggiran kota.

Kondisi demikian, menurut Gus Dur, merupakan bukti nyata dari kecenderungan

pesantren untuk melakukan perlawanan kultural dan menggunakannya sebagai alat

transformasi kultural yang berlangsung secara perlahan tetapi menyeluruh.99 Term

transformasi masyarakat yang digerakkan Gus Dur merupakan wujud dari ekses kultural

pesantren yang berfungsi sebagai korektor moral keagamaan yang berorientasi pada upaya

pembebasan masyarakat. Lembaga pesantren (pendidikan Islam) sejatinya merupakan

lembaga yang fleksibel dan dinamis yang berkembang sesuai kehendak waktu dan tempat.

Dalam konteks kehidupan modern, pendidikan Islam ditantang untuk pro-aktif tidak saja

dalam melakukan penggalian nilai-nilai ajaran agama Islam, mentransfer dan

menginternalisasikannya, akan tetapi ditantang pula untuk menjadikan dirinya sebagai

center of exellent (pusat keunggulan) dalam melakukan kajian-kajian keislaman dan

kemasyarakatan serta transformasi masyarakat.

Selain itu, sebagai agent of social change (agen perubahan masyarakat), pendidikan

Islam dituntut untuk dapat melakukan pembaharuan (reformasi), rekonstruksi dan

perubahan ke arah perbaikan (dinamisasi). Hanya saja, sistem dan pola pendidikan Islam

yang berjalan di Indonesia saat ini telah kehilangan ruh transformatifnya, setidaknya, hal

ini bisa ditunjukkan lewat pola pendidikan tradisional yang masih dipraktekkan hingga

99 Dikutip dalam A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam., hal. 33-34. Untuk menjadikan pesantren

(pendidikan Islam) selalu dinamis dan kontekstual dapat dikembangkan dengan meminjam paradigma Peter

Senge, yaitu: i) keahlian pribadi (personal mastery); ii) model mental (mental model); iii) visi bersama (shared

vision); iv) pembelajaran tim (team lerning), dan; v) berpikir untuk sebuah sistem (system thinking). Selengkapnya, Muhaimin, dkk, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Pengembangan

Sekolah/Madrasah, cet. III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 90.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 20: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

110 | ISSN: 2356-2447-XIII

saat ini. Mahmud Arif mengutip pendapat Parvez Hoodbhoy membandingkan pola

pendidikan tradisional dan pendidikan modern dalam tabel berikut:100

Pendidikan Tradisional Pendidikan Modern

1. Orientasi akhirat; orientasi ke masa silam

2. Tujuan untuk sosialisasi ke dalam Islam

3. Kurikulum tidak berubah sejak abad

pertengahan

4. Pengetahuan diwahyukan dan tidak dapat

diubah

5. Pengetahuan diperoleh karena perintah

Tuhan

6. Mempertanyakan persepsi dan asumsi

tidak dibenarkan

7. Cara mengajar otoriter-indoktrinatif (tidak

melibatkan partisipasi murid)

8. Menghafal (memorazing) di luar kepala

sangat dipentingkan

9. Pola pikir murid adalah pasif; selalu

menerima, dan

10. Pendidikan tidak terdiferensiasi

1. Orientasi modern; orientasi ke

masa depan

2. Tujuan untuk perkembangan

individualitas

3. Kurikulum mengikuti perubahan

mata pelajaran

4. Pengetahuan diperoleh melalui

proses empiris dan deduktif

5. Pengetahuan diperlukan sebagai

alat pemecahan masalah

6. Mempertanyakan persepsi dan

asumsi dibenarkan

7. Cara mengajar melibatkan

partisipasi murid

8. Internalisasi konsep kunci sangat

dipentingkan

9. Pola pikir murid adalah aktif-

positivistik (kritis), dan

10. Pendidikan dapat menjadi sangat

terspesialisasi

Di bagian lain, semestinya pendidikan Islam sekaligus dapat memerankan tiga

fungsi, yaitu (i) fungsi preservasi dinamik. Pendidikan Islam diharapkan tidak berorientasi

pada usaha mempertahankan warisan budaya (konservatif) dalam artian statis, namun

berorientasi pada usaha melestarikan unsur-unsur esensial dari budaya (konservatif; al-

muhâfazah ‘ala al-qadîm al-shâlih) dengan membuka diri terhadap unsur-unsur positif

dari luar (progresif; al-akhdz bi al-jadîd al-ashlâh) dengan menyadari kebudayaan sebagai

sebuah proses yang dinamis, bukan produk yang statis; (ii) fungsi partisipatoris, dalam

artian pendidikan Islam memiliki tanggungjawab terhadap masa kini (al-hadâtsah). Proses

pendidikan meramu nilai-nilai budaya lama dengan nilai-nilai kontemporer dalam rangka

pembentukan kepribadian dan karakter peserta didik untuk menghadapi masa kini dan

yang akan datang, dan; (iii) fungsi preparatoris-antisipatoris.101 Pendidikan Islam dituntut

tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi muda agar dapat menyelesaikan tugasnya

dalam masyarakat masa depan (syubbân al-yaum rijâl al-ghad).

Pendidikan Islam terkait erat dengan dimensi praktis-sosial yang dituntut untuk dapat

melakukan transformasi masyarakat dan selalu responsif terhadap segala problem yang

100 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hal. 229

101 Mahmud Arif, Pendidikan., hal. 229-230.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 21: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 111

dihadapinya. Dalam pandangan Gus Dur, untuk melakukan transformasi masyarakat –baik

yang dilakukan secara gradual maupun secara radikal-revolusioner– setidaknya diperlukan

tiga dimensi. Yaitu, pertama, memfungsikan dan meneguhkan peran manusia sebagai

makhluk termulia yang diciptakan-Nya baik secara individu maupun sosial; kedua,

melakukan perombakan struktur yang timpang, menghisap, menindas dan tidak adil, yang

menjadi sumber kemiskinan dan kebodohan, dan; ketiga, penegakan demokrasi yang

murni, menegakkan keadilan di segala bidang dan menolak ketidakadilan dalam segala

bentuknya.102 Secara idiologis, kerangka ini meniscayakan pendidikan Islam untuk dapat

mengemban suatu misi transformatif dan pemberdayaan.

Transformasi masyarakat bertujuan untuk membentuk masyarakat terbuka yang

bebas, jujur dan adil yang kesemuanya diletakkan dalam kerangka untuk memecahkan

masalah kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Pada titik ini, Gus Dur memberikan

uraian mengenai komponen yang menopang fungsi transformatif dari pesantren, yaitu tata

nilai (value system), sistem keilmuan dan pendampingan Kyai.103 Ketiga komponen ini

kemudian diimplementasikan ke dalam model kesalehan sosial, yakni penekanan amal

shalih untuk menolong orang-orang yang lemah dan membebaskan mereka dari

ketidakadilan.Tulisnya,

(Islam) tidak lagi cukup menjadi ekspresi keimanan sebagai Muslim untuk menegakkan ajaran

formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk

membebaskan rakyat-rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan dan kepapaan

yang menurunkan derajatnya sebagai mahluk yang mulia. Untuk itu dituntut gerakan-gerakan

perlawanan kultural kaum Muslimin untuk terlebih dahulu mampu hidup bersama dengan

manusia-manusia dari lain agama, idiologi politik dan pandangan budaya, yang memiliki

kesamaan pandangan dasar tentang hakekat tempat manusia dalam kehidupan dan cara-cara

untuk mewujudkannya.104

Pemikiran Gus Dur tentang Islam selalu berorientasi pada pembebasan dan kemajuan

peradaban. Dalam landasan teologis, peran Islam diarahkan guna menciptakan tatanan

sosial yang mampu menyeimbangkan kepentingan individu dan sosial dengan

mengejawantahkan nilai-nilai universal Islam yang merujuk pada persamaan (musâwah),

keadilan (‘adâlah), toleransi (tasâmuh) dan permusyawaratan (syurâ). Perwujudan prinsip

ini merupakan bentuk dari gerakan pembebasan yang telah menyatu dalam sistem

pandangan hidup pesantren yang didukung oleh beberapa faktor, yaitu:

1. pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan Islam secara

komprehensif (kâffah);

2. pesantren mempunyai tradisi mengambil jalan tengah (tawasuth) jika ada

pertentangan sikap dan pemikiran; (iii) pesantren telah menyatu dengan

masyarakat;

3. pesantren adalah lembaga pendidikan yang dekat dengan rakyat dengan watak

egaliterianisme yang kental, dan;

102 Abdurrahman Wahid, Muslim., hal. 80-81.

103 Syaiful Arif, Wawancara 8 April 2012.

104 Abdurrahman Wahid, Muslim., hal. 111.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 22: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

112 | ISSN: 2356-2447-XIII

4. pendirian pesantren selalu memiliki misi transformatif,105 yaitu mengubah

struktur dan kultur masyarakat menuju kondisi yang lebih baik. Dengan fungsi

dan kedudukan khasnya, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan

yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered development) dan

sekaligus sebagai pusat pemberdayaan yang berorientasi pada nilai-nilai luhur.

Ide tentang “transformasi kultural” ini nampaknya dipengaruhi oleh teori

pembebasan Katolik sebagai implikasi bahwa agama merupakan pelopor transformasi

sosial. Menurut Gus Dur, Islam memiliki watak inklusif sebagai pembebas yang visioner

dan radikal. Agama (baca: relegiusitas) merupakan “keruhanian universal yang bersifat

inklusif, yakni komitmen pada keadilan semesta terutama bagi mereka yang lemah dan

terpinggirkan, siapa pun mereka, dan apa pun agama dan keyakinan mereka”.106

Pemikiran dan sikap demikian, merupakan cerminan dari sifat transformatif ajaran Islam

yang bersikap terbuka terhadap kemanusiaan tanpa memandang asal-usulnya.

Watak pembebas dari agama (Islam) diwujudkan dengan melakukan perombakan

terhadap segala tatanan yang timpang dan tidak adil dengan menempatkan pendidikan

dalam paradigma kritis-transformatif,107 yakni pendidikan yang membuat peserta didik

mampu: (i) membicarakan masalah-masalah lingkungan dan turun tangan langsung; (ii)

memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan kekuatan untuk

menghadapinya, bukan pendidikan yang menjadikan akal menyerah patuh pada putusan-

putusan orang lain.108 Sistem pendidikan ini menolong peserta didik untuk meningkatkan

sikap kritis terhadap realitas dan dapat merubahnya ke arah yang lebih baik.

Dalam diskursus pendidikan dikenal adanya dua aliran besar. Pertama, golongan

yang memandang pendidikan sebagai reproduksi. Golongan ini sangat pesimis untuk

mengandalkan pendidikan memainkan peran perubahan dan transformasi sosial. Mereka

menganggap bahwa pendidikan hanya berperan untuk mentransfer ilmu pengetahuan yang

sudah ada dengan sedikit penyesuaian-penyesuaian. Dalam arti lain, pendidikan hanya

sebagai wahana pewarisan nilai, ilmu pengetahuan dan struktur atau sistem dalam

masyarakat yang dilakukan dengan pengulangan-pengulangan. Kedua, golongan yang

menganut paham produksi. Menurut faham ini, pendidikan dapat menciptakan ruang bagi

tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominan. Artinya, sekecil apapun

105 Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, cet. I, (Yogyakarta: LKiS,

2010), hal. 36-40.

106 Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam Masdar F.

Mas’udi, Pajak Itu Zakat, (Bandung: Mizan, 2005), hal. v.

107 Paradigma digunakan untuk banyak arti, seperti: matriks disipliner, model atau pola pikir dan

pandangan kaum ilmuwan. Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: Remaja Karya, 1989), hal. 109. Menurut John Arthur, paradigma adalah seperangkat peraturan dan ketentuan (tertulis maupun

tidak) yang berorientasi pada: (i) penciptaan atau penentuan batas-batas, dan (ii) penjelasan tentang cara untuk berprilaku dalam batas-batas tertentu untuk mencapai suatu hasil. Dikutip dalam Nurul Mubin, Poros Baru., hal.

70. Adam Smith mengatakan paradigma sebagai asumsi bersama yang apabila telah berada di dalamnya, maka

akan sulit untuk membayangkan paradigma di luarnya. Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, cet. V, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hal. 84. Dalam suatu paradigma terdapat asumsi-asumsi metafisis, ontologis

dan epistemologis yang umumnya diterima begitu saja (taken for granted) oleh suatu komunitas sejauh

paradigma itu dianggap dapat memberikan suatu kerangka teori yang menjelaskan fenomena-fenomena

eksperimental. A. F. Chalmers, Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?, (Jakarta: Hasta Mitra, 1983), hal. 95-98.

108 Agustinus Mintara, “Sekolah atau Penjara”, Majalah Basis, edisi Paulo Freire, (No. 01-02 Tahun 50,

Januari – Februari, 2001).

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 23: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 113

peranannya, bila dilakukan melalui proses pembebasan dan dalam kerangka membangkit-

kan kesadaran, pendidikan selalu berperan terhadap pembebasan dan pemberdayaan.109

Pandangan inilah yang menjadi dasar bagi pendidikan kritis dan menjadi salah satu

garapan Gus Dur, yakni menumbuhkan daya kritis mengkritisi ketimpangan, penindasan

dan dominasi yang dilakukan oleh sebagain kalangan terhadap yang lainnya. Ia menulis,

Daya kritis adalah kemampuan untuk meninjau persoalan dengan lengkap, jernih, dan tajam.

Untuk memisahkan antara mana yang benar dan mana yang tidak, mana kulit mana isi, antara

penampilan dan isi. Mana yang lurus dan mana yang bengkok. Memisahkan mana yang perlu

dan mana yang sepele, membedakan yang bermanfaat dan yang mudarat.

Daya kritis adalah memeriksa, menyelidiki, menguji, mengungkapkan yang terselubung. Dan

tidak pasrah atau terserah. Kritikan bukan berarti cuma membuat tinjauan negatif dan

melontarkan kecaman saja. Itu adalah pandangan yang sempit mengenai daya kritis. Maksud

yang sebenarnya dari daya kritis adalah membuka dan menguraikan masalah, sehingga jelas

beda yang semu dengan yang asli…110

Daya kritis dalam pemikiran Gus Dur tidak hanya melakukan tinjauan terhadap hal-

hal yang dianggap negatif atau salah, melainkan upaya mengurai masalah secara jernih

dan tajam untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar diikuti dengan

penawaran konsep yang jelas dan lebih masuk akal. Daya kritis demikian, dilakukan untuk

merubah dominasi dan struktur yang timpang agar terbangun keadilan dan kebebasan.

Menurut Gus Dur, konsepsi pendidikan di Indonesia merupakan konsepsi pendidikan

yang salah karena masih menekankan pada pemerolehan ijazah formal, bukan pada

substansinya untuk memanusiakan manusia. Akibatnya, pendidikan di Indonesia masih

jauh dari cita-cita pendidikan sebagai pembebas bagi masyarakat dari cengkeraman

kebodohan, keterbelakangan dan penindasan serta menjauhkan masyarakat dari daya

kritisnya.111 Padahal dalam perspektif pendidikan kritis, pendidikan berperan untuk

melakukan refleksi kritis terhadap idiologi dominan (the dominant idiologi) ke arah

transformasi sosial. Tugas pendidikan adalah menciptakan ruang agar terbangun sikap

kritis terhadap struktur dan sistem ketidakadilan, melakukan advokasi dan dekonstruksi

menuju sistem sosial yang adil. Dengan demikian, tugas pendidikan kritis adalah proyeksi

untuk kembali memanusiakan manusia (humanisasi),112 yang berorientasi pada

pembebasan (taharrûr), tanpa terbatasi oleh sekat pemisah apapun.

…(merupakan suatu) keharusan bagi umat Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan

yang progresif, dengan dimensi pembebasan (taharrûr, liberation) di dalamnya. Watak

pembebasan dari wawasan progresif itu bertumpu pada beberapa unsur penopang. Di satu

109 M. Badi’ Zamanil Masnur, dkk, Pendidikan Kritis-Transformatif: Panduan Pendidikan dan

Kaderisasi, cet. I, (Jakarta: PB PMII, 2001), hal. 88-89.

110 Dikutip dalam Arif Mudatsir Mandan, “Iftitah: Gus Dur Sang Intelektual Sejati”, dalam A. Effendy

Choiri (Ed.), Sejuta Gelar untuk Gus Dur, cet. I, (Jakarta: Pensil-324 dan PB IKA-PMII, 2010, hal. 10.

111 Disampaikan Gus Dur dalam acara peringatan tiga tahun berdirinya The Wahid Institute, 8 September

2007. Lihat, Mahfud, MD, Gus Dur: Islam, Politik dan Kebangsaan, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 205

– 208.

112 Semangat pembebas merupakan teologi pembebas (‘aqîdah taharrûr) yang bertujuan untuk

membebaskan manusia dari cengkeraman istighlâl (esploitasi) tanpa pandang bulu siapa pelakunya.

Abdurrahman Wahid, Mengurai., hal. 310.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 24: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

114 | ISSN: 2356-2447-XIII

pihak, gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan, kalau manusia ingin benar-benar

berfungsi sebagai pelaksana fungsi ke-Tuhan-an (Khâlîfah Allâh) di muka bumi.113

Pendidikan sebagai alat pembebas harus dapat menampilkan watak pembebasannya

untuk melaksanakan fungsi manusia sebagai khalîfah Allâh di muka bumi yang dapat

dilakukan dengan menjunjung tinggi keadilan dan kesamaan derajad di muka undang-

undang. Sementara pendidikan transformatif merupakan pola pemikiran yang

menempatkan dan berorientasi pada upaya melakukan perubahan sosial. Pendidikan

transformatif mengandaikan terciptanya tatanan sosial yang lebih maju, beradab dan

berkeadilan. Asumsi dasarnya berangkat dari fakta-fakta sosial bahwa keadaan

masyarakat yang mengalami ketertindasan dan pembodohan (baik secara struktural

maupun kultural), harus terbebaskan dan lebih berdaulat.

Kebebasan merupakan fitrah manusia yang memiliki kemauan. Menurut Paulo Freire

(w. 1997), fitrah kebebasan selalu diinjak-injak, namun semakin diinjak, ia justeru

semakin diteguhkan. Kebebasan manusia dikerdilkan lewat ketidakadilan, eksploitasi,

penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh para penindas. Ia diteguhkan kembali

sebagai dambaan kaum tertindas akan kebebasan dan keadilan, serta dikuatkan kembali

lewat perjuangan kaum tertindas itu untuk memulihkan kembali kemanusiaan mereka

yang telah hilang,114 karena, meskipun kebebasan dibatasi oleh kebebasan lainnya, namun

kebebasan merupakan ‘harta’ yang sangat berharga bagi manusia (la syaia atśmanu min

al-hurriyah wa al-hurriyah mahjûb bi al-hurriyah al-ukhrâ). Oleh sebab itu, kebebasan

manusia merupakan hal yang sangat berarti bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang

lebih adil dan beradab.

Paradigma pendidikan Islam kritis-transformatif dimaksudkan sebagai cara pandang

untuk menjadikan pendidikan sebagai ‘kawah candra dimuka’ bagi upaya untuk

mengatasi problem-problem kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Cara yang

paling tepat adalah dengan menjadikan pendidikan tidak hanya sebagai upaya

pencerdasan, namun mengkonstruk tatanan sosial agar lebih baik dengan menanamkan

kesadaran pada diri peserta didik agar dapat memahami ketimpangan dan struktur sosial

yang menindas, sehingga ia dapat melakukan pemihakan terhadap mereka yang tertindas

dan lemah (mustad’afîn).

Paradigma pendidikan Islam kritis-transformatif memandang bahwa keadaan yang

timpang harus dilawan dengan pendidikan dan penyadaran masyarakat. Paradigma ini

memandang bahwa perubahan memiliki beberapa variabel yang terdapat dalam

pendidikan, kesadaran, kesetaraan gender dan gerakan lingkungan yang saling terkait dan

sama-sama pentingnya. Oleh karena itu, paradigma ini berorientasi pada penguatan

masyarakat dengan pola gradual-progresif; bertahap-maju.

Posisi peserta didik dalam konsep pendidikan Islam kritis-transformatif adalah

sebagai subyek aktif yang memiliki kehendak dan kebebasan untuk menentukan

pilihannya, sehingga hubungan pendidik-peserta didik tidak dilihat sebagai hubungan

struktural formal, akan tetapi hubungan tersebut bersifat partnership yang saling

113 Abdurrahman Wahid, Sekedar., hal. 241.

114 Paulo Freire, dkk, Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatis, Liberal dan Anarkis,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 434-435.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 25: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 115

melengkapi. Dalam konteks menyemaikan pendidikan kritis-transformatif, maka

diperlukan adanya perubahan metode pendidikan yang monolog diganti dengan dialog

yang bebas dan terbuka untuk mencapai kebenaran akhir yang bisa diikuti dan diterima

oleh orang-orang yang berpikiran sehat dan wajar dalam melakukan transformasi sosial.115

Pendidikan kritis-transformatif menganut pola filsafat pendidikan andragogi, yakni

proses pendidikan yang diperuntukkan bagi orang dewasa. Pola pendidikan andragogi

meniscayakan keterlibatan setiap individu dalam proses penemuan sesuatu yang baru.

Asumsi dasar dalam pola andragogi ini adalah kesadaran bersama bahwa peserta didik

telah memiliki dasar dalam mempelajari sesuatu. Sehingga dengan demikian, pola ini

berbeda dengan pendidikan pedagogi (seni mendidik anak) yang lebih menekankan pada

peserta didik sebagai objek yang belum memiliki pengetahuan. Secara umum perbedaan

kedua pola ini dapat dlihat pada tabel berikut:116

Aspek Andragogi Pedagogi

Tujuan Pemindahan pengetahuan dari satu

generasi ke generasi

Merangsang peserta agar timbul

keinginan untuk terlibat dalam proses

penemuan yang ingin diketahui

Peserta Diutamakan untuk anak-anak Orang dewasa

Penentu materi Guru /pendidik Peserta didik

Waktu Sebatas waktu pendidikan formal Seumur hidup (long life education)

Pembentukan

konsep diri Guru sangat dominan (monolog)

Timbal balik dalam proses belajar

mengajar (take and give)

Pengalaman Pengetahuan dan pengalaman guru

lebih utama

Pengetahuan dan pengalaman guru dan

peserta didik merupakan sumber yang

kaya untuk bahan pembelajaran

Dengan demikian, pendidikan Islam kritis-transformatif merupakan pemihakan, visi,

analisis dan mandat yang jelas bahwa proses pendidikan merupakan bagian dari proyek

rekayasa sosial. Pendidikan Islam kritis-transformatif ditempatkan sebagai pihak yang

membela kaum marginal dan dirugikan. Hal ini dilakukan karena struktur penguasa yang

hegemonik selalu menggunakan pendidikan untuk melanggengkan struktur yang ia

bangun itu. Selain itu, pendidikan Islam kritis-transformatif diharapkan dapat melakukan

transformasi yang jelas untuk merubah hubungan pendidik-peserta didik agar tidak

didominasi oleh pendidik semata. Oleh karenanya, ada dua agenda penting yang hendak

diperjuangkan dalam pendidikan Islam kritis-transformatif, yakni transformasi ke dalam

untuk melepaskan cengkraman hubungan pendidik-peserta didik dan struktur pengetahu-

an, serta transformasi ke luar untuk merubah struktur sosial yang timpang dan tidak adil.

Dengan demikian, pendidikan Islam kritis-transformatif merupakan suatu keniscaya-

an yang akan terwujud jika ada kesadaran bersama bahwa perubahan dalam masyarakat

merupakan suatu proses yang dapat mempengaruhi segala aspek, model, tindakan dan

karakter suatu masyarakat. Di sisi lain, pendidikan Islam kritis-transformatif akan mampu

memberikan dorongan kepada umat Islam untuk berlomba-lomba dalam menguasai ilmu

115 Abdurrahman Wahid, “Menafsirkan Kembali Kebenaran Relatif”, dalam Harian Kedaulatan Rakyat,

Jum’at Wage, 7 Februari 2003. 116 M. Badi’ Zamanil Masnur, dkk, Pendidikan Kritis Transformatif: Panduan Pendidikan dan Kaderisasi,

(Jakarta: PB PMII, 2001), hal. 105

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 26: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

116 | ISSN: 2356-2447-XIII

dan peradaban yang berkembang pesat tanpa harus meninggalkan substansi ajaran Islam,

sehingga ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak hanya terbatas bagaimana mengupaya-

kan kesalehan individual maupun memperkaya khasanah intelektual belaka, akan tetapi

lebih dari itu, umat Islam akan terbebas dari sekat-sekat primordialisme untuk dapat

mempelajari segala hal, dari manapun ia asalnya. Dalam ungkapan lain, apa yang hendak

diperjuangkan oleh pola pendidikan ini adalah terbentuknya manusia yang bermoral,

berwawasan inklusif, dan berdaya saing tinggi di tengah arus modernitas dan globalisasi.

F. Kesimpulan

Gus Dur dikenal luas sebagai seorang agamawan, politikus, budayawan dan

pemimpin bangsa. Namun bukan berarti ia tidak menaruh perhati an terhadap pendidikan.

Sebagai seorang tokoh yang “berangkat dari pesantren, kembali ke pesantren dan berjuang

melalui pesantren”, sejatinya ia memiliki perhatian mendalam terhadap pendidikan Islam.

Gagasan-gagasan Gus Dur mengenai pendidikan Islam berangkat dari komintennya untuk

menjadikan Islam sebagai komplementer terhadap semua unsur kehidupan dan

kemasyarakatan. Dalam sejumlah tulisannya, Gus Dur banyak menyebut dan

mengidentifikasi berbagai problem keumatan yang dihadapi umat Islam Indonesia.

Menurutnya, jika umat Islam berpegang pada kesadaran historis sekalikus memiliki

kemampuan untuk merubah pola pikirnya menjadi lebih maju dan dinamis, niscaya umat

Islam akan semakin bergerak dinamis menuju puncak kejayaannya.

Pendidikan dalam pandangan Gus Dur, merupakan piranti utama untuk memajukan

peradaban suatu bangsa. Karena maju mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada

pola pendidikan yang dijalankan. Islam sebagai agama pembebas terakhir, sangat

memperhatikan pendidikan umatnya, sehingga menuntut ilmu merupakan kewajiban

individu (fardhu ‘ain).

Kondisi pendidikan Islam yang masih berada dalam posisi problematik antara

“determinisme historis” dan “realisme praktis” harus segera dicari jalan keluarnya agar

selalu dinamis dan dapat menjawab problematika kehidupan. Beberapa pemikiran

pendidikan yang digagas Gus Dur dengan melakukan rekonstruksi total terhadap sistem

pendidikan yang berakar pada nilai, prinsip dan tujuan Islam sebagai agama rahmatan lil

‘âlamîn harus diwujudkan secara total untuk mewujudkan pendidikan dinamisasi dan

kosmopolitanisme peradaban. Gagasannya mengenai rekonstruksi pendidikan Islam,

fungsi logika, wacana kebebasan intelektual dan demokratisasi pendidikan Islam

merupakan gagasan yang sangat fundamental karena pemikiran Gus Dur selalu

berorientasi kepada kemajuan dan kebebasan.

Ide dan gagasan yang dilontarkan Gus Dur sejak tahun 1970-an yang berakar kuat

pada tradisi (kesadaran sejarah) dan perpaduan ilmu-ilmu sosial modern memiliki

relevansi dan signifikansi terhadap persoalan pendidikan Islam kontemporer, seperti

pendidikan perempuan, integrasi pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan umum,

dinamisasi pendidikan pesantren, idealisme pendidikan Islam dengan pendekatan

multidisipliner dan pendidikan Islam kritis-transformatif. Dengan demikian, dapat Penulis

simpulkan bahwa pemikiran, ide dan gagasan Gus Dur tentang pendidikan Islam bersifat

asimilatif, yakni menjaga tradisi yang baik sekaligus mengambil dan mengembangkan

khasanah baru yang lebih baik. Asilimasi ini pada ahirnya akan mengantarkan Islam

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 27: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 117

sebagai agama yang selalu relevan dan tidak bertentangan dengan semangat zaman (al-

Islâm shalih li kulli al-zâman wa al-makân). Hal ini semakin meneguhkan bahwa gagasan

dan ide yang dilontarkan Gus Dur selalu bervisi ke arah kemajuan dan kesempurnaan;

sebuah gagasan yang terlahir dari seorang pemikir agung dan brilliant.

Daftar Pustaka

Abdalla, Ulil Abshar. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Majalah Aula (Edisi

No. 1 Tahun XXV/Januari) 2003.

________. “Agama, Akal dan Kebebasan: Tentang Makna ‘Liberal’ dalam Islam

Liberal”, Jurnal Justisia (Edisi 27 Tahun XII). 2007.

al-Bukhâri, Abû Abd Allâh ibn Ismâ’il ibn Ibrâhim. tt. al-Jami’ al-Shahih (Shahih al-

Bukhâri), juz. I. Semarang: Toha Putra.

al-Ghazâli, Abû Hâmid .tt. Ayyuhâ al-Walad. Semarang: Toha Putra.

Ali, Fackhry.. “Seorang Asing di Tengah NU”, dalam Tempo, (25 Nopember). 1989

al-Naisâburî, Abu Husain Muslim Ibn al-Hujaj al-Qusyairî. tt. Sahîh Muslim, juz. I.

Bandung: Syirkah al-Ma’ârif.

al-Sajastâni, Sulaimân ibn al-Ats’ats ibn Ishâq al-Azdy. Sunan Abî Dâwud, dalam

http://hadits_aplikasi_tar_iEz@colection. Diunduh 15 Juli 2012.

al-Suyuthi, Jalal al-Din. tt. Dhâil al-La’âli al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah,

(versi e-book).

al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris. 1997. Dîwân al-Syâfi’î. Bairut: Dar al-Fikr.

Al-Zastrouw Ng. Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan?: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan

Pernyataan Gus Dur, cet. I. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1999.

________. “Gus Dur: Nakhkoda Sarat Beban”, dalam Ulil Abshar Abdalla, dkk, NU

Pasca Gus Dur: Beberapa Kritik Terhadap Abdurrahman Wahid, cet. II. Jakarta:

Fatma Press. 1998.

Amin, Samsul Munir. Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi Al-Bantani, cet. I.

Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2009.

Anwar, Fuad. Melawan Gus Dur, cet. I. Yogyakarta: LKiS. 2004.

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, cet. I. Yogyakarta: LKiS. 2008.

Arif, Syaiful. Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual.

Jakarta: Penerbit Koekoesan. 2009.

Assyaukanie, Luthfi. “Mencari Pengganti Gus Dur”, Koran Sindo, Senin, 11 Januari.

2010.

Barton, Greg. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, cet.

IV, Yogyakarta: LKiS. 2004.

Dematra, Damien. Sejuta Hati untuk Gus Dur; Sebuah Novel dan Memorial. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama. 2010.

Dhakiri, M. Hanif. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, cet. I. Yogyakarta: LKiS. 2011.

Faishol, Abdullah. Gus Dur: Jejak Sang Humanis dan Humoris. Surakarta: Aswaja

Institute Surakarta – AIS. 2010.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 28: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

118 | ISSN: 2356-2447-XIII

Farid Mas’udi, Masdar dkk., (Ed.). Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan

Pergolakan Internal NU. Jakarta: Rajawali. 1983.

Feillard, Andree. NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, cet. I,

Yogyakarta: LKiS. 1999.

Haque, Ziaul. Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiawati al-Khattab, cet. I. Yogyakarta:

LKiS. 2000.

Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. 1996.

________. “Kenangan Saya bersama Gus Dur”, dalam catatan

http://www.facebook.com/notes.php?id=134542199, diunduh 11 Nopember 2011.

Ida, Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekulerisme Baru. Jakarta: Penerbit

Erlangga. 2004.

Kleden, Ignas. “Pluralisme dan Nasionalisme: Gus Dur dan Frans Seda”, Kolom Tempo,

(11-17 Januari). 2010.

M. N. Ibad. Leadership Secrets of Gus Dur – Gus Miek: Rahasia Mengelola Potensi Diri

untuk Menjadi Pemimpin yang Dicintai, cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

2010.

________. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek, cet. I.

Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2011.

Mahfud MD.. Setahun Bersama Gus Dur: Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit.

Jakarta: LP3ES. 2003

________. “Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Jurnal

Manarul Qur’an (No. II, Desember). 2002.

________. Strategi Menghadapi Neo-Imperalisme Menuju Indonesia yang Berdaulat dan

Berkeadilan”, Makalah Seminar Nasional BEM UNSIQ Wonosobo di Gedung

Sasana Adipura Kencana Wonosobo, 10 April 2003.

________. “Membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat: Telaah Teologis-Historis”,

Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan

Islam. Semarang: IAIN Walisongo, 20 Maret. 2004.

________. Menuju Paradigma Islam Humanis, cet. I. Yogyakarta: Gama Media. 2003.

Masdar, Umarudin. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, cet.

II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.

Miichi, Ken. “Kiri Islam, Jaringan Intelektual dan Partai Politik: Sebuah Catatan Awal”,

Jurnal Taswirul Afkar (Edisi No. 10). 2001.

Mirza, Muhamad. Gus Dur Sang Penakluk: Sebuah Biografi Singkat. Jombang: Pustaka

Warisan Islam. 2010.

Misrawi, Zuhairi.. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keutamaan dan

Kebangsaan, cet. I. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2010

Mubin, Nurul. Poros Baru Pendidikan Islam di Indonesia, cet. I. Wonosobo: PC.

Lakpesdam. 2008.

________. Islam Bumi Kahyangan Dieng: Potret Akulturasi Kebudayaan Islam, Hindu

dan Kearifan Lokal Masyarakat Dataran Tinggi Dieng, cet. I, Yogyakarta:

Pustaka Prisma. 2010.

Muhammad, KH. Husein. Pluralisme Gus Dur: Gagasan Para Sufi, e-book dalam

www.pustakaaswaja.web.id, diunduh 1 Agustus 2012.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren

Page 29: DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Pemikiran ...abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/6.pdf · tentang pembaharuan pesantren telah ... tujuan serta kurikulum

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 119

Musthafa al-Istanbûlî. Tafsîr Rûh al-Bayân, vol. VIII. Bairut: Dâr al-Fikr. tt.

Pitono, Djoko dan Kun Haryono. 2010. Profil Tokoh Kabupaten Jombang, cet. III.

Jombang: Pemda Jombang.

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga

Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.

Rohani. 2013. Dinamisasi Pendidikan Islam di Indonesia: Sketsa Pemikiran Pendidikan

Gus Dur. Malang: Insan Cita.

________. 2014. Gus Dur dan Visi Transformatif Pendidikan Islam. Wonosobo:

Gemamedia [proses terbit].

Rosyida, Maia. 2007. Gus Dur: Asyik Gitu Loh!, cet. I. Jakarta: The Wahid Institute.

Rumadi. 2000. “Menebar Wacana, Menyodok Tradisi: Geliat Mencari Makna

Liberalisme”, dalam Jurnal Taswirul Afkar, (Edisi No. 9).

Salim, Hairus dan Muhamad Ridwan (Ed.). 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di

Jalur Kultural. Yogyakarta: LKiS.

Siradj, Said Agiel. 1996. “Ngaji Ahlussunah Dituduh Syi’ah”, dalam Aula (No. 3-Maret).

Sodik, Mochammad. 2000. Gejolak Santri Kota: Aktivis Muda NU Merambah Jalan

Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sokotunggal, Gus Nuril dan Khoirul Rosyadi. 2010. Ritual Gus Dur dan Rahasia

Kewaliannya, cet. I. Yogyakarta: Galang Press.

Sukardi, Romadlon. 1994. “Bertemu Gus Dur di Makah: Pondok Ciganjur Studi Islam di

Asteng”, dalam Majalah Aula (No. 07/Tahun XVI/ Juli).

Wahid (Ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia, cet. I.

Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute & Ma’arif Institute.

2009.

________. Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid.

Jakarta: CV. Dharma Bhakti. 1978.

Wahid, Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, cet. I.

Yogyakarta: LKiS. 1998.

________. Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: PT. Grasindo. 1999.

________. “Pengantar” dalam Mas Zaenal Muhyidin, Hoki: Humor Kyai Bareng Kang

Maman, cet. I. Bandung: Nuansa. 2007.

________. Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, cet. IV. Yogyakarta: LKiS. 2010.

________. Membaca Sejarah Nusantara; 25 Kolom Sejarah Gus Dur, cet. I. Yogyakarta:

LKiS. 2010.

________. Misteri Kata-Kata, cet. I. Jakarta: Pensil-32. 2010.

________. Prisma Pemikiran Gus Dur, cet. I. Yogyakarta: LKiS. 1999.

________. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, cet. III. Yogyakarta: LKiS. 2010.

Yahya, Lip D. Gus Dur: Berbeda Itu Asyik. Yogyakarta: Kanisius. 2004.

Yusuf, A. Nasir (Ed.). NU dan Gus Dur. Bandung: Humaniora Utama Press. 1994.

Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren