bullying di pesantren (studi deskriptif di pesantren “x

17
BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X” Depok) Desiree Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas perilaku bullying dengan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Tujuan dari penelitian ini yang pertama adalah untuk mengetahui pemahaman bullying dari pihak pesantren dan pihak santri. Kedua untuk mengetahui perilaku bullying di Pesantren “X”. Pihak pesantren dan santri mengetahui pengertian bullying, kategori bullying, penyebab bullying, dampak bullying. Perilaku bullying yang terjadi di Pesantren “X” adalah kekerasan fisik, ejekan, pengucilan, pemalakan, memerintah secara paksa. Belum adanya peraturan khusus bullying yang diterapkan di Pesantren “X”. Bullying at Pesantren (Descriptive Study at Pesantren “X” in Depok) Abstract This thesis describes about Bullying Behaviour, which uses approximation qualitative and descriptive method. The first purpose from the research is to detect a comprehension about the Bullying Behaviour from Pesantren and Santri. The second is to detect the bullying behaviour at Pesantren “X. Party pesantren and santri know the definition of bullying, bullying categories, causes of bullying, effects of bullying. Bullying behavior happened in boarding school "X" is physical abuse, ridicule, ostracism, bullying, ruled by force.Until this time, bullying behaviour occurs continually at Pesantren “X”. The absence of special rules that apply in the boarding school bullying "X". Keywords: Bullying, Kids Bullying Victim, The Doer of Bullying, Bullying at Pesantren. 1.Pendahuluan Maraknya perilaku agresif dan menekan, baik dalam bentuk tindakan fisik secara langsung dan/atau menyerang melalui kata-kata atau dikenal dengan sebutan bullying, terjadi di lingkungan pendidikan mulai dari tingkat yang paling dasar hingga ke perguruan tinggi. Pelakunya tidak hanya para senior tetapi juga guru, orangtua, dan lingkungan (Kompas, 21 Mei 2012). Hasil Konsultasi Komisi Nasional Perlindungan Anak dengan anak-anak di 18 provinsi di Indonesia (2007) memperlihatkan bahwa sekolah juga bisa menjadi tempat yang cukup berbahaya bagi anak-anak, jika ragam kekerasan di situ tidak diantisipasi. Selain itu, data dari World Vision Indonesia menunjukan 1.891 kasus kekerasan anak pada 2009 tercatat sebanyak 891 kasus kekerasan terjadi di lingkungan sekolah, seperti tawuran, pemalakan, pemukulan, menendang, menampar dan intimidasi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2012 merilis data kasus kekerasan yang terjadi pada anak di sekolah. Disebutkan 87,6% anak Indonesia masih mengalami kekerasan di sekolah, dengan perincian 29% dari guru, 28% dari teman di lain kelas (Unsur kekerasan, 2012). Menurut penelitian Yayasan SEJIWA (2008) bahwa kekerasan, baik yang dilakukan oleh guru kepada siswa maupun dari siswa kepada sesama siswa, terjadi di semua sekolah yang terlibat penelitian. Bentuk kekerasan yang meliputi bullying verbal (mengolok-ngolok, mengejek, komentar ofensif) psikologis (intimidasi, ancaman, ejekan) serta fisik (memukul, menendang, menampar) dilaporkan oleh 66.1% siswa SMP dan 67.9% siswa SMA. Umumnya siswa mempersepsikan kekerasan Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X” Depok)

Desiree

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas perilaku bullying dengan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Tujuan dari penelitian ini yang pertama adalah untuk mengetahui pemahaman bullying dari pihak pesantren dan pihak santri. Kedua untuk mengetahui perilaku bullying di Pesantren “X”. Pihak pesantren dan santri mengetahui pengertian bullying, kategori bullying, penyebab bullying, dampak bullying. Perilaku bullying yang terjadi di Pesantren “X” adalah kekerasan fisik, ejekan, pengucilan, pemalakan, memerintah secara paksa. Belum adanya peraturan khusus bullyingyang diterapkan di Pesantren “X”.

Bullying at Pesantren (Descriptive Study at Pesantren “X” in Depok)

Abstract

This thesis describes about Bullying Behaviour, which uses approximation qualitative and descriptive method. The first purpose from the research is to detect a comprehension about the Bullying Behaviour from Pesantren and Santri. The second is to detect the bullying behaviour at Pesantren “X. Party pesantren and santri know the definition of bullying, bullying categories, causes of bullying, effects of bullying. Bullying behavior happened in boarding school "X" is physical abuse, ridicule, ostracism, bullying, ruled by force.Until this time, bullying behaviour occurs continually at Pesantren “X”. The absence of special rules that apply in the boarding school bullying "X".

Keywords: Bullying, Kids Bullying Victim, The Doer of Bullying, Bullying at Pesantren.

1.Pendahuluan

Maraknya perilaku agresif dan menekan, baik dalam bentuk tindakan fisik secara langsung dan/atau menyerang melalui kata-kata atau dikenal dengan sebutan bullying, terjadi di lingkungan pendidikan mulai dari tingkat yang paling dasar hingga ke perguruan tinggi. Pelakunya tidak hanya para senior tetapi juga guru, orangtua, dan lingkungan (Kompas, 21 Mei 2012). Hasil Konsultasi Komisi Nasional Perlindungan Anak dengan anak-anak di 18 provinsi di Indonesia (2007) memperlihatkan bahwa sekolah juga bisa menjadi tempat yang cukup berbahaya bagi anak-anak, jika ragam kekerasan di situ tidak diantisipasi.

Selain itu, data dari World Vision Indonesia menunjukan 1.891 kasus kekerasan anak pada 2009

tercatat sebanyak 891 kasus kekerasan terjadi di lingkungan sekolah, seperti tawuran, pemalakan, pemukulan, menendang, menampar dan intimidasi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2012 merilis data kasus kekerasan yang terjadi pada anak di sekolah. Disebutkan 87,6% anak Indonesia masih mengalami kekerasan di sekolah, dengan perincian 29% dari guru, 28% dari teman di lain kelas (Unsur kekerasan, 2012). Menurut penelitian Yayasan SEJIWA (2008) bahwa kekerasan, baik yang dilakukan oleh guru kepada siswa maupun dari siswa kepada sesama siswa, terjadi di semua sekolah yang terlibat penelitian. Bentuk kekerasan yang meliputi bullying verbal (mengolok-ngolok, mengejek, komentar ofensif) psikologis (intimidasi, ancaman, ejekan) serta fisik (memukul, menendang, menampar) dilaporkan oleh 66.1% siswa SMP dan 67.9% siswa SMA. Umumnya siswa mempersepsikan kekerasan

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 2: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

yang mereka alami ataupun saksikan di sekitar mereka lebih berat daripada persepsi guru dan kepala sekolah. Kekerasan antar siswa di tingkat SMP secara berurutan terjadi di Yogyakarta (77.5%), Jakarta (61.1%) dan Surabaya (59.8%). Kekerasan di tingkat SMA terbanyak terjadi di Jakarta (72.7%), kemudian diikuti Surabaya (67.2%) dan terakhir Yogyakarta (63.8%)Menurut SEJIWA (2006) banyak penelitian di negara-negara maju mengenai dampak-dampak perilaku bullying, diantaranya adalah konsep korban bullyingmenjadi lebih negatif karena korban merasa tidak diterima oleh teman-temannya.

Perilaku bullying seringkali tanpa sadar menjadi bagian dari interaksi sosial, seperti ketika ejekan yang ditujukan untuk bercanda berkembang menjadi masalah serius. Menurut Elliot, bullying yang dilakukan dalam institusi pendidikan itu sendiri memiliki banyak dampak negatif bagi perkembangan karakter anak, baik terhadap pelaku maupun terhadap korban (Astuti, 2008:10). Bagi korban, dampak-dampak negatif akan muncul, seperti tidak memberi rasa aman dan nyaman, membuat para korban bullyingmerasa takut dan terintimidasi, rendah diri serta tidak berharga, sulit berkosentrasi dalam belajar, dan hal-hal negatif lainnya yang menghambat anak tersebut mencapai kesejahteraan dirinya (SEJIWA, 2008:10).

Bullying yang kerap terjadi di kalangan remaja yang berusia antara 11-18 tahun (Bullying Sekolah, 2012). Biasanya korban bullying adalah anak yang lebih lemah atau junior di sekolahnya dan yang menjadi pelaku adalah anak yang lebih tua atau sudah menjadi junior (Astuti, 2008, h. 3). Anak yang mendapat perlakuan bullying dapat mempengaruhi keberfungsian sosial di masyarakat, hal tersebut mempengaruhi kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan peran maupun fungsinya di dalam kehidupan dengan pertumbuhan usianya. Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 12-18 nomer 23 tahun 2002, perlakuan yang harus dilindungi dari anak adalah diskriminasi, ekploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Seharusnya anak-anak dapat merasakan Undang-Undang Perlindungan Anak yang tertuang dalam Kesejahteraan Anak.

Bullying yang terjadi di sekolah-sekolah, juga terjadi di ruang lingkup pesantren. Padahal pesantren merupakan salah satu wadah untuk menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan keislaman pada anak. Anak yang mengenyam pendidikan di pesantren berbeda dengan

anak yang bersekolah di asrama karena setiap harinya anak diajarkan untuk menanamkan sikap berbudi luhur, sifat terpuji, dan diarahkan untuk berperilaku seperti Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, tujuan dari pesantren yang menanamkan nilai keislaman pada anak didik bertentangan jika terjadinya tindakan bullyingyang dilakukan oleh santri.

Pesantren “X” cukup dikenal oleh masyarakat di luar JABODETABEK. Hal itu terbukti karena santri yang mengenyam di Pesantren “X” banyak yang berasal dari luar JABODETABEK (Buku Tahunan Pesantren “X”).

2. Metode

Pendekatan dan Jenis Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman dari pihak pesantren dan pihak santri tentang bullying di Pesantren “X” dan juga mengetahui tindakan bullyingyang terjadi di Pesantren “X”, maka dalam pengumpulan data diperlukan melakukan wawancara mendalam terhadap pihak yang terkait yaitu kepala sekolah, guru bimbingan dan konseling, pembina asrama, dan santri. Oleh karena itu, pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menurut Strauss dan Corbin (1997:11-13) penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, foto, video, tape, dokumen resmi lainnya (Moleong, 2006:11). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui pemahaman pihak pesantren tentang bullying dan mengetahui perilaku bullying yang terjadi di Pesantren “X”, maka pendekatan yang tepat untuk penelitian ini adalah kualitatif karena manusia merupakan objek utama sebagai sumber informasinya.

Lokasi Pengumpulan Data. Pesantren “X” merupakan pesantren yang memiliki tujuannya adalah meningkatkan kualitas santri di bidang sains bukan pada bidang keagamaan. Tidak seperti pesantren pada umumnya yang mengutamakan nilai-nilai Islam diajarkan di pesantren. Pesantren “X” tidak menjadikan

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 3: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

kitab kuning sebagai acuan pengajaran di Pesantren “X” tetapi menekankan pada pengajaran sains.

Kyai yang ada di Pesantren “X’ bukanlah pemilik pesantren sehingga Pesantren “X” lebih didominasi oleh pengelola pesantren yaitu pada bagian kesekretariatan dan dibawahi Yayasan. Pada umumnya Kyai di pesantren sebagai pimpinan pondok dalam menentukan hal-hal yang harus dilakukan dalam menjalankan kegiatan pendidikan. Selain itu pesantren “X’ tidak mengharuskan santri yang masuk ke Pesantren “X” harus memiliki latar belakang pernah mengenyam pendidikan di pesantren sebelumnya sehingga nilai-nilai agama tidak terlalu diperhatikan oleh Pesantren “X”.

Teknik Pemilihan Informan. Dalam penelitian ini, informan yang dipilih yaitu yang pertama adalah kepala sekolah. Kedua, guru bimbingan dan konseling. Ketiga, dua pembina asrama, dan terakhir, empat orang santri. Untuk pemilihan informan dari pihak pesantren yaitu kepala sekolah, guru bimbingan dan konseling, dan pembina asrama pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposivesampling..

Menurut Sugiyono (2008, h. 219) purposive samplingadalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Informan sengaja dipilih disebabkan informan dirasa memiliki data-data dan informasi yang jelas terkait dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sebagaimana dikatakan oleh Sugiyono (2008, h. 219) informan pada purposive sampling dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan terkait penelitian. Informan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru bimbingan dan konseling dan pembina asrama putra dan putri.

Guru bimbingan dan konseling yang dipilih adalah guru BK Tsanawiyah/SMP karena guru BK Tsanawiyah/SMP lebih mengetahui perilaku santri di pesantren sedangkan guru BK Aliyah/SMA fokus pada pemberian informasi tentang perguruan tinggi untuk kelas Aliyah/SMA. Ketiga, dua pembina asrama, Informan pembina asrama yang dipilih adalah ketua pembina asrama putra dan putri. Jumlah pembina asrama putri berjumlah lima pembina dan untuk putra berjumlah tujuh pembina. Keempat adalah empat orang santri. Untuk informan santri dua santri dari Aliyah (SMA) untuk pelaku dan dua santri Tsanawiyah (SMP) untuk korban.

Dalam pemilihan informan yaitu santri, teknik yang dipilih adalah teknik bola salju (snowball) karena sukarnya menemukan pelaku dan korban bullying yang ada di Pesantren “X” maka dalam penelitian ini, menggunakan teknik snowball. Hal tersebut dilakukan

agar peneliti dengan cepat dapat menemukan, korban dan pelaku bullying. Menurut Lee dan Berg dalam Iskandar (2009, h. 220) menyatakan strategi dasar teknik bola salju ini (snowball) ini dimulai dengan menetapkan satu atau beberapa orang informan kunci (key informants) dan melakukan interview terhadap mereka, kepada mereka kemudian diminta arahan, saran petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya yang menurut mereka memiliki pengetahuan, pengalaman, informasi yang dicari.

Selanjutnya penentuan informasi berikutnya dilakukan dengan teknik yang sama sehingga akan diperoleh jumlah informan yang semakin lama semakin besar. Dilakukan teknik bola salju (snowball) agar mendapat informan yang pernah mengalami tindakan bullying, baik sebagaikorban dan informan yang melakukan tindakan bullying baik sebagai pelaku sehingga akan memperkaya informasi dan data mengenai kasus bullying di Pesantren X.

Informan kunci yang telah ditetapkan adalah guru BK dan pembina asrama karena keduanya memiliki kapasitas untuk mengetahui karakteristik santri yang dapat dijadikan sebagai informan baik pelaku maupun korban. Karakteristik korban yaitu korban mengalami perubahan perilaku seperti cenderung sulit bersosialisasi, rendah diri, pendiam, tidak suka keramaian, sulit berkosentrasi dalam belajar, tidak bersemangat atau murung, dan juga adanya laporan dari pihak santri yang mengatakan bahwa santri tersebut adalah korban bullying. Karakterisitik untuk pelaku bullying yaitu santri yang dinilai oleh informan kunci dapat menjadi provokator bagi teman-temannya untuk melakukan tindakan bullying. Kemudian santri yang pernah dilaporkan melakukan tindakan bullying,dan santri yang memiliki jumlah pelanggaran yang cukup tinggi. Indikator pelanggarannya adalah pelanggaran tata tertib, yaitu sering bolos sekolah dan mengaji, terlambat pulang ke pesantren, menyontek, berkelahi, dan kabur secara diam-diam dari pesantren.

Teknik Pengumpulan Data. Alston dan Bowles (1998:9) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif memulai penelitian tanpa adanya ide-ide atau pemahaman yang telah disusun terlebih dahulu, melainkan membiarkan pola-pola ataupun tema-tema terbentuk dari pengalaman. Secara lebih lanjut dijelaskan pula oleh Alston dan Bowles (1998:9) bahwa, “From careful observations, immersion in the world of the ‘researched’, in-depth interview, and a range of other techniques, qualitative researchers build their theories form the patterns they observe in their data ...”Dalam penelitian deskriptif kualitatif yang menjadi alat pengumpul data atau instrument penelitian adalah peneliti sendiri. Dalam pengumpulan data peneliti harus terjun langsung ke lapangan tanpa bisa diwakili.

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 4: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

Menurut Lofland & Lofland (1984:47) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Oleh karen itu, teknik yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya dengan melalui tenik studi kepustakaan (literature study) dan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) Studi kepustakaan (literature study)

Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Dalam penelitian ini, data-data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan berupa data-data mengenai teori-teori yang berkaitan dengan bullying, remaja, buku-buku yang membahas mengenai bullyingyang dilakukan oleh teman sebaya dan juga peran sekolah dalam menangani kasus bullying yang dapat diperoleh melalui browsing di internet, media cetak, dan catatan dokumen lainnya.

Wawancara mendalam (in-depth interview)Alston dan Bowles (1998:10) menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif proses penelitian dilakukan dengan cara interaksi dua arah antara peneliti dan yang diteliti. Dalam hal ini, wawancara mendalam merupakan salah satu teknik wawancara antara peneliti dan yang diteliti, dimana keduanya berada pada tingkat atau posisi yang sejajar (sama). Wawancara mendalam

dilakukan secara individual, artinya, wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti dengan informan yang dianggap mewakili masing-masing tempat penelitian. Proses wawancara dilakukan fleksibel dengan mengajukan pertanyaan yang semi terstruktur. Hal ini dilakukan, pertama karena proses wawancara harus disesuaikan dengan kondisi saat proses wawancara tersebut berlangsung sehingga pertanyaan yang diajukan juga harus disesuaikan. Tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan terstruktur dalam suatu penelitian kualitatif karena hal itu akan membatasi perolehan data yang diharapkan. Hal yang sama dijelaskan oleh Neuman (1997:371) bahwa partisipasi secara aktif dari informan yang terlihat dari gerak tubuh (gesture), perasaan (feeling), dan kerjasama (cooperation) oleh informan dalam perolehan data, bernilai selama proses wawancara.

Dalam penelitian ini, dilakukan wawancara mendalam kepada informan yaitu empat santri pesantren “X”. Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara dengan kepala sekolah, guru bimbingan dan konseling, dan pembina asrama.

3. Hasil dan Pembahasan

a. Temuan LapanganBerikut ini adalah tabel yang menunjukkan karakteristik pihak pesantren, santri, dan profil pesantren, yaitu :

Karakteristik Pihak Pesantren.Nama Jenis Kelamin Usia Jabatan Lama Bekerja

Informan E Laki-laki 46 tahun Kepala Sekolah 5 tahunInforman M Perempuan 39 tahun Guru BK 2 tahunInforman S Perempuan 40 tahun Pembina Asrama

Putri4 tahun

Informan W Laki-laki 38 tahun Pembina Asrama Putra

3 tahun

Karakteristik Santri.Nama Jenis Kelamin Usia Kelas Keterangan

Informan R Perempuan 17 Tahun Tiga Aliyah/SMA Pelaku BullyingInforman J Laki-laki 17 Tahun Tiga Aliyah/SMA Pelaku BullyingInforman N Perempuan 15 Tahun Dua Tsanawiyah/SMP Korban BullyingInforman K Laki-laki 15 Tahun Dua Tsanawiyah/SMP Korban Bullying

Karakteristik Profil Pesantren “X”Pesantren “X” merupakan salah satu wujud dari harapan dan keinginan yang sudah lama dicita-citakan oleh KH. AS (Alm). Pesantren “ X” didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 untuk mewujudkan keinginanannya yang besar dalam menangani

pengembangan dan pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah Pemahaman Bullyingdari pihakPesantren “X” dan pihak santri. Pesantren “X” merupakan pesantren modern (khalaf). Pesantren “X” dikelola oleh pihak yayasan bukan dikepalai oleh seorang Kyai.

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 5: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

Pesantren “X” mengedepankan ajaran sains dibandingkan dengan ajaran-ajaran agama Islam.

Pemahaman Bullying

Pengertiaan Bullying. Pemahaman tentang pengertian bullying, diungkapkan oleh kepala sekolah (E), “tindakan seseorang dalam pengertian membuat orang lain tidak nyaman dalam hal ini mengancam, menakut-nakuti, memaki-maki, melecehkan, membuat malu orang, ya seperti itu lah” (E, 29 Oktober 2012). Guru BK (M) dan pembina asrama putra (W), memiliki presepsi yang sama dengan E yang menyatakan bahwa tindakan bullying mengakibatkan korban merasa tidak nyaman, “bullyingadalah suatu tindakan kekerasan baik psikis maupun fisik yang dilakukan secara berulang yang membuat si korban merasa tidak nyaman”(M, 29 Oktober 2012).

Pembina asrama putra (W) juga mengungkapkan hal serupa, “bullying itu tindakan yang membuat seseorang merasa tidak nyaman” (W, 30 Oktober 2012).Penjelasan dari informan S (pembina asrama putri) ,“bullying itu kekerasan yang dilakukan oleh orang lain terhadap individu lainnya..bisa juga melukai perasaan” (S, 30 Oktober 2012).

Pelaku bullying (R) sependapat dengan informan dari pihak pesantren yang menyatakan bahwa bullying mengakibatkan seseorang menjadi tidak nyaman, “bullying itu kayak penindasan sih ka, penindasan seseorang yang memberi tekanan, tekanan biasanya lebih ke mental ya, ke mentalnya gitu yang buat orang tuh rada gak nyaman gitu karena akibat dari orang yang melakukan bullying ” (R, 05 November 2012).

Informan J (pelaku bullying) baru mengetahui istilah bullying saat mengikuti seminar yang diadakan oleh mahasiswi dari Universitas Indonesia, pemahamn J mengenai bullying , “bullying itu semacam, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang kepada seseorang, gak cuma kekerasan fisik, tapi termasuk juga dengan ngata-ngatain, udah itu aja.. saya awalnya gak tau istilah bullying, tau nya pas ada seminar yang dari UI itu, dulu gak tau istilah bullying, jadi pas tau seminar itu pas saya kelas dua Aliyah” (J, 05 November 2012).

Untuk pemahaman dari korban bullying (N dan K) mempunyai jawaban yang hampir serupa dengan jawaban dari pihak pesantren dan pelaku bullying. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari informan K yang mengatakan bahwa bullying merupakan tindakan kekerasan, “kayak kekerasan yang dilakukan senior sama juniornya terus sama perlakuan gak enak lah, gitu deh intinya soalnya saya gak tau banyak tentang bullying” (K, 06 November 2012).

Bagi N bullying merupakan perbuatan penindasan dari seseorang, N juga menyatakan bahwa dirinya kurang mengetahui mengenai pengertian dari bullying, “kayak kesalahan gitu kayak nindas seseorang, terus ya apa ya, ya gitu gak tau pokoknya intinya kaya bisa lewat tulisan perbuatan bisa fisik” (N, 06 November 2012).

Kategori Bullying. pernyataan dari M, “kalo psikis itu lebih ke perempuan ya, biasanya lebih mengucilkan mengisolasi meminta orang lain untuk memusuhi mereka, psikis juga itu sifatnya verbal dan non verbal ya, verbal itu dengan ucapan ngata-ngatain, kalo non verbal itu bisa memandang dengan tatapan yang tajam atau sinis ya” (M, 29 Oktober 2012).E mengatakan bahwa salah satu tujuan dari bullying adalah membuat malu korban, “mengancam,mengejek..yaa dua hal itu lah, melecehkan tujuannya membuat malu seseorang” (E, 29 Oktober 2012). Informan S hanya menyebutkan satu tindakan yang termasuk tindakan bullying yaitu adalah kekerasan fisik, “kalau disini memang main fisik” (S, 30 Oktober 2012).

Informan W memiliki pendapat yang sama dengan S yang juga mengatakan bahwa kekerasan fisik termasuk dalam kategori bullying, “yaa itu kekerasan fisik, ngejek-ngejek, ngata-ngatain, kalo santri putra biasanya suka ngejek juga gak cuma di putri aja, biasanya nama orangtua dipanggil-panggil, nah itu mungkin masuk juga sama kategori bullying, pokoknya senioritas lah” (W, 30 Oktober 2012).

Pembina asrama putri (S) mengaku bahwa santri yang mengejek seringkali terjadi baik di sekolah maupun di lingkungan asrama namun S tidak mengetahui apakah ejekan tersebut termasuk kategori bullying. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari informan S sebagai berikut :

“ya itu tadi seperti yang saya bilang mengejek itu ada katagorinya untuk anak-anak, anak-anak kadang merasa bahwa itu bukan ejekan, itu candaan tetapi bagi kita yang orang tua, itu candaannya sudah keterlaluan misalnya nama anak “A” tapi bukan dipanggil anaknya tapi bapak atau ibunya yang di panggil.. nah iya julukan itu ya itu entah siapa, tapi tetep kita coba bahwa itu panggilan-panggilan yang tidak baik, tapi yang namanya dunia anak ya itu tadi kembali lagi kesana, kayak misalnya anaknya Pak Solihin “eh Solihin”, jadi panggilannya bukan panggilan dia tapi panggilan orang tua atau kalau ini misalnya ayahnya lagi berkunjung atau mamahnya “tuh ada ini” santrinya kayak ngejek-ngejek jahil gitu.. nah itu saya juga kurang paham apa itu termasuk menyakiti dalam artian bullying itu tadi atau karena masing-masing

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 6: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

individu tidak merasa bahwa itu sesuatu hal yang perlu dipikirkan lebih lanjut” (S, 30 Oktober 2012).

Informan R juga menyatakan bahwa perilaku bullyingmengarah pada tindakan senior kepada juniornya,“kalau bullying bisa kayak nyuruh-nyuruh adek kelas juga termasuk bullying kayaknya, apalagi kan disini kelas tiga tuh kayak udah senior itu lebih tinggi gitu biasanya suruh adek kita males ke kantin gitu sama apa ya, kekerasan mungkin, yang cowok tuh ada pemukulan” (R, 05 November 2012).

Pemahaman dari pelaku bullying terhadap kategori bullying adalah paksaan, ejekan dan kekerasan fisik, hal tersebut sesuai dengan petikan hasil wawancara, “kalo bullying ya itu bisa termasuk ngatain, itu mukul, terus bisa juga pemerintahan sesuatu jadi dia gak mau tapi di paksa” (J, 05 November 2012).

Untuk korban bullying, keduanya memiliki persamaan pendapat bahwa penghinaan dan perlakuan kekerasan fisik termasuk dalam kategori bullying, hal ini sesuai dengan pernyataan dari informan N, “menghina, malak, kayak jelek-jelekin nama baik seseorang, gak nemenin gitu kayak ngejauhin pakai kekerasan fisik juga bisa” (N, 06 November 2012).

“Mukul, nampar, maki-maki, marah-marah gak jelas, ngina juga.. udah kali ya” (K, 06 November 2012)”. Kutipan wawancara tersebut merupakan penjelasan dari informan K tentang kategori bullying.

Penyebab Bullying. Penyebab bullying yang terjadi di Pesantren “X” disebabkan karena senioritas yang tinggi. Selain itu awal terjadinya bullying bermula karena antar santri seringkali mengejek satu sama lain. Penyebab pelaku melakukan tindakan bullying menurut para informan yaitu karena adanya rasa “menguasai” junior dan berawal dari keisengan para santri terhadap santri lainnya. Pengakuan diri dianggap sebagai salah satu motivasi pelaku melakukan tindakan bullying. Hal ini disampaikan oleh informan dalam petikan wawancara sebagai berikut :

“karena mereka merasa senior jadi bisa merasa menjadi pemimpin dan menguasai adik kelasnya kadang untuk menyuruh,kalo tidak mau di suruh, ya adiknya diancam seperti itu, banyak menunjuk kata senioritas, diejek gitu sama kaka kelas..ya intinya tuh karena mereka merasa punya kekuatan aja itu yang memotivasi mereka” (E, 29 Oktober 2012).

“Awalnya iseng mungkin ya, terus keseringan terus yang melakukan bullying mendapat

kepuasaan batin, yaudah jadi terus melakukan bullying deh” (W, 30 Oktober 2012).

“Pingin diakui keberadaannya” (S, 30 Oktober 2012).

“merasa mungkin dirinya hebat,terus..mungkin awalnya bisa juga dari iseng ngeledek terus keterusan dan bisa berlanjut… di pesantren dia merasa dia sebagai kakak kelas ya” (M, 29 Oktober 2012).

Penyebab lainnya bullying terjadi, menurut pembina asrama putri (S), santri yang terlihat “nyolot”, pintar, “cantik”, dan merupakan saingan santri lainnya adalah penyebab tindakan bullying di pesantren “X”,“memang ada anak yang ada kecendrungan bahwa dia memang tidak bisa dikondisikan, artinya nyolot itu tadi, sama kakak kelas gak ini bener, karena dia dari rumah dia sudah terbiasa pede atau apa, nah yang seperti ini anak mau tidak mau, bener-bener ditekan, sehingga dia tidak punya kesempatan lagi untuk eksis dari biasanya seperti itu atau kalau tidak itu misalnya dia cantik atau dia pintar (S, 30 Oktober 2012).

Penyebab bullying menurut W yaitu, “kalo di pesantren, biasanya tuh anak iseng aja karena mereka disini bersama-sama dan kurangnya wadah untuk hiburan, jadi suka dilampiaskanlah itu keisengannya, kayak tadi ngejek-ngejek temennya, manggil nama orangtua, atau ngumpetin sepatu temennya, nyuruh-nyuruh junior kalo ga mau nanti juniornya makin diisengin lah” (W, 30 Oktober 2012).

Selain itu penyebab lain yang mendukung aksi bullying terjadi di pesantren “X” karena kurangnya kontrol dan pengawasan dari pihak-pihak pesantren baik guru-guru maupun pembina asrama, informan menjelaskan bahwa pesantren merasakan kurangnya sumber daya manusia untuk ditempatkan di asrama sehingga banyak kasusbullying luput dari pengawasan, “sebabnya banyak tidak hanya dari santri itu sendiri tetapi juga dari pihak pesantren dalam mengontrol dan mengawasi anak sehingga hal-hal yang tidak diinginkan terjadi disini, apalagi jumlah pembina asrama dengan santri itu jumlahnya tidak imbang yaitu 1:40-an anak”(E, 29 Oktober 2012).

Penyebab tindakan bullying menurut S bahwa kebanyakan santri ingin menjadi pusat perhatian dan eksis dalam kegiatan pesantren, salah satu upaya santri agar diakui keberadannya adalah mendapat pacar di pesantren, jika santri yang tidak mempunyai pacar, S merasa santri tersebut akan berusaha mencari perhatian dengan cara melakukan tindakan bullying kepada santri lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyatan dari informan S sebagai berikut:

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 7: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

“nah itu apa ya cara dia mengaktualisasikan diri, kaya pinter gak, ya ini loh saya, ya harus ada dilakukan gitu ya dilakukannya begini-begini, misalnya seperti itu, mau dia pacaran mau dia ini, sebetulnya hanya salah satu trik untuk menarik perhatian orang bahwa saya ini ada.. anak Aliyah ini mohon maaf apalagi kalau yang memang yang tidak ini, kebetulan juga gak dapet pacar jadi suka aneh-aneh” (S, 30 Oktober 2012).

Pembina asrama putri (S) menjelaskan penyebab bullying yang terjadi di Pesantren “X”, “pengen di akui keberadaannya, tapi begitu kita tarik background ke belakang memang dia dari rumahnya ada masalah, bagaimanapun ini anak ya mohon maaf aja secara garis besar anak disini anak-anak yang bermasalah, hampir 80 persen anak disini bukan anak normal” (S, 30 Oktober 2012).

Menurut kedua pelaku bullying penyebab santri menjadi korban bullying karena korban dinilai “nyolot”, “pamer”, “pecicilan” dan juga pelaku merasa memiliki kekuatan karena telah menjadi senior. Kedua informan pelaku menyatakan bahwa mereka mengharuskan junior untuk menuruti “perintah” senior. Hal ini sesuai dari pernyataan dari informan R dan informan J, “nyolot”, “sengak”, kayak gitu, biasanya yang gak nurut sama seniornya, kan disini kita kan lebih tinggi posisinya harusnya mereka nurut dong, toh dulu kita juga suka dijajah sama senior, sok kaya juga kak, gimana ya, suka pamer aja misalnya gitu, terus pecicilan, kalo ngomong misalnya “nyablak” atau sok asik gitu” (R, 05 November 2012). Pernyataan R juga didukung oleh pernyataan dari J, “biasanya dia lebih lemah daripada orang yang membullying tersebut atau derajat dia lebih rendah” (J, 05 November 2012).

Kedua korban informan sama-sama memiliki satu pandangan bahwa seseorang di bullying karena adanya ciri khas fisik yang dapat dijadikan sebagai bahan ejekan dan membuat seseorang tersebut menjadi korban bullying. Informan K juga memiliki pandangan yang sama dengan pelaku bullying yang menyatakan bahwa junior akan rentan menerima perlakuan bullying dari seniornya, “ya karena dia nyebelin kali terus ada di dalam dirinya yang bisa buat di ceng-cengin, kayak dikatain “gendut, “item”, atau kalo dia mirip artis siapa nah artisnya itu tampangnya jelek, bisa tuh dipanggil nama artis itu..biasanya yang junior ya bisa kena di bullying sama seniornya karena beda umur kali ya, lebih tua sama lebih muda, jadi yang lebih muda gak berani” (K, 06 November 2012).

Pernyataan informan K menanggapi sebab seseorang di bullying karena adanya ciri fisik khas dari korban juga didukung oleh pernyataan dari informan N, “jadi dia

terlalu lugu terus mungkin apa ya ada sifat negatifnya yang bisa buat seseorang ga suka, bisa juga karena dia cacat, terus dikata-katain atau dijauhin gitu sama orang-orang” (N, 06 November 2012).

Dampak Bullying. Pihak pesantren mengetahui dampak dari bullying mengakibatkan santri tidak nyaman berada di lingkungan pesantren dan memiliih untuk keluar dari Pesantren “X”. Kepala sekolah mengungkapkan dampak dari tindakan bullying yang terjadi di pesantren “X” mengakibatkan santri keluar dari pesantren dengan alasan tidak betah dengan suasana di lingkungan pesantren, selain itu informan juga menyatakan bahwa dampak lain dari bullying adalah membuat korban menjadi takut, “dampaknya anak jadi takut kalo kemana-mana gak berani sendiri..beraninya kalo rame-rame terus jadi minder dan suka menyendiri..kalo anak itu di pesantren, jadi gak betah, tiba-tiba keluar dari sini” (E, 29 Oktober 2012).

W mengaku mengetahui lebih banyak pemahaman tentang bullying karena mengikuti seminar anti bullying yang diadakan oleh mahasiswi Universitas Indonesia. W lebih banyak menyebutkan dampak bullying dibandingkan dengan informan E dan S, “anak bisa aja jadi gak nyaman, takut kalo ketemu seniornya, jadi suka pulang kerumah juga bisa karena gak nyaman sama lingkungan pesantren.. hmm..sakit juga bisa ya, kayak stress, murung, dan takut” (W, 30 Oktober 2012).

Guru BK (M) menjawab lebih banyak dampak bullying dibandingkan dengan informan E dan S, “banyak ya, dampaknya bagi korban, kalo psikis itu bisa menjadi pemurung, trauma, ketakutan..kalo fisik ada yang sampe pusing, mual, badannya sakit sakit, demam, banyak dampaknya” (M, 29 Oktober 2012). M mengatakan bahwa dirinya mencoba memahami lebih jauh tentang bullying di sekolah karena M menyadari dampak bullying sangat mempengaruhi perkembangan anak.

Pembina asrama putri (S) menambahkan bahwa adanya faktor keluarga dari pelaku dan korban. S menyadari bahwa dampak dari bullying sangat berbahaya untuk perkembangan anak. Hal tersebut sesuai pernyataan dari informan S, “sangat ini ya ngeri ya, tidak betah ya biasanya, tidak betahnya itu juga faktornya banyak, tidak hanya lingkungan, biasanya orangtua”(S, 30 Oktober 2012).

Informan R mengungkapkan bahwa dampak bullying akan berpengaruh kepada mental seseorang, “mental sih kak lebih ke mental gitu biasanya kalau disini kalau di bullying gak betah gitu pengennya keluar” (R, 05 November 2012). Pernyataan dari informan R mengenai dampak bullying akan membuat korban

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 8: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

menjadi tidak nyaman di lingkungan pesantren yang mengakibatkan adanya keinginan untuk keluar dari pesantren, disetujui juga oleh ketiga informan dari pihak santri. Hal tersebut ketiga informan sampaikan dalam petikan wawancara berikut :

“dampak nya itu orang yang dibully kesel, dia juga akan, bisa juga sih berdampak ke mental, dia jadi ngedrop, kalo di pesantren biasanya dia bakal gak betah..ada kejadian kalo di bullydia keluar gara-gara sama angkatan nya diejek terus jadi dia keluar deh, itu satu orang yang keluar” (J, 05 November 2012).

“suka murung, jadi ngucilin diri sendiri, suka ngerendahin diri suka, kadang bisa stress juga karena kepikiran terus masalahnya..ya terus sama gak nyaman sama keadaan dirinya sama sekitar” (N, 06 November 2012).

“dampaknya jadi gak betah aja disini terus jadi malu dan gak PD, kan dikata-katain mulu, “gendut” yaudah nih anak jadi gak PD sama bentuk badannya.. kayak saya gitu suka dikatain “gendut” jadi suka gak PD, eh jadi suka nunduk aja deh, terus dampaknya apalagi ya, ini kali ya jadi susah deket sama orang, jadi suka menyendiri gitu, udah itu aja kali” (K, 06 November 2012).

Perilaku Bullying.Kedua korban bullying yaitu informan N dan K mengaku bahwa awal kali mereka mendapat perlakuan bullying dari teman-temannya saat duduk di kelas satu Tsanawiyah. N menjelaskan awal tindakan bullyingyang diterimanya bukan dari teman sebaya melainkan dari senior-seniornya. Sedangkan K mengakumendapat perlakuan bullying dari teman-teman sebayanya. K menjelaskan tindakan bullying yang di alami adalah ejekan memanggil nama orangtua, selain itu K juga diejek “gendut” dan “jadul”. Akibat K seringkali di ejek anak yang “jadul” karena kacamata yang digunakannya, K menjadi tidak percaya diri dan meminta orangtuanya untuk menggantikan kacamata yang baru namun orangtuanya tidak langsung mengganti kacamata K. Baru setelah tiga bulan orangtua K mengambulkan permintaannya. Sayangnya setelah K mengganti kacamatanya, tindakan bullyingberupa ejekan tetap diterima K dan tetap diejek sebagai anak yang “jadul

Pelaku bullying yaitu informan J, mengungkapkan hal yang sama dengan M. J mengaku seringkali mengejek teman yang memiliki ciri khas tertentu dan mengejek nama orang tua yang dinilai memiliki nama yang “unik”. J melakukan tindakan bullying secara verbal sejak kelas satu Tsanawiyah. J juga mengatakan

awalnya hanya ikut-ikutan teman dan sekarang sudah menjadi suatu yang lumrah jika di “Pesantren “X.Tindakan bullying pertama kali dilakukan oleh informan R pada saat kelas satu Tsanawiyah sama dengan J yang melakukan tindakan bullying saat pertama kali mengenyam pendidikan di pesantren. Berbeda dengan J yang awalnya tindakan bullyingmengejek, R melakukan tindakan bullying secara non verbal yaitu pengucilan. Meskipun R menyuruh teman-temannya untuk menjauhi korban, R memilih untuk menghindari korban/saingannya. Alasan pelaku tidak menyukai korban karena korban dinilai sebagai saingannya dalam urusan pribadi pelaku namun informan juga melakukan tindakan menghindari korban.

Informan R melihat bahwa tindakan bullying yang dilakukan mengarah pada tindakan spontanitas dan bukan tindakan yang direncanakan. R mengaku pernah melakukan bullying verbal yaitu saling mencaci-maki dan berselisih paham dengan santri lainnya. Di Pesantren “X memiliki sistem “kakak angkat” yang mana santri junior memilih santri senior untuk menjadi “kakak angkat” mereka. Salah satu fungsi “kakak angkat” selain untuk tempat cerita santri junior juga untuk dapat membela santri junior jika terjadi tindakan yang tidak menyenangkan dari santri senior lainnya. Selain itu keuntungan menjadi “kakak angkat” dijelaskan oleh informan R bahwa mendapat barang atau hadiah dari “adik angkat”. Namun akibat adanyasistem “kakak angkat”, jika ada santri junior merebutkan satu “kakak angkat” yang sama dan “kakak angkat” hanya memilih satu diantara mereka. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik antara junior yang tidak dipilih oleh “kakak angkat”.

Bullying yang terjadi di santri putra selain mengejek, kekerasan fisik, perintah yang mengancam dan juga terjadi pemalakan kepada santri junior. Sedangkan di santri putri bentuk bullying terjadi secara psikis namun terjadi juga perintah yang mengancam dan pemalakan. Pemalakan yang dilakukan oleh J berkisar dari Rp. 1.000- Rp. 20.000 sedangkan R melakukan pemalakan bekisar dari Rp. 1.000- Rp. 5.000.

Aksi bullying yang dilakukan oleh J adalah memerintahkan junior untuk mengambilkan minum, makanan atau membeli makanan di kantin. J mengaku hampir saat jam makan, ia selalu menyuruh junior mengambilkan makanannya. Tidak hanya menyuruh junior untuk mengambilkan makanan. Terkadang jika menurut J makanan tersebut adalah makanan yang disukainya, ia langsung meminta secara paksa makananjunior. Kemudian J seringkali menyelak kamar mandi saat sedang mengantri. Pengawasan yang kurang dari pembina asrama saat santri berada di asrama yang membuat tindakan J tidak pernah ketahuan oleh pembina asrama. J pernah melakukan pengroyokan

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 9: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

kepada santri junior yang menjadi anggota ISPAH. J mengaku tidak menyukai korban karena J merasa korban “sok” dalam mengatur senior.

J menceritakan kronologis pemukulan tersebut bahwa pemukulan dilakukan di dalam kelas yang kosong dan dilakukan saat selesai kegiatan belajar di kelas. J menceritakan korban dibawa dan pelaku pemukulan berjumlah tujuh santri. Dua santri lainnya menjaga pintu kelas agar aksi pengroyokan tidak diketahui oleh pihak pesantren. Setelah itu J menjelaskan melakukan ancaman kepada korban untuk tidak suka memerintah, terutama kepada senior. J juga menarik kerah baju korban dan “menempeleng korban”. Penggencetan tersebut berjalan sekitar 10 menit. Setelah mengancam, korban dipukuli secara bersamaan oleh kelima pelaku lainnya termasuk J. Melihat korban sudah tidak berdaya, j memutuskan untuk menghentikan tindakan anarkis tersebut. Sebelum meninggalkan korban J kembali mengancam agar tidak melaporkan tindakannya kepada pihak pesantren dan orangtua.

Kasus pemukulan kedua yang dilakukan oleh J ketika J melihat ada santri yang mecuri uang temannya. Kejadian pencurian tersebut dilakukan saat pukul 11.00 malam. Tanpa pikir panjang J langsung memukulinya dan aksi J diikuti oleh teman-teman lainnya.. Akibat pengroyokan tersebut, santri yang mencuri mendapat luka di bagian matanya. Pemukulan baru berhenti saat pembina asrama melihat kejadian tersebut dan menghentikan aksi J dan teman-temannya. Pemukulan yang dilakukan J mengakibatkan J dan orangtuanya dipanggil oleh pihak pesantren. J menjelaskan bahwa orangtua korban tidak terima anaknya menjadi korban pemukulan.

Perlakuan bullying yang diterima N tidak hanya dari seniornya saja tetapi juga dari teman seangkatannya. N menerima bullying secara verbal dan psikis. Menurut N banyak teman seangkatan yang tidak menyukai dirinya karena N dianggap sebagai saingan, baik di asrama dan di sekolah. N aktif di kelas dan juga aktif dalam kegiatan-kegiatan di pesantren seperti kegiatan marawis yang rajin N ikut dan sering diminta untuk mengikuti lomba-lomba cerdas cermat oleh guru-guru. N merasa dirinya dikucilkan karena teman-temannya mempengaruhi teman lainnya untuk menjauhi N. N juga dituduh sering mencari perhatian dan juga berperilaku “sok” cantik, seperti yang diakui oleh informan N sebagai berikut:

“paling kalo sesama angkatan tuh becanda-becanda gitu, nah terus kok jadi menghina, iya aku suka dibilang sok cantik lah, “ih jangan temenin X kan dia sok cantik banget, kayak cantik aja”, nah kayaknya mereka gak suka sama aku gara-gara aku suka aktif gitu di kelas sama kegiatan-kegiatan, kayak aku aktif

di marawis atau kalo ada kegiatan di pesantren aku suka ikut, terus kalo dikelas aku suka maju gitu jawab pertanyaan guru, pernah dibilang cari muka, “eh lo cari muka banget sih sama guru-guru sama umi juga”(N, 06 November 2012).

Informan N tidak hanya dikucilkan, N mengaku seringkali merasa diintimidasi karena jika N berpapasan dengan teman atau seniornya yang tidak menyukai dirinya, N merasa dilihat dengan sinis dan juga seringkali merasa dikucilkan oleh santri yang tidak menyukainya. Informan N merasa dirinya tidak berperilaku aneh yang dapat menganggu santri lainnya. N mengungkapkan kasus yang termasuk kategori bullying yaitu saat dirinya berpapasan dengan santri kelas dua Aliyah. Waktu itu N sedang berjalan sendiri menuju perpustakaan, saat hendak berjalan mengarah perpustakaan, N berpapasan dengan dua santri kelas dua Aliyah, N merasa salah satu seniornya sengaja menyenggol N sampai N hampir terjatuh, “awalnya pas lagi papasan dia sok nyenggol aku gitu ka, terus aku keceplosan, bilang, “santai kali”, eh dianya tiba-tiba balik ke aku terus nyubit bahu, katanya “ih nyolot banget lo”, padahal kan aku keceplosan banget ngomong gitu, aku sih sebenernya milih diem aja, cuma ya namanya keceplosan jadi gitu deh” (N, 06 November 2012).

Setelah insiden tersebut jika N bertemu dengan dua senior yang menabraknya, N berusaha untuk menghindar, saat peristiwa itu juga N merasa semakin dikucilkan dan merasa dirinya tidak diterima di lingkungan pesantren. N mengaku hanya sedikitmemiliki teman di pesantren, awal masuk N masih banyak memiliki teman di pesantren namun saat ada sekelompok santri yang tidak menyukai dirinya semenjak itu banyak santri yang mulai menjauhi dirinya.

Pengalaman bullying informan N terus berlanjut, kali ini N mengalami pemalakan oleh seniornya. N mengaku merasa takut dengan senior dan sebisa mungkin berusaha tidak berurusan dengan senior dan lebih memilih menuruti perintah senior, hal tersebut sesuai dengan ungkapan N, “pernah dipalakin itu sama kelas satu aliyah, pas lagi dikantin, tiba-tiba tuh kaka manggil aku, “eh lo sini deh, ada duit gak?”, “bagi dong duit gw ketinggalan nih di kamar, mau jajan”...”Ya nadanya kayak ngancem gitu ya, yaudah aku kasih aja 2000 daripada nanti malah diapa-apain, kan males aja gitu ka punya urusan sama senior” (N, 06 November 2012).

N menjelaskan bahwa jika junior tidak menuruti perintah senior, senior akan semakin membullying, bisa dalam bentuk sindiran kepada juniornya,.”kalo ga dikasih nanti pasti seniornya nyindir-nyindir gitu,

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 10: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

kayak temen aku pernah disindir, “kaya nyindir kita pelit “yaelah seribu doang masa gak ada sih” gitu-gitu, aku juga gak enak sama kakak kelasnya abis mereka kayak maksa gitu sih ka” (N, 06 November 2012).

Pengalaman bullying yang dialami N selanjutnya adalah pelabrakan yang dilakukan oleh seniornya di kamar N. N menjelaskan saat itu pembina asrama sedang tidak ada di asrama dan tidak memeriksa kamar-kamar santri dan waktu pelabrakan terjadi sekitar jam 19.30, saat sedang adanya pengajian rutin setelah sholat isya, saat itu N izin untuk tidak mengikuti kegiatan karena sedang menstruasi dan mengalami keram perut. Saat itu informan N ditemani oleh temannya yaitu X karena X kebetulan juga sedang menstruasi. Di kamar asrama hanya ada N dan X, saat N sedang asik bercerita-cerita dengan X, tiba-tiba lima senior dua aliyah mengampirinya, dua diantaranya yang N temuin saat N menuju perpustakaan yang sempat mencubit N.

Dua senior lainnya menjaga didekat pintu untuk mengawasi jika ada santri atau pembina asrama yang datang ke kamar. Salah satu santri senior menyuruh X untuk keluar kamar dan mengumpat agar tidak ketahuan oleh pembina asrama atau santri lainnya. Sebelum X meninggalkan kamar, X juga disuruh untuk tidak melaporkan kepada pembina asrama. Akhirnya teman N keluar mengikuti perintah senior, tinggalah N sendiri di kamar tersebut. N mengaku dirinya dikepung oleh senior-senior yang menghampirinya, posisi N berada di tengah dan tiga senior mengelilingi N. Senior tersebut mulai melakukan penggencetan kepada N. Awalnya salah satu senior berbicara secara kasar kepada N dengan jarak yang sangat dekat, senior tersebut menyuruh N untuk tidak “centil”. Awalnya N bingung maksud dari kata-kata seniornya namun ketika senior mengatakan agar N menjauhi kakak X, baru lah N menyadari bahwa senior tersebut merasa cemburu terhadap dirinya.

Bullying oleh lima senior tidak sampai disitu saja, setelah salah satu senior melakukan bullying verbal, selanjutnya senior lainnya menjambak rambut informan N, N merasakan penjambakan yang diterimanya, menyakiti dirinya dan membuat dirinya shock sehingga ia langsung menangis. Melihat N menangis, senior tersebut mengancam N agar N tidak mengeluarkan suara yang keras yang dapat mengundang perhatian, “aku dijambak gitu, kan lagi gak pake kerudung, kayaknya sih mereka kabur gitu pas kegiatan ngaji bareng-bareng, sakit sih dijambaknya, terus aku langsung nangis, tapi temen-temen kaka itu ngancem aku gak boleh ngeluarin suara yang kenceng, “eh lo jangan cengeng, jangan berisik lo, sengaja biar ketahuan kita giniin lo”(N, 06 November 2012).

Intimidasi berlangsung sekitar 10-15 menit, informan N tidak henti-hentinya dimaki dan dihina oleh senior. Informan N hanya bisa menangis dan tertunduk namun kadangkala saat N menunduk, senior tersebut menjambak kembali rambutnya sampai kepala N naik keatas. N diancam untuk tidak melaporkan kejadian ini kepada pihak pesantren ataupun orangtuanya. Setelah insiden berlangsung, bentuk ancaman lainnya berlanjut yaitu dalam bentuk surat. N mengaku mendapat surat dari senior yang melabrak dirinya. Surat tersebut dititipkan oleh teman N yang berada di kamar bersama N saat kejadian penindasan berlangsung. Isi dalam surat tidah jauh dari kata-kata mengancam.

Pengalaman bullying yang dialami K berbeda dengan N, jika bullying N terjadi secara terselubung, salah satu tindakan bullying yang dialami K adalah pengejekan secara terang-terangan yang dilakukan oleh teman sebayanya dan juga seniornya. Tidak hanya ejekan yang diterima oleh K, pemalakan dan pengambilan barang pribadi K juga dialami. K mengaku sering dimintain uang oleh seniornya, biasanya K harus menyerahkan uang Rp.1.000-Rp.10.000, bahkan senior pernah merampas duitnya sebesar Rp. 50.000.

Selain pemalakan yang dialaminya, informan K seringkali diperintah oleh seniornya membelikan makanan di kantin. Malangnya senior tersebut hampir tidak pernah memberikan uang dan menyuruh membelikan makanan dengan uang informan K. Informan K seringkali mengatakan dirinya tidak membawa uang namun ada beberapa senior yang tidak peduli dan menyuruh informan K untuk mengutang di kantin, meskipun ada juga senior yang akhirnya membeikan uang kepada informan K.

Informan K juga pernah mengalami, pengambilan secara paksa barang pribadi informan,. Saat itu K masih berada di kelas satu Tsanawiyah dan yang meminta secara paksa adalah senior kelas tiga Tsanawiyah. K mengaku tidak dapat melawan karena K lebih memilih untuk menghindari konflik. informan K tidak berani untuk melaporkan masalah tersebut dan sudah mengikhlaskan seragamnya yang diambil oleh seniornya.

Informan K juga menceritakan kasus bullying lainnya yang juga K terima, yaitu paksaan memberikan contekan saat ulangan dan memberikan contekan pekerjaan rumah. K menyatakan jika teman-temannya tidak diberikan contekan, maka K semakin diintimidasi oleh teman-temannya dan selalu menjadi objek ledekan teman-temannya. Pernah suatu saat ketikan informan tidak memberikan contekan saat ulangan berlangsung, temannya sangat kesal dan marah sehingga setelah ulangan selesai dan memasuki waktu istirahat, informan K mendapat tindakan kekerasan fisik, yaitu bahu informan dipukul oleh temannya dari belakang.

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 11: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

Pembahasan

Pesantren “X”. Menurut Dhofier (1982), pesantren mempunyai lima elemen, yaitu: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan Kyai. Pesantren “X” memiliki ke lima elemen namun untuk pengajaran kitab-kitab klasik tidak menjadi ajaran utama di Pesantren “X”. Raihani (2001) memiliki pendapat bahwa Kyai di pesantren dianggap sebagai “raja” dan dominasi Kyai sebagai pimpinan pondok dalam menentukan hal-hal yang harus dilakukan dalam menjalankan kegiatan pendidikan. Namun untuk Pesantren “X” yang menjadi sentral utama bukan pada Kyai melainkan kurikulum yang ada di Pesantren “X”

Selain itu menurut Mastuhu (1994) pesantren merupakan pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama. Namun pendapat dari Mastuhu tidak sejalan dengan yang terjadi di Pesantren “X” karena kedua pelaku informan bullying mengaku bahwa nilai ajaran agama Islam yang ditanamkan pada diri pelaku, tidak mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Hal itu terbukti karena keduanya masih melakukan tindakan bullying.

Dhofier (1994) membagi dua jenis pesantren yaitu pesantren tradisional dan pesantren moderen. Pesantren moderen memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT dalam lingkungannya. Pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atau dimodernkan pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah. Pesantren “X” termasuk jenis pesantren moderen karena kurikulum yang ada di Pesantren “X” mengikuti kurikulum sekolah dan Pesantren “X” memiliki perguruan tinggi yang kegiatan belajar-mengajar dilakukan pada malam hari.

Pemahaman bullying. Pemahaman mengenai bullyingdari pihak pesantren dan pihak santri tidak jauh berbeda. Kedua pihak mengetahui pengertian dari bullying, kategori bullying, bentuk bullying, penyebab bullying, dan dampak bullying bagi korban. Pihak-pihak yang berada di lingkungan pesantren “X” memahami tindakan bullying sebagai sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang baik itu bertindak fisik maupun non fisik (bersifat mental) yang membuat orang yang menjadi korban tersebut merasa tidak nyaman. Namun dalam hal pengertian ini, sebagian besar pihak beranggapan bahwa tindakan bullying ini lebih bersifat antara individu bukan sekelompok atau bahkan secara sistem walaupun

ditemukan juga terdapat pemahaman yang menyatakan bahwa bullyingdilakukan oleh satu kelompok ke kelompok lainnya misalkan antara senior kepada juniornya.

Pemahaman dari pihak santri mengetahui bullyingadalah suatu penindasan yang dapat mempengaruhi mental seseorang. Hampir seluruh informan dari pihak santri menyatakan bahwabullying merupakan tindakan kekerasan. Pemahaman tentang kategori bullying,penyebab bullying dan dampakbullying, kedua pihak, yaitu pihak pesantren dan pihak santri memiliki jawaban yang serupa. Keseluruhan informan memiliki presepsi yang sama bahwa ejekan, pemalakan, perintah secara paksa, ancaman, kekerasan fisik seringkali terjadi di Pesantren “X” di Depok. Informan dari pihak pesantren dan pihak santri menjelaskan bahwa dampak dari bullyingyang terjadi di Pesantren “X” mengakibatkan santri tidak betah berada di lingkungan pesantren dan menginginkan untuk keluar dari Pesantren “X”.

Seperti yang diungkapkan oleh Coloroso (2007) menyatakan bahwa bullying atau penindasan adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Pernyataan tersebut juga diungkapkan oleh informan dari pihak pesantren menyatakan bahwa bullying seringkali terjadi antara senior dan junior karena senior menganggap dirinya memiliki power diatas juniornya.

Pihak-pihak pesantren mengetahui bahwa perilaku bullying yang terjadi di pesantren X adalah bullyingkontak fisik yang seringkali dilakukan oleh santri putra. Kemudian bullying verbal, seperti mengejek, memeras, mengancam, mengintimidasi, memerintah junior dengan memaksa, menyebarkan gosip. Selanjutnya adalah bullying non verbal seperti melihat dengan sinis, menunjukan ekspresi muka yang merendahkan.

Pihak pesantren dan pihak santri mengakui bahwa tindakan bullying dapat terjadi di pesantren karena kurangnya pengawasan dari pihak pesantren, pola kedisiplinan yang kaku dan peraturan di Pesantren “X” kurang konsisten. Seperti yang ditemukan dari hasil temuan lapangan bahwa pelaku bullying melakukan pemukulan namun pelaku adalah santri kelas tiga Aliyah, maka pelaku tetap dipertahankan di pesantren “X”. Selain itu, menurut penjelasan dari informan pihak santri pengawasan dari pembina asrama saat santri berada di asrama masih kurang. Terbukti tindakan bullying yang di lakukan santri di asrama belum diketahui oleh pembina asrama. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Astuti (2008) yang menyatakan bahwa ciri-ciri sekolah yang mudah terkena kasus bullying seperti yang di ungkapkan oleh kelima informan tersebut.

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 12: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

Pihak-pihak di pesantren “X” juga memahami bagaimana dampak dari bullying ini terutama bagi para korban nya. Dampak utama dari bullyingini pada korban lebih bersifat psikis, misalkan korban dari bullying tidak merasa nyaman berada di lingkungan pesantren, menjadi rendah diri atau pemurung atau bahkan pada akhirnya keluar dari pesantren “X”. Hal ini juga sangat disadari baik oleh para pelaku dari bullying maupun dari kepala sekolah, guru BK dan juga pembina asrama dari Pesantren “X”, namun tindakan bullying masih terjadi di Pesantren “X”.

Perilaku bullying. Korban mengungkapkan bahwa pengalaman bullying yang dialami oleh dirinya adalah pemalakan, penghinaan sebagai perempuan centil dan suka mencari perhatian, informan juga disuruh untuk tidak mendekati santri putra yang disukai oleh senior yang melakukan bullying terhadap korban, kekerasan fisik dalam bentuk mencubit saat berpapapsan dengansenior dan penjambakkan yang dilakukan oleh senior saat menyampaikan ancamannya, pandangan mengancam dan merendahkan, ancaman melalui surat, banyak santri yang menjauhinya, serta penghasutan yang dilakukan oleh senior dan teman sebaya korban yang juga tidak menyukai dirinya untuk menjauhi korban. Sesuai dengan diungkapkan oleh O’Moore dan Minton (2004) tipe bullying yang dialami oleh korbanmengalami tipe verbal ketika informan dihina sebagai perempuan centil dan suka mencari perhatian, tipe threatening ketika korban diancam untuk menjauhi santri putra yang disukai oleh pelaku, tipe gesture bullying ketika informan mengalami penjambakkan, pandangan merendahkan, pandangan mengancam, tipe ignorance ketika informan dijauhi oleh teman-teman seangkatannya dan seniornya di Pesantren “X”, tipe extortion ketika dilakukan pemerasan materi terhadap korban, writing or drawingnasty things about someoneyaitu saat korbanmenerima surat yang berisikan ancaman dan perkataan yang buruk untuk informan dan tipe a prompt to make others dislike someone ketika teman-teman korban dan senior menghasut teman yang lain agar menjauhi korban.

Pengalaman bentuk bullying dialami korban, sesuai dengan pandangan dari Coloroso (2007). Hampir semua bentuk penindasan verbal dialami oleh korban, yaitu dibisikan dihadapan yaitu memberi julukan, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan. Pengalaman penindasan secara fisik dan relasional dialami oleh korban. Pandangan agresif, lirikan mata, helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar dialami oleh korban saat senior dan teman sebaya melakukan penindasan terhadap dirinya.

Pengalaman-pengalaman bullying yang dialami oleh korban menimbulkan dampak bagi korban baik berupa

fisik, psikologis, sosial, perubahan karakter, maupun penurunan secara akademis. Menurut Astuti ( 2008), dampak bullying membuat korban mengalami kesakitan fisik dan psikologis, kepercayaan diri (self-esteem) yang merosot, malu, trauma, tidak mampu menyerang balik, merasa sendiri, serba salah, dan takut sekolah (school phobia), dimana ia merasa tak ada yang menolong. Dalam kondisi selanjutnya, Astuti juga menemukan bahwa korban mengasingkan diri dari sekolah, menderita ketakutan sosial (social phobia). Dampak tersebut dialami oleh kedua informan. Rasa ketidakyamanan di lingkungan pesantren membuat korban merasa ingin mengasingkan diri dari kegiatan pesantren dan ketakutan berada di Pesantren ”X”.

Pelaku merupakan penindas yang percaya diri, dia merasa disegani oleh teman-teman dan juniornya, tidak merasa takut di bullying dan pelaku melakukan dua kali pengroyokan kepada junior nya danpelakutermasuk dalam penindas sosial karena menggunakan desas-desus gosip, penghinaan verbal, dan penghindaraan untuk mengisolasi target pilihannya secara sistematis dan menyingkirkan mereka secara efektif dari aktivitas-aktivitas sosial karena adanya kecemburuan dari sifat positif sang korban.

Berdasarkan hasil temuan lapangan yang didapat, yaitu pelaku bullying. Tindakan bullying yang pelakulakukan hampir melakukan semua tipe bullying yang diungkapkan oleh O’Moore dan Minton (2004). Menurut pengakuan pelaku, ia melakukan bullyingverbal terhadap korban, bullying fisik berupa penjambakkan, melakukan threatening yang mengancam korban untuk tidak melaporkan tindakan bullying yang dilakukannya, gesture bullying, pelakumemandang sinis korban, extortion kertika R meminta uang kepada korban secara paksa, menyebarkan gossip untuk menjauhi korban yang termasuk dalam tipe a prompt to make others dislike someone, menulis surat ancaman kepada korban, dan melakukan e-bullyingyaitu pelaku membicarakan korban dan menghina melalui situs jejaring sosial twitter.

Kedua pelaku bullying mengatakan bahwa ajaran-ajaran keagamaan yang berisikan sifat-sifat moral tidak mempengaruhi kedua informan untuk berbuat baik kepada korban bullying. Padahal pesantren merupakan tempat yang diharapkan dapat merubah akhlak seseorang menjadi baik. Menurut Dhofier (1982)

Tindakan bullying yang terjadi di pesantren bertentangan dengan pendapat dari Dhoefir (1994) tentang tujuan dari pesantren untuk meninggikan moral, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan hati bersih. Selain itu pesantren bukan untuk mengejar kekuasaan, uang, dan keagungan duniawi. Penjelasan dari Dhofir tidak dilakukan oleh pelaku. Pelakumasih

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 13: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

merasa iri hati jika ada santri yang lebih baik dari dirinya kemudian informan J mengaku melakukan tindakan bullyingkarena ingin disegani dan dihormati oleh santri lainnya. Selain itu kedua pelaku mengaku pernah melakukan pemalakan berupa materi kepada santri junior.Menurut Komar (1998) yang menjelaskan tentang kehidupan di asrama. Penjelasan dari Komar tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Pesantren “X” karena interaksi dan komunikasi antara santri dengan pembina asrama tidak berjalan intensif terutama pada pembina asrama putra dan santri putra. Dari penjelasan Komar, sekolah yang berasrama dapat memudahkan kontrol terhadap kegiatan murid. Namun dari hasil temuan lapangan ditemukan di Pesantren “X” bahwa kurangnya kontrol dan pengawasan dari pihak pesantren terhadap kegiatan-kegiatan santri.

Salah satu alasan orangtua agar anak mengenyam pendidikan di pesantren agar mendapat kontrol dan pengawasan dari pihak pesantren. Selain itu karena orangtua yang merasa tidak sanggup mengontrol dan mengurusi anaknya karena kesibukan mereka. Seluruh informan dari pihak santri, menyatakan mereka masuk Pesantren “X” karena kemauan kedua orangtua. Hal tersebut sesuai dengan pandangan dari Menurut Maghfuri (1990) dengan sistem 24 jam atau sistem sepanjang hari (full-dayeduactinal system) yang dijalani, pesantren akan menjadi incaran para orang tua lantaran kesibukanya tidak lagi mempunyai waktu yangc ukup untuk memberikan perhatian dan kontrol kepada putra-putrinya setelah pulang sekolah.

Wahid (2001) mengungkapkan sistem nilai yang digunakan dalam pendidikan pondok pesantren adalah sistem nilai yang berakar pada ajaran agama Islam (Al-Qur’an dan Sunah). Dalam menjalankan sistem

tersebut, pondok pesantren terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur utama, yaitu peniruan dan pengekangan. Unsur pertama peniruan, yaitu usaha yang dilakukan terus-menerus scara sadar untuk menerapakan pola kehidupan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Serupa yang dilakukan oleh Pesantren “X” yang mempunyai tujuan dari Pesantren “X” untuk merapkan nilai-nilai kepesantrenan dalam kehidupan para santri. Kedua adalah pengekangan yaitu memiliki perwujudan utama dalam disiplin yang ketat di pondok pesantren. Pesantren “X memiliki peraturan yang ketat terbukti banyaknya aturan yang dibuat oleh Pesantren “X” namun dalam pelaksanaannya, peraturan yang ada tidak dipatuhi oleh para santri dan pihak pesantren dalam memberikan sanksi belum konsisten karena masih ada santri yang dibebaskan dari sanksi, seperti pada kasus pelaku.

Menuret Lukens (2004) Pondok Pesantren didasarkan pada nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana yang dapat dirangkum dalam panca jiwa hidup santri, lima prinsip hidup santri itu adalah nilai sikap hormat, persaudaraan, keikhlasan, kemandiran, dan tasawuf merupakan inti etika di pesantren. Pesantren “X” memiliki tata nilai yang sesuai dengan pendapat dari Lukens namun dalam pelaksanaanya, santri belum menerapkan panca jiwa hidup santri di kehidupan sehari-hari. Soeliman (1998) religi merupakan nilai yang paling utama namun ajaran-ajaran islam yang diberikan oleh Pesantren “X” kepada pelaku bullying tidak mempengaruhi pelaku untuk mencoba menghentikan tindakannya tersebut. Berikut ini adalah tabel mengenai pengalaman bullying dari korban dan tindakan bullying oleh pelaku, yaitu :

Tabel. 1 Pengalaman Bullying Dari Korban

Keterangan N(Korban Bullying)

K(Korban Bullying)

PENGALAMAN BULLYING

BE NTUK

VerbalDihina berperilaku “sok cantik” dan suka

mencari perhatianDihina gendut, jadul karena kacamata,

dan dituduh pelit karena tidak mau memberikan contekan

FisikDicubit dan dijambak rambut Dipukul bahu oleh teman sebaya

karena tidak mau memberikan contekan saat ujian

AncamanDiancam untuk tidak melaporkan tindakan

pelaku, diancam untuk menjauhi santri putra, diancam mealui surat

Mengancam untuk tidak melaporkan tindakannya ke pihak pesantren, mengancam untuk memberikan contekan

Bullying bahasa tubuh

Pandangan sinis, pandangan merendahkan, pandangan mengancam

-

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 14: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

Pemalakan

Memberikan sejumlah Rp. 2000 Meminta sejumlah Rp.1000-Rp. 20000, perampasan uang sejumlah Rp. 5.0000, pengambilan secara paksa seragam, dan meminta makanan korban.

Dikucilkan Melakukan pengucilan terhadap korban -Penghasutan Santri lain dihasut untuk menjauhi korban -

Bullying dunia maya

- -

SEBAB

Dianggap siangan karena presetasi akademik yang baik, penampilan fisik yang menarik sehingga menimbulkan keirian ketika salah satu santri putra yang popular menyukainya

Karena kemampuan akademis yang baik, adanya cirik khas fisik yaitu gendut dan berkacamata

D AMPAK

FisikPenyakit asma kambuh Penurunan berat badan akibat diet

ketat,

PsikologisStres, murung, trauma, depresi, perasaan tertekan karena ancaman

Stress, murung, perasaan tertekan karena malu, depresi, sering tidur

Sosial -Merasa sendiri atau merasa tidak ada yang menolong, sulit mempercayai orang lain dan membentuk pertemanan

Perubahan Karakter

Penakut, kepercayaan diri (self esteem) menurun, pendiam, menarik diri dari kegiatan di pesantren, tidak bersemangat, uring-uringan

Lebih pendiam, suka menyendiri, kepercayaan diri (self esteem) merosot, menarik diri dari kegiatan pesantren, tidak bersemangat, uring-uringan, sensitif/mudah tersinggung

Penurunan secara

Akademis

Penurunan akademik di mata pelajaran matematika karena sulit untuk berkosentrasi -

ALASAN MENYEMBUNYIKAN

Tidak ingin orangtua mengetahui, belum adanya kepercayaan orang dewasa baik pihak pesantren maupun orangtua dapat menyelesaikan masalahnya, tidak ingin perlakuan bullying yang diterimanya semakin buruk

Orangtua menganggap masalah senioritas adalah hal yang biasa, merasa dengan memberitahu akan memperburun keadaan

Tabel. 2 Tindakan Bullying Oleh Pelaku

Keterangan R(Pelaku Bullying)

J(Pelaku Bullying)

TINDAKAN BULLYING

BENTUK

VerbalMengejek korban, menyindir korban yang mengatakan korban adalah perempuan centil

mengejek korban yang memiliki ciri khas fisik tertentu.

FisikPenjambakkan

Melakukan pengroyokan, “menempeleng”, menarik kerah baju

Ancaman

Mengancam untuk tidak melaporkan tindakaannya ke pihak pesantren secara langsung dan melalui surat, memerintah junior dengan nada mengancam, seperti menyuruh mengambil makanan, minuman, membelikan makanan di kantin.

Mengancam untuk tidak melaporkan tindakannya ke pihak pesantren, memerintah junior dnegan nada mengancam, seperti menyuruh mengambil makanan, minuman, membelikan makanan di kantin.

Bullyingbahasa tubuh

Pandangan sinis, pandangan merendahkan, pandangan mengancam

-

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 15: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

PemalakanMeminta uang sejumlah Rp. 1000- Rp. 5.000 dan meminta makanan

Meminta uang sejumlah Rp. 1.000-Rp. 10.0000 dan meminta makanan

Dikucilkan Melakukan pengucilan terhadap korban -Penghasutan Santri lain dihasut untuk menjauhi korban -

Bullying dunia maya “tweet war” di jejaring sosial twitter

-

SEBAB

korban dinilai sebagai saingannya dalam urusan pribadi

Karena murid baru di sekolah menimbulkan perasaan ingin mengerjai, merasa kesal karena diatur oleh junior dalam urusan sholat, adanya santri yang ketahuan mencuri

4. Kesimpulan dan Saran

KesimpulanTujuan penelitian ini, pertama untuk mendeskripsikan pemahaman tentang bullying baik dari kepala sekolah, guru BK, pembina asrama, pelaku bullying, dan juga korban bullying. Kedua, untuk mengetahui dan mendeskripsikan perilaku bullying di pesantren “X”.

Kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah memberi dampak buruk pagi perkembangan bio-psiko-sosial sang anak. Anak seharusnya mendapat hak untuk dilindungi dan merasa aman dari macam ancaman. Sayangnya, pihak sekolah, termasuk pelaku, korban, dan orangtua tidak mengetahui secara spesifik akibat dari tindakan bullying, baik yang dilakukan oleh guru, teman sebaya, atau bahkan orangtua. Ketidaksiapsiagaan dalam mengatasi kasus bullying di sekolah dapat berdampak menimbulkan tradisi bullyingdi lingkungan sekolah. Melihat fakta tersebut, tentunya perlu diingat bahwa setiap pihak yang terkait wajib untuk melindungi anak dari tindak kekerasan di dalam institusi pendidikan.

Dari hasil penelitian untuk mengetahui pemahaman mengenai bullying dari kepala sekolah, guru bimbingan dan konseling, pembina asrama. Dapat disimpulkan bahwa pihak pesantren dan pihak santri mengetahui pengertian bullying, kategori bullying, penyebab bullying, dan dampak bullying. Namun masih ada beberapa penjelasan yang masih kurang jelas yang diungkapkan oleh informan baik dari pihak pesantren dan pihak santri. Penjelasan dari keseluruhan pihak mengenai pengertian bullying memiliki persamaan yaitu bullying adalah tindakan yang membuat seseorang tidak nyaman, mempengaruhi mental, dan juga tindakan kekerasan fisik dan psikis. Seluruh pihak pesantren memiliki satu presepsi yang sama bahwa yang berpotensi menjadi pelaku bullying adalah anak yang kuat atau senior dan yang menjadi korban bullying adalah anak yang lemah atau junior. Pembina asrama putra dan satu pelaku bullying mengungkapkan

bahwa keduanya baru mengetahui istilah bullying saat diadakan seminar anti bullying oleh mahasiswi dari Universitas Indonesia tahun 2011.

Pemahaman mengenai dampak bullying kurang dipahami secara jelas oleh pihak santri. Adapun dampak-dampak bagi korban berupa dampak fisik, psikologis, sosial, perubahan karakter korban, penurunan di bidang akademis berkaitan dengan kosentrasi anak berkurang. Untuk dampak dari bullyingseluruh pihak sepakat bahwa akan membuat santri tidak nyaman di lingkungan asrama dan memilih untuk keluar dari Pesantren “X”.

Pihak pesantren telah memahami bullying namun bullying Masih terjadi karena nilai-nilai Islam yang seharusnya diterapkan dalam perilaku santri sehari-hari tidak dilaksanakan oleh santri Pesantren “X” karena kurangnya pengawasan dan kontrol dari pihak pesantren “X”. Santri tidak menerapkan tata nilai kepesantrenan, yaitu berikhtiar, mencapai kesempurnaan “ber-hablum minallah”, beriktiar menjadi anggota masyarakat pilihan dalam “berhablum minannas”, berikhtiar memiliki sifat terpuji, bersopan santun, dan senantiasa memecahkan masalah secara teratur.

Perilaku bullying yang terjadi di Pesantren “X” adalah bullying verbal, non verbal, dan fisik. Bentuk-bentuk bullying yang terjadi di Pesantren “X” adalah pemalakan, memerintah santri junior secara paksa, mengancam, pemukulan, mencubit, menjambak rambut, mengejek, mengucilkan, menyebar gosip, bullying melalui surat dan jejaring sekolah. Pesantren “X” belum mengadakan upaya untuk menyelesaikan kasus bullying yang terjadi. Tidak ada peraturan khusus bullying di Pesantren “X” dan belum adanya program anti bullying di Pesantren “X”. Tindakan bullying dapat dicegah dengan adanya pengawasan dan kontrol dari pihak sekolah namun sayangnya masih kurangnya pengawasan dan kontrol dari pihak pesantren, terutama dari pembina asrama

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 16: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

padahal anak lebih rentan terkena tindakan bullying di lingkungan asrama. Hal tersebut dipacu karena keterbatasan jumlah pembina asrama dengan jumlah santri, yaitu dengan rasio perbandingan 1:45 untuk putra dan 1:49 untuk putri.

SaranBerdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran-saran yang dapat diberikan kepada pihak pesantren “X” dan pihak santri agar waspada terhadap ancaman bullying, antara lain :

Merancang peraturan khusus mengenai bullying di pesantren dimana dalam pembuatan peraturan tersebut melibatkan semua stakeholders pesantren, baik santri dan masukan dari orangtua.

Meningkatkan pengawasan dan kontrol dari guru-guru dan juga pembina asrama, dengan cara memperlakukan sistem piket untuk mengawasi dan mengontrol santri. Diperlukan pencatatan secara rutin terhadap kasus-kasus bullying yang terjadi di pesantren.

Perlu adanya peningkatan sumber daya manusia dari pembina asrama untuk mengontrol perilaku santri di asrama karena dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pembina asrama, akan meningkatkan dan mengefektifkan kontrol dan pengawasan untuk santri.

Meningkatkan komunikasi dan kerjasama antara pihak pesantren dengan orangtua santri dengan cara mengadakan pertemuan rutin untuk membahas perilaku dan kegiatan santri di pesantren, khususnya perilaku bullying.

Membuat program anti bullying di pesantren agar tindakan bullying dapat dicegah dan diantisipasi. Dapat membuat drama mengenai bullying, membuat spanduk bullying, poster anti bullying.

Memasukan materi mengenai bullying pada jam kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan pengetahuan dan empati santri. Materi dapat dimasukan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Agama Islam, Pendidikan dan Kewarganegaraan.

Pada awal penerimaan murid baru, sebaiknya pihak pesantren mengadakan pertemuan bagi seluruh orang tua untuk saling mengenal dan mengikuti pembahasan mengenai bullying. Dalam pertemuan diadakan perjanjian bahwa jika ada santri yang terlibat dalam tindakan bullying akan menerima sanksi dari pihak pesantren. Pertemuan ini bertujuan preventif terhadap bullying di pesantren. Diharapkan orangtua terus mengontrol dan mengawasi

anaknya saat anak kembali ke rumah dan juga mengajak untuk berkomunikasi.

Pihak yayasan dengan pihak sekolah melakukan pertemuan rutin satu bulan sekali untuk membahas mengenai tindakan-tindakan santri selama di asrama dan di sekolah. Terutama untuk tindakan bullying. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan laporan dan juga untuk mengevaluasi perilaku bullying.

Pihak pesantren bekerjasama dengan ISPAH/OSIS untuk menyediakan kotak pengaduan bullying karena korban bullying cenderung tidak berani menceritakan pengalamannya. Korban dapat memberitahukan pengalaman bullying mereka melalui surat yang nantinya dimasukan ke kotak pengaduan bullying.

DAFTAR PUSTAKA

BukuArifin, I. (1993). Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren. Malang: Kalimasahada PressAlston, M., Bowles W. (1998). Research for Social

workers introduction to Methods. Australia : Allen and Unwin

Astuti, R.P. (2008). Meredam Bullying (3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan Pada Anak). Jakarta: PT.Grasindo

Beane, AL. (2008). Protect Your Childtren from Bullying: Expert Advice to Help You Recognize, Prevent, and Stop Bullying Before Your Child Gets Hurt. San Francisco. Jossey-Bass [E-Book]http://books.google.co.id/books?id=QTMskGbu17cC&printsec=frontcover&dq=Protect+Your+Child+from+Bullying:+Expert+Advice+to+Help+%09You+Recognize,+Prevent,+and+Stop+Bullying+Before+Child+Gets+Hurt&hl=id%ei=710NTqerL4SIrAe5xNDRCw&sa=X&oi=book_result&ct+result&resnum=1&ved=0CCcQ6AEwAA#v=onepage&q&f=false

Coloroso, B. (2007). Stop Bullying : Memutus Rantai Kekerasan Anak Dari Prasekolah Hingga SMU. Jakarta : Serambi

Dhofier, Zamakhsyari. (1994). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ESIskandar. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif.

Jakarta : GramediaLines, D. (2008). The Bullies: Understanding Bullies

and Bullying. Philadelphia: Thomson-Shore, Inc. [E-Book]http://books.google.co.id/books?id=fqBpoUGmc9UC&orintsec=frontcover&dq=The+Bullies:+Understanding+Bullies+and+Bullying&hl=id&ei=zV8NTr3rPIjXrQelqqCrCw&sa=X&

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013

Page 17: BULLYING DI PESANTREN (Studi Deskriptif di Pesantren “X

oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CCcQ6AEwAA#v=onepage&q&f=false

Lofland, John & Lyn H. Lofland. (1984). Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative Observation and Analysis. Belmont, Cal: Wads worth Publishing Company

Lukens. (2004). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren.

Moleong, L.J. (2006). Metodelogi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Jakarta : INIS

Nasir. (2005). Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok. Pesantren di Tengah Arus Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Neuman, W. L. (2006). Social research methods: qualitative and quantitative approaches 6TH EDITION. Boston : Pearson Education, Inc.

Olweus, D. (1993). Bullying at School. Cambridge, MA: Blackwell

O’Moore, M., Stephen, J.M. (2004). Dealing with bullying in schools: a training manual for teachers, parents and other professionals.California : A Sage Publication Inc. [E-Book]. http://books.google.co.id/books?id=G2pmB07wux0C&printsec=frontcover&dq=Dealing+with+bullying+in+schools:+a+training+%09manual+for+teachers,+parents+and+other+proffesionals+hl=id&ei=aWANTqr7D4XXrQeJ2K25Cw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CCcQ6AEwAA#v=onepage&q&f=false

Papalia, D.E., Sally W.O., Ruth, D.F.(2006). ). A Child’s World: Infancy Through Adolescence(10th ed.). New York:McGraw-Hill Companies Inc._______________ (2009). Human Development (11th ed)

Strauss & Corbin. (1997). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Prosedur Teknik dan Teori. Surabaya : Bina Ilmu Offset

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta

Tim Yayasan Semai Jiwa Amini. (2008). Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: PT. Grasindo

Wahid, Abdurrahman. (2001). Menggerakan Tradisi ; Esai-esai Pesantren. Yogyakarta : LKIS

JurnalKomar, M. (1998). Hubungan Antara Prestasi Belajar,

Motivasi, dan Kemandirian Santri : Sebuah Survey di Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta Selatan. Jurnal Lembaga Penelitian

dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Darma Persada. 1:30-45

Riauskina, Djuwita, & Soesetio. (2005). Pengertian Bullying dan Progran Anti Bullying. Jurnal Psiklogi Sosial, hal 22-23

Undang-UndangUndang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak.Media InternetEhan. (2011). Bullying Dalam Pendidikan. Diakses

tanggal 21 mei 2012http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195707121984032-EHAN/BULLYING_DALAM_PENDIDIKAN.pdf.

Fauzi, M. (2012). Menyikapi Kasus Bullying di Indonesia. Diakses tanggal 21 May 2012. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=51522.

Hartati, Sri. (2012). Budaya Kekerasan Di Lembaga Pendidikan. Diakses tanggal 21 mei 2012.http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456065.htm.h.i.

Jaya. (2010). Bullying Dalam Karya “Kecil-Kecil Punya Karya”. diakses tanggal 21 mei 2012. http://media.kompasiana.com/buku/2010/10/02/bullying-dalam-karya-%E2%80%9Ckecil-kecil-punya-karya%E2%80%9D/

Bullying di..., Desiree, FISIP-UI, 2013