tesis perbaikan sidang

Download TESIS PERBAIKAN SIDANG

If you can't read please download the document

Upload: ardoni

Post on 13-Jun-2015

1.174 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi muda, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang Islam dibandingkan kemunduran dan dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi

dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.1 Pendapat ini sangat berpengaruh terhadap sistem Pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan subsistem pendidikan nasional. Tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering diperuntukan hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin. Keberadaan lembaga konfigurasi Pendidikan yang disebutkan di atas cukup variatif, sekalipun mungkin peran dan fungsinya masih dipertanyakan dalam pendidikan nasional. Untuk itu fungsi pendidikan Islam dari lembaga atau tempat pendidikan tersebut, perlu dirumuskan secara lebih spesifik, efektif, dan bermutu tinggi, agar dapat menjawab tantangan yang dihadapi. Kalau kita telaah literatur dalam pendidikan Islam, maka diketahui bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam diletakan jauh lebih berat tanggungjawabnya bila dibandingkan dengan fungsi pendidikan pada1Soroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, (Yogyakarta : Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kaliga, 1991), Volume I, hlm. 77

1

umumnya. Sebab, fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasi pada konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya. Sebagaimana dikatakan para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan baik individu maupun kelompok, dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek di atas menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan alKhaliq, sesama manusia, maupun dengan alam.2 Akan tetapi pada tataran operasional, rumusan-rumusan ideal yang dikemukakan di atas belum terjawab, sedangkan lembaga pendidikan Islam cukup variatif dalam berusaha menerapkan konsep-konsep tersebut, namun belum berdaya dan posisi pendidikan Islam sendiri masih terlihat begitu lemah. Melihat kenyataan ini, maka inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam, terutama pada sistem pendidikan, harus diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan, dan berkelanjutan, sehingga nanti usahanya dapat menyentuh pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam luar sekolah termasuk pada pondok pesantren. Di samping inovasi pada sisi kelembagaan, faktor tenaga pendidikan juga harus ditingkatkan aspek etos kerja dan profesionalismenya, perbaikan materi (kurikulum) yang pendekatan metodologi masih berorientasi pada sistem tradisional, dan perbaikan manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu, maka usaha untuk melakukan inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan menyeluruh, mulai dari fungsi dan tujuan, metode, materi (kurikulum), lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada fungsi pendidikan, tentu dengan memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia kerja mempunyai andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi2M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 15

2

dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model pendidikan bagi kelompok masyarakat. Perbaikan wawasan, sikap, pengetahuan, keterampilan, diharapkan akan memperbaiki kehidupan sosiokultural dan ekonomi masyarakat. Konsumsi pendidikan dan pengembangan keilmuan untuk kelompok masyarakat, belum tampak berkembang, kecuali usaha-usaha yang secara naluriah telah diwariskan dari waktu ke waktu.3 Perbaikan fungsi pendidikan Islam pada tahap lanjut, harus dilakukan menjadi satu kesatuan dengan lembaga pendidikan Islam lainnya yang terkait erat sekali, seperti masjid dengan kesatuan jamaahnya, madrasah/sekolah, keluarga muslim, masyarakat muslim di suatu kesatuan teritorial, dan lain sebagainya. Dalam konteks tersebut, maka sekurang-kurangnya ada empat jenis lembaga pendidikan Islam yang dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok Pesantren, Masjid, Madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Peran di sini seperti yang diungkapkan Bruce J Cohen, peran adalah suatu perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu. Peran-peran yang tepat dipelajari sebagai bagian dari proses sosialisasi dan kemudian diambil oleh para individu.4 Permasalahan yang muncul adalah bagaimana lembaga-lembaga Islam, termasuk pondok pesantren atau para penyelenggara pendidikan (kyai), mampu mempersiapkan diri dan berperan dalam mengembangkan pendidikan Islam yang ada. Hal ini mencakup tujuan, manajemen kelembagaan, kurikulum, proses pembelajaran, sarana-prasarana, dan evaluasi. Sehingga output-nya dapat menghadapi perubahan masyarakat yang terus maju hidup dalam tatanan ajaran Islam. Ini merupakan pertanyaan besar yang memerlukan jawaban segera oleh lembaga pendidikan yang bernaung atas nama pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan tempat yang relevan untuk menyiarkan agama, maupun masalah - masalah sosial lainnya, karena dalam pondok3Suyuta, Penataan Kembali Pendidikan Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi, (Yogyakarta : Majalah UNISIA No. 12 Th. XIII, UII,1992), hlm. 28 4 Bruce J Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 76

3

pesantren ini ilmu yang diajarkan nantinya dapat diterapkan oleh para santrinya dalam masyarakat di sekitarnya.5 Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia sudah ada dan berkembang dan tumbuh mengakar di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan bahkan tetap di kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Di sisi lain, pesantren mempunyai peranan yang sangat penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Dan tidak diragukan lagi bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia. Lembaga ini telah eksis jauh sebelum kedatangan Islam di Nusantara.6 Sejak masa awal penyebaran Islam, pesantren adalah saksi utama bagi penyebaran Islam di Indonesia. Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa terpisahkan dari peranan pesantren. Bermula dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan publik Islam dikendalikan. Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga maju dalam bidang keilmuan dan intelektual.7 Pondok pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga memacu diri dalam mencari sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan teknologi. Serta menghadapi perkembangan zaman dengan tetap mempunyai kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan masyarakat, sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam mengisi pembangunan.85Abdurrahman Soleh, Penyelenggaraan Madrasah Pesantren, (Jakarta : Dharma Bakti, 1985), hlm. 46 6Menurut sejarahnya, terdapat dua versi pendapat tentang akar berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa pondok pesantren pada mulanya merupakan pengambilalihan dari system pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum Islam datang ke Nusantara, pondok pesantren ini sudah ada di negeri ini yang dijadikan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 10 7 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. ke-2, hlm. 184. 8 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 56-57

4

Pembangunan, terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spiritual maupun secara material9, atau membentuk manusia yang utuh, paripurna, yang berkesinambungan antara nilai-nilai kejasmanian dan kerohanian.10 Dimana pada prinsipnya tujuan utama pembangunan yaitu adanya keinginan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya dengan melalui berbagai bidang kehidupan terutama peningkatan dalam bidang pendidikan. Kondisi ini menuntut pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan pendidikannya, karena itu A. Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi (insinght), kelembagaan (organisasi), manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi. Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya.11 Sebagai salah satu lembaga pendidikan, pesantren tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengembangan Islam. Memang dalam kenyataannya perkembangan pesantren secara kuantitatif tidak menurun, bahkan memperlihatkan gejala naik dan ditandai oleh timbulnya pesantrenpesantren baru.12 Perkembangan pesantren pada saat ini tetap mengemban tugas sebagai wadah pembinaan umat Islam yang berorientasi kepada peningkatan moral umat, terutama dalam pendidikan Islam. Kenyataan membuktikan,9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1989), hlm. 454 10Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 87 11M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan , (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 3 12M Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), hlm. 6

5

bahwa umat Islam mendambakan agar pemimpin umat, datang dari lembaga ini yang akan membawa mereka manuju satu jalan kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat. Sebenarnya pembinaan yang dikembangkan di pesantren tidak hanya jalur pendidikan saja, tetapi mencakup juga segi kerohanian terutama menempa jiwa santri dalam mencapai satu tatanan kehidupan yang teratur, tertib, kerja sama yang harmonis, mengutamakan kepentingan umum dan lebih banyak beramal saleh. Menurut Mastuhu, yang terpenting adalah bahwa suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyarakat yang melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukan adanya kecocokan nilai antara pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya, setidaktidaknya tidak ada pertentangan. Lebih jauh dari itu, suatu lembaga pendidikan akan diminati oleh peserta didik, orang tua, dan seluruh masyarakat apabila ia mampu menyatu dengan masyarakat sekitarnya dalam bidang moral. Pesantren sering diidealkan sebagai komunitas ideal dan sakral. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang mendidik santrinya untuk menjadi orang saleh yang idealis, moralis, dan berorientasi ukrawi 13 Sementara, Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa pesantren dapat menyumbang penanaman iman, suatu yang diinginkan oleh tujuan pendidikan Nasional. Budi luhur, kemandirian, kesehatan ronahi, adalah tujuan-tujuan pendidikan Nasional, yang juga merupakan utama pendidikan pesantren14 Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban.15 Untuk membangun peradaban Islam ini, di Sumatera Barat banyak juga bermunculan pondok pesantren, tetapi di Sumatera Barat lembaga pendidikan yang ada pertama kali sebelum diodopsi ke dalam bentuk pesantren di Jawa dikenal dengan Surau.16 Surau sebagai lembaga pendidikan tertua di Minangkabau dimulai13Mastuhu, op. cit., hlm. 4 14Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, hlm. 203 15A Syafii Maarif, Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Islam Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah, di Jakarta : Pondok Gede,1996, hlm. 5 16 Ibrahim Bukhari Sidi, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, (Jakarta : PT. Pradya Persada, 1974), hlm. 71

6

dari surau yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin, dimana surau pada waktu itu berfungsi sebagai tempat melaksanakan sholat dan juga sebagai tempat pendidikan tarekat, jadi pada saat itu surau mempunyai dua fungsi. Dalam perkembangannya, eksistensi surau merupakan lembaga yang sangat strategis bagi pengajaran agama Islam. Dari surau inilah bermunculan surau-surau di daerah Minangkabau ini seperti surau Jambatan Besi di Padang Panjang, surau Tanjung Sunganyang, surau Gadang Thawalib Tanjung Limau, surau Parabek, surau Candung dan lain-lain.17 Dalam catatan sejarah dikatakan, jauh sebelum tahun 1900-an di bawah asuhan Syekh Abdullah Ahmad perguruan Thawalib telah memulai pendidikannya dengan sistem halaqah bertempat di surau Jemabatan Besi (sekarang bernama Pesantren Thawalib), yang kemudian dilanjutkan oleh DR. H. Abdul Karim Amarullah, seorang ulama besar yang baru pulang belajar dari Mekah yang dikenal dengan sebutan inyiak rasul atau inyiak Deer (ayah almarhum Buya HAMKA). Beliau sekaligus mengubah sistem belajar secara klasikal.18 Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan bagian dari realitas masyarakat Kabupaten Tanah Datar yang awalnya masih merupakan afiliasi dari Surau Jembatan Besi di Padang Panjang, tetapi berbeda dalam strukturnya, dituntut untuk lebih meningkat dalam membangun peradaban Islam serta berusaha melakukan pengembangan pendidikan Islam. Kenyataan menunjukan bahwa pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau telah berkiprah ditengah-tengah kehidupan masyarakat semenjak zaman penjajahan Belanda. Pondok pesantren ini telah menyatu dengan masyarakat, akan tetapi disatu sisi terutama dalam perjalannya sekarang mengalami perubahan pola majamen dan sistem dari sistem yang ada. Dan permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah, terjadinya ketimpangan dalam sistem pendidikan pondok pesantren, dimana sistem yang dipakai sesuai dengan haluan dan17 Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita, (Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan) 18Ibrahim Bukhari Sidi, op.cit., hlm. 72

7

pemikiran Buya selaku pimpinan, serta adanya interpensi dari pengurus yayasan sebagai pemegang otoritas lembaga. Oleh karena itu, pondok pesantren ini dituntut untuk senantiasa mengembangkan kelembagaannya, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui wajib belajar, mengadakan pelatihan-pelatihan serta kursus keterampilan bagi para santri dan anggota masyarakat sekitarnya. Dengan demikian masalah yang akan dihadapi dan akan menjadi tanggungjawab Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di masa yang akan datang adalah bagaimana pesantren dapat berperan dalam pengembangan pendidikan Islam bagi masyarakat sekitarnya sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. B.Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pada masalah di atas, maka pembahasan pesantren dan pengembangan pendidikan Islam ini cukup menarik untuk diteliti. Hal ini mengingat peran strategis pondok pesantren di masa depan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam melakukan peningkatan mutu pendidikan dan pengembangan pendidikan Islam ditengah-tengah masyarakat. Untuk keperluan tersebut, studi kasus penelitian adalah di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Pertanyaannya adalah bagaimana peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau (semenjak berobah statusnya menjadi pondok pesantren tahun 1972) dalam meningkatkan mutu dan mengembangkan pendidikan Islam?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka yang menjadi tema pokok dalam penelitian ini adalah: PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT. Permasalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaan berikut: a.Bagaimana latar belakang, tujuan, visi dan misi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Barat ? Kabupaten Tanah Datar Sumatera penelitian

8

b.Bagaimana kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ? c.Bagaimana proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ? d.Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ? e.Bagaimana peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat,mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama. C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a.Mengetahui latar belakang berdirinya, tujuan, visi dan misi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Sumatera Barat. b.Mengetahui kurikulum di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. c.Mengetahui proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. d.Mengetahui faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. e.Mengetahui peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Ilmiah Kabupaten Tanah Datar

9

Hasil penelitian ini memberikan konstribusi dalam ilmu sejrah kebudayaan Islam dan dapat dijadikan teori dan ilmu baru tentang peranan Pondok Pesantren dalam pengembangan pendidikan Islam dan b. Kegunaan praktis 1) Bagi penulis sendiri, hasil ini dijadikan sebagai upaya menambah pengetahuan dan wawasan serta pengalaman, terutama mengenai peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam peningkatan dan pengembangan mutu Pendidikan Islam. 2) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi tentang pentingnya melakukan peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan Islam melalui peran lembaga pendidikan pondok pesantren yang merupakan kebudayaan dan peradaban Islam. 3) Bagi pengelola pondok pesantren, hasil penelitian ini memberikan landasan berpikir dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam. D.Kerangka Pemikiran Pendidikan Pondok pesantren berperan dalam memberikan nilai-nilai Islam yang tinggi serta berkontribusi mencerdaskan serta membentuk karakter masyarakat yang islami.. Disamping itu pondok pesantren berperan dalam menciptakan ulama inteletual dan intelektual ulama, disamping menumbuhkan nilai-nilai Islam ditengah-tengah kehudpan masyarakat. Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap atau asrama. Sedangkan pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri, diimbuhi awalan pe dan akhiran an yang berarti penuntut ilmu.19 Kata pesantren mengandung pengertian asrama atau tempat murid-murid belajar19Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafondo Persada, 1995), hlm. 145

sekaligus sebagai bahan kajian lebih

mendalam mengenai pondok pesantren.

10

mengaji dan bisa juga disebut pondok.20 Dalam bahasa Indonesia sering nama pondok dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut pondok pesantren. 21 Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan masyrakat yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang positif yang mempunyai ciri khas tersendiri, sebagai lembaga pendidikan Islam. Adapun unsur pokok dari pesantren adalah : Kiyai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab-kitab klasik22. Menurut istilah Islam untuk pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan

mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.23 Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.24 Jauh sebelum masa kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem pendidikan nusantara. Hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa.25 Dalam perkembangannya pondok pesantren mengalami dinamika sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Pada awalnya pondok pesantren bersifat tradisional non klasikal dengan metode sorongan26 dan20Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), hlm. 762 21Manfrek Ziemek, Pesantren dalam PerubahanSosial, (Jakarta : P3M, 1986 ), hlm. 116 22Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, ( Bandung : Citapustaka Media, 2001), hlm. 69 23Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 155 24Pondok Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 ini di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawwuf dan menjadi pusatpusat penyiaran Islam. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, hlm. 11 25Departeman Agama, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 3 26Sorogan adalah santri menghadap kiyai seorang-seorang dengan membaca kitab yang akan dipelajarinya. Santri menyimak dan mengesahkan dengan memberi catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiayi. Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta : PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 223

11

wetonan27 dan materi khusus mempelajari agama. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pondok pesantren berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat musilim Indonesia.28 Wirjo Sukarto menunjukan bahwa tujuan utama pendidikan pondok pesantren adalah menyiapkan calon lulusan hanya menguasai masalah agama semata. Rencana pelajaran (kurikulum) ditetapkan oleh Kiyai dengan menunjukan kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Pengunaan kitab dimulai dari jenis kitab yang rendah dalam satu disiplin ilmu keislaman sampai pada tingkat yang tinggi. Kenaikan kelas atau tingkat ditandai dengan bergantinya kitab yang telah ditelaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajarinya. Ukuran kealiman seorang santri bukan dari banyaknya kitab yang dipelajari tetapi diukur dengan praktek mengajar sebagai guru mengaji, dapat memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan kepada santri-santri lainnya.29 Menurut Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok pesantren, terutama pada masa perubahan (1900-1908) meliput: (1) pengajian al-Quran; (2) pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat,yaitu: (a) mengaji nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Ajrumiyah, Matan Bina, Fathul Qarib dan sebagainya; (b) mengaji tauhid, nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Sanusi, Syaikh Khalid (Azhari,Asymawi), Kailani, Fathul Muin dan sebagainya; dan (c) mengaji Tauhid, nahwu sharaf, fiqh dan tafsir dan lainnya dengan memakai kitab Kifayatul Awam ( Ummul Barahin), Ibnu Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan sebagainya.30 Lembaga pendidikan yang berbasis pada pesantren ini mempunyai27Wetonan adalah metode kuliah, dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekililing kiayi yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Di Jawa Barat metode ini disebut bandongan sedang di Sumatra disebut halaqah atau balaghan (balagan). Abdul Rachman Saleh, Ibid, hlm. 223 28Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1996) cet. ke-3. Jilid 4, hlm. 99 29Amir Hamzah Wirjo Sukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember : Muria Offset, 1985), cet. ke-4, hlm. 27-28 30Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara, 1979), hlm. 54-55

12

peran dalam segala aspek, tidak hanya dalam aspek ukrawi semata, melainkan dalam aspek kehidupan umat manusia yang lain. Adapun peran yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan Islam disini adalah dalam upaya menemukan pembaharuan dalam sistem pendidikan yang meliputi metode pengajaran, baik agama maupun umum yang efektif. inovasi dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran, guru yang kreatif dan penuh dedikasi (kualitas sumber daya manusia), mengembangkan kelembagaan, pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana, serta pengembangan bidang keilmuan dan keterampilan.31 Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan pendidikan Islam di Indonesia cukup variatif. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa pendidikan Islam yang berbasis pada pondok pesentren, diharapkan menjadi modal dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma didaktik-metodologis. Sebab, pengembangan keilmuan yang integral (interdisipliner) akan mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga pendidikan Islam selama ini berkembang. Tetapi sayangnya pendidikan model ini belum ditindak lanjuti dan dievaluasi efiktitas dan efisiensi prosesnya baik dari kurikulum dan materi, metode, pengajar, waktu pelaksanaan dan organisasi. 32 Melihat kenyataan ini, maka pendidikan Islam ini perlu mendapat perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman. Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk, karena: Pertama, pendidikan Islam subsistem pendidikan nasional di

31Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam ; Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefenisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), cet. ke-1,hlm. 33 32Karel Steenbink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modren, (Jakarta : LP3ES, 1994), hlm. 21

13

Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman positif. Kedua, pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi pembenahan sistem pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan, masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem Pendidikan Islam yang dapat dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.33 Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional untuk tujuan mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian pesentren merupakan sistem pendidikan yang berkembang di masyarakat. Unsur-unsur sistem pendidikan selain terdiri atas pelaku yang merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur-unsur non organik lainnya berupa dana, sarana dan alat-alat pendidikan lainnya, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dan unsur-unsur dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Para pelaku pesantren adalah kyai (buya) sebagai tokoh utama dan merupakan kunci dari sebuah pesantren, ustadz sebagai pembantu kyai dalam bidang agama, guru sebagai pembantu kyai dalam mengajar ilmu-ilmu umum, santri sebagai pelajar, dan pengurus sebagai pembantu kyai dalam mengurus kepentingan umum pesantren. Nilai-nilai yang dikembangkan dipesantren senantiasa digerakan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur kontektual atau realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hasil perpaduan inilah yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang dihadapi oleh sebuah pondok pesantren.33Suyata, op .cit., hlm. 23

14

Tujuan terbentuknya pesantren diantaranya adalah membimbing anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam dan mempunyai ilmu agama, sehingga sangup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Disamping itu, tujuan khusus dibentuknya sebuah pondok pesantren adalah mempersiapkan anak didik (santri) untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan, serta mengamalkannya dalam masyarakat.34 Sistem yang diutamakan dalam pendidikan di pesantren adalah kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup. Para alumninya tidak ingin menduduki jabatan pemerintah, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.35 Dengan demikian, maka sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus menerus antara kepercayaan terhadap ajaran agama Islam yang diyakini mempunyai nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki kebenaran relatif. Keberadaan pesantren di Indonesia sudah mulai sejak Islam pertama kali datang di negeri ini, Ibrahim Bukhari sebagaimana dikutip oleh Samaun Bakry menyatakan bahwa sejarah dan perkembangan pesantren tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam itu sendiri ke Nusantara,36 karena kahadiran pesantren beriringan dengan kehadiran Islam di Nusantara, maka kehadiran pesantren di tanah air erat kaitannya dengan datangnya Islam ke Nusantara, demi memudahkan analisanya dalam konteks kepesantrenan di Indonesia maka penyebutan abad ke tujuh tetap dipakai meskipun keberadaannya masih relatif.37 Ciri-ciri khusus dari sebuah pondok pesantren adalah kurikulumnya terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya sintaksis Arab, morfologi Arab, hukum Islam, sistem yurisfudensi Islam, hadits, tafsir al-Qur'an, teologi Islam,34M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 248 35M Amin Rais, Cakrawala Islam , antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1989), cet. ke1, hlm. 162 36Samaun Bakry, Mengagas Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005), cet. ke-1, hlm. 158 37Ibid., hlm. 159

15

tasauf, tarikh, dan mantiq(retorika)38 Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik dengan istilah " kitab kuning" dengan ciri-ciri kitabnya berbahasa Arab tanpa syakal (baris), bahkan tanpa titik dan koma, berisi keilmuan yang cukup berbobot, dan metode penulisannya dianggap kuno, lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren, dan banyak diantara kertasnya berwarna kuning.39 Pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mapan, yaitu di dalamnya didirikan sekolah baik secara formal maupun non formal. Dewasa ini pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka merenovasi terhadap sistem pendidikan yang selama ini dipergunakan, yaitu mulai akrab dengan metodologi modern, semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional dalam artian terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan, serta berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat di samping sebagai pusat pendidikan Islam.40 Jadi dengan demikian, intinya, pesantren merupakan tempat sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, penetapan kurikulum, proses, sistem evaluasi dan tujuannya didasarkan atas nilai-nilai pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati oleh masyarakat. Disamping itu, peranan adanya peningkatan mutu pendidikan menuntut sebuah pesantren menjalin hubungan yang akrab dan harmonis dengan lembaga-lembaga lainnya yang berkembang di masyarakat. Semua itu merupakan mata rantai yang saling mendukung dan berkaitan dengan menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga sentral terhadap lembaga-lembaga lainnya yang ada di tengah-tengah masyarakat.38Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta : Mulia Offset. 1999), cet. ke-1, hlm. 26 39Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta : Galasa Nusantara. 1997), cet. ke-1, hlm. 103-104 40M Rusli Karim, "Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transpormasi Sosial Budaya", dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1991), cet. ke-1, hlm. 134

16

Atas dasar itu, maka kehadiran sebuah pondok pesantren ditengahtengah masyarakat akan berdiri di atas dua kepentingan, yaitu sebagai agen pewaris budaya pada satu sisi untuk menanamkan nilai-nilai ajaran dasar agama Islam, dan disisi lain sebagai peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pesantren untuk menghadapi tantangan perubahan masyarakat. Dengan kedua fungsi tersebut, diharapkan pondok pesantren akan tetap eksis dan dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk membentuk generasi yang siap menghadapi tuntutan dan tantangan zaman dan mengamalkan ajaran agama Islam hingga sekarang dan masa yang akan datang. Pola pengembangan pendidikan Islam yang disintesiskan dari pertemuan corak lama dan corak baru yang berwujud madrasah/sekolah, yang kemudian diadopsi oleh Thawalib Tanjung Limau dengan mengikuti format Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi pendidikan tetap menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam.41 Awalnya pengembangan pendidikan telah dimulai dengan pembaharuan yang dilakukn oleh tiga orang haji yang kembali belajar dari Mekah, yaitu haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.42 Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh tiga serangkai pembaharu di Minang Kabau, yang dikenal dengan gerakan kaum muda mereka adalah Haji Rasul ( Inyiak Deer), Haji Abdullah Ahmad, dan Haji Djamil Jambek.43 Melalui peran mereka dan murid-murid mereka inilah lembaga pendidikan Islam berubah menjadi lembaga pendidikan yang lebih moderen, dengan format Baratnya yaitu memasukan pelajaran umum ke dalam lembaga tradisional dan memasukan pelajaran Agama ke sekolah-sekolah umum, serta dengan merobah metode halaqah di lembaga tradisional dengan metode belajar secara klasikal. E.Langkah-Langkah Penelitian 1.Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, karena yang41Muhaimin, op. cit., hlm. 24 42Hamka, Adat Minag Kabau Menghadapi Revolusi, (Jakarta : Tekad, 1963), hlm.167 43Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 122

17

akan diteliti adalah persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan pada saat sekarang. Dalam hal ini penelitian dimaksudkan untuk mengambarkan secara aktual mengenai peranan pondok pesantren Thawalib Tanjung dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Adapun aspek-aspek peranan yang akan digambarkan dalam penelitian ini diantaranya adalah: peranan Pondok pesantren dalam mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, peranan dalam meningkatkan sumber daya manusia terutama dalam ilmu agama dan umum, dan peranan dalam pengembangan sarana dan prasarana pendidikan untuk mutu meningkatkan pendidikan Islam. Dalam mengambarkan peran pondok pesantren Thawalib dalam pengembangan Pendidikan Islam tersebut di atas, pendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan deskriptif -analitis historis. Maksudnya adalah data yang telah terkumpul; yaitu berupa kata, kalimat, dan gambar, yang dibagi dalam perioderisasi perkembangan pesantren sehingga pendekatan ini bukan kuantitatif yang mengunakan alat-alat pengukur data statistik. 2.Jenis Data Sesuai dengan metode penelitian yang dipilih di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara rinci gambaran mengenai peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam dalam pengembangan Pendidikan Islam, yang meliputi : (a) data tentang sejarah dan Perkembangan pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (b) data tentang visi, misi dan tujuan pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (c) data tentang kurikulum yang dipakai di pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar dalam Pengembangan Pendidikan Islam, (d) data tentang proses pelaksanaan dan evaluasi pendidikan Islam di pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (e) data tentang faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan Islam pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten

18

Tanah Datar, (f) data tentang peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam. 3.Sumber Data Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu: a. Data Primer Yang dimaksud dengan data primer di sini adalah data yang diperoleh dari lapangan. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah: 1) Pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau 2) Staf pengajar/ kyai 3) Dewan santri 3) Tokoh masyarakat yang ada disekitar pondok pesantren, dan 4) Alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau. b. Data Sekunder Yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber data yang didapat dari literatur dan dokumentasi. 4.Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Teknik observasi maksudnya adalah teknik pengumpulan data dengan jalan pengamatan langsung terhadap objek yang akan diteliti. Dalam teknik ini proses observasi dilakukan untuk mengamati atau mengetahui kondisi objektif peran pondok pesantren Thawalib terhadap pengembangan Pendidikan Islam. b.Wawancara Teknik wawancara maksudnya adalah teknik pengumpulan data dengan proses melakukan tanya jawab atau wawancara dengan sumber data primer yang telah ditentukan sebelumnya. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, maksudnya adalah pewawancara menentukan sendiri masalah dan pertanyaan yang diajukan sesuai dengan permasalahan yang

19

diteliti. Wawancara diajukan kepada sumber data primer, yaitu pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, staf pengajar atau dewan guru/kiyai, dewan santri, dan tokoh masyarakat dan alumni. c.Studi Dokumentasi Studi dokumentasi maksudnya adalah teknik pengumpulan data dengan jalan mengumpulkan dokumen resmi pondok pesantren berupa arsip, photo-photo kegiatan yang berkaitan dengan peran Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam. 5.Analisis Data Analisis merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah, sebab dalam bagian inilah data tersebut dapat memberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data.44 Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah menganalisis data. Karena datanya kualitatif, maka pendekatan yang digunakan dalam menganalisis data ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut : a.Reduksi Data Data atau informasi yang diperoleh dari lapangan sebagai bahan mentah direduksi, dirangkum, disusun secara sistematis, dipilih hal-hal yang pokok, atau difokuskan kepada hal-hal yang penting yang relevan dengan subyek penelitian, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas atau tajam tentang hasil yang telah diperoleh. b.Display Data Langkah lanjut dari reduksi dengan menyusunnya secara rapi dan44Lexy Meliong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 280

20

sistematis untuk disajikan dengan uraian naratif. Hal ini dilakukan untuk mendapat gambaran yang utuh dari data yang diperoleh, atau gambaran tentang keterkaitan antara aspek yang satu dengan aspek lainnya. c.Verifikasi Data Penarikan kesimpulan-kesimpulan secara sementara, kemudian dilengkapi dengan data pendukung lainnya sehingga sempurnalah hasil dari penelitian. verifikasi dilakukan dengan melihat kembali pada reduksi data maupun display data sehingga kesimpulan tidak menyimpang dari data yang dianalisis. d.Melakukan penulisan terhadap data yang telah dianggap valid dan sesuai dengan masalah penelitian.45

F.Studi Kepustakaan Sampai saat penelitian ini dilakukan, belum ada bahan yang cocok maupun dokumentasi/arsip yang memadai sebagai sumber penulisan peran pondok pesantren Thawalib yang terletak di Tanjung Limau Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh karena itu sebagai acuan yang kuat bagi penulis, maka penulis mengambil sebuah skripsi yang berjudul : Aktifitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Dalam Melaksanakan Dakwah Islamiah di Desa Tanjung Limau Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh Asrinaldi, BP. 295 015 Jurusannya adalah Bidang Penyuluhan Islam (BPI), Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol (IB) Padang. Dan juga skripsi Widiawati, Bp. 295.107, judul: "Perhatian Pengelola Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Di Desa Tanjung Limau Simabur Kecamatan Pariangan", STAIN Batusangkar, Fak Tarbiyah Jurusan PAI Adapun isi dari skripsi Asrinaldi di atas adalah bagaimana45Syamsu Yusuf, Penelitian Pendidikan, (Bandung : Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. 2003), hlm. 16-17

21

keberadaan pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam membina kader dakwah dan bagaimana peranan dakwah dalam masyarakat sekitarnya. Sedangkan isi skripsi Widiawati adalah bagaimana perhatian pengelola Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Terhadap keberadaan pondok pesantren ini sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam di desa Tanjung Limau. Sedangkan penulis di sini ingin menulis tentang bagaimana Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, dan menurut hemat penulis, pembahasan yang telah ada meski sama-sama meniliti Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, akan tetapi berbeda dalam masalah yang akan diteliti. Penulis meneliti pesantren ini dititip beratkan pada masalah, bagaimana pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau melakukan inovasi, memperhatikan posisinya dan menerapkan tugas pokoknya serta berfungsi dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.

22

BAB II TINJAUAN TEORITIK TENTANG PERANAN PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM A.Konsep Peranan (Role Consep) Suatu bagian penting dari lembaga ialah peranan. Peranan ialah aspekaspek dinamis dari kedudukan dan jabatan di dalam suatu lembaga, dan ia menetapkan perilaku para pemegang peranan itu.46 Di Pesantren, pemegang peranan itu meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Peranan memiliki harapan-harapan yaitu kewajiban, tanggung jawab, dan haknya. Peranan adalah tindakan seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Peranan dianggap penting karena mengatur perilaku seseorang. Peranan memberi batasan-batasan tertentu kepada orang agar dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku. Menurut Soekanto, Peranan mencakup tiga hal, yaitu : Pertama: Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi46Astrid Susanto, 1979), hlm. 32 Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung : Bumi Cipta,

23

atau tempat seseorang dalam masyarakat. Dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat. Kedua: Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Ketiga: Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.47 Menurut Amran Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.48 Sedangkan menurut Wrightman sebagaimana yang dikutip oleh Ozer Usman, Peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang di lakukan dalam suatu situasi tertentu.49 Sosiolog Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatankekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen, pengurus suatu lembaga, dan lain-lain.50 Meskipun Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan konsep peran. Konsep Peran mengambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut konsep ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu, misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Perilaku ditentukan oleh peran sosial.51 Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975)47Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat, (Jakarta : CV Rajawali, 1984), hlm. 76 48Amran, Kamus Lengkap-Bahasa Indonesia, (Bandung : Bumi Akasara, 1995), hlm. 449 49Wrightman, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Yogya Press, 1995), hlm. 231 50http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009 51http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009

24

membantu memperluas penggunaan konsep peran. Pendekatannya yang dinamakan life-course memaknakan, bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut.52 Menurut teori peranan (Role Theory), peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi. Menurut teori ini, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan tersebut.53 Berdasarkan dari teori-teori peranan yang telah diuraikan di atas, maka yang dimaksud dengan peranan dalam penelitian di sini, yaitu suatu kondisi yang diperankan atau dijalankan oleh pesantren dalam menghadapi dinamika pengembangan pendidikan di luar pesantren, terutama terhadap kehidupan masyarakat di Kabupaten Tanah Datar. Peranan yang dijalankan oleh Pesantren tersebut, yaitu pengembangan kelembagaannya, peningkatan sumber daya manusia, pengembangan sarana-prasarana, ilmu dan keterampilan. B.Pendidikan Pesantren 1. Pengertian dan Sejarah Pendidikan Pesantren Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Buchori, bahwa pendidikan pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia. Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran al-Qur'an dan al-Hadist, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan kepada para santri bahwa Islam sebagai pandangan hidup.54 Menurut pandangan Muhaimin dan Abdul Mujib, istilah pendidikan pesantren berasal dari istilah Kuttab yang merupakan lembaga pendidikan Islam52http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009 53Soerjono Soekanto, Soisiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo, 1989), hlm. 114 54Mochtar Buchori, "Pendidikan Islan di Indonesia: Problem Masa kini dan Perspektif Masa depan", dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun"im Saleh (Peny), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), cet. ke-1, hlm. 184

peranan

25

yang berkembang pada masa Bani Umayyah. Di Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren.55 Sedangkan menurut pengertian Departemen Agama Republik Indonesia, yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah pendidikan luar sekolah yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari /mendalami ajaran agama Islam dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya pengasuh, seperti kyai/ajengan, tuan guru, buya, tengku, atau ustadz, (2) adanya mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, (3) adanya santri atau siswa yang belajar, (4) adanya asrama/pondokan sebagai tempat santri tinggal/mondok, (5) adanya pengkajian kitab kuning atau kitab klasik tentang ilmu-ilmu ke-Islaman berbahasa Arab gundul sebagai sumber belajarnya.56 Pengertian lain dari pesantren seperti yang dikatakan oleh Mastuhu, yaitu sebagai berikut: Pendidikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan mesjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedunggedung, sekolah atau ruang-ruang belajar, serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri.57 Dalam salah satu tulisannya, Abdurrahman Wahid mengatakan, bahwa pesantren adalah sebuah subkultur. Menurutnya, minimal ada tiga elemen dasar yang mampu membentuk pesantren sebagai sebuah subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pesantren yang mandiri tidak terkoordinasi oleh negara; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad, dan yang55Pondok Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana Masjid yang dugunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok atau bangunan sebagai tempat tinggal para santri dan mempelajari kitab kuning. Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kjian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung : Trigenda karya, 1993), cet. ke-1, hlm. 298-299 56DepartemenAgama RI, Pedoman Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam Rangka Wajib Belajar Pendidikan Dasar, (Jakarta : Dirjen Binbagais Depag RI, 2002), cet. ke-1, hlm. 1112 57Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), cet. ke-1, hlm. 6

26

ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.58 Melihat dari berbagai macam pengertian pendidikan pasantren, maka Ahmad Tafsir seorang Guru Besar Pendidikan Islam menegaskan, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia setelah keluarga dengan ciri-ciri: (1) Ada kyai, (2) Ada pondok, (3) Ada mesjid, (4) Ada santri, (5) Ada pengajaran membaca kitab kuning.59 Dari macam-macam pengertian pesantren sebagaimana tersebut di atas, maka dapat penulis ditegaskan di sini bahwa, pendidikan pesantren merupakan sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajaran tetapi unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan dan semua aspek-aspek pendidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada defenisi yang dapat secara tepat mewakili pendidikan pesantren yang ada. Masing-masing pesantren mempunyai keistimewaan sendiri, yang tidak dimiliki oleh pesantren lainnya. Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pendidikan pesantren memiliki persamaan. Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri-ciri pendidikan pesantren, dan selama ini dianggap dapat mengimplikasikan pesantren secara kelembagaan. Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini dapat penulis simpulkan bahwa sebuah lembaga pendidikan dapat disebut pesantren apabila di dalamnya minimal terdapat lima unsur pokok, yaitu: kyai (Buya sebutan di Minang Kabau), santri, pengajian, asrama, mesjid dan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan. Persamaan lainnya yang terdapat dalam pendidikan pesantren adalah bahwa semua pendidikan pesantren melaksanakan tiga fungsi kegiatan yang dikenal dengan Tri Dharma Pendidikan pesantren, yaitu: Pertama: Peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Kedua: Pengembangan keilmuan58Abdurrahman Wahid, "Pesantern sebagai Subkultur" dalam M Dawan Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1988), cet. ke-1, hlm. 2 59Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda Karya, 1992), cet. ke-2, hlm. 190

27

yang bermanfaat. Ketiga: Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan Negara. Selain model pembelajaran, aspek kelembagaan dan aspek fungsi kegiatan di atas, pendidikan pesantren juga disatukan melalui persamaan tata hubungan yang khas dalam pendidikan dan kemasyarakatan, seperti: hubungan yang dekat antara kyai dan santri, ketaatan santri yang tinggi kepada kyai, hidup hemat dan sederhana, tingginya semangat kemandirian para santri, berkembangnya suasana persaudaraan dan tolong-menolong, dan tertanamnya sikap istiqomah. Sebagaimana dikatakan oleh Zamakhasyari Dhofier, sekurang-kurangnya harus ada elemen untuk dapat disebut pesantren, yaitu ada pondok, kyai, santri, dan pengajian kitab Islam klasik.60 Masalahnya kemudian adalah apakah pendidikan pesantren ini merupakan ciri khas atau produk asli sistem pendidikan Indonesia? Bagi masyarakat muslim Indonesia, pesantren dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya pendidikan Islam. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia sebagaimana yang diyakini oleh Karel A Steenbrink, Clifford Geertz dan yang lainnya.61 Hanya saja mereka berbeda ketika mengungkapkan proses lahirnya pesantren.62 Mengenai asal-usul pendidikan pesantren ini, terdapat dua pendapat yang kontradiktif.63 Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pesantren adalah kreasi orisinil anak bangsa setelah mengalami kontak dengan budaya lokal. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam khasanah lembaga pendidikan pra-Islam di Indonesia. Pesantren merupakan sekumpulan komunitas independen yang awalnya mengisolasi diri di sebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan60Zamakasyari Dhofier, Tradisi pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1984), cet. ke-4, hlm. 44 61Syaifuddin (Ed.)., Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren, (Jakarta : Departemen Agama RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 18 62Pada umumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam maupun luar negeri, ini terpublikasikan dalam bentuk buku, di antaranya: Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai (Zamakhasyari Dhoffier), Pesantren , Madrasah, Sekolah (Karel A. Streenbrik), The Religion of Java, The Japanese Kyai, dan Islam Observer (Clifford Geertz), Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat ( Martin van Bruinessen), dan lain sebagainya. 63Hanun Asrahah, dkk, Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan dan Pelembagaan, (Bandung : Remadja Rosda Karya, 2002), cet. ke-1, hlm. 1-7

28

(pegunungan).64 Terbukti sampai saat ini banyak sekali pesantren yang berada di pelosok desa Nurcholis Madjid pernah menegaskan, pesantren adalah artefak peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigenous. Dia menegaskan, pesantren mempunyai hubungan historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada semenjak kekuatan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya.65 Kedua, kelompok yang berpendapat, pesantren di adopsi dari lembaga pendidikan Timur Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa lembaga mandala atau asrama yang sudah ada semenjak zaman Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual sebagaimana pesantren. Termasuk yang setuju dalam kelompok ini adalah Martin van Brunessen, salah seorang sarjana Barat yang concern terhadap sejarah perkembangan Pesantren di Indonesia 66 dalam bukunya Kitab Kuning : Pesantren dan Tarikat, dia menjelaskan bahwa pesantren cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di Al-Azhar Mesir dengan sistem pendidikan riwaq yang didirikan akhir abad ke-18 M.67 Sedangkan Zamakhsyari Dhofier, pesantren khususnya di Jawa, merupakan kombinasi antara Madrasah dan pusat kegiatan tarikat, bukan antara Islam dan Hindu-Budha.68 Sementara itu Aburrahman Masud mengomentari, bahwa keberadaan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Maulana Malik Ibrahim (w.1419 H), atau yang dikenal sebagai spiritual father Walisongo.69 Berdasarkan sejarah yang berkembang, mengindikasikan bahwa pesantren64Pigeaud dalam Java in the Fourtheen Century; Geertz dalam Islam Observer dan The Religion of Java; Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning; pesantren dan Tarekat; Zamakhsyari Dhofler dalam Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai; dan Nurchalis Madjid dalam Bilik-bilik Pesantren; sebuah Potret Perjalanan. 65Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramedina, 1997), cet. ke-1, hlm. 10 66Asrohah, op. cit., hlm.3-6 67Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat, (Bandung : Mizan, 1992), cet.ke-1, hlm. 35 68Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 34 69Abdurrahman Masud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2002), cet.ke-1, hlm. 3-10

29

tertua, baik di Jawa maupun di luar Jawa tidak dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa para Walisongo.70 Sementara itu Zamakhsyari Dhofier, berpendapat, berdasarkan keterangan-keterangan yang terdapat dalam dan Serat Cebolek dan Serat Centani, dapat disimpulkan bahwa paling tidak sejak permulaan abad ke-16 M telah banyak pesantren-pesantren yang masyhur dan menjadi pusat pendidikan Islam.71 Bahkan Mastuhu berpendapat bahwa keberadaan pesantren mulai dikenal sejak periode abad ke-13 M.72 Hal terpenting yang perlu diingat dari dua pendapat yang saling bertentangan di atas adalah bahwa mereka sepakat dalam memahami pesantren sebagai cikal bakal pendidikan tradisional di Indonesia. Inipun dibuktikan dalam catatan sejarah bahwa ribuan pesantren telah berdiri, tumbuh dan berkembang di Indonesia. Tentu saja fenomena ini telah menunjukan bahwa puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang Indonesia yang ikut merasakan sistem pembelajaran pesantren meskipun masih bersifat tradisional. Output pendidikan yang bersifat tradisional ini dikenal sebagai orang yang alim-ulama. Pada masyarakat Jawa, ulama tersebut dipanggil dengan sebutan kyai bukan ulama. Bagi Zamakhsyari Dhofier, realitas ini didasarkan pada kenyataan bahwa para kyai di samping mengajar masalah keimanan Islam (tauhid) dan hukum Islam (fiqih) juga mengajar tasauf (sufi). Kecenderungan seperti inilah yang menyebabkan ulama dipanggil kyai.73 Menurut Horikhosi, sebagaimana yang dikutip oleh Sukanto, perbedaan antara ulama dan kyai terletak pada fungsi sosialnya. Seorang ulama lebih berperan pada komunitas berskala kecil, seperti di pedesaan. Sedangkan fungsi sosial seorang kyai lebih besar dari ulama, karena ditopang oleh kekuatankekuatan kharismatik. Jangkauan pengaruh kyai lebih besar dibanding ulama.74 Dalam dunia pesantren, jika seorang ulama dipanggil dengan kyai,70Abdurrrahman Masud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. ke-1, hlm. 63-69 71Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 33-35 72Mastuhu, op. cit., hlm. 7 73Zamakhsyari Dofier, op . cit., hlm. 34 74Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1999), cet. ke-1, hlm. 87

30

maka muridnya dikenal santri.75 Keduanya sebutan bagi masyarakat Jawa praIslam.76 Selain menelusuri akar kata dari dua istilah santri dan kyai di atas, Nurchalis atau yang sering dipanggil dengan Can Nur, juga mengurai satu akar kata yang tidak kalah pentingnya dalam dunia pesantren. Istilah tersebut adalah proses bergurunya seorang santri terhadap kyai yang disebut ngaji atau pengajian77 Kemudian embrio kemunculan pesantren diawali dengan pengajianpengajian yang diadakan oleh seorang yang dianggap alim di pedesaan-pedesaan di mana santri yang berdatangan adalah masyarakat sekitar yang ingin memperdalam pengetahuan ke-Islaman pada kyai tersebut. Santri sekitar daerah kyai tersebut biasanya nglaju (santri pulang-pergi atau tidak menetap). Ia akan datang saat digelar pengajian dan pulang ke rumah masing-masing manakala pengajian selesai.78 Ketika nama seorang ulama semakin tersohor, santri yang berdatangan dan hendak berguru kepadanya pun semakin banyak, tidak hanya sebatas penduduk daerah sekitarnya saja, namun banyak yang datang dari luar daerah tempat tinggal kyai. Mula-mula, santri semacam ini akan tinggal di rumah-rumah penduduk sekitar lingkungan kyai dengan membawa bekal sendiri-sendiri. Ketika jumlahnya mulai tak tertampung lagi, maka pada akhirnya didirikanlah pondok pesantren untuk menampung santri-santri yang datang dari berbagai daerah tersebut.79 Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama Islam, dan sosial keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pengembangan Islam, seperti yang diakui oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns75Istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta dari kata Sastri yang berarti melek huruf dan Cantrik yang berarti seorang yang mengikuti seorang guru kemana pergi dan menetap. Lihat Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalan, (Jakarta : Paramedina, 1997), hlm. 19 76 Sudjoko, dkk., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lainnya di Bogor, (Jakarta : LP3ES, 1982), cet. ke-2, hlm. 11 77Ngaji atau pengajian adalah bentuk kata kerja katif dari kaji: yang berarti mengikuti jejak haji, yaitu belajar agama dengan bahasa Arab. Amin Haedari, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modren, (Jakarta : IRD Press, 2004), hlm. 5 78Amin Haedari Ibid., hlm. 7 79Ibid.,

31

sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier sebagai berikut: Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembagalembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16.80 Selama zaman kolonial, pesantren tidak termasuk dalam perencanaan pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa sistem pendidikan Islam sangat jelek baik ditinjau dari segi tujuan, maupun metode bahasa (bahasa arab) yang dipergunakan untuk mengajar, sehingga sangat sulit untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial. Tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, metode yang dipergunakan tidak jelas kedudukannya. Sebaliknya mereka menerima sekolah zending untuk dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah kolonial, karena secara filosofis dan teknik dianggap lebih mudah, yaitu baik tujuan, metode maupun bahasa yang dipergunakan sesuai dengan nilai kebiasaan pemerintah kolonial. Orientasi sekolah umum diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam hidup keduniawian, sedang pesantren mengarahkan orientasinya pada pembinaan moral dalam konteks kehidupan ukhrawi.81 Pada zaman revolusi pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam peperangan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan. Banyak santri membentuk barisan Hizbullah yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi Tentara Nasional Indonesia. Ciri khas pada angkatan darat pada masa awalnya menggambarkan adanya corak kepesantrenan.82 Tetapi sejak sekitar dua dasawarsa terakhir ini pesantren mulai turun harganya di mata bangsa, masyarakat, keluarga dan anak muda. Pesantren80Zamakhsyari Dhofier, op . cit., hlm. 17-18 81Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta : LP3ES, 1986), cet. ke-2, hlm. 1-9 82B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta : Grafiti Press, 1985), cet. ke-1, hlm. 14-27

32

dianggap kurang mampu memenuhi aspirasi mereka dan tidak mampu memenuhi tantangan pembangunan. Secara kualitatif mereka meninggalkan pesantren tetapi secara kuantitatif mereka tetap belajar di pesantren. Sementara itu, masuk pesantren lebih murah dan mudah dibandingkan dengan masuk sekolah umum, karena memang tidak ada syarat-syarat tertentu untuk memasuki pesantren, berapa saja dan kapan saja siswa dapat diterima. Namun hati mereka (masyarakat muslim) sebenarnya mendua: di satu segi mereka mengharapkan dan percaya pesantren dapat memberikan bekal moral agama bagi anak-anak mereka dalam mengarungi kehidupan modern, tetapi di segi lain mereka takut kalau pesantren tidak dapat membekali kemampuan kerja anak mereka dalam menghadapi masa depannya. Mereka mengharapkan dan percaya bahwa pendidikan umum dapat memberikan bekal sains dan teknologi kepada anak-anak mereka dalam mengarungi kehidupan modern, tetapi takut tidak dapat memberikan bekal moral agama. Hal itu tercermin dari pernyataan beberapa tokoh Belanda sebagai berikut: Beberapa orang desa yang alim mengirimkan anak-anak mereka kepada pesantren gaya lama itu. Pimpinan pesantren ini mengirimkan anakanaknya ke madrasah yang lebih modern. Para guru di madrasah tersebut mengirimkan anak-anaknya ke sekolah menengah negeri agar dapat melanjutkan sekolahnya ke Universitas Islam. Para Profesor di suatu Universitas Islam berusaha memperoleh tempat bagi anak-anaknya di Universitas Negri. Dan para profesor Universitas Negeri mengirimkan anakanaknya ke luar Negeri.83 Mastuhu berpendapat, bahwa pernyataan Boland tersebut memang berlebihan, tetapi ada unsur benarnya. Gejala yang berkembang sekarang adalah justru pertumbuhan pesantren baru lebih cepat atau lebih banyak pada masa-masa sesudah kemerdekaan daripada sebelumnya. Pertumbuhan pesantren tidak hanya di desa-desa, tetapi justru lebih banyak di kota-kota.84 Mereka tidak hanya belajar agama di pesantren, tetapi juga memasuki madrasah dan sekolah-sekolah umum bahkan perguruan tinggi yang diasuh oleh pesantren yang bersangkutan. Hampir seluruh santri yang belajar di madrasah dan sekolah umum juga belajar agama di pesantren, sedang mereka yang belajar83Ibid., hlm. 128 84Mastuhu, op. cit., hlm.24

33

agama di pesantren tidak selalu belajar di madrasah atau sekolah umum. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan pesantren mengalami pasang-surut seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman yang mengiringinya. Namun kendati demikian, pesantren terus eksis di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia saat ini sesuai dengan keadaannya masing-masing. 2. Tipologi Pesantren Salah seorang peneliti dan pemerhati lembaga pendidikan Islam, yaitu Zamakhsyari Dhofier mengatakan, bahwa tipologi pesantren dapat dilihat dari aspek jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu sebagai berikut: Pertama: Pesantren yang santrinya kurang dari 1000 orang dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil. Kedua: Pesantren yang santrinya antara 1000-2000 orang dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten, disebutnya sebagai pesantren menengah. Ketiga: Pesantren yang santrinya lebih dari 2000 orang dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar.85 Sedangkan menurut Kafrawi Ridwan sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari, tipologi pesantren terbagi kepada empat tipe sebagai berikut: Pertama: Pesantren Tipe I ialah pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen berupa mesjid dan rumah kyai. Pesantren ini masih sederhana, kyai mempergunakan mesjid atau rumahnya untuk tempat mengaji, biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah dilaksanakan secara kontinue dan sistematik. Kedua: Pesantren Tipe II ialah pesantren yang sama dengan tipe I tetapi ditambah adanya pondokan bagi santri. Ketiga: Pesantren Tipe III ialah pesantren yang sama dengan tipe II tetapi ditambah dengan adanya madrasah berupa pengajian system klasikal. Keempat: Pesantren Tipe IV ialah pesantren tipe III ditambah adanya unit keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan lain-lain.86 Kemudian Ada juga tipologi pesantren yang dilihat dari macam ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Wardi Bachtiar sebagai berikut:85Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 42 86Endang Soetari AD, Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren, (Bandung : Balai Penelitian IAIN SGD, 1987), cet. Ke-1, hlm. 41-42

34

Pertama: Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Sistem madrasah ditetapkan untuk mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorongan. Kedua: Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan dan di bawah tanggung jawab pesantren.87 Sedangkan menurut Departemen Agama Republik Indonesia, tipologi pesantren terbagi ke dalam tiga tipe berikut ini: Pertama: Pesantren Salafiyah, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pelajaran dengan pendekatan tradisional secara individual maupun kelompok dengan konsentrasi pembelajan kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Kedua: Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menyelemnggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern melalui suatu pendidikan formal, baik madrasah, (MI, MTs, MA atau MAK) maupun sekolah (SD, SMP, SMU, dan SMK). Pada pesantren tipe ini, pondok lebih benyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama. Ketiga: Pesantren Campuran/ Kombinasi, yaitu tipe pesantren gabungan antara Salfiyah dan Khalafiyah.88 Sementra itu, Amin Haedari mengelompokkan tipe terbaru dari sebuah pondok pesantren sebagai berikut : Pertama: Tipe I, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD,SMP,SMA, dan PT Umum). Kedua: Tipe II, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga: Tipe III, yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD). Keempat:Tipe IV, yaitu pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.89 Pada pesantren-pesantren tipe I dan II, sistem pembelajaran tradisional yang berlaku yaitu sorongan, bandongan, dan halaqah mulai diseimbangkan dengan sistem pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum, misalnya,

87Wardi Bachtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat, (Bandung : Balai Penelitian IAIN SGD, 1990), cet. ke-1, hlm. 22 88Departemen Agama RI, Profil Pondok Pesantren, (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 15-16 89Amin Haedari, op. cit., hlm. 16

35

pesantren tidak lagi hanya memberikan mata pelajaran ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang diakomodasi dari kurikulum pemerintah, seperti matematika, fisika, biologi, bahasa Ingggris, dan sejarah. Begitu juga pada pesantren baru ini, sistem pengajaran yang berpusat pada kyai mulai bergeser. Pihak pesantren umumnya merekrut lulusan-lulusan perguruan tinggi, terutama dari Institut Agama Islam Negri menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah yang didirikan di lingkungan pesantren. 3.Komponen Pembelajaran di Pesantren a. Tujuan Pembelajaran di Pesantren Dalam kaedah ushul fiqh dikatakan bahwa Al-Umur Bimaqoshidiha yang mengandung makna bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Hal ini karena dengan berorientasi pada tujuan itu, dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar untuk mangakhiri usaha, serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicitacitakan dan yang terpenting lagi dapat memberi penilaian pada usaha-usahanya.90 Pesantren mempunyai tujuan keagamaan, sesuai dengan pribadi dari kyai sendiri. Kebiasaan mendirikan lembaga pendidikan pesantren dipengaruhi oleh pengalaman pribadi kyai semasa belajar di pesantren.91 Tujuan pendidikan di pesantren sarat dengan muatan-muatan keagamaan, bahkan seorang kyai pernah menjelaskan bahwa berdirinya pesantren adalah sebagai amal ibadah untuk kehidupan akhirat92. Tujuan-tujuan pendidikan di pesantren yang tidak dirumuskan secara tertulis dalam sebuah buku atau papan statistik tersebut dimaksudkan sebagai upaya secara diam-diam untuk menghindari sikap ria, yaitu memamerkan perbuatanperbuatan baik. Secara psikologis, kyai memiliki keyakinan keagamaan, bahwa perbuatan baik yang sering diikuti dengan sikap ria, tidak akan mendapatkan90Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Al-Maarif, 1989), cet. ke9, hlm 45-46 91Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1986), cet. ke-1, hlm. 134-135 92Sukamto, op. cit., hlm. 140

36

pahala dari Tuhan, sekalipun perbuatan itu dilakukan dengan jerih payah atas usaha sendiri.93 Tujuan pembelajaran di pesantren lebih mengutamakan niat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat daripada mengejar hal-hal yang bersifat material. Seseorang yang mengaji/mesantren disarankan agar memantapkan niatnya dan mengikuti pengajian itu semata-mata untuk menghilangkan kebodohan yang ada pada dirinya. Karena itu, di dalam setiap pengajaran di pesantren, kyai selalu mangajak para santri untuk mengawalinya dengan membaca surat al-Ftihah yang ditujukan kepada pengarang kitab yang akan dikaji, dan selanjutnya diakhiri dengan pembacaan doa oleh kyai. Kebiasaan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada pengarang kitab dan sekaligus sebagai rasa tunduk kepadanya, yaitu perbuatan yang dilakukan komunitas pesantren untuk memperoleh kebaikan atau keberkahan dari seseorang yang telah diketahui ketinggian ilmunya dan juga sifat-sifat mulia yang disandangnya.94 Mengingat pesantren merupakan lembaga yang awal berdirinya melibatkan peran serta masyarakat sekitarnya, maka tujuan pendidikan di pesantren juga tidak lepas dari harapan masyarakat. Berbagai anggota masyarakat datang ke kyai menitipkan anaknya dengan maksud supaya dididik menjadi orang baik-baik, mengerti ilmu agama, menghormati kedua orang tua dan gurunya.95 Dalam kaitannya dengan pendidikan pesantren, maka pemahaman tujuannya hendaknya didasarkan terlebih dahulu pada tujuan hidup manusia menurut Islam. Artinya, tujuan pendidikan pesantren harus sejalan dengan tujuan hidup manusia menurut konsepsi dan nilai-nilai Islam. Maka dalam perumusannya, tujuan pendidikan pesantren yang memiliki tingkat kesamaan dengan pendidikan Islam itu seyogyanya memiliki keterpaduan, yaitu berorientasi kepada hakikat pendidikan, yang memiliki beberapa aspek sebagai berikut: Pertama:Tujuan hidup manusia yang berlandaskan misi keseimbangan hidup yang mengapresiasi kehidupan dunia dan akhirat. Manusia93Ibid., hlm. 141 94Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, Dinamika Dunia Pesantren, (Jakarta : P3M, 1988), cet. ke-1, hlm. 21 95Ibid.

37

hidup bukan karena kebetulan, tanpa arah tujuan yang jelas. Ia diciptakan dengan membawa amanah dalam mengemban tugas dan tujuan hidup tertentu. Kedua: Memperhatikan tuntunan dan tatanan sosial masyarakat, baik berupa pelestarian nilai budaya, maupun pemenuhan tuntutan dan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembanngan dan tuntutan perubahan zaman,seperti terciptanya masyarakat etik (etical society) yang berkarakter pada sifat-sifat sosial yang tinggi seperti: (a) nilai religiusitas, artinya mendambakan model dan karakter masyarakat yang beretika religi, tidak sekuler; (b) nilai egalitaliun, yaitu watak yang mendambakan keadilan, membarikan kesempatan luas kepada masyarakat luas kepada masyarakat untuk tumbuh maju dan berkembang bersama-sama; (c) mengindahkan nilai demokrasi dan penegakan hukum; dan (d) memberikan penghargaan terhadap manusia (human digniti), menerima dengan segala kesadaran terhadap pluralisme dan multikulturalisme dalam berbangsa. Ketiga:Memperhatikan watak-watak dasar (nature) manusia seperti kecendrungan beragama (fitrah) yang mendambakan kebenaran, kebutuhan individual dan keluarga sesuai batas dan tingkat kesanggupan.96 Berdasarkan kriteria-kriteria dari tujuan pendidikan pesantren seperti tersebut di atas, maka tujuan pendidikan pesantren dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut: Pertama:Tujuan pendidikan jasmani (ahdaf al-jismiyah), yaitu mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui pelatihan keterampilan-keterampilan fisik. Kedua: Tujuan pendidikan rohani (ahdaf ar-ruhaniyah), yaitu meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi Muhammad SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam Al-Quran. Ketiga: Tujuan pendidikan akal (ahdaf al-aqliyah), yaitu pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan ayat-ayat-Nya yang membawa iman kepada Sang Pencipta. Keempat:Tujuan pendidikan sosial (ahdaf al-ijtimaiyah), yaitu pembentukan kepribadian yang utuh dari roh, tubuh dan akal.97 Oleh karena itu, tujuan pendidikan pesantren harus berorientasi pada dua tujuan pokok, yaitu:96Pupuh Fathurrahman, Keunggulan Pendidikan Pesantren: Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu Abad XXI, (Bandung : Paramartha, 2000), cet. ke-1, hlm. 155-157 97Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung : Trigenda Karya, 1993), hlm. 159-160

38

Pertama, tujuan yang berorientasi ukhrawi, yaitu membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban kepada Allah. Kedua, tujuan yang berorientasi duniawi, yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang.98 Atas dasar itu, maka menurut M. Arifin, tujuan terbentuknya pesantren ada yang bersifat umum dan khusus. Secara umum, tujuan pendidikan pesantren adalah membimbing anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Dan tujuan khususnya adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.99 Menurut Mashutu, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan brtaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, mampu mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.100 Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher mengatakan, bahwa santri yang telah belajar di dalam pendidikan pesantren akan memiliki delapan tujuan, yaitu: Pertama: Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam. Kedua: Memiliki kebebasan yang terpimpin. Ketiga: Berkemampuan mengatur diri sendiri. Keempat: Memikili rasa kebersamaan yang tinggi. Kelima: Menghormati orang tua dan guru. Keenam: Cinta kepada ilmu. Ketujuh: Mandiri. Kedelapan: Kesederhanaan.101 Jadi dengan demikian, tujuan terpenting dari pembelajaran di pesantren harus berorientasi pada kemanfaatan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran dan pendirian pesantren itu sendiri, seperti kyai, santri dan masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran di pesantren dapat98Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah wa Falasifuha, (Mesir : Al-Nalaby, 1969), cet. ke-1. hlm. 284 99M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara,, 1991), cet. ke-7, hlm. 248 100Mashutu, op. cit., hlm. 55-56 101Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, op. cit., hlm. 280-288

39

dirasakan manfaatnya bagi diri kyai dan keluarganya, para santri /pelajar, dan bagi masyarakat yang berada di sekitar pesantren. b.Kyai dalam Pembelajaran di pesantren Kyai atau pengasuh pesantren merupakan komponen yang sangat essensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura, sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan pesantren. Di samping itu, kyai pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika dalam pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyainya. Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu: Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti Kyai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.102 Kyai yang dimaksud dalam pembahasan ini mengacu kepada pengertian kyai nomor 3 pada definisi di atas, yaitu pengertian yang diberikan kepada pemimpin agama Islam atau pesantren dan mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab klasik (kuning) kepada para santrinya. Istilah kyai ini biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Sementara di Jawa Barat digunakan istilah Ajengan, di Aceh dengan Tengku, di Sumatera Barat dinamakan Syaikh atau Buya, dan di Kalimantan dan NTB disebut Tuan Guru. Bagi masyarakat Islam tradisional, kyai di pesantren dianggap sebagai figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang mempunyai wewenang dan otoritas mutlak (power and authority) di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang berani melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya), kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Sejak Islam mulai di pelosok Jawa, terutama sejak abad ke-13 dan 14102Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 55

40

Masehi, para kyai sudah memperoleh status sosial yang tinggi. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, kyai semakin memperlihatkan daya tawar yang tinggi. Walaupun sebagian besar kyai itu tinggal di desa yang jauh dari pusat kekuasaan dan pemerintahan, namun mereka merupakan bagian dari kelompok elit masyarakat yang disegani sekaligus berpengaruh, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Tidak jarang suara kritis dari kyai dianggap sebagai tindakan makar terhadap Belanda.103 Atas dasar itu, maka perkembangan suatu pesantren bergantung sepenuhnya kepada kemampuan pribadi kyainya. Kyai merupakan cikal-bakal dan komponen yang paling pokok dari sebuah pesantren. Itulah sebabnya kelangsungan hidup sebuah pesantren sangat bergantung pada kemampuan pesantren tersebut untuk memperoleh seorang kyai pengganti yang berkemampuan cukup tinggi pada waktu ditinggal mati kyai yang terdahulu.104 Imam Bawani menjelaskan, bahwa faktor-faktor pendukung keberhasilan pendidikan adalah: Pertama: Terwujudnya keteladanan kyai. Kelebihan seorang kyai dalam memimpin sebuah pesantren adalah karena ia memiliki pamor atau kelebihan yang baik dan terkenal di masyarakat luas. Pamor dan kelebihan itu dibangun dengan keteladanan yang selalu ia lakonkan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, sesuai antara perkataan dan perbuatan. Kedua: Terciptanya hubungan yang harmonis antara seorang kyai yang satu dengan kyai yang lainnya, dan hubungan antara kyai dengan santrinya, serta hubungan antara santri dengan santri lainnya. Hubungan semacam ini mayoritasnya selalu berlandaskan kepada dasar kemanusiaan dan ikatan ukhuwah antar sesama muslim. Ketiga: Mencuatnya kematangan out-put para lulusan pesantren dalam menjalankan agama di tengah masyarakat. Hal ini membuat lembaga pesantren menjadi panutan, disayangi, dihormati dan disegani serta dicintai oleh hampir semua kalangan masyarakat luas.105 Dengan demikian, peran kyai dalam pelestarian sebuah pesantren adalah sangat penting, sehingga Dawam Rahardjo menyatakan bahwa kemenangan NU103Syarifuddin, op. cit., hlm.67 104M Arifin, op. cit., hlm. 248 105Imam Bawani, Tradisional dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1970), cet. ke1, hlm. 5

41

dalam Pemilihan Umum tahun 1955 sebagai partai politik keempat terbesar, telah menyadarkan banyak orang tentang pengaruh para kyai dalam kehidupan politik sekalipun.106 Apa yang menyebabkan kyai memiliki peranan yang sangat sentral dalam proses pembelajaran di pesantren?. Menurut Horikoshi, kekuatan kyai itu berakar pada kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan.107 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan kyai dalam proses pembelajaran di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pengajar atau pendidik semata, akan tetapi lebih dari itu kyai berkedudukan pula sebagai penjaga moral masyarakatnya. c.Santri dalam Pembelajaran di Pesantren Komponen yang tak kalah pentingnya dalam proses pembelajaran di pesantren adalah santri. Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mampelajari ilmu-ilmu agama Islam melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu, eksistensi kyai biasanya juga berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya. Pada umumnya, santri terbagi dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut: Pertama, santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Kedua, santri kalong, yaitu para siswa yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantrennya.108 Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri yunior tentang kitab dasar dan menengah. Adapun santri kalong umumnya adalah para anak-anak penduduk yang berada di sekitar pesantren yang mengikuti pengajian di pesantren tersebut. Oleh karena itu mereka sering bolak-balik dari rumahnya sendiri. Para Santri kolong106M Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, (Jakarta : P3M, 1985), cet, ke- 1, hlm. vii 107Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1987), cet. ke-1, hlm. 169 108Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 51-52

42

berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas pesantren lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kolong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Sebaliknya, pesantren kecil memiliki lebih benyak santri kolong daripada santri mukim. Menurut Amin Haedari dan Abdullah Hanif, alasan utama seorang santri tinggal di pesantren di anataranya adalah karena: Pertama: Berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam langsung di bawah bimbingan seorang kyai yang memimpin pesantren tersebut. Kedua: Berkeinginan memperoleh pengalamann kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesan