tesis limbah menjadi media etanol revisi setelah sidang

129
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi glukosa dari bahan yang mengandung komponen pati atau selulosa karena merupakan polimer dari glukosa. Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pertanian yang mempunyai kandungan pati yang tinggi dan serat (selulosa dan hemiselulosa) dalam umbinya yang potensial digunakan sebagai bahan baku produksi etanol. Tingkat konversi pati ubi kayu menjadi bioetanol menurut Nurdyastuti (2005) adalah sebesar 16,66%, yang berarti 1 ton ubi kayu akan menghasilkan 166,7 liter etanol. Pembuatan bioetanol dengan bahan baku pati dan serat membutuhkan proses hidrolisis untuk memecah komponen polisakarida menjadi glukosa yang kemudian akan dikonversi oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi etanol melalui proses fermentasi. Pati dan serat dapat dihidrolisis dengan katalis asam, katalis enzim, serta kombinasi enzim dan asam (Judoamidjojo et al. 1992). Ubi kayu pada umumnya baru memanfaatkan komponen pati sedangkan komponen selulosa dan hemiselulosa belum dimanfaatkan secara maksimal karena proses hidrolisis menggunakan enzim hanya menggunakan enzim amilolitik yang hanya mampu menghidrolisis pati. Penggunaan katalis asam dalam proses hidrolisis antara lain dapat

Upload: rosi-mauliana

Post on 14-Apr-2016

243 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

tesis

TRANSCRIPT

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi glukosa dari bahan yang

mengandung komponen pati atau selulosa karena merupakan polimer dari

glukosa. Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pertanian yang mempunyai

kandungan pati yang tinggi dan serat (selulosa dan hemiselulosa) dalam umbinya

yang potensial digunakan sebagai bahan baku produksi etanol. Tingkat konversi

pati ubi kayu menjadi bioetanol menurut Nurdyastuti (2005) adalah sebesar

16,66%, yang berarti 1 ton ubi kayu akan menghasilkan 166,7 liter etanol.

Pembuatan bioetanol dengan bahan baku pati dan serat membutuhkan proses

hidrolisis untuk memecah komponen polisakarida menjadi glukosa yang

kemudian akan dikonversi oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi etanol melalui

proses fermentasi. Pati dan serat dapat dihidrolisis dengan katalis asam, katalis

enzim, serta kombinasi enzim dan asam (Judoamidjojo et al. 1992).

Ubi kayu pada umumnya baru memanfaatkan komponen pati sedangkan

komponen selulosa dan hemiselulosa belum dimanfaatkan secara maksimal

karena proses hidrolisis menggunakan enzim hanya menggunakan enzim

amilolitik yang hanya mampu menghidrolisis pati. Penggunaan katalis asam

dalam proses hidrolisis antara lain dapat menghidrolisis komponen pati, selulosa

dan hemiselulosa secara bersamaan. Beberapa penelitian mengenai hidrolisis pati

menggunakan asam telah dilakukan antara lain oleh Musyarofah (2007) yang

menggunakan HNO3 untuk menghidrolisis empulur sagu, serta Putri dan Sukandar

(2008) yang menggunakan HNO3, H2SO4 dan HCl untuk menghidrolisis pati

ganyong.

Hidrolisis menggunakan katalisator asam akan memotong secara acak

ikatan pada komponen pati dan serat. Hasil hidrolisis amilosa (komponen pati

larut air) akan menghasilkan glukosa dan maltosa, sedangkan amilopektin

(komponen pati tidak larut air) akan menghasilkan dekstrin, maltosa, isomaltosa

dan glukosa. Hidrolisis sempurna dari selulosa akan menghasilkan glukosa,

sedangkan hidrolisis sebagian akan menghasilkan komponen selobiosa.

2

Hemiselulosa yang terdiri dari banyak jenis monomer dapat terhidrolisis menjadi

xilosa, arabinosa, galaktosa, glukosa dan glukorunat.

Gula-gula sederhana yang ada tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh S.

cerevisiae. S. cerevisiae hanya dapat menggunakan glukosa, fruktosa, maltosa dan

galaktosa; sedangkan gula-gula lain yang tidak dapat dimanfaatkan oleh khamir

akan tertinggal di dalam media. Proses pemotongan polisakarida secara acak oleh

katalis asam akan banyak menghasilkan oligosakarida yang tidak dapat

dimanfaatkan oleh khamir sehingga menurunkan efisiensi fermentasi. Adanya

mekanisme penghambatan proses fermentasi oleh produk (etanol) yang dihasilkan

akan mengakibatkan penurunan kinerja dari khamir dalam mengkonversi gula

menjadi etanol. Oleh karena itu, etanol yang ada dalam media harus dikeluarkan

dahulu dengan proses destilasi, kemudian gula yang ada pada vinasse

dimanfaatkan kembali sebagai media fermentasi dengan melakukan daur ulang.

Pemanfaatan vinasse menjadi penting karena volumenya yang besar,

sehingga jika dibuang ke lingkungan akan menimbulkan pencemaran air.

Pemanfaatan vinasse untuk didaur ulang sebagai bahan baku pembuatan etanol

mulai dikembangkan karena selain dapat meningkatkan jumlah etanol yang

didapatkan proses daur ulang tidak memerlukan instalasi pengolahan baru karena

dapat menggunakan instalasi produksi yang ada.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi fermentasi etanol

secara berkesinambungan dengan cara mendaur ulang vinasse yang keluar,

sehingga gula yang tersisa pada fermentasi pertama dapat dimanfaatkan pada

proses fermentasi berikutnya. Kandungan gula pada vinasse masih cukup banyak

dan berpotensi untuk dimanfaatkan kembali menjadi substrat untuk pembuatan

etanol. Proses daur ulang juga dapat berfungsi untuk memanfaatkan kandungan

air dalam vinasse sebagai pengencer hidrolisat yang baru sehingga selain dapat

memanfaatkan sisa gula juga dapat mengurangi pemakaian air selama proses

produksi sehingga akan mengurangi biaya produksi.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan desain proses

pembuatan bioetanol dari vinasse. Vinasse yang dimaksud pada penelitian ini

3

adalah sisa cairan destilasi hasil fermentasi etanol ubi kayu dengan hidrolisis

asam. Pemanfaatan vinasse ini dapat mengurangi jumlah produk samping yang

keluar dari proses, menghemat penggunaan bahan baku singkong dan menghemat

air yang digunakan untuk mengencerkan substrat. Tujuan khusus dari penelitian

ini adalah untuk:

1. Melakukan karakterisasi vinasse dari fermentasi hidrolisat asam ubi kayu

sebagai bahan baku media daur ulang.

2. Mendapatkan rasio komposisi vinasse yang didaur ulang dan hidrolisat

asam ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol, sehingga menghasilkan

kadar etanol dan jumlah siklus daur ulang yang terbaik.

4

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Kayu

Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa

perdu dengan nama lain ketela pohon, singkong atau kasape. Ubi kayu berasal

dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke

seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India dan Tiongkok. Ubi kayu

berkembang di negara-negara yang terkenal pertaniannya dan masuk ke Indonesia

tahun 1852. Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah sebagai berikut:

dunia : Plantae

filum : Spermatophyta

sub filum : Angiospermae

kelas : Dicotyledonae

ordo : Euphorbiales

famili : Euphorbiaceae

genus : Manihot

spesies : Manihot utilissima Pohl; Manihot esculenta Crantz

Ubi kayu berbentuk silinder dengan ujung yang mengecil dimana diameter

rata-ratanya sekitar 2-5 cm dan panjang 20-30 cm. Ubi kayu umumnya

diperdagangkan dalam bentuk umbi segar. Umbi ubi kayu mempunyai dua lapisan

kulit yaitu kulit luar dan kulit dalam. Daging umbi biasanya berwarna kuning atau

putih. Di bagian tengah umbi terdapat suatu jaringan yang tersusun dari serat

sedangkan di antara kulit dan daging terdapat lapisan kambium (Muchtadi 1992).

Ubi kayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang menjadi sumber

bahan baku utama pembuatan bioetanol karena mempunyai kemampuan untuk

tumbuh di tanah yang tidak subur, tahan terhadap serangan hama penyakit dan

dapat diatur waktu panennya. Beberapa alasan digunakannya ubi kayu sebagai

bahan baku bioenergi, khususnya bioetanol, diantaranya adalah ubi kayu sudah

lama dikenal oleh petani di Indonesia; tanaman ubi kayu tersebar di 55 kabupaten

dan 33 provinsi; ubi kayu merupakan tanaman sumber karbohidrat karena

6

kandungan patinya yang cukup tinggi; harga ubi kayu di saat panen raya

seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol

diharapkan harga ubi kayu menjadi lebih stabil; ubi kayu akan menguatkan

security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan; ubi kayu toleran

terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada

lingkungan sub-optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik

pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain (Prihandana et

al. 2007).

Potensi pengembangan ubi kayu di Indonesia sangat besar karena

produktivitasnya dari tahun ke tahun semakin meningkat seperti disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan produksi ubi kayu di IndonesiaTahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ku/ha)

2000 1.284.040 16.089.020 125,00

2001 1.317.912 17.054.648 129,41

2002 1.276.533 16.912.901 132,00

2003 1.244.543 18.523.810 149,00

2004 1.255.805 19.424.707 155,00

2005 1.213.460 19.321.183 159,00

2006 1.227.459 19.986.640 163,00

2007 1.201.481 19.988.058 166,36

2008 1.193.319 (2) 21.593.053 (2) 180,95 (2)

2009 1.194.181 (1) 21.786.691 (1) 182,44 (1)

Keterangan: (1): angka ramalan I(2): angka sementara

Sumber: Departemen Pertanian (2009)

Selama ini dikenal ada dua jenis ubi kayu, yaitu ubi kayu manis dan ubi

kayu pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida

(HCN) yang terkandung dalam umbi ubi kayu. Komposisi kimia tepung dan pati

ubi kayu jenis pahit dan manis ternyata hampir sama, kecuali kadar serat dan

kadar abu pada tepung ubi kayu manis lebih tinggi dari tepung ubi kayu pahit

(Rattanachon et al. 2004). Umbi dari ubi kayu mempunyai kandungan karbohidrat

sekitar 32% hingga 35%. Jenis polisakarida yang menyusun umbi ubi kayu antara

7

lain pati, selulosa dan hemiselulosa (Winarno 1992). Perbandingan kandungan

kimia tepung ubi kayu tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia tepung ubi kayu dan ubi kayu segar

Komponen Komposisi (% bk)Tepung Ubi Kayua) Ubi Kayu Segar b)

AirAbuLemakProteinKarbohidrat (by difference)Serat kasar

SelulosaHemiselulosaLignin

Pati

8,65 ± 0,102,55 ± 0,146,54 ± 0,021,81 ± 0,0380,45 ± 0,232,69 ± 0,040,36 ± 0,011,88 ± 0,030,02 ± 0,0162,54 ± 0,00

57,002,46

--

11,05

74,81Sumber : a) Arnata (2009), b) Susmiati (2010)

Karbohidrat yang terkandung dalam ubi kayu terdiri dari serat kasar dan

pati. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin yang berfungsi

sebagai penguat tekstur. Komponen karbohidrat merupakan bahan baku utama

yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol adalah pati yang

berfungsi sebagai sumber energi (Winarno 1992).

Pati terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi amilosa dan amilopektin. Fraksi

amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosida, sedangkan

fraksi amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan α-(1,6)-D-

glikosida sebanyak 4-5% dari berat total. Molekul-molekul glukosa di dalam

amilosa saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa β-1,4. Hidrolisis

amilosa menghasilkan maltosa di samping glukosa dan oligosakarida lainnya,

sedangkan pada amilopektin sebagian dari molekul-molekul glukosa di dalam

rantai percabangannya saling berikatan melalui gugus α-1,6. Ikatan α-1,6 sangat

sukar diputuskan, terlebih jika dihidrolisis memakai katalisator asam. Struktur

kimia amilosa dan amilopektin ditunjukkan pada Gambar 1.

8

Amilosa

Amilopektin Gambar 1 Struktur kimia amilosa dan amilopektin dalam pati (Zamora

2005).

Selulosa merupakan serat-serat panjang yang secara bersama-sama dengan

hemiselulosa dan lignin membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding

sel tanaman. Selulosa terdiri atas sejumlah besar molekul glukosa nomor satu

dengan gugus hidroksil C4 dari molekul glukosa lainnya. Selulosa mempunyai

struktur yang mirip dengan amilosa yaitu merupakan polimer berantai lurus α-

(1,4)-D-glikosida namun berbeda pada jenis ikatan glikosidanya yaitu β-(1,4)-D-

glikosida. Selulosa jika dihidrolisis oleh enzim selobiase akan menghasilkan dua

molekul glukosa dari ujung rantai, sehingga dihasilkan selobiosa β-(1,4)-D-

glikosida (Winarno 1992). Struktur kimia selulosa ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia selulosa (Zamora 2005).

9

Hemiselulosa merupakan polimer dari sejumlah sakarida-sakarida yang

berbeda-beda antara lain D-xilosa, L-arabinosa, D-galaktosa, D-glukosa dan D-

glukorunat. Susunan dari bahan-bahan tersebut dalam rantai hemiselulosa juga

banyak bercabang karena gugus β-glukosida di dalam molekul yang satu dapat

berikatan dengan gugus hidroksil C2, C3 atau C4 dari molekul yang lain

(Tjokroadikoesoemo 1986). Hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen

dengan lignin. Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi

monomer yang mengandung glukosa, manosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa.

Hemiselulosa mengikat lembar-lembar selulosa membentuk mikrofibril yang

meningkatkan stabilitas dinding sel tanaman. Hemiselulosa juga berikatan silang

dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat.

2.2 Saccharomyces cerevisiae

S. cerevisiae merupakan suatu khamir sel tunggal (unicellular) yang

berukuran 5 – 10 μm, berbentuk bulat, silindris, atau oval. S. cerevisiae digunakan

untuk produksi etanol pada kondisi anaerob dan untuk pembuatan roti pada

kondisi aerob. Klasifikasi S. cerevisiae adalah sebagai berikut:

dunia : Fungi

filum : Ascomycotina

sub filum : Saccharomycotina

kelas : Saccharomycetes

ordo : Saccharomycetales

famili : Saccharomycetaceae

genus : Saccharomyces

spesies : Saccharomyces cerevisiae

10

Semua galur dari S. cerevisiae dapat tumbuh secara aerobik di dalam media

glukosa, maltosa dan trehalosa namun tidak dapat hidup di dalam laktosa dan

selobiosa. Kemampuan untuk hidup dan menggunakan berbagai jenis gula akan

berbeda-beda yang dipengaruhi oleh kondisi aerobik atau anaerobik, beberapa

galur tidak dapat tumbuh secara anaerobik di media sukrosa dan trehalosa. Semua

galur dari S. cerevisiae dapat menggunakan amonia dan urea sebagai sumber

nitrogen tetapi tidak dapat menggunakan nitrat karena ketidakmampuannya untuk

mereduksi menjadi ion amoniak. Khamir selain membutuhkan unsur nitrogen juga

memerlukan unsur fosfor dan unsur logam seperti magnesium, besi, kalsium dan

seng untuk pertumbuhannya.

Untuk dapat bertahan hidup, S. cerevisiae membutuhkan nutrien yang

diperoleh dari medium perkembangbiakkannya seperti (NH4)2SO4, MgSO4.7H2O,

KCl, CaCl2, P3(PO4)5, ekstrak ragi, air, dan glukosa. S. cerevisiae merupakan

mikroorganisme yang dapat dikultivasi pada kondisi aerobik dan anaerobik,

produk yang dihasilkan pada kedua kondisi tersebut berbeda. S. cerevisiae pada

kondisi aerobik akan menghasilkan individu baru, sedangkan pada kondisi

anaerobik dihasilkan produk utama yang dapat berupa etanol dimana hasilnya

tergantung pada konsentrasi awal biomassa.

Setiap individu sel juga dapat dipandang sebagai fermentor dalam skala

mikroskopik. Reaksi-reaksi ini terjadi secara simultan dan diatur oleh pengontrol

dari internal sel itu sendiri. Kontrol ini mengatur sel untuk memodifikasi laju

reaksi dan kemampuan memproduksi berdasarkan pada lingkungan dan

ketersediaan nutrisi. Lebih dari itu, pertumbuhan populasi sel juga menunjukan

keheterogenan sel. Setiap individu sel dapat memiliki tahap pertumbuhan yang

berbeda. Aktifitas metabolisme sel untuk setiap fasa berbeda.

Reaksi fermentasi tergantung pada gula yang digunakan dan hasil

produksi. Substrat yang paling umum digunakan pada fermentasi adalah glukosa

(C6H12O6) dan menghasilkan dua molekul etanol (C2H5OH), ini adalah reaksi dari

ragi, dan sering digunakan dalam produksi makanan.

Gula (glukosa/fruktosa) Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + energi(ATP)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari khamir ini antara lain:

a. Kondisi lingkungan

11

Suhu, pH, dan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen-DO) merupakan faktor

kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Oleh

karena itu, perlu diatur sedemikian rupa agar pertumbuhan biomassa dapat

optimal. Khamir bersifat anaerobik fakultatif. Khamir dalam kondisi

anaerobik akan melakukan proses fermentasi dengan mengkonversi glukosa

menjadi etanol, sedangkan khamir akan menjalani fase pertumbuhan dengan

keadaan sedikit oksigen. Kadar oksigen yang dibutuhkan oleh khamir untuk

bertumbuh adalah 0,05-0,10 mmHg tekanan oksigen. Proses fermentasi

anaerobik tidak membutuhkan oksigen lebih dari itu, karena oksigen yang

berlebihan akan mendorong pertumbuhan khamir dengan cepat dan

mengkonsumsi glukosa (Trust 2008). S. cerevisiae memerlukan suhu 30oC dan

pH berkisar 4 hingga 4,5 agar dapat tumbuh dengan baik (Sassner 2008).

b. Konsumsi glukosa

Baker’s yeast memerlukan beberapa menit agar dapat beroperasi dengan

kapasitas konsumsi glukosa secara penuh ketika umpan glukosa dialirkan ke

dalam kultur. Kapasitas penuh konsumsi glukosa akan hilang jika sel-sel tidak

dirangsang dengan konsentrasi glukosa yang lebih tinggi untuk beberapa jam.

Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah (kurang dari 1

g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi (lebih

dari 300 g/l) akan menjadi penghambat (Mangunwidjaja 1994). Gaur (2006)

mengatakan bahwa konsentrasi gula dalam substrat yang umum digunakan di

dalam industri adalah sebesar 16-18%. Apabila konsentrasi gula lebih tinggi

dari 18% akan menyebabkan tekanan osmottik yang mengurangi efisiensi

proses fermentasi.

c. Adaptasi terhadap etanol

Setelah waktu yang lama (>100 jam), sel-sel khamir beradaptasi terhadap

konsentrasi etanol yang lebih besar. Proses respirasi dipengaruhi oleh

konsentrasi etanol yang ada di dalam substrat. Kadar etanol pada kadar 40 g/l

akan menjadi penghambat baik untuk pertumbuhan biomassa maupun

produksi etanol (Mangunwidjaja 1994).

d. Sensitivitas terhadap berbagai efek

12

Penundaan konsumsi glukosa hanya berpengaruh jika kultur yang dikultivasi

dalam waktu yang lama dengan konsentrasi glukosa rendah dipaksakan

dengan konsentrasi glukosa yang lebih besar. Penundaan respirasi

menyebabkan pembentukan etanol karena jumlah umpan yang terlalu besar

dan menyebabkan timbulnya hambatan respirasi tambahan karena etanol

(Präve et al. 1987). Kebutuhan unsur mikro diperlukan di dalam kehidupan

khamir. Pada jumlah rendah fosfor, sulfur, potassium dan magnesium

diperlukan untuk sintesis komponen-komponen mineral. Beberapa mineral

(Mn, Co, Cu dan Zn) dan faktor pertumbuhan organik (asam amino, asam

nukleat dan vitamin) diperlukan dalam jumlah besar sehingga perlu ada

tambahan nutrien ke dalam media dalam bentuk komponen tunggal seperti

garam amonium dan potasium fosfat (Kosaric et al. 1983).

2.3 Etanol

Pembuatan etanol dapat dilakukan dari bahan yang mengandung glukosa.

Glukosa pada mahluk hidup terdapat dalam bentuk polimer seperti pati, selulosa

dan oligosakarida. Polisakarida dan oligosakarida harus dipecah menjadi molekul

monosakarida agar dapat dipergunakan oleh khamir menjadi etanol. Proses

pemecahan polisakarida dan oligosakarida dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

hidrolisis asam dan hidrolisis enzim. Proses hidrolisis asam dapat menggunakan

beberapa jenis asam yang sudah banyak diteliti, antara lain HCl, H2SO4 dan

HNO3. Proses hidrolisis pati secara enzimatik terdiri dari dua tahap yaitu

liquifikasi dengan α-amilase dan sakarifikasi menggunakan amiloglukosidase.

Reaksi yang terjadi pada proses produksi etanol secara sederhana dibagi menjadi

dua tahap yaitu (1) pemecahan komponen polisakarida menjadi komponen

monosakarida (pemecahan sempurna) dan komponen oligosakarida yang dapat

dilakukan secara enzimatis maupun secara kimiawi. Proses pemecahan tahap

pertama ditunjukkan pada persamaan reaksi 1.

H2O + (C6H10O5)n n C6H12O6 + n H2O …….(1)

(2) pengubahan komponen monomer glukosa menjadi etanol yang dilakukan

dengan bantuan agen mikrob. Mikrob pengubah monomer glukosa menjadi etanol

13

yang paling efektif adalah jenis khamir spesies S. cerevisiae. Proses konversi

monomer glukosa menjadi senyawa etanol ditunjukkan pada persamaan reaksi 2.

(C6H12O6)n 2 C2H5OH + 2 CO2……………...(2)

Etanol selain diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati

atau karbohidrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung

selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses pemecahan menjadi

glukosa menjadi lebih sulit. Penggunaan selulosa sebagai bahan baku pembuatan

etanol dapat dilakukan dengan menambahan enzim selulase yang dihasilkan dari

jenis mikrob Phanerochate chrysosporium dan Trichoderma reesei.

Secara biokimia, proses pembentukan etanol didahului dengan proses

glikolisis yaitu proses perubahan satu molekul glukosa menjadi dua molekul

piruvat. Proses glikolisis secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu.

1. Proses pemakaian energi. Di dalam tahap persiapan ini, glukosa mengalami

proses fosforilasi dan pemecahan menjadi dua molekul triosa yaitu

gliseraldehid-3-fosfat. Proses ini mengkonsumsi 2 ATP.

2. Proses pembentukan energi. Dua molekul gliseraldehid-3-fosfat akan

dikonversi menjadi piruvat yang disertai dengan pembentukan 4 ATP.

Respirasi terhenti dalam keadaan tanpa oksigen karena proses

pengangkutan elektron yang dirangkaikan dengan fosforilasi bersifat oksidasi

melalui rantai pernafasan yang menggunakan molekul oksigen sebagai penerima

elektron terakhir tidak berjalan. Akibatnya jalan metabolisme lingkar asam

trikarboksilat (daur Krebs) akan terhenti pula sehingga piruvat tidak lagi masuk ke

dalam daur Krebs melainkan dialihkan pemakaiannya yaitu diubah menjadi etanol

(Wirahadikusumah 1985). Khamir memproduksi etanol dan CO2 melalui dua

reaksi yang berturutan.

1. Proses dekarboksilasi piruvat menjadi asetaldehid dan CO2 dengan katalis

piruvat dekarboksilase (enzim ini tidak ada di binatang). Proses

dekarboksilasi merupakan reaksi yang tidak reversibel, membutuhkan ion

Mg2+ dan koenzim tiamin pirofosfat. Reaksi berlangsung melalui beberapa

senyawa antara yang terikat secara kovalen pada koenzim.

14

2. Reduksi asetaldehid menjadi etanol oleh NADH dengan dikatalisis oleh

alkohol dehidrogenase, dengan demikian pembentukan NAD+ akan

digunakan di dalam proses reaksi GADPH glikolisis (Voet et al. 2006).

Proses konversi glukosa menjadi etanol secara skematik disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses konversi glukosa menjadi etanol (Voet et al. 2006).

Meskipun teknik produksi etanol merupakan teknik yang sudah lama

diketahui, namun etanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan etanol dengan

karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia

antara lain mengenai neraca energi dan efisiensi produksi, sehingga penelitian

lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi etanol masih perlu dilakukan.

Etanol memiliki berat jenis sebesar 0,7937 g/ml (15oC) dan titik didih

sebesar 78,32oC pada tekanan 760 mmHg. Etanol larut dalam air dan eter dan

mempunyai panas pembakaran 328 Kkal (Paturau 1981). Menurut Paturau (1981),

fermentasi etanol membutuhkan waktu 30-72 jam. Prescott dan Dunn (1981)

menyatakan bahwa waktu fermentasi etanol yang dibutuhkan adalah 3 hingga 7

hari. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan suhu optimum fermentasi adalah

15

25-30oC dengan kadar gula 10-18%. Sifat fisika etanol yang penting secara

lengkap disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sifat fisika dari etanolParameter Komposisi

Titik didih normal, °C

Suhu kritis, °C

Berat jenis, d420, g/ml

Panas pembakaran at 25°C, J/g

Suhu pembakaran otomatis, °C

Batas nyala di udara

            Batas terendah, vol%

            Batas tertinggi, vol%

78,32

243,1

0,7893

29.676,69

793,0

4,3

19,0Sumber: Najafpour dan Lim (2002)

Proses fermentasi etanol dengan sistem “batch” anaerobik yang dilakukan

oleh Najafpour dan Lim (2002) menghasilkan biomassa maksimum dan etanol

yield masing-masing sebesar 0,297 g/g dan 0,446 g/g. Desain proses fermentasi

secara batch disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Desain sistem fermentasi etanol secara anaerobik (Najafpour & Lim 2002).

16

2.4 Hidrolisis Asam

Hidrolisis asam dapat dipergunakan untuk memecah komponen

polisakarida menjadi monomer-monomernya. Proses hidrolisis yang sempurna

akan memecah selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan

terpecah menjadi pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) merupakan asam

yang dapat digunakan sebagai katalis asam selain asam klorida (HCl). Hidrolisis

asam dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis asam pekat dengan konsentrasi

tinggi dan hidrolisis asam encer dengan konsentrasi rendah (Taherzadeh & Karimi

2007).

Keuntungan hidrolisis menggunakan asam konsentrasi tinggi antara lain

proses hidrolisis dapat dilakukan pada suhu yang rendah dan hasil gula yang

didapatkan tinggi. Namun penggunaan asam konsentrasi tinggi mempunyai

kelemahan antara lain jumlah asam yang digunakan sangat banyak, potensi korosi

pada peralatan produksi terutama alat yang terbuat dari besi, penggunaan energi

yang tinggi untuk proses daur ulang asam dan waktu reaksi yang lama yaitu

berkisar antara dua hingga enam jam. Hidrolisis menggunakan asam dengan

konsentrasi rendah mempunyai keuntungan antara lain jumlah asam yang

digunakan sedikit dan waktu tinggal yang sebentar. Namun kerugian dalam

penggunaan asam encer dengan konsentrasi rendah antara lain membutuhkan suhu

tinggi dalam proses operasinya, gula yang didapatkan sedikit, potensi korosi pada

peralatan produksi terutama alat yang terbuat dari besi dan pembentukan produk

samping yang tidak diharapkan (Taherzadeh & Karimi 2007a).

Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah dilakukan dalam dua tahap

yaitu tahap pertama yang melibatkan asam encer untuk menghidrolisis gula dari

golongan pentosa yang umumnya terdapat dalam fraksi hemiselulosa. Tahap ini

biasanya menggunakan H2SO4 1% pada suhu 80oC-120oC selama 30-240 menit.

Tahap kedua menggunakan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk

menghidrolisis gula yang berasal golongan heksosa seperti selulosa biasanya

dilakukan dengan konsentrasi asam 5-20% H2SO4 dengan suhu 180oC. Proses

hidrolisis bertahap ini dapat memaksimalkan hasil glukosa yang dihasilkan dan

meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi 2006).

17

Penentuan konsentrasi asam tergantung pada ukuran, bentuk dan kadar air

pada partikel lignoselulosa. Asam sulfat biasanya digunakan pada bahan terlarut

dengan konsentrasi tidak melebihi 10% berat (H2SO4 umum digunakan tidak lebih

dari 5%). Penggunaan katalis asam encer selalu terjadi penambahan air yang

banyak pada bahan lignoselulosa dan hal itu membutuhkan energi panas yang

lebih banyak selama proses pemanasan (Patent Cooperation Treaty 1998).

Proses hidrolisis menggunakan konsentrasi asam encer, selain dapat

menguraikan glukosa juga menghasilkan hasil samping yang dapat menghambat

proses fermentasi. Hasil samping yang dapat menghambat proses fermentasi

antara lain furfural, 5- hidroksimetilfurfural (HMF), asam lefulenat, asam asetat,

asam format, asam uronat dan lain-lainnya (Taherzadeh & Karimi 2007).

Hidrolisis asam pada bahan lignoselulosa, hemiselulosa merupakan komponen

yang paling mudah terhidrolisis oleh asam yang akan terdegradasi menjadi xilosa,

manosa, asam asetat, galaktosa arabinosa dan sejumlah kecil rhamnosa, asam

glukuronat, asam metil glukronat dan asam galakturonat (Morohoshi 1991;

Sjӧstrӧm 1993). Selulosa akan terdegradasi menjadi glukosa. Xilosa akan

terdegradasi menjadi furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) pada kondisi

suhu dan tekanan tinggi. Komponen fenol terbentuk dari lignin yang terpecah

sebagian dan juga selama proses degradasi karbohidrat (Palmqvist & Hahn-

Hӓgerdal 2000). Lignin merupakan komponen komplek yang tersusun oleh

phenylpropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Ikatan kimia terjadi di

antara lignin dan hemiselulosa bahkan terkadang juga dengan selulosa. Lignin

sangat tahan terhadap reaksi kimia dan enzimatik (Taherzadeh 1999; Palmqvist &

Hahn-Hӓgerdal 2000a).

2.5 Produk Samping Fermentasi Etanol

Produk samping proses fermentasi etanol menggunakan ubi kayu ada dua

macam, yaitu produk samping yang berupa padatan dan cairan. Produk samping

yang berupa padatan dihasilkan dari hasil pemisahan ampas dengan cairan

hidrolisat sedangkan produk samping yang berupa cairan dihasilkan pada saat

proses destilasi selesai dilakukan (vinasse) (Parnaudeu et al. 2007).

Ampas ubi kayu (onggok) merupakan salah satu produk samping yang

dihasilkan pada proses pengolahan ubi kayu. Onggok mengandung air cukup

18

tinggi (81-85%), protein kasar sekitar 1,55% dan serat kasar 10,44% (bahan

kering) (Supriyati 2009). Komponen onggok secara lengkap disajikan pada Tabel

4.

Tabel 4 Komposisi onggok

Parameter Komposisi Onggok (%)a) Onggok (% bk)b)

Protein KasarKarbohidratAbuSerat KasarAirLemakPati

2,251,82,410,8

---

0,48-

0,717,3

13,961,620,29

Sumber: a) Supriyati (2009), b) Jenie et al. (1994)

Vinasse merupakan produk samping proses produksi etanol yang berupa

cairan sisa hasil destilasi. Satu liter produk etanol akan menghasilkan vinasse

sebanyak 13 l (1:13). Berdasarkan angka perbandingan tersebut, semakin banyak

etanol yang diproduksi akan semakin banyak vinasse yang dihasilkan. Jika

vinasse ini tidak tertangani dengan baik maka di kemudian hari, produk samping

ini akan menjadi masalah yang berdampak tidak baik bagi lingkungan (Solihin

2008). Karakteristik vinasse dari bahan baku molases adalah mempunyai nilai pH

sebesar 5; berat jenis 1,02 g/l; C organik sebesar g/Kg d m; C anorganik sebesar

6,8 g/Kg d m; N organik sebesar 28 g/Kg d m; NH4—N sebesar 1,2 g/Kg d m

(Parnaudeau et al. 2007). Menurut Alfian (2008), vinasse yang dihasilkan dari

proses pembuatan etanol di PT. PG. Rajawali II Unit PSA Palimanan mempunyai

kadar COD sebesar 150.000-180.000 mg/l, BOD sebesar 65.000 mg/l, berwarna

kuning kecoklatan, mengandung alkohol ± 0,02% dan tingkat keasaman rendah

(pH 3 hingga 4). Komposisi vinasse di PT. PG. Rajawali II Unit PSA Palimanan

secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi vinasseParameter Komposisi (%)Mineral 29,0Gula reduksi 11,0Protein 9,0Asam Volatil 1,5Gum 21,0

19

Campuran Asam Laktat 4,5Campuran Asam Organik Lain 1,5Gliserol 5,5Lilin, fenol, lignin, dll 17,0

Sumber: Alfian (2008)

Vinasse jika dibuang langsung ke dalam lingkungan tanpa melakukan

proses pengolahan terlebih dahulu akan mengakibatkan terjadinya pencemaran

lingkungan. Hal ini ini dapat dilihat pada nilai baku mutu limbah cair bagi

kegiatan industri etanol berdasarkan Surat Keputusan menteri Negara Lingkungan

Hidup KEP 51-/MENLH/10/1995.

Nilai baku mutu limbah cair industri etanol yang disajikan pada Tabel 6

mengisyaratkan perlu adanya pengolahan lebih lanjut dari limbah cair sebelum

dibuang agar tidak terjadi pencemaran lingkungan (MenLH 1995).

Tabel 6 Baku mutu limbah cair untuk industri etanolParameter Kadar Maksimum

(mg/l) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton)

BOD5 150 10,5TSS 400 28,0pH 6,0-9,0Debit Limbah Maksimum 70 m3 per ton produk pupuk etanolCatatan:

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam mg parameter per l air limbah.

2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk pupuk urea (MenLH 1995).

20

21

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan

karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan

etanol. Penggunaan ubi kayu segar mempunyai kelebihan dibandingkan dengan

penggunaan tepung ubi kayu, yaitu dapat memperpendek proses produksi etanol.

Ubi kayu segar harus melalui proses hidrolisis untuk memecah komponen

polisakarida menjadi gula-gula sederhana yang siap untuk digunakan sebagai

sumber karbon yang akan diubah menjadi etanol oleh khamir. Proses hidrolisis

yang digunakan adalah metode hidrolisis asam karena mempunyai kelebihan

mampu menghidrolisis komponen pati dan serat secara bersamaan serta

penanganannya yang mudah. Namun, bertambahnya jumlah etanol yang

dihasilkan selama proses fermentasi akan menghambat laju fermentasi sehingga

tidak semua kandungan gula dapat dikonversi menjadi etanol. Sisa gula yang tidak

terkonversi menjadi etanol akan tertinggal pada vinasse. Sebelum digunakan,

vinasse harus diberi pretreatment. Proses pretreatment vinasse mempunyai tujuan

untuk memperbaiki kualitas dari vinasse itu sendiri. Proses netralisasi selain

bertujuan untuk menaikkan pH menjadi 4,5 juga dapat berfungsi untuk

menurunkan kadar HMF (Susmiati 2010), sedangkan sentrifugasi bertujuan untuk

menghilangkan partikel kotoran dan kelebihan garam yang terbentuk setelah

proses netralisasi. Potensi sumber nutrien dalam vinasse tersebut akan didaur

ulang sehingga dapat dimanfaatkan kembali sebagai sumber gula dengan

campuran substrat hidrolisat yang segar. Kerangka pemikiran selengkapnya tersaji

secara skematik pada Gambar 5.

22

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2010 hingga bulan Agustus

2010 yang dilaksanakan di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy

Research Center), Laboratorium Bioindustri Departemen Teknologi Industri

Pertanian Institut Pertanian Bogor dan laboratorium-laboratorium lainnya di

lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.3 Bahan dan Alat

3.3.1 Bahan

Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah ubi kayu yang berasal dari

Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi

etanol adalah S. cerevisiae dalam bentuk dry baker yeast komersial. Bahan yang

digunakan sebagai bahan tambahan untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah

pupuk NPK. Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini antara lain H2SO4

pekat teknis, NH4OH 21%, etanol 70% dan bahan kimia untuk analisis.

3.3.2 Alat

Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan

gelas, spektrofotometer merck Hach, otoklaf, pH meter merck Beckman, vortex

mixer, density meter DMA 4500 merk Anton Paar, refraktometer merck Atago

tipe Master-53M dan seperangkat alat produksi bioetanol skala laboratorium.

Pengolahan data menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel versi

2007.

23

3.4 Metode Penelitian

Tahapan percobaan fermentasi untuk produksi etanol dengan melakukan

proses daur ulang vinasse sebagai umpan balik dapat dibagi menjadi lima tahapan

utama antara lain proses persiapan bahan baku, hidrolisis ubi kayu, fermentasi,

persiapan vinasse dan proses daur ulang vinasse.

3.4.1 Persiapan Bahan Baku

Persiapan bahan baku utama penelitian yang berupa ubi kayu diawali

dengan membuang bagian pangkal tanaman yang masih melekat dengan umbi

karena umbi yang dipakai dalam penelitian ini dibeli dari petani dalam keadaan

masih melekat utuh dengan batang bawah untuk menjaga kesegaran umbi ketika

dibawa dari tempat panen ke laboratorium. Ubi kayu kemudian diproses lebih

lanjut di Laboratorium SBRC IPB Baranangsiang untuk membersihkan kotoran

dan tanah yang masih menempel di umbi dengan cara pencucian. Umbi ubi kayu

yang telah bersih kemudian dikupas lapisan kulit arinya yang berwarna cokelat

menggunakan pisau. Proses pengupasan selain untuk membersihkan kulit ari

sekaligus juga berfungsi untuk menyortir umbi yang jelek, membuang bagian

pangkal umbi yang mengandung kayu dan bagian akar yang masih menempel di

umbi. Ubi kayu yang telah bersih kemudian dicuci dengan air untuk

menghilangkan tanah dan kotoran yang masih menempel pada umbi.

Ubi kayu yang telah bersih kemudian digiling hingga halus menggunakan

mesin parut hingga menjadi bubur. Bubur ubi kayu kemudian dikarakterisasi sifat

kimia antara lain komponen proksimat (air, abu, lemak, protein, serat kasar dan

karbohidrat (by difference) menurut metode AOAC (1995)), pati dan komponen

serat (ADF, NDF, selulosa dan lignin menurut metode Van Soest (1963)).

Prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4.2 Hidrolisis Asam

Metode hidrolisis yang digunakan merupakan hasil modifikasi metode

hidrolisis yang dipergunakan oleh Susmiati (2010). Hasil hidrolisis tepung ubi

kayu dengan total padatan substrat 30% dengan konsentrasi H2SO4 0,4 M akan

menjadi patokan bagi hasil hidrolisis bubur ubi kayu. Bubur ubi kayu dihidrolisis

24

menggunakan larutan H4SO4 0,4 M dengan total padatan substrat 30%, 35%, 20%,

18% dan 15%. Hasil hidrolisat kemudian diamati tingkat kesempurnaan proses

hidrolisis berdasarkan warna hidrolisat yang merata dan tidak adanya gumpalan

ubi kayu. Hasil hidrolisis bubur ubi kayu dengan total padatan substrat 18%

dipilih karena menghasilkan total padatan terlarut hidrolisat tertinggi dan tidak

adan gumpalan ubi kayu yang di dalam hidrolisat. Bubur ubi kayu dengan total

padatan substrat 18% kemudian dihidrolisis dengan konsentrasi H2SO4 0,4 M dan

1 M yang kemudian diukur nilai total padatan terlarut hidrolisatnya. Nilai total

padatan terlarut hidrolisat yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan nilai

total padatan terlarut hidrolisat hasil hidrolisis tepung ubi kayu. Nilai hasil total

padatan terlarut hidrolisat yang mendekati nilai total padatan terlarut tepung ubi

kayu yang akan digunakan di dalam penelitian ini, yaitu kadar padatan bubur ubi

kayu 18% dengan konsentrasi H2SO4 1 M.

Hidrolisis asam dalam penelitian ini dilakukan dalam satu tahap

menggunakan otoklaf sederhana dimana suhu dan waktu hidrolisis diatur secara

manual. Waktu hidrolisis dihitung ketika kondisi suhu telah tercapai. Bubur ubi

kayu dihidrolisis dengan volume total 500 ml dalam erlenmeyer 1000 ml yang

diberi sumbat kapas dan alumunium foil untuk mencegah larutan meluap keluar

ketika dilakukan proses hidrolisis. Hidrolisis dilakukan dengan menambahkan

asam H2SO4 pekat teknis sebanyak 23 ml ke dalam 270,68 g bubur ubi kayu dan

ditambahkan aquadest sebanyak 206,32 ml. Perbandingan yang dipakai tersebut

untuk mencapai kondisi proses hidrolisis yang diinginkan yaitu kadar padatan

18% dan konsentrasi H2SO4 sebesar 1 M. Campuran kemudian dihidrolisis

menggunakan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit sehingga diperoleh

hidrolisat asam yang berwarna merah tua. Proses hidrolisis ini ditujukan untuk

memecah komponen pati dan serat yang ada di dalam bahan menjadi glukosa.

Selanjutnya dilakukan pengukuran total gula dan gula pereduksi untuk melihat

tingkat hidrolisis.

3.4.3 Fermentasi Etanol

A. Persiapan Media Fermentasi

25

Hidrolisat asam sebelum digunakan sebagai media fermentasi harus melalui

proses netralisasi, penyaringan dan sentrifugasi. Proses netralisasi hidrolisat

menggunakan NH4OH teknis 21% hingga pH 4,5. Tahap persiapan hidrolisat

selanjutnya adalah proses pemisahan padatan dengan cairan hidrolisat yang terdiri

dari dua tahapan proses yaitu penyaringan dan sentrifugasi. Proses penyaringan

dilakukan menggunakan kain saring yang berfungsi untuk memisahkan ampas

yang berukuran besar. Ampas yang didapatkan dilakukan karakterisasi yang

meliputi analisis kadar air, kadar abu, total N, kadar lemak, kadar serat, kadar

karbohidrat. Prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hasil penyaringan dilanjutkan dengan proses sentrifugasi untuk mengurangi

jumlah padatan terlarut dan kelebihan garam yang terbentuk dari proses

netralisasi. Proses sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 2500 rpm selama 5

menit sehingga dihasilkan dua produk yaitu sludge dan filtrat. Filtrat digunakan

sebagai media fermentasi etanol sedangkan sludge tidak digunakan.

B. Fermentasi Etanol

Fermentasi dilakukan dengan menambahkan S. cerevisiae sebagai agen yang

melakukan fermentasi dalam bentuk dry baker yeast komersial (ragi roti) dan

sumber nutrisi berupa pupuk NPK. Jumlah ragi roti dan NPK yang ditambahkan

sebanyak 0,06% total gula dan ragi roti sebanyak 0,23% total gula. Proses

fermentasi dilakukan selama 96 jam pada suhu ruangan dengan 24 jam pertama

diberi perlakuan agitasi menggunakan orbital shaker (129 rpm) dengan sistem

tertutup. Hasil fermentasi yang didapatkan dilakukan analisis mengenai kadar

etanol, kadar gula, pH dan total asam. Prosedur analisis dapat dilihat secara

lengkap pada Lampiran 1. Proses fermentasi diakhiri setelah 96 jam dan

dilanjutkan dengan proses destilasi.

Kaldu hasil fermentasi kemudian didestilasi untuk memisahkan produk utama

yang berupa etanol dan cairan sisa destilasi sebagai produk samping akhir proses

destilasi. Parameter yang diamati pada akhir fermentasi antara lain efisiensi

pembentukan produk, efisiensi fermentasi dan efisiensi penggunaan substrat.

Hasil dari destilasi yang berupa cairan berwarna cokelat gelap inilah yang menjadi

26

bahan baku utama yang diteliti dalam penelitian ini. Cairan hasil destilasi ini

kemudian disebut dengan istilah vinasse.

3.4.4 Persiapan Vinasse

Vinasse sebelum digunakan sebagai umpan balik dilakukan karakterisasi

sifat kimia yang meliputi meliputi analisis pH, total gula, total gula pereduksi,

total padatan terlarut, total asam, kadar HMF, BOD5 dan COD. Prosedur analisis

secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Vinasse yang didapatkan dari hasil

destilasi mempunyai nilai pH yang rendah.

Vinasse harus diolah terlebih dahulu agar dapat dipergunakan kembali

sebagai bahan fermentasi alkohol, yaitu dengan melakukan proses netralisasi dan

sentrifugasi. Hasil karakterisasi vinasse menjadi acuan dalam melakukan proses

pengolahan pretreatment sebelum dilakukan daur ulang. Vinasse dinetralkan

dahulu menggunakan NH4OH 21% hingga mencapai pH 4,5 untuk menyesuaikan

dengan kondisi pH yang digunakan dalam proses fermentasi. Vinasse kemudian

disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 5 menit untuk memisahkan sludge

dengan filtrat (treated vinasse). Diagram alir pengolahan vinasse menjadi

hidrolisat yang siap digunakan sebagai media fermentasi secara lengkap dapat

dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir proses pengolahan vinasse.

3.4.5 Daur Ulang VinasseModifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan

pengolahan kembali produk samping yang keluar dan menggunakan kembali

27

sebagai media fermentasi baru. Produk samping yang keluar, baik produk

samping padat maupun vinasse, masih banyak mengandung kandungan

karbohidrat yang dapat digunakan sebagai media fermentasi. Produk samping

yang ada akan diproses untuk mendapatkan komponen gula sederhana sebagai

bahan baku pembuatan etanol. Hasil pengolahan vinasse akan dikombinasikan

dengan hidrolisat baru sehingga menjadi media fermentasi baru. Diagram alir

proses daur ulang vinasse dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 7.

Vinasse diformulasikan dengan jumlah 60% (V1), 50% (V2) dan 40%

(V3) sedangkan sisanya adalah hidrolisat ubi kayu segar untuk mencari komposisi

yang dapat menghasilkan kadar etanol terbaik. Hasil formulasi diatur total padatan

terlarutnya hingga mencapai 15% (obrix). Media fermentasi sebelum difermentasi

dilakukan proses sterilisasi selama 5 menit pada suhu 105oC untuk mematikan

mikrob lain yang dapat mengganggu pertumbuhan S. cerevisiae kemudian

ditambahkan NPK sebanyak 0,06% total gula dan khamir sebanyak 0,23% total

gula. Proses fermentasi selama 24 jam pertama dilakukan di atas shaker dengan

kecepatan 129 rpm dan setelah 24 jam, fermentasi dilanjutkan tanpa pengadukan.

Kaldu hasil fermentasi dianalisis kadar etanol, kadar gula dan pH dimana prosedur

analis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses fermentasi dengan

melakukan daur ulang vinasse dilakukan berulang hingga tiga kali tingkatan (T1,

T2 dan T3). T0 adalah fermentasi awal menggunakan hidrolisat ubi kayu tanpa

penambahan vinasse.

Gambar 7 Diagram alir proses daur ulang vinasse.

28

3.5 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu kandungan vinasse (V) dan tingkat daur

ulang (T) dengan dua kali ulangan (Gaspersz 1991). Faktor kandungan vinasse

terdiri dari kandungan vinasse 60% (V1), kandungan vinasse 50% (V2) dan

kandungan vinasse 40% (V3). Faktor tingkat daur ulang yang dianalisis meliputi

daur ulang tingkat pertama (T1), daur ulang tingkat kedua (T2) dan daur ulang

tingkat ketiga (T3). Model matematis yang digunakan untuk percobaan ini adalah

sebagai berikut:

Y ijk = μ + αi + β j + ( αβ)ij + εijk

Keterangan:

Yijk = nilai variabel respon unit percobaan yang dikenai taraf ke-i faktor

kandungan vinasse dan tingkat daur ulang ke-j .

µ = nilai rata-rata pengamatan yang sesungguhnya.

αi = pengaruh aditif dari kandungan vinasse ke-i

βj = pengaruh aditif dari tingkat daur ulang ke-j

αβij = pengaruh interaksi antara kandungan vinasse ke-i dan tingkat daur

ulang ke-j.

εijk = pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh

kombinasi perlakuan ij.

Parameter yang diamati meliputi kadar etanol, efisiensi fermentasi, yield etanol, Δ

total asam dan efisiensi penggunaan substrat. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk

menentukan pengaruh perlakuan terhadap parameter (Setiawan 2009).

29

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Ubi kayu yang dipergunakan mempunyai warna daging putih dengan

panjang umbi bervariasi, berbentuk silinder memanjang dan warna kulit ari coklat

tua. Ubi kayu segar yang telah dipisahkan dari batangnya dibersihkan dari kulit ari

yang berwarna coklat dan dicuci dari kotoran yang melekat pada daging umbi.

Umbi ubi kayu yang telah bersih dari kotoran kemudian dihancurkan sebelum

digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.

Gambar 8 Umbi dan bubur ubi kayu.

Ubi kayu yang masih segar mempunyai karakteristik kandungan air yang

sangat tinggi disusul kandungan karbohidrat, hasil karakterisasi secara lengkap

dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil karakterisasi ubi kayu segar menunjukkan bahwa

kandungan air dalam bahan adalah sebesar 66,74%. Jika dibandingkan dengan

hasil penelitian sebelumnya, Susmiati (2010) menyatakan bahwa ubi kayu segar

mempunyai kandungan air sebesar 57% sedangkan Subagio (2006) memberikan

hasil kandungan air adalah 62,50 %.

30

Ubi kayu segar yang digunakan harus dilakukan pengukuran kadar air

karena hasil pengukuran kadar air akan digunakan sebagai dasar perhitungan

pengenceran asam dan kadar padatan yang dipakai pada tahap hidrolisis.

Kandungan air yang sangat tinggi pada bahan baku mempunyai keuntungan yaitu

mengurangi jumlah penggunaan air pada saat proses hidrolisis.

Komponen penting lainnya dari ubi kayu adalah kadar karbohidrat yaitu

pati dan serat, karena sumber gula yang digunakan oleh khamir dalam proses

fermentasi adalah hasil hidrolisis karbohidrat terutama pati. Kadar serat dan

karbohidrat ubi kayu dalam penelitian ini hampir sama dengan data yang

diberikan oleh Balagopalan et al. (1988) yaitu kandungan serat dan karbohidrat

berturut-turut adalah 0,60% dan 38,10%, sedangkan Subagio (2006) memberikan

data bahwa kandungan karbohidrat pada ubi kayu sebesar 34%. Hasil serupa juga

diberikan dari hasil penelitian Pandey et al. (2000) bahwa ubi kayu mengandung

pati 32,4% dan serat 1,2%.

Tabel 7 Komposisi kimia ubi kayu

Komponen Ubi Kayu SegarBerat Basah (%) Berat Kering (%)

Air 66,74Abu 0,67 2,52Lemak 0,36 1,33Protein 1,05 3,94Pati 30,42 89,35Serat Kasar 0,77 2,87 Selulosa Hemiselulosa Lignin

3,5111,670,67

Pati merupakan komponen utama yang diperhatikan dalam proses

hidrolisis dibandingkan komponen serat karena pati lebih mudah dihidrolisis oleh

asam dibandingkan serat. Serat yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin

lebih sulit terhidrolisis karena adanya ikatan antara selulosa dengan lignin dan

hemiselulosa. Faktor lain yang mempersulit hidrolisis serat adalah selulosa

mempunyai struktur kristalin sebanyak 50-90% (Judoamidjojo et al. 1989).

Kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin dianalisa dengan metode Van

Soest (1963); yaitu dengan menentukan nilai Acid Detergent Fiber (ADF) dan

Neutral Detergent Fiber (NDF). Nilai ADF menunjukkan komponen selulosa dan

31

lignin sedangkan NDF terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kadar

hemiselulosa didapatkan dari pengurangan nilai NDF dan ADF. Kadar lignin yang

kecil menunjukkan bahwa ada potensi bahwa selulosa juga akan terhidrolisis

menjadi gula sederhana sebagai media fermentasi etanol. Sifat hemiselulosa yang

amorf dan lebih mudah terhidrolisis dibandingkan dengan selulosa mengakibatkan

kondisi optimum hidrolisis hemiselulosa sangat dekat dengan kondisi hidrolisis

pati.

4.2 Hidrolisis Ubi Kayu

Penggunaan asam dalam proses hidrolisis ubi kayu diharapkan dapat

memecah komponen selain pati seperti hemiselulosa dan selulosa. Metode

hidrolisis yang digunakan adalah berdasarkan metode hidrolisis yang dilakukan

oleh Susmiati (2010) dengan melakukan modifikasi untuk menyesuaikan dengan

kondisi bahan baku yang dipakai dalam penelitian ini yang berupa bubur ubi kayu

segar. Penggunaan kadar padatan bubur ubi kayu yaitu 18%, lebih rendah dari

kadar tepung ubi kayu (30%) seperti yang dipergunakan dalam penelitian

Susmiati (2010); dikarenakan serat pada umbi segar yang masih utuh sehingga

penyerapan air yang terjadi lebih banyak.

Penelitian Susmiati (2010) menggunakan bahan baku tepung ubi kayu

dimana pada proses hidrolisis, kadar padatan yang digunakan adalah 30% dengan

konsentrasi H2SO4 0,4 M. Penggantian penggunaan kondisi ubi kayu dari bentuk

tepung ke bentuk segar didasari beberapa pertimbangan antara lain:

1) Penggunaan bubur ubi kayu segar dapat memperpendek rantai proses

produksi. Proses produksi yang dapat dipotong antara lain proses pembuatan

chip, pengeringan dan penggilingan. Ketiga proses tersebut dapat diganti

menjadi proses pembuburan ubi kayu pada penelitian ini.

2) Memperpendek rantai proses produksi akan memberikan beberapa efek positif

antara lain menekan potensi kehilangan bahan, mengurangi biaya produksi

dan menghemat pemakaian energi.

3) Memanfaatkan kandungan air yang ada dalam bahan sebagai faktor

pengenceran asam sehingga dapat mengurangi jumlah air yang digunakan

selama proses produksi.

32

Pada akhir hidrolisis, warna bahan akan berubah dari putih atau merah muda

(tergantung dari jenis ubi kayu yang dipakai) menjadi warna merah tua gelap.

Hasil hidrolisis yang sempurna dapat dilihat jika warna merah tua pada hidrolisat

merata pada seluruh larutan dan tidak ada bubur ubi kayu yang masih berwarna

putih dan tidak terdapat gumpalan bubur ubi kayu yang menyerupai lem kanji.

Gumpalan yang menyerupai lem kanji menandakan bahwa ada ubi kayu yang

tergelatinisasi namun tidak terhidrolisis. Hal ini disebabkan jumlah larutan asam

yang terlalu sedikit dibandingkan jumlah padatan yang digunakan. Perbedaan

hasil hidrolisis sempurna dengan hasil hidrolisis yang tidak sempurna dapat dilihat

pada Gambar 9.

Gambar 9 Hasil hidrolisis dari kiri ke kanan: hasil hidrolisis yang tidak sempurna, hasil hidrolisis yang sempurna.

Berdasarkan hasil percobaan maka didapatkan bahwa dengan kadar

padatan 18% dan 15%, ubi kayu telah terhidrolisis sempurna, yang ditandai

dengan warna hidrolisat yang berwarna merah kehitaman merata sedangkan

hirolisat dengan kadar padatan 30%, 25% dan 20% belum terhidrolisis sempurna

karena masih terdapat bubur ubi kayu yang berwarna putih dan bagian tengah dari

hidrolisat masih berupa gumpalan yang kental. Hasil pengamatan hasil hidrolisis

dengan berbagai macam kadar padatan substrat dapat dilihat pada Tabel 8.

Adanya gumpalan kental menandakan bahwa proses hidrolisis baru terjadi pada

bagian luar yang dekat dinding kaca erlenmeyer sedangkan semakin ke dalam

tidak terjadi hidrolisis karena jumlah cairan sudah habis terpakai untuk proses

gelatinisasi dan sebagian menguap.

Hasil hidrolisis ubi kayu segar dengan kadar padatan 18% dan konsentrasi

H2SO4 0,4 M menghasilkan total padatan terlarut yang lebih rendah dibandingkan

33

dengan hasil hidrolisis tepung ubi kayu dengan kadar padatan 30% dan

konsentrasi H2SO4 0,4 M. Hasil hidrolisis asam dengan kadar padatan 18% dan

H2SO4 1 M menghasilkan total padatan terlarut (25%) yang lebih mendekati

proses hidrolisis menggunakan tepung ubi kayu dengan kadar padatan 30% dan

konsentrasi H2SO4 0,4 M yaitu 24%. Hasil hidrolisis menggunakan H2SO4 1 M

pada suhu 121oC selama 15 menit akan menghasilkan hidrolisat dengan kadar

total gula sebesar 296,98 g/l sedangkan gula pereduksi sebesar 193,88 g/l; dimana

nilai dextrose equivalent sebesar 65,28 yang menandakan proses hidrolisis mampu

mengkonversi sekitar 65% karbohidrat rantai panjang menjadi gula pereduksi atau

glukosa. Hasil hidrolisis menggunakan ubi kayu segar dengan kadar padatan 18%;

H2SO4 1 M selama 15 menit ternyata menghasilkan nilai dextrose equivalent yang

hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Arnata (2010), dimana hasil

hidrolisis menggunakan H2SO4 0,4 M dan waktu hidrolisis selama 10 menit akan

menghasilkan nilai dextrose equivalent sebesar 56,63. Menurut Judoamidjojo et

al. (1989), konversi pati dengan hidrolisis asam hanya akan memperoleh sirup

glukosa dengan DE sebesar 55. Kadar bubur ubi kayu sebesar 18% merupakan

kadar maksimum yang tidak menyebabkan gumpalan pada hidrolisat yang

diperoleh. Namun hidrolisis bubur ubi kayu dengan kadar padatan 18%

menggunakan H2SO4 0,4 M seperti pada penelitian Susmiati (2010) hanya

mendapatkan total padatan terlarut hidrolisat sebesar 19%. Oleh karena itu

konsentrasi H2SO4 ditingkatkan menjadi 1 M agar diperoleh total padatan terlarut

hidrolisat sebesar 25% yang hampir sama dengan total padatan terlarut dari hasil

hidrolisis tepung ubi kayu 30% dengan H2SO4 0,4 M.

Tabel 8 Karakteristik hasil hidrolisis ubi kayu dengan kadar padatan dan konsentrasi asam yang berbeda

Kadar Padatan

Substrat (%)

Konsentrasi

H2SO4 (M)

Total Padatan Terlarut

Hidrolisat (%)Pengamatan Visual

Tepung Ubi Kayu

30 0,4 24 Tidak ada gumpalan

Bubur Ubi Kayu Segar

30 0,4 32 Masih ada gumpalan putih

25 0,4 29 Masih ada gumpalan putih

20 0,4 21 Masih ada gumpalan putih

18 0,4 19 Tidak ada gumpalan

34

15 0,4 16 Tidak ada gumpalan

Bubur Ubi Kayu Segar

18 0,4 19 Tidak ada gumpalan

18 1 25 Tidak ada gumpalan

Pemakaian konsentrasi asam sampai dengan 1 M dan waktu hidrolisis

sampai dengan 15 menit didasarkan dari penelitian Susmiati (2010)

memperlihatkan pertambahan kadar HMF di dalam hidrolisat. Wikandari et al.

(2010) menyatakan bahwa konsentrasi HMF sebesar 1 g/l akan menghambat

pertumbuhan sel dan proses fermentasi oleh S. cerevisiae sehingga menurunkan

produksi etanol sebesar 71,42%. Hasil hidrolisis pada konsentrasi asam 1 M

dengan waktu hidrolisis 10 menit mendapatkan kadar HMF sebesar 0,009 g/l.

Kadar HMF akan semakin meningkat jika hidrolisis dilakukan menggunakan

H2SO4 1 M dan waktu hidrolisis selama 20 menit yaitu sebesar 0,014 g/l.

4.3 Fermentasi Etanol dari Ubi Kayu

Fermentasi merupakan proses konversi glukosa menjadi etanol dalam

kondisi anaerob dengan agensia perubah berupa khamir. Khamir akan merubah

glukosa dan fruktosa menjadi asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur

Embden-Meyerhof-Parnas yang kemudian akan dilanjutkan dengan proses

dekarboksilasi asam piruvat menjadi asetaldehida. Asetaldehida kemudian

mengalami proses dehidrogenasi menjadi senyawa etanol. Jenis khamir yang

sering digunakan dalam proses fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae

karena jenis ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain mampu berproduksi

tinggi, toleran dengan konsentrasi etanol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan

terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu

4-32oC (Gaur 2006).

Substrat fermentasi yang digunakan diencerkan hingga total gula 15%.

Substrat sebelum difermentasi dilakukan proses pemanasan pada suhu 105oC

selama 5 menit untuk mematikan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan.

Pemanasan dilakukan sesingkat mungkin untuk menghindari terjadinya

pembentukan senyawa inhibitor.

35

Proses fermentasi dilakukan dalam dua tahap yaitu pertama dilakukan proses

agitasi selama 24 jam pertama dengan tujuan untuk meningkatkan kontak antara

mikrob dengan nutrisi yang ditambahkan ke dalam substrat sehingga tersuspensi

dengan homogen. Proses agitasi juga bertujuan untuk mempermudah difusi

oksigen sehingga kadar oksigen terlarut dalam media cukup untuk mendukung

pertumbuhan sel secara aerobik (Hollander 1981).

Proses fermentasi pada tahap kedua dilakukan hingga 96 jam dan pada akhir

fermentasi dianalisis kandungan total gula sisa, gula reduksi sisa dan pH. Etanol

yang dihasilkan akan dihitung efisiensi fermentasinya berdasarkan kadar etanol

yang dihasilkan pada percobaan dengan kadar etanol yang seharusnya dihasilkan

secara teoritis. Jika kondisi fermentasi diasumsikan berjalan sempurna (secara

teoritis), maka glukosa dalam substrat terfermentasi 100% menjadi etanol

sebanyak 51,11% dan karbondioksida sebanyak 48,89% dengan densitas etanol

sebesar 0,789 kg/l (Smith et al. 2006). Data hasil fermentasi bubur ubi kayu

ditampilkan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik hasil fermentasi bubur ubi kayuParameter Nilai

Kadar Etanol (% v/v) 3,39

pH 4,22

Efisiensi Fermentasi (%) 58,90

Efisiensi Penggunaan Substrat (%) 71,74

Δ Total Asam (g/l) 0,27

Pengukuran total gula pada awal fermentasi dan akhir fermentasi dapat

digunakan untuk menentukan nilai efisiensi penggunaan substrat. Efisiensi

penggunaan substrat menunjukkan seberapa banyak gula yang dapat dimanfaatkan

oleh khamir untuk diubah menjadi etanol (produk utama), asam organik (produk

samping) dan digunakan untuk pertumbuhan khamir. Efisiensi penggunaan

substrat dihitung berdasarkan persentase perbandingan antara total substrat

glukosa yang dikonsumsi dengan jumlah substrat awal yang tersedia.

Hasil fermentasi etanol pada kontrol mendapatkan data bahwa terjadi

penurunan nilai total gula dari 131,51 g/l menjadi 36,08 g/l. Hal ini menunjukkan

bahwa proses fermentasi berlangsung dengan efisiensi penggunaan substrat

36

sebesar 71,74%. Penurunan kandungan gula menunjukkan terjadinya aktivitas

mikrob yang menggunakan substrat untuk hidup dan memproduksi etanol.

Salah satu parameter yang menandakan terjadinya proses fermentasi adalah

terjadinya penurunan nilai pH dari 4,82 menjadi 4,22. Kecenderungan media

fermentasi menjadi semakin asam disebabkan karena khamir akan membentuk

asam organik. Peningkatan jumlah asam organik yang dihasilkan selama proses

fermentasi akan terkumpul di dalam larutan sehingga akan menurunkan nilai pH

pada akhir fermentasi. Senyawa asam organik dapat berupa asam asetat, laktat dan

piruvat

Kadar etanol yang dihasilkan mencapai 3,39 % (v/v). Kadar etanol yang

dihasilkan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan

oleh Susmiati (2010) yaitu sebesar 5,42%. Fermentasi tersebut dilakukan dengan

menggunakan hasil hidrolisis asam satu tahap dan ampas dipisahkan. Penelitian

Arnata (2009) dengan menggunakan kultur campuran S. cerevisiae dan

Trichoderma viride menghasilkan kadar etanol masing-masing sebesar 3,92 ±

0,31% (b/v).

Efisiensi fermentasi merupakan rasio antara kadar etanol yang dihasilkan

dengan kadar etanol teoritis. Efisiensi fermentasi yang dihasilkan adalah sebesar

58,90%. Jumlah asam-asam organik yang terbentuk mengalami peningkatan

setelah proses fermentasi ditandai dengan peningkatan nilai total asam dari 0,99

g/l menjadi 1,26 g/l. Tingginya pembentukan asam organik merupakan salah satu

kemungkinan yang menyebabkan proses fermentasi pembentukan etanol tidak

maksimal. Gokarn et al. (1997) mengatakan bahwa rendahnya efisiensi produksi

etanol dapat disebabkan karena produk biomassa yang rendah selama proses

fermentasi dan pembentukan produk samping selain etanol. Piruvat sebagai

senyawa antara glikolisis glukosa akan terpecah ke dalam beberapa jalur

biosintesis multiproduk antara lain menjadi laktat, asetat, aseton dan butirat.

4.4 Karakterisasi Produk Samping Fermentasi

Produk samping yang dihasilkan dari produksi etanol ada dua macam yaitu

produk samping yang berbentuk padat dan produk samping yang berbentuk

cairan. Produk samping yang berupa padatan akan dihasilkan pada proses

37

penyaringan hidrolisat dimana cairan hidrolisat akan lolos dari saringan

sedangkan padatan yang berupa ampas akan tertahan di kain saring. Produk

samping yang berupa cairan, dihasilkan dari proses destilasi dimana etanol akan

diuapkan dan kemudian dikondensasi kembali, sedangkan cairan sisa destilasi

yang berwarna cokelat tua akan keluar sebagai produk samping yang dikenal

dengan vinasse. Ampas akan dibuang dan tidak didaur ulang karena jumlahnya

yang sedikit sedangkan vinasse akan diproses kembali untuk digunakan kembali

sebagai media fermentasi etanol. Ampas dan vinasse dilakukan analisis komposisi

kimia untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing produk samping.

4.4.1 Karakteristik Ampas

Ampas merupakan hasil samping berupa padatan dari proses pembuatan

etanol dari ubi kayu. Komposisi kimia ampas secara lengkap dapat dilihat pada

Tabel 10. Kandungan ampas yang penting untuk digunakan kembali sebagai

media fermentasi etanol adalah serat dan karbohidrat. Kandungan serat kasar dan

karbohidrat potensial untuk digunakan kembali dimana kandungan serat kasar

yang masih tinggi dapat dipergunakan sebagai sumber glukosa melalui proses

hidrolisis baik secara asam maupun enzimatik. Kandungan karbohidrat

merupakan unsur utama yang potensial untuk dipergunakan kembali karena

jumlah yang masih banyak yaitu sekitar 13,72%-14,70% dari berat ampas basah.

Rendemen ampas adalah 5% dari volume hidrolisat asam.

Tabel 10 Komposisi kimia ampas

Komponen AmpasBerat Basah (%) Berat Kering (%)

Air 66,33 ± 0,07Abu 0,31 ± 0,00 0,92 ± 0,00Lemak 0,45 ± 0,05 1,34 ± 0,15Total N 11,63 ± 0,04 34,53 ± 0,17Serat Kasar 7,07 ± 0,34 21,01 ± 1,04Karbohidrat (by difference) 14,21 ± 0,49 42,20 ± 1,36

Namun karena jumlah ampas yang sedikit, maka proses pengolahan

kembali menjadi bahan baku media fermentasi menjadi kurang efisien jika

dilakukan karena biaya pengolahan yang dikeluarkan menjadi lebih mahal

dibandingkan jika ampas dipergunakan sebagai pupuk urea karena kandungan

38

nitrogennya yang tinggi. Hasil pengukuran total N menunjukkan bahwa

penetralan menggunakan NH4OH akan meningkatkan kandungan nitrogen dalam

ampas karena reaksi NH4OH dengan H2SO4 menjadi (NH4)2SO4 yang merupakan

unsur utama penyusun pupuk ZA (zwavelzure ammoniak).

4.4.2 Karakteristik Vinasse

Vinasse merupakan hasil samping destilasi yang sudah tidak mengandung

alkohol lagi dan mempunyai nilai pH yang cukup asam sebagai hasil dari

pembentukan asam-asam organik selama proses fermentasi. Akumulasi asam-

asam organik dan total padatan terlarut dalam vinasse berpeluang untuk menjadi

inhibitor dalam proses daur ulang sehingga diperlukan tahapan pengolahan

vinasse sebelum digunakan kembali sebagai media fermentasi antara lain proses

netralisasi dan sentrifugasi.

Tabel 11 menunjukkan komposisi kimia vinasse, dan terlihat bahwa

kandungan gula yang terkandung dalam cairan tersebut masih memungkinkan

untuk dipergunakan kembali sebagai media fermentasi yaitu sebesar 15,62% dari

total gula awal. Kandungan gula total dalam vinasse sebesar 20,55 g/l sedangkan

kandungan gula reduksi sebesar 12,07 g/l. Keberadaan kandungan gula di dalam

vinasse berpeluang untuk dimanfaatkan kembali sebagai media tambahan pada

hidrolisat sedangkan kandungan air dapat dimanfaatkan sebagai pengencer

hidrolisat, sehingga dapat mengurangi penggunaan ubi kayu dan air pada proses

pembuatan bioetanol. Kadar HMF dari vinasse terukur sebesar 3,42 mg/100g. Hal

ini berarti kadar HMF masih berada dalam batas aman. Taherzadeh et al. (1999)

mengatakan bahwa kadar furfural, HMF dan asam asetat yang dapat menghambat

mikrob adalah berturut-turut pada kadar 2,2 g/l; 7,3 g/l dan 3,2 g/l.

Tabel 11 Karakterisasi vinasseKomponen JumlahpH 4,17 ± 0,37TSS (Total Suspended Solid) (mg/l) 6,65 ± 0,37Kandungan Gula Reduksi (g/l) 12,07 ± 0,30Kandungan Gula Total (g/l) 20,55 ± 1,47Total Asam (g/l) 10,80 ± 0,90Kandungan hydroxymethylfurfural (mg/100g) 3,42 ± 0,02BOD5 (Biological Oxygen Demand) (mg/l) 2.886

39

COD (Chemical Oxygen Demand) (mg/l) 9.234

Jika dilihat dari karakteristik limbah vinasse pada Tabel 11, maka vinasse

yang dihasilkan sangat berpotensi menjadi cemaran jika langsung dibuang ke

lingkungan tanpa adanya proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP 51–MENLH/10/1995

tentang baku mutu limbah cair untuk industri etanol, terdapat tiga parameter

penting bagi vinasse untuk industri etanol antara lain nilai BOD5 maksimal adalah

150 mg/l; nilai TSS maksimal 400 mg/l dan pH berada di rentang nilai 6,0 hingga

9,0.

Nilai BOD dari vinasse sebesar 2.886 mg/l, nilai ini lebih besar dibandingkan

dengan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP

51–MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair untuk industri etanol yang

mensyaratkan vinasse harus diencerkan hingga 20 kali agar nilai BOD5 memenuhi

nilai ambang batas kualitas. Nilai BOD5 menunjukkan bahwa di dalam vinasse

yang dihasilkan banyak terdapat kandungan bahan organik yang jika dibuang

langsung ke lingkungan akan mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme yang

berlebihan sehingga akan menghabiskan kandungan oksigen dalam air. Nilai COD

adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik

yang terkandung dalam limbah (Boyd 1990). Selisih nilai antara COD dan BOD

akan memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit terurai yang

berada dalam limbah. Oleh karena itu jumlah bahan organik yang sulit terurai

dalam vinasse sebesar 6.348 mg/l.

Tabel 11 menunjukkan bahwa kadar TSS vinasse masih berada di bawah

kadar maksimum yang diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan, yaitu berada

di bawah nilai 400 mg/l. Nilai TSS merupakan parameter penting bagi kualitas air

karena semakin tinggi nilainya berarti semakin keruh vinasse sehingga jika

dibuang ke lingkungan akan memperkeruh air sehingga menurunkan daya guna

air tersebut.

Vinasse juga memiliki nilai pH yang berada di bawah ambang yang

diperbolehkan yaitu berkisar antara pH 6,0-9,0 sehingga vinasse harus dinetralkan

terlebih dahulu menggunakan larutan basa seperti natrium hidroksida (NaOH),

40

amonia (NH4OH), abu soda (Na2CO3), kapur (CaCO3) sebelum dibuang ke

lingkungan.

4.5 Penentuan Komposisi dan Tingkat Daur Ulang Vinasse

Proses daur ulang vinasse dimaksudkan untuk memanfaatkan gula-gula

sisa yang masih ada untuk dikonversi menjadi etanol. Proses daur ulang ini juga

merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah limbah yang dikeluarkan

dari industri etanol. Komposisi vinasse yang digunakan untuk proses daur ulang

ada tiga macam yaitu 60% (V1), 50% (V2) dan 40% (V3) dimana masing-masing

komposisi akan didaur ulang hingga tiga tingkat, yaitu tingkat pertama (T1),

tingkat kedua (T2) dan tingkat ketiga (T3).

Salah satu cara identifikasi bahwa proses fermentasi etanol berjalan adalah

terjadi penurunan nilai pH di akhir fermentasi. Perubahan pH akan terjadi selama

proses fermentasi sebagai hasil dari metabolisme khamir dalam media. Derajat

keasaman substrat akan mempengaruhi kecepatan fermentasi dimana pH yang

optimum untuk pertumbuhan khamir berkisar pada pH 4 hingga 4,5 (Budiyanto

2003), sedangkan Mukhtar et al. (2010) menyatakan bahwa kondisi pH 4,6-4,8

akan memberikan yield etanol yang maksimal dan konsentrasi asam yang rendah.

Kon-trol

V1T1 V1T2 V1T3 V2T1 V2T2 V2T3 V2T1 V3T2 V3T33.00

3.50

4.00

4.50

5.00 pH Awal

Perlakuan

pH

Keterangan: V1: Vinasse 60%, V2: Vinasse 50%, V3: Vinasse 40%, T1: Tingkat daur ulang 1, T2: Tingkat daur ulang 2, T3: Tingkat daur ulang 3

41

Gambar 10 Perubahan nilai pH pada awal dan akhir fermentasi.

Laju pertumbuhan tergantung pada nilai pH karena pH akan

mempengaruhi fungsi kerja membran, enzim dan komponen sel lainnya terutama

yang mengandung unsur protein. Perubahan nilai pH yang terlalu ekstrim akan

mempengaruhi stabilitas protein dimana protein akan mengalami proses koagulasi

pada titik isoelektrisnya. Perubahan pH juga akan mempengaruhi permeabilitas

sel dan sintesis enzim (Judoamidjojo et al. 1989). Elevri dan Putra (2006)

mengatakan bahwa nilai pH awal media fermentasi sangat mempengaruhi kadar

etanol yang dihasilkan karena proton-proton mempengaruhi kinerja enzim-enzim

dalam jalur EMP diantaranya enzim fosfofruktokinase yang berperan pada tahap

konversi fruktosa 6-fosfat menjadi fruktosa 1-6-difosfat.

Perubahan nilai pH selama proses fermentasi dapat diakibatkan oleh

beberapa sebab antara lain penambahan jenis sumber nitrogen ke dalam media

dan pembentukan asam organik selama proses fermentasi. Penambahan amonia ke

dalam media akan mengakibatkan pH menjadi turun sedangkan penambahan

nitrat dan komponen amino organik akan mengakibatkan pH menjadi naik.

Pembentukan asam-asam organik sebagai produk samping fermentasi etanol akan

meningkatkan konsentrasi ion H+ dalam media sehingga akan menurunkan nilai

pH media.

Pertumbuhan khamir dalam media secara teoritis akan merubah gula

menjadi etanol. Banyaknya gula yang digunakan oleh khamir dan banyaknya

etanol yang dihasilkan dibandingkan jumlah gula yang dikonsumsi tercermin pada

nilai efisiensi penggunaan substrat dan yield fermentasi. Nilai yield etanol,

efisiensi penggunaan substrat, total asam dan efisiensi fermentasi proses daur

ulang vinasse dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 12.

Nilai YP/S menunjukkan perbandingan pembentukan produk dengan jumlah

substrat yang digunakan dalam proses fermentasi. Berdasarkan data pada Tabel

12, nilai YP/S mengalami penurunan seiring semakin bertambahnya proses daur

ulang sedangkan efisiensi penggunaan substrat semakin bertambah besar seiring

bertambahnya proses daur ulang. Perbandingan YP/S yang kecil menandakan

bahwa jumlah produk yang dihasilkan tidak seimbang dengan jumlah substrat

42

yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pembentukan senyawa lain

selain etanol yang dilakukan oleh khamir. Nilai total asam yang semakin

meningkat seperti ditunjukkan pada Tabel 12 mengindikasikan bahwa selama

proses fermentasi terbentuk asam-asam organik sebagai hasil metabolisme

khamir. Gokarn et al. (1997) menyatakan bahwa piruvat dapat masuk ke dalam

jalur biosintesis multiproduk dimana dapat terbentuk senyawa laktat, butirat,

aseton dan asetat. Kehadiran senyawa inhibitor juga akan menghambat kinerja

khamir dalam membentuk etanol. FitzGibbon et al. (1998) mengatakan bahwa

vinasse kemungkinan juga mengandung komponen melanoidin dan fenolik yang

dapat menghambat atau mengurangi aktifitas mikroorganisme. Komponen

melanoidin dan fenolik merupakan senyawa pembentuk warna coklat. Jika dilihat

dari warna vinasse yang semakin gelap maka ada indikasi bahwa semakin tinggi

tingkat daur ulang maka akumulasi komponen melanoidin dan fenolik dalam

larutan akan semakin meningkat.

Tabel 12 Nilai yield etanol, efisiensi penggunaan substrat, Δ total asam dan efisiensi fermentasi hasil daur ulang vinasse pada berbagai konsentrasi

Perlakuan YP/S ΔS/So Δ Total Asam (g/l) Efisiensi Fermentasi (%)

V1T1 0,29 0,55d 0,18 56,67a

V1T2 0,14 0,71c 0,45 26,72cd

V1T3 0,08 0,78ab 0,49 16,26d

V2T1 0,23 0,73bc 0,23 45,22b

V2T2 0,14 0,77b 0,45 27,58cd

V2T3 0,10 0,83a 0,49 19,43cd

V3T1 0,34 0,58d 0,36 66,57a

V3T2 0,14 0,76b 0,58 28,08c

V3T3 0,11 0,83a 0,58 21,01cd

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%Keterangan: V1: Vinasse 60%, V2: Vinasse 50%, V3: Vinasse 40%, T1: Tingkat daur ulang 1, T2:

Tingkat daur ulang 2, T3: Tingkat daur ulang 3

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar etanol yang dihasilkan

selama proses daur ulang vinasse mempunyai kecenderungan menurun seiring

semakin tingginya tingkat daur ulang. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa

43

untuk perlakuan dengan kandungan vinasse 50% dan 40% tidak menunjukkan

adanya perbedaan kadar etanol yang dihasilkan seiring bertambahnya tingkat daur

ulang. Perlakuan dengan kandungan vinasse 60% menunjukkan kadar etanol

untuk tingkat daur ulang ketiga berbeda nyata jika dibandingkan pada tingkat daur

ulang pertama dan kedua. Hasil uji statistik berdasarkan tingkat daur ulang

menunjukkan bahwa kadar etanol pada tingkat daur ulang pertama, kedua dan

ketiga tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% untuk semua komposisi vinasse.

Penurunan kadar etanol selama proses daur ulang diakibatkan adanya akumulasi

senyawa-senyawa inhibitor yang ada dalam media.

Daur ulang dengan kandungan vinasse 40% ternyata menghasilkan kadar

etanol rata-rata tertinggi yaitu sebesar 2,39% dibandingkan kadar etanol rata-rata

pada perlakuan dengan kandungan vinasse 60% dan 50% yaitu masing-masing

sebesar 1,83% dan 2,11%. Penelitian Aisyah (2003) menghasilkan kadar etanol

sebesar 4,05% dengan bahan baku vinasse fermentasi molasses dengan satu

tingkat daur ulang.

Efisiensi fermentasi yang semakin rendah pada setiap tingkat daur ulang

dapat diakibatkan oleh keberadaan senyawa inhibitor dan pembentukan produk

samping selain etanol. Proses destilasi yang menyebabkan media menjadi panas

juga berpotensi mengubah kandungan gula dalam substrat menjadi senyawa

inhibitor seperti furfural dan hydroxymethylfurfural (HMF). Furfural dan HMF

bersifat toksik bagi mikroorganisme fermentatif baik pada kapang, khamir

maupun bakteri (Horvarth et al. 2003; Chandel et al. 2007).

Rendahnya efisiensi fermentasi khamir juga membentuk produk samping

yang berupa asam organik dikarenakan piruvat masuk ke dalam jalur biosintesis

multiproduk. Hohl dan Joslyn (1941) menyatakan bahwa pembentukan asam

laktat sebagai produk samping proses fermentasi etanol akan dipengaruhi oleh

komposisi dari sumber karbon dan nitrogen yang tersedia dalam media dan galur

dari khamir yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Mukhtar et al. (2010)

menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan pembentukan asam asetat dan

penurunan yield etanol seiring semakin tingginya konsentrasi urea. Salah satu cara

yang dapat dilakukan agar piruvat dapat diubah sebanyak mungkin menjadi etanol

44

adalah dengan melakukan optimasi kondisi fermentasi dan seleksi galur khamir

(Gokarn et al. 1997).

Rata-rata efisiensi fermentasi dengan komposisi vinasse 40% adalah

sebesar 38,55% sedangkan untuk kandungan vinasse 60% dan 50 % berturut-turut

sebesar 33,22% dan 31,98%. Nilai efisiensi fermentasi tersebut lebih kecil jika

dibandingkan dengan hasil penelitian Susmiati (2010) yang melakukan fermentasi

dari hasil hidrolisis tahap I dengan pemisahan serat dan tanpa daur ulang vinasse

mendapatkan efisiensi proses fermentasi sebanyak 74,88%. Efisiensi fermentasi

dengan daur ulang vinasse lebih kecil dibandingkan tanpa daur ulang dikarenakan

adanya akumulasi senyawa inhibitor seperti melanoidin dan fenolik yang terjadi

akibat adanya pemanasan pada saat destilasi dan sterilisasi.

Kontrol

V1T1V1T2

V1T3V2T1

V2T2V2T3

V3T1V3T2

V3T30

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5Rerata DP AwalRerata DP Akhir

Perlakuan

Der

ajat

Pol

imer

isas

i

Keterangan: V1: Vinasse 60%, V2: Vinasse 50%, V3: Vinasse 40%, T1: Tingkat daur ulang 1, T2: Tingkat daur ulang 2, T3: Tingkat daur ulang 3

Gambar 11 Perubahan nilai derajat polimerisasi substrat sebelum dan sesudah fermentasi.

Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai derajat polimerisasi gula dalam

substrat setelah fermentasi mengalami peningkatan dibandingkan dengan nilai

derajat polimerisasi sebelum fermentasi. Nilai derajat polimerisasi sesudah

fermentasi yang meningkat menunjukkan bahwa selama proses fermentasi,

khamir hanya mengkonsumsi gula-gula sederhana sehingga gula-gula rantai

45

panjang yang tidak terpakai tersisa dalam larutan. Aisyah (2003) menuliskan

bahwa semakin tinggi frekuensi daur ulang maka semakin banyak terjadi

akumulasi komponen-komponen non metabolit (senyawa fenolik dan melanoidin)

dalam cairan fermentasi yang dapat menghambat aktivitas khamir sehingga gula

tidak dapat diubah seluruhnya menjadi etanol. Derajat polimerisasi pada tingkat

daur ulang ketiga menunjukkan data yang berbeda dengan daur ulang pertama dan

kedua. Daur ulang ketiga menunjukkan fenomena nilai derajat polimerisasi

setelah fermentasi lebih rendah daripada sebelum fermentasi. Jika dilihat dari nilai

total asam, maka adanya akumulasi asam organik dan panas pada proses destilasi

dan sterilisasi dapat mengakibatkan terjadinya proses hidrolisis pada karbohidrat

rantai panjang menjadi gula-gula sederhana.

Khamir tidak dapat menggunakan semua jenis gula dalam proses

fermentasinya. Khamir hanya dapat menggunakan jenis gula seperti glukosa,

maltosa, fruktosa dan galaktosa. Gula-gula sederhana selain glukosa, maltosa,

fruktosa dan galaktosa tidak akan dapat terfermentasi oleh khamir walaupun

dilakukan proses daur ulang sehingga akan terkumpul dalam vinasse. Oleh karena

adanya gula-gula sederhana yang merupakan non fermentable sugar, semakin

tinggi tingkat daur ulang akan semakin meningkatkan jumlah non fermentable

sugar. Oleh karena itu, akumulasi non fermentable sugar merupakan hambatan

dalam proses daur ulang untuk meningkatkan efisiensi fermentasi karena semakin

banyak tingkat daur ulang akan semakin banyak pula akumulasi non fermentable

sugar yang tidak akan dapat dimanfaatkan oleh khamir untuk dirubah menjadi

etanol.

Keuntungan dari daur ulang adalah dapat mengurangi jumlah air yang

digunakan dalam pengenceran media fementasi. Jumlah air yang ditambahkan ke

dalam proses secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 10. Daur ulang

dilakukan dengan mencampurkan antara vinasse dan hidrolisat asam dengan

komposisi tertentu. Apabila daur ulang tidak dilakukan, maka air yang

ditambahkan ke dalam 150 ml hidrolisat adalah 100 ml untuk mencapai total

padatan terlarut 15% (obrix). Perlakuan V1T1 dan V2T1 tidak memerlukan

penambahan air pada campuran hidrolisat dan vinasse karena kandungan air

dalam vinasse cukup untuk mengencerkan larutan hingga mencapai total padatan

46

terlarut 15%. Perlakuan V3T1 memerlukan penambahan air sebanyak 52,63 ml

untuk mengencerkan campuran hidrolisat dan vinasse, sehingga air yang dapat

dihemat adalah sebanyak 47,37 ml dibandingkan dengan kontrol.

Proses daur ulang dengan kandungan vinasse 60% mempunyai persentase

penghematan air pada daur ulang tingkat pertama, kedua dan ketiga masing-

masing sebesar 100%, 58,33% dan 47,32%. Proses daur ulang daur ulang dengan

kandungan vinasse 50% mempunyai persentase penghematan air pada daur ulang

tingkat pertama, kedua dan ketiga masing-masing sebesar 100%, 48,73% dan

46,04%. Sedangkan untuk komposisi vinasse 40% mempunyai persentase

penghematan air pada daur ulang tingkat pertama, kedua dan ketiga masing-

masing sebesar 47,37%, 37,48% dan 26,50%. Perlakuan V1T1 dan V2T1 dapat

menghemat air hingga 100% dibandingkan dengan kontrol. Hal ini berarti dengan

komposisi tersebut tidak diperlukan tambahan air untuk pengenceran media

karena air dalam vinasse telah cukup banyak.

Kontro

lV1T

1V1T

2V1T

3V2T

1V2T

2V2T

3V3T

1V3T

2V3T

30

102030405060708090

100

0102030405060708090100

Penambahan Air (ml) Penghematan Air (%)

Perlakuan

Jum

lah

Pena

mba

han

air

(ml)

Peng

hem

atan

Air

(%)

Keterangan: V1: Vinasse 60%, V2: Vinasse 50%, V3: Vinasse 40%, T1: Tingkat daur ulang 1, T2: Tingkat daur ulang 2, T3: Tingkat daur ulang 3

Gambar 12 Penambahan air dan penghematan penggunaan air selama proses daur ulang vinasse dibandingkan dengan kontrol.

Peningkatan penggunaan air untuk mengencerkan media seiring semakin

banyaknya tingkat daur ulang menunjukkan bahwa konsentrasi vinasse semakin

pekat sebagai akibat akumulasi gula sisa, mineral dan padatan terlarut.

47

Penghematan penggunaan air jika melakukan daur ulang vinasse memberi

keuntungan jika industri bioetanol akan dikembangkan di daerah yang memiliki

pasokan air yang minim, selain itu dengan adanya pengurangan penggunaan air

dapat mengurangi biaya produksi. Gambar 13 menunjukkan desain proses

produksi bioetanol dengan melakukan daur ulang vinasse.

Fermentasi etanol dengan daur ulang vinasse didesain menggunakan dua

fermentor, tangki penampungan vinasse, tangki penampungan hidrolisat, tangki

air, tangki penampungan etanol. Proses fementasi dapat dilakukan dengan

menggunakan hidrolisat tanpa daur ulang atau dengan daur ulang vinasse. Ketika

vinasse belum dihasilkan, kedua fermentor dapat digunakan untuk fermentasi

hidrolisat. Hasil fermentasi hidrolisat akan didestilasi untuk mendapatkan etanol,

sedangkan vinasse akan masuk ke proses netralisasi dan selanjutnya disentrifugasi

untuk memisahkan padatan dengan cairan. Treated vinasse selanjutnya ditampung

dalam tangki vinasse. Proses fermentasi dengan daur ulang vinasse dapat

dilakukan menggunakan dua fermentor sekaligus ketika jumlah vinasse yang

ditampung telah banyak. Namun jika jumlah vinasse masih sedikit, fermentasi

dapat hanya menggunakan satu fermentor dan fermentor yang lain digunakan

untuk memfermentasi hidrolisat.

Jika dilihat dari rendemen etanol berdasarkan ubi kayu kering, proses

fermentasi etanol dengan melakukan daur ulang tidak kalah jika dibandingkan

dengan proses fermentasi menggunakan tepung ubi kayu. Produksi etanol

menggunakan hidrolisat tepung ubi kayu menghasilkan rendemen etanol berkisar

pada nilai 22,69% hingga 30,54% (Susmiati 2010). Produksi etanol menggunakan

hirolisat ubi kayu segar menghasilkan rendemen etanol sebesar 22,40%. Proses

daur ulang vinasse sebanyak 60% berarti akan mengurangi pemakaian hidrolisat

ubi kayu sebanyak 60%. Hal ini berarti akan mengurangi jumlah ubi kayu yang

digunakan. Oleh karena itu proses daur ulang vinasse sebanyak 60% akan

menghasilkan rendemen etanol sebesar 23,39% (tingkat daur ulang pertama) dan

menurun seiring bertambahnya tigkat daur ulang. Demikian pula dengan daur

ulang dengan kadar vinasse 50% dan 40% memberikan rendemen etanol yang

cukup besar yaitu masing-masing 22,01% dan 21,56% (tingkat daur ulang

pertama). Hal ini menunjukkan bahwa proses daur ulang selain dapat mengurangi

48

pemakaian air dapat meningkatkan rendemen etanol, pada daur ulang dengan

kandungan vinasse 60%, dibandingkan tanpa melakukan daur ulang. Sedangkan

daur ulang vinasse dengan kadar vinasse 50% dan 40%, walaupun menghasilkan

rendemen etanol lebih rendah, masih mampu mendekati rendemen etanol pada

proses fermentasi tanpa melakukan daur ulang.

Tingkat daur ulang vinasse tidak dilakukan lebih dari tiga kali karena jika

dilihat dari nilai pada perlakuan dengan kandungan vinasse 40% menunjukkan

kadar etanol telah menurun dari 2,58% menjadi 2,08% pada tingkat daur ulang

ketiga. Sedangkan jika dilihat dari efisiensi fermentasi juga telah menunjukkan

penurunan yang cukup banyak yaitu dari 66,57% menjadi 21,01% pada tingkat

daur ulang ketiga. Selain itu akumulasi gula-gula yang tidak dapat dimanfaatkan

oleh khamir menjadi etanol akan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan

efisiensi fermentasi semakin menurun, karena semakin banyak tingkat daur ulang

akan semakin banyak gula-gula tersebut terakumulasi di dalam media.

Keuntungan dari proses produksi bioetanol dengan daur ulang vinasse

seperti tersaji pada Gambar 13 antara lain:

1. Mengurangi jumlah ubi kayu yang digunakan. Penggunaan vinasse

bertujuan untuk memanfaatkan kembali kandungan gula yang tersisa

sehingga dapat mengurangi jumlah hidrolisat yang digunakan yang berarti

jumlah ubi kayu yang digunakan semakin sedikit. Jumlah hidrolisat yang

berkurang sesuai dengan persentase vinasse yang dicampurkan. Jika

perbandingan vinasse yang digunakan adalah 40% maka hidrolisat yang

dapat dihemat adalah sebesar 40%.

2. Mengurangi jumlah pemakaian air dalam proses pengenceran. Vinasse

mengandung air dalam jumlah banyak sehingga dengan melakukan daur

ulang vinasse dapat sekaligus memanfaatkan kandungan air yang ada.

Daur ulang vinasse dengan komposisi 40% dapat mengurangi air hingga

47,37% pada tingkat daur ulang pertama dan 26,50% pada tingkat daur

ulang ketiga.

Kelebihan lain yang dimiliki dengan melakukan fermentasi etanol

menggunakan hidrolisat asam adalah waktu yang dibutuhkan untuk

menghidrolisis ubi kayu hanya 15 menit ditambah waktu untuk pemanasan otoklaf

49

dan pendinginan hidrolisat dibandingkan dengan proses hidrolisis enzim yang

membutuhkan waktu 25 hingga 20 menit ditambah waktu pemanasan dan

pendinginan proses.

Perbaikan proses detoksifikasi hidrolisat dan proses pengolahan vinasse

perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan efisiensi dan kadar etanol yang

diperoleh. Proses detoksifikasi akan berpengaruh terhadap jumlah senyawa

inhibitor dalam hidrolisat, nilai pH, konsentrasi garam yang terbentuk dan

kandungan gula dalam media. Metode detoksifikasi seperti metode over liming

dan penambahan arang aktif dapat menjadi alternatif karena mudah didapatkan

dan harganya yang murah.

50

Gambar 13 Desain proses produksi bioetanol dengan daur ulang vinasse.

51

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Vinasse mempunyai potensi untuk digunakan kembali sebagai bahan baku

pembuatan etanol karena sisa kandungan gulanya masih sebesar 15,62% dari

kandungan gula awal, dan kandungan HMF masih berada di bawah ambang

batas toleransi khamir.

2. Perlakuan terbaik dari proses daur ulang vinasse berdasarkan kadar etanol dan

efisiensi fermentasi adalah daur ulang dengan komposisi 40% vinasse yang

menghasilkan kadar etanol sebesar 2,58% (v/v) pada daur ulang tingkat

pertama dan 2,08% (v/v) pada daur ulang tingkat ketiga; sedangkan tingkat

efisiensi pembentukan etanol menurun dari 66,57% menjadi 21,01%.

3. Semakin tinggi komposisi vinasse yang digunakan pada proses daur ulang,

maka kadar etanol dan efisiensi fermentasi mempunyai kecenderungan

menurun. Semakin tinggi tingkat daur ulang akan mengakibatkan penurunan

terhadap efisiensi fermentasi dan kadar etanol yang dihasilkan sehingga

disarankan tidak melebihi tiga kali daur ulang.

4. Proses daur ulang vinasse dapat mengurangi penggunaan air 100%-27,30%

jika kadar vinasse 60% hingga 40%.

5.2 Saran

Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan membuat perlu adanya kajian lebih

lanjut untuk perbaikan proses fermentasi seperti proses detoksifikasi dan seleksi

khamir yang adaptif sehingga dapat meningkatkan kadar etanol yang didapatkan.

Selain itu, perbaikan proses pengolahan vinasse perlu dilakukan agar didapatkan

kualitas vinasse yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan efisiensi fermentasi

ketika didaur ulang. Proses detoksifikasi akan berpengaruh terhadap jumlah

senyawa inhibitor dalam hidrolisat, nilai pH, konsentrasi garam yang terbentuk

dan kandungan gula dalam media.

52

53

DAFTAR PUSTAKA

AisyahY. 2003. Studi Daur Ulang Limbah Cair Fermentasi Etanol yang Berbahan Baku Molase dengan Teknologi Membran. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Alfian. 2008. Mempelajari Teknologi Proses Produksi dan Analisis Pengelolaan Produk samping di PT. P.G. Rajawali II Unit PSA Palimanan. [laporan praktek lapang]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association Official Agriculture Chemist. Washington: AOAC International.

APHA. 1976. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 18th Ed. New York: American Public Health Association.

APHA. 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 18th Ed. New York: American Public Health Association.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarwati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Arnata IW. 2009. Teknologi Bioproses Pembuatan Bioetanol dari Ubi Kayu (Manihot utilisima) Menggunakan Kultur Campuran Trichoderma viride, Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Balagopalan C, Padmaja G, Nanda SK, Moorthy SN. 1988. Cassava in Food, Feed, and Industry. Florida: CRC Press, Inc. Boca Raton.

Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama: Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University.

Budiyanto MAK. 2003. Mikrobiologi Terapan. Malang: UMM Press.

Chandel AK et al. 2007. Economics and Environmental Impact of Bioethanol Production Technologies: an Appraisal. J Biotecnol Mol Biol 2(1): 014-032.

[Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. (Diakses dari http://database.deptan.go.id/bdsp/index.asp).

54

Dewipadma JK. 1978. Pekerjaan Laboratorium Mikrobiologi Pangan. Bogor; Fatemeta. Institut Pertanian Bogor.

Elevry PS, Putra SR. 2006. Produksi Etanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae yang Diamobilisasi dengan Agar Batang. J Akta Kim Indones 1 (2): 105-114.

FitzGibbon F, Singh D, McMullan G, Marchant R. 1998. The Effect of Phenolic Acids and Molasses Spent Wash Concentration on Distillery Wastewater Remediation by Fungi. J Process Biochem33: 799.

Frazier WC, Westhoff DC. 1978. Food Microbiology, 4th Edition. New York: Mc. Graw Hill Book Publishing Co. Ltd.

Gaspersz V. 1991. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung: Penerbit Tarsito.

Gaur K. 2006. Process Optimatization for the Production of Ethanol via Fermentation. [dissertation]. Punjab: Departement of Biotechnology and Environment Sciences Thapar Intitute of Engineering & Technology (Deemed University). Patiala-14700. Patiala Punjab India.

Gokarn RR, Eitman MA, Sridhar J. 1997. Production of Succinate by Anaerobic Microorganisms in Fuels and Chemicals from Biomass. Washington DC: American Chemical Society.

Hohl LA, Joslyn MA. 1941. Lactic Acid Formation in Alcohol Fermentation by Yeast. Plant Physic. 16: 343-360.

Hollander M. 1981. Sequential Induction of Maltose Permease System in Saccharomyces cerevisiae. J Biochem. 99: 89-95.

Horvarth HS, Franzen CJ, Taherzadeh MJ, Niklasson C, Liden G. 2003. Effect of Furfural on the Respiratory Metabolism of Saccharomyces cerevisiae in Glucose-Limited Chemostats. J Appl Environ Microbiol 69(7): 4076-4086.

Jenie BSL, Ridawati, Rahayu WP. 1994. Produksi Angkak oleh Monascus purpureus dalam Medium Vinasse Tapioka, Ampas Tapioka dan Ampas Tahu. Bul Tek dan Industri Pangan V (3): 61-64.

Judoamidjojo RM, Sa’id EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Judoamidjojo RM, Sa’id EG, Hartoto L. 1992. Teknologi Fermentasi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

55

Kosaric H, Wieczorek A, Cosentino GP, Mageg RJ, Presonil JE. 1983. Ethanol Fermentation. Di Dalam Subekti H. 2006. Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mangunwidjaja D, Suryani A. 1994. Teknologi Bioproses. Jakarta: Penebar Swadaya.

[MenLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1995. Salinan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup NOMOR: KEP-51/MENLH/10/1995. Jakarta: Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Morohoshi, N. 1991. Chemical Characterization of Wood and Its Components in Wood and Cellulosic Chemistry. New York: Marcels Dekker, Inc.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

Mukhtar K, Asgher M, Afghan S, Hussain H, Zia-ul-Hussnain S. 2010. Comparative Study on Two Commercial Galurs of Saccharomyces cerevisiae for Optimum Ethanol Production on Industrial Scale. J Biomedic Biotechnol. 1-5.

Musyarofah E. 2007. Hidrolisis Empulur Sagu (Metroxylon sp.) secara Asam dan Pemanfaatannya untuk Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae. [skripsi]. Jakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Santa Dharma.

 Najafpour GD, Lim JK. 2002 Evaluation and Isolation of Ethanol Producer Galur SMP-6. Regional Symposium on Chemical Engineering.

Nurdyastuti I. 2005. Teknologi Proses Produksi Bio-Etanol. Prospek Pengembangan Bio-Fuel Sebagai Bahan Bakar Minyak. Jakarta: BPPT.

Pandey A et al. 2000. Biotehnological Potential of Agro-industrial Residues. II: Cassava Bagasse. J Bioresour Technol 74: 81-87.

Palmqvist E, Hahn-Hӓgerdal B. 2000. Fermentation of Lignocellulosic Hydrolysates. I: Inhibition and Detoxification. J Bioresour Technol 74: 17-24.

Palmqvist E, Hahn-Hӓgerdal B. 2000a. Fermentation of Lignocellulosic Hydrolysates. II: Inhibition and Mechanisms of Inhibition. J Bioresour Technol 74: 25-33.

Parnaudeau V, Condom N, Oliver R, Cazevieille P, Recous S. 2007. Vinasse Organic Matter Quality and Mineralization Potential, as Influenced by

56

Raw Material, Fermentation and Concentration Processes. J Bioresour Technology 99: 1553-1562.

Patent Cooperation Treaty. 1998. Treatment of Lignocellulosic Material. World Intellectual Property Organization. International Bureau.

Paturau JM. 1981. By Product of the Sugar Cane Sugar Industry: An Introduction to Their Industrial Utilization. Amsterdam: Elseiver Scientific Publ. Co.

Purwadi R. 2006. Continue Ethanol Production from Dilute-Acid Hydrolizates: Detoxification and Fermentation Technology – Zymomonas mobilis. [theses of doctoral]. Goteborg: Chemical and Biological Engineering, Chalmers University of Technology. Sweden.

Putri LSE, Sukandar D. 2008. Konversi Pati Ganyong (Canna edulis Ker.) Menjadi Bioetanol Melalui Hidrolisis Asam dan Fermentasi. J Biodiver 9: 112-116.

Präve P, Faust U, Sittig W, Sukatch DA. 1987. Fundamental of Biotechnology. Weinhim: VCH Publishing Co.

Prihandana R et al. 2007. Bioetanol Ubi Kayu: Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Prescott SC, Dunn M. 1981. Industrial Microbiology. New York: Mc. Graw Hill Book Publishing Co. Ltd.

Rattanachon W, Piyachomkwan K, Sriroth K. 2004. Physicochemical Properties of Root, Flour and Starch of Bitter and Sweet Cassava Varieties. (Diakses http://www.ciat.cgiar.org/biotechnology/cbn/sixth_internationalmeeting/Posters-PDF/PS-5/W_Rattanachon.pdf).

Sassner P, Martensson CG, Galbe M, Zacchi G. 2008. Steam Pretreatment of H2SO4-Impregnated Salix for Production of Bioethanol. J Bioresour Technol. 99: 137-145.

Setiawan A. 2009. Perancangan Percobaan: Percobaan Faktorial. (Diakses dari http://smartstat.wordpress.com tanggal 02 Agustus 2010).

Sjӧstrӧm E. 1993. Wood Chemistry: Fundamentals and Applications. San Diego: Academic Press.

Smith TC et al. 2006. Wheat as Feedstock for Alcohol Production. HGCA Research Review 61.

Solihin A. 2008. Pemanfaatan Produk samping Pabrik Gula dan Etanol Menjadi Pupuk Organik Bernilai Ekonomi Tinggi. (Diakses dari www.beritabumi.or.id tanggal 26 Agustus 2009).

57

Subagio A. 2006. Ubi Kayu Substitusi Berbagai Tepung-Tepungan. Food Review. (1): 18-22

Supriyati K. 2009. Onggok Terfermentasi Bahan Pakan Bergizi Tinggi. Bogor: Balai Penelitian Ternak.

Susmiati Y. 2010. Rekayasa Proses Hidrolisis Pati dan Serat Ubi Kayu untuk Produksi Bioetanol. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Taherzadeh MJ. 1999. Ethanol from Lignocellulose: Physiochemical Effects of Inhibitors and Fermentation Strategies. Gӧteborg: Chemical Reaction Engineering, Chalmers University of Technology.

Taherzadeh MJ, Niklasson C, Liden G. 1999. Conversion of Dilute-Acid Hydrolyzates of Spruce and Birch to Ethanol by Fed-Batch Fermentation. J Bioresour Technol 69: 59-66.

Taherzadeh MJ, Karimi K. 2007. Acid-Based Hydrolysis Processes for Etanol from Lignocellulosic Materials: A Review. J BioResour 2 (3): 472-499.

Taherzadeh MJ, Karimi K. 2007a. Enzyme-Based Hydrolysis Processes for Ethanol from Lignocellulosic Materials: A Review. J BioResour 2(4): 707-738.

Tjokroadikoesoemo PS. 1986. HFS dan Industri Kayu Lainnya. Jakarta: Gedia.

Trust N. 2008. Ethanol Fermentation Batch Reactor Design Basics. Team Analysts, GB Analysts Reports. New Jersey: Hackensack.

Van Soest, P. J. 1963. Use of Detergent in Analysis of Fibrous Feeds III. New York: The Handbook of Dietary Fiber.

Voet D, Voet JG, Pratt CW. 2006. Fundamentals of Biochemistry Life at The Molecular Level. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Wikandari R, Millati R, Syamsiah S, Muriana R, Ayuningsih Y. 2010. Effect of

Furfufural, Hydroxymethylfurfural and Acetic Acid on Indigeneous Microbial Isolate for Bioethanol Production. J Agric (5): 105-109.

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia. Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid. Bandung: Penerbit ITB Bandung.

58

Woiciechowski AL, Nitsche S, Pandey A, Soccol CR. 2002. Acid and Enzymatic Hydrolysis to Recover Reducing Sugar from Cassava Bagasse: an Economic Study. J Brazilian Archives of Biol Technol an Int 45 (3): 393-400.

Wyman CE. 1996. Handbook on Bioethanol Production and Utilization. Taylor & Francis Ltd.

Zamora A. 2005. Carbohidrat-Chemistry Structure. (Diakses dari h ttp://www.scientificpsychic.com/fitness/carbohydrates.html tanggal 16 September 2010).

59

Lampiran 1 Prosedur analisis parameter-parameter percobaan

1. Prosedur Analisis Proksimat Ubi Kayu

A. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al. 1989)

Analisis Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui

bobotnya diisi dengan sampel sebanyak 2 g dan ditimbang (A). Sampel

kemudian dimasukan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 1-2 jam.

Cawan alumunium dan sampel yang telah dikeringkan kemudian dimasukkan

ke dalam desikator kemudian ditimbang. Pemanasan sampel dilakukan

berulang hingga didapatkan berat yang konstan (B). Sisa contoh dihitung

sebagai total padatan, sedangkan air yang hilang dihitung sebagai kadar air.

Perhitungan kadar air menggunakan rumus:

Kadar air (% )= A−BA

x 100 %

B. Analisis Kadar Abu (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 2 g diletakkan di atas cawan porselin yang telah di

ketahui bobotnya (A). Sampel kemudian diarangkan dahulu menggunakan

bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin yang berisi

contoh (B) kemudian dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu

600oC selama 2 jam. Cawan porselin beserta abu kemudian didinginkan dalam

desikator dan ditimbang hingga mencapai berat yang konstan (C). Kadar abu

dihitung menggunakan rumus:

Kadar Abu (%)=C−AB

x100 %

C. Analisis Kadar Protein (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 0,1 g dimasukkan ke dalam labu kjeldahl kemudian

ditambah dengan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan beberapa butir batu

didih. Sampel kemudian didekstruksi hingga menghasilkan larutan jernih.

Larutan hasil dekstruksi yang telah dingin ditambah dengan 15 ml NaOH 50%

60

kemudian dimasukkan ke alat destilasi. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml

HCl 0,02 N dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dan metil

biru 0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor dengan ujung

kondensor terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan hingga volume

dalam erlenmeyer mencapai dua kali volume awal. Destilat kemudian dititrasi

dengan NaOH 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi

ungu. Kadar total nitrogen dihitung berdasarkan volume larutan NaOH yang

digunakan dalam titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar

total nitrogen dengan metode kjedahl dengan aquades sebagai larutan sampel.

Penentuan kadar protein dihitung menggunakan rumus:

Total N (% )=ml titrasi (blanko−sampel ) x N NaOH x14Bobot Sampel

x 100 %

Kadar Protein (%) = 6,25 x Total N (%)

D. Analisis Kadar Pati (AOAC 1971)

Analisa pati berdasarkan metode Luff Schrool, larutan Luff Schrool

dibuat dengan cara melarutkan CuSO4.5H2O sebanyak 25 g ke dalam 50 ml

aquadest, 50 g asam sitrat dilarutkan ke dalam 50 ml aqudest dan 388 g

Na2CO3.10H2O dilarutkan ke dalan 400 ml aquadest. Larutan asam sitrat

ditambahkan sedikit demi sedikit pada larutan soda, kemudian campuran

ditambahkan larutan terusi dan diencerkan hingga 100 ml pada labu ukur,

kemudian ke dalam erlenmeyer 500 ml dimasukkan 2 g sampel kering dan

ditmabahkan 200 ml HCl 3% serta batu didih. Erlenmeyer dipasang pada

pendingin tegak dan dihidrolisa selam 3 jam. Larutan kemudian didinginkan

dan dinetralkan dengan NaOH dan indikator fenolftalin. Larutan dimasukkan

ke dalam labu ukur 500 ml, ditambahkan dengan air suling hingga tanda tera,

kemudian disaring. Larutan sebanyak 10 ml dipipet ke dalam erlenmeyer 250

ml dan ditambahkan larutan Luff 25 ml serta 15 ml aquadest. Blanko dibuat

tanpa larutan contoh yang dianalisa. Erlenmeyer dipasang pada pendingin

balik, dididihkan selama 10 menit dan segera didinginkan pada air mengalir.

61

Kemudian ditambahkan larutan KI 30% dan 25 ml H2SO4 25%. Setelah reaksi

habis segera dititrasi dengan larutan Na2S2O3 sampai larutan berwarna muda.

Kadar Pati=0,90 xG x Pg

x 100 %

Keterangan:

0,90 = faktor pembanding berat molekul satu unit gula dalam molekul

pati

G = glukosa setara dengan ml Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi

(mg) setelah gula diperhitungkan

P = pengenceran

g = bobot sampel (mg)

E. Analisis Kadar Serat Kasar (AOAC 1984)

Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml kemudian

ditambah dengan 100 ml H2SO4 0,325 N dan dididihkan selama 30 menit.

Larutan ditambah lagi dengan larutan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml dan

dididihkan kembali selama 30 menit. Larutan dalam keadaan panas disaring

dengan kertas Whatman No. 40 setelah diketahui bobot keringnya. Kertas

saring yang digunakan dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4

dan etanol 95%. Kertas saring beserta sampel kemudian dikeringkan dalam

oven dengan suhu 100-110oC hingga bobotnya konstan. Kertas saring yang

telah kering kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya.

Kadar serat kasar dihitung menggunakan rumus:

Kadar Serat Kasar (% )=Bobot Endapan Kering (g)Bobot Sampel(g)

x 100 %

F. Analisa Kadar NDF (Van Soest 1963)

Sampel ditimbang sebanyak A g dan kemudian dimasukkan ke dalam

gelas piala 500 ml. Larutan NDS yang mengandung aquades 1 l; natrium

sulfat 30 g; EDTA 18,81 g; natrium borat 10 H2O 6,81 g; Di Na-HPO4

anhidrat 4,5 g; 2-etoksi etanol murni 10 ml dimasukkan ke dalam gelas piala.

Filter glass G-3 ditimbang beratnya (B g). Larutan campuran kemudian

62

dipanaskan selama satu jam di atas penangas listrik. Sampel yang bercampur

dengan larutan NDS kemudian disaring dengan filter glass dan dibantu dengan

bantuan pompa vakum. Sisa hasil penyaringan kemudian dibilas sebanyak tiga

kali dengan air panas dan aseton. Sisa hasil penyaringan kemudian

dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC. Hasil penyaringan yang telah

kering kemudian ditimbang bobotnya (C g) setelah didinginkan terlebih

dahulu di dalam eksikator selama satu jam.

%NDF=C−BA

x 100 %

Keterangan:

A = bobot sampel (g)

B = bobot filter glass (g)

C = bobot fiber glass dan sampel setelah kering (g)

G. Analisa Kadar ADF dan Hemiselulosa (Van Soest 1963)

Sampel ditimbang sebanyak A g dan kemudian dimasukkan ke dalam

gelas piala. Larutan ADS sebanyak 50 ml yang mengandung H2SO4; CTAB

(cethyle trymethyl ammonium bromide) dimasukkan ke dalam gelas piala.

Larutan campuran kemudian dipanaskan selama satu jam di atas penangas

listrik. Filter glass G-3 ditimbang beratnya (B g). Sampel yang bercampur

dengan larutan ADS kemudian disaring dengan filter glass dan dibantu dengan

pompa vakum. Sisa hasil saringan kemudian dibilas sebanyak tiga kali dengan

air panas dan aseton. Sisa hasil penyaringan kemudian dikeringkan di dalam

oven pada suhu 105oC. Hasil penyaringan yang telah kering kemudian

ditimbang bobotnya (C g) setelah didinginkan terlebih dahulu di dalam

eksikator selama satu jam.

%ADF=C−BA

x 100 %

Keterangan:

A = bobot sampel (g)

B = bobot filter glass (g)

C = bobot fiber glass dan sampel setelah kering (g)

63

H. Analisa Kadar Selulosa (Van Soest 1963)

Residu analsia ADF ditimbang bobotnya (C g) kemudian diletakkan di

atas nampan yang berisi air dengan ketinggian 1 cm. Larutan H2SO4

ditambahkan ke dalam nampan hingga ketinggian ¾ bagian filter glass.

Biarkan sampel selama 3 jam sambil diaduk-aduk. Sampel dipisahkan dari

larutan dengan disaring menggunakan pompa vakum. Pencucian dilakukan

dengan larutan aseton dan air panas. Sisa hasil penyaringan kemudian

dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC. Hasil penyaringan yang telah

kering kemudian ditimbang bobotnya (D g) setelah didinginkan terlebih

dahulu di dalam eksikator selama satu jam.

%Selulosa= D−CA

x100 %

I. Analisis Kadar Lemak (AOAC 1995)

Sampel bebas air (hasil analisis kadar air) sebanyak 2 g diekstraksi dengan

pelarut heksan dalam soxhlet selama 6 jam. Sampel hasil ekstraksi kemudian

diangin-angikan untuk menguapkan pelarut yang tersisa kemudian

dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC. Sampel kemudian didinginkan

dalam desikator, ditimbang hingga diperoleh bobot yang tetap. Kadar lemak

dihitung menggunakan rumus:

Kadar Lemak (%)= Bobot≤makBobot Sampel

x100 %

2. Prosedur Analisis Vinasse

A. Analisis Kadar Gula Total dengan Metode Fenol Sulfat (AOAC 1995)

Larutan gula standar dengan berbagai konsentrasi diambil sebanyak 2 ml

dan masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml

larutan fenol 5% serta ditambahkan 5 ml larutan H2SO4 pekat dengan cepat.

Larutan didiamkan selama 10 menit kemudian diukur absorbansinya pada λ =

490 nm. Penetapan konsentrasi gula total pada sampel dilakukan

menggunakan prosedur pada penetapan kurva standar.

64

B. Analisis Gula Pereduksi menggunakan Metode DNS (Apriyantono et al. 1989)

Asam 3,5 dinitrosalisilat sebanyak 10,6 g dan NaOH sebanyak 19,8 g

dilarutkan ke dalam 1.416 ml aquades. Na-K-Tartarat sebanyak 306 g; 7,6 ml

fenol yang telah dicairkan pada suhu 105oC; 8,3 g Na-metabisulfit

ditambahkan ke dalam larutan yang telah dibuat dan diaduk hingga rata.

Keasaman pereaksi DNS yang dihasilkan ditentukan dengan cara sebagai

berikut: sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan

indikator fenolftalin. Banyaknya titer berkisar 5-6 ml, dan untuk setiap ml

kekurangan HCl 0,1 N pada titrasi ditambahkan 2 g NaOH.

Larutan glukosa standar atau sampel sebanyak 1 ml diambil dan

ditambahkan ke dalam 3 ml pereaksi DNS. Larutan kemudian diletakkan

dalam air mendidih selama 5 menit dan didinginkan hingga mencapai suhu

kamar. Larutan kemudian dibaca absorbansinya menggunakan

spektrofotometer dengan λ = 550 nm.

C. Dextroxe Equivalent (DE)

DE diperoleh dengan membagi nilai gula pereduksi pada sampel dengan

nilai total gula pada sampel. Nilai DE dihitung menggunakan rumus:

DE=Kadar Gula PereduksiSampel (g/ l)

Total GulaContoh(g / l)x 100

D. Derajat Polimerisasi (DP)

Derajat polimerisasi adalah jumlah unit monomer dalam suatu polimer.

Derajat polimer diperoleh dengan membagi nilai total gula (metode fenol

sulfat) dengan nilai gula pereduksi sampel. Nilai derajat polimerisasi dihitung

menggunakan rumus:

DP=TotalGula Pereduksi Sampel (g/ l)

Kadar Gula Pereduksi Sampel (g/ l)

E. Analisis Total Suspended Solid (TSS) (APHA 1976)

Sampel sebanyak 25 ml (C) disaring menggunakan kertas Whatman No.

41 yang telah dikeringkan terlebih dahulu dan ditimbang bobotnya (A).

Sampel yang telah disaring semua kemudian dikeringkan dalam oven pada

65

suhu 105oC selama tiga jam. Sampel yang telah kering didinginkan dalam

desikator dan ditimbang hingga bobotnya konstan (B). Perhitungan nilai TSS

menggunakan rumus:

TSS (mg / l )=B−AC

x1000

F. Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) (APHA 1992)

Sampel sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang telah diisi

dengan larutan HgSO4. Larutan kemudian ditambah dengan 20 ml K2Cr2O7

dan dikocok hingga bercampur. Jika larutan campuran berwarna hijau maka

larutan tersebut harus diencerkan terlebih dahulu sebelum ditambah dengan

HgSO4 dan K2Cr2O7. Erlenmeyer yang telah berisi larutan sampel kemudian

dipanaskan selama 10 menit kemudian didinginkan sebelum ditambah dengan

150 ml aquades. Larutan sampel yang telah dingin kemudian diambah dengan

1,5 mg kristal KI atau larutan KI, kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3

hingga warna iodium berubah menjadi kuning pucat. Larutan sampel diberi

indikator pati sebanyak 1-2 ml kemudian dititrasi sehingga warna biru muda

berubah kembali menjadi hijau muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga

untuk blanko. Perhitungan nilai COD menggunakan rumus:

COD ( ppm)= ( B−C ) x N− tiosianat x 8000Volume Contoh(ml)

x P

Keterangan:

B = ml Na2S2O3 untuk blanko

C = ml Na2S2O3 untuk sampel

P = faktor pengenceran

G. Analisis Biological Oxygen Demand (BOD) (APHA 1992)

Sampel terlebih dahulu dinetralkan menggunakan HCl (jika sampel terlalu

basa) atau NaOH (jika sampel terlalu asam). Jika sampel mengandung klor

akif, sampel perlu ditambah Na2S2O3 dengan perbandingan molar yang sama.

Sampel yang diduga memiliki nilai BOD yang sangat tinggi diencerkan

66

terlebih dahulu hingga pengukuran DO sebesar 3-4 ml O2/l. Sampel untuk

pengukuran hari ke 0, ke n dan blanko diletakkan dalam inkubator. Setelah 1

jam, untuk sampel pengukuran hari ke 0 dan blanko diambil untuk diukur

konsentrasi oksigen terlarutnya. Nilai BOD dapat ditentukan berdasarkan

rumus:

BODn ¿

Keterangan:

Ao = oksigen terlarut hari ke 0 untuk sampel

An = oksigen terlarut hari ke n untuk sampel

Bo = oksigen terlarut hari ke 0 untuk blanko

Bn = oksigen terlarut hari ke n untuk blanko

P = faktor pengenceran

H. Uji Hidroksimetilfurfural (HMF) (AOAC 980.23-1999)

Larutan Carrez I: timbang 15 g kalium feroksianida, larutkan dengan air dan

encerkan sampai 100 ml.

Larutan Carrez II: timbang 30 g seng asetat, larutkan dengan air dan encerkan

sampai 100 ml.

Natrium bisulfit 0,2%: timbang 0,2 g NaHSO3, larutkan dengan air dan

encerkan sampai 100 ml.

Timbang dengan teliti 5 g sampel (sampai ketelitian 1 mg) dalam gelas

piala kecil, masukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan bilas dengan air sampai

volume larutan 25 ml. Tambahkan 0,5 ml larutan Carrez I, kocok dan

tambahkan 0,5 ml larutan Carrez II, kocok kembali dan encerkan dengan air

sampai tanda garis. Tambahkan setetes alkohol untuk menghilangkan busa

pada permukaan. Saring melalui kertas saring dan buang 10 ml saringan

pertama.

Pipet 5 ml saringan dan masing-masing masukkan ke dalam tabung reaksi

18 ml x 150 ml. Pipet 5 ml air dan masukkan ke dalam salah satu tabung

(contoh) dan 5 ml 0,2% natrium bisulfit ke dalam tabung lainnya

67

(pembanding). Kocok sampai tercampur sempurna dan tetapkan absorban

contoh terhadap reference (pembanding) dalam sel 1 cm pada panjang

gelombang 284 nm dan 336 nm. Bila absorban lebih tinggi dari 0,6 untuk

memperoleh hasil yang teliti, larutan contoh diencerkan dengan air sesuai

kebutuhan. Demikian juga dengan larutan pembanding (larutan referensi)

encerkan dengan cara sama dengan menggunakan larutan NaHSO3 0,1%, nilai

absorban yang diperoleh dikalikan dengan faktor pengencer sebelum

perhitungan. Kadar HMF dihitung berdasarkan persamaan:

HMF (mg /100 g sampel )= ( A 284−A 336 ) x 14,97 x 5bobot sampel (g)

Faktor : 12616830

x 100010

x 1005

=14,97

Keterangan:

126 = adalah bobot molekul HMF

16830 = absorbansifitas moler HMF pada panjang gelombang 284 nm

1000 = mg/g

10 = sentiliter/l

100 = gram sampel yang dilaporkan

5 = bobot contoh yang diambil dalam gram

I. Total Asam (Dewipadma 1978)

Total asam ditentukan dengan cara titrasi dan dinyatakan sebagai asam

laktat. Sampel sebanyak 1 ml dipipet ke dalam erlenmeyer 50 ml dan

ditambah dengan aquades sebanyak 9 ml. Larutan dipanaskan untuk

menghilangkan CO2 yang ada. Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N

dengan indikator fenolftalein. Total asam dihitung menggunakan rumus:

Total Asam ( g/ l )=ml NaOH x N NaOH x9 x Faktor PengenceranVolume Contoh(ml )

68

3. Prosedur Analisis Cairan Hasil Fermentasi

A. Efisiensi Pemanfaatan Substrat

Efisiensi pemanfaatan substrat diperoleh dengan membagi selisih nilai

gula pereduksi awal (A) dan gula pereduksi setelah fermentasi (B) dengan

nilai gula pereduksi sampel awal (A). Efisiensi pemanfaatan substrat dihitung

menggunakan rumus:

Efisiensi PemanfaatanSubstr at (% )= A−BA

x 100 %

B. Penentuan Kadar Etanol (Density Meter % v/v 01ML-ITS-90)

Hasil destilasi akan dilakukan pengujian kadar etanol menggunakan alat

Density Meter dengan spesifikasi sebagai berikut:

1. Jenis : Density Meter DMA 4500 Merk Anton Paar

2. Metode : % v/v 01ML-ITS-90

3. Sampel : 2 ml

4. Suhu Pengukuran : 20oC

C. Efisiensi Fermentasi

Efisiensi fermentasi diperoleh dengan membagi konsentrasi etanol

sesungguhnya (yang diperoleh) (A) dengan konsentrasi etanol secara teoritis

(B). Efisiensi fermentasi dihitung menggunakan rumus:

Efisiensi Fermentasi ( %)= AB

x100 %

D. Rendemen Etanol (% w/w)

Rendemen etanol dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

Rendemen Etanol= Berat EtanolBerat Ubi Kayu Kering

x100 %

69

Lampiran 2 Hasil pengukuran kadar etanol

Kode SampelKadar Etanol (% v/v)

RerataUlangan 1 Ulangan 2

Kontrol 21,02 15,81 18,41

V1T1 15,34 23,73 19,53

V1T2 14,66 13,57 14,12

V1T3 6,29 6,09 6,19

V2T1 22,86 20,95 21,91

V2T2 22,09 18,37 20,23

V2T3 8,75 14,44 11,60

V3T1 25,15 25,94 25,55

V3T2 18,93 20,03 19,48

V3T3 10,71 11,45 11,08

70

Lampiran 3. Hasil pengukuran pH sebelum dan sesudah fermentasi

Perlakuan pH Awal Rerata pH Awal

pH Akhir Rerata pH AkhirUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2Kontrol 4,82 4,81 4,82 4,12 4,31 4,22 V1T1 4,58 4,60 4,59 4,28 4,25 4,27V1T2 4,77 4,36 4,56 4,48 4,15 4,31V1T3 4,64 4,56 4,60 4,21 4,06 4,14 V2T1 4,59 4,55 4,57 4,35 4,32 4,34V2T2 4,44 4,39 4,42 4,04 4,09 4,06V2T3 4,58 4,58 4,58 3,97 3,96 3,97 V3T1 4,76 4,65 4,71 4,34 4,31 4,33V3T2 4,41 4,51 4,46 4,02 4,05 4,03V3T3 4,47 4,55 4,51 3,92 3,96 3,94

71

Lampiran 4 Hasil pengukuran total gula sebelum dan sesudah fermentasi

PerlakuanTotal Gula Awal (g/l) Total Gula Akhir (g/l) Rerata Total

Gula AwalRerata Total Gula AkhirUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 107,86 155,22 35,42 36,75 131,54 36,09V1T1 118,00 118,00 52,13 54,61 118,00 53,37V2T1 127,06 132,4 38,07 30,66 129,73 34,37V3T1 102,52 102,52 45,49 40,01 102,52 42,75V1T2 146,59 161,21 41,40 47,27 153,90 44,34V2T2 150,37 166,76 34,02 39,13 158,57 36,58V3T2 181,27 181,27 43,14 42,09 181,27 42,62V1T3 140,55 172,91 34,02 33,11 156,73 33,57V2T3 161,21 166,60 27,80 26,87 163,91 27,34V3T3 181,27 188,45 32,48 30,76 184,86 31,62

72

Lampiran 5 Hasil pengukuran gula reduksi sebelum dan sesudah fermentasi

PerlakuanGula Reduksi awal Gula Reduksi akhir Rerata Gula

Reduksi AwalRerata Gula Reduksi

AkhirUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2Kontrol 48,84 52,07 10,92 11,34 50,46 11,13V1T1 47,76 47,76 10,06 15,48 47,76 12,77V2T1 56,89 69,48 12,79 16,74 63,19 14,77V3T1 57,34 47,82 13,77 14,55 52,58 14,16V1T2 62,37 62,94 15,46 14,59 62,66 15,03V2T2 73,2 70,72 13,12 15,4 71,96 14,26V3T2 73,45 79,87 13,03 12,44 76,66 12,74V1T3 53,05 59,91 15,57 14,52 56,48 15,05V2T3 59,7 66,26 14,57 13,05 62,98 13,81V3T3 68,29 75,11 15,69 14,76 71,70 15,23

73

Lampiran 6 Hasil perhitungan derajat polimerisasi sebelum dan sesudah fermentasi

PerlakuanDerajat Polimerisasi Awal Derajat Polimerisasi Akhir Rerata Derajat

Polimerisasi AwalRerata Derajat

Polimerisasi AkhirUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2Kontrol 2,21 2,98 3,24 3,24 2,59 3,24V1T1 2,47 2,47 5,18 3,53 2,47 4,35V2T1 2,23 1,91 2,98 1,83 2,07 2,40V3T1 1,79 2,14 3,30 2,75 1,97 3,03V1T2 2,35 2,56 2,68 3,24 2,46 2,96V2T2 2,05 2,36 2,59 2,54 2,21 2,57V3T2 2,47 2,27 3,31 3,38 2,37 3,35V1T3 2,65 2,89 2,18 2,28 2,77 2,23V2T3 2,70 2,51 1,91 2,06 2,61 1,98V3T3 2,65 2,51 2,07 2,08 2,58 2,08

74

Lampiran 7 Data nilai yield etanol (ΔP) dan yield fermentasi (YP/S)

PerlakuanΔP (g/l)

Rerata ΔP (g/l)YP/S Rerata YP/SUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 27,59 26,19 26,89 0,38 0,22 0,30V1T1 19,18 18,26 18,72 0,29 0,29 0,29V2T1 20,90 23,12 22,01 0,23 0,23 0,23V3T1 17,46 23,39 20,43 0,31 0,37 0,34V1T2 15,48 14,35 14,91 0,15 0,13 0,14V2T2 16,70 17,66 17,18 0,14 0,14 0,14V3T2 16,61 23,21 19,91 0,12 0,17 0,14V1T3 10,18 9,87 10,02 0,10 0,07 0,08V2T3 10,00 17,28 13,64 0,07 0,12 0,10V3T3 16,18 16,72 16,45 0,11 0,11 0,11

75

Lampiran 8 Data penggunaan substrat (ΔS) dan efisiensi penggunaan substrat (ΔS/So)

PerlakuanPenggunaan Substrat (ΔS) g/l

Rerata ΔS (g/l)ΔS/So

Rerata ΔS/SoUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2Kontrol 72,44 118,47 95,46 0,67 0,76 0,72V1T1 65,87 63,39 64,63 0,56 0,54 0,55V2T1 88,99 101,74 95,37 0,70 0,77 0,73V3T1 57,04 62,51 59,77 0,56 0,61 0,58V1T2 105,19 113,94 109,57 0,72 0,71 0,71V2T2 116,35 127,63 121,99 0,77 0,77 0,77V3T2 138,13 139,19 138,66 0,76 0,77 0,76V1T3 106,53 139,80 123,16 0,76 0,81 0,78V2T3 133,40 139,73 136,57 0,83 0,84 0,83V3T3 148,79 157,69 153,24 0,82 0,84 0,83

76

Lampiran 9 Hasil pengukuran dan perhitungan total asam

Perlakuan Total Asam Awal (g/l) Total Asam Akhir (g/l) Δ Total Asam (g/l) Rerata Δ Total Asam (g/l)Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 1,17 0,81 1,35 1,17 0,18 0,36 0,27

V1T1 1,17 1,17 1,35 1,35 0,18 0,18 0,18V1T2 0,99 1,08 1,35 1,62 0,36 0,54 0,45V1T3 0,81 0,90 1,44 1,26 0,63 0,36 0,49 V2T1 1,17 1,08 1,26 1,44 0,09 0,36 0,23V2T2 1,08 0,99 1,35 1,62 0,27 0,63 0,45V2T3 0,99 0,99 1,53 1,44 0,54 0,45 0,49 V3T1 0,90 0,81 1,35 1,08 0,45 0,27 0,36V3T2 0,90 0,99 1,26 1,80 0,36 0,81 0,58V3T3 0,90 0,90 1,53 1,44 0,63 0,54 0,58

77

Lampiran 10 Hasil pengukuran dan perhitungan penambahan air dan penghematan air

PerlakuanHidrolisat Air Vinasse Persentase Pengenceran (%) Penghematan Air (%)

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 150,00 150,00 100,00 100,00 0,00 0,00 66,67 66,67 - -

V1T1 100,00 100,00 0,00 0,00 150,00 150,00 0,00 0,00 100,00 100,00

V1T2 83,33 83,33 41,67 41,67 125,00 125,00 20,00 20,00 58,33 58,33

V1T3 78,93 78,93 52,68 52,68 118,39 118,39 26,70 26,70 47,32 47,32

V2T1 125,00 125,00 0,00 0,00 125,00 125,00 0,00 0,00 100,00 100,00

V2T2 97,39 101,34 55,22 47,32 97,39 101,34 28,35 23,35 44,78 52,68

V2T3 93,75 102,29 62,50 45,42 93,75 102,29 33,33 22,20 37,50 54,58

V3T1 118,42 118,42 52,63 52,63 78,95 78,95 26,67 26,67 47,37 47,37

V3T2 112,49 112,49 62,52 62,52 74,99 74,99 33,35 33,35 37,48 37,48

V3T3 105,41 106,38 74,31 72,70 70,27 70,92 42,30 41,00 25,69 27,30

78

Lampiran 11 Data rendemen etanol hasil fermentasi

Perlakuan Rendemen Etanol (%) Rerata Rendemen Etanol (%)Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 22,98 21,82 22,40V1T1 23,97 22,81 23,39V1T2 23,21 21,52 22,37V1T3 16,12 15,62 15,87 V2T1 20,89 23,12 22,01V2T2 21,42 21,78 21,60V2T3 13,33 21,11 17,22 V3T1 18,43 24,69 21,56V3T2 18,45 25,79 22,12V3T3 19,18 19,64 19,41

79

Lampiran 12 Hasil analisis efisiensi fermentasi

Daur Ulang ke- Kandungan Vinasse

Efisiensi Fermentasi (%)Ulangan 1 Ulangan 2

1 60% 56,99 56,3650% 45,96 44,4840% 59,91 73,23

2 60% 28,79 24,6550% 28,08 27,0840% 23,53 32,64

3 60% 18,70 13,8150% 14,67 24,2040% 21,27 20,75

Analisis sidik ragam efisiensi fermentasi

Sumber keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah F hitung F (0,01) F(0,05)

Perlakuan 8 5050,92- Kand. vinasse 2 191,23 95,61 4,34ns 8,02 4,62

- Daur ulang ke 2 4568,762284,3

8 103,79** 8,02 4,62- Interaksi 4 290,94 72,73 3,30ns 6,42 3,63Galat 9 198,08 22,01Total 17 5249,00

Keterangan: ns: tidak berbeda nyata *: berpengaruh nyata pada taraf 5%**: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%

Uji lanjut Duncan efisiensi fermentasi

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 1.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 66,57 aV1 56,67 9,90 aV2 45,22 21,35** 11,45* b

80

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 2.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 28,08 aV2 27,58 0,50 aV1 26,72 1,36 0,86 a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 3.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 21,01 aV2 19,43 1,58 aV1 16,26 4,76 3,18 a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 60%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 56,67 aT2 26,72 29,95** bT3 16,26 40,42** 10,47 b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 50%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 45,22 aT2 27,58 17,64** bT3 19,43 25,78** 8,15 b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 40%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 66,57 aT2 28,08 38,49** bT3 21,01 45,56** 7,07 b

81

Tabel Matriks selisih perbedaan pasangan rata-rata VxT

Kandungan Vinasse V3 V1 V2 V3 V2 V1 V3 V2 V1

NOTASIDaur ulang T1 T1 T1 T2 T2 T2 T3 T3 T3

Rata-rata 66,57 56,67 45,22 28,08 27,58 26,72 21,0

1 19,43 16,26

V3 T1 66,57 0 aV1 T1 56,67 9,90 0 aV2 T1 45,22 21,35* 11,45* 0 bV3 T2 28,08 38,49* 28,59* 17,14* 0 cV2 T2 27,58 38,99* 29,09* 17,64* 0,50 0 cdV1 T2 26,72 39,85* 29,95* 18,50* 1,36 0,86 0 cdV3 T3 21,01 45,56* 35,66* 24,21* 7,07 6,57 5,71 0 cdV2 T3 19,43 47,14* 37,24* 25,78* 8,65 8,15 7,29 1,58 0 cd

V1 T3 16,26 50,32* 40,42* 28,96* 11,83* 11,33 10,47 4,76 3,18 0 d

82

Lampiran 13 Hasil analisis kadar etanol fermentasi

Daur Ulang ke- Kandungan Vinasse Kadar Etanol (%)

Ulangan 1 Ulangan 21 60% 2,42 2,30

50% 2,63 2,2340% 2,20 2,95

2 60% 1,95 1,8150% 2,10 2,2340% 2,09 2,92

3 60% 1,28 1,2450% 1,26 2,1840% 2,04 2,11

Analisis sidik ragam kadar etanol

Sumber keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah F hitung F (0,01) F(0,05)

Perlakuan 8 2,94 0,37 2,85ns 5,47 3,23- Kand. vinasse 2 0,91 0,46 3,55ns 8,02 4,62- Daur ulang ke 2 1,83 0,92 7,11* 8,02 4,62- Interaksi 4 0,19 0,05 0,38ns 6,42 3,63Galat 9 1,16 0,13Total 17 4,10

Keterangan: ns: tidak berbeda nyata *: berpengaruh nyata pada taraf 5%**: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%

Uji lanjut Duncan Kadar Etanol

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 1.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 2,58 aV2 2,43 0,15ns aV1 2,36 0,22ns 0,07ns a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 2.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 2,51 aV2 2,17 0,34ms aV1 1,88 0,63ns 0,29ns a

83

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 3.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 2,08 aV2 1,72 0,36ns aV1 1,26 0,82ns 0,46ns a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 60%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 2,36 aT2 1,88 0,48ns aT3 1,26 1,10* 0,62ns b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 50%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 2,43 aT2 2,17 0,27ns aT3 1,72 0,71ns 0,45ns a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 40%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 2,58 aT2 2,51 0,07ns aT3 2,08 0,50ns 0,43ns a

Hasil pengujian pengaruh sederhana (tabel dwi arah) pada kadar etanol (% v/v)

T1 T2 T3V1 2,36aA 1,88aA 1,28bA

V2 2,43aA 2,17aA 1,72aA

V3 2,58aA 2,51aA 2,08aA

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. Huruf kecil dibaca arah horizontal (baris) dan huruf kapital dibaca arah vertikal (kolom)

84

Lampiran 14 Hasil analisis yield etanol

Daur Ulang ke- Kandungan Vinasse Yield Etanol

Ulangan 1 Ulangan 21 60% 0,29 0,29

50% 0,23 0,2340% 0,31 0,37

2 60% 0,15 0,1350% 0,14 0,1440% 0,12 0,17

3 60% 0,10 0,0750% 0,07 0,1240% 0,11 0,11

Analisis sidik ragam yield etanol

Sumber keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah F hitung F (0,01) F(0,05)

Perlakuan 8 0,1319 0,0165 28,69** 5,47 3,23- Kand. vinasse 2 0,0050 0,0025 4,34ns 8,02 4,62

- Daur ulang ke 2 0,1193 0,0596103,79*

* 8,02 4,62- Interaksi 4 0,0076 0,0019 3,30ns 6,42 3,63Galat 9 0,0052 0,0006Total 17 0,1371

Keterangan: ns: tidak berbeda nyata *: berpengaruh nyata pada taraf 5%**: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%

Uji lanjut Duncan Yield Etanol

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 1.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 0,34 aV1 0,29 0,051 aV2 0,23 0,109* 0,059* b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 2.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 0,14 aV2 0,14 0,00 aV1 0,14 0,01 0,00 a

85

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 3.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV3 0,11 aV2 0,10 0,01ns aV1 0,08 0,02ns 0,02ns a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 60%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 0,29 aT2 0,14 0,153* bT3 0,08 0,207* 0,053* c

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 50%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 0,23 aT2 0,14 0,09* bT3 0,10 0,13* 0,04ns b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 40%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT1 0,34 aT2 0,14 0,20* bT3 0,11 0,23* 0,04 b

Hasil pengujian pengaruh sederhana (tabel dwi arah) pada yield etanol

T1 T2 T3V1 2,36aA 1,88bA 1,28cA

V2 2,43aA 2,17bA 1,72bA

V3 2,58aA 2,51bA 2,08bA

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%. Huruf kecil dibaca arah horizontal (baris) dan huruf kapital dibaca arah vertikal (kolom)

86

Lampiran 15 Hasil analisis Δ total asam

Daur Ulang ke- Kandungan Vinasse Δ Total Asam (g/l)

Ulangan 1 Ulangan 21 60% 0,18 0,18

50% 0,36 0,5440% 0,63 0,36

2 60% 0,09 0,3650% 0,27 0,6340% 0,54 0,45

3 60% 0,45 0,2750% 0,36 0,8140% 0,63 0,54

Analisis sidik ragam Δ Total Asam

Sumber keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah F hitung F (0,01) F(0,05)

Perlakuan 8 0,33 0,04 1,34ns 5,47 3,23- Kand. vinasse 2 0,07 0,03 1,06ns 8,02 4,62- Daur ulang ke 2 0,26 0,13 4,23ns 8,02 4,62- Interaksi 4 0,00 0,00 0,04ns 6,42 3,63Galat 9 0,28 0,03Total 17 0,61

Keterangan: ns: tidak berbeda nyata *: berpengaruh nyata pada taraf 5%**: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%

87

Lampiran 16 Hasil analisis efisiensi penggunaan substrat

Daur Ulang ke- Kandungan Vinasse Efisiensi Penggunaan Substrat

Ulangan 1 Ulangan 21 60% 0,56 0,54

50% 0,70 0,7740% 0,56 0,61

2 60% 0,72 0,7150% 0,77 0,7740% 0,76 0,77

3 60% 0,76 0,8150% 0,83 0,8440% 0,82 0,84

Analisis sidik ragam efisiensi penggunaan substrat

Sumber keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah F hitung F (0,01) F(0,05)

Perlakuan 8 0,1623 0,0203 32,97** 5,47 3,23- Kand. vinasse 2 0,0289 0,0144 23,46** 8,02 4,62- Daur ulang ke 2 0,1159 0,0579 94,13** 8,02 4,62- Interaksi 4 0,0176 0,0044 7,14** 6,42 3,63Galat 9 0,0055 0,0006Total 17 0,1679

Keterangan: ns: tidak berbeda nyata *: berpengaruh nyata pada taraf 5%**: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%

Uji lanjut Duncan Efisiensi Penggunaan Substrat

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 1.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV2 0,73 aV3 0,58 0,151* b

V1 0,55 0,187*0,035n

s b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 2.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV2 0,77 a

88

V3 0,76 0,005ns a

V1 0,71 0,057ns0,053n

s a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang

tingkat 3.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIV2 0,83 aV3 0,83 0,00ns aV1 0,78 0,05ns 0,05ns a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 60%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT3 0,78 aT2 0,71 0,071* bT1 0,55 0,236* 0,165* c

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 50%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT3 0,83 aT2 0,77 0,06* bT1 0,73 0,10* 0,04ns b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan

vinasse 40%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASIT3 0,83 aT2 0,76 0,06* bT1 0,58 0,25* 0,18* c

89

Tabel Matriks selisih perbedaan pasangan rata-rata VxT

Kandungan Vinasse V2 V3 V1 V2 V3 V2 V1 V3 V1

NOTASIDaur Ulang T3 T3 T3 T2 T2 T1 T2 T1 T1 T10,833 0,829 0,783 0,770 0,765 0,734 0,712 0,583 0,548 0,548

V2 T3 0,833 0,0000                 aV3 T3 0,829 0,0043 0,0000 aV1 T3 0,783 0,0499 0,0456 0,0000 abV2 T2 0,770 0,0636* 0,0592* 0,0137 0,0000 bV3 T2 0,765 0,0682* 0,0639* 0,0183 0,0046 0,0000 bV2 T1 0,734 0,0987* 0,0944* 0,0488 0,0352 0,0305 0,0000 bcV1 T2 0,712 0,1209* 0,1166* 0,0710* 0,0574 0,0527 0,0222 0,0000 cV3 T1 0,583 0,2501* 0,2458* 0,2002* 0,1865* 0,1819* 0,1514* 0,1292* 0,0000 dV1 T1 0,548 0,2854* 0,2811* 0,2355* 0,2219* 0,2172* 0,1867* 0,1645* 0,0353 0,0000 d