tesis

124
PROGRAM PELATIHAN PENGASUHAN BAGI IBU YANG MEMILIKI ANAK USIA 79 TAHUN DENGAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DISERTAI HIPERAKTIVITAS (GPPH) Studi tentang Perancangan dan Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan Untuk Meningkatkan Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak Usia 7 – 9 tahun Yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai Hiperaktivitas (GPPH) Oleh : Mefisya Nuzullia WS 190420070025 TESIS Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna memperoleh Gelar Magister Psikologi Program Pendidikan Magíster Konsentrasi Magister Profesi Psikologi PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010

Upload: be-mine

Post on 29-Nov-2015

171 views

Category:

Documents


29 download

DESCRIPTION

media

TRANSCRIPT

Page 1: Tesis

PROGRAM PELATIHAN PENGASUHAN  BAGI IBU YANG MEMILIKI ANAK USIA 7‐9 TAHUN DENGAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN 

DISERTAI HIPERAKTIVITAS (GPPH)   

Studi tentang Perancangan dan Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan   Untuk Meningkatkan Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak Usia 7 – 9 tahun Yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai 

Hiperaktivitas (GPPH)  

Oleh :  Mefisya Nuzullia WS  

190420070025 

 

TESIS Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna memperoleh Gelar Magister Psikologi 

Program Pendidikan Magíster  Konsentrasi Magister Profesi Psikologi 

 

PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI 

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN  

BANDUNG 2010  

Page 2: Tesis

SURAT PERNYATAAN 

 

Dengan ini saya menyatakan bahwa : 

 

1. Karya  tulis  saya,  tesis  ini,  adalah  asli  dan  belum  pernah  diajukan  untuk 

mendapatkan  gelar  akademik  (sarjana, magister,  dan/atau  doktor),  baik  di 

Universitas Padjadjaran maupun perguruan tinggi lain. 

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, penelitian saya sendiri, tanpa 

bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing. 

3. Dalam karya  tulis  ini  tidak  terdapat karya atau pendapat yang  telah ditulis 

atau  dipublikasikan  orang  lain,  kecuali  secara  tertulis  dengan  jelas 

dicantumkan  sebagai  acuan  dalam  naskah  dengan  disebutkan  nama 

pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka 

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari 

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya 

bersedia  menerima  sanksi  akademik  berupa  pencabutan  gelar  yang  telah 

diperoleh  karena  karya  ini,  serta  sanksi  lainnya  sesuai dengan  norma  yang 

berlaku di perguruan tinggi ini. 

 

 

Bandung, September 2010 

Yang membuat pernyataan, 

 

 

Mefisya Nuzullia WS 

190420070025

Page 3: Tesis

PROGRAM PELATIHAN PENGASUHAN  BAGI IBU YANG MEMILIKI ANAK USIA 7 – 9 TAHUN DENGAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN 

DISERTAI HIPERAKTIVITAS (GPPH)

Studi tentang Perancangan dan Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan  Untuk Meningkatkan Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak Usia 7 – 9 tahun yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai 

Hiperaktivitas (GPPH) 

Oleh :  Mefisya Nuzullia WS 

190420070025

TESIS 

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna memperoleh Gelar Magister Psikologi 

Program Pendidikan Magíster  Konsentrasi Magister Profesi Psikologi 

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tangggal seperti tertera di bawah ini 

    

Bandung,  September 2010 

      Prof. Dr. Juke R. Siregar, M.Pd

Ketua Tim Pembimbing 

      

  

Afra Hafny Noer, S.Psi, M.Sc Anggota Tim Pembimbing 

Page 4: Tesis

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PSIKOLOGI BANDUNG

LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN (REVISI) TESIS

Nama Mahasiswa : Mefisya Nuzullia WS NPM : 190420070025 Tanggal Ujian : 26 Agustus 2010 Program Studi : Psikologi Bidang Kajian Utama : Profesi Psikologi – Klinis Anak Judul : “PROGRAM PELATIHAN PENGASUHAN BAGI IBU YANG MEMILIKI

ANAK USIA 7 – 9 TAHUN DENGAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DISERTAI HIPERAKTIVITAS(GPPH)”

Telah direvisi, disetujui oleh Tim Penguji dan Tim Pembimbing dan diperkenankan untuk diperbanyak/dicetak No. Nama Penguji Tanda Tangan

1. Dr. Lieke J. Wisnubrata

2. Dr. Hj. Hendriati Agustiani, M.Si

3. Dr. Hj. Sutji Martiningsih Wibowo, M.Si

4. Dra. Hj. Lenny Kendhawati, M.Si

Bandung, September 2010

Mengetahui,

Prof. Dr. Juke R. Siregar, M.Pd Ketua Tim Pembimbing

Afra Hafny Noer, S.Psi, M.Sc Anggota Tim Pembimbing

Page 5: Tesis

ABSTRAK  

Mefisya Nuzullia WS.  190420070025. Program Pelatihan Pengasuhan Bagi  Ibu  yang Memiliki Anak Usia 7 – 9 tahun dengan Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH). 

 Saat  anak mulai mengikuti pendidikan  formal,  tuntutan  bagi  anak menjadi  lebih  besar 

dibandingkan ketika mereka masih di prasekolah. Pada  saat  ini mulai banyak muncul keluhan‐keluhan  kesulitan  pada  anak  terutama  yang  terkait  dengan  kesulitan  belajar,  seperti  kesulitan membaca,  menulis,  berhitung,  duduk  diam  di  kelas,  dan  berkonsentrasi.  Keluhan  ini  apabila menetap  dalam  jangka  waktu  yang  cukup  lama  dan  konsisten  dalam  berbagai  setting,  maka merupakan  gambaran dari perilaku  yang menunjukkan  adanya  gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas (GPPH).  

Kurangnya  pengetahuan  orangtua  mengenai  keterbatasan  anak  GPPH  membuat  pola perilaku  orangtua  terhadap  anak menjadi  tidak  tepat.  Orang  tua menjadi  banyak mengontrol, kurang  responsif  terhadap  pertanyaan  anak,  sering  memerintah,  tidak  konsisten,  memberikan hukuman  sebagai  metode  pendisiplinan,  dan  hanya  sedikit  memberikan  perhatian  terhadap perilaku  yang  positif.  Akibatnya  gejala  GPPH  terus  berlanjut  dan  berkembangnya  berbagai komorbid.  Oleh  karena  itu  intervensi  terhadap  orangtua  khususnya  ibu, merupakan  hal  yang penting di dalam program intervensi awal untuk anak‐anak GPPH.  

Cukup banyak program pelatihan pengasuhan yang telah ditawarkan sebagai  intervensi untuk menangani anak dengan GPPH dan kebanyakan menggunakan tehnik modifikasi perilaku. Peneliti  tertarik  untuk  merancang  suatu  program  pelatihan  pengasuhan  berdasarkan  prinsip pendekatan “behavioral parent  training” dari Barkley dan melalui pendekatan modifikasi perilaku, yang  bertujuan  untuk meningkatkan  pemahaman  ibu  dalam menangani  permasalahan  tingkah laku anak usia 7 – 9 tahun yang mengalami gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas (GPPH). 

Penyusunan program pelatihan pengasuhan dilakukan dalam dua tahap, yaitu (1) Tahap  Persiapan,  yang  dimaksudkan  untuk  proses  asesmen  kebutuhan  dan  perancangan  program pelatihan  pengasuhan,  dan  (2)  Tahap  Pengembangan,  yaitu  proses  uji  coba  program  pelatihan pengasuhan  terhadap  aspek penyusunan materi, metode yang digunakan, pemilihan  lokasi dan penataan  ruangan  latihan, proses  evaluasi, dan  alat ukur penelitian. Dari hasil uji  coba  tersebut kemudian dilakukan revisi terhadap program pelatihan pengasuhan.  

Rancangan  penelitian  dalam  uji  coba  program  pelatihan  pengasuhan  ini  adalah  quasi experimental dengan menggunakan desain one group pre  test – post  test untuk melihat peningkatan pemahaman  ibu  dalam  menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak  usia  7  –  9  tahun  yang mengalami  Gangguan  Pemusatan  Perhatian  disertai  Hiperaktivitas  (GPPH)  setelah  mengikuti program pelatihan pengasuhan. Subjek dalam uji  coba  ini adalah 3 orang  ibu yang mempunyai anak GPPH usia 7 – 9 tahun. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner pengetahuan GPPH  dan Manajemen  Perilaku  GPPH,  dan  panduan  observasi  demonstrasi  pemahaman  ibu menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH. 

Pengujian  statitistik  terhadap  pengukuran  pengetahuan  ibu  dilakukan  dengan menggunakan  Wilcoxon  signed‐rank  test.  Untuk  hasil  pengukuran  pengetahuan  GPPH  dan Manajemen Perilaku GPPH diperoleh nilai Z =  ‐1.970 dan nilai  t = 0.0245. Sedangkan untuk hasil pengukuran  demonstrasi  pengetahuan  ibu menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak GPPH, diperoleh nilai Z  sebesar  ‐2.023 dan nilai  t adalah 0.0215. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai  Zoutput  >  Ztabel  dan  nilai  T  <  0.05, maka  dapat  disimpulkan  bahwa  pelatihan  pengasuhan berpengaruh terhadap peningkatan pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku usia 7 – 9  tahun yang mengalami gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas  (GPPH) untuk ketiga subjek uji coba.  Kata Kunci : GPPH, pemahaman GPPH, manajemen perilaku GPPH, pelatihan pengasuhan.  

  

iv  

Page 6: Tesis

v  

ABSTRACT   Mefisya Nuzullia WS. 190420070025. Parent Training Program For Mothers Who Have Children Aged 7‐9 years  with Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) 

 When children begin  to  follow a  formal education,  the demand  for  the children are become much 

more  than when  they were  still  in preschool. At  this  time began  to appear a  lot of complaints  in children, especially the difficulties associated with learning difficulties, such as difficulty reading, writing, arithmetic, sat quietly in class, and concentrated. This complaint if settled in a long period and consistently in various settings, it is the description of behavior that indicates a Attenttion Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) 

The parents lack of knowledge about the limitations of the childʹs leading patterns of parenting to the childʹs behavior becomes inappropriate. Parents become more controlling, less responsive to the questions of children, giving more commands, was not consistent, give punishment as disciplinary methods, and being less  attentive  to  positive  behavior.  Consequently  ADHD  symptoms  continue  and  develop  a  variety  of comorbid.  Therefore,  the  intervention  of  parents  especially  for  mother  is  essential  in  early  intervention programs for children with ADHD. 

Quite a lot of parent training programs have been offered as an intervention to treat children with ADHD  and  most  use  behavior  modification  techniques.  Researchers  interested  in  designing  a  training program based on principles ʺbehavioral parent trainingʺ from Barkley and behavior modification approach, which aims  to  increase  comprehension  in problem of behavioral management  from  children aged 7‐9 years with attention deficit hyperactivity disorder. 

The Parent Training Program  is held within two phase, namely (1) Designing Phase, which was intended  for  the  assessment  of  training  needs  and  designing  parenting  programs,  and  (2) Development Phase,  is  the  testing process  of parent  training programs  especially  about material  composing aspects,  the methods used, choosing the location and training room layout, evaluation processes, and research instrument. The try‐out result will be added to Parent Training Program revision. 

The design  research  in  this Parent Training Program’s  try‐out  is  quasi  experimental using  one group pre test – post test design to  look at  increasing the knowledge  in problem of behavioral management from children aged 7‐9 years with attention deficit hyperactivity disorder after attending the Parent Training Program.  Subjects  in  this  try  out  is  the  third mothers who  have  children  aged  7‐9  years with ADHD. Measurements  conducted using questionnaires knowledge ADHD and behavioral management of ADHD, and guide  observation demonstrate  acquired  knowledge  of mother  to handle  behavior problems  of  children with ADHD . 

Testing statitistic  to measure knowledge will be done using Wilcoxon signed‐rank  test. Result of knowledge ADHD and behavioral management of ADHD obtained Z value =  ‐1.970 and t value = 0.0245. While  measuring  the  knowledge  demonstrate  of  mothers  to  handle  behavior  problems  of  children  with ADHD, obtained a Z value = ‐2.023 and t value = 0.0215. Statistic test result showed that the value of Zoutput > Ztabel and T‐score < 0.05, it can be concluded that parent training affected on the increase of comprehension for  mothers  in  problem  of  behavioral  management  from  children  aged  7‐9  years  with  attention  deficit hyperactivity disorder for the three sample subjects. 

 Keywords : ADHD, comprehension of ADHD, behavior management for ADHD, parent training  

 

Page 7: Tesis

KATA PENGANTAR  

Alhamdulillahirobbil’aalamiin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas 

rahmat,  karunia,  dan  segala  kemudahan  yang  dilimpahkan‐Nya  sehingga 

penulis  dapat menyelesaikan  tesis  ini  sebagai  tugas  akhir  untuk memperoleh 

gelar Magister Psikologi Program Pendidikan Pascasarjana Konsentrasi Magister 

Profesi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.  

Selama menempuh  studi di Magister Profesi Psikologi khususnya pada 

saat  penyusunan  tesis  ini,  penulis  telah  mendapatkan  banyak  bantuan  dari 

berbagai  pihak.  Dengan  segala  ketulusan  hati  penulis  ingin  menyampaikan 

terima kasih kepada: 

1. Ibu Prof. Dr. Juke R. Siregar, M.Pd. sebagai pembimbing utama dan Dekan 

Fakultas  Psikologi  Universitas  Padjadjaran,  atas  kesediaan  memberikan 

waktu  luang  dan  kesabarannya membimbing  selama  proses mengerjakan 

tesis. Terima kasih atas arahan‐arahan dan motivasinya, sehingga saya dapat 

melihat dan belajar banyak hal, serta memperoleh hasil yang baik. 

2. Ibu Afra Hafny Noer,  S.Psi, M.Sc  sebagai  pembimbing  pendamping  yang 

juga telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing dan memberikan 

dukungan  penuh  kepada  penulis  sehingga  proses  mengerjakan  tesis  ini 

dapat berjalan dengan lancar.  

3. Seluruh Tim Penguji Sidang Tesis,  Ibu Dr. Lieke  J. Wisnubrata,  Ibu Dr. Hj. 

Hendriati Agustiani, M.Si, Ibu Dr. Hj. Sutji Martiningsih Wibowo M.Si, dan 

Ibu Dra. Hj. Lenny Kendhawati, M.Si atas masukannya yang sangat berguna 

bagi perbaikan tesis ini 

4. Ketua program Magister dan seluruh staf pengajar program Magister Profesi 

Psikologi UNPAD, atas  ilmu pengetahuan dan bimbingannya selama masa 

studi.  

5. Ibu Nani, Ibu Umi, Bapak Juju, dan Bapak Asep atas semua bantuan terkait 

administrasi akademik. 

vii  

Page 8: Tesis

6. Ibu Wulan  Noviasari,  S.Psi, M.Psi,  Psikolog  yang  telah  bersedia menjadi 

trainer  dalam  pelaksanaan  uji  coba  Program  Pelatihan  Pengasuhan  ini. 

Terima  kasih  atas  diskusi  dan  saran‐sarannya  mengenai  perancangan 

program pelatihan ini agar lebih efektif. 

7. Ibu  Siti  Sopiyatun,  S.Pd,  S.Psi  sebagai  pimpinan  pusat  rehabilitasi  anak 

dengan  special  need,  yang  telah  mengijinkan  peneliti  untuk  melakukan 

penelitian  dan  telah  meluangkan  waktunya  untuk  diskusi  mengenai 

pelaksanaan uji coba Program Pelatihan Pengasuhan bagi ibu yang memiliki 

anak GPPH. 

8. Ibu  Keni  Sapartini,  S.Pd  dan  Bapak  Agus  Pramono,  S.Pd  yang  telah 

memberikan  banyak  bantuan  bagi  peneliti  selama  proses  asesmen  dan 

pelaksanaan uji coba Program Pelatihan Pengasuhan. 

9. Para  subjek  penelitian,  yang  telah  bersedia  dan  meluangkan  waktunya 

untuk mengikuti seluruh proses Program Pelatihan Pengasuhan. 

10. Afrilia dan Anggina, yang  telah membantu penulis dalam proses observasi 

selama pelaksanaan uji coba Program Pelatihan Pengasuhan.  

Semoga  tesis  ini  dapat  berguna  bagi  para  peneliti  dan  psikolog  yang 

berminat  dalam  pengembangan  intervensi  bagi  orangtua  yang memiliki  anak 

GPPH,  serta  dapat  memberikan  sumbangan  bagi  mahasiswa  dan  akademisi 

lainnya.  

 

 

Bandung, Agustus 2010 

 

 

                    Penulis 

 

 

 

viii  

Page 9: Tesis

UCAPAN TERIMA KASIH 

 

  Tesis  ini  dapat  selesai  dengan  hasil  yang  baik  berkat  cinta  kasih  dan 

dukungan  moril  dari  keluarga  dan  teman‐teman  terdekat.  Oleh  karena  itu 

penulis persembahkan tesis ini untuk : 

1. Ayah  dan  Ibu  tercinta,  atas  segala  kasih  sayang  yang  menyertai  setiap 

langkah  penulis,  doa  yang  tiada  henti  –  hentinya  untuk  keberhasilan 

penulis, dan senyum keteduhan yang menjadi penyemangat luar biasa bagi 

penulis dalam perjuangan menyelesaikan tesis ini. 

2. Adikku  tersayang  Otis  Nashucha  WS,  yang  telah  memberikan  banyak 

keceriaan  dan  sekaligus  menjadi  pesaing  bagi  penulis  untuk  segera 

menyelesaikan  studi  ini.  Terima  kasih  banyak  untuk  bantuan  fisik  dan 

materinya selama pengerjaan tesis ini.  

3. My true  friend: Novie, Rini Jendro, dan Anggi, yang selalu hadir khususnya 

saat masa  – masa  sulit,  serta mengajari  penulis  tentang  arti  syukur  dan 

kesabaran  yang  sesungguhnya.  Terima  kasih  atas  pengertian,  dukungan, 

bantuan, dan kebersamaan kalian. 

4. Gorat  Club,  khususnya  Mita  yang  selalu  menyumbangkan  gagasan 

cemerlangnya ketika penulis merasa buntu mengenai hal teknis, Samii yang 

selalu menemani melepaskan  kepenatan  hati  dan  pikiran  dengan  jalan  – 

jalan, Mandha yang selalu mengingatkan dan memenuhi kebutuhan logistik 

selama masa deadline,  Ipim yang  rela 2  catridge barunya di habiskan disaat 

detik  –  detik  terakhir  pengumpulan, Uma  yang menjadi  inspirator  untuk 

eksistensi diri, dan Nopek yang selalu menemani penulis begadang. Semoga 

ikatan persaudaraan ini abadi. 

5. Andrian,  yang menjadi  tempat  sampah  pembuangan  keluh  kesah.  Terima 

kasih  atas  kesabaran,  pencerahan,  dan  dukungannya  sehingga  membuat 

penulis selalu memiliki tekad untuk mempersembahkan yang terbaik dalam 

hidup.  

ix  

Page 10: Tesis

x  

6. Aris Dota,  yang  telah  bersedia  dipaksa  untuk menyediakan waktu  luang 

demi membantu penulis membuat desain menarik untuk modul dan buku 

panduan pengasuhan GPPH. 

7. Tim  teknis,  khususnya Mas Lukman  yang menjadi  tumpuan  harapan  jika 

terjadi  sedikit  ketidaksesuaian  dengan  komputer,  Adhit  yang  telah 

mengurus  segala  birokrasi  dan  memberikan  kemudahan  dalam  hal 

transportasi,  dan  Mas  Aulia  yang  telah  menyediakan  fasilitas  dan 

dukungannya selama pengambilan data. 

8. Seluruh  teman‐teman Magister  Profesi  Psikologi  angkatan VI,  terimakasih 

atas  persaudaraannya  selama  mengikuti  pendidikan  di  Magister  Profesi 

Psikologi. Khususnya untuk mba Putu, mba  Isya, mba Winda, Berry, mba 

Hawa, dan mba Celly, segala bantuan dan persahabatan selama ini membuat 

penulis selalu bahagia berada di Bandung.  

9. Seluruh  teman‐teman Majoring  Klinis  Anak  angkatan  VI,  Uni  Rita, Mba 

Gina, Fina, Ceu Eva, Mba Dita, Yoan, Teh El, Mba Rina, Ipit, Pepeng, Pipit, 

Mba  Rika,  Mba  Ully,  dan  teh  Ratih,  terimakasih  atas  kebersamaan  dan 

dukungannya selama masa studi. 

10. Mba  Wita,  Dewinta,  dan  Kang  Dwi    terima  kasih  atas  pinjaman  buku, 

diskusi,  dan  dukungannya  sehingga  penulis menjadi  bersemangat  selama 

proses pengerjaan tesis ini.  

11. Teman  –  teman  di Makassar  dan  Jeneponto  yang  selalu  setia memantau 

perkembangan tesis dan senantiasa mendoakan kesuksesan penulis. 

 

 

Page 11: Tesis

DAFTAR ISI   

Judul   iSurat Pernyataan   iiLembar Pengesahan  iiiLembar Persetujuan Perbaikan (Revisi) Tesis Abstrak 

iv     v 

Abstract  viKata Pengantar  viiDaftar Isi  xiDaftar Tabel  xviDaftar Bagan  xviiDaftar Grafik  xviiiDaftar Lampiran  xix 

BAB I  PENDAHULUAN  

1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian 

1.3.1 Maksud Penelitian 1.3.2 Tujuan Penelitian 1.3.3 Kegunaan Penelitian 

 

1

11113131313

BAB II   KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS  

2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai Hiperaktivitass (GPPH) 2.1.1 Pengertian dan Gejala Utama 2.1.2 Kriteria GPP/GPPH Berdasarkan Diagnostik and Statistic Manual 

of Mental Disorder (DSM) IV‐TR 2.1.3 Penyebab Munculnya Keluhan GPPH 2.1.4 Treatment GPPH 2.1.5 Karakteristik Keluarga Dengan GPPH 

15

151518

202224

2.2 Pelatihan Pengasuhan Untuk Orangtua yang Memiliki Anak GPPH  28

xi  

Page 12: Tesis

2.2.1 Dasar Pemikiran Parent Training dari Barkley 2.2.2 Prinsip  –  Prinsip  Pengembangan Anak GPPH Dalam  Parenting 

Program 2.2.3 Sesi Pelaksanaan Parent Training Dari Barkley 

2830

382.3 Teori Belajar Sosial 

2.3.1 Konsep Belajar Lewat Pengamatan 2.3.2 Proses Belajar Lewat Pengamatan 

2.4 Taksonomi Tujuan Pembelajaran 

49505253

2.5 Pengembangan Program Pelatihan  2.5.1 Tahap Persiapan 

2.5.1.1 Penilaian Kebutuhan 2.5.1.2 Perancangan Program Pelatihan 

2.5.2 Tahap Pengembangan 2.5.3 Tahap Peningkatan Program 

2.6 Kerangka Pikir 2.7 Hipotesis Penelitian 

5758585961646471

 BAB III   METODE PENELITIAN  

3.1 Rancangan Penelitian  3.1.1 Desain Penelitian 3.1.2 Pengontrolan Validitas dalam Desain Penelitian 

3.1.2.1 Validitas Internal 3.1.2.2 Validitas Eksternal 

72

7272747476

3.2 Variabel Penelitian 3.2.1 Variabel Bebas 3.2.2 Variabel Terikat 

767677

3.3 Subjek Penelitian 3.4 Tahap Pengembangan Program Pelatihan Pengasuhan 

3.4.1 Tahap Persiapan Pelatihan Pengasuhan 3.4.1.1 Penilaian Kebutuhan 3.4.1.2 Perancangan Program Pelatihan Pengasuhan 

3.4.1.2.1 Penetapan Tujuan 3.4.1.2.2 Penetapan Metode 3.4.1.2.3 Penyusunan Materi 3.4.1.2.4 Pemilihan Lokasi Dan Penataan Ruangan 

Pelatihan 

798081818383848585

xii  

Page 13: Tesis

3.4.1.2.5 Perancangan Alat Ukur  3.4.1.2.5.1 Kuesioner  Pengetahuan  GPPH  Dan 

Manajemen Perilaku GPPH 3.4.1.2.5.2 Panduan  Observasi  Demonstrasi 

Pemahaman Ibu 3.4.1.2.6 Pengukuran  Validitas  dan  Reliabilitas  Alat 

Ukur 3.4.1.2.6.1 Uji Validitas 3.4.1.2.6.2 Uji Reliabilitas 

8686

92

97

9798

3.4.2 Tahap Pengembangan Program Pelatihan pengasuhan 3.4.2.1 Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan 

3.4.2.1.1 Penjaringan Subjek Penelitian  3.4.2.1.2 Persiapan Personil Penelitian  3.4.2.1.3 Prosedur Pelaksanaan Uji Coba  

3.4.2.2 Evaluasi Hasil Uji Coba Pelatihan Pengasuhan 3.4.2.2.1 Peningkatan Pemahaman Ibu Dalam 

Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH 

3.4.2.2.2 Evaluasi Hasil Pelaksanaan Uji Coba Program 3.4.2.3 Revisi Program Pelatihan Pengasuhan 

 

99100100101102102103

105105

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN  4.1 Penilaian Kebutuhan  

4.1.1 Wawancara Dengan Terapis  4.1.2 Wawancara Dengan Orang Tua 4.1.3 Observasi  Kemampuan  Ibu  Dalam  Menangani  Permasalahan 

Tingkah Laku Anak Dalam Setting Belajar 

106

106106107113

4.2 Hasil  Penelitian  Uji  Coba  Program  Pelatihan  Pengasuhan  Terhadap Peningkatan Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak 4.2.1 Hasil Uji Coba Alat Ukur 

4.2.1.1 Uji Validitas 4.2.1.2 Uji Reliabilitas 

4.2.1.2.1 Reliabilitas  Kuesioner  Pengetahuan  GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH  

116

116116117117

xiii  

Page 14: Tesis

4.2.1.2.2 Reliabilitas  Panduan  Observasi  Demonstrasi Pemahaman Ibu 

4.2.2 Hasil Pengujian Hipotesis 4.2.3 Hasil  Pengolahan  Data  Penelitian  Sebelum  dan  Sesudah 

Penelitian 4.2.3.1 Paparan Hasil Penelitian Dimensi Pengetahuan Mengenai 

GPPH  Usia  7‐9  tahun  dan  Pengetahuan  Manajemen Perilaku Anak GGPH 

4.2.3.2 Paparan  Hasil  Penelitian  Tiap  Subjek  Dimensi Pengetahuan  Mengenai  GPPH  Usia  7‐9  tahun  dan Pengetahuan Manajemen Perilaku Anak GGPH 4.2.3.2.1 Subjek AS 4.2.3.2.2 Subjek NH 4.2.3.2.3 Subjek GW 

4.2.3.3 Paparan  Hasil  Penelitian  Dimensi  Demonstrasi Pemahaman  Ibu  dalam  Menangani  Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH 

4.2.3.4 Paparan  Hasil  Penelitian  Tiap  Subjek  Dimensi Demonstrasi  Pemahaman  Ibu  dalam  Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH 4.2.3.4.1 Subjek AS 4.2.3.4.2 Subjek NH 4.2.3.4.3 Subjek GW 

4.2.4 Hasil Pengolahan Data Penunjang 4.2.4.1 Pengamatan Selama Pelatihan 

4.2.4.1.1 Subjek AS 4.2.4.1.2 Subjek NH 4.2.4.1.3 Subjek GW 

4.2.4.2 Evaluasi    Peserta  Terhadap  Pelaksanaan  Program Pelatihan Pengasuhan 4.2.4.2.1 Manfaat Kegiatan 4.2.4.2.2 Perasaan Selama Mengikuti Kegiatan 4.2.4.2.3 Materi Pelatihan 4.2.4.2.4 Trainer 4.2.4.2.5 Metode Pelatihan 4.2.4.2.6 Modul Pelatihan 

 

117

120123

123

125

127129131133

135

136138140142142142143145147

147147148148149149

xiv  

Page 15: Tesis

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan Terhadap  Peningkatan  Pemahaman  Ibu  dalam  Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH  

4.4 Revisi  Program  Pelatihan  Pengasuhan  Untuk  Meningkatkan Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH 

 

150

159

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN  5.1 Kesimpulan 5.2 Saran  

171 171172

Daftar Pustaka   174Lampiran  178 

   

xv  

Page 16: Tesis

DAFTAR TABEL  

Tabel 3.1  Pengontrolan Terhadap Validitas Internal  75Tabel 3.2  Tabel 3.3  Tabel 3.4  Tabel 3.5  Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 

Proses Penilaian Kebutuhan Kisi – Kisi Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH Kunci Jawaban Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku GPPH Kisi – Kisi Panduan Observasi Demonstrasi Pemahaman Ibu Kontingensi Kesepakatan Subjek 1 Kontingensi Kesepakatan Subjek 2 Kontingensi Kesepakatan Subjek 3 Ketentuan pengambilan keputusan pada uji Wilcoxon Hasil Uji Hipotesis Program Pelatihan Pengasuhan Sebelum dan Sesudah Uji Coba                     

8287

91

93

118118119121122159

xvi  

Page 17: Tesis

  

   DAFTAR BAGAN 

 

Bagan 2.1 Bagan 2.2 

Proses Pengembangan Program Pelatihan Kerangka Pemikiran 

5869

Bagan 3.1 Bagan 3.2  

Skema Rancangan Penelitian Tahap – Tahap Pengembangan Program  Pelatihan Manajemen Perilaku 

7381

          

   

xvii  

Page 18: Tesis

DAFTAR GRAFIK  

Grafik 4.1  

Pengetahuan mengenai GPPH  usia  7‐9  tahun  sebelum dan sesudah pelatihan 

123

Grafik 4.2  Pengetahuan  mengenai  Manajemen  Perilaku  Anak GPPH sebelum dan sesudah pelatihan 

124 

Grafik 4.3  

Perbandingan Skor Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku GPPH antar subjek 

126

Grafik 4.4  Perbandingan Skor Subjek AS Sebelum dan Sesudah Pelatihan 

127

Grafik 4.5  Perbandingan Skor Subjek NH Sebelum dan Sesudah Pelatihan 

129

Grafik 4.6  Perbandingan Skor Subjek GW Sebelum dan Sesudah Pelatihan 

131

Grafik 4.7  

Demonstrasi Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH Sebelum Dan Sesudah Pelatihan 

133

Grafik 4.8  Perbandingan Skor Demonstrasi Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH antar Subjek 

135

Grafik 4.9  Perbandingan Skor Dimensi Demonstrasi Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH usia 7‐9 tahun pada Subjek AS Sebelum dan Sesudah Pelatihan 

136

Grafik 4.10  Perbandingan Skor Dimensi Demonstrasi Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH usia 7‐9 tahun pada Subjek NH Sebelum dan Sesudah Pelatihan 

138

Grafik 4.11  Perbandingan Skor Dimensi Demonstrasi Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH usia 7‐9 tahun pada Subjek GW Sebelum dan Sesudah Pelatihan  

140

   

xviii  

Page 19: Tesis

xix  

DAFTAR LAMPIRAN  

Lampiran 1  Penilaian Kebutuhan 1.1 Surat Pengantar Dari Peneliti 1.2 Profil Subjek Penelitian 1.3 Panduan Wawancara  1.4 Observasi Asesmen Kebutuhan Mengenai Kemampuan 

Ibu Dalam Setting Belajar  

Lampiran 2  Pelatihan Pengasuhan 2.1 Silabus Pelatihan 2.2 Lembar Evaluasi Pelatihan 

 Lampiran 3    Lampiran 4      Lampiran 5     

Alat Ukur 3.1 Kuesioner GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH 3.2 Lembar Observasi Pemahaman Ibu  Pengolahan Data 4.1 Rekapitulasi Data Kuesioner GPPH dan Manajemen 

Perilaku Anak GPPH 4.2 Rekapitulasi Data Observasi Pemahaman Ibu 4.3 Hasil Pengujian Statistik  Program Pelatihan Pengasuhan 5.1 Modul Program Pelatihan Pengasuhan 5.2 Handout Program Pelatihan Pengasuhan  

       

Page 20: Tesis

BAB I 

PENDAHULUAN 

 

1.1 Latar Belakang Masalah 

 Saat anak mulai mengikuti pendidikan formal, tuntutan bagi anak menjadi 

lebih besar dibandingkan ketika mereka masih di prasekolah. Usia bermain pada 

anak mulai beralih menjadi usia  sekolah dan belajar. Pada  saat  ini mulai banyak 

muncul  keluhan‐keluhan  kesulitan  pada  anak  terutama  yang  terkait  dengan 

kesulitan  belajar,  seperti  kesulitan membaca, menulis,  berhitung, duduk diam di 

kelas, dan berkonsentrasi. Ada beberapa anak yang sering kali melamun di kelas, 

mengobrol, mengganggu  siswa  lain di kelas, dan  tidak bisa diam. Mereka  selalu 

terganggu  oleh  setiap hal  kecil dan  tidak pernah mampu  belajar dari  kesalahan‐

kesalahan  mereka.  Anak‐anak  ini  mengabaikan  peraturan,  meskipun  sudah 

dihukum  berulang  kali. Anak  juga  cenderung  bertindak  tanpa  berpikir  sehingga 

mengakibatkan  banyak  kecelakaan  dan  teguran.  Akibatnya  anak  tidak  dapat 

menangkap pelajaran secara utuh dan nilai‐nilai mata pelajarannya buruk (Wiguna, 

2009). 

Menurut pendiri/pimpinan klinik perkembangan anak dan kesulitan belajar 

ʹʹSmart Kidʹʹ di  Jakarta, Dr. dr. Dwidjo  Saputro  Sp. KJ, berdasarkan penelitian di 

Indonesia,  di  setiap  kelas  di  Sekolah  Dasar  diperkirakan  25%  anak  mengalami 

masalah dengan atensinya dan umumnya diikuti oleh perilaku tidak bisa diam atau 

hiperaktif.  Pada  umumnya,  anak  usia  SD  yang  didiagnosa  banyak  mengalami 

1

Page 21: Tesis

masalah  tersebut  berusia  antara  7  sampai  10  tahun  (Wiguna,  2009).  Sedangkan 

National  Institute  of Mental Health  (2003)  di Amerika menemukan  bahwa  anak 

yang bermasalah dalam atensi dan tidak bisa diam lebih banyak dialami oleh anak 

laki‐laki dibandingkan dengan anak perempuan, perbandingannya adalah 3:1. Di 

dalam  kelas,  anak  perempuan  terlihat  lebih  cepat  beradaptasi  dengan  tuntutan 

lingkungan.  Umumnya mereka  dapat  duduk  tenang memperhatikan  guru  yang 

sedang  menerangkan  pelajaran,  sedangkan  anak  laki‐laki  lebih  terlihat  mudah 

teralih perhatiannya pada hal‐hal lain. 

Jika keluhan‐keluhan di atas menetap dalam jangka waktu yang cukup lama 

dan  konsisten  dalam  berbagai  setting,  maka  apabila  ditelaah  lebih  lanjut 

berdasarkan  Diagnostic  Statistic  Manual  IV‐TR  (DSM  IV‐TR)  keluhan  di  atas 

merupakan  gambaran  dari  perilaku  yang  menunjukkan  adanya  gangguan 

pemusatan  perhatian  disertai  hiperaktivitas  yang  biasa  dikenal  sebagai  GPPH. 

GPPH  adalah  keadaan  neurologik  perilaku  dengan  gejala‐gejala  yang  meliputi 

kurangnya perhatian  (inattentiveness), perilaku  impulsif  (impulsivity), dan aktivitas 

yang  berlebihan  (overactivity)  yang  tidak  sesuai  dengan  ciri‐ciri  tahapan 

perkembangan anak. Kelainan  ini dapat mengganggu perkembangan anak dalam 

hal  kognitif,  perilaku,  sosialisasi  maupun  komunikasi  (Sattler,  2002;  Kaplan  & 

Saddock, 2005; Barkley, 2006). 

Prevalensi  GPPH  sekitar  3‐5%  pada  anak  usia  sekolah  (Wenar  &  Kerig, 

2000:183). Flick (1998:18) menyebutkan bahwa masalah inatensi dan hiperaktif pada 

anak GPPH akan lebih terlihat dan mulai dirasakan paling mengganggu saat anak 

2

Page 22: Tesis

memasuki usia  sekolah  (6‐12  tahun). Dalam konteks yang  serupa Barkley  (dalam 

Flick,  1998:33)  mengungkapkan  bahwa  ketika  anak  GPPH  berusia  7‐10  tahun, 

masalah dalam ketiga karakteristik utama berlanjut dan ditambah dengan berbagai 

kesulitan perilaku  lainnya. Pada  saat di  sekolah, anak GPPH  sulit menyelesaikan 

pekerjaan, cepat bosan terhadap pelajaran atau sulit mendengarkan pelajaran yang 

diberikan guru di kelas sehingga di kelas sering mengobrol atau sering melamun. 

Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan 

tugas‐tugas  sekolah  sehingga dalam mengerjakan  soal  sering  salah,  tetapi  bukan 

karena tidak bisa melainkan karena tidak teliti. Akibatnya dalam pelajaran sekolah 

akan didapatkan nilai mata pelajaran tertentu sangat tinggi tetapi pelajaran lainnya 

sangat  jelek. Nilai pelajaran naik  turun drastis. Di rumah, anak  tampak  tidak bisa 

belajar  lama. Bila belajar harus dalam keadaan  tenang  atau biasanya  saat  tengah 

malam. Sebaliknya anak biasanya bisa bertahan lama pada hal yang disukai seperti 

menonton televisi, baca komik atau main game. Anak dengan gangguan konsentrasi 

tertentu  tidak  terganggu  bila menghadapi  hal  yang  disukai,  tetapi  akan  sangat 

bosan terthadap hal yang tidak disukai (Judarwanto, 2008).  

Selain  itu  hasil  penelitian  Anastopoulus  (1992,  dalam  Odom,  1996:208) 

menjelaskan  bahwa  lebih dari  50%  anak GPPH  juga mengalami  kesulitan dalam 

relasi sosial dengan orang lain. Dibandingkan dengan anak umumnya, anak GPPH 

biasanya  lebih mudah  cemas dan kecil hati. Hal  ini berkaitan dengan  rendahnya 

toleransi  terhadap  frustrasi  sehingga bila mengalami kekecewaan, anak gampang 

emosional.  Anak  GPPH  juga  cenderung  keras  kepala  dan  mudah  marah  bila  

3

Page 23: Tesis

keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan‐hambatan tersebut membuat anak 

menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Akibatnya, ada 

kecendrungan peningkatan terjadinya konflik dengan lingkungan. 

Berdasarkan penjelasan di  atas, dapat diterima  adanya pandangan bahwa 

anak GPPH merupakan  tantangan yang  luar biasa bagi banyak pihak. Sayangnya 

gangguan  ini  kurang dikenal dengan  baik  oleh  orangtua,  guru, dan masyarakat. 

Menurut Martin  (2007:2),  lingkungan mengenal anak dengan GPPH  sebagai anak 

yang memiliki sikap “melawan”, malas, kurang konsentrasi atau anak “nakal” yang 

tidak mau diam. Tidak peduli betapa keras usaha orangtua untuk mengarahkan, 

anak GPPH terus saja melamun, tidak mampu untuk duduk tenang, mengganggu, 

temper  tantrum,  mengabaikan  tanggungjawabnya,  dan  tidak  mampu  menjalin 

hubungan pertemanan atau menjaga persahabatan. Kondisi hubungan relasi sosial 

yang  buruk  ini menimbulkan  kekhawatiran  pada  orangtua. Catatan‐catatan  dari 

guru  dan  keluhan‐keluhan  dari  para  orangtua  lain  mengenai  anak  GPPH 

menambah peningkatan kondisi stres pada orangtua. Bahkan bisa mengakibatkan 

persepsi orangtua  terhadap dirinya  sendiri menjadi buruk dan orang  tua merasa 

tidak mampu berperan sebagai orangtua yang baik. 

Hal  ini menarik bagi peneliti mengingat secara  teoritis menjelaskan bahwa 

kurangnya  pengetahuan  orangtua  mengenai  keterbatasan  anak  membuat  pola 

perilaku orangtua  terhadap anak menjadi  tidak  tepat. Orang  tua menjadi banyak 

mengontrol, kurang responsif terhadap pertanyaan anak, sering memerintah, tidak 

konsisten  dan memberikan  hukuman  sebagai metode  pendisiplinan,  serta  hanya 

4

Page 24: Tesis

sedikit  memberikan  perhatian  terhadap  perilaku  yang  positif.  Akibatnya  gejala 

GPPH  terus berlanjut dan berkembangnya berbagai komorbid  (Gomez & Sanson, 

1994 dalam Odom: 1996:208). 

Studi awal yang dilakukan oleh peneliti mengenai gambaran  tingkah  laku 

anak di rumah melalui wawancara (Surakarta, Juni 2009) terhadap 4 orang ibu yang 

memiliki anak GPPH usia 7 – 9 tahun, menemukan bahwa ibu yang secara alamiah 

hubungannya lebih dekat dengan anak dan terlibat langsung dalam aktivitas anak 

sehari‐hari  belum  memiliki  informasi  yang  cukup  mengenai  keterbatasan  anak 

GPPH.  Hal  ini  dikarenakan,  jika  ibu  berkonsultasi  dengan  teman‐teman,  sanak 

keluarga,  atau  dokter  anak, mereka  hanya  disuruh  bersabar  karena  perilaku  itu 

hanya  sementara dan akan berkembang  lebih baik  seiring dengan perkembangan 

anak.  Semua  ibu mengatakan  bahwa memiliki  anak  GPPH membuat  ibu  lelah, 

mudah marah, serba salah dengan tetangga, frustrasi, dan sering terpancing untuk 

memberikan hukuman fisik. Emosi‐emosi ini muncul akibat tingkah laku anak yang 

susah diatur,  terus menerus membuat  keadaan  rumah  kacau  karena perilakunya 

yang tidak terduga, dan amarah anak cepat meledak oleh hal‐hal sepele. Di sekolah, 

nilai‐nilai anak jatuh, kurang mau mendengarkan ketika berinteraksi dengan teman 

sebaya  atau  lawan  bicaranya,  dan  juga  sering  berteriak  atau mengamuk  ketika 

melindungi sesuatu yang dianggap miliknya sehingga sering terlibat pertengkaran. 

Hal  ini membuat orangtua  cukup  sering dipanggil oleh guru kelas dan  akhirnya 

menimbulkan ketegangan antara ibu dan anak. Tidak jarang pula membuat ibu dan 

ayah  saling menyalahkan  atas  terjadinya  permasalahan  tingkah  laku  anak.  Baik 

5

Page 25: Tesis

anak  maupun  orang  tua  menjadi  stres,  dan  situasi  rumahpun  menjadi  kurang 

nyaman. 

Untuk mengetahui tingkah laku anak GPPH dalam setting belajar di rumah, 

peneliti melakukan wawancara  (Surakarta,  Januari  2010)  kepada  4  orang  ibu  di 

tempat terapi X. Berdasarkan hasil wawancara, semua subjek   menjelaskan bahwa 

anak  sering  lupa menulis  tugas  yang  diberikan  atau  salah mengerjakan  PR.  Jika 

anak mengerti  tugas‐tugasnya  dan mencatatnya,  ia  sering  lupa meletakkan  atau 

menuliskannya di buku mana. Daya konsentrasinya pun rendah. Anak hanya dapat 

bertahan 5 – 10 menit saat mengerjakan tugas dan selebihnya anak mudah beralih 

perhatian  pada  hal  lain  (seperti menoleh  ke  jendela, memainkan  alat  tulis  atau 

benda‐benda  disekitarnya  dan  berbagai  hal  lain  yang  tidak  relevan  dengan 

mengerjakan tugas). 2 orang ibu juga mengatakan anak mudah “mogok” jika diajak 

untuk belajar atau menunda‐nunda selama mungkin dalam membuat PR dan baru 

dikerjakan kalau sudah diomeli dan diancam orang tua. Perilaku‐perilaku anak ini 

membuat prestasi belajarnya buruk sehingga membuat ibu cemas akan masa depan 

pendidikan anak.  

Observasi (Surakarta, maret 2010) juga dilakukan kepada 3 orang ibu untuk 

mendapatkan  gambaran  mengenai  kemampuan  ibu  dalam  menangani 

permasalahan  tingkah  laku  anak  dalam  setting  belajar.  Hasil  observasi 

menunjukkan bahwa semua subjek masih mengalami kesulitan dalam menghadapi 

tingkah  laku anak GPPH.    Ibu  tidak mempunyai aturan mengenai perilaku yang 

harus ditampilkan anak saat belajar sehingga dorongan emosional anak tidak dapat 

6

Page 26: Tesis

terkendali, masih kurang sabar untuk tidak mengkoreksi langsung kesalahan yang 

anak  lakukan  saat  mengerjakan  tugas,  dan  juga  kurang  memahami  bagaimana 

membagi waktu belajar untuk anak GPPH. Disiplin yang diterapkan oleh  ibu pun 

cenderung  berupa  nada  suara  yang  tinggi,  menggunakan  kalimat  ancaman, 

melotot, membentak, dan  hukuman  fisik  (menggendong, mendekap  badan  anak, 

dan memukul kaki) jika perilaku anak menjadi mengganggu atau kasar saat proses 

belajar. Walaupun  demikian  semua  ibu  telah mampu memberikan  penghargaan 

antara  lain pujian  atas  sikap  anak yang baik  saat belajar, kata‐kata penyemangat 

agar  anak  tetap  menyelesaikan  tugasnya,  melakukan  “tos”,  tepuk  tangan, 

memberikan makanan  kesukaan  anak,  atau  hadiah  sesuai  yang  telah  dijanjikan 

ketika anak berhasil menyelesaikan tugasnya dengan tuntas. 

Berdasarkan kondisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa  ibu umumnya 

belum  mengetahui  bagaimana  tindakan  yang  tepat  dalam  menangani 

permasalahan  tingkah  laku anak GPPH. Terbatasnya pengetahuan – pengetahuan 

yang relevan tentang keterbatasan anak dan kemampuan menangani perilaku anak 

dengan kebutuhan khusus, menjadikan ibu rentan mengalami permasalahan terkait 

dengan anak  (seperti kecewa,  tertekan, atau kebingungan)  sehingga  sangat dapat 

dipahami  jika  ibu melakukan  tindakan  yang  tidak  tepat  terhadap  permasalahan 

yang muncul  dalam mengasuh  anak. Apabila  hal  ini  terus  berlanjut maka  akan 

menimbulkan  dampak  yang  negatif  dalam  perkembangan  anak  di masa  depan, 

khususnya optimalisasi pemenuhan kebutuhan belajar pada anak GPPH. 

7

Page 27: Tesis

Melihat  pentingnya  variabel  pengetahuan  dan  kemampuan  ibu  dalam 

pengembangan  anak  GPPH,  maka  peneliti  merasa  intervensi  terhadap  ibu 

merupakan hal yang penting di dalam program  intervensi awal untuk anak‐anak 

ini.  Semakin  banyak  pengetahuan  dan  keterampilan  yang  ibu  miliki  mengenai 

strategi penanganan perilaku anak, maka dampak dari  intervensi yang dilakukan 

akan  semakin besar. Oleh karenanya  ibu perlu di  informasikan dan dipersiapkan 

bagaimana  menangani  anak  di  rumah  sehingga  membantu  penanganan  yang 

dilakukan  oleh  profesional. Hal  ini didukung  oleh  pendapat  Sonuga‐Barke  et  al. 

(2001, dalam Sanders & Hoath, 2002:192) yang menemukan bahwa  jenis pelatihan 

perilaku bagi orangtua secara signifikan lebih efektif dibanding konseling orangtua. 

Karena pengetahuan merupakan dasar dari keterampilan, maka peneliti membatasi 

penelitian  ini dalam hal pemberian  informasi dan pemahaman kepada  ibu dalam 

menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH.  

Sampai  saat  ini,  bukti‐bukti  yang  secara  spesifik menunjukkan  efektivitas 

pelatihan  untuk  orangtua  yang memiliki  anak GPPH  tampak  lebih  banyak  pada 

anak usia prasekolah, sangat sedikit untuk anak usia sekolah dasar dan  tidak ada 

untuk  remaja.  Hal  ini  berlandaskan  pemikiran  bahwa  intervensi  semenjak  dini 

menawarkan  kesempatan  yang  lebih  baik  untuk mengubah  gangguan  sepanjang 

perkembangan anak, sebelum perilaku anak memiliki kecendrungan antisosial dan 

kegagalan di sekolah (Jones et al, 2007:750).  

Studi  mengenai  pelatihan  orangtua  yang  memiliki  anak  GPPH  usia 

prasekolah,  yang  dilakukan  oleh  Pisterman  (1992,  dalam  Sanders  &  Hoath, 

8

Page 28: Tesis

2002:192)  secara  umum  menemukan  penurunan  frekuensi  perilaku  tidak  patuh 

ketika  dibandingkan  dengan  kelompok  kontrol  dan  perubahan  perilaku 

pengasuhan  yang  signifikan.  Orang  tua menggunakan  perintah  lebih  tepat  dan 

memberi  penguatan  terhadap  kepatuhan  anak  secara  konsisten.  Orang  tua  juga 

dilaporkan mengalami peningkatan keyakinan mengenai kemampuan dirinya. 

Contoh  lainnya  dari  program  pelatihan  orangtua  dengan  dukungan  riset 

yang  kuat  adalah  penelitian  Hoath  &  Sanders  (2002:202)  yang  menguji  positive 

parenting group program untuk orangtua dengan anak GPPH usia 5‐9 tahun dengan 

menggunakan  bentuk  dan  perlengkapan  17  keterampilan  inti  pengasuhan. 

Keterampilan  ini  terdiri  dari  keterampilan  mengembangkan  kompetensi  anak 

(seperti  pujian,  perhatian,  tabel  perilaku)  dan  keterampilan manajemen  perilaku 

(seperti menetapkan aturan, memberikan perintah yang sesuai, time out). Selain itu 

orangtua  juga  mendapat  pelatihan  keterampilan  coping.  Hasilnya  menunjukkan 

bahwa  orangtua  yang  mengikuti  pelatihan  ini  secara  signifikan  mengalami 

peningkatan  level dalam  kemampuan mereka untuk merespon  kesulitan perilaku 

anak dalam  berbagai  setting  aktivitas di  rumah dibanding  orangtua  yang  berada 

pada  kelompok  kontrol.  Namun  perubahan  dalam  penelitian  ini  tidak  dapat 

digeneralisasi ke dalam  setting  sekolah. Hal  ini karena ketiadaan pelatihan  secara 

individual  dan  simpangan  baku  yang  besar  antar  kelompok  juga  mengurangi 

kekuatan hasil statistik dalam membandingkannya. 

Mengacu  pada  pendapat di  atas, peneliti  tertarik  untuk mencari  berbagai 

bentuk pelatihan untuk orangtua yang dapat membantu menangani permasalahan 

9

Page 29: Tesis

tingkah laku anak GPPH. Cukup banyak program pelatihan pengasuhan yang telah 

ditawarkan  sebagai  intervensi  untuk  menangani  anak  dengan  GPPH  dan 

kebanyakan menggunakan tehnik modifikasi perilaku . Salah satu ahli yang secara 

spesifik mengemas program khusus “behavioral parent training” adalah Barkley pada 

tahun  1987  dan  telah  mengalami  sedikit  modifikasi  pada  tahun  1997  (Barkley, 

2006:460). Program  ini diperuntukkan  bagi  orangtua untuk  anak usia  4‐12  tahun 

dan  fokus  pada  proses  sosial  di  dalam  keluarga  untuk  mengembangkan  anak 

GPPH. Tujuan utama dari program Barkley  ini  ada dua. Tujuan pertama  adalah 

meletakkan  pondasi  pengetahuan  yang  akan  mendukung  dan  meningkatkan 

keterampilan  spesifik  yang  diajarkan.  Tujuan  kedua  adalah  untuk  memonitor 

beragam kemampuan yang telah diperoleh orangtua dari keterampilan manajemen 

anak, yang telah disesuaikan dengan kebutuhan anak – anak dengan GPPH.  

Berdasarkan  dua  tujuan  tersebut,  maka  langkah  awal  untuk  memulai 

program  ini  adalah  orangtua  harus  diberi  serangkaian  pengetahuan  konseptual 

yang  praktis  mengenai  GPPH.  Kemudian  program  ini  juga  ditujukan  untuk 

meningkatkan  pemahaman  berkenaan  dengan  prinsip manajemen  perilaku,  agar 

dapat  meningkatkan  pemeliharaan  keterampilan  sepanjang  waktu  dan  dalam 

berbagai  setting.  Berdasarkan  pengetahuan  tersebut,  selanjutnya  program  ini 

dirancang  untuk  mengajarkan  orang  tua  sejumlah  strategi  untuk  berhadapan 

dengan  permasalahan  perilaku  anak  secara  efektif  (Barkley,  2006:463).  Hal  ini 

membuat  peneliti  tertarik  untuk  menggunakan  prinsip‐prinsip  pendekatan 

10

Page 30: Tesis

“behavioral  parent  training”  dari  Barkley  sebagai  landasan  perancangan  program 

pelatihan pengasuhan dalam penelitian ini. 

Menurut  Kohls  (1995),  proses  pengembangan  suatu  program  pelatihan 

terdiri  dari  tiga  tahap,  yaitu  (1)  Tahap  Persiapan  yang  terdiri  dari  penilaian 

kebutuhan  dan  perancangan  program  pelatihan,  (2)  Tahap  Pengembangan  yang 

mencakup uji coba dan revisi program pelatihan, dan (3) Tahap peningkatan yaitu 

tahap yang dilakukan untuk menguji efektivitas program pelatihan. Pada penelitian 

ini proses pengembangan program pelatihan pengasuhan akan dilakukan  sampai 

tahap 2, yaitu dilakukan asesmen kebutuhan, perancangan program, uji coba dan 

revisi program. 

 

1.2 Rumusan Masalah 

Berdasarkan hasil studi awal terhadap ibu yang memiliki anak GPPH usia 7‐

9  tahun,  disimpulkan  perlu  adanya  kebutuhan  intervensi  bagi  ibu  sebagai  salah 

satu  pendekatan multimodal  untuk menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak 

GPPH. Anak  dengan GPPH  telah  ditemukan mudah  beralih  perhatian  pada  hal 

lain,  kurang  mampu  memenuhi  tuntutan  yang  diperintahkan,  kesulitan  dalam 

pengaturan aktivitas dan  tugas,  lebih banyak bicara, amarah anak cepat meledak, 

menentang,  dan  tidak  bisa  diam.  Permasalahan‐permasalahan  yang  sering 

dikaitkan dengan keterbatasan anak GPPH  ini belum diketahui dengan baik oleh 

orangtua,  khususnya  ibu  yang  secara  alamiah  hubungannya  lebih  dekat  dengan 

anak  dan  terlibat  langsung  dalam  aktivitas  anak  sehari‐hari.  Padahal  ibu 

11

Page 31: Tesis

seharusnya  memiliki  pengetahuan  dan  keterampilan  yang  cukup  tentang 

menangani  berbagai  permasalahan  tingkah  laku  anak  agar  dapat  membantu 

perkembangan anak GPPH, khususnya optimalisasi pemenuhan kebutuhan belajar 

pada anak GPPH. 

Salah  satu  bentuk  pelatihan  orang  tua  yang  membuat  peneliti  tertarik 

karena dikemas secara khusus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan 

orang tua adalah konsep behavioral parent training yang dikemukakan oleh Barkley 

pada  tahun 1987 dan  telah mengalami  sedikit modifikasi pada  tahun 1997. Dasar 

teoritis  dan  konseptual  pelatihan  ini  berlandaskan  tehnik  modifikasi  perilaku. 

Program  ini  telah diterapkan di Amerika  Serikat, dan diyakini memberi dampak 

signifikan terhadap perubahan kemampuan pengasuhan dalam menangani GPPH. 

Oleh karena  itu peneliti  tertarik untuk menyusun program pelatihan pengasuhan 

yang  akan  difokuskan  pada  peningkatan  pemahaman  ibu  dalam  menangani 

permasalahan  tingkah  laku  anak  GPPH.  Penyusunan  program  pelatihan 

pengasuhan pada penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) Tahap Persiapan yang 

terdiri dari asesmen kebutuhan dan perancangan program pelatihan, dan (2) Tahap 

Pengembangan yang mencakup uji coba dan revisi program pelatihan. 

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan dijawab 

adalah  “Apakah  uji  coba  program  pelatihan  pengasuhan  yang  telah  dirancang  dapat 

meningkatkan  pemahaman  dalam  menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak  usia  7‐9 

tahun yang mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH)”. 

 

12

Page 32: Tesis

1.3 Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian 

1.3.1 Maksud Penelitian 

Maksud dari penelitian ini adalah :  

1. Merancang  suatu  Program  Pelatihan  Pengasuhan  berdasarkan  hasil  asesmen 

kebutuhan  yang  dapat  berguna  untuk meningkatkan  pemahaman  ibu  dalam 

menangani permasalahan  tingkah  laku anak usia 7 – 9  tahun yang mengalami 

Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH).  

2. Melakukan  uji  empiris  terhadap  Program  Pelatihan  Pengasuhan  yang  telah 

dirancang. 

 

1.3.2 Tujuan Penelitian 

Tujuan  penelitian  ini  adalah  untuk memperoleh  suatu  Program  Pelatihan 

Pengasuhan  yang  dapat  meningkatkan  pemahaman  ibu  dalam  menangani 

permasalahan  tingkah  laku  anak  usia  7  –  9  tahun  yang  mengalami  Gangguan 

Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH) berdasarkan evaluasi terhadap 

hasil uji empiris. 

 

1.3.3 Kegunaan Penelitian 

Kegunaan dari penelitian ini adalah : 

1. Pelaksanaan  uji  coba  Program  Pelatihan  Pengasuhan  ini  dapat  berguna  bagi 

subjek penelitian dalam meningkatkan pemahaman menangani permasalahan 

13

Page 33: Tesis

14

tingkah  laku  anak  usia  7  –  9  tahun  yang mengalami  Gangguan  Pemusatan 

Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH). 

2. Program  Pelatihan  Pengasuhan  yang  telah  disusun  merupakan  salah  satu 

pengembangan ilmu terapan. Jika telah dilakukan uji efektivitasnya maka dapat 

digunakan oleh psikolog  sebagai  salah  satu metode  treatment untuk  orangtua 

yang memiliki anak usia 7 – 9  tahun dengan Gangguan Pemusatan Perhatian 

disertai Hiperaktivitas (GPPH). 

Page 34: Tesis

BAB II 

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 

 

2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai Hiperaktivitas (GPPH) 

2.1.1 Pengertian dan Gejala Utama 

GPPH  adalah  suatu  gangguan  perilaku  yang  memiliki  gejala  utama 

berupa  ketidakmampuan  individu  untuk  memusatkan  perhatian  (inatensi), 

impulsivitas,  dan  hiperaktivitas  yang  tidak  sesuai  dengan  ciri‐ciri  tahapan 

perkembangan  anak  (Flick,  1998;  Barkley,  2006;  dan  Silver,  1999).  Adapun 

penjelasan dari tiga gejala utama tersebut adalah sebagai berikut : 

a. Inatensi  

Adalah  ketidakmampuan  individu  untuk  secara  selektif  melihat  atau 

mendengar stimulus yang penting,  lalu secara  terus menerus mempertahankan 

perhatian  pada  stimulus  tersebut.  Oleh  karena  itu,  dapat  dikatakan  inatensi 

memiliki dua dimensi umum, yaitu  (1)  selektivitas, yang berhubungan dengan 

kemampuan memilah mana yang akan menjadi  fokus utama perhatian, dan  (2) 

intensitas,  yaitu  yang  berhubungan  dengan  kemampuan  untuk 

mempertahankan atensi (Barkley,1998).  

Karakteristik yang paling mendasar pada anak dengan gangguan pemusatan 

perhatian  adalah  ketidakmampuannya  untuk  memusatkan  dan 

mempertahankan  perhatian  (Flick,  1998).  Sebenarnya  bukan  tidak 

memperhatikan,  tetapi  anak memperhatikan  segala hal  yang  ada disekitarnya. 

15

Page 35: Tesis

Semua  stimulus  akan  dirasakan  dan  diterima  oleh  dirinya  sehingga 

menyebabkan anak sulit menyelesaikan tugasnya. 

Anak  GPPH  mudah  sekali  terganggu  oleh  stimulus  yang  tidak  relevan, 

terutama  jika  stimulus  tersebut merupakan  stimulus  baru  atau menarik,  dan 

tugas  yang  dihadapi  membosankan,  tidak  disukai,  atau  sulit.  Anak  juga 

digambarkan  tidak mampu  berkonsentrasi  atau memberikan  perhatian  untuk 

waktu  yang  lama  dalam  beberapa  situasi. Hal  ini menyebabkan  anak  GPPH 

sering  melakukan  kesalahan  dalam  bekerja,  dan  terlihat  lebih  lamban  jika 

dibandingkan dengan anak yang lain.  

b. Impulsivitas 

Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada 

semacam  dorongan  untuk  mengatakan  atau  melakukan  sesuatu  yang  tidak 

terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan 

tanpa pertimbangan.  Impulsivitas  ini dapat di ekspresikan dalam banyak  cara, 

antara  lain:  banyak  bicara,  seringkali  memotong  pembicaraan  orang  lain, 

kesulitan dalam menunggu giliran, dan seringkali  tidak mengikuti aturan yang 

berlaku.  Sisi  lain  dari  impulsivitas  adalah  anak  berpotensi  tinggi  untuk 

melakukan  aktivitas  yang membahayakan,  baik  bagi  dirinya  sendiri maupun 

orang lain. 

Pada dasarnya mereka menyadari perilaku yang benar dan salah serta dapat 

menyebutkan aturan di rumah atau di kelas, namun demikian seringkali mereka 

bertindak  sebelum  berpikir  atau  “berpikir  setelah  mereka  bertindak”  (Flick, 

16

Page 36: Tesis

1998).  Kecenderungan  untuk  bertindak  sebelum  sebelum  berpikir  inilah  yang 

sering  melibatkannya  dalam  permasalahan,  baik  di  bidang  akademis  dan 

lingkungan pergaulan sosialnya. 

c. Hiperaktivitas 

Hiperaktivitas berkaitan dengan gerakan motorik yang berlebihan. Biasanya 

gerakan  tersebut  tidak  terarah dan  tidak  tepat dengan  tuntutan  tugas. Kualitas 

dari  gerakan  terlihat  energik  secara  berlebihan,  ceroboh,  tidak  teratur  dan 

kurang bertujuan. Kelebihan gerakan dan kegelisahan anak akan  lebih muncul 

pada situasi dimana ia harus duduk terus menerus atau pada situasi yang sangat 

terstruktur seperti duduk di dalam kelas, dibandingkan pada situasi yang santai 

dengan sedikit tuntutan dari  luar. Masalah hiperaktivitas  ini tidak akan terlihat 

atau dikenali sebelum anak ditempatkan pada situasi yang menuntutnya untuk 

diam  lama dan mengendalikan perilaku atau gerakannya dalam rentang waktu 

yang lama. 

Pada  anak  GPPH  gejala  gerakan  motorik  berlebihan  dapat  dilihat  dari 

perilaku anak yang  tidak bisa diam. Duduk dengan  tenang merupakan sesuatu 

yang  sulit  dilakukan.  Anak  akan  bangkit  dan  berlari‐lari,  berjalan  ke  sana 

kemari, bahkan memanjat‐manjat. Di samping gerakan, anak cenderung banyak 

bicara dan menimbulkan suara berisik. Aktifitas anak tidak lazim dan cenderung 

berlebihan yang ditandai dengan gangguan perasaan gelisah, selalu menggerak‐

gerakkan  jari‐jari  tangan,  kaki,  pensil,  dan  selalu  meninggalkan  tempat 

duduknya meskipun  pada  saat  dimana  dia  seharusnya  duduk  degan  tenang. 

17

Page 37: Tesis

Pada situasi yang terstruktur tentu saja perilaku hiperaktivitas ini akan menjadi 

masalah yang sangat jelas dan tidak dapat disangkal.  

 

2.1.2 Kriteria GPPH Berdasarkan Diagnostik and Statistic Manual of Mental 

Disorder (DSM) IV‐TR 

Berikut ini adalah kriteria GPP/GPPH berdasarkan DSM IV‐TR : 

A. Baik kriteria (1) maupun (2) 

(1).  Inatensi:  Sedikitnya  enam  atau  lebih  simptom  inatensi muncul  dalam 

waktu sekurang‐kurangnya 6 bulan yang bersifat maladaptive dan inconsistent 

dengan tahapan perkembangan: 

a. Sering  gagal  memberikan  perhatian  terhadap  hal  rinci  atau  ceroboh 

dalam membuat tugas sekolah dan aktifitas lain. 

b. Sulit  mempertahankan  perhatian  terhadap  tugas  atau  aktivitas 

permainan 

c. Sering  terlihat  seperti  tidak  mendengarkan  ketika  diajak  bicara  oleh 

orang lain 

d. Tidak dapat mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, 

pekerjaan rumah, atau di tempat kerja 

e. Kesulitan dalam pengaturan aktivitas dan tugas 

f. Seringkali  menghindari,  tidak  menyukai,  atau  enggan  terlibat  dalam 

tugas  yang  menuntut  kemampuan  mempertahankan  usaha  mental, 

seperti pada tugas sekolah atau pekerjaan rumah. 

18

Page 38: Tesis

g. Seringkali kehilangan benda‐benda yang dibutuhkan untuk beraktivitas 

h. Perhatiannya mudah teralihkan oleh stimulus / rangsangan luar 

i. Sering lupa dalam aktivitas sehari‐hari 

(2) Hiperaktivitas‐Impulsivitas:  Sedikitnya  6  atau  lebih  simptom 

hiperaktivitas‐impulsivitas muncul selama sekurang‐kurangnya 6 bulan yang 

bersifat maladaptive dan inconsistent dengan tahapan perkembangan. 

      Hiperaktivitas  

a. Sering merasa gelisah tangan atau kaki atau menggeliat saat duduk 

b. Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau dalam situasi lain yang 

menuntut untuk tetap duduk 

c. Seringkali  berlarian  atau  memanjat  dalam  situasi  yang  tidak  tepat 

(apabila sudah remaja atau dewasa, maka dibatasi perasaan subjektif atau 

tampak gelisah) 

d. Sulit bermain atau melakukan aktivitas kesenangan dengan tenang 

e. Tidak  bisa  diam,  selalu  bergerak,  seakan‐akan  seperti  ada mesin  yang 

menimbulkan gerak. 

f. Banyak berbicara 

      Impulsivitas 

a. Sering menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan tersebut selesai 

b. Sering sulit menunggu giliran saat bermain atau beraktivitas 

c. Sering melakukan interupsi atau menyela orang lain ketika berbicara atau 

bermain 

19

Page 39: Tesis

B. Beberapa  simptom  hiperaktif‐impulsif  atau  inatensi  sebagai  penyebab 

gangguan, muncul sebelum usia 7 tahun. 

C. Beberapa  gangguan  dari  simptom  muncul  dalam  2  atau  lebih  situasi 

(misalnya di sekolah dan di rumah).  

D. Terdapat  bukti  yang  jelas  atau  signifikan  secara  klinis  adanya  gangguan 

dalam fungsi sosial, akademis, atau pekerjaan.  

E. Simptom  tidak  muncul  secara  eksklusif  jika  anak  mengalami  gangguan 

perkembangan  pervasif,  skizofrenia,  atau  gangguan  psikotik  lainnya,  dan 

sebaiknya bukan disebabkan gangguan mental lainnya (misalnya: gangguan 

mood, gangguan kecemasan, gangguan kepribadian). 

Kode berdasarkan tipe gangguan, yaitu : 

314.01    Tipe Kombinasi  :      jika  kriteria A(1)  dan A(2) muncul  dalam  6  bulan 

terakhir 

314.00 Tipe Predominan Inatensi :  Jika kriteria A(1) terpenuhi sedangkan kriteria 

A(2) tidak  dalam 6 bulan terakhir. 

314.01 Tipe Hiperaktivitas‐Impulsivitas:  Jika kriteria A(2)  terpenuhi  sedangkan 

kriteria A(1) tidak, dalam 6 bulan terakhir. 

 

2.1.3 Penyebab Munculnya Keluhan GPPH 

Berdasarkan pemikiran dari Sears & Thompson (1998), dan Barkley (1998) 

maka penyebab munculnya GPPH dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok 

besar, yaitu: 

20

Page 40: Tesis

1. Faktor fisik/neurologis  

Banyak  bukti  yang  menunjukkan  berkurangnya  kegiatan  pada  daerah‐

daerah  tertentu di  otak  sebagai  penyebab  yang  paling mungkin dari  sebagian 

besar bentuk gangguan pemusatan perhatian (Martin, 2007:77). Menurut Barkley 

(2006:220),  secara  umum  fungsi  kerja  otak  yang  kurang  optimal  terjadi  pada 

bagian  frontal  lobe  khususnya  pada  kortek  prefrontal  sehingga  menyebabkan 

masalah  dalam  melakukan  atensi  (fungsi  kognitif)  dan  pengendalian,  serta 

koordinasi  gerak  tubuh  (fungsi  motorik).  Dalam  penelitian  yang  dilakukan 

dengan  menggunakan  pemeriksaan  EEGs  dan  MRI  didapatkan  gambaran 

disfungsi  otak  di  daerah  prefontral  kanan  yang  mengimplikasikan  terjadinya 

hambatan terhadap respon‐respon yang tidak relevan dan fungsi‐fungsi tertentu 

(Barkley,  2006:221).  Sedangkan  penelitian  dengan  menggunakan  PET  untuk 

mengukur  metabolisme  gula  di  dalam  sel‐sel  otak  orang  dewasa  yang 

mengalami GPPH sejak masa kanak‐kanak menunjukkan bahwa premotor cortex 

dan  superior  prefrontal  cortex  yang  terlibat  dalam  pengaturan  perhatian  dan 

kontrol motoriknya  lebih  rendah  8%  dibandingkan  dengan  kelompok  kontrol 

(Martin, 2007:72) 

Perubahan‐perubahan suasana hati yang cepat dan kepekaan berlebihan juga 

merupakan akibat dari otak yang bermasalah dalam mengatur gerakan‐gerakan 

motorik dan respon‐respon emosional. Semua karakteristik  ini kemudian dapat 

mengganggu  kemampuan  seseorang  untuk  belajar  dan  mengolah  informasi 

secara efisien. (Martin, 2007:79). 

21

Page 41: Tesis

2. Permasalahan Psikologis  

Faktor  psikologis  ini  berkaitan  dengan  kurangnya  pemberian  treatment 

ataupun  stimulasi  yang  dapat  membantu  anak  untuk  dapat  mengendalikan 

atensi dan  tampilan perilaku  secara mandiri.  Selain  itu  juga dapat disebabkan 

karena  faktor  lingkungan  psikososial  yang  kurang  mendukung,  seperti 

kesibukan orang tua sehingga memiliki kualitas interaksi yang kurang kondusif 

bagi  anak, kejadian  fisik yang menimbulkan  stres,  temperamen  anak,  ataupun 

kurangnya  contoh  perilaku  yang  menunjukkan  pengendalian  perilaku  secara 

tepat (Barkley, 2006:231)  

Walaupun  masih  terus  diperdebatkan,  namun  berdasarkan  pendapat 

beberapa ahli, yaitu Vallet (1974), Flick (1998), dan Barkley (2006) terdapat suatu 

pernyataan yang sama mengenai faktor penyebab munculnya gejala GPPH, yaitu 

lebih merupakan suatu  interaksi antara kemungkinan kontribusi dari gangguan 

aktivitas  fungsi  otak  dan  dipengaruhi  oleh  keunikan  pengalaman  dari 

lingkungan  individu  sehingga membentuk  suatu  bentuk  perilaku GPPH  yang 

berbeda‐beda.  

 

2.1.4 Treatment GPPH 

Konsep yang paling penting yang muncul dari berbagai  riset mengenai 

GPPH adalah bahwa belum ada pengobatan yang berhasil diterapkan sendirian. 

Strategi  penanganan  tersebut melibatkan  aspek  farmasi,  perilaku,  dan metode 

multimodal.  Metode  manajemen  perilaku  bertujuan  untuk  memodifikasi 

22

Page 42: Tesis

lingkungan  fisik dan sosial anak untuk mendukung perubahan perilaku. Pihak 

yang dilibatkan biasanya adalah orang tua, guru, dan psikolog. Tipe pendekatan 

perilaku meliputi  training  perilaku  untuk  guru  dan  orang  tua,  program  yang 

sistematik untuk  anak  (penguatan positif dan  token  economy),  terapi perilaku 

klinis  (training  pemecahan  masalah  dan  keterampilan  sosial),  dan  tritmen 

kognitif‐perilaku/CBT  (monitoring  diri,  self‐reinforcement,  instruksi  verbal 

untuk diri sendiri, dll) (AAP, 2001). 

Sedangkan  metode  farmasi  meliputi  penggunaan  psikostimulan, 

antidepresan,  obat  untuk  cemas,  antipsikotik,  dan  stabilisator  suasana  hati. 

Penting untuk diperhatikan bahwa penggunaan obat‐obatan  ini harus dibawah 

pengawasan  ketat  dokter  dan  ahli  farmasi  yang  terus‐menerus  melakukan 

evaluasi  terhadap  efektivitas  penggunaan  dan  dampaknya  terhadap  subjek 

tertentu.  Hal  ini  karena  efek  samping  utama  obat‐obatan  stimulan  adalah 

insomnia,  kehilangan  nafsu  makan,  penurunan  berat  badan,  terhambatnya 

penambahan  tinggi  badan,  dan  sifat  lekas marah.  (Anastopoulus,  DuPaul,  & 

Barkley, 2001:211). 

Barkley  (1995, dalam Martin,  2007:233) menjelaskan  bahwa pendekatan 

medis  memang  masih  dianggap  efektif  dalam  meningkatkan  kepatuhan, 

meningkatkan  pekerjaan  akademis,  dan  penyesuaian  sosial  sebanyak  70‐95% 

anak‐anak dengan GPPH. Namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa 

cara terbaik untuk menangani anak dengan GPPH dalam jangka panjang adalah 

dengan  mengkombinasikan  beberapa  pendekatan  dan  metode  penanganan. 

23

Page 43: Tesis

Penelitian yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak GPPH menunjukkan bahwa 

kombinasi  terapi  obat  dan  perilaku  lebih  efektif  dibandingkan  jika  digunakan 

sendiri‐sendiri.  Ternyata  dosis  obat  yang  digunakan  lebih  rendah  jika  diikuti 

dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku. Walaupun 

demikian tidak ada treatment yang telah terbukti dapat menyembuhkan kondisi 

GPPH, semuanya hanya meringankan gejala. Oleh karena  itu para professional 

melihat  GPPH  sebagai  ketidakmampuan  perkembangan  yang  membutuhkan 

perlakuan  tertentu  dalam  jangka  panjang  (Anastopoulus,  DuPaul,  &  Barkley, 

2001:210). 

 

2.1.5 Karakteristik Keluarga dengan GPPH 

Lingkungan  dan  faktor  psikososial  seperti  keadaan  sosial‐ekonomi, 

perselisihan keluarga, dan  tidak berfungsinya hubungan antar orangtua diakui 

sebagai  faktor resiko untuk gangguan perilaku mengganggu pada masa kanak‐

kanak.  Adversities  juga  berperan  terhadap  proses  yang  menyebabkan  subtipe 

tertentu  dari  gangguan  perilaku  pada  masa  kanak‐kanak,  yaitu  gangguan 

pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas  (Sandberg, 2002:367). Telah banyak 

bukti  yang  menyatakan  bahwa  kehadiran  anak  dengan  GPPH  berhubungan 

dengan  bermacam‐macam  derajat  gangguan  di  dalam  keluarga  dan  fungsi 

pernikahan, hubungan orangtua‐anak, menurunnya perasaan kompeten sebagai 

orangtua, meningkatkan stres pengasuhan dan parental psychopathology (Johnston 

& Mash, 2001:183). 

24

Page 44: Tesis

Isu dari interaksi orangtua‐anak dalam konteks sosial dan faktor keluarga 

telah dilaporkan oleh berbagai penelitian berikut ini: 

1. Relasi orangtua ‐ anak 

Carlson  et  al.  (1995, dalam  Johnston & Mash, 2001:  191), menggunakan 

sampel keluarga dengan status sosioekonomi bawah yang diamati sejak masa 

kanak‐kanak  hingga  tahun  pertama  sekolah  dasar  menemukan  bahwa 

ketidakpekaan  ibu  dan  stimulasi  yang  berlebihan  atau  tidak  adanya 

kedekatan fisik selama masa kanak‐kanak dapat memprediksi perilaku anak 

yang mudah  teralihkan dan hiperaktif.  Sedangkan Whitmore, Kramer,  and 

Knutson  (1993,  dalam  Johnston  & Mash,  2001:190)  yang membandingkan 

orang dewasa dengan GPPH pada masa kanak‐kanak terhadap saudara laki‐

laki mereka menemukan bahwa anak GPPH lebih sering dihukum dan lebih 

sedikit  berbagi  dengan  orangtuanya  dibanding  saudara  laki  –  lakinya. 

Penelitian – penelitian ini menunjukkan pengaruh orangtua pada anak GPPH 

telah ditemukan sejak usia dini dan mempengaruhi perkembangan anak dari 

waktu ke waktu. 

2. Gaya pengasuhan 

Penemuan  untuk  dua  studi  epidemiologis  di Hongkong  (Leung  et  al., 

1996) dan di London Timur (Taylor et al., 1991), mengindikasikan hubungan 

yang  signifikan  antara  ketidakkonsistenan  gaya  pengasuhan  orangtua  dan 

hiperaktif anak. Hasil yang ditunjukkan dari kedua survey ini adalah terjadi 

perselisihan paham orangtua mengenai bagaimana cara menangani perilaku 

25

Page 45: Tesis

anak  yang  menentang,  rendahnya  cita‐cita  orangtua  berkenaan  dengan 

prestasi  akademis  anak,  kurangnya  keterlibatan  orangtua  dalam  menarik 

perhatian  anak  untuk  belajar,  dan  lebih  sedikit  kesempatan  dan  dorongan 

yang  ditawarkan  ke  anak  dengan  GPPH.  Sonuga‐Barke  &  Goldfoot  (1995 

dalam Johnston & Mash, 2001:194)  juga melaporkan hal yang senada bahwa 

ibu  dari  anak  dengan GPPH melihat  perilaku  anak  lebih  tidak  stabil  dan 

mempunyai  harapan  yang  rendah  untuk  sukses  dalam mengatur  perilaku 

anak mereka  dibanding  para  ibu  dari  anak‐anak  normal.  Perbedaan  ini  di 

samping memperlihatkan penggolongan  IQ  anak,  juga memperkirakan  ibu 

yang  meremehkan  kemampuan  anak  atau  anak  yang  menunjukkan 

performanya di bawah potensinya. 

3. Parental psychopathology 

Hubungan  antara  penyakit  psikiatris  orangtua  dan  berbagai  kesulitan 

perilaku  anak,  terutama  depresi  ibu  sebagai  faktor  yang  berkontribusi 

terhadap kesulitan interaksi antara orangtua‐anak (Downey dan Coyne, 1990; 

Hibbs et al., 1991; Cummings dan Davies, 1994, dalam Sandberg, 2002:376). 

Banyak  faktor  yang  mempengaruhi  hubungan  antara  depresi  ibu  dan 

perilaku anak. Campbell et al., (1996, dalam Sandberg, 2002:376) menjelaskan 

bahwa  ibu  yang  depresi  menunjukkan  kurang  toleransi  dengan  perilaku 

anak secara umum, penolakan yang berlebihan, mudah marah, aversiveness, 

dan kurangnya perilaku positif ketika berinteraksi dengan anak, dibanding 

ibu  yang  tidak  depresi  untuk  perilaku  yang  sama. Anak‐anak  dengan  ibu 

26

Page 46: Tesis

depresi  juga menunjukkan kebencian yang  lebih ketika berinteraksi dengan 

ibu dan cenderung bertindak agresif terhadap ibu. Warburton & Reed (1995, 

dalam  Johnston & Mash,  2001:192) menemukan bahwa perbandingan  rasio 

menjadi  GPPH  secara  signifikan  meningkat  pada  keluarga  dengan 

kemalangan psikososial (seperti psikopatologi ibu dan status sosioekonomi).  

4. Perselisihan dalam pernikahan 

Perselisihan dalam pernikahan dapat berfungsi dengan  cara yang  sama 

seperti  depresi,  dalam mengubah  persepsi  orangtua  dan  gaya menangani 

perilaku  anak  (Jenkins  dan  Smith,  1991,  dalam  Sandberg,  2002:377). 

Kombinasi  dari  depresi  ibu  dan  perselisihan  dalam  pernikahan 

mengakibatkan  tingginya  tingkat  penyimpangan  yang  dirasakan  anak  dan 

terjadi konflik nyata antara orangtua‐anak  (Campbell et al., 1996; Murray et 

al.,  1996a,  dalam  Sandberg,  2002:377).  Selain  itu,  interaksi  yang  saling 

membenci antara  ibu‐anak  juga  lebih meningkat di dalam keluarga, dimana 

ibu  juga mengalami  interaksi negatif dengan orang dewasa  lainnya  (seperti 

pasangan atau keluarga). Oleh karena itu sangat mungkin perselisihan dalam 

pernikahan, depresi  ibu, perilaku antisosial orangtua dan agresi pernikahan 

merupakan hubungan yang secara signifikan terdapat di dalam keluarga dari 

beberapa anak GPPH (Barkley et al., 1992, dalam Sandberg, 2002:377). 

 

 

 

27

Page 47: Tesis

2.2 Pelatihan Pengasuhan Untuk Orangtua yang Memiliki Anak GPPH 

2.2.1 Dasar Pemikiran Parent Training dari Barkley 

Pendekatan  pelatihan  untuk  orangtua  yang  menggunakan  tehnik 

modifikasi  perilaku  merupakan  pendekatan  yang  berlandaskan  model  social 

learning  dan  secara  khas  dikenal  sebagai  ʺparent  trainingʺ.  Konsep  ini  sangat 

dipengaruhi  oleh penelitian‐penelitian dari Patterson dan Gullion  (1968), Hanf 

(1969), dan Forehand & McMahon (1981). Menurut Forehand & McMahon (1981, 

dalam Power et al, 2002:119), secara umum komponen  inti dari program parent 

training  adalah:  (1)  membangun  hubungan  positif  orangtua‐anak  melalui 

pengalaman  bermain  yang  mendukung;  (2)  membuat  permintaan  agar  anak 

patuh dengan cara yang efektif;  (3) menyediakan penguatan yang positif untuk 

kepatuhan dan untuk perilaku yang bertanggung  jawab; dan  (4) menggunakan 

strategi hukuman secara efektif. 

Barkley  pada  tahun  1987  merekomendasikan  metoda  parent  training 

untuk  anak usia  4‐12  tahun. Program pelatihan untuk  orang  tua dengan  anak 

GPPH yang diuraikan oleh Barkley (1987) bersumber dari beberapa pendekatan 

teoritis dan bukti yang  empiris. Diantaranya  adalah Forehand  et  al yang  telah 

berulang‐kali  meneliti  anak  balita  yang  dinyatakan  memiliki  kecendrungan 

menentang,  agresif,  dan  permasalahan  tingkah  laku  (Forehand  & Mcmahon, 

1981;  Wells  &  Forehand,  1985,  dalam  Anastopoulos,  DuPaul,  &  Barkley, 

2001:214).  Program  Forehand  ini  melatih  orang  tua  dalam  menggunakan 

keterampilan untuk memberikan perhatian yang positif terhadap perilaku yang 

28

Page 48: Tesis

tepat, dan juga melatih orangtua untuk menggunakan prosedur reinforcement dan 

time out. Pandangan teoritis Minuchin & Fishman (1981) mengenai family system 

theory  juga dimasukkan dalam program Barkley dengan populasi  anak GPPH. 

Pandangan  ini  menjelaskan  bahwa  memiliki  anak  GPPH  membuat  keluarga 

memiliki  peningkatan  resiko  terganggunya  hubungan  dalam  keluarga,  seperti 

ketegangan antara ayah dan ibu atau adik dan kakak.   

Program  Barkley  fokus  pada  proses  sosial  di  dalam  keluarga  untuk 

mengembangkan  anak GPPH  (Newby  et  al,  1991). Terdapat dua  tujuan utama 

dalam  program  Barkley.  Tujuan  pertama  adalah  meletakkan  pondasi 

pengetahuan  yang  akan mendukung  dan meningkatkan  keterampilan  spesifik 

yang  diajarkan.  Tujuan  kedua  adalah  untuk memonitor  beragam  kemampuan 

yang  telah diperoleh  orangtua dari  keterampilan manajemen  anak,  yang  telah 

disesuaikan dengan kebutuhan anak – anak dengan GPPH.  

Berdasarkan  2  tujuan  tersebut,  maka  langkah  awal  untuk  memulai 

program  ini adalah orangtua harus diberi serangkaian pengetahuan konseptual 

yang  praktis  mengenai  GPPH.  Kemudian  program  ini  juga  ditujukan  untuk 

meningkatkan pemahaman berkenaan dengan prinsip manajemen perilaku, agar 

dapat meningkatkan  pemeliharaan  keterampilan  sepanjang waktu  dan  dalam 

berbagai  setting.  Berdasarkan  pengetahuan  tersebut,  selanjutnya  program  ini 

dirancang  untuk mengajarkan  orang  tua  sejumlah  strategi  untuk  berhadapan 

dengan  permasalahan  perilaku  anak  secara  efektif.  Sejauh  ini  tujuan‐tujuan 

tersebut dapat dicapai dan diikuti dengan perbaikan perilaku anak. 

29

Page 49: Tesis

Program parent training dari Barkley dapat diselesaikan dalam 8 – 12 sesi. 

Program  ini  tidak membatasi  para  ahli  untuk melakukan  sesi  treatment  yang 

persis sama seperti yang di ungkapkan Barkley dan  juga mengijinkan para ahli 

untuk mengambil sesi tertentu yang hanya diperlukan untuk menyempurnakan 

penguasaan orangtua berkenaan dengan keterampilan manajemen perilaku yang 

ditargetkan.  Program  ini  juga  dapat  dilaksanakan  secara  individual  maupun 

berkelompok.  Program  individual  membantu  orangtua  yang  mengalami 

kesulitan  untuk  berbagi  masalah  dengan  lingkungan  atau  dengan  tingkat 

intelektual yang tidak terlalu baik. Program individual ini disusun sesuai kondisi 

spesifik keluarga dan kondisi anak yang bersangkutan, dan masing‐masing sesi 

biasanya  berlangsung  selama  1  jam.  Sedangkan  program  kelompok  akan 

memungkinkan setiap peserta untuk belajar dari keluarga lainnya yang memiliki 

permasalahan  serupa  dan  saling mendukung  satu  sama  lain.  Program  dalam 

format kelompok, biasanya menggunakan waktu 90 menit untuk setiap sesinya.  

 

2.2.2 Prinsip‐Prinsip Pengembangan Anak GPPH dalam Parenting Program 

Barkley  (2005:146‐154)  mengungkapkan  9  prinsip  kunci  dalam 

menjalankan parenting program bagi anak GPPH, yaitu: 

1. Prinsip  memberikan  umpan  balik  dan  konsekuensi  dengan  segera  dan 

sesering mungkin 

Prinsip  ini mendorong  anak GPPH  untuk  bertahan  pada  tugas. Ketika 

berhadapan  dengan  pekerjaan  yang  membosankan  atau  tidak 

30

Page 50: Tesis

menguntungkan, anak‐anak dengan GPPH akan merasakan dorongan untuk 

menemukan hal  lain yang dapat mereka  lakukan.  Jika orangtua  ingin anak 

tetap bertahan pada tugasnya, orangtua harus menyusun umpan balik yang 

positif  dan  konsekuensi  yang  akan  membuat  tugas  tersebut  lebih 

menguntungkan, serta mengganti konsekuensi negatif untuk  tindakan yang 

tidak sesuai saat anak berhenti mengerjakan tugas.  

Umpan balik positif dapat diberikan dalam bentuk ucapan selamat atau 

pujian,  yang  dinyatakan  dengan  jelas  dan  spesifik  bahwa  apa  yang  anak 

lakukan  itu  adalah  positif.  Hal  ini  juga  merupakan  bentuk  kasih  sayang 

secara  fisik.  Dalam  beberapa  peristiwa,  umpan  balik  harus  melibatkan 

penghargaan  seperti  sistem  dimana  anak mendapat  poin  untuk  perlakuan 

khusus.  Hal  ini  karena  pujian  tidak  akan  cukup  untuk  memotivasi  anak 

GPPH  untuk  tetap  bertahan  dengan  tugas  yang  diberikan.  Apapun  jenis 

umpan balik yang orangtua berikan,  akan  semakin  efektif ketika diberikan 

dengan segera dan sesering mungkin. Penggunaan prinsip  ini memang bisa 

membuat  kesal  dan mengganggu  anak,  serta melelahkan  untuk  orangtua. 

Tetapi  hal  ini  perlu  dilakukan  sebanyak waktu  dan  energi  yang  orangtua 

miliki  untuk  mengubah  beberapa  bentuk  perilaku  yang  tidak  diinginkan 

secara signifikan. 

2. Prinsip menggunakan konsekuensi yang bermakna 

Anak dengan GPPH memerlukan konsekuensi yang bermakna daripada 

anak‐anak  normal  untuk  mendorong  anak  agar  melakukan  pekerjaan, 

31

Page 51: Tesis

mengikuti aturan, atau bersikap baik. Konsekuensi ini meliputi kasih sayang 

secara  fisik,  hak  istimewa, makanan  ringan  yang  khusus,  token  atau poin, 

imbalan material (seperti mainan yang kecil atau barang‐barang koleksi), dan 

bahkan adakalanya dengan uang. Dalam menggunakan prinsip ini, orangtua 

harus  memperhatikan  derajat  GPPH  anak.  Semakin  tinggi  derajat  GPPH 

maka konsekuensi yang diberikan  lebih besar,  lebih signifikan, dan kadang‐

kadang konsekuensi materi  lebih banyak diberikan untuk mengembangkan 

dan mempertahankan perilaku positif anak. 

3. Prinsip mendahulukan pemberian insentif sebelum menghukum 

Merupakan  hal  umum  bagi  orang  tua  untuk menggunakan  hukuman 

ketika anak berperilaku yang tidak sesuai atau tidak mematuhi perintah. Hal 

ini  mungkin  baik  untuk  anak  tanpa  GPPH  yang  hanya  bertingkah 

kadang‐kadang dan dapat menurut dengan hukuman ringan yang orangtua 

berikan. Akan tetapi untuk anak dengan GPPH yang cenderung berperilaku 

tidak  sesuai  jauh  lebih  sering  dan menerima  banyak  konsekuensi  negatif, 

hukuman  tidak akan efektif untuk mengubah perilaku. Hukuman biasanya 

menyebabkan  kebencian  dan  permusuhan  pada  anak,  sehingga  akhirnya 

anak  akan menghindari  interaksi dengan  orangtua. Dalam  beberapa  kasus 

anak akan mencoba untuk menemukan cara‐cara melawan balik, membalas 

dendam, mendapatkan  hukuman  yang  berlebihan. Oleh  karena  itu  sangat 

penting  bagi  orangtua  untuk mengingatkan  diri  sendiri mengenai  prinsip 

menggunakan hal positif sebelum menghukum. Hal  ini  terkait bahwa anak 

32

Page 52: Tesis

GPPH  sering menerima  teguran, hukuman, dan penolakan dari  orang  lain 

yang  tidak  memahami  ketidakmampuan  anak,  dan  hanya  penggunaan 

penghargaan dan  insentif yang dapat mengubah perilaku anak sesuai yang 

orangtua harapkan. 

4. Prinsip penggunaan interval waktu 

Anak  dengan  GPPH  mengalami  keterlambatan  dalam  perkembangan 

waktu dan masa depan. Hal  ini  karena mereka mempunyai  permasalahan 

dalam  merespon  tuntutan  yang  melibatkan  jadwal  dan  persiapan  untuk 

masa depan. Mereka memerlukan beberapa acuan eksternal mengenai jangka 

waktu  yang  dibutuhkan  dalam  mengerjakan  tugas.  Oleh  karena  itu 

lingkungan perlu membantu anak memahami konsep waktu. Misalnya,  jika 

anak  diberikan  waktu  20  menit  untuk  membersihkan  kamar, 

maka orangtua harus mengatur alat pengukur waktu selama 20 menit yang 

diletakkan  di  tempat  yang  mudah  terlihat  oleh  anak.  Orangtua  dapat 

menggunakan  jam  dan  alarm  untuk  mengeksternalisasi  interval  waktu 

kepada anak dan memberikan anak cara yang  lebih akurat untuk menandai 

waktu selama menyelesaikan tugas.  

Untuk  tugas  yang  melibatkan  interval  waktu  lebih  panjang  (seperti 

proyek  yang  ditugaskan  kepada  anak  sebagai  PR),  orangtua memerlukan 

jembatan  waktu  yaitu  dengan memecah  tugas  ke  dalam  langkah‐langkah 

kecil  yang  harus  dilakukan  setiap  harinya.  Tanpa metoda  ini,  anak  akan 

33

Page 53: Tesis

meninggalkan  pekerjaan  yang  harus  dilaksanakan  sampai  detik‐detik 

terakhir, dimana sangat mustahil untuk melakukan pekerjaan dengan baik. 

5. Prinsip mengembangkan kemampuan memecahkan masalah  

Anak dengan GPPH  tidak mampu dalam mengolah  informasi, dimana 

mereka  harus  berhenti  dan  berpikir  mengenai  situasi  atau  masalah  yang 

terjadi.  Mereka  menjawab  sesuai  dorongan  hati,  tanpa  memperhatikan 

pilihan‐pilihan yang dapat mereka pertimbangkan. Oleh karena  itu penting 

bagi orangtua untuk mengajarkan cara melihat masalah secara sistematis dan 

terorganisasai sehingga diperoleh alternatif solusi yang lebih baik.  

Misalnya, jika anak harus menulis esei singkat untuk sekolah dan ia tidak 

merespon  dengan  baik  pada  tugas  ini,  maka  anak  dapat  diminta  untuk 

mencatat semua hal yang ada dalam pikirannya dalam waktu yang singkat. 

Dengan  cara  ini  setiap  pikiran  akan  mudah  ditangkap  dan  anak  dapat 

bermain  dengan  ide‐idenya  sebagai  pengganti  informasi  mental  yang 

mengalami  hambatan.  Hal  ini  cukup  efektif  dilakukan,  apalagi  terkait 

dengan pekerjaan rumah. Jadi setiap kali anak harus melakukan pemecahan 

masalah,    orangtua dapat memikirkan  beberapa  cara untuk menyelesaikan 

masalah  yang  melibatkan  hal  fisik  sehingga  anak  dapat  menyentuh, 

memanipulasi  bagian,  bergerak  di  sekitar,  dan menemukan  hal  baru  dari 

suatu  bagian  informasi  yang  mungkin  bisa  membantu  mereka  dalam 

memecahkan masalah. 

 

34

Page 54: Tesis

6. Prinsip pentingnya konsistensi 

Prinsip ini berkaitan dengan orangtua harus menggunakan strategi yang 

sama  untuk  mengelola  perilaku  anak  GPPH.  Ada  4  hal  yang  penting 

diperhatikan dalam menerapkan  strategi  yang  konsisten,  yaitu  (1) menjadi 

konsisten  sepanjang  waktu,  (2)  tidak  mudah  menyerah  ketika  program 

perubahan  perilaku  baru  dimulai,  (3)  merespon  dengan  cara  yang  sama 

ketika  settingnya  berubah,  dan  (4)  kedua  orangtua menggunakan metode 

yang sama.  

Aturan yang berubah‐ubah dan juga kehilangan harapan ketika mencoba 

menetapkan metode  baru  pengasuhan merupakan  tanda  kegagalan  dalam 

menghasilkan perubahan perilaku  anak yang  signifikan.  Selain  itu, banyak 

orangtua  yang  terperangkap  hanya  dapat  mengelola  perilaku  anak  pada 

setting  rumah  dan  jauh  berbeda  ketika  berada  di  depan  publik.  Padahal 

mencoba  untuk  memelihara  kekonsistenan  semampu  orangtua,  dapat 

menyatukan perbedaan di dalam gaya pengasuhan. 

7. Prinsip perencanaan menghadapi situasi bermasalah 

Ketika  berada  di  situasi  tertentu  dan  anak  mulai  menangis  atau 

merusakkan barang‐barang di sekitarnya, maka orangtua akan memberikan 

ancaman  dan  berbagai  perintah.  Orangtua  sebenarnya  bingung,  frustrasi, 

tidak dapat berpikir tenang, sehingga tidak dapat mengambil solusi dengan 

tepat.  Kecemasan  orangtua  kemudian  meningkat  ketika  orang  lain  mulai 

memperhatikan  dan  hukuman  fisik  kepada  anak mulai  dijalankan  (seperti 

35

Page 55: Tesis

menarik anak keluar dari situasi bermasalah, menutup mulut anak, bahkan 

memukul).  

Ada  lima  langkah  sederhana  yang  dapat  dilakukan  orangtua  sebelum 

memasuki  situasi bermasalah, yaitu:  (1) memprediksi di  situasi mana  anak 

GPPH  cenderung  berperilaku  tidak  sesuai,  (2) mempertimbangkan waktu 

yang terbaik untuk menghadapi perilaku anak, (3) mengembangkan rencana 

tindakan  sebelum  memasuki  situasi  bermasalah,  (4)  menjelaskan  kepada 

anak  mengenai  rencana  yang  telah  disusun,  dan  (5)  mengikuti  rencana 

tersebut ketika perilaku yang tidak sesuai mulai muncul. 

8. Prinsip menerima berbagai hal dalam perspektif anak GPPH 

Kadang‐kadang,  ketika  berhadapan  dengan  kesulitan  menangani 

perilaku  anak  dengan GPPH,  orangtua  akan  kehilangan  semua  perspektif 

mengenai  keterbatasan  anak  yang  menyebabkan  munculnya  masalah 

sehingga orangtua menjadi marah, dipermalukan, atau paling sedikit frustasi 

ketika manajemen  perilaku  yang  dicobakan  tidak  bekerja.  Salah  satu  cara 

membuat  orangtua  tenang  adalah  mencoba  untuk  mempertahankan 

beberapa  jarak psikologis dari permasalahan anak. Menganggap diri sendiri 

sebagai  orang  asing,  menjadikan  orangtua  dapat  melihat  situasi  dengan 

menyeluruh untuk mengatasi perilaku anak. Hal ini memang sulit, sehingga 

orangtua  harus  punya  cara  untuk  mengingatkan  diri  sendiri  mengenai 

keterbatasan  anak,  terutama  ketika  sedang  berusaha  untuk  menghadapi 

perilaku anak yang mengganggu. 

36

Page 56: Tesis

9. Prinsip melatih sikap memaafkan 

Memaafkan adalah prinsip yang paling penting, tetapi sering paling sulit 

untuk diterapkan secara konsisten di dalam kehidupan sehari‐hari. Ada tiga 

cara  untuk memaafkan.  Pertama,  setiap  harinya  setelah menidurkan  anak 

atau  sebelum orangtua  tertidur, manfaatkan  sedikit waktu untuk meninjau 

kembali  kejadian  hari  itu  dan  maafkan  anak  untuk  pelanggaran  yang 

dilakukannya.  Lepaskan  kemarahan,  kekesalan,  kekecewaan,  atau  emosi 

lainnya yang sudah muncul hari itu karena kelakuan buruk anak. Anak tidak 

bisa mengontrol apa yang dia lakukan dan berhak untuk dimaafkan.  

Kedua,  berkonsentrasi  untuk  memaafkan  orang  lain  yang  telah  salah 

paham terhadap perilaku anak yang tidak sesuai dan bertindak menyalahkan 

ketidakmampuan  orangtua  menangani  perilaku  anak.  Jangan  mengambil 

tindakan korektif dan menekan anak,  tetapi  lepaskan sakit hati, kemarahan, 

dan  segala  kejadian  yang  tidak menyenangkan  yang  telah menimpa Anda 

sebagai orangtua yang memiliki anak GPPH. Ketiga, orangtua harus belajar 

untuk  berlatih  memaafkan  diri  sendiri  atas  kesalahan  dalam  mengelola 

perilaku anak setiap harinya. Lepaskan evaluasi diri yang akan mengarah ke 

hal  negatif  (seperti mengutuk  diri,  perasaan malu,  penghinaan,  kebencian, 

atau kemarahan) menjadi evaluasi yang  jujur mengenai pencapaian hari  ini 

dalam menangani  perilaku  anak, mengidentifikasi  area mana  yang  dapat 

ditingkatkan,  dan membuat  suatu  komitmen  pribadi  untuk  bekerja  keras 

esok hari. 

37

Page 57: Tesis

2.2.3 Sesi Pelaksanaan Parent Training dari Barkley 

Sebelum  menguraikan  secara  spesifik  masing‐masing  sesi  program 

pelatihan  ini, penting untuk diingat bahwa banyak  sesi dari program  ini  telah 

dibahas secara detail oleh para ahli lainnya. Konsekuensinya adalah program ini 

tidak  menyediakan  suatu  manual  teknis  dan  sebagai  gantinya  Barkley 

menyajikan  ringkasan  deskripsi  prosedur  pelaksanaan  program  ini  sehingga 

memberikan  pemahaman  yang  lebih  baik  dari  kerangka  kerja  yang  telah 

dikemukakannya  dalam  mengimplementasikan  program  behavioral  parent 

training. Berikut ini akan dijelaskan secara terperinci program pelatihan orangtua 

berdasarkan kerangka kerja Barkley (2006:463‐473): 

1. Sesi pemberian informasi mengenai GPPH 

Sesi  ini  merupakan  sesi  yang  paling  awal  dan  bertujuan  untuk 

memperkenalkan  orangtua  mengenai  mekanisme  program  pelatihan  dan 

untuk memulai proses peningkatan pengetahuan orangtua mengenai GPPH. 

Sebagian besar  sesi  ini diberikan dengan  format  ceramah dan dibantu oleh 

tayangan  presentasi  yang  telah  disiapkan  secara  spesifik  untuk membantu 

memudahkan perhatian orangtua dan memahami informasi yang disajikan.  

Sesi  ini  dimulai  dengan  diskusi  singkat  mengenai  bagaimana 

konseptualisasi diagnostik awal pada anak GPPH dan  label yang umumnya 

orangtua  kenali  (seperti  gangguan  konsentrasi,  hiperaktivitas,  kelainan 

fungsi otak yang minimal). Selanjutnya pelatih menjelaskan mengenai  latar 

belakang historis, gejala  inti dari GPPH, perilaku umum yang diasosiasikan 

38

Page 58: Tesis

dengan  bentuk  GPPH,  dan  pendekatan  intervensi  multimodal.  Presentasi 

dari  semua  informasi  ini  harus  sesingkat  mungkin  supaya  orang  tua 

memusatkan perhatian dengan penuh  terhadap poin utama.  Secara umum 

setelah  pelatih memberikan  penjelasan,  diikuti  oleh  sesi  diskusi  berkaitan 

dengan  pengetahuan  orangtua  saat  ini  dan  kondisi  keluarga  dengan  anak 

GPPH.  

2. Sesi Memahami Hubungan Orangtua‐Anak.  

Tujuan dari  sesi  ini  adalah mengajarkan orang  tua mengenai penyebab 

perilaku  anak  yang  mengganggu,  memperbaiki  informasi  yang  salah, 

mengidentifikasi  penyebabnya  pada  masing‐masing  keluarga, 

menyampaikan  hal‐hal  yang  menyebabkan  perilaku  mengganggu  anak 

semakin  berlanjut  (jika  memungkinkan),  dan  membahas  prinsip‐prinsip 

pengelolaan  perilaku  melalui  model  antecedent–behavior–consequence.  Pada 

sesi  ini  lebih banyak menekankan pada diskusi yang mendalam dibanding 

presentasi dari pelatih.  

Materi  pada  sesi  kedua  dimulai  dengan  pelatih memberikan  kerangka 

konseptual  untuk  memahami  interaksi  orangtua‐anak  yang  menyimpang 

dan  bagaimana  mengelolanya.  Pada  konteks  ini,  orang  tua  disiapkan 

terhadap  empat  faktor  utama  yang  dapat  berperan  dalam  kemunculan 

dan/atau pemeliharaan dari berbagai permasalahan tingkah laku anak, yaitu 

karakteristik anak, karakteristik orangtua, peristiwa stress yang terjadi pada 

keluarga, dan bagaimana gaya pengasuhan tertentu (seperti kritik yang kasar 

39

Page 59: Tesis

atau berlebihan, ketidakkonsistenan) dapat mempersulit manajemen perilaku 

pada anak GPPH.  

Poin  dari  sesi  ini  adalah  pelatih  memberikan  gambaran  prinsip 

manajemen  perilaku  umum  melalui  model  Antecedent‐Behavior‐Consequnce 

sebagai cara untuk mempersiapkan tehnik perilaku yang spesifik. Gambaran 

ini  diperkenalkan  dengan  diskusi  yang  mendalam  seperti  berbagai  jenis 

penguatan yang positif dan strategi hukuman yang telah orangtua terapkan; 

kebutuhan untuk menggunakan berbagai kombinasi pemberian konsekuensi; 

dan keuntungan pemberian konsekuensi yang spesifik, segera, dan konsisten. 

3. Sesi Meningkatkan Keterampilan Positive Attending 

Tujuan dari sesi ini adalah mengajarkan orang tua kekuatan perhatian 

positif  dalam  hubungan  antar manusia, meningkatkan metode  yang dapat 

digunakan  orangtua dalam memberikan perhatian  terhadap perilaku  anak, 

mendorong orangtua untuk menggunakan keterampilan positive attending di 

rumah,  dan  meningkatkan  hubungan  orang  tua‐anak.  Metode  yang 

digunakan pada sesi ini adalah diskusi, presentasi, dan role play.  

Sesi ini dimulai dengan diskusi mengenai pentingnya perhatian yang 

positif  pada  individu  untuk  semua  umur  dan  cara  orangtua  berinteraksi 

dengan  anak.  Kemudian  dilanjutkan  dengan  presentasi  materi  mengenai 

keterampilan  memberikan  perhatian  dan  waktu  khusus.  Hal  ini 

berlandaskan  bahwa  anak  dengan  GPPH  sering  terlibat  dalam  perilaku 

aversive,  sehingga banyak orang  tua yang memilih untuk  tidak berinteraksi 

40

Page 60: Tesis

dengan  mereka.  Ketika  terjadi  interaksi  orangtua‐anak,  orang  tua  sering 

berasumsi  bahwa  perilaku  negatif  anak  akan muncul  dan  kemudian  gaya 

pengasuhan orangtua menjadi memerintah, mengkritik, memaksa, atau tidak 

menyenangkan.  Dengan  pertimbangan  seperti  ini,  penting  untuk  adanya 

“waktu  yang  khusus”  yaitu  ketika  orang  tua  nondirective dan  noncorrective. 

Anak  diberikan  kesempatan  untuk  menjadi  anak  yang  baik  dengan 

membantu  membangun  peluang  positif  dalam  interaksi  orangtua‐anak. 

Orangtua yang sudah mencoba meluangkan waktu khusus, sadar bagaimana 

sulitnya  untuk  melakukan  hal  tersebut.  Namun  ketika  sudah  di 

implementasikan  dengan  baik,  prosedur  ini  akan  mengarahkan  pada 

peningkatan keterampilan positive attending dan menciptakan hubungan yang 

menyenangkan antara orangtua‐anak.  

Mulai sesi ini, orangtua diberikan pekerjaan rumah mengenai praktek 

keterampilan memberikan perhatian positif   dan membuat anak berperilaku 

baik selama periode “waktu bermain khusus”. Catat informasi pada periode 

latihan dan coba gunakan keterampilan perhatian positif ini pada waktu lain. 

4. Sesi  Memperluas  Keterampilan  Positive  Attending  dan  Meningkatkan 

Kepatuhan Anak. 

Tujuan dari sesi ini adalah mengajarkan orang tua untuk memperpanjang 

perhatian  positif  yang  telah  diberikan,  mengajarkan  orang  tua  untuk 

memberikan  perintah  yang  efektif,  mengajarkan  orang  tua  untuk  lebih 

memperhatikan  perilaku  anak  yang  nondisruptive,  dan  meningkatkan 

41

Page 61: Tesis

pengawasan orangtua. Sesi ini lebih banyak menekankan pada diskusi yang 

mendalam. 

Materi dalam  sesi  ini merupakan materi  lanjutan dari  sesi  sebelumnya. 

Pelatih mulai dengan mengajarkan cara menggunakan keterampilan positive 

attending  terhadap  situasi  yang  lain,  khususnya  untuk  meningkatkan 

kemandirian  ketika  terlibat  dalam  aktivitas  di  rumah  (seperti  bicara  di 

telepon, menyiapkan makan malam, atau mengunjungi tetangga). Kemudian 

pelatih mendiskusikan dalam situasi mana saja anak menginterupsi kegiatan 

orangtua  dan  catat  bagaimana  perhatian  yang  anak  peroleh  saat 

menunjukkan  perilaku  mengganggu.  Setelah  orangtua  paham,  pelatih 

membahas  materi  dari  handout  mengenai  meningkatkan  kemandirian 

bermain dan dilanjutkan dengan memberikan  contoh mengenai bagaimana 

mempraktekkannya.  

Pada  sesi  ini  orangtua  juga  dilatih  cara memberikan  perintah  kepada 

anak, yang meliputi parameter verbal dan nonverbal. Hal  ini mencakup: (1) 

orang  tua  hanya  mengeluarkan  perintah  yang  berdasarkan  kejadian,  (2) 

perintah  itu  merupakan  pernyataan  langsung  dibanding  pertanyaan,  (3) 

perintah  itu  relatif  sederhana,  (4) Agar  tidak  terjadi  kebingungan,  lakukan 

kontak mata dengan anak, dan (5) perintah itu diulangi kembali ke orang tua 

supaya memberi kesempatan untuk memperjelas kesalahpahaman  sebelum 

anak merespon. 

42

Page 62: Tesis

Saat  sesi  ini  berakhir,  orangtua  diberikan  pekerjaan  rumah  untuk 

melanjutkan  periode  bermain  dalam  “waktu  khusus”, mulai memberikan 

perintah dengan cara yang efektif, memanfaatkan perhatian positif agar anak 

patuh  terhadap  perintah  dan  tugas,  melaksanakan  praktek  periode 

kepatuhan  di  rumah  dan  praktek  perhatian  positif  unttuk  kemandirian 

bermain. 

5. Sesi menetapkan sistem poin/home token 

Ada  tiga  tujuan  dari  sesi  ini,  yaitu  (1)  membuat  metode  yang  lebih 

sistematis, dapat diprediksi, dan memotivasi orang  tua untuk memperkuat 

kepatuhan anak, (2) membuat hak istimewa jika anak bertahan mengerjakan 

tugas, (3) mengajarkan orang tua mekanisme menyiapkan sistem token atau 

sistem poin di rumah.  

Pengaturan  sistem  token  di  rumah merupakan  fokus  dari  tahapan  ini. 

Sistem  poin  ini  dapat  memberikan  motivasi  eksternal  pada  anak  GPPH 

untuk  melakukan  aktivitas  yang  diperintahkan  orangtua.  Dengan  sistem 

poin  atau  token  anak  dilatih  untuk menunda  keinginan  dan memberikan 

kesempatan  untuk  merencanakan.  Alasan  lainnya  untuk  menggunakan 

sistem  ini  adalah  bahwa  positive  attending  dan  strategi  pengabaian  sering 

tidak  cukup  untuk  mengatur  perilaku  anak  GPPH,  yang  secara  umum 

memerlukan penghargaan yang kongkret dan bermakna. 

Pelatih  memulai  sesi  ini  dengan  diskusi  praktis  mengenai  program 

penghargaan  yang  telah  diberikan  kepada  anak. Diskusi  seperti  ini  dapat 

43

Page 63: Tesis

membuat  orangtua  waspada  mengenai  bagaimana  mereka  telah 

memperlakukan anak dan akhirnya mempermudah pengaturan sistem token 

di  rumah.  Kemudian  dilanjutkan  dengan  presentasi materi  yang  terdapat 

dalam handout mengenai keuntungan sistem  token/poin, penyusunan daftar 

hak  istimewa, penyusunan  tugas dan  tanggung  jawab, penyusunan rentang 

pemberian token/poin untuk setiap tugas, dan pemberian bonus untuk usaha 

yang ekstra. Pekerjaan rumah untuk sesi  ini adalah orangtua diminta untuk 

membuat sistem aturan di rumah selama 3 hari yang akan digunakan selama 

8  minggu  dan  diminta  untuk  membawa  aturan  yang  telah  dibuat  pada 

pertemuan selanjutnya.    

6. Sesi menggunakan Response Cost 

Sesi  ini  dimulai  dengan  meninjau  kembali  dengan  seksama  usaha 

orangtua  untuk menerapkan  sistem  poin  di  rumah.  Karena masalah  pasti 

muncul, sebagian besar sesi  ini disediakan untuk memperjelas kebingungan 

dan untuk membuat saran yang dapat meningkatkan efektivitas dari sistem 

poin.  

Setelah review pekerjaan rumah, pelatih memperkenalkan tehnik response 

cost  dalam  program  ini,  yaitu mempertimbangkan  penggunaan  hukuman 

berupa  pengurangan  poin  ketika  anak  gagal  memenuhi  satu  atau  dua 

permintaan  yang  terdapat  dalam  daftar  atau menunjukkan  perilaku  yang 

tidak  diinginkan.  Pada  program  ini,  anak  tidak  hanya  gagal  untuk 

mendapatkan  poin  tetapi  poin  yang  sebelumnya  telah  anak  dapatkan 

44

Page 64: Tesis

menjadi hilang. Banyaknya poin‐poin yang hilang sama dengan banyaknya 

jumlah poin yang akan diperoleh ketika mematuhi aturan. Pada anak dengan 

GPPH,  penambahan  komponen  response  cost  dalam  sistem  token  dapat 

meningkatkan kepatuhan anak  terhadap permintaan orangtua, karena anak 

mempunyai  perangsang  tambahan.  Penting  bagi  pelatih  untuk 

mengingatkan  orangtua  agar menghindari  hukuman  berpilin,  yaitu  sangat 

banyak poin yang diambil sehingga anak mengalami hutang.  

Pekerjaan  rumah  untuk  sesi  ini  adalah  orangtua melanjutkan  program 

penguatan  perilaku  dengan  token/poin  dan  mulai  mengambil  token/poin 

untuk perilaku anak yang tidak sesuai. 

7. Sesi menggunakan Time Out 

Ada  tiga  tujuan dalam  sesi  ini,  yaitu  (1) mengajarkan  orang  tua untuk 

menggunakan  time  out untuk bentuk‐bentuk ketidaksesuaian perilaku yang 

lebih  serius.  (2)  menentukan  metode  cadangan  jika  anak  mencoba  untuk 

melarikan diri dari  time out.  (3) Memilih  satu atau dua perilaku yang  tidak 

sesuai untuk di time out. 

Setelah  meninjau  kembali  penggunaan  sistem  token  di  rumah  dan 

penyesuaian  lainnya  yang  dianggap  perlu,  pelatih  mulai  mendiskusikan 

metode  time  out. Walaupun  kebanyakan  jenis  ketidakpatuhan  akan  terus 

berlanjut  untuk  ditangani melalui  response  cost,  orang  tua  juga  didukung 

untuk mengidentifikasi satu atau dua perilaku menetap atau perilaku serius 

yang melanggar aturan  (seperti memukul saudara kandung) untuk menjadi 

45

Page 65: Tesis

target dari time out. Ketika perilaku telah diidentifikasi, perhatian selanjutnya 

difokuskan  pada  pengajaran mekanisme  penerapan  prosedur  time  out  dan 

dilanjutkan dengan diskusi bagaimana reaksi orang tua terhadap metode ini. 

Seperti  sistem  token,  time  out  merupakan  suatu  teknik  yang  sulit  untuk 

dilakukan. Penggunaannya harus diterangkan secara hati‐hati sebelum orang 

tua  diminta  untuk  mempraktekkannya  di  rumah.  Oleh  karena  itu  sesi 

terakhir pada program ini adalah role play mengenai penerapan time out.  

8. Sesi mengelola perilaku anak di area publik 

Tujuan sesi ini adalah mengajarkan orang tua ʺrencana transisiʺ, meninjau 

kembali kemampuan orangtua dengan metode sebelumnya untuk digunakan 

di  tempat  umum,  dan  membantu  orang  tua  dalam  menghadapi  reaksi 

emosional diri  sendiri  yang dapat mengganggu mengelola  anak di  tempat 

umum (jika diperlukan melalui teknik restrukturisasi kognitif). 

Sesi  ini dimulai dengan diskusi mengenai situasi apa saja di area publik 

dimana anak sering berperilaku tidak sesuai. Catat informasi yang diperoleh, 

untuk membuat rencana antisipasi dan tindakan agar orangtua lebih proaktif 

ketika  menghadapi  perilaku  anak  yang  tidak  sesuai  saat  berada  di  area 

publik. Kemudian pelatih memberikan gambaran agar orangtua mempunyai 

suatu rencana kegiatan sebelum memasuki situasi publik yang diperkirakan 

akan mengalami masalah dan meninjau kembali metode‐metode yang dapat 

digunakan  di  area  publik.  Kesuksesan  dari  rencana  ini  adalah  anak 

mempunyai  pemahaman  bahwa  ada  aturan  dan  konsekuensi  sebelum 

46

Page 66: Tesis

memasuki  situasi  publik.  Sebelum  menutup  sesi  ini,  orangtua  diberi 

kesempatan untuk memperjelas kesalahpahaman apapun pada perilaku anak 

yang mungkin diakibatkan kebingungan atau kondisi tidak memperhatikan. 

9. Isu Seputar Permasalahan di Sekolah dan Persiapan Penutupan 

Sesi  ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan orangtua mengenai 

isu  yang  berkaitan dengan  sekolah  anak, untuk mendiskusikan  bagaimana 

cara menangani permasalahan  yang mungkin muncul di masa depan, dan 

bersiap‐siap mengakhiri sesi pelatihan  ini. Bentuk yang penting dari sesi  ini 

adalah  untuk mendiskusikan  status  sekolah  anak  saat  ini,  yang mencakup 

modifikasi apa yang dapat dilakukan oleh sekolah ketika berhadapan dengan 

anak GPPH. Hal  ini diikuti oleh suatu uraian mengenai sistem hukum anak 

GPPH  dengan  sistem  sekolah, menekankan  pada  penempatan  anak dalam 

lingkungan  pendidikan  yang  terbatas,  serta  bagaimana  dan  kapan  untuk 

mempertimbangkan pendidikan khusus bagi anak. Dalam sesi ini, orang tua 

juga dilatih untuk menggunakan sistem kartu  laporan di mana konsekuensi 

di  rumah  akan  digunakan  bersama  dengan  umpan  balik  sehari‐hari  dari 

guru.  

Diskusi mengenai  apa  yang  orangtua  percaya  dapat menjadi masalah 

bagi  mereka  di  kemudian  hari  dan  bagaimana  mereka  dapat  menangani 

situasi  bermasalah  tersebut,  juga  dibahas  dalam  program  ini.  Pelatih 

melakukan diskusi dengan orangtua mengenai bentuk‐bentuk perilaku yang 

tidak  sesuai  pada  anak  yang  belum  mereka  temukan  dan  menanyakan 

47

Page 67: Tesis

kepada  masing‐masing  orangtua  untuk  menjelaskan  bagaimana  mereka 

menggunakan  keterampilan  yang  baru  diperoleh  untuk  mengatur 

permasalahan  ini. Diskusi  ini ditutup dengan pemberian  informasi kepada 

orangtua mengenai  bagaimana menjalankan pemeriksaan pada diri  sendiri 

untuk  memastikan  di  mana  perlu  dilakukan  penyelarasan  keterampilan 

manajemen perilaku anak. 

Bagian  akhir  dari  sesi  ini  digunakan  untuk  mengakhiri  dan/atau 

pengaturan  sesi  tambahan.  Selain  menyepakati  tanggal  sesi  tambahan, 

diskusi pelatih dengan orang tua juga diperlukan untuk mengetahui apakah 

ada  jenis  layanan  klinis  lainnya  yang  diperlukan,  seperti  menambahkan 

komponen  obat  atau menjadwalkan  kunjungan  ke  sekolah  terkait  dengan 

manajemen kelas. 

10. Sesi Tambahan 

1  bulan  setelah  melaksanakan  sesi  9  akan  diadakan  sesi  tambahan. 

Sasaran  dari  sesi  ini  adalah  meninjau  kembali  konsep‐konsep  yang  telah 

dipelajari  (bisa melalui memberikan kembali kuesioner dan  self  report  rating 

scale  kepada  orangtua,  yang  berfungsi  sebagai  penunjuk  perubahan 

posttreatment yang mungkin  terjadi) dan mendiskusikan permasalahan yang 

muncul dalam 1 bulan terakhir. Tambahan penjadwalan mungkin diperlukan 

untuk berhadapan dengan  isu yang terus berlanjut, tetapi umumnya 10 sesi 

cukup untuk melihat perubahan perilaku yang signifikan pada anak GPPH. 

 

48

Page 68: Tesis

2.3 Teori Belajar Sosial 

Teori  belajar  sosial  secara  resmi  dikembangkan  oleh  John  Dollard  & 

Robert  Miller  pada  tahun  1941,  dalam  kemasan  konsep  Social  Learning  and 

Imitation. Teori ini menganut prinsip‐prinsip belajar seperti: penguatan perilaku, 

hukuman, penghentian, dan  imitasi  terhadap model. Buku yang dihasilkan  ini 

mengungkap bagaimana perilaku model yang teramati oleh hewan dan manusia, 

akan  dipelajari melalui  penguatan‐penguatan  dari  lingkungan.  Pada  perilaku 

manusia terdapat dorongan yang melatarbelakangi, dan setiap respon dari suatu 

organisme akan menjadi stimulus bagi organisme lainnya. Jadi, menurut Dollard 

& Miller belajar imitative adalah kasus khusus dari pengkondisian instrumental 

(Hergenhahn & Olson, 2009:357).  

Pada masa terakhir ini, mulai muncul serangkaian teori yang didasarkan 

pada prinsip – prinsip belajar sosial, namun menempatkan pula peran variabel 

kognitif di dalam prosesnya.Hal  ini dilakukan untuk menjembatani kenyataan 

cara pandang behavioristik yang ketat sehingga memposisikan perilaku manusia 

sebagai reaksi sederhana terhadap stimulus eksternal. Teori ini mengakui adanya 

peran  kognisi manusia  diantara  stimulus  dan  respon,  sehingga  individu  pun 

dapat mengendalikan respon‐respon perilakunya terhadap suatu stimulus.  

Ada  tiga prinsip yang dikemukakan para ahli  (Woodward, 1982;  Jones, 

1989;  Perry  et  al,  1990; Crosbie‐Brunett & Lewis,  1993, dalam Adella  2007:50), 

yaitu: 

49

Page 69: Tesis

Prinsip  1:  Konsekuensi  –  konsekuensi  terhadap  respon,  baik  berupa 

penghargaan maupun hukuman  akan mempengaruhi  sesorang  sehingga  ia 

akan mengulangi perilaku spesfik yang sama di situasi yang juga sama.  

Prinsip 2: Manusia dapat belajar melalui pengamatan  terhadap perilaku orang 

lain,  dalam  rangka mempelajari  sesuatu  untuk  tindakannya  kelak.  Belajar 

melalui  mengamati  orang  lain  disebut  vicarious  learning.  Konsep  vicarious 

learning  tidak  termasuk  yang  diungkap  ke  permukaan  oleh  teori  belajar 

klasik. 

Prinsip  3:  Individu‐individu  adalah  sebagian  besar  menjadi  model  yang 

perilakunya  diamati  oleh  orang  lain  yang mengidentikkan  dirinya  dengan 

model tersebut. Identifikasi dengan orang lain merupakan fungsi dari derajat 

dimana  seseorang  membayangkan  kesamaan  dirinya  dengan  orang  lain 

untuk  kemudian menuju  ke  proses  pendekatan  secara  emosional  terhadap 

orang tersebut. 

 

2.3.1 Konsep Belajar Lewat Pengamatan 

Konsep  ini dikembangkan oleh Albert Bandura,  seorang psikolog klinis 

dari Universitas Stanford, untuk menjelaskan bagaimana individu belajar dalam 

setting  yang  alami/lingkungan  sebenarnya.  Konsep  belajar  sosial  yang 

dikemukakan oleh Bandura  (1997) menjelaskan bahwa  seseorang dapat belajar 

sesuatu secara tidak langsung yaitu melalui pengamatan terhadap orang lain, di 

50

Page 70: Tesis

samping  belajar melalui  pengalaman  langsung.  Ada  dua  tahap  dalam  proses 

belajar lewat pengamatan, yaitu: 

1. Akuisisi 

Merupakan belajar mengikuti tindakan model melalui pengamatan langsung, 

namun pemilihan model dan tindakan yang akan diakusisi tergantung pada 

vicarious  reinforcement  yang  mengiringinya.  Vicarious  reinforcement  adalah 

penguat perilaku yang benar‐benar memotivasi pembelajar sehingga tergerak 

untuk melakukan  tindakan yang  akan dilakukan model. Dengan kata  lain, 

pada  saat  model  mendapatkan  kesempatan  ataupun  konsekuensi  positif 

yang disukai pula oleh pembelajar, maka pembelajar akan  terdorong untuk 

mengakuisisi  tindakan  yang  sama  dengan model.  Begitu  pula  sebaliknya, 

pada  saat model mendapatkan konsekuensi negatif atas  tindakannya, yang 

juga dirasakan  tidak menyenangkan  oleh  pembelajar, maka menurun  pula 

peluang  bagi  pembelajar  untuk mengakuisisi  tindakan  yang  sama  dengan 

model.  

2. Performance 

Yaitu sejauhmana pembelajar dapat menampilkan perilaku yang diharapkan 

secara mandiri  sebagai  hasil dari prinsip‐prinsip  operan  conditioning  seperti 

pemberian penguat atau hukuman secara langsung. Dalam hal ini pembelajar 

telah menetapkan target pencapaian yang bila dipenuhi akan mendatangkan 

suatu kepuasan (motivasi internal). 

 

51

Page 71: Tesis

2.3.2 Proses Belajar Lewat Pengamatan 

Proses  belajar melalui  pengamatan  ditentukan  oleh  empat  proses  yang 

saling terkait (Bandura, dalam Hergenhahn & Olson, 2009:363): 

1. Proses Perhatian (Attentional Processes).  

Proses  ini  terkait dengan kemampuan pembelajar secara selektif mengamati 

tindakan  dan  perilaku‐perilaku  yang  ada  disekitarnya.  Seseorang  akan 

belajar dari seorang model hanya jika mereka memperhatikan dan mengenali 

aspek‐aspek terpenting dari perilaku model  itu seperti kondisi yang relevan 

dengan pembelajar atau penguatan perilaku di masa lalu.  

2. Proses Pengingatan (Retention Processes).  

Proses  retensi  adalah  pengkodean  simbolik  (symbolic  coding)  dan 

pengulangan  dalam  hati  (mental  rehearsal)  terhadap  perilaku  yang  diamati 

sehingga  akan  menjadi  patokan  dalam  mengingat  kembali  saat  perilaku 

tersebut harus ditampilkan. Bandura berpendapat bahwa informasi disimpan 

secara  simbolis melalui  dua  cara  yaitu  secara  imajinatif  dan  secara  verbal. 

Simbol‐simbol yang disimpan secara imajinatif adalah gambaran tentang hal‐

hal  yang  dialami  model,  yang  dapat  diambil  dan  dilaksanakan  kembali 

sesudah  belajar  melalui  pengamatan  terjadi.  Sedangkan  simbol  verbal 

memuat sebagian besar pengetahuan yang diperoleh melalui kata‐kata.   

3. Proses Reproduksi Motorik (Motoric Reproduction Processes).  

Proses  reproduksi motorik adalah  sejauhmana hal‐hal yang  telah dipelajari 

akan diterjemahkan ke dalam  tindakan. Bandura berpendapat bahwa untuk 

52

Page 72: Tesis

memberikan  respon  yang  tepat,  dibutuhkan  periode  latihan  pengulangan 

kognitif  sebelum  perilaku  pengamat  menyamai  perilaku  model.  Selama 

proses  latihan  ini  individu  mengamati  perilaku  mereka  sendiri  dan 

membandingkannya  dengan  pengalaman  model.  Setiap  ketidaksesuaian 

antara  perilaku  individu  dengan  perilaku  model  akan  menimbulkan 

tindakan korektif. Proses  ini  terus berlangsung sampai ada kesesuaian yang 

memuaskan antara perilaku pengamat dan model. Jadi, retensi simbolis atas 

pengalaman modelling akan menciptakan  lingkaran umpan balik yang dapat 

dipakai  setahap  demi  setahap  untuk  menyamakan  perilaku  seseorang 

dengan perilaku model.   

4. Proses Penguatan dan Motivasi (Reinforcement and Motivational Processes). 

Proses  motivasi,  yakni  ketika  perilaku  hasil  belajar  dimunculkan  dalam 

rangka mencapai  target  tertentu. Apakah perilaku yang  telah dipelajari  itu 

akan ditampilkan atau tidak, tergantung pada apakah perilaku tersebut akan 

mendapatkan  imbalan  atau  hukuman.  Jika  terdapat  insentif  yang  positif, 

maka  perilaku  yang  ditiru  itu  akan memperoleh  lebih  banyak  perhatian, 

dipelajari dengan lebih baik, dan ditampilkan lebih sering.  

 

2.4 Taksonomi Tujuan Pembelajaran 

Bloom  (1956:7) membagi  aktivitas pembelajaran dalam  tiga  ranah yaitu 

ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. 

53

Page 73: Tesis

a. Ranah Kognitif 

Ranah  kognitif meliputi  pengenalan  atau mengingat  kembali  pengetahuan 

dan perkembangan kemampuan  intelektual. Ada 6 kategori yang  termasuk 

dalam  ranah  kognitif  di  mana  masing‐masing  kategori  menunjukkan 

tingkatan, yakni : 

1) Pengetahuan, mencakup ingatan akan hal‐hal yang pernah dipelajari dan 

disimpan dalam  ingatan.  Individu dituntut untuk dapat mengenali atau 

mengetahui  adanya  konsep  atau  fakta  atau  istilah‐istilah  tanpa  harus 

mengerti atau menggunakannya. Tingkat ini adalah hasil belajar terendah 

yang dapat dicapai. 

2) Pemahaman,  yaitu  menunjuk  pada  pembelajar  mengetahui  apa  yang 

sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan materi atau  ide yang 

sedang  dikomunikasikan. Yang  diharapkan  dalam  tingkatan  ini  adalah 

demonstrasi fisik dalam situasi yang spesifik.  

3) Penerapan,  yaitu  menggunakan  konsep,  prinsip,  dan  prosedur  yang 

sudah dipelajari ke dalam suatu situasi baru.  

4) Analisa,  yaitu  memerinci  konsep  kedalam  bagian‐bagian  sehingga 

struktur ide secara keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Pada level 

ini seseorang diharapkan menunjukkan hubungan antar berbagai alasan 

dengan  cara membandingkan gagasan  tersebut dengan  standar, prinsip 

atau prosedur yang telah dipelajari.  

54

Page 74: Tesis

5) Sintesa,  yaitu  kemampuan  mengkombinasikan  bagian  atau  elemen  ke 

dalam satu kesatuan. 

6) Penilaian,  yaitu  membuat  penilaian  dan  keputusan  terhadap  suatu 

situasi, materi, metode, berdasarkan suatu kriteria tertentu.  

b. Ranah Afektif 

Ranah  afektif  menggambarkan  perubahan  dalam  minat,  sikap,  nilai,  dan 

perkembangan  asosiasi  dan  penyesuaian  yang  adekuat.  Ada  5  tingkatan 

ranah afektif, yaitu : 

1) Memperhatikan  yaitu  kesediaan  atau  kemauan  untuk  mengenal, 

menerima  dan  memperhatikan  berbagai  stimulus.    Individu  masih 

bersifat  pasif,  sekedar  keinginan  untuk mendengar,  dan memfokuskan 

perhatian.   

2) Merespon yaitu keinginan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap 

suatu  gagasan,  benda  atau  sistem  nilai.    Individu  diharapkan  aktif 

berpartisipasi,  memperhatikan,  dan  berespon  terhadap  fenomena 

tertentu.  

3) Penghargaan  terhadap  nilai,  yaitu  perasaan  keyakinan  atau  anggapan 

bahwa suatu gagasan, benda atau cara berpikir tertentu mempunyai nilai.  

Individu secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun 

tidak ada pihak lain yang meminta atau mengharuskan.   

55

Page 75: Tesis

4) Organisasi,  mengorganisasikan  nilai  ke  dalam  suatu  prioritas, 

menyelesaikan konflik antara nilai‐nilai yang berbeda.  

5) Karakterisasi,  yaitu menginternalisasi  nilai‐nilai menjadi  karakter  yang 

mengontrol perilakunya. 

c. Ranah Psikomotorik 

Perkembangan  kemampuan dalam  ranah  ini menuntut  latihan dan diukur 

dalam bentuk kecepatan, ketepatan, jarak, prosedur atau teknik pelaksanaan. 

5 tingkatan dalam kategori ini adalah sebagai berikut : 

1) Meniru, yaitu kemampuan untuk menggunakan petunjuk sensoris untuk 

mengarahkan  aktivitas  motorik.  Tahap  awal  dalam  mempelajari 

kemampuan yang kompleks meliputi imitasi dan trial and error.   

2) Manipulasi,  yaitu  kemampuan  untuk melakukan  suatu  perilaku  tanpa 

bantuan visual.  Meliputi suatu kesiapan untuk bertindak, yang meliputi 

mental, fisik, dan emosional. 

3) Ketepatan gerakan, yaitu kemampuan untuk melakukan perilaku  tanpa 

menggunakan  contoh  visual  maupun  petunjuk  tertulis,  dan 

melakukannya dengan lancar, tepat seimbang, dan akurat.   

4) Artikulasi, yaitu kemampuan untuk menunjukkan  serangkaian gerakan 

yang akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang  tepat.   Kecakapan 

diindikasikan  oleh  kecepatan,  ketepatan,  dan  tampilan  yang  sangat 

terkoordinasikan, tanpa pengeluaran energi yang berlebihan. 

56

Page 76: Tesis

5) Naturalis,  yaitu  kemampuan  untuk melakukan  gerakan  tertentu  secara 

spontan  atau  otomatis.    Kemampuan  ini  terbangun  dengan  baik  dan 

individu sudah dapat memodifikasi pola gerakan atau menciptakan pola 

gerakan baru yang sesuai dengan situasi atau masalah tertentu.  

 

2.5 Pengembangan Program Pelatihan 

Sumantri  (2000:2)  mengartikan  pelatihan  sebagai  proses  pendidikan 

jangka  pendek  yang  menggunakan  cara  dan  prosedur  yang  sistematis  dan 

terorganisir.  Para  peserta  pelatihan  akan  mempelajari  pengetahuan  dan 

keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Hal ini senada dengan 

pendapat  Good  (1973,  dalam Marzuki,  1992  :  5)  yang menjelaskan  pelatihan 

adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh pengetahuan dan 

keterampilan. 

Proses pengembangan suatu program pelatihan terdiri dari 3 tahap, yaitu 

tahap  persiapan  (preparation),  tahap  pengembangan  (development),  dan  tahap 

peningkatan  (improvement)  yang    digambarkan  dalam  bagan  2.1  berikut  ini 

(Kohls, 1995) : 

        

57

Page 77: Tesis

Bagan 2.1 Proses Pengembangan Program Pelatihan 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 2.5.1 Tahap Persiapan 

Tahap persiapan  terdiri dari dua hal, yaitu pertama dengan menentukan 

kebutuhan  dari  subjek  pelatihan  melalui  penilaian  kebutuhan.  Setelah 

mendapatkan  hasil  penilaian  kebutuhan  maka  selanjutnya  dapat  diturunkan 

menjadi tujuan dari pelatihan yang akan tertuang dalam tujuan pelatihan secara 

umum  dan  secara  khusus.  Kedua  setelah  adanya  tujuan  pelatihan  maka 

berikutnya dapat dilakukan proses perancangan program pelatihan tersebut 

 2.5.1.1 Penilaian Kebutuhan 

Penilaian  kebutuhan  dilakukan  untuk  menggali,  menentukan,  dan 

mendefinisikan  secara  tepat  kebutuhan  yang  akan  dipenuhi  melalui 

1. Penilaian KebutuhanMenggali dan menentukan kebutuhan 

subjek penelitian  2. Perancangan Program Pelatihan• Perumusan Tujuan • Penetapan Metode Pelatihan • Penetapan Materi Pelatuhan • Pemilihan Lokasi dan Penataan Ruangan Pelatihan 

• Rancangan Proses Evaluasi dan Alat ukur 

  TAHAP PERSIAPAN

3. Uji Coba Program Pelatihan Menguji dan mengevaluasi ketepatan 

Program Pelatihan yang telah dirancang 

4. Revisi Program Pelatihan Melakukan revisi dan modifikasi guna memperbaiki kerkurangan pada hasil uji 

coba

TAHAP PENGEMBANGAN 

TAHAP PENINGKATAN  Dimaksudkan untuk menguji efektivitas 

program pelatihan. Pelatihan dikatakan efektif jika membawa perubahan yang sama pada 

setiap pelaksanaannya

58

Page 78: Tesis

pelatihan. Langkah  penilaian  kebutuhan  ini  merupakan  landasan  yang 

sangat  menentukan  pada  langkah‐langkah  berikutnya.  Kekurangakuratan 

atau  kesalahan  dalam  penilaian  kebutuhan  dapat  berakibat  fatal  pada 

pelaksanaan pelatihan. Penilaian kebutuhan dapat dilakukan dengan dengan 

observasi, wawancara, dan kajian  literatur untuk menetapkan hal‐hal yang 

akan diperlukan dalam proses pembelajaran 

 2.5.1.2 Perancangan Program Pelatihan 

Setelah mendapatkan  hasil  penilaian  dan melakukan  analisa  terhadap 

hasil  tersebut,  maka  langkah  selanjutnya  adalah  melakukan  perancangan 

program pelatihan yang terdiri dari: 

1. Tujuan Pelatihan 

Perumusan  tujuan  pelatihan  hendaknya  berdasarkan  kebutuhan 

pelatihan  yang  telah  ditentukan.  Tujuan  dirumuskan  dalam  bentuk 

uraian  tingkah  laku  yang  diharapkan  dan  pada  kondisi  tertentu. 

Pernyataan  tujuan  ini  akan  menjadi  standar  kinerja  yang  harus 

diwujudkan serta merupakan alat untuk mengukur tingkat keberhasilan 

program pelatihan. 

2. Metode Pelatihan 

Metode  latihan  merupakan  cara  penyampaian  materi  kepada  peserta 

dengan  menggunakan  pendekatan  tertentu.  Penentuan  metode  yang 

tepat  dan  sesuai  dengan  karakteristik  peserta  pelatihan  akan  berguna 

59

Page 79: Tesis

untuk  mengoptimalkan  proses  belajar.  Pada  dasarnya  prinsip  belajar 

yang  layak  dipertimbangkan  untuk  diterapkan  berkisar  lima  hal  yaitu 

partisipasi,  pengulangan,  relevansi,  pengalihan,  dan  umpan  balik. 

Dengan  prinsip  partisipasi  pada  umumnya  proses  belajar  berlangsung 

dengan  lebih cepat dan pengetahuan yang diperoleh diingat  lebih  lama. 

Prinsip pengulangan akan membantu peserta pelatihan untuk mengingat 

dan  memanfaatkan  pengetahuan  atau  keterampilan  yang  dimiliki. 

Prinsip relevansi, yakni kegiatan pembelajaran akan lebih efektif apabila 

bahan yang dipelajari mempunyai relevansi dan makna kongkrit dengan 

kebutuhan  peserta  pelatihan.  Prinsip  pengalihan  dimaksudkan 

pengetahuan  dan  keterampilan  yang  diperoleh  dalam  kegiatan  belajar 

mengajar  dengan  mudah  dapat  dialihkan/dipraktekkan  pada  situasi 

nyata. Dan prinsip umpan balik  akan membangkitkan motivasi peserta 

pelatihan karena mereka tahu kemajuan dan perkembangan belajarnya. 

3. Materi Pelatihan 

Materi  pada  pelatihan  harus  relevan  dengan  kebutuhan  peserta,  yang 

meliputi  instruksi  yang  disampaikan,  konten  yang  diberikan,  dan  cara 

menyampaikan konten tersebut.  

4. Pemilihan Lokasi dan Penataan Ruangan Pelatihan 

Kondisi  ruangan  latihan  yang  nyaman  tanpa  adanya  gangguan  secara 

visual  (seperti  orang  mondar‐mandir)  dan  gangguan  secara  audio 

(seperti  suara  bising  di  luar  kelas)  dapat  membantu  proses  pelatihan 

60

Page 80: Tesis

menjadi  lebih  efisien.  Kondisi  fisik  kelas  seperti  sempitnya  ruangan 

latihan dengan ventilasi yang tidak memadai, pencahayaan yang kurang, 

suhu  udara  yang  tidak  nyaman,  dan  penataan  ruangan  dapat 

menurunkan efisiensi dari proses belajar (http://www.egyankosh.ac.in). 

Penataan  ruangan  pelatihan  dalam  kelas  dapat  dibagi menjadi  5  tipe, 

yaitu  traditional  classroom  (peserta  pelatihan  duduk  berjejer  dihadapan 

pelatih yang berdiri di depan kelas), chevron classroom (peserta dan pelatih 

duduk agak mengarah ke tengah ruangan dengan pelatih tetap di depan 

kelas),  circle  classroom  (peserta  pelatihan  duduk melingkar  dan  pelatih 

duduk di ujung  lingkaran), U‐Shape Classroom  (peserta pelatihan duduk 

dengan posisi membentuk huruf U dan pelatih berdiri di depan kelas), 

dan V‐Shape classroom (peserta pelatihan duduk dengan posisi membentuk 

huruf V dan pelatih berdiri di depan kelas). 

 

2.5.2 Tahap Pengembangan 

Tahap  pengembangan  dimaksudkan  untuk menguji  coba  suatu  program 

pelatihan  yang  telah  dirancang  pada  tahap  persiapan.  Hasil  dari  uji  coba 

kemudian  dievaluasi  untuk  melihat  ketepatan  dari  setiap  aspek  yang  telah 

dirancang. Pelaksanaan program pelatihan dikatakan berhasil apabila dalam diri 

peserta pelatihan  terjadi  suatu proses  transformasi pengalaman  belajar. Proses 

transformasi berlangsung dengan baik apabila terjadi paling sedikit dua hal yaitu 

peningkatan  kemampuan  dalam melaksanakan  tugas  dan  perubahan  perilaku 

61

Page 81: Tesis

yang  tercermin  pada  sikap.  Selanjutnya  untuk  mengetahui  terjadi  tidaknya 

perubahan tersebut dilakukan evaluasi yang dibuat berdasarkan tujuan program 

pelatihan dan pengembangan.  

Menurut Craig  (1987)  kriteria  yang  efektif  dalam mengevaluasi  program 

pelatihan, yaitu: 

1. Evaluasi Proses Belajar  

Proses  belajar  yang  dialami  setiap  peserta  tidaklah  kasat  mata,  namun 

demikian dapat diukur melalui keberhasilan setiap peserta mencapai tujuan 

pelatihan.  Oleh  karena  itu,  peserta  pelatihan  dikatakan  telah  berhasil 

mencapai  tujuan  jika  terjadinya  perubahan  dalam  sikap  /  pengetahuan  / 

keterampilan  yang dipelajari. Langkah‐langkah untuk melakukan  evaluasi 

proses belajar adalah (Craig, 1987) : 

1) Proses  belajar  dari  tiap  peserta  harus  diukur  sehingga  diperoleh  hasil 

bersifat kuantitatif. 

2) Pendekatan  before‐after  dapat  digunakan,  agar  perubahan  yang  terjadi 

pada peserta pelatihan dapat diyakini sebagai hasil dari pelatihan. 

3) Jika  dimungkinkan,  kelompok  kontrol  dapat  digunakan  dan 

dibandingkan dengan kelompok eksperimen 

4) Hasil  yang  diperoleh  hendaknya  diuji  secara  statistik  agar  hasil  dapat 

dipercaya dengan derajat kepercayaan yang memadai. 

5) Proses  pengetesan  dapat menggunakan  suatu  alat  tes  yang  telah  diuji 

reliabilitas dan validitasnya.  

62

Page 82: Tesis

2. Evaluasi Reaksi Peserta Pelatihan 

Reaksi  peserta  pelatihan  diukur  melalui  sejauh  mana  peserta  pelatihan 

merasa puas dengan program pelatihannya. Hal ini harus dilakukan karena 

kepuasan peserta  terhadap proses pelatihan merupakan hal penting dalam 

mencapai proses belajar yang efektif. Terdapat langkah‐langkah yang dapat 

dijadikan  panduan  untuk  mengevaluasi  reaksi  peserta  pelatihan  (Craig, 

1987) : 

1) Menentukan  dan  menjelaskan  hal  apa  saja  yang  ingin  diketahui  oleh 

peserta pelatihan. 

2) Menuliskan  hal‐hal  yang  ingin  diketahui  pada  langkah  pertama  dalam 

selembar kertas. 

3) Merancang  format  sedemikian  rupa  agar  reaksi  dapat  ditabulasi  serta 

dikuantifikasi. 

4) Memperoleh  reaksi  yang  jujur  dengan membuat  lembar  evaluasi  tidak 

beridentitas 

5) Memberi  ruang untuk komentar  tambahan dari peserta pelatihan  selain 

dari menjawab pertanyaan‐pertanyaan yang sudah dirancang.  

 Berdasarkan  evaluasi  hasil  latihan  dan  reaksi  peserta  terhadap  program 

pelatihan  maka  selanjutnya  dapat  dilakukan  revisi  atau  modifikasi  untuk 

memperbaiki kekurangan sesuai dengan hasil uji coba. Dari Fase pengembangan 

63

Page 83: Tesis

ini  akan  diperoleh  program  pelatihan  yang  telah  diuji  coba  dan  direvisi  yang 

kemudian dapat diuji efektivitasnya pada fase peningkatan program. 

 2.5.3 Tahap Peningkatan Program 

Tahap peningkatan dalam pengembangan suatu program pelatihan terkait 

dengan  proses  uji  efektivitas  program  yang  telah  direvisi  pada  tahap 

pengembangan.  Suatu  program  pelatihan  dikatakan  efektif  jika  dilakukan  uji 

berulang  kali  dan  tetap  membawa  perubahan  yang  sama  terhadap  subjek 

pelatihannya sesuai dengan tujuan awal yang telah ditetapkan. Uji efektivitas ini 

dapat menetapkan bahwa suatu program pelatihan adalah program yang baku 

dan siap digunakan (Kohls, 1995). 

 

2.6 Kerangka Pemikiran 

Gangguan  pemusatan  perhatian  disertai  hiperaktivitas  (GPPH)  adalah 

keadaan  neurologik  perilaku  dengan  gejala‐gejala  yang  meliputi  kurangnya 

perhatian  (inattentiveness),  perilaku  impulsif  (impulsivity),  dan  aktivitas  yang 

berlebihan  (overactivity)  yang  tidak  sesuai  dengan  ciri‐ciri  tahapan 

perkembangan anak (Sattler J.M., 2002; Kaplan & Saddock, 2005; Barkley, 2006). 

Pada umumnya, anak usia  sekolah dasar yang di diagnosa banyak mengalami 

masalah GPPH berusia antara 7 sampai 10 tahun.  

Pada  saat di  sekolah,  anak GPPH  sulit menyelesaikan  pekerjaan,  cepat 

bosan  terhadap  pelajaran  atau  sulit  mendengarkan  pelajaran  yang  diberikan 

64

Page 84: Tesis

guru di kelas sehingga di kelas sering mengobrol atau sering melamun. Rentang 

perhatian  yang  pendek  membuat  anak  ingin  cepat  selesai  bila  mengerjakan 

tugas‐tugas sekolah sehingga dalam mengerjakan soal sering salah, tetapi bukan 

karena  tidak  bisa  melainkan  karena  tidak  teliti.  Akibatnya  dalam  pelajaran 

sekolah  akan  didapatkan  nilai  mata  pelajaran  tertentu  sangat  tinggi  tetapi 

pelajaran  lainnya  sangat  jelek.  Nilai  pelajaran  naik  turun  drastis.  Anak  juga 

kurang mau mendengarkan ketika berinteraksi dengan teman sebaya, gampang 

emosional,  dan  sering  terlibat  pertengkaran.  Perilaku‐perilaku  ini  dapat 

mengganggu perkembangan anak dalam hal akademis, fungsi sosial, dan fungsi 

keluarga (Sanders & Hoath, 2002:191).  

Berkaitan  dengan  gangguan  dalam  fungsi  keluarga,  orangtua  yang 

memiliki  anak  dengan  gangguan  GPPH  memiliki  kesulitan  yang  lebih  besar 

dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak normal. Persepsi orangtua 

yang menganggap bahwa anaknya  sulit diatur, malas, atau anak “nakal” yang 

tidak mau diam mempengaruhi cara orangtua bereaksi terhadap perilaku anak. 

Orangtua  akan  memberikan  pengasuhan  yang  berbeda  dengan  anak  lainnya 

dimana orangtua akan  lebih mengontrol  terhadap apapun yang anak kerjakan, 

lebih  banyak  perintah  dan  larangan,  mudah  marah,  kurang  memberikan 

perhatian  terhadap  perilaku  anak  yang  positif,  dan  sering  terpancing  untuk 

memberikan  hukuman  fisik.  Orangtua  akan  mengembangkan  strategi 

pengasuhan  yang  memiliki  efek  berlawanan  terhadap  apa  yang  orangtua 

inginkan dalam menangani permasalahan perilaku anak GPPH. Hal ini akhirnya 

65

Page 85: Tesis

meningkatkan stres orangtua, bahkan persepsi orangtua terhadap dirinya sendiri 

menjadi menurun.  

Peran  dan  dukungan  orangtua  untuk  memahami  anak  GPPH  dan 

memberikan  penanganan  yang  tepat  bagi  anak  sangat  diperlukan.  Hal  ini 

merupakan  bentuk  tanggung  jawab  orang  tua  dalam  pengasuhan  anaknya. 

Penanganan  anak  yang mengalami GPPH  biasanya menggunakan  pendekatan 

multidisipliner.  Selain  menggunakan  pengobatan  stimulan,  juga  digunakan 

berbagai  penanganan  secara  psikologi  seperti  pelatihan  keterampilan  social 

untuk anak, pelatihan manajemen kelas untuk guru, dan pelatihan manajemen 

perilaku  anak  bagi  orang  tua. Mengingat  anak menghabiskan waktunya  yang 

paling  banyak  bersama  dengan  orang  tua,  maka  keberhasilan  program 

penanganan  anak GPPH  tidak  lepas dari keterlibatan orang  tua,  terutama  ibu. 

Dasar  pemikirannya  adalah  para  ibu  memiliki  informasi  penting  tentang 

anaknya, memiliki kesediaan waktu,  tenaga, dan peran yang  relatif  lebih besar 

daripada  ayah,  sehingga  dianggap  lebih  potensial  untuk menjadi  pelatih  bagi 

anak.  Semakin  banyak  pengetahuan  yang  dimiliki  oleh  ibu mengenai  strategi 

menangani perilaku anak, maka permasalahan perilaku anak dapat diatasi. Oleh 

karena  itu  ibu  perlu  diberi  informasi  dan  pemahaman  untuk  menangani 

permasalahan  perilaku  anak  sehingga membantu  penanganan  yang dilakukan 

oleh profesional. 

Orangtua sering mendapatkan  informasi berharga mengenai GPPH dan 

manajemen perilaku dalam konteks evaluasi klinis dan konseling. Kedua bentuk 

66

Page 86: Tesis

ini bisa sukses dalam mendidik orang tua, tetapi kurang efektif  dalam hal biaya 

dan  membutuhkan  banyak  waktu  dibanding  menggunakan  pendekatan 

treatment secara spesifik. Program pelatihan pengasuhan dalam format kelompok 

merupakan salah satu sarana untuk meningkatan pengetahuan orangtua tentang 

GPPH dan cara menangani perilaku anak GPPH (Weinberg, 1999: 911). 

Cukup  banyak  program  pelatihan  pengasuhan  yang  telah  ditawarkan 

sebagai  intervensi  untuk menangani  anak  dengan GPPH.  Parent  training  yang 

dikemukakan  oleh  Barkley  pada  tahun  1987,  merupakan  salah  satu  bentuk 

intervensi  psikososial  yang  telah  terbukti  efektif  untuk  mengajarkan  tehnik 

pengasuhan bagi orangtua yang memiliki anak dengan GPPH usia 4‐12  tahun. 

Penekanan  utama  dari  program  yang menggunakan  prinsip  social  learning  ini 

adalah mengajarkan  bagaimana  cara menerapkan  prinsip manajemen  perilaku 

dalam  praktek  pengasuhan  sehari‐hari. Oleh  karena  itu  diperlukan  kesediaan 

orangtua  untuk  mengikuti  kegiatan  secara  menyeluruh  dan  diperlukan  pula 

kesadaran dalam diri orangtua bahwa kegiatan yang mereka ikuti penting untuk 

menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak.  Pelatih  hanyalah  sebagai 

pendamping  yang  membantu  dalam  mengarahkan  proses  belajar  dan 

memberikan umpan balik selama proses belajar.  

Program  pengasuhan  dalam  penelitian  ini  terdiri  dari  7  sesi  yang 

disajikan dalam  format kelompok. Ketujuh  sesi  tersebut yaitu  (1)  sesi memberi 

gambaran mengenai GPPH, (2) sesi memahami hubungan orangtua‐anak, (3) sesi 

perhatian  positif,  (4)  sesi menggunakan  konsekuensi  untuk membentuk  target 

67

Page 87: Tesis

68

perilaku yang baik, (5) sesi penggunaan time out, (6) sesi mengelola perilaku anak 

di area publik, (7) sesi mengetahui isu seputar permasalahan sekolah anak.  

Proses belajar dalam penelitian ini akan ditinjau melalui proses perhatian, 

proses pengingatan, dan proses reproduksi motorik, sebagaimana proses belajar 

lewat pengamatan yang dikemukakan oleh Bandura. Untuk memenuhi seluruh 

proses  tersebut,  diberikan  berbagai  ragam  teknik  penyajian.  Pada  proses 

perhatian,  peserta  disajikan  berbagai materi melalui  teknik  dan  suasana  yang 

menarik. Mengingat  peserta  pelatihan  adalah  para  ibu, maka  beberapa  faktor 

yang  dapat  dipertimbangkan  antara  lain  tema  ice  breaking,  kondisi  ruangan, 

fasilitas,  tehnik  presentasi,  dan  ilustrasi  yang  relevan  saat  memberikan 

presentasi.  Pada  proses  pengingatan,  peserta  dikondisikan  agar  bersedia 

mengulang‐ulang materi yang diberikan. Proses  ini dikondisikan dalam bentuk 

penyusunan  action  plan  untuk menentukan  target  perilaku  yang  ingin  diubah 

dan memberikan pekerjaan  rumah untuk mengetahui  tingkat pemahaman  ibu. 

Sedangkan  pada  proses  reproduksi  motorik  dilakukan  uji  coba  penerapan 

perilaku baru melalui  role  play yang disertai pemberian umpan balik  langsung 

dan penerapan secara mandiri di rumah.  

Seluruh  kerangka pemikiran diatas dapat dituangkan  ke dalam  bentuk 

bagan 2.1 pada halaman berikutnya: 

     

Page 88: Tesis

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                                 

 

 

 

KONDISI AWAL DALAM MENANGANI PERMASALAHAN TINGKAH LAKU ANAK GPPH Pengetahuan yang relevan tentang 

perkembangan dan pengasuhan anak GPPH sangat minim 

Tingkah Laku Anak GPPH Usia 7‐9 tahun  

KONDISI AKHIR DALAM MENANGANI PERMASALAHAN TINGKAH LAKU ANAK GPPH 

Meningkatnya pemahaman pengasuhan pada situasi yang beresiko tinggi 

PELATIHAN PENGASUHAN  

Gambaran Mengenai ADHD

Menggunakan Time Out

Mengelola Perilaku Anak di Area Publik

Isu Seputar Permasalahan di Sekolah

Menggunakan Konsekuensi

Memahami Hubungan Orangtua-Anak

Perhatian Positif

Proses Pembelajaran 

Pengingatan 

Action Plan & Pekerjaan Rumah 

Reproduksi‐Motorik 

Role Play & Feedback 

Perhatian 

Pengenalan Materi di Kelas 

Sosial 

Kurang mau mendengarkan ketika berinteraksi dengan teman sebaya, 

gampang emosional, dan sering terlibat pertengkaran

Pola Pengasuhan 

Persepsi  

Anak yang susah diatur, anak malas, atau anak “nakal” yang tidak mau diam.

Akademis 

Mudah “mogok” jika diajak untuk belajar, sulit menyelesaikan pekerjaan, hanya dapat bertahan 5 – 10 menit saat mengerjakan tugas, dan nilai pelajaran tidak stabil.

Ibu banyak memberikan perintah dan larangan, kurang memberikan perhatian 

terhadap perilaku anak yang positif, mudah marah, dan sering terpancing untuk 

memberikan hukuman fisik

Respon 

69

Page 89: Tesis

70

 

 

PELATIHAN PENGASUHAN       

Umpan balik dan Evaluasi                                                                                                                                                                           Umpan balik dan Evaluasi          

Sesi 1: Gambaran Mengenai ADHD

Sesi 2 • Memahami Hubungan Orangtua-Anak

1. Mendahulukan pemberian insentif sebelum menghukum 2. Menggunakan konsekuensi yang bermakna 3. Memberikan umpan balik dan konsekuensi dengan segera dan sesering

mungkin

1. Perencanaan menghadapi situasi bermasalah 2. Penggunaan Interval Waktu 3. Mengembangkan kemampuan Memecahkan Masalah

1. Menerima berbagai hal dalam perspektif anak GPPH

2. Melatih sikap memaafkan

Sesi 4 • Mengelola Perilaku Anak di Area Publik • Isu Seputar Permasalahan di Sekolah

KONDISI AWAL DALAM MENANGANI PERMASALAHAN TINGKAH LAKU ANAK GPPH 

Pengetahuan yang relevan tentang perkembangan dan pengasuhan anak GPPH sangat minim 

Sesi 3 • Menggunakan konsekuensi • Menggunakan Time out • Perhatian Positif

KONDISI AKHIR DALAM MENANGANI PERMASALAHAN TINGKAH LAKU ANAK GPPH 

Meningkatnya pemahaman pengasuhan pada situasi yang beresiko tinggi

Page 90: Tesis

Dari  landasan  teoritis dan kerangka pemikiran diatas muncul beberapa 

asumsi, yaitu : 

1. Gejala perilaku yang dominan pada anak GPPH adalah kurangnya perhatian 

(inattentiveness), perilaku impulsif (impulsivity), dan aktivitas yang berlebihan 

(overactivity) yang tidak sesuai dengan ciri‐ciri tahapan perkembangan anak.  

2. Lingkungan memiliki peran yang penting dalam perkembangan anak GPPH. 

Menggunakan  intervensi  berbasis  keluarga  untuk  membantu  mengatasi 

berbagai kesulitan menyesuaikan diri dengan GPPH adalah hal yang penting 

untuk mengoptimalkan anak dan orangtua.  

3. Pelatihan merupakan  salah  satu  bentuk  pilihan  pembelajaran  yang  dapat 

digunakan  untuk  pengembangan  individu.  Jenis  pelatihan  perilaku  bagi 

orangtua  yang  berlandaskan  proses  belajar  sosial  secara  signifikan  lebih 

efektif dalam menangani anak GPPH. 

 

2.7 Hipotesis Penelitian 

Hipotesis  penelitian  yang  dapat  ditarik  dari    landasan  teoritis  dan 

kerangka pemikiran di atas adalah :   

“  Uji  coba  program  pelatihan  pengasuhan  yang  telah  disusun  dapat 

meningkatkan  pemahaman  ibu  dalam menangani  permasalahan  tingkah  laku 

anak usia 7 – 9 tahun yang mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian disertai 

Hiperaktivitas (GPPH) ”  

71

Page 91: Tesis

BAB III 

METODE PENELITIAN 

 

3.1 Rancangan Penelitian 

3.1.1 Desain Penelitian 

Rancangan  penelitian  yang  digunakan  adalah  quasi  experiment,  yaitu 

suatu rancangan penelitian yang digunakan untuk melihat pengaruh dari suatu 

pemberian perlakuan (treatment) terhadap permasalahan, dimana pada beberapa 

situasi tidak mungkin dilakukan eksperimen. Quasi experiment dikatakan sebagai 

pseudo  experiment  atau  desain  yang  “menyerupai”  eksperimen  sebenarnya, 

termasuk hipotesis  sebab akibat dan beberapa  jenis pemberian  treatment untuk 

membandingkan dua kondisi atau lebih. Pada quasi experiment dilakukan kontrol 

terhadap beberapa hal yang dapat mengacaukan penelitian, namun kontrolnya 

tidak sebanyak pada eksperimen yang sebenarnya. Donald and Campbell (1969, 

dalam  Graziano  &  Raulin,  2000:219)  menyatakan  bahwa  quasi  experiment 

digunakan ketika kontrol‐kontrol yang  sifatnya murni eksperimen  sudah  tidak 

dapat digunakan lagi. Dalam penelitian ini digunakan rancangan quasi experiment 

karena  peneliti  tidak  dapat  selalu  mengontrol  kondisi  penerimaan  diri  ibu 

terhadap  keterbatasan  anak.  Sedangkan  beberapa  variabel  ekstra  yang  bisa 

dikendalikan dalam penelitian  ini adalah karakteristik subjek penelitian,  setting 

pelaksanaan penelitian, serta penggunaan prosedur penelitian. 

72

Page 92: Tesis

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah One Group 

Pre‐Test – Post‐Test Design. Melalui penggunaan desain  ini dapat dilihat adanya 

perubahan sebagai hasil dari perlakuan (treatment) dengan cara membandingkan 

skor  yang  diperoleh  sebelum  pemberian  perlakuan  dengan  skor  setelah 

pemberian  perlakuan  (Christensen,  2001;  Graziano  &  Raulin,  2000).  Alasan 

penggunaan desain One Group Pre‐Test – Post‐Test Design adalah desain tersebut 

sesuai  dengan  tujuan  dari  penelitian  ini,  yaitu  untuk  melihat  pengaruh 

pemberian  treatment  berupa  pelatihan  pengasuhan  terhadap  peningkatan 

pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH pada 

setiap  subjek.  Setiap  subjek  penelitian  akan menjadi  pembanding  bagi dirinya 

sendiri, yaitu dengan membandingkan skor yang dicapai sebelum (pre‐post) dan 

setelah mendapatkan perlakuan (post‐test) sehingga tergambarkan proses belajar 

tiap  subjek.  Untuk  jelasnya  bagaimana  penelitian  ini  berlangsung  dengan 

menggunakan One Group Pre‐Test – Post‐Test Design dapat dilihat pada gambar 

dibawah ini :  

Bagan 3.1  Skema Rancangan Penelitian 

 

 

 

O1                                   X                                  O2 

( pre‐treatment)    Treatment           (post treatment)   

Hasilnya Dibandingkan  

 

 

73

Page 93: Tesis

Keterangan : 

O1   :  Pre‐treatment. Pengukuran pemahaman subjek dalam menangani  

permasalahan  tingkah  laku  anak GPPH  akan  dilaksanakan  sebelum 

sesi perlakuan (treatment) berupa pelatihan pengasuhan dimulai. 

X    :  Perlakuan (treatment). Pelaksanaan pelatihan pengasuhan pada subjek 

penelitian 

O2   :  Post‐treatment.  Pengukuran  pemahaman  subjek  dalam  menangani 

permasalahan tingkah laku anak GPPH akan dilaksanakan setelah sesi 

perlakuan (treatment) berupa pelatihan pengasuhan berakhir. 

 

3.1.2 Pengontrolan Validitas dalam Desain Penelitian 

3.1.2.1 Validitas Internal 

Menurut  Graziano  &  Raulin  (2000)  yang  dimaksud  dengan  validitas 

internal  adalah  kepastian  bahwa  perubahan  yang  terjadi  pada  post‐treatment 

merupakan akibat dari adanya penerapan treatment. Pada penelitian ini, validitas 

internal berkaitan dengan kepastian bahwa peningkatan pemahaman  ibu pada 

post‐treatment merupakan akibat pemberian treatment. Untuk mencapai validitas 

internal, perlu dilakukan kontrol  terhadap  extraneous  variabel, yaitu variabel di 

luar variabel bebas yang  ikut mempengaruhi variabel  terikat. Dalam penelitian 

ini, pengontrolan terhadap extraneous variabel dapat dilihat pada tabel berikut ini: 

   

74

Page 94: Tesis

Tabel 3.1 Pengontrolan terhadap validitas internal 

 Faktor penentu validitas internal Cara pengontrolan  Instrumentation,  yaitu  terjadi perubahan  instrumen pengukuran  atau  prosedur pengukuran dari waktu ke waktu 

• Penggunaan metode dan  suasana belajar tertentu  dalam  pelaksanaan  proses pelatihan. 

• Menetapkan  prosedur  administrasi  dan prosedur  penilaian  instrumen pengukuran,  serta  menggunakan  alat ukur yang valid dan reliabel. 

• Menyetarakan  kemampuan  pengamat pendamping  (memiliki  latar  belakang pendidikan  yang  sama  dan  dilakukan pelatihan mengenai pengisian alat ukur) 

History, yaitu peristiwa‐peristiwa penting yang dialami  subjek dan dapat mengakibatkan perubahan pada perilaku. 

Peneliti melakukan pemantauan terhadap kegiatan dan peristiwa yang dialami subjek penelitian, melalui: • Observasi  perilaku  subjek  penelitian selama pelatihan berlangsung. 

• Lembar tugas yang diisi oleh orangtua • Dilakukan  uji  beda  berdasarkan perhitungan  statistik  untuk  memastikan bahwa  perubahan  terjadi  karena pelatihan, bukan karena efek yang lain. 

Mortality Threat, yaitu adanya perubahan jumlah individu antara pre‐ dan post‐test. 

• Membuat  ”kontrak”  untuk  mengikuti pelatihan secara menyeluruh. 

• Tidak menggunakan  data  ”error”  dalam perhitungan  statistik,  yaitu  data  yang hanya ada di salah satu test (baik data pre‐ ataupun  data  post‐)  dan  data  individu yang  tidak  mengikuti  pelatihan  secara menyeluruh 

    

75

Page 95: Tesis

3.1.1.1 Validitas Eksternal 

Menurut  Christensen  (2001)  validitas  eksternal  penelitian  berkaitan 

dengan sejauhmana hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada subjek, situasi, 

dan waktu  yang  berbeda.  Dalam  penelitian  ini  dilakukan  pembatasan  dalam 

penarikan  kesimpulan,  yaitu  hanya  berlaku  secara  khusus  untuk  karakteristik 

sampel  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini. Hal  ini  berkaitan  dengan  tidak 

adanya  randomization  dan  random  sampling,  sehingga  sampel  yang  digunakan 

tidak mewakili populasi.  

 

3.2 Variabel Penelitian 

3.2.1 Variabel Bebas 

Variabel bebas pada penelitian ini adalah program pelatihan pengasuhan. 

Definisi Konseptual :  

Program  pelatihan  pengasuhan  adalah  program  pendidikan  jangka 

pendek  yang menggunakan  cara  dan  prosedur  yang  sistematis  dan  terencana 

berdasarkan prinsip‐prinsip parent training dari Barkley. 

Definisi Operasional : 

Suatu rangkaian program kegiatan yang akan diberikan kepada ibu yang 

memiliki anak GPPH selama 4 kali pertemuan dan terdiri dari 7 sesi yaitu (1) sesi 

memberi  gambaran  mengenai  Gangguan  Pemusatan  Perhatian  disertai 

Hiperaktivitas,  (2)  sesi memahami hubungan  orangtua‐anak,  (3)  sesi perhatian 

positif,  (4)  sesi menggunakan  konsekuensi  untuk membentuk  target  perilaku 

76

Page 96: Tesis

yang baik, (5) sesi penggunaan time out, (6) sesi mengelola perilaku anak di area 

publik,  (7)  sesi memahami  isu  seputar  permasalahan  sekolah  anak. Hasil  dari 

pelaksanaan  uji  coba  program  ini  akan  digunakan  untuk merevisi  rancangan 

program pelatihan manajemen perilaku anak. 

 

3.2.2 Variabel Terikat 

Variabel  terikat  dalam  penelitian  ini,  yaitu  pemahaman  ibu  dalam 

menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH.  

 

Definisi Konseptual :  

Pemahaman  ibu  dalam  menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak 

GPPH  adalah  kemampuan  ibu  untuk mengetahui  prinsip‐prinsip  penanganan 

permasalahan tingkah laku anak GPPH dan dapat menggunakan prinsip‐prinsip 

tersebut dalam menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH. Pemahaman 

ibu  ini  terbagi menjadi 2 yaitu, yaitu (1) pengetahuan  ibu mengenai GPPH dan 

manajemen  perilaku  anak  GPPH.  (2)  Demonstrasi  pemahaman  ibu  dalam 

menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH. 

Definisi Operasional : 

(1) Sejauhmana pengetahuan  ibu dalam memahami prinsip‐prinsip manajemen 

perilaku  anak  GPPH mencakup  (1)  pengetahuan mengenai  GPPH  (gejala, 

karakteristik,  penyebab,  diagnosis,  dan  berbagai  pendekatan  treatment),  (2) 

hubungan  antara  ibu‐anak,  (3)  cara  memberikan  perhatian  positif,  (4) 

77

Page 97: Tesis

mekanisme penetapan  sistem  token dan  cara memberikan hukuman untuk 

perilaku yang tidak di inginkan, (5) cara menggunakan time out untuk bentuk 

perilaku buruk yang serius, (6) langkah‐langkah untuk mengurangi perilaku 

anak yang  tidak  sesuai ketika berada di area publik,  (7)  isu yang berkaitan 

dengan sekolah anak.  

(2) Sejauhmana  demonstrasi  pemahaman  yang  teramati  dalam  menangani 

permasalahan  tingkah  laku  anak  GPPH  berdasarkan  DSM  IV‐TR,  yang 

mencakup  (1)  cara  memberikan  perhatian  positif  sebelum  proses  belajar 

dimulai,  (2)  cara  memberikan  perintah  yang  efektif,  (3)  mekanisme 

penetapan sistem token, (4) cara memberikan hukuman untuk perilaku yang 

tidak  di  inginkan,  (5)  cara menggunakan  time  out  untuk  bentuk  perilaku 

buruk yang serius. 

Adapun  penanganan  permasalahan  tingkah  laku  anak  GPPH 

berdasarkan kriteria DSM IV‐TR adalah:  

1. Inatensi,  antara  lain  gagal memberikan  perhatian  terhadap  hal  rinci  atau 

ceroboh  dalam  membuat  tugas  sekolah,  sulit  mempertahankan  perhatian 

terhadap tugas, terlihat seperti tidak mendengarkan ketika diajak bicara oleh 

orang  lain,  tidak dapat mengikuti  instruksi dan gagal menyelesaikan  tugas 

sekolah,  kesulitan  dalam  pengaturan  tugas,  dan  perhatiannya  mudah 

teralihkan oleh stimulus / rangsangan luar. 

78

Page 98: Tesis

2. Hiperaktivitas, antara  lain merasa gelisah  tangan atau kaki saat duduk dan 

tidak mampu tetap duduk tenang dalam situasi yang menuntut untuk tetap 

duduk.  

3. Impulsivitas, antara lain menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan tersebut 

selesai dan melakukan interupsi atau menyela orang lain ketika berbicara. 

 

3.3 Subjek Penelitian 

Subjek penelitian adalah 3 orang  ibu yang berada di  tempat  terapi X di 

Surakarta. Gambaran karakteristik peserta pelatihan adalah sebagai berikut: 

1. Ibu  yang  memiliki  anak  usia  7‐9  tahun  yang  telah  didiagnosa  gangguan 

pemusatan  perhatian  disertai  hiperaktivitas  murni  (tanpa  menunjukkan 

gangguan  perkembangan,  kerusakan  intelektual,  atau  gangguan  kesehatan 

lainnya)  oleh  Psikiater.  Pemilihan  usia  anak  7‐9  tahun  karena  seringkali 

GPPH  baru  terdiagnosa  dan  disadari  oleh  orang  tua  setelah  anak  mulai 

memasuki  sekolah dasar, dimana  anak dituntut berada pada pola perilaku 

yang terkendali dan pemusatan perhatian yang baik dalam situasi belajar di 

kelas. 

2. Belum  pernah mengikuti  pelatihan  pengasuhan  untuk  ibu  yang memiliki 

anak GPPH. 

3. Latar  belakang  pendidikan  minimal  setingkat  SMU.  Hal  ini  dikarenakan 

dengan  latar  belakang  pendidikan  tersebut  diharapkan  memiliki 

kemampuan  berpikir  konseptual  sekaligus  berpikir  praktis  sehingga  lebih 

79

Page 99: Tesis

4. Bersedia mengikuti  seluruh  rangkaian program pelatihan dan  evaluasinya, 

yang dibuktikan dengan pengisian informed consent 

 3.4 Tahap Pengembangan Program Pelatihan Pengasuhan 

Proses pengembangan program pelatihan pengasuhan dalam penelitian 

ini  mencakup  2  tahap,  yaitu  (1)  Tahap  persiapan  yang  terdiri  dari  asesmen 

kebutuhan  dan  perancangan  program  pelatihan  pengasuhan.  (2)  Tahap 

pengembangan yang  terdiri dari uji  coba program, evaluasi hasil uji  coba, dan 

revisi program pelatihan. Secara rinci dapat dilihat pada bagan 3.2 pada halaman 

selanjutnya: 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

80

Page 100: Tesis

Bagan 3.2 Tahap – Tahap Pengembangan Program  

Pelatihan Pengasuhan                    

 

 

  

3.4.1 Tahap Persiapan Pelatihan Pengasuhan 

3.4.1.1 Penilaian Kebutuhan (Need Assessment) 

Proses penilaian kebutuhan akan diuraikan dalam tabel 3.2 dibawah ini: 

      

  TAHAP PERSIAPAN

3. Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan

1. Penilaian Kebutuhan

Menggali kebutuhan ibu yang mempunyai anak GPPH usia 7 – 9 tahun mengenai 

treatment yang sesuai 

4. Evaluasi Hasil Uji Coba

• Evaluasi selama pelatihan 2. Perancangan Program PelatihanPengasuhan  • Evaluasi  reaksi  peserta  terhadap 

materi, pelatih, metode, dan modul • Perumusan Tujuan • Penetapan Metode Pelatihan • Penetapan Materi Pelatuhan • Pemilihan Lokasi dan Penataan Ruangan Pelatihan 

• Rancangan Proses Evaluasi dan Alat ukur 

5. Revisi Program Pelatihan

Pengasuhan Melakukan revisi dan modifikasi guna memperbaiki kerkurangan berdasarkan 

hasil uji coba

TAHAP PENGEMBANGAN 

Program Pelatihan Pengasuhanyang Telah di Uji Coba 

Rancangan Program Pelatihan Pengasuhan 

TAHAP PENINGKATAN Menguji efektivitas program pelatihan. 

Pelatihan dikatakan efektif jika membawa perubahan yang sama pada setiap 

pelaksanaannya 

81

Page 101: Tesis

Tabel 3.2 Proses Penilaian Kebutuhan 

 

No.  Metode  Subjek  Tujuan Tanggal 

Pelaksanaan 

1.  Wawancara  

1 orang terapis 

Mendapat gambaran mengenai keluhan yang muncul dan kondisi awal anak saat di bawa ke tempat terapi, program‐program yang diberikan untuk anak GPPH, dan bagaimana keterlibatan orangtua dalam proses terapi anak. 

Januari 2010 

4 orang ibu yang memiliki anak GPPH usia 7‐9 tahun 

Mendapat gambaran mengenai tingkah laku anak (khususnya tingkah laku dalam setting belajar) di rumah, cara ibu mengatasi masalah tingkah laku tersebut, dan apa saja kemampuan yang dibutuhkan oleh ibu untuk menangani masalah tingkah laku anak.  

1. Juni 2009 2. Januari 2010 

2.  Observasi  

3 orang ibu yang memiliki anak GPPH usia 7‐9 tahun 

Mendapatkan data melalui pengamatan mengenai kemampuan ibu menangani permasalahan tingkah laku anak dalam setting belajar. Secara umum hal yang di observasi adalah bagaimana interaksi ibu dengan anak, cara ibu memberikan perintah dan apa saja yang dilakukan ibu dalam menangani perilaku anak yang tidak sesuai.  

5 – 19 Maret 2010 

82

Page 102: Tesis

3.4.1.2 Perancangan Program Pelatihan Pengasuhan 

Setelah  mendapatkan  hasil  asesmen  dan  melakukan  analisis  terhadap 

hasil  tersebut,  maka  kegiatan  selanjutnya  adalah  melakukan  perancangan 

program  pelatihan  pengasuhan,  yang  terdiri  dari  (1)  Penetapan  tujuan;  (2) 

Penentuan metode pelatihan;  (3) Penyusunan materi;  (4) Pemilihan  lokasi dan 

penataan  ruangan  pelatihan;  (5)  Perancangan  alat  ukur;  dan  (6)  Pengukuran 

validitas dan reliabilitas alat ukur.  

 

3.4.1.2.1 Penetapan Tujuan 

Penetapan  tujuan umum dan  tujuan khusus merupakan dasar dari 

penyusunan materi dan domain pembelajaran yang ingin dicapai. Maka dari 

itu,  tujuan  pelatihan  ini  terbagi  menjadi  dua  yang  disusun  berdasarkan 

urutan sesi kegiatan, yaitu: 

1. Tujuan Instruksional Umum 

Program  pelatihan  pengasuhan  diharapkan  dapat  meningkatkan 

pengetahuan  ibu  mengenai  GPPH  dan  memberikan  pemahaman  mengenai 

prinsip‐prinsip dalam menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH usia 7‐ 

9 tahun. 

2. Tujuan Instruksional Khusus 

Tujuan  khusus  dalam  program  pelatihan  pengasuhan  adalah  sebagai 

berikut : 

83

Page 103: Tesis

a. Memberikan  penjelasan  yang  mendetail  mengenai  GPPH  (gejala, 

karakteristik, penyebab, diagnosis, dan berbagai pendekatan treatment) 

b. Memberikan  gambaran mengenai  hubungan  antara  ibu‐anak melalui  gaya 

pengasuhan dan model ABC  

c. Memberikan  pemahaman mengenai metode  dalam memberikan  perhatian 

positif dan cara memberikan perintah yang efektif. 

d. Memberikan  pemahaman  mengenai  mekanisme  pengaturan  sistem  token 

dalam mengasuh anak GPPH dan cara memberikan hukuman untuk perilaku 

yang tidak di inginkan.  

e. Memberikan  pemahaman  mengenai  penggunaan  time  out  untuk  bentuk 

perilaku buruk yang serius. 

f. Memberikan  gambaran mengenai  langkah  –  langkah mengurangi  perilaku 

anak yang tidak sesuai ketika berada di area publik. 

g. Memberikan penjelasan mengenai isu yang berkaitan dengan anak GPPH di 

sekolah  dan  penggunaan  “kartu  perilaku  harian”  yang  bisa  dihubungkan 

dengan sistem token di rumah. 

 

3.4.1.2.2 Penentuan Metode Pelatihan 

Metode  yang  digunakan  dalam  program  pelatihan  pengasuhan 

menggunakan proses  belajar  sosial  yang dikemukakan  oleh Bandura,  yaitu 

melalui  proses  perhatian,  proses  pengingatan,  dan  proses  reproduksi 

84

Page 104: Tesis

motorik. Hal ini meliputi presentasi yang bersifat mendidik mengenai materi, 

menggunakan tugas yang spesifik, serta bermain peran dan umpan balik. 

 

3.4.1.2.3 Penyusunan Materi 

Materi  dalam  pelatihan  ini  disusun  berdasarkan  konsep  parent 

training  dari  Barkley  (2006)  dan  disesuaikan  dengan  hasil  penilaian 

kebutuhan. Secara rinci materi dalam pelatihan ini akan digambarkan dalam 

lampiran 5 (Modul Program Pelatihan Pengasuhan). 

 

3.4.1.2.4 Pemilihan Lokasi dan Penataan Ruangan Pelatihan 

Pelatihan dilakukan di ruang kelas aktivitas kelompok di tempat terapi 

X di kota Surakarta, pada hari libur atau setelah selesai kegiatan terapi agar tidak 

terjadi gangguan dari kegiatan  lainnya selama proses pelatihan. Alasan peneliti 

memilih  lokasi  ini  adalah kemudahan  subjek penelitian untuk menjangkaunya 

dan  juga  kondisi  ruangan  kelas  tersebut  cukup memadai  dan  cukup  nyaman 

dalam hal pencahayaan dan ventilasi sehingga dapat membantu proses pelatihan 

menjadi lebih efisien.  

Cara  penataan  ruangan  pelatihan  menggunakan  U‐Shape  Traditional 

Classroom. Hal ini karena penataan ruangan dengan bentuk U sangat sesuai bagi 

pelatihan  dengan  tipe  kelompok  kecil  dan  memungkinkan  setiap  peserta 

mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperhatikan materi dan  trainer. 

85

Page 105: Tesis

Selain  itu  penataan  ruangan  seperti  ini  dapat memungkinkan  trainer melihat 

dengan jelas dan membagi perhatiannya pada semua peserta pelatihan. 

 

3.4.1.2.5 Perancangan Alat Ukur 

Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu 

(1) kuesioner pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH, dan 

(2)  panduan  observasi  demonstrasi  pemahaman  ibu  dalam menangani 

permasalahan tingkah laku anak GPPH. 

 

3.4.1.2.5.1 Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku GPPH 

1) Tujuan Pengukuran 

Mengukur  pengetahuan  ibu  mengenai  GPPH  dan  manajemen  perilaku 

GPPH. 

2) Indikator Perilaku  

Indikator perilaku pada kuesioner ini disusun berdasarkan konsep parenting 

program untuk anak GPPH dari Barkley  (2006), yang akan diuraikan dalam 

tabel  3.3.  Kuesioner  ini  terdiri  dari  36  pertanyaan  “benar  –  salah”  untuk 

menilai (1) pengetahuan ibu mengenai GPPH yang mencakup gejala GPPH, 

karakteristik, penyebab, diagnosis,  treatment, dan perkembangan mengenai 

GPPH  dan  (2)  pengetahuan  manajemen  perilaku  anak  GPPH  yang 

mencakup hubungan  ibu‐anak, perhatian positif, penggunaan konsekuensi, 

86

Page 106: Tesis

time out, mengelola perilaku anak di area publik, dan permasalahan anak di 

sekolah. 

Tabel 3.3 Kisi – Kisi Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH 

DIMENSI  INDIKATOR NO. 

ITEMPERNYATAAN 

PENGETAHUAN 

GPPH 

Gejala GPPH 

1 Memiliki  masalah  tidur  dan  sulit makan merupakan salah satu gejala GPPH pada saat balita. 

Pada  saat  di  sekolah  anak  GPPH sulit  menyelesaikan  pekerjaan, cepat bosan terhadap pelajaran, dan sulit mendengarkan pelajaran  yang diberikan guru di kelas. 

Karakteristik GPPH 

3 Anak  GPPH  mengalami  kesulitan dalam mengatur tugas dan kegiatan lainnya.  

Ketidakmampuan mempertahankan perhatian  dan  gerakan  yang  tidak dapat di kontrol bukan merupakan karakteristik yang paling mendasar pada anak dengan GPPH. 

Anak  GPPH  sering  menggerak‐gerakkan  jari‐jari  tangan, kaki, atau menggeliat  saat  anak  seharusnya duduk dengan tenang. 

6 Anak  GPPH  dapat  bermain  atau melakukan aktivitas dengan tenang. 

7 Anak GPPH  tidak merasa kesulitan menunggu  gilirannya  tiba  saat bermain atau beraktivitas. 

8 Anak GPPH  sering menyela  orang lain ketika berbicara atau bermain. 

Penyebab GPPH 

9 Penyumbang  utama  terjadinya GPPH adalah gen yang diturunkan dari orang tua 

10 Gangguan  GPPH  merupakan kelainan yang berhubungan dengan 

87

Page 107: Tesis

fungsi  kerja  otak  yang  kurang optimal. 

Diagnosis GPPH 

11 Cukup  dengan  pemeriksaan  fisik untuk  mendiagnosis  anak mengalami GPPH. 

12 Gejala GPPH muncul dalam waktu sekurang‐kurangnya  6  bulan sebelum didiagnosa. 

13 

Anak  yang  didiagnosa  GPPH mempunyai  paling  sedikit  satu tambahan  kelainan  gangguan mental atau belajar. 

Pendekatan Treatment 

untuk GPPH 

14 Terapi  akan  efektif  ketika pemberian  modifikasi  perilaku bersamaan dengan pemberian obat. 

15 Pemberian  obat  jenis  simultan dalam  dosis  rendah  dan  terkontrol dianggap menimbulkan adiktif. 

16 

Selain pemberian obat, penanganan yang paling menjanjikan bagi anak‐anak  GPPH  mencakup  pelatihan bagi  orang  tua  dan  perubahan menajemen kelas. 

Perkembangan GPPH 

17 

Remaja  atau  dewasa  yang mengalami  GPPH  menunjukkan perasaan  rendah  diri,  yang menyebabkan  kegelisahan  dan depresi. 

18 GPPH  dapat  sembuh  saat  anak memasuki usia remaja 

PEMAHAMAN 

MENGENAI 

MANAJEMEN 

PERILAKU 

ANAK GPPH 

Hubungan Ibu‐Anak 

19 Membuat  anak  merasa  bersalah dapat  mempermudah  manajemen perilaku pada anak GPPH 

20 

Penting bagi ibu untuk menemukan peristiwa  pendahulu  yang memicu perilaku  nakal  anak  dan  mencari konsekuensi  yang  efektif  untuk mengubah perilaku 

Perhatian Positif 

21 

Kenakalan  yang  ditunjukkan  anak merupakan  salah  satu  cara  yang dipelajari  untuk  mendapatkan perhatian ibu  

88

Page 108: Tesis

22 

Meluangkan  waktu‐waktu  pendek setiap  hari  dimana  ibu  dan  anak saling memberikan pengertian, akan menghilangkan perilaku nakal anak 

23 

Yang  penting  dalam  memberikan perhatian positif adalah  ibu banyak bertanya  dan  tidak  memberikan perintah 

Penggunaan Konsekuensi 

24 

Konsekuensi  adalah  sesuatu  yang ibu lakukan atau ibu berikan setelah respon  yang  anak  berikan,  baik dengan  penguatan  positif  (hadiah) atau penguatan negatif (hukuman) 

25 Konsekuensi  pada  anak  GPPH sebaiknya  diberikan  secara langsung dan sesering mungkin 

26 Kritik dan konsekuensi yang negatif dapat melatih anak menjadi penurut 

27 

Cara  untuk  menghapus  perilaku anak  yang  tidak  sesuai  adalah dengan  memberikan  hadiah tertentu berupa benda atau penguat simbolik  lain  yang  bernilai ekonomis  sesuai  dengan persetujuan bersama 

28 

Memberikan  denda  dengan mengurangi  atau  memperkecil hadiah  yang  akan  diberikan  bila perilaku  yang  ditampilkan  anak ternyata  tidak  sesuai  dengan harapan,  bukan  merupakan hukuman bagi anak GPPH 

Time Out 

29 

Perilaku‐perilaku  seperti  marah yang  meledak‐ledak,  menggigit, memukul  atau  melempar  barang‐barang, dapat dikendalikan dengan time out (waktu menyendiri) 

30 

Prinsip pelaksanaan  time out adalah konsistensi  yang  tinggi  agar  anak memahami  bahwa  orang  tua memegang  kendali  dan  hukuman ini serius adanya 

89

Page 109: Tesis

31 

Tidak  penting  untuk mengimbangi penerapan  time  out  dengan pemberian pujian  atau hadiah,  saat anak mampu berperilaku baik 

Mengelola Perilaku Anak di area publik 

32 

Kunci untuk mengelola anak GPPH di  tempat  umum  adalah menetapkan  rencana  dan memastikan  anak  memahami rencana  tersebut  sebelum  pergi  ke tempat umum 

33 Memberikan  kegiatan  yang berkaitan dengan tujuan perjalanan, dapat meningkatkan hiperaktif anak 

Permasalahan Anak di Sekolah 

34 

Tidak  ada  siswa  dengan  GPPH yang  mengulang  kelas  atau dikeluarkan  dari  sekolah  karena hambatan  perilaku  yang  dialami oleh anak. 

35 

Menempatkan anak GPPH di dekat jendela,  pintu  terbuka  atau gambar/lukisan  yang  warnanya cerah  akan  meningkatkan konsentrasi anak di sekolah 

36 

Memberikan  instruksi  secara  lisan dan  tulisan, serta menyediakan alat bantu visual adalah cara‐cara untuk membantu  anak  fokus  dan mengingat  bagian  penting  dari pelajaran 

 3) Cara Pengisian 

Cara pengisiannya adalah dengan memberikan tanda silang (X) pada kotak 

B bila pernyataan dianggap benar dan memberikan  tanda  silang  (X) pada 

kotak S bila pernyataannya dianggap salah. 

4) Cara Penilaian  

Nilai  akan diberikan hanya untuk pemilihan  jawaban yang  tepat pada 

setiap  nomor  soal,  dengan  ketentuan  bahwa  nilai  1  diberikan  jika 

90

Page 110: Tesis

jawaban  subjek  sesuai  dengan  kunci  jawaban  dan  nilai  0  akan  akan 

diberikan  jika  jawaban  subjek  tidak  sesuai  dengan  kunci  jawaban. 

Mengingat  seluruh  soal  pada  kuesioner  ini  berjumlah  36,  maka  skor 

tertinggi  yang  dapat  dicapai  adalah  36  dan  skor  terendah  adalah  0. 

Adapun  kunci  jawaban  untuk  kuesioner  ini  diuraikan  dalam  tabel  3.4 

berikut ini: 

Tabel 3.4 Kunci Jawaban Kuesioner Pengetahuan GPPH & Manajemen  

Perilaku GPPH No. Item 

Jawaban No. Item 

Jawaban No. Item 

Jawaban 

1.  Benar  13.  Benar  25.  Benar 

2.  Benar  14.  Benar  26.  Salah 

3.  Benar  15.  Salah  27.  Benar 

4.  Salah  Benar  Salah 16.  28. 

5.  Benar  17.  Benar  29.  Benar 

6.  Salah  18.  Salah  30.  Benar 

7.  Salah  19.  Salah  31.  Salah 

8.  Benar  20.  Benar  32.  Benar 

9.  Benar  21.  Benar  33.  Salah 

10.  Benar  22.  Benar  34.  Salah 

11.  Salah  Salah  Salah 23.  35. 

12.  Benar  24.  Benar  36.  Benar 

 

 

91

Page 111: Tesis

3.4.1 .2 Panduan Observasi Demonstrasi Pemahaman Ibu .2.5

1) Tujuan Pengukuran 

Memberikan  penilaian  terhadap  kemampuan  untuk  mendemonstrasikan 

2)

pengetahuan  yang  telah  diperoleh  subjek  pada  sesi‐sesi  tertentu  selama 

berlangsungnya pelatihan pengasuhan. 

Observer  

Observer  yang  membantu  peneliti  dalam  melakukan  pengukuran 

a  

m a

3)

demonstrasi pengetahuan  ibu  dalah mahasiswa Psikologi yang  telah  lulus 

Mata Kuliah Psikodiagnostik. Sebelum melakukan penelitian observer akan 

mendapatkan  pelatihan  mengenai  cara  pengisian  panduan  observasi. 

Pelatihan  ini  ditekankan  kepada  penguasaan materi  engenai  nak  yang 

mengalami  GPPH,  indikator  perilaku  yang  diukur,  serta  cara  pengisian 

panduan observasi tersebut. 

Indikator Perilaku  

Indikator perilaku pada lembar observasi ini disusun mengikuti langkah‐

 

langkah  yang  terdapat  dalam  materi  program  pelatihan  pengasuhan 

yang harus dilakukan  ibu untuk menangani permasalahan  tingkah  laku 

anak  GPPH.  Adapun  kisi‐kisi  panduan  observasi  demonstrasi 

pemahaman ibu diuraikan dalam tabel 3.4 berikut ini: 

 

 

 

92

Page 112: Tesis

Tabel 3.5 Kisi – Kisi Panduan Observasi Demonstrasi Pemahaman Ibu 

ASPEK

 

  NO  PERILAKU 

Perhatian Positif 

Menjelaskan  kepada   ini  adalah waktu khusus  antara  ibu‐anak   aktivitas bersama sebelum proses belajar dimulai. 

1   anak  bahwa

  untuk melakukan

2 Menjelaskan kepada anak bahwa waktu khusus akan berakhir  jika  ia  menunjukkan  perilaku  yang  tidak diinginkan secara terus menerus. 

3 Menetapkan  standar  waktu  khusus  yang  akan dilakukan untuk beraktivitas bersama. 

4 Menanyakan  kepada  anak  apa  yang  ingin  dia lakukan saat berdua dengan ibu. 

5 Tidak  mengontrol  atau  mengarahkan  apa  yang seharusnya anak lakukan.  

6 Memberikan pertanyaan hanya  saat  ibu     tidak yakindengan apa yang anak lakukan 

7 Mencoba  bercerita  aktivitas  yang  sedang dilakukan anak  dengan  perkataan  yang  bersemangat,  sebagai tanda ibu tertarik dengan yang anak lakukan.  

8 Sesekali  memberi  anak  pujian,  persetujuan,  atau umpan balik yang positif. 

9 Memalingkan  pandangan  atau mencari  tempat lain  selama  beberapa  saat,  jika  anak mulai  berperilaku nakal. 

10 Memberitahukan kepada anak bahwa waktu khusus selesai dan  ibu meninggalkan ruangan,  jika perilaku yang tidak diinginkan terus berlanjut. 

11 Menerapkan  disiplin  jika  anak  menjadi  sangat mengganggu atau kasar saat beraktivitas bersama. 

Keterampilan Komunikasi 

tah  jika masih 12 

Tidak memberikan  arahan  atau perinada  hal‐hal  yang  menyebabkan  anak  teralihkan seperti suara televisi, musik, mainan, dll. 

13 Melakukan  kontak  mata  dan  saling  berhadapan ketika berbicara 

14 Menyatakan  perintah  secara  jelas  dan  nada  suara yang normal. 

15  Tidak memberikan perintah sebagai pertanyaan  

93

Page 113: Tesis

16 Hanya memberikan satu instruksi yang spesifik pada waktu yang sama.  

17 Tidak  mengajukan  pertanyaan  saat  anak melaksanakan perintah ibu 

18 Memin   anak  untuk  ngulangi  ata meng takan dengan cara lainnya apa yan

ta me u  ag diperintahkan. 

19 Menyediakan  instruksi  multisensori  dengan menggunakan  tabel visual  tentang  langkah‐langkah 

k htugas yang diharapkan untu  dilakukan ole  anak. 

20 Memberikan batas waktu yang spesifik untuk  tugas atau pekerjaan yang harus anak lakukan. 

21 Memberikan  pujian  dan  umpan  balik  positif  ketika anak  mengikuti  arahan  dan/atau  melakukan pekerjaanya dengan baik. 

Penggunaan S

22 

 untuk  mendapat  hadiah 

”  u p

istem Token 

Menjelaskan  kepada  anak  bahwa ia  akan mempunyai  kesempatan berupa “poin jika ia berperilak  baik selama  roses belajar. 

23  digunakan 

Bersama anak membuat atau memilih bentuk “poin” yang akan

24 Menentukan tempat untuk menyimpan “poin” yang diperoleh. 

25 Bersama  dengan  anak membuat  sebuah  daftar  hak istimewa  yang  akan  diperoleh  ketika  ia  dapat mengumpulkan sejumlah “poin” 

26 Membuat  daftar  perilaku  yang  ibu  ingin  agar ditampilkan oleh anak selama proses belajar. 

27 Menentukan  seberapa  banyak  “poin”  yang  akan diberikan untuk masing‐masing perilaku yang  telah anak lakukan. 

28 Menentukan hadiah khusus  jika anak menunjukkan sebagian besar perilaku yang telah ditetapkan  

29 Menjelaskan  kepada  anak  kapan waktu  pemberian hadiah khusus tersebut. 

30 Menjelaskan  kepada  anak  bahwa  ia  akan memiliki kesempatan  untuk  mendapatkan  “poin”  bonus ketika pekerjaan dilakukan dengan sikap yang baik 

31 

  

Memastikan  kepada  anak  bahwa  “poin” akan diberikan  untuk  tugas  yang  diselesaikan  padapermintaan  pertama.  Jika  ibu mengulangi  perintah berulang‐ulang, maka anak  tidak akan memperoleh “poin”. 

94

Page 114: Tesis

32 elakukan apa yang diperintahkan. 

Memberikan  “poin“  secepat mungkin  setelah  anak selesai m

33 Saat  memberikan  poin,  Ibu  tersenyum  dan memberikan pujian.  

Response Cost 

34 

nap  3  kali  kejadian  yang 

   a

Menggunakan atura  3:1 dalam memberikan denda kepada  anak  (setimemperoleh  pujian  dan  penghargaan,  dapat memberikan denda sekali atas perilaku negatif nak) 

35 e teMenjelaskan k pada anak bahwa poin yang  lah  ia 

kumpulkan  akan  dikurangi  ketika  ia  tidak menunjukkan perilaku yang telah ditetapkan.  

36     k a 

  poin Menjelaskan kepada anak  bahwa  banya ny poin yang  hilang  sama  dengan  banyaknya  jumlahyang akan diperoleh ketika mematuhi aturan. Jika tugas yang diperintahkan tidak ada dalam daftar tugas,  ibu  dapat memilih  denda  yang masuk  akal untuk  membuat  anak  melakukan  perilaku  yang diperintahkan 

37 

Penerapan Time 

38 time out 

Out 

Memilih  perilaku  menganggu  yang  spesifik  untuk menjadi target 

39  Menentukan tempat yang tepat untuk time out 

40 Menentukan  lamanya waktu  time out sesuai dengan usia anak 

41 Memilih  konsekuensi  apabila  anak  meninggalkan area time out. 

42 Menjelaskan  kepada  anak  mengenai  perilaku mengganggu yang akan membuatnya kena time out.   

43 Menjelaskan kepada an k proses pelaksanaan time out 

a

44 Menjelaskan  kepada  anak  konsekuensi  apabila men

ia inggalkan area time out sebelum waktunya. 

45  Menggunakan alat pengukur waktu 

46 Tidak  memberikan  perhatian  ketika  anak  berada dalam situasi time out. 

47 Mendenda anak, ketika ia 2x berusaha meninggalkan kursi time out tanpa ijin. 

48 Memberikan  konsekuensi  logis  ketika  anak  marah dan merusak atau membuat ruangan jadi berantakan ketika ia menjalani time out. 

49    telah  diberitahukan Setelah  anak  tenang,  mengulangi  kembali permintaan/perintah  yangsebelumnya  d   anak  harus  setuj untuk an u 

95

Page 115: Tesis

melakukannya. 

50 o k d  perilaku  yang  membuat  ia  di 

Ketika  time  ut  berakhir,  mendis usikan  engan anak  mengenaitempatkan ke dalam time out. 

 4) Prosedur Observasi dan Cara Pengisian 

Observasi  dilakukan  pada  sesi‐sesi  yang  terdapat metode  bermain  peran 

 dengan identitas ibu yang diobservasi 

i  berdasarkan  sesi 

adalah kolom nomor indikator perilaku 

h  indikator  perilaku 

  kolom  untuk  menuliskan  muncul  tidaknya  ciri 

kan  hal‐hal  yang  mendukung  pernyataan 

selama  berlangsungnya  pelatihan  pengasuhan.  Berikut  ini  adalah  cara 

pengisian  lembar  observasi  kemampuan  ibu  pada  setting  pelatihan 

pengasuhan: 

a. Identitas diisi

b. Kolom  (A)  adalah  aspek  yang  harus  diobservas

pelatihan 

c. Kolom (B) 

d. Kolom  (C)  adalah  kolom  yang  berisikan  sejumla

kemampuan  untu  mendemonstrasikan  pengetahuan  ibu  pada  suatu 

tahapan pelatihan. 

e. Kolom  (D)  adalah

perilaku  sesuai  kolom  (C).  Dengan  demikian  dalam  kolom  hasil 

observasi  akan  dituliskan  ’ ’  jika  perilakunya  muncul  atau  ’X’  jika 

perilakunya tidak muncul. 

f. Kolom  (E)  untuk  menulis

kolom (C). 

 

96

Page 116: Tesis

5) Car Penilaian a   

  lembar observasi  ini dilakukan dengan memberikan angka 

3.4.1 Pengukuran Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 

i merujuk pada pengertian apakah pengukuran benar‐

benar men

yang harus disesuaikan dengan siapa yang akan mengisi kuesioner.  

Penilaian dalam

1 untuk perilaku yang muncul dan angka 0  jika perilakunya  tidak muncul. 

Penilaian  dilakukan  oleh  2  orang  observer  dan  nilai  yang  diperoleh  dari 

masing‐masing observer akan diintegrasikan melalui panel judgment agar jelas 

proses perbedaan pemberian skor antar observer. 

 

.2.6

3.4.1.2.6.1 Uji Validitas 

Proses validas

gukur apa yang harus diukur, sehingga semakin tinggi validitas suatu 

alat  ukur, maka  alat  ukur  tersebut  semakin mengenai  pada  sasarannya  atau 

semakin menunjukkan  apa  yang  seharusnya  diukur  (Graziano,  1997).  Dalam 

penelitian  ini  akan  dilakukan  pengujian  validitas  isi  (content  validity),  dimana 

peneliti  ingin  melihat  apakah  alat  ukur  ini  sudah  sesuai  dapat  mengukur 

representasi isi yang tepat, berkaitan dengan relevansi per aitem maupun secara 

keseluruhan.  Langkah  pertama  dalam  menentukan  validitas  isi  adalah 

menganalisa bentuk  item atau pernyataan pada masing‐masing domain dengan 

meminta  pendapat  dari  ahli  dalam  bidangnya  untuk melihat  apakah  domain 

tersebut sudah sesuai dan apakah benar‐benar mengukur apa yang akan diukur. 

Hal ini mempertimbangkan penggunaan bahasa dalam item dan contoh perilaku 

97

Page 117: Tesis

3.4.1.2.6.2 Uji Reliabilitas 

Reliabilitas merupakan terjemahan dari kata reliability yaitu sejauh 

apat  dipercaya.  Reliabilitas  juga  menunjukkan 

sejauh ma

n formula KR‐20 karena alat ukur ini 

menghasil

KR‐20  =

mana  hasil  pengukuran  d

na hasil pengukuran  relatif  sama bila dilakukan pengukuran dua 

kali atau  lebih  terhadap kondisi yang sama dan dengan alat pengukur yang 

sama. Relatif  sama  berarti  tetap  adanya  toleransi  terhadap  perbedaan  kecil 

diantara hasil beberapa kali pengukuran. Bila perbedaan itu sangat besar dari 

waktu ke waktu, maka hasil pengukuran tersebut tidak dapat dipercaya dan 

dikatakan tidak reliabel (Azwar, 2005). 

Uji  reliabilitas  kuesioner  pengetahuan  GPPH  dan  manajemen 

perilaku anak GPPH akan menggunaka

kan  skor  dikotomi.  Jika  koefisien  reliabilitas  α  >  0,5  maka 

memenuhi  syarat  alat ukur dianggap  reliabel. Formula KR‐20   dirumuskan 

sebagai berikut: 

  ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −−

−∑

xS

ppK

K2

)1(1

K  : Banyaknya item P  : Indeks kesukaran item               

: Varian s  Set   tingkat  reliabilitas  alat  ukur,  maka  langkah 

selanjutnya  ad bilitas  untuk  alat  ukur  tersebut 

sudah  cuk

xS 2   kor tes (X)elah  mendapatkan

alah  menentukan  apakah  relia

up  atau  tidak.  Semakin  koefisien  reliabilitas mendekai  angka  +1.00 

maka  semakin baik  reliabilitasnya. Secara umum, hasil perhitungan  reliabilitas 

98

Page 118: Tesis

yang kurang dari angka 0.60 dianggap buruk, yang berada ≥ 0.70 dianggap dapat 

diterima, dan yang berada di atas angka 0.80 dianggap baik (Freidenberg, 1995). 

Uji  reliabilitas  panduan  observasi  dilakukan  dengan menggunakan 

teknik  Femandes  untuk  menentukan  tingkat  toleransi  perbedaan  hasil 

pengamata

   

n.   Semakin banyak kemiripan hasil penilaian antara satu pengamat 

dengan pengamat  lainnya, maka  koefisien  reliabilitas  yang  dihasilkan  akan 

tinggi. Rumus Femandes tersebut adalah sebagai berikut: 

KK  = 21

2S 

NN +

KK  : Koefisien Kesepakatan 

S  : Sepakat, jumlah e y g sama untuk objek yang sama 

N1  : Jumlah kode yang dibuat oleh pengamat 1 

 oleh pengamat 2 

 le kategorikan  tingkat 

reliabil nt

Kap

ellent) 

3.4.2 atihan Pengasuhan 

pengasuhan  terdiri  dari  uji 

suhan, dan 

revisi program pelatihan pengasuhan.  

 kod an

N2  : Jumlah kode yang dibuat

F iss  (1981,  dalam  Umar,  2002:129)  meng

itas a ar rater menjadi empat kategori, yaitu: 

pa < 0.4    :  Buruk (bad) 

Kappa 0.4 – 0.60  :  Cukup (fair) 

Kappa 0.60 – 0.75  :  Baik (good) 

Kappa > 0.75    :  Istimewa (exc

Tahap Pengembangan Program Pel

Tahap  pengembangan  program  pelatihan 

coba program pelatihan pengasuhan, evaluasi hasil pelatihan penga

99

Page 119: Tesis

3.4.2.1

tian, (3) Prosedur pelaksanaan uji coba. 

3.4.2.1.1 Penjaringan Subjek penelitian 

Pemilihan  sampel  dalam  penelitian  ini  dilakukan  dengan  metode 

purposive  sampling,  yaitu  pemilihan  sekelompok  subjek  didasarkan  pada 

asi. Peneliti mencari di tempat terapi X 

semua ib

9

 

Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan 

Pada  sub  bab  ini  akan  diuraikan  mengenai  (1)  Penjaringan  subjek 

penelitian, (2) Persiapan personil peneli

 

karakteristik penelitian dalam unit popul

u dari anak yang telah didiagnosa GPPH oleh professional, dan saat ini 

berusia 7‐  tahun. Kemudian peneliti mengirimkan surat pengantar dari tempat 

terapi  dan  dari  peneliti,  kepada  ibu  yang  memenuhi  karakteristik  penelitian 

untuk meminta  kesediaannya  sebagai  subjek  penelitian.  Surat  pengantar  dari 

peneliti  berisikan  informasi mengenai  prosedur  penelitian,  hak dan  kewajiban 

peserta, manfaat dan  resiko keikutsertaan, dan  jaminan kerahasiaan  informasi. 

Di  samping  itu peneliti  juga melakukan kontak melalui  telepon kepada  semua 

calon  subjek  dengan  tujuan  yang  sama  seperti  pengiriman  surat. Diharapkan 

dengan melakukan kontak langsung melalui telepon peneliti dapat menjelaskan 

secara mendalam mengenai  tujuan dan  sasaran dari penelitian. Para  ibu  yang 

berminat, diminta mengisi  informed  consent  sebagai komitmen untuk mengikuti 

seluruh rangkaian kegiatan penelitian ini dari tahap awal sampai tahap akhir. 

 

100

Page 120: Tesis

3.4.2.1.2 Persiapan Personil Penelitian 

Dalam  penelitian  ini  dibutuhkan  beberapa  personil  kegiatan,  antara 

lain: 

1. Pengamat Pendamping 

ang  yang  membantu  peneliti  dalam 

mela

e‐test,  pelaksanaan  treatment,  maupun  post‐test.  Pengamat  pendamping 

i  inter‐rater pada  saat  observasi  sehingga data yang 

2.

r

viasari,  yang  berpengalaman  sebagai  terapis  anak 

tuhan  khusus  selama  12  tahun, dan  berpengalaman dalam melatih 

 

 

Pengamat  pendamping  adalah  or

kukan observasi terhadap subjek penelitian baik pada saat pengukuran 

pr

diperlukan pula  sebaga

dihasilkan  akan  lebih  dapat  diandalkan.  Sebelum  melakukan  penelitian, 

pengamat  pendamping  akan  mendapatkan  pelatihan  mengenai  cara 

melakukan observasi perilaku  saat  pre‐test dan  post‐test,  sehingga masing  – 

masing  pengamat  memiliki  kerangka  dan  batasan  yang  sama  dalam 

memberikan penilaian. 

Trainer 

Trainer  adalah  individu  yang  memberikan  materi  dalam  pelatihan 

pengasuhan  ini.  Trainer  prog am  pelatihan  manajemen  perilaku  anak  ini 

adalah  Ibu  Wulan  No

berkebu

cognitive behavioral therapy pada orang dewasa selama 7 tahun. 

 

 

101

Page 121: Tesis

3.4.

yang  akan 

dilaksanakan sebanyak 4 kali pertemuan dan dilakukan secara berkelompok. 

Pelaksanaannya  akan  mengacu  pada  prosedur  pelaksanaan  pelatihan 

pengasuhan yang telah disusun pada Modul Program Pelatihan Pengasuhan. 

  lampiran  2.1  (Silabus  Program 

Pelatihan

3.4.2.2 Evaluasi Hasil Uji Coba Pelatihan Pengasuhan 

Evaluasi hasil uji coba pelatihan pengasuhan  ini  terdiri dari dua hal. 

Evaluasi yang pertama  adalah  evaluasi mengenai peningkatan pemahaman 

ibu  dalam  menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak  GPPH  dengan 

menggunakan  pendekatan  pretest‐posttest.  Sedangkan  evaluasi  yang  kedua 

tanya diperoleh dari 

proses 

2.1.3 Prosedur Pelaksanaan Uji Coba 

Program  pelatihan  pengasuhan  terdiri  dari  7  sesi 

Adapun  silabus  pelatihan  terdapat  dalam

 Pengasuhan) 

  

mengenai hasil pelaksanaan uji  coba program  yang da

selama  pelatihan  dan  evaluasi  reaksi  peserta  terhadap  pelaksanaan 

program pelatihan pengasuhan  ini. Hasil evaluasi  ini akan digunakan untuk 

mengetahui  dampak  keberhasilan  dari  program  pelatihan  yang  sudah 

dilaksanakan  dan  sebagai  landasan  dalam  melakukan  revisi  program 

pelatihan  pengasuhan  terhadap  hal‐hal  yang  dirasakan masih  kurang  dan 

perlu diperbaiki guna pengembangan di kemudian hari. 

 

102

Page 122: Tesis

3.4.2.2.1 Peningkatan  Pemahaman  Ibu  Dalam  Menangani  Permasalahan 

Tingkah Laku Anak GPPH 

Evaluasi  hasil  pelatihan  ini  dimaksudkan  untuk  menguji  hipotesis 

penelitian ini yaitu “Uji coba program pelatihan pengasuhan yang telah disusun 

laku ngalami Gangguan  Pemusatan  Perhatian 

disertai H

rena data yang dihasilkan berupa data berpasangan 

yang  be

erilaku anak GPPH usia 7 – 9 tahun 

dapat meningkatkan pemahaman  ibu dalam menangani permasalahan  tingka

  anak  usia  7  –  9  tahun  yang me

iperaktivitas  (GPPH)”. Seperti yang  telah dijelaskan pada sub bab 3.2 

(Variabel Penelitian), maka pengolahan data variabel terikat akan dibagi menjadi 

dua, yaitu  (1) pengetahuan  ibu mengenai GPPH dan manajemen perilaku anak 

GPPH,  dan  (2) Demonstrasi  pemahaman  ibu  dalam menangani  permasalahan 

tingkah laku anak GPPH.  

Pengolahan  data  dilakukan  berdasarkan  metode  statistik  inferensial 

nonparametrik,  yaitu  suatu  metode  pengolahan  data  yang  dapat  digunakan 

untuk melihat  pengaruh  dari  pemberian  suatu  treatment,  dengan  uji  statistik 

wilcoxon  signed‐rank  test, ka

rhubungan  satu  sama  lain.  Keseluruhan  hasil  perhitungan  pada  pre‐

treatment  dan  post‐treatment  seluruh  subjek  penelitian  akan  diolah  dengan 

menggunakan software SPSS versi 17.0 

Adapun hipotesis yang  ingin diuji melalui uji Wilcoxon signed‐rank  test 

adalah : 

1. Hipotesis  1: Pelatihan pengasuhan  berpengaruh  terhadap pengetahuan  ibu 

mengenai GPPH dan manajemen p

103

Page 123: Tesis

Hipo

    :   Tidak  terdapat  peningkatan  pengetahuan  ibu mengenai GPPH 

‐test 

2. Hipotesis  2

pemahaman

usia 7 – 9 tah

Hipotesis st

n setelah pelatihan pengasuhan diberikan 

‐test 

 

tesis statistiknya adalah: 

H0   

dan manajemen  perilaku  anak GPPH  usia  7  –  9  tahun  setelah 

pelatihan pengasuhan diberikan 

Me post‐test ≤ Me pre

H1       :  Terdapat  peningkatan  pengetahuan  ibu  mengenai  GPPH  dan 

manajemen  perilaku  anak  GPPH  usia  7  –  9  tahun  setelah 

pelatihan pengasuhan diberikan 

Me post‐test > Me pre‐test 

:  Pelatihan  pengasuhan  berpengaruh  terhadap  demonstrasi 

  ibu dalam menangani permasalahan  tingkah  laku  anak GPPH 

un 

atistiknya adalah: 

H0       :   Tidak terdapat peningkatan demonstrasi pemahaman ibu dalam 

menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak GPPH  usia  7  –  9 

tahu

Me post‐test ≤ Me pre

H1       :  Terdapat  peningkatan  demonstrasi  pemahaman  ibu  dalam 

menangani  permasalahan  tingkah  laku  anak GPPH  usia  7  –  9 

tahun setelah pelatihan pengasuhan diberikan. 

Me post‐test > Me pre‐test 

104

Page 124: Tesis

105

3.4.2 alua i

Data  e

proses  selama    pelaksanaan 

program  pelati   evaluasi  reaksi  peserta  terhadap 

pelaksanaan pelatihan pengasuhan dapat dilihat dalam lampiran 2.2 (Lembar 

si 

n evaluasi hasil uji coba yang dikaji secara teoritis ataupun 

praktis  untuk  memperbaiki  kekurangan‐kekurangan  pada  program  pelatihan 

 pelatihan.  

.2.2 Ev si Hasil Pelaksanaan Uj  Coba Program 

valuasi  hasil  pelaksanaan  uji  coba  program  diperoleh  dari 

pelatihan  dan  evaluasi  reaksi  peserta  terhadap

han  pengasuhan.  Panduan

Evaluasi Pelatihan). 

 

3.4.2.3 Revisi Program Pelatihan Pengasuhan 

Kegiatan  selanjutnya  dalam  tahap  pengembangan  adalah  melakuka

revisi dan/atau modifikasi program pelatihan pengasuhan. Revisi dan modifika

dilakukan berdasarka

pengasuhan ini dan disesuaikan dengan tujuan