tesis
DESCRIPTION
mediaTRANSCRIPT
PROGRAM PELATIHAN PENGASUHAN BAGI IBU YANG MEMILIKI ANAK USIA 7‐9 TAHUN DENGAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN
DISERTAI HIPERAKTIVITAS (GPPH)
Studi tentang Perancangan dan Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan Untuk Meningkatkan Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak Usia 7 – 9 tahun Yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai
Hiperaktivitas (GPPH)
Oleh : Mefisya Nuzullia WS
190420070025
TESIS Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna memperoleh Gelar Magister Psikologi
Program Pendidikan Magíster Konsentrasi Magister Profesi Psikologi
PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG 2010
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di
Universitas Padjadjaran maupun perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, September 2010
Yang membuat pernyataan,
Mefisya Nuzullia WS
190420070025
PROGRAM PELATIHAN PENGASUHAN BAGI IBU YANG MEMILIKI ANAK USIA 7 – 9 TAHUN DENGAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN
DISERTAI HIPERAKTIVITAS (GPPH)
Studi tentang Perancangan dan Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan Untuk Meningkatkan Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak Usia 7 – 9 tahun yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai
Hiperaktivitas (GPPH)
Oleh : Mefisya Nuzullia WS
190420070025
TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna memperoleh Gelar Magister Psikologi
Program Pendidikan Magíster Konsentrasi Magister Profesi Psikologi
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tangggal seperti tertera di bawah ini
Bandung, September 2010
Prof. Dr. Juke R. Siregar, M.Pd
Ketua Tim Pembimbing
Afra Hafny Noer, S.Psi, M.Sc Anggota Tim Pembimbing
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PSIKOLOGI BANDUNG
LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN (REVISI) TESIS
Nama Mahasiswa : Mefisya Nuzullia WS NPM : 190420070025 Tanggal Ujian : 26 Agustus 2010 Program Studi : Psikologi Bidang Kajian Utama : Profesi Psikologi – Klinis Anak Judul : “PROGRAM PELATIHAN PENGASUHAN BAGI IBU YANG MEMILIKI
ANAK USIA 7 – 9 TAHUN DENGAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DISERTAI HIPERAKTIVITAS(GPPH)”
Telah direvisi, disetujui oleh Tim Penguji dan Tim Pembimbing dan diperkenankan untuk diperbanyak/dicetak No. Nama Penguji Tanda Tangan
1. Dr. Lieke J. Wisnubrata
2. Dr. Hj. Hendriati Agustiani, M.Si
3. Dr. Hj. Sutji Martiningsih Wibowo, M.Si
4. Dra. Hj. Lenny Kendhawati, M.Si
Bandung, September 2010
Mengetahui,
Prof. Dr. Juke R. Siregar, M.Pd Ketua Tim Pembimbing
Afra Hafny Noer, S.Psi, M.Sc Anggota Tim Pembimbing
ABSTRAK
Mefisya Nuzullia WS. 190420070025. Program Pelatihan Pengasuhan Bagi Ibu yang Memiliki Anak Usia 7 – 9 tahun dengan Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH).
Saat anak mulai mengikuti pendidikan formal, tuntutan bagi anak menjadi lebih besar
dibandingkan ketika mereka masih di prasekolah. Pada saat ini mulai banyak muncul keluhan‐keluhan kesulitan pada anak terutama yang terkait dengan kesulitan belajar, seperti kesulitan membaca, menulis, berhitung, duduk diam di kelas, dan berkonsentrasi. Keluhan ini apabila menetap dalam jangka waktu yang cukup lama dan konsisten dalam berbagai setting, maka merupakan gambaran dari perilaku yang menunjukkan adanya gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas (GPPH).
Kurangnya pengetahuan orangtua mengenai keterbatasan anak GPPH membuat pola perilaku orangtua terhadap anak menjadi tidak tepat. Orang tua menjadi banyak mengontrol, kurang responsif terhadap pertanyaan anak, sering memerintah, tidak konsisten, memberikan hukuman sebagai metode pendisiplinan, dan hanya sedikit memberikan perhatian terhadap perilaku yang positif. Akibatnya gejala GPPH terus berlanjut dan berkembangnya berbagai komorbid. Oleh karena itu intervensi terhadap orangtua khususnya ibu, merupakan hal yang penting di dalam program intervensi awal untuk anak‐anak GPPH.
Cukup banyak program pelatihan pengasuhan yang telah ditawarkan sebagai intervensi untuk menangani anak dengan GPPH dan kebanyakan menggunakan tehnik modifikasi perilaku. Peneliti tertarik untuk merancang suatu program pelatihan pengasuhan berdasarkan prinsip pendekatan “behavioral parent training” dari Barkley dan melalui pendekatan modifikasi perilaku, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku anak usia 7 – 9 tahun yang mengalami gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas (GPPH).
Penyusunan program pelatihan pengasuhan dilakukan dalam dua tahap, yaitu (1) Tahap Persiapan, yang dimaksudkan untuk proses asesmen kebutuhan dan perancangan program pelatihan pengasuhan, dan (2) Tahap Pengembangan, yaitu proses uji coba program pelatihan pengasuhan terhadap aspek penyusunan materi, metode yang digunakan, pemilihan lokasi dan penataan ruangan latihan, proses evaluasi, dan alat ukur penelitian. Dari hasil uji coba tersebut kemudian dilakukan revisi terhadap program pelatihan pengasuhan.
Rancangan penelitian dalam uji coba program pelatihan pengasuhan ini adalah quasi experimental dengan menggunakan desain one group pre test – post test untuk melihat peningkatan pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku anak usia 7 – 9 tahun yang mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH) setelah mengikuti program pelatihan pengasuhan. Subjek dalam uji coba ini adalah 3 orang ibu yang mempunyai anak GPPH usia 7 – 9 tahun. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku GPPH, dan panduan observasi demonstrasi pemahaman ibu menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH.
Pengujian statitistik terhadap pengukuran pengetahuan ibu dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon signed‐rank test. Untuk hasil pengukuran pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku GPPH diperoleh nilai Z = ‐1.970 dan nilai t = 0.0245. Sedangkan untuk hasil pengukuran demonstrasi pengetahuan ibu menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH, diperoleh nilai Z sebesar ‐2.023 dan nilai t adalah 0.0215. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Zoutput > Ztabel dan nilai T < 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan pengasuhan berpengaruh terhadap peningkatan pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku usia 7 – 9 tahun yang mengalami gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas (GPPH) untuk ketiga subjek uji coba. Kata Kunci : GPPH, pemahaman GPPH, manajemen perilaku GPPH, pelatihan pengasuhan.
iv
v
ABSTRACT Mefisya Nuzullia WS. 190420070025. Parent Training Program For Mothers Who Have Children Aged 7‐9 years with Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
When children begin to follow a formal education, the demand for the children are become much
more than when they were still in preschool. At this time began to appear a lot of complaints in children, especially the difficulties associated with learning difficulties, such as difficulty reading, writing, arithmetic, sat quietly in class, and concentrated. This complaint if settled in a long period and consistently in various settings, it is the description of behavior that indicates a Attenttion Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
The parents lack of knowledge about the limitations of the childʹs leading patterns of parenting to the childʹs behavior becomes inappropriate. Parents become more controlling, less responsive to the questions of children, giving more commands, was not consistent, give punishment as disciplinary methods, and being less attentive to positive behavior. Consequently ADHD symptoms continue and develop a variety of comorbid. Therefore, the intervention of parents especially for mother is essential in early intervention programs for children with ADHD.
Quite a lot of parent training programs have been offered as an intervention to treat children with ADHD and most use behavior modification techniques. Researchers interested in designing a training program based on principles ʺbehavioral parent trainingʺ from Barkley and behavior modification approach, which aims to increase comprehension in problem of behavioral management from children aged 7‐9 years with attention deficit hyperactivity disorder.
The Parent Training Program is held within two phase, namely (1) Designing Phase, which was intended for the assessment of training needs and designing parenting programs, and (2) Development Phase, is the testing process of parent training programs especially about material composing aspects, the methods used, choosing the location and training room layout, evaluation processes, and research instrument. The try‐out result will be added to Parent Training Program revision.
The design research in this Parent Training Program’s try‐out is quasi experimental using one group pre test – post test design to look at increasing the knowledge in problem of behavioral management from children aged 7‐9 years with attention deficit hyperactivity disorder after attending the Parent Training Program. Subjects in this try out is the third mothers who have children aged 7‐9 years with ADHD. Measurements conducted using questionnaires knowledge ADHD and behavioral management of ADHD, and guide observation demonstrate acquired knowledge of mother to handle behavior problems of children with ADHD .
Testing statitistic to measure knowledge will be done using Wilcoxon signed‐rank test. Result of knowledge ADHD and behavioral management of ADHD obtained Z value = ‐1.970 and t value = 0.0245. While measuring the knowledge demonstrate of mothers to handle behavior problems of children with ADHD, obtained a Z value = ‐2.023 and t value = 0.0215. Statistic test result showed that the value of Zoutput > Ztabel and T‐score < 0.05, it can be concluded that parent training affected on the increase of comprehension for mothers in problem of behavioral management from children aged 7‐9 years with attention deficit hyperactivity disorder for the three sample subjects.
Keywords : ADHD, comprehension of ADHD, behavior management for ADHD, parent training
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’aalamiin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas
rahmat, karunia, dan segala kemudahan yang dilimpahkan‐Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh
gelar Magister Psikologi Program Pendidikan Pascasarjana Konsentrasi Magister
Profesi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.
Selama menempuh studi di Magister Profesi Psikologi khususnya pada
saat penyusunan tesis ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari
berbagai pihak. Dengan segala ketulusan hati penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Juke R. Siregar, M.Pd. sebagai pembimbing utama dan Dekan
Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, atas kesediaan memberikan
waktu luang dan kesabarannya membimbing selama proses mengerjakan
tesis. Terima kasih atas arahan‐arahan dan motivasinya, sehingga saya dapat
melihat dan belajar banyak hal, serta memperoleh hasil yang baik.
2. Ibu Afra Hafny Noer, S.Psi, M.Sc sebagai pembimbing pendamping yang
juga telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing dan memberikan
dukungan penuh kepada penulis sehingga proses mengerjakan tesis ini
dapat berjalan dengan lancar.
3. Seluruh Tim Penguji Sidang Tesis, Ibu Dr. Lieke J. Wisnubrata, Ibu Dr. Hj.
Hendriati Agustiani, M.Si, Ibu Dr. Hj. Sutji Martiningsih Wibowo M.Si, dan
Ibu Dra. Hj. Lenny Kendhawati, M.Si atas masukannya yang sangat berguna
bagi perbaikan tesis ini
4. Ketua program Magister dan seluruh staf pengajar program Magister Profesi
Psikologi UNPAD, atas ilmu pengetahuan dan bimbingannya selama masa
studi.
5. Ibu Nani, Ibu Umi, Bapak Juju, dan Bapak Asep atas semua bantuan terkait
administrasi akademik.
vii
6. Ibu Wulan Noviasari, S.Psi, M.Psi, Psikolog yang telah bersedia menjadi
trainer dalam pelaksanaan uji coba Program Pelatihan Pengasuhan ini.
Terima kasih atas diskusi dan saran‐sarannya mengenai perancangan
program pelatihan ini agar lebih efektif.
7. Ibu Siti Sopiyatun, S.Pd, S.Psi sebagai pimpinan pusat rehabilitasi anak
dengan special need, yang telah mengijinkan peneliti untuk melakukan
penelitian dan telah meluangkan waktunya untuk diskusi mengenai
pelaksanaan uji coba Program Pelatihan Pengasuhan bagi ibu yang memiliki
anak GPPH.
8. Ibu Keni Sapartini, S.Pd dan Bapak Agus Pramono, S.Pd yang telah
memberikan banyak bantuan bagi peneliti selama proses asesmen dan
pelaksanaan uji coba Program Pelatihan Pengasuhan.
9. Para subjek penelitian, yang telah bersedia dan meluangkan waktunya
untuk mengikuti seluruh proses Program Pelatihan Pengasuhan.
10. Afrilia dan Anggina, yang telah membantu penulis dalam proses observasi
selama pelaksanaan uji coba Program Pelatihan Pengasuhan.
Semoga tesis ini dapat berguna bagi para peneliti dan psikolog yang
berminat dalam pengembangan intervensi bagi orangtua yang memiliki anak
GPPH, serta dapat memberikan sumbangan bagi mahasiswa dan akademisi
lainnya.
Bandung, Agustus 2010
Penulis
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Tesis ini dapat selesai dengan hasil yang baik berkat cinta kasih dan
dukungan moril dari keluarga dan teman‐teman terdekat. Oleh karena itu
penulis persembahkan tesis ini untuk :
1. Ayah dan Ibu tercinta, atas segala kasih sayang yang menyertai setiap
langkah penulis, doa yang tiada henti – hentinya untuk keberhasilan
penulis, dan senyum keteduhan yang menjadi penyemangat luar biasa bagi
penulis dalam perjuangan menyelesaikan tesis ini.
2. Adikku tersayang Otis Nashucha WS, yang telah memberikan banyak
keceriaan dan sekaligus menjadi pesaing bagi penulis untuk segera
menyelesaikan studi ini. Terima kasih banyak untuk bantuan fisik dan
materinya selama pengerjaan tesis ini.
3. My true friend: Novie, Rini Jendro, dan Anggi, yang selalu hadir khususnya
saat masa – masa sulit, serta mengajari penulis tentang arti syukur dan
kesabaran yang sesungguhnya. Terima kasih atas pengertian, dukungan,
bantuan, dan kebersamaan kalian.
4. Gorat Club, khususnya Mita yang selalu menyumbangkan gagasan
cemerlangnya ketika penulis merasa buntu mengenai hal teknis, Samii yang
selalu menemani melepaskan kepenatan hati dan pikiran dengan jalan –
jalan, Mandha yang selalu mengingatkan dan memenuhi kebutuhan logistik
selama masa deadline, Ipim yang rela 2 catridge barunya di habiskan disaat
detik – detik terakhir pengumpulan, Uma yang menjadi inspirator untuk
eksistensi diri, dan Nopek yang selalu menemani penulis begadang. Semoga
ikatan persaudaraan ini abadi.
5. Andrian, yang menjadi tempat sampah pembuangan keluh kesah. Terima
kasih atas kesabaran, pencerahan, dan dukungannya sehingga membuat
penulis selalu memiliki tekad untuk mempersembahkan yang terbaik dalam
hidup.
ix
x
6. Aris Dota, yang telah bersedia dipaksa untuk menyediakan waktu luang
demi membantu penulis membuat desain menarik untuk modul dan buku
panduan pengasuhan GPPH.
7. Tim teknis, khususnya Mas Lukman yang menjadi tumpuan harapan jika
terjadi sedikit ketidaksesuaian dengan komputer, Adhit yang telah
mengurus segala birokrasi dan memberikan kemudahan dalam hal
transportasi, dan Mas Aulia yang telah menyediakan fasilitas dan
dukungannya selama pengambilan data.
8. Seluruh teman‐teman Magister Profesi Psikologi angkatan VI, terimakasih
atas persaudaraannya selama mengikuti pendidikan di Magister Profesi
Psikologi. Khususnya untuk mba Putu, mba Isya, mba Winda, Berry, mba
Hawa, dan mba Celly, segala bantuan dan persahabatan selama ini membuat
penulis selalu bahagia berada di Bandung.
9. Seluruh teman‐teman Majoring Klinis Anak angkatan VI, Uni Rita, Mba
Gina, Fina, Ceu Eva, Mba Dita, Yoan, Teh El, Mba Rina, Ipit, Pepeng, Pipit,
Mba Rika, Mba Ully, dan teh Ratih, terimakasih atas kebersamaan dan
dukungannya selama masa studi.
10. Mba Wita, Dewinta, dan Kang Dwi terima kasih atas pinjaman buku,
diskusi, dan dukungannya sehingga penulis menjadi bersemangat selama
proses pengerjaan tesis ini.
11. Teman – teman di Makassar dan Jeneponto yang selalu setia memantau
perkembangan tesis dan senantiasa mendoakan kesuksesan penulis.
DAFTAR ISI
Judul iSurat Pernyataan iiLembar Pengesahan iiiLembar Persetujuan Perbaikan (Revisi) Tesis Abstrak
iv v
Abstract viKata Pengantar viiDaftar Isi xiDaftar Tabel xviDaftar Bagan xviiDaftar Grafik xviiiDaftar Lampiran xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian 1.3.2 Tujuan Penelitian 1.3.3 Kegunaan Penelitian
1
11113131313
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai Hiperaktivitass (GPPH) 2.1.1 Pengertian dan Gejala Utama 2.1.2 Kriteria GPP/GPPH Berdasarkan Diagnostik and Statistic Manual
of Mental Disorder (DSM) IV‐TR 2.1.3 Penyebab Munculnya Keluhan GPPH 2.1.4 Treatment GPPH 2.1.5 Karakteristik Keluarga Dengan GPPH
15
151518
202224
2.2 Pelatihan Pengasuhan Untuk Orangtua yang Memiliki Anak GPPH 28
xi
2.2.1 Dasar Pemikiran Parent Training dari Barkley 2.2.2 Prinsip – Prinsip Pengembangan Anak GPPH Dalam Parenting
Program 2.2.3 Sesi Pelaksanaan Parent Training Dari Barkley
2830
382.3 Teori Belajar Sosial
2.3.1 Konsep Belajar Lewat Pengamatan 2.3.2 Proses Belajar Lewat Pengamatan
2.4 Taksonomi Tujuan Pembelajaran
49505253
2.5 Pengembangan Program Pelatihan 2.5.1 Tahap Persiapan
2.5.1.1 Penilaian Kebutuhan 2.5.1.2 Perancangan Program Pelatihan
2.5.2 Tahap Pengembangan 2.5.3 Tahap Peningkatan Program
2.6 Kerangka Pikir 2.7 Hipotesis Penelitian
5758585961646471
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian 3.1.1 Desain Penelitian 3.1.2 Pengontrolan Validitas dalam Desain Penelitian
3.1.2.1 Validitas Internal 3.1.2.2 Validitas Eksternal
72
7272747476
3.2 Variabel Penelitian 3.2.1 Variabel Bebas 3.2.2 Variabel Terikat
767677
3.3 Subjek Penelitian 3.4 Tahap Pengembangan Program Pelatihan Pengasuhan
3.4.1 Tahap Persiapan Pelatihan Pengasuhan 3.4.1.1 Penilaian Kebutuhan 3.4.1.2 Perancangan Program Pelatihan Pengasuhan
3.4.1.2.1 Penetapan Tujuan 3.4.1.2.2 Penetapan Metode 3.4.1.2.3 Penyusunan Materi 3.4.1.2.4 Pemilihan Lokasi Dan Penataan Ruangan
Pelatihan
798081818383848585
xii
3.4.1.2.5 Perancangan Alat Ukur 3.4.1.2.5.1 Kuesioner Pengetahuan GPPH Dan
Manajemen Perilaku GPPH 3.4.1.2.5.2 Panduan Observasi Demonstrasi
Pemahaman Ibu 3.4.1.2.6 Pengukuran Validitas dan Reliabilitas Alat
Ukur 3.4.1.2.6.1 Uji Validitas 3.4.1.2.6.2 Uji Reliabilitas
8686
92
97
9798
3.4.2 Tahap Pengembangan Program Pelatihan pengasuhan 3.4.2.1 Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan
3.4.2.1.1 Penjaringan Subjek Penelitian 3.4.2.1.2 Persiapan Personil Penelitian 3.4.2.1.3 Prosedur Pelaksanaan Uji Coba
3.4.2.2 Evaluasi Hasil Uji Coba Pelatihan Pengasuhan 3.4.2.2.1 Peningkatan Pemahaman Ibu Dalam
Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH
3.4.2.2.2 Evaluasi Hasil Pelaksanaan Uji Coba Program 3.4.2.3 Revisi Program Pelatihan Pengasuhan
99100100101102102103
105105
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penilaian Kebutuhan
4.1.1 Wawancara Dengan Terapis 4.1.2 Wawancara Dengan Orang Tua 4.1.3 Observasi Kemampuan Ibu Dalam Menangani Permasalahan
Tingkah Laku Anak Dalam Setting Belajar
106
106106107113
4.2 Hasil Penelitian Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan Terhadap Peningkatan Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak 4.2.1 Hasil Uji Coba Alat Ukur
4.2.1.1 Uji Validitas 4.2.1.2 Uji Reliabilitas
4.2.1.2.1 Reliabilitas Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH
116
116116117117
xiii
4.2.1.2.2 Reliabilitas Panduan Observasi Demonstrasi Pemahaman Ibu
4.2.2 Hasil Pengujian Hipotesis 4.2.3 Hasil Pengolahan Data Penelitian Sebelum dan Sesudah
Penelitian 4.2.3.1 Paparan Hasil Penelitian Dimensi Pengetahuan Mengenai
GPPH Usia 7‐9 tahun dan Pengetahuan Manajemen Perilaku Anak GGPH
4.2.3.2 Paparan Hasil Penelitian Tiap Subjek Dimensi Pengetahuan Mengenai GPPH Usia 7‐9 tahun dan Pengetahuan Manajemen Perilaku Anak GGPH 4.2.3.2.1 Subjek AS 4.2.3.2.2 Subjek NH 4.2.3.2.3 Subjek GW
4.2.3.3 Paparan Hasil Penelitian Dimensi Demonstrasi Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH
4.2.3.4 Paparan Hasil Penelitian Tiap Subjek Dimensi Demonstrasi Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH 4.2.3.4.1 Subjek AS 4.2.3.4.2 Subjek NH 4.2.3.4.3 Subjek GW
4.2.4 Hasil Pengolahan Data Penunjang 4.2.4.1 Pengamatan Selama Pelatihan
4.2.4.1.1 Subjek AS 4.2.4.1.2 Subjek NH 4.2.4.1.3 Subjek GW
4.2.4.2 Evaluasi Peserta Terhadap Pelaksanaan Program Pelatihan Pengasuhan 4.2.4.2.1 Manfaat Kegiatan 4.2.4.2.2 Perasaan Selama Mengikuti Kegiatan 4.2.4.2.3 Materi Pelatihan 4.2.4.2.4 Trainer 4.2.4.2.5 Metode Pelatihan 4.2.4.2.6 Modul Pelatihan
117
120123
123
125
127129131133
135
136138140142142142143145147
147147148148149149
xiv
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan Terhadap Peningkatan Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH
4.4 Revisi Program Pelatihan Pengasuhan Untuk Meningkatkan Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH
150
159
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
171 171172
Daftar Pustaka 174Lampiran 178
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pengontrolan Terhadap Validitas Internal 75Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6
Proses Penilaian Kebutuhan Kisi – Kisi Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH Kunci Jawaban Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku GPPH Kisi – Kisi Panduan Observasi Demonstrasi Pemahaman Ibu Kontingensi Kesepakatan Subjek 1 Kontingensi Kesepakatan Subjek 2 Kontingensi Kesepakatan Subjek 3 Ketentuan pengambilan keputusan pada uji Wilcoxon Hasil Uji Hipotesis Program Pelatihan Pengasuhan Sebelum dan Sesudah Uji Coba
8287
91
93
118118119121122159
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Bagan 2.2
Proses Pengembangan Program Pelatihan Kerangka Pemikiran
5869
Bagan 3.1 Bagan 3.2
Skema Rancangan Penelitian Tahap – Tahap Pengembangan Program Pelatihan Manajemen Perilaku
7381
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1
Pengetahuan mengenai GPPH usia 7‐9 tahun sebelum dan sesudah pelatihan
123
Grafik 4.2 Pengetahuan mengenai Manajemen Perilaku Anak GPPH sebelum dan sesudah pelatihan
124
Grafik 4.3
Perbandingan Skor Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku GPPH antar subjek
126
Grafik 4.4 Perbandingan Skor Subjek AS Sebelum dan Sesudah Pelatihan
127
Grafik 4.5 Perbandingan Skor Subjek NH Sebelum dan Sesudah Pelatihan
129
Grafik 4.6 Perbandingan Skor Subjek GW Sebelum dan Sesudah Pelatihan
131
Grafik 4.7
Demonstrasi Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH Sebelum Dan Sesudah Pelatihan
133
Grafik 4.8 Perbandingan Skor Demonstrasi Pemahaman Ibu dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH antar Subjek
135
Grafik 4.9 Perbandingan Skor Dimensi Demonstrasi Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH usia 7‐9 tahun pada Subjek AS Sebelum dan Sesudah Pelatihan
136
Grafik 4.10 Perbandingan Skor Dimensi Demonstrasi Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH usia 7‐9 tahun pada Subjek NH Sebelum dan Sesudah Pelatihan
138
Grafik 4.11 Perbandingan Skor Dimensi Demonstrasi Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan Tingkah Laku Anak GPPH usia 7‐9 tahun pada Subjek GW Sebelum dan Sesudah Pelatihan
140
xviii
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Penilaian Kebutuhan 1.1 Surat Pengantar Dari Peneliti 1.2 Profil Subjek Penelitian 1.3 Panduan Wawancara 1.4 Observasi Asesmen Kebutuhan Mengenai Kemampuan
Ibu Dalam Setting Belajar
Lampiran 2 Pelatihan Pengasuhan 2.1 Silabus Pelatihan 2.2 Lembar Evaluasi Pelatihan
Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Alat Ukur 3.1 Kuesioner GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH 3.2 Lembar Observasi Pemahaman Ibu Pengolahan Data 4.1 Rekapitulasi Data Kuesioner GPPH dan Manajemen
Perilaku Anak GPPH 4.2 Rekapitulasi Data Observasi Pemahaman Ibu 4.3 Hasil Pengujian Statistik Program Pelatihan Pengasuhan 5.1 Modul Program Pelatihan Pengasuhan 5.2 Handout Program Pelatihan Pengasuhan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat anak mulai mengikuti pendidikan formal, tuntutan bagi anak menjadi
lebih besar dibandingkan ketika mereka masih di prasekolah. Usia bermain pada
anak mulai beralih menjadi usia sekolah dan belajar. Pada saat ini mulai banyak
muncul keluhan‐keluhan kesulitan pada anak terutama yang terkait dengan
kesulitan belajar, seperti kesulitan membaca, menulis, berhitung, duduk diam di
kelas, dan berkonsentrasi. Ada beberapa anak yang sering kali melamun di kelas,
mengobrol, mengganggu siswa lain di kelas, dan tidak bisa diam. Mereka selalu
terganggu oleh setiap hal kecil dan tidak pernah mampu belajar dari kesalahan‐
kesalahan mereka. Anak‐anak ini mengabaikan peraturan, meskipun sudah
dihukum berulang kali. Anak juga cenderung bertindak tanpa berpikir sehingga
mengakibatkan banyak kecelakaan dan teguran. Akibatnya anak tidak dapat
menangkap pelajaran secara utuh dan nilai‐nilai mata pelajarannya buruk (Wiguna,
2009).
Menurut pendiri/pimpinan klinik perkembangan anak dan kesulitan belajar
ʹʹSmart Kidʹʹ di Jakarta, Dr. dr. Dwidjo Saputro Sp. KJ, berdasarkan penelitian di
Indonesia, di setiap kelas di Sekolah Dasar diperkirakan 25% anak mengalami
masalah dengan atensinya dan umumnya diikuti oleh perilaku tidak bisa diam atau
hiperaktif. Pada umumnya, anak usia SD yang didiagnosa banyak mengalami
1
masalah tersebut berusia antara 7 sampai 10 tahun (Wiguna, 2009). Sedangkan
National Institute of Mental Health (2003) di Amerika menemukan bahwa anak
yang bermasalah dalam atensi dan tidak bisa diam lebih banyak dialami oleh anak
laki‐laki dibandingkan dengan anak perempuan, perbandingannya adalah 3:1. Di
dalam kelas, anak perempuan terlihat lebih cepat beradaptasi dengan tuntutan
lingkungan. Umumnya mereka dapat duduk tenang memperhatikan guru yang
sedang menerangkan pelajaran, sedangkan anak laki‐laki lebih terlihat mudah
teralih perhatiannya pada hal‐hal lain.
Jika keluhan‐keluhan di atas menetap dalam jangka waktu yang cukup lama
dan konsisten dalam berbagai setting, maka apabila ditelaah lebih lanjut
berdasarkan Diagnostic Statistic Manual IV‐TR (DSM IV‐TR) keluhan di atas
merupakan gambaran dari perilaku yang menunjukkan adanya gangguan
pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas yang biasa dikenal sebagai GPPH.
GPPH adalah keadaan neurologik perilaku dengan gejala‐gejala yang meliputi
kurangnya perhatian (inattentiveness), perilaku impulsif (impulsivity), dan aktivitas
yang berlebihan (overactivity) yang tidak sesuai dengan ciri‐ciri tahapan
perkembangan anak. Kelainan ini dapat mengganggu perkembangan anak dalam
hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi (Sattler, 2002; Kaplan &
Saddock, 2005; Barkley, 2006).
Prevalensi GPPH sekitar 3‐5% pada anak usia sekolah (Wenar & Kerig,
2000:183). Flick (1998:18) menyebutkan bahwa masalah inatensi dan hiperaktif pada
anak GPPH akan lebih terlihat dan mulai dirasakan paling mengganggu saat anak
2
memasuki usia sekolah (6‐12 tahun). Dalam konteks yang serupa Barkley (dalam
Flick, 1998:33) mengungkapkan bahwa ketika anak GPPH berusia 7‐10 tahun,
masalah dalam ketiga karakteristik utama berlanjut dan ditambah dengan berbagai
kesulitan perilaku lainnya. Pada saat di sekolah, anak GPPH sulit menyelesaikan
pekerjaan, cepat bosan terhadap pelajaran atau sulit mendengarkan pelajaran yang
diberikan guru di kelas sehingga di kelas sering mengobrol atau sering melamun.
Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan
tugas‐tugas sekolah sehingga dalam mengerjakan soal sering salah, tetapi bukan
karena tidak bisa melainkan karena tidak teliti. Akibatnya dalam pelajaran sekolah
akan didapatkan nilai mata pelajaran tertentu sangat tinggi tetapi pelajaran lainnya
sangat jelek. Nilai pelajaran naik turun drastis. Di rumah, anak tampak tidak bisa
belajar lama. Bila belajar harus dalam keadaan tenang atau biasanya saat tengah
malam. Sebaliknya anak biasanya bisa bertahan lama pada hal yang disukai seperti
menonton televisi, baca komik atau main game. Anak dengan gangguan konsentrasi
tertentu tidak terganggu bila menghadapi hal yang disukai, tetapi akan sangat
bosan terthadap hal yang tidak disukai (Judarwanto, 2008).
Selain itu hasil penelitian Anastopoulus (1992, dalam Odom, 1996:208)
menjelaskan bahwa lebih dari 50% anak GPPH juga mengalami kesulitan dalam
relasi sosial dengan orang lain. Dibandingkan dengan anak umumnya, anak GPPH
biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Hal ini berkaitan dengan rendahnya
toleransi terhadap frustrasi sehingga bila mengalami kekecewaan, anak gampang
emosional. Anak GPPH juga cenderung keras kepala dan mudah marah bila
3
keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan‐hambatan tersebut membuat anak
menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Akibatnya, ada
kecendrungan peningkatan terjadinya konflik dengan lingkungan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diterima adanya pandangan bahwa
anak GPPH merupakan tantangan yang luar biasa bagi banyak pihak. Sayangnya
gangguan ini kurang dikenal dengan baik oleh orangtua, guru, dan masyarakat.
Menurut Martin (2007:2), lingkungan mengenal anak dengan GPPH sebagai anak
yang memiliki sikap “melawan”, malas, kurang konsentrasi atau anak “nakal” yang
tidak mau diam. Tidak peduli betapa keras usaha orangtua untuk mengarahkan,
anak GPPH terus saja melamun, tidak mampu untuk duduk tenang, mengganggu,
temper tantrum, mengabaikan tanggungjawabnya, dan tidak mampu menjalin
hubungan pertemanan atau menjaga persahabatan. Kondisi hubungan relasi sosial
yang buruk ini menimbulkan kekhawatiran pada orangtua. Catatan‐catatan dari
guru dan keluhan‐keluhan dari para orangtua lain mengenai anak GPPH
menambah peningkatan kondisi stres pada orangtua. Bahkan bisa mengakibatkan
persepsi orangtua terhadap dirinya sendiri menjadi buruk dan orang tua merasa
tidak mampu berperan sebagai orangtua yang baik.
Hal ini menarik bagi peneliti mengingat secara teoritis menjelaskan bahwa
kurangnya pengetahuan orangtua mengenai keterbatasan anak membuat pola
perilaku orangtua terhadap anak menjadi tidak tepat. Orang tua menjadi banyak
mengontrol, kurang responsif terhadap pertanyaan anak, sering memerintah, tidak
konsisten dan memberikan hukuman sebagai metode pendisiplinan, serta hanya
4
sedikit memberikan perhatian terhadap perilaku yang positif. Akibatnya gejala
GPPH terus berlanjut dan berkembangnya berbagai komorbid (Gomez & Sanson,
1994 dalam Odom: 1996:208).
Studi awal yang dilakukan oleh peneliti mengenai gambaran tingkah laku
anak di rumah melalui wawancara (Surakarta, Juni 2009) terhadap 4 orang ibu yang
memiliki anak GPPH usia 7 – 9 tahun, menemukan bahwa ibu yang secara alamiah
hubungannya lebih dekat dengan anak dan terlibat langsung dalam aktivitas anak
sehari‐hari belum memiliki informasi yang cukup mengenai keterbatasan anak
GPPH. Hal ini dikarenakan, jika ibu berkonsultasi dengan teman‐teman, sanak
keluarga, atau dokter anak, mereka hanya disuruh bersabar karena perilaku itu
hanya sementara dan akan berkembang lebih baik seiring dengan perkembangan
anak. Semua ibu mengatakan bahwa memiliki anak GPPH membuat ibu lelah,
mudah marah, serba salah dengan tetangga, frustrasi, dan sering terpancing untuk
memberikan hukuman fisik. Emosi‐emosi ini muncul akibat tingkah laku anak yang
susah diatur, terus menerus membuat keadaan rumah kacau karena perilakunya
yang tidak terduga, dan amarah anak cepat meledak oleh hal‐hal sepele. Di sekolah,
nilai‐nilai anak jatuh, kurang mau mendengarkan ketika berinteraksi dengan teman
sebaya atau lawan bicaranya, dan juga sering berteriak atau mengamuk ketika
melindungi sesuatu yang dianggap miliknya sehingga sering terlibat pertengkaran.
Hal ini membuat orangtua cukup sering dipanggil oleh guru kelas dan akhirnya
menimbulkan ketegangan antara ibu dan anak. Tidak jarang pula membuat ibu dan
ayah saling menyalahkan atas terjadinya permasalahan tingkah laku anak. Baik
5
anak maupun orang tua menjadi stres, dan situasi rumahpun menjadi kurang
nyaman.
Untuk mengetahui tingkah laku anak GPPH dalam setting belajar di rumah,
peneliti melakukan wawancara (Surakarta, Januari 2010) kepada 4 orang ibu di
tempat terapi X. Berdasarkan hasil wawancara, semua subjek menjelaskan bahwa
anak sering lupa menulis tugas yang diberikan atau salah mengerjakan PR. Jika
anak mengerti tugas‐tugasnya dan mencatatnya, ia sering lupa meletakkan atau
menuliskannya di buku mana. Daya konsentrasinya pun rendah. Anak hanya dapat
bertahan 5 – 10 menit saat mengerjakan tugas dan selebihnya anak mudah beralih
perhatian pada hal lain (seperti menoleh ke jendela, memainkan alat tulis atau
benda‐benda disekitarnya dan berbagai hal lain yang tidak relevan dengan
mengerjakan tugas). 2 orang ibu juga mengatakan anak mudah “mogok” jika diajak
untuk belajar atau menunda‐nunda selama mungkin dalam membuat PR dan baru
dikerjakan kalau sudah diomeli dan diancam orang tua. Perilaku‐perilaku anak ini
membuat prestasi belajarnya buruk sehingga membuat ibu cemas akan masa depan
pendidikan anak.
Observasi (Surakarta, maret 2010) juga dilakukan kepada 3 orang ibu untuk
mendapatkan gambaran mengenai kemampuan ibu dalam menangani
permasalahan tingkah laku anak dalam setting belajar. Hasil observasi
menunjukkan bahwa semua subjek masih mengalami kesulitan dalam menghadapi
tingkah laku anak GPPH. Ibu tidak mempunyai aturan mengenai perilaku yang
harus ditampilkan anak saat belajar sehingga dorongan emosional anak tidak dapat
6
terkendali, masih kurang sabar untuk tidak mengkoreksi langsung kesalahan yang
anak lakukan saat mengerjakan tugas, dan juga kurang memahami bagaimana
membagi waktu belajar untuk anak GPPH. Disiplin yang diterapkan oleh ibu pun
cenderung berupa nada suara yang tinggi, menggunakan kalimat ancaman,
melotot, membentak, dan hukuman fisik (menggendong, mendekap badan anak,
dan memukul kaki) jika perilaku anak menjadi mengganggu atau kasar saat proses
belajar. Walaupun demikian semua ibu telah mampu memberikan penghargaan
antara lain pujian atas sikap anak yang baik saat belajar, kata‐kata penyemangat
agar anak tetap menyelesaikan tugasnya, melakukan “tos”, tepuk tangan,
memberikan makanan kesukaan anak, atau hadiah sesuai yang telah dijanjikan
ketika anak berhasil menyelesaikan tugasnya dengan tuntas.
Berdasarkan kondisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa ibu umumnya
belum mengetahui bagaimana tindakan yang tepat dalam menangani
permasalahan tingkah laku anak GPPH. Terbatasnya pengetahuan – pengetahuan
yang relevan tentang keterbatasan anak dan kemampuan menangani perilaku anak
dengan kebutuhan khusus, menjadikan ibu rentan mengalami permasalahan terkait
dengan anak (seperti kecewa, tertekan, atau kebingungan) sehingga sangat dapat
dipahami jika ibu melakukan tindakan yang tidak tepat terhadap permasalahan
yang muncul dalam mengasuh anak. Apabila hal ini terus berlanjut maka akan
menimbulkan dampak yang negatif dalam perkembangan anak di masa depan,
khususnya optimalisasi pemenuhan kebutuhan belajar pada anak GPPH.
7
Melihat pentingnya variabel pengetahuan dan kemampuan ibu dalam
pengembangan anak GPPH, maka peneliti merasa intervensi terhadap ibu
merupakan hal yang penting di dalam program intervensi awal untuk anak‐anak
ini. Semakin banyak pengetahuan dan keterampilan yang ibu miliki mengenai
strategi penanganan perilaku anak, maka dampak dari intervensi yang dilakukan
akan semakin besar. Oleh karenanya ibu perlu di informasikan dan dipersiapkan
bagaimana menangani anak di rumah sehingga membantu penanganan yang
dilakukan oleh profesional. Hal ini didukung oleh pendapat Sonuga‐Barke et al.
(2001, dalam Sanders & Hoath, 2002:192) yang menemukan bahwa jenis pelatihan
perilaku bagi orangtua secara signifikan lebih efektif dibanding konseling orangtua.
Karena pengetahuan merupakan dasar dari keterampilan, maka peneliti membatasi
penelitian ini dalam hal pemberian informasi dan pemahaman kepada ibu dalam
menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH.
Sampai saat ini, bukti‐bukti yang secara spesifik menunjukkan efektivitas
pelatihan untuk orangtua yang memiliki anak GPPH tampak lebih banyak pada
anak usia prasekolah, sangat sedikit untuk anak usia sekolah dasar dan tidak ada
untuk remaja. Hal ini berlandaskan pemikiran bahwa intervensi semenjak dini
menawarkan kesempatan yang lebih baik untuk mengubah gangguan sepanjang
perkembangan anak, sebelum perilaku anak memiliki kecendrungan antisosial dan
kegagalan di sekolah (Jones et al, 2007:750).
Studi mengenai pelatihan orangtua yang memiliki anak GPPH usia
prasekolah, yang dilakukan oleh Pisterman (1992, dalam Sanders & Hoath,
8
2002:192) secara umum menemukan penurunan frekuensi perilaku tidak patuh
ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan perubahan perilaku
pengasuhan yang signifikan. Orang tua menggunakan perintah lebih tepat dan
memberi penguatan terhadap kepatuhan anak secara konsisten. Orang tua juga
dilaporkan mengalami peningkatan keyakinan mengenai kemampuan dirinya.
Contoh lainnya dari program pelatihan orangtua dengan dukungan riset
yang kuat adalah penelitian Hoath & Sanders (2002:202) yang menguji positive
parenting group program untuk orangtua dengan anak GPPH usia 5‐9 tahun dengan
menggunakan bentuk dan perlengkapan 17 keterampilan inti pengasuhan.
Keterampilan ini terdiri dari keterampilan mengembangkan kompetensi anak
(seperti pujian, perhatian, tabel perilaku) dan keterampilan manajemen perilaku
(seperti menetapkan aturan, memberikan perintah yang sesuai, time out). Selain itu
orangtua juga mendapat pelatihan keterampilan coping. Hasilnya menunjukkan
bahwa orangtua yang mengikuti pelatihan ini secara signifikan mengalami
peningkatan level dalam kemampuan mereka untuk merespon kesulitan perilaku
anak dalam berbagai setting aktivitas di rumah dibanding orangtua yang berada
pada kelompok kontrol. Namun perubahan dalam penelitian ini tidak dapat
digeneralisasi ke dalam setting sekolah. Hal ini karena ketiadaan pelatihan secara
individual dan simpangan baku yang besar antar kelompok juga mengurangi
kekuatan hasil statistik dalam membandingkannya.
Mengacu pada pendapat di atas, peneliti tertarik untuk mencari berbagai
bentuk pelatihan untuk orangtua yang dapat membantu menangani permasalahan
9
tingkah laku anak GPPH. Cukup banyak program pelatihan pengasuhan yang telah
ditawarkan sebagai intervensi untuk menangani anak dengan GPPH dan
kebanyakan menggunakan tehnik modifikasi perilaku . Salah satu ahli yang secara
spesifik mengemas program khusus “behavioral parent training” adalah Barkley pada
tahun 1987 dan telah mengalami sedikit modifikasi pada tahun 1997 (Barkley,
2006:460). Program ini diperuntukkan bagi orangtua untuk anak usia 4‐12 tahun
dan fokus pada proses sosial di dalam keluarga untuk mengembangkan anak
GPPH. Tujuan utama dari program Barkley ini ada dua. Tujuan pertama adalah
meletakkan pondasi pengetahuan yang akan mendukung dan meningkatkan
keterampilan spesifik yang diajarkan. Tujuan kedua adalah untuk memonitor
beragam kemampuan yang telah diperoleh orangtua dari keterampilan manajemen
anak, yang telah disesuaikan dengan kebutuhan anak – anak dengan GPPH.
Berdasarkan dua tujuan tersebut, maka langkah awal untuk memulai
program ini adalah orangtua harus diberi serangkaian pengetahuan konseptual
yang praktis mengenai GPPH. Kemudian program ini juga ditujukan untuk
meningkatkan pemahaman berkenaan dengan prinsip manajemen perilaku, agar
dapat meningkatkan pemeliharaan keterampilan sepanjang waktu dan dalam
berbagai setting. Berdasarkan pengetahuan tersebut, selanjutnya program ini
dirancang untuk mengajarkan orang tua sejumlah strategi untuk berhadapan
dengan permasalahan perilaku anak secara efektif (Barkley, 2006:463). Hal ini
membuat peneliti tertarik untuk menggunakan prinsip‐prinsip pendekatan
10
“behavioral parent training” dari Barkley sebagai landasan perancangan program
pelatihan pengasuhan dalam penelitian ini.
Menurut Kohls (1995), proses pengembangan suatu program pelatihan
terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) Tahap Persiapan yang terdiri dari penilaian
kebutuhan dan perancangan program pelatihan, (2) Tahap Pengembangan yang
mencakup uji coba dan revisi program pelatihan, dan (3) Tahap peningkatan yaitu
tahap yang dilakukan untuk menguji efektivitas program pelatihan. Pada penelitian
ini proses pengembangan program pelatihan pengasuhan akan dilakukan sampai
tahap 2, yaitu dilakukan asesmen kebutuhan, perancangan program, uji coba dan
revisi program.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil studi awal terhadap ibu yang memiliki anak GPPH usia 7‐
9 tahun, disimpulkan perlu adanya kebutuhan intervensi bagi ibu sebagai salah
satu pendekatan multimodal untuk menangani permasalahan tingkah laku anak
GPPH. Anak dengan GPPH telah ditemukan mudah beralih perhatian pada hal
lain, kurang mampu memenuhi tuntutan yang diperintahkan, kesulitan dalam
pengaturan aktivitas dan tugas, lebih banyak bicara, amarah anak cepat meledak,
menentang, dan tidak bisa diam. Permasalahan‐permasalahan yang sering
dikaitkan dengan keterbatasan anak GPPH ini belum diketahui dengan baik oleh
orangtua, khususnya ibu yang secara alamiah hubungannya lebih dekat dengan
anak dan terlibat langsung dalam aktivitas anak sehari‐hari. Padahal ibu
11
seharusnya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup tentang
menangani berbagai permasalahan tingkah laku anak agar dapat membantu
perkembangan anak GPPH, khususnya optimalisasi pemenuhan kebutuhan belajar
pada anak GPPH.
Salah satu bentuk pelatihan orang tua yang membuat peneliti tertarik
karena dikemas secara khusus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
orang tua adalah konsep behavioral parent training yang dikemukakan oleh Barkley
pada tahun 1987 dan telah mengalami sedikit modifikasi pada tahun 1997. Dasar
teoritis dan konseptual pelatihan ini berlandaskan tehnik modifikasi perilaku.
Program ini telah diterapkan di Amerika Serikat, dan diyakini memberi dampak
signifikan terhadap perubahan kemampuan pengasuhan dalam menangani GPPH.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menyusun program pelatihan pengasuhan
yang akan difokuskan pada peningkatan pemahaman ibu dalam menangani
permasalahan tingkah laku anak GPPH. Penyusunan program pelatihan
pengasuhan pada penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) Tahap Persiapan yang
terdiri dari asesmen kebutuhan dan perancangan program pelatihan, dan (2) Tahap
Pengembangan yang mencakup uji coba dan revisi program pelatihan.
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan dijawab
adalah “Apakah uji coba program pelatihan pengasuhan yang telah dirancang dapat
meningkatkan pemahaman dalam menangani permasalahan tingkah laku anak usia 7‐9
tahun yang mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH)”.
12
1.3 Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah :
1. Merancang suatu Program Pelatihan Pengasuhan berdasarkan hasil asesmen
kebutuhan yang dapat berguna untuk meningkatkan pemahaman ibu dalam
menangani permasalahan tingkah laku anak usia 7 – 9 tahun yang mengalami
Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH).
2. Melakukan uji empiris terhadap Program Pelatihan Pengasuhan yang telah
dirancang.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh suatu Program Pelatihan
Pengasuhan yang dapat meningkatkan pemahaman ibu dalam menangani
permasalahan tingkah laku anak usia 7 – 9 tahun yang mengalami Gangguan
Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH) berdasarkan evaluasi terhadap
hasil uji empiris.
1.3.3 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Pelaksanaan uji coba Program Pelatihan Pengasuhan ini dapat berguna bagi
subjek penelitian dalam meningkatkan pemahaman menangani permasalahan
13
14
tingkah laku anak usia 7 – 9 tahun yang mengalami Gangguan Pemusatan
Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH).
2. Program Pelatihan Pengasuhan yang telah disusun merupakan salah satu
pengembangan ilmu terapan. Jika telah dilakukan uji efektivitasnya maka dapat
digunakan oleh psikolog sebagai salah satu metode treatment untuk orangtua
yang memiliki anak usia 7 – 9 tahun dengan Gangguan Pemusatan Perhatian
disertai Hiperaktivitas (GPPH).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian Disertai Hiperaktivitas (GPPH)
2.1.1 Pengertian dan Gejala Utama
GPPH adalah suatu gangguan perilaku yang memiliki gejala utama
berupa ketidakmampuan individu untuk memusatkan perhatian (inatensi),
impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan ciri‐ciri tahapan
perkembangan anak (Flick, 1998; Barkley, 2006; dan Silver, 1999). Adapun
penjelasan dari tiga gejala utama tersebut adalah sebagai berikut :
a. Inatensi
Adalah ketidakmampuan individu untuk secara selektif melihat atau
mendengar stimulus yang penting, lalu secara terus menerus mempertahankan
perhatian pada stimulus tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan inatensi
memiliki dua dimensi umum, yaitu (1) selektivitas, yang berhubungan dengan
kemampuan memilah mana yang akan menjadi fokus utama perhatian, dan (2)
intensitas, yaitu yang berhubungan dengan kemampuan untuk
mempertahankan atensi (Barkley,1998).
Karakteristik yang paling mendasar pada anak dengan gangguan pemusatan
perhatian adalah ketidakmampuannya untuk memusatkan dan
mempertahankan perhatian (Flick, 1998). Sebenarnya bukan tidak
memperhatikan, tetapi anak memperhatikan segala hal yang ada disekitarnya.
15
Semua stimulus akan dirasakan dan diterima oleh dirinya sehingga
menyebabkan anak sulit menyelesaikan tugasnya.
Anak GPPH mudah sekali terganggu oleh stimulus yang tidak relevan,
terutama jika stimulus tersebut merupakan stimulus baru atau menarik, dan
tugas yang dihadapi membosankan, tidak disukai, atau sulit. Anak juga
digambarkan tidak mampu berkonsentrasi atau memberikan perhatian untuk
waktu yang lama dalam beberapa situasi. Hal ini menyebabkan anak GPPH
sering melakukan kesalahan dalam bekerja, dan terlihat lebih lamban jika
dibandingkan dengan anak yang lain.
b. Impulsivitas
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada
semacam dorongan untuk mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak
terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan
tanpa pertimbangan. Impulsivitas ini dapat di ekspresikan dalam banyak cara,
antara lain: banyak bicara, seringkali memotong pembicaraan orang lain,
kesulitan dalam menunggu giliran, dan seringkali tidak mengikuti aturan yang
berlaku. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk
melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun
orang lain.
Pada dasarnya mereka menyadari perilaku yang benar dan salah serta dapat
menyebutkan aturan di rumah atau di kelas, namun demikian seringkali mereka
bertindak sebelum berpikir atau “berpikir setelah mereka bertindak” (Flick,
16
1998). Kecenderungan untuk bertindak sebelum sebelum berpikir inilah yang
sering melibatkannya dalam permasalahan, baik di bidang akademis dan
lingkungan pergaulan sosialnya.
c. Hiperaktivitas
Hiperaktivitas berkaitan dengan gerakan motorik yang berlebihan. Biasanya
gerakan tersebut tidak terarah dan tidak tepat dengan tuntutan tugas. Kualitas
dari gerakan terlihat energik secara berlebihan, ceroboh, tidak teratur dan
kurang bertujuan. Kelebihan gerakan dan kegelisahan anak akan lebih muncul
pada situasi dimana ia harus duduk terus menerus atau pada situasi yang sangat
terstruktur seperti duduk di dalam kelas, dibandingkan pada situasi yang santai
dengan sedikit tuntutan dari luar. Masalah hiperaktivitas ini tidak akan terlihat
atau dikenali sebelum anak ditempatkan pada situasi yang menuntutnya untuk
diam lama dan mengendalikan perilaku atau gerakannya dalam rentang waktu
yang lama.
Pada anak GPPH gejala gerakan motorik berlebihan dapat dilihat dari
perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu
yang sulit dilakukan. Anak akan bangkit dan berlari‐lari, berjalan ke sana
kemari, bahkan memanjat‐manjat. Di samping gerakan, anak cenderung banyak
bicara dan menimbulkan suara berisik. Aktifitas anak tidak lazim dan cenderung
berlebihan yang ditandai dengan gangguan perasaan gelisah, selalu menggerak‐
gerakkan jari‐jari tangan, kaki, pensil, dan selalu meninggalkan tempat
duduknya meskipun pada saat dimana dia seharusnya duduk degan tenang.
17
Pada situasi yang terstruktur tentu saja perilaku hiperaktivitas ini akan menjadi
masalah yang sangat jelas dan tidak dapat disangkal.
2.1.2 Kriteria GPPH Berdasarkan Diagnostik and Statistic Manual of Mental
Disorder (DSM) IV‐TR
Berikut ini adalah kriteria GPP/GPPH berdasarkan DSM IV‐TR :
A. Baik kriteria (1) maupun (2)
(1). Inatensi: Sedikitnya enam atau lebih simptom inatensi muncul dalam
waktu sekurang‐kurangnya 6 bulan yang bersifat maladaptive dan inconsistent
dengan tahapan perkembangan:
a. Sering gagal memberikan perhatian terhadap hal rinci atau ceroboh
dalam membuat tugas sekolah dan aktifitas lain.
b. Sulit mempertahankan perhatian terhadap tugas atau aktivitas
permainan
c. Sering terlihat seperti tidak mendengarkan ketika diajak bicara oleh
orang lain
d. Tidak dapat mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah,
pekerjaan rumah, atau di tempat kerja
e. Kesulitan dalam pengaturan aktivitas dan tugas
f. Seringkali menghindari, tidak menyukai, atau enggan terlibat dalam
tugas yang menuntut kemampuan mempertahankan usaha mental,
seperti pada tugas sekolah atau pekerjaan rumah.
18
g. Seringkali kehilangan benda‐benda yang dibutuhkan untuk beraktivitas
h. Perhatiannya mudah teralihkan oleh stimulus / rangsangan luar
i. Sering lupa dalam aktivitas sehari‐hari
(2) Hiperaktivitas‐Impulsivitas: Sedikitnya 6 atau lebih simptom
hiperaktivitas‐impulsivitas muncul selama sekurang‐kurangnya 6 bulan yang
bersifat maladaptive dan inconsistent dengan tahapan perkembangan.
Hiperaktivitas
a. Sering merasa gelisah tangan atau kaki atau menggeliat saat duduk
b. Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau dalam situasi lain yang
menuntut untuk tetap duduk
c. Seringkali berlarian atau memanjat dalam situasi yang tidak tepat
(apabila sudah remaja atau dewasa, maka dibatasi perasaan subjektif atau
tampak gelisah)
d. Sulit bermain atau melakukan aktivitas kesenangan dengan tenang
e. Tidak bisa diam, selalu bergerak, seakan‐akan seperti ada mesin yang
menimbulkan gerak.
f. Banyak berbicara
Impulsivitas
a. Sering menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan tersebut selesai
b. Sering sulit menunggu giliran saat bermain atau beraktivitas
c. Sering melakukan interupsi atau menyela orang lain ketika berbicara atau
bermain
19
B. Beberapa simptom hiperaktif‐impulsif atau inatensi sebagai penyebab
gangguan, muncul sebelum usia 7 tahun.
C. Beberapa gangguan dari simptom muncul dalam 2 atau lebih situasi
(misalnya di sekolah dan di rumah).
D. Terdapat bukti yang jelas atau signifikan secara klinis adanya gangguan
dalam fungsi sosial, akademis, atau pekerjaan.
E. Simptom tidak muncul secara eksklusif jika anak mengalami gangguan
perkembangan pervasif, skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya, dan
sebaiknya bukan disebabkan gangguan mental lainnya (misalnya: gangguan
mood, gangguan kecemasan, gangguan kepribadian).
Kode berdasarkan tipe gangguan, yaitu :
314.01 Tipe Kombinasi : jika kriteria A(1) dan A(2) muncul dalam 6 bulan
terakhir
314.00 Tipe Predominan Inatensi : Jika kriteria A(1) terpenuhi sedangkan kriteria
A(2) tidak dalam 6 bulan terakhir.
314.01 Tipe Hiperaktivitas‐Impulsivitas: Jika kriteria A(2) terpenuhi sedangkan
kriteria A(1) tidak, dalam 6 bulan terakhir.
2.1.3 Penyebab Munculnya Keluhan GPPH
Berdasarkan pemikiran dari Sears & Thompson (1998), dan Barkley (1998)
maka penyebab munculnya GPPH dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok
besar, yaitu:
20
1. Faktor fisik/neurologis
Banyak bukti yang menunjukkan berkurangnya kegiatan pada daerah‐
daerah tertentu di otak sebagai penyebab yang paling mungkin dari sebagian
besar bentuk gangguan pemusatan perhatian (Martin, 2007:77). Menurut Barkley
(2006:220), secara umum fungsi kerja otak yang kurang optimal terjadi pada
bagian frontal lobe khususnya pada kortek prefrontal sehingga menyebabkan
masalah dalam melakukan atensi (fungsi kognitif) dan pengendalian, serta
koordinasi gerak tubuh (fungsi motorik). Dalam penelitian yang dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan EEGs dan MRI didapatkan gambaran
disfungsi otak di daerah prefontral kanan yang mengimplikasikan terjadinya
hambatan terhadap respon‐respon yang tidak relevan dan fungsi‐fungsi tertentu
(Barkley, 2006:221). Sedangkan penelitian dengan menggunakan PET untuk
mengukur metabolisme gula di dalam sel‐sel otak orang dewasa yang
mengalami GPPH sejak masa kanak‐kanak menunjukkan bahwa premotor cortex
dan superior prefrontal cortex yang terlibat dalam pengaturan perhatian dan
kontrol motoriknya lebih rendah 8% dibandingkan dengan kelompok kontrol
(Martin, 2007:72)
Perubahan‐perubahan suasana hati yang cepat dan kepekaan berlebihan juga
merupakan akibat dari otak yang bermasalah dalam mengatur gerakan‐gerakan
motorik dan respon‐respon emosional. Semua karakteristik ini kemudian dapat
mengganggu kemampuan seseorang untuk belajar dan mengolah informasi
secara efisien. (Martin, 2007:79).
21
2. Permasalahan Psikologis
Faktor psikologis ini berkaitan dengan kurangnya pemberian treatment
ataupun stimulasi yang dapat membantu anak untuk dapat mengendalikan
atensi dan tampilan perilaku secara mandiri. Selain itu juga dapat disebabkan
karena faktor lingkungan psikososial yang kurang mendukung, seperti
kesibukan orang tua sehingga memiliki kualitas interaksi yang kurang kondusif
bagi anak, kejadian fisik yang menimbulkan stres, temperamen anak, ataupun
kurangnya contoh perilaku yang menunjukkan pengendalian perilaku secara
tepat (Barkley, 2006:231)
Walaupun masih terus diperdebatkan, namun berdasarkan pendapat
beberapa ahli, yaitu Vallet (1974), Flick (1998), dan Barkley (2006) terdapat suatu
pernyataan yang sama mengenai faktor penyebab munculnya gejala GPPH, yaitu
lebih merupakan suatu interaksi antara kemungkinan kontribusi dari gangguan
aktivitas fungsi otak dan dipengaruhi oleh keunikan pengalaman dari
lingkungan individu sehingga membentuk suatu bentuk perilaku GPPH yang
berbeda‐beda.
2.1.4 Treatment GPPH
Konsep yang paling penting yang muncul dari berbagai riset mengenai
GPPH adalah bahwa belum ada pengobatan yang berhasil diterapkan sendirian.
Strategi penanganan tersebut melibatkan aspek farmasi, perilaku, dan metode
multimodal. Metode manajemen perilaku bertujuan untuk memodifikasi
22
lingkungan fisik dan sosial anak untuk mendukung perubahan perilaku. Pihak
yang dilibatkan biasanya adalah orang tua, guru, dan psikolog. Tipe pendekatan
perilaku meliputi training perilaku untuk guru dan orang tua, program yang
sistematik untuk anak (penguatan positif dan token economy), terapi perilaku
klinis (training pemecahan masalah dan keterampilan sosial), dan tritmen
kognitif‐perilaku/CBT (monitoring diri, self‐reinforcement, instruksi verbal
untuk diri sendiri, dll) (AAP, 2001).
Sedangkan metode farmasi meliputi penggunaan psikostimulan,
antidepresan, obat untuk cemas, antipsikotik, dan stabilisator suasana hati.
Penting untuk diperhatikan bahwa penggunaan obat‐obatan ini harus dibawah
pengawasan ketat dokter dan ahli farmasi yang terus‐menerus melakukan
evaluasi terhadap efektivitas penggunaan dan dampaknya terhadap subjek
tertentu. Hal ini karena efek samping utama obat‐obatan stimulan adalah
insomnia, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, terhambatnya
penambahan tinggi badan, dan sifat lekas marah. (Anastopoulus, DuPaul, &
Barkley, 2001:211).
Barkley (1995, dalam Martin, 2007:233) menjelaskan bahwa pendekatan
medis memang masih dianggap efektif dalam meningkatkan kepatuhan,
meningkatkan pekerjaan akademis, dan penyesuaian sosial sebanyak 70‐95%
anak‐anak dengan GPPH. Namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
cara terbaik untuk menangani anak dengan GPPH dalam jangka panjang adalah
dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan dan metode penanganan.
23
Penelitian yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak GPPH menunjukkan bahwa
kombinasi terapi obat dan perilaku lebih efektif dibandingkan jika digunakan
sendiri‐sendiri. Ternyata dosis obat yang digunakan lebih rendah jika diikuti
dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku. Walaupun
demikian tidak ada treatment yang telah terbukti dapat menyembuhkan kondisi
GPPH, semuanya hanya meringankan gejala. Oleh karena itu para professional
melihat GPPH sebagai ketidakmampuan perkembangan yang membutuhkan
perlakuan tertentu dalam jangka panjang (Anastopoulus, DuPaul, & Barkley,
2001:210).
2.1.5 Karakteristik Keluarga dengan GPPH
Lingkungan dan faktor psikososial seperti keadaan sosial‐ekonomi,
perselisihan keluarga, dan tidak berfungsinya hubungan antar orangtua diakui
sebagai faktor resiko untuk gangguan perilaku mengganggu pada masa kanak‐
kanak. Adversities juga berperan terhadap proses yang menyebabkan subtipe
tertentu dari gangguan perilaku pada masa kanak‐kanak, yaitu gangguan
pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas (Sandberg, 2002:367). Telah banyak
bukti yang menyatakan bahwa kehadiran anak dengan GPPH berhubungan
dengan bermacam‐macam derajat gangguan di dalam keluarga dan fungsi
pernikahan, hubungan orangtua‐anak, menurunnya perasaan kompeten sebagai
orangtua, meningkatkan stres pengasuhan dan parental psychopathology (Johnston
& Mash, 2001:183).
24
Isu dari interaksi orangtua‐anak dalam konteks sosial dan faktor keluarga
telah dilaporkan oleh berbagai penelitian berikut ini:
1. Relasi orangtua ‐ anak
Carlson et al. (1995, dalam Johnston & Mash, 2001: 191), menggunakan
sampel keluarga dengan status sosioekonomi bawah yang diamati sejak masa
kanak‐kanak hingga tahun pertama sekolah dasar menemukan bahwa
ketidakpekaan ibu dan stimulasi yang berlebihan atau tidak adanya
kedekatan fisik selama masa kanak‐kanak dapat memprediksi perilaku anak
yang mudah teralihkan dan hiperaktif. Sedangkan Whitmore, Kramer, and
Knutson (1993, dalam Johnston & Mash, 2001:190) yang membandingkan
orang dewasa dengan GPPH pada masa kanak‐kanak terhadap saudara laki‐
laki mereka menemukan bahwa anak GPPH lebih sering dihukum dan lebih
sedikit berbagi dengan orangtuanya dibanding saudara laki – lakinya.
Penelitian – penelitian ini menunjukkan pengaruh orangtua pada anak GPPH
telah ditemukan sejak usia dini dan mempengaruhi perkembangan anak dari
waktu ke waktu.
2. Gaya pengasuhan
Penemuan untuk dua studi epidemiologis di Hongkong (Leung et al.,
1996) dan di London Timur (Taylor et al., 1991), mengindikasikan hubungan
yang signifikan antara ketidakkonsistenan gaya pengasuhan orangtua dan
hiperaktif anak. Hasil yang ditunjukkan dari kedua survey ini adalah terjadi
perselisihan paham orangtua mengenai bagaimana cara menangani perilaku
25
anak yang menentang, rendahnya cita‐cita orangtua berkenaan dengan
prestasi akademis anak, kurangnya keterlibatan orangtua dalam menarik
perhatian anak untuk belajar, dan lebih sedikit kesempatan dan dorongan
yang ditawarkan ke anak dengan GPPH. Sonuga‐Barke & Goldfoot (1995
dalam Johnston & Mash, 2001:194) juga melaporkan hal yang senada bahwa
ibu dari anak dengan GPPH melihat perilaku anak lebih tidak stabil dan
mempunyai harapan yang rendah untuk sukses dalam mengatur perilaku
anak mereka dibanding para ibu dari anak‐anak normal. Perbedaan ini di
samping memperlihatkan penggolongan IQ anak, juga memperkirakan ibu
yang meremehkan kemampuan anak atau anak yang menunjukkan
performanya di bawah potensinya.
3. Parental psychopathology
Hubungan antara penyakit psikiatris orangtua dan berbagai kesulitan
perilaku anak, terutama depresi ibu sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap kesulitan interaksi antara orangtua‐anak (Downey dan Coyne, 1990;
Hibbs et al., 1991; Cummings dan Davies, 1994, dalam Sandberg, 2002:376).
Banyak faktor yang mempengaruhi hubungan antara depresi ibu dan
perilaku anak. Campbell et al., (1996, dalam Sandberg, 2002:376) menjelaskan
bahwa ibu yang depresi menunjukkan kurang toleransi dengan perilaku
anak secara umum, penolakan yang berlebihan, mudah marah, aversiveness,
dan kurangnya perilaku positif ketika berinteraksi dengan anak, dibanding
ibu yang tidak depresi untuk perilaku yang sama. Anak‐anak dengan ibu
26
depresi juga menunjukkan kebencian yang lebih ketika berinteraksi dengan
ibu dan cenderung bertindak agresif terhadap ibu. Warburton & Reed (1995,
dalam Johnston & Mash, 2001:192) menemukan bahwa perbandingan rasio
menjadi GPPH secara signifikan meningkat pada keluarga dengan
kemalangan psikososial (seperti psikopatologi ibu dan status sosioekonomi).
4. Perselisihan dalam pernikahan
Perselisihan dalam pernikahan dapat berfungsi dengan cara yang sama
seperti depresi, dalam mengubah persepsi orangtua dan gaya menangani
perilaku anak (Jenkins dan Smith, 1991, dalam Sandberg, 2002:377).
Kombinasi dari depresi ibu dan perselisihan dalam pernikahan
mengakibatkan tingginya tingkat penyimpangan yang dirasakan anak dan
terjadi konflik nyata antara orangtua‐anak (Campbell et al., 1996; Murray et
al., 1996a, dalam Sandberg, 2002:377). Selain itu, interaksi yang saling
membenci antara ibu‐anak juga lebih meningkat di dalam keluarga, dimana
ibu juga mengalami interaksi negatif dengan orang dewasa lainnya (seperti
pasangan atau keluarga). Oleh karena itu sangat mungkin perselisihan dalam
pernikahan, depresi ibu, perilaku antisosial orangtua dan agresi pernikahan
merupakan hubungan yang secara signifikan terdapat di dalam keluarga dari
beberapa anak GPPH (Barkley et al., 1992, dalam Sandberg, 2002:377).
27
2.2 Pelatihan Pengasuhan Untuk Orangtua yang Memiliki Anak GPPH
2.2.1 Dasar Pemikiran Parent Training dari Barkley
Pendekatan pelatihan untuk orangtua yang menggunakan tehnik
modifikasi perilaku merupakan pendekatan yang berlandaskan model social
learning dan secara khas dikenal sebagai ʺparent trainingʺ. Konsep ini sangat
dipengaruhi oleh penelitian‐penelitian dari Patterson dan Gullion (1968), Hanf
(1969), dan Forehand & McMahon (1981). Menurut Forehand & McMahon (1981,
dalam Power et al, 2002:119), secara umum komponen inti dari program parent
training adalah: (1) membangun hubungan positif orangtua‐anak melalui
pengalaman bermain yang mendukung; (2) membuat permintaan agar anak
patuh dengan cara yang efektif; (3) menyediakan penguatan yang positif untuk
kepatuhan dan untuk perilaku yang bertanggung jawab; dan (4) menggunakan
strategi hukuman secara efektif.
Barkley pada tahun 1987 merekomendasikan metoda parent training
untuk anak usia 4‐12 tahun. Program pelatihan untuk orang tua dengan anak
GPPH yang diuraikan oleh Barkley (1987) bersumber dari beberapa pendekatan
teoritis dan bukti yang empiris. Diantaranya adalah Forehand et al yang telah
berulang‐kali meneliti anak balita yang dinyatakan memiliki kecendrungan
menentang, agresif, dan permasalahan tingkah laku (Forehand & Mcmahon,
1981; Wells & Forehand, 1985, dalam Anastopoulos, DuPaul, & Barkley,
2001:214). Program Forehand ini melatih orang tua dalam menggunakan
keterampilan untuk memberikan perhatian yang positif terhadap perilaku yang
28
tepat, dan juga melatih orangtua untuk menggunakan prosedur reinforcement dan
time out. Pandangan teoritis Minuchin & Fishman (1981) mengenai family system
theory juga dimasukkan dalam program Barkley dengan populasi anak GPPH.
Pandangan ini menjelaskan bahwa memiliki anak GPPH membuat keluarga
memiliki peningkatan resiko terganggunya hubungan dalam keluarga, seperti
ketegangan antara ayah dan ibu atau adik dan kakak.
Program Barkley fokus pada proses sosial di dalam keluarga untuk
mengembangkan anak GPPH (Newby et al, 1991). Terdapat dua tujuan utama
dalam program Barkley. Tujuan pertama adalah meletakkan pondasi
pengetahuan yang akan mendukung dan meningkatkan keterampilan spesifik
yang diajarkan. Tujuan kedua adalah untuk memonitor beragam kemampuan
yang telah diperoleh orangtua dari keterampilan manajemen anak, yang telah
disesuaikan dengan kebutuhan anak – anak dengan GPPH.
Berdasarkan 2 tujuan tersebut, maka langkah awal untuk memulai
program ini adalah orangtua harus diberi serangkaian pengetahuan konseptual
yang praktis mengenai GPPH. Kemudian program ini juga ditujukan untuk
meningkatkan pemahaman berkenaan dengan prinsip manajemen perilaku, agar
dapat meningkatkan pemeliharaan keterampilan sepanjang waktu dan dalam
berbagai setting. Berdasarkan pengetahuan tersebut, selanjutnya program ini
dirancang untuk mengajarkan orang tua sejumlah strategi untuk berhadapan
dengan permasalahan perilaku anak secara efektif. Sejauh ini tujuan‐tujuan
tersebut dapat dicapai dan diikuti dengan perbaikan perilaku anak.
29
Program parent training dari Barkley dapat diselesaikan dalam 8 – 12 sesi.
Program ini tidak membatasi para ahli untuk melakukan sesi treatment yang
persis sama seperti yang di ungkapkan Barkley dan juga mengijinkan para ahli
untuk mengambil sesi tertentu yang hanya diperlukan untuk menyempurnakan
penguasaan orangtua berkenaan dengan keterampilan manajemen perilaku yang
ditargetkan. Program ini juga dapat dilaksanakan secara individual maupun
berkelompok. Program individual membantu orangtua yang mengalami
kesulitan untuk berbagi masalah dengan lingkungan atau dengan tingkat
intelektual yang tidak terlalu baik. Program individual ini disusun sesuai kondisi
spesifik keluarga dan kondisi anak yang bersangkutan, dan masing‐masing sesi
biasanya berlangsung selama 1 jam. Sedangkan program kelompok akan
memungkinkan setiap peserta untuk belajar dari keluarga lainnya yang memiliki
permasalahan serupa dan saling mendukung satu sama lain. Program dalam
format kelompok, biasanya menggunakan waktu 90 menit untuk setiap sesinya.
2.2.2 Prinsip‐Prinsip Pengembangan Anak GPPH dalam Parenting Program
Barkley (2005:146‐154) mengungkapkan 9 prinsip kunci dalam
menjalankan parenting program bagi anak GPPH, yaitu:
1. Prinsip memberikan umpan balik dan konsekuensi dengan segera dan
sesering mungkin
Prinsip ini mendorong anak GPPH untuk bertahan pada tugas. Ketika
berhadapan dengan pekerjaan yang membosankan atau tidak
30
menguntungkan, anak‐anak dengan GPPH akan merasakan dorongan untuk
menemukan hal lain yang dapat mereka lakukan. Jika orangtua ingin anak
tetap bertahan pada tugasnya, orangtua harus menyusun umpan balik yang
positif dan konsekuensi yang akan membuat tugas tersebut lebih
menguntungkan, serta mengganti konsekuensi negatif untuk tindakan yang
tidak sesuai saat anak berhenti mengerjakan tugas.
Umpan balik positif dapat diberikan dalam bentuk ucapan selamat atau
pujian, yang dinyatakan dengan jelas dan spesifik bahwa apa yang anak
lakukan itu adalah positif. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang
secara fisik. Dalam beberapa peristiwa, umpan balik harus melibatkan
penghargaan seperti sistem dimana anak mendapat poin untuk perlakuan
khusus. Hal ini karena pujian tidak akan cukup untuk memotivasi anak
GPPH untuk tetap bertahan dengan tugas yang diberikan. Apapun jenis
umpan balik yang orangtua berikan, akan semakin efektif ketika diberikan
dengan segera dan sesering mungkin. Penggunaan prinsip ini memang bisa
membuat kesal dan mengganggu anak, serta melelahkan untuk orangtua.
Tetapi hal ini perlu dilakukan sebanyak waktu dan energi yang orangtua
miliki untuk mengubah beberapa bentuk perilaku yang tidak diinginkan
secara signifikan.
2. Prinsip menggunakan konsekuensi yang bermakna
Anak dengan GPPH memerlukan konsekuensi yang bermakna daripada
anak‐anak normal untuk mendorong anak agar melakukan pekerjaan,
31
mengikuti aturan, atau bersikap baik. Konsekuensi ini meliputi kasih sayang
secara fisik, hak istimewa, makanan ringan yang khusus, token atau poin,
imbalan material (seperti mainan yang kecil atau barang‐barang koleksi), dan
bahkan adakalanya dengan uang. Dalam menggunakan prinsip ini, orangtua
harus memperhatikan derajat GPPH anak. Semakin tinggi derajat GPPH
maka konsekuensi yang diberikan lebih besar, lebih signifikan, dan kadang‐
kadang konsekuensi materi lebih banyak diberikan untuk mengembangkan
dan mempertahankan perilaku positif anak.
3. Prinsip mendahulukan pemberian insentif sebelum menghukum
Merupakan hal umum bagi orang tua untuk menggunakan hukuman
ketika anak berperilaku yang tidak sesuai atau tidak mematuhi perintah. Hal
ini mungkin baik untuk anak tanpa GPPH yang hanya bertingkah
kadang‐kadang dan dapat menurut dengan hukuman ringan yang orangtua
berikan. Akan tetapi untuk anak dengan GPPH yang cenderung berperilaku
tidak sesuai jauh lebih sering dan menerima banyak konsekuensi negatif,
hukuman tidak akan efektif untuk mengubah perilaku. Hukuman biasanya
menyebabkan kebencian dan permusuhan pada anak, sehingga akhirnya
anak akan menghindari interaksi dengan orangtua. Dalam beberapa kasus
anak akan mencoba untuk menemukan cara‐cara melawan balik, membalas
dendam, mendapatkan hukuman yang berlebihan. Oleh karena itu sangat
penting bagi orangtua untuk mengingatkan diri sendiri mengenai prinsip
menggunakan hal positif sebelum menghukum. Hal ini terkait bahwa anak
32
GPPH sering menerima teguran, hukuman, dan penolakan dari orang lain
yang tidak memahami ketidakmampuan anak, dan hanya penggunaan
penghargaan dan insentif yang dapat mengubah perilaku anak sesuai yang
orangtua harapkan.
4. Prinsip penggunaan interval waktu
Anak dengan GPPH mengalami keterlambatan dalam perkembangan
waktu dan masa depan. Hal ini karena mereka mempunyai permasalahan
dalam merespon tuntutan yang melibatkan jadwal dan persiapan untuk
masa depan. Mereka memerlukan beberapa acuan eksternal mengenai jangka
waktu yang dibutuhkan dalam mengerjakan tugas. Oleh karena itu
lingkungan perlu membantu anak memahami konsep waktu. Misalnya, jika
anak diberikan waktu 20 menit untuk membersihkan kamar,
maka orangtua harus mengatur alat pengukur waktu selama 20 menit yang
diletakkan di tempat yang mudah terlihat oleh anak. Orangtua dapat
menggunakan jam dan alarm untuk mengeksternalisasi interval waktu
kepada anak dan memberikan anak cara yang lebih akurat untuk menandai
waktu selama menyelesaikan tugas.
Untuk tugas yang melibatkan interval waktu lebih panjang (seperti
proyek yang ditugaskan kepada anak sebagai PR), orangtua memerlukan
jembatan waktu yaitu dengan memecah tugas ke dalam langkah‐langkah
kecil yang harus dilakukan setiap harinya. Tanpa metoda ini, anak akan
33
meninggalkan pekerjaan yang harus dilaksanakan sampai detik‐detik
terakhir, dimana sangat mustahil untuk melakukan pekerjaan dengan baik.
5. Prinsip mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
Anak dengan GPPH tidak mampu dalam mengolah informasi, dimana
mereka harus berhenti dan berpikir mengenai situasi atau masalah yang
terjadi. Mereka menjawab sesuai dorongan hati, tanpa memperhatikan
pilihan‐pilihan yang dapat mereka pertimbangkan. Oleh karena itu penting
bagi orangtua untuk mengajarkan cara melihat masalah secara sistematis dan
terorganisasai sehingga diperoleh alternatif solusi yang lebih baik.
Misalnya, jika anak harus menulis esei singkat untuk sekolah dan ia tidak
merespon dengan baik pada tugas ini, maka anak dapat diminta untuk
mencatat semua hal yang ada dalam pikirannya dalam waktu yang singkat.
Dengan cara ini setiap pikiran akan mudah ditangkap dan anak dapat
bermain dengan ide‐idenya sebagai pengganti informasi mental yang
mengalami hambatan. Hal ini cukup efektif dilakukan, apalagi terkait
dengan pekerjaan rumah. Jadi setiap kali anak harus melakukan pemecahan
masalah, orangtua dapat memikirkan beberapa cara untuk menyelesaikan
masalah yang melibatkan hal fisik sehingga anak dapat menyentuh,
memanipulasi bagian, bergerak di sekitar, dan menemukan hal baru dari
suatu bagian informasi yang mungkin bisa membantu mereka dalam
memecahkan masalah.
34
6. Prinsip pentingnya konsistensi
Prinsip ini berkaitan dengan orangtua harus menggunakan strategi yang
sama untuk mengelola perilaku anak GPPH. Ada 4 hal yang penting
diperhatikan dalam menerapkan strategi yang konsisten, yaitu (1) menjadi
konsisten sepanjang waktu, (2) tidak mudah menyerah ketika program
perubahan perilaku baru dimulai, (3) merespon dengan cara yang sama
ketika settingnya berubah, dan (4) kedua orangtua menggunakan metode
yang sama.
Aturan yang berubah‐ubah dan juga kehilangan harapan ketika mencoba
menetapkan metode baru pengasuhan merupakan tanda kegagalan dalam
menghasilkan perubahan perilaku anak yang signifikan. Selain itu, banyak
orangtua yang terperangkap hanya dapat mengelola perilaku anak pada
setting rumah dan jauh berbeda ketika berada di depan publik. Padahal
mencoba untuk memelihara kekonsistenan semampu orangtua, dapat
menyatukan perbedaan di dalam gaya pengasuhan.
7. Prinsip perencanaan menghadapi situasi bermasalah
Ketika berada di situasi tertentu dan anak mulai menangis atau
merusakkan barang‐barang di sekitarnya, maka orangtua akan memberikan
ancaman dan berbagai perintah. Orangtua sebenarnya bingung, frustrasi,
tidak dapat berpikir tenang, sehingga tidak dapat mengambil solusi dengan
tepat. Kecemasan orangtua kemudian meningkat ketika orang lain mulai
memperhatikan dan hukuman fisik kepada anak mulai dijalankan (seperti
35
menarik anak keluar dari situasi bermasalah, menutup mulut anak, bahkan
memukul).
Ada lima langkah sederhana yang dapat dilakukan orangtua sebelum
memasuki situasi bermasalah, yaitu: (1) memprediksi di situasi mana anak
GPPH cenderung berperilaku tidak sesuai, (2) mempertimbangkan waktu
yang terbaik untuk menghadapi perilaku anak, (3) mengembangkan rencana
tindakan sebelum memasuki situasi bermasalah, (4) menjelaskan kepada
anak mengenai rencana yang telah disusun, dan (5) mengikuti rencana
tersebut ketika perilaku yang tidak sesuai mulai muncul.
8. Prinsip menerima berbagai hal dalam perspektif anak GPPH
Kadang‐kadang, ketika berhadapan dengan kesulitan menangani
perilaku anak dengan GPPH, orangtua akan kehilangan semua perspektif
mengenai keterbatasan anak yang menyebabkan munculnya masalah
sehingga orangtua menjadi marah, dipermalukan, atau paling sedikit frustasi
ketika manajemen perilaku yang dicobakan tidak bekerja. Salah satu cara
membuat orangtua tenang adalah mencoba untuk mempertahankan
beberapa jarak psikologis dari permasalahan anak. Menganggap diri sendiri
sebagai orang asing, menjadikan orangtua dapat melihat situasi dengan
menyeluruh untuk mengatasi perilaku anak. Hal ini memang sulit, sehingga
orangtua harus punya cara untuk mengingatkan diri sendiri mengenai
keterbatasan anak, terutama ketika sedang berusaha untuk menghadapi
perilaku anak yang mengganggu.
36
9. Prinsip melatih sikap memaafkan
Memaafkan adalah prinsip yang paling penting, tetapi sering paling sulit
untuk diterapkan secara konsisten di dalam kehidupan sehari‐hari. Ada tiga
cara untuk memaafkan. Pertama, setiap harinya setelah menidurkan anak
atau sebelum orangtua tertidur, manfaatkan sedikit waktu untuk meninjau
kembali kejadian hari itu dan maafkan anak untuk pelanggaran yang
dilakukannya. Lepaskan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, atau emosi
lainnya yang sudah muncul hari itu karena kelakuan buruk anak. Anak tidak
bisa mengontrol apa yang dia lakukan dan berhak untuk dimaafkan.
Kedua, berkonsentrasi untuk memaafkan orang lain yang telah salah
paham terhadap perilaku anak yang tidak sesuai dan bertindak menyalahkan
ketidakmampuan orangtua menangani perilaku anak. Jangan mengambil
tindakan korektif dan menekan anak, tetapi lepaskan sakit hati, kemarahan,
dan segala kejadian yang tidak menyenangkan yang telah menimpa Anda
sebagai orangtua yang memiliki anak GPPH. Ketiga, orangtua harus belajar
untuk berlatih memaafkan diri sendiri atas kesalahan dalam mengelola
perilaku anak setiap harinya. Lepaskan evaluasi diri yang akan mengarah ke
hal negatif (seperti mengutuk diri, perasaan malu, penghinaan, kebencian,
atau kemarahan) menjadi evaluasi yang jujur mengenai pencapaian hari ini
dalam menangani perilaku anak, mengidentifikasi area mana yang dapat
ditingkatkan, dan membuat suatu komitmen pribadi untuk bekerja keras
esok hari.
37
2.2.3 Sesi Pelaksanaan Parent Training dari Barkley
Sebelum menguraikan secara spesifik masing‐masing sesi program
pelatihan ini, penting untuk diingat bahwa banyak sesi dari program ini telah
dibahas secara detail oleh para ahli lainnya. Konsekuensinya adalah program ini
tidak menyediakan suatu manual teknis dan sebagai gantinya Barkley
menyajikan ringkasan deskripsi prosedur pelaksanaan program ini sehingga
memberikan pemahaman yang lebih baik dari kerangka kerja yang telah
dikemukakannya dalam mengimplementasikan program behavioral parent
training. Berikut ini akan dijelaskan secara terperinci program pelatihan orangtua
berdasarkan kerangka kerja Barkley (2006:463‐473):
1. Sesi pemberian informasi mengenai GPPH
Sesi ini merupakan sesi yang paling awal dan bertujuan untuk
memperkenalkan orangtua mengenai mekanisme program pelatihan dan
untuk memulai proses peningkatan pengetahuan orangtua mengenai GPPH.
Sebagian besar sesi ini diberikan dengan format ceramah dan dibantu oleh
tayangan presentasi yang telah disiapkan secara spesifik untuk membantu
memudahkan perhatian orangtua dan memahami informasi yang disajikan.
Sesi ini dimulai dengan diskusi singkat mengenai bagaimana
konseptualisasi diagnostik awal pada anak GPPH dan label yang umumnya
orangtua kenali (seperti gangguan konsentrasi, hiperaktivitas, kelainan
fungsi otak yang minimal). Selanjutnya pelatih menjelaskan mengenai latar
belakang historis, gejala inti dari GPPH, perilaku umum yang diasosiasikan
38
dengan bentuk GPPH, dan pendekatan intervensi multimodal. Presentasi
dari semua informasi ini harus sesingkat mungkin supaya orang tua
memusatkan perhatian dengan penuh terhadap poin utama. Secara umum
setelah pelatih memberikan penjelasan, diikuti oleh sesi diskusi berkaitan
dengan pengetahuan orangtua saat ini dan kondisi keluarga dengan anak
GPPH.
2. Sesi Memahami Hubungan Orangtua‐Anak.
Tujuan dari sesi ini adalah mengajarkan orang tua mengenai penyebab
perilaku anak yang mengganggu, memperbaiki informasi yang salah,
mengidentifikasi penyebabnya pada masing‐masing keluarga,
menyampaikan hal‐hal yang menyebabkan perilaku mengganggu anak
semakin berlanjut (jika memungkinkan), dan membahas prinsip‐prinsip
pengelolaan perilaku melalui model antecedent–behavior–consequence. Pada
sesi ini lebih banyak menekankan pada diskusi yang mendalam dibanding
presentasi dari pelatih.
Materi pada sesi kedua dimulai dengan pelatih memberikan kerangka
konseptual untuk memahami interaksi orangtua‐anak yang menyimpang
dan bagaimana mengelolanya. Pada konteks ini, orang tua disiapkan
terhadap empat faktor utama yang dapat berperan dalam kemunculan
dan/atau pemeliharaan dari berbagai permasalahan tingkah laku anak, yaitu
karakteristik anak, karakteristik orangtua, peristiwa stress yang terjadi pada
keluarga, dan bagaimana gaya pengasuhan tertentu (seperti kritik yang kasar
39
atau berlebihan, ketidakkonsistenan) dapat mempersulit manajemen perilaku
pada anak GPPH.
Poin dari sesi ini adalah pelatih memberikan gambaran prinsip
manajemen perilaku umum melalui model Antecedent‐Behavior‐Consequnce
sebagai cara untuk mempersiapkan tehnik perilaku yang spesifik. Gambaran
ini diperkenalkan dengan diskusi yang mendalam seperti berbagai jenis
penguatan yang positif dan strategi hukuman yang telah orangtua terapkan;
kebutuhan untuk menggunakan berbagai kombinasi pemberian konsekuensi;
dan keuntungan pemberian konsekuensi yang spesifik, segera, dan konsisten.
3. Sesi Meningkatkan Keterampilan Positive Attending
Tujuan dari sesi ini adalah mengajarkan orang tua kekuatan perhatian
positif dalam hubungan antar manusia, meningkatkan metode yang dapat
digunakan orangtua dalam memberikan perhatian terhadap perilaku anak,
mendorong orangtua untuk menggunakan keterampilan positive attending di
rumah, dan meningkatkan hubungan orang tua‐anak. Metode yang
digunakan pada sesi ini adalah diskusi, presentasi, dan role play.
Sesi ini dimulai dengan diskusi mengenai pentingnya perhatian yang
positif pada individu untuk semua umur dan cara orangtua berinteraksi
dengan anak. Kemudian dilanjutkan dengan presentasi materi mengenai
keterampilan memberikan perhatian dan waktu khusus. Hal ini
berlandaskan bahwa anak dengan GPPH sering terlibat dalam perilaku
aversive, sehingga banyak orang tua yang memilih untuk tidak berinteraksi
40
dengan mereka. Ketika terjadi interaksi orangtua‐anak, orang tua sering
berasumsi bahwa perilaku negatif anak akan muncul dan kemudian gaya
pengasuhan orangtua menjadi memerintah, mengkritik, memaksa, atau tidak
menyenangkan. Dengan pertimbangan seperti ini, penting untuk adanya
“waktu yang khusus” yaitu ketika orang tua nondirective dan noncorrective.
Anak diberikan kesempatan untuk menjadi anak yang baik dengan
membantu membangun peluang positif dalam interaksi orangtua‐anak.
Orangtua yang sudah mencoba meluangkan waktu khusus, sadar bagaimana
sulitnya untuk melakukan hal tersebut. Namun ketika sudah di
implementasikan dengan baik, prosedur ini akan mengarahkan pada
peningkatan keterampilan positive attending dan menciptakan hubungan yang
menyenangkan antara orangtua‐anak.
Mulai sesi ini, orangtua diberikan pekerjaan rumah mengenai praktek
keterampilan memberikan perhatian positif dan membuat anak berperilaku
baik selama periode “waktu bermain khusus”. Catat informasi pada periode
latihan dan coba gunakan keterampilan perhatian positif ini pada waktu lain.
4. Sesi Memperluas Keterampilan Positive Attending dan Meningkatkan
Kepatuhan Anak.
Tujuan dari sesi ini adalah mengajarkan orang tua untuk memperpanjang
perhatian positif yang telah diberikan, mengajarkan orang tua untuk
memberikan perintah yang efektif, mengajarkan orang tua untuk lebih
memperhatikan perilaku anak yang nondisruptive, dan meningkatkan
41
pengawasan orangtua. Sesi ini lebih banyak menekankan pada diskusi yang
mendalam.
Materi dalam sesi ini merupakan materi lanjutan dari sesi sebelumnya.
Pelatih mulai dengan mengajarkan cara menggunakan keterampilan positive
attending terhadap situasi yang lain, khususnya untuk meningkatkan
kemandirian ketika terlibat dalam aktivitas di rumah (seperti bicara di
telepon, menyiapkan makan malam, atau mengunjungi tetangga). Kemudian
pelatih mendiskusikan dalam situasi mana saja anak menginterupsi kegiatan
orangtua dan catat bagaimana perhatian yang anak peroleh saat
menunjukkan perilaku mengganggu. Setelah orangtua paham, pelatih
membahas materi dari handout mengenai meningkatkan kemandirian
bermain dan dilanjutkan dengan memberikan contoh mengenai bagaimana
mempraktekkannya.
Pada sesi ini orangtua juga dilatih cara memberikan perintah kepada
anak, yang meliputi parameter verbal dan nonverbal. Hal ini mencakup: (1)
orang tua hanya mengeluarkan perintah yang berdasarkan kejadian, (2)
perintah itu merupakan pernyataan langsung dibanding pertanyaan, (3)
perintah itu relatif sederhana, (4) Agar tidak terjadi kebingungan, lakukan
kontak mata dengan anak, dan (5) perintah itu diulangi kembali ke orang tua
supaya memberi kesempatan untuk memperjelas kesalahpahaman sebelum
anak merespon.
42
Saat sesi ini berakhir, orangtua diberikan pekerjaan rumah untuk
melanjutkan periode bermain dalam “waktu khusus”, mulai memberikan
perintah dengan cara yang efektif, memanfaatkan perhatian positif agar anak
patuh terhadap perintah dan tugas, melaksanakan praktek periode
kepatuhan di rumah dan praktek perhatian positif unttuk kemandirian
bermain.
5. Sesi menetapkan sistem poin/home token
Ada tiga tujuan dari sesi ini, yaitu (1) membuat metode yang lebih
sistematis, dapat diprediksi, dan memotivasi orang tua untuk memperkuat
kepatuhan anak, (2) membuat hak istimewa jika anak bertahan mengerjakan
tugas, (3) mengajarkan orang tua mekanisme menyiapkan sistem token atau
sistem poin di rumah.
Pengaturan sistem token di rumah merupakan fokus dari tahapan ini.
Sistem poin ini dapat memberikan motivasi eksternal pada anak GPPH
untuk melakukan aktivitas yang diperintahkan orangtua. Dengan sistem
poin atau token anak dilatih untuk menunda keinginan dan memberikan
kesempatan untuk merencanakan. Alasan lainnya untuk menggunakan
sistem ini adalah bahwa positive attending dan strategi pengabaian sering
tidak cukup untuk mengatur perilaku anak GPPH, yang secara umum
memerlukan penghargaan yang kongkret dan bermakna.
Pelatih memulai sesi ini dengan diskusi praktis mengenai program
penghargaan yang telah diberikan kepada anak. Diskusi seperti ini dapat
43
membuat orangtua waspada mengenai bagaimana mereka telah
memperlakukan anak dan akhirnya mempermudah pengaturan sistem token
di rumah. Kemudian dilanjutkan dengan presentasi materi yang terdapat
dalam handout mengenai keuntungan sistem token/poin, penyusunan daftar
hak istimewa, penyusunan tugas dan tanggung jawab, penyusunan rentang
pemberian token/poin untuk setiap tugas, dan pemberian bonus untuk usaha
yang ekstra. Pekerjaan rumah untuk sesi ini adalah orangtua diminta untuk
membuat sistem aturan di rumah selama 3 hari yang akan digunakan selama
8 minggu dan diminta untuk membawa aturan yang telah dibuat pada
pertemuan selanjutnya.
6. Sesi menggunakan Response Cost
Sesi ini dimulai dengan meninjau kembali dengan seksama usaha
orangtua untuk menerapkan sistem poin di rumah. Karena masalah pasti
muncul, sebagian besar sesi ini disediakan untuk memperjelas kebingungan
dan untuk membuat saran yang dapat meningkatkan efektivitas dari sistem
poin.
Setelah review pekerjaan rumah, pelatih memperkenalkan tehnik response
cost dalam program ini, yaitu mempertimbangkan penggunaan hukuman
berupa pengurangan poin ketika anak gagal memenuhi satu atau dua
permintaan yang terdapat dalam daftar atau menunjukkan perilaku yang
tidak diinginkan. Pada program ini, anak tidak hanya gagal untuk
mendapatkan poin tetapi poin yang sebelumnya telah anak dapatkan
44
menjadi hilang. Banyaknya poin‐poin yang hilang sama dengan banyaknya
jumlah poin yang akan diperoleh ketika mematuhi aturan. Pada anak dengan
GPPH, penambahan komponen response cost dalam sistem token dapat
meningkatkan kepatuhan anak terhadap permintaan orangtua, karena anak
mempunyai perangsang tambahan. Penting bagi pelatih untuk
mengingatkan orangtua agar menghindari hukuman berpilin, yaitu sangat
banyak poin yang diambil sehingga anak mengalami hutang.
Pekerjaan rumah untuk sesi ini adalah orangtua melanjutkan program
penguatan perilaku dengan token/poin dan mulai mengambil token/poin
untuk perilaku anak yang tidak sesuai.
7. Sesi menggunakan Time Out
Ada tiga tujuan dalam sesi ini, yaitu (1) mengajarkan orang tua untuk
menggunakan time out untuk bentuk‐bentuk ketidaksesuaian perilaku yang
lebih serius. (2) menentukan metode cadangan jika anak mencoba untuk
melarikan diri dari time out. (3) Memilih satu atau dua perilaku yang tidak
sesuai untuk di time out.
Setelah meninjau kembali penggunaan sistem token di rumah dan
penyesuaian lainnya yang dianggap perlu, pelatih mulai mendiskusikan
metode time out. Walaupun kebanyakan jenis ketidakpatuhan akan terus
berlanjut untuk ditangani melalui response cost, orang tua juga didukung
untuk mengidentifikasi satu atau dua perilaku menetap atau perilaku serius
yang melanggar aturan (seperti memukul saudara kandung) untuk menjadi
45
target dari time out. Ketika perilaku telah diidentifikasi, perhatian selanjutnya
difokuskan pada pengajaran mekanisme penerapan prosedur time out dan
dilanjutkan dengan diskusi bagaimana reaksi orang tua terhadap metode ini.
Seperti sistem token, time out merupakan suatu teknik yang sulit untuk
dilakukan. Penggunaannya harus diterangkan secara hati‐hati sebelum orang
tua diminta untuk mempraktekkannya di rumah. Oleh karena itu sesi
terakhir pada program ini adalah role play mengenai penerapan time out.
8. Sesi mengelola perilaku anak di area publik
Tujuan sesi ini adalah mengajarkan orang tua ʺrencana transisiʺ, meninjau
kembali kemampuan orangtua dengan metode sebelumnya untuk digunakan
di tempat umum, dan membantu orang tua dalam menghadapi reaksi
emosional diri sendiri yang dapat mengganggu mengelola anak di tempat
umum (jika diperlukan melalui teknik restrukturisasi kognitif).
Sesi ini dimulai dengan diskusi mengenai situasi apa saja di area publik
dimana anak sering berperilaku tidak sesuai. Catat informasi yang diperoleh,
untuk membuat rencana antisipasi dan tindakan agar orangtua lebih proaktif
ketika menghadapi perilaku anak yang tidak sesuai saat berada di area
publik. Kemudian pelatih memberikan gambaran agar orangtua mempunyai
suatu rencana kegiatan sebelum memasuki situasi publik yang diperkirakan
akan mengalami masalah dan meninjau kembali metode‐metode yang dapat
digunakan di area publik. Kesuksesan dari rencana ini adalah anak
mempunyai pemahaman bahwa ada aturan dan konsekuensi sebelum
46
memasuki situasi publik. Sebelum menutup sesi ini, orangtua diberi
kesempatan untuk memperjelas kesalahpahaman apapun pada perilaku anak
yang mungkin diakibatkan kebingungan atau kondisi tidak memperhatikan.
9. Isu Seputar Permasalahan di Sekolah dan Persiapan Penutupan
Sesi ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan orangtua mengenai
isu yang berkaitan dengan sekolah anak, untuk mendiskusikan bagaimana
cara menangani permasalahan yang mungkin muncul di masa depan, dan
bersiap‐siap mengakhiri sesi pelatihan ini. Bentuk yang penting dari sesi ini
adalah untuk mendiskusikan status sekolah anak saat ini, yang mencakup
modifikasi apa yang dapat dilakukan oleh sekolah ketika berhadapan dengan
anak GPPH. Hal ini diikuti oleh suatu uraian mengenai sistem hukum anak
GPPH dengan sistem sekolah, menekankan pada penempatan anak dalam
lingkungan pendidikan yang terbatas, serta bagaimana dan kapan untuk
mempertimbangkan pendidikan khusus bagi anak. Dalam sesi ini, orang tua
juga dilatih untuk menggunakan sistem kartu laporan di mana konsekuensi
di rumah akan digunakan bersama dengan umpan balik sehari‐hari dari
guru.
Diskusi mengenai apa yang orangtua percaya dapat menjadi masalah
bagi mereka di kemudian hari dan bagaimana mereka dapat menangani
situasi bermasalah tersebut, juga dibahas dalam program ini. Pelatih
melakukan diskusi dengan orangtua mengenai bentuk‐bentuk perilaku yang
tidak sesuai pada anak yang belum mereka temukan dan menanyakan
47
kepada masing‐masing orangtua untuk menjelaskan bagaimana mereka
menggunakan keterampilan yang baru diperoleh untuk mengatur
permasalahan ini. Diskusi ini ditutup dengan pemberian informasi kepada
orangtua mengenai bagaimana menjalankan pemeriksaan pada diri sendiri
untuk memastikan di mana perlu dilakukan penyelarasan keterampilan
manajemen perilaku anak.
Bagian akhir dari sesi ini digunakan untuk mengakhiri dan/atau
pengaturan sesi tambahan. Selain menyepakati tanggal sesi tambahan,
diskusi pelatih dengan orang tua juga diperlukan untuk mengetahui apakah
ada jenis layanan klinis lainnya yang diperlukan, seperti menambahkan
komponen obat atau menjadwalkan kunjungan ke sekolah terkait dengan
manajemen kelas.
10. Sesi Tambahan
1 bulan setelah melaksanakan sesi 9 akan diadakan sesi tambahan.
Sasaran dari sesi ini adalah meninjau kembali konsep‐konsep yang telah
dipelajari (bisa melalui memberikan kembali kuesioner dan self report rating
scale kepada orangtua, yang berfungsi sebagai penunjuk perubahan
posttreatment yang mungkin terjadi) dan mendiskusikan permasalahan yang
muncul dalam 1 bulan terakhir. Tambahan penjadwalan mungkin diperlukan
untuk berhadapan dengan isu yang terus berlanjut, tetapi umumnya 10 sesi
cukup untuk melihat perubahan perilaku yang signifikan pada anak GPPH.
48
2.3 Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial secara resmi dikembangkan oleh John Dollard &
Robert Miller pada tahun 1941, dalam kemasan konsep Social Learning and
Imitation. Teori ini menganut prinsip‐prinsip belajar seperti: penguatan perilaku,
hukuman, penghentian, dan imitasi terhadap model. Buku yang dihasilkan ini
mengungkap bagaimana perilaku model yang teramati oleh hewan dan manusia,
akan dipelajari melalui penguatan‐penguatan dari lingkungan. Pada perilaku
manusia terdapat dorongan yang melatarbelakangi, dan setiap respon dari suatu
organisme akan menjadi stimulus bagi organisme lainnya. Jadi, menurut Dollard
& Miller belajar imitative adalah kasus khusus dari pengkondisian instrumental
(Hergenhahn & Olson, 2009:357).
Pada masa terakhir ini, mulai muncul serangkaian teori yang didasarkan
pada prinsip – prinsip belajar sosial, namun menempatkan pula peran variabel
kognitif di dalam prosesnya.Hal ini dilakukan untuk menjembatani kenyataan
cara pandang behavioristik yang ketat sehingga memposisikan perilaku manusia
sebagai reaksi sederhana terhadap stimulus eksternal. Teori ini mengakui adanya
peran kognisi manusia diantara stimulus dan respon, sehingga individu pun
dapat mengendalikan respon‐respon perilakunya terhadap suatu stimulus.
Ada tiga prinsip yang dikemukakan para ahli (Woodward, 1982; Jones,
1989; Perry et al, 1990; Crosbie‐Brunett & Lewis, 1993, dalam Adella 2007:50),
yaitu:
49
Prinsip 1: Konsekuensi – konsekuensi terhadap respon, baik berupa
penghargaan maupun hukuman akan mempengaruhi sesorang sehingga ia
akan mengulangi perilaku spesfik yang sama di situasi yang juga sama.
Prinsip 2: Manusia dapat belajar melalui pengamatan terhadap perilaku orang
lain, dalam rangka mempelajari sesuatu untuk tindakannya kelak. Belajar
melalui mengamati orang lain disebut vicarious learning. Konsep vicarious
learning tidak termasuk yang diungkap ke permukaan oleh teori belajar
klasik.
Prinsip 3: Individu‐individu adalah sebagian besar menjadi model yang
perilakunya diamati oleh orang lain yang mengidentikkan dirinya dengan
model tersebut. Identifikasi dengan orang lain merupakan fungsi dari derajat
dimana seseorang membayangkan kesamaan dirinya dengan orang lain
untuk kemudian menuju ke proses pendekatan secara emosional terhadap
orang tersebut.
2.3.1 Konsep Belajar Lewat Pengamatan
Konsep ini dikembangkan oleh Albert Bandura, seorang psikolog klinis
dari Universitas Stanford, untuk menjelaskan bagaimana individu belajar dalam
setting yang alami/lingkungan sebenarnya. Konsep belajar sosial yang
dikemukakan oleh Bandura (1997) menjelaskan bahwa seseorang dapat belajar
sesuatu secara tidak langsung yaitu melalui pengamatan terhadap orang lain, di
50
samping belajar melalui pengalaman langsung. Ada dua tahap dalam proses
belajar lewat pengamatan, yaitu:
1. Akuisisi
Merupakan belajar mengikuti tindakan model melalui pengamatan langsung,
namun pemilihan model dan tindakan yang akan diakusisi tergantung pada
vicarious reinforcement yang mengiringinya. Vicarious reinforcement adalah
penguat perilaku yang benar‐benar memotivasi pembelajar sehingga tergerak
untuk melakukan tindakan yang akan dilakukan model. Dengan kata lain,
pada saat model mendapatkan kesempatan ataupun konsekuensi positif
yang disukai pula oleh pembelajar, maka pembelajar akan terdorong untuk
mengakuisisi tindakan yang sama dengan model. Begitu pula sebaliknya,
pada saat model mendapatkan konsekuensi negatif atas tindakannya, yang
juga dirasakan tidak menyenangkan oleh pembelajar, maka menurun pula
peluang bagi pembelajar untuk mengakuisisi tindakan yang sama dengan
model.
2. Performance
Yaitu sejauhmana pembelajar dapat menampilkan perilaku yang diharapkan
secara mandiri sebagai hasil dari prinsip‐prinsip operan conditioning seperti
pemberian penguat atau hukuman secara langsung. Dalam hal ini pembelajar
telah menetapkan target pencapaian yang bila dipenuhi akan mendatangkan
suatu kepuasan (motivasi internal).
51
2.3.2 Proses Belajar Lewat Pengamatan
Proses belajar melalui pengamatan ditentukan oleh empat proses yang
saling terkait (Bandura, dalam Hergenhahn & Olson, 2009:363):
1. Proses Perhatian (Attentional Processes).
Proses ini terkait dengan kemampuan pembelajar secara selektif mengamati
tindakan dan perilaku‐perilaku yang ada disekitarnya. Seseorang akan
belajar dari seorang model hanya jika mereka memperhatikan dan mengenali
aspek‐aspek terpenting dari perilaku model itu seperti kondisi yang relevan
dengan pembelajar atau penguatan perilaku di masa lalu.
2. Proses Pengingatan (Retention Processes).
Proses retensi adalah pengkodean simbolik (symbolic coding) dan
pengulangan dalam hati (mental rehearsal) terhadap perilaku yang diamati
sehingga akan menjadi patokan dalam mengingat kembali saat perilaku
tersebut harus ditampilkan. Bandura berpendapat bahwa informasi disimpan
secara simbolis melalui dua cara yaitu secara imajinatif dan secara verbal.
Simbol‐simbol yang disimpan secara imajinatif adalah gambaran tentang hal‐
hal yang dialami model, yang dapat diambil dan dilaksanakan kembali
sesudah belajar melalui pengamatan terjadi. Sedangkan simbol verbal
memuat sebagian besar pengetahuan yang diperoleh melalui kata‐kata.
3. Proses Reproduksi Motorik (Motoric Reproduction Processes).
Proses reproduksi motorik adalah sejauhmana hal‐hal yang telah dipelajari
akan diterjemahkan ke dalam tindakan. Bandura berpendapat bahwa untuk
52
memberikan respon yang tepat, dibutuhkan periode latihan pengulangan
kognitif sebelum perilaku pengamat menyamai perilaku model. Selama
proses latihan ini individu mengamati perilaku mereka sendiri dan
membandingkannya dengan pengalaman model. Setiap ketidaksesuaian
antara perilaku individu dengan perilaku model akan menimbulkan
tindakan korektif. Proses ini terus berlangsung sampai ada kesesuaian yang
memuaskan antara perilaku pengamat dan model. Jadi, retensi simbolis atas
pengalaman modelling akan menciptakan lingkaran umpan balik yang dapat
dipakai setahap demi setahap untuk menyamakan perilaku seseorang
dengan perilaku model.
4. Proses Penguatan dan Motivasi (Reinforcement and Motivational Processes).
Proses motivasi, yakni ketika perilaku hasil belajar dimunculkan dalam
rangka mencapai target tertentu. Apakah perilaku yang telah dipelajari itu
akan ditampilkan atau tidak, tergantung pada apakah perilaku tersebut akan
mendapatkan imbalan atau hukuman. Jika terdapat insentif yang positif,
maka perilaku yang ditiru itu akan memperoleh lebih banyak perhatian,
dipelajari dengan lebih baik, dan ditampilkan lebih sering.
2.4 Taksonomi Tujuan Pembelajaran
Bloom (1956:7) membagi aktivitas pembelajaran dalam tiga ranah yaitu
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
53
a. Ranah Kognitif
Ranah kognitif meliputi pengenalan atau mengingat kembali pengetahuan
dan perkembangan kemampuan intelektual. Ada 6 kategori yang termasuk
dalam ranah kognitif di mana masing‐masing kategori menunjukkan
tingkatan, yakni :
1) Pengetahuan, mencakup ingatan akan hal‐hal yang pernah dipelajari dan
disimpan dalam ingatan. Individu dituntut untuk dapat mengenali atau
mengetahui adanya konsep atau fakta atau istilah‐istilah tanpa harus
mengerti atau menggunakannya. Tingkat ini adalah hasil belajar terendah
yang dapat dicapai.
2) Pemahaman, yaitu menunjuk pada pembelajar mengetahui apa yang
sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan materi atau ide yang
sedang dikomunikasikan. Yang diharapkan dalam tingkatan ini adalah
demonstrasi fisik dalam situasi yang spesifik.
3) Penerapan, yaitu menggunakan konsep, prinsip, dan prosedur yang
sudah dipelajari ke dalam suatu situasi baru.
4) Analisa, yaitu memerinci konsep kedalam bagian‐bagian sehingga
struktur ide secara keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Pada level
ini seseorang diharapkan menunjukkan hubungan antar berbagai alasan
dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip
atau prosedur yang telah dipelajari.
54
5) Sintesa, yaitu kemampuan mengkombinasikan bagian atau elemen ke
dalam satu kesatuan.
6) Penilaian, yaitu membuat penilaian dan keputusan terhadap suatu
situasi, materi, metode, berdasarkan suatu kriteria tertentu.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif menggambarkan perubahan dalam minat, sikap, nilai, dan
perkembangan asosiasi dan penyesuaian yang adekuat. Ada 5 tingkatan
ranah afektif, yaitu :
1) Memperhatikan yaitu kesediaan atau kemauan untuk mengenal,
menerima dan memperhatikan berbagai stimulus. Individu masih
bersifat pasif, sekedar keinginan untuk mendengar, dan memfokuskan
perhatian.
2) Merespon yaitu keinginan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap
suatu gagasan, benda atau sistem nilai. Individu diharapkan aktif
berpartisipasi, memperhatikan, dan berespon terhadap fenomena
tertentu.
3) Penghargaan terhadap nilai, yaitu perasaan keyakinan atau anggapan
bahwa suatu gagasan, benda atau cara berpikir tertentu mempunyai nilai.
Individu secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun
tidak ada pihak lain yang meminta atau mengharuskan.
55
4) Organisasi, mengorganisasikan nilai ke dalam suatu prioritas,
menyelesaikan konflik antara nilai‐nilai yang berbeda.
5) Karakterisasi, yaitu menginternalisasi nilai‐nilai menjadi karakter yang
mengontrol perilakunya.
c. Ranah Psikomotorik
Perkembangan kemampuan dalam ranah ini menuntut latihan dan diukur
dalam bentuk kecepatan, ketepatan, jarak, prosedur atau teknik pelaksanaan.
5 tingkatan dalam kategori ini adalah sebagai berikut :
1) Meniru, yaitu kemampuan untuk menggunakan petunjuk sensoris untuk
mengarahkan aktivitas motorik. Tahap awal dalam mempelajari
kemampuan yang kompleks meliputi imitasi dan trial and error.
2) Manipulasi, yaitu kemampuan untuk melakukan suatu perilaku tanpa
bantuan visual. Meliputi suatu kesiapan untuk bertindak, yang meliputi
mental, fisik, dan emosional.
3) Ketepatan gerakan, yaitu kemampuan untuk melakukan perilaku tanpa
menggunakan contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan
melakukannya dengan lancar, tepat seimbang, dan akurat.
4) Artikulasi, yaitu kemampuan untuk menunjukkan serangkaian gerakan
yang akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat. Kecakapan
diindikasikan oleh kecepatan, ketepatan, dan tampilan yang sangat
terkoordinasikan, tanpa pengeluaran energi yang berlebihan.
56
5) Naturalis, yaitu kemampuan untuk melakukan gerakan tertentu secara
spontan atau otomatis. Kemampuan ini terbangun dengan baik dan
individu sudah dapat memodifikasi pola gerakan atau menciptakan pola
gerakan baru yang sesuai dengan situasi atau masalah tertentu.
2.5 Pengembangan Program Pelatihan
Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai proses pendidikan
jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan
terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan
keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Hal ini senada dengan
pendapat Good (1973, dalam Marzuki, 1992 : 5) yang menjelaskan pelatihan
adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh pengetahuan dan
keterampilan.
Proses pengembangan suatu program pelatihan terdiri dari 3 tahap, yaitu
tahap persiapan (preparation), tahap pengembangan (development), dan tahap
peningkatan (improvement) yang digambarkan dalam bagan 2.1 berikut ini
(Kohls, 1995) :
57
Bagan 2.1 Proses Pengembangan Program Pelatihan
2.5.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan terdiri dari dua hal, yaitu pertama dengan menentukan
kebutuhan dari subjek pelatihan melalui penilaian kebutuhan. Setelah
mendapatkan hasil penilaian kebutuhan maka selanjutnya dapat diturunkan
menjadi tujuan dari pelatihan yang akan tertuang dalam tujuan pelatihan secara
umum dan secara khusus. Kedua setelah adanya tujuan pelatihan maka
berikutnya dapat dilakukan proses perancangan program pelatihan tersebut
2.5.1.1 Penilaian Kebutuhan
Penilaian kebutuhan dilakukan untuk menggali, menentukan, dan
mendefinisikan secara tepat kebutuhan yang akan dipenuhi melalui
1. Penilaian KebutuhanMenggali dan menentukan kebutuhan
subjek penelitian 2. Perancangan Program Pelatihan• Perumusan Tujuan • Penetapan Metode Pelatihan • Penetapan Materi Pelatuhan • Pemilihan Lokasi dan Penataan Ruangan Pelatihan
• Rancangan Proses Evaluasi dan Alat ukur
TAHAP PERSIAPAN
3. Uji Coba Program Pelatihan Menguji dan mengevaluasi ketepatan
Program Pelatihan yang telah dirancang
4. Revisi Program Pelatihan Melakukan revisi dan modifikasi guna memperbaiki kerkurangan pada hasil uji
coba
TAHAP PENGEMBANGAN
TAHAP PENINGKATAN Dimaksudkan untuk menguji efektivitas
program pelatihan. Pelatihan dikatakan efektif jika membawa perubahan yang sama pada
setiap pelaksanaannya
58
pelatihan. Langkah penilaian kebutuhan ini merupakan landasan yang
sangat menentukan pada langkah‐langkah berikutnya. Kekurangakuratan
atau kesalahan dalam penilaian kebutuhan dapat berakibat fatal pada
pelaksanaan pelatihan. Penilaian kebutuhan dapat dilakukan dengan dengan
observasi, wawancara, dan kajian literatur untuk menetapkan hal‐hal yang
akan diperlukan dalam proses pembelajaran
2.5.1.2 Perancangan Program Pelatihan
Setelah mendapatkan hasil penilaian dan melakukan analisa terhadap
hasil tersebut, maka langkah selanjutnya adalah melakukan perancangan
program pelatihan yang terdiri dari:
1. Tujuan Pelatihan
Perumusan tujuan pelatihan hendaknya berdasarkan kebutuhan
pelatihan yang telah ditentukan. Tujuan dirumuskan dalam bentuk
uraian tingkah laku yang diharapkan dan pada kondisi tertentu.
Pernyataan tujuan ini akan menjadi standar kinerja yang harus
diwujudkan serta merupakan alat untuk mengukur tingkat keberhasilan
program pelatihan.
2. Metode Pelatihan
Metode latihan merupakan cara penyampaian materi kepada peserta
dengan menggunakan pendekatan tertentu. Penentuan metode yang
tepat dan sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan akan berguna
59
untuk mengoptimalkan proses belajar. Pada dasarnya prinsip belajar
yang layak dipertimbangkan untuk diterapkan berkisar lima hal yaitu
partisipasi, pengulangan, relevansi, pengalihan, dan umpan balik.
Dengan prinsip partisipasi pada umumnya proses belajar berlangsung
dengan lebih cepat dan pengetahuan yang diperoleh diingat lebih lama.
Prinsip pengulangan akan membantu peserta pelatihan untuk mengingat
dan memanfaatkan pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki.
Prinsip relevansi, yakni kegiatan pembelajaran akan lebih efektif apabila
bahan yang dipelajari mempunyai relevansi dan makna kongkrit dengan
kebutuhan peserta pelatihan. Prinsip pengalihan dimaksudkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam kegiatan belajar
mengajar dengan mudah dapat dialihkan/dipraktekkan pada situasi
nyata. Dan prinsip umpan balik akan membangkitkan motivasi peserta
pelatihan karena mereka tahu kemajuan dan perkembangan belajarnya.
3. Materi Pelatihan
Materi pada pelatihan harus relevan dengan kebutuhan peserta, yang
meliputi instruksi yang disampaikan, konten yang diberikan, dan cara
menyampaikan konten tersebut.
4. Pemilihan Lokasi dan Penataan Ruangan Pelatihan
Kondisi ruangan latihan yang nyaman tanpa adanya gangguan secara
visual (seperti orang mondar‐mandir) dan gangguan secara audio
(seperti suara bising di luar kelas) dapat membantu proses pelatihan
60
menjadi lebih efisien. Kondisi fisik kelas seperti sempitnya ruangan
latihan dengan ventilasi yang tidak memadai, pencahayaan yang kurang,
suhu udara yang tidak nyaman, dan penataan ruangan dapat
menurunkan efisiensi dari proses belajar (http://www.egyankosh.ac.in).
Penataan ruangan pelatihan dalam kelas dapat dibagi menjadi 5 tipe,
yaitu traditional classroom (peserta pelatihan duduk berjejer dihadapan
pelatih yang berdiri di depan kelas), chevron classroom (peserta dan pelatih
duduk agak mengarah ke tengah ruangan dengan pelatih tetap di depan
kelas), circle classroom (peserta pelatihan duduk melingkar dan pelatih
duduk di ujung lingkaran), U‐Shape Classroom (peserta pelatihan duduk
dengan posisi membentuk huruf U dan pelatih berdiri di depan kelas),
dan V‐Shape classroom (peserta pelatihan duduk dengan posisi membentuk
huruf V dan pelatih berdiri di depan kelas).
2.5.2 Tahap Pengembangan
Tahap pengembangan dimaksudkan untuk menguji coba suatu program
pelatihan yang telah dirancang pada tahap persiapan. Hasil dari uji coba
kemudian dievaluasi untuk melihat ketepatan dari setiap aspek yang telah
dirancang. Pelaksanaan program pelatihan dikatakan berhasil apabila dalam diri
peserta pelatihan terjadi suatu proses transformasi pengalaman belajar. Proses
transformasi berlangsung dengan baik apabila terjadi paling sedikit dua hal yaitu
peningkatan kemampuan dalam melaksanakan tugas dan perubahan perilaku
61
yang tercermin pada sikap. Selanjutnya untuk mengetahui terjadi tidaknya
perubahan tersebut dilakukan evaluasi yang dibuat berdasarkan tujuan program
pelatihan dan pengembangan.
Menurut Craig (1987) kriteria yang efektif dalam mengevaluasi program
pelatihan, yaitu:
1. Evaluasi Proses Belajar
Proses belajar yang dialami setiap peserta tidaklah kasat mata, namun
demikian dapat diukur melalui keberhasilan setiap peserta mencapai tujuan
pelatihan. Oleh karena itu, peserta pelatihan dikatakan telah berhasil
mencapai tujuan jika terjadinya perubahan dalam sikap / pengetahuan /
keterampilan yang dipelajari. Langkah‐langkah untuk melakukan evaluasi
proses belajar adalah (Craig, 1987) :
1) Proses belajar dari tiap peserta harus diukur sehingga diperoleh hasil
bersifat kuantitatif.
2) Pendekatan before‐after dapat digunakan, agar perubahan yang terjadi
pada peserta pelatihan dapat diyakini sebagai hasil dari pelatihan.
3) Jika dimungkinkan, kelompok kontrol dapat digunakan dan
dibandingkan dengan kelompok eksperimen
4) Hasil yang diperoleh hendaknya diuji secara statistik agar hasil dapat
dipercaya dengan derajat kepercayaan yang memadai.
5) Proses pengetesan dapat menggunakan suatu alat tes yang telah diuji
reliabilitas dan validitasnya.
62
2. Evaluasi Reaksi Peserta Pelatihan
Reaksi peserta pelatihan diukur melalui sejauh mana peserta pelatihan
merasa puas dengan program pelatihannya. Hal ini harus dilakukan karena
kepuasan peserta terhadap proses pelatihan merupakan hal penting dalam
mencapai proses belajar yang efektif. Terdapat langkah‐langkah yang dapat
dijadikan panduan untuk mengevaluasi reaksi peserta pelatihan (Craig,
1987) :
1) Menentukan dan menjelaskan hal apa saja yang ingin diketahui oleh
peserta pelatihan.
2) Menuliskan hal‐hal yang ingin diketahui pada langkah pertama dalam
selembar kertas.
3) Merancang format sedemikian rupa agar reaksi dapat ditabulasi serta
dikuantifikasi.
4) Memperoleh reaksi yang jujur dengan membuat lembar evaluasi tidak
beridentitas
5) Memberi ruang untuk komentar tambahan dari peserta pelatihan selain
dari menjawab pertanyaan‐pertanyaan yang sudah dirancang.
Berdasarkan evaluasi hasil latihan dan reaksi peserta terhadap program
pelatihan maka selanjutnya dapat dilakukan revisi atau modifikasi untuk
memperbaiki kekurangan sesuai dengan hasil uji coba. Dari Fase pengembangan
63
ini akan diperoleh program pelatihan yang telah diuji coba dan direvisi yang
kemudian dapat diuji efektivitasnya pada fase peningkatan program.
2.5.3 Tahap Peningkatan Program
Tahap peningkatan dalam pengembangan suatu program pelatihan terkait
dengan proses uji efektivitas program yang telah direvisi pada tahap
pengembangan. Suatu program pelatihan dikatakan efektif jika dilakukan uji
berulang kali dan tetap membawa perubahan yang sama terhadap subjek
pelatihannya sesuai dengan tujuan awal yang telah ditetapkan. Uji efektivitas ini
dapat menetapkan bahwa suatu program pelatihan adalah program yang baku
dan siap digunakan (Kohls, 1995).
2.6 Kerangka Pemikiran
Gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas (GPPH) adalah
keadaan neurologik perilaku dengan gejala‐gejala yang meliputi kurangnya
perhatian (inattentiveness), perilaku impulsif (impulsivity), dan aktivitas yang
berlebihan (overactivity) yang tidak sesuai dengan ciri‐ciri tahapan
perkembangan anak (Sattler J.M., 2002; Kaplan & Saddock, 2005; Barkley, 2006).
Pada umumnya, anak usia sekolah dasar yang di diagnosa banyak mengalami
masalah GPPH berusia antara 7 sampai 10 tahun.
Pada saat di sekolah, anak GPPH sulit menyelesaikan pekerjaan, cepat
bosan terhadap pelajaran atau sulit mendengarkan pelajaran yang diberikan
64
guru di kelas sehingga di kelas sering mengobrol atau sering melamun. Rentang
perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan
tugas‐tugas sekolah sehingga dalam mengerjakan soal sering salah, tetapi bukan
karena tidak bisa melainkan karena tidak teliti. Akibatnya dalam pelajaran
sekolah akan didapatkan nilai mata pelajaran tertentu sangat tinggi tetapi
pelajaran lainnya sangat jelek. Nilai pelajaran naik turun drastis. Anak juga
kurang mau mendengarkan ketika berinteraksi dengan teman sebaya, gampang
emosional, dan sering terlibat pertengkaran. Perilaku‐perilaku ini dapat
mengganggu perkembangan anak dalam hal akademis, fungsi sosial, dan fungsi
keluarga (Sanders & Hoath, 2002:191).
Berkaitan dengan gangguan dalam fungsi keluarga, orangtua yang
memiliki anak dengan gangguan GPPH memiliki kesulitan yang lebih besar
dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak normal. Persepsi orangtua
yang menganggap bahwa anaknya sulit diatur, malas, atau anak “nakal” yang
tidak mau diam mempengaruhi cara orangtua bereaksi terhadap perilaku anak.
Orangtua akan memberikan pengasuhan yang berbeda dengan anak lainnya
dimana orangtua akan lebih mengontrol terhadap apapun yang anak kerjakan,
lebih banyak perintah dan larangan, mudah marah, kurang memberikan
perhatian terhadap perilaku anak yang positif, dan sering terpancing untuk
memberikan hukuman fisik. Orangtua akan mengembangkan strategi
pengasuhan yang memiliki efek berlawanan terhadap apa yang orangtua
inginkan dalam menangani permasalahan perilaku anak GPPH. Hal ini akhirnya
65
meningkatkan stres orangtua, bahkan persepsi orangtua terhadap dirinya sendiri
menjadi menurun.
Peran dan dukungan orangtua untuk memahami anak GPPH dan
memberikan penanganan yang tepat bagi anak sangat diperlukan. Hal ini
merupakan bentuk tanggung jawab orang tua dalam pengasuhan anaknya.
Penanganan anak yang mengalami GPPH biasanya menggunakan pendekatan
multidisipliner. Selain menggunakan pengobatan stimulan, juga digunakan
berbagai penanganan secara psikologi seperti pelatihan keterampilan social
untuk anak, pelatihan manajemen kelas untuk guru, dan pelatihan manajemen
perilaku anak bagi orang tua. Mengingat anak menghabiskan waktunya yang
paling banyak bersama dengan orang tua, maka keberhasilan program
penanganan anak GPPH tidak lepas dari keterlibatan orang tua, terutama ibu.
Dasar pemikirannya adalah para ibu memiliki informasi penting tentang
anaknya, memiliki kesediaan waktu, tenaga, dan peran yang relatif lebih besar
daripada ayah, sehingga dianggap lebih potensial untuk menjadi pelatih bagi
anak. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh ibu mengenai strategi
menangani perilaku anak, maka permasalahan perilaku anak dapat diatasi. Oleh
karena itu ibu perlu diberi informasi dan pemahaman untuk menangani
permasalahan perilaku anak sehingga membantu penanganan yang dilakukan
oleh profesional.
Orangtua sering mendapatkan informasi berharga mengenai GPPH dan
manajemen perilaku dalam konteks evaluasi klinis dan konseling. Kedua bentuk
66
ini bisa sukses dalam mendidik orang tua, tetapi kurang efektif dalam hal biaya
dan membutuhkan banyak waktu dibanding menggunakan pendekatan
treatment secara spesifik. Program pelatihan pengasuhan dalam format kelompok
merupakan salah satu sarana untuk meningkatan pengetahuan orangtua tentang
GPPH dan cara menangani perilaku anak GPPH (Weinberg, 1999: 911).
Cukup banyak program pelatihan pengasuhan yang telah ditawarkan
sebagai intervensi untuk menangani anak dengan GPPH. Parent training yang
dikemukakan oleh Barkley pada tahun 1987, merupakan salah satu bentuk
intervensi psikososial yang telah terbukti efektif untuk mengajarkan tehnik
pengasuhan bagi orangtua yang memiliki anak dengan GPPH usia 4‐12 tahun.
Penekanan utama dari program yang menggunakan prinsip social learning ini
adalah mengajarkan bagaimana cara menerapkan prinsip manajemen perilaku
dalam praktek pengasuhan sehari‐hari. Oleh karena itu diperlukan kesediaan
orangtua untuk mengikuti kegiatan secara menyeluruh dan diperlukan pula
kesadaran dalam diri orangtua bahwa kegiatan yang mereka ikuti penting untuk
menangani permasalahan tingkah laku anak. Pelatih hanyalah sebagai
pendamping yang membantu dalam mengarahkan proses belajar dan
memberikan umpan balik selama proses belajar.
Program pengasuhan dalam penelitian ini terdiri dari 7 sesi yang
disajikan dalam format kelompok. Ketujuh sesi tersebut yaitu (1) sesi memberi
gambaran mengenai GPPH, (2) sesi memahami hubungan orangtua‐anak, (3) sesi
perhatian positif, (4) sesi menggunakan konsekuensi untuk membentuk target
67
68
perilaku yang baik, (5) sesi penggunaan time out, (6) sesi mengelola perilaku anak
di area publik, (7) sesi mengetahui isu seputar permasalahan sekolah anak.
Proses belajar dalam penelitian ini akan ditinjau melalui proses perhatian,
proses pengingatan, dan proses reproduksi motorik, sebagaimana proses belajar
lewat pengamatan yang dikemukakan oleh Bandura. Untuk memenuhi seluruh
proses tersebut, diberikan berbagai ragam teknik penyajian. Pada proses
perhatian, peserta disajikan berbagai materi melalui teknik dan suasana yang
menarik. Mengingat peserta pelatihan adalah para ibu, maka beberapa faktor
yang dapat dipertimbangkan antara lain tema ice breaking, kondisi ruangan,
fasilitas, tehnik presentasi, dan ilustrasi yang relevan saat memberikan
presentasi. Pada proses pengingatan, peserta dikondisikan agar bersedia
mengulang‐ulang materi yang diberikan. Proses ini dikondisikan dalam bentuk
penyusunan action plan untuk menentukan target perilaku yang ingin diubah
dan memberikan pekerjaan rumah untuk mengetahui tingkat pemahaman ibu.
Sedangkan pada proses reproduksi motorik dilakukan uji coba penerapan
perilaku baru melalui role play yang disertai pemberian umpan balik langsung
dan penerapan secara mandiri di rumah.
Seluruh kerangka pemikiran diatas dapat dituangkan ke dalam bentuk
bagan 2.1 pada halaman berikutnya:
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran
KONDISI AWAL DALAM MENANGANI PERMASALAHAN TINGKAH LAKU ANAK GPPH Pengetahuan yang relevan tentang
perkembangan dan pengasuhan anak GPPH sangat minim
Tingkah Laku Anak GPPH Usia 7‐9 tahun
KONDISI AKHIR DALAM MENANGANI PERMASALAHAN TINGKAH LAKU ANAK GPPH
Meningkatnya pemahaman pengasuhan pada situasi yang beresiko tinggi
PELATIHAN PENGASUHAN
Gambaran Mengenai ADHD
Menggunakan Time Out
Mengelola Perilaku Anak di Area Publik
Isu Seputar Permasalahan di Sekolah
Menggunakan Konsekuensi
Memahami Hubungan Orangtua-Anak
Perhatian Positif
Proses Pembelajaran
Pengingatan
Action Plan & Pekerjaan Rumah
Reproduksi‐Motorik
Role Play & Feedback
Perhatian
Pengenalan Materi di Kelas
Sosial
Kurang mau mendengarkan ketika berinteraksi dengan teman sebaya,
gampang emosional, dan sering terlibat pertengkaran
Pola Pengasuhan
Persepsi
Anak yang susah diatur, anak malas, atau anak “nakal” yang tidak mau diam.
Akademis
Mudah “mogok” jika diajak untuk belajar, sulit menyelesaikan pekerjaan, hanya dapat bertahan 5 – 10 menit saat mengerjakan tugas, dan nilai pelajaran tidak stabil.
Ibu banyak memberikan perintah dan larangan, kurang memberikan perhatian
terhadap perilaku anak yang positif, mudah marah, dan sering terpancing untuk
memberikan hukuman fisik
Respon
69
70
PELATIHAN PENGASUHAN
Umpan balik dan Evaluasi Umpan balik dan Evaluasi
Sesi 1: Gambaran Mengenai ADHD
Sesi 2 • Memahami Hubungan Orangtua-Anak
1. Mendahulukan pemberian insentif sebelum menghukum 2. Menggunakan konsekuensi yang bermakna 3. Memberikan umpan balik dan konsekuensi dengan segera dan sesering
mungkin
1. Perencanaan menghadapi situasi bermasalah 2. Penggunaan Interval Waktu 3. Mengembangkan kemampuan Memecahkan Masalah
1. Menerima berbagai hal dalam perspektif anak GPPH
2. Melatih sikap memaafkan
Sesi 4 • Mengelola Perilaku Anak di Area Publik • Isu Seputar Permasalahan di Sekolah
KONDISI AWAL DALAM MENANGANI PERMASALAHAN TINGKAH LAKU ANAK GPPH
Pengetahuan yang relevan tentang perkembangan dan pengasuhan anak GPPH sangat minim
Sesi 3 • Menggunakan konsekuensi • Menggunakan Time out • Perhatian Positif
KONDISI AKHIR DALAM MENANGANI PERMASALAHAN TINGKAH LAKU ANAK GPPH
Meningkatnya pemahaman pengasuhan pada situasi yang beresiko tinggi
Dari landasan teoritis dan kerangka pemikiran diatas muncul beberapa
asumsi, yaitu :
1. Gejala perilaku yang dominan pada anak GPPH adalah kurangnya perhatian
(inattentiveness), perilaku impulsif (impulsivity), dan aktivitas yang berlebihan
(overactivity) yang tidak sesuai dengan ciri‐ciri tahapan perkembangan anak.
2. Lingkungan memiliki peran yang penting dalam perkembangan anak GPPH.
Menggunakan intervensi berbasis keluarga untuk membantu mengatasi
berbagai kesulitan menyesuaikan diri dengan GPPH adalah hal yang penting
untuk mengoptimalkan anak dan orangtua.
3. Pelatihan merupakan salah satu bentuk pilihan pembelajaran yang dapat
digunakan untuk pengembangan individu. Jenis pelatihan perilaku bagi
orangtua yang berlandaskan proses belajar sosial secara signifikan lebih
efektif dalam menangani anak GPPH.
2.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang dapat ditarik dari landasan teoritis dan
kerangka pemikiran di atas adalah :
“ Uji coba program pelatihan pengasuhan yang telah disusun dapat
meningkatkan pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku
anak usia 7 – 9 tahun yang mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian disertai
Hiperaktivitas (GPPH) ”
71
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
3.1.1 Desain Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah quasi experiment, yaitu
suatu rancangan penelitian yang digunakan untuk melihat pengaruh dari suatu
pemberian perlakuan (treatment) terhadap permasalahan, dimana pada beberapa
situasi tidak mungkin dilakukan eksperimen. Quasi experiment dikatakan sebagai
pseudo experiment atau desain yang “menyerupai” eksperimen sebenarnya,
termasuk hipotesis sebab akibat dan beberapa jenis pemberian treatment untuk
membandingkan dua kondisi atau lebih. Pada quasi experiment dilakukan kontrol
terhadap beberapa hal yang dapat mengacaukan penelitian, namun kontrolnya
tidak sebanyak pada eksperimen yang sebenarnya. Donald and Campbell (1969,
dalam Graziano & Raulin, 2000:219) menyatakan bahwa quasi experiment
digunakan ketika kontrol‐kontrol yang sifatnya murni eksperimen sudah tidak
dapat digunakan lagi. Dalam penelitian ini digunakan rancangan quasi experiment
karena peneliti tidak dapat selalu mengontrol kondisi penerimaan diri ibu
terhadap keterbatasan anak. Sedangkan beberapa variabel ekstra yang bisa
dikendalikan dalam penelitian ini adalah karakteristik subjek penelitian, setting
pelaksanaan penelitian, serta penggunaan prosedur penelitian.
72
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah One Group
Pre‐Test – Post‐Test Design. Melalui penggunaan desain ini dapat dilihat adanya
perubahan sebagai hasil dari perlakuan (treatment) dengan cara membandingkan
skor yang diperoleh sebelum pemberian perlakuan dengan skor setelah
pemberian perlakuan (Christensen, 2001; Graziano & Raulin, 2000). Alasan
penggunaan desain One Group Pre‐Test – Post‐Test Design adalah desain tersebut
sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk melihat pengaruh
pemberian treatment berupa pelatihan pengasuhan terhadap peningkatan
pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH pada
setiap subjek. Setiap subjek penelitian akan menjadi pembanding bagi dirinya
sendiri, yaitu dengan membandingkan skor yang dicapai sebelum (pre‐post) dan
setelah mendapatkan perlakuan (post‐test) sehingga tergambarkan proses belajar
tiap subjek. Untuk jelasnya bagaimana penelitian ini berlangsung dengan
menggunakan One Group Pre‐Test – Post‐Test Design dapat dilihat pada gambar
dibawah ini :
Bagan 3.1 Skema Rancangan Penelitian
O1 X O2
( pre‐treatment) Treatment (post treatment)
Hasilnya Dibandingkan
73
Keterangan :
O1 : Pre‐treatment. Pengukuran pemahaman subjek dalam menangani
permasalahan tingkah laku anak GPPH akan dilaksanakan sebelum
sesi perlakuan (treatment) berupa pelatihan pengasuhan dimulai.
X : Perlakuan (treatment). Pelaksanaan pelatihan pengasuhan pada subjek
penelitian
O2 : Post‐treatment. Pengukuran pemahaman subjek dalam menangani
permasalahan tingkah laku anak GPPH akan dilaksanakan setelah sesi
perlakuan (treatment) berupa pelatihan pengasuhan berakhir.
3.1.2 Pengontrolan Validitas dalam Desain Penelitian
3.1.2.1 Validitas Internal
Menurut Graziano & Raulin (2000) yang dimaksud dengan validitas
internal adalah kepastian bahwa perubahan yang terjadi pada post‐treatment
merupakan akibat dari adanya penerapan treatment. Pada penelitian ini, validitas
internal berkaitan dengan kepastian bahwa peningkatan pemahaman ibu pada
post‐treatment merupakan akibat pemberian treatment. Untuk mencapai validitas
internal, perlu dilakukan kontrol terhadap extraneous variabel, yaitu variabel di
luar variabel bebas yang ikut mempengaruhi variabel terikat. Dalam penelitian
ini, pengontrolan terhadap extraneous variabel dapat dilihat pada tabel berikut ini:
74
Tabel 3.1 Pengontrolan terhadap validitas internal
Faktor penentu validitas internal Cara pengontrolan Instrumentation, yaitu terjadi perubahan instrumen pengukuran atau prosedur pengukuran dari waktu ke waktu
• Penggunaan metode dan suasana belajar tertentu dalam pelaksanaan proses pelatihan.
• Menetapkan prosedur administrasi dan prosedur penilaian instrumen pengukuran, serta menggunakan alat ukur yang valid dan reliabel.
• Menyetarakan kemampuan pengamat pendamping (memiliki latar belakang pendidikan yang sama dan dilakukan pelatihan mengenai pengisian alat ukur)
History, yaitu peristiwa‐peristiwa penting yang dialami subjek dan dapat mengakibatkan perubahan pada perilaku.
Peneliti melakukan pemantauan terhadap kegiatan dan peristiwa yang dialami subjek penelitian, melalui: • Observasi perilaku subjek penelitian selama pelatihan berlangsung.
• Lembar tugas yang diisi oleh orangtua • Dilakukan uji beda berdasarkan perhitungan statistik untuk memastikan bahwa perubahan terjadi karena pelatihan, bukan karena efek yang lain.
Mortality Threat, yaitu adanya perubahan jumlah individu antara pre‐ dan post‐test.
• Membuat ”kontrak” untuk mengikuti pelatihan secara menyeluruh.
• Tidak menggunakan data ”error” dalam perhitungan statistik, yaitu data yang hanya ada di salah satu test (baik data pre‐ ataupun data post‐) dan data individu yang tidak mengikuti pelatihan secara menyeluruh
75
3.1.1.1 Validitas Eksternal
Menurut Christensen (2001) validitas eksternal penelitian berkaitan
dengan sejauhmana hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada subjek, situasi,
dan waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan dalam
penarikan kesimpulan, yaitu hanya berlaku secara khusus untuk karakteristik
sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Hal ini berkaitan dengan tidak
adanya randomization dan random sampling, sehingga sampel yang digunakan
tidak mewakili populasi.
3.2 Variabel Penelitian
3.2.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah program pelatihan pengasuhan.
Definisi Konseptual :
Program pelatihan pengasuhan adalah program pendidikan jangka
pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terencana
berdasarkan prinsip‐prinsip parent training dari Barkley.
Definisi Operasional :
Suatu rangkaian program kegiatan yang akan diberikan kepada ibu yang
memiliki anak GPPH selama 4 kali pertemuan dan terdiri dari 7 sesi yaitu (1) sesi
memberi gambaran mengenai Gangguan Pemusatan Perhatian disertai
Hiperaktivitas, (2) sesi memahami hubungan orangtua‐anak, (3) sesi perhatian
positif, (4) sesi menggunakan konsekuensi untuk membentuk target perilaku
76
yang baik, (5) sesi penggunaan time out, (6) sesi mengelola perilaku anak di area
publik, (7) sesi memahami isu seputar permasalahan sekolah anak. Hasil dari
pelaksanaan uji coba program ini akan digunakan untuk merevisi rancangan
program pelatihan manajemen perilaku anak.
3.2.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini, yaitu pemahaman ibu dalam
menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH.
Definisi Konseptual :
Pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku anak
GPPH adalah kemampuan ibu untuk mengetahui prinsip‐prinsip penanganan
permasalahan tingkah laku anak GPPH dan dapat menggunakan prinsip‐prinsip
tersebut dalam menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH. Pemahaman
ibu ini terbagi menjadi 2 yaitu, yaitu (1) pengetahuan ibu mengenai GPPH dan
manajemen perilaku anak GPPH. (2) Demonstrasi pemahaman ibu dalam
menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH.
Definisi Operasional :
(1) Sejauhmana pengetahuan ibu dalam memahami prinsip‐prinsip manajemen
perilaku anak GPPH mencakup (1) pengetahuan mengenai GPPH (gejala,
karakteristik, penyebab, diagnosis, dan berbagai pendekatan treatment), (2)
hubungan antara ibu‐anak, (3) cara memberikan perhatian positif, (4)
77
mekanisme penetapan sistem token dan cara memberikan hukuman untuk
perilaku yang tidak di inginkan, (5) cara menggunakan time out untuk bentuk
perilaku buruk yang serius, (6) langkah‐langkah untuk mengurangi perilaku
anak yang tidak sesuai ketika berada di area publik, (7) isu yang berkaitan
dengan sekolah anak.
(2) Sejauhmana demonstrasi pemahaman yang teramati dalam menangani
permasalahan tingkah laku anak GPPH berdasarkan DSM IV‐TR, yang
mencakup (1) cara memberikan perhatian positif sebelum proses belajar
dimulai, (2) cara memberikan perintah yang efektif, (3) mekanisme
penetapan sistem token, (4) cara memberikan hukuman untuk perilaku yang
tidak di inginkan, (5) cara menggunakan time out untuk bentuk perilaku
buruk yang serius.
Adapun penanganan permasalahan tingkah laku anak GPPH
berdasarkan kriteria DSM IV‐TR adalah:
1. Inatensi, antara lain gagal memberikan perhatian terhadap hal rinci atau
ceroboh dalam membuat tugas sekolah, sulit mempertahankan perhatian
terhadap tugas, terlihat seperti tidak mendengarkan ketika diajak bicara oleh
orang lain, tidak dapat mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas
sekolah, kesulitan dalam pengaturan tugas, dan perhatiannya mudah
teralihkan oleh stimulus / rangsangan luar.
78
2. Hiperaktivitas, antara lain merasa gelisah tangan atau kaki saat duduk dan
tidak mampu tetap duduk tenang dalam situasi yang menuntut untuk tetap
duduk.
3. Impulsivitas, antara lain menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan tersebut
selesai dan melakukan interupsi atau menyela orang lain ketika berbicara.
3.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah 3 orang ibu yang berada di tempat terapi X di
Surakarta. Gambaran karakteristik peserta pelatihan adalah sebagai berikut:
1. Ibu yang memiliki anak usia 7‐9 tahun yang telah didiagnosa gangguan
pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas murni (tanpa menunjukkan
gangguan perkembangan, kerusakan intelektual, atau gangguan kesehatan
lainnya) oleh Psikiater. Pemilihan usia anak 7‐9 tahun karena seringkali
GPPH baru terdiagnosa dan disadari oleh orang tua setelah anak mulai
memasuki sekolah dasar, dimana anak dituntut berada pada pola perilaku
yang terkendali dan pemusatan perhatian yang baik dalam situasi belajar di
kelas.
2. Belum pernah mengikuti pelatihan pengasuhan untuk ibu yang memiliki
anak GPPH.
3. Latar belakang pendidikan minimal setingkat SMU. Hal ini dikarenakan
dengan latar belakang pendidikan tersebut diharapkan memiliki
kemampuan berpikir konseptual sekaligus berpikir praktis sehingga lebih
79
4. Bersedia mengikuti seluruh rangkaian program pelatihan dan evaluasinya,
yang dibuktikan dengan pengisian informed consent
3.4 Tahap Pengembangan Program Pelatihan Pengasuhan
Proses pengembangan program pelatihan pengasuhan dalam penelitian
ini mencakup 2 tahap, yaitu (1) Tahap persiapan yang terdiri dari asesmen
kebutuhan dan perancangan program pelatihan pengasuhan. (2) Tahap
pengembangan yang terdiri dari uji coba program, evaluasi hasil uji coba, dan
revisi program pelatihan. Secara rinci dapat dilihat pada bagan 3.2 pada halaman
selanjutnya:
80
Bagan 3.2 Tahap – Tahap Pengembangan Program
Pelatihan Pengasuhan
3.4.1 Tahap Persiapan Pelatihan Pengasuhan
3.4.1.1 Penilaian Kebutuhan (Need Assessment)
Proses penilaian kebutuhan akan diuraikan dalam tabel 3.2 dibawah ini:
TAHAP PERSIAPAN
3. Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan
1. Penilaian Kebutuhan
Menggali kebutuhan ibu yang mempunyai anak GPPH usia 7 – 9 tahun mengenai
treatment yang sesuai
4. Evaluasi Hasil Uji Coba
• Evaluasi selama pelatihan 2. Perancangan Program PelatihanPengasuhan • Evaluasi reaksi peserta terhadap
materi, pelatih, metode, dan modul • Perumusan Tujuan • Penetapan Metode Pelatihan • Penetapan Materi Pelatuhan • Pemilihan Lokasi dan Penataan Ruangan Pelatihan
• Rancangan Proses Evaluasi dan Alat ukur
5. Revisi Program Pelatihan
Pengasuhan Melakukan revisi dan modifikasi guna memperbaiki kerkurangan berdasarkan
hasil uji coba
TAHAP PENGEMBANGAN
Program Pelatihan Pengasuhanyang Telah di Uji Coba
Rancangan Program Pelatihan Pengasuhan
TAHAP PENINGKATAN Menguji efektivitas program pelatihan.
Pelatihan dikatakan efektif jika membawa perubahan yang sama pada setiap
pelaksanaannya
81
Tabel 3.2 Proses Penilaian Kebutuhan
No. Metode Subjek Tujuan Tanggal
Pelaksanaan
1. Wawancara
1 orang terapis
Mendapat gambaran mengenai keluhan yang muncul dan kondisi awal anak saat di bawa ke tempat terapi, program‐program yang diberikan untuk anak GPPH, dan bagaimana keterlibatan orangtua dalam proses terapi anak.
Januari 2010
4 orang ibu yang memiliki anak GPPH usia 7‐9 tahun
Mendapat gambaran mengenai tingkah laku anak (khususnya tingkah laku dalam setting belajar) di rumah, cara ibu mengatasi masalah tingkah laku tersebut, dan apa saja kemampuan yang dibutuhkan oleh ibu untuk menangani masalah tingkah laku anak.
1. Juni 2009 2. Januari 2010
2. Observasi
3 orang ibu yang memiliki anak GPPH usia 7‐9 tahun
Mendapatkan data melalui pengamatan mengenai kemampuan ibu menangani permasalahan tingkah laku anak dalam setting belajar. Secara umum hal yang di observasi adalah bagaimana interaksi ibu dengan anak, cara ibu memberikan perintah dan apa saja yang dilakukan ibu dalam menangani perilaku anak yang tidak sesuai.
5 – 19 Maret 2010
82
3.4.1.2 Perancangan Program Pelatihan Pengasuhan
Setelah mendapatkan hasil asesmen dan melakukan analisis terhadap
hasil tersebut, maka kegiatan selanjutnya adalah melakukan perancangan
program pelatihan pengasuhan, yang terdiri dari (1) Penetapan tujuan; (2)
Penentuan metode pelatihan; (3) Penyusunan materi; (4) Pemilihan lokasi dan
penataan ruangan pelatihan; (5) Perancangan alat ukur; dan (6) Pengukuran
validitas dan reliabilitas alat ukur.
3.4.1.2.1 Penetapan Tujuan
Penetapan tujuan umum dan tujuan khusus merupakan dasar dari
penyusunan materi dan domain pembelajaran yang ingin dicapai. Maka dari
itu, tujuan pelatihan ini terbagi menjadi dua yang disusun berdasarkan
urutan sesi kegiatan, yaitu:
1. Tujuan Instruksional Umum
Program pelatihan pengasuhan diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan ibu mengenai GPPH dan memberikan pemahaman mengenai
prinsip‐prinsip dalam menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH usia 7‐
9 tahun.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Tujuan khusus dalam program pelatihan pengasuhan adalah sebagai
berikut :
83
a. Memberikan penjelasan yang mendetail mengenai GPPH (gejala,
karakteristik, penyebab, diagnosis, dan berbagai pendekatan treatment)
b. Memberikan gambaran mengenai hubungan antara ibu‐anak melalui gaya
pengasuhan dan model ABC
c. Memberikan pemahaman mengenai metode dalam memberikan perhatian
positif dan cara memberikan perintah yang efektif.
d. Memberikan pemahaman mengenai mekanisme pengaturan sistem token
dalam mengasuh anak GPPH dan cara memberikan hukuman untuk perilaku
yang tidak di inginkan.
e. Memberikan pemahaman mengenai penggunaan time out untuk bentuk
perilaku buruk yang serius.
f. Memberikan gambaran mengenai langkah – langkah mengurangi perilaku
anak yang tidak sesuai ketika berada di area publik.
g. Memberikan penjelasan mengenai isu yang berkaitan dengan anak GPPH di
sekolah dan penggunaan “kartu perilaku harian” yang bisa dihubungkan
dengan sistem token di rumah.
3.4.1.2.2 Penentuan Metode Pelatihan
Metode yang digunakan dalam program pelatihan pengasuhan
menggunakan proses belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu
melalui proses perhatian, proses pengingatan, dan proses reproduksi
84
motorik. Hal ini meliputi presentasi yang bersifat mendidik mengenai materi,
menggunakan tugas yang spesifik, serta bermain peran dan umpan balik.
3.4.1.2.3 Penyusunan Materi
Materi dalam pelatihan ini disusun berdasarkan konsep parent
training dari Barkley (2006) dan disesuaikan dengan hasil penilaian
kebutuhan. Secara rinci materi dalam pelatihan ini akan digambarkan dalam
lampiran 5 (Modul Program Pelatihan Pengasuhan).
3.4.1.2.4 Pemilihan Lokasi dan Penataan Ruangan Pelatihan
Pelatihan dilakukan di ruang kelas aktivitas kelompok di tempat terapi
X di kota Surakarta, pada hari libur atau setelah selesai kegiatan terapi agar tidak
terjadi gangguan dari kegiatan lainnya selama proses pelatihan. Alasan peneliti
memilih lokasi ini adalah kemudahan subjek penelitian untuk menjangkaunya
dan juga kondisi ruangan kelas tersebut cukup memadai dan cukup nyaman
dalam hal pencahayaan dan ventilasi sehingga dapat membantu proses pelatihan
menjadi lebih efisien.
Cara penataan ruangan pelatihan menggunakan U‐Shape Traditional
Classroom. Hal ini karena penataan ruangan dengan bentuk U sangat sesuai bagi
pelatihan dengan tipe kelompok kecil dan memungkinkan setiap peserta
mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperhatikan materi dan trainer.
85
Selain itu penataan ruangan seperti ini dapat memungkinkan trainer melihat
dengan jelas dan membagi perhatiannya pada semua peserta pelatihan.
3.4.1.2.5 Perancangan Alat Ukur
Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu
(1) kuesioner pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH, dan
(2) panduan observasi demonstrasi pemahaman ibu dalam menangani
permasalahan tingkah laku anak GPPH.
3.4.1.2.5.1 Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku GPPH
1) Tujuan Pengukuran
Mengukur pengetahuan ibu mengenai GPPH dan manajemen perilaku
GPPH.
2) Indikator Perilaku
Indikator perilaku pada kuesioner ini disusun berdasarkan konsep parenting
program untuk anak GPPH dari Barkley (2006), yang akan diuraikan dalam
tabel 3.3. Kuesioner ini terdiri dari 36 pertanyaan “benar – salah” untuk
menilai (1) pengetahuan ibu mengenai GPPH yang mencakup gejala GPPH,
karakteristik, penyebab, diagnosis, treatment, dan perkembangan mengenai
GPPH dan (2) pengetahuan manajemen perilaku anak GPPH yang
mencakup hubungan ibu‐anak, perhatian positif, penggunaan konsekuensi,
86
time out, mengelola perilaku anak di area publik, dan permasalahan anak di
sekolah.
Tabel 3.3 Kisi – Kisi Kuesioner Pengetahuan GPPH dan Manajemen Perilaku Anak GPPH
DIMENSI INDIKATOR NO.
ITEMPERNYATAAN
PENGETAHUAN
GPPH
Gejala GPPH
1 Memiliki masalah tidur dan sulit makan merupakan salah satu gejala GPPH pada saat balita.
2
Pada saat di sekolah anak GPPH sulit menyelesaikan pekerjaan, cepat bosan terhadap pelajaran, dan sulit mendengarkan pelajaran yang diberikan guru di kelas.
Karakteristik GPPH
3 Anak GPPH mengalami kesulitan dalam mengatur tugas dan kegiatan lainnya.
4
Ketidakmampuan mempertahankan perhatian dan gerakan yang tidak dapat di kontrol bukan merupakan karakteristik yang paling mendasar pada anak dengan GPPH.
5
Anak GPPH sering menggerak‐gerakkan jari‐jari tangan, kaki, atau menggeliat saat anak seharusnya duduk dengan tenang.
6 Anak GPPH dapat bermain atau melakukan aktivitas dengan tenang.
7 Anak GPPH tidak merasa kesulitan menunggu gilirannya tiba saat bermain atau beraktivitas.
8 Anak GPPH sering menyela orang lain ketika berbicara atau bermain.
Penyebab GPPH
9 Penyumbang utama terjadinya GPPH adalah gen yang diturunkan dari orang tua
10 Gangguan GPPH merupakan kelainan yang berhubungan dengan
87
fungsi kerja otak yang kurang optimal.
Diagnosis GPPH
11 Cukup dengan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis anak mengalami GPPH.
12 Gejala GPPH muncul dalam waktu sekurang‐kurangnya 6 bulan sebelum didiagnosa.
13
Anak yang didiagnosa GPPH mempunyai paling sedikit satu tambahan kelainan gangguan mental atau belajar.
Pendekatan Treatment
untuk GPPH
14 Terapi akan efektif ketika pemberian modifikasi perilaku bersamaan dengan pemberian obat.
15 Pemberian obat jenis simultan dalam dosis rendah dan terkontrol dianggap menimbulkan adiktif.
16
Selain pemberian obat, penanganan yang paling menjanjikan bagi anak‐anak GPPH mencakup pelatihan bagi orang tua dan perubahan menajemen kelas.
Perkembangan GPPH
17
Remaja atau dewasa yang mengalami GPPH menunjukkan perasaan rendah diri, yang menyebabkan kegelisahan dan depresi.
18 GPPH dapat sembuh saat anak memasuki usia remaja
PEMAHAMAN
MENGENAI
MANAJEMEN
PERILAKU
ANAK GPPH
Hubungan Ibu‐Anak
19 Membuat anak merasa bersalah dapat mempermudah manajemen perilaku pada anak GPPH
20
Penting bagi ibu untuk menemukan peristiwa pendahulu yang memicu perilaku nakal anak dan mencari konsekuensi yang efektif untuk mengubah perilaku
Perhatian Positif
21
Kenakalan yang ditunjukkan anak merupakan salah satu cara yang dipelajari untuk mendapatkan perhatian ibu
88
22
Meluangkan waktu‐waktu pendek setiap hari dimana ibu dan anak saling memberikan pengertian, akan menghilangkan perilaku nakal anak
23
Yang penting dalam memberikan perhatian positif adalah ibu banyak bertanya dan tidak memberikan perintah
Penggunaan Konsekuensi
24
Konsekuensi adalah sesuatu yang ibu lakukan atau ibu berikan setelah respon yang anak berikan, baik dengan penguatan positif (hadiah) atau penguatan negatif (hukuman)
25 Konsekuensi pada anak GPPH sebaiknya diberikan secara langsung dan sesering mungkin
26 Kritik dan konsekuensi yang negatif dapat melatih anak menjadi penurut
27
Cara untuk menghapus perilaku anak yang tidak sesuai adalah dengan memberikan hadiah tertentu berupa benda atau penguat simbolik lain yang bernilai ekonomis sesuai dengan persetujuan bersama
28
Memberikan denda dengan mengurangi atau memperkecil hadiah yang akan diberikan bila perilaku yang ditampilkan anak ternyata tidak sesuai dengan harapan, bukan merupakan hukuman bagi anak GPPH
Time Out
29
Perilaku‐perilaku seperti marah yang meledak‐ledak, menggigit, memukul atau melempar barang‐barang, dapat dikendalikan dengan time out (waktu menyendiri)
30
Prinsip pelaksanaan time out adalah konsistensi yang tinggi agar anak memahami bahwa orang tua memegang kendali dan hukuman ini serius adanya
89
31
Tidak penting untuk mengimbangi penerapan time out dengan pemberian pujian atau hadiah, saat anak mampu berperilaku baik
Mengelola Perilaku Anak di area publik
32
Kunci untuk mengelola anak GPPH di tempat umum adalah menetapkan rencana dan memastikan anak memahami rencana tersebut sebelum pergi ke tempat umum
33 Memberikan kegiatan yang berkaitan dengan tujuan perjalanan, dapat meningkatkan hiperaktif anak
Permasalahan Anak di Sekolah
34
Tidak ada siswa dengan GPPH yang mengulang kelas atau dikeluarkan dari sekolah karena hambatan perilaku yang dialami oleh anak.
35
Menempatkan anak GPPH di dekat jendela, pintu terbuka atau gambar/lukisan yang warnanya cerah akan meningkatkan konsentrasi anak di sekolah
36
Memberikan instruksi secara lisan dan tulisan, serta menyediakan alat bantu visual adalah cara‐cara untuk membantu anak fokus dan mengingat bagian penting dari pelajaran
3) Cara Pengisian
Cara pengisiannya adalah dengan memberikan tanda silang (X) pada kotak
B bila pernyataan dianggap benar dan memberikan tanda silang (X) pada
kotak S bila pernyataannya dianggap salah.
4) Cara Penilaian
Nilai akan diberikan hanya untuk pemilihan jawaban yang tepat pada
setiap nomor soal, dengan ketentuan bahwa nilai 1 diberikan jika
90
jawaban subjek sesuai dengan kunci jawaban dan nilai 0 akan akan
diberikan jika jawaban subjek tidak sesuai dengan kunci jawaban.
Mengingat seluruh soal pada kuesioner ini berjumlah 36, maka skor
tertinggi yang dapat dicapai adalah 36 dan skor terendah adalah 0.
Adapun kunci jawaban untuk kuesioner ini diuraikan dalam tabel 3.4
berikut ini:
Tabel 3.4 Kunci Jawaban Kuesioner Pengetahuan GPPH & Manajemen
Perilaku GPPH No. Item
Jawaban No. Item
Jawaban No. Item
Jawaban
1. Benar 13. Benar 25. Benar
2. Benar 14. Benar 26. Salah
3. Benar 15. Salah 27. Benar
4. Salah Benar Salah 16. 28.
5. Benar 17. Benar 29. Benar
6. Salah 18. Salah 30. Benar
7. Salah 19. Salah 31. Salah
8. Benar 20. Benar 32. Benar
9. Benar 21. Benar 33. Salah
10. Benar 22. Benar 34. Salah
11. Salah Salah Salah 23. 35.
12. Benar 24. Benar 36. Benar
91
3.4.1 .2 Panduan Observasi Demonstrasi Pemahaman Ibu .2.5
1) Tujuan Pengukuran
Memberikan penilaian terhadap kemampuan untuk mendemonstrasikan
2)
pengetahuan yang telah diperoleh subjek pada sesi‐sesi tertentu selama
berlangsungnya pelatihan pengasuhan.
Observer
Observer yang membantu peneliti dalam melakukan pengukuran
a
m a
3)
demonstrasi pengetahuan ibu dalah mahasiswa Psikologi yang telah lulus
Mata Kuliah Psikodiagnostik. Sebelum melakukan penelitian observer akan
mendapatkan pelatihan mengenai cara pengisian panduan observasi.
Pelatihan ini ditekankan kepada penguasaan materi engenai nak yang
mengalami GPPH, indikator perilaku yang diukur, serta cara pengisian
panduan observasi tersebut.
Indikator Perilaku
Indikator perilaku pada lembar observasi ini disusun mengikuti langkah‐
langkah yang terdapat dalam materi program pelatihan pengasuhan
yang harus dilakukan ibu untuk menangani permasalahan tingkah laku
anak GPPH. Adapun kisi‐kisi panduan observasi demonstrasi
pemahaman ibu diuraikan dalam tabel 3.4 berikut ini:
92
Tabel 3.5 Kisi – Kisi Panduan Observasi Demonstrasi Pemahaman Ibu
ASPEK
NO PERILAKU
Perhatian Positif
Menjelaskan kepada ini adalah waktu khusus antara ibu‐anak aktivitas bersama sebelum proses belajar dimulai.
1 anak bahwa
untuk melakukan
2 Menjelaskan kepada anak bahwa waktu khusus akan berakhir jika ia menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan secara terus menerus.
3 Menetapkan standar waktu khusus yang akan dilakukan untuk beraktivitas bersama.
4 Menanyakan kepada anak apa yang ingin dia lakukan saat berdua dengan ibu.
5 Tidak mengontrol atau mengarahkan apa yang seharusnya anak lakukan.
6 Memberikan pertanyaan hanya saat ibu tidak yakindengan apa yang anak lakukan
7 Mencoba bercerita aktivitas yang sedang dilakukan anak dengan perkataan yang bersemangat, sebagai tanda ibu tertarik dengan yang anak lakukan.
8 Sesekali memberi anak pujian, persetujuan, atau umpan balik yang positif.
9 Memalingkan pandangan atau mencari tempat lain selama beberapa saat, jika anak mulai berperilaku nakal.
10 Memberitahukan kepada anak bahwa waktu khusus selesai dan ibu meninggalkan ruangan, jika perilaku yang tidak diinginkan terus berlanjut.
11 Menerapkan disiplin jika anak menjadi sangat mengganggu atau kasar saat beraktivitas bersama.
Keterampilan Komunikasi
tah jika masih 12
Tidak memberikan arahan atau perinada hal‐hal yang menyebabkan anak teralihkan seperti suara televisi, musik, mainan, dll.
13 Melakukan kontak mata dan saling berhadapan ketika berbicara
14 Menyatakan perintah secara jelas dan nada suara yang normal.
15 Tidak memberikan perintah sebagai pertanyaan
93
16 Hanya memberikan satu instruksi yang spesifik pada waktu yang sama.
17 Tidak mengajukan pertanyaan saat anak melaksanakan perintah ibu
18 Memin anak untuk ngulangi ata meng takan dengan cara lainnya apa yan
ta me u ag diperintahkan.
19 Menyediakan instruksi multisensori dengan menggunakan tabel visual tentang langkah‐langkah
k htugas yang diharapkan untu dilakukan ole anak.
20 Memberikan batas waktu yang spesifik untuk tugas atau pekerjaan yang harus anak lakukan.
21 Memberikan pujian dan umpan balik positif ketika anak mengikuti arahan dan/atau melakukan pekerjaanya dengan baik.
Penggunaan S
22
untuk mendapat hadiah
” u p
istem Token
Menjelaskan kepada anak bahwa ia akan mempunyai kesempatan berupa “poin jika ia berperilak baik selama roses belajar.
23 digunakan
Bersama anak membuat atau memilih bentuk “poin” yang akan
24 Menentukan tempat untuk menyimpan “poin” yang diperoleh.
25 Bersama dengan anak membuat sebuah daftar hak istimewa yang akan diperoleh ketika ia dapat mengumpulkan sejumlah “poin”
26 Membuat daftar perilaku yang ibu ingin agar ditampilkan oleh anak selama proses belajar.
27 Menentukan seberapa banyak “poin” yang akan diberikan untuk masing‐masing perilaku yang telah anak lakukan.
28 Menentukan hadiah khusus jika anak menunjukkan sebagian besar perilaku yang telah ditetapkan
29 Menjelaskan kepada anak kapan waktu pemberian hadiah khusus tersebut.
30 Menjelaskan kepada anak bahwa ia akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan “poin” bonus ketika pekerjaan dilakukan dengan sikap yang baik
31
Memastikan kepada anak bahwa “poin” akan diberikan untuk tugas yang diselesaikan padapermintaan pertama. Jika ibu mengulangi perintah berulang‐ulang, maka anak tidak akan memperoleh “poin”.
94
32 elakukan apa yang diperintahkan.
Memberikan “poin“ secepat mungkin setelah anak selesai m
33 Saat memberikan poin, Ibu tersenyum dan memberikan pujian.
Response Cost
34
nap 3 kali kejadian yang
a
Menggunakan atura 3:1 dalam memberikan denda kepada anak (setimemperoleh pujian dan penghargaan, dapat memberikan denda sekali atas perilaku negatif nak)
35 e teMenjelaskan k pada anak bahwa poin yang lah ia
kumpulkan akan dikurangi ketika ia tidak menunjukkan perilaku yang telah ditetapkan.
36 k a
poin Menjelaskan kepada anak bahwa banya ny poin yang hilang sama dengan banyaknya jumlahyang akan diperoleh ketika mematuhi aturan. Jika tugas yang diperintahkan tidak ada dalam daftar tugas, ibu dapat memilih denda yang masuk akal untuk membuat anak melakukan perilaku yang diperintahkan
37
Penerapan Time
38 time out
Out
Memilih perilaku menganggu yang spesifik untuk menjadi target
39 Menentukan tempat yang tepat untuk time out
40 Menentukan lamanya waktu time out sesuai dengan usia anak
41 Memilih konsekuensi apabila anak meninggalkan area time out.
42 Menjelaskan kepada anak mengenai perilaku mengganggu yang akan membuatnya kena time out.
43 Menjelaskan kepada an k proses pelaksanaan time out
a
44 Menjelaskan kepada anak konsekuensi apabila men
ia inggalkan area time out sebelum waktunya.
45 Menggunakan alat pengukur waktu
46 Tidak memberikan perhatian ketika anak berada dalam situasi time out.
47 Mendenda anak, ketika ia 2x berusaha meninggalkan kursi time out tanpa ijin.
48 Memberikan konsekuensi logis ketika anak marah dan merusak atau membuat ruangan jadi berantakan ketika ia menjalani time out.
49 telah diberitahukan Setelah anak tenang, mengulangi kembali permintaan/perintah yangsebelumnya d anak harus setuj untuk an u
95
melakukannya.
50 o k d perilaku yang membuat ia di
Ketika time ut berakhir, mendis usikan engan anak mengenaitempatkan ke dalam time out.
4) Prosedur Observasi dan Cara Pengisian
Observasi dilakukan pada sesi‐sesi yang terdapat metode bermain peran
dengan identitas ibu yang diobservasi
i berdasarkan sesi
adalah kolom nomor indikator perilaku
h indikator perilaku
kolom untuk menuliskan muncul tidaknya ciri
kan hal‐hal yang mendukung pernyataan
selama berlangsungnya pelatihan pengasuhan. Berikut ini adalah cara
pengisian lembar observasi kemampuan ibu pada setting pelatihan
pengasuhan:
a. Identitas diisi
b. Kolom (A) adalah aspek yang harus diobservas
pelatihan
c. Kolom (B)
d. Kolom (C) adalah kolom yang berisikan sejumla
kemampuan untu mendemonstrasikan pengetahuan ibu pada suatu
tahapan pelatihan.
e. Kolom (D) adalah
perilaku sesuai kolom (C). Dengan demikian dalam kolom hasil
observasi akan dituliskan ’ ’ jika perilakunya muncul atau ’X’ jika
perilakunya tidak muncul.
f. Kolom (E) untuk menulis
kolom (C).
96
5) Car Penilaian a
lembar observasi ini dilakukan dengan memberikan angka
3.4.1 Pengukuran Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
i merujuk pada pengertian apakah pengukuran benar‐
benar men
yang harus disesuaikan dengan siapa yang akan mengisi kuesioner.
Penilaian dalam
1 untuk perilaku yang muncul dan angka 0 jika perilakunya tidak muncul.
Penilaian dilakukan oleh 2 orang observer dan nilai yang diperoleh dari
masing‐masing observer akan diintegrasikan melalui panel judgment agar jelas
proses perbedaan pemberian skor antar observer.
.2.6
3.4.1.2.6.1 Uji Validitas
Proses validas
gukur apa yang harus diukur, sehingga semakin tinggi validitas suatu
alat ukur, maka alat ukur tersebut semakin mengenai pada sasarannya atau
semakin menunjukkan apa yang seharusnya diukur (Graziano, 1997). Dalam
penelitian ini akan dilakukan pengujian validitas isi (content validity), dimana
peneliti ingin melihat apakah alat ukur ini sudah sesuai dapat mengukur
representasi isi yang tepat, berkaitan dengan relevansi per aitem maupun secara
keseluruhan. Langkah pertama dalam menentukan validitas isi adalah
menganalisa bentuk item atau pernyataan pada masing‐masing domain dengan
meminta pendapat dari ahli dalam bidangnya untuk melihat apakah domain
tersebut sudah sesuai dan apakah benar‐benar mengukur apa yang akan diukur.
Hal ini mempertimbangkan penggunaan bahasa dalam item dan contoh perilaku
97
3.4.1.2.6.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan terjemahan dari kata reliability yaitu sejauh
apat dipercaya. Reliabilitas juga menunjukkan
sejauh ma
n formula KR‐20 karena alat ukur ini
menghasil
KR‐20 =
mana hasil pengukuran d
na hasil pengukuran relatif sama bila dilakukan pengukuran dua
kali atau lebih terhadap kondisi yang sama dan dengan alat pengukur yang
sama. Relatif sama berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan kecil
diantara hasil beberapa kali pengukuran. Bila perbedaan itu sangat besar dari
waktu ke waktu, maka hasil pengukuran tersebut tidak dapat dipercaya dan
dikatakan tidak reliabel (Azwar, 2005).
Uji reliabilitas kuesioner pengetahuan GPPH dan manajemen
perilaku anak GPPH akan menggunaka
kan skor dikotomi. Jika koefisien reliabilitas α > 0,5 maka
memenuhi syarat alat ukur dianggap reliabel. Formula KR‐20 dirumuskan
sebagai berikut:
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −−
−∑
xS
ppK
K2
)1(1
1
K : Banyaknya item P : Indeks kesukaran item
: Varian s Set tingkat reliabilitas alat ukur, maka langkah
selanjutnya ad bilitas untuk alat ukur tersebut
sudah cuk
xS 2 kor tes (X)elah mendapatkan
alah menentukan apakah relia
up atau tidak. Semakin koefisien reliabilitas mendekai angka +1.00
maka semakin baik reliabilitasnya. Secara umum, hasil perhitungan reliabilitas
98
yang kurang dari angka 0.60 dianggap buruk, yang berada ≥ 0.70 dianggap dapat
diterima, dan yang berada di atas angka 0.80 dianggap baik (Freidenberg, 1995).
Uji reliabilitas panduan observasi dilakukan dengan menggunakan
teknik Femandes untuk menentukan tingkat toleransi perbedaan hasil
pengamata
n. Semakin banyak kemiripan hasil penilaian antara satu pengamat
dengan pengamat lainnya, maka koefisien reliabilitas yang dihasilkan akan
tinggi. Rumus Femandes tersebut adalah sebagai berikut:
KK = 21
2S
NN +
KK : Koefisien Kesepakatan
S : Sepakat, jumlah e y g sama untuk objek yang sama
N1 : Jumlah kode yang dibuat oleh pengamat 1
oleh pengamat 2
le kategorikan tingkat
reliabil nt
Kap
ellent)
3.4.2 atihan Pengasuhan
pengasuhan terdiri dari uji
suhan, dan
revisi program pelatihan pengasuhan.
kod an
N2 : Jumlah kode yang dibuat
F iss (1981, dalam Umar, 2002:129) meng
itas a ar rater menjadi empat kategori, yaitu:
pa < 0.4 : Buruk (bad)
Kappa 0.4 – 0.60 : Cukup (fair)
Kappa 0.60 – 0.75 : Baik (good)
Kappa > 0.75 : Istimewa (exc
Tahap Pengembangan Program Pel
Tahap pengembangan program pelatihan
coba program pelatihan pengasuhan, evaluasi hasil pelatihan penga
99
3.4.2.1
tian, (3) Prosedur pelaksanaan uji coba.
3.4.2.1.1 Penjaringan Subjek penelitian
Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan pada
asi. Peneliti mencari di tempat terapi X
semua ib
9
Uji Coba Program Pelatihan Pengasuhan
Pada sub bab ini akan diuraikan mengenai (1) Penjaringan subjek
penelitian, (2) Persiapan personil peneli
karakteristik penelitian dalam unit popul
u dari anak yang telah didiagnosa GPPH oleh professional, dan saat ini
berusia 7‐ tahun. Kemudian peneliti mengirimkan surat pengantar dari tempat
terapi dan dari peneliti, kepada ibu yang memenuhi karakteristik penelitian
untuk meminta kesediaannya sebagai subjek penelitian. Surat pengantar dari
peneliti berisikan informasi mengenai prosedur penelitian, hak dan kewajiban
peserta, manfaat dan resiko keikutsertaan, dan jaminan kerahasiaan informasi.
Di samping itu peneliti juga melakukan kontak melalui telepon kepada semua
calon subjek dengan tujuan yang sama seperti pengiriman surat. Diharapkan
dengan melakukan kontak langsung melalui telepon peneliti dapat menjelaskan
secara mendalam mengenai tujuan dan sasaran dari penelitian. Para ibu yang
berminat, diminta mengisi informed consent sebagai komitmen untuk mengikuti
seluruh rangkaian kegiatan penelitian ini dari tahap awal sampai tahap akhir.
100
3.4.2.1.2 Persiapan Personil Penelitian
Dalam penelitian ini dibutuhkan beberapa personil kegiatan, antara
lain:
1. Pengamat Pendamping
ang yang membantu peneliti dalam
mela
e‐test, pelaksanaan treatment, maupun post‐test. Pengamat pendamping
i inter‐rater pada saat observasi sehingga data yang
2.
r
viasari, yang berpengalaman sebagai terapis anak
tuhan khusus selama 12 tahun, dan berpengalaman dalam melatih
Pengamat pendamping adalah or
kukan observasi terhadap subjek penelitian baik pada saat pengukuran
pr
diperlukan pula sebaga
dihasilkan akan lebih dapat diandalkan. Sebelum melakukan penelitian,
pengamat pendamping akan mendapatkan pelatihan mengenai cara
melakukan observasi perilaku saat pre‐test dan post‐test, sehingga masing –
masing pengamat memiliki kerangka dan batasan yang sama dalam
memberikan penilaian.
Trainer
Trainer adalah individu yang memberikan materi dalam pelatihan
pengasuhan ini. Trainer prog am pelatihan manajemen perilaku anak ini
adalah Ibu Wulan No
berkebu
cognitive behavioral therapy pada orang dewasa selama 7 tahun.
101
3.4.
yang akan
dilaksanakan sebanyak 4 kali pertemuan dan dilakukan secara berkelompok.
Pelaksanaannya akan mengacu pada prosedur pelaksanaan pelatihan
pengasuhan yang telah disusun pada Modul Program Pelatihan Pengasuhan.
lampiran 2.1 (Silabus Program
Pelatihan
3.4.2.2 Evaluasi Hasil Uji Coba Pelatihan Pengasuhan
Evaluasi hasil uji coba pelatihan pengasuhan ini terdiri dari dua hal.
Evaluasi yang pertama adalah evaluasi mengenai peningkatan pemahaman
ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH dengan
menggunakan pendekatan pretest‐posttest. Sedangkan evaluasi yang kedua
tanya diperoleh dari
proses
2.1.3 Prosedur Pelaksanaan Uji Coba
Program pelatihan pengasuhan terdiri dari 7 sesi
Adapun silabus pelatihan terdapat dalam
Pengasuhan)
mengenai hasil pelaksanaan uji coba program yang da
selama pelatihan dan evaluasi reaksi peserta terhadap pelaksanaan
program pelatihan pengasuhan ini. Hasil evaluasi ini akan digunakan untuk
mengetahui dampak keberhasilan dari program pelatihan yang sudah
dilaksanakan dan sebagai landasan dalam melakukan revisi program
pelatihan pengasuhan terhadap hal‐hal yang dirasakan masih kurang dan
perlu diperbaiki guna pengembangan di kemudian hari.
102
3.4.2.2.1 Peningkatan Pemahaman Ibu Dalam Menangani Permasalahan
Tingkah Laku Anak GPPH
Evaluasi hasil pelatihan ini dimaksudkan untuk menguji hipotesis
penelitian ini yaitu “Uji coba program pelatihan pengasuhan yang telah disusun
h
laku ngalami Gangguan Pemusatan Perhatian
disertai H
rena data yang dihasilkan berupa data berpasangan
yang be
erilaku anak GPPH usia 7 – 9 tahun
dapat meningkatkan pemahaman ibu dalam menangani permasalahan tingka
anak usia 7 – 9 tahun yang me
iperaktivitas (GPPH)”. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 3.2
(Variabel Penelitian), maka pengolahan data variabel terikat akan dibagi menjadi
dua, yaitu (1) pengetahuan ibu mengenai GPPH dan manajemen perilaku anak
GPPH, dan (2) Demonstrasi pemahaman ibu dalam menangani permasalahan
tingkah laku anak GPPH.
Pengolahan data dilakukan berdasarkan metode statistik inferensial
nonparametrik, yaitu suatu metode pengolahan data yang dapat digunakan
untuk melihat pengaruh dari pemberian suatu treatment, dengan uji statistik
wilcoxon signed‐rank test, ka
rhubungan satu sama lain. Keseluruhan hasil perhitungan pada pre‐
treatment dan post‐treatment seluruh subjek penelitian akan diolah dengan
menggunakan software SPSS versi 17.0
Adapun hipotesis yang ingin diuji melalui uji Wilcoxon signed‐rank test
adalah :
1. Hipotesis 1: Pelatihan pengasuhan berpengaruh terhadap pengetahuan ibu
mengenai GPPH dan manajemen p
103
Hipo
: Tidak terdapat peningkatan pengetahuan ibu mengenai GPPH
‐test
2. Hipotesis 2
pemahaman
usia 7 – 9 tah
Hipotesis st
n setelah pelatihan pengasuhan diberikan
‐test
tesis statistiknya adalah:
H0
dan manajemen perilaku anak GPPH usia 7 – 9 tahun setelah
pelatihan pengasuhan diberikan
Me post‐test ≤ Me pre
H1 : Terdapat peningkatan pengetahuan ibu mengenai GPPH dan
manajemen perilaku anak GPPH usia 7 – 9 tahun setelah
pelatihan pengasuhan diberikan
Me post‐test > Me pre‐test
: Pelatihan pengasuhan berpengaruh terhadap demonstrasi
ibu dalam menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH
un
atistiknya adalah:
H0 : Tidak terdapat peningkatan demonstrasi pemahaman ibu dalam
menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH usia 7 – 9
tahu
Me post‐test ≤ Me pre
H1 : Terdapat peningkatan demonstrasi pemahaman ibu dalam
menangani permasalahan tingkah laku anak GPPH usia 7 – 9
tahun setelah pelatihan pengasuhan diberikan.
Me post‐test > Me pre‐test
104
105
3.4.2 alua i
Data e
proses selama pelaksanaan
program pelati evaluasi reaksi peserta terhadap
pelaksanaan pelatihan pengasuhan dapat dilihat dalam lampiran 2.2 (Lembar
n
si
n evaluasi hasil uji coba yang dikaji secara teoritis ataupun
praktis untuk memperbaiki kekurangan‐kekurangan pada program pelatihan
pelatihan.
.2.2 Ev si Hasil Pelaksanaan Uj Coba Program
valuasi hasil pelaksanaan uji coba program diperoleh dari
pelatihan dan evaluasi reaksi peserta terhadap
han pengasuhan. Panduan
Evaluasi Pelatihan).
3.4.2.3 Revisi Program Pelatihan Pengasuhan
Kegiatan selanjutnya dalam tahap pengembangan adalah melakuka
revisi dan/atau modifikasi program pelatihan pengasuhan. Revisi dan modifika
dilakukan berdasarka
pengasuhan ini dan disesuaikan dengan tujuan