terapi sulih hormon pada wanita perimenopause

54
HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 1/54 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terapi sulih hormon (hormone replacement therapy-HRT) baik berupa estrogen saja maupun kombinasi estrogen dan progesteron, merupakan jenis obat yang paling banyak diresepkan bagi wanita pascamenopause di negara-negara industri maju. Kebanyakan wanita menggunakannya untuk mengatasi gejala menopause. Namun demikian, publikasi tentang kemampuan sulih hormon untuk mencegah terjadinya penyakit kronik seperti osteoporosis, penyakit jantung koroner (PJK), penyakit Alzheimer dan kanker kolorektal juga memberikan kontribusi dalam peningkatan penggunaan sulih hormon di seluruh dunia dalam dekade terakhir. 1 Efek protektif dari terapi sulih hormon ini hanya terbukti pada masa tulang dan kolorektal, sedangkan terhadap keadaan lain hingga kini masih kontroversial. Survei terbaru mengenai pemakaian sulih hormon di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan 40-55% dan 60% wanita pascamenopause menggunakannya dengan tingkat pemakaian yang lebih tinggi pada wanita yang telah menjalani histerektomi. 1 Penggunaan sulih hormon di negara-negara Asia khususnya Indonesia masih terbatas. 2 Berbeda dengan negara barat, keluhan yang lebih sedikit dan penerimaan masyarakat terhadap menopause, faktor pendidikan, sosial dan ekonomi mempengaruhi jumlah pemakaian sulih hormon di wilayah ini. 3 Didapatkan estimasi sebanyak 1,2% wanita pascamenopause mendapatkan sulih hormon pada suatu studi pemakaian sulih hormon di Jepang. 4 Sensus memperkirakan jumlah wanita pascamenopause di dunia sekitar 476 juta jiwa pada tahun 1990. Setidaknya pada tahun 2030 jumlah ini akan bertambah menjadi 1.200 juta jiwa. 3 Hal ini dipengaruhi antara lain oleh pertumbuhan penduduk dan meningkatnya usia harapan hidup secara perlahan dan progresif. 5 Dengan usia harapan hidup rata-rata lebih dari 78-80 tahun dan usia menopause relatif stabil yaitu pada usia 50-51 tahun, wanita akan menghabiskan lebih dari sepertiga hidupnya dalam masa menopause. 5 Sehingga terdapat kemungkinan untuk mengalami berbagai penyakit kronik selama hidupnya yang diperkirakan 46% untuk PJK, 20% untuk stroke, 15% untuk fraktur panggul, 10% untuk kanker payudara, dan 2.6% untuk kanker endometrium. Di Amerika Utara, sebanyak 7-8% orang berusia 75-84 tahun terkena demensia tipe Alzheimer dan wanita pascamenopause memiliki risiko 1.4-3 kali lipat untuk penyakit Alzheimer dibandingkan laki-laki, sedangkan risiko untuk terkena kanker kolorektal adalah sekitar 6% di mana lebih dari 90% kasus terjadi setelah usia 50 tahun. Mortalitas dan morbiditas yang terjadi pada kasus ini dilaporkan berhubungan dengan patofisiologi penyakit yang didasari oleh rendahnya kadar estrogen dan progesteron tubuh. 6 Berdasarkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah wanita pascamenopause pada dekade mendatang, kemungkinan tingkat morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kronis yang dialami pada masa itu akan meningkat pula. Sementara, selain untuk menghilangkan gejala

Upload: aci-indah-kusumawardani

Post on 31-Jul-2015

204 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 1/44

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terapi sulih hormon (hormone replacement therapy-HRT) baik berupa estrogen saja maupun kombinasi estrogen dan progesteron, merupakan jenis obat yang paling banyak diresepkan bagi wanita pascamenopause di negara-negara industri maju. Kebanyakan wanita menggunakannya untuk mengatasi gejala menopause. Namun demikian, publikasi tentang kemampuan sulih hormon untuk mencegah terjadinya penyakit kronik seperti osteoporosis, penyakit jantung koroner (PJK), penyakit Alzheimer dan kanker kolorektal juga memberikan kontribusi dalam peningkatan penggunaan sulih hormon di seluruh dunia dalam dekade terakhir.1 Efek protektif dari terapi sulih hormon ini hanya terbukti pada masa tulang dan kolorektal, sedangkan terhadap keadaan lain hingga kini masih kontroversial.

Survei terbaru mengenai pemakaian sulih hormon di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan 40-55% dan 60% wanita pascamenopause menggunakannya dengan tingkat pemakaian yang lebih tinggi pada wanita yang telah menjalani histerektomi.1

Penggunaan sulih hormon di negara-negara Asia khususnya Indonesia masih terbatas.2

Berbeda dengan negara barat, keluhan yang lebih sedikit dan penerimaan masyarakat terhadap menopause, faktor pendidikan, sosial dan ekonomi mempengaruhi jumlah pemakaian sulih hormon di wilayah ini.3 Didapatkan estimasi sebanyak 1,2% wanita pascamenopause mendapatkan sulih hormon pada suatu studi pemakaian sulih hormon di Jepang.4

Sensus memperkirakan jumlah wanita pascamenopause di dunia sekitar 476 juta jiwa pada tahun 1990. Setidaknya pada tahun 2030 jumlah ini akan bertambah menjadi 1.200 juta jiwa.3 Hal ini dipengaruhi antara lain oleh pertumbuhan penduduk dan meningkatnya usia harapan hidup secara perlahan dan progresif.5 Dengan usia harapan hidup rata-rata lebih dari 78-80 tahun dan usia menopause relatif stabil yaitu pada usia 50-51 tahun,

wanita akan menghabiskan lebih dari sepertiga hidupnya dalam masa menopause.5 Sehingga terdapat kemungkinan untuk mengalami berbagai penyakit kronik selama hidupnya yang diperkirakan 46% untuk PJK, 20% untuk stroke, 15% untuk fraktur panggul, 10% untuk kanker payudara, dan 2.6% untuk kanker endometrium. Di Amerika Utara, sebanyak 7-8% orang berusia 75-84 tahun terkena demensia tipe Alzheimer dan wanita pascamenopause memiliki risiko 1.4-3 kali lipat untuk penyakit Alzheimer dibandingkan laki-laki, sedangkan risiko untuk terkena kanker kolorektal adalah sekitar 6% di mana lebih dari 90% kasus terjadi setelah usia 50 tahun. Mortalitas dan morbiditas yang terjadi pada kasus ini dilaporkan berhubungan dengan patofisiologi penyakit yang didasari oleh rendahnya kadar estrogen dan progesteron tubuh.6

Berdasarkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah wanita pascamenopause pada dekade mendatang, kemungkinan tingkat morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kronis yang dialami pada masa itu akan meningkat pula. Sementara, selain untuk menghilangkan gejala menopause, terapi sulih hormon sudah digunakan untuk pencegahan penyakit kardiovaskular dan osteoporosis pada wanita pascamenopause. Penggunaannya didasarkan pada studi evidence-based terdahulu yang melaporkan terapi sulih hormon terbukti bermanfaat untuk mencegah osteoporosis dan mengurangi keluhan vasomotor dan urogenital.7,8 Pernyataan terakhir yang dikeluarkan oleh Women’s Health Initiative (WHI) dan The Heart and Estrogen/Progestin Replacement Trial (HERS) menyebutkan bahwa terdapat peningkatan risiko untuk PJK, stroke dan kanker payudara pada pemakaian terapi sulih hormon dalam jangka waktu tertentu, sehingga dibutuhkan peninjauan ulang penggunaannya pada wanita pascamenopause. 9,10,11

Pembahasan tentang pemakaian terapi sulih hormon pada wanita menopause di tingkat regional Asia Tenggara telah dilakukan pada tahun 1997 dengan hasil konsensus penggunaannya dengan mempertimbangkan

Page 2: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 2/44

keuntungan dan kerugian pada masing-masing pasien. Dalam forum tersebut direkomendasikan untuk dilakukan penelitian tingkat regional yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kesehatan wanita menopause di kawasan Asia Tenggara.

B. Permasalahan

Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah wanita yang mengalami menopause setiap tahunnya yang berdampak pada peningkatan masalah kesehatan sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup serta produktivitas wanita pascamenopause. Tata laksana menyeluruh untuk permasalahan ini sangat diperlukan, termasuk di dalamnya penggunaan terapi sulih hormon.

Penelitian mengenai penggunaan terapi sulih hormon umumnya dilakukan pada wanita ras kaukasia. Perbedaan demografi, ras, gaya hidup dan kultur antara wanita negara Barat

dengan wanita Asia menyebabkan perlu dilakukan peninjauan kembali mengenai pemakaian terapi sulih hormon di Indonesia baik yang mencakup indikasi, jenis, dosis dan keamanannya. Pada imbang manfaat-risiko yang dilaporkan, risiko pemakaian terapi sulih hormon baik untuk pencegahan primer dan sekunder berbagai penyakit kronik terkait menopause, secara keseluruhan melebihi manfaat yang didapatkan.

Diperlukan kajian rinci serta rekomendasi penggunaan terapi sulih hormon pada wanita pascamenopause di Indonesia.

C. Tujuan

Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemberian terapi sulih hormon pada wanita menopause di Indonesia.

Page 3: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 3/44

BAB IIMETODOLOGI PENILAIAN

A. Strategi Penelusuran Kepustakaan

Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik : Cochrane Library, Pubmed, Obstetry and Gynecology, New England Journal of Medicine, British Medical Journal, American Journal of Epidemiology, Journal of Clinical Epidemiology, Journal of the National Cancer Institute, the Journal of the American Medical Association, Annals Internal Medicine, The Lancet, Endocrine Review, American College of Obstetry and Gynecologist, Endocrine Practice dan International Clearing House Guidelines. Disertakan pula hasil kajian dari HTA Barcelona, INAHTA, HTA Minnesota serta hasil dari the First Consensus Meeting on Menopause in the East Asian Region di Geneva, 26-30 Mei 1997 serta rekomendasi pemakaian terapi sulih hormon dari U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) dan American Heart Associaton (AHA).

Kata kunci yang digunakan: menopause, hormone replacement therapy (HRT), menopausal symptoms, osteoporosis, cardiovascular disease, stroke, breast cancer, ovarian cancer, colorectal cancer, dementia, Alzheimer, cognitive function, dry eyes.

B. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi

Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine, ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasinya. Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and Research.

Hierarchy of evidence:Ia. Meta-analysis of randomised controlled

trials.Ib. Minimal satu randomised controlled trials.IIa. Minimal penelitian non-randomised

controlled trials.IIb. Cohort dan Case control studiesIIIa. Cross-sectional studiesIIIb. Case series dan case reportIV. Konsensus dan pendapat ahli

Derajat rekomendasi :A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan

Ib.B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan

II b.C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa,

IIIb dan IV.

C. Pengumpulan Data Lokal

Sampai saat ini belum ada data nasional mengenai jumlah penggunaan sulih hormon.

D. Ruang Lingkup Pembahasan

Kajian ini mengulas manfaat pemberian sulih hormon pada berbagai keadaan klinis beserta risiko penggunaan.

Page 4: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 4/44

BAB IIIHASIL DAN DISKUSI

A. MENOPAUSE

Pada tahun 1990, populasi wanita menopause di seluruh dunia dilaporkan mencapai jumlah 476 juta jiwa, 40% di antaranya berada di negara industri. Diperkirakan jumlah wanita menopause pada tahun 2030 sebanyak 1.200 juta dengan distribusi di negara berkembang sebesar 76%. Data yang didapatkan dari daerah Asia Tenggara juga menunjukkan fenomena serupa.3

Umur menopause wanita di negara barat seperti Amerika Serikat dan United Kingdom adalah 51,4 dan 50,9 tahun.12,13 Untuk negara Asia, ternyata didapatkan nilai yang tidak jauh berbeda. Sebuah studi yang dilakukan pada 7 negara Asia Tenggara memperlihatkan usia median terjadinya menopause yaitu 51,09 tahun.3 Untuk Indonesia sendiri, laporan tahun 1990 menyebutkan usia 50 tahun.2 Studi yang diadakan di Malaysia terhadap 3 jenis etnik yaitu Melayu, Cina dan India, menyebutkan bahwa menopause terjadi pada usia 50,7 tahun.14

1. Definisi

Menurut WHO, menopause adalah berhentinya menstruasi secara permanen akibat tidak bekerjanya folikel ovarium. Sehingga untuk menentukan onset dilakukan recara retrospektif, yaitu dimulai dari amenorea spontan sampai 12 bulan kemudian, seiring dengan peningkatan follicle-stimulating hormone (FSH).15 Menopause merupakan kegagalan ovarium dengan onset pada usia dewasa, ditandai dengan tidak adanya estrogen, progesteron, dan androgen ovarium.7

Untuk kepentingan statistik dan epidemiologik, definisi menopause disesuaikan menjadi tidak adanya menstruasi selama 1 tahun. Bagaimanapun juga, definisi ini adalah hasil akhir dari berlangsungnya proses penurunan fungsi ovarium, biasanya dimulai pada usia 35 sampai 40 tahun, di mana defisiensi hormon menyebabkan kerusakan sistemik yang progresif. Akibat dari kegagalan ovarium ini adalah terjadinya defisiensi permanen hormon multipel. Hal ini sangat

penting untuk dipahami dan ditatalaksana, bila dilihat dari sisi endokrinologi.7

Beberapa istilah yang sering digunakan membagi masa klimakterik, seperti: 16

Premenopausal : <2 bulan sebelum menstruasi terakhirPerimenopausal: 2-12 bulan sejak menstruasi terakhir. Merupakan waktu dengan siklus menstruasi yang tidak teratur sebelum terjadi amenore, bisa terjadi bisa tidak. Beberapa ahli menyebutkan bahwa istilah perimenopause meliputi wanita pada usia 45-65 tahun.

Page 5: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 5/44

Postmenopausal: >12 bulan sejak menstruasi terakhir.

Waktu seputar menopause disebut sebagai masa klimakterik. Masa ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

13-16 40 45 50 55 65

Reproduksi KLIMAKTERIUM

Premenopause Pascamenopause

Page 6: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 6/44

Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa masa klimakterik berlangsung selama 30 tahun (usia 35-65 tahun), dan dibagi menjadi 3 bagian untuk kepentingan klinis, yaitu: klimakterik awal (35-45 tahun), perimenopause (46-55 tahun) dan klimakterik akhir (56-65 tahun).30

]2. Gejala

Berkurang atau hilangnya estrogen dapat menyebabkan gejala vasomotor, gangguan tidur, gangguan mood, depresi, atrofi saluran kemih dan vagina, serta meningkatnya risiko kelainan kronis seperti osteoporosis, penyakit kardiovaskular dan penurunan fungsi kognitif. Gejala vasomotor merupakan keluhan terbanyak yang dilaporkan pasien. Dasar perubahan patofisiologi tersebut berkaitan dengan defisiensi estrogen yang mekanismenya telah banyak diketahui, namun efek dari ketiadaan progesteron dan penurunan androgen masih belum dapat dipahami sepenuhnya.7 Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada masa pascamenopause, dengan hampir 50% wanita pascamenopause akan mengalami penyakit arteri koronaria di kemudian hari dan hampir 30% di antaranya meninggal dunia.18

Walaupun menopause biasa diasosiasikan dengan keluhan di atas, tanggapan wanita dan masyarakat terhadap menopause berbeda di setiap komunitas. Wanita barat yang mengeluhkan gejala menopause sekitar 75%. Sedangkan di Asia, sebuah penelitian di Malaysia mengenai gejala menopause pada tahun 1990 melaporkan wanita Malaysia tidak mengalami gejala menopause yang serius. Lebih dari 70% populasi studi tidak pernah merasakan hot-flushes, berkeringat atau palpitasi. Adapun insidens dan keparahan dari gejala klimakterik ini bergantung terutama pada adanya ketidakstabilan emosi sejak sebelum menopause. Studi terdahulu pada tahun 1986 menemukan hanya sekitar 20% responden yang mengalami gejala menopause di atas. Tingkat pendidikan dan pekerjaan tidak mempengaruhi hal ini.14

Studi lain yang dilakukan pada 3200 wanita Jepang yang berusia antara 45 dan 60 tahun melaporkan kekakuan bahu sebagai keluhan utama yang mereka alami (45%) sedangkan untuk keluhan vasomotor hanya sekitar 25%. International Health Report menyimpulkan bahwa menopause di Asia memperlihatkan lebih sedikit keluhan daripada di Barat. Bagaimanapun juga harus diingat bahwa kesimpulan ini diambil dari survey yang menggunakan daftar gejala menopause yang berasal dari wanita Eropa, yang memiliki karakteristik berbeda dengan wanita Asia dalam hal ras, sosial ekonomi dan lingkungan.3

Dua tipe gejala utama yaitu, yang berkaitan dengan gangguan vasomotor dan atrofi genital.19

a. Gangguan vasomotor

Gejala vasomotor yang terdiri dari gejolak panas (hot flush) dan keringat malam terjadi pada 75% wanita pascamenopause dengan berbagai derajat keparahan, dimana hanya 30% di antaranya yang mencari pertolongan medis. Gejala ini dapat menetap lebih dari 5 tahun pada 25% wanita, bahkan pada sebagian kecil wanita akan menetap seumur hidup.20

Etiologi gejolak panas masih belum diketahui dengan pasti, namun mungkin disebabkan oleh labilnya pusat termoregulator tubuh di hipotalamus yang diinduksi oleh penurunan kadar estrogen dan progesteron (Freedman 1995). Instabilitas ini menimbulkan perubahan yang tiba-tiba berupa vasodilatasi perifer mendadak dan bersifat sementara yang dikeluhkan pasien sebagai gejolak panas yang ditandai adanya peningkatan suhu

K L I M A K T E R I U M

Klimakterik Awal Perimenopause

35 655545

Klimakterik Akhir

Page 7: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 7/44

tubuh pada saat itu. Bila terjadi pada malam hari, keadaan ini dilaporkan pasien sebagai keringat malam.19

Estrogen dan progesteron, baik digunakan sendiri atau dalam kombinasi, telah banyak digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi gejala vasomotor pada menopause. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas terapi hormon estrogen atau kombinasi estrogen progesteron dalam menghilangkan gejala vasomotor. Namun mekanisme kerja gabungan estrogen dan progesteron masih belum diketahui dengan jelas apakah memiliki efek aditif atau sinergistik terhadap frekuensi dan keparahan gejala vasomotor. Selain itu, belum diketahui kapan pemberian terapi hormon untuk mendapatkan hasil yang terbaik, sebelum menopause atau sesudah menopause. Beberapa efek samping juga dilaporkan selama pemakaian terapi hormon ini seperti payudara tegang, mual, perdarahan uterus non spesifik, bloating dan perasaan berat badan bertambah.

b. Keluhan urogenital

Uretra dan vagina berasal dari jaringan embriologik yang sama, sehingga defisiensi estrogen menyebabkan atrofi pada keduanya. Dinding vagina akan menipis, dan terjadi atrofi kelenjar vagina, sehingga lubrikasi berkurang dan menyebabkan dispareuni. Menurunnya aktifitas seksual juga makin menurunkan lubrikasi dan memperparah atrofi. Efek defisiensi estrogen pada uretra dan kandung kemih berhubungan dengan sindrom uretral berupa frequency, urgency dan disuria.21

Estrogen mempengaruhi mukosa uretra, otot polos dan tonus alfa adrenergik sehingga terdapat pernyataan estrogen mungkin dapat memperbaiki inkontinensia urin yang terjadi pada wanita pascamenopause dengan difisiensi estrogen. Insidens inkontinensia urin di komunitas wanita pascamenopause adalah 15-50%. Tata laksana medis biasanya menggabungkan terapi estrogen oral dan lokal, tetapi efektivitas dari terapi ini masih belum jelas.22

B. TERAPI SULIH HORMON

Banyak wanita menopause yang mendapatkan terapi hormon estrogen saja atau estrogen dan progesteron untuk mengatasi gejala yang menyertai menopause. Pemberian hormon ini juga diharapkan dapat mencegah terjadinya osteoporosis dan mengurangi risiko terjadinya penyakit jantung iskemik. Pemberian hormon pada wanita menopause bertujuan untuk mengembalikan keadaan hormonal seperti pada saat premenopause, namun hingga kini tidak ada preparat sulih hormon yang dapat menyamai pola sekresi hormon pada wanita premenopause.

1. Epidemiologi

Survey yang diadakan pada tahun 1995 pada wanita pascamenopause yang berusia antara 50-75 tahun melaporkan hampir 38% memakai terapi sulih hormon. Survei terbaru mengenai pemakaian sulih hormon di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan 40-55% dan 60% wanita pascamenopause menggunakannya dengan tingkat pemakaian yang lebih tinggi pada wanita yang telah menjalani histerektomi.1

Penggunaan sulih hormon di Indonesia masih sangat terbatas.2 Berbeda dengan negara barat, keluhan yang lebih sedikit dan penerimaan masyarakat terhadap menopause, faktor pendidikan, sosial, ekonomi mempengaruhi jumlah pemakaian sulih hormon di Indonesia khususnya dan negara Asia umumnya. Jepang telah mengadakan sebuah studi untuk mengetahui pemakaian sulih hormon di kalangan wanita pascamenopause, didapatkan estimasi sebanyak 1,2% wanita berusia 45-64 tahun mendapatkan terapi sulih hormon. Terapi berlangsung jangka pendek, selama 6-9 bulan.4

2. Definisi

Hormone replacement therapy atau yang diterjemahkan sebagai terapi sulih hormon didefinisikan sebagai : 23

a. Terapi menggunakan hormon yang diberikan untuk mengurangi efek defisiensi hormon.

b. Pemberian hormon (estrogen, progesteron atau keduanya) pada wanita

Page 8: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 8/44

pascamenopause atau wanita yang ovariumnya telah diangkat, untuk menggantikan produksi estrogen oleh ovarium.

c. Terapi menggunakan estrogen atau estrogen dan atau progesteron yang diberikan pada wanita pascamenopause atau wanita yang menjalani ovarektomi, untuk mencegah efek patologis dari penurunan produksi estrogen.

Untuk mempermudah, dalam pembicaraan selanjutnya akan disebut sebagai sulih hormon.

3. Indikasi

Berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh North American Menopause Society (NAMS), indikasi primer pemberian terapi sulih hormon adalah adanya keluhan menopause seperti gejala vasomotor berupa hot flush dan gejala urogenital.24 Di Indonesia, terapi sulih hormon diberikan hanya pada pasien menopause dengan keluhan terkait defisiensi estrogen yang mengganggu atau adanya ancaman osteoporosis dengan lama pemberian maksimal 5 tahun.

4. Kontra Indikasi

The American College of Obstetrics and Gynaecologists menetapkan kontra indikasi penggunaan terapi sulih hormon, sebagai berikut:25

- Kehamilan- Perdarahan genital yang belum

diketahui penyebabnya- Penyakit hepar akut maupun kronik- Penyakit trombosis vaskular- Pasien menolak terapi

Kontra indikasi relatif- Hipertrigliseridemia- Riwayat tromboemboli- Riwayat keganasan payudara dalam

keluarga- Gangguan kandung empedu- Migrain- Mioma uteri- Seizure disorder

Pemeriksaan yang harus dipenuhi sebelum pemberian terapi sulih hormon:

- Diagnosis pasti menopause- Penilaian kontra indikasi mutlak dan

relatif- Informed consent mengenai untung rugi

penggunaan terapi sulih hormon- Pemeriksaan fisik, meliputi tekanan

darah dan pemeriksaan payudara dan pelvik

- Pemeriksaan sitologi serviks dan mamografi harus memberi hasil negatif

The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists26 menyebutkan beberapa kontra indikasi absolut terapi sulih hormon, yaitu karsinoma payudara, kanker endometrium, riwayat tromboemboli vena dan penyakit hati akut.

5. Beberapa Cara Pemberian Terapi Sulih Hormon

Sulih hormon dapat berisi estrogen saja atau kombinasi dengan progesteron. Pilihan rejimen yang digunakan bergantung pada riwayat histerektomi. Untuk wanita yang tidak menjalani histerektomi, umumnya diberikan kombinasi dengan progesteron untuk mengurangi risiko terjadinya keganasan pada uterus.

a. Rejimen I, yang hanya mengandung estrogenRejimen ini bermanfaat bagi wanita yang telah menjalani histerektomi. Estrogen diberikan setiap hari tanpa terputus.

b. Rejimen II, yang mengandung kombinasi antara estrogen dan progesteron. Kombinasi sekuensial: estrogen

diberikan kontinyu, dengan progesteron diberikan secara sekuensial hanya untuk 10-14 hari (12-14 hari) setiap siklus dengan tujuan mencegah terjadinya hiperplasia endometrium. Lebih sesuai diberikan pada perempuan pada usia pra atau perimenopause yang masih menginginkan siklus haid.

Estrogen dan progesteron diberikan bersamaan secara kontinyu tanpa terputus. Cara ini akan menimbulkan amenorea. Pada 3-6 bulan pertama dapat saja terjadi perdarahan bercak. Rejimen ini tepat diberikan pada perempuan pascamenopause.

Page 9: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 9/44

6. Bentuk Sediaan27

Terapi sulih hormon paling banyak diberikan per oral. Namun, masih banyak lagi metode pemberiannya.

Pemberian secara OralEstradiol valerat sangat cepat dihidrolisa oleh usus dan dimetabolisme oleh hepar. Kadar maksimum tercapai dalam 6-8 jam dan lambat laun akan turun. Kadarnya tidak akan turun secara tajam, sehingga 24 jam setelah penggunaan kadarnya masih cukup tinggi.

Kadar estradiol serum sangat berbeda pada setiap orang. Kadang-kadang pada pasien tertentu tidak dapat dicapai konsentrasi serum yang cukup sehingga untuk memperoleh konsentrasi yang memadai diperlukan estradiol dosis tinggi, namun pemberian dosis tinggi akan meningkatkan efek samping. Hal ini diatasi dengan micronized estrogen. Struktur sediaan ini memperbesar permukaan dan mempercepat proses absorpsi, sehingga mengurangi hidrolisa di usus. Agar kadar hormon dalam serum bertahan cukup lama, sebaiknya estrogen dikonsumsi setelah makan atau pada saat perut tidak kosong.

Di Amerika Serikat, sulih hormon yang paling banyak diberikan adalah estrogen saja. Estrogen ekuin konjugasi (CEE) merupakan sediaan estrogen yang paling banyak digunakan di AS. CEE merupakan campuran yang terdiri dari estron (50%) dan ekuilin (25%), ditambah dengan 17-hidroksiekuilin, ekuilenin, 17 α-estradiol, and 17α-dihidroekuilenin dalam bentuk ester sulfat.

Di Eropa, sediaan estrogen yang banyak digunakan adalah estradiol valerat dan kombinasi estradiol, estron dan estriol. Estradiol oral akan dimetabolisme menjadi estron di mukosa intestinal dan hepar, sehingga meningkatkan konsentrasi serum estron. Meskipun estron merupakan estrogen yang lemah, namun karena adanya keseimbangan reversible dengan estradiol sehingga dapat bekerja menggantikan estrogen ovarium pada pascamenopause. Bentuk ketiga dari estrogen alami yaitu estriol tidak diubah menjadi estradiol dan hanya memiliki sedikit aktivitas biologis. Hanya 1-2%

dari seluruh estriol per oral yang dapat mencapai sirkulasi.

Estrogen TransdermalTerdapat 3 cara pemberian estradiol transdermal, yaitu plester reservoir, plester matriks dan gel. Estrogen dapat secara parenteral untuk menghindari first-pass effect di hepar. Estradiol yang diberikan melalui transdermal terdiri dari hormon dalam solusio alkohol yang diabsorbsi ke dalam sirkulasi secara konstan selama 3-4 hari. Pemberian secara transdermal sangat dianjurkan bagi wanita menopause yang memiliki tekanan darah tinggi, dalam pengobatan dengan obat anti diabetes (OAD) dan riwayat operasi batu empedu.

Estradiol dapat pula diberikan dalam bentuk implan subkutan yang dapat bertahan selama beberapa bulan, namun tingkat penurunan estradiol serum sangat bervariasi dan beberapa wanita mengalami gejala vasomotor meskipun dengan konsentrasi supranormal. Oleh karena itu, pemberian implan tidak boleh diulang hingga konsentrasi estradiol serum sama dengan konsentrasi pada fase mid-folikular siklus menstruasi.

Pemberian estradiol langsung ke dalam sirkulasi juga dapat melalui pesarium atau gel vagina. Resorbsi melalui dinding vagina sangat baik, tanpa melalui metabolisme, sehingga konsentrasi dalam darah bisa sangat tinggi.

7. Sediaan Kombinasi Estrogen dan Progesteron

Pemberian estrogen saja dapat meningkatkan risiko terjadinya hiperplasia bahkan karsinoma endometrium, maka wanita yang menggunakan terapi sulih hormon dan tidak menjalani histerektomi diberi progesteron sebagai tambahan. Untuk keperluan ini digunakan progestogen sintetik, sebab progesteron sangat sulit diabsorpsi meskipun diberikan dalam bentuk mikro, selain itu juga sebuah laporan kasus menyebutkan bahwa progesteron menimbulkan efek hipnotik sedatif.

Progestogen memiliki aktivitas androgenik, terutama derivat 19-nortestosteron seperti norgestrel dan norethindron (noretisteron). Sebaliknya, derivat C-21 pregnane seperti medroksiprogesteron asetat,

Page 10: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 10/44

didrogesteron, medrogeston dan megestrol asetat merupakan androgen yang sangat lemah. Tiga derivat 19-nortestosteron dengan efek androgenik yang dapat diabaikan yaitu desogestrel, norgestimate dan gestodene belakangan ini mulai digunakan sebagai kombinasi kontrasepsi oral dan sulih hormon.

Sediaan sulih hormon yang terdapat di Indonesia adalah:27

a) Estrogen, dalam bentuk 17β estradiol, estrogen ekuin konjugasi (CEE), estropipat, estradiol valerat dan estriol.

b) Progestogen, seperti medroksi progesteron asetat (MPA), didrogesteron, noretisteron, linesterenol.

c) Sediaan kombinasi estrogen dan progestogen sekuensial seperti 2 mg estradiol valerat + 10 mg MPA, 2 mg estradiol valerat + 1 mg siproteron asetat, 1-2 mg 17β estradiol + 1 mg noretisteron asetat.

d) Sediaan kombinasi estrogen dan progestogen kontinyu seperti 2 mg 17β estradiol + 1 mg noretisteron asetat.

e) Sediaan yang bersifat estrogen, progesteron dan androgen sekaligus, yaitu tibolon

f) Sediaan plester maupun krim yang berisi estrogen berupa 17β estradiol.

g) Sediaan estrogen dalam bentuk krim vagina yang berisi estriol.

8. Jenis dan Dosis yang Dianjurkan

Selama ini, dosis yang digunakan untuk wanita Asia yang rata-rata memiliki tubuh lebih kecil daripada wanita Barat tetap berpedoman pada hasil penelitian yang dilakukan pada wanita ras Kaukasia. Hingga kini belum ada penelitian khusus untuk mengetahui efektivitas dan efek samping serta keamanan pemakaian sulih hormon terhadap wanita Asia. Berikut adalah dosis yang dianjurkan di Indonesia. 27,28

Tabel 1. Dosis Anjuran Sulih Estrogen Jenis Kontinyu Dosis

Estrogen konjugasi Oral 0.3-0.4 mg17β estradiol Oral 1-2 mg

Transdermal 50-100 mgSubkutan 25 mg

Estradiol valerate Oral 1-2 mgEstradiol Oral 0,625-1,25 mg

Tabel 2. Dosis Anjuran Sulih ProgesteronJenis Sekuensial Kontinyu

Progesteron 300 mg 100 mgMedroksiprogesteron asetat (MPA)

10 mg 2,5-5 mg

Siproteon asetat 1 mg 1 mgDidrogesteron 10-20 mg 10 mgNormogestrol asetat 5-10 mg 2,5-5 mg

The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists dalam panduan klinisnya menyatakan penggunaan terapi sulih hormon dapat dimulai sebelum, saat atau beberapa tahun setelah menopause atau tidak menggunakan sama sekali.26 Jenis rejimen terapi sulih hormon yang digunakan bergantung pada lamanya menopause dan riwayat histerektomi sebelumnya.

Menurut National Health and Medical Research Council (NHMRC) Australia27, rejimen terapi sulih hormon yang diberikan bergantung pada keadaan berikut:a. Perimenopause

Estrogen kontinyu dan progestogen siklik untuk melindungi endometrium dan menimbulkan perdarahan withdrawal teratur.

Progestogen yang paling sering digunakan MPA (10 mg) dan noretisteron (0,7-1,25 mg), digunakan selama 10-14 hari pertama setiap bulan sesuai kalender.

Wanita dengan siklus yang relatif masih teratur tetapi mempunyai gejala, progestogen diberikan sesuai dengan siklus.

b. Pascamenopause Rejimen sama dengan perimenopause Wanita yang telah menopause

sekurangnya selama 2 tahun, diberi kombinasi estrogen-progestogen (MPA 5 mg/hari atau noretisteron asetat 1mg/hari) kontinyu untuk mencapai keadaan amenorea.

Wanita yang memulai terapi sulih hormon sistemik pertama kali lebih dari 5 tahun setelah menopause, terapi awal diberikan dengan dosis yang sangat rendah (tablet estron sulfat 0,3 mg, atau setengah tablet 0,625 mg tiap hari atau tiap 2 hari) dan ditingkatkan secara progresif dalam 1-3 bulan untuk mencapai dosis optimal.

Dosis estrogen yang efektif dalam mencegah kehilangan masa tulang pada sebagian besar wanita adalah CEE dan

Page 11: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 11/44

estron sulfat 0,625 mg, estradiol oral 2 mg dan transdermal 50 g.

c. Menopause prematur Dapat digunakan kombinasi kontrasepsi

oral dosis rendah sampai usia 45-50 tahun (atau sampai 35 tahun pada wanita perokok), kemudian diganti ke rejimen terapi sulih hormon standar.

Dapat digunakan terapi sulih hormon konvensional pada usia berapa pun, tetapi dosis estrogen yang digunakan lebih tinggi daripada wanita yang lebih tua (contoh CEE 1,25-2,5 mg tiap hari; estradiol transdermal 100-200 g).

9. Lama Penggunaan

The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists26 dalam panduannya menyatakan tidak ada aturan mengenai lama penggunaan terapi sulih hormon, tetapi berdasarkan hasil studi WHI disarankan agar berhati-hati bila meresepkan terapi sulih hormon jangka panjang.

Menurut NHMRC29 lamanya pemberian terapi sulih hormon adalah sebagai berikut: Untuk penatalaksanaan gejolak

panas, pemberian terapi sulih hormon sistemik selama 1 tahun dan kemudian dihentikan total secara berangsur-angsur (dalam periode 1-3 bulan) dapat efektif.

Untuk perlindungan terhadap tulang dan menghindari atrofi urogenital, pemakaian jangka lama diindikasikan tetapi lamanya waktu yang optimal tidak diterangkan dengan jelas.

Setelah penghentian terapi masih terdapat manfaat untuk perlindungan terhadap tulang dan koroner, tetapi menghilang bertahap setelah beberapa tahun.

Mengacu pada hasil penelitian terbaru dari WHI, lama pemakaian terapi sulih hormon di Indonesia maksimal 5 tahun. Hal ini ditentukan berdasarkan aspek keamanan penggunaan terapi sulih hormon jangka panjang.

10. Efek Samping Terapi Sulih Hormon

Seperti semua obat lainnya, sulih hormon dapat menimbulkan efek samping. Efek samping terkait estrogen berupa mastalgia

(nyeri pada payudara), retensi cairan, mual, kram pada tungkai dan sakit kepala. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi, namun sangat jarang. Perlu untuk menginformasikan kepada pasien bahwa mastalgia tidak berkaitan dengan kanker payudara. Sedangkan efek samping terkait progestin antara lain retensi cairan, kembung, sakit kepala dan mastalgia, kulit berminyak dan jerawat, gangguan mood dan gejala seperti gejala pramenstrual.

Perdarahan vagina merupakan keluhan yang sering ditemui dan meresahkan pasien. Penggunaan progestin kontinyu dapat menyebabkan perdarahan vagina yang tidak dapat diprediksi polanya, dengan atau tanpa spotting selama beberapa bulan. Sebanyak 5-20% dari wanita ini bisa pernah mengalami amenorea dan mungkin beralih ke terapi hormon siklik yang memberikan pola perdarahan yang lebih dapat diprediksi. Keluhan-keluhan ini menghilang sendiri dalam beberapa bulan atau dengan mengganti jenis dan dosis sulih hormon. Pada pemakaian plester dapat terjadi iritasi kulit.

Banyak orang berpendapat bahwa pemakaian terapi sulih hormon dapat menyebabkan penambahan berat badan namun berbagai penelitian tidak membuktikan adanya hubungan antara sulih hormon dengan kenaikan berat badan permanen. Nafsu makan memang meningkat, namun diperkirakan akibat wanita tersebut merasa sehat dan nyaman. Pemberian terapi sulih hormon mempengaruhi distribusi lemak, terutama pada panggul dan paha, namun tidak pada perut. Perlu diingat bahwa 45% wanita mengalami kenaikan berat badan pada usia 50-60 tahun meskipun mereka tidak mendapatkan terapi sulih hormon.30

11. Tata Laksana Efek Samping

Perdarahan vaginaTidak ada kriteria universal yang digunakan untuk mendefinisikan perdarahan abnormal dan yang memerlukan evaluasi lebih lanjut. Kriteria berikut ini dapat digunakan bagi klinisi untuk tetap waspada dan meminimalkan tindakan biopsi endometrium yang tidak perlu.

Page 12: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 12/44

Wanita dengan terapi hormon siklik Perdarahan normal dapat terjadi pada akhir fase progestogen pada siklus. Evaluasi setiap perubahan signifikan terhadap pola normal ini atau adanya perdarahan pada waktu lain. Perdarahan yang terjadi pada wanita lebih muda biasanya berhenti setelah fungsi ovarium berhenti total. Sedangkan pada wanita yang telah mengalami amenorea beberapa tahun, mengganti ke terapi hormon kontinyu dapat membantu. Jika dari biopsi endometrium memperlihatkan aktivitas proliferasi persisten selama fase progestogen, dosis progestogen dapat dinaikkan jika masih dapat ditoleransi.

Wanita dengan terapi hormon kontinyu Evaluasi setiap perdarahan yang terjadi setelah 6 bulan amenorea atau yang bertahan setelah 6 bulan penggunaan terapi hormon. Spotting dan perdarahan iregular dapat menetap sampai beberapa bulan setelah pindah dari terapi hormon siklik ke kontinyu, sekalipun pada wanita yang telah amenorea selama beberapa waktu. Perdarahan ini umumnya akan membaik dengan penambahan dosis progestogen. Pilihan lain adalah alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang mensekresikan levonorgestrel daripada progesteron oral. Peningkatan dosis estrogen dapat dilakukan selama evaluasi dalam batas normal. Banyak wanita pada akhirnya kembali menggunakan terapi hormon siklik untuk mendapatkan pola perdarahan yang lebih teratur. Namun, perdarahan tidak harus selalu terjadi setiap bulan, perdarahan setiap 3-4 bulan masih cukup untuk mencegah terjadinya hiperplasia endometrium.

Menurut pedoman dari The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists, penatalaksanaan perdarahan tidak teratur pada penggunaan terapi sulih hormon adalah sebagai berikut: Wanita yang menggunakan terapi

sulih hormon kombinasi siklikBeberapa wanita dapat mengalami amenorea pada penggunaan rejimen ini dan biopsi tidak diperlukan. Perdarahan muncul di sekitar penghentian pemberian progestogen. Jika perdarahan muncul di luar waktu tersebut atau tetap tidak teratur,

direkomendasikan untuk dilakukan biopsi endomerium.

Wanita yang menggunakan terapi sulih hormon kombinasi kontinyu. Idealnya, wanita yang menggunakan rejimen ini mengalami amenorea dalam 4 bulan setelah penghentian terapi. Perdarahan bercak muncul pada beberapa bulan di awal penggunaan terapi. Bila amenorea muncul lebih awal dan diikuti dengan perdarahan yang tidak teratur, dilakukan biopsi endometrium.

Penambahan berat badanPada masa klimakterik, kebanyakan wanita mengalami penambahan berat badan dan peningkatan proporsi lemak pada sentral abdomen. Hal ini tidak berkaitan dengan terapi hormon. Beberapa wanita mengalami mastalgia dan retensi cairan segera setelah memulai terapi hormon dan gejala ini dapat memberikan keluhan subjektif berupa penambahan berat badan. Keluhan ini akan membaik setelah beberapa bulan. Edukasi penting untuk membantu pasien menghadapi keluhan ini. Selain itu, penimbangan berat badan pada setiap kunjungan dapat meyakinkan pasien, bahwa walaupun terdapat perubahan distribusi lemak tubuh, namun berat badan mereka tetap relatif stabil.

Sakit kepalaKeluhan ini dapat berkurang dengan menurunkan dosis estrogen atau mengganti sediaan dari oral ke transdermal.

Efek samping estrogenicRetensi cairan dan sakit kepala berkaitan dengan baik estrogen dan progestogen, modifikasi progestogen terlebih dahulu biasanya merupakan strategi yang lebih baik. Mastalgia membaik dengan menurunkan dosis estrogen, atau dengan menyesuaikan dosis progestogen jika gejala terjadi secara siklik. Penggantian ke estrogen transdermal dapat mengurangi mual.

Page 13: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 13/44

Efek samping progestogenikRetensi cairan dan sakit kepala yang tidak membaik dengan modifikasi dosis progestogen, pertimbangkan untuk memodifikasi komponen estrogen. MPA adalah yang paling sering digunakan, namun agen lain seperti micronized progesterone (Prometrium) dapat ditoleransi lebih baik.

Terapi hormon kontinyu, dengan absorbsi sistemik yang lebih konstan bila dibandingkan dengan terapi hormon siklik, dapat dilakukan untuk mengurangi keluhan mastalgia, sakit kepala, dan gejala seperti premenstruasi jika penyesuaian terhadap dua komponen di atas tidak efektif. Alat kontrasepsi dalam rahim yang mensekresikan levonorgestrel dan supositoria vagina yang mengandung progesteron diabsorbsi sangat minimum secara sistemik, namun tetap memberikan perlindungan optimal terhadap endometrium. Menggunakan progestogen siklik selama 14 hari penuh tetapi hanya setiap 3 bulan, juga meminimalkan frekuensi efek samping. Tetapi belum diketahui apakah rejimen ini menyediakan perlindungan terhadap endometrium sebaik terapi hormon standar yang diberikan setiap bulan.

12. Monitoring

The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists dalam panduannya menyatakan pemeriksaan berikut sering dilakukan, tetapi masih belum ada kesepakatan menyeluruh mana dari jenis pemeriksaan tersebut yang esensial.26

1. Pada kunjungan pertama FSH/LH/E2 untuk memastikan

menopause (bila gambaran klinis atipikal).

Profil lipid, liver function test (LFT), bone biochemistry, TSH.

Mammografi2. Pada setiap kunjungan

Urinalisis Tekanan darah

3. Setiap 2 tahun Pemeriksaan fisik Profil lipid, LFT Glukosa puasa Mammografi

4. Atas indikasi Densitas mineral tulang.

Interpretasi mamogram harus dilakukan secara hati-hati karena sensitivitas mamografi dalam mendeteksi kanker payudara sedikit lebih rendah pada pengguna terapi sulih hormon dibanding pada wanita yang tidak menggunakan. Pemeriksaan Pap smears harus dilakukan secara rutin pada semua wanita yang memiliki uterus. Kepatuhan terhadap terapi, kontrol gejala, efek samping (bila ada) dan pola perdarahan pada terapi kombinasi harus dicatat pada setiap kunjungan. Wanita yang menggunakan terapi sulih hormon juga dianjurkan untuk waspada terhadap setiap perubahan pada payudaranya.

NHMRC27 dalam rekomendasinya menyatakan pemeriksaan pada wanita yang menggunakan terapi sulih hormon penting dan harus meliputi: 1. Pemeriksaan setiap tahun

Tekanan darah Pemeriksaan payudara Mamogram (tiap tahun mulai dari umur

40 tahun bila terdapat riwayat kanker payudara dalam keluarga yang menempatkan wanita tersebut pada faktor risiko sedang atau potensial tinggi untuk menderita kanker payudara)

Pemeriksaan abdomen dan pelvis2. Pemeriksaan setiap 2 tahun

Mamogram (tiap 2 tahun dari usia 50 tahun bila tidak ada individu atau riwayat kanker payudara dalam keluarga).

Pap smear (tiap 2 tahun atau menurut guideline NHMRC)

3. Pemeriksaan pilihan (optional checks), bergantung pada riwayat: Bone densitometry: Diindikasikan bila

dapat membantu dalam mengambil keputusan untuk memulai atau meneruskan terapi sulih hormon dan pada keadaan spesifik lain. Lumbar spine absorptiometry (DXA) merupakan teknik yang lebih disukai, meskipun quantitative CT of the spine (QCT) dan photon absorptiometry dari lengan bawah atau tumit juga memberikan informasi yang berguna.

Lipid: total kolesterol, HDL dan trigliserida

FSH: bila diagnosis menopause masih diragukan, contohnya setelah histerektomi.

Page 14: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 14/44

Di samping itu juga penting untuk memantau kepatuhan terhadap terapi karena banyak wanita yang sulit untuk patuh pada rejimen terapi sulih hormon jangka panjang. Masalah yang harus diperhatikan: Under-dosage (kegagalan mengontrol

secara adekuat semua gejala atau untuk memberikan dosis yang adekuat untuk mencegah kehilangan masa tulang).

Efek samping (seperti breast tenderness, pelvic congestive ache, kadang-kadang

retensi cairan atau penambahan berat badan). Pada keadaan ini dilakukan penurunan dosis sementara.

Perdarahan abnormal (pemeriksaan endometrium dilakukan bila perdarahan memanjang, berulang atau berat).

Biasanya direkomendasikan kunjungan kontrol pertama 1-2 bulan setelah memulai terapi sulih hormon dan kedua pada bulan ke 6.

Page 15: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 15/44

Gambar 1. Algoritme Penggunaan terapi sulih hormon pada wanita menopause9

Gejala Menopause

Faktor risiko osteoporosis

(+)

Faktor risiko osteoporosis

(-)

Diskusikan penggunaan HRT

dengan pasien

Periksa densitas mineral tulang

Densitas tulang Normal

Densitas tulang rendah

HRT (-) HRT (+)

Diet dan gaya hidup sehat

Pilihan HRT atau alternatif

Pilihan terapi lain Riwayat Kanker payudara

Faktor risiko PJK (+)

Penanganan hipertensi

Tidak perlu HRT

AdaTidak ada

Perubahan diet dan gaya hidup

Terapi dengan statin

HRT jangka pendek

Diskusikan terapi lain,

pertimbangkan HRT

Riwayat Keluarga dengan Kanker

Payudara

Page 16: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 16/44

Gambar 2. Algoritme pemberian terapi sulih hormon (The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists Guideline).26

C. Efek Pemberian Terapi Sulih Hormon

1. Apakah terapi sulih hormon bermanfaat untuk menghilangkan gejala menopause?

Jawaban: Ya (Level of evidence 1a)

Rasional:

Meta-analisa yang dilakukan oleh Mac Lennan dkk. dalam Cochrane review (2004)31 menyatakan bahwa terdapat penurunan frekuensi gejala hot flush perminggu yang signifikan pada pemberian terapi hormon peroral, baik estrogen saja maupun kombinasi estrogen dan progesteron bila dibandingkan dengan plasebo (Weighted Mean Difference-WMD –17.46, 95% Confidence Interval-CI, -24.72- -

10.21). Hasil ini ekuivalen dengan penurunan frekuensi hot flush sebanyak 77% (95% CI, 58.2-87.5) pada kelompok yang menerima sulih hormon dibandingkan dengan plasebo. Keparahan gejala juga secara signifikan mengalami penurunan (Odds Ratio-OR 0.13, 95% CI 0.08-0.22). Adapun penghentian terapi karena kurangnya efikasi yang dirasakan pasien, secara signifikan lebih banyak terjadi pada kelompok plasebo (OR 17.25, 95% CI 8.23-36.15). Penghentian karena efek samping, lebih banyak terjadi pada kelompok terapi, tetapi tidak signifikan (OR 1.38, 95% CI 0.87-2.21). Pada akhir studi, terdapat penurunan frekuensi hot flush yang signifikan yaitu 50.8% pada kelompok terapi dibandingkan dengan data dasar (95% CI 41.7-58.5). Sehingga disimpulkan bahwa sulih hormon oral memiliki

Keputusan untuk menggunakan terapi sulih hormon.

Apakah terdapat kontraindikasi absolut?

Pemeriksaan dasar dilengkapi

Terapi sulih hormon tidak diberikan.

Memulai pemberian terapi sulih hormon.

Riwayat histerektomi sebelumnya

Uterus intakAmenorea < 2 tahun

Uterus intak Amenorea > 2 tahun

Estrogen saja Terapi sulih hormon siklik (sekuensial)

Terapi sulih hormon kombinasi kontinyu

Monitor setiap 2 tahun

YA

TIDAK

Page 17: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 17/44

efektivitas yang tinggi dalam menghilangkan gejala vasomotor. Lama pemakaian hormon berkisar antara 3 bulan sampai 3 tahun. Dosis yang digunakan untuk studi-studi yang dilakukan meta-analisa: micronized estradiol

Penggunaan progesteron saja sebagai agen untuk menghilangkan keluhan hot flush dalam beberapa studi dilaporkan memberikan hasil yang cukup baik. Data awal menyebutkan bahwa megestrol asetat, sebuah agen progestational bisa menurunkan frekuensi hot flush. Sebuah studi nonblinded melaporkan bahwa megestrol asetat dengan dosis harian 20, 40 dan 80 mg bisa mengurangi hot flush pada menopause sebanyak 80, 89 dan 98%. Efek menguntungkan dari agen progestasional lain terhadap hot flush pada menopause juga telah dilaporkan.

ICSI Health Guideline menyatakan CEE dengan dosis 0.3 mg per hari atau estradiol 0.5-1.0 mg per hari diperkirakan efektif untuk menghilangkan hot flush. Untuk menopause akibat bedah, beberapa wanita mungkin memerlukan CEE 2.5 mg per hari.32

a. Keluhan Urogenital

i. Atrofi vagina-dispareuni

Jawaban: Ya (Level of evidence 1a)

Rasional:

Atrofi vagina pada wanita pascamenopause dalam beberapa literatur disebutkan memiliki etiologi defisiensi estrogen. Keluhan meliputi vagina kering, gatal, rasa tidak nyaman, dan nyeri saat melakukan hubungan seksual (dispareuni). Untuk mengatasi keluhan ini, sulih hormon telah lama menjadi pilihan utama. Namun, pemberian sulih hormon sistemik dalam bentuk sulih hormon oral tidak selalu diperlukan. Pilihan lain adalah preparat estrogen lokal seperti dalam bentuk krim, pesarium, tablet dan estradiol releasing ring.

Vestergaard P. dkk (2003)33

melaporkan bahwa terapi sulih hormon secara cepat dan signifikan dapat mengurangi gejala vagina kering pada sebuah studi RCT. Studi tersebut dilakukan terhadap 1006 wanita postmenopause awal yang berumur antara 48-58 tahun. Intervensi yang diberikan berupa 2 mg estradiol setiap hari selama 12 hari, dilanjutkan dengan 2 mg estradiol plus 1 mg norethisteron asetat per hari selama 10 hari berikutnya dan diakhiri dengan 1 mg estradiol untuk 6 hari (Triquens TM, Novo Nordisk, Denmark) pada wanita dengan uterus, sedangkan untuk yang telah menjalani histerektomi diberikan 2 mg estradiol kontinyu (Estrofem TM, Novo Nordisk, Denmark). Studi berlangsung selama 5 tahun. Pada akhir studi ditemukan sekitar 15% wanita pada kelompok terapi mengalami keluhan vagina kering, sedangkan pada kelompok kontrol keluhan terjadi pada 30-40% sampel. Konsekuensinya, keluhan dispareuni lebih sedikit pada pasien dengan terapi sulih hormon dibandingkan dengan plasebo (p<.01). Selain itu, penurunan libido cenderung lebih sedikit pada kelompok terapi (p=0.08). Pada studi ini tidak terdapat perbedaan efek antara terapi estrogen saja dengan kombinasi estrogen progesteron terhadap keluhan vagina kering atau derajat dispareuni.

Mengenai preparat terapi sulih hormon yang digunakan, review dari Cochrane 200431 mencakup 16 uji klinis dengan 2129 responden, melaporkan perbandingan efektivitas, keamanan dan penerimaan pasien terhadap preparat estrogen pada wanita yang mengalami atrofi vagina. Didapatkan hasil, terdapat efektivitas yang sama untuk krim, cincin dan tablet serta perbedaan yang signifikan dalam mengurangi gejala akibat atrofi vagina bila dibandingkan dengan plasebo dan gel non hormonal. Satu uji menemukan efek samping yang signifikan pada pemakaian krim CEE dibandingkan dengan tablet berupa perdarahan uterus, nyeri payudara dan nyeri perineum. Uji yang lain menemukan stimulasi endometrium yang signifikan pada pemakaian krim dibandingkan dengan

Page 18: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 18/44

cincin. Sebagai terapi pilihan, estradiol releasing ring menjadi terapi pilihan untuk kemudahan pemakaian, kenyamanan produk dan kepuasan secara keseluruhan.

ii. Inkontinensia

Jawaban: Terapi Estrogen: Tidak (Level of evidence 1a)Kombinasi estrogen progesteron: Tidak (level of evidence 1a)

Page 19: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 19/44

Rasional:

Sherburn M dkk34 (2001) melaporkan bahwa inkontinensia urin pada wanita perimenopause lebih berkaitan dengan faktor mekanik daripada faktor transisi menopause. Hasil ini didapatkan dari sebuah studi cross-sectional yang diikuti oleh 1.897 responden dengan follow-up selama 7 tahun.

Sebuah meta-analisa tentang evaluasi efikasi terapi estrogen dalam tata laksana wanita pascamenopause dengan inkontinensia urin dilaporkan oleh Fantl dkk. pada tahun 1994. Meta-analisa dilakukan terhadap 6 RCT yang dipublikasikan dari Januari 1969 sampai Juni 1992 dengan besar sampel 159. Usia sampel berkisar antara 42-92 tahun. Diagnosis inkontinens dibuat berdasarkan gejala klinis dan evaluasi urodinamik. Regimen yang digunakan hanya sediaan estrogen saja dengan dosis 1-4 mg peroral dan 4 g pervaginam dengan durasi 1-3 bulan. Efek terapi sulih hormon yang dinilai adalah perbaikan secara subjektif, jumlah cairan yang hilang dan tekanan penutupan uretra maksimal. Analisa data dilakukan untuk 2 subgrup, yaitu semua subyek dan subyek dengan inkontinensia stres murni. Hasil yang didapat, secara keseluruhan terdapat efek yang signifikan secara subyektif pada semua subyek (p<.01) dan untuk subyek dengan inkontinensia stress murni (p<.05). Tidak terdapat hasil yang signifikan pada kuantitas cairan yang hilang. Terdapat efek signifikan (p<.05) pada tekanan penutupan uretra maksimal, namun hanya berasal dari 1 studi.

Kesimpulan: estrogen secara subyektif memperbaiki inkontinensia urin pada wanita postmenopause. Walaupun begitu, kesimpulan di atas diambil dari analisa studi dengan grup nonhomogen serta kriteria diagnostik, intervensi terapeutik dan penilaian keluaran yang bervariasi.35

Moehrer B. dkk. (2003)36 dalam Cochrane Review melaporkan bahwa penggunaan estrogen untuk terapi inkontinensia urin mungkin dapat

memberikan manfaat, utamanya untuk urge incontinence. Analisa dilakukan melalui observasi pasien, beratnya gejala, pemeriksaan oleh dokter, kualitas hidup, dampak sosial ekonomi dan kejadian samping yang tidak diharapkan. Secara subyektif, terlihat perbaikan pada 50% wanita yang diterapi dibandingkan dengan 25% pada plasebo. Untuk penilaian lain, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok terapi dengan plasebo. Didapatkan kesimpulan bahwa terapi estrogen dapat memperbaiki atau menyembuhkan terutama untuk urge incontinence. Namun, hasil tersebut mungkin tidak cukup untuk merekomendasikan pemakaiannya karena bukti ilmiah yang dianalisa dalam review ini umumnya dengan sampel kecil serta berbeda dalam tipe, dosis dan lama terapi estrogen diberikan. Selain itu, risiko penggunaan estrogen jangka panjang (lebih dari 5 tahun) menjadikan terapi ini dianjurkan hanya untuk jangka waktu terbatas, terutama pada wanita yang masih memiliki uterus. Sebaliknya, kombinasi estrogen dan progesteron dilaporkan justru mengurangi kemungkinan perbaikan atau penyembuhan sehingga tidak direkomendasikan untuk diberikan pada pasien dengan gejala inkontinensia saja.

Meta-analisa ini juga menganalisa

perbandingan efektivitas estrogen terhadap terapi lain, kombinasi estrogen dan terapi lain terhadap plasebo, kombinasi terapi lain terhadap estrogen, antar tipe estrogen, cara pemberian estrogen, dan antara dosis tinggi terhadap dosis rendah. Interpretasi review ini menjadi lebih rumit karena perbedaan antara studi baik dari segi tipe dan dosis estrogen, cara pemberian, dan tipe inkontinensia yang diteliti. Selain itu, kualitas metodologi penelitian umumnya sedang dan sampel yang diteliti kecil. Sehingga tidak dapat dihasilkan suatu kesimpulan untuk menentukan pernyataan-pernyataan tersebut.

2. Apakah pemberian terapi sulih hormon pada wanita perimenopause

Page 20: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 20/44

dapat menurunkan risiko terjadinya osteoporosis pascamenopause?

Jawaban: Ya (level of evidence 1a)

Rasional:

Osteoporosis merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada wanita pascamenopause. Defisiensi estrogen yang terjadi setelah menopause mempercepat hilangnya masa tulang yang berhubungan dengan meningkatnya risiko fraktur. Segera setelah menopause, masa tulang menurun 3-5% per tahun, setelah usia 65 tahun masa tulang masih terus menurun 0.5-1% per tahun.37

Estrogen mencegah terjadinya osteoporosis dengan menghambat resorpsi tulang. Estrogen secara langsung menghambat fungsi kerja osteoklas, sehingga memperlambat hilangnya masa tulang, mempertahankan masa tulang dan mengurangi risiko terjadinya fraktur.20

Sebuah meta-analisa oleh Wells dkk. (2002)38 menyebutkan bahwa terapi sulih hormon (estrogen dengan atau tanpa progestin) menunjukkan manfaat yang besar dalam meningkatkan densitas tulang di semua lokasi pemeriksaan. Namun hasil analisa tidak menunjukan adanya manfaat yang bermakna dalam menurunkan risiko fraktur vertebra (RR 0.66, 95% CI 0.41-1.07) dan fraktur nonvertebra (RR 0.87, 95% CI 0.71-1.08).

Sebuah RCT terbaru (2003) oleh The Women’s Health Initiative21 mengenai pengaruh CEE (0.625 mg) dan MPA (2.5 mg) terhadap risiko fraktur mengemukakan hal yang agak berbeda. Penelitian ini melibatkan 16.608 wanita pascamenopause berusia antara 50-79 tahun (mean 63 tahun) yang sebagian besar (39.68%) telah mengalami menopause 10-19 tahun, dengan lama follow up selama 5.6 tahun. Dalam laporannya disebutkan bahwa pemberian estrogen-progestin menurunkan risiko fraktur tulang panggul sebesar 33% (HR 0.67; 95% CI 0.47-0.96; adjusted CI 0.41-1.10). Pada analisa subgrup, kelompok terapi dengan asupan kalsium >1200 mg/hari, mengalami penurunan risiko

sebesar 60%. Pemberian terapi sulih hormon ini juga menunjukkan efek positif pada densitas tulang (BMD). Total BMD panggul meningkat sebesar 1.7% pada tahun pertama terapi dan 3.7% setelah tahun ketiga.

Dosis estrogen konjugasi yang umum digunakan adalah 0.625 mg, namun beberapa RCT telah membuktikan manfaat pemberian estrogen dosis rendah (<0.625 mg) dalam mencegah osteoporosis. Sebuah RCT mengenai manfaat pemberian sulih hormon (estrogen konjugasi dengan atau tanpa medroksiprogesteron) dosis rendah dalam mencegah osteoporosis menopause dilakukan oleh Lindsay dkk. (2002)39 yang dikenal sebagai Women’s HOPE trial. Subyek penelitian, 822 wanita pascamenopause berusia 40-65 tahun, mendapatkan berbagai kombinasi dosis hormon atau plasebo setiap hari selama 2 tahun. Selain itu, mereka juga mendapatkan suplemen kalsium 600 mg/hari. Pada akhir penelitian, seluruh kelompok terapi mengalami peningkatan densitas tulang vertebra yang bermakna (P<0.001) dibandingkan dengan nilai pemeriksaan awal. Pada penilaian densitas tulang panggul, terdapat peningkatan bermakna kelompok terapi dibandingkan dengan kelompok plasebo (P<0.001). Dari pengukuran body mineral content (BMC), didapatkan peningkatan bermakna pada seluruh kelompok terapi (P<0.001) dan penurunan bermakna pada kelompok plasebo (P<0.001). Dari hasil penelitian tersebut, diambil kesimpulan bahwa pemberian estrogen maupun kombinasi estrogen-progestin dalam dosis yang lebih rendah dari 0.625 mg dan 2.5 mg efektif meningkatkan BMD dan BMC pada pascamenopause.

Sediaan sulih hormon yang terbanyak digunakan adalah bentuk oral. Meskipun demikian, pemberian sulih estrogen transdermal telah dibuktikan bermanfaat dalam mencegah terjadinya osteoporosis pascamenopause. Weiss dkk (1999)37

melakukan sebuah RCT untuk membuktikan manfaat 17β-estradiol (E2) transdermal dalam 4 dosis yang berbeda dalam mencegah osteoporosis pascamenopause. Setelah 2 tahun penelitian didapatkan hasil

Page 21: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 21/44

bahwa pemberian E2 transdermal dapat meningkatkan nilai rerata densitas tulang lumbal dan panggul. Kenaikan ini secara statistik lebih tinggi dibandingkan plasebo. Sayangnya, studi ini tidak membandingkan manfaat masing-masing dosis yang diteliti. Kelemahan lain studi ini adalah besarnya angka drop out.

3. Apakah pemberian terapi sulih hormon pada wanita perimenopause dapat memperbaiki profil lipid

Jawaban: Ya (Level of Evicence 1b )

Rasional:

Penelitian dari Postmenopausal Estrogen/Progestin Intervension (PEPI) trial (1995) berupa randomized, plasebo controlled dengan 875 responden menggunakan kombinasi CEE saja, kombinasi CEE dengan MPA siklik, CEE dan MPA harian atau kombinasi CEE dengan micronized progesteron (MP) siklik. Semua bahan aktif menyebabkan penurunan rerata LDL-kolesterol dan meningkatkan rerata kadar trigliserida bila dibandingkan dengan plasebo. Semua terapi estrogen meningkatkan HDL-kolesterol dengan peningkatan terbesar terjadi pada wanita yang mendapat CEE saja (5.6 mg/dl) atau CEE ditambah MP (4.1 mg/dl). Peningkatan HDL oleh estrogen dan progestin merupakan suatu hal yang penting karena HDL merupakan prediktor penting untuk penyakit arteri koroner pada wanita. Estrogen transdermal memiliki efek yang lebih kecil terhadap lipid dibandingkan dengan secara oral dan tidak memiliki efek apa-apa terhadap HDL-kolesterol.1

Pada studi yang sama, penambahan

progestin mungkin mengurangi penurunan LDL dan kenaikan HDL walaupun tidak sampai ke level pre-estrogen atau plasebo. Penambahan progesteron tersebut juga bisa menurunkan peningkatan trigliserida yang terjadi pada pemakaian estrogen saja. Efek progestin pada kadar kolesterol bervariasi secara signifikan sesuai dosis dan jenis progestin, terutama tergantung pada tingkat androgenisitasnya.1

Speroff dkk. (1996)40 melalui CHART Study Group melaporkan terdapat perubahan yang positif pada rasio kolesterol lipoproterin tinggi terhadap kolesterol lipoprotein densitas rendah pada semua grup terapi. Studi ini bertujuan untuk membandingkan efek dari kombinasi noretindron asetat (NA)-etinil estradiol (EE2) kontinyu dengan EE2 saja atau plasebo. Lama follow-up 2 tahun, sampel adalah 1265 wanita asimptomatik atau dengan gejala ringan berusia 40 tahun atau lebih yang telah mengalami menopause spontan pada 5 tahun terakhir dan memiliki uterus utuh. Pasien secara acak menerima plasebo atau 1 dari 8 grup terapi: 0.2 mg NA dan 1 μg EE2; 0.5 mg NA dan 2.5 μg EE2; 1 mg NA dan 5 μg EE2; 1 mg NA dan 10 μg EE2; 1 μg EE2; 2.5 μg EE2; 5 μg EE2 atau 10 μg EE2. Didapatkan hasil bahwa semua grup terapi secara signifikan mengalami penurunan LDL-C dari nilai dasar pada bulan ke-24 kecuali pada grup 1 μg EE2 (p<0.05). Semua grup EE2 mengalami peningkatan yang signifikan pada HDL-C (p<0.05). Semua grup terapi mengalami kenaikan kadar trigliserida pada bulan ke-24. Ratio HDL-C dan LDL-C memberikan nilai positif pada semua grup terapi; dengan persentase perubahan ratio dari data dasar berkisar antara 9%-33% untuk grup EE2 dan 11% untuk grup NA-EE2. Sehingga disimpulkan bahwa terapi harian NA-EE2 dapat ditoleransi dengan baik dan efeknya secara keseluruhan terhadap profil lipid darah baik.

Pada studi HERS, selama tahun pertama studi, LDL kolesterol turun sebanyak 14% pada grup terapi dan 3% pada grup plasebo. HDL kolesterol meningkat sebanyak 8% dan trigliserida sebanyak 10% pada grup terapi sedangkan pada grup plasebo HDL menurun sebanyak 2% dan trigliserida meningkat sebanyak 2%.1 Namun, untuk studi ini yang utamanya ditujukan untuk mengetahui efek HRT sebagai pencegahan primer penyakit kardiovaskular, kadar lipid serum hanya sebagai keluaran sekunder.

Secara umum, pemberian HRT dapat memperbaiki profil lipid darah dengan menurunkan LDL kolesterol, meningkatkan HDL serta trigliserida.

Page 22: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 22/44

4. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat menurunkan risiko kanker kolorektal?

Jawaban: Ya (Level of evidence Ib)Rasional:

Estrogen eksogen dianggap dapat mengurangi risiko kanker kolorektal dengan cara mengurangi konsentrasi cairan empedu di kolon, menurunkan produksi insulin-like growth factor I, bekerja langsung pada mukosa kolon atau gabungan dari kedua mekanisme tersebut.41,42 Cairan empedu dalam konsentrasi tinggi dalam kolon terbukti meningkatkan kejadian kanker kolon pada binatang percobaan. Pada pasien kanker kolon, didapatkan konsentrasi cairan empedu fekal yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat.41,43

Manfaat estrogen dalam menurunkan risiko kanker kolorektal ini didukung oleh banyak studi observasional. (Calle dkk. [1995], Grodstein dkk. [1998], Prihartono dkk. [2000])42,43,44

Chlebowski dkk (2004)45 melaporkan hasil penelitian WHI mengenai hubungan pemberian terapi sulih hormon pascamenopause dengan kanker kolorektal terhadap 16.608 wanita pascamenopause. Dari penelitian ini didapatkan bahwa wanita pada kelompok terapi lebih sedikit yang menderita kanker kolorektal dari tipe histologis apapun dibandingkan dengan kelompok plasebo (HR 0.61; 95% CI 0.42-0.87; P=0.007). Namun pada kelompok terapi, kanker yang ditemukan berada pada stadium yang lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo.

Mengenai lama penggunaan sulih hormon yang efektif menurunkan risiko kanker kolorektal, beberapa penulis menyatakan jangka waktu yang berbeda. Calle menyebutkan bahwa efek proteksi estrogen terhadap kanker kolon fatal maksimal terjadi setelah penggunaan selama 11 tahun.42 Prihartono menyebutkan berdasarkan studi kasus kontrol yang dilakukannya, penurunan risiko kanker kolon terbesar terjadi setelah pemakaian

sulih hormon selama paling kurang 10 tahun43. Sedangkan Grodstein menyebutkan bahwa efek proteksi maksimal terjadi setelah pemakaian selama 5 tahun dan tidak meningkat dengan perpanjangan durasi terapi, dan efek proteksi menghilang setelah 5 tahun penghentian terapi.44

5. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular?a. Sebagai pencegahan primer

Jawaban: Tidak (level of evidence 1a)

Rasional:

Meta-analisa terhadap studi observasional, studi cohort dan RCT yang dilakukan oleh Agency for Healtcare Research and Quality pada tahun 200046 melaporkan bahwa HRT berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya kejadian penyakit kardiovaskular dengan risiko relatif berkisar antara 1.26-1.35. Dalam meta-analisa ini, tidak ada satupun studi yang mengevaluasi insidens penyakit kardiovaskular dan risiko penggunaan HRT berdasarkan lama pemakaian HRT. Adapun studi yang dievaluasi dalam meta-analisa ini dilakukan dalam jangka waktu pendek.

Sebuah double-blind RCT dengan sampel sebanyak 16.608 yang dilakukan oleh WHI telah dimulai sejak tahun 1997 dengan keluaran utama adalah penyakit jantung koroner (PJK) berupa infark miokard nonfatal dan kematian PJK. Keluaran sekunder utama berupa kanker payudara invasif. Sampel adalah wanita pascamenopause dengan uterus utuh yang berusia 50-79 tahun dan dibagi secara acak menjadi grup hormon yang menerima 0,625 mg CEE dan 2,5 mg MPA (Prempro, Wyeth). Penelitian direncanakan akan berlangsung selama 8,5 tahun, tetapi diterminasi setelah 5,2 tahun karena dari uji statistik untuk kanker payudara invasif telah melewati batas penghentian untuk efek ikutan dan indeks statistik global untuk risiko telah

Page 23: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 23/44

melebihi manfaat. Hasil yang didapatkan: terapi kombinasi hormon berhubungan dengan Hazard Ratio untuk PJK 1.24 (nominal 95% CI, 1.00-1.54; 95% CI after adjustment for sequential monitoring, 0.97-1.60). Peningkatan risiko ini sangat nyata terlihat pada tahun pertama (Hazard Ratio-HR, 1.81; 95% CI,1.09-3.01). Disimpulkan estrogen dan progestin tidak memberikan perlindungan pada jantung dan mungkin meningkatkan risiko PJK di antara wanita pascamenopause sehat, terutama pada tahun pertama penggunaan hormon. Sehingga rejimen ini tidak diberikan untuk pencegahan primer PJK.47,48

b. Sebagai pencegahan sekunder

Jawaban: Tidak (level of evidence 1a)

Rasional:

Meta-analisa terhadap studi observasional, studi cohort dan RCT yang dilakukan oleh Agency for Healtcare Research and Quality, melaporkan bahwa HRT untuk pencegahan sekunder, tidak ditemukan bukti ilmiah yang menunjukkan HRT dapat menurunkan progresivitas atau kejadian penyakit arteri koroner pada wanita yang diketahui sudah memiliki penyakit arteri koroner sebelumnya.1

The Heart and Estrogen/progestin Replacement Study (HERS) Research Group49 mengadakan double-blind randomized controlled trial yang melibatkan 2763 wanita pascamenopause berusia kurang dari 80 tahun dengan PJK dan uterus utuh. Mereka secara random mendapatkan 0,625 mg CEE plus 2,5 mg MPA atau plasebo. Keluaran utama yang dinilai adalah adanya infark miokard nonfatal atau kematian akibat PJK. Keluaran kardiovaskular sekunder yang diamati termasuk revaskularisasi koroner, angina tidak stabil, gagal jantung kongestif, serangan jantung, stroke, transient ischemic attack (TIA) dan gangguan arteri perifer.

Setelah pengamatan selama 4,1 tahun, didapatkan hasil bahwa tidak

terdapat perbedaan yang bermakna pada keluaran utama maupun sekunder untuk kedua kelompok: 172 wanita pada grup hormon dan 176 wanita pada grup plasebo mengalami infark miokard atau kematian akibat PJK (relative hazard [RH], 0.99;95% confidence interval [CI], 0.80-1.22). Within the overall null effect, terdapat tren waktu yang signifikan, di mana lebih banyak kejadian PJK pada grup hormon daripada grup plasebo pada tahun pertama dan berkurang pada tahun ke-4 dan 5.

Disimpulkan terapi oral CEE dan medroksiprogesteron asetat tidak menurunkan tingkat kejadian PJK pada wanita pascamenopause dengan PJK. Sehingga berdasarkan temuan tidak adanya manfaat secara keseluruhan terhadap kardiovaskular dan adanya peningkatan risiko kejadian CHD pada awal masa uji, HERS tidak merekomendasikan terapi ini untuk tujuan pencegahan sekunder PJK. Tetapi, dengan adanya perbaikan pola kejadian PJK di tahun-tahun terakhir observasi, terapi ini mungkin bisa digunakan pada wanita yang sudah menerima terapi hormon untuk melanjutkannya.49

Uji klinis yang dilakukan oleh ERA (Estrogen Replacement and Atherosclerosis) dengan 309 sampel meneliti CEE 0.625 mg per hari atau CEE 0.625 mg plus MPA 2.5 mg per hari menggunakan angiografi dalam konfirmasi penyakit arteri koroner. Setelah follow up selama 3,2 tahun didapatkan hasil yang konsisten dengan HERS tetapi berbeda dalam tidak ditemukannya peningkatan frekuensi PJK pada tahun awal penggunaan terapi hormon. Selain itu, studi ini juga membuktikan bahwa baik estrogen saja maupun estrogen plus progestin tidak memberikan perbedaan dalam kejadian penyakit koroner.

Penelitian randomized placebo controlled trial dari tim ESPRIT (1996-2000) melibatkan 1017 wanita dengan usia median 62,6 tahun yang secara acak menerima oestradiol valerat 2 mg

Page 24: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 24/44

perhari. Keluaran utama adalah infark ulangan atau kematian akibat kelainan jantung (cardiac death). Follow up dilakukan selama 24 bulan Didapatkan hasil: tidak ada perbedaan frekuensi kejadian infark ulangan atau kematian akibat kelainan jantung antara grup terapi dengan grup plasebo (rate ratio 0.99, 95% CI, 0.70-1.41, p=0.97). Risiko relatif untuk semua kematian dan kematian akibat kelainan jantung terendah pada 3 bulan pertama setelah perekrutan responden. Sehingga disimpulkan estradiol valerat tidak menurunkan risiko secara keseluruhan untuk terjadinya serangan jantung lebih lanjut pada wanita postmenopausal yang selamat dari infark miokard sebelumnya.50

6. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat menurunkan risiko terjadinya stroke?

Jawaban: Tidak (level of evidence 1 a), justru meningkatkan

Rasional:

Meta-analisa oleh Agency for Healthcare Research and Quality untuk HRT terhadap stroke secara keseluruhan melaporkan terdapat peningkatan risiko yang signifikan pada pasien yang pernah memakai HRT (RR 1.12, 95% CI, 1.01-1.23). Untuk stroke iskemik terdapat peningkatan risiko yang signifikan pada kelompok yang menggunakan HRT (RR 1.20, 95% CI, 1.05-1.40). Sedangkan untuk stroke hemoragik, risiko relatif yang didapat adalah 0.80 (95% CI, 0.57-1.05).1

Sebuah multicenter, double-blind, placebo-controlled, randomised clinical trial yang diadakan WHI51 melibatkan 16.608 wanita pascamenopause sehat berusia 50 sampai 79 tahun dengan rerata follow-up sejumlah 5.6 tahun. Kelompok terapi menerima 0.625 mg/hari CEE dan 2.5 mg MPA. Keluaran utama yang dinilai adalah kejadian stroke secara keseluruhan, stroke menurut subtipe dan keparahannya. Didapatkan hasil 151 responden (1,8%) dari kelompok terapi dan 107 responden (1,3%)

dari kelompok plasebo mengalami stroke. Dari stroke secara keseluruhan, 79,8% di antaranya adalah stroke iskemik. Untuk stroke secara keseluruhan, the intention-to-treat hazard ratio (HR) pada kelompok terapi adalah 1,31 (95% CI, 1.02-1.68), with adjustment for adherence HR menjadi 1,5 (95% CI, 1.08-2.08). HR untuk stroke iskemik adalah 1,44 (95% CI, 1.09-1.90. Sehingga disimpulkan bahwa estrogen dan progestin meningkatkan risiko terjadinya stroke iskemik pada wanita pascamenopause sehat. Serta terdapat peningkatan risiko untuk stroke secara keseluruhan pada semua subgrup yang diteliti.

RCT lain mengenai HRT (CEE dan MPA) sebagai pencegahan sekunder terhadap stroke, dilakukan oleh HERS dengan besar sampel 2763 dan usia rerata 67 tahun. Stroke dan TIA merupakan keluaran sekunder dari penelitian yang berlangsung selama 4,1 tahun ini. Untuk stroke nonfatal didapatkan RH 1.18, 95% CI 0.83-1.66; stroke fatal RH 1.61, 95% CI 0.73-3.55; dan TIA RH 0.90, 95% CI 0.57-1.42. Sehingga disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara terapi sulih hormon dengan risiko stroke pada wanita pascamenopause yang mengalami penyakit koroner.52

Hasil serupa didapatkan dari RCT lain yang diadakan oleh Women’s Estrogen for Stroke Trial (WEST, 1993)53. Penelitian dilakukan terhadap estrogen untuk pencegahan sekunder penyakit serebrovaskular. Penelitian ini melibatkan 664 wanita pascamenopause yang baru mengalami stroke iskemik atau transient ischemic attack (TIA) dengan rerata usia 71 tahun. Untuk grup terapi diberikan 1 mg estradiol-17β per hari. Follow-up dilakukan selama 2,8 tahun dengan keluaran utama adalah kematian dengan sebab apapun atau stroke nonfatal; keluaran sekunder berupa TIA. Didapatkan hasil: 99 stroke atau kematian pada grup terapi dan 93 kasus pada grup plasebo (risiko relatif (RR) pada grup terapi 1,1; 95% CI, 0.8-1.4). terapi estrogen tidak menurunkan risiko untuk terjadinya kematian (RR 1,2; 95% CI, 0.8-1.8) atau risiko untuk stroke nonfatal (RR 1,0; 95% CI, 0.7-1.4). Wanita yang

Page 25: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 25/44

menerima terapi estrogen memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami stroke fatal (RR 2,9; 95% CI 0.9-9.0) dan untuk stroke nonfatal, terdapat defisit fungsional dan neurologis yang sedikit lebih buruk daripada grup plasebo. Sehingga disimpulkan estradiol tidak menurunkan mortalitas atau berulangnya stroke pada wanita pascamenopause dengan penyakit serebrovaskular. Terapi ini tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai pencegahan sekunder untuk penyakit serebrovaskular.

7. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat menurunkan risiko demensia?

Jawaban: Tidak (level of evidence Ib)

Rasional:

Penyakit Alzheimer ditemukan hampir 10% usia >65 tahun dan 50% usia >85 tahun. Saat ini di Amerika Serikat terdapat 4 juta orang yang menderita penyakit ini dan diperkirakan akan meningkat menjadi 14 juta orang pada tahun 2040.54 Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit Alzheimer dibanding laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena lebih banyak wanita yang mencapai usia yang lebih tua yang merupakan risiko untuk menderita penyakit alzheimer, tetapi insiden age-specific penyakit Alzheimer juga lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Diperkirakan bahwa defisiensi hormon steroid pada wanita tua memegang peranan pada perbedaan ini.55 Walaupun wanita pascamenopause memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit Alzheimer, tetapi hasil beberapa studi yang menilai efek terapi estrogen terhadap penyakit Alzheimer masih inkonsisten.

Estrogen mempunyai reseptor α dan β pada sel neuron dan mempengaruhi beberapa sistim neurotransmiter asetilkolin, dopamin, glutamat, noradrenalin dan serotonin. Peranan estrogen di otak dari hasil-hasil penelitian antara lain meningkatkan fungsi neuronal, memodulasi plastisitas sinaps, potensiasi pembentukan memori, meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) dan transport aktif glukosa di sistim

saraf pusat serta neuroprotektor pada keadaan-keadaan tertentu.

Pada penelitian ditemukan bahwa progesteron meningkatkan kerja neurotransmiter inhibitor GABA, menurunkan aktivitas neurotransmiter eksitatorik glutamat, menurunkan metabolisme sel dan pada penderita epilepsi dapat menurunkan serangan. Sebuah studi menyatakan bahwa pada wanita epilepsi dengan fase luteal yang tidak adekuat (estradiol meningkat, progesteron rendah) terjadi serangan epilepsi yang tidak terkendali, sebaliknya pada fase mid luteal normal (kadar progesteron tertinggi) serangan epilepsi tidak terjadi.

Hasil studi RCT oleh WHIMS54 (2003) yang menilai insidens probable dementia menemukan bahwa terapi estrogen plus progestin meningkatkan risiko probable dementia pada wanita pascamenopause yang berusia 65 tahun atau lebih. Studi ini melibatkan partisipan studi WHI yang berusia 65 tahun atau lebih. Jumlah wanita yang menderita probable dementia pada kelompok estrogen-progestin 2 kali lebih banyak dibanding kelompok plasebo (Hazard ratio (HR) 2,05 (95% CI 1,21-3,48; 45 vs 22 per 10.000 person-years; P=0,01). Penyakit Alzheimer merupakan klasifikasi terbanyak dari demensia baik pada kelompok estrogen-progestin (20 [50%]) maupun kelompok plasebo (12 [57,1%]). Risiko untuk terjadinya demensia makin meningkat dengan semakin tuanya umur (3,54 kali lebih tinggi pada usia 70-74 tahun dan 12,22 kali lebih tinggi pada usia 75-80 tahun dibandingkan dengan usia 65-69 tahun). Risiko meningkat 3,78 kali bila nilai 3MSE di atas cutt point-94 dan 24,84 kali bila nilai 3MSE pada atau di bawah cutt point, dari nilai 3 MSE 95-100). Hasil ini spesifik untuk penggunaan CEE-MPA (0,625 mg dan 2,5 mg/hari) dan mungkin tidak dapat digunakan untuk kombinasi estrogen/progestin lain, dosis, ataupun cara pemberian. Penelitian ini terbatas pada wanita yang berusia lebih dari 65 tahun. Beberapa peneliti memperkirakan untuk pencegahan demensia terapi hormon harus dimulai di sekitar usia menopause.

Page 26: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 26/44

Dari hasil meta-analisa dan systematic review 10 studi kasus-kontrol dan 2 studi kohort oleh LeBlanc dkk. (2001)56

ditemukan adanya penurunan risiko demensia pada pengguna terapi sulih hormon (summary odds ratio, 0,66;95% CI 0,53-0,82) tetapi kebanyakan studi memiliki keterbatasan metodologi yang penting. Dua studi kohort yang diikutkan memiliki sampel dengan rerata usia 61,5 tahun dan 74,2 tahun. Untuk studi kasus kontrol RR 0,71 (95% CI 0,56-0,91) dan studi kohort RR 0,50 (95% CI 0,30-0,80). Tetapi studi-studi ini memiliki keterbatasan karena kemungkinan bias dan kurangnya kontrol terhadap faktor confounding. Studi yang ada tidak memiliki informasi yang cukup untuk dapat mengkaji secara adekuat efek penggunaan progestin, berbagai sediaan dan dosis estrogen atau lamanya penggunaan.

8. Apakah pada wanita pascamenopause pemberian terapi sulih hormon dapat menghilangkan sindrom mata kering?

Jawaban: Tidak (Level of evidence IIb), justru meningkatkan risiko

Rasional:

Rendahnya kadar estrogen dan androgen ternyata sangat berpengaruh terhadap produksi kelenjar air mata. Wanita pasca menopause sering mengeluh matanya kering dan terasa gatal. Keluhan ini disebut sebagai sindrom mata kering (dry eye syndrome). Pemberian estrogen dianggap bermanfaat untuk mengatasi keadaan ini.

Sebuah studi kohort dalam skala besar oleh The Women’s Health Study menjelaskan hubungan antara penggunaan sulih hormon selama 48 bulan dengan dry eye syndrome. Studi ini melibatkan 25.665 wanita pascamenopause yang mendapatkan sulih hormon. Dari studi tersebut didapatkan OR=1.69 (95% CI, 1.49-1.91) pada kelompok yang hanya mendapatkan estrogen, dan 1.29 (95% CI, 1.13-1.48) pada kelompok yang menggunakan rejimen kombinasi. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa penggunaan sulih hormon khususnya estrogen meningkatkan risiko terjadinya dry eye syndrome.57

9. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat meningkatkan risiko tromboemboli vena?

Jawaban: Ya (level of evidence 1a)

Rasional:

Meta-analisa yang dilakukan oleh USPSTF diperoleh dari 3 RCT, 8 studi kasus kontrol dan 1 studi kohort. Terapi sulih hormon berhubungan dengan peningkatan risiko tejadinya tromboemboli vena RR 2.14 (CI 1.64-2.81). Terdapat peningkatan absolut 1.5 kejadian tromboemboli vena per 10.000 wanita dalam 1 tahun. Dari 5 studi kasus kontrol dilaporkan bahwa risiko tertinggi terjadi pada tahun pertama penggunaan (OR 2.9-6.7). Data uji klinis didapatkan dari HERS, PEPI dan ERA. Namun, tromboemboli vena pada ketiga uji klinis ini bukan merupakan keluaran utama. Besar sampel secara keseluruhan dari uji klinis yang dievaluasi 3.947.58 HERS dan ERA melibatkan sampel dengan usia lebih tua (usia rata-rata 66.7 tahun) dan memiliki penyakit arteri koroner sedangkan PEPI melibatkan sampel dengan usia lebih muda dan sehat (usia rata-rata 56,1 tahun).RCT oleh WHI menunjukkan bahwa pemberian 0,625 mg estrogen konyugasi plus MPA pada wanita pascamenopause sehat dapat meningkatkan risiko terjadinya tromboemboli vena (VTE) 2 kali lebih besar, begitu juga untuk trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE) dibandingkan kontrol.59

10. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat meningkatkan risiko kanker payudara?

Jawaban: a. Pemberian terapi sulih hormon

kombinasi estrogen-progestin meningkatkan risiko kanker payudara. (level of evidence Ib)

b. Pemberian terapi sulih hormon yang mengandung estrogen saja menurunkan risiko kanker payudara. (level of evidence Ib)

Rasional:

Page 27: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 27/44

Hubungan antara pemberian sulih hormon, terutama estrogen dengan keganasan payudara sudah banyak dibuktikan. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan hubungan tersebut. Secara fisiologis, estrogen bekerja di jaringan payudara dengan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi epitel duktal, menimbulkan aktifitas mitotik sel-sel duktal dan merangsang pertumbuhan jaringan penunjang payudara. Dengan demikian, estrogen merangsang pertumbuhan sel kanker payudara.19 Sebuah review artikel-artikel terdahulu menyatakan bahwa penggunaan sulih hormon dapat meningkatkan risiko kanker payudara.60

Penambahan progestin pada terapi sulih estrogen dianggap dapat menurunkan risiko kanker payudara.

Terapi Sulih Hormon Kombinasi estrogen-progestin

Colditz dkk. (1995)61 dalam laporan RCT-nya terhadap 69.586 wanita pascamenopause, menyebutkan bahwa risiko kanker payudara meningkat pada penggunaan sulih hormon. Pada kelompok yang hanya menggunakan estrogen konjugasi saja (RR=1.32; 95% CI 1.14-1.54), estrogen-progestin (RR=1.41; 95% CI 1.15-1.74) dan progestin saja (RR=2.24; 95% CI 1.26-3.98) namun, perbedaan ketiganya tidak bermakna. Risiko terkena kanker payudara pada wanita yang mendapatkan terapi sulih hormon selama 5 tahun atau lebih ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah mendapatkan sulih hormon. Pada kelompok usia 55-59 tahun RR=1.54 (95% CI 1.19-2.00), pada kelompok usia 60-64 tahun RR=1.71 (95% CI 1.34-2.18). Kelompok wanita yang pernah mendapatkan sulih hormon selama 5 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi selama beberapa waktu setelah penghentian terapi. Pada kelompok wanita yang masih menggunakan terapi sulih hormon, risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker payudara terdapat pada kelompok usia yang lebih tua (RR=1.69 untuk usia 65-69 tahun; 1.42 untuk usia 60-64; 1.41 untuk usia 50-54 dan mendekati 1 untuk usia <50 tahun). Peningkatan risiko ini hanya bermakna pada kelompok wanita

yang mendapat sulih hormon lebih dari 5 tahun. Penelitian ini juga membuktikan bahwa penambahan progestin dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Hal ini didukung oleh berbagai studi observasional (Iowa Women’s Health Study [1999], Ross dkk. [2000] Schairer dkk. [2000]).62,63,64

Pemberian terapi sulih hormon, estrogen maupun estrogen-progestin, juga mempengaruhi gambaran mamografi. Seperti diketahui bahwa kanker payudara seringkali memberikan gambaran mamografi abnormal. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan densitas mamografi merupakan faktor risiko independen kanker payudara. Sebuah RCT (Postmenopausal Estrogen/Progestin Interventions)65

membuktikan bahwa pemberian sulih hormon meningkatkan densitas parenkim payudara pada pemeriksaan mamografi. Setelah pemakaian selama 12 bulan, didapatkan persentase kenaikan densitas parenkim payudara sebesar 0% (95% CI, 0.0%-4.6%) pada kelompok plasebo; 3.5% (95% CI,1.0%-12.0%) pada kelompok estrogen konjugasi; 23.5% (95% CI,11.9%-35.1%) pada kelompok CEE-MPA siklik; 19.4%(95% CI,9.9%-28.9%) pada kelompok CEE-MPA harian dan 16.4% (95% CI,6.6%-26.2%).

Sebuah laporan RCT dari The Women’s Health Initiative Study66 menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang mereka lakukan terhadap 16.608 wanita pascamenopause mengenai pengaruh pemberian estrogen (CEE 0.625 mg/hari)-progestin (MPA 2.5 mg/hari) terhadap risiko kanker payudara, pemberian estrogen-progestin meningkatkan total kejadian kanker payudara (HR 1.24;P<0.001) dan kanker invasif (HR 1.24;P=0.003) dibandingkan dengan plasebo. Saat diagnosis ditegakkan, kanker payudara pada kelompok terapi berukuran lebih besar (mean[SD], 1.7cm[1.1] vs 1.5cm[0.9], P=0.04), dengan kelenjar positif lebih banyak (25.9% vs 15.8%, P=0.03) dan berada pada stadium yang lebih tinggi (regional metastasis 25.4% vs 16.0%, P=0.04) dibandingkan kelompok plasebo. Setelah 1 tahun pemakaian, gambaran

Page 28: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 28/44

mamografi kelompok usia 50-59 tahun yang abnormal lebih banyak terdapat pada kelompok terapi, dibandingkan kelompok plasebo (8.8% vs 5.9%, P<0.001).

Penelitian mengenai pengaruh pemberian terapi sulih hormon terhadap peningkatan risiko kanker payudara hingga kini masih memberikan hasil yang berbeda. Studi-studi terdahulu menyimpulkan bahwa terapi sulih hormon dapat meningkatkan risiko kanker payudara yang makin meningkat dengan bertambahnya durasi penggunaan. Namun, hingga kini belum ada penelitian yang menghubungkan antara dosis pemakaian dengan peningkatan risiko kanker payudara. Studi terbaru dari WHI menyimpulkan bahwa penggunaan estrogen justru menurunkan risiko kanker payudara, meskipun disepakati bahwa hal ini masih membutuhkan analisa lebih lanjut.

Terapi Sulih Hormon Estrogen (CEE)

Studi terbaru oleh WHI terhadap 10.739 subyek mengenai pengaruh pemberian CEE (0.625 mg/hari) pada wanita pascamenopause pasca histerektomi yang dijadwalkan selesai pada 2005, dihentikan sebelum waktunya setelah menilai keamanan penggunaannya.67 Pada penelitian ini, didapatkan bahwa risiko untuk timbulnya kanker payudara sedikit menurun dengan pemberian estrogen konjugasi dibandingkan plasebo dengan HR 0.77 (95% CI=0.59-1.01). Angka ini dianggap telah melebihi batas keamanan penelitian. Peneliti sepakat bahwa angka ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

11. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat meningkatkan risiko kanker endometrium?

Jawaban:a. Pemberian terapi sulih hormon yang

mengandung estrogen saja selama 6 bulan sampai 3 tahun tidak meningkatkan risiko kanker endometrium (Level of evidence Ia)

b. Pemberian terapi sulih hormon yang mengandung estrogen saja selama 1

sampai 5 tahun dan seterusnya meningkatkan risiko kanker endometrium (Level of evidence IIb)

c. Bukti ilmiah yang ada tidak cukup untuk menerangkan hubungan terapi sulih hormon kombinasi estrogen-progestin dengan kanker endometrium, studi yang ada memberikan hasil yang inkonsisten.

Rasional:

Adanya kemungkinan hubungan terapi sulih hormon pascamenopause dengan keganasan ginekologik telah menjadi perhatian sejak bertahun-tahun. Penggunaan estrogen saja diketahui dapat menyebabkan berkembangnya hiperplasia dan kanker endometrium.68 Hasil beberapa studi menunjukkan adanya hubungan kausal antara terapi sulih hormon yang terdiri dari estrogen saja dengan induksi hiperplasia dan karsinoma endometrium (Ziel 1975, Smith 1977, Gardan 1977, Antunes 1979, dan Grady 1995). Hiperplasia endometrium dianggap sebagai prekursor kanker endometrium tetapi progesifitasnya bergantung dari tipe hiperplasia (Kurman 1985; Terakawa 1997). Risiko hiperplasia dan atau kanker ini meningkat dengan semakin tingginya dosis dan makin lamanya penggunaan estrogen saja.69

Untuk menurunkan atau menghindarkan risiko tersebut pada terapi sulih hormon ditambahkan progestin. Penambahan progestin menghilangkan efek ini melalui beberapa mekanisme meliputi: menurunkan jumlah reseptor estrogen, meningkatkan metabolisme estradiol oleh estradiol-17β dehidrogenase, pengaturan beberapa growth factors, penurunan sintesis DNA dan meluruhkan endometrium (endometrial shedding).70 Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa penambahan progestogen pada terapi sulih hormon yang mengandung estrogen saja bermakna menurunkan risiko hiperplasia endometrium (Whitehead 1977, Cust 1990, Udoff 1995), tetapi menyebabkan gejala premenstrual, perdarahan vagina dan spotting, keadaan ini sering menjadi alasan wanita menghentikan penggunaan terapi sulih hormon. Data epidemiologi tentang penggunaan kombinasi estrogen-progestin

Page 29: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 29/44

masih inkonklusif, masih sering menjadi pertentangan dan penelitian randomized tentang ini juga masih sangat terbatas.68,70

Terapi Sulih Hormon Estrogen

Meta-analisa oleh Lethaby dkk. dalam Cochrane review69 (1999) yang mencakup 18 penelitian RCT dengan partisipan berusia 40-65 tahun dan durasi pemberian hormon selama 6 bulan sampai 3 tahun, menyatakan bahwa terapi estrogen saja (unopposed estrogen) dosis sedang atau tinggi berhubungan dengan peningkatan bermakna kejadian hiperplasia endometrium dengan semakin lamanya penggunaan dan pemantauan. Penggunaan estrogen dosis sedang, OR bervariasi dari 5,4 (95% CI 1,4-20,9) pada penggunaan selama 6 bulan, sampai 16.0 (95% CI 9,3-27,5) pada penggunaan selama 36 bulan. Penggunaan estrogen dosis tinggi, OR bervariasi dari 9,1 (95% CI 3,6-22,9) pada penggunaan selama 6 bulan sampai 13,1 (95% CI 5,9-29,0) pada penggunaan selama 24 bulan. Pada penggunaan estrogen dosis rendah tidak ada bukti peningkatan kejadian hiperplasia endometrium. Tidak ada peningkatan kejadian kanker endometrium diamati pada semua kelompok pengobatan selama pemantauan maksimal 3 tahun dari studi-studi yang diikutkan. Penggunaan estrogen saja juga meningkatkan perdarahan ireguler dan ketidakpatuhan terhadap terapi, dengan OR setelah 6 bulan pengobatan masing-masing 1,9, (95% CI 1,1-3,5) dan 3,6, (95% CI 2,3-5,5) dan efek paling besar terjadi pada terapi dosis tinggi (OR 6,0, 95% CI 2,8-12,9 dan OR 6,8, (95% CI 3,4-14,0). Biopsi yang tidak dijadwalkan dan dilatasi kuretase juga meningkat pada penggunaan estrogen saja (OR 19,9; 95% CI 12,0-33,1).

Meta-analisa 30 studi observasional (25 studi kasus-kontrol dan 5 studi kohort) oleh Grady dkk. (1995)71 menyimpulkan bahwa risiko kanker endometrium meningkat

dengan makin lamanya penggunaan estrogen saja (unopposed estrogen) dan peningkatan risiko ini menetap selama beberapa tahun setelah penghentian terapi. Pada pembandingan antara pengguna estrogen saja dengan yang tidak pernah menggunakan didapatkan summary RR kanker endometrium 2,3 (95% CI 2,1-2,5), dengan summary RR studi kohort 1,7 (95% CI 1,3-2,1) dan studi kasus-kontrol 2,4 (95% CI 2,2-2,6). Summary RR makin tinggi dengan semakin lamanya penggunaan (<1 tahun summary RR 1,4 [95% CI 1,0-1,8], 1-5 tahun summary RR 2,8 [95% CI 2,3-3,5], 5-10 tahun summary RR 5,9 [95% CI 4,7-7,5] dan ≥10 tahun summary RR 9,5 [95% CI 7,4-12,3]). Risiko kanker endometrium masih tetap tinggi setelah ≥5 tahun penghentian terapi (RR 2,3, 95% CI 1,8-3,1). Risiko kematian akibat kanker endometrium juga meningkat walaupun tidak bermakna secara statistik (RR 2,7 (95% CI 0,9-8,0). Pengguna estrogen konjugasi memiliki RR kanker endometrium yang lebih tinggi dibanding pengguna estrogen sintetik (RR estrogen konyugasi 2,5 [95% CI 2,1-2,9], sedangkan estrogen sintetik 1,3 [95% CI 1,1-1,6]). Summary RR juga meningkat untuk semua dosis estrogen konyugasi yang digunakan pada studi-studi ini, termasuk dosis 0,3 mg/hari (RR 3,9, 95% CI 1,6-9,5).

Hasil studi kasus-kontrol oleh Weiderpass dkk.72 (1999) pada wanita pascamenopause yang berusia 50-74 tahun, yang berdasarkan populasi nasional di Swedia menyimpulkan bahwa risiko kanker endometrium meningkat pada penggunaan estrogen saja jangka lama. Kelompok yang menggunakan estrogen potensi sedang memiliki OR kanker endometrium 3,2 (95% CI 2,4-4,4) dibandingkan yang tidak pernah menggunakan. Peningkatan risiko ini bergantung dari lama dan dosis estrogen yang digunakan.

Tabel 3. ODDS Ratio (OR) dan Confidence Interval (CI) kanker endometrium invasif pada penggunaan estrogen potensi sedang

Jenis Estrogen Dosis EstrogenKategori Estrogen

konyugasi Estradiol Dosis rendah Dosis tinggi

Page 30: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 30/44

(OR, 95% CI) (OR, 95% CI) (OR, 95% CI) (OR, 95% CI)Pernah menggunakan

4,0 (2,5-6,4) 2,5 (1,7-3,6) 2,4 (1,4-4,1) 3,4 (2,3-5,1)

Lama penggunaan- < 5 tahun

2,2 (1,1-4,6) 1,7 (1,1-2,7) 1,5 (0,8-3,0) 1,6 (0,9-2,9)

- ≥ 5 tahun

6,6 (3,6-12,0) 6,2 (3,1-12,6) 4,6 (1,8-11,7) 8,7 (4,7-15,9)

- ≥ 10 tahun

9,2 (4,4-19,4) 7,5 (3,0-18,9) 3,6 (1,0-12,8) 13,6 (6,2-29,4)

- tiap tahun penggunaan

1,15 (1,10-1,20) 1,17 (1,10-1,23) 1,12 (1,04-1,20) 1,18 (1,13-1,24)

Peningkatan risiko kanker endometrium terjadi pada penggunaan selama 5 tahun atau lebih dan semakin meningkat bermakna pada penggunaan 10 tahun atau lebih. Penggunaan dosis rendah selama ≥5 tahun meningkatkan RR 4 kali lipat dan dosis tinggi 8 kali lipat dan risiko ini makin tinggi dengan makin lamanya penggunaan. Pada penggunaan jangka lama (≥ 5 tahun), setelah penghentian penggunaan selama 5 tahun atau lebih risiko masih tetap tinggi (OR masing-masing 7,5, 95% CI 4,1-13,8 dan 6,3, 95% CI 3,4-11,8)

Terapi Sulih Hormon Kombinasi Estrogen-Progestin

Meta-analisa oleh Lethaby dkk dalam Cochrane review69 (1999) menyatakan bahwa penambahan progestogen baik secara siklik ataupun kontinyu membantu mencegah berkembangnya hiperplasia endometrium dan meningkatkan kepatuhan terhadap terapi. Tidak ada perbedaan bermakna kejadian hiperplasia endometrium atau karsinoma pada pembandingan antara pemberian kombinasi estrogen-progestogen kontinyu maupun sekuensial dengan plasebo. Terapi kombinasi kontinyu dan sekuensial juga meningkatkan kepatuhan terhadap terapi dibandingkan terapi estrogen saja (OR untuk terapi sekuensial 3,4; 95% CI 2,2-5,1 dan terapi kontinyu 6,0; 95% CI 3,6-10,0). Perdarahan irregular, lebih mungkin terjadi pada penggunaan terapi kontinyu dibanding sekuensial (OR=2,3, 95%CI 2,1-2,5) tetapi pada penggunaan jangka lama, terapi kontinyu lebih mampu mencegah hiperplasia endometrium (OR=0,3, 95% CI 0,1-0,97) dibandingkan terapi sekuensial. Hiperplasia juga lebih mungkin terjadi bila progestogen pada terapi sekuensial diberikan tiap 3 bulan dibanding tiap bulan.

Hasil studi randomized, double-blind, placebo-controlled trial yang dilakukan oleh WHI68 (2003) pada 16 608 wanita

pascamenopause yang berusia 50-79 tahun menemukan bahwa pada pemberian tablet yang mengandung CEE 0,625 mg dan MPA 2,5 mg/hari, 111 partisipan didiagnosa menderita kanker ginekologik invasif selama pemantauan 5,6 tahun dan kanker endometrium ditemukan pada 58 partisipan. Pada kelompok yang menggunakan estrogen-progestin ditemukan penurunan risiko kanker endometrium yang kecil (19%) dan tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan plasebo (27 dibanding 31), HR 0,81, 95% CI 0,48-1,36 (adjusted 95% CI, 0,40-1,46). Juga tidak ditemukan perbedaan peningkatan efek seiring dengan waktu yang bermakna secara statistik. Kelompok yang menggunakan estrogen-progestin juga memerlukan biopsi endometrium 5 kali lebih banyak dibanding plasebo (33% dibanding 6%; P<0,001) dan ultrasound vaginal (12,8% vs 4,1%; P<0,001). Hasil biopsi pada sebagian besar kelompok yang menggunakan estrogen-progestin memberikan gambaran normal (85% dibanding 68%), yang menunjukkan bahwa peningkatan perdarahan bukan berasal dari lesi maligna atau premaligna. Hasil ultrasound transvagina juga tidak berbeda bermakna. Tidak ada bukti perbedaan distribusi kelas histologi, derajat morfologi, ataupun stadium penyakit pada saat diagnosis kanker endometrium. Tidak ada hubungan bermakna ditemukan pada umur,

Page 31: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 31/44

ras/etnik, indeks masa tubuh, hipertensi, merokok, dan riwayat penggunaan estrogen saja atau estrogen-progestin sebelumnya.

Meta-analisa oleh Grady dkk. (1995)71

terhadap 5 studi observasional (3 studi kasus-kontrol dan 2 studi kohort) menyimpulkan bahwa data mengenai risiko kanker endometrium pada penggunaan kombinasi estrogen-progestin masih terbatas dan diperdebatkan. Meskipun summary RR untuk kanker endometrium pada penggunaan kombinasi estrogen-progestin 0,8 (95% CI 0,6-1,2), tetapi hasil antara studi kohort dan kasus kontrol berbeda. Studi kohort menunjukkan adanya penurunan risiko kanker endometrium (RR

0,4, 95% CI 0,2-0,6) sedangkan studi kasus kontrol menunjukkan peningkatan risiko yang kecil (RR 1,8, 95% CI 1,1-3,1). Pada satu studi kasus-kontrol ditemukan RR kanker endometrium pada penggunaan progestin < 10 hari/bulan 2,0, sedangkan penggunaan sedikitnya 10 hari/bulan RR 0,9.

Hasil studi kasus kontrol oleh Weiderpass dkk. (1999)72 menyimpulkan bahwa risiko kanker endometrium meningkat pada penggunaan kombinasi estrogen progestin siklik dan penambahan progestin secara kontinyu diperlukan untuk menurunkan risiko tersebut.

Tabel 4. ODDS Ratio (OR) dan Confidence Interval (CI) kanker endometrium invasif pada penggunaan kombinasi estrogen potensi sedang-progestin

Pemberian progestin Asal progestin Kategori Siklik

(OR, 95% CI)Kontinyu

(OR, 95% CI)Progesteron(OR, 95% CI)

Testosteron (OR, 95% CI)

Pernah menggunakan 2,0 (1,4-2,7) 0,7 (0,4-1,0) 2,0 (1,3-3,0) 1,0 (0,8-1,4)Lama penggunaan- < 5 tahun 1,5 (1,0-2,2) 0,8 (0,5-1,3) 1,5 (0,8-3,0) 1,6 (0,9-2,9)- ≥ 5 tahun 2,9 (1,8-4,6) 0,2 (0,1-0,8) 4,6 (1,8-11,7) 8,7 (4,7-15,9)- tiap tahun penggunaan

1,10 (1,06-1,15) 0,86 (0,77-0,97) 1,12 (1,06-1,18) 1,00 (0,95-1,06)

Pada penggunaan selama < 5 tahun, tidak ada peningkatan risiko kanker endometrium dan penggunaan selama ≥ 5 tahun RR kanker endometrium meningkat hanya pada wanita yang menggunakan progestin secara siklik (<16 hari/siklus, paling sering 10 hari/siklus), sedangkan penggunaan progestin secara kontinyu bersama estrogen malah menurunkan risiko. Berbeda dengan penggunaan estrogen saja, setelah penghentian terapi selama 5 tahun atau lebih, RR pada penggunaan sediaan kombinasi tidak menetap tinggi. RR kanker endometrium pada penggunaan sediaan kombinasi selama ≥ 5 tahun lebih rendah dibandingkan estrogen saja (OR 1,65 [95% CI 1,1-2,4]).

Hasil studi follow-up yang dilakukan oleh Wells dkk. (2002)70 pada 534 wanita pascamenopause yang berusia rata-rata

54,2 tahun menyimpulkan bahwa pengobatan jangka lama (sampai 5 tahun) dengan terapi sulih hormon kombinasi kontinyu yang terdiri dari 2 mg 17β-estradiol dan 1 mg noretisterone asetat tidak berhubungan dengan hiperplasia endometrium dan keganasan. Lamanya pengobatan rata-rata dengan terapi sulih hormon kombinasi kontinyu 4,4 tahun (rentang 1,1-5,9 tahun). Biopsi aspirasi endometrium dilakukan sebelum terapi kombinasi kontinyu dimulai, setelah 9 dan 24-36 bulan dan setelah 5 tahun pengobatan atau saat withdrawl dari studi dan tidak ada kasus hiperplasia endometrium ataupun keganasan ditemukan dari hasil biopsi. Saat studi selesai atau saat withdrawl dari studi, juga dicatat 46% partisipan memiliki klasifikasi endometrium atrofi (sebelumnya 19%) dan 23% unassessable (sebelumnya 24%).

Page 32: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 32/44

12. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium?

Jawaban: - Bukti ilmiah yang ada belum cukup

untuk dapat menerangkan hubungan terapi sulih hormon yang mengandung estrogen saja ataupun kombinasi estrogen-progestin dengan risiko kanker ovarium, penelitian yang ada memberikan hasil yang inkonsisten.

Rasional:Hubungan antara terapi sulih hormon dengan kanker ovarium masih belum jelas, penemuan dari studi epidemiologi masih memberikan hasil yang inkonsisten dan diperdebatkan.73,74,75 Terapi sulih hormon yang mengandung estrogen saja selain meningkatkan risiko kanker endometrium juga meningkatkan risiko kanker epitelial ovarium. Penggunaan terapi kombinasi estrogen-progestin telah meningkat, tetapi data epidemiologi tentang hubungannya dengan kanker ovarium masih terbatas.

Terapi Sulih Hormon EstrogenMeta-analisa dari 15 studi kasus kontrol oleh Coughlin dkk. (2000)76 menyimpulkan bahwa dari penelitian yang ada, tidak ditemukan adanya hubungan antara penggunaan estrogen dengan risiko kanker epitelial ovarium. Hasil studi yang dilakukan di AS yang menggunakan kontrol komunitas menemukan adanya hubungan yang lemah, tetapi tidak ada bukti yang jelas hubungan dosis-respon. Bila ke-15 studi tersebut digabungkan, efeknya heterogen (chi-square (14)=26,3, P<0,05). Random dan fixed effects dari OR gabungan, masing-masing 1,1 (95% CI, 0,9-1,3) dan 1,1 (95% CI, 0,9-1,2). Menggabungkan hasil studi kasus kontrol yang memiliki kontrol klinik atau rumah sakit dengan kontrol komunitas kemungkinan menjadi sumber hasil yang heterogen. Menggabungkan kelompok heterogen 10 kasus kontrol dengan kontrol klinik atau rumah sakit didapatkan OR 1,0 (95% CI 0,81-1,3), chi-squared (9) 20,4, P<0,05 (random effects model), kelompok homogen 5 kasus kontrol dengan kontrol komunitas OR 1,1 (95% CI 0,9-1,3), chi-squared (4) 5,0, P>0,40 (fixed effects

model). Analisa studi juga dipisahkan antara studi yang berasal dari US dan Canada dengan studi dari Eropa dan Australia karena perbedaan jenis estrogen yang digunakan. Untuk gabungan kelompok homogen 6 kasus kontrol dari Eropa dan Australia, OR 1,2 (95% CI 0,9-1,6) chi-squared (5) 9,0, P>0,10 (fixed effects model), pada kelompok heterogen 9 kasus kontrol di US dan Canada OR 1,0 (95% CI 0,81-1,3, chi-squared (8) 16,1, P<0,10 (random effects model). Tidak ada bukti yang jelas hubungan respon-dosis dengan makin lamanya penggunaan estrogen pada 5 studi (overall slope 0,0012, 95% CI -0,0055-0,0080).

Meta-analisa oleh Garg dkk. (1998)77

terhadap 9 studi kasus-kontrol yang memberikan data tentang risiko karsinoma ovarium invasif di antara pengguna terapi sulih hormon menemukan bahwa pengguna terapi sulih hormon dihubungkan dengan peningkatan risiko karsinoma epitelial ovarium invasif dengan RR 1,16, 95% CI 1,03-1,29. Pada penggunaan < 1 tahun RR 1,12 (95% CI 0,92-1,36); 1-5 tahun RR 0,95 (95% CI 0,79-1,14); 6-10 tahun RR 1,02 (95% CI 0,81-1,29). Risiko terbesar terjadi pada penggunaan lebih dari 10 tahun dengan RR 1,27 (95% CI 1,00-1,61). Penggunaan terapi sulih hormon di sini didefinisikan sebagai menggunakan estrogen saja atau kombinasi estrogen-progestin. Disimpulkan bahwa penggunaan terapi sulih hormon jangka lama (khususnya > 10 tahun) pada wanita pascamenopause mungkin dihubungkan dengan peningkatan risiko karsinoma epitelial ovarium invansif.

Studi kasus-kontrol pada wanita yang berusia 50-74 tahun oleh oleh Riman dkk. (2002)74 menemukan bahwa penggunaan estrogen saja meningkatkan risiko kanker ovarium dengan OR 1,43 (95% CI 1,02-2,00). Risiko ini meningkat untuk kanker subtipe serosa, musinosa, dan endometrioid. Pada penggunaan <1 tahun OR 1,40 (95% CI 0,79-2,49) , ≥1 sampai <2 tahun OR 1,07 (95% CI 0,40-2,88) , ≥ 2 sampai < 5 tahun OR 0,99 (95% CI 0,45-2,15), dan ≥ 5 sampai < 10 tahun OR 1,80 (95% CI 0,86-3,75). Risiko paling tinggi diamati pada penggunaan ≥ 10 tahun OR 2,14 (95% CI 1,03-4,46). Risiko berdasarkan

Page 33: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 33/44

dosis estrogen yang digunakan, dosis tinggi OR 1,41 ( 95% CI 0,91-2,19) dan dosis rendah OR 1,24 (95% CI 0,69-2,21) relatif terhadap yang tidak pernah menggunakan. Berdasarkan jenis estrogen yang digunakan, estrogen konyugasi OR 1,53 (95% CI 0,85-2,74) dan estradiol OR 1,59 (95% CI 1,09-2,30) bila dibandingkan dengan yang tidak pernah menggunakan.

Studi kohort prospektif pada 44.241 wanita pascamenopause dengan usia rata-rata saat folow-up 56,6 tahun (36-89 tahun) oleh Lacey dkk. (2002)73 menemukan risiko kanker ovarium meningkat bermakna pada wanita yang menggunakan terapi sulih estrogen, terutama untuk penggunaan 10 tahun atau lebih. Selama rerata folow-up 13,4 tahun (1 bulan-19,8 tahun) ditemukan 329 wanita menderita kanker ovarium. Dibandingkan yang tidak pernah menggunakan, penggunaan estrogen saja berhubungan bermakna dengan kanker ovarium (RR 1,6; 95% CI 1,2-2,0). Risiko ini semakin meningkat dengan makin lamanya penggunaan (<4 tahun RR 1,3 [95%CI 0,96-1,9]; 4-9 tahun RR 1,6 [95%CI 1,2-2,0], 10-19 tahun RR 1,8 [95%CI 1,1-3,0]; ≥ 20 tahun RR 3,2 [95%CI=1,7-5,7]). Peningkatan RR untuk tiap tahun penggunaan 0,07 (95% CI 2%-13%).

Terapi Sulih Hormon Kombinasi Estrogen-Progestin

Hasil studi RCT WHI (2003)68

menemukan bahwa pada pemberian tablet yang mengandung CEE 0,625 mg dan MPA 2,5 mg/hari, 111 partisipan didiagnosa menderita kanker ginekologi invasif selama pemantauan 5,6 tahun dan kanker ovarium invasif ditemukan pada 32 partisipan. Pada kelompok yang menggunakan estrogen-progestin ditemukan peningkatan risiko kanker ovarium 1,58 kali dan tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan plasebo (20 dibanding 12), HR 1,58; 95% CI 0,77-3,24 (adjusted 95% CI 0,59-4,23). Kemungkinan peningkatan efek seiring waktu juga tidak mencapai perbedaan bermakna secara statistik. Tidak ada bukti perbedaan distribusi kelas histologi, derajat morfologi, atau stadium penyakit pada saat diagnosis kanker ovarium. Tidak ditemukan hubungan

bermakna dengan umur, ras/etnik, indeks masa tubuh, riwayat keluarga dengan kanker payudara, ovarium, atau kolorektal, penggunaan kontrasepsi oral sebelumnya, riwayat penggunaan estrogen saja atau hormon kombinasi. Kanker ovarium dilaporkan sebagai penyebab kematian pada 9 wanita yang menggunakan estrogen plus progestin dan 3 wanita yang menggunakan plasebo (HR, 2,70; 95% CI, 0,73-10,0).

Studi kasus-kontrol pada wanita yang berusia 50-74 tahun oleh oleh Riman dkk. (2002)74 menemukan bahwa penggunaan terapi hormon kombinasi estrogen-progestin sekuensial meningkatkan risiko kanker ovarium (OR 1,54; 95%C 1,15-2,0), tetapi tidak dengan penggunaan progestin kontinyu (OR 1,02, 95%CI 0,73-1,43). Penggunaan kombinasi sekuensial selama 10 tahun atau lebih memiliki risiko yang paling tinggi OR 2,10 (95%CI 0,99-4,48) bila dibandingkan yang tidak pernah menggunakan dan risiko paling tinggi untuk kanker serosa. Risiko kanker epitelial ovarium lebih tinggi pada pengguna estrogen-progestin sekuensial dibanding kontinyu (OR=1,78, 95% CI 1,05-3,01). Risiko ini meningkat untuk kanker subtipe serosa, musinosa, dan endometrioid.

Studi kohort prospektif oleh Lacey dkk.(2002)73 menemukan risiko kanker ovarium tidak meningkat pada wanita yang menggunakan kombinasi estrogen-progestin saja jangka pendek, tetapi risiko untuk penggunaan terapi sulih hormon estrogen-progestin jangka pendek dan panjang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Penggunaan terapi sulih hormon estrogen-progestin diklasifikasikan berdasarkan penggunaan terapi sulih hormon estrogen sebelumnya (penggunaan kombinasi estrogen-progestin setelah penggunaan estrogen saja sebelumnya dan penggunaan kombinasi estrogen-progestin saja). Dibandingkan dengan yang tidak pernah menggunakan terapi sulih hormon, RR penggunaan kombinasi estrogen-progestin setelah penggunaan estrogen saja 1,5 (95%CI 0,91-2,4), dengan lamanya penggunaan estrogen saja sebelumnya rata-rata 5,7 tahun dan kombinasi estrogen-progestin 3,6 tahun. Untuk penggunaan

Page 34: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 34/44

kombinasi estrogen-progestin saja RR 1,1 (95%CI=0,64-1,7), dengan lamanya penggunaan rata-rata 3,5 tahun. Pada penggunaan estrogen-progestin saja selama <2 tahun RR 1,6 (95%CI=0,78-3,3) dan ≥2 tahun RR 0,80 (95%CI=0,35-1,8) dan tidak ada bukti respon terhadap lamanya penggunaan (p=0,30).

13. Apakah pada wanita perimenopause pemberian terapi sulih hormon dapat mencegah penurunan fungsi kognitif?

Jawaban: - Belum ada bukti ilmiah yang

mendukung penggunaan terapi sulih hormon untuk mencegah penurunan fungsi kognitif.

Rasional:

Efek protektif estrogen pada otak meliputi: memicu aktivitas kolinergik; mengurangi neuronal loss, stimulasi axonal sprouting dan pembentukan dendritic spine; mengurangi iskemia serebral dengan cara meningkatkan aliran darah dan menurunkan kadar kolesterol; dan mengatur ekspresi gen apolipoprotein-E. Studi observasional memberikan kesan bahwa terapi hormon pascamenopause dapat meningkatkan fungsi kognisi, tetapi data dari randomized clinical trial masih sedikit dan inkonklusif.

Cochrane review (2002)55 terhadap 15 penelitian RCT (tetapi 6 penelitian memiliki data keluaran yang kurang untuk dapat dianalisa) menyatakan bahwa hanya sedikit bukti yang ada tentang efek terapi sulih hormon yang mengandung estrogen saja atau kombinasi estrogen-progestin terhadap semua fungsi kognitif pada wanita pascamenopause sehat dan berdasarkan bukti yang ada, tidak dapat direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi kognitif secara keseluruhan ataupun untuk pemeliharaan. Jumlah sampel pada review ini 566 wanita pascamenopause dengan usia rata-rata 55 tahun (29-91 tahun). Hasil meta-analisa ini menunjukkan efek yang bermakna dari E2 10 mg im/bulan selama 2-3 bulan pada wanita menopause surgikal yang relatif lebih muda hanya pada satu aspek tes memori verbal

(Paired associate learning immediate recall), pada tes abstract reasoning dan tes speed dan accuracy. Penggunaan CEE+MPA hanya menunjukkan efek pada satu tes memproses informasi kompleks (TMT-B) setelah 9 bulan. Tidak efek HRT ditemukan terhadap memori verbal atau visuospasial, mental rotations.

Tes memori verbal Terdapat efek yang positif dari estradiol (E2) 10 mg, bolus injeksi intramuskular setiap bulan, selama 2-3 bulan, pada wanita dengan menopause surgikal yang relatif muda pada immediate recall tes Paired associate learning (z=2,40, p<0,05, chi-square test=1,12, p=0,29, SMD=1,02, 95% CI=0,19-1,85). Pada penggunaan CEE dan MPA setelah 9 bulan pada wanita yang berusia lebih tua tidak ada bukti adanya efek (z=1,04, p=0,30), penilaian menggunakan tes yang sama tapi sistim skoring berbeda. Delayed recall tes Paired associate tidak bermakna baik pada penggunaan E2 ataupun CEE+MPA (p=1,0). Studi lain yang menggunakan E2+progestagen oral selama 2 bulan atau E2 transdermal selama 2 minggu juga tidak memberikan hasil bermakna (p>0,5) walaupun menggunakan tes Paired associate yang berbeda dan tes lain untuk ‘associative verbal memory’. Tidak ada bukti adanya efek pengobatan pada tes memori verbal lain (yang digunakan pada studi lain).

Tes memori visual Tidak ada bukti adanya efek terhadap memori visuospasial dari berbagai jenis tes yang digunakan (z=0,20, p=0,80). Juga tidak bukti efek yang bermakna terhadap memori visuospasial pada studi-studi yang menggunakan baik E2 10 mg IM, setiap bulan (selama 2-3 bulan), E2 transdermal selama 2-3 minggu, E2 oral selama 2 bulan atau CEE oral selama 1 bulan. Tidak ada heterogenitas yang bermakna di antara studi (p=0,64), yang menunjukkan bahwa hasil ini sebanding.

Kecepatan memproses informasiTidak ada bukti efek penggunaan CEE+MPA selama 9 bulan terhadap kecepatan memproses informasi

Page 35: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 35/44

sederhana (Trail making test part A [TMT-A], p=0,13). Untuk kecepatan memproses informasi yang kompleks, hanya TMT-B yang bermakna setelah penggunaan CEE+MPA selama 9 (z=1,3, p<0,05, SMD=-0,57, 95% CI=-1,16-0,01).

Abstract reasoning, accuracy dan mental rotationTerdapat efek yang bermakna setelah penggunaan E2 10 mg IM, setiap bulan (selama 2-3 bulan) pada tes abstract reasoning (z=10,45, p<0,0001, WMD=6,08, 95% CI=5,52-8,08). Tidak ada efek yang bermakna terhadap tes mental rotation setelah penggunaan E2 transdermal selama 2-3 minggu (p>0,06). Juga tidak ada efek yang bermakna pada accuracy setelah penggunaan CEE+MPA selama 9 bulan (p=0,01) atau E2 transdermal (p=0,08). Efek yang bermakna terlihat pada tes speed dan accuracy setelah penggunaan E2 10 mg, tiap bulan, selama 3 bulan pada wanita menopause surgikal yang relatif lebih muda

(z=9,16, p<0,0001, WMD=6,00, 95% CI=4,72-7,28).

Dari hasil meta-analisa dan systematic review 9 RCT dan 8 studi kohort oleh LeBlanc dkk (2001)56 disimpulkan bahwa pada wanita dengan gejala menopause terapi sulih hormon mungkin memiliki efek terhadap fungsi kognitif yang spesifik dan efek tersebut seharusnya menjadi target pada studi yang akan datang. Studi ini melibatkan wanita dengan usia rata-rata 45-80 tahun dengan jangka waktu penggunaan terapi sulih hormon 21 hari-6 bulan. Wanita dengan gejala menopause yang mendapatkan terapi sulih hormon memiliki perbaikan dalam memori verbal, vigilance, reasoning dan motor speed dan tidak ada perbaikan untuk fungsi kognitif lain. Secara umum, tidak ada keuntungan diamati pada wanita tanpa gejala menopause. Studi yang ada tidak memiliki informasi yang cukup untuk dapat mengkaji secara adekuat efek penggunaan progestin, berbagai sediaan dan dosis estrogen serta lamanya penggunaan. Studi untuk fungsi kognitif ini tidak dikombinasikan secara kuantitatif karena desain studi heterogen.

Page 36: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 36/44

BAB IVBIAYA

Karena keterbatasan data epidemiologi, maka dalam kajian ini hanya akan dicantumkan kisaran biaya yang harus dikeluarkan pasien (out of pocket) untuk mendapatkan terapi sulih hormon. Biaya yang harus dikeluarkan terdiri dari beberapa komponen antara lain:

1. Konsultasi dokterBiaya ini sangat bervariasi, bergantung pada institusi pelayanan kesehatan yang bersangkutan. Umumnya konsultasi dikerjakan oleh Dokter spesialis Kebidanan, dengan biaya antara Rp 20.000,00-Rp 75.000,00 untuk tiap konsultasi.

2. PemeriksaanPemeriksaan penunjang yang dilakukan sebelum pemberian terapi sulih hormon bukanlah hal yang rutin dikerjakan. Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan berdasarkan indikasi bila diperlukan. - Pemeriksaan kimia darah.

Hasil pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam rekam medik. Pemeriksaaan ini terdiri dari: Calsium serum, HDL, LDL kolesterol total, SGPT, SGOT, gula darah.

- Pemeriksaan hormonal.Hormon yang diperiksa adalah kadar estradiol dan FSH. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menegakkan diagnosis menopause.

- Densitometri mineral tulang- Mammografi.

Beberapa klinisi menyatakan bahwa pemeriksaan USG mamma dapat digunakan untuk pemeriksaan berkala, sebab prosedur pemeriksaan lebih nyaman untuk pasien dan sensitifitasnya relatif tidak berbeda dengan mammografi.

- Sitologi serviks (Papsmear)- Pemeriksaan sistem kardio

serebro vaskulerPemeriksaan yang termasuk di dalamya meliputi foto thoraks, elektro kardiografi, agregasi trombosit, PT, APTT dan fibrinogen.

- Ca 125 dan Ca 153Pemeriksaan ini dilakukan pada pemakaian hormon jangka panjang

Berikut perkiraan total biaya pemeriksaan yang harus dikeluarkan per tahun. Biaya pemeriksaan berikut didapat dari RSCM dan RS Fatmawati. No. Pemeriksaan x/tahun Rentang Harga (rb) Jumlah/tahun

(rb)1. Konsultasi dokter 3 – 4 20 – 1502 Laboratorium rutin 1

Ca serum 21.5– 33 21.5 – 33 HDL 20.5 – 27 20.5 – 27 LDL 11 – 25 11 - 25 Kolesterol total 17 – 25 17 – 25 SGPT 15 - 22.5 15 - 22.5 SGOT 15 - 22.5 15 - 22.5 Gula darah 11 - 15.5 11 - 15.5

3 Kadar hormon 1 FSH 106 - 155 106 - 155 Estradiol 160 - 200 160 - 200

4 Densitometri tulang 1 400 - 650 400 - 6505 Mammografi 1 130 - 177.5 130 - 177.5

USG mamma 1 181.5 - 265.5 181.5 - 265.56 Papsmear 1 32 - 100 32 - 1007 Pemeriksaan Kardiovaskuler

- Foto thoraks- EKG- Agregasi trombosit- PT- APTT- Fibrinogen

111111

Page 37: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 37/44

3. Obat hormonalBerikut dicantumkan daftar harga yang diambil dari daftar harga obat RS Fatmawati dan ISO Indonesia 2002.

No Nama Dagang

Kandungan Keterangan HNA HJA(satuan)

Pemakaian sebulan (rb)

1. Cliane Noretisteron asetat 1mg+estradiol 2mg

Kontinyu 117.370/28 5.500 154

2. Dilena Estradiol valerat 2mg+MPA 10mg

Sekuensial 124.300/28 5800

3. Kliogest Noretisteron asetat 1mg+estradiol 2mg

Kontinyu 121.000/28 5.650 158.2

4. Ogen Estropipat 333.750/100 4.350 121.85. Ovestin Estriol 1mg Kontinyu

Krim

39.000/30Estriol 2mg 52.030/30 2.250 67.5Estriol 1mg/g 69.300

6. Progynova28 Estradiol valerat Kontinyu 55.022/28 2.550 71.47. Progynova Estradiol valerat 1; Kontinyu 26.950/28

2mg 41.600/288. Premarin Estr.konyugasi 0.3; Kontinyu 57.200/28

0.625; 90.805/281.25mg 128.700/28

9. Duphaston Dydrogesteron 108.040/10 14.04510. Endometril Lynestrenol 275.880/100 2.20011. Meges MPA12. Norelut Noretisteron 105.000/50 2.75013. Estreva Estradiol hemihydrat

(0.1%,50g)Krim vagina 165.000 214.500 214.5

14. Fem 7 17β estradiol Plester 79.695/4 25.900 103.615. Livial Tibolone Plester £13,05/28 10.800

Page 38: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 38/44

BAB VREKOMENDASI

1. Batasan terapi sulih hormon:Terapi sulih hormon adalah pemberian hormon (estrogen atau kombinasi estrogen-progesteron) pada wanita usia perimenopause yang bertujuan mengobati seorang wanita dari dampak negatif yang timbul akibat penurunan kadar hormon tersebut. Penurunan kadar hormon dapat terjadi secara fisiologis maupun non fisiologis.

2. Batasan masa klimakterium:Berdasarkan perkembangan aging process, penurunan kadar hormon estrogen mulai terjadi sejak usia 35 tahun. Penurunan kadar hormon tersebut, secara klinis akan menyebabkan gangguan haid yang berlangsung sampai umur 45 tahun (Klimakterik awal). Gejala gangguan haid ini makin nyata ketika memasuki usia menopause (49-51 tahun) yang berlanjut sampai umur 55 tahun (masa perimenopause, 46–55 tahun). Selanjutnya wanita masuk ke masa klimakterium akhir (56-65 tahun).

3. IndikasiMengingat pemberian sulih hormon dapat menimbulkan efek samping yang merugikan, maka sulih hormon hanya diberikan apabila diperlukan. Pemberian sulih hormon untuk pengobatan gejala klinis yang mengganggu, hendaknya memperhatikan faktor-faktor negatif yang bisa terjadi.

a. Pemberian sulih hormon dapat dimulai pada masa klimakterium awal, yang dapat dilanjutkan sampai masa perimenopause, bahkan sampai masa pascamenopause (Rekomendasi C)

b. Pemberian sulih hormon untuk tujuan pencegahan hanya diberikan apabila memang sangat diperlukan (Rekomendasi C)

c. Pemberian sulih hormon (untuk pengobatan ataupun pencegahan) harus disertai informed consent (IC). (Rekomendasi C)

4. Pemilihan sediaan dan cara pemberiana. Hendaknya diberikan preparat estrogen

atau kombinasi estrogen-progesteron alamiah.

b. Wanita yang masih memiliki uterus diberi kombinasi estrogen-progesteron, sedangkan yang tidak diberi sediaan estrogen saja.

Cara pemberianSulih hormon dapat diberikan peroral, topikal atau injeksi.Sulih hormon peroral dapat diberikan sekuensial atau kontinyu.

i. SekuensialDiberikan bagi wanita usia perimenopause yang masih menginginkan menstruasi

ii. KontinyuDiberikan bagi wanita usia menopause yang tidak lagi menginginkan menstruasi.

5. DosisDimulai dengan pemberian dosis terendah yang paling efektif (disesuaikan dengan keluhan klinis).

6. Lama pemberianSulih hormon diberikan selama pasien memerlukan disertai pemantauan yang teratur (sitologi serviks {pap smear}, mammografi / USG payudara, pemeriksaan densitas mineral tulang).

K L I M A K T E R I U M

35 655545

PerimenopauseKlimakterik Awal

Klimakterik Akhir

Page 39: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 39/44

Algoritme

Gejala Menopause

Faktor risiko osteoporosis

lain (+)

Faktor risiko osteoporosis

lain (-)

Diskusikan dengan pasien perlunya

penggunaan HRT (IC)

Periksa densitas mineral tulang

Densitas tulang Normal

Densitas tulang rendah

Menolak HRT Setuju HRT

Diet dan gaya hidup sehat

Pilihan HRT atau alternatif

(bifosfonat, SERM)

Pilihan terapi lain(fitoestrogen,

SERM)

Riwayat Kanker payudara

Tidak perlu HRT,tapi

perlu konseling

Ada dan menggangguTidak ada keluhan /

Ada tapi tidak mengganggu

HRT jangka pendekDiskusikan terapi

lain(Fitoestrogen,

SERM)

Riwayat Keluarga dengan Kanker

Payudara

Page 40: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 40/44

DAFTAR PUSTAKA

1. Humphrey LL, Takano L, Chan B. Postmenopausal hormone replacement therapy and cardiovascular disease. Systematic Evidence Review No. 10. Oregon Health & Science University Evidence-based Practice Center. Contract no. 290-97-0018. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2002. Available at www.ahrq.gov/clinic/serfiles.htm

2. Baziad A. Country-specific information in Indonesia. Presented in: First Consensus Meeting on Menopause in the East Asian Region. Geneva 26-30 May 1997.

3. Aso T. Demography of the menopause and pattern of climacteric symptoms in the East Asian Region. Presented in: First Consensus Meeting on Menopause in the East Asian Region. Geneva 26-30 May 1997.

4. Honjo H, Urabe M, Okubo T, Kikuchi N. Country-specific information on the menopause in Japan. Presented in: First Consensus Meeting on Menopause in the East Asian Region. Geneva 26-30 May 1997

5. Nawaz H, Katz DL. American college of preventive medicine practice policy statement: perimenopausal and postmenopausal hormone replacement therapy. Am J Prev Med 1999;17:250-53

6. U.S. Preventive Services Task Force. Postmenopausal hormone replacement therapy for primary prevention of chronic conditions: Recommendations and Rationale. Ann Intern Med.2002;137:834-39.

7. AACE medical guidelines for clinical practice for the prevention and treatment of postmenopausal osteoporosis. Endocr Pract 2003;9:544-64.

8. Rymer J, Wilson R, Ballard K. Clinical review: Making decisions about hormone replacement therapy. Brit Med J 2003;326:322-25

9. Hormone Replacement Therapy (HRT) and Women’s Health Initiative (WHI). Report-The Position of The Ministry of Health Malaysia. 2002.

10. Randolph JF. Be careful of what you wish for: putting the WHI estrogen/progestin and HERS II trials in perspective. Medscape General Medicine 2002;4.a

11. Nelson HD, Humphrey LL, LeBlanc E, Miller J, Takano L, Chan BKS, Nygren P, et al. Postmenopausal hormone replacement therapy for the primary prevention of chronic conditions: A Summary of the evidence for the U.S. Preventive Services Task Force. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2002. Available at:www.ahrq.gov/clinic/serfiles.htm

12. Gold EB, Bromberger J, Crawford S, Samuels

S, Greendale GA, Harlow SD, et al. Factors associated with age at natural menopause in a multiethnic sample of midlife women. Am J Epidemiol 2001;153 [abstract]

13. Rymer J, Morris E. Cllinical review: Menopausal symptoms. BMJ 2000;321:1516-18

14. Ismail NN. Menopause and HRT in Malaysia. Presented in: First Consensus Meeting on Menopause in the East Asian Region. Geneva 26-30 May 1997

15. Ahlborg HG, Johnell O, Turner CH, Rannevik G, Karlsson MK. Bone loss and bone size after menopause. N Engl J Med 2003;349:327-33.

16. Cooper GS, Baird DD, Darden FR. Measures of menopausal status in relation to demographic, reproductive, and behavioral characteristics in a population-based study of women aged 35-49 years. Am J Epidemiol 2001;153:1159-65.

17. Morley JE, van den Berg L. Endocrinology of Aging. Humana press Totowa, New Jersey, 2000.

18. Nawaz H, Katz DL. American college of preventive medicine practice policy statement: perimenopausal and postmenopausal hormone replacement therapy. Am J Prev Med 1999;17:250-53

19. Loprinzi CL, Michalak JC, Quella SK, O’Fallon JR, Hatfield AK, Nelimark RA, Dose AM, et al. Megestrol acetate for the prevention of hot flashes. N Engl J Med.1994;331:347-52

20. Gruber CJ, Tschugguel W, Schneeberger C, Huber JC. Production and actions of estrogens. N Engl J Med 2002;346:340-52

21. Cauley JA, Robbins J, Chen Z, Cummings SR, Jackson RD, LaCroix AZ, et al. Effects of estrogen plus progestin on risk of fracture and bone mineral density. The Women’s Health Initiative Randomized Trial. JAMA 2003;290:1729-38

22. Brown JS, Grady D, Ouslander JG, Herzog AR, Varner RE, Posner SF. Prevalence of urinary incontinence and associated risk factors in postmenopausal women. Obstet Gynecol.1999;94:66-70

23. Concept report for “Hormone replacement therapy”. Available at: http://ncimeta.nci.nih.gov/MetaServlet/servlet/ResultServlet2?conceptID=C0282402

24. Utian W, Archer D, Gallagher J, Gass M, Gelfand M, Henderson V, et al. Recommendations for estrogen and progestogen use in peri and postmenopausal women: October 2004 position statement of The North American Menopause Society. Menopause, 2004;11:589-600.

25. McNagny SE. Prescribing hormone replacement therapy for menopausal symptoms. Ann.Intern Med 1999:131;606-15

26. The Hong Kong College of Obstetrician and Gynaecologists. Guidelines for the administration of hormone replacement therapy. January, 2003. Available at: http://www.hkcog.org.hk/docs/guidelines

27. Baziad A. Bagian Obstetri dan Ginekologi

Page 41: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 41/44

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menopause dan Andropause. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2003.

28. Pedoman Penatalaksanaan Masalah Menopause dan Andropause bagi petugas di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2002

29. National Health and Medical Research Council Australia. Hormone replacement therapy for peri- and post-menopausal women. A booklet for health Professionals. Available at: http://www.nhmrc.gov.au/publications/pdf/wh22.pdf

30. Hosking D, Chilvers CED, Christiansen C, Ravn P, Wasnich R, Ross P, et al. Prevention of bone loss with alendronate in postmenopausal women under 60 years of age. N Engl J Med 1998;338:485-92

31. Mac Lennan A, Lester S, Moore V. Oral oestrogen replacement therapy versus placebo for hot flushes (Cochrane review). In:The Cochrane library, Issue 2, 2004. Chichester, UK:John Wiley & Sons, Ltd.

32. Menopause and hormone therapy. In: Institute for Clinical Systems Improvement Health care guideline. October, 2003. Available at: www.icsi.org

33. Vestergaard P, Hermann AP, Stilgren L, Tofteng CL, Sorensen OH, Eiken P, et al. Effects of 5 years of hormonal replacement therapy on menopausal symptoms and blood pressure-a randomised controlled study. Maturitas 2003;46:123-32.

34. Sherburn M, Guthrie JR, Dudley EC, O’Connel HE, Dennerstein L. Is incontinence associated with menopause?. Obstet Gynecol.2001;98:628-33

35. Fantl JA, Cardozo L, McClish DK, The hormone and urogenital therapy committee. Estrogen therapy in the management of urinary incontinence in postmenopausal women: a meta-analysis. First report of the hormones and urogenital therapy committee. Obstet Gynecol. 1994;83:12-18.)

36. Moehrer B, Hextall A, Jackson S. Oestrogens for urinary incontinence in women (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd

37. Weiss SR, Ellman H, Dolker M. A randomized controlled trial of four doses of transdermal estradiol for preventing postmenopausal bone loss. Obstet Gynecol 1999;94:330-6

38. Wells G, Tugwell P, Shea B, Guyatt G, Peterson J, Zytaruk N, et al. Meta-analysis of the efficacy of hormone replacement therapy in treating and preventing osteoporosis in postmenopausal women. Endocr Rev 2002;23:529-39.

39. Lindsay R, Gallagher JC, Kleerekoper M, Pickar JH. Effect of lower doses of conjugated equine estrogens with and without medroxyprogesterone acetate on bone in early postmenopausal women. JAMA 2002;287:2668-76.

40. Speroff L, Rowan J, Symons J, Genant H, Wilborn W, for the CHART Study Group. The comparative effect on bone density, endometrium, and lipids of continuous hormone as replacement therapy (CHART Study). A randomized controlled trial.

41. Jänne PA, Mayer RJ. Chemoprevention of colorectal cancer. N Engl J Med 2000;342:1960-8.

42. Grodstein F, Martinez E, Platz EA, Giovannucci E, Colditz GA, Kautzky M, et al. Postmenopausal hormone use and risk for colorectal cancer and adenoma. Ann Intern Med. 1988;128:705-12.

43. Prihartono N, Palmer JR, Louik C, Shapiro S, Rosenberg R. A case control study of use of postmenopausal female hormone supplements in relation to the risk of large bowel cancer. Cancer Epidemiology, Biomarkers and Prevention 2000;9:443-7.

44. Calle EE, Miracle-McMahill HL, Thu MJ, Health CW. Estrogen replacement therapy and risk of fatal colon cancer in a prospective cohort of postmenopausal women. J Natl Cancer Inst 1995;87:517-23.

45. Chlebowski RT, Wactawski-Wende J, Ritenbaugh C, Hubbel A, Ascensao B, Rodabough RJ, et al. Estrogen plus progestin and colorectal cancer in postmenopausal women. N Engl J Med 2004;350:991-1004.

46. Allen J, Teutsch S. Hormone replacement therapy and risk of venous thromboembolism. Systematic Evidence Review No. 11. Oregon Health & Science University Evidence-based Practice Center. Contract no. 290-97-0018. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2002. Available at: www.ahrq.gov/clinic/serfiles.htm

47. Manson JE, Hsia J, Johnson KC, Rossouw JE, Assaf AR, Lasser NL, Trevisan M, et al. Estrogen plus progestin and the risk of coronary heart disease. N Engl J Med.2003;349:523-34.

48. Rossouw JE, Anderson GL, Prentice RL, LaCroix AZ, Kooperberg C, Hutchinson F, et al. Risk and benefit of estrogen plus progestin in healthy postmenopausal women: Principal results from the Women’s Health Initiative Randomized Controlled Trial. JAMA 2002;288:321-33.

49. Hulley S, Grady D, Bush T, Furberg C, Herrington D, Riggs B, Vittinghoff E, et al. Randomized trial of estrogen plus progestin for secondary prevention of coronary heart disease in postmenopausal women. JAMA.1998;280:605-13.

50. Cherry N, Gilmour P, Heagerty A, Khan MA, Kitchener H, McNamee R, Elstein M, et al. Oestrogen therapy for prevention of reinfarction in postmenopausal women: a randomized placebo controlled trial. The ESPRIT team. The

Page 42: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 42/44

Lancet 2002;360:2001-851. Smoller SW, Hendrix SL, Limacher M, Heiss G,

Kooperberg C, Baird A, Kotchen T, et al. Effect of estrogen plus progestin on stroke in postmenopausal women. The Women’s Health Initiative: A randomized trial. JAMA 2003;289:267-384.

52. Simon JA, Hsia J, Cauley JA, Richards C, Harris F, Fong J, Barret-Connor E, et al. Postmenopausal hormone therapy and risk of stroke. The Heart and estrogen-progestin Replacement Study (HERS). Circulation 2001;103:638-42.

53. Viscoli CM, Brass LM, Kernan WN, Sarrel PM, Suissa S, Horwitz RI. A clinical trial of estrogen-replacement therapy after ischemic stroke. N Engl J Med 2001;345:1243-49.

54. Shumaker SA, Legault C, Rapp SR, Thal L, Wallace RB, Ockene JK, et al. Estrogen plus progestin and the incidence of dementia and mild cognitive impairment in postmenopausal women. The Women’s Health Initiative Memory Study: A randomized controlled trial. JAMA. 2003;289:2651-62.

55. Hogervorst E, Yaffe K, Richards M, Huppert F. Hormone replacement therapy for cognitive function in postmenopausal women (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 2, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.

56. LeBlanc E, Janowsky J, Chan B, Nelson H. Hormone replacement therapy and cognition. Systematic review and meta-analysis. JAMA 2001;285;1489-99.

57. Schaumberg DA, Buring JE, Sullivan DA, Dana MR. Hormone replacement therapy and dry eye syndrome. JAMA 2001;286:2114-9

58. Hodis HN, Mack WJ, Azen SP, Lobo RA, Shoupe D, Mahrer PR, et al. Hormone therapy and the progression of coronary-artery atherosclerosis in postmenopausal women. N Eng J Med 2003;349:535-45

59. Grodstein F, Stampfer MJ, Manson JE, Colditz GA, Willet WC, Rosner B, Speizer FE, et al. Postmenopausal estrogen and progestin use and the risk of cardiovascular disease. N Engl J Med.1996;335:453-61.

60. Beral V, Bull D, Doll R, Key T, Peto R, Reeves G. Breast cancer and hormone replacement therapy: collaborative reanalysis of data from 51 epidemiological studies of 52 705 women with breast cancer and 108 411 women without breast cancer. Lancet 1997;350:1047-59.

61. Colditz GA, Hankinson SE, Hunter DJ, Willett WC, Manson JE, Stampfer MJ, et al. The use of estrogens and progestins and the risk of breast cancer in postmenopausal women. N Engl J Med 1995;332:1589-93.

62. Gapstur SM, Morrow M, Sellers TA. Hormone replacement therapy and risk of breast

cancer with a favorable histology. Results of the Iowa Women’s Health Study. JAMA 1999;281:2091-7.

63. Ross RK, Paganini-Hill A, Wan PC, Pike MC. Effect of hormone replacement therapy on breast cancer risk:estrogen versus estrogen plus progestin. J Natl Cancer Inst 2000;92:328-32.

64. Schairer C, Lubin J, Troisi R, Sturgeon S, Brinton L, Hoover R. Menopausal estrogen and estrogen-progestin replacement therapy and breast cancer risk. JAMA 2000;283:485-91.

65. Greendale GA, Reboussin BA, Sie A, Singh R, Olson LK, Gatewood O, et al. Effects of estrogen and estrogen-progestin on mammographic parenchymal density. Ann. Intern. Med 1999;130:262-9.

66. Chlebowski RT, Hendrix SL, Langer RD, Stefanick ML, Gass M, Lane D, et al. Influence of estrogen plus progestin on breast cancer and mammography in healthy postmenopausal women. The Women’s Health Initiative Randomized Trial. JAMA 2003;289:3243-53.

67. Anderson GL, Limacher M, Assaf AR, Bassford T, Beresford SA, Black H, et al. Effects of conjugated equine estrogen in postmenopausal women with histerectomy. JAMA 2004;291:1701-12

68. Anderson GL, Judd HW, Kaunitz AM, Barad DH, Beresford SAA, Pettinger M, et al. Effects of estrogen plus progestin on gynecologic cancers and associated diagnostic procedures. The Women’s Health Initiative Randomized Trial. JAMA. 2003;290:1739-48.

69. Lethaby A, Farquhar C, Sarkis A, Roberts H, Jepson R, Barlow D. Hormone replacement therapy in postmenopausal women: endometrial hyperplasia and irregular bleeding (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 2, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.

70. Wells M, Sturdee DW, Barlow DH, Ulrich LG, O’Brien K, Campbell MJ, et al. Effect on endometrium of long term treatment with continuous combined oestrogen-progestogen replacement therapy: follow-up study. BMJ. 2002;325:

71. Grady D, Wenger NK, Herrington D, Khan S, Furberg C, Hunninghake D, et al. Postmenopausal hormone therapy increases risk for venous thromboembolic disease. The Heart and Estrogen/progestin Replacement Study. Ann Intern Med. 2000;132(9):689-96.

72. Weiderpass E, Adami HO, Baron JA, Magnusson C, Bergström R, Lindgren L, Correia N, et al. Risk of endometrial cancer following estrogen replacement with and without progestin. J Natl Cancer Inst. 1999;91:1131-37.

73. Lacey JV, Mink PJ, Lubin JH, Sherman ME, Troisi R, Hartge P, et al. Menopausal hormone replacement therapy and risk of ovarian cancer. JAMA. 2002;288:334-41.

74. Riman T, Dickman PW, Nillson S, Correia N,

Page 43: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 43/44

Nordlinder H, Magnusson CM, et al. Hormone replacement therapy and the risk of invasive epithelial ovarian cancer in Swedish women. J Natl Cancer Inst. 2002;94:497-504.

75. Rodriguez C, Patel AV, Calle EE, Jacob EJ, Thum MJ. Estrogen replacement therapy and ovarian cancer mortality in a large prospective study of US women. JAMA. 2001;285:1460-65.

76. Coughlin SS, Giustozzi a, Smith SJ, Lee NC. A meta-analysis of estrogen replacement therapy and risk of epithelial ovarian cancer. J Clin Epidemiol. 2000.53(4).367-75.

77. Garg P, Kerlikowske K, Subak L, Grady D. Hormone replacement therapy and the risk of epithelial ovarian carcinoma: a meta-analysis. Obstet Gynecol 1998;92:472-9.

Page 44: Terapi Sulih Hormon Pada Wanita Perimenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 44/44

PANEL AHLIProf.Dr.dr. Ichramsjah A. Rachman, SpOG, KFERDepartemen Ilmu Kebidanan dan KandunganFakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. Pradana Soewondo, SpPD, KEMDDivisi Endokrinologi Departemen Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. Siti Setiati, SpPD, KGer, MEpidDivisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. Kahar Kusumawijaya, SpRadDepartemen RadiologiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Prof.dr.Med. Ali Baziad, SpOG, KFERDepartemen Ilmu Kebidanan dan KandunganFakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. Julianto Witjaksono, SpOG, KFERDepartemen Ilmu Kebidanan dan KandunganFakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. Wawang S. Sukarya, SpOGDepartemen Ilmu Kebidanan dan KandunganRumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung

dr. Silvia F.L., SpSDepartemen NeurologiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia

TIM TEKNISKetua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K)

Anggota : dr. N. Soebijanto, SpPD dr. Ratna Mardiati, SpKJdr. Wuwuh Utami N., MKesdr. Monalisa Nasruldr. Mutiara Arcandr. Nastiti Rahajeng