terapi cairan pd syok hipovolemik-blok xx

53
TERAPI CAIRAN PADA SYOK HIPOVOLEMIK Erwin Kresnoadi Bagian / SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK Unram / RSU Prov. NTB ============================================================== == Pendahuluan Pengetahuan tentang fisiologi hemodinamik dasar dan dokumentasi patofisiologi yang sedang terjadi dengan menggunakan teknik pemantauan yang tersedia tetap merupakan pendekatan paling tepat untuk merancang intervensi terapeutik untuk pasien syok. 1,2 Penelitian yang dilakukan dan teori yang diajukan oleh ahli fisiologi Ernest Starling dan Otto Frank pada pergantian abad ini merupakan dasar untuk dapat memahami komponen-komponen fisiologi vaskular : prabeban (preload), kontraktilitas, beban akhir (afterload) dan laju jantung. Pemberian cairan intravena untuk mengembalikan volume darah adalah salah satu bentuk terapi medis yang paling efektif dan paling baik. 3 Tujuan resusitasi cairan pada syok untuk mengembalikan perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel, sehingga dapat mengurangi iskemik jaringan dan kemungkinan kegagalan organ. Titik akhir terapi harus mempertimbangkan adanya perbaikan dalam aliran jaringan, perfusi jaringan dan juga bahaya atau kerugian bila terapi tersebut diteruskan. Salah satu tantangan terbesar adalah memperkirakan cukup tidaknya curah jantung. Sementara nilai-nilai mutlak lebih besar dari 1 1

Upload: rizky-huryamin

Post on 29-Oct-2015

112 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

terapi cairan

TRANSCRIPT

Page 1: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

TERAPI CAIRAN PADA SYOK HIPOVOLEMIK

Erwin KresnoadiBagian / SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK Unram / RSU Prov. NTB

================================================================

Pendahuluan

Pengetahuan tentang fisiologi hemodinamik dasar dan dokumentasi

patofisiologi yang sedang terjadi dengan menggunakan teknik pemantauan yang

tersedia tetap merupakan pendekatan paling tepat untuk merancang intervensi

terapeutik untuk pasien syok.1,2 Penelitian yang dilakukan dan teori yang diajukan

oleh ahli fisiologi Ernest Starling dan Otto Frank pada pergantian abad ini merupakan

dasar untuk dapat memahami komponen-komponen fisiologi vaskular : prabeban

(preload), kontraktilitas, beban akhir (afterload) dan laju jantung. Pemberian cairan

intravena untuk mengembalikan volume darah adalah salah satu bentuk terapi medis

yang paling efektif dan paling baik.3 Tujuan resusitasi cairan pada syok untuk

mengembalikan perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel, sehingga dapat

mengurangi iskemik jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.

Titik akhir terapi harus mempertimbangkan adanya perbaikan dalam aliran

jaringan, perfusi jaringan dan juga bahaya atau kerugian bila terapi tersebut

diteruskan. Salah satu tantangan terbesar adalah memperkirakan cukup tidaknya

curah jantung. Sementara nilai-nilai mutlak lebih besar dari 3,5 dan 4,0 liter per menit

seringkali memadai, perhatian pada indeks-indeks lain dapat memberi konfirmasi

atau memaksa membuat pertimbangan lebih lanjut. Indeks-indeks tersebut sangatlah

jelas dan mencakup jumlah urin keluar, mentasi, pengisian kapiler, warna kulit, suhu

dan laju nadi. Evaluasi lebih lanjut mencakup status asam-basa, kadar laktat,

pemakaian oksigen dan saturasi oksigen vena campur.

Kompartemen cairan tubuh

Kompartemen-kompartemen cairan yang di dalamnya tersebar air, Na+ dan

koloid terangkum dalam gambar 1. Cairan tubuh total (60% BB) mencakup cairan

intraselular (40% BB) dan cairan ekstraselular (20% BB). Cairan ekstraselular terbagi

di antara cairan interstisial, kira-kira 11 L pada orang dewasa 70 kg, dan cairan air

1

1

Page 2: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

plasma sekitar 3 L. Volume darah, kira-kira 7% BB, terdiri dari volume plasma

(plasma volume,PV) dan volume sel merah, kira-kira 2 L. Volume dalam sel merah

merupakan bagian volume intraselular (intracellular volume, ICV). Volume

kompartemen cairan sangat bergantung pada Na+ dan protein plasma. Na+ , penentu

utama osmolalitas dan tonisitas, lebih banyak terdapat dalam ruang cairan

ekstraselular, dengan kadar-kadar yang hampir sama (140 mEq/L) dalam

interstisium dan PV. Cairan intraselular praktis tidak mengandung Na+ , hanya 5

mEq/L.

Beberapa prinsip fisiologis mengatur pergerakan air di antara kompartemen-

kompartemen cairan. Osmosis, yaitu pergerakan air antara kompartemen-

kompartemen cairan melewati membran semipermeabel terjadi bila kadar total solut

pada kedua sisi membran tidak sama. Air berdifusi menyeberangi membran untuk

menyamakan osmolalitas. Besar tekanan yang sesuai untuk melawan pergerakan air

melewati membran semipermeabel akibat perbedaan kadar solut disebut tekanan

osmotik, yang proporsional terhadap jumlah molekul total, bukan terhadap berat

molekul. Karenanya, satu molekul Na+, albumin atau glukosa akan menghasilkan

tekanan osmotik yang sama meskipun berat molekul mereka sangatlah berbeda.

BERAT BADAN TOTAL (70 KG)

T

Gambar 1. Volume distribusi air mencakup volume intraselular (ICV) dan ekstraselular (ECV). Secara primer Na+ didistribusikan di dalam ECV. Jika integritas kapiler utuh protein plasma terutama didistribusikan dalam PV. Volume sel darah merah (SDM), meski intravaskular, termasuk bagian ICV.

2

2

AIR TUBUH TOTAL (42L) ICV (28 L) ECV (14 L)

Vol darah (5L)

IF=ECV-PV

SDM PV (3L)

Page 3: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Tekanan osmotik dapat ditentukan dengan persamaan berikut :

Tek. Osmotik (mmHg) = osmolalitas (mOsm/kg) x 19,3 mmHg/mOsm/kg 4

Tekanan osmotik total yang dihasilkan oleh kadar komponen plasma normal adalah

5620 mmHg (291,2 mOsm/kg x 19,3 mmHg/mOsm/kg). Tekanan osmotik larutan

Ringer laktat (RL, 5268 mmHg) dan 0,9% NaCl (5944 mmHg) mengarahkan bahwa

larutan RL akan mengekspansikan PV sedikit lebih kurang daripada 0,9% NaCl

karena pengurangan dilusional tekanan osmotik plasma oleh larutan RL akan

menyebabkan air berpindah dari ECV ke ICV.

Protein-protein plasma, albumin dan gama-globulin menentukan tinggi

tekanan osmotik koloid plasma (juga disebut tekanan onkotik). Biarpun tekanan

onkotik hanya punya andil kurang dari 1% tekanan osmotik total, protein plasma

merupakan unsur-unsur aktif secara osmotis yang paling penting dalam

mempertahankan PV. Ukuran molekul albumin (BM 69.000) membatasi perpindahan

ke dalam ruang interstisial kendati terdapat beda kadar yang besar (4 g/dL versus 1

g/dL), yang berkewajiban untuk mempertahankan proporsi PV sirkulasi dan volume

cairan interstisial (interstitial fluid volume, IFV). Ringkasnya, kompartemen intra dan

ekstraselular merupakan ruang distribusi untuk air, air ekstraselular merupakan

ruang distribusi untuk Na+, dan air plasma merupakan ruang distribusi utama untuk

protein plasma.

Dalam merencanakan terapi cairan harus dipertimbangkan distribusi

diferensial air, garam dan protein plasma. Sebagai contoh, seorang pasien 70 kg

memerlukan penggantian volume 2 L akibat kehilangan darah akut atau 40% volume

darah totalnya (5 L). Volume cairan pengganti yang diperlukan untuk mengembalikan

volume darah sirkulasi ditentukan oleh ruang distribusi cairan pengganti yang

bergantung pada kadar koloid dan Na+ cairan pengganti. Formula berikut ini

menggambarkan efek sejumlah cairan dalam mengekspansikan PV :

Δ PV = volume infus (PV/Vd) 5

Δ PV = perubahan PV yang diharapkan

3

3

Page 4: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Vd = volume distribusi cairan infus

Misal : berapa banyak 5% dekstrosa dalam air (D5W) yang diperlukan untuk

meningkatkan PV sebesar 2 L ?. (Pada pasien 70 kg PV = 3 L dan cairan tubuh total,

Vd untuk D5W adalah 42 L)

2 L = volume infus (3 L/42 L)

Jadi, volume D5W yang harus diinfuskan untuk mengekspansikan PV sebesar 2 L

adalah 28 L.

Berapa banyak yang diperlukan bila memakai 0,9% NaCl ? (Vd = volume

ekstraselular, kira-kira 14 L pada pasien 70 kg)

2 L = volume infus (3 L/14 L)

Jadi volume 0,9% NaCl yang harus diinfuskan untuk mengekspansikan PV sebesar 2

L adalah 9,3 L.

Berapa banyak 5% albumin yang diperlukan ? (Vd = PV)

2 L = volume infus (3 L/3 L)

Jadi volume 5% albumin yang harus diinfuskan untuk mengekspansikan PV sebesar

2 L adalah 2 L.

Albumin serum manusia (25%), suatu cairan hiperonkotik, mengekspansikan

PV sekitar 400 ml untuk tiap 100 ml yang diberikan. Penambahan 300 ml dalam PV

merupakan cairan interstisial yang ditranslokasikan ke dalam pembuluh darah. Tabel

1 menggambarkan efek volume berbagai cairan pada PV, IFV dan ICV.

Contoh-contoh di atas berlaku bila tidak ada syok, sepsis atau hipoksemia

yang berkepanjangan sebab keadaan tersebut dapat mengganggu kemampuan

membran kapiler untuk membatasi perpindahan transvaskular protein serum. Pada

pasien sakit kritis sering kali sulit untuk mempertahankan keseimbangan volume

intravaskular dan interstisial karena hubungan volume cairan dan tekanan osmotik

koloid berubah.

4

4

Page 5: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Tabel 1.Ekspansi PV setelah infus beberapa macam cairanCairan Δ PV Δ IFV Δ ICV

(ml) (ml) (ml)

250ml 5% Albumin 250 0 0250ml 25% Albumin 1000 -750 01000ml D5W 85 255 6601000ml RL 200 800 01000ml 0,9% NaCl 275 825 -1001000ml 5% NaCl 990 2690 -29501000ml Darah lengkap 1000 0 0

PV = perubahan volume plasma; IFV ( interstitial fluid volume ) = volume cairan interstisial; ICV = volume intraselular; D5W = 5% dektrosa dalam air; RL = Ringer laktat

Terapi Cairan

Hipovolemia merupakan penyebab tersering aliran rendah, tetapi paling

mudah untuk dikoreksi. Untuk pasien kritis, pasien pascabedah risiko tinggi,

pemberian cairan secara cepat tanpa melampaui tekanan baji arteri paru (pulmonary

artery wedge pressure, PAWP) setinggi 20 mmHg adalah terapi pertama dan yang

paling penting diperlukan untuk mencapai tujuan terapi keadaan aliran rendah akut.

Strategi dasar dalam terapi tersebut adalah membuat optimal variabel-variabel

hemodinamik dan transport O2 (delivery oxygen, DO2) dalam 8-12 jam pertama

pascabedah ke rentang yang secara empiris didefinisikan sebagai pendekatan

pertama ke nilai-nilai optimal. Kemudian terapi tambahan dapat dititrasikan secara

lebih gradual untuk mencapai titik akhir kedua yaitu DO2 ditinggikan (dengan hati-

hati) sampai tidak terjadi lagi peningkatan konsumsi O2 ( VO2).

Tujuannya adalah untuk meminimalkan derajat dan lama hipoksia jaringan

dengan memakai tujuan-tujuan fisiologis sebagai hasil keluaran (outcome) untuk

titrasi cepat dan kasar dan konsep interdependensi VO2 untuk titrasi gradual ke titik

akhir final. Tujuan-tujuan tersebut lebih mudah dicapai dengan koloid yang

mengekspansikan PV tanpa overekspansi ruang interstisial daripada dengan

kristaloid.6 Kanji hidroksietil menghasilkan efek volume darah dan hemodinamik yang

lebih besar dan lebih lama daripada albumin, dekstran atau gelatin. Shoemaker dan

Beez 7 mendapatkan bahwa pada stadium awal syok atau penyakit kritis, kristaloid

5

5

Page 6: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

biasanya meninggikan tekanan darah, namun hanya sebentar memperbaiki aliran

darah dan transport O2. Data mereka menunjukkan bahwa pada sindroma gawat

nafas pada orang dewasa (adult respiratory distress syndrome, ARDS) stadium dini,

koloid sangatlah efektif, mengarahkan bahwa kebocoran kapiler, bila ada, tidak

membatasi keefektifan terapeutik koloid. Akan tetapi, pada stadium terminal, baik

koloid maupun kristaloid tidak efektif.

Efek volume darah kanji hidroksietil molekul sedang (6%/10% HES 200/0.5)

menetap selama 4-8 jam, preparat substitusi yang lebih besar (6% HES 200/0.6)

atau preparat dengan molekul lebih besar (6% HES 450/0.7) menetap selama 8-12

jam.8,9,10 Efek volume darah 6% dekstran 60 menetap selama 6-8 jam, efek volume

10% dekstran 40, 5% albumin (500ml) atau 25% albumin (100ml) dipertahankan

selama 3,5-4,5 jam. Preparat gelatin memantapkan volume darah hanya untuk 1,5-2

jam.8,9,11 Penelitian oleh Zikria dkk12 pada tikus dengan kerusakan endotelial akibat

kombustio menunjukkan bahwa fraksi kanji hidroksietil dengan berat molekul (BM)

antara 100.000 dan 300.000 dalton, sama seperti HES 200/0.5 bertindak sebagai zat

penyumpal (sealing agent) lebih baik daripada 4 group kontrol yang menerima

albumin 5%, RL. HES dengan BM < 50.000 atau HES dengan BM > 300.000 dalton.

Efek menyumpal HES 200/0.5 yang bermakna juga didapat Zikria pada

sumbatan koroner13 dan pada iskemia tungkai14 oleh Webb pada peritonitis15 oleh

Schell pada iskemia serebral,16 oleh Tanaka pada edema paru akut,17 oleh Traber

pada sepsis 18 dan oleh Yeh pada penelitian pintasan jantung paru pada neonatal.19

Model-model binatang tersebut menunjukkan penurunan bermakna pada kebocoran

plasma dan edema akibat kapiler mengalami cedera dan juga penurunan bermakna

pada kebutuhan cairan koloid (HES 700/0.5) untuk memperoleh dan

mempertahankan normovolemia.10 Umumnya efek PV dan DO2 lebih besar dan lebih

tahan lama sesudah koloid daripada sesudah kristaloid bila diberikan kepada pasien

yang sama pada penelitian klinis yang dirancang secara seksama.

Di antara koloid, preparat kanji hidroksietil molekul sedang dan besar

memberikan efek PV dan DO2 yang bertahan lebih lama daripada koloid lain. Fraksi

HES molekul sedang tertentu seperti HES 200/0.5 mempunyai tambahan efek

menyumpal khas HES pada kebocoran kapiler. Karena itu, HES 200/0.5 mungkin

bermanfaat terutama pada pasien sakit kritis dengan gagal organ yang sudah

6

6

Page 7: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

terwujud atau yang masih mengancam, karena potensial khasnya untuk mencegah

kebocoran kapiler, hipovolemia dan edema jaringan.

Infus 10% HES 200/0.5 pada pasien sakit kritis dengan hipovolemia dan syok

akibat trauma, operasi berat, sepsis atau kombustio untuk memperoleh nilai PAWP

setinggi 15-18 mmHg memperbaiki hemodinamik {indeks jantung(cardiac index, CI),

DO2 dan VO2)} ke nilai-nilai normal atau supranormal sebagaimana ditunjukkan pada

berbagai penelitian klinis prospektif.20-24 Efek-efek tersebut sama atau lebih baik

daripada dengan 5% albumin. Infus 6% HES 200/0.6 atau 6% HES 450/0.7 juga

secara bermakna memperbaiki CI, DO2, VO2 pada pembedahan, trauma, sepsis atau

ARDS.25-29 Larutan-larutan kanji hidroksietil sedang atau yang bertahan lama

agaknya bermanfaat terutama untuk terapi cairan dini pada pasien sakit kritis untuk

mencapai tujuan optimal terapi (CI, DO2, VO2) untuk memperbaiki fungsi organ dan

hasil akhir. Pada resusitasi awal pasien trauma Shoemaker 7 menganjurkan

penggunaan bijaksana 25% albumin terutama jika pasien sudah hipertensif atau

sedang dalam diet rendah garam prabedah. Pasien yang sudah diberi kristaloid

dalam jumlah berlebihan yang telah menderita edema perifer masif atau edema paru

juga akan lebih baik bila diberi 25% albumin. Namun pada kebanyakan kasus, 6%

kanji hidroksietil merupakan pilihan tepat untuk mencapai tujuan terapi cairan.

Pemberian cairan pada pasien syok melibatkan pertimbangan baik kuantitatif

maupun kualitatif. Konsep terpenting pada setiap resusitasi hemodinamik adalah

membuat optimal prabeban dengan memberi volume intravaskular yang adekuat

untuk kontraktilitas yang masih ada. Gambar 2 menggambarkan kebutuhan potensial

akan pemberian volume pada setiap keadaan syok.

Gambar 2. Ilustrasi kebutuhan potensial akan pemberian cairan pada syok.

HIPOVOLEMIK HIPERDINAMIK KARDIOGENIK

ordinat : prabeban absis : keluaran ventrikular

7

7

Volume

Volume

Volume

Page 8: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Pada syok hipovolemik dan syok kardiogenik bahwa peninggian prabeban

seringkali disebabkan oleh kontraktilitas yang menurun. Untuk memperkirakan

jumlah cairan yang perlu dimasukkan, lebih disukai bolus yang dititrasi, menilai efek

pada prabeban dan keluaran ventrikular (ventricular output) daripada infusi kontinyu

volume besar yang tanpa diatur. Pertimbangan kualitatif dalam terapi cairan

menyebabkan banyak dilema. Darah dan produk darah diindikasikan untuk

memperbaiki DO2 dan koagulasi. Harus dipertimbangkan pula bahwa transfusi dapat

menularkan penyakit.

Rumus berikut menggambarkan pertimbangan yang melibatkan estimasi

kemampuan pulmoner (kandungan oksigen arterial, CaO2) dan kardiovaskular (curah

jantung=cardiac output, c.o) yang terkait dengan VO2. Perspektif seperti ini

memungkinkan klinikus untuk memperkirakan nilai dan kebutuhan menaikkan kadar

hemoglobin (Hb) untuk meningkatkan CaO2.

(CaO2 – CvO2) (C.O. x 10) > VO2

CaO2 = kandungan oksigen arterial

CvO2 = kandungan oksigen vena campuran

CO = curah jantung

VO2 = konsumsi oksigen

Pertimbangan kualitatif selanjutnya adalah mengenai elektrolit dan faktor-faktor

asam-basa dan penekanan yang terlampau besar pada penggunaan koloid versus

kristaloid.

Kristaloid

Kristaloid adalah suatu kelompok cairan, tanpa penambahan solut ionik atau

non ionik seperti NaCl, ke dalam air. Kebanyakan, namun tidak semuanya, iso-

osmolar dan tidak seperti koloid, kristaloid murah, mudah membuatnya dan tidak

menyebabkan reaksi imunologis. Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan

tidak terbatas dalam ruang intravaskular. Penyebarannya ditentukan terutama oleh

8

8

Page 9: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

kadar Na+. Karenanya, larutan-larutan yang mengandung kadar Na+ yang hampir

isotonik (misal : 0,9% NaCl, RL dan larutan Hartmann) akan berdiam di ruang

ekstraselular. Karena ukuran ruang interstisial 3 kali lipat ruang intravaskular, ¾

kristaloid akan didistribusikan ke ruang interstisial dan ¼ ke ruang intravaskular (lihat

gambar 3).

Bila kadar Na+ kristaloid menurun, maka terjadi peningkatan jumlah air yang

menyebar ke ruang intraselular. Sebagai contoh, 5% dekstrosa yang tidak

mengandung Na+, didistribusikan ke tiga ruang tubuh secara proporsional. Volume

terbesar menuju ke ruang intraselular, karena merupakan kompartemen terbesar dan

hanya sebagian kecil ke ruang intravaskular. Jadi, bila 1L 5% dekstrosa diinfuskan,

hanya 120mL yang tetap berada dalam ruang intravaskular. Karena itu 5% dekstrosa

tidak mempunyai peranan dalam terapi hipovolemia.

Koloid

Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik, sehingga

menghasilkan tekanan onkotik. Bila diinfuskan, koloid akan tinggal terutama dalam

ruang intravaskular (lihat gambar 3). Darah dan produk darah, seperti

albumin,menghasilkan tekanan onkotik karena mengandung molekul protein besar.

Koloid artifisial juga mengandung molekul besar seperti gelatin, dekstran atau kanji

hidroksietil, kendati semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang

intravaskular, koloid dengan tekanan onkotik yang lebih besar daripada plasma

(hiperonkotik), juga akan menarik cairan ke dalam ruang intravaskular. Koloid ini

dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan PV lebih besar dari

volume yang diinfuskan. Koloid iso-onkotik mengekspansikan PV sebesar volume

yang diinfuskan dan dikenal sebagai substitut plasma.

Macam-macam koloid adalah darah, albumin, gelatin (poligelin dan modifikasi

gelatin), dekstran dan kanji hidroksietil. Masing-masing koloid mempunyai

keuntungan dan kerugian, sehingga untuk pemeriksaan yang rasional perlu

mengenal karakteristik mereka.

9

9

Page 10: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

IVV IFV ICV

Kristaloid

IVV IFV ICV

IVV IFV ICV

Koloid

IVV : intravascular volume, volume intravaskular.IFV : interstitial fluid volume, volume interstisial.ICV : intracellular volume, volume intraselular.

Gambar 3. Kristaloid terutama meningkatkan IFV relatif terhadap IVV. Koloid terutama terbatas dalam ruang intravaskular.

Aspek klinis resusitasi cairan

Terapi cairan rasional bergantung pada perkiraan defisit air tiap-tiap

kompartemen cairan fisiologis, lalu memberikan kristaloid atau koloid yang tepat

untuk resusitasi kompartemen yang memerlukan. Pengosongan ruang intravaskular

dapat dinilai secara klinis. Laju jantung, tekanan darah, keluaran urin, tekanan vena

sentral dan PAWP semua menunjukkan volume ruang intravaskular. Ruang

interstisial dan intraselular yang bersama-sama membentuk bagian terbesar air

tubuh total sangatlah sulit untuk diukur. Grafik keseimbangan cairan dapat

memberikan perkiraan perubahan-perubahan harian pada air tubuh total, namun

masih terdapat banyak kehilangan dan penambahan yang tidak tercatat, seperti

kehilangan insensibel, drainase saluran cerna dan sekuestrasi luka.

Foto thoraks dapat dipakai untuk mencari edema paru yang mungkin

merupakan suatu indikator ekspansi ruang interstisial. Turgor kulit yang berkurang

dan membran mukosa kering merupakan indikator nonspesifik pengurangan air

tubuh total. Hipernatremia, urea plasma tinggi dan osmolalitas urin tinggi mungkin

pula disertai dengan penurunan air tubuh total. Menimbang berat badan pasien

merupakan salah satu cara paling baik untuk menilai pergeseran cairan. Klinis yang

10

10

Page 11: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

paling penting adalah melakukan resusitasi ruang intravaskular, karena volume

intravaskular yang tidak adekuat menyebabkan hipotensi, penurunan DO2 ke

jaringan perifer dan hipoperfusi organ-organ esensial.

Kontroversi Kristaloid versus Koloid

Pertanyaan apakah resusitasi kristaloid atau koloid yang paling tepat

merupakan sumber perdebatan selama beberapa puluh tahun. Secara umum,

resusitasi kristaloid menyebabkan ekspansi ruang interstisial, sedangkan koloid

intravena yang bersifat hiperonkotik, karena tekanan onkotik, cenderung untuk

menyebabkan ekspansi volume intravaskular dengan “meminjam” cairan dari ruang

interstisial. Koloid iso-onkotik dapat mengisi ruang intravaskular tanpa mengurangi

ruang interstisial. Dalam tabel 2 dapat dilihat perbandingan cairan kristaloid versus

koloid.

Tabel 2. Kristaloid versus koloid.Kristaloid Koloid

Efek volume intravaskular - lebih baik (efisien, volumelebih kecil, menetap lebih lama)

Efek volume interstisial lebih baik -DO2 sistemik - lebih tinggiSembab paru keduanya sama-sama potensial menyebabkan

sembab paru.Sembab perifer sering jarangKoagulopati - dekstran > kanji hidroksietilAliran urin lebih besar GFR menurunReaksi-reaksi tidak ada jarangHarga murah albumin mahal

non albumin sedang

Dari pertimbangan fisiologis terlihat bahwa kristaloid menyebabkan lebih

banyak edema daripada koloid. Pada keadaan peningkatan permeabilitas, koloid

mungkin merembes ke dalam ruang interstisial. Ini tidak perlu memburuk, dan

akhirnya koloid meninggikan tekanan onkotik plasma. Ini akan menghambat

kehilangan cairan selanjutnya dari sirkulasi dan kemungkinan hal ini

menguntungkan. Agaknya, mikrovaskulatur masih mempunyai kemampuan untuk

mempertahankan gradien protein walaupun terdapat gangguan permeabilitas yang

berat. Kelebihan koloid dalam respons metabolik dapat meningkatkan DO2 dan VO2

11

11

Page 12: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

serta menurunkan laktat serum. Parameter-parameter tersebut merupakan indikator

penting untuk mengetahui apakah pasien akan tetap hidup atau meninggal.

Kristaloid versus koloid : area persetujuan

1. Tidak diragukan bahwa larutan koloid merupakan bentuk penggantian volume

darah yang lebih efisien daripada larutan kristaloid. Untuk mencapai titik akhir

tertentu diperlukan lebih sedikit larutan koloid daripada larutan kristaloid.30,31

2. Juga tidak dipertanyakan lagi bahwa larutan koloid lebih mahal dari kristaloid.30,31

3. Larutan kristaloid tidak menyebabkan reaksi anafilaktoid yang dapat terjadi

dengan koloid, meskipun reaksi seperti ini jarang terjadi pada syok.32

4. Hemodilusi sebelum transfusi darah dengan kristaloid atau koloid bermanfaat

secara teoritis pada restorasi volume darah. Hal ini ditunjang oleh data

eksperimental.33

5. Resusitasi dengan cairan selain dari darah secara praktis sangat bermanfaat.

Kendati transfusi darah tetap merupakan kemajuan paling bermakna dalam

penanganan syok hemoragik, memulai resusitasi dengan larutan selain darah

memungkinkan dilakukannya resusitasi di tempat dan memberi kesempatan

untuk uji silang yang lengkap.30,31

6. Anemia ternyata ditoleransikan lebih baik daripada hipovolemia.30,31 Pada

perdarahan akut pada orang sehat anemia dapat ditoleransikan sampai 50%,

sedangkan hipovolemia hanya 30%.

7. Kelebihan cairan dengan kedua macam larutan merupakan peristiwa yang tak

diinginkan.30,31

8. Mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma dipostulasikan sebagai tujuan

terapi cairan yang diinginkan; larutan koloid lebih efektif dalam mempertahankan

tekanan osmotik koloid pada kebanyakan manusia dan juga binatang.34,35

Terapi kristaloid versus koloid : area debat

Yang menjadi dasar perdebatan apakah penggunaan kristaloid atau koloid

menunjukkan perbedaan bermakna dalam hal efek pada koagulasi, fungsi ginjal, air

interstisial paru, lama perawatan di ICU atau rumah sakit, angka kelangsungan

hidup, atau kekerapan ARDS. Segi kedua yang diperdebatkan ialah jika tidak ada

12

12

Page 13: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

perbedaan, dapatkah dibenarkan pemakaian koloid yang mahal dan berisiko

menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Perlu diingat bahwa harga cairan hanyalah

merupakan satu fraksi saja dari seluruh beaya total. Reaksi anafilaktik / anafilaktoid

akibat koloid relatif sangat rendah.

Bila dalam membandingkan kedua macam cairan ini digunakan mortalitas

sebagai titik akhir dengan asumsi mortalitas 20% (rasio risiko 1,02) maka diperlukan

159000 pasien pada tiap kelompok, ini hampir tidak mungkin untuk dilaksanakan .

Jadi barangkali perlu dipakai titik akhir yang lain misalnya profil pemulihan. Baru-baru

ini dibuktikan oleh Gan TJ (disampaikan pada 12th World Congress of

Anaesthesiologists Montréal, Canada June 7, 2000) bahwa koloid memberikan profil

pemulihan pascabedah yang lebih baik. Pada pasien yang mendapat koloid

intraoperatif kekerapan muntah lebih rendah dan jumlah pemakaian antiemetik

berkurang. Pada kelompok kristaloid lebih banyak pasien yang mempunyai keluhan

nyeri hebat pascabedah dan penglihatan ganda, mungkin berkaitan dengan

kekerapan edema periorbital yang lebih tinggi

Efek volume intravaskular

Telah disepakati bahwa efek volume intravaskular kristaloid jauh lebih singkat

daripada efek koloid. Karena kristaloid dengan mudah didistribusikan ke cairan

ekstraselular, hanya sekitar 20% elektrolit yang diberikan tinggal di ruang

intravaskular. Distribusi ini menghasilkan formula yang umum dipakai untuk

pergantian kehilangan darah dengan elektrolit. Formula ini terlalu disederhanakan

dan barangkali penggantiannya masih kurang.

Tabel 3 meringkas efek volume intravaskular koloid, tetapi perlu dicatat bahwa

model-model klinis dan binatang untuk menentukan efek tersebut bervariasi.

Poligelin dieliminasikan terutama oleh ginjal dan pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal, waktu paruh mungkin meningkat sampai 16 jam. Waktu paruh

intravaskular yang lama sering dianggap sebagai sifat koloid yang menguntungkan.

Dalam praktek , hal ini mungkin merugikan jika terjadi hemodilusi yang berlebihan,

atau terjadi hipervolemia yang tak disengaja, khususnya pada pasien dengan

penyakit jantung. Di lain pihak, kristaloid lebih memungkinkan timbulnya hipovolemia

sesudah resusitasi, karena waktu paruh intravaskular yang pendek. Apapun cairan

13

13

Page 14: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

yang dipakai untuk resusitasi, diperlukan cukup pengetahuan tentang farmakokinetik

untuk memperkirakan situasi volume intravaskular sesudah resusitasi yang adekuat.

Tabel 3. Efek volume intravaskular 36

CAIRAN DISTRIBUSI WAKTU PARUH Vol. interstisial Vol. intravask

% %

Hartmann 80 20 20 menitSPS (albumin) 20 80 > 24 jamDekstran 70 10 90 12 jamKanji hidroksietil 0 100 > 24 jamPoligelin 50 50 4 jam

Efek volume interstisial

Pergeseran dalam IFV yang terjadi setelah syok hemoragik berpusat pada

argumen kristaloid / koloid. Shires dkk memperlihatkan adanya defisit cairan

interstisial pada syok hemoragik, sedangkan Shoemaker dkk menyajikan data yang

menunjukkan adanya peningkatan IFV pada syok hemoragik. Kedua hal yang

bertentangan ini mungkin saja kompatibel, sebab pada syok hemoragik dini dapat

terjadi defisit cairan interstisial, tetapi pada syok hemoragik lanjut atau syok septik,

permeabilitas kapiler berubah yang berakibat peningkatan IFV. Tidak diragukan lagi,

bahwa klinis sangat sukar untuk menilai IFV dan cara-cara sekarang untuk mengukur

kompartemen cairan tubuh mempunyai beberapa kelemahan, baik dalam teknik

maupun interpretasi, sehingga keadaan IFV pada syok masih tetap kontroversial.

Jika IFV berkurang maka kristaloid mengganti defisit volume ini lebih efektif

dari koloid. Akan tetapi, distribusi koloid berbeda antara volume intravaskular dan

IFV, poligelin lebih efektif dalam mengganti defisit IFV. Tabel 3 juga memperlihatkan

bahwa kebanyakan koloid mempunyai kandungan elektrolit yang akan didistribusikan

pula ke dalam cairan interstisial. Bila IFV bertambah, maka garam hipertonik atau

25% albumin mungkin lebih efektif karena cairan interstisial berpindah ke ruang

intravaskular.

14

14

Page 15: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Sembab paru

Barangkali segi paling kontroversial pada argumen antara resusitasi kristaloid

dan koloid apakah satu atau yang lain memberi kecenderungan ke arah sembab

paru. Kristaloid mengurangi tekanan osmotik koloid (TOK) dan ini memberi

kecenderungan ke sembab paru dan perifer. Koloid akan mempertahankan TOK,

sehingga mengurangi kemungkinan sembab paru dan perifer sesudah resusitasi.

Konsep ini merupakan interpretasi klinis sederhana konsep Starling dan pada

kenyataan, persamaan Starling (lihat gambar 4) jauh lebih kompleks dan faktor-

faktor selain tekanan hiperstatik pulmoner dan tekanan osmotik kapiler perlu

dipertimbangkan.

Gambar 4. Persamaan Starling

PP

Pt IIt

Jv = kf { ( Pc-Pt ) – j ( IIc-IIt ) }Jv = volume neto cairan yang menyeberangi membran kapilerkf = koefisien filtrasi kapilerPc = tekanan hidrostatik kapilerPt = tekanan hidrostatik cairan interstisialj = koefisien refleksi membran kapilerIIc = tekanan osmotik kapilerIIt = tekanan osmotik interstisial

Secara sederhana persamaan Starling menunjukkan bahwa pertukaran cairan

pada tingkat kapiler terjadi akibat kesetimbangan antara tekanan hidrostatik (Pc-Pt)

dan tekanan osmotik (IIc-IIt), dimodifikasi oleh sifat-sifat membran kapiler itu sendiri

(kf). Sifat-sifat membran kapiler dapat bervariasi dari jaringan ke jaringan, pada

keadaan penyakit yang berbeda dan pada tingkat yang berbeda dari keadaan

penyakit yang sama. Patut dicatat, bahwa syok hemoragik tanpa komplikasi

biasanya tidak dipersulit dengan perubahan dalam persamaan Starling yang

15

15

Pc IIc

kf

Page 16: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

memberi kecenderungan ke arah kebocoran kapiler, sehingga terjadi perpindahan

cairan intravaskular ke dalam cairan interstisial. Namun pada sepsis dan syok

hemoragik lanjut, lebih sering terjadi kebocoran kapiler difus.

Resusitasi kristaloid akan mengurangi tekanan osmotik kapiler dan jaringan,

sehingga perbedaan antara keduanya dapat tetap sama dan perbedaan inilah yang

penting. Perpindahan kristaloid ke dalam cairan interstisial dalam paru akan

meningkatkan tekanan hidrostatik cairan interstisial, sehingga mempertahankan

beda antara tekanan hidrostatik cairan interstisial dan kapiler. Sekali lagi beda inilah

yang merupakan faktor penting. Akhirnya telah diperlihatkan bahwa aliran limfe paru

dapat meningkat secara dramatis selama resusitasi kristaloid (pernah dilaporkan

sampai 10 kali). Mekanisme ini mengurangi peluang timbulnya sembab paru pada

resusitasi kristaloid, tetapi kadang-kadang timbul juga sembab paru.

Secara teoritis resusitasi koloid akan mengurangi kemungkinan sembab paru

karena tekanan osmotik kapiler dapat dipertahankan. Namun, penelitian-penelitian

menunjukkan bahwa kapiler paru menahan albumin lebih sedikit (albumin interstisial

paru = 60-80% albumin plasma). Maka dari itu, beda antara tekanan osmotik

interstisial dan kapiler betul-betul kecil dalam paru, dan jika dipakai albumin untuk

resusitasi, tidak semuanya akan ditahan dalam ruang intravaskular. Tetapi dalam

paru, persentasi yang bermakna (60-80%) berpindah ke dalam ruang interstisial,

menyebabkan makin sulit untuk menjelaskan jika terjadi sembab paru. Namun, sekali

lagi aliran limfe paru dapat meningkat, mengurangi peluang terjadinya sembab paru

yang bermakna.

Kalau kita tinjau berbagai penelitian klinis dan binatang yang menilai fungsi

paru sesudah resusitasi kristaloid atau koloid, maka terdapat sejumlah penelitian

yang tak dapat menunjukkan perbedaan. Beberapa penelitian menyokong kristaloid

dan yang lain menyokong koloid. Pendeknya, sepanjang mengenai sembab paru,

debat kristaloid/koloid menemui jalan buntu. Perlu dicatat bahwa distribusi koloid non

albumin dalam ruang interstisial paru belum banyak diselidiki. Tetapi sekali lagi

terdapat beberapa penelitian klinis yang menyarankan bahwa koloid menyebabkan

lebih sedikit gangguan fungsi paru daripada resusitasi kristaloid.

16

16

Page 17: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Sembab perifer

Pasien yang mendapat banyak cairan kristaloid sewaktu resusitasi

menunjukkan tanda-tanda klinis sembab perifer, sedangkan pada resusitasi koloid

hal ini tidak terjadi. Permeabilitas kapiler kulit dan otot terhadap albumin berbeda dari

paru dengan kandungan albumin dalam cairan interstisial sebesar 20-50% plasma.

Karena itu, pada kulit dan otot koloid akan mempertahankan beda yang lebih besar

dalam tekanan osmotik antara kapiler dan interstisium. Aliran limfe tidak meningkat

sebanyak di paru. Jadi, perbedaan-perbedaan inilah yang menerangkan mengapa

timbul sembab perifer pada resusitasi kristaloid. Namun sembab perifer ini jangan

disamakan dengan timbulnya sembab paru. Pendukung kristaloid mengatakan

bahwa sembab perifer ini hanyalah masalah kosmetik. Pendukung koloid

mengatakan bahwa sembab ini mempengaruhi penyembuhan luka dan transfer zat

makanan dan ekstrimnya sembab dinding dada dapat mengurangi kekembangan

(compliance) dinding dada. Tidak disangsikan lagi, bahwa dalam hal sembab perifer,

kristaloid kalah.

Laju reaksi

Kekerapan reaksi-reaksi yang hebat terhadap berbagai koloid dapat dilihat

dalam tabel 4.

Tabel 4. Kekerapan reaksi hebat akibat koloid 37

KOLOID KEKERAPAN REAKSI HEBAT

Albumin 0,003Dekstran 70 0,008Gelatin 0,038Kanji hidroksietil 0,006

Reaksi-reaksi ini terbatas pada koloid dan tidak terjadi pada kristaloid. Perlu

diketahui bahwa sejak penelitian Ring dan Messmer37 pada tahun 1977, telah

dilakukan beberapa modifikasi dalam proses pembuatan albumin dan poligelin untuk

menurunkan kekerapan reaksi. Reaksi dekstran ternyata lebih hebat dibanding koloid

lain, tetapi pemberian dekstran molekul rendah (BM 1000) sesaat sebelum

17

17

Page 18: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

pemberian dekstran 70 telah mengurangi kekerapan reaksi-reaksi ini. Untungnya

reaksi-reaksi tersebut jarang terjadi dan dapat dimodifikasi, namun dalam area ini

kristaloid memberi keuntungan yang nyata.

Selain reaksi ini, komplikasi dapat pula timbul dengan koloid, dan dengan

dekstran 70, interferensi dengan hemostasis merupakan masalah yang mungkin

terjadi. Interferensi ini merupakan fenomena yang berhubungan dengan dosis.

Pemberian dekstran 70 melebihi 1,5 g/kg dapat berakibat gangguan hemostasis. Hal

ini membatasi penggunaan dekstran 70 sampai kira-kira 1,5-2 liter pada pasien

dewasa sehingga membatasi pemakaiannya pada situasi resusitasi mayor. Kanji

hidroksietil mempunyai masalah potensial lain, yaitu bahwa zat ini diserap oleh

sistem retikuloendotelial, sehingga tinggal dalam tubuh untuk waktu yang lama dan

mungkin berefek pada fungsi imunitas. Akan tetapi kemaknaan masalah ini belum

jelas.

Cairan hipertonik

Suatu alternatif ideal untuk cairan koloid dan kristaloid hendaknya murah,

hanya menimbulkan edema ringan, dan menghasilkan stabilitas kardiovaskular yang

menetap. Beberapa data menunjukkan bahwa larutan garam hipertonik dapat

memberikan beberapa keuntungan di atas, terutama bila dikombinasikan dengan

koloid (Tabel 5). Volume kecil (6 ml/kg) larutan 7,5% NaCl hipertonik (1,2 mEq

Na+/ml) telah berhasil digunakan sebagai cairan resusitasi tunggal pada binatang

yang mengalami perdarahan.38 Berbagai larutan Na+ hipertonik juga telah dipakai

dalam klinik.39-45 Larutan NaCl hipertonik secara efektif mengembalikan tekanan

darah sistolik, curah jantung dan aliran darah mesenterik pada anjing yang

mengalami perdarahan . Sayangnya peningkatan curah jantung dan aliran darah

serebral akibat NaCl hipertonik hanya menetap selama 30-60 menit. Larutan NaCl

hipertonik/hiperonkotik seperti, 7,5% NaCl/6% dekstran atau 7,5% NaCl /6% kanji

hidroksietil memberikan perbaikan hemodinamik yang lebih lama dibanding dengan

NaCl hipertonik sendirian.46,47 Kombinasi NaCl hipertonik dengan koloid seperti kanji

hidroksietil telah dipakai dalam klinik pada pembedahan jantung orang dewasa,

dengan hasil kebutuhan volume berkurang secara bermakna, perbaikan curah

jantung dan penurunan tahanan pembuluh darah sistemik. 48

18

18

Page 19: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Tabel 5. Cairan resusitasi hipertonik : keuntungan dan kerugian 49

Larutan Keuntungan Kerugian

Kristaloid hipertonik Tidak mahal Hipertonisitas Promosi aliran kencing Pencetusan hematoma subdural Volume awal kecil Memperbaiki kontraktilitas miokardial Efek sebentar Dilatasi arteriolar Edema perifer berkurang Tekanan intrakranial menurun

Kristaloid hipertonik + Respons hemodinamik menetap Biaya bertambahkoloid lebih lama Komplikasi khas akibat koloid

Kebutuhan volume selanjutnya berkurang

Modifikasi dari Prough DS, Johnston WE : Fluid resuscitation in septic shock : No solution yet. Anesth Analg 1989; 69:699.

Mekanisme primer larutan hipertonik meningkatkan alir balik (venous return)

adalah ekspansi PV akibat translokasi cairan intraselular ke ekstraselular dan

translokasi sebentar cairan interstisial ke intravaskular.52 Segera setelah infus,

kombinasi 7,5% NaCl dan 6% dekstran 70 meningkatkan PV sebesar kira-kira 7 kali

volume infus asal. Efek yang segera timbul ini sebagian disebabkan oleh fakta

bahwa permeabilitas kapiler sistemik terhadap Na+ tidaklah lengkap (koefisien

refleksi=0,1); karenanya, IFV ditranslokasikan ke dalam PV sampai tercapai

keseimbangan. Efek penambahan NaCl hipertonik sesudah keseimbangan ECV dan

ICV dapat pula dikalkulasikan.53 Infus 140mL (2mL/kg) pada orang dewasa 70kg

secara osmotis akan menarik 800mL ke dalam ruang ekstraselular; peningkatan PV

(1/5 ekspansi ekstraselular) adalah sekitar 160mL.

Larutan hipertonik memberikan efek yang menguntungkan pada hemodinamik

serebral karena adanya hubungan timbal balik antara osmolaritas plasma dan air

otak.54,55 Koefisien refleksi, yang untuk albumin berkisar dari 0,6 sampai 0,9 pada

kebanyakan kapiler sistemik, dalam jaringan kapiler serebral mendekati 1 untuk

protein dan Na+. Perubahan kecil pada Na+ serum menyebabkan gradien tekanan

osmotik antar jaringan kapiler serebral yang lebih besar daripada perubahan yang

relatif lebih besar pada kadar protein serum. Sebagai contoh, penambahan 5 mEq/L

pada Na+ serum akan meningkatkan osmolalitas sebesar 10 mOsm/kg atau tekanan

osmotik 193 mmHg. Sangat berbeda dari hal tersebut, tekanan osmotik antar sawar

19

19

Page 20: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

darah otak yang dihasilkan oleh kadar protein serum normal hanya sedikit lebih tinggi

dari 23mmHg.

Efek akut pada tekanan intrakranial bergantung pada tonisitas cairan infus.

Cairan hipertonik mengurangi air otak dan tekanan intrakranial pada kelinci;56 0,9%

NaCl sedikit meningkatkan tekanan intrakranial, namun tidak mengubah air otak.

Larutan RL (kadar Na+ 130 mEq/L) sedikit menambah air otak; 6% kanji hidroksietil

dalam 0,9 NaCl (154 mEq/L) tidak mempunyai efek baik pada tekanan intrakranial

maupun pada air otak.57 Selama resusitasi syok hemoragik dengan larutan RL,

tekanan intrakranial meningkat, tetapi tetap tidak berubah bila digunakan 7,5%

NaCl.58,59 Efek pada tekanan intrakranial dan aliran darah serebral bervariasi

bergantung pada model eksperimental, dan keutuhan integritas sawar darah otak.

NaCl hipertonik juga telah berhasil digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial

yang meningkat pada anak.60 Akan tetapi, harus diingat bahwa sel-sel otak dengan

cepat akan membesar kembali ke volume asalnya sesudah dehidrasi hipertonik.61

Secara potensial NaCl hipertonik dapat digunakan misalnya untuk resusitasi

prarumah sakit pada pasien trauma multipel, terutama yang dengan kekembangan

intrakranial yang menurun, dan pasien yang menjalani pintasan jantung paru, di

mana cairan hipertonik dapat membatasi kebutuhan akan cairan isotonik tambahan.

Pada suatu penelitian multi senter, pasien-pasien trauma secara acak dibagi ke

dalam kelompok-kelompok yang menerima 250mL larutan garam seimbang atau

7,5% NaCl dalam 6% dekstran 70 (HSD).41 HSD memperbaiki tekanan darah, tetapi

secara keseluruhan tidak memperbaiki angka kelangsungan hidup; namun pada

pasien-pasien yang memerlukan pembedahan angka kelangsungan hidup lebih

tinggi pada kelompok HSD.41 Vassar dkk44 membandingkan 250mL larutan RL

dengan 7,5% NaCl dalam 6% dekstran 70 untuk resusitasi prarumah sakit pada

pasien-pasien trauma dengan tekanan darah sistolik ≤ 100mmHg. Kendati secara

keseluruhan tidak terdapat perbedaan dalam mortalitas, pada kelompok pasien

dengan cedera kepala berat (53 dari 186), 32% kelompok HSD tetap hidup, dan

hanya 16% pada kelompok RL(P=0,04). Selanjutnya, Vassar dkk62 membuat

evaluasi efek 250 mL NaCl dengan dan tanpa 6% dan 12% dekstran 70 untuk

resusitasi prarumah sakit pada pasien-pasien trauma hipotensif. Penambahan

dekstran tidak memperbaiki perubahan-perubahan tekanan darah akibat pemberian

20

20

Page 21: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

NaCl hipertonik sendirian. Kelompok kecil pasien dengan skor Glasgow Coma Scale

< 8 tetapi tanpa cedera anatomik berat, agaknya yang paling banyak mendapat

keuntungan dari resusitasi hipertonik.62

Para spesialis bedah trauma berpendapat bahwa secara umum resusitasi

prarumah sakit dapat menambah kelambatan tanpa manfaat.63,64 Resusitasi kristaloid

sesungguhnya meningkatkan mortalitas pada perdarahan tidak terkontrol

eksperimental.65 Pada pasien-pasien trauma urban, Bickell dkk66 melaporkan bahwa

resusitasi segera prarumah sakit tidak mengurangi mortalitas dibanding dengan

resusitasi yang baru dimulai setelah tiba di rumah sakit. Larutan NaCl hipertonik

ternyata cukup aman. Pemberian NaCl hipertonik dapat berakibat peningkatan kadar

Na+ serum sampai 150-155 mEq/L; namun, pasien ternyata dapat menoleransikan

peningkatan akut tanpa efek yang merugikan.41,45 Mielinolisis pontin sentral yang

terjadi sesudah koreksi cepat hiponatremia berat, terutama yang kronik,67,68,69 tidak

pernah ditemukan dalam uji klinis resusitasi hipertonik.45

Pemantauan hemodinamik

Hanya sedikit yang senang memberi cairan dalam jumlah besar kepada

pasien-pasien sakit kritis, terutama oleh karena banyak pasien dengan syok septik

mempunyai penyakit jantung atau depresi miokardial akibat sepsis itu sendiri.

Kebutuhan akan pemantauan hemodinamik yang cermat selama resusitasi cairan

sangat penting. Pemantauan tekanan darah pada syok septik yang dianjurkan

adalah pengukuran langsung lewat kateter intra-arterial. Tekanan darah yang didapat

dengan cara tak langsung dengan memakai manset sering tidak akurat pada pasien

yang mengalami vasokonstriksi akibat syok sirkulatoar. Tekanan darah arteri yang

cukup tidak memberi arti bahwa curah jantung cukup, karena nilai yang cukup

tersebut mungkin akibat vasokonstriksi hebat. Karena itu, pemberian bolus cairan

dalam waktu singkat secara empirik hendaknya dikerjakan selagi terpasang kateter

intra-arterial.

Langkah yang paling sering adalah pemantauan hemodinamik sentral. Dalam

hal ini, pengukuran PAWP lebih disukai daripada hanya dengan tekanan vena

sentral (CVP), sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat dipantau. Tidaklah

merupakan keharusan untuk memasang jalur sentral pada setiap pasien.

21

21

Page 22: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Pendekatan non-invasif dapat dipakai pada kasus-kasus yang telah diberi “cairan

tantangan” tersebut dan tekanan darah, jumlah urin dan status mental, semua

membaik sementara tingkat laktat tetap normal. Namun, apabila tantangan cairan

empirik awal tidak menghasilkan perbaikan, maka perlu dipasang jalur sentral.

Aturan 7 dan 3

Tanpa memandang macam cairan infus yang diberikan, kita dapat memakai

aturan 7 dan 3 seperti yang dianjurkan oleh Dr. Max Harry Weil dari University of

Southern California. Bila pemberian cairan tantangan mengubah PAWP kurang dari

3 mmHg, penambahan lagi cairan tantangan dapat ditoleransikan. Jika PAWP

meningkat lebih dari 7 mmHg, jangan lagi diberikan cairan dan dipertimbangkan

terapi inotropik bilamana curah jantung tidak adekuat. Apabila peningkatan PAWP

antara 2 dan 7 mmHg dianjurkan untuk menunggu 10 menit untuk melihat apakah

tekanan pengisian menurun. Kita juga perlu melihat kurva fungsi Starling. Bila

penambahan cairan menaikkan PAWP tanpa meningkatkan curah jantung, kita

hendaknya jangan memberi cairan lagi. Dianjurkan untuk mepertahankan PAWP

pada atau di bawah 15 mmHg, curah jantung yang tinggi, tekanan darah rata-rata

lebih dari 60 mmHg dan produksi urin minimal 0,5ml/kg/jam.

Titik akhir terapi

Setelah memutuskan cairan resusitasi atau kombinasi cairan mana yang

paling tepat untuk pasien syok tertentu, isu yang tertinggal adalah “seberapa banyak

yang hendaknya diberikan ?”. Ini jelas akan bergantung pada parameter yang

digunakan untuk memantau resusitasi dan titik akhir terapi yang dipilih. Resusitasi

cairan yang diberikan dengan hanya berdasarkan kehilangan nyata yang diukur

adalah pedoman jelek untuk terapi, terutama pada syok septik, jumlah cairan yang

diperlukan dapat jauh lebih banyak daripada volume darah normal.

Tekanan darah merupakan metode yang relatif juga tidak sensitif dalam

menilai derajat syok. Tekanan darah tidak memberi gambaran perfusi jaringan dan

karena pelepasan katekolamin pada syok, tekanan darah dapat dipertahankan

dengan baik walaupun terjadi hipovolemia. Laju nadi merupakan indikator yang

sedikit lebih handal dan pada pasien muda, frekuensi melebihi 120/menit sering

22

22

Page 23: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

menunjukkan hipovolemia. Akan tetapi, laju nadi dipengaruhi oleh banyak faktor lain

seperti nyeri, stres emosional dan obat-obatan. Tindakan yang menilai kecukupan

sirkulasi perifer, seperti suhu jari kaki lebih bermanfaat. Kadar laktat darah yang

meningkat pada syok biasanya menunjukkan hipoksia jaringan dan netralisasi

asidosis metabolik merupakan salah satu tujuan terapi. Untuk syok ringan, titik akhir

ini mungkin cukup untuk memantau terapi cairan dan mengarahkan resusitasi.

Pada syok sedang pun, diperlukan estimasi tekanan pengisian jantung volume

darah. Cara paling sederhana adalah menggunakan TVS. Namun, TVS sering tidak

mencerminkan tekanan pengisian pada sisi kiri jantung karena adanya perbedaan

nyata pada tekanan ventrikular kiri dan kanan pada pasien yang sakit gawat. TVS

juga tidak selalu mencerminkan volume darah dengan tepat, karena perubahan-

perubahan tonus pembuluh kapasitas vena yang dapat mempertahankan TVS

normal pada hipovolemia. Pada syok ringan, sedang, pengukuran TVS dapat

berguna bila digabung dengan parameter hemodinamik lainnya. Pada setiap tingkat,

respons klinis dapat dipakai untuk memantau adekuat atau tidak adekuatnya

resusitasi dan menghindari penyelidikan lebih lanjut.

Pemakaian PAWP untuk mengukur tekanan pengisian adalah cara yang lebih

akurat, sebab PAWP berkaitan erat dengan tekanan atrial kiri dan tekanan diastolik

akhir ventrikular. Namun, PAWP tidak selalu berkorelasi secara handal dengan

volume diastolik akhir ventrikular yang sesungguhnya merupakan prabeban

ventrikular. Lebih dari itu, resusitasi yang didasarkan sepenuhnya pada pengukuran

PAWP yang berubah-ubah telah dibuktikan secara eksperimental berakibat

pemberian cairan resusitasi dalam jumlah yang berlebihan. Pengukuran PAWP

memerlukan pemasukan kateter arteri pulmoner. Akhir-akhir ini timbul cukup banyak

kontroversi mengenai risiko dan manfaat alat pantau ini. Perlu ditekankan bahwa

pada banyak pasien dengan syok pemasukan kateter arteri pulmoner ini tidaklah

diperlukan. Akan tetapi, bila terjadi hipotensi yang menetap, kebutuhan akan inotrop,

oliguria atau asidosis laktik, maka diperlukan pemantauan yang lebih ekstensif

sebagai pedoman resusitasi. Pemantauan itu sendiri tidak dapat mempertinggi angka

kelangsungan hidup, tetapi semata-mata hanyalah suatu pedoman untuk bertindak

lebih lanjut.

23

23

Page 24: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Pengembalian perfusi jaringan merupakan tujuan akhir resusitasi dari syok.

Terutama pada syok septik, dapat terjadi hipoksia jaringan berat biarpun

kelihatannya aliran darah, tekanan dan oksigenasi sistemik adekuat. Curah jantung

dapat diukur dengan memakai kateter arteri pulmoner termodilusi, dan bersama-

sama dengan pengukuran SaO2 dan Hb dapat digunakan untuk menilai DO2. Namun,

kendati dilengkapi dengan pengukuran-pengukuran tersebut, kita tidak dapat menilai

kecukupan perfusi jaringan tanpa menghubungkan DO2 dengan VO2. Dari data yang

dikumpulkan dari pasien dengan syok septik disimpulkan bahwa peluang untuk dapat

hidup terus adalah lebih tinggi jika VO2 dan curah jantung supranormal.3

Pada suatu penelitian pada pasien yang dioperasi dengan risiko tinggi,

resusitasi sampai titik akhir tertentu (c.o > 4.5 L/men/m2, DO2 > 660 ml/men/m2; VO2

> 170 ml/men/m2) ternyata menurunkan mortalitas, penyulit, lama tinggal di ICU dan

di rumah sakit serta biaya. Namun, bila dipertimbangkan berbagai macam syok, nilai

yang pasti untuk titik akhir tersebut mungkin berbeda-beda. Pengukuran pokok

resusitasi dengan menggunakan kriteria DO2 adalah tes fluks oksigen. Pada orang

sehat, VO2 tidak bergantung pada DO2 di atas pengiriman kritis x ml/men. Pada syok

berat, terutama sekali syok septik, VO2 dapat meningkat sesudah suatu peningkatan

dalam DO2, mengarah pada adanya hipoksia jaringan yang tersembunyi atau debet

oksigen. Disarankan bahwa resusitasi hanya lengkap bila upaya untuk menaikkan

PO2 (pengisian cairan, inotrop, vasodilator) gagal untuk meningkatkan VO2. Pada titik

ini dikatakan bahwa ketergantungan aliran menghilang. Tes fluks oksigen ini telah

terbukti dapat mengidentifikasikan pasien yang akan terus hidup dan yang akan

meninggal dunia, tidak meninggikan angka kelangsungan hidup jika dipakai sebagai

titik akhir resusitasi.

Terapi cairan pada hipovolemia

Kristaloid dengan kadar isotonik Na+ dan koloid kedua-duanya dapat dipakai

untuk ekspansi ruang intravaskular. Untuk memilih salah satu di antara dua grup

cairan ini, ada beberapa hal yang perlu diingat :

Untuk ekspansi ruang intravaskular diperlukan lebih banyak kristaloid daripada

koloid.70,71

Kristaloid lebih murah.

24

24

Page 25: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Koloid mempunyai risiko reaksi imunologis.

Terdapat pula masalah logistis sehubungan dengan pemberian kristaloid yang

banyak :

Beban cairan lebih besar.

Beban Na+ lebih besar.

Tantangan termal lebih besar.

Untuk ekspansi ruang intravaskular dengan kristaloid diperlukan waktu lebih

lama.70

Volume yang besar sukar dibawa dan disimpan dalam area yang terisolasi

(misalnya pada kecelakaan, pemakaian militer).

Problem terbesar pada penggunaan kristaloid untuk ekspansi ruang intravaskular

adalah diperlukannya volume yang besar. Ini dapat menyebabkan kelebihan cairan

tubuh total, bahkan pada keadaan ruang intravaskular yang berkontraksi, dengan

ekspansi berlebih ruang interstisial dan edema perifer. Ini dapat diperberat oleh

hipoproteinemia dilusional 35 dan penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang

menyebabkan cairan berpindah dari ruang intravaskular ke ruang interstisial.29

Edema interstisial menyebabkan penurunan VO2 jaringan perifer, akibat jarak difusi

yang lebih panjang antara kapiler dan sel. Ini dapat pula mengakibatkan

penyembuhan luka terhambat. Di samping itu, juga terjadi gangguan fungsi limfatik,

tekanan positif dalam ruang interstisial menimbulkan kolaps pembuluh-pembuluh

yang halus dan gangguan katup, sehingga terjadi akumulasi protein dalam ruang

interstisial dengan akibat edema makin parah. Lowell dkk 71 membuat definisi cairan

berlebih sebagai peningkatan berat badan ≥ 10 % pada sakit kritis. Ketika meneliti

pasien dengan problema ini, mereka menemukan peningkatan morbiditas dan

mortalitas dibanding dengan pasien yang tidak mengalami cairan berlebih.71

Pada orang sehat dengan paru-paru normal, kristaloid volume besar mungkin

tidak menyebabkan peningkatan bermakna pada air paru ektravaskular, asalkan

kompartemen intravaskular tidak diekspansikan di luar batas-batas yang wajar.72,73 Ini

karena paru—paru dapat memindahkan cairan berlebih dengan efisien, terutama

dengan meningkatkan drainase limfatik. Namun ini tidak terjadi pada pasien sakit

25

25

Page 26: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

kritis yaitu pasien-pasien dengan cedera paru akut dan sindroma respons inflamatori

sistemik (SIRS). 74

Terapi cairan pada pasien pascabedah tanpa komplikasi

Hipovolemia biasa dijumpai sesudah trauma pembedahan dan kecelakaan,

dan telah diberi terapi dengan kristaloid bervolume besar. Volume kristaloid, yang

didistribusikan terutama dalam ruang interstisial, dititrasikan terhadap tanda-tanda

ruang intravaskular yang berkurang, yaitu perubahan-perubahan dalam laju jantung,

tekanan darah dan keluaran urin. Alasan pemakaian kristaloid bermula dari

penelitian awal yang menunjukkan kontraksi ECV total pada pasien hipovolemik

sesudah prosedur bedah mayor, bahkan sesudah kehilangan darah disingkirkan

sebagai kausa 75. Diperkirakan hal ini disebabkan oleh redistribusi internal dan

sekuestrasi cairan ektraselular ke dalam jaringan sekitar luka bedah dan usus.

Penelitian belakangan ini menunjukkan adanya ekspansi ruang interstisial

pada pasien-pasien tersebut.76,77 Selain itu, respons normal tubuh terhadap stres

adalah menahan Na+ dan air dengan berbagai mekanisme yang mencakup

peningkatan sekresi hormon antidiuretik dan aldosteron.78 Karena kedua faktor

tersebut, banyak yang mempertanyakan validitas pemberian Na+ dan air kepada

pasien dengan ruang interstisial yang mengalami ekspansi. Pada pasien muda

sehat, mungkin aman untuk memberikan kristaloid dalam jumlah besar karena

mempunyai mekanisme kompensatori yang baik untuk mengatasi kelebihan cairan.

Pada pasien sakit kritis, volume yang besar ini lebih berbahaya dan dalam

penanganan ruang intravaskular yang berkurang pada pasien-pasien ini, yang paling

baik adalah memberikan cairan yang mengekspansikan ruang tersebut, yakni koloid.

Terapi cairan pada pasien traumatik

Dalam pemberian terapi cairan pada pasien traumatik/perioperatif, kita harus

memperhitungkan kebutuhan cairan basal, penyakit-penyakit yang menyertai,

medikasi, teknik dan obat anestetik serta kehilangan cairan akibat

trauma/pembedahan. Trauma dan pembedahan secara akut mengubah volume dan

komposisi ruang ruang cairan intra dan ekstraselular. Dibandingkan dengan individu

normal, pasien yang mengalami trauma berat mempunyai ICV yang sedikit

26

26

Page 27: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

berkurang dan ECV yang banyak bertambah. Pemberian infus kristaloid atau koloid,

meskipun terutama ditujukan untuk mempertahankan volume intravaskular, juga

akan mempengaruhi ukuran dan komposisi kompartemen-kompartemen cairan

fisiologis. Untuk mengurangi penyulit akibat pemberian cairan yang kurang atau yang

berlebihan, diperlukan pengetahuan tentang volume dan komposisi kompartemen

cairan, tanda-tanda fisis dan laboratori kelebihan atau kekurangan cairan, dan

pemilihan jenis cairan. Yang paling ditakuti adalah bila trauma sempat menyebabkan

syok hipovolemik.

Terapi cairan pada pasien sakit kritis

Penggunaan cairan intravena untuk resusitasi lebih sulit pada pasien sakit

kritis. Pada pasien-pasien ini, sel-sel endotel kapiler sering kali bocor sehingga

molekul-molekul protein besar keluar ke ruang interstisial.79,80 Ini menurunkan

gradien-gradien tekanan osmotik antar dinding kapiler dan air mengikuti molekul

protein keluar ke interstisium dengan pengurangan IVV. Timbullah edema perifer dan

paru dengan akibat hipoksemia, penurunan DO2 dan penurunan VO2 oleh jaringan

perifer. Penggunaan koloid pada pasien ini kontroversial, karena adanya

kekhawatiran bahwa koloid eksogenous dapat juga keluar ke interstisium sehingga

memperburuk edema interstisial.

Problem kebocoran kapiler paling sering dijumpai pada cedera paru akut dan

SIRS akibat septisemia. Cedera paru akut atau ARDS terjadi sebagai akibat cedera

berat pada unit-unit pertukaran gas paru. Ini bukanlah penyakit tunggal, tetapi

merupakan jalan terakhir untuk berbagai serangan yang dapat mencederai paru

secara langsung atau tidak langsung. Dalam sindroma ini terjadi peningkatan

permeabilitas membran kapiler/ alveolar. Ini mengakibatkan edema paru tekanan

rendah di mana cairan merembes ke dalam ruang interstisial tanpa tekanan tinggi

seperti yang dijumpai pada gagal jantung. 81 Pada SIRS, endotoksin yang

dikeluarkan oleh bakteria menyebabkan respons inflamatori luas, yang

mempengaruhi sel-sel endotel kapiler. Ini juga berakibat peningkatan permeabilitas

dan edema interstisial. Penatalaksanaan pasien ini terutama suportif dan pada

cedera paru akut ventilasi mekanis seringkali diperlukan karena adanya hipoksemia.

Dalam melakukan resusitasi pada pasien ini penting untuk mengingat dua konsep.

27

27

Page 28: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Yang pertama, sindroma ini ditandai dengan rembesan cairan ke dalam

interstisium paru dan alveolus. Dengan mengeluarkan cairan dari kompartemen-

kompartemen tersebut pertukaran gas akan membaik sehingga mengurangi

kekerapan hipoksemia. Persamaan Starling menunjukkan bahwa ada dua faktor

yang mudah dimanipulasikan yang mempengaruhi perpindahan cairan antara ruang

intravaskular dan interstisial, tekanan hidrostatik dalam kapiler dan tekanan osmotik

koloid plasma.82 Tekanan hidrostatik yang tinggi akan mendorong cairan keluar dari

kapiler ke dalam paru. Idealnya tekanan pengisian atrial kiri hendaknya dipantau

secara langsung, tetapi ini jarang dapat dilakukan dan digunakan kateter flotasi arteri

pulmonalis sebagai ganti mengukur PAWP untuk menghindari nilai yang tinggi.

Ruang intravaskular hendaknya diisi sampai adekuat untuk mempertahankan

variabel-variabel hemodinamik normal dan pasien tidak “kekeringan”. Akan tetapi

dalam praktek kita memberi diuretika kepada pasien dengan cedera paru akut,

mengukur gas darah arteri sebelum dan sesudahnya. Bila dengan diuretika ada

perbaikan pada oksigenasi arteri maka pasien diberi diuretika kembali sampai tidak

ada lagi respons.

Yang kedua, sindroma ini sering disertai dengan hipoksemia. Karena itu

pengantaran oksigen dan DO2 darah harus dimaksimalkan. Ini dapat dicapai dengan

memberikan darah lengkap atau eritrosit (packed cells) untuk mempertahankan

kadar hemoglobin normal (12-14 g/dL) dan memastikan bahwa tekanan pengisian

ventrikular kiri adekuat untuk mempertahankan curah jantung yang normal atau

tinggi. Kontroversi timbul sekitar pemilihan koloid atau kristaloid untuk ekspansi

ruang intravaskular. Yang pro koloid mengatakan bahwa koloid akan

mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma dan meminimalkan akumulasi

cairan interstisial.83,84 Selain itu kristaloid akan menurunkan tekanan osmotik koloid

plasma dan cenderung menimbulkan edema paru.35,85 Telah dibuktikan bahwa

penurunan tekanan osmotik koloid plasma pada pasien sakit kritis disertai dengan

peningkatan laju mortalitas, meskipun peningkatan tekanan osmotik koloid plasma

belum pernah dibuktikan dapat menaikkan angka kelangsungan hidup. Akan tetapi

yang pro kristaloid mencela beaya dan risiko terapi koloid. Mereka juga mengatakan

bahwa koloid seperti albumin yang diberikan pada keadaan permeabilitas vaskular

28

28

Page 29: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

perifer dan pulmoner yang meningkat akan keluar ke interstisium dan terperangkap

dalam ruang tersebut dan menimbulkan edema.85,86

Hauser dkk87 membandingkan pasien-pasien sakit kritis yang mendapat cairan

resusitasi koloid dengan kristaloid. Mereka menemukan bahwa kelompok koloid

mengalami perbaikan yang lebih baik pada variabel-variabel hemodinamik, tanpa

adanya bukti peningkatan air paru atau terperangkapnya albumin. Akan tetapi pada

kelompok kristaloid dijumpai pertukaran gas paru yang lebih buruk, penurunan VO2

dan perbaikan variabel hemodinamik yang sedang saja. Appel dan Shoemaker88 juga

menunjukkan bahwa penggunaan koloid pada pasien sakit kritis menyebabkan

perbaikan nyata pada semua variabel hemodinamik dan DO2, tetapi pada

penggunaan kristaloid hanya dijumpai sedikit perbaikan.

Resusitasi cairan pasien kombustio

Perawatan kombustio melibatkan kehilangan integritas kapiler pada jaringan

yang rusak, yang mengakibatkan kehilangan cairan isotonik dan albumin dari

kompartemen intravaskular ke dalam jaringan sekitar cedera. Ini akan menimbulkan

tekanan onkotik plasma yang rendah, edema yang luas dan penurunan PV, disertai

dengan hipotensi, curah jantung dan keluaran urin yang menurun dan syok.

Resusitasi cairan dapat mengacaukan penurunan PV awal ini.

Yang pro terapi koloid menyatakan bahwa koloid mengembalikan variabel-

variabel hemodinamik ke normal lebih cepat dari kristaloid dan akan membantu

mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma yang normal. Kristaloid juga dapat

menyokong timbulnya edema paru yang biasa terlihat pada pasien kombustio.

Edema paru ini dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, yaitu

hipoproteinemia, cedera inhalasi dan perubahan permeabilitas kapiler paru akibat

kombustio atau sepsis. Ahli yang lain berpendapat bahwa kristaloid diperlukan untuk

ekspansi ruang intravaskular dan interstisial yang berkurang dan dalam keadaan di

mana mungkin terjadi sindroma kebocoran kapiler/alveolar, koloid hendaknya

dihindarkan karena kemungkinan sekuestrasi dalam ruang ekstravaskular. Koloid,

yang membutuhkan waktu lebih lama untuk keluar dari tubuh, dapat menimbulkan

akumulasi cairan paru ketika cairan edema diserap kembali dari luka bakar.89

29

29

Page 30: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Tranbaugh dkk90 membandingkan pemakaian kristaloid dan koloid pada

pasien kombustio dan menunjukkan bahwa dengan kristaloid tidak timbul

peningkatan air paru ekstravaskular asalkan tidak ada sepsis. Sekali pasien menjadi

terinfeksi, maka kebocoran paru bertambah dan air paru ekstravaskular meningkat

dengan pemakaian kristaloid. Maka dari itu kristaloid dapat dipakai untuk resusitasi

walaupun diperlukan volume yang lebih besar dan disertai dengan peningkatan

edema perifer dan penambahan berat badan. Ini mungkin berefek pada morbiditas

yang terlambat. Sekarang ini kebanyakan pasien kombustio mendapat volume

kristaloid yang besar dalam 24 jam pertama untuk ekspansi cairan ekstraselular.

Sesudah 24 jam, umumnya dipakai volume koloid yang lebih besar dan volume

kristaloid yang lebih kecil.91

Albumin versus koloid sintetik

Hipoalbuminemia biasa dijumpai pada pasien sakit kritis karena dua sebab.

Pertama, sering terjadi penurunan sintesis protein oleh hepar akibat defisit nutrisional

dan kekerapan kerusakan hepar yang tinggi. Kedua, terdapat penambahan

kehilangan albumin dari ruang intravaskular. Sesudah pembedahan tanpa

komplikasi, albumin yang meninggalkan ruang intravaskular dan merembes ke dalam

ruang interstisial meningkat 100%. Pasien dengan kebocoran kapiler, kehilangan

albumin dari ruang intravaskular meningkat 300%.92 Umumnya albumin lebih disukai

daripada koloid sintetik, khususnya pada hipoalbuminemia, biarpun jauh lebih mahal.

Yang pro terapi albumin berpendapat bahwa albumin paling baik untuk ekspansi

ruang intravaskular dan mempertahankan tekanan onkotik, karena pada pasien

sehat albumin merupakan protein utama penunjang tekanan onkotik plasma. Akan

tetapi telah ditunjukkan bahwa hanya ada sedikit korelasi antara kadar albumin

plasma dan tekanan onkotik plasma. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa koloid

sintetik setidaknya sama bagus seperti albumin dalam hal meningkatkan tekanan

onkotik plasma 29,93 dan mempunyai efek hemodinamik yang sama bila dipakai untuk

ekspansi ruang intravaskular.94

Albumin juga mengikat berbagai konstituen plasma lipofilik dan obat-obat

asam. Umumnya dianggap bahwa efek farmakologis obat disebabkan oleh fraksi

yang bebas, sedangkan fraksi yang terikat tidaklah aktif. Yang pro terapi albumin

30

30

Page 31: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

berpendapat bahwa bila ada hipoalbuminemia, obat-obat mungkin mempunyai kadar

plasma normal tetapi mungkin pula mempunyai fraksi bebas yang abnormal tinggi

dengan konsekuensi efek terapeutik dan toksik yang lebih besar. Terdapat bukti

eksperimental yang menyokong hal ini pada midazolam95 kendati ini tidak dapat

dianggap berlaku untuk semua obat. 92 Beberapa kelompok ahli membandingkan

pemberian suplemen albumin untuk mempertahankan kadar albumin dalam batas

normal, dengan tanpa pemberian albumin. Tidak terdapat perbedaan bermakna di

antara kedua kelompok terapi dalam hal jumlah hari pemakaian ventilasi mekanis,

hasil akhir (outcome) dan variabel-variabel lainnya. Semua kelompok ahli tersebut

menyimpulkan bahwa pada pasien sakit kritis, pemberian suplemental rutin albumin

adalah mahal, tidak memberikan keuntungan dan hendaknya ditinggalkan. 96

RINGKASAN

Banyak ahli yang menyimpulkan secara sederhana, bahwa karena tidak jelas

berbeda dalam hasil pada pasien yang telah mendapat resusitasi kristaloid atau

koloid, maka hendaknya dipakai cairan yang paling murah, yaitu tentu saja kristaloid.

Argumentasi harga ini perlu dikaji lebih dalam karena beaya resusitasi cairan pada

pasien yang memerlukan prosedur resusitasi kompleks hanya merupakan suatu

fraksi saja dari beaya keseluruhan. Posisi ekstrim dalam kontroversi tidak dapat

dibenarkan. Pemilihan cairan lebih banyak ditentukan oleh pasien ketimbang oleh

dokter yang mungkin pro atau kontra jenis cairan tertentu. Perlu dipertimbangkan

kompartemen mana yang membutuhkan resusitasi cairan. Bila hanya terjadi

kekurangan cairan intravaskular, maka cairan yang lebih cocok adalah koloid atau

darah. Bila terjadi defisit cairan interstisial maka kristaloid seperti larutan RL yang

lebih cocok. Mungkin perlu memberi koloid dan kristaloid bila terjadi defisit di ruang

intravaskular dan interstisial. Bila perlu menambah cairan intraselular, yaitu pada

dehidrasi intraselular, maka yang paling baik dipakai adalah 5% dekstrosa dalam air.

Pasien ini biasanya hipernatremik, dengan urea plasma tinggi dan osmolalitas urin

tinggi. Pasien sehat dengan ruang intravaskular yang berkontraksi dapat diberi

cairan resusitasi dengan darah, koloid atau kristaloid volume besar. Darah adalah

paling baik untuk terapi hipovolemia akibat perdarahan. Bila darah tidak segera

31

31

Page 32: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

tersedia, koloid dengan waktu paruh plasma yang pendek seperti gelatin akan

mempertahankan volume intravaskular sampai darah tersedia. Jenis cairan untuk

resusitasi hendaknya diganti menurut lama dan berat hemoragi atau syok hemoragik

dan apakah terjadi kebocoran kapiler.

Pada operasi tanpa banyak trauma bedah, kecuali kehilangan darah, dapat

diberikan mula-mula koloid, dan kemudian darah jika terjadi hemodilusi yang

bermakna. Pada operasi dengan trauma bedah yang bermakna dan pada pasien

yang menderita trauma non bedah yang terlambat diberi cairan resusitasi, dapat

dipakai kombinasi kristaloid dan koloid. Akhirnya, pada pasien dengan kebocoran

kapiler, prognosis sangat jelek, tidak pandang macam cairan apa yang diberikan.

Akan tetapi untuk pasien ini lebih baik diberi koloid dengan molekul lebih besar.

Dalam penatalaksanaan prarumah sakit dan cairan untuk pasien dengan hipertensi

intrakranial masih diperlukan kemajuan-kemajuan lebih lanjut. Untuk pertanyaan

apakah di masa yang akan datang para klinikus secara rutin akan menggunakan

cairan hipertonik atau kombinasi hipertonik/hiperonkotik untuk resusitasi, belum ada

jawaban yang pasti. Penggunaan optimum cairan dalam resusitasi pada pasien

dengan syok memerlukan pertimbangan kondisi pasien sebelum sakit, penyebab

syok, pengetahuan fisiologi kardiovaskular yang baik dan pemahaman sifat-sifat

cairan yang tersedia.

Resusitasi cairan hendaknya disesuaikan untuk setiap pasien. Secara khusus

resusitasi adalah suatu proses dinamik dan respons terhadap terapi harus dinilai

secara kontinyu. Ini akan menuntun kita ke langkah berikutnya. Seperti halnya

penggantian cairan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan kegagalan organ dan

kematian, kelebihan cairan juga dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi.

Cairan dan titik akhir apapun yang dipilih, kemungkinan tidak akan berhasil jika

resusitator membuat instruksi lewat telpon. Aset paling berharga bagi pasien dengan

syok adalah kehadiran seorang dokter yang berpengalaman dan yang mendapat

informasi lengkap di samping tempat tidurnya. Kristaloid hendaknya jangan dipakai

untuk terapi hipovolemia pada pasien sakit kritis dengan cedera paru akut atau SIRS.

Pasien-pasien ini biasanya mempunyai ruang interstisial yang sangat membesar dan

tidak mempunyai mekanisme kompensasi untuk mobilisasi dan ekskresi cairan

dibandingkan dengan pasien sehat.

32

32

Page 33: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

Mudah-mudahan makalah ini dapat menghilangkan kebingungan tentang

larutan ideal untuk terapi cairan, yang memang demikianlah pencerminan praktek

sekarang ini. Saran terbaik adalah ikuti prinsip-prinsip dasar fisiologis yang telah

mapan. Pada kebanyakan situasi, perhatian primer pada kebutuhan kuantitatif

dengan mempertahankan kadar Hb dan faktor koagulasi yang optimal akan

memberikan peluang terbesar untuk sukses.

Daftar Pustaka

1. Rosenthal MH, Pearl RG, Shock. Dalam : Donegan JD (ed). Manual of Anesthesia for emergency surgery. New York, Churchill Livinstone 1987; 259–90.

2. Rosenthal MH. Physiologic Approach to the management of shock. Seminars in Anesthesia 1982; 1:285–92.3. Hawker F. Fluid resuscitation in shock. International Symposium on Cardiothoracic Critical Care. Jakarta 1990.4. Arfors KE, Buckley PB : Role of artificial colloids in rational fluid therapy. In Tuma RF, White JV, Messmer K (eds) : The

role of hemodilution in optimal patient care, Munchen, W Zuckschwerdt 1989; p 100.5. Astiz ME, Galera-Santiago A, Rackow EC : Intravascular volume and fluid therapy for severe sepsis. New Horizons 1993;

1:127.6. Hauser CJ, Shoemaker WC, Turpin I et al. Hemodynamic and oxygen transport responses to body water shifts produced

by colloids and crystalloids in critically ill patients. Surg Gynecol Obstet 1980; 150:811.7. Shoemaker WC, Beez MG. Relation of capillary leak to hypovolemia, low flow, tissue hypoxia, oxygen debt, organ failure

and death : Part II. International Journal of Intensive Care 1996; 3:140.8. Kohler H, Zschiedrich H, Linfante A. blod volume, colloid osmotic pressure and kidney function of healthy volunteers

following infusion of HES 200/0.5 and 10% dextran 40 (Engl translation) Anaesthetist 1982; 31:61.9. Lazrove S, Waxman S, Skippy W, Shoemaker WC et al. Hemodynamic blood volume and oxygen transport responses to

albumin and hydroxyethyl starch infusions in critically ill patients. Crit Care Med 1980; 8:302.10. Mortelmans Y, Merckx E, van Nerom C et al. Effect of an equal volume replacement with 500 mL 6% hydroxyethil starch

on the blood and plasma volume of healthy volunteers. Eur J Anaesthesiol 1995; 12:259.11. Gruber UF, Siegrist J. The volume effect of different plasma substitutes. Arch Klin Chir 1962; 301:128.12. Zikria BA, Thoms CK, Stanford et al. A biophysical approach to capillary permeability. Surgery 1989; 105:625.13. Zikria BA, Subbarao CH, Oz MC et al. Hydroxyethylstarch macromolecules reduce myocardial reperfusion injury. Arch

Surg 1990; 125:930.14. Zikria BA, Subbarao CH, Oz MC et al. Macromolecules reduce abnormal microvascular permeability in rat limb ischemia

reperfusion injury. Crit Care Med 1989; 17:1306.15. Webb AR, Tighe D, Moss RF et al. Advantages of a narrow range medium molecular weight hydroxyethyl starch for

volume maintenance in a porcine model of fecal peritonitis. Crit Care Med 1991; 19:409.16. Schell RM, Cole DJ, Schultz RL et al. Temporal cerebral ischemia : effects of Pentastarch or albumin on reperfusion injury.

Anaesthesiology 1992; 77:86.17. Tanaka H, Dahms TE, Bell E. Effect of hydroxyethyl starch on alveolar flooding in acute lung injury in dogs. Am rec Resp

Dis 1993; 148:852.18. Traber LD, Brazeal BA, Schmitz M Pentafraction reduces the lymph response after endotoxin administration in the ovine

model. Cric Shock 1992; 36:93.19. Yeh T, Parmer J, Rebeyka I. Limiting edema in neonatal cardiopulmonary bypass with narrow- range molecular weight

hydroxyethyl starch. J Thor cardiovasc Surg 1991; 3:659.20. Hankeln K, Senker R, Beez M et al. Comparative study of the intraoperative efficacy of 5% human albumin and 10%

hydroxyethyl starch (HAES-steril) in terms of hemodynamics and oxygen transport in 40 patients (English translation). Infusionstherapie 1990; 17:135.

21. Hankeln K, Radel CH, Beez et al. Comparison of hydroxyethyl starch and lactated Ringer’s solution on hemodynamics and oxygen transport of critically ill patients in prospective crossover studies. Crit Care Med 1989; 17:133.

22. London Mj, Ho JS, Triedmann JK et al. A randomized clinical trial of 10% Pentastarch (low molecular weight hydroxyethyl starch) versus 5% albumin for plasma volume expansion after cardiac operation.

23. Rackow EC, Mecha C, Astiz M et al. Effects af Pentastarch and albumin infusion on cardiorespiratory function and coagulation in patients with severe sepsis and systemic hypoperfusion. Crit Care Med 1989; 17:394.

24. Waxman K, Holness R, Tominanga G. Haemodynamics and oxygen transport effects of Pentastarch in burn resuscitation. Ann Surg 1989; 209:341.

25. Hankeln K, Lenz K, Druml W. Hemodynamics effects of 6% hydroxyethyl starch (HES 200.000/0.62) (English translation). Anaesthetist 1988; 37:167.

26. Lagner AN, Lenz K, Druml W. Hydroxyethyl starch at ARDS ? Inten Med 1990; 27: 201-203.27. Mc Cartney SF, Appel PL, Shoemaker WC, Beez MG. Response of critically ill patients to volume therapy with

hydroxyethyl starch (6% HES 450/10.7). Infusionstherapie 1986; 13:34.28. Puri VK, Howard M, Paidipaty BB. Resuscitation in hypovolemia and shock : a prospective study of hydroxyethyl starch

and albumin. Crit Care Med 1983; 11:518.

33

33

Page 34: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

29. Rackow EC, Falk JL, Fein IA et al. Fluid resuscitation in circulatory shock : a comparison of the cardiorespiratory effects of albumin, heptastarch and saline solution in patients with hypovolemic and septic shock. Crit Catre Med 1983; 11:839.

30. Raper RF, Fisher MMcD. Resuscitationin acute haemerrhage. Anaesth. Intensive Care 1984; 12:212-16.31. Fisher MMcD. The crystalloid versus colloid controversy. Biologic and Toss-up. Theoretical Surgery 1990; In Press.32. Fisher MMcD. Anaphylaxis. Dis Month 1987; 33:435-79.33. Mc Clelland RN, Slines GT, Baxter CR, Cohn CD, Carrino J. Balanced Salt Solution in the treatment of haemorrhagic

shock : Studies in dogs. JAMA 1967; 199:166-70.34. Linko K, Makelainen A. Hydroxyethyl starch 120, dextran 70 and lactated Ringer’s Solution : Haemodilution, albumin,

colloid osmotic pressure and fluid balance following replacement of blood loss in pigs. Acta Anaesthesiol Scand 1988; 32:228-33.

35. Stein L, Beraud JJ, Motissette M, DaLuz P, Weil MH, Shubin H. Pulmonary oedema during volume infusion. Circ 1975; 52:483-9.

36. Isbister JP, Fisher MM. Adverse effects of plasma volume expanders. Anaesth Intens Care 1980; 8:145-51.37. Ring J, Messmer K. Incidence and severity of anaphylactoid reactions to colloid volume substitutes. Lancet 1977; 1:466-9.38. Velasco IT, Pontieri V, Rocha e Silva M Jr., et al. Hyperosmotic NaCl and severe hemorrhagic shock. Am J Physiol !980;

239:H664.39. Gunn ML, Hansbrough JF, Davis JW, et al. Prospective, randomized trial of hypertonic sodium lactate versus lactated

Ringer’s solution for burn shock resuscitation. J Trauma 1989; 29:1261.40. Jelenko C, III, Williams JB, Wheeler ML, et al. Studies in shock and resuscitation. I. Use of a hypertonic, albumin-

containing fluid demand regimen (HALFD) in resuscitation. Crit Care Med 1979; 7:157.41. Mattox KL, Maningas PA, Moore EE, et al. Prehospital hypertonic saline/dextran infusion for post-traumatic hypotension.

The USA Multicenter Trial. Ann Surg 1991; 213:482.42. Monafo WW, Chuntrasakul C, Ayvazian VH. Hypertonic sodium solutions in the treatment of burn shock. Am J Surg 1973;

126:778.43. Shackford SR, Fortlage DA, Peters RM, et al. Serum osmolar and electrolyte changes associated with large infusions of

hypertonic sodium lactate for intravascular volume expansion of patients undergoing aortic reconstruction. Surg Gynecol Obstet 1987; 161:127.

44. Vassar MJ, Perry CA, Gannaway WL, et al. 7.5% sodium chloride/dextran for resuscitation of trauma patients undergoing helicopter transport. Arch Surg 1991; 126:1065.

45. Vassar MJ, Perry CA, Holcroft JW. Analysis of potential risk associated with 7.5% sodium chloride resuscitation of traumatic shock. Arch Surg 1990; 125:1309.

46. Kramer GC, Perron PR, Lindsey DC, et al. Small volume resuscitation with hypertonic saline dextran solution. Surgery 1986; 100:239.

47. Smith GJ, Kramer GC, Perron P, et al. A comparison of several hypertonic solutions for resuscitation of bled sheep. J Surg Res 1985; 39:517.

48. Boldt J, Zickmann B, Ballesteros M, et al. Cardiorespiratory responses to hypertonic saline solution in cardiac operations. Ann Thorac Surg 1991; 51:610.

49. Prough DS, Johnston WE. Fluid resuscitation in septic shock : No solution yet. Anesth Analg 1989; 69:699.50. Lopes OU, Pontieri V, Rocha e Silva M Jr, et al. Hyperosmotic NaCl and severe hemorrhagic shock : role of the innervated

lung. Am J Physiol 1981; 241:H883.51. Younes RN, Aun F, Tomida RM, et al. The role of lung innervation in the hemodynamic response to hypertonic sodium

chloride solutions in hemorrhagic shock. Surgery 1985; 98:900.52. Schertel ER, Valentine AK, Rademakers AM, et al. Influence of 7% NaCl on the mechanical properties of the systemic

circulation in the hypovolemic dog. Cric Shock 1990; 31:203.53. Spital A, Sterns RD. The paradox of sodium’s volume of distribution. Why an extracellular solute appears to distribute over

total body water. Arch Intern Med 1989; 149:1255.54. Sutin KM, Ruskin KJ, Kaufman BS. Intravenous fluid therapy in neurologic injury. Crit Care Clin 1992; 8:367.55. Zornow MH, Todd MM, Moore SS. The acute cerebral effects of changes in plasma osmolality and oncotic pressure.

Anesthesiology 1987; 67:936.56. Todd MM, Tommasino C, Moore S. Cerebral effects of isovolemic hemodilution with a hypertonic saline solution. J

Neurosurg 1985; 63:944.57. Tommasino C, Moore S, Todd MM. Cerebral effects of isovolemic hemodilution with crystalloid or colloid solutions. Crit

Care Med 1988; 16:862.58. Prough DS, Johnson JC, Poole GV Jr, et al. Effects on intracranial pressure of resuscitation from hemorrhagic shock with

hypertonic saline versus lactated Ringer’s solution. Crit Care Med 1985; 13:407.59. Prough DS, Whitley JM, Taylor CL, et al. Regional cerebral blood flow following resuscitation from hemorrhagic shock with

hypertonic saline. Influence of a subdural mass. Anesthesiology 1991; 75:319.60. Fisher B, Thomas D, Peterson B. Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in children after head trauma. J

Neurosurg Anesth 1992; 4:4.61. McManus ML, Strange K. Acute volume regulation of brain cells in response to hypertonic challenge. Anesthesiology 1993;

78:1132.62. Vassar MJ, Fischer RP, O’Brien PE, et al. A multicenter trial for resuscitation of injured patients with 7.5% sodium chloride :

The effect of added dextran 70. Arch Surg 1993; 128:1003.63. Martin RR, Bickell WH, Pepe PP, et al. Prospective evaluation of preoperative fluid resuscitation in hypotensive patients

with penetrating truncal injury : A preliminary report. J Trauma 1992; 33:354.64. Pollack CV Jr. Prehospital fluid resuscitation of the trauma patient. Emerg Med Clin North Am 1993; 11:61.65. Stern SA, Dronen SC, Birrer P, et al. Effect of blood pressure on hemorrhage volume and survival in a near-fatal

hemorrhage model incorporating a vascular injury. Ann Emerg Med 1993; 22:155.66. Bickell WH, Wall MJ Jr., Pepe PP, et al. Immediate versus delayed fluid resuscitation for hypotensive patients with

penetrating torso injuries. N Engl J Med 1994; 331:1105.67. Laureno R. Central pontine myelinolysis following rapid correction of hyponatremia. Ann Neurol 1983; 13:232.68. Norenberg MD, Leslie KO, Robertson AS. Association between rise in serum sodium and central pontine myelinolysis. Ann

Neurol 1982; 11:128.

34

34

Page 35: Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX

69. Norenberg MD, Papendick RE. Chronicity of hyponatremia as a factor in experimental myelinolysis. Ann Neurol 1984; 15:544.

70. Shoemaker WC, Schlucter M, Hopkins JA, Appel PL, Schwartz S, Chang PC. Comparison of the relative effectiveness of colloids and crystalloids in emergency resuscitation. Am J Surg 1981; 142:73-81.

71. Modig J. Advantages of dextran 70 over ringer acetate solution in shock treatment and in prevention of adult respiratory distress syndrome. A randomized study in man after traumatic-haemorrhagic shock. Resuscitation 1983; 10:219-26.

72. Shires GTI, Peitzman AB, Albert SA, et al. Response of extravascular lung water to intraoperative fluids. Ann Surg 1983; 197:515-9.

73. Holcroft JW, Trunkey DD, Carpenter MA. Excessive fluid administration in resuscitating baboons from haemorrhagic shock and an assessment of the thermodye technique for measuring extravascular lung water. Am J Surg 1978; 135:412-6.

74. Harms BA, Kramer GC, Bodai BI, Demling RH. Effect of hypoproteinemia on pulmonary and soft tissue edema formation. Crit Care Med 1981; 9:503-8.

75. Shires T, Williams J, Brown F. Acute change in extracellular fluids associated with major surgical procedures. Ann Surg 1961; 154:803-10.

76. Roth E, Lax LC, Maloney JV. Ringers Lactate solution and extracellular fluid volume in the surgical patient : a critical analysis. Ann Surg 1969; 169:149-64.

77. Elwyn DH, Bryan-Brown CW, Shoemaker WC. Nutritional aspects of body water dislocation in postoperative and depleted patients. Ann Surg 1975; 182:76-85.

78. Sinnatambty C, Edwards CRW, Kitau M, Irving MH. Antidiuretic response to high and conservative fluid regimes in patients undergoing operation. Sur Gyn Obs 1974; 139:715-9.

79. Jones JG, Minty BD, Royston D. The physiology of leaky lungs. Br J Anaesth 1982; 54:705-21.80. Staub NC. Pulmonary edema due to increased microvascular permeability to fluid and protein. Circ Res 1978; 43:143-51.81. Fein AM, Goldberg SK, Lippman ML, Fischer R, Morgan L. Adult respiratory distress syndrome. Br J Anaesth 1982;

54:723-36.82. Guyton FC, Lindsey AW. Effect of elevated left arterial pressure and decreased plasma protein concentration on the

development of pulmonary edema. Circ Res 1959; 7:649-57.83. Sibbald WJ, Anderson RR, Reid B, Holliday RL, Driedger AA. Alveolar capillary permeability in human septic ARDS. Chest

1981; 79:133-42.84. Sibbald WJ, Driedger AA, Well GA, Myers ML, Lefcoe M. The short term effects of increasing plasma colloid osmotic

pressure in patients with noncardiac pulmonary edema. Surgery 1983; 93:620-35.85. Robin ED, Carey LC, Grenvik A, Glauser F, Gaudio R. Capillary leak syndrome with pulmonary edema. Arch Int Med 1972;

130:66-71.86. Nylander WA, Hammon JW, Roselli RJ, Tribble JB, Brigham KL, Bender HW. Comparison of the effects of saline and

homologous plasma infusion on lung fluid balance during endotoxaemia in the unanaesthetized sheep. Surgery 1981; 90:221-8.

87. Hauser CJ, Shoemaker WC, Turpin I, Goldberg SJ. Oxygen transport responses to colloid and crystalloids in critically ill surgical patients. Surgery 1980; 150:811-6.

88. Appel PL, Shoemaker WC. Evaluation of fluid therapy in adult respiratory failure. Crit Care Med 1981; 9:862-9.89. Goodwin CW, Dorethy J, LAM V, Pruitt BA. Randomized trial of efficacy of crystalloid and colloid resuscitation on

haemodynamic response and lung water following thermal injury. Ann Surg 1983; 197:520-31.90. Tranbaugh RF, Lewis FR, Christensen JM, Elings VB. Lung water changes after thermal injury. Ann Surg 1980; 192:479-

90.91. Mishoe SM. A review of the physiology, measurement and clinical significance of colloid osmotic pressure. Resp Care

1983; 28:1129-42.92. Gosling P. Albumin and the critically ill. Care Crit Ill 1995; 11:252-6.93. Boldt J, Knothe E, Schindler E, Hammerman H, Dapper F, Hemplemann G. Volume replacement with hydroxyethyl starch

solution in children. Br J Anaesth 1993; 70:661-5.94. Waxman K, Holness R, Tominaga G, Chela P, Grimes RN. Haemodynamic and oxygen transport effects of pentastarch in

burn resuscitation. Ann Surg 1989; 209:341-5.95. Reves JG, Newfield P, Smith LR. Midazolam induction time : association with the serum albumin. Anesthesiology 1981;

55:A259.96. Golub R, Sorrento JJ, Cantu R, Nierman DM, Moideen A, Stein HD. Efficacy of albumin supplementation in the surgical

intensive care unit : A prospective randomized study. Crit Care Med 1994; 22:613-8.

35

35