teori kognitif

32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adanya perubahan paradigma pendidikan dari teacher center menuju student center menuntut para pendidik untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan suasana belajar yang menitikberatkan pada siswa. Pada era sekarang ini banyak dikembangkan strategi dan metode pembelajaran yang mengarah ke student center. Seorang pendidik perlu untuk mengetahui dasar-dasar dalam penyusunan peragkat pembelajaran yakni beberapa macam teori belajar yang melandasinya. Teori-teori belajar itu seperti teori Behavioristik, Kognitivistik, konstruktivistik, Humanisme, dan lain-lain. Selain itu, karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses…(to) learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Joni dalam Budiningsih, 2005: 55). Pendidikan saat ini ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang 1

Upload: asikin-nur-alfath

Post on 15-Nov-2015

227 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya perubahan paradigma pendidikan dari teacher center menuju student center menuntut para pendidik untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan suasana belajar yang menitikberatkan pada siswa. Pada era sekarang ini banyak dikembangkan strategi dan metode pembelajaran yang mengarah ke student center. Seorang pendidik perlu untuk mengetahui dasar-dasar dalam penyusunan peragkat pembelajaran yakni beberapa macam teori belajar yang melandasinya. Teori-teori belajar itu seperti teori Behavioristik, Kognitivistik, konstruktivistik, Humanisme, dan lain-lain.

Selain itu, karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses(to) learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Joni dalam Budiningsih, 2005: 55).

Pendidikan saat ini ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori-teori belajar terutama kognitivisme dan konstruktivisme dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan kepada tujuan tersebut (Budinigsih, 2005: 56)

Berdasarkan latar belakang di atas makalah ini akan menyajikan mengenai teori kognitif dan teori belajar konstruktivistik sehingga dapat dipahami kedua teori tersebut.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan beberapa masalah diantaranya:

1. Apakah pengertian teori belajar kognitivisme?

2. Apakah pengertian teori belajar konstruktivisme?

3. Bagaimana peran guru dan murid dalam pembelajaran berbasis filosofi konstruktivisme?

C.Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk :

1. Mengetahui pengertian teori belajar kognitivisme

2. Mengetahui pengertian teori belajar konstruktifisme. 3. Mengetahui peran guru dan murid dalam pembelajaran berbasis filosofi konstruktivisme.

BAB II

PEMBAHASANA. Prinsip-Prinsip Teori Belajar KognitivismeMenurut Sukardjo dan Komarudin (2009), dasar pemikiran teori belajar kognitivisme adalah rasional. Teori belajar kognitivisme menjelaskan bahwa dalam belajar terjadi proses bagaimana orang-orang berfikir. Sehingga dapat dikatakan bahwa belajar melibatkan proses berfikir yang kompleks. Trianto (2007) menyatakan bahwa perkembagan kognitif sebagian besar ditentukan oleh proses meniru dan berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Budiningsih (2005), model belajar kognitif sering disebut sebagai model perseptual dan menyatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang menyangkut ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya (Budiningsih, 2005). Menurut Hitipeuw (2009), teori kognitif berpandangan bahwa belajar adalah proses perubahan pada struktur kognitif seseorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat individual dan internal.Suciati dan Irawan (2001) menyatakan bahwa teori belajar kognitivisme mengutamakan perubahan persepsi dan pemahaman melalui struktur kognitif (pengalaman dan pengetahuan yang tertata) yang berasal dalam diri masing-masing individu. Sehingga proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran beradaptasi secara maksimal dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa. Menurut Suciati dan Irawan (2001), tokoh-tokoh teori belajar kognitivisme adalah Piaget, Bruner dan Ausubel. Berikut akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan dari tokoh-tokoh di atas.1. Teori Perkembagan Kognitif Piaget

Menurut Piaget, perkembagan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem saraf. Dengan semakin bertambah umur seseorang maka semakin kompleks susunan sel sarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya (Budiningsih, 2005). Menurut Suciati dan Irawan (2001), proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. Budiningsih (2005) menyatakan bahwa proses adaptasi dengan lingkungan mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif, sedangkan akomodasi adalah proses penyesuai struktur kognitif siswa dengan pengetahuan baru (Suciati dan Irawan, 2001). Hitipeuw (2009) menyatakan bahwa equilibrium, schemata merupakan konsep utama dalam model Piaget. Equilibrium dan adalah dorogan untuk menata ketidak teraturan yang melibatkan pengujian akan pemahaman siswa akan dunia nyata. Schemata adalah bagian-bagian dari struktur-struktur kognitif. Crain (2007 dalam Fahrudin,2012) menyatakan bahwa terdapat 4 periode perkembangan kognitif menurut Piaget, yaitu:

a) Periode 1: kepandaian sensorik-motorik (0 th-2 th), perilaku terikat oleh panca indra dan gerakan motorik. Menurut Budiningsih (2005), kemampuan yang dimiliki saat kepandaian sensorik-motorik antara lain; melihat dirinya sebagai mahkluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya, mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara dan melihat objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.b) Periode 2: pikiran pra operasional (2 th-7 th), berfikir dengan menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah, namun pikiran masih belum sinergis dan logis. c) Periode 3: berfikir konkrit (7 th-11 th), mengembangkan kemampuan berfikir sistematis, namun hanya untuk memecahkan masalah konkrit atau mengacu objek.

d) Periode 4: berfikir formal (11 th-dewasa), mengembangkan kemampuan berfikir sistematis sesuai dengan rancangan abstrak dan bisa memprediksi serta memberikan hipotesa. Budiningsih (2005) menyatakan pada periode ini, anak sudak berfikir proporsional yaitu menentukan macam-macam tingkat kesulitan tetang C1, C2 dan R misalnya. Menurut Hitipeuw (2009), periode ini mulai mampu menentukan aturan-aturan (moral) yang dikenakan orang-orang dewasa kepadanya.2. Teori Perkembangan Kognitif BrunerBudiningsih (2005) menyatakan bahwa perkembangan kognitif manusia ditandai degan hal-hal sebagai berikut:

a) Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dengan menghadapi suatu rangsangan.

b) Peningkatan pengertahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realis.

c) Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua.d) Bahasa adalah kunci perkembangan koknitif karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia.Menurut Suciati dan Irawan (2001), perkembangan kognitif anak melalui tiga tahapan yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:

1) Enaktif, aktivitas siswa untuk memahami lingkungan, biasanya dengan tindakan. Menurut Budiningsih (2005), dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motoriknya. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya.

2) Ikonik, siswa melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Budiningsih (2005) menyatakan bahwa dalam memahami dunia sekitarnya anak belajat melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).3) Simbolik, siswa memahami dunia melalui gagasan-gagasan abstrak. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya.3. Teori Belajar Bermakna Ausubel

Suciati dan Irawan (2001) menyatakan proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru. Menurut Budiningsih (2005), materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif. Suciati dan Irawan (2001) menyatakan bahwa proses belajar menurut Ausubel terjadi melalui tiga tahapan, yaitu:1) Memperhatikan stimulus yang diberikan.

2) Memahami makna stimulus.3) Menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.4. Model Mengelola Informasi (Information Prosessing Theory)Information Prosessing adalah sebuah pendekatan dalam belajar yang mengutamakan berfungsinya memory. Memproses informasi meliputi; mengumpulkan dan menghadirkan informasi (encoding), menyimpan informasi (storage), mendapatkan informasi dan menggali informasi kembali pada saat dibutuhkan (retrieval).

Bagan Model Information Prosessing Theorykasi tempat secukupnya buat bagan pada buku burhanuddin hal 100Sensory memory menerima informasi atau stimuli dari lingkungan terus-menerus melalui alat-alat penerima (receptors) kita. setah stimuli diterima otak kita mulai bekerja untuk member makna terhadap informasi atau rangsangan tersebut. Proses ini disebut memersepsi. Setelah itu informasi akan dikirim ke dalam komponen yang kedua dari system memori, yaitu short term memory. Iwwnformasi yang masuk ke dalam short term memory mungkin berasal dari sensory memory atau dari komponen dasar ketiga system memori, yaitu long term memory. Keduanya seringkali terjadi bersamaan (Burhanuddin, 2007).

5. Model Tingkatan-tingkatan Mengelola Informasi (Levels of Information Prosessing Models).

Craik dan Lockhart mengenalkan teori tingkatan-tingkatan mengelola emosi (levels of prosessing theory) sebagai alternatif untuk model tiga penyimpanan (three store models). Mereka menyatakan apakah yang menentukan dan bagaimanakan informasi yang panjang dapat diingat dan bukan dimana informasi tersebut tersimpan, tetapi bagaimana informasi secara luas dianalisis dan dihubungkan dengan informasi yang lain. Craik menyatakan, three store models dan levels of prosessing theory tidak dapat saling dipertukarkan atau diganti, karena ada perbedaan struktural komponen-komponen atau persamaan tahap-tahap memori untuk sensori, short term memory, dan pembedaan long term memory, seperti srategi-strategi atau tungkatan-tingkatan memproses informasi dari satu tahap ke tahap berikutnya (Burhanuddin, 2007).

6. Connectionisme: Alternatif Lain untuk Three Store ModelsModel ini mengasumsikan bahwa semua ilmu pengetahuan disimpan dalam bentuk-bentuk hubungan antara unit-unit dasar prosessing dalam sebuah tempat jaringan-jaringan kerja dalam otak. pemrosesan informasi diasumsikan dilakukan oleh jaringan-jaringan kerja ini. dengan demikian, model ini menggunakan jaringan fisik otak dari neuron-neuron sebagai sebuah metaphor bagi jaringan memori (Burhanuddin, 2007).Fungsi Kognitif

Sebagaimana dijelaskan di tempat lain melalui fungsi kognitif manusia menghadapi obyek-obyek dalam bentuk-bentuk representatif yang menghadirkan obyek-obyek itu dalam kesadaran. Hal ini paling jelas nampak dalam aktivitas mental berfikir.

1) Taraf intelegensi-daya kreativitas Istilah intelegensi dapat diartikan dengan dua cara yaitu: Arti Luas: kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya berfikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pergaulan sosial, teknis, perdagangan, pengaturan rumah tangga dan belajar di sekolah. Arti Sempit: kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok intelegensi dalam arti ini, kerap disebut kemampuan intelektual atau kemampuan akademik.Di dalam intelegensi terdapat beberapa komponen, seperti intelegensi sosial, intelegensi praktis, ineregensi teoristis. Komponen-komponen itu tidak berperan sama besar dalam memberikan prestasi di berbagai kehidupan, misalnya dalam pergaulan sosial komponen intelegensi soaial berperan lebih banyak. Komponen-komponen itu juga tidak sama-sama kuat dalam intelegensi yang dimiliki seseorang, pada orang A komponen intelegensi teoristis lebih kuat, pada orang B komponen intelegensi praktis lebih kuat. Maka mungkin saja bahwa siswa A berprestasi lebih tinggi dalam semua bidang studi yang menuntut banyak pemikiran teoritis, sedangkan siswa B berprestasi lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang bersifat praktis (perbedaan inter individual). Bahkan siswa C mungkin lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang pertama dan berprestasi lebih rendah dalam semua bidang studi yang kedua (perbedaan intra-individual) (Asnaldi, 2008).Mengenai hakikat intelegensi, belum ada kesesuaian pendapat di antara para ahli. Variasi dalam pendapat nampak bila pandangan ahli satu dibandingkan dengan pendapat ahli yang lain. Meskipun semua pandangan yang dikemukanan sangat bervariasi kebanyakan psikologi dewasa ini cenderung sependapat bahwa tiga komponen inti dalam intelegensi adalah kemampuan untuk menangani representasi mental dalam alam pikiran seperti konsep dan kaidah (berfikir abstrak), kemampuan untuk belajar. Dari pihak lain adanya perbedaan dalam pandangan mengenai hakikat intelegensi, harus membuat tenaga kependidikan sangat hati-hati dalam membentuk pendapat di bidang ini. Bil seorang siwa dalam testing intelegensi di sekolah mendapat hasil yang tinggi ( IQ-nya tinggi), tidak harus berarti bahwa siswa yang bersangkutan sekaligus memiliki daya kreativitas bagi guru yang berfikir terlalu kaku dan tidak berani keluar dari jalur yang lazimnya yang tinggi pula (Asnaldi, 2008).Dalam macam tes yang kedua subyek disuruh untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa misalnya membuat sebuah gambar yang masing-masing memuat dua garis vertikal yang paralel. Semua soal itu diberi skor dalam tiga komponen, yaitu orisinalitas (sangat sedikit orang menghasilkan pikiran seperti itu), variasi (berapa jumlah jawaban yang berbeda), dan fleksibilitas (berapa jumlah golongan jawaban yang berbeda).

a. Bakat khusus merupakan kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu misalnya di bidang studi matematika atau bahasa asing. Orang sering berpendapat bahwa semua bakat khusus merupakan sesuatu yang langsung diturunkan oleh orang tua, misalnya bakat khusus di bidang matematika diperoleh dari orang tua melalui proses generasi biologis. Namun yang terakhir ini tidak akan nampak kalau tidak dikembangkan melalui pendidikan keluarga dan sekolah. Adanya bakat khusus di suatu bidang studi akademik, biasanya baru nampak jelas pada awal masa remaja, karena baru pada masa itu anak telah memperoleh cukup banyak pengalaman, sehingga terbentuk suatu bakat khusus.

b. Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah dipelajari, disimpan dalam ingatan; apakah tersimpan secara sistematis atau tidak. Hal ini bergantung pada cara materi dipelajari dan diolah, makin mendalam dan makin sistematis pengolahan materi pelajaran, makin baiklah taraf organisasi dalam ingatan itu sendiri.

c. Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu bacaan dan merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh itu dalam bahasa yang baik, sekurang-kurangnya bahasa tertulis, Mengingat kaitan yang ada antara berpikir yang tepat dan berbahasa yang benar, maka tidak mengherankan bahwa siswa yang kurang mampu berbahasa, tertinggal di belakang dibanding dengan siswa yang berbahasa baik.

d. Daya fantasi berupa aktivitas kognitif yang mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan, yang bersama-sama menciptakan sesuatu dalam alam kesadaran. Dalam alam fantasi orang tidak hanya menghadirkan kembali hal-hal yang pernah diamati tetapi menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, tanggapan semut sebesar gajah bukanlah sesuatu yang pernah diamati, meskipun materi untuk tanggapan itu, yaitu semut dan gajah. Berasal dari pengalaman sensorik yang kongkret.

e. Daya fantasi mempunyai kegunaan kreatif, antisipatif, rekratif dan sosial. Fantasi dapat berguna dalam menciptakan sesuatu yang baru (Kreasi) dalam membayangkan kejadian mendatang dan mempersiapkan diri menghadapi kejadian itu ( antisipasi) dalam melepaskan diri dari ketegangan hidup sehari-hari (rekreasi) dan dalam menempatkan diri dalam situasi hiosup orang lain (sosial).f. Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa. Gaya belajar mengandung beberapa komponen, antara lain gaya kognitif dan tipe belajar. Gaya kognitif adalah cara kognitif digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental di bidang kognitif. Cara khas ini bersifat sangat individual yang kerapkali tidak disadari dan sekali terbentuk, cenderung bertahan terus.g. Teknik-teknik studi atau cara-cara belajar secara efisien dan efektif jelas membantu siswa dalam belajar lebih-lebih bila belajar diu rumah. Siswa yang telah terbiasa mengikuiti cara belajar yang tepat akan meningkatkan kemampuan belajar. Sebagaimana dikatakan oleh Van Parreren, siswa yang tidak berkemampuan intelektual tinggi pun dapat belajar menggunakan cara belajar yang tepat.Pertanyaan yang perlu dijawab ialah sampai berapa jauh butir (a) sampai (g) dapat berubah, lebih-lebih hal yang menguntungkan bagi siswa selama proses belajar mengajar menjadi lebih baik misalnya teknik-teknik studi dan kemampuan berbahasa, daya fantasi dan teknik studi, dapat dipengaruhi secara positif atau ditingkatkan oleh guru dan siswa sendiri. Selama proses-proses belajar-mengajar dalam kurun waktu cukup lama, guru mendapat kesempatan untuk membantu siswa untuk meningkatkan semua itu. Sehingga lama kelamaan keadaan siswa, dibidang kognitif, menjadi lebih baik. Dengan demikian siswa memperoleh bekal yang lebih menguntungkan bagi belajar di masa yang akan datang. Siswa sendiri dapat melatih diri di luar proses belajar mengajar di sekolah, misalnya pada waktu mengerjakan pekerjaan rumah, dengan dibantu oleh keluarga. Namun, usaha-usaha itu harus dimulai seawal mungkin, sejak siswa masuk sekolah dasar (Asnaldi, 2008).B. Teori belajar yang mendukung filosofi konstruktivisme

Konstruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Teori konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin dalam Trianto, 2007:13).a. Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme

Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proes asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.1) Teori Belajar Kontruktivisme PiagetJean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat kontruktivisme, yang teori pengetahuannya dikenal dengan adaptasi kognitif. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapi secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkankan skema pikirannya lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut.

Teori Piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan schema/skema (jamak = schemata/schemata), atau konsep jejaring untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan sekelilingnya. Konsep skema sendiri sebenarnya sudah banyak dikembangkan oleh para ahli linguistik, psikologi kognitif dan psikolinguistik yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami adanya interaksi sejumlah faktor kunci yang berpengaruh terhadap proses pemahaman. Secara ringkas dijelaskan bahwa menurut teori skema, seluruh pengetahuan diorganisasikan menjadi unit-unit, didalam unit-unit pengetahuan ini, atau schemata ini disimpanlah informasi. Sehingga skema dapat dimaknai sebagai suatu deskripsi umum atau suatu system konseptual untuk memahami pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu dinyatakan atau tentang bagaimana pengetahuan itu diterapkan (Suyono dan Hariyanto, 2011: 107).

Sehubungan dengan itu, Tasker (1992:30) seperti yang dikutip oleh Hamzah (2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstrukivisme sebagai berikut:

1. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna,

2. Pentingnya membuat kaitan antar gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna,

3. Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterimanya

Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema menghisap, menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur berubah maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari lingklungan fisik. Skema yang dimaksud oleh Piaget dalam hal ini adalah potensi umum untuk melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap sebagai elemen dalam struktur kognitif organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik.

Jelas, jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada perkembangan intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke dalam struktur kognitif. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual yaitu accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.

Setiap pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan akomodasi. kejadian-kejadian yang berkoresponden dengan skemata oragnisme membutuhkan akomodasi. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting: pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan asimilasi dan akomodasi, yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan dengan proses belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan pengalaman yang kita alami sebelaumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan dalam struktur kogniti (akomodasi). Akomodasi karenanya menyediakan sarana utama bagi perkembangan intelektual.

Dampak teori Konstruktivisme Piaget terhadap pembelajaran (Suyono dan Hariyanto, 2011: 109) :

Kurikulum :Pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang sesuai dengan peningkatan logika anak dan pertumbuhan konseptual anak.

Pengajaran:Guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak, atau interaksi anak dengan lingkunga sekitarnya. Misalnya guru harus mencermati peran penting konsep-konsep fundamental, seperti kelestarian objek-objek, serta permainan-permainan yang menunjang struktur kognitif.

2) Teori belajar Konstrukrivisme sosial dari Vygotsky

Sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi konstruktivisme, Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi sosial (social cognition). Pembelajaran kognisi social meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengemabangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies diatas dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri, dan setiap anak manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri. Oleh karenanya, perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaannya, termasuk budaya dari lingkungan keluarganya, di mana ia berkembang.

Beberapa kunci pemikiran kognisi social dari Vygotsky antara lain adalah:

1. Kebudayaan menciptakan dua macam konstribusi terhadap perkembangan intlektual anak.

2. Perkembangan kognitif yang dihasilkan dari sebuah proses dialektika di mana seseorang siswa belajar melalui pengalaman pemecahan masalah.

3. Pada awalnya seseorang yang berinteraksi dengan anak beranggapan bahwa dia lebih dibebani tanggung jawab untuk memandu anak-anak dalam menyelesaikan masalah, tetapi secara bertahap tanggung jawab ini akan lebih dibebankan kepada anak.

4. Bahasa adalah bentuk primer dari interaksi, melalui orang dewasa membagi kekayaan pengetahuan yang terkandung dalam kebudayaan kepada anak.

5. Sebagai hasil kemajuan belajar, anak-anak memiliki bahasanya sendiri yang dipergunakannya sebagai perangkat primer bagi adaptasi intektualnya.

6. Internalisasi mengacu kepada proses pembelajaran, dengan demikian dalam mengacu internalisasi terhadap kebudayaan yang kaya akan pengetahuan serta dipergunakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk bagaimana berpikir yang semula ada diluar diri anak, berlangsung awal sekali melalui diri anak.

7. Ada perbedaan antara apa yang dapat dilakukan anak sendiri dengan apa yang dapat dilakukan oleh siswa dengan bantuan guru ataupun orang tua. Vygotsky menyebutnya dengan ZPD (zona of proximal development).

8. Karena umumnya apa-apa yang harus dipelajari siswa berasal dari kebudayaan di sekelilingnya, dan umumnya pemecahan masalah dimediasi oleh bantuan orang dewasa, adalah keliru untuk fokus kepada siswa yang terisolasi (tidak dalam interaksi dengan masyarakat). Fokus semacam itu tidak mampu mengungkap proses-proses dengan cara mana siswa memperoleh keterampilan-keterampilan baru

9. Interaksi dengan kebudayaan sekelilingnya dan agen-agen masyarakat, seperti orang tua dan teman sebaya yang lebih kompeten, menyumbang secara signifikan kepada perkembangan intelektual anak.

b. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme

Menurut cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas lapangan (Muchith, 2008: 71).Belajar bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi siswa, melainkan proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan sehingga proses pembelajaran tidak hanya meyampaikan materi yang bersifat normatif (tekstual) tetapi juga harus juga menyampaikan materi yang bersifat kontekstual. Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus diwujudkan. C. Asri Budiningsih menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran sosial yang ada pada diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap di antara sesama manusia. konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara tepat.

C. Peran Guru dan Siswa dalam pembelajaran berbasis filosofi Kontruktivisme1. Peranan siswa (si belajar)

Menurut pandangan kontruktivistik belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari. Pandangan kontruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkontruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu, meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.

2. Peranan GuruDalam belajar kontruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilkinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah sama dengan kemauannya.

Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:

1) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.

2) Menumbuhkan kemampuan mengambil kputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.

3) Menyediakan system dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih (Budiningsih, 2005:58-60).

3. Sarana BelajarPendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapi. Dengan cara seperti ini siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapi, mandiri, kritis, kreatif dan mampu mempertanggungjawabkan pemikirannya secara rasional (Budiningsih, 2005:58-60).

4. Evaluasi BelajarPandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan atas pengalaman. Evaluasi belajar pandangan kontruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.

Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototype obyektif, yang tidak sesuai bagi teori kontruktifistik lebih tepat dinilai dengan metode goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktifistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktifistik.

Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat penemuan pada taksonomi Merril atau strategi kognitif dari Gegne. Juga mengkontruksi pengalaman siswa dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif (Budiningsih, 2005:58-60).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran siswa dalam pembelajaran adalah sebagai individu yang aktif belajar dan berupaya untuk dapat mengkonstruk pengetahuannya sendiri melalui pengalaman-pengalaman fisik dan pengalaman mentalnya. Peran guru adalah membantu siswa untuk mengkonstruk pengetahuannya atau disebut juga sebagai fasilitator dan mediator, guru harus lebih memahami dan mengerti jalan berpikir siswa dan tidak boleh mengklaim bahwa satu-satunya cara yang baik adalah menurut kemauan guru. Guru juga membiarkan siswa-siswanya untuk belajar menemukan cara yang paling menyenangkan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Guru juga harus menyiapkan segala sarana, media, dan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya.BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

1. Menurut pandangan kognitif, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman melalui struktur kognitif (pengalaman dan pengetahuan yang tertata) yang berasal dalam diri masing-masing individu yang akan terus berkembang sesuai dengan tingkatan umur masing-masing individu.2. Menurut pandangan konstruktivistik belajar adalah proses mengkonstruk pengetahuan dari pengalaman masing-masing individu melalui proses asimilasi dan akomodasi, sehingga siswa sendirilah yang mengkonstruk pengetahuannya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapatkannya.3. Siswa berperan sebagai pebelajar aktif yang mengkonstruk pengetahuan sedangkan guru berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam membantu siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya, guru juga menyediakan sarana, fasilitas, media dan lingkungan belajar yang mendukung untuk siswa sehingga evaluasi belajar tidak menekankan pada hasil tetapi pada proses siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya.B. Saran

Sebaiknya guru/ dosen perlu untuk lebih memahami teori konstruktivisme karena sesuai dengan tujuan pendidikan saat ini sehingga menghasilkan generasi yang berwawasan luas, berkarakter dan berdaya saing global.

DAFTAR PUSTAKABudiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Fahrudin, Adi. 2012. Teori Perkembagan Kognitif Piaget. http://www.google.co .id/url?sa=t&rct=j&q=4%20tahap%20perkembangan%20kognitif%20piaget&source=web&cd=9&cad=rja&ved=0CGMQFjAI&url=http%3A%2F%2Fkapanjadibeda.files.wordpress (online). (Diakses 2 September 2012).Hasanudin, 2011. Teori Belajar Behaviorisme, Kognitif, Konstruktivistik dan Humanistik. http://hasanudin-bio.blogspot.com/ (online). (Diakses 01 September 2012).

Hitipeuw, Imanuel. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: FIP Universitas Negeri Malang.

Pannen, Paulina, dkk. 2001. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka.

Suciati dan Irawan. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: PAU-PPAI-Universitas Terbuka.

Sukardjo dan Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.Suyono dan Hariyanto, 2011. Belajar Dan Pembelajaran (teori dan konsep dasar). Remaja Rosdakarya. Surabaya.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.Zaif. 2010. Teori-teori belajar behaviorisme, gestalt, kognitivisme, konstruktivis me, CBSA, Keterampilan Proses, sosial, CTL, pendekatan komunikatif, pende katantematik-integratif. http://zaifbio.wordpress.com/2010/04/29/teori-teori belajar-behaviorisme-gestalt-kognitivisme-konstruktivisme-cbsa keterampilan -proses-sosial-ctl-pendekatan-komunikatif-pendekatan-tematik integratif/ (online). (Diakses 01 September 2012).

12