teologi negara sekular

31
TEOLOGI NEGARA SEKULAR (Andi Ubaidillah) Sejak didirikan pada 8 Maret 2001, kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal ([email protected] ) telah mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Kelompok diskusi yang dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie ini diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik seperti Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saifulloh Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan Ade Armando. Diskusi berikut mengangkat isu Teologi Negara Sekular, sebuah tema yang digulirkan pertama kali oleh Denny JA. Denny JA: Rekan-rekan, untuk memberi fokus diskusi kita yang semakin panas, dengan aneka tulisan dari Rizal, Saiful, Hamid, AE Priyono, Luthfi, komunitas Islam Liberal di Indonesia, saatnya mengembangkan sebuah teologi tersendiri (yang sah secara substansi dan metodologi), yaitu Teologi Islam Liberal. Ini sebuah filsafat keagamaan yang bersandar kepada teks dan tradisi Islam sendiri, yang memberi justifikasi kepada sebuah kultur yang liberal. Dalam politik, teologi itu menjadi teologi negara sekular. Yaitu sebuah filsafat keagamaan, yang menggali dari teks dan tradisi Islam, yang paralel ataupun menjustifikasi perlunya sebuah negara yang sekular (sekaligus demokratis). Saya menyusun empat prinsip dasar bagi landasan dari teologi negara sekular. Prinsip itu adalah sebagai berikut: 1) Negara nasional adalah evolusi tertinggi dari komunitas politik. Dengan lahirnya negara nasional, berbagai upaya untuk membangun kekhalifahan global (semacam otoman empire ataupun federasi negara Islam yang memiliki satu imam) tidak penting dan tidak perlu. Waktu dan enerji yang ada harus diberikan kepada pembangunan negara nasional, bukan supra-nasional.

Upload: andi-ubaidillah

Post on 27-Oct-2015

149 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

TEOLOGI NEGARA SEKULAR(Andi Ubaidillah)

Sejak didirikan pada 8 Maret 2001, kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal

([email protected]) telah mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam,

negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Kelompok diskusi yang dimoderatori oleh Luthfi

Assyaukanie ini diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, intelektual,

dan pengamat politik seperti Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep

Saifulloh Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan

Ade Armando. Diskusi berikut mengangkat isu Teologi Negara Sekular, sebuah tema

yang digulirkan pertama kali oleh Denny JA.

Denny JA:

Rekan-rekan, untuk memberi fokus diskusi kita yang semakin panas, dengan aneka

tulisan dari Rizal, Saiful, Hamid, AE Priyono, Luthfi, komunitas Islam Liberal di

Indonesia, saatnya mengembangkan sebuah teologi tersendiri (yang sah secara

substansi dan metodologi), yaitu Teologi Islam Liberal. Ini sebuah filsafat keagamaan

yang bersandar kepada teks dan tradisi Islam sendiri, yang memberi justifikasi kepada

sebuah kultur yang liberal.

Dalam politik, teologi itu menjadi teologi negara sekular. Yaitu sebuah filsafat

keagamaan, yang menggali dari teks dan tradisi Islam, yang paralel ataupun

menjustifikasi perlunya sebuah negara yang sekular (sekaligus demokratis). Saya

menyusun empat prinsip dasar bagi landasan dari teologi negara sekular. Prinsip itu

adalah sebagai berikut:

1) Negara nasional adalah evolusi tertinggi dari komunitas politik. Dengan lahirnya

negara nasional, berbagai upaya untuk membangun kekhalifahan global (semacam

otoman empire ataupun federasi negara Islam yang memiliki satu imam) tidak

penting dan tidak perlu. Waktu dan enerji yang ada harus diberikan kepada

pembangunan negara nasional, bukan supra-nasional.

2) Dalam negara nasional, warga negara berasal dari agama yang beragam. Karena

mereka adalah warga dari negara yang sama, hak-hak sosial dan politik mereka

(termasuk hak untuk duduk dalam jabatan politik, seperti presiden) adalah sama.

Konsekwensinya, semua warga negara, apapun agamanya berhak mendirikan partai

politik, dan berhak memperebutkan jabatan pemerintahan.

Dengan sendirinya, negara Islam tidak mungkin sesuai dengan prinsip equal

opportunity bagi semua warga negara. dalam negara Islam, hukum Islam menjadi

konstitusi negara. Pemimpin politik nasional mustahil datang dari agama yang

berbeda dari Islam. Orang yang bukan Islam menjadi warga negara kelas dua,

karena sistem tidak memungkinkannya menjadi pemimpin nasional, yang akan

tunduk pada hukum Islam (bagaimana mengharapkan hukum Islam dijalankan oleh

orang yang tidak percaya kepada hukum Islam karena tidak beragama

Islam). Negara demokrasi yang berkembang di barat, kini menjadi keharusan

religius bagi pengaturan masyarakat yang beragam secara agama. Hanya dalam

kerangka demokrasi itu, equal opportunity bagi warga negara yang beragam

dilindungi.

3) Ilmu pengetahuan dan manajemen modern lebih mendominasi day to day politics.

Bagaimana membuat sebuah public policy (mulai dari agenda setting, policy

formulation, policy adoption, policy implementation dan policy evaluation) agar

policy itu berguna bagi orang banyak, dan semakin kecil unsur kesalahannya, harus

semakin diatur oleh pengalaman sebelumnya dan kreativitas baru, yang tercermin

dari perkembangan ilmu pengetahuan dan manajemen modern. Process dari Policy

Making itu semakin tidak perlu disentuh oleh doktrin agama. Untuk hal di atas,

semakin sedikit keterlibatan agama, semakin baik. Atau dalam bahasa kerennya:

the best religion is the least religion (untuk kasus day to day politics). Biarkan

prinsip ilmu pengetahuan dan manajemen modern yang menjadi ruhnya.

4) Islam hanya terlibat sebagai sumber moralitas bagi aktor pemerintahan (bukan

sistem pemerintahan) dan moralitas bagi dunia publik. Namun moralitas di sini

adalah moralitas umum, yaitu prinsip perilaku baik, yang juga diharuskan oleh

agama lainnya dan filsafat lainnya. Landasan moral bagi kehidupan publik, dengan

sendirinya menjadi tugas bersama semua agama besar (tidak hanya bersumebr dari

doktrin Islam).

Dengan empat prinsip dasar di atas, sebuah teologi Negara Sekular dari tradisi

dan teks Islam, niscaya akan menjadi sebuah revolusi paham keagamaan yang

sangat penting. Teologi itu akan menjadi dasar bagi berkembangnya civic culture

di negara yang mayoritasnya muslim, yang pada gilirannya akan menjadi lahan

subur bagi tumbuh dan terkonsolidasinya demokrasi.

Satu sumber bacaan yang dapat dikembangkan untuk teologi negara sekular

dalam Islam adalah karya Ali Abd al-Raziq. Secara tegas ia mengatakan bahwa Nabi

Muhammad adalah seorang pembawa risalah kebenaran, dan bukan seorang raja,

Islam adalah sebuah agama, dan bukan sistem pemerintahan, ISlam diturunkan

untuk mensucikan hati nurani manusia, bukan untuk membangun negara. (Argumen

selanjutnya dari Raziq dapat dibaca di Islamic Liberalism (Leonard Binder) dan

Liberal Islam (Kurzman).

Memang, tanpa teologi Negara Sekular, toh negara sekular yang demokratis

tetap dapat berdiri sebagaimana terjadi di seluruh dunia. Namun untuk Indonesia,

teologi Negara Sekular akan membuat berdirinya negara sekular yang demokratis

akan lebih berakar, karena ditopang oleh kultur Islam sendiri (yang diinterpretasi

ulang).

Pengalaman negara Turki menjadi pelajaran beharga buat kita. Lebih dari 40

tahun, demokrasi di negara itu tidak terkonsolidasi karena pertarungan kultur

barat dan Islam yang tak berkesudahaan. Islam Liberal sebenarnya adalah common

ground bagi dunia barat dan dunia Islam, dan negara sekular yang demokratis

adalah pengejawantahannnya yang praktis di dunia publik. Sayangnya di Turki,

negara sekular yang demokratis hanya dijustifikasi oleh kultur barat, sedangkan

kultur Islamnya sendiri masih didominasi oleh yang anti negara sekular demokratis.

Berangkat dari pengalaman Turki itulah, komunitas kita dapat memanggul tugas

generasi (dan tugas sejarah) yang sangat heroik (jika berhasil). Yaitu membuat

negara sekular yang demokratis memperoleh justifikasi religius dari teks dan

tradisi ISlam sendiri, melalui dikembangkan teologi Negara Sekular (sebagai bagian

dari Teologi Islam Liberal). Realistiskah harapan ini?

Hadimulyo:

Menarik ide Denny ini. Terus terang, lugas, dan jujur. Namun begitu, saya ingin

berbagi pengalaman saja tentang ketegangan kreatif dalam melihat hubungan antara

agama dan negara ini baik dalam dataran konseptual maupun politik praktis di

Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, sebenarnya pertarungan ide antara nasionalisme

sekular dengan nasionalisme Islam sudah berlangsung. Sejak jalan buntu konstituante,

pergulatan ide tersebut tetap menarik bahkan sampai sekarang. Dan jika Denny

melihat perlunya suatu teologi yang relevan bagi Indonesia yang mayoritas islam,

sekaligus memberikan justifikasi bagi demokrasi, teologi itu tidak perlu dicari jauh-

jauh, tetapi berdasar atas pengalaman historis Indonesia.

Sebagai muslim, kita semua mengetahui secara historis Islam adalah agama

(wahyu) yang terakhir. Sebagai agama yang terakhir, saya termasuk yang

mempercayai Islam adalah menyempurnakan ajaran-ajaran agama yang terdahulu,

termasuk agama Nasrani. Nah, yang menjadi masalah, di Indonesia, justru Islam

datang terlebih dulu dibanding dengan Kristiani. Yang terakhir ini, kita semua tahu,

datang ke Indonesia bersama penjajahan bangsa-bangsa Eropah yang juga

menawarkan modernitas, termasuk ide tentang pemisahan agama dan negara. Turki

mencoba ini, tetapi banyak yang menilai gagal. Indonesia juga, meskipun malu-malu,

yang menang dalam pertarungan ide selama ini adalah kaum nasionalis sekular, sejak

Orla dan Orba. Dan gagal. Termasuk ketika kini di bawah Presiden Wahid sebagai

representasi par exellence dari so called ‘ Islam kultural.’

Nah, dengan kegagalan ini, sesuai dengan prinsip liberal, ada baiknya kita beri

kesempatan bagi kalangan Islamis di Indonesia untuk menawarkan ide bagaimana

membumikan Islam sebagai rahmatan li al-’alamiin, termasuk di bidang politik, karena

ajaran Islam juga memuat prinsip-prinsip mengatur urusan-urusan publik ini. Dalam

kehidupan ekonomi, sistem perbankan alternatif dari sistem riba yang berasal dari

Yahudi, sejah tahun 1990-an sudah mulai dicoba di Indonesia, mulai dari Bank

Muamalat sampai dengan bait al maal wa attamwil yang menawarkan alternatif

terhadap rentenir di desa-desa. It works. Tentu saja ajaran-ajaran ini memerlukan

teoretisasi, objektivikasi (Kuntowijoyo), bahkan bilamana perlu falsifikasi. Kenapa

takut?

Hamid Basyaib:

Deklarasi “Teologi Negara Sekular"-nya Denny kelewat cepat. Saya kira kita perlu

mengeskplorasi banyak aspek dulu sebelum melompat ke sana. Dokter yang baik,

berbeda dari dukun yg buruk, perlu mendiagnosis cermat dulu sebelum menulis resep.

Ingat, Den, menurut Celli, urusan begini di Barat perlu lima abad. Kita tentu perlu

mengakselerasinya. But, Guy, even the most accelerative version cannot be handled

only in three weeks. (Den, kita perlu ngalor-ngidul dulu, dong; Anda langsung mau

ngalor saja; supaya ketika tiba di Stasiun Utama Islam Liberal, pertanyaan paling

cerewet pun dari para penyambut bisa dijawab, karena kereta kita sudah mampir

bahkan ke tempat2 yg tak mereka duga; supaya kita bisa bilang, “Saudaraku, telah

kuarungi segenap lembah dan ngarai dan jalan-jalan terjal").

Tapi bahwa Denny langsung masuk ke substansi, saya hargai. Inilah yang saya

harapkan sejak awal: kita hendaknya lebih banyak menyampaikan interpretasi pribadi

(bukan penghayatan pribadi atas ajaran agama, seperti pernah dikeluhkan Denny)

untuk mengisi Islam-liberal ini. Kita semua mungkin belum mencapai kualifikasi

produsen; tapi pasti kita juga tak mungkin cuma jadi konsumen. Menganalogi Toffler,

dalam proyek ini baik kita pilih sikap prosumer (producer & consumer). Let’s make

the project richer and richer; let’s give some flesh and blood to the Islam-liberal

bone. Bukankah kita sebisa-bisanya terutama menjadi aktor dalam Islam-lib

movement, dan bukan sekadar ingin menjadi reviewer atau ahli history and

development of the Islam-liberal?

Apa salahnya kalau ada sekumpulan warganegara ingin diakomodasi aspirasi

keagamaannya oleh negara? Bukankah itu wajar dan sah dalam demokrasi? Apalagi,

mereka yakin Kitab Suci memang banyak bicara tentang isu2 sosial-politik. Kalau tak

salah Khomeini pernah menghitung: perbandingan antara isu sosial dan ibadah formal

dalam Quran adalah 100 (ayat): 1. Faktanya ada berjuta-juta orang yang ingin

demikian, terutama dari Islam, meskipun bukan satu2nya. Tidak mungkin kita

mengabaikan aspirasi sedemikian banyak warganegara, jika kita ingin tetap disebut

demokrasi.

Otoritarianisme berbaju demokrasi (yang diembel-embeli dengan “Rakyat”,

“Terpimpin”, “Pancasila”, dsb) tak perlu kita ulangi. ("Demokrasi ya demokrasi!” kata

Saiful). Maka persoalannya bukan apakah para aspiran religius itu boleh memajukan

agendanya atau tidak, tapi jenis dan bentuk aspirasi religius seperti apa yang mungkin

diakomodasi; yang bukan justeru menghancurkan sistem demokrasi; yg tidak

merugikan aspirasi agama2 lain. Menarik rambut tanpa membuyarkan tepung memang

tak pernah gampang.

Repotnya, rezim2 kita, sampai sekarang, selalu mau enaknya sendiri dalam

menghadapi para aspiran itu. Yang mereka akomodasi hanya yang berbau duit,

terutama bisnis haji—sebuah captive market bernilai sekitar Rp 6 triliun per tahun.

Atau bisnis zakat, yg dikelola badan semi-pemerintah. Atau stiker halal buat semua

makanan dan minuman kemasan, sebuah bisnis yg bisa lebih besar dari haji, dan

hampir saja diraih oleh pemerintah 3 tahun lalu. (Saya yakin, kalau salat dan puasa

harus bayar, pemerintah tentu memonopoli proyek ini dan tak akan mau

mentenderkannya). Pemerintah, kata orang Solo, urik (curang); sementara praktek2

yg dirasa menyinggung religiusitas orang2 itu dibiarkan, kalau bukan didukung dengan

meriah (dibekingi oleh “oknum” tentara segala). Maka FPI turun ke jalan dg aksi2nya

yg nggak ketulungan itu (terlepas dari apakah mereka diperalat dan diongkosi oleh

faksi politik tertentu atau tidak).

Jadi, seperti kata Celli, urutan teoretisnya: sebelum mereformasi sistem politik,

yang perlu direformasi adalah (pemahaman) agamanya dulu; meski dalam praktek

keduanya tentu harus diupayakan simultan. Bagi saya ini langkah yg paling realistis,

karena berpijak kuat pada sociological hard-fact, demi kokohnya demokrasi yang mau

kita bangun. Sebab para penganut agama, di mana-mana, di setiap zaman, tampaknya

digerakkan oleh impuls kuat untuk mendesakkan agenda agamanya ke gelanggang

negara. Memang hanya ulama Islam yg terang2an menyatakan agamanya sbg ad-din

wa daulah (Islam adalah agama sekaligus negara), tapi kenyataannya kan semua

pemuka dan umat agama bersikap demikian?

Bukankah sukses people’s power di Filipina (dua kali pula!) banyak dibantu oleh

Kardinal Jaime Sin? Saudara-saudara, jangan lupa: salah satu figur politik paling

menonjol di abad ke-20 adalah Dalai Lama, yg agamanya sangat nonpolitis itu. Jelas

sekali Dalai Lama bermanuver politik sangat canggih: bikin “negara mini” di

Dharamsala India (bukan di negeri lain; dan dia tahu, kehadirannya bisa dijadikan

kartu politik oleh India untuk menghadapi Cina), dan sesekali menggoda Cina dg

berkunjung ke Taipeh.

Mungkinkah mereformasi pemahaman agama? Jelas mungkin, kalau kita bicara

dalam skala dekade – contoh suksesnya banyak sekali. Kita semua tahu, dalam 30

tahun sejak sekularisasi Nurcholish sudah banyak perubahan. Tentu masih ada saja

ceceran2 sisa ketertutupan, misalnya yg menimpa Ihsan dan saya di Republika.

Adapun “Negara Islam” saya kira makin lemah sbg isu, karena makin disadari bahwa

landasan teologis untuk itu memang tidak ada. (Saya kira, kegagalan Piagam Jakarta

dulu itu juga sedikit-banyak karena konseptualisasi teoretis protagonis Islam sangat

tidak meyakinkan; terlalu berkobar semangat, terlalu redup konsep).

Saya bisa kenalkan Anda dg kelompok2 kecil yg masih menyimpan aspirasi ini, tapi

--semoga saya benar—kuantitas aspirannnya dan kualitas argumennya insignifikan.

Mayoritasnya sudah jadi rebels without cause. Mungkin mereka ini mirip kelompok2

fundamentalis-radikal Kristen Amerika (ada yg berseragam militer segala; seperti yg

meledakkan gedung di Oklahoma tempo hari). Atau seperti kaum skinhead dan neo-

Hitler di Jerman.

Menetralisasinya gampang: kasih peluang kerja dan standar kemakmuran yg

lumayan. Fundamentalisme (radikal) saya kira lebih merupakan gejala ekonomi

ketimbang religius. Kita semua tahu, agama (juga etnisitas) adalah kendaraan yang

nyaman untuk ditumpangi oleh the deprived people. Pernahkah Anda dengar turis

asing disandera atau ditembak di Mesir dalam 4 tahun terakhir? Para turis Barat itu

kini dilindungi oleh proyek2 pembangunan dan kemakmuran yg mulai menciprati kaum

fundamentalis.

Buat saya, tanpa meremehkan potensi destruktif fundamentalis, yg penting

diperhatikan adalah kaum Muslim moderat (termasuk kelas-tengah perkotaan). Mereka

ini memang tidak mau bikin negara Islam, tapi karena pada dasarnya hidup di gereja

Islam abad pertengahan (tapi tarawih di hotel bintang-5 dengan blue jean dan

handphone dan sedan), mereka sulit diajak berdemokrasi; mereka terus mengobarkan

cold war dg umat lain; mereka terus merasa kesalehannya diukur dari sebesar apa

mereka menyediakan peluang bagi golongan sendiri, jika bukan seraya memojokkan

secara sosial-politik kaum lain.

Social setting Madinah era Nabi, dengan penekanan pada ketegangan hubungan

Yahudi-Kristen-Islam, terus diduplikasi di lahan2 modern, termasuk di instansi2

militer. Itu sebabnya ketika beberapa jenderal memperlebar medan petualangannya

ke kantong2 political Islam, mereka cepat mendapat sambutan hangat. Sebab

jenderal2 itu pun ikut mengeja dg fasih sebuah hadis yg kerap dikumandangkan sbg

penutup diskusi analisis situasi: “Kaum Yahudi dan Nasrani itu tak akan senang

sebelum menyeretmu sampai ke lobang biawak.” (Saya tidak bilang bahwa minority-

complex kalangan Kristen steril dari semangat serupa; tapi saya sedang melihat dari

kamp Islam).

Mereka mungkin mirip kaum Kristen “fundamentalis-moderat” Amerika seperti

Moral Majority Jerry Falwell dan para televangelis lainnya. Jumlah mereka signifikan.

Sebuah Christian-Coalition mudah terbentuk. Mereka mungkin bukan mau menjadikan

Amerika sebagai negara Kristen; tapi mereka sulit, dan kini rupanya cenderung makin

sulit, untuk beramah-tamah dengan umat agama lain.

Kalau fakta2 sosiologis itu diabaikan, program Islam-liberal Indonesia bisa berakhir

pada dua kemungkinan: Turki (dan Aljazair dan Tunisia) atau Iran (dan Afghanistan,

Pakistan, Sudan). Gimana, Kang Ipul, ngawur nggak? Saya sangat menantikan bunyi

terompet2 lain.

Denny JA:

Deklarasi Teologi Negara Sekular itu sengaja dilepas secepatnya, hanya dalam

rangka menstimulasi diskusi. Empat prinsip dasar yang saya susun itu hanya embrio

yang kelak bisa dibongkar pasang, tergantung akumulasi diskusi dan bacaan baru.

Mau tidak mau, suka atau tidak suka, semua formulasi konseptual yang matang

tentang apapun memang harus melalui jalan terjal dulu dan dilezatkan oleh

perkelahian paling liar dari dunia ide. Proses ini tidaklah hendak ditolak, atau

dipercepat.

Namun, dengan mendeklarasikan teologi Negara Sekular secara cepat, setidaknya

kita sudah meletakan target adanya cahaya di ujung lorong gelap yang sangat

panjang. Bahwa hasil akhir dari segala proses dan lorong itu adalah sebuah teologi

Negara Sekular (untuk politik) dan Teologi Islam Liberal (untuk yang lebih umum).

Deklarasi atau manifesto itu yang saya formulasikan dalam empat prinsip besar,

terbuka dan sangat diharap untuk dikritik dan dikembangkan. Para anak cucu kita

kelak akan bercerita, bahwa pada satu masa, ada mailing list yang secara keras

berdiskusi tentang dua teologi itu. Baru di zaman para anak dan cucu kita itu mungkin

teologi yang kita dambakan ini terformulasi dan menjadi inspirasi gerakan di

Indonesia, ataupun negara mayoritas muslim lainnya, sebagaimana teologi

pembebasan di Amerika Latin tahun 70 dan 80-an. Ini semacam romantisme yang

diperlukan untuk menjaga semangat dan stamina pencarian kita.

Sebagaimana di Turki, di Indonesia, dari Ibu kandung kultur Islam dan ayah

kandung kultur barat, haruslah lahir anak yang mewarisi bakat baik keduanya. Islam

Liberal dan teologi negara sekular adalah anak yang diharapkan. Semoga anak ini

tidak lahir sungsang:), apalagi mengidap cacat bawaan.

Ade Armando:

Pandangan Hamid itu sangat bagus sekali. Tapi semoga optimisme tentang

pengaruh Cak Nur agak kejauhan. Saya rasa apa yang Anda sebut kalangan ‘Islam

moderat’ yang hidup dalam era gereja abad pertengahan adalah bukti bahwa pesan-

pesan Cak Nur sebenarnya nggak sampai. Mereka cuma meminjam fatwa Cak Nur

tentang tidak haramnya menjadi modern dan sekular, namun mengabaikan --hampir--

sama sekali gagasan-gagasan substantif Islam yang memerdekakan.

Denny JA:

Bung Hadimulyo, Terima kasih banyak atas komentarnya. Namun terlalu cepat

mengambil kesimpulan bahwa Islam liberal (pemisahan agama dan negara) di

Indonesia sudah gagal, apalagi harus memberi kesempatan kepada interpretasi Islam

lainnya.

Untuk sistem politik, memberi kesempatan eksperimen kepada tipe regime di luar

regime demokrasi, sangatlah berbahaya. Eksperimen di labolatorium yang gagal,

hanya akan merugikan waktu dan biaya. Namun eksperimen sosial dan politik yang

gagal, akan menyebabkan hilangnya beberapa generasi.

Negara sekular yang tidak demokratis memang sudah gagal (untuk Indonesia adalah

kasus Orde Lama dan Orde Baru). Namun negara sekular yang demokratis tidak bisa

dikatakan gagal (dengan contoh kasus presiden Gus Dur), karena negara sekular

demokratis di Indonesia belum dimulai. Yang ada barulah “transisi menuju”, dan

bukan situasi demokrasi yang terkonsolidasi. kegagalan transisi di bawah Gus Dur juga

bukan disebabkan kegagalan konsep demokrasi atau Islam kultural (term yang lain

lagi), tapi semata-mata karena kegagalan leadership Gus Dur. Kegagalan leadership

ini dapat terjadi di semua negara dan kebudayaan. Itu tak ada hubungannya dengan

negara sekular, Islam liberal ataupun Islam kultural.

Aneka kegagalan itu justru semakin menguatkan ide perlunya sebuah teologi baru

yang berangkat dari teks dan tradisi Islam, teologi negara sekular yang demokratis.

Mudah-mudahan, suatu ketika, entah kapan, ujung dari diskusi di mailing list ini

berhasil memformulasikan secara sahih the so called “Teologi Negara Sekular (yang

demokratis).

Saiful Mujani:

Menurut saya, “fundamentalisme Islam” dan “fundamentalisme Kristen” tidak bisa

dibandingkan terutama dalam kaitannya dengan masalah hubungan agama dan

negara. Betul bahwa agenda-agenda keagamaan tertentu ingin dijadikan kebijakan

publik (misalnya larangan aborsi, homo, dll.) dan karena itu meminta perhatian state,

oleh kelompok-kelompok fundamentalis tertentu tertutama dalam kasus di AS, tapi

pada dasarnya mereka tidak punya cukup peralatan dan legacy untuk membenarkan

negara disubordinasikan ke dalam wilayah agama. Sementara dalam kasus fund islam,

agenda itu kuat dan punya akar sejarah yang cukup panjang. Kalau mau

disderhanakan, antara keduanya dapat dikatakan begini: Kristus datang bukan sebagai

pendiri dan pelaksana sebuah negara, sementara Muhammad datang sebagai pendiri

dan pelaksana yang sukses dari sebuiah polity Islam.

Dari awal memang beda, dan ini melahirkan warisan yang berbeda juga dalam

prosesnya kemudioan di antara dua umat ini. Jada penyataan “negara Islam” dapat

dicari pembenarannya dari nabi. Kan nabi adalah teladan bagi umat. Ini bisa

diperdebatkan, tapi find islam punya ruang historis untuk membenarkan gerakan

politiknya. Dalam konteks sekarang, kata “negara Islam” itu bukan slogan, ada contoh

kongkritnya lepas dari kita setuju atau tidak: Iran, Afghanistan, dan Sudan. Sekarang

PPP dan partai-partai Islam lain masih mengagendakan piagam Jakarta. Kalau

kelompok fund Islam dijelaskan secara sosial ekonomi, ya kita udah lama dengan

penjelasan ini, dan makin lama, saya merasa penjelasan itu makin tidak

meyakinkan.Untuk ini engga perlu elaborasi, kan?

Ismail Budhiarso:

Langsung saja saya mau bertanya kepada Denny. Saya tertarik dengan prinsip-

prinsip yang diajukan oleh Denny dan oleh karenaya mohon klarifikasi lebih lanjut.

Pertanyaan pertama adalah pada prinsip nomor dua tentang equal right “dengan

catatan”. Saya bilang “dengan catatan” karena njenengan tidak membolehkan

aspirasi politik warganegara yang ingin mendirikan Darul Islam (for this matter

mungkin juga Darul Kristen atau Darul Hindu, dsb). Mohon dijelaskan apa alasannya.

Kedua, saya ingin klarifikasi prinsip ketiga. Mohon dijelaskan alasan yang

mendasari pentingnya kita menggantungkan diri semata-mata pada ilmu-ilmu modern

untuk keputusan-keputusan yang menyangkut nasib warganegara? Saya justru punya

pendapat sebaliknya. Saya pikir, sekarang ini justru saatnya kita mengenalkan dengan

lebih aktif nilai-nilai Islam dalam hal-hal yang begitu penting. Saya ambil contoh

dalam kebijakan ekonomi. Kalau kita mengandalkan semata-mata pada ilmu ekonomi,

maka kita ndak boleh nangis kalau hutan kita gundul, minyak kita habis, buruh kita

tetep miskin, dsb. Konsep seperti marginal cost, marginal produk tak memberi tempat

pada orang yang tambahan kontribusinya dikit dapat banyak. Jadi dengan

mengandalkan semata-mata pada ilmu ekonomi, apa yang terjadi dengan buruh NIKE

ya boleh-boleh saja. Wong kontribusinya dikit ya dapatnya dikit dong. Kami yang

punya kapital besar, beresiko besar, ya tentunya berhak dengan hasil besar dong. Apa

salahnya?

Kalau menurut saya, salahnya ya rakus itu. Mentang-mentang perhitungan-

perhitungan yang berdasarkan ilmu-ilmu modern membolehkan orang berbuat rakus,

terus dibiarkan saja. Saya pikir, kalau kita bisa memasukkan konsep Islam seperti

konsep “dalam harta kita ada hak orang miskin”, ilmu ekonomi akan tambah cakep.

Saiful Mujani:

Mas Hadi, Saya kira menarik juga didiskusikan di forum ini bagaimana praktek

“eknonomi Islam” berhasil atau gagal dilaksanakan. Barangkali anda, atau teman-

teman yang lain, bisa cerita lebih lanjut dari bank muamalat dan lembaga-lembaga

ekonomi lainnya di tanah air. Saya sangat awam dalam soal ini. Ukuran suksesnya

seperti apa, dan kalau dibandingkan dengan bank konvensional performance-nya

seperti apa. Dalam rangka masyarakat yang plural dan demokrasi, saya kira kelompok

masyarakat punya hak untuk mempraktekkan varian lembaga ekonomi apapun sesuai

dengan yang mereka yakini, termasuk apa yang disebut ekonomi Islam. Kita lihat ini

sebagai bagian dari masyarakat. Ini hanya akan menjadi masalah kalau lembaga

ekonomi ini, atau yang lain, dari kelompok tertentu di masyarakat dijadikan semacam

kebijakan publik di mana semua warga harus menganut sistem ini. Ini pun sebenarnya

tidak masalah kalau memang ekonomi Islam punya performance yang lebih baik secara

praktis, bukan hanya di tingkat komunitas kecil tapi juga di tingkat makro. Saya kira

penganut agama lain pun akan menerima sistem Islam ini bila memang ia unggul dan

lebih rasional. Maka akan bagus juga kalau kita bisa menunjukkan negara yang sistem

ekonominya berdasarkan Islam dan berhasil. Bagaimana Iran atau Saudi Arabia?

Denny JA:

Bung Ismail, terima kasih atas komentarnya. Karena anda minta klarifikasi, saya

berikan argumentasi yang lebih prinsipal. Anda bertanya, mengapa dalam negara

demokrasi yang sekuler ini orang tak boleh mendirikan darul Islam, darul kristen, dsb.

Jawabnya sederhana. Demokrasi tak dapat memberikan tempat kepada mereka yang

akan mengubah prinsip demokrasi itu sendiri, karena melindungi prinsip equal

opportunity semua warga negara (apapun agama, jenis kelamin, dll).

Dalam demokrasi yang sekuler, semua jabatan publik (termasuk presiden) terbuka

bagi semua warga negara (apapun jenis kelamin dan agamanya) sejauh ia

memenangkan kompetisi politik yang terbuka. Negara Islam ataupun Negara Kristen

ataupun Negara Hindu, dsb, tidak memberikan equal opportunity itu. Contohnya

sudah saya berikan dalam e-mail sebelumnya. Dalam negara Islam, yang akan berlaku

sebagai konstitusi pastilah hukum Islam. dan mustahil hukum Islam dijalankan oleh

pemimpin nasional yang bukan beragama Islam (yang tak percaya kepada hukum

Islam).

Negara Islam dengan sendirinya sudah membuat mekanisme yang sedemikian rupa

agar orang yang bukan Islam harus tidak boleh terpilih menjadi pimpinan negara.

Dengan demikian orang yang bukan Islam menjadi warga negara kelas dua, karena

kehilangan hak politiknya yang tertinggi, yaitu berkompetisi untuk menjadi pimpinan

nasional. Hal yang sama terjadi dalam negara kristen atau hindu, jika ada.

Hal di atas telah melanggar prinsip dasar negara modern, bahwa semua negara

nasional terdiri dari warga negara yang beragam. Dan semua warga negara tak boleh

didiskriminasi hak politiknya, hanya karena identitasnya (warna kulit, jenis kelamin,

agama). Larangan terhadap presiden perempuan, sebagai misal, adalah bentuk lain

dari primitivisme politik yang ingin dijustifikasi oleh interpretasi Islam yang

konservatif. Jelaslah, Islam Liberal dan teologi negara sekuler yang demokratis tak

akan melanggar prinsipnya sendiri: equal opportunity for all citizens.

Kedua, anda bertanya bahwa prinsip ilmu pengetahuan dan manajemen modern

selalu tak cukup. Ia tak bersikap ketika hutan ditebangi, dan kelaparan karena

kerakusan manusia, dsb. Maka perlu agama, kesimpulan anda. Pendapat saya justru

sebaliknya. Prinsip lingkungan hidup kini sudah sedemikian maju di negara modern,

terutama di Barat (yang tak ada hubungannya dengan doktrin Islam). Cobalah sesekali

anda ke perpustakaan mencari tahu buku-buku ilmiah tentang lingkungan hidup.

Prinsip negara kesejahteraan, yang memberikan subsidi atas mereka yang tak

mampu, sudah sedemikian majunya pula dalam welfare economics dan manajemen

negara walfare state. DI As sini, anak-anak kita dapat sekolah dengan gratis, serta

jaminan kesehatan yang juga melimpah ruah. Inipun terjadi di negara yang tak ada

hubungannya dengan doktrin Islam. Mengapa Ilmu dan manajemen tetap peka dengan

hal-hal di atas? Karena rasio dan hati manusia yang menjadi ruh ilmu pengetahuan dan

manajemen modern terus berkembang dan belajar dari kesalahan masa lalu.

Penelitian yang empirik, membuat ilmu dan manajemen itu terus berakumulasi

menyesuaikan diri dengan semangat zaman.

Kesalahan ilmu di satu masa dapat dikritik dengan mudahnya, karena itu ia yang

sangat mudah untuk berkembang. Namun kesalahan interpretasi agama akan sulit

dikoreksi. Karena itulah interpretasi agama selalu terlambat untuk berkembang.

Sementara dunia sehari-hari butuh respon yang cepat. Semakin agama tidak terlibat

dalam day to day-politics, akan semakin baik. Lalu apakah agama tidak penting dalam

kehidupan publik? Agama tetap penting. Itu yang menjadi point saya yang keempat.

Yaitu sebagai sumber moralitas pribadi sang aktor. Prinsip perilaku baik dapat

bersumber dari Islam, dan juga dari agama besar ataupun filsafat lainnya.

Orang-orang besar diukur dari keberanian dan keteguhan moral dapat lahir dari

tradisi dan agama yang berbeda (tak hanya islam), seperti Gandhi (Hindu), Ibu

Theresa (Khatolik), Dalai Lama (Budha). Mungkin ada yang bertanya, apa gunanya

punya moral yang baik jika ia tak akan masuk surga (karena tidak merujuk dan

percaya kepada hukum dan doktrin Islam)? well, seperti yang saya tulis sebelumnya:

soal surga dan neraka adalah problema “kesunyian kita masing-masing” yang tak

dapat didiskusikan.

Hadimulyo:

Denny, Sebagai seorang liberal, Anda membayangkan hanya ada satu varian

interpretasi Islam yang “benar,” sehingga menutup kemungkinan interpretasi yang

lain. Ini jelas keliru, tidak empiris, dan ahistoris. Yang Anda sebut dalam mail

terdahulu, gagasan Ali abd Raziq, yang sering dirujuk oleh teman-teman Islam

sekularis, hanyalah salah satu saja dari spektrum pemikiran sekian banyak para

pemikir/interpretator ajaran Islam dalam konteks hubungan agama dan politik. Yang

Anda takuti bahkan mungkin anti, barangkali yang fundamentalistik (istilah ini asalnya

dari tradisi Kristen Amerika Serikat awal abad 20, dan bermasalah jika dinisbatkan

terhadap Islam), formalistik, dan legalistik. Tetapi, jika Anda sempatkan menelaah

kembali khazanah pemikiran atau filsafat politik Islam, sejak zaman klasik,

pertengahan, modern, dan pasca-modern, Anda akan menemukan betapa luasnya

spektrum pemikiran itu. Dan sebagaimana pemikiran manusia, tidak ada satu pun yang

sempurna, meskipun dirujukkan kepada ajaran Islam yang sumbernya sama, Al-quran

dan Sunnah Nabi. Inilah yang menjelaskan, dari 50-an lebih negara-negara yang

bergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI atau OIC), dan juga Islamic

Development Bank (IDB)—Indonesia, meskipun bukan negara Islam, tetapi karena

penduduknya mayoritas muslim, termasuk di dalamnya-- tidak ada satupun memiliki

sistem politik dan ekonomi yang persis sama. Ada yang berbentuk kerajaan, dan ada

juga yang republik. Ada yang demokratik, ada juga yang otoritarian. Ada yang

sosialistik (seperti Libia), ada juga kapitalistik (seperti Indonesia). Ada yang tidak

punya utang luar negeri (seperti Iran - tolong koreksi kalau saya salah), ada yang

membungkuk-bungkuk menyangga beban berat utang luar negeri yang tidak

ketulungan besarnya seperti Indonesia. Ada juga yang (pernah) dipimpin perempuan

(Pakistan dan Bangladesh).

Untuk Indonesia, eksperimentasi tentang penerapan prinsip-prinsip, sekali lagi

prinsip-prinsip Islam yang universal dalam urusan-urusan publik itu sedang berjalan

secara alamiah dan bersifat gradual. Tapi Anda tidak perlu takut. Tahukah Anda,

selain debat konstitusional di MPR tentang amandemen UUD 45 pasal 29 tahun lalu,

dan akan dilanjutkan Agustus depan --(saya bersyukur, bisa terlibat dalam proses

sebelumnya dalam SI-MPR 1998 untuk melakukan demitologisasi dan desakralisasi

Pancasila dan UUD 45)-- sudah ada undang-undang perbankan yang membolehkan

prinsip bunga nol persen (yang memberikan kemungkinan beberapa bank umum

membuka outlet syariah , dan juga konversi bank konvensional menjadi bank syariah)?

Juga, sudah ada undang-undang tentang manajemen haji dan zakat, dan tidak ada

satupun warganegara Indonesia yang dirugikan?

Untuk undang-undang yang terakhir ini, (Indonesia belajar dari Malaysia), ia

memberikan kerangka legal tentang orang yang sudah membayar zakat, infak dan

sadaqah(charity) melalui badan dan lembaga (pemerintah dan masyarakat) yang

terakreditasi (charitable trust) , akan dapat diperhitungkan (dikurangkan) dengan

pajak yang harus dibayar,—seperti deductable tax di negara welfare state-- meskipun

Pemerintahan sekular Wahid masih reluctant untuk menerapkannya? Tahukan Anda

dalam krisis ekonomi di Indonesia sejak pertengahan 1997, banyak lembaga perbankan

ribawi konvensional yang collapse, tetapi yang menggunakan prinsip syariah tetap

survive? Di BEJ, ada juga sekarang diperkenalkan indeks syariah. Di UI, sekarang ada

program studi Ekonomi Islam, enam semester, dengan jumlah mahasiswa 300-an dari

berbagai fakultas, yang eager mencari, sekali lagi mencari (hakekat berilmu)

alternatif sistem ekonomi ribawi.

Prinsipnya, berikan sebanyak mungkin alternatif, tanpa merasa benar sendiri.

Bukankah ini prinsip liberal? Yang penting obyektivikasi, teoretisasi, falsifikasi. Yang

penting Islam ilmu, bukan dogma, doktrin, atau ideologi (yang biasanya tertutup) dan

menakutkan. Yang penting kontributif, solutif, dan produktif untuk kemaslahatan

publik, dan tidak counter-productive seperti perdebatan tentang Pan-Islamisme,

khilafah, dan isu hantu belau lainnya di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Sekarang abad 21, Cing!

Denny JA:

Bung hadimulyo, terima kasih banyak atas infonya. Semoga diskusi kita terus saling

mencerahkan. Semua contoh yang anda kemukakan adalah eksperimen ekonomi, yang

digali dari tradisi dan teks Islam. Jelaslah itu hal yang sangat baik, sejauh ia

menambah banyak pilihan kepada masyarakat. Ia hanya dapat menjadi buruk jika ia

dipaksakan sebagai sistem nasional satu-satunya, dimana sistem lain tak boleh

berkembang.

Dalam negara sekuler yang demokratis, berbagai eksperimen, yang sifatnya pilihan

kepada masyarakat, atau yang diterapkan hanya kepada komunitasnya sendiri,

dibolehkan berkembang. Itu bagian dari hak asasi manusia, dan hak kelompok. Di AS,

misalnya, ada kelompok Amish, yang anti listrik dan teknologi. Mereka dibiarkan

berkembang dalam komunitasnya, dan menerapkan apa yang mereka percaya, sejauh

mereka tidak memaksakan negara juga menerapkan apa yang mereka percaya sebagai

satu-satunya kebijakan nasional. Ada pula kelompok Indian, dan ratusan keunikan

kultural lainnya.

Keaneka ragaman dijamin dalam demokrasi yang sekuler. Semua variasi agama,

termasuk Islam, ada di AS, mulai dari sunni, syiah, ahkmadyah, nation of Islam, rasyad

kalifah. varian Islam yang berkembang di AS sangat mungkin jauh lebih banyak

daripada yang berkembang di Indonesia ataupun di so called negara Islam. Belum lagi

terhitung ribuan sekte kristen. Jadi tak ada masalah dengan keaneka ragaman. Itu

justru kekuatan. Islam liberal, ataupun bukan, sama sahnya untuk hidup.

Semuanya dapat ditampung dalam sistem demokrasi yang sekuler, yang melindungi

equal opportunity, sejauh semuanya dilakukan tanpa paksaan. Yang tidak boleh dalam

demokrasi sekuler, bukanlah segala eksperimen di atas, namun jika ada kegiatan yang

ingin menjadikan negara hanya menjadi instrumen agama tertentu saja (misalnya

negara islam, negara kristen, dsb). Interpretasi Islam yang menginginkan berdirinya

negara islam (yang memang ada dalam sejarah) jelaslah bertentangan dengan prinsip

demokrasi sekuler itu, karena negara Islam menjadikan negara sebagai instrumen

agama islam saja(tidak netral secara agama).

Justru karena kita hidup di abad 21, kita semakin menyaksikan dalam sejarah,

ternyata negara demokrasi yang sekuler itu yang membawa kemajuan ekonomi,

teknologi, ilmu pengetahuan, pemerintahan yang bersih, kebebasan beragama, serta

keberagaman kultural dan kebebasan bereksperimen. Interpretasi Islam yang sesuai

dengan prinsip demokrasi di atas diberi nama Islam Liberal, sementara interpretasi

Islam yang menginginkan berdirinya negara Islam, diberi nama Islam yang tidak

liberal.

Singkatnya, semua obsesi yang anda tuliskan itu dapat hidup dalam prinsip

demokrasi sekuler. Namun anda belum menunjukan sikap anda secara tegas,

misalnya, apakah anda mendukung negara Islam? Nyatakanlah sikap anda secara

publik. Jika anda tidak menyetujuinya, berarti tak ada lagi perbedaan kita, kecuali

perbedaan dalam tekanan dan gaya menulis.

M. Zaki Hussein:

Berkaitan dengan pembahasan ekonomi Islam, saya sering mendengarkan kritikan

yang mengatakan bahwa apa yang disebut “ekonomi Islam” itu katanya hanya sistem

kapitalisme yang diberi label Islam. Saya pernah mendengar kritikan ini dari Kang

Jalal di dalam wawancara sebuah koran, di mana kang Jalal mengkritik Bank Syari’ah

hanya sebagai bagian dari struktur kapitalisme yang “di-islamkan”, terus Hassan

Hanafi di dalam bukunya “Islam in the Modern World” juga menyebutkan bahwa

“Islamics bank”, khususnya dan “Islamic economics” umumnya hanyalah “pseudo-

devices” (alat-palsu) untuk keadilan sosial, dan malah sebaliknya berfungsi sebagai

selubung ketidakadilan sosial yang terjadi di dunia Islam. Untuk itu saya kutipkan

komentar Hassan Hanafi sebagai berikut:

“Actually, in order to continue this cover-up of social injustice in the Muslim

World, pseudo-devices have been created by the so-called Muslim states in the

Arabian peninsula such as Islamic Banks, in particular, and Islamic economics, in

general. The so-called Islamic banks indeed are purely normal profit banks as they

exist in Western capitalist societies. Under the pretexts of sharing gains and losses,

and therefore the absence of profit as usury, money generating money without human

effort and sweat the depositor risks to loose, accept his losses in good faith and the

so-called Islamic banks are constantly the winners. These banks invest their huge

savings in other profit-banks. They do not invest directly but through loans to other

banks with high interest rate. They do speculations on gold, silver actions in the stock

markets for quick and risky gains outside the Muslim world without any real

investments for production increase inside the Muslim world. Islam is used here just

to satisfy the purity of the hearts of the masses which still abhores interest as usury.”

Hassan Hanafi bahkan mengkritik sistem zakat seperti di bawah ini:

“The Zakat became a self-legitimizing device for wealth accumulation. Once the

oil-sheik gives away 2,5% of his wealth, he is a good and pious Muslim! He may add

some charitable contributions for building mosques, houses, schools or hospitals, pure

voluntary ones to receive thanks and glory from the masses to the prince of believers

and the servants of the two holy shrines. The real social structure did not change.”

Berdasarkan uraian di atas saya mohon pendapat kawan-kawan sekalian dalam

hubungannya dengan masalah ini.

Luthfi Assyaukanie:

Saya setuju dengan Denny. Prinsip demokrasi, saya kira, adalah --selain

memberikan kebebasan kepada siapa saja, selama dia tidak mengganggu demokrasi

itu sendiri-- juga melarang kelompok atau gerakan apa saja, selama mereka

berkeyakinan bahwa merekalah satu-satunya sistem yang benar. Masalahnya, saya

sering berdiskusi dengan orang-orang yang ingin menawarkan dan memaksakan

ekonomi Islam, merasa bahwa sistem mereka adalah satu-satunya alternatif yang

benar. Bagaimana saya tidak curiga kalau suatu saat mereka berkuasa, mereka akan

melikuidasi bank tempat saya menaruh uang. Denny, apakah Anda punya ketakukan

yang sama dengan saya? Bagaimana Pak Hadi?

Denny JA:

Ada yang luput saya bahas dari komentar Bung Hadimulyo. Yaitu mengenai zakat,

infak dan sadaqah, dalam hubungannya dengan demokrasi yang sekuler. Tentu saja

masalah zakat, infak dan sadaqah adalah hal yang sangat baik. Namun itu tak perlu

diurus oleh negara. Biarkan komunitas Islam itu sendiri yang mengurusnya.

Dengan diurus oleh negara (jika pemerintahannya bersih) malah akan menambah

mata rantai proses pemberian dari masyarakat untuk masyarakat, menjadi dari

masyarakat ke negara dan balik ke masyarakat lain. Belum lagi terhitung praktek

pemerintahan yang cenderung korup. Bisa-bisa yang sampai ke masyarakat tidak lagi

100%. Pengalaman tempo hari dengan label “ekonomi rakyat”, kita tahu berapa

banyak jumlah uang yang hilang, ditilep baik oleh oknum pemerintah, ataupun oknum

LSM yang menjadi partnernya. Di negara demokrasi, seperti di AS, pemerintah cukup

mengurus pajak saja, yang diterapkan tanpa diskriminasi ke semua warga negara

(apapun agamanya). Sistem ini jalan dan AS menjadi negara paling besar secara

ekonomi.

Berbagai program kesejahteraan dari pemerintah AS juga berjalan (yang dibiayai

melalui pajak). Jutaan orang di sini (apapun agamanya, termasuk orang Indonesia

yang Islam, yang bukan warga AS) turut menikmati aneka program itu. Anak-anak kita

bukan saja dapat sekolah gratis tapi dapat pula aneka benefit lainnya. Istri kita jika

melahirkan di sini (apapun agamanya) juga mendapat potongan biaya yang luar biasa

besarnya (kadang bisa samapai 100%).

Bagaimana dengan sedekah? Walau tidak diatur oleh negara, sedekah paling besar

di dunia terjadi di AS. Cobalah anda buka-buka daftar para penyumbang legendaris

(charity/philantropis) dalam sejarah. Di situ anda temui Bill Gates, Carnegie,

Rockefeler, Ford. Mereka menyumbang untuk pendirian universitas, perpustakaan,

beasiswa, penelitian ilmu, kesehatan untuk dunia ketiga, anak yang tidak mampu,

dsb.

Ini juga tak ada hubungannya dengan doktrin Islam. Dan penerima sumbangan itu

juga tak dihubung-hubungkan dengan agama formal seseorang. Bukankah ini lebih

baik? Memang ada prinsip tax deductable bagi para penyumbang itu. Namun hal ini

diatur semata-mata oleh teknik manajemen modern, yang tak ada hubungannya

dengan doktrin agama manapun secara langsung. Inilah paradoxnya. Banyak sekali

hal-hal yang kita ingin dilakukan (karena hal itu baik menurut doktrin Islam) ternyata

malah terjadi di negara yang sekuler (tapi demokratis) bukan di negara Islam. JIka tak

percaya buatlah perbandingan, dengan kriteria di bawah ini:

kebebasan beragama bagi semua agama

pemerintahan yang bersih

program kesejahteraan bagi yang tak mampu

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

kekayaan kultural dan keberagaman

supremasi hukum

Bandingkanlah negara demokrasi sekuler dengan negara Islam. Di negara mana hal-

hal di atas lebih terjamin dan terjadi? Jawabnya, itu lebih dijamin di negara

demokrasi yang sekuler. Mengapa? Karena dalam demokrasi yang sekuler, rasio dan

hati nurani manusia dibiarkan berkembang sebebas-bebasnya sejauh tidak melakukan

kriminal dan paksaan. Sementata prinsip perilaku baik terus menjadi ideal, yang

bersumber dari berbagai agama (tak hanya satu agama).

Kembali ke awal: Teologi Negara Sekuler (yang demokratis) memang sangat

penting, karena justru dalam mekanisme demokrasi yang sekuler itu berbagai hal yang

didambakan oleh Islam, lebih mungkin tercapai. Sebuah paradox, tapi riel. Dalam

bahasa populernya: aneh tapi nyata. Namun jika kita mengerti hukum-hukum

sosialnya, ia tidak lagi aneh, walau tetap nyata.

Hadimulyo:

Saya kagum dengan kekaguman Denny terhadap Amerika, mudah-mudahan dia

tidak terlalu Americanized. Saya teringat, ketika terjadi perdebatan publik di Filipina

tentang perlu tidaknya pangkalan militer AS (Subic dan Clark) ditutup, seorang yang

tetap ingin mempertahankannya bahkan ‘kebablasan’ sampai mengusulkan Filipina

menjadi negara bagian AS, setelah Hawaii (yang katanya gubernurnya keturunan

Filipina). Ha..ha..ha.. Indonesia bukan Amerika. Bung! Tentu saja di AS tidak ada

masalah kaitan antara pajak dengan zakat. Di Indonesia, that’s a real issue. Berikut

(attachment) file saya tentang soal ini menanggapi tulisan Ulil di Kompas, Desember

2000, tetapi, tidak dimuat. Maklum sajalah. Mudah-mudahan (tulisan tsb) bisa agak

menjelaskan posisi saya mengenai soal ini. Jika Anda buat perbandingan, buatlah

perbandingan dengan sesama negara berkembang, sesama bekas jajahan, itu baru

fair.

Kembali ke soal teologi negara sekuler. Saya salut, Anda benar-benar propagator

atau muballigh sekularisme yang serius. Saya menghormati itu. Tetapi jika ini Anda

kaitkan otomatis dengan Islam Liberal, ya nanti dulu, lah. Titik tolak kita ternyata

berbeda. Anda berpendapat bahwa soal-soal duniawi, kesejahteraan masyarakat, dan

lain-lainnya tidak perlu doktrin agama (Islam). Bagi saya, adanya akar spiritual (Islam)

tentang soal-soal duniawi lebih membuat hidup saya ini lebih tenang. Anda bertolak

dari perlunya privatisasi agama (biarkan bersunyi-sunyi), sementara bagi saya, Islam

memberikan pedoman atau prinsip-prinsip (bahkan kadang-kadang terlalu ‘rinci’

untuk hal-hal yang kita anggap masalah kecil, seperti soal bersuci atau thaharah, kata

Luthfi) baik dalam kehidupan pribadi dan berkeluarga, maupun yang bersifat publik

dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara . Jadi, Islam bisa berurusan dengan

aktor dan sistem sekaligus. Karena sifat umum dan hanya prinsip-prinsip itulah,

implementasinya di berbagai negara Islam atau negara muslim berbeda-beda seperti

telah saya singgung dalam e-mail terdahulu, Jadi, bergantung pada hasil ijtihad

politik mereka masing-masing. Istilah Islam Liberal adalah bagian dari ijtihad politik

itu, tetapi belum tentu harus sekuler. Itu ‘jump to conclusion’ namanya. Menurut

Ustadz Hamid, meskipun nantinya bisa saja di bawa ke situ, tapi jangan buru-buru

kasih label, nanti diskusinya kurang asyik…

Denny JA:

Bung Hadimulyo yang baik, Terima kasih atas komentarnya. namun ada beberapa

hal yang anda labelkan ke saya, yang perlu diklarifikasi, supaya anda tidak

menyebarkan hal-hal yang “bukan saya” terhadap diri saya.

Saya tidak kagum secara buta kepada Amerika Serikat, bahkan terhadap sistem

politiknya. Hal-hal yang baik di sini tentu perlu kita tiru, dan yang tidak cocok tak

perlu kita ikuti. Satu saja contohnya: Saya justru anti sistem presidentialisme di AS,

jika ingin diterapkan di Indonesia. Saya menulis di Kompas, Gatra dan Republika, saat

itu (kiran-kira setahun yang lalu) melawan aneka iklan yang menganjurkan pemilihan

presiden langsung (seperti yang di AS sini).

Gatra saat itu bahkan membuat kolom khusus yang mensandingkan tulisan saya

dan rekan dari Cetro yang menjadi propaganda pemilihan presiden langsung. Jadi ada

rekord publik dari saya sendiri yang membuktikan tidak semua di AS ini saya kagumi.

bahkan ada beberapa yang saya anti, dan saya anjurkan untuk tidak ditiru. Kedua,

saya juga tidak membawa agama hanya untuk bersunyi-sunyi (atau hanya untuk

kehidupan pribadi). Jika hanya untuk itu, tak perlulah agama. Saya justru membawa

agama masuk hampir ke seluruh aktivitas, namun hanya dalam tataran moral saja

(prinsip berprilaku dan bermotivasi baik). Lebih dari itu, agamapun saya bawa ke

tataran yang tak pernah disentuh oleh modernitas, yaitu misticism. Ruang agama

justru paling luas. Namun hal ini bukan konsumsi publik, dan bukan untuk

didiskusikan.

Jika kita memang berbeda hanya dalam label saja, alhamdulilah. Namun jika

berbeda dalam substansi, juga alhamdulilah. Toh kata “liberal” itu sendiri sudah

mensyaratkan kebebasan untuk berbeda, seperti kata Mao : Biarkan seribu bunga

berkembang.

Hadimulyo:

Syeikh Assyaukanie yang baik, Orang yang ketakutan, apa lagi curiga, tidak bisa

berfikir rasional. Apalagi obyektif. Coba tanya Syaiful Mujani, kalau tidak percaya.

Kalau seorang muslim sudah takut dengan sesama muslim yang lain ( yang tidak perlu

harus bawa clurit atau mandau), apa jadinya Islam nantinya? Soal mereka yang merasa

benar sendiri, yaa, kita do’akan saja. Pengalaman saya kok beda. Bahkan dengan

orang-orang yang mengaku N-11, saya masih bisa menggoda dan bercanda. Bagi saya,

sepanjang masih bersifat (pemikiran) manusia, dan meskipun dengan

mengatasnamakan atau paling faham atas kehendak Tuhan, bagi saya masih relatif.

Jika masih bisa diajak bermujadalah dengan hikmah, syukur. Jika tidak bisa, ya, tidak

apa-apa, tinggalkan saja. Begitu saja kok repot!!!

Saiful Mujani:

Luthfi, Mas Hadi, ... Memang bukan soal takut, tapi bagi saya lebih masalah

argumen dan kinerja sebuah lembaga, termasuk yang disebut ekonomi islam dengan

segala derivative-nya seperti perbankan Islam. Karena itu di forum ini saya sangat

senang kalau ada yang bicara mengenai masalah ini. Saya kira ini harus menjadi salah

satu egenda diskusi kita karena menyangkut hal yang sangat kongkrit dan amat

penting (bisa positif atau negatif). Kalau ada di antara teman milis di sini yang punya

informasi komparatif akan sangat membantu.

Iran saya kira contoh kasus yang penting diperhatikan dalam konteks hubungan

Islam dan polity. Kalau politiknya, saya kira kita sudah lumayan informed, tapi

ekonominya saya kurang mengikuti. Kalau menggunakan “parameter sekuler” yang

elementer, saya tidak melihat signifikansi label Islam terhadap Republik Iran: Untuk

tahun 2000 misalnya, rangking Human Development Index Iran berada pada urutan 95

(tengah) dari 174 negara. Ia tidak lebih baik misalnya dari negara-negara berkembang

lain di kawan Amerika Latin yang katolik seperti Argentina (ranking 39), Venezwela

(48), Meksiko (50), Brazil (79), dll. Atau kalau dibanding dengan negara-negara

mayoritas berpenduduk Islam seperti Saudi, Libya, Kazakhstan, Turkey, dll.

Iran tidak punya utang luar negeri? Saya belum lihat statistik terakhir, tapi data

tahun 1998 menunjukan utang luar negeri Iran sebesar 13.8 billion US$. Tentu ini

relatif kecil dibanding utang Indonesia sekarang. Tapi tetap cukup besar dibanding

utang dari negara-negara dikawasan itu. Pada masa rezim Islam, transaksi

perdagangan dengan dunia luar memang mengalami penerunan yang besar. Ini belum

tentu karena rezim di sana melarang transaksi yang haram ini. Bisa juga sebaliknya.

Tapi ukran-ukuran sekuler yang basik ini barangkali tidak valid karena untuk kasus

negeri ini ukurannya barangkali surga dan neraka ..

Ismail Budhiarso:

Mas Denny, terimakasih atas klarifikasinya. Menarik sekali argumen yang anda

sampaikan. Meskipun begitu, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan lebih dalam

lagi. Mudah-mudahan anda dan teman-teman yang lain tidak bosan.

Pertama, anda mengatakan bahwa “Demokrasi tak dapat memberikan tempat

kepada mereka yang akan mengubah prinsip demokrasi itu sendiri” Kalau saya lihat,

argumen seperti ini kok rasanya persis dengan argumen yang sering disampaikan oleh

kawan-kawan garis keras yang tidak suka sistem demokrasi liberal. Mereka ini, dengan

bahasa yang agak beda, suka mengatakan bahwa “Islam tak dapat memberikan

tempat kepada mereka yang akan mengubah prinsip Islam itu sendiri.” Alasan yang

disampaikan bisa bermacam-macam. Yang jelas mereka akan melakukan apapun

untuk menyelematkan sistem yang dia sukai.

Kalau sistem demokrasi yang anda sampaikan juga akan melakukan cara yang sama

(melarang orang yang tidak sependapat) guna mempertahankan hidup demokrasi itu

sendiri, maka terus apa dong bedanya demokrasi yang anda tawarkan dengan sistem

totalitarian yang lain? Apakah benar kita boleh melanggar prinsip untuk

mempertahankan prinsip? Agak aneh rasanya. Whaddayathink.?

Memang, di kalimat selanjutnya anda mengatakan alasan kenapa kita mesti

mempertahankan sistem demokras tsb yaitu “karena (demokrasi) melindungi prinsip

equal opportunity semua warga negara apapun agama, jenis kelamin, dll).” Dan,

selanjutnya anda juga mengatakan kenapa kita ndak mbolehin sistem Islam karena

sistem Islam tidak akan memberikan equal opportunity pada setiap warga negaranya

(dengan contoh-contoh yang menarik).

Apa yang anda sampaikan di atas sangat menarik. Di sini ada dua asumsi yang

sudah anda anggap benar sebelum di tes. Asumsi yang pertama adalah demokrasi

menjamin equal opprtunity. Asumsi yang kedua, Islam tidak menjamin equal

opportunity. Apakah asumsi-asumsi ini juga benar? Saya pribadi ragu. Mari kita lihat,

apakah benar asumsi yang anda anggap benar itu benar.

Dari fakta yang ada, memang kita tak bisa pungkiri bahwa sistem demokrasi di

negeri-negeri maju (seperti Amerika) berjalan dengan sangat bagusnya SEKARANG INI

dibandingkan dengan sistem-sistem yang lain. Namun demikian, apakah dengan

kemajuan tsb berarti bahwa sistem demokrasi (a la Amerika, for example) benar-

benar memberikan warganegaranya “equal opportunity” seperti yang anda sampaikan?

Saya kira belum tentu. Lebih-lebih dengan munculnya kasus Florida dalam Pemilu

lalu, dimana Gore yang memiliki popular vote lebih besar dari Bush terpaksa harus

kalah karena sistem electoral vote yang memungkinkan terjadinya “winner take it all”

untuk setiap electoral college. Dari situ orang mulai bertanya apakah demokrasi

seperti ini benar-benar mencerminkan equal opportunity dari warganya?. Belum

tentu.

Selanjutnya, sistem perwakilan yang ada juga mulai ditanyakan. Apakah benar

sistem perwakilan merupakan sistem yang mencerminkan equal opportunity. Kalau ya,

kenapa seringkali bukan suara rakyat yang disampaikan tapi justru suara para lobyist

atau korporasi-korporasi besar yang yang menguasai parlemen yang sering

dimunculkan? Mungkin di sini kita perlu berdiskusi lebih dalam sebelum secara

aklamasi menerima anggapan bahwa sistem demokrasi sekuler merupakan benar-

benar sistem yang OK punya…. Again, whaddayathink?

Selanjutnya, mari kita cek asumsi anda yang kedua yaitu Islam tidak akan

memberikan equal opportunity karena (salah satu alasannya) adalah orang yang bukan

Islam tidak bisa jadi presiden. Apakah asumsi itu benar? Belum tentu.

Pertama, tentang equal opportunity, saya kira Islam telah menjamin hak itu jauh-

jauh hari sebelum sistem demokrasi yang ada sekarang ini memberikan hak tsb.

Misalnya, right seseorang tanpa membedakan gender dan warna kulit sudah diberikan

Islam jauh sebelum Inggris atau Amerika memberikan hak tsb (misal: hak waris, hak

bersuara).

Kedua, sepanjang yang saya tahu (mohon dikoreksi kalau salah ) Islam tak pernah

menyebutkan satu bentuk pemerintahan tertentu yang mesti diikuti. Rasulullah

sendiri sampai akhir hayatnya tidak pernah menyebutkan siapa penggantinya. Hal ini

membuka peluang untuk berbagai macam interpretasi. Orang jaman dulu yang hanya

kenal sistem kerajaan, ya bikin kerajaan Islam lah. Orang sekarang yang kenal sistem

republik, ya bikin republik Islam lah. Tapi apakah sistem-sistem tsb merupakan sistem

(negara) Islam yang benar? Kita tak tahu dan kita boleh tak sepakat.

Dengan kenyataan ini, maka kesempatan untuk mencari sistem pemerintahan yang

Islami sebetulnya terbuka lebar. Ndak harus kerajaan, ndak harus republik, dan ndak

harus demokrasi. Apa saja boleh. Apakah boleh dipimpin oleh wanita? Kenapa tidak.

Apakah boleh dipimpin oleh non-muslim? Kenapa tidak. Dalam kenyataan hidup sehari-

hari, sebetulnya kita kan sudah banyak melakukan hal-hal seperti itu dan nobody

complaint. Misalnya, kita kerja di kantor yang dipimpin wanita atau non-muslim. Ndak

ada masalah. Kita kerjasama dengan wanita dan non-muslim. Ndak ada masalah.

Kalau hal-hal yang begitu langsung mempengaruhi hidup kita sehari-hari saja

dibolehkan untuk dipimpin oleh wanita atau non-muslim, kenapa hal-hal yang lain

(seperti mimpin negara) tak boleh?

Pertanyaan lebih lanjut, apakah benar sistem negara seperti yang kita kenal

sekarang ini merupakan sistem yang mutlak benar dan kekal sepanjang masa? Saya

yakin tidak. Sistem kerajaan yang berumur ribuan tahun saja hilang apalagi sistem

republik atau demokrasi yang belum teruji lama (paling lama dua abad). Dengan

makin banyaknya manusia (bayangkan dalam 100 atau 200 tahun yad berapa billion

manusia ada di bumi), saya pikir sistem negara dengan definisi yang ada sekarang

(wilayah, pemerintah, rakyat, etc) susah untuk dipertahankan. Manusia harus mampu

mencari sistem yang pas. Dengan demikian, kalau kita berpikir bahwa demokrasi is

the only way untuk masyarakat modern (sehingga upaya untuk mencari sistem yang

lain musti diberangus karena bertentangan demokrasi), maka kita telah menutup

pintu untuk berevolusi mencari sistem yang lebih baik.

Siapa tahu di masa depan, kita tak perlu pemerintah. Kita tak perlu negara seperti

yang kita kenal sekarang ini. Kalau hal itu memang lebih baik untuk hidup ummat

manusia, kenapa tidak? Islam tidak melarang kita mencari bentuk “negara” yang lebih

menjamin ummat manusia bisa “beribadah” total kepada-Nya. Whaddayathink?

Denny JA:

Bung Ismail, Terima kasih banyak atas komentar dan pertanyaan kritisnya. Karena

yang anda tanya sangat fundamental, anda hanya akan puas jika membaca sendiri

buku yang secara komprehensif menjawab sebagian pertanyaan anda tentang

demokrasi. Penjelasan di internet ini hanya garis besar yang tak akan memuaskan

anda. Saya dapat rekomendasikan buku itu, yang dapat anda dicari di library di

universitas anda di Seatle. Judulnya: Polyarchy, Participation and Opposition,

dikarang oleh Robert A. Dahl.

Apakah sistem dekorasi sekuler ini akan abadi? Kita tak pernah tahu apa yang akan

terjadi ratusan tahun mendatang. Tapi saat ini, sistem inilah yang terbukti, lebih

dapat mengakomodasikan kepentingan warga negara yang beragam, yang ingin

ditreatment secara equal.

Jika menurut anda, tak ada prinsip dasar negara demokrasi sekuler yang ditentang

oleh prinsip Islam, well, masalahnya jadi sederhana. JIka ada yang terbaik (demokrasi

sekuler) yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam, mengapa harus mencari lagi

yang kurang baik? Apalagi jika yang kurang baik itu belum terbukti dalam sejarah.

Namun tak semua penganut Islam akan setuju dengan anda. Oleh sebab itulah

terus hidup aspirasi negara Islam, baik yang sudah terealisasi ataupun yang masih

dalam angan-angan. Ada pertarungan interpretasi secara internal di dunia Islam

sendiri. Di sini lah letak penting Islam Liberal. Ia menjadi peserta aktif dalam

pertarungan wacana itu, untuk memenangkan ide demokrasi sekuler sebagai sistem

politik masa kini.

Hadimulyo:

Denny yang baik, Wah, terima kasih untuk klarifikasinya. Bukan maksud saya untuk

memberi label dan menyebarkan hal-hal yang “bukan Anda” tentang diri Anda.

Astaghfirullah, ternyata saya keliru, meskipun mungkin juga ada pembaca di milis ini

yang memiliki kesan yang sama ketika membaca argumen Anda yang bersemangat itu.

Karena itu, saya mohon dimaafkan, kini dan di sini juga, tidak usah menunggu Lebaran

yang masih lama…

Saya mau mengomentari beberapa pernyataan Anda. Pertama, kata Anda: “Saya

juga tidak membawa agama hanya untuk bersunyi-sunyi (atau hanya untuk kehidupan

pribadi). Jika hanya untuk itu, tak perlulah agama.”

Yah, mungkin saya salah tangkap terhadap pernyataan Anda tentang sorga dan

neraka yang tidak bisa didiskusikan di milis ini juga sebelumnya. Lagi ..lagi, kalau

memang benar saya salah tangkap, maafkan saya. Tapi, kok rasanya jawaban Anda

terhadap Mas Ismail Budhiarto kira-kira seperti itu. Setahu saya, hampir semua agama

monotheis (kecuali Yahudi?, tolong koreksi kalau salah) , polytheis, bahkan agama-

agama tradisi (paganism) bicara tentang konsep eskatologis (life after death, life after

life) ini. Skripsi saya membahas soal ini di Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu

Perbandingan Agama IAIN Ciputat 1979 ( judulnya: Konsep Eskatologi menurut

Pandangan Agama dan Falsafat), yang menguji waktu itu Dr. Harun Nasution, tokoh

Islam rasional yang sufistik (kini almarhum). Fachry Ali dan teman-teman (waktu itu)

mentertawakannya. Saya sih, senyum-senyum saja, sambil membalas sekenanya:

masih mendingan daripada berjudul “peranan ‘to be + ing’ dalam pembangunan” (dia

dari Fak.Tarbiyah, jurusan B. Inggeris). Untuk gambaran awal soal ini tolong dicari

entry “Eschatology,” di Encyclopaedia of Religion and Ethics.

Pernyataan kedua, “Lebih dari itu, agamapun saya bawa ke tataran yang tak

pernah disentuh oleh modernitas, yaitu misticism. Ruang agama justru paling luas.

Namun hal ini bukan konsumsi publik, dan bukan untuk didiskusikan.”

Bagaimana ini Zainal Abidin, Budhy Munawar-Rachman? Setahu saya, soal

mysticism ini di kalangan terpelajar muslim sekarang ini justru sedang ngetrend.

Namanya tasawwuf. Kursus-kursus ditawarkan di koran-koran dan majalah. Di TV pun

ada acara tentang religious experiences yang esoterik itu, yang diasuh oleh .. ah…

siapa istrinya Ikang Fauzi itu,… o, ya, Marisa Haque. Bukan Sophia Latjuba, lho…

Memang bukan untuk didiskusikan, tetapi sharing pengalaman beragama, di samping

aqidah , syari’ah, tentu saja akhlaq al karimah. Sekitar akhir tahun 1960-an -1970-an,

saya sudah baca itu buku Buya Hamka ‘Tasauf Moderen.’ Kalau sekarang dibaca

kembali, menarik juga barangkali…

Ketiga, “Jika kita memang berbeda hanya dalam label saja, alhamdulilah. Namun

jika berbeda dalam substansi, juga alhamdulilah. Toh kata “liberal” itu sendiri sudah

mensyaratkan kebebasan untuk berbeda, seperti kata Mao: Biarkan seribu bunga

berkembang.”

Kata Nabi Muhammad (tapi ada yang bilang ini sanad dan perawinya “dhaif”

lemah): “perbedaan di antara ummatku adalah rahmat.”