studi teologi kontekstual terhadap dasar teologi pola induk...
TRANSCRIPT
ABSTRAK
Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP)
tahun 2005-2015 merupakan acuan pokok bagi GPM dalam menjalankan tugas dan panggilan
pelayanannya. PIP-RIPP lahir dari berbagai tantangan yang dihadapi oleh GPM. PIP-RIPP
pun memiliki dasar teologis yang menjadi panduan untuk menjalankan PIP-RIPP dalam
kehidupan bergereja dan berjemaat. Kerena PIP-RIPP merupakan hal yang penting, maka
dasar teologis PIP-RIPP harus diteliti. Fokus penelitian ini dibatasi pada aspek tologi
kontekstual dari dasar teologis PIP-RIPP GPM tahun 2005-2015, khususnya teologi tentang
misi gereja. Penelitian ini akan berfokus pada apakah dasar teologis dari PIP-RIPP sudah
kontekstual atau belum.
Dari data yang telah diperoleh, secara keseluruhan gereja-gereja di Maluku sudah
mengetahui PIP-RIPP. Dasar teologis PIP-RIPP pun pada hakekatnya sudah kontekstual
karena dasar teologis PIP-RIPP telah berusaha memberikan jembatan untuk terwujudnya
kontekstualisasi teologi. Dasar teologis PIP-RIPP tidak hanya berbicara mengenai Kitab Suci
tetapi telah berusaha mengaitkan Kitab Suci dengan konteks kehidupan berjemaat,
bermasyarakat bahkan bernegara.
Kata kunci: PIP-RIPP, Kontekstualisasi, GPM
1
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Definisi kontekstualisasi teologi menurut John Titaley ialah manusia memahami
kehidupan dengan kesadaran bahwa Tuhan ikut terlibat dalam kehidupannya sehari-hari
meliputi budaya dengan menyertakan Tuhan, kitab suci, ilahi, politik dan lain-lain. Dalam
tulisan ini pengertian kontekstualisasi akan dipersempit, seperti yang dirumuskan oleh Titaley
bahwa kontekstualisasi adalah ketika gereja mampu menyadari keberadaannya sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.1
Menurut Stephan Bevans, kontekstualisasi teologi adalah upaya untuk memahami
Iman Kristen dipandang dari segi suatu konteks tertentu.2 Apa yang membuat teologi itu
kontekstual ialah pengakuan teologi itu akan sumber teologi selain teks kitab suci dan tradisi
yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi yang berwajah kontekstual menyadari
bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer, dan lain-lain harus
diindahkan bersama dengan kitab suci dan tradisi sebagai sumber-sumber yang sah untuk
ungkapan teologis.3 Bevans juga mengungkapkan faktor-faktor terjadinya kontekstualisasi
teologi. Ia menguraikannya atas dua bagian yakni faktor internal dan eksternal. Faktor
internal, yaitu faktor yang didorong maju oleh kekuatan-kekuatan sejarah dan pergerakan
zaman. Faktor ini terdiri dari ciri inkarnatif agama Kristen, ciri sakramental dan realitas
dimana doktrin inkarnasi memaklumkan bahwa Allah diwahyukan bukan terutama dalam
gagasan-gagasan, melainkan dalam realitas nyata. Faktor internal yang terakhir ialah suatu
pergeseran dalam pemahaman tentang hakikat pewahyuan ilahi. Faktor eksternal yang
diuraikan atas empat, yaitu pertama, suatu ketidak puasan umum, baik di dunia pertama
maupaun di dunia ketiga menyangkut pendekatan-pendekatan klasik dimana hanya terpaku
pada firman tanpa melihat pengalaman manusia. Kedua, teologi tradisional yang
mengabaikan teologi-teologi lain salah satunya teologi hitam. Faktor yang ke tiga dan
keempat, bertumbuhnya jati diri gereja-gereja lokal dan pemahan tentang kebudayaan yang
disediakan oleh ilmu-ilmu kontemporer.4
1 John Titaley, “Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi”, dalam Jeffrie A. A. Lempas, dkk, Format
Rekonstruksi Kekiristenan,(Salatiga: Yayasan Bina Darma, 2006), 191-193. 2 Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), 1.
3Bevans, Model-model Teologi Kontekstual., 2.
4Bevans, Model-model Teologi Kontekstual., 13-25.
2
Gereja Protestan Maluku (GPM) memiliki program-program yang bertujuan untuk
pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan. Terbentuknya PIP-RIPP berangkat dari
Renstra (Rancangan Pengembangan Pelayanan Tingkat Klasis). Sedangkan PIP-RIPP itu
sendiri merupakan rancangan pengembangan pelayanan tingkat sinodal. Pada periode
sebelumnya, biasanya sidang sinode dilaksanakan terlebih dahulu baru sidang klasis dan
kemudian sidang jemaat. Tetapi sekarang sudah berubah dan memakai sistem desentralisasi.
Jadi, pelaksanaannya dimulai dari sidang jemaat, sidang klasis, dan selanjutnya sidang
sinode. Jika pelaksanaan sidang sinode didahulukan berarti klasis dan jemaat hanya
mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh sinode. Tetapi kalau pelaksanaannya dimulai dari
sidang jemaat, berarti kebutuhan jemaat dan klasis itu semua ditampung di sidang sinode.
Sejak ditetapkan dalam TAP Sinode No. tahun 2005, PIP-RIPP GPM dilaksanakan dalam dua
tahapan, yaitu Tahap I dalam kurun waktu tahun 2005-2010, sebagai tahap sosialisai,
perencanaan, dan pelaksanaan. Tahap II dalam kurun waktu tahun 2010-2015, sebagai tahap
pemantapan, pengembangan dan kemandirian.5
PIP-RIPP 2005-2015 memiliki dasar teologi dan wawasan eklesiologi, yakni:
a. Wawasan misioner dan kemuridan; yaitu cara pandang gereja mengenai tugas pelayanan
sebagai bagian dari perwujudan panggilan Tuhan kepada gereja untuk bermisi di dalam dunia
[bdn. Mat 25:35-40; Luk 4:18,19; 1 Pet 2:9,10; Rm 12:6-8]. Dengan visi ini gereja berusaha
memenuhi tugasnya sebagai agen misio Dei untuk menghadirkan tanda-tanda damai sejahtera
di tengah dunia, sambil meneladani Yesus, Tuhan dan kepala gereja [bdn. Ef 1:22,23;
2:11,12].
b. Wawasan profetik; yaitu cara pandang gereja mengenai tugasnya bukan hanya
membangun, tetapi juga mengaktakan kebenaran, keadilan, cintah kasih dalam relasi antar
manusia, manusia dengan Tuhan, gereja dengan pemerintah, dalam konteks keutuhan ciptaan
Allah [bdn. Kej 1:28-30; Yer 1:10; Rm 13:1-6]. Dengan visi profetik gereja selalu kritis,
positif, konstruktif dalam menjawab berbagai tantangan hidup dalam masyarakat, bangsa dan
negara, sebagai gereja Kristus yang hidup.
c. Wawasan keluarga Allah; yaitu cara pandang gereja untuk berjalan dan bertumbuh
bersama dalam keutuhan tubuh Kristus, atau anggota keluarga Allah [bdn. Ef 2:19]. Dengan
visi keluarga Allah gereja mengembangkan usaha-usaha saling membantu, menolong,
5Victor Untailawan ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010-2015,
(Ambon : Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, 2010) , 1.
3
menopang, memulihkan dan menanggung beban satu sama lain [bdn. KPR 2:41-47; 1 Kor
12:12-13; 16:1-4; Gal 5:2,3].
d. Wawasan oikumenis; yaitu cara pandang gereja untuk membangun relasi dengan semua
manusia, alam ciptaan Tuhan, dengan badan gereja lain dalam persekutuan gereja yang am
dan rasuli, serta membangun relasi iman yang di dalamnya gereja dipanggil untuk bersukutu
di tengah dunia [bdn. Yoh 17:21; Gal 3:14].
e. Wawasan berkelanjutan; yaitu cara pandang gereja untuk meningkatkan kualitas
pelayanannya, memelihara persekutuan jemaat, dan bersama-sama dengan jemaat memberi
jawaban terhadap berbagai perubahan yang dialaminya di dalam dunia. Di sinilah visi
eskatologis GPM, gereja melakukan seluruh tugas panggilannya dengan tetap memiliki
pengharapan yang kukuh akan rahasia penyertaan, tuntunan dan pemeliharaan Tuhan di
dalam hidupnya. Gereja tidak bekerja sendiri dan untuk hari ini tetapi bersama dan terus ke
masa depan sambil menanti kepenuhan janji dari Allah Bapa [bdn. Ef 1:23].6
Oleh karena PIP-RIPP merupakan sarana tercapainya visi misi GPM, maka sudah
seharusnya PIP-RIPP tersebut harus menyadari keberadaaanya yang menunjukan
eksistensinya secara teologis yang kontekstual di Maluku.
1.2 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus penelitian dibatasi pada aspek teologi
kontekstual dari dasar teologi pola induk pelayanan dan rencana induk pengembangan
pelayanan (PIP-RIPP) GPM tahun 2005-2015, khususnya teologi tentang misi gereja.
1.3 Perumusan Masalah
Adapun masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
Apakah dasar teologis dari pola induk pelayanan dan rencana induk pengembangan
pelayanan (PIP-RIPP) sudah kontekstual?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan dasar teologis pola induk pelayanan dan rencana induk pengembangan
pelayanan (PIP-RIPP).
6Victor Untailawan ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010-2015.,
5-6.
4
2. Mengkaji dasar teologis pola induk pelayanan dan rencana induk pengembangan
pelayanan (PIP-RIPP) tersebut dari prespektif teologi kontekstual.
1.5Manfaat Penelitian
Secara Teoritis:
Memberikan sumbangan pemikiran kepada Sinode GPM pada umumnya dan anggota GPM pada
khususnya untuk menyadari keberadaan dirinya di Maluku.
Secara Praktis:
Agar orang Kristen dapat menyadari fenomena kontekstualisasi dalam konteks bergereja.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
penelitian deskriptif yakni suatu metode yang digunakan dalam meneliti status
kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu
peristiwa masa sekarang.7 Dengan menggunakan metode ini, penulis akan
mendeskripsikan hasil studi kontekstual yang dipaparkan oleh beberapa tokoh.
Kemudian, penulis akan menggunakan penelitian kualitatif guna menunjang data-data
yang diperlukan. Beberapa teknik pengumpulan data kualitatif yang akan penulis
lakukan adalah sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara bertujuan untuk mendapatkan keterangan yang lebih mendalam
tentang obyek yang diteliti. Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara
terstruktur, yaitu wawancara yang terarah dan terstruktur untuk mengumpulkan
data-data yang relevan sebagaimana sesuai dengan tujuan penulisan. Ruang
lingkup penelitian adalah Sinode GPM. Wawancara akan penulis lakukan kepada
4 orang pemimpin di Sinode GPM sebagai narasumber.
b. Studi Pustaka
Melalui studi kepustakaan diharapkan akan memperoleh data yang sesuai dengan
topik penulisan ini. Selain itu, studi pustaka juga bermanfaat guna menambah
wawasan dalam menyusun analisa penulisan.
c. Teknik Analisa Data
7Sumardi, S. Metodologi Penelitian. (Jakarta: PT Raja Grafindo. 1998), 18.
5
Data hasil penelitian akan dikelompokan sesuai dengan tujuan penilitian sehingga
data yang telah dikumpulkan dapat menjawab tujuan penilitian.
1.7 Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari bagian I yakni pendahuluan yang berisi tentang uraian latar belakang
dari penulisan ini, batasan masalah, rumusahan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Setelah itu, bagian II yakni landasan teori tologi kontektual tentang misiologi.
Bagian III berisi pembahasan mengenai dasar teologis PIP-RIPP GPM tahun 2005-
2015.
Bagian IV akan membahas studi teologi kontekstual terhadap dasar teologi pola induk
pelayanan dan rencana induk pengembangan pelayanan (PIP-RIPP) GPM tahun 2005-2015.
Bagian terakhir adalah bagian V yakni penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.
6
II. Landasan Teori Teologi Kontekstual
Di bagian ini saya akan menjabarkan tentang teori-teori yang berkaitan denganPola
Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) dan
kontekstualisasi teologi.
Menurut Pdt. Elifas Maspaitella PIP-RIPP adalah sebagai acuan pokok agar
perencanaan gereja menjadi sistimatis dan harus ditangani secara bersama-sama.8 Untuk
melihat kontekstualisasi atau tidaknya PIP-RIPP tersebut maka harus dipahami terlebih
dahulu pengertian kontekstual macam apa yang dipakai dan dibahas di sini.
Kontekstualisasi teologi menurut John Titaley terjadi ketika manusia memahami
kehidupan dengan kesadaran bahwa Tuhan ikut terlibat dalam kehidupannya sehari-hari
meliputi budaya dengan menyertakan Tuhan, kitab suci, ilahi, politik dan lain-lain. Dalam
tulisan ini pengertian kontekstualisasi akan dipersempit, seperti yang dirumuskan oleh Titaley
bahwa kontekstualisasi adalah ketika gereja mampu menyadari keberadaannya sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.9
Menurut Stephan Bevans, kontekstualisasi teologi adalah upaya untuk memahami
Iman Kristen dipandang dari segi suatu konteks tertentu.10
Apa yang membuat teologi itu
kontekstual ialah pengakuan teologi itu akan sumber teologi selain teks kitab suci dan tradisi
yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi yang berwajah kontekstual menyadari
bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer, dan lain-lain harus
diindahkan bersama dengan kitab suci dan tradisi sebagai sumber-sumber yang sah untuk
ungkapan teologis.11
Bevans juga mengungkapkan faktor-faktor terjadinya kontekstualisasi
teologi. Ia menguraikannya atas dua bagian yakni faktor internal dan eksternal. Faktor
internal, yaitu faktor yang didorong maju oleh kekuatan-kekuatan sejarah dan pergerakan
zaman. Faktor ini terdiri dari ciri inkarnatif agama Kristen, ciri sakramental dan realitas
dimana doktrin inkarnasi memaklumkan bahwa Allah diwahyukan bukan terutama dalam
gagasan-gagasan, melainkan dalam realitas nyata. Faktor internal yang terakhir ialah suatu
pergeseran dalam pemahaman tentang hakikat pewahyuan ilahi. Faktor eksternal yang
diuraikan atas empat, yaitu pertama, suatu ketidak puasan umum, baik di dunia pertama
8 Hasil wawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella di kantor Sinode Ambon 28 Agustus 2014, Pukul
12:30 WIT. 9John Titaley, “Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi”, dalam Jeffrie A. A. Lempas, dkk, Format
Rekonstruksi Kekiristenan,(Salatiga: Yayasan Bina Darma, 2006), 191-193. 10
Bevans, Model-model Teologi Kontekstual.,1. 11
Bevans, Model-model Teologi Kontekstual., 2.
7
maupaun di dunia ketiga menyangkut pendekatan-pendekatan klasik dimana hanya terpaku
pada firman tanpa melihat pengalaman manusia. Kedua, teologi tradisional yang
mengabaikan teologi-teologi lain salah satunya teologi hitam. Faktor yang ke tiga dan
keempat, bertumbuhnya jatidiri gereja-gereja lokal dan pemahan tentang kebudayaan yang
disediakan oleh ilmu-ilmu kontemporer.12
Kontekstualisasi, sebagaimana didefenisikan oleh Komite Dana Pendidikan Teologi
(Theological Education Fund, TEF, kini diubah menjadi Program Untuk Pendidikan Teologi,
Programme of Theological Education), ialah “kemampuan memberikan tanggapan yang
bermakna terhadap injil dalam kerangka situasinya sendiri”.13
Bagi Douglas J. Elwood kontekstualisasi adalah konsep yang dinamis, dengan fokus
bukan hanya pada aspek-aspek sosial suatu lingkungan tertentu, tetapi meliputi juga aspek-
aspek ekonomi, politik dan ekologi.14
Douglas J. Elwood percaya, kontektualisasi-
kontekstualisasi adalah kebutuhan misiologis. Tetapi apakah itu juga kebutuhan teologis?
Mengontekstualisasikan teologi berarti memandang konteks lokal konkret dengan serius. Ia
berakar pada situasi konret dan khusus tertentu. Apakah dengan demikian terselip bahaya ia
bisa kehilangan keamanan Injil? untuk ini ada pula sebuah pertanyaan bandingannya: Apakah
memang adalah teologi yang tidak in loco dan dengan demikian in uacua?- suatu theologia
sub specie aeternitas, laksana sebuah teologi untuk utapia? Namun demikian perhatian
terhadap keamanan Injil adalah suatu yang sahih, dengan mana pengontekstualisasian teologi
sangatlah berkepentingan. Dan kontekstualisasi, Douglas percaya adalah jalan yang ontetik
ke arah keamanan.15
Apakah sebenarnya “teologi kontekstual” itu? Bagi Eka Darmaputera, ia bukan hanya
merupakan salah satu dari sekian banyak merek teologi yang pernah diperkenalkan orang.
bagi Eka, “teologi kontekstual” adalah “teologi” itu sendiri. Artinya, teologi hanya dapat
disebut sebagai teologi apabila benar-benar kontekstual. Mengapa demikian? Oleh karena
pada hakekatnya teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan
secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara “teks” dengan “konteks”; antara “kerygma”
yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Secara lebih sederhana dapat
12
Bevans, Model-model Teologi Kontekstual., 13-25. 13
Theological Education Fund, Ministry in Context: The Third Mandate Progamme of the TEF, 1970-
77 (London: TEF, 1972), 19. 14
Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia , (Jakarta: Gunung mulia, 2006), xxvii. 15
Elwood, Teologi Kristen Asia., 17.
8
dikatakan, bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada
konteks ruang dan waktu yang tertentu.16
Menurut Daniel J. Adams sebagai akibat dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam
teologi pribumi, kecendurungan yang ada di Asia sekarang ini adalah kearah teologi
kontekstual. Seperti teologi pribumi, teologi kontekstual juga melihat kebudayaan sebagai
konteks dimana teologi dikembangkan dan diterapkan, membicarakan masalah-masalah
dalam konteksnya dan berupaya berteologi atas dasar filsafat dan budaya konteks tersebut.
Akan tetapi teologi kontekstual juga berusaha mencapai kedalaman teologis yang mampu
bersikap kritis terhadap kebudayaan. Sebagai satu metodelogi, teologi kontekstual tidak
langsung menolak segala sesuatu yang bersifat barat dan juga tidak mangasingkan dirinya
dari gereja sedunia, namun berusaha menjauhi perangkap-perangkap pembaratan yang
berlebihan. Teologi kontekstual berusaha untuk menyediakan metode yang lebih baik dari
keterpencilan teologi pribumi atau pembaratan melalui pendekatan penginjilan tradisional.17
Menurut Robert J. Schreiter model-model kontekstual, seperti yang disiratkan oleh
namanya, lebih langsung berkonsentrasi pada konteks budaya tempat Kekristenan berakar
dan diungkapkan. Sementara model-model adaptasi terus menekankan pada iman yang
diterima, model-model kontekstual mulai dengan refleksinya dengan konteks budaya. Model-
model kontekstual semakin dilihat sebagai model-model yang memuat gambaran ideal
tentang apakah teologi lokal itu, meskipun pada prakteknya pengembangan gambaran-
gambaran ideal itu sering ternyata sulit. 18
Menurut Emanuel Gerrit Singgih dalam kontekstualisasi, orang memang berhadapan
dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisinal disatu pihak, tetapi di pihak lain
bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan-perubahan nilai,
khususnya sehubungan dengan martabat manusia. Kontekstualisasi di kalangan Protestan
kadang-kadang dikacaukan juga dengan pemahaman atau penafsiran Alkitab secara
kontekstual. Kedua-duanya berbicara mengenai konteks. Tetapi kontekstualisasi berbicara
mengenai konteks kebudayaan setempat, sedangkan pemahaman Alkitab secara kontekstual
itu berbicara mengenai konteks perikop, kitab/ surat dan bahkan kanon Alkitab. 19
16
Eka Darmaputera, Ph. D., “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam J.B. Banawiratma,
ddk, Konteks Berteologi Di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 9. 17
Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 57. 18
Robert J. Schreiter,c. PP. S., Rencana Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 23. 19
Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D.,Berteologi Dalam Konteks, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 18.
9
James Haire berbicara tentang inkulturasi teologis di kepualuan Maluku, mengatakan
bahwa kontekstualisasi teologis bukan berarti menyesuaikan segala elemen dari tradisi
lokal.20
Jione Havea mengatakan bahwa teolog adalah orang-orang yang dipanggil untuk
menantang dan mengkritik asal-muasal budaya mereka ketika pada akhirnya budaya tersebut
tidak sesuai dengan nilai-nilai di dalam Alkitab.21
Edward F. Tverdek mengatakan bahwa kontekstualisasi berarti menemukan
keberadaan Tuhan yang berbicara melalui dialek-dialek dan peribahasa-peribahasa lokal.22
Juan Louis Segundo isi dari teologi adalah tradisi kekristenan pada satu sisi dan tradisi
dari tempat dimana para teolog itu tinggal. Jadi ada percampuran antara tradisi kekristenan
dan tradisi lokal.23
Nico Vorster mengatakan teologi sudah pasti kontekstual. Setiap teolog generasi baru
harus menambahkan implikasi pada pesan-pesan dari Alkitab untuk menjawab realita dan
problematika pada masanya (masa tertentu). 24
David J. Hesselgrave dan Edward Rommen mengatakan bahwa sejak masa Perjanjian
Lama hingga Perjanjian Baru pertemuan interkultural telah terjadi. Hal itu harus dilakukan
demi terjadinya harmonisasi dalam kehidupan.25
20
James Haire,THEOLOGICAL STUDIES, 749. 21
Havea,THEOLOGICAL STUDIES, 749. 22
Edward F. Tverdek, Judul Jurnal Analytic Theology as Contextual Theology,197. 23
Juan Louis, E. Jacobsen / International Journal of Public Theology 6 (2012) 7–22, 18. 24
Nico Voster, Journal of Reformed Theology 7 (2013)257-266, 259. 25
David J. Hesselgrave dan Edward Rommen , Contextualization-Meanings-Metthods-Models,(USA:
Apollos, 1990), 7.
10
III. Pembahasan Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan
(PIP-RIPP) GPM
3.1. Latar Belakang GPM
Gereja Protestan Maluku, yaitu suatu gereja Indonesia yang berdiri sendiri. Yang
memungkinkan perkembangan itu ialah perubahan lahir dan batin yang telah berlangsung
pada abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20. Pada tahun 1935, usaha yang telah dirintis
oleh Joseph Kam dan dilanjutkan oleh banyak orang Maluku dan Belanda itu akhirnya
sampai ke tujuan, meskipun hasil yang diperoleh pada waktu itu pun tidak bisa tidak bersifat
sementara. Di tengah pergolakan masa Jepang dan zaman kemerdekaan perkembangan ke
arah gereja yang dalam hal organisasi dan pola hidupnya berbeda dari dunia sekitarnya itu
berjalan terus.
Dalam sejarah GPM, masa 1945-1960 dapat dianggap sebagai masa peralihan. Pada tahun
1948, pendeta-ketua yang terakhir, dr J. E. Chr. Geissler, meyerahkan wewenangnya kepada
BPH Sinode GPM. Dengan demikian berakhirlah pengaruh Pengurus GPI dalam kehidupan
di Maluku, dan kepemimpinan dalam gereja tidak lagi bersifat perorangan. Pada tahun 1954,
GPM membentuk “Bagian Pekabaran Injil” dalam struktur organisasi di tingkat Badan
Pekerja Sinode. “ Pesan Tobat”, yang dikeluarkan oleh Sinode GPM tahun 1960, merupakan
titik balik dari sejarah GPM. Seruan itu, yang dicetuskan oleh Pdt. Th. P. Pattiasina, hampir-
hampir berfungsi sebagai suatu pengakuan iman. Di dalamnya para peserta sinode, yang
sebelumnya masih terlibat dalam perdebatan seru antar anggota pendeta dan yang bukan
pendeta, mengaku kelemahan dan kegagalan GPM dalam menghadapi tantangan zaman, serta
menyatakan bahwa diperlukan pembaruan gereja, yang hanya dapat berlaku oleh Firman
Allah dan Roh Kudus.26
3.2. Lahirnya PIP-RIPP
Terbentuknya PIP-RIPP berangkat dari Renstra (Rancangan Pengembangan Pelayanan
Tingkat Klasis). Sedangkan PIP-RIPP itu sendiri merupakan rancangan pengembangan
pelayanan tingkat sinodal. Pada periode sebelumnya, biasanya sidang sinode dilaksanakan
terlebih dahulu baru sidang klasis dan kemudian sidang jemaat. Tetapi sekarang sudah
berubah dan memakai sistem desentralisasi. Jadi, pelaksanaannya dimulai dari sidang jemaat,
26
Van den End, Th. dan Weitjens, J, Ragi Cerita 2 : sejarah gereja di Indonesia, (Jakarta:Gunung
Mulia, 2011), 78-80.
11
sidang klasis, dan selanjutnya sidang sinode. Jika pelaksanaan sidang sinode didahulukan
berarti klasis dan jemaat hanya mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh sinode. Tetapi
kalau pelaksanaannya dimulai dari sidang jemaat, berarti kebutuhan jemaat dan klasis itu
semua ditampung di sidang sinode. Sejak ditetapkan dalam TAP Sinode No. Tahun 2005,
PIP-RIPP GPM dilaksanakan dalam dua tahapan, yaitu Tahap I dalam kurun waktu Tahun
2005-2010, sebagai tahap sosialisai, perencanaan, dan pelaksanaan. Tahap II dalam kurun
waktu Tahun 2010-2015, sebagai tahap pemantapan, pengembangan dan kemandirian.
Dengan adanya PIP-RIPP semua kebutuhan jemaat dapat terjawab dan juga perencanaan
gereja jadi sistematis.27
3.3. Hasil Pelaksanaan PIP-RIPP
Saat saya melakukan penelitan, saya berhasil mewancarai 3 Pendeta dan 1 orang
Vikaris. Dari ketiga pendeta yang saya mewancarai, menurut Pdt. Elifas M yang merupakan
salah satu penulis PIP-RIPP ini, mengatakan secara umum bahwa PIP-RIPP sebagai acuan
pokok bagi Gereja Protestan Maluku (GMP) dalam menjalan tugas pelayanannya di jemaat.
Pdt. Elifas juga mengatakan bahwa PIP-RIPP mulai dipakai pada Tahun 1983.28
Sedangkan
hasil wawancara saya dengan Pdt. Daniel Wattimanela mengatakan bahwa PIP-RIPP dipakai
tahun 1960.29
Karena pada saat itu tidak semua orang menjalankan tugas dengan baik. Pdt.
Elifas juga mengatakan bahwa sejak ditetapkan dalam TAP Sinode No. Tahun 2005, PIP-
RIPP GPM dilaksanakan dalam dua tahapan, yaitu Tahap I dalam kurun waktu Tahun 2005-
2010 lebih kepada pisbliding dan Tahap II dalam kurun waktu Tahun 2010-2015 lebih
memperhatikan kebutuhan jemaat.
Menurutnya Pdt. Elifas teologi, bahwa gereja harus berjalan bersama sebagai gereja dan
perubahan jemaat harus dirasakan bersama, dan perubahan dimasyarakat juga perubahan dari
gereja dan harus mengubah dunia.30
Apa yang dikatakan oleh Pdt. Elifas berbeda dengan Pdt.
Daniel, menurutnya dasar dari teologis tentang misi dari PIP-RIPP itu sendiri adalah proses
27
Victor Untailawan ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010-2015,
1. 28
Hasil wawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014. 29
Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantorKlasis Ambon Timur pada tanggal
3September 2014. 30
Hasil wawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014.
12
berjalan bersama secara konsisten dan serius. Sama halnya dengan tubuh Kristus harus
melangkah bersama dan PIP-RIPP menyadari dirinya dari bagian sebagai tubuh Kristus.31
Ketika rumusan itu diterapkan menurut Pdt. Elifas geraja dapat melakukan panggilannya
yaitu gereja dapat memecahkan problema-problema yang ada di jemaat. Yang dapat
menjawab itu bisa dilihat pada evaluasi dan itu dilakukan setiap 5 tahun sekali. Di mana
GPM melihat mereka sudah melakukan panggilannya. Yang mendorong tersusunnya
rumusan itu karna masalah umum yang dihadapi oleh jemaat GPM yaitu kemiskinan,
pendidikan dan antar agama.32
Berbeda dengan Pdt. Daniel menurutnya yang mendorong
tersusunya rumusan ini yang pertama, karena pelayanan lintas pulau sehingga diperlukan
konsep dasar. Yang kedua, agar perencanaan yang lebih statergis dalam pelaksanaan
pelayanan. Dan yang ketiga, fokus program-program yang statergis yang memnentukan masa
depan.33
Pdt. Elifas dan Pdt. Daniel mengatakan bahwa rumasan ini sangat membantu dan
menolong gereja untuk melaksanakan Implementasi.
Ketika saya kembali bertanya kepeda Pdt. Elifas apakah rumusan ini sudah ada
pelaksanaannya dalam bergereja? Beliau mengatakan sudah ada pelaksanaannya pada tahun
2012 dan sudah 40% yang sudah melaksanakan dan tinggal beberapa jemaat saja yang belum
melakukankan.34
Pertanyaan ini juga yang saya tanyakan kepada Pdt. Daniel. Beliau
mengatakan bahwa rumusan ini sudah ada pelaksanaannya dalam bergeraja pada tahun 2010-
2015 dan akan dilihat pada saat evaluasi dan menurutnya sangat sulit untuk melaksanakan
semuanya.35
Dalam pembentukan rumusan ini ternyata memperhatikan konteks tertentu, khususnya di
Indonesia dan di dunia dan itu bisa dilihat dimisi yang dikatakan oleh Pdt. Elifas. Beliau juga
mengatakan pembentukan rumusan ini hanya disepakati oleh beberapa orang saja (oleh
gereja) karena rumusan ini adalah dokumen grejawi.36
Ketika saya melakukan wawancara
31
Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal
3September 2014. 32
Hasil wawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014. 33
Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal 3
September 2014. 34
Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014. 35
Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal
3September 2014. 36
Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014.
13
dengan Pdt. Daniel beliau mengatakan semua diputuskan dalam sidang Sinode, diputuskan
oleh semua dan juga ada usul-usulan dari Klasis.37
Sampai sekarang pengaplikasian rumusan ini tetap berjalan dengan baik dalam pelayanan
di Maluku karena dilakukannya evaluasi tetapi dari hasil evaluasinya ada juga kelemahan
pada tingkat pelayanan yang harus dikembangkan. Unsur-unsur yang dapat mendorong
berjalannya rumusan ini di Maluku menurut Pdt. Elifas yang pertama, partisipasi jemaat,
yang kedua sistim pelayanan dan kelembagaan gereja dan yang ketiga ajaran gereja.38
Sedangkan menurut Pdt. Daniel yang mendorong berjalannya rumusan ini di Maluku yang
pertama kesiapan jemaat, komitmen, pengawasan dan yang kedua evaluasi dilakukan secara
berjenjang.39
Wujud pencapaian visi misi dari GPM menurut Pdt. Elifas yang merupakan salah satu
Penulis PIP-RIPP beliau mengatakan pencapaiannya dilihat pada tahun 2015 di mana akan
dilakukan evaluasi dan baru diketahui beberapa puluh persen yang tercapai.40
Menurut Pdt.
Febiola yang pada saat itu sedang berada di dalam ruangan Pdt. Elifas saat saya melakukan
wawancara dan beliau juga yang bekerja di bagian evaluasi sehingga ketika saya melakukan
wawancara beliau tidak dapat menjelaskan secara detail tentang PIP-RIPP seperti yang telah
dijelaskan oleh Pdt. Elifas dan Pdt. Daniel yang merupakan penulis PIP-RIPP. Pdt. Febiola
mengatakan sudah ada evaluasi yang dilakukan secara bertahap mengenai pencapaian PIP-
RIPP, kalau dilihat dari implementasi. Beliau juga mengatakan bahwa pelaksanaan PIP-RIPP
pertahun sudah tercapai, tetapi kalau 5 tahun belum tercapai karena Tahun 2015 baru akan
dievaluasi.41
Sedangkan menurut Pdt. Daniel, pelaksaan PIP-RIPP tidak akan maksimal
tercapai menjadi gereja yang misioner karena perjalanan misi tidak pernah akan selesai.42
Menurut Pdt. Elifs, PIP-RIPP dirumuskan berdasarkan konteks bergereja dan berjemaat di
GPM yang juga merupakan bagian dari gereja di Indonesia. Bila memperhatikan konteks
bergereja maka tentu akan ditemui perbedaan-perbedaan dalam berjemaat. Oleh karena itu,
37
Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal
3September 2014. 38
Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014. 39
Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal
3September 2014. 40
Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014. 41
Hasil wawancara dengan Pdt. Febiola. Songuptuan, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014. 42
Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal
3September 2014.
14
dengan adanya rumusan ini dapat membantu GPM dalam menjalankan tugas panggilannya
sesuai dengan kebutuhan bergereja dan berjemaat.43
Rumusan PIP-RIPP ini selalu mengalami
perubahan karena dievaluasi setiap tahun dan akan ada rumusan baru setiap 5 tahun sekali.
Setelah saya melakukan wawancara dengan Pdt. Elifas dan Pdt. Daniel dan juga Pdt.
Febiola mereka mengatakan rumusan ini selalu mengalami perubahan kerena dievaluasi
pertahun tetapi disusun baru 5 tahun.
Menurut salah seorang vikaris yang turut menerapkan PIP-RIPP, ia mengatakan bahwa
penerapan PIP-RIPP sudah cukup baik dilakukan tetapi perlu dilakukan sosialisasi berulang
kali terkhusus untuk jemaat di pedasaan agar PIP-RIPP dapat diterapkan oleh semua jemaat.44
43
Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus
2014. 44
Hasil wawancara dengan Vikaris Madlyne V. Aunalal, dengan mengunakan telepon seluler pada
tanggal 17 Februari 2015.
15
IV. Analisa Dasar Teologis PIP-RIPP
Dalam bagian ini, penulis akan menganalisa apakah dasar teologis Pola Induk
Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) sudah kontekstual
ataukah masih memerlukan perbaikan.
Sebagai acuan pokok gereja-gereja dalam sinode GPM, PIP-RIPP haruslah memiliki
dasar teologis yang kontekstual. Tujuan penyususnan PIP-RIPP adalah menjadi standar
perencanaan pelayanan bagi gereja-gereja di GPM agar lebih sistematis. Melalui PIP-RIPP,
gereja-gereja diarahkan dan dituntun dalam menjalankan tugas dan panggilan mereka bagi
jemaat.
Dasar teologis dari penyusunan PIP-RIPP adalah sebagai berikut :
a. Wawasan misioner dan kemuridan; yaitu carapandang gereja mengenai tugas pelayanan
sebagai bagian dari perwujudan panggilan Tuhan kepada gereja untuk bermisi di dalam dunia
[bdn. Mat 25:35-40; Luk 4:18,19; 1 Pet 2:9,10; Rm 12:6-8]. Dengan visi ini gereja berusaha
memenuhi tugasnya sebagai agen misio Dei untuk menghardikan tanda-tanda damai sejahtera
di tengah dunia, sambil meneladani Yesus, Tuhan dan kepala gereja [bdn. Ef 1:22,23;
2:11,12].
b. Wawasan profetik; yaitu cara pandang gereja mengenai tugasnya bukan hanya
membangun, tetapi juga mengaktakan kebenaran, keadilan, cinta kasih dalam relasi antar
manusia, manusia dengan Tuhan, gereja dengan pemerintah, dalam konteks keutuhan ciptaan
Allah [bdn. Kej 1:28-30; Yer 1:10; Rm 13:1-6]. Dengan visi profetik gereja selalu kritis,
positif, konstruktif dalam menjawab berbagai tantangan hidup dalam masyarakat, bangsa dan
negara, sebagai gereja Kristus yang hidup.
c. Wawasan keluarga Allah; yaitu carapandang gereja untuk berjalan dan bertumbuh bersama
dalam keutuhan tubuh Kristus, atau anggota keluarga Allah [bdn. Ef 2:19]. Dengan visi
keluarga Allah gereja mengembangkan usaha-usaha saling membantu, menolong, menopang,
memulihkan dan menanggung beban satu sama lain [bdn. KPR 2:41-47; 1 Kor 12:12-13;
16:1-4; Gal 5:2,3].
d. Wawasan oikumenis; yaitu carapandang gereja untuk membangun relasi dengan semua
manusia, alam ciptaan Tuhan, dengan badan gereja lain dalam persekutuan gereja yang am
dan rasuli, serta membangun relasi iman yang di dalamnya gereja dipanggil untuk bersukutu
di tengah dunia [bdn. Yoh 17:21; Gal 3:14].
16
e. Wawasan berkelanjutan; yaitu carapandang gereja untuk meningkatkan kualitas
pelayanannya, memelihara persekutuan jemaat, dan bersama-sama dengan jemaat memberi
jawaban terhadap berbagai perubahan yang dialaminya di dalam dunia. Di sinilah visi
eskatologis GPM, gereja melakukan seluruh tugas panggilannya dengan tetap memiliki
pengharapan yang kukuh akan rahasia penyertaan, tuntunan dan pemeliharaan Tuhan di
dalam hidupnya. Gereja tidak bekerja sendiri dan untuk hari ini tetapi bersama dan terus ke
masa depan sambil menanti kepenuhan janji dari Allah Bapa [bdn. Ef 1:23].45
Bila memperhatikan pemaparan dasar teologis PIP-RIPP dan hasil penelitian penulis
bersama beberapa narasumber, penulis menyimpulkan bahwa dasar teologis PIP-RIPP
sudahlah kontekstual. Berdasarkan wawancara dengan Pdt. Elifas dan Pdt. Daniel, mereka
mengatakan bahwa latar belakang penyusunan PIP-RIPP adalah karena permasalahan yang
terjadi dalam konteks jemaat GPM, diantaranya kemiskinan dan pelayanan lintas pulau yang
memerlukan perencanaan yang strategis. Penyusunan PIP-RIPP pun diharapkan mampu
menuntun gereja-gereja di GPM menjalankan tugas dan panggilan pelayanan dengan
memperhatikan konteks di mana GPM berada. Latar belakang penyusunan dasar teologis
PIP-RIPP sesuai dengan teori kontekstualisasi teologi yang diungkapkan Bevans, yakni
upaya memahami iman Kristen dipandang dari konteks tertentu. Dasar teologis PIP-RIPP
menunjukkan bahwa GPM menginginkan pelayanan yang berwajah kontekstual sehingga
dalam menjalankan tugas dan panggilan pelayanan, GPM turut memperhatikan wawasan
misioner, wawasan profetik, wawasan keluarga Allah, dan wawasan berkelanjutan. Setiap
wawasan menuntun gereja untuk tidak hanya berfokus pada Kitab Suci tetapi turut
memperhatikan konteks kehidupan jemaat, sosial politik, ekologi, dan konteks perkembangan
dunia yang terus berubah.
Untuk mewujudkan pelayanan yang kontekstual, pelayanan pun harus disesuaikan
dengan konteks pelayanan berada. John Titaley pun mengatakan bahwa kontekstualisasi
teologi adalah ketika manusia memahami kehidupan dengan kesadaran bahwa Tuhan ikut
terlibat dalam kehidupannya sehari-hari meliputi budaya dengan menyertakan Tuhan, Kitab
Suci, ilahi, politik, dan lain-lain. Pemahaman ini dapat dipersempit pada pengertian bahwa
kontekstualisasi adalah ketika gereja mampu menyadari keberadaannya sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.46
Dalam dasar teologis PIP-RIPP, GPM telah mencoba
45
Victor Untailawan ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010-2015,
5-6. 46
Titaley, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi, 191-193.
17
menyadari keberadaannya di Indonesia, terkhusus di Maluku. Sebagai bagian dari Indonesia,
dasar teologis PIP-RIPP turut memperhatikan wawasan profetik yang menyatakan kaitan
tugas gereja dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, yang
terpenting diperhatikan dalam pelayanan di jemaat GPM adalah pelayanan yang dilakukan
harus sesuai dengan kebutuhan dan konteks kehidupan jemaat di Maluku. Bila pelayanan
yang dilakukan sudah kontekstual dengan kehidupan masyarakat setempat maka disitulah
GPM berhasil melakukan kontekstualisasi teologi dengan masyarakat Maluku sebagai bagian
dari Indonesia.
Dari pemaparan ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dasar teologis PIP-
RIPP sudah kontekstual karena telah memperhatikan konteks-konteks yang berkaitan dan
mendukung pelaksanaan tugas dan panggilan pelayanan. Secara teoritis, dasar teologis GPM
memang sudah kontekstual, tetapi pelaksanaannya belum maksimal dilakukan, tercatat pada
tahun 2012, pencapaian penerapan PIP-RIPP baru 40%. Kurang maksimalnya penerapan PIP-
RIPP ini adalah karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada jemaat-jemaat di
pedesaan. Hingga saat ini penerapan PIP-RIPP dalam kehidupan bergereja dan berjemaat
masih terus diperbaiki guna mewujudkan pelayanan yang kontekstual dengan Maluku dan
Indonesia.
PIP-RIPP sebagai dasar acuan pelayanan bagi GPM, secara tidak langsung menjadi
misi yang harus dilakukan oleh GPM dalam menjalani tugas dan panggilan pelayanannya.
Sebagai suatu misi maka PIP-RIPP harus memperhatikan perkembangan dan perubahan yang
terjadi. Dasar teologis PIP-RIPP memang tidak akan berubah, tetapi proses penerapan PIP-
RIPP dalam misi GPM akan selalu diperbaharui seiring perkembangan yang terjadi.
18
V. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Pola Induk Pelayanan dan Rencana induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP)
adalah acuan pokok bagi GPM dalam menjalankan tugas dan panggilan pelayanannya. PIP-
RIPP lahir karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh GPM. Kehadiran PIP-RIPP sangat
membantu, menuntun, dan mengarahkan masing-masing gereja di GPM memulai pelayanan
yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan jemaat. Masing-masing gereja dalam lingkup
GPM tentu telah mengetahui isi dari PIP-RIPP. Dengan demikian, pelayanan yang dilakukan
mulai teracu pada dasar teologis PIP-RIPP.
Dasar teologis PIP-RIPP merupakan misi dari GPM yang adalah misio dei.Misio dei
tidak akan pernah berubah dan Misio dei tidak akan pernah berakhir. Karena misi itu akan
tetap berjalan terus dan akan tercapai ketika Tuhan Yesus datang ke dunia yang kedua
kalinya.
5.2 Saran
PIP-RIPP merupakan acuan pokok bagi GPM dalam menjalankan tugas dan panggilan
pelanyanannya. Sinode harus melakukan pelatihan sosialisasi berulang-ulang kali lagi.
Karena tidak semua jemaat-jemaat ditempat terpencil bisa terapkan secepat itu.
Misio dei tidak akan pernah berubah dan tidak pernah akan berakhir. Untuk mencapai
semuanya itu, gereja harus tetap setia dan tekun dalam menjalankan tugas dan panggilan
pelayanannya dengan baik sampai Tuhan Yesus datang ke dunia yang kedua kalinya.
19
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adeney. Bernard. Etika Sosial Lintas Budaya, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Arikunto. Prosedur Penelitian, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002.
Bosch, David. Transformasi misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Bevans, Stephen. Model-model Kontekstualisasi, Maumere: Ledalero, 2002.
______________ . Living Between Gospel and Context, Grand Rapids: Erdmans
Publishinh Company, 1997.
Darmaputera, Eka. Pancasila: Identitas dan Modernitas Tinjauan Etis dan Budaya,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
_____________. Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.
Elwood, Douglas. Teologi Kristen Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
_____________. Makna, Metode dan Model Kontekstualisasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1994.
Lornegan, A. A Study in Human Understandin, New York: Philosophical Library, 1957.
Maleong. Metode Penalitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya, 1989.
Sinaga, B Anicetus. Gereja dan Inkulturasi, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Singgih, Gerit. Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Schreiter, Robert. Rancangan Bangun Teologi Lokal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Tomatal, Y. Teologi Kontekstual Suatu Pengantar, Jawa Timur: Gandum Mas, 2007.
Lempas, Jeffrie A. A. dkk, ed. Format Rekonstruksi Kekristenan, Salatiga: Pustaka Sinar
Sinar Harapan dan Yayasan Bina Darma, 2006.
Untailawan Victor ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP (GPM) Tahap II Tahun
2010-2015, Ambon: Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, 2010.
Drewes B. F & Mojau, Julianus. Apa Itu Teologi? Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Nur Widi. M. Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Wahono, S. Wismoady. Pro-eksistensi Kumpulan Tulisan Untuk Mengacu Kehidupan
Bersama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
20
S. Sumardi Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998.
Theological Education Fund, Ministry in Contex: The Third Mandate Progamme of the TEF,
London: TEF, 1972.
Adams, Daniel J., Teologi Lintas Budaya, Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
End den van. Th. dan J.Weitjens, Ragi Cerita 2: sejarah gereja di Indonesia, Jakarta: Gunung
Mulia, 2011.
Sopater , Soelarso. Soelarso Sopater, “Tanggung Jawab Gereja-Gereja Di Indonesia
Memasuki Melenium Ketiga” dalam buku Wainata Sairin, Visi Gereja Memasuki
Melenium Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
JURNAL
Haire, James, THEOLOGICAL STUDIES.
Haevea, Jione, THEOLOGICAL STUDIES.
Tverdek, Edwart F. Analytic Theology as Contextual Theology.
Lois, Juan &E. Jacobsen,International Journal of Public Theology 6, 2012.
Voster, Nico. Journal of Reformed Theology 7, 2013.
Hesselgrave, David J.&EdwardRommen.Contextualization-Meanings-Metthods-Models,
USA: Apollos, 1990.