studi teologi kontekstual terhadap dasar teologi pola induk...

24

Upload: vuongduong

Post on 09-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi
Page 2: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi
Page 3: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi
Page 4: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

ABSTRAK

Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP)

tahun 2005-2015 merupakan acuan pokok bagi GPM dalam menjalankan tugas dan panggilan

pelayanannya. PIP-RIPP lahir dari berbagai tantangan yang dihadapi oleh GPM. PIP-RIPP

pun memiliki dasar teologis yang menjadi panduan untuk menjalankan PIP-RIPP dalam

kehidupan bergereja dan berjemaat. Kerena PIP-RIPP merupakan hal yang penting, maka

dasar teologis PIP-RIPP harus diteliti. Fokus penelitian ini dibatasi pada aspek tologi

kontekstual dari dasar teologis PIP-RIPP GPM tahun 2005-2015, khususnya teologi tentang

misi gereja. Penelitian ini akan berfokus pada apakah dasar teologis dari PIP-RIPP sudah

kontekstual atau belum.

Dari data yang telah diperoleh, secara keseluruhan gereja-gereja di Maluku sudah

mengetahui PIP-RIPP. Dasar teologis PIP-RIPP pun pada hakekatnya sudah kontekstual

karena dasar teologis PIP-RIPP telah berusaha memberikan jembatan untuk terwujudnya

kontekstualisasi teologi. Dasar teologis PIP-RIPP tidak hanya berbicara mengenai Kitab Suci

tetapi telah berusaha mengaitkan Kitab Suci dengan konteks kehidupan berjemaat,

bermasyarakat bahkan bernegara.

Kata kunci: PIP-RIPP, Kontekstualisasi, GPM

Page 5: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

1

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Definisi kontekstualisasi teologi menurut John Titaley ialah manusia memahami

kehidupan dengan kesadaran bahwa Tuhan ikut terlibat dalam kehidupannya sehari-hari

meliputi budaya dengan menyertakan Tuhan, kitab suci, ilahi, politik dan lain-lain. Dalam

tulisan ini pengertian kontekstualisasi akan dipersempit, seperti yang dirumuskan oleh Titaley

bahwa kontekstualisasi adalah ketika gereja mampu menyadari keberadaannya sebagai

bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.1

Menurut Stephan Bevans, kontekstualisasi teologi adalah upaya untuk memahami

Iman Kristen dipandang dari segi suatu konteks tertentu.2 Apa yang membuat teologi itu

kontekstual ialah pengakuan teologi itu akan sumber teologi selain teks kitab suci dan tradisi

yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi yang berwajah kontekstual menyadari

bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer, dan lain-lain harus

diindahkan bersama dengan kitab suci dan tradisi sebagai sumber-sumber yang sah untuk

ungkapan teologis.3 Bevans juga mengungkapkan faktor-faktor terjadinya kontekstualisasi

teologi. Ia menguraikannya atas dua bagian yakni faktor internal dan eksternal. Faktor

internal, yaitu faktor yang didorong maju oleh kekuatan-kekuatan sejarah dan pergerakan

zaman. Faktor ini terdiri dari ciri inkarnatif agama Kristen, ciri sakramental dan realitas

dimana doktrin inkarnasi memaklumkan bahwa Allah diwahyukan bukan terutama dalam

gagasan-gagasan, melainkan dalam realitas nyata. Faktor internal yang terakhir ialah suatu

pergeseran dalam pemahaman tentang hakikat pewahyuan ilahi. Faktor eksternal yang

diuraikan atas empat, yaitu pertama, suatu ketidak puasan umum, baik di dunia pertama

maupaun di dunia ketiga menyangkut pendekatan-pendekatan klasik dimana hanya terpaku

pada firman tanpa melihat pengalaman manusia. Kedua, teologi tradisional yang

mengabaikan teologi-teologi lain salah satunya teologi hitam. Faktor yang ke tiga dan

keempat, bertumbuhnya jati diri gereja-gereja lokal dan pemahan tentang kebudayaan yang

disediakan oleh ilmu-ilmu kontemporer.4

1 John Titaley, “Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi”, dalam Jeffrie A. A. Lempas, dkk, Format

Rekonstruksi Kekiristenan,(Salatiga: Yayasan Bina Darma, 2006), 191-193. 2 Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), 1.

3Bevans, Model-model Teologi Kontekstual., 2.

4Bevans, Model-model Teologi Kontekstual., 13-25.

Page 6: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

2

Gereja Protestan Maluku (GPM) memiliki program-program yang bertujuan untuk

pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan. Terbentuknya PIP-RIPP berangkat dari

Renstra (Rancangan Pengembangan Pelayanan Tingkat Klasis). Sedangkan PIP-RIPP itu

sendiri merupakan rancangan pengembangan pelayanan tingkat sinodal. Pada periode

sebelumnya, biasanya sidang sinode dilaksanakan terlebih dahulu baru sidang klasis dan

kemudian sidang jemaat. Tetapi sekarang sudah berubah dan memakai sistem desentralisasi.

Jadi, pelaksanaannya dimulai dari sidang jemaat, sidang klasis, dan selanjutnya sidang

sinode. Jika pelaksanaan sidang sinode didahulukan berarti klasis dan jemaat hanya

mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh sinode. Tetapi kalau pelaksanaannya dimulai dari

sidang jemaat, berarti kebutuhan jemaat dan klasis itu semua ditampung di sidang sinode.

Sejak ditetapkan dalam TAP Sinode No. tahun 2005, PIP-RIPP GPM dilaksanakan dalam dua

tahapan, yaitu Tahap I dalam kurun waktu tahun 2005-2010, sebagai tahap sosialisai,

perencanaan, dan pelaksanaan. Tahap II dalam kurun waktu tahun 2010-2015, sebagai tahap

pemantapan, pengembangan dan kemandirian.5

PIP-RIPP 2005-2015 memiliki dasar teologi dan wawasan eklesiologi, yakni:

a. Wawasan misioner dan kemuridan; yaitu cara pandang gereja mengenai tugas pelayanan

sebagai bagian dari perwujudan panggilan Tuhan kepada gereja untuk bermisi di dalam dunia

[bdn. Mat 25:35-40; Luk 4:18,19; 1 Pet 2:9,10; Rm 12:6-8]. Dengan visi ini gereja berusaha

memenuhi tugasnya sebagai agen misio Dei untuk menghadirkan tanda-tanda damai sejahtera

di tengah dunia, sambil meneladani Yesus, Tuhan dan kepala gereja [bdn. Ef 1:22,23;

2:11,12].

b. Wawasan profetik; yaitu cara pandang gereja mengenai tugasnya bukan hanya

membangun, tetapi juga mengaktakan kebenaran, keadilan, cintah kasih dalam relasi antar

manusia, manusia dengan Tuhan, gereja dengan pemerintah, dalam konteks keutuhan ciptaan

Allah [bdn. Kej 1:28-30; Yer 1:10; Rm 13:1-6]. Dengan visi profetik gereja selalu kritis,

positif, konstruktif dalam menjawab berbagai tantangan hidup dalam masyarakat, bangsa dan

negara, sebagai gereja Kristus yang hidup.

c. Wawasan keluarga Allah; yaitu cara pandang gereja untuk berjalan dan bertumbuh

bersama dalam keutuhan tubuh Kristus, atau anggota keluarga Allah [bdn. Ef 2:19]. Dengan

visi keluarga Allah gereja mengembangkan usaha-usaha saling membantu, menolong,

5Victor Untailawan ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010-2015,

(Ambon : Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, 2010) , 1.

Page 7: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

3

menopang, memulihkan dan menanggung beban satu sama lain [bdn. KPR 2:41-47; 1 Kor

12:12-13; 16:1-4; Gal 5:2,3].

d. Wawasan oikumenis; yaitu cara pandang gereja untuk membangun relasi dengan semua

manusia, alam ciptaan Tuhan, dengan badan gereja lain dalam persekutuan gereja yang am

dan rasuli, serta membangun relasi iman yang di dalamnya gereja dipanggil untuk bersukutu

di tengah dunia [bdn. Yoh 17:21; Gal 3:14].

e. Wawasan berkelanjutan; yaitu cara pandang gereja untuk meningkatkan kualitas

pelayanannya, memelihara persekutuan jemaat, dan bersama-sama dengan jemaat memberi

jawaban terhadap berbagai perubahan yang dialaminya di dalam dunia. Di sinilah visi

eskatologis GPM, gereja melakukan seluruh tugas panggilannya dengan tetap memiliki

pengharapan yang kukuh akan rahasia penyertaan, tuntunan dan pemeliharaan Tuhan di

dalam hidupnya. Gereja tidak bekerja sendiri dan untuk hari ini tetapi bersama dan terus ke

masa depan sambil menanti kepenuhan janji dari Allah Bapa [bdn. Ef 1:23].6

Oleh karena PIP-RIPP merupakan sarana tercapainya visi misi GPM, maka sudah

seharusnya PIP-RIPP tersebut harus menyadari keberadaaanya yang menunjukan

eksistensinya secara teologis yang kontekstual di Maluku.

1.2 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus penelitian dibatasi pada aspek teologi

kontekstual dari dasar teologi pola induk pelayanan dan rencana induk pengembangan

pelayanan (PIP-RIPP) GPM tahun 2005-2015, khususnya teologi tentang misi gereja.

1.3 Perumusan Masalah

Adapun masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

Apakah dasar teologis dari pola induk pelayanan dan rencana induk pengembangan

pelayanan (PIP-RIPP) sudah kontekstual?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan dasar teologis pola induk pelayanan dan rencana induk pengembangan

pelayanan (PIP-RIPP).

6Victor Untailawan ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010-2015.,

5-6.

Page 8: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

4

2. Mengkaji dasar teologis pola induk pelayanan dan rencana induk pengembangan

pelayanan (PIP-RIPP) tersebut dari prespektif teologi kontekstual.

1.5Manfaat Penelitian

Secara Teoritis:

Memberikan sumbangan pemikiran kepada Sinode GPM pada umumnya dan anggota GPM pada

khususnya untuk menyadari keberadaan dirinya di Maluku.

Secara Praktis:

Agar orang Kristen dapat menyadari fenomena kontekstualisasi dalam konteks bergereja.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode

penelitian deskriptif yakni suatu metode yang digunakan dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu

peristiwa masa sekarang.7 Dengan menggunakan metode ini, penulis akan

mendeskripsikan hasil studi kontekstual yang dipaparkan oleh beberapa tokoh.

Kemudian, penulis akan menggunakan penelitian kualitatif guna menunjang data-data

yang diperlukan. Beberapa teknik pengumpulan data kualitatif yang akan penulis

lakukan adalah sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara bertujuan untuk mendapatkan keterangan yang lebih mendalam

tentang obyek yang diteliti. Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara

terstruktur, yaitu wawancara yang terarah dan terstruktur untuk mengumpulkan

data-data yang relevan sebagaimana sesuai dengan tujuan penulisan. Ruang

lingkup penelitian adalah Sinode GPM. Wawancara akan penulis lakukan kepada

4 orang pemimpin di Sinode GPM sebagai narasumber.

b. Studi Pustaka

Melalui studi kepustakaan diharapkan akan memperoleh data yang sesuai dengan

topik penulisan ini. Selain itu, studi pustaka juga bermanfaat guna menambah

wawasan dalam menyusun analisa penulisan.

c. Teknik Analisa Data

7Sumardi, S. Metodologi Penelitian. (Jakarta: PT Raja Grafindo. 1998), 18.

Page 9: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

5

Data hasil penelitian akan dikelompokan sesuai dengan tujuan penilitian sehingga

data yang telah dikumpulkan dapat menjawab tujuan penilitian.

1.7 Sistematika Penulisan

Tulisan ini terdiri dari bagian I yakni pendahuluan yang berisi tentang uraian latar belakang

dari penulisan ini, batasan masalah, rumusahan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Setelah itu, bagian II yakni landasan teori tologi kontektual tentang misiologi.

Bagian III berisi pembahasan mengenai dasar teologis PIP-RIPP GPM tahun 2005-

2015.

Bagian IV akan membahas studi teologi kontekstual terhadap dasar teologi pola induk

pelayanan dan rencana induk pengembangan pelayanan (PIP-RIPP) GPM tahun 2005-2015.

Bagian terakhir adalah bagian V yakni penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

saran.

Page 10: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

6

II. Landasan Teori Teologi Kontekstual

Di bagian ini saya akan menjabarkan tentang teori-teori yang berkaitan denganPola

Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) dan

kontekstualisasi teologi.

Menurut Pdt. Elifas Maspaitella PIP-RIPP adalah sebagai acuan pokok agar

perencanaan gereja menjadi sistimatis dan harus ditangani secara bersama-sama.8 Untuk

melihat kontekstualisasi atau tidaknya PIP-RIPP tersebut maka harus dipahami terlebih

dahulu pengertian kontekstual macam apa yang dipakai dan dibahas di sini.

Kontekstualisasi teologi menurut John Titaley terjadi ketika manusia memahami

kehidupan dengan kesadaran bahwa Tuhan ikut terlibat dalam kehidupannya sehari-hari

meliputi budaya dengan menyertakan Tuhan, kitab suci, ilahi, politik dan lain-lain. Dalam

tulisan ini pengertian kontekstualisasi akan dipersempit, seperti yang dirumuskan oleh Titaley

bahwa kontekstualisasi adalah ketika gereja mampu menyadari keberadaannya sebagai

bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.9

Menurut Stephan Bevans, kontekstualisasi teologi adalah upaya untuk memahami

Iman Kristen dipandang dari segi suatu konteks tertentu.10

Apa yang membuat teologi itu

kontekstual ialah pengakuan teologi itu akan sumber teologi selain teks kitab suci dan tradisi

yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi yang berwajah kontekstual menyadari

bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer, dan lain-lain harus

diindahkan bersama dengan kitab suci dan tradisi sebagai sumber-sumber yang sah untuk

ungkapan teologis.11

Bevans juga mengungkapkan faktor-faktor terjadinya kontekstualisasi

teologi. Ia menguraikannya atas dua bagian yakni faktor internal dan eksternal. Faktor

internal, yaitu faktor yang didorong maju oleh kekuatan-kekuatan sejarah dan pergerakan

zaman. Faktor ini terdiri dari ciri inkarnatif agama Kristen, ciri sakramental dan realitas

dimana doktrin inkarnasi memaklumkan bahwa Allah diwahyukan bukan terutama dalam

gagasan-gagasan, melainkan dalam realitas nyata. Faktor internal yang terakhir ialah suatu

pergeseran dalam pemahaman tentang hakikat pewahyuan ilahi. Faktor eksternal yang

diuraikan atas empat, yaitu pertama, suatu ketidak puasan umum, baik di dunia pertama

8 Hasil wawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella di kantor Sinode Ambon 28 Agustus 2014, Pukul

12:30 WIT. 9John Titaley, “Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi”, dalam Jeffrie A. A. Lempas, dkk, Format

Rekonstruksi Kekiristenan,(Salatiga: Yayasan Bina Darma, 2006), 191-193. 10

Bevans, Model-model Teologi Kontekstual.,1. 11

Bevans, Model-model Teologi Kontekstual., 2.

Page 11: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

7

maupaun di dunia ketiga menyangkut pendekatan-pendekatan klasik dimana hanya terpaku

pada firman tanpa melihat pengalaman manusia. Kedua, teologi tradisional yang

mengabaikan teologi-teologi lain salah satunya teologi hitam. Faktor yang ke tiga dan

keempat, bertumbuhnya jatidiri gereja-gereja lokal dan pemahan tentang kebudayaan yang

disediakan oleh ilmu-ilmu kontemporer.12

Kontekstualisasi, sebagaimana didefenisikan oleh Komite Dana Pendidikan Teologi

(Theological Education Fund, TEF, kini diubah menjadi Program Untuk Pendidikan Teologi,

Programme of Theological Education), ialah “kemampuan memberikan tanggapan yang

bermakna terhadap injil dalam kerangka situasinya sendiri”.13

Bagi Douglas J. Elwood kontekstualisasi adalah konsep yang dinamis, dengan fokus

bukan hanya pada aspek-aspek sosial suatu lingkungan tertentu, tetapi meliputi juga aspek-

aspek ekonomi, politik dan ekologi.14

Douglas J. Elwood percaya, kontektualisasi-

kontekstualisasi adalah kebutuhan misiologis. Tetapi apakah itu juga kebutuhan teologis?

Mengontekstualisasikan teologi berarti memandang konteks lokal konkret dengan serius. Ia

berakar pada situasi konret dan khusus tertentu. Apakah dengan demikian terselip bahaya ia

bisa kehilangan keamanan Injil? untuk ini ada pula sebuah pertanyaan bandingannya: Apakah

memang adalah teologi yang tidak in loco dan dengan demikian in uacua?- suatu theologia

sub specie aeternitas, laksana sebuah teologi untuk utapia? Namun demikian perhatian

terhadap keamanan Injil adalah suatu yang sahih, dengan mana pengontekstualisasian teologi

sangatlah berkepentingan. Dan kontekstualisasi, Douglas percaya adalah jalan yang ontetik

ke arah keamanan.15

Apakah sebenarnya “teologi kontekstual” itu? Bagi Eka Darmaputera, ia bukan hanya

merupakan salah satu dari sekian banyak merek teologi yang pernah diperkenalkan orang.

bagi Eka, “teologi kontekstual” adalah “teologi” itu sendiri. Artinya, teologi hanya dapat

disebut sebagai teologi apabila benar-benar kontekstual. Mengapa demikian? Oleh karena

pada hakekatnya teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan

secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara “teks” dengan “konteks”; antara “kerygma”

yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Secara lebih sederhana dapat

12

Bevans, Model-model Teologi Kontekstual., 13-25. 13

Theological Education Fund, Ministry in Context: The Third Mandate Progamme of the TEF, 1970-

77 (London: TEF, 1972), 19. 14

Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia , (Jakarta: Gunung mulia, 2006), xxvii. 15

Elwood, Teologi Kristen Asia., 17.

Page 12: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

8

dikatakan, bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada

konteks ruang dan waktu yang tertentu.16

Menurut Daniel J. Adams sebagai akibat dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam

teologi pribumi, kecendurungan yang ada di Asia sekarang ini adalah kearah teologi

kontekstual. Seperti teologi pribumi, teologi kontekstual juga melihat kebudayaan sebagai

konteks dimana teologi dikembangkan dan diterapkan, membicarakan masalah-masalah

dalam konteksnya dan berupaya berteologi atas dasar filsafat dan budaya konteks tersebut.

Akan tetapi teologi kontekstual juga berusaha mencapai kedalaman teologis yang mampu

bersikap kritis terhadap kebudayaan. Sebagai satu metodelogi, teologi kontekstual tidak

langsung menolak segala sesuatu yang bersifat barat dan juga tidak mangasingkan dirinya

dari gereja sedunia, namun berusaha menjauhi perangkap-perangkap pembaratan yang

berlebihan. Teologi kontekstual berusaha untuk menyediakan metode yang lebih baik dari

keterpencilan teologi pribumi atau pembaratan melalui pendekatan penginjilan tradisional.17

Menurut Robert J. Schreiter model-model kontekstual, seperti yang disiratkan oleh

namanya, lebih langsung berkonsentrasi pada konteks budaya tempat Kekristenan berakar

dan diungkapkan. Sementara model-model adaptasi terus menekankan pada iman yang

diterima, model-model kontekstual mulai dengan refleksinya dengan konteks budaya. Model-

model kontekstual semakin dilihat sebagai model-model yang memuat gambaran ideal

tentang apakah teologi lokal itu, meskipun pada prakteknya pengembangan gambaran-

gambaran ideal itu sering ternyata sulit. 18

Menurut Emanuel Gerrit Singgih dalam kontekstualisasi, orang memang berhadapan

dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisinal disatu pihak, tetapi di pihak lain

bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan-perubahan nilai,

khususnya sehubungan dengan martabat manusia. Kontekstualisasi di kalangan Protestan

kadang-kadang dikacaukan juga dengan pemahaman atau penafsiran Alkitab secara

kontekstual. Kedua-duanya berbicara mengenai konteks. Tetapi kontekstualisasi berbicara

mengenai konteks kebudayaan setempat, sedangkan pemahaman Alkitab secara kontekstual

itu berbicara mengenai konteks perikop, kitab/ surat dan bahkan kanon Alkitab. 19

16

Eka Darmaputera, Ph. D., “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam J.B. Banawiratma,

ddk, Konteks Berteologi Di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 9. 17

Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 57. 18

Robert J. Schreiter,c. PP. S., Rencana Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 23. 19

Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D.,Berteologi Dalam Konteks, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 18.

Page 13: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

9

James Haire berbicara tentang inkulturasi teologis di kepualuan Maluku, mengatakan

bahwa kontekstualisasi teologis bukan berarti menyesuaikan segala elemen dari tradisi

lokal.20

Jione Havea mengatakan bahwa teolog adalah orang-orang yang dipanggil untuk

menantang dan mengkritik asal-muasal budaya mereka ketika pada akhirnya budaya tersebut

tidak sesuai dengan nilai-nilai di dalam Alkitab.21

Edward F. Tverdek mengatakan bahwa kontekstualisasi berarti menemukan

keberadaan Tuhan yang berbicara melalui dialek-dialek dan peribahasa-peribahasa lokal.22

Juan Louis Segundo isi dari teologi adalah tradisi kekristenan pada satu sisi dan tradisi

dari tempat dimana para teolog itu tinggal. Jadi ada percampuran antara tradisi kekristenan

dan tradisi lokal.23

Nico Vorster mengatakan teologi sudah pasti kontekstual. Setiap teolog generasi baru

harus menambahkan implikasi pada pesan-pesan dari Alkitab untuk menjawab realita dan

problematika pada masanya (masa tertentu). 24

David J. Hesselgrave dan Edward Rommen mengatakan bahwa sejak masa Perjanjian

Lama hingga Perjanjian Baru pertemuan interkultural telah terjadi. Hal itu harus dilakukan

demi terjadinya harmonisasi dalam kehidupan.25

20

James Haire,THEOLOGICAL STUDIES, 749. 21

Havea,THEOLOGICAL STUDIES, 749. 22

Edward F. Tverdek, Judul Jurnal Analytic Theology as Contextual Theology,197. 23

Juan Louis, E. Jacobsen / International Journal of Public Theology 6 (2012) 7–22, 18. 24

Nico Voster, Journal of Reformed Theology 7 (2013)257-266, 259. 25

David J. Hesselgrave dan Edward Rommen , Contextualization-Meanings-Metthods-Models,(USA:

Apollos, 1990), 7.

Page 14: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

10

III. Pembahasan Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan

(PIP-RIPP) GPM

3.1. Latar Belakang GPM

Gereja Protestan Maluku, yaitu suatu gereja Indonesia yang berdiri sendiri. Yang

memungkinkan perkembangan itu ialah perubahan lahir dan batin yang telah berlangsung

pada abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20. Pada tahun 1935, usaha yang telah dirintis

oleh Joseph Kam dan dilanjutkan oleh banyak orang Maluku dan Belanda itu akhirnya

sampai ke tujuan, meskipun hasil yang diperoleh pada waktu itu pun tidak bisa tidak bersifat

sementara. Di tengah pergolakan masa Jepang dan zaman kemerdekaan perkembangan ke

arah gereja yang dalam hal organisasi dan pola hidupnya berbeda dari dunia sekitarnya itu

berjalan terus.

Dalam sejarah GPM, masa 1945-1960 dapat dianggap sebagai masa peralihan. Pada tahun

1948, pendeta-ketua yang terakhir, dr J. E. Chr. Geissler, meyerahkan wewenangnya kepada

BPH Sinode GPM. Dengan demikian berakhirlah pengaruh Pengurus GPI dalam kehidupan

di Maluku, dan kepemimpinan dalam gereja tidak lagi bersifat perorangan. Pada tahun 1954,

GPM membentuk “Bagian Pekabaran Injil” dalam struktur organisasi di tingkat Badan

Pekerja Sinode. “ Pesan Tobat”, yang dikeluarkan oleh Sinode GPM tahun 1960, merupakan

titik balik dari sejarah GPM. Seruan itu, yang dicetuskan oleh Pdt. Th. P. Pattiasina, hampir-

hampir berfungsi sebagai suatu pengakuan iman. Di dalamnya para peserta sinode, yang

sebelumnya masih terlibat dalam perdebatan seru antar anggota pendeta dan yang bukan

pendeta, mengaku kelemahan dan kegagalan GPM dalam menghadapi tantangan zaman, serta

menyatakan bahwa diperlukan pembaruan gereja, yang hanya dapat berlaku oleh Firman

Allah dan Roh Kudus.26

3.2. Lahirnya PIP-RIPP

Terbentuknya PIP-RIPP berangkat dari Renstra (Rancangan Pengembangan Pelayanan

Tingkat Klasis). Sedangkan PIP-RIPP itu sendiri merupakan rancangan pengembangan

pelayanan tingkat sinodal. Pada periode sebelumnya, biasanya sidang sinode dilaksanakan

terlebih dahulu baru sidang klasis dan kemudian sidang jemaat. Tetapi sekarang sudah

berubah dan memakai sistem desentralisasi. Jadi, pelaksanaannya dimulai dari sidang jemaat,

26

Van den End, Th. dan Weitjens, J, Ragi Cerita 2 : sejarah gereja di Indonesia, (Jakarta:Gunung

Mulia, 2011), 78-80.

Page 15: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

11

sidang klasis, dan selanjutnya sidang sinode. Jika pelaksanaan sidang sinode didahulukan

berarti klasis dan jemaat hanya mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh sinode. Tetapi

kalau pelaksanaannya dimulai dari sidang jemaat, berarti kebutuhan jemaat dan klasis itu

semua ditampung di sidang sinode. Sejak ditetapkan dalam TAP Sinode No. Tahun 2005,

PIP-RIPP GPM dilaksanakan dalam dua tahapan, yaitu Tahap I dalam kurun waktu Tahun

2005-2010, sebagai tahap sosialisai, perencanaan, dan pelaksanaan. Tahap II dalam kurun

waktu Tahun 2010-2015, sebagai tahap pemantapan, pengembangan dan kemandirian.

Dengan adanya PIP-RIPP semua kebutuhan jemaat dapat terjawab dan juga perencanaan

gereja jadi sistematis.27

3.3. Hasil Pelaksanaan PIP-RIPP

Saat saya melakukan penelitan, saya berhasil mewancarai 3 Pendeta dan 1 orang

Vikaris. Dari ketiga pendeta yang saya mewancarai, menurut Pdt. Elifas M yang merupakan

salah satu penulis PIP-RIPP ini, mengatakan secara umum bahwa PIP-RIPP sebagai acuan

pokok bagi Gereja Protestan Maluku (GMP) dalam menjalan tugas pelayanannya di jemaat.

Pdt. Elifas juga mengatakan bahwa PIP-RIPP mulai dipakai pada Tahun 1983.28

Sedangkan

hasil wawancara saya dengan Pdt. Daniel Wattimanela mengatakan bahwa PIP-RIPP dipakai

tahun 1960.29

Karena pada saat itu tidak semua orang menjalankan tugas dengan baik. Pdt.

Elifas juga mengatakan bahwa sejak ditetapkan dalam TAP Sinode No. Tahun 2005, PIP-

RIPP GPM dilaksanakan dalam dua tahapan, yaitu Tahap I dalam kurun waktu Tahun 2005-

2010 lebih kepada pisbliding dan Tahap II dalam kurun waktu Tahun 2010-2015 lebih

memperhatikan kebutuhan jemaat.

Menurutnya Pdt. Elifas teologi, bahwa gereja harus berjalan bersama sebagai gereja dan

perubahan jemaat harus dirasakan bersama, dan perubahan dimasyarakat juga perubahan dari

gereja dan harus mengubah dunia.30

Apa yang dikatakan oleh Pdt. Elifas berbeda dengan Pdt.

Daniel, menurutnya dasar dari teologis tentang misi dari PIP-RIPP itu sendiri adalah proses

27

Victor Untailawan ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010-2015,

1. 28

Hasil wawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014. 29

Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantorKlasis Ambon Timur pada tanggal

3September 2014. 30

Hasil wawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014.

Page 16: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

12

berjalan bersama secara konsisten dan serius. Sama halnya dengan tubuh Kristus harus

melangkah bersama dan PIP-RIPP menyadari dirinya dari bagian sebagai tubuh Kristus.31

Ketika rumusan itu diterapkan menurut Pdt. Elifas geraja dapat melakukan panggilannya

yaitu gereja dapat memecahkan problema-problema yang ada di jemaat. Yang dapat

menjawab itu bisa dilihat pada evaluasi dan itu dilakukan setiap 5 tahun sekali. Di mana

GPM melihat mereka sudah melakukan panggilannya. Yang mendorong tersusunnya

rumusan itu karna masalah umum yang dihadapi oleh jemaat GPM yaitu kemiskinan,

pendidikan dan antar agama.32

Berbeda dengan Pdt. Daniel menurutnya yang mendorong

tersusunya rumusan ini yang pertama, karena pelayanan lintas pulau sehingga diperlukan

konsep dasar. Yang kedua, agar perencanaan yang lebih statergis dalam pelaksanaan

pelayanan. Dan yang ketiga, fokus program-program yang statergis yang memnentukan masa

depan.33

Pdt. Elifas dan Pdt. Daniel mengatakan bahwa rumasan ini sangat membantu dan

menolong gereja untuk melaksanakan Implementasi.

Ketika saya kembali bertanya kepeda Pdt. Elifas apakah rumusan ini sudah ada

pelaksanaannya dalam bergereja? Beliau mengatakan sudah ada pelaksanaannya pada tahun

2012 dan sudah 40% yang sudah melaksanakan dan tinggal beberapa jemaat saja yang belum

melakukankan.34

Pertanyaan ini juga yang saya tanyakan kepada Pdt. Daniel. Beliau

mengatakan bahwa rumusan ini sudah ada pelaksanaannya dalam bergeraja pada tahun 2010-

2015 dan akan dilihat pada saat evaluasi dan menurutnya sangat sulit untuk melaksanakan

semuanya.35

Dalam pembentukan rumusan ini ternyata memperhatikan konteks tertentu, khususnya di

Indonesia dan di dunia dan itu bisa dilihat dimisi yang dikatakan oleh Pdt. Elifas. Beliau juga

mengatakan pembentukan rumusan ini hanya disepakati oleh beberapa orang saja (oleh

gereja) karena rumusan ini adalah dokumen grejawi.36

Ketika saya melakukan wawancara

31

Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal

3September 2014. 32

Hasil wawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014. 33

Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal 3

September 2014. 34

Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014. 35

Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal

3September 2014. 36

Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014.

Page 17: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

13

dengan Pdt. Daniel beliau mengatakan semua diputuskan dalam sidang Sinode, diputuskan

oleh semua dan juga ada usul-usulan dari Klasis.37

Sampai sekarang pengaplikasian rumusan ini tetap berjalan dengan baik dalam pelayanan

di Maluku karena dilakukannya evaluasi tetapi dari hasil evaluasinya ada juga kelemahan

pada tingkat pelayanan yang harus dikembangkan. Unsur-unsur yang dapat mendorong

berjalannya rumusan ini di Maluku menurut Pdt. Elifas yang pertama, partisipasi jemaat,

yang kedua sistim pelayanan dan kelembagaan gereja dan yang ketiga ajaran gereja.38

Sedangkan menurut Pdt. Daniel yang mendorong berjalannya rumusan ini di Maluku yang

pertama kesiapan jemaat, komitmen, pengawasan dan yang kedua evaluasi dilakukan secara

berjenjang.39

Wujud pencapaian visi misi dari GPM menurut Pdt. Elifas yang merupakan salah satu

Penulis PIP-RIPP beliau mengatakan pencapaiannya dilihat pada tahun 2015 di mana akan

dilakukan evaluasi dan baru diketahui beberapa puluh persen yang tercapai.40

Menurut Pdt.

Febiola yang pada saat itu sedang berada di dalam ruangan Pdt. Elifas saat saya melakukan

wawancara dan beliau juga yang bekerja di bagian evaluasi sehingga ketika saya melakukan

wawancara beliau tidak dapat menjelaskan secara detail tentang PIP-RIPP seperti yang telah

dijelaskan oleh Pdt. Elifas dan Pdt. Daniel yang merupakan penulis PIP-RIPP. Pdt. Febiola

mengatakan sudah ada evaluasi yang dilakukan secara bertahap mengenai pencapaian PIP-

RIPP, kalau dilihat dari implementasi. Beliau juga mengatakan bahwa pelaksanaan PIP-RIPP

pertahun sudah tercapai, tetapi kalau 5 tahun belum tercapai karena Tahun 2015 baru akan

dievaluasi.41

Sedangkan menurut Pdt. Daniel, pelaksaan PIP-RIPP tidak akan maksimal

tercapai menjadi gereja yang misioner karena perjalanan misi tidak pernah akan selesai.42

Menurut Pdt. Elifs, PIP-RIPP dirumuskan berdasarkan konteks bergereja dan berjemaat di

GPM yang juga merupakan bagian dari gereja di Indonesia. Bila memperhatikan konteks

bergereja maka tentu akan ditemui perbedaan-perbedaan dalam berjemaat. Oleh karena itu,

37

Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal

3September 2014. 38

Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014. 39

Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal

3September 2014. 40

Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014. 41

Hasil wawancara dengan Pdt. Febiola. Songuptuan, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014. 42

Hasil wawancara dengan Pdt. Daniel. Wattimanela, di kantor Klasis Ambon Timur pada tanggal

3September 2014.

Page 18: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

14

dengan adanya rumusan ini dapat membantu GPM dalam menjalankan tugas panggilannya

sesuai dengan kebutuhan bergereja dan berjemaat.43

Rumusan PIP-RIPP ini selalu mengalami

perubahan karena dievaluasi setiap tahun dan akan ada rumusan baru setiap 5 tahun sekali.

Setelah saya melakukan wawancara dengan Pdt. Elifas dan Pdt. Daniel dan juga Pdt.

Febiola mereka mengatakan rumusan ini selalu mengalami perubahan kerena dievaluasi

pertahun tetapi disusun baru 5 tahun.

Menurut salah seorang vikaris yang turut menerapkan PIP-RIPP, ia mengatakan bahwa

penerapan PIP-RIPP sudah cukup baik dilakukan tetapi perlu dilakukan sosialisasi berulang

kali terkhusus untuk jemaat di pedasaan agar PIP-RIPP dapat diterapkan oleh semua jemaat.44

43

Hasilwawancara dengan Pdt. Elifas. Maspaitella, di kantor Sinode Ambon pada tanggal 28 Agustus

2014. 44

Hasil wawancara dengan Vikaris Madlyne V. Aunalal, dengan mengunakan telepon seluler pada

tanggal 17 Februari 2015.

Page 19: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

15

IV. Analisa Dasar Teologis PIP-RIPP

Dalam bagian ini, penulis akan menganalisa apakah dasar teologis Pola Induk

Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) sudah kontekstual

ataukah masih memerlukan perbaikan.

Sebagai acuan pokok gereja-gereja dalam sinode GPM, PIP-RIPP haruslah memiliki

dasar teologis yang kontekstual. Tujuan penyususnan PIP-RIPP adalah menjadi standar

perencanaan pelayanan bagi gereja-gereja di GPM agar lebih sistematis. Melalui PIP-RIPP,

gereja-gereja diarahkan dan dituntun dalam menjalankan tugas dan panggilan mereka bagi

jemaat.

Dasar teologis dari penyusunan PIP-RIPP adalah sebagai berikut :

a. Wawasan misioner dan kemuridan; yaitu carapandang gereja mengenai tugas pelayanan

sebagai bagian dari perwujudan panggilan Tuhan kepada gereja untuk bermisi di dalam dunia

[bdn. Mat 25:35-40; Luk 4:18,19; 1 Pet 2:9,10; Rm 12:6-8]. Dengan visi ini gereja berusaha

memenuhi tugasnya sebagai agen misio Dei untuk menghardikan tanda-tanda damai sejahtera

di tengah dunia, sambil meneladani Yesus, Tuhan dan kepala gereja [bdn. Ef 1:22,23;

2:11,12].

b. Wawasan profetik; yaitu cara pandang gereja mengenai tugasnya bukan hanya

membangun, tetapi juga mengaktakan kebenaran, keadilan, cinta kasih dalam relasi antar

manusia, manusia dengan Tuhan, gereja dengan pemerintah, dalam konteks keutuhan ciptaan

Allah [bdn. Kej 1:28-30; Yer 1:10; Rm 13:1-6]. Dengan visi profetik gereja selalu kritis,

positif, konstruktif dalam menjawab berbagai tantangan hidup dalam masyarakat, bangsa dan

negara, sebagai gereja Kristus yang hidup.

c. Wawasan keluarga Allah; yaitu carapandang gereja untuk berjalan dan bertumbuh bersama

dalam keutuhan tubuh Kristus, atau anggota keluarga Allah [bdn. Ef 2:19]. Dengan visi

keluarga Allah gereja mengembangkan usaha-usaha saling membantu, menolong, menopang,

memulihkan dan menanggung beban satu sama lain [bdn. KPR 2:41-47; 1 Kor 12:12-13;

16:1-4; Gal 5:2,3].

d. Wawasan oikumenis; yaitu carapandang gereja untuk membangun relasi dengan semua

manusia, alam ciptaan Tuhan, dengan badan gereja lain dalam persekutuan gereja yang am

dan rasuli, serta membangun relasi iman yang di dalamnya gereja dipanggil untuk bersukutu

di tengah dunia [bdn. Yoh 17:21; Gal 3:14].

Page 20: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

16

e. Wawasan berkelanjutan; yaitu carapandang gereja untuk meningkatkan kualitas

pelayanannya, memelihara persekutuan jemaat, dan bersama-sama dengan jemaat memberi

jawaban terhadap berbagai perubahan yang dialaminya di dalam dunia. Di sinilah visi

eskatologis GPM, gereja melakukan seluruh tugas panggilannya dengan tetap memiliki

pengharapan yang kukuh akan rahasia penyertaan, tuntunan dan pemeliharaan Tuhan di

dalam hidupnya. Gereja tidak bekerja sendiri dan untuk hari ini tetapi bersama dan terus ke

masa depan sambil menanti kepenuhan janji dari Allah Bapa [bdn. Ef 1:23].45

Bila memperhatikan pemaparan dasar teologis PIP-RIPP dan hasil penelitian penulis

bersama beberapa narasumber, penulis menyimpulkan bahwa dasar teologis PIP-RIPP

sudahlah kontekstual. Berdasarkan wawancara dengan Pdt. Elifas dan Pdt. Daniel, mereka

mengatakan bahwa latar belakang penyusunan PIP-RIPP adalah karena permasalahan yang

terjadi dalam konteks jemaat GPM, diantaranya kemiskinan dan pelayanan lintas pulau yang

memerlukan perencanaan yang strategis. Penyusunan PIP-RIPP pun diharapkan mampu

menuntun gereja-gereja di GPM menjalankan tugas dan panggilan pelayanan dengan

memperhatikan konteks di mana GPM berada. Latar belakang penyusunan dasar teologis

PIP-RIPP sesuai dengan teori kontekstualisasi teologi yang diungkapkan Bevans, yakni

upaya memahami iman Kristen dipandang dari konteks tertentu. Dasar teologis PIP-RIPP

menunjukkan bahwa GPM menginginkan pelayanan yang berwajah kontekstual sehingga

dalam menjalankan tugas dan panggilan pelayanan, GPM turut memperhatikan wawasan

misioner, wawasan profetik, wawasan keluarga Allah, dan wawasan berkelanjutan. Setiap

wawasan menuntun gereja untuk tidak hanya berfokus pada Kitab Suci tetapi turut

memperhatikan konteks kehidupan jemaat, sosial politik, ekologi, dan konteks perkembangan

dunia yang terus berubah.

Untuk mewujudkan pelayanan yang kontekstual, pelayanan pun harus disesuaikan

dengan konteks pelayanan berada. John Titaley pun mengatakan bahwa kontekstualisasi

teologi adalah ketika manusia memahami kehidupan dengan kesadaran bahwa Tuhan ikut

terlibat dalam kehidupannya sehari-hari meliputi budaya dengan menyertakan Tuhan, Kitab

Suci, ilahi, politik, dan lain-lain. Pemahaman ini dapat dipersempit pada pengertian bahwa

kontekstualisasi adalah ketika gereja mampu menyadari keberadaannya sebagai bagian dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia.46

Dalam dasar teologis PIP-RIPP, GPM telah mencoba

45

Victor Untailawan ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP GPM Tahap II Tahun 2010-2015,

5-6. 46

Titaley, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi, 191-193.

Page 21: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

17

menyadari keberadaannya di Indonesia, terkhusus di Maluku. Sebagai bagian dari Indonesia,

dasar teologis PIP-RIPP turut memperhatikan wawasan profetik yang menyatakan kaitan

tugas gereja dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, yang

terpenting diperhatikan dalam pelayanan di jemaat GPM adalah pelayanan yang dilakukan

harus sesuai dengan kebutuhan dan konteks kehidupan jemaat di Maluku. Bila pelayanan

yang dilakukan sudah kontekstual dengan kehidupan masyarakat setempat maka disitulah

GPM berhasil melakukan kontekstualisasi teologi dengan masyarakat Maluku sebagai bagian

dari Indonesia.

Dari pemaparan ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dasar teologis PIP-

RIPP sudah kontekstual karena telah memperhatikan konteks-konteks yang berkaitan dan

mendukung pelaksanaan tugas dan panggilan pelayanan. Secara teoritis, dasar teologis GPM

memang sudah kontekstual, tetapi pelaksanaannya belum maksimal dilakukan, tercatat pada

tahun 2012, pencapaian penerapan PIP-RIPP baru 40%. Kurang maksimalnya penerapan PIP-

RIPP ini adalah karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada jemaat-jemaat di

pedesaan. Hingga saat ini penerapan PIP-RIPP dalam kehidupan bergereja dan berjemaat

masih terus diperbaiki guna mewujudkan pelayanan yang kontekstual dengan Maluku dan

Indonesia.

PIP-RIPP sebagai dasar acuan pelayanan bagi GPM, secara tidak langsung menjadi

misi yang harus dilakukan oleh GPM dalam menjalani tugas dan panggilan pelayanannya.

Sebagai suatu misi maka PIP-RIPP harus memperhatikan perkembangan dan perubahan yang

terjadi. Dasar teologis PIP-RIPP memang tidak akan berubah, tetapi proses penerapan PIP-

RIPP dalam misi GPM akan selalu diperbaharui seiring perkembangan yang terjadi.

Page 22: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

18

V. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Pola Induk Pelayanan dan Rencana induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP)

adalah acuan pokok bagi GPM dalam menjalankan tugas dan panggilan pelayanannya. PIP-

RIPP lahir karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh GPM. Kehadiran PIP-RIPP sangat

membantu, menuntun, dan mengarahkan masing-masing gereja di GPM memulai pelayanan

yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan jemaat. Masing-masing gereja dalam lingkup

GPM tentu telah mengetahui isi dari PIP-RIPP. Dengan demikian, pelayanan yang dilakukan

mulai teracu pada dasar teologis PIP-RIPP.

Dasar teologis PIP-RIPP merupakan misi dari GPM yang adalah misio dei.Misio dei

tidak akan pernah berubah dan Misio dei tidak akan pernah berakhir. Karena misi itu akan

tetap berjalan terus dan akan tercapai ketika Tuhan Yesus datang ke dunia yang kedua

kalinya.

5.2 Saran

PIP-RIPP merupakan acuan pokok bagi GPM dalam menjalankan tugas dan panggilan

pelanyanannya. Sinode harus melakukan pelatihan sosialisasi berulang-ulang kali lagi.

Karena tidak semua jemaat-jemaat ditempat terpencil bisa terapkan secepat itu.

Misio dei tidak akan pernah berubah dan tidak pernah akan berakhir. Untuk mencapai

semuanya itu, gereja harus tetap setia dan tekun dalam menjalankan tugas dan panggilan

pelayanannya dengan baik sampai Tuhan Yesus datang ke dunia yang kedua kalinya.

Page 23: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

19

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adeney. Bernard. Etika Sosial Lintas Budaya, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Arikunto. Prosedur Penelitian, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002.

Bosch, David. Transformasi misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.

Bevans, Stephen. Model-model Kontekstualisasi, Maumere: Ledalero, 2002.

______________ . Living Between Gospel and Context, Grand Rapids: Erdmans

Publishinh Company, 1997.

Darmaputera, Eka. Pancasila: Identitas dan Modernitas Tinjauan Etis dan Budaya,

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

_____________. Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Elwood, Douglas. Teologi Kristen Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

_____________. Makna, Metode dan Model Kontekstualisasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1994.

Lornegan, A. A Study in Human Understandin, New York: Philosophical Library, 1957.

Maleong. Metode Penalitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya, 1989.

Sinaga, B Anicetus. Gereja dan Inkulturasi, Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Singgih, Gerit. Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Schreiter, Robert. Rancangan Bangun Teologi Lokal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Tomatal, Y. Teologi Kontekstual Suatu Pengantar, Jawa Timur: Gandum Mas, 2007.

Lempas, Jeffrie A. A. dkk, ed. Format Rekonstruksi Kekristenan, Salatiga: Pustaka Sinar

Sinar Harapan dan Yayasan Bina Darma, 2006.

Untailawan Victor ddk, ed. Pedoman Implementasi PIP dan RIPP (GPM) Tahap II Tahun

2010-2015, Ambon: Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, 2010.

Drewes B. F & Mojau, Julianus. Apa Itu Teologi? Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi,

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Nur Widi. M. Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Wahono, S. Wismoady. Pro-eksistensi Kumpulan Tulisan Untuk Mengacu Kehidupan

Bersama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Page 24: Studi Teologi Kontekstual Terhadap Dasar Teologi Pola Induk …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12284/2/T1_712010003_Full... · yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi

20

S. Sumardi Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998.

Theological Education Fund, Ministry in Contex: The Third Mandate Progamme of the TEF,

London: TEF, 1972.

Adams, Daniel J., Teologi Lintas Budaya, Jakarta: Gunung Mulia, 2010.

End den van. Th. dan J.Weitjens, Ragi Cerita 2: sejarah gereja di Indonesia, Jakarta: Gunung

Mulia, 2011.

Sopater , Soelarso. Soelarso Sopater, “Tanggung Jawab Gereja-Gereja Di Indonesia

Memasuki Melenium Ketiga” dalam buku Wainata Sairin, Visi Gereja Memasuki

Melenium Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

JURNAL

Haire, James, THEOLOGICAL STUDIES.

Haevea, Jione, THEOLOGICAL STUDIES.

Tverdek, Edwart F. Analytic Theology as Contextual Theology.

Lois, Juan &E. Jacobsen,International Journal of Public Theology 6, 2012.

Voster, Nico. Journal of Reformed Theology 7, 2013.

Hesselgrave, David J.&EdwardRommen.Contextualization-Meanings-Metthods-Models,

USA: Apollos, 1990.