telaah kepengarangan sastrawan indonesia angkatan '66.pdf

Upload: sts-santuso

Post on 28-Feb-2018

251 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    1/21

    TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA

    ANGKATAN 66

    disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Sastra Indonesia

    dari Dra. Sunarti Mustamar, M.Hum

    oleh

    SANTUSO

    NIM 120110201005

    JURUSAN SASTRA INDONESIA

    FAKULTAS SASTRA

    UNIVERSITAS JEMBER

    2015

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    2/21

    ii

    PRAKATA

    Penulis panjatkan puji syukur atas segala limpahan rahmat, nikmat dan

    karunia Allah Swt sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

    Telaah Kepengarangan Sastrawan Indonesia Angkatan 66. Penulis susun

    makalah ini untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Sastra Indonesia dari Dra.

    Sunarti Mustamar, M.Hum.

    Penulis telah dibantu oleh berbagai pihak, sehingga makalah ini dapat

    diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis

    menyampaikan terima kasih kepada:

    1.

    Dra. Sunarti Mustamar, M.Hum., selaku dosen pengampu matakuliah

    Sejarah Sastra Indonesia yang telah membimbing penulis sehingga penulis

    dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

    2.

    semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

    Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua

    pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah

    ini dapat bermanfaat.

    Jember, November 2015 Penulis

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    3/21

    iii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

    PRAKATA .................................................................................................... ii

    DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

    BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 11.1 Latar Belakang .......................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 2

    1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 2

    1.4 Manfaat Penulisan..................................................................... 2

    BAB 2. PEMBAHASAN .............................................................................. 3

    2.1 Latar Belakang Munculnya Angkatan 66 ............................. 3

    2.2 Ciri-Ciri Karya Sastra Angkatan 66 ...................................... 4

    2.3 Sastrawan Angkatan 66 ........................................................... 6

    BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................... 17

    DAFTAR BACAAN ..................................................................................... 18

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    4/21

    1

    BAB 1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Sejarah sastra membicarakan pertumbuhan dan perkembangan sastra, hasil

    karya sastra serta corak-coraknya. Hal ini sangat penting untuk menentukan dasar-

    dasar penggolongan karya sastra dan penciptaanya, baik menurut bentuk maupun

    zamannya. Sejarah sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diwakili karya

    pengarang-pengarang Balai Pustaka. Dengan demikian, karya sastra yang

    dihasilkan sebelum abad 20 digolongkan ke dalam sastra Melayu.

    Masing-masing angkatan sastra dimulai dengan munculnya sekumpulan

    sastrawan yang tahun kelahirannya hampir sama dan menulis dalam gaya yang

    hampir sama dalam majalah atau penerbitan yang sama. Sastra Balai Pustaka

    dimulai tahun1920. Para penulis Balai Pustaka yang mula-mula menulis sekitar

    tahun 1920-an adalah mereka yang dilahirkan sekitar tahun 1895-an. Ada yang

    lebih dahulu ada yang lebih kemudian. Sastra Pujangga Baru diisi oleh para

    sastrawan yang dilahirkan sekitar tahun 1910-an.

    Pada periode 60-an muncul adanya angkatan, yaitu angkatan 66. Lahirnya

    angkatan 66 ini didahului adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di

    Indonesia yang disebabkan ulah teror politik yang dilakukan PKI dan ormas-ormas

    yang bernaung di bawahnya. Angkatan 66 mempunyai cita-cita ingin adanya

    pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung di dalam

    Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angkatan 66 yang dipelopori oleh

    KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. Munculnya nama angkatan 66

    telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah horison nomor 2 tahun 1966.

    Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan 66 lahir setelah ditumpasnya

    pengkhianatan G.30S/PKI. Penanaman angkatan 66 ini pun mengalami adu

    pendapat. Sebelum nama angkatan 66 diresmikan, ada yang memberi nama

    angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU).

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    5/21

    2

    Masih menurut Jassin, nama-nama seperti Ajib Rosidi, Rendra, Yusach

    Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Adangdjaja, Mansur Samin, Saribi Afn.,

    Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokor

    Hutta Suhhut, dan banyak lagi yang lain dapat dicatat sebagai angkatan 66. Jadi

    yang termasuk angkatan 66 ini tidak hanya mereka yang baru menulis sajak-sajak

    perlawanan pada permulaan tahun 1966, melainkan juga mereka yang telah tampil

    beberapa tahun sebelumnya dengan suatu kesadaran. Itulah tentang angkatan 66,

    walaupun mengundang beberapa pendapat yang pro dan kontra, tentang ada

    tidaknya angkatan 66 ini. Namun, sebagai peristiwa sastra patut dicatat sebagai

    peristiwa sejarah sastra Indonesia.

    Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis dalam makalah ini akan menelaah

    kepengarangan sastrawan Indonesia angkatan 66.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dapat ditarik rumusan

    masalah dalam makalah ini sebagai berikut.

    a.

    Bagaimana latar belakang munculnya angkatan 66?

    b. Bagaimana ciri-ciri karya sastra Indonesia angkatan 66?

    c.

    Apa saja karya sastra Indonesia yang telah diciptakan pada angkatan 66?

    1.3 Tujuan Penulisan

    Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk mendeskripsikan tentang:

    a. latar belakang munculnya angkatan 66;

    b.

    ciri-ciri karya sastra Indonesia angkatan 66;

    c.

    karya sastra Indonesia yang telah diciptakanpada angkatan 66.

    1.4 Manfaat Penulisan

    Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi

    dalam mengenal dan mempelajari sejarah sastra Indonesia, khususnya pada

    angkatan 66.

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    6/21

    3

    BAB 2. PEMBAHASAN

    2.1 Latar Belakang Munculnya Angkatan 66

    Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal

    pada perbedaan-perbedaan politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra

    Indonesia. Pada awal tahun 50-an terjadi polemik yang seru antara orang-orang

    yang membela hak hidup angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan

    Angkatan 45 sudah mati yang berpangkal pada suatu sikap politik.

    Para seniman muda tidak mau mengelompokkan diri dalam kelompok

    seniman untuk menyamakan persepsi. Semangat yang dimiliki seniman Angkatan

    45 tidak mereka warisi dan mereka tidak menghayati revolusi fisik dengan baik.

    Seniman muda ini lebih memfokuskan diri pada menulis cerpen, puisi, dan naskah

    drama.

    Periode 50 bukan saja sebagai pengekor Angkatan 45, tetapi sudah

    merupakan penyelamat setelah melalui masa-masa kegoncangan. Ciri-ciri periode

    ini antara lain:

    1.

    pusat kegiatan sastra telah meluas keseluruh pelosok indonesia, tidak hanya

    berpusat di Jakarta atau Yogyakarta saja;

    2. kebudayaan daerah lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan

    sastra nasional indonesia;

    3. penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan pada perasaan kepada

    perasaan dan ukuran nasional.

    Pada tahun 1959, merupakan tahun yang membawa perubahan dalam dunia

    kesusastraan sebagai imbas dunia politik. Tujuan sastra pada mulanya mengangkat

    harkat dan martabat manusia dalam kehidupan yang memiliki nilai-nilai kebebasan

    dan kemerdekaan. Pada tahun ini sastrawan ingin mengembangkan karya sastranya,

    di lain pihak tekanan-tekanan partai politik yang mulai mengendalikan pemuda

    Indonesia sehingga muncul PKI, LEKRA, LKN, LESBUMI, HSBI, LESBI dan lain

    sebagainya.

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    7/21

    4

    Pada akhirnya Manikebu menjadi konsep sikap dan kepentingan dan

    kepentingan mereka sebagai angkatan dalam kesustraan yang kemudian dikenal

    dengan ankatan 66. Akibat fitnah PKI, Manikebu dinyatakan sebagai organisasi

    terlarang. Setelah bangkitnya Orde Baru, tahun 1966, maka, Manikebu sebagai

    konsepsi Angkatan Kesusastraan terbaru, dijadikan landasan ideal Angkatan 1966.

    Isi Manikebu tersebut antara lain sebagai berikut.

    1. Kami para seniman cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah

    manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita politik kebudayaan

    kami.

    2.

    Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi

    kehidupan manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan

    lain. Setiap sektor perjuangan bersama- sama untuk kebudayaan itu sesuai

    dengan kodratnya.

    3. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha mencipta dengan

    kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk

    mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa

    indonesia ditengah-tengah masyarakat dunia.

    4. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

    2.2 Ciri-Ciri Karya Sastra Indonesia Angkatan 66

    Karya sastra masa 60-an dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok.

    Kelompok pertama masa antara tahun 60-sebelum 66, dan kelompok kedua tahun

    60-70. Pada kurun masa pertama (60-sebelum 66), merupakan masa kejayaan para

    pengarang Lekra yang bernaung dibawah panji-panji PKI. Pada masa ini pengarang

    yang tidak tergabung di dalam Lekra kurang berkembang kreativitasnya karena

    manifes kebudayaan yang menjadi konsepsi pemikiran dilarang. Walaupun

    demikian, mereka tetap berkarya dan menghasilkan puisi-puisi yang bercorak

    keagamaan.

    Masa 66 sampai 70 didominasi oleh karya-karya yang beraliran realisme

    sosial kanan. Termasuk di dalamnya puisi-puisi demonstrasi Taufik Ismail, Mansur

    Samin, Bur Rusuanto, Slamet Sukirnanto, dll. Pada masa ini karya sastra lebih

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    8/21

    5

    banyak dikenal adalah karya sastra berbentuk puisi, terutama uisi-puisi demonstrasi

    atau protes sosial. Dengan demikian, dalam membicarakan ciri karya sastra, masa

    60-an lebih banyak berbicara tentang ciri puisi.

    Ciri-ciri struktur fisik puisi pada angkatan 66 sama dengan puisi periode

    50-an. Berhubung tema protes sosial dikemukakan begitu berapi-api, maka slogan

    dan retrorik sangat kuat. Berikut dipaparkan tentang ciri-ciri karya sastra angkatan

    66.

    1) Ciri-Ciri Puisi

    Stuktur Fisik Struktur Tematik

    berbentuk balada bercorak kedaerahan

    menggunakan gaya repetisi masalah sosial; kemiskinan,

    penagguran, perbedaan kaya/miskin;

    demonstrasi

    menggunakan gaya slogan dan retorik keagamaan

    2) Ciri-Ciri Prosa dan Drama

    Struktur Fisik Struktur Tematik

    Karya prosa fiksi dan drama tahun 60-an

    masih menunjukan struktur fisik konvesional.

    Kaidah mimesis dalam sastra masih dipatuhi

    dalam penulisan sastra drama tahun1950-an dan

    60-an di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa

    belum terjadi perubahan dalam hal penokohan,

    alur, dan latar ceritanya. Bahkan dari 55 dramayang ada sebanyak 45 drama memasang tokoh

    yang jelas sekali nama, usia, watak,dan latar

    belakang sosiologisnya.

    1. perjuangan

    (berlatar revolusi)

    2. kehidupan pelacur

    3. sosial

    4. kejiwaan

    5. keagamaan

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    9/21

    6

    2.3 Sastrawan Angkatan 66 dan Karya-Karyanya

    Seperti yang telah diuraikan di atas, periode 60-an ini telah mulai

    bermunculan para pengarang baru, namun para pengarang lama pun masih tetap

    aktif berkarya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini.

    1) Taufik Ismail

    Taufik Ismail merupakan pelopor puisi-puisi demonstrasi. Puisi-puisi

    Taufik Ismail menjadi ciri bagi apa yang disebut angkatan 66 oleh H.B. Jassin.

    Puisi-puisinya adaalah puisi yang mengungkapkan tuntutan membela keadilan dan

    kebenaran. Puisi Taufik juga disebut sebagai puisi yang menandakan suatu

    kebangkitan angkatan 66 dalam perpuisian Indonesia yang selama kurang lebih

    lima tahun dikuasi oleh pengarang-pengarang Lekra.

    Taufik Ismail dilahirkan di Bukit Tinggi pada tanggal 25 Juni 1937. Ia

    menamatkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia

    (sekarang IPB) di Bogor. Pernah menjadi ketua Federasi Teater Bogor, anggota

    Dewan Kesenian Jakarta (sejak 1973). Sejak tahun 1966 menjadi redaktur majalah

    Horizon. Selain itu, ia juga pernah mengikuti Konferensi PEN Asia di Taipe dan

    Seoul pada tahun 1970, Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971),

    Internasional Writing Program di Universitas Lowa (1971-1972), dan Kongres

    Penyair Sedunia di Taipe (1973). Ia menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI

    pada tahun 1970.

    Kumpulan sajak-sajaknya ialah Tirani (1966), Benteng (1966), Puisi-Puisi

    Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu

    Musium Perjuangan (1969), dan Sajak-Sajak Ladang Jagung (1973). Puisi-puisinya

    kebanyakan bersifat naratif dan prosais. Puisi-puisinya tidak semua uisi

    demonstrasi, bahkan lebih banyak puisi yang bukan puisi demonstrasi. Umpamanya

    puisi-puisi dalam Sajak-Sajak Ladang Jagung yang berlatar belakang suasana Lowa

    City Amerika Serikat, atau puisi-puisinya yang bersumber pada tarih dan hadits

    yang lebih bernuansa keagamaan. Seperti halnya kesuksesannya dalam menulis

    puisi demonstrasi, Taufik sukses pula dalam puisi yang bernuansa keagamaan.

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    10/21

    7

    Puisi-puisi Taufik banyak yang ditransformasikan ke dalam lagu bernuansa

    keagamaaan oleh kelompok musik Bimbo (dari Bandung).

    2) Goenawan Mohamad

    Goenawan Mohamad lahir di Batang (Jawa Tengah) pada tanggal 29 Juli

    1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), kemudian

    memperdalam pengetahuan di College dEurope, Bruge, Belgia (1965-1966),

    Universitas Oslo, Norwegia (1966), dan Universitas Harvard (1989/1990). Ia

    pemimpin redaksi majalah Tempo (sejak 1971), pemimpin majalah Swasembada

    (198 5). Pernah juga menjadi wartawan Harian Kami (1966-1970), anggota Dewan

    Kesenian Jakarta (1968-1971), pemimpin redaksi majalah Ekspress (1970-1971),

    redaktur Horison (1967-1972). Sejak 1972 menjadi salah seorang Dewan Penasehat

    majalah ini. Ia juga tercatat sebagai pemimpin redaksi majalah Zaman (1979-1985).

    Selain karirnya di bidang kewartawanan, redaktur, dan penulis, ia juga pernah

    menjadi anggota MPR (1987).

    Mengenai penghargaan, penanda tangan Manifes Kebudayaan ini menerima

    Anugerah Seni dari pemerintah RI pada tahun 1972. Tahun 1981 mendapat Hadiah

    Sastra Asean. Beberapa esainya yang mendapat hadiah dan penghargaan adalah

    Alam dalam Tangkapan Pertama Puisi dan Agama Alam Penciptaan Seni

    memenangkan hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1962. Revolusi sebagai

    Kesusastraan dan Kesusastraan sebagai Revolusi dan Seribu Slogan dan Sebuah

    Puisi mendapat hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1963. Sex Sastra Kita,

    mendapat penghargaan majalah Horison tahun 1969. Karya-karyanya berupa sajak

    telah dibukukan dengan judul Parikesit (1971), dan Interlude (1973). Sedangkan

    kumpulan esainya berjudul Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin

    Kundang (1972), Sex Sastra Kita (1981), Catatan Pinggir 2 (1989).

    3) Mansur Samin

    Lahir pada tanggal 29 April 1930 di Batangtoru, Sumatra Utara. Pendidikan

    terakhir SMA Solo. Sejak pemulaan tahun 66 ia pindah ke Jakarta dan mengikuti

    dari dekat pergolakan mahasiswa dan pelajar dalam KAMI dan KAPPI. Pernah

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    11/21

    8

    menjadi guru, redaktur Siaran Sastra RRI Solo, redaktur Mingguan Adil (Solo),

    wartawan Harian Mardeka (Jakarta), dan redaktur majalah Cerpen.

    Sajaknya Raja Singamangaraja memperoleh hadiah kedua Majalah Sastra

    tahun 1963. Karyanya yang lain, nerupa kumpulan sajak : Perlawanan (1966),

    Tanah Air (1969), Dendang Kabut (1985), dan karya drama Kebinasaan Negeri

    Senja (1968). Selain itu, ia juga banyak menulis cerita anak-anak. Di bawah ini

    dikutipkan sajaknya yang berjudul Pidato Seorang Demonstran, dan cuplikan

    dari sajak panjangnya yang berjudul Sibagading Sirajagoda.

    4) Hartojo Andangdjaja

    Hartojo lahir di solo pada tanggal 4 Juli 1930. Pendidikan terakhirnya ialah

    Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama. Ia pernah menjadi guru SMP dan

    SMA di Solo (1953-1956) dan Simpan gempat Sumatra Barat (1957-1962), serta

    guru STN di Kartasura. Kini ia menetap di Pajang, Jawa Tengah.Ia juga pernah

    menjadi redaktur harian Dwiwarna Solo (1954-1955), Si Kuncung, Jakarta (1962-

    1964), Relung Pustaka Solo (1970), dan terakhir majakah MadyantaraSolo (1974).

    Esainya yang bejudul Pola-pola Pantun dalam Persajakan Modern memperoleh

    hadiah ketiga Majalah Sastra tahun 1962. Esai ini kemudian dimuat oleh Satyagraha

    Hoerip dalam buku Sejumlah Masalah Sastra (1982). Kumpulan sajaknya Simponi

    Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1954), Manifestai (bersama Taufik Ismail,

    Goenawan Mohamad, dll.,1963), dan Buku Puisi (1973). Terjemahannya berjudul

    Tukang Kebun (1976) dari karya Rabindranath Tagore.

    5) Toeti Heraty

    Toeti lahir di bandung pada tanggal 27 november 1933. Kuliah di

    Fakultas Kedokteran UI hingga sarjana muda (1951-1955). Setelah itu pindah studi

    ke fakultas Psikologi UI sampai tamat (1962). Tahun 1974 meraih gelar sarjana

    filsafa dari Universitas Leiden. Belanda tahun 1979 meraih gelar dokter dari UI di

    bidang filsafa pernah mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran

    Bandung. Pada tahun 1968-1971 menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan

    pernah menjadi salah seorang ketuanya (1982-1985). Tahun 1981 mengikuti

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    12/21

    9

    Festival Internasional di Rotterdam dan tahun 1984 mengikuti Internasional

    Writing Program di Universitas lowa, Lowa City, Amerika Serikat.

    Karya-karyanya sejak 33(1973), Mimpi dan Pretens (1982), dan Aku dari

    Budaya (1984). Selain itu, Toeti menjadi penyunting bunga rampai penyair wanita

    Indonesia Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979) edisi dua bahasa, bahasa indonesia

    dan bahasa inggris. Bersama A. Teeuw, ia menjadi penyunting bunga rampai

    dwibahasa Manifestasi Puisi Indonesia (1986): bahasa Indonesia dan bahasa

    Belanda.

    6) Bur Rasuanto

    Bur Rasuanto Lahir tanggal 6 April 1937 di Palembang. Ia menempuh

    pendidikan di SMA B dan jurusan Filsafat Fakultas Sastra UI. Ia pernah berkerja di

    Stanvac Palembang (1957-1960), selain itu menjadi wartawan Harian Kami (1966-

    1977), dan koordinator penerbitan Yayasan ilmu-ilmu Sosial, Jakarta, serta menjadi

    direktur Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

    Cerpennya Discharge mendapat hadiah kedua dari Majalah Sastra tahun

    1961. Cerpennya yang lain, berjudul Pertunjukan dan Ethyl Plant, memenangkan

    hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1962. Tahun 1964 dua buah bukunya, Bumi

    Tak Berpeluh (1963) dan mereka Akan Bangkit (1963), dipilih untuk

    memenangkan Hadiah Sastra Yamin, tetapi dibatalkan karena hasutan pihak Lekra.

    Novelnya yang lain Tuyet (1978), memperoleh hadiah dari Yayasan Buku utama

    Dapartemen P dan K. Karya-karyanya yang lain ialah Mereka Telah Bangkit

    (1966), dan Manusia Tanah Air (1969).

    7) Abdul Hadi WM

    Prof. Dr. Abdul Hadi WM atau nama lengkapnya Abdul Hadi Wiji Muthari

    (lahir di Sumenep, 24 Juni 1946; umur 69 tahun) adalah salah satu sastrawan,

    budayawan dan ahli filsafat Indonesia. Ia dikenal melalui karya-karyanya yang

    bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusasteraan Melayu

    Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme.

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    13/21

    10

    Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi

    sufis. Ia memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan

    waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Orang sering

    membandingkannya dengan sahabat karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi

    religius. Namun ia membantah. Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk

    mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi

    moralistisnya.

    Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra

    Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi

    mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya. Tampak

    ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni

    Islami,ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang

    dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler.

    Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat

    di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan

    Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka

    Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi

    antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji

    Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin,

    Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak

    Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah

    karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz,

    Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis

    beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka. Puisi-puisinya telah

    diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina,

    Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol.

    8) Sapardi Djoko Darmono

    Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur

    75 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia dikenal

    melalui berbagai puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    14/21

    11

    beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak

    umum.

    Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam

    berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga

    cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing,

    menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom

    sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang

    mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada

    undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga,

    dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian

    disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda

    Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada

    tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

    9) Umar Kayam

    Umar Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 meninggal di

    Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun) adalah seorang sosiolog, novelis,

    cerpenis, dan budayawan juga seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas

    Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun).

    Umar Kayam termasuk yang banyak melakukan terobosan dalam banyak

    bidang kehidupan yang melibatkan dirinya. Ketika menjadi mahasiswa di

    Universitas Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam

    terbentuknya kehidupan teater kampus. Ketika menjadi Dirjen Radio dan Televisi,

    ia dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan perfilman menjadi semarak.

    Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), dia mempelopori

    pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian tradisional. Pada saat menjadi

    dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi sosiologis mengenai sastra,

    memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan kultural untuk penelitian

    sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya karya-karya seni kreatif yang baru,

    baik di bidang sastra, seni rupa, maupun seni pertunjukan, mendirikan pasar seni di

    kampus, dan sebagainya.

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    15/21

    12

    Berikut karya-karya dari Umar Kayam: Seribu Kunang-kunang di

    Manhattan (kumpulan cerpen, 1972) mendapat hadiah majalah Horison

    (1966/1967); Totok dan Toni (cerita anak, 1975); Sri Sumarah dan Bawuk (1975);

    Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan esai, 1981); Sri Sumarah (kumpulan cerpen,

    1985, juga terbit dalam edisi Malaysia, 1981); Semangat Indonesia: Suatu

    Perjalanan Budaya (bersama Henri Peccinotti, 1985); Para Priyayi (novel, 1992)

    Mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, diberikan pada tahun

    1995); Parta Karma (kumpulan cerpen, 1997); dan Jalan Menikung (novel, 2000).

    Cerpen-cerpennya diterjemahkan oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri

    Sumarah and Other Stories (1976) dan From Surabaya to Armageddon (1976).

    10) Putu Wijaya

    I Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali,

    11 April 1944; umur 71 tahun) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa.

    Ia penulis drama, cerpen, esai, novel dan juga skenario film dan sinetron.

    Karya-karyanya yang berupa drama, antara lain: Dalam Cahaya Bulan

    (1966); Lautan Bernyanyi (1967); Bila Malam Bertambah Malam (1970); Invalid

    (1974); Tak Sampai Tiga Bulan (1974); Anu (1974); Aduh (1975); Dag-Dig-Dug

    (1976); Gerr (1986); Edan (1988); Hum-Pim-Pah (1992); Konspirasi Kemakmuran;

    Blong; Ayo; Awas; Labil Ekonomi; Aum; Zat; Tai; Front; Aib; Wah; Hah; Jepretin

    tuh Staples! (2011); Aeng; Aut; Dar-Dir-Dor.

    Adapun karya-karyanya yang berupa novel antara lain: Bila Malam

    Bertambah Malam (1971); Telegram (1972); Stasiun (1977); Pabrik (1976); Keok

    (1978); Aduh; Bali; Dag-dig-dug; GURU; Gres; Lho (1982); Merdeka; Nyali; Byar

    Pet (Pustaka Firdaus, 1995); Kroco (Pustaka Firdaus, 1995); Dar Der Dor

    (Grasindo, 1996); Aus (Grasindo, 1996); Sobat (1981); Tiba-Tiba Malam (1977);

    Pol (1987); Putri; Terror (1991); Merdeka (1994); Perang (1992); Lima (1992); Nol

    (1992); Dang Dut (1992); Cas-Cis-Cus (1995).

    Karya-karnya yang berupa cerpen, antara lain: Karyanya yang berupa

    cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978); Es Campur (1980); Gres

    (1982); Klop; Bor; Protes (1994); Darah (1995); Yel (1995); Blok (1994); Zig Zag

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    16/21

    13

    (1996); Tidak (1999); Peradilan Rakyat (2006); Keadilan (2012) karya-karyanya

    yang berupa novelet antara lain: MS (1977); Tak Cukup Sedih (1977); Ratu (1977);

    Sah (1977).

    11) Iwan Simatupang

    Iwan Martua Dongan Simatupang lahir di Sibolga, 18 Januari 1928. Ia

    adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia. Ia belajar di HBS di Medan,

    lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai.

    Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di

    Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean

    Wahl pada 1958. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan

    terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). Tulisan-tulisannya dimuat di majalah

    Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.

    Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra

    Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977.

    "Ziarah" merupakan novelnya yang pertama, ditulis dalam sebulan pada tahun

    1960; diterbitkan di Indonesia pada 1969. Pada 1972, "Kering", novelnya yang

    ketiga diterbitkan. "Kooong" (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama

    Department P Dan K 1975. Pada tahun 1963, ia mendapat hadiah kedua dari

    majalah Sastra untuk esainya "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air".

    Menurut Benedict Richard O'Gorman Anderson, Iwan Simatupang dan Putu

    Wijaya merupakan dua orang penulis fiksi yang berpengaruh dari Indonesia sejak

    kemerdekaan dan keduanya memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme gaib

    (magical realism).

    Karya-karya dari sastrawan yang satu ini antara lain: Bulan Bujur Sangkar

    - drama (1960); Petang di Taman - drama sebabak (1966, judul asli Taman, diubah

    penerbit menjadi Petang di Taman); RT Nol /RW Nol - drama sebabak (1966);

    Merahnja merah - novel (1968); Ziarah - novel (1969); The Pilgrim - terjemahan

    bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975); Kering - novel (1972); Drought -

    terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1978); Kooong: kisah tentang

    seekor perkutut (1975); Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982,

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    17/21

    14

    penyunting: Dami N. Toda); Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966

    (1986, penyunting: Frans M. Parera); Sejumlah Masalah Sastra - kumpulan esai

    (1982, penyunting: Satyagraha Hoerip); Ziarah - novel (1983); Ziarah - terjemahan

    bahasa Perancis (1989); Poems - selections (1993); Square moon, and three other

    short plays - terj. John H. McGlynn (1997); Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967

    - penyunting: Oyon Sofyan, S. Samsoerizal Dar, catatan penutup, Dami N. Toda

    (1993); Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan Simatupang,

    editor, Oyon Sofyan, Frans M. Parera (2004); Iwan Simatupang Pembaharu Sastra

    Indonesia (Korrie Layun Rampan, ed), Yayasan Arus, 1985.

    12) Titis Basino

    Titis Retnoningrum Basino (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 17 Januari

    1939; umur 76 tahun) adalah seorang sastrawati Indonesia pada kurun waktu 1960-

    1990-an. Sebelum tahun 1980-an namanya tidak banyak dikenal, mungkin karena

    Titis lebih banyak menulis cerita pendek daripada novel. Baru pada akhir 1980-an

    dan tahun 1990-an novel-novelnya bermunculan.

    Anak pasangan Basino Atmodisuryo dan Suparmi ini menempuh

    pendidikan dasar dan pendidikan menengahnya di kota Purwokerto. Dia

    menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1945; SMP diselesaikannya pada

    tahun 1955, dan SMA pada tahun 1958. Setamat SMA, Titis pindah ke Jakarta dan

    melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia

    menyelesaikan tingkat sarjana mudanya pada 1961, lalu bekerja sebagai karyawan

    Perpustakaan FSUI selama satu tahun (1962). Kemudian, Titis bekerja sebagai

    pramugari pada maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways (1963-1964).

    Pada [1998] Titis mendapatkan Penghargaan Sastra Pusat Pembinaan dan

    Pengembangan Bahasa atas karyanya Dari Lembah ke Coolibah. Pada 1999

    pemerintah Malaysia menganugerahkan kepadanya penghargaan Mastra, sebuah

    penganugerahan karya sastra yang kompetitif di Asia Tenggara. Meskipun Titis

    menulis tentang berbagai topik, ia paling dikenal untuk cerita-ceritanya mengenai

    kaum perempuan dan masalah dalam hubungan pribadi kaumnya.

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    18/21

    15

    Karya-karyanya dalam bentuk cerpen, antara lain: Pelarian (1962); Dia,

    Hotel, Surat Keputusan (1963); Aku Melihat Senyumnya (1964); Lesbian (1976);

    Rumah Dara (1977); Sarang Burung (1997); Mendaratnya Sebuah Kapal (1997);

    Mawar Hari Esok (1997); Susuk (cerpen, dalam John H. McGlynn, Menagerie I,

    Jakarta: Lontar Foundation). Adapun karya-karyanya dalam bentuk novel antara

    lain: Bukan Rumahku (1976); Pelabuhan Hati (1978); Di Bumi Aku Bersua di

    Langit Aku Bertemu (1983); Trilogi: Dari Lembah Ke Coolibah (1997); Welas Asih

    Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998); Aku Supiah Istri

    Wardian (1998); Tersenyumpun Tidak Untukku Lagi (1998); Terjalnya Gunung

    Batu (1998); Aku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998); Rumah Kaki

    Seribu (1998); Tangan-Tangan Kehidupan (1999); Bila Binatang Buas Pindah

    Habitat (1999); Mawar Hitam Milik Laras (1999).

    13) A.A Navis

    Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatera

    Barat, 17 November 1924meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah

    seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal

    dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya.

    Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang

    Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya

    mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup

    lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih.

    Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan

    ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika

    dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor.

    Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan

    ditembak mati oleh para koruptor itu.

    Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya

    baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan

    sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku,

    ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    19/21

    16

    negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di

    dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang

    Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada

    2002. Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah: Surau Kami (1955); Bianglala

    (1963); Hujan Panas (1964); Kemarau (1967); Saraswati; Si Gadis dalam Sunyi

    (1970); Dermaga dengan Empat Sekoci (1975); Di Lintasan Mendung (1983);

    Dialektika Minangkabau (editor, 1983); Alam Terkembang Jadi Guru (1984);

    Hujan Panas dan Kabut Musim (1990); Cerita Rakyat Sumbar (1994); Jodoh

    (1998).

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    20/21

    BAB 3. KESIMPULAN

    Karya sastra masa 60-an dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok.

    Kelompok pertama masa antara tahun 60-sebelum 66, dan kelompok kedua tahun

    60-70. Pada kurun masa pertama (60-sebelum 66), merupakan masa kejayaan para

    pengarang Lekra yang bernaung dibawah panji-panji PKI. Masa 66 sampai 70

    didominasi oleh karya-karya yang beraliran realisme sosial kanan.

    Karya sastra yang dihasilkan pada angkatan 66 pada umumnya memiliki

    ciri-ciri sebagai berikut.

    a) Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah

    tangga. Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan

    situasi-situasi tersebut karena adanya norma politik, norma ekonomi.

    b) Adanya sastra protes, contoh: kumpulan sajak Tirani dan Benteng karya Taufik

    Ismail.

    c)

    Arti penting sajak angkatan 66 pertama bukanlah sebagai seni, tetapi

    merupakan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan

    perasaan setelah masa penindasan.

    Sastrawan-sastrawan yang muncul pada angkatan 66 di antaranya ialah (1)

    Taufik Ismail; (2) Goenawan Mohamad; (3) Mansur Samin; (4) Hartojo

    Andangdjaja; (5) Toeti Heraty; (6) Bus Rasuanto; (7) Abdul Hadi WM; (8) Sapardi

    Djoko Darmono; (9) Umar Kayam; (10) Putu Wijaya; (11) Iwan Simatupang; (12)

    Titis Basino; dan (13) A.A Navis.

  • 7/25/2019 TELAAH KEPENGARANGAN SASTRAWAN INDONESIA ANGKATAN '66.pdf

    21/21

    DAFTAR BACAAN

    Al-Hadi, S. 2011. Sastra 60-an (Sejarah Sastra Periode 1960-1970).

    http://berbahasa-bersastra.blogspot.co.id/2011/03/sastra-60-sejarah-sastra-

    periode-1960.html [25 November 2015]

    Fanda. 2013.Makalah Periodisasi Sastra Angkatan 66.

    http://fandanaksaleh18.blogspot.co.id/2013/05/makalah-periodisasi-sastra-

    angkatan-66.html [25 November 2015]

    Istanti, D. R. 2010. Sastra: Sastrawan Angkatan 66.

    https://danririsbastind.wordpress.com/2010/02/04/98/ [25 November

    2015]

    Ramadhan, R. 2014. Sastra Angkatan 66.

    http://robiramadhanpbsi.blogspot.co.id/2014/03/sastra-angkatan-66.html

    [25 November 2015]

    Rosidi, A. 1988. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT Bina Aksara.

    Rumi. 2013.Karya Sastra Angkatan 66.

    http://mimirumi.blogspot.co.id/2013/04/karya-sastra-angkatan-66.html [25November 2015]

    Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia Jilid 1. Flores: Nusa Indah.

    Wikipedia. 2012. Tokoh Angkatan 66. https://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:

    Tokoh_Angkatan_66 [25 November 2015]

    Yudiono, K. S. 2007.Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.