teknik mikroba yang d lakukan untuk melakukan tes trhdp kemampuan suatu biakan untuk menghasilkan...
DESCRIPTION
Jurnal Praktikum Farmakoterapi Pencernaan Dan PernafasanTRANSCRIPT
LAPORAN SEMENTARA
PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI
SISTEM PENCERNAAN DAN PERNAFASAN
PRAKTIKUM III
TUKAK PEPTIK, MUAL, DAN MUNTAH
2.1. Penyakit Tukak Peptik
2.1.1. Definisi Tukak Peptik
Tukak didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa lambung dan/atau
duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi lokal (Valle, 2005). Disebut tukak apabila
robekan mukosa berdiameter ≥ 5 mm kedalaman sampai submukosa dan muskularis mukosa
atau secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan
diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Robekan mukosa < 5
mm disebut erosi dimana nekrosis tidak sampai ke muskularis mukosa dan submukosa.
Tukak peptik merujuk kepada penyakit di salur pencernaan bagian atas yang
disebabkan oleh asam dan pepsin. Spektum penyakit tukak peptik adalah luas meliputi
kerusakan mukosa, eritema, erosi mukosa dan ulkus.
2.1.2. Patogenesis Tukak Peptik
Kerusakan pada mukosa gastroduodenum berpunca daripada ketidakseimbangan
antara faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor yang melindungi mukosa tersebut.
Oleh sebab itu, kerusakan mukosa tidak hanya terjadi apabila terdapat banyak faktor yang
merusakkan mukosa tetapi juga dapat terjadi apabila mekanisme proteksi mukosa gagal.
Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat,
aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada epitel serta regenerasi epitel. Di
samping kedua faktor tadi ada faktor yang merupakan faktor predisposisi (kontribusi) untuk
terjadinya tukak peptik antara lain daerah geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter,
merokok, obat-obatan dan infeksi bakteria agresif.
Pada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac, dan aspirin
(terutamanya pada dosis tinggi), kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase
menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat turut terhambat. Efek yang tidak
diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah penghambatan sistesis prostaglandin secara
sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum sehingga melemahkan proteksi
mukosa. Tukak dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan
efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan bahaya perdarahan pada tukak
(Silbernagl, 2000).
2.1.3. Etiologi Tukak Peptik
1. Infeksi Helicobacter Pylori
Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan dengan
infeksi Helicobacter pylori. Helicobacter Pylori adalah bakteri gram negatif, hidup dalam
suasana asam pada lambung/duodenum, ukuran panjang sekitar 3μm dan diameter 0,5μm,
punya ≥ 1 flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mukus permukaan
epitel antrum lambung, karena pada epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo
yang dikenali oleh H.Pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.
Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik adalah pertama dengan memproduksi toksik
yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Protease dan fospolipase menekan sekresi
mukus sehingga daya tahan mukosa menurun menyebabkan asam lambung berdifusi balik.
Hal ini menyebabkan nekrosis jaringan dan akhirnya berkomplikasi menjadi tukak peptik.
Kedua mekanisme terjadi tukak peptik dengan menginduksi respon imun lokal pada mukos
sehingga terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini
melalui mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN. Seterusnya,
peningkatkan level gastrin menyebabkan meningkatnya sekresi asam lambung yang masuk ke
duodenum lalu menjadi tukak duodenum.
2. Sekresi asam lambung
Normal produksi asam lambung kira-kira 20 mEq/jam. Pada penderita tukak, produksi
asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam.
3. Pertahanan Mukosal Lambung
NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat menimbulkan kerusakan pada
mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan,
khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja dari enzim
siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin.
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan NSAIDs
melalui 4 tahap yaitu : pertama, penurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan
oleh sel epitel pada lambung dan duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan
duodenum menurun. Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan
proliferasi sel-sel mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa. Hal demikian
terjadi akibat hambatan COX-1 akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah
menurun dan terjadi nekrosis sel epitel. Tahap keempat berlakunya kerusakan mikrovaskuler
yang diperberat oleh platelet dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2
menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal
dan mesentrik, dimulai dengan pelepasan protease, radikal bebas oksigen berakibat kerusakan
epitel dan endotel menyebabkan statis aliran mikrovaskular sehingga terjadinya iskemia dan
akhirnya terjadi tukak peptik.
Tukak lambung memiliki beberapa tipe,yaitu :
Tipe 1, yang paling sering terjadi. Terletak pada kurvatura minor atau proximal insisura,dekat
dengan junction mukosa onsitik dan antral.
Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak duodenum.
Tipe 3, terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer).
Tipe 4, terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia.
2.1.4. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Sekitar 90% dari penderita mengeluh nyeri pada epigastrium, seperti terbakar disertai
mual, muntah, perut kembung, berat badan menurun, hematemesis, melena dan anemia
disebabkan erosi yg superficial atau erosi dalam pada mukosa gastrointestinal (McPhee,
1997).
Pemeriksaan Penunjang
Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas ( UGIE-Upper
Gastrointestinal Endoscopy) dan biopsi lambung (untuk deteksi kuman H.Pylori, massa
tumor, kondisi mukosa lambung)
1. Pemeriksaan Radiologi.
Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis tukak
peptik. Gambaran berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari pinggiran
tukak. Apabila permukaan pinggir tukak tidak teratur dicurigai ganas.
2. Pemeriksaan Endoskopi
Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal disertai
lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran tukak. Gambaran tukak akibat keganasan
adalah :Boorman-I/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-IV/linitis plastika
(scirrhus) .Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12 minggu setelah terapi eradikasi.
Keunggulan endoskopi dibanding radiologi adalah : dapat mendeteksi lesi kecil diameter <
0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi darah dengan penyemprotan air,dapat memastikan
suatu tukak ganas atau jinak, dapat menentukan adanya kuman H.Pylori sebagai penyebab
tukak.
3. Invasive Test : Rapid Urea Test adalah tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim
urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat, membuat suasana menjadi basa,
yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa lambung diletakkan pada
tempat yang berisi cairan atau medium padat yang mengandung urea dan pH indikator, jika
terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi
perubahan pH dan perubahan warna. Untuk pemeriksaan histologi, biopsi diambil dari
pinggiran dan dasar tukak minimum 4 sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar
diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar, pinggir dan sekitar tukak, minimal 6 sampel.
Pemeriksaan kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin
4. Non Invasive Test.
Urea Breath Test adalah untuk mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan
keberadaan urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-13,C-14)
produksi dalam perut, diabsorpsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan
akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan. Stool antigen test juga mengidentifikasi adanya
infeksi H.Pylori melalui mendeteksi keadaan antigen H.Pylori dalam faeces.
2.1.5. Terapi Tukak Peptik
1. Terapi non medikamentosa
a) Dianjurkan rawat jalan, apabila gagal atau adanya komplikasi dianjurkan rawat inap.
b) Untuk kontrol diet, air jeruk yang asam, minuman coca cola, bir, kopi dikatakan tidak
mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam
lambung.
c) Penderita dianjurkan untuk berhenti merokok oleh karena dapat mengganggu
penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat sekresi bikarbonat pancreas, menambah
keasaman duodeni, menambah refluks duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pylorus
sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak.
2. Terapi medikamentosa a) Antasida
adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik, membentuk garam dan air
untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin dapat bekerja pada pH lebih tinggi dari
4, maka penggunaan antacida juga dapat mengurangkan aktivitas pepsin.
b) Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Penggunaan obat antagonis reseptor H2 digunakan untuk menghambat sekresi asam
lambung yang dikatakan efektif bagi menghambat sekresi asam nocturnal. Strukturnya
homolog dengan histamine. Mekanisme kerjanya secara kompetitif memblokir perlekatan
histamine pada reseptornya sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan
asam lambung. Inhibisi bersifat reversible. Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin
: 2 x 400 mg/800 mg malam hari, dosis maintenance 400 mg, Ranitidine : 300 mg malam
hari,dosis maintenance 150 mg, Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150
mg, Famotidine : 1 x 40 mg malam hari, Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis
maintenance 75 mg malam hari.
c) Proton Pump Inhibitor/PPI:
mekanisme kerja adalah memblokir kerja enzim K+H+ATPase yang akan memecah
K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCL dari
kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung
dari sel kanalikuli,menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas
faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple
drugs, Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40 mg, Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60
mg.
d) Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth Subsalisilat/BSS)
Membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya
terhadap pengaruh asam dan pepsin dan efek bakterisidal terhadap H.Pylori.
e) Sukralfat:
Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida yang berikatan
dengan kutub positif melekul proteinàlapisan fisikokemikal pada dasar tukakàmelindungi
tukak dari asam dan pepsin. Membantu sintesa prostaglandin, kerjasama dengan
EGF ,menambah sekresi bikarbonat &mukus, peningkatan daya pertahanan dan perbaikan
mukosal.
f) Prostaglandin:
Mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan sekresi mukus, bikarbonat,
peningkatan aliran darah mukosa, pertahanan dan perbaikan mukosa. Digunakan pada tukak
lambung akibat komsumsi NSAIDs.
g) Penatalaksanaan infeksi H.Pylori.
Tujuan eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan tukak dan
mencegah kekambuhan. Lama pengobatan eradikasi H.Pylori adalah 2 minggu,untuk
kesembuhan tukak,bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3 – 4 minggu lagi ( Finkel R.,
2009)
3. Tindakan Operasi
Indikasi untuk melakukan tindakan operasi apabila terapi medik gagal atau terjadinya
komplikasi seperti perdarahan, perforasi, dan obstruksi. Hal ini dapat dilakukan dengan
tindakan vagotomy yaitu dengan melakukan pemotongan cabang saraf vagus yang menuju
lambung menghilangkan fase sefalik sekresi lambung. Tindakan operasi lain seperti
antrektomi dan gastrektomi juga dapat dilakukan apabila adanya indikasi dilakukan operasi.
2.1.6. Komplikasi Tukak dapat berkomplikasi pada perdarahan. Pendarahan berlaku pada 15-20% pasien
tukak peptik. Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak peptik yaitu pada dinding
posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria
pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Dikatakan 25% daripada kematian
akibat tukak peptik adalah disebabkan komplikasi pendarahan ini (Kumar, 2005).
Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi di lambung sehingga
menyebabakan terjadinya peritonitis. Perforasi terjadi pada 5% pasien tukak peptik.
Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal, dinyatakan
sebagai bulan sabit translusen antara bayangan hati dan diafragma.
Pada tukak juga dapat berkomplikasi menjadi obstruksi. Tukak prepilorik dan duodeni
bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis atau oedem dan
spasme. Mual,kembung setelah makan merupakan gejala-gejala yang sering timbul. Apabila
obstruksi bertambah berat dapat timbul nyeri dan muntah (Kumar, 2005).
2.2. Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs)
2.2.1. Definisi
Obat antiinflamasi non steroid, atau yang dikenal dengan NSAID (Non Steroidal Anti-
inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda
nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). Istilah "non steroid"
digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki
khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika.
Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1
(cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim COX ini berperan dalam memacu
pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Prostaglandin berperan
dalam proses inflamasi (Finkel, 2009).
NSAID dibagi lagi menjadi beberapa golongan, yaitu :
a) Golongan salisilat (diantaranya aspirin/asam asetilsalisilat, metil salisilat, magnesium
salisilat, salisil salisilat, dan salisilamid),
b) Golongan asam arilalkanoat (diantaranya diklofenak, indometasin, proglumetasin, dan
oksametasin),
c) Golongan profen/asam 2-arilpropionat (diantaranya ibuprofen, alminoprofen, fenbufen,
indoprofen, naproxen, dan ketorolac),
d) Golongan asam fenamat/asam N-arilantranilat (diantaranya asam mefenamat, asam
flufenamat, dan asam tolfenamat),
e) Golongan turunan pirazolidin (diantaranya fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan
fenazon),
f) Golongan oksikam (diantaranya piroksikam, dan meloksikam),
g) Golongan penghambat COX-2 (celecoxib, lumiracoxib),
h) Golongan sulfonanilida (nimesulide), serta
i) Golongan lain (licofelone dan asam lemak omega 3).
Penggunaan NSAID yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana terdapat
kehadiran rasa nyeri dan radang. Secara umum, NSAID diindikasikan untuk merawat gejala
penyakit seperti rheumatoid arthritis, osteoarthritis, encok akut, nyeri haid, migrain dan sakit
kepala, nyeri setelah operasi, nyeri ringan hingga sedang pada luka jaringan, demam, ileus,
dan renal colic . Sebagian besar NSAID adalah asam lemah, dengan pKa 3-5, diserap baik
pada lambung dan usus halus. NSAID juga terikat dengan baik pada protein plasma (lebih
dari 95%), pada umumnya dengan albumin. Hal ini menyebabkan volume distribusinya
bergantung pada volume plasma. NSAID termetabolisme di hati oleh proses oksidasi dan
konjugasi sehingga menjadi zat metabolit yang tidak aktif, dan dikeluarkan melalui urin atau
cairan empedu.
2.2.2. Penggunaan NSAIDs dalam pengobatan
NSAIDs umunya diberikan secara dini dimaksudkan untuk mengatasi rematik akibat
inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang
bermakna. Selain itu, NSAIDs juga memberikan efek analgesik yang sangat baik. NSAIDs
terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenasi sehingga menekan sintesis
prostaglandin. NSAIDs bekerja dengan cara;
Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
Menghambat pembebasan dan aktivasi mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim
lisosomal, dan enzim lainnya)
Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
Menghambat proliferasi selular
Menetralisasi radikal oksigen
Menekan rasa nyeri
(Sudoyo, dkk, 2007).
2.2.3. Efek samping NSAIDs pada pengobatan
Semua NSAIDs secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas NSAIDs yang
umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis, terutama jika
NSAIDs digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok, atau dalam
keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping
gastrointestinal akibat NSAIDs. Pada pasien sensitif dapat digunakan preparat NSAIDs yang
berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidi.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan NSAIDs antara lain adalah
reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta penekanan system
hematopoetik (Sudoyo, dkk, 2007). Menurut Katzung (1998), efek samping yang dapat
terjadi pada penggunaan NSAIDs antara lain;
1. Efek terhadap saluran cerna
Pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada lambung
(intoleransi). Gastritis yang timbul pada aspirin mungkin disebabkan oleh iritasi mukosa
lambung oleh tablet yang tidak larut atau karena penghambatan prostaglandin pelindung.
Perdarahan saluran cerna bagian atas yang berhubungan dengan penggunaan NSAIDs
biasanya berkaitan dengan erosi lambung. Peningkatan kehilangan darah yang sedikit melalui
tinja secara rutin serta peningkatan kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutin
berhubungan dengan konsumsi NSAIDs ; kira-kira 1 mL darah normal yang hilang dari tinja
per hari meningkat sampai kira-kira 4 mL per hari pada penderita yang minum NSAIDs dosis
biasa dan pada dosis lebih tinggi. Di lain pihak, dengan terapi yang tepat, ulkusnya sembuh,
meskipun diberikan bersamaan. Muntah juga dapat terjadi sebagai akibat rangsangan susunan
saraf pusat setelah absorbsi dosis besar NSAIDs.
2. Efek susunan saraf pusat
Dengan dosis yang lebih tinggi, penderita bisa mengalami ”salisilisme”-tinitus,
penurunan pendengaran, dan vertigo-yang reversibel dengan pengurangan dosis. Dosis
salisilat yang lebih besar lain dapat menyebabkan hiperpnea melalui efek langsung terhadap
medula oblongata. Pada kadar salisilat toksik yang rendah, bisa timbul respirasi alkalosis
sebagai akibat peningkatan ventilasi. Kemudian asidosis akibat pengumpulan turunan asam
salisilat dan depresi pusat pernapasan.
3. Efek samping lainnya
Dalam dosis harian 2 g atau lebih kecil, biasanya meningkatkan kadar asam urat serum.
Dapat menimbulkan hepatitis ringan yang biasanya asimtomatik, terutama pada penderita
dengan kelainan yang mendasarinya seperti lupus eritematosus sistemik serta artritis rematoid
juvenilis dan dewasa. Dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus yang reversibel
pada penderita dengan dasar penyakit ginjal, tetapi dapat pula (meskipun jarang) tejadi pada
ginjal normal. Pada dosis biasa mempunyai efek yang dapat diabaikan terhadap toleransi
glukosa. Sejumlah dosis toksik akan mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung
serta dapat menekan fungsi jantung dan melebarkan pembuluh darah perifer. Dosis besar
akan mempengaruhi otot polos secara langsung. Reaksi hipersensitifitas bisa timbul setelah
konsumsi pada penderita asma dan polip hidung serta bisa disertai dengan bronkokonstruksi
dan syok. Dikontrainsikasikan pada penderita hemofilia. Juga tidak dianjurkan bagi wanita
hamil dan anak-anak.
3. Efek samping lainnya
Dalam dosis harian 2 g atau lebih kecil, biasanya meningkatkan kadar asam urat
serum. Dapat menimbulkan hepatitis ringan yang biasanya asimtomatik, terutama pada
penderita dengan kelainan yang mendasarinya seperti lupus eritematosus sistemik serta
artritis rematoid juvenilis dan dewasa. Dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus
yang reversibel pada penderita dengan dasar penyakit ginjal, tetapi dapat pula (meskipun
jarang) tejadi pada ginjal normal. Pada dosis biasa mempunyai efek yang dapat diabaikan
terhadap toleransi glukosa. Sejumlah dosis toksik akan mempengaruhi sistem kardiovaskular
secara langsung serta dapat menekan fungsi jantung dan melebarkan pembuluh darah perifer.
Dosis besar akan mempengaruhi otot polos secara langsung. Reaksi hipersensitifitas bisa
timbul setelah konsumsi pada penderita asma dan polip hidung serta bisa disertai dengan
bronkokonstruksi dan syok. Dikontrainsikasikan pada penderita hemofilia. Juga tidak
dianjurkan bagi wanita hamil dan anak-anak.