surveillans epidemiologi

20
BAB 1 PENDAHULUAN Surveilans epidemiologi merupakan pengamatan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu, baik keadaaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penaggulangannya. Surveilans kesehatan masyarakat semula hanya di kenal dalam bidang epidemiologi, namun karena berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi di luar bidang epidemiologi, surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang di terapkan dalam kesehatan masyarakat. Surveilans mencakup masalah mortalitas, masalah gizi, penyakit menular, penyakit tidak menular, demografi, kesehatan lingkungan, dan masalah masyarakat dan lingkungan sekitarnya. 1 Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat. 1 Terwujudnya Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia. Untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap 1

Upload: silvestre-anggi-pasau-pangalinan

Post on 23-Nov-2015

55 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Surveilans Epidemiologi

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

Surveilans epidemiologi merupakan pengamatan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu, baik keadaaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penaggulangannya. Surveilans kesehatan masyarakat semula hanya di kenal dalam bidang epidemiologi, namun karena berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi di luar bidang epidemiologi, surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang di terapkan dalam kesehatan masyarakat. Surveilans mencakup masalah mortalitas, masalah gizi, penyakit menular, penyakit tidak menular, demografi, kesehatan lingkungan, dan masalah masyarakat dan lingkungan sekitarnya. 1Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.1Terwujudnya Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia. Untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta memiliki perencanaan kesehatan dan pembiayaan terpadu yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang valid. 1Pembangunan nasional di Indonesia mengalami masalah yang cukup serius yaitu mengenai penyakit menular, penyakit tidak menular, masalah gizi dan masalah kesehatan lingkungan yang memiliki dampak negative bagi kesehatan manusia. Salah satu strategi pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dengan upaya kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita, sudah secara berangsur-angsur berkembang kearah kesatuan upaya kesehatan yang mencakup upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang terpadu dan berkesinambungan. Upaya kesehatan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sosial budaya, ekonomi dan biologi yang bersifat dinamis dan kompleks.1Unit pada kementerian kesehatan yang berperan penting dalam kebijakan surveilans adalah unit surveilans epidemiologi. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan mengatur peran unit surveilans epidemiologi pusat, propinsi dan kabupaten. Peran unit surveilans epidemiologi pusat adalah mengatur penyelenggaraan surveilans epidemiologi nasional, menyusun pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi nasional dan menyelenggarakan manajemen surveilans epidemiologi nasional. Unit surveilans epidemiologi pusat juga berperan untuk melakukan pembinaan dan asistensi teknis, monitoring dan evaluasi serta pengembangan kompetensi sumber daya manusia surveilans epidemiologi nasional.2Prioritas Surveilans yang digunakan dalam penanggulangan penyakit infeksi menular seksual termasuk gonore adalah dengan memutus rantai penularan infeksi dan mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya. Upaya yang dapat di lakukan adalah dengan pencegahan primer yang terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual seperti gonore.2

BAB IIPEMBAHASAN

II.1.1 Definisi Surveilans EpidemiologiIstilah surveilans berasal dari bahasa Prancis, yaitu surveillance, yang berarti mengamati tentang sesuatu. Sebelum tahun 1950, surveilans memang diartikan sebagai upaya pengawasan secara ketat kepada penderita penyakit menular, sehingga penyakitnya dapat ditemukan sedini mungkin dan diisolasi secepatnya serta dapat diambil langkah-langkah pengendalian seawal mungkin.2Pengertian Surveilans Epidemiologi menurut World Health Oranization (WHO) terdiri atas surveilans yang merupakan proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan intrepetasi data secara terus menerus serta penyebaran informasi pada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Epidemiologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari distribusi, frekuensi dan determinan penyakit. Jadi Surveilans Epidemiologi adalah pengumpulan, pengelolahan, analisis data kesehatan secara sistematis, terus - menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi upaya kesehatan, dipadukan dengan diseminasi informasi tepat waktu.3 Surveilans kesehatan masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang epidemiologi, namun dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi di luar bidang epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan luas dalam kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah morbiditas, mortalitas, masalah gizi, demografi, penyakit menular, penyakit tidak menular, demografi, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, dan beberapa faktor risiko pada individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.2 Peran surveilans sangat sentral dalam Sistem Kesehatan Nasional. Surveilans memberi input informasi kepada otoritas kesehatan untuk mengambil tindakan pengendalian penyakit yang cepat dan tepat atau melakukan investigasi lanjut.2

II.1.2 Tujuan Surveilans EpidemiologiSurveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans adalah memonitor kecenderungan (trends) penyakit, mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini, memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi, menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan, mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan dan mengidentifikasi kebutuhan riset.1II.2.1 Surveilans Epidemiologi GonoreWHO memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta penderita baru IMS (Infeksi menularseksual) di negara berkembang seperti di Afrika, Asia, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Di negara industri prevalensinya sudah dapat diturunkan, namun di negara berkembang prevalensi gonore menempati tempat teratas dari semua jenis IMS. Dalam kaitannya dengan infeksi HIV/AIDS, United States Bureau of Census pada 1995 mengemukakan bahwa di daerah yang tinggi prevalensi IMS-nya, ternyata tinggi pula prevalensi HIV/AIDS danbanyak ditemukanperilaku seksual berisiko tinggi. Kelompok seksual berperilaku berisiko tinggi antara lain Pekerja Sex Komersial (PSK). Berdasarkan jenis kelaminnya, PSK digolongkan menjadi female commercial sexual workers (FCSWs) wanita penjaja seks (WPS) dan male commercial sexuall workers (MCSWs).1Gonore adalah penyakit IMS kedua yang paling sering dilaporkan di Amerika Serikat. Studi epidemiologi dan biologis memberikan bukti yang kuat bahwa infeksi gonococcal menyababkan penularan HIV, perilaku seksual seorang individu dapat meningkatkan risiko terjadinya gonore.Menurut The US Centers for Disease Control prevalensi penyakit gonore memperkirakan bahwa lebih dari 700.000 orang di AS mendapat infeksigonore baru setiap tahun. Hanya sekitar separuh dari infeksi ini dilaporkan. Gejala Gonore: walaupunbeberapa kasus bersifat asimtomatik, ketika gejala muncul sering ringan dan biasanya muncul dalam waktu 2-10 hari setelah terpapar.1Selama 19751997, tingkat nasional gonore menurun 74% setelah pelaksanaan program kontrol gonore nasional di pertengahan 1970-an. Setelah penurunan dihentikan selama beberapa tahun, gonore menurun ke 98.1 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2009. Ini adalah tingkat terendah sejak pengamatan gonore dimulai. Tingkat meningkat sedikit di 2010 untuk 100.2 dan meningkat lagi pada 2011 untuk 104.2 per 100.000 penduduk, dengan total 321,849 kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat tahun 2011.4Gonore antara wanita lebih tinggi daripada antara manusia sejak 2002. Selama tahun 2010-2011, tingkat gonore antara perempuan meningkat 3,1%, 108.9 kasus per 100.000 penduduk, dan angka antara laki-laki meningkat 5.1%, 98,7 per 100.000 penduduk.

Grafik 1. Gonore dengan usia dan jenis kelamin, Amerika Serikat 2011

Pada tahun 2011, gonore yang tertinggi ada di antara remaja dan dewasa muda. Pada tahun 2011, tingkat tertinggi diamati antara wanita berusia tahun 2024 (584.2) dan 15-19 tahun (556.5). Di antara pria, tingkat tertinggi adalah di antara umur 2024 tahun (450.6). Pada tahun 2011, usia 1544 tahun sebanyak 94.6% dari kasus gonore yang dilaporkan. Selama tahun 2010-2011, gonore meningkat 5,8% diantaranya berusia 2024 tahun, 4,6% diantaranya berusia 2529 tahun, 6,9% diantaranya berumur 3034 tahun, 2,5% diantaranya berumur 3539 tahun, dan 4,7% diantaranya berusia 4044 tahun. Tingkat gonore menurun 0,1% antara umur 1519 tahun. Di antara wanita berusia 1544 tahun, kenaikan tertinggi adalah di antara umur 4044 tahun (8.4%). Antara laki-laki berusia 1544 tahun, peningkatan tertinggi adalah di antara umur 3034 tahun (8.4%) .4Resistensi antimikroba tetap menjadi pertimbangan penting dalam pengobatan gonore. Pada tahun 1986, Gonococcal Isolate Surveillance Project (GISP), sistem pemantauan keamanan nasional sentinel, didirikan untuk memantau tren dalam keyakinan pribadi antimikroba dari N. gonorrhoeae, strain Inggris, data yang dikumpulkan dari situs sentinel dipilih Sexually Transmitted Diseases (STD) klinik dan laboratorium regional. Dengan ketersediaan baru cefixime, kerentanan pengujian untuk antibiotik oral sefalosporin pada tahun 2009. Kerentanan pengujian untuk sefalosporin, cefpodoxime, dimulai pada 2009. Informasi mengenai kerentanan antimikroba GISP kriteria yang digunakan dapat ditemukan di bagian GISP lampiran, menafsirkan Data pengawasan STD.5,Gonore, jenis IMS klasik yang disebabkan oleh infeksi bakteri Neisseria gonorrhoeae, keberadaannya sudah diketahui sejak zaman Hipocrates, namun sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan yang belum dapat diatasi secara tuntas. Penyakit ini banyak ditemukan hampir di semua bagian dunia. 6,7Laporan WHO pada tahun 1999 secara global terdapat 62 juta kasus baru gonore, 27,2 juta diantaranya terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Amerika Serikat pada tahun 2004 terdapat 330.132 kasus penyakit infeksi bakteri Neisseria gonorrhoeae, dengan rata-rata 113,5 kasus per 100.000 penduduk. Di Jepang terdapatpeningkatan kasus infeksi oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang sudah resisten terhadap Ciprofloxacin, dari 6,6% kasus pada tahun 1993-1994 menjadi 24,4% kasus pada tahun 1997-1998. Di Indonesia, data dari Departemen Kesehatan RI pada tahun 1988, angka insidensi gonore adalah 316 kasus per 100.000 penduduk. Beberapa penelitian di Surabaya, Jakarta, dan Bandung terhadap PSK wanita menunjukkan bahwa prevalensi gonore berkisar antara 7,4-50%. Keberadaan gonorea di masyarakat ibarat gunung es, hanya diketahui sebagian kecil dipermukaan saja namun sesungguhnya lebih banyak kasus yang tidak terungkap datanya.3Menurut data dari Komisi Nasional Anak terdapat sekitar 300.000Pekerja Seks Komersial (PSK) wanita di seluruh indonesia, sekitar 70.000 diantaranya adalah anak dibawah usia 18 tahun. Jumlah PSK wanita yang banyak selain menimbulkan masalah sosial juga menimbulkanbanyak masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang utama terjadi pada PSK adalah Infeksi menular seksual (IMS), yaitu penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. PSK wanita dapat menjadi sumber penularan kepada masyarakat melalui laki-laki konsumennya. IMS yang umum terjadi di masyarakat adalah Gonore (16-57,7% dari kasus IMS), kemudianNon Gonococal uretritis (24-54%), Candidiasis (23%), Tricomoniasis, Syphilis, Condiloma, Genital Herpes.8Data epidemiologis menunjukkan adanya hubungan erat antara Infeksi Menular Seksual (IMS) dengan penularan infesksi HIV. Mengingat hal itu maka penatalaksanaan IMS yang meliputi anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, penyuluhan, konseling dan penatalaksanaan mitra seksual terhadap pasien IMS mempunyai peranan yang penting dalam menanggulangi epidemic HIV tersebut. Beberapa penelitian PMS dan perilaku di lokalisasi telah dilakukan di beberapa propinsi. Penelitian yang dilakukan pada kelompok risiko tinggi di Surabaya tahun 1995 10%-50% menderita Gonorea dan Sifilis, sekitar 10%-15% terinfeksi Chlamydia dan Trichomonas. Di Bandung tahun 1997 sekitar 5%-10% kelompok risiko tinggi yang dilakukan pemeriksaan menderita Chancroid. Prevalensi Gonore dari hasil serosurvei tahun 2000 pada kelompok Risti berkisar 20%-50% (di Tanjung Elmo Jayapura sebesar 24,8%, di Malanu, Sorong sebesar 29,5%). Pada tahun 2003 Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan DepKes, Puslitbangkes, ASA Program-FHI dengan dukungan USAID melakukan penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi yang dilaksnakan di tujuh kota/kabupaten yaitu : Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang dan Bitung. 9Surveilans sentinel pada tahun 2000 memperlihatkan peningkatan prevalensi HIV yang melampaui 5% pada wanita penjaja seks (WPS) di Indonesia. Di lain pihak, prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) yang diketahui mempermudah penularan HIVpada WPS belum diamati secara sistematis. Dari pengukuran sporadik diketahui bahwa prevalensi infeksi gonore dan klamidia di berbagai lokasi WPS di Indonesia sangat tinggi, yaitu berkisar antara 20% - 40%. Prevalensi sifilis di beberapa lokasi antara tahun 1994 sampai 2004 dilaporkan berkisar antara 0 dan 22,2%.9Prevalensi IMS merupakan salah satu indikator biologis yang penting dalam sistem surveilans generasi kedua yang dianjurkan oleh WHO (2000), karena prevalensi IMS yang tinggi merupakan pertanda awal risiko penyebaran HIV. Selain itu, peningkatan penggunaan kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan prevalensi IMS daripada HIV, sehingga dapat menggambarkan perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS. Surveilans prevalensi IMS berperanan penting untuk melihat tren perilaku seksual, potensi penyebaran HIV, dan untuk memonitor, mengevaluasi serta merencanakan upaya penanggulangan IMS/HIV/AIDS.9

Table 1. Prevalensi Infeksi Gonore dan Klamidia pada WPS di Beberapa Lokasi di Indonesia

Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), baik yang ulcerative maupun non-ulcerative, diketahui mempermudah penularan HIV melalui berbagai mekanisme. Tetapi prevalensi IMS/ISR pada WPS di Indonesia belum diamati secara sistematis dan hanya diukur secara sporadis. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi antara tahun 1999 sampai 2000 menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan klamidia yang tinggi (Tabel 1). Prevalensi sifilis di beberapa lokasi antara tahun 1994 sampai 2004 dilaporkan berkisar antara 0 hingga 22,2%.9

Grafik 2. Prevalensi Infeksi Gonore pada WPS di 7 Kota di IndonesiaSecara umum, prevalensi gonore berkisar antara 9% dan 50%; pada WPS lokalisasi antara 16% dan 43%, pada WPS tempat hiburan antara 9% dan 31%, dan pada WPS jalanan antara 28% dan 50%. Prevalensi gonore pada WPS jalanan di Jayapura dan Medan lebih dari 3 kali lipat dibandingkan WPS non-jalanan.Dari data yang diambil dari buku register penyakit menular seksual pasien laki-laki dengan Uretritis Gonore (UG) dan Uretritis Non Gonore (UNG) yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado pada tahun 2009-2011 diperoleh jumlah pasien uretritis total 82 orang: pasien UG 56 orang dan pasien UNG 26 orang.10

Tabel. 2. Distribusi Jenis Penyakit

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan November 2012 Desember 2012, maka didapatkan data pada pasien UG dari tahun 2009-2011 (tiga tahun) berjumlah 56 orang (68,5%) dan pasien UNG berjumlah 26 orang (31,5%). Penelitian Jawas dan Murtiastutik tahun 2002-2006 (lima tahun) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan jumlah pasien baru uretritis gonokokus sebanyak 321 orang (0,065%) dari 4880 pasien PMS. Data ini menunjukkan bahwa jumlah pasien UG di Surabaya masih lebih tinggi dari pada di Manado. Terdapatnya perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan geografi, jumlah penduduk, atau juga karena tidak semua pasien datang berobat ke rumah sakit; ada yang lebih memilih berobat ke dokter praktek umum, puskesmas atau membeli sendiri obat di apotik dengan berbagai alasan seperti rasa malu dan sebagainya.

Distribusi pasien UG dan UNG memperlihatkan kelompok usia terbanyak 25-44 tahun, dengan jumlah pasien UG 35 orang dan UNG 16 orang. Pada Tabel 3 kelompok usia terbanyak yaitu 25-44 tahun sebanyak 51 orang (62%). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Jawas dan Murtiastutik di RSU Dr. Soetomo Surabaya yang terbanyak yaitu usia 25-44 tahun sebanyak 169 orang (52,6%).10 Hal ini mungkin disebabkan usia tersebut merupakan usia seksual aktif, sehingga lebih berisiko terinfeksi berbagai infeksi menular seksual.10Di Indonesia data dari Depkes RI tahun 1997-1998 didapatkan infeksi gonore sebanyak 13.000 kasus pada tahun 1997 dan 20.420 kasus pada tahun 1998. Penyakit ini bisa menular melalui aktifitas seksual. Pelaku aktifitas seksual yang bersifat bebas biasanya dikerjakan oleh para pekerja seks komersial adalah profesi yang dilakukan seseorang (pria atau wanita) dengan cara menjual jasa untuk memuasakan kebutuhan seksual para pelanggannya secara bebas yang dilakukan di luar pernikahan dengan imbalan berupa uang. Lama bekerja sebagai PSK merupakan faktor penting, karena makin besar kemungkinan ia telah melayani pelanggan yang mengidap penyakit menular seksual khususnya gonore.9Salah satu upaya pencegahan infeksi gonore adalah dengan mempromosikan penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah dengan membagikan kondom gratis kepada kelompok yang beresiko. Biasanya kegiatan pembagian kondom gratis dilaksanakan bersamaan dengan upaya penjangkauan sekaligus penyuluhan. Penggunaan kondom yang konsisten pada setiap hubungan seks beresiko, diharapkan berdampak pada penurunan resko penularan infeksi gonore. Penggunaan kondom secara konsisten masih sangat rendah. Kecil presentase penjaja seks yang mengaku selalu menggunakan kondom pada saat hubungan seks dengan kliennya pada satu minggu trakhir. Mengingat pemakaian kondom yang kosisten pada seks komersial merupakan cara untuk mencegah penularan infeksi gonore, maka promosi kondom serta menjamin ketersediaan kondom perlu diupayakan lebih serius.9

BAB IIIPENUTUP

III.1 KESIMPULAN: Surveilans epidemiologi merupakan pengamatan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu, baik keadaaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penaggulangannya. Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Data menunjukkan bahwa jumlah pasien UG di Surabaya masih lebih tinggi dari pada di Manado. Terdapatnya perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan geografi, jumlah penduduk, atau juga karena tidak semua pasien datang berobat ke rumah sakit; ada yang lebih memilih berobat ke dokter praktek umum, puskesmas atau membeli sendiri obat di apotik dengan berbagai alasan seperti rasa malu dan sebagainya. Salah satu upaya pencegahan infeksi gonore adalah dengan mempromosikan penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah dengan membagikan kondom gratis kepada kelompok yang beresiko. Biasanya kegiatan pembagian kondom gratis dilaksanakan bersamaan dengan upaya penjangkauan sekaligus penyuluhan. Penggunaan kondom yang konsisten pada setiap hubungan seks beresiko, diharapkan berdampak pada penurunan resko penularan infeksi gonore.

III.2 SARAN :a. Bagi Petugas KesehatanMelakukan pencatatan dan pelaporan data lengkap dan rutin terhadap setiap penyakit-penyakit yang ada di daerah yang disebabkan oleh penyakit gonore untuk mempermudah kegiatan dari surveilans epidemiologi untuk ditindak lanjuti. Serta terus melakukan upaya promotif kepada masyarakat mengenai pentingnya penggunaan kondom dalam upaya pencegahan dan peningkatan kesehatan masyarakat.

b. Bagi MasyarakatUpaya Pengendalian penyakit gonore tidak hanya dikalangan WPS intervensi yang dilakukan tetapi juga perlu dilakukannya upaya yang proaktif kepada pelanggan. Dan perhatian khusus pada WPS usia muda yang baru bekerja yang mempunyai banyak pelanggan untuk melakukan skrining rutin. Dibutuhkan kesadaran, kemauan, dan kerja sama dari komponen masyarakat dan pemerintah dalam menyehatkan masyarakat Indonesia pada umumnya dalam membentuk Negara yang kuat secara fisik, mental, dan sosial sessuai dengan cita-cita bangsa Indonesia melalui Pembangunan Nasional yang berkesinambungan serta malaporkan kepada pusat pelayanan kesehatan terdekat bila menemukan masalah kesehatan di masyarakat dalam membantu menemukan kasus-kasus yang ada di daerah setempat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers of Disease Control and Prevention. Epidemiology Surveillance. 20112. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. 20033. World Health Organization. Epidemiology Surveillance. 20114. U.S Preventive Services Task Force. Screening for Gonorrhea. Ann Fam Med. 20055. Adler M. Sexually transmitted infections. London. 20046. Da Ros CT, Schmitt CdS. Global epidemiology of sexually transmitted diseases. Androl. 20087. Wisconsin Division of Public Health Communicable Disease Surveillance Guideline Gonorrhea. 20118. Hamzah. 1991. Prevalence and Incidence of STDs9. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Penanganan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular10. Suling P, Kapantow GM. Profil Uretritis Gonokokus dan Non Gonokokus pada Pria di RSUP Prof Dr. R.D. Kandou Manado Periode 2009-2011. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado. 2013

14