surimi_riana natalia s._13.70.0033_e5_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Surimi merupakan produk perantara dalam industri pengolahan ikan. Pada praktikum ini, surimi dibuat dengan bahan baku ikan bawal.TRANSCRIPT
Acara I
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Riana Natalia Setiyawan
NIM: 13.70.0033
Kelompok E5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1. MATERI DAN METODE
1.1. MATERI
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, kain saring, penggiling daging,
freezer, milimeter blok, timbangan analitik, plastik, dan texture analyzer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir,
polifosfat, dan es batu.
1.2. METODE
Ikan bawal dicuci bersih dengan air
mengalir
Daging ikan difilllet dengan cara dibuang bagian
kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.
Bagian daging putihnya diambil sebanyak 100 gram.
Daging ikan digiling hingga halus, selama penggilingan
dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu rendah.
Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring
dengan menggunakan kain saring.
Daging ikan ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok
1, 2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3,
4, 5), dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3% (kelompok 2,
3); 0,5% (kelompok 4, 5).
Plastik diikat dan ditaruh di dalam loyang untuk
kemudian dibekukan dalam freezer selama 1
malam.
Setelah dithawing, surimi diuji kualitas
sensorisnya yang meliputi kekenyalan dan aroma.
Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan
menggunakan texture analyzer.
Surimi dipress dengan
menggunakan presser.
Luas atas =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 +⋯+ hn)
Luas bawah =1
3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 +⋯+ hn)
Luas area basah = Luas atas − Luas bawah
mg H2O =Luas area basah − 8,0
0,0948
Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter
blok untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan Surimi
Kel. Perlakuan Hardness
(gf)
WHC
(mg H2O)
Sensori
Kekenyalan Aroma
1 Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,1% 106,73 268087,13 ++ ++
2 Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,3% 110,22 332457,81 ++ +++
3 Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,3% 152,62 290357,43 +++ ++
4 Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5% 91,879 277594,52 +++ ++
5 Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5% 123,41 327271,52 ++ +++
Keterangan :
Kekenyalan Aroma
+ : tidak kenyal + : tidak amis
+ + : kenyal + + : amis
+ + + : sangat kenyal + + + : sangat amis
Pada Tabel 1., dapat dilihat hasil pengamatan surimi dengan berbagai macam perlakuan
berdasarkan uji hardness, WHC, dan uji sensori masing-masing kelompok. Nilai
hardness surimi tertinggi terdapat pada kelompok E3 yang menggunakan perlakuan
sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%, sedangkan yang terendah terdapat pada
surimi kelompok E4 yaitu sebesar 91,879 gf. Surimi kelompok E2 memiliki nilai WHC
tertinggi sebesar 332457,81 mg H2O dan yang terendah sebesar 268087,13 mg H2O
pada surimi kelompok E1. Berdasarkan uji sensori, surimi kelompok E1, E2, dan E5
memiliki tingkat kekenyalan yang kenyal, sedangkan kelompok E3 dan E4 memiliki
tingkat kekenyalan yang sangat kenyal. Aroma pada surimi kelompok E1, E3, dan E4
yaitu amis, sedangkan pada surimi kelompok E2 dan E5 beraroma sangat amis.
3. PEMBAHASAN
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan protein tinggi,
namun sangat mudah mengalami kerusakan karena memiliki kadar air yang tinggi, pH
yang netral, dan memiliki kecukupan nutrien yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk dapat tumbuh dengan baik pada daging ikan. Selain itu, enzim
autolisis pada ikan juga dapat mengakibatkan kerusakan pada ikan dengan menguraikan
organ-organ pada ikan ketika ikan sudah mati (Zaitzev et al., 1969). Oleh karena itu,
surimi dapat menjadi solusi bagi permasalahan kerusakan ikan dengan menjadi produk
“perantara” dalam industri pengolahan pangan.
Menurut Dey & Debora (2010) dalam Pavarthy & George (2011), surimi merupakan
konsentrat beku dengan protein miofibrial pada otot ikan yang dibuat dengan cara
pembersihan bagian-bagian ikan, mencuci, dan menstabilkannya dengan menambahkan
senyawa krioprotektan. Shahidi & Richard (1991) menjelaskan lebih lanjut bahwa
surimi memiliki kemampuan untuk membentuk gel dan mengikat air, serta minyak.
Surimi yang bermutu baik akan memiliki elastisitas yang tinggi dengan pH ideal sebesar
pH 6,7-7 dan kandungan lemaknya rendah sehingga dapat menurunkan ketengikan yang
terjadi karena proses gelatinisasi (Koswara et al., 2001).
Pada praktikum ini, ikan yang digunakan adalah ikan bawal. Menurut Eigenmann &
Kennedy (1903), ikan bawal (Colossoma macropamum) merupakan ikan yang memiliki
bentuk tubuh yang bulat pipih dengan bentuk kepala yang membulat dan sisiknya
berukuran kecil-kecil, serta hidup di air tawar. Ikan bawal termasuk ke dalam kelompok
omnivora, namun juga dapat dikelompokkan sebagai ikan pemakan daging (karnivora)
karena memiliki gigi yang tajam. Ikan ini memiliki kandungan 84 gram kalori, 18,2
gram protein, 0,7 gram lemak, 44 mg kolesterol, dan 0,4 mg zat besi per 100 gram ikan.
Pengujian yang dilakukan dalam praktikum ini, terdiri dari uji hardness, WHC, dan
kualitas sensori yang meliputi kekenyalan dan aroma. Hal ini dikarenakan gelasi dari
protein ikan merupakan tahapan penting dalam pembuatan surimi yang akan
menentukan tekstur dari produk akhir. Proses gelasi tersebut akan menentukan beberapa
aspek seperti warna, tekstur, dan Water Holding Capacity (WHC), kelembaban, dan
kekuatan gel yang akan mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk
surimi.
Surimi dapat dibuat melalui 2 cara, yaitu cara manual yang meliputi proses filleting,
mixing, leaching, dewatering, dan straining. Kedua, dengan cara mekanis yang
dilakukan dengan menggunakan mesin (Agustiani et al., 2006). Pada praktikum ini
digunakan cara manual. Pertama, ikan dicuci hingga bersih dengan menggunakan air
mengalir dan ditimbang. Menurut Tenuta & Jesus (2003) dalam Piotrowicz & Mellado
(2015), proses pencucian penting dilakukan untuk menghilangkan komponen yang larut
air (pigmen heme) sehingga dapat meningkatkan kualitas tekstur dari surimi.
Booutooma et al (2009) menjelaskan lebih lanjut bahwa proses pencucian akan
mempengaruhi kandungan gizi dan produk yang dihasilkan karena protein miofibril
pada ikan akan mempengaruhi surimi yang dihasilkan. Air pencuci yang baik adalah
pada suhu 10oC-15
oC karena akan dapat diperoleh kekuatan gel terbaik dan tidak
banyak protein larut air yang hilang.
Selanjutnya, ikan bawal difilet dengan membuang bagian kepala, sirip, ekor, isi perut,
dan kulit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suzuki (1981) yang menyatakan bahwa
surimi merupakan produk makanan yang terbuat dari ikan yang sudah dihilangkan isi
perut, sisik, dan ekornya. Kemudian, daging ikan yang telah difilet, ditimbang sebanyak
100 gram dan digiling hingga halus. Selama proses penggilingan, perlu ditambahkan es
batu untuk menjaga suhu tetap rendah. Menurut Shahidi & Richard (1991), tujuan dari
proses penggilingan adalah untuk menjadikan ikan lumat karena surimi merupakan
produk daging lumat. Selain itu, proses penggilingan juga bertujuan untuk memperluas
permukaan dari daging ikan sehingga mempermudah proses selanjutnya. Penambahan
es batu bertujuan untuk menjaga suhu tetap rendah supaya kesegaran ikan dapat tetap
terjaga, menginaktivasi enzim-enzim yang dapat mempercepat kerusakan dan
kebusukan, dan meminimalisir tumbuhnya mikroorganisme pembusuk (Gaman &
Sherrington, 1994). Ikan yang telah halus lalu dicuci dengan menggunakan air es
sebanyak 3x yang diikuti dengan penyaringan dengan menggunakan kain saring. Hal ini
sesuai dengan teori Andini (2006) yang menyatakan bahwa penambahan dan pencucian
dengan menggunakan es batu dapat mempertahankan kandungan daging protein pada
daging ikan. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan komponen-komponen,
seperti lemak, darah, enzim, dan komponen logam, serta substansi yang larut dalam air.
Namun, proses pencucian akan meninggalkan komponen yang tidak larut saat
pencucian, yaitu protein miofibril yang berperan dalam pembentukan gel (Amalia,
2002). Selain itu, proses pencucian dengan menggunakan suhu rendah sekitar 5-10oC
dapat menjaga kesegeran dari ikan yang digunakan (Santana et al., 2012). Tujuan dari
proses penyaringan adalah untuk memisahkan daging ikan dengan air pencucian dan
komponen-komponen yang tidak diharapkan pada proses selanjutnya karena hanya
daging ikan yang akan digunakan pada tahap selanjutnya.
Tahap selanjutnya adalah penambahan perlakuan pada daging ikan berupa sukrosa
sebanyak 2,5% (kelompok E1 dan E2), 5% (kelompok E3-E5); garam sebanyak 2,5%,
dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok E1), 0,3% (kelompok E2 dan E3), dan 0,5%
(kelompok E4 dan E5). Penambahan perlakuan dimaksudkan untuk meningkatkan citra
rasa, memberi nilai nutrisi dalam bahan pangan, dan menjaga tekstur surimi (Winarno et
al., 1980). Menurut Santana et al. (2012), pada proses pembuatan surimi perlu
ditambahkan sukrosa, garam, dan polifosfat. Sukrosa merupakan kelompok senyawa
krioprotektan yang berperan sebagai anti-denaturasi protein pada proses pembekuan
maupun penyimpanan beku. Penambahan sukrosa ini bertujuan untuk meningkatkan N-
aktomiosis dan kekuatan gel karena dapat terjadi peningkatan konsentrasi garam
mineral dan substansi organik terlarut pada fase sebelum terjadi pembekuan di dalam
sel. Selain itu, penggunaan sukrosa sebagai senyawa krioprotektan dapat meningkatkan
kemampuan pengikatan air, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari protein
(Zhou et al., 2006). Namun, penambahan sukrosa dalam konsentrasi yang tinggi yaitu
hingga di atas 8% akan dapat mengakibatkan pada rasa manis yang tidak disukai oleh
konsumen dan dapat mengakibatkan terjadinya reaksi Maillard sehingga akan
mengubah warna surimi menjadi cokelat pada saat proses pembekuan (Huda et al.,
2011). Garam digunakan sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambahan aroma.
Namun, tujuan utama dari penambahan garam adalah untuk melepaskan miosin dari
serat-serat ikan yang akan mempengaruhi kekuatan pembentukan gel (Winarno et al.,
1980). Shimizu et al. (1994) menjelaskan lebih lanjut bahwa penambahan konsentrasi
garam kurang dari 2% akan mengakibatkan protein miofibril tidak larut, tetapi
penambahan di atas 12% akan menyebabkan protein miofibril terhidrasi sehingga terjadi
salting out. Oleh karena itu, pada praktikum ini digunakan konsentrasi garam sebesar
2,5% dari 100 gram daging ikan untuk melarutkan protein miofibril sehingga diperoleh
adonan yang elastis. Polifosfat yang ditambahkan bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan daya ikat air (WHC) dari protein sehingga dapat memberikan tekstur yang
lembut dan kenyal pada surimi. Selain itu, polifosfat dapat bersinergi untuk
meningkatkan performa dari krioprotektan dan juga sebagai senyawa pengkelat logam
(Shaviko et al., 2010). Menurut Suzuki (1981), proses pembuatan surimi dengan
penambahan garam disebut dengan ka en surimi. Dengan demikian penambahan
sukrosa, garam, dan polifosfat sudah sesuai dengan teori yang ada.
Setelah itu, bahan dimasukkan ke dalam plastik dan dibekukan selama 1 malam.
Menurut Anonim (1987), penggunaan jenis yang terbaik adalah jenis plastik PE karena
produk surimi akan disimpan difreezer, dimana plastik jenis PE memiliki barrier yang
baik pada suhu rendah. Selain itu, Miyake et al. (1985), menjelaskan lebih lanjut bahwa
proses pengemasan dengan menggunakan plastik untuk mencegah terjadinya oksidasi
akibat kontak langsung dengan produk, dimana surimi mengandung sedikit lemak yang
dapat menyebabkan terjadinya oksidasi yang mengakibatkan pada timbulnya ketengikan
pada produk. Jin et al. (2007) dalam Piotrowicz & Mellado (2015) menjelaskan lebih
lanjut bahwa lemak yang rendah pada surimi dapat memberikan dampak yang positif
terhadap kualitas surimi karena oksidasi lemak dapat berinteraksi dengan protein yang
dapat menyebabkan denaturasi, polimerasi dan perubahan fungsi pada material
penyusunnya. Selanjutnya, surimi yang telah dibekukan akan dithawing dan diukur
hardness, WHC, dan kualitas sensori yang meliputi kekenyalan dan aroma. Menurut
Pan et al. (2010) dalam Nopianti et al. (2012), pembekuan merupakan teknik yang
sangat efektif untuk dapat mengawetkan surimi.
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh data nilai hardness tertinggi sebesar 152,62 gf
pada surimi kelompok E3 yang mendapat perlakuan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan
polifosfat 0,3%; sedangkan yang terendah terdapat pada kelompok E4 yaitu sebesar
91,879 gf yang mendapat perlakuan berupa penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan
polifosfat 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar polifosfat yang
digunakan, maka akan menghasilkan surimi dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah
atau dapat dikatakan lebih empuk. Menurut Tan et al. (1988), penambahan polifosfat
bertujuan untuk meningkatkan sifat elastisitas dan kelembutan dari surimi yang
dihasilkan. Dengan demikian, hasil yang diperoleh dalam praktikum ini telah sesuai
dengan teori yang ada. Namun, terdapat beberapa penyimpangan, antara lain tingkat
kekerasan surimi kelompok E1 dan E2 yang lebih rendah dari surimi kelompok E3. Hal
ini dapat dikarenakan perbedaan tingkat kehalusan dari ikan ketika digiling sehingga
memungkinkan surimi antara kelompok satu dengan yang lain memiliki tingkat
kelumatan daging yang berbeda yang secara tidak langsung mempengaruhi tingkat
kekerasan dari surimi yang dihasilkan.
Selain itu, penambahan polifosfat juga ditujukan untuk meningkatkan daya ikat air
(Water Holding Capacity/ WHC). Tan et al. (1988) menjelaskan bahwa polifosfat tidak
termasuk ke dalam kelompok senyawa krioprotektan tetapi penambahannya dapat dapat
meningkatkan WHC dan meningkatkan sifat pasta sehinga produk surimi menjadi lebih
halus. Hal ini sejalan dengan teori penambahan sukrosa, dimana semakin besar
konsentrasi sukrosa yang ditambahkan, maka nilai WHC-nya juga semakin tinggi
(Wiguna, 2005). Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil nilai WHC tertinggi
terdapat pada kelompok E2 sebesar 332457,81 mg H2O dan terendah pada produk
surimi kelompok E1 sebesar 268087,13 mg H2O. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori
di atas. Nilai WHC kelompok E2 dan E3 lebih besar dari surimi yang diberi
penambahan polifosfat 0,5%, dimana seharusnya nilai WHC tertinggi terdapat pada
surimi kelompok E4 dan E5. Penyimpangan yang terjadi dapat disebabkan oleh
kekurangtelitian praktikan dalam melakukan prosedur yang ada. Salah satunya adalah
ketika melakukan pengepresan bisa saja surimi belum selesai melebar, proses
pengepresan sudah dihentikan. Selain itu, juga dapat dikarenakan polifosfat dan sukrosa
yang tidak terserap secara sempurna pada adonan surimi.
Berdasarkan hasil analisa sensori kekenyalan, diperoleh hasil surimi kelompok E1, E2,
dan E5 memiliki tingkat kekenyalan yang kenyal, sedangkan surimi kelompok E3 dan
E4 memiliki tingkat kekenyalan yang sangat kenyal. Menurut Toyoda et al. (1992),
penambahan polifosfat akan mempengaruhi konsentrasi surimi, dimana semakin tinggi
konsentrasi yang ditambahkan maka tekstur akan menjadi sangat lembut. Demikian pula
dengan penambahan sukrosa. Semakin tinggi sukrosa yang ditambahakan, maka surimi
akan menjadi semakin kenyal. Hal ini dikarenakan sukrosa meningkatkan efek dari
krioprotektan yang berfungsi untuk mencegah denaturasi protein pada proses
pembekuan. (Park & Lin, 2005 dalam Pavarthy & George, 2011). Hasil yang diperoleh
kurang sesuai dengan teori yang ada, dimana seharusnya surimi kelompok E1 memiliki
tingkat kekenyalan yang paling rendah dan surimi kelompok E4 dan E5 memiliki
tingkat kekenyalan yang paling tinggi. Hasil yang terlihat paling menyimpang dari teori
adalah surimi kelompok E5 yang seharusnya sangat kenyal. Penyimpangan yang terjadi
dapat disebabkan oleh kesubjektifan dalam melakukan uji organoleptik.
Hasil pengamatan uji sensoris berupa aroma menunjukkan hasil bahwa surimi
kelompok E1, E3, dan E4 memiliki aroma yang amis, sedangkan kelompok E2 dan E5
memiliki aroma yang sangat amis. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang disampaikan
oleh Santana et al. (2012) yang menyatakan bahwa proses pencucian bertujuan untuk
menghilangkan komponen-komponen yang tidak diinginkan seperti darah, pigmen, dan
pengotor lainnya. Salah satu penyebab timbulnya bau amis adalah darah. Oleh karena
itu, penyimpangan yang terjadi dapat dikarenakan praktikan yang tidak melakukan
prosedur dengan benar pada saat proses pencucian sehingga menimbulkan aroma yang
manis pada produk akhir surimi. Selain itu, juga dapat dikarenakan panelis yang
menguji sensori aroma memiliki tingkat kepekaan yang sangat sensitif terhadap produk
ikan dan tidak terbiasa dengan aroma ikan sehingga ketika melakukan sensori merasa
aromanya sangat amis.
Menurut Djazuli et al. (2009), faktor yang mempengaruhi kualitas dari surimi antara
lain :
a. Tingkat kesegaran ikan
Ikan yang yang digunakan merupakan ikan yang segar dengan kriteria daging
bewarna putih, tidak berbau lumpur, dan tidak terlalu amis.
b. pH
pH merupakan salah satu faktor yang sangat berpegaruh terhadap pembentukan
kekuatan gel dari surimi. pH optimal untuk pembentukan gel yang kuat adalah pH
7-7,5 untuk daging putih ikan (Nopianti et al., 2012).
c. Kandungan lemak
Ikan yang dianjurkan untuk digunakan dalam pembuatan surimi adalah ka dengan
kandungan lemak yang rendah. Hal ini diperuntukkan mengurangi resiko terjadinya
oksidasi yang mengakibatkan produk menjadi tengik.
d. Waktu dan Suhu
Produk surimi menjadi kurang baik ketika proses penyimpanannya terlalu lama.
Hal tersebut menyebabkan kualitas pembentukan gelnya menjadi rendah. Selain itu,
penggunaan suhu yang kurang tepat juga dapat mengurangi jumlah protein pada
ikan sehingga mempengaruhi kekuatan gelnya. Arfat & Benjakul (2012)
menambahkan bahwa suhu yang terbaik untuk inkubasi adalah 25-40oC karena
pada suhu lebih dari 60oC, kekuatan gel akan melemah dan menurunkan kualitas
surimi.
Arfat & Benjakul (2012) menambahkan bahwa tidak semua jenis ikan dapat digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan surimi, seperti ikan yang mengandung enzim proteolitik
karena dapat menghambat pembentukan gel pada produk surimi. Selain itu, tidak semua
ikan beku dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan surimi karena produk surimi
sangat bergantung pada protein dalam pembentukan gelnya, dimana pada saat
pembekuan dapat terjadi denaturasi protein.
4. KESIMPULAN
Surimi merupakan konsentrat beku yang diperoleh dengan membersihkan bagian-
bagian ikan, mencuci, dan menstabilkannya dengan menambahkan senyawa
krioprotektan.
Tidak semua jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan surimi.
Proses pembuatan surimi secara manual meliputi proses filleting, mixing, leaching,
dewatering, dan straining.
Penggunaan suhu rendah pada saat pencucian dan penggilinhan adalah untuk
mempertahankan kandungan protein serta menjaga kesegaran dari ikan.
Sukrosa merupakan senyawa krioprotektan yang dapat meningkatkan kemampuan
pengikatan air, mencegah pertukaran molekul-molekul protein, dan air.
Garam berfungsi untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang akan
mempengaruhi kekuatan pembentukan gel dan sebagai bumbu.
Polifosfat digunakan untuk meningkatkan kemampuan daya ikat air (WHC).
Kualitas ikan dipengaruhi oleh tingkat kesegaran ikan, pH, kandungan lemak,
waktu, dan suhu.
Semakin tinggi kadar polifosfat, maka akan menghasilkan surimi yang semakin
tidak keras dan menjadi lebih kenyal dengan nilai WHC yang semakin tinggi.
Semakin tinggi kadar glukosa yang digunakan, maka nilai WHC surimi akan
menjadi semakin tinggi dengan tingkat kekenyalan yang semakin kenyal.
Proses pencucian dapat menghilangkan bau amis pada produk akhir surimi.
Semarang, 30 Oktober 2015
Praktikan Asisten Dosen
-Yusdika Bayu S.
Riana Natalia Setiyawan
13.70.0033
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrat Yasir, A & Benjakul, S. (2012). Gelling characteristics of surimi from yellow
stripe trevally (Selaroides leptolepis).
http://www.intaquares.com/content/4/1/5. Diakses pada tanggal 19 Oktober
2015.
Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk
Perikanan Universitas Diponegoro Press. Semarang.
Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis
sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Bogor :
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Andini Y. S. (2006). Karakteristik Surimi Hasil Ozonisasi Daging Merah Ikan
Tongkol(Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Anonim. (1987). Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Direktorat Jendral Perikanan
Departemen Pertanian. Jakarta.
Bourtooma, T., Chinnan, M.S., Jantawat P., Sanguandeekul R. (2009). Recovery and
Characterization of Proteins Precipitated from Surimi Wash-Water.
Djazuli, N et al. (2009). Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan
“By-Catch” Pukat Udang di Laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Eigenmann, C.H. and C.H. Kennedy. (1903). On a collection of fishes from Paraguay,
with a synopsis of the American genera of cichilds. Proc. Acad. Nat.
Sci.Priladelphia, 55: 497-537
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Huda, N., Leng, O.H., and Nopianti, R. (2011). Cryoprotective Effects of Different
Levels of Polydextrose in Threadfin Bream Surimi During Frozen Storage.
Journal of Fisheries and Aquatic Science 6 (4): 404-416,2011. ISSN 1816-4927/
DOI: 10.3923/jfas.2011.404.416.
Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri.
Jakarta: UI Press.
Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi
Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.
Nopianti., R., Huda, N., Fazilah, A., Ismail., N., & Easa, A.M. (2012). Effect of
Different Types of Low Sweetness Sugar on Physicochemical Properties of
Threadfin Bream Surimi (Nemipterus spp.) During Frozen Storage. International
Food Research Journal 19 (3): 1011-1021 (2012).
Piotrowicz, I.B.B. and Mellado, M.M.S. (2015). Chemical, Technological and
Nutritional Quality of Sausage Processed With Surimi. International Food
Research Journal 22(5): 2103-2110 (2015).
Santana, P, Huda. N., & Yang T.A. (2012). Technology for Production of Surimi
Powder and Potential of Applications. International Food Research Journal
19(4): 1313-1323 (2012)
Shahidi, Fereidoon and J. Richard Botta. (1991). Seafoods: Chemistry, Processing
Technology and Quality. Blackie Academic and Professional. Glasgow.
Shaviklo, G. R., Gudjon T., and Sigurjon Arason. 2010. The Influence of Additives and
Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein
Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340.
Shimizu Y., Toyohara H., Lanier T.C. (1994). Surimi Production from Fatty and Dark-
Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi
Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.
Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied
Science Publ Ltd.
Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the
Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.Marine
Fisheries.Research Department-South East Asia Fisheries Development Center.
Singapore.
Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992)
Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by
Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerellapinodes. Plant
Cell Physiol. 33: 445-452.
U, Pavarthy and George, Sajan. (2011). Influence of Cryoprotectant Levels on Storage
Stability of Surimi From Nemipterus Japonicus and Quality of Surimi-Based
Products. J Food Sci Technol (May 2014) 51(5):982–987. DOI 10.1007/s13197-
011-0590-y.
Wiguna, A. N. (2005). Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging
Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa
(Trygon sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Winarno F.G., Fardiaz S., Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Zaitsev, V.; I. Kizevetter; L. Lagunov; T. Makarova; L. Minder & V. Podselalov.
(1969). Fish Curing and Processing. MIR Publishers. Moscow.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006). Cryoprotective Effect of Trehalose
and Sodium Lactate on Tilapia (Sarotherodon nilotica) Surimi Durimg Frozen
Storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus Perhitungan WHC (mg H2O):
L =1
3 (a) (h0 + 4(h1) + 2(h2) + 4(h3) + hn)
L =1
3 (a) (h0 + 4(h1) + 2(h2) + 4(h3) + hn)
L = L − L
g H2O =L − 8,0
0,0948
Kelompok E1
L =1
3 (4 ) (11 + 4(188) + 2(204) + 4(19 ) + 110)
L = 332 3,33
L =1
3 (4 ) (11 + 4(3 ) + 2(13) + 4(30) + 110)
L = 8 0,
L = 332 3,33 − 8 0, = 2 422,
g H2O =2 422, − 8,0
0,0948= 2 808 ,13
Kelompok E2
L =1
3 (48, ) (120 + 4(22 ) + 2(238) + 4(22 ) + 102)
L = 40 13,
L =1
3 (48, ) (120 + 4(33) + 2(19) + 4(41) + 102)
L = 8988,
L = 40 13, − 8988, = 31 2
g H2O =31 2 − 8,0
0,0948= 3324 ,81
Kelompok E3
L =1
3 ( 0) (12 + 4(199) + 2(20 ) + 4(202) + 93)
L = 3 284,0 9
L =1
3 ( 0) (12 + 4(3 ) + 2(33) + 4(39) + 93)
L = 9 0,19
L = 3 284,0 9 − 9 0,19 = 2 33,884
g H2O =2 33,884 − 8,0
0,0948= 2903 ,43
Kelompok E4
L =1
3 (49) (104 + 4(183) + 2(188) + 4(1 ) + 103)
L = 329 0,2
L =1
3 (49) (104 + 4(19) + 2(10) + 4(2 ) + 103)
L = 4 ,31
L = 329 0,2 − 4 ,31 = 2 323,9
g H2O =2 323,9 − 8,0
0,0948= 2 94, 2
Kelompok E5
L =1
3 ( 0) (82 + 4(204) + 2(222) + 4(203) + )
L = 3 1 ,
L =1
3 ( 0) (82 + 4(21) + 2(1 ) + 4(24) + )
L = 133,33
L = 3 1 , − 133,33 = 31033,34
g H2O =31033,34 − 8,0
0,0948= 32 2 1, 2
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal