suku akit.docx

10
Suku Akit di Riau Salah Satu Suku Asli Riau Sumatera merupakan tempat tinggal bagi suku-suku besar yang mempunyai tradisi budaya terkenal seperti Aceh, Batak, Minangkabau dan Melayu. Selain itu terdapat juga sejumlah suku-suku minoritas dan nyaris tidak dikenal. Sebagian besar suku ini terdapat di dataran rendah Sumatera sebelah timur dimana mereka pernah hidup secara tradisional di kawasan hutan luas diantara sungai-sungai penting maupun rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai. Di pedalaman terdapat Orang Sakai yang berada diantara Sungai Rokan dan Siak, Orang Petalangan diantara sungai Siak dan Kampar dan diantara Sungai Kampar dan Indragiri, dan Orang Talang Mamak diantara sungai Indragiri dan Batang Hari. Ada juga Orang Batin Sembilan di kawasan antara sungai Batang Hari dan Musi, khususnya di sisi perbatasan propinsi Jambi. Suatu populasi yang mempunyai hubungan erat dengan Orang Batin Sembilan berada dan pernah hidup secara tradisional di kawasan sisi perbatasan Sumatera Selatan. Kawasan-kawasan lebih kecil yang terbentuk oleh banyak cabang sungai di hulu DAS Batang Hari dan DAS Musi merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang menamakan dirinya sebagai Orang Rimba. Satu-satunya suku minoritas yang tidak tinggal di pedalaman diantara sungai-sungai adalah Orang Bonai. Mereka mendiami daerah berawa di pertengahan DAS Sungai Rokan yang bersebelahan dengan kawasan Orang Sakai. Di kawasan pantai tedapat Orang Akit tepatnya di pulau Rupat diantara muara sungai Siak dan Rokan dan Orang Utan di beberapa pulau dan tanah daratan antara kuala Sungai Siak dan Kampar. Kemudian diantara kuala sungai Kampar dan Batang Hari terdapatOrang Kuala atau dalam bahasa mereka disebut Duano. Di pulau-pulau lepas pantai tedapat berbagai sub-kelompokOrang Laut dari kepulauan Riau dan Lingga. Selain itu juga terdapat keturunan Orang Darat yang dulunya hidup di pedalaman pulau-pulau Riau yang besar, namun keadaan mereka sekarang tidak diketahui. Di Sumatera Selatan terdapat Orang Sekak di kawasan pesisir kepulauan Bangka dan Belitung. Pada waktu dulu mereka biasa hidup berpindah-pindah sebagai orang perahu. Yang tersisa adalah Orang Lom, disebelah utara pulau Bangka. Dalam kemajemukan bangsa Indonesia terdapat berbagai suku bangsa yang hingga sekarang ini kita sebut “suku-suku bangsa terasing”, suatu istilah yang kini terasa kurang positif. Ketika istilahnya diajukan, maksudnya ialah untuk menunjuk pada “keterasingan” dalam arti geografis karena daerah yang dihuni

Upload: mumu-ea

Post on 02-Feb-2016

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Suku Akit.docx

Suku Akit di Riau

Salah Satu Suku Asli Riau

Sumatera merupakan tempat tinggal bagi suku-suku besar yang mempunyai tradisi

budaya terkenal seperti Aceh, Batak, Minangkabau dan Melayu. Selain itu terdapat juga

sejumlah suku-suku minoritas dan nyaris tidak dikenal. Sebagian besar suku ini terdapat di

dataran rendah Sumatera sebelah timur dimana mereka pernah hidup secara tradisional di

kawasan hutan luas diantara sungai-sungai penting maupun rawa-rawa pantai dan pulau-

pulau lepas pantai.

Di pedalaman terdapat Orang Sakai yang berada diantara Sungai Rokan dan

Siak, Orang Petalangan diantara sungai Siak dan Kampar dan diantara Sungai Kampar dan

Indragiri, dan Orang Talang Mamak diantara sungai Indragiri dan Batang Hari.

Ada juga Orang Batin Sembilan di kawasan antara sungai Batang Hari dan Musi,

khususnya di sisi perbatasan propinsi Jambi. Suatu populasi yang mempunyai hubungan erat

dengan Orang Batin Sembilan berada dan pernah hidup secara tradisional di kawasan sisi

perbatasan Sumatera Selatan. Kawasan-kawasan lebih kecil yang terbentuk oleh banyak

cabang sungai di hulu DAS Batang Hari dan DAS Musi merupakan tempat tinggal bagi orang-

orang yang menamakan dirinya sebagai Orang Rimba. Satu-satunya suku minoritas yang

tidak tinggal di pedalaman diantara sungai-sungai adalah Orang Bonai. Mereka mendiami

daerah berawa di pertengahan DAS Sungai Rokan yang bersebelahan dengan kawasan Orang

Sakai.

Di kawasan pantai tedapat Orang Akit tepatnya di pulau Rupat diantara muara sungai

Siak dan Rokan dan Orang Utan di beberapa pulau dan tanah daratan antara kuala Sungai

Siak dan Kampar. Kemudian diantara kuala sungai Kampar dan Batang Hari terdapatOrang

Kuala atau dalam bahasa mereka disebut Duano.

Di pulau-pulau lepas pantai tedapat berbagai sub-kelompokOrang Laut dari kepulauan

Riau dan Lingga. Selain itu juga terdapat keturunan Orang Darat yang dulunya hidup di

pedalaman pulau-pulau Riau yang besar, namun keadaan mereka sekarang tidak diketahui.

Di Sumatera Selatan terdapat Orang Sekak di kawasan pesisir kepulauan Bangka dan

Belitung. Pada waktu dulu mereka biasa hidup berpindah-pindah sebagai orang perahu. Yang

tersisa adalah Orang Lom, disebelah utara pulau Bangka.

Dalam kemajemukan bangsa Indonesia terdapat berbagai suku bangsa yang hingga

sekarang ini kita sebut “suku-suku bangsa terasing”, suatu istilah yang kini terasa kurang

positif. Ketika istilahnya diajukan, maksudnya ialah untuk menunjuk pada “keterasingan”

dalam arti geografis karena daerah yang dihuni suku-suku bangsa bersangkutan, memang

sulit dijangkau. Mereka umumnya bermukim dalam wilayah yang sangat terpencil. Akan

tetapi, selanjutnya lebih diakui “keterasingan” mereka dalam arti sosial budaya, yaitu

terdapatnya kesenjangan sosial-budaya suku-suku bangsa dengan keadaan bangsa

Indonesia.

Page 2: Suku Akit.docx

Kelambanan dan kurang berhasilnya program pembinaan komunitas adat terpencil di

Indonesia pada umumnya, bukanlah semata-mata karena keterbatasan dana, data, dan

tenaga trampil, melainkan juga karena belum ditemukannya rancangan program pembinaan

yang terarah dan teruji sesuai dengan konsep sosial budaya Masyarakat Suku Akit itu sendiri.

Menurut Mozkowski (1908, 1909) dan Loeb (1935) pola kehidupan Masyarakat suku

Sakai pada dasamya adalah mengembara. Mereka hidup dari meramu hasil hutan, berburu

hewan liar dan menangkap ikan, sambil menanami ladang mereka pun menanam ubi kayu

beracun (ubi menggalo). Kebiasaan mengembara tersebut berubah karena ada perintah dari

Sultan Siak yang mengliaruskan mereka menanami ladang mereka dengan padi. Kewajban

menanam padi di ladang ini dilakukan dengan pengawasan yang ketat oleh para halin (kepala

dukuh) yang bersangkutan, disertai sanksi yang keras. Penanaman padi dilakukan dengan

berbagai upacara yang bersifat sakral. Penanaman uhi menggalo, yang sebenamya

merupakan makanan pokok Masyarakat suku Sakai, tidak dilakukan dengan perawatan yang

sungguh-sungguh dan tidak disertai dengan upacara apa pun.

Pada masa lampau kegiatan hidup mereka lebih banyak dilakukan di perairan laut dan

muara-muara sungai. Mereka mendirikan rumah di atas rakit-rakit yang mudah di pindahkan

dan satu tepian ke tepian lain. Daerah mereka termasuk ke dalam kepenghuluan Hutan

Panjang, kecamatan Rupat, kabupaten Bengkalis. Jumlah populasinya sekitar 3.500 jiwa.

Menurut cerita orang tua-tua mereka, nenek moyang orang Akit berasal dan salah

satu anak suku Kit yang menghuni daratan Asia Belakang. Karena suatu alasan mereka

mengembara ke selatan, melewati Semenanjung Malaka. Keadaan telah memaksa mereka

mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan bergerak di atas rakit dan

sampan. Dengan demikian mereka telah mulai mengembangkan kehidupan adaptif di

perairan kepulauan Riau. Orang Akit menggantungkan kehidupannya kepada kegiatan

berburu, menangkap ikan dan mengolah sagu. Mereka berburu babi hutan, kijang atau kancil

dengan menggunakan sumpit bertombak, panah, dan kadangkala pakai perangkap. Teman

setia mereka untuk perburuan macam itu adalah anjing.

Orang Akit memiliki adat kebiasaan bersunat yang sebenarnya sudah jauh sebelum

agama Islam masuk. Prinsip garis keturunan mereka cenderung patrilineal. Selesai upacara

perkawinan seorang isteri segera dibawa oleh suaminya ke rumah mereka yang baru, atau

menumpang sementara di rumah orang tua suami. Pemimpin otoriter boleh dikatakan tidak

kenal dalam Masyarakat Suku Akit sederhana ini, tetapi karena pengaruh kesultanan Siak

masa dulu sukubangsa Akit mengenal juga pemimpin kelompok yang disebut batin. Orang

Akit dikenal pemberani dan berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya. Sehingga

mereka diajak bekerja sama memerangi Belanda yang pada zaman itu sering menangkapi

orang Akit untuk dijadikan budak. Mereka menyebut orang Melayu sebagai orang selam,

maksudnya Islam. Sistem kepercayaan aslinya berorientasi kepada pemujaan roh nenek

moyang. Pada masa sekarang sebagian orang Akit sudah memeluk agama Budha, terutama

lewat perkawinan perempuan mereka dengan laki-laki keturunan Tionghoa.

Orang Akit mengenal tiga tahapan penting dalam kehidupan manusia:

1. Hamil dan melahirkan bayi,

2. Perkawinan,

Page 3: Suku Akit.docx

3. Kematian.

Tahap-tahap tersebut dianggap sebagi puncak-puncak peristiwa dalam hidup tetapi

juga sebagai tahap-tahap yang paling berbahaya. Untuk itu ada sejumlah upacara yang

bertujuan agar dalam peristiwa-peritiwa penting tersebut si pelaku dan keluargannya serta

Masyarakat Suku Akit tempatnya hidup dapat selamat dari segala bahaya. Segala peristiwa

penting yang menyangkut kehidupan manusia secara individual tersebut berlaku dalam

kehidupan keluarga. Suatu keluarga Masyarakat suku Akit pada dasarnya adalah keluarga inti

yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka. Ada juga keluarga Masyarakat suku

Akit yang luas, ditambah dengan salah satu orangtua istri atau suami, atau kemenakan yang

menumpang sementara. Jumlah keluarga luas dalam Masyarakat Akit tidak banyak, karena

keadaan seperti itu dianggap sebagai terkecualian untuk menolong orang jompo atau yang

memerlukan pertolongan sementara.

Salah satu ciri Masyarakat suku Akit sebagaiman dilihat oleh orang Melayu adalah

agama mereka bersifat animistik. Agama asli Masyarakat suku Akit memang berdasarkan

kepercayaan pada berbagai mahluk halus, ruh, dan berbagai kekuatan gaib dalam alam

semesta, khususnya dalam lingkungan hidup manusia mempunyai pengaruh terhadap

kesejahteraan hidup mereka. Mahluk gaib ini mereka namakan antu, Sedangkan Mozkowski

(1908, 1909) dan Loeb (1935) menyebutkan bahwa Masyarakat suku Sakai percaya kepada

Betara Guru.

Masyarakat suku Akit dikenal oleh orang Melayu sebagai pembuat anyaman tikar dan

rotan yang baik. Hal ini disebabkan karena sebagian besar peralatan yang mereka gunakan

dibuat dengan cara mengikat dan menganyam. Mereka menganyam berbagai wadah untuk

menyimpan dan mengangkut barang dari rotan, daun rumbia, daun kapau, dan kulit kayu. Di

masa lampau mereka juga membuat pakain dari kulit kayu yang dipukul sedemikian rupa

sehingga menjadi tipis, halus seta kuat. Namun yang lebih unik lagi, dalam berbagai hal

tersebut mereka tidak menggunakan paku sebagai pengaitnya.

Selain menganyam yang merupakan keahlian dan kebiasaan hidup mereka sehari-

hari, nampaknya tidak ada bentuk kerajinan lainnya. Kesenian yang biasa mereka nikmati

Ungkapan adalah dikir (yang sebetulnya adalah upacara pengobatan secara ungkapan

kesenian dalam bentuk nyanyian atau puisi tidak dikenal. Tetapi dongeng-dongeng yang

bersifat fabel masih (sering diceritakan kepada anak-anak mereka). Terutama dongeng

mengenai si kancil, dongeng ini mempunyai makna simbolik bagi identitas diri mereka yang

terbelakang, hanya dengan kecerdikan sajalah mereka dapat mengatasi segala kesulitan

hidup.

Dalam kehidupan Masyarakat suku Akit setiap keluarga harus mempunyai sebidang

ladang. Karena hanya dan hasil ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan

mereka sehari-hari. Juga, lahan di ladang itulah mereka hidup, yaitu membangun rumah,

membentuk keluarga, merasa aman dan menemukan jati diri mereka. Mereka dibesarkan di

ladang dan membesarkan anak-anak mereka.

Page 4: Suku Akit.docx

SUKU AKIT

Orang Akit atau orang Akik, adalah kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang dan Kecamatan Rupat di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sebutan “Akit” diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka berlangsung di atas rumah sakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.

Orang Akit telah bermukim di daerah ini sejak waktu lampau. Keberadaan mereka dibuktikan dengan adanya catatan sejarah yang menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin hubungan dengan Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa. Pasukan Belanda yang mencoba menanamkan pengaruhnya di daerah ini tercatat mengalami beberapa perlawanan dari orang Akit. Pasukan Akit dikenal dengan senjata tradisional berupa panah beracun dan sejenis senjata sumpit yang ditiup.

Mata pencaharian pokok orang Akit adalah menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu sagu. Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap. Pengambilan hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya disesuaikan dengan jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau binatang laut lainnya mereka lakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan memasang perangkap ikan (bubu). Hasil meramu sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan sagu selama beberapa bulan.

Hubungan orang Akit dengan masyarakat lain di sekitarnya boleh dikatakan sangat jarang. Hal ini didukung oleh kecenderungan mereka untuk mempertahankan identitas mereka. Beberapa waktu lampau mereka memang masih sering digolongkan sebagai “suku bangsa terasing”. Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan menjalin hubungan dengan mereka, karena orang Akit dipercaya memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam dan obat-obatan yang dapat membahayakan. Kesulitan menjalin hubungan yang disebabkan karena seringnya mereka berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa kalangan sudah mencoba meningkatkan taraf hidup mereka, antara lain, dengan mendirikan pemukiman tetap dan mengajarkan cara-cara bercocok tanam dengan teknik pertanian modern.

Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.

Komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu. Walaupun sudah mengenal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, sebagian besar dari mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama Budha mereka terima dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang banyak datang dan menetap ke daerah ini. 

SUKU SAKAI

Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.

Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di

Page 5: Suku Akit.docx

Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.

a.        Asal-usul suku SakaiAda yang berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung hijrah

dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu. Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku Sakai ini. Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu.

Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.

Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri, pendapat ini dianggap yang lebih benar, karena mereka meyakini bahwa leluhur mereka memang berasal dari Negeri Pagarruyung.

Bisa jadi anggapan pertama benar adanya, namun bisa juga kedua anggapan tersebut benar. Karena begitu banyaknya tersebar masyarakat suku Sakai ini di sepanjang daratan Riau dan juga Jambi. Populasi Suku Sakai yang terbesar hingga saat ini terdapat di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat).

b.        Arti Nama SakaiNama Sakai konon berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Maknanya,

mereka adalah anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan.

Jelas julukan ini diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau.

c.        KepercayaanSalah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang Melayu adalah

agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya

Page 6: Suku Akit.docx

manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.

d.        Perkembangan Dan Pertumbuhan Didaerah GlobalisasiKehidupan masyarakat Sakai saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh pendatang serta pekerja

perkebunan dari tanah Jawa, Medan, Padang dan juga beberapa daerah di Sumatra lainnya. Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman penduduk baru serta program transmigrasi, telah mempengaruhi cara pemikiran dan juga pola hidup suku sakai.

Mereka kini jarang yang hidup di hutan, tetapi menetap bersama-sama dengan pendatang. Kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai, kini berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen. Sehingga keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut 'Antu, tidak lagi menyelimuti kehidupan mereka. Anak-anak Suku Sakai pun sudah memasuki sekolah.

Diharapkan, kedepan, keterbelakangan Suku Sakai bisa diatasi, dengan mengikutsertakan mereka pada program-program pembangunan

Page 7: Suku Akit.docx

Sejarah Suku Akit Di Sumatera

Suku Dunia ~ Suku bangsa ini disebut juga orang Akik. Mungkin berasal dari kata rakik atau rakit, yaitu alat transportasi air, karena kehidupan mereka lebih banyak berada di perairan laut dan muara-muara sungai. Pada zaman dahulu rumah mereka didirikan diatas rakit-rakit yang mudah dipindah-pindahkan dari satu tepian ke tepian lain. Pada masa sekarang mereka berdiam disekitar kepenghuluan hutan panjang, kecamatan Rupat di pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis.

Menurut cerita orang tua mereka, nenek moyang orang Akit berasal dari semenanjung Malaka (sekarang Malaysia). Awalnya mereka adalah anak suku bangsa Kit yang menghuni daratan Asia belakang. Entah karena peperangan, bencana alam atau wabah penyakit, maka mereka telah mengembara ke selatan sampai ke tepi ombak yang berdebur, tempat kepiting merangkak dan penyu bertelur. Keadaan telah memaksa mereka mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan bergerak di atas rakit dan sampan. Dengan demikian mereka telah mulai mengembangkan kehidupan adaptif di perairan Kepulauan Riau.

Orang Akit terutama hidup dari hasil berburu, menangkap ikan dan mengolah sagu yang banyak tumbuh secara liar di pulau Rupat. Mereka berburu babi hutan, kijang atau kancil dengan menggunakan sumpit bertombak, panah dan kadangkala pakai perangkap. Senjata sumpit mereka gunakan untuk menjatuhkan burung atau keluang, tombak untuk menusuk binatang besar dan sebagai alat bela diri. Teman setia mereka untuk perburuan semacam itu adalah anjing. Setahun sekali mereka panen durian, selain itu mereka juga pandai membuat tuak dari air enau atau kelapa. Tidak heran kalau mereka biasa mabuk durian atau mabuk tuak.Perawakan Tubuh Orang Suku AkitBentuk tubuh mereka tegap-tegap dan lebih tinggi dari pada umumnya orang-orang Melayu yang berdiam di sekitar wilayah mereka. kulit mereka berwarna kecoklatan dibakar cahaya matahari dan cuaca perairan, sehingga menyembunyikan warna aslinya yang kekuning-kuningan. Dahi dan tulang pipinya tinggi seperti ras Mongoloid pada umumnya. tetapi mata mereka sipit dan rambutnya agak ikal.Perkawinan Dalam Suku AkitAnak perempuan mereka dikawinkan setelah berumur lima belas tahun dan anak laki-laki mereka setelah berumur tujuh belas tahun. Mereka harus menjalani adat bersunat pada usia 7 sampai 13 tahun, dan ini bukan karena pengaruh Agama Islam. Gadis yang baru kawin segera dibawa oleh suaminya ke rumah mereka yang baru, atau menumpang

Page 8: Suku Akit.docx

sementara di rumah orang tua suami. Pihak lelaki menyerahkan "uang beli" kepada orang tua si gadis. Untuk si gadis disediakan pula mas kawin berupa cincin sepasang, kain baju dan alat rumah tangga selengkapnya. Untuk pesta kawinnya mereka memotong babi, minum tuak, kemudian menyanyi dan menari sampai pagi.Suku Akit Dalam Hubungannya Dengan Kesultanan SiakPada zaman Kesultanan Siak, suku bangsa ini sudah disegani, antara lain karena kemampuan mereka untuk bertahan hidup di perairan, pemberani dan berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya. Oleh sebab itu mereka diajak bekerja sama memerangi Belanda yang pada zaman itu sering menangkapi orang Akit untuk dijadikan budak. Gangguan orang Akit pada zaman kolonial itu dicatat Belanda sebagai perompak laut yang sulit untuk ditumpas habis.

Dilingkungan Kesultanan Siak sendiri mereka akhirnya memiliki seorang batin, yaitu pemimpin masyarakat Akit yang diakui oleh sultan siak. Walaupun sempat berhubungan erat dengan Kesultanan Siak, orang Akit sendiri amat sedikit terpengaruh oleh Kebudayaan Melayu, kecuali tunduk kepada kesultanan Siak yang sedang kuat pada masa itu dan memakai bahasa Melayu ketika berhubungan dengan orang lain, mereka tetap mempertahankan identitas kesukubangsaannya sendiri.

Mereka menyebut orang Melayu sebagai orang selam, maksudnya Islam. Sistem kepercayaan asli mereka yang memuja nenek moyang akhirnya hanya bisa dipengaruhi oleh ajaran moral Budha. pada masa sekarang banyak sekali perempuan Akit yang dikawini oleh laki-laki keturunan Tiongkok yang kehidupan ekonominya tidak jauh berbeda dengan masyarakat Akit pada umumnya. Keturunan Tiongkok perantau ini nampaknya suka berbesanan dengan orang Akit, terutama agar bisa berdiam di wilayah tersebut.