suku batak.pdf

Upload: siska

Post on 14-Jan-2016

59 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN

    SUKU BATAK TOBA

    SKRIPSI

    YULIA VONNY SINAGA

    0806460401

    FAKULTAS TEKNIK

    PROGRAM ARSITEKTUR INTERIOR

    DEPOK

    JULI 2012

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN

    SUKU BATAK TOBA

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

    Arsitektur

    YULIA VONNY SINAGA

    0806460401

    FAKULTAS TEKNIK

    PROGRAM ARSITEKTUR INTERIOR

    DEPOK

    JULI 2012

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • ii

    Universitas Indonesia

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

    Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan

    semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

    telah saya nyatakan dengan benar.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • iii

    Universitas Indonesia

    HALAMAN PENGESAHAN

    Skripsi ini diajukan oleh :

    Nama : Yulia Vonny Sinaga

    NPM : 0806460401

    Program Studi : Arsitektur Interior

    Judul Skripsi : Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak

    Toba

    Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

    sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

    Sarjana Arsitektur pada Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik,

    Universitas Indonesia

    Ditetapkan di : Depok

    Tanggal : 6 Juli 2012

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • iv

    Universitas Indonesia

    KATA PENGANTAR

    Tak disangka sampai juga akhirnya saat dimana saya menuliskan kata

    pengantar dan ucapan terimakasih. Pertama-tama, puji Syukur saya panjatkan

    kepada Tuhan Yesus Kristus atas kekuatan kasih dan karunia yang tak pernah

    berhenti melimpah dalam hidup saya. Penulisan skripsi ini ditulis dalam rangka

    memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Arsitektur pada

    Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang

    sebesar-besarnya saya berikan kepada:

    Ibu Ir. Evawani Elisa M.Eng., Ph.D. selaku dosen pembimbing sekaligus

    dokter bebas biaya konsultasi yang sangat sabar membimbing dan

    memberikan banyak masukan pada proses penyusunan skripsi ini.

    Bapak Ir. Antony Sihombing MPD., Ph.D. dan Ibu Dr. Embun Kenyowati

    Ekosiwi, S.S., M.Hum. selaku dosen penguji yang memberikan banyak

    saran dan kritik terhadap skripsi saya.

    Dosen arsitektur dan arsitektur interior, serta para karyawan Departemen

    Arsitektur UI yang banyak membantu saya selama proses perkuliahan.

    Bapak M. Nanda Widyarta B.Arch., M.Arch., Mba Rini Suryantini S.T.,

    M.Sc., dan Mas Ahmad Gamal S.Ars., M.C.P. selaku koordinator skripsi

    Departemen Arsitektur Universitas Indonesia.

    Drs. Lastua Sinaga M.M., yakni ayah sekaligus ibu yang selalu

    mendukung serta menyediakan waktu dan tenaga untuk saya. Terimakasih

    atas kasih sayang dan doa yang selalu dipanjatkan untuk saya.

    Lenita Nathania Sinaga, Indra Freddy Sinaga, dan Ervin Meynardo P.

    Sirait, yakni kakak kandung, abang kandung, dan abang ipar saya yang

    selalu memberi semangat dan kasih sayang. Terimakasih juga untuk Kak

    Nia dan Bang Ervin yang mengizinkan saya menggunakan acara

    pernikahanya sebagai studi kasus pada skripsi ini.

    Lucia Dinar Maharani, sahabat yang sudah saya anggap sebagai saudara

    kandung saya yang selalu memberikan semangat dan doa untuk saya.

    Fritz Rendy Octavianus Sinaga S.Ars, kakak asuh sekaligus abang ketiga

    saya yang selalu menyemangati, mendoakan, dan memberikan banyak

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • v

    Universitas Indonesia

    saran untuk saya. Begitu juga untuk keempat adik asuh saya, Elky Andika,

    Syifa Annisa Basri, Nata Tri Wardani, dan Amanda Gabriella.

    Yolanda Clara Sembiring S.Ars, Azriansyah Ithakari S.Ars, Imaniar Sofia

    S.Ars, Klara Puspa Indrawati S.Ars, para pasien setia Ibu Evawani Ellisa

    yang menjadi teman seperjuangan dalam proses penyusunan skripsi.

    Leta, Raranoor, Citra, Azka, Nina, Gita, Ajeng Nadia, Karin, Stella, Dory,

    Siki, Dewi, dan Yayi, teman-teman sepermainan dengan segala kegiatan

    random maupun terencana selama empat tahun masa perkuliahan.

    Kosa Lazawardi S.Ars, sahabat tempat saya melimpahkan emosi suka dan

    duka, serta Kurnia Fajar Agriza S.Ars yang selalu bersedia untuk bertukar

    pikiran baik mengenai skripsi, musik, dan hal lainnya.

    Zaimmudin Khairi S.Ars yang bersedia mendokumentasikan serta menjadi

    saksi hidup selama 45 menit proses sidang saya pada tanggal 28 Juni 2012.

    Teman-teman Arsitektur dan Arsitektur Interior UI 2008. Terimakasih atas

    empat tahun moment kebagiaan dan kesedihan yang sangat berarti dan

    tidak akan pernah saya lupakan. Thanks guys!

    Senior Ars 2005, Ars 2006, Ars 2007, serta junior Ars 2009, Ars 2010,

    dan Ars 2011 yang memberikan banyak bantuan selama empat tahun.

    Mao Yamamoto, Tsuguta Yamashita, dan warga Cikini RW 01 atas

    pengalaman berkesan sebagai masa pelarian saya dari rutinitas skripsi.

    Nando, Mba Sri, Rachelle, Mas Edwin, Pak Ferry, dan teman-teman

    majalah Home and Dcor Indonesia yang memberikan saya pengalaman

    untuk belajar membagi waktu dan pikiran antara skripsi dan magang.

    Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya tuliskan satu persatu.

    Demikian ucapan terimakasih ini saya tuliskan. Saya berharap skripsi ini

    dapat bermanfaat bagi ilmu Arsitektur dan terutama bagi para pembaca. Akhir

    kata, saya memohon maaf apabila ada kesalahan pada penulisan gelar atau nama.

    Depok, 6 Juli 2012

    Yulia Vonny Sinaga

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • vi

    Universitas Indonesia

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

    TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

    Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

    bawah ini:

    Nama : Yulia Vonny Sinaga

    NPM : 0806460401

    Program Studi : Arsitektur Interior

    Departemen : Arsitektur

    Fakultas : Teknik

    Jenis Karya : Skripsi

    demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

    Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty

    - Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

    Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak Toba

    beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

    Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

    mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

    merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencamtukan nama

    saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

    Dibuat di : Depok

    Pada tanggal : 6 Juli 2012

    Yang menyatakan

    (Yulia Vonny Sinaga)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • vii

    Universitas Indonesia

    ABSTRAK

    Nama : Yulia Vonny Sinaga

    Program Studi : Arsitektur Interior

    Judul : Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak Toba

    Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

    manusia sehingga tak jarang diselenggarakan sebuah perayaan untuk mengenang

    peristiwa tersebut. Indonesia kaya akan beragam suku dengan ritual adatnya

    masing-masing, termasuk dalam upacara pernikahan tradisional. Bagaimana ritual

    adat berlangsung tentu tak terlepas dari ruang yang mengakomodasi proses

    pelaksanaannya. Di sinilah ritual adat berperan dalam menciptakan setting dan

    desain khusus pada interior ruang pernikahan. Setting dan kualitas ruang yang

    terbentuk pun akhirnya mempengaruhi kualitas ritualnya. Batak Toba sebagai

    salah satu suku di Indonesia memiliki ritual adat pernikahan yang unik dan

    berbeda. Bagaimana perbedaan dan keunikan ritual adat pernikahan suku Batak

    Toba mempengaruhi ruang pernikahannya akan dibahas pada skripsi ini.

    Kata kunci :

    Ritual, pernikahan, Batak Toba, setting ruang

    ABSTRACT

    Name : Yulia Vonny Sinaga

    Study Program : Interior Architecture

    Title : Place and Ritual of Traditional Wedding Ceremony in Batak Toba

    Marriage is one of important things in human life, so made some

    ceremony to commemorate marriage is not uncommon nowadays. Indonesia has

    many tribes with their special ritual, including in traditional wedding ceremony.

    How do the ritual take place would not be separated from the place which

    accomodate the process. This is where the traditional ritual play a role in creating

    the special setting and design of the interior of place. Setting and quality of place

    that is formed also affect the quality of ritual. Batak Toba as one tribe in Indonesia

    has unique and different wedding ritual. How do the uniqueness and differences

    of the wedding ritual affect the place will be discussed in this thesis.

    Keyword :

    Ritual, wedding, Batak Toba, setting of place

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • viii

    Universitas Indonesia

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

    KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv

    HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi

    ABSTRAK ........................................................................................................... vii

    DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

    DAFTAR TABEL ................................................................................................... x

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi

    DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ xiv

    BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

    1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3

    1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 3

    1.4 Batasan Permasalahan .................................................................................. 3

    1.5 Metode Penulisan ........................................................................................ 3

    1.6 Sistematika Penulisan ................................................................................. 4

    1.7 Kerangka Berpikir ....................................................................................... 5

    BAB 2 MANUSIA, RITUAL, DAN SUKU BATAK TOBA .............................. 6

    2.1 Manusia dan Ritual ...................................................................................... 6

    2.1.1 Manusia sebagai Makhluk Individu .............................................. 6

    2.1.2 Manusia sebagai Makhluk Sosial ................................................. 7

    2.1.3 Ritual, Pernikahan, dan Maknanya .............................................. 8

    2.1.4 Pernikahan Tradisional .............................................................. 10

    2.2 Suku Batak Toba ....................................................................................... 12

    2.2.1 Bahasa dan Keseharian .............................................................. 12

    2.2.2 Agama dan Kepercayaan ........................................................... 13

    2.2.3 Konsep Kekerabatan .................................................................. 15

    2.2.4 Konsep Adat ............................................................................... 16

    2.2.5 Konsep Pernikahan .................................................................... 17

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • ix

    Universitas Indonesia

    2.2.6 Sarana Adat ................................................................................ 19

    2.3 Kesimpulan ................................................................................................ 22

    BAB 3 RUANG DAN MANUSIA ...................................................................... 23

    3.1 Ruang dan Kualitasnya ............................................................................. 23

    3.2 Elemen Ruang ............................................................................................ 25

    3.3 Ruang dan Tingkat Kepadatan .................................................................. 27

    3.4 Ruang dan Perilaku Manusia ..................................................................... 28

    3.5 Ruang dan Perayaan .................................................................................. 30

    3.6 Kesimpulan ............................................................................................... 31

    BAB 4 RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN BATAK TOBA DI

    JAKARTA ............................................................................................... 32

    4.1 Ritual Pesta Adat ....................................................................................... 33

    4.1.1 Prosesi Keluarga dan Pengantin Memasuki Gedung ................. 37

    4.1.2 Penyerahan Tudu-tudu Ni Sipanganon ...................................... 39

    4.1.3 Makan Bersama .......................................................................... 40

    4.1.4 Salam-salam, Pembagian Jambar, dan Pengambilan Tumpak .. 43

    4.1.5 Penyerahan Panggoh (Sinamot) ................................................. 45

    4.1.6 Penyerahan Panandaion ............................................................ 48

    4.1.7 Penyerahan Tintin Marangkup ................................................... 49

    4.1.8 Pemberian Ulos .......................................................................... 50

    4.1.9 Mangunjungi Ulaon (Acara Penutup) ........................................ 53

    4.2 Kasus Pembanding : Pernikahan Adat Jepang (Shinzen Kekkonshiki) ..... 56

    4.2.1 Prosesi Memasuki Ruang Pernikahan ........................................ 58

    4.2.2 Penyucian dan Ritual San-sankudo ............................................ 59

    4.2.3 Pengucapan Janji Pernikahan ...................................................... 60

    4.2.4 Acara Penutup (Pemberian Sesaji) ............................................. 60

    4.3 Kesimpulan ............................................................................................... 62

    BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 65

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • x

    Universitas Indonesia

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Pembagian Prosesi Pemberian Ulos pada Upacara Pernikahan ...........20

    Tabel 4.1 Hubungan Ruang dan Ritual Upacara Adat Pernikahan Batak Toba....62

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • xi

    Universitas Indonesia

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1.1 Kerangka Proses Berpikir ............................................................... 5

    Gambar 2.1 Daur Hidup Manusia 1 .................................................................... 9

    Gambar 2.2 Daur Hidup Manusia 2 .................................................................... 9

    Gambar 2.3 Pernikahan Tradisional Suku Betawi ............................................ 11

    Gambar 2.4 Pernikahan Tradisional Suku Jawa ............................................... 11

    Gambar 2.5 Peta Pembagian Suku Batak . ....................................................... 12

    Gambar 2.6 Kegiatan Bertani ........................................................................... 13

    Gambar 2.7 Masyarakat Bermusyawarah ......................................................... 13

    Gambar 2.8 Bentuk pemujaan sebelum mengenal agama ................................ 14

    Gambar 2.9 Gereja HKBP Sipintu-pintu Silangit di Sumatera Utara ................ 15

    Gambar 2.10 Ulos Ragi Hotang dan Ulos Ragidup ............................................ 20

    Gambar 2.11 Musik Gondang ............................................................................. 21

    Gambar 2.12 Tari Tor-tor .................................................................................... 22

    Gambar 3.1 Ilustrasi pengaruh indera pendengaran ......................................... 24

    Gambar 3.2 Ilustrasi pengaruh dimensi ruang .................................................. 26

    Gambar 3.3 Ilustrasi pengaruh bukaan ............................................................. 26

    Gambar 3.4 Penataan sosiopetal pada ruang makan ......................................... 27

    Gambar 3.5 Penataan sosiofugal pada ruang tunggu ........................................ 27

    Gambar 3.6 Ilustrasi kepadatan ......................................................................... 28

    Gambar 3.7 Behavior Setting Ruang Rapat ...................................................... 29

    Gambar 3.8 Behavior Setting Pasar .................................................................. 29

    Gambar 4.1 Interior ruang pernikahan adat suku Batak Toba .......................... 33

    Gambar 4.2 Denah interior ruang pernikahan Batak Toba ............................... 34

    Gambar 4.3 Skema dan orientasi pada interior gedung pernikahan Batak

    Toba ............................................................................................... 35

    Gambar 4.4 Orientasi pandangan pada setting 1 di bagian bawah ................... 36

    Gambar 4.5 Orientasi pandangan pada setting 2 di bagian bawah ................... 37

    Gambar 4.6 Desain pelaminan .......................................................................... 37

    Gambar 4.7 Skema ruang saat keluarga memasuki gedung .............................. 38

    Gambar 4.8 Pelaminan sebagai latar ruang ritual ............................................. 39

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • xii

    Universitas Indonesia

    Gambar 4.9 Suasana penyerahan tanda makanan adat ..................................... 39

    Gambar 4.10 Skema ruang ritual saat penyerahan tanda makanan adat ............. 40

    Gambar 4.11 Hiburan musik saat makan bersama .............................................. 41

    Gambar 4.12 Suasana saat makan bersama ........................................................ 41

    Gambar 4.13 Skema posisi duduk tamu saat makan bersama ............................. 42

    Gambar 4.14 Skema posisi duduk di pelaminan saat makan bersama ............... 42

    Gambar 4.15 Arah pandangan dari pelaminan .................................................... 42

    Gambar 4.16 Suasana di pelaminan saat makan bersama .................................. 43

    Gambar 4.17 Skema posisi pelaku ritual saat bersalaman ................................... 43

    Gambar 4.18 Suasana meriah saat ritual salam-salam ........................................ 43

    Gambar 4.19 Skema ruang ritual ketika pengantin mengambil tumpak .............. 44

    Gambar 4.20 Suasana saat prosesi pengambilan tumpak .................................... 45

    Gambar 4.21 Arah pandangan saat pengantin mengambil tumpak ..................... 45

    Gambar 4.22 Skema ruang saat penyerahan panggoh ........................................ 46

    Gambar 4.23 Suasana setting 1 saat orang tua pihak laki-laki menghampiri

    saksi ............................................................................................... 47

    Gambar 4.24 Tamu tidak fokus pada ritual ........................................................ 47

    Gambar 4.25 Arah pandangan ketika orang tua pihak laki-laki memberikan

    sinamot ke orang tua pihak perempuan ......................................... 47

    Gambar 4.26 Suasana saat prosesi pemberian panggoh ..................................... 47

    Gambar 4.27 Skema ruang saat proses penyerahan panandaion di pelaminan ... 48

    Gambar 4.28 Suasana penyerahan panandaion ................................................... 48

    Gambar 4.29 Skema ruang ritual penyerahan tintin marangkup ........................ 49

    Gambar 4.30 Suasana prosesi penyerahan tintin marangkup ............................. 50

    Gambar 4.31 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos pertama dan ketiga ...... 51

    Gambar 4.32 Pelaminan sebagai latar saat prosesi pemberian ulos .................... 51

    Gambar 4.33 Ulos sebagai elemen utama ........................................................... 51

    Gambar 4.34 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos ketiga .......................... 52

    Gambar 4.35 Setting ruang yang tidak teratur saat prosesi pemberian ulos ....... 53

    Gambar 4.36 Orang tua dan pengantin memberi ucapan terimakasih ................ 54

    Gambar 4.37 Penyerahan uang olop-olop ........................................................... 54

    Gambar 4.38 Skema ritual pemberian uang olop-olop ....................................... 55

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • xiii

    Universitas Indonesia

    Gambar 4.39 Interior ruang pernikahan ritual Shinto ......................................... 56

    Gambar 4.40 Skema ruang pernikahan ritual Shinto .......................................... 57

    Gambar 4.41 Arah pandangan pada setting 1 ..................................................... 58

    Gambar 4.42 Arah pandangan pada setting 2 ..................................................... 58

    Gambar 4.43 Prosesi memasuki kuil .................................................................. 59

    Gambar 4.44 Pengantin disucikan Shinto ........................................................... 59

    Gambar 4.45 Pengantin menghirup sake ............................................................ 59

    Gambar 4.46 Skema ruang saat ritual penyucian dan san-sankudo .................... 60

    Gambar 4.47 Pengantin perempuan memegang ranting sakaki .......................... 61

    Gambar 4.48 Ranting sakaki sebagai sarana adat ............................................... 61

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • xiv

    Universitas Indonesia

    DAFTAR ISTILAH

    Boru : keluarga yang istrinya bermarga sama dengan pengantin

    Dongan tubu : saudara dari marga yang sama

    Hula-hula : keluarga pihak perempuan dari suatu keluarga

    Jambar : bagian tanda makanan adat yang sudah diatur pembagiannya

    Olop-olop : piring berisi beras dan uang yang diberikan kepada tetua

    Panandaion : media untuk memperkenalkan anggota keluarga

    Pariban : anak dari adik/kakak perempuan sang ayah, secara hukum

    adat bisa menjadi pasangan

    Parmalim : kepercayaan animisme masyarakat Batak Toba zaman dulu

    Pasu-pasu : doa restu

    Raja parhata : seseorang yang dianggap mengerti ketentuan ritual adat

    Setting : suatu pengaturan khusus

    Sinamot : uang dari pihak laki-laki sebagai harga mahar calon istri

    Suhut : tuan rumah atau pihak yang menyelenggarakan acara

    Tumpak : ucapan selamat berupa uang untuk pengantin dan keluarga

    Tintin marangkup : sebagian uang dari mahar calon istri

    Ulaon : acara atau pesta yang diselenggarakan

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 1

    Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kehidupan merupakan proses dalam menjalani beberapa tahapan

    peristiwa, diawali peristiwa kelahiran dan diakhiri peristiwa kematian. Setiap

    peristiwa biasanya membutuhkan proses perayaan yang dikenal dengan istilah

    upacara. Upacara menjadi bagian penting dalam perkembangan kehidupan

    manusia dari suatu keadaan ke keadaan lain. Hal ini menjadi salah satu landasan

    mengapa manusia berperan sebagai makhluk individu dan sosial. Manusia

    memerlukan orang lain untuk dapat melalui setiap peristiwa, termasuk dalam

    peristiwa pernikahan.

    Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting walaupun tidak

    menjadi suatu keharusan bagi setiap manusia. Oleh sebab itu, pernikahan dirasa

    perlu untuk disakralkan serta dikenang oleh setiap pihak yang terlibat melalui

    suatu upacara, baik upacara modern maupun upacara tradisional. Upacara

    pernikahan modern biasanya diselenggarakan sebagaimana kegiatan pesta resepsi

    pada umumnya, sedangkan upacara pernikahan tradisional diselenggarakan sesuai

    ritual adat yang bersangkutan. Namun tidak berarti setiap pengantin hanya

    menggunakan satu jenis perayaan saja. Ada kalanya pengantin menyelenggarakan

    dalam bentuk pesta dan upacara adat namun dalam waktu yang tidak bersamaan.

    Kelompok etnis merupakan salah satu bentuk perwujudan peran manusia

    sebagai makhluk sosial. Manusia mengikuti berbagai kegiatan sesuai tradisi adat

    yang bersangkutan termasuk mengikuti ritual adat. Kegiatan manusia tidak

    terlepas dari ruang, baik ruang yang sudah ada maupun ruang yang baru

    diciptakan. Di sinilah peran ritual adat kemudian menjadi salah satu pertimbangan

    utama yang mempengaruhi penataan ruang.

    Indonesia kaya akan beragam suku dengan tradisi adat masing-masing.

    Namun keragaman budaya tersebut kian lama semakin memudar karena pengaruh

    modernisasi. Tak dipungkiri bahwa modernisasi yang muncul saat ini tak terlepas

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 2

    Universitas Indonesia

    dari kebudayaan yang ada pada zaman dulu. Sayangnya saat ini tak sedikit arsitek

    maupun arsitek interior yang melewatkan unsur kebudayaan dalam penciptaan

    maupun penerapan desain. Padahal unsur kebudayaan sebenarnya dapat menjadi

    identitas utama suatu daerah, misalnya dalam penataan ruang upacara adat.

    Masyarakat Batak merupakan salah satu kelompok etnis yang masih kuat

    mempertahankan tradisi ritual adat dalam berbagai tahapan peristiwa, termasuk

    dalam peristiwa pernikahan. Dalam menjalankan ritual adat, masyarakat Batak

    tidak hanya melibatkan pihak keluarga dekat namun juga seluruh kerabat yang

    bersangkutan. Oleh sebab itu, ritual adat pada upacara pernikahan suku Batak

    membutuhkan ruang dengan penataan khusus agar dapat berlangsung dengan

    baik. Yang menarik, banyaknya masyarakat Batak yang mulai berpindah ke kota-

    kota besar ternyata tidak menjadi penghambat mereka untuk tetap

    mempertahankan tradisi. Di Jakarta, saat ini terdapat lebih dari sepuluh gedung

    yang ditata khusus untuk ritual adat pernikahan suku Batak. Berikut ini adalah

    beberapa gedung yang digunakan untuk upacara adat pernikahan Batak Toba.

    Gedung Sejahtera (Pondok Gede)

    Gedung Gorga I (Tanjung Duren), Gedung Gorga II (Pondok Bambu),

    dan Gedung Gorga IV (Cililitan)

    Gedung Hermina (Mampang)

    Gedung Restu I dan Restu II (Tendean)

    Komplek Gedung Mulia & Raja (Kebon Nanas)

    Gedung Mangaraja (Perintis Kemerdekaan)

    Gedung Mayoria (Kelapa Gading)

    Gedung Corpatarin (Pulo Asem)

    Yang menjadi pertanyaan, mengapa suku Batak membutuhkan gedung dengan

    penataan ruang khusus? Inilah yang mendorong saya untuk mengetahui

    bagaimana ritual adat mempengaruhi penataan ruang gedung pernikahan Batak.

    sehingga dari hal tersebut saya dapat mengetahui apakah penggunaan gedung

    khusus tersebut memang merupakan suatu keharusan atau suatu kebiasaan

    masyarakat Batak yang tinggal di Jakarta.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 3

    Universitas Indonesia

    1.2 Rumusan Masalah

    Terkait dengan latar belakang di atas, muncul beberapa pertanyaan yang

    akan saya jawab pada skripsi ini, yaitu :

    Bagaimana ritual adat mempengaruhi setting dan kualitas ruang pada upacara

    pernikahan? Bagaimana pula setting dan kualitas ruang yang terbentuk

    mempengaruhi kualitas ritualnya?

    1.3 Tujuan Penulisan

    Skripsi ini berusaha mengungkap dan membahas pengaruh ritual adat

    Toba dalam penataan ruang sehingga diharapkan dapat menjadi masukan bagi

    dunia arsitektur interior dalam proses penataan ruang. Selain itu, saya juga

    berusaha mengangkat makna dan nilai-nilai budaya pada aspek desain ruang di

    era moderenisasi melalui pemeliharaan warisan kebudayaan.

    1.4 Batasan Permasalahan

    Kelompok etnis Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di

    beberapa wilayah, yaitu suku Alas, Karo, Toba, Pakpak, Dairi, Simalungun,

    Angkola, dan Mandailing. Pada skripsi ini, pembahasan dikhususkan pada

    upacara pernikahan suku Batak Toba. Upacara adat pernikahan Batak Toba

    memiliki beberapa rangkaian acara. Pada skripsi ini, saya membahas mengenai

    upacara pesta unjuk (pesta adat) yang menjadi inti dari seluruh rangkaian acara.

    Studi kasus yang dipilih adalah pesta adat yang berlangsung di Gedung Raja,

    Kebon Nanas, Jakarta Timur pada bulan Februari sampai Mei 2012.

    1.5 Metode Penulisan

    Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah, saya menggunakan

    metode analisis deskriptif melalui pengungkapan fakta pada studi kasus dan

    menghubungkannya dengan teori. Saya menggunakan teori yang berhubungan

    dengan manusia dan hubungan terhadap ruang yang digunakan. Selain melakukan

    survey dan observasi, saya melakukan kajian studi literatur dari upacara

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 4

    Universitas Indonesia

    pernikahan kebudayaan lain untuk mendukung analisis studi kasus. Saya juga

    menggunakan hasil rekaman video upacara pernikahan adat Batak Toba di

    Jakarta. Dengan data dari hasil studi literatur, survey, observasi, serta pengamatan

    video, saya berharap dapat mengumpulkan bahan untuk mendukung analisis saya.

    Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara kualitatif, dengan

    pengumpulan data primer (observasi, survey) dan sekunder (studi literatur).

    1.6 Sistematika Penulisan

    BAB 1. PENDAHULUAN

    Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan

    permasalahan, metode penulisan, urutan penulisan, serta kerangka

    berpikir.

    BAB 2. MANUSIA, RITUAL, DAN SUKU BATAK TOBA

    Berisi teori mengenai manusia sebagai makhluk individu dan sosial

    budaya serta hubungannya dengan ritual. Bab ini juga disertai

    pembahasan mengenai suku Batak Toba secara keseluruhan.

    BAB 3. RUANG DAN MANUSIA

    Berisi paparan teori mengenai ruang dan hubungannya dengan manusia.

    BAB 4. RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN BATAK TOBA DI

    JAKARTA

    Berisi urutan ritual adat pernikahan dengan analisis berdasarkan kajian

    teori. Bab ini juga disertai analisis pernikahan adat Jepang sebagai kasus

    pembanding.

    BAB 5. KESIMPULAN

    Berisi kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi serta jawaban dari

    pertanyaan yang muncul.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 5

    Universitas Indonesia

    Adanya gedung khusus

    untuk upacara adat

    pernikahan Batak Toba

    TUJUAN

    Mengungkap dan membahas hubungan ruang dan ritual adat.

    Masukan bagi dunia arsitektur interior mengenai pengaruh

    ritual dalam penataan interior.

    Mengangkat makna dan nilai budaya pada aspek desain

    ruang di era moderenisasi melalui pemeliharaan warisan

    kebudayaan.

    METODE

    Studi Literatur :

    Masyarakat dan kebudayaan suku Batak Toba

    Studi Kasus :

    Pernikahan adat Batak Toba di Jakarta

    Kasus Pembanding :

    Pernikahan adat Jepang

    ANALISIS

    Peninjauan studi kasus

    berdasarkan teori

    KESIMPULAN

    1.7 Kerangka Berpikir

    Gambar 1.1 Kerangka Proses Berpikir (Sumber : pribadi)

    PERMASALAHAN

    Bagaimana ritual adat mempengaruhi setting

    dan kualitas ruang dan akhirnya

    mempengaruhi kualitas ritualnya? Apakah

    ruang memiliki peran utama?

    Apakah harus dilangsungkan

    di gedung tersebut? Atau

    bisa di gedung lain?

    KAJIAN TEORI

    Manusia

    Ritual dan pernikahan

    Ruang dan manusia

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 6

    Universitas Indonesia

    BAB 2

    MANUSIA, RITUAL, DAN SUKU BATAK TOBA

    Manusia, secara kodrati, berperan sebagai makhluk monodualis, yaitu

    makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia memiliki peran masing-masing,

    baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Itulah sebabnya manusia

    harus dapat menyeimbangkan hakikatnya sebagai makhluk individu dan sosial.

    Disadari atau tidak, setiap manusia berusaha mengembangkan kemampuan

    individu dalam memenuhi setiap kebutuhan hidup. Manusia melakukan berbagai

    kegiatan untuk melalui tahapan hidup, baik secara individu maupun berkelompok.

    2.1 Manusia dan Ritual

    2.1.1 Manusia sebagai Makhluk Individu

    Dalam bahasa latin, individu berasal dari kata individium yang berarti

    tidak terbagi, serta suatu kesatuan paling kecil dan tidak terbatas (Herbert,

    1934). Manusia memiliki unsur jasmani dan rohani atau raga dan jiwa

    sehingga seseorang dikatakan sebagai makhluk individu jika unsur tersebut

    ada dan menyatu dalam dirinya. Setiap individu memiliki faktor genotip sejak

    lahir yang akhirnya menjadi karakteristik atau ciri khas (Herbert, 1934).

    Tidak hanya itu, faktor lingkungan pun berperan dalam pembentukan

    karakteristik setiap individu, baik faktor lingkungan fisik seperti maupun

    lingkungan sosial.

    Pada dasarnya manusia adalah individu yang bebas dan merdeka,

    tidak terikat dengan apapun (Herbert, 1934). Manusia bebas berkembang dan

    berkegiatan untuk memenuhi kebutuhan diri baik kebutuhan jiwa, rohani,

    psikologis, jasmani, maupun biologis. Namun kebebasan tersebut tidak

    menjamin setiap manusia dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Muncul

    kesadaran akan ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan hidup

    sehingga membutuhkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan

    hidupnya. Itulah sebabnya, menurut kodratnya, manusia juga hidup sebagai

    makhluk sosial.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 7

    Universitas Indonesia

    2.1.2 Manusia sebagai Makhluk Sosial

    Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa berjalan tegak tanpa

    bantuan orang lain. Ada dorongan dan kebutuhan dalam diri manusia untuk

    melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik

    yang saling mempengaruhi antarindividu maupun individu dengan

    masyarakat. Interaksi sosial terjadi ketika ada kontak sosial dan komunikasi

    antar individu (Simmel, 2001, hal.110). Interaksi sosial sifatnya dinamis,

    sehingga akan membentuk adanya kelompok sosial dengan latar belakang

    yang beragam.

    Kelompok sosial terbentuk dari kesamaan kebutuhan antar individu

    untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di sinilah budaya menjadi salah satu

    bagian dari lingkungan yang diciptakan manusia dalam berinteraksi.

    Kebudayaan menjadi salah satu landasan dalam pembentukan pola hidup

    masyarakat dan lingkungan sehingga pada akhirnya menjadi identitas suatu

    kelompok sosial. Kebudayaan dan kehidupan manusia saling berinteraksi dan

    saling mempengaruhi. Kebudayaan terbentuk dari hasil interaksi sosial antar

    individu yang berkembang menyesuaikan perubahan yang terjadi. Perubahan

    tersebut pun akan mempengaruhi kebudayaannya dan begitu pula sebaliknya.

    We know that you cannot explain a city-or any other

    environment-until you understand the kinds of people who live in

    it: their ethnic and social backgrounds, their cultural habits,

    income levels, and general scheme of values. (Dempsey, 1974,

    hal. 11).

    Dengan demikian, kehidupan sosial berkaitan erat dengan interaksi antar

    individu, antar kelompok, antara kehidupan sosial dengan lingkungan hidup

    dan alam sekitar, serta antara berbagai hal yang timbul dari aktivitas manusia.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 8

    Universitas Indonesia

    2.1.3 Ritual, Pernikahan, dan Maknanya

    Secara sederhana, ritual dapat dikatakan sebagai suatu kejadian yang

    dilakukan secara berulang sesuai urutan dan cara tertentu, misalnya ritual

    ketika makan. Ritual biasanya diawali dengan menyantap makanan pembuka,

    makanan inti, dan diakhiri makanan penutup. Ritual dapat dilangsungkan

    secara pribadi maupun bersama-sama dalam suatu komunitas. Menurut

    Oxford Advance Learners Dictionary (1998), ritual adalah satu rangkaian

    kegiatan yang selalu dilakukan dengan cara yang sama, terutama sebagai

    bagian dari upacara keagamaan. Ketika ritual melibatkan suatu komunitas

    dengan latar belakang tertentu, ritual menjadi salah satu bentuk perwujudan

    dari komunitas tersebut.

    Ritual biasanya dilakukan dengan cara dan teknik tertentu, baik sesuai

    adat kebudayaan maupun agama. Ritual dapat menjadi faktor pembentuk

    identitas karena ritual terbentuk dengan menyesuaikan kehidupan manusia

    sebagai pelaksana. Dalam buku The Rites of Passage (1960), Arnold

    menekankan bahwa ritual adalah sesuatu yang suci namun tidak mutlak

    sehingga setiap ritual sebenarnya tidak harus dilakukan hanya dengan satu

    tahapan atau satu cara saja. Sebuah ritual dapat dilaksanakan dalam beberapa

    tahapan dan begitu juga sebaliknya. Ritual juga dapat dilaksanakan secara

    bergantian karena fungsinya untuk menetralkan perubahan yang terjadi

    seiring berjalannya waktu.

    Kehidupan merupakan sebuah proses yang dilalui setiap individu

    dalam menjalani beberapa tahapan peristiwa kehidupan (Gennep, 1960,

    hal.3). Sebagai makhluk sosial, perubahan yang terjadi saat manusia melewati

    tahapan tersebut mempengaruhi hubungan serta interaksi sosial. Proses

    perkembangan manusia dalam kehidupan digambarkan dalam daur hidup

    manusia pada gambar 2.1 dan gambar 2.2. Bagaimana perubahan terjadi

    dalam hidup manusia menurut Yi Fu Tuan dan Erik Erikson digambarkan

    pada skema daur hidup manusia tersebut.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 9

    Universitas Indonesia

    Marriage constitutes the most important od the transitions from one

    social category to another (Gennep, 1960, hal.116). Itulah sebabnya

    dalam menjalani sebuah pernikahan, tiap individu sebaiknya memiliki tingkat

    kedewasaan yang memadai sehingga pernikahan tidak mengalami pergeseran

    makna. Secara umum Yi Fu Tuan dan Erik Erikson menggambarkan daur

    hidup manusia berdasarkan tahap kedewasaan yang dialami. Manusia mulai

    bersikap dan merespon keadaan pada setiap peristiwa yang terjadi sehingga

    tingkat kedewasaan secara tidak langsung berkembang. Daur hidup manusia

    terbagi menjadi empat inti, yaitu tahap kelahiran (birth dan infancy), masa

    kecil, masa dewasa, serta masa tua. Perbedaannya, Yi Fu Tuan

    menggambarkan bahwa setelah melewati masa tua, manusia akan mengalami

    masa kecil kedua yang disebutnya second childhood, sedangkan Erik Erikson

    menjabarkan lagi beberapa tahapan sebelum manusia beranjak dari masa

    kecil menuju dewasa.

    Dari kedua bagan di atas, pernikahan berada pada tahap maturity

    (gambar 2.1) dan tahap adulthood (gambar 2.2) sebab tingkat kedewasaan

    manusia dianggap memadai sehingga makna pernikahan dapat tercapai. Pada

    tahap ini, manusia mulai merespon setiap keadaan dengan rasa kepedulian

    sehingga di sinilah manusia mulai menjadi contoh bagi generasi

    selanjutnya.An adult must be ready to become a numinous model in the next

    generations eyes and to act as a judge of evil and a transmitter of ideal

    values. (Erikson, 1997, hal. 70).

    Gambar 2.1 Daur Hidup Manusia 1

    (Sumber : Yi-Fu Tuan, Space and Place: Time

    and Place, 2005 diolah kembali)

    Gambar 2.2 Daur Hidup Manusia 2

    (Sumber : Erik Erikson, The Life Cycle

    Completed, 1997 diolah kembali)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 10

    Universitas Indonesia

    2.1.4 Pernikahan Tradisional

    Secara etimologi, pernikahan berasal dari bahasa Arab, nikkah yang

    berarti perjanjian perkawinan. Pada umumnya, ikatan perjanjian tersebut

    diresmikan secara agama, hukum, dan sosial. Upacara pernikahan memiliki

    berbagai jenis perayaan berdasarkan tradisi suku bangsa, agama, budaya, dll.

    Perayaan tersebut biasanya memiliki aturan tertentu berkaitan dengan

    kelompok sosial yang terlibat, misalnya variasi berdasarkan tradisi suatu

    kelompok etnis. Tiap kelompok etnis memiliki tradisi kebudayaan yang tidak

    sama dengan kelompok lain sehingga pada tahap inilah upacara tradisional

    menjadi salah satu media atau sarana manusia untuk berperan sebagai

    makhluk sosial budaya. Upacara tradisional dilangsungkan bukan sekedar

    formalitas semata. Setiap ritual adat memiliki nilai dan makna berdasarkan

    kepercayaan kelompok etnis masing-masing. Oleh sebab itu, upacara

    tradisional kerap dilaksanakan juga pada acara pernikahan. Upacara

    tradisional perlu dipertahankan sampai generasi selanjutnya untuk dapat

    mempertahankan identitas budaya serta makna yang terkandung, walaupun

    pelaksanaanya akan tetap beradaptasi dengan lingkungan pada zamannya.

    Pengetahuan mengenai latar belakang kebudayaan harus dipahami oleh

    sekelompok orang yang terlibat sebagai respon dari apa yang dilakukan

    (Baldwin, 2006, hal 93).

    Dengan ragam suku budaya yang dimiliki, Indonesia memiliki

    berbagai macam upacara pernikahan tradisional dengan rangkaian ritual adat,

    dari mulai persiapan sampai hari pelaksanaan. Berikut ini adalah contoh

    rangkaian ritual upacara pernikahan tradisional suku Betawi dan Jawa.

    1) Pernikahan Tradisional Suku Betawi

    Untuk sampai ke jenjang pernikahan, masyarakat Betawi

    melalui berbagai tahapan yang diawali tahap ngelamar (nglamar) atau

    lamaran. Setelah proses ngelamar diterima, kedua belah pihak akan

    melanjutkan ke acara bawa tande putus. Tande putus adalah tanda

    ikatan dimana none calon mantu tidak dapat diganggu gugat oleh

    pihak lain. Sebelum akad nikah, ada beberapa rangkaian pra-akad

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 11

    Universitas Indonesia

    nikah yang dijalani, mulai dari masa dipiare, siraman, tangas atau

    kum, dan ngerik atau malem pacar. Rangkaian ini memiliki makna

    untuk kelancaran acara akad nikah. Acara paling penting dalam

    sebuah pernikahan adalah akad nikah dimana pengantin disatukan

    secara agama. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan acara negor dan

    pulang tige ari, yaitu acara dimana pengantin laki-laki mulai

    diizinkan menginap di rumah pengantin perempuan.

    2) Pernikahan Tradisional Suku Jawa

    Pernikahan suku Jawa juga memiliki rangkaian acara yang

    diawali dengan acara pinangan oleh pihak laki-laki kepada pihak

    perempuan. Jika pinangan diterima, kedua pengantin akan melalui

    acara berikutnya, antara lain acara siraman, upacara ngerik, upacara

    midodareni, acara srah-srahan atau peningsetan, serta nyantri.

    Rangkaian acara ini dilaksanakan untuk kelancaran acara inti, yaitu

    pelaksanaan ijab sesuai agama yang dianut. Rangkain acara tak henti

    sampai pelaksanaan ijab. Setelah pengantin resmi menjadi pasangan

    suami istri secara agama, acara dilanjutkan dengan upacara panggih,

    balangan suruh, ritual wiji dadi, ritual dhahar klimah, mertui atau

    mapag besan, serta upacara sungkeman. Seluruh rangkaian acara yang

    dilewati tentu memiliki makna sesuai adat istiadat Jawa.

    Gambar 2.3 Pernikahan Tradisional Suku Betawi

    (Sumber : http://www.salwedding.com/pernikahan-adat-betawi/, 2 Juni 2012)

    Gambar 2.4 Pernikahan Tradisional Suku Jawa

    (Sumber : http://arisikarep.blogspot.com/, 2 Juni 2012)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 12

    Universitas Indonesia

    2.2 Suku Batak Toba

    Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke.

    Tiap suku memiliki budaya lokal yang menjadi cara hidup masyarakat setempat

    serta identitas suku itu sendiri. Identitas budaya dari suatu kelompok etnis dapat

    terlihat dari berbagai cara, baik secara visual maupun non-visual. Ritual adat

    merupakan salah satu cara untuk menunjukkan identitas budaya.

    Setiap kelompok etnis memiliki ritual adat, begitu juga masyarakat suku

    Batak. Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan kelompok etnis di

    Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata batak memiliki dua

    arti. Pertama berarti orang dari sub-etnis yang tinggal di Sumatera Utara dan yang

    kedua berarti petualang atau pengembara. Suku Batak terdiri dari enam kelompok

    etnis, yaitu suku Mandailing dan Angkola di bagian selatan pulau, Toba di bagian

    tengah, Pakpak atau Dairi di bagian barat utara, Karo di bagian utara dan

    Simalungun di bagian timur utara (Sibeth, 1991).

    2.2.1 Bahasa dan Keseharian

    Bahasa merupakan unsur penting dalam berkomunikasi. Keragaman

    suku bangsa di Indonesia hadir dengan keragaman bahasa. Selain bahasa

    Indonesia, masyarakat Batak memiliki banyak bahasa sesuai kelompok suku

    Gambar 2.5 Peta Pembagian Suku Batak

    (Sumber : Sibeth, THE BATAK: Peoples of the Island of Sumatra, 1991)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 13

    Universitas Indonesia

    masing-masing. Bahasa berperan penting dalam upacara adat Batak karena

    umumnya ritual dijalankan dengan menggunakan bahasa Batak. Untuk

    masyarakat Batak Toba, bahasa Batak berdialek Batak Toba adalah bahasa

    yang digunakan, baik sehari-hari maupun dalam upacara adat. Etnis Batak

    merupakan bagian dari golongan ras Austronesia sehingga bahasa Batak Toba

    memiliki persamaan dengan bahasa Austronesia, misalnya kata tiga. Dalam

    bahasa Toba, tiga disebut tolu dan dalam bahasa Austronesia telu.

    Melihat lokasi tempat mereka berdiam, sebagian besar masyarakat

    suku Batak Toba berprofesi sebagai petani. Masyarakat suku Batak Toba

    hidup dalam suasana gotong royong dan mengutamakan sistem musyawarah

    sebelum melakukan suatu kegiatan yang penting (Depdikbud, 1978).

    2.2.2 Agama dan Kepercayaan

    Sebelum agama masuk, masyarakat Batak Toba menganut sistem

    animisme dengan istilah parmalim atau parbaringin. Menurut mereka, dunia

    awalnya hanya terdiri dari langit dan laut di bawahnya. Saat itu keberadaan

    bumi belum diketahui sehingga keberadaan manusia pun belum ada. Mereka

    percaya sang pencipta bumi hidup di langit. Orang Batak Toba mempercayai

    bahwa Mula Jadi Na Bolon lah pencipta alam semesta. Dalam bahasa

    Indonesia, Mula Jadi Na Bolon berarti Maha Kuasa atau Maha Besar yang

    ada dari awal penciptaan. Menurut mereka, Mula Jadi Na Bolon terbagi

    menjadi tujuh lapisan di langit yang tiap lapisannya berpenghuni. Mula Jadi

    Gambar 2.6 Kegiatan Bertani

    (Sumber : http://pabersinaga.wordpress.com/,

    15 Mei 2012)

    Gambar 2.7 Masyarakat Bermusyawarah

    (Sumber : Sibeth, THE BATAK: Peoples of

    the Island of Sumatra, 1991)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 14

    Universitas Indonesia

    Na Bolon memiliki kekuasaan di atas langit yang terwujud dalam Debata

    Natolu. Debata Natolu berbentuk tiga benua pada alam semesta, yaitu Benua

    Bawah, Benua Tengah, dan Benua Atas. Ketiga benua dipimpin triniti Dewa

    dari keturunan Mula Jadi Na Bolon, yaitu Batara Guru, Mangalabulan, dan

    Soripada.

    Selain Mula Jadi Na Bolon, mereka percaya adanya dewa Asiasi yang

    memiliki tempat dan fungsi di dunia.There is some evidence that Debata

    Asiasi can be seen as the balance and unity of trinity of gods (i.e. the three

    sons of Mula Jadi). In this sense he is nothing more than a manifestation of

    the highest god, Mula Djadi. (Sthr, 1967, hal 10). Jadi, masyarakat Batak

    memercayai adanya lima dewa yang berperan dalam ritual pada saat itu.

    Peran kelima dewa tersebut dibutuhkan terutama saat berdoa.

    Seiring berjalannya waktu, agama mulai masuk ke suku Batak dan

    mayoritas dari mereka mulai menganut agama Kristen pada tahun 1861

    (Depdikbud, 1978, hal. 18). Pengetahuan awal mengenai agama Kristen

    berasal dari tulisan seorang misionaris Jerman dan Belanda mengenai

    kepercayaan suku Batak pada abad tersebut. Sekitar tahun 1862, seorang

    misionaris Jerman, Dr. Ludwig Ingwer Nommensen, memulai misi kristiani

    dengan menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru Alkitab ke bahasa Batak Toba

    dan dilanjutkan Kitab Perjanjian Lama oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891.

    Masyarakat suku Batak Toba dengan cepat mulai memahami agama Kristen

    sehingga awal abad ke-20 agama Kristen mulai dijadikan sebagai identitas

    walaupun masih ada sebagian yang menganut agama lain.

    Gambar 2.8 Bentuk Pemujaan Sebelum Agama Masuk

    (Sumber : Sibeth, THE BATAK: Peoples of the Island of Sumatra, 1991)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 15

    Universitas Indonesia

    2.2.3 Konsep Kekerabatan

    Sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, masyarakat Batak Toba

    tidak hanya hidup secara individu. Mereka menyadari perlunya hidup

    bersosialisasi dengan orang lain. Oleh sebab itu, masyarakat Batak Toba

    memegang kuat hubungan kekerabatan sesuai adat istiadat nenek moyang

    mereka. Hubungan kekerabatan keluarga sangat penting bagi komunitas pada

    zaman dahulu. Bagi mereka, bentuk hubungan kekerabatan muncul

    berdasarkan garis keturunan yang muncul dari silsilah kelompok marga

    (Sibeth, 1991).

    Dalam tradisi Batak, anggota dalam kelompok marga memiliki ikatan

    hubungan sedarah. Berdasarkan sosiologis, hubungan kekerabatan muncul

    dari perpaduan kelompok marga atau karena pernikahan. Bagi masyarakat

    Batak, bagian terpenting pada hubungan sosial adalah keluarga besar dari tiga

    sampai empat generasi sebelumnya, sedangkan bagian terkecil adalah

    keluarga kecil yang terdiri dari orang tua, suami istri, dan anak. Hubungan

    kekerabatan masyarakat suku Batak Toba memiliki peranan penting dalam

    setiap peristiwa, termasuk dalam peristiwa pernikahan. Setiap ritual adat yang

    dilakukan tak terlepas dari peran setiap individu sesuai dengan hubungan

    kekerabatan.

    Gambar 2.9 Gereja HKBP Sipintu-pintu Silangit di Sumatera Utara

    (Sumber : http://rumametmet.com/2008/09/13/gereja-gereja-di-silindung-humbang-toba/,

    10 Juni 2012)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 16

    Universitas Indonesia

    2.2.4 Konsep Adat

    Setiap kelompok etnis memiliki konsep adat yang menjadi identitas,

    termasuk masyarakat Batak Toba. Dalam menjalani kehidupan, masyarakat

    suku Batak Toba menganut prinsip yang dikenal dengan hamoraon,

    hagabeon, dan hasangapon.

    1. Hamoraon atau nilai kekayaan.

    Mereka mencari banyak rezeki untuk hidup dengan bekerja keras.

    Kekayaan yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga

    jumlah anak atau keturunan.

    2. Hagabeon atau nilai keturunan.

    Keturunan merupakan hal penting untuk meneruskan garis keturunan

    dalam silsilah keluarga. Biasanya anak laki-laki lebih diutamakan

    karena mereka akan meneruskan marga sampai keturunan berikutnya.

    3. Hasangapon atau nilai kedudukan atau jabatan.

    Nilai hasangapon adalah nilai tambahan apabila mereka memiliki

    kedudukan atau jabatan pada setiap pekerjaan. Bila tidak tercapai oleh

    yang bersangkutan, kesuksesan sang anak juga dapat menjadi

    pertimbangan.

    Selain itu, masyarakat Batak juga memiliki adat istiadat warisan

    leluhur berupa falsafah Dalihan na tolu yang terdiri dari somba marhula-

    hula (hormat kepada saudara pihak istri), manat mardongan tubu (bersikap

    hati-hati kepada saudara semarga), serta elek marboru (sifat membujuk

    kepada saudara perempuan). Dalihan na tolu merupakan konsep hubungan

    kekeluargaan karena adanya pernikahan dan merupakan dasar dari aspek

    kehidupan mereka sejak lahir sampai mati (Siahaan, 1999, hal 26).

    Suku Batak Toba adalah salah satu suku yang masih memegang adat

    dan prinsip hidup dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, unsur dalihan

    na tolu diterapkan dalam upacara adat, seperti upacara mendirikan rumah

    baru, kelahiran, pernikahan, kematian, dll. Unsur dalihan na tolu memiliki

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 17

    Universitas Indonesia

    peranan penting di setiap upacara. Tanpa adanya unsur tersebut, upacara adat

    tidak terlaksana dengan baik sehingga kehadiran unsur pelaku adat tersebut

    sangat diharapkan di seluruh upacara adat. Dapat disimpulkan bahwa

    hubungan kekerabatan yang dilibatkan dalam upacara adat menjadi bukti

    pentingnya peran manusia sebagai makhluk sosial.

    2.2.5 Konsep Pernikahan

    Sebagai manusia, masyarakat Batak Toba mengalami daur hidup sejak

    lahir sampai mati dan pernikahan adalah salah satunya. Pernikahan suku

    Batak bermakna sebagai penyatuan dua marga yang terlibat melalui

    pelaksanaan upacara adat. Masyarakat Batak percaya upacara adat dapat

    mempererat hubungan antarkeluarga yang bersangkutan sampai ke generasi

    selanjutnya. Pada suku Batak Toba, jika seorang laki-laki akan menikah,

    dianjurkan agar calon istrinya berasal dari marga yang sama dengan sang Ibu

    (dikenal dengan istilah pariban) agar semakin mendukung hubungan

    kekerabatan dengan keluarga sang Ibu (hula-hula).

    Sesuai dengan konsep Dalihan Na Tolu, terdapat tiga peran penting

    dalam upacara adat pernikahan Batak Toba.

    Hula-hula

    Hula-hula adalah sapaan terhadap orang tua dan saudara laki-laki dari

    pengantin perempuan, terdiri dari tulang, tulang rorobot, bona tulang,

    bona ni ari, dll.

    Dongan tubu

    Dongan tubu adalah orang-orang yang memiliki marga sama dengan

    suhut (keluarga yang menggelar acara).

    Boru

    Pada acara adat, boru adalah para suami dari anak pihak perempuan

    suhut dan suami dari anak perempuan dongan tubu.

    Seorang istri yang baru menikah memiliki kepemilikan atas marga sang

    suami tetapi biasanya mereka tetap mencantumkan marga asli mereka di

    belakang marga suami, misalnya Ibu Rosa Simanjuntak, br. Sidabutar

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 18

    Universitas Indonesia

    (Simanjuntak adalah marga sang suami, dan Sidabutar marga asli). Hal ini

    penting untuk mempererat hubungan kekeluargaan, terutama hula-hula.

    Dulu masyarakat Batak menikah saat berumur 20 tahun dan biasanya

    melalui rencana keluarga terutama orang tua (sistem perjodohan). Pernikahan

    tanpa sistem perjodohan biasanya dikarenakan sudah ada pilihan dari kedua

    calon pengantin itu sendiri. Di sini, kedua calon pengantin dibebaskan

    memilih pasangan karena dianggap memiliki tingkat kedewasaan yang

    memadai pada tahap maturity (gambar 2.1) dan tahap adulthood (gambar

    2.2). Satu-satunya batasan dalam memilih pasangan adalah tidak

    diperkenankannya memilih pasangan dari marga yang sama. Aturan ini tidak

    boleh dilanggar karena akan berdampak pada hubungan kekerabatan

    keluarga. Di daerah pedesaan, pemilihan pasangan biasanya didominasi

    kesamaan daerah asal. Hal ini dipengaruhi karena mereka sudah saling mengenal dan terdapat hubungan sosial antar kedua orang tua. Orang tua

    memiliki peranan penting dalam hubungan calon mempelai sebab ketentuan

    proses pernikahan biasanya diserahkan sepenuhnya kepada orang tua.

    Bagi masyarakat Batak Toba, hal penting dalam proses perkenalan

    antara kedua pihak adalah saat melakukan negosiasi harga mahar calon

    pengantin perempuan. Proses negosiasi terdengar seolah-olah seperti proses

    pembelian, namun dalam kenyataannya hal ini merupakan sebuah

    kompensasi untuk keluarga pengantin perempuan karena anak perempuannya

    akan diserahkan ke pihak laki-laki setelah menikah. Harga mahar (sinamot)

    ditentukan berdasarkan status sosial orang tua dan kualitas pendidikan calon

    pengantin perempuan. Semakin tinggi status sosial dan kualitas

    pendidikannya, semakin tinggi harga mahar yang harus dibayar pihak laki-

    laki. Proses ini merupakan proses awal dari rangkaian pernikahan adat Batak

    Toba. Hubungan yang tercipta antarkeluarga tidak hanya mempengaruhi

    hubungan pengantin saja, tetapi juga hubungan kedua keluarga. Inilah

    sebabnya, perceraian jarang terjadi pada masyarakat Batak.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 19

    Universitas Indonesia

    2.2.6 Sarana Adat

    1. Kain Ulos

    Selain sebagai identitas, kain ulos kerap kali digunakan untuk

    mendukung acara adat, termasuk dalam acara pernikahan. Sebelum

    pengaruh Eropa masuk, masyarakat Batak Toba menggunakan ulos

    sebagai pakaian sehari-hari. Hampir seluruh masyarakat Batak dapat

    menenun kain ulos. Namun keahlian mereka dalam menenun kian lama

    kian menghilang karena masuknya bahan produksi Eropa. Namun

    karena banyaknya permintaan, perempuan Batak masih terus menenun

    kain ulos untuk dijual di pasar daerah Kabanjahe dan Pematang Siantar.

    Saat ini penggunaan ulos sehari-hari jarang ditemukan dan lebih sering

    digunakan pada upacara adat.

    Dalam upacara pernikahan, ulos tidak hanya digunakan sebagai

    busana tradisional namun juga sebagai sarana ritual. Kain ulos

    menunjukkan harapan keberuntungan dan kebahagiaan pasangan yang

    baru menikah serta membentuk hubungan kekerabatan kedua keluarga.

    Pemberian kain ulos merupakan momen utama dalam pernikahan

    karena menjadi sarana keluarga untuk memberi doa dan harapan bagi

    pasangan baru. Prosesi pemberian kain ulos tidak diberikan begitu saja.

    Ulos diberikan dengan cara diselimutkan ke pasangan pengantin untuk

    menyatukan mereka. Biasanya prosesi pemberian ulos juga disertai

    dengan doa restu (pasu-pasu). Melihat pentingnya peran kain ulos

    dalam upacara adat, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kain ulos

    merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Batak Toba.

    Kain ulos memiliki beberapa jenis sesuai maknanya masing-

    masing. Kapan digunakan, pada siapa diberikan, dan dalam upacara apa

    digunakan menjadi pertimbangan dalam menggunakan kain ulos. Pada

    acara pernikahan, ada dua jenis kain ulos yang digunakan, yaitu ulos

    ragidup dan ragi hotang. Kedua ulos digunakan sebagai lambang

    kehidupan, restu, dan harapan dari para keluarga.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 20

    Universitas Indonesia

    Proses pemberiannya juga dibagi menjadi beberapa tahapan. Pada

    tahap pertama yang dikenal dengan istilah ulos na marhadohoan, ulos

    diberikan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki sedangkan tahap

    kedua yang dikenal dengan istilah ulos holong diberikan oleh kedua

    keluarga (termasuk hula-hula) kepada kedua pengantin.

    Gambar 2.10 Ulos Ragi Hotang dan Ulos Ragidup

    (Sumber : Sibeth, THE BATAK: Peoples of the Island of Sumatra, 1991)

    Tabel 2.1 Pembagian Prosesi Pemberian Ulos pada Upacara Pernikahan

    (Sumber: Drs. Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, 1998 diolah kembali)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 21

    Universitas Indonesia

    2. Musik Gondang

    Menurut tradisi Batak, gondang adalah seperangkat alat musik,

    ansambel musik, serta komposisi lagu. Gondang umumnya dimainkan

    beserta tari tor-tor. Komposisi musik gondang tergolong unik.

    Walaupun terbagi dalam tangga nada yang sama dengan musik pada

    umumnya, penyusunan nada pada gondang berbeda dan hanya memiliki

    lima tingkatan nada.

    Berbagai jenis lagu yang dimainkan biasanya tergantung niat dan

    tujuan pemimpin adat. Anggapan sakral terhadap gondang membuat

    para pemusik gondang mendapat penghormatan tinggi. Gondang

    digunakan hampir dalam semua kegiatan tradisional Batak, seperti pesta

    kelahiran, kematian, pernikahan, dll. Selain sebagai hiburan, gondang

    juga memiliki nilai magis. Namun masuknya agama dan pengaruh

    budaya modern telah merubah banyak hal. Di sebagian besar

    pertunjukan, gondang hanya dimainkan sebagai hiburan. Kesakralan

    gondang mulai luntur dan banyak dari mereka yang tidak mengerti

    makna permainan gondang.

    3. Tari Tor-tor

    Tari tor-tor adalah tarian tradisional Batak Toba yang gerakannya

    seirama dengan iringan musik gondang. Tradisi menari tor-tor pada

    umumnya berlangsung pada masyarakat Batak di wilayah Samosir,

    Toba. Menurut sejarah, tari tor-tor hanya digunakan dalam ritual

    Gambar 2.11 Musik Gondang

    (Sumber : http://ali962.blogspot.com/, 5 Juni 2012)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 22

    Universitas Indonesia

    tertentu untuk memanggil roh. Namun seiring masuknya agama,

    mulai tahun 1970 hampir di semua kegiatan adat terdapat tari tor-tor

    tanpa ada nilai magis di dalamnya, termasuk saat upacara pernikahan.

    2.3 Kesimpulan

    Kelompok etnis Batak Toba adalah salah satu bentuk peran manusia

    sebagai individu dan sosial. Hidup bersosialisasi dianggap penting sehingga

    sistem ini diterapkan dalam setiap peristiwa kehidupan. Peran keluarga pun

    menjadi bagian penting di dalamnya. Tak dipungkiri bahwa tanpa keluarga,

    makna dalam setiap peristiwa sulit diperoleh. Itulah sebabnya mereka memegang

    kuat konsep kekerabatan dan konsep adat sebagai bentuk dari interaksi sosial.

    Dalam upacara adat, konsep adat memiliki peranan penting, dalam bentuk

    ritual dan sarana adat. Sebagai contoh, penggunaan kain ulos sebagai sarana adat

    dalam upacara pernikahan. Ulos tidak hanya digunakan sebagai sarana adat tetapi

    memiliki makna sebagai bentuk perwujudan dari hubungan kekerabatan baru

    antara dua keluarga yang terbentuk dari ikatan pernikahan. Dengan demikian,

    hubungan konsep kekerabatan yang mereka miliki tetap tercapai. Selain itu,

    kesenian tradisional yang mereka miliki seperti musik gondang dan tari tor-tor

    juga kerap digunakan walaupun sudah mengalami pergeseran makna seiring

    dengan masuknya agama.

    Gambar 2.12 Tari Tor-tor

    (Sumber : http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/19/tortor-dan-ulos/, 5 Juni 2012)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 23

    Universitas Indonesia

    BAB 3

    RUANG DAN MANUSIA

    Bangunan, biar benda mati namun tidak berarti tak berjiwa,sesuatu

    yang sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan

    kecenderungan-kecenderungan (Mangunwijaya, 1992, hal 25).

    3.1 Ruang dan Kualitasnya

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ruang adalah sebuah rongga tak

    terbatas atau tempat segala sesuatu yang ada. Sebuah ruang secara tidak langsung

    dapat terdefinisi saat manusia berada dan berkegiatan di dalamnya. Oleh sebab

    itu, kualitas ruang yang terbentuk pada suatu tempat berbeda dengan kualitas

    ruang di tempat lainnya. Kualitas ruang hadir tergantung dari manusia sebagai

    penggunanya sehingga sifatnya lebih subyektif. Perbedaan pengalaman dan

    kepribadian yang dimiliki manusia membuat kualitas ruang yang juga berbeda.

    Namun kesamaan yang dimiliki sekelompok orang, misalnya ras, agama, dll dapat

    menghasilkan kualitas ruang yang sama.

    Untuk dapat merasakan kualitas ruang, indera manusia memiliki peranan

    penting. Menurut Laurens (2004), informasi tentang ruang yang ditangkap

    manusia melalui indera mempengaruhi pikiran manusia yang membentuk persepsi

    terhadap ruang tersebut. Persepsi adalah kegiatan mengumpulkan, menyusun, dan

    mengambil rasa (sense) terhadap informasi-informasi yang didapat dari

    lingkungan sekitar. Berikut indera-indera yang berperan.

    Indera penglihatan (vision)

    Penglihatan merupakan indera yang paling dominan dalam

    memperoleh informasi (Hall, 1966). Dengan indera penglihatan,

    manusia dapat memperoleh informasi walaupun dalam jarak yang

    tidak terlalu dekat. Penglihatan dapat mengidentifikasi makanan,

    manusia, bentuk fisik suatu material, dll dalam jarak tertentu. Selain

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 24

    Universitas Indonesia

    itu, penglihatan juga dapat mengarahkan pergerakan manusia serta

    mengumpulkan informasi yang dirasakan secara emosional.

    Indera pendengaran (hearing)

    Walaupun informasi yang didapat tidak sebanyak indera penglihatan,

    namun indera pendengaran sangat mempengaruhi perasaan manusia

    secara emosional. Informasi seperti alunan musik, aliran air, suara

    orang, dll dapat diperoleh melalui indera ini. Informasi yang tidak

    terlihat juga dapat diperoleh dengan bantuan indera pendengaran

    walaupun hasilnya tidak sesempurna dengan apa yang ditangkap

    langsung oleh mata.

    Indera pendengaran juga memiliki batasan. Suara pada jarak hampir

    seperempat mil sulit untuk terdeteksi (Hall, 1966, hal 43). Oleh sebab

    itu jarak juga mempengaruhi informasi yang diperoleh sehingga

    menghasilkan perbedaan persepsi antar individu.

    Indera penciuman (smell)

    Informasi tentang ruang juga dapat diperoleh dengan indera

    penciuman, misalnya bau makanan, bau material, dll. Dibandingkan

    indera lainnya, indera penciuman tidak terlalu dapat dikembangkan.

    Namun indera penciuman dapat menyimpan memori yang lebih dalam

    dibandingkan indera lainnya. (Hall, 1966, hal. 45).

    Gambar 3.1 Ilustrasi Pengaruh Indera Pendengaran

    (Sumber : Hall, The Hidden Dimension, 1966, hal. 45)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 25

    Universitas Indonesia

    Indera peraba (touch)

    Indera peraba digunakan untuk memperoleh informasi dengan

    merasakan sifat permukaan. Berbeda dengan indera lainnya, indera ini

    bekerja jika ada sentuhan yang dirasakan secara langsung. Sebagai

    contoh, kita perlu meletakkan telapak tangan pada permukaan laintai

    untuk dapat merasakan tekstur lantai licin atau kasar, dingin atau

    hangat, dll.

    Seluruh rangsangan yang ditangkap kemudian diterima dan diolah untuk

    menghasilkan informasi baru melalui proses kognitif (Surya, 2004). Proses

    terbentuk dari hubungan antara tubuh (internal world), fisik (external world), dan

    sosial (social world). Oleh sebab itu, interpretasi manusia terhadap ruang tidak

    selalu sama, tergantung perkembangan pemikiran manusia terhadap

    lingkungannya.

    3.2 Elemen Ruang

    Ruang terbentuk dari elemen konseptual seperti titik, garis, bidang, dan

    volume. Elemen tersebut membentuk elemen visual yang dapat menghasilkan

    kualitas ruang. Kualitas ruang dapat mempengaruhi pemahaman manusia terhadap

    ruang itu sendiri. Berikut ini adalah elemen pembentuk ruang yang dapat menjadi

    penentu kualitas ruang.

    Dimensi (Proporsi dan Skala)

    Proporsi merujuk pada hubungan antara satu bagian dengan bagian

    lainnya atau dengan bagian keseluruhan, sedangkan skala merujuk

    pada kesesuaian ukuran elemen-elemen ruang. Dimensi ruang

    memiliki pengaruh terhadap persepsi manusia (Orr, 1987, hal.10).

    Manusia biasanya menggunakan tubuhnya sendiri untuk merasakan

    sebuah ruang sehingga sebuah persepsi muncul dari apa yang

    dilakukan manusia. Apa yang dapat manusia lakukan di dalamnya

    mempengaruhi pengalaman ruang yang dialami (Hall, 1966, hal. 54).

    Sebagai contoh, ruang yang memungkinkan manusia bergerak 1-2

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 26

    Universitas Indonesia

    langkah menghasilkan pengalaman yang berbeda dengan ruang yang

    memungkinkan pergerakan sebanyak 15-20 langkah. Contoh lain

    misalnya ruang dengan ceiling yang dapat disentuh akan menghasilkan

    pengalaman yang berbeda dengan ruang yang memiliki ceiling tinggi.

    Bukaan (Pandangan dan Cahaya)

    Bukaan yang ada pada sebuah ruang ikut mempengaruhi kualitas

    ruang. Bentuk dan letak bukaan mempengaruhi pandangan serta

    cahaya yang masuk. Bukaan yang kecil cenderung membatasi

    pandangan seseorang dalam sebuah ruang dan begitu juga sebaliknya.

    Adanya cahaya yang masuk juga menghasilkan kualitas ruang yang

    berbeda, misalnya kualitas ruang saat siang hari dan malam hari.

    Bentuk

    Penataan ruang terbagi menjadi dua, yaitu ruang sosiopetal dan ruang

    sosiofugal (Laurens, 2004, hal. 120). Tatanan sosiopetal merujuk pada

    tatanan yang mampu memfasilitasi interaksi sosial, misalnya tatanan

    Gambar 3.2 Ilustrasi Pengaruh Dimensi Ruang

    (Sumber : Hall, The Hidden Dimension, 1966, hal. 54)

    Gambar 3.3 Ilustrasi Pengaruh Bukaan (Sumber : pribadi)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 27

    Universitas Indonesia

    meja makan yang berhadapan satu sama lain sehingga pengguna dapat

    berinteraksi. Berlawanan dengan sosiopetal, tatanan sosiofugal justru

    dapat mengurangi interaksi sosial, misalnya tatanan tempat duduk

    yang saling membelakangi pada ruang tunggu. Selain itu, penataan

    yang terbentuk juga dapat menjadi batasan pada ruang itu sendiri.

    Permukaan (Warna, Tekstur, dan Pola)

    Ruang tidak hanya dilihat tapi juga dirasakan. Permukaan menjadi

    salah satu media untuk dapat merasakan ruang. Warna, tekstur, dan

    pola dapat membentuk kualitas ruang yang didukung melalui

    penglihatan secara visual, misalnya penggunaan warna-warna gelap

    yang cenderung menghasilkan kualitas ruang lebih hangat

    dibandingkan warna terang.

    3.3 Ruang dan Tingkat Kepadatan

    Sebagai pengguna, tingkat kepadatan manusia di dalam ruang juga perlu

    menjadi pertimbangan dalam pembentukan ruang. Tingkat kepadatan diukur dari

    banyaknya jumlah individu dalam suatu batas ruang dengan jarak yang sama

    besar antarindividu. Semakin bertambahnya jumlah individu pada sebuah ruang

    dengan luas yang sama akan mengakibatkan tingkat kepadatan yang tinggi.

    Gambar 3.5 Penataan Sosiofugal

    pada Ruang Tunggu (Sumber : Hall,

    The Hidden Dimension, 1966, hal 46)

    Gambar 3.4 Penataan Sosiopetal pada

    Ruang Makan

    (Sumber : http://rumahinterior.net/meja-

    makan, 30 Mei 2012)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 28

    Universitas Indonesia

    Kepadatan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kepadatan ruang atau

    kepadatan sosial. Kepadatan ruang terjadi karena luas ruangan yang terlalu sempit

    untuk jumlah individu di dalamnya, sedangkan kepadatan sosial terjadi karena

    jumlah individu yang terlalu banyak untuk ruang yang tersedia. Itulah sebabnya,

    perhitungan mengenai tingkat kepadatan lebih baik tidak dihitung dari jumlah

    individu per unit area tetapi dari jumlah dan kedekatan seseorang dalam suatu

    komunitas pada suatu area (Knowles, 1979).

    Kepadatan berbeda dengan kesesakan. Menurut Stokols (1972), kepadatan

    (density) adalah kendala keruangan (spatial constraint) sementara kesesakan

    (crowding) lebih mengarah kepada respon tiap individu terhadap sebuah ruang.

    Kepadatan sifatnya lebih objektif dan terukur, sedangkan kesesakan lebih merujuk

    pada persepsi dan pengalaman tiap individu sehingga sifatnya lebih subjektif.

    Sebagai contoh pada tingkat kepadatan yang sama, seseorang merasa sesak namun

    orang lain belum tentu merasakan hal yang sama atau misalnya pada tingkat

    kesesakan yang sama, perempuan biasanya cenderung lebih bisa menahan tingkat

    emosi dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itu, kepadatan tidak selalu berbanding

    lurus dengan kesesakan dan begitu juga sebaliknya.

    3.4 Ruang dan Perilaku Manusia

    Manusia merupakan pusat lingkungan sekaligus bagian dari lingkungan.

    (Laurens, 2004, hal.45). Ruang tidak hanya hadir sebagai wadah untuk aktivitas

    manusia tetapi juga bagian dari perilaku manusia. Perilaku adalah segala sesuatu

    yang bisa diamati oleh indera sebagai hasil interaksi dengan lingkungan (Surya,

    Gambar 3.6 Ilustrasi Kepadatan

    (Sumber : http://finance.fortune.cnn.com dan http://www.abc.net.au/, 1 Juni 2012)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 29

    Universitas Indonesia

    2004). Oleh sebab itu, perilaku manusia perlu menjadi pertimbangan dalam

    menciptakan ruang. Behavior setting (setting perilaku) merupakan bentuk

    perwujudan dari hubungan tatanan lingkungan fisik dengan pola perilaku

    manusia.

    Menurut Laurens (2004), setting perilaku dapat terbentuk dengan beberapa

    kriteria, antara lain:

    Terdapat satu atau lebih pola perilaku dari kegiatan yang berulang

    (standing pattern of behavior).

    Terdapat tata lingkungan tertentu, baik berupa batasan fisik maupun

    temporal, berkaitan dengan pola perilaku (circumjacent mileu).

    Terdapat keselarasan hubungan antara pola perilaku manusia dengan

    tata lingkungan (synomorphy).

    Dilakukan pada periode waktu tertentu walaupun dapat berubah seiring

    berjalannya waktu.

    Dapat disimpulkan bahwa setting perilaku merupakan kombinasi antara manusia,

    aktivitas, tempat, waktu, serta tata lingkungan.

    Setting perilaku tidak tergantung hanya pada satu orang atau satu objek

    saja karena dapat terjadi pada orang dan objek yang berbeda. Jumlah partisipan

    juga tidak menjadi batasan sehingga jumlah populasi menjadi salah satu aspek

    yang mempengaruhi sebuah setting. Selain itu, setting perilaku juga dapat terjadi

    di ruang manapun, baik ruang terbuka maupun ruang tertutup dengan setting yang

    berbeda.

    Gambar 3.7 Behavior Setting Ruang

    Rapat (Sumber: http://phbk.bkkbn.go.id/ berita/Pages, 28 Mei 2012)

    Gambar 3.8 Behavior Setting Pasar

    (Sumber: http://joneyun.

    blogspot.com/2010/04, 28 Mei 2012)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 30

    Universitas Indonesia

    Setting perilaku terdiri dari dua macam, yaitu :

    Sistem tempat atau ruang (system of setting), yaitu rangkaian unsur fisik

    atau spasial yang saling berhubungan sehingga dapat digunakan untuk

    suatu kegiatan tertentu.

    Sistem kegiatan (system of activity), yaitu rangkaian perilaku yang

    secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang.

    Dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa sebuah setting memiliki suatu

    struktur internal yang menjadikan suatu kegiatan dan pelakunya memiliki makna

    (Laurens, 2004, hal 177). Dengan pola perilaku yang muncul, peran setiap orang

    pun dapat terlihat. Terlihat pada gambar 3.5, pemimpin rapat menempati posisi di

    bagian tengah sehingga dapat melihat dan dilihat oleh peserta rapat. Dengan

    begitu peran pemimpin rapat sebagai pusat perhatian dan pemegang kendali pada

    aktivitas tersebut dapat terlihat. Contoh lainnya terlihat pada setting pasar yang

    mengatur perilaku penggunanya sebagai pembeli dan penjual (gambar 3.6).

    3.5 Ruang dan Perayaan

    Ruang tidak sekedar memiliki bentuk fisik tiga dimensi tetapi ruang juga

    memiliki fungsi yang dapat dirasakan dan didengar. Bagaimana aktivitas manusia

    yang terjadi di dalam ruang perlu menjadi pertimbangan (Deasy, 1985, hal.15).

    Perayaan dan ruang sebenarnya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama

    membutuhkan pelaku, waktu, kegiatan, serta peristiwa di dalamnya. Ruang dan

    perayaan juga membutuhkan adanya perencanaan dan program sesuai dengan

    fungsi dan makna yang ingin dicapai.

    Events in themselves though are unique, special and provide a

    unique experience but in order to ecist they require something to be

    planned, managed, organised and run (created, conceived, planned,

    and executed) as there is no event untul someone actually plans one

    and begins to think about how they can deliver it. (Berridge, 2007,

    hal. 21).

    Sebagai makhluk hidup, manusia bergerak dari satu kondisi ke kondisi lainnya,

    begitu juga sebuah perayaan. Sebuah perayaan terdiri dari beberapa kegiatan yang

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 31

    Universitas Indonesia

    menuntut manusia untuk bergerak dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Ruang,

    peristiwa, dan pergerakan memiliki hubungan dalam membentuk suatu karya

    arsitektur. Ruang hadir untuk mengakomodasi kegiatan dan setiap pola kegiatan

    yang terbentuk akan menciptakan karakter dan kualitas ruang itu sendiri. Untuk

    menghadirkan kualitas sebuah bangunan atau kota, kita harus memulai dengan

    memahami bahwa setiap tempat hadir dengan karakternya yang terlihat dari pola

    kegiatan yang berlangsung di dalamnya (Alexander, 1979, hal 54).

    Arsitektur bukanlah kondisi dari sebuah desain tetapi desain dari sebuah

    kondisi (Tschumi, 1999, hal 259). Hal ini dapat terlihat dari kesamaan antara

    ruang dan bunga. Untuk menghasilkan bunga berkualitas baik, kita tidak dapat

    memperolehnya hanya dengan menggabungkan setiap bagiannya satu per satu.

    Kita perlu menanam dan merawatnya setiap hari. Begitu juga dengan sebuah

    ruang. Ruang tidak dapat membentuk kualitasnya sendiri hanya dengan bentuk

    fisik maupun ornamen di dalamnya. Bagaimana manusia membentuk kualitas

    dalam setiap kegiatan dan situasi pun menjadi unsur penting untuk menghadirkan

    ruang yang berkualitas.

    3.6 Kesimpulan

    Ruang dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

    Oleh sebab itu segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia secara tidak

    langsung memiliki pengaruh terhadap ruang. Bagaimana manusia berperilaku dan

    berapa banyak jumlah individu yang terlibat tanpa disadari akan mempengaruhi

    ruang, baik bentuk maupun kualitasnya. Tidak hanya itu, kualitas ruang yang

    terbentuk pun juga mempengaruhi perilaku dan kegiatan manusia di dalamnya.

    Namun kualitas sebuah ruang hadir tergantung persepsi manusia terhadap ruang

    tersebut melalui indera yang dimiliki. Kualitas ruang dikatakan baik jika dapat

    memberikan kualitas pada kegiatan yang berlangsung, dan begitu juga sebaliknya.

    Jadi, kualitas ruang menjadi jawaban dan kunci utama untuk memenuhi

    kebutuhan manusia terhadap sebuah ruang.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 32

    Universitas Indonesia

    BAB 4

    RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN BATAK TOBA

    DI JAKARTA

    Seiring berjalannya waktu, penyesuaian terhadap perubahan zaman mulai

    dilakukan masyarakat Batak Toba. Setelah Perang Dunia II, banyak perubahan

    yang terjadi terutama pada sektor keagamaan. Banyak masyarakat Batak mulai

    bermigrasi ke pulau Sumatera bagian timur karena faktor ekonomi. Hal ini

    membuat beberapa dari mereka yang menganut agama Kristen mulai berpindah ke

    agama Islam. Meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat di era yang semakin

    modern menjadi salah satu pemicu proses urbanisasi pada kelompok etnis Batak.

    Tak sedikit masyarakat yang berpindah ke beberapa kota besar di Indonesia,

    termasuk Jakarta dan banyak dari mereka akhirnya menetap dan tidak lagi tinggal

    di tanah Batak.

    Adanya urbanisasi ternyata tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk

    tetap mempertahankan tradisi adat. Masyarakat Batak Toba dikenal sebagai salah

    satu kelompok etnis yang masih kuat menjalankan tradisi budaya sampai saat ini.

    Konsep kekerabatan dalihan na tolu tetap mereka terapkan. Tidak hanya itu,

    mereka juga masih menjalankan tradisi upacara adat di setiap peristiwa penting,

    terutama pada peristiwa pernikahan. Sarana adat juga tetap digunakan dalam

    pelaksanaan ritual sebagai salah satu identitas budaya Batak Toba. Banyak pula

    kebiasaan-kebiasaan yang masih mereka bawa walaupun sudah berada di kota

    besar, misalnya dengan penyebutan istilah halaman untuk tempat pelaksanaan

    upacara pernikahan. Hal tersebut secara tidak langsung tentu akan memengaruhi

    pengalaman ruang yang dirasakan.

    Manusia dan seluruh kegiatannya tidak terlepas dari ruang yang

    mengakomodasi. Seluruh kegiatan ritual serta konsep adat juga mempengaruhi

    pembentukan ruang dan begitu juga sebaliknya. Pada bab ini saya mencoba

    menganalisis pengaruh ritual adat terhadap ruang dalam upacara pernikahan adat

    Batak Toba yang berlangsung di Jakarta sesuai dengan teori yang ada pada bab

    sebelumnya.

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 33

    Universitas Indonesia

    4.1 Ritual Pesta Adat

    Pernikahan adalah salah satu tahapan peristiwa kehidupan walaupun

    sebenarnya tidak menjadi kewajiban bagi setiap manusia. Bagi masyarakat Batak

    Toba, pernikahan merupakan peristiwa penting, baik bagi pengantin maupun

    keluarga. Oleh sebab itu, banyak rangkaian acara yang dilakukan dan pesta adat

    adalah inti dari seluruh rangkaian acara pernikahan Batak Toba.

    Studi kasus upacara pesta adat Batak Toba ini adalah hasil observasi dan

    dokumentasi pernikahan Ervin Meynardo Sirait dan Lenita Nathania Sinaga yang

    dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 2012 di Gedung Raja, Kebon Nanas,

    Jakarta Timur. Upacara adat dilakukan dengan cara dialap jual. Dialap jual

    adalah salah satu sistem dalam upacara adat pernikahan Batak Toba, dimana pihak

    laki-laki menjadi tuan rumah yang dipilih berdasarkan kesepakatan kedua

    keluarga. Oleh sebab itu, seluruh persiapan upacara pernikahan diserahkan kepada

    pihak laki-laki.

    Gambar 4.1 Interior ruang pernikahan adat Batak Toba (Sumber : Pribadi)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 34

    Universitas Indonesia

    Pesta adat dilangsungkan saat prosesi pemberkatan pernikahan di gereja

    selesai. Tamu diperbolehkan langsung masuk ke dalam gedung, kecuali hula-hula

    sebab akan ada proses penyambutan hula-hula dari kedua keluarga. Prosesi

    penyambutan hula-hula dilakukan sebab menurut konsep Dalihan Na Tolu, hula-

    hula memiliki peranan tertinggi. Pesta adat pernikahan suku Batak Toba di tanah

    Toba pada umumnya diselenggarakan di halaman rumah salah satu pengantin

    tanpa adanya meja dan kursi untuk tamu, namun tetap dengan setting tempat

    duduk yang sama. Ternyata hal ini memengaruhi persepsi individu yang terlibat.

    Masyarakat Batak Toba yang ada di Jakarta biasanya menganggap tempat upacara

    pernikahan sebagai halaman bukan sebuah gedung sedangkan tamu lain sebagai

    orang awam tetap melihat tempat tersebut sebagai sebuah gedung pernikahan. Hal

    ini memberikan persepsi ruang yang berbeda pada tiap individu. Di sinilah terlihat

    pengaruh persepsi dan pengalaman manusia terhadap ruang.

    Pada acara ini penataan ruang dibagi menjadi empat bagian, yaitu untuk

    keluarga pihak laki-laki, keluarga pihak perempuan, ruang ritual, serta pelaminan.

    Pada gambar 4.1, penggunaan karpet merah di bagian tengah menjadi penanda

    Gambar 4.2 Denah interior ruang pernikahan Batak Toba (Sumber : Pribadi)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 35

    Universitas Indonesia

    ruang ritual utama. Hal ini juga didukung dengan adanya drop ceiling dan

    penggunaan lampu gantung yang semakin mempertegas posisi ruang ritual. Plafon

    tinggi dengan luas ruangan yang besar, serta penggunaan warna putih yang

    dominan menghadirkan kesan megah dan luas pada ruangan. Dengan setting yang

    terbentuk, area bagian tengah terlihat sebagai area yang aktif dengan pergerakan

    dan perpindahan saat ritual berlangsung. Hal ini juga didukung dengan adanya

    alur yang mengatur arah pergerakan, baik menuju pelaminan maupun menjauh

    dari pelaminan.

    Adanya penataan khusus untuk kursi dan meja juga mengarahkan orientasi

    pandangan ke bagian tengah ruang ritual. Selain itu, level pelaminan dibuat

    sengaja lebih tinggi agar pelaminan tempat orang tua dan pengantin duduk

    sebagai pelaku utama ritual dapat terlihat dengan jelas. Setting tersebut

    sebenarnya juga memungkinkan munculnya peran mereka sebagai objek yang

    melihat. Namun sesuai teori behavior setting, populasi juga mempengaruhi peran

    dalam sebuah setting. Karena jumlah mereka lebih sedikit, secara psikologi

    mereka akan tertekan dengan jumlah populasi tamu sebagai pengamat sehingga

    mereka lebih berperan sebagai objek yang dilihat.

    Gambar 4.3 Skema dan orientasi pada interior gedung pernikahan Batak Toba

    (Sumber : Pribadi)

    Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012

  • 36

    Universitas Indonesia

    Adanya dua setting pada tempat duduk tamu juga memperlihatkan

    perbedaan peran mereka pada acara tersebut. Pertama adalah setting untuk

    keluarga dari marga yang sama yang ditata menghadap ke ruang ritual bagian

    tengah. Setting ini memperlihatkan bahwa mereka ikut terlibat dalam prosesi

    ritual walaupun tidak berperan langsung sebagai pelaku ritual. Hal i