bab iii suku sangihe dan ritual tulude · mengatakan, penduduk sangihe termasuk suku-suku indonesia...

45
Page | 36 BAB III SUKU SANGIHE DAN RITUAL TULUDE Suku Sangihe terletak di beberapa kepulauan daerah Propinsi Sulawesi Utara, sekarang telah menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan Kabupaten Kepulauan SITARO. 1 Pada abad ke XVIII, Talaud dan Sangihe menjadi satu bagian dalam struktur organsisasinya, dan secara resmi pada tahun 1825 dimasukkan dalam keresidenan Manado. 2 Pada perkembangan berikutnya, Talaud dan Sangihe menjadi satu kabupaten yang disebut Kabupaten Sangihe Talaud. Pada tahun 2002, berdasarkan UU No. 5 Tahun 2002, Talaud dimekarkan dari kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud, menjadi Kabupaten sendiri yaitu Kabupaten Kepualaun Talaud. Pada tahun 2007, berdasarkan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007, maka pada tanggal 23 Mei 2007, dari Kabupaten Kepulauan Sangihe mekar lagi satu kabupaten yaitu Kabupaten Kepulaun Siau, Tagulandang, Biaro (SITARO). Berdasarkan kepentingan penelitian dalam tulisan ini, maka penulis menggunakan dua lokasi kabupaten di atas untuk melihat bagaimana ritual Tulude dalam mempengaruhi keberagaman identitas yang ada, sehingga terjadi perubahan identitas. Hal ini dilakukan dengan cara menetapkan ketua adat kabupaten dan Petua adat di beberapa desa atau kecamatan sebagai informan kunci untuk mendapatkan data penelitian. Dengan demikian, maka pemaparan data dari hasil penelitian berikut akan dibuat dalam bentuk klasifikasi dan sub tema untuk mempermudah memahaminya. 1 SITARO adalah singkatan dari Siau, Tagulandang, Biaro. Itu adalah nama-nama pulau yang terhimpun dalam territorial Kabupaten SITARO. 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud (Tahuna: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), 19.

Upload: others

Post on 17-Feb-2021

22 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • P a g e | 36

    BAB III

    SUKU SANGIHE DAN RITUAL TULUDE

    Suku Sangihe terletak di beberapa kepulauan daerah Propinsi Sulawesi Utara,

    sekarang telah menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan Talaud,

    Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan Kabupaten Kepulauan SITARO.1 Pada abad ke

    XVIII, Talaud dan Sangihe menjadi satu bagian dalam struktur organsisasinya, dan

    secara resmi pada tahun 1825 dimasukkan dalam keresidenan Manado.2 Pada

    perkembangan berikutnya, Talaud dan Sangihe menjadi satu kabupaten yang disebut

    Kabupaten Sangihe Talaud. Pada tahun 2002, berdasarkan UU No. 5 Tahun 2002,

    Talaud dimekarkan dari kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud, menjadi Kabupaten

    sendiri yaitu Kabupaten Kepualaun Talaud. Pada tahun 2007, berdasarkan Undang-

    Undang Nomor 15 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007, maka pada tanggal 23

    Mei 2007, dari Kabupaten Kepulauan Sangihe mekar lagi satu kabupaten yaitu

    Kabupaten Kepulaun Siau, Tagulandang, Biaro (SITARO).

    Berdasarkan kepentingan penelitian dalam tulisan ini, maka penulis

    menggunakan dua lokasi kabupaten di atas untuk melihat bagaimana ritual Tulude

    dalam mempengaruhi keberagaman identitas yang ada, sehingga terjadi perubahan

    identitas. Hal ini dilakukan dengan cara menetapkan ketua adat kabupaten dan Petua

    adat di beberapa desa atau kecamatan sebagai informan kunci untuk mendapatkan

    data penelitian.

    Dengan demikian, maka pemaparan data dari hasil penelitian berikut akan

    dibuat dalam bentuk klasifikasi dan sub tema untuk mempermudah memahaminya.

    1 SITARO adalah singkatan dari Siau, Tagulandang, Biaro. Itu adalah nama-nama pulau yang terhimpun

    dalam territorial Kabupaten SITARO. 2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud (Tahuna:

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), 19.

    https://id.wikipedia.org/wiki/2_Januarihttps://id.wikipedia.org/wiki/2007https://id.wikipedia.org/wiki/23_Meihttps://id.wikipedia.org/wiki/23_Mei

  • P a g e | 37

    Pemaparan itu dimulai dari gambaran umum suku Sangihe, sampai pada bagaimana

    ritual Tulude itu dilaksanakan dalam kehidupan mereka.

    3.1. GAMBARAN UMUM SUKU SANGIHE

    Pada bagian ini kita akan melihat uraian tentang gambaran umum suku Sangihe.

    Kepentingan dari uraian ini tidak lain merupakan landasan pengantar untuk

    menunjukkan kalau beberapa kebiasaan yang terdapat dalam kehidupan suku Sangihe

    menyatu dalam praktek ritual Tulude. Pada sisi yang lain juga terdapatnya beberapa

    tindakan yang dilakukan oleh suku Sangihe yang melatarbelakangi praktek ritual

    Tulude.

    3.1.1. Asal Manusia di Suku Sangihe.

    Latar belakang manusia yang hidup di suku Sangihe dapat ditemukan

    dari teks narasi yang diceritakan turun temurun dalam bentuk legenda dan mitos.

    Berikut adalah kisah tentang asal manusia yang hidup di suku Sangihe.

    3.1.1.1.Suku Apapuhang.

    Suku Apapuhang adalah manusia pertama dalam legenda suku

    Sangihe yang pernah hidup di pulau Sangihe. Tempat tinggal mereka di

    cabang pohon. Lokasi tempat tinggal tersebut ada di antara daerah

    Mangaese dan Bowongkaleng, di sebuah lembah yang dikenal dengan

    sebutan Nambalang Apapuhang kecamatan Tabukan Utara. Bentuk fisik

    mereka tubuhnya pendek dan kerdil. Mereka memiliki kerajaan yang

    terletak di bawah bumi, dan letak jalan untuk menuju ke kerajaan itu

    berada di belakang air terjun Apapuhang di kampung Lenganeng.

    Menurut legendanya bahwa semua benda di kerajaan Apapuhang terbuat

    dari emas.

  • P a g e | 38

    Suku Apapuhang terbagi atas beberapa kelompok yaitu: Deduhe

    Batang (kelompok yang bertempat tinggal di bawah lindungan batang-

    batang kayu besar yang tumbang); Dalige Kalinsu (kelompok yang

    bertempat tinggal di tengah-tengah akar papan dari pohon-pohon kayu

    yang besar); Tanak (kelompok yang lebih rendah dan mengembara

    dengan tidak menentu tempat tinggalnya) dan Nane (kelompok yang

    disebut demikian menurut tempat kediamannya).3 Mereka hidup

    mengembara di hutan-hutan, dan makan buah-buahan, umbi-umbian, dan

    daging dari hasil buruan. Mereka menggunakan bahasa sendiri, yang

    sebagiannya sudah bercampur dengan bahasa yang dibawa dari

    Mindanao Selatan, yang merupakan bahasa Sangihe. Bahkan Brilman

    mengatakan, penduduk Sangihe termasuk suku-suku Indonesia dari

    induk bangsa Melayu Polinesia atau Austronesia.4

    3.1.1.2.Suku Pêmpanggo

    Suku ini tidak memiliki tempat tinggal tetap. Mereka adalah

    manusia yang memiliki tubuh yang tinggi, melebihi manusia normal,

    tetapi badannya tidak terlalu besar. Letak dimana mereka hidup tidak

    diketahui.

    3.1.1.3.Suku Angsuang.

    Suku Angsuang adalah manusia berbadan tinggi dan besar

    (raksasa). Cerita tentang manusia ini menjadi legenda di kampung-

    kampung yang berada di kaki gunung Awu. Angsuang adalah tokoh

    dalam legenda Gunung Awu (nama gunung merapi), yang

    menceritakan proses terjadinya letusan gunung berapi.

    3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 20. 4 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita (SULUT: Yayasan Frater Andreas Manado 1986), 25-26.

  • P a g e | 39

    Ada juga cerita-cerita atau legenda yang mengatakan bahwa

    masyarakat Sangihe merupakan keturunan bidadari dan keturunan

    raksasa yang pernah mendiami kepulauan ini. Ada juga yang

    mengatakan bahwa suku Sangihe berasal dari keturunan Mindanao

    (Philipina), keturunan suku Ternate dan Bolaang Mongondow.5

    3.1.2. Arti Nama Sangihe.

    Kata “Sangihe” dalam sejarah lisan suku Sangihe memiliki beberapa

    pengertian dan sumber dari kata itu sendiri, yaitu: pertama, kata “Sangihe”

    berasal dari bahasa Cina “Sang” (tiga) dan I (sarang burung). Menurut cerita

    para orang tua, dahulu ada pelaut Cina yang menemukan sarang burung6 ditiga

    tempat, yaitu Tabukan, Kalama (Tamako) dan Mahoro (Siau). Kata Sang-I

    kemudian menjadi Sangir yang berarti “tiga sarang burung”.

    Kedua, menurut legenda kata “Sangihe” mula-mula berasal dari kata

    “Sang-Hiyang”, karena Medellu dan Mekila yang dipandang sebagai manusia

    yang pertama mendiami pulau Sangihe adalah orang khayangan. Jadi kata

    Sangihe berarti “orang khayangan”.7

    Ketiga, “Sangihe” berasal dari kata “Sangi” artinya menangis,

    kemudian mendapat tambahan “he” yang memberi penekanan suatu keadaan

    dengan pengertian terisak-isak. Maka, kata Sangihe berarti ”menangis terisak-

    isak”.8

    5 Wawancara (via telephone) tanggal 15 September 2017, Bpk. Semuel Ketua Adat SITARO. 6 Sangkar burung yang dimaksud ialah sangkar burung wallet. 7 Meddelu adalah raja pertama suku Sangihe, sedangkan Mekila adalah permaisurinya. 8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 19.

  • P a g e | 40

    3.1.3. Keadaan Wilayah.

    Sangihe merupakan daerah maritim atau bahari dengan luas lautnya

    sekitar 25.000 km2. Sangihe juga merupakan daerah kepulauan, dimana terdapat

    112 pulau, yang terdiri dari 30 pulau (26,79%) berpenduduk dan 82 pulau

    (73,21%) tidak atau belum berpenduduk. Secara geografis kepulauan Sangihe

    terletak antara 4o 13” – 4o44’22” Lintang Utara dan 125o9’57” Bujur Timur.

    Dengan batas-batas wilayah: Sebelah Utara berbatasan dengan Republik

    Philipina; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Minahasa; Sebelah

    Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi; Sebelah Timur berbatasan dengan

    Kabupaten Kepulauan Talaud.9

    3.1.4. Bentuk Pemerintahan.

    Pada awal abad XV, tepatnya tahun 1425, di kepulauan Sangihe telah

    lahir sebuah kerajaan bernama Tampunganglawo. Sistem pemerintahan diatur

    oleh raja, atau biasa disebut “datu”, sebagai pemimpin. Tidaklah mengherankan

    kalau di Sangihe muncul banyak kerajaan, seperti kerajaan Kendahe, kerajaan

    Manganitu, kerajaaan Tagulandang, kerajaan Siau dan lain sebagainya.

    Datu atau raja yang memimpin adalah Gumansalangi (yang lebih

    dikenal dengan nama Medellu) dan istrinya Kondaasa (Sangiang Mekila).

    Gumansalangi yang mendirikan kerajaan Tampunganglawo. Wilayah

    pemerintahannya meliputi Sangihe Talaud dan Philipina Selatan. Ketika

    Medellu meninggal, ia digantikan oleh anaknya bernama Melintangnusa.

    Setelah Melintangnusa meninggal, Kerajaan Tabukan terbagi dua, yaitu :

    Kedatuan Sahabe di sebelah Utara, berpusat di Sahabe dan Kedatuan Salurang

    9 Dokument Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud, 3.

  • P a g e | 41

    di sebelah Selatan, berpusat di Salurang. Dalam perkembangannya kedua

    kedatuan ini, dipersatukan oleh seorang pangeran yang bernama Makaampo,

    dialah cucu Melintangnusa. Wilayah pemerintahannya ialah Sahabe, Tabukan,

    Lapango, Kuma, Manalu dan Salurang.

    Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh dua bentuk

    organisasi kerajaan pembantu raja yaitu: Bobato’n delahe, dan Bobaton’n bale.

    Orgnasisasi pertama dikepalai oleh seorang “Mayore” atau “Mayore labo”.

    Bertugas menangani masalah sosial dalam masyarakat. Sedangkan “Bobato’n

    bale” dikepalai oleh Kapitalaung atau Kapten Laut, yang menangani masalah-

    masalah khusus pemerintahan. Kapitalaung sebagai aparat pelaksana

    pemerintahan di bawah Raja.10

    Pada pemerintahan raja-raja, Sangihe telah dijajah oleh bangsa Portugis

    dan Belanda. Kedudukan atau pemerintahan Raja-raja ini, sempat diganti pada

    waktu penjajahan Jepang, namun karena kekalahannya (Jepang), bangsa

    Belanda dengan NICA kembali ke Sangihe, yang merasa mendapat kesempatan

    untuk menerima kembali bekas jajahannya. Pada waktu itulah, kedudukan raja-

    raja di daerah Sangihe dikembalikan seperti dulu, dan berjalan sampai

    terbentuknya NIT (Negara Indonesia Timur), tahun 1947.11

    Sejak tahun 1947, sistem pemerintahan mulai berubah, dan dipimpin

    oleh Kepala Daerah, namun kedudukan raja-raja masih tetap, sehingga dapat

    dikatakan bahwa Kepala Daerah ini hanya sebagai pengontrol pada waktu

    pemerintahan Hindia-Belanda. Tahun 1950, terjadi perubahan, dengan

    10 Wawancara (via telephone) tanggal 4 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat

    Sangihe. 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 32.

  • P a g e | 42

    terbentuknya Federasi Raja-raja. Dengan demikian, daerah Raja-raja diganti

    menjadi daerah Swapraja dengan Kepala Swapraja sebagai pemimpinnya.

    Seiring dengan perkembangan dan kemajuan pemerintahan di Sangihe,

    terbentuklah Dewan Pemerintahan Daerah, pada tanggal 24 Agustus 1951.12

    3.1.5. Kehidupan Sosial.

    Keberadaan dari kerajaan-kerajaan di Sangihe, membuat atau telah

    menciptakan strarifikasi sosial yang menonjol dalam beberapa lapisan atau

    tingkatan, yaitu: Lapisan pertama, kaum bangsawan di lingkungan Istana;

    lapisan kedua, kaum bangsawan yang statusnya sebagai pembantu-pembantu

    Raja; lapisan ketiga, para pemimpin tingkat bawah, seperti kepala-kepala desa

    atau Kapitalaung dan warga biasa; dan lapisan keempat, kaum abdi yang

    merupakan kaum pekerja.13

    Kerukunan hidup kekeluargaan di Kepulauan Sangihe sangat erat. Salah

    satu faktor yang mendukung kekeluargaan tersebut adalah sikap gotong-royong

    antara satu dengan yang lainnya. Tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat

    Sangihe, tercermin dari nilai dan pola kehidupan masyarakat, dalam bentuk

    organisasi sosial, yaitu Mapalus.14

    3.1.6. Agama dan Kepercayaan.

    Sebelum agama Kristen, Islam, Hindu dan Budha masuk di Kepulauan

    Sangihe, kira-kira abad I – XV, masyarakat Sangihe sudah memiliki keyakinan

    dan kepercayaan yang merupakan warisan nenek moyang, yaitu suatu

    kepercayaan adanya makhluk halus, roh-roh halus, kekuatan gaib, benda-benda

    12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 32. 13 Wawancara (via telephone) tanggal 4 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat

    Sangihe. 14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 35-36.

  • P a g e | 43

    sakti, arwah orang yang sudah meninggal dan lain sebagainya. Mereka meyakini

    bahwa hal itu membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan. Sebab makhluk

    halus dan sebagainya ada yang mendatangkan kebaikan dan ada pula yang

    mendatangkan malapetaka bagi mereka.15

    Mereka berusaha untuk mendekatkan diri kepada roh-roh yang

    memberikan kesejahteraan, menjaga dan melindungi kehidupan. Akan tetapi,

    mereka menjauhkan diri dari roh-roh yang membuat mereka menderita dan

    mendatangkan malapetaka dalam kehidupan mereka. Berbagai macam sesajian

    diberikan apabila mereka mengadakan penyembahan. Tempat-tempat yang

    dianggap suci dan keramat adalah puncak bukit, puncak gunung, tanjung-

    tanjung, pohon besar dan tempat keramat lainnya, kadangkala tempat itu

    dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ritual tradisional. Masyarakat juga

    percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal tersebut, dapat

    memberikan perlindungan, kesehatan, kekebalan tubuh, memberi hasil panen

    yang melimpah, dan hasil laut yang banyak.16

    Selain kepercayaan terhadap roh-roh halus, arwah orang mati, benda-

    benda sakti, kekuatan-kekuaran gaib, mereka juga mempunyai satu kepercayaan,

    bahwa ada suatu kekuatan yang lebih besar, yang berkuasa melebihi segala

    kuasa yang ada di bumi. Kuasa inilah yang disebut Ghenggona Langi Duata

    Saluruang, yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam semesta”.

    15 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 77. 16 Wawancara (via telephone) tanggal 4 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat

    Sangihe.

  • P a g e | 44

    Ghenggona Langi diyakini dan dipercayai sebagai sesuatu yang suci dan

    memberikan keselamatan bagi manusia.17

    Mereka tidak sembarangan menyebut Ghenggona Langi. Itulah sebabnya

    mereka menyebut Ghenggona Langi dengan Mawu Ruata atau Mawu Duata.

    Sebutan Ghenggona Langi hanya dapat dijumpai dalam kata-kata permohonan

    doa, yang terungkap pada pelaksanaan ritual, termasuk ritual Tulude.

    Ghenggona Langi-lah yang disembah dan dipuji. Itulah sebabnya Ghenggona

    Langi sering dikatakan “I Ghenggona Langi Duata Saluruang Manireda

    Bihingang”, yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam semesta

    melindungi kita semua”.18

    Pada sekitar abad XV, masuk suatu aliran kepercayaan Islam, yang

    menamakan dirinya “Islam Tua”.19 Sistem pengajarannya diberikan secara lisan

    oleh pemimpin yang sifatnya turun-temurun. Agama Kristen (Protestan dan

    Katolik) masuk di Kepulauan Sangihe, pada abad XVI dan XVII, dibawa oleh

    para Pastor bangsa Portugis dan Spanyol, dan para Pendeta bangsa Belanda

    yang ikut serta dengan VOC. Mereka menyebarkan dan mengajarkan ajaran atau

    agama Katholik dan Protestan, yang oleh penduduk disambut baik. Tahun 1683,

    Ds. Corneles de Leuw, seorang Pendeta yang berasal dari Belanda,

    memperkenalkan agama Kristen, sampai ke pelosok desa. Dialah Pendeta

    pertama yang berkhotbah dalam bahasa Sangihe.20 Kemudian pekerjaan

    penginjilan itu dilanjutkan oleh suatu Badan penginjil dari Belanda yaitu NZG.21

    17 Wawancara (via telephone) tanggal 12 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat

    Sangihe. 18 E. Tatimu, Sejarah Gereja Maranatha Tahuna 1924-1996 (Tahuna : GMIST Maranatha, 2000), 3. 19 Kepercayaan ini sampai sekarang masih ada, dan tersebebar dibeberap daerah di Sangihe. 20 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 41. 21 Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 143.

  • P a g e | 45

    Kemudian pada abad XIX, masuk agama Islam di Kepulauan Sangihe.

    Agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Ternate. Sistem pengajarannya

    sama dengan sistem pengajaran agama Islam di seluruh Indonesia.

    3.1.7. Hukum Adat.

    Dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Sangihe, terdapat larangan-

    larangan yang bersifat mengatur, sesuai dengan fungsinya mempererat

    hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Pada zaman dahulu, apabila ada

    anggota masyarakat yang kedapatan berbuat dosa, apalagi menyangkut perkara

    nedosa,22 maka para Petua adat setempat mengadakan sidang untuk

    menjatuhkan hukuman berupa sanksi. Ada tiga bentuk perkara Sumbang yaitu:

    Sumbang Berat, Sumbang Ringan dan Sumbang Enteng.

    Sumbang Berat adalah dosa yang diakibatkan oleh karena adanya

    tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh seorang ayah dengan anak

    perempuannya (anak kandung), persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan

    perempuan yang bersaudara kandung, persetubuhan seorang ibu dengan anak

    laki-lakinya (anak kandung). Sumbang Biasa adalah dosa yang dilakukan karena

    adanya persetubuhan seorang ayah dengan anak tiri perempuan, ibu dengan anak

    tiri laki-laki, persetubuhan antara suadara yang berada pada posisi keturunan ke-

    empat, laki-laki yang beristri bersetubuh dengan kaka atau adik perempuan dari

    istrinya (saudara ipar) atau sebaliknya, seorang laki-laki yang bersetubuh

    dengan dua orang perempuan yang bersaudara kandung, walaupun laki-laki itu

    tidak menikah dengan salah satu diantaranya. Sumbang Enteng adalah dosa yang

    22 Nedosa adalah perkara sumbang atau persetubuhan sedarah kandung.

  • P a g e | 46

    dilakukan karena adanya persetubuhan laki-laki dan perempuan yang bersaudara

    pada keturunan ke-enam.23

    Perkara nedosa atau sumbang dapat menimbulkan malapetaka, seperti:

    hujan lebat, tanah longsor, gempa bumi, banjir besar, wabah penyakit dan lain

    sebagainya. Apabila terjadi peristiwa alam tersebut, para orang tua berjalan

    berkeliling mencari penyebabnya, dengan bertanya kepada orang-orang sampai

    diketahui. Jika telah terungkap, dimana ada masyarakat yang melakukan perkara

    nedosa atau kesalahan lainnya, maka alam pun mulai tenang kembali seperti

    keadaan semula. Kemudian berkumpulah para orang tua dan Petua adat

    mengadakan musyawarah dan merencanakan untuk mengadakan ritual

    pentahiran. Kadangkala orang tersebut akan dijatuhi sanksi, seperti: Salahoko

    (memberi denda kepada pelanggar adat tersebut), Iwembang (diasingkan dari

    tengah-tengah masyarakat umum), Memohang (plakat, bagi mereka yang

    mencuri). Hukum adat yang masih berlaku sampai sekarang adalah menyangkut

    perkawinan sampai pada tingkat ketujuh.24

    3.1.8. Kesenian Daerah.

    Kesenian masyarakat Sangihe pada umumnya sama, baik mereka yang

    ada di pulau Sangihe, Siau, Tagulandang dan pulau-pulau lainnya di Sangihe.

    Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau minat masyarakat semakin berkurang,

    banyak kesenian daerah yang sudah tidak digunakan lagi, bahkan beberapa

    diantaranya sudah hilang sama sekali. Adapun kesenian daerah Sangihe, yaitu:25

    23 Keduanya masih dapat dinikahkan apabila mendapat persetujuan dari keluarga kedua belah pihak. 24 Wawancara (via telephone) tanggal 9 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat

    Sangihe. 25 Wawancara (via telephone) tanggal 6 September 2017, Bpk. Muntiaha Petua Adat SITARO

    Kecamatan Siau Barat (Ondong).

  • P a g e | 47

    3.1.8.1.Seni Vokal.

    Suku Sangihe mengenal beberapa bentuk seni vokal yaitu:

    Sasambo merupakan ungkapan syukur, pujian dan doa, yang

    berupa puisi, syair, peribahasa atau perumpamaan yang dilagukan. Selain

    itu, sasambo juga merupakan ungkapan hati yang memiliki arti yang

    mendalam dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi ritual adat yang

    digelar saat itu. Sasambo dengan pukulan tagonggong dikenal sebagai

    pengiring tari Gunde. Dinyanyikan dalam bentuk solo dan koor, oleh

    pria maupun wanita, dengan bahasa sastra.

    Kakumbaede merupakan nyanyian permintaan doa, yang

    dilakukan dalam ritual adat termasuk ritual adat Tulude. Diucapkan

    dalam bahasa sastra dan dibawakan dalam bentuk solo atau koor secara

    bergantian. Lagu dan syairnya berubah-ubah mengikuti maksud dan

    tujuan pelaksanaannya.

    Kakalumpang merupakan nyanyian dalam bentuk grup, yang

    dinyanyikan sementara mencukur kelapa. Kakalumpang

    menggambarkan suatu kehidupan berdasarkan asas gotong royong.

    Mebawalase adalah bentuk bernyanyi secara bergantian atau

    berbalasan syair lagu. Dalam perkembangannya disebut Masamper atau

    Samper yang dinyanyikan dalam bentuk koor atau secara bersama-sama.

    3.1.8.2.Seni Musik.

    Ada juga beberapa model seni musik sebagai berikut:

    Musik Bambu; merupakan alat musik yang terbuat dari bambu,

    tanpa dicampur dengan bahan lainnya. Memiliki bermacam ukuran mulai

    dari yang kecil sampai besar, yang membawakan lagu dalam berbagai

  • P a g e | 48

    irama. Menurut jenis dan fungsinya, musik bambu terdiri atas: Seruling

    (kecil dan besar), sebagai melodi atau pembawa lagu; Terompet,

    Saxafon, Trombon dan Klarinet, sebagai pengantar atau pembantu

    melodi (Improvisasi); Korno dan Bambu Tengah, sebagai pengiring

    arsis; Bas, sebagai pengiring thesis; Tambur, sebagai ritmis. Musik ini

    dimanfaatkan sebagai alat hiburan, yang juga dipakai dalam ritual adat.

    Musik Oli, merupakan musik tradisi yang dipakai dalam ritual

    adat, seperti ritual adat Tulude. Merupakan alat pemujaan yang hanya

    dimainkan dalam empat nada. Musik ini sudah mulai punah dan hanya

    terdapat di daerah Manumpitaeng (Manganitu).

    Tagonggong, sejenis tambur yang berbentuk silinder, pada salah

    satu ujungnya ditutup dengan kulit kambing. Digunakan untuk

    mengiringi lagu Sasambo, tari-tarian dan dibunyikan sebagai tanda

    dimulainya ritual adat Tulude.

    Nanaungang (sejenis gong, tapi berukuran besar) terbuat dari

    kuningan, dipakai sebagai pembuka ritual adat, termasuk ritual adat

    Tulude (dibunyikan tiga kali).

    3.1.8.3.Seni Tari.

    Terdapat enam jenis tari dalam kehidupan suku Sangihe yaitu:

    Pertama, Tari Gunde. Merupakan tarian yang dipakai dalam

    ritual adat menyembah Ghenggona Langi Duata Saluruang. Merupakan

    satu tarian penyembahan, yang penarinya adalah kaum perempuan.

    Gerak tari Gunde menggambarkan kehalusan budi dan ketinggian watak

    perempuan Sangihe.

  • P a g e | 49

    Kedua, Tari Salo. Merupakan tarian perang yang

    menggambarkan kekesatriaan dan kepahlawanan, serta kejujuran, demi

    keadilan menyerahkan tubuh dan jiwa sampai titik darah terakhir, setia

    membela pemerintah, bangsa dan negara. Tari Salo merupakan induk

    dari tari yang ada di daerah Sangihe.

    Ketiga, Tari Upase. Merupakan tari pengawal atau tarian

    pengawal terdepan. Tari Upase menerima dan mengawal para tamu,

    pemimpin tokoh adat, dan mengawal kue adat Tamo Banua.

    Keempat, Tari Alabadiri. Merupakan tarian perang, yang

    menggambarkan diri sebagai pengawal istana. Dalam tarian ini,

    terkandung nilai budaya yang mendalam tentang hakekat atau citra

    pemerintah dan rakyat yang tercermin dalam setiap gerakannya. Alat

    yang digunakan adalah: Kalubalang/Kaliau (Perisai), Toketing (rotan

    yang dibelah tiga), Sinsing (cincin yang terbuat dari kulit kerang putih

    yang diasah), dan Sondang (pisau bermata dua, terbuat dari kuningan).

    Kelima, Tari Bengko, merupakan tarian perang. Tarian ini

    menggambarkan sikap rakyat yang membela bangsa dan tanah air. Alat

    yang digunakan adalah tombak.

    Keenam, Tari Ransansahabe; merupakan tarian perang, yang

    melambangkan kesiapan atau kesiagaan seorang prajurit

    mempertahankan wilayahnya dan pengamanan pemerintahan. Alat yang

    digunakan adalah kelung dan bara.26

    26 Kelung sesuatu yang berbentuk perisai, sedangkan bara adalah sesuatu yang berbentuk pedang.

  • P a g e | 50

    3.1.9. Ritual Adat.

    Adapun ritual adat yang ada di Sangihe, sebagai berikut:27

    Menulude atau Tulude, merupakan suatu ritaul doa pengucapan syukur

    kepada Tuhan, karena kasih-Nya yang dilimpahkan dalam setahun yang silam.

    Ritual ini juga dimaksudkan untuk memohon, kiranya hidup dimasa mendatang

    senantiasa mendapat perlindungan. Penjelasan lebih lanjut untuk ritual ini akan

    dibahas pada bagian berikut dalam bab ini.

    Menahulending, merupakan ritual dalam bentuk doa rakyat untuk

    seseorang atau kelompok, yang dilakukan atas inisiatif rakyat, tanpa diminta

    oleh pihak yang hendak didoakan. Adat tersebut antara lain diberikan kepada:

    Pemimpin wilayah, pengantin, tokoh-rokoh masyarakat (tukang pandai besi,

    bidan desa), Petua adat dan pengantin.

    Dumangeng Bale (naik rumah baru); merupakan ritual permohonan doa

    kepada Tuhan, kiranya rumah tersebut akan menjadi tempat tinggal yang

    mendatangkan kebahagiaan kepada pemiliknya.

    Menahulending Mepapangentude (adat perkawinan); di Kepulauan

    Sangihe, apabila dua insan pemuda dan pemudi dijodohkan atau dinikahkan,

    maka harus melalui tata cara adat sebagai berikut: Mengonong (permulaan

    peminangan), Metahi Awui ( menuturkan asal usul), dan Mepapangentude (pesta

    perkawinan).

    27 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 66-67

  • P a g e | 51

    Salimbangu Banua/Wanua; merupakan pesta rakyat masyarakat Sangihe,

    yang bertujuan mengakrabkan dan meningkatkan kerjasama, persatuan dan

    kesatuan.

    3.1.10. Pakaian Adat.

    Terdapat empat model pakaian adat suku Sangihe, yang terbuat dari serat

    kofo28 yang ditenun yaitu:29

    Pertama, Laku Tepu: Model laku tepu ini panjang hingga menutupi mata

    kaki dan berlengan panjang serta bagian leher berbentuk bulat polos, yang diberi

    renda dibagian pinggir bawah pergelangan tangan dan melingkari bagian leher.

    Laku tepu tidak menggunakan kancing. Untuk pria, baju panjang hingga

    menutupi telapak kaki, dan lubang bagian lehernya berbentuk setengah

    lingkaran. Dan untuk wanita : Baju panjang hingga pertengahan betis dan kain

    sarung. Kedua, Baniang: Merupakan laku tepu yang dimodifikasi, bentuk

    lengannya panjang, potongan leher berbentuk bulat polos, tapi panjang baju

    hanya sampai sebatas pinggul, bagian depan terbelah dan memakai kancing

    baju. Sebagai pasangannya, dipakai celana panjang. Ketiga, Kongkong:

    Berbentuk celana yang panjangnya sampai pada bagian betis, antara tumit dan

    lutut. Keempat adalah Kingking: Sejenis kaos oblong masa kini, hanya tanpa

    lengan.

    28Kofo adalah rajutan yang berasal dari tradisi Phlilina (Manila) yang terbuat dari pisang hote, daun

    nenas, daun pandan. Namun sampai sekarang, pakaian adat sudah tidak dibuat dari serat kofo, melainkan dari kain modern seperti kain Satin dan Bludu.

    29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 76.

  • P a g e | 52

    3.1.11. Atribut Yang Digunakan.

    Adapun atribut yang digunakan adalah:30

    3.1.11.1. Soho U Wanua (kalung panjang).

    Atribut yang dipakai sebagai pelengkap dalam pakaian adat

    untuk menghadiri ritual yang akan dilaksanakan. Atribut ini biasanya

    dipakai oleh pemimpin adat atau pelaksana ritual adat.

    3.1.11.2. Paporong/Umbe (penutup kepala),

    Merupakan bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat

    Sangihe. Paporong berbentuk segitiga, yang dilipat berulang-ulang

    sehingga menyisahkan sedikit tonjolan yang berbentuk segitiga di

    tengah. Ada dua jenis paporong, yakni: Paporong lingkaheng, dipakai

    oleh rakyat biasa dan paporong kawawantuge atau paporong hiteng

    datu, dipakai oleh kaum bangsawan atau keturunan raja. Ada lima

    bentuk Paporong/Umbe yaitu: pertama, Umbe Maratu, melambangkan

    beban dan tanggung jawab seorang raja atau pemimpin. Kedua, Umbe

    Alabadiri/Ransa, melambangkan rasa hormat dan kepatuhan. Ketiga,

    Umbe Upase, melambangkan sifat penurut. Keempat, Umbe Salo,

    melambangkan kepeloporan dan keberanian. Kelima, Umbe Apang Elo,

    dipakai oleh orang tua setiap hari.

    3.1.11.3. Salikuku/papehe (ikat pinggang).

    Atribut yang dipakai dibagian pinggang dengan model

    dilingkar dan diikat. Atribut ini juga dipakai oleh pemimpin adat dan

    pelaksana ritual adat.

    30 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 76 - 77

  • P a g e | 53

    3.1.11.4. Bawandang liku (selendang panjang).

    Di letakkan di bahu kanan dengan kedua ujungnya

    dipertemukan di pinggang sebelah kiri, ujungnya dibiarkan terurai, dan

    salah satu ujungnya dapat dipegang. Untuk pria menggunakan atribut :

    Soho u wanua, paporong, salikuku/ papehe. Dan untuk wanita

    menggunakan atribut : Soho u wanua (tiga lapis mulai dari yang pendek

    sampai yang panjang), bawandang liku31 (untuk keturunan bangsawan

    memakai kaduku atau anumitung, yang bentuknya hampir menyerupai

    selendang, tetapi kedua ujungnya dijahit membentuk lingkaran), gelang,

    genop keemasan pada lengan baju sebanyak sembilan buah, pusige

    (konde tegak lurus di atas kepala).

    3.1.12. Warna pakaian.

    Warna yang digunakan adalah warna khas masyarakat Sangihe, yaitu:32

    Ledo (agak putih), merupakan warna asli kain kofo, yang melambangkan

    kesucian. Maririhe (Kuning tua), melambangkan keagungan, dihormati dan

    mendatangkan kebajikan. Kamumu (ungu), melambangkan kesetiaan,

    keteladanan, kasih sayang dan semangat yang tinggi. Mahamu (merah),

    melambangkan keberanian. Melong (hijau), melambangkan kesuburan dan

    kesejukkan. Biru (biruh), melambangkan masyarakat bahari.

    3.1.13. Bahasa.

    Bahasa Sangihe termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia atau

    Melayu Polinesia, dan tergolong dalam kelompok bahasa-bahasa di Philipina.

    Bahasa Sangihe dibedakan atas tiga dialek yang pengenalannya antara lain pada

    31 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 76 - 77 32 Wawancara (via telephone) tanggal 13 September 2017, Bpk. Semuel Kentua Adat SITARO.

  • P a g e | 54

    vokal akhir kata, seperti : Dialek Sangihe Besar: memakai vokal akhiran (-e),

    dialek Siau: memakai vokal akhiran (-e) dan dialek Tagulandang: memakai

    vokal akhiran (-i).33

    Masyarakat Kepulauan Sangihe, menggunakan bahasa Indonesia sebagai

    bahasa resmi. Sedangkan bahasa ibu (daerah) dipakai dalam percakapan setiap

    hari. Dalam pemakaian bahasa daerah Sangihe terdiri atas bahasa umum dan

    bahasa Sastra. Bahasa umum, merupakan bahasa Melayu yang dipakai dalam

    interaksi setiap hari. Bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan dalam

    pengajaran di sekolah atau dalam berkhotbah. Orang-orang tua yang tidak

    pernah sekolah tidak mengerti bahasa tersebut, walaupun demikian mereka ahli

    dalam bahasa sasahara atau bahasa rahasia, yang digunakan di laut untuk

    menipu setan-setan.34 Bahasa Sasahara (bahasa samaran) bahasa daerah yang

    kata-katanya sangat dalam, biasanya hanya dimengerti oleh orang-orang tua.

    Bahasa Sasahara terbagi atas dua, yakni: Bahasa Sasahara, digunakan di laut,

    dan Bahasa Sasaili, digunakan di darat.

    3.1.14. Bahasa Sastra.

    Bahasa adat atau bahasa yang banyak digunakan dalam ritual adat.35

    Beberapa contoh bahasa umum, sastra, dan sasahara sebagai berikut:

    Bahasa Umum Bahasa Sastra Bahasa Sasahara Bahasa Indonesia

    Sakaeng

    Pato/ dalukang

    Malimbatangeng

    Perahu

    33 Wawancara (via telephone) tanggal 15 September 2017, Bpk. Semuel Ketua Adat SITARO. 34 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 27. 35 Wawancara (via telephone) tanggal 13 September 2017, Bpk. Semuel Kentua Adat SITARO.

  • P a g e | 55

    Menurut Brilman, bahasa-bahasa ini kaya akan bentuk-bentuk,

    mengandung banyak cerita, teka-teki, nyanyian kepahlawanan, pesta, doa dan

    mantera.36

    3.1.15. Sistem Mata Pencaharian.

    Masyarakat Sangihe pada umumnya mempunyai mata pencaharian

    sebagai petani. Mereka menanam bahan-bahan makanan seperti: ubi kayu, ubi

    jalar, keladi/ talas, pisang, serta sagu, untuk memenehi kebutuhan hidup sehari-

    hari. Terkadang, hasil panen tanaman mereka jual di pasar tradisional. Selain itu

    mereka juga menanam tanaman tahunan sebagai tanaman produksi, yaitu:

    kelapa, cengkih, coklat, pala, dan lain sebagainya. Selain petani, masyarakat

    Sangihe juga bermata pencaharian sebagai nelayan.

    Di Sangihe, terdapat juga industri kecil, yang menjadi sumber kehidupan

    masyarakat, seperti: Kerajinan bambu cina, mereka membuat tempat duduk dan

    meja; kerajinan tanah liat, mereka membuat papedang (tempat memasak sagu);

    kerajinan tikar dan tolu, mereka membuat tikar dari pohon nameng (sejenis

    pohon pinang) dan rotan, serta tolu dari daun pandan dan daun sesa; kerajinan

    pandai besi, masyarakat Sangihe juga membuat pedang, pisau dari besi, yang

    pengolahan dan pembuatannya masih secara tradisional.37 Ada juga masyarakat

    yang bermata pencaharian sebagai pedagang (pada umumnya orang Gorontalo,

    Arab dan masyarakat Tionghoa), Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI Polri dan

    buruh/tukang bangunan.

    36 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 27. 37 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita,51-54.

  • P a g e | 56

    3.1.16. Sistem Ilmu Pengetahuan.

    Walaupun daerah Sangihe merupakan daerah tertinggal baik

    infrastruktur dan suprastruktur, tetapi mereka memiliki pengetahuan yang

    didapatkan dari nenek moyang tentang ilmu perbintangan, bulan, mata angin,

    pergantian musim, untuk dipakai ketika mereka menyusun strategi bertahan

    hidup dengan daerah mata pencaharian yaitu di laut dan di darat. Di laut

    pengetahuan itu dipakai untuk menentukan kapan ikan akan didapatkan dengan

    cukup melimpah, sedangkan di darat dipakai kapan musim yang tepat untuk

    bercocok tanam.38

    Demikianlah selayang pandang daerah dan masyarakat Sangihe, yang

    menggambarkan kehidupan masyarakat Sangihe secara umum, untuk diketahui.

    Berikut ini kita akan membahas tentang ritual Tulude yang memiliki beberapa

    proses sehingga dinamakan ritual Tulude. Sebelum disebut ritual Tulude, namanya

    adalah Sundeng. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya perubahan ritual

    Sundeng ke Tulude. Oleh karena itu, terlebih dahulu kita membahas tentang ritual

    Sundeng, kemudian bagaimana sehingga dari ritual Sudeng menjadi ritual Tulude.

    3.2. RITUAL SUNDENG

    Sundeng artinya pengorbanan besar. Meskipun belum ada data pasti mengenai

    keberadaan Sundeng di masa lalu, tetapi bukti keberadaan Sundeng masih ada sampai

    saat ini dalam bentuk tradisi lisan. Masyarakat Sangihe menyebut tempat ritual

    tersebut sebagai tampă atau tampă u pêngamałeng (menyembah dan memuja).

    Kegiatan utama dari mengamałě adalah mě hale.

    38 A. Horohiung, Barangkalang Dalam Cerita,15-18.

  • P a g e | 57

    Mě hale adalah prosesi ritual pemujaan yang dilakukan dengan cara bernyanyi.

    Lirik-lirik nyanyian mě hale adalah syair mantera. Jika para pengikut Sundeng sedang

    mě hale, kegiatan tersebut dinamakan mě kałantô yang berasal dari akar kata kałantô

    (nyanyian kematian). Proses “kałanto” dilakukan pada ritual pengorbanan saat korban

    sedang menghembuskan nafas-nafas terakhir. Mê kalantô dilakukan dengan cara

    berbalas atau “mě bawaļisě/mê bawaļasê” oleh pelaku mě kalantô dengan cara

    dinyanyikan. Lagu-lagu mêkalantô bernada pentatonis. Menyanyikan lagu dengan

    gaya mêkałanto disebut “mě ganding”.39

    Selain kegiatan mě kalanto, dalam ritual Sundeng dilakukan juga kegiatan

    Sumalo atau (tari pengorbanan). Tarian ini hanya ditarikan oleh Ampuang.40 Gerakan

    tari Sumalo adalah berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat sambil memegang Bară

    (pedang). Konsep tari Sumalo adalah peperangan melawan roh jahat yang

    mengganggu jiwa korban saat akan terlepas dari raga.

    Melakukan gerak Sumalo juga disebut sebagai mê salai (menari), sedangkan

    gerak tarinya dinamakan kengkeng (meledak, pincang) atau taha (batang pohon.)

    Dinamakan kengkeng karena salah satu gerakannya adalah menghentak-hentakan kaki

    di tanah menyerupai cara berjalan orang pincang, sehinga menimbulkan bunyi yang

    kuat. Dinamakan “taha”, karena para penari juga menghentakkan kaki di batang

    pohon. Tarian kengkeng memiliki kesamaan fungsi dengan tari lide (tekan). Akan

    tetapi yang membedakan tarian kengkeng dan lide adalah, tarian kengkeng kaki dari

    39 Pentatonik itu berasal dari kata penta (lima) dan tonic(nada). Tangga nada pentatonik ini dibentuk

    dengan mengurangkan nada ke-4 dan ke-7 dari struktur oktaf 8 nada. Sehingga dia nadanya menjadi 1,2,3,5,6 (do, re, mi, sol, la). Pentatonik sebenarnya kebanyakan digunakan untuk musik modern maupun tradisional di berbagai negara di dunia ini, seperti Cina, Jepang, dan Indonesia.

    40 Sebagai pemimpin tertinggi yang juga bertugas memimpin ritual pengorbanan. Kata ampuang memiliki pengertian yang serupa dengan kata pu, êmpu yang berarti priester (Mr.K.G.F. Steller en Ds.W.E.Aebersold, Sangirees –Nederlands woordenboek, halaman 8 ). Priester memiliki pengertian sebagai Pendeta, Padri atau Biksu di masa kolonial Belanda. Kata êmpu adalah kata dasar dari kata perempuan dengan afiksasi per + an yang diserap dari bahasa Sansekerta yaitu pu artinya suci, bersih.

  • P a g e | 58

    penari menyentuh tanah, tetapi lide tidak menyentuh tanah. Ritual Sundeng dilakukan

    jika terjadi bencana alam yang mengganggu kesejahteraan hidup manusia dan

    lingkungannya. Kemudian adanya suatu pelanggaran dari sikap hidup manusia yang

    bertentangan dengan hukum adat yang mengakibatkan bencana alam termasuk wabah

    penyakit.

    Suku Sangihe sangat meyakini bahwa ketiga hal di atas adalah representasi dari

    kutukan yang Ilahi atas pelanggaran manusia dalam kehidupan bersama. Untuk

    menghilangkan kutukan tersebut, harus melalui ritual pengorbanan manusia yang

    dilaksanakan dalam ritual Sundeng. Dalam ritual pengorbanan itu yang dikorbankan

    adalah seorang perempuan yang masih perawan.

    Pada tahun 1674-1676 penginjil protestan dari Belanda tiba pertama kali di

    Sangihe, dan menjelang 1700 hasil dari pengajaran itu melahirkan pandangan baru

    tentang korban yang biasa dipakai dalam ritual Sundeng. Mereka melarang

    menggunakan manusia sebagai korban dan menggantikannya dengan hewan yaitu

    babi. Kriteria dari hewan babi ini sebagai korban ialah gemuk, berbulu seluruh

    tubuhnya dan berkulit hitam.

    Di pertengahan tahun 1800, badan penginjilan Belanda (NZG) mengirim utusan

    dari Minahasa bernama S.D. van der Velde van Capellen ke pulau Sangihe dan

    membaptis 5033 orang menguatkan pemahaman bahwa sejak saat itu semakin

    berkurangnya penganut Sundeng. Kedatangan S.D. van der Velde van Capellen

    sampai masuknya utusan injil dari Zendeling Werklieden tahun 1857, berdampak

    kepada penganut Sundeng yang selanjutnya menemukan jalan simpang. Sebagian

  • P a g e | 59

    penganut, tetap menjalankan kałanto sebagai warisan tradisi Sundeng dan sebagian

    lagi menemukan tradisi baru yaitu medarorô.41

    Seiring dengan masuknya agama Kristen di kepulauan Sangihe, maka

    mêkałantô, mě hale, dan mêdarorô dalam ritual Sundeng, tidak lagi diterima oleh

    sebagian besar masyarakat Sangihe yang sudah beragama. Kemudian lahirlah sebuah

    tradisi baru yang dinamakan Tuludê. Rentang waktu berakhirnya tradisi sundeng ke

    tradisi Tułudê diperkirakan pertengahan tahun 1800, karena agama moderen masuk

    direntang waktu tersebut.42

    3.3. RITUAL TULUDE

    Ritual Tulude adalah tradisi nenek moyang tentang makan bersama yang telah

    dilaksanakan dalam kurun waktu ratusan tahun oleh suku Sangihe. Ritual Tulude ini

    juga dipahami sebagai suatu proses penolak bala atau menolak segala sesuatu yang

    mendatangkan malapetaka dalam kehidupan masyarakat.43

    3.3.1. Asal Kata.

    Pada halaman empat dalam tulisan di bab I, telah diuraikan sedikit

    tentang pengertian kata Tulude. Penguraian itu ialah ritual Tulude merupakan

    ritual penolakan terhadap suatu kejadian buruk yang akan terjadi dalam

    kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah dari mana asal kata Tulude? Kata ini

    berasal dari nama bulan dalam bahasa Sangihe. Bulan tersebut ditetapkan dalam

    perhitungan bintang Fajar yang letaknya 90o tegak lurus dengan ubun-ubun.

    Bintang Fajar itu disebut (Kadademahe Daluhe), sedangkan nama bulannya

    41 Medarorô artinya memanggil arwah, dari kata dasar dorô yang berarti hinggap atau kemasukan.

    Arwah-arwah yang dipanggil adalah arwah leluhur atau arwah orang sakti. Biasanya dalam setiap kegiatan medarorô, yang dilakukan adalah meminta obat untuk menyembuhkan orang sakit yang sedang sekarat, juga penyucian dan pembersihan diri atas penderitaan.

    42 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 153. 43 Wawancara (via telephone), tanggal 11 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.

  • P a g e | 60

    disebut Tulude.44 (kecurigaan bahwa ritual Tulude adalah ritual penyembahan

    yang dilakukan 1 bulan sekali, bukan satu tahun sekali. Kemungkinan itu adalah

    ritual penyembahan bulan dilangit yang ke 8, 9, dan 10).- kapan penanggalan

    ritual ini? Apakah perhitungan bintang ini tidak dipengaruhi oleh perhitungan

    bintang dan bulan dalam kalender modern? Mengapa dia menjadi satu tahun

    sekali, bukan 1 bulan sekali? Jika memang 1 bulan sekali? Maka yang harus

    dicari adalah kebiasaan yang dilakukan setiap 1 bulan.

    3.3.2. Arti Kata.

    Ada beberapa pengertian dari kata Tulude yang dipahami oleh suku

    Sangihe. Mereka mengunakan kata “tulide” untuk memahami kata Tulude.

    Tulide terdapat dua pengertian yaitu; pertama, meluruskan perjalanan kehidupan

    di tahun yang baru. Kedua, cara meluruskan semua kesalahan yang pernah

    dilakukan oleh masyarakat di tahun yang berlalu. Kemudian arti kata ini juga

    dimengerti dari kata “menuhude” artinya mendorong cara hidup manusia untuk

    berjalan kedepan dengan penuh selamat.45

    Pengertian yang lain tentang kata Tulude yaitu dipahami sebagai

    singkatan dari kata Tulung (penolong, menolong dan pertolongan), Lukade

    (penjaga atau menjaga),dan Dendingang (menyertai atau penyertaan). Oleh

    karena itu dalam hal ini Tulude diartikan sebagai ritual permohonan kepada

    Ghenggona Langi Duata Saluruang (Ilahi /Tuhan) untuk menolong, menjaga

    dan menyertai kehidupan seluruh suku Sangihe setiap saat.46

    44 Wawancara (via Telephone), tanggal 11 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO. 45 Wawancara, tanggal 26 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO. 46 Wawancara (via telephon), tanggal 8 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat

    Sangihe.

  • P a g e | 61

    3.3.3. Latar Belakang Pelaksanaan Ritual Tulude.

    Pelaksanaan ritual Tulude ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yang

    terjadi dalam kehidupan suku Sangihe yaitu; terdapatnya pelanggaran hukum

    adat yang dilakukan oleh suku Sangihe. Perbuatan itu mereka sebut sebagai

    “nedosa”. Misalnya, anak perempuan dan orang tua laki-laki saling menyukai,

    sesama saudara saling menyukai, pemerkosaan, dan sebagainya. Kemudian,

    ketika mereka tidak menghargai alam, seperti meludah dilaut dengan

    sembarangan, menebang pohon dengan sembarangan, menghancurkan batu

    besar dengan sembarangan. Pelanggaran itu akan memberi dampak kepada para

    petani, nelayan, alam dan kehidupan masyarkat.

    Dampak bagi petani adanya serangan hama terhadap tanaman mereka.

    Dampak bagi nelayan, ikan akan sangat sulit untuk didapatkan dan cuaca dilaut

    sangat rawan. Dampak bagi masyarakat, mereka akan diserang wabah penyakit

    yang mengakibatkan kematian. Kemudian dampak bagi alam ialah terjadinya

    bencana alam, seperti jatuhnya angin puting beliung kedaerah pemukiman

    warga, terjadinya banjir karena badai hujan yang cukup lama, tanah longsor, dan

    gempa bumi. Maka dilaksanakanlah ritual mesundeng yang kemudian disebut

    sebagai ritual Tulude.47 Contoh bencana tersebut dapat dilihat dalam beberapa

    fenomena yang terjadi dalam kehidupan beberapa tahun lalu seperti banjir

    bandang yang pernah terjadi pada tanggal 11-12 Januari 2007,48 pada tanggal 8

    Desember 2009,49 kemudian bencana 7 Januari 2017.50

    47 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO. 48 https://bencanasulut.wordpress.com/2007/01/16/bencana-banjir-bandang-dan-tanah-longsor-di-

    kabupaten-kepulauan-sangihe/, (acced, 30 Oktober 2017). 49 http://penanggulangankrisis.kemkes.go.id/banjir-bandang-di-siau-tagulandang-biaro-sulawesi-

    utara-18-06-2016, (acced, 30 Oktober 2017). 50 http://regional.kompas.com/read/2017/01/14/10065621/fenomena.ledakan.di.bawah.laut, (acced,

    30 Oktober 2017).

  • P a g e | 62

    3.3.4. Tujuan Pelaksanaan Ritual Tulude.

    Mereka percaya dan menyakini bahwa musibah tersebut adalah bagian

    dari murka atau kemarahan Ghenggona Langi kepada umat manusia atas dosa

    yang telah dilakukan. Sehingga ritual Tulude adalah bertujuan untuk

    memberikan pentahiran, supaya semuanya disucikan dari segala sesuatu yang

    salah. Ritual ini, mengandung permohonan doa kepada Ghenggona Langi agar

    memulihkan keadaan alam seperti sedia kala dan memberi pengampunan kepada

    orang-orang yang telah berbuat salah.51 Tujuannya agar diluputkan dari

    malapetaka yang menimpa, segala hama penyakit dihilangkan, supaya kebun

    mendapatkan hasil yang banyak. Demikian juga ikan-ikan akan berdatangan ke

    tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh para nelayan.52 Proses pentahiran itu

    disebut “Menahulending Banua”.

    3.3.5. Waktu Pelaksanaan Ritual Tulude.

    Ritual ini sebelumnya dilaksanakan pada tanggal 31 Desember. Gagasan

    tentang pelaksanaan ritual tersebut, dilatarbelakangi oleh proses

    “Menahulending Banua”. Adanya proses “Menahulending Banua” itu berasal

    dari pertemuan antara Bobato’n Delahe (pemerintah kerajaan dan para tua-tua

    adat) dengan para Petua masyarakat, sehingga terjadilah kesepakatan bahwa

    ritual itu akan dilaksanakan pada tanggal 31 Desember. Kemudian hasil

    pertemuan tersebut disampaikan kepada Kapitalaung (kepala kampung) oleh

    Mayore (Kepala adat), dan Kapitalaung menyampaikannya kepada semua

    anggota masyarakat.53

    51 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO. 52 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO. 53 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.

  • P a g e | 63

    Dalam perkembangannya, bulan pelaksanaan ritual ini telah berubah

    menjadi bulan Januari. Hal ini dilatarbelakngi oleh lima hal sebagai berikut:

    Pertama, pada tanggal 31 Januari 1425 terbentuknya kerajaan pertama di

    Sangihe. Kerjaan tersebut adalah Kerajaan Tampunganglawo, yang dipimpin

    oleh raja Gumansalangi atau biasa disebut Madellu. Raja Gumansalangi

    (Madellu) memiliki permaisuri yang bernama Kondaasa atau dikenal sebagai

    Sangiang Mekila.54

    Kedua, tepatnya tanggal 31 Januari menurut tradisi lisan suku Sangihe,

    adanya legenda dua orang kaka beradik yang meninggal diterpa badai pada saat

    mereka berada di Laut. Hal itu terjadi karena mereka telah melanggar etika

    kehidupan yang terdapat dalam hukum adat suku Sangihe. Oleh karena itu, pada

    tanggal 31 Januari dilaksanakanlah ritual pentahiran kesalahan tersebut, yang

    dikenal dengan Menuhude atau disebut ritual Tulude.55

    Ketiga, tanggal 31 Januari merupakan hari dimana terjadinya fenomena

    alam yang dikenal dengan peristiwa Kadademahe Daluhe (Bintang Fajar berada

    pada posisi tegak lurus 90o di atas ubun-ubun, tepat pada pukul 00.00).56

    Keempat, ketika tiba pada tanggal 1 Januari – 31 Januari suku Sangihe

    memiliki kebiasaan untuk berkunjung kepada keluarga, tetangga, kenalan,

    dengan cara naik turun rumah, bahkan dari desa ke desa. Hal ini dilakukan

    setiap hari sampai pada tanggal 31 Januari. Ketika pertama kali pertemuan itu

    terjadi, mereka saling berjabat tangan dengan penuh rasa bahagia. Maksud

    kunjungan tersebut adalah untuk saling meminta maaf atas kesalahan,

    54 Wawancara (via telephone), tanggal 10 September 2017, Bpk. Samalukang, Petua Adat Sangihe

    Kecamatan Tamako. 55 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO. 56 A. Horohiung, Sekilas Budaya Bohusami (Manado: TP, 2000), 31.

  • P a g e | 64

    kesalahpahaman, dan pertengkaran yang telah dilakukan, kemudian memberikan

    maaf kepada orang yang telah datang untuk meminta maaf. Integrasi ini diakhiri

    dengan suatu ucapan syukur bersama dalam ritual Tulude. Oleh karena itu dalam

    prosesi ritual itu maka Mayore Labo dengan suara nyaring meneriakan TU – LU

    – DE. Ungkapan itu memberi tanda bahwa hari-hari sial, dimana seluruh

    dendam karena kesalah telah berakhir, dan harus mempersiapkan diri untuk

    memasuki hari-hari yang baru dengan sikap hidup yang penuh kebaikan.57

    Kelima, 31 Januari adalah tanggal dan bulan dimana Kabupaten Sangihe

    dan Talaud berdiri. Hal ini berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan

    Sangihe dan Talaud, Nomor 3 Tahun 1995, yang ditetapkan pada tanggal 21

    September 1995 tentang Penetapan Hari Lahirnya Daerah Kepulauan Sangihe

    dan Talaud. Maka ritual Tulude menjadi bentuk pengucapan syukur bersama

    atas kelahiran Kabupaten Sangihe dan Talaud.58

    Meskipun dalam pelaksanaan ritual Tulude telah ditetapkan tanggalnya,

    akan tetapi tanggal 31 Januari tersebut tidaklah mutlak. Hal ini dikarenakan

    ritual tersebut dalam pelaksanaanya tergantung pada situasi dan kondisi

    masyarakat setempat. Karena itulah ada yang mengadakan ritual adat Tulude

    setelah lewat tanggal 31 Januari. Misalnya pada tanggal 3 februai suku Sangihe

    yang ada di Kota Manado melaksanakan ritual tersebut di tugu lilin yang

    berlokasi di daerah pelabuhan. 59

    57 A. Horohiung, Sekilas Budaya Bohusami, 34. 58 Dokumen PERDA Kabupaten Sangihe dan Talaud, Nomor 3 Tahun 1995. Tentang penetapan hari

    berdirinya Daerah Kabupaten Sangihe dan Talaud. Perlu diketahui bahwa pelaksaaan upacara adat Tulude sejak tanggal 31 Januari 1995, didahului dengan pelaksanaan sidang DPRD Tingkat II Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud.

    59http://suarasulutnews.co.id/2017/02/walikota-gsvl-pesta-adat-tulude-ikut-memperkaya-budaya-manado/, (acced 9 September 2017).

  • P a g e | 65

    3.3.6. Persiapan Pelaksanaan Ritual Tulude.

    Dalam proses pelaksanaan ritual Tulude ada beberapa bagian yang

    terdapat di dalamnya. Bagian-bagian tersebut merupakan kebiasaan yang telah

    disakralkan oleh suku Sangihe, melalui berbagai kebiasaan bersama. Berikut

    adalah bagian-bagian dalam proses persiapan dalam ritual Tulude:

    3.3.6.1. Dalam Kehidupan Bermasyarakat.

    Didalam ruang kehidupan bersama suku Sangihe terdapat

    pantangan yang harus diketahui dan ditaati, sebelum ritual Tulude ini

    diklaksanakan. Pantangan itu adalah: pertama, tidak boleh ada yang

    melakukan perkara nedosa (berzinah, membunuh, mencuri, membuang

    anak dan sebagainya). Kedua, Tidak boleh ada pertengkaran, tetapi perlu

    menjaga hubungan yang baik antara orang tua dengan anak, kakak

    beradik, bersaudara kandung ataupun tiri, dengan tetangga dan siapa saja

    yang berinteraksi dengan kita.60

    3.3.6.2. Membentuk Panitia Pelaksana.

    Satu bulan sebelum ritual adat Tulude dilaksanakan,

    pembentukan Panitia Pelaksanan, yang melibatkan para Petua adat,

    tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama bahkan Pemerintah. Yang

    tugasnya seperti: mengurus pelaksanaan, mengatur persiapan, menyusun

    acara, dan mengkoordinir masyarakat dalam rangka pengadaan

    konsumsi.61

    60 Wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan

    Ondong. 61 Wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan

    Ondong.

  • P a g e | 66

    3.3.6.3. Kelengkapan Ritual Adat Tulude.

    Dalam hal ini, ada beberapa bagian yang dapat dilihat sebagai

    kegiatan bersama masyarakat dalam rangka persiapan ritual Tulude:62

    Pertama, menyiapkan tempat pelaksanaan ritual Tulude.

    Tempat pelaksanaan berpusat di rumah adat yang cukup besar, atau

    Balelawo, yakni sejenis gedung pertemuan umum masa kini. Dimasa

    sekarang, ritual adat Tulude dilaksanakan di tempat terbuka yang

    ditentukan oleh masyarakat.

    Kedua, menyiapkan kue adat Tamo Banua. Kue Tamo

    merupakan kue adat masyarakat Sangihe yang mendapat penghormatan

    tertinggi dalam pesta adat. Pemberlakuan terhadap kue Tamo ini dalam

    prosesi ritual sebagai berikut; Kue Tamo diusung dan diiringi oleh satu

    barisan adat yang terdiri dari unsur bobat’n Delahe yakni pemimpin

    ritual yang disebut Mayore Labo dan dikawal oleh Kapita. Kemudian

    semua yang ada dalam prosesi ritual itu diwajibkan berdiri untuk

    menghormati kue Tamo tersebut, dan setelah itu kue Tamo diletakkan di

    atas sebuah meja khusus. Bagi suku Sangihe kue Tamo Banua

    melambangkan persatuan dan kesatuan; kesuksesan dan keberhasilan;

    serta suatu isyarat kepada kita, bahwa seorang pemimpin harus

    menjamin nilai kemanusiaan, moral dan berlaku bijaksana dalam

    kehidupannya. Kue adat ini, dibuat lima hari sebelum pelaksanaan ritual

    Tulude yang dihiasi dengan buah-buahan seperti mangga, langsat, nenas,

    62 Untuk Kabupaten Sangihe, upacara adat Tulude tingkat Kabupaten dilaksanakan di Pendopo Rumah

    Jabatan Bupati, sedangkan di tingkat Kecamatan atau desa, tergantung kesepakatan antara mereka masyarakat di Kecamatan atau desa tersebut. Untuk Kabupaten SITARO dilaksanakan di tiap kecamatan dan desa, hasil wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan Ondong.

  • P a g e | 67

    manggis, pisang dan tomat; kepiting yang sudah masak; udang dan

    ketupat.

    Ketiga, menyiapkan pakaian adat dan atribut-atributnya. Setiap

    perlengkapan pakaian adat itu dibuat sesuai dengan fungsi yang

    dipahami oleh suku Sangihe. Seperti warna pakaian dan beberaps atribut

    pelengkap pakaian adat.

    Keempat, menyiapkan para personil adat. Adapun para personil

    adat itu ialah, mereka yang membawakan dan mengucapkan kata-kata

    adat pada ritual Tulude antara lain; Pemimpin ritual, yang disebut

    Mayore Labo; Pemimpin pembawa kue adat Tamo Banua, seseorang

    yang akan menyerahkan dan menerima kue adat Tamo Banua di lokasi

    ritual; Pimpinan grup-grup kesenian; Pimpinan barisan adat; Pembawa

    acara Menahulending; Pembawa Kakumbaede, Tatengkamohong,

    Sasalamate; serta Pemotong kue adat Tamo Banua.

    Kelima, menyiapakan atraksi-atraksi kesenian tradisional

    diantaranya tarian tradisional seperti Salo, Alabadiri, Ransa’n Sahabe,

    Bengko, Gunde, Upase dan Tatumania. Musik tradisional seperti

    Tagonggong, Nanaungang, Oli, dan Musik Bambu; Vokal seperti

    Sasambo, Kakumbaede, Tatengkamohong, Masamper.

    3.3.7. Penggunaan Perlengkapan Adat Dalam Ritual Tulude.

    3.3.7.1. Pakaian Adat.

    Pakaian adat Tepu. Pakaian adat ini dipakai oleh Raja dan

    petinggi lainnya. Yang membedakannya ialah warna dari pakaian yang

    digunakan. Warna kuning emas untuk raja, kuning atau putih sebagai

  • P a g e | 68

    simbol pegawai tinggi, warna biru sebagai simbol pegawai menengah,

    dan warna biru dan atau ungu sebagai simbol pegawai rendah.

    Pakaian adat Baniang. Dipakai oleh pemipin ritual adat Tulude,

    serta para petua adat yang menghadiri ritual Tulude.

    3.3.7.2. Atribut Adat.

    Soho U Wanua adalah kalung panjang yang dipakai oleh

    pemimpin adat dan pelaksana ritual Tulude.

    Paporong/Umbe adalah ikat kepala yang dibuat berbentuk

    segitiga. Dipakai baik oleh pemimpin masyarakat, Petua adat,

    masyarakat yang menghadiri ritual Tulude. Yang membedakannya ialah

    bagi masyarakat bagian ujung dari bentuk segitia dilipat kebawah,

    sedangkan untuk raja tetap memiliki ujung yang taja.

    Salikuku/Papehe adalah ikat pinggang yang dipakai oleh

    pemimpin adat, pemimpin ritual Tulude, pasukan pembawa kue Tamo,

    raja serta petinggi-petingginya.

    Bawandang Liku adalah selendang panjang yang dipakai oleh

    perempuan yang bertugas dalam tari-tarian. Bagi perempuan yang

    berketurunan raja mereka memakai selendang yang hampir sama, tetapi

    kedua ujungnya diberi lipatan Sembilan.

    3.3.7.3. Alat Musik Tradisional.

    Musik Bambu. Dipakai untuk mengiring pesta makan dalam

    ritual Tulude. Juga sering dipakai untuk mengiring lagu penutupan ritual.

    Musik Oli, dipakai dalam proses pemujaan kepada Ghenggona

    Langi.

  • P a g e | 69

    Musik Tagongong, dipakai untuk mengiring sasambo, tari-

    tarian, serta sebagai tanda dimulainya ritual Tulude.

    Musik Nanaungang, dipakai sebagai pemberi tanda bahwa akan

    dibukanya acara ritual Tulude.

    3.3.7.4. Nyanyian Adat.

    Sasambo adalah ungkapan permohonan dan pujian kepada

    Ghenggona Langi yang dikalimatkan dalam bentuk bahasa sasahara.

    Hal ini dilakukan oleh pemimpin Petua adat.

    Kakumbaede adalah ungkapan permohonan dalam model

    nyanyian dengan menggunakan bahasa sastra. Hal ini bisa dibawakan

    dalam bentuk solo (pemimpin ritual) maupun secara bersama-sama.

    Mebawalese adalah cara bernyanyi yang dibawakan secara

    berkelompok untuk melantunkan syair sastra secara berbalasan. Hal ini

    dilaksanakan ketika acara makan bersama.

    3.3.7.5. Tari-tarian.

    Tari Gunde adalah tarian yang dipakai untuk menjemput tamu

    raja dan para petinggi lainnya untuk memasuki tempat ritual Tulude.

    Juga dipakai dalam proses Menahulending Banua (mengembalikan

    keselarasan bumi dan manusia).

    Tari Salo adalah tarian yang mengkisahkan kejadian

    peperangan dan dilaksanakan dalam proses makan bersama.

    Tari Upase adalah tarian yang berada paling depan dalam

    mengawal para tamu, kue Tamo, dan petinggi adat yang memasuki

    tempat ritual Tulude.

  • P a g e | 70

    3.3.8. Tahap-tahap Pelaksanaan Tulude.

    Ada beberapa tahapan pelaksanaan ritual Tulude. Berikut pelaksanaan

    ritual Tulude:63

    3.3.8.1. Mesahune atau Memangsale (Pemberitahuan).

    Pagi hari menjelang fajar (subuh) pada tanggal 31 Januari,

    pukul 04.00, para personil adat, memukul/membunyikan tagonggong,

    mengelilingi tempat pelaksanaan ritual adat Tulude, dengan irama

    ganding mekui ana u wanua. Hal ini dimaksudkan untuk

    memberitahukan kepada seluruh masyarakat bahwa hari itu akan

    dilaksanakan ritual adat Tulude. Biasanya ritual adat Tulude

    dilaksanakan pada sore hari, pukul 17.00 atau pukul 18.00. Pada pukul

    16.00, tagonggong kembali dibunyikan, sebagai tanda ajakan kepada

    anggota masyarakat agar segera datang ke lokasi ritual. Kemudian

    diadakanlah pertunjukkan kesenian yaitu tari Salo, dan hanya dilakukan

    oleh anggota regu Salo, sedangkan kapita nanti akan menari menjelang

    acara penutupan. Barisan adat (Petua adat yang tidak bertugas) siap dan

    berada pada tempatnya masing-masing, sesuai petunjuk Mayore Labo,

    melalui pimpinan unit, untuk menjemput raja-raja atau pejabat

    pemerintah ataupun tamu. Pukul 17.00 semua peserta hadir ditempat

    ritual. Pukul 18.00, Nanaungang (gong besar) dibunyikan 3 kali,

    pertanda ritual adat Tulude dimulai. Pemerintah setempat dengan

    pakaian adat, bertindak sebagai tuan rumah sudah berada di lokasi

    63 Wawancara (via telephone), tanggal 12 September 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat Kabupaten

    SITARO Kecamatan Ondong. Wawancara (via telephone), tanggal 17 September 2017, Bpk. Semuel, Ketua Adat SITARO. Wawancara (via telephone), tanggal 19 September 2017, Bpk. Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat Sangihe.

  • P a g e | 71

    dimana ritual akan dilaksanakan dan siap menerima tamu yang

    diundang.

    3.3.8.2. Meghause Sake (Penjemputan Tamu).

    Menerima atau menjemput tamu yang dimaksud di sini adalah

    menerima tamu ritual yang diundang oleh pihak pemerintah setempat.

    Pada ritual adat Tulude di masa sekarang, pejabat pemerintah yang

    diundang adalah Gubernur Sulawesi Utara bersama ibu, yang disebut

    Malambem Banua Liune (Gubernur) dan Wawu Boki (Istri Gubernur).

    Meghause Sake dilakukan oleh para Petua adat dan diarak dengan tarian.

    Di depan panggung, mereka dijemput oleh pasukan Alabadiri dan Gunde

    sebagai tanda penghormatan. Pasukan Alabadiri adalah pasukan yang

    memegang Kulubalang (terbuat dari batang sagu berbentuk dua kerucut

    yang dihiasi burung “lendei” kecil) di tangan kanan, dan Kaliu (sejenis

    perisai yang bagian tengahnya terdapat alur) di tangan kiri, sambil

    membungkukkan badan. Tarian ini melambangkan kemakmuran dalam

    kebersamaan, kebebasan dan kedamaian. Artinya, pemerintah yang baik

    akan selalu dihargai dan dicintai oleh rakyat. Sedangkan untuk tarian

    Gunde dengan sikap Memidura, melambangkan penghormatan.

    Setelah itu, Mayore Labo memberikan aba-aba penghormatan

    oleh unit kebesaran adat kepada Malambe Banua Liune dan Wawu Boki.

    Kemudian Malambe Banua Liune dan Wawu Boki menerima “Bawatung

    Sake” yakni kata-kata adat untuk mempersilahkan masuk dan mengambil

    tempat yang sudah disediakan, dengan dipayungi payung kebesaran adat.

  • P a g e | 72

    3.3.8.3. Kumui Menulude (Ajakan untuk melaksanakan ritual Tulude).

    Mayore Labo menyampaikan kata pengantar yang di dalamnya

    berisi ajakan untuk mengikuti ritual dalam bahasa adat yang diakhiri kata

    TU...LU…DE…, dengan keras dan suara agak ditarik panjang, disambut

    dengan pukulan tagonggong dalam waktu kurang lebih lima menit. Hal

    ini menandakan ritual adat Tulude dimulai.

    3.3.8.4. Mekaliomaneng (Doa).

    Doa biasanya dipimpin oleh anggota dewan adat Sangihe dalam

    bahasa sastra daerah.

    3.3.8.5. Tamo Banua Dimolong Banala (Kue Adat Tamo Memasuki

    Bangsal Utama).

    Kue adat Tamo Banua, diarak dengan tari-tarian menuju

    bangsal utama. Mayore Labo mengundang semua yang hadir dalam

    ritual itu untuk berdiri, sebagai bentuk penghormatan. Kue Tamo

    dikawal oleh barisan adat yang dipimpin oleh seorang Petua adat diiringi

    dengan tari Upase pada posisi, sebagai berikut:

    Berjalan paling depan adalah Petua adat.

    Urutan kedua adalah kue adat Tamo

    Urutan ketiga adalah barisan adat, termasuk ibu-ibu tukang pembuat

    kue Tamo.

    Setelah pasukan pembawa kue adat tiba di depan tempat ritual

    berlangsung, pemimpin barisan adat mengucapkan kata-kata adat

    penyerahan Tamo Banua (Penenggong Tamo Banua). Selesai

  • P a g e | 73

    mengucapkan kata-kata adat, Tamo Banua diserahkan dan diterima oleh

    Mayore Labo dengan kata-kata adat pula (Mendae Tamo Banua).

    3.3.8.6. Lahoro Dudato (Pengantar Kata).

    Dibawakan oleh Petua adat, bertujuan untuk memberitahukan

    maksud dan tujuan dilaksanakan ritual adat Tulude kepada semua

    masyarakat yang hadir dalam ritual tersebut.

    3.3.8.7. Kakumbaede atau Mangumbaede.

    Kakumbaede memuat pokok-pokok pikiran yang

    melatarbelakangi pelaksanaan suatu acara adat. Hal ini dibacakan atau

    diucapkan menjelang acara puncak yakni proses Menahulending. Dalam

    ritual adat Tulude, Kakumbaede terdiri atas beberapa bagian yang

    tersusun sebagai berikut:

    Lahaghotang (Argumentasi)

    Pada bagian ini, disampaikan pokok-pokok pertimbangan berdasar

    pada ajaran atau budaya tentang hidup dan kehidupan manusia, baik

    sebagai mahkluk individu maupun makhluk sosial.

    Lahakane (Kecenderungan)

    Pada bagian ini mengungkapkan suatu kecenderungan ke arah

    kesimpulan yang biasa diambil.

    La’ala e (Pelengkap)

    Untuk memperoleh ketegasan tanggapan perlu mempertimbangkan

    faktor-faktor lain yang dianggap penting, sebagai pelengkap apa

    yang sudah tercantum pada Lahaghotang.

  • P a g e | 74

    La’ansuhe (Harapan)

    Berisi harapan dan doa yang diyakini supaya diterima oleh Ilahi dan

    membawa manfaat bagi semua, sejalan dengan tujuan pelaksanaan

    ritual Tulude..

    Hakane (Penegasan)

    Penegasan yang lazimnya mengulangi apa yang sudah di tulis atau

    yang sudah dinyatakan dalam Lahakane.

    3.3.8.8. Menahulending.

    Secara harafiah Menahulending adalah usaha untuk

    mendinginkan sesuatu yang dianggap panas. Menahulending dari asal

    kata Tahulending yang artinya pendingin. Yang dimaksud dengan panas

    di sini adalah suatu situasi yang terjadi akibat adanya bencana alam,

    krisis kekuasaan, wabah penyakit, hama tanaman, kekacauan, dan lain-

    lain. Ada tiga sasaran yang perlu diberi pendingin, yaitu: pemerintah,

    masyarakat, dan alam.

    Proses Menahulending merupakan doa yang mengandung

    beberapa unsur yaitu: Uwuse artinya pemulihan atau penawar kesalahan.

    Hiwusala artinya permohonan kepada Ghenggona Langi untuk

    memulihkan dosa yang dilakukan sepanjang tahun silam. Sasihge Lawe

    artinya usaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak

    diinginkan. Pananggung atau Pangumbahase artinya doa permohonan

    ketangguhan dalam menghadapi cobaan. Somahe artinya permohonan

    kekuatan dalam bekerja dan permohonan berkat Ilahi atas usaha yang

    dikerjakan.

  • P a g e | 75

    Ada dua bentuk Menahulending yaitu: pertama,

    Menahulending Tembonange (restu kepada pemerintah). Bentuk ini

    merupakan doa restu kepada Pemerintah. Tokoh atau pribadi yang

    menerima Tatahulending mewakili Pemerintah dan rakyat adalah pejabat

    tertinggi (penguasa tunggal wilayah), mereka itulah Malambe Banua

    Liune dan Wawu Boki. Air yang dipakai dalam acara Menahulending

    diambil dari sumber yang bersih dan tidak pernah kering (mata air),

    sebagai lambang kelestarian dan keabadian. Air yang bening bersih

    merupakan simbol ketulusan hati dan kejujuran dalam pengabdian. Doa

    diucapkan dalam bahasa sastra daerah, sambil diadakan pembasuhan

    tangan, kaki, dan wajah dengan air Tahulending. Membasuh tangan, kaki

    dan wajah melambangkan kesejahteraan bagi pemerintah, selain itu juga

    merupakan lambang ungkapan penyerahan diri secara utuh dari masa

    lalu, masa kini dan masa yang akan datang, hanya kepada Geggona

    Langi.64 Kedua, Menahulending Banua (permohonan restu kesejahteraan

    alam). Bentuk Menahulending Banua diucapkan dengan sastra daerah

    berisi doa restu, puja dan puji syukur kepada Ghenggona Langi yang

    membahana ke alam semesta. Menahulending Banua dilambangkan

    dengan pemercikan air Tahulending, yang berisi daun cocor bebek

    (tahulending), bunga melati (manuru), daun tawaang (tawaung), daun

    pandan jawa (salalo), dan lain-lain, ke empat penjuru mata angin oleh

    Petua adat, yaitu: Timur (Daki/Malelo), Selatan (Timuhe/Matawola),

    64 Seringkali dalam acara ini, diberikan penganugerahan adat atau gelar adat, kepada Pemerintah atau

    Tokoh Adat yang berjasa bagi pembangunan dan perjuangan daerah Sangihe. Adapun mereka yang pernah menerima penganugerahan adat (khusus dalam acara Tulude) adalah:Bapak Evert E. Mangindaan (Mantan Gubernur Sulawesi Utara), diberi gelar Hiabe Mamenongkati artinya Bintang Timur dari Utara, pada 31 Januari 1996. Bapak Hengki Baramuli, diberi gelar Adimala Matahuena artinya Pemimpin yang Arif dan Bijaksana, pada 31 Januari 2005. Bapak Marthinus Manoi, diberi gelar Piloto Tataghumpia artinya Nahkoda yang Handal dan Terpercaya, pada 31 Januari 2005.

  • P a g e | 76

    Barat (Bahe/Palang epa), Utara (Sawenahe/Mamenongkati). Setelah

    prosese Menahulending selesai maka semua menyanyi lagu “O Mawu

    Ruata Talentuko Ia”.

    3.3.8.9. Tatengkangmohong atau Tatengkamohong.

    Tatengkamohong mirip Sasambo, hanya tidak diiringi irama

    tagonggong. Tatengkamohong diucapkan setelah selesai acara

    Menahulending. Tatengkamohong merupakan doa rakyat kepada

    pemimpin atau pemerintah, agar melaksanakan tugas dan tanggung

    jawab sebagai pelindung dan mensejahterakan rakyatnya dengan

    melaksanakan amanat rakyatnya.

    3.3.8.10. Memoto Tamo Banua (Pemotongan Kue adat Tamo).

    Memoto Tamo Banua melambangkan ungkapan syukur kepada

    Ghenggona Langi yang empunya kehidupan dan sumber berkat. Seorang

    Petua adat memotong kue Tamo, sambil mengucapkan sastra adat dari

    awal hingga selesai pemotongan yang berisi doa permohonan agar

    pemerintah, seluruh rakyat, bangsa dan negara selalu mendapat

    perlindungan Ilahi. Kemudian Tamo Banua yang telah dipotong itu,

    diris-iris dan disuguhkan kepada para tamu, pejabat serta seluruh yang

    hadir dalam ritual Tulude. Hal ini melambangkan ikatan kebersamaan

    yang tidak melihat strukur sosial dan kedudukan individu. Selama

    pelayanan kue Tamo atau proses pembagian kue Tamo situasinya

    diselingi dengan atraksi kesenian.

  • P a g e | 77

    3.3.8.11. Salimbangu Wanua (Makan Bersama/ Pesta Rakyat).

    Selesai acara tersebut di atas, diadakanlah acara makan

    bersama, sementara makan beberapa yang bertugas melaksanakan atraksi

    kesenian seperti musik bambu dan grup Mebawalase.

    3.3.8.12. Sasalamate

    Sasalamate pada dasarnya adalah pidato atau sambutan yang

    merupakan ucapan selamat, yang berisi pujian, harapan bahkan doa,

    kepada Ghenggona Langi untuk keselamatan dan kebahagiaan semua

    orang. Sasalamate dibawakan oleh Petua adat dan Pemerintah. Petua

    adat yang mengucapkan Sasalamate dengan sastra daerah berisi doa

    kepada Ghenggona Langi agar diberi perlindungan, mendapat berkat

    dalam kehidupan di dunia, panjang umur, bahkan seluruh umat manusia

    memperoleh keselamatan.

    3.3.8.13. Penutup.

    Proses akhir dari ritual Tulude berdasarkan informasi dikatakan

    telah mengalami perkembangan sesuai dengan konteks kehidupan,

    dimana proses dari penutupan ritual Tulude adalah sebagai berikut:

    Pertama, Mehiwusala atau Melapu (memohon pengampunan).

    Manusia perlu menyadari dan memohon ampun kepada Ghenggona

    Langi atas segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuat. Mehiwusala

    atau Melapu mengandung fungsi: pemulihan atau perbaikan atas

    kekeliruan dan kekurangan terlebih kesalahan yang tidak disadari dalam

    pelaksanaan acara, mengukuhkan segala sesuatu yang sudah diperbuat

    dalam kerangka pelaksanaan acara adat yang sudah berlangsung, serta

  • P a g e | 78

    pasrah kepada bimbingan Ilahi untuk menuju masa depan yang lebih

    baik.

    Kedua, Tatarimakase (ucapan terima kasih). Ucapan terima

    kasih dari pihak Pemerintah setempat dan Panitia Penyelenggara ritual

    adat Tulude sebagai tuan rumah.

    Ketiga, Mekantari (bernyanyi bersama).Untuk mengakhiri

    ritual adat Tulude, semua peserta menyanyikan lagu doa dalam bahasa

    daerah “O Mawu Rendingane”.

    Keempat, Medamaeng (atraksi kesenian daerah). Kesenian

    daerah yang ditampilkan antara lain, Masamper, musik bambu dan lain-

    lain.

    3.4. Ritual Tulude Menjadi Ritual Pemerintah

    Sejak tahun 1970-an ritual Tulude telah diambil alih oleh pemerintah dalam

    pelaksanaannya. Hal itu, memberi dampak pada proses pelaksanaan dan semua unsur-

    unsur di dalam ritual Tulude. Dampak yang terjadi adalah ketika ritual Tulude akan

    dilaksanakan maka, kehadiran pemerintah menjadi inti dari pelaksanaan ritual

    tersebut, tidak lagi melihat bahwa ritual itu adalah ritual suku Sangihe (masyarakat).

    Jika pemerintah belum hadir atau tidak dapat hadir dalam ritual Tulude, maka

    pelaksanaannya harus ditunda sampai pemerintah bisa menyediakan waktu untuk

    dapat hadir dalam ritual tersebut. Sejauh yang dapat ditemukan oleh penulis bahwa

    pelaksanaan penundaan ritual Tulude karena pemerintah itu, terjadi pada tahun 2001

  • P a g e | 79

    sampai sekarang di saat pelaksanaan ritual Tulude.65 Sebagai contohnya yaitu

    penundaan pelaksanaan ritual Tulude tahun 2014, seharusnya dilaksanakan pada

    tanggal 31 Januari menjadi tanggal 1 Februari, karena pemerintah (Gubernur SULUT)

    tidak dapat hadir.66 Penundaan tersebut juga terjadi pada tahun 2014.67 Keadaan

    penundaan itu terjadi memiliki ikatan kuat terhadap kepentingan politik individu yang

    memiliki kekuasaan dalam pemerintah, sehingga pegeseran makna ritual Tulude

    sangatlah jauh yaitu dari kepentingan masyarakat (banyak orang) menjadi

    kepentingan politik individu, ketika ritual Tulude itu ditetapkan dalam PERDA.

    3.5. Ritual Tulude Menjadi Ritual Agama Moderen

    Dalam mempraktekan ritual Tulude pada kalangan yang beragama Islam,

    mereka mulai menambahkan beberapa tradisi Islam seperti Hadrah dan Samra.

    Meskipun dalam prakteknya mereka tidak menyebutkan ritual Tulude agama Islam.68

    Dalam agama Kristen sendiri, ritual Tulude sudah mulai dimasukkan beberapa

    paham ke kristenan, seperti simbolisasi kue Tamo ditafsirkan sebagai Yesus. Hal ini

    dapat dilihat dari beberapa tulisan yang telah dibuat oleh tokoh agama Kristen. Salah

    satunya tulisan yang berjudul 10 Tema Budaya yang menjelaskan tentang aplikasi

    teologi kue Tamo yang terdapat dalam proses ritual Tulude itu ditujukan pada kredo

    Kristiani.69 Meskipun juga dalam prakteknya mereka tidak menyebutkan ritual

    Tulude agama Kristen.

    65 Wawancara (via Whats App), tanggal 25 Oktober 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat

    Sangihe. 66 http://www.swaramanado.com/2014/02/wagub-hadiri-perayaan-tulude-ke-589.html, (acced, 27

    Oktober 2017) 67 http://www.manadoterkini.com/2016/01/24468/akibat-ditunda-tulude-tuai-sorotan/, (acced, 27

    Oktober 2017). 68 Wawancara (via Whats App), tanggal 25 Oktober 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat

    Sangihe. 69 Ambrosius Makasar, 10 Tema Budaya-Kearifan Lokal Sumber Inspirasi Spiritual Moral Etik

    Masyarakat Sangihe (Tahuna: Badan Pengurus Sinode GMIST Bidang Marturia 2009), 69-74.

  • P a g e | 80

    Demikianlah pemaparan data lapangan dalam bentuk deskriptif, yang dituliskan

    dalam bentuk subtema dan klasifikasi. Pemaparan data ini akan dipakai sebagai dasar

    penulisan bab berikutnya, yang tidak lain adalah hasil dari proses analisis antara data

    lapangan dengan teori (yang telah dituliskan dalam bab dua).