suku papua

17
Suku Dani Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan alat / perkakas yang pada awal mula ditemukan diketahui telah mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak mengenakan “koteka” (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara- upacara besar dan keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya). Sebagian masyarakat suku Dani menganut agama Kristen atas pengaruh misionaris Eropa yang datang ke tempat itu dan mendirikan misi misionarisnya ketika pada tahun sekitar 1935 pemerintahan Belanda membangun kota Wamena. Kondisi geografis dari tempat tinggal Suku Dani ini sendiri seperti halnya daerah pegunungan tengah di Papua, terdiri dari gunung-gunung tinggi dan sebagian puncaknya bersalju dan lembah-lembah yang luas. Kontur tanahnya sendiri terdiri dari tanah berkapur dan granit dan disekitar lembah yang merupakan perpaduan dari tanah berlumpur yang mengendap dengan tanah liat dan lempung. Daerahnya sendiri beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut.

Upload: fendy-denliner

Post on 27-Dec-2015

159 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Suku Papua

Suku Dani

Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu

wilayah di Lembah Baliem yang dikenal sejak ratusan

tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah

menggunakan alat / perkakas yang pada awal mula

ditemukan diketahui telah mengenal teknologi

penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang

binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat

menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak

mengenakan “koteka” (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita

menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang

beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih

dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).

Sebagian masyarakat suku Dani menganut agama Kristen atas pengaruh misionaris Eropa yang

datang ke tempat itu dan mendirikan misi misionarisnya ketika pada tahun sekitar 1935

pemerintahan Belanda membangun kota Wamena. Kondisi geografis dari tempat tinggal Suku

Dani ini sendiri seperti halnya daerah pegunungan tengah di Papua, terdiri dari gunung-gunung

tinggi dan sebagian puncaknya bersalju dan lembah-lembah yang luas. Kontur tanahnya sendiri

terdiri dari tanah berkapur dan granit dan disekitar lembah yang merupakan perpaduan dari

tanah berlumpur yang mengendap dengan tanah liat dan lempung. Daerahnya sendiri beriklim

tropis basah karena dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut.

Hutan-hutan di mana suku Dani bermukim sangat kaya akan flora dan fauna yang tak jarang

bersifat endemic seperti cenderawasih, mambruk, nuri bermacam-macam insect dan kupu-

kupu yang beraneka ragam warna dan coraknya. Untuk budaya dari Suku Dani sendiri,

meskipun suku Dani penganut Kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih

bercorak budaya lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Suku Dani percaya

terhadap rekwasi. Seluruh upacara keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan

persembahan terhadap nenek moyang. Peperangan dan permusuhan biasanya terjadi karena

masalah pelintasan daerah perbatasan, wanita dan pencurian.

Page 2: Suku Papua

Pada rekwasi ini, para prajurit biasanya akan membuat tanfa dengan lemak babi, kerang, bulu-

bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon mangga, dan bunga-bungaan di bagian tubuh mereka.

Tangan mereka menenteng senjata-senjata tradisional khas suku Dani seperti tombak, kapak,

parang dan busur beserta anak panahnya.

Salah satu kebiasaan unik lainnya dari suku Dani sendiri adalah kebiasaan mereka

mendendangkan nyanyian-nyanyian bersifat heroisme dan atau kisah-kisah sedih untuk

menyemangati dan juga perintang waktu ketika mereka bekerja. Untuk alat musik yang

mengiringi senandung atau dendang ini sendiri adalah biasanya adalah alat musik pikon, yakni

satu alat yang diselipkan diantara lubang hidung dan telinga mereka. Disamping sebagai

pengiring nyanyian, alat ini pun berfungsi ganda sebagai isyarat kepada teman atau lawan di

hutan kala berburu.

Nama Dani sendiri sebenarnya bermakna orang asing, yaitu berasal dari kata Ndani, tapi karena

ada perubahan fenom N hilang dan menjadi Dani saja. Suku Dani sendiri sebenarnya lebih

senang disebut suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek moyangnya dengan

penghormatan mereka biasanya dilakukan melalui upacara pesta babi. Untuk bahasa sendiri,

suku Dani memiliki 3 sub bahasa ibu secara keseluruhan, dan ketiganya termasuk bahasa-

bahasa kuno yang kemudian seiring perjalanan waktu, ketiga sub bahasa ibu ini pun memecah

menjadi berbagai varian yang dikenal sekarang ini di Papua. Sub bahasa ibu itu adalah:

Sub keluarga Wano

Sub keluarga Nggalik - Dugawa

Sistem Kepercayaan Suku Dani

Dasar kepercayaan suku Dani adalah seperti halnya diuraikan di atas yakni menghormati roh

nenek moyang dengan cara menyelenggarakan berbagai ritual upacara yang dipusatkan pada

pesta babi. Konsep kepercayaan / keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti

para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).

Kekuasaan sakti ini antara lain :

Kemampuan atau kekuatan untuk menyembuhkan penyakit

Kemampuan atau kekuatan untuk menyuburkan tanah, dan

Kemampuan atau kekuatan untuk menjaga ladang

Page 3: Suku Papua

Sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang untuk

nenek moyang mereka yang disebut Kaneka. Selain sebagai perlambang untuk nenek moyang,

dikenal juga Kaneka Hagasir, yakni sebuah upacara keagamaan yang bertujuan untuk

kesejahteraan keluarga, juga ketika mengawali dan mengakhiri peperangan.

Sistem Kekerabatan

Untuk sistem kekerabatan suku Dani mengenal tiga sistim yakni kelompok kekerabatan, paroh

masyarakat dan kelompok territorial.

a. Kelompok kekerabatan

kelompok kekerabatan dari suku Dani yang terkecil adalah keluarga luas. Keluarga luas ini

sendiri terdiri dari dua atau tiga keluarga inti yang tinggal bersama dalam satu rumah besar

yang menyerupai kompleks dengan sekat-sekat berupa pagar (lima) yang disebut slimo. Dalam

sebuah desa di Suku Dani terdapat 4 hingga 5 slimo dengan delapan hingga sepuluh keluarga

yang menghuni. Sistem pernikahan dari suku Dani adalah poligami dan beberapa diantaranya

poligini. Menurut mitologi, suku Dani berasal dari keuturunan sepasang suami istri yang

menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka

mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku

Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang

di luar Moety).

b. Paroh Masyarakat

Struktur bermasyarakat Suku Dani merupakan gabungan dari beberapa klan kecil yang disebut

ukul, dan klan besar yang disebut ukul oak.

c. Kelompok Teritorial

Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani adalah kompleks

perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan

kepada anak laki-laki).

Page 4: Suku Papua

Suku Biak

Suku Biak merupakan salah satu kelompok

masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di

kabupaten Biak Numfor. Dalam

kesehariannya, suku Biak menggunakan

Bahasa Indonesia dengan banyak dialek yang

tersebar di 19 wilayah. Adapun dialek yang

digunakan, yaitu Ariom, Bo’o, Dwar, Fairi,

Jenures, Korim, Mandusir, Mofu, Opif, Padoa,

Penasifu, Samberi, Sampori (Mokmer), Sor, Sorendidori, Sundei, Wari, Wadibu, Sorido, Bosnik,

Korido, Warsa, Wardo, Kamer, Mapia, Mios Num, Rumberpon, Monoarfu, dan Vogelkop.

Namun, secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak menghalangi mereka untuk saling

mengerti satu sama yang lain. Di Kepulauan Biak-Numfor sendiri terdapat sepuluh dialek

sedangkan di daerah-daerah migrasi atau perantauan terdapat tiga dialek.

Nama Biak berasal dari kata v`iak. Mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk

menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata

tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan`,`orang-orang yang

tidak pandai kelautan`, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai

berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain.

Pendapat lain berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan

bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat

pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam

memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap

di suatu tempat yang letaknya jauh, sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata.

Mereka pun berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau

Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak

wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka

yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo, hingga sekarang nama itulah yang tetap

dipakai.

Page 5: Suku Papua

Adapun sejarah suku Biak menurut mite, moyang orang Biak berasal dari satu daerah yang

terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah

kepulauan ini dengan menggunakan perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang

pertama itu. Salah satu versi mite itu menceriterakan, bahwa moyang pertama dari orang Biak

terdiri dari sepasang suami istri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu.

Ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi nama oleh kedua

pasang suami istri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di

sebelah selatan kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu bersama

anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat terakhir inilah mereka

berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-Numfor.

Daerah penyebaran suku Biak saat ini sangatlah luas, meliputi pulau Biak, Supiori, Numfor,

Padaido, Rani, Insumbabi, Meosbefandi, Ayau, Mapia, Doreri, Manokwari, Ransiki, Oransbari,

Nuni, Pantai Utara kepla burung hingga ke Sorong, dan pulau – pulau Raja Ampat.

Orang Biak sejak dulu menyembah dewa persatuan dan pujaan mereka yaitu ’Manseren

Koreri’ yang disebut ’manarmakeri’. Manamakeri artinya suatu nama dimana panggilan

penghinaan untuk orang tua yang berkudis, kadas, borok, dan kotor yang menyebabkan banyak

orang jijik kepadanya. Nama asli Manamakeri ialah yawi nusyado. Manamakeri selalu membuat

tanda-tanda ajaib yaitu dapat menggantikan kulitnya yang berkudis, kadas, dan borok itu

menjadi makanan dan harta kekayaan yang berlimpah ruah, ia dapat dipuja sebagai juru

selamat.

Secara kekerabatan, Suku Biak memiliki kelompok kekerabatan berdasarkan marga atau disebut

keret (famili). Sistem kekerabatannya luas berdasarkan pertalian darah. Berlaku adat menetap

(virilokal).

Adapun pengetahuan yang dimiliki Suku Biak, yaitu mengetahui jenis tumbuhan yang dapat

dimanfaatkan sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan sakit penyakit atau luka bakar,

luka sayatan, maupun dapat digunakan untuk membunuh ikan, dalam jumlah sedikit. Jenis

tumbuhan yang digunakan untuk membunuh ikan seperti Akar Tuba.

Page 6: Suku Papua

Mata pencaharian suku Biak adalah nelayan (melaut) dan bertani (meramu). Mereka

menangkap ikan dengan menggunakan jaring inanai dan arsam untuk menangkap ikan terbang

dan juga ikan hiu. Hal ini dilakukan dengan menggunakan perahu yang disebut dengan waipapa.

Suku Biak juga meramu atau berburu binatang hutan sebagai makanannya seperti berburu

babi, kuskus, tikus tanah, dan ular pohon. Dapat pula mengambil jenis sayur-sayuran yang ada

di hutan sebagai makanannya.

Adapun kesenian yang dimiliki suku Biak salah satunya adalah Tarian Yospan. Tarian ini

merupakan tarian rakyat yang biasa dilakukan dalam kegiatan-kegiatan acara adat maupun

peringatan hari-hari besar. Dan berkelompok dan memiliki irama dan ritme dilakukan secara

riang, sangat unik dan menarik.

Selain tarian, suku Biak sering kali mengadaka upacara adat. Beberapa upacara tradisional suku

Biak antara lain Upacara Gunting Rambut/cukur (Wor Kapapnik), Upacara Memberi atau

mengenakan Pakaian (Wor Famarmar), Upacara Perkawinan (Wor Yakyaker Farbakbuk), dan

lain-lain. Seluruh upacara diiringi dengan lagu dan tari bahkan merupakan sumbangan atau

pendewaan kepada roh-roh para leluhur.

Page 7: Suku Papua

Nama Asmat

Nama Asmat dikenal dunia sejak tahun 1904.

Tercatat pada tahun 1770 sebuah kapal yang

dinahkodai James Cook mendarat di sebuh

teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul

puluhan perahu lesung panjang didayungi

ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah

dan tubuh yang diolesi warna-warna merah,

hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan

berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook. Berabad-abad kemudian

pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir

barat daya Irian jaya. Terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya.

Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut.

Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang

menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil

melakukan pertukaran barang.

Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu.

Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan

oleh seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga

1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.

Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di

perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung tersebut

didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung

dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah, PUSKESMAS

(Pusat Kesehatan Masyarakat) dan rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan

peemrintah dalam rangka menunjang pembangunan daerah dan masayarakat Asmat.

Page 8: Suku Papua

Asal Usul Suku Asmat

Menurut Pastor Zegwaard, seorang misionaris Katolik berbangsa Belanda, orang-orang Asmat

mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta). Konon, Fumeripits

terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya

diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian

di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang

diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia masih merasa kesepian,

kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari.

Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa

yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud

manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak

terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu, Fumeripits terus

mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan

menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat

ini. Bentuk tubuh orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya yang berdiam di pegunungan

tengah atau di nagian pantai lainnya.

Tinggi badan kaum laki-laki antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum perempuan

tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter. Ciri-ciri bagian tubuh lainnya adalah bentuk kepala

yang lonjong (dolichocephalic), bibir tipis, hidung mancung, dan kulit hitam. Orang Asmat pada

umumnya tidak banyak menggunakan kaki untuk berjalan jauh, oleh karena itu betis mereka

terlihat menjadi kecil. Namun, setiap saat mereka mendayung dengan posisi berdiri sehingga

otot-otot tangan dan dadanya tampak terlihat tegap dan kuat. Tubuh kaum perempuan

kelihatan kurus karena banyaknya perkerjaan yang harus mereka lakukan.

Suku Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah tersebut masih

merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya Irian jaya (Papua).

Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian

terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat telah

masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat.

Page 9: Suku Papua

Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan pada tahun 2000

ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di Kecamatan Pirimapun.

Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.

Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9 persen. Angka

kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21 sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada

jaman dahulu, rata-rata dua setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh

peperangan antar kelompok atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab

kematian anak-anak dan bayi, terutama pada bulan-bulan pertama banyak disebabkan oleh

pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak.

Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan jarak

yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai

dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori

kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian

tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa. Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh

sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil ,

berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.

Suku Asmat mempunyai kebiasaan dan adat istiadat yang khas diantaranya membuat ukiran

tanpa ada sketsa dulu. Ukiran-ukiran yang dibuat oleh orang Asmat memiliki makna sebagai

persembahan atau ucapan rasa syukur kepada nenek moyang. Mengukir adalah jalan untuk

berinteraksi dengan leluluhur. Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu dan pesta Topeng sebagai

bentuk upaya menghindarkan diri dari musibah dan marabahaya. Selain itu, Suku Asmat juga

suka berhias.

Page 10: Suku Papua

Suku Arfak

Suku Arfak merupakan komunitas terbesar

dari penduduk asli di Kabupaten Manokwari

tepatnya di Papua Barat. Bila dilihat

berdasarkan pembagiannya masyarakat

arfak terbagi menjadi beberapa macam sub

antara lain Suku Meihag, Suku Moilei, Suku

Hatam serta Suku Sohug. Dari beberapa

macam sub yang berbeda tersebut, bahasa

daerah serta kepala daerah juga berbeda

untuk masing-masing. Walaupun begitu

sikap Bhineka Tunggal Ika tercermin dengan

jelas pada masyarakat Arfak ini.

Kawasan Cagar Alam tepatnya di Pegunungan Arfak merupakan desa atau perkampungan

kediaman dari masyarakat Arfak. Bila diukur dari segi luas lahannya yaitu sekitar 68.325 Ha. Di

perkampungan ini juga merupakan kawasan untuk beragam jenis burung, ada sekitar 333 jenis

serta ada burung endemic 4 jenis yang ada di Pegunungan Arfak ini. Bukan hanya tempat

kawasan burung melainkan ada juga mamalia yang hidup di sini yaitu sekitar 110 jenis serta

terapat beragam kupu-kupu yang beterbangan di kawasan ini.

Rumah Kaki Seribu atau Mod Aki Aksa

Bukan hanya bermacam-mcam bahasa yang mereka miliki akan tetapi suku ini juga mempunyai

kebudayaan yang sangat menarik yaitu tempat tinggal para Suku Arfak yaitu rumah kaki seribu

atau disebut dengan Mod Aki Aksa.

Bila dilihat darti segi tradisional, rumah atau tempat tinggal yang merupakan kediaman dari

suku ini merupakan rumah yang tertutup serta hanya dilengkapi dua pintu pada bagian

belakang serta bagian depan. Keunikan dari tempat tinggal suku ini terlihat dari bangunan

rumahnya yang tidak dilengkapi dengan jendela seperti rumah biasanya.

Page 11: Suku Papua

Bukan hanya itu, keunikan terlihat jelas dari segi bentuk pada bangunan tersebut. Bangunan itu

dibuat menggunakan rumah panggung sebagai kontruksinya yang berasal dari bahan-bahan

kayu serta pembuatan atap yang menggunakan rumput ilalang.

Sebutan yang muncul di sebagian besar orang yang melihat rumah tradisional ini yaitu rumah

seribu padahal nama aslinya adalah Mod Aksi Aksa atau Igkojei. Sebutan rumah kaki seribu ini

memang sangat wajar karena bentuk dari rumah itu sendiri yang menggunakan banyak

penyangga sehingga banyak yang berpendapat itu seperti kaki yang jumlahnya banyak. Karena

banyaknya tidak bisa terhitung hanya dengan sekali pandang, maka rumah tersebut dinamakan

rumah kaki seribu.

Tarian Ular atau Tari Magasa

Seperti suku-suku lain pada umumnya yang ada di Indonesia yang bukan hanya mempunyai

rumah tradisional, Suku Arfak juga memiliki cirikhas dari segi tarian tradisionalnya. Salah

satunya yaitu Tari Magasa. Tari magasa ini lebih terkenal dengan sebutan tari ular oleh sebagian

besar orang.

Tarian ini diamakan tari ular karena saat menampilkannya, tarian ini disertai formasi seperti

ular dengan liukan dan gerakann yang disesuaikan dengan irama dari lagu yang disajikan. Tarian

ular atau Tari Magasa ini disajikan hanya pada acara-acara penting, misalnya saat digelar acara

perkawinan, penyambutan tamu yang datang, saat penen raya tiba, merayakan ulang tahun

atau acara- acara penting yang ada lainnya.

Tarian ini dipentaskan di hadapan para penonton secara bersama-sama atau berkelompok.

Tarian ini diikuti oleh semua lapisan yang ada di masyarakat baik yang masih muda ataupun

yang sudah tua. Tapi akan lebih indah lagi jika tarian ini disajikan dengan cara berpasangan

antara wanita dengan pria.

Gerakan yang dilakukan di Tari Magasa ini yaitu saling himpit, bergandengan tangan,

menghentakan kaki ke tanah serta melompat. Hal ini dikarenakan Tarian Magasa ini berisi

tentang romantisme, keindahan alam serta kepahlawanan.

Page 12: Suku Papua

Sistem Kepercayaan Masyarakat Arfak

Dalam hal kepercayaan atau religi, masyarakat Arfak mempunyai keyakinan senidiri bahwa

alam dan semua isinya adalah ciptaan dari ajemoa. Ajemoa merupakan sosok yang diceritakan

sebagai seorang dewa yang tinggal di langit. Selain itu juga keyakinan dari masyarakat Arfak

bahwa nenek moyang yang ada di suku mereka itu adalah Siba.

Siba merupakan sosok manusia yang digambarkan mempunyai keluarga terdiri atas 3 orang

anak yaitu satu anak perempuan dan dua anak laki-laki. Kedua anak laki-laki Siba ini diberi

nama Aiba dan Iba. Sedangkan nama dari anak perempuannya itu ialah Towansiba. Aiba

merupakan sosok manusia yang memutuskan untuk meninggalkan kedua saudaranya tersebut

ke arah barat. Namun jika ada bahaya yang menghadang kedua saudaranya, Aiba akan langsung

kembali.

Namun ternyata bahaya kini datang kepada saudaranya yang bernama Iba. Iba telah melanggar

suatu aturan yang telah dibuat oleh Ajemoa. Karena kesalahan yang dilakukan oleh Iba, dia

diberi hukuman oleh Ajemoa yaitu tinggal di dunia yang fana seumur hidupnya. Lalu Iba

menetap tinggal di daerah Anggi. Maka tidak heran bila banyak keturunan dari Iba di daerah

tersebut. Namun bukan hanya di daerah Anggi, karena semakin lama semakin menyebar, mulai

dari ke Bintuni, daerah Merdey, daerah Fak-Fak , daerah Wendamen, sampai menyebar ke

seluruh wilayah Papua Barat. Orang Arfak juga mempunyai keyakinan bahwa setiap masyarakat

Arfak yang telah meninggal dunia, ruh-ruhnya masih ada di dunia. Ruh tersebut melayang-

layang di sekitar daerah dua pegunungan yang keramat yaitu Mengenyu serta Sensenemes. Dua

daerah itu merupakan daerah yang digunakan untuk menguburkan semua orang yang telah

mati.