suku papua
TRANSCRIPT
Suku Dani
Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu
wilayah di Lembah Baliem yang dikenal sejak ratusan
tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah
menggunakan alat / perkakas yang pada awal mula
ditemukan diketahui telah mengenal teknologi
penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang
binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat
menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak
mengenakan “koteka” (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita
menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang
beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih
dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Sebagian masyarakat suku Dani menganut agama Kristen atas pengaruh misionaris Eropa yang
datang ke tempat itu dan mendirikan misi misionarisnya ketika pada tahun sekitar 1935
pemerintahan Belanda membangun kota Wamena. Kondisi geografis dari tempat tinggal Suku
Dani ini sendiri seperti halnya daerah pegunungan tengah di Papua, terdiri dari gunung-gunung
tinggi dan sebagian puncaknya bersalju dan lembah-lembah yang luas. Kontur tanahnya sendiri
terdiri dari tanah berkapur dan granit dan disekitar lembah yang merupakan perpaduan dari
tanah berlumpur yang mengendap dengan tanah liat dan lempung. Daerahnya sendiri beriklim
tropis basah karena dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut.
Hutan-hutan di mana suku Dani bermukim sangat kaya akan flora dan fauna yang tak jarang
bersifat endemic seperti cenderawasih, mambruk, nuri bermacam-macam insect dan kupu-
kupu yang beraneka ragam warna dan coraknya. Untuk budaya dari Suku Dani sendiri,
meskipun suku Dani penganut Kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih
bercorak budaya lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Suku Dani percaya
terhadap rekwasi. Seluruh upacara keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan
persembahan terhadap nenek moyang. Peperangan dan permusuhan biasanya terjadi karena
masalah pelintasan daerah perbatasan, wanita dan pencurian.
Pada rekwasi ini, para prajurit biasanya akan membuat tanfa dengan lemak babi, kerang, bulu-
bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon mangga, dan bunga-bungaan di bagian tubuh mereka.
Tangan mereka menenteng senjata-senjata tradisional khas suku Dani seperti tombak, kapak,
parang dan busur beserta anak panahnya.
Salah satu kebiasaan unik lainnya dari suku Dani sendiri adalah kebiasaan mereka
mendendangkan nyanyian-nyanyian bersifat heroisme dan atau kisah-kisah sedih untuk
menyemangati dan juga perintang waktu ketika mereka bekerja. Untuk alat musik yang
mengiringi senandung atau dendang ini sendiri adalah biasanya adalah alat musik pikon, yakni
satu alat yang diselipkan diantara lubang hidung dan telinga mereka. Disamping sebagai
pengiring nyanyian, alat ini pun berfungsi ganda sebagai isyarat kepada teman atau lawan di
hutan kala berburu.
Nama Dani sendiri sebenarnya bermakna orang asing, yaitu berasal dari kata Ndani, tapi karena
ada perubahan fenom N hilang dan menjadi Dani saja. Suku Dani sendiri sebenarnya lebih
senang disebut suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek moyangnya dengan
penghormatan mereka biasanya dilakukan melalui upacara pesta babi. Untuk bahasa sendiri,
suku Dani memiliki 3 sub bahasa ibu secara keseluruhan, dan ketiganya termasuk bahasa-
bahasa kuno yang kemudian seiring perjalanan waktu, ketiga sub bahasa ibu ini pun memecah
menjadi berbagai varian yang dikenal sekarang ini di Papua. Sub bahasa ibu itu adalah:
Sub keluarga Wano
Sub keluarga Nggalik - Dugawa
Sistem Kepercayaan Suku Dani
Dasar kepercayaan suku Dani adalah seperti halnya diuraikan di atas yakni menghormati roh
nenek moyang dengan cara menyelenggarakan berbagai ritual upacara yang dipusatkan pada
pesta babi. Konsep kepercayaan / keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti
para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).
Kekuasaan sakti ini antara lain :
Kemampuan atau kekuatan untuk menyembuhkan penyakit
Kemampuan atau kekuatan untuk menyuburkan tanah, dan
Kemampuan atau kekuatan untuk menjaga ladang
Sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang untuk
nenek moyang mereka yang disebut Kaneka. Selain sebagai perlambang untuk nenek moyang,
dikenal juga Kaneka Hagasir, yakni sebuah upacara keagamaan yang bertujuan untuk
kesejahteraan keluarga, juga ketika mengawali dan mengakhiri peperangan.
Sistem Kekerabatan
Untuk sistem kekerabatan suku Dani mengenal tiga sistim yakni kelompok kekerabatan, paroh
masyarakat dan kelompok territorial.
a. Kelompok kekerabatan
kelompok kekerabatan dari suku Dani yang terkecil adalah keluarga luas. Keluarga luas ini
sendiri terdiri dari dua atau tiga keluarga inti yang tinggal bersama dalam satu rumah besar
yang menyerupai kompleks dengan sekat-sekat berupa pagar (lima) yang disebut slimo. Dalam
sebuah desa di Suku Dani terdapat 4 hingga 5 slimo dengan delapan hingga sepuluh keluarga
yang menghuni. Sistem pernikahan dari suku Dani adalah poligami dan beberapa diantaranya
poligini. Menurut mitologi, suku Dani berasal dari keuturunan sepasang suami istri yang
menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka
mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku
Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang
di luar Moety).
b. Paroh Masyarakat
Struktur bermasyarakat Suku Dani merupakan gabungan dari beberapa klan kecil yang disebut
ukul, dan klan besar yang disebut ukul oak.
c. Kelompok Teritorial
Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani adalah kompleks
perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan
kepada anak laki-laki).
Suku Biak
Suku Biak merupakan salah satu kelompok
masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di
kabupaten Biak Numfor. Dalam
kesehariannya, suku Biak menggunakan
Bahasa Indonesia dengan banyak dialek yang
tersebar di 19 wilayah. Adapun dialek yang
digunakan, yaitu Ariom, Bo’o, Dwar, Fairi,
Jenures, Korim, Mandusir, Mofu, Opif, Padoa,
Penasifu, Samberi, Sampori (Mokmer), Sor, Sorendidori, Sundei, Wari, Wadibu, Sorido, Bosnik,
Korido, Warsa, Wardo, Kamer, Mapia, Mios Num, Rumberpon, Monoarfu, dan Vogelkop.
Namun, secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak menghalangi mereka untuk saling
mengerti satu sama yang lain. Di Kepulauan Biak-Numfor sendiri terdapat sepuluh dialek
sedangkan di daerah-daerah migrasi atau perantauan terdapat tiga dialek.
Nama Biak berasal dari kata v`iak. Mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk
menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata
tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan`,`orang-orang yang
tidak pandai kelautan`, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai
berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain.
Pendapat lain berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan
bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat
pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam
memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap
di suatu tempat yang letaknya jauh, sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata.
Mereka pun berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau
Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak
wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka
yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo, hingga sekarang nama itulah yang tetap
dipakai.
Adapun sejarah suku Biak menurut mite, moyang orang Biak berasal dari satu daerah yang
terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah
kepulauan ini dengan menggunakan perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang
pertama itu. Salah satu versi mite itu menceriterakan, bahwa moyang pertama dari orang Biak
terdiri dari sepasang suami istri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu.
Ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi nama oleh kedua
pasang suami istri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di
sebelah selatan kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu bersama
anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat terakhir inilah mereka
berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-Numfor.
Daerah penyebaran suku Biak saat ini sangatlah luas, meliputi pulau Biak, Supiori, Numfor,
Padaido, Rani, Insumbabi, Meosbefandi, Ayau, Mapia, Doreri, Manokwari, Ransiki, Oransbari,
Nuni, Pantai Utara kepla burung hingga ke Sorong, dan pulau – pulau Raja Ampat.
Orang Biak sejak dulu menyembah dewa persatuan dan pujaan mereka yaitu ’Manseren
Koreri’ yang disebut ’manarmakeri’. Manamakeri artinya suatu nama dimana panggilan
penghinaan untuk orang tua yang berkudis, kadas, borok, dan kotor yang menyebabkan banyak
orang jijik kepadanya. Nama asli Manamakeri ialah yawi nusyado. Manamakeri selalu membuat
tanda-tanda ajaib yaitu dapat menggantikan kulitnya yang berkudis, kadas, dan borok itu
menjadi makanan dan harta kekayaan yang berlimpah ruah, ia dapat dipuja sebagai juru
selamat.
Secara kekerabatan, Suku Biak memiliki kelompok kekerabatan berdasarkan marga atau disebut
keret (famili). Sistem kekerabatannya luas berdasarkan pertalian darah. Berlaku adat menetap
(virilokal).
Adapun pengetahuan yang dimiliki Suku Biak, yaitu mengetahui jenis tumbuhan yang dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan sakit penyakit atau luka bakar,
luka sayatan, maupun dapat digunakan untuk membunuh ikan, dalam jumlah sedikit. Jenis
tumbuhan yang digunakan untuk membunuh ikan seperti Akar Tuba.
Mata pencaharian suku Biak adalah nelayan (melaut) dan bertani (meramu). Mereka
menangkap ikan dengan menggunakan jaring inanai dan arsam untuk menangkap ikan terbang
dan juga ikan hiu. Hal ini dilakukan dengan menggunakan perahu yang disebut dengan waipapa.
Suku Biak juga meramu atau berburu binatang hutan sebagai makanannya seperti berburu
babi, kuskus, tikus tanah, dan ular pohon. Dapat pula mengambil jenis sayur-sayuran yang ada
di hutan sebagai makanannya.
Adapun kesenian yang dimiliki suku Biak salah satunya adalah Tarian Yospan. Tarian ini
merupakan tarian rakyat yang biasa dilakukan dalam kegiatan-kegiatan acara adat maupun
peringatan hari-hari besar. Dan berkelompok dan memiliki irama dan ritme dilakukan secara
riang, sangat unik dan menarik.
Selain tarian, suku Biak sering kali mengadaka upacara adat. Beberapa upacara tradisional suku
Biak antara lain Upacara Gunting Rambut/cukur (Wor Kapapnik), Upacara Memberi atau
mengenakan Pakaian (Wor Famarmar), Upacara Perkawinan (Wor Yakyaker Farbakbuk), dan
lain-lain. Seluruh upacara diiringi dengan lagu dan tari bahkan merupakan sumbangan atau
pendewaan kepada roh-roh para leluhur.
Nama Asmat
Nama Asmat dikenal dunia sejak tahun 1904.
Tercatat pada tahun 1770 sebuah kapal yang
dinahkodai James Cook mendarat di sebuh
teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul
puluhan perahu lesung panjang didayungi
ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah
dan tubuh yang diolesi warna-warna merah,
hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan
berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook. Berabad-abad kemudian
pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir
barat daya Irian jaya. Terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya.
Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut.
Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang
menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil
melakukan pertukaran barang.
Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu.
Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan
oleh seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga
1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.
Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di
perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung tersebut
didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung
dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah, PUSKESMAS
(Pusat Kesehatan Masyarakat) dan rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan
peemrintah dalam rangka menunjang pembangunan daerah dan masayarakat Asmat.
Asal Usul Suku Asmat
Menurut Pastor Zegwaard, seorang misionaris Katolik berbangsa Belanda, orang-orang Asmat
mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta). Konon, Fumeripits
terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya
diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian
di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang
diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia masih merasa kesepian,
kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari.
Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa
yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud
manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak
terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu, Fumeripits terus
mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan
menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat
ini. Bentuk tubuh orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya yang berdiam di pegunungan
tengah atau di nagian pantai lainnya.
Tinggi badan kaum laki-laki antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum perempuan
tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter. Ciri-ciri bagian tubuh lainnya adalah bentuk kepala
yang lonjong (dolichocephalic), bibir tipis, hidung mancung, dan kulit hitam. Orang Asmat pada
umumnya tidak banyak menggunakan kaki untuk berjalan jauh, oleh karena itu betis mereka
terlihat menjadi kecil. Namun, setiap saat mereka mendayung dengan posisi berdiri sehingga
otot-otot tangan dan dadanya tampak terlihat tegap dan kuat. Tubuh kaum perempuan
kelihatan kurus karena banyaknya perkerjaan yang harus mereka lakukan.
Suku Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah tersebut masih
merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya Irian jaya (Papua).
Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian
terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat telah
masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat.
Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan pada tahun 2000
ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di Kecamatan Pirimapun.
Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.
Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9 persen. Angka
kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21 sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada
jaman dahulu, rata-rata dua setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh
peperangan antar kelompok atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab
kematian anak-anak dan bayi, terutama pada bulan-bulan pertama banyak disebabkan oleh
pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak.
Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan jarak
yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai
dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori
kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian
tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa. Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh
sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil ,
berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.
Suku Asmat mempunyai kebiasaan dan adat istiadat yang khas diantaranya membuat ukiran
tanpa ada sketsa dulu. Ukiran-ukiran yang dibuat oleh orang Asmat memiliki makna sebagai
persembahan atau ucapan rasa syukur kepada nenek moyang. Mengukir adalah jalan untuk
berinteraksi dengan leluluhur. Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu dan pesta Topeng sebagai
bentuk upaya menghindarkan diri dari musibah dan marabahaya. Selain itu, Suku Asmat juga
suka berhias.
Suku Arfak
Suku Arfak merupakan komunitas terbesar
dari penduduk asli di Kabupaten Manokwari
tepatnya di Papua Barat. Bila dilihat
berdasarkan pembagiannya masyarakat
arfak terbagi menjadi beberapa macam sub
antara lain Suku Meihag, Suku Moilei, Suku
Hatam serta Suku Sohug. Dari beberapa
macam sub yang berbeda tersebut, bahasa
daerah serta kepala daerah juga berbeda
untuk masing-masing. Walaupun begitu
sikap Bhineka Tunggal Ika tercermin dengan
jelas pada masyarakat Arfak ini.
Kawasan Cagar Alam tepatnya di Pegunungan Arfak merupakan desa atau perkampungan
kediaman dari masyarakat Arfak. Bila diukur dari segi luas lahannya yaitu sekitar 68.325 Ha. Di
perkampungan ini juga merupakan kawasan untuk beragam jenis burung, ada sekitar 333 jenis
serta ada burung endemic 4 jenis yang ada di Pegunungan Arfak ini. Bukan hanya tempat
kawasan burung melainkan ada juga mamalia yang hidup di sini yaitu sekitar 110 jenis serta
terapat beragam kupu-kupu yang beterbangan di kawasan ini.
Rumah Kaki Seribu atau Mod Aki Aksa
Bukan hanya bermacam-mcam bahasa yang mereka miliki akan tetapi suku ini juga mempunyai
kebudayaan yang sangat menarik yaitu tempat tinggal para Suku Arfak yaitu rumah kaki seribu
atau disebut dengan Mod Aki Aksa.
Bila dilihat darti segi tradisional, rumah atau tempat tinggal yang merupakan kediaman dari
suku ini merupakan rumah yang tertutup serta hanya dilengkapi dua pintu pada bagian
belakang serta bagian depan. Keunikan dari tempat tinggal suku ini terlihat dari bangunan
rumahnya yang tidak dilengkapi dengan jendela seperti rumah biasanya.
Bukan hanya itu, keunikan terlihat jelas dari segi bentuk pada bangunan tersebut. Bangunan itu
dibuat menggunakan rumah panggung sebagai kontruksinya yang berasal dari bahan-bahan
kayu serta pembuatan atap yang menggunakan rumput ilalang.
Sebutan yang muncul di sebagian besar orang yang melihat rumah tradisional ini yaitu rumah
seribu padahal nama aslinya adalah Mod Aksi Aksa atau Igkojei. Sebutan rumah kaki seribu ini
memang sangat wajar karena bentuk dari rumah itu sendiri yang menggunakan banyak
penyangga sehingga banyak yang berpendapat itu seperti kaki yang jumlahnya banyak. Karena
banyaknya tidak bisa terhitung hanya dengan sekali pandang, maka rumah tersebut dinamakan
rumah kaki seribu.
Tarian Ular atau Tari Magasa
Seperti suku-suku lain pada umumnya yang ada di Indonesia yang bukan hanya mempunyai
rumah tradisional, Suku Arfak juga memiliki cirikhas dari segi tarian tradisionalnya. Salah
satunya yaitu Tari Magasa. Tari magasa ini lebih terkenal dengan sebutan tari ular oleh sebagian
besar orang.
Tarian ini diamakan tari ular karena saat menampilkannya, tarian ini disertai formasi seperti
ular dengan liukan dan gerakann yang disesuaikan dengan irama dari lagu yang disajikan. Tarian
ular atau Tari Magasa ini disajikan hanya pada acara-acara penting, misalnya saat digelar acara
perkawinan, penyambutan tamu yang datang, saat penen raya tiba, merayakan ulang tahun
atau acara- acara penting yang ada lainnya.
Tarian ini dipentaskan di hadapan para penonton secara bersama-sama atau berkelompok.
Tarian ini diikuti oleh semua lapisan yang ada di masyarakat baik yang masih muda ataupun
yang sudah tua. Tapi akan lebih indah lagi jika tarian ini disajikan dengan cara berpasangan
antara wanita dengan pria.
Gerakan yang dilakukan di Tari Magasa ini yaitu saling himpit, bergandengan tangan,
menghentakan kaki ke tanah serta melompat. Hal ini dikarenakan Tarian Magasa ini berisi
tentang romantisme, keindahan alam serta kepahlawanan.
Sistem Kepercayaan Masyarakat Arfak
Dalam hal kepercayaan atau religi, masyarakat Arfak mempunyai keyakinan senidiri bahwa
alam dan semua isinya adalah ciptaan dari ajemoa. Ajemoa merupakan sosok yang diceritakan
sebagai seorang dewa yang tinggal di langit. Selain itu juga keyakinan dari masyarakat Arfak
bahwa nenek moyang yang ada di suku mereka itu adalah Siba.
Siba merupakan sosok manusia yang digambarkan mempunyai keluarga terdiri atas 3 orang
anak yaitu satu anak perempuan dan dua anak laki-laki. Kedua anak laki-laki Siba ini diberi
nama Aiba dan Iba. Sedangkan nama dari anak perempuannya itu ialah Towansiba. Aiba
merupakan sosok manusia yang memutuskan untuk meninggalkan kedua saudaranya tersebut
ke arah barat. Namun jika ada bahaya yang menghadang kedua saudaranya, Aiba akan langsung
kembali.
Namun ternyata bahaya kini datang kepada saudaranya yang bernama Iba. Iba telah melanggar
suatu aturan yang telah dibuat oleh Ajemoa. Karena kesalahan yang dilakukan oleh Iba, dia
diberi hukuman oleh Ajemoa yaitu tinggal di dunia yang fana seumur hidupnya. Lalu Iba
menetap tinggal di daerah Anggi. Maka tidak heran bila banyak keturunan dari Iba di daerah
tersebut. Namun bukan hanya di daerah Anggi, karena semakin lama semakin menyebar, mulai
dari ke Bintuni, daerah Merdey, daerah Fak-Fak , daerah Wendamen, sampai menyebar ke
seluruh wilayah Papua Barat. Orang Arfak juga mempunyai keyakinan bahwa setiap masyarakat
Arfak yang telah meninggal dunia, ruh-ruhnya masih ada di dunia. Ruh tersebut melayang-
layang di sekitar daerah dua pegunungan yang keramat yaitu Mengenyu serta Sensenemes. Dua
daerah itu merupakan daerah yang digunakan untuk menguburkan semua orang yang telah
mati.