studi terhadap pemikiran fazlur rahman

52
STUDI TERHADAP PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN Oleh: Maraimbang A. Pendahuluan Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir yang cukup besar perhatian dan pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan umat Islam. Karena perhatiannya tersebut, salah seorang muridnya di tanah air, Ahmad Syafii Ma’arif mengatakan bahwa barangkali Fazlur Rahman-lah yang dipandang sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan persoalan Islam di antara pemikir kontemporer yang ada jika diperhatikan kiprahnya yang dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan dan mengembang-kan intelektualitas umat Islam. Memang, diakui maupun tidak, gagasan-gagasannya telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan intelektual di dunia Islam. Bahkan pengaruh pemikirannya begitu terasa di tanah air lewat banyaknya karya Fazlur Rahman yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan ini setidaknya merupakan bukti bahwa ide-ide Fazlur Rahman mendapat sambutan positif dan mempengaruhi umat Islam Indonesia. B. Riwayat Hidup dan Karyanya Fazlur Rahman dilahirkan pada 21 Sep-tember 1919 M/1338 di distrik Hazara, Punjab, suatu daerah di anak benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan.[1] Ia dibesarkan dalam suatu keluaraga dengan tradisi keagamaan mazhab

Upload: deni-nursamsi

Post on 06-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Taqdir Modern

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

STUDI TERHADAP PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

Oleh: Maraimbang

A. Pendahuluan

Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir yang cukup besar perhatian dan

pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan umat Islam. Karena perhatiannya

tersebut, salah seorang muridnya di tanah air, Ahmad Syafii Ma’arif mengatakan bahwa

barangkali Fazlur Rahman-lah yang dipandang sebagai salah seorang yang paling serius

memikirkan persoalan Islam di antara pemikir kontemporer yang ada jika diperhatikan

kiprahnya yang dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan

dan mengembang-kan intelektualitas umat Islam.

Memang, diakui maupun tidak, gagasan-gagasannya telah memberikan pengaruh yang

cukup besar bagi perkembangan intelektual di dunia Islam. Bahkan pengaruh pemikirannya

begitu terasa di tanah air lewat banyaknya karya Fazlur Rahman yang telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia dan ini setidaknya merupakan bukti bahwa ide-ide Fazlur Rahman

mendapat sambutan positif dan mempengaruhi umat Islam Indonesia.

B. Riwayat Hidup dan Karyanya

Fazlur Rahman dilahirkan pada 21 Sep-tember 1919 M/1338 di distrik Hazara, Punjab,

suatu daerah di anak benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan.

[1] Ia dibesarkan dalam suatu keluaraga dengan tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup

kuat. Oleh karenanya, sebagaimana diakuinya sendiri bahwa ia telah terbiasa menjalankan

ritual-ritual agama, seperti shalat dan puasa se-cara teratur sejak masa kecilnya dan tidak

pernah meninggalkannya.[2]

Dasar pemahaman keagamaan keluarganya yang cukup kuat itu dapat ditelusuri dari

ayahnya yang bernama Maulana Shihab ad-Din, seorang ulama tradisional kenamaan

lulusan Dar al-‘Ulum, Deoband. Maulana Shihab ad-Din sendiri adalah seorang ulama modern,

meskipun terdidik dalam pola pemikiran Islam tradisional,[3]

Page 2: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Ayahnya ini memiliki keyakinan bahwa Islam melihat modernitas sebagai tantangan-

tantangan dan kesempatan-kesempatan yang harus dihadapi. Keyakinan seperti ini pulalah

yang kemudian dimiliki dan mewarnai kehidupan dan pemikiran Fazlur Rahman.[4]

Bekal dasar tersebut di atas memiliki pengaruh signifikansi yang cukup berarti dalam

pembentukan kepribadian dan intelektualitas Fazlur Rahman pada masa-masa selanjutnya.

Melalui didikan ayahnya, Fazlur Rahman menjadi sosok yang cukup tekun untuk menimba

pengetahuan dari berbagai sumber dan media, termasuk karya-karya Barat.Pengajaran dan

pendidikan tradisional ilmu-ilmu keislaman pada waktu kecil beliau terima dari

ayahnya Maulana Shihab ad-Din di rumah. Pada usia 10 tahun, Rahman pun dapat menghafal

Alquran. Selanjutnya pada usia 14 tahun, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi,

hadis dan tafsir. Apalagi setelah beliau menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa

Persia, Urdu, Inggris, Perancis, Jerman, Latin dan Yunani, semakin memperteguh kualitas

intelek-tualitasnya.[5] Pengaruh ayah dan ibunya tersebut sangat kuat dalam membentuk

kerangka pemikiran dan pengamalan keagamaan Fazlur Rahman. Sang ayah yang dididik dalam

pola pemikiran Islam tradisional namun toleran terhadap nilai-nilai modernitas sebagai

kenyataan sehari-hari. Dari ibunya diajarkan nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, ketabahan dan

cinta. Kedua orangtuanya ini ikut memberikan bekal yang cukup signifikan dan mendasar

terhadap pembentukan kepribadian dan keintelektualan Fazlur Rahman pada masa

selanjutnya. [6]

Hal lain yang mempengaruhi Fazlur Rahman adalah tradisi mazhab Hanafi yang dianut

oleh keluarganya dan ini yang membentuk pola pemikirannya dalam hal keagamaan. Tradisi

mazhab Hanafi dikenal sebagai salah satu mazhab Sunni yang mengedepankan akal-logika. Ini

menjadi modal landasan berpikir Fazlur Rahman untuk selalu berada di lajur pemikiran

keagamaan yang bercorak rasional. Meskipun demikian, beliau tidak mau dikungkung oleh satu

mazhab tertentu.[7]

Pemikiran keagamaan Fazlur Rahman juga banyak dipengaruhi pola pemikiran kalangan

modernis dan sedikit tokoh-tokoh liberal Pakistan sebelumnya sebagaimana yang diajarkan

oleh Syah Waliyullah ad-Dihlawi (1703-1762 M),[8] Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M),

[9] Sayyid Amir Ali (1849-1928 M),[10] dan Muhammad Iqbal (1977-1938 M),[11] pada masa ini

Page 3: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

umat Islam di India sedang bergejolak dan berjuang membentuk negara sendiri yang bebas dari

India, yaitu suatu negara yang berlandaskan ajaran Islam.

Pada tahun 1940, Fazlur Rahman menyelesaikan studinya pada program Bachelor of Art.

Dan dua tahun kemudian ia meraih gelar Master dalam bahasa Arab. Kedua gelar ini

diperolehnya dari Universitas Punjab, Lahore. Namun gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi

di anak-benua India itu tampaknya lebih bersifat formalitas-akademia dibandingkan dengan

aspeknya yang bersifat intelektual. Hal ini terbukti dari pernyataannya sendiri bahwa Pakistan

tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual.[12] tentunya yang dimaksudkan dengan

pernyataan-nya itu ialah dalam pengertian dasar intelektual yang memadai. Kritiknya terhadap

sistem pendidikan Islam tercermin dari ungkapannya berikut: “Bila bahan bakar minyak bumi

lenyap dari dunia, mungkin ada gantinya. Tetapi bila Islam yang lenyap, gantinya tidak akan ada

lagi.”[13] Hal ini menunjukkan komitmen dan keprihatinan Fazlur Rahman terhadap kondisi

pen-didikan dan intelektual umat Islam pada masa itu.

1. Pengembaraan Intelektual Pertama

Setelah memperoleh gelar Master of Art dari Universitas Punjab pada tahun 1946, ia

melanjutkan studi ke Universitas Oxford Inggris, walaupun pada saat itu terdapat anggapan di

kalangan umat Islam bahwa belajar ke Barat adalah sesuatu yang naif. Namun Fazlur Rahman

tetap pada pendiriannya didasarkan atas ketidakpuasannya terhadap mutu pendidikan di

negara-negara muslim, termasuk di Pakistan.[14]

Di sini, selain mengikuti kuliah, Rahman aktif belajar bahasa-bahasa Barat, seperti bahasa

Inggris, Yunani, Latin, Jerman, dan Perancis. Kemampuannya yang cepat menguasai berbagai

bahasa sangat membantu memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studi-studi

Islam melalui penelusuran terhadap literatur yang ditulis para orientalis dalam bahasa-bahasa

mereka.[15]

Ketika Pakistan memisahkan diri dari India pada tanggal 14 Agustus 1947 dengan konsep

dasar negara Islam, Fazlur Rahman kebetulan sedang menempuh studinya di Oxford University.

Itulah sebab nantinya, ketika Ayub Khan tampil sebagai presiden Pakistan melalui suatu kudeta

Page 4: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

militer, ia berusaha mengakomodir pemikiran tokoh-tokoh Islam konservatif maupun modernis

yang salah satunya adalah Fazlur Rahman.

Dalam waktu yang relatif singkat Fazlur Rahman menyelesaikan studinya pada tahun 1949

dengan meraih gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) di bawah bimbingan S. Van den Bergh dan

Hamilton A. R Gibb dengan disertasi mengenai pemikiran Ibn Sina berjudul Avicenna’s

Psychology. Pada tahun 1952, ia menerbitkan terjemahannya terhadap salah satu karya

monumental Ibn Sina, yakni kitab al-Najat,[16] sehingga mengangkat reputasinya di kalangan

sarjana ketimuran.

Setelah meraih gelar doktor, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke negerinya

Pakistan, karena ia cemas terhadap kondisi negerinya ketika itu agak sulit menerima kehadiran

seorang sarjana keislaman dari Barat.[17] Ia kemudian memutuskan untuk tinggal selama

beberapa tahun di Barat dengan mengajar di Universitas Durham, Inggris. Ketika mengajar di

Universitas ini, ia berhasil merampungkan karyanya Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy,

yang diterbitkan pertama kali tahun 1958.

Karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama ini sarjana modern yang

mengkaji pemikiran keagamaan umat Islam kurang menaruh perhatian terhadap doktrin

kenabian, dan lebih terpusat pada masalah-masalah legal dan sosial praktis. Itulah sebabnya,

karya Rahman ini memfokuskan perhatian pada area pemikiran religio-filosofis Islam tersebut.

[18]

Selanjutnya Fazlur Rahman pindah dan mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill

University, Kanada dan menjabat Associate Professor of Philopsophy sampai awal tahun 1960,

di sini ia berkenalan dengan Wilfred C. Smith, salah seorang orientalis kenamaan yang ketika itu

menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill University.[19]

2. Mengabdi di Tanah Air

Pada tahun 1960, Fazlur Rahman kembali ke Pakistan karena diminta oleh Ayub Khan,

Presiden Pakistan untuk ikut berpartiaipasi dalam mem-bangun negara Pakistan.[20] Ketika itu,

Pakistan menghadapi kontroversi antara kelompok tradisionalis-fundamentalis dengan

kelompok modernis.[21] Presiden Ayub Khan, menunjuknya sebagai Direktur pada lembaga

Page 5: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

penelitian Institute of Islamic Research, yang berkedudukan di Karachi. Melalui lembaga ini,

Rahman memprakarsai penerbitan Journal Islamic Studies, yang hingga sekarang secara berkala

masih terbit dan merupakan jurnal ilmiah setaraf internasional.

Pada tahun 1962 ketika Fazlur Rahman diminta Presiden Ayyub Khan untuk memimpin

Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute), dan tahun 1964 sebagai anggota Dewan

Penasehat Ideologi Islam (The Advistory Council of Islamic Ideology), ia berusaha mengabdikan

dirinya mewujudkan cita-cita tersebut, yaitu membangkitkan kembali visi Alquran dari puing-

puing reruntuhan sejarah.[22]

Sepanjang tahun 1968, terjadi kerusuhan dan pemogokan di mana-mana yang

mengungkapkan keberatan masyarakat terhadap pandangan Fazlur Rahmantentang; (1)

Sunnah dan Hadis di mana ia mempertahankan kesahihan dan kenormatifan Sunnah Nabi.

(2) Penyembelihan hewan secara mekanis. Pada musim semi tahun 1967, Fazlur Rahman

menerima surat dari Kantor Komisaris Tinggi Pakistan di London yang mengabarkan bahwa,

pemerintah Inggris meminta Pakistan untuk membuka usaha penyembelihan hewan secara

mekanis. Fazlur Rahman kemudian membalas surat tersebut dan mengemukakan bahwa hewan

hasil sembelihan mekanis itu halal, serta melampirkan teks fatwa Imam Syafi'i. Namun, secara

tidak terduga isi surat Fazlur Rahman itu terbit di media cetak Pakistan tanggal 23 September

1967, sehingga sebagian besar khatib Jum'at mengutuk pandangannya itu.[23] Menanggapi hal

itu, bulan September 1968 Fazlur Rahman mengundurkan diri sebagai Direktur Lembaga Riset

Islam. Pada tahun 1969, ia juga melepaskan keanggotaannya dari Dewan Penasihat Ideologi

Islam. Karena ada tawaran mengajar dari University of California, Los Angeles (UCLA), akhirnya

mendorong Fazlur Rahman untuk berhijrah ke Amerika, sebagai aktualisasi pemikiran kelak.

3. Pengembaraan Intelektual Kedua

Salah satu alasan hijrahnya Fazlur Rahman ke Los Angeles, Amerika Serikat dapat dilacak

pada sikapnya yang realistis dan sekaligus idealis. la menyadari gagasan-gagasan yang

ditawarkannya tidak pernah menemukan lahan yang subur di Pakistan. Padahal menurut tokoh

ini, vitalitas karya intelektual sangat tergantung pada suatu lingkungan intelektual yang bebas.

Gagasan yang bebas dan gagasan itu sendiri adalah dua kata yang sinonim. Suatu gagasan tidak

Page 6: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

akan pernah survive tanpa adanya kebebasan. Jadi, pemikiran atau gagasan tentang lslamsama

dengan pemikiran yang lain menuntut adanya kebebasan di mana dalam kondisi itu perbedaan

pendapat, konfrontasi pandangan, dan perdebatan antara ide-ide itu dapat dijamin.[24]

Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencoba mencurahkan seluruh aktivitas kehidupannya

pada dunia keilmuan. Seluruh kegiatannya hanya berkisar pada aktivitas yang berkaitan secara

langsung dengan aspek keilmuan. Bahkan kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan

pribadinya yang terletak di basement rumahnya yang terletak di Neperville, kurang lebih 70

kilometer dari Universitas Chicago. la sendiri dengan bercanda menggambarkan dirinya seperti

seekor ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara.[25]

Konsistensi dan kesungguhan Fazlur Rahman dalam dunia intelektual dapat dibuktikan dari

pengakuan lembaga keilmuan yang berskala internasional. Misalnya, pada tahun 1983 ia menerima

penghargaan Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near Eastern

Studies, Universitas California, Los Angeles. Fazlur Rahman adalah orang Islam pertama dan satu-

satunya (sampai meninggalnya) yang menerima penghargaan itu.[26]

Pada pertengahan dasawarsa delapan puluhan kesehatan Fazlur Rahman mulai terganggu

karena penyakit kencing manisdan jantung yang dideritanya. Bahkan ketika dokter pribadinya

telah memberikan lampu kuning agar mengurangi kegiatannya, ia tetap memenuhi undangan

pemerin-tah Republik Indonesia pada musim panas 1985. Di Indonesia, Fazlur Rahman

tinggal selama 2 bulan, melihat keadaan Islam di negeri ini sambil beraudiensi, berdiskusi, dan

memberi kuliah di beberapa tempat. Akhirnya, pada tanggal 26 Juli 1988 ia wafat di Amerika

Serikat dalam usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya ia dirawat diRumah Sakit

Chicago.[27]

4. Karya-Karya Utama

Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Fazlur Rahman dianggap perlu dalam

rangka mencari benang merah gagasan dan pemikirannya yang dibahas dalam tulisan ini. Dalam

pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkannya yang lebih dari seratus buah, tidak akan

diungkap dan dijelaskan semua.Pembahasan hanya ditekankan kepada beberapa karyanya yang

dianggap mewakili gagasan sentralnya.

Page 7: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Karya orisinal pertama Fazlur Rahman yang berbentuk buku adalah Prophecy in Islam:

Philosophy and Orthodoxy, yang diterbitkan oleh George Allen and Unwire Ltd., London pada

tahun 1958. Dalam buku ini, ia membandingkan antara pandangan kaum filosof dan ahli kalam

atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu. Kemudian, karya Fazlur Rahman

bersifat historis adalah bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History, yang pada

mulanya ditulis dalam bentuk artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies,

mulai bulan Maret 1962 sampai juni 1963, ketika ia di Pakistan. Karya ini bertujuan untuk

memperlihatkan evolusi historis terhadap aplikasi prinsip-prinsip dasar pemikiran Islam yang

empat: Alquran, Sunnah, ijtihad, dan ijma', yang menjadi kerangka bagi semua pemikiran Islam,

selain untuk menunjukkan peran aktual keempat unsur tersebut dalam perkembangan Islam.

[28]

Buku Fazlur Rahman yang lain Islam, ia berusaha menjadikan Islam sebagai agama yang

'hidup' melalui pembedaan antara yang normatif dan historis. Buku ini diterbitkan pertama kali

tahun 1966 oleh Holt, Rinehart dan Winson. Pada tahun 1968, kembali diterbitkan pada edisi

The Anchor Book tanpa ada perubahan. Kemudian pada tahun 1979 terbit edisi kedua yang

diberi tambahan epilog.[29]

Dalam buku ini, Fazlur Rahman menyajikan perkembangan Islam selama empat belas

abad perjalanan sejarahnya. la mengawali bahasannya dari sejarah Nabi Muhammad, kemudian

dilanjutkan tentang Alquran, sunnah, hukum, teologi, filsafat, sufisme, sekte-sekte, pendidikan,

serta gerakan pembaharuan, dan kemudian diakhiri dengan analisis kritis terhadap warisan

Islam.

Setelah menulis tentang Ibn Sina pada awal kehidupan intelektualnya, Fazlur Rahman

kemudian melahirkan karya berjudul The Philosophy of Mulla Shadra. Melalui buku yang

diterbitkan pertama kali oleh State University of New York Press pada tahun 1975 itu, dia

memperkenalkan secara kritis dan analitis dari pemikiran religio filosofis Mulla Shadra[30] (w.

1460 M), salah satu tokoh filsafat Islam.

Sebagai seorang intelektual Muslim, Fazlur Rahman berupaya tanpa henti untuk mencari

metode yang tepat dalam menangkap arti Alquran secara utuh dan sistematis, yang

melahirkan karyanya berjudul Major Themes of the Qur'an, yangedisi pertama diterbitkan pada

Page 8: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

tahun 1980 oleh Bibliotheca Islamica, Minneapolia, Chicago. Dalam setup wacana intelektual

Fazlur Rahman, Alquran selalu dijadikan sebagai sumber rujukan utama. Wacana ini kembali

digaungkannya dalam karya Islam and Modernity. Transforma-tion of an Intellectual

Tradition, yang diterbitkan pertama kali oleh the University of Chicago Press, 1982.[31]

Fazlur Rahman kemudian mengangkat masalah kesehatan dan pengobatan dalam

perspektif Islam melalui karyanya Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and

Identity, yang diterbitkan pertama kali oleh Crossroad, New York, tahun 1987,[32] sebagai karya

terakhir, dan lanjutan dari nilai yang terdapat pada karya-karya sebelumnya. Dalam buku ini

ia menunjukkan sikap dan pandangan positif Islam dalam menangani masalah-masalah dasar

ke-hidupan umat manusia. Fokus perhatiannya diletakkan pada bidang kesehatan,

pemeliharaan dan pengobatan.

Selain karya yang berbentuk buku di atas, masih banyak lagi karya Fazlur Rahman yang

lain berupa artikel-artikel yang diterbitkan dalam berbagai jurnal ilmiah. Tidak diragukan lagi,

bahwa Fazlur Rahman telah memberikan kontri-busi yang cukup berharga bagi pengembangan

wacana keislaman modern. Bila ditelusuri lebih lanjut, minimal ada lima aspek yang

ditinggalkannya terhadap kajian Islam, khususnya di Amerika Serikat.

Pertama, Fazlur Rahman mampu menggabungkan antara tradisionalisme Islam Sunni,

modernisme Islam dan skolastisisme Barat. Kedua, dalam mencari kebenaran, Fazlur Rahman

melakukan inovasi secara berani dan apresiatif di antara sikap Islam dan sikap Barat. Ketiga, ia

mengenalkan metodologi pengkajian Islam yang bersifat interdisipliner. Keempat, dengan

sikapnya yang gentle, spirit dan intelektulitasnya yang tajam, menjadikan Fazlur Rahman dan

pemikiran-nya diterima secara luas dalam pengkajian Islam di Amerika Serikat. Kelima, dia telah

meninggal-kan warisan pemikiran kepada muridnya yang tersebar di berbagai universitas dan

perguruan tinggi Amerika Serikat dan Kanada. Melalui murid-muridnya, gagasan-gagasan yang

pernah dikemukakan Fazlur Rahman terus berkembang sampai saat ini.[33]

Dengan lima varian yang ditinggalkannya itu, Fazlur Rahman menjadi salah satu tokoh

yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan Barat. [ ]

C. Pokok-Pokok Pemikiran Fazlur Rahman

Page 9: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

1. Wujud Tuhan

Fazlur Rahman dalam menerangkan gagasan tentang Tuhan dan alam

semesta senantiasa mengacu pada Alquran sebagai sumber otoritas primer dan senantiasa

aktual dan kontekstual dalam setiap masa dan keadaan dimana manusia berada.[34] Menurut

Rahman, semua pernyataan Alquran tentang alam - ataupun Tuhan sekalipun- pada dasarnya

menyatakan tentang keberadaan manusia. Hal ini ditunjukkan Alquran yang dengan tegas

menolak untuk menyinggung masalah kekuasaan Ilahi – dengan mengutip beberapa

ayat Alquran – yang menyatakan bahwa, Tuhan Maha Kuasa sebagai Pencipta alam

semesta, dan manusia diberi pilihan dan diserahi tanggung jawab. Salah satu fungsi gagasan

tentang Tuhan adalah menjelaskan keteraturan alam semesta sekaligus bahwa konsep Tuhan

merupakan bagian dari logika yang inheren yang harus ada, dengan memberi pernyataan

bahwa Tuhan bukan saja transenden tetapi juga imanen. Hal ini dibuktikan oleh ayat-

ayat Alquran tentanghubungan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan.[35]

Dalam pandangan Rahman, Tuhan itu memang dekat, namun bisa juga dipandang sangat

jauh. Lebih lanjut katanya bahwa yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat

manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti teologis yang panjang lebar tentang

eksistensi Tuhan, tetapai bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya

kepada berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang

mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan

adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia

serba meliputi; secara harfiah dia adalah tak terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak

terhingga.[36] Mengutip pendapat Ibn Sina, perbedaan antara Allah sebagai Penvipta dengan

makhluk sebagai ciptaanNya menurut Rahman adalah jika Allah ‘tak terhingga dan

mutlak’ maka segala ciptaanNya adalah ‘terhingga’. Setiap sesuatu memang memiliki potensi-

potensi tertentu, tetapi potensi-potensi tersebut tidak dapat melampau keterhinggaannya dan

menjadi ‘tak terhingga’.[37]

2. Kenabian dan Wahyu

Fazlur Rahman mengemukakan tentang perbandingan antara pandangan kaum filosof

dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu. Pembahasannya

Page 10: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

dimulai tentang konsep akal manusia menurut Ibn Sina (w. 1037 M).[38] Dalam pandangan Ibn

Sina, akal aktual manusia lebih merupakan cermin yang di dalamnya tiap-tiap bentuk sesuatu

dan sebagai emanasi dari Akal Aktif (Active Intelligence) ditanamkan atau direfleksikan, dan

kemudian diambil ketika manusia mengalihkan perhatian kepada sesuatu yang lain.[39] Pada

manusia biasa, cermin itu tertutup akibat berhubungan dengan badan, atau penglihatannya

berpenyakit. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan proses-proses yang bersifat perenungan dan

sensitif yang akan menjadikan cermin itu bersih, atau diperlukan pengobatan terhadap

penglihatan tersebut.[40]

Dalam perspektif Ibn Sina, manusia dapat berhubungan dengan Akal Aktif ketika manusia

telah mencapai akal aktual (actual intellect), dan selanjutnya melalui latihan-latihan akan dapat

mencapai akal mustafad (acquirred intellect). Dalam taraf ini, manusia sudah tidak dapat diatur

lagi oleh orang lain dalam hal apapun. Bahkan, ia benar-benar telah memperoleh semua

pengetahu an dan makrifat, serta tidak memerlukan orang lain untuk mengatur dirinya dalam

segala hal.[41]

Wahyu datang pada orang yang telah mencapai tingkat ini. Namun dalam masalah

kenabian, proses-proses itu tidak diperlukan lagi karena seorang Nabi dari sifatnya adalah

murni; dan karena itu ia secara langsung dapat berhubungan dengan Akal Aktif.

[42] Pembahasan doktrin intelek dalam kenabian menurut pandangan kaum filosof, dengan

mengangkat al-Farabi[43] (w. 956 M) dan Ibn Sina, merupakan pembahasan bagian pertama

dan kedua buku Propechy in Islam Philosophy and Ortodoxy.

Pada bagian ketiga, Fazlur Rahman mengangkat masalah kenabian dari perspektif

ortodoksi yang dikemukakan oleh ahli ilmu kalam. Ada tiga aliran utama dalam teologi skolastik

mengenai kenabian. Pertama, adalah ‘mutakallimun dogmatik’ yang memperbolehkan

penggunaan akal secara terbatas untuk menjelaskan dan mendukung dogma. Aliran ini

diwakili oleh al-Syahrastani[44] (w. 1153 M) dan merupakan aliran ortodoksi terbesar. Kedua,

aliran yang berbentuk dogmatisme akat yang mengabaikan akal dan hanya menggunakannya

untuk menyerang posisi-posisi kaum rasionalis, yang diwakili oleh Ibn Hazm[45] (w. 1064 M).

Ketiga, adalah pandangan yang berdiri di antara dua aliran yang menerima penggunaan akal,

namun menolak kaum filosof dan pemikirannya secara total, Serta menolak sufisme tetapi

Page 11: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

menekankan nilai-nilai spiritual dalam kerangka Islam. Aliran terakhir ini direpresentasikan oleh

lbn Taimiyah [46](w. 1328 M). Tipologi ketiga aliran pemikiran itu sepakat menolak pendekatan

intelektualitas murni para filosof terhadap fenomena kenabian, dan tidak keberatan untuk

menerima kesempurnaan intelektual Nabi. Meskipun demikian, mereka lebih menekankan

nilai-nilai syari'ah daripada nilai-nilai intelektual.[47]

Fazlur Rahman kemudian menjelaskan beberapa tokoh Muslim terkenal dan dianggap

kelompok ortodoks yang menerima esensi doktrin filosofis tentang kenabian dan

memasukkannnya ke dalam Islam secara integral. Di antaranya adalah al-Ghazali[48] (w. 1111

M) yang dikenal sebagai tokoh sufi, dan Ibn Khaldun[49] (w. 1406 M), yang dikenal sebagai

seorang ahli sosiologi Islam dalam sejarah. Manurut Fazlur Rahman, Wahyu adalah kalam

Allah, dengan demikian Alquran merupakan kalam Allah. Kalam Allah peng-ertiannya

sangat abstrak, untuk itu perlu dijelaskan terlebih dahulu pemikiran Fazlur Rahman

tentang hubungan kalam Allah dengan Alquran atau wahyu itu sendiri.

Rahman membedakan pengertian antara bacaan (qira’ah), yang dibaca (maqru’),

dan Alquran. Bacaan adalah perbuatan yang bersifat inderawi yang dilakukan pembaca

dalam waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu, bacaan adalah baru. Sedang “yang dibaca”

adalah kalam Allah yang qadim yang terdapat pada zat-Nya. Apa yang dibaca adalah

searti dengan Alquran. “Apa yang dibaca” dalam pandangan al-Ghazali adalah sesuatu

yang terdapat di balik bacaan, bukan mushaf itu sendiri.[50]

Untuk menghindari kontroversi adanya kalam Allah yang qadim dengan Alquran

yang terdapat dalam mushhaf, al-Ghazali menyatakan bahwa sesuatu yang ditunjukkan

(madlul) bukan bukti (dalil) itu sendiri. Kalam Allah adalah madlul, sedangkan huruf-

huruf yang ada dalam mushhaf adalah dalilnya. Berdasarkan penjelasan itu, ia

menyimpulkan bahwa “apa” yang ditulis di mushhaf, dipelihara di hati dan dibaca

melalui bacaan adalah Kalam Allah. Artinya, Kalam Allah adalah “sesuatu” yang ditulis,

dibaca, dan dihafal; dan bukan tulisan, bacaan dan hafalan itu sendiri. Meskipun sesuatu

yang dibaca, yang ditulis, dan yang dihafal berbeda dengan bacaan, tulisan dan hafalan

itu sendiri, tiga unsur yang pertama tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan

tiga yang terakhir.[51]

Page 12: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Fazlur Rahman meletakkan pandangan al-Ghazali itu dalam rumusan bahwa

“Alquran keseluruhannya adalah Kalam Allah sejauh ia sempurna dan bebas dari

kesalahan, namun sepanjang ia turun ke dalam hati Nabi dan kemudian berada pada

ucapan, maka ia keseluruhannya adalah kata-katanya.”[52] Namun tesis al-Ghazali itu

belum menjelaskan secara tuntas bagaimana wahyu sebagai kalam al-nafs dan

berbentuk lafaz-lafaz sebagaimana terdapat dalam mushhaf . Pada sisi ini Fazlur Rahman

memberikan jalan keluar mengenai hubungan itu. Ia membeda-kan meskipun tidak

dapat dipisahkan antara apa yang dibacakan Nabi Saw dan wahyu yang bersifat

transendental. Lafaz-lafaz Alquran yang dibaca Nabi merupakan representasi yang

akurat dari fi’il kreatif yang berasal dari wahyu ilahi. Kata itu harus direpresentasikan

karena penurunannya semata-mata untuk membimbing manusia, makhluk yang dalam

kehidupannya tidak melepaskan diri dari bahasa dan ungkapan.

Melalui pemahaman semacam itu Fazlur Rahman menerima, bahkan menyakini

Alquran sebagai Kalam Allah yang diwahyukan secara verbal kepada Nabi dan bukan

hanya pewahyuan dalam makna atau ide-idenya saja.[53] Namun ia menolak pandangan

mengenai pewahyuan yang mekanis dan eksternal sebagaimana pandangan kalangan

ortodoks,[54] sehingga penyampaiannya terkesan seakan-akan Jibril datang dan

menyerahkan risalah Tuhan kepada Nabi Muhammad, seperti seorang tukang pos

yang menyerahkan surat. Penyampaian semacam ini tidak dapat diterima Fazlur Rahman

karena dalam proses semacam itu sulit untuk menghubungkan antara yang

transendental danIlahi pada satu pihak, dan Nabi sebagai mausia pada pihak lain.

Bagi Fazlur Rahman, Jibril sebagai penyampai wahyu adalah Spirit (Ruh).

Pandangannya itu didasarkan bahwa Ruh al-Qudus menurunkan Alquran kepada Nabi;

dan juga kepada ayat-ayat lain yang senada dengan itu.[55] Menurutnya, Ruh Suci

itu adalah bagian dari para malaikat,bukan berarti Ruh Suci itu berbeda secara

keseluruhan dari malaikat. Kemungkinan besar Ruh itu adalah malaikat yang paling mulia

dan paling dekat kepada Allah. Untuksampai kepada kesimpulan itu, Rahman

merujuk firman Allah yang menyatakan: “Ia menurunkan para malaikat dengan Ruh dari

perintah-Nya kepada siapa saja Ia kehendaki dari hamba-hambanya.”[56]

Page 13: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Secara prinsip, Ruh tersebut adalah kekuatan, kemampuan, atau agen yang

berkembang di hati Nabi Muhammad saw, yang awalnya turun dari ‘atas’, dan ketika

diperlukan berubah menjadi operasi wahyu yang aktual. Dalam pandangannya, konsep

tersebut adalah sangat sesuai dengan anggapan atau tradisi Islam yang sudah umum

yang menyatakan bahwa keseluruhan Alquran pada mulanya diturunkan ke langit yang

paling bawah, dan setelah itu ayat-ayat verbal yang relevan muncul ketika dibutuhkan.

[57] Berdasarkan paparan di atas, Fazlur Rahman berargumentasi bahwa Alquran benar-

benar bersifat ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammadsaw, sebagaimana hal

telah menjadi kenyakinan kalangan ortodoks.

Sejalan dengan hal di atas, maka pengutusan para rasul atau nabi dalam perpektif

pemikiran Fazlur Rahman merupakan puncak dari kekasih sayang Allah pada satu sisi,

dan ketidak-kedewasaan manusia dalam persepsi dan motoivasi etisnya pada sisi

lain. Ada kaitan yang erat antara pengutus rasul atau nabi dan kasih sayang Allah disatu

pihak, dan kelemahahan manusia di lain pihak. Dengan bahasa lain, manusia memiliki

kemampuan terbatas. Karena itu, manusia membutuhkan bimbingan dan peringatan

agar tidak menyimpang dari jalan kebenaran. Sebagai implikasi logisnya, Allah Yang

Maha Pengasih akan mengutus para rasul atau nabi untuk mengingatkan, membimbing

dan menunjukkan mereka kepada jalan yang benar.[58]

Berdasarkan kajiannya, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa antara filosof dan teolog

sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai konsep kenabian dan wahyu. Bagi

filosof, Nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Akal Aktif.

Sedangkan menurut para teolog, para nabi mempunyai dua sisi; kemanusiaan dan kenabian.

Dalam sisi kemanusiaan, para nabi adalah sama dengan jenis manusia-manusia lain. Sedangkan

dalam sisi kenabian, para nabi mempunyai sifat-sifat sejenismalaikat, selalu mengagungkan

Tuhan dan menyucikan transendensi-Nya.[59]

3. Kedudukan Akal dan dan Fungsi Wahyu

Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dan mulia. Ketinggian,

keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada akal yang dianugerahkan

Tuhan kepadanya. Akal yang membuat manusia mempunyai kebudayaan yang tinggi,

Page 14: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengatur dan mengubah alam sekitarnya

untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik di masa kini maupun di masa depan. Begitu

pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari kedudukannya

dalam ajaran Islam.

Menurut Fazlur Rahman, Alquran menggambarkan ketaatan dan penyerahan mutlak

seluruh bagian objek natural kepada hukum-hukum alam sebagai ibadah mereka kepada Tuhan.

Alam semesta diciptakan menurut hukum-hukum dan terus menjalankan pola-pola teratur.

Sedangkan manusia ditantang untuk menemukan hukum-hukum ini dan menempatkan pola-

pola tersebut sehingga ia bisa menaklukkan alam serta memanfaatkannya. Sesungguhnya,

inilah yang dinamakan amanah yang harus dilaksanakan sebagai pengabdian bagi manusia.

Amanah ini dimaksudkan agar manusia dapat menemukan hukum-hukum alam serta

menguasainya dan kemudian menggunakan penguasaan hukum alam tersebut di bawah

inisiatif moral manusia untuk menciptakan suatu tata dunia yang baik.[60] Dari ungkapannya ini

dapat dikatakan bahwa Rahman memberi kedudukan yang tinggi pada akal, yaitu untuk

memperkuat kebenaran wahyu dan hukum alam, karena bila akal lemah maka ia tidak akan

mampu menemukan hukum-hukum alam.

4. Takdir atau Hukum Alam

Salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan adalah untuk menjelaskan

keteraturan alam semesta. Menurut FazlurRahman, ajaran fundamental Alquran tentang alam

semesta adalah:

a. bahwa ia merupakan sebuah kosmos, sebuah tatanan,

b. bahwa ia merupakan suatu tatanan yang berkembang, yang dinamis;

c. bahwa ia bukanlah suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi secara serius; manusia

harus mempelajari hukum-hukumnya yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan men-

jadikannya sebagai panggung dari aktivitas manusia yang punya tujuan.[61]

Sebagai sebuah kosmos, alam memiliki hukum-hukum dan logikanya sendiri. Menurut

Alquran, ketika Tuhan menciptakan sesuatu, yakni menghidupkan dan memberinya bentuk

lahiriah, pada saat yang sama Tuhan juga melengkapinya dengan hukum-hukum kehidupannya

dan menatanya dengan potensialitas-potensialitas serta dinamika perkembangannya. Pertama,

Page 15: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

(yaitu menghidupkan sesuatu dan memberi bentuk) diistilahkan dengan Khalq. Sedangkan yang

kedua, (yaitu melengkapi sesuatu dengan suatu sifat atau dinamika perilakunya) didefinisikan

oleh Alquran dengan istilah amr atau taqdir. Dari sinilah muncul konsep Rahman tentang takdir

atau hukum alam.[62]

Pengertian taqdir secara harfiah berarti ‘ukuran sesuatu’, dan qadar adalah jumlah atau

volume yang terukur. Fazlur Rahman menolak gagasan takdir yang sering dipahami sebagai

peristiwa atau kejadian. Penolakan ini secara tegas diungkapkannya dalam pernyataan

berikut: “Ada dua hal yang berkaitan muncul di sini:Pertama, kejadian-kejadian di dunia ini

tidak pernah dipredeterminasi atau ditetapkan terlebih dahulu oleh Tuhan. Bahwa kejadian “A”

akan timbul pada waktu ‘A’ masih tetap merupakan kemungkinan terbuka di antara alternatif-

alternatif lainnya yang mungkin, hingga ia ditimbulkan secara aktual. Kedua, hal ini disebabkan

karena apa yang dideterminasi bukanlah kejadian-kejadian sebagaimana disebut di atas, tetapi

potensi-potensi, kekuasaan-kekuasaan dan kekuatan-kekuatan. Jadi, ditetapkannya bahwa

oksigen memiliki suatu potensi yang dengannya, bila dicampurkan dengan hidrogen dalam

proporsi dan di bawah kondisi tertentu, akan menghasilkan air. Apa yang dideterminasi di sini

adalah potensi-potensi dari oksigen dan hidrogen untuk berubah menjadi air jika dicampurkan

di bawah kondisi tertentu. Sedangkan kejadian aktual dari pencampuran keduanya pada suatu

ruang dan waktu tertentu tidaklah pernah dideterminasi sebelumnya.[63]

Berdasarkan pengertian takdir yang dikemukakan Rahman, dapat dipahami bahwa takdir

bukanlah sebuah kekuatan buta yang mengukur atau menetapkan hal-hal yang tidak dapat

dielakkan atau dikendalikan oleh manusia, terutama sekali sehubungan dengan kelahiran,

rezeki, dan maut. Konsep takdir yang dikemukakan Rahman menekankan bahwa Allah

memberikan ukuran dan sifat tertentu kepada setiap sesuatu untuk menjamin keteraturan

alam. Di samping itu, untuk menunjukkan perbedaan terpenting yang tidak dapat dihilangkan di

antara Allah dan manusia.

Menurut Fazlur Rahman, perbedaan terpenting di antara Allah dengan ciptaan-Nya

adalah: “Jika Allah ‘tak terhingga’ dan Mutlak, maka setiap sesuatu yang diciptakan-Nya adalah

‘terhingga’. Setiap sesuatu memiliki potensi-potensi tertentu, tetapi betapapun banyaknya

potensi-potensi tersebut tidak dapat membuat yang terhingga melampaui keterhinggaannya

Page 16: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

dan menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksudkan Alquran ketika ia mengatakan bahwa

setiap sesuatu selain dari Allah mempunyai ukurannya (qadar, taqdir, dan sebagainya),

dan karena itu tergantung kepada Allah. Apabila sesuatu makhluk menyatakan dirinya dapat

berdiri sendiri atau merdeka, berarti dia mengakui memiliki sifat ketidakterhinggaan dan sifat

ketuhanan. Bila Allah menciptakan sesuatu, maka kepadanya Dia memberikan kekuatan atau

hukum tingkah laku yang di dalam Alquran dikatakan petunjuk, perintah atau ukuran. Dengan

hokum tingkah laku inilh ciptaan-Nya itu dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di

dalam alam semesta.[64]

Bila dihubungkan dengan konsep takdir seperti yang disinggung terdahulu, maka dalam

pandangan Rahman, takdir atas manusia berarti Allah telah menetapkan ukuran-ukuran

tertentu yang bersifat potensial bagi manusia yang dengan potensi itu manusia dapat

mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian, kejadian-kejadian yang menimpa

manusia atau sering disebut nasib, sebetulnya mempunyai sebab-sebab tertentu yang alamiah

dan bukan sebagai determinasi Allah atas manusia. Jadi, keberuntungan ataupun kemalangan

yang menimpa manusia di dunia ini tidak lain adalah merupakan akumulasi dari berbagai sebab.

Jika manusia melakukan serangkaian usaha yang mengarah kepada tercapainya nasib baik,

maka ia akan memeroleh hasilnya, demikian pula sebaliknya.

Berkaitan dengan konsep takdir deterministik seperti yang banyak berkembang di

kalangan umat Islam, Rahman menyatakan sebagai berikut: ”Tidak dapat diragukan lagi bahwa

di akhir zaman pertengahan di dalam masyarakat muslim berkembang sebuah predeterminisme

yang kuat pengaruhnya. Predeterminisme ini tidak bersumber dari ajaran-ajaran Alquran, tetapi

bersumber dari faktor-faktor lain yang banyak sekali jumlahnya. Yang paling menonjol di antara

faktor-faktor ini adalah keberhasilan yang sangat mengagumkan dari teologi Asy’ari (yang

merendahkan manusia ke tingkat impotensi untuk memertahankan konsep ke-Mahakuasaan

Allah, namun pengaruhnya terhadap kaum Muslimin lebih bersifat formal daripada riil), dan

penyebaran doktrin-doktrin sufisme yang pantheistik serta fatalistik.”[65] Oleh karena

pengaruh inilah konsep Alquran tentang qadar (takdir) ditafsirkan sebagai predeterminisasi

Allah terhadap segala sesuatu, termasuk manusia.

Page 17: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Dengan mengembalikan gagasan takdir seperti yang tertuang dalam Alquran, maka aspek

ikhtiar manusia menjadi sangat penting dalam pemikiran Rahman. Manusia-lah yang aktif

berusaha dan keberhasilan-nyapun ditentukan sejauhmana ia telah memberikan

investasi. Meskipun pandangan Rahman tentang aspek ikhtiar manusia demikian tegas, namun

ia tetap mengakui fungsi do’a. Baginya, do’a adalah sikap pikir yang aktif dan reseptif untuk

meminta pertolongan dari sumber kehidupan, dan lewat inilah mengalir energi-energi baru.

Menurut Rahman, yang perlu dicamkan bahwa harus ada kerja keras atau usaha yang sungguh-

sungguh secara konsisten dari pihak yang berdo’a. Hanya dalam konteks kerja keras itulah do’a

memiliki arti dan makna.[66]

Dengan demikian, do’a merupakan manifestasi dari keterhinggaan manusia. Walaupun

manusia bebas menentukan pilihannya, bukan berarti tidak tergantung pada Sang Pencipta.

Manusia memiliki kecenderungan baik dan kecenderungan jahat. Oleh karena itu, di dalam diri

manusia senantiasa ada perjuangan di antara kecenderungan-kecenderungan itu

5. Hari Akhir

Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran Alquran tentang akhirat adalah bahwa akan tiba

saat ketika manusia menemukan kesadaran unik yang tidak pernah dialaminya di masa

sebelumnya mengenai amal perbuatannya.[67] Alam semesta ada batasnya, pada saatnya nanti

ia akan hancur bersama seluruh kandungannya, itulah yang dinamakan kiamat. Alquran

menerangkan tentang hari kiamt dengan penggambaran kehancuran kosmos secara

menyeluruh dengan maksud menggambrkan kekuasaan Tuhan. Dalam kaitan ini, Rahman

menyatakan, banyak yang mengira bahwa tatanan kosmos ini terjadi dengan sendirinya tanpa

ada yang menciptakan dan bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari kosmos ini. Mereka harus

memahami Allah-lah yang Mahakuasa: Dia yang menyusun kembali alam semesta (setelah

kehancurannya) guna menciptakan bentuk-bentuk kehidupan baru dan level-level kehidupan

yang baru pula. Rahman berpendapat bahwa hari kiamat bukan berarti terjadinya kehancuran

dunia secara total, tetapi hanya transformasi dari satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan

yang lain.[68]

Hari kiamat merupakan hari pengadilan. Pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai

kesempatan untuk melakukan perubahan apapun juga. Satu-satunya kesempatan adalah di atas

Page 18: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

dunia ini yang hanya terjadi sekali. Oleh karena itu, manusia harus menghadapi hidup ini

dengan serius dan benar-benar menyadari bahwa apapun yang dilakukannya tidak terlepas dari

pengawasan Allah. Kehidupan manusia di atas dunia yang hanya terjadi sekali ini merupakan

kesempatan emas bagi manusia untuk berjuang dan mendapatkan hasil yang baik. Rahman

mengemukakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia di akhirat nanti tidak hanya

bersifat spiritual karena raga dengan pusat kehidupan dan intelegensi itulah yang merupakan

identitas atau kepribadian manusia yang sesungguhnya.[69] Dengan demikian, yang menjadi

subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagi pribadi. Oleh karena itu, kebahagiaan

atau penderitaan yang dirasakan manusia di akhirat kelak bersifat jasmani dan rohani (fisik dan

spiritual).

Konsep teologi yang dikemukakan Rahman tersebut bukanlah kajian tersendiri yang

ditulis dalam satu karya khusus. Konsep teologi Rahman merupakan refleksi pemikiran sebagai

hasil dari proses dialektika berpikirnya. Dari beberapa buku dan artikel tulisannya, ditemukan

beberapa doktrin teologi yang pernah dikembangkan oleh aliran-aliran terdahulu, yang

kemudian dikritisinya. Dari berbagai tulisannya inilah apabila dicermati akan tampak bahwa

konsep teologinya berpegang pada konsep-konsep dasar dalam Alquran dengan tema pokoknya

tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia. Dilihat dari beberapa konsep teologi yang

dikemukakan Rahman, maka dapat disimpulkan bahwa Rahman menganut paham teologi

rasional.

6. Politik dan Kepemimpinan

Fazlur-Rahman menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis,

preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman

menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada

ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak

menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan

terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi

berdasarkan gender atau kulit.

Page 19: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Secara umum, klasifikasikan pandangan menegenai persoalan ke-pemimpinan tidak

terlepas dari pandangan mereka tentang hubungan negara dan agama, yang secara ringkas

ada 3 (tiga) arus besar pendapat para pemikir Islam tentang hubungan Islam dan negara ini,

yakni:

Pertama, ialah kelompok yang berpendapat bahwa hubungan antara Islam dan negara

sangat lekat bahkan Islam mengatur persoalan negara secara eksplisit dan detail. Dengan

demikian mendirikan sebuah negara Islam adalah wajib, konstruk negara harus negara Islam.

Ajaran Islam harus menjadi dasar konstitusi.[70] Mereka menolak gagasan negara kebangsaan

(nation state) karena dinilai bertentangan dengan prinsip ummah. Mereka mengakui prinsip

musyawarah tetapi menolak musyawarah sistem demokrasi.[71] Jadi menurut pendapat

pertama ini adalah, wajib hukumnya memilih imam (khalifah) yang berperan memimpin umat,

serta wajib hukumnya menggunakan dasar negara dengan Alquran..

Kedua, mereka menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dengan negara

dengan demikian mendirikan negara bukan sebuah kewajiban.[72] ‘Ali ‘Abd Ar-Ráziq misalnya,

tidak setuju dengan konsep negara Islam, bahkan ia menegaskan tidak ada hubungan antara

agama dan negara. Menurutnya Allah tidak memberikan jabatan rasul sekaligus sebagai raja

kepada nabi Muhammad saw. Buktinya hanya beberapa rasul saja yang menjadi raja seperti

nabi Dawud, justru kebanyakannya rasul itu bukan raja, melainkan hanyalah rasul semata.[73]

Ketiga, di luar kelompok yang pro dan kontra di atas yang pendapatnya dapat dianggap

sebagai sebuah sintesa. Kelompok ini mengakui bahwa di dalam Islam memang terdapat ajaran

tentang politik dan negara tetapi hanya menyangkut prinsip-prinsipnya saja, tidak menjelaskan

secara ekplisit tentang bentuk negara, dasar negara dan ketatanegaran lainnya. Itu semua

disesuaikan secara fleksibel dengan keadaan negara masing-masing.[74]

Menurut Fazlur Rahman, adalah keliru apabila dikatakan bahwa Islam telah memberikan

sistem sosial politik yang menyeluruh dan terperinci. Tuntutan Alquran tentang kehidupan

bernegara tidak menunjuk kepada model tertentu tentang sebuah negara, yang terpenting

prinsip-prinsip yang terdapat dalam Alquran itu harus di-transformasikan ke dalam bentuk

rumusan-rumusan kenegaraan yang dipandang perlu akan memenuhi hajat kebutuhan kaum

muslimin tentang sebuah negara pada zamannya.[75]

Page 20: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Menurut Fazlur Rahman, yang penting adalah prinsip-prinsip terpokok Islam yang harus

dijelmakan dalam sebuah negara, pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai oleh

negara itu yaitu masyarakat beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya

terdapat persatuan, persaudaran, persamaan, musyawarah dan keadilan. Para pembaharu

teologis yang berusaha melakukan pembaharuan konsep teologi keagamaan berupaya

menyuarakan gagasan mengenai sebuah Islam yang substantif, inklusif, integratif dan toleran.

[76]

Oleh sebab itu, Fazlur Rahman menegaskan bahwa tujuan utama Alquran adalah

menegakkan sebuah tatanan masyarakat ethis dan egalitarian. Jadi masyarakat Islam terbentuk

karena ideologi Islam. Kondisi ideal dari tatanan masyarakat Islam itu adalah "yang menyeru

kepada kebaikan dan mencegah kejahatan." [77]

Untuk tercapainya tujuan di atas, masya-rakat memerlukan pengaturan tersendiri, seperti

pemenuhan kebutuhan bersama. Untuk melaksana-kan urusan bersama ini, Fazlur Rahman me-

nyebutnya sebagai urusan pemerintahan, secara jelas Alquran memerintahkan kaum Muslimin

untuk menegakkan syura [dewan atau majelis konsultatif] di mana keinginan rakyat dapat

dikemukakan melalui wakil-wakil mereka. Dalam hal ini Rahman mengemukakan:

Syura was a pre-Islamic democratic Arab institution which the Qur'an (42:38) confirmed. The

Qur'an commanded the Prophet himself (3: 159) to decide matters only after consulting the

leaders of the people. But in the absence of the Prophet, the Qur'an (42: 38) seems to require

some kind of collective leadership and responsibility.

[Syura ini adalah sebuah institusi Arab yang demokratisdari masa sebelum Islam dan yang

kemudian didukung oleh Alquran (QS. as-Syuara [42]: 38). Nabi Muhammad sendiri diperintahkan

Alquran (QS. Ali Imran [3]: 159) untuk memutuskan persoalan-persoalan yang ada setelah

berkonsultasi dengan para pemuka masyarakat. Setelah Muhammad tidak ada, tampaknya Alquran

(QS. as-Syura[42]: 38) menghendaki semacam kepemimpinan dan tanggung jawab kolektif.[78]

Itulah sebabnya Alquran walaupun menghendaki pluralisme institusi-institusi secara

liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, tetapi di dalam kondisi tertentu Alquran juga

mengakui bahwa negara sebagai wakil masyarakat yang tertinggi.Pemberontakan terhadap

negara dapat diganjar dengan hukuman yang berat,[79] berdasarkan firman Allah:

Page 21: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

�ق�ط�ع� ت و�� أ � �وا �ب �ص�ل ي و�

� أ � �وا �ل �ق�ت ي �ن أ � ادا ف�س� ر�ض�� األ ف�ي ع�و�ن� �س� و�ي �ه� ول س� و�ر� !ه� الل �ون� ار�ب �ح� ي �ذ�ين� ال اء ج�ز� �م�ا �ن إ

ع�ذ�اب, ة� اآلخ�ر� ف�ي �ه�م� و�ل �ا �ي الد6ن ف�ي ي, خ�ز� �ه�م� ل �ك� ذ�ل ر�ض�� األ م�ن� � �نف�و�ا ي و�

� أ خ�الف< مAن� �ه�م ل ج� ر�� و�أ �د�يه�م� ي

� أ

ح�يم,  .ع�ظ�يم, ر� غ�ف�ور, !ه� الل ن�� أ � �م�وا ف�اع�ل �ه�م� �ي ع�ل � وا �ق�د�ر� ت ن

� أ �ل� ق�ب م�ن � �وا �اب ت �ذ�ين� ال � �ال .....إ

[“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya

dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong

tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di

akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka)

sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang]”.[80]

Ayat tersebut menjelaskan ganjaran terhadap orang-orang yang memberontak terhadap

Allah dan Rasul-Nya dan berbuat aniaya di muka bumi adalah hukuman mati, digantung di atas

salib, kaki dan tangan dipotong secara bersilang, atau dibuang - demikian hukuman buat

mereka dalam kehidupan dunia ini sedang di akhirat dan bagi mereka hukuman yang lebih

berat, kecuali bagi mereka yang bertobat.

Akan tetapi Fazlur Rahman juga menegaskan bahwa pemberontakan bukan berarti tak

diizinkan dalam Islam. Menurut Alquran, semua nabi sesudah Nabi Nuh as.adalah pemberontak

terhadap tatanan masyarakatnya. Yang menjadi kriteria bagi Alquran atas upaya pemberontakan

tersebut adalah apa yang selalu disebutnya sebagai "penyelewengan di atas dunia" yang diartikan

sebagai keadaan yang menjurus kepada pengabaian hukum – secara politik, etis, atau sosial – ketika

urusan-urusan nasional dan internasional tidak dapat dikendalikan lagi,[81] sehingga menimbulkan

kekacauan bagi masyarakat.

Pada umumnya kaum Muslimin disuruh untuk mentaati Allah, Rasul dan para peinimpin-

peinimpin mereka [yang dipilih maupun yang diangkat]. Hal ini sejalan dengan ayat Alquran:

�م� م�نك م�ر�� األ و�ل�ي

� و�أ س�ول� الر� � ط�يع�وا� و�أ !ه� الل � ط�يع�وا

� أ � �وا آم�ن �ذ�ين� ال 6ه�ا ي� أ �ا ....ي

[“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara

kamu.]”[82]

Selanjutnya Fazlur Rahman menyebutkan, bahwa tidak dapat disangkal bahwa di dalam

sejarah Islam, telah terjadi faksi-faksi politik yang didasarkan pada doktrin agama, menyebabkan

munculnya sikap dan perilaku politik tertentu golongan-golongan Islam. Muslim Sunni misalnya,

Page 22: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

yang menandaskan konsep laissez faire,[83] sangat menekankan doktrin mengenai kepatuhan

kepada otoritas de facto, yang menghasilkan lemahnya sikap kriteria masyarakat terhadap

perkembangan sekitarnya.

Perpaduan antara kepatuhan politik yang sengaja dibentuk dengan kepasifan moral

masyarakat, tidak hanya memungkinkanoportunisme[84] politik, tetapi tampaknya juga

memberikan dukungan doktrinal kepada oportunisme tersebut. Walaupun demikian, jika tidak

didukung oleh faktor-faktor dominan lainnya, doktrin pasifisme moral dan kepatuhan politik

yang murni, tentu tidak akan menyebabkan sikap yang begitu saja menerima oportunisme

politik. Jadi sangat disayangkan bahwa dalam sejarah umat Islam, kepasifan politik dan moral

tersebut ternyata terus berkembang [85] di kalangan umat Islam.

Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti

bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara

khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu

saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi

pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena

pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang

demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.

7. Konsep Etika

Salah satu karakter pemikir Islam adalah komitmennya terhadap proyek reconstruction

(membangun kembali) atau rethinking (memikirkan kembali) segala sesuatu yang berkaitan

dengan masya rakat dan peradaban, terutama apabila kondisinya sudah kurang

menguntungkan bagi kemanusiaan dan peradabannya Untuk itu para akademisi Islam

senantiasa akrab dengan perubahan (change) dan memang mereka sendiri menjadi

penggeraknya.[86]

Berkaitan dengan ini, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa etika bukan saja sebagai the

basic elan of the Quran (esensi dalam ajaran Alquran), tetapi juga merupakan aspek universal

yang ada dalam setiap diri manusia. Hukum etika atau moral yang hakiki tak dapat diubah. Ia

merupakan “perintah” Tuhan (God’s Command) manusia tak dapat membuat hukum moral.

Page 23: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Ketundukan terhadap moral itulah “Islam” dan perwujudannya disebut dengan “ibadah”.

[87] Penyusunan etika Alquran menurut Fazlur Rahman didasarkan pada dua alasan, yaitu

Alquran dalam keyakinan umat Islam adalah kalam Allah, dan Alquran diyakini umat Islam

mengandung secara aktual dan potensial jawaban-jawaban atas semua masalah kehidupan

sehari-hari.[88]

Oleh karena itu, suatu sistem etika yang tumbuh dari Alquran menjadi kebutuhan yang

perlu dikembangkan sehingga misi Alquran sebagai petunjuk bagi manusia benar-benar aktual

dan aplikatif. Sebagaimana disebutkan Nurcholish Madjid, bahwa salah satu obsesi Fazlur

Rahman adalah merekonstruksi etika Alquran melalui sistematisasi nilai-nilai etika yang

terkandung di dalamnya.[89]

Etika Alquran dalam konstruksi pemikiran Fazlur Rahman dapat ditelusuri dari gagasannya

mengenai beberapa istilah yang menjadi konsep-konsep kunci etika Alquran, yaitu istilah “iman,

islam, dan taqwa”.[90] Ketiga istilah tersebut membentuk pondasi etika Alquran sebagai hakikat

dari Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek ajarannya.

C. Penutup

Menarik untuk dikemukakan bahwa Ismail Raji al-Faruqi memuji karya filosofis

Fazlur Rahman sebagai sebuah catatan deskriptif dan gagasan umum di dunia

muslim. Salah satu karya Rahman berjudul Islam, merupakan survei singkat tentang

Muhammad, Alquran, dan hukum Islam (fiqh) sampai kepada gerakan-gerakan reformis

di dunia Islam. Karya tersebut merupakan buku yang paling komprehensif di bidangnya

dan ditulis dengan cara yang sangat baik.

Karya-karya Rahman berbeda dengan kebanyakan orientalis yang memperlakukan

Islam sebagai dogma dan sejarah yang mati, sementara Rahman

dalam berbagai karyanya berorientasi ke masa depan. Oleh sebab itu posisi Rahman

harus dibaca dalam estafet gelombang pemikiran Islam sejak Ibn Taimiyah, Muhammad

bin Abdul Wahab, Syah Waliyullah, Jamaluddin al-Afghani, MuhammadAbduh

Page 24: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

dan Muhammad Iqbal. Sekalipun Rahman mengagumi tokoh-tokoh itu, dalam butir-butir

tertentu ia mengkritiknya dengan landasan pemahamannya terhadap Alquran. Dalam hal

ini FazlurRahman menekankan pentingnya konteks sosio-historis dalam menangkap

gagasan sebuah pemikiran.

Dalam konteks pembaharuan Islam, Fazlur Rahman adalah penerus kaum modernis.

Namun, berbeda dengan kaum modernis yang lebih banyak bertumpu pada sumber-

sumber modern, iamenyarankan pijakan yang lebih kokoh terhadap akar-akar khazanah

Islam klasik yang sangat kaya. Berbeda dengan kaum tradisionalis yang sering terjebak

dalam romantisme berlebihan, Rahman menawarkan metodologi yang memungkinkan

kekayaan yang terkandung dalam warisan Islam klasik tersebut memiliki relevansi untuk

mengatasi masalah-masalah modern.

Dapat disimpulkan bahwa ada dua kunci dalam memahami kompleksitas pemikiran

Fazlur Rahman, (1) relevansi dan (2) integritas. Relevansi berkaitan dengan pemikiran

Rahman dan integritas berkaitan dengan sosok Rahman sebagai pribadi.Kontruksi

metodologi yang dirumuskan Rahman dalam memahami Islam pada dasarnya adalah

suatu upaya untuk menemukan relevansi berbagai kekayaan yang terkandung dalam

khazanah Islam dengan konteks komodernan yang dihadapi umat Islam saat ini.

Tentang filsafat kenabian, Rahman mengkritik kecenderungan elitis di kalangan

intelektual muslim yang menggunakan “metode kebenaran ganda”, yaitu kebenaran

untuk kaum elit dan kaum awam. Kecen-derungan elitis seperti ini mendasarkan

argumennya pada anggapan bahwa masalah-masalah intelektual yang sensitif

semestinya tidak dibicarakan secara terbuka, sebab orang awam tidak memiliki

kemampuan intelektual yang memadai untuk memahami persoalan-persoalan

intelektual tersebut, yang pada gilirannya justru membuat mereka bingung.

Anggapan semacam ini jika dibiarkan, menurut Rahman, sangat berbahaya

karena bisa mendorong tumbuhnya kemunafikan di dalam masyarakat. Seperti,

eksistensi kenabian ditinjau dari sudut filsafat dan tasawuf maupun fiqih. Banyak sekali

kasus yang terjadi dalam Islam, misalnya al-Ghazali yang menulis buku yang tidak

Page 25: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

dimaksudkan untuk masyarakat luas, tetapi ditujukan untuk kalangan terbatas. Wallahu

a’lamu bial-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Page 26: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Abu Hasan Ali Nadwi, 1978, Western Civilization: islam and Muslim, India: Academy of Islam Reseach

and Publications.

Abdurrahman, Muslim., 1995, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Abd. A’la, 2003, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam

Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

Ahmad Syafi’i Ma’rif, 1994, Peta Bumi Intelektual Islam, Bandung: Mizan.

Ali, A. Mukti., 1998, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung:Mizan.

Amal, Taufik Adnan (peny.), 1987, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman,

Bandung:Mizan.

--------------., 1992, Islam dan Tantangan Modernitas:Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman,

Bandung:Mizan.

Amin, M. Masyhur., 1989, Teologi Pembangunan, Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta:LKPSM-

NU.

Azra, Azyumardi., 1999, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-

Modernisme, Jakarta:Paramadina

Djohan Effendi, 1985, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, Bandung: Mizan.

Donald L. Denry, 1998, “Fazlur Rahman (1919-1988): A Live and Riview,” dalam Earle H. Waugh &

Fedrick M. Denry (ed) The Shaping of an Amarican Islamic Discourse: Memorial to Fazlur

Rahman, Georgia: Scholars Press.

Page 27: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia Press.

Gibb, H.A.R., 1995, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husain, Jakarta: Rajawali Press

Harun Nasution, 1992, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan

Bintang.

J. M. S. Baljon, 1986, Religion and Thought of Shah Wali Allah ad-Dahlawi Leiden: E. J. Brill.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, 1995, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Madjid, Nurcholish., 1993, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.

Nurcholish Madjid, 1993, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2,

Oktober-Desember.

--------------, 2000, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1973., Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang.

Rahman, Fazlur, 1958, Prophecy in Islam Phylosophy and Orthodoxy, London: George Allen and Unwi

Ltd.

----------------, 2003, Kontroversi Kenabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, terj. Ahsin

Muhammad, Bandung: Mizan.

---------------, 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man”, in Jurnal Islamic Studies, No.

1.

Page 28: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

---------------, 1994, Islamic Methodology in History, Delhi: Adam Publisher & Distributor.

--------------, 1992, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, terj. Ikhsan Ali

Fauzi, dalam al-Hikmah,No. 6.

--------------, 1995, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad,

Bandung: Pustaka

.

--------------, 1982, Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The

University of Chicago Press.

--------------, 1996, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka.

--------------, Islam, 1979, Chicago & London: University of Chicago Press; Second Edition.

--------------, 1976, The Philosophy of Mulla Shadra, Albany, New York: State University of New York

Press.

--------------, 1990, “An Autobiograpchal Note,” dalam Journal of Islamic Reseach, Vol. 4, 1990.

-------------, 1983, “Some Key Ethical Concept of the Quran”, yang dimuat dalam Journal of Religious

Ethics, jilid XI, No. 2.

Wilfred. C. Smith, 1979, Modern Islam in India: Social Analiysis, New Delhi: USA Publications.

Yusuf, Yunan, 1990, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.

http://firkom.blogspot.com/2009/06/pemikiran-teologi-islam-modern-by.htm

Page 29: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

[1]Taufik Adnan Amal (Peny.), Metode dan Altematif Neo-Modernisme Islam Fazlur

Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h. 13.

[2]Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago & London: university of Chicago Press; Scond

Edition, 1979), h. 35.

[3]Pengertian tradisional disini adalah kepenganutan seseorang terhadap salah satu

mazhab fiqh yang empat: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dalam hal ini corak

keberagamaan ayah Fazlur Rahman mengikut faham Hanafi.

[4]Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: jejak Fazlur Rahman dalam wacana

islam indonesia (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2003), h. 33.

[5]Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika,

No. 2, Oktober-Desember, 1993, h. 23-24.

[6]Fazlur Rahman. “An Autobiograpchal Note,” dalam Journal of Islamic Reseach, Vol. 4,

1990, h. 27.

[7]Fazlur Rahman, Islam ..., h. 36.

[8]Syah Waliyullah lahir di Delhi dan mendapat pendidikan dari orang tuanya Syah Abd al-

Rahim, Seorang sufi yang memiliki madrasah. Setelah dewasa, ia ikut menekuni pekerjaan

orang tuanya sebagai guru di madrasah tersebut. Selain mengajar di madrasah, Syah Waliyullah

gemar mengarang dan banyak meninggalkan karangannya, di antaranya adalah buku

Hujjatullah al-Balighah. Lihat, J. M. S. Baljon, Religion and Thought of Shah Wali Allah ad-

Dahlawi (Leiden: E. J. Brill, 1986), h. 1.

[9]Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 M. Ia mendapatkan pendidikan

tradisional tentang pengetahuan agama seperti Alquran, Hadis, dan Teologi Islam. Akan tetapi,

meskipun ia mendapatkan pendidikan tradisional, ia tidak berpandangan sempit, hal ini

disebabkan oleh minat dan semangat bacanya yang tinggi dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan. Syed Abu Hasan Ali Nadwi, Western Civilization: islam and Muslim (India:

Academy of Islam Reseach and Publications, 1978), h. 67. Lihat juga, W. C. Smith, Modern Islam

in India: Social Analiysis (New Delhi: USA Publications, 1979), h. 1.

Page 30: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

[10]Sayyid Amir Ali berasal dari keturunan keluarga syi’ah pada zaman Nadhir Syah (1736-

1747) yang pindah dari Khurasan di Persia ke India. Ia lahir pada tahun1849 M dan wafat tahun

1928 M. Setelah tamat pendidikan madrasah, ia menyelesaikan pendidikannya di perguruan

tinggi Muhsiniyah, yang berada di dekat Calkutta. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam:

Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 181.

[11]Muhammad Iqbal adalah salah seorang penyair, filsuf, ahli hukum, pemikir politik,

dan reformis Muslim. Ia berasal dari golongan manengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada

1876 M. Lihat, Djohan Effendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal (Bandung: Mizan, 1985), h. 13.

[12]Fazlur Rahman, Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual

Tradition (Chicago: The University of Chicago press, 1982), h. 117.

[13]Ahmad Syafi’i Ma’rif, Peta Bumi Intelektual Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 135.

[14]Ketika Fazlur Rahman sudah berada di Inggris, ia pernah ditanya oleh seorang

pendeta Hindu S. Radhakrisna: “Mengapa anda tidak ke Mesir saja, tapi malah ke Oxford”

Rahman menjawab: “Studi-studi islam di sana tidak sama kritisnya dengan India.” Lihat

Rahman, Islam and Modernity ..., h. 120.

[15]Walaupun Fazlur Rahman banyak menimba ilmu pengetahuan dari sarjana-sarjana

barat, tapi ia sangat kritis dengan pandangan-pandangan mereka yang berhubungan dengan

Islam dan umat Islam. Taufik Adnan Amal dan Ihsan Ali Fauzi, Fazlur Rahman, Sang Sarzana Sang

Pemikir (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1998), h. 10.

[16]Kitab al-Najat adalah ringkasan Ibn Sina sendiri terhadap karya agung, al-Syifa’. Lihat

Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Falur

Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h. 82.

[17]Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 247.

[18]Taufik Adnan, Fazlur Rahman..., h. 12.

[19]John L. Esposito (eds), The Oxford Encyclopedia of the Modem Islamic World III (New

York: Oxford University Press, 1995), h. 408.

[20]Abd A’la, Modernisme ..., h. 35.

[21]Fazlur Rahman, Islam and Modernity ..., h. 217.

[22]Ibid., h. 230.

Page 31: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

[23]Rahman, Some Islamic Issues, h. 296.

[24]Rahman, Islam and Modernity, h. 125, juga Fazlur Rahman, “Mengapa saya hengkang

dari Pakistan” dalam Islamika, No.2 (Oktober-Desember 1993), h. 17.

[25]Wan Mohd. Nor Wan Daud, “ Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,”

dalam Ulumul Quran, Vol. II, (No. 8,1991), h. 108.

[26]Denry, The Legacy, h. 97. Dalam catatan kaki, No. 4, h. 106 disebutkan bahwa tokoh-

tokoh sebelum Fazlur Rahman yang menerima penghargaan serupa adalah Robert Brunsching,

joseph Schacht, Francesco Gabriel, S.D. Goiten, Gustave E. Von Grunebaum, Franz Rosenthal,

Albert Hourani, W. Montgomery Watt, dan Annamarrie Schimmel.

[27]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 44. Juga Wan Mohd. Nor Wan Daud, Fazlur Rahman, h.

108.

[28]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher & Distributor,

1994), h. V. Lihat juga Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 47.

[29]Lihat Ahmad Syafi’i Ma’rif, dalam Kata Pengantar untuk buku Fazlur Rahman, Islam,

terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bumi Aksara. 1987), h. viii.

[30]Namanya adalah Shadr al-Din as-Syirazi, lebih dikenal dengan Mulla Shadra.

Mengenai pemikirannya lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Shadra (Albany, New

York: State University of New York Press, 1976), h. 67.

[31]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 53.

[32]Abd A’la, Neo-Modernisme, h. 55.

[33]Donald L. Denry “Fazlur Rahman (1919-1988): A Live and Riview,” dalam Earle H.

Waugh & Fedrick M. Denry (ed) The Shaping of an Amarican Islamic Discourse: Memorial to

Fazlur Rahman (Georgia: Scholars Press, 1998), h. 40-43.

[34]Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, Pustaka, Bandung, 1984. hal. 86

[35]Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1984, h. 87

[36]Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an... h. 88.

[37] Ibid., h. 97-98.

[38]Ibn Sina lahir di Afsyfan, daerah Bukhara pada tahun 340 H (980 M), pada masa

pemerintahan Khalifah Nuh bin Mansur, dari daulah Samaniyah. Dia wafat di Hamdzan dalam

Page 32: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

usia 58 tahun pada 428 H (1037 M). Lihat, Poerwantara Dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 145.

[39]Fazlur Rahman, Prophecy in Islam Phylosophy and Orthodoxy (London: George Allen

and Unwi Ltd, 1958), h. 145.

[40]Ibid., h. 32.

[41]Ibid., h. 30. Ibn Sina, memasukkan kemampuan akal sebagai salah satu daya dalam

jiwa teoritis manusia yang memilki empat tingkat: 1) material intellect, yaitu potensi akal untuk

berpikir dan belum dilatih, 2) intelctual in habitat, yaitu akal yang mulai dilatih untuk berpkir

abstrak, 3) actual intelect, yaitu kemampuan berpikir abstrak, dan 4) acquired intelect, yaitu

kesanggupan akal berpikir manusia untuk berpikir abstrakdan sarana yang mamapu menerima

limpahan dari akal aktif. Lihat Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara filsafat

dan ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003), h. 40.

[42]Ibid., h. 30-32. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan

Bintang, 1992), h. 31-32.

[43]Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan al-

Farabi. Ia dilahirkan di kota Farab tahun 257 H (870 M). Lihat, Poerwantana Dkk, Seluk Beluk, h.

133.

[44]Nama lengkapnya adalah Iman Abi Fatih Muhammad bin Abd al-Karim Asy-Syarastani,

atau lebih dikenal dengan Asy-Syahrastani, seorang teolog Muslim.

[45]Ibn Hazm ialah Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm (384-456), seorang ulama fuqaha dan ahli

hadis yang berasal dari Andalusia, M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar dan Ilmu

Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 61.

[46]Nama lengkapnya Taqi ad-Din Ibn Abu al-Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin

Muhammad bin Taimiyah al-Haramy al-Hambaly. Lahir di Haran pada tanggal 10 Rabi’ul Awal

661 H (22 Januari 1263 M). Lihat Muhammad Al-Bahy, Al-Fikr al-Islamy fi Tathawwurihi, alih

bahasa Al-Yasa’ Abu Bakar, Alam Pikiran Islam dan Perkembangan (Jakarta: Bulan Bintang,

1987), h. 27.

[47]Rahman, Prophecy in Islam, h. 92.

Page 33: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

[48]Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us al-Thusi

al-Syafi’i al-Ghazali. Ia lahir di Ghazala, suatu kota dekat Khurasan, Iran pada tahun 450 H. Lihat,

M. Sholihin & Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 53.

[49]Namanya adalah Abu Zaid Abd al-Rahman Ibn Khaldun, dilshirkan di Tunisia pada

tahun 1332. Lihat Charles Issawi, An Arab Philosophy of History, Ali Bahsa Mukti Ali, Filsafat

Islam tentang Sejarah (Bandung: Tintamas; 1967), h. 2.

[50]Kelihatannya Fazlur Rahman terpengaruh terhadap pemikiran teologi al-Ghazali, lih.

Al-Ghazali, Kitab al-Iqtishadi fi al-I’tiqad, h. 163-164

[51]Ibid.

[52]Fazlur Rahman, Islam ..., h. 3. Dalam perspektif itu, tesis Alquran dari Fazlur

Rahman juga mempunyai keterpengaruhan, minimal benang merah dengan tesis Ibn

Rusyd. Menurut tokoh Muslim pasca al-Ghazali itu, Alquran sebagai Kalam Allah adalah

qadim, dan lafaznya adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia. Oleh karena itu, lafaz-

lafaz selain Alquran yang merupakan perbuatan manusia. Sedangkan huruf-huruf dalam

mushhaf adalah buatan manusia dengan seizin Allah. Meskipun begitu, manusia wajib

menghormati huruf-huruf itu karena ia menunjukkan kepada lafaz yang diciptakan Allah

dan kepada makna yang bukan ciptaan. [52] Pengaruh Ibn Rusyd pada Fazlur Rahman

terletak pada pembedaan antara yang dibaca dan bacaan, yang kemudian oleh Rahman

diuraikan dalam bentuk defenisi sebagaimana tersebut diatas.

[53]Ibid.

[54]Misalnya, al-Baqillani berpendapat bahwa Jibril membacakan Alquran yang

berbahasa Arab, Lihat. Al-Baqillani, Kitab al-Inshaf, h. 147.

[55]Q.S> An-Nahl/16: 102. Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, h. 95-96.

[56]QS. An-Nahl/16: 2.

[57]al-Zarqani, Manahil al-’Urfan fi ‘Ulum Alquran, Jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm.

43-37

[58]Ibid., h. 76-79.

[59]Rahman, Prophecy in Islam, h. 99-109.

Page 34: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

[60] Amal, Taufik Adnan (peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur

Rahman, Bandung:Mizan, 1987, h. 80.

[61] Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif....., h. 75.

[62]Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya:

Gitamedia Press, 1999, h. 145-146.

[63] Rahman, Fazlur., 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man”, in

Jurnal Islamic Studies, No. 1, h. 6-7.

[64] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung:

Pustaka, 1996, h. 97-98.

[65] Ibid., h. 35.

[66] Rahman, Fazlur., 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man,” in

Jurnal Islamic Studies, No. 1, h. 14.

[67] Fazlur Rahman, Tema Pokok ..., h.154.

[68] Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam ..., h. 148.

[69] Fazlur Rahman, Tema Pokok...., h. 163.

[70]Abul A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, dalam Khursid Ahmad (ed.), Islamic

Law and Constitution (Lahore: 1967), h. 243. Lihat juga Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-

Sultaniyah (Beirut: t.tt), h. 5.

[71]Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (Austin: 1982), hlm. 6, dan lihat juga,

Imam Khomeini, Islam and Revolution (Berkeley: 1981), h. 35.

[72]‘Ali ‘Abd al-Ráziq, al-Islam wa Usul al-Hukm (Beirut: 1966), h. 92.

[73]Ibid., h. 95.

[74]Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 16.

[75]Ibid.

[76]Ibid.

[77]Q.S. Ali Imran [3]: 104.

[78]Rahman, Major Themes, h. 43.

[79]Ibid., h. 44.

[80]Q.S. al-Maidah [5]: 33-34.

Page 35: Studi Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman

[81]Rahman, Tema Pokok, h. 64-65. Lihat juga Rahman, Major Themes, h. 44.

[82]Lihat, Q.S. an-Nisa [4]: 59.

[83]Konsep laissez faire, konsep yang berprinsip membiarkan masyarakat mengajarkan

apa yang mereka sukai, dan tidak mencampuri urusan politik. Lihat Fazlur Rahman, Membuka

Pintu, h. 136.

[84]Istilah oportunisme bersal dari kata oportune artinya kesempatan. Oportunisme

politik berarti memanfaatkan atau mengambil kesempatan mendukung penguasa untuk tujuan-

tujuan kepentingan kelompoknya. Lihat, Andreas Halim, Kamus Lengkap Praktis (Surabaya:

Fajar Mulya, 2000), h. 233.

[85]Rahman, Membuka Pintu, h. 137-138.

[86]Lihat Edward Shill, Representation of the Intelectual, edisi Indonesia Peran

Intelektual (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993).

[87]Ibid., h. 32.

[88]Ibid., h. 54.

[89]Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Alquran”‘dalam Jurnal

Islamika, No. 2 (Oktober-Desember, 1993), h. 23.

[90]Fazlur Rahman “Some Key Ethical Concept of the Quran”, yang dimuat dalam Journal

of Religious Ethics, jilid XI, No. 2, 1983, h. 170.