hermenutik double movement fazlur rahman

24
Hermenutik Double Movement Fazlur Rahman Oleh: Aristophan firdaus ABSTRAK Di dalam proses penafsiran Al-Qur’an, salah satu problem utamanya adalah menyangkut pemberian makna dan produksi makna; apakah makna itu sebatas apa yang tertulis pada bunyi teks(makna literal), ataukah juga terdapat pada apa yang ada di balik teks (makna kontekstual). sebagian mufassir cenderung menganut paham literalis, sementara sebagian yang lain menganut paham kontekstualis. 1 Metodologi baru dalam memahami al-Qur’an ditawarkan oleh Fazlur Rahman yang terkenal dengan teori double movement. Dalam metode ini, seorang muffasir ketika berhadapan dengan teks harus bergerak dari situasi sekarang ke masa lampau guna melihat konteks sosio-historisnya dan menemukan prinsip-prinsip ideal moralnya untuk kemudian kembali lagi ke situasi sekarang guna melakukan kontekstualitas atas nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, produk-produk penafsiran harus mengabdi pada nilai-nilai ideal moral yang merupakan prinsip etis Al-Qur’an. Kata kunci : Hermenutik. Double Movement, Fazlur Rahman Pendahuluan Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa Inggris hermeneutics. Kata hermeneutics sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’. Kata hermeneuo juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari beberapa makna ini dapat disimpulkan 1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 135 1

Upload: aristophan-firdaus

Post on 12-Feb-2017

121 views

Category:

Education


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hermenutik double movement fazlur rahman

Hermenutik Double Movement Fazlur Rahman

Oleh: Aristophan firdaus

ABSTRAK

Di dalam proses penafsiran Al-Qur’an, salah satu problem utamanya adalah menyangkut

pemberian makna dan produksi makna; apakah makna itu sebatas apa yang tertulis pada bunyi

teks(makna literal), ataukah juga terdapat pada apa yang ada di balik teks (makna kontekstual).

sebagian mufassir cenderung menganut paham literalis, sementara sebagian yang lain

menganut paham kontekstualis.1 Metodologi baru dalam memahami al-Qur’an ditawarkan oleh

Fazlur Rahman yang terkenal dengan teori double movement. Dalam metode ini, seorang

muffasir ketika berhadapan dengan teks harus bergerak dari situasi sekarang ke masa lampau

guna melihat konteks sosio-historisnya dan menemukan prinsip-prinsip ideal moralnya untuk

kemudian kembali lagi ke situasi sekarang guna melakukan kontekstualitas atas nilai-nilai

tersebut. Dengan demikian, produk-produk penafsiran harus mengabdi pada nilai-nilai ideal

moral yang merupakan prinsip etis Al-Qur’an.

Kata kunci : Hermenutik. Double Movement, Fazlur Rahman

Pendahuluan

Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa

Inggris hermeneutics. Kata hermeneutics sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang

berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein yang

berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’. Kata  hermeneuo juga bermakna

‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari beberapa makna ini dapat disimpulkan

bahwa hermeneutik adalah ‘usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap kepada sesuatu

yang lebih terang’ atau ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti.2

Istilah hermeneutik sering diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama

Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada

manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam

bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas Hermes adalah

menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat 1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 1352 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah

dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37. Bandingkan dengan E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23-24.

1

Page 2: Hermenutik double movement fazlur rahman

dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau

menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya. 3

Dalam proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat

faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah

sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses

hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Di balik

proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain yang saling berkait dan berkelindan, seperti

praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.

Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-

teks yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika

diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam

memahami teks keagamaan.4 Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak

hanya digunakan untuk memahami teks suci melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik

sastra, karya seni maupun tradisi masyarakat.

Selanjutnya, sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah

bentuk yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Paling tidak ada tiga

bentuk atau model hermeneutika yang dapat kita lihat. Pertama, hermeneutika objektif yang

dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm

Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968).5 Menurut model pertama ini, penafsiran

berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks,

menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan

dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas

kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.6

Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya

Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930).7 Menurut model kedua ini,

hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang

diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu

3 Ibid.4 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, (Jakarta, Gramedia, 1981), hlm.225.

5 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985),hlm. 9-10. Rahman memasukkan juga Emilio Betti dalam tradisi hermeneutika objektif ini.

6 Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya, Kanisius, 1999),hlm. 31.7 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985), hlm. 13.

2

Page 3: Hermenutik double movement fazlur rahman

sendiri.8 Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si

penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.

Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim

kontemporer khususnya Hasan Hanafi (l. 1935) dan Farid Esack (l. 1959).9 Hermeneutika ini

sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun,

menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu

interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.10 Menurut Hanafi, dalam

kaitannya dengan al-Qur`an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai

kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada

kehidupan manusia. Hermeneutika sebagai sebuah proses pemahaman hanya menduduki tahap

kedua dari keseluruhan proses hermeneutika. Yang pertama adalah kritik historis untuk

menjamin keaslian teks dalam sejarah. Ini penting, karena tidak akan terjadi pemahaman yang

benar jika tidak ada kepastian bahwa yang difahami tersebut secara historis adalah asli.

Pemahaman atas teks yang tidak asli akan menjerumuskan orang pada kesalahan.11

Dengan demikian, ada tiga model hermeneutika yang berbeda. Pertama, hermeneutika

objektif yang berusaha memahami makna asal dengan cara mengajak kembali ke masa lalu;

kedua, hermeneutika subjektif yang memahami makna dalam konteks kekinian dengan

menepikan masa lalu; ketiga, hermeneutika pembebasan yang memahami makna asal dalam

konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan yang terpenting pemahaman tersebut tidak

sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-benar mampu menggerakan sebuah aksi dan

perubahan sosial.

Dalam makalah ini, penulis tidak akan mengupas secara tuntas ketiga model

hermeneutik tersebut. Penulis hanya akan menelaah epistemologi hermeneutika Fazlur Rahman

yang masuk dalam kategori hermeneutika krtitis dan rasionalis. Di sisi lain, Fazlur Rahman

merupakan seorang critical lover, meminjam istilah farid Esack. Ia tidak menolak Al-Qur’an

sebagai kalam Allah (the wod of God), namun pada saat yang sama ia kritis terhadap pembacaan

dan pemahaman atasnya.12 kajian sederhana ini juga diinspirasi oleh karya Fazlur Rahman

8 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, (Jakarta, Gramedia, 1981), hlm. 231.9 Lihat Nur Ikhwan, “Al-Qur`an Sebagai Teks Hermeneutika Abu Zaid” dalam Abd Mustaqim (ed), Studi

Al-Qur`an Kontemporer, (Yogya, Tiara Wacana, 2002), 163.10 Hasan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, (Yogya, Prisma, 2003), hlm. 109.

11 Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 1.12 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 121

3

Page 4: Hermenutik double movement fazlur rahman

tentang teori double movement nya. Yang mana teori double movent Rahman  ini juga berhasil

mendobrak kebuntuan dunia pemahaman yang sempat mandek. Kontribusi teori double

movement Fazlur Rahman mencoba melakukan terobosan baru dengan merekonstruksi

pemahaman terhadap Al-Qur’an yang compatible dengan kehidupan kontemporer melalui

metode penafsiran hermeneutika. Maka dalam makalah ini hendak membahas tentang bagaimana

hermenutik double movement fazlur rahman?

Sketsa Biografi Fazlur Rahman

Fazlur Rahman adalah salah satu mufassir libeal-reformatif yang diberi kesempatan

“sejarah” untuk menerapkan gagasan neo mederenismenya. Ia lahir di anak benua Indo-Pakistan

pada 21 september 1919 di Barat Laut Pakistan.13

Fazlur Rahman dibesarkan dalam tradisi keluarga yang salih bermadzhab Hanafi, sebuah

madzhab sunni yang lebih bercorak rasionalis dibandingkan dengan madzhab yang lainnya,

seperti madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Rahman kecil diasuh oleh ayah dan ibunya sendiri

dengan lingkungan keluarga yang sangat relegius. Dari ayahnya, yang notabene seorang ahli

agama dari Deoban, Rahman mendapat pendidikan formal di madrsah yang dulunya didirikan

oleh Muhammad Qasim Natonawi pada 1867.14

Semasa Rahman kecil, sang ayah sering memberikan pelajaran hadis dan juga ilmu

syari’ah. Namun sejak umur belasan tahun, Rahman telah merasa skeptis terhadap hadis.

Menurutnya , pada masa awal sejarah Islam, sebagian besar hadis yang ada tidak bersumber dari

Nabi Muhammad, teteapi bersumber dari para sahabat, tabi’in, dan generasi muslim ketiga (atba

at-tabi in). Hal ini bukan karena hadits-hadits nabi memang sedikit jumlahnya, melainkan

karenah ulah generai-generasi kemudian.15

Setelah menamatkan pendidikan menengah, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan

studinya di Departemen Ketimuran Universitas Punjab. Selanjunya ia mengambil master di

Punjab University, dan pada tahun 1942 berhasil merai gelar MA dalam bidang Sastra Arab. Di

sinilah babak kritisismenya semakin teruji. Sebab, pada masa ini Rahman tidak hanya

13 Selain Fazlur Rahman, anak benua ini juga melahirkan banyak pemikir libral lain, seperti Syaikh Waliyullah ad-Dihlawi, Sayyid Amir Ali, dan Muhammad Iqbal. Lihat Abd. A’la, Dari Neo Modernisme

KeIslam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hlm. 25-27.14 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm 88.15 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka,1984), hlm. 47

4

Page 5: Hermenutik double movement fazlur rahman

mempelajari Fisafat Islam, tetapi juga mendalami bahasa-bahasa Barat yang mana hal itu sangat

membantunya dalam menelusuri literature-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis.16

Akan tetapi yang menarik, meskipun Fazlur Rahman banyak berguru kepada para

orientalis, ia tetep kritis terhadap pandangan-pandangan barat yang berkaitan dengan Islam dan

umat Islam. Sebagai contoh adalah kritiknya terhadap para orientalis yang tidak mengakui

adanya hadits dan mereka juga meragukan otentisitas Al-Qur’an. Bagi Rahman, sebagai seorang

figure utama, kata-kata dan prilaku nabi tidak mungkin tidak direkam oleh para pengikutnya.

Sebab, seorang kepala suku saja pada waktu itu biasa di kutip kata-katanya, apalagi nabi sebagai

pemimpin umat. Rahman juga menegaskan bahwa otentisitas Al-Qur’an sudah final dan tidak

perlu lagi di persoalkan. Adapun yang perlu di kritisi ulang hanyalah pemahaman para muffasir

atas Al-Qur’an itu sendiri.17

Kritik Fazlur Rahman terhadap khazanah keilmuan klasik Islam dan Barat pada akhirnya

juga semakin menegaskan posisinya sebagai tokoh neo-moderenisme. Menurutnya, kaum

muslimin harus mengkaji dunia Barat beserta gagasan-gagasannya secara kritis dan objektif. Bila

ini tidak dilakukan maka umat Islam akan gagal dalam menghadapi dunia modern. Untuk itu,

tugas utama umat Islam adalah mengembangkan metodologi yang tepat dan logis untuk

mempelajari Al-Qur’an guna mendapakan petunjuk bagi masa depannya.18

Setelah berhasil menyelesaikan program master, Rahman kemudian melanjutkan studinya

ke program doctor di Oxford University Inggris. Ia mengambil bidang filsafat, terutama

pemikiran filsafat Ibnu Sina, dan berhasil merai gelar Ph.D 1949.

Keputusan Rahman untuk belajar di Oxford University dianggap sebagai langkah yang

sangat berani sebab selama ini jika ada seorang muslim pergi ke Barat untuk belajar Islam maka

dia dianggap sangat aneh. Kalaupun ada yang berani mengambil langkah seperti itu maka dia

tidak akan diterima kembali di negeri asalnya. Oleh karena itu, sangat wajar jika kebanyakan

pelajar muslim merasa cemas jika belajar ke Barat sebab mereka akan di kucilkan oleh

masyarakat dan bahkan sebagian dari mereka akan mengalami ”penindasan”. Situasi ini

menunjukan bahwa kebanyakan masyarakat Indo-Pakistan memang masih sangat konservatif

cara berfikirnya sehingga setiap ada hal-hal yang baru yang datang dari luar seolah harus ditolak

16 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 89.17 Ibid,…hlm. 89.18 Ibid,…hlm. 90

5

Page 6: Hermenutik double movement fazlur rahman

Karena dianggap akan menggangggu status quo. Akan tetapi, demi sebuah cita-cita dan

reformasi, Rahman berani melawan arus utama tersebut.

Setelah menamatkan pendidikan program doctor di oxford university, Fazlur Rahman

mengajar beberapa saat di Durhaim University Inggris. Setelah itu, ia pindah ke Institute of

Islamic Studies, McGill University Canada, dan disitulah ia menjabat sebagai Associate

Professor of Philosophy, kemudian di awal tahun 1960-an19, Rahman kembali ke negeri asalnya,

Pakistan, dan menjabat sebagai salah satu staf senior pada Insitute of Islamic Research.

Lembaga riset ini dahulu didirikan oleh Ayyub Khan pada tahun 1960. Ayyub Khan

inilah yang kemudian bertindak sebagai pelindung Rahman. Sedangkan direktur pertama

lembaga ini adalah Dr. I.H. Qureshi. Pada bulan Agustus 1962, Rahman ditunjuk sebagai

direktur lembaga riset tersebut untuk menggantikan Qureshi. Lembaga riset ini bertugas

menafsirkan Islam dan term-term rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan masyarkat

modern yang progresif.

Kemudian, pada 1964, Fazlur Rahman diangkat sebagai anggota Adivisory Council of

Islamic Ideology Pemerintahan Pakistan. Dewan penasehat ini dibentuk pada 1962 dan bertugas

meninjau seluruh hukum, baik yang telah ada maupun yang akan dibuat agar selaras dengan al-

Qur’an dan Sunnah, lalu merekomendasikan kepada pemeintah pusat dan provinsi-provinsi agar

kaum muslimin di Pakistan bisa menjadi lebih baik. Dengan antusias, Rahman menerima

tawaran ini. Pandangan-pandangan keislamannya yang mewakili sudut pandang moderenisme

dia utarakan dalam tiga jurnal yang diterbitkan Lembaga Riset Islam, yaitu Dirasah Islamiyyah

(Arab), Islamic Studies (inggris), dan Fikr-O-Nazr (Urdu). Di lembaga tersebut, Rahman tidak

saja bergerak dan bergulat dengan bidang kajian teoritis Islam, seperti sejarah filsafat dan

pemikiran Islam pada umumnya, tetapi pada bidang-bidang praktis, seperti masalah bunga bank

dan penyembelihan mekanik.20

Usaha-usaha untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam dengan merumuskan

metodologi tafsir juga mulai digeluti Rahman. Akan tetapi, hampir seluruh pandangannya

mendapat resistensi yang sangat keras dari para ulama konservatif dan bahkan Rahman nyaris

dibunuh. Beberapa pengamat menilai bahwa penolakan ulama konservatif terhadap pemikiran

19 Abd. A’la, Dari Neo Modernisme KeIslam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hlm. 35.20 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 91.

6

Page 7: Hermenutik double movement fazlur rahman

Rahman bersifat politis dimana penolakan itu sebenarnya ditujukan kepad rezim Ayyub Khan

yang dipandang sangat otoriter.

Melihat kondisi seperti itu, Rahman akhirnya hengkang dari Pakistan. Pada 1968, ia

hijrah dari Pakistan ke Chicago, Amerika Serikat dan menetap di sana hingga wafatnya pada

1988. Sehubungan dengan kepindahan Rahman dari Pakistan ke Chicago, ada pernyataan

menarik dari Ahmad Syafii Ma’arif yang pernah menjadi muridnya:

Bila bumi muslim belum “peka” terhadap imbauan-imbauannya maka bumi lain yang juga bumi

allah telah menampungnya dan dari sanalah ia menyusun dan merumuskan pemikiran-

pemikirannya tentang Islam, sejak 1970. Dan kesanalah beberapa mahasiswa muslim dari

berbagai negeri muslimin belajar Islam dengannya.21

Metode Hermanutik Double Movement dan Pendekatan Sosio-Historis

Sebagaimana telah dipaparkan di depan bahwa salah satu kecendrungan tafsir

kontemporer adalah di gunakannya metode hermenutika dalam menggali teks Al-Qur’an. Pada

saat wahyu masih berupa wacana verbal (disocurse), bukan teks, terutama di masa nabi masih

hidup, hermenutik dalam pengertian yang lebih bersifat metodologis tidak begitu diperlukan.

Para sahabat ketika itu cendrung bersifat pragmatis dalam mengamalkan Al-Qur’an dan umumya

mereka dengan mudah dapat memahaminya. Apalagi ketika itu nabi masih hidup sehingga jika

ada kesulitan dalam memahami Al-Qur’an, mereka dapat langsung bertanya kepada beliau

sebagai penafsir pertama yang menerima Al-Qur’an.22

Akan tetapi setelah wahyu menjadi sebuah teks bahasa (nash lughawi) meminja istilah

Nashr Hamid maka Hermenutika menjadi sangat penting untuk membedah dan mengurai makna

teks tersebut. Bagaimana dialektika antara teks dengan Konteks sosio-historis ketika itu, dan

bagaimana pula kontekstualisasinya diera modern-kontemporer, semua itu perlu dianalisis secara

cermat dan kritis melalui poses hermenutika. Di sinilah urgensi hermenutika sebagai sebuah teori

penafsiran kitab suci yang dalam tradisi Islam dapat disamakan dengan fiqh at-ta’wil.23

Teologi menurut Fazlur Rahman harus dirumuskan kembali agar mampu berdialog

dengan zamannya. Untuk melakukan refomulasi teologi, ia mengusulkan untuk kembali kepada

sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang hidup. Sebelum membahas tentang

metode penafsiran al-Qur’an yang ditawarkannya, terlebih dahulu akan dipaparkan 21 Ahmad Syafi’I Ma’arif, ”Fazlur Rahman, Al-Qur’an dan Pemikiran Islam” dalam pengantar buku Fazlur

Rahman, Islam, (Bandung: pustaka,1984), hlm. vi-viii.22 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm 17323 Ibid… hlm 173

7

Page 8: Hermenutik double movement fazlur rahman

pandangannya mengenai al-Qur’an. Uraian itu dianggap penting untuk menangkap nilai-nilai dan

pandangan al-Qur’an di mata Fazlur Rahman.24

Fazlur Rahman menyatakan, al-Qur’an sebagai firman Allah25 pada dasarnya adalah suatu

kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi umat manusia,

dan ia bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar

seperti salat, puasa,dan haji. Dari awal hingga akhir, al-Qur’an selalu memberikan penekanan

pada semua aspek-aspek moral, yang di perlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karena itu,

kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan perbaikannya.26

Pernyataannya itu menunjukan bahwa Fazlur Rahman memandang Al-Qur’an termasuk

ajaran Nabi secara substantive dan konstitutif adalah untuk keperluaan tindakan manusia di

dunia. Dengan demikian, al-Qur’an harus dijadikan dasar dan acuan pokok dalam semua sikap

dan perilaku umat Islam, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.

Sekaligus kitab suci terrsbut hendaknya menjadi sumber nilai yang dapat dijadikan landasan

untuk pengembangan solusi dalam menjawab persoalan yang dihadapi mereka. Pada dataran ini,

al-Qur’an sebagai dasar ajaran Islam dan petunjuk bagi umat manusia menappakan signifikansi

dan relevansinya. Ia hadir sebagai nilai yang bersifat transformative bagi umat manusia.

Dalam mengembangkan keilmun Islam, Fazlur Rahman sangat bersemangat untuk selalu

merujuk kepada al-Qur’an karena dalam pandangannya al-Qur’an sebagai firman Allah sama

kongkritnya dengan Perintah atau Hukum Allah sendiri, bahkan Allah itu sendiri, dan sekaligus

memperesentasikannya kedalam dan keluasan hidup itu sendiri. Al-Qur’an tidak dapat

dipergunakan untuk mendukung bias-bias intelektual dan cultural. Atas dasar itu, semua

pandangan keagamaan, termasuk teologi harus mengacu kepada sumber dasar tersebut.

Fazlur Rahman menegaskan, al-Qur’an merupakan petunjuk yang paling komperhensif

bagi manusia. Pandangan itu didasarkan pada surat Yusuf (12):111 (Al Quran itu bukanlah cerita

yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan

segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman), dan ayat yang

seumpamanya, seperti surat Yunus (10):37 dan surat al-An’am (6):114. Sebagai konsekuensi dari

hal tersebut, ia menyarankan (dan berupaya) agar kitab suci ini dipahami sebagai suatu kepaduan

yang berjalin kelindan yang dapat menghasilkan suatu pandangan hidup yang pasti dan

24 Abd. A’la, Dari Neo Modernisme KeIslam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hlm 82.25 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka,1984), hlm 30-3326 Abd. A’la, Dari Neo Modernisme KeIslam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hlm 82.

8

Page 9: Hermenutik double movement fazlur rahman

menyeluruh. Dalam rangka mencapai hal itu, dia mengemukakan suatu metode interpretasi al-

Qur’an yang rasional, sistematis dan komperhensif. Pola seperti itu merupakan satu-satunya

metode yang dapat di andalkan (reliable) baik dalam memahami nilai-nilai moral, aspek legal

dan tentunya aspek-aspek teologis.27

Secara umum, Fazlur Rahman dalam membangun metodologi pemahaman al-Qur’an

yang komperhensif tidak dapat dilepaskan dari pengaruh al-Syathibi (w.1388 M) dan Muhmmad

Abduh (w. 1905M). menurut tokoh yuris maliki itu, dalil-dalil syariah (al-Qur’an dan sunnah

Nabi) harus dipahami dalam suatu totalitas dan kumulatif. Pandangan in kemudian di ikuti oleh

Abduh. Sama dengan tokoh hukum Islam abad pertengahan itu, abduh mendesak perlunya

penafsiran dan pemahaman al-Qur’an secara keseluruhan dan tidak dipahami secara sepenggal-

sepenggal. Pada sisi ini adanya pengaruh kedua tokoh itu terhadap, atau menimal memiliki

horizon yang sama dengan Fazlur Rahman dapat dilacak.28

Bertolak dari keharusan pemahaman al-Qur’an secara komperhensif, doctor lulusan

Universitas Oxford itu mengembangkan suatu metodologi yang sistematis dan aplikatif yang,

dalam anggapannya, pada masa-masa sebelumnya belum ditangani secara sungguh-sungguh.

Metodologi tersebut harus melibatkan factor-faktor kognitif dari wahyu dan mengesampingkan

aspek-aspek estetik-apresiatif atau kekuatan presiasinya. Tujuannya adalah agar risalah atau misi

al-Qur’an dapat benar-benar dipahami sehingga memungkinkan orang-orang yang beriman dan

yang ingin hidup dalam bimbingannya dapat melaksanakannya secara koheren dan bermakna.

Lebih dari itu, melalui pendekatan yang murni kognitif, baik orang muslim atau non muslim

dalam masalah-masah tertentu dapat bersatu, asalkan mereka memiliki simpati dan ketulusan hati

yang diperlukan. Meskipun demikian, iman yang memberikan motivasi yang diperlukan untuk

hidup dibawah bimbingannya hanya milik oang-orang yang benar-benar muslim. Jelasnya,

melalui pendekatan kognitif, orang muslim dan lainnya sama-sama mempunyai kesempatan yang

tidak berbeda secara intelektual untuk memahami al-Qur’an secara objektif dan benar meskipun

untuk mengimani dan mempercayainya meupakan masalah yang lain.

Secara umum, proses penafsiran yang ditawarkan Rahman mempunyai dua gerakan

ganda. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur’an dan kedua, dari masa

turunnya al-Qur’an kembali kepada masa kini. Gerakan pertama terdiri dari dua langkah, yaitu

pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan al-Qur’an melalui cara mengkaji situasi atau 27 Abd. A’la, Dari Neo Modernisme KeIslam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hlm 83.28 Ibid,…hlm 83

9

Page 10: Hermenutik double movement fazlur rahman

problem historis dimana pernyataan Kitab Suci tersebut turun sebagai jawabannya. Dalam proses

ini, kajian mengenai pandangan-pandangan kaum muslimin, disamping bahasa, tata bahasa, gaya

bahas, dan lain-lainya akan sangat membantu sesudah hal itu diuji dengan pemahaman yang

diperoleh dari al-Qur’an sendiri. Setelah itu langkah kedua yang harus diambil ialah membuat

generalisasi dari jawaban-jawaban spesifik tersebut, dan mengungkapkanya dalam bentuk

pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral yang besifat umum. Sesudah dua

langkah pertama ini, dilanjutkan menuju gerakan kedua yang berbentuk perumusan ajaran-ajaran

yang bersifat umum tersebut, dan kemudian meletakannya kedalam konteks sosio-historis yang

kongkrit saat ini.29

Melalui metode itu, Fazlur Rahman berupaya memahami alasan-alasan jawaban yang

diberikan al-Qur’an dan menyimpulkan pinsip-prinsip hukum atau ketentuan umumnya. Dengan

demikian, Fazlur Rahaman mengesankan lebih memilih signifikansi makna yang bersifat

universal daripada makna tekstual yang terikat dengan peristiwa local-historis. Rahman tidak

terikat kepada ungkapan tekstual semata, tapi kepada nilai-nilai substansial yang terkandung

dibalik ungkapan itu.30

Terkait dengan hermeneutika ini, paling tidak ada dua aliran utama, yakni aliran

objektivis dan aliran subjektivis. Dalam hal ini, Rahman dapat dikategorikan sebagai pemikir

aliran objektivis. Ia tampaknya terpengaruh oleh hermeneutika model Emelio Betti yang masih

mengakui original meaning (makna otentik), ketimbang hermeneutika Hans-Georg Gadamer

(penganut aliran subjektivis) yang sudah tidak percaya lagi pada original meaning. Bagi

Gadamer, setiap penafsir pasti sudah memiliki prejudice sebelum berhadapan dengan teks.

Dengan demikian, sebuah penafsiran pasti melibatkan subjektvitas penafsir. 31

Meskipun Fazlur Rahman sealiran dengan Emilio Betti yang masih percaya pada makna

objektif dan juga masih mengakui adanya original meaning (makna otentik), namun ada

perbedaan mengenai konsep the original meaning antara Betti dan Rahman. Jika Betti

berkeyakinan bahwa makna asli suatu teks terletak pada akal pengarang, maka tidak demikian

halnya dengan Rahman yang menganggap makna asli teks dapat dipahami melalui konteks

sejarah ketika teks itu ditulis atau diturunkan. Sebab, menurut Rahman, seorang muffasir tidak

mungkin masuk kedalam ”pikiran” Tuhan. Adapun yang paling mungkin adalah memahami

29 Abd. A’la, Dari Neo Modernisme KeIslam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hlm 84.30 Ibid,…hlm.8531 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm 176.

10

Page 11: Hermenutik double movement fazlur rahman

konteks environmental di saat teks al-Qur’an itu di turunkan. konteks environmental itu oleh

Rahman disebut dengan asbab an-nuzul makro yang dapat diketahui melalui kajian sejarah.32

Poligami dalam pandangan Fazlur Rahman

Salah satu isu gender yang hingga sekarang masih menjadi polemik adalah masalah

poligami. Secara tekstual memang ada ayat yang membolehkan praktik poligami. Akan tetapi

penafsiran terhadap ayat poligami tersebut beragam. Terkait dalam hal ini paling tidak ada tiga

aliran. Pertama, aliran yang membolehkan poligami secara mutlak, dengan jumlah maksimal

empat. Ini biasanya diwakili oleh mayoritas mufassir klasik dan pertengahan. Kedua, aliran yang

“membolehkan” poligami dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan dalam kondisi darurat. Ini

biasanya diwakili oleh para mufassir modern kontemporer. Ketiga, aliran yang melarang

poligami secara mutlak. Ini biasanya diwakili oleh para aktivis feminis liberal yang menganggap

bahwa praktik poligami dalam konteks sekarang jelas sangat bias gender dan diskriminatif

terhadap perempuan.33

Dalam kaitannya dengan masalah poligami ini, Fazlur Rahman menyatakan bahwa al-

Qur’an secara hukum mengakui adanya system poligami, namun al-Qur’an juga melakukan

pembatasan maksimal empat dan menggariskan tuntunan penting untuk berlaku adil serta

meningkatkan nasib perempuan. Bagi Rahman, ayat poligami berhubungan dan merupakan

jawaban ad hoc terhadap masalah social yang terjadi ketika itu. Oleh karenanya, ayat tersebut

dapat di kategorikan sebagai ayat yang bersifat kontekstual, tergantung pada tuntutan problem

social yang ada.34

Selain itu, Rahman juga menyatakan bawa ada satu hal yang penting untuk diingat, yaitu

bahwa al-Qur’an bukanlah sebuah dokumen hukum, melainkan sebuah buku yang berisi prinsip-

prinsip dan seruan-seruan moral, meskipun ia mengandung pernyataan-pernyataan hukum yang

dikeluarkan selama poses pembinaan masyrakat. Ketetapan hukum dan reformasi umum yang

paling penting dari al-Qur’an adalah menyangkut masalah perempuan dan perbudakan, termasuk

didalamnya adalah masalah pologami, dimana al-Qur’an membatasi jumlah istri maksimal

empat. Al-Qur’an juga meyatakan bahwa suami-istri dinyatakan sebagai libas (pakain) bagi satu

sama lain. Kepada perempuan diberikan hak-hak yang sama atas kaum laki-laki sebagimana hak

laki-laki atas perempuan, dengan perkecualian bahwa laki-laki, sebagai pihak yang mencari

32 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 177.33 Ibid,… hlm. 257.34 Ibid,… hlm. 258.

11

Page 12: Hermenutik double movement fazlur rahman

nafkah, mempunyai kedudukan satu tingkat lebih tinggi dibanding perempuan.

Didalam al-Qur’an sebenarnya hanya ada satu ayat yang berbicara tentang poligami,

yakni: QS. An-Nisa (4): 3:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang

yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih

dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Akan tetapi sayangnya, ayat tersebut sering ditafsirkan secara parsial dan bahkan tidak

jarang disalah fahami sehingga seakan-akan seorang dibolehkan begitu saja melakukan poligami,

tanpa memperhatikan bagimana konteks turunnya ayat tersebut dan apa sesungguhnya ideal

moral dibalik praktik poligami. dalam QS.an-Nisa (4) ayat 2, misalnya, al-Qur’an mengeluhkan

bahwa banyak pengampu anak yatim yang menyalah gunakan kekayaan anak-anak yatim serta

memakannya secara batil. Atas kondisi itu, Allah berfirman:

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu

menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama

hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang

besar.35

Al-Qur’an juga menyatakan bahwa para pengampu anak-anak yatim ini lebih baik

mengawini gadis-gadis yatim daripada mngembalikan kekayaan mereka lantaran mereka ingin

menikmati kekayaan tersebut.

Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa

kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga

memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa

yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak

yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak

yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah

adalah Maha mengetahuinya.36

Dalam QS: an-Nissa(4): ayat 3 juga dinyatakan bahwa jika para pengampu ini tidak dapat

berbuat adil terhadap kekayaaan gadis-gadis yatim (dan mereka bersihkeras untuk 35 QS. An-Nisa [4]:236 QS. An-Nisa [4]:127

12

Page 13: Hermenutik double movement fazlur rahman

mengawininya) maka mereka boleh mengawini gadis-gadis yatim tersebut hingga empat, asal

mereka dapat berlaku adil diantara istri-istri. Akan tetapi jika khawatir tidak dapat berbuat adil

terhadap para istri maka mereka disuruh menikahi seorang saja dari gadis-gadis yatim itu.

Kerena hal ini merupakan yang terdekat kepada titik dimana mereka tidak akan melakukan

kesalahan dan penyimpangan. Disisi lain, al-Qur’an memperingatkan bahwa orang yang

berpoligami tidak akan mampu benar-benar berbuat adil, sebagimana ditegaskan dalam al-

Qur’an:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu

sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang

kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan

perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang.37

Menurut Rahman, ayat-ayat diatas terkesan ada kontradiksi, yakni antara ayat yang

mengizinkan poligami sampai empat dengan tututan berbuat adil kepada para istri dan deklarasi

yang tegas bahwa tuntutan itu tidaklah mungkin terwujud. Jika demikian halnya, lantas mengapa

masaalah tuntutan berbuat adil tidak dijadikan klausal pokok dalam menetapkan system

perkawininan dalam islam? Interpretasi tradisionalis memang menegaskan bahwa klausal izin

berpoligami punya kekutan legal, sementara tuntutan akan keadilan diserahkan pada kesadaran

suami. Pendapat sepert ini dinilai tidak tepat oleh kaum moderenis. Bagi kaum moderenis, yang

utama adalah tuntutan berbuat adil dan deklarsi tentang ketidak mungkinan berbuat adil. Oleh

kerena itu, izin poligami besifat sementara dan untuk suatu maksud yang terbatas.

Dengan petimbangan sepeti itu, Rahman menegaskan tentang cita-cita moral al-Qur’an

berkaitan dengan masalah poligami. Izin poligami menjadi legal dengan sanksi-sanksi yang

dikenakan atasnya adalah dalam wujud suatu cita-cita moral ke arah mana masyrakat diharapkan

bergerak karena memang tidak mungkin menghapus pologami secara legal dengan sekaligus.

Dalam kaitan ini, Rahman tanpanya ingin mengatakan bahwa poligami secara berangsur-angsur

namun pasti harus dihapuskan, kecuali dalam menghadapi kasus yang sangat darurat.

Dalam al-Qur’an, izin poligami sesungguhnya juga berkaitan erat dengan masaalah

penyantunan anak yatim. Oleh karena itu, ayat tentang poligami harus dipahami dalam konteks

struktur social yang khusus, dimana masyarakat ketika itu belum memungkinankan untuk

37 QS. An-Nisa [4]:129

13

Page 14: Hermenutik double movement fazlur rahman

meninggalkan secara keseluruhan praktik poligami. Masyarakat tersebut hanya didorong maju

sejauh yang mereka mampu. Dalam hal ini, pendekatan hukum maupun moral sangat diperlukan,

secara hukum, dilakukan pembatasan mengenai jumlah perempuan yang boleh dipoligami,

namun secara moral semangat poligami adalah semangat menyantuni anak yatim dan para janda.

Dari urain tersebut tampak bahwa Fazlur Rahman konsisten menerapkan metode tafsir

tematik dengan meneliti dan menyusun konsep secara logis dari seluruh ayat yang berkaitan

dengan masalah poligami sehingga memperoleh gambaran yang utuh dan komperhensif. Rahman

juga mnggunakan pendekatan asbab an-nuzul makro yang merupakan aplikasi dari pendekatan

sosi-historis untuk menemukan idieal moral yang terdapat dibalik ketentuan legal spesifik ayat

poligami tersebut. Konteks sosio-histrois tersebut sejalan dengan konteks historis verbal yang

ditulis oleh al-Wahidi bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan seorang wali (pengampu) yang

hendak menikahi perempuan yatim, tetapi ia tidak dapat berbuat adil dan tidak dapat

mempergaulinya dengan baik, maka turunlah QS.al-Maidah (5): 3 tersebut.

Dari penafsiran Fazur Rahman diatas, dapat disimpulkan bahwa ideal moral dari ayat

poligami adalah masalah pentingnya berbuat adil, penyantunan janda, dan anak-anak yatim,

dengan cara menikahi ibu dari anak-anak yatim tersebut penafsiran ini tidak bisa diragukan lagi

karena ayat ini turun dalam kondisi ketika banyak terjadi perang sehingga banyak laki-laki yang

meninggaldunia. Akibatnya, terdapat banyak janda dan anak-anak yatim yang sudah semestinya

disantuni.

Kesimpulan

Dari paparan makalah ini dapat disimpulkan bahwa Fazlur Rahman adalah sosok ilmuan

yang kritis dalam memandang al-Qur’an. Fazlur Rahman merupakan seorang critical lover

(seseorang kekasih yang kritis) terhadap al-Qur’an, meminjam istilah farid Esack. Bagi Rahman

betapapun al-Qur’an adalah kalam Allah (the word of God), namun karena ia hendak di

komunikasikan kepada manusia maka ia memerlukan medium bahasa Arab yang tentu memiliki

historisitas dan konteks tersendiri sehingga untuk memahaminya perlu mempertimbangkan

konteks sosio-historisnya, terutama konteks masyarakat Arab abad VII M. Dalam hal ini,

Rahman sama sekali tidak mempersoalkan otentisitas al-Qur’an sebab, menurutnya otentisitas al-

Qur’an sudah final.

Pendekatan sosio-historis yang dipakai Fazlur Rahman adalah salah salah satu pisau

analisis dalam hermeneutika double movement. Asumsinya adalah bahwa teks itu tidak otonom

14

Page 15: Hermenutik double movement fazlur rahman

sehingga ia tidak dapat dipahami dengan baik tanpa mempertimbangkan konteks. Untuk

menemukan makna original (original meaning) di masa lalu, diperlukan analisis sosio-historis,

yakni dengan cara mencoba memahami situasi dan konteks ketika ayat itu diturunkan, baik

konteks bersifat spesifik (asbab an-nuzul mikro) maupun konteks environmental (asbab an-nuzul

makro), lalu menangkap pesan moralnya di balik makna literal yang ada. Dengan begitu seorang

mufassir akan mampu melakukan kontekstualisasi gagasan al-Qur’an tanpa harus terjebak pada

bingakai teks yang cenderung melahirkan pemahaman tekstualis, literalis, dan skripturalis.

Dengan kata lain, tujuan lebih jauh ketika seorang menafsirkan al-Qur’an adalah mengaktualkan

makna teks bagi pembaca tekini, dengan tanpa mengabaikan makna teks di masa lalu.

Dengan demikian, sebuah penafsiran tidak boleh betentangan dengan pandangan dunia

al-Qur’an itu sendiri. Rahman berangkat dari adagium lama bahwa ”ayat-ayat al-Qur’an saling

menafsirkan satu dengan lainnya” (Al-Qur’anu yufassiru ba’dhuhu ba’dha). Dengan prinsip

tersebut, pemahaman yang kompehensif dan holistic dapat dicapai melalui melalui metode

tematik. Dengan demikian, biarkanlah al-Qur’an berbicara dengan dirinya sendiri.

\

15