kritik fazlur rahman terhadap konsep sunnah al-syĀfi’Ī
TRANSCRIPT
KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH
AL-SYĀFI’Ī
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Muhammad Lutfi
NIM: 1111034000163
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN ILMU TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Kritik Fazlur Rahman Terhadap Konsep Sunnah Al-
Syāfi’ī” telah diajukan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juli 2018 Dan telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu
Alquran dan Tafsir.
Ciputat, 18 Juli 2018
Sidang Munaqosah
i
ABSTRAK
Muhammad Lutfi
Kritik Fazlur Rahman Terhadap Konsep Sunnah al-Syāfi’ī
Penelitian ini membahas mengenai pemahaman konsep sunnah Fazlur Rahman,
yang berpandangan bahwa Rasulullah bukalah tokoh yang berkapasitas sebagai ahli
hukum yang mengatur semua aspek kehidupan umat Islam, namun lebih tepatnya
sebagai tokoh reformis moral (uswah al-ḥasanah), sehingga harus ditafsirkan dan
dipraktekkan secara dinamis dan tidak kaku. Asumsi dasar itu berangkat dari realitas
historis kehidupan para sahabat, tābi’īn dan generasi pra-al-Syāfi’ī yang sangat
dinamis dan kreatif dalam memaknai sunnah (teladan) Nabi menjadi “sunnah yang
hidup” (living sunnah).
Proses kreativitas ini berlangsung hingga generasi ketiga, yaitu para tābi’ al-
tābi’īn, ahli hukum dan teolog (aliran kalām) awal yang tetap mempraktekkan
“sunnah yang hidup”. Sunnah Nabi diinterpretasikan (ijtihad) melalui konsensus
bersama (ijmā’) kaum Muslimin dengan sangat demokratis, sehingga mereka mampu
mengatasi berbagai persoalan sosial-politik-reglius yang terus berubah pada masa itu.
Dari realitas historis tersebut, relasi organis antara ijtihād-ijmā’ tidak bisa dipisahkan
dari sunnah Muslim generasi awal.
Di tengah proses demokratis tersebut, fabrikasi-fabrikasi atas sunnah Nabi tidak
bisa dielakkan, tersebarnya kaum muslim di berbagai wilayah yang mengkondisikan
penafisiran sunnah menjadi liar tak terkendali, di fase ini muncullah gerakan unifikasi
metodis yang diprakasai Muḥammad Idrīs al-Syāfi’ī (w. 150 H), yang secara garis
besar memformulasi; sunnah atau hadis Nabi harus tersambung trasmisi
periwayatannya (hadis ṣaḥīḥ), dan mendudukkan otoritas hadis ṣaḥīḥ sejajar dengan
Alquran atau dalam struktur hukum Islam hadis berada pada posisi kedua setelah
Alquran, serta penolakan terhadap konsensus (ijtihad-ijmā’) kalangan ahli hukum dan
teolog awal atas penafsiran sunnah—yang merupakan “sunnah yang hidup” kaum
Muslimin awal.
Pandangan Rahman tersebut merupakan konfirmasi dari temuan-temuan
kesarjanaan Barat, seperti Joseph Schacht—yang berkesimpulan bahwa literatur hadis
merupakan produk pemikiran Muslim awal, yang membawa dia bersikap skeptis
dengan literatur hadis kanonik (kitab-kitab hadis), yaitu bukan berasal dari Nabi,
yaitu hasil penafsiran “sunnah yang hidup” dari generasi Muslim awal, namun
Rahman keberatan dengan pendapat Joseph Schacht, konsep yang sahih dan operatif
sejak awal Islam dan tetap demikian sepangan masa dan organis dengan preseden
otoritatif Nabi.
Kajian ini bertujuan ingin mengetahui apa argumentasi kritik Fazlur Rahman
terhadap Konsep Sunnah al-Syāfi’ī. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis
dan sosiologis, sehingga dapat mengidentifikasi proyeksi kritisismenya. Hasil temuan
penulis, ada dua poin, pertama, al-Syāfi’ī telah memformalisasi sunnah menjadi
hadis, yang awalnya bersifat informal dan semi-formal, kedua, al-Syāfi’ī memberi
status kewahyuan sunnah, bagi Rahman sunnah bukanlah wahyu ekstra-Qurani,
namun intra-Qurani.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam. Salawat serta salam semoga
senentiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. serta keluarganya.
Para Nabi, para sahabat, para tabi’īn, tābi’ al-tābi’īn dan kepada para ulama yang
telah menjaga kelestarian ilmu, budaya dan peradaban hingga saat ini.
Tak berhenti penulis ucapkan rasa syukur kepada Allah Swt. atas tersusunnya
penelitian skrtipsi yang berjudul Kritik Fazlur Rahman terhadap Konsep Sunnah Al-
Syāfi’ī ini. Penulis sadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan sendirinya tanpa
adanya upaya dan usaha yang gigih untuk menyelesaikannya.
Alhamdulillah, rintangan dan hambatan di dalam penyusunan skripsi ini dapat
dilalui berkat arahan, bimbingan dan segala bentuk bantuan dari berbagai pihak.
Maka dari itu penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya. Selanjutnya, penting
sekali untuk penulis sampaikan ungkapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaran Pembantu Dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA., selaku Ketua Jurusan dan Ibu Banun
Baningrum, M.Pd., selaku Sekretaris dan Ibu Hani Hilyati Ubaidah, M.Ag
selaku Asisten Sekretaris Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir.
4. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., selaku dosen pembimbing yang
telah berbagi waktu dengan penulis di tengah-tengah kesibukannya yang
iii
sangat padat untuk berkenan membimbing penulis dalam melakukan
penelitian sekaligus memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengaji dan khidmat di rumahnya.
5. Bapak Jauhar Azizi, MA., selaku Pembimbing Akademik, Bapak Eva
Nugraha, MA., Bapak Kusmana, P.hd., Bapak Dr. Ahsin Sakho
Asyrofuddin, MA., Bapak Drs. Harun Rasyid, MA., Bapak Dr.
Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag., Pak Toto dan seluruh jajaran Dosen yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
6. Terima kasih yang sedalam-dalam kepada Guru yang sangat luar biasa;
Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA sebagai Kyai Ma’had dan H. Utob
Tobroni, Lc., MCL sebagai Wakil Kyai Ma’had (pada saat itu) yang tidak
pernah lelah mendidik dan memberi motivasi kehidupan selama di
Asrama, tak lupa juga kepada jajaran pengajar Ma’had UIN, dan Ibu Amel
beserta rekan-rekannya yang selalu membantu dan mengurus program
beasiswa Bidik Misi. Terima kasih juga rekan-rekan sepenanggungan
Ma’had UIN; Edi, Ajat, Ihya, Muhyidin, Mujab, Umam, Rahmat, Syauqi,
Gusti, Adnan, Ade, Huda, dan seluruh rekan-rekanwati yang tidak bisa
disebutkan satu-persatu.
7. Terima kasih yang tak terhingga kepada almarhum Ayahanda tercinta
Abdullah Harits Jauhari (allahumma yarhamhu) dan Ibunda Mubiroh
Bunyamin, dengan kasih sayang yang tulus mendidik, membesarkan dan
mencintai saya hingga saat ini. Kakanda dan adinda tersayang; Mba
Widad, Mas Arif, Mba Nay, Eyuz, Izad, dan Mas Yusuf, dan keponakan
iv
tercinta; Qia dan Maria yang selalu peduli dan selalu mensupport hidup
saya.
8. Terima kasih juga kepada anggota Keluarga Besar Bani Bunyamin, Bani
Jauhari, Bani Jahari dan Bani Mardhi yang selalu memberi semangat dan
pelajaran hidup.
9. Kawan-kawan TH Angkatan 2011 sebagai kawan ngopi, kawan diskusi;
Adi Fadilah, Dede, Irfan, Hilman, Muslih, Basit, Ulfah, Ilham, Fuad,
Akrom, Ulil, Ceceng, Kiting, Muflih, Asep, Restu Eka, Anis, Quraisy,
Kholik, Seman, Toib, Jamil, Ian, Ipul, Rifai, Ijal, Ayi, Zaim, Umam, Arif,
Subhan, Anam, Mujib, Azizah, dan semua kawan-kawanwati yang tidak
bisa disebutkan satu-persatu.
10. Rekan-rekan tangga.id; Mas Afiq, Mas Awab, Away, Muhtalim, Iqbal,
sebagai teman diskusi, teman adu argumen dan teman “hidup”.
11. Rekan-rekan kerja Satria, teruntuk Pak Fariza, Ibu Aisyah, Pak Wahyu,
Pak Arnov, Mba Nurul, Mba Nina, Bang Sky, Aldo, Baim, Sakera, Nur
Hasanah, Gawanti, Candy, Bang Ip Man dan Fajrin, mereka rekan kerja
yang sangat luar biasa
12. Teman Diskusi Cahaya Kemenangan Hati Paramadina; Mas Radhar Panca
Dahana, sebagai guru kebudayaan, juga saya haturkan terima kasih kepada
Pak Rahmat, Bang Hasan, Pak Afi, Pak Endro, Bang Sis, Agus, Bang
Rifqi, dkk
13. Dan seluruh teman dan sahabat yang ada dalam hidup saya.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………………. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… v
DAFTAR TABEL……………………………………………………… vii vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………….. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah…….……….. 10 1
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11 1
D. Tinjauan Pustaka…………………………………………. 11 1
E. Metode Penelitian………………………………………… 13
F. Sistematika Penelitian…………………………………….. 14
BAB II DISKURSUS KONSEP SUNNAH
A. Definisi Sunnah
1. Definisi………………………………………………. 16
2. Sunnah dan Hadis……………………………………. 20
3. Sunnah Nabi…………………………………………. 22
4. Sunnah Nabi dalam Alquran………………………… 23
B. Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya…………….. 25
C. Konsep Sunnah Modern Dalam Kesarjanaan Barat
dan Muslim………………………………………………. 26
vi
BAB III FAZLUR RAHMAN : BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
A. Biografi
1. Latar Belakang Sosio-Kultural…...……………………. 29
2. Kehidupan Awal……………………………………….. 30
3. Pendidikan……………………………………………... 32
4. Karier…………………………………………………... 34
B. Pemikiran dan Karya
1. Pemikiran dan Karya-karyanya………………………... 37
2. Double Movement Teory (Metode Gerakan Ganda)…... 43
BAB IV KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH
AL-SYĀFI’Ī
A. Sunnah Perspektif Al-Syāfi’ī ……………………………… 46
B. Living Sunnah (Tradisi Yang Hidup)……………………… 48
C. Formalisasi Sunnah dan Sunnah Bukan Wahyu Esktra-Qurani
1. Formalisasi Sunnah……………………………………. 52
2. Sunnah Bukan Wahyu Esktra-Qurani…………………. 61
3. Relevansi dan Implikasi Kritik Fazlur Rahman Terhadap
Al-Syāfi’ī dalam Kajian Hadis ……………………….. 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………… 66
B. Saran-saran………………………………………………… 66
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 67
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Proses Formalisasi Sunnah
Tabel 2.
Konsep sunnah sebelum Al-Syāfi’ī
Konsep sunnah sesudah Al-Syāfi’ī
Informal
(priode Nabi) Semi-Formal
(priode Sababat
dan tāb’īn)
Formal
(priode Al-Syāfi’ī
dan sesudahnya)
Sunnah Nabi Ijtihad Ijmā’
Sunnah Nabi Ijmā’ Ijtihad
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
No: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No Arab Latin No Arab Latin
ṭ ط Tidak dilambangkan 61 ا 1
ẓ ظ b 61 ب 2
„ ع t 61 ت 3
g غ ṡ 61 ث 4
f ف j 02 ج 5
q ق ḥ 06 ح 6
k ك kh 00 خ 7
l ل d 02 د 8
m م ż 02 ذ 9
n ن r 02 ر 10
w و z 01 ز 11
ـه s 01 س 12 h
' ء sy 01 ش 13
y ي ṣ 01 ص 14
ḍ ض 15
2. Vokal Pendek 3. Vokal Panjang
ـــــــ = a ب ت ك kataba
ل ئس i = ـــــــ su‟ila ـــ ـ ب ه ذ ي u = ـــ yażhabu
ال ق ā = ..ا qāla
ī = اىـ ل ي ق qīla ū = ا و ل و ق ي yaqūlu
4. Diftong
ي ا = ai ف ي ك kaifa
و ا = au ل و ح ḥaula
5. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif dan lam) ditransliterasi dengan al-, contoh kata
Kata sandang ini menggunakan huruf .(al-sunnah) السنة .(al-ḥadīṡ) الحديث
kecil, kecuali berada pada awal kalimat.
ix
2. Tasydīd atau syaddah ditransliterasi dengan huruf ganda, contoh الخطاب
(al-khaṭṭāb).
3. Transliterasi ta’ marbūṭah (ة) adalah “h”; termasuk ketika ia diikuti oleh
kata sandang “al” (ال), kecuali dalam transliterasi dengan “al” diikuti dengan
kata penghubung “– “, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun
huruf syamsiyyah, kecuali dalam transliterasi ayat Alquran.
4. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis
sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti Alquran, Hadis, Ijtihad, Ijmak dan
lain sebagainya.
5. w. : Wafat
t.t. : Tanpa Tempat
t.p. : Tanpa Penerbit
t.th. : Tanpa Tahun.
H : Penanggalan Hijriah
M : Penanggalan Masehi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah Sunnah bukanlah suatu hal yang baru bagi kaum Muslimin, istilah
tersebut menjadi role mode di kalangan generasi Arab pra-Islam. Orang Arab telah
menggunakannya sebagai adat-istiadat dan contoh prilaku yang ditinggalkan oleh
nenek moyang mereka, yaitu bagi adat istiadat atau hukum yang umum berlaku bagi
mereka. Mereka menganggap sebagai norma bagi diri mereka. Labīd ibn Rabī‘ah
dalam karyanya, Mu’allaqah, berkata :
من معشر سنت لهم آباؤهم ولكل قوم سنة وإمامها
Dari kelompok orang-orang di mana nenek moyangnya membuat sunnah (aturan),
dan setiap bangsa mempunyai sunnah (aturan) dan pemimpinnya sendiri.
Secara lebih dalam, sunnah adalah sebuah konsep prilaku, baik bersifat fisikal
maupun aksi-aksi mental. Sunnah tidak hanya tertuju kepada sebuah tindakan
sebagaimana adanya tetapi secara berkelanjutan dilakukan secara berulang-ulang.
Dengan kata lain, sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku, baik terjadi sekali
maupun berulang kali—yang dilakukan secara sadar. Selain sebagai sebuah tingkah
laku, sunnah juga bersifat normatif, sehingga ada keharusan moral yang tidak bisa
dipisahkan dari pengertian konsep sunnah ini.1
Dari konsep tingkah laku normatif atau teladan tersebut lahirlah konsep
tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Jika seseorang
memandang bahwa tingkah laku seseorang patut dijadikan sebagai teladan lalu
1 Ahmad Hasan, The Early Development Of Islamic Yurisprudence, terj. Agah Ganardi, judul:
Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 1984), h. 76-77.
2
berhasil mengikuti teladan tersebut maka tingkah laku mendekati standar atau benar.
Selain itu sunnah juga bisa berarti sebagai ―jalan penengah‖ yaitu jalan yang lurus
tidak meyimpang ke kanan atau ke kiri yang berarti sebagai ―penengah di antara hal-
hal yang bersifat ekstrem‖ atau jalan tengah.2
Dalam generasi-generasi selanjutnya (Islam masuk) istilah ini berarti praktik
umum kaum Muslimin priode awal, istilah yang mencerminkan sunnah Nabi.
Peristilahan ahl ḥadiṡ, pacsa-al-Syāfi‘ī , hadis dan sunnah dianggap identik.3 Padahal
tidak sama. Hadis adalah penuturan dan prilaku Rasulullah sedangkan sunnah adalah
hukum yang di simpulkan dari penuturan itu. Dengan kata lain, hadis adalah
‗pembawa‘ dan ‗kendaraan‘ dari sunnah. Sunnah terkandung dalam hadis, karena itu
secara general bahwa suatu hadis tertentu mengandung lima sunnah4. Atau dikatakan
bahwa ada tiga sunnah dalam kejadian mengenai Barīrah seorang budak perempuan.5
Lebih jauh, sunnah selalu disimpulkan dan diketahui dari hadis, yaitu suatu laporan
(tentang Nabi).
Literatur yurisprudensi yang paling awal memperlihatkan bahwa kata hadis
tidaklah secara spesifik mutlak dipergunakan untuk perkataan dan tindakan
Rasulullah. Dalam priode pra-al-Syāfi‘ī kata tersebut juga diterapkan pada
pernyataan-pernyataan para sahabat dan tabi‘īn. Dalam permasalahan pembagian
2 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History,diterjemahkan oleh Anas Mahyudin, judul:
Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka, Cek ke-3, 1995) h. 1-5. 3 Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam: Al-Qur'an, Muwatta` dan Praktik Madinah
(Bandung: Islamika, 2003), h. 362. 4 Lihat Sunan Abī Daūd, (Beirut: Dār al-Risālah al-‗Alāmiyyah, vol. 3. 2009), h. 40.
5 Sayyidah ‗Āisyah berkata :
ة ثلاثة سننركان فى بري Lihat al-Muwaṭṭā‘ (Beirut: Iḥyā‘ al-Turāṡ Al-‗Arābī, 1985), h. 562. Lihat juga Sahīh Bukhārī,
(Beirut: Dār Ibn al-Kaṡīr, cet. 1, 2002), h. 1345.
3
rampasan perang, keputusan yang diambil oleh gubernur Syria dan yang kemudian
dikuatkan oleh sayyidinā ‗Umar yang ketika itu menjadi khalifah kedua. Disebut oleh
Abū Yusūf (w. 182 H) sebagai hadis dan keputusan ini diikuti Abū Ḥanīfah (w. 150
H) sebagai hal yang lebih disukainya daripada tradisi yang sudah mapan dari
Rasulullah. Nampaknya bahwa istilah ini menjadi terbatas kepada perkataan dan
tindakan Rasulullah hanya ketika perbedaan arti antara sunnah dan Hadis
dikesampingkan6.
Dari pembahasan di atas kita beralih ke tanggapan Fazlur Rahman mengenai
pandangan-pandangan Sarjana Barat Modern7, seperti Ignaz Goldziher—yang secara
serius mengkaji evolusi hadis—yang berpendapat segenap perbuatan dan tingkah
lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat Muslim dan secara otomatis idealitas
sunnah dari tradisi Arab pra-Islam terputus.8 Joseph Schacht mengemukakan
pendapatnya yang sama seperti Lamens dan Margoliouth di dalam karyanya yang
berjudul Origins of Mohammedan Jursiprudence. Di dalam bukunya dia berpendapat
bahwa konsep konsep ―Sunnah Nabi‖ hanya muncul di kemudian hari, sedangkan
generasi-generasi Muslim di masa lampau menjadikan sunnah berarti praktek kaum
Muslimin itu sendiri.9 Menurut Schacht, al-Syāfi‘ī merupakan ahli hukum Islam
pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah model prilaku Nabi
6 Hasan, The Early, h. 76-77.
7 Herbert Berg mengelompokkan Sarjana Barat dan Muslim dalam kajian Kritik Hadis
kedalam empat Kelompok; 1) Early Wastern Scepticism; Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, 2) Reaction
About Scepticism; N. Abbott, Fuad Sezgin, M.M. Azam, 3) The Search Middle Ground; Juynboll,
Fazlur Rahman, Schoeler, Harald Motzki, dll., 4) Renew Scepticism; Michael Cook dan N. Cadler.
Lihat. Herbert Berg, The Development Of Exegesis in Early Islam (Richmound, London: Curzon Press,
2000), h. 6-50. 8 Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, judul: Islam (Bandung:
Pustaka, Cek ke-3, 1997), h.52-53. 9 Rahman, Islamic Methodology, h. 5-6.
4
atau sunnah Nabi, yang identik dengan tradisi Nabi (Hadis atau dokumentasi sunnah).
Selanjutnya Schacht menemukan bahwa bagi generasi-generasi pra-al-Syāfi‘ī, sunnah
mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang membentuk ―tradisi yang
hidup‖ pada basis yang sama dengan praktik biasa atau disepakati secara umum
(ijmā’). Schacht juga menegaskan bahwa ―tradisi yang hidup‖ keberadaannya
mendahului hadis. Ketika hadis pertama kali beredar—sekitar abad ke-dua hijriah—
tidak merujuk kepada Nabi, tetapi pertama-tama kepada tābi‘īn. Pada tahap
selanjutnya hadis kemudian dirujukkan kepada sahabat dan akhinya disandarkan
kepada Nabi. Pandangan Schacht ini juga diringkas dalam sebuah kutipan berikut:
…bahwa pada umumnya, tradisi yang hidup dari mazhab-mazhab hukum priode
awal—sebagian besar didasarkan pada penalaran individu—muncul terlebih dahulu;
bahwa sahabat; bahwa pada tahap kedua, ia ditempatkan di bawah lindungan para
sahabat; bahwa tradisi-tradisi dari Nabi sendiri yang diedarkan ke tengah-tengah
masyarakat oleh Muḥaddiṡ (tradisionis) menjelang adab ke-2 H, mengganggu dan
mempengaruhi ―tradisi yang hidup‖ ini, dan bahwa Al-Syāfi‘ī menyelamatkan
tradisi-tradisi otoritas tertinggi Nabi itu dari bahaya kemusnahan.
Kajian Schacht dan Goldziher serta para sarjana Barat berkesimpulan skeptis
total tehadap konsep sunnah dan hadis Nabi. Rahman berkesimpulan bahwa hal-hal
yang menyebabkan para sarjana Barat tersebut menolak konsep sunnah Nabi adalah
sebagai berikut; pertama, sebagai besar kandungan sunnah merupakan
kesinambungan langsung dari kebiasaan dan adat-istiadat pra-Islam, kedua, sebagian
kandungan sunnah merupakan hasil aktivitas pemikiran bebas ahli-ahli hukum Islam
awal—yang dengan ijtihad personal mereka—telah membuat deduksi-deduksi dari
sunnah atau praktik-praktik yang ada dan lebih penting lagi—menambahkan elemen-
elemen baru dari sana-sini, terutama dari sumber-sumber Yahudi dan praktek-prakter
pemerintahan Bizantium serta Persia; dan ketiga, bahwa belakangan ketika hadis
5
berkembang menjadi gerakan besar dan menjadi fenomena masif pada penghujung
abad ke-2 H, khususnya abad ke-3 H, seluruh kandungan sunnah yang awal
dinisbatkan secara verbal kepada Nabi sendiri di bawah naungan konsep sunnah
Nabi.10
Dalam kajian evolusi sunnah dan hadis, Rahman memang mengkonfirmasi
temua-temuan atau teori-teori para sarjana Barat tentang evolusi kedua konsep
tersebut, tetapi, Rahman tidak sepakat dengan teori mereka bahwa konsep sunnah
Nabi merupakan kreasi kaum Muslim yang belakangan. Baginya konsep sunnah Nabi
merupakan ―konsep yang sahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian
sepangan masa‖.11
Rahman juga mengakui bahwa di dalam Alquran tidak terdapat
istilah sunnah yang merujuk kepada ajaran-ajaran ekstra-Qurani Nabi, tetapi konsep
sunnah Nabi sudah eksis sejal awal Islam. Untuk mendukung pendapatnya tentang
eksistensi sunnah Nabi ini, ia merujuk pada pernyataan-pernyataan Alquran yang
menegaskan bahwa pada diri Nabi terdapat uswah ḥasanah (teladan yang baik atau
contoh yang harus diikuti)12
menurut Rahman, ayat tersebut menyiratkan bahwa
kaum Muslimin awal memandang perilaku Nabi sebagai sebuah konsep.
Setelah menegaskan bahwa konsep sunnah Nabi tidak dimaksudkan untuk
bersifat mutlak, Rahman juga mengemukakan bahwa kandungan sunnah Nabi itu
tidak banyak jumlahnya:
…Keseluruhan gambaran biografi Nabi—jika kita melihat di balik
penggambaran yang diberikan oleh literatur hukum abad pertengahan yang sangat
banyak ini—tentu saja tidak memiliki tendensi untuk memberikan kesan tentang
10
Rahman, Islamic Methodology, h. 6-7. 11
Rahman, Islamic Methodology, h. 6-7. 12
Qs. al-Aḥzāb: 21.
6
Nabi sebagai legislator (pembuat hukum) yang dengan cermat memberikan aturan
yang mencakup seluruh kehidupan manusia secara detail, dari aturan kepemerintahan
hingga bersuci. Sesungguhnya bukti-bukti sangat kuat menunjukkan bahwa Nabi
pada dasarnya merupakan seorang reformis moral manusia dan bahwa, di samping
keputusan yang sekali-kali dikeluarkannya dalam kasus-kasus ad hoc, Beliau jarang
berpaling dari legislasi umum sebagai suatu cara untuk memajukan Islam..
Untuk satu hal, dapat disimpulkan bahwa Nabi, yang hingga akhir hayatnya
sibuk dalam perjuangan moral dan politik yang sangat berat melawan masyarakat
Makkah serta orang Arab dan dalam mengorganisasi negara komunitas, hampir-
hampir tidak memiliki waktu untuk menetapkan aturan-aturan bagi minutiae
kehidupan… hanya dalam kasus-kasus yang krusial saja Nabi terpaksa mengeluarkan
keputusan dan dalam kasus-kasus tertentu. Alquran harus mengintervensi.
Kebanyakan kasus semacam ini bersifat ad hoc dan diselesaikan secara informal serta
dalam cara yang ad hoc.13
Penyelesaian-penyelesaian ad hoc Nabi, yang juga merupakan sunnahnya,
tidak dipandang secara kaku oleh generasi-generasi Muslim awal. Mereka
menyempurnakan dan menafsirkan sunnah Nabi secara kreatif menjadi ―sunnah yang
hidup‖ untuk menghadapi faktor-faktor dan benturan-benturan baru. Penafsiran
kreatif terhadap sunnah Nabi ini dicontohkan oleh Rahman dari serangkaian
kebijaksanaan Sayyidinā ‗Umar, serta aktivitas-aktivitas ahli hukum awal (Abū
Ḥanīfah, Mālik ibn Anas, dan lain lain). Contoh-contoh ini, dalam pandangan
Rahman, membuktikan bahwa ―sunnah yang hidup‖ atau sunnah kaum Muslim awal
berasal dari ―sunnah ideal‖ Nabi yang secara progresif ditafsirkan melalu ijtihad atau
qiyās. Pada titik ini Rahman mengonfirmasi temuan-temuan sarjana Barat bahwa
kandungan aktual sunnah kaum Muslim awal sebagian besar adalah produk ijtihad
personal yang telah mengkristal. Tetapi ia memberi substansi baru dari temuan-
temuan tersebut, bahwa sunnah kaum Muslim itu secara organis dengan preseden
otoritatif Nabi.
13
Rahman, Islamic Methodology, h. 15, lihat juga, Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan
Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1996), h. 167.
7
Dari ilustrasi di atas, Rahman berkesimpulan bahwa ―sunnah yang hidup‖
identik dengan ijmā’ kaum Muslim awal atau praktek yang disepakati, dan juga
merupakan suatu proses yang tengah berlangsung karena disertai dengan ijtihād dan
ijmā’. Pandangan Rahman yang telah diuraikan sejauh ini diringkas sebagai berikut:
pertama, bahwa sunnah kaum Muslim awal, secara konsesional dan kurang lebih
garis besarnya, berkaitan secara intim dengan sunnah Nabi dan pandangan bahwa
praktek kaum Muslim awal adalah hal yang terpisah dari sunnah Nabi tidak dapat
dipegang, karena argumentasinya lemah, kedua, bahwa meskipun kandungan spesifik
yang aktual dari sunnah kaum Muslim awal ini sebagian besar adalah produk
pemikiran kaum Muslim sendiri, ketiga, bahwa agensi kreatif dari kandungan (sunnah
kaum Muslim) ini adalah ijtihād personal yang mengkristal menjadi ijmā’
berdasarkan petunjuk umum sunnah Nabi yang tidak dipandang sebagai sesuatu hal
yang spesifik dan, keempat, bahwa konsep sunnah atau sunnah (kaum Muslim awal)
identik dengan ijmā’.14
Di samping itu, Rahman juga mencatat suatu fenomena dari sunnah-ijmā’ di
atas bahwa ijmā’ yang merupakan kristalisasi ijtihad tidak menghilangkan perbedaan
pendapat. Ijmā’ atau sunnah kaum Muslim awal ini tidak hanya bersifat regional—
misal sunnah-ijmā’ Madinah dan Irak—tetapi bahkan di suatu daerah terdapat
perbedaan-perbedaan, walaupun ada opinio genealis. Hal tersebut menjelaskan proses
pencapaian ijmā’, yakni melalui perbedaan-perbedaan atau praktik-praktik lokal dan
melalui ijtihad-ijtihad yang berbeda, timbullah sebuah opinio publica, meskipun pada
waktu yang bersamaan proses pemikiran bebas dan interpretasi tetap berlangsung.
14
Amal, Taufik Adnan, Islam, h. 163.
8
Tetapi sementara proses pencapain ijmā’ yang demokrastis ini berjalan,
muncul gerakan kuat yang menghendaki keseragaman dan menyerukan substansi
hadis untuk proses-proses ijtihād-ijmā’ tersebut. Di bidang yurisprudensi, sebagimana
Schacht, Rahman mengemukakan bahwa gerakan ini dipelopori al-Syāfi‘ī15
yang
memberikan peranan sunnah-ijtihād-ijmā’ kepada sunnah Nabi. Sunnah Nabi
dipahami al-Syāfi‘ī secara harfiah dan bersifat mutlak serta salah satunya wahana
satu-satunya bagi transmisinya adalah hadis. Akibat penalaran al-Syāfi‘ī 16
ini,
menurut Rahman hubungan organis antara sunnah-ijtihād-ijmā’ menjadi rusak.
Menurut Rahman, jelas sekali bahwa konsep al-Syāfi‘ī mengenai ijmā’ sangat
bertentangan dengan mazhab-mazhab lainnya. Konsepnya mengenai ijmā’ adalah
kesepakatan yang bersifat formal dan total; dia menghendaki kesepakatan yang
sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak ada pertentangan pendapat lagi. Menurut
mazhab-mazhab sebelumnya (pra-al-Syāfi‘ī ), ijmā’ bukanlah sebuah fakta statis yang
ditetapkan atau diciptakan, namun sebuah proses demokratis yang kontinu, ijmā’
tidak bersifat formal namun informal, tumbuh secara wajar dan di dalam setiap tahap
pertumbuhannya, bahkan menghendaki adanya pemikran yang segar dan baru.
Perumusan al-Syāfi‘ī mengenai ijmā’ ini menjadikan hubungan organis sunnah-
ijtihād-ijmā’ menjadi rusak. Peranan sunnah-ijtihād-ijmā’ diberikannya kepada
15
Lihat juga Jonathan Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought,
diterjemahkan oleh Jazair Radianti dan Entin Sriani Muslim, judul: Menyoal Relevansi Sunnah Dalam
Islam Modern (Bandung: Mizan, 2000), h. 19-21. 16
Konsep sunnah menurut al-Syāfi‘ī, pertama, Hadis saḥīḥ sejajar dengan Alquran, kedua,
kesahihan Hadis yang memiliki sanad yang bersambung, ketiga, Hadis Aḥad (syāż) sebagai ḥujjah,
keempat, penolakan Hadis-hadis mursal (Hadis dari kalangan Tābi’īn) dan keempat, mengutamakan
ijma‘ para Sahabat, dan menolak ijma‘ penduduk madinah, Ulama Ḥaramaīn, Ulama miṣraīn (Kuffah
dan Mesir). Lihat Wahbah Zuhailī, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz (Jakarta:
Almahira, 2010), h. 6.
9
sunnah Nabi sedangkan menurut al-Syāfi‘ī sunnah Nabi bukanlah suatu petunjuk
yang bersifat umum namun tegas dan harus ditafsirkan secara literal dan penyiaran
sunnah Nabi ini hanya dapat dilakukan dengan menyiarkan hadis (subtitusi hadis).
Peranan selanjutnya diberikan kepada sunnah dari para sahabat, terutama sekali dari
khulafā’ al-Rāsyidūn. Peranan yang ketiga diberikan kepada ijmā’ dan baru diberikan
kepada ijtihād. Rahman memang mengakui kegeniusan al-Syāfi‘ī dalam menciptakan
suatu mekanisme yang menjamin kestabilan sosial-religius kaum Muslimin pada
zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreativitas dan
originalitas mereka.17
Argumentasi-argumentasi tersebut membuat penulis tertarik menampilkan
pandangan Fazlur Rahman dalam mengkritik konsep sunnah al-Syāfi‘ī. Menurut
analisa penulis, ada dua point, pertama, al-Syāfi‘ī berpendapat bahwa sunnah Nabi
(hadīṡ ṣaḥīḥ) posisinya sejajar dengan Alquran, yaitu sebagai wahyu, sedangkan
menurut Rahman Sunnah Nabi bukan wahyu ekstra-Qurani namun intra-Qurani
bahwa sunnah Nabi merupakan kandungan Alquran itu sendiri18
, bahwa sunnah
adalah konsep pengayom yang kemudian menjadi ―sunnah yang hidup‖, kedua,
Pemikiran al-Syāfi‘ī mengenai ijtihād-ijmā’ yang awalnya bersifat informal,
mengalami formalisasi, sehingga proses ijtihad yang kreatif menjadi terhenti.
Penelitian ini ingin membahas argumentasi kritik Fazlur Rahman atas konsep
sunnah al-Syāfi‘ī, karena untuk Rahman konsespi al-Syāfi‘ī ini menjadi ―pengganjal‖
dalam upaya reinterpretasi yang benar dan sesuai dengan kondisi kekinian. Rahman
17
Rahman, Islamic Methodology, h. 31-33. lihat juga Saifuddin Zuhri, Dkk, Model-model
Penelitian Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 79-99. 18
Rahman, Islam, h. 62.
10
menawarkan dua langkah, pertama, memahami makna teks hadis Nabi dengan
memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan
masyarakat pada priode Nabi secara umum (asbāb al-wurūd makro) termasuk pula
sebab-sebab munculnya hadis (asbāb al-wurūd mikro), kedua, dengan
menghidupakan kembali hadis menjadi ―sunnah yang hidup‖ prinsip ideal moral
dapat diadaptasikan dalam latar sosialogis dewasa ini. Dengan demikian model
penafsiran situasional Rahman ini berusaha mengkombinasikan pendekatan historis
dengan pendekatan sosiologis.19
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi permasalah
yang akan muncul dalam penelitian ini, sebagai berikut:
a. Konsep sunnah dan implikasinya dalam penentuan hukum menurut
al-Syāfi‘ī .
b. Kanonisasi Sunnah yang berbicara legal-formal.
c. Pandangan kesarjanaan Muslim dalam menentukan pengaruh
Alquran terhadap sunnah.
d. Kritik Fazlur Rahman terhadap konsep sunnah Al-Syāfi‘ī .
2. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pemilihan judul, penulis membatasi
masalah pokok yang akan diteliti dalam penelitian skripsi ini, yaitu membahas
19
Saifuddin Zuhri, Dkk, Model-model, h. 88-89.
11
pemikiran dan argumentasi konsep Sunnah yang ditawarkan Fazlur Rahman dalam
upaya mengritisi konsep sunnah al-Syāfi‘ī yang dirumuskan dalam pertanyaan: apa
argumentasi kritik Fazlur Rahman terhadap konsep sunnah Al-Syāfi’ī ?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan Mengetahui tentang argumentasi kritis
Fazlur Rahman terhadap kritik konspe sunnah al-Syāfi‘ī.
Sedangkan Manfaat Penelitian ini adalah Konsep Sunnah yang di gagas Fazlur
Rahman dapat dijadikan alternatif dalam memahami dan kontekstualisasi hadis.
D. Kajian Pustaka
Pertama-tama penulis melakukan tinjaun kepustakaan (literatur) yang
berkaitan dengan topik pembahasan melalui artikel-artikel di dalam jurnal ilmiah
sebagai bagian dari hubungan antara penelitian-penelitian terhdahulu yang sesuai
dengan penelitian yang akan dilakukan. Penulis menyajikan penelitian paling
mutakhir untuk mengetahui dengan jelas status penelitian mengenai konsep sunnah,
terutama mengenai kajian kritis terhadap konsep sunnah al-Syāfi‘ī. Beberapa karya
yang dianggap relevan untuk melengkapi data mengenai topik pembahasan adalah
sebagai berikut:
Umma Farida20
Sahid HM21
Daud Damsyik22
Saifuddin Mujtaba23
Nasrulloh24
keenam peneliti ini membahas mengenai pemahaman konsep sunnah perspektif
20
Umma Farida, ―Studi Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Sunnah Dan Hadis‖. Jurnal Addin
VII, no. 2 (Agustus 2013): h. 223-248. 21
Sahid HM. ―Sejarah Evolusi Sunnah: Studi Pemikiran Fazlur Rahman.‖ Al-Tahrir XI, no. 1
(Mei 2011): h.173-198. 22
Daud Damsyik. "Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman."
Al-‘Adalah XI, no. 2 (Juli 2013): h. 223-240.
12
Fazlur Rahman, secara garis besar menyimpulkan Rahman menawarakan pendekatan
historis-sosiologis. Dengan pendekatan ini akan mampu menciptakan nuansa yang
baru, dinamis, dan kreatif sehingga pesan moral dari Sunnah Nabi dapat
direalisasikan secara progresif untuk menjawab tantangan perubahan zaman dan
hadis dapat dikembalikan kepada status awalnya; yaitu ―sunnah yang hidup‖.
Keenam penelitian tersebut secara general membahas mengenai konsep
sunnah persepktif Fazlur Rahman, tidak secara mendetail membahas mengenai
argumentasi kritik Rahman atas konsep sunnah yang digagas oleh Al-Syāfi‘ī .
Usman25
Nur Mahmudah26
berkesimpulan bahwa Nasr Ḥamīd Abū Zayd
berhasil membongkar framework konsep sunnah yang digagas al-Syāfi‘ī —yang
merupakan salah satu upaya untuk menyadarkan dan mengingatkan kaum muslimin
akan pentingnya membebaskan diri dari kungkungan hegemoni "teks" yang selama
ini tidak membawa kreativitas berpikir yang mengakibatkan kebekuan dan
kemunduran di kalangan kaum muslimin itu sendiri. Kerangka berfikir dan metode
Abu Zayd dan Fazlur Rahman berbeda, Rahman menggunakan instrumen historis-
sosiologis, sedangakan Abu Zayd terfokus pada teks. Namun keduanya
berkesimpulan sama, bahwa al-Syāfi‘ī adalah tokoh yang paling bertanggung jawab
atas stagnasi penafsiran sunnah di kalangan umat Islam.
23
Saifuddin Mujtaba. "Membuka Pintu Ijtihad (Study Pemikiran Fazlur Rahman)." Jurnal
Falasifa I. no. 1 (Maret 2010): h. 87-98. 24
Nasrulloh. "Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman
Hadits." Ulul Albab XV, no.1 (2014): h. 15-28. 25
Usman, "Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap al-Syafi'i."
Hermeneia, Jurnal Kajian Keislaman Interdisipliner II, no. 1 (Januari-Juni 2003): h. 116-135. 26
Nur Mahmudah,"Sunnah Dalam Nalar Islam Kontemporer Nasr Hamid Abu Zayd."
Islamica VI, no. 2 (Maret 2012): h. 285-299.
13
Vita Fitria27
Beko Hendro28
kedua penelitian ini membahas secara komparatif
mengenai konsep sunnah perspektif Fazlur Rahman dan Muḥammad Syaḥrūr.
Menurut Rahman bahwa hadis pada dasarnya tidak bisa dibuktikan secara teknis
berasal dari Nabi, namun masih memegang konsep Sunnah yang sebenarnya sudah
ada sejak Islam ada. Konsep Sunnah di sini sebagai pengayom dan petunjuk arah,
sementara dalam perkembangannya hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan
situasi zaman. Sedangkan konsep sunnah perspektif Syaḥrūr terkesan lebih liberal
dari yang ditawarkan Rahman, pemikirannya tentang Sunnah–yang selama ini
dipahami sebagai sumber hukum dalam berijtihad dan telah sedemikian rapinya
didefinisikan oleh para ulama fikih dan uṣūl fiqh lengkap dengan otoritas yang
dimilikinya, oleh Syaḥrūr diberikan makna yang sama sekali berbeda sehingga
Sunnah cenderung searti dengan ijtihad itu sendiri.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian skripsi ini menggunakan metode kepustakaan (library
research) yaitu mencari dan mengumpulkan data dari berbagai literatur yang
relevan yang terdiri dari: buku, jurnal, artikel online, majalah, koran, dan
berbagai data yang terkait dengan penelitian ini. Setelah data terkumpul,
kemudian penulis mengklasifikasi ke dalam dua sumber:
27
Vita Fitria, "Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur Rahman dan
Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam)." Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, no. 2
(Juli-Desember 2011): h. 1336-1356. 28
Beko Hendro, "Studi Sunnah Kontemporer (Kritik Muhammad Syahrur Terhadap
Pemikiran Sunnah Imam Asy-Syafi'i)." (Tesis S2: Studi Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2015), h. 4.
14
a. Sumber Primer
Sumber primer dalam penelitian ini adalah buku Islamic Methodology in
History dan Islam karya Fazlur Rahman dan al-Risālah Karya Imām al-Syāfi‘ī.
b. Sumber Skunder
Sumber skunder dalam penelitian skripsi ini terdiri dari buku-buku dan
tulisan ilmiah lainnya berupa skripsi, tesis, disertasi, jurnal, artikel dan surat
kabar yang relevan dengan penelitian ini.
2. Metode Pembahasan
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan desktiptif-analitik, yaitu
untuk menggali penjelasan dan mendeskripsikan tawaran dan argumentasi
Fazlur Rahman dalam mengritik konsep Sunnah Al-Syāfi‘ī . Adapun dalam
teknik penulisan, penulis menggunakan buku Pedoman Akademik Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2011-2012 yang di dalamnya
terdapat pedoman teknik penulisan skripsi.29
Sedangkan transliterasi,
menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin Kementrian Agama dan
Menteri P dan K Nomor: 159 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u 1987.
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama; pendahuluan yang terdiri dari sub-bab, yaitu; latar belakang
masalah, identifikasi, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
29
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2011-2012 (Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2011), h.
398.
15
Bab kedua: menjelaskan tentang diskursus konsep sunnah, sub-bab dalam
bab ini yaitu: pengertian dengan sub-bab; definisi, sunnah dan hadis, sunnah Nabi,
sunnah Nabi dalam Alquran, sejarah kemunculan dan perkembangan, konsep sunnah
modern dalam kesarjanaan Barat dan Muslim.
Bab ketiga: menjelasakan tentang biografi dengan sub-bab; latar belakang
sosio-kultural, kehidupan awal, pendidikan, karier dan pemikiran dan karya dengan
sub-bab; pemikiran dan karya-karyanya, double movement teory (metode gerakan
ganda).
Bab keemapat : menjelaskan kritik Fazlur Rahman terhadap konsep Sunnah
al-Syāfi‘ī dengan sub-bab; living sunnah, konsep sunnah al-Syāfi‘ī, formalisasi
sunnah dan sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani dengan sub-bab; formalisasi sunnah,
sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani, relevansi dan implikasi kritik Fazlur Rahman
terhadap al-Syāfi‘ī dalam kajian hadis.
Bab kelima: kesimpulan dan saran-saran.
16
BAB II
DISKURSUS KONSEP SUNNAH
A. Definisi Sunnah
1. Definisi
Secara kebahasaan Sunnah berarti tata cara, sunnah pada awalnya berarti cara
atau jalan, yaitu jalan yang dilewati orang-orang di masa lampau kemudian diikuti
oleh orang-orang sesudahnya. Selain tata cara, sunnah juga berarti tingkah laku atau
prilaku hidup, baik yang terpuji maupun yang buruk.
Menurut ahli hadis sunnah berarti sabda, perkataan, ketetapan, sifat (watak,
budi atau jasmani) atau prilaku Rasulullah saw sendiri, baik pra-kenabian maupun
sesudahnya.1 Bagi mayoritas ulama, sunnah identik dengan hadis.
2
Menurut uṣūliyyīn (ahli Uṣūl Fikih) adalah sabda Nabi Muhammad yang
bukan berasa dari Alquran.
Menurut fuqahā (ahli Fikih) sunnah adalah hal-ihwal yang berasal dari
Muhammad Saw. baik ucapan maupun prilaku, namun tidak diwajibkan
melakukannya.
Arti sunnah yang uraikan di atas menjadi kesepakatan mayoritas ulama dari
kalangan ahli bahasa, uṣūl fiqh, fiqh, maupun ahli hadis.3
Istilah sunnah juga terdapat dalam syair-syair Arab4, seperti:
1 „Ajāj al-Khaṭīb, al-Sunnah Qabla Tadwīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), h. 18.
2 Musṭafā al-Sibā‟ī, al-Sunnah wa Makānatuha fī al-tasyrī’ al-Islāmī (Kairo: Dār al-Salām,
1998), h. 58. 3 Muḥammad al-Muṣtafā al-A‟ẓamī, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ al-Nabawī wa Tarīkh wa Tadwinih
(al-Maktab al-Islāmī, 1980), h. 1.
17
a. Penyair Khālid dalam Diwān al-Haẓaliyyīn:
وأول راض سنة من يسيرها لفيك ولكنى اراك تجورها
فلا تزن عن من سنة أنت سرتها فإن التى فينا زعمت ومثلها
Janganlah kau risau, terhadap sunnah (tradisi) yang anda lakukan
Yang pertama kali puas dengan suatu sunnah (tradisi), adalah orang yang
menjalankan tradisi itu sendiri.
Baik saya maupun anda, masing-masing mempunyai sunnah (tradisi)
Namun saya lihat, anda selalu menyimpang dari tradisi anda.5
b. Penyair Labīd dalam Syarḥ al-Mu‟allaqāt al-„Asyr:
من معشر سنت لهم آباؤهم ولكل قوم سنة وإمامها Dari kelompok orang-orang di mana nenek moyangnya membuat sunnah (aturan),
dan setiap bangsa mempunyai sunnah (aturan) dan pemimpinnya sendiri.6
c. Penyair Ḥāsan ibn Ṡābit dalam kitabnya Diwān Penyair Ḥasān ibn Ṡābit:
أن الذوائب من فهر واخوتهم قد بينوا سنة للناس تتبع Orang-orang yang berani bagai serigala dari keluarga Fihr dan saudara-
saudaranya, telah menjelaskan bahwa mansusia mempunyai sunnah (tradisi/aturan)
yang harus diikuti.7
d. Penyair al-Farazdaq dalam kitab al-Naqāiḍ:
العمرين فيهافجاء بسنة شفاء للصدور من السقام
Ia datang membawa sunnah dua ‘Umar, yang dapat mengobati hati yang sakit.8
Dari syair-syair di atas dapat disumpulkan bahwa kata „sunnah‟ sudah
digunakan oleh para pujangga-pujangga pada masa jahiliyyah untuk menujukkan
4 A‟ẓamī, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ, h. 2-3.
5 Dīwān al-Hażaliyyin (t.th. tt.p), h. 157.
6 Syarḥ al-Mu‟allaqāt (Beirut: Dār Maktabah al-Ḥayyah, 1983), h. 227.
7 Ḥāsan bin Ṡābit, Dīwān Ḥāsan Bin Ṡābit (Beirut: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1994), h. 304.
8 Muḥammad bin al-Maṡnā al-Tamīmī, Kitāb al-Naqaiḍ, Naqāiḍ Jarīr al-Farazdaq (Beirut:
Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1998), h. 1034.
18
arti—secara etimologis—„”aturan atau tata cara yang dianut, baik tata cara yang
terpuji maupun yang buruk”.9
Para Ulama mengutip kata sunnah dalam Alquran menggunakan pengertian
khusus, yaitu: "cara yang biasa dilakukan dalam mengalaman agama, kata sunnah
dalam awal priode Islam dikenal dengan istilah tersebut.”10
Dalam Alquran terdapat dalam beberapa ayat, untuk mengetahui perubahan
makna kata sunnah dalam Alquran, sebagai berikut:11
سىح يلا ت جدنسىتى ات ح ل سهى ا مهز هى اق ثه ك هق دأ زس م
(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul
Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan
Kami itu.12
ٱسىح نسىحنريه ٱفيلل ن هت جد امهق ثم ه ٱخ لل ت ثديلا
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.13
ف ه م سىت ى ا ت أس ا أ از ن م ىم إيم ي ىف عم ٱي ك عث ادينتيٱلل ه تفي خ ۦق د سس خ فسن ٱى انك نك
Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa
Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu
binasalah orang-orang kafir.14
اٱ ستكث ازا ل زضٱفي كس م ٱ يي نس ي حيق ل كسٱ يئٱنم نس إل ه ف م ۦتأ
سىت إل نيه ٱي ىظسن نسىتل ٱف ه هت جد نسىتلل ن هت جد ٱت ثديلا لل يلا ت ح
9 A‟ẓamī, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ, h. 1-3.
10 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 37.
11 Miftahul Bahri, "Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Perspektif Ilmu Logika," (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.
29-33. 12
QS. Al-Isrā‟ (17):77. 13
QS. Al-Aḥzāb (33):62. 14
QS. Ghāfir (40): 85.
19
karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang
jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya
sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang
telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
penyimpangan bagi sunnah Allah itu.15
نك اذ اق مش لل ٱتأ و سن ز اقق ۥ هيش م لل ٱ سن ز ۥ ديدلل ٱف إن نعق ابٱش (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya16
ه تمهق ثهكمسى هف سيسافيق د قث حوظساٱف ل زضٱخ ع ان ك يف تيه ٱك ر نمك
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul).17
تى ا جٱ ز تع ي تها ىم م سلا ز م في همم يع تك اي ء م ه ي ة ٱع ح ٱ نكت نحكم
أ وت إوك م ي ك يز زيزٱ كيمٱنع نح
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang
akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al
Kitāb (Alquran) dan al-Ḥikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana18
Dalama penelitiaannya Miftahul Bahri menyimpulakan pada ayat terakhir
disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan al-ḥikmah adalah sunnah, dalam tradisi
filsafat, kata al-ḥikmah diartikan filsafat atau kebenaran. Para ahli hadis
berpandangan bahwa kebenaran yang hakiki adalah sunnah.
Pada ayat-ayat yang ditampilkan di atas, dapat disumpulkan bahwa yang
dimaksud dengan kata sunnah tidak berhubungan laingsung dengan Rasulullah Saw.
15
QS. Fāṭir (35) : 43. 16
QS. al-Anfāl (8) : 13. 17
QS. Āli-„Imrān: 137 18
QS. al-Baqarah: 129.
20
melainkan berhubungan dengan Allah Swt. yang sudah belaku maupun yang akan
berlaku.
Makna sunnah dari beberapa ayat di atas, terdapat tiga macam: pertama,
sunnatullāh, yaitu peraturan yang telah ditetapkan-Nya (hukum alam) dan tidak ada
yang bisa menggugatnya, kedua, sunnah orang terdahulu (adat istiadat/sejarah),
ketiga, ḥikmah (filsafat).19
2. Sunnah dan Hadis
Secara definitif sunnah dan hadis memiliki arti yang sama yaitu: “segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan, berbuatan, dan
persetujuan”. Menurut Abdul Majid Khon, ada perbedaan definisi antara sunnah dan
hadis, antara lain:
a. Sunnah diartikan perbuatan Nabi dalam mempraktikkan syariat Islam
sejak masa Nabi sampai masa sahabat, sedangkan hadis spektrumnya lebih
umum daripada sunnah yang cakupannya meliputi perkataan dan
perbuatan Nabi Saw.
b. Sunnah lebih general daripada hadis, menurut fuqahā, hadis identik
dengan sunnah qawliyah. Pendapat ini secara etimotologis lebih dekat
diartikan sebagai “berita”, seperti dalam QS. Al-Ḍuḥā ayat 11:
ث د ف ح تك حز اتىعم أ م
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan
Kata “faḥaddiṡ” tersebut bermakna menyebut-nyebut atau memberitakan.
19
Miftahul Bahri, “Studi Kritis,” h. 29-33.
21
c. Hadis diartikan sebagai segala aktivitas yang disandarkan keoada Nabi
Saw. sekalipun dilakukan hanya sekali dalam hidup beliau, sedangkan
sunnah harus dilakukan secara berulang-ulang yang kemudian menjadi
tradisi. Arti sunnah dalam konteks ini lebih tepat dimaknai secara lughawi
yang berarti tradisi ( العادة) . Menurut al-Syāukānī diartikan “continue”
( الدوام) atau dilakukan secara berulang-ulang.
d. Sunnah adalah aktivitas pengalaman Nabi Saw. para Sahabat dan tābi’īn
yang diriwayatkan secara mutawattir. Sedangkan hadis bisa jadi
diriwayatkan oleh satu atau dua orang periwayat (khabar āḥād). Sunnah di
sini lebih bersifat praktis pengalaman Alquran yang mutawattir, bukan
bersifat teroritis (sunnah qawliyah dan lafẓiyyah).
e. Sunnah adalah pengalaman Islam sejak periode awal baik oleh Nabi atau
para Sahabatnya, sedangkan hadis hanya diriwayatkan dari Nabi Saw.20
Perbedaan makna etimologis dan terminologis kedua term tersebut memang
berbeda dari berbagai tinjauan, yang satu melalui tinjauan kebahasaan yang beragam
artinya seperti kata “sunnah” itu sendiri dan satunya menggunakan tinjauan dari
penggunaan yang disepakati oleh para pakar ilmu tertentu. Seperti kata “salat” dalam
bahasa diartikan “al-du’ā”, kata “Islam” dalam bahasa diartikan “tunduk, patuh, dan
berserah diri.” Makna kedua kata tersebut benar dalam konteks etimologi, namun
20
Perkataan Sayyidinā „Alī Ra kepada „Abdillāh ibn Ja‟far: “tegakkan hukuman kepadanya
(peminum khamr),” kemudian ia mengambil cambuk dan mencambuknya, Sayyidinā „Alī
menghitungnya, begitu sampai 40 kali cambuk, „Alī berkata: cegahlah dia, Rasulullah saw,
mencambuknya 40 kali, Sayyidinā Abū Bakar mencambuknya 40 kali, dan Sayyidinā „Umar
mencambuknya 80 kali dan semuanya itu sunnah. Lihat, Abū Daud, Sunan Abī Daud, Juz 4, No. 4481,
h. 1917.
22
tidak tepat dalam konteks terminologi. Memang makna terminologi sangat diperlukan
untuk mengetahui asal usul bahasa sebelum terjadi perubahan makna terminologis, di
sisi lain mengonsumsi dan mengkomunikasikannya harus jelas sesuai dengan kondisi
yang dimaksud.21
3. Sunnah Nabi
Para ulama sejak masa Rasulullah saw, menggunakan kata sunnah lebih
khusus dibandingkan penggunaan makna lughāwi (etimologi)—yang berarti tradisi—
Para ulama tidak menggunakan arti bahasa seperti yang digunakan orang Arab pada
umumnya—yang menyempitkan pengertian sunnah itu dengan mengkhususkannya
pada “jalan” dan “prilaku Nabi” yang berhubungan dengan masalah agama dan
akhlak, karena beliau sebagai utusan Allah yang menyampaikan agama dari Allah,
dan beliau mustahil memiliki prilaku yang buruk, karena beliau senantiasa dibimbing
dan dijaga oleh Allah (ma’sūm).
Menurut Ibnu Manzūr dalam kitabnya Tahżīb al-Asmā` wa al-Lughāt
mengatakan, “al-sunnah adalah jalan yang lurus dan terpuji, jadi ungkapan fulān min
ahl al-sunnah. Artinya si fulan termasuk pengikut jalan yang lurus dan terpuji. Di
ambil dari kata al-sanan, seperti ungkapan orang arab, sanna al-ṭarīq sannan wa
sanānan. Al-sanu artinya perilaku (kebiasaan), sedangkan al-sanan sama dengan al-
masnun, artinya yang dilakukan (yang dibasakan).
4. Kedudukan Sunnah Nabi dalam Alquran
21
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta:
Prenadamedia Grup, 2015), h. 13-16.
23
Menurut Muṣṭafā al-A‟ẓamī ada empat kedudukan sunnah Nabi dalam Islam,
yaitu:
1. Menjelaskan Kitāb Allāh
نى اإن يك أ وز كس ٱ نر مي ت ف كسن ه ن ع م إن ي ل اوز نهىاسم نتث يه
Dan kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada Mereka, dan supaya merka
memikirkann22
Diantara tugas Rasulullah Saw. beliau menjelaskan—baik dengan lisan
maupun dengan perilaku—hal-hal yang masih global sebagaimana dalam Alquran.
Tugas ini berdasarkan perintah dari Allah Swt. tentu saja penjelasan terhadap isi
Alquran itu bukanlah sekedar „membaca Alquran‟. Kebanyakan ayat-ayat dalam
Alquran yang memerlukan penjelasan praktis. Dan itu sudah dilakukan oleh
Rasulullah saw. oleh karena itu, Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah terhadap Alquran juga tidak mungkin,
karena Alquran sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak
penjelasan Rasulullah terhadap Alquran sama saja artinya menolak Alquran itu
sendiri.
2. Rasulullah Merupakan Teladan Baik yang Wajib Dicontoh oleh Setiap
Muslim
سنق د ن كمفيز ان ٱلك ى حلل س جح أس
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu…
3. Rasulullah Saw. Wajib Ditaati
22
QS. al-Naḥl: 44.
24
أ ي ا اأ طيعانريه ٱي ى ام لل ٱء سن ز ۥ عن أ وتمت سم ى اع ن ت ل
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah
kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).
Ayat-ayat lain juga terdapat pada QS. al-Nisā‟: 80, 69. 59-60. Ayat-ayat
tersebut menjelasakan dengan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. diutus agar
dipatuhi, bukan sekedar tablig (menyampaikan) atau memberikan keputusan.
Manusia belum dapat dikatakan beriman jika belum menerima sistem dan hukum
Allah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah sewaktu beliau masih hidup, dan
sesudah beliau wafat, menerima sistem dan hukum Allah itu dengan menjadikan
Alquran dan sunnah Nabi sebagai sumber hukum dan sistem kehidupan seorang
Muslim.
4. Rasulullah Saw. memiliki kewenangan (Kekuasaan) untuk Membuat
Suatu Aturan
Pada QS. al-A‟rāf: 147-158, menjelaskan bahwa untuk beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, dengan konsekuensi mematuhi aturan perintah-perintah, aturan-
aturan dan sunnah-sunnah-nya. Dan manusia tidak mungkin memperoleh petunjuk
dari ajaran itu sendiri. Sekedar percaya atau beriman dengan hati saja tanpa dibaregi
dengan pengalaman yang sempurna terhadap aturan-aturan itu sendiri. Sekedar
pecaya atau beriman dengan hati saja tanpa dibarengi dengan pengalaman yang
sempurna terhadap aturan-aturan dan sunnah-sunnah Rasul. Hal itu tidaklah
25
sempurna. Ayat-ayat di atas juga mengandung penjelasan tentang kewenangan dan
kekuasaan Nabi untuk membuat suatu aturan hukum.23
B. Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya
Secara evolutif, sunnah mengalami perkembangan yang sangat kompleks.
Dalam bangunan dan sumber keilmuan Islam, hadis atau sunnah menempati posisi
kedua setelah Alquran.24
Historisitas sunnah secara evolutif dengan kajian yang
menekankan pada otentisitas hadis dalam menyeleksi dan mengkritik hadis sejak
abad pertama hijriah sampai abad ketigabelas hijriah tidak mengalami problem. Pada
tahun 1980 M, dunia penelitian hadis dikejutkan dengan munculnya metode baru
dalam kritik hadis. Kajian akadamis yang menolak persyaratan-persyaratan atau
kriteria ontentisitas hadis muncul baik dari kalangan non-Muslim maupun Muslim.25
Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para pemikir Islam (insider) dan
para orientalis (outsider) adalah dinamika yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-
Pakistan merupakan representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji
sunnah dalam konteks evolusi historistas hadis. Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan
tokoh non-Muslim lain yang merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga
mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau tidak problem
23
Muḥammad Muṣṭafā A‟ẓamī, Hadis Nabawi dan Sejerah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka
Firdaus: 2014), h. 27-32. 24
Secara etimologis kata “sunnah” berarti jalan yang dilalui, baik jalan itu terpuji atau
tercela. Kata “sunnah” juga berarti kebiasaan atau tradisi. Secara terminologis, ulama berbeda
pendapat. Menurut mayoritas ahli hadis, sunnah ialah segala yang bersumber dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat
menjadi Rasul maupun sesudahnya. Berbeda dengan ahli hadis, ahli uṣūl mengatakan bahwa sunnah
ialah perkataan, perbuatan, dan penetapan Rasul, yang dapat dijadikan dalil hukum syarī’. Muḥammad
Abū Zahw, Al-ḥadīṡ wa al-Muḥaddiṡūn (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1984), 8-9. 25
Ali Mustafa Ya„qub, Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1995), h. 14.
26
akademis muncul dan menarik untuk diteliti. Representasi dari kalangan Muslim
yang juga memunculkan problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang
skeptis terhadap sunnah dan hadis. Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur
Rahman adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang hadis
atau sunnah. Ia merespons tantangan yang muncul dari kalangan umat Islam itu
sendiri dan para orientalis. Dalam studi ini, penulis berupaya membahas pemikiran
dan kritik Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah terhadap pandangan al-Syāfi‟ī.
C. Konsep Sunnah Modern Dalam Kesarjanaan Barat dan Muslim
Kontemporer
Ignaz Goldziher Berpendapat bahwa hampir tidak mungkin ada keyakinan
untuk menyaring banyak materi hadis sehingga diperoleh suatu hadis yang dapat
dipastikan berasal dari Rasulullah dan para sahabat awal. Karena itu, hadis harus
dianggap sebagai catatan atau pandangan dari generasi Muslim awal dari pada
sebagai catatan kehidupan dan ajaran Nabi dan sahabat-sahabatnya.26
Namun ia mengakui adanya sunnah bagi umat Islam yang diartikannya
sebagai norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan
yang diwartakan.27
Dengan demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang
hidup. Perbedaan antara hadis dan sunnah adalah bahwa hadis merupakan laporan-
laporan teoritis, sedang sunnah merupakan laporan-laporan yang memperoleh kualitas
normatif dan telah menjadi prinsip praktis bagi generasi Muslim. Artinya, sebagian
26
Ignaz Goldziher, Muslim Studies (London: George Alen & Unwim Ltd., 1970), h. 25. 27
Goldziher, Muslim Studies, h. 53.
27
besar materi hadis lebih merupakan hasil perkembangan religius, historis, dan sosial
Islam selama dua abad pertama. Konsekuensi logisnya, Goldziher menyimpulkan
bahwa produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai sumber ajaran dan
perilaku Nabi Muhammad sendiri.
Sementara tentang sunnah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada
pada masa Arab pra-Islam dengan makna tradisi, adat, dan kebiasaan nenek moyang
bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini
berubah menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam
berakhir.28
Sementara itu, Joseph Schacht sebagai penerus pemikiran Goldziher
berpendapat bahwa konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam belakangan. Al-
Syāfi‟ī merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan
terhadap sunnah sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi.
Menurutnya, bagi generasi sebelum al-Syāfi‟ī sunnah mencerminkan kebiasaan
tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama
dengan praktik yang disepakati secara umum.29
Menurutnya, “tradisi yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya,
beredarnya hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tābi‘īn, kemudian
pada sahabat, dan akhirnya pada Nabi.
28
Pendapat tersebut didiskusikan lebih lanjut dalam artikel yang ditulis oleh Sahid HM,
“Sejarah Evolusi Sunnah”, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, h. 174. 29
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University
Press, 1973), h. 2-3.
28
Menurut A‟ẓamī, Ignaz Goldziher adalah orientalis pertama yang melakukan
kajian tentang hadis, kemudian disusul orientalis lain seperti Joseph Schacht dan
lain-lain. Apabila Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang
disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi, maka Joseph Schacht
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis yang otentik dari Nabi,
khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.30
Dari batasan-batasan sunnah yang diberikan para orientalis itu sangat jelas
bahwa mereka tidak menghubungkan sunnah kepada Nabi. Pengaitan sunnah dinilai
muncul masa belakangan. Dengan demikian, sunnah yang menjadi pegangan umat
Islam selama ini sebagai perbuatan dan perkataan Nabi tidak pernah ada.
30
Muḥammad Muṣṭafā A‟ẓamī, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American
Trust Publication, 1968), h. xvii.
29
BAB III
FAZLUR RAHMAN : BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
A. BIOGRAFI
1. Latar Belakang Sosio-Kultural
Sebelum membahas kehidupan Fazlur Rahman, bahasan mengenai
perekembangan wacana keislaman di Anak Benua India, yaitu tempat
kelahirannya—merupakan satu kondisi yang tidak dapat di pisahkan dari
kehidupan Rahman. Bagaimanapun juga, kejadian dan diskursus yang
berkembang di daerah itu pada masa-masa kehidupan Rahman dan
sebelumnya mempunyai peran yang cukup berarti—langsung tidak
langsung—terhadap sejarah kehidupan intelektualitasnya.
Kebangkitan Islam kembali di Indo-Pakistan1 telah muncul
kepermukaan sejak lama, dan berkembang dalam berbagai bentuknya.
Gerakan pembaruan mulai dari Revivalisme pra-Modernis, Modernisme
klasik, sampai Neo-Revivalisme telah memiliki akar yang kuat di kawasan itu,
masing-masing muncul dengan kompleksitas dan nuansanya sendiri.
Kemuculan Revivalisme pra-Modernis, sebagai suatu gerakan
pemurinan yang lebih bersifat ke dalam, dapat dilacak pada gerakan oleh Syah
Wali Allāh ibn „Abd al-Raḥmān al-Dahlawī (w. 1763). Tokoh yang
memberikan sumbangan yang penting kepada telaah sistematis atas Alquran
dan hadis, dengan metode pedekatan Islam yang baru, yaitu Taṭbīq
1 Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik Al-Qur‟an Menurut Fazlur Raham, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), h. 35.
30
(rekonsiliasi berbagai perbedaan). Selain itu dia adalah tokoh pertama yang
berupaya menggabungkan sejarah para Nabi secara sistematis dan
menjelaskan bahwa aturan sosial yang diberikan para Nabi itu dapat secara
rasional diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada masanya
masing-masing. Artinya agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad
merupakan agama yang dinamis yang menuntut untuk dipahami sesuai dengan
konteks zamannya.
2. Kehidupan Awal
Rahman dilahirakan pada 21 September 1919 di distrik Hazara, Punjab,2
suatu daerah di Anak Benua Indo-Paksitan yang pada saat itu belum terpecah
menjadi negara merdeka. Anak Benua ini memang terkenal dengan sederet
pemikir liberal seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid dan Muḥammad Iqbal.
Dengen latar belakang tersebut, tidak mengherankan jika Rahman
berkembang menjadi pemikir liberal dan progresif dalam peta pembaruan
Islam.
Rahman dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab
Ḥanafī, sebuah mazhab Sunnī yang lebih bercorak rasionalis dibangdingkan
dengan tiga mazhab besar lainnya (Syāfi‟ī, Mālikī, dan Ḥanbalī). Meskipun
dibesarkan dikalangan tradisionalis bermazhab Ḥanafī, namun Rahamn sejak
usia belasan tahun telah melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit
di dalam batas mazhab-mazhab Sunnī dan mengembangkan pemikirannya
2 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Vol. 5. Penerjemah. Tamara
Sonn (Bandung: Mizan, 2001), h.78. Lihat juga „Ala, „Abd, Dari Neo-Modernisme Ke Islam Liberal,
(Jakarta: Paramadina, 2003), h. 33.
31
secara bebas. Pada masa belakangan, ketika ada yang mempertanyakan
pandangannya tentang salat yang tiga, Rahman secara bebas mengemukakan
praktik-praktik kalangan Syi‟ah yang dipandang sebagai bukti historis yang
absah bahwa di samping mengerjakan salat yang lima, Nabi juga mengerjakan
salat yang tiga, sehingga kedua macam salat itu adalah sah. Ia hanya tidak
setuju dengan usaha kalangan Sunnī membuat pembakuan salat yang lima,
tanpa alternatif lain, dengan menenggelamkan tiga salat yang fundamental
lewat dukungan hadis-hadis formulasi. Rahman memang amat kritis terhadap
Sunnī maupun Syi‟ī. Dia bahkan menyerukan suatu perumusan ulang yang
bersifat total dan tuntas terhadap warisan-warisan kesejarahan baik teologi
maupun hukum.3
Ayahnya, Maulana Sihabuddin dan ibunya sangat berpengaruh dalam
membentuk watak dan keyakinan-keyakinan religius awal Rahman. Ibunya
mengajarkan tentang nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, ketabahan dan cinta.
Sedangkan ayahnya, meskipun terdidik dalam pola pengajaran tradisional, ia
berkeyakinan bahwa Islam melihat modernitas sebagai tantangan-tantangan
dan kesempatan-kesempatan yang harus dihadapi. Keyakinan ini kemudian
dimiliki dan diwarisi oleh Rahman. Bekal dasar tersebut memiliki signifikansi
yang cukup berarti dalam pembentukan kepribadian dan intelektualitas
Rahman pada masa-masa selanjutnya. Ayahnya sangat berharap, Rahman
nantinya menjadi sosok yang cukup tekun dalam mencari pengetahuan dari
3 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlzur Rahman, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996) h. 79. Lihat juga, Sa‟dullah Assa‟idi, Pemahaman
Tematik Al-Qur‟an Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 37-38
32
berbagai sumber. Dan melalui bimbingan ibunya, ia sangat tegar serta tabah
dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.4
3. Pendidikan
Riwayat kehidupan Rahman merupakan serangkaian perjalanan yang
berisi wacana keilmuan Islam yang spesifik dan bertanggung jawab, baik
karena penalaran rasional yang disajikannya maupun argumentasi yang kritis
ketika ia mengajukan gagasan. Ia dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi
bermazhab Sunnī, namun tradisi ini tidak mendominasi dan mengisolasi
pemikrannya, namun justru dijadikan sebagai pijakan logika paradoksalnya.
Suatu pijakan berfikir yang dijadikan titik balik bagi situasi yang
mengelilinginya. Pendidikan formal yang ditempuhnya ialah belajar di
madrasah dengan pengaruh Deoband di India Utara (Uttar Pradesh), justru
terangsang mempersoalkan fenomena dari ilmu pengetahuan yang rumit dan
sulit untuk didudukkan dalam alur kupasan kritis.
Akar religiusaitas keluarganya bisa ditelurusi pada pengajaran di
Madrasah Deoband (Deoband Seminary) yang sangat berpengaruh di Anak
Benua India saat itu, di Deoband, ayahnya, Maulana Shihabuddin adalah
lulusan sekolah menengah terkemuka di India, yaitu Darul Ulum Deoband. Di
Deoband, Shihabuddin belajar kepada tokoh terkemuka, seperti Maulana
Maḥmud Ḥasan (w. 1920) yang lebih dikenal dengan Syekh al-Hind, dan
seorang ahli Fikih ternama Maulana Rasyīd Aḥmad Gangohi (w. 1905).
4 Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 33-34.
33
Rahman memang tidak seperti ayahnya belajar di Darul Ulum. Meski
demikian, dia menguasai kurikulum Dasernizami yang ditawarkan di
madrasah tersebut, melalui kajian privat dengan ayahnya. Tentu pengalaman
ini melatar-belakangi Rahman dalam memahami Islam tradisional, yang
perhatiannya dipusatkan pada fikih, ilmu kalam, hadis, tafsir, mantīq dan
filsafat. Intelektualitasnya semakin teguh dengan penguasaannya dalam
berbagai bahasa: Persia, Urdu, Inggris, Perancis dan Jerman. Di samping itu,
dia juga mempunyai pengetahuan yang workable tetang bahasa-bahasa Eropa
kuno, seperti Latin dan Yunani.5
Setelah menamatkan pendidikan menengahnya di madrasah. Tokoh
utama neo-Modernisme ini menyelesaikan program Bachelor of Art, dan dua
tahun kemudian ia meraih gelar Master dalam bahasa Arab, kedua gelar
tersebut diperolehnya dari Universitas Punjab, Lahore. Namun gelar yang
diperoleh ini tampaknya lebih bersifat formalitas-akademik dibandingkan
dengan aspeknya yang bersifat intelektual. Hal itu terbukti daru pernyataannya
sendiri bahwa Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual.6 Yang
dimaksudkan dengan pernyataannya itu adalah dalam pengertian dasar
intelektual yang memadai. Oleh karena itu, untuk meraih gelar Philosophy
Doctor (Ph.D.), ia memutuskan melanjutkan studinya di Dunia Barat,
Universitas Oxford. Rahman tidak memilih dan menempuhnya ke perguruan
5 Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 34, lihat juga, Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir
Al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h.
21s 6 Rahman pernah ditanya oleh seorang pendeta: “mengapa Anda tidak ke Mesir saja, tapi
malah ke Oxford?”, Rahman menjawab: “studi-studi Islam di sana sama tidak kritisnya dengan di
India…”, lihat, Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 81
34
tinggi di Timur Tengah karena dalam pandangannya, kajian Islam di sana
adalah sama-sama tidak kritisnya dengan yang ada di (Anak Benua) India.
Pada tahun 1946, Rahman berangakat ke Inggris. Di univeritas terkenal ini
selain mengambil dan mengikuti perkuliahan formal, dia giat mempelajari
bahasa-bahasa “Barat”. Penguasaannya terhadap bahasa-bahasa tersebut
sangat membantunya dalam memperdalam dan memperluas wawasan
keilmuannya, khususnya dalam studi-studi keislaman lewat penelusuran
terhadap literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam
bahasa-bahasa mereka, namun dia tetap kritis terhadap pandangan-pandangan
mereka yang berkaitan dengan Islam dan umat-nya.7
Pada Tahun 1950, Rahman berhasil merampungkan studi doktoralnya di
Oxford. Dia mengajukan sebuah disertasi tentang psikologi Ibn Sinā di bawah
bimbingan Prof. Simon Van den Bergh dan H. A. R. Gibb. Dua tahun kemudian
Oxford University Press menerbitkan terjemahan bahasa Inggrisnya dari karya
monumental Ibn Sinā, Kitāb al-Najāt dengan judul Avicena‟s Psychology,
penerjemahnya merupakan Fazlur Rahman sendiri, di samping mengenai
kajian-kajiannya yang mendalam tentang Ibn Sinā, reputasinya mulai terangkat
di antara sarjana-sarjana Timur sebagai seorang ahli tentang Ibn Sinā.8
4. Karier
Setalah berhasil menadapatkan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari
Oxford University, Rahman tidak langsung pulang kampung ke Pakistan—yang
7 Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik, h. 36-40.
8 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 22, lihat juga Sa‟dullah Assa‟idi, Pemahaman
Tematik, h. 42.
35
pada saat itu baru merdeka. Dia diberi kesempatan untuk menjadi tenaga
pengajar di Durham University, Inggris. Tak lama kemudian dia mengajar di
Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, di sana dia menjabat
sebagai Associate Professor of Philosophy. Di Kanada ia menjalin persahabatan
erat dengan Wilfred Cantwell Smith, yang pada saat itu menjabat sebagai
direktur pada Insitute of Islamic Studies, McGill University.
Pada tahun 1960-an, Rahman kembai ke Pakistan, Pengalaman
akademis dan pengalamannya mengajar di Barat, ditambah dengan latar
belakang liberalisme Indo-Pakistan, mengantarkannya sebagai sarjana dan
pemikir modernis yang bebas dan radikal. Pakistan pada saat itu menjadi ajang
kontrovesi yang akut antara klan Modernis dan klan Tradisional-Fundamentalis,
yang secara praktis situasi tersebut sangat kondusif bagi pengembangan
pemikiran keagamaan Rahman. Identifikasi fenomena pemikirannya sebagai
neo-Modernis, seperti diungkapkan dalam tulisan-tulisannya, mempertegas
dirinya sebagai figur pemikir yang siap terjun ke dalam kancah perdebatan
antara klan Modernis dengan klan Tradisionalis-Fundamentalis untuk
memberikan definisi ideologis bagi Pakistan sebagai negara Islam. Pada tahun
1962, Rahman ditunjuk sebagai direktur Lembaga Riset Islam—yang
sebelumnya dia menjabat sebagai staf di lembaga tersebut. Pengangkatan dia
sebagai Direktur mendapat kecaman keras oleh kalangan Ulama—yang
menurut mereka jabatan direktur harus ditempati oleh seorang yang „ālim
terdidik secara tradisional. Mereka tidak pernah memaafkan Rahman karena
pemikirannya terkontaminasi “Barat”.
36
Selain menjabat Direktur di Lembaga Riset Islam, Pada tahun 1964
Rahman ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan.
Melalui kedua lembaga tersebut dia secara intens merespresentasikan Islam
menjadi idiom-idiom atau istilah-istilah yang rasional dan ilmiah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim pada saat itu. Beberapa isu agama
dari Rahman seperti status bunga bank, zakat, pengembelihan hewan secara
mekanik, hukum kekeluargaan dan keluarga berencana, posisi hadis serta
sunnah dan hakikat wahyu. Pada gilirannya, setelah pergolakan yang
mempengaruhi kesehatan dan peran kepemimpinan di dua lembaga tersebut, dia
resign dari jabatannya. Namun dia masih menjabat di posisi anggota Dewan
Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, namun akhirnya jabatan tesebut
juga dilepaskan, akhirnya dia meninggalkan Pakistan dan memutuskan hijrah
ke Amerika.9
Pada tahun 1968, Rahman mendapatkan tawaran untuk menjadi tenaga
pengajar di Universitas California, Los Angles. Dan pada tahun itu juga ia
bersama keluarganya pindah ke sana. Kemudian pada tahun 1969 di angkat
sebagai Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas tesebut. Mata kuliah yang
diajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam,
pemikiran politik Islam, modernisme Islam, pemikiran Al-Gazalī, Ibnu
Taimiyah, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal dan lain-lain.10
9 Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik , h.43-49
10 „Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 39-40.
37
B. Pemikiran dan Karya
1. Pemikiran dan Karya
Kajian dan penelurusan terhadap karya-karya Fazlur Rahman dianggap
penting sebagai upaya melacak gagasan dan produk pemikirannya. Menurut
Abd „Ala karya yang bertemakan konsep-konsep teologi lebih dari seratus
buah—baik berupa buku, artikel atau ulasan buku.
Karya orisinal Pertama Rahman yang berbentuk buku adalah Propechy
in Islam: Philoshophy and Ortodoxy.11
Pada karyanya ini, Rahman meneliti
mengenai sejarah ilmu kenabian dan Islam. Temuan kajian ini menghasilkan
sebuah buku yang secara kritis memaparkan tentang doktrin kenabian yang
digagas oleh pemikir Islam berdasarkan setting sejarahnya. Karyanya ini
untuk pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1956, dan juga diterbitkan oleh
George Allen and Unwin Ltd. London pada tahun 1958.12
Karyanya ini, Propechy in Islam merupakan respon terhadap rendahnya
perhatian yang diberikan para sarjana Modern terhadap bidang religio-
filosofis Islam yang sangat penting mengenai doktrin kenabian. Di bagian
pertama dalam karyanya ini, membahas doktrin intelektual yang dikemukakan
oleh dua filosof Muslim ternama, Al-Fārābī (870-950 M) dan Ibnu Sīnā (980-
1037 M). Pada bagian kedua, membahas doktrin kenabian, dan secara
berturut-turut membahas pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu
kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu teknis atau
11
„Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 44-45. 12
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 22.
38
imajinatif, doktrin Ibnu Sīnā tentang mukjizat, doa, dan teurgi, dan di bagian
akhir menjelaskan doktrin kedua filosof tersbut tentang da‟wah dan syarī‟at.13
Kemudian di bagian ketiga, Rahman membahas tentang persepktif
ortodoksi yang dikemukakan ahli kalām. Ada tiga aliran utama dalam teologi
skolastik mengenai kenabian. Pertama, mutakallimūn dogmatik yang
memperbolehkan penggunakan akal secara terbatas untuk menjelaskan
dogma. Aliran ini diwakili oleh Al-Syahrasytānī (w. 1153 M) dan merupakan
aliran ortodoksi terbesar. Kedua, adalah aliran yang diwakili oleh Ibnu Ḥazm
(w. 1064 M) tipenya berbentuk dogmatisme akut yang sangat meremehkan
akal dan hanya menggunakannya untuk menyerang posisi-posisi kaum
rasionalis. Ketiga, adalah pandangan yang berdiri di antara dua aliran tersebut
yang menerima sejenis “akal”, namun menolak kaum filsuf dan pemikirannya
secara total. Aliran ini juga menolak sufisme, namun mengedapankan nilai-
nilai spiritual dalam kerangka Islam. Aliran ini direspresentasikan oleh Ibnu
Taimiyah (w. 1328 M). Ketiga aliran tersebut sepakat menolak secara keras
pendekatan intelektualistas murni para filsuf terhadap fenomena kenabian.
Mereka sangat keberatan menerima kesempurnaan intelektualitas Nabi.
Meskipun demikian mereka lebih mengedepankan nilai-nilai syarī‟ah
daripada nilai intelektual.
Selanjutnya Rahman menjelaskan mengenai beberapa tokoh Muslim
kondang yang menerima esensi doktrin filosofis tentang kenabian dan
memasukkannya ke dalam Islam yang integral. Meskipun demikian,
13
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 113-114.
39
masyarakat ortodoks tidak menerima jika mereka dianggap ortodoks. Mereka
adalah Al-Gazālī (w. 1111 M) dan Sejarawan Ibn Khaldūn (w. 1406 M).
Dalam karyanya ini Fazlur Rahman mengemukakan bahwa antara filsuf
dan teolog sebenarnya tidak ada perbedaan yang fundamental mengenai
konsep kenabian dan wahyu. Bagi filsuf, Nabi menerima wahyu dengan
mengidentifikasi dirinya dengan Akal Aktif. Sedangkan Al-Syahrasytanī dan
Ibnu Khaldūn berpandangan bahwa Nabi diidentifikasikan dengan malaikat.
Menurut Abd „Ala, dalam bukunya ini Rahman membuktikan bahwa masalah
kenabian dan wahyu dapat ditelusuri secara memuaskan dengan menggunakan
bukti-bukti rasional dan dalil-dalil agama, khususnya Alquran.14
Karya terpenting di priode awal perkembangan pemikiran Rahman ini
memang merupakan kajian kesejarahan murni dan tidak bersifat preskriptif.
Kajian doktrin kenabian para filosof dan ortodoksi tersebut sangat signifikan
bagi Rahman dalam memformulasikan pandangannya tentang proses
pewahyuan Nabi Muhammad,15
terutama dalam pijakan dia dalam mengkritik
konsep sunnah yang digagas Al-Syāfi‟ī yang mendudukkan sunnah Nabi
sebagai wahyu ekstra-Qurani.16
Kajian yang bersifat historis juga terdapat pada karyanya yang berjudul
Islamic Methodology in History yang diterbitkan pada tahun 1965 dan Islam
diterbitkan pada tahun 1966. Buku Islmic Methodology merupakan kumpulan-
kumpulan artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies, dari bulan
14
Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 45-46. 15
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 116. 16
Falur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 62.
40
Maret 1962 sampai Juni 1963. Karya yang pertama merupakan sebuah
analisis kritis sejarah perkembangan empat pilar pemikiran Islam, yaitu
Alquran, Sunnah, ijtihād, dan ijmā‟, dan peran aktual pilar-pilar tersebut
terhadap perkembangan Islam itu sendiri. Sedangkan yang kedua, Islam,
mengangkat survey interpretatif Islam, yang terfokus pada persoalan-
persoalan legal-normatif dan teologi serta aplikasinya sepanjang sejarah.
Meskipun karya ini kerapkali dipakai sebagai buku dasar pengantar tentang
Islam, sebenarnya muatan kandungannya lebih dari itu, karya orisinal tersebut
sarat dengan diskusi-diskusi intens seputar doktrin utama, Alquran,
Muhammad, hukum, teologi, filsafat dan tasawuf dan perkembangan institusi-
institusi yang ada sejak lahirnya Islam.17
Buku Islamic Methodology ini merupakan karya Fazlur Rahman yang
sangat relevan dipembahasan ini, karena menjadi rujukan utama dalam
penelitian ini. Buku ini secara khusus menampilkan, pertama, evolusi historis
perkembangan empat prinsip dasar pemikiran Islam—yang memberi kerangka
bagi seluruh pemikiran Islam—(Alquran, sunnah, ijtihād, dan ijmā‟), dan
peran aktual prinsip-prinsip tersebut terhadap perkembangan Islam itu
sendiri.18
Fazlur Rahman mengatakan bahwa generasi awal Muslim tidak
menganggap ajaran Alquran dan sunnah dari Nabi (Sunnah of the Prophet)
sebagai sesuatu yang kaku atau statis, tetapi secara esensial sebagai sesuatu
17
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 27. 18
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 123-124.
41
yang bergerak secara kreatif melalui bentuk-bentuk sosial yang berbeda. Hasil
analisisnya ini memunculkan pembedaan yang dilakukan tentang konsep
sunnah dan hadis. Berangkat dari pendapatnya mengenai tidak adanya sesuatu
yang dapat memberikan kohesi terhadap ajaran Alquran selain kehidupan
Nabi yang aktual dan lingkungan dimana beliau melangkah. Rahman
menganggap aktualitas kehidupan Nabi sebagai sarana yang sangat penting
dalam memahami Alquran, dalam kerangka ini, dinamika nilai Alquran
menemukan momentumnya. Oleh karena itu, reduksi kehidupan Nabi yang
aktual ke dalam rumusan-rumusan yang dianggap standar akan mematikan
semangat asli Kitab Suci.19
Untuk pemikirannya tentang sunnah, penelitian ini
memabahas secara khusus.
Karya lain Fazlur Rahman sedikitnya empat buah buku dan beberapa
artikel yang memuat terobosan yang genuine sepanjang perjalanan karirnya,
antara lain, pertama, The Philosophy of Mulla Shadra (1975)—yang
merefleksikan sebuah ilustrasi yang baik mengenai perhatian Fazlur Rahman
terhadap pemikiran akademik murni (filsafat). Kedua, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition, diselesaikan pada tahun 1978,
namun baru diterbitkan pada tahun 1982, buku tesebut menyajikan sebuah
analisis kritis terahadap sistem pendidikan Islam di samping menawarkan
upaya mengantisipasinya. Ketiga, Major Themes of the Quran, dipublikasikan
lebih awal dari karya sebelumnya pada tahun 1980. Karya tersebut menandai
kemajuan (kecemerlangan) dalam pemikiran Fazlur Rahman, yakni
19
Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 47.
42
menunjukkan passion-nya yang lain secara lebih meyakinkan dari sebelumnya
di bawah naungan bimbingan kita suci (Alquran) dan memperlihatkan
bagaimana pesan Alquran dapat dan seharusnya dapat secara praktis
diaplikasikan melalui langkah yang baru dan kreatif dalam realitas kehidupan
saat ini. Keempat, Health and Madicine in the Islamic Tradition: Change dan
Identity, diterbitkan pada tahun 1987, buku tersebut menampilkan diskusi
yang komprehensif tentang bagaimana keseimbangan antara kesehatan dan
moral-etis dalam mengekspresikan nilai-nilai Islam yang ideal dan
memberdayakan dinamika sebagai satu intergritas dan totalitas.
Selain keempat karya tersebut, sebanarnya Fazlur Rahman memiliki
karya lain yang tidak sempat diselesaikan di masa hidupnya, atas prakarsa
Begum Bilqis, isterinya, karya tersbut dapat diselesaikan melalui editor
Ebrahim Moosa yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of
Islamic Fundamentalism, diterbitkan pada tahun 2000.
Dari kesemua karyanya tersbut, menurut Wan Daud—murid Fazlur
Rahman berkebangsaan Malaysia—Fazlur Rahman terkenal dengan memiliki
gaya tulisan yang sukar diikuti yang tidak jarang seringkali disalah-artikan
sebagai sikap arogansi, terutama ketika ia mengavaluasi penamilan umat
Islam dalam sejarah.
Di Indonesia sendiri, tokoh nasional seperti Nurcholish Madjid, Ahmad
Syafi‟i Ma‟arif dan Amin Rais cukup apresiatif terhadap pemikiran Rahman,
Menurut Nurcholish Madjid, Rahman mampu dengan cermat membaca teks-
teks klasik perbendaharaan keilmuan Islam multi-bidang, dan ia menilai betapa
43
kunonya Bahasa Arab yang digunakan. Menurut Madjid, Rahman adalah juga
seorang pemikir dengan keberanian intelektual yang mencengangkan, bukan
saja ia tidak takut kepada kotroversial, bahkan ia melihat bahwa kontroversial
adalah bagian dari konsekwensi dan kreativitas intelektual yang kerap tidak
mungkin dihindari.20
Sedangkan testimoni apresiatif Syafi‟i Ma'arif dalam
pengantarnya menyatakan bahwa pada diri Rahman "berkumpul ilmu seorang
alim yang alim dan ilmu seorang orientalis yang paling beken.21
Menurut Ahmad Syukri, perjalanan evolusi pemikiran Fazlur Rahman
tidak lain sebagai upaya memberikan kontribusi terhadap khazanah pemikiran
Islam khususnya dalam menghadapi hiruk pikuk kehidupan kontemporer saat
ini, kembali pada generasi muda Muslim untuk membuktikan apakah gagasan
Fazlur Rahman tersebut layak diperhitungkan dan diapresiasi atau sebaliknya,
di abaikan.22
2. Double Movement Teory (Metode Gerakan Ganda)
Menurut Hujair Sanaky, dalam mengkaji karya-karya Fazlur Rahman kita
perlu mengetahui metode apa yang digunakan dalam menulis karya-karyanya.
Rahman, seringkali menyebutkan dua istilah metodis dalam buku-bukunya yaitu
Historico Critical Method dan Hermeneutic Method. Kedua istlah tersebut
merupakan ”kata kunci” untuk menelusiri metode pemikiran Fazlur Rahman.
20
Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur'an,” Islamika, no. 2
(Oktober-Desember 1993): h. 24. 21
Ahmad Syafi'i Ma'arif, (dalam Pengantar) Islam, (Bandung: Mizan, 1995), h. vi. 22
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 30-34.
44
Pertama, Bagi Rahman, kritik sejarah (Historico Critical) adalah pendekatan
yang akomodatif secara intelektual dan moral, dengan cara inilah tujuan-tujuan dan
pesan Alquran dan hadis dapat diapresiasi.23
Pendekatan kesejarahaan yang pada
prinsipnya untuk melacar fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari nilai-nilai
(values) tertentu yang terkandung di dalamnya. Jadi, yang ditekankan oleh metode ini
adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan
presitiwa sejarah itu sendiri. Jika data sejarah dipaparkan sebatas kronologinya, maka
model semacam ini dinamakan pendekatan kesejarahan ”Critical History” sebagai
sebuah metode penelitian sejarah Islam, pertama kali dikembangkan oleh studi-studi
dikalangan orientalis (seperti : David S.Margolouth, Goldzhiher, Henry Lammen,
Joseph Schacht, H.R.Gibb, N.J.Coulson, dll), merupukan pendahulu orientalis yang
menerapkan metode Critical History ini.
Kedua, Pendekatan Hermeneutika yaitu metode untuk memahami dan
menafsirkan teks-teks kuno seperti kitab suci, sejarah, hukum juga dalam bidang
filsafat. Metode ini digunakan dalam upaya interpretasi terhadap teks kitab suci,
penafsiran terhadap teks-teks sejarah yang menggunakan bahasa yang rumit, atau
bahasa hukum yang padat juga memerlukan upaya penafsiran, agar mudah dipahami.
Menurut Rahman, kedua metode ilmiah ”Critical History” dan Hermeneutic,
merupakan seperti dua sisi mata uang, yakni tidak bisa dipisahkan. Metode ”Critical
History” berfungsi sebagai upaya dekonstruksi metodologi, sedangkan metode
Hermeneutic difungsikan sebagai upaya rekonstruksinya. Sementara dalam kajian
23
Ahmad Syukri, “Metodologi Tafsir Kontemporer Dalam Pemikiran Fazlur Rahman,”
Kontekstualita XX, no. 1 (Juni 2005): h. 57-61.
45
normatif (penerapan metode Hermeneutic dalam menafsirkan Alquran Fazlur
Rahman menggunakan metode sosio-historis sebagai alat bantu dalam menentukan
konteks sosial yang terkait. Karena itu, Rahman menyadari kurangnya perspektif
kesejarahan dalam kecendekiawan Muslim yang pada gilirannya menyebabkan
minimnya kajian-kajian historis Islam. Menurut Rahman, ummat Islam memerlukan
kajian sejarah agar mereka dapat menimbang lebih lanjut nilai-nilai perkembangan
historis tersebut untuk bisa melakukan rekonstruksi disiplin-disiplin Islam untuk
masa depan.
Dalam pada itu, Fazlur Rahman membuat kategori Islam menjadi dua, yaitu:
Islam Normatif dan Islam Historis. Analisis Critical History sebagai sebuah metode
yang digunakan Fazlur Rahman dalam mengkaji Islam historis dalam segala
aspeknya. Pengembangan metode ini oleh Fazlur Rahman tampak dengan jelas dalam
kajian-kajian historisnya, seperti dalam bukunya Islamic Methodology in History dan
Islam and Modernity Transformaton of an Intellectual Tradition. Critical history oleh
Rahman selalu dikaitkan dengan fase perkembangan, kemajuan dan kemunduran
sejarah masyarakat Islam. Untuk itu, dalam menulis karyanya Islamic Methodology in
history ini, Rahman menggunakan metode ”Critical History” untuk mengkaji sunnah
dan hadis dan melakukan dekonstruksi.24
24
Hujair AH. Sanaky, “Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah Dan Hadis,
Kajian Buku Islamic Methodology In History,” Mawardi XVI, (2006): h. 259-260.
46
BAB IV
KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP
KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī
A. Konsep Sunnah al-Syāfi’ī
Menurut Abū Zahrah, Abū „Abd Allāh Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi‟ī al-
Muṭṭalibi al-Quraisyī atau Imām al-Syāfi‟ī (w. 204 H) menempatkan sunnah sebagai
ḥujjah dalam syari‟at Islam, argumentasi al-Syāfi‟ī tersebut untuk membantah para
kelompok yang menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam.1 Dengan sikap
tersebut Ulama Irak menjulukinya Multazim al-Sunnah (orang yang berpegang teguh
kepada sunnah) atau Nāṣir al-Sunnah (pembela sunnah).2
Al-Syāfi‟ī memandang bahwa hadis-hadis ṣaḥīḥ (dalam kondisi tertentu)
posisinya sejajar dengan Alquran, yang semuanya wajib diikuti. Berbeda dengan Abū
Ḥanīfah (w. 150 H) sebuah hadis harus berstatus masyhūr dalam keadaan tertentu,
begitupun dengan Mālik ibn Anas hadis tidak boleh bertentangan dengan tradisi
masyarakat Madinah. Al-Syāfi‟ī mensyaratkan hadis yang menjadi sumber hukum
Islam harus ṣaḥīḥ dan ittiṣāl al-sanad (sanadnya tersambung).3
Lebih lanjut, mengenai ke-ḥujjah-an hadis, argumentasi Al-Syāfi‟ī berangkat
dari ayat Alquran yang yang berkaitan perintah Allah Swt. untuk mengikuti sunnah
1 Al-Khuḍarī menarik kesimpulan dari tulisan-tulisan al-Syāfi‟ī, bahwa yang menolak hadis
secara keseluruhan adalah kelompok Mu‟tazilah. Begitupun dengan al-Sibā‟ī berpendapat demikian.
lihat Azami, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ, h. 23. 2 Abd al-Ḥalim Jundī, al-Imām al-Syāfi'ī Naṣīr al-Sunnah Wadi' al-Usūl (Kairo: Dar a-kutun
al-'imiyah, 1996), h. 300. 3 Muḥammad Abu Zahrah, al-Syāfi’i Hayātuhu wa Asruhu wa Fikruhu Arāuhu wa
Fiqhuhu (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005), h. 84.
47
Nabi.4 Selain ke-ḥujjah-annya, ada dua fungsi hadis terhadap Alquran, antara lain,
pertama, hadis memiliki fungsi sebagai konfirmasi bahwa Alquran adalah wahyu
yang diturunkan oleh Allah Swt., kedua, hadis sebagai penjelas dari pesan Alquran
yang sifatnya global. Sedangkan sunnah Nabi, ada tiga fungsi, antara lain, pertama,
sebagai konfirmasi dan mengulangi pesan-pesan yang ada di dalam Alquran, kedua,
menjelaskan makna garis besar pesan Allah di dalam Alquran, ketiga, Rasulullah
menjelaskan sesuatu perkara yang secara eksplisit tidak terdapat di dalam Alquran.
Bisa disimpulkan, karena Rasulullah memiliki hak istimewa dari Allah
sebagai mubayyin, penjelas pesan Allah, maka beliau berwewenang menjelaskan
pesan Alquran yang global maupun yang tidak dijelaskan di dalam Alquran, dalam
konteks ini al-Syāfi‟ī memberi contoh sunnah Nabi yang menjelaskan jumlah rakaat
salat dan tata cara pelaksanaannya, dengan bersandar pada kewajiban salat secara
garis besar di dalam Alquran. Begitupun Sunnah Nabi yang berkaitan dengan
urusan mu’āmalah dan aturan-aturan lain.5
Selain itu, pandangan al-Syafi‟ī tentang eksistensi hadis āḥād6 dan mursal
7
juga sangat penting karena keduanya menjadi salah satu basis kontruksi pemikiran
4 Ada banyak ayat-ayat yang membicarakan berkaiat dengan perintah Allah Swt. tersebut,
antara lain: Q S . al-Māidah: 67, Q S . al-Syūrā: 52, Q S . al-Nisā‟: 113 dan 171, Q S . al-Jumu‟ah:
2, Q S . al-Baqarah: 231 dan 151, Q S . al-Nūr: 63, Q S . al-An‟ām: 106, Q S . al-Aḥzāb: 36 dan
Q S . Āli „ Imrān: 164. Lihat al-Risālah, h. 187-196. 5 Al-Risālah, h. 92.
6 Hadis Aḥad atau khabar aḥad adalah khabar yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi
tidak mencapai derajat mutawatir (tidak ditemui syarat-syarat mutawatir), entah satu, dua, tiga, empat,
atau lima orang periwayat. Lihat Aḥmad „Umar Hāsyim, Qawā’id Uṣūl al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-Fikr,
tt.), h. 153. 7 Hadis mursal adalah hadis yang diakhir sanad yaitu diatas tabi‟in terputus, menurut
Maḥmud Ṭaḥḥan, ada tiga pendapat mengenai status hadis mursal, pertama, mayoritas ulama uṣul dan
fikih memberi status ḍaif dan ditolak, kedua, ṣaḥīḥ dan dapat dijadikan ḥujjah, yang berpendapat
demikian ialah Abū Ḥanifah, Malik dan Aḥmad ibn Ḥanbal, dan ketiga, diterima namun dengan
catatan, pendapat ini dipilih oleh Al-Syāfi‟ī, syarat tersebut antara lain: 1) yang meriwayatkan tābi‟īn
48
yurisprudensinya. Menurut al-Syāfi‟ī, hadis āḥād wajib diterima sebagai sebagai
argumentasi hukum (fikih) karena memenuhi kriteria ditinjau dari kualitas
periwayatan. Sedangkan hadis mursal, al-Syāfi‟ī memberi catatan bahwa
periwayatannya tidak boleh terputus melewati khibār al-tabi’īn (generasi setelah
tābi’īn; tabi’ al-tābi’īn). Berbeda dengan Abū Ḥanifah dan Mālik ibn Anas (w. 93 H)
yang cenderung lebih longgar dalam menilai hadis mursal tersebut, karena kedua
tokoh mazhab ini tidak begitu mempertimbangkan ketersambungan sanad.8
B. Living Sunnah (Tradisi Yang Hidup)
Fazlur Rahman mengkonfirmasi temuan dan teori para orientalis tentang
evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan teori yang dikemukakan
bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum muslim belakangan. Menurutnya,
konsep sunnah yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam pandangan
orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya, sunnah adalah konsep yang valid dan
operatif sejak awal Islam dan berlaku sepanjang masa.9
Secara eksplisit, menurut Rahman, istilah sunnah di dalam Alquran
memang tidak ada, tetapi konsep sunnah sejak zaman Nabi telah ada.10
Dalam
pandangan Rahman, di dalam Alquran terdapat beberapa keterangan yang
menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai teladan yang baik (uswah ḥasanah). Oleh
senior, 2) tābi‟īn tersebut dikatakan ṡiqqah oleh orang yang meriwayatkan, 3) didukung pakar hadis
yang terpercaya, dan 4) didukung dengan hadis musnad, hadis mursal lainnya, sesuai dengan perkataan
sahabat, dan fatwa mayoritas ulama. Lihat Maḥmud Ṭaḥḥan, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ (Markaz al-
Hudā li al-Dirasāt, 1415 M), h. 57-58. 8 Abū al-Fidā‟ al-Ḥāfiẓ Ibnu Kaṡīr al-Dimasyqī, Ikhtishār Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyyah, t.th), h. 38. 9 Fazlur Rahman, Islamic Methodology In History (Karachi: Central Institute of Islamic
Research, 1965), h. 6. 10
Fazlur Rahman, “Islam: An Overview,” dalam The Encyclopedia of Religion, (ed.)
Mircea Eliade, Vol. 7 (New York: Mac Millan Publiching Co., 1987), h. 309.
49
karena itu, umat Islam sejak awal tetap beranggapan bahwa praktik Nabi sebagai
konsep.11
Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary
conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat maknanya dengan uswah. Kesimpulan
yang diambil oleh Rahman bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi
ini secara jelas mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya meluruskan kekeliruan
pemikiran tentang sunnah yang dimunculkan para orientalis.
Untuk memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem periwayatan.
Menurutnya, periwayatan hadis telah ada sejak zaman Rasulullah. Untuk
membuktikan hal itu, Rahman mengambil contoh surat Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H)
yang ditujukan kepada „Abd al-Mālik bin Marwān (w. 86 H). Dalam sebuah
riwayat, „Abd al-Mālik minta penjelasan kepada al-Baṣrī tentang kebebasan
manusia yang belum pernah ada sebelumnya. Artinya, secara formal dan verbal
tentang kebebasan manusia belum ada. „Abd al-Mālik tidak mengetahui sahabat
yang mempunyai pandangan semacam itu. Dia minta agar ditunjukkan riwayat hadis
yang mengakui kebebasan manusia. Dalam jawabannya melalui surat, al-Baṣrī
menjelaskan bahwa para pendahulu tidak ada yang menolak tentang kebabasan
manusia dan di antara mereka tidak ada yang berbeda pendapat.12
Hal yang penting dari seorang khalifah, menurut Rahman, adalah bahwa ia
meminta beberapa alternatif dasar yang dipakai al-Baṣrī untuk mendukung
kebenaran pendapatnya, di antaranya adalah riwayat hadis dari salah seorang
sahabat Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum masa itu telah berkembang
11
Rahman, “Islam: An Overview,” h. 7. 12
Fazlur Rahman, Islam (Chicago & London: University of Chicago Press, 1979), h. 55.
50
tradisi periwayatan, sekaligus menunjukkan otoritatisasi generasi sahabat dalam hal
periwayatan. Jawaban al-Baṣrī tentang sunnah Nabi yang berkaitan dengan
kebebasan manusia, meskipun tidak menyebut kan periwayatan yang bersumber
dari Nabi, memberi sinyalemen adanya sunnah. Hal ini bukan berarti tidak ada
sebuah riwayat yang menjadi dasar bagi al-Baṣrī, tetapi ia bermaksud menekankan
teologi bahwa kebebasan manusia adalah sesuatu yang baru.13 Selain itu, surat al-
Baṣrī merupakan petunjuk arah, bukan serangkaian aturan yang ditetapkan secara
pasti. Pengertian sunnah semacam ini merupakan dasar pemikiran umat Islam awal.
Dengan demikian, doktrin determinisme secara implisit bertentangan dengan ajaran
sunnah Nabi dan “sunnah ideal” secara realistis telah berkembang pada masa kaum
muslim awal.
Untuk memperkuat hal tersebut, Rahman juga mengutip kebiasaan Imam
Mālik dalam al-Muwaṭṭā` yang biasanya mengutip terlebih dahulu riwayat hadis
dalam menjawab setiap masalah yang dihadapi, kemudian menyampaikan pernyataan
seperti: “dan ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita adalah...,”
kadang-kadang ia menggunakan istilah “sunnah yang kita akui adalah....” Imam
Mālik, misalnya mengutip hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak ṣuf‘ah
kepada seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu Mālik menyatakan
“dan hal ini merupakan sunnah bagi kita.” Lantas kepada Sa„īd bin Musayyab, ahli
hukum yang populer di Madinah, Mālik bertanya kepadanya: “Adakah sunnah
13
Rahman, Islamic Methodology, h.7.
51
mengenai ṣuf’ah,” ia menjawab: “ya, tetapi ṣuf‘ah hanya berlaku atas rumah dan
tanah.14
Dalam pernyataan pertama, menurut Rahman, sunnah berarti praktik yang
dilakukan oleh kaum muslim Madinah, dan pengertian seperti ini tidak cocok dalam
pernyataan yang kedua, karena untuk suatu praktik yang telah disepakati tidak
mungkin dipertanyakan “adalah sunnah mengenai hal ini.” Untuk itu, pernyataan
kedua tersebut harus suatu preseden yang normatif, bisa berupa sunnah Nabi dan bisa
berupa sunnah sahabat yang bersumber dari Sunnah Nabi.
Selain data periwayatan, Rahman juga menyampaikan data historis yang
berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang penyair pro Hasyimi yang hidup antara
akhir abad pertama sampai awal abad kedua hijriah. Di dalam syair tersebut terdapat
“sunnah” yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali sunnah Nabi. Bunyi
syairnya sebagai berikut:
باي كتاب أو بأي سنة ترى حبهم عارا علي وتحسب
Berdasarkan kitab apa atau sunnah manakah yang engkau memandang cintaku
kepada mereka sebagai kebaikan.15
Rahman juga menyajikan data historis lain dengan merujuk kepada kitab al-
Kharrāj.16 Dalam kitab ini dijelaskan bahwa „Umar bin Kaṭṭāb pernah mengirimkan
beberapa orang ke daerah tertentu untuk mengajarkan Alquran dan sunnah.17 Dalam
informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang berkembang pada saat itu bahwa
Alquran tidak dapat diajarkan tanpa mempertimbangkan aktivitas Rasulullah.
14
Rahman, Islamic Methodology, h.8. 15
Rahman, Islamic Methodology, h. 9. 16
Abū Yusūf, al-Kharrāj (Kairo: t.p., 1302 H), h. 8. 17
Rahman, Islam, h.8.
52
Aktivitas Rasul mencakup bidang politik, kepemimpinan, pengambilan keputusan,
dan lain-lain. Dengan demikian, Alquran dan sunnah terdapat pertalian yang utuh.18
Data-data historis yang diungkap oleh Rahman tentang validitas sunnah
sebagai jawaban terhadap tantangan orientalis. Analisis historis sebagai respons
terhadap wacana ilmiah yang berkembang merupakan kepedulian sumbangan besar
Rahman dalam diskursus kontemporer. Dalam realitasnya, kalangan ahli hadis
maupun fiqih zaman modern masih sedikit menanggapi tantangan orientalis di
atas.
C. Formalisasi Sunnah dan Sunnah Bukan Wahyu Ekstra Qur’ani
1. Formalisasi Sunnah
Awalnya sunnah itu merupakan praktik yang sangat cair atau tidak kaku di
kalangan sahabat pada Muslim awal. Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa
praktik dan ucapan Nabi yang berupa hadis telah ada sejak awal kemunculan Islam.
Tetapi semasa hidup Nabi sendiri, hadis-hadis umumnya hanya dipergunakan dalam
kasus-kasus informal karena satu-satunya peranan hadis adalah memberikan
bimbingan di dalam praktek aktual kaum muslimin dan kebutuhan ini telah telah
dipenuhi oleh Nabi sendiri.
Fazlur Rahman melihat bahwa setelah Nabi wafat tampaknya hadis memiliki
status yang semi-formal. Hal tersebut menjadi wajar karena menurutnya itu
merupakan dampak dari generasi selanjutnya yang berupaya mempelajari kehidupan
Nabi sebagai panutan mereka. Tetapi sampai batasan tersebut, tidak ditemukan
adanya bukti-bukti tertulis (belum di kodifikasi) dalam bentuk apa pun yang
18
Rahman, Islam, h.57.
53
terhimpun. Ketiadaan bukti tertulis itu disebabkan karena generasi selanjutnya
menganggap bahwa hadis cukup dijadikan rujukan praktis dalam kehiupan mereka.19
Tabel 1.
Proses Formalisasi Sunnah
Dalam paragraf ini, penulis berupaya menyajikan data beberapa ulama dalam
melihat hadis sebagai rujukan praktis. Ulama terdahulu dari para ahli mazhab awal
seperti Abū „Amr „Abd al-Raḥmān al-Auzāī‟ (w. 157 H) yang berasal dari Syiria. Ia
mengenal sunnah Nabi tetapi tidak mengidentikkannya dengan tradisi-tradisi
formal.20 Ia sering merujuk pada praktik yang dilakukan oleh kaum muslimin yang
sampai kepadanya pada masa Rasulullah. Dalam pertentangan pendapatnya dengan
Abū Ḥanīfah, dalam kebanyakan kasus, terlebih dahulu ia berargumentasi (mencari
dalil) dengan perilaku Rasulullah.
Menurut Schacht pandangan al-Auzāī‟ tentang sunnah adalah yang dikenal
dengan “living tradition”, yaitu praktik-praktik kaum Muslimin yang dimulai dari
Nabi, dilestarikan oleh para khalifah awal dan penguasa-penguasa berikutnya dan
diverifikasi (dibuktikan) oleh para ulama. Praktik-praktik kaum Muslimin yang
kontinu sangat menentukan, sedangkan rujukan kepada Nabi atau para Khalifah awal
19
Fazlur Rahman, Islamic Methodology In History, Terj. Anas Mahyuddin (Bandung:
Pustaka, 1995), h. 44. 20
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University
Press, 1975), h. 70.
Informal
(priode Nabi) Semi-Formal
(priode Sababat
dan tāb’īn)
Formal
(priode Al-Syāfi‟ī
dan sesudahnya)
54
adalah bersifat fakultatif (boleh memilih), bahkan bukan merupakan hal yang niscaya
untuk memantapkan sunnah.21 Hampir dalam setiap paragraf al-Siyār kita dapat
menemukan contoh-contoh yang dapat membuktikan pernyataan itu.
Salah satu contohnya adalah ketika al-Auzāī‟ menentang pendapat Abū
Ḥanīfah yang mengatakan “ketika seorang imam mengatakan bahwa barang siapa
mendapatan sesuatu dalam perang maka sesuatu itu adalah menjadi miliknya. Maka
jika seorang laki-laki tersebut memperoleh seorang jāriyah ia tidak boleh
menggaulinya selama masih berada dalam dār al-ḥarb (meskipun ia telah
memilikinya)”. Al-Auzāī‟ berpendapat bahwa laki-laki tersebut boleh menggauli
jāriyah tersebut dan hal itu halal dari Allah, karena kaum Muslimin menggauli
jāriyah ketika mendapatkannya sebagai tawanan perang ketika melawan Bani
Musṭaliq sebelum mereka pulang ke dār al-Islām.22
Pembahasan selanjutnya adalah tentang konsep sunnah pasca al-Syāfi‟ī. Hal
ini penting dijelaskan karena pada periode inilah formaslisasi sunnah dimulai. Al
Syāfi‟ī dalam tafsirnya menyatakan secara global bahwa Alquran dan sunnah adalah
sebagai satu kesatuan sumber syarī’ah, yaitu sama-sama sebagai nāṣṣ syarī’ah. Ia
tidak banyak mempertentangkan kedudukan sunnah termasuk Alquran, bahkan al-
Syāfi‟ī sangat tegas mengambil sikap untuk menempatkan otoritas sunnah dalam
syari‟at Islam, sehingga mendapat julukan Nāṣir al-Sunnah. Sebab al-Syāfi‟ī mampu
menyelamatkan sunnah dari dua dilema yang terjadi pada masanya, ialah
21
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 1964),
h. 33. 22
Al-Auzā‟ī , “Al-Siyār al-Auzā‟ī”, dalam Abū Yūsuf al-Anṣārī, Al-Rass ‘alā al-Siyār Al-
Awzā‟ī (Beirut: Dār al-Kutub Al-„Ilmiyah, tt.), h. 70.
55
penangguhan dasar sunnah oleh kalangan ahl al-Ra’y (rasionalis), dan ketidak-
kritisan pemakaian sunnah sebagai dasar syari‟ah oleh kalangan ulama ahl al-ḥadīṡ.
Karenanya Al-Syāfi‟ī merumuskan prinsip-prinsip teoritik global tentang dasar nāṣṣ
sunnah sebagai sumber syari‟at, terutama sumber hukum Islam. Selanjutnya oleh al-
Syāṭibī diperjelas bahwa tidak dimungkinkan mengambil isṭinbāt al-ahkām hanya
dibatasi dengan Alquran semata, tanpa mengaitkannya dengan doktrin-doktrin dan
ajaran dalam sunnah sebagai penjelas.23
Al-Syāfi‟ī telah melakukan perubahan besar dalam konsep sunnah yang
digunakan oleh mazhab-mazhab awal. Dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa
sunnah Nabi adalah sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi-generasi
Muslim pada jaman lampau dengan menafsirkan teladan-teladan Nabi berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi baru yang mereka peroleh.
Interpretasi-interpretasi yang kontinu dan progresif itu, walaupun berlainan di daerah-
daerah yang berbeda disebut juga sebagai sunnah.
Namun proses dan metodologi yang sedemikian itu oleh Al-Syāfi‟ī diserang
dengan semangat dan usaha yang besar dengan menyerukan diterimanya materi al-
ḥadīṡ secara besar-besaran dalam bidang hukum. Programnya, walaupun barangkali
ia tidak melihatnya dalam batas demikian, adalah menyerang doktrin ijmā‘dari
aliran-aliran hukum yang ada dan membatasinya pada praktik-praktik dan kewajiban-
kewajiban agama yang mendasar saja (essential relegious obligations and
23
Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (Beirut: Dār al- Fikr, tt.), h. 106.
56
practices).24 Gerakan inilah yang oleh Rahman disebut sebagai gerakan “subtitusi
hadis” yang mengakibatkan berhentinya proses kreatif.25
Dengan gerakan itu dapat dipahami bahwa al-Syāfi‟ī ingin menyingkirkan
sunnah yang hidup yang dikenal dalam mazhab sebelumnya. Dan apabila ijmā’
dalam term mazhab awal telah benar-benar dibuat tak berdaya lagi yakni telah
ditekan pada kewajiban-kewajiban agama yang umum dan esensial yang juga
terkandung dalam sunnah verbal, maka ia akan mengisi kekosongan yang
ditinggalkannya dengan al-ḥadīṡ. Dengan kata lain, hanya al-ḥadīṡ sajalah yang
akan mewakili sunnah bukan tradisi yang hidup atau ijmā’.
Tabel 2.
Konsep sunnah sebelum Al-Syāfi‟ī
Konsep sunnah sesudah Al-Syāfi‟ī
Sebagai ilustrasi, perlu dinukil salah satu contoh ketika Al-Syāfi‟ī ditanya
oleh seorang Madinah26 tentang boleh atau tidaknya menghancurkan ternak dan
tanaman-tanaman musuh di dār al-ḥarb. Menurut mazhab orang Madinah tersebut,
harta benda musuh tidak boleh dimusnahkan, larangan Abū Bakar dan demikian juga
24
Rahman, Islamic Methodology In History, h.26. 25
Rahman. Islam, h. 76. 26
Rahman, Islamic Methodology In History, h.29.
Sunnah Nabi Ijtihad Ijmā’
Sunnah Nabi Ijmā’ Ijtihad
57
sahabat-sahabat mereka banyak yang meriwayatkan dari Abū Bakar. Al-Syāfi‟ī
menjawab dengan tegas bahwa ia setuju kalau harta benda musuh dihancurkan
selain binatang ternak mereka kecuali untuk dimakan. Argumentasi Al-Syāfi‟ī
adalah hadis dimana Nabi pernah melakukan pemusnahan ketika kaum Muslimin
menyerang Bani Naḍīr, Khaibar dan Ṭā‟if. Ketika ditanya mengapa ia melarang
memusnahkan binatang-binatang kecuali untuk dimakan dagingnya? Al-Syāfi‟ī
mengatakan bahwa hal itu didasarkan atas sunnah Nabi yang mengatakan,
“Barang siapa membunuh seekor burung pipit („uṣfūr) dengan tanpa alasan yang
hak, maka ia akan dihisab karenanya.” Ketika ditanyakan apakah haknya itu? Nabi
menjawab, “menyembelihnya dan kemudian memakannya serta tidak memotong
kepalanya untuk dibuang.”
Dari uraian itu, terlihat bahwa al-Syāfi‟ī memahami dan menafsirkan hadis
tersebut secara literal tanpa memperhatikan konteks situasional dari hadis tersebut,
karena menurutnya dalam ungkapan verbal itulah sebenarnya terkandung sunnah
Nabi. Kenyataan sebenarnya menurut Rahman adalah bahwa terhadap orang-orang
Yahudi Bani Naḍīr dan Khaibar, Nabi Muhammad dengan sengaja bersikap sangat
keras dan dari fakta historis dapat diketahui bahwa tindakan keras tersebut karena
orang-orang Yahudi sendiri. Sedangkan Ṭā‟if merupakan pertahanan terakhir dari
orang-orang Arab Jahiliyah yang tetap membangkang sekalipun kota Makkah telah
terjatuh. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhmmad mengambil tindakan keras.27
27
Contoh ini dimuat dalam bab “Ikhtilāf Mālik wa al-Syāfi‘ī” sub-bab “Jihād”. Menyebut
seorang Madinah yang bertanya adalah dipahami dari permulaan bab yang dimulai dengan “sa’altu
Al-Syāfi’ī”. Karena bab ini membicarakan perbedaan Mālik yang nota bene mazhab Madinah,
58
Dengan contoh di atas, al-Syāfi‟ī sedang menunjukkan bahwa sunnah Nabi
bukan petunjuk yang bersifat umum yang dapat menaungi sunnah yang diciptakan
oleh para sahabat Nabi atau tābi’īn lewat interpretasi-interpretasi ijtihādī (untuk
kemudian disebut juga sebagai sunnah setelah melalui klaim sebagai konsensus)
melainkan bersifat tegas dan mandiri serta harus ditafsirkan secara literal dan
penyiarannya hanya dapat dilakukan dengan media al-ḥadīṡ, bukan dengan klaim
ijmā’ sebagaimana yang dipahami oleh mazhab-mazhab awal. Al-Syāfi‟ī
mengatakan secara tegas “hadis Nabi adalah mempunyai otoritas mandiri (wa
ḥadīṡ al-nabī mustagnīn bi al-nafsih). Dan apabila ada riwayat dari seorang selain
Rasulullah yang bertentangan dengan hadis, saya tidak akan mengalihkan
pandangan padanya karena hadis Rasul lebih utama untuk dijadikan dasar”.28
Rupanya al-Syāfi‟ī lebih mengutamakan hadis dalam artian ujaran Nabi daripada
sunnah dalam perngertian masa awal. Dengan kata lain, yang dimaksud sunnah
menurut al-Syāfi‟ī adalah hadis.
Menurut al-Syāfi‟ī, sunnah yang datang dari Rasulullah dalam bentuk hadis
melalui mata rantai rawi yang ṡiqqah adalah merupakan sumber hukum,
terlepas apakah sunnah tersebut diterima oleh orang banyak atau tidak, bahkan
walaupun ia merupakan suatu tradisi yang terisolir (menyendiri/āḥād). Ketika
ditanya tentang argumentasi yang membolehkan menerima tradisi yang
menyendiri (āḥād). Ia mengemukakan bahwa dahulu ketika orang-orang sedang
diasumsikan dialog tersebut adalah antara seorang Madinah pengikut Malik dengan Al-Syāfi‟ī. lihat
al-Syāfi‟ī, Al-Umm, vol. VII (Beirut: Dār al-Fikr, 1990), h. 241-242.
28
Rahman, Islamic Methodology In History, h.26.
59
salat menghadap Baīt al-Maqdis datanglah seorang pembawa berita kepada
penduduk Qubah dan menceritakan bahwa Allah telah menurunkan wahyu
perubahan arah qiblat. Kemudian mereka berpaling ke Baīt al-Ḥarām (sementara
mereka masih dalam keadaan salat). Diyakini bahwa mereka pasti menceritakan
peristiwa itu kepada Rasulullah. Kalau mereka tidak boleh menerima berita dari
seorang saja, tentu Rasulullah akan mengatakan bahwa “mestinya kamu sekalian
jangan berpindah arah qiblat hingga aku memberitahumu atau sejumlah orang akan
memberitahumu”. Demikian juga kasus pengharaman khamr. Ketika Abū Ṭalḥah
dan sekelompok orang sedang minum-minuman datanglah seseorang dengan
membawa berita bahwa khamr telah diharamkan. Maka mereka memerintahkan
orang-orang untuk memecahkan tempat-tempat minuman.29
Pernyataan itu senada dengan apa yang ia tulis dalam al-Risālah ketika
membela khabar āḥād sebagai ḥujjah yang harus dipakai daripada praktik-praktik
para sahabat besar. Al-Syāfi‟ī mengatakan bahwa batasan khabar yang dapat
dijadikan ḥujjah adalah khabar yang dibawa oleh seorang rāwī, dari seorang rāwī
hingga sampai kepada Nabi.30
Al-Syāfi‟ī senantiasa mengajukan keberatan-keberatan terhadap argumentasi
orang Madinah yang selalu mengatakan bahwa di Madinah tidak kurang dari 30.000
(tiga puluh ribu) orang sahabat yang mana praktik mereka sudah dikenal, diakui dan
mapan jauh sehingga lebih dapat diandalkan daripada hadis-hadis āḥād.31
29
Al-Syāfi‟ī, al-Umm, h. 206. 30
Al-Syāfi‟ī, al-Risālah (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt.), h. 14. 31
Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 70.
60
Sampai di sini kita dapat mengatakan bahwa al-Syāfi‟ī lebih menekankan
nilai-nilai tradisi dari Rasulullah dan lebih mengutamakannya daripada pendapat
para sahabat atau amal mereka. Sebagaimana telah diterangkan dalam beberapa
contoh, para ahli hukum mazhab awal lebih cenderung mengikuti praktik atau
pendapat para sahabat (yang dianggap sebagai ijmā’) meskipun terdapat tradisi dari
Nabi, al-Syāfi‟ī menentang keras praktik yang demikian. Ia berpendapat bahwa
dengan adanya tradisi dari Rasullah tak ada wewenang lain yang boleh dipakai
untuk mengalahkan tradisi Rasulullah.32 Ia menolak ijtihad-ijtihad yang kemudian
diklaim sebagai ijmā‘ tersebut. al-Syāfi‟ī mengatakan dengan tegas bahwa hasil
yang pasti dari ijtihad adalah perbedaan pendapat bukannya konsensus atau
ijmā‘,dan klaim lawan-lawannya yang mengatakan bahwa mereka dapat mencapai
ijmā‘ melalui pemikiran yang orisinil hanyalah pretensi kosong belaka.33
Jadi, dari paparan di atas jelas sekali bahwa kedudukan hadis (yang dalam
konsep al-Syāfi‟ī identik dengan sunnah) menjadi semakin kuat dibanding dengan
“sunnah yang hidup” (sunnah yang berdasarkan penafsiran yang bebas dan
progresif). Kalau kita membuka paragraf-paragraf dalam al-Umm maka ditemukan
sejumlaah besar hadis terisolir yaitu hadis-hadis yang disampaikan secara verbal
hanya dengan melalui satu dua saluran saja yang digunakan untuk menentang ijmā‘
(dalam konsep mazhab awal).
Al-Syāfi‟ī menentang mereka dengan mengatakan bahwa dalam
kenyataannya, di luar kewajiban yang utama tidak ada ijmā‘. Bahwa ijmā‘ atau
32
Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 201. 33
Rahman, Islam, h. 77.
61
praktik yang disepakti bersama yang dinisbatkan oleh aliran-aliran hukum itu kepada
otoritas-otoritas dan para ulama bukanlah konsensus yang sebenarnya, melainkan
persamaan pendapat yang kebetulan saja dan beberapa hal detail di antara mereka
masih terdapat pertentangan pendapat.34 Oleh karenanya hal itu tidak dapat
menggeser otoritas sunnah yang secara jelas di bawah oleh hadis.
Tidak diragukan bahwa perspektif itu dipengaruhi oleh asumsi al-Syāfi‟ī
bahwa sunnah dianggap sebagai jenis wahyu meskipun berbeda dari wahyu al-Kitāb.
Wahyu sunnah adalah pengilhaman kepada jiwa. Maksudnya, wahyu yang menurut
bahasa berarti inspirasi (ilham) bukan wahyu dalam pengertian istilah, yakni melalui
malaikat Jibril.35 Dalam hal ini al-Syāfi‟ī berhasil mengaitkan dua makna wahyu itu
melalui ta’wīl-nya terhadap kata al-ḥikmah yang banyak disebutkan dalam Alquran
mengiringi kata al-Kitāb. Al-Ḥikmah menurut al-Syāfi‟ī adalah sunnah Rasulullah.
Apabila al-ḥikmah adalah sunnah maka mentaati Rasul yang selalu disebut menyertai
ketaatan kepada Allah berarti mengikuti sunnah.36
2. Sunnah Bukan Wahyu Ekstra-Qurani
Perdebatan konsep Sunnah dalam kesarjanaan barat membawa Rahman pada
dua posisi. Pertama, dia menolak pandangan sarjana Barat seperti Goldziher dan
Schacht yang skeptis total terhadap eksistensi sunnah. Selain dua sarjana itu, dia juga
menolak skeptisisme dari Margoliouth, Lemmens, dan Hurgronje.
34
Al-Syāfi‟ī, al-Umm, h. 276. 35
Naṣr Ḥamīd Abū Zaid, Mafhūm al-Nāṣṣ: Dirasah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: al-Hai`ah
al-Misriyyah al-„Ammah li al-Kutub, t.th), h. 35-36. 36
Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 32.
62
Sebagaimana pendapat Herbert Berg,37
Rahman digolongkan sebagai sarjana
yang berupaya menyelamatkan eksistensi sunnah dari pandangan sarjana Barat yang
skeptis. Kedua, Rahman juga mengafirmasi beberapa temuan Goldziher dan Schacht
yang menurutnya membantu dalam upaya menjelaskan historisitas sunnah.
Bentuk afirmasi Rahman di antaranya adalah penjelasan tentang living sunnah
dan pijakan dia dalam mengkritisi gerakan formalisasi hadis pasca-al-Syāfi‟ī pada
awal abad kedua sampai ketiga hijriah. Dari keikut-sertaan Rahman dalam diskursus
hadis dan sunnah dalam kesarjanaan Barat, dia menolak pendapat al-Syāfi‟ī yang
sebagaimana dijelaskan di atas menyebut bahwa sunnah merupakan wahyu dan
posisinya dalam keadaan tertentu bisa sejajar bahkan lebih tinggi dari Alquran.
Rahman berpendapat bahwa semasa hidupnya, Nabi bukan seorang pan-legis
(ahli hukum) untuk memutuskan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat. Dia menambahkan bahwa Nabi Muhammad melakukan tugas yang berat
dalam memperbaiki moral bangsa Arab, bukan memutuskan hukum suatu kasus yang
parsial. Karena umat Islam waktu itu melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa
berupa transaksi dan urusan lainnya berdasarkan akal pikiran dan adat istiadat
mereka. Permintaan kepada Nabi untuk memutuskan sebuah perkara terjadi hanya
dalam kasus tertentu saja. Tindakan formal Nabi juga hanya dalam urusan yang
berhubungan dengan urusan hajat hidup orang banyak.38
37
Herbert Berg mengelompokkan Sarjana Barat dan Muslim dalam kajian Kritik Hadis
kedalam empat Kelompok; 1) Early Wastern Scepticism; Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, 2) Reaction
About Scepticism; N. Abbott, Fuad Sezgin, M.M. Azam, 3) The Search Middle Ground; Juynboll,
Fazlur Rahman, Schoeler, Harald Motzki, dll., 4) Renew Scepticism; Michael Cook dan N. Cadler.
Lihat. Herbert Berg, The Development Of Exegesis in Early Islam (Richmound, London: Curzon Press,
2000), h. 6-50. 38
Rahman, Islamic Methodology, h.15-16.
63
Pandangan Rahman yang menurut penulis original adalah pendapat dia
tentang sunnah Nabi bukan wahyu ekstra-Qurani,39
artinya sunnah Nabi tidak bisa
dijadikan patokan yang kaku dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan,
terutama didunia kontemporer. Nabi, menurut Rahman, memutuskan berbagai
perkara yang sumbernya berupa wahyu dalam Alquran dan sifat kasusnya
digolongkan kasus besar dan bersinggungan dengan nilai moral kehidupan
masyarakat banyak. Rahman memberi contoh bahwa Nabi dalam melakukan ritual
seperti salat sangat longgar, Nabi berkata “kalian salatlah sebagaimana kalian melihat
aku salat”. Dalam hadis populer itu, Nabi tidak menyebutkan secara rigid (kaku)
mengenai tata cara salat. Contoh lain, dalam memutuskan perkara yang tidak ada
dalam Alquran dan sunnah Nabi, Muāż bin Jabbāl diapresiasi oleh Nabi karena
berinisiatif untuk menggunakan ra’y (ijtihad).40
Penulis pada akhirnya harus mengakui bahwa pandangan Rahman mungkin
tidak populer dan kontroversial di kalangan umat Islam. Implikasi yang paling sulit
diterima dari pandangan Rahman tentang sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani adalah
39
Rahman, Islam, h. 77. 40
Saat Muaż bin Jabbāl diutus Nabi ke Yaman, Nabi bertanya "apa yang akan Kau lakukan
jika diajukan pertanyaan sebuah perkara untuk diputuskan?”, jawab Muaż, "Saya akan putuskan
perkara itu berdasarkan ketentuan dalam Alquran”, lalu Nabi bertanya lagi, "bagaimana jika Kau
tidak menemukan di dalam Alquran?", jawab Muaż, "Saya akan memutuskan sebuah perkara
berdasarkan sunnah Rasulullah". kemudian Nabi bertanya kembali, "bagaimana jika kau tidak
menemukan dalam sunnah Rasulullah?", Muaż menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pikiranku
(ajtahidu ra’yī), dan tidak akan aku biarkan perkara itu tanpa putusan apapun. Muad mengatakan, Nabi
kemudian menepuk dadaku dan bersabda, "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang memberikan
taufiq-Nya kepada Rasulullah dengan sesuatu hal yang melegakan Rasulullah. Lihat Aḥmad bin
Ḥanbāl, Musnad Aḥmad ibn Ḥanbāl, Vol V (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyyah, t.th), h. 235. Hadis
ini juga terdapat pada; Sunan Abī Dāud, Bāb al-Aqḍiyyah no. 3119, Sunan al-Dārimī, Bāb al-
Muqaddimah no. 168, Musnad al-Anṣār no. 21049, 21000, 21084 dan Sunan al-Baihaqī Bāb Qaḍā` no.
20126.
64
tertolaknya hadis-hadis dalam kitab-kitab kanonik terutama yang membicarakan
masalah legal-formal dan yurisprudensi dalam Islam.
3. Relevansi dan Implikasi Kritik Fazlur Rahman Terhadap al-
Syāfi’ī dalam Kajian Hadis
Relevansi kajian Fazlur Rahman dalam studi hadis paling tidak memiliki dua
poin penting. Pertama, Rahman mendorong umat Islam untuk lebih kritis dalam
memahami sunnah, terutama yang beruhubungan dengan yusrisprudensi (hadis-
hadis fikih). Kedua, Rahman menekankan kontekstualisasi atas pemahaman
sunnah supaya tidak berbenturan antara realitas masyarakat kontemporer dengan
wahyu dalam Alquran, apalagi dengan hadis-hadis kanonik. Jadi, selama dua poin
tersebut dijadikan rambu-rambu dalam reinterpretasi sunnah dalam pandangan
Rahman, studi tersebut akan menemukan relevansinya dalam perkembangan
diskursus studi hadis.
Sementara itu, implikasi dari kajian Rahman adalah cenderung
mengabaikan wilayah formal dalam transmisi dan konten suatu hadis yang
dianggap sunnah. Rahman lebih menitik-beratkan pada esensi dari hadis tersebut.
Contohnya masalah hukum perang dan penaklukan sebuah wilayah. Nabi selalu
mengambil harta rampasan perang dari wilayah penaklukannya. Sedangkan pada
zaman Khalifah „Umar, dia tidak melakukan apa yang biasa Nabi lakukan,
alasannya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat pada zaman „Umar tidak
memungkinkan untuk dirampas hartanya. Ijtihād Sayyidinā „Umar ini
bertentangan dengan sunnah Nabi, tetapi berupaya mewujudkan cita-cita Nabi
untuk membentuk masyarakat yang beriman dan menjamin kesejahteraan. Apa
65
yang dilakukan „Umar tersebut secara esensi tidak bertentangan dengan sunnah
Nabi karena sangat mempertimbangkan keadilan sosial pada masanya.41
Selain
contoh yang disebutkan di atas, Rahman juga menyinggung beberapa hal yang
berkaitan dengan hukum kriminal, seperti legislasi sosial, hukum kesaksian
(tentang perwalian) dan lain-lain.42
Maksud Rahman dengan menekankan esensi ajaran Islam adalah untuk
menunjukkan bahwa Islam merupakan nama dari kumpulan norma-norma dan
ideal-ideal tertentu yang harus direalisasikan secara progresif dan kreatif dalam
kehidupan masyarakat.43
41
Rahman, Islamic Methodology, h. 271-274. 42
Daud Damsyik, "Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman,"
Aladalah XI, no. 2 (Juli 2013): h. 235-238. 43
Rahman, Islamic Methodology, h.285-288.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa bab yang telah disajikan sebelumnya dan rumusan masalah
yang penulis ajukan, penelitian ini disimpulkan sebagai berikut: pertama, al-Syāfi’ī
telah memformalisasi sunnah menjadi hadis, yang awalnya bersifat informal dan
semi-formal, kedua, al-Syāfi’ī memberi status kewahyuan sunnah, bagi Rahman
sunnah bukanlah wahyu ekstra-Qurani, namun intra-Qurani.
Secara garis besar, penulis berkesimpulan bahwa menurut Rahman Sunnah,
sebagai berikut: pertama, bahwa sunnah kaum Muslim awal, secara konsesional dan
kurang lebih garis besarnya, berkaitan secara intim dengan sunnah Nabi dan
pandangan bahwa praktek kaum Muslim awal adalah hal yang terpisah dari sunnah
Nabi tidak dapat dipegang, karena argumentasinya lemah, kedua, bahwa meskipun
kandungan spesifik yang aktual dari sunnah kaum Muslim awal ini sebagian besar
adalah produk pemikiran kaum Muslim sendiri, ketiga, bahwa agensi kreatif dari
kandungan (sunnah kaum Muslim) ini adalah ijtihād personal yang mengkristal
menjadi ijmā’ berdasarkan petunjuk umum sunnah Nabi yang tidak dipandang
sebagai sesuatu hal yang spesifik dan, keempat, bahwa konsep sunnah atau sunnah
(kaum Muslim awal) identik dengan ijmā’.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa penelitian berupa skripsi ini jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun terutama
bagi kelanjutan penelitian ini.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka, 1984.
Abū Zahrah, Muḥammad. al-Syāfi’ī: Ḥayātuhu wa ‘Aṣruhu wa Ādāuhu Wafiqhu.
Beirut: Dār al-Fikr, 1978.
Al-Aḍlābī, Salahuddin ibn Aḥmad. Metodologi Kritik Matan Hadis. Tangerang:
Gaya Media Pratama, 2004.
Al-Banā, Jamāl. Manifesto Fiqih 2: Redefinisi dan Reposisi Sunnah. Jakarta:
Erlangga, 1997.
_______, Jamāl. al-Jihād, terj. Kamran A. Irsyadi, judul: Revolusi Sosial Islam:
Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.
Al-Fakhrī, „Ādil bin „Abd Allāh bin Ja‟far. Fiqhu ‘Umar bin Khaṭṭāb fī al-
Mu’āmalāti wa al-Māliyati Muqārinan Bifiqhi Asyhūr al-Mujtahidīn.
Madinah: Umm al-Qurā University, 1420 H.
Ali, Syed Ameer, The Spririt of Islam: A History of the Evolution and Ideals
Islam, terj. H.B. Jassin, judul: Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam Dengan
Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Al-Gazālī, Muḥammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-
Ḥadīṡ. Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣrī, Dār Dār al-Kitāb al-Banānī, 2012.
Al-Khāṭib, Muḥammad „Ajāj. Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2007.
________, Muḥammad „Ajāj. al-Sunnah Qabla Tadwīn. Kairo: Maktabah
Wahwah, 1988.
Al-Nawawi, Imam. Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Al-Ṣalīh, Subḥi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Al-Sibā‟ī, Muṣṭafā. al-Sunnah Wamakānatuhā fī al-Tasyrī’ al-Islāmī, Dār al-
Warrāq. t.t.
_______, Muṣṭafā. al-Sunnah Wamakānatuhā fī al-Tasyrī’ al-Islāmī, terj: Sunnah
dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan
Kaum Sunni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Al-Syāfi‟ī, Muḥammad bin Idrīs. Al-Umm. Al-Mansyūrah: Dār al-Wafā`, 2001.
________, Muḥammad bin Idrīs, Jimā’ al-‘Ilm, t.p., t.t..
68
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1996.
____ , Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an. Jakarta: Pustaka Alvabet.
2005.
Amin, Kamarudin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Bandung:
Hikmah, 2009.
Arifuddin, Ahmad. Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail: Paradigma Baru
Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Insan Cemerlang, cet. Ke-1, t.t..
Armas, Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal: Dialog
Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani
Press, 2003.
Assa‟idi, Sa‟dullah. Pemahaman Tematik Al-Qur`an Menurut Fazlur Rahman.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012.
Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
„Aẓāmī, Muḥammad Muṣṭafā. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994.
______, Muḥammad Muṣṭafā. Studies In Early Hadis Literature; Whit A Critical
Edition Of Some Earlu Text. Indianapolis: American Trust Publication,
1978.
Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung:
Mizan, 2000.
Bik, Muḥammad Ḥuḍarī. Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī, terj. oleh: Mohammad
Zuhri, judul: Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami: Sejarah Pembinaan
Hukum Islam. Semarang: Darul Ikhya, 1980.
Cook, Michael. Kontroversi Hadis, Percaturan dan Pertentangan Awal Islam.
Bandung: Marja, 2015.
Darmalaksana, Wahyudin. Hadis Dimata Orientalis: Pandangan atas Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht. Bandung: Benang Merah Press. 2004.
Hallaq, Wael B. Origins Evolution Islamic Law (Digital Version). Cambridge:
Cambridge University Press, 2005.
69
_____, Wael B. An Introduction to Islamic Law, (Digital Version). Cambridge:
Cambridge University Press, 2009.
Ḥakīm, Muḥammad Ṭāhir. Al-Sunnah fī Muwajahah al-Bāṭil, terj. Sunnah dalam
Tantangan Perngingkarnya. Jakarta: FSI Granada, 1984.
Husain, Abu Lubabah. Pemikiran Hadis Mu’tazilah. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003.
Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina, 1996.
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
_____, Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-
Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal.
Jakarta: Bulan Bintang, 2009.
_____, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
_____, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1999.
Jakfar, Tarmizi M. Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-
Qaradhawi. Yogyakarta: Ar-ruz Media, cet. 1, 2011.
Jawas, Yazīd bin „Abd al-Qādir. Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at Islam.
Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2012.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Koya, P. K., ed. Ḥādith and Sunnah: Ideals and Realities. Kuala Lumpur: Islamic
Book Trust, 1996.
Masrur, Ali. Teori Common Link, G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan
Hadis Nabi. Yogyakarta: Lkis, 2013.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis, 2011.
Musa, Aisha Y. Hadīth as Scipture: Discussions on The Authority of Prophetic
Tradition in Islam. New York: Palgrave Macmillan, 2008.
Poespoprojo. Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.
Palmer, Richard E. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
70
Qarḍāwī, Yūsuf. Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar. Jakarta: Penerbit
Media Dakwah, 1994.
Qudsy, Saifuddin Zuhri dkk. Model-Model Penelitian Hadi Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013.
Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1997.
_______, Fazlur. Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983.
_______, Fazlur. Islam. Chicago: Unversity Of Chicago, 1979.
_______, Fazlur. Islamic Methodology In History. Delhi: Adam Publishers, 1994.
Rahmat, Jalaluddin. Dahulukan Akhlak di atas Fiqih. Bandung: Mizan, 2007.
Ricoeur, Paul. Teori Interpretasi. Yogyakarta: Ircisod, 2014.
Rodliyana, Muhammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadits Dari
Klasik Hingga Sampai Modern. Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.
Roibin. Sosiologi Hukum Islam, Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i.
Malang: UIN Malang Press, 2008.
Said, Edward W. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dab Mendudukkan
Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Saifuddin. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas
Aliran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. Departemen Agama RI: 1985.
______, Joseph. The Origins Of Muhammadan Jurisprudence. Oxford London:
The Clarenden Press, 1967.
Syaḥrūr, Muḥammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: Elsaq,
2004.
______, Muḥammad. Islam dan Iman. Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002.
______, Muḥammad. Al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Beirut: Dār al-Sāqī, 2012.
______, Muḥammad. al-Kitāb wa al-Qur`ān: Qirā`ah al-Mu’āṣirah. Damaskus:
Al-Ahlī, t.t.
Soebahar, H.M. Erfan. Menguak Fakta Keabsahan Sunnah: Kritik Mushthafa al-
Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-
Islam. Jakarta: Kencana, 2003.
71
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: CV. Alfabeta, 2013.
Sulaiman, M. Noor. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Turner, Bryan S. Orientalisme, Posmodernisme dan Globalisme. Jakarta: Riora
Cipta, 2002.
Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014.
Wizan, Adnan M. Akar Gerakan Orientalisme: Dari Perang Fisik Menuju Perang
Fikir. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
Dutton, Yasin, Asal Mula Hukum Islam: Al-Qur'an, Muwatta` dan Praktik
Madinah. Bandung: Islamika, 2003.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaam
dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Jakarta: ICIP,
2004.
_______, Nasr Hamid Abu. Teks Otoritas Kebenaran. Yogyakarta: Lkis, 2012.
_______, Nasr Hamid Abu. Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisme, Arabisme.
Yogyakarta: Lkis, 2001.
_______, Nasr Hamid Abu. Reformation Islamic Thought: A Critical Histroical
Analysis, (Digital Version). Amsterdam: Amsterdam University Press,
2006.
Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta:
LESFI, 2003.
JURNAL
Abdul Karim. “Pola Imam Syafi‟i dalam Menetapkan Hukum Islam.” Jurnal
Adabiyah VIII, no. 2(2013), h. 187-193.
Ahmad Isnaeni. “Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami.” Journal of
Qur’ān and Hādīth Studies III, no. 1 (2014), h. 119-139.
Ahmad Isnaeni, Pemikiran Goldziher Dan Azami Tentang Penulisan Hadis,
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012, h. 363-390.
72
Alamsyah. “Dinamika Otoritas Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam.”
Jurnal Al-‘Adalah 12, no. 3 (Juni 2015), h. 479-492.
Arif Chasanul Muna. “Perkembangan Studi Hadis Kontemporer.” Jurnal Religia
14, no. 2 (Oktober 2011), h. 231-252.
Bawaihi. “Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir Alquran.” Jurnal
Media Akademika 28, no. 1 (Januari 2013), h. 135-149.
Benny Afwadzi. “Hadis Di Mata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking
Karya Daniel Brown).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 15,
no. 2 (Juli 2014), h. 227-242.
Daud Damsyik. “Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur
Rahman.” Al-‘Adalah XI, no. 2 (Juli 2013), h. 223-240.
Dzikri Nirwana. “Diskursus Studi Hadis Dalam Wacana Islam Kontemporer.”
Jurnal Al-Banjari 13, no. 2, (Juli-Desember 2014), h. 178-203.
Haerul Anwar. “Teologi Islam Perspektif Fazlur Rahman.” Jurnal Ilmu
Ushuluddin 2, no. 2 (Juli 2014), h. 125-142.
Hujair A.H. Sanaky. “Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah Dan
Hadis (Kajian Buku Islamic Methodology in History).” Jurnal Al-
Mawarid XVI (2006), h. 256-269.
Maizuddin M. Nur. “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah Di Era
Modern.” Jurnal Substantia 14, no. 2 (Oktober 2012), h. 146-161.
Misbahuddin. “Sunnah Dalam Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual Pakar
Hadis Dan Pakar Fiqih (Studi Kritis Atas Pemikiran Muhammad Al-
Gazaly).” Jurnal Farabi 11, no. 1 (Juni 2014), h. 1-19.
MH. Mukti. “Al-Syafi‟i Sebagai Bapak Ushul Fiqh.” Jurnal Ibda` 2, no. 1,
(Januari-Juni 2004), h. 66-84.
Aisha Y. Musa. “Al-Shāfi'ī, the Ḥadīth, and the Concept of the Duality of
Revelation.” Islamic Studies 46, nNo. 2 (2007), h. 163-197.
Nasrulloh. “Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas
Pemahaman Hadits.” Ulul Albab 15, no. 1 (2014), h. 15-28.
Nur Mahmudah. “Sunnah Dalam Nalar Islam Kontemporer Naṣr Ḥāmid Abū
Zayd.” Jurnal Islamica 6, no. 2, (Maret 2012), h. 285-299.
N. Kholis Hauqola. “Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks.”
Jurnal Teologia 24, no. 1, (Januari-Juni 2013), h. 1-20.
73
Rifqi Muhammad Fatkhi. “Dominasi Paradigma Fikih Dalam Periwayatan Dan
Kodifikasi Hadis.” Jurnal Ahkam XII, no. 2 (Juli 2012), h. 99-107.
Saifuddin Mujtaba, Membuka Pintu Ijtihad (Study Pemikiran Fazlur Rahman),
Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1 Maret 2010.
Syahih HM. “Sejarah Evolusi Sunnah, Studi Pemikiran Fazlur Rahman.” Jurnal
Al-Tahrir 11, no. 1 (Mei 2011), h. 173-198.
Tasbih. “Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadis.” Jurnal Al-
Ulum 11, no. 1 (Juni 2011), h. 151-172.
Umma Farida. “Studi Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Sunnah Dan Hadis.”
Jurnal Addin V, no. 2 (Agustus 2013), h. 223-248.
Usman. “Al-Sunnah Dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Al-
Syafi‟i.” Hermeneia dalam Jurnal Kajian Islam Interdisipliner 2, no. 1
(Januari-Juni 2003), h. 285-299.
Vita Fitria. “Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur Rahman
dan Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam).” Asy-Syir‟ah dalam
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 45, no. 2 (Juli-Desember 2011), h. 1335-
1356.
Zailani. “Rekontruksi Tradisi Islam (Studi Pemikiran Muhammed Arkoun tentang
Sunnah).” Jurnal Ushuluddin 17 no. 2 (Juli 2012), h. 198-207.
SKRIPSI, TESIS DAN DISERTASI
Antoro, Henri. “Pengaruh Neomodernisme Islam Fazlur Rahman Terhadap
Wacana Pemikiran Hukum Islam di Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas
Syari'ah Institut Agama Islam Negeri Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-
Hukmiyah Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.
Azizah , Luluk. “Peran Imam Syafi'i Di Bidang Hadis.” Tesis S2 Sekolah
Pacasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Efendi, Mulyadi. “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam NU: Telaah Terhadap
Implikasi Pandang Al-Syafi'i Tentang Ijtihad.” Tesis S2 Sekolah
Pacasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Susilawati A. “Otoritas Hadits Dalam Konteks Modern: Kajian Pemikiran Fazlur
Rahman.” Tesis S2 Sekolah Pacasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.
74
Ahfas, Moh. “Pemikiran Imam Syafi‟i Tentang Kehujjahan Hadis Dalam Kitab
Ar-Risalah (Studi Analisis).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012.
Maloush, Talal. “Early Hadith Literature And The Theory Of Ignaz Goldziher.”
Thesis Presented For The Degree Of Doctor Of Philosophy In The
Department Of Islamic And Middle Eastern Studies Faculty Of Arts,
University Of Edinburgh, August 2000.