kritik fazlur rahman terhadap konsep sunnah al-syĀfi’Ī

87
KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Muhammad Lutfi NIM: 1111034000163 PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN ILMU TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Upload: others

Post on 12-May-2022

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH

AL-SYĀFI’Ī

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

Muhammad Lutfi

NIM: 1111034000163

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN ILMU TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 2: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī
Page 3: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Kritik Fazlur Rahman Terhadap Konsep Sunnah Al-

Syāfi’ī” telah diajukan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juli 2018 Dan telah diterima sebagai salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu

Alquran dan Tafsir.

Ciputat, 18 Juli 2018

Sidang Munaqosah

Page 4: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī
Page 5: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

i

ABSTRAK

Muhammad Lutfi

Kritik Fazlur Rahman Terhadap Konsep Sunnah al-Syāfi’ī

Penelitian ini membahas mengenai pemahaman konsep sunnah Fazlur Rahman,

yang berpandangan bahwa Rasulullah bukalah tokoh yang berkapasitas sebagai ahli

hukum yang mengatur semua aspek kehidupan umat Islam, namun lebih tepatnya

sebagai tokoh reformis moral (uswah al-ḥasanah), sehingga harus ditafsirkan dan

dipraktekkan secara dinamis dan tidak kaku. Asumsi dasar itu berangkat dari realitas

historis kehidupan para sahabat, tābi’īn dan generasi pra-al-Syāfi’ī yang sangat

dinamis dan kreatif dalam memaknai sunnah (teladan) Nabi menjadi “sunnah yang

hidup” (living sunnah).

Proses kreativitas ini berlangsung hingga generasi ketiga, yaitu para tābi’ al-

tābi’īn, ahli hukum dan teolog (aliran kalām) awal yang tetap mempraktekkan

“sunnah yang hidup”. Sunnah Nabi diinterpretasikan (ijtihad) melalui konsensus

bersama (ijmā’) kaum Muslimin dengan sangat demokratis, sehingga mereka mampu

mengatasi berbagai persoalan sosial-politik-reglius yang terus berubah pada masa itu.

Dari realitas historis tersebut, relasi organis antara ijtihād-ijmā’ tidak bisa dipisahkan

dari sunnah Muslim generasi awal.

Di tengah proses demokratis tersebut, fabrikasi-fabrikasi atas sunnah Nabi tidak

bisa dielakkan, tersebarnya kaum muslim di berbagai wilayah yang mengkondisikan

penafisiran sunnah menjadi liar tak terkendali, di fase ini muncullah gerakan unifikasi

metodis yang diprakasai Muḥammad Idrīs al-Syāfi’ī (w. 150 H), yang secara garis

besar memformulasi; sunnah atau hadis Nabi harus tersambung trasmisi

periwayatannya (hadis ṣaḥīḥ), dan mendudukkan otoritas hadis ṣaḥīḥ sejajar dengan

Alquran atau dalam struktur hukum Islam hadis berada pada posisi kedua setelah

Alquran, serta penolakan terhadap konsensus (ijtihad-ijmā’) kalangan ahli hukum dan

teolog awal atas penafsiran sunnah—yang merupakan “sunnah yang hidup” kaum

Muslimin awal.

Pandangan Rahman tersebut merupakan konfirmasi dari temuan-temuan

kesarjanaan Barat, seperti Joseph Schacht—yang berkesimpulan bahwa literatur hadis

merupakan produk pemikiran Muslim awal, yang membawa dia bersikap skeptis

dengan literatur hadis kanonik (kitab-kitab hadis), yaitu bukan berasal dari Nabi,

yaitu hasil penafsiran “sunnah yang hidup” dari generasi Muslim awal, namun

Rahman keberatan dengan pendapat Joseph Schacht, konsep yang sahih dan operatif

sejak awal Islam dan tetap demikian sepangan masa dan organis dengan preseden

otoritatif Nabi.

Kajian ini bertujuan ingin mengetahui apa argumentasi kritik Fazlur Rahman

terhadap Konsep Sunnah al-Syāfi’ī. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis

dan sosiologis, sehingga dapat mengidentifikasi proyeksi kritisismenya. Hasil temuan

penulis, ada dua poin, pertama, al-Syāfi’ī telah memformalisasi sunnah menjadi

hadis, yang awalnya bersifat informal dan semi-formal, kedua, al-Syāfi’ī memberi

status kewahyuan sunnah, bagi Rahman sunnah bukanlah wahyu ekstra-Qurani,

namun intra-Qurani.

Page 6: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam. Salawat serta salam semoga

senentiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. serta keluarganya.

Para Nabi, para sahabat, para tabi’īn, tābi’ al-tābi’īn dan kepada para ulama yang

telah menjaga kelestarian ilmu, budaya dan peradaban hingga saat ini.

Tak berhenti penulis ucapkan rasa syukur kepada Allah Swt. atas tersusunnya

penelitian skrtipsi yang berjudul Kritik Fazlur Rahman terhadap Konsep Sunnah Al-

Syāfi’ī ini. Penulis sadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan sendirinya tanpa

adanya upaya dan usaha yang gigih untuk menyelesaikannya.

Alhamdulillah, rintangan dan hambatan di dalam penyusunan skripsi ini dapat

dilalui berkat arahan, bimbingan dan segala bentuk bantuan dari berbagai pihak.

Maka dari itu penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya. Selanjutnya, penting

sekali untuk penulis sampaikan ungkapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaran Pembantu Dekan.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA., selaku Ketua Jurusan dan Ibu Banun

Baningrum, M.Pd., selaku Sekretaris dan Ibu Hani Hilyati Ubaidah, M.Ag

selaku Asisten Sekretaris Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir.

4. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., selaku dosen pembimbing yang

telah berbagi waktu dengan penulis di tengah-tengah kesibukannya yang

Page 7: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

iii

sangat padat untuk berkenan membimbing penulis dalam melakukan

penelitian sekaligus memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengaji dan khidmat di rumahnya.

5. Bapak Jauhar Azizi, MA., selaku Pembimbing Akademik, Bapak Eva

Nugraha, MA., Bapak Kusmana, P.hd., Bapak Dr. Ahsin Sakho

Asyrofuddin, MA., Bapak Drs. Harun Rasyid, MA., Bapak Dr.

Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag., Pak Toto dan seluruh jajaran Dosen yang

tidak bisa disebutkan satu persatu.

6. Terima kasih yang sedalam-dalam kepada Guru yang sangat luar biasa;

Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA sebagai Kyai Ma’had dan H. Utob

Tobroni, Lc., MCL sebagai Wakil Kyai Ma’had (pada saat itu) yang tidak

pernah lelah mendidik dan memberi motivasi kehidupan selama di

Asrama, tak lupa juga kepada jajaran pengajar Ma’had UIN, dan Ibu Amel

beserta rekan-rekannya yang selalu membantu dan mengurus program

beasiswa Bidik Misi. Terima kasih juga rekan-rekan sepenanggungan

Ma’had UIN; Edi, Ajat, Ihya, Muhyidin, Mujab, Umam, Rahmat, Syauqi,

Gusti, Adnan, Ade, Huda, dan seluruh rekan-rekanwati yang tidak bisa

disebutkan satu-persatu.

7. Terima kasih yang tak terhingga kepada almarhum Ayahanda tercinta

Abdullah Harits Jauhari (allahumma yarhamhu) dan Ibunda Mubiroh

Bunyamin, dengan kasih sayang yang tulus mendidik, membesarkan dan

mencintai saya hingga saat ini. Kakanda dan adinda tersayang; Mba

Widad, Mas Arif, Mba Nay, Eyuz, Izad, dan Mas Yusuf, dan keponakan

Page 8: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

iv

tercinta; Qia dan Maria yang selalu peduli dan selalu mensupport hidup

saya.

8. Terima kasih juga kepada anggota Keluarga Besar Bani Bunyamin, Bani

Jauhari, Bani Jahari dan Bani Mardhi yang selalu memberi semangat dan

pelajaran hidup.

9. Kawan-kawan TH Angkatan 2011 sebagai kawan ngopi, kawan diskusi;

Adi Fadilah, Dede, Irfan, Hilman, Muslih, Basit, Ulfah, Ilham, Fuad,

Akrom, Ulil, Ceceng, Kiting, Muflih, Asep, Restu Eka, Anis, Quraisy,

Kholik, Seman, Toib, Jamil, Ian, Ipul, Rifai, Ijal, Ayi, Zaim, Umam, Arif,

Subhan, Anam, Mujib, Azizah, dan semua kawan-kawanwati yang tidak

bisa disebutkan satu-persatu.

10. Rekan-rekan tangga.id; Mas Afiq, Mas Awab, Away, Muhtalim, Iqbal,

sebagai teman diskusi, teman adu argumen dan teman “hidup”.

11. Rekan-rekan kerja Satria, teruntuk Pak Fariza, Ibu Aisyah, Pak Wahyu,

Pak Arnov, Mba Nurul, Mba Nina, Bang Sky, Aldo, Baim, Sakera, Nur

Hasanah, Gawanti, Candy, Bang Ip Man dan Fajrin, mereka rekan kerja

yang sangat luar biasa

12. Teman Diskusi Cahaya Kemenangan Hati Paramadina; Mas Radhar Panca

Dahana, sebagai guru kebudayaan, juga saya haturkan terima kasih kepada

Pak Rahmat, Bang Hasan, Pak Afi, Pak Endro, Bang Sis, Agus, Bang

Rifqi, dkk

13. Dan seluruh teman dan sahabat yang ada dalam hidup saya.

Page 9: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR …………………………………………………. ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………… v

DAFTAR TABEL……………………………………………………… vii vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………… viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………….. 1

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah…….……….. 10 1

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11 1

D. Tinjauan Pustaka…………………………………………. 11 1

E. Metode Penelitian………………………………………… 13

F. Sistematika Penelitian…………………………………….. 14

BAB II DISKURSUS KONSEP SUNNAH

A. Definisi Sunnah

1. Definisi………………………………………………. 16

2. Sunnah dan Hadis……………………………………. 20

3. Sunnah Nabi…………………………………………. 22

4. Sunnah Nabi dalam Alquran………………………… 23

B. Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya…………….. 25

C. Konsep Sunnah Modern Dalam Kesarjanaan Barat

dan Muslim………………………………………………. 26

Page 10: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

vi

BAB III FAZLUR RAHMAN : BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN

A. Biografi

1. Latar Belakang Sosio-Kultural…...……………………. 29

2. Kehidupan Awal……………………………………….. 30

3. Pendidikan……………………………………………... 32

4. Karier…………………………………………………... 34

B. Pemikiran dan Karya

1. Pemikiran dan Karya-karyanya………………………... 37

2. Double Movement Teory (Metode Gerakan Ganda)…... 43

BAB IV KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH

AL-SYĀFI’Ī

A. Sunnah Perspektif Al-Syāfi’ī ……………………………… 46

B. Living Sunnah (Tradisi Yang Hidup)……………………… 48

C. Formalisasi Sunnah dan Sunnah Bukan Wahyu Esktra-Qurani

1. Formalisasi Sunnah……………………………………. 52

2. Sunnah Bukan Wahyu Esktra-Qurani…………………. 61

3. Relevansi dan Implikasi Kritik Fazlur Rahman Terhadap

Al-Syāfi’ī dalam Kajian Hadis ……………………….. 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………… 66

B. Saran-saran………………………………………………… 66

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 67

Page 11: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.

Proses Formalisasi Sunnah

Tabel 2.

Konsep sunnah sebelum Al-Syāfi’ī

Konsep sunnah sesudah Al-Syāfi’ī

Informal

(priode Nabi) Semi-Formal

(priode Sababat

dan tāb’īn)

Formal

(priode Al-Syāfi’ī

dan sesudahnya)

Sunnah Nabi Ijtihad Ijmā’

Sunnah Nabi Ijmā’ Ijtihad

Page 12: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K

No: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987

1. Konsonan

No Arab Latin No Arab Latin

ṭ ط Tidak dilambangkan 61 ا 1

ẓ ظ b 61 ب 2

„ ع t 61 ت 3

g غ ṡ 61 ث 4

f ف j 02 ج 5

q ق ḥ 06 ح 6

k ك kh 00 خ 7

l ل d 02 د 8

m م ż 02 ذ 9

n ن r 02 ر 10

w و z 01 ز 11

ـه s 01 س 12 h

' ء sy 01 ش 13

y ي ṣ 01 ص 14

ḍ ض 15

2. Vokal Pendek 3. Vokal Panjang

ـــــــ = a ب ت ك kataba

ل ئس i = ـــــــ su‟ila ـــ ـ ب ه ذ ي u = ـــ yażhabu

ال ق ā = ..ا qāla

ī = اىـ ل ي ق qīla ū = ا و ل و ق ي yaqūlu

4. Diftong

ي ا = ai ف ي ك kaifa

و ا = au ل و ح ḥaula

5. Keterangan Tambahan

1. Kata sandang ال (alif dan lam) ditransliterasi dengan al-, contoh kata

Kata sandang ini menggunakan huruf .(al-sunnah) السنة .(al-ḥadīṡ) الحديث

kecil, kecuali berada pada awal kalimat.

Page 13: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

ix

2. Tasydīd atau syaddah ditransliterasi dengan huruf ganda, contoh الخطاب

(al-khaṭṭāb).

3. Transliterasi ta’ marbūṭah (ة) adalah “h”; termasuk ketika ia diikuti oleh

kata sandang “al” (ال), kecuali dalam transliterasi dengan “al” diikuti dengan

kata penghubung “– “, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun

huruf syamsiyyah, kecuali dalam transliterasi ayat Alquran.

4. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis

sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti Alquran, Hadis, Ijtihad, Ijmak dan

lain sebagainya.

5. w. : Wafat

t.t. : Tanpa Tempat

t.p. : Tanpa Penerbit

t.th. : Tanpa Tahun.

H : Penanggalan Hijriah

M : Penanggalan Masehi

Page 14: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah Sunnah bukanlah suatu hal yang baru bagi kaum Muslimin, istilah

tersebut menjadi role mode di kalangan generasi Arab pra-Islam. Orang Arab telah

menggunakannya sebagai adat-istiadat dan contoh prilaku yang ditinggalkan oleh

nenek moyang mereka, yaitu bagi adat istiadat atau hukum yang umum berlaku bagi

mereka. Mereka menganggap sebagai norma bagi diri mereka. Labīd ibn Rabī‘ah

dalam karyanya, Mu’allaqah, berkata :

من معشر سنت لهم آباؤهم ولكل قوم سنة وإمامها

Dari kelompok orang-orang di mana nenek moyangnya membuat sunnah (aturan),

dan setiap bangsa mempunyai sunnah (aturan) dan pemimpinnya sendiri.

Secara lebih dalam, sunnah adalah sebuah konsep prilaku, baik bersifat fisikal

maupun aksi-aksi mental. Sunnah tidak hanya tertuju kepada sebuah tindakan

sebagaimana adanya tetapi secara berkelanjutan dilakukan secara berulang-ulang.

Dengan kata lain, sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku, baik terjadi sekali

maupun berulang kali—yang dilakukan secara sadar. Selain sebagai sebuah tingkah

laku, sunnah juga bersifat normatif, sehingga ada keharusan moral yang tidak bisa

dipisahkan dari pengertian konsep sunnah ini.1

Dari konsep tingkah laku normatif atau teladan tersebut lahirlah konsep

tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Jika seseorang

memandang bahwa tingkah laku seseorang patut dijadikan sebagai teladan lalu

1 Ahmad Hasan, The Early Development Of Islamic Yurisprudence, terj. Agah Ganardi, judul:

Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 1984), h. 76-77.

Page 15: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

2

berhasil mengikuti teladan tersebut maka tingkah laku mendekati standar atau benar.

Selain itu sunnah juga bisa berarti sebagai ―jalan penengah‖ yaitu jalan yang lurus

tidak meyimpang ke kanan atau ke kiri yang berarti sebagai ―penengah di antara hal-

hal yang bersifat ekstrem‖ atau jalan tengah.2

Dalam generasi-generasi selanjutnya (Islam masuk) istilah ini berarti praktik

umum kaum Muslimin priode awal, istilah yang mencerminkan sunnah Nabi.

Peristilahan ahl ḥadiṡ, pacsa-al-Syāfi‘ī , hadis dan sunnah dianggap identik.3 Padahal

tidak sama. Hadis adalah penuturan dan prilaku Rasulullah sedangkan sunnah adalah

hukum yang di simpulkan dari penuturan itu. Dengan kata lain, hadis adalah

‗pembawa‘ dan ‗kendaraan‘ dari sunnah. Sunnah terkandung dalam hadis, karena itu

secara general bahwa suatu hadis tertentu mengandung lima sunnah4. Atau dikatakan

bahwa ada tiga sunnah dalam kejadian mengenai Barīrah seorang budak perempuan.5

Lebih jauh, sunnah selalu disimpulkan dan diketahui dari hadis, yaitu suatu laporan

(tentang Nabi).

Literatur yurisprudensi yang paling awal memperlihatkan bahwa kata hadis

tidaklah secara spesifik mutlak dipergunakan untuk perkataan dan tindakan

Rasulullah. Dalam priode pra-al-Syāfi‘ī kata tersebut juga diterapkan pada

pernyataan-pernyataan para sahabat dan tabi‘īn. Dalam permasalahan pembagian

2 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History,diterjemahkan oleh Anas Mahyudin, judul:

Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka, Cek ke-3, 1995) h. 1-5. 3 Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam: Al-Qur'an, Muwatta` dan Praktik Madinah

(Bandung: Islamika, 2003), h. 362. 4 Lihat Sunan Abī Daūd, (Beirut: Dār al-Risālah al-‗Alāmiyyah, vol. 3. 2009), h. 40.

5 Sayyidah ‗Āisyah berkata :

ة ثلاثة سننركان فى بري Lihat al-Muwaṭṭā‘ (Beirut: Iḥyā‘ al-Turāṡ Al-‗Arābī, 1985), h. 562. Lihat juga Sahīh Bukhārī,

(Beirut: Dār Ibn al-Kaṡīr, cet. 1, 2002), h. 1345.

Page 16: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

3

rampasan perang, keputusan yang diambil oleh gubernur Syria dan yang kemudian

dikuatkan oleh sayyidinā ‗Umar yang ketika itu menjadi khalifah kedua. Disebut oleh

Abū Yusūf (w. 182 H) sebagai hadis dan keputusan ini diikuti Abū Ḥanīfah (w. 150

H) sebagai hal yang lebih disukainya daripada tradisi yang sudah mapan dari

Rasulullah. Nampaknya bahwa istilah ini menjadi terbatas kepada perkataan dan

tindakan Rasulullah hanya ketika perbedaan arti antara sunnah dan Hadis

dikesampingkan6.

Dari pembahasan di atas kita beralih ke tanggapan Fazlur Rahman mengenai

pandangan-pandangan Sarjana Barat Modern7, seperti Ignaz Goldziher—yang secara

serius mengkaji evolusi hadis—yang berpendapat segenap perbuatan dan tingkah

lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat Muslim dan secara otomatis idealitas

sunnah dari tradisi Arab pra-Islam terputus.8 Joseph Schacht mengemukakan

pendapatnya yang sama seperti Lamens dan Margoliouth di dalam karyanya yang

berjudul Origins of Mohammedan Jursiprudence. Di dalam bukunya dia berpendapat

bahwa konsep konsep ―Sunnah Nabi‖ hanya muncul di kemudian hari, sedangkan

generasi-generasi Muslim di masa lampau menjadikan sunnah berarti praktek kaum

Muslimin itu sendiri.9 Menurut Schacht, al-Syāfi‘ī merupakan ahli hukum Islam

pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah model prilaku Nabi

6 Hasan, The Early, h. 76-77.

7 Herbert Berg mengelompokkan Sarjana Barat dan Muslim dalam kajian Kritik Hadis

kedalam empat Kelompok; 1) Early Wastern Scepticism; Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, 2) Reaction

About Scepticism; N. Abbott, Fuad Sezgin, M.M. Azam, 3) The Search Middle Ground; Juynboll,

Fazlur Rahman, Schoeler, Harald Motzki, dll., 4) Renew Scepticism; Michael Cook dan N. Cadler.

Lihat. Herbert Berg, The Development Of Exegesis in Early Islam (Richmound, London: Curzon Press,

2000), h. 6-50. 8 Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, judul: Islam (Bandung:

Pustaka, Cek ke-3, 1997), h.52-53. 9 Rahman, Islamic Methodology, h. 5-6.

Page 17: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

4

atau sunnah Nabi, yang identik dengan tradisi Nabi (Hadis atau dokumentasi sunnah).

Selanjutnya Schacht menemukan bahwa bagi generasi-generasi pra-al-Syāfi‘ī, sunnah

mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang membentuk ―tradisi yang

hidup‖ pada basis yang sama dengan praktik biasa atau disepakati secara umum

(ijmā’). Schacht juga menegaskan bahwa ―tradisi yang hidup‖ keberadaannya

mendahului hadis. Ketika hadis pertama kali beredar—sekitar abad ke-dua hijriah—

tidak merujuk kepada Nabi, tetapi pertama-tama kepada tābi‘īn. Pada tahap

selanjutnya hadis kemudian dirujukkan kepada sahabat dan akhinya disandarkan

kepada Nabi. Pandangan Schacht ini juga diringkas dalam sebuah kutipan berikut:

…bahwa pada umumnya, tradisi yang hidup dari mazhab-mazhab hukum priode

awal—sebagian besar didasarkan pada penalaran individu—muncul terlebih dahulu;

bahwa sahabat; bahwa pada tahap kedua, ia ditempatkan di bawah lindungan para

sahabat; bahwa tradisi-tradisi dari Nabi sendiri yang diedarkan ke tengah-tengah

masyarakat oleh Muḥaddiṡ (tradisionis) menjelang adab ke-2 H, mengganggu dan

mempengaruhi ―tradisi yang hidup‖ ini, dan bahwa Al-Syāfi‘ī menyelamatkan

tradisi-tradisi otoritas tertinggi Nabi itu dari bahaya kemusnahan.

Kajian Schacht dan Goldziher serta para sarjana Barat berkesimpulan skeptis

total tehadap konsep sunnah dan hadis Nabi. Rahman berkesimpulan bahwa hal-hal

yang menyebabkan para sarjana Barat tersebut menolak konsep sunnah Nabi adalah

sebagai berikut; pertama, sebagai besar kandungan sunnah merupakan

kesinambungan langsung dari kebiasaan dan adat-istiadat pra-Islam, kedua, sebagian

kandungan sunnah merupakan hasil aktivitas pemikiran bebas ahli-ahli hukum Islam

awal—yang dengan ijtihad personal mereka—telah membuat deduksi-deduksi dari

sunnah atau praktik-praktik yang ada dan lebih penting lagi—menambahkan elemen-

elemen baru dari sana-sini, terutama dari sumber-sumber Yahudi dan praktek-prakter

pemerintahan Bizantium serta Persia; dan ketiga, bahwa belakangan ketika hadis

Page 18: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

5

berkembang menjadi gerakan besar dan menjadi fenomena masif pada penghujung

abad ke-2 H, khususnya abad ke-3 H, seluruh kandungan sunnah yang awal

dinisbatkan secara verbal kepada Nabi sendiri di bawah naungan konsep sunnah

Nabi.10

Dalam kajian evolusi sunnah dan hadis, Rahman memang mengkonfirmasi

temua-temuan atau teori-teori para sarjana Barat tentang evolusi kedua konsep

tersebut, tetapi, Rahman tidak sepakat dengan teori mereka bahwa konsep sunnah

Nabi merupakan kreasi kaum Muslim yang belakangan. Baginya konsep sunnah Nabi

merupakan ―konsep yang sahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian

sepangan masa‖.11

Rahman juga mengakui bahwa di dalam Alquran tidak terdapat

istilah sunnah yang merujuk kepada ajaran-ajaran ekstra-Qurani Nabi, tetapi konsep

sunnah Nabi sudah eksis sejal awal Islam. Untuk mendukung pendapatnya tentang

eksistensi sunnah Nabi ini, ia merujuk pada pernyataan-pernyataan Alquran yang

menegaskan bahwa pada diri Nabi terdapat uswah ḥasanah (teladan yang baik atau

contoh yang harus diikuti)12

menurut Rahman, ayat tersebut menyiratkan bahwa

kaum Muslimin awal memandang perilaku Nabi sebagai sebuah konsep.

Setelah menegaskan bahwa konsep sunnah Nabi tidak dimaksudkan untuk

bersifat mutlak, Rahman juga mengemukakan bahwa kandungan sunnah Nabi itu

tidak banyak jumlahnya:

…Keseluruhan gambaran biografi Nabi—jika kita melihat di balik

penggambaran yang diberikan oleh literatur hukum abad pertengahan yang sangat

banyak ini—tentu saja tidak memiliki tendensi untuk memberikan kesan tentang

10

Rahman, Islamic Methodology, h. 6-7. 11

Rahman, Islamic Methodology, h. 6-7. 12

Qs. al-Aḥzāb: 21.

Page 19: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

6

Nabi sebagai legislator (pembuat hukum) yang dengan cermat memberikan aturan

yang mencakup seluruh kehidupan manusia secara detail, dari aturan kepemerintahan

hingga bersuci. Sesungguhnya bukti-bukti sangat kuat menunjukkan bahwa Nabi

pada dasarnya merupakan seorang reformis moral manusia dan bahwa, di samping

keputusan yang sekali-kali dikeluarkannya dalam kasus-kasus ad hoc, Beliau jarang

berpaling dari legislasi umum sebagai suatu cara untuk memajukan Islam..

Untuk satu hal, dapat disimpulkan bahwa Nabi, yang hingga akhir hayatnya

sibuk dalam perjuangan moral dan politik yang sangat berat melawan masyarakat

Makkah serta orang Arab dan dalam mengorganisasi negara komunitas, hampir-

hampir tidak memiliki waktu untuk menetapkan aturan-aturan bagi minutiae

kehidupan… hanya dalam kasus-kasus yang krusial saja Nabi terpaksa mengeluarkan

keputusan dan dalam kasus-kasus tertentu. Alquran harus mengintervensi.

Kebanyakan kasus semacam ini bersifat ad hoc dan diselesaikan secara informal serta

dalam cara yang ad hoc.13

Penyelesaian-penyelesaian ad hoc Nabi, yang juga merupakan sunnahnya,

tidak dipandang secara kaku oleh generasi-generasi Muslim awal. Mereka

menyempurnakan dan menafsirkan sunnah Nabi secara kreatif menjadi ―sunnah yang

hidup‖ untuk menghadapi faktor-faktor dan benturan-benturan baru. Penafsiran

kreatif terhadap sunnah Nabi ini dicontohkan oleh Rahman dari serangkaian

kebijaksanaan Sayyidinā ‗Umar, serta aktivitas-aktivitas ahli hukum awal (Abū

Ḥanīfah, Mālik ibn Anas, dan lain lain). Contoh-contoh ini, dalam pandangan

Rahman, membuktikan bahwa ―sunnah yang hidup‖ atau sunnah kaum Muslim awal

berasal dari ―sunnah ideal‖ Nabi yang secara progresif ditafsirkan melalu ijtihad atau

qiyās. Pada titik ini Rahman mengonfirmasi temuan-temuan sarjana Barat bahwa

kandungan aktual sunnah kaum Muslim awal sebagian besar adalah produk ijtihad

personal yang telah mengkristal. Tetapi ia memberi substansi baru dari temuan-

temuan tersebut, bahwa sunnah kaum Muslim itu secara organis dengan preseden

otoritatif Nabi.

13

Rahman, Islamic Methodology, h. 15, lihat juga, Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan

Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1996), h. 167.

Page 20: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

7

Dari ilustrasi di atas, Rahman berkesimpulan bahwa ―sunnah yang hidup‖

identik dengan ijmā’ kaum Muslim awal atau praktek yang disepakati, dan juga

merupakan suatu proses yang tengah berlangsung karena disertai dengan ijtihād dan

ijmā’. Pandangan Rahman yang telah diuraikan sejauh ini diringkas sebagai berikut:

pertama, bahwa sunnah kaum Muslim awal, secara konsesional dan kurang lebih

garis besarnya, berkaitan secara intim dengan sunnah Nabi dan pandangan bahwa

praktek kaum Muslim awal adalah hal yang terpisah dari sunnah Nabi tidak dapat

dipegang, karena argumentasinya lemah, kedua, bahwa meskipun kandungan spesifik

yang aktual dari sunnah kaum Muslim awal ini sebagian besar adalah produk

pemikiran kaum Muslim sendiri, ketiga, bahwa agensi kreatif dari kandungan (sunnah

kaum Muslim) ini adalah ijtihād personal yang mengkristal menjadi ijmā’

berdasarkan petunjuk umum sunnah Nabi yang tidak dipandang sebagai sesuatu hal

yang spesifik dan, keempat, bahwa konsep sunnah atau sunnah (kaum Muslim awal)

identik dengan ijmā’.14

Di samping itu, Rahman juga mencatat suatu fenomena dari sunnah-ijmā’ di

atas bahwa ijmā’ yang merupakan kristalisasi ijtihad tidak menghilangkan perbedaan

pendapat. Ijmā’ atau sunnah kaum Muslim awal ini tidak hanya bersifat regional—

misal sunnah-ijmā’ Madinah dan Irak—tetapi bahkan di suatu daerah terdapat

perbedaan-perbedaan, walaupun ada opinio genealis. Hal tersebut menjelaskan proses

pencapaian ijmā’, yakni melalui perbedaan-perbedaan atau praktik-praktik lokal dan

melalui ijtihad-ijtihad yang berbeda, timbullah sebuah opinio publica, meskipun pada

waktu yang bersamaan proses pemikiran bebas dan interpretasi tetap berlangsung.

14

Amal, Taufik Adnan, Islam, h. 163.

Page 21: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

8

Tetapi sementara proses pencapain ijmā’ yang demokrastis ini berjalan,

muncul gerakan kuat yang menghendaki keseragaman dan menyerukan substansi

hadis untuk proses-proses ijtihād-ijmā’ tersebut. Di bidang yurisprudensi, sebagimana

Schacht, Rahman mengemukakan bahwa gerakan ini dipelopori al-Syāfi‘ī15

yang

memberikan peranan sunnah-ijtihād-ijmā’ kepada sunnah Nabi. Sunnah Nabi

dipahami al-Syāfi‘ī secara harfiah dan bersifat mutlak serta salah satunya wahana

satu-satunya bagi transmisinya adalah hadis. Akibat penalaran al-Syāfi‘ī 16

ini,

menurut Rahman hubungan organis antara sunnah-ijtihād-ijmā’ menjadi rusak.

Menurut Rahman, jelas sekali bahwa konsep al-Syāfi‘ī mengenai ijmā’ sangat

bertentangan dengan mazhab-mazhab lainnya. Konsepnya mengenai ijmā’ adalah

kesepakatan yang bersifat formal dan total; dia menghendaki kesepakatan yang

sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak ada pertentangan pendapat lagi. Menurut

mazhab-mazhab sebelumnya (pra-al-Syāfi‘ī ), ijmā’ bukanlah sebuah fakta statis yang

ditetapkan atau diciptakan, namun sebuah proses demokratis yang kontinu, ijmā’

tidak bersifat formal namun informal, tumbuh secara wajar dan di dalam setiap tahap

pertumbuhannya, bahkan menghendaki adanya pemikran yang segar dan baru.

Perumusan al-Syāfi‘ī mengenai ijmā’ ini menjadikan hubungan organis sunnah-

ijtihād-ijmā’ menjadi rusak. Peranan sunnah-ijtihād-ijmā’ diberikannya kepada

15

Lihat juga Jonathan Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought,

diterjemahkan oleh Jazair Radianti dan Entin Sriani Muslim, judul: Menyoal Relevansi Sunnah Dalam

Islam Modern (Bandung: Mizan, 2000), h. 19-21. 16

Konsep sunnah menurut al-Syāfi‘ī, pertama, Hadis saḥīḥ sejajar dengan Alquran, kedua,

kesahihan Hadis yang memiliki sanad yang bersambung, ketiga, Hadis Aḥad (syāż) sebagai ḥujjah,

keempat, penolakan Hadis-hadis mursal (Hadis dari kalangan Tābi’īn) dan keempat, mengutamakan

ijma‘ para Sahabat, dan menolak ijma‘ penduduk madinah, Ulama Ḥaramaīn, Ulama miṣraīn (Kuffah

dan Mesir). Lihat Wahbah Zuhailī, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz (Jakarta:

Almahira, 2010), h. 6.

Page 22: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

9

sunnah Nabi sedangkan menurut al-Syāfi‘ī sunnah Nabi bukanlah suatu petunjuk

yang bersifat umum namun tegas dan harus ditafsirkan secara literal dan penyiaran

sunnah Nabi ini hanya dapat dilakukan dengan menyiarkan hadis (subtitusi hadis).

Peranan selanjutnya diberikan kepada sunnah dari para sahabat, terutama sekali dari

khulafā’ al-Rāsyidūn. Peranan yang ketiga diberikan kepada ijmā’ dan baru diberikan

kepada ijtihād. Rahman memang mengakui kegeniusan al-Syāfi‘ī dalam menciptakan

suatu mekanisme yang menjamin kestabilan sosial-religius kaum Muslimin pada

zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreativitas dan

originalitas mereka.17

Argumentasi-argumentasi tersebut membuat penulis tertarik menampilkan

pandangan Fazlur Rahman dalam mengkritik konsep sunnah al-Syāfi‘ī. Menurut

analisa penulis, ada dua point, pertama, al-Syāfi‘ī berpendapat bahwa sunnah Nabi

(hadīṡ ṣaḥīḥ) posisinya sejajar dengan Alquran, yaitu sebagai wahyu, sedangkan

menurut Rahman Sunnah Nabi bukan wahyu ekstra-Qurani namun intra-Qurani

bahwa sunnah Nabi merupakan kandungan Alquran itu sendiri18

, bahwa sunnah

adalah konsep pengayom yang kemudian menjadi ―sunnah yang hidup‖, kedua,

Pemikiran al-Syāfi‘ī mengenai ijtihād-ijmā’ yang awalnya bersifat informal,

mengalami formalisasi, sehingga proses ijtihad yang kreatif menjadi terhenti.

Penelitian ini ingin membahas argumentasi kritik Fazlur Rahman atas konsep

sunnah al-Syāfi‘ī, karena untuk Rahman konsespi al-Syāfi‘ī ini menjadi ―pengganjal‖

dalam upaya reinterpretasi yang benar dan sesuai dengan kondisi kekinian. Rahman

17

Rahman, Islamic Methodology, h. 31-33. lihat juga Saifuddin Zuhri, Dkk, Model-model

Penelitian Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 79-99. 18

Rahman, Islam, h. 62.

Page 23: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

10

menawarkan dua langkah, pertama, memahami makna teks hadis Nabi dengan

memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan

masyarakat pada priode Nabi secara umum (asbāb al-wurūd makro) termasuk pula

sebab-sebab munculnya hadis (asbāb al-wurūd mikro), kedua, dengan

menghidupakan kembali hadis menjadi ―sunnah yang hidup‖ prinsip ideal moral

dapat diadaptasikan dalam latar sosialogis dewasa ini. Dengan demikian model

penafsiran situasional Rahman ini berusaha mengkombinasikan pendekatan historis

dengan pendekatan sosiologis.19

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi permasalah

yang akan muncul dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Konsep sunnah dan implikasinya dalam penentuan hukum menurut

al-Syāfi‘ī .

b. Kanonisasi Sunnah yang berbicara legal-formal.

c. Pandangan kesarjanaan Muslim dalam menentukan pengaruh

Alquran terhadap sunnah.

d. Kritik Fazlur Rahman terhadap konsep sunnah Al-Syāfi‘ī .

2. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pemilihan judul, penulis membatasi

masalah pokok yang akan diteliti dalam penelitian skripsi ini, yaitu membahas

19

Saifuddin Zuhri, Dkk, Model-model, h. 88-89.

Page 24: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

11

pemikiran dan argumentasi konsep Sunnah yang ditawarkan Fazlur Rahman dalam

upaya mengritisi konsep sunnah al-Syāfi‘ī yang dirumuskan dalam pertanyaan: apa

argumentasi kritik Fazlur Rahman terhadap konsep sunnah Al-Syāfi’ī ?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan Mengetahui tentang argumentasi kritis

Fazlur Rahman terhadap kritik konspe sunnah al-Syāfi‘ī.

Sedangkan Manfaat Penelitian ini adalah Konsep Sunnah yang di gagas Fazlur

Rahman dapat dijadikan alternatif dalam memahami dan kontekstualisasi hadis.

D. Kajian Pustaka

Pertama-tama penulis melakukan tinjaun kepustakaan (literatur) yang

berkaitan dengan topik pembahasan melalui artikel-artikel di dalam jurnal ilmiah

sebagai bagian dari hubungan antara penelitian-penelitian terhdahulu yang sesuai

dengan penelitian yang akan dilakukan. Penulis menyajikan penelitian paling

mutakhir untuk mengetahui dengan jelas status penelitian mengenai konsep sunnah,

terutama mengenai kajian kritis terhadap konsep sunnah al-Syāfi‘ī. Beberapa karya

yang dianggap relevan untuk melengkapi data mengenai topik pembahasan adalah

sebagai berikut:

Umma Farida20

Sahid HM21

Daud Damsyik22

Saifuddin Mujtaba23

Nasrulloh24

keenam peneliti ini membahas mengenai pemahaman konsep sunnah perspektif

20

Umma Farida, ―Studi Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Sunnah Dan Hadis‖. Jurnal Addin

VII, no. 2 (Agustus 2013): h. 223-248. 21

Sahid HM. ―Sejarah Evolusi Sunnah: Studi Pemikiran Fazlur Rahman.‖ Al-Tahrir XI, no. 1

(Mei 2011): h.173-198. 22

Daud Damsyik. "Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman."

Al-‘Adalah XI, no. 2 (Juli 2013): h. 223-240.

Page 25: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

12

Fazlur Rahman, secara garis besar menyimpulkan Rahman menawarakan pendekatan

historis-sosiologis. Dengan pendekatan ini akan mampu menciptakan nuansa yang

baru, dinamis, dan kreatif sehingga pesan moral dari Sunnah Nabi dapat

direalisasikan secara progresif untuk menjawab tantangan perubahan zaman dan

hadis dapat dikembalikan kepada status awalnya; yaitu ―sunnah yang hidup‖.

Keenam penelitian tersebut secara general membahas mengenai konsep

sunnah persepktif Fazlur Rahman, tidak secara mendetail membahas mengenai

argumentasi kritik Rahman atas konsep sunnah yang digagas oleh Al-Syāfi‘ī .

Usman25

Nur Mahmudah26

berkesimpulan bahwa Nasr Ḥamīd Abū Zayd

berhasil membongkar framework konsep sunnah yang digagas al-Syāfi‘ī —yang

merupakan salah satu upaya untuk menyadarkan dan mengingatkan kaum muslimin

akan pentingnya membebaskan diri dari kungkungan hegemoni "teks" yang selama

ini tidak membawa kreativitas berpikir yang mengakibatkan kebekuan dan

kemunduran di kalangan kaum muslimin itu sendiri. Kerangka berfikir dan metode

Abu Zayd dan Fazlur Rahman berbeda, Rahman menggunakan instrumen historis-

sosiologis, sedangakan Abu Zayd terfokus pada teks. Namun keduanya

berkesimpulan sama, bahwa al-Syāfi‘ī adalah tokoh yang paling bertanggung jawab

atas stagnasi penafsiran sunnah di kalangan umat Islam.

23

Saifuddin Mujtaba. "Membuka Pintu Ijtihad (Study Pemikiran Fazlur Rahman)." Jurnal

Falasifa I. no. 1 (Maret 2010): h. 87-98. 24

Nasrulloh. "Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman

Hadits." Ulul Albab XV, no.1 (2014): h. 15-28. 25

Usman, "Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap al-Syafi'i."

Hermeneia, Jurnal Kajian Keislaman Interdisipliner II, no. 1 (Januari-Juni 2003): h. 116-135. 26

Nur Mahmudah,"Sunnah Dalam Nalar Islam Kontemporer Nasr Hamid Abu Zayd."

Islamica VI, no. 2 (Maret 2012): h. 285-299.

Page 26: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

13

Vita Fitria27

Beko Hendro28

kedua penelitian ini membahas secara komparatif

mengenai konsep sunnah perspektif Fazlur Rahman dan Muḥammad Syaḥrūr.

Menurut Rahman bahwa hadis pada dasarnya tidak bisa dibuktikan secara teknis

berasal dari Nabi, namun masih memegang konsep Sunnah yang sebenarnya sudah

ada sejak Islam ada. Konsep Sunnah di sini sebagai pengayom dan petunjuk arah,

sementara dalam perkembangannya hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan

situasi zaman. Sedangkan konsep sunnah perspektif Syaḥrūr terkesan lebih liberal

dari yang ditawarkan Rahman, pemikirannya tentang Sunnah–yang selama ini

dipahami sebagai sumber hukum dalam berijtihad dan telah sedemikian rapinya

didefinisikan oleh para ulama fikih dan uṣūl fiqh lengkap dengan otoritas yang

dimilikinya, oleh Syaḥrūr diberikan makna yang sama sekali berbeda sehingga

Sunnah cenderung searti dengan ijtihad itu sendiri.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Penelitian skripsi ini menggunakan metode kepustakaan (library

research) yaitu mencari dan mengumpulkan data dari berbagai literatur yang

relevan yang terdiri dari: buku, jurnal, artikel online, majalah, koran, dan

berbagai data yang terkait dengan penelitian ini. Setelah data terkumpul,

kemudian penulis mengklasifikasi ke dalam dua sumber:

27

Vita Fitria, "Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur Rahman dan

Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam)." Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, no. 2

(Juli-Desember 2011): h. 1336-1356. 28

Beko Hendro, "Studi Sunnah Kontemporer (Kritik Muhammad Syahrur Terhadap

Pemikiran Sunnah Imam Asy-Syafi'i)." (Tesis S2: Studi Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2015), h. 4.

Page 27: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

14

a. Sumber Primer

Sumber primer dalam penelitian ini adalah buku Islamic Methodology in

History dan Islam karya Fazlur Rahman dan al-Risālah Karya Imām al-Syāfi‘ī.

b. Sumber Skunder

Sumber skunder dalam penelitian skripsi ini terdiri dari buku-buku dan

tulisan ilmiah lainnya berupa skripsi, tesis, disertasi, jurnal, artikel dan surat

kabar yang relevan dengan penelitian ini.

2. Metode Pembahasan

Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan desktiptif-analitik, yaitu

untuk menggali penjelasan dan mendeskripsikan tawaran dan argumentasi

Fazlur Rahman dalam mengritik konsep Sunnah Al-Syāfi‘ī . Adapun dalam

teknik penulisan, penulis menggunakan buku Pedoman Akademik Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2011-2012 yang di dalamnya

terdapat pedoman teknik penulisan skripsi.29

Sedangkan transliterasi,

menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin Kementrian Agama dan

Menteri P dan K Nomor: 159 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u 1987.

F. Sistematika Penulisan

Bab pertama; pendahuluan yang terdiri dari sub-bab, yaitu; latar belakang

masalah, identifikasi, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

29

Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta 2011-2012 (Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2011), h.

398.

Page 28: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

15

Bab kedua: menjelaskan tentang diskursus konsep sunnah, sub-bab dalam

bab ini yaitu: pengertian dengan sub-bab; definisi, sunnah dan hadis, sunnah Nabi,

sunnah Nabi dalam Alquran, sejarah kemunculan dan perkembangan, konsep sunnah

modern dalam kesarjanaan Barat dan Muslim.

Bab ketiga: menjelasakan tentang biografi dengan sub-bab; latar belakang

sosio-kultural, kehidupan awal, pendidikan, karier dan pemikiran dan karya dengan

sub-bab; pemikiran dan karya-karyanya, double movement teory (metode gerakan

ganda).

Bab keemapat : menjelaskan kritik Fazlur Rahman terhadap konsep Sunnah

al-Syāfi‘ī dengan sub-bab; living sunnah, konsep sunnah al-Syāfi‘ī, formalisasi

sunnah dan sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani dengan sub-bab; formalisasi sunnah,

sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani, relevansi dan implikasi kritik Fazlur Rahman

terhadap al-Syāfi‘ī dalam kajian hadis.

Bab kelima: kesimpulan dan saran-saran.

Page 29: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

16

BAB II

DISKURSUS KONSEP SUNNAH

A. Definisi Sunnah

1. Definisi

Secara kebahasaan Sunnah berarti tata cara, sunnah pada awalnya berarti cara

atau jalan, yaitu jalan yang dilewati orang-orang di masa lampau kemudian diikuti

oleh orang-orang sesudahnya. Selain tata cara, sunnah juga berarti tingkah laku atau

prilaku hidup, baik yang terpuji maupun yang buruk.

Menurut ahli hadis sunnah berarti sabda, perkataan, ketetapan, sifat (watak,

budi atau jasmani) atau prilaku Rasulullah saw sendiri, baik pra-kenabian maupun

sesudahnya.1 Bagi mayoritas ulama, sunnah identik dengan hadis.

2

Menurut uṣūliyyīn (ahli Uṣūl Fikih) adalah sabda Nabi Muhammad yang

bukan berasa dari Alquran.

Menurut fuqahā (ahli Fikih) sunnah adalah hal-ihwal yang berasal dari

Muhammad Saw. baik ucapan maupun prilaku, namun tidak diwajibkan

melakukannya.

Arti sunnah yang uraikan di atas menjadi kesepakatan mayoritas ulama dari

kalangan ahli bahasa, uṣūl fiqh, fiqh, maupun ahli hadis.3

Istilah sunnah juga terdapat dalam syair-syair Arab4, seperti:

1 „Ajāj al-Khaṭīb, al-Sunnah Qabla Tadwīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), h. 18.

2 Musṭafā al-Sibā‟ī, al-Sunnah wa Makānatuha fī al-tasyrī’ al-Islāmī (Kairo: Dār al-Salām,

1998), h. 58. 3 Muḥammad al-Muṣtafā al-A‟ẓamī, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ al-Nabawī wa Tarīkh wa Tadwinih

(al-Maktab al-Islāmī, 1980), h. 1.

Page 30: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

17

a. Penyair Khālid dalam Diwān al-Haẓaliyyīn:

وأول راض سنة من يسيرها لفيك ولكنى اراك تجورها

فلا تزن عن من سنة أنت سرتها فإن التى فينا زعمت ومثلها

Janganlah kau risau, terhadap sunnah (tradisi) yang anda lakukan

Yang pertama kali puas dengan suatu sunnah (tradisi), adalah orang yang

menjalankan tradisi itu sendiri.

Baik saya maupun anda, masing-masing mempunyai sunnah (tradisi)

Namun saya lihat, anda selalu menyimpang dari tradisi anda.5

b. Penyair Labīd dalam Syarḥ al-Mu‟allaqāt al-„Asyr:

من معشر سنت لهم آباؤهم ولكل قوم سنة وإمامها Dari kelompok orang-orang di mana nenek moyangnya membuat sunnah (aturan),

dan setiap bangsa mempunyai sunnah (aturan) dan pemimpinnya sendiri.6

c. Penyair Ḥāsan ibn Ṡābit dalam kitabnya Diwān Penyair Ḥasān ibn Ṡābit:

أن الذوائب من فهر واخوتهم قد بينوا سنة للناس تتبع Orang-orang yang berani bagai serigala dari keluarga Fihr dan saudara-

saudaranya, telah menjelaskan bahwa mansusia mempunyai sunnah (tradisi/aturan)

yang harus diikuti.7

d. Penyair al-Farazdaq dalam kitab al-Naqāiḍ:

العمرين فيهافجاء بسنة شفاء للصدور من السقام

Ia datang membawa sunnah dua ‘Umar, yang dapat mengobati hati yang sakit.8

Dari syair-syair di atas dapat disumpulkan bahwa kata „sunnah‟ sudah

digunakan oleh para pujangga-pujangga pada masa jahiliyyah untuk menujukkan

4 A‟ẓamī, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ, h. 2-3.

5 Dīwān al-Hażaliyyin (t.th. tt.p), h. 157.

6 Syarḥ al-Mu‟allaqāt (Beirut: Dār Maktabah al-Ḥayyah, 1983), h. 227.

7 Ḥāsan bin Ṡābit, Dīwān Ḥāsan Bin Ṡābit (Beirut: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1994), h. 304.

8 Muḥammad bin al-Maṡnā al-Tamīmī, Kitāb al-Naqaiḍ, Naqāiḍ Jarīr al-Farazdaq (Beirut:

Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1998), h. 1034.

Page 31: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

18

arti—secara etimologis—„”aturan atau tata cara yang dianut, baik tata cara yang

terpuji maupun yang buruk”.9

Para Ulama mengutip kata sunnah dalam Alquran menggunakan pengertian

khusus, yaitu: "cara yang biasa dilakukan dalam mengalaman agama, kata sunnah

dalam awal priode Islam dikenal dengan istilah tersebut.”10

Dalam Alquran terdapat dalam beberapa ayat, untuk mengetahui perubahan

makna kata sunnah dalam Alquran, sebagai berikut:11

سىح يلا ت جدنسىتى ات ح ل سهى ا مهز هى اق ثه ك هق دأ زس م

(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul

Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan

Kami itu.12

ٱسىح نسىحنريه ٱفيلل ن هت جد امهق ثم ه ٱخ لل ت ثديلا

Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu

sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.13

ف ه م سىت ى ا ت أس ا أ از ن م ىم إيم ي ىف عم ٱي ك عث ادينتيٱلل ه تفي خ ۦق د سس خ فسن ٱى انك نك

Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa

Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu

binasalah orang-orang kafir.14

اٱ ستكث ازا ل زضٱفي كس م ٱ يي نس ي حيق ل كسٱ يئٱنم نس إل ه ف م ۦتأ

سىت إل نيه ٱي ىظسن نسىتل ٱف ه هت جد نسىتلل ن هت جد ٱت ثديلا لل يلا ت ح

9 A‟ẓamī, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ, h. 1-3.

10 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 37.

11 Miftahul Bahri, "Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Perspektif Ilmu Logika," (Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.

29-33. 12

QS. Al-Isrā‟ (17):77. 13

QS. Al-Aḥzāb (33):62. 14

QS. Ghāfir (40): 85.

Page 32: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

19

karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang

jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya

sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang

telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan

mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui

penyimpangan bagi sunnah Allah itu.15

نك اذ اق مش لل ٱتأ و سن ز اقق ۥ هيش م لل ٱ سن ز ۥ ديدلل ٱف إن نعق ابٱش (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka

menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya,

maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya16

ه تمهق ثهكمسى هف سيسافيق د قث حوظساٱف ل زضٱخ ع ان ك يف تيه ٱك ر نمك

Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu

berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang

mendustakan (rasul-rasul).17

تى ا جٱ ز تع ي تها ىم م سلا ز م في همم يع تك اي ء م ه ي ة ٱع ح ٱ نكت نحكم

أ وت إوك م ي ك يز زيزٱ كيمٱنع نح

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang

akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al

Kitāb (Alquran) dan al-Ḥikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya

Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana18

Dalama penelitiaannya Miftahul Bahri menyimpulakan pada ayat terakhir

disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan al-ḥikmah adalah sunnah, dalam tradisi

filsafat, kata al-ḥikmah diartikan filsafat atau kebenaran. Para ahli hadis

berpandangan bahwa kebenaran yang hakiki adalah sunnah.

Pada ayat-ayat yang ditampilkan di atas, dapat disumpulkan bahwa yang

dimaksud dengan kata sunnah tidak berhubungan laingsung dengan Rasulullah Saw.

15

QS. Fāṭir (35) : 43. 16

QS. al-Anfāl (8) : 13. 17

QS. Āli-„Imrān: 137 18

QS. al-Baqarah: 129.

Page 33: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

20

melainkan berhubungan dengan Allah Swt. yang sudah belaku maupun yang akan

berlaku.

Makna sunnah dari beberapa ayat di atas, terdapat tiga macam: pertama,

sunnatullāh, yaitu peraturan yang telah ditetapkan-Nya (hukum alam) dan tidak ada

yang bisa menggugatnya, kedua, sunnah orang terdahulu (adat istiadat/sejarah),

ketiga, ḥikmah (filsafat).19

2. Sunnah dan Hadis

Secara definitif sunnah dan hadis memiliki arti yang sama yaitu: “segala

sesuatu yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan, berbuatan, dan

persetujuan”. Menurut Abdul Majid Khon, ada perbedaan definisi antara sunnah dan

hadis, antara lain:

a. Sunnah diartikan perbuatan Nabi dalam mempraktikkan syariat Islam

sejak masa Nabi sampai masa sahabat, sedangkan hadis spektrumnya lebih

umum daripada sunnah yang cakupannya meliputi perkataan dan

perbuatan Nabi Saw.

b. Sunnah lebih general daripada hadis, menurut fuqahā, hadis identik

dengan sunnah qawliyah. Pendapat ini secara etimotologis lebih dekat

diartikan sebagai “berita”, seperti dalam QS. Al-Ḍuḥā ayat 11:

ث د ف ح تك حز اتىعم أ م

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan

Kata “faḥaddiṡ” tersebut bermakna menyebut-nyebut atau memberitakan.

19

Miftahul Bahri, “Studi Kritis,” h. 29-33.

Page 34: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

21

c. Hadis diartikan sebagai segala aktivitas yang disandarkan keoada Nabi

Saw. sekalipun dilakukan hanya sekali dalam hidup beliau, sedangkan

sunnah harus dilakukan secara berulang-ulang yang kemudian menjadi

tradisi. Arti sunnah dalam konteks ini lebih tepat dimaknai secara lughawi

yang berarti tradisi ( العادة) . Menurut al-Syāukānī diartikan “continue”

( الدوام) atau dilakukan secara berulang-ulang.

d. Sunnah adalah aktivitas pengalaman Nabi Saw. para Sahabat dan tābi’īn

yang diriwayatkan secara mutawattir. Sedangkan hadis bisa jadi

diriwayatkan oleh satu atau dua orang periwayat (khabar āḥād). Sunnah di

sini lebih bersifat praktis pengalaman Alquran yang mutawattir, bukan

bersifat teroritis (sunnah qawliyah dan lafẓiyyah).

e. Sunnah adalah pengalaman Islam sejak periode awal baik oleh Nabi atau

para Sahabatnya, sedangkan hadis hanya diriwayatkan dari Nabi Saw.20

Perbedaan makna etimologis dan terminologis kedua term tersebut memang

berbeda dari berbagai tinjauan, yang satu melalui tinjauan kebahasaan yang beragam

artinya seperti kata “sunnah” itu sendiri dan satunya menggunakan tinjauan dari

penggunaan yang disepakati oleh para pakar ilmu tertentu. Seperti kata “salat” dalam

bahasa diartikan “al-du’ā”, kata “Islam” dalam bahasa diartikan “tunduk, patuh, dan

berserah diri.” Makna kedua kata tersebut benar dalam konteks etimologi, namun

20

Perkataan Sayyidinā „Alī Ra kepada „Abdillāh ibn Ja‟far: “tegakkan hukuman kepadanya

(peminum khamr),” kemudian ia mengambil cambuk dan mencambuknya, Sayyidinā „Alī

menghitungnya, begitu sampai 40 kali cambuk, „Alī berkata: cegahlah dia, Rasulullah saw,

mencambuknya 40 kali, Sayyidinā Abū Bakar mencambuknya 40 kali, dan Sayyidinā „Umar

mencambuknya 80 kali dan semuanya itu sunnah. Lihat, Abū Daud, Sunan Abī Daud, Juz 4, No. 4481,

h. 1917.

Page 35: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

22

tidak tepat dalam konteks terminologi. Memang makna terminologi sangat diperlukan

untuk mengetahui asal usul bahasa sebelum terjadi perubahan makna terminologis, di

sisi lain mengonsumsi dan mengkomunikasikannya harus jelas sesuai dengan kondisi

yang dimaksud.21

3. Sunnah Nabi

Para ulama sejak masa Rasulullah saw, menggunakan kata sunnah lebih

khusus dibandingkan penggunaan makna lughāwi (etimologi)—yang berarti tradisi—

Para ulama tidak menggunakan arti bahasa seperti yang digunakan orang Arab pada

umumnya—yang menyempitkan pengertian sunnah itu dengan mengkhususkannya

pada “jalan” dan “prilaku Nabi” yang berhubungan dengan masalah agama dan

akhlak, karena beliau sebagai utusan Allah yang menyampaikan agama dari Allah,

dan beliau mustahil memiliki prilaku yang buruk, karena beliau senantiasa dibimbing

dan dijaga oleh Allah (ma’sūm).

Menurut Ibnu Manzūr dalam kitabnya Tahżīb al-Asmā` wa al-Lughāt

mengatakan, “al-sunnah adalah jalan yang lurus dan terpuji, jadi ungkapan fulān min

ahl al-sunnah. Artinya si fulan termasuk pengikut jalan yang lurus dan terpuji. Di

ambil dari kata al-sanan, seperti ungkapan orang arab, sanna al-ṭarīq sannan wa

sanānan. Al-sanu artinya perilaku (kebiasaan), sedangkan al-sanan sama dengan al-

masnun, artinya yang dilakukan (yang dibasakan).

4. Kedudukan Sunnah Nabi dalam Alquran

21

Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta:

Prenadamedia Grup, 2015), h. 13-16.

Page 36: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

23

Menurut Muṣṭafā al-A‟ẓamī ada empat kedudukan sunnah Nabi dalam Islam,

yaitu:

1. Menjelaskan Kitāb Allāh

نى اإن يك أ وز كس ٱ نر مي ت ف كسن ه ن ع م إن ي ل اوز نهىاسم نتث يه

Dan kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat

manusia apa yang telah diturunkan kepada Mereka, dan supaya merka

memikirkann22

Diantara tugas Rasulullah Saw. beliau menjelaskan—baik dengan lisan

maupun dengan perilaku—hal-hal yang masih global sebagaimana dalam Alquran.

Tugas ini berdasarkan perintah dari Allah Swt. tentu saja penjelasan terhadap isi

Alquran itu bukanlah sekedar „membaca Alquran‟. Kebanyakan ayat-ayat dalam

Alquran yang memerlukan penjelasan praktis. Dan itu sudah dilakukan oleh

Rasulullah saw. oleh karena itu, Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari

tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah terhadap Alquran juga tidak mungkin,

karena Alquran sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak

penjelasan Rasulullah terhadap Alquran sama saja artinya menolak Alquran itu

sendiri.

2. Rasulullah Merupakan Teladan Baik yang Wajib Dicontoh oleh Setiap

Muslim

سنق د ن كمفيز ان ٱلك ى حلل س جح أس

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik

bagimu…

3. Rasulullah Saw. Wajib Ditaati

22

QS. al-Naḥl: 44.

Page 37: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

24

أ ي ا اأ طيعانريه ٱي ى ام لل ٱء سن ز ۥ عن أ وتمت سم ى اع ن ت ل

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah

kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).

Ayat-ayat lain juga terdapat pada QS. al-Nisā‟: 80, 69. 59-60. Ayat-ayat

tersebut menjelasakan dengan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. diutus agar

dipatuhi, bukan sekedar tablig (menyampaikan) atau memberikan keputusan.

Manusia belum dapat dikatakan beriman jika belum menerima sistem dan hukum

Allah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah sewaktu beliau masih hidup, dan

sesudah beliau wafat, menerima sistem dan hukum Allah itu dengan menjadikan

Alquran dan sunnah Nabi sebagai sumber hukum dan sistem kehidupan seorang

Muslim.

4. Rasulullah Saw. memiliki kewenangan (Kekuasaan) untuk Membuat

Suatu Aturan

Pada QS. al-A‟rāf: 147-158, menjelaskan bahwa untuk beriman kepada Allah

dan Rasul-Nya, dengan konsekuensi mematuhi aturan perintah-perintah, aturan-

aturan dan sunnah-sunnah-nya. Dan manusia tidak mungkin memperoleh petunjuk

dari ajaran itu sendiri. Sekedar percaya atau beriman dengan hati saja tanpa dibaregi

dengan pengalaman yang sempurna terhadap aturan-aturan itu sendiri. Sekedar

pecaya atau beriman dengan hati saja tanpa dibarengi dengan pengalaman yang

sempurna terhadap aturan-aturan dan sunnah-sunnah Rasul. Hal itu tidaklah

Page 38: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

25

sempurna. Ayat-ayat di atas juga mengandung penjelasan tentang kewenangan dan

kekuasaan Nabi untuk membuat suatu aturan hukum.23

B. Sejarah Kemunculan dan Perkembangannya

Secara evolutif, sunnah mengalami perkembangan yang sangat kompleks.

Dalam bangunan dan sumber keilmuan Islam, hadis atau sunnah menempati posisi

kedua setelah Alquran.24

Historisitas sunnah secara evolutif dengan kajian yang

menekankan pada otentisitas hadis dalam menyeleksi dan mengkritik hadis sejak

abad pertama hijriah sampai abad ketigabelas hijriah tidak mengalami problem. Pada

tahun 1980 M, dunia penelitian hadis dikejutkan dengan munculnya metode baru

dalam kritik hadis. Kajian akadamis yang menolak persyaratan-persyaratan atau

kriteria ontentisitas hadis muncul baik dari kalangan non-Muslim maupun Muslim.25

Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para pemikir Islam (insider) dan

para orientalis (outsider) adalah dinamika yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-

Pakistan merupakan representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji

sunnah dalam konteks evolusi historistas hadis. Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan

tokoh non-Muslim lain yang merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga

mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau tidak problem

23

Muḥammad Muṣṭafā A‟ẓamī, Hadis Nabawi dan Sejerah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka

Firdaus: 2014), h. 27-32. 24

Secara etimologis kata “sunnah” berarti jalan yang dilalui, baik jalan itu terpuji atau

tercela. Kata “sunnah” juga berarti kebiasaan atau tradisi. Secara terminologis, ulama berbeda

pendapat. Menurut mayoritas ahli hadis, sunnah ialah segala yang bersumber dari Nabi berupa

perkataan, perbuatan, ketetapan, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat

menjadi Rasul maupun sesudahnya. Berbeda dengan ahli hadis, ahli uṣūl mengatakan bahwa sunnah

ialah perkataan, perbuatan, dan penetapan Rasul, yang dapat dijadikan dalil hukum syarī’. Muḥammad

Abū Zahw, Al-ḥadīṡ wa al-Muḥaddiṡūn (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1984), 8-9. 25

Ali Mustafa Ya„qub, Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1995), h. 14.

Page 39: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

26

akademis muncul dan menarik untuk diteliti. Representasi dari kalangan Muslim

yang juga memunculkan problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang

skeptis terhadap sunnah dan hadis. Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur

Rahman adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang hadis

atau sunnah. Ia merespons tantangan yang muncul dari kalangan umat Islam itu

sendiri dan para orientalis. Dalam studi ini, penulis berupaya membahas pemikiran

dan kritik Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah terhadap pandangan al-Syāfi‟ī.

C. Konsep Sunnah Modern Dalam Kesarjanaan Barat dan Muslim

Kontemporer

Ignaz Goldziher Berpendapat bahwa hampir tidak mungkin ada keyakinan

untuk menyaring banyak materi hadis sehingga diperoleh suatu hadis yang dapat

dipastikan berasal dari Rasulullah dan para sahabat awal. Karena itu, hadis harus

dianggap sebagai catatan atau pandangan dari generasi Muslim awal dari pada

sebagai catatan kehidupan dan ajaran Nabi dan sahabat-sahabatnya.26

Namun ia mengakui adanya sunnah bagi umat Islam yang diartikannya

sebagai norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan

yang diwartakan.27

Dengan demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang

hidup. Perbedaan antara hadis dan sunnah adalah bahwa hadis merupakan laporan-

laporan teoritis, sedang sunnah merupakan laporan-laporan yang memperoleh kualitas

normatif dan telah menjadi prinsip praktis bagi generasi Muslim. Artinya, sebagian

26

Ignaz Goldziher, Muslim Studies (London: George Alen & Unwim Ltd., 1970), h. 25. 27

Goldziher, Muslim Studies, h. 53.

Page 40: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

27

besar materi hadis lebih merupakan hasil perkembangan religius, historis, dan sosial

Islam selama dua abad pertama. Konsekuensi logisnya, Goldziher menyimpulkan

bahwa produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai sumber ajaran dan

perilaku Nabi Muhammad sendiri.

Sementara tentang sunnah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada

pada masa Arab pra-Islam dengan makna tradisi, adat, dan kebiasaan nenek moyang

bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini

berubah menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam

berakhir.28

Sementara itu, Joseph Schacht sebagai penerus pemikiran Goldziher

berpendapat bahwa konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam belakangan. Al-

Syāfi‟ī merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan

terhadap sunnah sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi.

Menurutnya, bagi generasi sebelum al-Syāfi‟ī sunnah mencerminkan kebiasaan

tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama

dengan praktik yang disepakati secara umum.29

Menurutnya, “tradisi yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya,

beredarnya hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tābi‘īn, kemudian

pada sahabat, dan akhirnya pada Nabi.

28

Pendapat tersebut didiskusikan lebih lanjut dalam artikel yang ditulis oleh Sahid HM,

“Sejarah Evolusi Sunnah”, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, h. 174. 29

Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University

Press, 1973), h. 2-3.

Page 41: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

28

Menurut A‟ẓamī, Ignaz Goldziher adalah orientalis pertama yang melakukan

kajian tentang hadis, kemudian disusul orientalis lain seperti Joseph Schacht dan

lain-lain. Apabila Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang

disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi, maka Joseph Schacht

sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis yang otentik dari Nabi,

khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.30

Dari batasan-batasan sunnah yang diberikan para orientalis itu sangat jelas

bahwa mereka tidak menghubungkan sunnah kepada Nabi. Pengaitan sunnah dinilai

muncul masa belakangan. Dengan demikian, sunnah yang menjadi pegangan umat

Islam selama ini sebagai perbuatan dan perkataan Nabi tidak pernah ada.

30

Muḥammad Muṣṭafā A‟ẓamī, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American

Trust Publication, 1968), h. xvii.

Page 42: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

29

BAB III

FAZLUR RAHMAN : BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN

A. BIOGRAFI

1. Latar Belakang Sosio-Kultural

Sebelum membahas kehidupan Fazlur Rahman, bahasan mengenai

perekembangan wacana keislaman di Anak Benua India, yaitu tempat

kelahirannya—merupakan satu kondisi yang tidak dapat di pisahkan dari

kehidupan Rahman. Bagaimanapun juga, kejadian dan diskursus yang

berkembang di daerah itu pada masa-masa kehidupan Rahman dan

sebelumnya mempunyai peran yang cukup berarti—langsung tidak

langsung—terhadap sejarah kehidupan intelektualitasnya.

Kebangkitan Islam kembali di Indo-Pakistan1 telah muncul

kepermukaan sejak lama, dan berkembang dalam berbagai bentuknya.

Gerakan pembaruan mulai dari Revivalisme pra-Modernis, Modernisme

klasik, sampai Neo-Revivalisme telah memiliki akar yang kuat di kawasan itu,

masing-masing muncul dengan kompleksitas dan nuansanya sendiri.

Kemuculan Revivalisme pra-Modernis, sebagai suatu gerakan

pemurinan yang lebih bersifat ke dalam, dapat dilacak pada gerakan oleh Syah

Wali Allāh ibn „Abd al-Raḥmān al-Dahlawī (w. 1763). Tokoh yang

memberikan sumbangan yang penting kepada telaah sistematis atas Alquran

dan hadis, dengan metode pedekatan Islam yang baru, yaitu Taṭbīq

1 Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik Al-Qur‟an Menurut Fazlur Raham, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2013), h. 35.

Page 43: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

30

(rekonsiliasi berbagai perbedaan). Selain itu dia adalah tokoh pertama yang

berupaya menggabungkan sejarah para Nabi secara sistematis dan

menjelaskan bahwa aturan sosial yang diberikan para Nabi itu dapat secara

rasional diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada masanya

masing-masing. Artinya agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad

merupakan agama yang dinamis yang menuntut untuk dipahami sesuai dengan

konteks zamannya.

2. Kehidupan Awal

Rahman dilahirakan pada 21 September 1919 di distrik Hazara, Punjab,2

suatu daerah di Anak Benua Indo-Paksitan yang pada saat itu belum terpecah

menjadi negara merdeka. Anak Benua ini memang terkenal dengan sederet

pemikir liberal seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid dan Muḥammad Iqbal.

Dengen latar belakang tersebut, tidak mengherankan jika Rahman

berkembang menjadi pemikir liberal dan progresif dalam peta pembaruan

Islam.

Rahman dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab

Ḥanafī, sebuah mazhab Sunnī yang lebih bercorak rasionalis dibangdingkan

dengan tiga mazhab besar lainnya (Syāfi‟ī, Mālikī, dan Ḥanbalī). Meskipun

dibesarkan dikalangan tradisionalis bermazhab Ḥanafī, namun Rahamn sejak

usia belasan tahun telah melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit

di dalam batas mazhab-mazhab Sunnī dan mengembangkan pemikirannya

2 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Vol. 5. Penerjemah. Tamara

Sonn (Bandung: Mizan, 2001), h.78. Lihat juga „Ala, „Abd, Dari Neo-Modernisme Ke Islam Liberal,

(Jakarta: Paramadina, 2003), h. 33.

Page 44: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

31

secara bebas. Pada masa belakangan, ketika ada yang mempertanyakan

pandangannya tentang salat yang tiga, Rahman secara bebas mengemukakan

praktik-praktik kalangan Syi‟ah yang dipandang sebagai bukti historis yang

absah bahwa di samping mengerjakan salat yang lima, Nabi juga mengerjakan

salat yang tiga, sehingga kedua macam salat itu adalah sah. Ia hanya tidak

setuju dengan usaha kalangan Sunnī membuat pembakuan salat yang lima,

tanpa alternatif lain, dengan menenggelamkan tiga salat yang fundamental

lewat dukungan hadis-hadis formulasi. Rahman memang amat kritis terhadap

Sunnī maupun Syi‟ī. Dia bahkan menyerukan suatu perumusan ulang yang

bersifat total dan tuntas terhadap warisan-warisan kesejarahan baik teologi

maupun hukum.3

Ayahnya, Maulana Sihabuddin dan ibunya sangat berpengaruh dalam

membentuk watak dan keyakinan-keyakinan religius awal Rahman. Ibunya

mengajarkan tentang nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, ketabahan dan cinta.

Sedangkan ayahnya, meskipun terdidik dalam pola pengajaran tradisional, ia

berkeyakinan bahwa Islam melihat modernitas sebagai tantangan-tantangan

dan kesempatan-kesempatan yang harus dihadapi. Keyakinan ini kemudian

dimiliki dan diwarisi oleh Rahman. Bekal dasar tersebut memiliki signifikansi

yang cukup berarti dalam pembentukan kepribadian dan intelektualitas

Rahman pada masa-masa selanjutnya. Ayahnya sangat berharap, Rahman

nantinya menjadi sosok yang cukup tekun dalam mencari pengetahuan dari

3 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum

Fazlzur Rahman, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996) h. 79. Lihat juga, Sa‟dullah Assa‟idi, Pemahaman

Tematik Al-Qur‟an Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 37-38

Page 45: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

32

berbagai sumber. Dan melalui bimbingan ibunya, ia sangat tegar serta tabah

dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.4

3. Pendidikan

Riwayat kehidupan Rahman merupakan serangkaian perjalanan yang

berisi wacana keilmuan Islam yang spesifik dan bertanggung jawab, baik

karena penalaran rasional yang disajikannya maupun argumentasi yang kritis

ketika ia mengajukan gagasan. Ia dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi

bermazhab Sunnī, namun tradisi ini tidak mendominasi dan mengisolasi

pemikrannya, namun justru dijadikan sebagai pijakan logika paradoksalnya.

Suatu pijakan berfikir yang dijadikan titik balik bagi situasi yang

mengelilinginya. Pendidikan formal yang ditempuhnya ialah belajar di

madrasah dengan pengaruh Deoband di India Utara (Uttar Pradesh), justru

terangsang mempersoalkan fenomena dari ilmu pengetahuan yang rumit dan

sulit untuk didudukkan dalam alur kupasan kritis.

Akar religiusaitas keluarganya bisa ditelurusi pada pengajaran di

Madrasah Deoband (Deoband Seminary) yang sangat berpengaruh di Anak

Benua India saat itu, di Deoband, ayahnya, Maulana Shihabuddin adalah

lulusan sekolah menengah terkemuka di India, yaitu Darul Ulum Deoband. Di

Deoband, Shihabuddin belajar kepada tokoh terkemuka, seperti Maulana

Maḥmud Ḥasan (w. 1920) yang lebih dikenal dengan Syekh al-Hind, dan

seorang ahli Fikih ternama Maulana Rasyīd Aḥmad Gangohi (w. 1905).

4 Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 33-34.

Page 46: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

33

Rahman memang tidak seperti ayahnya belajar di Darul Ulum. Meski

demikian, dia menguasai kurikulum Dasernizami yang ditawarkan di

madrasah tersebut, melalui kajian privat dengan ayahnya. Tentu pengalaman

ini melatar-belakangi Rahman dalam memahami Islam tradisional, yang

perhatiannya dipusatkan pada fikih, ilmu kalam, hadis, tafsir, mantīq dan

filsafat. Intelektualitasnya semakin teguh dengan penguasaannya dalam

berbagai bahasa: Persia, Urdu, Inggris, Perancis dan Jerman. Di samping itu,

dia juga mempunyai pengetahuan yang workable tetang bahasa-bahasa Eropa

kuno, seperti Latin dan Yunani.5

Setelah menamatkan pendidikan menengahnya di madrasah. Tokoh

utama neo-Modernisme ini menyelesaikan program Bachelor of Art, dan dua

tahun kemudian ia meraih gelar Master dalam bahasa Arab, kedua gelar

tersebut diperolehnya dari Universitas Punjab, Lahore. Namun gelar yang

diperoleh ini tampaknya lebih bersifat formalitas-akademik dibandingkan

dengan aspeknya yang bersifat intelektual. Hal itu terbukti daru pernyataannya

sendiri bahwa Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual.6 Yang

dimaksudkan dengan pernyataannya itu adalah dalam pengertian dasar

intelektual yang memadai. Oleh karena itu, untuk meraih gelar Philosophy

Doctor (Ph.D.), ia memutuskan melanjutkan studinya di Dunia Barat,

Universitas Oxford. Rahman tidak memilih dan menempuhnya ke perguruan

5 Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 34, lihat juga, Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir

Al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h.

21s 6 Rahman pernah ditanya oleh seorang pendeta: “mengapa Anda tidak ke Mesir saja, tapi

malah ke Oxford?”, Rahman menjawab: “studi-studi Islam di sana sama tidak kritisnya dengan di

India…”, lihat, Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 81

Page 47: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

34

tinggi di Timur Tengah karena dalam pandangannya, kajian Islam di sana

adalah sama-sama tidak kritisnya dengan yang ada di (Anak Benua) India.

Pada tahun 1946, Rahman berangakat ke Inggris. Di univeritas terkenal ini

selain mengambil dan mengikuti perkuliahan formal, dia giat mempelajari

bahasa-bahasa “Barat”. Penguasaannya terhadap bahasa-bahasa tersebut

sangat membantunya dalam memperdalam dan memperluas wawasan

keilmuannya, khususnya dalam studi-studi keislaman lewat penelusuran

terhadap literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam

bahasa-bahasa mereka, namun dia tetap kritis terhadap pandangan-pandangan

mereka yang berkaitan dengan Islam dan umat-nya.7

Pada Tahun 1950, Rahman berhasil merampungkan studi doktoralnya di

Oxford. Dia mengajukan sebuah disertasi tentang psikologi Ibn Sinā di bawah

bimbingan Prof. Simon Van den Bergh dan H. A. R. Gibb. Dua tahun kemudian

Oxford University Press menerbitkan terjemahan bahasa Inggrisnya dari karya

monumental Ibn Sinā, Kitāb al-Najāt dengan judul Avicena‟s Psychology,

penerjemahnya merupakan Fazlur Rahman sendiri, di samping mengenai

kajian-kajiannya yang mendalam tentang Ibn Sinā, reputasinya mulai terangkat

di antara sarjana-sarjana Timur sebagai seorang ahli tentang Ibn Sinā.8

4. Karier

Setalah berhasil menadapatkan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari

Oxford University, Rahman tidak langsung pulang kampung ke Pakistan—yang

7 Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik, h. 36-40.

8 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 22, lihat juga Sa‟dullah Assa‟idi, Pemahaman

Tematik, h. 42.

Page 48: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

35

pada saat itu baru merdeka. Dia diberi kesempatan untuk menjadi tenaga

pengajar di Durham University, Inggris. Tak lama kemudian dia mengajar di

Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, di sana dia menjabat

sebagai Associate Professor of Philosophy. Di Kanada ia menjalin persahabatan

erat dengan Wilfred Cantwell Smith, yang pada saat itu menjabat sebagai

direktur pada Insitute of Islamic Studies, McGill University.

Pada tahun 1960-an, Rahman kembai ke Pakistan, Pengalaman

akademis dan pengalamannya mengajar di Barat, ditambah dengan latar

belakang liberalisme Indo-Pakistan, mengantarkannya sebagai sarjana dan

pemikir modernis yang bebas dan radikal. Pakistan pada saat itu menjadi ajang

kontrovesi yang akut antara klan Modernis dan klan Tradisional-Fundamentalis,

yang secara praktis situasi tersebut sangat kondusif bagi pengembangan

pemikiran keagamaan Rahman. Identifikasi fenomena pemikirannya sebagai

neo-Modernis, seperti diungkapkan dalam tulisan-tulisannya, mempertegas

dirinya sebagai figur pemikir yang siap terjun ke dalam kancah perdebatan

antara klan Modernis dengan klan Tradisionalis-Fundamentalis untuk

memberikan definisi ideologis bagi Pakistan sebagai negara Islam. Pada tahun

1962, Rahman ditunjuk sebagai direktur Lembaga Riset Islam—yang

sebelumnya dia menjabat sebagai staf di lembaga tersebut. Pengangkatan dia

sebagai Direktur mendapat kecaman keras oleh kalangan Ulama—yang

menurut mereka jabatan direktur harus ditempati oleh seorang yang „ālim

terdidik secara tradisional. Mereka tidak pernah memaafkan Rahman karena

pemikirannya terkontaminasi “Barat”.

Page 49: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

36

Selain menjabat Direktur di Lembaga Riset Islam, Pada tahun 1964

Rahman ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan.

Melalui kedua lembaga tersebut dia secara intens merespresentasikan Islam

menjadi idiom-idiom atau istilah-istilah yang rasional dan ilmiah untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim pada saat itu. Beberapa isu agama

dari Rahman seperti status bunga bank, zakat, pengembelihan hewan secara

mekanik, hukum kekeluargaan dan keluarga berencana, posisi hadis serta

sunnah dan hakikat wahyu. Pada gilirannya, setelah pergolakan yang

mempengaruhi kesehatan dan peran kepemimpinan di dua lembaga tersebut, dia

resign dari jabatannya. Namun dia masih menjabat di posisi anggota Dewan

Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, namun akhirnya jabatan tesebut

juga dilepaskan, akhirnya dia meninggalkan Pakistan dan memutuskan hijrah

ke Amerika.9

Pada tahun 1968, Rahman mendapatkan tawaran untuk menjadi tenaga

pengajar di Universitas California, Los Angles. Dan pada tahun itu juga ia

bersama keluarganya pindah ke sana. Kemudian pada tahun 1969 di angkat

sebagai Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas tesebut. Mata kuliah yang

diajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam,

pemikiran politik Islam, modernisme Islam, pemikiran Al-Gazalī, Ibnu

Taimiyah, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal dan lain-lain.10

9 Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik , h.43-49

10 „Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 39-40.

Page 50: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

37

B. Pemikiran dan Karya

1. Pemikiran dan Karya

Kajian dan penelurusan terhadap karya-karya Fazlur Rahman dianggap

penting sebagai upaya melacak gagasan dan produk pemikirannya. Menurut

Abd „Ala karya yang bertemakan konsep-konsep teologi lebih dari seratus

buah—baik berupa buku, artikel atau ulasan buku.

Karya orisinal Pertama Rahman yang berbentuk buku adalah Propechy

in Islam: Philoshophy and Ortodoxy.11

Pada karyanya ini, Rahman meneliti

mengenai sejarah ilmu kenabian dan Islam. Temuan kajian ini menghasilkan

sebuah buku yang secara kritis memaparkan tentang doktrin kenabian yang

digagas oleh pemikir Islam berdasarkan setting sejarahnya. Karyanya ini

untuk pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1956, dan juga diterbitkan oleh

George Allen and Unwin Ltd. London pada tahun 1958.12

Karyanya ini, Propechy in Islam merupakan respon terhadap rendahnya

perhatian yang diberikan para sarjana Modern terhadap bidang religio-

filosofis Islam yang sangat penting mengenai doktrin kenabian. Di bagian

pertama dalam karyanya ini, membahas doktrin intelektual yang dikemukakan

oleh dua filosof Muslim ternama, Al-Fārābī (870-950 M) dan Ibnu Sīnā (980-

1037 M). Pada bagian kedua, membahas doktrin kenabian, dan secara

berturut-turut membahas pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu

kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu teknis atau

11

„Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 44-45. 12

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 22.

Page 51: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

38

imajinatif, doktrin Ibnu Sīnā tentang mukjizat, doa, dan teurgi, dan di bagian

akhir menjelaskan doktrin kedua filosof tersbut tentang da‟wah dan syarī‟at.13

Kemudian di bagian ketiga, Rahman membahas tentang persepktif

ortodoksi yang dikemukakan ahli kalām. Ada tiga aliran utama dalam teologi

skolastik mengenai kenabian. Pertama, mutakallimūn dogmatik yang

memperbolehkan penggunakan akal secara terbatas untuk menjelaskan

dogma. Aliran ini diwakili oleh Al-Syahrasytānī (w. 1153 M) dan merupakan

aliran ortodoksi terbesar. Kedua, adalah aliran yang diwakili oleh Ibnu Ḥazm

(w. 1064 M) tipenya berbentuk dogmatisme akut yang sangat meremehkan

akal dan hanya menggunakannya untuk menyerang posisi-posisi kaum

rasionalis. Ketiga, adalah pandangan yang berdiri di antara dua aliran tersebut

yang menerima sejenis “akal”, namun menolak kaum filsuf dan pemikirannya

secara total. Aliran ini juga menolak sufisme, namun mengedapankan nilai-

nilai spiritual dalam kerangka Islam. Aliran ini direspresentasikan oleh Ibnu

Taimiyah (w. 1328 M). Ketiga aliran tersebut sepakat menolak secara keras

pendekatan intelektualistas murni para filsuf terhadap fenomena kenabian.

Mereka sangat keberatan menerima kesempurnaan intelektualitas Nabi.

Meskipun demikian mereka lebih mengedepankan nilai-nilai syarī‟ah

daripada nilai intelektual.

Selanjutnya Rahman menjelaskan mengenai beberapa tokoh Muslim

kondang yang menerima esensi doktrin filosofis tentang kenabian dan

memasukkannya ke dalam Islam yang integral. Meskipun demikian,

13

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 113-114.

Page 52: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

39

masyarakat ortodoks tidak menerima jika mereka dianggap ortodoks. Mereka

adalah Al-Gazālī (w. 1111 M) dan Sejarawan Ibn Khaldūn (w. 1406 M).

Dalam karyanya ini Fazlur Rahman mengemukakan bahwa antara filsuf

dan teolog sebenarnya tidak ada perbedaan yang fundamental mengenai

konsep kenabian dan wahyu. Bagi filsuf, Nabi menerima wahyu dengan

mengidentifikasi dirinya dengan Akal Aktif. Sedangkan Al-Syahrasytanī dan

Ibnu Khaldūn berpandangan bahwa Nabi diidentifikasikan dengan malaikat.

Menurut Abd „Ala, dalam bukunya ini Rahman membuktikan bahwa masalah

kenabian dan wahyu dapat ditelusuri secara memuaskan dengan menggunakan

bukti-bukti rasional dan dalil-dalil agama, khususnya Alquran.14

Karya terpenting di priode awal perkembangan pemikiran Rahman ini

memang merupakan kajian kesejarahan murni dan tidak bersifat preskriptif.

Kajian doktrin kenabian para filosof dan ortodoksi tersebut sangat signifikan

bagi Rahman dalam memformulasikan pandangannya tentang proses

pewahyuan Nabi Muhammad,15

terutama dalam pijakan dia dalam mengkritik

konsep sunnah yang digagas Al-Syāfi‟ī yang mendudukkan sunnah Nabi

sebagai wahyu ekstra-Qurani.16

Kajian yang bersifat historis juga terdapat pada karyanya yang berjudul

Islamic Methodology in History yang diterbitkan pada tahun 1965 dan Islam

diterbitkan pada tahun 1966. Buku Islmic Methodology merupakan kumpulan-

kumpulan artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies, dari bulan

14

Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 45-46. 15

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 116. 16

Falur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 62.

Page 53: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

40

Maret 1962 sampai Juni 1963. Karya yang pertama merupakan sebuah

analisis kritis sejarah perkembangan empat pilar pemikiran Islam, yaitu

Alquran, Sunnah, ijtihād, dan ijmā‟, dan peran aktual pilar-pilar tersebut

terhadap perkembangan Islam itu sendiri. Sedangkan yang kedua, Islam,

mengangkat survey interpretatif Islam, yang terfokus pada persoalan-

persoalan legal-normatif dan teologi serta aplikasinya sepanjang sejarah.

Meskipun karya ini kerapkali dipakai sebagai buku dasar pengantar tentang

Islam, sebenarnya muatan kandungannya lebih dari itu, karya orisinal tersebut

sarat dengan diskusi-diskusi intens seputar doktrin utama, Alquran,

Muhammad, hukum, teologi, filsafat dan tasawuf dan perkembangan institusi-

institusi yang ada sejak lahirnya Islam.17

Buku Islamic Methodology ini merupakan karya Fazlur Rahman yang

sangat relevan dipembahasan ini, karena menjadi rujukan utama dalam

penelitian ini. Buku ini secara khusus menampilkan, pertama, evolusi historis

perkembangan empat prinsip dasar pemikiran Islam—yang memberi kerangka

bagi seluruh pemikiran Islam—(Alquran, sunnah, ijtihād, dan ijmā‟), dan

peran aktual prinsip-prinsip tersebut terhadap perkembangan Islam itu

sendiri.18

Fazlur Rahman mengatakan bahwa generasi awal Muslim tidak

menganggap ajaran Alquran dan sunnah dari Nabi (Sunnah of the Prophet)

sebagai sesuatu yang kaku atau statis, tetapi secara esensial sebagai sesuatu

17

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 27. 18

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 123-124.

Page 54: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

41

yang bergerak secara kreatif melalui bentuk-bentuk sosial yang berbeda. Hasil

analisisnya ini memunculkan pembedaan yang dilakukan tentang konsep

sunnah dan hadis. Berangkat dari pendapatnya mengenai tidak adanya sesuatu

yang dapat memberikan kohesi terhadap ajaran Alquran selain kehidupan

Nabi yang aktual dan lingkungan dimana beliau melangkah. Rahman

menganggap aktualitas kehidupan Nabi sebagai sarana yang sangat penting

dalam memahami Alquran, dalam kerangka ini, dinamika nilai Alquran

menemukan momentumnya. Oleh karena itu, reduksi kehidupan Nabi yang

aktual ke dalam rumusan-rumusan yang dianggap standar akan mematikan

semangat asli Kitab Suci.19

Untuk pemikirannya tentang sunnah, penelitian ini

memabahas secara khusus.

Karya lain Fazlur Rahman sedikitnya empat buah buku dan beberapa

artikel yang memuat terobosan yang genuine sepanjang perjalanan karirnya,

antara lain, pertama, The Philosophy of Mulla Shadra (1975)—yang

merefleksikan sebuah ilustrasi yang baik mengenai perhatian Fazlur Rahman

terhadap pemikiran akademik murni (filsafat). Kedua, Islam and Modernity:

Transformation of an Intellectual Tradition, diselesaikan pada tahun 1978,

namun baru diterbitkan pada tahun 1982, buku tesebut menyajikan sebuah

analisis kritis terahadap sistem pendidikan Islam di samping menawarkan

upaya mengantisipasinya. Ketiga, Major Themes of the Quran, dipublikasikan

lebih awal dari karya sebelumnya pada tahun 1980. Karya tersebut menandai

kemajuan (kecemerlangan) dalam pemikiran Fazlur Rahman, yakni

19

Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 47.

Page 55: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

42

menunjukkan passion-nya yang lain secara lebih meyakinkan dari sebelumnya

di bawah naungan bimbingan kita suci (Alquran) dan memperlihatkan

bagaimana pesan Alquran dapat dan seharusnya dapat secara praktis

diaplikasikan melalui langkah yang baru dan kreatif dalam realitas kehidupan

saat ini. Keempat, Health and Madicine in the Islamic Tradition: Change dan

Identity, diterbitkan pada tahun 1987, buku tersebut menampilkan diskusi

yang komprehensif tentang bagaimana keseimbangan antara kesehatan dan

moral-etis dalam mengekspresikan nilai-nilai Islam yang ideal dan

memberdayakan dinamika sebagai satu intergritas dan totalitas.

Selain keempat karya tersebut, sebanarnya Fazlur Rahman memiliki

karya lain yang tidak sempat diselesaikan di masa hidupnya, atas prakarsa

Begum Bilqis, isterinya, karya tersbut dapat diselesaikan melalui editor

Ebrahim Moosa yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of

Islamic Fundamentalism, diterbitkan pada tahun 2000.

Dari kesemua karyanya tersbut, menurut Wan Daud—murid Fazlur

Rahman berkebangsaan Malaysia—Fazlur Rahman terkenal dengan memiliki

gaya tulisan yang sukar diikuti yang tidak jarang seringkali disalah-artikan

sebagai sikap arogansi, terutama ketika ia mengavaluasi penamilan umat

Islam dalam sejarah.

Di Indonesia sendiri, tokoh nasional seperti Nurcholish Madjid, Ahmad

Syafi‟i Ma‟arif dan Amin Rais cukup apresiatif terhadap pemikiran Rahman,

Menurut Nurcholish Madjid, Rahman mampu dengan cermat membaca teks-

teks klasik perbendaharaan keilmuan Islam multi-bidang, dan ia menilai betapa

Page 56: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

43

kunonya Bahasa Arab yang digunakan. Menurut Madjid, Rahman adalah juga

seorang pemikir dengan keberanian intelektual yang mencengangkan, bukan

saja ia tidak takut kepada kotroversial, bahkan ia melihat bahwa kontroversial

adalah bagian dari konsekwensi dan kreativitas intelektual yang kerap tidak

mungkin dihindari.20

Sedangkan testimoni apresiatif Syafi‟i Ma'arif dalam

pengantarnya menyatakan bahwa pada diri Rahman "berkumpul ilmu seorang

alim yang alim dan ilmu seorang orientalis yang paling beken.21

Menurut Ahmad Syukri, perjalanan evolusi pemikiran Fazlur Rahman

tidak lain sebagai upaya memberikan kontribusi terhadap khazanah pemikiran

Islam khususnya dalam menghadapi hiruk pikuk kehidupan kontemporer saat

ini, kembali pada generasi muda Muslim untuk membuktikan apakah gagasan

Fazlur Rahman tersebut layak diperhitungkan dan diapresiasi atau sebaliknya,

di abaikan.22

2. Double Movement Teory (Metode Gerakan Ganda)

Menurut Hujair Sanaky, dalam mengkaji karya-karya Fazlur Rahman kita

perlu mengetahui metode apa yang digunakan dalam menulis karya-karyanya.

Rahman, seringkali menyebutkan dua istilah metodis dalam buku-bukunya yaitu

Historico Critical Method dan Hermeneutic Method. Kedua istlah tersebut

merupakan ”kata kunci” untuk menelusiri metode pemikiran Fazlur Rahman.

20

Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur'an,” Islamika, no. 2

(Oktober-Desember 1993): h. 24. 21

Ahmad Syafi'i Ma'arif, (dalam Pengantar) Islam, (Bandung: Mizan, 1995), h. vi. 22

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 30-34.

Page 57: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

44

Pertama, Bagi Rahman, kritik sejarah (Historico Critical) adalah pendekatan

yang akomodatif secara intelektual dan moral, dengan cara inilah tujuan-tujuan dan

pesan Alquran dan hadis dapat diapresiasi.23

Pendekatan kesejarahaan yang pada

prinsipnya untuk melacar fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari nilai-nilai

(values) tertentu yang terkandung di dalamnya. Jadi, yang ditekankan oleh metode ini

adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan

presitiwa sejarah itu sendiri. Jika data sejarah dipaparkan sebatas kronologinya, maka

model semacam ini dinamakan pendekatan kesejarahan ”Critical History” sebagai

sebuah metode penelitian sejarah Islam, pertama kali dikembangkan oleh studi-studi

dikalangan orientalis (seperti : David S.Margolouth, Goldzhiher, Henry Lammen,

Joseph Schacht, H.R.Gibb, N.J.Coulson, dll), merupukan pendahulu orientalis yang

menerapkan metode Critical History ini.

Kedua, Pendekatan Hermeneutika yaitu metode untuk memahami dan

menafsirkan teks-teks kuno seperti kitab suci, sejarah, hukum juga dalam bidang

filsafat. Metode ini digunakan dalam upaya interpretasi terhadap teks kitab suci,

penafsiran terhadap teks-teks sejarah yang menggunakan bahasa yang rumit, atau

bahasa hukum yang padat juga memerlukan upaya penafsiran, agar mudah dipahami.

Menurut Rahman, kedua metode ilmiah ”Critical History” dan Hermeneutic,

merupakan seperti dua sisi mata uang, yakni tidak bisa dipisahkan. Metode ”Critical

History” berfungsi sebagai upaya dekonstruksi metodologi, sedangkan metode

Hermeneutic difungsikan sebagai upaya rekonstruksinya. Sementara dalam kajian

23

Ahmad Syukri, “Metodologi Tafsir Kontemporer Dalam Pemikiran Fazlur Rahman,”

Kontekstualita XX, no. 1 (Juni 2005): h. 57-61.

Page 58: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

45

normatif (penerapan metode Hermeneutic dalam menafsirkan Alquran Fazlur

Rahman menggunakan metode sosio-historis sebagai alat bantu dalam menentukan

konteks sosial yang terkait. Karena itu, Rahman menyadari kurangnya perspektif

kesejarahan dalam kecendekiawan Muslim yang pada gilirannya menyebabkan

minimnya kajian-kajian historis Islam. Menurut Rahman, ummat Islam memerlukan

kajian sejarah agar mereka dapat menimbang lebih lanjut nilai-nilai perkembangan

historis tersebut untuk bisa melakukan rekonstruksi disiplin-disiplin Islam untuk

masa depan.

Dalam pada itu, Fazlur Rahman membuat kategori Islam menjadi dua, yaitu:

Islam Normatif dan Islam Historis. Analisis Critical History sebagai sebuah metode

yang digunakan Fazlur Rahman dalam mengkaji Islam historis dalam segala

aspeknya. Pengembangan metode ini oleh Fazlur Rahman tampak dengan jelas dalam

kajian-kajian historisnya, seperti dalam bukunya Islamic Methodology in History dan

Islam and Modernity Transformaton of an Intellectual Tradition. Critical history oleh

Rahman selalu dikaitkan dengan fase perkembangan, kemajuan dan kemunduran

sejarah masyarakat Islam. Untuk itu, dalam menulis karyanya Islamic Methodology in

history ini, Rahman menggunakan metode ”Critical History” untuk mengkaji sunnah

dan hadis dan melakukan dekonstruksi.24

24

Hujair AH. Sanaky, “Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah Dan Hadis,

Kajian Buku Islamic Methodology In History,” Mawardi XVI, (2006): h. 259-260.

Page 59: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

46

BAB IV

KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP

KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

A. Konsep Sunnah al-Syāfi’ī

Menurut Abū Zahrah, Abū „Abd Allāh Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi‟ī al-

Muṭṭalibi al-Quraisyī atau Imām al-Syāfi‟ī (w. 204 H) menempatkan sunnah sebagai

ḥujjah dalam syari‟at Islam, argumentasi al-Syāfi‟ī tersebut untuk membantah para

kelompok yang menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam.1 Dengan sikap

tersebut Ulama Irak menjulukinya Multazim al-Sunnah (orang yang berpegang teguh

kepada sunnah) atau Nāṣir al-Sunnah (pembela sunnah).2

Al-Syāfi‟ī memandang bahwa hadis-hadis ṣaḥīḥ (dalam kondisi tertentu)

posisinya sejajar dengan Alquran, yang semuanya wajib diikuti. Berbeda dengan Abū

Ḥanīfah (w. 150 H) sebuah hadis harus berstatus masyhūr dalam keadaan tertentu,

begitupun dengan Mālik ibn Anas hadis tidak boleh bertentangan dengan tradisi

masyarakat Madinah. Al-Syāfi‟ī mensyaratkan hadis yang menjadi sumber hukum

Islam harus ṣaḥīḥ dan ittiṣāl al-sanad (sanadnya tersambung).3

Lebih lanjut, mengenai ke-ḥujjah-an hadis, argumentasi Al-Syāfi‟ī berangkat

dari ayat Alquran yang yang berkaitan perintah Allah Swt. untuk mengikuti sunnah

1 Al-Khuḍarī menarik kesimpulan dari tulisan-tulisan al-Syāfi‟ī, bahwa yang menolak hadis

secara keseluruhan adalah kelompok Mu‟tazilah. Begitupun dengan al-Sibā‟ī berpendapat demikian.

lihat Azami, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ, h. 23. 2 Abd al-Ḥalim Jundī, al-Imām al-Syāfi'ī Naṣīr al-Sunnah Wadi' al-Usūl (Kairo: Dar a-kutun

al-'imiyah, 1996), h. 300. 3 Muḥammad Abu Zahrah, al-Syāfi’i Hayātuhu wa Asruhu wa Fikruhu Arāuhu wa

Fiqhuhu (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005), h. 84.

Page 60: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

47

Nabi.4 Selain ke-ḥujjah-annya, ada dua fungsi hadis terhadap Alquran, antara lain,

pertama, hadis memiliki fungsi sebagai konfirmasi bahwa Alquran adalah wahyu

yang diturunkan oleh Allah Swt., kedua, hadis sebagai penjelas dari pesan Alquran

yang sifatnya global. Sedangkan sunnah Nabi, ada tiga fungsi, antara lain, pertama,

sebagai konfirmasi dan mengulangi pesan-pesan yang ada di dalam Alquran, kedua,

menjelaskan makna garis besar pesan Allah di dalam Alquran, ketiga, Rasulullah

menjelaskan sesuatu perkara yang secara eksplisit tidak terdapat di dalam Alquran.

Bisa disimpulkan, karena Rasulullah memiliki hak istimewa dari Allah

sebagai mubayyin, penjelas pesan Allah, maka beliau berwewenang menjelaskan

pesan Alquran yang global maupun yang tidak dijelaskan di dalam Alquran, dalam

konteks ini al-Syāfi‟ī memberi contoh sunnah Nabi yang menjelaskan jumlah rakaat

salat dan tata cara pelaksanaannya, dengan bersandar pada kewajiban salat secara

garis besar di dalam Alquran. Begitupun Sunnah Nabi yang berkaitan dengan

urusan mu’āmalah dan aturan-aturan lain.5

Selain itu, pandangan al-Syafi‟ī tentang eksistensi hadis āḥād6 dan mursal

7

juga sangat penting karena keduanya menjadi salah satu basis kontruksi pemikiran

4 Ada banyak ayat-ayat yang membicarakan berkaiat dengan perintah Allah Swt. tersebut,

antara lain: Q S . al-Māidah: 67, Q S . al-Syūrā: 52, Q S . al-Nisā‟: 113 dan 171, Q S . al-Jumu‟ah:

2, Q S . al-Baqarah: 231 dan 151, Q S . al-Nūr: 63, Q S . al-An‟ām: 106, Q S . al-Aḥzāb: 36 dan

Q S . Āli „ Imrān: 164. Lihat al-Risālah, h. 187-196. 5 Al-Risālah, h. 92.

6 Hadis Aḥad atau khabar aḥad adalah khabar yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi

tidak mencapai derajat mutawatir (tidak ditemui syarat-syarat mutawatir), entah satu, dua, tiga, empat,

atau lima orang periwayat. Lihat Aḥmad „Umar Hāsyim, Qawā’id Uṣūl al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-Fikr,

tt.), h. 153. 7 Hadis mursal adalah hadis yang diakhir sanad yaitu diatas tabi‟in terputus, menurut

Maḥmud Ṭaḥḥan, ada tiga pendapat mengenai status hadis mursal, pertama, mayoritas ulama uṣul dan

fikih memberi status ḍaif dan ditolak, kedua, ṣaḥīḥ dan dapat dijadikan ḥujjah, yang berpendapat

demikian ialah Abū Ḥanifah, Malik dan Aḥmad ibn Ḥanbal, dan ketiga, diterima namun dengan

catatan, pendapat ini dipilih oleh Al-Syāfi‟ī, syarat tersebut antara lain: 1) yang meriwayatkan tābi‟īn

Page 61: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

48

yurisprudensinya. Menurut al-Syāfi‟ī, hadis āḥād wajib diterima sebagai sebagai

argumentasi hukum (fikih) karena memenuhi kriteria ditinjau dari kualitas

periwayatan. Sedangkan hadis mursal, al-Syāfi‟ī memberi catatan bahwa

periwayatannya tidak boleh terputus melewati khibār al-tabi’īn (generasi setelah

tābi’īn; tabi’ al-tābi’īn). Berbeda dengan Abū Ḥanifah dan Mālik ibn Anas (w. 93 H)

yang cenderung lebih longgar dalam menilai hadis mursal tersebut, karena kedua

tokoh mazhab ini tidak begitu mempertimbangkan ketersambungan sanad.8

B. Living Sunnah (Tradisi Yang Hidup)

Fazlur Rahman mengkonfirmasi temuan dan teori para orientalis tentang

evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan teori yang dikemukakan

bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum muslim belakangan. Menurutnya,

konsep sunnah yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam pandangan

orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya, sunnah adalah konsep yang valid dan

operatif sejak awal Islam dan berlaku sepanjang masa.9

Secara eksplisit, menurut Rahman, istilah sunnah di dalam Alquran

memang tidak ada, tetapi konsep sunnah sejak zaman Nabi telah ada.10

Dalam

pandangan Rahman, di dalam Alquran terdapat beberapa keterangan yang

menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai teladan yang baik (uswah ḥasanah). Oleh

senior, 2) tābi‟īn tersebut dikatakan ṡiqqah oleh orang yang meriwayatkan, 3) didukung pakar hadis

yang terpercaya, dan 4) didukung dengan hadis musnad, hadis mursal lainnya, sesuai dengan perkataan

sahabat, dan fatwa mayoritas ulama. Lihat Maḥmud Ṭaḥḥan, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ (Markaz al-

Hudā li al-Dirasāt, 1415 M), h. 57-58. 8 Abū al-Fidā‟ al-Ḥāfiẓ Ibnu Kaṡīr al-Dimasyqī, Ikhtishār Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-

Kutub al-„Ilmiyyah, t.th), h. 38. 9 Fazlur Rahman, Islamic Methodology In History (Karachi: Central Institute of Islamic

Research, 1965), h. 6. 10

Fazlur Rahman, “Islam: An Overview,” dalam The Encyclopedia of Religion, (ed.)

Mircea Eliade, Vol. 7 (New York: Mac Millan Publiching Co., 1987), h. 309.

Page 62: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

49

karena itu, umat Islam sejak awal tetap beranggapan bahwa praktik Nabi sebagai

konsep.11

Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary

conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat maknanya dengan uswah. Kesimpulan

yang diambil oleh Rahman bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi

ini secara jelas mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya meluruskan kekeliruan

pemikiran tentang sunnah yang dimunculkan para orientalis.

Untuk memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem periwayatan.

Menurutnya, periwayatan hadis telah ada sejak zaman Rasulullah. Untuk

membuktikan hal itu, Rahman mengambil contoh surat Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H)

yang ditujukan kepada „Abd al-Mālik bin Marwān (w. 86 H). Dalam sebuah

riwayat, „Abd al-Mālik minta penjelasan kepada al-Baṣrī tentang kebebasan

manusia yang belum pernah ada sebelumnya. Artinya, secara formal dan verbal

tentang kebebasan manusia belum ada. „Abd al-Mālik tidak mengetahui sahabat

yang mempunyai pandangan semacam itu. Dia minta agar ditunjukkan riwayat hadis

yang mengakui kebebasan manusia. Dalam jawabannya melalui surat, al-Baṣrī

menjelaskan bahwa para pendahulu tidak ada yang menolak tentang kebabasan

manusia dan di antara mereka tidak ada yang berbeda pendapat.12

Hal yang penting dari seorang khalifah, menurut Rahman, adalah bahwa ia

meminta beberapa alternatif dasar yang dipakai al-Baṣrī untuk mendukung

kebenaran pendapatnya, di antaranya adalah riwayat hadis dari salah seorang

sahabat Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum masa itu telah berkembang

11

Rahman, “Islam: An Overview,” h. 7. 12

Fazlur Rahman, Islam (Chicago & London: University of Chicago Press, 1979), h. 55.

Page 63: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

50

tradisi periwayatan, sekaligus menunjukkan otoritatisasi generasi sahabat dalam hal

periwayatan. Jawaban al-Baṣrī tentang sunnah Nabi yang berkaitan dengan

kebebasan manusia, meskipun tidak menyebut kan periwayatan yang bersumber

dari Nabi, memberi sinyalemen adanya sunnah. Hal ini bukan berarti tidak ada

sebuah riwayat yang menjadi dasar bagi al-Baṣrī, tetapi ia bermaksud menekankan

teologi bahwa kebebasan manusia adalah sesuatu yang baru.13 Selain itu, surat al-

Baṣrī merupakan petunjuk arah, bukan serangkaian aturan yang ditetapkan secara

pasti. Pengertian sunnah semacam ini merupakan dasar pemikiran umat Islam awal.

Dengan demikian, doktrin determinisme secara implisit bertentangan dengan ajaran

sunnah Nabi dan “sunnah ideal” secara realistis telah berkembang pada masa kaum

muslim awal.

Untuk memperkuat hal tersebut, Rahman juga mengutip kebiasaan Imam

Mālik dalam al-Muwaṭṭā` yang biasanya mengutip terlebih dahulu riwayat hadis

dalam menjawab setiap masalah yang dihadapi, kemudian menyampaikan pernyataan

seperti: “dan ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita adalah...,”

kadang-kadang ia menggunakan istilah “sunnah yang kita akui adalah....” Imam

Mālik, misalnya mengutip hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak ṣuf‘ah

kepada seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu Mālik menyatakan

“dan hal ini merupakan sunnah bagi kita.” Lantas kepada Sa„īd bin Musayyab, ahli

hukum yang populer di Madinah, Mālik bertanya kepadanya: “Adakah sunnah

13

Rahman, Islamic Methodology, h.7.

Page 64: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

51

mengenai ṣuf’ah,” ia menjawab: “ya, tetapi ṣuf‘ah hanya berlaku atas rumah dan

tanah.14

Dalam pernyataan pertama, menurut Rahman, sunnah berarti praktik yang

dilakukan oleh kaum muslim Madinah, dan pengertian seperti ini tidak cocok dalam

pernyataan yang kedua, karena untuk suatu praktik yang telah disepakati tidak

mungkin dipertanyakan “adalah sunnah mengenai hal ini.” Untuk itu, pernyataan

kedua tersebut harus suatu preseden yang normatif, bisa berupa sunnah Nabi dan bisa

berupa sunnah sahabat yang bersumber dari Sunnah Nabi.

Selain data periwayatan, Rahman juga menyampaikan data historis yang

berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang penyair pro Hasyimi yang hidup antara

akhir abad pertama sampai awal abad kedua hijriah. Di dalam syair tersebut terdapat

“sunnah” yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali sunnah Nabi. Bunyi

syairnya sebagai berikut:

باي كتاب أو بأي سنة ترى حبهم عارا علي وتحسب

Berdasarkan kitab apa atau sunnah manakah yang engkau memandang cintaku

kepada mereka sebagai kebaikan.15

Rahman juga menyajikan data historis lain dengan merujuk kepada kitab al-

Kharrāj.16 Dalam kitab ini dijelaskan bahwa „Umar bin Kaṭṭāb pernah mengirimkan

beberapa orang ke daerah tertentu untuk mengajarkan Alquran dan sunnah.17 Dalam

informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang berkembang pada saat itu bahwa

Alquran tidak dapat diajarkan tanpa mempertimbangkan aktivitas Rasulullah.

14

Rahman, Islamic Methodology, h.8. 15

Rahman, Islamic Methodology, h. 9. 16

Abū Yusūf, al-Kharrāj (Kairo: t.p., 1302 H), h. 8. 17

Rahman, Islam, h.8.

Page 65: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

52

Aktivitas Rasul mencakup bidang politik, kepemimpinan, pengambilan keputusan,

dan lain-lain. Dengan demikian, Alquran dan sunnah terdapat pertalian yang utuh.18

Data-data historis yang diungkap oleh Rahman tentang validitas sunnah

sebagai jawaban terhadap tantangan orientalis. Analisis historis sebagai respons

terhadap wacana ilmiah yang berkembang merupakan kepedulian sumbangan besar

Rahman dalam diskursus kontemporer. Dalam realitasnya, kalangan ahli hadis

maupun fiqih zaman modern masih sedikit menanggapi tantangan orientalis di

atas.

C. Formalisasi Sunnah dan Sunnah Bukan Wahyu Ekstra Qur’ani

1. Formalisasi Sunnah

Awalnya sunnah itu merupakan praktik yang sangat cair atau tidak kaku di

kalangan sahabat pada Muslim awal. Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa

praktik dan ucapan Nabi yang berupa hadis telah ada sejak awal kemunculan Islam.

Tetapi semasa hidup Nabi sendiri, hadis-hadis umumnya hanya dipergunakan dalam

kasus-kasus informal karena satu-satunya peranan hadis adalah memberikan

bimbingan di dalam praktek aktual kaum muslimin dan kebutuhan ini telah telah

dipenuhi oleh Nabi sendiri.

Fazlur Rahman melihat bahwa setelah Nabi wafat tampaknya hadis memiliki

status yang semi-formal. Hal tersebut menjadi wajar karena menurutnya itu

merupakan dampak dari generasi selanjutnya yang berupaya mempelajari kehidupan

Nabi sebagai panutan mereka. Tetapi sampai batasan tersebut, tidak ditemukan

adanya bukti-bukti tertulis (belum di kodifikasi) dalam bentuk apa pun yang

18

Rahman, Islam, h.57.

Page 66: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

53

terhimpun. Ketiadaan bukti tertulis itu disebabkan karena generasi selanjutnya

menganggap bahwa hadis cukup dijadikan rujukan praktis dalam kehiupan mereka.19

Tabel 1.

Proses Formalisasi Sunnah

Dalam paragraf ini, penulis berupaya menyajikan data beberapa ulama dalam

melihat hadis sebagai rujukan praktis. Ulama terdahulu dari para ahli mazhab awal

seperti Abū „Amr „Abd al-Raḥmān al-Auzāī‟ (w. 157 H) yang berasal dari Syiria. Ia

mengenal sunnah Nabi tetapi tidak mengidentikkannya dengan tradisi-tradisi

formal.20 Ia sering merujuk pada praktik yang dilakukan oleh kaum muslimin yang

sampai kepadanya pada masa Rasulullah. Dalam pertentangan pendapatnya dengan

Abū Ḥanīfah, dalam kebanyakan kasus, terlebih dahulu ia berargumentasi (mencari

dalil) dengan perilaku Rasulullah.

Menurut Schacht pandangan al-Auzāī‟ tentang sunnah adalah yang dikenal

dengan “living tradition”, yaitu praktik-praktik kaum Muslimin yang dimulai dari

Nabi, dilestarikan oleh para khalifah awal dan penguasa-penguasa berikutnya dan

diverifikasi (dibuktikan) oleh para ulama. Praktik-praktik kaum Muslimin yang

kontinu sangat menentukan, sedangkan rujukan kepada Nabi atau para Khalifah awal

19

Fazlur Rahman, Islamic Methodology In History, Terj. Anas Mahyuddin (Bandung:

Pustaka, 1995), h. 44. 20

Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University

Press, 1975), h. 70.

Informal

(priode Nabi) Semi-Formal

(priode Sababat

dan tāb’īn)

Formal

(priode Al-Syāfi‟ī

dan sesudahnya)

Page 67: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

54

adalah bersifat fakultatif (boleh memilih), bahkan bukan merupakan hal yang niscaya

untuk memantapkan sunnah.21 Hampir dalam setiap paragraf al-Siyār kita dapat

menemukan contoh-contoh yang dapat membuktikan pernyataan itu.

Salah satu contohnya adalah ketika al-Auzāī‟ menentang pendapat Abū

Ḥanīfah yang mengatakan “ketika seorang imam mengatakan bahwa barang siapa

mendapatan sesuatu dalam perang maka sesuatu itu adalah menjadi miliknya. Maka

jika seorang laki-laki tersebut memperoleh seorang jāriyah ia tidak boleh

menggaulinya selama masih berada dalam dār al-ḥarb (meskipun ia telah

memilikinya)”. Al-Auzāī‟ berpendapat bahwa laki-laki tersebut boleh menggauli

jāriyah tersebut dan hal itu halal dari Allah, karena kaum Muslimin menggauli

jāriyah ketika mendapatkannya sebagai tawanan perang ketika melawan Bani

Musṭaliq sebelum mereka pulang ke dār al-Islām.22

Pembahasan selanjutnya adalah tentang konsep sunnah pasca al-Syāfi‟ī. Hal

ini penting dijelaskan karena pada periode inilah formaslisasi sunnah dimulai. Al

Syāfi‟ī dalam tafsirnya menyatakan secara global bahwa Alquran dan sunnah adalah

sebagai satu kesatuan sumber syarī’ah, yaitu sama-sama sebagai nāṣṣ syarī’ah. Ia

tidak banyak mempertentangkan kedudukan sunnah termasuk Alquran, bahkan al-

Syāfi‟ī sangat tegas mengambil sikap untuk menempatkan otoritas sunnah dalam

syari‟at Islam, sehingga mendapat julukan Nāṣir al-Sunnah. Sebab al-Syāfi‟ī mampu

menyelamatkan sunnah dari dua dilema yang terjadi pada masanya, ialah

21

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 1964),

h. 33. 22

Al-Auzā‟ī , “Al-Siyār al-Auzā‟ī”, dalam Abū Yūsuf al-Anṣārī, Al-Rass ‘alā al-Siyār Al-

Awzā‟ī (Beirut: Dār al-Kutub Al-„Ilmiyah, tt.), h. 70.

Page 68: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

55

penangguhan dasar sunnah oleh kalangan ahl al-Ra’y (rasionalis), dan ketidak-

kritisan pemakaian sunnah sebagai dasar syari‟ah oleh kalangan ulama ahl al-ḥadīṡ.

Karenanya Al-Syāfi‟ī merumuskan prinsip-prinsip teoritik global tentang dasar nāṣṣ

sunnah sebagai sumber syari‟at, terutama sumber hukum Islam. Selanjutnya oleh al-

Syāṭibī diperjelas bahwa tidak dimungkinkan mengambil isṭinbāt al-ahkām hanya

dibatasi dengan Alquran semata, tanpa mengaitkannya dengan doktrin-doktrin dan

ajaran dalam sunnah sebagai penjelas.23

Al-Syāfi‟ī telah melakukan perubahan besar dalam konsep sunnah yang

digunakan oleh mazhab-mazhab awal. Dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa

sunnah Nabi adalah sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi-generasi

Muslim pada jaman lampau dengan menafsirkan teladan-teladan Nabi berdasarkan

kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi baru yang mereka peroleh.

Interpretasi-interpretasi yang kontinu dan progresif itu, walaupun berlainan di daerah-

daerah yang berbeda disebut juga sebagai sunnah.

Namun proses dan metodologi yang sedemikian itu oleh Al-Syāfi‟ī diserang

dengan semangat dan usaha yang besar dengan menyerukan diterimanya materi al-

ḥadīṡ secara besar-besaran dalam bidang hukum. Programnya, walaupun barangkali

ia tidak melihatnya dalam batas demikian, adalah menyerang doktrin ijmā‘dari

aliran-aliran hukum yang ada dan membatasinya pada praktik-praktik dan kewajiban-

kewajiban agama yang mendasar saja (essential relegious obligations and

23

Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (Beirut: Dār al- Fikr, tt.), h. 106.

Page 69: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

56

practices).24 Gerakan inilah yang oleh Rahman disebut sebagai gerakan “subtitusi

hadis” yang mengakibatkan berhentinya proses kreatif.25

Dengan gerakan itu dapat dipahami bahwa al-Syāfi‟ī ingin menyingkirkan

sunnah yang hidup yang dikenal dalam mazhab sebelumnya. Dan apabila ijmā’

dalam term mazhab awal telah benar-benar dibuat tak berdaya lagi yakni telah

ditekan pada kewajiban-kewajiban agama yang umum dan esensial yang juga

terkandung dalam sunnah verbal, maka ia akan mengisi kekosongan yang

ditinggalkannya dengan al-ḥadīṡ. Dengan kata lain, hanya al-ḥadīṡ sajalah yang

akan mewakili sunnah bukan tradisi yang hidup atau ijmā’.

Tabel 2.

Konsep sunnah sebelum Al-Syāfi‟ī

Konsep sunnah sesudah Al-Syāfi‟ī

Sebagai ilustrasi, perlu dinukil salah satu contoh ketika Al-Syāfi‟ī ditanya

oleh seorang Madinah26 tentang boleh atau tidaknya menghancurkan ternak dan

tanaman-tanaman musuh di dār al-ḥarb. Menurut mazhab orang Madinah tersebut,

harta benda musuh tidak boleh dimusnahkan, larangan Abū Bakar dan demikian juga

24

Rahman, Islamic Methodology In History, h.26. 25

Rahman. Islam, h. 76. 26

Rahman, Islamic Methodology In History, h.29.

Sunnah Nabi Ijtihad Ijmā’

Sunnah Nabi Ijmā’ Ijtihad

Page 70: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

57

sahabat-sahabat mereka banyak yang meriwayatkan dari Abū Bakar. Al-Syāfi‟ī

menjawab dengan tegas bahwa ia setuju kalau harta benda musuh dihancurkan

selain binatang ternak mereka kecuali untuk dimakan. Argumentasi Al-Syāfi‟ī

adalah hadis dimana Nabi pernah melakukan pemusnahan ketika kaum Muslimin

menyerang Bani Naḍīr, Khaibar dan Ṭā‟if. Ketika ditanya mengapa ia melarang

memusnahkan binatang-binatang kecuali untuk dimakan dagingnya? Al-Syāfi‟ī

mengatakan bahwa hal itu didasarkan atas sunnah Nabi yang mengatakan,

“Barang siapa membunuh seekor burung pipit („uṣfūr) dengan tanpa alasan yang

hak, maka ia akan dihisab karenanya.” Ketika ditanyakan apakah haknya itu? Nabi

menjawab, “menyembelihnya dan kemudian memakannya serta tidak memotong

kepalanya untuk dibuang.”

Dari uraian itu, terlihat bahwa al-Syāfi‟ī memahami dan menafsirkan hadis

tersebut secara literal tanpa memperhatikan konteks situasional dari hadis tersebut,

karena menurutnya dalam ungkapan verbal itulah sebenarnya terkandung sunnah

Nabi. Kenyataan sebenarnya menurut Rahman adalah bahwa terhadap orang-orang

Yahudi Bani Naḍīr dan Khaibar, Nabi Muhammad dengan sengaja bersikap sangat

keras dan dari fakta historis dapat diketahui bahwa tindakan keras tersebut karena

orang-orang Yahudi sendiri. Sedangkan Ṭā‟if merupakan pertahanan terakhir dari

orang-orang Arab Jahiliyah yang tetap membangkang sekalipun kota Makkah telah

terjatuh. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhmmad mengambil tindakan keras.27

27

Contoh ini dimuat dalam bab “Ikhtilāf Mālik wa al-Syāfi‘ī” sub-bab “Jihād”. Menyebut

seorang Madinah yang bertanya adalah dipahami dari permulaan bab yang dimulai dengan “sa’altu

Al-Syāfi’ī”. Karena bab ini membicarakan perbedaan Mālik yang nota bene mazhab Madinah,

Page 71: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

58

Dengan contoh di atas, al-Syāfi‟ī sedang menunjukkan bahwa sunnah Nabi

bukan petunjuk yang bersifat umum yang dapat menaungi sunnah yang diciptakan

oleh para sahabat Nabi atau tābi’īn lewat interpretasi-interpretasi ijtihādī (untuk

kemudian disebut juga sebagai sunnah setelah melalui klaim sebagai konsensus)

melainkan bersifat tegas dan mandiri serta harus ditafsirkan secara literal dan

penyiarannya hanya dapat dilakukan dengan media al-ḥadīṡ, bukan dengan klaim

ijmā’ sebagaimana yang dipahami oleh mazhab-mazhab awal. Al-Syāfi‟ī

mengatakan secara tegas “hadis Nabi adalah mempunyai otoritas mandiri (wa

ḥadīṡ al-nabī mustagnīn bi al-nafsih). Dan apabila ada riwayat dari seorang selain

Rasulullah yang bertentangan dengan hadis, saya tidak akan mengalihkan

pandangan padanya karena hadis Rasul lebih utama untuk dijadikan dasar”.28

Rupanya al-Syāfi‟ī lebih mengutamakan hadis dalam artian ujaran Nabi daripada

sunnah dalam perngertian masa awal. Dengan kata lain, yang dimaksud sunnah

menurut al-Syāfi‟ī adalah hadis.

Menurut al-Syāfi‟ī, sunnah yang datang dari Rasulullah dalam bentuk hadis

melalui mata rantai rawi yang ṡiqqah adalah merupakan sumber hukum,

terlepas apakah sunnah tersebut diterima oleh orang banyak atau tidak, bahkan

walaupun ia merupakan suatu tradisi yang terisolir (menyendiri/āḥād). Ketika

ditanya tentang argumentasi yang membolehkan menerima tradisi yang

menyendiri (āḥād). Ia mengemukakan bahwa dahulu ketika orang-orang sedang

diasumsikan dialog tersebut adalah antara seorang Madinah pengikut Malik dengan Al-Syāfi‟ī. lihat

al-Syāfi‟ī, Al-Umm, vol. VII (Beirut: Dār al-Fikr, 1990), h. 241-242.

28

Rahman, Islamic Methodology In History, h.26.

Page 72: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

59

salat menghadap Baīt al-Maqdis datanglah seorang pembawa berita kepada

penduduk Qubah dan menceritakan bahwa Allah telah menurunkan wahyu

perubahan arah qiblat. Kemudian mereka berpaling ke Baīt al-Ḥarām (sementara

mereka masih dalam keadaan salat). Diyakini bahwa mereka pasti menceritakan

peristiwa itu kepada Rasulullah. Kalau mereka tidak boleh menerima berita dari

seorang saja, tentu Rasulullah akan mengatakan bahwa “mestinya kamu sekalian

jangan berpindah arah qiblat hingga aku memberitahumu atau sejumlah orang akan

memberitahumu”. Demikian juga kasus pengharaman khamr. Ketika Abū Ṭalḥah

dan sekelompok orang sedang minum-minuman datanglah seseorang dengan

membawa berita bahwa khamr telah diharamkan. Maka mereka memerintahkan

orang-orang untuk memecahkan tempat-tempat minuman.29

Pernyataan itu senada dengan apa yang ia tulis dalam al-Risālah ketika

membela khabar āḥād sebagai ḥujjah yang harus dipakai daripada praktik-praktik

para sahabat besar. Al-Syāfi‟ī mengatakan bahwa batasan khabar yang dapat

dijadikan ḥujjah adalah khabar yang dibawa oleh seorang rāwī, dari seorang rāwī

hingga sampai kepada Nabi.30

Al-Syāfi‟ī senantiasa mengajukan keberatan-keberatan terhadap argumentasi

orang Madinah yang selalu mengatakan bahwa di Madinah tidak kurang dari 30.000

(tiga puluh ribu) orang sahabat yang mana praktik mereka sudah dikenal, diakui dan

mapan jauh sehingga lebih dapat diandalkan daripada hadis-hadis āḥād.31

29

Al-Syāfi‟ī, al-Umm, h. 206. 30

Al-Syāfi‟ī, al-Risālah (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt.), h. 14. 31

Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 70.

Page 73: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

60

Sampai di sini kita dapat mengatakan bahwa al-Syāfi‟ī lebih menekankan

nilai-nilai tradisi dari Rasulullah dan lebih mengutamakannya daripada pendapat

para sahabat atau amal mereka. Sebagaimana telah diterangkan dalam beberapa

contoh, para ahli hukum mazhab awal lebih cenderung mengikuti praktik atau

pendapat para sahabat (yang dianggap sebagai ijmā’) meskipun terdapat tradisi dari

Nabi, al-Syāfi‟ī menentang keras praktik yang demikian. Ia berpendapat bahwa

dengan adanya tradisi dari Rasullah tak ada wewenang lain yang boleh dipakai

untuk mengalahkan tradisi Rasulullah.32 Ia menolak ijtihad-ijtihad yang kemudian

diklaim sebagai ijmā‘ tersebut. al-Syāfi‟ī mengatakan dengan tegas bahwa hasil

yang pasti dari ijtihad adalah perbedaan pendapat bukannya konsensus atau

ijmā‘,dan klaim lawan-lawannya yang mengatakan bahwa mereka dapat mencapai

ijmā‘ melalui pemikiran yang orisinil hanyalah pretensi kosong belaka.33

Jadi, dari paparan di atas jelas sekali bahwa kedudukan hadis (yang dalam

konsep al-Syāfi‟ī identik dengan sunnah) menjadi semakin kuat dibanding dengan

“sunnah yang hidup” (sunnah yang berdasarkan penafsiran yang bebas dan

progresif). Kalau kita membuka paragraf-paragraf dalam al-Umm maka ditemukan

sejumlaah besar hadis terisolir yaitu hadis-hadis yang disampaikan secara verbal

hanya dengan melalui satu dua saluran saja yang digunakan untuk menentang ijmā‘

(dalam konsep mazhab awal).

Al-Syāfi‟ī menentang mereka dengan mengatakan bahwa dalam

kenyataannya, di luar kewajiban yang utama tidak ada ijmā‘. Bahwa ijmā‘ atau

32

Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 201. 33

Rahman, Islam, h. 77.

Page 74: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

61

praktik yang disepakti bersama yang dinisbatkan oleh aliran-aliran hukum itu kepada

otoritas-otoritas dan para ulama bukanlah konsensus yang sebenarnya, melainkan

persamaan pendapat yang kebetulan saja dan beberapa hal detail di antara mereka

masih terdapat pertentangan pendapat.34 Oleh karenanya hal itu tidak dapat

menggeser otoritas sunnah yang secara jelas di bawah oleh hadis.

Tidak diragukan bahwa perspektif itu dipengaruhi oleh asumsi al-Syāfi‟ī

bahwa sunnah dianggap sebagai jenis wahyu meskipun berbeda dari wahyu al-Kitāb.

Wahyu sunnah adalah pengilhaman kepada jiwa. Maksudnya, wahyu yang menurut

bahasa berarti inspirasi (ilham) bukan wahyu dalam pengertian istilah, yakni melalui

malaikat Jibril.35 Dalam hal ini al-Syāfi‟ī berhasil mengaitkan dua makna wahyu itu

melalui ta’wīl-nya terhadap kata al-ḥikmah yang banyak disebutkan dalam Alquran

mengiringi kata al-Kitāb. Al-Ḥikmah menurut al-Syāfi‟ī adalah sunnah Rasulullah.

Apabila al-ḥikmah adalah sunnah maka mentaati Rasul yang selalu disebut menyertai

ketaatan kepada Allah berarti mengikuti sunnah.36

2. Sunnah Bukan Wahyu Ekstra-Qurani

Perdebatan konsep Sunnah dalam kesarjanaan barat membawa Rahman pada

dua posisi. Pertama, dia menolak pandangan sarjana Barat seperti Goldziher dan

Schacht yang skeptis total terhadap eksistensi sunnah. Selain dua sarjana itu, dia juga

menolak skeptisisme dari Margoliouth, Lemmens, dan Hurgronje.

34

Al-Syāfi‟ī, al-Umm, h. 276. 35

Naṣr Ḥamīd Abū Zaid, Mafhūm al-Nāṣṣ: Dirasah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: al-Hai`ah

al-Misriyyah al-„Ammah li al-Kutub, t.th), h. 35-36. 36

Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 32.

Page 75: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

62

Sebagaimana pendapat Herbert Berg,37

Rahman digolongkan sebagai sarjana

yang berupaya menyelamatkan eksistensi sunnah dari pandangan sarjana Barat yang

skeptis. Kedua, Rahman juga mengafirmasi beberapa temuan Goldziher dan Schacht

yang menurutnya membantu dalam upaya menjelaskan historisitas sunnah.

Bentuk afirmasi Rahman di antaranya adalah penjelasan tentang living sunnah

dan pijakan dia dalam mengkritisi gerakan formalisasi hadis pasca-al-Syāfi‟ī pada

awal abad kedua sampai ketiga hijriah. Dari keikut-sertaan Rahman dalam diskursus

hadis dan sunnah dalam kesarjanaan Barat, dia menolak pendapat al-Syāfi‟ī yang

sebagaimana dijelaskan di atas menyebut bahwa sunnah merupakan wahyu dan

posisinya dalam keadaan tertentu bisa sejajar bahkan lebih tinggi dari Alquran.

Rahman berpendapat bahwa semasa hidupnya, Nabi bukan seorang pan-legis

(ahli hukum) untuk memutuskan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan

masyarakat. Dia menambahkan bahwa Nabi Muhammad melakukan tugas yang berat

dalam memperbaiki moral bangsa Arab, bukan memutuskan hukum suatu kasus yang

parsial. Karena umat Islam waktu itu melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa

berupa transaksi dan urusan lainnya berdasarkan akal pikiran dan adat istiadat

mereka. Permintaan kepada Nabi untuk memutuskan sebuah perkara terjadi hanya

dalam kasus tertentu saja. Tindakan formal Nabi juga hanya dalam urusan yang

berhubungan dengan urusan hajat hidup orang banyak.38

37

Herbert Berg mengelompokkan Sarjana Barat dan Muslim dalam kajian Kritik Hadis

kedalam empat Kelompok; 1) Early Wastern Scepticism; Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, 2) Reaction

About Scepticism; N. Abbott, Fuad Sezgin, M.M. Azam, 3) The Search Middle Ground; Juynboll,

Fazlur Rahman, Schoeler, Harald Motzki, dll., 4) Renew Scepticism; Michael Cook dan N. Cadler.

Lihat. Herbert Berg, The Development Of Exegesis in Early Islam (Richmound, London: Curzon Press,

2000), h. 6-50. 38

Rahman, Islamic Methodology, h.15-16.

Page 76: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

63

Pandangan Rahman yang menurut penulis original adalah pendapat dia

tentang sunnah Nabi bukan wahyu ekstra-Qurani,39

artinya sunnah Nabi tidak bisa

dijadikan patokan yang kaku dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan,

terutama didunia kontemporer. Nabi, menurut Rahman, memutuskan berbagai

perkara yang sumbernya berupa wahyu dalam Alquran dan sifat kasusnya

digolongkan kasus besar dan bersinggungan dengan nilai moral kehidupan

masyarakat banyak. Rahman memberi contoh bahwa Nabi dalam melakukan ritual

seperti salat sangat longgar, Nabi berkata “kalian salatlah sebagaimana kalian melihat

aku salat”. Dalam hadis populer itu, Nabi tidak menyebutkan secara rigid (kaku)

mengenai tata cara salat. Contoh lain, dalam memutuskan perkara yang tidak ada

dalam Alquran dan sunnah Nabi, Muāż bin Jabbāl diapresiasi oleh Nabi karena

berinisiatif untuk menggunakan ra’y (ijtihad).40

Penulis pada akhirnya harus mengakui bahwa pandangan Rahman mungkin

tidak populer dan kontroversial di kalangan umat Islam. Implikasi yang paling sulit

diterima dari pandangan Rahman tentang sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani adalah

39

Rahman, Islam, h. 77. 40

Saat Muaż bin Jabbāl diutus Nabi ke Yaman, Nabi bertanya "apa yang akan Kau lakukan

jika diajukan pertanyaan sebuah perkara untuk diputuskan?”, jawab Muaż, "Saya akan putuskan

perkara itu berdasarkan ketentuan dalam Alquran”, lalu Nabi bertanya lagi, "bagaimana jika Kau

tidak menemukan di dalam Alquran?", jawab Muaż, "Saya akan memutuskan sebuah perkara

berdasarkan sunnah Rasulullah". kemudian Nabi bertanya kembali, "bagaimana jika kau tidak

menemukan dalam sunnah Rasulullah?", Muaż menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pikiranku

(ajtahidu ra’yī), dan tidak akan aku biarkan perkara itu tanpa putusan apapun. Muad mengatakan, Nabi

kemudian menepuk dadaku dan bersabda, "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang memberikan

taufiq-Nya kepada Rasulullah dengan sesuatu hal yang melegakan Rasulullah. Lihat Aḥmad bin

Ḥanbāl, Musnad Aḥmad ibn Ḥanbāl, Vol V (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyyah, t.th), h. 235. Hadis

ini juga terdapat pada; Sunan Abī Dāud, Bāb al-Aqḍiyyah no. 3119, Sunan al-Dārimī, Bāb al-

Muqaddimah no. 168, Musnad al-Anṣār no. 21049, 21000, 21084 dan Sunan al-Baihaqī Bāb Qaḍā` no.

20126.

Page 77: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

64

tertolaknya hadis-hadis dalam kitab-kitab kanonik terutama yang membicarakan

masalah legal-formal dan yurisprudensi dalam Islam.

3. Relevansi dan Implikasi Kritik Fazlur Rahman Terhadap al-

Syāfi’ī dalam Kajian Hadis

Relevansi kajian Fazlur Rahman dalam studi hadis paling tidak memiliki dua

poin penting. Pertama, Rahman mendorong umat Islam untuk lebih kritis dalam

memahami sunnah, terutama yang beruhubungan dengan yusrisprudensi (hadis-

hadis fikih). Kedua, Rahman menekankan kontekstualisasi atas pemahaman

sunnah supaya tidak berbenturan antara realitas masyarakat kontemporer dengan

wahyu dalam Alquran, apalagi dengan hadis-hadis kanonik. Jadi, selama dua poin

tersebut dijadikan rambu-rambu dalam reinterpretasi sunnah dalam pandangan

Rahman, studi tersebut akan menemukan relevansinya dalam perkembangan

diskursus studi hadis.

Sementara itu, implikasi dari kajian Rahman adalah cenderung

mengabaikan wilayah formal dalam transmisi dan konten suatu hadis yang

dianggap sunnah. Rahman lebih menitik-beratkan pada esensi dari hadis tersebut.

Contohnya masalah hukum perang dan penaklukan sebuah wilayah. Nabi selalu

mengambil harta rampasan perang dari wilayah penaklukannya. Sedangkan pada

zaman Khalifah „Umar, dia tidak melakukan apa yang biasa Nabi lakukan,

alasannya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat pada zaman „Umar tidak

memungkinkan untuk dirampas hartanya. Ijtihād Sayyidinā „Umar ini

bertentangan dengan sunnah Nabi, tetapi berupaya mewujudkan cita-cita Nabi

untuk membentuk masyarakat yang beriman dan menjamin kesejahteraan. Apa

Page 78: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

65

yang dilakukan „Umar tersebut secara esensi tidak bertentangan dengan sunnah

Nabi karena sangat mempertimbangkan keadilan sosial pada masanya.41

Selain

contoh yang disebutkan di atas, Rahman juga menyinggung beberapa hal yang

berkaitan dengan hukum kriminal, seperti legislasi sosial, hukum kesaksian

(tentang perwalian) dan lain-lain.42

Maksud Rahman dengan menekankan esensi ajaran Islam adalah untuk

menunjukkan bahwa Islam merupakan nama dari kumpulan norma-norma dan

ideal-ideal tertentu yang harus direalisasikan secara progresif dan kreatif dalam

kehidupan masyarakat.43

41

Rahman, Islamic Methodology, h. 271-274. 42

Daud Damsyik, "Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman,"

Aladalah XI, no. 2 (Juli 2013): h. 235-238. 43

Rahman, Islamic Methodology, h.285-288.

Page 79: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa bab yang telah disajikan sebelumnya dan rumusan masalah

yang penulis ajukan, penelitian ini disimpulkan sebagai berikut: pertama, al-Syāfi’ī

telah memformalisasi sunnah menjadi hadis, yang awalnya bersifat informal dan

semi-formal, kedua, al-Syāfi’ī memberi status kewahyuan sunnah, bagi Rahman

sunnah bukanlah wahyu ekstra-Qurani, namun intra-Qurani.

Secara garis besar, penulis berkesimpulan bahwa menurut Rahman Sunnah,

sebagai berikut: pertama, bahwa sunnah kaum Muslim awal, secara konsesional dan

kurang lebih garis besarnya, berkaitan secara intim dengan sunnah Nabi dan

pandangan bahwa praktek kaum Muslim awal adalah hal yang terpisah dari sunnah

Nabi tidak dapat dipegang, karena argumentasinya lemah, kedua, bahwa meskipun

kandungan spesifik yang aktual dari sunnah kaum Muslim awal ini sebagian besar

adalah produk pemikiran kaum Muslim sendiri, ketiga, bahwa agensi kreatif dari

kandungan (sunnah kaum Muslim) ini adalah ijtihād personal yang mengkristal

menjadi ijmā’ berdasarkan petunjuk umum sunnah Nabi yang tidak dipandang

sebagai sesuatu hal yang spesifik dan, keempat, bahwa konsep sunnah atau sunnah

(kaum Muslim awal) identik dengan ijmā’.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa penelitian berupa skripsi ini jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun terutama

bagi kelanjutan penelitian ini.

Page 80: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

67

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011.

Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka, 1984.

Abū Zahrah, Muḥammad. al-Syāfi’ī: Ḥayātuhu wa ‘Aṣruhu wa Ādāuhu Wafiqhu.

Beirut: Dār al-Fikr, 1978.

Al-Aḍlābī, Salahuddin ibn Aḥmad. Metodologi Kritik Matan Hadis. Tangerang:

Gaya Media Pratama, 2004.

Al-Banā, Jamāl. Manifesto Fiqih 2: Redefinisi dan Reposisi Sunnah. Jakarta:

Erlangga, 1997.

_______, Jamāl. al-Jihād, terj. Kamran A. Irsyadi, judul: Revolusi Sosial Islam:

Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.

Al-Fakhrī, „Ādil bin „Abd Allāh bin Ja‟far. Fiqhu ‘Umar bin Khaṭṭāb fī al-

Mu’āmalāti wa al-Māliyati Muqārinan Bifiqhi Asyhūr al-Mujtahidīn.

Madinah: Umm al-Qurā University, 1420 H.

Ali, Syed Ameer, The Spririt of Islam: A History of the Evolution and Ideals

Islam, terj. H.B. Jassin, judul: Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam Dengan

Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Al-Gazālī, Muḥammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-

Ḥadīṡ. Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣrī, Dār Dār al-Kitāb al-Banānī, 2012.

Al-Khāṭib, Muḥammad „Ajāj. Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama,

2007.

________, Muḥammad „Ajāj. al-Sunnah Qabla Tadwīn. Kairo: Maktabah

Wahwah, 1988.

Al-Nawawi, Imam. Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

Al-Ṣalīh, Subḥi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

Al-Sibā‟ī, Muṣṭafā. al-Sunnah Wamakānatuhā fī al-Tasyrī’ al-Islāmī, Dār al-

Warrāq. t.t.

_______, Muṣṭafā. al-Sunnah Wamakānatuhā fī al-Tasyrī’ al-Islāmī, terj: Sunnah

dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan

Kaum Sunni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Al-Syāfi‟ī, Muḥammad bin Idrīs. Al-Umm. Al-Mansyūrah: Dār al-Wafā`, 2001.

________, Muḥammad bin Idrīs, Jimā’ al-‘Ilm, t.p., t.t..

Page 81: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

68

Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Pemikiran Hukum

Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1996.

____ , Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an. Jakarta: Pustaka Alvabet.

2005.

Amin, Kamarudin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Bandung:

Hikmah, 2009.

Arifuddin, Ahmad. Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail: Paradigma Baru

Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Insan Cemerlang, cet. Ke-1, t.t..

Armas, Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal: Dialog

Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani

Press, 2003.

Assa‟idi, Sa‟dullah. Pemahaman Tematik Al-Qur`an Menurut Fazlur Rahman.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012.

Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

„Aẓāmī, Muḥammad Muṣṭafā. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1994.

______, Muḥammad Muṣṭafā. Studies In Early Hadis Literature; Whit A Critical

Edition Of Some Earlu Text. Indianapolis: American Trust Publication,

1978.

Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung:

Mizan, 2000.

Bik, Muḥammad Ḥuḍarī. Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī, terj. oleh: Mohammad

Zuhri, judul: Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami: Sejarah Pembinaan

Hukum Islam. Semarang: Darul Ikhya, 1980.

Cook, Michael. Kontroversi Hadis, Percaturan dan Pertentangan Awal Islam.

Bandung: Marja, 2015.

Darmalaksana, Wahyudin. Hadis Dimata Orientalis: Pandangan atas Ignaz

Goldziher dan Joseph Schacht. Bandung: Benang Merah Press. 2004.

Hallaq, Wael B. Origins Evolution Islamic Law (Digital Version). Cambridge:

Cambridge University Press, 2005.

Page 82: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

69

_____, Wael B. An Introduction to Islamic Law, (Digital Version). Cambridge:

Cambridge University Press, 2009.

Ḥakīm, Muḥammad Ṭāhir. Al-Sunnah fī Muwajahah al-Bāṭil, terj. Sunnah dalam

Tantangan Perngingkarnya. Jakarta: FSI Granada, 1984.

Husain, Abu Lubabah. Pemikiran Hadis Mu’tazilah. Jakarta: Pustaka Firdaus,

2003.

Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.

Jakarta: Paramadina, 1996.

Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.

_____, Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-

Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal.

Jakarta: Bulan Bintang, 2009.

_____, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

_____, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1999.

Jakfar, Tarmizi M. Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-

Qaradhawi. Yogyakarta: Ar-ruz Media, cet. 1, 2011.

Jawas, Yazīd bin „Abd al-Qādir. Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at Islam.

Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2012.

Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.

Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.

Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Koya, P. K., ed. Ḥādith and Sunnah: Ideals and Realities. Kuala Lumpur: Islamic

Book Trust, 1996.

Masrur, Ali. Teori Common Link, G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan

Hadis Nabi. Yogyakarta: Lkis, 2013.

Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis, 2011.

Musa, Aisha Y. Hadīth as Scipture: Discussions on The Authority of Prophetic

Tradition in Islam. New York: Palgrave Macmillan, 2008.

Poespoprojo. Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.

Palmer, Richard E. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Page 83: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

70

Qarḍāwī, Yūsuf. Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar. Jakarta: Penerbit

Media Dakwah, 1994.

Qudsy, Saifuddin Zuhri dkk. Model-Model Penelitian Hadi Kontemporer.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013.

Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1997.

_______, Fazlur. Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983.

_______, Fazlur. Islam. Chicago: Unversity Of Chicago, 1979.

_______, Fazlur. Islamic Methodology In History. Delhi: Adam Publishers, 1994.

Rahmat, Jalaluddin. Dahulukan Akhlak di atas Fiqih. Bandung: Mizan, 2007.

Ricoeur, Paul. Teori Interpretasi. Yogyakarta: Ircisod, 2014.

Rodliyana, Muhammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadits Dari

Klasik Hingga Sampai Modern. Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.

Roibin. Sosiologi Hukum Islam, Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i.

Malang: UIN Malang Press, 2008.

Said, Edward W. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dab Mendudukkan

Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Saifuddin. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas

Aliran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. Departemen Agama RI: 1985.

______, Joseph. The Origins Of Muhammadan Jurisprudence. Oxford London:

The Clarenden Press, 1967.

Syaḥrūr, Muḥammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: Elsaq,

2004.

______, Muḥammad. Islam dan Iman. Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002.

______, Muḥammad. Al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah.

Beirut: Dār al-Sāqī, 2012.

______, Muḥammad. al-Kitāb wa al-Qur`ān: Qirā`ah al-Mu’āṣirah. Damaskus:

Al-Ahlī, t.t.

Soebahar, H.M. Erfan. Menguak Fakta Keabsahan Sunnah: Kritik Mushthafa al-

Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-

Islam. Jakarta: Kencana, 2003.

Page 84: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

71

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed

Methods). Bandung: CV. Alfabeta, 2013.

Sulaiman, M. Noor. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.

Turner, Bryan S. Orientalisme, Posmodernisme dan Globalisme. Jakarta: Riora

Cipta, 2002.

Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014.

Wizan, Adnan M. Akar Gerakan Orientalisme: Dari Perang Fisik Menuju Perang

Fikir. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.

Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.

Dutton, Yasin, Asal Mula Hukum Islam: Al-Qur'an, Muwatta` dan Praktik

Madinah. Bandung: Islamika, 2003.

Zaid, Nasr Hamid Abu. Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaam

dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Jakarta: ICIP,

2004.

_______, Nasr Hamid Abu. Teks Otoritas Kebenaran. Yogyakarta: Lkis, 2012.

_______, Nasr Hamid Abu. Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisme, Arabisme.

Yogyakarta: Lkis, 2001.

_______, Nasr Hamid Abu. Reformation Islamic Thought: A Critical Histroical

Analysis, (Digital Version). Amsterdam: Amsterdam University Press,

2006.

Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta:

LESFI, 2003.

JURNAL

Abdul Karim. “Pola Imam Syafi‟i dalam Menetapkan Hukum Islam.” Jurnal

Adabiyah VIII, no. 2(2013), h. 187-193.

Ahmad Isnaeni. “Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami.” Journal of

Qur’ān and Hādīth Studies III, no. 1 (2014), h. 119-139.

Ahmad Isnaeni, Pemikiran Goldziher Dan Azami Tentang Penulisan Hadis,

Volume 6, Nomor 2, Desember 2012, h. 363-390.

Page 85: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

72

Alamsyah. “Dinamika Otoritas Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam.”

Jurnal Al-‘Adalah 12, no. 3 (Juni 2015), h. 479-492.

Arif Chasanul Muna. “Perkembangan Studi Hadis Kontemporer.” Jurnal Religia

14, no. 2 (Oktober 2011), h. 231-252.

Bawaihi. “Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir Alquran.” Jurnal

Media Akademika 28, no. 1 (Januari 2013), h. 135-149.

Benny Afwadzi. “Hadis Di Mata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking

Karya Daniel Brown).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 15,

no. 2 (Juli 2014), h. 227-242.

Daud Damsyik. “Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur

Rahman.” Al-‘Adalah XI, no. 2 (Juli 2013), h. 223-240.

Dzikri Nirwana. “Diskursus Studi Hadis Dalam Wacana Islam Kontemporer.”

Jurnal Al-Banjari 13, no. 2, (Juli-Desember 2014), h. 178-203.

Haerul Anwar. “Teologi Islam Perspektif Fazlur Rahman.” Jurnal Ilmu

Ushuluddin 2, no. 2 (Juli 2014), h. 125-142.

Hujair A.H. Sanaky. “Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah Dan

Hadis (Kajian Buku Islamic Methodology in History).” Jurnal Al-

Mawarid XVI (2006), h. 256-269.

Maizuddin M. Nur. “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah Di Era

Modern.” Jurnal Substantia 14, no. 2 (Oktober 2012), h. 146-161.

Misbahuddin. “Sunnah Dalam Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual Pakar

Hadis Dan Pakar Fiqih (Studi Kritis Atas Pemikiran Muhammad Al-

Gazaly).” Jurnal Farabi 11, no. 1 (Juni 2014), h. 1-19.

MH. Mukti. “Al-Syafi‟i Sebagai Bapak Ushul Fiqh.” Jurnal Ibda` 2, no. 1,

(Januari-Juni 2004), h. 66-84.

Aisha Y. Musa. “Al-Shāfi'ī, the Ḥadīth, and the Concept of the Duality of

Revelation.” Islamic Studies 46, nNo. 2 (2007), h. 163-197.

Nasrulloh. “Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas

Pemahaman Hadits.” Ulul Albab 15, no. 1 (2014), h. 15-28.

Nur Mahmudah. “Sunnah Dalam Nalar Islam Kontemporer Naṣr Ḥāmid Abū

Zayd.” Jurnal Islamica 6, no. 2, (Maret 2012), h. 285-299.

N. Kholis Hauqola. “Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks.”

Jurnal Teologia 24, no. 1, (Januari-Juni 2013), h. 1-20.

Page 86: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

73

Rifqi Muhammad Fatkhi. “Dominasi Paradigma Fikih Dalam Periwayatan Dan

Kodifikasi Hadis.” Jurnal Ahkam XII, no. 2 (Juli 2012), h. 99-107.

Saifuddin Mujtaba, Membuka Pintu Ijtihad (Study Pemikiran Fazlur Rahman),

Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1 Maret 2010.

Syahih HM. “Sejarah Evolusi Sunnah, Studi Pemikiran Fazlur Rahman.” Jurnal

Al-Tahrir 11, no. 1 (Mei 2011), h. 173-198.

Tasbih. “Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadis.” Jurnal Al-

Ulum 11, no. 1 (Juni 2011), h. 151-172.

Umma Farida. “Studi Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Sunnah Dan Hadis.”

Jurnal Addin V, no. 2 (Agustus 2013), h. 223-248.

Usman. “Al-Sunnah Dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Al-

Syafi‟i.” Hermeneia dalam Jurnal Kajian Islam Interdisipliner 2, no. 1

(Januari-Juni 2003), h. 285-299.

Vita Fitria. “Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur Rahman

dan Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam).” Asy-Syir‟ah dalam

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 45, no. 2 (Juli-Desember 2011), h. 1335-

1356.

Zailani. “Rekontruksi Tradisi Islam (Studi Pemikiran Muhammed Arkoun tentang

Sunnah).” Jurnal Ushuluddin 17 no. 2 (Juli 2012), h. 198-207.

SKRIPSI, TESIS DAN DISERTASI

Antoro, Henri. “Pengaruh Neomodernisme Islam Fazlur Rahman Terhadap

Wacana Pemikiran Hukum Islam di Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas

Syari'ah Institut Agama Islam Negeri Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-

Hukmiyah Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.

Azizah , Luluk. “Peran Imam Syafi'i Di Bidang Hadis.” Tesis S2 Sekolah

Pacasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Efendi, Mulyadi. “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam NU: Telaah Terhadap

Implikasi Pandang Al-Syafi'i Tentang Ijtihad.” Tesis S2 Sekolah

Pacasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.

Susilawati A. “Otoritas Hadits Dalam Konteks Modern: Kajian Pemikiran Fazlur

Rahman.” Tesis S2 Sekolah Pacasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2010.

Page 87: KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī

74

Ahfas, Moh. “Pemikiran Imam Syafi‟i Tentang Kehujjahan Hadis Dalam Kitab

Ar-Risalah (Studi Analisis).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Institut

Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012.

Maloush, Talal. “Early Hadith Literature And The Theory Of Ignaz Goldziher.”

Thesis Presented For The Degree Of Doctor Of Philosophy In The

Department Of Islamic And Middle Eastern Studies Faculty Of Arts,

University Of Edinburgh, August 2000.