makalah pmdi fazlur rahman

38
MEMBUKA PINTU IJTIHAD “Fazlur Rahman” Mata Kuliah : Pemikiran Modern Dalam Islam Dosen Pengampu : Drs. Abdul Malik Usman DISUSUN OLEH: KELAS PAI B Anis Kurniawati 0941009 Ridwan Sularjo 09410096 Tyas Akbar Gumilar 09410097 Barid Muntaha 094101

Upload: estu-rahmat-ikhtiar

Post on 27-Jun-2015

1.279 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah PMDI Fazlur Rahman

MEMBUKA PINTU IJTIHAD

“Fazlur Rahman”

Mata Kuliah : Pemikiran Modern Dalam Islam

Dosen Pengampu : Drs. Abdul Malik Usman

DISUSUN OLEH:

KELAS PAI B

Anis Kurniawati 0941009

Ridwan Sularjo 09410096

Tyas Akbar Gumilar 09410097

Barid Muntaha 094101

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan

Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta

2010

Page 2: Makalah PMDI Fazlur Rahman

BAB I

PENDAHULUAN

Pada mulanya, Fazlur Rahman, seorang intelektual neo-modernis,

merasakan kegelisahan akademik, yang juga dirasakan oleh banyak kalangan

Muslim, yaitu tertutupnya rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah

stagnasi intelektual yang luar biasa di kalangan umat Islam. Rahman merasakan

situasi ini sangat tidak kondusif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama

alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis. Penutupan

pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid,

suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa

terhadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan.

Tertutupnya pintu ijtihad telah mematikan kreatifitas intelektual umat yang

pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam

menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk tampil memberi

jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang modernitas.

Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap

taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa

terhadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Dalam

memberlakukan sumber ajaran Islam al-Qur’an dan Sunnah nabi umat Islam

mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan historis,

literalistis dan atomistis.

Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para pembaharu Muslim

untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang

kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi sebagaimana disaksikan oleh Fazlur

Rahman -, mereka dalam melakukan pembaharuan umumnya metode yang

digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang

terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq.

Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi tanpa

mempertimbangkan latar kesejarahannya kemudian menyusunnya ke dalam

sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah

2

Page 3: Makalah PMDI Fazlur Rahman

permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat-tanpa

mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi-jelas merupakan pembaharuan

yang tidak realistis.

Dalam iklim pembaharuan yang lesu semacam ini munculah Fazlur

Rahman dengan menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan

komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-

sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam

kajian hadis dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin

segar terhadap arah pembaharuan ajaran Islam yang lebih paradigmatis.

BAB II

POTRET SEORANG INTELIKTUAL NEOMODERNIS

1. Latar Belakang sosial dan Intelektual

Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan.

Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih

yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak

benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni

India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal  dengan para pemikir islam

liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal.

Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan

formal, Rahman juga menimba banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang

kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua

Indo-Pakistan. Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam keluarga muslim

yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa

membaca Al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu

syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional pada

umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang

modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia

apresiatif terhadap pendidikan modern.  Karena itu, keluarga Rahman selain

kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi

kelanjutan karier pendidikannya.

3

Page 4: Makalah PMDI Fazlur Rahman

Selain itu, latar sosial anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan

sejumlah pemikir Islam liberal, seperti disinggung di  atas, juga merupakan

benih-benih dari mana pikiran liberal Rahman  dan skeptisisme Rahman

tumbuh. Misalnya, Rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran

pendahulunya. Bahkan dalam pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan

nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan

dari pemikiran pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad Iqbal

Dengan demikian, argumen saya tentang kemapanan karakter wahyu Al-

Qur’an terdiri dari dua bagian. Dalam bagian Pertama, saya telah menyetujui

dan tidak berbuat lebih lagi terhadap pernyataan-pernyataan syah wali Allah

dan Muhammad Iqbal yang menerangkan proses psikologis wahyu.

2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman

Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi

bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada

tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan

menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan

pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktornya

ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun

1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat,

sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin,

Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu. Ia mengajar

beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai

Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University,

Kanada.

Sekembalinya ke tanah air, Pakistan,  pada Agustus 1962, ia diangkat

sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga

diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah

Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan

islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab

kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan

4

Page 5: Makalah PMDI Fazlur Rahman

Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah

maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-

Qur’an dan Sunnah”.  Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat,

karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan

bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.

Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens

dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-

tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang

merepresentasikan kaum modernis,  selalu mendapatkan serangan dari

kalangan ulama tradisionalis dan  fundamentalis  di Pakistan.  Ide-idenya di

seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu

Al-Qur’an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara

mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi  berskala

nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman dalam karya

magnum opusnya, Islam, bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah

kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya adalah perkataan

Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih

setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum

fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran.

Puncak kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang

menyatakan protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun

mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam

pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi

Islam juga dilepaskannya pada 1969.

Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat

sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada

Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of

Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan

lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.

5

Page 6: Makalah PMDI Fazlur Rahman

BAB III

PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

A. Perkembangan Pemikiran dan Karya-karyanya

Dari selintas perjalanan hidup Fazlur Rahman di atas, Taufik Adnan Amal

membagi   perkembangan   pemikirannya  ke  dalam   tiga   babakan   utama, 

yang di dasarkan pada perbedaan  karakteristik karya-karyanya: (I) periode awal

(dekade 50-an); periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade

70-an dan seterusnya).

Ada tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode awal: Avicenna’s

Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959); dan Prophecy in Islam:

Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan dan

suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas

perbedaan doktrin kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang

dianut oleh  ortodoksi. Untuk melacak pandangan filosof, Rahman mengambil

sampel dua filosof ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Secara

berturut-turut, dikemukakan pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu

kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau imaninatif,

doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syariah. Untuk mewakili pandangan

ortodoksi, Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani,

Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah kesepekatan aliran ortodoks

dalam menolak  pendekatan intelektualis-murni para filosof terhadap fenomena

kenabian. Memang, Kalangan mutakallimun tidak begitu keberatan menerima

kesempurnaan intelektual nabi. Tapi mereka lebih menekankan nilai-nilai syariah

ketimbang intelektual.

Rahman sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan mendasar

antara posisi filosofis dan ortodoksi. Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat

penekanan saja. Menurut para filosof, nabi menerima wahyu dengan

mengidentifikasikan dirinya dengan Intelek Aktif; sementara menurut ortodoksi

nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat.

Sementara para filosof lebih menekankan kapasitas alami nabi sehingga menjadi

6

Page 7: Makalah PMDI Fazlur Rahman

“nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup karakter ilahiah dari mukjziat

wahyu ini. Kelak, pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap pandangan

Rahman tentang proses “psikologis” nabi menerima wahyu. Seperti halnya teori

para filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori bahwa Nabi

mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.

Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul: Islamic

Methodology in History (1965). Penyusunan buku ini bertujuan untuk

memperlihatkan: (I) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber

pokok) pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan  (ii) peran

aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku

kedua yang ditulis Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang

menyuguhkan—meminjam istilah Amin Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap

perkembangan Islam selama empat belas abad. Buku ini boleh dibilang sebagai

advanced introduction tentang Islam.

Pada periode Chicago, Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra

(1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and

Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982).

Kalau karya-karya Rahman pada periode pertama boleh dikata bersifat

kajian historis, pada periode kedua bersifat hitoris sekaligus interpretatif

(normatif), maka karya-karya pada periode ketiga ini lebih bersifat normatif

murni. Pada periode awal dan kedua, Rahman belum secara terang-terangan

mengaku terlibat langsung dalam arus pembaruan pemikiran Islam. Baru pada

periode ketiga Rahman mengakui dirinya, setelah mebagi babakan pembaruan

dalam dunia Islam, sebagai juru bicara neomodernis.

B. Al-Qur’an dalam Pandangan Rahman

Al-Qur’an, menurut Rahman, baru dikaji dalam serpihan-serpihan, tidak

secara utuh. Sedang metode yang ditawarkan oleh Rahman dengan

noemodernismenya mampu mengkaji dan menggali nilai-nilai yang terkandung

dalam al-Qur’an secara holistic atau menyeluruh, sehingga roh dan kandungan isi

7

Page 8: Makalah PMDI Fazlur Rahman

al-Qur’an yang tersirat maupun yang tersurat dapat di tangkap sepanjang zaman.

Neomodernismenya selain menyaratkan kemodernan pemahaman Islam juga di

tambah kemampuan menggunakan metodologi sistematik tentang Al-Qur’an.

Inilah yang hendak di tawarkannya dalam kerangka alternative mendorong

pemikiran posmodernisme.

Pemikiran ini jelas berbeda dengan pemikiran modernism yang lebih

banyak mengadopsi pemikiran-pemikirna Barat dalam perspektif Islam dan tak

menawarkan altrnatif dalam merumuskan pengkajian al-Qur’an.

Al-Qur’an dan Sunnah merupakan pesan-pesan yang mencakup seluruh

aspek kehidupan atau universal, namun pesan tersebut tak mudah di tangkap

karena kehilangan cara memahami perspektif yang bersifat historis dengan

mempunyai dimensi global. Dimensi Islam sejarah dan dimensi Islam cita-cita

Inilah esensi moral dari al-Qur’an yang harus di selami terlebih dahulu

sebelum menentukan dengan tegas menetapkan kekutan hukum atas suatu

persoalan, sehingga dengan begitu seseorang mampu menangkap secarah utuh

nilai-nilai yang terkandung dari al-Qur’an itu sendiri.

Muatan al-Qur’an, lanjutnya, memiliki muatan yang lengkap yang bernilai

spesifik dan menjawab persoalan sosio-kultural sesuai asbabun nuzul nya, serta

menjangkau dimensi futuristic ke depan. Sebagai contoh, Rahman menunjukkan

persoalan perbudakan dalam Islam yang sekarang sudah tak berlaku lagi. Dahulu

Islam sempat tolerir terhadap perbudakan, namun secara bertahap perbudakan itu

di larang dengan keras dan bahkan di hapuskan dari kultur masyarakat Jahiliah,

dan Islam menjadi sandaran pembersihan masalah itu dengan mengaitkan kepada

penyelesaian hukum untuk menghilangkan perbudakan secara perlahan tapi pasti.

Untuk menangkap isyarat moral sebelum jatuh keputusan dan ketetapan

hukum atas persoalan tertentu, itulah yang di perlukan dalam melacak akar-akar

dari pesan al-Qur’an. Rahman memiliki pandangan bahwa al-Qur’an sebagai

kewahyuan dan Kalam Allah , tetapi sejauh ia turun ke hati Muhammad kemudian

8

Page 9: Makalah PMDI Fazlur Rahman

di ucapkan lewat lidahnya , ia seluruhnya adalah perkataan nya. Penegasan

tersebut berdasarkan al-Qur’an QS. Al Syu’ara’ : 193-194

193. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),

194. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di

antara orang-orang yang memberi peringatan,

Al-Qur’an di yakini sebagai sumber utama ajaran Islam. Berbagai

kesatuan hukum yang di undangkan Al-Qur’an mempunyai kaitan erat dengan

dinamika kehidupan masyarkat masa pewahyuannya. Jauh sebelum Rahman

memberi kesimpulan pemikirannya, al-Jabiri telah mengemukakan pemikirannya

bahwa bukti atas hal ini ada 3 (tiga) pilar penopang ketentuan hukum syar’i yaitu

sebab al-Nuzul, Naskh, dan Maqashid1.

1. Al-Nuzul

Bukti pertama ini menunjukkan bahwa pewahyuan al-Qur’an dan

pengundangan hukum syar’I tidak lepas dari hal-hal yang

melatarbelakanginya , baik dalam lingkungan mikro maupun lingkungan

makro. Hal yang melatar belekangi inilah yang di sebut sebagai sebab al-

Nuzul. Artinya, al-Qur’an merupakan wujud responsive Tuhan terhadap

peristiwa problematika actual manusia, fenomena historis

dan misi transformative di pewahyuannya

2. Naskh

Pada pilar kedua ini menandaskan bahwa al-Qur’an dalam penetapan

hukumnya mengenal pentahapan,’Periodesasi’ seiring kesiapan subjek

yang terkena hukum dan demi efektifitas hukum itu sendiri . Naskh adalah

bentuk pilihan hukum dan ‘evolusi ‘ hukum sebagai bukti betapa

akomodatifnya proses pengundangan hukum terhadap kondisi riil

masyarakat yang di hadapi.

1 Arif, Mahmud.dkk. Al-Qur’an dan Pembelajarannya. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan

Kalijaga. 2006, .hal.3

9

Page 10: Makalah PMDI Fazlur Rahman

3. Maqashid

Menegaskan bahwa pelbagai hukum yang di undang memiliki tujuan

untuk menjaga kemaslahatan kehidupan manusia. Rumusan tentang

maqashid seperti di kemukakan oleh ulama fikih , bisa meliputi,

memelihara agama, jiwa, akal , keturunan, harta benda, dan kehormatan

diri.

Oleh karena itu, ketika hendak menentukan suatu hukum kita perlu

memperhatikan teks, konteks dan kontekstualisasi pada masa kini serta

memperhatikan kondisi sosiologi dan antropologi masyarakat pada saat

pewahyuan itu turun. Sehingga pesan al-Qur’an sebagai penjaga kemasalahatan

kehidupan dapat terus berjalan dan sejalan dengan perkembangan manusia. Al-

Qur’an tidak sekedar kitab suci yang di sakralkan oleh umat muslim, lebih jauh

dari itu, al-Qur;an merupakan tuntunan hidup dalam mengarungi samudra

kehidupan yang berlaku bagi semua kalangan, etnik, bangsa dan agama. Sehingga

al-Qur’an yang menyebut dirinya sebagai rahmatan lil ‘alamin akan benar-benar

terbukti dan dapat di laksanakan. Namun sekarang yang terlihat berbeda dengan

teori yang di ungkapkan. Al-Qur’an oleh umat muslim di jadikan sacral

seutuhnya, yang hanya boleh di bedah oleh kalangan tertentu, dan mempersempit

jalan untuk mendalaminya. Sehingga kandungan yang terkandung dalam al-

Qur’an belum dapat di kaji secara tuntas dan menyeluruh.

C. Membuka Pintu Ijtihad

Memang tidak ada yang menyatakan pintu ijtihad di tutup secara formal,

namun secara perlahan dan sadar atau tidak sadar pintu ijtihad mulai tertutup oleh

ulah dari masyarakt di zaman pertengahan yang cenderung taklid terhadap tokoh

yang melakukan ijtihad, seperti al-Ghazali. Tidak salah memang jika mereka

orang awam taklid terhadap ketetapan hukum yang mereka belum mampu untuk

memikirkannya, namun yang salah adalah ketika mereka tak mau berpikir dan

cenderung menyerahkan semuanya kepada sang tokoh yang di taklidkan. Tokoh

itu adalah manusia, dan ia memikirkan hukum yang terjadi serta problematika

10

Page 11: Makalah PMDI Fazlur Rahman

pada masanya, sedang manusia yang lebih muda akan menghadapi masa yang

berbeda. Perkembangan demi perkembangan akan terus berjalan, sehingga

pemikiran kembali terhadap pemikiran-pemikiran klasik pendahulunya perlu dan

harus di perbaharui ketika tak sesuai lagi dengan perkembangan zamannya.

Sehingga islam akan terus maju dan tak stagnan.

Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip

dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic

Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-

upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah

mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali

penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.

Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan

organis antara sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman,

sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen

qiyas, terhadap sunnah ideal nabi SAW  yang kemudian menjelma menjadi ijma’ 

atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang

membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup

kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada

asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang  secara demokratis, kreatif dan

berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan

hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’I untuk

menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’

terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya

berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat

kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini

adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh

masehi.

Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak

doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq,

ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab.  Rahman mendobrak doktrin ini dengan

11

Page 12: Makalah PMDI Fazlur Rahman

beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise

eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak

kualifikasi  ganjil mengenai  ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga

(3), memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan

Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan

tidak pernah tertutup.  Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial

kebebasan ijtihad yang telah dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya

terhadap konsep ijtihad—menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad

yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad

yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan berjangka

panjang.  Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-wenang dan merealisasikan

ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan metodologi tafsirnya,

yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dan dalam konteks  inilah

metodologi tafsir Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for

understanding the Qur’an” atau “ the correct methode of Interpreteting The

Qur’an” memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya.

Metodologi tafsir Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain

didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang

lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan

syariah harus diperiksa dibawah sinaran bukti Al-Qur’an:

Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam

sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani

harus dilakukan.

 Akan tetapi,  justru persoalannya terletak pada kemampuan kaum muslim

untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman menegaskan:

bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan

pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah  yang akan

memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara

sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada

12

Page 13: Makalah PMDI Fazlur Rahman

generasi muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-

Qur’an dan sunnah.

Tujuan umat Islam adalah memodernisasikan ilmu-ilmu Islam yang lama dan

mengislamkan sejumlah bidang kajian. Dan ini akan terjadi jika umat Islam

secara efektif melaksanakan tugas-tugas intelektual untuk menjabarkan metafisika

Islam atas dasar Al-Qur’an dan mengkaji ulang kitab-kitab klasik dan melakukan

pemikiran ulang (rethinking) terhadap warisan klasik yang sudah tidak relevan

dan memakai yang masih sesuai dengan kondisi umat kontemporer saat ini.

Untuk menanamkan watak Islam dalam diri para pelajar yang masih muda

kemungkinan besar tidak akan berhasil jika bidang-bidang ilmu pengetahuan pada

taraf yang lebih tinggi tetap di biarkan sepenuhnnya sekular, yaitu tanpa tujuan

yang kaitannya berefek bagi masa depan umat manusia. Ilmu pengetahuan harus

di ketahui maksud dan tujuannya. Mengapa dan untuk apa dipelajari sebuah ilmu.

Dan pemaknaan itu terkandung dalam al-Qur’an. Yang di dalamnya tidak hanya

di khususkan bagi sebagian orang atau umat muslim saja, melainkan untuk

kesejahteraan seluruh umat manusia dengan berbagai etnik, budaya, kebangsaan

dan agamanya. Jadi pada pokoknya seluruh masalah memodernisasi pendidikan

Islam, yakni membuatnya mampu untuk memproduktivitas intelektual bersama-

sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam, yang pada umumnya telah

berhasil di tanamkan oleh sisitem pendidikan Madrasah, adalah masalah perluasan

wawasan intelektual Muslim dengan cara menaikkan standar-standar

intelektualnya. Karena perluasan adalah fungsi dari penaikkan kepada ketinggian.

Dan sebaliknya, semakin anda turun maka semakin sempit pula ruang yang

terliput oleh wawasan anda yang sempit. Karena sesungguhnya semakin banyak

ilmu yang dimiliki atau di kuasai oleh seorang Muslim maka semakin mantap dan

kokoh imannya, serta semakin komitmennya ia terhadap Islam. Namun ingat,

suatu ilmu yang tidak bisa meluaskan pengetahuannya atau wawasannya maka

ilmu itu adalah ilmu yang setengah matang dan berbahaya. Bagaimana orang

13

Page 14: Makalah PMDI Fazlur Rahman

dapat memperoleh pengetahuan tentang tujuan-tujuan akhir kehidupan yakni,

nilai-nilai yang lebih tinggi, tanpa mengetahui realitas yang actual.

Kelemahan kemunduran Islam adalah karena sikapnya yang lebih cenderung

dualism terhadap ilmu pengetahuan. Sehingga Islam terpuruk dalam sikap yang

cenderung Ta’asul mazhab atau fanatic terhadap suatu mazhab dan taklid terhadap

seorang tokoh, sehingga tidak mau berpikir dan cenderung lebih memilih untuk

mengikuti tanpa mengerti. Umat islam pada abad pertengahan akhir adalah

demikian negative sehingga ketika ada orang yang menyandingkan al-Qur’an

dengan ilmu pengetahuan, mereka pasti benar-benar kaget. Ilmu yang tinggi dan

iman -menurut kalangan ini- bersifat disfungsional satu terhadap yang lain dan

peningkatan yang satu berarti kemunduran bagi sabagian yang lain. Dengan

demikian, ilmu pengetahuan tampak sebagai betul-betul sekular, seperti pada

dasarnya semua pengetahuan positive yang “modern”-sungguh, bahkan ilmu –

ilmu agama modern adalah sekular, atau kalaupun tidak, dipandang sebagai secara

positive merugikan iman.Ada ketakutan terhadap filsafat dan intelektualismenya

sehingga ilmu dan agama di anggap akan saling menjatuhkan dan tidak dapat di

satukan. Padahal, jika mampu kita renungi, bahwasanya ilmu pengetahuan

merupakan salah satu sarana atau upaya untuk membuktikan wahyu. Dengan ilmu

pengetahuan manusia menjadi tahu dan mengerti tujuan dan makna dari turunnya

wahyu. Namun pada abad pertengahan itu di haramkan dan terkesan dikotomik

terhadap ilmu pengetahuan dan menolak metode-metode dalam penafsiran barat

yang sesungguhnya adalah sarana utama dalam metodologi penafsiran. Seperti

Hermeneutik yang di anggap tidak mungkin bisa membedah kandungan al-Qur’an

secara tuntas. Perbedaan al-Qur’an dan ilmu ilmiah yang di upayakan umat

Muslim pada abad pertengahan akhir tampak menyolok sekali dan nyata. Namun

selama seratus tahun terakhir, umat muslim memperlihatkan kesadaran yang

tinggi terhadap perlunya upaya memperbarui pendidikan Islam yang tradisional

dan mengintegrasikan ilmu pengetahuan yang lama dengan yang modern.

D. Gerakan Pemikiran Islam

14

Page 15: Makalah PMDI Fazlur Rahman

Fazlur Rahman membagi fase-fase gerakan pamikiran islam menjadi empat

gerakan, di antaranya :

1. Gerakan Revivalis Pra modernis

Gerakan ini muncul pada abad ke 18 dan ke-19. Sebagai contoh gerakan

ini adalah Wahabi (di Arab Saudi), Syah Wali Allah (India), Sanusiyah

(Afrika), Padri di Sumatra Barat (Indonesia). Ciri utama gerakan ini ialah

ingin mengembalikan Islam kepada Islam yang orisinil dan

mengenyahkan takhayul yang di tanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme.

Merekonstruksi spiritualitas dan moralitas serta kondisi sosial umat Islam.

Meninggalkan gagasan tentang kemapaman dan finalitas mazhab-mazhab

hukum serta berusaha melakukan ijtihad. Himbauan untuk mengenyahkan

corak Predeterministis atau doktrin yang menyatakan bahwa nasib

manusia sudah di takdirkan oleh Tuhan dan tidak mungkin untuk di ubah.

2. Gerakan Modernis Klasik

Gerakan ini muncul pada abad ke-19 dan ke-20 di bawah pengaruh ide-

ide dari barat. Tokoh gerakan ini antara lain Sir Ahmmad Khan, Al-

Afghani dan Muhammad Abduh, yang kesemuanya konsen terhadap

upaya ijtihad dalam memodernisasi islam dan membahas mengenani

hubungan antar akal dan wahyu , Pembaharuan sosial dan pendidikan

serta politik. Hakikat penafsiran Islam dari gerakan ini di dasarkan pada

al-Qur’an dan Sunnah Historis, yakni biografi nabi. Mereka umumnya

skeptic atau sangsi terhadap hadist.

3. Gerakan Neo Revivalis / Neo Fundamentalis

Gerakan ini mendasari pemikirannya pada basis pemikiran modernism

klasik. Gerakan ini beranggapan bahwa islam mencakup segala hal dan

semua aspek kehidupan manusia baik individual maupun kolektive.

Tokoh dari gerakan ini antara lain adalah Abul A’la Maulan Maududi,

Imam Khoraini dan Muhammad Natsir.

4. Gerakan Neo Modernis

15

Page 16: Makalah PMDI Fazlur Rahman

Neo Modernis mendasari pemikirannya terhadap Pengembangan suatu

metodologi sistematis yang mampu melakukan rekonstruksi Islam secara

total dan tuntas serta setia kepada akar-akar spiritualnya dan dapat

menjawab kebutuhan – kebutuhan Islam Modern tanpa mengalah secara

membabi buta kepada Barat atau menafikannya. Gerakan ini mampu

bersikap kritis terhadap warisan –warisan sejarah keagamaannya.

Metodologi sistematis yang mampu melakukan penafsiran kembali Islam

secara menyeluruh dan selaras dengan kebutuhan Kontemorer.

E. Model Penafsiran Fazlur Rahman

Situasi Histori

Berikut adalah ringkasan penjelsaan dari metodologi penafsiran al-Qur’an

sistematis yang di tawarkan Rahman yang akan menjelaskan bagan di atas.

16

Respon al-Qur’an

Generalisasi hal – hal Khusus

Menentukan Tujuan Moral-Sosial Al-Qur’an

Situasi Masa KiniSituasi Masa Kini Nilai-nilai Al-Qur’anNilai-nilai Al-Qur’an

Masyarakat IslamiMasyarakat Islami

Page 17: Makalah PMDI Fazlur Rahman

1. Melacak akar pemahaman kandungan al-Qur’an dengan memiliki

gerakan ganda (double movement) dari situasi kekinian dari masa al-

Qur’an, kemudian balik lagi kemasa kini. Orang mesti memahami

makna suatu pernyataan tertentu dan melatih situasi sejarah atau

persoalan yang kemudian di beri jawaban oleh al-Qur’an. Langkah ini

menurut Rahman,menuntut pemahaman yang utuh tentang makna al-

Qur’an, selain memahami terma-terma spesifik yang merupakan

jawaban terhadap situasi-situasi spesifik.

2. Menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik yang di dalamnya

memberikan muatan pernyataan tujuan-tujuan moral-sosial secara

umum.

3. Disariing dari teks-teks spesifik dengan mempertahankan latar

belakang sosio-kultural. Gerakan kedua dari masa al-Qur’an ke masa

kini mengandung makana prinsip-prinsip umumnya di ambilkan yang

spesifik yang di dalamnya memberikan muatan pernyataan tujuan-

tujuan moral sosial yang umum dan kemudian dapat di saring dari

teks-teks spesifik dengan mempertahakan latar belakang sosio-

kultural.

4. Geraka kedua-dari masa al-Qur’an ke masa kini-mengandung makna

bahwa prinsip-prinsip umumnya di ambilkan yang spesifik dab di

rumuskan sesuai situasi yang di realisasikan sekarang. Untuk melacak

hal demikian, akan membuat nilai dan muatan perintah-perintah al-

Qur’an itu menjadi efektif dan hidup

5. Kerja merupakan aktivitas intelektual yang secara teknis disebut

menjadi sumbu penggerak kewahyuan yang terus menerus menyertai

umat Islam, dan sekaligus di sinilah komunikasi Tuhan dengan umat

Islam akan hidup dan otomatis al-Qur’an di perlukan sepanjang

zaman2.

2 Taufik, Ahmad. Huda, M. Dimyati. Munah, Binti. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme

Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2005. Hal. 191-192

17

Page 18: Makalah PMDI Fazlur Rahman

Cukup menarik jika kita mengkaji metode tafsir Fazlur Rahman. Metode yang

sebenarnya sudah lama di gunakan hanya saja tidak di perkenalkan. Dan baru di

perkenalkan oleh orang-orang barat dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik

pada dasarnya dipakai pula oleh para intelektual-intelektual arab dalam

menafsiran al-Qur’an, hanya tidak memperkenalkan nama metode tersebut. Salah

satunya Ibn Taimiyah. Hermeneutik membawa implikasi bahwasanya tanpa

konteks , teks itu tidak berharga dan tak bermakna. Sementara ide tradisional

menyatakan bahwa makna yang sebenarnya itu adalah apa yang dimaksud oleh

Allah SWT. Hermeneutik memberi penekanan kepada manusia sebagai

’perantara’ yang menghasilkan makna. Sementara ide tradisional menyatakan

bahwa Tuhanlah yang sebenarnya yang menganugerahkan pemahaman yang

benar terhadap seseorang. Sangat berbeda dengan tradisi Hermeneutik , ilmuwan

tradisional muslim telah membuat pembedaan yang tidak terjembatani antara teks

al-Qur’an dengan tafsir serta penerimaannya , teks al-Qur’an di anggap sangat

sacral sehingga makna yang sebenarnya tidak bisa di capai.

Konstruksi hermeneutika yang ditawarkan oleh Fazlurrahman, terpengaruh

oleh background kehidupannya yang hidup dalam tradisi madzhab Hanafiyah.

Mazhab yang disebutkan terakhir ini banyak melakukan proses rasionalisasi atas

suatu bentuk penafsiran. Tradisi Hanafiyah ini, cenderung mengdepankan al-

Qur'an daripada hadits. Hal di atas berpengaruh pula pada diri Fazlurrahman

dalam kaitannya pengambilan sumber hukum dari hadits, di mana pada sumber

ini, ia banyak melakukan pemilahan definisi atasnya.

Kemudian dalam masalah pengambilan sumber hermeneutika, ia banyak

mengadopsinya dari para pengkaji barat seperti Emilio Betti -yang berpengaruh

besar dalam konstruksi Double Movement-nya-, yang menyatakan bahwa proses

pemahaman (baca: hermeneutik) adalah suatu kebalikan dari proses penciptaan

yang asal. Bentuk-bentuk yang dicoba untuk dipahami harus dibawa pada pikiran

yang menciptakannya. Hal ini untuk menghindari pemahaman yang superfisial

dan terpenggal-penggal. Di sini Rahman, dalam upaya membawa pada pikiran

18

Page 19: Makalah PMDI Fazlur Rahman

yang menciptakannya, mengemukakan asbab nuzul untuk mengetahuinya.

Mengenai konsepsi-konsepsi serta penafsiran Fazlurrahman atas realitas serta

manusia misalnya, dimana Rahman menempatkan manusia dalam posisi sentral,

Rahman terjebak pada pola antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai

segala-galanya. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Mukti Ali dengan

pernyataannya, “karena manusia ditempatkan secara sentral, maka Fazlurrahman

berpendapat bahwa tuhan adalah “kemauan” dan kekuatan, tuhan adalah pesona

bukan individu. Karena itu ia menekankan kodrat manusia. Tuhan memang

menciptakan alam, alam diberi potensi untuk berkembang. Jadi perkembangan

alam itu bukanlah ulah manusia, sehingga tidak heran jika konsep ketuhanannya

seperti tukang membikin jam, yang dila dilengkapi mesin maka jam tersebut akan

berjalan. Sehingga Manusia “mengerti” Islam, namun tidak merasakannya,

manusia “paham” Islam, namun tidak “menikmatinya”.

Dalam patokan awal dalam penafsiran ,untuk menemukan makna teks al-

Qur’an, suatu pendekatan historis harus di gunakan , terutama pada ajaran-ajaran

sosiologisnya. Membedakan antara ketetapan-ketetapan legal dan tujuan-tujuan

yang menjadi maksud ketetapan legal tersebut. Sasaran al-Qur’an harus di

perhatikan, yaitu harus di pahami dengan tetap member perhatian latar belakang

sosiologisnya, yakni lingkuunagn di mana Nabi bergerak dan bekerja dengan

kondisi yang kita alami saat ini.

Fazlur Rahman dalam penafsirannya memperkenalkan dalam metode

hermeneutiknya dengan cara kerja Double Movement. Cara kerja Double

Movement adalah memperhatikan teks, konteks dan kontekstualisasi turunnya

ayat. Yaitu memperhatikan kandungan dan maksud dari susunan huruf dalam teks,

memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan di mana ayat itu turun dan

mencocokkan dengan kondisi kontemporer umat pada saat ini.

19

Page 20: Makalah PMDI Fazlur Rahman

F. Cara Kerja Double Movement

38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-

Maidah : 38)

a. Teks

Faqta’u aidiyatum sebagai bentuk perintah untuk

menghalanggi tangan –tangan pencuri melalui perbaikan

ekonomi. Yang menjadi idealnya adalah memotong

kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi

b. Konteks

Secara Historis – Sosiologis, mencuri menurut kebudayaan

mereka waktu itu di anggap tidak saja sebagai kejahatan

ekonomi. Tapi lebih sebagai kejahatan melawan nilai-

nilai dan harga diri manusia. Dan di zaman nabi pun

tidak ada riwayat hadist yang menyatakn bahwa nabi

pernah memotong tangan seorang pencuri.

c. Kontekstualisasi

Sedang pencuri dalam konteks modernitas tidak lebih dari

sekedar kejahatan dalam bidang ekonomi / Kriminal murni

dan pergeseran pemahaman nyata tentang definisi

pencuri itu memerlukan bentuk perubahan bentuk

hukum.

Yang perlu di perhatikan, semua hukum pada dasarnya

bisa di gunnakan tidak harus dengan potong tangan, selama

hukum tersebut dapat membuat jera pelaku tindak pencurian

tersebut. Dan ayat ini di tunjukkan bagi seseorang yang

20

Page 21: Makalah PMDI Fazlur Rahman

menjadikan mencuri sebagai pekerjaan sedang negerinya dalam

keadaan makmur dan dia mampu baik jasmani dan rohaninya.

Dengan memahami konteks , maka akan mudah dalam

mengidentifikasi gejala moral dan sosial masyarakat Arab waktu

itu, sikap al-Qur’an terhadapnya, dan cara Al-Qur’an

memodifikasi atau mentansformasi gejala tersebut sehingga

sejalan dengan pandangan al-Qur’an. Menjadi pedoman bagi

umat Islam untuk mengidentifikasi dan menangani problem-

problem yang mereka hadapi. Pemahaman terhadap konteks

kesejarahan dapat menghindarkan dari praktek- praktek

prakonsepsi dan penafsiran.

Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia. Ia menyebut

dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-nas). Sebagai

dokumen untuk manusia, al-Qur’an harus mampu memberikan

bimbingan kepada manusia dalam hidup dan kehidupan mereka,

dengan kata lain al-Qur’an merupakan sumber dan tata nilai

mereka. Sebagai petunjuk Allah yang jelas berkaitan dengan

manusia , pesan-pesan al-Qur’an bersifat universal atau

menyeluruh, dan ini di sepakati oleh seluruh umat Islam.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana agar pesan-pesan al-

Qur’an yang universal itu bisa di tangkap dan di manfaatkan oleh

setiap orang pada tiap masa. Oleh karenanya di perlukan

kontekstualisasi dalam penafisran al-Qur’an.

G. Sejarah Perkembangan Ijtihad

Instrumen yang di gunakan oleh para sahabat dalam memahami

sunnah sangat banyak dan beragam. Al hasil, pemikiran dan ide-

ide dari penjabaran sunnah pun tak terbendung, karena semakin

21

Page 22: Makalah PMDI Fazlur Rahman

banyaknya pemikir-pemikir yang menjabarkan sunnah secara

bebas. Pemikiran rasional atau yang sering di sebut ra’y

menghasilknan banyak sekali hasil pemikiran dan ide-ide, baik

dari segi hukum, religious dan moral pada abad pertama dan

penggal pertama abad ke-2 Hijriyah. Tapi di samping kebanjiran

ide-ide, produk dari aktivitas ini menjadi kacau. Yaitu sunnah di

setiap daerah mengalami perbedaan di setiap detailnya Karena

menghadapi konflik pemikiran bebas yang tak berkesudahan.

Keadaan ini terjadi di setiap tempat kekuasan Islam pada waktu

itu,seperti Hijaz, Syiria, Irak, Mesir dan sebagainya.

Ibn al-Muqaffa’, mendeklarasikan bahwa sunnah nabi yang

di secara bersama tidak ada dan menyarankan agar khalifah

harus melakukan ijtihadnya sendiri. Tetapi tokoh-tokoh

intelektual agama di antara umat Muslim memiliki pendapat

yang berbeda. Pemikiran bebas secara individual (ra’y) telah

memungkinkan berpikir secarasistematis terhadap al-Qur’an dan

Sunnah yang sudah ada. Pemikiran sistematis ini yang di sebut

sebagai qiyas. Sebaliknya, sunnag yang sudah ada –hasil

pemikiran bebas sebelumnya- secara perlahan-lahan akan di

akui oleh umat secara regional, seperti Hijaz, Irak dan lain

sebagianya. Itulah sebabnya mengapa Malik menggunakan isti

Sunnah dan Ijma’ untuk keseragaman pemikiran tesebut.

Namun demikian, walau istilah tersebut di kenakan dalam

pengertin ini, ada sebuah perbedaan penting di dalamnya.

Sunnah bermula dari Sunna Ideal Nabi dan secara progresif telah

di intrpretasikan kedalam ra’y dan Qiyas, sedang Ijma’ adalah

interpretasi Sunnah, atau Sunnah dalam pengertain praktek yang

telah di sepakati secara bersama. Oleh karena itu di antara al-

Qur’an dan Sunnah Ideal di satu pihak dengan ijma’ dan Sunnah

22

Page 23: Makalah PMDI Fazlur Rahman

dalam pengertian praktek yang sepakati bersama, Dan di pihak

lain, tidak dapat tidak terdapat aktivitas qiyas atau ijtihad.

Di dalam karyanya yang berjudul Muwaththa’, Malik

memenuhi paragraph-paragraf dengan ijtihadnya sendiri

walaupun tak henti-hrntinya ia menyerukan praktek yang

dilakukan kaum Muslim di Madinah. Tetapi mungkin sekali

setelah kitab al Siyar al Kabir, karya Muhammad al Syaybani ,

yang lebih muda di antara kedua murid cemerlang Abu Hanifah,

tidak ada lagi kitab yang mampu menjelaskan Ijtihad dalam

literature Islam abad ke 2 Hijriyah. Kitab al Siyar al Kabir

merupakan karyanya yang terakhir yang di hasilkan secara

ijtihad dan meruakan bentuk dari kritikan-kritikannya

terhadappendapat-pendapat masa lampau. Al Syaybani tidak

berpaling dari emikiran qiyas tetapi kepada istihsandi dalam

menentang preseden-preseden masa sebelumnya dan dalam

menggunakan pemikiran yang mutlak.

Hadist nabi yang dikutip oleh hanya sedikit, dan

kebanyakan ia ambil dari para sahabat dan lebih sering lagi dari

para tabi’in (para penerus generasi muslim setelah sahabat).

Tetapi walau demikian ia banyak mengkritik dan bahkan

menyangkal sendiri pendapat dari para sahabat atau para

tabui’in.

Sebagai contoh :

Apakah yang boleh di ambil oleh tentara Muslim untuk dirinya

sendiri dari negeri musuh yang telah di kalahkan padahal harta

kekayaan musuh yang di kalahkan tidak dapat di miliki secara

pribadi oleh setiap muslim, tetapi hanya dapat dimiliki oleh

semua Muslim yang memperoleh kemenangan tersebut?

Al Syaybani berkata :

23

Page 24: Makalah PMDI Fazlur Rahman

“Diriwayatkan dari Abu’l-Darda (salah seorang Sahabat) bahwa

tidak ada salahnya jika tentara muslim mengambil makanan

(dari daerah musuh), membawanya pulang untuk keluarganya,

memakannya dan menghadiahkannya (kepada orang lain),

asalkan mereka tak menjual.”

Tampaknya Abu Darda’ berpendapat bahwa menghadiahkan

makanan adalah salah suatu keharusan seperti makan (karena

tentara itu membutuhkan makan bagi dirinya untuk

mempertahankan hidup). Tetapi pendapat ini tidak bisa di

terima, karena jika makanan adalah hal yang pokok maka

menghadiahkan makanan adalah suatu yang tak pokok.

Dari salah satu contoh ini bisa kita ambil kesimpulan

bahwa kandungan actual Sunnah dari generasi-generasi Muslim

di masa lampau secara garis besarnya adalah produk ijtihad

dan apabila ijtihad ini , melalui interaksi pendapat secara terus

menerus , akhirnya dapat di terima oleh semua umat atau di

setujui umat secara konsesus (ijma’) Jadi dapat kita saksikan

bahwa secara literal sunnah dan ijma’ adalah satu kesatuan yang

tak dapat di pisahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mahmud.dkk. Al-Qur’an dan Pembelajarannya. Yogyakarta : Pokja

Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2006

24

Page 25: Makalah PMDI Fazlur Rahman

Fazlur Rahman. Gelombang Perubahan dalam Islam. Jakarta : PT. Grafindo

Persada. 2001

Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad. Bandung : Pustaka, 1984

Fazlur Rahman. Islam. Bandung: Pustaka. 2000

Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal. Jakarta : Paramadina,2003

Saridjo, Marwan. Di antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia tetap Berjilbab.

Jakarta : Paramadina, 2005

Taufik, Adnan Amal, Metode & Alternatif Neomodernisme Fazlurrahman.

Bandung : Mizan, 1990

Taufik, Ahmad. Huda, M. Dimyati. Munah, Binti. Sejarah Pemikiran dan Tokoh

Modernisme Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2005

http://mifka.multiply.com/calendar/item/10013/FAZLUR_RAHMAN

http://saifuddinzuhri.blogspot.com/2008/07/konstruksi-nalar-hermeneutika.html

25