studi pemikiran konsep sunnah menurut...
TRANSCRIPT
STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH
MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR
SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
dalam Ilmu Syari‟ah
Disusun oleh :
MUHADZ ALI JIDZAR
052111083
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
PENGESAHAN
Nama : Muhadz Ali Jidzar
NIM : 052111083
Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyah
Judul Skripsi : STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT
MUHAMMAD SYAHRUR SEBAGAI METODE ISTINBATH
HUKUM ISLAM
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/ baik/
cukup, pada tanggal :
28 Desember 2011
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu (S1) tahun akademik 2011/ 2012
Semarang, 28 Desember 2011
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag Drs. H. Abu Hapsin, Ph. D
NIP. 19590413 198703 2001 NIP. 19590606 198903 1002
Penguji I Penguji II
DR. H. M. Arja Imroni, M. Ag DR. H. Ali Imron, M. Ag
NIP. 19690709 199703 1001 NIP. 19730730 200312 1003
Pembimbing Skripsi
Drs. H. Abu Hapsin, Ph. D
NIP. 19590606 198903 1002
iii
iv
MOTTO
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
v
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan bismilla>hirrahma>nirrahi>m, saya persembahkan skripsi ini
kepada:
Ayahandaku Drs. Mujiono dan Ibundaku Masamah yang sangat saya cinta dengan
segala curahan do‟a, cinta dan kasih sayangnya yang tidak pernah habis dalam
mendidik putra-putrinya hingga dewasa.
Serta tidak lupa adik-adikku Isma Khairu Lina dan Mayla Nawa Yunita yang
selalu memberikanku keceriaan dan warna dalam hidup, tanpa kalian seorang
kakak tidak akan pernah belajar untuk menjadi seorang kakak yang bijaksana
terhadap adik-adiknya.
Seluruh keluarga besar simbah Muchsin (alm.) wa zaujahu (simbah Silah, alm.)
dan simbah Idris (alm.) wa zaujahu (simbah Sulasih, alm.).
Seluruh kawan-kawan perjuangan di keluarga besar HMI Cabang Semarang
dalam setiap jengkal gerak dan langkah kebersamaan kita, niscaya akan membuat
perubahan.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 13 Desember 2011
Deklarator,
Muhadz Ali Jidzar
NIM. 052111083
vii
ABSTRAK
Skripsi ini adalah studi kepustakaan murni ini yang dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimana pemikiran sunnah yang digagas oleh Muhammad Shah}ru>r
sebagai metodologi istinbath hukum Islam, beserta bagaimana sunnah yang
Syahrur tersebut dapat diterima menjadi salah satu dalam pertimbangan pemikiran
ketika dicoba untuk diaktualisasikan terhadap perkembangan ijtihad dewasa kini.
Dalam hal ini, permasalahan yang diteliti dicari jawabannya dari kitab-kitab karya
dari tokoh yang disebutkan diatas sebagai sumber primer. Data tersebut dilengkapi
dengan data dari sumber sekunder yang diambil dari buku-buku dan kitab-kitab
lain yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas, baik langsung
maupun tidak langsung.
Untuk mencapai maksud diatas, penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif analisis. Dengan pendekatan ini, terungkap metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Berdasarkan metode ini
terungkap bahwa kedudukan sunnah menurut Shah}ru>r adalah metode Nabi SAW
dalam mengaplikasikan hukum tanpa harus keluar dari batas-batas hukum yang
ditetapkan Allah SWT (hududullah) dan bukan sebagai penjelas al-Qur‟an.
Dengan membagi sunnah menjadi dua, sunnah al-risalah dan sunnah al-
nubuwwah. Dan mempunyai fungsi untuk pengkhususan (takhsis) terhadap yang
umum dan pembatasan (taqyid) terhadap yang mutlak.
Dan dalam menerapkan sunnah, Menurut Muhammad Syahrur
memberikan konsepsi untuk kembali kepada sunnah risalah yang telah menjadi
pemutlakan berupa hukum-hukum yang dinamis sesuai dengan konteks waktu dan
masa. Dengan mengubah ajaran Rasul yang semula mutlak kedalam bentuk yang
relatif.
viii
TRANSLITERASI ARAB LATIN
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada
SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Nomor:
158/1987 dan Nomor: 0543b/Untuk1987. Penyimpangan penulisan kata sandang
(al-) disengaja secara konsisten agar sesuai teks Arabnya.
a t}
b z}
t ‘
s| gh
j f
h} q
kh k
d l
z| m
r n
z w
s h
sy ’
s} y
d}
Bacaan madd: Bacaan diftong:
a> = a panjang = au
i> = i panjang = ai
u> = u panjang
ix
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji syukur penyusun sampaikan kepada Allah SWT sang Kausa Prima
yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah, serta nikmat bagi hamba-Nya.
Shalawat serta Salam penyusun haturkan baginda agung Muhammad SAW yang
telah memberikan inspirasi perjuangan besar dan sebuah iluminasi revolusioner ke
seluruh alam.
Dengan mengucapkan syukur alh}amdulillah, penulis ucapkan kepada rabb
al-aziz yang telah memberikan jalan rahmatnya, sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan dengan lancar. Dan tidak lupa penulis sampaikan kepada para
pihak yang telah ikhlas mengorbankan materi sampai non-materi kepada penulis
selama penyusunan skripsi ini sehingga pada akhirnya hasil dari penelitian ini
dapat dimanfaatkan oleh khalayak banyak. Diantara yang hendak penulis ingin
ucapkan rasa terima kasih ini adalah kepada:
1. Bapak Prof. DR. Muhibbin, M. Ag selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang.
2. Bapak DR. H. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. H. Abu Hapsin, MA, Ph.D selaku Dosen pembimbing I yang
ikhlas meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk membantu,
mengarahkan, dan membimbing penyusun dalam penulisan maupun
penyelesaian skripsi ini.
x
4. Ayah-ibu yang memberikanku dukungan moril dan materiil, yang senantiasa
memberikanku mutiara-mutiara pendidikan dalam keluarga, serta tidak lupa
adik-adikku Isma Khairu Lina dan Mayla Nawa Yunita yang selalu
memberikanku keceriaan dan warna dalam setiap suka dan duka dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Ir. Hanafi Sholeh (direktur Nasmoco Cabang Kaligawe Semarang).
6. Setiawan Mohdiyanto (mas Wawan).
7. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin.
8. Muhammad Zuhri (pak Muh, alm.) yang menjadi inspirasi spiritual setiap
saat.
9. Kawan-kawan gerakan HMI Cabang Yogyakarta dan HMI Cabang Sleman,
wabil khusus ukhti Uswah.
10. Kawan-kawan seperjuangan di HMI komisariat Syariah IAIN Walisongo
Semarang (Ulil Albab) yang memberikanku fasilitas guna kelancaran skripsi.
11. Kawan-kawan seperjuangan di HMI komisariat Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
12. Semua kawan-kawan seperjuangan di HMI Cabang Semarang baik yang ada
di struktural maupun di kelembagaan dari periode 2009-2010 sampai dengan
2011-2012 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penyusun tidak mungkin mampu membalas segala kebaikan yang telah
beliau-beliau berikan selama ini, namun hanya ucapan terima kasih dari hati yang
xi
terdalam yang dapat penulis sampaikan, semoga seluruh amal kebaikan mereka
mendapatkan balasan yang setimpal dan berlimpah dari Allah SWT.
Akhir kata penyusun berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, khususnya bagi kalangan insan gerakan dan akademis. Amin ya
Rabbal „Alamien.
Semarang, 13 Desember 2011
Penyusun,
Muhadz Ali Jidzar
052111083
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
HALAMAN DEKLARASI ........................................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................. vii
TRANSLITERASI .................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 11
E. Telaah Pustaka ........................................................................ 12
F. Metodologi Penelitian ............................................................. 14
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 20
BAB II. FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH SECARA UMUM
A. Konsep Sunnah Secara Umum ................................................ 23
1. Definisi Sunnah ................................................................ 23
2. Latar Belakang Sejarah Lahirnya Sunnah ....................... 26
xiii
3. Fungsi dan Kedudukan Sunnah Secara Umum ............... 28
BAB III. FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH MENURUT
MUH}AMMAD SYAH}RU>R
A. Biografi Muh}ammad Syah}ru>r ................................................. 34
B. Pemetaan Intelektual .............................................................. 37
C. Kegiatan, Karir, dan Karya-Karya Muh}ammad Syah}ru>r ……. 40
D. Paradigma Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r ............................. 44
E. Fungsi dan Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad
Syah}ru>r
1. Kedudukan ........................................................................... 57
2. Fungsi ................................................................................... 63
BAB IV. ANALISIS PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT
MUH}AMMAD SYAH}RU>>R
A. Analisis Fungsi dan kedudukan sunnah dalam istinbat} hukum islam
menurut Muh}ammad Syah}ru>r
1. Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r ............. 67
2. Fungsi Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r ..................... 70
B. Analisis Penerapan sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r dalam
istinbat} hukum islam ............................................................... 73
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 79
B. Saran ........................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sunnah merupakan sumber nilai yang hingga kini masih menjadi pembahasan
hangat. Terutama dalam posisinya untuk turut menjadi sumber pertimbangan dalam
pengambilan hukum Islam. Seperti halnya yang telah diwasiatkan oleh Rasūlullah
SAW “Telah kutinggalkan pada kalian dua perkara yang selamanya kalian tidak
akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya”.
Memang dalam perkara ijtiha>d dalam Islam, Rasūlullah SAW telah
memberikan pandangannya ketika suatu hari Rasūlullah SAW bertanya kepada
Mu„adz bin Jabal yang diutus Nabi untuk menjadi penguasa di Yaman. Nabi berkata:
“Bagaimana anda mengambil keputusan jika kepada anda dihadapkan kepada suatu
persoalan?” Mu„adz menjawab: “Saya memutuskan berdasarkan apa yang ada
dalam al-Qur’a>n‛. Nabi bertanya, “Seandainya anda tidak menemukan
pemecahannya dalam al-Qur’a>n ?‛ Mu„adz menjawab: “Saya memutuskan
berdasarkan Sunnah”. Kemudian Nabi bertanya lagi: “Seandainya dalam Sunnah
tidak ditemukan pemecahannya?”. Mu„adz menjawab: “Saya mengamalkan ijtiha>d
dengan ra‟yu dan saya tidak akan membiarkan persoalan itu”. Rasūlullah kemudian
menepuk dadaku dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
taufi>q-Nya kepada utusan Rasūlullah dengan hal yang melegakan hati Rasūlullah‛.
2
Walaupun Sunnah sudah sedemikian terpetakan menjadi sumber hukum yang
kedua setelah al-Qur’a>n, namun dalam perkembangannya masih menuai pro dan
kontra di dalam memahaminya. Ini disebabkan dari perjalanan sejarahnya, bahwa
pernah ada pemalsuan Sunnah secara besar-besaran, telah umum diakui baik oleh
sarjana Muslim maupun Barat. Selain itu, keberadaan dan bahaya pemalsuan itu telah
diketahui dengan baik sejak hampir masa-masa dini Islam. Pada mulanya Sunnah
mungkin sudah cukup murni. Kebanyakan sahabat adalah orang yang mengenal Nabi
secara dekat dan pada tataran psikologis dari kepercayaan terhadap pandangan Nabi
boleh jadi membuat orang yakin, walaupun pada kenyataannya dia sendiri yang
memutuskan, sehingga orang yang berpikiran jujur dengan mudah mengambilnya
tanpa menyadari bahwa telah terjadi percampuran antara pendapat dan fakta. Begitu
waktu berlalu, banyak tradisi yang terang-terangan mencoba membaca kembali
kontroversi-kontroversi yang muncul ke dalam periode paling awal tersebut, dari
mana petunjuk harus dicari.1 Untuk itulah dalam hal pembatasan definisi mengenai
Sunnah ini, Imam Syafi‟i kemudian mengartikan Sunnah secara khusus yakni
Sunnah Rasul. Secara eksplisit, Imam Syafi‟i menyatakan:
يطهق انسة يتبل سة رسل اهلل صهى اهلل عهي سهى فقط Artinya: “Konsep Sunnah hanya mencakup Sunnah Rasūlullah SAW.”
2
Sementara menurut Azami, kata Sunnah telah digunakan Nabi SAW untuk
menunjuk arti tata cara.3 Sunnah juga berarti teladan kehidupan, sehingga Sunnah
1 Abdullah Ahmed An-Na‟im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights
and International Law, terj. Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan
Hubungan International Dalam Islam, Terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Yogyakarta;
LKiS, 2001, h. 45 2 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada perkembangan Hukum Islam,
Semarang : Aneka Ilmu, 2000, h. 37
3
Nabi berarti teladan beliau. Kata sandang terkadang ditambahkan dalam kata ال
Sunnah untuk menunjukkan Sunnah Nabi secara khusus. Kemudian, di penghujung
abad ke-2 H, kata Sunnah mulai diartikan sebagai norma yang dicetuskan Nabi atau
norma yang disimpulkan dari ketentuan yang telah digariskan oleh Nabi.4
Kemudian Rasyi>d Rid}a, ketika menafsirkan ittibā‘ (keharusan mencontoh
perilaku Nabi SAW) dalam QS. Al-A„raf (7): 158, membagi perilaku Nabi menjadi
dua macam: (1) perilaku Nabi yang termasuk dalam kategori undang-undang, bisa
jadi dalam bentuk ibadah yang diperintahkan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT dan bisa jadi dalam bentuk yang tidak baik (mafsadah) yang dilarang
karena khawatir akan berakibat buruk bagi agama; (2) perilaku Nabi yang tidak
termasuk dalam kategori undang-undang yang harus dilaksanakan atau dijauhi.5
Menurut Rahman dalam bukunya “Islam” dengan mengutip pendapat
Goldziher, bahwa kandungan konsep Sunnah bagi kaum Muslimin berubah menjadi
model perilaku Nabi, yakni norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan
dan tindakan-tindakan Nabi yang diwartakan. Disini Goldziher mendefinisikan
Sunnah sebagai praktek yang hidup yang aktual (berlawanan dengan yang normatif)
dari masyarakat Muslim awal.6
Jadi menurut Rahman sendiri dalam bukunya mengatakan, bahwa Sunnah
adalah informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, dan disetujui oleh
beliau, juga informasi yang sama mengenai para sahabat, terutama sahabat senior,
3 Muhammad Mustafa Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa
Ya‟qub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994, h. 19 4 Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Terj. A. Yamin Jakarta : Pustaka
Hidayah, 1992, h. 20-21 5 Muh}ammad Rasyid Rid}a, Tafsir al-Qur’ān al-Haki>m (Tafsi>r al-Mana>r), jilid IX (tanpa
tempat : Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 303-304. 6 Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Mohammad, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994, h. 53
4
dan lebih khusus lagi, mengenai keempat khalifah yang pertama.7 Dengan pemikiran
tersebut, Rahman membagi konsepnya menjadi dua, yakni; Sunnah Nabi sendiri dan
Sunnah yang hidup.8
Selanjutnya Yu>suf al-Qord{owi dalam bukunya yang mengutip dari pendapat-
pendapat ulama yang berbeda dalam memahami konsep Sunnah ini, diantaranya
seperti halnya pertama, Ibnu Qutaibah (wafat 276 H) berpendapat dalam kitabnya
ta’wi>l mukhtala>f al-h}adis\ membagi Sunnah menjadi 3 macam: (1) Sunnah yang
disampaikan Jibril „Alaihis Salam dari Allah SWT, (2) Sunnah dimana Nabi
diizinkan oleh Allah untuk menetapkannya sendiri dengan menggunakan
pendapatnya, sehingga beliau bisa memberikan keringanan hukum kepada siapa saja
yang beliau kehendaki sesuai dengan alasan hukum dan ‘ud}ur tertentu, (3) Sunnah
yang Nabi SAW tetapkan sebagai pelajaran etika bagi kita. Jika kita melaksanakan
Sunnah itu maka kita mendapatkan keutamaannya, namun jika tidak
melaksanakannya kitapun tidak berdosa. Kedua, Menurut Imam Waliyullah Al-
Dah}lawi> beliau menjelaskan perbedaan Sunnah untuk tashri‘ (penetapan hukum yang
mengikat) dan bukan untuk tashri‘. Pendapat beliau mengenai Sunnah yang untuk
tashri‘ didasarkan atas pemahaman beliau terhadap surat al-H}ashr ayat 7. Sedangkan
Sunnah yang bukan untuk tashri‘ terbagi atas ilmu pengetahuan, Syari„ah dan
ketentuan tentang ibadah serta akad transaksi, kebijaksanaan dan kemaslahatan yang
bersifat umum, amal yang utama dan keutamaan orang yang beramal. Dengan
didasarkan atas h}adis\ riwayat Muslim “Aku hanyalah manusia, apabila aku
memerintahkan sesuatu mengenai agama kalian, maka pegangilah perintah itu, dan
7 Ibid, h. 68
8 Ibid, h. 72
5
apabila aku memerintahkan sesuatu mengenai pendapatku pribadi, maka aku
hanyalah manusia”. Ketiga, Syeih} Shalthu>t membagi Sunnah menjadi 3; (1) Sunnah
dalam konteks hajat hidup manusia, (2) Sunnah yang merupakan hasil eksperimen
dan kebiasaan individual/ sosial, (3) Sunnah dalam konteks manajemen manusia
dalam mengantisipasi kondisi tertentu.9
Namun yang jelas dari berbagai pemahaman mengenai Sunnah ini, menurut
Al-Qard}awi>, Sunnah Nabi yang dikemukakannya paling tidak memiliki 3
karakteristik, yaitu komprehensif (shummul), seimbang (mutawazzun), dan
memudahkan (metode muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan
pemahaman yang utuh terhadap suatu h}adis\.
Atas dasar inilah maka Al-Qard}awi>, menetapkan tiga hal juga yang harus
dihindari dalam berinteraksi dengan Sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum
ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intih}al al-Mubt}ili>n), yaitu pemalsuan
terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid„ah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan Syari„ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh
(ta’wil al-ja>hili>n). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap Sunnah adalah
mengambil sikap moderat (wasat}iya> ), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak
menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan bertumbuhnya pemikiran-
pemikiran baru atas pendapat mereka terhadap Sunnah, seperti pemikiran yang
9 Yusu>f Qard}owi, al-Sunnah Masdaran Lil-Ma’rifah wal H }ad}arah, Terj. As-Sunah sebagai
Sumber Iptek dan Peradaban, Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 1998, h. 22
6
dimunculkan oleh Hadzairin mengatakan bahwa Sunnah yang menurutnya menerima
kemungkinan untuk digugat bagi hasil ketetapan ijtiha>d -nya .10
Khali>d Abu> al Fad}l dalam pembahasan Sunnah juga membangun konsep
otoritas dalam Islam dengan doktrin Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan.
Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian juga
Nabi sebagai pemegang otoritas kedua setelah Tuhan, setelah wafat meninggalkan
tradisinya (Sunnah) yang telah terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses
pengalihan suara Tuhan dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran
(mus}h}af) dan kitab-kitab Sunnah. Pertama berkaitan dengan kompetensi
(autentisitas). Kedua, berkaitan dengan penetapan makna. Ketiga berkaitan dengan
perwakilan. Tiga pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Khali>d untuk memisahkan
diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam Islam.
Dalam pandangan yang masih bias mengenai perbedaan pendapat Sunnah
tersebut, penulis merasa sangat tertarik untuk membahas seorang tokoh kontemporer
Muh}ammad Syah}ru>r yang memiliki pandangan sendiri mengenai Sunnah. Yang
berangkat dari sebuah analisanya mengenai pembacaannya terhadap Sunnah, yang
apakah Sunnah termasuk wahyu ataukah ijtiha>d dari Rasūlullah SAW? Dari sini,
sebagian pihak berpendapat bahwa seluruh yang berasal dari Nabi adalah wahyu,
berdasarkan firman Allah: “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’a>n)
menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’a>n itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)” (QS. Al-Najm: 3-4). Akan tetapi dalam pembacaan ulang Muh}ammad
Syah}ru>r terhadap firman Allah tersebut mengatakan bahwa dengan mendasarkan
10
Ibid, 223
7
pendapat dengan ayat tersebut adalah tidak tepat sama sekali karena kata ganti
“huwa” tidak merujuk kepada Nabi SAW, tetapi secara jelas merujuk kepada Kitab
yang diturunkan kepada Nabi. Kata ganti huwa sama sekali tidak terkait dengan kata
ganti dalam kata kerja ‘yant}iqu’ yang memang merujuk kepada Nabi SAW,
mengingat bahwa salah satu sifat dasar.
Nabi Muh}ammad SAW tidak pernah memasukkan unsur hawa nafsu
(keinginannya sendiri) dalam hukum, putusan, perkataan, dan perbuatannya. Meski
peran kenabian yang diembannya telah mengantarkan beliau pada derajat yang
tinggi, namun bagaimanapun juga tidak dapat dinyatakan bahwa seluruh perkataan
dan perbuatan beliau termasuk bagian dari Wahyu.11
Pemahaman Sunnah menurutnya adalah merujuk kepada kehidupan
Muh}ammad sebagai Nabi yang hidup di bumi Arab dengan segala tantangan yang
ada, yakni politik, budaya, dan sosial. Kalaupun sebagian sahabat menganggap yang
disampaikan Nabi sebagai wahyu, namun Nabi tidak terpengaruh dengan semua itu.
Nabi-pun tidak pernah menyuruh agar pernyataannya ditulis. Anggapan sebagian
bahwa penyebab Nabi tidak membukukan pernyataannya (h}adis\) karena takut
bercampur dengan al-Qur’a>n itu sendiri. Disamping itu karena dalam al-Qur’a>n
sudah sangat jelas, bahwa ‚Inna nah}nu nazzalna> al-z\ikra wa inna lahu lah}afiz}u>n yang
artinya “Kami [Tuhan] telah menurunkan al-Qur’a>n dan akan menjaganya”.
Penyebab sebenarnya adalah karena Nabi dan para sahabatnya mengetahui bahwa
yang dilakukan Nabi merupakan interaksi pertama dengan realita, bukan interaksi
11
Muh}ammad Shah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a<n : Qira’ah Mu’a>s}irah, Damaskus, al-Ahali, h.
545
8
terakhir. Nabi mengajarkan umatnya bagaimana melakukan ijtiha>d. Dan ajaran inilah
yang kemudian diteladani oleh „Umar.
Selanjutnya, atas dasar bahwa segala tindakan dan keputusan Nabi SAW
tidak selalu berasal dari wahyu, tetapi ada juga yang merupakan ijtiha>d beliau, maka
Syah}ru>r membagi Sunnah menjadi dua, Sunnah al-risala>h dan Sunnah al-nubuwwah.
Sunnah al-risala>h berbicara tentang ibadah, akhlak, dan hukum, sedangkan Sunnah
al-nubuwwah berisi ilmu.12
Kategorisasi terhadap Sunnah ini berimplikasi pada pembedaan ketaatan yang
harus diberikan oleh manusia kepada Nabi SAW menjadi dua, yaitu ketaatan yang
abadi (al-t}a‘ah al-muttas}ilah) dan ketaatan yang dituntut ketika Nabi SAW masih
hidup (al-t}a‘ah al-munfas}ilah). Model ketaatan pertama berlaku bagi semua perintah
Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum, ibadah, dan akhlaq, sedang model
ketaatan kedua yang berlaku berisi tentang kebiasaan Nabi SAW sehari-hari serta
ketentuan hukum yang bersifat lokal.13
Namun terlepas dari adanya pro dan kontra pembahasan tentang Sunnah,
Abdul Halim Uways dengan mengutip pandangan Syeih} Muh}ammad al-Ghazali
menerangkan bahwa tidak ada Islam tanpa Sunnah. Juga mengutip pendapat seorang
tokoh ulama India, Sheih} Abū al-H}asan an-Nadwi> mengatakan: “Sesungguhnya,
tidak ada Islam tanpa Sunnah. Sebab Islam tanpa Sunnah adalah seperti jasad tanpa
ruh.”
12
Ibid, hlm. 549 13
Muh}ammad Shah}ru>r, Nahw Us}u>l Jadi>dah Li al-Fiqh al-Isla>mi> : Fiqhul Mar’ah ; al-was}iyah, al-Irs\u, al-Qawa>mah, al-Ta’addudiyyah, al-H}ijab, Damaskus, al Ahali, 2000, h. 155
9
Sunnah adalah ruh Islam dan penopang kehidupannya. Ruh tersebut intinya
adalah kesehatan dan aplikasinya adalah kehidupan. Islam adalah agama bagi
kehidupan manusia, bukan agama yang diakal-akali di dalam otak, filsafat, atau di
perpustakaan. Karena itu pada saat yang sama, Islam adalah akidah dan amal,
perilaku dan akhlak, cinta kasih dan emosi, serta feeling yang menguasai pemikiran
dan perasaan-perasaan yang menetapkan berbagai ukuran benda dan nilai.
Sesungguhnya Islam mencetak manusia-manusia yang baru dan kehidupan yang juga
baru. Oleh karena itu kita melihat bahwa Allah yang Maha Berkah dan Maha Tinggi
menamai Islam dengan “celupan Allah” (S}ibghah Allah) yang merupakan sebuah
warna universal yang memiliki julukan dan bentuk yang eksklusif. Islam begitu
banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan agama-agama lain. Islam memiliki
batas-batas yang mudah dikenal dan jelas, yang tidak mungkin bagi seorang muslim
untuk melanggarnya, berlaku murtad, dan berpaling pada agama lain dalam
pengertian yang kita temukan di dalam Syariat Islam dan berbagai gambaran yang
Islami.14
Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa Sunnah dengan metodologi
pembacaan baru gaya Syah}ru>r terhadap al-Qur’a>n dan Sunnah yang memberikan
alternatif pemikiran yang perlu terus dikaji oleh umat Islam dewasa kini. Hal ini
dalam rangka merealisasikan bahwa ajaran Islam sesuai untuk setiap situasi dan
kondisi. Kendatipun Muh}ammad SAW adalah produk sejarah dan perbuatannya
adalah penafsiran awal terhadap al-Qur’a>n, namun tetap saja penafsiran itu adalah
yang terbaik bagi umat Islam. Sebab, mustahil pula Allah SWT memberikan contoh
14
Abdul Halim Uways, Fiqh Statis Dinamis, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, h. 85-86
10
awal yang tidak baik bagi umat Islam dalam memahami agama mereka. Oleh karena
itu, Sunnah yang s}ah}i>h yang telah disepakati para ulama terkemuka dalam kritik
h}adis\ adalah sumber utama dalam memahami kandungan al-Qur’a>n itu sendiri.
Adapun tugas umat Islam selanjutnya adalah melakukan penelitian dan
kontektualisasi kandungan al-Qur’a>n dan Sunnah agar mudah dipahami dan lebih
aplikatif. Hanya dengan usaha yang mulia ini dan tidak pernah henti melakukan
penelitian dan penelaahan secara mendalam dan komprehensif terhadap al-Qur’a>n
dan Sunnah diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang
terus berkembang.
Oleh karena sangat menariknya Sunnah ini untuk dikaji kembali berdasarkan
pengetahuan, maka penulis akan membahasnya secara sistematis. Namun tidak
semuanya itu akan kami bahas dalam karya tulis ini, oleh karena yang menjadi fokus
pembahasan disini hanya tertuju pada “As-Sunnah” dalam perspektif Syah}ru>r.
11
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas tersebut, maka berikut adalah rumusan
masalahnya:
1. Apa fungsi dan kedudukan Sunnah dalam Istinbat} hukum Islam menurut
Muh}ammad Syah}ru>r?
2. Bagaimana menerapkan Sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r dalam Istinbat}
hukum Islam?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui Sunnah menurut Muh}ammad Syah}ru>r dalam Istinbat} hukum
Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi konsep Sunnah menurut Muh}ammad
Syah}ru>r dalam Istinbat} hukum Islam di era modern.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai wahana pengkajian ilmu dan wawasan yang baru untuk perluasan
pengembangan paradigma Sunnah yang menjadi aset kekayaan intelektual
ummat Islam.
2. Sebagai landasan dan memaparkan metode pengambilan hukum Islam dengan
memahami Sunnah secara holistik dan komprehensif di kalangan masyarakat.
12
E. TELAAH PUSTAKA
Telaah pustaka dalam suatu penelitian itu sangat diperlukan, karena sebagai
bahan perbandingan terhadap penelitian yang kita kaji dari berbagai referensi baik
buku, jurnal, skripsi terdahulu. Telaah pustaka juga mempunyai andil besar untuk
mendapat berbagai informasi yang ada sebelumnya tentang beberapa teori dan hasil
dari teori itu yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji oleh peneliti untuk
memperoleh landasan teori ilmiah.
Sebelum penulis menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep Sunnah menurut
Muh}ammad Syah}ru>r, maka peneliti mencoba menelaah sumber informasi baik dari
buku-buku atau skripsi terdahulu yang dijadikan sebagai sumber informasi dan
perbandingan dalam mendapatkan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang
hendak dikaji.
Kajian seputar pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r ini juga pernah dibahas dalam
skripsi-skripsi terdahulu di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo
Semarang, khususnya di Fakultas Syari„ah seperti :
1. Skripsi yang di tulis oleh Eka Mahfiyatun Khoirisah dengan judul “Pendapat
Muh}ammad Syah}ru>r Tentang Tidak Adanya Mekanisme „Aul dan Radd Dalam
Hukum Kewarisan Islam”. Dalam skripsi ini menerangkan bahwa penyelesaian
waris menurut Syah}ru>r tidak terdapat selisih kurang maupun selisih lebih dari
harta yang akan dibagi. Dengan demikian mekanisme „aul dan radd dalam
perhitungan waris tidak perlu dipergunakan, adapun tehnik pembagiannya yang
mula-mula harus diambil lebih dahulu adalah bagian suami atau isteri jika ada,
kemudian bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) ditentukan setelah harta
13
dipotong oleh bagian suami atau isteri jika ada, setelah itu sisa dari penyelesaian
tersebut dibagikan kepada seluruh anak baik laki-laki ataupun perempuan sesuai
dengan jumlah mereka.
2. Skripsi yang di tulis oleh Muslimin dengan judul “Analisis Terhadap Teori Batas
Muh}ammad Syah}ru>r Dalam Hukum Waris”. Dalam skripsi ini menyoroti tentang
pembagian waris 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan, ketentuan tersebut
adalah batas maksimal bagi laki-laki dan batas minimal bagi perempuan, dimana
perolehan perempuan tidak pernah kurang dari 33,3 % sementara bagian laki-
laki tidak pernah mencapai lebih tinggi dari 66,6 %.
3. Skripsi yang di tulis oleh Suharjo dengan judul “Studi Analisis Pemikiran
Muh}ammad Syah}ru>r Tentang Kala>lah‛. Dalam skripsi ini membahas pemikiran
Muh}ammad Syah}ru>r tentang kala>lah yang menyebutkan bahwa kala>lah yang
dipahami Muh}ammad Syah}ru>r adalah seseorang yang meninggal dunia dengan
tidak meninggalkan anak, cucu baik laki-laki maupun perempuan (furu„) dan
atau ayah, ibu, kakek maupun nenek (us}ul).
Berdasarkan dari beberapa skripsi yang sudah dibahas terdahulu mengenai
pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, sepengetahuan penulis masih sedikit yang mengkaji
pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r terutama mengenai metode Sunnah yang digagas
oleh beliau. Oleh karena itulah dalam setiap bab akan penulis paparkan secara utuh
yang selanjutnya menarik untuk diketengahkan kedalam ranah praksis dunia
pemikiran.
14
F. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian kepustakaan (library
research). Yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data primer. Penelitian
ini juga termasuk dalam kategori historis faktual karena yang diteliti adalah
pemikiran seseorang.
Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dengan memaparkan
awal mengenai Sunnah dalam pandangan umum atau (world view) atau secara luas
menurut pandangan beberapa ulama yang kemudian disajikan pula pandangan
Sunnah yang khas dari pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r yang dilihatnya dalam
pandangan yang berbeda berdasarkan penafsiran yang dipaparkannya mengenai
Sunnah apakah termasuk wahyu atau ijtiha>d yang nantinya dalam pandangannya
tersebut dapat digunakan menjadi alternatif metode Istinbat} hukum Islam.
Kemudian dilakukan analisis dengan beberapa metode penafsiran hukum terhadap
pemikiran Sunnah Muh}ammad Syah}ru>r. Pada akhirnya akan dijelaskan tentang
bagaimana konsep atau jenis Sunnah yang dimaksudkan oleh Muh}ammad Syah}ru>r
dengan disertai batasan-batasan tertentu menurut Muh}ammad Syah}ru>r. Selanjutnya
ditemukanlah letak titik temu pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r terhadap ijtiha>d beliau
ke arah rekonstruksi fiqih yang bermaslahat.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang tidak
berbentuk angka atau tidak dapat diangkakan, sebab dalam menganalisis data
15
menggunakan kata-kata.15
Dalam hal ini meneliti kehidupan, latar belakang
sosial Muh}ammad Syah}ru>r tentang munculnya konsep pandangan Sunnah
menurutnya serta penerapan sunnah yang digagasnya terhadap problematika
hukum Islam.
2. Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data
Sumber data ialah sumber dari mana data itu diperoleh. Sebuah
penelitian terdapat dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber
data sekunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh secara
langsung dari sumber pertama. Baik berupa bahan pustaka yang berisikan
pengetahuan ilmiah yang baru ataupun pengertian baru tentang fakta yang
diketahui ataupun gagasan.16
Yakni dengan menggunakan data primer yaitu
data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan data sekunder yang
antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.17
Dalam mengumpulkan data, peneliti mengambil dari buku-buku,
artikel-artikel dan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan objek yang akan
diteliti.
Dalam penelitian ini sumber data primer yang digunakan adalah
semua tulisan karya Muh}ammad Syah}ru>r khususnya:
15
Sapari Imam Asyari, suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial, Surabaya; Usaha
Nasional, 1983, h.31 16
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Khusus, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 29 17
Asikin, Zainal dan Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004, h. 30
16
1. Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah,
Damaskus ; al-Ahali
2. Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul
Mar’ah ; al was}iyah, al Irs\u, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al H }ija>b,
2000, Damaskus ; al Ahali
3. Muh}ammad Syah}ru>r, Dira>sah Isla>miyyah Mu’a>s}irah fi ad-Daulah wa al-
Mujtama‘, Damaskus ; al Ahali
4. Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Isla>m wa al-I<ma>n; Manzumah al-Qiyam, 1996,
Damaskus ; al Ahali
5. Muh}ammad Syah}ru>r, Tajfi>f Muna>bi‘ul Irhab, 2008, Beirut; al Ahalli.
6. Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The
Essential Muh}ammad Syah}ru>r, 2009, Beirut; ICIS.
Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Salim al-Jabiy, Mujarrad Tanji>m, 1991, Damaskus; Akad.
2. Khaleel Mohammed and Andrew Rippin, Coming to Term With The
Qur‟an: A Volume in Honor of Professor Issa Boullata, McGill
University.
3. Haris Abdul, Pemberontakan Muh}ammad Syah}ru>r Terhadap “Islam”
Ideologis, dalam Jurnal ijtiha>d, 2003.
4. Achmad Mulyadi, Membangun Paradigma Alternatif Usul Fiqh
(Memahami Tawaran Syah}ru>r) dalam Jurnal Studi Keislaman vol. IV,
no. 1 Desember 2003.
17
5. Muhyar Fanani, Kritik Ideologi Syah}ru>r Atas Teori Hukum Islam
Tradisional, dalam Jurnal at-Taqaddum, vol. 1 no. 1 Juli 2008.
6. Muh}ammad In‟am Esha, Pembacaan Kontemporer al-Qur’a>n (Studi
Terhadap Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r), dalam jurnal al-Tahrir, vol. 2
no.1, Januari 2004.
7. A. Rafiq, Zainul Mun‟im, Metodologi Penafsiran Kontemporer
Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Akademia, vol. 18, no. 2, maret 2006.
8. Aji Hamdani, Sofanudin, Teori Batas Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal
Analisa, vol. XII, Januari-april 2007.
9. Achmad „Aly MD, Teori Naskh Mahmud M. Taha Dan Naz}ariyat Al-
Hudu>d Muh}ammad Syah}ru>r; Telaah Komparatif Dengan Paradigma
Maqasid Al-Syari‟ah, dalam Jurnal Indo-Islamika, vol. 4 no. 2 tahun
2007.
10. Tsuroya Kiswati, Rekonstruksi Metodologis Wacana Keagamaan
Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Islamica; Jurnal Studi Keislaman, vol.
4 no. 2 tahun 2010.
11. Udin Safala‟, Liba>s Dalam Pandangan The Theory of Limits Muh}ammad
Syah}ru>r, vol. 9 no. 2 Juli 2009.
12. Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam
tafsir al-Qur’a>n Kontemporer “ala” Muh}ammad Syah}ru>r, 2007,
Yogyakarta: eLSAQ Press.
13. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur‟a>n Madzhab Yogya. 2003,
Yogyakarta: Penerbit Islamika.
18
14. Sahiron Syamsuddin, Metode Intratekstualitas Muh}ammad Syah}ru>r
dalam penafsiran al-Qur‟a>n, dalam studi al-Qur’a>n Kontemporer
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, 2002, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
15. Muhyar Fanani, Fiqh Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia
Modern, 2010, Yogyakarta: LKiS.
16. Muhyar Fanani, Muh}ammad Syah}ru>r dan Konsepsi baru Sunnah, dalam
Teologia: Jurnal ilmu-ilmu Ushuluddin, Semarang: Fakultas Ushuluddin
IAIN Walisongo, Vol. 15, no. 2, 2004.
17. Muhyar Fanani, “Prinsip-prinsip hermeneutika Syah}ru>r‛, dalam Dimas:
Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat
Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 2,
2009,
18. Muhyar Fanani, “Epistemologi Kantianisme-plus Syah}ru>r‛, dalam
Dimas: Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat
Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 1,
2009.
19. Ardiansyah, Konsep Sunnah Dalam Perspektif Muh}ammad Syah}ru>r, lihat
di www. Ejournal.sunan-ampel.ac.id.
20. Marjudi, Telaah Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, Fakultas Syari„ah IAIN
Sunan Ampel.
19
21. Agus Moh Najib, As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Dalam
Pandangan Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal penelitian agama IAIN
Sunan Kalijaga: volume XI, no. 2, 2002.
22. R. Zainul Musthofa RS, Metodologi Penafsiran Muh}ammad Syah}ru>r
Dalam memahami Teks, kajian Antologi Islam.
23. Agung Ari Subagiyo, Konsep Negara Islam Muh}ammad Syah}ru>r,
Antologi Kajian Islam.
24. Udin Safala, Naz}ariayat al-hudu>d : Penelusuran Matra Pemikiran
Muh}ammad Syah}ru>r, al-Tahrir, vol. 7 no. 2 Juli 2007.
25. Rodli Makmun dkk, Poligami Dalam Tafsir Muh}ammad Syah}ru>r,
STAIN Ponorogo Press.
b. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat Documentary Research, maka metode yang
digunakan adalah mengumpulkan, membaca, dan menelaah apa-apa yang
berkaitan dengan pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r dalam memahami konsepsi
tentang Sunnah dan penerapannya di dalam Istinbat} hukum Islam,
kemudian dilakukan klasifikasi berdasarkan keterkaitannya dengan
pembahasan dalam penulisan ini.
c. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka data dianalisis untuk mendapat konklusi.
Analisis data ialah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah
dibaca dan diinterpretasikan. Adapun metode yang penulis gunakan untuk
menganalisis data adalah:
20
(1) Metode Kajian Isi (Content Analysis)
Sesuai dengan data yang diperoleh dari penelitian ini, maka teknik
analisis data yang digunakan adalah content analysis seperti yang
diungkapkan oleh Holsti, yang dikutip oleh Lexi J. moleong content
analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik pesan dan
dilakukan secara obyektif dan sistematis.18
Teknik ini digunakan untuk
menarik pesan maupun beberapa pendapat yang ada buku-buku yang
ditulis Muh}ammad Syah}ru>r.
(2) Metode Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan
menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis data tersebut.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar penyusunan skripsi ini terarah dan mudah dipahami, maka dalam
menguraikan peneliti berusaha menyusun kerangka secara sistematik, yang saling
berhubungan satu dengan bab dengan bab yang lain serta agar dapat ditelusuri oleh
pembaca dengan mudah, maka peneliti dapat gambarkan susunannya sebagai berikut:
1. Dalam Bab pertama; merupakan kerangka dasar penulisan skripsi yang terlebih
dahulu diawali dengan sebuah pendahuluan. Adapun sistematika pembahasannya
berisi :
Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian.
Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Penulisan bab
18
Lexy, J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta; Liberty, 1999), h. 163
21
satu ini penting untuk didahulukan. Karena sebagai petunjuk pada bab-bab
berikutnya. Sehingga tulisan ini terangkai dengan cermat dan sistematis.
2. Di dalam bab kedua; akan dibahas deskripsi singkat mengenai Fungsi dan
Kedudukan Sunnah Secara Umum. Hal ini dimaksudkan karena ketika
mengadakan suatu penelitian tentang pemikiran seseorang, memang seyogyanya
perlu mencari referensi pemahaman sunnah yang lain menurut pendapat ulama
yang berbeda dari pandangan Muh}ammad Syah}ru>r yang menjadi sentral kajian.
Yang didalamnya juga disertakan mengenai definisi Sunnah, latar belakang
lahirnya sunnah, serta fungsi dan kedudukan sunnah secara umum.
3. Di dalam bab yang ketiga; dibahas lebih lanjut dan fokus terhadap dinamika
kehidupan Muh}ammad Syah}ru>r serta akan dibahas mengenai Sunnah dalam
pandangannya, dengan pembahasan yang lebih rinci yang akan disajikan. Dari
mulai biografinya secara umum, pemetaan intelektualnya, kegiatan, karir serta
karya-karyanya, paradigma pemikirannya, dan fungsi dan kedudukan
menurutnya.
4. Berbeda dengan bab III yang masih pada dataran pengenalan secara umum
terhadap profil serta pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, karena bab IV ini sudah
akan dianalisa yang lebih radikal mengenai pemikiran sunnah menurut
Muh}ammad Syah}ru>r.
5. Bab terakhir, yakni bab kelima; yaitu penutup sebagai simpulan akhir serta saran
yang dapat penulis berikan untuk dapat memahami maksud dari paparan awal
sampai dengan akhir karya tulis ini. Sehingga pembaca dapat mendapatkan entri
22
point yang lebih simple yang dapat dikaji dan diteliti lebih lanjut mengenai apa
yang sudah penulis sampaikan dalam skripsi ini.
6. Daftar Pustaka; yang penulis dapatkan dari berbagai sumber yang ada, baik
berupa buku, artikel maupun jurnal-jurnal sebagai referensi baik referensi pokok
maupun referensi penunjangnya.
23
BAB II
FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH
A. Konsep Sunnah Secara Umum
1. Definisi Sunnah
Kata sanna berarti menciptakan sesuatu dan mewujudkannya menjadi suatu
model. Kata tersebut juga diterapkan untuk memperagakan tingkah laku. Suatu
tingkah laku yang patut dicontoh dapat di mulai dengan membuat model atau
mengambil praktik nenek moyang suku atau suatu komunitas.19
Secara etimologi,
kata Sunnah (bentuk pluralnya, sunan) berakar dari huruf sin dan nun yang berarti
(berjalan).20
Sunnah dapat berarti perilaku yang telah mentradisi (habitual practice),
Sunnah juga berarti „praktek yang diikuti, arah, model, perilaku atau tindakan,
ketentuan dan peraturannya,21
serta dapat juga diartikan sebagai teladan baik atau
buruk.22
Walaupun demikian banyak arti dari sunnah, namun secara garis besarnya
bahwa sunnah merupakan tata cara atau praktek aktual yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga mentradisi, maka dapat dinyatakan bahwa sunnah
merupakan hukum tingkah laku.23
19
Abdullah Ahmed An-Na‟im, op.cit, h. 43. 20
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya :
Pustaka Progressif, 1997, h. 668. 21
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, op.cit, h. 20-21. 22
Salim Ali al-Bahanasawi, as-Sunnah al-Muftara> ‘Alaiha>, terj. Rekayasa as-Sunnah oleh
Abdul Basith Junaidy, Yogyakarta; Ittaqa Press, 2001, h. 1 23
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, op.cit., h. 20-21
24
Sunnah bisa juga diartikan sebagai jalan (al-t}ari>qah), baik yang terpuji
maupun yang tercela.24
Dengan kata lain, sunnah itu sendiri bersifat netral. Ia dapat
menunjuk kepada jalan yang terpuji atau jalan yang tercela atau menunjukkan kepada
teladan baik atau buruk berdasarkan periwayatan Imam Muslim terhadap hadist Nabi
SAW, sebagai berikut : 25
ي س في اإلسالو سة حسة فعم بب بعد كتب ن يثم أجر ي عم بب ال يقص ي
أجرى شيئ ي س في اإلسالو سة شيئة فعم بب بعد كتب عهي يثم زر ي عم بب
ال يقص ي ازارى شيئ
Artinya: “Barangsiapa yang membuat Sunnah (teladan) yang baik dalam Islam,
maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya
sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.
Barangsiapa yang membuat Sunnah (teladan) yang buruk dalam Islam,
maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya
sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka”.
Sementara secara terminologi, definisi Sunnah menjadi beragam ketika
dikaitkan dengan spesialisasi dan kajian keislaman tertentu. Menurut ulama h}adis\
(muh}addits\un), Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan sifat-sifat Nabi
SAW.26
Adapun ulama us}ul (us}uliyyu>n) mendefinisikan Sunnah sebagai apa saja
yang keluar dari Nabi SAW selain al-Qur’a>n , baik itu berupa ucapan, perbuatan,
taqri>r yang tepat untuk dijadikan dalil syara‟. Sedangkan ulama fikih (fuqaha>’)
mengartikan Sunnah sebagai segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak
termasuk kategori fard}u atau wajib.27
24
Ahmad „Atiyyatullah, al-Qamus al-Isla>mi>, jilid III, Kairo: Maktabah al-Nah}d}ah al-
Mis}riyyah), h. 528 25
Salim Ali al-Bahanasawi, Rekayasa as-Sunnah op.cit, h. 1 26
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta :
Gema Insani Press, 1995, h. 13 27
Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Us}ul al-H}adis\: ‘Ulu>muhu> wa Mustalah}uhu (Beirut: Dar al-
Fikr, 1979), h. 19
25
Dalam konteks umat Islam, konsep tersebut dijelaskan oleh ulama lainnya
sebagai berikut :
“Dikalangan para pengikut Muh}ammad yang taat dan dalam komunitas
Muslim paling tua, sunnah berarti segala sesuatu yang dapat dibuktikan
sebagai praktik Nabi dan pengikutnya yang paling awal. Sebagaimana halnya
Arab Badui setia pada sunnah (kebiasaan) leluhurnya, demikian pula
komunitas muslim diperintahkan untuk menegakkan dan mengikuti sunnah
baru. Jadi konsep muslim tentang sunnah adalah suatu varian dari konsep
Arab kuno”.28
Menurut Ibn Qutaibah (w. 276 H) dalam tulisannya yang berjudul Ta’wi>l
Muh}tali>f al-h}adits\ beliau membedakan sunnah menjadi tiga macam;29
a. Sunnah yang disampaikan oleh Jibril dari Allah SWT, misalnya sabda Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
التكح انرأة عهى عتب ال عهى خبنتبArtinya: “Seorang wanita tidak boleh dinikahi oleh paman dari bapaknya dan
paman dari ibunya.”.
b. Sunnah yang mana Nabi SAW diberi wewenang oleh Allah SWT untuk
mentradisikannya. Perintah pelaksanaannya adalah berdasarkan rasio Nabi SAW
dimana di dalamnya terdapat dispensasi bagi orang yang menginginkannya,
misalnya: Nabi Muh}ammad SAW memberi keringanan kepada „Abdurrahma>n
bin „Auf dan al-Zubair memakai pakaian sutra karena penyakit gatal yang
diderita keduanya.
c. Sunnah yang diperuntukkan bagi kita dalam rangka edukasi (al-ta’dib) atau
anjuran (al-irsya>d) dalam terminologi para ahli us}ul (us}uliyyu>n). Jika sunnah
tersebut dilaksanakan, maka menjadi sebuah keutamaan. Sebaliknya, jika sunnah
28
Abdullah Ahmed An-Na‟im, op.cit, h. 43 29
Yusu>f Qard}awi, al-Sunnah Masdaran Lil-Ma’rifah wal H }ad}arah, Terj. Sunnah, Ilmu
Pengetahuan, dan Peradaban, Terj. Oleh Abad Badruzzaman, Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya,
2001, h. 27-29
26
tersebut ditinggalkan, maka tidak mengapa, misalnya, larangan Nabi SAW
memakan daging hewan pemakan kotoran.
2. Latar Belakang Sejarah Lahirnya Sunnah
Bagi kaum muslimin periode awal, sunnah berarti sekedar praktek yang
dijalankan kaum muslimin sendiri. Dapat dinyatakan disini bahwa konsep sunnah
Rasul dalam Islam, timbul setelah datangnya Nabi.30
al-Qur’a>n berulang kali menyuruh kaum muslimin untuk mematuhi perintah
Rasūlullah SAW dan menyatakan perilaku beliau perilaku ideal. Oleh karena itulah
kaum muslimin semenjak semula menerima perilaku beliau sebagai model bagi
mereka atas dasar ajaran al-Qur’a>n .31
Semasa Rasūlullah masih hidup, Sunnah mengandung kesesuaian tindakan
para sahabat dengan tindakan Rasūlullah. Mereka menata kehidupan berdasarkan al-
Qur’a>n sebagaimana dicontohkan dan digambarkan oleh perilaku Rasūlullah. Tidak
ada hukum tersendiri yang diperlukan untuk mendukung kelurusan tindakan-
tindakan mereka kecuali perkataan dan perilaku dari Rasūlullah. Setelah Rasūlullah
wafat, para sahabat masih memiliki al-Qur’a>n, perilaku Rasūlullah, dan kebiasaan-
kebiasaan mereka sendiri yang mereka praktekkan semasa Rasūlullah masih hidup.
Para sahabat menetap diberbagai kota diluar Arabia. Mereka tidak hanya menjadi
penyampai sunnah Rasul, tetapi juga menjadi penafsir dan pengurainya. Kemudian
dari kelakuan dan pendapat para sahabat lambat laun dipandang sebagai contoh oleh
generasi berikutnya.32
30
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, dalam “Pintu Ijtihad
Sebelum Tertutup”, terj. Aqah Garnadi, Bandung; Pustaka, 1984, h. 78 31
Ibid. 32
Ibid.
27
Ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan para ulama Islam modern
tentang waktu yang pasti munculnya konsep Sunnah Nabi, sebagaimana dibedakan
dari tradisi Muslim awal. Sebagian ahli, seperti Joseph Schacht, berpendapat bahwa
konsep Sunnah yang khusus ini adalah suatu konsep yang muncul relatif belakangan,
sedangkan yang lainnya, seperti Fazlur Rahman berpendapat bahwa konsep tersebut
telah ada sejak semula.33
Kebanyakan dari ulama mengatakan bahwa seluruh yang
berasal dari Nabi SAW adalah wahyu dari Allah SWT . yang selalu dijadikan dalil
bagi mereka adalah QS. An Najm (53): 3-4, sebagai berikut:
Artinya : “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’a>n ) menurut keinginannya.
Tidak lain (Al-Qur’a>n itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”34
Untuk bisa mengetahui lebih jauh perihal sejarah lahirnya sunnah ini, tidak
dapat terlepaskan dari sejarah pembentukan hukum Islam sendiri dari masa ke masa.
Oleh karena sunnah ini juga menjadi satu dari sekian referensi untuk pembentukan
dan penentuan Istinbat} hukum Islam.
Peran Sunnah Nabi mengindikasikan bahwa umat Islam dituntut untuk
mengikuti teladan Nabi dalam keseluruhan aspek kehidupan, mengingat praktek dan
tindakan-tindakan Nabi telah disetujui oleh Allah sebagai teladan bagi mereka dan
menjadi standar perilaku bagi masyarakat. Apa yang diperintahkan Nabi memiliki
kedudukan yang sama dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Dari sini jelas
bahwa keputusan, pertimbangan dan perintah-perintah Nabi, sebagaimana dinyatakan
33
Abdullah Ahmed An-Na‟im, op.cit, h. 44 34
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n Dan Terjemahnya Juz 1-30 Edisi Baru, Surabaya :
Mekar Surabaya, 2004, h. 763.
28
oleh Allah, adalah memiliki kekuatan hukum. Otoritas Nabi tidaklah didasarkan atas
penerimaan masyarakat, para ahli hukum dan sarjana muslim tetapi didasarkan atas
kehendak Allah sendiri.35
Di samping itu secara empirik dapat dinyatakan bahwa para sahabat semasa
hidup Nabi maupun setelah wafatnya bersepakat mengenai keharusan mengikuti
Sunnah Nabi. Ketaatan mereka kepada Nabi sedemikian rupa sehingga mereka
melakukan apa saja yang beliau lakukan dan meninggalkan apa saja yang beliau
tinggalkan, tanpa membedakan apakah hal itu berasal dari al-Qur’a>n maupun dari
sunnah Nabi sendiri. Mereka memandang sabda, perbuatan dan persetujuan beliau
sebagai memiliki kekuatan hukum yang tidak diperselisihkan oleh seorangpun dari
mereka.36
Seperti dijelaskan oleh Fazlur Rahman, sifat hubungan para Sahabat dengan
Nabi (seperti terus menerus memantau selama hidupnya, fungsi Nabi sebagai guru
yang mengajar, dan Sahabat bukanlah murid pencatat belaka) membuat sulit bagi
kaum tradisionalis formal, para ulama pengumpul serta perekam sunnah Nabi, dan
bagi generasi selanjutnya untuk melepaskan elemen kenabian sama sekali dari ajaran
dan fakta yang di duga berasal dari para Sahabat.37
Dan oleh karena itulah tidaklah harus bahwa Sunnah selalu disimpulkan dan
diketahui dari H}adits\, yaitu suatu laporan (tentang Nabi). Oleh karena Sunnah
bertolak belakang dengan H}adis\.38
3. Fungsi dan Kedudukan Sunnah Secara Umum
35
Id, h. 82 36
Id, h. 56 37
Abdullah Ahmed An-Na‟im, op.cit, h. 45 38
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, op.cit, h. 78
29
Sunnah berfungsi sebagai penjelas yang memerinci yang mujmal, atau
mengkhususkan yang umum dari al-Qur’a>n, memberikan hukum tersendiri yang
tidak terdapat dalam al-Qur’a>n, menambah hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’a>n
sebagai penyempurna atau penguat al-Qur’a>n.39
Dari sini tampak betapa sunnah Nabi menempati posisi penting dan memiliki
fungsi strategis bagi penyebaran al-Qur’a>n yang oleh para ulama dikategorikan
dalam tiga kapasitas sebagai berikut:
1. Sunnah dapat berupa ketentuan-ketentuan yang hanya mengkonfirmasi dan
mengulangi pernyataan al-Qur’a>n.
2. Sunnah dapat berupa penjelasan atau klarifikasi bagi al-Qur’a>n.
3. Sunnah dapat berupa ketentuan-ketentuan yang tidak disinggung dalam al-Qur’a>n
(Sunnah al-Mu‘assisah/ sunnah pembentuk).40
Oleh karena itu ia senantiasa mengikuti dan tidak mungkin menyalahi al-
Qur’a>n. Bila al-Qur’a>n telah mengatur hukum secara nash, maka Sunnah akan
memberikan penjelasan tentang maksudnya. Kemudian penjelasan Sunnah tidak
mungkin keluar dari lingkup alternatif yang diberikan oleh al-Qur’a>n.41
Sedangkan dalam kedudukannya, Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa
Sunnah adalah merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati
kedudukannya setelah al-Qur’a>n. Keharusan mengikuti sunnah bagi umat Islam baik
yang berupa perintah atau larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-
39
H.A. Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, Jakarta; PT. Raja
Grafindo Persada, 2000, h. 89 40
Musahadi HAM, Hermeneutika Hadits-Hadits Hukum; Mempertimbangkan Gagasan
Fazlur Rahman, Semarang; Walisongo Press, 2009, h. 40 41
Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi‟i, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, h. 75
30
Qur’a>n. Hal ini dikarenakan sunnah adalah Mubayyin terhadap al-Qur’a>n, oleh
karena itu siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’a>n tanpa dengan memahami
dan menguasai Sunnah. Begitu pula dalam memahami atau menggunakan h}adits\
tanpa al-Qur’a>n. Karena al-Qur’a>n merupakan dasar hukum pertama yang di
dalamnya berisi garis besar syari„at. Dengan demikian antara al-Qur’a>n dan Sunnah
memiliki kaitan yang sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak
bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.42
Jumhur ulama menyatakan bahwa Sunnah menempati urutan yang kedua
setelah al-Qur’a>n. Sedang al-Syatibiy dan al-Qasimi dalam kaitan ini mengajukan
tiga argument. Pertama, bahwa al-Qur’a>n bersifat Qat}’i al-Wurud, sedangkan sunnah
bersifat Z}anniy al-Wurud. Karena itu yang qat}’i harus didahulukan dari yang
z}anniy. Kedua sunnah berfungsi sebagai penjabar dari al-Qur’a>n. Hal ini harus
diartikan bahwa yang menjelaskan berkedudukan lebih rendah dari yang dijelaskan.
Jika tidak ada mubayyan (yang dijelaskan) maka tidak perlu ada bayan (penjelasan),
sebaliknya jika tidak ada bayan, maka mubayyan tidak mesti hilang dengan
sendirinya. Ketiga ada H}adis\ yang menjelaskan urutan dan kedudukan Sunnah
setelah al-Qur’a>n, yakni mengenai pengutusan Mu„adz bin Jabbal menjadi hakim di
Yaman. Semuanya menunjukkan subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap al-
Qur’a>n .43
Adapula sekelompok ulama yang beranggapan bahwa Sunnah mempunyai
kedudukan yang lebih penting daripada al-Qur’a>n. Dengan kata lain, Sunnah
42
Said Agil Husain Al-Munawar, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama. 1996, h. 19 43
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 93-96
31
merupakan penentu terhadap al-Qur’a>n. Pendapat mereka itu dengan dasar
argumentasi sebagai berikut:
1. Bahwa al-Qur’a>n bersifat mujmal (umum) memerlukan penjelasan dari sunnah,
sehingga kata akhir berada pada sunnah, bukan pada al-Qur’a>n.
2. Ada beberapa ayat al-Qur’a>n yang mempunyai makna ganda (muhtamil) dalam
hal ini Sunnah memberikan alternatifnya.44
Disini beberapa ulama baik dari yang memberikan pendapatnya secara
individual atau perseorangan sampai pada kapasitas untuk dijadikan sebuah paham
secara universal (aliran) memberikan pemahaman yang berbeda terhadap kedudukan
Sunnah, yakni diantaranya:
1. Menurut Imam Syafi‟i
Sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Menurut beliau
setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasu>lullah pada hakekatnya merupakan hasil
pemahaman yang diperoleh Nabi Muh}ammad SAW adalah dari pemahaman
beliau terhadap Al-Qura>n. Selain kedua sumber tersebut (Al-Qura<n dan H}adis\),
dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan
Ijma‟, Qiyas dan Istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam.
Selain itu menurut Syafi’i, Sunnah terbagi dalam tiga bentuk: (1) Sunnah yang
menjelaskan seperti nash Al-Qur’a<n, (2) Sunnah yang menjabarkan nash Al-
Qur’a<n yang bersifat global, dan (3) Sunnah yang menjelaskan sesuatu yang tidak
disinggung dalam Al-Qur’a<n.
2. Syeih} Waliyullah al-Dah}lawi (w.1176)
44
Ibid.
32
Syeih}} Waliyullah al-Dah}lawi membagi kedudukan Sunnah menjadi dua
bagian yakni pertama tabligh al-risa>lah adalah menyampaikan misi kerasulan.45
Meski demikian, misi kerasulan Muh}ammad SAW bukan hanya mementingkan
sampainya surat (At-Tanzi>l) dari Allah untuk disampaikan kepada umatnya
tanpa peduli isinya. Akan tetapi Rasul juga dibebani kewajiban untuk
menjelaskan maksud Al-Qur’a>n yang disampaikan kepadanya sekaligus
mempraktekkan apa yang terkandung didalamnya.46
Diantara yang dikategorikan
kelompok ini adalah tentang berita ghayb dan keindahan kekuasaan Tuhan yang
sandarannya wahyu. Dalam bidang syari„at dan cara ibadah, sandarannya
sebagian pada wahyu dan sebagian pada ijtiha>d yang menduduki wahyu.
Sedangkan yang kedua Ghayr Tabligh al-Risa>lah dimana Sunnah yang dibawa
Rasul tidak membawa misi kerasulan, akan tetapi adakalanya didasarkan pada
pengalaman (al-tajribah) seperti masalah kedokteran dan tradisi. Atau maslahat
parsial seperti perintah Nabi Muh}ammad SAW kepada seorang panglima perang
untuk mempersiapkan prajurit, dan keputusan Nabi kepada seseorang pada kasus
tertentu didasarkan pada fakta dan bukti tertentu.
3. Mahmud Syaltut
Beliau membagi kedudukan Sunnah menjadi dua macam yakni, pertama
Sunnah non-Syari„at (Ghayr Tashri‘iyyah) adalah kebutuhan sebagai manusia
seperti makan dan minum, pengalaman, tradisi pribadi dan kolektif seperti
pertanian, kedokteran, dan berpakaian, manajemen sebagai manusia seperti
45
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, op.cit, h.
197-199. 46
Musahadi HAM, Hermeneutika Hadits-Hadits Hukum; Mempertimbangkan Gagasan
Fazlur Rahman, op.cit, h. 40.
33
pembagian kelompok dalam medan perang. Sedang yang kedua Sunnah sebagai
syari„at (tashri‘iyyah) yang mempunyai dua bagian ; pertama, berupa syari„at
umum yaitu apa yang datang dari Nabi Muh}ammad SAW sebagai Tabligh al-
Risa>lah seperti penjelasan perincian ayat global, masalah ibadah, halal haram,
akidah. Dan semua orang harus mengikutinya. Kedua, syari„at khusus, yaitu
kehadiran Nabi SAW sebagai pemimpin masyarakat yang mengaturnya
berdasarkan kemaslahatan atau sebagai hakim yang memutuskan perkara
berdasarkan bukti atau sumpah. Seseorang boleh melakukannya setelah ada izin
dari seseorang hakim atau imam.47
4. Yusu>f Qard}awi>
Beliau membagi sunnah berdasarkan metode sebagai berikut; pertama
metode universal yakni metode yang bersifat universal untuk kehidupan manusia
seluruhnya. Kedua metode berimbang yakni metode adil untuk umat yang adil
dan pilihan. Ketiga metode yang mudah diterapkan yakni mudah diaplikasikan
dan toleran, tidak menyulitkan manusia dalam kehidupan beragamanya, atau
membuat mereka susah payah dalam kehidupan dunianya.48
47
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, op.cit, h.
197-199. 48
Yusu>f Qard}awi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, 1994, tanpa tempat terbit :
tanpa penerbit, h. 28-32.
34
BAB III
FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH
MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>R
A. Biografi Muh}ammad Syah}ru>r
Muh}ammad Syah}ru>r Ibn Dayb dilahirkan di Damaskus, Syria, 11 April
1938.49
Sampai dengan skripsi ini ditulis, Muh}ammad Syah}ru>r masih hidup.50
Muh}ammad Syah}ru>r adalah anak kelima dari seorang yang bernama Dayb Ibnu Dayb
(al-marh}u>m) dan S}iddi>qah binti Salih Filyu>n (al-marh}u>mah). Syah}ru>r menikah
dengan ‘Azi>zah (al-marh}u>mah) yang kemudian dikaruniai lima orang anak yaitu
T}a>riq (menikah dengan Rih}a>b), Al-Lais (menikah dengan U<ligha>), Ba>su>l (menikah
dengan Rosya>), Mas}u>n (menikah dengan Ala>’), dan Ri>ma> (menikah dengan Lu‟ay)
sedangkan cucu-cucu Syah}ru>r diantaranya Muh}ammad, Sa>mi>, Kina>n, Ya>smi>n,
Ha>syim, dan Ro>mi>.51
Muh}ammad Syah}ru>r dinilai sangat kontroversial karena temuan-temuan
barunya dalam kajian keislaman telah menimbulkan reaksi, baik secara positif
maupun sebaliknya. Respon positif misalnya ditunjukkan oleh Sultan Qabus di Oman
yang membagi-bagi buku tersebut dan merekomendasikan kepada menteri-
menterinya untuk membacanya. Respon positif juga muncul di kalangan sarjana
Barat yang banyak mengapresiasi pemikirannya di berbagai jurnal Internasional,
49
Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason ; The Essential
Muhammad Shahrur, Beirut; ICIS, 2009, h. xix. 50
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta : LKiS, 2010, h. 92. 51
Muh}ammad Syahru>r, Tajfi>f Muna>bi’ul Irh}a>b, Beirut; al Ahalli, 2008, h. 19
35
seperti Journal Middle East Studies Association (MESA). Journal Meria, The Wilson
Quarterly, dan Muslim World, Islam and Christian-Muslim Retation.52
Bahkan sosok pemikir muslim kontroversial ini dituduh oleh lawan-lawannya
sebagai agen zionis, seperti dalam review artikel Peter Clark, The Syah}ru>r : A Liberal
Voice From Syiria53
dan artikel Dale F. Eickelman, Islamic Liberalism Strikes Back54
dan Inside the Islamic Reformation.55
Muh}ammad Syah}ru>r tergolong pemikir yang gigih. Ia harus menghadapi
berbagai kecaman dan ancaman yang ditujukan pada dirinya karena ide-idenya yang
sangat orisinal dan berani. Saat ini ia tengah menjadi obyek kritikan di dunia Arab.
Sekitar 15 buku ditulis untuk menyerang pemikirannya, antara lain Nah}w Fiqh Jadi>d
karya Jamal al-Banna>, Mujarrad Tanji>m karya Sali>m al-Jabi>, Tah}afut al-Qira’ah al-
Mu’a>s}irah karya Mah}ami> Muni>r Muh}ammad T}ahir ash-Shawwaf, dan an-Nas}h, as-
Sult}ah, al-Haqi>qah: Bayna Ira>dati al-Ma’rifah wa Ira>dati al-Haymanah karya Nas}r
H}ami>d Abu> Zayd. Dalam berbagai kesempatan, ia juga dituduh oleh para Syeih} dan
ulama sebagai seorang murtad, kafir, setan, komunis, dan berbagai macam sebutan
buruk lainnya. Oleh karenanya secara resmi buku-buku Muh}ammad Syah}ru>r dilarang
di sebagian pemerintah negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Mesir,
Qatar, dan Uni Emirat Arab, terutama buku keduanya (Dira>sah Isla>miyyah
52
Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islami Muh}ammad Syah}ru>r, Semarang; Walisongo Press,
2008, h. 46 53
Peter Clark, The Shahrur Phenomena: A Liberal Voice From Syiria Dalam Islam and
Christian-Muslim Relation, vol. 7 no. 3, 1996. 54
Dale F. Eickelman, Islamic Liberalism Strikes Back, MESSA Bulletin, 27, no. 1993, h.
163-168. 55
Dale F Eickelman, Inside the Islamic Reformation, Wilson Quarterly, 22, no. 1, 1998, h.
80-83.
36
Mu’a>s}irah fi ad-Dawlah wa al-Mujtama‘, 1994) dan buku ketiganya (al-Isla>m wa al-
I<man : Manz}umah al-Qiya>m, 1996).56
Lepas dari pro dan kontra tentang ide-idenya, Syah}ru>r telah menjadi tokoh
pemikir yang fenomenal. Jutaan surat telah datang kepadanya, baik yang menyatakan
simpati maupun kecaman. Pemikirannya yang liberal, kritis, dan inovatif telah
mengantarkan dirinya sebagai seorang tokoh yang pantas diperhitungkan di dunia
muslim kontemporer. Ia memiliki konsepsi-konsepsi yang kontroversial seputar al-
Qur’a>n , Sunnah, dan ijtiha>d yang menarik untuk didiskusikan.57
Oleh karenanya
Muhyar dengan mengutip Hallaq menyebutnya dengan religious liberalism bersama
Sa„id Ashmawiy dan Fazlur Rahman .58
Disamping itu, ia juga memiliki konsepsi
yang realistis dalam persoalan akidah, politik, dan tata sosial kemasyarakatan Islam
modern.59
Semua kajian dan konsepsi barunya itu merupakan upaya Syah}ru>r untuk
menanggulangi krisis multi dimensi yang melanda dunia muslim saat ini. Pertanyaan
yang selalu muncul di benak Syah}ru>r adalah manakah bukti kebenaran risalah
Muh}ammad sebagai risalah penutup dalam realitas dunia nyata saat ini? Mungkinkah
risalah penutup ini menghasilkan umat yang lemah dan tak berdaya seperti sekarang?
Itulah yang selalu mendorong Syah}ru>r untuk meneruskan kajian-kajiannya.60
B. Pemetaan Intelektual
56
Muhyar Fanani, Muh}ammad Syah}ru>r dan Konsepsi baru Sunnah, dalam Teologia Jurnal
ilmu-ilmu Ushuluddin, Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Vol. 15, no. 2, Juli 2004, h.
146. 57
Ibid. 58
Muhyar Fanani, Kritik Ideologi Syah}ru>r Atas Teori Hukum Islam Tradisional. Jurnal at-
Taqaddum, Semarang: UPMA IAIN Walisongo, vol. 1 no. 1, Juli 2008, h. 98. 59
Muhyar Fanani, Muh}ammad Syah}ru>r dan Konsepsi baru Sunnah, op.cit, h. 146. 60
Ibid.
37
Syah}ru>r menghabiskan pendidikan dasar dan menegahnya di sekolah negeri
di al-Mida>n, pinggiran selatan Damaskus. Sekolah agama yang di sebut kuttab dan
madrasah. Masa kecilnya dihabiskan dalam lingkungan keluarga yang liberal,
dimana kesalehan ritual dipandang kurang penting dibanding ajaran etika Islam
sekalipun ini tidak berarti bahwa mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban ritual
keagamaan, seperti halnya shalat, puasa, bahkan ayahnya mengajaknya haji pada
tahun 1946. Seperti yang diakuinya, ayahnya mengajarkan padanya bahwa beribadah
pada Tuhan sama pentingnya dengan kejujuran, kerja dan mengikuti hukum alam,
yang diilustrasikan dengan perkataan ayahnya : “Jika kamu ingin menghangatkan
tubuh, jangan membaca al-Qur’a<n , tapi nyalakan api di tungku”.61
Pendidikannya diawali di sekolah Ibtida>‘iyyah, I‘da>diyyah, dan Sana>wiyyah,
di Damaskus. Syah}ru>r memperoleh ijazah Sana>wiyyah dari Sekolah Abdurrahma>n
al-Kawa>kib, 1957. 1958, dengan beasiswa dari pemerintah Damaskus,62
karena atas
perhatian dari pemerintah Syiria terhadap dunia pendidikan sangat baik. Kondisi ini
jelas turut memberikan motivasi bagi karier akademik Syah}ru>r di Syiria63
yang
kemudian Syah}ru>r kembali melanjutkan jenjang pendidikannya dengan hijrah ke Uni
Soviet untuk studi Teknik Sipil di Moskow64
, ketika di Moskow inilah dia mulai
berkenalan dengan teori dan praktek Marxis65
yang lebih dikenal dengan konsep
dialektika materialisme dan materialisme historis. Sebagaimana diakui Syah}ru>r
61
“If you want to warm yourself, don‟t recite the Qur‟an, but light a fire in the stove”
Lihat Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason ; The Essential
Muhammad Shahrur, op.cit, h. xix. 62
M. Zaid Su‟di, Iman dan Islam; Aturan-Aturan Pokok, Aturan-Aturan Pokok, Yogyakarta:
Jendela, 2002, h. xiii. 63
Abdul Mustaqim, op.cit, h. 93. 64
Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential
Muhammad Shahrur, Beirut; ICIS, 2009, h. xx. 65
Ibid.
38
kepada Peter Clark, bahwa meskipun meskipun dia bukan seorang penganut aliran
Marxis tetapi dia amat terpengaruh oleh pemikiran Friedrich Hegel66
dan Alfred
North Whitehead sebagai dua tokoh yang banyak mengilhami pemikir Marxian.
Dengan begitu, maka dia benar-benar merasakan benturan peradaban antara latar
belakang teologisnya sebagai seorang muslim dengan fenomena sosial-intelektual
komunis di Moskow. Walau demikian, studinya di Moskow ini tetap ditempuhnya
selama lima tahun hingga berhasil meraih gelar Diploma pada tahun 1964, dan
menyelesaikan diplomanya pada 1964. Lalu kembali ke Negaranya, Syria. Setahun
kemudian dia diangkat sebagai asisten dosen di Universitas Damaskus.67
Dalam tempo yang tidak begitu lama, Syah}ru>r di minta oleh pihak Damaskus
untuk menjadi delegasi pengembangan sumber daya manusia (SDM) ke Ireland
Nation University (al-Jami>’ah al-Qummiyah al-Irlandiyah) Dublin guna melanjutkan
studinya pada program magister (Master) dan doktoral (Ph.D) dalam bidang keahlian
yang sama (teknik sipil), khususnya konsentrasi mekanika pertahanan dan fondasi
(mikanik turba>t wa asa>sat)68 di Universitas al-Qummiyah.
69 Gelar magister ia raih
pada tahun 1969, dan tiga tahun kemudian, tepatnya di tahun 1972 Syah}ru>r telah
menyelesaikan program doktoralnya. Pada tahun yang sama ia kembali ke
Universitas Damaskus dan secara resmi diangkat menjadi dosen pada fakultas teknik
sipil, khususnya mata kuliah mekanika pertahanan dan geologi (mikanika al-turba>t
66
Pendekatan, epistemologi, dan metode Syahrur memanfaatkan trilogi Hegel yakni antara
keterkaitannya at-Tanzil dengan being, proses, dan becoming,
Lihat Muhyar Fanani, “Prinsip-Prinsip Hermeneutika Syah}ru>r‛, dalam Dimas: Jurnal Pemikiran
agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo,
Volume 9, no. 2, 2009, h. 152. 67
A. Rafiq, Zainul Mun‟im, Metodologi Penafsiran Kontemporer Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Akademia, vol. 18, no. 2, maret 2006, h. 169.
68 Udin Safala, Naz}ariyat al-H}udu>d: Penelusuran Matra Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, al-
Tahrir, vol. 7 no. 2 Juli, 2007, h. 147. 69
A.Rafiq, Zainul Mun‟im, op.cit, h. 169.
39
wa al-mans}a>’at al-ard}iyat) sampai kini, dan pada saat yang sama, Syah}ru>r bersama
beberapa rekan kerja di fakultas membuka kantor sekretariat teknik yang berfungsi
sebagai biro konsultasi.70
Pada 1982-1983, Syah}ru>r didelegasikan ke Saudi Arabia menjadi peneliti
teknik sipil pada sebuah perusahaan konsulat disana.71
Pada 1984 Syah}ru>r mulai
menulis ide-ide dasarnya yang dideduksi dari ayat-ayat al-Qur’a>n. Dalam tahap ini,
ia selalu berkonsultasi dengan gurunya, Ja„far Dakk al-Ba>b.72
1995, Syah}ru>r menjadi
peserta kehormatan di dalam debat publik tentang Islam di Maroko dan Libanon.73
Sampai pada tahun-tahun berikutnya Syah}ru>r berhasil menyelesaikan karya-karyanya
sebagai bentuk sumbangsih ide gagasannya terhadap Islam yakni Al-Kita>b wa al-
Qur’a>n , Dira>sah Isla>miyyah Mu’a>s}irah (1994), al-Isla>m wa al-I<man (1996), Mashru‘
Mithaq al-‘Amal al-Isla>miy (1999), dan Nah}w Us}ul Jadi>dah li al-Fiqhi al-Isla>mi
(2000) dan sampai saat ini dengan tambahan karyanya Tajfi>f Muna>bi’ul Irhab, The
Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential Muh}ammad Syah}ru>r.74
C. Kegiatan, Karir, dan Karya-Karya Muh}ammad Syah}ru>r
Karya-karya Syah}ru>r selain dalam bentuk buku pada tahun 1999 M, Syah}ru>r
menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku saku berjudul mashru‘ mithaq al-‘Amal
al-Isla>mi. Buku saku ini ditulis sebagai jawaban Syah}ru>r terhadap pemintaan Forum
Dialog Islam International yang materi isinya tidak jauh berbeda dengan pokok-
pokok pemikirannya yang telah tertuang dalam karya sebelumnya, al-Isla>m wa al-
70
Udin Safala, Naz}ariyat al-H}udu>d: Penelusuran Matra Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r, op.cit, h. 147.
71 M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii.
72 Abdul Mustaqim, op.cit, h. 106.
73 M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii.
74 http://www.shahrour.org.
40
I<man: Manz}umah al-Qiya>m , khususnya tentang perjanjian Islam (mithaq al-isla>mi).
Buku saku ini oleh Dale F. Eickelman dan Isma‟il S. Abu Shehadah diterjemahkan
ke dalam bahasa inggris dengan judul proposal For an Islamic Covenant.75
Di samping dalam bentuk buku dan buku saku, Syah}ru>r juga menulis
berbagai artikel dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Beberapa artikelnya yang
berhasil penulis lacak antara lain:
1. Divine text and pluralism in muslim societies.76
2. Reading the religious text: A new approach.77
3. Applying the concept of “limit” to the rights of muslim women.78
4. Islam in the 1995 Beijing world conference on women.79
5. Muslim scholars increasingly debate Unholy war.80
6. The Concept of Freedom in Islam.81
75
Lihat http://www.Islam21 dan http://www.dartmouth.edu/ di akses tanggal 11 November
2011 76
Lihat http://www.quran.org/library/articles/shahroor.htm diakses tanggal 29 Oktober 2011
Artikel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat Muh}ammad Syahru>r, “teks
ketuhanan dan Pluralisme dalam masyarakat muslim”, terj. Mohammad zaki husein, dalam Syahiron
Syamsuddin dkk, hermeneutika al-Qur‟ān…, h. 255-267. 77
Lihat di http://shahrour.org/?p=1393, lihat juga di
http://www.deenresearchcenter.com/blogs/tabid/73/EntryId/67/Reading-the-Religious-Text-A New-
Approach-by-Mohammad-Shahrour.aspx lihat juga di
www.uprootedpalestinian.wordpress.com/2010/03/24/reading-the-Religious-Text-A-New-Approach/
diakses tanggal 29 Oktober 2011 Artikel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat
Muh}ammad Syah}ru>r, “Pendekatan Baru dalam membaca teks keagamaan”, terj. Saifuddin Zuhri
Qudsy, h. 269-273. 78
Lihat http://www.free-minds.org/applying-concept-limits-rights-muslim-women,
diakses tanggal 29 Oktober 2011. 79
Lihat www.id.shvoong.com/humanities/history/2172325-karya-karya-muhammad-syahrur
diakses tanggal 29 Oktober 2011, Artikel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat
Muh}ammad Syah}ru>r, “Islam Dan Konferensi Dunia Tentang Perempuan di Beijing, 1995”, dalam
Charles Kurzman (ed.), wacana Islam Liberal, terj. Barul ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina,
2001), h. 210-216. 80
Lihat http://shahrour.org/?p=1394. Diakses tanggal 2 November 2011 M. 81
Artikel di dokumentasikan oleh Dr. Najah Kadhim di http://Islam21.net di akses tanggal 9
Oktober 2011.
41
7. Muwaqqifu al-ambalat lil insa>ni al-‘arabi min Dhohi>rotin Munaz}z}oma>ti al-
Mujtama‘ al-Madani.82
8. H}aula Z}ohi>rotun Nakas}ul Insa>ni al-‘Arabi ila> Mustawa> Kha>jatu as-Sala>mati wa
al-Ma’as}i.83
9. D}uku>riyyah al-Mujtama‘ fi at-Tura>thi al-‘Arabi al-Isla>mi.84
10. Mafhum al-H}urriyah fi al-Isla>m.85
11. ‘Alama>niyyah al-Daulah fi al Isla>m.86
12. Raddu ‘ala> Sheih} Yusu>f al-Qard{owi> : Huqu>qul Yata>ma.>87
13. Raddu ‘ala> Sheih} Yusu>f al- Qard{owi> : Fitnatul Mar’ah.88
14. Al-Irh}ab wa H}arb al-Mustalahat.89
15. Al H}ajah al-Milh}ah li al-Is}lah} al-Thaqa>fi (al-Di>ni) fi Buldan al-Syirqi al-Adna>
wa al-Ausat.90
16. Inna lilla>h wa inna ilaih Ra>ji‘u>n.91
17. Al-Us}uliyyah al-Isla>miyyah… ila> ‘Aina?92
18. Mashru‘ Mithaqul ‘Amal al-Isla>mi93
19. Al-H}ara>kat al-Isla>miyyah.94
82
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1385, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 83
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1387, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 84
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1389, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 85
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1391, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 86
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1395, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 87
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1397, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 88
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1399, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 89
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1361/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 90
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1357/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 91
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1359/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 92
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1351/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 93
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1355/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 94
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1349/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M.
42
20. Nah}wa I‘a>dah Tarti>b ‘Ulu>wiyyat al-Thaqafah al-‘Ara>biyyah al-Isla>miyyah:
Maqa>lah al-Isla>m wa al-I<man.95
21. Al-Is}lah al-Di>ni Qabla al-Is}lah al-Siya>si.96
22. Qira>‘ah Mu‘as}irah fi al-Tanzi>l al-Haki>m h}aula al-Mujtama‘ al-Insa>ni wa al-
Musawah bainal afrad wal majmu>’at fi al Irthi wa al-Siya>sah wa al-Iqtiso>d.97
23. Al-Garab wa al-Isla>m.98
24. Al-Ta’addudiyyah al-Zaujiyyah.99
25. Bi Nas al-Qur’a>n al-Kari>m: Kullu Atba’ al-Dayanat al-Sama>wiyyah
Muslimu>n.100
26. Al-Qawamah I.101
27. Al-Qawamah II.102
28. Maqa>lah al-Isla>m wa al-I<man.103
29. Tatammah Bah}s al-Isla>m wa al-I<man.104
30. Qaul fi al-Basyar wa al-Insa>n.105
31. H}aula Nash‘ah Adam wa Nash’ah al-Insa>n.106
32. Kaifa ‘Abbara al-Qur’a>n ‘an Mara>h}il Nash‘ah al-Kala>m al-Insa>i: Nafh}ah al-
Ru>h}.107
95
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1345/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 96
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1347/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 97
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1353/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 98
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1363/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 99
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1367/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 100
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1365/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 101
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1381/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 102
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1383/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 103
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1377/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 104
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1379/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 105
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1369/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 106
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1373/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 107
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1375/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M.
43
33. ‘Ala>miyyah Ayat al-Ah}ka>m (al-risālah ) fi ‘As}r ma> ba‘da al-Risa>lat.108
Secara garis besar, karya-karya Syah}ru>r dibagi ke dalam dua kategori
1. Bidang Tehnik: al-handa>sah al-Asa>siyyah (3 volume), dan al-Handa>sah al-
Tura>biyyah.
2. Bidang ke-Islam-an (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba>’ah wa al-
Nas}r wa al-Tauzi‘, Damaskus): Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah
(1990), Dirasah Islamiyyah Mu’a>s}irah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ (1994), al-
Isla>m wa al-I<man: Manz}umah al-Qiya>m (1996), dan Masyru’ Mithaq al-‘Amal
al-Isla>mi (1999).
D. Paradigma Pemikiran Syah}ru>r
Untuk memahami lebih dalam mengenai awal ditemukan (inspirasi) dari
teorinya dalam sebuah karyanya, Syah}ru>r pernah berkata:
“Suatu hari sebuah ide muncul ketika saya sedang kuliah di rekayasa sosial tentang
bagaimana membuat jalan pintas. Kita menyebutnya dengan tes proctor. Dimana contoh dan
tes yang digunakan untuk mengisi pematang. Di tes ini, kita mengikuti sebuah rumus
matematika dari kita mempunyai 2 vector, X dan Y san sebuah hiperbola. Kita mempunyai
sebuah dampak. Kita membagi sebuah kurva dan meletakkan sebuah garis di atasnya. Garis
ini adalah batas atas dan batas yang lebih rendah. Kemudian aku berpikir tentang konsep
dari batas Tuhan. Aku kembali disini ke kantor dan membuka al-Qura>n. Hanya seperti yang
di matematika dimana kita mempunyai 5 cara untuk membahas tentang batas. Aku
menemukan 5 kasus dimana ide tentang aturan Tuhan yang terjadi. Apakah mereka
mempunyai pendapat bahwa tuhan tidak pernah menaruh beban hukum langsung pada
beberapa masalah yang berkaitan dengan hukuman terhadap kriminal, pernikahan, bunga
(riba) dan praktek-praktek perbankan, tetapi hanya terdapat batasan saja yang mana
masyarakat dapat menciptakan peraturan dan hukum-hukum. Dimana pada refleksinya saya
dapat menarik kesimpulan bahwa pencuri tidak jadi di potong kedua tangannya”.109
108
Lihat http://www.shahrour.org/?p=1371/, diakses tanggal 29 Oktober 2011 M. 109
“One day an idea occurred to me when I was lecturing at the university on civil
engineering on how to make compaction roads. We have what we call a proctor test, in which we
sample and test the soil used in fills and embankments. In this test, we follow a mathematical pattern
of exclusion and interpolation. We have two vector, x and y, a hyperbole. We have a basic risk. We
plot a curve and put a line on the top of it. This line is the upper limit, and there is a lower limit. Then
I thought of the concept of „God Limits‟. I returned here to the office and opened the Qur‟an. Just as
in mathematics where we have five ways of representing limits, I found five cases in which the notion
44
Karena Muh}ammad Syah}ru>r adalah sosok pemikir fenomenal. Maka dengan
cara pandangnya yang khas, ia mencoba menjelaskan bahwa dengan mencoba
kembali kepada teks al-Qur’a>n , maka akan dapat mengembalikan originalitas Islam.
Walau demikian Syah}ru>r masih menggunakan sebuah perspektif kontemporer dalam
memahami teks al-Qur’a>n tersebut.110
Pemikirannya dahsyat yang mengundang pro
dan kontra, bagi yang pro memujinya sebagai „Immanuel Kant‟111
dunia Arab dan
Martin Luther umat Islam. Sedangkan yang kontra, buku-bukunya khususnya Al-
Kita>b wa al-Qur’a>n :Qira’ah Mu’a>s}irah dianggap lebih berbahaya dari The Satanic
Verses-nya Salman Rushdie.112
Syah}ru>r dalam menelorkan ide-idenya, khususnya
terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas dari suatu kegelisahannya terhadap
problematika sosial yang melingkupinya. Ide-idenya muncul setelah sadar
mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu ke-Islam-an kontemporer.
Didasarkan atas teori bahwa kebenaran ilmiah sifatnya tentatif, Syah}ru>r lalu
mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia Islam dewasa ini. Menurutnya,
pemikiran Islam kontemporer memiliki beberapa masalah sebagai berikut:
of God‟s limits occurred. What they have in common is the idea that God has not set down exact rules
of conduct in such matters as inheritance, criminal punishments, marriage, interest, and banking
practices, but only the limits within which societies can create their own rules and laws. Therefore, on
reflection I came the conclusion that thieves do not have to have their hands amputated.”
Lihat Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential Muhammad
Shahrur, 2009, Beirut; ICIS, h. xxii. 110
Wawancara Muh}ammad Syah}ru>r dengan Dale F. Eickelman 1996 dalam The Qur‟an,
Morality and Critical Reason ; The Essential Muhammad Shahrur, 2009, Beirut; ICIS. 111
Disebut Immanuel Kant karena bentuk epistemologinya yang hampir sama dengan yang
dibawa Immanuel Kant dimana Syah}ru>r tidak bisa melepaskan dirinya dari nuansa perpaduan antara
empirisme dan rasionalisme. Lihat Muhyar Fanani, “Epistemologi Kantianisme-plus Syah}ru>r‛, dalam
Dimas: Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat Pengabdian Kepada
Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 1. 2009, h. 34 112
Muh}ammad Syah}ru>r, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential
Muhammad Shahrur, op.cit, h. ix
45
1. Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan
kajian Nas} (ayat-ayat Al-Kita>b ) yang diwahyukan kepada Muh}ammad.
2. Kajian-kajian ke-Islam-an yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif
lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan
subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu
yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya.
3. Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih
mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat.
4. Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme
dan indoktrinasi maz\hab-maz\hab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-
abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
5. Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqa>ha al-khamsah) sudah tidak
relevan lagi dengan tuntutan modernitas.113
Menurut Syah}ru>r kegagalan ini
disebabkan oleh mereka yang berpegang secara ketat pada arti literal dari tradisi
secara absolute dan mereka yang cenderung menyerukan sekulerisme dan
modernitas serta menolak semua warisan Islam, termasuk al-Qur’a>n sebagai
bagian dari tradisi yang diwarisi.114
Oleh karenanya yang diperlukan adalah
formulasi fiqh baru. Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari
para kritikus, tapi umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan
alternatif.115
113
http://groups.yahoo.com/group/alas-roban/message/380 di akses pada tanggal 9 Oktober
2011 114
Aji Sofanuddin dan al-Hamzani, Teori Batas Muh}ammad Syah}ru>r, dalam Jurnal Analisa,
Semarang; Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, vol. XII no. 1, 2007, h. 94 115
http://groups.yahoo.com/group/alas-roban/message/380 op.cit
46
Dari beberapa masalah yang dikemukakan oleh Syah}ru>r, beberapa teori
sempat ia publikasikan kepada publik yang diantaranya:116
Pertama, teori hudu>d (dalam hukum Islam) yang memandang bahwa syari„at Allah
sesungguhnya hanyalah Syari„at yang berupa batas-batas (hudu>d ) dan bukan
syari„at yang konkret („ayni). Oleh karena itu, manusia bertugas menemukan hudu>d
Allah dalam ayat-ayat umm Al-Kita>b. Setelah hudu>d Allah itu ditemukan, ia
diharuskan membentuk hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas, namun tidak
diperkenankan menyalahi atau melampaui hudu>d Allah tersebut.117
Teori hudu>d
diciptakan Syah}ru>r dalam upaya penegakan demokrasi dan kebebasan sipil yang
diprioritaskan dalam bidang hukum Islam118
modern yang dinamis, fleksibel, dan
relevan dengan tuntutan realitas. Oleh karena teori ini masih belum bisa keluar dari
hegemoni positivisme-nomotetik, akibatnya teori ini akan menghasilkan ilmu yang
monogal dan sulit menumbuhkan emansipasi masyarakat karena masyarakat masih di
dominasi oleh positivisme ilmiah (logika nomotetis).119
Kedua, teori tentang hukum Islam yang berpandangan bahwa hukum Islam adalah
hukum sipil (hukum madani) yang manusiawi, penuh keragaman dan berada dalam
cakupan batas-batas (hudu>d ) Allah atau dibangun di atas hudu>d Allah. Karenanya
bagi Syah}ru>r pembuat hukum adalah manusia sendiri. Sedangkan Allah hanya
memberi batas-batasnya saja. Sehingga dapat dikatakan mayoritas hukum penduduk
116
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang, op.cit, h. 118-121. 117
Ibid. 118
Muhyar Fanani, Fiqh Madani, Yogyakarta; LKiS, 2010, h. 234 119
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang, op.cit, h. 191
47
bumi sekarang mengaktualisasikan hukum Islam, selama masih mengindahkan batas-
batas Allah.
Ketiga, teori tentang sumber hukum yang berpandangan bahwa sumber-sumber
hukum Islam itu terdiri dari tiga macam yakni akal, realitas (alam dan kemanusiaan),
dan ayat-ayat muhkamat. Sehingga Al-Qur’a>n , Sunnah, Qiyas, dan Ijma‟ bukan lagi
sebagai sumber hukum jika belum dikonsepsikan menjadi bentuk yang baru. Padahal
Abu Ishaq Asy-Syathi>bi yang menjadi salah seorang pakar us}ul fiqih yang terkenal
dalam karyanya al-Muwafaqat, menegaskan bahwa sumber hukum haruslah sesuatu
yang bersifat qat}’i. Dimana hal ini didasarkan pada tiga premis, yaitu pertama,
berdasar prinsip akal dan kulliyat al-Syari„ah, kedua Jika yang z}anni tidak bisa
diterima akal, maka kulliyat al-Syari„ah juga tidak dapat diterima, ketiga jika yang
z}anni dapat dijadikan dasar us}ul fiqh, maka boleh juga sebagai dasar agama.120
Karena menurut Syathibi, sumber hukum adalah dasar-dasar syari‟at. Dasar-dasar
syari„at memiliki kedudukan yang sama dengan dasar-dasar agama (ushuluddin,
akidah), bila dasar-dasar agama harus qat}’i, maka dasar-dasar syari„at harus qath}’i
pula.
Keempat, teori tentang ijtiha>d yang berpandangan bahwa ijtiha>d adalah upaya
kolektif untuk memahami ayat-ayat hukum sehingga terkuak batas-batas (hudu>d )
Allah dengan menggunakan sistem pengetahuan modern dan kemudian membentuk
perundang-undangan dalam cakupan batas-batas (hudu>d ) Allah itu melalui lembaga
perwakilan nasional. Menurut Syah}ru>r sehebat apapun tingkat akurasi ijtiha>d itu,
kualitasnya hanyalah nisbi belaka, karena ia hanyalah upaya yang bersifat lokal,
120
Aksin Wijaya, Dinamika Teori-Teori Hukum Islam Menurut Wael B. Hallaq, dalam Jurnal
Dialogia; Jurnal Studi Islam dan Sosial, Ponorogo; STAIN Ponorogo, 2003, h. 48
48
temporal, dan spasial. Oleh karena itu Syah}ru>r melihat bahwa ijtiha>d manusia
termasuk Nabi Muh}ammad, bukan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, tapi
hanya membolehkan, menegaskan, mencegah, atau melarang apa yang dihalalkan
oleh Allah sesuai dengan tuntutan situasi kondisi tertentu.
Dan yang kelima, teori tentang mujtahid yang berisi pandangan bahwa mujtahid
hanya terdiri dari: (1) para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung
dalam komisi konsultatif (Al-Lija>n Al-Istisha>riyyah), (2) anggota lembaga
perwakilan nasional (Al-Maja>lis An-Niya>biyyah wa Al-Bala>diyyah). Dengan
demikian, para faqih dan para mufti walaupun ilmunya setinggi langit, bila tidak mau
bergabung dengan komisi konsultatif, ia tidak bisa disebut seorang mujtahid.
Sebuah pemikiran (konsepsi besar) yang telah ditelurkannya yakni
pemikirannya mengenai Teori Batas dengan konstruksi awal epistemologinya
berdasarkan konsep Kaynunah, Sayrurah dan Sayrurah yang dipahaminya yang
orang kenal dengan “Trilogi Hermeneutika”.121
Kajian yang Syah}ru>r lakukan tersebut dapat merombak tatanan teori-teori
lama karena kedinamisan watak gagasan teori yang dibangunnya, teori batas (the
theory of limit), memiliki landasan episteme dan ontologi yang menjadi basis bagi
dekonstruksi wacana lama, yakni landasan linguistik Arab yang dalam level tertentu
bersama-sama dengan kajian ilmu-ilmu eksakta dapat dimasukkan sebagai kajian
episteme dan secara tegas menekankan pada anti-sinonimitas sehingga berujung pada
sebuah kesimpulan yang berbeda sama sekali dengan para teoritisi Islam klasik. Dan
121
Abdul Mustaqim, op.cit, h. 94.
49
terakhir melalui instrument ilmu-ilmu eksakta ia memperkokoh teori yang ia bangun,
khususnya melalui analisis matematika modern.122
Untuk memperoleh konstruksi pemikiran yang luar biasa seperti itu, Syah}ru>r
melalui beberapa tahap atau fase-fase pemikiran yang terbagi menjadi 3 fase,
yaitu:123
1. Fase Pertama, antara 1970-1980
Fase ini bermula saat Syah}ru>r mengambil jenjang Magister dan Doktor
dalam bidang teknik sipil di Universitas Nasional Irlandia, Dublin. Fase ini
adalah fase kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya dan istilah-istilah
dasar dalam al-Qur’a>n sebagai al-D}ikr. Dalam fase ini belum membuahkan hasil
pemikiran terhadap al-D}ikr. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemikiran-
pemikiran taqlid yang diwariskan dan ada dalam khazanah karya Islam lama dan
modern, di samping cenderung pada Islam sebagai ideologi (‘aqi>dah) baik dalam
bentuk kalam maupun fiqh madzhab. Selain itu, dipengaruhi pula oleh kondisi
sosial yang melingkupi ketika itu.
Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, Syah}ru>r mendapati beberapa hal
yang selama ini dianggap sebagai dasar Islam, namun ternyata bukan karena ia
tidak mampu menampilkan pandangan Islam yang murni dalam menghadapi
tantangan abad-20. Menurut Syah}ru>r, hal itu dikarenakan dua hal: pertama,
pengetahuan tentang aqidah Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah
beraliran Mu‟tazili atau Asy‟ari. Kedua, pengetahuan tentang fiqh yang diajarkan
di madrasah-madrasah beraliran Maliki, Hanafi, Hambali, ataupun Ja‟fari.
122
Udin Safala, et al. Liba>s Syah}ru>r, STAIN Ponorogo Press; Ponorogo, 2010, h. 33. 123
M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii-xv
50
Menurut Syah}ru>r, apabila penelitian ilmiah dan modern masih terkungkung oleh
kedua hal tersebut, maka studi Islam berada pada titik rawan.
2. Fase Kedua, antara 1980-1986
Pada 1980, Syah}ru>r bertemu dengan teman lamanya, Dr. Ja‟far (yang
mendalami studi bahasa di Uni Soviet antara 1958-1964)124
. Dimana dalam hal
ini, Ja‟far Dakk al-Ba>b, yang merupakan teman dan sekaligus gurunya, memiliki
peran yang sangat besar dalam mendukung karier intelektual akademik Syah}ru>r.
Pada waktu sama-sama bersekolah, Ja‟far mengambil jurusan Linguistik,
sedangkan Syah}ru>r mengambil jurusan Teknik Sipil. Meskipun setelah itu
keduanya berpisah karena sama-sama telah selesai dalam studinya.125
Dalam kesempatan bertemunya dengan kawan lamanya tersebut di
Irlandia, Dublin,126
Syah}ru>r menyampaikan tentang perhatian besarnya terhadap
studi bahasa, filsafat dan pemahaman terhadap Al-Qur’a>n. Kemudian Syah}ru>r
menyampaikan pemikiran dan disertasinya di bidang bahasa yang disampaikan
di Universitas Moskow pada 1973. Topik disertasinya mengenai pandangan
linguistik „Abd al-Qadir al-Jurhani (ahli nah}wu dan balaghah) dan posisinya
dalam linguistik umum. Melalui Ja‟far, Syah}ru>r belajar banyak tentang linguistik
termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan-pandangan al-Farra‟, Abu
„Ali al-Farisi serta muridnya, Ibn Jinni, dan al-Jurhani,127
Serta dari Yahya ibn
124
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase
perdamaian, Jakarta; PT. Kompas Media Nusantara, 2010, h. 238. 125
Abdul Mustaqim, op.cit, h. 96. 126
Ibid. 127
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase
perdamaian, op.cit, h. 238.
51
Tsa‟lab.128
Sejak itu Syah}ru>r berpendapat bahwa sebuah kata memiliki satu
makna dan bahasa Arab merupakan bahasa yang di dalamnya tidak terdapat
sinonim. Sebuah contoh dari Syah}ru>r untuk memaknai Syah}ru>r memaknai
rattala yurattilu tarti>lan dalam surat al-Muzammil (ayat 1-5) bukan membaca
secara pelan-pelan atau lambat, sebagaimana dipahami para ulama selama ini,
tetapi membaca secara tematik dan mencoba menyintesakan antara pelbagai ayat
yang mempunyai pesan serupa, sehingga Al-Qur’a>n dapat dipahami secara
utuh.129
Selain itu, antara nah}wu dan balaghah tidak dapat dipisahkan, sehingga
menurutnya, selama ini ada kesalahan dalam pengajaran bahasa Arab di berbagai
madrasah dan Universitas.
Sejak itu pula Syah}ru>r menganalisis ayat-ayat Al-Qur’a>n dengan model
baru, dan pada 1984, ia mulai menulis pokok-pokok pikirannya bersama Ja‟far
yang digali dari Al-Kita>b.
Pada fase ini Syah}ru>r menemukan beberapa tesis yang cukup signifikan
dalam memahami kajian Islam. Pertama, bahwa ujaran (alfad}) memiliki karakter
tipikal yang dependen terhadap sejumlah makna. Kedua, bahwa dalam linguistik
Arab-secara umum jika diyakini ada sinonimitas maka mayoritas merupakan trik
untuk mendukung pemikiran tertentu, dan struktur semantik (al-nahwiyyah)
dapat dipastikan memiliki relasi dengan kajian “sastra Arab” (khabar balaghi).
Bagi Syah}ru>r semantik dan sastra merupakan dua kajian yang memiliki tipikal
resiprokal yang tidak dapat dipisahkan karena pemisahan antara dua kajian ini
128
Abdul Mustaqim, op.cit., h. 96. 129
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase
perdamaian, op.cit, h. 238.
52
berarti sama dengan ketidakmungkinan untuk memisahkan antara kajian anatomi
dengan kajian studi psikologi dalam dunia medis. Dari sini ia melihat
ketimpangan atau paradoks antara realitas dengan idealitas. Realitas memberi
informasi bahwa tidak ada relasi resiprokal dalam materi pendidikan dan
pengajaran semantik yang dilakukan baik di sekolah-sekolah Islam maupun
universitas-universitas yang mengajarkan bahasa Arab sebagai materi kajian
dengan kajian makna yang mestinya inheren dan diberikan dalam satu paket
utuh tak terpisahkan, dan hal ini di yakini sebagai krisis utama dan pertama yang
harus dipecahkan.130
3. Fase Ketiga, antara 1986-1990131
Dalam fase ini, Syah}ru>r mulai intensif menyusun pemikirannya dalam
topik-topik tertentu. 1986-an akhir dan 1987, ia menyelesaikan bab pertama dari
Al-Kita>b wa al-Qur’a>n, yang merupakan masalah-masalah sulit. Bab-bab
selanjutnya diselesaikan sampai 1990.
Syah}ru>r dalam pembacaan awalnya mencoba untuk meredefinisi seluruh
tema studi keislaman yang selama ini diterima umat Islam sebagai suatu yang
taken for granted tidak saja dalam wilayah Al-Kita>b dan al-Sunnah al-
nabawiyyah tetapi juga merembes memasuki wilayah kajian fiqh yang dalam
masa berabad-abad diterima dan dijalankan umat Islam tanpa mempertanyakan
hakikat entitas ajaran tertentu melalui bangunan episteme atau teori pengetahuan
yang menjadi dasar sumber validitas entitas tersebut.132
130
Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 39. 131
M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii-xv. 132
Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 34.
53
Syah}ru>r sebagaimana para tokoh pemikir yang lain, tidak mau terjebak
dan menerima begitu saja studi keislaman yang ada dan dijadikan referensi dunia
Islam selama ini, karena kajian Islam (Islamic Studies) selama ini muncul dalam
bentuk dan format yang demikian kaku, ekstrim, eksklusif dan bahkan
terbelakang karena dasar episteme yang digunakan dalam analisis kajian
dianggapnya memiliki banyak kelemahan, dan jika harus di uji validitasnya
dalam wacana kontemporer akan tampak ringkih jika dihadapkan dengan kajian
studi-studi lain yang lebih ilmiah serta modern.133
Beranjak dari penemuannya terhadap adanya anomali paradigma
tradisional yang masih mempertahankan budaya penafsiran klasik yang
mewujud dalam aliran teologi maupun hukum134
yang menjadi salah satu corak
tirani dalam ilmu us}ul fiqh. Ini terlihat dalam konsepsi tentang ijma‟ ulama
sebagai sumber hukum yang telah matang sejak era Umayyah dan jelas
mengesampingkan aspek demokrasi dalam hukum karena mengakui hegemoni
kelompok ulama yang hanya unsur kecil dari keseluruhan komunitas135
dan
dijadikannya sebagai analisis awal, memandang bahwa paradigma tradisional ini
tidak saja membahayakan Islam dari dalam dirinya sendiri tetapi juga
mematikan kreativitas berfikir atau ijtiha>d bagi kajian ilmiah, karena tidak
memberi ruang kepada manusia sebagai satu-satunya makhluk Tuhan di dunia
dan bahkan mungkin di alam ini untuk melakukan jumping atau semacam
lompatan pemikiran dalam memahami dan mengkaji Islamic Studies kecuali
133
Ibid. 134
Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 36. 135
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang, op.cit, h. 107.
54
dengan syarat harus merekonstruksi dan menaruh seluruh warisan aliran
paradigma lama dalam wadah dan kemudian mensistematisasi ulang paradigma
yang harus dipakai dalam menganalisis kajian Islam.136
Adapun dasar-dasar pendekatan dan metode berfikir yang disampaikan oleh
Syah}ru>r adalah sebagai berikut :137
1. Sumber pengetahuan manusia adalah dalam materi yang ada di luar dirinya.
Pengetahuan yang hakiki tidaklah bersifat khayal (ghayr al-wahmiyah),
pengetahuan itu tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi
pikiran. Sesuatu di luar kesadaran adalah hakekat kebenaran pengetahuan (QS.
Al-Nahl: 78).
2. Berdasarkan ayat yang sama, ia berpendapat bahwa filsafat Islam adalah
pengetahuan rasional ilmiah didasarkan pada hasil cerapan indera. Ia menolak
pengetahuan ahl al-Kasyf.
3. Alam bersifat materi. Akal manusia mampu memahami alam dan tidak ada
batasan titik henti bagi akal untuk mengetahuinya. Ilmu pengetahuan manusia
dengan demikian bersifat berkesinambungan dari masa ke masa.
4. Pengetahuan manusia itu didahului dengan pemikiran yang terbatas pada
cerapan indera yang kemudian diabstraksikan. Alam syahadah dan alam ghaib
adalah alam materi. Alam ghaib tidak lain adalah alam materi yang tidak tampak
dalam pemahaman manusia karena tingkat ilmu pengetahuan belum
mencapainya.
5. Tidak ada pertentangan antara apa yang ada dalam Al-Qur’a>n dan filsafat.
136
Udin Safala, Libas Syah}ru>r, op.cit, h. 36. 137
Muhammad In‟am Esha, Pembacaan Kontemporer al-Qur’ān (Studi Terhadap Pemikiran
Muh}ammad Syah}ru>r), dalam jurnal al-Tahrir, vol. 2 no.1, Januari 2004, hlm. 35.
55
6. Al-Kita>b adalah murni untuk kepentingan manusia, karena itu segala yang ada
didalamnya menerima pemahaman sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
rasionalitas manusia. Tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’a>n
tidak menerima pemahaman, karena pada kenyataannya tidak ada jarak antara
bahasa dan pemikiran manusia.
7. Allah SWT menjunjung tinggi kedudukan akal manusia, oleh karena itu maka:
(a) tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, (b) tidak ada pertentangan
antara wahyu dengan hakekat pengetahuan dan rasionalitas pembuatan undang-
undang.
Beberapa pokok pikiran diatas kemudian membawa Syah}ru>r kepada metode
yang digunakan, yaitu analisis kebahasaan yang mencakup kata dan struktur bahasa.
Metode ini dinamakan dengan al-Manhaj al-Tarikhi al-‘Ilmi fi dirasah lughawiyah.
Metode ini diaplikasikan dengan mencari makna kata dengan menganalisis
kaitan suatu kata yang berdekatan atau berlawanan. Karena menurutnya kata itu tidak
memiliki sinonim. Setiap kata memiliki kekhususan makna, atau bahkan memiliki
lebih dari satu makna. Untuk itulah untuk menentukan makna yang tepat perlu dilihat
konteks dan hubungannya dengan kata-kata di sekelilingnya.138
E. Fungsi dan Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r
1. Kedudukan Sunnah
Dalam konteks klasifikasi sunnah, Syah}ru>r membaginya kedalam dua
kategori, yakni Sunnah Risalah dan Nubuwwah. Sunnah Risalah yang terdiri dari
138
Ibid
56
berbagai hukum, ibadah, akhlak dan ajaran-ajaran, sedang nubuwwah terdiri dari
ilmu-ilmu.139
a.) Sunnah Risalah
Yaitu suatu ketaatan terhadap sunnah dimana fungsinya sebagai seorang
Rasul atau pembawa risalah/ memposisikan Muh}ammad sebagai pembawa
syari‟at.140
Demikian karena risalah Muh}ammad adalah penutup dari seluruh risalah
sebagaimana halnya bahwa Al-Qur‟an adalah penutup bagi seluruh nubuwwah.
Risalah Muh}ammad SAW menandai peralihan kondisi manusia yang semakin
menjauh dari alam dan pola hidup hewani dengan tunduk dan beragama kepada
Allah.141
dalam konteks risalah, para ahli fiqih telah menganggap bahwa syariat
Muh}ammad SAW adalah syariat yang beku dan statis yang tidak memberikan
peluang ijtiha>d sama sekali sebagaimana syariat Musa AS. mereka tidak memahami
risalah Muh}ammad sebagai syariat yang bersifat longgar yang hanya memberikan
panduan dan prinsip-prinsip berupa batasan-batasan hukum.142
Sunnah risalah terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ketaatan yang bersambung (al-t}a‘ah al-muttas}ilah) kepada Allah dan Rasul.
Adalah ketaatan yang wajib baik pada masa hidup Rasul maupun setelah
wafatnya dalam wilayah-wilayah ritual-ritual dan hal-hal yang diharamkan.
Ritual-ritual sebagaimana telah dilakukan oleh Rasul sampai kepada kita
(masyarakat dewasa kini) dengan cara mutawatir „amali (secara turun temurun
melalui perbuatan) dan tidak ada kelebihan tentangnya baik bagi para ahli hadis
139
Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 549. 140
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 155.
141 Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 579.
142 Ibid.
57
maupun ahli fiqih. Sedangkan al-muharramat (hal-hal yang diharamkan) telah
dijelaskan dalam kitab Allah. Rasūlullah terjaga dari melakukannya, disamping
keterjagaan dia dalam wilayah iblagh (penyampaian wahyu Tuhan secara
langsung) dan tabligh (penyampaian wahyu Tuhan dengan jelas). Hal-hal yang
termasuk dalam kategori al-muharramat adalah bersifat fitrah, dimana manusia
dengan fitrahnya mampu memahaminya, karena ia masuk dalam nurani
manusiawi, dan didalamnya tidak ada beban dan belenggu.143
2. Ketaatan yang terpisah (al-t}a‘ah al-munfas}ilah)
Yaitu ketaatan yang wajib hanya pada masa hidup Rasul saja. Rasūlullah
memerintah dan melarang dalam wilayah halal, terkadang dalam bentuk pembatasan
dan terkadang memutlakannya kembali dan dia menetapkan dasar-dasar
pembentukan masyarakat sesuai kondisi ruang dan waktu. Dalam kaitan ini dia
adalah seorang mujtahid yang tidak terjaga dari kesalahan (ghayr ma‟sum) dan
keputusan-keputusannya mengandung kenisbian historis. Karena itulah menurut
Syah}ru>r, “ketaatan terpisah” kepada Rasul ini berjalan seiring dengan ketaatan
kepada kepala pemerintahan (ulil al-amr).144
b.) Sunnah Nubuwwah
Suatu ketaatan terhadap sunnah dimana fungsinya sebagai seorang Nabi atau
memposisikan Muh}ammad sebagai penerima informasi keagamaan.145
Dalam hal ini
143
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 151.
144 Ibid, h. 155.
145 Ibid, h. 155.
58
sunnah Nubuwwah berupa pengajaran dan pemberitahuan, Nabi sendiri tidaklah
mengetahui hal yang gayb,146
berdasarkan firmanNya dalam surat Al-„Araf (7): 188
Artinya: “Katakanlah (Muh}ammad) : “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat
maupun menolak mudarat bagi diriku apa yang dikehendaki Allah.
Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya”. Aku hanyalah
pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.”147
Ini adalah hal yang sangat jelas dalam ayat tersebut, tidak ada kesamaran dan
tidak ada ruang untuk ta‟wil atau pembalikan bahasa.148
Akan tetapi menurut
Syah}ru>r, sebagian orang telah menyangkalnya, kemudian menisbahkan kepada rasul
dengan mengatakan bahwa Nabi mengetahui yang ghaib.149
Menurutnya dalam hal
ghaib ini perlu membagi h}adits\ kedalam dua macam:150
1. H}adits\-h}adits\ yang terkait dengan masalah-masalah yang ghaib, yaitu yang
menjelaskan Al-Qur’a<n dan terkait dengan pemahaman yang umum terhadap Al-
Qur’a<n. Syah}ru>r berpendapat h}adits\ dalam hal ghaib ini bukan merupakan takwil
Nabi, karena Nabi dilarang untuk menakwilkan Al-Qur’a <n. H}adits\-h}adits\ ini
harus sesuai dengan konsep umum tentang Al-Qur’a<n yang sesuai dengan
realitas dan akal. Jika h}adits\-h}adits\ tersebut tidak sesuai dengan Al-Qur’a<n maka
dapat diabaikan.
146
Ibid, h. 156. 147
Departemen Agama RI, op,cit, h. 235. 148
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 156.
149 Ibid.
150 Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 554.
59
2. H}adits\-h}adits\ yang terkait dengan penjelasan tafsil al kitab seperti sabda Nabi
Muh}ammad SAW
في نيهة انقدر أسل انقرآ إنى انسبء انديب
Artinya: “Al-Qur’a<n diturunkan ke langit dunia pada malam Qadar.”
H}adits\ ini harus sesuai dengan ayat-ayat tafsil Al-Kitab yang berkarakter tidak
muhkam dan tidak mutasyabih.
Oleh karena itulah sejauh itu sesuai dengan sunnah Rasūlullah, maka sebagai
bukti sebuah ketaatan umat terhadap Nabinya, maka harus diikuti. Sebagaimana
Syah}ru>r dalam pertimbangan karakteristik dalam mengikuti sunnah Rasūlullah ini
diantaranya adalah karena keterjagaan Rasūlullah dari kesalahan (Al-„Ismah). 151
Sedangkan Al-„Ismah pada diri Rasūlullah SAW hanya terbatas dalam dua hal:
1. Rasūlullah SAW terjaga dari berbuat kesalahan dalam menyampaikan az}-Z}ikr
al-H}aki>m (Al-Qur’a>n ) yang diwahyukan kepadanya dalam susunan kata, ujaran,
dan dia juga terjaga dalam tugasnya menyampaikan risalah kepada manusia. Hal
ini sesuai dengan firman Allah:
Artinya : “Wahai Rasul ! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu)
berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah
memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang kafir”. (QS. Al-Ma‟idah 5:
67)152
151
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami>, op.cit, h. 154. 152
Departemen Agama RI, op.cit, h. 158.
60
2. Rasūlullah terjaga (tidak terjerumus) kedalam tindak haram dan tidak melampaui
batas-batas Allah. Hal itu bahwa Rasūlullah telah menjelaskan dan
menyampaikan risalah Tuhan yang diturunkan kepadanya kepada manusia, di
mana didalamnya terdapat penghalalan, pengharaman, perintah, dan larangan,
tanpa menambah dan mengurangi sedikitpun, dan bahwa dia tidak pernah
mengerjakan hal yang diharamkan selama hidupnya serta tidak ber-ijtiha>d
didalamnya. Sebab ijtiha>d-nya hanya berkisar dalam batas-batas wilayah yang
halal secara mutlak (al-halal al-mutlaq), karena sesuatu yang halal tidak
mungkin diterapkan dalam masyarakat manapun kecuali setelah mengalami
pembatasan dengan sebuah keyakinan bahwa pembatasan-pembatasan yang
dilakukan terhadapnya tidaklah bersifat mutlak, akan tetapi berbeda sesuai
dengan perbedaan ruang dan waktu dan akan mengalami perubahan dengan
terjadinya perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik, serta akan berbeda
karena perbedaan kesadaran individu, masyarakat dan pemerintahannya. Ini
adalah hal yang sangat pokok. Hal-hal yang di haramkan oleh Tuhan (al-
muharramat al-ilahiyah) hanya cukup untuk menciptakan nurani Islami bagi
manusia, akan tetapi ia tidak mencukupi untuk mengatur kebudayaan dan
masyarakat dalam seluruh aspeknya, baik aspek sosial, ekonomi, dan politik. Hal
ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Muh}ammad SAW ketika
dia menetapkan sistem pembatasan dan pemutlakannya kembali. Maka upaya
pembatasan dan pemutlakan dalam wilayah halal di atas merupakan upaya
kemanusiaan yang bersifat dialektik-historis yang dilakukan manusia atau
61
lembaga perundang-undangan, sehingga ia berpotensi terhadap kekeliruan dan
kebenaran.153
Dari paparan itulah, Syah}ru>r memahami kenapa ketaatan Muh}ammad hanya
dalam dataran Ar-Risa>lah (fungsinya sebagai seorang Rasul atau pembawa risalah
memposisikan Muh}ammad sebagai pembawa korpus hukum) dan tidak dalam
dataran an-Nubuwwah (fungsinya sebagai seorang Nabi memposisikan Muh}ammad
sebagai penerima informasi keagamaan). Pemahaman Syah}ru>r demikian yang
dipahami karena ia belum menemukan sama sekali ungkapan ‚ati>‘u> an-nabiy‛
(taatlah kamu kepada Nabi) dalam At-Tanzi>l. Demikian juga Syah}ru>r memahami
bahwa Allah SWT memberikan kepada Nabi hak untuk menetapkan undang-undang
tambahan untuk membangun pemerintahan dan masyarakat, tanpa memerlukan
adanya wahyu. Karena perundang-undangan tambahan dalam hal pembatasan
terhadap halal yang mutlak dan dalam hal pemutlakannya kembali mengandung sifat
kenisbian ruang dan waktu. Karena itulah, Nabi memerintahkan agar h}adits\ - h}adits\
-nya tidak dikumpulkan, sebab ia hanya bersifat historis saja, dimana Nabi
menyatakan sebuah pandangan kemudian dia merubahnya sesuai dengan perubahan
kondisi dan syarat-syarat objektif yang ada. Hal demikian yang membuat Syah}ru>r
berkesimpulan bahwa seluruh penduduk bumi telah mengikuti Sunnah Nabi dengan
konsep ini dalam parlemen mereka, melalui cara voting (taswi>t), meminta
pertimbangan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil dalam batas-batas
hukum Allah (hudu>dullah), yang ditegakkan berdasarkan teladan-teladan utama (al-
153
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami>, op.cit, h. 154.
62
muthul al-‘ulya) yang terdapat dalam At-Tanzi>l, dan yang harus masuk melalui
sistem pendidikan dalam nurani para individu-individunya.154
2. Fungsi Sunnah
Menurut Syah}ru>r fungsi sunah Nabi adalah sebagai pembatasan terhadap
yang mutlak (taqyi>d al-mutlaq) dan pemutlakan terhadap hal yang dibatasi (itla>q al-
muqayyad) dalam wilayah al-halal (yang diperbolehkan) dan bahwa pembatasan dan
pemutlakan tersebut menggambarkan dimensi pembentukan bagi laju pertumbuhan
dan perkembangan dalam masyarakat dalam bingkai umum yang membatasi wilayah
al-haram (hal yang dilarang) dan wilayah yang diperbolehkan (al-halal).
Selanjutnya, penting pula bagi kita untuk memahami peran Muh}ammad SAW
sebagai seorang Nabi dan bahwa sunnah Nabi memiliki sejumlah karakteristik
khusus yaitu: 1.) merupakan ketetapan-ketetapan yang lahir dari kondisi kehidupan
obyektif dalam masyarakat Arab pada masa kenabian; 2.) merupakan ijtiha>d dalam
membatasi sesuatu yang dihalalkan (al-halal) yang tidak membutuhkan terhadap
adanya wahyu; 3.) merupakan ijtiha>d yang bersifat pembatasan dalam wilayah yang
dihalalkan secara mutlak, dimana sesuatu yang telah dibatasi tadi dimungkinkan
untuk di-mutlak-kan kembali seiring dengan perubahan kondisi objektif yang ada; 4.)
merupakan ijtiha>d dalam wilayah yang dihalalkan, yang kemungkinan bisa salah
dan benar, karena ia bukanlah wahyu dan karena kesalahan di dalamnya bisa
dibenarkan kembali; 5.) merupakan ketetapan-ketetapan dari ijtiha>d Nabi dalam
wilayah yang dihalalkan, tanpa memandang sumbernya apakah bersifat kenabian
atau bukan, yang bukan termasuk syari„at Islam, tetapi hanyalah merupakan undang-
154
Ibid., hlm. 154.
63
undang sipil (qanun madani) yang tunduk pada kondisi sosial, artinya Nabi semasa
hidupnya telah menetapkan undang-undang sipil untuk mengatur masyarakat dalam
wilayah yang dihalalkan, dan untuk membangun pemerintahan dan masyarakat Arab
pada abad ketujuh. Karena itulah, ia tidak bersifat abadi, sekalipun terdapat ratusan
hadis mutawatir dan s}ah}i>h mengenainya.155
Sebuah contoh tentang ketetapan ijtiha>d yang diputuskan oleh Nabi dalam
membatasi sesuatu yang dihalalkan secara mutlak, dan kemudian Nabi memutlakan
kembali sesuatu yang telah dibatasi tersebut seperti sediakala, yaitu ziarah kubur bagi
perempuan. Kaum perempuan tatkala ditinggal mati oleh seseorang (suami), maka
mereka menyayat-nyayat tubuh mereka, merobek-robek pakaian mereka dan
mengeruk debu (untuk diletakkan) diatas kepala mereka, sebagai ungkapan untuk
menunjukkan posisi si mayit dan untuk meratapinya. Perempuan-perempuan Arab
juga menziarahi makam-makam untuk menghidupkan ingatan terhadap mereka yang
sudah meninggal dunia, dan terbiasa dengan menyayat-nyayat tubuh mereka dan
menuangkan debu (di atas kepala mereka). Maka Nabi datang untuk melarang kaum
perempuan berziarah kubur dan menyayat-nyayat tubuh. Bagi Syah}ru>r, Nabi
Muh}ammad SAW tidaklah mengharamkan kesedihan atas mayit dan tidak
mengharamkan menghidup-hidupkan ingatan terhadapnya; ziarah kubur atau tidak
menziarahinya, keduanya berada dalam wilayah al-halal. Meskipun demikian, Nabi
melarangnya karena adat-istiadat masyarakat jahiliyah yang sudah dianggap oleh
orang-orang Arab sebagai bagian yang tidak terlepas dari wilayah halal yang mutlak
155
Ibid, h. 151.
64
tersebut (al-halal al-mutlak), padahal itu bukanlah termasuk bagian dari syari„at yang
diwahyukan.156
Contoh lain dari syariat yang mutlakkan adalah wasiat dan waris. Keduanya
merupakan dua hal yang sama-sama digunakan oleh Allah dalam At-Tanzi>l al-
Hakim untuk memindahkan harta milik dari generasi ke generasi, meskipun Allah
lebih mengutamakan wasiat daripada waris. Allah berfirman tentang wasiat dengan:
kutiba „alaikum (diwajibkan atas kamu ), dan tentang waris, Dia berfirman dengan :
Yu>s}ikum (Allah mewasiatkan kepadamu), yang menjadikan taklif (dalam arti yang
pertama) lebih kuat dan lebih jelas. Allah mengutamakan wasiat daripada waris, dan
menjadikan norma-norma waris sebagai pengganti ketika tidak adanya wasiat dengan
firman-Nya: min ba’di was}}iyyatin yu>s}i> biha< au dainin. Meskipun demikian keduanya
adalah halal. Oleh karena itulah, manusia bebas untuk memilih salah satu darinya,
atau menggabungkan antara keduanya, karena menggabungkan antara dua hal yang
halal adalah halal.157
Dan dalam hal ini bahwa manusia juga dapat diperbolehkan untuk
mewasiatkan seluruh harta peninggalannya sehingga tidak menyisakan untuk
diwariskan, atau melupakan (mengabaikan) wasiat, kemudian membagi-bagikan
harta peninggalannya dengan ketetapan norma-norma Ilahi tentang waris. Baginya
diperbolehkan berwasiat ¼, atau 1/3, atau ½ dari harta tinggalannya dan
meninggalkan sisanya untuk dibagi dengan sistem waris. Kesemuanya dihalalkan
secara jelas dari ayat-ayat At-Tanzi>l.158
156
Ibid, h. 152. 157
Ibid, h. 152. 158
Ibid, h. 153.
65
66
BAB IV
ANALISIS KONSEP SUNNAH
MENURUT MUH}AMMAD SHAH}RU>>R
A. ANALISIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH DALAM ISTINBAT}
HUKUM ISLAM MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>>R
1. Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r
Ketika mengatakan bahwa Nabi Muh}ammad SAW sebagai teladan yang baik
(uswah), maka apa yang berasal dari beliaupun tentunya baik pula yang dalam hal ini
adalah sunnah. Dengan sangat mulianya sunnah disini, maka menurut Syah}ru>r
sunnah mempunyai kedudukan yang begitu berarti untuk nantinya dijadikan acuan
didalam menformulasikan hukum Islam. Dengan memahami Sunnah ini bukanlah
wahyu dari Allah, akan tetapi hanya merupakan sabda Nabi baik yang mutawwatir
maupun yang ahad, baik yang disebutkan dalam semua kitab h}adits\ dengan
riwayatnya sendiri, hanyalah untuk dijadikan pertimbangan semata. Karena sunnah
Nabi adalah suatu ijtiha>d pertama untuk menentukan keputusan hukum yang dapat
berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.159
Alasan tersebut diperkuat Syah}ru>r didalam penafsirannya terhadap surat an-
Najm: 3-4, Syah}ru>r menyebutkan bahwasannya ketika memaknai ayat tersebut
adalah mencakup seluruh ucapan Nabi semasa hidupnya, dan bahwasannya sumber
utama adalah Al-Qur’a >n dan Sunnah, maka hal ini tidak benar sama sekali. Hal ini
dikarenakan ketika pendapat itu benar, maka h}adits\ seharusnya masuk dalam
159
Ibid, h. 62-64.
67
penjagaan Tuhan, harus terbebas dari banyak permasalahan dan perbedaan dan juga
harus diriwayatkan dengan kata-kata langsung dan tidak dengan makna saja, serta
secara pasti harus sampai kepada kita dalam bentuk ucapan seperti Nabi ucapkan.160
Pada ayat ketiga dalam surat An-Najm terdapat penyebutan karakter
Rasu>lullah, bahwa Muh}ammad SAW tidak mengikuti keinginannya ketika
mengucapkan (wahyu yang diturunkan Allah). Huruf Hijaiyyah ‚wawu‛ pada awal
ayat tersebut (ayat ketiga) menghubungkannya dengan ayat sebelumnya (ayat
kedua), sehingga seakan-akan Allah berfirman: “Temanmu itu tidaklah sesat dan
keliru. Bagaimana dia bisa sesat dan keliru ketika dia mengucapkan wahyu yang
diajarkan diluar kekuasaan keinginannya?.” Adapun ayat yang keempat
mengandung penegasan (ta‟kid) yang termuat dalam bentuk gabungan “nafy”
(peniadaan, yakni lafadz maa yang berarti “tidak”) dan itstitsna’ (pengecualian,
yakni kata illa, yang artinya “kecuali”). Penegasan itu berbunyi: “Apa-apa yang dia
diucapkan, berupa tanzi>l (wahyu) itu benar-benar wahyu Allah yang diturunkan
kepadanya, bukan bisikan dari keinginannya.” Jadi, kata ganti (dhamir) “huwa”
(berarti “ia”) pada ayat keempat adalah kata ganti yang telah diketahui kembali
kepada Al-Qur‟an yang diturunkan, bukan kembali kepada ucapan Nabi yang
disebutkan pada ayat sebelumnya.161
Oleh karena itulah peran Nabi sebagai Rasul dalam rangka menjelaskan
(bayan) pemberitahuan dan penyebaran pesan Tuhan kepada manusia tidaklah
pernah keluar dari At-Tanzi>l. Nabi tidak memiliki kaitan apapun dengan penyusunan
redaksional At-Tanzi>l, melainkan Tuhan turunkan kapada Rasul-Nya dalam bentuk
160
Ibid, h. 129. 161
Ibid, h. 62.
68
yang sudah jadi dan sempurna. Sebagaimana Nabi juga tidak memiliki kaitan apapun
dengan isi kandungan dari perintah dan larangan yang diturunkan kepadanya. Hal ini
menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa wahyu hanyalah berbentuk ide
yang diwahyukan kepada Nabi, kemudian Nabi menyusunnya dalam bentuk yang
diucapkan dan diujarkan. Jika saja hal tersebut benar, menurut Syah}ru>r berarti Nabi
mengetahui secara mendalam terhadap seluruh pengetahuan yang terdapat dalam At-
Tanzi>l secara detail, sehingga memungkinkan untuk menyusun dan dengan itu
keberadaan Nabi menjadi sama seperti keberadaan Allah.162
Dan oleh karena itulah, Syah}ru>r menganggap sunnah Nabi adalah metode
(tidak sebagai h}adits\) yang berinteraksi dengan al-Kitab sesuai dengan kondisi
obyektif yang melatarbelakangi kehidupan Nabi Muh}ammad SAW. Pada konteks ini,
posisi Nabi adalah sebagai suri tauladan, termasuk bagaimana beliau mencontohkan
berbagai batasan hukum, akhlak, dan segala sesuatu yang termasuk dalam wilayah
“ketaatan tersambung” dalam sunnah beliau.163
Selanjutnya Syah}ru>r menambahkan dalam pendapatnya, ketika masih saja
dikatakan bahwa al Kitab masih global, sedangkan Sunnah yang menjelaskan, dan
Qiyas yang dirujukkan kepada penjelasan dalam Sunnah, maka At-Tafakkur
(berfikir), At-Tadabbur (merenungi), At-Ta‟ammul (berimajinasi), dan At-Ta‟aqqul
(menggunakan akal pikiran) bagi manusia sama sekali tidak berarti.164
Karena hal ini
tentu bertentangan dengan firman Allah QS. Yusuf: 2 yang berbunyi:
162
Ibid, h. 128. 163
Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 580. 164
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 129.
69
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’a >n berbahasa Arab
agar kamu mengerti.”165
2. Fungsi sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r
Sunnah Nabi menjadi suatu pembatasan terhadap yang mutlak dan
pemutlakan terhadap hal yang dibatasi dalam wilayah halal dapat menjadi gambaran
pembentukan (hukum) secara umum untuk lebih membedakan antara yang halal
dengan yang haram.
Hal tersebut dikatakan Syah}ru>r bahwa yang haram adalah mutlak, namun
kemutlakannya bersifat „ayni muhaddad (terbatas) yang memungkinkan setiap orang
untuk melaksanakannya sesuai dengan perkembangan masyarakat berdasarkan
konteks ruang dan waktu. Sedangkan yang halal (yang diperbolehkan) juga dikatakan
Syah}ru>r adalah mutlak, akan tetapi ia tidak boleh dikerjakan dan aplikasikan
melainkan dengan pembatasan tertentu.166
Ziarah kubur misalkan yang dilarang Nabi
Muh}ammad SAW ketika itu, berarti Nabi dalam melarangnya memberikan
pembatasan yang berupa norma untuk tidak berlebih-lebihan dalam meratapi
kematian si mayit. Oleh karena para muslim Arab kala itu telah melampaui batas
norma yang ditetapkan Nabi Muh}ammad SAW, maka beliau melarangnya.
Kemudian menurut Syah}ru>r, setelah pemahaman-pemahaman dan keimanan
telah terpatri dalam hati sebagian besar manusia, maka Nabi melonggarkan kembali
terhadap apa yang telah dibatasi sebelumnya dan Nabi mengizinkan kembali bagi
165
Departemen Agama RI, op.cit, h. 317. 166
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 149.
70
kaum perempuan untuk berziarah kubur. Kesalahan berfikir oleh para ahli fiqih
menurut Syah}ru>r dalam hal ini berasal dari pemahaman terhadap pembatasan (at-
Taqyid) dan pemutlakan kembali (al-Itlaq), ketika mereka menganggapnya sebagai
pengharaman terhadap yang halal, dan penghalalan terhadap yang haram, dan
kemudian menganggapnya sebagai ajaran Syari„ah. Inilah yang menjadi cacat utama
dari fiqih Islam. Padahal menurut Syah}ru>r, Nabi melakukannya tidaklah lebih dari
sekedar menerapkan peraturan sipil yang termasuk dalam wilayah yang dihalalkan
yang dipandang Nabi lebih sesuai dan lebih tepat dalam situasi objektif yang
berlaku.167
Selanjutnya Syah}ru>r memahami bahwa Allah SWT memberikan kepada Nabi
hak untuk berijtiha>d menetapkan hukum untuk membangun pemerintahan dan
masyarakat, tanpa memerlukan adanya wahyu. Karena hukum tambahan dalam hal
pembatasan terhadap halal yang mutlak dan dalam hal pemutlakannya kembali
mengandung sifat kenisbian ruang dan waktu. Karena itulah, Nabi memerintahkan
agar h}adits\-h}adits\-nya tidak dikumpulkan, sebab ia hanya bersifat historis saja,
dimana Nabi menyatakan sebuah pandangan kemudian dia merubahnya sesuai
dengan perubahan kondisi dan syarat-syarat objektif yang ada. Hal demikian yang
membuat Syah}ru>r berkesimpulan bahwa seluruh penduduk bumi telah mengikuti
Sunnah Nabi dengan konsep ini dalam parlemen mereka, melalui cara voting
(taswi>t), meminta pertimbangan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil
dalam batas-batas hukum Allah (hudu>dullah), yang ditegakkan berdasarkan teladan-
teladan utama (al-muthul al-‘ulya) yang terdapat dalam At-Tanzi>l, dan yang harus
167
Ibid, hlm. 152.
71
masuk melalui sistem pendidikan dalam nurani para individu-individunya.168
Hal ini
menunjukkan bahwa metodologi yang dipakai Syah}ru>r dalam mengkaji wacana
keislaman adalah linguistik saintifik-matematik, sebuah metodologi yang
menggabungkan antara unsur-unsur bahasa dengan pengetahuan yang bersifat logis
(dapat diterima akal).169
Jadi ketika mengatakan bahwa fungsi sunnah adalah sebagai penjelas bagi
Al-Qur’a<n sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama sebab Allah telah
menfirmankan dalam kitabnya dengan sangat bayyin (jelas), menurut Syah}ru>r itu
adalah tidak tepat. Menurutnya, ketika Allah berfirman litubayyina linna>s, sebagian
kalangan memahaminya secara lahiriah. mereka memahami bahwa ad}-z\ikr
membutuhkan penjelasan karena bersifat global. Karena itu, menurut mereka
penjelasan Nabi yang terperinci haruslah didahulukan daripada ad-z\ikr yang
mujmal. mereka juga memahami bahwa qiyas dalam hal perundang-undangan adalah
hujjah (bisa dijadikan argumentasi/ dalil), karena qiyas pada tahap awalnya merujuk
kepada penjelasan Nabi yang terperinci. Sebagian yang lain mengikuti pendapat
tersebut dan meneruskan hingga sampai pada kesimpulan bahwa penjelasan Nabi,
berdasarkan keberadaannya sebagai perinci terhadap yang global, merupakan
pengkhususan (takhs}i>s) terhadap yang umum dan pembatasan (taqyid) terhadap yang
mutlak. Kemudian orang-orang sesudah mereka mengikuti dan mengatakan tentang
kedudukan h}adits\ Nabi terhadap teks Al-Qur’a<n dan menghapuskannya (nasikh),
168
Ibid, h. 155. 169
Rodli Makmun, et al. Poligami Dalam Tafsir Muh}ammad Syah}ru>r, op.cit, h. 62.
72
sehingga orang mukmin memahaminya bahwa Al-Qur’a<n lebih membutuhkan
sunnah daripada kebutuhan sunnah terhadap Al-Qur’a<n itu sendiri.170
Dan oleh karenanya, menurut Syah}ru>r sunnah Nabi yang yang dibutuhkan
masyarakat (di zaman ini) untuk menerjemahkan, menjelaskan, dan mengetengahkan
gagasan-gagasannya agar lebih dikembalikan lagi kepada pemahaman al-Kitab.171
B. ANALISIS PENERAPAN SUNNAH MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>R
DALAM ISTINBAT} HUKUM ISLAM
Secara bahasa, kata Istinbat} berasal dari kata istanbat}a-yastanbit}u-Istinbat}-
an yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik
kesimpulan. Dengan demikian, Istinbat} adalah suatu cara yang dilakukan atau
dikeluarkan oleh pakar hukum (faqih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum yang
dijadikan dasar dalam mengeluarkan sesuatu produk hukum guna menjawab
persoalan-persoalan yang terjadi.172
Sebagaimana sudah dijelaskan di bab sebelumnya, sunnah al-risala>h memuat
tiga hal hukum, ibadah, akhlak dan ajaran-ajaran. Pertama adalah hal ibadah,
misalnya zakat. Dalam hal ini Nabi saw memberikan batas minimal membayar zakat
sejumlah 2,5 % (dua setengah persen), sehingga kurang dari jumlah tersebut tidak
dinamakan zakat. Atau ketika lebih dari batas tersebut dapat termasuk sedekah.173
Begitu juga, dalam hal salat, haji, puasa dan lain-lain, Nabi SAW memberikan
170
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 126-127.
171 Ibid, h. 128.
172 Abdul Fatah Idris, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim; Studi Kritik Terhadap
Metode Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah, Semarang; Pustaka Zaman, 2007, h. 5. 173
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 138.
73
contoh praktek bagaimana cara melakukan ritual ibadah-ibadah tersebut, disini
berarti menaati Rasul adalah wajib dalam ritual-ritual tersebut sebagai sesuatu yang
tetap sepanjang masa dari Risa>lah.174
Dengan demikian berzakat sebagaimana
melihat Nabi Muh}ammad SAW berzakat, melaksanakan salat sebagaimana melihat
Nabi Muh}ammad SAW melaksanakan salat, berhaji sebagaimana melihat Nabi
Muh}ammad SAW berhaji adalah sama seperti mentaati Allah SWT. Ketaatan yang
demikian adalah ketaatan yang berlaku tetap sepanjang masa tanpa pembaharuan.
Karena, setiap pembaharuan dalam hal ibadah adalah sesat.
Kedua adalah hal akhlak. Yang dimaksud akhlak disini menurut Syah}ru>r,
norma-norma kemasyarakatan (manz}umah al qiyam) dan teladan-teladan utama (al-
musul al-’ulya) yang tunduk pada fase-fase sejarah sejak Nabi Nuh AS dan berakhir
pada Nabi Muh}ammad SAW yang datang dalam bentuk wasiat-wasiat .175
Yaitu
sebagai berikut; dilarang mensekutukan Allah, berbakti kepada kedua orang tua,
dilarang membunuh anak-anak, dilarang melakukan perbuatan-perbuatan keji (zina,
homoseksual, dan lesbi), dilarang membunuh seseorang tanpa alasan yang
dibenarkan, berbuat baik kepada anak yatim dan tidak memakan harta bendanya,
menyempurnakan takaran dan timbangan, berlaku adil dalam perkataan dan tindakan
meskipun terhadap sanak sahabat, memenuhi perjanjian dengan Allah secara khusus
dan perjanjian-perjanjian yang lain secara umum, dilarang menikahi muhrim,
dilarang melakukan praktek riba, dilarang memakan bangkai, darah dan daging
babi.176
174
Ibid, h. 131. 175
Ibid, h. 133. 176
Ibid, h. 133-136.
74
Ketiga, ajaran syari‟at (tasyri‟) yang didalamnya terbentuk risalah Nabi
Muh}ammad SAW yang menegaskan batas-batas Allah dalam dua wilayah yang pasti
yaitu yang dikerjakan (if‟al) dan wilayah yang dilarang untuk mengerjakan (la
taf‟al). Sebagaimana dalam tasyri‟ ini tidak ada ruang untuk ijtiha>d. Karena bahwa
sesungguhnya risalah Muh}ammad bersifat hudu>diyah (berdasarkan batas minimal
dan maksimal didalam penetapan hukum). Dengan wilayah penerapannya adalah
kahidupan manusia sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Artinya ketika itu
sebuah risalah Muh}ammad mengenai penghapusan hukum (nasih}) dari syari‟at-
syari‟at samawi terdahulu, maka itu dapat dijadikan landasan atau ketetapan. Seperti
halnya hukuman zina pada masa Nabi Musa AS adalah rajam, ketika pada masa Nabi
Muh}ammad SAW hukum zina masih berupa jilid dan pembuangan. Ini berarti ajaran
Muh}ammad SAW hadir untuk menetapkan dan menegaskan sebagian ajaran dalam
risalah-risalah yang datang sebelumnya. Dan kemudian setelah datang dan diutusnya
Muh}ammad SAW pada masa itu adalah sebagai penyempurnya atau menambah
hukum-hukum yang pada masa sebelum Muh}ammad SAW belum ada. Misalnya
hukum-hukum waris.177
Kemudian dalam bab-bab sebelumnya juga telah dijelaskan beberapa yang
terkait dengan sunnah dalam skala umum sampai dengan khusus. Syah}ru>r
memberikan definisi modern bahwa yang dimaksud dengan sunnah yaitu upaya
merubah fungsi Rasul dari mutlak menjadi relatif dan gerakan pembaharuannya yang
terjadi di Jazirah „Arab pada abad ke tujuh Masehi (pasca masa Rasul) berkisar
sekitar batas-batas (hudu>d ) yang telah ditetapkan Tuhan. Syah}ru>r menyatakan apa
177
Ibid, h. 144.
75
yang diperbuat Nabi hanya alternatif pertama dalam praktek keagamaan Islam pada
abad ke tujuh Masehi di Shibh Jazirah „Arab ketika itu. Oleh karena itulah pada
masanya, Nabi hanya seorang teladan dalam arti bukan bersifat kewajiban bagi umat
Islam untuk menirunya, tetapi hanya bersifat anjuran. Pemakaian fi’il mad}i (ka>na)
menandakan, produk ijtiha>d Muh}ammad menjadi panutan masyarakat pada
zamannya, tetapi pada masa kini, pada zaman dan massa berbeda, Muh}ammad di
pandang sebagai mujtahid pertama yang mencoba menta‟wilkan al-Qur’a>n dan
menafsirkan umm-kitab sesuai dengan kebutuhan zaman dan masanya. Muh}ammad
dijadikan teladan dalam membuka pintu ijtiha>d sejak dulu sampai kini. Artinya yang
dijadikan teladan bukan hasil ijtiha>d-nya, tetapi metode ijtiha>d-nya.178
Seperti halnya dalam perspektif sahabat Ali RA didalam memahami tentang
diperbolehkan berwasiat ¼, atau 1/3, atau ½ dari harta tinggalannya dan
meninggalkan sisanya untuk dibagi dengan sistem waris. Kesemuanya memang telah
dihalalkan secara jelas dari ayat-ayat At-Tanzi>l. Disinilah muncul h}adits\ Nabi untuk
menegaskan bahwa wasiat adalah 1/3 yang tentu saja nominal itu sudah banyak.
Kemudian sahabat Ali juga mengikuti keputusan Nabi tersebut dalam perkataannya:
“Sesungguhnya berwasiat 1/5 lebih aku cintai dari pada ¼, dan ¼ lebih aku cintai
daripada 1/3 karena sabda Nabi SAW bahwa 1/3 adalah nominal yang sudah
banyak.” Nabi dan sahabat Ali tidaklah mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram dalam keputusan-keputusannya tersebut, mengingat
keputusan tersebut hanyalah keputusan yang bersifat perundang-undangan yang tidak
178
Tsuroya Kiswati, Rekonstruksi Metodologis Wacana Keagamaan Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Islamica; Jurnal Studi Keislaman, vol. 4 no. 2, 2010, h. 293.
76
memiliki sifat mutlak dan umum dan ia bisa dimutlakkan kembali setelah
pembatasan tersebut, dan putusan itu bisa salah dan benar”.179
Contoh yang lain sebagaimana Rasūlullah SAW memaknai tauhid dalam
tahapan-tahapan, cara-cara, strategi-strategi; yakni strategi yang banyak dan strategi
yang satu. Contoh: seorang wanita dan seorang tawanan, dalam metodologi ini
mereka tidak ditinggalkan oleh zaman, sehingga Rasūlullah SAW bersabda : “Tidak
berkurang sedikitpun kebebasan seorang perempuan dan perbudakan di era
globalisasi”. Disini Syah}ru>r memberikan penjelasan bahwa sesuai dengan konteks
tersebut, peranan perbudakan seharusnya sudah selesai.
Untuk lebih dapat mengaktualisasikan kedalam ranah wilayah yang lebih
praktis, seperti yang telah dicontohkan Syah}ru>r di Republik Mauritania yang sedang
terjadi perbudakan, bahkan kadang terjadi dalam bentuk berbeda-beda dan baru,
dengan adanya kondisi yang sangat mendesak ini, maka menurut Syah}ru>r perlu
aturan-aturan yang mengatur hak-hak asasi manusia seperti hak pengasuhan anak,
hak buruh, namun yang terjadi sekarang wanita sekarang tidak mempunyai
kebebasan perihal itu. Artinya sebagai pemaknaan terhadap sunnah Rasūlullah
tentunya dapat dilihat mengenai cara atau metode yang Rasūlullah SAW bawa yaitu
ber-amar ma‟ruf nahi munkar. Itulah mengapa kita wajib ber-amar ma‟ruf nahi
munkar terhadap pembebasan perempuan dan semakin bertambahnya tanggungjawab
kita atas pembebasan tersebut.180
Dengan demikian kita dapat melihat perspektif
sunnah Nabi menjadi lebih dinamis sesuai dengan konteks waktu dan tempat.
179
Muh}ammad Shah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 153.
180 Muh}ammad Syah}ru>r, Tajfif Munabi’ul Irhab, Beirut; al Ahalli, 2008, h. 268.
77
Demikianlah apa yang masih relevan dapat diterima, tetapi bila kondisi
zaman mengharuskan untuk pemahaman baru dari teks-teks Al-Qur’a>n dan As-
Sunnah maka pemahaman itu harus ditelusuri dengan ketentuan bahwa pemahaman
itu tidak keluar dari muatan teks-teks al-Qur’a>n dan as-Sunnah.181
181
Mutamin Arsyad, Rekonstruksi Pemahaman al-Qur’ān dan Hadis, dalam Esensia, vo.3,
no. 1, 2002, h. 20.
78
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan pada bab-bab terdahulu dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Muh}ammad Syah}ru>r menganggap kedudukan sunnah Nabi harus sesuai dengan
kondisi obyektif yang melatarbelakangi kehidupan Nabi Muh}ammad SAW.
Sebagai metode didalam memahami maksud hukum yang selalu berinteraksi
dengan Al-Qur’a <n bukan sebagai bayan atau sumber kedua didalam hukum Islam.
Syah}ru>r menambahkan dalam pendapatnya, ketika masih saja dikatakan bahwa
Al-Kitab masih global, sedangkan Sunnah yang menjelaskan, dan Qiyas yang
dirujukkan kepada penjelasan dalam Sunnah, maka At-Tafakkur (berfikir), At-
Tadabbur (merenungi), At-Ta‟ammul (berimajinasi), dan At-Ta‟aqqul
(menggunakan akal pikiran) bagi manusia sama sekali tidak berarti. Sedangkan
fungsi sunnah menurutnya untuk pengkhususan (takhs}i>s}) terhadap yang umum
dan pembatasan (taqyid) terhadap yang mutlak yang bertujuan untuk dapat lebih
membatasi wilayah halal dan wilayah haram didalam menjadi rujukan metode
penentuan ijtihad hukum.
2. Muh}ammad Syah}ru>r memberikan konsepsi untuk kembali kepada sunnah risalah
yang telah menjadi pemutlakan berupa hukum-hukum yang dinamis sesuai
berdasarkan konteks ruang dan waktu dengan bentuk ketaatan kepada Rasul yang
harus dikuti dan tidak di-ijtiha>d-i dan dalam bentuk konteks ketaatan yang harus
79
di-ijtiha>d-i dengan mengubah ajaran Rasul yang semula mutlak kedalam bentuk
yang relatif.
B. SARAN
Dalam beberapa yang penulis sampaikan dalam karya tulis ini, tentulah
banyak sekali hal-hal yang belum penulis sampaikan dan kaji sampai mendalam,
diantaranya adalah:
1. Perlu kembali untuk dikaji lebih lanjut metode yang disampaikan oleh
Muh}ammad Syah}ru>r dalam konteks penempatan sunnah sebagai konsep landasan
hukum Islam terhadap kasus-kasus yang kian hari kian kompleks dengan
memperdalam kekayaan wacana pemikirannya ketika itu sesuai dengan kondisi
masyarakat abad ini.
2. Masih sangat sulitnya ditemui telaah pemikiran-pemikiran sunnah ketika dilihat
dari kacamata atau perspektif filsafat, utamanya filsafat timur (nomena). Karena
lebih otoritatifnya sunnah, dalam hal ini adalah h}adits\ dari masa kemasa yang
masih menjadi sebuah konsumsi utama tanpa adanya analisa yang mendalam di
dalam memandang sunnah pada konteks kekinian.
3. Masih belum ditemukannya ramuan metode yang tepat dalam konteks sunnah
ketika dijadikan sebuah sumber ijtiha>d, sehingga pola penafsiran sunnah terhadap
realita kekinian juga masih serasa sempit. Karena hanya seorang pemikir tertentu
yang masih peduli mencari formula atau konsep cara ijtiha>d nabi, yang salah satu
diantaranya Muh}ammad Syah}ru>r. Meskipun dalam konteks sosialnya masih
sedemikian rumit diaplikasikan. Oleh karena itu lebih baik kiranya untuk kembali
80
memperkaya wacana sunnah yang disampaikan dan digagas oleh cendekiawan
lainnya ketika dibandingkan dengan Syah}ru>r, dengan mencoba open minded
terhadap pemikiran yang mereka gagas.
4. Memperkaya rumusan gerakan penyadaran terhadap sunnah, sehingga tidak saling
tuduh dan menjustifikasi antar umat ketika memahami Islam. Dan kajian inilah
yang tentunya menjadi telaah penelitian, dengan implikasi penerapan pola metode
sunnah terhadap perkembangan masyarakat modern abad ini dalam menemukan
solusi dari persoalan permasalahan umat. Yang berarti melakukan uji materi
terhadap metode yang selama ini telah menjadi konsumsi publik dan diamati
seberapa besar hal itu dapat menjadi kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
„Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Usul al-Hadis: Ulumuhu wa Mustalahuhu, Dar al-
Fikr; Beirut, 1979.
„Atiyyatullah, Ahmad, al-Qamus al-Islami, jilid III, Maktabah al-Nahdah al-
Misriyyah; Kairo.
Agil Husain Al-Munawar, Said, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama; Jakarta, 1996.
Ahmed An-Na‟im, Abdullah, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties,
Human Rights and International Law, terj. Dekonstruksi Syariah, Wacana
Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan International Dalam
Islam oleh Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, LKiS; Yogyakarta.
Ali al-Bahanasawi, Salim, as-Sunnah al-Muftara „Alaiha, terj. Rekayasa as-
Sunnah oleh Abdul Basith Junaidy, Ittaqa Press; Yogyakarta, 2001.
Arsyad, Mutamin, Rekonstruksi Pemahaman al-Qur‟ān dan Hadis, dalam
Esensia, vo.3, no. 1, Januari 2002.
Clark, Peter, The Shahrur Phenomena: A Liberal Voice From Syiria Dalam Islam
and Christian-Muslim Relation, vol. 7 no. 3, 1996.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997.
Djazuli, H.A. dan Nurol Aen, Ushul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, PT. Raja
Grafindo Persada; Jakarta, 2000.
F Eickelman, Dale, Inside the Islamic Reformation, Wilson Quarterly, 22, no. 1,
1998.
F. Eickelman, Dale, Islamic Liberalism Strikes Back, MESSA Bulletin, 27, no.
1993.
Fanani, Muhyar, 2009, “Epistemologi Kantianisme-plus Syahrur”, dalam Dimas:
Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat
Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 1
Fanani, Muhyar, 2009, “Prinsip-Prinsip Hermeneutika Syahrur”, dalam Dimas:
Jurnal Pemikiran agama untuk pemberdayaan, Semarang: Pusat
Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo, Volume 9, no. 2.
Fanani, Muhyar, Fiqh Madani, LKiS; Yogyakarta, 2010.
Fanani, Muhyar, Kritik Ideologi Syahrur Atas Teori Hukum Islam Tradisional.
Jurnal at-Taqaddum, Semarang: UPMA IAIN Walisongo, vol. 1 no. 1, Juli
2008.
Fanani, Muhyar, Muhammad Shahrur dan Konsepsi baru Sunnah, dalam Teologia
Jurnal ilmu-ilmu Ushuluddin, Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo, Vol. 15, no. 2, Juli 2004.
Fatah Idris, Abdul, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim; Studi Kritik
Terhadap Metode Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah, Pustaka
Zaman; Semarang, 2007.
Halim Uways, Abdul, Fiqh Statis Dinamis, Pustaka Hidayah; Bandung, 1998.
HAM, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada perkembangan
Hukum Islam, Aneka Ilmu; Semarang, 2000.
HAM, Musahadi, Hermeneutika Hadits-Hadits Hukum; Mempertimbangkan
Gagasan Fazlur Rahman, Walisongo Press; Semarang, 2009.
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, dalam “Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup”, terj. Aqah Garnadi, Pustaka; Bandung, 1984.
Imam Asyari, Sapari, suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial, Usaha
Nasional; Surabaya, 1983.
In‟am Esha, Muhammad, Pembacaan Kontemporer al-Qur‟ān (Studi Terhadap
Pemikiran Muhammad Shahrur), dalam jurnal al-Tahrir, vol. 2 no.1,
Januari 2004.
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya,
Gema Insani Press; Jakarta, 1995.
J. Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Liberty; Yogyakarta, 1999.
Kiswati, Tsuroya, Rekonstruksi Metodologis Wacana Keagamaan Muhammad
Shahrur, dalam jurnal Islamica; Jurnal Studi Keislaman, vol. 4 no. 2 tahun
2010.
Misrawi, Zuhairi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase
perdamaian, PT. Kompas Media Nusantara; Jakarta, 2010.
Mustafa Azami, Muhammad, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali
Mustafa Ya‟qub, Pustaka Firdaus; Jakarta, 1994.
Mustafa Azami, Muhammad, Metodologi Kritik Hadits, terj. A. Yamin, Pustaka
Hidayah; Jakarta, 1992.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, LKiS; Yogyakarta, 2010.
Nasution, Lahmuddin, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi‟i, PT.
Remaja Rosdakarya; Bandung.
Qardhawi, Yusuf, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, tanpa penerbit;
tanpa tempat terbit, 1994.
Qardlawiy, Yusuf, al-Sunnah Masdaran Lil-Ma‟rifah wal Hadlarah, dalam
“Sunnah, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban”, terj. Oleh Abad
Badruzzaman, PT. Tiara Wacana Yogya; Yogyakarta, 2001.
Qardlowi, Yusuf, As-Sunah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, Pustaka al-
Kautsar; Jakarta, 1998.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Penerbit Pustaka; Bandung, 1994.
Rasyid Rida, Muhammad, Tafsir al-Qur‟ān al-Hakim (Tafsir al-Manar), jilid IX
(Dar al-Fikr; tanpa tempat, tanpa tahun).
Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islami Muhammad Syahrur, Walisongo Press;
Semarang, 2008.
Safala, Udin, Aries Fitriani, Ahmad Zubaidi, Libas Shahrur, STAIN Ponorogo
Press; Ponorogo, 2010.
Safala, Udin, Nazariayat al-Hudud: Penelusuran Matra Pemikiran Muhammad
Shahrur, al-Tahrir, vol. 7 no. 2 Juli 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Khusus, PT Raja Grafindo Persada; Jakarta, 2003.
Sofanuddin, Aji dan al-Hamzani, Teori Batas Muhamad Shahrur, dalam Jurnal
Analisa, vol. XII no. 1, 2007, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama;
Semarang.
Su‟di, M. Zaid, Iman dan Islam; Aturan-Aturan Pokok, Aturan-Aturan Pokok,
Jendela; Yogyakarta, 2002.
Syah}ru>r, Muh}ammad, “Islam Dan Konferensi Dunia Tentang Perempuan di
Beijing, 1995”, dalam Charles Kurzman (ed.), wacana Islam Liberal, terj.
Barul ulum dan Heri Junaidi, Paramadina; Jakarta, 2001.
Syah}ru>r, Muh}ammad, “Pendekatan Baru dalam membaca teks keagamaan”, terj.
Saifuddin Zuhri Qudsy.
Syah}ru>r, Muh}ammad, “teks ketuhanan dan Pluralisme dalam masyarakat
muslim”, terj. Mohammad zaki husein, dalam Syahiron Syamsuddin et.
Syah}ru>r, Muh}ammad, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, al-Ahali;
Damaskus.
Syah}ru>r, Muh}ammad, Nahw Us}u>l Jadi>dah Li al-Fiqh al-Isla>mi> : Fiqhul Mar’ah ; al-was}iyah, al-Irs\u, al-Qawa>mah, al-Ta’addudiyyah, al-H}ijab, al Ahali;
Damaskus, 2000.
Syah}ru>r, Muh}ammad, Tajfif Munabi‟ul Irhab, al Ahalli; Beirut, 2008.
Syah}ru>r, Muh}ammad, The Qur‟an, Morality and Critical Reason; The Essential
Muhammad Shahrur, ICIS; Beirut, 2009
Warson Munawwir, Ahmad, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap
Pustaka Progressif; Surabaya, 1997.
Wijaya, Aksin, Dinamika Teori-Teori Hukum Islam Menurut Wael B. Hallaq,
dalam Jurnal Dialogia; Jurnal Studi Islam dan Sosial, STAIN Ponorogo;
Ponorogo, 2003.
Zainal, Asikin dan Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada; Jakarta, 2004.
Zainul Mun‟im, A. Rafiq, Metodologi Penafsiran Kontemporer Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Akademia, vol. 18, no. 2, 2006.
Sumber dari Internet
http://groups.yahoo.com/group/alas-roban/message/380
http://Islam21.net
http://www.dartmouth.edu/
http://www.deenresearchcenter.com/blogs/tabid/73/EntryId/67/Reading-the-
Religious-Text-A New-Approach-by-Mohammad-Shahrour.aspx
http://www.free-minds.org/applying-concept-limits-rights-muslim-women,
http://www.quran.org/library/articles/shahroor.htm
http://www.shahrour.org
www.id.shvoong.com/humanities/history/2172325-karya-karya-muhammad-
syahrur
www.uprootedpalestinian.wordpress.com/2010/03/24/reading-the-Religious-Text-
A-New-Approach/