studi agribisnis tanaman obat di jawa...

24
ICASEPS WORKING PAPER No. 66 STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Oktober 2004 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Upload: dinhngoc

Post on 03-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

ICASEPS WORKING PAPER No. 66

STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH

Bambang Rahmanto Oktober 2004

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 2: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH

Bambang Rahmanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Jalan Ahmad Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRAK

Peran komoditas tanaman obat akan semakin penting dalam memberikan kontribusi ekonomi di masa depan. Hal ini ditunjukkan dari permintaan produk tanaman obat yang semakin meningkat, yang diindikasikan oleh tingkat pertumbuhan industri jamu yang relatif tinggi. Komoditas tanaman obat meru-pakan salah satu komoditas unggulan dalam program penumbuhan SPAKU di Jawa Tengah, dipromosikan di Kabupaten Karanganyar berdasarkan pertimbangan lebih dekat ke konsentrasi pasar dan sekaligus mem-bantu peningkatan sumber pendapatan petani di wilayah marjinal. Dalam agribisnis tanaman obat, petani secara rata-rata belum mencapai keuntungan normal. Permasalahannya adalah: (1) produktivitas secara rata-rata rendah dan tingkat keragaman tinggi, karena faktor iklim dan penerapan teknologi, (2) kurang terse-dianya benih bermutu di pasaran, (3) kurangnya kemampuan petani memperoleh kesempatan meraih nilai tambah dengan melakukan penjualan dalam bentuk simplisia (rajangan kering), karena faktor persyaratan, diskriminasi harga, dan ketersediaan mesin perajang. Selama 2 tahun pendiriannya, KUBA belum mampu menunjukkan peran dan fungsinya sebagai badan usaha dan lembaga ekonomi rakyat dalam menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi petani. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa kondisi faktor internal KUBA relatif kurang baik. Dengan kondisi KUBA yang ada sekarang, diperlukan strategi pengembangan melalui pertumbuhan integrasi horisontal dengan melakukan: (1) perbaikan manajerial, (2) upaya terobosan untuk meningkatkan modal usaha dan penyediaan infrastruktur, dan (3) penggalangan kerjasama antar produsen di sentra-sentra produksi untuk memperkokoh jaringan informasi dan komunikasi serta memperkuat posisi tawar terhadap pihak pedagang pengumpul maupun perusahaan jamu. Peran pemerintah masih sangat diperlukan dalam pembinaan manajemen, fasilitasi modal usaha dan infrastruktur, serta pelayanan informasi pasar dan teknologi.

Kata Kunci: Agribisnis ; Tanaman obat.

PENDAHULUAN

Dalam rangka menciptakan usaha pertanian yang efisien telah muncul gagasan

tentang pembangunan pertanian spesifik lokasi, yang melahirkan konsep pengembangan

komoditas unggulan di wilayah tertentu. Pembangunan pertanian komoditas unggulan

tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan saja, tetapi

diperlukan pembenahan kelembagaan dan adanya peningkatan nilai tambah melalui

kegiatan agribisnis.

Dalam mewujudkan program pembangunan pertanian yang berorientasi pasar,

selain diperlukan pemberdayaan sumberdaya unggulan di masing-masing wilayah,

diperlukan pula suatu model kelembagaan perekonomian petani yang dapat

dikembangkan menjadi koperasi, yang tercermin dari program Sentra Pengembangan

Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU). Melalui SPAKU pemberdayaan komoditas

unggulan dikembangkan secara terpusat di suatu lokasi sentra produksi agar skala

Page 3: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

2

produksi memungkinkan tumbuhnya berbagai usaha agribisnis, baik hulu maupun hilir.

Dengan skala usaha yang dikembangkan dimungkinkan terwujudnya efisiensi usaha dari

kegiatan usaha penyediaan sarana produksi, kegiatan usaha pertanian, pengolahan

hasil, dan pemasaran.

Komoditas tanaman obat merupakan salah satu komoditas unggulan dalam

program penumbuhan SPAKU di Jawa Tengah. Jenis tanaman obat yang dijadikan

komoditas unggulan adalah jahe, kunyit, dan kencur. Sasaran luas areal tanaman obat

sampai tahun 2002-2003 mencapai 500 hektar, sedangkan pada tahun 1996/1997 baru

mencapai 20 hektar (Tim IPB, 1997).

Peran komoditas tanaman obat dalam memberikan kontribusi ekonomi di sektor

pertanian akan semakin penting di masa depan. Hal ini disebabkan oleh semakin

meningkatnya permintaan terhadap komoditas tanaman obat, baik secara kuantitas

maupun ragam jenisnya. Meningkatnya secara signifikan permintaan terhadap berbagai

jenis produk komoditas tanaman obat disebabkan oleh kebutuhan dan penggunaan

tanam-an obat yang semakin meluas, baik dari kalangan masyarakat di dalam negeri

maupun internasional. Mereka semakin menyadari besarnya manfaat produk tanaman

obat di bidang farmasi, sebagai alternatif substitusi penggunaan obat-obatan dan

kosmetika secara kimiawi maupun manfaatnya sebagai bahan baku industri makanan

dan minuman.

Pemanfaatan domestik komoditas tanaman obat selain digunakan di bidang

farmasi, sebagian besar terserap untuk memenuhi kebutuhan industri jamu atau obat

tradisional, baik yang berskala perusahaan maupun industri rumah tangga. Selain itu,

sebagian juga terserap untuk usaha jamu gendong. Perkembangan industri obat

tradisional mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Menurut Suporaharjo dan

Hargono (1994), pertumbuhan industri jamu dari tahun 1981 - 1990 rata-rata mencapai

sekitar 17 persen per tahun, yaitu dari 165 menjadi 443 buah. Bahkan, menurut Ditjen

POM dalam Hartoyo et al, (1998) jumlah perusahaan jamu tersebut telah mencapai 700

buah yang mampu mengkonsumsi simplisia nabati tidak kurang dari 187 jenis tanaman

obat. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang mempunyai jumlah

industri jamu terbesar ketiga setelah Jawa Timur dan DKI Jakarta.

Dalam mewujudkan pengembangan komoditas tanaman obat melalui model

SPAKU, pemerintah telah memotivasi tumbuhnya kelembagaan ekonomi rakyat, antara

lain adalah Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) tanaman obat di Kabupaten

Page 4: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

3

Karanganyar pada T.A 1996/1997. KUBA diharapkan menjadi cikal bakal pembentukan

Koperasi Agribisnis Komoditas Unggulan (KOPAKU) tanaman obat di wilayah itu.

Dalam kaitan tersebut, studi ini bertujuan untuk mempelajari model agribisnis dan

kinerja KUBA tanaman obat guna mengkaji kelemahan, masalah, peluang dan kelebihan

organisasi ini. Hasil studi diharapkan dapat memberikan masukan untuk menyusun

kebijaksanaan dalam rangka pembinaan dan penyempurnaan kelembagaan KUBA pada

khususnya dan kelembagaan sejenis pada umumnya.

METODE PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei di lokasi pengembangan

KUBA tanaman obat di Kecamatan Jumapolo, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa

Tengah pada bulan November – Desember 1999. Sumber data diperoleh dari petani

anggota dan non anggota KUBA sebanyak 25 responden yang dipilih secara acak,

pengurus KUBA dan informan kunci lainnya yang terdiri dari tokoh masyarakat, pembina

dan pejabat dari instansi terkait serta data sekunder sebagai pendukung dalam

memahami kondisi daerah penelitian dan identifikasi kondisi organisasi/manajemen

KUBA.

Metode Analisis

Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan model agribisnis yang berlaku

secara umum di lokasi contoh maupun yang dilaksanakan oleh organisasi KUBA guna

memberikan gambaran kinerja KUBA sebagai badan usaha dan sekaligus sebagai

lembaga ekonomi rakyat.

Analisis kelayakan finansial digunakan untuk melihat tingkat kemampuan usaha-

tani tanaman obat dalam memberikan profitabilitas, pendapatan dan nilai tambah

kepada petani produsen.

Analisis SWOT (Strengths-Weakneses-Opportunities-Threats) dipergunakan

untuk memformulasikan strategi pengembangan KUBA. Berdasarkan identifikasi peubah-

peubah internal (SW: Strengths-Weakneses) dan eksternal (OT: Opportunities-Threats)

dibuat tabel analisis internal faktor (IFAS: Internal Strategic Factors Analysis Summary)

dan tabel analisis eksternal faktor (EFAS: External Strategic Factors Analysis Summary)

dengan memberi bobot dan rating. Pemberian bobot didasarkan atas keunggulan-

Page 5: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

4

keunggulan relatif terhadap faktor lainnya, sedangkan pemberian rating didasarkan atas

prediksi atau kemampuan KUBA untuk masa yang akan datang. Berbagai alternatif

strategi dapat dirumuskan berdasarkan model analisis SWOT Matrik.

Indikator faktor internal yang mempengaruhi kinerja organisasi KUBA diasumsi-

kan mencakup berbagai peubah (variable) yang terkait dengan aspek berikut: (1)

Manajemen; (2) Produksi: (3) Pemasaran; (4) Sumberdaya fisik; (5) Sumberdaya

manusia; dan (6) Sumberdaya finansial. Sedangkan Indikator faktor eksternal terdiri dari

peubah-peubah yang terkait dengan aspek berikut: (1) Kebijakan pemerintah; (2) Kondisi

pasar input/output; (3) Kondisi sosial/kemasyarakatan; (4) Kondisi perekonomian; (5)

Perkem-bangan sektor swasta; (6) Kondisi politik dan keamanan; dan (7) Cekaman

hama/penyakit dan perubahan cuaca.

Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan KUBA dilakukan evaluasi

dengan mengidentifikasi unsur-unsur mana yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari

aspek internal KUBA serta unsur-unsur mana yang menjadi peluang dan tantangan/

ancaman dari aspek eksternal KUBA. Selanjutnya dilakukan inventarisir terhadap unsur-

unsur kekuatan dan kelemahan maupun unsur-unsur peluang dan ancaman, masing-

masing dalam sebuah tabel analisis faktor internal dan tabel analisis faktor eksternal dan

memberikan nilai skor untuk setiap unsur. Nilai skor diperoleh dari hasil perkalian bobot

dan skala. Nilai bobot berkisar antara 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (paling penting),

sedangkan nilai skala berkisar antara 1 (sangat buruk) sampai 4 (sangat baik). Hasil total

nilai skor unsur kekuatan dan kelemahan pada faktor internal dan total nilai skor unsur

peluang dan ancaman pada faktor eksternal memberikan indikasi alternatif strategi

pengembangan KUBA dengan mengacu pada kriteria seperti tersaji pada diagram

berikut.

Total skor faktor internal Kuat Rata-rata Lemah 4,0 3,0 2,0 1,0

Kuat

3,0

I: Pertumbuhan Strategi konsentrasi

melalui integrasi vertikal

II: Pertumbuhan Strategi konsentrasi melalui

integrasi horizontal

III: Penciutan Strategi

turn around

Menengah

2,0

IV: Stabilitas Strategi stabilitas

V: Pertumbuhan/stabilitas Strategi integrasi horizontal/

stabilitas

VI: Penciutan Strategi divestasi

Rendah

1,0

VII: Pertumbuhan Strategi diversifikasi

konsentrik

VIII: Pertumbuhan Strategi diversifikasi

konglomerat

IX: Likuidasi Strategi likuidasi/ bangkrut

Sumber: Rangkuti (1999)

Page 6: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Agribisnis Tanaman Obat

Menurut Tim IPB (1997), Kabupaten Karanganyar sebenarnya belum termasuk

sebagai daerah sentra produksi tanaman obat di Jawa Tengah. Terpilihnya kabupaten ini

sebagai daerah SPAKU tanaman obat terutama berkaitan dengan besarnya potensi

pasar yang dimiliki oleh kabupaten, yaitu:

(1) Adanya perusahaan jamu PT. Air Mancur sebagai perusahaan kemitraan dengan total kebutuhan simplisia (bahan kering rajangan) sekitar 400 - 500 ton dan bahan baku basah sekitar 3.000 - 3.500 ton per tahun.

(2) Adanya pasar jamu di Kecamatan Nguter - Sukoharjo dan koperasi pedagang jamu yang membutuhkan pasokan bahan baku basah sebesar 600 - 700 ton per tahun.

(3) Masyarakat setempat sudah tidak asing lagi dalam budidaya tanaman obat sebagai usaha sampingan, dan pernah menjadi juara II dalam lomba budidaya tanaman obat keluarga (TOGA) tingkat Provinsi pada tahun 1995.

Di antara kecamatan yang ada, Kecamatan Jumapolo termasuk sentra produksi

tanaman obat di Kabupaten Karanganyar, sehingga pada tahun 1996/1997 terpilih

sebagai daerah pilot proyek SPAKU tanaman obat di Jawa Tengah. Selain Kecamatan

Jumapolo, dua kecamatan lainnya, yaitu Kecamatan Ngargoyoso dan Jenawi masing-

masing memiliki potensi untuk dikembangkan tanaman jahe dan lengkuas. Pangsa

produksi jahe dan kunir kabupaten Karanganyar baru mencapai sekitar 2,1 - 2,3 persen

dari produksi jahe dan kencur di Jawa Tengah. Sedangkan pangsa produksi lengkuas

(laos) dan kunyit kurang dari 1 persen.

Pengadaan Sarana Produksi dan Modal Usahatani

Secara umum pengadaan benih tanaman obat dilakukan melalui tiga cara yaitu

dengan membeli di pasar atau membeli kepada petani lain dan pengadaan benih sendiri

dengan memanfaatkan hasil panen yang diseleksi untuk benih. Selain itu, secara

insidentil ada sebagian petani yang menerima bantuan benih dari pemerintah, seperti

petani peserta P2RT (Proyek Pertanian Rakyat Terpadu) dan petani peserta penelitian

On-Farm dari BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Ungaran. Dalam pengadaan

pupuk buatan dan pestisida tersedia dua sumber pelayanan saprodi yaitu di kios-kios

saprodi di pasar kecamatan atau di KUD yang melayani pembelian tunai atau melalui

KUT. Sedangkan pengadaan pupuk kandang pada umumnya diperoleh dari hasil kotoran

Page 7: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

6

ternak yang diusahakan oleh petani sendiri atau membeli dari pedagang pengumpul atau

dari peternak (Gambar 1).

Dari Gambar 1 tersebut tercermin pula bahwa modal usahatani untuk tanaman

obat selain berasal dari modal sendiri juga dapat diperoleh dari bantuan pemerintah

melalui KUT. Dengan adanya program penumbuhan SPAKU tanaman obat, sebagian

petani anggota KUBA memperoleh modal usaha dari P2RT, dan bagi petani peserta

penelitian on-farm memperoleh subsidi saprodi dari BPTP Ungaran.

Bantuan bibit dari P2RT masing-masing untuk jenis komoditas tanaman obat,

yaitu jahe, kencur, dan kunyit adalah sebesar 200 kg/ha. Bantuan bibit ini harus dikemba-

likan secara revolving sebesar 50 persen dari hasil panen (Tim IPB, 1997). Bantuan

pupuk kandang sebesar 20 ton/ha, sedangkan bantuan pupuk unorganik yang berupa

pupuk urea, SP-36, dan Kcl masing-masing sebesar 100; 100; dan 50 kg/ha. Bantuan

lainnya berupa biaya pengolahan sebesar Rp 40.000 per hektar. Selain bantuan sarana

produksi, petani anggota juga memperoleh ternak kambing sebanyak 40 ekor untuk 4

kelompok.

Swadaya

Petani lain

Kios Saprodi

Pedagang pengumpul

Petani peternak

BPTP

KUT

P2RT

Produksi sendiri

Seleksi hasil panen

Pedagang pasar

Bantuan pemerintah

Pupuk unorganik

& Pestisida

Pupuk organik

Benih

Swadaya

Swadaya

Bantuan pemerintah

Gambar 1. Pengadaan sarana produksi untuk komoditas tanaman obat

KUD

Page 8: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

7

Sistem Produksi

A. Pola Tanam

Kecamatan Jumapolo terletak pada ketinggian 340 - 780 m dpl dengan luas

wilayah mencapai sekitar 5.562 hektar yang terdiri dari lahan sawah 33,4 persen, lahan

tegalan 28,5 persen, lahan pekarangan 36,0 persen dan penggunaan lainnya 2,1 persen

(BPP, 1999). Kondisi wilayahnya didominasi oleh lahan miring dengan topografi berbukit.

Wilayah ini termasuk daerah kering beriklim kering, dengan bulan basah selama 6 bulan

dan bulan kering 5 bulan dengan suhu udara harian rata-rata 300 C (Hartoyo et al, 1998).

Pada kondisi agroekosistem yang demikian, pola tanam yang ditemui menunjukkan

bahwa pola tumpangsari atau pertanaman campuran antara tanaman keras/tahunan,

tanaman pangan dan tanaman obat-obatan di lahan tegalan merupakan model yang

banyak diterapkan petani. Di lahan pekarangan, tanaman obat umumnya ditanam secara

monokultur di antara tanaman keras/tahunan, dan ditanam secara petakan dimana

masing-masing petak ditanami jenis tanaman obat yang berbeda. Lahan sawah

umumnya ditanami padi pada musim penghujan dan tanaman palawija pada musim

kemarau. Meskipun demikian, ada sebagian petani yang melakukan penanaman

tumpangsari tanaman obat dengan tanaman pangan (Tabel 1).

Tabel 1. Keragaan pola tanam di lahan pekarangan, tegal, dan sawah

Jenis lahan Pola tanam

1. Pekarangan Tanaman keras1) + (jahe/kencur/kunir/temulawak/ lengkuas/ bengle)

2. Tegal Sebagian ada tanaman keras1) + (kacang tanah/jagung/ubikayu)2) + (jahe/kencur/kunir)3) -/- Kacang tanah

3. Sawah Padi - Kacang tanah + jagung

Padi – Padi

Jahe + kacang tanah atau kencur + kacang tanah

Sumber : Data Primer Keterangan: 1) jenis tanaman keras = Kelapa, mangga, rambutan, durian, nangka, jambu mete, petai, jengkol, sengon, bambu. 2) Ubikayu ditanam disekeliling lahan 3) Biasanya tanaman obat ditumpangsari dengan kacang tanah

Kendala utama dalam budidaya tanaman obat adalah kekeringan dan masalah

busuk rimpang yang sering menyerang pada tanaman jahe, yang mengakibatkan

rendahnya produktivitas jahe. Masalah kekeringan berakibat pada penurunan daya

tumbuh tanaman. Hasil pengkajian BPTP Ungaran yang dilakukan pada tahun anggaran

1997/ 1998 menunjukkan bahwa persentase tumbuh tanaman jahe pada pola monokultur

maupun tumpangsari hanya berkisar antara 83,5 - 86,5 persen sebagai akibat terlambat

Page 9: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

8

tanam dan pengaruh kemarau panjang (Hartoyo et al, 1999). Kehilangan hasil sebagai

akibat busuk rimpang pada tanaman jahe, berdasarkan laporan Hartoyo et al, (1999)

mencapai kisaran 2,5 - 31,25 persen. Kehilangan hasil pada jahe emprit relatif lebih kecil

dibandingkan dengan jahe gajah.

B. Produktivitas

Produktivitas tanaman obat berdasarkan pola tanam pada Tabel 1 cukup

bervariasi. Untuk tanaman jahe berkisar antara 0,6 – 5,6 ton/ha dengan rata-rata 3,1

ton/ha. Untuk tanaman kencur berkisar antara 0,7 – 5,7 ton/ha dengan rata-rata 3,2

ton/ha, dan kunir berkisar antara 2,15 – 4,25 ton/ha dengan rata-rata 3,2 ton/ha.

Komoditas kunir pada umumnya ditanam secara monokultur.

Hasil pengkajian BPTP Ungaran pada tahun anggaran 1996/1997 memberikan

gambaran bahwa potensi produktivitas kencur yang ditanam secara monokultur di

Kabupaten Karanganyar mencapai 9,03 ton/ha. Sedangkan yang ditanam secara

tumpangsari dengan kacang tanah atau jagung berkisar antara 4,46 - 8,97 ton/ha (Tabel

2). Jika dibandingkan dengan produktivitas kencur monokultur di Kabupaten Kudus,

tampak bahwa produktivitas kencur monokultur di Kabupaten Karanganyar lebih rendah.

Tabel 2. Produksi kencur hasil pengkajian BPTP Ungaran di Kabupaten Karanganyar dan Kudus pada tahun anggaran 1996/1997

Kabupaten Kabupaten Kudus

Polatanam Karanganyar CI CP LI LP (t/ha) (t/ha) (t/ha) (t/ha) (t/ha)

Monokultur kencur 9,03 10,3 9,56 10,49 11,3

Kencur + Kacangtanah (2 baris) 4,46 - - - -

kencur + Kacangtanah (1baris) 6,17 - - - -

Kencur + Jagung 8,97 - - - -

Sumber: Hartoyo et al (1998) keterangan: - CI = Teknologi introduksi; varietas Cileungsi; CP = Teknologi petani, varietas Cileungsi LI = Teknologi introduksi; varietas lokal LP = Teknologi petani, varietas lokal

Tabel 3. Produksi jahe hasil pengkajian BPTP Ungaran di Kabupaten Karanganyar dan Boyolali pada tahun anggaran 1998/1999

Polatanam Produksi (ton/ha)

Kabupaten Karanganyar

Monokultur jahe emprit 5,50

Jahe emprit + Kacang tanah 4,00

Page 10: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

9

Jahe emprit + Kacang tanah + Jagung 4,50

Jahe emprit + Kacang tanah + Jagung + Ubikayu 3,50

Kabupaten Boyolali

Monokultur jahe gajah 8,71

Jahe gajah + Kacang tanah (2 baris) 7,07

Jahe gajah + Kacang tanah (1 baris) 6,13

Monokultur jahe emprit 4,43

Jahe emprit+ Kacang tanah (2 baris) 4,97

Jahe emprit+ Kacang tanah (1 baris) 4,35

Sumber: Hartoyo et al (1999) Untuk komoditas jahe, hasil pengkajian BPTP Ungaran pada tahun anggaran

1997/1998 menunjukkan bahwa jahe emprit (berukuran kecil) yang ditanam secara

monokultur di Kabupaten Karanganyar mampu menghasilkan 5,50 ton/ha, relatif lebih

tinggi dibandingkan dengan yang ditanam di Kabupaten Boyolali (4,43 ton/ha).

Sedangkan jahe yang ditanam secara tumpangsari menghasilkan produktivitas antara

3,5 - 4,5 ton/ha di Kabupaten karanganyar dan 4,35 - 4,97 ton/ha di kabupaten Boyolali

(Tabel 3). Dari Tabel 3 tersebut juga diperoleh informasi bahwa produktivitas jahe gajah

(berukuran besar) bisa mencapai 1,4 - 1,9 kali dari produktivitas jahe emprit.

Berdasarkan bentuk, ukuran dan warna rimpangnya dikenal 3 klon jahe, yaitu

jahe besar (jahe gajah atau jahe badak), jahe kecil atau jahe emprit dan jahe merah atau

jahe sunti. Karakteristik ketiga jenis jahe tersebut disajikan dalam Rostiana et al (1991).

Menurut Januwati (1991), rata-rata produksi rimpang segar jahe kecil berkisar 6-10

ton/ha, sedangkan jahe besar lebih bervariasi, yaitu berkisar 10-30 ton/ha. Menilik dari

tingkat produksi jahe tersebut, tercermin bahwa rata-rata produksi jahe monokultur hasil

penelitian BPTP Ungaran di Karanganyar dan Boyolali masih termasuk rendah.

Secara garis besar yang berpengaruh dalam budidaya jahe meliputi lingkungan

biotik maupun abiotik. Pengaruh lingkungan fisik, yaitu tanah dan iklim memegang

peranan penting (Januwati, 1991). Selain itu, penggunaan bibit yang bermutu baik sangat

mendukung keberhasilan usahatani tanaman obat pada umumnya dan tanaman jahe

pada khususnya. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan

tanaman obat adalah kurang tersedianya bibit tanaman obat yang berkualitas dalam

jumlah yang cukup (Mulyodihardjo, 1995). Kenyataannya, masih banyak petani yang

menggunakan bibit yang tidak diketahui asal usulnya, baik kesehatannya maupun

kualitasnya, karena mereka umumnya membeli di pasar. Yuhono dan Kemala (1991)

Page 11: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

10

juga mengemukakan kemung-kinan penggunaan bibit yang belum cukup umur atau

penggunaan bibit secara semba-rangan tanpa seleksi ketat yang biasanya terjadi pada

saat harga sedang membaik.

C. Kelayakan Usahatani

Secara ekonomi, pengelolaan usahatani tanaman obat di lokasi contoh masih

belum mencapai tingkat keuntungan normal, bahkan mengalami kerugian. Dari Tabel 4

tampak bahwa apabila semua pengeluaran dihitung sebagai biaya korbanan yang dibayar

petani, maka biaya total usahatani mencapai Rp 13.147.545 per hektar, sedangkan

pendapatan yang diperoleh hanya mencapai Rp 12.578.000, sehingga petani mengalami

kerugian sebesar Rp 569.545 per hektar atau B/C rasio sebesar 0,96.

Tabel 4. Analisis usahatani per hektar polatanam tumpangsari tanaman obat dan tanaman pangan, Kecamatan Jumapolo, Karanganyar,1999

Komponen Satuan Volume Harga/ Nilai input-ouput volume Satuan (Rp/ha)

1. Biaya benih 3.075.200 - Benih: Jahe kg 1.200 900 1.080.000 Kencur kg 1.100 1.500 1.650.000 Kunir kg 780 340 265.200 Tanaman pangan - - - 80.000

2. Biaya pupuk 2.873.725 - Pupuk: Organik kg 11.300 65 734.500 Urea kg 635 1.015 644.525 SP-36 kg 490 1.630 798.700 KCl kg 290 2.400 696.000

3. Biaya Pestisida 157.250 4. Biaya tenaga kerja 5.181.250 - Dalam keluarga JOKP 3.200 1.250 4.000.000 - Luar Keluarga JOKP 945 1.250 1.181.250

5. Biaya lainnya 1.860.120 - Sewa lahan 1.000.000 - Bunga modal 860.120

I. Biaya - Biaya Tunai 6.552.925 - Biaya total 13.147.545

Page 12: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

11

II. Penerimaan: 12.578.000 - Jahe kg 3.100 900 2.790.000 - Kencur kg 3.200 1.500 4.800.000 - Kumir kg 3.200 340 1.088.000 - Tanaman Pangan - - - 3.900.000

III. Keuntungan: atas biaya tunai 6.025.075 atas biaya total - 569.545

IV. B/C rasio: atas biaya tunai 1,92 atas biaya total 0,96

Sumber: Data primer

Kelayakan usahatani dapat dicapai apabila biaya yang dikeluarkan petani hanya

dihitung berdasarkan input yang dibeli secara tunai. Artinya, biaya input yang

diperhitungkan dalam analisis tidak mencakup input yang dihasilkan oleh rumahtangga

itu sendiri, seperti biaya tenaga kerja keluarga, sewa lahan, pupuk kandang, dan bunga

modal. Dengan model analisis seperti itu, biaya usahatani hanya mencapai Rp 6.552.925

perhektar (biaya tunai). Dengan pendapatan sebesar Rp 12.578.000, petani memperoleh

keuntungan atas biaya tunai sebesar Rp 6.025.075 per hektar atau B/C rasio sebesar

1,92.

Hasil Pengkajian BPTP ungaran pada pertanaman jahe monokultur dan

tumpangsari jahe + kacang tanah + jagung menghasilkan B/C rasio lebih besar dari

satu. Sebaliknya, pada pertanaman tumpangsari jahe + kacang tanah dan tumpangsari

jahe + kacang tanah + jagung + ubikayu menghasilkan B/C rasio kurang dari satu,

dimana petani mengalami kerugian masing-masing sekitar 9 dan 11 persen dari biaya

total. Untuk pertanaman kencur, baik yang monokultur maupun tumpangsari

menghasilkan B/C rasio lebih besar dari satu (Tabel 5). Kenyataan ini mengindikasikan

bahwa pengelolaan usahatani jahe memiliki risiko yang cukup besar dalam sistem

pertanaman tumpangsari yang dilakukan petani di Kabupaten Karanganyar.

Tabel 5. Imbangan biaya dan pendapatan (B/C rasio) usahatani komoditas kencur dan jahe dengan polatanam monokultur dan tumpangsari hasil pengkajian BPTP Ungaran di Kabupaten Karanganyar

Polatanam B/C Rasio

Biaya tunai Biaya total

Pengkajian BPTP terhadap komoditas kencur TA. 1996/1997

Monokultur kencur 1,86 1,48

Tumpangsari kencur + Kacang tanah (2 baris) 1,99 1,60

Page 13: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

12

Tumpangsari kencur + Kacang tanah (1 baris) 1,70 1,33

Tumpangsari kencur + Jagung 1,46 1,46

Pengkajian BPTP terhadap komoditas jahe TA. 1997/1998

Monokultur jahe emprit 1,25 1,03

Tumpangsari jahe + Kacang tanah 1,10 0,91

Tumpangsari jahe+ Kacang tanah + jagung 1,46 1,20

Tumpangsari jahe+ Kacang tanah + Jagung + Ubikayu 1,08 0,89

Sumber:Hartoyo et al (1998; 1999)

Penjualan dalam bentuk simplisia, secara ekonomi (Tabel 6) juga

mengindikasikan belum dapat memberikan keuntungan yang layak bagi petani jika

penggunaan tenaga kerja diperhitungkan dalam analisis. Kerugian atas biaya total

apabila penjualan dilakukan dalam bentuk simplisia mencapai Rp 72.000 - Rp 202.000

per ton tergantung dari jenis komoditas tanaman obat yang dijual. Sementara itu, apabila

biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan dalam analisis, petani bisa memperoleh

keuntungan sekitar Rp 48.000 - Rp 178.000 per ton atau B/C rasio sekitar 1,13 - 1,16.

Tabel 6. Analisis marjin keuntungan penjualan simplisia jahe, kencur, dan kunir, 1999

Uraian Jahe Kencur Kunir (Rp/ton) (Rp/ton) (Rp/ton)

I. Biaya total 922.000 1.572.000 622.000

1. Bahan baku 1) 600.000 1.250.000 300.000

2. Tenaga kerja2) 250.000 250.000 250.000

3. Kemasan 29.000 29.000 29.000

4. Angkutan 43.000 43.000 43.000

II. Biaya di luar tenaga kerja 672.000 1.322.000 372.000

III. Penerimaan3) 800.000 1.500.000 420.000

IV. Pendapatan atas biaya total4) - 122.000 (0,87)

- 72.000 (0,95)

- 202.000 (0,67)

V. Pendapatan di luar biaya tenaga kerja4) 128.000 (1,19)

178.000 (1,13)

48.000 (1,13)

Sumber: Data Primer Keterangan: 1) Harga jahe segar Rp 600/kg; kencur Rp 1.250/kg, dan kunir Rp 300/kg 2) Kapasitas tenaga kerja 200 jam/ton; upah Rp 1.250/jam 3) Harga produk rajangan/simplisia: jahe Rp4.500, kencur Rp6.000, kunir Rp2.500/kg 4) angka dalam kurung adalah nilai koefisien B/C rasio

Hasil pengkajian alat perajang mesin putaran (RPM) rendah yang dilakukan

BPTP Ungaran terhadap alat perajang manual dari bantuan P2RT mengindikasikan

bahwa alat perajang mesin lebih efisien penggunaannya. Kapasitas rajangan kencur dari

Page 14: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

13

alat perajang mesin mencapai sebesar 68,2 kg/jam, sedangkan alat perajang manual

hanya mencapai 4,08 kg/jam. Investasi alat perajang mesin tersebut sebesar Rp

2.500.00/unit, dimana dalam jangka waktu 5 tahun menghasilkan NPV18%/tahun sebesar

Rp 3.428.608, B/C rasio 1,36, dan IRR sebesar 69,76 persen (Hartoyo et al, 1998). Jika

dihitung besarnya biaya operasional antara alat perajang mesin dibandingkan dengan

perajang manual tampak bahwa penggunaan perajang mesin mampu menghemat

sebesar 52,37 persen (Tabel 7).

Tabel 7. Perbandingan marjin biaya operasional alat perajang manual dan alat perajang mesin berdasarkan hasil pengkajian BPTP ungaran untuk komoditas kencur, tahun 1996/1997

Uraian Alat perajang manual Alat perajang mesin

1. Kapasitas merajang (jam/ton) 245,1 14,67

2. Upah tenaga kerja (Rp/jam) 571,4 1.428,5

3. Biaya (Rp/ton) 140.057 66.699,60

- Tenaga kerja 140.057 41.914,29

- Bahan bakar - 5.134,50

- Pelumas - 440,10

- Perawatan mesin - 3.492,86

- Penyusutan alat - 15.717.86

Sumber: Hartoyo et al (1998). Diolah Keterangan: - Tenaga kerja = Perajang manual Rp 4.000/7 jam = Rp 571,4/jam, Perajang mesin 2 operator @ Rp 1.428,5/jam - Bahan bakar = 0,5 lt/jam @ Rp 700; Pelumas = 0,005 lt/jam @ Rp6.000 - Biaya perawatan = Rp238,09/jam; Biaya penyusutan alat = Rp1.071,42/jam

Pemasaran

Pemasaran hasil tanaman obat dari petani di Kecamatan Jumapolo tersalur ke

berbagai jalur pemasaran, yaitu: (1) Pedagang pengumpul yang datang ke petani atau

sebaliknya petani yang datang ke pedagang di pasar; (2) Ketua kelompok sebagai media

penyalur simplisia kepada perusahaan mitra; (3) Industri rumahtangga yang mengolah

jamu instan; dan (4) Pedagang jamu gendong yang biasanya adalah istri atau keluarga

sendiri (Gambar 2). Bentuk produk yang dijual oleh petani adalah rimpang segar.

Page 15: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

14

Penjualan dilakukan secara berangsur. Penjualan kepada ketua kelompok

biasanya tidak dilakukan secara tunai, tetapi dibayar setelah perusahaan mitra

membayar kepada ketua kelompok, biasanya pembayaran tunda tersebut berlangsung

sekitar 4 - 5 hari.

Dengan adanya beberapa pilihan jalur pemasaran, petani dapat memperoleh

informasi harga dengan cara membandingkan harga penawaran dari masing-masing

jaringan (channel) yang ada. Hal ini menunjukkan adanya persaingan harga antar

jaringan pemasaran dalam memperoleh barang dagangan. Meskipun demikian, sebagian

besar petani berpendapat bahwa selisih harga antar pembeli tidak begitu besar.

Pada saat kondisi harga rendah, petani tetap melakukan penjualan, tetapi

disesuaikan dengan kebutuhan, karena petani tidak melakukan panen secara sekaligus,

tetapi secara berangsur sedikit demi sedikit sampai habis sekitar 2,5 bulan. Dalam

pemasaran hasil panennya tersebut, petani menawarkan sedikitnya kepada 3 calon

pembeli. Selain mencari penawaran harga tertinggi, petani juga memperhatikan kejujuran

dari calon pembeli dalam hal penimbangan hasil.

Selain karena tradisi turun temurun, pengusahaan tanaman obat oleh petani

dilakukan karena dorongan harga dan pemanfaatan lahan, terutama pada lahan-lahan

yang telah banyak ternaungi tanaman keras. Oleh sebab itu, selain di pekarangan,

penanaman tanaman obat juga telah dilakukan di lahan tegalan yang telah banyak

ditanami tanaman keras, seperti mangga, durian, nangka, dan lain sebagainya. Apabila

Simplisia

Pedagang Pengumpul/ Pasar (25 -100%)

Agen/ Kios Jamu

Industri Rumahtangga Jamu Instan (5-50%)

Perusahaan jamu/ Obat tradisional

Petani Ketua Kelompok Tani

(50-100%)

Konsumen Rumahtangga

Pedagang Jamu Gendong (25-100%)

Rimpang segar

Gambar 2. Jalur pemasaran komoditas tanaman obat, Kabupaten Karanganyar, 1999

Sumber: Data Primer Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan porsi volume penjualan petani

Page 16: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

15

tidak mengalami kendala keterbatasan tenaga kerja keluarga, modal usaha dan areal

lahan, pada umumnya petani melakukan peningkatan skala usaha jika kondisi harga

tanaman obat cukup menguntungkan, baik melalui sewa lahan maupun penanaman di

lahan tegalan.

Keragaan Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) Tanaman Obat

Latar Belakang Pembentukan

Program penumbuhan SPAKU tanaman obat di Karanganyar pada awalnya

dilakukan melalui kegiatan P2RT yang memberikan bantuan berupa sarana produksi,

sprayer dan ternak kambing kepada petani anggota dari kelompok-kelompok tani yang

ditumbuhkan guna memperlancar pembinaan dan penyaluran bantuan. Kegiatan P2RT

dilaksanakan sejak tahun anggaran 1996/1997 yang kemudian diikuti dengan

pembentukan KUBA pada tahun 1997. Jumlah kelompok yang tergabung dalam KUBA

sampai dengan saat survei dilakukan mencapai 19 kelompok tani dengan jumlah

anggota keselu-ruhan sebanyak 499 orang, dan tersebar di empat desa, yaitu Desa

Kwangsan, Bakalan, Jumapolo, dan Jumantoro.

Struktur Organisasi, Aturan Kelompok dan Sumber Permodalan

Struktur organisasi KUBA tanaman obat di Kabupaten Karanganyar terdiri dari

seorang ketua yang dibantu oleh sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi kepengurusan

KUBA. Aturan dan tata tertib KUBA disusun dan dituangkan dalam Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Koperasi Kelompok Tani (KKT) Kusuma.

Sumber permodalan KUBA masih bertumpu pada kegiatan usaha simpan pinjam,

yang berasal dari iuran pokok dan simpanan wajib para anggota. Modal usahatani masih

bersumber pada bantuan sarana produksi dari P2RT dan pinjaman dari KUT. Koperasi

KUBA belum memanfaatkan sumber-sumber kredit lainnya dari pemerintah yang

disalurkan melalui berbagai jenis skim kredit bagi pengusaha kecil dan menengah.

Untuk meningkatkan kinerja dan memfungsikan keberadaan KUBA, selayaknya

organisasi tersebut diberdayakan dengan memberikan bantuan modal kerja, baik berupa

pinjaman lunak dalam bentuk tunai agar mampu memberikan pelayanan kepada anggota

dalam pengadaan saprodi yang lebih murah dibandingkan dengan harga di pasaran

maupun bantuan peralatan seperti alat perajang mesin agar mampu menampung hasil

panen dari para anggota dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga di

Page 17: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

16

pasaran. Melalui insentif harga tersebut keberadaan KUBA akan semakin bermanfaat

bagi para anggota maupun petani lainnya yang mengusahakan tanaman obat.

Prasarana dan Sarana

Sarana dan prasarana pendukung kegiatan KUBA masih bersumber dari bantuan

P2RT yang terdiri dari sprayer dan alat perajang manual yang diberikan pada 4

kelompok tani masing-masing sebanyak 2 dan 5 buah per kelompok. Harga alat perajang

berkisar antara Rp 20.000-Rp 30.000. Bantuan sprayer dapat dimanfaatkan oleh

sebagian besar anggota, sedangkan alat perajang lebih banyak dimanfaatkan oleh ketua

kelompok untuk membuat simplisia yang kemudian disetor kepada mitra usaha, yaitu PT.

Jamu Air mancur.

Belum dimanfaatkannya alat perajang tersebut oleh sebagian besar petani

anggota disebabkan oleh berbagai faktor berikut (Hartoyo et al, 1999): (1) Secara

individu, petani mengalami kesulitan untuk memenuhi kuota, kontinyuitas dan kualitas

pasokan yang ditetapkan perusahaan obat tradisional; (2) Adanya sistem pembayaran

tunda oleh perusahaan obat tradisional yang mencapai 1 - 2 bulan; (3) Adanya ikatan

kerja antara perusahaan obat tradisional dengan pedagang pemasok yang menimbulkan

terjadinya diskriminasi harga. Kuota pasokan untuk jahe dan kunir masing-masing

sebesar 2 ton, sedang-kan untuk kencur tidak dibatasi.

P e m b i n a a n

Dalam koordinasi pelaksanaan SPAKU dibentuk tim teknis dan tim profesional.

Tim teknis dibentuk di tingkat Provinsi maupun di tingkat kabupaten. Pelaksana tim teknis

berasal dari berbagai instansi dinas terkait yang berhubungan dengan program SPAKU,

sedangkan tim pembina profesional antara lain terdiri dari BPTP Ungaran. Pembina di

tingkat kabupaten di lakukan oleh Forum Komunikasi Agribisnis (FKA) yang ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah setempat, dan diketuai oleh Ketua

Bappeda tingkat II dengan beranggotakan Kepala-Kepala Dinas tingkat II lingkup

pertanian.

FKA belum berfungsi secara optimal karena masih mengalami berbagai

hambatan dan permasalahan yang menurut Badan Agribisnis (1998) disebabkan oleh

berbagai faktor berikut: (1) Belum adanya persamaan persepsi dalam pengembangan

agribisnis dari ang-gota FKA yang berasal dari berbagai instansi; (2) Belum tersedianya

Page 18: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

17

perlengkapan sarana kerja maupun dukungan dana; (3) Semua anggota FKA memiliki

tanggungjawab rangkap, yaitu di lingkup instansinya sendiri dan sebagai anggota FKA,

sehingga peran dan fungsi-nya di FKA menjadi tambahan beban tugas; (4)

Operasionalisas kegiatan FKA masih terbatas karena belum tersedianya sarana

penunjang dari Pemerintah Daerah tingkat II.

Dalam upaya pembinaan terhadap Koperasi KUBA, pihak Badan Agribisnis

Deptan telah memfasilitasi seorang tenaga pendamping dengan tingkat pendidikan

sarjana perkoperasian untuk melakukan pembinaan pada KKT Kusuma. Dari informasi

tenaga pendamping ini diketahui bahwa kinerja dan manajemen KUBA masih perlu

ditingkatkan karena masih terbelit oleh permasalahan-permasalahan yang mendasar, di

antaranya: (1) Pengelolaan administrasi di tingkat kelompok tani maupun koperasi masih

perlu ditertibkan; (2) Kegiatan dari unit-unit usaha yang tercantum dalam anggaran dasar

belum terealisasi, kecuali unit simpan-pinjam; (3) Ada indikasi ketidakpercayaan anggota

kepada kepengurusan koperasi, sehingga hal ini dapat menjadi faktor penghambat

kemajuan organisasi.

Kinerja KUBA

Bertolak dari hasil temuan di lapangan sebagaimana telah diuraikan di muka,

tercermin bahwa KUBA tanaman obat yang telah berbadan hukum menjadi Koperasi

Kelompok Tani masih belum menunjukkan kinerja dan peran yang nyata dalam sistem

agribisnis tanaman obat. Fungsi pelayanan pengadaan sarana produksi, modal

usahatani maupun fungsi pelayanan pemasaran masih belum dilakukan oleh

kepengurusan KUBA.

Pengadaan sarana produksi dan modal usahatani masih dilakukan secara

individu atau kalau pun dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan pinjaman KUT,

peran kelompok-kelompok tani secara terpisah masih lebih menonjol. Demikian pula

dalam hal pemasaran hasil, belum ada upaya dari kepengurusan KUBA untuk

mengorganisir sistem pemasaran kolektif yang mampu memberikan insentif harga

kepada para anggotanya.

Pembinaan terhadap organisasi KUBA, selain harus mampu meningkatkan

keterampilan dan pengetahuan teknis anggotanya dalam pengelolaan usahatani

tanaman obat, juga harus mampu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan

pengurus KUBA dalam hal manajemen perkoperasian, meningkatkan kemampuan

Page 19: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

18

memanfaatkan peluang-peluang usaha, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

dalam menggali dana untuk meningkatkan modal usaha koperasi dengan memanfaatkan

skim-skim kredit yang ada, dan yang terpenting dari pada itu adalah menciptakan

kepengurusan yang kreatif. Untuk mencapai hal itu diperlukan koordinasi dan konsentrasi

yang serius dari tim pembina. Sementara itu dalam melaksanakan fungsinya, tim

pembina sendiri masih terbelit oleh permasalahan dan hambatan.

Strategi Pengembangan KUBA

Hasil analisis matrik faktor eksternal-internal mengindikasikan bahwa dari faktor

eksternalnya kondisi KUBA berada pada posisi menengah atau rata-rata dengan nilai

skor mencapai sebesar 2.847 (Tabel 8). Tetapi, dari kondisi faktor internalnya relatif

kurang baik, dimana nilai skornya mendekatai posisi lemah, yaitu hanya mencapai nilai

sebesar 2,092 (Tabel 9). Pada kondisi yang demikian strategi pengembangan KUBA

perlu ditempuh dengan konsentrasi melalui pertumbuhan integrasi horizontal. Kondisi

faktor internal yang perlu mendapat perhatian adalah kualitas kepengurusan organisasi

KUBA, terutama menyangkut manajemen personal.

Page 20: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

19

Tabel 8. Analisis faktor eksternal pada KUBA tanaman obat Kusuma, Kabupaten Karanganyar

Faktor Diskriminan Bobot Skala Skor

Peluang

1. Kondisi politik dan keamanan 0.047 3 0.141

2. Kependudukan 0.058 4 0.232

3. Perusahaan mitra 0.088 4 0.352

4. Kondisi konsumen 0.070 4 0.280

5. Keberadaan sumber modal luar 0.058 3 0.174

6. Segmen pasar terabaikan yang dapat dilayani 0.088 3 0.264

7. Adanya perkembangan teknologi 0.053 3 0.159

8. Peningkatan hubungan baik dengan konsumen/mitra 0.076 4 0.304

9. Peningkatan infra struktur perhubungan dan telekom. 0.070 3 0.210

10. Prioritas pengembangan pemerintah 0.053 3 0.159

Sub total 0.661 2.275

Ancaman

11. Kondisi ekonomi (krisis ekonomi) 0.058 2 0.116

12. Perusahaan pesaing 0.029 2 0.058

13. Pembinaan pasar oleh petugas 0.017 1 0.017

14. Perubahan regulasi yang meningkatkan daya saing 0.047 1 0.047

15. Peningkatan posisi tawar pembeli 0.053 2 0.106

16. Harga input 0.053 2 0.106

17. Serangan hama/penyakit 0.023 1 0.023

18. Pencabutan tarif/liberalisasi perdagangan 0.017 1 0.017

19. Perubahan cuaca 0.041 2 0.082

Sub total 0.339 0.572

Total 1.000 2.847

Page 21: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

20

Tabel 9. Analisis faktor internal pada KUBA tanaman obat Kusuma, Kabupaten Karanganyar

Faktor Diskriminan Bobot Skala Skor

Kekuatan

1. Struktur organisasi 0.046 3 0.138

2. Kualitas produk 0.031 4 0.124

3. Diversifikasi produk 0.040 3 0.120

4. Ketersediaan bahan baku 0.028 3 0.084

5. Integrasi vertikal 0.037 3 0.111

6. Penguasaan pasar 0.043 4 0.172

7. Akses informasi pasar 0.040 4 0.160

8. Saluran Distribusi 0.040 3 0.120

9. Image, reputasi, kualitas 0.028 3 0.084

10. Efektivitas promosi 0.024 3 0.072

11. Pengalaman 0.031 4 0.124

12. Consistency & Barier to entry 0.028 3 0.084

Sub total 0.416 1.251

Kelemahan

13. Job Description 0.046 2 0.092

14. Kualitas kelengkapan pengurus 0.037 1 0.037

15. Kapasitas 0.043 2 0.086

16. Biaya produksi 0.031 2 0.062

17. Skala ekonomi 0.028 2 0.056

18. Harga jual 0.040 1 0.040

19. Pembentukan harga 0.028 1 0.028

20. Lahan usaha 0.046 1 0.046

21. Gudang 0.024 1 0.024

22. Bangunan Kantor 0.021 1 0.021

23. Peralatan 0.024 2 0.048

24. Personal manajement 0.031 2 0.062

25. Efektivitas sistem intensive 0.040 1 0.040

26. Spesialisasi keterampilan 0.024 2 0.048

27. Kemampuan peningkatan kapital jangka pendek 0.031 1 0.031

28. Kemampuan peningkatan kapital jangka panjang 0.031 1 0.031

29. Labor relation cost terhadap pesaing 0.028 2 0.056

30. Ability to reduce cost/efisiensi biaya 0.034 1 0.034

Sub total 0.584 0.842

Total 1.000 2.092

Page 22: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

21

Upaya integrasi horisontal perlu ditempuh dengan banyak menggalang kerjasama

antar sesama produsen tanaman obat Terjalinnya kerjasama antar sesama produsen

tanaman obat selain dapat dimanfaatkan untuk memperkokoh jaringan informasi, baik

yang berkaitan dengan informasi pasar maupun informasi teknologi, juga memungkinkan

untuk terjalinnya kesepakatan-kesepakatan dalam penetapan kuota produksi antar

produ-sen guna menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi sebagai upaya

meningkatkan kekuatan dalam posisi tawar pada waktu penjualan produk kepada

perusahaan mitra.

KESIMPULAN

Komoditas tanaman obat yang semakin meningkat permintaannya, baik di dalam

negeri maupun luar negeri perlu dikembangkan. SPAKU tanaman obat di promosikan di

Kabupaten Karanganyar karena lebih dekat ke konsentrasi pasar dan membantu pening-

katan sumber pendapatan petani. Namun demikian, hasil analisis usahatani masih

menun-jukkan kerugian bila semua komponen biaya termasuk faktor produksi yang tidak

dibeli (imputed cost) diperhitungkan dalam analisis. Usahatani menguntungkan bila

analisis hanya didasarkan pada biaya tunai saja.

Pemakaian sarana produksi yang kurang sesuai dengan kebutuhan tanaman

menjadi salah satu sebab produktivitas tanaman rendah. Senjang hasil antara hasil

petani dengan kapasitas pengujian mencapai 50 persen.

Kegiatan pasca panen dapat berupa pengolahan primer, yaitu membuat simplisia

kering yang diinginkan oleh mitra perusahaan jamu. Proses tersebut kebanyakan

dilakukan secara manual, karena alat perajang mesin yang jauh lebih efisien hanya ter-

sedia satu dan lebih banyak dimanaatkan ketua KUBA untuk penyediaan pasokan ke

perusahaan mitra. Kegiatan yang lain adalah pengolahan sekunder membuat jamu atau

minuman instan yang baru dipraktekkan oleh beberapa keluarga.

Pemasaran produk berupa rimpang/umbi basah ditujukan ke pedagang

pengumpul di pasar atau di rumah maupun kepada pedagang jamu gendong, sedangkan

bahan baku simplisia kering dipasok ke perusahaan jamu, yang kuota pasokannya belum

tercukupi. sebagian keluarga tani memasarkan produk sekundernya yang berupa jamu

atau minuman instan ke pengecer yang datang atau ke agen/kios jamu. Kendala yang

dirasakan sehingga belum terpenuhinya kuota ialah skala produksi masih kecil, kualitas

belum memenuhi baku mutu sesuai yang dipersyaratkan, dan keberlanjutan pasokan

Page 23: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

22

tidak terjamin. Selain itu, ada kekecewaan petani dengan adanya sistem pembayaran

tunda dan adanya diskriminasi harga oleh pihak mitra terhadap pemasok pesaing.

KUBA tanaman obat didirikan tahun 1997 dan memperoleh akta pendirian

sebagai Koperasi Kelompok Tani (KKT) Kusuma pada tanggal 7 Desember 1998,

mengako-modasi 19 kelompok tani yang beranggotakan 499 orang. Dari aspek

agribisnis, peranan KUBA belum menunjukkan kinerja sesuai dengan fungsinya, karena

masih terbelit oleh berbagai permasalahan mendasar, yaitu: (1) Lemahnya pengelolaan

administrasi di tingkat kelompok maupun KUBA; (2) Belum ber-fungsinya kegiatan unit-

unit usaha KUBA, karena tidak tersedianya modal usaha dan kurangnya pengetahuan

dan ketrampilan SDM pengurus; (3) Pelaksanaan kepengu-rusan yang kurang

transparan, sehingga menimbulkan kecurigaan dan prasangka dari anggota; dan (4)

Kurang lancarnya pembinaan oleh aparat karena jalur FKA belum berfungsi. Hal ini

disebabkan oleh: (1) belum adanya persamaan persepsi, (2) Belum tersedianya

kelengkapan sarana kerja dan dana yang memadai, (3) Penunjukkan sebagai anggota

FKA dirasakan sebagai tambahan tugas dari tanggungjawab pokok, dan (4) Belum

tersedianya petunjuk pelaksanaan.

Dengan kondisi KUBA yang ada sekarang, diperlukan strategi pengembangan

melalui pertumbuhan integrasi horisontal dan penggalangan kerjasama antar produsen

untuk memperkokoh jaringan informasi dan komunikasi agar mampu meningkatkan

kualitas produk, memperluas deversivikasi produk, menentukan kesepakatan-kesepakan

dalam penetapan kuota produksi, dan memperkuat posisi tawar terhadap pihak

pedagang pengumpul maupun perusahaan jamu.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Agribisnis. 1998. Analisis kebutuhan kelompok usaha bersama agribisnis (KUBA) pada sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan (SPAKU) menurut Provinsi, kabupaten dan Kecamatan. Departemen Pertanian.

BPP. 1999. Programa penyuluhan pertanian. Balai Penyuluhan Pertanian Jumapolo Kabupaten Karanganyar.

Hartoyo, B., S. Basuki, H. Supadmo, Kendriyanto, Harwanto, Sularno, T. Prasetyo, M. Norma, dan T.R. Prastuti. 1998. Pengkajian teknologi usahatani tanaman obat di Jawa Tengah. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran.

Hartoyo, B., Harwanto, Kendriyanto, M. Norma, S. Basuki, Sularno, dan T.R. Prastuti. 1999. Pengkajian teknologi usahatani tanaman obat di Jawa Tengah. Laporan Hasil Pengkajian Tahun Anggaran 1998/1999. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran.

Page 24: STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAHpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_66_2004.pdf · STUDI AGRIBISNIS TANAMAN OBAT DI JAWA TENGAH Bambang Rahmanto Pusat Penelitian

23

Januwati, M. 1991. Faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jahe. Perkembangan penelitian Tanaman Jahe. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. VII, No 1, 1991. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Muljodihardjo, S. 1996. Kebijaksanaan pengembangan tanaman obat. Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rostiana, O., A. Abdullah, Taryono, dan Hadad, E.A. 1991. Jenis-jenis tanaman jahe. Perkembangan penelitian Tanaman Jahe. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. VII, No 1, 1991. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Suporahardjo dan Hargono. 1994. Industri obat tradisional di Indonesia. Pelestarian dan Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Tim IPB. 1997. Pemantapan konsep dasar sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan. Laporan Akhir. Kerjasama Biro Perencanaan Departemen Pertanian dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.

Yuhono, J.T., dan S Kemala. 1991. Keragaan sistem produksi dan pemasaran jahe di daerah sentra produksi dan pasar internasional. Perkembangan penelitian Tanaman Jahe. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. VII, No 1, 1991. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.