strategi pengarusutamaan isu-isu korupsi dan … · pendidikan di unhalu kaitannya dengan ......
TRANSCRIPT
1
STRATEGI PENGARUSUTAMAAN ISU-ISU KORUPSI DAN
INTEGRITAS PADA PERGURUAN TINGGI UNHALU KENDARI1
Oleh:
H. Barlian2
ABSTRAK. Data Internation Transparency Tahun 2009, Indonesia berada pada posisi pertama
negara terkorup di Asia Tenggara, sedangkan hasil survey yang juga dilansir Internation
Transparency tahun 2011 Indonesia masuk 10 besar negara terkorup di dunia, padahal data
tahun 2009 Indonesia masih berada pada peringkat 111 dari 180 negara. Kondisi ini
menunjukan bahwa betapa negara kita masih sangat rapuh dari aspek pendidikan integritas,
minim kejujuran dan tanggungjawab. Mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam beberapa
kasus korupsi, kenyataannya sebagian besar mereka yang memiliki pendidikan tinggi, atau
luaran pendidikan tinggi. Tentunya kondisi ini sangat kontraproduktif dengan tujuan pendidikan
itu sendiri baik secara filosofis maupun menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional, yang pada garis besarnya ingin melahirkan generasi bangsa yang
berakhlak mulia, jujur, cakap, mandiri, kreatif, tanggungjawab, dan demokratis. Prilaku korupsi
termasuk bentuk kecurangan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan karena
berdampak pada masyarakat dan bangsa secara luas.
Lembaga pendidikan dan lembaga penegak hukum sama-sama memiliki peran penting dalam
memberantas praktik korupsi di negeri ini. Akan tetapi, baik lembaga penegak hukum maupun
lembaga pendidikan yang diharapkan dapat melakukan upaya-upaya preventif melalui
pendidikan integritas dan karakter, penguatan nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai agama, pada
umumnya belum berjalan dengan baik. Persoalan mendasar 95 persen pelaku korupsi adalah
luaran strata satu (S1). Kondisi ini jelas kontra produktif dengan tujuan pendidikan. Hasil
penelitian menunjukan internalisasi nilai-nilai integrasi dan karakter dalam pendidikan belum
berjalan dengan baik, baik melalui proses pembelajaran maupun dalam sikap dan prilaku
akademik mahasiswa dan dosen. Strategi utama yang harus dilakukan adalah gerakan bersama
melawan korupsi baik secara struktural (kebijakan) maupun secara kultural. Mengawali dengan
hal-hal yang kecil, anti plagiat dan anti mencontek harus dibudayakan dalam tradisi akademik,
gerakan kampanye secara reguler, dan konsistensi kebijakan dalam memberikan punishman bagi
yang melanggar kode etik dosen dan mahasiswa.
Kata Kunci: Korupsi dan Pendidikan Integritas
1 Ringkasan Hasil Penelitian 2 Dosen FKIP Unhalu Kendari
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu aspek tujuan bernegara adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945.
Instrumen negara dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa adalah penyelenggaraan
pendidikan secara utuh dan menyeluruh. Oleh
karenanya, tujuan, proses, dan output pendidikan
seharusnya berorientasi pada mencerdaskan
kehidupan bangsa, hal ini memiliki makna yang
dalam dan fundamental.
Secara filosofis, tujuan pendidikan
adalah proses pembentukan manusia seutuhnya
yaitu mengembalikan hakikat dan fitrah manusia.
Menurut Freire pendidikan adalah proses
humanisasi, bukan proses dehumanisasi, sehingga
keseluruhan unsur dan proses pendidikan
berupaya untuk mengembangkan potensi dan
daya kritis manusia (Karim, 2000: 23).
Pandangan tersebut memiliki makna bahwa
pendidikan merupakan upaya untuk membangun
kesadaran kritis, bebas, kreatif, dan memiliki
pemahaman integritas kemanusiaan sebagai
mahluk sosial yang bertanggungjawab.
2
Begitu dalamnya manfaat pendidikan
bagi pembentukan diri dan karakter seserorang,
sehingga Plato (428-347 SM) pernah
mengutarakan “jika anda bertanya apa manfaat
pendidikan, maka jawabannya sederhana:
pendidikan membuat orang menjadi baik dan
orang baik tentu berprilaku mulia” (Naim, 2008:
th). Pandangan tersebut pendidikan harus
diarahkan pada pembentukan sikap dan karakter
melalui penguatan ranah afektif, kretaif dan
profesional melalui penguatan ranah
psikomotorik, pemahaman dan daya kritis melalui
penguatan ranah kognitif.
Secara formal, penguatan tiga ranah
tersebut sesungguhnya telah dirumuskan secara
konprehensif dan integratif dalam UU No 2
Tahun 1989, kemudian dirumuskan kembali
dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)
No. 20 Tahun 2003, yang memiliki enam
dimensi, yaitu; beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat
jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, memiliki kepribadian mantap dan
mandiri, demokratis dan bertanggungjawab
terhadap masyarakat dan bangsa (Hasbullah,
2009:11).
Jika ditarik pada pemahaman yang lebih
spesifik tentang hakikat pendidikan di sini
adalah: pertama, untuk membangun spiritual
quotient atau kecerdasan spiritual (SQ); kedua,
intelektual quotient atau kecerdasan intelektual
(IQ); dan ketiga, emosional quotient atau
kecerdasan emosional (EQ); Ketiga aspek
tersebut merupakan bagian yang integral
sehingga pada akhirnya akan membentuk
manusia seutuhnya sebagaimana cita-cita dalam
bernegara.
Kenyataannya, cita-cita itu masih jauh,
atau dalam istilah peribahasa jauh panggang dari
api. Bangsa kita masih diselimuti oleh segudang
krisis multi aspek. Hal yang paling
mencengangkan adalah kasus korupsi. Setiap hari
berbagai pemberitaan media, baik cetak maupun
elektronik tidak pernah luput dari kasus korupsi.
Hal yang paling mengagetkan lagi ketika hasil
survey Indonesian Partnership Tahun 2006,
menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup
urutan pertama di Asia. Hal yang sama juga
ditunjukan oleh hasil survey yang dilakukan oleh
PERC, sejak 3 tahun terkahir Indonesia masih
menempati peringkat pertama kasus korupsi di
Asia. Sedangkan Survey International
Transparency Tahun 2009 menempatkan
Indonesia berada pada ranking 111 dari 180
negara dengan skor 2,8 (Tjandra Sridjaja,
2010:17). Sedangkan data terbaru tahun 2011
dari IT bahwa Indonesia telah masuk 10 besar
negara terkorup di dunia.
(http://www.unpad.ac.id/archives/46805). Dalam
konteks Sulawesi Tenggara juga tiap hari kita
disuguhkan dengan pemberitaan kasus korupsi.
Fakta-fakta ini tidak terlepas dari bagian
kegagalan pendidikan, krisis integritas dan
kehilangan roh spritualitas pendidikan.
Kebohongan dan inkonsistensi seringkali
terjadi dan menjadi hal biasa dalam parkatik
kehidupan kita, baik dalam proses pendidikan
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan
pembiaran mencontek atau bahkan membantu
siswa dalam proses pelaksanaan evaluasi dan
ujian pendidikan adalah merupakan bentuk krisis
integritas dan embrio untuk membangun generasi
pembohong dan korup.
Menurut Yudi Latif, aib terbesar bagi
seorang pemimpin adalah pembohong dan korup.
Perilaku korup seseorang selalu dimulai dengan
korup terhadap prinsip dan aturan permainan
(lihat Kompas, 19 Juli 2011). Jika prinsip dan
aturan secara faktual telah dilabrak oleh pelaku
pendidikan sendiri, maka bagaimana lembaga
pendidikan bisa menghasilkan manusia-manusia
yang berbudi luhur, pemimpin yang bertanggung
jawab, dan bawahan ataupun rakyat yang saling
menghargi satu sama lain. Kenyataan ini tentunya
patut direnungkan, karena proses dan output
pendidikan dewasa ini semakin kehilangan
integritas (krisis integritas). Lalu kaitannya
dengan itu pula, di manakah peran perguruan
tinggi (PT) sebagai penghasil sumberdaya
manusia (SDM)? Apa yang bisa dilakukan untuk
memulihkan kembali harapan dan cita-cita
bangsa ini? Dalam kontek ini, mau tidak mau
Unhalu harus ikut andil baik secara struktural
(komitmen kebijakan dan pimpinan) maupun
pendekatan kultural yaitu pendidikan integritas
dan gerakan bersama, sehingga diperlukan
strategi yang lebih baik dan konstruktif.
3
Rumusan Masalah
Untuk menfokuskan arah dan capaian
penelitian, maka rumusan masalah dari penelitian
ini yaitu:
1. Bagaimana kondisi permasalahan pendidikan
di Unhalu kaitannya dengan pengarusutamaan
isu-isu korupsi dan integritas?
2. Bagaimana kekuatan, kelemahan, peluang dan
tantangan Unhalu dalam mengembangkan
pengarusutamaan Isu-isu korupsi dan
ingetritas?
3. Bagaimana strategi melakukan
pengarusutamaan isu-isu korupsi dan
integritas di Unhalu Kendari?
Tujuan Penelitian
Mengacu pada latar belakang dan
rumusan masalah tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Melakukan identifikasi kondisi permasalahan
pendidikan di Unhalu kaitannya dengan
pengarusutamaan isu-isu korupsi dan
integritas?
2. Melakukan identifikasi dan rumusan
kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan
Unhalu dalam mengembangkan
pengarusutamaan Isu-isu korupsi dan
ingetritas?
3. Merumuskan strategi pengarusutamaan isu-isu
korupsi dan integritas di Unhalu Kendari?
STUDI PUSTAKA DAN ROADMAP
PENELITIAN
Fenomena Korupsi
Menurut data Transparency International
Corruption Perception tahun 2011 fenomena
korupsi di Indonesia meningkat yaitu berada pada
angka 2,5, hal ini menempatkan Indonesia masuk
sepluh besar negara terkorup di dunia, hal ini
sejajar dengan dengan Nigeria, dan negara-negara
miskin lainnya di Afrika dan Asia
(http://www.unpad.ac.id/archives/46805). Fakata
ini meningkat drastis bila dibandingkan oleh hasil
survey yang juga dilakukan oleh Transparency
International Corruption Perception tahun 2009
yang menempatkan Indonesia pada urutan 111
negara terkorup di dunia. Menurut Tjandra
Sridjaja (2010) fenomena tersebut harus menjadi
perhatian serius oleh bangsa ini, masalah ini tidak
sekedar masalah hukum dan penegak hukumnya
saja, akan tetapi merupakan bagian yang
kompleks karena terkait dengan mental dan sikap
atas seluruh pelaku-pelaku birokrasi.
Hasil penelitian Indonesia Corruption
Watch (ICW) yang diapload dari
http://gorontalonews.wordpress.com/2011/02/24,
Semester II periode 1 Juli sampai 31 Desember
2010 menunjukkan peningkatan jumlah kasus
korupsi mencapai 272 kasus yang sudah masuk
penanganan penegak hukum. Sebelumnya pada
penelitian ICW Semester I sejak Januari sampai
Juni 2010, jumlah kasus korupsi mencapai 176
kasus. Sektor dengan jumlah kasus terbesar
adalah sektor infrasuktur berjumlah 53 kasus.
Sebelumnya sektor keuangan daerah menjadi
catatan ICW sebagai sektor kasus tertinggi di
semester I mencapai 38 kasus. Dengan demikian
terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi di
daerah maupun pusat. Menurut Ermansjah
(2009:23) kasus-kasus korupsi yang melibatkan
hampir sebagian besar birokrasi di Indonesia
harus dilakukan dengan pendekatan secara
konfrehensif dan lebih mengedepankan upaya
pencegahan.
Dalam konteks Sulawesi Tenggara, kasus
korupsi masih banyak menghiasi berbagai
pemberitaan berbagai media. Hasil kajian berita
yang dilakukan oleh Lembaga Diskusi dan Kajian
Jurnalis (2011), dari rentang pemberitaan yang
dimuat oleh koran harian Kendari Pos dan Koran
Harian Kendari Ekspres, mulai Januari 2009
sampai Mei 2011, pada rubrik Headline (berita
utama) kasus atau isu korupsi menempati urutan
kedua setelah isu politik. Kondisi ini menunjukan
bahwa pemberitaan masalah korupsi baik skala
propinsi maupun kabupaten/kota hampir
berbanding dengan berita politik.
Hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan (PSHK) Sultra tahun 2010,
menunjukkan bahwa dari beberapa kasus korupsi
baik yang sudah diputus maupun yang sedang
diproses, baik ditingkat kabupaten/kota maupun
ditingkat propinsi Sultra, banyak terjadi akibat
penyelewengan dana APBD.
Terkait dengan berbagai kasus korupsi
tersebut, baik dalam konteks nasional maupun
konteks Sultra, jika ditelusuri lebih dalam
4
penyebabnya sangat kompleks. Menurut studi
yang dilakukan oleh Muh Yasin dalam
Ermansjah Djaja (2010: 19), beberapa faktor
penting yang menyebabkan korupsi yaitu:
Rendahnya integritas dan
profesionalisme.
Lemahnya komitmen dan konsistensi
penegakan hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Adanya peluang dilingkungan kerja
jabatan dan dilingkungan masyarakat
yang mendukung timbulnya korupsi.
Sikap yang tamak, lemahnya keimanan,
kejujuran dan rasa malu.
Sistim penggajian yang tidak
professional.
Lemahnya Pendidikan Integritas
Secara sosiologis, pendidikan merupakan
lembaga yang dapat melakukan transformasi
sikap dan integritas, mebangun nilai-nilai
kejujuran dan tanggung jawab yang tinggi.
Menurut KH Dewantara pendidikan adalah daya
upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran,
serta jasmani anak, agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup yaitu hidup dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan masyarakatnya (Hasbullah, 2009: 22).
Pengertian tersebut memiliki unsur-unsur
fundamental dan relevan dengan konsepsi yang
dirumuskan dalam Undang-Undang No 22 Tahun
2003 tentang sistim pendidikan nasional yaitu
Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan darinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Prilaku korupsi adalah bentuk
penyelewengan dari hakekat dan tujuan
pendidikan itu sendiri, dengan kata lain apa yang
menjadi harapan dan tujuan pendidikan belum
terjewantahkan dalam kehidupannya. Beberapa
fakta menunjukan bahwa sebagian besar pihak
yang melakukan tindakan korupsi adalah mereka
yang berpredikat sarjana. Penelitian ICW tahun
2009 menunjukan tingkat pendidikan tenyata
tidak memiliki korelasi dengan sikap integritas
seseorang termasuk prilaku korupsi. Tingkat
pendidikan pada strata S1 dan S2 paling banyak
yang terkait dengan kasus korupsi, hal ini bila
dibandingkan dengan tamatan SMA maupun
SMP jauh lebih rendah.
Data-data tersebut menjukkan masih
lemahnya konsep dan muatan pendidikan yang
mengarah pada penguatan integritas seorang
anak. Menurut Tillaar (2009:12) faktor
kelemahan pendidikan saat ini adalah lebih
menekankan pada evaluasi yang bersifat kognitif
saja yaitu pendidikan intelektual dan hafalan
anak, sehingga pada tataran sikap dan mental
berupa atitute anak sangat lemah. Kondisi ini
sangat relevan dengan kajian Muh Yasin dalam
Ermansjah Djaja (2010:6) menempatkan
lemahnya integritas dan profesionalisme sebagai
faktor utama yang menyebabkan seseorang
melakukan tindakan korupsi.
Integritas, kejujuran, dan tanggung jawab
lebih tepat dibangun dari lembaga pendidikan
sejak dini. Muh. Padil (2007:65) menekankan
bahwa seharusnya lembaga keluarga harus lebih
banyak menanamkan nilai-nilai pada anak sejak
kecil, akan tetapi pengaruh lingkungan begitu
kuat, maka perlu ada penguatan yang lebih
sistematis melalui pendidikan. Pendidikan
integritas dengan cara terintegrasi dalam materi
pembelajaran, atau berdiri sendiri atau melalui
gerakan simultan dari kalangan pelajar, guru,
mahasiswa dan dosen, melalui hal-hal yang kecil
dan berkelanjutan.
Peranan Dunia Kampus dalam
Pengembangan Pengarusutamaan Isu-Isu
Korupsi dan Integritas
Lembaga pendidikan memiliki peranan
strategis dalam melakukan perubahan
(transformasi) kebudayaan dan perilaku yang
membawa kemaslahatan manusia baik dalam
kontek bermasyarakat maupun bernegara. Muh.
Padil (2007:149) menguraikan fungsi lembaga
pendidikan (sekolah/PT) yaitu; (1) transmisi
kebudayaan masyarakat. Dalam hal ini sekolah
sebagai media pengembangan dan pembudayaan
pengetahuan dan perilaku masyarakat; (2)
menolong individu memilih dan melakukan
peranan sosialnya; (3) menjamin integrasi sosial.
Artinya melalui sekolah dapat menghindarkan
5
lahirnya perpecahan dan konflik sosial
masyarakat; (4) sebagai sumber inovasi sosial.
Untuk itu, lembaga pendidikan termasuk
PT harus mampu mengembalikan fungsi
pendidikan bagi penataan kehidupan sosial
masyarakat. Korupsi adalah merupakan kejahatan
sosial yang memiki dampak yang kuat bagi
hancurnya tatanan kehidupan sosial. Tidak cukup
pengendalian korupsi hanya dengan pendekatan
struktural misalnya; penegakan hukum atau
memperketat sistem, akan tetapi paling urgen
juga harus pendekatan kultural yaitu pendidikan
anti korupsi sedini mungkin. PT harus dapat
memotori ini, sebagaimana selama ini telah di
mulai oleh Universitas Paramadina.
Sebagai lembaga yang memiliki peran
mencetak Sumberdaya Manusia, PT haruslah
bersifat dinamis, fleksibel dan mampu merespon
segala persoaln-persoalan kebangsaan dan
kemanausiaan. Tantangan globalisasi tidak
sekedar mengejar ketertinggalan akademik
dengan terminologi modernisasi yang kaku.
Muhamad Karim (2009) misalnya mengkritisi
ideologi pendidikan saat ini yang terjebak pada
terminologi korporasi yang hanya fokus pada
keterukuran dan hal-hal yang material, misalnya
membangun kelas baru, fasilitas baru,
memodernkan peralatan sekolah dengan alat-alat
yang canggih, dan sebagainya; tetapi lupa dengan
hakikatnya sebagai lokomotif perubahan karakter,
kepribadian kemanusiaan yang harusnya
terintegrasi dalam proses pendidikan.
Dalam konteks Sulawesi, dengan trend
perkembangan kasus-kasus korupsi yang terus
meningkat, tentunya Unhalu sebagai PT
Terkemuka dan menjadi pusat inovasi
pengembangan pendidikan di sultra harus
berperan aktif dengan segala potensi yang
dimilikinya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan penelitian deskriptif kualitatif yaitu
mendiskripsikan data yang diperoleh secara
kualitatif sesuai dengan fakta dan informasi yang
diperoleh dari informan. Tipe penelitian kualitatif
yang dilakukan ini mengacu pada Iskandar
(2010:204) penggambungan antara fenomenologi
organisaction dan case studi.
Sasaran dan Penentuan Informan
Sasaran utama dalam penelitian ini lebih
mengarah pada membangun id participation dari
informan dan pakar yang akan ditentukan secara
sengaja dengan teknik snow ball sampling.
Teknik ini mengacu pada Syah (2003:5) yang
menyatakan bahwa strategi dasatr teknik bola
salju (snowball sampling) dimulai dengan
menetapkan satu atau bebarapa orang informan
kunci (key informants) untuk melakukan intevew
dan wancara atau disksusi kepada mereka.
Selanjutnya pada merekalah mendapatkan
petunjuk tentang infoman-infoman selanjutnya
khususnya keterkaitan pengetahuan dan
pengalamn dengan subjek yang diteliti.
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan
dengan teknik pertama, (1) Inventarisasi dan
kajian Dokumen terkait, yaitu mengumpulkan
domumen-dokumen terkait berupa dokumen
rencana strategis (renstra) Unhalu, renstra FKIP,
Laporan terkahir Rektor Unhalu tahun 2010. (2)
wawancara mendalam, yaitu melakukan
wawancara secara mendalam kepada informan
yang dipilih secara sengaja sesuai dengan
kepakaran dan bidang yang dibutuhkan. Dalam
penelitian ini jumlah informan kunci sebanyak 8
orang. (3) Focus Group Discussion yaitu untuk
mengkroscek dan mendalami berbagai infomasi
yang diperoleh juga terkait dengan membangun
konsensus pemahaman dan partisipasi untuk
melakukan rumusan strategi. Beberapa kelompok
yang terlibat dalam FGD ini yaitu kelompok
dosen muda, Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) cabang Kendari, Himpunan
Mahasiswa Islam Indoensia (HMI) komisariat
FKIP, dan Lingkar Studi Ilmiah Mahasiswa
Unhalu.
HASIL PENELITIAN
Masalah Pendidikan Integritas di Unhalu
Beberapa masalah umum yang
diidentifikasi sebagai indikator dari kelemahaman
pendidikan saat ini, ditemukan baik melalui
wawancara mendalam dengan beberapa pakar
6
maupun melalui FGD. Pertama, Faktor Input
yang meliputi; (1) Komitmen pemerintah pusat
dan daerah untuk memberikan pelayanan dan
pemerataan akses pendidikan yang layak dalam
berbagai jenjang pendidikan pada seluruh
pelosok melum merata dengan kata lain masih
ada kesenjangan. (2) Arah dan kebijakan, serta
sumberdaya/kapasitas pengelolah pendidikan
dalam mengembangkan pendidikannya belum
relevan dengan kondisi lingkungannya. (3)
Belum ada sinergis antara jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal, sehingga beban
pendidikan karakter dan integritas seolah-seolah
hanya menjadi kewenangan dan tanggung jawab
sekolah formal, padahal peran lingkungan
pendidikan masyarakat dan pendidikan keluarga
tak kalah pentingnya dalam pendidikan anak
tersebut. (4) Budaya Patriarki yang masih kuat:
anak-anak perempuan belum ditempatkan setara
dengan laki-laki terkait hak-haknya memperoleh
pendidikan dan keterampilan memadai dalam
lingkungan masyarakat dan keluarganya. (4)
Komitmen perencanaan keluarga secara umum
belum tertata dengan baik; keluarga besar resiko
tanggungan pendidikan dan kesejahteraan
anggota keluarga. Semakin besar jumlah anggota
keluarga maka mestinya semakin besar pula
persediaan untuk tanggungan pendidikan, tetapi
kenyataannya masih banyak keluarga yang tidak
seimbang, sehingga menyebabkan anak-anak
mereka terlantar. (5) Iklim Sosial Politik
cenderung mempengaruhi eksistensi dan otonomi
penyelenggaraan pendidikan yang kondusif dan
berkelanjutan. Bahkan berdampak sampai peserta
didik termasuk mahasiswa ikut terlibat dalam
permainan kepentingan politik, pada akhirnya
mereka ini tidak memiliki independensi,
integritas dan cenderung memainkan praktik-
praktik politik busuk.
Kedua, Faktor Proses yang meiputi (1)
Kapasitas/kompotensi pendidik yang terbatas:
akibatnya pendidikan masih bersifat konvesional
dan stagnan, kondisi ini bisa dilihat dari metode
dan pedekatan pembelajaran yang dipraktekan di
kelas. Masalah terjadi tidak terlepas dari
kurangnya penguatan-penguatan kapasitas dan
sumberdaya serta kemauan mengembangkan diri
bagi setiap tenaga pendidik. (2) Lemahnya
pendidikan integritas. (3) Sistim evaluasi
pendidikan yang masih dominan pada ranah
kognitif bahkan aspek afektif tidak masuk dalam
bagian penilaian pendidikan anak. (4) Masalah
fundamental yaitu spiritual quotient atau
kecerdasan spiritual (SQ); intelektual quotient
atau kecerdasan intelektual (IQ); dan emosional
quotient atau kecerdasan emosional (EQ) belum
belum berjalan sebagai satu kesatauan yang utuh
dalam pendidikan. (5) Interaksi dan integrasi
sosial (kaitannya dengan pendidikan multi
kultural) belum berjalan dengan baik di kelas. (6)
Pendidikan sebagai transformai dan transmisi
budaya juga belum efektif berjalan. (7)
Pengembangan bahan ajar yang kurang
mengakomodir kearifan lokal. Hal ini selain
karena kurangnya pemahaman akan berbagai
kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai input
bahan ajar juga kaku dalam menerapkan media
pembelajaran.
Kedua, Faktor Output yaitu (1) Alumni
lembaga pendidikan (khususnya pendidikan
formal) menjadi biangkerok kerusakan
pengelolaan berbagai instansi pemerintah. Hal ini
terjadi karena pendidikan formal hanya berpikir
bagaiamana melahirkan generasi pintar tetapi
minus moralitas dan tanggungjawab. (2) Image
dan persepsi publik dan masyarakat bahwa
pekerjaan yang terhormat adalah PNS;
akibatanya generasi enterpreneur dan upaya
alumni membuka lapangan kerja sendiri kurang
berjalan dengan baik, akibat selanjutnya
pengangguran meningkat. (3) Tarikan politik
oportunisme; menjadikan alumni banyak
menghalakan segala cara untuk kepentingan
politik; arus Pilkada, Lesgilatif , bahkan Pilkades.
Padahal prilaku tersebut bertentangan dengan
prinsip-prinsip manusia terdidik, cenderung
mengarahkan menjadi manusia yang korup.
Dalam kontek Unhalu, ternyata masih
menyisihkan berbagai masalah terkait dengan
masih lemahnya gerakan pengarusutamaan isu-
isu korupsi dan pendidikan integritas. Hasil
identifikasi menunjukan yaitu: pertama
Kebijakan yang belum terlaksana dengan baik.
Banyak kebijakan dan goodwill pimpinan yang
belum terinternalisiasi dalam sikap maupun
pembelajaran dalam lingkup unhalu. Salah satu
contohnya yaitu matakuliah Budi pekerti dan
Etika yang diinstruksikan oleh Rektor agar
menjadi salah satu matakuliah institusi yang
masuk dalam kelompok pengembangan
7
kepribadian (MPK) dapat diterapkan pada
seluruh program studi. Kenyataannya masih ada
beberapa program studi yang belum
menerapkannya. Hasil penulusuran yang
dilakukan misalnya prodi yang belum
menerapkannya yaitu prodi berada dibawah
naungan jurusan pendidikan MIPA, dan beberapa
prodi di FMIPA. Selanjutnya masih ada program
studi yang belum memiliki dan menerapkan
Standar Operasional Prosedure (SOP), serta tim
penegakan Kode Etik yang berjalan dengan baik.
Kedua, Komitmen tenaga pendidik
(dosen) dan tenaga administrasi. Salah satu
kompotensi yang mestinya dimiliki oleh dosen
dan tenaga administrasi adalah kompotensi
profesional dan personal yang harus ditunjukan
dalam setiap kinerjanya. Hasil FGD dengan
mahasiswa menunjukan bahwa masih ada model
pembelajaran yang menekan dan tidak
memberikan contoh yang baik pada mahasiswa.
Disamping itu pula tenaga administrasi masih ada
oknum yang tidak memberikan pelayanan yang
prima jauh dari sikap dan bentuk
profesionalisme. Padahal salah satu kebijakan
pimpinan periode ini adalah memberikan
pelayanan secara profesional dan ikut serta
melawan tindakan korupsi.
Ketiga, Evaluasi pendidikan yang belum
integral (kognitif, afektif dan psikomotorik).
Evaluasi pembelajaran mahasiswa yang
dilakukan selama ini, dari hasil wawancara pada
beberapa dosen menunjukan evaluasi hanya pada
aspek kognitif saja. Hal terjadi karena sampai
saat ini belum ada instrumen yang tepat untuk
melakukan evaluasi dari aspek efektif. Disamping
itu tentunya membutuhkan komitmen dan
kemauan dosen dalam menerapkan aspek-aspek
afektif dan psikomotorik. Penilaian afektif
tentunya membutuhkan rubrik pengamatan dan
membutuhkan kesabaran dan keseriusan bersama.
Keempat, Belum ada konsistensi antara
nilai dengan sikap. Masalah ini tidak saja terjadi
pada mahasiswa, juga terjadi pada dosen dan
tenaga administrasi.
Kelima, Anti korupsi belum menjadi
gerakan bersama. Isu perlawanan terhadap
korupsi atau biasa disebut dengan gerakan anti
korupsi sebenarnya telah menjadi gerakan
nasional dan isu yang sudah tidak asing lagi
dalam dunia akademik seperti Unhalu.
Keenam, Gerakan mahasiswa dan
tarikan oportunisme. Prilaku korupsi yang
melibatkan beberapa oknum pemerintahan,
legislatif dan swasta tidak terlepas dari pengaruh
dan prilaku negatif saat mereka menjadi
mahasiswa, salah satu diantaranaya adalah gaya
hidup hedonis dan tarikan oportunisme.
Ketuju, Proses pembelajaran yang tidak
sehat dan profesional. Salah satu bagian dan
moment yang tepat dalam membentuk karakter
dan integritas mahasiswa adalah dalam proses
pembelajaran. Misalnya disiplin, adil dan
demokratis serta metode pembelajaran yang
partisipatif dan menyenangkan. Melalui metode
yang tepat dan gerakan kecil-kecilan akan
berdampak besar bagi pembinaan dan
pembentukan karakter. Sebaliknya dengan
metode pembelajaran yang tidak tepat misalnya
menakut-nakuti, menegangkan, dosen sebagai
otoritas penentu kebenaran, tidak adil dalam
penilaian, tidak menegakan sistim reward dan
punishman, dan tidak berbabsis budaya dan
lingkungan sisiwa semuanya akan berdampak
pada pembentukan karakter pembangkan dan
penipu, tentunya ini merupakan embrio prilaku
korupsi.
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Tantangan
Kekuatan
Secara internal, hasil identifikasi
kekuatan diperoleh (1) Sumber daya manusia
lumayan besar yaitu ditopang oleh jumlah dosen
sebanyak 961 orang dengan jumlah guru besar
sebanyak 39 orang. (2) Jumlah fakultas dan prodi
semakin banyak dengan fasilitas memadai, saat
ini telah tersedia sebanyak 8 Fakultas dengan 43
program studi Strata-1 (S1) dan 9 program studi
Diploma, 8 Program studi Strata-2 (S2) dan 3
Program Studi Strata 3 (S3). (3) Jumlah
mahasiswa yang banyak tersebar pada berbagai
bidang keilmuan, saat ini baik reguler maupun
nono reguler jumlah mahasiswa sekitar 28.000
orang. (4) Jaringan yang luas, dimana Unhalu
saat ini telah membangun kerjasama yang luas
baik dengan universitas maupun dunia swasta
dalam maupun di luar negeri. (5) Adanya
lembaga kemahasiswaan baik intra mupun ekstra,
sebagai wadah mahasiswa dalam
8
mengembangkan diri dan melakukan bentuk-
bentuk pemberdayaan dan pembelajaran di luar
perkualiahan, jika dikembangkan dan disuport
tentunya menjadi suatu kekuatan besar, karena
hampir sebagian besar pelaku-pelaku yang
mengatur negara kita (eksekutif, legislatif
maupun yudikatif) ditempa melalui organisasi
tersebut.
Kelemahaman
Hasil identifikasi kelemahan, secara
internal diperoleh beberapa masalah yaitu (1)
Nilai-nilai integritas belum terinternalisasi dalam
sikap maupun proses pembelajaran, misalnya;
sikap seorang dosen, prilaku mencontek, dan
plagiat dalam penulisan karya ilmiah. (2) Materi
anti korupsi belum terintegrasi dalam
pembelajaran, apakah terintegrasi dalam mata
kuliah tertentu atau berdiri sendiri. (3) Beberapa
mata kuliah untuk pembelajaran etika dan
karakter belum merata diterapkan pada semua
program studi. (4) Sistim penilaian hanya spek
kognitif saja, padahal aspek yang paling vital
dalam mengukur sikap da karakter seorang anak
adalah harus melalui penilaian afektifnya. (5)
Belum ada kebijakan khusus dalam bentuk
program untuk gerakan anti korupsi di dalam
kampus, baik terstruktur dalam lembaga resmi
kampus maupun lembaga-lembaga
kemahasiswaan. (6) Gerakan mahasiswa yang
terkontaminasi dengan kepentingan politik dan
oportunisme, akhirnya berdanpak pada praktek-
praktek yang identik dengan prilaku korup
khususnya terjadi saat mereka setelah sarjana.
Peluang
Secara eksternal, beberapa peluang
diidentifikasi dan dirumuskan antara lain (1)
Jaringan dan kerjasama yang sudah mulai
terbangun dengan baik, baik dalam maupun luar
negeri. Beberapa universitas yang sudah
mengembangkan dan dapat dijadikan kerjasama
misalnya Universitas Paramadina, TIRI ataupun
USAID. (2) Unhalu sebagai pencetak SDM di
Sultra, memiliki peran strategis dan memiliki
legitimasi yang kuat dibidang pengembangan
SDM di Sultra. (3) Unhalu sebagai lumbung
pakar dan refrensi bagi pembangunan daerah di
Sultra, peluang ini dapat menjadi satu alasan
peluang untuk menawarkan kerjasama untuk
mengembangkan program pengarusutamaan isu-
isu korupsi. (4) Dukungan pemerintah pusat dan
daerah. Hal ini jelas sebagai lembaga pendidikan
resmi dan terkemuka di Sultra menunjukan
dukungan PEMDA sangat kuat. (5) Legitimasi
dan kepercayaan masyarakat bagi Unhalu masih
kuat indikatornya jumlah peminat semakin
meningkat untuk masuk dan ditempa di
Universitas ini.
Tantangan
Hasil identifikasi dan rumusan aspek
tantangan diperoleh (1) Prilaku dan budaya nakal,
manja dan suka mencontek saat sekolah tingkat
SMA atau SMP, hal ini terbawa-bawa pada
tingkat ketika mereka menjadi mahasiswa. (2)
Tarikan kepentingan politik, hal ini sangat jelas
karena dengan adanya sistim pemilihan langsung
baik kepala daerah maupun legislatif menuntut
mereka meluaskan jaringan dan permintaan
dukungan dari pihak kampus baik dari kalangan
dosen maupun mahasiswa. (3) Gaya hidup
oportunisme dan budaya korup yang menjangkit
dan menular, hal ini melanda hampir sebagian
besar mahasiswa karena ideologi kapitalisme dan
tuntutan gaya hidup, padahl jauh dari nilai-nilai
budaya dan agama. (4) Para koruptor dan politisi
busuk cenderung mencari perlindungan dan
dukungan dari kalangan kampus baik pada dosen
maupun mahasiswa. Tidak jarang mahasiswa
melakukan demonstrasi hanya karena mendukung
kepentingan individu bukan rakyat. (4)
Keprihatinan dan perhatian publik terhadap
masalah korupsi belum besar. (5) Lemahnya
pendidikan luar formal (masyarakat dan
keluarga). Padahal pendidikan sikap anak sangat
besar pengaruhnya dari jalur keluarga dan
lingkngannya.
Strategi Pengarusutamaan Isu-Isu Korupsi
dan Integritas di Unhalu
Langkah strategis dalam rancangan ini
mengacu pada hasil analisis masalah dan SWOT,
dengan demikian merupakan bagian dari
menjawab dan atau solusi bagi permasalahan
yang ada dan berbasis pada kebutuhan
stakeholders yang akan terlibat dalam gerakan
melawan korupsi melalui pendidikan integritas.
9
Secara struktural, acuan utama dari
strategi ini yaitu visi Unhalu: “Universitas
Haluoleo yang maju, bermartabat, berbudaya
akademik dalam rangka membangun sumber
daya manusia cerdas komprehensif secara
berkelanjutan”. Visi yang sangat ideal dan salah
satu term yang harus dikembangkan disini adalah
bermartabat dan berbudaya akademik melalui
pengembangan SDM yang cerdas konfrehensif,
dalam makna yang lebih luas tentunya cerdas
hanya tidak pada intelektualnya saja akan tetapi
dari aspek emosional dan spritualnya. Inilah yang
menjadi pintu masuk dari strategi
pengarustamaan isu-isu korupsi sangat
mendukung apa yang menjadi visi Unhalu.
10
Visi Civitas akademik dan alumni Unhalu memiliki nilai-nilai integritas dan
komitmen untuk melawan korupsi dimanapun mereka berada.
Misi Strategis 1. Membangun gerakan anti korupsi dan pendidikan integritas secara
berkelanjutan dan simultan oleh seluruh lembaga kampus dan
kemahasiswa melalui suatu bentuk kerjasama
2. Penguatan kapasitas dan kesadaran melalui suatu kebijakan dan
program terkait dengan pendidikan integritas dan isu-isu anti korupsi.
3. Internalisasi pendidikan integritas dan pendidikan anti korupsi dalam
proses pembelajaran mahasiswa.
Misi Strategis 1:
Tujuan Strategis
Sasaran Startegis
Output Program strategis
1. Mengembangkan
bentuk gerakan
dan program anti
korupsi melalui
suatu bentuk
kerjasama
Adanya suatu
bentuk gerakan dan
program kerjasama
untuk melakukan
gerakan anti
korupsi di dalam
kampus
1. Dalam waktu 2 tahun Unhalu telah melakukan
kerjasama dengan TIRI, Universitas
Paramadina maupun lembaga donor luar
negeri, yang ditandai dengan suatu bentuk
MOU
2. Seminar, workshop, maupun kampanye-
kampnye anti korupsi tiap tahun meningkat
minimal 10 %.
2. Meningkatnya
bentuk gerakan
dari lembaga-
lembaga
kemahaiswaan
baik melalui
bentuk kampanye
maupun diskusi-
diskusi intensif
Terjalinnya
kerjasama antara
lembaga
kemahasiswaan
baik ekstra maupun
intra kampus dalam
melakukan
kegiatan-kegiatan
anti korupsi dan
penguatan
integritas.
1. BEM mapun lembaga ekstra seperti PMII,
HMI, IMM, dan Kelompok Mushola rutin
melakukan gerakan anti korupsi.
2. Dalam programnya melakukan bentuk-bentuk
pertanggungjawaban yang sesuai dengan
nilai-nilai integritas dan transparan.
3. Tidak melakukan kekerasan dalam setiap
gerakannya.
4. Mendukung suasana akademik yang disiplin,
demokratis dan bermutu melalui tindakan
kongkrit terhadap anggotanya.
5. Mengembangkan budaya jujur dalam kegiatan
akademik, tidak mencontek dan memalsukan
tulisan orang lain sebagai karya ilmiahnya.
Misi Strategis 2:
Tujuan Strategis
Sasaran Startegis
Output Program strategis
Meningkatkan
kapasitas dan
kesadaran melalui
suatu kebijakan
dan program
terkait dengan
pendidikan
integritas dan isu-
isu anti korupsi
Adanya
kebijakan yang
kuat dan
meningkatnya
kapasitas dan
kesadaran para
dosen dan tenaga
administrasi
dalam
1. Optimalisasi pelatihan dosen dan tenaga
administrasi terkait pelayanan pendidikan secara
prima dan profesional sesuai nilai-nilai integritas
2. Optimalisasi pelatihan pekerti secara bertingkat
dan berkelanjutan
3. Implementasi kebijakan rektor untuk menciptakan
susana akademik yang sehat dan pelayanan yang
profesional melalui suatu bentuk pengawasan yang
brkelanjutan
11
mendukung
pengarusutamaa
n isu-isu korupsi
dan integritas
4. Gerakan anti mencontek dan anti palagiat ditandai
dengan suatu bentuk workshop dan langkah-
langkah inforcemen.
5. Kampanye anti korupsi dan anti suap dapat
dilakukan baik dalam bentuk talk show, baleho
yang dapat dipasang pada pusat-pusat pelayanan,
setiap prodi dan melalui suatu disksui reguler.
6. Melakukan evaluasi bersama masing-masing
fakultas dalam bentuk “talk breek” setiap awal
semester untuk mengevaluasi semester
sebelumnya dan merancang perbaikan proses
semester yang akan berjalan, dihadiri oleh seluruh
dosen di masing-masing fakultas.
Misi Strategis 3:
Tujuan Strategis
Sasaran Startegis
Output Program strategis
Internalisasi
pendidikan
integritas dan
pendidikan anti
korupsi dalam
proses
pembelajaran
mahasiswa
Terselenggaranya
proses pendidikan
yang berbasis
pendidikan
integritas dan
pendidikan anti
korupsi.
1. Setiap program studi merancang suatu mata
kuliah yang memuat nilai-nilai anti korupsi
apakah berdiri sendiri dalam satu mata kuliah,
maupun terintegrasi dalam beberapa mata kuliah
tertentu.
2. Dalam waktu minimal 1 tahun semua dosen yang
menyelenggarakan pembelajaran dengan
mengacu pada SAP yang berbasis karakter
sehingga dapat dilengkapi dengan rubrik
penilaian pengamatan afektif.
3. Penilaian dosen harus berbasis pada tiga bentuk
penilaian yaitu penilaian kognitif, afektif dan
psikomotorik, sehingga dalam waktu 1 tahun
telah ada suatu konsesus tentang interumen yang
dipakai bersama dalam mengimpelementasikan
penilaian tersebut.
4. Semua prodi telah mengembangkan dan
menerapkan SOP dalam pelayanan akademik baik
dosen maupun mahasiswanya.
5. Penegakan kode etik secara tegas dan konsisten.
12
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian dan rancangan
rumusan strategis tersebut maka dapat
disimpulkan (1) Secara umum perkembangan
dan kebijakan pendidikan nasional telah
menunjukan perbaikan dan perkembangan yang
lebih baik namun masih menyisahkan masalah
berupa luaran pendidikan yang minim karakter
dan integritas, hal ini disebabakan beberapa
masalah baik dari segi input proses maupun
output, kondisi ini juga terjadi di lingkup
Unhalu. (2) Sebagai perguruan tinggi negeri
terkemuka di Sultra, Unhalu memiliki kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan, dapat
dianalisis dalam melahirkan suatu rancangan
strategis kuat dan realistis. (3) Strategi
pengarusutamaan isu-isu korupsi di lingkup
Unhalu mengembangkan bentuk gerakan
bersama civitas akademik, melalui kampanye,
diskusi-diskusi intensif, regulasi kebijakan dan
program terkait dengan pendidikan integritas
dan isu-isu anti korupsi, dan Internalisasi
pendidikan integritas dan pendidikan anti
korupsi dalam proses pembelajaran mahasiswa.
Hal-hal yang dapat disarankan yaitu (1)
Kepada pemerintah untuk segerah melakukan
langkah-langkah antisipatif dan kebijakan
tentang pembangunan karakter dan nilai-nilai
integrasi melalui pendidikan formal. (2) Kepada
pimpinan Universitas Haluoleo untuk segera
merumuskan kebijakan dan langkah-langkah
kongkrit terkait dengan permasalahan minimnya
integritas dosen dan mahasiswa misalnya
perlunya gerakan anti mencontek, anti plagiat,
gerakan anti demonstrasi bayaran, termasuk
mendorong program studi untuk melakukan
internalisasi nilai-nilai integritas dan karakter
dalam mata kuliahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Barlian. 2010. Gerakan Mahasiswa di Kota
Kendari Sulawesi Tenggara. Makassar:
Disertasi UNM.
Djaja, Ermansjah. 2010. Memberantas Korupsi
Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.
Freire, Paulo. 2000. Politik Pendidikan,
Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan. Yogyakarta: Pusataka
Pelajar.
Hasbullah. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http://www.unpad.ac.id/archives/46805
Indonesia Coruption Watch (ICW), 2011. Data
Korupsi di Indonesia, diapload dari
http://gorontalonews.wordpress.com/2011
/02/24
Karim, Muhamad. 2009. Pendidikan Kritis
Transformatif. Jogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Latif, Yudi. Pesona yang Pudar. Media Haria
Kompas, 19 Juli 2011
Laporan Rektor Unhalu, 18 Agustus 2011.
Lembaga Diskusi dan Kajian Jurnalis (LDKJ),
2011. Pemetaan Rubrik Media Cetak
Kendari Pos dan Kendari Ekspress di
Sultra.
Naim, Ngainun. 2008. Pendidikan Multi
Kultural; Konsep dan Aplikasi. Cv. Ar-
Ruzz Media. Jogyakarya.
Padil, Mohamad. 2007. Sosiologi Pendidikan.
Malang: UIN- Malang Press.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. 2010.
Orientasi Kebijakan Pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah di Kabupaten Konawe Selatan
dan Kolaka.
Renstra Unhalu Tahun 2009-2014
Sridjaja, Tjandra. 2010. Sifat Melawan Hukum
dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:
Indonesia Lawyers Club.
Tilaar, HAR. 2001. Membanahi Pendidikan
Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta
Tunggal, Amin Widjaja. 2010. Pencegahan dan
Pendeteksian Kecurangan dan Korupsi.
Tanpa Tempat Terbit: Harvarindo.
13
PROFIL PEMETAAN HASIL UJIAN NASIONAL SMA
DI KABUPATEN BOMBANA1
Oleh:
Jamiludin2
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hasil Ujian Nasional (UN) SMA di
Kabupaten Bombana. Prosedur penelitian terdiri dari: (1) Persiapan, (2) Studi dokumentasi
(dokumen nilai UN), (3) Pengolahan dan analisis data, dan (4) Penyusunan laporan hasil
penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil UN di kabupaten Bombana berada pada
kategori sedang dan berada di atas standar minimal kelulusan yang ditetapkan.
Kata kunci: Pemetaan, Ujian Nasional, kompetensi dasar
1 Ringkasan Hasil Penelitian PPMP tahun 2011 2 Dosen Pend. Sejarah FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu
prasyarat utama dalam meningkatkan martabat dan
kualitas bangsa. Berbagai cara ditempuh agar
mendapatkan hasil yang optimal, mulai dari
penyusunan program sampai evaluasi dan
perbaikan serta pengayaan. Masyarakat atau
pengguna dari hasil pendidikan umumnya hanya
melihat dari satu sisi bahwa keberhasilan
pendidikan ditentukan oleh hasil ujian akhir
nasional.
Ujian Nasional (UN) adalah kegiatan
pengukuran dan penilaian kompetensi siswa
secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Ujian ini bertujuan menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaran tertentu yaitu ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hasil UN digunakan sebagai salah
satu pertimbangan untuk pemetaan mutu
pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, serta sebagai penentuan kelulusan
siswa.
Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya nilai UN yang dicapai oleh siswa,
antara lain: Pertama, kurangnya motivasi siswa
didik untuk meraih nilai akademis yang tinggi. Hal
itu disebabkan oleh situasi dan kondisi pendidikan
dalam lingkungan keluarga yang kurang
mendukung. Kedua, merebaknya sikap instan yang
melanda kehidupan kaum remaja. Hal ini
disebabkan oleh kuatnya sikap permisif
masyarakat yang cenderung membiarkan berbagai
perilaku anomali sosial berlangsung di tengah-
tengah panggung kehidupan sosial. Ketiga, guru
dinilai kurang kreatif dalam melakukan inovasi
pembelajaran, baik dalam pemilihan materi ajar,
metode pembelajaran, maupun media
pembelajaran, sehingga siswa didik cenderung
pasif dan bosan dalam menghadapi atmosfer
pembelajaran di kelas.
Berdasarkan data Nilai UN Murni
persentase siswa dengan nilai < 6.00 sebagai
berikut. Untuk jurusan IPA pada tahun
2007/2008, BIND (7.52), BING (5.26), MAT
(20.68), FIS (21.43), KIM (2.26), BIO (4.89).
Tahun 2008/2009, BIND (42.66), BING (5.78),
MAT (0.88), FIS (7.1), KIM (0.00), BIO
(37.33). Sedangkan tahun 2009/2010, BIND
(22.04), BING (24.91), MAT (12.66), FIS
(10.61), KIM (8.57), BIO (58.37).
Untuk jurusan IPS pada tahun
2007/2008, BIND (26.28), BING (36.95), MAT
(47.25), EKO (7.9), SOS (17.35), GEO (44.33).
Tahun 2008/2009, BIND (51.54), BING (6.76),
MAT (11.86), EKO (24.23), SOS (26.41), GEO
(31.00). Sedangkan tahun 2009/2010, Jurusan
IPS: BIND (41.35), BING (31.80), MAT
(14.60), EKO (49.99), SOS (49.01), GEO
(23.89).
14
Dari data di atas terlihat bahwa untuk
jurusan IPA mata pelajaran Fisika, Bahasa
Indonesia dan Biologi merupakan mata ujian
dengan jumlah siswa yang memiliki nilai < 6.00
adalah yang terbesar. Sementara itu, untuk
jurusan IPS, mata pelajaran dengan persentase
tertinggi dari siswa yang memiliki nilai < 6.00
adalah mata pelajaran Geografi, Matematika,
Sosiologi, Bahasa Indonesia, dan Ekonomi.
Kenyataan ini memberi indikasi bahwa
penguasaan terhadap beberapa kompetensi dasar
yang ada masih relatif rendah.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan
di atas, permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut: ”bagaimanakah
gambaran profil hasil UN Jurusan IPA dan IPS
siswa SMA di kabupaten Bombana?”
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran profil hasil UN Jurusan IPA dan IPS
siswa SMA di kabupaten Bombana.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten
Bombana tahun 2011. Pengumpulan data
dilakukan melalui metode studi dokumentasi.
Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu
(1) reduksi data, (2) organisasi data, dan (3)
interpretasi data.
TINJAUAN PUSTAKA
Mutu Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, mutu adalah
agenda utama dan senantiasa menjadi tugas yang
paling penting. Jerome S. Arcaro, (2007) mutu
adalah sebuah proses struktur untuk memperbaiki
keluaran yang di hasilkan. Umaedi, (1999)
menjelaskan bahwa mutu mengandung makna
derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil
kerja) baik berupa barang maupun jasa; baik
yang tangible maupun yang intangible. Dalam
konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini
mengacu pada proses
pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam proses
pendidikan yang bermutu terlibat berbagai input,
seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau
psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai
kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan
administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya
lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi
mensinkronkan berbagai input tersebut atau
mensinergikan semua komponen dalam interaksi
(proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa
dan sarana pendukung di kelas maupun di luar
kelas; baik konteks kurikuler maupun
ekstrakurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang
akademis maupun yang non-akademis dalam
suasana yang mendukung proses pembelajaran.
Antara proses dan hasil pendidikan yang
bermutu saling berhubungan. Akan tetapi, agar
proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu
dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih
dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang
akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu
lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu
mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin
dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah
dalam school based quality improvement bukan
hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya
adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui
hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama
yang menyangkut aspek kemampuan akademik
atau "kognitif" dapat dilakukan
benchmarking (menggunakan titik acuan standar,
misalnya: NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi
terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap
sekolah, baik yang sudah ada patokannya
(benchmarking) maupun yang lain (kegiatan
ekstrakurikuler) dilakukan oleh individu sekolah
sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk
memperbaiki target mutu dan proses pendidikan
tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus
merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin
dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Sedangkan mutu dalam konteks
pendidikan, pengertiannya meliputi input, proses
dan output pendidikan. Input pendidikan adalah
segala sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya proses.
Misalnya: sumberdaya, perangkat lunak serta
harapan-harapan sebagai pemandu bagi
berlangsungnya proses. Proses pendidikan
merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu
yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap
15
berlangsungnya proses disebut input, sedangkan
sesuatu dari proses disebut output.
Dalam konteks pendidikan mikro (tingkat
kelembagaan/sekolah) proses dimaksud adalah
pengambilan keputusan, proses pengelolaan
kelembagaan, proses pengelolaan program, proses
belajar mengajar, dan proses monitoring dan
evaluasi. Output pendidikan adalah merupakan
kenerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan dari proses/prilaku
sekolah. Kinerja sekolah dapat di ukur dari
kualitasnya, efektifitasnya, produktifitasnya,
efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan
kerjanya serta moral kerjanya.
Sedangkan dalam konteks pendidikan
sebagai suatu sistem, maka pencapaian standar
proses untuk meningkatkan mutu pendidikan
dimulai dari menganalisis setiap komponen yang
dapat membentuk dan mempengaruhi proses
pendidikan tersebut. Terdapat banyak faktor
penentu mutu pendidikan yang dikemukakan oleh
Sanjaya (2006) meliputi:
a) Tujuan
Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai
sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan
belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan
proses belajar mengajar berpangkal tolak dari
jelas tidaknya perumusan tujuan pengajaran.
b) Guru
Guru adalah komponen yang sangat
menentukan dalam implementasi suatu strategi
pembelajaran. Keberhasilan implementasi
suatu strategi pembelajaran akan tergantung
pada kepiawaian guru dalam menggunakan
metode, teknik dan strategi pembelajaran.
Aspek yang dapat mempengaruhi kualitas
proses pembelajaran dilihat dari faktor guru
diantaranya: (1) Teacher formative experience,
meliputi jenis kelamin serta semua
pengalaman hidup guru yang menjadi latar
belakang sosial mereka; (2) Teacher training
experience, meliputi pengalaman-pengalaman
yang berhubungan dengan aktivitas dan latar
belakang pendidikan guru misalnya
pengalaman latihan profesional, tingkatan
pendidikan, pengalaman jabatan; dan (3)
Teacher properties, adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru
misalnya sikap guru terhadap siswa,
kemampuan atau intelegensi guru, motivasi
dan kemampuan dalam penguasaan materi.
c) Siswa
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pembelajaran dilihat dari aspek siswa meliputi
: (1) Latar belakang siswa (pupil formative
experience); dan (2) Sifat yang dimiliki siswa
(pupil properties).
d) Sarana dan prasarana
Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung
secara langsung terhadap kelancaran proses
pembelajaran. Sedangkan prasarana adalah
segala sesuatu yang secara tidak langsung
dapat mendukung keberhasilan proses
pembelajaran. Kelengkapan sarana dan
prasarana akan membantu guru dalam
menyelenggarakan proses pembelajaran.
e) Kegiatan pembelajaran
Pola umum kegiatan pembelajaran adalah
terjadinya interaksi antara guru dan anak didik
dengan bahan sebagai perantaranya.
f) Lingkungan
Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor
yang dapat mempengaruhi proses
pembelajaran yaitu: (1) Faktor organisasi
kelas, yang di dalamnya meliputi jumlah siswa
dalam satu kelas merupakan aspek penting
yang bisa mempengaruhi proses pembelajaran
dan (2) Faktor iklim sosial–psikologis meliputi
keharmonisan hubungan antara orang yang
terlibat dalam proses pembelajaran.
g) Bahan dan alat evaluasi
Bahan dan alat evaluasi adalah suatu bahan
dan alat yang terdapat di dalam kurikulum
yang sudah dipelajari oleh anak didik guna
kepentingan ulangan.
h) Suasana evaluasi
Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaksanakan di
dalam kelas. Semua anak didik dibagi menurut
kelas masing-masing dan tingkatan masing-
masing. Besar kecilnya jumlah anak didik yang
dikumpulkan di dalam kelas akan
mempengaruhi suasana kelas sekaligus
mempengaruhi suasana evaluasi yang
dilaksanakan.
Lebih lanjut, komitmen pemerintah dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan telah
dituangkan dalam Permendiknas Nomor 63 tahun
2009 berupa suatu model sistem penjaminan mutu
pendidikan (SPMP). Dalam implementasinya
16
model ini terdiri dari 3 (tiga) kegiatan inti yang
meliputi: pengkajian mutu, analisis dan pelaporan,
serta peningkatan mutu. Sebagai acuan atau tolok
ukur mutu pendidikan adalah Standar Nasional
Pendidikan meliputi: (1) Standar Isi; (2) Standar
Kompetensi Lulusan; (3) Standar Penilaian; (4)
Standar Proses; (5) Standar Pengelolaan; (6)
Standar Sarana dan Prasarana; (7) Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan (8)
Standar Pembiayaan. Sehingga diharapkan
dokumen delapan standar nasional pendidikan ini
menjadi dokumen wajib bagi setiap sekolah untuk
dimiliki, dikaji, dianalisis dan diimplementasikan
di sekolah masing-masing.
Sekolah Bermutu
Sekolah bermutu sangat erat kaitannya
dengan adanya keterlibatan masyarakat secara
totalitas di dalamnya. Mutu menuntut adanya
komitmen pada kepuasaan pelanggan yang
memungkinkan adanya perbaikan pada para
karyawan, siswa dalam mengerjakan pekerjaan
dengan sebaik-baiknya.
Berkenaan dengan sekolah bermutu, ada
beberapa model (karakteristik) sekolah bermutu
yang dikemukakan oleh Jerome S. Arcaro, (2007)
diantaranya adalah:
a) Fokus pada kostumer. Dalam meningkatkan
penyelenggaraan mutu pendidikan sekolah
harus melayani kebutuhan kostumer baik
internal maupun eksternal.
b) Keterlibatan total. Semua komponen yang
berkepentingan (warga sekolah dan warga
masyarakat dan pemerintah) harus terlibat
secara langsung dalam pengembangan mutu
pendidikan.
c) Pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan
cara evaluasi, evaluasi ini dijadikan acuan
dalam meningkatkan penyelenggaraan mutu
pendidikan. Salah satu bagian yang sering
dijadikan instrumen pengukuran adalah nilai
prestasi siswa.
d) Komitmen. Hal lain yang menyangkut
pendidikan bermutu adalah adanya komitmen
bersama terhadap budaya mutu utamanya
komite sekolah dan pemerintah.
e) Memandang pendidikan sebagai sistem.
Pandangan seperti ini akan mengeliminasi
pemborosan dari pendidikan dan dapat
memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.
f) Perbaikan berkelanjutan. Prinsip dasar mutu
adalah perbaikan secara terus-menerus
(berkelenjutan) langkah ini dilakukan secara
konsisten menemukan cara menangani
masalah dan membuat perbaikan yang
diperlukan.
Kompetensi siswa
Kompetensi adalah kemampuan yang
harus dikuasai seseorang. Becker, (1977) dan
Gordon, (1988) mengemukakan bahwa kompetensi
meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan,
nilai, sikap dan minat. Dalam dokumen kurikulum
(Boediono, 2000:4) mengemukakan bahwa
kemampuan dasar diartikan sebagai uraian
kemampuan atas bahan dan lingkup ajar secara
maju dan berkelanjutan seiring dengan perjalanan
siswa untuk menjadi mahir dalam bahan dan
lingkup ajar yang bersangkutan. Bahan ajar itu
sendiri dapat berupa : lahan ajar, gugus isi, proses,
dan pengertian konsep”. Kemudian, dokumen
Kurikulum Berbasis Kompetensi yang diterbitkan
bulan Agustus 2001, Balitbang mengganti istilah
kemampuan dasar dengan kompetensi. Kompetensi
dirumuskan sebagai berikut: “kompetensi dasar
merupakan uraian kemampuan yang memadai atas
pengetahuan, keterampilan, dan sikap mengenai
materi pokok. Kemampuan itu harus
dikembangkan secara maju dan berkelanjutan
seiring dengan perkembangan siswa”. Selanjutnya
dikemukakan “dalam kurikulum berbasis
kompetensi, metode, penilaian, sarana dan alokasi
waktu yang digunakan tidak dicantumkan agar
guru dapat mengembangkan kurikulum secara
optimal berdasarkan kompetensi yang harus
diicapai dan disesuaikan dengan kondisi
setempat.” (Balitbang, 2001).
Pengertian kompetensi diartikan sebagai
kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta
didik. Dalam pengertian ini berbagai definisi telah
dikemukakan orang. Pengertian di atas dapat
dikatakan sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Wolf, (1995), Debling, (1995), Kupper dan
Palthe. Wolf, (1995:40) mengatakan bahwa
Debling, (1995:80) mengatakan “competence
pertains to the ability to perform the activities
within a function or an occupational area to the
level of performance expected in employment”.
17
Sedangkan Kupper dan Palthe mengatakan
“competencies as the ability of a student/worker
enabling him to accomplish tasks adequaletym to
find solutions and to realize them in work
situations.
Selanjutnya, Tucker dan Coding, (1998)
standar dirumuskan sebagai pernyataan mengenai
kualitas yang harus dikuasai dan dapat dilakukan
siswa dalam sustu pelajaran, yang ditentukan sejak
awal, disetujui oleh para akhli pendidikan dan
masyarakat, terukur, dan digunakan untuk
mengembangkan materi, proses belajar serta
evaluasi hasil belajar. Sehubungan dengan
kompetensi seorang siswa, pemerintah telah
menyatakan merumuskan standar kompetensi
lulusan (SKL) yang merupakan kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap
pengetahuan dan keterampilan (PP Nomor 19 Tahun
2005 Bab I Pasal 1 butir 4). Standar Kompetensi
Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
standar kompetensi lulusan minimal satuan
pendidikan dasar dan menengah standar kompetensi
lulusan minimal kelompok mata pelajaran dan standar
kompetensi lulusan minimal mata pelajaran
(Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006' pasal 1 ayat 2);
Selanjutnya, dinyatakan Standar Kompetensi Lulusan
pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan pengetahuan
kepribadian akhlak mulia serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut (PP
Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 26 ayat 2).
Komponen SKL terdiri atas SKL Satuan
Pendidikan, SKL Kelompok Mata Pelajaran' dan
SKL Mata Pelajaran (Permendiknas Nomor 23 Tahun
2006). Sedangkan SKL Ujian merupakan representasi
dari keseluruhan Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran; Standar
Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan
dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman
penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik
(Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006' pasal 1 ayat 1).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sebaran Sekolah di Kabupaten Bombana
Jumlah SMA di kabupaten Bombana
saat ini sebanyak 16 unit dengan rincian 7 unit
sekolah negeri dan 9 unit sekolah swasta. (BPS
Bombana, 2011).
2. Perkembangan Siswa yang Mengikuti UN di
Kabupaten Bombana
Jumlah siswa yang mengikuti UN di
kabupaten Bombana, untuk jurusan IPA:
tahun 2008 berjumlah 266 siswa tersebar
pada 6 sekolah, tahun 2009 berjumlah 225
siswa tersebar pada 6 sekolah (turun 15.41%),
dan tahun 2010 berjumlah 245 yang tersebar
pada 7 sekolah (naik 8.88%). Untuk jurusan
IPS: tahun 2008 berjumlah 582 siswa yang
tersebar pada 9 sekolah, tahun 2009
berjumlah 784 siswa yang tersebar pada 11
sekolah (naik 34.70%), dan tahun 2010
berjumlah 808 siswa yang tersebar pada 16
sekolah (naik 3.06%).
3. Persentase kelulusan siswa di Kabupaten
Bombana
Peningkatan jumlah siswa peserta ujian
UN dalam kenyataannya belum diikuti dengan
meningkatnya persentase kelulusan siswa jurusan
IPA dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009
persentase kelulusan mencapai 100%, namun
tahun berikutnya turun 14.69%. Hal serupa untuk
jurusan IPS juga naik pada tahun 2009 sebesar
91.45%, namun pada tahun 2010 persentase
kelulusan turun signifikan sebesar 21.41% dari
tahun sebelumnya.
Data ini memperlihatkan dengan jelas
dalam kurun waktu tiga tahun terakhir kelulusan
siswa menurun. Lebih dari itu, penurunan terbesar
terjadi pada tahun 2010. Hal ini juga menunjukkan
bahwa rata-rata angka siswa mengulang lebih dari
1 % per tahun belum memenuhi kriteria standar
pelayanan minimal untuk aspek produk sekolah.
4. Gambaran Pemetaan Kompetensi Siswa
SMA di Kabupaten Bombana
Hasil analisis data meliputi 2 bagian,
yaitu: (a) deskripsi nilai UN murni, dan (b)
distribusi nilai UN murni.
18
a. Deskripsi Nilai UN Murni di kabupaten Bombana
Tabel 1. Nilai UN Murni Jurusan IPA di Kabupaten Bombana
Nilai UN
Murni
Bahasa
Indo.
Bahas
a
Inggris
Mate-
matika Fisika Kimia Biolog
i
Jumla
h
Nilai
Rerata St.
min.
kelulusan
2008 (5.25), 2009 (5.50), 2010 (5.50)
Rata-Rata
7.13
6.02
6.83
7.31
7.29
6.46
6.80
8.54
7.24
7.09
7.38
7.01
7.71
8.83
7.41
7.02
6.64
5.60
43.06
44.70
40.55
Terendah
4.40
4.00
2.00
4.80
5.00
1.60
0.75
5.00
2.50
4.25
4.00
2.00
5.25
7.00
4.75
5.25
4.00
3.00
37.15
36.95
26.00
Tertinggi
9.20
7.80
9.00
9.00
9.40
8.00
9.00
10.00
9.50
8.50
9.25
9.00
9.50
10.00
9.25
9.25
9.00
8.50
51.00
52.75
49.00
Tabel 2. Nilai UN Murni Jurusan IPS di Kabupaten Bombana
Nilai UN
Murni
Bahasa
Indo.
Bahas
a
Inggris
Mate-
matika
Eko-
nomi
Sosio-
logi
Geo-
grafi
Jumla
h
Nilai
Rerata St.
min.
kelulusan
2008 (5.25), 2009 (5.50), 2010 (5.50)
Rata-Rata
6.55
5.84
6.11
6.51
7.21
6.26
5.74
7.45
7.58
7.33
6.78
5.83
6.98
6.37
5.84
6.01
6.62
6.80
39.12
40.27
38.42
Terendah
2.00
2.60
1.80
2.60
3.80
1.20
1.25
1.00
0.75
3.25
2.50
1.50
2.75
2.50
1.40
2.25
2.75
1.60
24.65
28.35
13.85
Tertinggi
8.60
8.60
9.20
9.20
9.20
8.60
9.25
9.50
9.50
9.25
8.75
8.50
9.00
8.25
8.40
8.50
8.25
9.20
49.85
47.95
46.20
Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa secara kumulatif rerata nilai UN murni baik
jurusan IPA maupun IPS di kabupaten Bombana cenderung menurun pada beberapa mata pelajaran,
seperti tampak pada grafik berikut.
Grafik 1. Nilai UN Murni Jurusan IPA di Kabupaten Bombana
19
Grafik 2. Nilai UN Murni Jurusan IPS di Kabupaten Bombana
b. Distribusi Nilai UN Murni Tahun di kabupaten Bombana
Selanjutnya, gambaran sebaran nilai UN murni jurusan IPA di kabupaten Bombana tahun
2008 sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (7.52%), bahasa Inggris (5.26%),
matematika (20.68%), fisika (21.43%), kimia (2.26%), biologi (4.89%). Selengkapnya dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPA Tahun 2008 Rentang
Nilai Bhs. Indo Bhs. Inggris Matematika Fisika Kimia Biologi Rerata Nilai
Real % Real % Real % Real % Real % Real % Real %
10.00 - - - - - - - - - - - - - -
9.00 - 9.99 3 1.13 3 1.13 2 0.75 - - 31 11.65 1 0.38 - -
8.00 - 8.99 56 21.05 82 30.83 53 19.92 81 30.45 97 36.47 55 20.68 22 8.27
7.00 - 7.99 104 39.10 82 30.83 65 24.44 95 35.71 81 30.45 63 23.68 137 51.50
6.00 - 6.99 83 31.20 85 31.95 91 34.21 33 12.41 51 19.17 134 50.38 107 40.23
5.25 - 5.99 11 4.14 12 4.51 36 13.53 32 12.03 6 2.26 13 4.89 - -
4.25 - 5.24 9 3.38 2 0.75 18 6.77 25 9.40 - - - - - -
3.00- 4.24 - - - - - - - - - - - - - -
2.00 - 2.99 - - - - - - - - - - - - - -
1.00- 1.99 - - - - - - - - - - - - - -
0.01 - 0.99 - - - - 1 0.38 - - - - - - - -
0/TdkLkp - - - - - - - - - - - - - -
Untuk jurusan IPS sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (26.28%), bahasa
Inggris (36.95%), matematika (46.73%), ekonomi (7.90%), sosiologi (17.35%), geografi (44.33%).
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
20
Tabel 4. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPS Tahun 2008 Rentang
Nilai Bhs. Indo Bhs. Inggris Matematika Ekonomi Sosiologi Geografi Rerata Nilai
Real % Real % Real % Real % Real % Real % Real %
10.00 - - - - - - - - - - - - - -
9.00 - 9.99 - - 6 1.03 1 0.17 9 1.55 2 0.34 - - - -
8.00 - 8.99 60 10.31 90 15.46 9 1.55 190 32.65 160 27.49 32 5.50 1 0.17
7.00 - 7.99 196 33.68 137 23.54 84 14.43 192 32.99 148 25.43 153 26.29 117 20.10
6.00 - 6.99 173 29.73 134 23.02 213 36.60 145 24.91 171 29.38 139 23.88 364 62.54
5.25 - 5.99 60 10.31 108 18.56 92 15.81 35 6.01 63 10.82 90 15.46 88 15.12
4.25 - 5.24 67 11.51 89 15.29 140 24.05 9 1.55 31 5.33 120 20.62 11 1.89
3.00 - 4.24 24 4.12 15 2.58 29 4.98 2 0.34 6 1.03 43 7.39 1 0.17
2.00 - 2.99 2 0.34 3 0.52 11 1.89 - - 1 0.17 5 0.86 - -
1.00- 1.99 - - - - 3 0.52 - - - - - - - -
0.01 - 0.99 - - - - - - - - - - - - - -
0/TdkLkp - - - - - - - - - - - - - -
Untuk jurusan IPA sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (42.66%), bahasa
Inggris (5.78%), matematika (0.88%), fisika (7.10%), kimia (0.00%), biologi (37.33%). Selengkapnya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPA Tahun 2009 Rentang
Nilai Bhs. Indo Bhs. Inggris Matematika Fisika Kimia Biologi Rerata Nilai
Real % Real % Real % Real % Real % Real % Real %
10.00 - - - - 19 8.44 - - 8 3.56 - - - -
9.00 - 9.99 - - 2 0.89 71 31.56 12 5.33 108 48.00 4 1.78 - -
8.00 - 8.99 - - 52 23.11 77 34.22 62 27.56 86 38.22 57 25.33 42 18.67
7.00 - 7.99 42 18.67 99 44.00 48 21.33 85 37.78 23 10.22 36 16.00 128 56.89
6.00 - 6.99 87 38.67 59 26.22 8 3.56 50 22.22 - - 44 19.56 55 24.44
5.50 - 5.99 25 11.11 7 3.11 1 0.44 12 5.33 - - 47 20.89 - -
4.25 - 5.49 66 29.33 6 2.67 1 0.44 3 1.33 - - 34 15.11 - -
3.00 - 4.24 5 2.22 - - - - 1 0.44 - - 3 1.33 - -
21
2.00 - 2.99 - - - - - - - - - - - - - -
1.00- 1.99 - - - - - - - - - - - - - -
0.01 - 0.99 - - - - - - - - - - - - - -
0/TdkLkp - - - - - - - - - - - - - -
Untuk jurusan IPS sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (51.54%), bahasa
Inggris (6.76%), matematika (11.86%), ekonomi (24.23%), sosiologi (26.41%), geografi (31.00%).
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPS Tahun 2009 Rentang
Nilai Bhs. Indo Bhs. Inggris Matematika Ekonomi Sosiologi Geografi Rerata Nilai
Real % Real % Real % Real % Real % Real % Real %
10.00 - - - - - - - - - - - - - -
9.00 - 9.99 - - 10 1.28 54 6.89 - - - - - - - -
8.00 - 8.99 4 0.51 137 17.47 369 47.07 32 4.08 14 1.79 101 12.88 - -
7.00 - 7.99 137 17.47 390 49.74 158 20.15 480 61.22 233 29.72 288 36.73 306 39.03
6.00 - 6.99 239 30.48 194 24.74 110 14.03 82 10.46 330 42.09 152 19.39 347 44.26
5.50 - 5.99 102 13.01 22 2.81 23 2.93 52 6.63 102 13.01 119 15.18 100 12.76
4.25 - 5.49 251 32.02 27 3.44 23 2.93 129 16.45 90 11.48 117 14.92 31 3.95
3.00 - 4.24 50 6.38 4 0.51 18 2.30 8 1.02 14 1.79 4 0.51 - -
2.00 - 2.99 1 0.13 - - 24 3.06 1 0.13 1 0.13 2 0.26 - -
1.00- 1.99 - - - - 5 0.64 - - - - - - - -
0.01 - 0.99 - - - - - - - - - - - - - -
0/TdkLkp - - - - - - - - - - 1 0.13 - -
Untuk jurusan IPA sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (22.04%), bahasa
Inggris (24.91%), matematika (12.66%), fisika (10.61%), kimia (8.57%), biologi (58.37%).
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
22
Tabel 7. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPA Tahun 2010 Renta
ng
Nilai
Bhs. Indo Bhs. Inggris Matematika Fisika Kimia Biologi Rerata Nilai
R
e
al
% Real % Real % Real % Real % Real % Real %
10
.00 - - - - - - - - - - - - - -
9.00 -
9.99 4 1.63 - - 14 5.71 5 2.04 2 0.82 - - - -
8.00 -
8.99
4
1 16.73 2 0.82 64 26.12 53 21.63 78 31.84 10 4.08 4 1.63
7.00-
7.99
8
2 33.47 103 42.04 103 42.04 103 42.04 109 44.49 11 4.49 100 40.82
6.00 -
6.99
6
4 26.12 79 32.24 33 13.47 58 23.67 35 14.29 81 33.06 111 45.31
5.50 -
5.99
2
1 8.57 19 7.76 8 3.27 1 0.41 14 5.71 56 22.86 8 3.27
4.25 -
5.49
2
5 10.20 34 13.88 12 4.90 4 1.63 7 2.86 63 25.71 22 8.98
3.00 -
4.24 6 2.45 7 2.86 10 4.08 16 6.53 - - 24 9.80 - -
2.00 -
2.99 2 0.82 - - 1 0.41 5 2.04 - - - - - -
1.00-
1.99 - - 1 0.41 - - - - - - - - - -
0.01 -
0.99 - - - - - - - - - - - - - -
0/TdkL
kp - - - - - - - - - - - - - -
Untuk jurusan IPS sebagai berikut: rentang nilai < 6.00 bahasa Indonesia (41.35%), bahasa
Inggris (31.80%), matematika (14.60%), ekonomi (49.99%), sosiologi (49.01%), geografi (23.89%).
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 8. Distribusi Nilai UN Murni Jurusan IPS Tahun 2010
Rentang
Nilai Bhs. Indo Bhs. Inggris Matematika Ekonomi Sosiologi Geografi Rerata Nilai
Real % Real % Real % Real % Real % Real % Real %
10.00 - - - - - - - - - - - - - -
9.00 - 9.99 3 0.37 - - 169 20.92 - - - - 28 3.47 - -
8.00 - 8.99 59 7.30 11 1.36 308 38.12 11 1.36 51 6.31 153 18.94 - -
7.00- 7.99 218 26.98 334 41.34 147 18.19 110 13.61 187 23.14 228 28.22 211 26.11
6.00 - 6.99 194 24.01 206 25.50 66 8.17 283 35.02 174 21.53 206 25.50 408 50.50
5.50 - 5.99 99 12.25 56 6.93 20 2.48 131 16.21 77 9.53 64 7.92 92 11.39
4.25 - 5.49 121 14.98 145 17.95 57 7.05 251 31.06 201 24.88 98 12.13 77 9.53
3.00 - 4.24 68 8.42 33 4.08 13 1.61 16 1.98 89 11.01 18 2.23 16 1.98
23
2.00 - 2.99 44 5.45 14 1.73 14 1.73 5 0.62 28 3.47 10 1.24 4 0.50
1.00 - 1.99 2 0.25 9 1.11 11 1.36 1 0.12 1 0.12 2 0.25 - -
0.01 - 0.99 - - - - 2 0.25 - - - - - - - -
0/TdkLkp - - - - 1 0.12 - - - - 1 0.12 - -
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa
di kabupaten Bombana baik jurusan IPA maupun
IPS semua mata pelajaran sudah berada di atas
nilai standarnya meskipun dalam tiga tahun
terakhir sebagian besar mata pelajaran cenderung
menurun dan fluktuatif. Di samping itu, masih
terdapat perbedaan nilai yang signifikan yaitu
ada yang memperoleh nilai hampir sempurna
tetapi di sisi lain ada yang memperoleh nilai yang
sangat rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2011. Kabupaten
Bombana dalam Angka.
DP2M Dikti. 2011. Software PPMP. Jakarta:
Kemdiknas
Jerome S. Arcaro, “Quality in Education: an
Implementation Handbook”
diterjemahkan oleh Yosal Iriantara,
Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-
Prinsip dan Tata Langkah Penerapan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), 38-
44.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23
Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta : Kencana
Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991.
Mencari Strategi Pengembangan
Pendidikan Nasional Menjelang Abad
XXI, PT. Grasindo, Jakarta.
Tim Teknis Bappenas, 1999. School-Based
Management di Tingkat Pendidikan Dasar,
Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia,
Jakarta.
24
PENERAPAN MEDIA COMPACT DISC (CD ) INTERAKTIF DENGAN KONSEP E- LEARNING
UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATA KULIAH STRUKTUR HEWAN PADA
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA1
Oleh:
H. M. Sirih2
Sal Amansyah3
Abstrak. Masalah dalam penelitian ini adalah apakah dengan menerapkan media Compact Disc
(CD) interkatif dengan konsep E-Learning dapat meningkatkan hasil belajar mata kuliah struktur
hewan pada mahasiswa program studi pendidikan biologi jurusan pendidikan MIPA. Penelitian ini
dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012. Jenis penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 3 siklus, meliputi tahap perencanaan, tindakan, observasi,
dan refleksi. Sumber data dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan dosen pengajar mata kuliah.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan menerapkan media CD interaktif dengan konsep E-Learning dapat
meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa dan aktivitas mengajar dosen pada materi sistem
peredaran darah. Peningkatan ini ditandai dengan meningkatnya nilai persentase aktivitas belajar
mahasiswa dari siklus I, ke siklus II dan siklus III. Begitupula dengan hasil belajar mahasiswa
terlihat bahwa dengan menerapkan media CD interaktif dengan konsep E-Learning dapat
meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada materi sistem peredaran darah dari siklus I ke siklus
berikutnya. Namun peningkatan yang diperoleh belum mencapai ketuntasan yang telah ditetapkan
yaitu baru 70% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76. (KKM yang ditetapkan 75% mahasiswa
memperoleh nilai ≥ 76).
Kata Kunci : Compact Disc (CD), Konsep E-Learning, Hasil Belajar dan Sistem Peredaran Darah
1 Ringkasan Hasil Penelitian 2 Dosen Pendidikan Biologi FKIP Unhalu
3 Dosen Pendidikan Biologi FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan syarat utama dalam
upaya meningkatkan kualitas manusia baik ditinjau
dari aspek sosial, spiritual, dan intelektual karena
manusia sebagai obyek dan subyek utama
pembangunan. Mutu pendidikan akan menentukan
tingkat keberhasilan pembangunan. Peningkatan
mutu pendidikan yang dilaksanakan di perguruan
tinggi, dituntut dosen sebagai pendidik memegang
peranan yang sangat penting dalam upaya
membelajarkan dan mencerdaskan peserta
didiknya. Sejalan dengan peningkatan mutu
pendidikan tersebut, maka dosen dituntut untuk
memiliki kemampuan dan keterampilan dalam
menetapkan berbagai model pembelajaran dan
media pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik materi pokok dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran. Model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam
tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat
pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku,
film, komputer, kurikulum, dan lain-lain (Joyce
dalam Trianto, 2007: 5).
Berdasarkan hasil observasi dan analisis
hasil belajar mahasiswa yang memprogramkan
mata kuliah Struktur Hewan selama 3 (tiga) tahun
berturut-turut ditemukan bahwa mata kuliah ini
dianggap oleh sebagian mahasiswa Program Studi
Pendidikan Biologi sebagai salah satu mata kuliah
yang sukar dimengerti dan dipahami. Hal ini
tercermin dengan rendahnya nilai rata-rata
ketuntasan hasil belajar dalam 3 (tiga) tahun
terakhir. Porsentase jumlah mahasiswa
yangmencapai nilai ketuntasan belajar pada tahun
akademik 2008/2009 baru mencapai 51,68% dan
pada tahun akademik 2009/2010 hanya mencapai
46,81%. Perolehan rata-rata nilai mahasiswa pada
mata kuliah Struktur Hewan pada tahun akademik
2010/2011 adalah 67.52 atau hanya 13.75%
mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76. Hasil-hasil ini
25
masih berada di bawah nilai Kriteria Ketuntasan
minimal yakni 75% mahasiswa memperoleh nilai ≥
76 (sesuai dengan kriteria evaluasi keberhasilan
studi setiap mata kuliah yang telah ditetapkan oleh
FKIP Unhalu, Pedoman Akademik, 2010).
Rendahnya pencapaian hasil belajar
tersebut diduga disebabkan oleh metode
pembelajaran yang diterapkan selama ini yaitu
metode ceramah bervariasi dan model pembelajaran
langsung yang mengakibatkan kurang efektifnya
proses pembelajaran di kelas. Disamping itu,
mungkin juga disebabkan oleh media yang
digunakan kurang sesuai dengan metode dan materi
yang diajarkan sehingga mempengaruhi pencapaian
hasil belajar yang belum memenuhi syarat tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti
mencoba memilih model pembelajaran kooperatif
tipe STAD (Student Team Achievement Divisions)
dengan menerapkan media CD interaktif yang
dalam pembelajaran ini peserta didik berinteraksi
langsung dengan komputer dan komputer
mempresetasikan materi pembelajaran sekaligus
berinteraksi secara individual dengan peserta didik
lainnya.
Aplikasi teknologi komputer dalam
pembelajaran umumnya dikenal dengan istilah
Computer Asisted Instruction (CIA). CIA adalah
suatu program pembelajaran yang dibuat dalam
sistem komputer pengguna. Materi pelajaran yang
sudah terprogram dapat disajikan secara serentak
antara komponen gambar, tulisan, warna dan suara
sehingga tidak ada interpretasi yang keliru dalam
proses pemahaman.
Berdasarkan latar belakang, maka
permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian
ini adalah Apakah dengan menerapkan media CD
interaktif dengan konsep E-Learning dapat
meningkatkan hasil belajar mahasiswa program
studi pendidikan biologi pada mata kuliah struktur
hewan tahun akademik 2011/2012 ?
KAJIAN TEORITIK DAN KERANGKA
BERFIKIR
Model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam
tutorial. Model pembelajaran mengacu pada
pendekatan pembelajaran yang akan digunakan,
termasuk di dalam tujuan pengajaran,
material/perangkat pembelajaran (buku-buku, film-
film, tipe-tipe, program-program media komputer,
dan kurikulum), tahap-tahap dalam kegiatan
pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan
pengelolaan kelas (Arends, 1997: 7) dan Trianto,
2007: 2.
Model pembelajaran yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran koperatif
tipe STAD dengan menerapkan media Compact
Disc (CD) melalui konsep E-Learning. Pemilihan
model pembelajaran ini dan penerapan media ini
merupakan salah satu wujud solusi aplikasi
teknologi informasi multimedia dalam proses
pembelajaran. Menurut Riedsel, dkk (sudarman,
2001 dalam Erniwati, dkk, 2006) adalah A teaching
proses directly involving a computer in the
presentation of instructional materials in a mode
design to provide active involvement with the
student. Sementara itu Joiner (Sudarman, 2001
dalam Erniwati, dkk. 2006) memberikan definisi
yang lebih lengkap, yaitu a teaching proses directly
involving a computer in the presentation material
in an interactive mode to provide and control the
individualized learning environment for each
individual student.
Berdasarkan definisi di atas, nampak
bahwa dalam pembelajaran ini peserta didik
berinteraksi langsung dengan komputer dan
komputer mempresentasikan materi pembelajaran
sekaligus berinterkasi secara individual dengan
peserta didik lainnya.
Aplikasi teknologi komputer dalam
pembelajaran umumnya dikenal dengan istilah
Computer Asisted Instruction (CIA). Istilah CIA
umumnya merujuk kepada semua software
pendidikan yang diakses melalui komputer dimana
pengguna dapat berinteraksi dengannya. Sistem
komputer dapat menyajikan serangkaian program
pembelajaran kepada peserta didik, baik berupa
informasi konsep maupun latihan soal-soal untuk
mencapai tujuan tertentu, dan pengguna melakukan
aktivitas belajar dengan cara berinteraksi dengan
sistem komputer. Sementara dalam kedudukannya
dapat dikatakan bahwa CIA adalah penggunaan
komputer sebagai bagian integral dari sistem
instruksional, dimana biasanya pengguna terikat
pada interaksi dua arah dengan komputer. Menurut
Kaput dan Thompson (1994) diartikan sebagai
bentuk pembelajaran yang menempatkan komputer
dalam peran guru. (Ariani & Deny, 2010: 31).
CD interaktif sebagai sarana atau media
belajar lebih diarahkan sebagai media pembelajaran
mandiri, sehingga dalam pemanfaatannya peran
guru sangat minimal. Dalam hal ini peserta didik
dituntut untuk lebih aktif dalam mendalami materi-
materi pembelajaran yang mungkin tidak bisa
didapatkan hanya dari pembelajaran konvensional,
sehingga dalam proses pembelajaran yang
26
memanfaatkan multimedia pembelajaran guna lebih
berperan sebagai fasilitator. Dengan kelebihannya
tersebut maka program pembelajaran berbasis
komputer mempunyai kemampuan untuk mengisi
kekurangan-kekurangan pengajar. Namum tentu
saja tidak ada satupun media yang mampu
menggantikan seluruh peran guru/dosen, karena
masih banyak hal-hal yang bersifat pedagogi dan
humanisme yang tidak bisa digantikan oleh
komputer.
Salah satu alternatif tindakan yang perlu
dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar
tersebut adalah menerapkan media pembelajaran
yang inovatif yaitu Media CD interaktif dengan
konsep E-Learning. Media CD interaktif dengan
konsep E-Learning. diharapkan akan menjadi
bagian dari suatu proses belajar mengajar di
sekolah/kampus, dan juga diharapkan mampu
memberikan dukungan bagi terselenggaranya
proses komunikasi interaktif antara pengajar
(dosen), mahasiswa dan bahan belajar sebagaimana
yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan
pembelajaran. Kondisi yang perlu didukung oleh
pemanfaatan media tersebut terutama berkaitan
dengan model/strategi pembelajaran yang akan
dikembangkan, yang kalau dijabarkan secara
sederhana, bisa diartikan sebagai kegiatan
komunikasi yang dilakukan untuk mengajak
mahasiswa mengerjakan tugas-tugas dan membantu
siswa dalam memperoleh pengetahuan yang
dilakukan dalam rangka mengerjakan tugas-tugas
tersebut.
Penerapan media CD interaktif dengan
konsep E-Learning mempunyai keunggulan atau
kelebihan dibanding dengan penerapan media
lainnya antara lain adalah: 1) bahan yang disajikan
menjadi lebih jelas maknanya, tidak verbalistik dan
memotivasi peserta didik dalam belajar; 2) metode
pembelajaran lebih bervariasi; 3) pembelajaran
lebih menarik; 4) aktivitas belajar meningkat dan 5)
merupakan salah satu wujud solusi aplikasi
teknologi informasi multimedia dalam proses
pembelajaran secara mandiri. Diharapkan dengan
menerapkan media CD interaktif dengan konsep E-
Learning dapat meningkatkan aktivitas mahasiswa
dan dosen dalam proses belajar mengajar yang
berimplikasi terhadap hasil belajar. Secara
sistematis kerangka berpikir dapat dilihat pada
gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
Materi Sistem Peredaran Darah
Pembelajaran inovatif
Hasil belajar rendah
1. Bahan yang disajikan menjadi lebih jelas maknanya, dan
tidak verbalistik memotivasi peserta didik dalam belajar
2. Metode pembelajaran lebih bervariasi
3. Pembelajaran lebih menarik
4. Aktivitas belajar meningkat
5. Salah satu wujud solusi aplikasi teknologi informasi
multimedia dalam proses pembelajaran secara mandiri
Penerapan media
Compact Disc (CD)
interaktif dengan
konsep E-Learning
Dosen (Fasilitator,
motivator)
Mahasiswa (subyek belajar)
Evaluasi
Peningkatan Hasil Belajar
27
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil
tahun akademik 2011/2012 pada bulan September
sampai bulan Desember 2011, bertempat di ruang
gedung A3 FKIP Unhalu. Pengambilan data
dilaksanakan tanggal 14, 21 dan 26 Nopember
2011.
Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program
Studi Pendidikan Biologi yang memprogramkan
mata kuliah Struktur Hewan semester III tahun
akademik 2011/2012.
Variabel, Definisi Operasional dan Indikator
Penelitian
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini yaitu : Penerapan
media CD interaktif dengan konsep E-Learning dan
hasil belajar materi sistem peredaran darah.
Definisi operasional penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Penerapan media CD interaktif dengan konsep
E-Learning adalah model pembelajaran yang
didalam CD Interaktif terdapat fitur-fitur materi
sistem peredaran darah yang pengaplikasiannya
berupa simulasi gambar animasi tiga dimensi
dan fitur suara untuk membantu proses
menerangkan materi.
b. Hasil belajar adalah suatu gambaran dari
penguasaan pengetahuan, sikap dan
keterampilan dari peserta didik sebagai hasi
kegiatan proses belajar yang berwujud nilai
maupun suasana yang menyenangkan pada
waktu menjalani proses belajar atau dengan kata
lain hasil belajar adalah indikator tingkat
perubahan tingkah laku yang telah dicapai oleh
individu yang melakukan suatu kegiatan belajar
sehingga memperoleh pengalaman dan
penilaiannya dilakukan dengan menggunakan
tes hasil belajar dan lembar observasi.
1. Indikator Penelitian
Untuk ketuntasan hasil belajar, minimal 75%
mahasiswa telah memperoleh nilai ≥ 76 (sesuai
dengan evaluasi keberhasilan studi setiap mata
kuliah yang telah ditetapkan oleh FKIP Unhalu,
Pedoman Akademik, 2010).
Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang
menggunakan proses pengkajian melalui sistem
berdaur (siklus) dari berbagai kegiatan
pembelajaran. Siklus yang dimaksud melalui tahap
perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi diri.
Tahap-tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan
refleksi terdiri dari beberapa siklus dalam satu
simulasi sampai hal yang ingin diperbaiki itu telah
tercapai. Penelitian ini dilaksanakan 3 (siklus)
siklus. Pada setiap siklus terdiri dari satu kali
pertemuan dengan tahapan pada tiap siklus dapat
dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
ya
ya
Refleksi awal
Perencanaan Tindakan I
Pelaksanaan Tindakan I Observasi Refleksi
Perencanaan Tindakan II
Pelaksanaan Tindakan II
Observasi Refleksi
Berhasil
Laporan
Berhasil tidak
tidak
ya
ya
28
Pelaksanaan masing-masing tindakan dalam
penelitian ini mengikuti alur tindakan yang
dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart yaitu (a)
perencanaan, (b) pelaksanaan, (c) observasi dan (d)
refleksi yang akan membentuk suatu siklus. Siklus
ini akan dilakukan terus-menerus sampai kriteria
yang ditetapkan dalam setiap tindakan tercapai.
Sumber dan Jenis Data
1. Sumber data dalam penelitian ini adalah dari
mahasiswa dan dosen.
2. Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini
adalah data yang diambil dengan
menggunakan lembar observasi yang terdiri
atas lembar observasi aktivitas mahasiswa dan
aktivitas dosen pengajar serta berupa tes hasil
belajar.
Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan statistik
deskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran peningkatan aktivitas dan hasil belajar
mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media CD interaktif dengan konsep E-Learning
Adapun rumus yang digunakan adalah :
1. Menentukan kriteria keterlaksanaan tindakan dosen pengajar dan mahasiswa dalam proses
belajar mengajar :
Persentase Nilai Rata-Rata Skor (RS) = x 100%
Taraf Keberhasilan Tindakan
90% ≤ RS < 100% : Sangat baik
80% ≤ RS < 90% : Baik
70% ≤ RS < 80% : Cukup
60% ≤ RS < 70% : Kurang
0% ≤ RS < 60% : Sangat kurang
2. Menentukan persentase ketuntasan Belajar:
∑TB
N
Keterangan :
∑ TB = Jumlah mahasiswa tuntas belajar
N = Jumlah mahasiswa (Sudjana N, 2008)
% TB = x 100 %
jumlah skor
Skor maksimal
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Tabel 1. Rata-rata akativitas mahasiswa selama proses belajar mengajar pada setiap siklus Tahap Aktivitas mahasiswa Siklus I Siklus II Siklus III
Rata-rata % Kategori Rata-rata
% Kategori Rata-rata % Kategori
Awal
Keterlibatan dalam membangkitkan
pengetahuan awal mahasiswa 2,75 69 Kurang 3,40 85 Baik 3,90 98
Sangat
baik
Keterlibatan dalam membangkitkan
motivasi belajar mahasiswa 2,50 63 Kurang 3,30 83 Baik 3,90 98
Sangat
baik
Memperhatikan tujuan pembelajaran yang
disampaikan 3,00 75 Cukup 3,90 98 Sangat baik 4,00 100
Sangat
baik
Inti
Keterlibatan dalam memahami konsep
yangdiajarkan 2,25 56
Sangat
kurang 3,10 78 Cukup 3,40 85 Baik
Keterlibatan dalam pembentukan
kelompok 3,50 88 Baik 3,90 98 Sangat baik 4,00 100
Sangat
baik
Keterlbatan dalam kerjasama kelompok
3,25 81 Baik 3,50 88 Baik 3,80 95
Sangat
baik
Keterlibatan dalam menyiapkan laporan
hasil kerja kelompok 3,13 78 Cukup 3,50 88 Baik 3,40 85 Baik
Keterlibatan dalam melaporkan hasil
kerja kelompok dan dalam diskusi 2,75 69 Kurang 3,10 78 Cukup 3,20 80 Baik
Akhir
Keterlibatan dalam merespon hasil belajar
dan membuat kesimpulan 3,25 81 Baik 3,30 83 Baik 3,50 88 Baik
Keterlibatan dalam mengikuti evaluasi
3,38 84 Baik 3,80 95 Sangat baik 3,80 95
Baik
sekali
Keterlibatan dalam mengakhiri
pembelajaran 3,13 78 Cukup 3,50 88 Baik 4,00 100
Baik
sekali
Jumla
h
32,88
38,4
40,9
% nilai rata-rata 74,72 87,27 92,95
Katego
ri Cukup Baik
Sanagat
Baik
30
Tabel 2. Rata-rata akativitas dosen selama proses belajar mengajar
Tahap Aktivitas dosen Siklus
Siklus I Siklus II Siklus III Rata-rata % Kategori
Awal Melakukan Apersepsi 3 4 4 3.67 91.66 Sangat baik
Memotivasi Mahasiswa 3 4 4 3.67 91.66 Sangat baik
Menyampaikan Tujuan Perkuliahan 4 4 4 4.00 100 Sangat baik
Inti Menyajikan materi yang diajarkan 3 4 4 3.67 91.66 Sangat baik
Mengorganisasikan mahasiswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar
4 4 4 4.00 100 Sangat baik
Membimbing dan mengarahkan setiap
kelompok dalam Mengerjakan LKM
3 3 4 3.33 83.33 Baik
Meminta kelompok melaporkan hasil
kerjanya dan memberikan penghargaan
kepada kelompok yang terbaik hasil kerjanya
3 3 4 3.33 83.33 Baik
Akhir Merespon kegiatan diskusi dan
menyimpulkan materi
3 4 4 3.67 91.66 Sangat baik
Melakukan evaluasi 4 4 4 4.00 100 Sangat baik
Mengakhiri / menutup perkuliahan 4 4 4 4.00 100 Sangat baik
Rata-rata 3.4 3.8 4 3.73
% nilai rata-rata
85 95 100 93.25 Sangat baik
Kategori
Baik Sangat
baik
Sangat baik
31
Tabel 3. Rata-rata peningkatan hasil belajar mahasiswa selama proses belajar mengajar
SIKLUS KETUNTASAN JUMLAH MAHASISWA PERSENTASE (%)
I Tuntas
Tidak Tuntas
10
29
26
74
II Tuntas
Tidak Tuntas
27
20
57
43
III Tuntas
Tidak Tuntas
30
13
70
30
PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil penelitian terlihat
bahwa rata-rata aktivitas mahasiswa mengikuti
perkuliahan dari siklus I sampai siklus III
mengalami peningkatan. Pada siklus I dari 11
aspek yang diamati ada 1 aspek kategori sangat
kurang, 3 aspek kategori kurang, 2 aspek cukup
dan 4 aspek kategori baik. Secara rata-rata
aktivitas mahasiswa pada siklus I masih dalam
kategori cukup. Kemudian pada siklus II terlihat
bahwa dari 11 aspek yang diamati mengalami
peningkatan bila dibandingkan dengan siklus I.
Misalnya pada siklus I aspek tentang keterlibatan
mahasiswa dalam memahami konsep yang
diajarkan (kategori sangat kurang), mengalami
peningkatan pada siklus II menjadi cukup.
Begitupula dengan aspek-aspek lainnya pada
siklus I yang termasuk kategori kurang meningkat
menjadi kategori baik pada siklus II. Secara rata-
rata aktivitas mahasiswa pada siklus II termasuk
dalam kategori baik. Begitupula dengan siklus III,
terlihat bahwa dari 11 aspek yang diamati
semuanya sudah masuk kategori baik dan sangat
baik. Ini menunjukkan bahwa selama perkuliahan
mahasiswa memperlihatkan adanya aktivitas,
kreatifitas dan antusias mengikuti perkuliahan.
Berkaitan dengan aktivitas dosen selama
proses perkuliahan, dari data hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari siklus I sampai siklus III
mengalami peningkatan. Misalnya pada siklus I,
dari 10 aspek yang diamati ada 6 aspek masik
dalam kategori cukup, dan pada siklus II tinggal 2
aspek masih dalam kategori cukup serta pada
siklus III tinggal 1 aspek masih dalam kategori
cukup. Ini menunjukkan ada peningkatan dan
kemauan dosen untuk memperbaiki proses belajar
mengajar berdasarkan hasil refleksi yang
dilakukan pada setiap siklus.
Perlu diketahui bahwa dari 10 aspek yang
tidak mengalami peningkatan dari siklus I sampai
siklus III adalah membimbing dan mengarahkan
setiap kelompok dalam mengajarkan LKM. Hal ini
terjadi karena posisi tempat duduk mahasiswa
dalam ruang perkuliahan kurang memungkinkan
mahasiswa untuk belajar berkelompok, sehingga
ada kecenderungan mahasiswa untuk bekerja
secara individu, padahal dosen sudah memantau
kerja setiap kelompok dengan berkeliling.
Adanya peningkatan aktivitas belajar
mahasiswa dan aktivtas mengajar dosen dari
siklus I ke siklus III, berimplikasi dari hasil belajar
mahasiswa. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa hasil belajar mahasiswa dari siklus I
mengalami peningkatan pada siklus II dan siklus
III (yaitu sudah mencapai 70% mahasiswa
memperoleh nilai ≥ 76. Namun peningkatan hasil
belajar yang dicapai selama perkuliahan dengan
menerapkan media CD interaktif pada
pembelajaran kooperatif tipe STAD belum
mencapai ketuntasan yang ditetapkan sebelumnya
yaitu 75% mahasiswa memperoleh nilai ≥ 76.
Belum tercapainya ketuntasan belajar ini
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; 1)
belum terbiasanya mahasiswa mengikuti model
pembelajaran yang diterapkan. Hal ini tercermin
dari aktivitas mahasiswa pada saat mengikuti
perkuliahan, misalnya dari aspek keterlibatan
dalam melaporkan hasil kerja kelompok dan dalam
diskusi; 2) kemampuan mahasiswa memahami
konsep yang diajarkan dan 3) kondisi ruangan dan
tempat duduk mahasiswa kurang memungkinkan
untuk bergerak secara leluasa mengikuti
perkuliahan secara berkelompok, karena kursinya
diikat satu dengan kursi lainnya. Oleh karena agar
pembelajaran bisa aktif, inovatif, kreatif, efektif
dan menyenangkan, maka perlu kondisi ruangan
perkuliahan perlu ditata dengan baik utamannya
kursi dan penunjang pembelajaran lainnya.
32
Disamping itu perlunya juga setiap model
pembelajaran diterapkan dalam proses perkuliahan
sehingga mahasiswa sudah terbiasa dengan model
dan media pembelajaran yang diterapkan.
Misalnya penerapan media CD interaktif dengan
konsep E-learning merupakan suatu strategi
pembelajaran berbasis elektronik (Siahaan;
Anonim 2002). Dewasa ini telah banyak lembaga
pendidikan dan pelatihan menjadikan
pembelajaran elektronik sebagai salah satu
alternatif pembelajaran yang dapat dipilih oleh
mahasiswa. Artinya seluruh kegiatan perkuliahan
diikuti oleh mahasiswa melalui pemanfaatan
komputer. Komputer dapat digunakan sebagai alat
bantu mengajar, misalnya dalam
memvisualisasikan materi ajar yang diharapkan
pembelajaran dapat lebih bermakna dan memberi
kesan yang kuat kepada peserta didik (mahasiswa).
PENUTUP
Simpulan
1. Penerapan media CD interaktif dengan
konsep E-Learning dapat meningkatkan
aktivitas belajar mahasiswa dan aktivitas
mengajar dosen pada materi sistem
peredaran darah. Peningkatan ini ditandai
dengan meningkatnya nilai persentase
aktivitas belajar mahasiswa dari siklus I, ke
siklus II dan siklus III.
2. Penerapan media CD interaktif dengan
konsep E-Learning dapat meningkatkan
hasil belajar mahasiswa pada materi sistem
peredaran darah dari siklus I ke siklus
berikutnya. Namun peningkatan yang
diperoleh belum mencapai ketuntasan yang
telah ditetapkan yaitu baru 70% mahasiswa
memperoleh nilai ≥ 76. (KKM yang
ditetapkan 75% mahasiswa memperoleh
nilai ≥ 76).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
maka saran yang dapat diberikan adalah:
1. Perlu dilakukan tindakan lebih lanjut dengan
memperhatikan kondisi ruang tempat
penelitian dan prasarana lainnya yang bisa
mendukung pelaksanaan penerapan media
CD interaktif dengan konsep E-Learning
dalam meningkatkan hasil belajar mahasiswa.
2. Penerapan media CD interaktif dengan
konsep E-Learning menunjukkan konsisten
perbaikan baik pada aktivitas belajar
mahasiswa, aktivitas mengajar dosen dan
hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu
disarankan agar penggunaan media serupa
dapat diterapkan pada materi-materi biologi
lainnya yang memiliki karakteristik serupa
pada masa-masa mendatang.
3. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik
dengan menggunakan media serupa maka
disarankan kegiatan dan proses penerapannya
dilaksanakan pada laboratorium komputasi
sehingga keterlibatan mahasiswa menjadi
lebih luas dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta.
Balai Pustaka.
Anonim. 2010. Pedoman Akademik 2010
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Unhalu. Kendari. Cetakan I, Nopember
2010. FKIP Unhalu.
Arends, Richardl. 1997. Classroom Intructional
Management. New Yort. The McGraw-
Hill Company.
Ariani, N. dan Haryanto, D. 2010. Pembelajaran
Multimedia di Sekolah. Jakarta Prestasi
Pustaka.
Arifin, 2003. Evaluasi Intruksional. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Arikunto, S., 2005. Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.
Azhar, A., 2002. Media Pembelajaran. Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada.
Djamarah, S B. 2000. Psikologi Belajar. Rineka
Cipta. Banjarmasin.
Erniwati, Anas. M. dan Firdaus, 2006. Penerapan
Tutorial Berbantuan Komputer Pada
Matakuliah Fisika Matematika I Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Bagi
Mahasiswa Pendidikan Fisika FKIP
Unhalu. Kendari. Laporan Penelitian.
Hakim, T., 2007. Belajar secara Efektif. Niaga
Swadaya. Jakarta.
33
Ibrahim, M., Racmadiarti, F.,dan Ismono. 2000.
Pembelajaran Kooperatif. Surabaya.
Unesa University Press.
Kunandar, 2008. Guru Profesional. Rajawali
Pres. Jagakarsa.
Rusyan, T., Kusdinar, A., Arifin, Z. 1989.
Pendekatan dalam Proses
Pembelajaran. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Sardiman. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar. PT Raja Grapindo Persada.
Jakarta.
Sirih, M. 2011. Meningkatkan Hasil Belajar
Melalui Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe NHT Pada Mata Kuliah
Perkembangan Hewan Materi
Organogenesis. Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Biologi FKIP Unhalu.
Kendari. Laporan Hasil Penelitian.
Smith, 2009. Teori Pembelajaran dan
Pengajaran. Jogjakarta. Mirza Media
Pustaka.
Sri Sudarwati dan Lien A. Sutasurya. 1990.
Dasar-Dasar Struktur dan
Perkembangan Hewan. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Institut Teknologi Bandung.
Bandung
Sudjana, N., 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar
Mengajar. Bandung. Tarsito.
Suherman, E., 2003. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer (Edisi revisi).
UPI. Bandung.
Suyatno, 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif.
Surabaya. Masmedia Buana Pustaka.
Suripto, 1990. Struktur Hewan. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Institut Teknologi Bandung.
Bandung
Susilo H dan Nyoman Puniawati. 1993. Struktur
dan Perkembangan Hewan. Fakultas
Biologi. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu
dalam Teori dan Praktek. Jakarta.
Prestasi Pustaka.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran
Inovatif Berorientasi Kontstruktivistik.
Jakarta. Prestasi Pustaka.
34
HUBUNGAN ANTARA PERHATIAN ORANG TUA DENGAN
HASIL BELAJAR AKUNTANSI SISWA KELAS XI IS
SMA NEGERI 1 LANDONO1
Oleh:
RIZAL, S.Pd.M.Hum
2
ABSTRAK : Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan “ Apakah terdapat hubungan
antara perhatian orang tua dengan hasil belajar Akuntansi Siswa Kelas XI SMA Negeri 1
Landono?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Perhatian Orang
Tua dengan Hasil Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI SMA 1 Negeri Landono. Penelitian ini
terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas (X) Perhatian Orang Tua dan variabel terikat (Y)
Hasil Belajar Akuntansi Siswa.
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IS SMA Negeri 1 Landono Tahun Ajaran
2010/2011 Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik analisis regresi dan
korelasi serta teknik pengumpulan data menggunakan angket/kuisioner dan tes. Teknik analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) uji normalitas data yang digunakan untuk
mengetahui apakah data yang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak
dan untuk mengetahui linearitas kedua variabel, (2) uji hipotesis dengan menggunakan uji
regresi dan korelasi dengan menggunakan uji product moment yang digunakan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel perhatian orang tua dengan hasil belajar
akuntansi siswa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara perhatian orang
tua dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Landono. Hal ini dapat dilihat
dari koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,55, sedangkan nilai koefisien
determinasinya (r2) adalah sebesar 30,25%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 30,25% hasil
belajar akuntansi ditentukan oleh tingkat perhatian orang tua, dan sisanya dipengaruhi oleh
variabel lain yang tidak diteliti.
Kata Kunci : Perhatian Orang Tua, Hasil Belajar Akuntansi Siswa.
1 Hasil Penelitian, Tahun 2011 2 Dosen Pendidikan Ekonomi FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai pendidikan di negeri
ini memang tidak akan pernah ada habisnya.
Kualitas pendidikan sebagai salah satu pilar
pengembangan sumber daya manusia sangat
penting bagi pembangunan nasional. Bahkan dapat
dikatakan bahwa masa depan suatu bangsa sangat
tergantung pada keberadaan pendidikan serta
kualitas sumber daya manusia.
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan manjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pada era reformasi sekarang ini, visi
pembangunan dalam bidang pendidikan adalah
terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera
dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta
berdisiplin dalam rangka meningkatkan kualitas
masyarakat Indonesia, sehingga mampu
mengangkat harkat dan martabat Indonesia.
35
Perwujudan masyarakat yang berkualitas
tersebut menjadi tanggung jawab lembaga
pendidikan, terutama dalam mempersiapkan
peserta didik menjadi subjek yang semakin
berperan dalam menampilkan keunggulan dirinya
untuk menghadapi era globalisasi yang semakin
kompetitif. Menghadapi persoalan tersebut perlu
dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan
secara menyeluruh terutama berkaitan dengan
kualitas pendidikan serta relevansinya dangan
kebutuhan masyarakat dengan dunia kerja. Hal ini
mutlak harus diupayakan, apalagi sejak lahirnya
peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang
standar nasional pendidikan yang memuat delapan
standar yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses,
(3) standar kompetensi lulusan, (4) standar
pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar
sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7)
standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian
pendidikan. Sebagai implementasi dari peraturan
pemerintah tersebut, maka upaya peningkatan
kualitas atau mutu pendidikan melalui kegiatan
pembelajaran harus menjadi target oleh seluruh
pelaksana dan pengguna pendidikan secara
keseluruhan (Stakeholder). Semua unsur harus
bekerjasama secara demokratis, bersinergi satu
sama lain artinya pelaksanaan pendidikan tidak
hanya menjadi tanggung jawab guru, kepala
sekolah dan pemerintah, tetapi temasuk masyarakat
dan orang tua.
Meskipun berbagai upaya peningkatan
mutu telah dilakukan oleh pemerintah, namun
kenyataanya kondisi sekarang ini mutu pendidikan
belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Hal
ini disadari bahwa keberhasilan pendidikan bagi
siswa khususnya dan lembaga pendidikan pada
umumnya tidak hanya ditentukan oleh kondisi
gedung yang memadai, sarana atau fasilitas
pembelajaran di sekolah, kualitas guru, tetapi
banyak faktor yang turut menentukan baik faktor
internal siswa itu sendiri maupun faktor eksternal
yang lain.
Melihat fenomena sekarang ini, ternyata
berbagai pihak lebih banyak menyoroti faktor
internal sekolah tak terkecuali SMA Negeri 1
Landono. Sebagai gambaran tentang pencapaian
hasil belajar siswa lebih dibatasi pada faktor-faktor
yang berasal dari lingkungan sekolah, seperti
proses pembelajaran dari guru kepada peserta
didiknya, kelengkapan fasilitas belajar di sekolah,
kepemimpinan kepala sekolah dan sebagainya.
Sebaliknya masih sangat jarang yang memusatkan
pada aspek sosiologis di luar institusi sekolah.
Padahal sekolah merupakan salah satu bagian saja
dari suatu sistem yang lebih luas. Lembaga sekolah
tidaklah berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh
faktor eksternal yang lain, seperti lingkungan
keluarga, masyarakat dan kalangan pemerhati serta
birokrasi yang lebih atas. Tegasnya mengkaji
mengenai sekolah belumlah lengkap apabila tidak
memusatkan perhatian terhadap lingkungan luar
sekolah itu sendiri yang juga dapat menjadi
penentu keberhasilan penyelenggaraan pendidikan
di sekolah yang bersangkutan.
Memperhatikan berbagai faktor yang
mempengaruhi proses maupun hasil belajar serta
permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk
meneliti salah satu faktor eksternal yaitu perhatian
orang tua. Salah satu variabel yang mempengaruhi
hasil belajar adalah perhatian orang tua terhadap
anaknya. Peranan orang tua sangat tinggi dalam
menentukan hasil belajar siswa, dalam hal ini
orang tua yang memperhatikan pendidikan anaknya
tentu akan selalu memperhatikan kebutuhan belajar
anaknya. Perhatian tersebut dapat berbentuk
penyediaan fasilitas yang cukup, bimbingan belajar
di rumah baik yang dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung. Pada tataran mikro dapat
kita lihat bahwa siswa yang mempunyai orang tua
yang memberikan perhatian tinggi terhadap
kebutuhan untuk pendidikan anaknya kuat
kemungkinannya untuk dapat mencapai hasil yang
lebih baik.
Berdasarkan hasil hasil observasi dan
wawancara dengan guru akuntansi bahwa secara
umum hasil belajar akuntansi yang dicapai oleh
siswanya masih belum optimal, salah satu data
konkrit yang diperoleh penulis tentang rata-rata
ketuntasan hasil belajar siswa kelas XI pada
ulangan per kompetensi tahun ajaran 2010/2011
adalah 6,50. Hal ini menunjukkan bahwa nilai
tersebut masih tergolong rendah karena belum
memenuhi standar ketuntasan belajar yang
ditetapkan yaitu 7,0. Oleh karena itu, masih perlu
penanganan yang serius, terutama bagi mereka
yang turut terlibat dalam pengelolaan pendidikan
agar mengintrospeksi diri serta berupaya mencari
36
alternatif yang lebih baik, guna meningkatkan hasil
belajar siswa khususnya dalam pelajaran akuntansi.
Dari uraian tersebut di atas, maka penulis
termotivasi untuk melakukan penelitian dengan
judul: “Hubungan antara Perhatian Orang Tua
dengan Hasil Belajar Akuntansi siswa kelas XI IS
SMA Negeri 1 Landono”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
apakah ada hubungan antara perhatian orang tua
dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI IS di
SMA Negeri 1 Landono?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang
diuraikan pada latar belakang dan rumusan
masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara
perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi
siswa kelas XI IS di SMA Negeri 1 Landono.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di SMA
Negeri 1 Landono tahun ajaran 2010/2011 yang
dimulai pada tanggal 1 Maret sampai dengan 1
April 2011.
Variabel dan Desain Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan dua
macam variabel yaitu variabel perhatian orang tua
sebagai variabel bebas yang diberi simbol X dan
variabel hasil belajar akuntansi yang diberi
simbolY.
Untuk memberikan gambaran hubungan antara dua
variabel dalam penelitian ini, maka dapat dilihat
dalam desain penelitian sebagai berikut:
Dimana:
: Hubungan
X :Perhatian Orang Tua
Y : Hasil belajar Akuntansi
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei
dengan menggunakan teknik analisis regresi dan
korelasi. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui
apakah ada hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas XI IS SMA Negeri 1 Landono yang
berjumlah 165 orang, yang terdiri dari kelas XI IS1
berjumlah 40 orang, kelas XI IS2 berjumlah 42
orang, kelas XI IS3 berjumlah 40 orang, kelas XI
IS4 berjumlah 43 orang.
Sampel
Penentuan besarnya sampel dalam penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan rumus Taro
Yamane (dalam Riduwan, 2007: 26) yaitu:
n =
Dimana:
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
d2 = Presisi yang ditetapkan
Berdasarkan perhitungan tersebut maka
besarnya sampel adalah sebanyak 62 siswa.
Penentuan besarnya sampel pada setiap kelas
dilakukan secara proporsional, sedangkan tekhnik
penarikan sampel pada setiap kelas dilakukan
secara random sampling.
n1 = .n
Sugiyono dalam Riduwan (2007:66)
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Angket/kuisioner yang digunakan untuk
mengukur variabel perhatian orang tua.
Angket ini dikembangkan sendiri oleh peneliti
dengan mengacu pada teori-teori yang
dibangun. Angket ini untuk mengukur
variabel perhatian orang tua yang terdiri dari
30 butir yang diturunkan dari 7 indikator.
(Y) (X)
37
Angket tersebut menggunakan skala Likert
yang telah dimodifikasi.
2. Tes digunakan untuk mengukur hasil belajar
akuntansi, tes ini disusun oleh peneliti, tes
disusun dengan mengacu pada Kompetensi
Dasar, pokok bahasan/sub pokok bahasan dan
uraian materi.
Analisis Data Penelitian
Uji Normalis Data
Uji normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang diteliti berasal dari populasi
yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas ini menggunakan Uji Chi Kuadrat dengan rumus:
X2 =
Dimana: fe = Frekuensi harapan
fo = Frekuensi observasi (Nurgiantoro, 2004: 111)
Kriteria pengujian yaitu jika X2
hitung ≤ X2tabel maka distribusi data normal pada taraf nyata α
= 0.05. Dan jika X2hitung ≥ X
2tabel maka diistribusi data tidak normal pada taraf nyata α = 0.05.
Uji Hipotesis Penelitian
Uji hipotesis penelitian digunakan uji regresi dan uji korelasi. Untuk uji regresi menggunakan
persamaan regresi sebagai berikut:
Ŷ= a + bX
Untuk menghitung nilai a dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
a =
Untuk menghitung nilai b dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
b =
Selanjutnya dilakukan uji linearitas dengan rumus sebagai berikut:
Fhitung = (Sudjana, 2002: 332)
Selanjutnya untuk menguji ada tidaknya hubungan antara variabel perhatian orang tua
dengan variabel hasil belajar dilakukan uji korelasi product moment dengan rumus:
rxy =
(Riduwan, 2007: 138)
Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi
∑X = Jumlah skor dalam sebaran X
∑Y = Jumlah skor dalam sebaran Y
∑XY = Jumlah skor hasil belajar X skor perhatian orang tua Y
∑X2 = Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran X
∑Y2 = Jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran Y
n = Jumlah sampel
Sudijono, 2003: 180
38
DESKRIPSI DATA HASIL PENELITIAN
Perhatian Orang Tua
Data variabel perhatian orang tua diukur
dengan menggunakan angket yang terdiri dari 30
pernyataan dengan menggunakan skala 1 sampai 5.
Sehingga skor tertinggi setiap pernyataan adalah 5
dan skor terendah adalah 1. Sedangkan secara
teoritik skor tertinggi adalah 150 (5 x 30) dan skor
terendah adalah 30 (1 x 30).
Data dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa dari 62 responden (siswa) yang diteliti
dalam penelitian ini, menunjukkan skor perhatian
orang tua yang dimiliki oleh siswa SMA Negeri 1
Landono berdistribusi dari skor terendah 86
sampai skor tertinggi 127, skor rata-rata 107,56,
standar deviasi 8,86, median 108,38, modus 114
dan distribusi frekuensi seperti tampak pada tabel
10 berikut ini:
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Perhatian
Orang Tua (X)
No Kelas
interval F
F
Kumu
latif
Nilai
Tengah
(X)
1. 86 – 91 3 3 88,5
2. 92 – 97 6 9 94,5
3. 98 -103 9 18 100,5
4. 104 -109 16 34 106,5
5. 110 – 115 19 53 112,5
6. 116 – 121 5 58 118,5
7. 122 – 127 4 62 124,5
Sumber: Data hasil penelitian
Gambar 1.Histogram variabel Perhatian Orang Tua
3
6
9
16
19
54
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
85.5 91.5 97.5 103.5 109.5 115.5 121.5 127.5
Berdasarkan distribusi frekuensi skor
perhatian orang tua seperti disajikan dalam tabel
10 serta histogram gambar 1 dapat diketahui
bahwa ada 19 orang atau 30,64 % responden
berada pada kelompok rata-rata, 34 orang atau
54,83 % responden berada pada kelompok di
bawah rata-rata, dan 9 orang atau 14,51 responden
lainnya berada di atas kelompok rata-rata.
Hasil Belajar Siswa
Data variabel hasil belajar akuntansi siswa
diukur dengan menggunakan tes hasil belajar siswa
yang terdiri dari 20 butir pertanyaan, dengan
menggunakan skala 0 dan 1, sehingga skor untuk
jawaban yang benar adalah 1 dan untuk jawaban
yang salah diberi skor 0, dengan demikian maka
secara teoritik skor tertinggi dari tes hasil belajar
adalah 100 dan skor terendah adalah 0.
Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dari
62 responden (siswa) yang diteliti dari penelitian
ini, skor hasil belajar akuntansi yang dicapai siswa
di SMA Negeri 1 Landono adalah berdistribusi
dari skor terendah 50 sampai dengan skor tertinggi
91, skor rata-rata74,18, standar deviasi 8,37,
median 75,17, modus 76,93, distribusi frekuensi
seperti tampak pada tabel 11 berikut ini:
39
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Akuntansi Siswa (Y)
No Kelas Interval F F Kumulatif Nilai Tengah (X)
1 50 – 55 2 2 52,5
2 56 – 61 3 5 58,5
3 62 – 67 7 12 64,5
4 68 – 73 14 26 70,5
5 74 – 79 18 44 76,5
6 80 – 85 15 59 82,5
7 86 – 91 3 62 88,5
Sumber: Data hasil penelitian
Gambar 2. Histogram Variabel Hasil Belajar
23
7
14
18
15
3
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
49.5 55.5 61.5 67.5 73.5 79.5 85.5 91.5
Berdasarkan distribusi frekuensi skor data
hasil belajar seperti yang disajikan dalam tabel 11
serta histogram gambar 2 dapat diketahui bahwa
ada 18 orang atau 29,03 % responden berada pada
kelompok rata-rata, 26 orang atau 41,93 %
responden berada pada kelompok di bawah rata-
rata, dan 18 orang atau 29,03 % responden lainnya
berada pada kelompok di atas rata-rata.
Pengujian Hipotesis Penelitian
Uji Normalitas Data
Sebelum dilakukan pengujian hubungan
perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi
siswa kelas XI SMA Negeri 1 Landono terlebih
dahulu dilakukan Uji Normalitas dengan
menggunakan Uji-Chi Kuadrat (Uji X2). Hasil uji
normalitas terhadap data perhatian orang tua
sebagaimana lampiran 6A menunjukkan bahwa
X2hitung = 4,776 lebih kecil X
2tabel = 12,92 dengan
db = k-1 α = 0,05 maka data berdistribusi normal.
Adapaun uji normalitas untuk hasil belajar siswa
sebagaimana pada lampiran 6B, menunjukkan
bahwa X2
hitung = 5,18 < X2tabel = 12,592 dengan db
= k-1 α = 0,05 dengan demikian maka data hasil
belajar siswa berdistribusi normal.
Hasil Uji Hipotesis
Hubungan antara perhatian orang tua (X)
dengan hasil belajar (Y) dapat digambarkan
melalui persamaan regresi Ŷ = 16,04 + 0,54X.
Untuk mengetahui apakah persamaan regresi
dalam penelitian ini linear atau tidak, maka
dilakukan uji linearitas regresi yang
perhitungannya ada pada lampiran 11d. Hasilnya
menunjukkan bahwa nilai Fhitung 1,12< Ftabel 1,82.
Dengan demikian maka persamaan untuk variabel
X dan variabel Y dalam penelitian ini adalah
linear.
Berdasarkan hasil pengujian signifikansi
dan linearitas pada tabel 12 dapat diketahui bahwa
Regresi Ŷ = 16,04 + 0,54X signifikan dan linear,
model regresi tersebut mengandung arti bahwa
apabila perhatian orang tua ditingkatkan satu skor
maka hasil belajar meningkat sebesar 0,54 skor
pada konstanta 16,04.
Kekuatan hubungan antara perhatian orang
tua (X) dengan hasil belajar (Y) ditunjukkan oleh
koefisien korelasi sebesar rxy = 0,55 dengan
koefisien determinasi (r2) sebesar 0,3025 atau
30,25 %, yang berarti bahwa variasi skor hasil
belajar siswa ditentukan oleh perhatian orang tua
sebesar 30,25%. selanjutnya Uji signifikan
koefisien korelasi dengan uji-t diperoleh thitung
sebesar 5,13 lebih besar dari ttabel 2,660 sehingga
dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi antara
perhatian orang tua (X) dengan hasil belajar (Y)
sebesar 0,55 adalah signifikan. Untuk lebih
40
jelasnya kekuatan hubungan (X) dan (Y) dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13. uji Signifikansi Koefisien Korelasi antara Perhatian Orang Tua dengan Hasil Belajar
Korelasi antara Koefisien
Korelasi (rxy) thitung
ttabel
α = 0.05 α = 0.01
X dan Y 0,55 5,13 2,000 2,660
Sumber: Data hasil penelitian
Koefisien korelasi X dan Y signifikan
(thitung = 5,13 > ttabel = 2,660) pada α = 0.01 dengan
dk n-2 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang
positifdan signifikan antara perhatian orang tua
dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI
SMA Negeri 1 Landono. Oleh karena itu, maka
hipotesis penelitian (H1) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif dan signifikan antara
perhatian orang tua (X) dengan hasil belajar
akuntansi siswa (Y) adalah diterima (teruji)
dengan signifikan.
Hubungan positif antara perhatian orang
tua dengan (X) dengan hasil belajar akuntansi
siswa (Y) ini didukung oleh koefisien korelasi (r)
sebesar 0,55, dengan koefisien determinasi (r2)
sebesar 0,3025 atau 30,25 % yang berarti bahwa
variasi yang terjadi pada hasil belajar siswa (Y)
dapat dijelaskan oleh perhatian orang tua (X) yaitu
sebesar 30,25 %, melalui persamaan regresi Ŷ =
16,04 + 0,54X.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan ini termasuk
dalam studi korelasional yang bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara perhatian orang tua
dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI
SMA Negeri 1 Landono.
Perhatian orang tua merupakan salah satu faktor
eksternal yang berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa. Orang tua yang selalu memberikan
perhatian terhadap pelajaran anaknya akan
memberikan motivasi kepada anak tersebut untuk
lebih giat belajar. Perhatian orang tua adalah suatu
proses aktivitas yang dilakukan oleh orang tua
dalam mendidik dan memotivasi / mendorong
untuk mempelajari sesuatu. Sehubungan dengan
pelajaran akuntansi, maka dengan perhatian orang
tua akan mendorong seorang anak untuk
mempelajari dan berusaha untuk lebih memahami
pelajaran akuntansi itu sendiri.
Untuk mengetahui besarnya hubungan
perhatian orang tua dengan hasil belajar siswa
akuntansi siswa kelas XI IS SMA Negeri 1
Landono dalam penelitian ini digunakan angket
dan tes. Jawaban responden terhadap angket yang
diajukan memberi data tentang perhatian orang tua
sebagaimana dalam lampiran 3 dan 4. Sementara
itu data hasil belajar diperoleh dari nilai siswa
terhadap tes objektif yang telah diberikan.
Hubungan perhatian orang tua dengan hasil belajar
siswa berdasarkan hasil skor perhatian orang tua
dan hasil belajar siswa kelas XI IS SMA Negeri 1
Landono dapat dilihat pada tabel sebgai berikut:
Tabel 14. Hubungan Perhatian Orang Tua dengan
Hasil Belajar
No. Kelas Interval
Perhatian
Orang Tua
F Rata-
rata hasil
Belajar
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
86 – 91
92 – 97
98 – 103
104 – 109
110 – 115
116 – 121
122 – 127
3
6
9
16
19
5
4
58
65
72,78
75,31
76,32
76,40
81,25
Sumber: Data hasil penelitian
Dari tabel 14 di atas menunjukkan bahwa
nilai rata-rata hasil belajar 58 adalah siswa yang
memiliki perhatian orang tua antara 86 – 91, nilai
rata-rata hasil belajar 65 adalah siswa yang
memiliki perhatian orang tua antara 92 – 97, nilai
rata – rata hasil belajar 72,78 adalah siswa yang
memiliki perhatian orang tua antara 98 – 103, nilai
rata – rata hasil belajar 75,31 adalah siswa yang
memiliki perhatian orang tua antara 104 – 109,
41
nilai rata-rata hasil belajar 76,32 adalah siswa yang
memilki perhatian orang tua antara 110 – 115 nilai
rata – rata hasil belajar 76,40 adalah siswa yang
memiliki perhatian orang tua antara 116 – 121, dan
nilai rata-rata hasil belajar 81,25 adalah siswa yang
memiliki perhatian orang tua antara 122 – 127.
Berdasarkan tabel di atas dapat digambarkan,
hubungan antara perhatian orang tua dengan hasil
belajar dapat dibuat dalam bentuk grafik, seperti di
bawah ini:
Berdasarkan grafik di atas menunjukkan
hubungan yang berbanding lurus antara perhatian
orang tua dengan hasil belajar, dimana semakin
tinggi skor perhatian orang tua maka semakin
tinggi pula nilai hasil belajar yang diperoleh siswa.
Berdasarkan hasil analisis korelasi besarnya antara
hubungan perhatian orang tua dengan hasil belajar
akuntansi siswa XI SMANegeri 1 Landono yaitu
rxy = 0,55 sedangkan dari pengujian hipotesis
dengan menggunakan uji-t diperoleh thitung = 5,13
dan ttabel = 2,660. Dari hasil tersebut menunjukkan
bahwa thitung> ttabel pada taraf signifikan α = 0.01
dari db = 60.
Hubungan antara perhatian orang tua
dengan hasil belajar akuntansi siswa dinyatakan
dalam bentuk persamaan regresi Ŷ = 16,04 +
0,54X yang berarti bahwa setiap kenaikan atau
penurunan skor perhatian orang tua (X) akan
diikuti oleh kenaikan atau penurunan nilai hasil
belajar siswa (Y) sebesar 0,54 pada konstanta
16,04. Dari hasil analisis diperoleh rxy sebesar 0,55
dengan koefisien determinasi 30,25% ini berarti
bahwa 30,25% variansi yang terjadi pada hasil
belajar siswa dapat dijelaskan oleh variabel
perhatian orang tua siswa, sedangkan sisanya
sebesar 69,75% dijelaskan oleh variabel lain yang
tidak diteliti dalam penelitian ini. Sehingga salah
satu variabel yang harus diperhitungkan dalam
meningkatkan hasil belajar siswa adalah perhatian
orang tua. Dengan demikian hipotesis penelitian
(H1) diterima yang berarti bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara
perhatian orang tua dengan hasil belajar akuntansi
siswa di SMA Negeri 1 Landono.
Apabila seorang siswa memperoleh
perhatian orang tua yang tinggi maka akan
memperoleh hasil belajar yang tinggi pula,
begitupun sebaliknya. Seperti yang dikemukakan
oleh Siahaan (1991: 86) mengemukakan bahwa
bila semakin tinggi perhatian orang tua terhadap
belajar anak-anaknya maka semakin tinggi pula
hasil belajar yang akan dicapai anak-anak itu dan
sebaliknya akan terjadi semakin berkurang
perhatian orang tua terhadap belajar anak-anaknya,
maka semakin rendah pulalah hasil belajar anak di
sekolah. Sebab perhatian orang tua merupakan
kekuatan untuk mendorong anak untuk lebih giat
dan tekun dalam belajar. Anak yang mendapatkan
perhatian lebih dari orang tuanya akan tampak
terdorong terus untuk tekun dan giat belajar
sehingga hasil belajar yang dicapai akan
meningkat, sebaliknya anak yang tidak
mendapatkan perhatian dari orang tuanya tentu
hasil yang dicapainya akan rendah.
PENUTUP
Berdasarkan hasil pengolahan dan
pengujian hipotesis, dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara perhatian
orang tua dengan hasil belajar akuntansi siswa
kelas IX SMA Negeri 1 Landono dengan koefisien
determinasi (r2) sebesar 0,3025, artinya 30,25%
hasil belajar siswa ditentukan oleh perhatian orang
tua. Kemudian uji keberartian korelasi diperoleh
thitungsebesar 5,13 >ttabel = 2,660 pada α = 0.01,
maka hipotesis penelitian (H0) ditolak. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi perhatian orang tua
(X) maka semakin tinggi pula hasil belajar siswa
(Y) tersebut. Jadi salah satu variabel yang perlu
dipertimbangkan dalam meningkatkan hasil
belajar siswa adalah perhatian orang tua.
Grafik Hubungan Perhatian Orang Tua dengan
Hasil Belajar Siswa
5865
72.78 75.31 76.32 76.4081.25
0102030405060708090
86 - 91
92 - 97
98 - 103
104 - 109
110 - 115
116 - 121
122 - 127
Perhatian Orang Tua (X)
Hasil B
ela
jar
Aku
nta
nsi (Y
)
42
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Husni. 2002. Pengertian Belajar dari
Berbagai Sumber. Online,
tersedia:http://husniabdillah.multiply.com/jou
rnal/item/9.
Anonim. 2004. Pedoman Ksusus Mata Pelajaran
Ekonomi Kurikulum SMA. Ditjen, Depdiknas.
Depdiknas. 2004. Pedoman PPL Unnes.
Semarang: Departemen Pendidikan Nasional.
Dimyati. 1998. Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Bumi Aksara.
Djamarah, Syaiful Basri. Drs. 2002. Psikologi
Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2003. Prosedur Belajar
Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Kuncoro, Mudrajat. 2003. Metode Riset untuk
Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Bandung : PT Remaja Rasdakarya.
Munandar, Utami. 1992. Mengembangkan Bakat
dan Kreativitas Anak Sekolah.Jakarta:
Gramedia Widiasarana.
Nana, Sudjana. 1989. CBSA dan Proses Belajar
Mengajar. Jakarta: Sinar Baru
Nana, Sudjana. 2002. Dasar- dasar Proses Belajar
Mengajar. Bandung: PT Sinar Baru
Algesindo.
Nursisto. 1999. Kiat Menggali Kreatifitas.
Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Poerwodarminto. 1991. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Purwanto, Ngalim. 1998. Psikologi Komunikasi.
Jakarta: Erlangga.
Riduwan. 2007. Belajar Dasar- dasar Statistik.
Bandung. Alfabeta.
Riyanto, T. 2002. Pembelajaran sebagai Proses
Bimbingan Pribadi. Jakarta: Grasindo.
Siahaan. N.H. 1991. Peranan Ibu Bapak Mendidik
Anak. Angkasa: Bandung.
Slameto. 2003. Belajar dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudijono, Anas. 2003. Pengantar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Soedijarto. 1993. Upaya Mengoptimalisasikan
Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Soemarso, SR. 1992. Akuntansi Suatu Pengantar
Edisi Ke 4. Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Admininstrasi.
Bandung: Alfabeta.
Suparno, Suhaenah. 2000. Membangun Kompetisi
Belajar. Jakarta: Pustaka Pelajar
Suryabrata, Sumadi. 2000. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syah, Muhibin. 2004. Psikologi Belajar. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Walgito, Bimo. 1995. Bimbingan dan Konseling di
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Winkel, W.S. 1991. Psikologi dan Evaluasi
Belajar. Jakarta: Gramedia.
Widana, Gusti Kade. 2007. Hubungan antara
Kepercayaan Diri dan Perhatian Orang Tua
dengan Hasil Belajar Pengetahuan Sosial
Ekonomi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2
Moramo. Unhalu: Kendari.
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Yuyusriwati. 2004. Hubungan Perhatian Orang
Tua dan Minat Belajar dengan Hasil Belajar
Mate-matika Siswa SMA Negeri 7 Kendari.
Unhalu: Kendari.
43
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA SISWA PADA MATERI GAYA
DI KELAS IV SDN 1 WAKEAKEA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE STAD1
Oleh:
La Ode. Nursalam2
Muh. Yamin3
Abstrak: Proses pembelajaran IPA di kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea Kecamatan Gu
Kabupaten Buton masih menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini berdampak
pada rendahnya hasil belajar IPA siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilaksanakan
penelitian kolaboratif dengan guru IPA SD Negeri 1 Wakeakea melalui penelitian tindakan
kelas (PTK). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa pada materi
pokok gaya yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di
kelas IV SD Negeri 1 Wakeakea. Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 1 Wakeakea
Kecamatan Gu Kabupaten Buton. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subyek
penelitian ini adalah siswa kelas IV yang berjumlah 15 orang. Instrumen yang digunakan yaitu
tes hasil belajar dan lembar observasi. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini dilihat dari segi
proses dan hasil belajar. Dari segi hasil belajar indikator keberhasilan dalam penelitian ini tercapai
bila minimal 75% siswa yang menjadi subyek penelitian telah mencapai nilai minimal sebesar
65 (KKM dari sekolah).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar IPA siswa kelas IV SD Negeri 1
Wakeakea dapat ditingkatkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD. Hal ini ditunjukkan dengan persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus I sebesar
66,6% dan pada siklus II meninkat menjadi sebesar 86,6%.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri 1
Wakeakea dalam pembelajaran IPA dapat ditingkatkan dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar guru
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai salah satu alternatif
mengatasi kesulitan siswa dalam memahami IPA.
Kata Kunci: hasil belajar IPA, model pembelajaran kooperatif tipe STAD
1 Hasil Penelitian, Tahun 2011
2 Dosen Pendidikan Fisika FKIP Unhalu
3 Guru SD Negeri 1 Wakeakea Kabupaten Buton
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan besar dalam
proses pembelajaran IPA saat ini adalah
kurangnya usaha pengembangan kemampuan
berpikir yang menuntun siswa untuk
memecahkan suatu permasalahan. Proses
pembelajaran IPA saat ini lebih banyak
mendorong siswa untuk sekedar menghafal
konsep sebanyak mungkin agar dapat menjawab
semua soal ujian yang diberikan, tanpa berusaha
memahami dan menemukan serta
mengimplementasikan pengetahuan yang
diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari.
Sekolah dasar merupakan jenjang
pendidikan utama karena menjadi fondasi bagi
jenjang pendidikan formal selanjutnya. Sebagai
pendidikan dasar, Sekolah Dasar selayaknya
mendapat perhatian dan prioritas dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyak fakta saat ini menunjukkan bahwa
kualitas pembelajaran di SD memprihatinkan.
Kondisi ini juga terjadi di SDN 1 Wakeakea
Kecamatan Gu Kabupaten Buton khususnya pada
mata pelajaran IPA. Pada mata pelajaran IPA
44
misalnya, banyak siswa yang beranggapan bahwa
IPA itu sulit, identik dengan hitung-menghitung,
abstrak, dan jauh dari kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu perlu perbaikan dan peningkatan
kualitas pembelajaran IPA di kelas.
Dalam kelas-kelas tradisional,
pembelajaran berbagai muatan mata pelajaran
IPA relatif lebih berpusat pada guru (teacher
centered). Disini, guru aktif dengan memerankan
diri sebagai sumber, penyaji, dan pengatur
penyampaian pengetahuan / informasi, sedangkan
murid berperan sebagai penerima pasif baik
secara emosional dan sosial. Selain komunikasi
dialogis dan proses konstruksi pengetahuan tidak
terjadi, hal ini menyebabkan pembelajaran
menjadi tidak bermakna, tidak menyenangkan,
dan membosankan, sehingga pembelajaran
menjadi tidak tuntas dan kadang kala, timbul
sikap negatif terhadap pembelajaran. Terlebih
lagi jika muatan materi ajar bersifat abstrak dan
jauh dari pengalaman sehari-hari. Semakin
abstrak suatu muatan materi ajar dan makin jauh
muatan materi ajar itu dari dunia pengalaman
sehari-hari, maka makin sukar muatan materi ajar
itu dipelajari.
Hal seperti yang dikemukakan di atas,
juga dapat ditemukan pada pembelajaran
berbagai muatan materi ajar pelajaran IPA di SD
Negeri 1 Wakeakea Kabupaten Buton. Hal inilah
yang diduga sebagai salah satu faktor penyebab
rendahnya hasil belajar IPA khususnya pada
siswa kelas IV.
Salah satu materi pokok yang dianggap
relatif sulit dipahami siswa kelas IV SDN 1
Wakeakea Kabupaten Buton adalah materi gaya.
Hal ini ditunjukkan dengan ketuntasan belajar
siswa pada semester genap tahun ajaran
2009/2010 pada mata pelajaran IPA materi pokok
gaya hanya sebesar 60%. Ketuntasan belajar
siswa tersebut belum memenuhi kriteria
ketuntasan belajar minimal (KKM) pada mata
pelajaran IPA yaitu 75%. Hal inilah yang
mendasari penulis dengan berkolaborasi dengan
guru kelas IV SDN 1 Wakeakea untuk melakukan
perbaikan pembelajaran IPA materi pokok gaya.
Untuk memecahkan masalah tersebut,
maka perlu adanya model pembelajaran yang
diterapkan di kelas yang melibatkan peran siswa
secara aktif dan kreatif sehingga hasil belajar IPA
siswa meningkat. Upaya tersebut dapat
diwujudkan dengan langkah-langkah sebagai
berikut: (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-
unsur proses pembelajaran, dan (2)
mengoptimalkan keikutsertaan seluruh peserta
didik. Salah satu kemungkinannya adalah dengan
memberi kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau mengkonstruksi sendiri
pengetahuan yang akan dikuasainya.
Agar siswa bisa belajar lebih aktif, guru
harus memunculkan strategi yang tepat dalam
memotivasi siswa. Guru harus memfasilitasi
siswa agar siswa mendapat informasi yang
bermakna, supaya memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan
ide mereka sendiri (Anitah, 2009).
Salah satu model pembelajaran dapat
digunakan guru dalam membelajarkan siswa
mengenai konsep gaya adalah dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD. Pengajaran menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD
memungkinkan siswa SD untuk menguatkan,
memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan
keterampilan akademik mereka di dalam dan di
luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-
masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang
disimulasikan (University of Washington dalam
Nur, 2001: 1).
Selain itu, model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dapat membantu guru
dalam membimbing siswa mencapai tingkat
pemahaman konsep yang lebih tinggi dengan
mengupayakan siswa aktif mencapai pemahaman
konsep tersebut. Tujuan pembelajaran pada
pembelajaran ini disepakati bersama oleh guru
dan siswa.
Berdasarkan latar belakang yang
dikemukakan di atas, peneliti melakukan
perbaikan pembelajaran dalam bentuk penelitian
tindakan kelas pada pembelajaran IPA yang
difokuskan pada penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam
pembelajaran IPA di kelas.
45
KERANGKA TEORETIK
Konsep Pembelajaran
Proses pembelajaran pada hakekatnya
merupakan proses komunikasi transaksional yang
bersifat timbal balik, baik antara guru dan siswa
maupun antara siswa dengan siswa untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Komunikasi transaksional adalah bentuk
komunikasi yang dapat diterima, dipahami dan
disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam
proses pembelajaran (Slameto, 2001).
Dalam hal ini berarti pembelajaran yang
dikembangkan di sekolah, pada dasarnya
merupakan intraksi dinamis antara siswa dengan
guru dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditentukan, sehingga dapat membekas, sirna
dalam kehidupan di kelas, keluarga dan
masyarakat.
Proses pembelajaran merupakan inti dari
keseluruhan proses pendidikan, dengan guru
sebagai pemegang peranan utama. Proses
pembelajaran adalah suatu proses yang
mengandung serangkaian perbuatan guru dan
siswa atas dasar hubungan timbal balik.
Hubungan timbal balik guru dan siswa itu
merupakan syarat utama bagi berlangsungnya
proses pembelajaran. Interaksi dari proses
pembelajaran mempunyai arti luas, tidak sekedar
hubungan antara guru dan siswa, tetapi interaksi
edukatif. Dalam hal ini bukan hanya
menyampaikan pesan berupa materi pelajaran
melainkan juga nilai-nilai dan sikap pada diri
siswa yang sedang belajar. Pengertian proses
dalam tulisan ini merupakan interaksi semua
komponen atau unsur-unsur yang satu sama lain
saling berhubungan dalam kaitan mencapai
tujuan (Nur, 2000).
Konsep Pembelajaran Kooperatif
Menurut Lie (2002) bahwa
pembelajaran kooperatif atau gotong royong
adalah sistem pengajaran yang memberikan
kesempatan kepada anak didik untuk bekerja
sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas
terstruktur. Dalam sistem ini guru bertindak
sebagai fasilitator dalam kegiatan proses
pembelajaran artinya meskipun siswa
mengerjakan tugas berstruktur secara bersama-
sama dan bekerja sama dengan sesama siswa,
tetapi guru tidak meningggalkan peranannya.
Pandangan senada dikemukakan oleh Slavin
(1995) bahwa sistem pembelajaran kooperatif
didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar
yang berstruktur termasuk dalam struktur ini
adalah lima unsur pokok yaitu saling
ketergantungan positif, tangung jawab individual,
interaksi personal, keahlian bekerja sama dan
proses kelompok.
Lebih lanujut Slavin (1995) mengatakan
bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu
model pembelajaran yang membentuk kerja sama
siswa dan saling ketergantungan dalam struktur
tugas, tujuan dan hadiah. Ada 4 tipe pendekatan
dalam model pembelajaran kooperatif yaitu: (1)
tipe STAD; (2) tipe Jigsaw; (3) tipe kelompok
penyelidikan; dan (4) tipe pendekatan terstruktur.
Penggunaan model kooperatif
merupakan suatu pendekatan dalam proses
pembelajaran yang membutuhkan partisipasi dan
kerjasama dalam kelompok. model kooperatif
menyangkut teknik pengelompokkan yang
didalamnya siswa bekerja terarah pada tujuan
belajar bersama dalam kelompok kecil yang
umumnya terdiri dari 4-5 orang (Ibrahim dkk,
2000).
Pada dasarnya model kooperatif
mengandung pengertian bahwa sikap siswa atau
perilaku bersama kadang-kadang harus
diperhatikan oleh guru dalam membantu di antara
sesama. Model kooperatif itu juga dapat diartikan
sebagai struktur tugas bersama dalam suasana
kebersamaan di antara sesama anggota kelompok.
Tujuan penting dari pembelajaran
kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada
siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.
Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di
dalam masyarakat di mana banyak kerja orang
dewasa sebagian besar dilakukan dalam
organisasi yang saling bergantung satu sama lain
dan di mana masyarakat secara budaya semakin
beragam. Sementara itu, banyak anak muda dan
orang dewasa masih kurang dalam keterampilan
sosial. Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering
pertikaian kecil antara individu dapat
mengakibatkan tindak kekerasan atau betapa
sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat
diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif.
46
Slavin (1995) membatasi model
pembelajaran kooperatif sebagai lingkungan
belajar dimana siswa bekerjasama dalam suatu
kelompok kecil yang kemampuannya berbeda-
beda untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Tipe ini dikembangkan oleh Slavin
(1995) dan merupakan salah satu tipe kooperatif
yang menekankan pada adanya aktivitas dan
interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi
dan saling membantu dalam menguasai materi
pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.
Pada proses pembelajarannya, belajar kooperatif
tipe STAD melalui enam tahapan sebagai berikut:
1. Guru mengorganisasikan siswa dalam
kelompok-kelompok belajar yang heterogen
beranggotakan 4-5 orang.
2. Tahap penyajian materi. Pada tahap ini guru
menyajikan materi pembelajaran secara
singkat
3. Tahap kerja kelompok, pada tahap ini setiap
kelompok diberi lembar tugas sebagai bahan
yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok
siswa saling berbagi tugas, saling membantu
memberikan penyelesaian agar semua anggota
kelompok dapat memahami materi yang
dibahas, dan satu lembar dikumpulkan sebagai
hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru
berperan sebagai fasilitator dan motivator
kegiatan tiap kelompok.
4. Tahap tes individu/kuis. Pada tahap ini guru
memberikan kuis pada setiap siswa untuk
mengetahui sejauhmana keberhasilan belajar
yang telah dicapai mengenai materi yang telah
dibahas.
5. Tahap penghitungan skor perkembangan
individu, dihitung berdasarkan skor awal yang
diperoleh dari hasil tes awal.
6. Pemberian penghargaan diberikan
berdasarkan perolehan skor rata-rata yang
dikategorikan menjadi kelompok baik,
kelompok hebat dan kelompok super.
Hasil Belajar IPA
Hasil belajar menunjukkan tingkat
keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah
melakukan kegiatan belajar dalam waktu tertentu.
Menurut Winkel (1991) hasil belajar
memperhatikan perubahan-perubahan dalam
bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Dengan demikian, hasil belajar merupakan
indikator yang digunakan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan yang telah dicapai seseorang
yang telah melakukan usaha tertentu dan dalam
hubungannya dengan usaha belajar yang
dilakukan siswa, maka hasil belajar menunjukkan
tingkat keberhasilan siswa setelah melakukan
kegiatan belajar. Seorang siswa yang telah
mengikuti proses pembelajaran IPA, dapat diukur
prestasinya setelah melakukan kegiatan belajar
tersebut pada kurun waktu tertentu, dengan
menggunakan suatu alat evaluasi. Jadi hasil
belajar IPA merupakan hasil belajar yang dicapai
oleh siswa setelah mempelajari IPA dalam kurun
waktu tertentu dan dapat diukur dengan
menggunakan alat evaluasi (tes) yang lazimnya
berwujud nilai.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kelas IV
SD Negeri 1 Wakeakea Kecamatan Gu
Kabupaten Buton, dengan jumlah siswa sebanyak
15 orang yang terdiri dari 8 orang siswa pria dan
7 orang siswa wanita pada semester genap tahun
pelajaran 2010/2011. Penelitian ini dilaksanakan
dalam dua siklus tindakan. Tiap siklus
dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang
dicapai, seperti apa yang telah didesain dalam
faktor yang diselidiki. Pada setiap siklus
dilaksanakan: (1) perencanaan; (2) pelaksanaan
tindakan; (3) observasi; (4) evaluasi; dan (5)
refleksi.
Faktor yang diselidiki dalam penelitian
ini adalah: (1) faktor siswa, yaitu tingkat
penguasaan siswa pada materi pokok gaya; dan
(2) faktor guru, yaitu persiapan materi dan
kesesuaian model pembelajaran yang digunakan
dalam pembelajaran di kelas.
Sebelum dilaksanakan pembelajaran
sesuai model pembelajaran kooperatif tipe
STAD, terlebih dahulu dilakukan tes awal untuk
mengetahui kemampuan awal siswa. Hasil tes
awal dijadikan rujukan untuk menentukan
pembagian kelompok siswa selama pembelajaran
dengan model pembelajaran kooperatif tipe
47
STAD. Siswa kemudian dibagi dalam empat
kelompok dengan kemampuan yang heterogen.
Pada tahap awal pelaksanaan penelitian
setelah tes awal, observasi, dan wawancara
adalah tahap perencanaan dengan kegiatan:
1. Membuat skenario pelaksanaan tindakan
berupa rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) sesuai langkah-langkah pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatiof tipe STAD.
2. Menyiapkan media pembelajaran termasuk
Lembar Kerja Siswa (LKS).
3. Menyiapkan lembar observasi, lembar
pengamatan aktifitas siswa dan guru dan
mendesain alat evaluasi hasil belajar siswa.
4. Tahap perencanaan untuk siklus selanjutnya
dilakukan dengan merumuskan keunggulan
dan kelemahan pelaksanaan tindakan pada
siklus sebelumnya serta merevisinya sehngga
dapat dijadikan rujukan pada tahap
selanjutnya.
Perencanaan di atas itu kemudian
dilaksanakan dalam bentuk pembelajaran dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Selama pelaksanaan tindakan ini juga dilakukan
obsevasi untuk mengamati aktivitas guru dan
siswa di kelas. Observasi dilakukan oleh anggota
peneliti lain untuk mengamati guru yang sedang
melaksanakan pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Pada akhir setiap siklus dilaksanakan
evaluasi untuk mengetahui ada atau tidak adanya
peningkatan hasil belajar IPA siswa pada materi
pokok yang diajarkan. Alat evaluasi yang
digunakan adalah tes hasil belajar yang disusun
peneliti. Bilamana secara klasikal minimal 75%
siswa telah mencapai nilai paling rendah 65,
maka tindakan telah berhasil dilaksanakan.
Hasil yang diperoleh pada tahap
observasi dan evaluasi dianalisis. Kelemahan-
kelemahan atau kekurangan-kekurangan yang
terjadi pada setiap siklus akan diperbaiki pada
siklus berikutnya.
HASIL PENELITIAN
Data yang diperoleh pada setiap siklus
berupa data hasil belajar IPA siswa, pencapaian
ketuntasan belajar, aktivitas siswa dan guru
dianalisis secara deskriptif. Rincian hasil analisis
terhadap data setiap siklus tindakan dijelaskan
sebagai berikut.
1. Pengamatan Aktivitas Siswa
Selama pembelajaran pada siklus I tampak
bahwa siswa belum berupaya menjawab
pertanyaan yang diberikan guru serta belum
melakukan diskusi atau bertanya kepada teman
terhadap hal-hal yang belum atau kurang
dipahami ataupun untuk mengemukakan ide atas
jawaban terhadap permasalahan yang diberikan.
Pada siklus II hal-hal tersebut mulai berkurang,
karena siswa sudah berusaha menjawab dengan
baik pertanyaan yang diberikan. Namun
demikian, masih banyak siswa yang kurang
memperhatikan penjelasan guru, sehingga agak
bingung dalam menjawab permasalahan yang
diberikan. Selain itu aktivitas yang dilakukan
siswa sudah mengarah pada hal-hal yang lebih
baik. Siswa telah mampu menjawab dengan baik
setiap pertanyaan yang diberikan oleh guru,
selain itu kemampuan siswa dalam mengemukan
ide atau pendapat untuk menanggapi jawaban
temannya dalam berdiskusi di kelas sudah
nampak. Jika ada hal-hal yang kurang dipahami,
siswa juga hanya bertanya atau berdiskusi dengan
teman.
Aktivitas siswa pada setiap siklus
selengkapnya disajikan pada gambar 1 berikut:
2.3
3.1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Sko
r R
ata
-Rata
Siklus I Siklus II
Gambar 1. Profil Aktivitas Belajar Siswa Pada
Setiap Siklus
2. Pengamatan Aktivitas Guru
Selama pembelajaran pada siklus I dan
siklus II tampak bahwa secara umum guru telah
sangat baik dalam melaksanakan proses
pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Namun
48
demikian, masih ada beberapa aktivitas yang
perlu ditingkatkan kualitasnya, seperti guru
belum maksimal menyampaikan tujuan
pembelajaran dan kaitannya dengan materi
sebelumnya, kurang melakukan evaluasi selama
proses pembelajaran, kurang mampu memimpin
diskusi dan memberikan penguatan, serta
kesimpulan masih agak dipaksakan karena guru
belum mengarahkan agar siswa membuat
kesimpulan sendiri, serta waktu yang
direncanakan masih belum digunakan secara
efisien sesuai dengan rencana pembelajaran yang
sudah disusun.
3. Hasil Evaluasi
Rata-rata hasil belajar IPA siswa pada
siklus I dengan materi gaya sebesar 62,9 dengan
sebaran nilai mulai dari 32 sampai 76. Dari sisi
ketuntasan belajar, siswa yang memperoleh nilai
65 ke atas atau yang telah mengalami ketuntasan
belajar sebanyak 10 orang (66,6%) dari 15 orang
siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea. Setelah
dilaksanakan refleksi dan perbaikan pelaksanaan
pembelajaran pada siklus II, rata-rata hasil belajar
siswa pada materi gaya meningkat menjadi 69,3
dengan sebaran nilai mulai dari 48 sampai 80.
Dari sisi ketuntasan belajar, siswa yang tuntas
belajarnya meningkat menjadi 13 orang (86,6%)
dari 15 orang siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea.
Dengan demikian, pada siklus II, indikator
keberhasilan penelitian ini sudah tercapai.
Artinya, model pembelajaran kooperatif tipe
STAD yang digunakan guru dalam mengajarkan
materi pokok gaya telah dapat meningkatkan
hasil belajar IPA siswa kelas IV SD Negeri 1
Wakeakea.
Secara lengkap ketuntasan belajar siswa
kelas IV SDN 1 Wakeakea dalam pembelajaran
IPA disajikan pada gambar 2 berikut:
66.6
86.6
33.3
13.3
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Pe
rse
nta
se
Ke
tun
tas
an
Tuntas Belum Tuntas
Siklus I
Siklus II
Gambar 2. Profil Ketuntasan Belajar Siswa
PadaSetiap Siklus
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil-hasil temuan di atas
terlihat bahwa dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD, hasil belajar
IPA siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea pada materi
pokok gaya dapat ditingkatkan. Di samping itu,
juga diperoleh manfaat-manfaat pengiring seperti
meningkatnya aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran, semakin baiknya guru dalam
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD sehingga suasana proses pembelajaran
dapat berlangsung secara kondusif.
Semakin aktifnya siswa dalam setiap
proses pembelajaran pada setiap siklus kegiatan
tidak muncul dengan sendirinya. Peran guru yang
selalu merefleksi diri setelah melaksanakan suatu
proses pembelajaran berdasarkan hasil diskusi
dari hasil pengamatan yang dilakukan teman
sejawat telah berhasil memaksimalkan kelebihan
guru dan menurunkan berbagai kelemahan atau
kekurangan guru dalam melaksanakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal ini
terlihat dari aktivitas yang dilakukan siswa
selama proses pembelajaran khususnya dalam
menjawab pertanyaan guru dan mengemukakan
ide serta diskusi baik dalam kelompok maupun
dalam kelas. Sebagai hasil dari aktivitas tersebut,
hasil belajar IPA siswa pada dua materi yang
diteliti telah meningkat dengan cukup baik jika
dibandingkan dengan nilai tes awal siswa
sebelum pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Rata-rata hasil belajar IPA siswa pada
siklus I dengan materi gaya sebesar 62,9 dengan
sebaran nilai mulai dari 32 sampai 76. Dari sisi
ketuntasan belajar, siswa yang memperoleh nilai
65 ke atas atau yang telah mengalami ketuntasan
belajar sebanyak 10 orang (66,6%) dari 15 orang
siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea. Setelah
dilaksanakan refleksi dan perbaikan pelaksanaan
pembelajaran pada siklus II, rata-rata hasil belajar
siswa pada materi gaya meningkat menjadi 69,3
dengan sebaran nilai mulai dari 48 sampai 80.
Dari sisi ketuntasan belajar, siswa yang tuntas
belajarnya meningkat menjadi 13 orang (86,6%)
dari 15 orang siswa kelas IV SDN 1 Wakeakea.
49
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas
disimpulkan bahwa hasil belajar IPA siswa pada
materi pokok gaya di kelas IV SD Negeri 1
Wakeakea Kecamatan Gu Kabupaten Buton
dapat ditingkatkan melalui penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka
disarankan agar:
1. penelitian ini dapat dilanjutkan untuk
mengkaji lebih jauh rancangan skenario yang
digunakan selama pembelajaran; di samping
materi dan media pembelajaran yang
digunakan dalam pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD.
2. Perlu dilakukan penerapan yang lebih luas
dalam pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD agar
diketahui efektivitasnya dalam skala yang
lebih besar, terutama pada materi pokok yang
memiliki karakteristik sama dan sesuai
dengan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD.
DAFTAR PUSTAKA
Anitah, S. (2009). Strategi Pembelajaran di SD.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Dirjen Dikdasmen. (2003). Pembelajaran
Kontekstual. Jakarta: Depdiknas.
Djamarah, S.B. (2000). Psikologi Belajar.
Jakarta: Rineka Cipta
Hamalik, O. (1983). Metode Belajar dan
Kesulitan-kesulitan Belajar. Bandung:
Tarsito.
Ibrahim, M. (2000). Pembelajaran Kooperatif.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Indrawati. (1999). Model-Model Pembelajaran
IPA. Bandung: Depdikbud.
Lie, A. (2002). Cooperative Learning:
Mempraktikkan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Nur, M. (2000). Pembelajaran Kooperatif.
Surabaya : University Press UNESA.
Slameto. (2001). Belajar dan Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bina
Aksara.
Slavin, R. E. (1995) Cooperative Learning.
Boston: Allyn and Bacon
Suryabrata. (1998). Belajar dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bina
Aksara.
Wihardit, K. (2010). Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Winkel. (1987). Psikologi Pengajaran dan
Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.
50
IDENTIFIKASI KOMPETENSI DASAR DAN FAKTOR PENYEBAB
RENDAHNYA NILAI UJIAN NASIONAL MATA PELAJARAN KIMIA
SISWA SMA DI KABUPATEN BOMBANA TAHUN 20101
(Penelitian Pemetaan Dan Pengembangan Mutu Pendidikan Tahun 2011)
Oleh:
La Rudi, S.Pd., M.Si2
Muh. Alimmarhadi, S.Pd., M.Pd3
Abstrak. Telah dilakukan penelitian dengan judul identifikasi kompetensi dasar dan faktor
penyebab rendahnya nilai ujian nasional mata pelajaran kimia dibeberapa sekolah menengah di
kabupaten Bombana. Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mengetahui topik-topik dan standar
kompetensi yang belum tercapai atau yang sulit dicapai oleh siswa tahun ajaran 2009- 2010 serta
identifikasi faktor penyebabnya untuk tiap-tiap sekolah.
Metode penelitian digunakan adalah metode kuantitatif deskriptif. Data dikumpulkan dengan
metode dokumentasi dan wawancara. Pemilihan sekolah sampel didasarkan distribusi sekolah yang
merupakan keterwakilan dari tiap-tiap rayon yang ada di kabupaten Bombana dan juga antara
sekolah negeri dan sekolah swasta.
Hasil penelitian didapatkan bahwa matei-materi yang sulit dipahami oleh siswa dan susah diajarkan
oleh guru kimia adalah Sifat koligatif larutan, menghitung pH larutan, termokimia dan materi-
materi yang ada hubunganya dengan grafik atau gambar. Adapun faktor penyebabnya ada dua yaitu
faktor siswa dan faktor guru. Yang termasuk faktor siswa adalah tingkat pemahaman siswa
terhadap materi-materi dasar kimia sangat rendah, minat siswa terhadap pelajaran kimia kurang
akibat siswa menganggapnya materi kimia merupkan materi yang susah. Sedangkan faktor guru
diantaranya, guru tidak memperhatikan karaktristik materi dengan model atau pendekatana
pembelajaran yang tepat, tidak ada motifasi yang kuat terhadap siswa untuk bias memahami materi
kimia, guru tidak memperhatikan ketuntasan belajar siswa terhadap kompetensi yang harus dicapai
serta tidak adanya evalusi dan remedial setiap selesai standar kompetensi atau kompetensi dasar.
Kata Kunci : UN Kimia Bombana, Komptensi dasar kimia
1 Ringkasan Hasil Penelitian PPMP tahun 2011 2 Dosen Pend. Kimia FKIP Unhalu 3 Dosen Pend. Kimia FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya.
Dalam proses pembelajaran, penilaian dilakukan
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta
didik sebagai hasil belajar yang telah ditetapkan
dalam kurikulum. Oleh karena itu, guru wajib
melakukan penilaian selama dan setelah proses
pembelajaran berdasarkan pada suatu kompetensi
dasar atau Standar kompetensi.
Ujian Akhir Sekolah yang disingkat UAS
dengan Ujian Akhir Nasional yang disingkat
UAN, selalu dilaksanakan setiap akhir tahun
pelajaran oleh semua sekolah mulai dari SD
sampai SMA dan SMK. Tujuan utama Ujian
Akhir Sekolah dan Ujian Akhir Nasional adalah
untuk (a) mengukur pencapaian hasil belajar
peserta didik, (b) mengukur mutu pendidikan, (c)
mempertanggung jawabkan penyelenggaraan
pendidikan secara nasional, propinsi,
kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat.
Hasil UN digunakan sebagai salah satu
pertimbangan untuk pemetaan mutu pendidikan,
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta
sebagai penentuan kelulusan siswa. Adapun mata
pelajaran utama yang diujikan, khususnya pada
jenjang SMA adalah: Matematika, Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Sosiologi, Ekonomi,
Geografi, Fisika, Kimia dan Biologi.
Mata pelajaran kimia merupakan salah
satu mata pelajaran yang sebagian besar siswa
menganggap sebagai matapelajaran yang susah
51
dan sulit dipelajari, hal ini dikarenakan
materinya selalu ada keterkaitan dengan materi-
materi sebelumnya sehingga jika materi dasar
tidak tuntas dipahami, maka materi selanjutnya
sudah pasti tidak akan tuntas juga. Masalah ini
mengakibatkan hasil ujian nasional (UN)
disulawesi tenggara banyak yang tidak mencapai
KKM secara nasional. Dari data-data yang
diperoleh pada beberapa sekolah menengah atas
(SMA) yang ada di Kabupaten Bombana, dari 40
soal yang diujikan paling banyak 60% siswa
menjacapai nilai KKM nasional sebesar 60.
Melihat nilai rata-rata UAN Kimia di Kabupaten
Bombana tahun pelajaran 2007/2008 siswa yang
memperoleh nilai < 6 sebanyak 2,26 % dan tahun
ajaran 2009/2010 mengalami peningkatan,
dimana siswa yang memperoleh nilai < 6
sebanyak 8,56 %, ini berarti siswa-siswi SMA di
Kabupaten Bombana belum mampu mencapai
ketuntasan ideal untuk mata pelajaran kimia. Hal
ini menunjukkan bahwa masih banyak peserta
didik di Kabupaten Bombana yang mengalami
kesulitan dalam menguasai materi kimia dengan
baik.
Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya nilai UN yang dicapai oleh siswa,
antara lain: Pertama, kurangnya motivasi siswa
didik untuk meraih nilai akademis yang tinggi.
Hal itu disebabkan oleh situasi dan kondisi
pendidikan dalam lingkungan keluarga yang
kurang mendukung. Kedua, merebaknya sikap
instan yang melanda kehidupan kaum remaja.
Hal ini disebabkan oleh kuatnya sikap permisif
masyarakat yang cenderung membiarkan
berbagai perilaku anomali sosial berlangsung di
tengah-tengah panggung kehidupan sosial.
Ketiga, guru dinilai kurang kreatif dalam
melakukan inovasi pembelajaran, baik dalam
pemilihan materi ajar, metode pembelajaran,
maupun media pembelajaran, sehingga siswa
didik cenderung pasif dan bosan dalam
menghadapi atmosfer pembelajaran di kelas.
Dari uraian tersebut diatas, maka
dilakukan penelitian yang berjudul “Identifikasi
Kompetensi Dasar dan Faktor Penyebab
Rendahnya Nilai Ujian Nasional Mata Pelajaran
Kimia Siswa SMA di Kabupaten Bombana
Tahun 2010” Dalam Lingkup Penelitian
Pemetaan Dan Pengembangan Mutu Pendidikan
PPMP Tahun 2011.
Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran pemetaan
kompetensi dasar mata pelajaran Kimia
dalam UN siswa SMA di kabupaten
Bombana tahun 2011?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
rendahnya penguasaan kompetensi dasar
pada pokok bahasan tertentu pada mata
pelajaran Kimia dalam UN di Kabupaten
Bombana tahun 2011?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menghasilkan komponen-komponen:
1. Gambaran pemetaan kompetensi dasar mata
pelajaran Kimia UN siswa SMA di
kabupaten Bombana tahun 2011.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
rendahnya penguasaan kompetensi dasar
pada pokok bahasan tertentu mata pelajaran
Kimia dalam UN di Kabupaten Bombana
tahun 2011.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk :
1. Menghasilkan suatu dokumen yang
menggambarkan pemetaan kompetensi mata
pelajaran Kimia dalam UN Bombana tahun
2011 yang dapat digunakan oleh pihak
Pendidikan Nasional untuk upaya
perencanaan peningkatan mutu pendidikan
di wilayah tersebut.
2. Memberikan gambaran mengenai kondisi
riil penguasaan materi dan daya serap siswa
yang telah mengikuti kegiatan ujian nasional
di wilayah kabupaten Bombana.
STUDI PUSTAKA
Mutu Pendidikan
Semakin tinggi mutu kegiatan belajar
siswa, diharapkan semakin baik hasil belajarnya
dan semakin banyak masalah belajar yang
dialami siswa memungkinkan semakin rendah
perolehan hasil belajarnya Dimiyati & Mudjiono
1999:32-37) menyatakan bahwa untuk mencapai
taraf penguasaan belajar yang baik, perlu
dipelihara keterlibatan siswa dalam belajar
dengan menciptakan suasana belajar yang
52
menyenangkan, bertindak sebagai pendidik, dan
penyesuaian model pembelajaran dengan kondisi
siswa. Hal ini dilakukan untuk peningkatan mutu
belajar. Sedangkan taraf penguasaan belajar ideal
dari siswa adalah yang mencapai kompetensi
dasar 90% atau taraf penguasaan kompetensi
minimal 75%-89%. (Depdiknas 2004:36). Taraf
kompetensi demikian sukar dicapai, menurut
Prayitno (2005) karena proses pembelajaran yang
di alami siswa pada jenjang SLTA bermutu
kurang mengembirakan. Akibatnya daya serap
siswa rendah karena mutu kegiatan belajarnya
tidak optimal.
Prayitno (1997) yang dikutip dari http:// www.
konselingindonesia.com mengemukakan lima
kondisi utama yang ada pada diri siswa yang
secara langsung mempengaruhi mutu belajarnya,
yang tercakup dalam unsur :
a. Prasyarat penguasaan materi pelajaran.
Prasyarat penguasaaan materi pelajaran
khususnya matapelajaran kimia adalah
komponen pertama keberlanjutan pemahaman
materi selanjutnya. Menurut Herman, dkk.
(2004:129) rendahnya penguasaan materi
pelajaran siswa bukan disebabkan karena
kemampuan dasar atau kecerdasan siswa,
mungkin disebabkan oleh penguasaan materi
yang menjadi prasyarat untuk menguasai materi
selanjutnya. Dimiyati & Mudjiono 1999:32)
mengemukakan jika bahan pelajaran tergolong
sukar, maka guru perlu membuat mudah dengan
menunjuk bahan prasyarat. Sama dengan
Dikdasmen (2004:37) untuk siswa yang
mencapai taraf penguasaan materi kurang atau
sama dengan 60% harus diberikan pengajaran
remedial agar memiliki penguasaan materi
pelajaran sampai pencapaian 75%, sekaligus
dengan melakukan pembinaan agar mencapai
kompetensi minimal yang diharapkan.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa
pencapaian target minimal penguasaan materi
pelajaran merupakan modal utama peningkatan
mutu kegiatan belajar siswa.
b. Keterampilan belajar
Keterampilan belajar yang diharapkan
mengacu kepada bagimana siswa belajar dan
bukan lagi pada apa yang dipelajari. Dikdasmen
(2004:9) menyatakan bahwa pengembangan
keterampilan-keterampilan memproses perolehan
peserta didik akan mampu menemukan dan
mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta
menumbuhkembangkan sikap dan nilai yang
dituju.
Menurut Ron Fry (dalam Herman., dkk
2004:132) yang dikutip dari http:// www.
konselingindonesia.com, mengemukakan tujuh
keterampilan yaitu (a) mengatur pelajaran, (b)
membaca dan mengingat, (c) mengatur waktu
belajar, (d) mengikuti pelajaran di kelas, (e)
menggunakan kepustakaan, (f) menulis karya
tulis dengan baik, dan (g) mempersiapkan diri
untuk ujian. Sama dengan Prayitno (2002) bahwa
keterampilan belajar yang harus dikuasai siswa
meliputi (a) perencanaan masa studi, (b)
kemampuan menjalani proses pembelajaran, (c)
peningkatan kemampuan membaca, (d)
kemampuan mengingat, konsentrasi, dan
ketahahanan dalam belajar, (e) penyelesaian
tugas dan penulisan karya ilmiah, (f) belajar dari
dan bersama orang lain, dan (g) ketetampilan
mengikuti ujian.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa penguasaan katerampilan belajar oleh
siswa akan mampu meningkatkan mutu kegiatan
belajarnya sesuai dengan target kompetensi
belajar yang diharapkan.
c. Sarana belajar
Kegiatan pembelajaran akan lebih
bermakna jika disertai dengan penyediaan sarana
pembelajaran yang mendukung.
Puskurbalitbangdik (2002:17) menyatakan bahwa
sarana belajar berfungsi memudahkan terjadinya
proses pembelajaran karena dengan sarana
belajar mudah menarik perhatian siswa,
mencegah verbalisme, merangsang tumbuhnya
pengertian, dan berguna multifungsi. Agar
terselenggara proses pembelajaran yang berhasil
baik diperlukan sarana pembelajaran berupa
buku pelajaran, buku bacaan, alat dan fsilitas
laboratorium, serta berbagai media pembelajaran.
Depdiknas (2004:10) menyatakan bahwa sarana
pembelajaran harus dikelola dengan sistem
manajemen yang meliputi tata ruang belajar,
kapasitas ruang, jadual pemakaian ruang, tata
letak ruang kelas, kebersihan dan keindahan
kelas agar proses pembelajaran menjadi nyaman
dan menyenangkan. Kesimpulan yang dapat
ditarik adalah bahwa penyediaan sarana belajar
dapat memudahkan siswa mentransfer materi
pembelajaran menuju penguasaan materi belajar
oleh siswa.
Sedangkan dalam konteks pendidikan
sebagai suatu sistem, maka pencapaian standar
proses untuk meningkatkan mutu pendidikan
53
dimulai dari menganalisis setiap komponen yang
dapat membentuk dan mempengaruhi proses
pendidikan tersebut. Terdapat banyak faktor
penentu mutu pendidikan yang dikemukakan
oleh Sanjaya (2006) meliputi:
a) Tujuan
Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai
sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan
belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan
proses belajar mengajar berpangkal tolak
dari jelas tidaknya perumusan tujuan
pengajaran.
b) Guru
Guru adalah komponen yang sangat
menentukan dalam implementasi suatu
strategi pembelajaran. Keberhasilan
implementasi suatu strategi pembelajaran
akan tergantung pada kepiawaian guru dalam
menggunakan metode, teknik dan strategi
pembelajaran. Lebih Lanjut Dunkin (1974)
mengemukakan beberapa aspek yang dapat
mempengaruhi kualitas proses pembelajaran
dilihat dari faktor guru diantaranya: (1)
Teacher formative experience, meliputi jenis
kelamin serta semua pengalaman hidup guru
yang menjadi latar belakang sosial mereka;
(2) Teacher training experience, meliputi
pengalaman-pengalaman yang berhubungan
dengan aktivitas dan latar belakang
pendidikan guru misalnya pengalaman
latihan profesional, tingkatan pendidikan,
pengalaman jabatan; dan (3) Teacher
properties, adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru
misalnya sikap guru terhadap siswa,
kemampuan atau intelegensi guru, motivasi
dan kemampuan dalam penguasaan materi.
c) Anak Didik (siswa)
Menurut Dunkin (1974), faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembelajaran dilihat
dari aspek siswa meliputi : (1) Latar
belakang siswa (pupil formative experience);
dan (2) Sifat yang dimiliki siswa (pupil
properties).
d) Sarana dan prasarana
Sarana adalah segala sesuatu yang
mendukung secara langsung terhadap
kelancaran proses pembelajaran. Sedangkan
prasarana adalah segala sesuatu yang secara
tidak langsung dapat mendukung
keberhasilan proses pembelajaran.
Kelengkapan sarana dan prasarana akan
membantu guru dalam menyelenggarakan
proses pembelajaran.
e) Kegiatan pembelajaran
Pola umum kegiatan pembelajaran adalah
terjadinya interaksi antara guru dan anak
didik dengan bahan sebagai perantaranya.
f) Lingkungan
Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua
faktor yang dapat mempengaruhi proses
pembelajaran yaitu: (1) Faktor organisasi
kelas, yang di dalamnya meliputi jumlah
siswa dalam satu kelas merupakan aspek
penting yang bisa mempengaruhi proses
pembelajaran dan (2) Faktor iklim sosial–
psikologis meliputi keharmonisan hubungan
antara orang yang terlibat dalam proses
pembelajaran.
g) Bahan dan alat evaluasi
Bahan dan alat evaluasi adalah suatu bahan
dan alat yang terdapat di dalam kurikulum
yang sudah dipelajari oleh anak didik guna
kepentingan ulangan.
h) Suasana evaluasi
Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaksanakan
di dalam kelas. Semua anak didik dibagi
menurut kelas masing-masing dan tingkatan
masing-masing. Besar kecilnya jumlah anak
didik yang dikumpulkan di dalam kelas akan
mempengaruhi suasana kelas sekaligus
mempengaruhi suasana evaluasi yang
dilaksanakan.
Hasil Belajar
Dalam proses belajar mengajar, hasil
belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa
penting diketahui oleh guru agar dapat
merencanakan kegiatan belajar mengajar secara
tepat. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari
sini guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses
evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil
belajar merupakan berakhirnya penggal dan
puncak proses belajar. Hasil belajar, untuk
sebagian orang adalah berkat tindak guru, suatu
pencapaian tujuan pengajaran. Pada bagian lain,
merupakan peningkatan kemampuan mental
siswa (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 3). Hasil
belajar mencerminkan tujuan pada tingkat
tertentu yang dicapai oleh peserta didik yang
dinyatakan dengan angka atau huruf. Hasil
belajar adalah hasil akhir dari proses belajar
mengajar sebagai upaya yang telah dicapai
selama proses ini berlangsung. Hasil belajar
54
mempunyai fungsi utama yaitu: (a) Sebagai
indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan
yang telah dikuasai anak didik; (b) Sebagai
lambang hasrat ingin tahu; (c) Sebagai bahan
informasi dalam inovasi pendidikan; (d) Sebagai
indikator dari suatu instasi pendidikan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil
Belajar
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
hasil belajar siswa diantaranya adalah faktor
siswa itu sendiri, faktor lingkungan, dan faktor
proses belajar mengajar. Menurut Hamalik
(2003) dalam Murniati (2004: 15), faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar siswa
disebabkan oleh:
a. Faktor internal yaitu faktor yang ada dalam
diri peserta didik sebagai faktor penentu
berhasilnya proses belajar mengajar di
kelas, misalnya minat siswa akan belajar,
konsentrasi, bakat yang dimiliki siswa dan
kematangan dan kesiapan dalam menerima
pelajaran, bahkan perhatian dan motivasi
siswa sebagai peserta didik dapat mencapai
hasil belajar yang memungkinkan
berlangsungnya proses belajar dengan baik,
dimana proses belajar dapat berlangsung
dengan baik apabila segala kebutuhan dasar
peserta didik telah terpenuhi.
b. Faktor eksternal peserta didik yaitu faktor
yang bersal dari luar diri pribadi peserta
didik yang secara langsung berpengaruh
terhadap setiap kegiatan belajar misalnya
faktor guru, sarana prasarana dan
lingkungan
METODE PENELITIAN
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan
observasi eksploratif dengan menggunakan
desain deskriptif analitis. Proses penelitian
menggunakan tahap (1) pra lapangan yang
bertujuan untuk mendapatkan peta kompetensi
siswa tiap pokok bahasan. Beberapa kegiatan
yang dilaksanakan pada tahap ini adalah (a) studi
dokumentasi (input): dokumen nilai UN), (b)
pengolahan dan analisis data UN, (c) Penjajakan
lapangan (pemilihan sekolah Kabupaten
Bombana berdasarkan Rayon), (d) Pemilihan dan
interaksi dengan subjek dan informan, dan (e)
Penyiapan piranti pembantu untuk kegiatan
lapangan, tahap (2) pekerjaan lapangan untuk
melakukan identifikasi faktor penyebab dari
masalah rendahnya pencapaian standar
kompetensi mata pelajaran Kimia dalam UN,
melalui kegiatan focus group discussion (FGD),
Indepth interview, observasi kelas, wawancara
dan observasi kompetensi guru, analisis dokumen
pendukung, dan kegiatan lain yang mendukung
tercapainya tujuan penelitian, dan tahap (3) pasca
lapangan dengan kegiatan penentuan prioritas
masalah dan pembuatan peta kompetensi siswa
tiap pokok bahasan mata pelajaran Kimia dalam
UN.
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan selama 1
bulan yaitu Oktober 2011. Tempat penelitian
mencakup wilayah kerja Dinas Pendidikan
Kabupaten Bombana.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri
dari :
1. Data sekunder, yaitu hasil UN tahun 2008,
2009, dan 2010 pada sekolah rayon di
Kabupaten Bombana. Data pendukung
lainnya adalah data mengenai kondisi riil
yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini
yang terdapat di Dinas Pendidikan
Kabupaten Bombana, di sekolah yang
dijadikan sampel, dan sumber lain yang
dapat dipertanggungjawabkan.
2. Data primer, yaitu hasil kegiatan lapangan
yang diperoleh melalui FGD, angket,
indepth interview, observasi kelas, dan
seluruh hasil pengamatan dari peneliti
selama melaksanakan penelitian.
Sampel Penelitian
Untuk keperluan ke lapangan, maka
peneliti menggunakan sampel sekolah dan
sampel guru. Penentuan sampel sekolah dan guru
menggunakan teknik purposive sampling dengan
asumsi bahwa semua sekolah adalah jenjang
yang sama yaitu jenjang SMA dengan
menggunakan kurikulum KTSP dan berdasarkan
pertimbangan bahwa guru-guru yang mengajar
memiliki kompetensi yang sama dan dapat
mewakili bidang-bidang studi dalam UN untuk
dilakukan FGD atau Indepth interview.
Setelah dilakukan sampling berdasrakan
pertimbangan wilayah rayon dan status sekolah,
55
maka jumlah sekolah yang mewakili sebanyak 4
sekolah, dimana sekolah Negeri senanyak 3
sekolah dan sekolah swasta satu sekolah.
Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen
Penelitian
Teknik pengumpulan data menggunakan
metode observasi kelas, studi dokumentasi, FGD,
indept interview, dan kuisioner.
Analisis data
Untuk meningkatkan derajat kepercayaan
data perolehan, dilakukan dengan teknik: (1)
ketekunan pengamatan, (2) triangulasi, (3)
pemeriksaan sejawat, (4) kecukupan referensial,
(5) kajian kasus negatif, dan (6) pengecekan
anggota. Dengan mengamati secara tekun,
diharapkan dapat menemukan ciri-ciri atau
unsur-unsur dalam suatu situasi yang sangat
relevan dengan rendahnya kompetensi siswa
pada setiap bidang UN yang diujikan.
Triangulasi dilakukan untuk melihat
gejala dari berbagai sudut dan melakukan
pengujian temuan dengan menggunakan berbagai
sumber informasi dan berbagai teknik.
Pemeriksaan sejawat dilakukan dengan cara
mengetengahkan (to expose) hasil penelitian,
baik yang bersifat sementara maupun hasil akhir,
dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan
sejawat. Dengan cara ini peneliti berusaha
mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran,
dan mencari peluang untuk menjajaki dan
menguji hipotesis yang muncul dari peneliti
(pemikiran peneliti). Sebelum menetapkan
temuan sebagai kecenderungan pokok, peneliti
melakukan pengecekan anggota. Ini dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan berapa proporsi
kasus yang mendukung temuan, dan berapa yang
bertentangan dengan temuan. Bila ada
penyimpangan dalam kasus-kasus tertentu,
peneliti menelaahnya secara lebih cermat. Telaah
lebih cermat terhadap kasus-kasus yang
menyimpang sering disebut sebagai analisis
kasus negatif. Teknik ini dilakukan untuk
menelaah kasus-kasus yang saling bertentangan
dengan maksud menghaluskan simpulan sampai
diperoleh kepastian bahwa simpulan itu benar
untuk semua kasus atau setidak-tidaknya sesuatu
yang semula tampak bertentangan, akhirnya
dapat diliput aspek-aspek yang tidak
berkesesuaian tidak lagi termuat. Dengan kata-
kata lain dapat dijelaskan "duduk persoalannya".
Selain itu, peneliti juga menguji
kecukupan acuan dalam menarik simpulan.
Kecukupan acuan dalam penelitian ini dilakukan
dengan mengajukan kritik internal terhadap
temuan penelitian. Berbagai bahan digunakan
untuk meneropong temuan penelitian. Kepastian
penelitian ini diupayakan dengan memperhatikan
topangan catatan data lapangan dan koherensi
internal laporan penelitian. Hal ini dilakukan
dengan cara meminta berbagai pihak untuk
melakukan audit kesesuaian antara temuan
dengan data perolehan dan metode penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kompetensi Dasar Materi Kimia yang Belum
Tercapai dalam Ujian Nasional di Kabupaten
Bombana.
Mata pelajaran kimia merupakan salahsatu
matapelajaran yang kebanyakan siswa
menganggapnya sulit untuk dipelajari.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa siswa,
sulitnya materi kimia karena rata-rata materinya
berhubungan dengan perhitungan-perhitungan
yang berkaitan dengan reaksi-reaksi kimia. Jika
dilihat dengan ketercapaian rata-rata nilai ujian
untuk matapelajaran kimia untuk kabupaten
Bombana, rata-rata nilai UN termasuk kategori
baik dibandingkan dengan matapelajaran IPA
lainnya, namun ada beberapa kompetensi dasar
yang samasekali tidak bias dijawab oleh semua
peserta dalam satu kelas baik dalam soal paket A
maupun soal paket B.
Berikut disajikan kompetensi dasar siswa
yang belum tercapai pada mata pelajaran kimia
di kabupaten bombana pada UN tahun 2008-
2010 yang dibreakdown dari program PPMP
(Balitbang, 2009).
56
Tabel 1. Kompetensi dasar yang belum tercapai pada UN Tahun 2008
No Kompetensi yang diujikan Rayon
1 Menentukan nama proses pembuatan/pengolahan unsur/senyawa dr suatu wacana 24.44
2 Memilih kegunaan protein dr beberapa manfaat/kegunaan makanan dlm tubuh 28.57
3 Menentukan isomer fungsi/posisi dr senyawa alkanol 39.09
4 Menentukan tekanan uap yg paling besar/kecil dr bagan beberapa larutan 44.36
5 Dari tbl hasil pembakaran, tentukan bhn bakar yg bil oktannya besar/kecil 46.62
6 Menentukan kelarutan senyawa dr data ksp suatu senyawa dlm ion senama 48.50
7 Menentukan contoh penerapan sifat koloid tertentu 48.87
8 Dari tbl data pengamatan uji lakmus memilih garam yg mengalami hidrolisis 50.75
9 Mnentukan masa zat hasil reaksi kimia yg mnghasilkn gas pd kondisi tertutup 52.63
10 Menentukan pernyataan yg benar/salah tentang karbohidrat, protein & lemak 53.01
Sumber: data penelitian diolah
Tabel 2. Kompetensi dasar yang belum tercapai pada UN Tahun 2009
No Kemampuan Yang Diuji Rayon
1 Menghitung laju reaksi pd konsentrasi dari data eksperimen & persamaan reaksinya
2 Menghitung pH garam yg trhidrolisis dr vol asam/basa pembentuk garam & parameter
3 Memprediksi letak satu unsur dlm tabel periodik berdasarkan diagram orbital 28.52
4 Menentukan gbr partikel zat terlarut pd larutan yg sukar menguap memiliki sifat koligatif 30.00
5 Menganalisis grafik PT sesuai sifat koligatif larutan dg tepat 31.25
6 Menentukan gbr yg termasuk reaksi dr gbr yg berhubungan dgn reaksi ekso/endoterm 33.10
7 Menentukan nama proses pengolahan untuk memperoleh unsur tertentu 37.80
8 Memperkirakan harga pH air limbah dr tabel hasil uji beberapa air limbah dg beberapa
indicator 42.26
9 Memprediksi letak satu unsur dlm tabel periodik berdasarkan diagram orbital 48.89
11 Memilih gbr yg laju reaksinya dipengaruhi oleh faktor tertentu dr beberapa gbr proses
pelarutan 50.23
12 Memilih gbr hasil pergeseran kesetimbangan sesaat jk kondisinya diket berikut gbr partikel
pereaksi mula2 55.11
Sumber: data penelitian diolah
Tabel 3. Kompetensi dasar yang belum tercapai pada UN Tahun 2010
No Kemampuan Yang Diuji Rayon
1 Menentukan gbr yg termasuk reaksi dr gbr yg berhubungan dgn reaksi ekso/endoterm 12.18
2 Menentukan kegunaan suatu makromolekul berdasarkan informasi yg diberikan 16.52
3 Menganalisis grafik PT sesuai sifat koligatif larutan dg tepat 18.26
4 Menentukan sepasang data yg berhub scr tepat dr tabel batuan&unsur yg dikandung 21.74
5 Menentukan gbr partikel zat terlarut pd larutan yg sukar menguap memiliki sifat
koligatif 43.48
6 Menentukan nama proses pengolahan untuk memperoleh unsur tertentu 46.09
7 Menghitung ?H reaksi jika parameternya diketahui dlm proses pelarutan/pembakaran 46.96
8 Menentukan gbr hasil pergeseran kesetimbangan sesaat jika kondisinya diketahui 57.39
Sumber: data penelitian diolah
57
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi tidak
Tercapainya KKM
Pada bagian ini akan disajikan faktor-
faktor yang mempengaruhi pencapaian
kompetensi dasar mata pelajaran UN di
kabupaten Bombana. Faktor-faktor yang
dimaksud berdasarkan delapan standar
pendidikan yaitu standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan
tenaga kependidikan, standar sarana prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian. Faktor-faktor yang dirumuskan
dalam laporan ini adalah faktor yang
mempengaruhi secara keseluruhan sehingga
standar komptensi yang diajarkan belum dicapai
oleh siswa, sehingga kompetensi yang ingin
dicapai tidak mencapai KKM sekolah maupun
KKM Nasional. Dari data-data hasil penelitian
yang telah dilakukan diperoleh bahwa faktor
penyebab rendahnya penguasan kompetensi dasar
dari materi Kimia disebabkan oleh tiga faktor
yaitu faktor siswa, faktor guru dan faktor sarana
prasarana.
1. Faktor siswa.
Berdasarkan wawancara secara langsung
dengan Guru yang mengajar dan terhadap
beberapa siswa yang sempat diwawancarai,
didapatkan kesimpulan bahwa yang menjadi
faktor dari siswa adalah :
a) Minat siswa untuk belajar kimia sangat
rendah karena tingkat pemahaman siswa
terhadap dasar-dasar kimia kurang.
b) Selama proses belajar mengajar, siswa
kebanyakan pasif. Materi-materi yang
telah diajarkan pada pertemuan
terdahulu, jika ditanyakan ulang
kebanyakan siswa dalam satu kelas sudah
melupakan materi yang telah diajarkan.
c) Siswa kesulitan dengan rumus-rumus
matematis dan soal-soal hitungan.
2. Faktor guru
Dari delapan standar pendidikan, faktor guru
banyak menentukan ketercapaian
kompetensi dasar dari materi yang diajarkan.
Ada beberapa standar yang menjadi
perhatian dalam wawancara dengan guru
dalam pengambilan data dalam penelitian
ini, yaitu standar isi, standar proses dan
standar penilaian. (1) standar isi. Guru
dalam mengajar, kebanyakan tidak
menembangkan KTSP, KTSP yang
diajarkan hanya copy paste dari sumber lain.
Dalam mengajar, guru tidak memperhatikan
ketuntasan kompetensi yang ingin dicapai.
Hal ini disebabkan dalam mengajar, guru
tidak mempersiapkan RPP terlebih dahulu.
Dalam proses belajar mengajar, guru hanya
membaa buku paket yang menjadi pegangan
guru itu sendiri. (2) standar Proses. Selama
proses belajar mengajar, guru tidak
melakukan remedial baik setelah selesai
standar kompetensi maupun kompetensi
dasar dari mater yang akan dicapai.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa
siswa dan guru yang mengajar dikelas XII,
ditemukan bahwa faktor penyebab tidak
tercapainya KKM soal ujian nasional matapelajar
Kimia adalah:
a) Proses Belajar Mengajar masih berpusat
pada guru, hal tersebut dapat terlihat dari
sikap siswa yang hanya menunggu informasi
pengetahuan dari guru dan guru yang lebih
banyak aktif dalam proses pembelajaran,
sehingga siswa tidak diberi kesempatan
untuk untuk menemukan sendiri konsep
kimia yang dipelajarinya.
b) Siswa kurang dilatih untuk
membangun/mengkontruksi sendiri
pengetahuan, sehingga pengetahuannya
kurang bermakna bagi kehidupan sehari-
harinya
Untuk mengatasi masalah rendahnya
hasil belajar dan supaya pengetahuan dapat
bermakna bagi kehidupan siswa, diperlukan suatu
proses pembelajaran yang melibatkan peran aktif
dan pengalaman nyata siswa. Salah satu
pendekatan seperti ini adalah pendekatan
58
kooperatif. Pendekatan kooperatif menyatakan
bahwa pengetahuan baru yang diterima siswa
bukan karena pentransferan ilmu dari guru
kepada siswa melainkan pengetahuan itu
dibangun oleh benak siswa itu sendiri. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Bruner (dalam Dahar,
1989 :103) mengatakan bahwa metode
pembelajaran inkuiri (penemuan) merupakan
pembelajaran yang sesuai dengan hakikat
manusia untuk selalu mencari pengetahuan secara
aktif. Dengan pembelajaran ini, meteri pelajaran
yang didapatkan siswa akan lebih tahan lama,
mudah diingat, dapat mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah berdasarkan
pengetahuan atau konsep yang telah dibangun
oleh siswa , dapat memunculkan motivasi belajar
serta dapat mengembangkan keterampilan proses
yang dimiliki siswa.
Adapun prosentase yang mempengaruhi
pencapaian kompetensi dasar berdasarkan
sekolah sampel adalah sebagaimana disajikan
dalam tabel berikut:
Sekolah
Sampel Isi Pros Penilaian
SMAN A 37.50 55.56 30.77
SMAN B 25.00 55.56 46.15
SMAN C 25.00 66.67 53.85
SMAS D 50.00 66.67 30.77
Rata-rata 34,37 61,11 40,38
Sumber: Data yang diolah dari hasil penelitian.
Dari data tersebut terlihat bahwa
mayoritas faktor yang mempengaruhi pencapaian
kompetensi disebabkan oleh standar proses
(61,11%), standar penilaian (40,38%) dan standar
isi (37.50%).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari uraian hasil dan pembahasan yang
telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut.
1. Materi-materi kimia yang sulit dipahami oleh
siswa dalam soal-soal ujian nasional adalah
materi-materi yang berhubungan dengan
hitungan-hitungan diantaranya, Materi Sifat
Koligatif larutan, termokimia, asam basa
(perhitungan pH) dan soal-soal yang
berhubungan dengan gambar atau grafik.
2. Faktor penyebab tidak terpaianya kompetensi
dasar materi Kimia pada sekolah yang
menjadi sampel disebabkan oleh dua faktor
utama yaitu faktor siswa dan faktor guru.
Faktor siswa berhubungan dengan minat
siswa, tingkat pemahman siswa terhadap
hitungan-hitungan dasar dalam Kimia.
Sedangkan faktor guru diantaranya guru tidak
memperhatikan ketuntasan belajar siswa
terhadap kompetensi yang ingin dicapai
dalam proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang. 2009. Persentase Penguasaan Materi
Soal Ujian Nasional SMA/MA Tahun
Ajaran 2008/2009. Pusat Penilaian
Pendidikan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Badan Nasional Standar
Pendidikan Ditjen Dikti.
DEPDIKNAS. Kegiatan Belajar Mengajar yang
Efektif: Pelayanan Profesional
Kurikulum 2004. Jakarta, 2003.
Dikdasmen. 2004. Kurikulum Pendidikan Dasar
dan Menengah, Jakarta.
Dimyati. 1999. Belajar dan Pembelajaran.
Rineka Cipta: Jakarta.
Hamalik. 2006. Manajemen Pengembangan
Kurikulum. Bandung:
http://www.konselingindonesia.com. Masalah
Belajar. diapload tanggal 12 januari
2012.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta : Kencana
59
KAJIAN EFEK-EFEK TERMO-MEKANIK TERHADAP PERUBAHAN PANJANG
RELATIF PADA MAIN-CHAIN LIQUID CRYSTAL ELASTOMER (MC-LCE)1
Oleh:
Vivi Hastuti Rufa Mongkito2
La Harudu3
Abstrak. Telah dilakukan penelitian sifat-sifat termo-mekanik pada main-chain liquid
crystal elastomer (MC-LCE), dengan perbedaan konsentrasi cross-linker 2.5 %, 6 % dan 12
%, sebagai fungsi suhu akibat proses pemanasan (heating) dan pendinginan (cooling). Bila
suhu meningkat, panjang MC-LCE secara monoton menyusut sejajar terhadap arah direktor,
n, sementara MC-LCE mengembang tegak lurus terhadap arah n dengan berkurang secara
cepat di sekitar suhu transisi nematik-isotropik, Tni, selama proses pemanasan. Setelah
pendinginan, semua sampel kembali ke bentuk semula. Kontraksi maksimum meningkat
dengan meningkatnya konsentrasi cross-linking. Kontraksi maksimum dari MC-LCE
dengan konsentrasi cross-linker 12 % adalah sekitar 120 %. Histeresis dari perubahan
panjang relatif dari MC-LCE dikaji sebagai fungsi suhu. Perubahan panjang relatif dari
MC-LCE menunjukkan histeresis yang signifikan pada transisi nematik-isotropik selama
proses pemanasan dan pendinginan.
Kata kunci: Main-chain liquid crystal elastomer (MC-LCE), efek-efek termo-mekanik.
1 Hasil Penelitian, Tahun 2011
2 Dosen Pendidikan Fisika FKIP Unhalu
3 Dosen Pendidikan Fisika FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Perkembangan dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi senantiasa menghasilkan temuan-
temuan baru yang tentunya sangat memudahkan
dan membantu kebutuhan manusia.
Perkembangan yang pesat juga terjadi pada
bidang sensor-sensor, actuator material dan otot-
otot buatan (artificial muscle). Sebuah aktuator
fungsionil dan sebuah otot buatan yang terbuat
dari bahan-bahan lunak (soft materials) adalah
piranti-piranti yang diperlukan untuk teknologi
masa depan berbasis human engineering dan
keselarasan antara mesin dan manusia. Sejauh ini
aktuator pada robot-robot sebagian besar berbasis
pada motor listrik, tetapi hal tersebut mempunyai
beberapa kerugian, seperti misalnya karena
keterbatasan ukuran dan bentuk, transmisi yang
kompleks, terbuat dari hard materials (sehingga
berat dan noisy), dan tidak begitu terkontrol
secara akurat (Yusuf, 2006).
Suatu pertumbuhan yang menarik dalam
pengembangan otot-otot buatan seperti aktuator-
aktuator yang baik untuk realisasi gerakan
biomimetic juga diharapkan dapat berperan
sebagai sebuah aktuator baru yang menggantikan
motor-motor listrik pada robot. Aktuator-aktuator
ini dapat merubah bentuk dan dimensinya ketika
dikenai sebuah potensial. Oleh karena itu, maka
kemudian beberapa kandidat aktuator yang
terbuat dari bahan-bahan lunak seperti ionic gels,
polymer networks dan liquid crystal elastomer
(LCE) diusulkan. Aktuator-aktuator polimer
tersebut memberikan banyak keuntungan seperti
fleksibilitas, ringan, biayanya murah dan
pemenuhan operasi yang aman (Yu dan Ikeda,
2006). Salah satu yang paling mungkin adalah
LCE.
Gagasan menggunakan LCE sebagai
otot-otot buatan pertama kali diusulkan pada
tahun 1997 oleh de Gennes dkk (Spillman dkk,
2006). Khususnya, tandan (stem) nematik LCE
yang unik yang mana mereka menunjukkan sifat
60
macroscopic reversible dan kontraksi anisotropik
ketika material LCE dipanaskan dan didinginkan
melalui fase transisi suhu nematik ke isotropik.
Dalam monodomain liquid single crystal
elastomer nematik, perubahan bentuk yang
signifikan terjadi pada suhu transisi nematik-
isotropik (gambar 1) . Monodomain liquid single
crystal elastomer (LSCE) secara optik transparan
sebab sumbu birefringence atau orientasi
direktor, n, unit mesogen teratur dalam keadaan
liquid crystal. Finkelmann dan Kundler setelah
itu melaporkan bahwa film nematic LCE
(NLCE) memperlihatkan kontraksi secara
spontan ketika dipanaskan menuju suhu nematik-
isotropik (Thomsen dkk, 2001).
Gambar 1. Proses termal menyebabkan kontraksi
spontan dalam LCE. N = nematik; I = isotropik
LCE menjadi menarik karena
mengkombinasikan dua sifat-sifat fisika, yaitu
sifat anisotropik dari liquid crystal (mesogen)
dan sifat elastik dari jaringan-jaringan polimer
(polymer networks). Sebagai konsekuensi kedua
sifat diatas LCE menunjukkan sejumlah efek-efek
mekanik dan optik bila diberi berbagai
rangsangan (stimuli) eksternal seperti suhu,
medan listrik, medan magnet dan cahaya. Sifat
mekanik material LCE dapat dikontrol dan
dioptimasi dengan memilih secara efektif pada
fase liquid cristal, kerapatan cross-linking,
fleksibilitas polymer backbone, penggabungan
antara backbone dan grup liquid crystal, dan
pengaruh (stimuli) eksternal, dimana laju
kontraksi muncul ketika fase transisi terjadi.
Perubahan bentuk (deformation) termo-
mekanik ini merupakan perhatian yang sangat
menarik sebagai kandidat otot-otot buatan lunak
(soft artificial muscle) (Yusuf, 2005; Li dan
Keller, 2006; Yu dan Ikeda, 2006). Ketika
dipanaskan molekul-molekulnya mengalami
perubahan panjang yang spontan dan histerisis
pada daerah disekitar suhu transisi nematik-
isotropik. Fenomena ini karena perpaduan antara
anisotropi rantai polimer dan orde parameter
nematik, S(T). Fenomena-fenomena yang timbul
diprediksi akan berpotensi untuk berkelakuan
sebagai artificial muscle (Hogan dkk, 2008).
Penelitian secara intensif terhadap efek
termo-mekanik dari side-chain liquid crystal
elastomer (SC-LCE) sudah banyak dilakukan
dalam beberapa tahun terakhir (Yusuf dkk, 2005,
2006), namun respon dari efek mekanik masih
relatif kecil sehingga perlu ditingkatkan. Pada
penelitian sebelumnya oleh Yusuf dkk digunakan
cross-linker bifunctional (polydimethylsiloxane
dengan terminal grup vinyl) dan trifungtional (1,
3, 5 trisundec-10-enoxy-benzene) pada SC-LCE
(Yusuf dkk, 2005). Hasil yang diperoleh
memperlihatkan nilai perubahan bentuk
anisotropi, Δλ, yang masih relatif kecil dari yang
diharapkan sehingga masih perlu ditingkatkan.
Berlatar belakang pada permasalahan di atas,
penelitian ini akan difokuskan untuk mencari
sebuah bahan di dalam LCE yang memiliki
respon cepat dan sensitif terhadap suhu dan
medan listrik sebagai sebuah otot buatan.
Oleh karena itu pada penelitian ini akan
digunakan tipe main-chain liquid crystal
elastomers (MC-LCE) dengan pemilihan agen
cross-linker dan unit mesogen yang tepat.
Donnio, Wermter, dan Finkelmann pertama kali
mensintesa MC-LCE dengan cross-linking rantai
polimer liquid crystal dan sebuah siloxane yang
fleksibel berbasis cross-linker. Sistem main-
chain ini menunjukkan nematic mesophase dan
sifat anisotropik mereka yang mempunyai analisa
termal dan mekanik sebagai fungsi kerapatan
cross-linking. Dalam MC-LCE prilaku fase
utamanya ditentukan oleh komposisi kimia dari
mesogen, karena itu orde nematik dari mesogen
dan sifat-sifat mekaniknya adalah sangat
dipengaruhi oleh bentuk geometri dan kosentrasi
cross-linker. Struktur dasar dan struktur kimia
pembentuk MC-LCE adalah 2-ethyl-1,4-phenylen
bis [4-[4-(vinyloxi)buboxy] benzoate] (C34H38O6)
yang mempunyai Δε positif ~ 50, Cross-linker
agent adalah pentamethylcyclopentasiloxane
(C5H20O5Si5) yang diketahui mempunyai
fleksibelitas yang dan anisotropi yang lebih tinggi
dari tipe SC-LCE, yang artinya akan
menghasilkan efek-efek mekanik yang lebih besar
dan rantai pemanjang (chain extender) 1,1,3,3,-
tetramethyldisiloxane. Respon anisotropik dalam
61
MC-LCE adalah lebih besar daripada dalam SC-
LCE karena perpautan langsung unit mesogen
dalam polymer backbone. Penelitian ini akan
dikonsentrasikan untuk mengamati efek-efek
mekanik (perubahan panjang relatif, λ dan
kontraksi maksimum dari MC-LCE terhadap
variasi suhu. Dalam penelitian ini menggunakan
material MC-LCE dengan kosentrasi cross-linker
2.5 %, 6 % dan 12 %. Bahan-bahan LCE yang
digunakan dalam penelitian ini dibuat oleh grup
Finkelmann di Makromolekulare Chemie,
Freiburg University. Networks pada LCE
diperoleh dari hasil sintesa yang dilakukan dalam
dua tahap, tahap pertama adalah dengan
menambahkan bifunctional cross-linking agents
pada rantai polimer, sedangkan tahap kedua
adalah dengan memberikan regangan mekanik
(mechanical strain) saat proses cross-linking agar
diperoleh orientasi direktor, n, yang seragam dari
grup mesogen (Li dan Keller, 2006).
Liquid crystal elastomer (LCE) terdiri
dari dua sub-struktur, cross-linked siloxane
polimer networks dan side-chain/main-chain
grup mesogen yang terbuat dari molekul-molekul
liquid crystals (Finkelmann dkk, 1981). Beberapa
efek fisika yang luar biasa yang ditemukan dalam
LCE adalah perubahan bentuk yang reversibel
secara spontan pada pemanasan ataupun
pendinginan, sifat elastisitas (deformasi mekanik)
tanpa adanya atau tekanan yang kecil,
ketidakstabilan mekanik dan ketidakkontinuan
hubungan stress-strain pada perubahan orde
nematik oleh medan mekanik, perubahan elektrik
dari sifat optik dengan menyertai tekanan
mekanik, fase padat nematohydrodynamic dan
dinamika kelunakan (Tajbakhsh dan Terentjev,
2001). Prilaku unik LCE ini diturunkan dari
perpautan antara sifat elastis jaringan-jaringan
polimer dan orientasi arah mesogenic mereka.
Kombinasi dua sifat material ini cukup menarik
perhatian para peneliti untuk mengkaji lebih
dalam lagi.
Keller dkk melakukan penelitian yang
memberikan kontribusi penting pada perubahan
bentuk microsized sebagai respon pillar yang
didasarkan pada material LCE dengan
menggunakan teknik soft lithography yang
disebut replica molding. Respon side-chain (SC)
yang berukuran mikro yang didasarkan pada
material LCE, ketika dipanaskan dari fase
nematik ke fase isotropik, SC-LCE yang
ditanamkan dalan minyak silikon mangalami
kontraksi pada orde 30-40% (gambar 2) (Yu dan
Ikeda, 2006). Kontraksi SC-LCE ini akan kembali
seperti semula (bentuk asal mereka) setelah
didinginkan dari fase isotropik ke fase nematik.
Penelitian secara intensif terhadap efek-
efek termo-mekanik dari side-chain liquid crystal
elastomers (SC-LCE) juga telah diamati (Yusuf
dkk, 2004, 2005, 2007). Efek termo-mekanik dari
bifunctionally cross-linked SC-LCE (dengan 8%
bifunctional cross-linker) ini sudah dikaji secara
mendalam, dimana sebuah perubahan panjang
yang spontan pada suhu transisi nematik-
isotropik terjadi seperti terlihat pada gambar 3.
Perubahan bentuk pada SC-LCE sebagai respon
terhadap suhu adalah menyusut jika sejajar n
( n ) dan mengembang jika tegak lurus n ( n ).
Dalam keadaan nematik, SC-LCE mempunyai
bentuk gyration rerata ellipsoid dari jaringan
polimer searah dengan direktor, n, yang mana
jari-jari R|| (searah n) lebih besar dari R┴ (tegak
lurus n). Di atas suhu transisi (~ 80oC) orde
nematik menjadi lenyap dan kemudian jaringan
polimer berubah bentuk menjadi spherical
isotropik.
Gambar 3. Perubahan bentuk dari SC-LCE
sebagai fungsi suhu. Dimensi SC-LCE yang
searah dengan n meyusut, yang tegak lurus n
mengembang (Yusuf, 2004).
Perubahan suhu mempengaruhi orde
parameter nematik suatu nematic elastomers dan
perubahan bentuk makroskopi, yang secara
permanen molekul-molekulnya bersejajaran
dalam keadaan monodomain. Parameter
62
perubahan panjang relatif chain anisotropy, λ,
adalah perbandingan panjang
ekspansi/penyusutan, Li, terhadap panjang
isotropik, Lo. Garfik pemanasan dan pendinginan
yang menunjukkan perubahan panjang relatif dari
SC-LCE (gambar 4).
Gambar 4. Proses pemanasan dan pendinginan
pada SC-LCE menunjukkan peristiwa histersis
(Yusuf, 2004).
Dari tinjauan pustaka di atas terlihat
bahwa kajian efek-efek termo-mekanik dari
beberapa tipe LCE sedang dilakukan secara
komprehensif. Kajian terhadap bahan main-chain
liquid crystal elastomer (MC-LCE) untuk efek-
efek mekanik serta mekanisme fisisnya masih
pada tahap penelitian. Hal inilah yang mendorong
dilakukannya penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan
Peralatan dalam penelitian ini adalah
ultrasonic cleaner yang berfungsi untuk
membersihkan substrat kaca yang akan
digunakan sebagai wadah/tempat sampel, pisau
bedah yang berfungsi untuk memotong sampel
(MC-LCE), pinset yang berfungsi untuk
memegang dan mangambil sampel, bola lampu
50 Watt berfungsi sebagai penerang saat
memotong sampel, multimeter untuk mengukur
perubahan hambatan Ro yang diakibatkan oleh
perubahan suhu yang direspon oleh sampel,
power supply berfungsi sebagai sumber
pembangkit tegangan, heater control unit (Digital
Controlled CHINO DB500) berfungsi sebagai
pengontrol dan pengatur suhu, hot stage dan
tembaga berongga (elemen pemanas) yang
terbungkus Teflon sebagai stimuli suhu eksternal
pada sampel, mikroskop (Nikon, OPtiphot-pol)
berfungsi untuk mengamati sampel yang diukur,
kamera (Panasonic, WV-BD400) berfungsi untuk
memfoto hasil pengamatan pada sampel, satu set
PC berfungsi untuk menyimpan hasil pengamatan
sebelum dianalisa dengan program CorelDraw
dan KGraph.
Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah monodomain MC-LCE,
silicon oil berfungsi sebagai pelican, yaitu untuk
menghindari gesekan lansung antara MC-LCE
dengan glass saat MC-LCE mengalami kontraksi,
substrat kaca (glass) berfungsi sebagai
wadah/tempat sampel, etanol 95 %, aseton,
deterjen, osilasi teflon berfungsi untuk
merekatkan substrat kaca yang telah ditempati
sampel agar tidak bergeser sehingga pada saat
pengamatan diperoleh gambar yang simetri, tabel
hambatan Ro, Pt 100.
Rancangan Penelitian
Terdapat beberapa metode yang
digunakan untuk pengukuran efek termo-mekanik
pada liquid crystal elastomer. Keller dkk
meciptakan perangsang pillar LCE microsized,
dengan menggunakan teknik a soft lithography
disebut replica molding. Pada penelitian ini
digunakan hot stage dan tembaga berongga untuk
elemen panas yang terbungkus teflon sebagai
stimuli suhu eksternal. Untuk pengamatan
fenomena efek termo-mekanik dengan metode ini
telah terbukti pada sampel side-chain liquid
crystal elastomer (SC-LCE) (Yusuf dkk, 2004).
Merancang set-up ekperimen seperti yang terlihat
pada gambar 5.
Gambar 5. Set-up eksperimen thermo-
mechanical properties.
Keseluruhan pengukuran diamati pada
sebuah polarizing microscope (Nikon, Optiphot-
63
pol) yang terhubung langsung dengan charge
coupled device (CCD) camera (Panasonic, WV-
BD400). Suhu dari sampel cell diatur dengan
menggunakan pengatur suhu (Digital Controlled
CHINO DB500). Perubahan hambatan Ro oleh
respon sampel (MC-LCE) terhadap suhu dapat
diamati dengan menggunakan mulitimeter.
Persiapan Sel Sampel
Sebelum sampel ditanamkan pada
substrat kaca (glass) terlebih dahulu dilakukan
pada glass adalah dibersihkan dengan
menggunakan ultrasonic cleaner. Tekniknya
selama 1 jam dicuci dengan larutan aceton,
selanjutnya 1 jam dengan detergen, kemudian 1
jam lagi dengan aceton kembali, terakhir 1 jam
dengan etanol 95%.
Gambar 6. Sel sampel untuk pengukuran termo-
mekanik.
Persiapan Sampel
Material MC-LCE yang digunakan pada
penelitian ini terdapat tiga konsetrasi cross-linker
yaitu 2.5 %, 6 %, dan 12 %. Sebelum melakukan
pengamatan dan pengukuran pada sampel terlebih
dahulu sampel dipotong dengan menggunakan
pisau bedah. Tipe empat persegi panjang sampel
MC-LCE dengan perbedaan orientasi direktor
terhadap arah n. Salah satunya diperoleh dengan
memotong sejajar arah n (planar sample) dan
lainnya diperoleh dengan memotong tegak lurus
arah n (homeotropic sample).
Gambar 7. Persiapan sampel untuk pengukuran
termo-mekanik. Dua tipe potongan MC-LCE.
Keduanya disiapkan untuk mengukur
perubahan bentuknya. Namun, dalam penelitian
untuk pengukuran termo-mekanik ini hanya
difokuskan pada planar sample. Tebal sampel
adalah ~ 300 μm. Setelah MC-LCE dipotong
ditaruh diatas glass yang sudah dilapisi silicon
oil. Silicon oil adalah bahan yang tidak
berinteraksi kimia secara langsung dengan MC-
LCE yang berfungsi sebagai pelicin, yaitu untuk
menghindari gesekan langsung antara MC-LCE
dengan glass saat MC-LCE mengalami kontraksi.
Pengukuran dan Kontrol Suhu Sampel
Kontrol suhu diperoleh dengan
menggunakan a hot stage dan logam berlubang
yang terbungkus teflon sebagai elemen panas
(heater) yang dikontrol oleh sebuah sistem
kontrol listrik (digital controlled CHINO
DB500). Hot stage dibangun dari tembaga yang
berbentuk pelat dan pada pusat pelat berlubang.
Sel hot stage berbentuk silinder berongga yang
pada permukaannya berlubang dengan diameter
pusat 14 mm sebagai jalan pencahayaan pada
sampel.
Gambar 8. Sel a hot stage dan heater pada
eksperimen termo-mekanik.
Pada dinding pelat hot stage dibuat celah
untuk dua Catridge heater, satu diatur sebagai
pengontrol suhu sedangkan yang lainnya
diakomodasi untuk satelit sensor sebagai
pengontrol suhu sampel. Salah satu dari celah
juga terakomodasi sebagai pengatur Pt 100 ke
multimeter. Semua permukaan diisolasi dengan
jaket plastik, agar sampel terisolasi dari aliran
udara sekitar ruang hot stage. Sampel itu sendiri
diletakan dalam sel sampel kemudian diletakan
diatas hot stage. Pengukuran dilakukan dalam
dua proses yaitu proses pemanasan dan
pendinginan. Selama proses pemanasan ataupun
pendinginan jangkauan suhu antara 30oC – 90
oC
untuk cross-linker 2.5 % dan 6 %, sedangkan
untuk cross-linker jangkauan suhunya antara
30oC – 100
oC. Dalam pengukuran ini
menggunakan multimeter terkalibrasi untuk
membaca besar hambatan Ro yang dibangkitkan
64
tiap suhu pada masing-masing monodomain MC-
LCE dengan perbedaan cross-linker. Gambar tiap
suhu dengan interval 1oC difoto selama proses
pemanasan dan pendinginan.
Pengamatan Fenomena Efek Termo-Mekanik
Sampel yang terukur secara langsung
dapat diamati melalui mikroskop (Nikon,
Optiphot-pol). Tiap suhu, gambar yang teramati
difoto dan setiap gambar tersimpan langsung
dalam memori. Fenomena yang teramati selama
proses pemanasan dan pendinginan adalah
menyusut dan mengembang. Pada proses
pemanasan sampel menyusut terhadap sumbu-x
dan mengembang terhadap sumbu-y. Sebaliknya
pada proses pendinginan sampel mengembang
terhadap sumbu-x dan menyusut terhadap sumbu-
y. Pengukuran dilakukan berulang untuk masing-
masing sampel monodomain MC-LCE dengan
perbedaan cross-linker.
Pengukuran dan Analisa Data
Terdapat beberapa metode yang
digunakan untuk pengukuran dan analisa data
(gambar) dari hasil foto sampel. Dalam penelitian
ini program yang digunakan adalah CorelDRAW
dan KGraph. CorelDRAW digunakan untuk
mengukur besar kontraksi sampel, dimana diukur
pada sumbu-x dan sumbu-y. Dengan mengukur
perubahan panjang dari ujung satu ke ujung
lainnya pada pertengahan gambar sampel. Cara
pengukuran ini dilakukan sama untuk kedua
sumbu. Data yang diperoleh dari hasil
pengukuran akan dianalisa dengan menggunakan
Kgraph untuk memperoleh grafik hubungan
perubahan panjang relatif, λ, terhadap suhu T(oC).
Grafik dari hasil plot λ versus T, dapat ditentukan
titik transformasi fase nematik-isotropik, Tni.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini telah dilakukan
pengamatan dan pengukuran efek-efek termo-
mekanik terhadap monodomain main-chain
liquid crystal elastomer (MC-LCE) dengan
perbedaan konsentrasi yaitu 2.5 %, 6 %, dan 12
%. Fenomena dari efek-efek mekanik tersebut
dapat teramati ketika pada sampel diberi stimuli
eksternal berupa suhu melalui proses pemanasan
dan pemanasan. Perubahan bentuk monodomain
nematik yang spontan drastis terjadi pada suhu
transisi nematik-isotropik. Hal in terjadi karena
penggabungan antara sifat anisotropi chain
polimer liquid crystal dan orde parameter
nematik. Seperti yang ditunjukkan dalam plot
perubahan panjang relatif pada direktor, n,
nematik dan variasi orde parameter terhadap suhu
(gambar 5.1). Perubahan bentuk yang
makroskopik pada jaringan rantai yang elastis
akan berkurang dibawah pengaruh polimer
penyangga (Hogan dkk, 2008)
Set up alat pengamatan dan pengukuran efek-efek
termo-mekanik ditunjukan pada gambar 9.
Gambar 9. Foto set up alat pengamatan
Thermo-mechanical effects yang dikembangkan
dalam penelitian ini ( Laboratorium Fisika Zat
Padat FMIPA UGM).
Perubahan Panjang Relatif pada Main-Chain
Liquid Crystal Elastomer (MCLCE)
Fenomena mekanik diamati dengan
menggunakan polarizing microscope (Nikon,
Optiphot-pol) yang terhubung langsung dengan
charge coupled device (CCD) camera
(Panasonic, WV-BD400). Perubahan bentuk pada
sampel terekam secara langsung dalam memori
PC oleh snapshot camera yang terhubung
langsung dengan polarizing microscope. Suhu
dari sampel dikontrol menggunakan pengatur
suhu (Digital Controlled CHINO DB500).
Efek-efek termo-mekanik pada cross-
linking MC-LCE yang diselidiki dalam
eksperimen ini, dimana perubahan bentuk yang
spontan ditemukan di sekitar suhu transisi fase
nematik-isotropik, Tni. Perubahan bentuk ini tidak
hanya terjadi pada transisi, tetapi selanjutnya ke
fase isotropik. Fenomena mekanik pada MC-LCE
dengan perbedaan konsentrasi 2.5 %, 6 % dan 12
% sebagai respon terhadap suhu selama proses
65
pemanasan dan pendinginan adalah ditunjukkan
dalam gambar 10. Ketika suhu meningkat
(pemanasan) pada sampel planar menyusut yang
sejajar terhadap )ˆ(ˆ xn dan mengembang yang
tegak lurus terhadap )ˆ(ˆ yn . Setelah suhu
diturunkan (pendinginan), semua sampel akan
kembali ke bentuk semula yaitu mengalami
penyusutan yang tegak lurus )ˆ(ˆ yn dan
mengembang yang sejajar )ˆ(ˆ xn .
Gambar 10. Efek termo-mekanik dari sampel-
sampel MC-LCE (2.5%, 6 % dan 12 %) pada
proses pemanasan dan pendinginan.
Grup mesogenic main-chain dalam
jaringan polimer adalah saling berikatan secara
langsung. Ketika pemanasan, pada molekul MC-
LCE secara perlahan-lahan mengalami fluktuasi
termal menyebabkan perubuhan orientasi pada
main-chain mesogenic, yang mana orde nematik
mereka berkurang, dan perubahan bentuk pada
jaringan cross-linked rantai polimer berkurang
dan menghasilkan perubahan bentuk mekanik
sampel MC-LCE, disebut penyusutan yang
sejajar n̂ dan ekspansi dalam arah tegak lurus n̂ .
Perubahan panjang relatif sampel planar
sebagai fungsi temperatur, λi(T), sebagai rasio
perubahan panjang ekspansi dan penyusutan
terhadap panjang awal (initial) dalam fase
isotropik (To = 90oC untuk monodomain MC-
LCE 2.5 % dan 6 %, dan To = 100o untuk 12 %).
Pengukuran panjang adalah membuat garis
pertengahan pada tepi yang satu ke tepi lainnya
dalam satuan pixel.
(a)
(b)
Gambar 11. Ketergantungan suhu terhadap
perubahan panjang relatif, λi(T), λx: perubahan
panjang relatif pada sumbu-x dan λy: perubahan
panjang relatif pada sumbu-y. (a) untuk sampel
MC-LCE 2.5%, MC-LCE 6% dan (b) MC-LCE
12% selama proses pemanasan (♦) dan
pendinginan (◊).
Peristiwa histeresis termal yang
signifikan dapat ditemukan pada proses
pemanasan maupun pendinginan khususnya pada
sampel MC-LCE 2.5 % dan 12 % ditunjukkan
dalam gambar 5.4. Terdapat catatan bahwa secara
relatif kehilangan panjang yang signifikan terjadi
pada sumbu-y setelah pendinginan terhadap suhu
ruang. Perubahan panjang relatif pada sampel
yang sejajar terhadap )ˆ(ˆ xn dan tegak lurus
66
terhadap )ˆ(ˆ yn sebagai fungsi suhu ditunjukkan
dalam gambar 5.4. Suhu meningkat, semua
sampel secara monoton menyusut sejajar
terhadap )ˆ(ˆ xn (gambar 5.4) dengan secara cepat
penyusutannya berkurang disekitar suhu transisi
TniMCLCE-2.5
~58oC, Tni
MCLCE-6 ~50
oC dan Tni
MCLCE-
12 ~72
oC untuk sampel MC-LCE 2.5%, MC-LCE
6% dan MC-LCE 12% secara berturut-turut.
Sampel MC-LCE mencapai kontraksi maksimum
84% untuk MC-LCE 2.5 %, 32% untuk MC-LCE
6% dan 120% untuk MC-LCE 12%. Sampel MC-
LCE secara monoton mengembang dalam arah
tegak lurus terhadap )ˆ(ˆ yn pada pemanasan dan
mencapai kontraksi maksimum 32% untuk MC-
LCE 2.5%, 10% untuk MC-LCE 6% dan 33 %
untuk MC-LCE 12 %.
Gambar 12. Ketergantungan perubahan panjang
maksimum terhadap konsentrasi cross-
linking MC-LCE pada pemanasan.
Semakin besar konsentrasi cross-linking
maka semakin besar pula kontraksi maksimum
yang terjadi pada sampel (gambar 5.5).
Meningkatnya konsentrasi cross-linking juga
akan menyokong keadaan isotropik pada sistem
dan meningkatkan transisi suhu fase nematik-
isotropik, Tni, seperti yang ditemukan dalam
sampel MC-LCE. Namun dalam penelitian ini
plot kontraksi maksimum versus konsetrasi cross-
linking ditemukan fenomena yang tidak biasanya
(no typically) pada konsentrasi 6 % (gambar 11).
Hal ini disebabkan karena MC-LCE memiliki
suhu transisi, Tni, yang tinggi dan sifat sistem
cenderung ke fase kristal dimana polimer siap
akan merubah fase. Selanjutnya homopolimer
unit mesogen yang tersusun teratur sepanjang
penyangga cenderung menunjukkan smetic atau
mesofase dengan keteraturan molekulnya yang
lebih tinggi, sehingga membuat sulit untuk dikaji.
Disamping itu, karena konsentrasi 6 % mendekati
konsentrasi kritis MC-LCE yang diduga ~ 6.5 %.
Secara relatif perubahan panjang yang signifikan
lebih besar terjadi pada arah-x (λx) yang sejajar
terhadap n daripada arah-y (λy) yang tegak lurus
terhadap n (gambar 12).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pengamatan
dan pengukuran efek-efek termo-mekanik pada
monodomain main-chain liquid crystal elastomer
(MC-LCE) melalui proses pemanasan dan
pendinginan, dapat diambil beberapa kesimpulan
yang terangkum sebagai berikut :
1. Perubahan bentuk sampel monodomain MC-
LCE dengan perbedaan konsentrasi cross-
linking sebagai respon suhu adalah mengalami
penyusutan ║n dan ekspansi n pada proses
pemanasan, sebaliknya kembali ke bentuk
semula pada proses pendinginan.
2. Kontraksi maksimum sampel monodomain
MC-LCE ditemukan meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi cross-linking. Hal
ini, disimpulkan bahwa kerapatan cross-liking
MC-LCE mengurangi fluktuasi termal
molekul mesogen main chain liquid crystal
dalam jaringan polimer. Kerapatan cross-
lingking meningkatkan elastisitas dan
memperbesar panjang kontraksi.
Saran
Dengan memperhatikan hasil-hasil yang
diperoleh dari penelitian ini, pengakajian efek-
efek termo-mekanik masih harus dilakukan untuk
sampel-sampel MC-LCE dengan nilai konsentrasi
cross-linker yang lain. Disamping itu perlu juga
dilakukan kajian efek-efek termo-optik dari MC-
LCE sebagai fungsi suhu.
67
DAFTAR PUSTAKA
Cho, D.-U., Yusuf, Y., Cladis, P. E., Brand, H.
R., Finkelmann, H., and Kai, S., 2005,
“Thermo-mechanical Properties of Try-
functionally Cross-linked Liquid Single
Crystal Elastomers”, Chemical Physics
Letters, 418, 217-222.
De Gennes, P.-G., Hebert, M., and Kant, R., 1997,
“Artificial Muscles Based on Nematic
Gels”, Macromol. Symp., 113, 39-49.
Hogan P.M., Tajbakhsh A.R., and Terentjev E.M.,
2008, “UV-Manipulation of Order and
Macroscopic Shape in Nematic
Elastomers”, Lab. Cavendish, University
of Cambridge, Cambridge, CB3 0HE,
U.K.
Khoo I.-C., 1995, “Liquid Crystal: Physical
Properties and Nonlinear Optical
Phenomena”, John Wiley & Sons, Inc.,
New York.
Krause S., Zander F., Bergmann G., Brandt H.,
Wertmer H., and Finkelmann H., 2008,
“Nematic Main Chain Elastomersz:
Coupling and Orientational Behavior”,
C.R. Chemie, 12, 85-104.
Kupfer, J. and Finkelmann, H., 1991, “Nematic
Liquid Single Crystal Elastomers”,
Makromol. Chem., Rapid Commun., 12,
717-726.
Kupfer, J. and Finkelmann, H., 1994, “Liquid
Crystal Elastomers: Influence of the
Orientational Distribution of the
Crosslinks on the Phase Behaviour and
Reorientation Processes”, Makromol.
Chem. Phys., 195, 1353-1367.
Li M.-H. and Keller P., 2006, “Artificial Muscles
Based on Liquid Crystal Elastomers”,
Phil. Trans. R. Soc. A, 364, 2763-2777.
Mayer S., and Zentel R., 2002, “ Liquid Crystal
Polymers and Elastomers”, Current
Opinion in Solid State and Material
Science, 6, 545-551.
Ren W., 2007, “Structure-Property Relations in
Siloxane-Based Main-Chain Liquid
Crystalline Elastomers and Related Linear
Polymers”, Disertation, Georgia Institute
of Technology.
Spillmann C.M., Naciri J., Martin B.D., Farahat
W., Herr H., and Ratna B.R., 2006,
“Stacking Nematik Elastomer for
Artificial Muscle Applications”, Sensors
and Actuator A Physical, 133, 500-505.
Tajbakhsh A.R and Terentjev E.M., 2001,
“Spontaneous Thermal Expansion of
Nematic Elastomers”, Eur. Phys. J. E 6,
181-188.
Thomsen, D.-L., Keller, P., Naciri, J., Pink, R.,
Jeon, H., Shenoy, D., and Ratna, B.,
2001, “Liquid Crystal Elastomers with
Mechanical Properties of a Muscle
Macromolecules”, 34, 5868-5875.
Warner M. and Terentjev E.M., 2003, “Liquid
Crystal Elastomers”, Clarendon Press,
Oxford, New York.
Xie P. and Zhang R., 2005, “Liquid Crystal
Elastomers, Networks and Gels:
Advanced Smart”, Journal of Material
Chemistry, 15, 2529-2550.
Yu Y., and Ikeda T., 2006, “Soft Actuator Based
on Liquid Crystal Elastomers”, Angew.
Chem. Int. Ed, 45, 5416-5418.
Yusuf Y., Cladis, P. E., Brand, H. R.,
Finkelmann, H., and Kai, S., 2004,
“Hystereses of Volume Changes in Liquid
Single Crystal Elastomers Swollen in Low
Molecular Weight Liquid Crystal”,
Chemical Physics Letters, 389, 443-448.
Yusuf, Y., Huh, J.-H., Cladis, P. E., Brand, H. R.,
Finkelmann, H., and Kai, S., 2005, “Low-
Voltage-Driven Electromechanical Effects
of Swollen Liquid-Crystal Elastomers”,
Physical Review E, 71, 061702, 1-8.
Yusuf Y., 2006, “Liquid Crystal Elastomer
Sebagai Otot Buatan”, INOVASI
Vol.6/XVIII.
68
THE PRONUNCIATION OF ENGLISH LONG VOWELS AND LABIODENTALS
PHONEMES BY FIVE MEDIATAMA ENGLISH COURSE PARTICIPANTS AT
KENDARI1
Oleh:
Meilan Nirmala Shinta2
Abstract: this study focused to analyze on the pronunciation of English long vowels
and labiodental with the scope of discussion: (1) describing how do the participants
pronounce it phonemes, and (2) predicting participants’ error pronunciation. Design
of the research is descriptive where the data analyzed qualitatively: The participant
was selected randomly to be five participants; the data then collected by using tape
recorder and transcript table phonemes instruments; the data analyzed under CAH
(contrastive analyses hypothesis) procedures theories of Whitman (1970) and
Stocwell (1965). The qualitative analyses procedure: organizing, categorizing,
analyzing, predicting, and reporting.
The research showed three significant results: (1) long vowel phonemes /i:/, /u:/, /a:/
and labiodentals /f/ indicated were quite easy to be pronounced by the participants;
and (2) long vowels /د:/, /З:/ and labiodental /v/ were difficult to be pronounced; (3)
long vowel /د:/, /З:/ were marked different with their first language.
Keywords: pronunciation, phonemes, long vowels, labiodental.
1 Hasil Penelitian, Tahun 2011
2 Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo
INTRODUCTION
The first way to practice a new language is
begun with how the sound of alphabets is
pronounced by the native speaker. Substantially
pronunciation related with the accuracy in order to
get the understanding in communication (Syafei,
1981).
For Indonesian curriculum, English course
recognized since junior high school commonly. In
fact, pronounce different language for students or
learners practically such as English is quite
difficult because of different phonemes system
with their first language (L1) (Sunendar and
Iskandarwassid, 2009).
In term of sociolinguistic study, Krashen
and Terrel (1984) argue the first language is often
referred the second language which is called as an
„interference‟ that is meant negative transfer.
However, the positive transfer will be realized by a
set of habit in learning (Skinner in Norish, 1983).
English phonetic symbol standard is IPA
with classified into:
a. Vowel phonetic symbol
Vowel theories are discussed by
Ladefoged (1997) classified vowels into three
place of articulation: front, middle, and back;
Grady et.al (1996) divided vowels into two types:
monopthongs (I, e, a:, etc) and dipthongs (ea, eI,
etc); Verhaar (1978) divided speech articulation
into long vowels and short vowels.
The transcription of vowel in IPA
(International English Alphabet) (Syafei in Anas,
1988: 11)
69
Figure 1 vowel transcription
front central back
i: u: high
I U
e ә mid
З
æ Λ a: low
b. Consonant phonetic symbol
The transcription of consonant in IPA
(Ladefoged, 1975: 33):
Procedure of CAH analysis by Withman (1970)
classified procedure into four steps: (1). Taking the
two languages, L1 and L2, and writing formal
description; (2). Picking form from the description
for contrast; (3). Making the contrast of the form
chosen; and, (4) making prediction of the difficulty
through the contrast. To describe the prediction
stage, Stockwell et.al (1965) propose a hierarchy
of difficulties based on the notion of the transfer
namely: + (for positive transfer), - (interference or
negative transfer), 0 (there is no relation of two
languages).
Research problem
1. How do the five participants pronounce
English long vowel ad labiodentals
phonemes?
2. What factors might influence
mispronunciation?
METHODOLOGY
The design of this research is descriptive
qualitative, which is meant the data is described
and analyzed based on the objective of real facts
(Moleong, 2006). In addition, this research is a
case study that is meant the researcher explore the
problem explicitly and elaborate some sources in
order to appear the evidences. The subject of this
research is the five participants which selected
through random purposively.
The data of this research is primary data
where the data get from the participants‟ recorded
pronunciation in form of transcript table phoneme
and tape recorder itself. The data then analyzed
through the procedure of case study approach in
qualitative design (Gay et.al, 2006): organizing,
coding, categorizing, elaborating, interpreting, and
reporting orderly.
In order to maintenance the credibility of
the research, the researcher used peer debriefing
technique by asking the judgment of participants‟
pronunciation that helped by Mrs. Margareth Neate
who is an Australian native speaker.
70
FINDING AND DISCUSSION
Table 4 transcript of mispronunciation evidences
Phonetic symbol Evidence Total of
mispronunciation
CAH analyses
Long vowels / /
(10 words)
Long vowel / /
(10 words)
Long vowel / /
(9 words)
Long vowel / /
(9 words)
Long vowel /u:/
(8 words)
Labiodentals / f /
(9 words)
Labiodentals / v /
(11 words)
/ I /
/ e /
/ e /
/ /
/ ә /
/ I /
/Ie /
/ e /
/ /
/ /
/ /
/ i: /
/ ea /
/ e /
/ /
/ /
/ ә /
/ /
/ /
/ ә /
-
/ f /
13
10
8
14
1
9
4
7
3
6
2
3
3
3
12
4
2
15
7
1
-
11
-
0
0
-
0
-
0
-
0
0
0
0
-
0
-
-
0
-
-
0
-
71
The analyses and category of difficulties as
follows:
1. Negative transfer „interference‟ occurred
in:
a. Long vowel / i: / changed to be / I /
b. Long vowel / a: / changed to be / Λ /
c. Long vowel / / changed to be / /
d. Long vowel / u: / changed to be / U /
e. Labiodentals / v / changed to be / f /
2. Error pronunciation occurred in :
a. Long vowel / a: / changed to be / e /
b. Long vowel / З: / changed to be / Λ /, /
U /, and / /
3. Hierarchal of difficulties:
a. Labiodental / f / is easier to be
pronounced by the participants
b. Long vowel / i: /, /a: /, and / u: / are
quite easy to be pronounced
c. Long vowel / З: / and / / are more
difficult to be pronounced
d. Labiodentals / v / totally pronounced
to be / f / phoneme.
Negative transfer of the participants
caused by some factors: (1). Short vowels
phonemes tend to be easier pronounced because of
the influence of alphabetic system of English; (2)
long vowels system of English is not found in their
L1; (3) the teachers did not have adequate
knowledge about phonology, in fact the participant
difficult to pronounce correctly because they have
not prior knowledge about it.
Error pronunciation of the participants
caused by some factors: (1). Phoneme / a: /
changed to be / e / might influence by the
alphabetic system of sound; (2). Long vowel / З: /
changed to be various phonemes were caused by
different phoneme system from their L1.
CONCLUSION
In conclusion, the result of this study
shows in long vowel phonemes /i:/, /u:/, /a:/ and
labiodentals /f/ were easier to be pronounced by
the participants. On the contrary, long vowels /د:/,
/З:/ and labiodental /v/ were difficult to be
pronounced; (3) long vowel /د:/, /З:/ were marked
different with their first language phonemes.
Stressing to recognize and teach different
phonemes of different languages in learning
process is important, because phonemes
interrelated with language meaning. By using
native cassette the participants would be familiar
with pronounce and distinguish each phoneme. In
addition mastery of phonology field for the teacher
is needed in order to decrease the mistakes or
errors pronunciation..
REFERENCES
Gay. RL, Mills Geofferey E, and Airisian Peter.
2006. Educational Research Competencies
Analyses and Application. (eight edition).
New Jersey: Merit Prentice Hall.
Grady, O.William, Michael dobrovolsky, and
Michael Katamba. 1996. Contemporary
Linguistic and Introduction. Third edition.
United Kingdom.
Iskandarwassid and Dadang Suhendar. 2009.
Strategi Pembelajaran Bahasa. Remaja
Rosdakarya:Bandung.
Krashen, D,Stephen and Tracy D Terrel. 1984. The
Natural Approach Language Acquisition in
the Classroom. Pergamon: San Fransisco.
Ladefoged, Peter. 1975. A course in Phonetics.
Harcourth Brace Jovanovich: Los Angeles.
Moleong, J.Lexy. 2006. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Stockwell.R. J. D. Bowell and J. W. Martin. 1965.
The Grammatical Structure of English and
Spanish. University of Chichago Press:
Chicago.
Syafei, Anas. 1988. English Pronunciation. Allin
Bacon.
Verhaar, MWJ. 1978. Pengantar Linguistik.
Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Whitman. R. 1970. “Contrastive Analyses:
Problem and Procedure”. Language
Learning. Vol.20.
72
STUDI TENTANG PELAKSANAAN BIMBINGAN KONSELING
DI SD NEGERI SE-KOTA KENDARI1
Oleh:
Sitti Rahmaniar Abubakar2
Abstrak: Kenyataan yang sering terjadi adalah bahwa di samping adanya siswa yang berhasil
dalam belajarnya, masih terdapat siswa yang memperoleh prestasi belajar yang kurang,
bahkan ada di antaranya yang tiidak berhasil dalam ujian. Ketidakberhasilan siswa juga tidak
semua disebabkan karena kurangnya kecerdasan, melainkan juga disebabkan karena
ketidakmampuannya mewujudkan kemapuan dan bakat yang dimiliki yang bersumber dari
adanya hambatan-hambatan atau masalah yang mereka hadapi. Siswa yang demikian tidak
dapat dibiarkan begitu saja, melainkan haruslah mendapat layanan bantuan agar dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sehingga prestasi belajar yang maksimal dapat
diraih. Sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami maslah-
maslah belajar, pribadi-sosial, dan karier. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan memberikan pelayanan bimbingan dan konseling.
Kata Kunci: bimbingan, konseling, bimbingan dan konseling,
1 Hasil Penelitian, Tahun 2011
2 Dosen Ilmu Pendidikan FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha yang paling
efektif dalam mencetak dan mengembangkan
sumber daya manusia sebagai subyek dan sekaligus
obyek pembangunan. Dalam upaya menghadapi
dampak arus globalisasi, melalui pendidikan,
peserta didik dibina untuk menjadi insane yang
tangguh, menjadi dirinya sendiri yaitu diri yang
mempunyai potensi yang luar biasa. Melalui
kurikulum yang inovatif, peserta didik diarahkan
untuk menjadi manusia yang berkualitas, yang
mampu menghadapi tantangan dan perubahan
jaman.
Sekolah sebagai lingkungan pendidikan
formal memiliki tugas pokok untuk menyiapkan
peserta didik agar dapat mencapai
perkembangannya secara optimal. Seorang siswa
dikatakan telah mencapai perkembangan optimal
apabila telah mencapai prestasi belajar yang sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuan yang
dimilikinya.
Kedudukan Bimbingan Konseling di Sekolah
Dasar
Darwis (2005: 24) mengemukakan bahwa
kegiatan pendidikan di sekolah meliputi tiga
bidang yakni:
a. Bidang instruksional dan kurikuler, yang
bertanggung jawab dalam kegiatan pengajaran
yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Pada umumnya bidang
ini merupakan pusat kegiatan pendidikan yang
menjadi tugas dan tanggung jawab utama guru.
b. Bidang administratif dan kepemimpinan,
mencakup kegiatan perencanaan, organisasi,
pembiayaan, pembagian tugas staf personalia,
perlengkapan (material), dan pengawasan
(supervisi). Pada umumnya merupakan tugass
dan tanggung jawab kepala sekolah dan petugas
administratif lainnya.
c. Bidang pembinaan siswa, dengan tanggung
jawab untuk memberikan pelayanan agar siswa
memperoleh kesejahteraan llahir bathin dalam
proses pendidikan yang ditempuhnya. Bidang
ini akan terasa penting sekali, sebab proses
73
belajar hanya akan berhasil apabila siswa
berada dalam suasana yang sejahtera, sehat, dan
dalam tahap perkembangan yang optimal.
Suatu kegiatan pendidikan yang baik dan
ideal hendaknya mencakup ketiga bidang kegiatan
tersebut. Pendidikan yang hanya menjalankan
program kegiatan pengajaran dan administratif saja
tanpa memperhatikan pembinaan siswa mungkin
hanya akan menghasilkan individu yang cakap dan
bercita-cita tinggi, tetapi kurang mampu dalam
memahami kemampuan atau potensi dirinya.
Disinilah terasa perlunya program bimbingan dan
konseling yang akan memusatkan diri dalam
membantu siswa secara pribadi agar mereka dapat
berhasil dalam proses pendidikannya.
Keberadaan program layanan bimbingan
dan konseling di SD terkait erat dengan sistem
pendidikan dasar 9 tahun, di mana Sekolah Dasar
merupakan penggalan dari system pendidikan
dasar 9 tahun, yang membawa konsekuensi kepada
wajib belajar sampai dengan usia sekolah lanjutan
tingkat pertama. Dan untuk SD mempunyai
kewajiban menyiapkan para lulusannya untuk
memasuki pendidikan tingkat lanjutan yaitu SMP.
Untuk pelaksanaan program bimbingan
dan konseling di Sekolah Dasar pada saat ini,
dengan memperhatikan karakteristik dan
kebutuhan siswa serta sistem penyelenggaraan
pendidikan di SD yang ditangani oleh guru kelas,
maka layanan bimbingan dan konseling di SD
dalam banyak hal masih akan lebih efektif
dilaksanakan secara terpadu dengan proses
pembelajaran dan ditangani oleh guru kelas
(Kartadinata, 1999).
Tugas guru dalam penyelenggaraan
pendidikan di SD tidak hanya mengantar siswanya
untuk tamat belajar, melainkan harus membantu
mengembangkan kesiapan baik dalam segi
akademik, sosial maupun pribadi untuk memasuki
proses pendidikan selanjutnya. Dengan demikian,
di dalam tugas guru sebagai pengajar, melekat pula
tugas untuk membantu siswa mengembangkan
kesiapan dan penyesuaian diri terhadap program
sekolah. Ini berarti guru SD memegang peran
kunci di dalam pelaksanaan bimbingan dan
konseling.
Prinsip-prinsip Pelaksanaan Bimbingan
Konseling di SD
Natawidjaya (1992) mengemukakan bahwa
pelayanan bimbingan konseling di SD hendaknya
dilaksanakan menurut prinsi-prinsip tertentu.
Pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar
bimbingan konseling sangat penting dalam
kaitannya dengan penerapan di lapangan.
(1) Prinsip-prinsip Umum Bimbingan Konseling
a. Karena bimbingan itu berhubungan dengan
sikap dan perilaku individu, perlu diingat
bahwa sikap dan perilaku individu itu
terbentuk dari segala aspek kepribadian
yang unik.
b. Perlu dikenal dan dipahami perbedaan-
perbedaan individual dari individu yang
dibimbing agar dapat memberikan
bimbingan yang tepat.
c. Bimbingan harus terpusat pada individu
yang dibimbing.
d. Bimbingan diarahkan supaya individu
yang bersangkutan mampu menolong
dirinya sendiri dalam menghadapi
kesulitan-kesulitannya.
e. Masalah-masalah yang tidak dapat
diselesaikan di sekolah harus dialihkan
kepada individu atau lembaga yang mampu
dan berwenang melakukannya.
f. Bimbingan harus dimulai dengan
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
individu yang dibimbing.
g. Bimbingan harus fleksibel sesuai dengan
kebutuhan individu dan masyarakat.
h. Program bimbingan harus sesuai dengan
program pendidikan sekolah yang
bersangkutan.
i. Pelaksanaan program harus dipimpin oleh
seorang petugas yang memiliki keahlian
dalam bidang bimbingan dan konseling,
dan sanggup bekerja sama dengan
anggotanya dan staf sekolah lainnya, serta
bersedia mempergunakan sumber-sumber
yang berguna di luar sekolah.
j. Program bimbingan harus mengadakan
penilaian secara berkala untuk mengetahui
tingkat kemajuan individu yang dibimbing,
serta penyesuaian antara pelaksanaan
dengan rencana yang telah dirumuskan
terdahulu.
74
(2) Prinsip-prinsip Khusus Bimbingan Konseling
a. Bimbingan adalah untuk semua siswa.
Untuk itu perlu adanya kriteria untuk
mengatur prioritas pelayanan bimbingan
konseling kepada seluruh siswa.
b. Bimbingan dan konseling melayani siswa
dari semua jenjang pendidikan mulai dari
Taman Kanak-kanak sampai perguruan
tinggi.
c. Bimbingan konseling harus mencakup
semua bidang pertumbuhan dan
perkembangan jasmaniah, mental, sosial
dan emosional.
d. Keterlibatan yang berkesinambungan
memungkinkan siswa dapat meningkatkan
pemahaman tentang dirinya, dan pada
gilirannya dapat diterapkan dalam
pengembangan kemampuan dan bakat
yang dimilikinya.
e. Pelaksanaan bimbingan konseling
menghendaki adanya kerja sama dari
siswa, orang tua, kepala sekolah dan
konselor.
f. Bimbingan harus menjadi bagian yang
terpadu dalam keseluruhan program
pendidikan di sekolah.
g. Bimbingan konseling harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada individu
yang dibimbing dan kepada masyarakat.
(3) Prinsip-prinsip yang Berhubungan dengan
Individu yang dibimbing
a. Pelayanan bimbingan harus diberikan
kepada semua siswa
b. Harus ada kriteria untuk mengatur prioritas
layanan bimbingan.
c. Program bimbingan harus berpusat pada
siswa.
d. Pelayanan bimbingan harus dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu
secara beragam dan luas.
e. Keputusan terakhir dalam proses
bimbingan ditentukan oleh individu yang
dibimbing.
f. Individu yang telah mendapat bimbingan
harus secara bertahap dapat membimbing
dirinya sendiri.
(4) Prinsip-prinsip yang Berhubungan dengan
Organisasi dan Administrasi Bimbingan
Konseling di Sekolah
a. Bimbingan konseling harus dilaksanakan
secara terus menerus.
b. Harus tersedia kartu pribadi bagi setiap
individu yang dibimbing.
c. Harus disusun sesuai dengan kebutuhan
sekolah yang bersangkutan.
d. Dilaksanakan dalam situasi individual dan
dalam situasi kelompok, sesuai dengan
masalah dan metode yang dipergunakan
dalam pemecahan masalah itu.
e. Sekolah harus bekerja sama dengan
lembaga-lembaga lain yang
menyelenggarakan pelayanan bimbingan
dan konseling pada umumnya.
f. Kepala sekolah memegang tanggung jawab
tertinggi dalam pelaksanaan dan
perencanaan program bimbingan konseling
di sekolah.
Peranan Guru dalam Layanan Bimbingan
Konseling di SD
Peranan guru dalam layanan bimbingan di
sekolah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tugas
dalam layanan bimbingan di dalam kelas dan tugas
dalam layanan bimbingan di luar kelas.
Perilaku guru dapat mempengaruhi
keberhasilan belajar, misalnya guru yang bersifat
otoriter akan menimbulkan suasana tegang,
hubungan guru dengan siswa menjadi kaku,
keterbukaan siswa untuk mengemukakan kesulitan-
kesulitannya menjadi terbatas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
guru dalam proses belajar mengajar sehubungan
dengan fungsi sebagai pembimbing di dalam kelas,
antara lain:
a. Menyediakan kondisi-kondisi yang
memungkinkan setiap siswa merasa aman,
mendapat perhatian dan penghargaan.
b. Mengusahakan agar siswa dapat
memahami dirinya, kecakapan-kecakapan,
sikap, minat dan pembawaannya.
c. Mengembangkan sikap-sikap dasar bagi
tingkah laku sosial yang baik.
d. Menyediakan kondisi dan kesempatan bagi
siswa berupa fasilitas waktu, alat atau
tempat bagi siswa untuk mengembangkan
kemampuannya.
75
e. Membantu memilih jabatan yang cocok
sesuai dengan bakat, kemampuan dan
minatnya.
Di samping tugas-tugas tersebut, guru juga
dapat melakukan tugas-tugas bimbingan dalam
proses pembelajaran, sebagai berikut:
a. Melaksanakan kegiatan diagnostik, dengan
cara: menandai siswa yang diperkirakan
mengalami masalah dengan jalan melihat
prestasi belajar yang paling rendah atau
berada di bawah nilai rata-rata kelasnya;
mengidentifikasikan mata pelajaran di
mana siswa mendapat nilai rendah;
menelusuri bidang/bagian mana sebagai
sumber penyebab kesulitan belajar; serta
melaksanakan tindak lanjut.
b. Guru dapat memberikan bantuan sesuai
dengan kemampuan dan kewenangannya
kepada siswa dalam memecahkan masalah
pribadi. Masalah yang belum terpecahkan
dan berada di luar batas kewenangan guru
dapat dialihtangankan kepada konselor
atau ahli lain yang berkompeten.
Adapun tugas bimbingan yang
dilaksanakan oleh guru di luar kelas,
adalah:
a. Memberikan pengajaran perbaikan
(remedial teaching)
b. Memberikan pengayaan (enrichment
teaching)
c. Melakukan kunjungan rumah (home visit)
d. Menyelenggarakan kelompok belajar.
Tahap-Tahap Penyusunan Program Bimbingan
dan Konseling
Daruma (2005: 10) menuliskan tahap-
tahap penyusunan program bimbingan dan
konseling terbagi atas empat tahap, yaitu
perencanaan program (planning), penyusunan
program (designing), pelaksanaan program
(implementing), dan penilaian program
(evaluating). Ke empat langkah tersebut saling
terkait satu sama lainnya dalam hubungan yang
hirarkis.
1. Tahap Perencanaan Program (planning)
Pada tahap ini, kegiatan yang perlu dikerjakan oleh
pengembang program adalah:
a. Meneliti kebutuhan-kebutuhan murid
b. Mengklasifikasi tujuan-tujuan yang ingin
dicapai
c. Membuat batasan jenis program yang akan
dibuat
d. Meneliti jenis-jenis program yang sudah
ada
e. Mengupayakan dukungan dan kerjasama
dari staf sekolah, orang tua murid, dan
masyarakat
f. Menentukan prioritas program.
2. Tahap Penyusunan Program (designing)
Pada tahap ini kegiatan yang perlu dilakukan
adalah:
a. Merumuskan tujuan-tujuan program secara
operasional dalam bentuk kegiatan-
kegiatan yang dapat diukur hasilnya
b. Memilih strategi pelaksanaan program
yang sesuai dengan kondisi dan situasi
sekolah
c. Menjabarkan komponen-komponen
program
d. Menganalisis kemampuan staf sekolah
e. Mengadakan peningkatan kemampuan dan
pengembangan staf pelaksana program.
3. Tahap Pelaksanaan (implementing)
Pada tahap ini, kegiatan yang perlu dilakukan
adalah:
a. Mengidentifikasi sumber-sumber yang
meliputi manusia, sarana, prasarana dan
waktu
b. Membuat instrument pengukuran
keberhasilan pelaksanaan program
c. Melakksanakan program dan
menyesuaikan program dengan
pelaksanaan program sekolah-sekolah yang
lain
d. Mengadakan perubahan atau perbaikan
program berdasarkan hasil penilaian yang
dilakukan.
4. Tahap Penilaian Program (evaluating)
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah:
a. Menentukan komponen-komponen
program yang akan dinilai
76
b. Memilih model penilaian program yang
akan dinilai
c. Memilih instrument penilaian
d. Menentukan prosedur pengumpulan data
e. Menciptakan system monitoring
pelaksanaan program
f. Menyajikan data, analisis dan laporan hasil
penilaian.
Kriteria Keberhasilan Layanan Bimbingan dan
Konseling
Erman Amti dan Marjohan (1993)
mengemukakan bahwa untuk mengetahui sejauh
mana tujuan-tujuan program layanan telah tercapai,
perlu ditetapkan kriteria yang menjadi tolak ukur
keberhasilan program layanan bimbingan
konseling di sekolah, antara lain:
1. Semakin banyak siswa yang berhasil
dengan baik dalam belajar
2. Sebagian besar siswa dapat menyesuaikan
diri secara baik dengan tuntutan-tuntutan
sekolah, dengan teman-temannya, dan
dengan lingkungannya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
September 2011 di Kota Kendari, dengan populasi
seluruh SD Negeri yang ada di Kota Kendari.
Adapun teknik penarikan sampel dilakukan dengan
cara purposive sampling, yaitu dengan memilih
sekolah yang terjangkau oleh peneliti dan dianggap
dapat mewakili populasi yang ada.
Adapun sekolah yang menjadi sampel adalah
sebagai berikut:
1. SD Negeri 2 Baruga, alamat Jl. MT.
Haryono, Wua-wua
2. SD Negeri 3 Baruga, alamat Jl. MT.
Haryono, Wua-wua
3. SD Negeri 13 Baruga, alamat Jl. Sao-Sao
4. SD Negeri 8 Mandonga, Kecamatan
Mandonga
5. SD Negeri 8 Kendari Barat
Data dikumpulkan dengan cara observasi
dan dokumentasi. Observasi dilakukan untuk
memperoleh data tentang keadaan sarana dan
prasarana serta kelengkapan administrasi lainnya
yang menjadi penunjang kegiatan layanan
bimbingan konseling di SD Negeri yang menjadi
sampel penelitian. Dokumentasi dilakukan untuk
memperoleh beberapa dokumen yang menjadi
program dan sasaran serta hasil pencapaian
layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Data
yang telah diperoleh dianalisis dengan teknik
content analisis, selanjutnya ditarik kesimpulan
penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Adapun hasil penelitian adalah bahwa
pada umumnya kegiatan pelayanan bimbingan
konseling di SD Negeri di Kota kendari, ditinjau
dari aspek persyaratan pokok program bimbingan
dan konseling, belum memenuhi beberapa
persyaratan, di antaranya:
a. Personil
Dalam pelaksanaan program bimbingan,
belum adanya personil atau tenaga pelaksana yang
meliputi tenaga konselor, semi professional, yaitu
guru pembimbing, dan tenaga non professional
yaitu tenaga administrasi bimbingan. Tenaga yang
memenuhi kualifikasi tersebut belum ada di
sekolah.
b. Fasilitas Fisik
Fasilitas fisik adalah perlengkapan yang
diperlukan untuk melaksanakan program
bimbingan dan konseling di sekolah, yang meliputi
ruang bimbingan dan konseling. Hal ini belum
tersedia di sekolah, dengan demikian perlengkapan
ruangan berupa meja, kursi, tempat penyimpanan
data, dan papan pengumuman juga belum tersedia
secara memadai.
c. Fasilitas Teknis
Fasilitas teknis adalah alat-alat untuk
menunjang terlaksananya program bimbingan dan
konseling yang meliputi alat pengumpul data
seperti: tes, angket, pedoman observasi, pedoman
wawancara, daftar cek masalah murid, dan data
murid, misalnya daftar pribadi, dan sebagainya.
Adapun fasilitas teknis yang tersedia di SD Negeri
yang dijadikan sampel penelitian adalah berupa
data murid yang didokumentasikan dalam data
pribadi siswa dalam sebuah dokumen, sedangkan
fasilitas teknis lainnya belum memadai.
77
d. Anggaran Biaya
Anggaran pos-pos pembiayaan personil,
pengadaan dan pengembangan alat-alat teknis,
biaya operasional pelayanan, misalnya untuk
kunjungan rumah, tes psikologis dan biaya
penelitian untuk pengembangan program, pada
umumnya belum diporsikan secara khusus di
sekolah. Biasanya sekolah menetapkan pos
anggaran untuk bimbingan konseling terpadu
dengan penetapan biaya operasional sekolah, tetapi
secara khusus untuk biaya kunjungan rumah, tes
psikologi dan penelitian belum ada.
e. Kebijaksanaan yang Menunjang
Pada umumnya sekolah yang dijadikan
sampel penelitian sudah mulai memperhatikan
usaha untuk menciptakan iklim yang
menguntungkan bagi terlaksananya program
bimbingan dan konseling. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya kebijaksanaan atau system yang
menunjang program bimbingan dan konseling di
sekolah masing-masing.
PEMBAHASAN
Keberadaan bidang layanan bimbingan dan
konseling di sekolah, khususnya di SD negeri di
Kota Kendari sangat diperlukan, mengingat di SD
mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya
dalam usaha mendewasakan individu dan
menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang
berguna.
Natawidjaja (1992) menghimpun sejumlah
persoalan pokok yang berkenaan dengan
keterbatasan guru dalam melaksanakan bimbingan
di sekolah, sebagai berikut:
1. Guru mempunyai waktu yang terbatas untuk
melaksanakan bimbingan. Sehari-hari guru
mempunyai banyak tugas rutin yang harus
dilakukan. Dengan menerima tugas
bimbingan, guru seolah-olah mendapat
pekerjaan yang berlipat dua, apabila upaya
bimbingan itu dilakukan terpisah dengan
kegiatan pembelajaran.
2. Guru kurang mendapat latihan dan
pengalaman untuk melakukan bimbingan.
Akan tetapi sebenarnya guru tidak diberi
beban untuk member bimbingan dalam arti
lengkap seperti yang dilakukan oleh konselor.
3. Guru kurang memiliki kepribadian yang cocok
untuk melakukan pekerjaan bimbingan.
Sesungguhnya pernyataan ini menyesatkan,
karena apabila guru tidak memiliki
kepribadian yang dibutuhkan untuk
melakukan tugas bimbingan secara efektif,
maka guru demikian juga tidak akan dapat
mengajar secara efektif.
4. Guru kurang luwes untuk mengatur jadwal
kegiatan untuk melaksanakan tugas bimbingan
yang terpisah dari bagian pengajaran di kelas.
Di pihak lain, apabila penanganan masalah
yang terjadi di kelas ditangguhkan, maka
sangat mungkin siswa akan ketinggalan dalam
pengentasan masalahnya.
5. Dalam melaksanakan tugas pengajaran, guru
seringkali dihadapkan pada situasi yang
menurutnya untuk memberikan layanan
bimbingan. Dalam hal ini, dikarenakan adanya
perbedaan yang mendasar antara proses
pembelajaran dengan pelayanan bimbingan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan layanan bimbingan
konseling di SD Negeri di Kota Kendari belum
memenuhi persyaratan pokok pelaksanaan kegiatan
layanan yang berupa personil, fasilitas fisik,
fasilitas teknis, anggaran biaya, dan kebijaksanaan
yang menunjang. Meskipun demikian, sudah ada
usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak sekolah
untuk menuju kea rah perbaikan dan penciptaan
iklim yang memungkinkan bagi pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling yang lebih
efektif dan efisien.
Saran
Adapun saran yang dapat dikemukakan
adalah sebagai berikut:
1) Kepada Dinas Pendidikan Nasional Kota
kendari, hendaknya senantiasa
memberikan pembinaan kepada sekolah,
khususnya pihak SD Negeri di Kota
Kendari agar dapat memberikan porsi yang
memadai untuk kegiatan bimbingan dan
78
konseling dalam penyusunan program
sekolah.
2) Kepada pihak sekolah agar dapat
melakukan perencanaan, penyusunan
program, pelaksanaan, dan penilaian
secara berkala dalam kegiatan layanan
bimbingan dan konseling demi
peningkatan kualitas pendidikan.
3) Kepada seluruh praktisi dan pemerhati
pendidikan agar menyadari peran penting
kegiatan bimbingan konseling di sekolah
untuk menunjang prestasi belajar peserta
didik, sehingga dapat tercapai tujuan
institusional/kelembagaan yang selaras
dengan tujuan pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Daruma, Abdul razak. 2005. Program Organisasi
dan Administasi Bimbingan dan
konseling. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional. Pusat Teknologi
Komunikasi dan Informasi
Pendidikan
Darwis, Abu. 2005. Konsep Dasar Bimbingan dan
Konseling. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional. Pusat Teknologi
Komunikasi dan Informasi Pendidikan.
Erman, Amti dan Marjohan. 1992. Bimbingan dan
Konseling. Jakarta: Depdikbud. Dirjen
Dikti. Proyek Pembinaan Tenaga
Kependidikan.
Kartadinata, S. 1999. Bimbingan di Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti.
Natawidjaya, Rochman dan Moh Surya. 1992.
Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan.
Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti.
79
HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DAN ORIENTASI
TUJUAN BELAJAR DENGAN PERILAKU MENYONTEK1
Oleh :
Waode Suarni2
Abstrak. Menyontek di kalangan siswa telah menjadi isu penting selama ini. Namun demikian,
baru sedikit penelitian tentang hal ini dilakukan di Indonesia, khususnya menyontek pada
mahasiswa. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji hubungan antara motvasi berprestasi,
orientasi tujuan belajar, dan perilakukan menyontek pada mahasiswa. Dengan menggunakan
sampel 67 mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, temuan utama penelitian ini
adalah: 1) motivasi berprestasi tidak berhubungan dengan perilaku menyontek; 2) orientasi
performance goals berhubungan dengan perilaku menyontek; dan 3) orientasi mastery goals
berhubungan secara negatif dengan perilaku menyontek. Hasil kedua sejalan dengan penelitian-
penelitian sebelumnya, namun hasil pertama dan ketiga tidak konsisten dengan penelitian-
penelitian yang pernah dilakukan. Keterbatasan utama penelitian ini adalah kecilnya jumlah
sampel sehingga penelitian selanjutnya perlu memperhatikan kelemahan ini dan juga
keterbatasan dari pengukuran menggunakan teknik persepsi laporan-diri yang digunakan dalam
penelitian ini.
Kata kunci: motivasi berprestasi, orientasi performance goals, orientasi mastery goals
orientation, perilaku menyontek
1 Ringkasan Hasil Penelitian, Tahun 2011
2 Dosen Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Unhalu
LATAR BELAKANG
Menyontek di dalam dunia pendidikan telah
merupakan salah satu masalah yang mendapatkan
perhatian sejak dahulu. Sejumlah penelitian
(Bracey, 2005; Genereux & McLeod, 1995;
Klausmeier,1985; Newstead, 1996; Sadili, 1993)
telah dilakukan untuk mencoba memahami sebab,
predisposisi, dan korelat-korelatnya. Namun,
hingga saat ini fenomena ini masih terus
berlangsung. Bahkan, kemajuan teknologi
informasi telah menciptakan pula sejumlah moda
baru tindakan menyontek dan bentuk ketidak-
jujuran akademik lainnya, seperti menyontek lewat
pesan singkat (SMS) di telepon genggam dan copy
and paste tanpa mencatumkam sumber yang
dirujuk yang dilakukan dalam penulisan tugas.
Perilaku menyontek tidak saja merugikan
siswa pelakunya sebab secara perlahan mereka
mengalami pengikisan moral, namun juga sangat
merugikan sistem pendidikan pada umumnya.
Tujuan evaluasi belajar menjadi tidak dapat
diandalkan sebab didasarkan pada informasi yang
tidak sahih. Kondisi seperti ini memerlukan upaya
penelitian lebih lanjut untuk dapat membangun
pemahaman yang lebih baik agar penanganan
masalah ini dapat lebih efektif.
Penelitian Schab (dalam Woolfolk, 2009)
mengungkap tiga sebab siswa menyontek, yaitu
karena terlalu malas belajar, takut gagal, dan
adanya tekanan dari orang tua untuk mendapatkan
nilai yang baik. Newstead, dkk (1996) juga
menemukan bahwa takut gagal membuat
mahasiswa menyontek. Dari kedua penelitian itu
dapat disimpulkan bahwa takut gagal merupakan
sebab menyontek. Menurut Woolfolk (2009), siswa
yang kurang mempunyai rasa takut gagal memiliki
motivasi berprestasi yang tinggi. Bowers, dan juga
Hainess, dkk (dalam Newstead, 1996) juga
menemukan bahwa indeks prestasi berkorelasi
80
negatif dengan jumlah insiden menyontek.
Perolehan nilai yang baik tersebut dianggap
berhubungan dengan motivasi sehingga dapat
dikatakan bahwa siswa yang mempunyai motivasi
berprestasi yang tinggi cenderung tidak melakukan
tindakan menyontek. Akan tetapi, ada bukti-bukti
yang menunjukkan simpulan berbeda. Bracey
(2005) menemukan bahwa siswa yang mempunyai
motivasi berprestasi yang tinggi akan lebih
mungkin menyontek dari pada mereka yang
motivasi berprestasinya rendah. Hal ini sejalan
dengan pembagian perilaku manusia ke dalam dua
tipe, yaitu tipe A dan tipe B. Menurut Friedman &
Rosenman (dalam Morgan, 1990), orang tipe A
menyukai kompetisi dan dalam melakukan suatu
pekerjaan mereka cenderung berusaha keras
melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan
mereka. Mereka juga memiliki dorongan yang kuat
untuk mencapai prestasi maksimal sehingga dapat
dikatakan bahwa mereka mempunyai motivasi
berprestasi yang tinggi.
Perbedaan pandangan tentang pengaruh
motivasi berprestasi terhadap tindakan menyontek
ini memerlukan adanya upaya penelitian lebih
lanjut tentang hubungan keduanya. Motivasi
berprestasi terkait erat dengan orientasi tujuan
belajar (Gage & Berliner, 1992), yakni keinginan
untuk mencapai sesuatu, untuk mencapai standar
keunggulan, dan berusaha untuk tampil unggul
(Santrock, 1996). Siswa yang mempunyai
motivasi berprestasi yang tinggi biasanya memiliki
learning goals, yakni menekankan pentingnya
mendapatkan pengetahuan dan pengembangan diri.
Sedang siswa yang yang mempunyai motivasi
berprestasi rendah cenderung memiliki
performance goals, yakni lebih menekankan pada
pemerolehan pengakuan dari orang lain dan
mendapatkan nilai yang baik (Slavin, 1994). Siswa
yang memiliki orientasi learning goals menurut
Newstead, dkk (1996) lebih kurang
kemungkinannya untuk melakukan perilaku
menyontek karena mereka cenderung bertahan
lama dalam tugas-tugas yang menantang dan
berusaha untuk menyelesaikannya. Berdasarkan
pemahaman ini diduga bahwa perilaku menyontek
terkait dengan orientasi performance goals.
Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan antara
perilaku menyontek dengan motivasi berprestasi,
khususnya dengan orientasi tujuan belajar dengan
rumusan masalah: 1) apakah ada hubungan antara
motivasi berprestasi dengan perilaku menyontek
mahasiswa? 2) apakah ada hubungan antara
mastery (learning) goals dengan perilaku
menyontek mahasiswa? dan 3) apakah ada
hubungan antara performance goals dengan
perilaku menyontek mahasiswa?
METODE
Subyek
Penelitian ini melibatkan 67 subyek
mahasiswa dari 4 program studi di FKIP
Universitas Haluoleo yang diambil secara acak.
Instrumen Penelitian
Semua data penelitian diperoleh melalui
teknik pelaporan-diri dengan menggunakan 3
kuesioner, yakni kuesioner motivasi berprestasi,
kuesioner orientasi achievement goals, dan
kuesioner perilaku menyontek. Kuesioner motivasi
berprestasi adalah hasil adaptasi dari skala Sukadji
(1992) yang terdiri dari 19 butir dengan 5 pilihan
yaitu Sangat Setuju (skor 5) sampai Sangat Tidak
Setuju (skor 1). Kuesioner orientasi achievement
goals adalah skala yang dikembangkan oleh Ames
dan Archer (1984) yang terdiri dari 34 butir, 19
butir berkenaan dengan mastery goals dan 15 butir
bekenaan dengan performance goals. Sementara
kuesioner perilaku menyontek adalah hasil adaptasi
dari Sadili (1993) dengan menambahkan 3 butir
baru sehingga menjadi 22 butir pernyataan. Hasil
uji instrumen ini menunjukkan α=0,88.
HASIL PENELITIAN
Lebih separuh (51%) dari subyek
menunjukkan motivasi berprestasi sedang dan 16%
bermotivasi tinggi, sementara sisanya tergolong
rendah. Dalam hal orientasi tujuan belajar, 66%
subyek menunjukkan performance goals dan
sisanya mastery goals. Sementara terkait dengan
perilaku menyontek, 42% mengaku jarang
menyontek - tapi pernah melakukannya - 24%
menyatakan cukup sering menyontek, dan sisanya
34% mengaku tidak pernah menyontek.
Hasil uji normalitas data motivasi
berprestasi, orientasi tujuan belajar, dan perilaku
menyontek dengan chi-square menunjukkan
adanya distribusi normal (berturut-turut X2
hitung
81
11,42; 14,58; 9,81 yang semuanya lebih kecil dari
X2tabel 0,05 = 43,773).
Uji korelasi antara motivasi berprestasi
dengan perilaku menyontek menghasilkan nilai r
=0,093 (rendah) yang tidak signifikan (α=0,05;
N=67; r=0,235). Ini menunjukkan bahwa motivasi
berprestasi tidak berhubungan secara signifikan
dengan perilaku menyontek subyek penelitian ini.
Namun, hasil uji korelasi antara orientasi tujuan
belajar performance goals dengan perilaku
menyontek menunjukkan nilai r = 0,463 (korelasi
sedang). Korelasi ini signifikan (α = 0,05; N= 67 r
= 0,235). Ini menunjukkan adanya hubungan antara
orientasi tujuan belajar yang performance goals
dengan perilaku menyontek. Sementara itu,
korelasi antara orientasi mastery goals dengan
perilaku menyontek menunjukkan koefisien r = -
0,147 (korelasi negatif rendah). Korelasi ini juga
signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan negatif antara orientasi mastery goals
dengan perilaku menyontek. Semakin tinggi skor
orientasi mastery goals semakin rendah skor
perilaku menyontek.
PEMBAHASAN
Dalam penelitian korelasional dengan
subyek mahasiswa ini ditemukan bahwa motivasi
berprestasi tidak berhubungan dengan perilaku
menyontek. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
Hainess dkk (dalam Newstead, 1996) bahwa
indeks prestasi berkorelasi negatif dengan jumlah
insiden menyontek dengan anggapan bahwa indeks
prestasi berhubungan dengan motivas berprestasi.
Asumsi ini boleh jadi tidak menggambarkan
keadaan sesungguhnya sebab terdapat sejumlah
determinan kuat lain dari prestasi akademik, selain
faktor motivasi. Hasil penelitian ini juga berbeda
dengan temuan Bracey (2005) bahwa siswa dengan
motivasi berprestasi yang tinggi lebih mungkin
menyontek. Sedikitnya ada dua eksplanasi terkait
dengan perbedaan hasil penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Pertama terkait
dengan metodologi yakni karakteristik sampel
yang berbeda – siswa sekolah menengah dan
mahasiswa - dan jumlah subyek yang lebih sedikit.
Kedua, konstruk motivasi berprestasi dan perilaku
menyontek yang digunakan berbeda sehingga alat
ukur yang digunakanpun berbeda. Namun,
keberbedaan hasil penelitian ini memerlukan lagi
penelitian lebih lanjut.
Orientasi tujuan belajar subyek umumnya
adalah untuk performance. Mereka cenderung
memaknai kesuksesan sebagai mandapatkan nilai
yang tinggi secara normatif, alih-alih pada
perbaikan atau pengembangan diri. Yang dianggap
bernilai oleh mereka bukan proses belajar
melainkan kemampuan untuk berprestasi.
Penekanan mereka cenderung pada hasil yang lebih
baik, bukan pada proses, sebagaimana yang
ditekankan oleh mereka yang dengan orientasi
mastery goals. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara orientasi performance
goals dengan perilaku menyontek. Ini
menunjukkan bahwa subyek yang menekankan
pada perolehan nilai yang tinggi atau prestasi lebih
mungkin untuk melakukan tindakan menyontek.
Hal ini sejalan dengan sejumlah hasil penelitian
sebelumnya (Anderman dkk, 1998; Newstead dkk,
1996) yang menunjukkan adanya korelasi yang
positif antara tujuan yang bersifat performance dan
motivasi ekstrinsik dengan jumlah insiden perilaku
menyontek di kalangan siswa sekolah menengah
pertama. Jordan (2001) juga menemukan bahwa
siswa-siswa yang menyontek selain karakteristik
motivasionalnya cenderung ekstrinsik, orientasi
belajar mereka juga umumnya bersifat
performance. Dorongan untuk berhasil, takut
gagal, dtekanan dari lingkungan, dan sistem
pendidikan yang menekankan pada hasil boleh jadi
merupakan faktor-faktor preseden yang perlu
diteliti lebih lanjut.
Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa
orientasi mastery goals berkorelasi negatif dengan
perilaku menyontek. Ini mengindikasikan bahwa
semakin orientasi tujuan belajar mahasiswa
bersifat mastery goals maka perilaku perilaku
menyontek di kalangan mereka semakin kurang.
Dengan kata lain, orientasi belajar yang mastery
berkorelasi dengan perilaku tidak menyontek. Hasil
ini konsisten dengan temuan Anderman dkk (1998)
dan Jordan (2001) yang menunjukkan bahwa siswa
yang orientasi tujuan belajarnya lebih pada
mastery mempunyai kecenderungan menyontek
yang lebih rendah. Mereka lebih mengutamakan
proses belajar, alih-alih pada perolehan hasil. Hasil
ini juga sejalan dengan temuan Newstead, dkk
(1966) yang menunjukkan bahwa siswa yang
orientasi tujuan belajarnya tergolong learning atau
82
mastery lebih kurang kemungkinannya untuk
melakukan perilaku menyontek karena mereka
cenderung bertahan lama dalam tugas-tugas yang
menantang dan berusaha untuk menyelesaikannya.
Namun demikian, hasil ini bertentangan dangan
hasil penelitian Elliot dan Dweck (1988) yang
menunjukkan bahwa orang dengan performance
goals akan berusaha untuk mempertahankan
penilaian positif mengenai kemampuan mereka dan
menghindari penilaian negatif dengan mencoba
untuk mensahkan atau membuktikan kebenaran
akan kemampuannya dan tidak mencemarkannya
(Elliot & Dweck, 1988). Elliot dan Dweck
berasumsi bahwa termasuk dalam usaha
mempertahankan penilaian positif dan tidak
mencemarkan kebenaran kemampuan ini adalah
dengan tidak melakukan perbuatan menyontek.
Akan tetapi, asumsi ini tidak terbukti dalam
penelitian ini. Meskipun mahasiswa ingin
mempertahankan citra dirinya secara normatif,
tetapi ketakutan akan kegagalan yang
mencemaskan diduga memicu perbuatan
menyontek. Alasan di baliknya mungkin adalah
dorongan untuk mendapatkan hasil yang tinggi dan
untuk mempertahankan citra, dan alasan-alasan
lainnya seperti memenangkan persaingan yang
ketat, atau “karena semua orang melakukannya”.
Dari penelitian ini juga terungkap adanya
propensitas berperilaku menyontek yang cukup
mengkhawatirkan di kalangan mahasiswa. 34%
subyek menyatakan tidak pernah menyontek. Itu
berarti 66% sisanya pernah menyontek. Prevalensi
yang mungkin merupakan fenomena gunung es ini
membenarkan hasil-hasil penelitian dan survei
lainnya yang telah dilakukan oleh para ahli di
sejumlah negara selama 3 dekade terakhir ini,
seperti Jordan (2001), Murdock dan Anderman
(2006) yang menunjukkan tingginya insiden
menyontek baik di kalangan siswa maupun
mahasiswa. Bahkan Bracey (2005) menganggap
perilaku menyontek ini sebagai masalah nasional
di Amerika Serikat.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Tiga temuan utama penelitian ini adalah: 1)
motivasi berprestasi tidak berhubungan dengan
perilaku menyontek; 2) orientasi performance
goals berhubungan dengan perilaku menyontek;
dan 3) orientasi mastery goals berhubungan secara
negatif dengan perilaku menyontek.
Kesimpulan penelitian ini mempunyai
implikasi praktis bagi pendidik maupun pengelola
pendidikan. Pertama, mahasiswa yang mempunyai
orientasi performance lebih mungkin untuk
menyontek. Oleh sebab itu, untuk mengurangi
perilaku menyontek maka dipandang perlu
menyeimbangkan orientasi tujuan yang
performance dan yang mastery, tidak terlalu
menekankan pada performance sebagaimana yang
menjadi orientasi utama saat ini. Praktek penilaian
hendaknya tidak menekankan semata pada hasil
namun perlu pula menggunakan sumber-sumber
penilaian lainnya, seperti tugas-tugas individual.
Kedua, mahasiswa dengan orientasi mastery goals
cenderung tidak menyontek. Hal ini menuntut
pendidik untuk menerapkan pedagogi yang
menunjukkan pentingnya belajar demi belajar itu
sendiri, bukan semata demi nilai, dan juga
menggunakan sumber penilaian lain selain ujian.
Namun, tetap penting untuk mendorong mahasiswa
untuk menunjukkan performance yang baik.
Penelitian ini mempunyai kelemahan yang
perlu diatasi dalam penelitian selanjutnya.
Pertama, data penelitian diperoleh dari sampel
dalam jumlah terbatas sehingga generalisasi hasil
perlu dipertimbangkan. Penelitian lebih lanjut
perlu menggunakan sampel yang lebih besar dan
dari berbagai jenjang atau program studi untuk
meningkatkan daya generalisasi hasil. Kedua,
pengukuran motivasi beprestasi, orientasi tujuan
belajar, maupun perilaku menyontek menggunakan
persepsi dalam bentuk laporan-diri mahasiswa.
Oleh sebab itu, masalah-masalah terkait dengan
persepsi lewat laporan diri perlu pula
dipertimbangkan.
Penelitian ini terbatas hanya mengkaji
hubungan antara perilaku menyontek dengan
motivasi berprestasi dan orientasi tujuan belajar.
Dari literatur diketahui berbagai sebab, korelat,
komorbid, dan preseden dari perilaku menyontek
sehingga penelitian lebih lanjut perlu mengkaji
faktor-faktor personal (perkembangan moral,
sikap), faktor-faktor situasional (teman sebaya,
banyaknya insiden menyontek, sanksi), dan praktek
pedagogi guru di kelas yang diduga terkait erat
dengan perilaku menyontek.
Hasil penelitian ini penting sebab
mencerminkan situasi terkini di dalam dunia
83
pendidikan. Seperti di banyak negara lainnya,
masalah ketidakjujuran akademik di dunia
pendidikan tinggi tampaknya cukup parah.
Keprihatinan ini perlu ditindaklanjuti mengingat
mahasiswa adalah tenaga kerja utama dalam
masyarakat di masa yang akan datang. Perilaku
tidak etis mereka di kampus saat ini dapat menjadi
masalah di dunia kerja mereka kelak. Hal ini
sebagaimana yang diungkapkan oleh Swift (dalam
Nonis & Swift, 2001) bahwa “mahasiswa yang
terlibat dalam perilaku tidak jujur di tempat
kuliahnya berpeluang lebih besar untuk terlibat
dalam perilaku tidak jujur di dalam pekerjaannya”.
DAFTAR PUSTAKA
Ames, C. & Archer, J. (1988). Achievement goals
in the classroom: student learning
strategies and motivation process. Journal
of Educational Psychology, 80: 260-267.
Anderman, E. M., Griesinger, T., & Westerfield,
G. (1998). Motivation and cheating during
early adolescence. Journal of Educational
Psychology, 90, 84–93.
Bracey, C.W. (2005). A nation of cheats. Phi Delta
Kappan: 412-413.
Elliot, E. S. & Dweck, C. S. (1988). Goals: An
approach to motivation and achievement.
Journal of Personality and Social
Psychology, 54 (1): 5-12.
Gage, N. L. & Berliner, D. C. (1992). Educatonal
Psychology. 5th
Ed. Boston: Houghton
Mifflin.
Genereux, R. L. & McLeod, B. A. (1995).
Circumstances surrounding cheating: A
questionnaire study of college students.
Research in Higher Education, 36: 687-
704.
Jordan, A. E. (2001). College student cheating:
The role of motivation, perceived norms,
attitudes, and knowledge of institutional
policy. Ethics & Behavior, 11(3), 233–247.
Klausmeier, H. J. (1985). Educational Psychology.
5th Ed. New York: Harper & Row.
Morgan, C. T, King, R. A. & Robinson, N. M.
(1990). Introduction to Psychology. 7th Ed.
New York: McGraw-Hill.
Murdock, T. B. dan Anderman, E. M. (2006).
Motivational perspectives on student
cheating: Toward an integrated model of
academic dishonesty. Educational
Psychologist, 41(3), 129–145.
Newstead, S. E. dkk. 1996. Individual differences
in student cheating. Journal of
Educational Psychology, 88 (2): 229-241.
Nonis, S., & Swift, C. O. (2001). An examination
of the relationship between academic
dishonesty and workplace dishonesty: A
multicampus investigation. Journal of
Education for Business,77(2), 69–77.
Sadili, L. (1993). Studi tentang pola
penanggulangan kasus menyontek yang
terjadi pada murid-murid SMA Propinsi
Jawa Barat. Jakarta: PDII-LIPI.
Santrock, J. W. (1996). Adolescence: An
Introduction. 6th Ed. London: Brown &
Bench Mark.
Slavin, R. E. (1994). Educational Psychology:
Theory and Practice. 4th Ed. New Jersey:
Allyn & Bacon.
Sukadji, S. (1990). Psikologi Pendidikan dan
Psikologi Sekolah. Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Woolfolk, A. E. (2009). Educational Psychology.
5th Ed. New Jersey: Allyn & Bacon.
84
STUDI PEMANFAATAN DAUN JATI (Tectona grandis L.F) ASAL KABUPATEN MUNA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA SEBAGAI ANTIDIABETES1
Oleh :
Nasrudin2
Ardiansyah3
Abstrak. Studi pemanfaatan daun jati (Tectona grandis L.F) asal Kabupaten Muna
Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai antidiabetes telah dilakukan melalui uji
antidiabetes dari ekstrak metanol daun jati terhadap mencit (Mus musculus) jantan
dengan metode tes toleransi glukosa oral pada variasi dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg
bb, dan 12,6 mg/kg bb. Hasil uji antidiabetes menunjukkan ekstrak metanol dengan
dosis 8,4 mg/kg bb memberi penurunan kadar glukosa darah yang lebih bermakna
mulai jam pertama hingga jam ke 3 yakni 28,5%. Ekstrak daun jati dosis 5,4 mg/kg bb
dan dosis 12,6 mg/kg bb juga menunjukkan aktivitas hipoglikemik yang signifikan
dibandingkan kontrol normal yaitu berturut-turut 22,5% dan 23,3%.
Kata Kunci : Daun jati (Tectona grandis L.F); antidiabetes.
1 Ringkasan Hasil Penelitian 2 Dosen Pend. Kimia FKIP Unhalu 3 Dosen Jurusan Biologi F.MIPA Unhalu
PENDAHULUAN
Jati (Tectona grandis L.F) asal Kabupaten
Muna merupakan tanaman berkayu yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi karena
mempunyai empat keunggulan yaitu kekuatan,
kerapatan, kekerasan dan fisik kimia (Khaeruddin,
1994). Namun, pemanfaatan jati khususnya jati
asal Muna selama ini hanya pada kayunya yang
banyak digunakan dalam industri meubel
(perkakas), furniture, bahan bangunan, alat musik,
tiang listrik, patung, popor senjata, dan papan
kapal (Pika, 2000). Sementara untuk memanen
kayu jati membutuhkan waktu yang cukup lama
yakni kurang lebih dua puluh tahun keatas. Untuk
menanam pohon jati membutuhkan lahan yang
cukup luas. Selain itu, lahan yang sudah ditanami
pohon jati setelah usia tanam satu tahun keatas,
lahan tersebut sudah tidak produktif lagi.
Akibatnya, petani jati tidak dapat mengambil
manfaat apapun terhadap pohon jati yang
ditanamnya setelah usia tanam satu tahun hingga
dua pulu tahun keatas. Pada saat yang sama dengan
bertambahnya jumlah penduduk akan
meningkatkan kebutuhan kayu jati dan semakin
sempitnya areal pertanian.
Bagian lain dari pohon jati yang dapat
dimanfaatkan selain kayunya adalah daun. Secara
tradisional, daun jati biasa dimanfaatkan sebagai
pembungkus makanan (tempe kedelai) dan bahan
pewarna tikar (Astuti, 2009). Hasil penelitian yang
dilaporkan Swandari dkk., (2004) bahwa ekstrak
etanol daun jati yang tumbuh di Jawa sangat
berpotensi sebagai antidiabetes. Hasil fitokimia
ekstrak tersebut mengandung metabolit sekunder
golongan senyawa flavonoid, saponin, tanin galat,
tanin katekat, kuinon dan steroid/triterpenoid, serta
senyawa asam fenolat (Hartati dkk, 2005).
Sedangkan hasil fitokimia daun jati asal Muna usia
tanam satu tahun dan dua puluh tahun
menunjukkan komposisi kimia yang sama
khususnya daun tua yang dilaporkan Sahumena
(2011), mengandung alkaloid, flavonoid, steroid,
saponin triterpen, polifenol dan tanin. Secara
fitokimia menunjukkan bahwa daun jati Muna dan
jati Jawa mempunyai banyak kesamaan, sehingga
bioaktifitas senyawa pada daun jati Muna pun
diduga berpotensi antidiabetes, karena menurut
Manitto (1981), bahwa aktivitas fisiologis sebagai
85
obat disebabkan oleh adanya metabolit sekunder
yang terdapat di dalamnya.
Studi pemanfaatan daun jati asal Muna
sebagai antidiabetes perlu dilakukan bukan hanya
karena potensi kimiawi jati Muna, tetapi juga
kerena penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan
penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan
obat penyembuhannya, yang ada hanyalah obat
menurunkan kadar gulanya saja (Lisa, 2011).
Penyakit diabetes dapat menyerang siapa saja, tua-
muda, kaya-miskin, atau kurus-gemuk. Penyakit
diabetes tidak dapat disembuhkan, namun dapat
dicegah (Wahdah, 2011).
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk membuktikan bahwa daun jati asal
Kabupaten Muna berpotensi sebagai obat
antidiabetes. Dengan demikian manfaat yang
diharapkan petani jati tidak hanya menunggu
kayunya hingga dua puluh tahun keatas, tetapi ada
bagian lain dari pohon jati yakni daun yang dapat
dimanfaatkan setelah usia tanam satu tahun atau
ketika lahan jati tidak produktif lagi.
METODE PENELITIAN
Bahan Yang Digunakan
Bahan tumbuhan yang digunakan adalah
daun tua jati Muna (Tectona grandis L.F) yang
diambil dari desa Motewe, Kec. Lasalepa
Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bahan kimia yang digunakan untuk uji antidiabetes
yaitu metanol 90%, air suling, Betadine, glukosa,
Na-CMC, dan tablet glibenclamid. Ada pun hewan
uji yang digunakan sebagai bioindikator dalam uji
antidiabetes dengan metode tes toleransi glukosa
oral adalah mencit (Mus musculus) jantan
sebanyak 15 ekor.
Ekstraksi
Sebanyak 80 gram serbuk daun tua jati
(Tectona grandis L.F) asal Muna dimaserasi
dengan metanol selama 24 jam sebanyak tiga kali
sampai filtrat metanol tidak berwarna. Filtrat
metanol yang diperoleh digabungkan kemudian
dipekatkan sehingga diperoleh ekstrak metanol.
Uji Antidiabetes
Uji antidiabetes terhadap ekstrak metanol
daun jati (Tectona grandis L.F) asal Muna
dilakukan dalam beberapa tahap yaitu penyiapan
bahan, perlakuan terhadap hewan uji dan
penentuan kadar glukosa. Tahap penyiapan bahan
meliputi pembuatan larutan koloidal Na-CMC 1%
b/v, pembuatan bahan pembanding suspensi
glibenclamid 0,002% b/v, Pembuatan larutan
glukosa 5% b/v, pemilihan dan penyiapan hewan
uji yang dibagi dalam 5 kelompok masing-masing
terdiri 3 ekor mencit serta pembuatan ekstrak daun
jati dengan dosis 5,6 mg/kg bb mencit, 8,4 mg/kg
bb mencit, dan 12,6 mg/kg bb mencit. Tahap
perlakuan hewan uji dilakukan setelah semua
kelompok mencit dipuasakan selama 8 jam
kemudian menimbang berat badannya, lalu
diberikan glukosa 5% secara oral dengan 1 ml/30
gram berat badan selama 60 menit, lalu darah
mencit diambil melalui ekor untuk menentukan
kadar glukosa darah mencit sebagai kadar glukosa
awal. Selanjutnya pada mencit kelompok I diberi
larutan koloidal Na-CMC 1% b/v sebagai kontrol
normal (kontrol pelarut), kelompok II diberi
suspensi glibenclamid 0,002% b/v sebagai kontrol
positif, kelompok III diberi ekstrak daun jati
dengan dosis 5,6 mg/kg bb mencit, kelompok IV
diberi ekstrak daun jati dengan dosis 8,4 mg/kg bb
mencit, dan kelompok V diberi ekstrak daun jati
dengan dosis 12,6 mg/kg bb mencit. Tahap
penentuan kadar glukosa darah mencit dilakukan
selama 5 jam dengan interval waktu 1 jam pada
semua hwan uji menggunakan alat glukometer.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengukuran
glukosa darah mencitdianalisis secara statistik
dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) dengan rumus :
BNT( =
Ket: = tingkat kepercayaan
v = derajat bebas galat (dbt)
r = banyaknya pengulangan
RKG = Kuandrat Galat
86
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekatraksi
Ekstrak metanol yang diperoleh dari 80
gram serbuk daun jati (Tectona grandis L.F) asal
Muna yang dimaserasi dengan metanol sampai
filtrat metanol yang dihasilkan tidak berwarna
adalah sebanyak 22,2 gram. Filtrat metanol yang
tidak berwarna tersebut menunjukkan bahwa
semua senyawa metabolit sekunder yang
terkandung dalam daun jati telah terekstraksi atau
terlarut dalam metanol. Penggunaan metanol
sebagai pengekstrak senyawa metabolit sekunder
dimaksudkan agar semua senyawa metabolit
sekunder dapat terekstraksi. Hal ini disebabkan
karena sifat kimia metanol yang mampu menarik
senyawa organik baik yang bersifat polar maupun
yang bersifat nonpolar (Solomons, 1994).
Uji Antidiabetes
Sebelum dilakukan pengukuran kadar
glukosa darah mencit, terlebih dahulu mencit
diberi larutan glukosa 5% b/v. Pemberian larutan
glukosa ini pada mencit dilakukan 1 jam sebelum
perlakuan yang bertujuan untuk menaikkan kadar
glukosa darah yang merupakan kadar glukosa
darah awal, sehingga kemampuan menurunkan
kadar glukosa darah sediaan uji dapat diamati.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah
mencit yang diberi Larutan Na-CMC 1% b/v dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Data Kadar Glukosa Darah Mencit yang diberi Larutan Na-CMC 1% b/v
Mencit
Kadar Glukosa Darah (mg/dl)
Puasa Glukosa Setelah Jam ke-
1 2 3 4 5
I 126 147 141 135 134 132 127
II 42 71 68 68 61 58 63
III 45 53 50 48 48 46 51
Jumlah 213 271 259 251 243 236 241
Rata-rata 71 90,33 86,33 83,67 81 78,67 80,33
Berdasarkan Tabel 1 terlihat kadar glukosa
darah mencit yang diberi larutan Na-CMC 1% b/v
mengalami penurunan hingga jam ke 4. Dari yang
awalnya setelah diberi larutan glukosa adalah
90,33 mg/dl setelah jam ke 4 menurun menjadi
78,67. Namun setelah jam ke 4 kadar glukosa
darah mencit naik kembali hingga 80,33 mg/dl
pada jam ke 5.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit yang diberi suspensi glibenclamid dapat dilihat
pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Data kadar glukosa darah mencit yang diberi suspensi glibenclamid 0,002% b/v
Mencit
Kadar Glukosa Darah (mg/dl)
Puasa Glukosa Setelah Jam ke-
1 2 3 4 5
I 102 122 98 80 73 65 61
II 64 101 64 47 45 43 41
III 97 102 84 72 68 59 52
Jumlah 263 335 246 199 186 167 154
Rata-rata 87,67 108,33 82 66,33 62 55,67 51,33
87
Tabel 2 menunjukkan penurunan kadar
glukosa darah mencit yang diberi larutan
glibenclamid 0,002% b/v mulai dari jam pertama
hingga jam ke 5. Setelah diberi larutan
glibenclamid 0,002% b/v, kadar glukosa darah
mencit yang awalnya 108,33 mg/dl menurun
menjadi 51,33 mg/dl pada jam ke 5.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah
mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 5,6
mg/kg bb mencit dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Data kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati 5,6 mg/kg bb mencit
Mencit
Kadar Glukosa Darah (mg/dl)
Puasa Glukosa Setelah Jam ke-
1 2 3 4 5
I 48 71 69 57 49 60 70
II 72 93 87 72 71 68 73
III 52 69 64 53 35 33 42
Jumlah 172 233 220 182 155 161 185
Rata-rata 57,3 77,67 73,33 60,67 51,67 53,67 61,67
Berdasarkan Tabel 3 terlihat kadar glukosa
darah mencit yang diberi larutan ekstrak dosis 5,6
mg/kg bb mencit mengalami penurunan hingga jam
ke 5. Dari yang awalnya setelah diberi larutan
glukosa adalah 77,67 mg/dl setelah jam ke 3
menurun menjadi 51,67 mg/dl. Namun setelah jam
ke 3 kadar glukosa darah mencit mulai naik
kembali hingga 61,67 mg/dl pada jam ke 5.
Hasil pengukuran kadar glukosa darah
mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 8,4
mg/kg bb mencit dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Data kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 8,4 mg/kg bb mencit
Mencit
Kadar Glukosa Darah (mg/dl)
Puasa Glukosa Setelah Jam ke-
1 2 3 4 5
I 78 85 84 75 51 53 52
II 72 81 88 79 52 49 47
III 49 75 58 52 35 37 49
Jumlah 199 241 230 206 138 139 148
Rata-rata 66,3 80,33 76,67 68,67 46 46,33 49,33
Tabel 4 menunjukkan penurunan kadar glukosa darah mencit yang diberi larutan ekstrak dosis 8,4
mg/kg bb mencit mulai dari jam pertama hingga jam ke 3. Setelah diberi larutan ekstrak dosis 8,4 mg/kg
bb, kadar glukosa darah mencit yang awalnya 80,33 mg/dl menurun menjadi 46 mg/dl pada jam ke 3.
Setelah itu mulai menunjukkan peningkatan kembali hingga 49,33 mg/dl pada jam ke 5.
88
Hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 12,6 mg/kg bb
mencit dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Data kadar glukosa darah mencit yang diberi ekstrak daun jati dosis 12,6 mg/kg bb
Mencit
Kadar Glukosa Darah (mg/dl)
Puasa Glukosa Setelah Jam ke-
1 2 3 4 5
I 66 94 64 59 51 56 62
II 62 82 68 65 54 74 77
III 51 60 60 59 55 49 52
Jumlah 179 236 192 183 160 179 191
Rata-rata 59,67 78,67 64 61 53,33 59,67 63,67
Tabel di atas menunjukkan penurunan kadar
glukosa darah mencit yang diberi larutan ekstrak
dosis 12,6 mg/kg bb mencit mulai dari jam pertama
hingga jam ke 3. Setelah diberi larutan ekstrak
dosis 12,6 mg/kg bb, kadar glukosa darah mencit
yang awalnya 78,67 mg/dl menurun menjadi 53,33
mg/dl pada jam ke 3. Setelah itu mulai
menunjukkan peningkatan kembali hingga 63,67
mg/dl pada jam ke 5.
Selanjutnya penurunan kadar glukosa
darah rata-rata pada mencit sebagai efek dari
pemberian larutan kontrol, ekstrak metanol dosis
5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb, 12,6 mg/kg bb, dan
suspensi glibenclamid dapat dilihat pada tabel 6
berikut.
Tabel 6 Efek Larutan Kontrol, Ekstrak Metanol Dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb, 12,6 mg/kg bb, dan
Suspensi Glibenclamid terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Mencit Jantan
No Pelakuan Jumlah
mencit
Takaran/
30 g bb
mencit
(ml)
Kadar glukosa
rata-rata Penurunan Kadar
Glukosa darah
(mg/dl)
Penurunan
Kadar Glukosa
Darah (%) Awal Akhir
1
Larutan kontrol
(Na-CMC 1%
b/v)
3 1 90,33 82 8,33 9,2
2 Larutan obat 3 1 108,3 63,46 44,86 41,4
3
Ekstrak
metanol dosis
5,6 mg/kg bb
3 1 77,67 60,2 17,47 22,5
4
Ekstrak
metanol dosis
8,4 mg/kg bb
3 1 80,33 57,4 22,93 28,5
5
Ekstrak
metanol dosis
12,6 mg/kg bb
3 1 78,67 60,33 18,34 23,3
Tabel 6 menunjukkan bahwa setelah 1
jam pemberian glukosa secara oral kadar glukosa
darah kelompok mencit yang diberi larutan Na-
CMC, suspensi glibenclamid, dan larutan ekstrak
metanol dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb, 12,6
mg/kg bb mengalami peningkatan kadar glukosa
darah berturut-turut 90,33 mg/dl, 108,33 mg/dl,
77,67 mg/dl, 80,33 mg/dl, dan 78,67 mg/dl (kadar
glukosa awal). Kemudian setelah pemberian
larutan pada tiap perlakuan dan dilakukan
pengukuran selama 5 jam dengan interval
89
pengukuran setiap 1 jam, terlihat adanya
penurunan kadar glukosa darah. Rata-rata
penurunan kadar glukosa darah selama 5 jam
secara berturut-turut adalah 82 mg/dl, 63,467
mg/dl, 60,2 mg/dl, 57,4 mg/dl, dan 60,33 mg/dl.
Hal ini membuktikan bahwa pemberian ekstrak
metanol daun jati (Tectona grandis L.F) asal Muna
dapat menyebabkan terjadinya penurunan gula
darah mencit sebesar 22,5% pada dosis 5,6 mg/kg
bb dan 28,5% dosis 8,4 mg/kg bb serta 23,3%
dosis 12,6 mg/kg bb mencit.
Grafik rata-rata kadar glukosa darah
relatif dari masing-masing kelompok uji hingga
jam ke 5 dapat dilihat pada Grafik 1 di bawah ini.
Grafik 4.1: Efek Larutan Kontrol, Suspensi Glibenclamid, Ekstrak Metanol Daun Jati dosis 5,6
mg/kg; 8,4 mg/kg; dan 12,6 mg/kg terhadap penurunan Kadar Glukosa Darah Mencit Jantan
Berdasarkan hasil pengamatan yang
disajikan dalam grafik 4.1 menunjukkan pada
perlakuan yang diberi Na-CMC terjadi penurunan
kadar glukosa darah dari pertama hingga jam
keempat. Pemberian ekstrak daun jati dosis 55,6
mg/kg bb, 8,4 mg/kg bb dan 12,6 mg/kg bb mencit
memperlihatkan aktivitas hipoglikemik (penurunan
kadar glukosa darah) yang hampir sama yaitu
mulai dari jam pertama hingga jam ke 3.
Sedangkan setelah jam ke 3 hingga jam ke 5
memperlihatkan, kadar glukosa darah mencit mulai
naik kembali. Hal ini terjadi karena zat berkhasiat
yang mampu menurukan kadar glukosa darah
mencit mulai berkurang efeknya pada jam tersebut,
dimana jumlah insulin yang dibutuhkan untuk
metabolisme glukosa tidak mencukupi akibatnya
kadar glukosa darah mengalami kenaikan. Pada
pemberian suspensi glibenclamid yang merupakan
kontrol positif terjadi penurunan kadar glukosa
darah dari jam pertama hingga jam kelima.
Hasil analisis statistik dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
pada perlakuan mencit selama 5 jam dengan
interval waktu 1 jam, memperlihatkan pengaruh
yang berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel ANAVA dimana nilai Fh (8,10) > Ft(0,05)
(2,67) pada taraf 5% dan Fh (8,10) > Ft(0,01) (4,43)
pada taraf 1%. Artinya bahwa ekstrak daun jati
memberi pengaruh penurunan kadar glukosa darah
mencit (berpengaruh nyata) sebagaimana halnya
pemberian larutan obat (glibenclamid) yang
merupakan kontrol positif. Karena terdapat
perbedan yang nyata antar perlakuan, maka
dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT).
Berdasarkan hasil uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) antar perlakuan yang
menyebabkan penurunan kadar glukosa darah
mencit mulai dari pemberian larutan Glukosa
Hingga Jam Ke 5 menunjukkan terdapat perbedaan
yang signifikan antara kelompok yang diberi Na-
CMC sebagai kontrol normal dengan larutan
ekstrak dan larutan obat. Artinya bahwa larutan
Na-CMC tidak memberikan efek hipoglikemik
yang nyata (tidak bermakna) pada glukosa darah
mencit. Sedangkan antara kelompok yang diberi
ekstrak metanol daun jati dosis 5,6 mg/kg bb, 8,4
mg/kg bb, dan 12,6 mg/kg bb dengan larutan obat
yang merupakan kontrol positif tidak memberikan
perbedaan yang signifikan, khususnya dari jam
pertama hingga jam ke 3. Artinya bahwa antara
kelompok yang diberi larutan ekstrak memberikan
90
efek penurunan kadar glukosa darah yang hampir
sama dengan kelompok yang diberi larutan obat.
KESIMPULAN
Ekstrak metanol daun jati (Tectona
grandis L.F) asal Muna berpotensi sebagai obat
antidiabetes yang dibuktikan dengan pemberian
variasi dosis ekstrak metanol daun jati terhadap
mencit jantan menunjukkan bahwa pada dosis 8,4
mg/kg bb memberikan efek hipoglikemik terkuat
(28,5%), diikuti oleh dosis 12,6 mg/kg bb (23,3%)
dan dosis 5,6 mg/kg bb (22,5%) dengan taraf nyata
0,05 serta 0,01.
SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan dosis minimum dari ekstrak daun
jati (Tectona grandis L.F) asal Muna yang
memberi efek hipoglikemik pada penderita
diabetes.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengidentifikasi dan mengisolasi senyawa
aktif yang terdapat dalam daun jati (Tectona
grandis L.F) asal Muna yang berperan dalam
menurunkan kadar glukosa darah.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Nurita P., 2009. Sifat Organoleptik Tempe
Kedelai yang Dibungkus Plastik, Daun
Pisang, dan Daun Jati. Universitas
Muhammadiyah. Surakarta.
Hartati, Asep G., dan Komar, 2005. Telaah
Flavonoid dan Asam Fenolat Daun Jati
(Tectona grandis L. f.). Farmasi ITB.
Bandung [http://bahan-alam.fa.itb.ac.id]
Khaeruddin, 1994. Pembibitan Tanaman HTI.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Lisa, KA., 2011. Awas, Diaskol (Diabetes, Asam
Urat, Kolesterol). Syura Media Utama.
Jawa Tengah
Manitto, Paolo, 1981. Biosintesis Produk Alami.
Terjemahan: Koensoenmardiyah. IKIP
Semarang Press. Semarang
Pika, 2000. Mengenal Sifat-sifat Kayu dan
Penggunaannya. Kanisius.
Yogyakarta.
Sahumena, M.H., 2011. Penapisan Fitokimia Daun
Jati (Tectona grandis L.F) Usia tanam
1 Tahun dan 20 Tahun di Desa
Motewe Kecamatan Lasalepa
Kabupaten Muna. Skripsi FKIP
Unhalu Kendari.
Solomons, Graham, T.W. 1994. Fundamentals of
Organic Chemistry. Fourth Edition. John
Wiley and Sons. Inc.
Swandari S., Asep G., dan Elin Y., 2004. Uji
Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol
Daun Jati (Tectona grandis L.F.).
Farmasi ITB. Bandung [http://bahan-
alam.fa.itb.ac.id]
Wahdah, N., 2011. Menaklukan Hipertensi dan
Diabetes (Mendeteksi, Mencegah, dan Mengobati dengan Cara Medis dan Herbal). CV. Multi Solusindo. Yogyakarta.
.
91
Motor Learning :
PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI PERILAKU MOTORIK DAN KONSEP-
KONSEP DASAR KAJIAN PERILAKU MOTORIK1
Oleh:
Sahrun2
1 Ringkasan Makalah 2 Dosen Penjaskes-Rek FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada saat sekarang ini prestasi olahraga
masih terus diciptakan dan ditingkatkan. Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka diperlukan adanya pendekatan ilmiah untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam
pembinaan.Telah disadari bahwa untuk
meningkatkan prestasi diperlukan konsep-konsep
dan teori-teori dalam belajar motorik sebagai
pedoman dengan menentukan metode melatih
dalam usaha meningkatkan prestasi. Bower dan
Hilgard (1981: 11) mengatakan bahwa belajar
sebagai perobahan perilaku yang potensial
terhadap situasi tertentu yang diperoleh dari
pengalaman yang dilakukan berulang kali.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan tentang keterampilan motorik, Oxendine
(1984: 20) mendefenisikan penekanan utama pada
efisiensi. Schimidt (1988: 17) menyatakan bahwa
keterampilan merupakan gerakan-gerakan yang
tergantung kepada latihan dan pengalaman karena
pelaksanaannya itu tidak ditentukan oleh
keturunan. Singer (1980: 59) mendefenisikan
keterampilan motorik sebagai gerakan tubuh untuk
mensukseskan pelaksanaan aktiffitas yang
diinginkan selanjutnya, Cecco dan Crawford
(1974: 252) menjelaskan keterampilan motorik
adalah suatu respons motorik berangkai yang
melibatkan koordinasi gerakan untuk menjadi pola
respons yang lebih kompleks.
Proses belajar gerak berbentuk kegiatan
mengamati gerakan dan kemudian mencoba
menirukan berulang-ulang, dan menerapkan pola-
pola gerak tertentu pada situasi tertentu yang
dihadapi, dan juga dalam bentuk menciptakan
pola-pola gerak baru untuk tujuan-tujuan tertentu.
Dalam belajar gerak, karena atlet harus memahami
gerakan untuk mampu melakukannya, maka selain
unsur fisik disitu juga terlibat unsur fikir. Unsur
emosi dan perasaan juga terlibat dalam belajar
gerak, karena emosi dan perasaan merupakan unsur
psikis yang merupakan daya penggerak dalam
berprilaku. Seseorang akan melakukan gerakan
tertentu apabila mempunyai kemauan untuk
bergerak dan merasa perlu untuk melakukan
gerakan. Dalam melakukan suatu gerakan apabila
ia tahu atau mengerti gerak apa yang harus
dilakukan, dan gerakan tertentu itu akan terwujud
apabila ia memiliki cukup kemampuan untuk
bergerak.
Dalam belajar gerak, dapat kita temui
rana gerak yang merupakan terjemahan dari kata
“domain” yang diartikan baagian atau unsure
gerak. Gerak tubuh merupakan salah satu
kemampuan manusia untuk melaksanakan
hidupnya. Gerak tubuh manusia dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Anita J.
Harrow (dalam Sugianto, 1993: 3) membedakan
gerak tubuh menjadi 6 klasisifikasi yang
merupakan satu kesatuan yang membentuk gerak
tubuh manusia, mulai dari yang bersifat bawaan
sejak lahir sampai tarafnya yang paling tinggi.
Permasalahan
Yang menjadi permasalahan dalam makalah ini
adalah penulis lebih menekankan pada masalah
diantaranya :
1. Bagaimana pendekatan dalam mempelajari
perilaku motorik ?
2. Apakah yang menjadi konsep – konsep dasar
bidang kajian perilaku motorik ?
92
Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pendekatan dalam
mempelajari perilku motorik.
2. Untuk mengetahui konsep – konsep dasar bidang
kajian perilaku motorik.
Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan
makalah ini adalah agar para pelatih, guru dan
pelaku olahraga dapat memahami dan menerapkan
pendekatan dalam mempelajari perilaku motorik
dan konsep – konsep dasar kajian perilaku motorik
sebagai salah satu faktor dalam upaya untuk
meningkatkan salah satu belajar gerak maupun
untuk meningkatkan keterampilan untuk mencapai
suatu prestasi.
PEMBAHASAN
PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI
PERILAKU MOTORIK
a. Perkembangan Penelitian Perilaku Motorik
Beberapa kegiatan penelitian tentang
kegiatan keterampilan motorik dilakukan sekitar
tahun 1820 oleh astronom Bessel (dikutip oleh
Welford, 1968) dalam upaya untuk memahami
perbedaan antara keterampilan para koleganya
dalam mencatat perubahan waktu dari gerakan
bintang-bintang. Bessel tertarik mempelajari gejala
di balik keterampilan yang kompleks, termasuk
masalah.
Perkembangan selanjutnya, studi dilakukan
untuk mempelajari kontribusi penginderaan mata
terhadap gerakan tangan dalam target yang
dilokalisasi. Bowditch & Southhard, (1882),
danLeuba, (1909) mempelajari akurasi gerakan
tubuh bagian atas.
Hasil-hasil studi Thorndike (1914) yang
banyak membahas proses dibalik kegiatan belajar
keterampilan memberikan pengaruh yang besar
pada waktu itu. Hukum Thorndike “Law of Effect”
yang berpengaru terus dalam psikologi menyatakan
bahwa respons yang diikuti oleh hadiah cenderung
akan diulangi, sementara respons yang tidak diikuti
oleh hadiah (atau yang diikuti hukuman) cenderung
tidak akan diulangi. Ide ini merupakan batu
loncatan bagi pembangunan teori tentang belajar
yang selanjutnya diteruskan pada abad ini.
Perkembangan berikutnya ialah penelitian
tentang struktur otak. Herrick (1924) mengajukan
beberapa hipotesis tentang fungsi dari cerebellum
yang diantaranya nampak beralasan pada massa
sekarang. Pasien-pasien yang menderita cedera
pada bagian otak dipelajari (misalnya oleh Holmes,
1939) dalam upaya untuk menunjukkan hilang
beberapa kontrol gerak yang berkaitan dengan
struktur tersebut. Struktur otak lainnya juga
dipelajari dengan memanfaatkan pasien-pasien
yang menderita berbagi cedera otak.
Perilaku motorik memiliki akar yang kuat
dalam psikologi eksperimental dan selama
beberapa tahun mempergunakan teori, metode dan
majalahnya. Tapi beberapa ahli merasa bahwa
sudah waktunya untuk memgembangankan bidang
itu dengan metodenya sendiri dan
mempublikasikan teori-teorinya melalui
majalahnya sendiri. Kombinasi tehnik dan
pengetahuan tentang gerak, bidang kontrol
persyarafan dalam kaitannya dengan gerak,
psikologi eksperimenal dan pendidikan jasmani
dalam kaitannya dengan masalah gerak
kesemuanya menyatu bersama-sama membentuk
satu wilayah yang unik yang di sebut motor
control dan learning. Yang akan banyak dibahas
banyak dalam buku ini wilayah motor learning
itusendiri serta aplikasinya dalam kegiatan belajar -
mengajar atau melatih olahraga.
b. Pendekatan dalam Mempelajari Perilaku
Motorik
Pendekatan pertama adalah psikologi.
Psikologi adalah suatu bidang studi perilaku
manusia. Disiplin ilmu ini berupaya untuk
mempelajari dan memahami perilaku manusia.
Istilah perilaku diartikan dalam pengertian luas
yaitu mencakup berbagai kegiatan manusia seperti
mengindra, mempersepsi, memperhatikan, belajar,
dan berbuat dengan gerak nyata (Sage, 1984).
Pendekatan lain adalah psikologi kognitif yang
ditekankan pada ikhtiar memanipulasi lingkungan
untuk mempelajari perilaku manusia dan
pendekatan fisiologis-psikologi yang mempelajari
mekanisme fisiologis yang melandasi perilaku.
Dalam buku ini pendekatan yang di pakai
adalah untuk mempelajari perilaku motorik,
khususnya ketempilan motorik ialah pendekatan
93
fungsional-integratif. Maksudnya ialah gejala
perilaku motorik ditelaah bukan saja dari
pendekatan behavioral yang meniti beratkan
interpretasi perilaku yang teramati, tapi juga dari
aspek neurofisiologi dan sosial budaya.
c. Pemilihan Tugas Gerak
Penelitian belajar motorik dapat
berlangsung dalam kondisi (a) laboratorium, (b)
lapangan. Dalam kondisi labortorium variabel yang
termasuk ke dalam penelitian dan yang di luar
penelitian dapat dikontrol hingga mencapai tingkat
kecermatan tertentu yang dianggap lebih teliti
daripada penelitian dalam kondisi di lapangan.
Kondisi lapangan misalnya berupa kegiatan
olahraga yang kompleks atau kegiatan alamiah
lainnya di mana variabel internal dan eksternal
kurang terkontrol. Penelitian dalam kondisi
laboratorium lazimnya memanfaatkan metode
eksperimen dan yang non laboratorium dapat
menggunakan metode quasi-eksperimen.
d. Pengukuran penampilan gerakan
(Performance)
Sejalan dengan makna belajar sebagai
suatu perubahan internal dari seseorang yang
ditafsirkan berdasarkan perubahan menetap
(permanen) dalam penampilan gerak sebagai hasil
dari berlatih, maka yang penting adalah bagaimana
mengukur penampilangerak yang bersangkutan.
Schmidt (1975) misalnya mengklasifikasi
penampilan gerak atas tiga kategori :
1. kecemasan
2. ketepatan, dan
3. respon berwujud “jumlah” atau ukuran besar
KONSEP BELAJAR MOTORIK
Pengertian istilah balajar motorik tak
terlepas dari pengertian istilah belajar pada
umumnya ,oleh karena itu bagian ini
mengungkapkan makna belajar pada umumnya dan
belajar motorik pada khususnya akan dibahas
secara mendalam
Proses belajar itu sendiri merupakan masalah yang
amat kompleks dimana berkenaan dengan teori
belajar itu sendiri maka akar perkembangannya
terdapat dalam disiplin psikologi.karena itu para
psikologi memberikan andil besar dalam
pembangunan teori belajar.
Menurut oxendine(1968)menggambarkan belajar
sebagai :
(1) Akumulasi pengetahuan
(2) Penyempurnaan dalam suatu kegiatan.
(3) Pemecahan suatu masalah ,dan
(4) Penyesuaian terhadap situasi yang berubah.
Konsep belajar pada umumnya dan
belajar motorik sebagai belajar perilaku motorik
pada khususnya.telah dirumuskan terhadap
beberapa defenisi oleh para ahli oleh karena itu
belajar dapat diartikan semacam seperangkat
peristiwa,kejadian ,atau perubahan yang terjadi
apabilah seorang berlatih yang memungkinkan
seseorang dapat menjadi terampil dalam
melaksanakan suatu kegiatan.Kedua,Belajar adalah
hasing langsung dari praktek atau
pengalaman,Ketiga,Belajar tak dapat diukur secara
langsung karena proses yang mengantarkan
pencapaian perubahan prilaku berlangsung secara
internal atau dalam diri manusia.Keempat, Belajar
dipandang sebagai proses yang menghasilkan
perubahan relative permanen dalam suatu
keterampilan .
Sebagai sintesis dari keempat aspek tersebut
,dihasilkan defenisi sebagai berikut : Belajar
motorik Adalah Seperangkat proses yang bertalian
dengan latihan dan pengalaman yang
mengantarkan perubahan permanen dalam perilaku
terampil.
(Schmidt,1982).
Untuk kebutuhan analisis ,keempat
karakteristik belajar motorik yang dipaparkan oleh
(Schmidt,1982) diatas perlu dikupas secara lebih
lanjut sebagai berikut ,:
1. Belajar Sebagai Sebuah Proses
Dalam Psikologi kognitif
dijelaskan,sebuah proses adalah seperangkat
kejadian atau peristiwa yang berlangsung
bersama yang menghasilkan beberapa prilaku
tertentu.Sebagai contoh dalam membaca proses
diasosiasikan dengan gerakan mata,menangkap
kode dan simboldalam teks ,memberikan
pengertian sesuai dengan perbendaharaan kata
yang tersimpan dalam ingatan ,Dan seterusnya.
2. Belajar Motorik Adalah Hasil Langsung Dari
Latihan
Dalam makalah ini, Perubahan perilaku
motorik berupa keterampilan dipahami sebagai
hasil oada suatu latihan dan pengalaman .hal ini
perlu dipertegas untuk membedakan perubahan
94
yang terjadi karena fektor kematangan dan
pertumbuhan.Faktor –Faktor itu juga dapat
menyebabkan perubahan perilaku.
3. Belajar Motorik Tak Teramati Secara
Langsung
Belajar motorik atau keterampilan
olahraga tak teramati secara langsung .Proses
yang terjadi dibalik perubahan keterampilan itu
mungkin sejali amat kompleks dalam system
persyarafanseperti misalnya bagaimana
informasi sensorik diproses,diorganisasi ,dan
kemudian diubah menjadi pola gerak otot –otot.
4. Belajar Menghasilkan Kapabilitas Untuk
Bereaksi (Kebiasaan )
Istilah Kapabilitas disini penting
maknanya karena berimplikasi pada keadaan
sebagai berikut :Jika telah tercipta kebiassan
dan kebiasaan itu “Kuat” keterampilan itu dapat
diperagakan jika terdapat kondisi yang
mendukung ,Tapi jika kondisinya tidak
mendukung misalnya lelah keterampilan yang
maksud tak akan terjadi.
5. Belajar Motorik Relatif Permanen
Ciri lain dari belajar motorik adalah
relative permanen.hasil belajar itu bertahan
hingga waktu relative lama,Misalnya saja
,seseorang mengendarai sepeda ,meskipun
selama beberapa tahun dia tedak mengendarai
sepeda namun pada suatu ketika dia tetap dapat
mengendarai sepeda.
6. Belajar Motorik Bisa Menimbulkan Efek
Negatif
Kesan umum yang kita peroleh dari uraian
terdahulu ialah bahwa belajar dapat
menimbulkan efek positif yakni penyempurnaan
keterampilan atau keterampilan gerak seseorang
.Namun anggapan ini mengandung persoalan
karena apa yang disebut kemajuan tak lepas dari
persepsi sipengamat.
7. Kurva Hasil belajar
Apakah yang dimaksud kurva belajar?
Grafik yang menggambarkan penguasaan
kapabilitas untuk bereaksi (yaitu
Kebiasaan)dalam suatu jenis tugas setelah
dilakukan berulang-ulang disebut kurva
belajar.grafik tersebut menampilkan
perkembangan penampilan kemampuan
geraksebagai cerminan suatu proses belajar
internal yang berlangsung dalam diri
seseorang.Namun hasilnya tak mampu
menggambarkan dan mengungkap kondisi
internal yang sebenarnya tapi kurva ini dapat
digunakan untuk kebutuhan praktis atas dasar
penampilan yang nyata itulah dapat ditafsirkan
kemajuan, sehingga menghasilkan beberapa tipe
kurva ,Seperti :
(1) Penurunsn jumlah Waktu dalam
menyelesaikan suatu tugas.
(2) Pengukuran kecermatan seperti
mengarahkan suatu obyek kesebuah target
(3) Penurunan dalam jumlah kesalahan ketika
mempelajari suatu keterampilan
(4) Kombinasi dari dua tipe atau lebih dari
teknik pengukuran tersebut diatas
PENUTUP
Dalam implementasinya pelatih, guru
olahraga, atlet, manajer harus memperhatikan pada
tahap persiapan khusus, pra-kompetisi dan
kompetisi diharapkan dapat memahami peranan
motor learning dalam menunjang teknik dasar,
baik untuk membetulkan, meningkatkan dan
mengembangkan segala teknik ketaraf otomatisasi
gerak sehingga menampakkan keterampilan gerak
yang baik untuk mencapai prestasi yang optimal.
Diharapkan dalam menyusun jadwal pelatihan
pada tiap siklus mikro harus ada jadwal untuk teori
dalam membentuk dan mengembangkan kognisi
atlet atau siswa sejalan dengan tuntutan cabang
olahraga tersebut. Dalam proses pembentukan dan
pengembangan kognisi, atlet/siswa diharapkan
dapat mengikutinya dan dapat membangun
interaksi untuk memperbaiki dan melengkapi
atlet/siswa dalam latihan-latihan selanjutnya.
Diharapkan para manajer dapat memperhatikan
kebutuhan yang dituntut dalam cabang olahraga
yani ia tangani agar dapat menunjang penampilan
atlet untuk meraih prestasi yang diinginkan,
sebagai hasil feedback dari pengkajian motor
learning.
95
DAFTAR PUSTAKA
Bower, G.H, and Hilgord. E.R, 1984. Theories of
Learning, Prentice Hall, Inc Jersey.
De Cocco.J.P, and Crawford.W.R. 1974. The
Psycology of Learning and Instruction,
Englewood Cliffs Inc.
Kosasih Nana, 1987. Metode Belajar Keseluruhan
Bagian dan Bagian Keseluruhan Terhadap
Prestasi Belajar Panahan Bagi Mahasiswa
Yang Mempunyai Kekuatan Otot Punggung
dan Ketepatan Membidik Berbeda, IKIP
Jakarta. Jakarta.
Oxidine.J.B. 1980. Psycology of Motor Learning,
Prentice Hall, Inc. New York.
Rahantoknam, B.E. 1983. Pengaruh Metode
Penyajian Informasi Balikan Dan Tingkat
Intelegensi Terhadap Prestasi Belajar
Motorik, IKIP Jakarta. Jakarta
Rink, Judith E., (1985), Teaching Physical
Education for Learning, St Louis, Toronto,
Santa Clara : Mosby College Publishing.
Rusli Lutan, (1984). Beberapa Isu dalam Olahraga,
Makalah.
Saidel. Beverly. L. 1975. Sport Skill: A Conceptual
Approach to Meaningful Movement, WM.C.
Brown Company Publishers, Duduque.
Singer. Robert. N, and Dick Wolter, 1980.
Teaching Physical Education, Houngton
Miffiln Company. Boston.
Schimid.R.A. 1988. Motor Control and Learning
Behavioral Emphasis, Human Kinetics
Publihers. Illionis.
Schmidt, Richard A., (1982). Motor Control and
Learning, Champaign : Human Kinetics
Publishers. Inc.
Singer, Robert N., (1968), Motor Learning ang
Human Performance, New York : The
Macmillan Company.
Stallings, Loretta M., (1982), Motor Learning :
From Theory to Practice. Washington DC.
Wm C. Brown Company.
Wade, M.G. (ed.), (1986), Motor Skill Acquisition
of Mentally Handicapped, Amsterdam :
Elsevier Science Publisher.
Whiting, H. T. A., (1975), Concepts in Skill
Learning, London :Lepus Book.
Wittrock, Merlin C, (ed), (1986), Handbook of
Research on Teaching, New York :
Macmillan Publishing Company.
96
MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SAINS BAGI SISWA SD
MELALUI PENERAPAN MODEL TECHING CONCEPT DENGAN STRATEGI
CONCEPT ATTAINMENT1
Oleh :
Luh Sukariasih2
Abstrak : penerapan model teaching concept dengan strategi concept attainment pada siswa sekolah dasar
kelas IV SDN 1 Tikep untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar sains dalam bingkai penelitian
tindakan kelas pada materi pokok perubahan wujud benda. Penelitian dirancang dalam 2 siklus dengan 3x
pertemuan. Subyek penelitian berjumlah 31 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
dan hasil belajar dari siklus1 ke siklus 2. Peningkatan aktivitas yang signifikan terjadi pada aspek
membedakan atribut kritis dari contoh dan bukan contoh, memberikan nama konsep berdasarkan atribut
kritis, memberikan defenisi dan menggambarkan proses berpikir yang meningkat dari kategiri cukup
menjadi sangat baik. Peningkatan hasil belajar ditunjukkan oleh peningkatan persentase ketuntasan belajar
dari siklus 1 ke siklus 2 yakni dari 38,71 % meningkat menjadi 80,65% atau sebesar 41,94%
Kata kunci : Teching concept, Concept attainment
PENDAHULUAN
1 Ringkasan Hasil Penelitian 2 Dosen Pend. Fisika FKIP Unhalu
Model teaching concept (pengajaran konsep)
merupakan satu model pengajaran yang
dikembangkan untuk mengajarkan ide, kunci atau
konsep (concept) yang menjadi dasar bagi siswa
untuk mampu berpikir tingkat tinggi (higher level
thinking). Fokus dari model teaching concept yaitu
guru membimbing siswa dalam mencapai dan
mengembangkan konsep dasarnya yang dibutuhkan
untuk belajar lebih lanjut dan berpikir tingkat
tinggi. Konsep diajarkan melalui contoh dan bukan
contoh dengan cara mengidentifikasi atribut kritis
dan non kritis. Atribut kritis adalah karakteristik
yang dimiliki oleh semua anggota kelas yang
digunakan untuk memisahkan satu konsep dengan
yang lainnya. Sedangkan atribut non kritis adalah
karakteristik yang bisa ditemukan dalam beberapa
anggota tetapi tidak dalam semua anggota kelas.
Dalam model teaching concept terdapat 3 (tiga)
strategi (meskipun Arends,1989 dalam bukunya
learning to teach mengatakan sebagai approach
tapi penulis memaknainya sebagai strategi dan
bukan sebagai pendekatan), yaitu : (1). Presentasi
langsung (direct presentation), (2). Pembentukan
konsep (concept formation), (3). Pencapaian
konsep (concept attainment).
Ada empat fase atau langkah utama di
masing-masing strategi pengajaran konsep.
Meskipun ada variasi dalam urutan aktivitas
belajar dan perilaku guru pendamping di fase 2 dan
3. Semua urutan dari fase dirangkum dalam Tabel
berikut :
97
Tabel 1. Sintaks Pengajaran Konsep (Teaching Concept)
FASE PERILAKU GURU
Fase 1:
Penyajian tujuan
dan penetapan
skenario
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan
menetapkan skenario
Fase 2
atau 3:
Daftar, label,
definisi
Guru menamai konsep dan mengidentifikasi atribut
kritis di presentasi langsung. Di pembentukan
konsep, guru menolong siswa membedakan properti
kelompok dan label identifikasi bentuk. Di
pencapaian konsep, siswa dilibatkan dalam proses
induktif di mana mereka menemukan atribut konsep.
Fase 2
atau 3:
Penyajian contoh
dan bukan contoh
Guru menampilkan contoh, menggunakan
pendekatan pencapaian konsep dan presentasi
langsung. Di pembentukan konsep, siswa
mengelompokan objek dengan karakteristiknya.
Fase 4: Menolong siswa
menganalisis
berpikir dan
mengintegrasikan
belajar
Guru membantu siswa untuk berpikir tentang
pikirannya sendiri dan untuk mengintegrasikan
belajar baru
(Arends, 1989: 323-325).
Presentasi langsung menekankan guru
dalam memberi label dan mendefinisikan konsep
untuk dipelajari di awal pelajaran yang diikuti
dengan penyajian contoh-contoh terbaik dan
presentasi untuk pemahaman siswa melalui
expository (penjelasan) dan/atau interrogatory
(pemeriksaan) pada konsep.
Strategi pembentukan konsep melibatkan
siswa dalam pencatatan dan pengelompokan obyek
dan gagasan dalam beberapa hal, bahkan penamaan
dan mendefinisikan konsep-konsep mereka sendiri.
Strategi ini terutama sekali bermanfaat ketika
tujuan belajar mengandung penemuan konsep baru
dan pengembangan konsep.
Strategi pencapaian konsep dimulai dengan
presentasi contoh dan bukan contoh suatu konsep
tertentu dan menyimpan pendefinisian dan
pelabelan sampai akhir.
Tabel 2. Sintaks pendekatan pencapaian konsep (Concept Attainment)
FASE PERILAKU GURU
Fase 1
Penyajian tujuan dan
menetapkan skenario
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan
mendapatkan siswa siap belajar
Fase 2 Penyajian contoh dan
bukan contoh
Guru menampilkan contoh dan non-contoh
dari konsep
Fase 3
Daftar, label, definisi
Siswa dilibatkan dalam proses induktif di
mana mereka menemukan atribut konsep.
Fase 4 Menolong siswa
menganalisis berpikir dan
mengintegrasikan belajar
Guru membantu siswa untuk berpikir tentang
pikirannya sendiri dan untuk
mengintegrasikan belajar
98
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kelas IV
sekolah dasar pada materi pokok perubahan wujud
benda yang dilakukan dalam 3x pertemuan dalam
bingkai penelitian tindakan kelas yang dirancang
dalam 2 siklus. Data penelitian terdiri dari aktivitas
siswa dan guru yang diperoleh dengan
menggunakan lembar observasi dan data hasil
belajar yang diperoleh dengan menggunakan tes
hasil belajar. Siswa dibentuk dalam tatanan
kelompok belajar yang terdiri dari 4-5 orang tiap
kelompok
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data penelitian ini meliputi data aktivitas
siswa, aktivitas guru dan data hasil belajar siswa.
Berikut data rata-rata aktivitas siswa untuk masing-
masing satuan aktivitas dari siklus 1 (satu) ke
siklus 2 (dua) dalam kategori
Tabel 3. Rata-Rata Aktivitas Siswa pada Setiap Siklus
No Aspek yang Dinilai Siklus
I II
1. Siswa memperhatikan penjelasan guru tentang fungsi kategori “ya”
(contoh) dan “tidak” (bukan contoh) dari suatu konsep
baik baik
2. Siswa mampu membedakan atribut kritis dari konsep yang
diberikan melalui contoh dan bukan contoh yang diberikan oleh
guru
Cukup Sangat
baik
3. Siswa membandingkan karakteristik contoh “ya” (contoh) dan
“tidak” (bukan contoh)
Cukup Baik
4. Siswa mampu memberikan hipotesis dari konsep perubahan wujud
benda dan menguji contoh “ya” dalam melawan contoh “tidak”
(bukan contoh)
Cukup
Baik
5. Siswa mampu memberi label pada setiap contoh “ya” (contoh) Baik Sangat
baik
6. Siswa mampu menyatakan karakteristik penting (atribut kritis) dari
konsep
Baik Sangat
baik
7. Siswa mampu memberikan nama pada konsep berdasarkan atribut
kritisnya
Cukup Sangat
baik
8. Siswa mampu memberikan definisi dari konsep Cukup Sangat
baik
9. Siswa mampu membenarkan jawaban mereka terhadap contoh
tambahan yang diberikan oleh guru berdasarkan atribut kritis dari
konsep
Kuran
g
Baik
10. Siswa mampu memasok contohnya sendiri agar sesuai dengan
konsep
Cukup Baik
11. Siswa mampu menggambarkan proses berpikir yang mereka
gunakan dalam mencapai konsep
Kuran
g
Sangat
baik
Rata-Rata Aktivitas Siswa Cukup Baik
Dari table diatas terlihat bahwa terjadi
peningkatan aktivitas dari siklus 1 ke siklus 2
untuk semua satuan aktivitas. Terdapat beberapa
aktivitas mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, diantaranya aktivitas . Peningkatan
tersebut tidak terlepas dari upaya guru dalam
melakukan perbaikan pengajaran yang dilakukan
setelah observasi terhadap proses dan hasil belajar
dilakukan. Berikut data aktivitas guru selama
proses pembelajaran berlangsung :
99
Tabel 4. Data aktivitas guru selama proses belajar mengajar
No Aktivitas guru yang dinilai Siklus I Siklus II
1. Menjelaskan tujuan pembelajaran Sangat baik Sangat baik
2. Menjelaskan fungsi kategori ”contoh” dan ”bukan contoh” Baik Sangat baik
3. Memberikan contoh awal yang jelas yang mengandung
karakteristik yang penting
Sangat baik Sangat baik
4. Memberikan pertanyaan yang berfokus pada berpikir siswa
tentang atribut penting
Kurang Baik
5. Meminta siswa untuk mebandingkan ”contoh” Baik Sangat baik
6. Meminta siswa untuk membandingkan karakteristik ”contoh”
dan ”bukan contoh”
Kurang Baik
7. meminta siswa melabel pada setiap ”contoh” Baik Baik
8. Meminta siswa untuk menghasilkan hipotesis dari konsep
perubahan wujud benda dan menguji mereka membandingkan
“contoh” dan “bukan contoh”
Cukup Sangat baik
9. Meminta siswa untuk memberi nama konsep Baik Sangat baik
10. Meminta siswa untuk menyatakan karakteristik penting (atribut
kritis) dari konsep
Baik Baik
11. Menghadirkan contoh tambahan dan bertanya apakah mereka
mengandung konsep
Sangat baik Sangat baik
12. Meminta siswa untuk membenarkan jawaban mereka Baik Sangat
baik
13. Meminta siswa untuk membenarkan contoh mereka dengan
mengidentifikasi karakteristik yang penting (yaitu, atribut
kritis)
Baik Baik
14. Meminta siswa untuk menggambarkan proses berpikir yang
mereka gunakan dalam mencapai konsep
Kurang Baik
Rata-Rata Cukup Sangat baik
Peningkatan hasil belajar dapat dilihat dari persentase ketuntasan dari tiap siklus. Berikut data
ketuntasan belajar pada siklus 1 dan siklus 2 :
Tabel 5. Deskripsi Ketuntasan Belajar Siswa
No. Jenis
Evaluasi
Ketuntasan
Tuntas Belum Tuntas
Frekuensi
(orang)
Persentase
(%)
Frekuensi
(orang)
Persentase
(%)
1. Siklus I 12 38,71 19 61,29
2. Siklus II 25 80,65 6 19,35
Untuk lebih jelasnya gambaran jumlah
siswa yang sudah tuntas dengan belum tuntas
belajar pada tiap siklus dapat dilihat pada Gambar
4.5 berikut:
100
Gambar 4.5 Grafik Persentase Jumlah Siswa Sudah
Tuntas dan Belum Tuntas Belajar
Dari data ketuntasan hasil belajar diatas
dapat dilihat terjadi peningkatan persentase
ketuntasan belajar dari siklus 1 ke siklus 2 yakni
sebesar 41,94%. Ketuntasan belajar meningkat dari
38,71% menjadi 80,65%.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif
terhadap aktivitas siswa, guru dan data hasil
belajar, menunjukkan bahwa model pengajaran
konsep dengan strategi pencapaian konsep
(concept attainment) mampu mengaktifkan siswa
dalam pembelajaran yang diindikasikan oleh
meningkatnya aktivitas dan hasil belajar dari siklus
1 ke siklus 2. Yang khas dari model pengajaran
konsep dengan strategi pencapaian konsep adalah
adanya penyajian contoh dan bukan contoh, siswa
diberi kesempatan untuk mengidentifikasi atribut
kritis dari masing-masing konsep sampai akhirnya
mereka menemukan sendiri definisi konsepnya.
Arends,1989 mengatakan bahwa kelebihan
model pengajaran konsep dengan strategi
pencapaian konse dibandingkan dengan cara yang
biasa dipakai oleh guru pada umumnya terletak
pada sistematikanya serta model ini lebih dapat
mengaktifkan keterlibatan intelektual siswa,
sehingga konsep yang diperoleh lebih bermakna
dan akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar.
KESIMPULAN
Model pengajaran konsep (teaching
concept) dengan strategi pencapaian konsep
(concept attainment) dapat meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar siswa. Aktivitas belajar siswa
dapat ditingkatkan dari kategori cukup pada siklus
1 menjadi kategori baik pada siklus 2. Sedangkan
peningkatan hasil belajar meningkat berdasarkan
peningkatan persentase ketuntasan belajar yakni
38,71% pada siklus 1 menjadi 80,65% atau
meningkat sebesar 41,94%.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. 1989. Learning To Teach. McGrow-
Hill : Singapura.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta :
Rineka Cipta.
----------------, 2005. Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan Edisi Revisi Cetakan Ke-5. Jakarta :
Bumi Aksara.
Iskandar, 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jambi :
Gaung Persada Press.
RW Dahar, 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta :
Erlangga.
101
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKn MATERI PERSAMAAN KEDUDUKAN
WARGA NEGARA MELALUI PEMBELAJARAN MODEL QUANTUM TEACHING
PADA SISWA KELAS X-2 SMA NEGERI 9 KENDARI1
Oleh:
Sulfa2
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan
Kewarganegaraan pada materi persamaan kedudukan warga Negara pada siswa kelas X-2 SMA
Negeri 9 Kendari melalui penerapan model quantum teaching. Penelitian ini dilaksanakan pada
siswa kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari pada semester genap tahun ajaran 2010/2011. Faktor
yang diteliti adalah faktor hasil belajar siswa dan faktor guru. Jenis data dalam penelitian ini
terdiri data kualitatif dan data kuantitatif. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan persentase yang mengacu pada indikator kinerja yang ditetapkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan aktivitas mengajar guru, aktivitas belajar siswa
maupun pada hasil belajar siswa. Aktivitas mengajar guru pada siklus I yang hanya mencapai
persentase sebesar 70% meningkat pada siklus II menjadi 90%. Begitu pula pada aktivitas
belajar siswa, pada siklus I persentase keaktivan hanya 50% meningkat pada siklus II menjadi
90%. Peningkatan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa yang melaksanakan
model pembelajaran quantum teaching membawa dampak positif pada hasil belajar siswa.
Kesimpulan penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran model quantum teaching
dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2 SMA Negeri 9
Kendari pada materi persamaan kedudukan warga negara.
Kata kunci: Model pembelajaran quantum teaching, Hasil Belajar PKn, aktivitas mengajar
guru dan aktivitas belajar siswa.
1 Ringkasan hasil Penelitian 2 Dosen Pend. IPS/PPKn FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masalah hasil belajar merupakan salah satu
masalah yang tidak pernah usai dibicarakan dalam
dunia pendidikan, sebab hasil belajar menjadi
suatu indikator keberhasilan dari proses
pembelajaran. Banyak faktor yang mempengaruhi
hasil belajar, antara lain keterampilan dan
kemampuan mengajar guru, lingkungan belajar
siswa, media pembelajaran yang digunakan, cara
guru memotivasi siswa, serta strategi dan model
pembelajaran yang diterapkan oleh guru di dalam
kelas.
Kepadatan materi Pendidikan
Kewarganegaraan jika hanya diajarkan melalui
metode ceramah dengan target hanya
menghabiskan materi maka siswa akan merasa
bosan dan cenderung pasif dalam proses
pembelajaran, sehingga hasil belajar yang dicapai
tidak memuaskan. Siswa cenderung tidak
memperhatikan dengan serius materi yang
diajarkan oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan
sehingga materi yang diajarkan tidak dapat
dipahami dengan baik. Kondisi seperti ini terjadi
pada kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari.
Hasil belajar mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan, khususnya pada materi
persamaan kedudukan warga negara rata-rata
masih tergolong rendah. Berdasarkan data yang
diberikan oleh guru bidang studi Pendidikan
Kewarganegaraan siswa kelas X-2 menunjukkan
pada semester genap tahun ajaran 2008/2009,
hanya 25 dari 45 orang siswa (55,5%) yang
mencapai skor 67 (tuntas belajarnya). Semester
genap tahun ajaran 2009/2010 hanya 27 dari 46
orang siswa (58,6%) berkriteria tuntas atau
102
mencapai skor 67 (standar kriteria ketuntasan
minimal yang ditetapkan oleh sekolah pada mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan). Hal ini
menjadi alasan perlunya diadakan tindakan
perbaikan pembelajaran sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar Pendidikan
Kewarganegaraan siswa kelas X-2 khususnya pada
materi persamaan kedudukan warga negara.
Rendahnya hasil belajar Pendidikan
Kewarganegaraan siswa kelas X-2 disebabkan
karena pada saat pembelajaran berlangsung, guru
cenderung mendominasi kegiatan pembelajaran di
kelas sedangkan siswa bersifat pasif. Siswa kurang
aktif memperhatikan penjelasan guru pada saat
menjelaskan materi. Siswa saling mengganggu
pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Penyebab lainnya adalah siswa hanya mendapatkan
pengetahuan secara deklaratif, serta model yang
diterapkan oleh guru bersifat monoton yaitu
menggunakan model pembelajaran konvensional,
Hal ini diduga menjadi penyebab rendahnya hasil
belajar siswa kelas X-2 pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan khususnya materi
persamaan kedudukan warga negara pada siswa
kelas X-2.
Untuk memecahkan masalah pembelajaran
tersebut, maka perlu diterapkan model
pembelajaran yang melibatkan peran siswa secara
aktif serta meningkatkan aktivitas guru dalam
mengajar bukan hanya sekedar ceramah guna
meningkatkan hasil belajar Pendidikan
Kewarganegaraan siswa khususnya pada materi
persamaan kedudukan warga negara. Salah satu
model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah
model quantum teaching. Menurut A‟la (2010: 60)
mengatakan cara-cara belajar dalam quantum
teaching dapat meningkatkan motivasi dan minat
belajar dengan menerapkan enam langkah
pelaksanaan pembelajaran yang dikenal dengan
istilah TANDUR (tumbuhkan, alami, namai,
demonstrasikan, ulangi dan rayakan). Hal ini dapat
dilihat dari adanya interaksi positif antara siswa-
guru, siswa-siswa, dan siswa dengan materi
pembelajaran, siswa mengalami kemudahan dalam
menerima pelajaran, siswa lebih aktif dalam
pembelajaran dengan adanya kesempatan untuk
mendemonstrasikan pengetahuan maupun
pemahaman mereka masing-masing dan siswa
lebih aktif dan semangat lagi untuk belajar karena
jerih payah mereka dalam mendemonstrasikan
pemahaman mereka mendapat penghargaan atau
pujian dari guru maupun temannya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis
mengadakan penelitian dalam bentuk Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) dengan judul:
“Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan
Kewarganegaraan Materi Persamaan Kedudukan
Warga Negara Melalui Pembelajaran Model
Quantum Teaching Pada Siswa Kelas X-2 SMA
Negeri 9 Kendari”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: (1) apakah penerapan
model quantum teaching dapat meningkatkan hasil
belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi
persamaan kedudukan warga negara pada siswa
kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari? (2) apakah
penerapan model quantum teaching dapat
meningkatkan aktivitas mengajar guru dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan materi
persamaan kedudukan warga negara pada siswa
kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari? (3) apakah
penerapan model quantum teaching dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan materi
persamaan kedudukan warga negara pada siswa
kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: (1) untuk
meningkatkan hasil belajar Pendidikan
Kewarganegaraan materi persamaan kedudukan
warga negara pada siswa kelas X-2 SMA Negeri 9
Kendari melalui penerapan model pembelajaran
quantum teaching, (2) untuk meningkatkan
aktivitas mengajar guru, (3) untuk meningkatkan
aktivitas belajar siswa melalui pembelajaran model
quantum teaching.
KAJIAN PUSTAKA
Belajar adalah suatu proses yang ditandai
dengan adanya perubahan pada diri seseorang
sebagai hasil proses yang dapat ditunjukkan dalam
berbagai bentuk yaitu berubahnya pemahaman,
sikap dan tingkah lakunya, daya penerimaan dan
aspek-aspek lain yang ada pada individu siswa
(Sudjana, 2000: 28).
103
Di dalam dunia pendidikan, istilah
pembelajaran dan istilah mengajar sering sekali
dipersamakan, padahal kedua merupakan istilah
yang sangat berbeda. Alvin mendefinisikan
mengajar sebagai suatu aktivitas untuk mencoba
menolong, membimbing seseorang untuk
mendapatkan pemahaman atau mengembangkan
keahlian (skill), sikap (attitude), cita-cita (ideal),
penghargaan (appreciation) dan pengetahuan
(knowledge). Maksudnya guru harus mampu
membawa perubahan yang baik untuk mengubah
tingkah laku siswa (Rusyan T., 1994: 12).
Mengajar merupakan suatu proses terjadinya
interaksi antara guru dan siswa melalui kegiatan
terpadu dari dua bentuk kegiatan yakni kegiatan
siswa dengan kegiatan mengajar guru. Mengajar
pada dasarnya adalah usaha direncanakan melalui
pengaturan dan penyediaan kondisi yang
memungkinkan siswa melakukan berbagai kegiatan
belajar seoptimal mungkin (Sudjana, 1998: 3).
Winaputra dkk (2008: 1.18) berpendapat
pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan
meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada
diri peserta didik. Oleh karena pembelajaran
merupakan upaya yang sistematis dan sistematik
untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan
meningkatkan proses belajar maka kegiatan
pembelajaran berkaitan erat dengan jenis hakikat,
dan jenis belajar serta hasil belajar tersebut. Istilah
pembelajaran merupakan istilah baru yang
digunakan untuk menunjukkan kegiatan guru dan
siswa. Sebelumnya, sering digunakan istilah proses
belajar mengajar atau pengajaran.
Hamilton, dkk (2000: 1) menyatakan hasil
belajar merupakan kemampuan belajar yang
ditunjukkan dalam penampilan yang tetap sebagai
akibat dari proses belajar yang terjadi melalui
program yang menyediakan fakta-fakta, bukti-
bukti, keterangan dan sebagainya. Ukuran
keberhasilan itu dapat diketahui dari evaluasi yang
terbentuk skor untuk kerja seseorang dalam
memahami konsep dan bagaimana menggunakan
konsep itu dalam bidang ilmu itu sendiri maupun
terhadap bidang ilmu lainnya. Ibrahim dan Syaodin
(2003: 86) mengemukakan proses belajar mengajar
akan diperoleh suatu hasil yang dibuat hasil
pengajaran atau hasil belajar. Pada materi konsep
dasar Pendidikan Kewarganegaraan telah
dikemukakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan pelajaran dengan keunikan tersendiri.
Pendidikan Kewarganegaraan dimaknai sebagai
pendidikan nilai dan pendidikan politik demokrasi.
Hal ini mengandung konsekwensi bahwa dalam hal
perancangan pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan perlu memperhatikan
karakteristik pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan itu sendiri. Dalam naskah
lampiran Permendiknas nomor 22 tahun 2006
tentang Standar Isi disebutkan bahwa mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan
mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya
untuk menjadi warga Negara Indonesia yang
cerdas, terampil, dan berkarakter yang
diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945
(Winarno, 2006: 28-29). Tujuan dari mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah
agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
(1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif
dalam menanggapi isu kewarganegaraan; (2)
berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab,
dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan
berrnasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
anti-korupsi; (3) berkembang secara positif dan
demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat
hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; (4)
berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam
percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (Winarno, 2006: 29).
A‟la (2010: 21) mengatakan kata quantum
berarti interaksi yang mengubah energi menjadi
cahaya. Jadi model quantum teaching menciptakan
lingkungan belajar yang efektif, dengan cara
menggunakan unsur yang ada pada siswa dan
lingkungan belajarnya melalui interaksi yang
terjadi di dalam kelas. A‟la (2010: 34-40)
mengemukakan model quantum teaching terdapat
enam langkah pembelajaran yang tercermin dalam
istilah tandur, yaitu: (a) tumbuhkan minat dengan
memuaskan, yakni apakah manfaat yang akan
diperoleh dari pelajaran tersebut bagi gurunya dan
siswanya; (b) alami, yakni ciptakan dan datangkan
pengalaman umum yang dapat dimengerti semua
siswa. Jangan sampai seorang guru menggunakan
istilah yang asing dan sulit dimengerti karena ini
akan membuat siswa akan merasa bosan dalam
104
belajar; (c) memberi nama, untuk ini harus
disediakan kata kunci, konsep, model, rumus,
strategi, yang kemudian akan menjadi sebuah
masukan bagi siswa; (d) demonstrasikan, yakni
sediakan kesempatan bagi pelajar untuk
menunjukkan bahwa mereka tahu; (e) ulangi, yakni
tunjukan kepada para pelajar tentang cara-cara
mengulang materi dan menegaskan bahawa siswa
tahu bahwa siswa memang tahu ini; (f) rayakan,
yakni pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi,
dan perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan.
Perayaan adalah ekspresi dari kelompok seseorang
yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas dan
kewajiban dengan baik.
METODE PENELITIAN
Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas X-2
SMA Negeri 9 Kendari, semester genap tahun
ajaran 2010/2011. Penetapan kelas X-2 sebagai
lokasi penelitian didasarkan pada hasil diskusi
dengan guru bidang studi Pendidikan
Kewarganegaraan yang menyatakan bahwa di kelas
tersebut hasil belajar pada materi persamaan
kedudukan warga negara lebih rendah
dibandingkan dengan kelas lain di mana
berdasarkan hasil belajar mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan khususnya pada
materi persamaan kedudukan warga negara siswa
kelas X-2 rata-rata belum berkriteria tuntas atau
mencapai skor 67 (standar kriteria ketuntasan
minimal yang ditetapkan oleh sekolah pada mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan) sehingga
diperlukan satu model pembelajaran yang dapat
merangsang siswa menguasai materi pembelajaran.
Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah guru mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebanyak 1
orang (selaku guru kolaborasi) dan siswa kelas X-2
SMA Negeri 9 Kendari yang terdaftar pada
semester genap Tahun Ajaran 2010/2011 dengan
jumlah 48 orang siswa.
Faktor Yang Diteliti
Untuk menjawab permasalahan yang ada,
terdapat beberapa faktor yang diteliti. Faktor-faktor
tersebut antara lain: (1) faktor siswa, yaitu
menyelidiki peningkatan aktivitas belajar siswa
dalam proses pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan melalui penerapan model
pembelajaran quantum teaching; (2) faktor guru,
yaitu menyelidiki keterlaksanaan pembelajaran
yang dilaksanakan oleh guru dalam proses
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
melalui penerapan model pembelajaran quantum
teaching; (3) faktor hasil belajar, yaitu menyelidiki
peningkatan hasil belajar Pendidikan
Kewarganegaraan siswa dengan menerapkan
model pembelajaran quantum teaching.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian tindakan kelas ini terdiri
atas 2 (dua) siklus, dengan setiap siklus
dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang
dicapai pada faktor-faktor yang diteliti. Adapun
pelaksanaan tindakan tersebut mengikuti prosedur
penelitian tindakan kelas sebagai berikut:
1. Perencanaan tindakan
2. Pelaksanaan tindakan
3. Observasi dan evaluasi
4. Refleksi
Secara rinci prosedur pelaksanaan tindakan
kelas ini dijabarkan sebagai berikut:
a. Perencanaan tindakan. Kegiatan yang dilakukan
pada tahap ini meliputi:
1) Membuat rencana perbaikan pembelajaraan
pada mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan dengan submateri
persamaan kedudukan warga negara dengan
menggunakan model quantum teaching.
2) Membuat skenario pembelajaran.
3) Menyiapkan media pembelajaran berupa
peta konsep submateri persamaan kedudukan
warga negara.
4) Membuat atau menyiapkan lembar observasi
guru.
5) Menyiapkan lembar observasi siswa.
6) Menyusun soal-soal evaluasi dalam bentuk
kuis untuk mengukur hasil belajar siswa.
7) Membuat kunci jawaban kuis
b. Pelaksanaan tindakan. Kegiatan yang
dilaksanakan pada tahap ini adalah
melaksanakan tindakan perbaikan
pembelajaran yang sesuai skenario yang telah
dibuat.
105
c. Observasi dan evaluasi. Pada tahap ini
dilaksanakan observasi pada pelaksanaan
pembelajaran dengan penerapan model
quantum teaching pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan serta dilakukan
evaluasi diakhir pelaksanaan siklus untuk
mengetahui sejauhmana penguasaan siswa
terhadap materi yang telah diajarkan (submateri
persamaan kedudukan warga negara) dengan
menggunakan format penilaian yang telah
disiapkan serta untuk mengetahui keberhasilan
(aktivitas pembelajaran guru dan siswa)
pelaksanaan tindakan.
d. Refleksi. Pada tahap ini dilakukan untuk
mengetahui sejaumana keberhasilan dan
kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan
tindakan (hasil dan proses pembelajaran)
sebagai bahan dasar/acuan untuk pelaksanaan
perbaikan pembelajaran pada siklus berikutnya.
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang diperoleh berupa data
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh
dari tes hasil belajar, sedangkan data kualitatif
diperoleh dari lembar observasi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
antara lain: (1) data tentang proses pelaksanaan
pembelajaran model quantum teaching diperoleh
dengan menggunakan lembar observasi; (2) data
tentang hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan
siswa diperoleh dengan menggunakan tes hasil
belajar; (3) dokumentasi digunakan sebagai bukti
fisik kegiatan pembelajaran dalam siklus tindakan
dalam penelitian.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah
teknik analisis deskriptif adalah
1. Tingkat ketuntasan belajar individu,
menggunakan rumus:
Nilai Akhir = x 100 )
2. Tingkat ketuntasan klasikal, menggunakan
rumus:
Ketuntasan Belajar=
x 100%
3. Persentase hasil observasi mengajar guru dan
belajar siswa, menggunakan rumus:
Persentase
keberhasilan:
(Riduwan, 2000:
25).
Indikator Kinerja
Hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan
siswa kelas X-2 dikatakan telah meningkat apabila
siswa telah memperoleh nilai 67 (skor kriteria
ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah
khususnya pada mata Pendidikan
Kewarganegaraan) dengan persentase keberhasilan
secara klasikal minimal 80%. Aktivitas proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru dikatakan
telah berhasil apabila persentase keberhasilan guru
dalam melaksanakan skenario pembelajaran model
quantum teaching mencapai 80%. Aktivitas belajar
siswa dikatakan berhasil apabila persentase
keberhasilan aktivitas belajar Pendidikan
Kewarganegaraan siswa telah mencapai 80%.
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Per Siklus
Siklus I
1. Perencanaan
Peneliti sebagai guru pengajar
merencanakan kegiatan pembelajaran dengan
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Membuat Rencana Perbaikan Pembelajaran
siklus I dengan submateri persamaan
kedudukan warga negara
2) Membuat skenario pembelajaran siklus I
3) Menyiapkan media pembelajaran berupa peta
konsep dengan submateri persamaan
kedudukan warga negara
4) Membuat lembar observasi aktivitas mengajar
guru dalam pembelajaran quantum teaching
siklus I
5) Membuat lembar observasi aktivitas belajar
siswa dalam pembelajaran quantum teaching
siklus I
106
6) Menyusun soal-soal evaluasi dalam bentuk
kuis mengukur hasil belajar siswa pada siklus
I
7) Membuat kunci jawaban soal-soal evaluasi
pada siklus I.
2. Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan pada hari
Jumat tanggal 25 Februari 2011 dengan jumlah
siswa 43 orang. Peneliti bertindak sebagai guru
yang melakukan pembelajaran mengacu pada
Rencana Perbaikan Pembelajaran yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Kegiatan pembelajaran
di kelas X-2 dilaksanakan dengan menerapkan
model quantum teaching. Adapun langkah-langkah
kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan
berdasarkan Rencana Perbaikan Pembelajaran
dibagi dalam 3 kegiatan sebagai berikut:
1) Kegiatan Awal
Guru membuka pelajaran dengan
menyampaikan salam, menanyakan kesiapan
belajar siswa dan mengecek kehadiran siswa.
Selanjutnya guru menyampaikan tujuan
pembelajaran yang akan dicapai pada akhir
pembelajaran, guru menyampaikan pula
model pembelajaran yang akan digunakan
dalam pembelajaran. Guru memberikan
apersepsi dengan mengajukan pertanyaan,
motivasi siswa dan membuat kaitan materi
yang baru dengan materi sebelumnya.
2) Kegiatan inti
Dalam kegiatan inti, guru
menjelaskan submateri persamaan
kedudukan warga negara guru memberikan
contoh-contoh atau pengalaman umum yang
mudah dipahami oleh siswa. Tahapan
selanjutnya, siswa diberikan kesempatan
untuk bertanya tentang materi pelajaran yang
belum dipahami. Pertanyaan tersebut
sebelum dijawab oleh guru, guru
memberikan kesempatan kepada beberapa
siswa untuk menjawab. Selanjutnya,
beberapa orang siswa diberikan kesempatan
untuk mendemostrasikan pengetahuannya
tentang apa yang dipahami terkait submateri
persamaan kedudukan warga negara di depan
kelas atau di papan tulis dengan mengacu
kepada peta konsep yang dibuatnya sendiri
maupun guru. Siswa lain menyimaknya dan
bersiap-siap untuk menanggapinya. Guru
memberikan pujian atau menyuruh siswa lain
untuk memberikan tepuk tangan kepada
siswa yang bisa menjawab atau
mendemonstrasikan pengetahuannya.
3) Kegiatan penutup
Dalam kegiatan penutup ini, guru
memberikan evaluasi/tes dalam bentuk kuis.
Selanjutnya guru menutup pelajaran dengan
salam.
3. Observasi Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan observasi dilakukan bersamaan
dengan pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran
model quantum teaching. Kegiatan observasi
dilakukan oleh St. Wardha Sanusi, S.Pd. selaku
kolaborator atau guru bidang studi Pendidikan
Kewarganegaraan dengan menggunakan lembar
observasi yang dibuat oleh peneliti. Kegiatan
observasi diarahkan kepada hal-hal yang telah
disepakati pada tahap perencanaan penelitian yakni
lembar observasi memuat skenario pembelajaran
dengan pendekatan model quantum teaching dan
teknik penilaian yang digunakan pada lembar
observasi. Kegiatan observasi terbagi atas dua
bagian yakni observasi terhadap aktivitas mengajar
guru dan observasi terhadap aktivitas belajar siswa.
Berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan observer ditetapkan aktivitas mengajar
guru mencapai persentase keberhasilan sebesar
70%. Adapun aktivitas belajar siswa mencapai
persentase keberhasilan hanya mencapai 50%. Hal
ini menunjukkan aktivitas mengajar guru dan
aktivitas belajar siswa belum maksimal karena
belum mencapai indikator kinerja yang ditentukan
dalam penelitian ini yaitu 80%.
4. Evaluasi Hasil Belajar Siswa
Pada akhir proses pembelajaran Siklus I,
pada hari Jumat tanggal 25 Februari 2011
dilakukan evaluasi tes dalam bentuk kuis. Kuis
tersebut diberikan dan dikerjakan siswa secara
individual. Pemberian kuis ini harus dengan
alokasi waktu yang cukup bagi siswa untuk
menyelesaikannya. Hasil evaluasi siklus I
diperoleh nilai rata-rata hasil belajar siswa adalah
66,21 dan ketuntasan belajar secara klasikal
mencapai 55,8% atau hanya 24 siswa yang tuntas
belajar dari 43 siswa. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa pada siklus I secara klasikal siswa belum
107
tuntas belajarnya, karena siswa yang memperoleh
nilai ≥ 67 hanya sebesar 55,8% lebih kecil dari
persentase ketuntasan klasikal yang dikehendaki
yaitu sebesar 80%.
5. Refleksi
Refleksi yang dilakukan peneliti dan
kolaborator menghasilkan beberapa tindakan dalam
proses pembelajaran yang masih perlu diperbaiki
atau ditingkatkan pada siklus berikutnya baik dari
aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa.
Sedangkam hasil belajar siswa mencapai
persentase ketuntasan klasikal baru mencapai
55,8% atau 24 orang siswa yang tuntas dari 43
orang jumlah siswa sedangkan 44,2% atau masih
19 orang siswa yang belum tuntas. Hal ini
menunjukkan bahwa tantangan yang harus
ditingkatkan nilainya minimal sebesar 24,2%.
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa perlu
peningkatan dari segi hasil belajar siswa, dan
meningkatkan aktivitas mengajar guru dan aktivitas
belajar siswa dalam memanfaatkan model
pembelajaran quantum teaching. Hal ini yang
mendorong dilanjutkan pada siklus II.
Tindakan siklus II
1. Perencanaan
Pada tahapan perencanaan tindakan siklus II,
hal yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Membuat Rencana Perbaikan Pembelajaran
Siklus II dengan submateri persamaan
kedudukan warga negara tanpa membedakan
ras, agama, gender, suku bangsa dan budaya
2) Membuat skenario pembelajaran siklus II
3) Membuat media pembelajaran berupa peta
konsep submateri dengan submateri
persamaan kedudukan warga negara tanpa
membedakan ras, agama, gender, suku bangsa
dan budaya
4) Membuat/menyiapkan lembar observasi
aktivitas mengajar guru dalam pembelajaran
quantum teaching siklus II
5) Membuat/menyiapkan lembar observasi
aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran
quantum teaching siklus II
6) Menyusun soal-soal evaluasi dalam bentuk
kuis siklus II untuk mengukur hasil belajar
siswa
7) Membuat kunci jawaban kuis siklus II
2. Pelaksanaan tindakan
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan pada
hari Jumat tanggal 25 Februari 2011 dengan
jumlah siswa 46 orang. Pada tahap ini, model
pembelajaran quantum teaching kembali
diterapkan. Kegiatan pembelajaran dilakukan sama
seperti pelaksanaan tindakan siklus I. Proses
pembelajaran dilakukan sesuai dengan rencana
pembelajaran yang dibuat sebelumnya yang
mengacu pada model pembelajaran quantum
teaching.
Materi yang diajarkan pada siklus II ini
merupakan kelanjutan materi yang diajarkan pada
siklus I yakni pada submateri persamaan
kedudukan warga negara tanpa membedakan ras,
agama, gender, suku bangsa dan budaya. Dalam
proses pelaksanaan tindakan, lebih menekankan
pada perbaikan kelemahan-kelemahan yang terjadi
pada siklus sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar
proses pelaksanaan model pembelajaran quantum
teaching semakin maksimal, dengan demikian hasil
belajar PKn siswa bisa meningkat.
3. Observasi
Kegiatan observasi dilakukan bersamaan
dengan pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran
model quantum teaching. Kegiatan observasi
dilakukan oleh St. Wardha Sanusi, S.Pd. selaku
kolaborator atau guru bidang studi Pendidikan
Kewarganegaraan dengan menggunakan lembar
observasi yang dibuat oleh peneliti. Kegiatan
observasi diarahkan kepada hal-hal yang telah
disepakati pada tahap perencanaan penelitian yakni
lembar observasi memuat skenario pembelajaran
dengan pendekatan model quantum teaching dan
teknik penilaian yang digunakan pada lembar
observasi. Kegiatan observasi terbagi atas dua
bagian yakni observasi terhadap aktivitas mengajar
guru dan observasi terhadap aktivitas belajar siswa.
Berdasarkan hasil observasi siklus II,
diketahui aktivitas mengajar guru telah mencapai
persentase keberhasilan sebesar 90% dan aktivitas
belajar siswa telah mencapai persentase
keberhasilan sebesar 90%. Dengan demikian,
aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa
telah memenuhi indikator kinerja yang ditetapkan
dalam penelitian ini.
108
4. Evaluasi
Pada akhir proses pembelajaran Siklus II,
pada hari Jumat tanggal 25 Februari 2011
dilakukan evaluasi tes dalam bentuk kuis, yang
mana kuis tersebut diberikan dan dikerjakan siswa
secara individual. Pemberian kuis ini diberikan
dengan alokasi waktu yang cukup bagi siswa untuk
menyelesaikannya. Berdasarkan hasil evaluasi
siklus II diketahui nilai rata-rata hasil belajar siswa
adalah 78,63 dan ketuntasan belajar secara klasikal
mencapai 84,8% atau ada 39 siswa yang tuntas
belajarnya dari 46 siswa. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa pada siklus II secara klasikal
siswa sudah tuntas belajar, karena siswa yang
memperoleh nilai ≥ 67 telah mencapai 84,8% lebih
besar dari persentase ketuntasan klasikal yang
dikehendaki yaitu sebesar 80%.
5. Refleksi
Setelah kegiatan penelitian, tepatnya pada
hari Jumat, 25 Februari peneliti bersama
kolaborator mengadakan pertemuan untuk
membahas kerberhasilan pelaksanaan penelitian
siklus II yang telah dilakukan. Jika dibandingkan
mulai dari siklus I sampai dengan siklus II, nilai
hasil belajar yang diperoleh siswa kelas X-2 SMA
Negeri 9 Kendari menunjukkan hasil yang sangat
memuaskan yakni mengalami peningkatan sebesar
29%. Aktivitas mengajar guru mengalami
peningkatan sebesar 20% (skor siklus I hanya 70%
menjadi 90% pada siklus II) dan aktivitas belajar
siswa juga meningkat sebesar 40% (skor siklus I
hanya 50% menjadi 90% pada siklus II).
Peningkatan presentase keberhasilan baik dari segi
aktivitas mengajar guru, aktivitas belajar siswa
maupun hasil belajar siswa di atas telah mencapai
indikator kinerja keberhasilan yang ditetapkan
dalam penelitian ini yaitu ≥ 80%. Hal ini berarti
penelitian ini telah berhasil dan selesai sesuai
dengan rencana dalam prosedur penelitian yaitu
tindakan dilaksanakan sampai dengan siklus II.
PEMBAHASAN
Aktivitas mengajar guru dalam
pembelajaran dengan menerapkan model
pembelajaran quantum teaching pada setiap siklus
mengalami peningkatan. Hal ini berdasarkan
analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini di
mana hasil observasi aktivitas mengajar guru siklus
I mencapai tingkat keberhasilan 70% dan siklus II
mencapai 90%, dengan persentase peningkatan
sebesar 20%. Hal ini sejalan dengan pendapat
Porter dalam Nilandri (2009: 3) mengatakan
quantum teaching menunjukkan kepada guru untuk
menjadi lebih baik dan dengan menggunakan
metodologi quantum teaching, guru akan dapat
menggabungkan keistimewaan-keistimewaan
belajar menuju bentuk perencanaan pengajaran
yang akan melejitkan presetasi siswa. Hal ini
menunjukkan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran akan terus membaik dan meningkat
dengan menggunakan model pembelajaran
quantum teaching. Adanya peningkatan
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
juga memiliki dampak positif dalam meningkatkan
hasil belajar siswa.
Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran
PKn pada materi persamaan kedudukan warga
negara melalui model pembelajaran quantum
teaching juga mengalami peningkatan pada setiap
siklusnya yakni hasil observasi aktivitas belajar
siswa siklus I mencapai tingkat keberhasilan 50%
dan siklus II mencapai 90% dengan jumlah
persentase peningkatan sebesar 40%. Hal ini
sejalan dengan pendapat Porter dalam Nilandri
(2009: 4) yang mengatakan dalam quantum
teaching mencakup petunjuk spesifik untuk
menciptakan lingkungan belajar efektif,
menyampaikan isi, dan memudahkan proses
belajar. Selain itu, menurut A‟la (2010: 60)
mengatakan cara-cara belajar dalam quantum
teaching dapat meningkatkan motivasi dan minat
belajar dengan menggunakan kerangka rancangan
pembelajaran yang dikenal dengan istilah tandur
(tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi
dan rayakan). Jadi, dapat dikatakan siswa sangat
antusias dan aktif dalam belajar.
Dengan adanya peningkatan aktivitas
mengajar guru dan aktitas belajar siswa akan
berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa.
Hal ini berdasarkan analisis data di mana diketahui
pada hasil kuis formatif tindakan siklus I
menunjukkan bahwa penguasaan siswa secara
klasikal terhadap submateri persamaan kedudukan
warga negara sebesar 55,8% atau hanya 24 siswa
dari 43 siswa yang berkriteria tuntas atau
memperoleh nilai ≥ 67 dengan nilai rata-rata 66,21.
Hasil kuis tindakan siklus II yang menunjukkan
109
peningkatan yakni diperoleh penguasaan siswa
secara klasikal terhadap materi pelajaran sebesar
84,8% dengan persentase peningkatan sebesar 29%
atau sebanyak 39 siswa telah memperoleh nilai ≥
70 dengan nilai rata-rata 78,63. Hal ini terjadi
peningkatan jika dibandingkan dengan siklus I
hanya mencapai 55,8% siswa yang tuntas KKM.
Peningkatan hasil belajar Pendidikan
Kewarganegaraan siswa kelas X-2 yang dicapai
tersebut selain dipengaruhi oleh penerapan model
quantum teaching, juga disebabkan peningkatan
aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2006:
28) mengatakan bahwa untuk memperoleh hasil
belajar yang optimal, guru dituntut kreatif
membangkitkan motivasi belajar siswa dengan: a)
memperjelas tujuan yang ingin dicapai; b)
membangkitkan minat siswa; c) ciptakan suasana
yang menyenangkan dalam belajar; d) berilah
pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan
siswa; e) berilah penilaian; f) berilah komentar
terhadap hasil pekerjaan siswa; dan g) ciptakan
persaingan dan kerjasama.
Ketuntasan hasil belajar dalam penelitian
ini telah mencapai 84,8%, aktivitas mengajar guru
telah mencapai 90% dan aktivitas belajar siswa
juga telah mencapai 90%, maka dapat dinyatakan
bahwa ketuntasan hasil belajar dalam penelitian ini
telah tercapai, dalam hal ini minimal 80% siswa
memperoleh nilai ≥ 67 telah tercapai. Demikian
pula kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh
guru dan siswa dalam pembelajaran model
quantum teaching telah mencapai indikator kinerja
keberhasilan yakni minimal 80% aspek yang
diobservasi telah terlaksana berdasarkan uji siklus
II. Berdasarkan pencapaian ketuntasan ketiga
faktor yang diteliti tersebut maka penelitian ini
dikatakan telah berhasil dan dihentikan sampai
pada siklus II. Ini berarti bahwa hipotesis tindakan
telah terjawab yaitu aktivitas mengajar guru,
aktivitas belajar siswa, dan hasil belajar
Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas X-2
SMA Negeri 9 Kendari pada materi persamaan
kedudukan warga negara dapat ditingkatkan
melalui penerapan pembelajaran model quantum
teaching.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang
telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa penerapan model quantum teaching dapat
meningkatkan aktivitas mengajar guru, aktivitas
belajar siswa, dan hasil belajar dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan materi
persamaan kedudukan warga negara pada siswa
kelas X-2 SMA Negeri 9 Kendari.
DAFTAR PUSTAKA
A‟la, Miftahul. 2010. Quantum Teaching.
Yogyakarta: DIVA Press.
Hamilton dkk. 2000. The case for leaning outcome
s(hhtp:/efcefc/ca/training connection?
Learning.html).
Ibrahim dan Syaodin. 2003. Perencanaan
pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nastia. 2010. Skripsi: Upaya Meningkatkan
Keterampilan Sepak Sila Melalui Metode
Demonstrasi Kontrol Bola Menggunakan
Bola Kecil Pada Pembelajaran Sepak
Takraw Siswa SMA DDI Kendari.
Kendari: Unhalu.
Nilandri, Ary. 2009. Quantum Teaching. Bandung:
Kaifa.
Riduwan, 2005. Dasar-Dasar Statistika. Jakarta:
Alphabeta.
Rusyan, T. 1994. Pendekatan Dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Roskadarya.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Sudjana. 1998. Teori-Teori Pembelajaran Untuk
Pengajaran. Jakarta: Pusat Penerbit UT.
---------. 2000. Dasar-Dasar Proses Belajar
Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Suprayekti. 2004. Interaksi Belajar-Mengajar.
Jakarta: Depdiknas.
Winarno. 2006. Jurnal Civics Vol 3: Pendidikan
Kewarganegaraan Persekolahan
(Standar Isi dan Pembelajarannya).
Surakarta: Universitas Sebelas Maret
(UNS) Surakarta.
110
ANALISIS KANDUNGAN MINERAL
CANGKANG KERANG DARAH (ANADARA GRANOSA)
DARI KABUPATEN BOMBANA DENGAN METODE X-RAY FLUORESCENCE1
Oleh:
Sitti Kasmiati2
Abstrak. Telah melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Kandungan Mineral Cangkang
Kerang Darah (Anadara granosa) Dari Kabupaten Bombana dengan Metode X-Ray
Fluorescence”. Hasil analisis X-Ray Fluorescence menunjukkan bahwa dari keempat sampel
tersebut memiliki kandungan mineral yang sama. Sampel A1 mengandung Kalsium Karbonat
(CaCO3) 96.871%, Kalsium oksida (CaO) 1.774%, Magnesium Oksida (MgO) 0.191%,
Aluminium oksida (Al2O3) 0,939%, Silikon dioksida (SiO2) 0,023%, Besi (Fe) 0,016%,
Titanium (Ti) 0.118%, Phosfor (P) 0.016%, Tembaga (Cu) 0,051% dan Seng (Zn) 0,002%.
Sampel A2 mengandung Kalsium Karbonat (CaCO3) 96,854%, Kalsium oksida (CaO) 1.774%,
Magnesium Oksida (MgO) 0,180%, Aluminium oksida (Al2O3) 0.946%, Silikon dioksida
(SiO2) 0,024%, Besi (Fe) 0,017%, Titanium (Ti) 0,134%, Phosfor (P) 0,016%, Tembaga (Cu)
0,051% dan Seng (Zn) 0.002%. Sampel A3 Kalsium Karbonat (CaCO3) 97,093%, Kalsium
oksida (CaO) 1,778%, Magnesium Oksida (MgO) 0,111%, Aluminium oksida (Al2O3) 0,856%,
Silikon dioksida (SiO2) 0,021%, Besi (Fe) 0,017%, Titanium (Ti) 0,076%, Phosfor (P) 0,014%,
Tembaga (Cu) 0,034% dan Seng (Zn) 0,001%. Sampel B1 adalah Kalsium Karbonat (CaCO3)
96,788%, Kalsium oksida (CaO) 1,754%, Magnesium Oksida (MgO) 0,231%, Aluminium
oksida (Al2O3) 0,980%, Silikon dioksida (SiO2) 0,026%, Besi (Fe) 0,017%, Titanium (Ti)
0,131%, Phosfor (P) 0,023%, Tembaga (Cu) 0,046% dan Seng (Zn) 0,003%.
Kata Kunci : Mineral, Cangkang kerang, Kerang darah, X-Ray Fluorescence.
1 Ringkasan Hasil Penelitian 2 Dosen Pend. Fisika FKIP Unhalu
LATAR BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin pesat, telah memberikan
manfaat positif yang besar dalam peningkatan
efektivitas dan efisiensi kerja manusia dalam
segala bidang. Semua itu tidak luput dari
perkembangan ilmu fisika yang merupakan ilmu
dasar pengembangan teknologi. Perkembangan
ilmu fisika, khususnya setelah ditemukannya sinar-
X telah membawa banyak perubahan dalam segala
bidang ke arah yang lebih baik. Sinar-X banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang tidak hanya
dalam ilmu fisika, tapi juga digunakan dalam
bidang lain seperti ilmu kedokteran.
Perairan Indonesia khususnya Sulawesi
Tenggara memiliki sumber daya alam yang sangat
melimpah. Sumber daya alam tersebut berupa
sumber daya alam biotik dan abiotik yang
mengandung banyak mineral. Beraneka ragam
hewan dan tumbuhan dapat kita jumpai di perairan
Sulawesi Tenggara. Salah satu sumber daya alam
tersebut adalah kerang-kerangan, diantaranya
adalah Anadara granosa atau yang lebih dikenal
dengan nama kerang darah.
Kerang merupakan hewan laut yang
temasuk dalam kelas Bivalve dari phylum Mollusca
(hewan lunak). Kandungan mineral yang ada pada
kerang banyak terdapat pada cangkangnya.
Cangkang kerang memiliki banyak manfaat namun
seperti yang umumnya terjadi di negara
berkembang, potensi itu justru hanya menimbulkan
dampak negatif.
Hal ini terjadi karena cangkang kerang
hanya dibiarkan menjadi limbah atau sampah
dapur, tanpa ada sentuhan teknologi untuk
mengolahnya menjadi bahan yang lebih berharga
dengan nilai tambah tinggi. Sehingga terjadi
111
pencemaran tanah yang mengakibatkan tumbuhan
yang berada di sekitar limbah itu tidak dapat
tumbuh dengan baik. Harus disadari, bahwa
masyarakat belum cukup berpikir dan bekerja keras
untuk berupaya mengolah potensi alam tersebut
demi meningkatkan taraf hidup mereka. Kurangnya
perhatian dan pengetahuan masyarakat terhadap
kekayaan alam yang dimilikinya harus segera
dibenahi demi kehidupan masyarakat yang lebih
baik di masa depan.
Cangkang kerang memiliki manfaat yang
sangat penting karena mengandung kalsium
karbonat (CaCO3) dalam kadar yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan batu gamping, cangkang
telur, keramik atau bahan lainnya. Selain
memperkuat email dan memutihkan gigi, cangkang
kerang juga dapat digunakan sebagai solusi
pencegah terjadinya pencemaran oleh polutan ion
logam dalam air. Hal ini dilakukan dengan cara
menjadikan cangkang kerang sebagai serbuk lalu
dituangkan secara bersamaan dengan HCL ke
dalam air yang tercemar, sehingga hasilnya air dan
endapan ion logam akan terpisah.
Salah satu metode yang dapat digunakan
untuk menganalisis jenis dan sifat mineral adalah
metode X-Ray Fluorescence. Alat ini mempunyai
keunggulan analisis yang lebih cepat dibanding
dengan analisis dengan alat lain.
Sampai saat ini informasi mengenai
kandungan mineral dari cangkang kerang darah
belum diketahui dengan pasti. Oleh karena itu
peneliti menganggap penelitian ini menjadi sangat
penting dan peneliti mengharapkan hasil penelitian
ini dapat menjadi rujukan untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang kerang darah. Hal
inilah yang menjadi dasar ketertarikan peneliti
untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Kandungan Mineral Cangkang Kerang Darah
(Anadara granosa) dari kabupaten Bombana
dengan Metode X-Ray Fluorescence”.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis kandungan mineral yang terdapat
pada cangkang kerang darah (Anadara granosa)
menggunakan metode X-Ray Fluorescence.
KAJIAN PUSTAKA
Mineral
Mineral adalah senyawa alami yang
terbentuk melalui proses geologis. Istilah mineral
termasuk tidak hanya bahan komposisi kimia tetapi
juga struktur mineral. Mineral termasuk dalam
komposisi unsur murni dan garam sederhana
sampai silikat yang sangat kompleks dengan ribuan
bentuk yang diketahui (senyawaan organik
biasanya tidak termasuk). Ilmu yang mempelajari
mineral disebut mineralogi.
Agar dapat diklasifikasikan sebagai
mineral sejati, senyawa tersebut haruslah berupa
padatan dan memiliki struktur kristal. Senyawa ini
juga harus terbentuk secara alami dan memiliki
komposisi kimia yang tertentu. Definisi
sebelumnya tidak memasukkan senyawa seperti
mineral yang berasal dari turunan senyawa organik
(http://id.wikipedia.org/wiki/Mineral).
Mineral juga didefiniskan sebagai suatu
zat yang terdapat dalam alam dengan komposisi
kimia yang khas dan biasanya mempunyai struktur
kristal yang jelas, yang kadang-kadang dapat
menjelma dalam bentuk geometris tertentu. Istilah
mineral dapat mempunyai bermacam-macam
makna; sukar untuk mendefinisikan mineral dan
oleh karena itu kebanyakan orang mengatakan,
bahwa mineral ialah satu frase yang terdapat dalam
alam. Sebagaimana kita ketahui ada mineral yang
berbentuk: Lempeng, Tiang, Limas dan Kubus
(http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_mineral).
Cangkang Kerang
Kerang memiliki dua kutub (bi = dua,
valve = kutub) yang dihubungkan oleh semacam
engsel, sehingga disebut Bivalvia. Kelas ini
mempunyai dua cangkang yang dapat membuka
dan menutup dengan menggunakan otot aduktor
dalam tubuhnya.
Cangkang adalah rangka luar pada
kerang. Cangkang dibentuk oleh sel-sel cangkang
(epitel mantel) yang mengeluarkan secreta.
Gambar 2.2 : Penampang cangkang bagian luar
112
Cangkang berfungsi untuk melindungi
tubuh. Cangkang di bagian dorsal tebal dan di
bagian ventral tipis. Cangkang kerang mengandung
kalsium karbonat (CaCO3) dalam kadar yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan batu gamping,
cangkang telur, keramik, atau bahan lainnya. Hal
ini terlihat dari tingkat kekerasan cangkang kerang.
Semakin keras cangkang, maka semakin tinggi
kandungan kalsium karbonat (CaCO3)-nya. Maka
jika direaksikan dengan asam kuat seperti HCl dan
ion logam yang terlarut dalam air dapat
mengendapkan kandungan logam.
Anadara granosa
Kerang darah (Anadara granosa) adalah
sejenis kerang yang biasa dimakan oleh warga Asia
Timur dan Asia Tenggara. Anggota suku Arcidae
ini disebut kerang darah karena ia menghasilkan
hemoglobin dalam cairan merah yang
dihasilkannya. Kerang ini menghuni kawasan Indo-
Pasifik dan tersebar dari pantai Afrika timur
sampai ke Polinesia. Hewan ini gemar memendam
dirinya ke dalam pasir atau lumpur dan tinggal di
mintakat pasang surut. Dewasanya berukuran
panjang 5 – 6 cm dan lebar 4 – 5 cm.Kerang
Anadara biasanya hidup di pantai laut pada
substrat lumpur berpasir dengan cara
membenamkan diri pada kedalaman 10 cm sampai
30 cm (Yulianda, 2010: 4 – 5).
Selama ini, pemanfaatan cangkang
kerang masih sangat kurang, yaitu sekitar 20%
yang dimanfaatkan sebagai kerajinan cinderamata,
pakan ternak dan campuran kosmetik. Sedangkan
sisanya menumpuk di pantai menjadi limbah yang
mengganggu kesehatan dan keindahan lingkungan
sekitarnya.
Kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium
oksida (CaO) dapat digunakan untuk menjernihkan
air dari cemaran logam yang terdapar di dalamnya.
Kandungan mineral ini juga dapat digunakan
sebagai bahan baku pada industri semen dan
apabila diolah dengan pengolahan modern, akan
menghasilkan produk yang lebih berdaya guna
dalam industri seperti Precipitated Calcium
Carbonate (PCC).
Saat ini PCC telah digunakan sebagai
aditif pada obat-obatan, makanan, kertas, plastik
dan tinta. PCC dapat disintesis dari batu kapur atau
cangkang kerang dengan tiga metoda yaitu metoda
karbonasi, metoda kaustik soda dan metoda solvay.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Oktober 2010. Pengambilan sampel dilakukan di
Desa P. Tambako, Kecamatan Mataoleo,
Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sedangkan preparasi dan analisis kandungan
mineral dilakukan di Laboratorium Pengujian dan
Pengembangan ESDM, Dinas Energi dan Sumber
Daya Mineral Propinsi Sulawesi Tenggara.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode eksperimen laboratorium untuk
menganalisis komposisi kandungan mineral
cangkang kerang darah dengan metode X-Ray
Fluorescence (XRF).
Prosedur Penelitian
1. Pengambilan Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah
cangkang kerang darah (Anadara granosa).
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan
metode Random Sampling of Spatial Pattern.
Lokasi tempat pengambilan sampel ditentukan
secara bebas dengan menganggap bahwa semua
sampel sama kandungan mineralnya (King, 1969).
Sampel diambil di dua habitat yaitu di
pantai berlumpur dan pantai berpasir. Di pantai
berpasir, diambil 3 sampel menurut ukurannya
yaitu besar, sedang dan kecil dan diberi label A1,
A2 dan A3. Sedangkan di pantai berpasir hanya
diambil satu sampel berukuran besar dan diberi
label B1. Semua sampel tersebut diambil dalam
keadaan hidup.
2. Preparasi Sampel
Pada tahap ini sampel digerus dengan
menggunakan mortar, yang bertujuan untuk
membuat sampel dalam bentuk serbuk yang sangat
halus. Sebelumnya mortar dibersihkan dahulu
dengan alkohol setiap akan dipakai, setelah serbuk
cangkang cukup halus kemudian dilakukan
113
penyaringan dengan menggunakan ASTM
Standard Test Sieve yang mempunyai ukuran 100
mesh atau ukuran butir kira-kira 0,149 mm.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong plastik
kecil sesuai dengan labelnya masing-masing dan
siap untuk dianalisis.
Tahap Pengambilan Data dan Analisis Data
Dalam tahap ini yang dilakukan adalah
pengukuran data dengan X-Ray Fluorescence.
Sebelum sampel dianalisis, mula-mula sampel
tersebut dihambur di atas meja dalam bentuk
matriks dengan tujuan agar seluruh bagian sampel
yang dianalisis dapat terwakili. Kemudian diambil
sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam koil
kaca yang berbentuk tabung. Serbuk tersebut
dipadatkan dan diusahakan tidak meluruh atau
jatuh bila dimiringkan. Setelah sampel siap, sampel
dimasukkan dalam spektrometer dan alat siap
dioperasikan dengan terlebih dahulu mengatur
posisi alat sebagai berikut: 1) Stabilizer dijalankan,
kemudian tegangan dan arus diatur pada nilai
tertentu (biasanya 50 kV, 4 mA). (2) Posisi sudut
awal dan akhir yang diamati. (3) Waktu
pengukuran dalam setiap step. (4) Data masuk ke
komputer yang terkoneksi dengan alat
spectrometer.
Keluaran Spectrometer tipe Advent‟ dari
masing-masing sampel akan terekam dalam CPU
yang telah diset bersamaan dengan proses
pengambilan data dan data yang terekam berupa
spektrum 2 dimensi, dengan sumbu-X adalah
energi (kV) dan sumbu-Y adalah cacahan atau
intensitas. Data ini langsung dikonversi oleh alat
dalam bentuk angka sehingga data keluarannya
adalah berupa konsentrasi mineral.
HASIL ANALISIS DATA DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Ada 4 sampel cangkang kerang darah
yang dianalisis dalam penelitian ini. Keempat
sampel cangkang kerang darah tersebut adalah
sampel A1 yang berukuran besar dan diambil di
pantai berlumpur pada koordinat 04°52'6,80" LS
dan 122°2'43,12" BT, sampel A2 yang berukuran
sedang dan diambil di pantai berlumpur pada
koordinat 04°52'8,25" LS dan 122°2'42,79" BT,
sampel A3 yang berukuran kecil dan diambil di
pantai berlumpur pada koordinat 04°52'9,87" LS
dan 122°2'42,45" BT dan yang terakhir adalah
sampel B1 yang berukuran besar dan diambil di
pantai berpasir pada koordinat 4°51'54.09" LS dan
122°2'52.88" BT.
Tabel 4.1: Hasil analisis X-Ray Fluorescence untuk semua sampel
No Mineral Persentase Mineral (%)
A1 A2 A3 B1
1 CaCO3 96,871 96,854 97,093 96,788
2 CaO 1,774 1,774 1,778 1,754
3 MgO 0,191 0,180 0,111 0,231
4 Al2O3 0,939 0,946 0,856 0,980
5 SiO2 0,023 0,024 0,021 0,026
6 Fe 0,016 0,017 0,017 0,017
7 Ti 0,118 0,134 0,076 0,131
8 P 0,016 0,020 0,014 0,023
9 Cu 0,051 0,049 0,034 0,046
10 Zn 0,002 0,002 0,001 0,003
Keterangan:
Sampel A1,A2,A3 :Berturut-turut Cangkang kerang darah yang berukuran besar,sedang dan kecil
yang diambil di pantai berlumpur.
114
Sampel B1 : Sampel cangkang kerang darah yang berukuran besar dan diambil di pantai
berpasir.
PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil analisis X-Ray
Fluorescence terlihat bahwa mineral-mineral yang
terkandung pada cangkang kerang darah di Desa P.
Tambako Kecamatan Mataoleo Kabupaten
Bombana secara umum terdiri dari mineral-mineral
oksida dan mineral-mineral dalam bentuk unsur
dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Mineral-
mineral tersebut adalah Kalsium Karbonat
(CaCO3), Kalsium oksida (CaO), Magnesium
Oksida (MgO), Aluminium oksida (Al2O3), Silikon
dioksida (SiO2), Besi (Fe), Titanium (Ti), Phosfor
(P), Tembaga (Cu) dan Seng (Zn).
Dalam penelitian ini, sampel dikelompokkan
dalam 2 variabel, yaitu berdasarkan ukuran dan
habitat. Dari hasil analisis diperoleh bahwa mineral
kalsium karbonat merupakan senyawa dominan
yang terkandung dalam cangkang kerang darah
(Anadara granosa).
a. Kandungan cangkang kerang darah yang
hidup di pantai berlumpur
Adapun kandungan mineral dalam sampel
A1 adalah Kalsium Karbonat (CaCO3) sebanyak
96,871%, Kalsium oksida (CaO) sebanyak 1,774%,
Magnesium Oksida (MgO) sebanyak 0,191%,
Aluminium oksida (Al2O3) sebanyak 0,939%,
Silikon dioksida (SiO2) sebanyak 0,023%, Besi
(Fe) sebanyak 0,016%, Titanium (Ti) sebanyak
0,118%, Phosfor (P) sebanyak 0,016%, Tembaga
(Cu) sebanyak 0,051% dan Seng (Zn) sebanyak
0,002%.
Sampel A2 juga memiliki kandungan
mineral yang sama dengan sampel A1, namun
dengan konsentrasi mineral yang sedikit berbeda.
Adapun mineral yang terkandung dalam
sampel A2 adalah Kalsium Karbonat (CaCO3)
sebanyak 96,854%, Kalsium oksida (CaO)
sebanyak 1,774%, Magnesium Oksida (MgO)
sebanyak 0,180%, Aluminium oksida (Al2O3)
sebanyak 0,946%, Silikon dioksida (SiO2)
sebanyak 0,024%, Besi (Fe) sebanyak 0,017%,
Titanium (Ti) sebanyak 0,134%, Phosfor (P)
sebanyak 0,020%, Tembaga (Cu) sebanyak
0,049%, dan Seng sebanyak 0,002%.
Demikian juga pada sampel A3, juga
memiliki kandungan mineral yang sama dengan
sampel A1 dan A2, namun dengan konsentrasi
mineral yang sedikit berbeda. Adapun mineral
yang terkandung dalam sampel A3 adalah Kalsium
Karbonat (CaCO3) sebanyak 97,093%, Kalsium
oksida (CaO) sebanyak 1,778%, Magnesium
Oksida (MgO) sebanyak 0,111%, Aluminium
oksida (Al2O3) sebanyak 0,856%, Silikon dioksida
(SiO2) sebanyak 0,021%, Besi (Fe) sebanyak
0,017%, Titanium (Ti) sebanyak 0,076%, Phosfor
(P) sebanyak 0,014%, Tembaga (Cu) sebanyak
0,034%, dan Seng sebanyak 0,001%.
b. Kandungan cangkang kerang darah yang
hidup di pantai berpasir
Kandungan mineral pada sampel B1,
adalah Kalsium Karbonat (CaCO3) sebanyak
96,788%, Kalsium oksida (CaO) sebanyak 1,754%,
Magnesium Oksida (MgO) sebanyak 0,231%,
Aluminium oksida (Al2O3) sebanyak 0,980%,
Silikon dioksida (SiO2) sebanyak 0,026%, Besi
(Fe) sebanyak 0,017%, Titanium (Ti) sebanyak
0,131%, Phosfor (P) sebanyak 0,023%, Tembaga
(Cu) sebanyak 0,046% dan Seng (Zn) sebanyak
0,003%.
c. Perbandingan mineral cangkang kerang
darah menurut ukurannya
Sampel A1, A2 danl A3 Memiliki
kandungan mineral yang relatif sama. Mineral
Kalsium karbonat merupakan mineral yang paling
banyak. Dari 10 mineral yang teranalisis,
konsentrasi kalsium karbonat paling banyak untuk
ketiga sampel, kemudian diikuti kalsium oksida
dan aluminium oksida. Mineral kalsium karbonat
yang dimiliki oleh ketiga sampel merupakan
mineral yang terbanyak. Sampel A3 mengandung
kalsium karbonat lebih banyak yaitu sebesar
97,093%, sedangkan A2 hanya mencapai 96,854%
dan A1 mengandung kalsium karbonat sebanyak
96,871%.
d. Perbandingan Mineral Cangkang Kerang
Darah menurut habitatnya
115
Hanya satu sampel kerang darah yang diambil di
pantai berpasir, yaitu sampel B1. Sampel B1 akan
dibandingkan dengan A1 menurut habitat. Kedua
sampel yaitu A1 dan B1, berukuran sama dan juga
memiliki kandungan mineral yang relatif sama.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan uraian di atas,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Cangkang kerang darah mengandung mineral
CaCO3, CaO, MgO, Al2O3, SiO2, Fe, Ti, P, Cu
dan Zn dengan konsentrasi yang hampir sama
untuk masing-masing sampel yang diteliti.
2. Persentase kalsium karbonat paling banyak
dalam cangkang kerang. Ada sebanyak
96,871% dari sampel A1, sebanyak 96,854%
dari sampel A2, sebanyak 97,093% dari
sampel A3 dan sebanyak 96,788% dari sampel
B1.
3.Cangkang kerang juga mengandung mineral
Titanium meskipun presentasenya kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Beck. 1977. Principles of Scanning Electron
Microscopy, Joel High-tech Co. Ltd.
Jepang.
Campbell,, 2006. Manufacturing Technology for
Aerospace Structural Materials.
Elsevier.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Titanium,
diakses tanggal 31 Juli 2010)
http://id.wikipedia.org/wiki/Wilhem_Conrag_Rönt
gen, diakses 1 Agustus 2010.
Jalila, A., A.B.Z. Zuki, A.J.A. Hazmi, M.M.
Noordin and Y. Norimah, 2007. Mineral
Composition of The Cockle (Anadara
granosa) Shells of West Coast of
Peninsular Malaysia and It’s Potential
as Biomaterial for Use in Bone Repair.
J. Anim. Vet. Adv., 6: 591-594
(http://psasir.upm.edu.my/7089/, diakses
tanggal 31 Juli 2010).
King, Leslie J. 1969. Statistical Analysis in
Geography. Prentice-Gall, Inc.
Englewood Cliffs, N, J. United States of
America.
Pathansali, D. 1966. Notes on The Biology of The
Cockle, Anadara granosa L. Proc. Indo-
Pacific Fish
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kerang_dar
ah, diakses 1 Agustus 2010).
Suryanarayana, C. dan Norton, G., 1998. X-Ray
Diffraction: A Practical Approach,
Plenum Press, New York.
Warmada, I.W., & Tirtasari, A. D. 2004.
Agromineralogi (Mineralogi untuk Ilmu
Pertanian). Jurusan Teknik Geologi, FT-
UGM, (Online),
116
HUBUNGAN LARI CEPAT 30 METER DAN DAYA AMORTISASI TERHADAP
KEMAMPUAN SMASH BOLA VOLI PADA SISWA SMA NEGERI 1 KABAWO1
Oleh:
Muhammad Rusli2
Abstrak. Penelitian ini termasuk penelitian korelasional yang ingin mengetahui hubungan
kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi dengan kemampuan smash bola voli. Subyek
penelitian adalah siswa putra SMA Negeri 1Kabawo yang berjumlah 115 orang. Sampel
diambil sebanyak 40 orang, diambil dengan teknik proposive sampling. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah test kecepatan lari 30 meter, test daya amortisasi dan test
smash bola voli dengan awalan. Untuk menganalisa data yang diperoleh digunakan teknik
statistik korelasi produc moment dan korelasi ganda. Selanjutnya dari pengolahan data
diketahui bahwa antara kecepatan lari 30 meter dengan kemampuan smash bola voli
mempunyai hubungan yang signifikan dimana r x1y = 0,75 > r tabel (0,05:40=0,312, sedangkan
koefisien determinasinya (r2) =0,57 atau 57%. Antara daya amortisasi dengan kemampuan
smash bola voli tidak diperoleh hubungan yang signifikan dimana koefisien korelasi (rx2y) =
0,39 > r tabel (0,05:40) = 0,312, koefisien determinasi 0,15. Sedangkan pada korelasi ganda antara
kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi terhadap kemampuan smash bola voli diperoleh f
hitung = 48,17 > f tabel (0,05:2:39) = 4,21. Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara kecepatan lari 30 meter dan daya amortisasi terhadap kemampuan smash bola voli.
Kata kunci : Lari cepat 30 meter, daya amortisasi, smash bola voli.
1 Ringakasan hasil penelitian 2 Dosen Penjaskes-rek FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Olahraga permainan khususnya bola voli
membutuhkan keterampilan khusus untuk
menghasilkan atlet yang berprestasi. Salah satu
teknik dasar yang harus dikuasai oleh setiap atlet
bola voli adalah teknik smash , melalui
pendekatan kemampuan biomotorik seorang atlet
dapat menunjukkan performance terbaiknya saat
melakukan perlombaan atau pertandingan. Untuk
menciptakan seorang pesmash bola voli yang
berprestasi maka atlet tersebut harus memiliki
kriteria yang sesuai dengan bidang itu. Krteria
yang dimaksud menurut Balesteros JM (1978)
adalah memiliki tubuh atletis (mesomrph),
memiliki kemampuan biomotor yang baik seperti
kekuatan, kecepatan dan daya ledak.
Secara teknik nomor smash bola voli
didahului dengan ancang-ancang . Ancang-ancang
ini dimaksudkan untuk membantu daya dorong
kedepan setelah smasher menerima bola lambung
dari timnya. Oleh karena rangkaian gerakan terjadi
sangat cepat antara ancang-ancang dengan
lompatan untuk melakukan smash , maka
diperlukan daya amortisasi.
Menurut Paulus Pasurney (2004), daya
amortisasi adalah aalah kemampuan menerima
berat badan yang dalam keadaan bergerak
kemudian mendorong berat badan tadi kearah yang
diinginkan, hal ini terjadi karena kekuatan otot-otot
tungkai dan sekitar sendi tungkai bawah. Kekuatan
yang dihasilkan oleh otot-otot tadi tadi menerima
berat badan sebagai beban dan melawan beban
tersebut merupakan daya amortisasi.
Daya amortisasi, selain dimanfaatkan pada
nomor smash bola voli juga dapat dimanfaatkan
pada cabang olahraga lain seperti pada lompat
jauh, daya amortisasi dapat dilihatr pada waktu
pemain melakukan tumpuan, nomor lompat jangkit
ketika atlet melakukan jingkat dan langkah
117
kemudian melompat, pemai bola basket ketika
pemain melakukan jump shoot,
deffensive/offensive rebound; pada pemain sepak
bola, ketika pemai melakuan heading yang
didahului dengan ancang-ancang dan olahraga lain
yang memerlukan lompatan.
Dari beberapa cabang olahraga yang
disebutkan di atas, pada prinsipnya memerlukan
daya amortisasi yaitu suatu aksi yang didahului
dengan ancang-ancang, kemudian melompat yaitu
membawa titik berat badan kearah horisontal dan
vertikal. Khusus dalam nomor smash bola voli,
daya amortisasi ditentukan oleh dua vektor yaitu
vektor horisontal yang dihasilkan oleh kecepatan
awalan yang disebut momentum dan vektor
vertikal yang dihasilkan oleh daya amortisasi yang
disebut vertikal impluse.
Menurut Balley (1986) smash bola voli terdiri dari
unsur-unsur awalan, tolakan, melayang diudara dan
mendarat. Setiap unsur memiliki mekanisme tetapi
merupakan suatu kesatuan gerakan yang tidak
dapat terputus. Sedangkan menurut Arma Abdullah
(1984) mengatakan bahwa pada dasarnya nomor
smash bola voli dibagi dalam dua bagian utama
yaitu lari awalan yang diahiri dengan tolakan,
melayang dan mendarat. Melayang dan mendarat
ditentukan oleh lari awalan dan tolakan, oleh
karena itu lari awalan dan tolakan merupakan dua
bagian yang terpenting dari gerak smash bola voli.
Untuk memperoleh hasil smash yang
optimal, selain sipelompat memiliki kecepatan,
ketepatan, kekuatan, kelentukan dan koordinasi
gerakan juga harus menguasai tekniknya. Teknik
smash bola voli yang harus dikuasai oleh seorang
atlet adalah awalan atau ancang-ancang, pukulan,
sikap badan di udara, dan sikap mendarat. awalan
adalah gerakan permulaan untuk mendapatkan
ketepatann pada waktu akan melakukan smash.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah
ada hubungan antara lari cepat 30 meter dengan
kemampuan smash bola voli?, daya amortisasi
dengan kemampuan smash bola voli?, kecepatan
lari 30 meter dan daya amortisasi dengan
kemampuan smash bola voli?.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode survey, sedangkan sampelnya
adalah siswa putra SMA Negeri 1Kabawo yang
duduk dikelas XI pada tahun ajaran 2011/2012
dengan jumlah 40 orang yang diambil dengan
teknik purposive sampling. Instrumen yang
digunakan adalah: tes lari cepat 30 meter, tes daya
amortisasi dan tes smash bola voli dengan awalan.
HASIL PENELITIAN
1. Deskriptif Variabel Penelitian
Hasil statistik deskriptif rata-rata
danstandar deviasi dari variabel-variabel penelitian
adalah:
Tabel 1.Deskripsi kecepatan lari 30 meter (X1) dan
Daya Amortisasi (X2) dengan kemampuan Smash
bola voli (Y)
Variabel Rata-rata Standar Deviasi
X1 4,50 0,43
X2 2,47 0,08
Y 4,20 0,29
Dari tabel 1 diatas diketahui bahwa :
a. Rerata kecepatan lari 30 meter adalah 4,50 detik,
standar deviasi = 0,43
b. Rerata daya amortisasi adalah 2,47 meter,
standar deviasi = 0,08
c. Sedangkan rerata kemampuan smash bola voli
adalah 4,20 meter, standar deviasi = 0,29.
2. Uji Korelasi Producmoment
Tabel 2. Hasil uji Korelasi kecepatan lari 30 m
(X1) dengan kemampuan Smash bola voli (Y)
Variabel rx1y r2
X1
Y
0,75
0,57
Dari tabel 2 diatas diketahui bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kecepatan lari 30
meter dengan kemampuan smash bola voli dimana
rx1y= 0,75 > r tabel 90,05:40) = 312. Sedangkan koefisien
determinasi (r2) = 0,57 atau 57%.
Tabel 3. Hasil Uji Daya Amortisasi (x2) dengan
kemampuan Smash bola voli (Y)
Variabel rx2y r2
X1
118
Y 0,39 0,15
Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa
ada hubungan yang signifikan antara daya
amortisasi dengan kemampuan smash bola voli
dimana rx2y = 0,39 > r tabel (0,05:40) = 0,312 Sedangkan
koefisien determinasi (r2) = 0,15 atau 15%.
Tabel 4. Hasil Uji Korelasi Ganda kecepatan lari
30 meter dan daya amortisasi (x1,2) dengan
kemampuan Smash bola voli (Y)
Variabel r hitung r tabel
X1.2
Y
0,85
0,312
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui
ada hubungan yang signifikan secara bersama-
sama antara kecepatan lari 30 meter dan daya
amortisasi dengan kemampuan smash bola voli
dimana r x1x2Y hitung = 0,85 > r tabel (0,05:40) b = 0,312.
Tabel 5. Hasil Uji Kebermaknaan Korelasi Ganda
Variabel F hitung F tabel
X1.2
Y
48,17
4,21
Berdasarkan tabel 5 diatas dapat diketahui
bahwa hubungan bersama antara kecepatan lari 30
meter dan daya amortisasi dengan kemampuan
smash bola voli adalah sangat signifikan dengan F
hitung = 48,17 > F tabel (0,05:2:39) =4,21.
PEMBAHASAN
Terdapat hubungan positif antara lari
cepat 30 meter, daya amortisasi dengan
kemampuan smash bola voli, baik sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama. Secara teori
hubungan kecepatan lari 30 meter dengan
kemampuan smash bola voli dapat memberi
keuntungan pada aspek biomekanika, dimana
dengan kecepatan yang dihasilkan pada lari awalan
akan dapat memperbesar powerpada saat menumpu
sehingga kecepatan horisontal dapat dipenuhi.
Sedangkan daya amortisasi dapat memberi
kontribusi untuk menambah kekuatan dan
kecepatan otot tungkai saat tubuh bergerak secara
vertikal, dengan demikian kecepatan vertikal juga
dapat dipenuhi.
Berdasarkan uji korelasi producmoment
antara kecepatan lari 30 meter dengan kemampuan
smash bola voli diperoleh hasil (r x1y) = 0,75 > r
tabel = 0,312. Artinya kemampuan smash bola voli
secara nyata dapat diterangkan oleh faktor
kecepatan lari, sedangkan determinasi (r2)
diperoleh sebesar 0,57 artinya bahwa 57%
kecepatan lari 30 meter memberi kontribusi positif
terhadap kemampuan smash bola voli. Jika dilihat
dari peta korelasi, maka hubungan kecepatan lari
30 meter dengan kemampuan smash bola voli
berada pada kategori korelasi tingi. Hal ini
menunjukkan bahwa kontribusi kecepatan lari
terhadap kemampuan smash bola voli adalah
sangat dominan.
Hubungan daya amortisasi dengan
kemampuan smash bola voli juga menunjukkan
hubungan yang positif karena koefisien korelasi
yang didapat (r x2y) = 0,39 > r tabel = 0,361.
Artinya bahwa kemampuan smash bola voli secara
nyata dapat diterangkan oleh faktor daya
amortisasi, sedangkan koefisien determinasi (r2) =
0,15. Hasil koefisien determinasi tersebut
memberi petunjuk bahwa ada 15% kontribusi daya
amortisasi dengan kemampuan smash bola voli.
Jika dilihat dari peta korelasi maka dapat diketahui
bahwa daya amortisasi dengan kemampuan smash
bola voli berada pada kategori korelasi rendah,
artinya bahwa daya amortisasi bukan merupakan
faktor yang paling dominan dalam menentukan
jauhnya lompatan pada nomor smash bola voli,
namun demikian bahwa variabel daya amortisasi
merupakan variabel yang ikut menunjang
pencapaian prestasi nomor smash bola voli sebab
secara teori daya amortisasi memberi keuntungan
pada aspek biomekanika yakni dengan besarnya
daya amortisasi berarti dapat memperbesar sudut
alfa tolakan.
Hasil uji korelasi ganda antara kecepatan
kari 30 meter dan daya amortisasi dengan
kemampuan smash bola voli diperoleh hubungan
positif karena berdasarkan uji korelasi ganda
diperoleh r x1x2y = 0,85 > r tabel (0,05:40) =
0,312, sedangkan koefisien determinasi sebesar
0,72 atau 72%. Hasil koefisien determinasi ganda
tersebut memberi makna bahwa ada 28% faktor
lain yang ikut menentukan kemampuan smash bola
voli selain kecepatan lari dan daya amortisasi.
119
Unsur lain yang dimaksud adalah kekuatan,
kelenturan, sudut elevasi tolakan dan teknik
lompatan.
Kekuatan memegang peranan penting
dalam semua aspek nomor smash bola voli karena
tanpa kekuatan tidak dapat mencapai power
maksimal, juga tidak dapat melaksanakan teknik
yang benar dan maksimal. Demikian pula dengan
kelenturan saat melompat cukup memberi andil
yang penting saat melayang diudaramaupun saat
mendarat. Demikian pula dengan sudut elevasi
lompatan juga memegang peranan penting sebab
walaupun kekuatan, power, dan kelenturan telah
dipenuhi tetapi jika atlet melompat dengan sudut
elevasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar juga
akan mengurangi jarak atau jauh lompatan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
maka dapat disimpulkan bahwa
(1) kecepatan lari 30 meter mempunyai hubungan
positif dengan kemampuan smash dalam
permainan bola voli,
(2) daya amortisasi mempunyai hubungan positif
dengan kemampuan smashdalam permainan
bola voli,
(3) kecepatan lari 30 meter, daya amortisasi secara
bersama mempunyai hubungan positif dengan
kemampuan smash dalam permainan bola voli.
SARAN
Dalam menyusun program latihan fisik
untuk meningkatkan kemampuan smash bola voli,
hendaknya kecepatan lari dan daya amortisasi
dijadikan prioritas utama, selain itu juga unsur lain
yang perlu diperhatikan adalah kekuatan,
kelenturan, sudut elevasi tolakkan dan teknik
lompatan.
DAFTAR PUSTAKA
Aip Syarifuddin, Muhadi, 1996 Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan; Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Engkos Kosasi, 1984 Olahraga dan Program
Latihan; Mutiara Jakarta.
Moh. Ihsan, Olahraga dan Kesehatan; Depdikbud,
Dirjen Dikti Jakarta.
Paulus Pasurnei, 2004 jurnal IPTEK Olahraga,
Litbang KONI Pusat Jakarta.
Sajoto, 1988 Pembinaan Kondisi Fisik dalam
Olahraga; Depdikbud, Dirjen Dikti
Jakarta.
Soekarman, 1989 Dasar-Dasar Olahraga, Pembina,
Pelatih dan Atlet; PT Gelora Aksara
Pratama Jakarta.
Soedarminto, 1996 Kinesiologi, Modul untuk Guru
Penjaskes setara D-III Dirjen Dilti
Jakrata.
Suharno, 1985. Permainan Bola Voli, Yogyakarta.
IKIP Yogyakarta