stadium anestesi

8
Stadium Anestesi Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu: Stadium I Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium II Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia. stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian. StadiumIII Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. StadiumIII dibagi menjadi 4 plana yaitu: Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun). Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun). Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun). Stadium lV Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut

Upload: dinda24

Post on 24-Jul-2015

385 views

Category:

Documents


85 download

TRANSCRIPT

Page 1: Stadium Anestesi

Stadium Anestesi

Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4

plana), yaitu:

Stadium I

Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada

stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).

Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada

stadium ini.

Stadium II

Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata

sampai pernapasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak

menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak teratur, kadang-

kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah,

midriasis, hipertensi serta takikardia. stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan

kematian.

StadiumIII

Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang.

StadiumIII dibagi menjadi 4 plana yaitu:

Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak

menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah

tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).

Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola

mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot

sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.

Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada,

pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir

sempurna (tonus otot semakin menurun).

Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat

midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik

sempurna (tonus otot sangat menurun).

Stadium lV

Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding

stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan

akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan

pernapasan buatan.

 

Page 2: Stadium Anestesi

Peralatan

Peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi yang digunakan untuk menghantarkan oksigen dan obat

anestetik inhalasi, mengontrol ventilasi, serta memonitor fungsi peralatan tersebut.

Peralatan anestesi dapat bervariasi dari yang paling sederhana seperti alat untuk memberi anestesi

eter dengan tetes terbuka atau open drop sampai alat modern yang dilengkapi dengan ventilator dan

alat-alat monitor fungsi fisiologis yang diatur dengan komputer.

 

Mesin Anestesi

Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan. Secara umum mesin anestesi

terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan yaitu:

1. Komponen 1 : sumber gas, penunjuk aliran gas (flowmeter), dan alat penguap (vaporizer).

2. Komponen 2 : sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan sistem Magill.

3. Komponen 3 : alat yang menghubungkan sistem napas dengan pasien, yaitu sungkup muka (face

mask), pipa endotrakhea (endotracheal tube).

Semua komponen mesin anestesi harus tersedia tanpa memperhatikan teknik anestesi yang akan

dipakai sebagai persiapan untuk kemungkinan pemakaian anestesi umum, selain itu sumber oksigen

dan.peralatan bantu ventilasi (self-inflating bag seperti Ambu Bag) harus tersedia untuk semua

prosedur anestesi.

 

Tahapan

Persiapan Praanestesi

Keadaan fisis pasien telah dinilai sebelumnya pada kunjungan praanestesi meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisis, laboratorium, dll. Saat masuk ruang operasi pasien dalam keadaan puasa. Identitas

pasien harus telah ditandatangani sesuai dengan-rencana operasi dan informed consent.

Dilakukan penilaian praoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, apakah terdapat hipovolemia,

perdarahan, diare, muntah, atau demam.Akses, intravena dipasang untuk pemberian cairan infus,

transfusi, dan obat-obatan. Dilakukan pemantauan elektrogradiografi (EKG), tekanan darah

(tensimeter), saturasi O2 (pulse oxymeter),kadar CO2, dalam darah(kapnograf), dan tekanan vena

sentral (CVP).Premedikasi dapat diberikan diberikan oral, rektal, intramuskular, atau intravena.

Kelengkapan dan fungsi mesin anestesi serta peralatan intubasi diperiksa. Pipa endotrakeal dipilih

sesuai dengan pasien, baik ukuran maupun jenis laringoskopnya. Lampu diperiksa fungsinya, pipa

endotrakeal diberi pelicin analgetik, dan balon pipa endotrakeal (cuff) diperiksa.

 

Induksi Anestesi

Pasien diusahakan tenang dan diberikan O2, melalui sungkup muka. Obat-obat induksi diberikan

secara intravena seperti tiopental, ketamin, diazepam, midazolam, dan propofol. Jalan napas dikontrol

Page 3: Stadium Anestesi

dengan sungkup muka atau pipa napas orofaring/nasofaring. Setelah itu dilakukan intubasi trakea.

Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi pasien disesuaikan dengan posisi operasi yang akan

dilakukan, misalnya terlentang, telungkup, litotomi, miring, duduk, dll.

 

Rumatan Anestesi

Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hai-hal yang dipantau adalah fungsi vital

(pernapasan, tekanan darah, nadi, dan kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan, batuk,

mengedan, perubahan pola napas, takikardia, hipertensi, keringat, air mata, midriasis.

Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali tergantung jenis, lama, dan

posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan memperhitungkan kebutuhan puasa, rumatan,

perdarahan, evaporasi, dll. Jenis cairan vang diberikan dapat berupa kristaloid (ringer laktat, NaCl,

dekstrosa 5%), koloid (plasma expander,albumin 5%), atau tranfusi darah bila perdarahan terjadi lebih

dan 20% volume darah.

Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan frekuensi nadi dan tekanan darah. Peningkatan

tekanan darah dan frekuensi nadi terjadi bila anestesi kurang dalam. Hal ini disebabkan karena terjadi

sekresi adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu melalui meningkatan

konsentrasi halotan atau suntikan barbiturat. Penurunan tekanan darah dan nadi halus sebagai tanda

syok dapat disebabkan karena kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi dengan pemberian cairan

pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi dapat disebabkan karena

anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta kehilangan banyak darah atau cairan. Peningkatan

tekanan darah dan tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi clisebabkan transfusi yang

berlebihan. Diatasi dengan penghentian transfusi.

 

Pemulihan Pasca-Anestesi

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau ke ruang perawatan

intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi

ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan

darah, nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dll.

Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan dilakukan paling tidak setiap 5

menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Pulse

oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali. pemeriksaan suhu juga dilakukan.

Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum harus mendapat oksigen 30-40%

selama pemulihan karena dapat terjadi hipoksemia sementara. Pasien yang memiliki risiko tinggi

hipoksia adalah pasien yang mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan

operasi di daerah abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan

untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-benar diperhatikan

Page 4: Stadium Anestesi

pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis atau dengan riwayat retensi

CO2 sebelumnya.

Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke

ruangan dengan pemberian intruksi pascaoperasi.

Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi,

pernapasan, dan aktivitas motorik, seperti Skor Aldrete (lihat tabel 1). Idealnya pasien baru boleh

dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 pasien boleh keluar

dari ruang pemulihan.

Seluruh tindakan anestesi dicatat dalam lembaran khusus berisi tindakan yang dilakukan, obat yang

diberikan, status fisis pasien sebelum, selama, dan setelah anestesi dilakukan sesuai urutan waktu.

 

lntubasi Trakea

Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga jalan napas

bebas hambatan dan napas mudah dibantu atau dikendalikan. Ekstubasi trakea adalah tindakan

pengeluaran pipa endotrakeal.

Tujuan

Pembersihan saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan napas agar tetap paten mencegah

aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenisasi.

lndikasi

Tindakan resusitasi, tindakan anestesi, pemeliharaan jalan napas, dan pemberian ventilasi mekanis

jangka panjang.

 

Peralatan

Sebelum mengerjakan Intubasi Trakea, dapat diingat kata STATICS.

S = scope, laringoskop dan stetoskop

T = tubes, pipa endotrakeal

A = airway tubes, pipa orofaring/nasofaring

T = tape, plester

I  = introducer, stilet, mandren

C = connector, sarnbungan-sambungan

S = suction, penghisap lendir

 

1. Laringoskop

Ada dua jenis laringoskop, yaitu:

a. Blade lengkung (Macintosh). Biasa digunakan pada laringoskopi dewasa. Peganglah gagang dengan

tangan kiri. Leher pasien difleksikan dan kepala diekstensikan. Mulut dibuka dengan jari telunjuk

Page 5: Stadium Anestesi

kanan, bibir atas disibakkan dengan jempol kanan. Ujung blade laringoskop dimasukkan perlahan

sampai mencapai valekula menekan ligamentum hipoepiglotikum dan menggerakkannya ke atas

untuk menampakkan laring dan pita suara. Gigi jangan digunakan sebagai bantalan untuk

mengangkat ujung blade. Lampu laringoskop harus terang.

b. Blade lurus. Laringoskopi dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyai teknik yang

berbeda. Ujung blade tidak diletakkan pada valekula tetapi diteruskan melampaui batas bawah

epiglotis. Epiglotis diangkat langsung dengan blade untuk menampilkan laring. Teknik ini biasa

digunakan pada bayi dan anak karena mempunyai epiglotis relatif lebih panjang dan kaku, Trauma

pada epiglotis lebih sering terjadi pada laringoskopi dengan blade lurus.

 

2. Pipa Endotrakeal

Biasanya dibuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai dan lebih tidak mengiritasi

mukosa trakea. Untuk operasi tertentu, misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang

tidak bisa tertekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.

Untuk mencegah kebocoran jalan napas, kebanyakan pipa endotrakeal mempunyai balon (cuff) pada

ujung distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume kecil dan besar. Balon volume

kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa, dan mengurangi aliran darah kapiler.

Sehingga dapat menyebabkan iskemia. Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas

dengan tekanan lebih rendah dibandingkan balon volume kecil.

Pipa tanpa balon (cuff) biasa digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan napas adalah

pada daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian

tersempit adalah trakea.

Pada orang dewasa, digunakan pipa endotrakeal dengan diameter internal yang besar untuk

mengurangi resistensi pernapasan. Diameter internal pipa untuk laki-laki dewasa biasanya berkisar 8,0

- 9,0 mm dan wanita 7,5 - 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 - 23 cm. Pada

anak dipakai rumus:

Panjang pipa yang masuk (mm) =  umur (tahun) + 4

4

 

Rumus di atas merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih kecil dan lebih besar.

Untuk anak yang lebih kecil dapat diperkirakan dengan melihat kelingkingnya.

 

3. Pipa orafaring/nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan napas karena jatuhnya

lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.

4.  Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi

Page 6: Stadium Anestesi

5. Stilet atau forsep intubasi. Stilet (mandren) digunakah untuk mengatur kelengkungan pipa

endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Magill) digunakan untuk

memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.Biasanya dibantu

dengan laringoskopi.

6.  Alat penghisap (suction).

Digunakan untuk membersihkan jalan napas.

Tindakan

1. Persiapan. Pasien dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan bantal sehingga kepala

dalam posisi ekstensi serta trakea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.

2. Oksigenisasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot lakukan oksigenisasi dengan

pemberian O2 1OO% minimal 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon

dengan tangan kanan.

3. Laringoskopi. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan

tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan mulut. Lidah pasien didorong dengan

daun tersebut ke kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam

rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring, serta epiglotis.

Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak

aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

4. Pemasangan pipa endotrakeal. Pipa dimasukkan delrgan tangan kanan melalui sudut kanan mulut

sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu sebelum memasukkan pipa, asisten

diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara tampak jelas. Bila mengganggu,

stilet dicabut. Ventilasi/oksigenisasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan

kiri memfiksasi pipa. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan. Pipa

difiksasikan dengan plester.

5.  Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan berkembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu dilakukan

ventilasi dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri

sama. Bila dada ditekan terasa udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endobronkial akan

terdapat tanda-tanda, yaitu suara napas kanan dan kiri berbeda, kadang-kadang timbul wheezing,

sekret lebih banyak, dan tahanan jalan napas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi

seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi

ke esofagus maka daerah epigastrium/gaster mengembang, terdengar suara saat ventilasi

(dengan stetoskop), kadang-kadang kpluar cairan lambung, dan makin lama pasien tampak biru.

Untuk hal ini pipa dicabut dan tindakan intubasi dilakukan setelah diberikan oksigenisasi yang

cukup. ,

6. Ventilasi. Pemberian ventilasi sesuai dengan kebutuhan pasien.

 

Page 7: Stadium Anestesi

Komplikasi

Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat terjadi saat dilakukannya tindakan laringoskopi dan

intubasi, selama pipa endotrakeal dimasukkan, dan setelah ekstubasi.

A. Komplikasi tindakan laringoskopi dan intubasi:

1. Malposisi: intubasi esofagus, intubasi endobronkial, malposisi laryngeal cuff.

2. Trauma jalan napas: kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah, atau mukosa mulut, cedera tenggorok,

dislokasi mandibula, dan diseksi retrofaringeal

3. Gangguan refleks: hipertensi, takikardia, tekanan intrakranial meningkat, tekanan intraokular

meningkat, dan spasme laring.

4.  Malfungsi tuba: perforasi cuff.

B. Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal :

1. Malposisi: ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial, malposisi laryngeal cuff.

2. Trauma jalan napas: inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit  hidung.

3.  Malfungsi tuba: obstruksi.

C. Komplikasi setelah ekstubasi :

1. Trauma jalan napas : edema dan stenosis (glotis, subglotis, atau trakea), suara serak/parau

(granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.

2. Gangguan refleks : spasme laring

 

lntubasi pada Operasi Darurat

Pada operasi darurat dilakukan induksi cepat (crush induction) untuk mencegah aspirasi selama

tindakan intubasi. Diindikasikan terutama pada pasien dengan lambung penuh. Selain peralatan

intubasi dipersiapkan pula alat penghisap dan pipa lambung. Pasien dipersiapkan dalam posisi

setengah duduk atau telentang dengan posisi kepala lebih rendah.

Awali dengan pemberian O2 100% (praoksigenisasi) selama 3-5 menit kemudian obat pelumpuh otot

nondepolarisasi 1/4 dosis (prekurarisasi). Suntikan obat induksi cepat diberikan sampai refleks bulu

mata hilang. Tulang krikoid ditekan ke arah posterior (Sellick manouver) dan kemudian obat pelumpuh

otot depolarisasi diberikan dengan dosis 1,5-2 kali dosis normal. Setelah itu baru dilakukan tindakan

laringoskopi dan intubasi. Bila pipa endotrakeal telah masuk, balon pipa (cuff) segera dikembangkan.