skripsi - perpustakaan universitas prof.dr. moestopo
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
SKRIPSI
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA ETNIS MELAYU DAN ETNIS
MADURA PASCA KONFLIK SAMBAS TAHUN 1999 (Studi Kasus Pada Masyarakat Melayu dan Madura di Kalimantan Barat)
Diajukan Oleh :
NAMA : INGKA PRATIWI
NIM : 2013-41-272
KONSENTRASI : HUBUNGAN MASYARAKAT
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi
Jakarta 2017
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan
rahmatnya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Adapun penulisan
skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai
gelar sarjana S1 (Strata Satu) pada program studi Hubungan Masyarakat,
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).
Skripsi yang berjudul “Komunikasi Antar Budaya Etnis Melayu Dan
Etnis Madura Pasca Konflik Sambas Tahun 1999 (Studi Kasus Pada
Masyarakat Melayu Dan Madura Di Kalimantan Barat). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjadi pada etnis
Melayu Sambas dan etnis Madura pasca konflik Sambas di Kalimantan
Barat.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karenanya dengan lapang dada
dan tangan terbuka penulis menerima setiap kritikan dan saran untuk
perbaikan penulisan skripsi ini.
Wassalamualaikum wr.wb
Jakarta, Juli 2017
Penulis
Ingka Pratiwi
ii
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada allah SWT karena berkat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisan
skripsi ini penulis menyadari bahwa banyak pihak-pihak yang telah
mendukung baik secara materil maupun imateril. Untuk itu pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tuaku tercinta Bapak Asan dan Ibu Sabariah yang tiada henti-
hentinya selalu memberikan kasih iiaying, mendoakan dan selalu
memberikan dukungan baik secara materil maupun imateril sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
2. Kakakku Khamarudin AP dan adikku Shopian AP yang selalu
mendukung dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Rudy Harjanto, MM, M.Sn, selaku Rektor Universitas Prof. Dr.
Moestopo (Beragama).
4. Dr. Prasetya Yoga Santoso, MM, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
5. Dr. Hendri Prasetya, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas. Prof. Dr. Komunikasi sekaligus pembimbing I
dan Dra. Aminah Swarnawati, M.Si. selaku pembimbing II. Terimakasih
atas waktu bimbingan yang telah diberikan kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
6. Drs. Freddy Richardo, M.Si selaku Ketua Konsentrasi Hubungan
Masyarakat Universitas. Prof. Dr. Moestopo (Beragama).
iii
7. Dika, Bang Angga, Abang Fiktor, Abang Icung, Bapak Sukartono, Ibu
Saniah selaku informan yang telah menyediakan waktunya untuk
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
8. Mas Eko Agus dan Dika yang sudah menyediakan waktu dan tempat
tinggal selama berada di Pontianak, Kalimantan Barat.
9. Terimakasih kepada Haidar Ali selaku orang terdekat yang bersedia
menyediakan waktu dan ikut membantu dalam mencari referensi
penyusunan skripsi ini.
10. Terimakasih kepada sahabat-sahabatku: Mangi, Aprilia, Puspita, Alia,
Warlan dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu
terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih
atas segala bantuannya.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................ i
UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................. ii
DAFTAR ISI .................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .............................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... ix
ABSTRAK ........................................................................................ x
ABSTRACT ..................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................... 1
1.2. Fokus Penelitian .................................................... 12
1.3. Pertanyaan Penelitian ............................................ 13
1.4. Tujuan Penelitian ................................................... 13
1.5. Signifikansi Penelitian ............................................ 13
1.5.1. Signifikansi Teoritis ..................................... 13
1.5.2. Signifikansi Praktis ...................................... 14
BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN
TEORI
2.1. Kajian Pustaka / Penelitian Sejenis ....................... 15
v
2.2. Kerangka Konsep ................................................... 18
2.2.1. Komunikasi Antar Budaya ........................... 18
2.2.2. Pola Komunikasi ........................................ 22
2.2.3. Budaya ........................................................ 23
2.2.4. Kelompok Etnis ........................................... 25
2.2.4.1. Etnis Melayu di Kalimantan Barat . 26
2.2.4.2. Etnis Madura di Kalimantan Barat 29
2.2.5. Mindfulness Budaya .................................... 36
2.2.6. Face Negotiation Theory ............................. 43
2.3. Kerangka Pemikiran ............................................. 51
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Paradigma Penelitian ............................................. 54
3.2. Pendekatan Penelitian ........................................... 55
3.3. Metode Penelitian .................................................. 56
3.4. Objek dan Subjek Penelitian .................................. 57
3.5. Teknik Pengumpulan Data .................................... 58
3.6. Teknik Keabsahan Data ........................................ 59
3.7. Teknik Analisis Data .............................................. 59
BAB IV. HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Objek Penelitian ..................................... 65
4.1.1. Asal-Usul Kerusuhan Konflik Sambas 1999 65
4.2. Deskripsi Subjek Penelitian ................................... 68
vi
4.2.1. Pemahaman Etnis Melayu Sambas Terkait
Etnis Melayu Sambas dan Etnis Madura .... 73
4.2.2. Pemahaman Etnis Madura terhadap Etnis
Madura dan Melayu Sambas ...................... 81
4.2.3. Pengalaman Komunikasi Antar Etnis .......... 86
4.2.4. Mindfulness yang Muncul dalam Interaksi
dsdfdsdfsfgdsfgdAntar Etnis Melayu
Sambas dan Etnis Madura .......................... 89
4.2.4.1. Pengetahuan Budaya Antar Etnis . 92
4.2.4.2. Motivasi Antar Etnis ...................... 93
4.2.4.3. Kecakapan Berinteraksi ............... 95
4.2.4.4. Memahami Perbedaan ................. 96
4.2.4.5. Membngun Kedekatan Personal .. 97
4.2.5. Etnik Melayu Sambas dan Etnik Madura;
Face Negotiation Theory ............................. 114
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan .......................................................... 114
5.2. Saran ..................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu .................................................... 15
viii
DAFTAR LAMPIRAN 1. Transkrip Wawancara.
2. Lampiran Foto
ix
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA) FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
KONSENTRASI HUMAS
ABSTRAK
Nama : Ingka Pratiwi NIM : 2013-41-272 Konsentrasi : Humas Judul : Komunikasi Antar Budaya Etnis Melayu Sambas
dan Etnis Madura Pasca Konflik Sambas Tahun1999
Jumlah Halaman : V BAB + 116 Halaman Bibliografi : 25 Buku + 2 website Pembimbing I : Dr. Hendri Prasetya, M.Si. Pembimbing II : Dra. Aminah Swarnawati, M.Si.
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas beraneka ragam
suku yang memiliki ciri dan kekhasan budaya masing-masing. Aneka ragam
suku yang ada bukan suatu hal yang mudah untuh dipahami dan bukanlah
suatu hal yang mudah untuk diseragamkan begitu saja. Banyak pemahaman
budaya yang berbeda antar individu membuat semakin timbulnya konflik
antar etnis di Indonesia, salah satunya yaitu konflik antar etnis Melayu
Sambas dan Madura pada tahun 1988 yang menimbulkan adanya
perbedaan dan jarak antar kedua etnis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana situasi
komunikasi yang mindful berjalan antara antara etnis Melayu Sambas dan
Madura serta mengetahui teori negosiasi muka yang berjalan dalam
komunikasi antar etnis Melayu Sambas dan etnis Madura pasca konflik
Sambas tahun 1999. Landasan teori yang peneliti gunakan adalah
Mindfulness budaya dan Face Negotiation Theory.
Paradigma dalam penelitian ini adalah paradigm post positivism.
Selain itu penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan metode
yang peneliti gunakan adalah studi kasus.
Dari hasil penelitian maka peneliti menyimpulkan bahwa lattar atau
tempat tinggal mempengaruhi komunikasi yang mindful antara etnis Melayu
Sambas dan etnis Madura dan harus adanya sikap saling terbuka untuk
mengurangi prasangka negative terhadap sesams etnis.
Kata kunci : Komunikasi Antar Budaya, Etnis Melayu Sambas dan Etnis
Madura pasca Konflik Sambas 1999.
x
PROF. DR. MOESTOPO UNIVERSITY FACULTY OF COMMUNICATION
PUBLIC RELATIONS CONCENTRATION
ABSTRACT
Name : Ingka Pratiwi NIM : 2013-41-272 Concentration : Public Relations Title : Intercultural Communication between Malay Sambas
Ethnic and Maduranese Ethnic Post Sambas Conflict in 1999
Number of Pages : V CHAPTER + 116 Pages Bibliography : 25 Books + 2 websites I Mentor : Dr. Hendri Prasetya, M.Si. II Mentor : Dra. Aminah Swarnawati, M.Si.
The Unitary State of the Republic of Indonesia consists of a wide variety of tribes that have their own characteristics and cultural distinctiveness. The variety of tribes that exist is not an easy thing to understand and uniform just like that. Many different cultural understandings between individuals create an increasingly inter-ethnic conflict in Indonesia, one of which is the conflict between Malay Sambas ethnic and Madura ethnic in 1988 that caused a difference and distance between the two ethnic groups.
This study aims to find out how mindful communication situation runs between Melayu Sambas and Madura ethnic as well as to knowing the theory of advance negotiation in communication between Melayu Sambas ethnic and Maduranese ethnic after Sambas conflict in 1999. Theoretical basis that researcher use is Mindfulness culture and Face Negotiation Theory.
Paradigm in this research is post positivism paradigm. Meanwhile, the study uses a qualitative approach, while the method that researchers use is case study.
From the result of this research, concludes that residence affects mindful communication between Sambas Malay ethnic and Maduranese ethnic and should be open mutual attitude to reduce negative prejudice against fellow ethnicity. Keywords : Intercultural Communication, Malay Sambas and Maduranese
ethnic after Sambas Conflict in 1999.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas beraneka ragam
suku yang memiliki ciri dan kekhasan budaya masing-masing. Aneka ragam
suku yang ada bukan suatu hal yang mudah untuh dipahami dan bukanlah
suatu hal yang mudah untuk diseragamkan begitu saja. Sifat masyarakat
Indonesia yang heterogen atau multikultur ini rentan terhadap kemungkinan
terjadinya berbagai konflik antarbudaya di dalamnya. Dengan kata lain dapat
dikatakan faktor perbedaan budaya, potensial untuk menimbulkan
kesalahpahaman, pertentangan, perselisihan, pertikaian, peperangan,
bahkan tidak mustahil juga menjadi pemicu dan memegang peranan penting
bagi munculnya konflik antarbudaya tersebut.
Konflik utamanya disebabkan oleh perbedaan budaya, di antaranya
pertikaian etnis seperti Madura, Makassar, Banten, Dayak, Melayu di
Kalimantan Barat, dan suku-suku di Papua. Bahkan kini, konflikpun terjadi
dalam berbagai lapisan sosial di masyarakat, dengan tidak memandang
perbedaan etnis sebagai dasar masalah. Masalah yang kini muncul adalah
adanya kecenderungan berbagai pihak memandang budaya yang tercermin
dalam tradisi suatu kelompok dianggap lebih baik dibandingkan dengan
tradisi kelompok lainnya, yang bisa menimbulkan etnosentrisme kelompok.
2
Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia yaitu konflik budaya antar
etnis di Sambas, Kalimantan Barat. Konflik antar etnik ini sudah tidak bisa
dilepaskan dalam realitas sosial masyarakat di Kalimantan Barat. Di provinsi
yang juga dikenal sebagai “bumi khatulistiwa” ini, masyarakat dari berbagai
suku, agama dan etnis hidup bersama. Di dalam bingkai etnisitas sendiri,
Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sambas memiliki keanekaragaman
etnis yang cukup berwarna, ada etnis Dayak dan Melayu sebagai “penduduk
asli” pulau Kalimantan, namun tak sedikit pula etnis lain yang menjadi “kaum
pendatang” di bumi Sambas, antara lain etnis Jawa, Sunda, Tionghoa, Bugis
dan Madura. Namun pada dasarnya, hubungan antara berbagai etnis yang
hidup berdampingan di Sambas gagal dalam menghasilkan proses adaptasi
etnisitas yang sehat. Berkurangnya daya dukung terhadap akses lingkungan
dan upaya marginalisasi penduduk asli setempat malah memunculkan
prasangka antar-etnik, khususnya ditujukan kepada etnik Madura.
Konflik antaretnik di Kalimantan Barat, yakni Dayak versus Madura
“episode paling akhir” bermula sejak tahun 1996. Konflik mencapai
puncaknya pada tahun 1999 dan 2000 dengan korban jiwa terbunuh sangat
kejam; harta benda dan hak milik musnah dibakar, dijarah, atau dirusak; dan
ratusan ribu jiwa dari etnik Madura masih terlunta sebagai pengungsi di
berbagai tempat (Singkawang, Pontianak, Surabaya, dan Pulau Madura).
Konflik antara etnis Melayu dan etnis Madura di Kab. Sambas pada
tahun 1999, dimana implikasinya sangat memprihatinkan dan mendesak
untuk diselesaikan. Terutama dalam rangka mengantisipasi konflik serupa
3
dimasa mendatang. Konflik tersebut sangat memprihatinkan karena telah
menimbulkan dampak yang kompleks, baik secara fisik maupun nonfisik,
belum diselesaikan.
Secara fisik, berbagai jenis fasilitas umum dan harta benda yang
berjumlah ribuan telah rusak dan musnah, serta ratusan nyawa tewas. Tidak
sedikit gelombang pengungsian dimana-mana, dan menciptakan masalah
seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Disamping secara fisik, dampak nonfisik antara lain adalah aspek
agama, ekonomi, social budaya, hukum dan politik juga sangat terasa dan
memprihatinkan. Dari konflik tersebut, tidak sedikit warga yang mengalami
trauma bahkan gangguan kejiwaan. Sehingga menghambat interaksi
sosialnya, serta menimbulkan rasa benci dan dendam yang mendalam.
Dampak ekonominya terasa pada hancurnya sumber-sumber
kehidupan dan mata pencaharian, disamping menurunnya kepercayaan
investor untuk menanam modalnya karena dirasa tidak aman dan tidak
stabil. Kemudian dari aspek politik membawa pada perasaan superior yang
ingin mendominasi dari warga etnis aslidalam sistem demokrasi dan
pemerintahan. Sehingga sistem yang ada cenderung tidak professional,
karena diperankan oleh orang-orang yang dipilih atas dasar keterwakilan
kelompok, bukan mengutamakan pertimbangan kapabilitas dan kemampuan
profesionalisme.
Bahkan sangat mengherankan, terjadinya perilaku kanibalisme. Orang
bisa makan organ dan isi tubuh orang lain hanya karena lain etnis. Orang
4
dengan tega mengarak kepala tanpa tubuh orang lain dengan bangga, rasa
gembira, dan beramai-ramai, juga hanya lain etnis. Hampir tidak bisa
dipercaya hal tersebut terjadi pada masyarakat yang heterogen dan telah
melalui proses pembangunan dengan paradigma modernisasi.
Demikian, betapa nyata dan mendesaknya penyelesaian masalah di
atas. Namun harus diakui bahwa bagaimanapun upayanya, penyelesaian
konflik tidak akan secepat mengembalikkan telapak tangan.
Pecahnya konflik terbuka antara etnis Melayu Sambas dengan etnis
Madura di Sambas dilatar belakangi oleh beberapa faktor yang sangat
kompleks. Akar permasalahan timbulnya konflik di Sambas adalah tidak
adanya saling pengertian antara warga asli dengan warga pendatang.
Penghormatan terhadap budaya asli yang kurang dihargai oleh penduduk
pendatang cepat menyulut konflik ini terjadi. Kejadiannya spontan karena
akumulasi dendam sejak lama.
Kemudian menurut Abas, yang pernah meneliti etnis Dayak dan
Madura di Kalbar, dapat di simpulkan bahwa akar masalah dari semua
konflik yang terjadi di Kalimantan Barat adalah perebutan sumber-sumber
ekonomi yang tidak elegan dengan dukungan situasi dan kondisi yang hanya
menguntungkan pihak tertentu, serta tidak tegaknya supremasi hukum.
Hampir senada dengan itu, dan secara lebih mendetail, kiranya konflik
antara etnis Melayu Sambas dan Madura di Kabupaten Sambas juga dapat
dipilih uraikan anatominya dalam 4 kelompok faktor utama, yaitu:
Pertama, pola pemukiman yang berperan sebagai fasilitating faktor,
5
dalam realitanya adalah pola pemukiman penduduk etnis Madura di
Kabupaten Sambas sebelum terjadinya konflik. Mereka mendirikan rumah-
rumah secara mengelompok dengan tempat ibadah berupa masjid yang
orang-orang lain tidak beribadah disitu. Pendapat demikian juga
dikemukakan Suparlan bahwa: “Kebiasaan Madura itu hidup dalam
komunitas kecil-kecil. Mereka membangun masjid sendiri, surau sendiri,
masjid atau surau itu berfungsi sekaligus sebagai tempat pendidikan atau
pesantren bagi anggota keluarga komunitas”. Sehingga menimbulkan
ekslusifime bagi etnis Madura dan membuat mereka tidak berinteraksi
secara intens dengan warga lainnya sebagaisalah satu faktor pendukung
terjadinya proses interaksi yang sosiatif.
Kedua, menyempitnya ruang hidup (lebensraum) penduduk asli,
sementara mereka tidak dapat bersaing ditempat lain baik dikarenakan latar
belakang mereka maupun situasi dan kondisi yang tidak kondusif. Sehingga
frustasi secara perlahan tapi pasti mulai menggumpal dan siap berubah
menjadi konflik.
Banyak pihak mengakui bahwa karakteristik etnis Madura sebagai
pekerja keras diberbagai bidang lapangan pekerjaan. Menurut Pelly:
“kombinasi antara peluang yang terbuka dan karakteristik orang Madura,
ternyata telah mengantar dominan di Kalimantan Barat. Penduduk asli
menjadi terpojok, frutasi. Tidak berdaya dan enjadi penonton.
Namun demikian, sebagaimana hipotesis dikson yang dikutip
Boedishantoso, tentang keberingasan sosial (social conflict) yang
6
disebabkan oleh pertamabahan jumlah penduduk yang semakin tinggi
angkanya dan semakin cepat temponya, sementara sumber daya dan
lingkungan terbatas (enfironmental scarcity), sehingga memacu orang untuk
memperebutkannya. Oleh karenanya, seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk kabupaten Sambas yang tinggi dalm tempo singkat, terutama dari
etnis Madura yang berimigrasi dari beberapa kabupaten lain di Kalimantan
Barat, karena konflik dengan etnis Dayak, telah menyebabkan kesempatan
kerja dan “hak-hak kepemilikan secara perlahan tapi pasti dari etnis Melayu
Sambas ke etnis Madura. Melalui cara-cara yang tidak wajar, bahkan sering
dilakukan dengan kekerasan dan intimidasi”.
Proses demikian terjadi dalam waktu yang lama, sehingga ada
ungkapan yang terkenal di kaiangan masyarakat Kabupaten Sambas dan
Kalimantan Barat umumnya yang memperjelas hal di atas: “sewaktu ternak
masih kecil atau padi, buah-buahan masih muda adalah milik kita (Melayu
Dayak dan kelompok etnis lainya), tetapi setelah ternak atau hasil tanaman
itu besar atau masak mereka menjadi milik orang”.
Ketiga, tergesernya identitas diri masyarakat lokal sambas (etnis
Melayu) yang berperan sebagai faktor sumbu pencetus. Sebelum terjadinya
konflik terbuka, adat-istiadat dan budaya Melayu Sambas semakin lama
semakin pudar di masyarakat. Simbol-simbol budaya seperti Keluarga
Keraton Sambas sebagai pemimpin tradisional/lokal.
Tergesernya identitas diri etnis ini terjadi seiring dengan masuknya
migran dan budaya luar melalui berbagai media maupun secara langsung
7
dari etnis lain, sehingga terjadi pergeseran budaya.. Hal ini jelas diakui oleh
Raden Winata Kusumah sebagai pewaris Kesultanan Sambas bahwa:
"keberadaan Istana schenarnya hanya 0,001%. Yang ada hanya pengakuan
saja. Istana Sambas itu hanya simbol cagar budaya untuk tempat
pariwisata".
Keempat, lembaga penegak hukum yang lumpuh akibat aparat yang
korup yang horperan schagai mekanisme penumpuk kekesalan (grudges
yang terus membukit. Banyaknya kasus-kasus kriminal mulai dari perjudian.
mabuk-mabukan, pemerasan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, hingga
pembunuhan tidak ditangani secara ad di bawah koridor hukum yang
berlaku. Hal ini menyuburkan budaya premanisme. kriminalitas dan
kekerasan lainya di kalangan masyarakat, baik secara perorangan maupun
berkelompok untuk melakukan main hakim sendiri. Hal tcrsebut menurut
Alkadri terbukti dari hasil penelitian Tim Kapolri terhadap konflik etnis di
Kabupaten Sambas. Demikian pula, bahwa secara nyata hal ini telah
menjadi salah satu pemicu dari konflik terbuka antara c nis melayu dan etnis
madura di Kabupaten Sambas, di mana pencuri yang tertangkap basah
dihakimi oleh massa dan kemudian dilepas oleh aparat keamanan.
Sebagai manusia kita hidup saling berdampingan dan membutuhkan
antara satu manusia dengan yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari,
manusia saling berinteraksi dengan orang tertentu yang berasal dari
kelompok, ras, etnik, atau budaya yang berbeda-beda dan komunikasi
8
menjadi satu hal yang sangat diperlukan ketika manusia saling berinteraksi.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, individu pastinya memiliki
kepentingan, serta cara bergaul yang berbeda-beda antara satu individu
dengan individu yang lainnya. Dan semua itu harus dicapai untuk mencapai
suatu kehidupan.
Peristiwa komunikasi yang dapat diamati dalam ilmu komunikasi juga
sangat luas dan kompleks karena menyangkut berbagai aspek, seperti
sosial, budaya, ekonomi, politik, psikologi, dan sebagainya dari berbagai
aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, ilmu komunikasi merupakan
salah satu cabang ilmu pengetahuan yang termasuk dalam kelompok ilmu-
ilmu social (social sciences). Lebih lanjut, ilmu komunikasi juga merupakan
ilmu pengetahuan social yang bersifat multidisipliner. Artinya, pendekatan
yang digunakan dalam ilmu komunikasi berasal dari dan menyangkut
berbagai disiplin (bidang keilmuan) lainnya, seperti linguistic, politik,
sosiologi, psikologi, antro;ology, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Menurut Aang (2013:92) komunikasi adalah suatu proses
menyampaikan informasi (pesan,ide,gagasan) dari suatu pihak kepada pihak
lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya,
komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat
dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang
dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan
menggunakan gerak-gerik badan, menunjukan sikap tertentu, misalnya
tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti itu
9
disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.
Menurut Fiske (2012:1) komunikasi adalah salah satu dari aktivitas
manusia yang dikenali oleh semua orang namun sangat sedikit yang dapat
mengidentifikasikannya secara memuaskan.
Komunikasi sangatlah penting bagi seseorang dalam pergaulan hidup
di masyarakat. Kemampuan tersebut tidak hanya penting bagi orang yang
berkecimpung dalam dunia komunikasi, misalnya para awak media, guru,
dan lain-lain. Tetapi, untuk semua bidang profesi karena komunikasi dapat
mempengaruhi peningkatan karier seseorang dalam profesinya.
Berkomunikasi merupakan kebutuhan yang fundamental bagi
seseorang yang hidup bermasyarakat, tanpa komunikasi tidak mungkin
masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat, maka manusia tidak
mungkin dapat mengembangkan komunikasi. Manusia adalah makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu
berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup
berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Manusia dalam berkomunikasi itu melayani segala sesuatu,
akibatnya orang bilang komunikasi itu sangat mendasar dalam kehidupan
manusia, komunikasi merupakan proses yang universal. Komunikasi
merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang terampil
dari manusia (communication involves both attitudes and skills). Manusia
tidak dikatakan berinteraksi social kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara
10
atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi
yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain.
Indonesia memiliki berbagai macam keberagaman seperti suku,
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Indonesia terkenal
dengan keberagaman budayanya. Budaya merupakan suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Untuk mengenal budaya yang satu dengan yang
lainnya diperlukan adanya komunikasi. Dengan berkomunikasi seseorang
dapat memahami perbedaan antar budaya yang satu dengan yang
lainnya.
Menurut deddy dan jallaludin (2005:20) dalam bukunya yang berjudul
komunikasi antar budaya edisi ketiga menyatakan budaya adalah suatu
konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan
sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap,
makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam
semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar
orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.
Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam pola-
pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi
sebagi model-model bagi tindakan-tindakan penyesuain diri dan gaya
komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu
masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat
perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.
11
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik. Budaya
menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan komunikasipun turut
menentukan budaya. Komunikasi antar budaya terjadi manakala bagian yang
terlibat dalam kegiatan komunikasi membawa latar belakang budaya
pengalaman yang berbeda dan mencerminkan nilai yang dianut oleh
kelompoknya.
Budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti
dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku
komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan,
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya.
Budaya yang berbeda-beda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda
dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Cara kita
berkomunikasi sangat bergantung pada budaya kita, seperti bahasa, aturan,
dan norma kita masing-masing.
Selama perang suku terjadi, komunikasi antara Etnik Dayak dan Etnik
Madura terputus sama sekali, atau bahkan dapat dikatakan “tidak ada
komunikasi”. Tidak adanya komunikasi ini terjadi karena Etnik Dayak dan
Etnik Madura “tidak bisa bertemu”. Jika terjadi pertemuan, maka yang
kemudian terjadi adalah saling bunuh di antara keduanya.
Tidak terjalinnya komunikasi antaretnik Dayak dan Etnik Madura ini
berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang yakni sepanjang
Perang Suku (1996-2000). Namun, saat ini konflik antaretnik Dayak dan
Etnik Madura sudah reda. Penyerangan-penyerangan massal antaretnik
12
yang bertikai tersebut sudah tidak terjadi dan suasana berangsur-angsur
kembali damai, meski di beberapa daerah, Etnik Madura masih benar-benar
ditolak kedatangannya. Beberapa orang Madura yang mencoba pulang
kampung untuk menengok bekas rumah atau kebunnya, ternyata tidak
pernah kembali (dengan kata lain : dibunuh).
Sehuhungan dengan kompleksnya akar permasalahan, sehingga tidak
mustahil bilamana realita menunjukkan bahwa eksplosi konflik antara etnis
Melayu dan etnis Madura tidak mampu untuk diantisipasi oleh berbagai pihak
terkait. Bahkan pada saat teriadinya konflik terbuka.
Tetapi, setelah sekian tahun konflik berlalu, lambat laun banyak
penduduk etnis Melayu Sambas dan etnis Madura yang sudah mulai hidup
saling berdampingan dan membutuhkan satu sam lain. Berdasarkan latar
belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti masalah ini dalam
sebuah bentuk skripsi yang berjudul Komunikasi Antar Budaya Etnis Melayu
Sambas dan Etnis Madura Pasca Konflik Sambas Tahun 1999 (Studi Kasus
pada Masyarakat Melayu dan Madura di Kalimantan Barat).
1.2 Fokus Penelitian
Dalam uraian latar belakang tersebut, maka fokus masalah dalam
penelitian ini yaitu pada situasi komunikasi yang mindful dan teori negosiasi
muka dalam komunikasi yang terjadi antara etnis Melayu Sambas dan etnis
Madura pasca konflik Sambas tahun 1999 di Kalimantan Barat.
13
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana situasi komunikasi yang mindful terjadi antara etnis Melayu
Sambasdan etnis Madura di Kalimantan Barat pasca konflik Sambas
th.1999?
2. Bagaimana konsep teori negosiasi muka berjalan dalam komunikasi
antar etnis Melayu Sambas dan etnis Madura di Kalimantan Barat pasca
konflik Sambas th.1999?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana situasi komunikasi yang mindful berjalan
antara antara etnis Melayu Sambas dan Madura serta
2. Untuk mengetahui teori negosiasi muka yang berjalan dalam komunikasi
antar etnis Melayu Sambas dan etnis Madura pasca konflik Sambas
tahun 1999.
1.5 Kegunaan Penelitian
1.5.1 Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis yang akan dilakukan oleh penulis diharapkan
dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
pada umumnya dan khususnya mengenai komunikasi antar budaya
etnis Melayu Sambas dan etnis Madura pasca konflik Sambas tahun
14
1999 ( studi kasus pada masyarakat Melayu Sambas dan Madura di
Kalimantan Barat)
1.5.2 Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis yang dimaksud adalah berkaitan dengan hal-
hal yang dapat diaplikasikan kedalam kehidupan yang nyata atau
terhadap suatu individu, kelompok, maupun organisasi dan
sebagainya.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka/ Penelitian Sejenis
Penelitian sejenis berfungsi memberikan landasan teoritis tentang
mengapa penelitian tersebut perlu dilakukan dalam kaitannya dengan
kerangka pengetahuan. Sebelum penulis mengulas bahasan penelitian yang
akan dilakukan, penulis mengacu pada teori-teori yang termuat dalam
penelitian terdahulu sehingga dari hasil penelitian terdahulu tersebut, dapat
dibandingkan hasilnya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis
sekarang. Berikut hasil perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian
penulis.
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti Elizabeth Puspa
Kirana
Muchammad
Arief Sigit
Muttaqien
Ingka Pratiwi
Judul
penelitian
Pola Komunikasi
Antarbudaya di
Jakarta (Studi
Fenomenologi
Etnis Cina-Medan
dengan Etnis
Betawi di Rawa
Komunikasi Antar
Budaya (Studi
pada pola
komunikasi
Masyarakat
Muhammadiyah
dan NU di Desa
Komunikasi Antar
Budaya Etnis
Melayu dan Etnis
Madura Pasca
Konlik Sambas
1999 (Studi Kasus
pada Masyarakat
10
16
Belong Pringapus,
Semarang, Jawa
Tengah
Melayu dan
Madura di
Kalimantan Barat)
Tahun
Penelitian
2015 2009 2017
Rumusan
Masalah
Bagaimana pola
antarbudaya dan
akulturasi budaya
yang terjadi pada
Etnis Cina-Medan
dalam lingkungan
pribumi (Rawa
Belong, Kebon
Jeruk, Jakarta
Barat)
- Bagaimana pola
komunikasi yang
dilakukan
masyarakat dari
kalangan
Muhammadiyah
dengan
masyarakat
dikalangan NU
dalam kehidupan
sehari-hari?
- Faktor-faktor
apa saja yang
menjadi
penghambat dan
pendukung
komunikasi yang
terjadi antara
-Bagaimana
situasi komunikasi
yang mindful
terjadi antara etnis
melayu dan etnis
Madura di
Kalimantan Barat
pasca konflik
Sambas th.1999?
-Bagaimana
konsep teori
negosiasi muka
berjalan dalam
komunikasi antar
etnis Melayu
Sambas dan etnis
Madura di
Kalimantan Barat
17
masyarakat
Muhammadiyah
dengan
Masyarakat NU?
pasca konflik
Sambas th.1999?
Tujuan
Penelitian
untuk mengetahui
pola komunikasi
antarbudaya dan
akulturasi etnis
Cina-Medan dalam
berinteraksi
dengan orang-
orang pribumi di
wilayah Rawa
Belong, Kebon
Jeruk, Jakarta
Barat
-Untuk
mengetahui
bagaiman pola
komunikasi yang
terjadi di
Masyarakat
Muhamadiyah
dan NU
-untuk
mengetahui faktor
pendukung dan
penghambat
antara
Mudamadiyah
dan NU
-untuk mengetahui
bagaimana situasi
komunikasi yang
mindful berjalan
antara antara etnis
Melayu Sambas
dan Madura
-untuk mengetahui
teori negosiasi
muka yang
berjalan dalam
komunikasi antar
etnis Melayu
Sambas dan etnis
Madura pasca
konflik Sambas
tahun 1999.
18
2.2 Kerangka Konsep
2.2.1 Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antarbudaya tidak dapat terlepas dari faktor-faktor
budaya yang melekat pada diri individu. Budaya adalah suatu pola
hidup menyeluruh.Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Dalam
bahasa Sansekerta kata budaya berasal dari kata buddhayah yang
berarti akal budi. Dalam filsafat Hindu, akal budi melibatkan seluruh
unsur panca indera, baik dalam kegitan pikiran (kognitif), perasaan
(afektif), maupun perilaku (psikomotori). Sedangkan kata lain yang
juga memiliki makna yang sama dengan budaya adalah ‟kultur‟ yang
berasal dari Romawi, cultura, biasanya digunakan untuk menyebut
kegiatan manusia mengolah tanah atau bercocok tanam. Kultur
adalah hasil penciptaan, perasaan dan prakarsa manusia berupa
karya yang bersifat fisik maupun nonfisik (Andrik Purwasito,2003:95).
Dalam setiap prosesnya komunikasi selalu melibatkan
ekspetasi, persepsi, tindakan dan penafsiran. Maksudnya adalah
ketika kita berkomunikasi dengan orang lain maka kita dan orang yang
menjadi komunikan kita akan menafsirkan pesan yang diterima baik
berupa pesan verbal maupun non verbal degan standar penafsiran
dari budayanya sendiri. Kitapun dalam memaknai dan menyandikan
tanda atau lambang yang akan kita jadikan pesan menggunakan
standar budaya yang kita punyai. Pada dasarnya komunikasi antar
budaya adalah komunikasi biasa, yang menjadi perbedaannya adalah
19
orang-orang yang terlihat dalam komunikasi tersebut berbeda dalam
hal latar belakang budayanya. Ada banyak pengertian yang diberikan
para ahli komunikasi dalam menjelaskan komunikasi antar budaya,
diantaranya adalah :
1. Menurut Guo-Ming Chen dan William J. Starosta dalam Alo Liliweri (2005:368) berpendapat bahwa komunikasi antar budaya adalah proses negosiasi atau pertukaran system simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.
2. Menurut Deddy Mulyana, komunikasi antar budaya (Inter Cultural Communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budayanya.
3. Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss mendefinisikan komunikasi antar budaya sebagai komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik atau perbedaan sosio ekonomi) (Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss, 2001:182).
Hammer (1989) mengutip perumpamaan Wilbur Scharmm
(1982) menggambarkan bahwa lapangan studi komunikasi itu ibarat
sebuah oasis, dan studi komunikasi antar budaya itu di bentuk oleh
ilmu-ilmu tentang kemanusiaan yang seolah nomadic lalu bertemu
disebuah oase. Ilmu-ilmu social “nomadic” itu adalah antropologi,
sosiologi, psikologi, dan hubungan international oleh karna itu
sebagian besa pemahaman tentang komunukasi antar budaya
bersumber dari ilmu-ilmu tersebut sebagaimana terlihat dalam
beberapa definisi berikut ini:
1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A.
Samovar dan Richard E. Porter Intercultural communication, A
Reader – komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara
20
orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku
bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas social. (Armawah Arbi,
2003:182)
2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antar
budaya terjadi diantara produser pesan dan penerima pesan yang
latarbelakang kebudayaannya berbeda.(Samovar dan
Porter,1976:4)
3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antar budaya
meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang
mewakili pribadi, antar pribadi, dan kelompok, dengan tekanan
pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi
prilaku komunikasi pada para peserta (Dood, 1991:5)
4. Komunikasi antar budaya adalah suatu proses komunikasi
simbolik, interpretative, transaksional, kontekstual yang dilakukan
oleh sejumlah orang – yang karena memiliki perbedaan derajat
kepentingan tertentu – memberikan interpretasi dan harapan
secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk
perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. (Lustig dan
Koester Intercultural Communication Competence, 1993)
5. Intercultural Communication yang disingkat “ICC”, mengartikan
komunikasi antar budaya merupakan interaksi antara peribadi
antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda
kebudayaan
21
6. Guo – Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa
komunikasi antar budaya adalah proses negosiasi atau pertukaran
system simbolis yang membimbing perilaku manusia dan
membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai
kelompok. Selanjutnya komunikasi antar budaya itu dilakukan:
a. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia didalam
pertemuan antar budaya yang membahas satu tema
(penyampaian tema melalui symbol) yang sedang di
pertentangkan. Symbol tidak sendirinya mempunyai makna
tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan makna-
makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;
b. Melalui pertukaran system symbol yang tergantung dari
persetujuan antar subjek yang terlibat dalam komunikasi,
sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses
pemberian makna yang sama;
c. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram
namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap
perilaku kita;
d. Menunjukan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat
membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya
dengan berbagai cara.
Dari beberapa definisi yang penulis kutipkan tadi, penulis
berkesimpulan bahwa komunikasi antar budaya adalah proses
22
interaksi antar beberapa orang yang memiliki latar belakang budaya
yang berbeda.
2.2.2 Pola Komunikasi
Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk hubungan dua orang
atau lebi dalam proses pengiriman dan penerimaan yang tepat,
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004:1)
Dimensi pola komunikasi terdiri dari dua macam, yaitu pola
yang berorientasi pada konsep dan pola pada social yang mempunyai
arah hubungan yang berlainan (Sunarto,2006:1)
Tubb dan Moss mengatakan bahwa pola komunikasi atau
hubungan itu dapat diciptakan oleh komplemetaris atau simetri. Dalam
hubungan komplementer, satu bentuk perilaku yang diikuti oleh
lawannya. Vontohnya perilaku dominan dari satu partisipan
mendatangkan perilaku tunduk atau dan lainnya. Dalam simetri,
tingkatan sejauh mana orang berinteraksi atas dasar kesamaan.
Dominasi bertemu dengan dominasi, atau kepatuhan dengan
kepatuhan (Tubb dan Moss, 2001:26). Disini kita mulai melibatkan
bagaiman aproses interaksi menciptakan struktur system. Bagaimana
orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang
mereka miliki.
Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah
bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses
23
pengiriman yang mengaitkan pesan dua komponen, yaitu gambaran
atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada suatu aktivitas,
dengan komponen-komponen yang =merupakan bagian penting atas
terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau kelompok
organisasi.
2.2.3 Budaya
Secara etimologis budaya atau culture berasal dari kata budi,
yang diambil dari bahasa sangsekerta, artinya kekuatan budi atau
akal, sehingga budaya diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan akal. Sedangkan Culture, bahasa Inggris, yang asalnya
diambil dari bahasa latin, colere yang berarti mengolah dan
mengerjakan tanah pertanian. Dari sini pengertian culture
berkembang menjadi, segala upaya serta tindakan manusia untuk
mengolah tanah dan merubah alam. (Razak, 2008: 152).
Secara terminologis, budaya berarti suatu hasil dari budi dan
atau daya, cipta, karya, karsa, pikiran dan adat istiadat manusia yang
secara sadar maupun tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku
yang beradab. Budaya merupakan nilai- nilai dan kebiasaan yang
diterima sebagai acuan bersama yang diikuti dan dihormati. Menurut
Taylor seperti yang dikutip Achmad Sobirin (2007: 52), budaya adalah
kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan,
seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai kapabilitas lainnya
24
serta kebiasaan apa saja yang diperoleh manusia sebagai bagian dari
sebuah masyarakat. Menurut Stoner dalam Moeldjono (2003:16),
budaya adalah gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita,
mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk
menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu..
Pace dan Faules (2000: 90) menjabarkan tiga perspektif
budaya secara luas mengenai budaya, yaitu:
1. Perspektif holistik, yaitu memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir, menggunakan perasaan dan berkreasi;
2. Perspektif variabel, yaitu terpusat pada pengekspresian budaya;
3. Perspektif kognitif, yaitu memberi penekanan pada gagasan konsep, cetak biru, keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, “pengetahuan yang diorganisasikan” yang ada dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas.
Menurut Malinowski dalam Cica Nayati (2012: 9) budaya adalah
keseluruhan kehidupan manusia yang terdiri dari berbagai peralatan
dan barang-barang konsumen, berbagai peraturan untuk kehidupan
masyarakat, ide-ide dan hasil karya manusia, keyakinan dan
kebiasaan manusia.
Menurut Edwar dalam Cica Nayati (2012: 10) budaya adalah
gabungan kompleks menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai
kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang
manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Wibowo (2007: 15)
menjelaskan budaya merupakan kegiatan manusia yang sistematis
25
diturunkan dari generasi ke generasi melalui berbagai proses
pembelajaran untuk menciptakan cara hidup terentu yang paling
sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Dari beberapa definisi diatas mengenai budaya, penulis
menyimpulkan bahwa budaya adalah segala sesuatu yang ada dalam
masyarakat yang menjadi sistem nilai yang dianut bersama, menjadi
kebiasaan dan menjadi identitas bagi masyarakat tersebut. Berbagai
pendapat diatas dapat menggambarkan bahwa budaya organisasi dan
kinerja organisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat, tercapainya
tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki
oleh organisasi yang digerakan atau dijalankan karyawan yang
berperan aktif sebagai pelaku dalam upaya mencapai tujuan
organisasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah
penilaian hasil kerja seseorang dalam suatu organisasi sesuai dengan
tugas dan tanggungjawabnya dalam rangka mencapai tujuan
organisasi.
2.2.4 Kelompok Etnis
Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep
yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang
memiliki nenek moyang yang sama, ingatan social yang sama
(Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen
26
kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki
sejarah yang kurang lebih sama.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah
sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat agama,
bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama, sehingga mereka
memiliki keterkaitan social sehingga mampu menciptakan sebuah
system budaya dan mereka terikat didalamnya.
2.2.4.1 Etnis Melayu di Kalimantan Barat
Dalam konteks Kalimantan, Melayu adalah sebutan untuk
penduduk asli Kalimantan yang datang setelah dayak. Sebagian besar
warga melayu, terutama Melayu Mempawah dan Melayu Sambas
mengakui bahwa suku Dayak adalah penduduk asli Kalimantan.
Makanya warga Melayu Mempawah dan Sambas menyebut “abang”
(saudara tua) pada orang Dayak meskipun usianya lebih muda
darinya.
Dikalimantan, suku melayu identik dengan penganut Islam dan
pada umumnya bermukim dipesisir sungai atau pantai. Di Kalimantan
Barat suku Melayu terdiri dari berbagai subsuku. Yang jadi pembeda
utama subsuku Melayu adalah bahasa.
Subsuku Melayu yang besar di Kalbar adalah Melayu
Pontianak di Kodya Pontianak, Melayu Mempawah di Kabupaten
Pontianak, Melayu Sanggau di Kabupaten Sanggau, Melayu Sintang
di kabupaten Sintang, Melayu Ketapang di kabupaten Ketapang dan
27
Melayu Putusibau di Kabupaten Kapuas Hulu, Melayu Ngabang di
Ngabang dan lainnya. Yang terlibat dalam pertikaian dengan Madura
sebetulnya hanya terbatas pada Melayu Sambas saja.
Kini, selain bahasa, ciri khas subsuku Melayu di Kalbar juga
dapat dibedakan dari gelar bangsawannya. Misalnya, Melayu
Pontianak bergelar syarif; Melayu Sambas bergelar Uray.
Beberapa subsuku Melayu tersebut dahulu mempunyai
kerajaan. Kerajaan Melayu yang terkemuka adalah Kerajaan Melayu
Pontianak (Keraton Karadiyah), Kerajaan Melayu Sambas (Keraton
Sambas), Kerajaan Melayu Mempawah (Keraton Amant Billah),
Kerajaan Tanjungpura di Ketapang. Kerajaan Melayu itu runtuh
bersamaan runtuhnya kekuasaan kerajaan-kerajaan yang beralih ke
dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia.
Keruntuhan itu juga berakibat fatal bagi kelembagaan ajaran
Agama Islam, yang tadinya telah membuat berdiri tegaknya umat
islam di daerah Kalbar sampai sekarang. Menurut sejumlah tokoh
Melayu Pontianak inilah salah satu sebab keruntuhan total kekuasaan
generasi keraton yang juga membawa petaka social bagi masyarakat
suku bangsa Melayu yang Muslim.
Kapan Melayu datang ke Kalbar? Untuk menelusurinya dapat
diketahui dengan sejarah masuknya islam. Islam masuk ke
Kalimantan akhir Abad XIV M karena beberapa Kerajaan di
Kalimantan berada dibawah pengaruh kerajaan Sriwijaya (Sumatera)
28
dan Majapahit (Jawa). Tepatnya ketika Raja Kutai (Kaltim)
Kertanegara menganut agama islam. Disusul Raja Brunei pada tahun
1410. Di Kalbar Raja Landak, Raden Ismahana (1472-1542) masuk
Islam, kemudian menyusul Raja Kerajaan Tanjungpura, Giri Kusuma
masuk Islam pada tahun 1550.
Berbarengan dengan masuknya islam, masuklah Melayu ke
Kalbar dari Sumatera dan Jasirah Malaka. Kerajaan Islam Sambas
didirikan pada 1687 oleh Raden Sulaiman, yang kemudian bergelar
Sultan Muhamad Syaefudin I. melalui proses Islamisasi inilah Melayu
masuk ke Kalbar.
Kerajaan Islam Sambas didirikan pada 1687 oleh Raden
Sulaiman, yang kemudian bergelar Sultann Muhammad Syaefudin I.
melalui proses Islamisasi inilah terbentuk subsuku Melayu Sambas.
Kata “Sambas” mempunyai tiga versi pengertian. Versi pertama
dikatakan bahwa Sambas berasal dari kalimat “Sam‟an Basmallah.
Sam‟an (Sam) artinya dengarkanlah; dan Basmallah (bas) artinya
dengan nama Allah. Sambas artinya “dengarkan dengan nama Allah”
atau “dengarkan dan jalankan pemerintahan kerajaan Islam Hanya
karena Allah semata”.
Versi ke dua menyatakan, nama Sambas berasal dari nama
tiga orang sahabat, salah seorangnya bernama Abas. Masing-masing
mereka dari suku Melayu, Dayak dan Tionghoa. Tiga dalam bahasa
tionghoa adalah Sam. Lalu muncul istilah bekerja sama dengan Abas-
29
Sambas‟ sehingga lama kelamaan menjadi perkataan Sambas. Versi
inilah yang beredar dan diketahui secara luas di kabupaten Sambas,
baik di kalangan Melayu Sambas maupun Dayak dan Tionghoa.
Keturunan orang bertiga inilah yang kemudian di sebut Melayu
Sambas.
2.2.4.2 Etnis Madura di Kalimantan Barat
Agak sukar diketahui kapan orang Madura datang ke Sambas
karena belum ada sumber-sumber yang benar-benar bisa dipercaya.
Namun ada beberapa sumber yang bisa menjelaskan perihal
kedatangan mereka ke Kalimantan Barat. Yang menarik kisah
dituturkan Haji Tarap, tokoh Madura di Singkawang yang kini usianya
hamper seratus tahun. Tarap berkisah, anak pertamanya, lahir ketika
pertama kali pesawat terbang Jepang melintas di Kota Pontianak.
Warga yang ketakutan serempak berteriak agar semua tiarap ditanah.
Sesaat setelah kejadian itu, sang bayipun lahir.
Untuk mengenang masuknya pesawat Jepang tadi, bayi lelaki
itupun diberi nama Tarap, dari kata tiarap wargapun memanggilanya
pak Tarap. Dari kisah Tarap itu diketahui bahwa anaknya itu lahir di
masa Jepang (1942-1945). Memang sebelum pesawat itu sudah
datang sudah bayak warga Madura yang bermukim di Kalbar. Di
Sukadana (Ketapang) misalnya tahun 1933 sudah ratusan warga
30
Madura bermukim disana. Di Sukadanalah konflik pertama Melayu
dan Madura pada 1933.
Dari P. Madura mereka ke Pontianak dengan perahu layar
tradisional. Hal itupun masih berlangsung hingga kini. 2 pelabuhan
yang sering digunakan untuk berangkat adalah Pelabuhan Sepulu dan
Pelabuhan Telaga Biru, Tanjung Bumi (Bangkalan). Pelabuhan Sepulu
ini memang dikenal sebagai gerbangnya kayu Kalimantan di Madura
dan bahkan Jawa.
Meningkatnya jumlah warga Madura yang merantau ke Kalbar
terjadi sekitar 1980 menjelang 1990. Waktu itu hampi rsetiap perahu
yang berangkat ke Kalbar dari Tanjung Bumi rata-rata ditumpangi 50
orang. Kapal-kapal tradisional dari Tanjung Bumi itu sebenarnya
mengangkut sapi atau hasil bumi khas Madura seperti jagung, garam,
ketela atau manga. Tapi mereka juga mengangkut penumpang
sekadar menjadi tambahan penghasilan bagi pemilik kapal. Karena
itulah mereka harus rela berjejal dengan sapi, dalam terpaan panas
dan dingin di geladak kapal.
Perahu-perahu tradisional yang berangkat dari Tanjung Bumi
rata-rata mengangkut 400 ekor sapi. Kapal ini dikategorikan sebagai
kapal jenis besar. Sedangkan jenis ini dibawahnya hanya mengangkut
maksimal 150 ekor. Muatan utama dari Madura adalah sapi. Tariff
perekor 100.000,-. Apabila berangkat dengan muatan sapi, maka
31
pulangnya perahu-perahu itu mengangkut kayu dengan ongkos
60.000,- permeter kubik.
Selain berdagang, melalui jalur laut ini warga Madura juga
menyebarkan agama islam hingga ke Pontianak. Banyak sekali santri
Madura yang mengembangkan Islam dengan membuka pondok
pesantren di Pontianak. Tak heran kalau kyai karismatik asal Madura
seperti KH. Abdullah Schal (Alm.) KH. Kholil Ag, atau puteranya KH
Imam Bukhori, sering berdakwah ke Pontianak memenuhi undangan
mantan santerinya.
Masyarakat Madura di Pontianak sendiri punya kebiasaan
menitipkan anak mereka di pondok pesantren yang ada di Madura.
Setelah mencari ilmu 6-10 tahun, anak tersebut akan kembali ke
orang tuanya. Bila anak tersebut dewasa dan berkeluarga, ganti
mereka yang mengirim anaknya ke Madura untuk menuntut ilmu.
Kekerabatan diantara warga madurapun sangat erat.
Seseorang yang telah “berhasil” ditanah sebrang akan dengan senang
hati mengirim uang ke tempat asalnya. Mereka juga akan memberikan
tempat penampungan hingga saudaranya tadi bisa mandiri.
Versi lain sejarah orang Madura di Kalbar dapat dibaca pada
disertasi prof. dr. Henro Suroyo Sudagung (Alm.), guru besar
Sosiologi Fisipol Univ. Tanjung Pura Pontianak. Dalam penelitiannya
bertajuk Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalbar ( 1988)
32
disebutkan bahwa kedatangan orang Madura ke Kalbar berlangsung
dalam 3 tahap. Tahap pertama antara 1902-1942. Tahun 1902 dari
bangkalan mereka dengan perahu layar tradisional mendarat di
kerajaan Sukadana (Kab. Ketapang Kalbar), pada 1910 ke Kota
Pontianak dan pada 1930 ke Sambas. 3 daerah ini mudah di jangkau
disbanding kabupaten lain karena bisa dilayari langsung dari P.
Madura. Motif mereka ke Kalbar untuk berdagang dan mencari kerja.
Pada awal perintisan orang Madura bertualang ke Kalbar
penuh dengan kegetiran. Kala itu para saudagar bugis, melayu dan
arab membawa orang Madura ke Kalbar sebagai buruh kontrakan
dengan upah murah. Mereka membuka hutan untuk dijadikan hutan
dan ladang. Terkadang mereka tidak diberi upah, hanya diberi makan.
Tak heran pada 1933 terjadi pemberontakan para pekerja Madura ini
disekitar kerajaan Sukadana (Ketapang). Kala itu, seperti dituturkan
seorang pelaku kepada Prof. Henro S Sudagung, 25 pekerja lelaki dan
perempuan memberontak dan melarikan diri dari juragan perahu
mereka. Si juragan pun kalang kabut langsung melapor ke polisi. Tak
sulit polisi menangkap mereka. Namun polisi yang menangkap
mereka mendapat hadiah seorang gadis Madura yang ikut dalam
pelarian itu dimana pemberontakan seperti itu kerap terjadi.
Permintaan akan tenaga buruh murah pada etnis Madura
semakin banyak. Itulah yang menyebabkan migrasi besar-besaran
33
orang-orang Madura ke Ketapang pada 1902, ke Pontianak dan
sekitarnya pada 1910 dan ke Sambas pada 1930.
Setiap lebaran, terutama lebaran haji bagi orang Madura lebih
penting ketimbang lebaran idul fitri, orang-orang Madura juga pulang
kampong. Dikampung halamannya mereka bercerita perihal
kesuksesannya hidup didaerah baru sekaligus mengajak keluarga dan
temannya. Makin deraslah para migran Swakarsa Madura ke Kalbar.
Tahap kedua terjadi pada 1942 sampai 1950 migrasi warga
Madura ke Kalbar agak terhenti karena perang dunia II. Tahap ketiga
antara 1950 sampai 1980 arus migrasi makin lancar. Sasaran mereka
bukan lagi desa, tapi kota-kota kabupaten sebagai penarik becak atau
penambang sampan.
Mata pencaharian yang banyak menampung tenaga kerja
Madura adalah penarik becak, tukang sampan, buruh kasar, dan sopir
angkutan kota, terutama di Pontianak dan Singkawang. Menurut data
Polresta Pontianak (1992) ada 1587 warga Madura sebagai tukang
becak dan 1650 sebagai tukang sampan.
Karena keuletan mereka orang Madura di Kalbar boleh dibilang
banyak yang sukses. Ada Hj. Sulaiman dikalangan pengusaha garam,
kayu dan pelayaran. Pria lahiran Pontianak ini pernah menjadi ketua
Kadim Kodya Pontianak dan pada pemilu 1997 duduk sebagai
Anggota DPRD Kodya Pontianak dari Golkar. Lalu ada kol. Inf.
34
Baisoeni yang pernah menjabat Bupati Sanggau (1993-1998). Ada
juga K.H. hambali dan H. Zainal Abidin juga bergiat dibidang politik
dan jadi Anggota DPRD. Selain itu, disektor pekerjaan lain itu sudah
ada orang Madura seperti dosen, pengacara, guru, pegawai negri dan
swasta.
Pemukiman etnis Madura di wilayah Kalbar, terutama dikodya
Pontianak, kabupaten Pontianak, kabupaten Sambas, kabupaten
Saunggau dan kabupaten Ketapang. Di kabupaten Sintang dan
Kapuas Hulu warga Madura masih sangat sedikit.
Hingga 1997 diperkirakan jumlah etnis Madura di Kalbar
sebesar 90.570 jiwa atau 2,75 % dari 3,3juta penduduk Kalbar.
Dikabupaten Sanggau, diperkirakan 1000 orang dari penduduk yang
berjumlah 322.032 jiwa.
Berdasarkan daftar biro pemerintahan pemda Kalbar, hingga
1980 perkiraan jumlah warga Madura di Kalbar 62.135 jiwa. Atau 2,5
% dari totak penduduk Kalbar. Perinciannya antara lain kodya
Pontianak 21.369 jiwa, kabupaten Pontianak 10.000 kabupaten
Sambas 20.000, kabupaten Sanggau 1.000, kabupaten Ketapang
19.666. di kodya Pontianak dari total 21.369 penduduknya kantong-
kantong Madura terbanyak di kecamatan Pontianak. Utara atau
Siantan (17 %), Pontianak Timur 13,8 %, Pontianak Barat 4,5% dan
Pontianak Selatan 1,8 %.
35
Pada 1989 jumlah penduduk Madura di kodya Pontianak
26.745 atau 6,4 % dari total penduduk kodya Pontianak sampai 1989
yang berjumlah 421.185 jiwa. Komposisi etnisnya melayu (26,5 %),
china (31,2%), Jawa (11,7%), Bugis (13,1%), Madura (6,4%), Dayak
(2,9%), Minangkabau (2,1%), Sunda (1,2%) dan lainnya (7%).
Di kabupaten Pontianak diperkirakan jumlah orang Madura
17.403 atau 2,84% dari total penduduk 612.509 jiwa. Mereka tersebar
dikecamatan Toho (1227), Sui. Ambawang (2000), Sui. Pinyuh (2000),
Sui. Kakap (1000), Sui. Raya (7.333), Sui. Kunyit (500), Teluk Pakedai
(67), Menjalin (67), Toho (500), dan Kubu (1.750).
Di kabupaten Sambas orang Madura diperkirakan mencapai
20.000 jiwa. Atau 3,3 % dari penduduk sebesar 601.831 jiwa. Yakni
kecamatan Singkawang (31%), Tebas (6,3%), Sanggau Ledo (8%),
Samalatan (21%), Sambas (0,8%), Jawai (4,4%), Pemangkat (2,3%),
Sui. Raya (4%) dan Selakau (5%).
Di bidang keagamaan, hampir semua orang Madura di kalbar
beragama islam. Disambas, mereka penganut tarekat
Naqsyabandiyyah Khalidiyah. Berdasarkan penelitian Prof. Dr. Parsudi
Suparlan pada kerusuhan Dayak-Madura di sambas pada 1997, aliran
ini melahirkan eksklusivisme orang Madura di sambas. Menurutnya
aliran ini diduga kuat menjadi salah satu pemicu konflik Madura
dengan melayu sambas yang notabene sesame musli.
36
Pola pemukiman Madura di Kalbar adalah Mengelompok,
terpisah dari etnis lainnya. Walau bertempat tinggal menyisip di
tengan warga lainnya, namun pada umumnya tetap berkelompok.
Artinya tinggal diantara sesamanya secara berdekatan. Pola
pemukiman begini juga memperkuat eksklusivisme suku Madura.
2.2.5 Mindfulness Budaya
Komunikasi antar budaya yang mindful akan muncul ketika
masing-masing pihak yang menjalin kontak atau interaksi dapat
meminimalkan kesalahpahaman budaya, yaitu usaha untuk mereduksi
perilaku etnosentris, prasangka, dan stereotip. Disamping itu,
mindfulness dalam komunikasi antar budaya juga akan tercapai
apabila kedua belah pihak dapat mengelola dengan baik kecemasan
dan ketidakpastian yang dihadapi.
Usaha untuk menciptakan situasi komunikasi antar budaya
yang mindful dapat dilakukan dengan merujuk pada pemikiran Martin
Buber. Pendekatan etika Buber memfokuskan pada relasi antara
individu-individu, lebih dari sekedar kode moral mengenai tingkah
laku. “awalnya adalah relasi”, kata Buber. Sebab, relasi adalah tempat
lahir dari kehidupannya yang sebenarnya (Turnomo Rahardjo,
2005:63).
Buber mengkontraskan 2 tipe relasi: I-It (Aku-Itu) dan I-Thou
(Aku-Engkau). Dalam relasi I-It, kita memperlakukan orang lain
37
sebagai suatu benda yang digunakan, sebuah objek yang
dimanipulasikan. Karena diciptakan melalui monolog, maka relasi I-It
tidak mempunyai saling pengertian. Ketidakjujuran adalah sebuah
cara untuk memelihar penampakan masing-masing. Sedangkan
dalam relasi I-Thou, kita menghormati orang lain sebagai subjek. Kita
melihat orang lain sebagai diciptakan dalam citra Tuhan dan
memutuskan untuk memperlakukannya sebagai pihak yang berharga,
lebih dari sekedar sarana untuk memenuhi tujuan akhir kita. Prinsip
tersebut menegaskan bahwa kita akan berupaya mengalami relasi
sebagaimana yang dialami orang lain. Dan kita hanya bisa
melakukannya melalui dialog. Bagi Buber, dialog adalah sinonim dari
komunikas yang etis (Ethical Communication). Dialog tidak hanya
secara moral merupakan tindakan yang pantas, tetapi juga sebuah
cara untuk menemukan sesuatu yang etis dalam relasi kita. Dengan
demikian, dialog mempersyaratkan pengungkapan diri (Self-
Disclosure) dan konfirmasi dengan orang lain.
Pada tataran yang ideal, komunikasi antar budaya yang mindful
perlu dipahami dalam konteks hubungan Aku-Engkau, karena dalam
hubungan tersebut orang lain diterima, diakui, dan diperlakukan
sebagai pribadi yang memiliki ruang gerak untuk menjadi dirinya
sendiri. Hubungan Aku-Engkau bersifat timbal balik, langsung, actual,
dinamis, intensif, dan tak terkatakan. Sebaliknya, dalam hubungan
Aku-Itu, orang lain diperlakukan sebagai objek untuk memenuhi
38
kebutuhan dan keinginan Aku. Hubungan Aku-Itu bersifat sepihak,
tidak actual, dan posesif. Menurut Buber, sepanjang sejarah manusia,
yang ditandai oleh relasi Aku-Engkau semakin menyempit dan relasi
Aku-Itu semakin menjadi dominan.
Dialog, kata Buber mempersyaratkan pihak-pihak yang
berkomunikasi untuk melakukan pengungkapan diri. Secara
konseptual, pengungkapan diri (Littlejohn, 1999: 262-263) merupakan
pemikiran teoritik yang dilandasi oleh gagasan dari psikologi
humanistic yang memberi penekanan pada ideology honest
communication. Ideology tersebut mengajarkan bahwa tujuan
komunikasi adalah memahami diri sendiri dan orang lain secara
akurat; dan bahwa pemahaman tersebut hanya bisa berlangsung
melalui komunikasi yang sejati atau tulus (genuine communication).
Bagi kebanyakan orang, interaksi dengan orang yang berasal
dari budaya atau kelompok etnis lain merupakan situasi yang baru
(novel situation). Situasi yang baru tersebut di cirikan oleh munculnya
tingkat ketidakpastian dan kecemasan yang tinggi (Gudykunst & Kim,
1997:14). Ketidakpastian merupakan ketidakmampuan seseorang
untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku, perasaan, sikap, atau
nilai-nilai orang lain. Sedangkan kecemasan merujuk pada perasaan
gelisah, tegang, khawatir, atau cemas terhadap sesuatu yang akan
terjadi. Tingkat ketidakpastian dan kecemasan yang tinggi inilah yang
39
menjadi penghambat terciptanya situasi komunikasi antar budaya
yang mindful.
Ketidakpastian dan kecemasan, merupakan sebab-sebab
mendasar dari kegagalan komunikasi antar budaya. Namun demikian,
ketidakpastian dan kecemasan tidak selalu berkonotasi negative.
Kemampuan untuk mengelola ketidak pastian dan kecemasan justru
akan memberikan motifasi kepada individu-individu dalam usaha
mereka untuk mengurangi kesalahpahaman budaya. Dengan
demikian jalinan komunikasi antar budaya antara keduabelah pihak
akan berlangsung dengan baik.
Howell, salah seorang penasihat (mentor) Gudykunst,
menyebutkan 4 tatarandari kompetensi komunikasi, yaitu:
unconscious incompetence. Seseorang salah menginter-
pretasikan perilaku orang lain dan tidak menyadari apa yang sedang
ia lakukan.
Conscious incompetence. Seseorang mengetahui bahwa ia
salah menginterpretasikan perilaku orang lain, namun ia tidak
melakukan sesuatu.
Conscious competence. Seseorang berpikir tentang
(kecakapan) komunikasinya dan secara terus menerus berusaha
mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif.
Unconscious competence. Seseorang telah mengembangkan
kecakapan komunikasinya.
40
Gudykunst mendefinisikan mindfulness sebagai tahap ketiga
dari model Howell. Sesuai dengan nama teorinya, Gudykunst
meyakini bahwa ketidak pastian dan kecemasan merupakan sebab-
sebab mendasar dari kegagalan komunikasi dalam situasi
antarkultural menurutnya, 2 sebab kesalahan interpretasi tersebut
saling berkaitan. Ketidakpastian bersifat kognitif, sedangkan
kecemasan bersifat afektif. Ketidakpastian merupakan pikiran,
sementara kecemasan merupakan perasaan. Pengalaman
menunjukan bahwa ketidakpastian dan kecemasan merupakan
berkaitan dengan tingkat perbedaan kultur dari in-group dengan
budaya dari the stranger.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mindfulness adalah
proses di mana seseorang secara sadar mengelola anxiety dan
uncertainty terhadap orang lain dalam sebuah situasi komunikasi
(Griffin, 2006: 431). Komunikasi efektif salah satunya sangat
ditentukan oleh apakah seseorang mindful atau mindless dalam
mengelola anxiety dan uncertainty.
Langer (Gudykunst & Kim, 1997: 40) menyatakan bahwa ketika
seseorang menghadapi situasi komunikasi yang relatif baru, ia dengan
sadar mencari isyarat-isyarat untuk menuntunnya berperilaku. Akan
tetapi, apabila seseorang berulang kali menghadapi situasi
komunikasi yang relatif sama, kesadarannya dalam berperilaku akan
berkurang (mindless). Dalam hal ini, seseorang berperilaku
41
sebagaimana ia berperilaku pada saat berada dalam situasi yang
relatif sama (habitual/ scripted behavior). Gudykunst (dalam Griffin,
2006: 431) menyatakan bahwa percakapan yang mindless dalam
situasi antarbudaya akan meningkatkan ketegangan dan
kebingungan. Seseorang yang mindless dalam berkomunikasi tidak
sepenuhnya memperhatikan apa yang ia katakan dan lakukan.
Langer (dalam Gudykunst & Kim, 1997: 40) mengklasifikasikan
tiga karakteristik dari mindfulness, yaitu: creating new categories
(membuat kategori-kategori baru), being open to new information
(terbuka terhadap informasi baru), dan being aware of more than one
perspective (menyadari akan adanya beragam perspektif).
Salah satu kondisi yang membuat seseorang mindless dalam
berkomunikasi adalah penggunaan kategori-kategori (kategorisasi)
yang terlalu luas (broad categories). Kategorisasi yang dimaksud
ditujukan kepada orang yang dihadapi saat berkomunikasi.
Kategorisasi tersebut biasanya didasarkan pada karakteristik fisik
(misalnya gender, ras), karakteristik kultural (latar belakang etnis atau
budaya), sikap, dan gaya atau cara hidup. Langer (dalam Gudykunst,
1997: 40) menyatakan bahwa mengkategorisasikan adalah hal yang
fundamental dan alamiah dalam kehidupan manusia. Hal tersebut
merupakan cara bagaimana seseorang dapat mengetahui tentang
dunia sekitarnya. Untuk menjadi mindful dalam berkomunikasi,
dibutuhkan pengkategorisasian yang lebih banyak. Ketika seseorang
42
mindless dalam berkomunikasi, ia akan cenderung menggunakan
broad categories seperti yang disebutkan di atas. Sebaliknya, ketika
seseorang mindful dalam berkomunikasi, ia akan mampu membuat
kategori-kategori baru yang lebih spesifik dan lebih personal. Semakin
bervariasinya kategori yang digunakan, maka akan semakin spesifik
informasi yang digunakan untuk membuat prediksi-prediksi.
Terbuka terhadap informasi baru juga dibutuhkan untuk
menjadi mindful dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi
antarbudaya. Seseorang yang mindless akan cenderung menilai
sesuatu berdasarkan hal yang sama yang pernah ia alami
sebelumnya. Jika seseorang secara sadar terbuka terhadap informasi
yang baru, ia dapat menyadari perbedaan-perbedaan yang
sebenarnya sulit dilihat antara perilakunya dengan perilaku orang
yang dihadapinya, meskipun dalam situasi yang sama yang pernah
dialaminya sebelumnya.
Terbuka terhadap informasi baru berarti fokus pada proses
komunikasi yang terjadi, bukan pada outcome dari interaksi. Ketika
seseorang hanya berfokus pada outcome, ia pun akan kesulitan
menyadari dan memahami isyarat-isyarat tertentu sehingga
mengakibatkan kesalahpahaman. Berfokus pada proses komunikasi
membuat seseorang menjadi mindful akan perilakunya dan
memperhatikan situasi di mana ia berkomunikasi (Langer, dalam
Gudykunst, 1997:41).
43
Untuk menjadi mindful dalam berkomunikasi, seseorang juga
harus dapat mengakui bahwa ada beragam atau lebih dari satu
perspektif untuk menciptakan maupun menginterpretasikan pesan
dalam suatu situasi komunikasi. Ketika seseorang mindless, ia
cenderung sulit untuk mengakui beragam perspektif. Pola pikir yang
sempit dalam berkomunikasi membatasi kemampuan seseorang
untuk berperilaku sesuai dengan situasi yang sedang ia hadapi.
Sebaliknya, apabila seseorang berkomunikasi dengan mindful, ia akan
dapat berperilaku sesuai dengan situasi yang ia hadapi dikarenakan ia
tidak terbatasi dengan apa yang hanya dipikirkannya. Dengan kata
lain, seseorang yang mindful juga mempertimbangkan apa yang
dipikirkan oleh orang yang dihadapinya dalam berkomunikasi.
2.2.6 Face Negotiation Theory
Negosiasi Muka adalah satu dari sedikit teori yang secara
ekspilist mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki
bermacam pemikiran mengenai “muka” orang lain. Pemikiran inilah
yang menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara yang
berbeda.
Ting-Toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada
muka dan facework. Muka jelas merupakan fitur yang penting dalam
kehidupan, sebuah metaforabagi citra diri yang diyakini David Ho
(1976) melingkupi seluruh aspek kehidupansosial. Konsep muka telah
berevolusi dalam hal interpretasi selama bertahun-tahun.Konsep ini
44
bermua dari bangsa Cina, yang sebagaimana dikemukakan oleh Ho,
memilikikonseptualisasi mengenai muka: lien Dan mien-tzu , dua
istilah yang mendeskripsikan identitas an ego.
Ho mengamati bahwa muka (face) adalah citra diri yang
ditunjukkan orang dalam percakapannya dengan orang lain. Ting-
Toomey dan koleganya (Oetzel, Yokochi,Masumoto dan Takai, 2000)
mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yangpositif
dan/atau memproyeksikan nilai lain dalam situasi interpersonal.
Rupa dan karya rupa adalah fenomena universal. Sebuah
perspektif teori negosiasi rupa menekankan dampak budaya terletak
pada arti dari rupa dan digunakannya karya rupa. Dengan demikian,
teori ini mengasumsikan bahwa:
a. Komunikasi dalam semua budaya didasarkan pada
“memelihara” dan bernegosiasi rupa.
b. Rupa diri yang bermasalah ketika identitas dipertanyakan.
c. Perbedaan antara individualistis dan kolektif, dan kekuasaan
kecil dengan kekuasaan besar memberi jarak budaya dalam
membentuk manajemen rupa.
d. Budaya individualistis membentuk karya rupa sendiri, dan
budaya kolektif membentuk karya rupa yang lain pula.
e. Kekuasaan yang kecil lebih memilih kerangka "individu adalah
sama", sedangkan budaya pada kekuatan besar lebih memilih
kerangka hirarkis.
45
f. Perilaku juga dipengaruhi oleh variasi budaya, individu,
relasional, dan faktor situasional.
g. Kompetensi dalam komunikasi antarbudaya adalah puncak dari
pengetahuan dan kesadaran.
Asumsi dari teori face negotiation theory adalah, melalui
adanya perbedaan yang terjadi dalam tiap budaya atau kelompok,
dalam komunikasi yang terjadi, terkadang ada proses penyampaian
pesan yang tidak tersampaikan sehingga menimbulkan mis
communication atau salah pengertian di dalam kelompok tersebut.
Sebuah budaya akan memiliki adat, kebiasaan, nilai, norma, dan hal
lain yang mengikat yang mengidentifikasi mereka menjadi sebuah
budaya tersebut. Konflik akan muncul saat dua kelompok atau lebih
memiliki perbedaan dan tidak bisa menerima identitas dari kelompok
lain.
Dalam Em. Griffin, Ting-Toomey mengasumsikan bahwa setiap
orang dalam tiap budaya akan selalu menegosiasikan atau
merundingkan identitas mereka (face). Istilah ini mengacu pada
pencitraan diri, cara kita meminta orang lain agar “melihat”
keberadaan kita dan berprilaku menyenangkan terhadap kita. Maka
dari hal ini muncullah istilah facework, yang berarti penyampaian
pesan verbal dan nonverbal yangdikemukakan secara spesifik yang
akan membantu menjaga dan memperbaiki wajah yang kalah atau
46
saat posisi terlihat lebih rendah dan berusaha untuk memperoleh
wajahyang penuh dengan penghargaan (Em. Griffin, 2004:435).
Secara garis besar Face Negotiation Theory memiliki 3 asumsi
yang pada intinya terdiri dari konsep kunci teori ini, yaitu wajah, konflik
dan budaya:
1. Self identity is important in interpersonal interactions, with
individuals negotiating their identities differently across culture.
Identitas diri merupakan sesuatu hal yang penting penting
di dalam interaksi interpersonal. Namun dalam interaksinya,
individu-individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda
sesuai dengan budaya asalmereka. Melekat dengan asumsi
pertama adalah keyakinan bahwa paraindividu di dalam semua
budaya memiliki beberapa citra diri yang berbedadan bahwa
mereka menegosiasikan citra ini secara terus-menerus.
Dalambanyak budaya yang berbeda, orang-orang membawa citra
yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan
atau strategis. Ting-Toomey percaya bahwa bagaimana kita
memersepsikan rasa akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang
lain untuk memersepsikan kita merupakanhal yang sangat penting
dalam pengalaman komunikasi kita.
2. The management of conflict is mediated by face and culture
Konflik merupakan peristiwa yang dapat merusak dan
menyebabkan kerenggangan antar orang yang semula
47
berhubungan sangat dekat. Dalam konteks ini, konflik yang terjadi
memiliki hubungan yang sangat erat dengan wajah dan budaya.
Hal ini dikarenakan (sama seperti yang telahdisebutkan di atas)
cara seseorang menghadapi dan menyelesaikan konflik sangat
berhubungan erat dengan cara bagaimana ia dibesarkan. Atau
dengan kata lain, orang yang dibesarkan dalam kebudayaan barat
memilikicara mengatasi konflik yang berbeda dengan orang yang
dibesarkan dalam kebudayaan timur.
Menurut Ting-Toomey, konflik dapat merusak muka sosial
seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara
dua orang. Sebagaimana ia nyatakan, konflik adalah “forum” bagi
kehilangan muka dan penghinaan terhadap muka. Konflik
mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat negosiasi
yang tidak bersesuaian dalam bagaimana menyelesaikan konflik
tersebut. Contohnya, dalam budaya Amerika, menganggap bahwa
menunjukkan perbedaan di antara dua orang sebagai hal yang
penting,sementara budaya lain yakin bahwa konflik harus
ditangani secara diam-diam.
3. Certain acts threaten one’s projected self-image (face).
Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat
diakibatkan olehsuatu tindakan terhadap muka. Setiap orang
memiliki kemampuan untuk menampilkan beraneka macam
ekspresi. Menurut asumsi ini, terdapat duapola dalam face
48
threatening process yaitu face saving & face restoration. Face
saving merupakan usaha untuk mencegah terjadinya sesuatu
yang memalukan sedangkan face restoration merupakan strategi
yang dilakukan untuk melindungi otonomi atas diri sendiri dan
mencegah jatuhnya harga diri karena malu.
Menurut Ting-Toomey (West & Turner, 2014), budaya bukanlah
variable yang statis. Budaya diinterpretasikan melalui banyak dimensi.
Budaya dapat diorganisasikan dalam dua kelompok yaitu:
1. Budaya Individualistik
Budaya individualistik adalah budaya kemandirian. Ting-
Toomey (West & Turner, 2014) menjelaskan bahwa individualism
merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan
identitas individu dibandingkan kebutuhan kelompok. Nilai
individualistik menekankan adanya kebebasan, kejujuran,
kenyamanan, dan kesetaraan pribadi. Orang dengan budaya
individualistik cenderung berkomunikasi secara low contect,
misalnya berbicara secara to the point atau terus terang (blak-
blakan).
Ting-Toomey dan Chung (West & Turner, 2014),
mengatakan bahwa anggota dari budaya yang mengikuti nilai
individualistik cenderung lebih berorientasi pada muka diri dalam
sebuah konflik. Manajemen muka dilakukan secara terbuka yang
49
melibatkan melindungi muka seseorang, bahkan apabila harus
melakukan tawar menawar.
2. Budaya Kolektivistik
Budaya kolektivistik adalah budaya saling ketergantungan.
Ting-Toomey (West & Turner, 2014) menjelaskan kolektivistik
menekankan pada tujuan kelompok dibandingkan tujuan individu,
kewajiban kelompok dibandingkan hak individu, dan kebutuhan
kelompok dibandingkan kebutuhan pribadi. Nilai kolektivistik
menekankan adanya keselarasan, menghargai keinginan orang
tua, dan pemenuhan kebutuhan orang lain. Orang dengan budaya
kolektivistik cenderung berkomunikasi secara high contect,
misalnya berbicaranya berbelit-belit, tersirat, dan sebagainya.
Ting-Toomey dan Chung (West & Turner, 2014),
mengatakan bahwa anggota dari budaya yang mengikuti nilai
kolektivistik cenderung lebih berorientasi pada muka orang lain
atau muka bersama dalam sebuah konflik. Anggota dari komunitas
kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka dengan orang
lain ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa
suatu percakapan membutuhkan keberlanjutan dari dua
komunikator.
Teori negosiasi muka menggabungkan konflik dan
menjelaskannya dari dua budaya yang berbeda. Ting-Toomey
menyatakan bahwa nilai budaya yang berbeda terdapat dalam konflik,
50
dan peristiwa yang dipenuhi dengan konflik juga dipengaruhi oleh
kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka dari komunikasi
(West & Turner, 2014).
1. Heurisme
Teori negosiasi muka yang dicetuskan oleh Ting-Toomey
membuat peneliti banyak berminat meneliti komunikasi lintas
budaya. Pembatasan konflik dan muka mendorong para peneliti
untuk menyelidiki antar lain:
Perbedaan antara orang yang berasal dari budaya
individualistik dan kolektivistik (oleh Morizaki & Gudykunst,
1994).
Berbagai kelompok etnis di Amerika (oleh Kim, Lee, Kim &
Hunter, 2004; Oetzel & Ting-Toomey, 2003; Ting-Toomey,
Yee-Jung, Shpiro, Garcia, Wright & Oetzel, 2000)
Mempelajari dampak pemertahanan muka oleh penengah
konflik (oleh Ringo Ma, 1992)
Melihat muka diri dan ancaman terhadap muka dalam latar
public yang formal dan tidak intim (oleh Mark Cole, 1989)
Interaksi tatap muka dari orang Cina (oleh Yuling Pan, 2000).
2. Konsistensi Logis
Teori negosiasi muka menggunakan pengalaman dan
persepsi beda budaya individualitistik dan kolektivistik dalam
51
menyusun esensi dari teorinya (West & Turner, 2014). Oleh sebab
itu, aspek budaya mungkin tidak sepenuhnya menjelaskan
perbedaan budaya. dalam penelitiannya Ting-Toomey menemukan
bahwa tipe budaya tidak selamanya menentukan gaya
penyelesaian konflik.
Ting-Toomey dan para peneliti menyatakan teori negosiasi
muka harus berangkat dari sudut pandang bahwa facework dalam
penelitian merefleksikan pemikiran individualistik dan kolektivistik
(West & Turner, 2014).
Teori negosiasi muka membantu menjelaskan saat orang
yang berasal dari budaya yang berbeda terlibat konflik. Teori ini
membantu memahami orang tersebut saat mempertahankan dan
menegosiasikan muka yang akan berdampak pada pertemuan
selanjutnya. Teori ini membantu dalam menengahi kesulitan
komunikasi yang muncul pada udaya yang berbeda.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka Teori adalah uraian tentang model yang digunakan sebagai
bahan acuan dari penelitian. Menurut Kerlinger, “tujuan utama ilmu
sebenarnya teori, sedangkan teori itu sendiri : Himpunan konstruksi
(konsep), definisi dan proposisi yang mengungkapkan pandangan sistematis
tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variable, menjelaskan
dan meramalkan gejala tersebut.” (Rahkmat, 1996:6)
52
Teori sendiri berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu
pengetahuan yang sitematis dan diharapkan dapat membimbing penelitian
ini. Teori dapat memberikan arah pada suatu sisipan ilmu tertentu, teori juga
memungkinkan seseorang dapat menghubungkan data-data yang
sebenarnya mempunyai kaitan satu sama lain.
Oleh karena itu kerangka pemikiran merupakan uraian mengenal
dasar atau model yang digunakan sebagai acuan utama penelitian dan
berfungsi sebagai alat untuk mencapai satuan pengetahuan yang sitematis
dan untuk membimbing penelitian, untuk itu maka penulis menjelaskan teori
apa saja yang digunakan dalam penelitian ini.
53
Gambar III.1. Kerangka Pemikiran
Komunikasi Antar Budaya
Mindfulness Budaya
Pengetahuan Budaya Antar Etnis
Motivasi Antar Etnis
Kecakapan Berinteraksi
Face Negotiation
Budaya Individualistik dan
Budaya Kolektivistik
Etnis Melayu dan Etnis
Madura di Kalimantan Barat
Komunikasi yang mindful dan Face
Negotiation Etnis Melayu dan Etnis
Madura Pasca Konflik Sambas 1999
di Kalimantan Barat
54
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Paradigma menurut Guba dan Lincoln dalam Hidayat (2004:57),
mengajukan tipologi yang mencakup 4 paradigma, yaitu positivism, post
positivism, kritikal, dan konstruktivisme. Dikemukakan oleh Guba, bahwa
setiap paradigma membawa implikasi metodologi masing-masing.
Paradigma merupakan suatu perspektif yang biasa juga disebut
dengan cara pandang. Paradigm terbentuk untuk mempengaruhi persepsi
seseorang terhadap sesuatu yang pada akhirnya mempengaruhi tindakan
seseorang. Paradigm sendiri mempengaruhi metode dalam penelitian yang
dimana pada akhirnya akan mempengaruhi hasil dari penelitian itu sendiri.
Penelitian ini menggunakan paradigma post positivisme. paradigma ini
merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivism
yang memang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung
atas objek yang diteliti.
Secara ontologis, cara pandang aliran ini bersifat critical realism.
Sebagaimana cara kaum realis, aliran ini juga melihat realita sebagai hal
yang memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hokum alam, namun
menurut aliran ini, adalah mustahil bagi manusia (peneliti) untuk melihat
realita secara benar. Oleh Karena itu, secara metodologi pendekatan
experimental melalui observasi dipandang tidak mencukupi, tetapi harus di
34
55
lengkapi dengan metode triangulasi yaitu penggunaan beragam metode,
sumber data, priset dan teori.
Aliran ini juga memandang bahwa secara epistemologis hubungan
antara priset dan objek yang diteliti tidak bisa di pisahkan. Namun, aliran ini
menambahkan pendapatnya bahwa suatu kebenaran tidak mungkin bisa
dituangkan apabila periset berada di belakang layar, tanpa terlibat dengan
objeknya secara langsung. Aliran ini menegaskan arti penting dari hubungan
interaktif antara periset dan objek yang diteliti, sepanjang dalam hubungan
tersebut periset bisa bersifat netral. Dengan cara ini, tingkat subjektivitas
setidaknya dapat dikurangi.
3.2 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian dikenal dua jenis, yaitu:
1. Penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Terkait dengan jenis
Penelitian ini, Sugiyono dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif
menyarankan sebagai berikut:
“Realitas dalam penelitian kualitatif tidak hanya yang tampak (teramati), tetapi juga sampai dibalik tampak tersebut. Misalnya, melihat orang yang sedang memancing itu merupakan kegiatan mencari ikan, sedangkan dalam penelitian kualitatif akan melihat yang lebih dalam mengapa ia memancing. Ia memancing mungkin untuk realitas itu merupakan konstruksi dari pemahaman terhadap semua data dan maknanya” (Sugiyono, 2005:5)
Pemilihan penelitian kualitatif karena dapat memberikan
gambaran secara menyeluruh tentang tujuan penelitian, dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif
56
bertujuan hanya memaparkan situasi atau peristiwa secara mendalam
mengenai subjek penelitian yang berusaha untuk memecahkan
persoalan dengan menggunakan metode-metode penelitian untuk
menjelaskan suatu permasalahan secara lebih jelas dan akurat.
Ciri-ciri penelitian deskriptif yakni:
1. Berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat itu. 2. Menguraikan satu variabel saja atau beberapa variabel namun
satu persatu. 3. Variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada
perlakuan (treatmenty. (Ronny Kountur, 2003 105)
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah studi kasus. Yin dalam Agus Salim
(2006:118), studi kasus berlaku apabila suatu pertanyaan „bagaimana‟ (how)
dan „mengapa‟ (why) diajukan terhadap seperangkat peristiwa masa kini.
Yang mustahil atau setidaknya sukar dikontrol periset. Secara spesifik,
dalam pembahasan ini pemaparan metode studi kasus diarahkan pada
konsep dasar, metodologi dan proses studi, aplikasinya dalam penelitian
bidang pendidikan, serta kelebihan dan kekurangannya.
Schramm dalam Yin (1981), mengatakan secara umum, studi kasus
dapat diartikan sebagai metode atau strategi penelitian dan sekaligus hasil
suatu penelitian pada kasus tertentu. Studi kasus lebih dipahami sebagai
pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu
„kasus‟ dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar.
Diantara semua ragam studi kasus, kecendrungan yang paling menonjol
57
adalah upaya untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan,
yakni mengapa keputusan itu diambil, bagaimana ia diterapkan, dan apa
pula hasilnya.
Alasan peneliti menggunakan metode studi kasus dalam penelitian,
karena peneliti ingin memaparkan serta menggambarkan secara jelas
mengenai pola komunikasi yang terjadi antar etnis melayu dan etnis Madura
pasca Konflik Sambas 1999.
3.4 Objek dan Subjek Penelitian
Didalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan berbagai informasi
yang dibutuhkan berupa data-data, gambaran atau wawancara sangat
dibutuhkan informan. Penentuan informan tidak dapat dilakukan sembarang,
dalam menentukan informan dalam sebuah penelitian sangat diharapkan
dapat memberikan kontribusi berupa informasi-informasi yang akurat dan
dapat menjelaskan secara gambling dalam bentuk uraian kata-kata. Bisa
dikatakan informan merupakan sebagian dari populasi yang memiliki sebagai
sumber data (Darsono, 1999:144).
Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat etnis Melayu Sambas
dan etnis Madura yang menjadi korban pengungsian konflik Sambas 1999
yang tinggal di Kalimantan barat. Dengan berjumlah 7 orang yang terbagi
menjadi 3 orang berasal dari etnis Melayu Sambas, 3 orang berasal dari
etnis Madura dan 1 orang berasal dari guru Sosiologi di Pontianak yang
terbagi sebagai berikut:
58
NO. NAMA JENIS
KELAMIN
USIA ETNIS
1 Uray Suhandika P 22 Melayu Sambas
2. Uray Angga Saputra L 32 Melayu Sambas
3. Fiktor Uray Bella L 29 Melayu Sambas
4. Icung L 34 Madura
5. Sukartono L 42 Madura
6. Saniah P 42 Madura
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan sebuah tekhnik yang biasa digunakan
oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik wawancara mendalam.
Seorang peneliti tidak melakukan wawancara berdasarkan sejumlah
pertanyaan yang telah disusun dengan mendetail dengan alternative
jawaban yang telah dibuat sebelum melakukan wawancara, melainkan
berdasarkan pertanyaan yang umum yang kemudian didetailkan dan
dikembangkan ketika melakukan wawancara untuk melakukan wawancara
berikutnya. Mungkin ada sejumlah pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelum melakukan wawancara (sering disebut pedoman wawancara), tetapi
pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terperinci dan berbentuk pertanyaan
terbuka (tidak ada alternative jawaban). Hal ini berarti wawancara dalam
59
penelitian kualitatif dilakukan seperti dua orang yang sedang bercakap-cakap
tentang sesuatu (Afrizal, 2016:20).
3.6 Teknik Keabsahan Data
Dalam analisis data ini juga peneliti melakukan pemeriksaan
keabsahan data melalui triangulasi. Melalui triangulasi ini peneliti
memanfaatkan sesuatu yang lain guna memeriksa keabsahan data. Cara
yang digunakan dengan membandingkannya dengan sumber-sumber lain.
Triangulasi yang digunakan adalah dengan menggunakan sumber,
disini peneliti melakukan perbandingan dan mengecek kembali derajat
kepercayaan dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan dengan
wawancara, kedua adalah dengan melakukan perbandingan terhadap apa
yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan orang lain
secara pribadi, ketiga adalah dengan membandingkan hasil wawancara
dengan isi dokumen yang diperoleh.
Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang menggunakan
sesuatu yang lain dari luar data itu, untuk keperluan pengecekan sebagai
perbandingan terhadap data itu. (Moleong, 2011:178)
3.7 Teknik Analisis Data
Analisis data kulitatif (Bogdan & Biklen, 1982) dalam buku Metodologi
Penelitian Kualitatif (Lexy, J. Moleong, 2011:248) adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
60
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain.
Dalam Miles dan Huberman (Emzir, 2013:129) menyatakan bahwa terdapat
tiga macam kegiatan analisis data kualitatif, yaitu:
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk
itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti :
merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal
yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.
Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya,
dan mencarinya bila diperlukan.
Reduksi data bisa dibantu dengan alat elektronik seperti :
komputer, dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Dengan
reduksi, maka peneliti merangkum, mengambil data yang penting,
membuat kategorisasi, berdasarkan huruf besar, huruf kecil dan angka.
Data yang tidak penting dibuang.
2. Penyajian Data
Setelah data direduksi, maka langkah berikutnya adalah
mendisplaykan data.Display data dalam penelitian kualitatif bisa
dilakukan dalam bentuk : uraian singkat, bagan, hubungan antar
61
kategori, flowchart dan sebagainya. Miles dan Huberman (1984)
menyatakan : “the most frequent form of display data for qualitative
research data in the pas has been narative tex” artinya : yang paling
sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif
dengan teks yang bersifat naratif. Selain dalam bentuk naratif, display
data dapat juga berupa grafik, matriks, network (jejaring kerja).
Fenomena sosial bersifat kompleks, dan dinamis sehingga apa
yang ditemukan saat memasuki lapangan dan setelah berlangsung agak
lama di lapangan akan mengalami perkembangan data. Peneliti harus
selalu menguji apa yang telah ditemukan pada saat memasuki lapangan
yang masih bersifat hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah
lama memasuki lapangan ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu
didukung data pada saat dikumpulkan di lapangan, maka hipotesis
tersebut terbukti dan akan berkembang menjadi teori yang grounded.
Teori grounded adalah teori yang ditemukan secara induktif, berdasarkan
data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui
pengumpulan data yang terus menerus. Bila pola-pola yang ditemukan
telah didukung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut menjadi
pola yang baku yang tidak lagi berubah.
3. Kesimpulan
Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan
berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung
62
pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun bila kesimpulan
memang telah didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat
peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan
yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (dapat
dipercaya).
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab
rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga
tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif
masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian
berada di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang
diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum
pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek
yang sebelumnya masih belum jelas, sehingga setelah diteliti menjadi
jelas.
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Objek Penelitian
Asal - Usul Kerusuhan Konflik Sambas 1999
Cerita bermula dari terjadinya penangkapan seorang warga
Madura oleh masyarakat di Dusun Parit Setia, Kecamatan Jawai,
Kabupaten sambas, sehari sebelum hari raya Idul Fitri yang jatuh pada
19 januari 1999. Semula masyarakat Parit Setia tidak pernah berpikir
bahwa penangkapan seorang pencuri itu akan memicu terjadinya
peristiwa besar yang bakal menghebohkan. Sebelum pecah “perang”
dengan warga Madura di Parit Setia itu, sebenarnya sudah ada saling
pengertian di antara kedua belah pihak. Konon sehari sebelum Idul
Fitri, ada seorang Madura ikut bersama memotong sapi didesa itu.
Ketika sebagian orang sedang melakukan shalat Ashar, tiba-tiba
sekitar 200 orang warga Madura asal Desa Rambeyan desa tetangga
Parit Setia yang berjarak sekitar 30 km berbondong-bondong
mendatangi Desa Parit Setia. Kehadira ratusan orang itu sempat
membuat panic warga. Apalagi rombongan itu membawa senjata tajam
berupa celurit dan golok. Anak kecil dan para wanita sambil membawa
bayinya berlarian keluar rumah melalui pintu belakang. Mereka mencari
tempat persembunyian dihutan atau semak-semak belakang rumah,
64
sementara kaum lelaki mencoba menghadapi kedatangan rombongan
tamu tak diundang dengan senjata seadanya.
Akibat kejadian ini tiga penduduk Parit Setia jatuh tersungkur
dan meninggal, setelah kejadian ini orang-orang Madura itu kembali
menaiki kendaraan yang mereka tumpangi sebelumnya dan pergi
meninggalkan Parit Setia.
Sejumlah tokoh masyarakat di kedua desa. Desa Rambeyan
dan Desa Parit Setia bertemu. Mereka sepakat untuk tidak
meneruskan kasus yang telah menghilangkan 3 nyawa penduduk
mereka itu. namun abar tentang penyerbuan di Parit Setia itu dengan
cepat telah menyebar ke seluruh Kabupaten Sambas. Angkutan
umum, pasar dan toko-toko menjadi tempat menjadi kabar tersebut,
tentu dengan bumbu-bumbu pemanis. Karena emosi masyarakat
Melayu Sambas mulai tumbuh, apalagi aparat keamanan hanya
menyerbu Desa Parit Setia, sementara tiga orang Melayu yang
diserbu justru ditahan sebanyak tiga orang. Peristiwa ini kemudian
berakhir begitu saja. Polisi sepertinya sengaja membiarkan peristiwa
ini berakhir dalam ketidakjelasan.
Sebulan kemudian, minggu 21 Februari 1999 sekitar pukul
17.30 WIB seorang warga Madura bernama Rodi alias Tacong turun
dari bus umum di Desa Pusaka, kecamatan Tebas. Ketika turun ia
langsung pergi tanpa membayar ongkos. Bujang lebik, kenek bus
65
yang kebetulan suku Melayu merasa di remehkan secara spontan,
Bujang melototi pemuda Madura yang baru turun itu.
Ternyata Rodi alias Kacong, ia kembali lagi ke jalan Raya
mencegat Bus Triyono yang ia tumpangi sebelumnya. Ketika bus
datang, Rodi nekat menghadang ditengah jalan. Buspun berhenti,
Kacong yang membawa senjata tajam itu langsung mencari Bujang
Ledik, sang kenek bus tanpa disangka-sangka Rodi langsung
mengayunkan celuritnya. Sabetan celurit Rodi ditangkis Bujang dan
Hanya mengenai jari tangan, dan kaki kanan Bujang. Beberapa orang
mencoba melerai perkelahian sepihak itu, Bujang yang berdarah-
darah karena sabetan celurit ditangan dan lututnya langsung dilarikan
ke Rumah Sakit Pemangkat dengan menggunakan bus.
Kejadian di Tebas ini cepat meluas ke seluruh Sambas. Isu
yang berkembang, menyebut Bujang Lebik telah dibunuh oleh Rodi,
pemuda Madura. Bak Bara dalam sekam disiram bensin, masyarakat
Melayu Sambas yang masih marah dengan peristiwa Parit Setia
makin memuncak emosinya. Senin (22,1) dini hari, sekitar 300 orang
beramai-ramai mengepung rumah Rodi di Dusun Senggobang, Desa
Sempadung. Mereka minta agar Rodi menyerahkan diri ke Plsek
Tebas.
66
Senapan Lantak Mulai Digunakan
Namun bukan Rodi yang keluar dari dalam rumah, massa
malah disambut dengan tembakan senapan yang biasa dipakai orang-
orang kalbar untuk berburu, kebetulan tembakan tersebut mengenai
pelipis Hamsiar, warga Melayu yang ikut mengepung rumah Rodi,
kontan saja, berita tertembaknya Hamsiar segera beredar dikawasan
Pemangkat, khususnya Desa Semparuk.
Akhirnya, semenjak kejadian tersebut massa tidak terelakkan
lagi. Massa Melayu mulai membakari rumah warga Madura di Dusun
Semparuk, Kelambu, Panjajab dan semua rumah milik warga Madura
di Kecamatan Tebas. Perkelahan di sejumlah tempat berlangsung
secara terbuka dengan bersenjatakan tempat berlangsung secara
terbuka dengan bersenjatakan golok, parang dan senjata api.
Korbanpun berjatuhan, baik warga Melayu maupun warga Madura.
Namun demikian gelombang pengungsian terus mengalir.
Warga Madura yang berada di desa-desa dipedalaman Sambas mulai
diangkuti ke Polres Sambas maupun ke tempat-tempat lain yang
dianggap aman.
Upaya Perdamaian Yang Gagal
Untuk meredam emosi masyarakat, Sabtu, 13 Maret 1999,
beberapa organisasi adat dan tokoh masyarakat berupaya
mengadakan perjanjian damai. Salah satu isi kesepakatan para tokoh
67
Melayu dan Madura di Sambas itu adalah masing-masing pihak
dilarang membawa senjata tajam dimuka umum.
Belum berselang sehari, pada Minggu 14 Maret 1999, seorang
pemuda asal Madura asak Desa Pusaka (Tebas) berkunjung ke Desa
Semparuk (Pemangkat) dengan membawa golok panjang. Ketika
diperingatkan, pemuda ini tidak terima dan perkelahianpun tak
terhindarkan. Peristiwa ini menyulut amarah orang-orang Melayu yang
ada didaerah sekitar. Sebuah mobil pickup aparat keamanan yang
datang untuk menetralkab, tidak luput dari amukan massa mobil itu
malah dibakar.
Suasana yang sempat mereda di Sambas ini, mulai memanas
lagi. Di sana-sini kembali mengepul asap dari rumah-rumah orang
Madura. Antara lain di Desa Pantai, Semparuk, Harapan, Lonam dan
Perapakan (pedalaman pemangkat). Dalam peristiwa ini dikabarkan 4
orang tewas. Dua ditempat kejadian dan 2 lagi di RS Singkawang,
serta puluhan rumah hangus terbakar.
Kerusuhan ini terus terjadi, sehingga semua orang Madura
yang ada di Sambas harus di ungsikan. Dan menurut Posko
Penanggungan Kerusuhan Pemda Kalbar, sampai 26 Maret 1999,
sudah terdata 186 orang tewas, 2490 rumah dibakar/dirusak, 10 mobil
dibakar/dirusak, 10 sepeda motor dibakar/dirusak. Sedangkan jumlah
68
pengungsi mencapai 26.410 orang yang tersebar di Kodya Pontianak,
Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sambas.
Di berbagai daerah pedalaman aparat keamanan yang menyisir
hutan masih terus menemukan warga Madura yang menjadi mayat
korban kerusuhan yang dibuang atau dihabisi di sungai dan dihutan.
Menurut aparat, sebenarnya masih banyak mayat yang sukit
dievakuasi karena berada di tempat yang sulit dijangkau. Pada saat
yang sama para pengungsi masih terus berdatangan ke Pontianak,
baik atas inisiatif sendiri maupun dikoordinir pasukan tentara. Sampai
Minggu(28/3), jumlah pengungsi mencapai 28.000. konflik sudah reda,
namun menurut Kapolda Kalbar Chaerul Rasyid, potensi konflik masih
sangat besar.
4.2. Deskripsi Subjek Penelitian
Informan Melayu Sambas
Informan 1:
Informan pertama yang terlibat dalam penelitian ini adalah Uray
Suhandika. Dika merupakan mahasiswi asli keturunan Melayu Sambas yang
tinggal di Suingai Jawi Pontianak Barat dan kuliah di Universitas Tanjung
Pura, Kota Pontianak. Dika merupakan anak keempat dari empat
bersaudara, dimana dika dilahirkan dalam keluarga Melayu Sambas
keturunan dari orang tuanya yang juga lahir di Sambas. Bahasa yang
digunakanpun beragam, ketika bersama keluarganya di Sambas Dika
69
menggunakan bahasa Melayu Sambas. Tetapi, ketika Dika berada di Kota
Pontianak dika menggunakan bahasa Melayu Kalimantan sehari-hari.
Dika lahir di Sambas dan besar di kota Pontianak, dika pun sekarang
tinggal saling bertetanggan dengan orang-orang Madura yang dulu pernah
tinggal di Sambas. Dika banyak bersosialisasi dengan orang-orang Madura
di tempat ia kuliah.
Dika adalah salah seorang yang ada ketika kerusuhan Sambas
terjadi, dan dia senang hati bertetanggaan dengan orang Madura yang
pernah ikut serta dalam kerusuhan Sambas.
Peneliti melihat Dika untuk pertama kali sebagai sosok wanita yang
mudah bersosialisasi dan banyak akan pengetahuan. Tidak hanya itu,
wajahnya juga menunjukan sosok yang sangat bahagia sehingga membuat
proses wawancara berlangsung nyaman. Menurut dika, etnis Melayu dan
Madura memiliki banyak perbedaan, dimana ia selalu menekankan bahwa
etnis Madura banyak yang menyendiri dan berkumpul hanya kepada sesama
orang Madura saja.
Informan 2:
Informan kedua dalam penelitian ini adalah Uray Hangga Pratama
yang biasa dipanggil Angga. Angga merupakan seorang polisi di kabupaten
Singkawang yang kotanya bertetanggaan dengan orang Kab. Sambas.
Angga sudah berkeluarga dan memiliki dua anak perempuan, Angga dan
70
istrinya merupakan sama-sama asli keturunan Melayu Sambas, dimana
mereka sama-sama lahir di Kab. Sambas.
Angga merupakan salah satu orang yang ikut turun langsung dalam
konflik Sambas 1998 dan menyaksikan pamannya terkena tembakan pistol
yang dilakukan oleh orang Madura. Pada saat Angga didalam kerusuhan ini
dia belum menjadi Polisi, karena usia Angga pada saat itu masih 19 tahun.
Seiring berjalan waktu angga memiliki banyak teman orang Madura,
ada beberapa teman dekatnya yang merupakan orang asli keturunan
Madura yang pernah tinggal di Sambas. Dan anggapun tidak
mempermasalahkan itu. hingga kini, Angga sendiri masih berhubungan
dengan teman-teman lamanya yang merupakan orang Madura yang dulu
pernah bertetanggan dengannya di Kab. Sambas.
Angga merupakan sosok polisi yang pintar dan berpengalaman,
karena Angga selalu turun tangan dalam berbagai kerusuhan etnis di
Kalimantan Barat.
Informan 3:
Informan ketiga yang menjadi bagian penelitian ini adalah Fiktor
Sandi. Fiktor merupakan Guru Olahraga di SMAN4 Pontianak Kalimantan
Barat, dan ia lulusan S1 di Univ. Tanjung Pura Pontianak. Ia merupakan
keturunan Melayu Sambas yang sampai ini masih sering pulang dan pergi
Pontianak-Sambas dalam kurun waktu seminggu sekali.
71
Selama di Pontianak ia tinggal di tempat kos yang tak jauh dari
sekolah tempatnya mengajar dan selama ia menjadi guru, banyak muridnya
dari etnis Madura dan merupakan korban pengungsian Konflik Sambas
1998.
Fiktor sendiri merupakan sosok guru yang ramah kepada muridnya
dan ia mudah sekali dekat dengan para wali dari murid-murid yang diajarnya.
Fiktor lumayan terkenal dikalangan persatuan Volly di Pontianak, karena
Fiktor sendiri merupakan Guru Les Volly disekolahnya mengajar.
Informan Madura
Informan 1:
Informan etnis Madura pertama yang terlibat dalam penelitian ini
adalah icung. Icung adalah seorang karyawan salah satu bengkel di
Pontianak yang sudah berkeluarga dan asli keturunan Madura. Icung
merupakan salah satu korban pengungsian akibat Kerusuhan Sambas yang
terjadi pada tahun 1999 dan pindah ke Kota Pontianak.
Icung memiliki banyak teman dekat orang-orang keturunan asli
Melayu Sambas, bahkan ada beberapa yang sudah dianggap menjadi
keluarga dekatnya. Hampir setiap hari icung bersosialisasi dengan orang-
orang Melayu, baik Melayu Pontianak maupun Melayu Sambas.
Menurut icung, keberagaman budaya yang ada di sekitar rumahnya
sekarang tidak berbeda jauh dengan yang pernah ia alami sebelumnya di
72
Sambas. Tetapi icung sendiri agak sedikit kurang percaya diri dan ada rasa
takut tinggal disekitar orang-orang Sambas mengingat kerusuhan Sambas
yang pernah terjadi. Tetapi icung selalu mencoba untuk bersosialisasi seiring
berjalannya waktu, meskipun terkadang icung agak menutup diri untuk
terbuka dengan orang-orang Melayu Sambas.
Informan 2:
Informan Etnis Madura kedua adalah Sukartono, Sukartono adalah
seorang pegawai swasta di Pontianak. Ia sudah mempunyai keluarga,
dimana istrinya merupakan asli keturunan Melayu Sambas. Sukartono dan
istrinya adalah korban pengungsian Konflik Sambas 1999 yang sekarang
tinggal di Pontianak.
Sukartono dan istrinya merasa sangat nyaman tinggal di Pontianak,
karena jauh dari tempatnya dulu tinggal. Ia merasa sewaktu tinggal di
Sambas sering dikucilkan oleh warga sekitar karena etnis Madura yang
kental didalam dirinya.
Sampai saat ini Sukartono masih bersosialisasi dengan banyak orang
Melayu Sambas, terutama dalam kunjungan keluarga istrinya yang
semuanya berletak di daerah Kab. Sambas.
Informan 3:
Informan etnis Madura ketiga adalah Saniah. Saniah adalah seorang
Ibu Rumah Tangga ber-etnis Madura yang menikah dengan seorang petani
73
Melayu Sambas yang beretnis Melayu, sekarang Saniah tinggal bersama
suaminya di Kota Sambas.
Saniah tinggal bersama para tetangga yang rata-ratanya beretnis
Melayu Sambas, dan Saniah merasa nyaman tinggal di Kota Sambas.
4.2.1 Pemahaman Etnis Melayu Sambas Terkait Etnis Melayu Sambas
dan Etnis Madura
1. Dika
Dalam lingkup keluarga, Dika merupakan seorang individu
yang lahir dan besar dalam budaya Melayu Sambas yang kental.
Budaya yang tertanam dalam keluarga tidak hanya karena kedua
orangtuanya asli Melayu Sambas, karena adanya budaya bahasa
yaitu bahasa Melayu Sambas yang masih dipertahankan.
“Dari kecil dirumah sudah biasa berbahasa melayu sambas, sampai akhirnya dika pindah ke kota pontianakpun dirumah sudah dibiasakan berbahasa melayu sambas. Jadi sampai sekarang dika lancar berbahasa Melayu Sambas”.
Proses penanaman dan pemahaman budaya yang didapat
Dika merupakan lingkungan dimana ia terbentuk sebagai bagian
dari anggota keluarga sehingga pemahaman budaya dan praktek
penggunaan bahasa dan budaya Melayu Sambas mengakar tidak
hanya secara individu, namun dalam tataran keluarga. Tataran
tersebut membuat dika semakin kenal akan kebiasaan yang ada
pada etnisnya sendiri
74
“Ramah, tapi rata-rata semua orang Melayu dimanapun itu ramah, lembut juga. Baik enggaknya kan tuh masing-masing orang ya, cuman kalo kebanyakan untuk Melayu sih ya ramah sesame Melayu misalnya, sesame Madura juga.
Sebagai seorang Melayu Sambas dan hidup yang
menjungjung tinggi budaya Melayu Sambas, Dika ternyata adalah
seorang turunan Kerajaan Melayu Sambas.
“Dika nih lumayan paham kebiasaan keturunan dika, karena kebetulan Dika nih turunan langsung dari kerajaan Melayu Sambas, makanye nama Dika nih ada Uraynya. Nama Uray di Kalimantan Barat sendiri biase dipakai same orang-orang keturunan keraton Melayu Sambas”.
Dalam kehidupan sehari-hari selama bertetanggan dengan
orang Madura Dika menganggap bahasa atau nada yang
digunakan orang Madura terlalu kasar dan beda dengan Melayu
dengan nada rendah atau halus. Selain itu Dika melihat etnis
Madura menganggap orang Melayu sambas itu adalah orang yang
lemah tidak seperti kebanyakan Madura yang suka menggunakan
kekerasan jika mendapati suatu masalah.
Namun demikian dari segi pekerjaan mayoritas yang
dijalani oleh orang Madura sangat berbeda dengan etnis Melayu,
orang Madura dianggapnya kebanyakan yang bekerja di kebun
dan memiliki kebun serta memiliki rumah yang kecil. Beda dengan
Melayu rumahnya selalu ingin terlihat bagus didepan siapapun.
Dan dalam urusan agama meskipun sesame agam islam mereka
sering menjalankan ibadah secara sama-sama, namun etnis
75
Madura lebih religious ketimbang dengan etnis Melayu, etnis
Madura sangat menonjolkan sisi keagamaannya daripada
etnisnya sendiri yang tidak memperlihatkan sisi keagamannya.
Dalam konteks hidup bertetangga dengan orang Madura,
Dika sudah merasa biasa dengan hidup bersama mereka tetapi
ada hal yang tidak disukainya yaitu seperti jahil, karena atas
pengalaman yang sudah dialami oleh Dika selama beberapa
tahun bertetanggaan dengan orang Madura.
Meskipun ada beberapa hal yang tidak ia sukai dari etnis
Madura, Dika adalah seorang yang sangat menerima datangnya
orang baru meskipun etnis tersebut negative dimatanya. Dia tidak
memilih teman dari etnis manapun, karena menurutnya semua
etnis sama yang membedakan hanya sifat dan kebiasaannya.
2. Angga
Sebagai seorang individu yang terlahir dalam etnis Melayu
Sambas, Angga tidak jauh berbeda dengan seorang lainnya yang
juga berasal dari budaya yang sama. Angga juga mengakui
bahwa etnis Melayu Sambas sama saja dengan etnis Melayu
biasa pada umumnya. Namun dalam hal pernikahan, Angga
mempunyai pendapat sendiri mengenai hal tersebut. Angga
berpendapat bahwa ada perbedaan antara adat pernikahan yang
76
dianutnya, yaitu Melayu Sambas rata-rata pernikahannya harus
sesuai dengan adat pernikahan keturunan kerajaan Melayu
Sambas.
Kalau etnis Melayu sih sama aja kaya etnis Melayu
Lainnya. Tapi untuk segi pernikahan Melayu Sambas rata-rata
harus mengikut adat yang dipakai oleh leluhur. Dan untuk melayu
lainnya kebanyakan mereka melakukan pernikahan memakai adat
semau mereka.
Dalam memandang perbedaan antara Melayu Sambas dan
Melayu pada umumnya, Angga sangat bersemangat dalam
menjelaskan perbedaan keduanya. Dalam menjelaskan
perbedaan keduanya, Angga menggambarkan dalam bahasa
yang sederhana.
“Pernah lihat film upin-ipin kan? Kurang lebih Melayu biasa dengan Melayu Sambas sama aja, sama-sama menggunakan bahasa yang berujung “e” tetapi Melayu biasa kurang lebih itu lebih halus pengucapannya sama kaya yang ada di upin-ipin. Tapi kalau Melayu Sambas agak sedikit susah dan sulit, pengucapannya pada huruf “e” di ujung lebih kasar seperti pengucapan e di ujung pada orang Betawi yang ada di Jakarta. Dan Melayu biasa tuh banyak yang tidak mengerti bahasa Melayu kita, tapi orang kita ngerti sama ucapan mereka.”
Interaksi komunikasi yang dilakukan Angga terhadap
keluarganya, seperti istri dan kedua anak-anaknya menggunakan
bahasa Melayu biasa yang sering di pakai kebanyakan di
Kalimantan Barat, sehingga bahasa Melayu biasa sangat umum
77
digunakan dalam keluarganya maupun di kehidupan sehari-
harinya sebagai polisi. Tetapi, meskipun dalam kesehariannya
Angga sering menggunakan bahasa Melayu biasa Angga tidak
pernah melupakan bahasanya sendiri. Jika berkumpul bersama
keluarga Melayu Sambas Angga sering dan lancar menggunakan
bahasanya.
“Dirumah sih sama anak-anak dan istri saya udah biasa berbicara bahasa Melayu yang biasa dipakai di Pontianak ya, soalnya kami inikan diam di Kota Singkawang bukan di Kota Sambas. Jadi udah biasa dengan bahasa Melayu biasa, apalagi kalau saya sedang dinas emang sudah biasa menggunakan bahasa Melayu. Dan buat bahasa Melayu Sambas Alhamdulillah lancar, karena saya kan asli sana. Jadi kalau kumpul keluarga udah biasa menggunakan bahasa Melayu Sambas. Itu ajasih”.
Bukan hanya paham pada bahasa yang digunakannya
saja, Angga juga sangat memahami karakteristik etnis Melayu
yang juga sudah melekat pada dirinya.
“Setau abang semua Melayu sih sama aja, cuma yang
bedakannya tuh apa ya. Ramahnya mungkin ya, sama
orang Melayu kan sabar-sabar beda dengan orang Madura
yang sukanya gak sabaran mudah marah. Kalo kita tuh
apa-apa diselesaikan dulu dengan kepala dingin, kalo
sudah naik pitam baru kita marah, sama aja kaya kejadian
kerusuhan Sambas dengan Madura tuh. Kita beberapa kali
loh diserang Madura tapi kita diam sampai akhirnya Melayu
Sambas tak terima kenalah mereka dengan kita.”
Sebagai seorang warga asli keturunan Keraton Melayu
Sambas, ada beberapa hal yang menurutnya membedakan antara
etnisnya dengan etnis Madura. Angga sendiri beranggapan etnis
78
Madura merupakan etnis yang jorok ketika bersama dengan
sesam etnis Madura, tetapi yang membuat Angga sendiri bangga
yaitu etnis Madura bisa menyesuaikan jika berada dilingkungan
yang bukan berisi etnis mereka.
Tentang pekerjaan yang digeluti orang Madura sangat
beragam, tetapi Madura banyak yang ditemukan sebagai
wiraswasta dimana lebih condong ke freelance karena jarang
ditemuinya yang menjadi pegawai swasta ataupun negri yang
bekerja didalam kantoran. Dan dari segi agamapun etnis Madura
sangat taat karena ditanam sejak lahir yang mengikuti tata cara
sunnah rasul.
Sebagai seorang polisi, Angga banyak menemui etnis
Madura yang masuk dalam tindak pidana dan tidak jarang etnis
Madura terkena tindak pidana atas hal mencuri. Etnis Madura
menurutnya mempunyai dua sisi berbeda yang saling berlawan
arah dimana etnis Madura sangatlah patuh agama tapi disisi lain
mereka suka melakukan pencurian. Dan hal ini sering kali ia temui
dikota manapun yang berada di Kalimantan Barat.
Dari sekian banyak hal negatif yang ia temui, Angga tidak
pernah membedakan mana teman, tapi angga tetap berhati-hati
karena Angga tidak adalah seorang yang tidak mudah terjerumus
oelh sesuatu yang berbau hal negatif.
79
3. Fiktor
Sedikit berbeda dengan dua informan sebelumnya, Fiktor
merupakan seorang individu yang berasal dari keturunan Melayu
Sambas (ayah) dan Madura (Ibu) yang besar di Kota Sambas.
Fiktor mengerti kedua bahasanya tapi hanya bisa berbahasa
Melayu biasa dan Melayu Sambasnya saja, karena kesehariannya
Fiktor dari kecil sudah dibiasakan dikenalkan bahasa dan budaya
Melayu Sambas.
“Saya sendiri sih sebenerannya keturunan budaya campuran, ayah saya dari Melayu Sambas dan Ibu saya asli Madura. Tetapi saya sendiri lahir dan besar di Kota Sambas, begitu pula dengan bahasa yang saya gunakan selama di Kota Sambas yaitu Melayu Sambas. Untuk bahasa Madura saya hanya paham tapi tidak bisa berbicara. Mungkin itu karena saya sudah biasa berbicara bahasa Melayu Sambas makanya tidak bisa bahasa Madura, tetapi untuk bahasa Melayu yang biasa digunakan di Pontianak saya bisa.” Tidak hanya berbicara, Fiktorpun memahami budayanya
sendiri seperti perbedaan nada bahasa yang digunakan
“Perbedaannya ada ya, dari bahasa pasti ada. Mereka Madura cenderung berbahasa Madura dan melayu Sambas cenderung berbahasa Melayu. Untuk nada tingginya mereka ngomong ada nadanya, nada bicaranya mungkin kedengeran orang kasar tapi ada lagunya gitu. Kalo Melayu apa adanya seperti itulah agak halus atau nadanya rendah ya”. Dalam konteks berbahasa Fiktor sama seperti dua informan
etnis Melayu lainnya, Fiktor beranggapan bahwa Madura
menggunakan nada yang tinggi sehingga orang-orang
80
beranggapan bahwa Madura itu kasar beda dengan melayu yang
seringkali menggunakan nada rendah.
Adapula tanggapan Fiktor mengenai cara pandang Etnis
Madura melihat orang Melayu, orang Melayu dimata mereka
sangatlah ramah karena tidak membedakan etnis manapun.
Dalam konteks pekerjaan Etnis Madura kebanyakan adalah
bertani dan berternak, etnis Madura kebanyakan tinggal didaerah
tempat etnis Madura tinggal. Jarang etnis Madura yang ditemui
tinggal campur bersama etnis lain maupun etnisnya sendiri.
Sesama agama islam dengan orang-orang Madura
kebanyakan yang pernah ia temui, ia beranggapan agamanya
semua sama hanya tata cara shalat yang dilakukan oleh orang
Madura sangatlah cepat baik dalam pembacaan solat maupun
gerakan shalat. Begitupula dalam kegiatan yang diadakan etnis
Madura seperti Isra Mi‟raj, etnis Madura selalu menyediakan
masakan khas Madura itu sendiri berbeda dengan etnisnya yang
selalu menyediakan makanan apa adanya.
Fiktor melihat banyak sekali perbedaan yang ditemui, dari
semua perbedaan adapun Fiktor melihat dari segi berpakaian
yang etnis Madura kenakan. Etnis Madura lebih condong
gemerlap karena sering memakai perhiasan dimanapun tempat.
Meskipun begitu, Fiktor adalah orang yang terbuka kepada
81
siapapun termasuk kepada etnis Madura, orang-orang yang
pernah mencuri hasil padi di Sawahnya tempat ia dulu tinggal.
4.2.2 Pemahaman Etnis Madura terhadap etnis Madura dan Melayu
Sambas
1. Icung
Icung merupakan seorang kepala keluarga asli keturunan
Madura dari kedua orangtuanya, dari kecil Icung sudah biasa
diajarkan bahasa Madura oleh kedua orangtuanya sampai-sampai
sudah dibiasakan sehari-hari didalam lingkungan keluarganya
sendiri.
“Abang itu pintar berbahasa Madura dan Melayu, tetapi untuk Melayu tetap logat lebih condong ke Madura, karena dari kecil ketika di Sambas bersama keluarga sudah dibiasakan berbahasa Madura tetapi bergaul dengan orang-orang Melayu Sambas disana. Untuk bahasa saya sendiri nih pandai sekali bahasa Madura karena sampai sekarang kalau dirumah bersama keluarga abang ada pakai bahasa Madura.
Icung sudah menikah dengan istri yang asli keturunan
Madura, komunikasi yang sering digunakan dirumah yaitu bahasa
Madura. Dan selalu dibiasakan setiap hari kepada anaknya yang
semata wayang.
:Kebetulan istri saya juga asli keturunan Madura tetapi lahir di Pontianak, jadi berbicara dirumahpun kami nih menggunakan bahasa Madura. Kami memang sengaja
82
sering menggunakan bahasa Madura agar anak kami yang semata wayang terbiasa berbahasa Madura”.
Icung memang pandai berbahasa Madura dan rajin
berkumpul bersama keluarganya yang sesame madura, tetapi
ternyata Icung tidak mengikuti kebiasaan seperti berbusananya
orang Madura. Karena menurut Icung kebiasaan berbusana orang
Madura adalah busana yang ketinggalan jaman.
“Biarpun abang ini pandai bahasa Madura dan sering kumpul keluarga sesame madura, tetapi abang ndak pernah memakai celana mengatung apalagi kemana-mana selalu pakai peci terus senang memakai kemeja kotak-kotak seperti orang Madura disini. Karena menurut saya hal itu sangatlah norak. Dan itu bener adanya kah, Madura memang rata-rata pake celana suka ngatung.”
Didalam berbusana icung memang tidak mengikuti busana
etnisnya sendiri, tapi icung ternyata tinggal disekitar kerumunan
yang isinya orang Madura semua.
“Kalo itusih abang sendiri tinggal dikomplek yang isinya Madura semua, paling ada tetangga abang nih beberapa jak cuma 3-4 keluarga yang berasal dari Melayu Sambas.”
Adapula tanggapan Icung mengenai etnisnya dimata orang-
orang Melayu dimana orang Madura dimata orang Melayu itu
berbahasa kasar.
“satu tuh keras terus istilahnya itu kasar. Emang ciri khas orang Madura gitu ndak mau ngalah”
Icung adalah seorang mekanik bengkel yang sering
bertemu dengan etnis Melayu, dan Icung beranggapan bahwa
etnis Melayu suka menjaga tingkah laku serta pedendam berbeda
83
dengan Madura yang apa adanya. Icung mengakui tentang berita
bahwa etnis Madura kebanyakan suka mencuri karena Icung
sendiri sering mengalami hal tersebut ketika ia tinggal di Kota
Sambas.
Icung merupakan korban kerusuhan masih mempunyai
rasa sakit hati atas kejadian dimana icung diusir paksa dari
tempatnya dulu tinggal, tapi lambat laun Icung bisa
memendamnya dan menerima kejadian tersebut. Sekarang Icung
bergaul seperti orang lain pada umumnya, sama-sama menerima
siapapun untuk berteman dengannya.
2. Sukartono
Sukartono adalah seorang kepala keluarga yang terlahir
dari keturunan Madura yang menikah dengan orang Melayu
Sambas. Dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam lingkup
keluarganya hidup menggunakan bahasa campuran.
“Madura asli, ketemu jodoh kebetulan orang Melayu dari Sambas.” “sebelum, kalau tidak salah tahun 1997. Saye menikah dengan dia sewaktu saye nih ada tinggal di Kota Sambas sebelum terjadinya kerusuhan di Sambas. Sampai akhirnya saye nih diusir secara halus karena kerusuhan tuh, lalu tinggal lah saya di Kota Pontianak bersama istri saya itu. Saya ade paham semua bahasa dimulai dari Melayu biase sampai Melayu Sambas begitupula ucap Madura sangat pandai.” Mengenai kebiasaan orang Madura Sukartono mengakui
kebenaran bahwa orang Madura mempunyai logat yang kasar
atau bernada tinggi beda dengan Melayu.
84
“kalo orang sini bilang kan kami agak kasar, kalo Melayu ini kan endak agak haluslah.”
Sukartono menjelaskan, selain berpakaian orang Madura
juga senang tinggal menyendiri dengan orang-orang Madura saja.
Seperti kebanyakan acara keagamaan yang diadakan oleh orang
Madura pun rata-rata diperuntukan untuk orang Madura saja,
karena isi ceramahnya pun digunakan dengan bahasa Madura
sendiri.
“Wah, saya bukannya tak mau gabung dengan orang selain Madura. Tetapi, saya nyaman tinggal bersama kawan-kawan sesame kamik. Merasa aman jak pasca kerusuhan di Sambas tuh. Dan bukan cuma Madura di Komplek saya jak yang tinggal menyendiri, banyak tempat sampai pelosok-pelosok didalam hutan tuh, beberapa daerah isinya Madura semue. Emang orang kamik nih suka bekumpul bersame kawan dari orang Madura. Begitupun acara Maulid atau pengajian bulanan, ya kamik ada pakai ustad-ustad dari Madura. Tak jarang isi ceramahnya pun pakai bahasa kamik.”
Dalam hal pekerjaan menurut Sukartono sendiri ada
pembagiannya sendiri antara Melayu Sambas dan Madura.
“Gak pengaruh sih sama. Kalo Madura rata-rata petani tapi ndak ada nelayan terus banyak yang ada buka usaha juga dan kalo Melayu campur banyak pegawai, nelayan ya seimbang.”
Dalam konteks kehidupannya tinggal bersama orang
Melayu Sambas, Sukartono beranggapan etnis Melayu
kebanyakan suka mengalah dan berbeda dengan etnisnya yang
terkadang mudah tersinggung. Meskipun begitu, Sukartono masih
tidak terima jika etnisnya itu suka dikatakan sebagai pencuri,
85
karena menurutnya walaupun etnis Madura sudah meninggalkan
Kota Sambas pencurian tetaplah masih sering terjadi.
3. Saniah
Saniah adalah orang asli keturunan Madura yang tinggal di
Kota Sambas yang bekerja sebagai petani bersama suaminya.
Saniah bertempat tinggal bersama orang Melayu disekitarnya.
“Iya benar, bapak ibu saya Madura asli dan dari kecil ada tinggal sama orang-orang yang dikelilingin sama Melayu.”
Sebagai seorang individu yang lahir sebagai orang Madura,
Saniah paham betul akan sifat yang dimiliki oleh etnisnya
“bahasasih jelas beda, kitapun udah lama diam di Sambas
pakai Melayu Sambas masih banyak tau kalo sayanih
orang Madura karena keliatankan dari logat medoknya
agak tinggi nadanya beda dengan orang Melayu Sambas.”
“ya biasa jak, tadi sih itu paling gesit orangnya sama
banyak yang muka dua itupun katanya, tapi saya akuin sih
rata-rata nih ya ndak semue ya gak sabaran apa-apa mau
cepat dan gampang sekali tersinggung. Penilaiain orang
kan macam-macam ya itu yang saya tausih.”
Dari banyak pekerjaan yang ada di Kalimantan ada
pendapat Saniah yang membedakan mengenai pekerjaan yang
masing-masing digeluti oleh kedua etnis masing-masing.
“Sayasih litanya sama semua, tapi Madura banyak jadi petani dan buka usaha sih kaya sate atau buka lamongan. Kalo Melayu kan banyak yang jadi pegawai kantoran, tp ada juga Madura yang kantoran cuman endak banyak kaya Melayu.”
86
Sehubungan rata-rata orang Madura dan Melayu sambas
beragama islam, tapi ada yang membedakan dari tata cara
menjalankan ibadahnya.
“Adasih kaya tata cara solat Madura tuh cepat tapi kalo ikut di Melayu lama, tapi kalo urusan taat Madura ikut sekali sama sunah rasul yang ada ya. Kaya taat agama gitu, semua orang kita tuh tentang agama islam ya nomor satu. Liat sendiri kan pesantren-pesantren disini tuh banyak diisi sama yang punya pasti orang kita.”
Sebagai etnis Madura yang tinggal di sekliling etnis Melayu,
Saniah masih suka merasa ada yang berbeda dengan etnisnya
sendiri, ia merasa etnis Melayu Sambas sering ditemukan suka
merasa curiga dengan etnis Madura, begitupula dengan sikap
etnis Melayu Saniah merasa etnis Melayu adalah etnis yang
lamban dalam mengerjakan sesuatu dan itu sudah dialaminya
selama serumah dengan suaminya yang beretnis Melayu
Sambas.
Meskipun berada di sekeliling etnis Melayu Sambas,
Saniah tidak pernah merasa takut jika suatu saat diusir Karena
sudah merasa dekat dengan etnis Melayu sambas sampai
dianggap sanak saudaranya sendiri.
4.2.3. Pengalaman Komunikasi Antar Etnis
1. Dika
87
Dalam kehidupan sehari-hari, ia mengaku seringkali
bergaul dengan etnis Madura dengan membagikan makanan
karena saling bertetanggan. Dan dalam lingkungan kampusnya
dika memiliki banyak teman dari etnis Madura, Dika tidak pernah
mempermasalahkan berteman dengan etnis Madura meskipun
kebanyakan etnis Madura yang ditemukannya bersifat negatif.
Dika sendiri tidak pernah tertutup dalam melakukan hal apapun
yang berhubungan dengan etnis Madura, ketika hari raya tibapun
Dika sering mengunjungi satu sama lain untuk bersilaturahmi dan
berinteraksi sesama agama muslim.
Kemampuan Dika sendiri mengenal budaya Melayu
Sambas sangatlah luas dan kompleks karena kebiasaannya yang
sering selalu menjunjung tinggi budayanya sendiri
2. Angga
Sebagai seorang polisi, angga mengaku banyak berteman
dengan etnis Madura. Angga sering berkunjung satu sama lain
ketika ada pertemuan, ia juga mengaku senang bertamu dengan
etnis Madura karena etnis Madura sangatlah menerima
keberadaannya walaupun berasal dari Melayu Sambas dan ia
sendiri belum pernah mendapat perlakuan yang tidak
menyenangkan sehingga sampai ini ia masih berteman baik
dengan etnis Madura yang ia kenal.
88
3. Fiktor
Fiktor merupakan seorang guru yang mengajar olahraga,
dan dalam lingkungan sekolah tempat ia mengajar ia menemukan
banyak etnis Madura dan saling berinteraksi satu sama lain.
Banyak pembicaraan yang Fiktor lakukan dengan muridnya,
namun lebih banyak mengenai hal olahraga. Selain itu ia juga
sering melakukan interaksi dengan Madura dalam melakukan
kegiatan ibadah dan membicarakan tentang kagamaan yang
dianutnya yaitu agama islam.
4. Icung
Icung merupakan seorang mekanik bengkel yang bekerja
dengan orang Melayu Sambas, icung sering melakukan
percakapan denga etnis Melayu Sambas dalam kegiatan otomotif.
Adapula pertemuan-pertemuan kecil yang sering icung lakukan
dalam berinteraksi dengan etnis Melayu Sambas, dan hal itu
sudah menjadi biasa rutinitas sehari-hari yang sering ia jalani baik
dengan customer ataupun dengan pemilik bengkel tempat ia kerja.
5. Sukartono
Dalam kehidupan sehari-hari Sukartono sering melakukan
interaksi dengan etnis Melayu Sambas, karena istrinya yang
tinggal dirumahnya berasal dari Melayu Sambas. Sukartono tidak
pernah mempermasalahkan pengusiran yang pernah terjadi
89
terhadapnya, karena sampai sekarang Sukartono masing sering
melakukan interaksi dengan etnis Melayu Sambas ketika
mengantar istrinya pulang ke kampong halamannya.
6. Saniah
Interaksi yang dilakukan Saniah dengan etnis Melayu
Sambas terbilang cukup sering, karena Saniah sendiri tinggal di
Kota Sambas yang mayoritas beretnis Melayu Sambas. Dan
saniah tidak pernah mempersalahkan perbedaan ras yang terjadi,
Saniah merasa sangat aman karena tetangga disekitarnya sangat
dekat dengannya, hampir setiap sore Saniah berinteraksi dengan
tetangganya yang beretnis Melayu Sambas. Meskipun ada
beberapa hal yang ia tidak sukai mengenai etnis Melayu Sambas,
Saniah tidak pernah mendapat perlakuan yang tidak
menyenangkan dari tetangganya.
4.2.4 Mindfulness Yang Muncul Dalam Interaksi Antar Etnis Melayu
Sambas Dan Etnis Madura
Ketika setiap pihak dari etnis berbeda telah merasakan adanya
mindful, maka bentuk kecemasan dan ketidakpastian di dalam
komunikasi antar etnis pun semakin memudar. Interaksi dan
komunikasi yang terjadi lebih mengarah pada bagaimana proses
sosial suatu etnis merasa diterima di etnis lainnya. Hal ini kemudian
90
menimbulkan dampak positif didalam interaksi antar etnis. Kondisi
positif ini, secara spesifik, lebih di sebabkan karena adanya
perubahan pola pikir dalam melihat nilai positif sebuah budaya serta
adanya motivasi untuk berinteraksi, dan didukung oleh adanya
kecakapan berinteraksi masing-masing pihak.
Pengalaman di masa lalu yang memiliki ketertarikan erat
dengan suatu kebiajakan dimana etnis Madura tidak diperbolehkan
lagi tinggal di Kota Sambas yang berdampak pada cara pandang etnis
Melayu Sambas yang cenderung diskriminatif terhadap etnis Madura
memberikan sebuah penggambaran bahwa hubungan komunikasi
antar kedua etnis cenderung memberikan atmosfer kecemasan dan
ketidakpastian. Kondisi itu diperparah dengan adanya prasangka
negatif etnis tertentu terhadap etnis lainnya. Dengan kata lain, ada
sebuah bentuk ketidaktulusan didalam komunikasi antar etnis
sehingga hubungan yang tercipta lebih mengarah pada hubungan
konflik daripada keharmonisan antar etnis. Kondisi yang telah
berlangsung cukup lama ini kemudian mengalami sebuah perubahan
yang juga dipicu oleh adanya perubahan waktu dan adanya
komunikasi antar sesama etnis.
Kondisi mindful dalam hubungan antar etnis Melayu Sambas
dan Madura mulai dirasakan ketika terhadap perubahan itu memiliki
dampak positif didalam interaksi dan komunikasi antar etnis Melayu
Sambas dan etnis Madura. Atmosfer positif yang lahir dalam interaksi
91
dan komunikasi social antar etnis tersebut mengarah pada adanya
bentuk kebebasan dalam menjalankan budaya, terutama etnis Madura
dalam menjalankan tradisi budayanya, serta minat dan ketertarikan
etnis Melayu Sambas dalam memahami dan bahkan mempelajari
budaya etnis Madura, berupa.
Setting atau latar permukiman seperti yang tercemin diwilayah
penelitian ini diambil sangat memungkinkan kontak atau adanya
komunikasi antar kelompok berlangsung dalam intensitas yang tinggi.
Ekspresi yang seperti itu pada gilirannya dapat mengurangi
hambatan-hambatan komunikasi antar budaya (etnis). Dalam tataran
konseptual, Gudykunst dan Kim (1997:286-287) mengajukan hipotesis
yang menyatakan bahwa jika kontak (komunikasi) berlangsung dalam
kondisi-kondisi yang menguntungkan, maka kontak tersebut dapat
menurunkan intensitas prasangka dan diskriminasi.
Selain itu, lingkungan pemukiman yang tercermin di wilayan
penelitian ini sudah terbentuk lama dan juga member kontribusi bagi
munculnya apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural, karena
setiap orang dari kelompok etnis yang berbeda sudah saling
mengenal dengan baik karakteristik kultural masing-masing. Namun,
pada sisi yang lain tentu tidak bisa diharapkan, lingkungan semacam
itu terdapat dimana-mana atau diterapkan di berbagai tempat. Dengan
demikian, faktor yang masih bisa dilihat dan memiliki peran dominan
92
adalah kecakapan atau kompetensi yang dimiliki oleh setiap orang
ketika terlibat dalam komunikasi antar etnis.
4.2.4.1. Pengetahuan Budaya Antar Etnis
Dilihat dari interaksi atau komunikasi di antara mereka,
ternyata dapat berlangsung dalam intensitas yang tinggi. Hal
ini dimungkinkan karena kehidupan tempat mereka tinggal
yang dijalaninya sehari-hari dari kedua etnis tersebut.
Fenomena tersebut membantu memberikan sebuah
akses informasi menghadirkan rasa ketertarikan satu sama
lain dalam berinteraksi,sehingga kondisi masyarakat yang
tercipta mengalami pembaruan yang tidak lagi bersifat statis
hanya dengan mengetahui budaya dari etnis sendiri saja.
Ketertarikan yang muncul dan minat yang tinggi dalam
memahami satu sama lain berkonsekuensi positif terhadap
cara pandang dari setiap individu untuk secara bersama
membuka diri terhadap berbagai macam perbedaan budaya
yang ada.
Setiap informan yang memberikan penjelasan
menyepakati satu hal, yaitu memahami etnis satu sama lain
akan memberikan nilai positif bagi individu itu sendiri maupun
hubungan komunikasi antar etnis. Secara umum, para
informan menilai bahwa pengetahuan setiap etnis dalam
93
memahami budaya lain dapat menjadi sebuah proses
pembelajaran mengenai suatu hal secara mendalam dan
memberikan dampak positif didalam mengenal karakter
seseorang. Nilai positif yang terkandung didalam memahami
budaya suatu etnis, tidak hanya memberikan pengetahuan
baru bagi etnis lain, juga memberikan pemahaman yang lebih
mendalam bagi etnis budaya tersebut. Adanya pemahaman
yang sama mengenai budaya akan menjadi modal awal dalam
memulai interaksi dengan etnis lainnya.
Selain itu, para informan juga menjelaskan bahwa
dengan memahami budaya lain akan memberikan
pemahaman sekaligus menyadarkan bahwa memang ada
perbedaan antar etnis. Dengan menyadari perbedaan yang
ada, maka diperlukan sebuah kesadaran dan keterbukaan dari
masing-masing pihak dalam memahami budaya etnis lainnya,
sehingga dapat tercipta pembaruan masyarakat antar etnis
dan sebuah keragaman budaya yang memiliki keunikan
masing-masing.
4.2.4.2. Motivasi Antar Etnis
Dalam interaksinya antara satu etnis dengan etnis lain,
masyarakat etnis Madura yang diwakili tiga informan
menjelaskan bahwa memang terdapat berbagai bentuk
94
diskriminasi yang sering terjadi sekaligus masih adanya
prasangka-prasangka negative atau stereotipe yang
mengganggu interaksi dan komunikasi antar etnis. Meski
begitu, adanya perubahan cara pandang dari masyarakat
Melayu yang tidak memandang perbedaan etnis sebagai hal
yang patut dihindari, serta adanya keterbukaan didalam
memahami etnis Madura membuat batasan komunikasi yang
pernah ada, menjadi runtuh.
Disisi lain, adanya pola pikir etnis Madura yang
memandang bahwa tidak semua etnis Melayu Sambas
berpikir negatif terhadap etnis Madura dan seiring berjalannya
waktu dengan timbulnya komunikasi satu sama lain yang
saling membutuhkan kini sudah tidak lagi diskriminatif
membuat masyarakat etnis Madura tidak lagi membuat jarak,
namun justru berani berinteraksi dan berkomunikasi tanpa
melihat perbedaan etnis. Terlebih lagi hubungan yang tercipta
sama sekali tidak menekankan pada etnis dari individu
tersebut, namun lebih kepada karakter personal dari setiap
individu. Hal serupa juga menjadi dasar pemikiran etnis
Melayu Sambas. Setting atau latar kejadian yang dimiliki oleh
informan yang berdampak pada perubahan pola pikir
masyarakat Melayu Sambas berdampak linier terhadap pola
pikir etnis Melayu Sambas dalam memandang etnis tionghoa
95
adanya keterbukaan dalam masing-masing pihak membuat
pola interaksi dan komunikasi antar etnis berubah menjadi
sebuah proses pembauran yang lebih cair.
Upaya mewujudkan motivasi-motivasi berkaitan dengan
kategori motivation to interact (motivasi untuk berinteraksi)
yang terdiri dari aksioma-aksioma need for predictability
(kebutuhan terhadap prediktabilitas), need for group inclusion
(kebutuhan untuk tergabung dalam kelompok), dan need to
sustain self-concept (kebutuhan untuk mempertahankan
konsep diri). Baik etnis Melayu Sambas maupun etnis Madura
memiliki motivasi yang besar untuk mengetahui tentang
berbagai hal baik tentang budaya maupun tentang hal-hal
personal. Motivasi tersebut mendorong mereka untuk
berkomunikasi satu sama lain agar memperoleh informasi dan
pengetahuan yang mereka ingin ketahui. Informasi dan
pengetahuan tersebut mereka butuhkan untuk dapat
memprediksi sikap dan perilaku satu sama lain.
4.2.4.3 Kecakapan Berinteraksi
Kesenjangan komunikasi yang pernah ada diantara
etnis Madura dan Melayu Sambas mulai diruntuhkan dengan
adanya motivasi dari masing-masing pihak untuk membuka
96
diri terhadap perbedaan. Proses keterbukaan ini menjadi titik
poin bagi keharmonisan antar etnis. Motivasi yang muncul dari
masing-masing pihak tidak terlepas dari adanya pemahaman
etnis Melayu Sambas yang memandang bahwa budaya
tionghoa merupakan nilai positif yang perlu di ketahui
sekaligus dipelajari.
Pemahaman motivasi untuk saling membuka diri antar
etnis menjadi sebuah titik awal dalam memulai interaksi di
tengah-tengah masyarakat. Proses pembauran yang kini telah
Nampak, dapat menjadi gambaran bahwa masing-masing
etnis telah mampu menunjukan kecakapan interaksi dengan
etnis lainnya. Proses oprasional dalam bersosial antara etnis
tionghoa dan etnis non tionghoa memberikan gambaran luas
mengenai adanya proses interaksi antar etnis yang lebih cair
dan terbuka, meski semuanya belum maksimal.
4.2.4.4 Memahami Perbedaan
Berbagai macam perbedaan budaya diantara peserta
Indonesia dan Polandia merupakan hal yang paling sering
memunculkan anxiety dan uncertainty pada diri mereka.
Namun hal tersebut tidak menghambat komunikasi diantara
mereka dikarenakan mereka memiliki kesadaran budaya yang
tinggi bahwa budaya yang satu sangat berbeda dengan
97
budaya-budaya yang lain. Kesadaran budaya tersebut
merupakan salah satu kecakapan komunikasi antarbudaya
yang mindful. Dengan memiliki kesadaran budaya yang tinggi,
kedua etnis dapat bersikap secara mindful dalam mengelola
anxiety (kecemasan) dan uncertainty (ketidakpastian) yang
disebabkan oleh perbedaanperbedaan tersebut. Sikap mereka
sesuai dengan karakteristik mindfulness, yaitu being open to
new information dan being aware of more than one
perspectives.
4.2.4.5 Membangun Kedekatan Personal
Terjalinnya kedekatan personal antara peserta
Indonesia dengan peserta Polandia merupakan hal penting
yang terjadi diantara mereka sebagaimana mereka telah
berkomunikasi antarbudaya secara mindful. Meskipun berasal
dari kebudayaan yang sangat jauh berbeda, akan tetapi
dengan adanya pengetahuan antar kedua budaya, motivasi
untuk berinteraksi, kecakapan berinteraksi dan pemahaman
terhadap perbedaan mereka dapat menjalin kedekatan
personal diantara satu sama lain.
Kedekatan antar kedua budaya tersebut tidaklah
seketika terjalin saat pertama mereka bertemu. Namun
mereka tidak memerlukan waktu yang lama untuk bisa akrab
satu sama lain. Hal itu disebabkan karena mereka sangat
98
sering berkomunikasi. Hal itu sesuai dengan aksioma quality
and quantity of contact (kualitas dan kuantitas hubungan)
dalam AUM Theory. Semakin seringnya mereka
berkomunikasi, semakin banyak hal-hal yang mereka
bicarakan, dan semakin akrablah mereka. Semakin
banyaknya waktu untuk berkomunikasi menambah
pengetahuan tentang satu sama lain, sehingga mereka
semakin dapat mengelola anxiety dan uncertainty.
Selain itu, etnis Melayu Sambas dan etnis Madura juga
menjadi akrab dikarenakan situasi-situasi yang mengharuskan
mereka bekerjasama, misalnya saat bekerja ataupun dalam
berumah tangga. Hal tersebut sesuai dengan aksioma
cooperative tasks (bekerjasama). Dalam bekerjasama
tentunya mereka harus berkomunikasi dan memahami satu
sama lain. Adanya kedekatan personal memunculkan empati
pada diri antar kedua budaya tersebut ketika peserta lain
menceritakan permasalahannya. Hal tersebut sesuai dengan
aksioma empathy (empati). Bersikap empati juga merupakan
salah satu kecakapan komunikasi antarbudaya yang mindful.
4.2.5. Etnik Melayu Sambas dan etnik Madura; Face Negotiation Theory
Baik masyarakat etnik Melayu Sambas maupun etnik Madura
dipastikan terlibat langsung pada kerusuhan sambas 1999 baik
99
sebagai pelaku penyerangan maupun sebagai korban. Pada saat itu
masing-masing etnik terlibat baik menjadi pelaku pada saat tawuran
massal, kontak bersenjata, penyerangan-penyerangan antar desa,
sebagian besar yang tidak ikut perang terbuka pergi mengungsi
termasuk diantaranya perempuan dan anak-anak. Di daerah-daerah
lain yang letaknya cukup jauh dari lokasi-lokasi pecahnya
pertempuran terlibat aktif sebagai penerima dan tempat menampung
para pengungsi, utamanya yang memiliki latar belakang etnik dan
agama yang sama dengan pengungsi, ada juga kasus-kasus khusus
dimana mereka membantu pengungsi yang berbeda identitas etnik
dan agamanya karena memiliki hubungan dekat maupun balas budi,
tetapi biasanya pengungsi seperti ini tidak lama, dan langsung
diungsikan ke tempat yang menurut mereka aman, karena mereka
juga tidak mau di cap penghianat oleh kelompoknya.
Ditinjau dari teori negosiasi wajah maka wajah-wajah kelompok
yang berkonflik berubah, „penampilan‟ masing-masing di mata
kelompok lainnya juga mengalami perubahan yang mencolok. Wajah-
wajah etnik Madura bergeser ke arah negatif dan Melayu Sambas ke
arah positif serta mengalami kerusakan. Proses-proses facework
kemudian terjadi baik pada saat kerusuhan maupun pasca kerusuhan
1999. Perubahan „wajah‟ secara drastis dari masing-masing kelompok
ini terjadi sejak konflik Sambas 1999, perubahan ini secara tidak
langsung mempengaruhi persepsi satu kelompok terhadap kelompok
100
lainnya yang berada di wilayah-wilayah luar dari Kota Sambas,
sehingga kemudian memperluas ekskalasi konflik yang terjadi.
Di beberapa tempat proses-proses negosiasi dan interaksi dari
dua kelompok khususnya etnik Melayu Sambas dan Madura berjalan
lebih baik. Komunikasi yang terbangun antara kedua kelompok juga
sudah hampir seperti pada saat sebelum konflik. Di Kota Sambas
misalnya, disana terdapat 1 wanita yang beretnis Madura dan hidup
rukun bersama para tetangga lain yang beretnis Melayu Sambas.
Padahal ketika konflik sudah ada perjanjian yang berisikan etnis
Madura dilarang lagi menginjak tanah yang ada di Kabupaten
Sambas, tapi seiringnya berjalan waktu masyrakat etnis Melayu
Sambas bisa menerima keberadaan etnis Madura. Interaksi antar
kedua etnis ini sudah bisa dikatakan normal seperti sedia kala untuk
beberapa kota. Sehingga bisa dikatakan proses- proses facework
untuk mengembalikan „wajah‟ dari masing-masing kelompok terjadi
dalam frekuensi dan intensitas yang cukup tinggi.
Manusia memperoleh dan mengembangkan identitas mereka
melalui interaksi mereka dalam kelompok budaya mereka,
perkembangan identitas selanjutnya, menjadi proses dalam
bersosialisasi budaya yang dipengaruhi oleh budaya lain, dan
perkembangan pribadi. Identitas sosial, dibangun dari identitas pribadi
terdiri dari karakteristik yang membuat seseorang berbeda dari orang
lain di kelompoknya. Karakteristik itu membuatnya unik dan
101
bagaimana seseorag memandang dirinya sendiri. Markus dan
Kitayama dalam Samovar (2010:192) menyatakan bahwa orang yang
berasal dari budaya yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda
mengenai dirinya, orang lain, dan ketertarikan diantara keduanya.
Orang yang berasal dari etnis Melayu Sambas menunjukan
perbedaaan dengan etnis Madura, namun mereka yang berasal dari
budaya kolektif cendrung menekankan keanggotaan mereka dalam
suatu kelompok atau hubungan mereka dengan yang lainnya.
Identitas diri sebagai susunan gambaran diri masing-masing etnis
sebagai seseorang. Dalam budaya Yunani, identitas di pahami
sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dan seseorang melihat diri
bertentangan atau berbeda dengan identitas yang lain.
Antar etnis Melayu Sambas dan etnis Madura, memiliki
kesamaan sekaligus perbedaan dalam membangun identitas sosial
sesame etnis. Fenomena ini dilatar belakangi oleh letak geografis,
sejarah serta bentuk pola pikir antar etnis masing-masing yang
ditanam sejak keciil. Misalnya pada etnis Madura sudah ditanamkan
sejak kecil harus membantu orang tua bertani atau berjualan sehingga
tertanam sampai besar menjadi seorang pedagang ataupun berkebun.
Hal itu berdampak besar pada kebutuhan sesame etnis, karena dari
kecil kebiasaan nenek moyangnya terlibat di dalamnya. Namun, hal ini
terkadang terjadi konflik karena identitas antar etnis yang dibangun
cenderung pada pola budaya individualisme. Sementara itu etnis
102
Melayu Sambas sudah ditanam sejak kecil harus melakukan jenjang
pendidikan setinggi mungkin, sehingga terbiasa sampai besar
mendapat pekerjaan sesuai dengan pendidikan yang diambil dimana
kebanyakan etnis Melayu Sambas menjadi pegawai swasta ataupun
negri yang bekerja didalam ruangan (kantoran).
Adapula yang membangun identitas diri masing-masing seperti
etnis Madura yang kebanyakan tinggal disekitar sesame etnisnya
membuat pemikiran etnis Melayu Sambas bahwa etnis Madura adalah
etnis yang kurang terbuka. Ditambah lagi seperti banyaknya
pendidikan yang dibangun oleh etnis Madura serta di isi dengan etnis
Madura juga, seperti sekolah dan juga pesantren. Kebiasaan
kehidupan berkelompok orang Madura membuat pola pikir yang
negatif di kalangan etnis Melayu, tetapi seiringnya berjalan waktu hal
seperti itu tidak pernah dijadikan permasalahan dalam berkomunikasi
antar sesama etnis.
Ini semua tidak lepas dari keterkaitannya pasca konflik Sambas
1998, bahkan hal ini dapat berujung pada stereotype. Stereotype
merupakan pengelompokan bentuk kompleks dari pengelompokan
yang secara mental mengatur pengalaman seseorang dan
mengarahkan sikap orang tersebut dalam menghadapi orang tertentu
(Turner, 2008:159). Semenjak konflik tersebut terjadi banyak etnis lain
yang ada di Kalimantan Barat termasuk Melayu Sambas menganggap
103
bahwa etnis Madura itu sebagai pencuri. Dan dalam melakukan
pencurian tersebut etnis Madura sangatlah identik melakukannya
secara berkelompok dan diam di suatu tempat yang berdominan
orang-orang yang berasal dari etnis Madura semua, sehingga
menimbulkan pola pikir yang negatif bagi etnis Melayu Sambas seperti
timbulnya rasa curiga dan cemas. Meskipun begitu, informan dalam
penelitian ini tetap terbuka dengan adanya Etnis Madura di sekitarnya.
Ini semua karena kebutuhan mereka masing-masing dalam saling
berinteraksi.
Adapula yang terlihat dalam melakukan wawancara masing-
masing etnis, etnis Melayu sangatlah antusias menjelaskan secara
detail mengenai konflik Sambas yang pernah terjadi. Berbeda dengan
etnis Madura mereka merasa ketakutan dalam melakukan
wawancaranya yang munggunakan nada rendah serta hanya ingin
melakukannya ditempat sepi. Meskipun konflik sudah berlalu begitu
lama, rasa sakit hati masih dirasakan oleh masing-masing kedua
pihak baik dari etnis Melayu Sambas maupun etnis Madura.
Keduanyapun sama-sama menjungjung tinggi budayanya masing-
masing.
Secara umum baik masyarakat etnik Melayu Sambas maupun
masyarakat etnis Madura cenderung dapat digolongkan sebagai
masyarakat yang bersifat kolektivis. Ketergantungan putusan kepada
104
para pemuka agama dan pemuka adat masih cukup tinggi, hal ini
terlihat dari kurun waktu konflik Sambas sampai sekarang. Setelah
kesepakatan damai praktis tidak ada lagi konflik terbuka atau perang
langsung antar kedua komunitas, hal ini dapat dimaknai bahwa baik
masyarakat etnik Melayu Sambas dan Madura mematuhi kesepakatan
damai yang dibuat oleh para pemukanya. Meskipun demikian
tindakan-tindakan teror seporadis seperti pembunuhan, penculikan,
teror bom dan lain-lain masih kerap terjadi di kota-kota lain yang
berada di Kalimantan Barat.
Pada kasus ini keduanya sama-sama memiliki sifat kolektivisme
yang kuat, hal ini juga terlihat dari preferensi rekonsiliasi pasca konflik,
dimana masing-masing pihak merasa jadi korban, kemudian ketika
berupaya untuk memulihkan „wajah‟ yang rusak mereka cenderung
memilih untuk menjaga „wajah‟ kelompok lainnya dengan sama-sama
mengatakan tidak mengetahui mengapa mereka bisa terjebak dalam
kondisi konflik. Mereka juga sama-sama bermain salah-salahan
mengenai penyebab konflik tersebut. Ketika ditanya mengapa bisa
terjadi seperti ini, semua dari mereka mengatakan ini perbuatan lawan
etnisnya. Meskipun mereka sama-sama mengakui terlibat dalam
konflik dan mengakui masing-masing melakukan tindakan kekerasan
atas kelompok lainnya, tetapi lambat laun kedua etnis hidup saling
berdampingan karena mengingat hidup yang saling bergantungan.
105
seperti menjalin keluarga suami-istri, bertetanggan dengan lawan
etnisnya dan juga dalam bekerja.
Asumsi lain dari Teori Negosiasi Wajah adalah jauh dan
dekatnya jarak kekuasaan akan mempengaruhi preferensi proses
facework yang terjadi apakah proses facework yang lebih bercorak
horizontal pada jarak kekuasaan yang dekat ataukah proses facework
yang bercorak vertikal pada jarak kekuasaan yang jauh.
Pada kasus konflik Sambas, meskipun dalam internal masing-
masing etnik memiliki jarak kekuasaan yang jauh, dimana masyarakat
umum sangat tergantung kemada pemuka-pemuka suku maupun
agama dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dalam situasi
konflik, tetapi apabila kita bandingkan dan setarakan antara etnik
Melayu Sambas dan Madura cenderung sejajar sehingga jarak
kekuasaan etnik Melayu Sambas dan Madura dalam masyarakat di
Kalimantan Barat secara umum dekat, meskipun kondisi ekonomi
etnik Melayu Sambas secara umum lebih baik dari etnik Madura
namun tidak dapat dikatakan bahwa etnik Melayu Sambas menguasai
etnik Madura maupun sebaliknya, sehingga dua kelompok yang
berkonflik ini memiliki kesejajaran dan jarak kekuasaan yang dekat.
Proses-proses facework yang terjadi antara etnis Melayu Sambas dan
etnis Madura juga menunjukkan proses-proses facework yang
memiliki preferensi horizontal dan setara.
106
Asumsi selanjutnya dari Teori Negosiasi Wajah adalah dimensi
nilai pada faktor-faktor individual, relasional, topikal dan situasional
mempengaruhi penggunaan facework secara partikular dalam daerah-
daerah konflik budaya yang berbeda.
Pada interaksi etnis Melayu Sambas dan etnis Madura pasca
konflik penggunaan facework sangat situasional dan temporal dimana
berlangsungnya interaksi tersebut. Hal ini bergantung pada lokasi
serta seberapa parah ekskalasi konflik pada saat perang terbuka
terjadi. Faktor daerah sangat berpengaruh, interaksi yan terjadi antar
kedua suku ini di beberapa kota yang ada di Kalimantan Barat
cenderung berbeda. Umumnya interaksi yang berlangsung di daerah-
daerah utama konflik seperti di Kota Sambas dan sekitarnya
berlangsung lebih kaku dan lambat, berbeda dengan apa yang terjadi
di daerah-daerah yang meskipun memiliki dampak kerusuhan yang
cukup parah namun daerah-daerah tersebut dianggap hanya sebagai
„imbas‟ atau rembetan kerusuhan dari apa yang dibagikan kepada
kelompok-kelompok etnik mereka yang tidak terlibat dalam konflik.
Namun demikian di beberapa daerah terlihat bahwa keterbukaan dan
sifat mindfulness dalam memahami kelompok lain sebagai sama-
sama „korban konflik‟ dan sama-sama menderita dari berbagai hal
termasuk penderitaan ekonomi justru dapat dilihat sebagai katalisator
atau pemercepat proses-proses negosiasi dan rekonsiliasi. Perbedaan
yang terjadi di beberapa daerah ini dapat dimaknai sebagai seberapa
107
besar mereka „menanggung beban‟ akibat konflik terbuka yang pernah
terjadi di Sambas, faktor ekonomi juga kerapkali menjadi alasan
mengapa mereka menutup diri dan tidak mau terbuka terhadap
kelompok lainnya, namun demikian faktor ekonomi pula yang sering
menjadi alasan bagaimana etnik etnis Melayu Sambas dan etnis
Madura saling membuka diri dan mencoba memahami satu sama lain
serta menghadirkan pemahaman bahwa mereka saling membutuhkan
di beberapa daerah. Faktor trauma dan keamanan juga sering muncul
ketika mengungkapkan alasan mengapa para etnis Madura masih
berada di Kalimantan Barat dan belum mau kembali ke kampung
asalnya. Meskipun saat ini dapat dikatakan kondisi keamanan
Sambas sudah dapat dinilai kondusif, namun „rasa aman‟ yang hadir
dalam hati masing-masing korban konflik tidak dapat terukur dengan
pasti.
108
PEDOMAN WAWANCARA
A. MINDFULNESS
1. Apakah anda sering melakukan pertemuan dengan etnis
Madura/Melayu Sambas (Pengajian, solat jamaah, dll)?
2. Apa perbedaan berteman dengan orang melayu dan Madura?
3. Bagaimana jika anda mendapati 1 pekerjaan/bisnis dengan etnis
Madura/ Melayu Sambas, apakah anda bersedia?
4. Apa anda bersedia menikah dengan etnis Madura/Melayu
Sambas?
5. Apa anda sering berkunjung ketika lebaran tiba?
6. Apa anda sering mengikuti kegiatan yang diadakan oleh etnis
Melayu Sambas/ Madura (isra mi‟raj, maulid, dll)?
7. Setelah konflik di Sambas tahun 1999 kenapa anda masih ingin
berteman dengan etnis Madura/ etnis Melayu Sambas?
8. Apa ada budaya yang anda tidak sukai dari orang Madura/ Melayu
Sambas?
B. FACE NEGOTIATION THEORY
1. Menurut bapa seperti apakah etnis Madura dan Melayu
Sambasitu? (Penggunaan bahasa dan nada bicara)
2. Menurut anda seperti apa etnis Melayu Sambas dimata orang
Madura?
109
3. Menurut anda seperti apa etnis Madura dimata orang Melayu
Sambas?
4. Ada atau tidak perbedaan ekonomi antara Melayu Sambas dan
Madura?
5. Dari segi agama, apa ada perbedaan islam Madura dengan
Melayu Sambas?
6. Apa saja perbedaan budaya antara Madura dan Melayu Sambas
di Kalimantan?
7. Bagaimana menurut anda tentang pandangan orang mengenai
etnis Madura yang katanya suka mencuri?
8. Apa ada hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
etnis Melayu Sambas/ Madura?
9. Apa yang anda lakukan ketika bertemu orang Melayu
Sambas/Madura yang bukan merupakan salah satu kerabat dekat
anda?
10. Apa yang anda lakukan ketika berpapasan dengan orang Melayu
Sambas/Madura?
11. Apakah anda sering berdebat mengenai perbedaan pendapat
dengan etnis Melayu Sambas/Madura?
110
PERTANYAAN WAWANCARA ETNIS MELAYU
1. Sudah berapa lama tinggal di kota Pontianak?
2. Sudah berapa lama meninggalkan kota Sambas?
3. Apakah bapak asli keturunan melayu sambas?
4. Sudah berapa lama bertetanggaan dengan etnis Madura?
5. Menurut bapa seperti apakah etnis Madura dan Melayu itu?
(Penggunaan bahasa dan nada bicara)
6. Apakah anda sering melakukan pertemuan dengan etnis Madura
(Pengajian, solat jamaah, dll)?
7. Menurut anda seperti apa etnis melayu dimata orang Madura?
8. Apa perbedaan berteman dengan orang melayu dan Madura?
9. Bagaimana jika anda mendapati 1 pekerjaan/bisnis dengan etnis
Madura, apakah anda bersedia?
10. Ada atau tidak perbedaan ekonomi antara melayu dan Madura?
11. Apa anda bersedia menikah dengan etnis Madura?
12. Dari segi agama, apa ada perbedaan islam Madura dengan Melayu?
13. Apa anda sering berkunjung ketika lebaran tiba?
14. Apa anda sering mengikuti kegiatan yang diadakan oleh etnis mudra
(isra mi‟raj)?
15. Apa saja perbedaan budaya antara Madura dan melayu di
Kalimantan?
16. Apa ada budaya yang anda tidak sukai dari orang Madura?
111
17. Bagaiman menurut anda tentang pandangan orang Madura yang
katanya suka mencuri?
18. Setelah konflik di Sambas tahun 1999 kenapa anda masih ingin
berteman dengan etnis Madura?
19. Apa ada hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
etnis melayu?
20. Apa yang anda lakukan ketika bertemu orang melayu/Madura yang
bukan merupakan salah satu kerabat dekat anda?
21. Apa yang anda lakukan ketika berpapasan dengan orang
melayu/Madura?
22. Apakah anda sering berdebat mengenai perbedaan pendapat dengan
etnis Madura/melayu
23. Apa anda pribadi pernah mengalami konflik dengan etnis
Madura/melayu, jika ada apa yang kamu lakukan?
24. Apa anda bangga menjadi etnis melayu?
25. Apa yang anda lakukan ketika sedang berdebat dengan etnis
Madura/melayu?
112
PERTANYAAN WAWANCARA ETNIS MADURA
1. Sudah berapa lama tinggal di kota Pontianak?
2. Sudah berapa lama meninggalkan kota Sambas?
3. Apakah anda asli keturunan madura?
4. Sudah berapa lama bertetanggaan dengan etnis Madura?
5. Menurut anda seperti apakah etnis Madura dan Melayu itu?
(Penggunaan bahasa dan nada bicara)
6. Apakah anda sering melakukan pertemuan dengan etnis Melayu
(Pengajian, solat jamaah, dll)?
7. Menurut anda seperti apa etnis Madura dimata orang Melayu?
8. Apa perbedaan berteman dengan orang melayu dan Madura?
9. Bagaimana jika anda mendapati 1 pekerjaan/bisnis dengan etnis
Melayu, apakah anda bersedia?
10. Ada atau tidak perbedaan ekonomi antara melayu dan Madura?
11. Apa anda bersedia menikah dengan etnis Melayu?
12. Dari segi agama, apa ada perbedaan islam Madura dengan
Melayu?
13. Apa anda sering berkunjung satu sama lain ketika lebaran tiba?
14. Apa anda sering mengikuti kegiatan yang diadakan oleh etnis
melayu?
15. Apa saja perbedaan budaya antara Madura dan melayu di
Kalimantan?
16. Apa ada budaya yang anda tidak sukai dari orang Melayu?
113
17. Bagaimana tanggapan anda mengenai pandangan etnis melayu
yang bilang etnis Madura kebanyakan pembuat onar?
18. Setelah konflik di Sambas tahun 1999 kenapa anda masih ingin
berteman dengan etnis Melayu?
19. Apa ada hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
etnis madura?
20. Apa yang anda lakukan ketika bertemu orang melayu/Madura yang
bukan merupakan salah satu kerabat dekat anda?
21. Apa yang anda lakukan ketika berpapasan dengan orang
melayu/Madura?
22. Apakah anda sering berdebat mengenai perbedaan pendapat
dengan etnis melayu
23. Apa anda pribadi pernah mengalami konflik dengan etnis melayu,
jika ada apa yang kamu lakukan?
24. Apa anda bangga menjadi etnis madura?
25. Apa yang anda lakukan ketika sedang berdebat dengan etnis
melayu?
114
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Bab ini merupakan bab penutup yang menjelaskan atas pertanyaan-
pertanyaan penelitian yang diajukan. Penelitian ini menggambarkan
bagaimana konsep mindfulness dan negosiasi wajah oleh etnis Melayu
Sambas dan etnis Madura sebagai terciptanya komunikasi yang efektif,
bagaimana mindfulness muncul dalam interaksi dan negosiasi wajah yang
dilakukan dari kedua etnis tersebut.
Secara umum, etnis Melayu Sambas merasakan adanya diskriminasi
karena kebanyakan Madura yang ditemukannya selalu hidup
berkelompok, sebaliknya etnis Madura Sambas mengakui adanya etnis
mereka kebanyakan hidup secara berkelompok. Tetapi, penelitian ini
menyatakan bahwa tidak semua etnis Madura hidup berkelompok, dan
juga etnis Melayu menerima keberadaan etnis Madura di sekitarnya.
Pada mindfulness, kedua etnis sama-sama memiliki pemikiran terbuka
dalam menerima keberadaan sesame etnis. Baik etnis Melayu Sambas
maupun etnis Madura memiliki saling berkubutuhan dalam menjalankan
aktifitasnya sehari-hari. Hal ini membangun motivasi tersendiri dalam
membangun komunikasi antar budaya etnis Melayu Sambas dan etnis
Madura.
115
Etnis Melayu Sambas dan etnis Madura telah secara mindful mengelola
anxiety dan uncertainty dengan berupaya untuk mewujudkan motivasi-
motivasi menjadi tindakan nyata, melakukan pengungkapan diri
terhadap satu sama lain, membangun kedekatan personal diantara satu
sama lain. Melalui upaya yang telah dilakukan tersebut, para kedua
budaya tersebut dapat berkomunikasi antarbudaya dengan mindful.
Terbangunnya kedekatan personal diantara mereka merupakan salah
satu indikator penting bahwa komunikasi antarbudaya diantara mereka
berlangsung secara efektif.
Sedangkan dalam negosiasi wajah, kedua etnis memiliki perbedaan
yang cukup signifikan. Dan pengalaman pada konflik Sambas 1998,
membentuk pola pikir masing-masing individu dalam bersosial. Dimana
etnis Madura beranggapan bahwa etnis Melayu memiliki rasa curiga
terhadap etnis Madura, sebaliknya etnis Melayu menganggap
kebanyakan etnis Madura sebagai pencuri.
Lambat laun seiring berjalannya waktu, dampak konflik ini tidak hanya
menimbulkan pemikiran negative. Adanya keterbukaan dan penerimaan
keberadaan sesama etnis membuat mereka saling berkomunikasi satu
sama lain.
5.2. Saran
Perlu adanya sikap saling terbuka antar sesama etnis sehingga saling
adanya keterbukaan di dalam berlangsungnya komunikasi antar etnis Melayu
116
Sambas dan etnis Madura. Hal ini akan menimbulkan kurangnya prasangka
buruk yang tidak diinginkan seperti hal-hal negatif antar sesama Etnis.
117
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Muhamad. 2002. Latar Belakang dan Dampak Sosial Konflik Etnis Di Kalimantan Barat (Studi Kasus Konflik Etnik Di Kabupaten Sambas tahun 1999). Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Afrizal. 2016. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Agus, Salim. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ananda, Tiara Yuri, 2011. Mindfulness di Kalangan Remaja dan Non Tionghoa di Jakarta (Studi pada Pembaca Tabloid Hi Young Mandarin). Disertasi. Depok: Universitas Indonesia.
Cica Nayati. 2012. Peran Budaya Organisasi terhadap Strategi Pemasaran dalam Upaya Mencapai Keberhasilan Perusahaan. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu Komunikasi (Teori dan Praktek). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Emzir, 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.
Fiske, John. 2014. Pengantar Ilmu Komunikasi Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Pers.
Griffin, EM. 2006. A First Look at Communication Theory. McGraw-Hill, New York.
Hidayat, Eko Purwito. 2013. Manajemen Konflik dan Negoisasi Wajah dalam Komunikasi Antar Budaya Pasca Konflik Etnik Pamona dan Bugis di Poso. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Liliweri, Alo. 2001. Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Littlejohn SW & Karen A. Foss. 2011. Teori Komunikasi (edisi ke 9). Jakarta: Salemba Humanika.
118
Moeljono, Djokosantoso. 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Moleong, L.J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, 2005. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhayati, Siti Mekah. 2002. Konflik Sosial dan Alternatif Penyelesaiannya. Tesis, Depok: Universitas Indonesia.
Patebang, Edi & Sutrisno, Eri. 2000. Konflik Etnis di Sambas. Jakarta: ISAI.
Purwosito, Andrik. 2003. Komunikasi multikultural. Surakarta: Muhammadiyah
Rahardjo, Turnomo.2005. menghargai Perbedaan Kultural Mindfulness Komunikasi Antaretnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Richard West, Lynn H.Turner. 2008 Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Buku 2) (Edisi 3) Jakarta: Salemba Humanika.
Ridwan, Aang. 2013. Filsafat Komunikasi. Bandung: Pustaka Setia.
Samovar, Porter, McDaniel. 2010. Komunikasi Lintas Budaya (Edisi 7). Jakarta : Salemba Humanika.
Sihabudin, Ahmad, (ed). 2011. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: Bumi Aksara
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung, 2006 .
Wattimena, Reza SS. 2008. Filsafat Sains sebuah Pengantar. Jakarta: PT Grasindo.
Website:
http://digilib.uin-suka.ac.id/13031/1/BAB%20I%2C%20IV%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
https://www.academia.edu/20290697/Teori_Negosiasi_Rupa_Face_Negotiation_Theory_
119
http://digilib.uin-suka.ac.id/25902/1/BAB%20I%2C%20VI%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
file:///Users/PRO/Downloads/1108-2160-1-SM%20(1).pdf
120
LAMPIRAN I
TRANSKIP WAWANCARA
121
Transkip Wawancara
Informan 1
Nama : Uray Suhandika
Umur : 22 tahun
Pekerjaan : Mahasiswi Univ. Tanjung Pura Pontianak
Lokasi Wawancara : Rumah Dika, Sungai Jawi, Pontianak Kalimantan Barat
Tanggal wawancara : 14 Mei 2017
I : menurut Dika etnis Madura tuh seperti apasih dik?
D : etnis Madura biasa ajasih sebenernya kalo Madura sama Melayu ya,
cuman bedanya dia tuh suka kaya menyendiri, istilahnya misalnya kaya
orang Melayu Jawa dalam satu Komplek tuh dia rumahnya didepan semua.
Sedangkan kalo Madura tuh lebih sukanya ke bbelakang dia tuh sama dia,
Madura sama Madura dia tinggalnya di belakang. Jarang mau bergabung
rumahnya yah maksudnya rumahnya dempetan sama orang-orang Melayu.
Tapi kalo orang Melayu biasa dempetan sama orang Madura tapi kalo
Madura dia enggak biasa dempetan-dempetan sama Melayu.
I : kalo menurut Dika orang Melayu sendiri orang-orang dika sendiri tuh
seperti apa?
D : ramah, tapi rata-rata semua orang Melayu dimanapun itu ramah, lembut
terus walaupun gak. Baik enggaknya kan tuh masing-masing orang ya,
cuman kalo kebanyakan untuk Melayu sih ya ramah sesame Melayu
misalnya, sesame Madura juga.
I : nah kalo, kaya nada bicaranya. Penggunaan bahasanya, orang-orang
Madura tuh gimana?
122
D : kalo Madura tuh lebih kasar, dia nadanya lebih tinggi. Kalo Melayu itu
kasarnya masih ada halus gitu, misalnya marah-marah nih. Tapi kalo
Madura itu marah udah dalam bahasanya misalnya bahasa dia itu „pantek‟
maksudnya „anjing‟ dia maki dalam bahasa kaya gitu. Kalo kita Melayu
paling marah dengan nada tinggi udah artinya marah gitu. Terus kalo kita
tuh misalnya udah marah nada tinggi aja kenal kalo orang Melayu tuh lagi
marah nada tinggi gitukan. Apalagi kalo ditambah bahasa kasar misalnya
contoh nih “Kimak”, ah itu kimak udah marah banget gitu. Ditambah lagi
nada kasar ditambah lagi bahasanya kimak itu udah pasti marah banget.
Tapi kalo Madura cuma dengan nadanya tinggi aja tak tau itu dia lagi
marah.
I : nah kalo kaya buat kontak matanya missal Dika ngeliat orang Madura,
orang Madura tuh tanggepannya seperti apa?
D : ngga ada bedasih, sama.
I : kalo menurut Dika nih yah, dika kan Melayu nih. Etnis Melayu sendiri tuh
dimata orang Madura tuh diliat sama mereka tuh kaya gimanasih?
D : kalo mungkin ni mungkin bagi mereka kita tuh lemah karena engga pernah
mau kasar, engga pernah apa ya istilahnya kalo kita tuh lembut. Jadi orang
tuh mungkin mikirnya kitanih lemah. Karena enggak pernah cari masalah,
enggak pernah apa-apa gitu. Jadi kalo misalnya mereka itu kita bilang
sebenarnya sopan jugasih sama kita, cuma kadang mereka itu ini kalo kata
dia marah ya dia bisa main fisik gitu.
I : Kalo orang Melayu?
D : Kalo orang Melayu piker-pikir dululah, jadi misalnya udah marah-marah
banget atau marah udah kesal sekali gitu baru ini apa nunjukin pake fisik
atau gimana.
I : Kalo Dika sendiri gimana rasanya bertetanggaan sama orang Madura?
D : Kalo disini sih mayoritas kan bersebelah nih gangnya Dika banyak orang
Melayu campuranlah gitukan. Terus paling belakang gang Dika itu banyak
Madura, terus disamping gang ininih sebelah sini banyak juga mungkin
123
mayoritas 80% isinya Madura semua. Jadi biasa ajasih, istilahnya mereka
sopan karena bapak Dika juga dikenal sama orang-orang sekitar kan., jadi
mereka juga tau. Padahal bapak Dika sendiri kan karena Dika kan
keluarganya bermarga nih, jelas-jelas uray gitu. Enggak ada dibedain,
enggak diasingin sama orang-orang Madura. Dan kita juga enggak pernah
asingin sama mereka.
I : gimana perasaan Dika kalo misalnya Dika punya pacar orang Madura?
D : Tak boleh, pertama yah dika dibolehkan bertemanan sama orang Madura
dan Dika ndak pernah milih rasa apa, dia dari suku mana gitukan. Cuma
selalu dipesanin enggak boleh pacaran sama orang Madura.
I : Tapi pernah dekat sama orang Madura?
D : Pernah, tapi misalnya pacaran sama orang Madura udah pasti endak
dibolehin. Berani sih berani tapi pasti endak direstuin karena kita nih
orangnya kuat banget. Ras kita Melayu, karena apalagi dika kan keturunan
Melayu Sambas dan bapak Dika orang Sambas bermarga masih turunan
keraton dan endak boleh sama sekali misalnya pacaran pdkt sama orang
Madura endak boleh.
I : tapi nih ya, kalo misalnya kaya emang ternyata keadaan orangtua Dika nih
ya ngizinin gitu ya Dika nikah sama orang Madura gitu. Dika mau enggak
nikah sama orang Madura?
D : kalo Dika antara mau endak mausih, kalo yang namanya mungkin kalo
pacaran atau udah cinta terus pacaran sama orang Madura ya mungkin.
Tapi kalo seandainya bisa milih, endak usah deh masih cari yang lainlah.
I : tapi mau nggak sih satu pekerjaan satu bisnis sama orang Madura
D : mausih, karena Dika kalo temenan ndak pernah milih Ras. Apalagi kalo
cuma dalam kerjaan kan, orang-orang disini juga rata-rata udah banyak
kerja sama Madura misalnya yang punya restoran pegawainya orang-
orang Madura. Nah Madura tuh kebanyakan kaya gitu. Gimanasih udah
endak jarang lagi tapi udah banyak banget gitu.
124
I : kalo misalnya kaya dari segi ekonomi, ada gak sih perbedaan ekonomi
antara Melayu sama Madura?
D : ada, kalo Madura itu kebanyakan orangnya sederhana tapi punya kebun.
Dari keadaan rumahnya ya, kebanyakan rumahnya mereka kecil cuma
papan. Rata-rata sih Madura yang Dika tau gitu, tapi kalo ada yang kaya ya
kaya sekali misalnya ada rumahnya gede terus anaknya dipakein gelang
sampe ke ini banyak gitukan. Tapi ada yang orangnya sederhana, tapi dia
punya misalnya peternakan atau punya ladang atau puny kebun. Tapi kalo
dia kebanyakan mayoritas gitu, kalo orang Melayu misalnya sederhana
kaya dari rumah-rumahnya itu menengah ke atas deh gitu.
I : kan ada nih orang yang kaya ditunjukin, itutuh lebih kemana? Ke Madura
atau Melayu?
D : melayu, kebanyakan orang Melayu sok kaya. Kalo orang Madura tuh
jarang, kayaya mereka apa adanya. Kalo Melayu misalnya pas-pasan
kadang hidupnya mewah gitu.
I : terus kalo kaya dari segi agama Dika kan orang Madura disini rata-rata
muslim kan, Dika juga muslim kan. Agama islamnya Dika dengan mereka
ada perbedaannya enggaksih?
D : Islamnya tuh kalo mereka tuh alim-alim ya sering make ininih gamis kalo
laki-lakinya sering acara-acara ke masjid marawis gitu kaya orang FPI,
pesantren banyak Madura. Kalo Melayu paling enggak terlalu Nampak gitu.
I : tapi Dika pernah shalat satu masjid gitu?
D : oh sering, karena masjid kitakan dekat gang. Terus sebelah Dika kan
banyak Madura, jadi kita sering gunakan masjid sama-sama. Lebaran pasti
biasa mereka juga datang kerumah, kan kebetulan orangnya banyak
dikenal baik disekitar. Jadi orang Madura biasanya baik sama orang rumah
biasa main kerumah, negor semua.
I : tapi Dika sendiri sering enggak ngunjungin tetangga Dika orang Madura
kaya ngasih makanan?
125
D : jarang, karena dika sering ngasih makan dekat-dekat rumah sebelah atau
rumah depan.
I : kalo buat budaya sendiri ada gak bedanya budaya Melayu Dika sama
budaya Melayu dia?
D : mungkin misalnya kaya acara isra mi‟raj gitu, kalo Madura nih gotong
royongnya banget. Jadi kalo ada Isra Mi‟Raj nih mereka besar-besaran,
mereka kan punya surau di gangnya sendiri kan jadi dia ngadain di
suraunya sendiri itu mewah. Tapi kalo Melayu tuh enggak semewah
mereka. Mereka tuh agamanya nampak, Melayu kan enggak terlalu.
I : kaya buat nikahannya ada bedanya gak?
D : enggaksih, samalah nikahannya kaya orang Madura.
I : ada enggak sih sesuatu yang Dika enggak suka dari Madur?
D : kebanyakan dari mereka itu istilahnya jahil ya, jadi gini ka karena dika kan
tinggalnya daerah mereka inikan mayoritas orang mereka dan Dika nih
Sambas. Kebanyakan orang baru pindah rumah atau baru berkeluarga
itutuh rata-ratanya hm maafnih bukannya mau suudzon. Cuma kebanyakan
udah sampe ketawan gitukan nyuri, ada nih lebih parah lagi yang udah
ketawan Dika punya manga. Mangganya udah mateng kan, nah sering
ilang ditungguin dah sama bapak. Rupanya anak-anak bujangnya mereka,
suka ngintai, metik dan terus pas bapak udah keluar mereka lari. Bapak
udah liat bapak kejar sampe kerumahnya, sampe ngomong sama orang
tuanya. Bapak nih marah bukan karena mangganya tapi udah keseringan
mereka gitu, jadi bapaknya mereka yang anak bujang Madura ini minta
maaf sama bapak Dika. Karena mungkin bapak Dika nengok sendiri sampe
bapak Dika ngejarin kerumahnya sampe masuk kerumahnya. Kalo
ketawannya ada lagi nih misalnya jaket di jemuran hilang mama Dika liat
dipake sama dia (orang Madura) lewat pake sepeda. Kebanyakan
kasusnya mereka ada yang nyuri ayam, dulu Dika punya kelinci kadang
kelinci Dika suka ilang. Kucing angora ilang terus ketawan, ketawannya tuh
gini dari penjual “kemarin ada yang jual kelinci angora dibelakang warna
abu-abu, berarti ternyata itu kucing punya sepupu Dika dijual mereka dicuri.
126
Jahil sih sebenarnya. Sering banget dari mereka jahil suka bikin onar, dan
mereka kalo kelahi itu benar-benar missal mau kelahi fisik ya kelahi fisik.
Kalo kitakan masih ada bacot adu mulut bisalah masih kita redakan secara
kekeluargaan. Kalo mereka tuh missal mau adu badan ya adu badan gitu.
I : terus dika sendiri, dika tau kaya gitu kenapa Dika masih mau temenan
sama mereka
D : ya sebenernya sih, itu lagi lah teman endak milih kaya pencuri. Tapi
kawan-kawan Dika yang Madura tuh endak ada yang kaya gitu sama Dika.
Jadi kalo mau Dika bekawan sama Madura ya banyak yang dari kecil
sampe sekarang. Tapi kalo yang dia nyuri ya Dika endak kawanin lah,
siapa juga mau bekawan sama pencuri kan.
I : terus kalo misalnya nih, Dika ketemu sama orang Madura belum kenal
sama orang Madura itu. apa tanggapan Dika pertama kali?
D : kalo Dikasih missal dia perempuan, misalnya bibi-bibi dia lagi mandang
Dika. Ya Dika senyumsih atau lewat “misi bi”. Tapi kalo laki-laki paling
bapak-bapak dan yang muda Dika endak tegor.
I : Respon Dika pertama kali pas ngalamin konflik sama orang Madura tuh
apa?
D : Kalo ketawan ya langsung kejar, tapi dika ada suruh bapak karena kan dia
laki-laki.
I : Dika pernah enggak debat kaya adu pendapat gitu sama orang Madura?
D : kalo debat besar sih endak pernah, debat kecil misalnya hal yang lucu
udah biasa.
Transkip Wawancara
Informan 2
127
Nama : Uray Angga Saputra
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Polisi
Lokasi Wawancara : Singkawang Kalimantan Barat.
Tanggal wawancara : 15 Mei 2017
I : menurut abang nih perbedaan segi ekonomi sama orang Madura ada
nggak bang, dari segi pekerjaan
A : kalo Madura pekerjaannya lebih condong ke freelance, atau di wiraswasta.
Kalo di negri mereka agak kurang care, kalo Melayu kan banyak yang di
usaha pemerintah.
I : abang bersedia gaksih kalo misalnya suatu saat nanti menikah sama orang
Madura
A : tergantung dari orangnya sih, tapi kebanyakan dari Madura nih laki-lakinya
sifatnya agak kasar. Tergantung dari orangnya kalo kepribadiannya bagus
sih enggak masalah.
I : kalo dari segi agama, ada perbedaan gak sih agama islam abang dengan
islam Madura
A : kalo mereka sih dari segi religious mereka lebih taat, mungkin sudah
ditanam dari lahir ya. Jadi kalo Ibadah endak pernah mereka tinggal
I : kalo lagi lebaran abang suka berkunjung nggak?
A : biasa
I : kalo abang sendiri sering nggak ikut kegiatannya yang diadain sama orang
Madura kaya Isra Mi‟Raj biasa
I : abang kalo bertemu etnis Madura biasa dimana?
A : Kalo ada pertemuan kumpul-kumpul suka ketemu, kebetulan kawan polisi
abang ada etnis Madura sebagian. Kaya kawan biasa jak.
I : ada enggak perbedaan budaya antara Madura dengan Melayu?
128
A : kalo Madura nih lebih condong sunnah, kalo kitanih ikut adat.
I : ada nggak sih yang abang ngga suka dari kebiasaannya orang Madura?
A : Kalo orang Madura nih agak sedikit ceroboh, bahasa Indonesianya lebih
kejorok. Jadi dia ini, kalo dirumah berhari-hari yang laki-laki mereka jarang
pakai pakaian. Dirumah tuh dia lebih identic pakai kain jak, kalo yang
perempuan itu biasa gunakan bra terusan (kemban) dan suka ndak pake
baju. Tapi kalo tinggal diperkumpulan mereka, kalo bukan tempat mereka
biasa nyesuaikan.
I : kalo untuk masalah yang katanya orang Madura sering masuk pidana itu
menurut abang gimana?
A : Wah itusih sering abang temui kalo abang lagi tugas diikota manapun yang
ada di Kalimantan Barat ni, itu udah kaya bawaan kali ya, mereka nih untuk
hal kaya gitu kaya misalnya kerja. Kaya punya 2 sisi berbeda gitunih, satu
sisi taat pada agama satu sisi melakukan tindak kejahatan.
I : Abang kenapa masih mau berteman dengan orang Madura, padahal
sebelumnya abang sendiri ikut langsung dalam konflik Sambas waktu
dulu?
A : kalo untuk berteman dengan siapa aja bisa, kalo teman dengan itutuh
apalagi kalo kita datang kerumahnya. Mereka lebih menghormati tamu,
apalagi kitanih dari jauh untuk dari silaturahminya.
I : ada gaksih hambatan komunikasi dengan etnis Madura?
A : ada, kalo kita nimbrung dikumpulan mereka. Mereka sering menggunakan
bahasa daerah. Mungkin karena kebiasaan dirumah atau ada yang
ditutupin.
I : apa yang abang lakuin ke orang Madura ketika baru pertama kali bertemu?
A : kalo abang sih biasa ketemu orang ya abang tegur, cuma kalo orang
Madura nih lebih ke aroma badan.
I : Kalo papas an sama kawan abang dari Madura tegur ndak bang
A : tegurlah
I : pernah ngalamin perbedaan pendapat sama mereka gak?
129
A : sering, tapi mereka sering dengar pendapat abang. Karena menurut
mereka mungkin pendapat abang lebih logis.
130
Transkip Wawancara
Informan 3
Nama : Fiktor Uray Bella
Umur : 29 tahun
Pekerjaan : Guru Olahraga di SMAN 3 Pontianak
Lokasi Wawancara : Tanjung hulu II, Pontianak Kalimantan Barat
Tanggal wawancara : 16 Mei 2017
I : abang udah berapa lama tinggal di kota Pontianak
F : semenjak awal kuliah 2007.
I : dan semenjak itu abang ninggalin kota Sambas
F : ninggalin sih enggak, kan sering pulang juga
I : abang asli keturunan melayu Sambas?
F : iya
I : abang masih bekawan kan sama orang etnis Madura?
F : masih, kalo yang korban sambas waktu itu beberapa bisa dihubungi
I : terus abang suka gak melakukan pertemuan sama etnis Madura, kalo iya
apa aja yang diomongin?
F : waduh banyaklah, orang sayanih guru olahraga jadi ketemu sama etnis
mana aja. Biasa suka ketemu mereka sih kalo lagi shalat ataupun acara
keagamaan kaya mauled nabi semacam itu. yang diomongin banyak, kalo
sama anak murid sih suka bicarakan olahraga terutama bola dan volley.
131
I : menurut abang etnis Madura dan melayu bahasa dan nada bicaranya tuh
kaya gimana?
F : perbedaannya ada ya, dari bahasa pasti ada. Mereka Madura cenderung
berbahasa Madura dan melayu Sambas cenderung berbahasa Melayu.
Untuk nada tingginya mereka ngomong ada nadanya, nada bicaranya
mungkin kedengeran orang kasar tapi ada lagunya gitu. Apa adanya
seperti itulah.
I : abang sering ketemu sama orang etnis Madura kah?
F : ketemu di singkawang, kebetulan temen sekelas waktu kejadian 1998.
Semenjak kejadian mereka di ungsikan nah saya ketemu lagi pas lebaran
2009.
I : abang pernah gak ketemu sama orang Madura yang mampir ke sambas?
F : gak ada, sampe sana kan mereka enggak mau mengenalkan identitas jati
diri mereka.
I : menurut abang etnis Melayu dimata orang Madura tuh gimana?
F : kalo menurut abang dimata merek akita orangnya welcome sekali.
I : ada gak bang perbedaan berteman dengan orang Madura dan Melayu?
F : ada, mereka itu lebih cenderung menyendiri secara tidak langsung sistem
berkelompok itu ada. Nimbrung satu kelompok, ada juga beberapa yang
iktu gabung sama yang lain.
I : kalau untuk soal pekerjaan, mau kerjabareng gak sama orang Madura
bang?
F : ya maulah
I : ada gak si bang perbedaan ekonomi dengan orang Madura
F : kalo dari sebelum kejadian jelas-jelas ada, karena mereka di Sambas
mayoritas cenderung bertani dan bertenak.
132
I : abang bersedia tidak kalau suatu saat nanti mendapati pasangan dari etnis
Madura?
F : enggak bersedia, karena belum pernah tertarik sama orang Madura. Ya
mungkin itu tadi karena sistem berkelompok mereka, mereka juga kan
secara pendidikan mereka ada tempat khusus untuk mereka. Mereka lebih
ke religiusnya.
I : kalau dari segi agama, muslim abang dengan dia ada perbedaannya ndak
bang?
F : yang pernah diikuti tata cara solat, bukan gerakaannya tapi dalam
kelafazan ayat sucinya itu, kita kan ikut solat di masjid yang dominan
Madura semua mereka lebih cepat dari segi gerakan bacaan.
I : sering berkunjung ketika lebaran sama mereka gak bang?
F : dulu sebelum kejadian sering, tapi kalo sekarang jarang. Paling pas lagi
ada acara nikahan kawan dari yang Madura itu pasti jumpa kan.
I : kalau untuk kegiatan orang Madura seperti mauled atau isra mi‟raj pernah
ikut gak bang?
F : pernah kok isra mi‟raj
I : ada perbedaannya tidak bang?
F : ada, dari segi penyajian makanannya. Ada makanan khas khusus mereka
yang disajikan. Kalau Melayu kan apa adanya.
I : kalau untuk perbedaan budayanya ada gaksih bang?
F : cara berpakaian, mereka itu kalo bisa dibilang untuk bahasa sini tuh sopan
tapi gemerlap. Cara berpakaian perhiasan mereka cenderung wah gitu.
Kalo Melayu gini-gini apa adanya.
I : kalau untuk hal yang tidak disuka dari mereka ada gak bang?
133
F : oh ada, karena kebetulan kita kan punya ladang dan diladang kita
kebanyaan kalo udah mau musim panen itu sering diambil. Ya biasa kaya
padi atau sayur gitu.
I : hal yang seperti itu apa gak ditegor bang?
F : gapernah, kalo didalam keluarga kitatuh yaudah. Kalo udah diambil
yaudah.
I : kalau untuk hal-hal seperti katanya orang Madura tuh kebanyakan pencuri
benar atau tidak sih bang?
F : ada benarnya, kalau untuk daerah pertanian kita semuanya didominasi
orang-orang Madura. Mereka ditempat-tempat seperti itu cenderung
berkelompok.
I : abang sendiri ada gaksih ngebatesin dekat sama orang Madura?
F : oh enggak ada, terbuka sekali. Cuma kadang-kadang agak minder ya kita,
mindernya takut hal-hal yang waktu di Sambas kebayang. Jangan terlalu
dekat jaga-jaga aja gitu.
I : hambatan dalam berkomunikasi dengan orang Madura sendiri tuh ada gak
bang?
F : enggak adasih, mungkin karena sekarang jaman modern ya. Kalo dulu iya,
kaya berkomunikasi ke mereka agak susah karena sekalinya ketemu
mereka ngomong mereka ya gak ngerti.
I : apa yang abang lakuin kalo kepapasan sama orang Madura itu?
F : sewajarnya aja, ya negor sapa aja
I : abang sendiri pernah gak berdebat sama orang Madura?
F : pernah, adu argument gitu kan. Kekeh gitu mereka, kalau ngomong gak
punya dasar.
I : mereka tipe orang yang mau mengalah atau tidak bang?
134
F : susah, mereka itu kalau tidak punya dasar.
I : abang sendiri pernah tidak mengalami konflik dengan etnis mereka
F : kalo ngalamin sih enggak, tapi menyaksikan pernah.
I : abang bangga tidak menjadi etnis melayu.
F : bangga sekali, ketimbang etnis mereka.
135
Transkip Wawancara
Informan 4
Nama : Icung
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : Mekanik bengkel
Lokasi Wawancara : Tanjung Pura, Pontianak Kalimantan Barat
Tanggal wawancara : 15 Mei 2017
I : abang udah brp lama bang tinggal di kota Pontianak?
O : belasan tahun dah kah, semenjak kerusuhan sambas tuh.
I : abang ikut keh yang pengungsian tuh?
A : ikut, sama keluarga semua orang tua ikut.
I : bang, kalau untuk bahasa sendiri abang paham sama Melayu Sambas
nggak?
A : abang itu pintar berbahasa Madura dan Melayu, tetapi untuk Melayu tetap
logat lebih condong ke Madura, karena dari kecil ketika di Sambas
bersama keluarga sudah dibiasakan berbahasa Madura tetapi bergaul
dengan orang-orang Melayu Sambas disana. Untuk bahasa saya sendiri
nih pandai sekali bahasa Madura karena sampai sekarang kalau dirumah
bersama keluarga saya ada pakai bahasa Madura.
I : abang masih kenal ndak sama orang-orang Sambas?
A : masih cuman ndak banyak, paling yang masih sampai sekarang kawan-
kawan balap jak tuh.
I : menurut abang etnis Madura tuh kaya gimanasih?
136
A ; bahasa sih kerasan Madura dan nada bicaranya pun keras
I : kalau untuk pertemuan pernah ndak ke Melayu?
A : biasasih, paling pas pernikahan jak. Ketemu sama orang Melayu paling
ngumpul-ngumpul biasa kaya nongkrong. Lagipula bos abang nih kan
orang Melayu juga jadi biasalah nongkrong bareng. Apalagi kalo udah ada
balap ya abang ikut nongkrong nonton tuh balap sama mereka ngumpul
sama-sama.
I : Nah bang, kalo untuk kebiasaan bajunya kalo kata orang-orang Madura
suka pake celana ngatung, abang sendiri gimana?
A : Biarpun abang ini pandai bahasa Madura dan sering kumpul keluarga
sesame madura, tetapi abang ndak pernah memakai celana mengatung
apalagi kemana-mana selalu pakai peci terus senang memakai kemeja
kotak-kotak seperti orang Madura disini. Karena menurut saya hal itu
sangatlah norak. Dan itu bener adanya kah, Madura emang rata-rata pake
celana suka ngatung.
I : itukan bajunya ya bang, kalo kaya buat yang katanya Madura tinggal
menyendiri cuma sesame orang Madura apa abang ikut?
A : kalo itusih abang sendiri tinggal dikomplek yang isinya Madura semua,
paling ada tetangga abang nih beberapa jak cuma 3-4 keluarga yang
berasal dari Melayu Sambas.
I : menurut abang etnis Madura dimata orang Melayu gimana yah
A : satu tuh keras terus istilahnya itu kasar. Emang ciri khas orang Madura gitu
ndak mau ngalah
I : kalo melayu menurut abang gimana
A : ada yang keras ada yang lembut. Cuma kata orang tuh pendendam.
I : kalau untuk bekawan ada perbedaannya ndak bang?
137
A : adalah, kalo orang Madura kita udah tau pasti. Sifatnya kelakuan tabiatnya.
Kalo melayu kata orang tuh pasti jaga tingkah laku.
I : ada ndak bang hal yang abang ndak suka dari Melayu Sambas?
A : itu tadi pendendam, dulu kan perkara yang kerusuhan Sambas karena
mereka dendam sama Madura makanya kita semua diusir. Mau gak
maulah pergi pindah ke Pontianak aman banyak kawan juga.
I : masih merasa sakit hati ndak sih bang atas kejadian tersebut?
A : ya masihlah sikit, cuma abangni tak mau ingat. Kalo ingat ya kecewalah,
kitanih dari kecil diam disana enggak pernah buat kerusuhan apa-apa kok
di usir, mungkin ya salah orang Madura sendiri juga disana suka mencuri.
Walaupun gak semua yang berhubungan mencuri dari orang Madura ya
abang akui dari Madura banyak yang punya tabiat mencuri, karena abang
sendiri ada ngalamin. Tetep aja gak gini caranya, kami semua sampe
ngumpet dalam kolong rumah, saking takutnya dibunuh dan dibakar
rumahnya. Tapi udahlah ya, kalo ingat suka kesal tapi udah lalu abang
udah punya kehidupan baru.
I : Abang udah tau kesal tapi abang masih mau bekawan sama orang Melayu
ya
A : ya maulah, orang abangnih butuh. Abang jak kerja dengan orang Melayu
dari Sambas. Lagipula itu udah lewat jauh, kehidupan udah beda dengan
dulu jadi abangsih welcome jak sama mereka.
I : Biasanya apa aja yang diomongin sama orang Melayu bang?
A : ya banyak, kebayakan ada urusan sama orang-orang bengkel paling
ngomongin mesin motor atau balapan. Ya biasa nongkrong macam anak-
anak muda sekarang jak.
138
Transkip Wawancara
Informan 5
Nama : Sukartono
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Lokasi Wawancara : Tanjung hulu II, Pontianak Kalimantan Barat
Tanggal wawancara : 19 April 2017
I : sudah berapa lama bapak tinggal di kota Pontianak?
O : waktu kerusuhan 98 99 tuh, semenjk itu pindah ke Pontianak.
I : bapak ini asli keturunan Madura ya?
O : asli, ketemu jodoh kebetulan orang Melayu dari Sambas.
I : bapak sama ibu sendiri menikah sebelum atau sesudah kerusuhan?
O : sebelum, kalau tidak salah tahun 1997. Saye menikah dengan dia sewaktu
saye nih ada tinggal di Kota Sambas sebelum terjadinya kerusuhan di
Sambas. Sampai akhirnya saye nih diusir secara halus karena kerusuhan
tuh, lalu tinggal lah kamik di Kota Pontianak bersama istri saya itu. Saya
ade paham semua bahase dimulai dari Melayu biase sampai Melayu
Sambas begitupula ucap Madura sangat pandai.”
I : menurut bapak, Madura nih seperti apa dan Melayu tuh seperti apa?
O : kalo orang sini bilang kan kami agak kasar, kalo Melayu ini kan endak agak
haluslah.
I : bapak sendiri sering tidak bertemu sama orang-orang Melayu Sambas
139
O : sering, saya pulang ke Sambas kayak sodara sendiri.
I : kalau ikut bersama orang Melayu seperti acara pegajian suka ikut ndak
pak?
O : biasa, jum‟atan misalnya. Kalo ada orang ninggal ya tahlilan.
I : menurut bapak etnis Madura dimata orang melayu gimana sih?
O : kalo penilaian orang Melayu tuh kamik suka monopoli, kaya menguasai
gitu. Ndak mau ngalah maunya menang, hidupnya berkelompok.
I : ada tidak berteman dengan melayu dan Madura?
O : ada. Kalo orang Madura nih mudah tersinggung kebanyakan. Kalo melayu
kebanyakan mengalah.
I : dari segi hal ekonomi, menurut om gimana
O : gak pengaruh sih sama. Kalo Madura rata-rata petani tapi ndak ada
nelayan terus banyak yang ada buka usaha juga dan kalo Melayu campur
banyak pegawai, nelayan ya seimbang.
I : kalau untuk segi hal agama menurut om gimana?
O : sama jak, cuma itu kitatuh mudah tersinggung orangnya.
I : kalau untuk tata cara solatnya atau yang berhubungan sama agama ada
perbedaannya gak om?
O : ndak kok sama aja. Solat ya ikut solat bareng.
I : kalau untuk berkunjung gitu om masih suka sama-sama kunjung?
O : oh sering, sering sekali antar pulang istri kekampung.
I : ada yang om gak suka dari melayu gak?
O : kalau dari melayu sih om suka semua.
I : tanggapan om sendiri yang katanya orang melayu pada bilang orang
Madura nih suka mencuri gimana?
140
O : oh itu sih endak benar, karena sekarang banyak tinggal disana banyak pula
yang kecurian. Orang Madura udah endak disana masih jak yang mencuri
disana kok.
I : om sendiri masih tersinggung nggak sama kejadian sambas tahun 1988
tuh?
O : kalo sakit hati adalah sikit, pasti ada. Cuma kan berjalan waktu tinggal di
Pontianak ilanglah. Tapi awal-awal sih iya, karena orang kita orang tua kita
menjadi korban kan kaya rumahnya kebakar. Dan disini semenjak di
Pontianak lebih amansih.
I : kalo om sendiri ada hambatan gak om berkomunikasi dengan orang
Melayu?
O : endak sih biasa jak, karena kebetulan bahasa Sambas saya nih agak
melotok dan madurapun sama jak saya bisa semua.
I : berarti om ketemu orang Melayu Sambas tetep tegur ya om?
O : tegurlah, apalagi ketemu sama orang Sambas saya ada ajak ngomong
Sambas.
I : om pernah berdebat sama orang Melayu?
O : oh ndak pernah saya.
I : kalo om sendiri untuk konflik pernah?
O : enggak pernah saya, enggak sama sekali.
I : Om apa benar om tinggal ditempat yang areanya rata-rata orang Madura,
menurut om gimana?
O : “Wah, saya bukannya tak mau gabung dengan orang selain Madura.
Tetapi, saya nyaman tinggal bersama kawan-kawan sesame kamik.
Merasa aman jak pasca kerusuhan di Sambas tuh. Dan bukan cuma
Madura di Komplek saya jak yang tinggal menyendiri, banyak tempat
sampai pelosok-pelosok didalam hutan tuh, beberapa daerah isinya
141
Madura semue. Emang orang kamik nih suka bekumpul bersame kawan
dari orang Madura. Begitupun acara Maulid atau pengajian bulanan, ya
kamik ada pakai ustad-ustad dari Madura. Tak jarang isi ceramahnya pun
pakai bahasa kamik.”
142
Transkip Wawancara
Informan 6
Nama : Saniah
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Petani
Lokasi Wawancara : Sambas, Kalimantan Barat
Tanggal wawancara : 8 Mei 2017
I : Ibu sudah berapa lama tinggal di Kota Sambas?
S : Sudah dari lahir tinggal disini
I : Apa benar ibu keturunan Madura?
S : Iya benar, bapak ibu saya Madura asli dan dari kecil ada tinggal sama
orang-orang yang dikelilingin sama Melayu.
I : Apa ibu ada ketika kerusuhan Sambas terjadi?
S : Adadong, tapi saya disuruh ngungsi dulu sama warga sini. Kebetulan kan
suami orang Melayu Sambas asli dan udah dekat banyak sama warga
Melayu Sambas sekitar sini jadi mereka semua lindungin saya.
I : Berarti sudah deket banget ya bu sama warga Melayu Sambas sekitar sini,
lalu apa yang memutuskan ibu untuk kembali lagi ke Kota Sambas?
S : Gapapa sih, orang suami saya asli sini. Suami bilang ikut dia jak, lagipula
suami ngejamin saya aman lagi juga banyak saudaranya yang ada suruh
sayanih diam disini saja. Tapi untuk awal-awal emang saya nih diamankan
istilahnya tuh dilindungin mereka suruh saya ngumpet jangan kemana-
mana hampir sebulan dua bulanan.
143
I : Untuk rasa trauma ibu ada tidak bu, soalnya dulu kan semua Madura diusir
paksa rumahnya banyak yang dibakar disini. Malah saya dengar hamper
tidak ada Madura yang berani mampir ke Sambas apalagi tinggal di
Sambas.
S : Kalo untuk daerah Jawai sama Pemangkat iya endak ada, tapi disini saya
aja kayanya yang berani tinggal di Sambas soalnya ndak pernah dengar
soal ada Madura tinggal disinisih. Semua biasa jak aman kok malah saya
suka saling bantu sesama tetangga.
I : Lalu menurut ibu, apa yang kira-kira membedakan mana Melayu sama
Madura? Entah nada bicara atau bahasanya.
S : bahasasih jelas beda, kitapun udah lama diam di Sambas pakai Melayu
Sambas masih banyak tau kalo sayanih orang Madura karena keliatankan
dari logat medoknya agak tinggi nadanya beda dengan orang Melayu
Sambas.
I : Kalo untuk sikap dan kebiasaan orang Melayu Sambas dengan Melayu
Madura ada yang membedakan ndak bu?
S : Banyak sih ya, kalo Melayu kan sabar dan saking pelannya suka lama
ngerjain sesuatu. Ya suami saya jak lelet orangnya. Kalo Madura kan
cekatan gesit ya makanya banyak yang jadi pengusaha, coba di Pontianak
ketemu ada yang buka usaha kalo gak cina, jawa atau ndak itu pasti
Madura. Jarang sayanih ada dengar Melayu buka usaha.
I : Kalo ibu sendiri suka ngumpul sama orang Melayu Sambas dimana
biasanya?
S : setiap hari sering ke tetangga-tetangga jak sore-sore ngumpul biasalah ibu-
ibu
I : Itu kira-kira apa aja bu yang diobrolin?
S : ya banyak, ibu-ibu gajauh dari gossip atau ngomongin masakan jak sih
biasa jak
144
I : oh gitu ya bu, kalo ibu ngeliat orang Melayu Sambas nih nilai orang Madura
tuh gimana bu?
S : ya biasa jak, tadi sih itu paling gesit orangnya sama banyak yang muka dua
itupun katanya, tapi saya akuin sih rata-rata nih ya ndak semue ya gak
sabaran apa-apa mau cepat dan gampang sekali tersinggung. Penilaiain
orang kan macam-macam ya itu yang saya tausih.
I : Dari segi pekerjaan kalo Madura itu lebih kea pa sih bu, terus Melayu juga
rata-rata jadi apa menurut ibu?
S : Sayasih liatnya sama semua, tapi Madura banyak jadi petani dan buka
usaha sih kaya sate atau buka lamongan. Kalo Melayu kan banyak yang
jadi pegawai kantoran, tp ada juga Madura yang kantoran cuman endak
banyak kaya Melayu.
I : Untuk segi agama kan rata-rata sesame muslim nih ya bu, ada yang
membedakan tidak bu?
S : Adasih kaya tata cara solat Madura tuh cepat tapi kalo ikut di Melayu lama,
tapi kalo urusan taat Madura ikut sekali sama sunah rasul yang ada ya.
Kaya taat agama gitu, semua orang kita tuh tentang agama islam ya nomor
satu. Liat sendiri kan pesantren-pesantren disini tuh banyak diisi sama
yang punya pasti orang kita.
I : Oh iya bu, ada yang ibu nggak suka dari Melayu Sambas ini ndak bu?
S : suka pada curigaan sih sama kita, apalagi kan saya tinggal dilingkungan
orang Melayu Sambas jadi sudah biasa sih. Dan lelet ya kaya suami saya
jak suka kena omel karena kerja apa-apa lama kan kesal sendiri.
I : tanggapan menurut ibu sendiri yang katanya orang Madura suka mencuri
itu gimana bu?
S : ada benarnya ada endaknya, benarnya memang di Madura gimana ya.
Mungkin karena kebiasaan kali ya jadi ada kelompok-kelompoknya dan
ada kampung-kampungnya, mereka suka nyuri padi ayam atau ternak lain.
Endaknya tuh endak semua orang Madura kaya gitu, banyak orang Madura
145
baik yang mau berbagi kok, sama jak kita ni sebenernya kaya orang
Melayu tapi mungkin karena yang kerusuhan disini sangat terkenal karena
ulah Madura jadi semua anggap gitu.
I : Ibu merasa sakit hati endak bu atas kejadian itu?
S : endak sih, mungkin iya pernah tapi dulu waktu awal-awal. Untungnya saya
dengan keluarga tuh bukan diusir tapi di asingkan jangan sampe kena jadi
korban makanya saya ikut ngungsi dan orang Melayu Sambas sini tuh ikut
amankan kami. Tapi lambat laun itu udah lama jadi sampe sekarang biasa
jak tuh.
I : untuk konflik sama orang Melayu Sambas apa ibu pernah ngalamin?
S : endak sama sekali
I : Kalo debat pernah endak bu? Kaya adu pendapat gitu?
S : sering sih tapi sama suami saya adu mulut pokonya sampe dia diam ya
saya baru diam, dia belum dia saya lanjut terus.
I : Ada tidak bu hambatan berhubungan sama orang Melayu Sambas?
S : endaklah, orang saya tetanggapun semua orang Melayu mana ada Madura
disini. Lancar sih, cuma kesendat waktu kerusuhan jak tuh.
146
Transkip Wawancara
Informan 7
Nama : Julia Wuysang, M.Si.
Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Guru di Sman3 Pontianak
Lokasi Wawancara : by phone
Tanggal wawancara : 25 Agustus 2017
I : Menurut anda seperti apakah etnis Melayu Sambas dan Madura itu?
J : Madura tuh saya melihat sih mereka itu hidupnya sangat mengelompok ya,
liat jak sendiri dimana-mana dikota pontianak banyak ditemui orang
madura yang tinggal satu kelompok dengan orang-orang mereka. Kalo
melayu sambas itu sangat ramah ya kalo boleh dibilang, dan mereka itu
gak suka ngelawan kalo dibilang jadi agak lemah dibanding orang madura.
I : Apakah anda sering melakukan pertemuan dengan etnis Melayu, kalau iya
ibu melihatnya seperti apa ya bu?
J : Wah sering dong, saya orangnya bersosialisasi sama aja. Apalagi
perkumpulan arisan saya suka ada ketemu mereka. Ya gitu kalo diliat tuh
dari Madura sendiri kaya punya rasa dendam sendiri yang mereka enggak
mau ungkapin atas kejadian kerusuhan sambas tuh, dan orang Melayu
juga ngga mau banyak omong. Mereka sendiri kebanyakan bersosialisasi
karena ditinjau dari tempat tinggal yang bertetanggan atau gak ada yang
suami istri terus ada juga yang karena ketemu dikerja, yang agak tertutup
ya lebih ke orang Madura.
I : Menurut anda seperti apa etnis Madura dimata orang Melayu?
147
J : Orang melayu Sambas kebanyakan melihat orang Madura itu kasar ya,
kasar dari segi omongan maupun sikap. Itu semua ditinjau karena kisah
masa lalunya orang Madura yang kata mereka sering mencuri milik orang
Melayu.
I : Menurut anda seperti apa etnis Melayu dimata orang Madura?
J : Banyak sih, tapi intinya lebih ke lemah. Karena dulu kan sewaktu
kerusuhan sambas itu oang dari etnis Melayu Sambas tertindas sekali,
banyak hasil tanaman maupun ternak mereka diambil dan diakui sama
Madura, orang Madura tuh gak ada takutnya sama Melayu Sambas. Udah
gitu mereka menganggap Melayu Sambas itu kebanyakan tidak enakan
orangnya, jadi keliatannya lemah sekali.
I : Apa perbedaan berteman dengan orang melayu dan Madura?
J : Biasa sih, sama saja kalo bergaul. Tapi Melayu tuh bener tadi kata orang
Madura agak gak enakan gak kaya orang Madura main asal ceplos dan
nadanya tinggi. Kalo di Jakarta bilangnya mereka ada pakai bahasa tuh
nyolot ya.
I : Ada atau tidak perbedaan ekonomi antara melayu dan Madura?
J : Kalo ekonomi kaya atau miskin menurut saya sama aja, tapi bisa dilihat
dari sisi pekerjaan. Rata-rata Madura tuh ya berdagang atau guru ngaji,
kalo Melayu tuh suka kerja didalam ruang kaya di kantoran baik swasta
maupun pemerintah.
I : Dari segi agama, apa ada perbedaan islam Madura dengan Melayu?
J : Kalo agama mereka berdua mayoritas islam ya, tapi itu dia madura lebih
religius. Mereka kalo buat acara seperti Maulid tuh pasti rame isinya udah
gt mayoritas yang ikut maulid orang dari Madura juga, beda lagi sama
Melayu bangun maulid nggak seramai orang Madura bikin Maulid. Saking
religiusnya, kebanyakan ustad atau haji di Pontianak pasti dari Madura.
I : Apa anda sering melihat antara Melayu dan Madura saling berkunjung?
148
J : Sering dong jelas sering banget, anak murid saya banyak kok. Mereka
mungkin karena pemikirannya masih jiwa muda kali ya, jadi berteman gak
pernah mandang kulit dan bergaul ya bergaul aja. Gapernah bahas soal
kerusuhan sambas waktu itu, mereka seakan-akan tutup kuping. Mereka
tuh melihat yang penting orang yang berkomunikasi dengan mereka tidak
berdampak negatif.
I : Apa saja perbedaan budaya antara Madura dan melayu di Kalimantan?
J : Budaya mah jelas beda, dari kebiasaan sampai cara mereka menghormati
leluhur masing-masing ya beda.
I : Bagaimana tanggapan anda mengenai pandangan etnis melayu yang
bilang etnis Madura kebanyakan pembuat onar?
J : Saya kira itu benar adanya, tapi yang namanya manusia tidak pernah luput
dari kesalahan loh ya, saya gak ngerti kenapa banyak orang dari etnis
Madura bisa dianggap gitu. Mungkin karena mereka kebawa dari
lingkungannya atau dari keluarganya. Intinya mereka punya pepatah
sendiri dimana milik orang lain itu adalah milik tuhan dan mereka boleh
ambil.
149
LAMPIRAN II
FOTO LAMPIRAN
150
INFORMAN 1
Uray Dika
INFORMAN 2
ANGGA URAY
151
INFORMAN 3
FIKTOR
152
INFORMAN 5
SUKARTONO
153
INFORMAN 6
SANIAH