skripsi pengaruh waktu deodorisasi terhadap … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan...

40
SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP OLEIN DAN STEARIN MINYAK SAWIT MERAH SERTA APLIKASINYA SEBAGAI MEDIUM PENGGORENGAN TEMPE DAN UBI JALAR PUTIH Oleh : RISMAWATI F24104041 2009 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Rismawati. F24104041. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Olein dan Stearin Minyak Sawit Merah serta Aplikasinya Sebagai Minyak Goreng pada Tempe dan Ubi Jalar Putih. Dibawah bimbingan SUBARNA dan FR ZAKARIA. RINGKASAN Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang bernilai strategis karena merupakan bahan baku utama minyak makan. Minyak sawit mengandung berbagai zat gizi mikro yang sangat penting untuk peningkatan kesehatan. Dari aspek gizi, kandungan asam lemak, karotenoida, dan tokoferol yang terkandung dalam minyak sawit merah sangat penting untuk peningkatan derajat kesehatan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu usaha mempertahankan komponen bioaktif tersebut. Sedangkan pada proses pengolahan warna merah dalam minyak sawit dihilangkan untuk memperoleh minyak goreng jernih. Permasalahan yang dihadapi terkait penggunaan minyak sawit merah fraksi olein dan stearin sebagai minyak makan yaitu kekurangsukaan konsumen terhadap aroma yang ditimbulkan minyak sawit merah tersebut. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya terima konsumen terhadap minyak sawit merah maka sawit merah tersebut perlu dideodorisasi terlebih dahulu. Deodorisasi adalah proses untuk memisahkan komponen yang menyebabkan bau dan flavor dari minyak. Parameter keberhasilan deodorisasi adalah penurunan kadar asam lemak bebas dan peroksida. Deodorisasi ini perlu dilakukan pada suhu dan waktu yang tepat agar tidak banyak terjadi kehilangan zat gizi mikro. Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh waktu proses deodorisasi yang dilakukan pada suhu 100 o C dan tekanan 60 cmHg vakum pada olein dan stearin minyak sawit merah. Parameter analisisnya adalah kadar asam lemak bebas, kadar peroksida, kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis sidik ragam waktu deodorisasi berpengaruh nyata terhadap asam lemak bebas, bilangan peroksida, kadar air, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan (p<0,05). Dan tidak berpengaruh nyata terhadap karotenoid total (p>0,05). Setelah deodorisasi selama 6 jam kadar asam lemak bebas pada olein 0,258 % dan pada stearin 0,306 %; bilangan peroksida 5,31 meq/kg minyak pada olein dan 5,32 meq/kg minyak pada stearin; kadar air 0,082 % pada olein dan 0,123 % pada stearin; total karotenoid 458,600 ppm pada olein dan 221,870 ppm; total tokoferol 843,966 ppm pada olein dan 401,723 ppm pada stearin; dan hasil pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan sebesar 294.567 AEAC pada olein dan 135.734 AEAC pada stearin. Selanjutnya produk olein dan stearin minyak sawit merah tersebut diaplikasikan sebagai medium penggorengan tempe dan ubi jalar. Tujuan percobaan untuk mengetahui perubahan kandungan karotenoid, tokoferol, dan aktivitas antioksidan minyak dan penyerapannya oleh produk. Analisis kadar air, kadar lemak, total karotenoid, total tokoferol, dan aktivitas antioksidan dilakukan pada minyak dan produk yang digoreng setelah digunakan dalam penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10. Berdasarkan analisis sidik ragam, bahwa penggorengan dengan olein maupun stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan kadar lemak, kadar karotenoid, kadar tokoferol, dan aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi jalar. Hasil analisis pada olein dan stearin setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 menunjukkan bahwa total karotenoid, total tokoferol, aktivitas antioksidan, dan kadar air

Upload: truongkiet

Post on 12-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

SKRIPSI

PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP OLEIN DAN

STEARIN MINYAK SAWIT MERAH SERTA APLIKASINYA

SEBAGAI MEDIUM PENGGORENGAN

TEMPE DAN UBI JALAR PUTIH

Oleh :

RISMAWATI

F24104041

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Rismawati. F24104041. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Olein dan Stearin Minyak Sawit Merah serta Aplikasinya Sebagai Minyak Goreng pada Tempe dan Ubi Jalar Putih. Dibawah bimbingan SUBARNA dan FR ZAKARIA.

RINGKASAN

Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang bernilai strategis karena merupakan bahan baku utama minyak makan. Minyak sawit mengandung berbagai zat gizi mikro yang sangat penting untuk peningkatan kesehatan. Dari aspek gizi, kandungan asam lemak, karotenoida, dan tokoferol yang terkandung dalam minyak sawit merah sangat penting untuk peningkatan derajat kesehatan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu usaha mempertahankan komponen bioaktif tersebut. Sedangkan pada proses pengolahan warna merah dalam minyak sawit dihilangkan untuk memperoleh minyak goreng jernih.

Permasalahan yang dihadapi terkait penggunaan minyak sawit merah fraksi olein dan stearin sebagai minyak makan yaitu kekurangsukaan konsumen terhadap aroma yang ditimbulkan minyak sawit merah tersebut. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya terima konsumen terhadap minyak sawit merah maka sawit merah tersebut perlu dideodorisasi terlebih dahulu. Deodorisasi adalah proses untuk memisahkan komponen yang menyebabkan bau dan flavor dari minyak. Parameter keberhasilan deodorisasi adalah penurunan kadar asam lemak bebas dan peroksida. Deodorisasi ini perlu dilakukan pada suhu dan waktu yang tepat agar tidak banyak terjadi kehilangan zat gizi mikro.

Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh waktu proses deodorisasi yang dilakukan pada suhu 100oC dan tekanan 60 cmHg vakum pada olein dan stearin minyak sawit merah. Parameter analisisnya adalah kadar asam lemak bebas, kadar peroksida, kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis sidik ragam waktu deodorisasi berpengaruh nyata terhadap asam lemak bebas, bilangan peroksida, kadar air, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan (p<0,05). Dan tidak berpengaruh nyata terhadap karotenoid total (p>0,05). Setelah deodorisasi selama 6 jam kadar asam lemak bebas pada olein 0,258 % dan pada stearin 0,306 %; bilangan peroksida 5,31 meq/kg minyak pada olein dan 5,32 meq/kg minyak pada stearin; kadar air 0,082 % pada olein dan 0,123 % pada stearin; total karotenoid 458,600 ppm pada olein dan 221,870 ppm; total tokoferol 843,966 ppm pada olein dan 401,723 ppm pada stearin; dan hasil pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan sebesar 294.567 AEAC pada olein dan 135.734 AEAC pada stearin.

Selanjutnya produk olein dan stearin minyak sawit merah tersebut diaplikasikan sebagai medium penggorengan tempe dan ubi jalar. Tujuan percobaan untuk mengetahui perubahan kandungan karotenoid, tokoferol, dan aktivitas antioksidan minyak dan penyerapannya oleh produk. Analisis kadar air, kadar lemak, total karotenoid, total tokoferol, dan aktivitas antioksidan dilakukan pada minyak dan produk yang digoreng setelah digunakan dalam penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10. Berdasarkan analisis sidik ragam, bahwa penggorengan dengan olein maupun stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan kadar lemak, kadar karotenoid, kadar tokoferol, dan aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi jalar.

Hasil analisis pada olein dan stearin setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 menunjukkan bahwa total karotenoid, total tokoferol, aktivitas antioksidan, dan kadar air

Page 2: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

mengalami penurunan. Sedangkan hasil analisis pada tempe dan ubi jalar yang digoreng menunjukkan terjadinya penyerapan tokoferol dan karotenoid setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10. Penyerapan tertinggi pada tempe dan ubi terjadi pada penggorengan pertama baik yang digoreng dengan olein maupun dengan stearin. Penyerapan semakin menurun seiring dengan bertambahnya frekuensi penggorengan. Walaupun olein dan stearin telah digunakan untuk menggoreng hingga 10 kali, karotenoid dan tokoferol total yang diserap oleh tempe dan ubi jalar masih tinggi.

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP OLEIN DAN STEAR IN

MINYAK SAWIT MERAH SERTA APLIKASINYA SEBAGAI MEDIUM

PENGGORENGAN TEMPE DAN UBI JALAR PUTIH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

RISMAWATI

F24104041

Dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1985

di Indramayu

Tanggal Lulus :

Bogor, 25 Februari 2009

Menyetujui,

Ir.Subarna, M.Si Prof. Dr. Ir. Fransiska R Z, M.Sc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Page 3: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR........................................................................................ i DAFTAR ISI....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................... v DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix I. PENDAHULUAN........................................................................ 1

A. Latar Belakang........................................................................................... 1 B. Tujuan........................................................................................................ 3 C. Manfaat...................................................................... ................................ 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 5

A. Minyak Sawit Mentah ............................................................................... 5 B. Minyak Sawit Merah ................................................................................. 9 C. Fraksinasi Minyak Sawit................................................ ........................... 11 D. Karotenoid ................................................................................................. 13 E. Tokoferol (Vitamin E) ............................................................................... 16 F. Antioksidan...................................................................... .......................... 18 G. Deodorisasi Minyak Sawit ........................................................................ 20

III. METODOLOGI PENELITIAN..................................................... 23

A. BAHAN DAN ALAT................................................................................ 23 B. METODE PENELITIAN .......................................................................... 23 1. Karakterisasi olein dan stearin minyak sawit merah.............................. 23 2. Pengaruh waktu deodorisasi olein dan stearin minyak sawit merah...... 23 3. Aplikasi minyak terdeodorisasi sebagai medium penggorengan........... 24 C. RANCANGAN PERCOBAAN................................................................. 24 D. METODE ANALISIS ............................................................................... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 30

A. KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN MSM ................................ 30 B. PROSES DEODORISASI OLEIN DAN STEARIN MSM ...................... 31 1. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap asam lemak bebas...................... 31 2. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap bilangan peroksida .................... 33 3. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap karotenoid total ......................... 35 4. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap tokoferol total............................ 36 5. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap aktivitas antioksidan.................. 39 6. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar air..................................... 42

C. PERUBAHAN KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN MSM TERDEODORISASI SETELAH PENGGORENGAN............................. 44 1. Kadar air................................................................................................. 45 2. Karotenoid total ..................................................................................... 46 3. Tokoferol total ....................................................................................... 48 4. Aktivitas antioksidan.............................................................................. 49 D. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KIMIA TEMPE DAN UBI SETELAH PENGGORENGAN…………………………………….….. 50 1. Kadar air tempe dan ubi jalar................................................................. 51 2. Kadar lemak tempe dan ubi jalar ........................................................... 53 3. Karotenoid total tempe dan ubi jalar...................................................... 55 4. Tokoferol total tempe dan ubi jalar........................................................ 58 5. Aktivitas antioksidan tempe dan ubi jalar.............................................. 60

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 63

A. Kesimpulan................................................................................................ 63 B. Saran .......................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 65

LAMPIRAN ................................................................................... 70

Page 4: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produksi minyak sawit beberapa negara di dunia (2004-2008).......... 1 Tabel 2. Komposisi asam lemak dan lipid beberapa minyak nabati................. 6 Tabel 3. Komponen kimia beberapa minyak nabati.......................................... 7 Tabel 4. Kandungan kolesterol beberapa minyak nabati dan lemak daging..... 8 Tabel 5. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit...................................... 8 Tabel 6. Karakteristik kualitas minyak sawit mentah dan olein minyak sawit merah.......................................................................................... 10 Tabel 7. Karakteristik minyak sawit merah Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007), dan Puspitasari (2008)......................................................................... 11 Tabel 8. Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit................ 12 Tabel 9. Komposisi asam lemak olein dan stearin kelapa sawit....................... 13

Tabel 10. Kandungan karotenoid pada beberapa pangan nabati........................ 14 Tabel 11. Komposisi vitamin E pada minyak sawit........................................... 17 Tabel 12. Perbandingan karakteristik kimia olein dan stearin MSM sebelum deodorisasi dan olein MSM Puspitasari (2008).................... 30 Tabel 13. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar ALB olein dan stearin minyak sawit merah................................................................ 32 Tabel 14. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap bilangan peroksida olein dan stearin minyak sawit merah.......................................................... 34 Tabel 15. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah................................................................ 37 Tabel 16. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah......................................................... 39

Tabel 17. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar air olein dan stearin minyak sawit merah............................................................................ 42 Tabel 18. Karakteristik kimia olein dan stearin MSM hasil deodorisasi 6 jam.. 44 Tabel 19. Karakteristik kimia olein dan stearin MSM setelah penggorengan… 45 Tabel 20. Karakteristik kimia tempe dan ubi setelah penggorengan………….. 51

Page 5: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kelapa sawit.................................................................................... 5 Gambar 2. Struktur β- karoten .......................................................................... 15 Gambar 3. Reaksi penangkapan DPPH oleh antioksidan ................................. 20 Gambar 4. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH............... 28 Gambar 5. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan kadar ALB olein dan stearin minyak sawit merah............................................................. 32 Gambar 6. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan bilangan peroksida

olein dan stearin minyak sawit merah............................................. 34 Gambar 7. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan total tokoferol olein

dan stearin minyak sawit merah....................................................... 37 Gambar 8. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah............................................. 40 Gambar 9. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan kadar air olein dan

dan stearin minyak sawit merah...................................................... 42 Gambar 10. Hubungan antara ulangan penggorengan dengan kadar air olein dan stearin minyak sawit merah...................................................... 46 Gambar 11. Hubungan antara ulangan penggorengan dengan karotenoid olein dan stearin minyak sawit merah...................................................... 47 Gambar12. Hubungan antara ulangan penggorengan dengan tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah............................................ 48 Gambar 13. Hubungan antara ulangan penggorengan dengan aktivitas

antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah........................ 50 Gambar 14. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar air tempe.......................................................................................... 53

Gambar 15. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar air

ubi jalar............................................................................................ 53

Gambar 16. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak tempe..................................................................................... 54

Gambar 17. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak ubi jalar.................................................................................. 54

Gambar 18. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan

karotenoid total tempe..................................................................... 56 Gambar 19. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan

karotenoid total ubi jalar.................................................................. 57 Gambar 20. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan

tokoferol total tempe........................................................................ 59 Gambar 21. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan

tokoferol total ubi jalar.................................................................... 60 Gambar 22. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan

aktivitas antioksidan tempe............................................................. 62 Gambar 23. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan

aktivitas antioksidan ubi jalar.......................................................... 62

Page 6: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil pengaruh deodorisasi terhadap olein minyak sawit merah. 70 Lampiran 2. Hasil pengaruh deodorisasi terhadap stearin minyak sawit merah 75 Lampiran 3. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap asam lemak

bebas olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi.................................................................................... 77

Lampiran 4. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

bilangan peroksida olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi.................................................................................... 78 Lampiran 5. Hasil analisis sidik ragam karotenoid total olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi................................. 79 Lampiran 6. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

tokoferol total olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi.................................................................................... 80

Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

aktivitas antioksidan olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi......................................................................... 81

Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar

air olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi........ 82 Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar

air olein dan stearin yang digunakan sebagai medium penggorengan................................................................. 83

Lampiran 10. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap karotenoid olein dan stearin yang digunakan sebagai medium penggorengan............................................................................... 85

Lampiran 11. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

tokoferol total olein dan stearin yang digunakan sebagai medium penggorengan............................................................................... 87

Lampiran 12. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap aktivitas antioksidan olein dan stearin yang digunakan sebagai medium penggorengan............................................................................... 89

Lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar air tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan stearin

MSM........................................................................................... 91 Lampiran 14. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar lemak

tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan stearin MSM............................................................................................ 95

Lampiran 15. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap karotenoid total

tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan stearin MSM................................................................................ 99

Lampiran 16. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Tokoferol total tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan stearin MSM............................................................................... 104 Lampiran 17. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap aktivitas antioksidan tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan

stearin MSM....................................................................... 109

Page 7: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia menggantikan

Malaysia dengan kapasitas produksi Crude Palm Oil (CPO) telah mencapai 19 juta

ton. Dan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini tersebar di 16 propinsi

dan 52 kabupaten dengan luas lahan sekitar 5,5 juta Ha (GAPKI 2008). Produksi

minyak sawit di beberapa Negara di dunia diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Produksi Minyak Sawit Beberapa Negara di Dunia (2004-2008) (1000T) 2004 2005 2006 2007 2008

Dunia 30.892 33.519 37.122 38.510 42.711

Indonesia 12.350 13.800 16.050 17.100 19.000

Malaysia 13.970 14.960 15.881 15.823 17.350

Thailand 668 685 860 1.020 1.123

Nigeria 790 800 815 830 850

Kolombia 632 655 713 738 832

Sumber : GAPKI 2008

Minyak sawit mengandung berbagai zat gizi mikro yang sangat penting untuk

peningkatan kesehatan. Dari aspek gizi, kandungan asam lemak tak jenuh terutama

oleat dan linoleat, karotenoida, dan tokoferol yang terkandung dalam minyak sawit

merah sangat penting untuk peningkatan derajat kesehatan. Kandungan karoten di

dalam minyak sawit berkisar antara 600-1000 ppm (Naibaho 1990) dan tokoferol atau

vitamin E berkisar antara 800-1000 ppm (Berger 1988). Karotenoid pada minyak

sawit merupakan komponen minor yang bermanfaat bagi kesehatan antara lain untuk

menanggulangi kebutaan karena xeroftalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker,

mencegah proses penuaan dini, meningkatkan imunitas tubuh dan mengurangi

terjadinya penyakit degeneratif (Berger 1988).

Dengan semakin populernya penggunaan senyawa alami untuk bahan

suplemen kesehatan, maka karotenoid dan tokoferol minyak sawit memiliki prospek

yang sangat baik untuk dikembangkan di masa depan (Sukarjo et al. 1991). Oleh

karena itu, perlu adanya suatu usaha mempertahankan komponen bioaktif tersebut.

Selama ini pada proses pemurnian minyak, warna merah dalam minyak sawit

dihilangkan untuk memperoleh minyak goreng jernih.

Salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaan karotenoid dalam

minyak sawit yaitu dengan memproduksi minyak sawit merah (red palm oil/RPO).

Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui proses

pemucatan (bleaching) dengan tujuan mempertahankan kandungan karotenoid-nya.

Minyak sawit merah ini telah dikembangkan sebagai produk baru oleh Malaysian

Palm Oil Board, karena minyak sawit merah kaya akan senyawa fitokimia seperti

tokoferol, karotenoid, ubiquinon, dan sterol (Ping dan May 2000). Sedangkan di

Indonesia sampai saat ini belum ada minyak sawit merah yang dijual secara

komersial. Namun, penelitian tentang minyak sawit merah kini telah banyak

dilakukan di Indonesia. Salah satunya yaitu oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit

(PPKS) Medan.

Minyak sawit merah juga telah diteliti oleh Puspitasari (2008) dan Wardi

(2008). Produk yang dihasilkan yaitu berupa olein dan stearin minyak sawit merah

dan produknya telah dipasarkan secara terbatas. Permasalahan yang dihadapi terkait

penggunaan minyak sawit merah fraksi olein dan stearin sebagai minyak makan yaitu

kekurangsukaan konsumen terhadap aroma yang ditimbulkan minyak sawit merah

tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Wardi (2008), sebagian

besar konsumen kurang menyukai aroma minyak sawit merah tersebut. Walaupun

demikian, sebanyak 64% konsumen ternyata masih ingin menggunakan produk

tersebut kembali. Tingginya keinginan konsumen untuk menggunakan produk

kembali menunjukkan bahwa produk bisa diterima konsumen.

Untuk meningkatkan daya terima konsumen terhadap minyak sawit merah

maka minyak sawit tersebut perlu dideodorisasi terlebih dahulu. Deodorisasi adalah

suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan

rasa (flavor) yang tidak enak dalam minyak. Menurut Ketaren (2005) komponen

yang menyebabkan bau dan rasa tidak enak dalam minyak sawit berasal dari flavor

alami dan flavor yang dihasilkan dari kerusakan minyak. Flavor alami ini terdiri dari

Page 8: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

hidrokarbon tidak jenuh, pigmen karotenoid, terpene, sterol, dan tokoferol. Flavor

yang dihasilkan dari kerusakan minyak biasanya merupakan hasil degradasi

trigliserida dalam minyak, yang menghasilkan asam lemak bebas, aldehid, dan keton,

dikarbonil, alkohol, dan sebagainya. Komponen-komponen flavor tersebut bersifat

volatil, sehingga diharapkan dapat dikurangi dengan proses deodorisasi. Sehingga

parameter keberhasilan deodorisasi adalah penurunan kadar asam lemak bebas dan

peroksida.

Deodorisasi ini perlu dilakukan pada suhu dan waktu yang tepat agar tidak

banyak terjadi kehilangan zat gizi mikro seperti karotenoid dan tokoferol. Dalam

penelitian ini, minyak sawit merah yang dideodorisasi berupa olein dan stearin

minyak sawit merah yang merupakan produk dari penelitian Puspitasari (2008).

Dalam penelitian ini olein dan stearin minyak sawit merah yang telah

dideodorisasi diaplikasikan sebagai medium penggorengan tempe dan ubi jalar.

Produk goreng yang dihasilkan kemudian dianalisa kadar air, kadar lemak, karotenoid

total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidannya, untuk mengetahui seberapa besar

penyerapan produk goreng terhadap zat gizi mikro pada minyak sawit merah tersebut.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk 1). Mengetahui pengaruh waktu dalam proses

deodorisasi olein dan stearin minyak sawit merah terhadap kadar air, kadar asam

lemak bebas, peroksida, karotenoid total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan,

dan 2). Mengetahui seberapa besar penyerapan produk goreng terhadap zat gizi

mikro yang terkandung pada olein dan stearin minyak sawit merah tersebut.

C. Manfaat

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, baik

masyarakat ekonomi bawah, menengah, maupun ekonomi atas dalam menyediakan

bahan pangan yang kaya akan beta-karoten. Selain itu juga membantu pemerintah

dalam menanggulangi masalah defisiensi vitamin A.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Minyak Sawit Mentah

Kelapa sawit terdiri dari 80 % bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan

20 % biji (endokarp dan endosperm). Dari minyak sawit, dapat diperoleh dua

jenis minyak yang berbeda sifatnya, yaitu minyak dari inti (endosperm) sawit

disebut dengan minyak inti atau PKO (Palm Kernel Oil) dan minyak dari sabut

(mesokarp) sawit disebut minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil)

(Ketaren 2005). Minyak sawit mentah adalah minyak yang diperoleh dari bagian

mesokarp buah sawit dengan cara ekstraksi, yang dapat dilakukan dengan

bermacam cara, diantaranya dengan rendering, pengepresan mekanik (hydraulic

atau expeller), ekstraksi dengan pelarut ataupun menggunakan Supercritical Fluid

Extraction (Muchtadi 1992).

Gambar 1 Kelapa Sawit.

Pengolahan minyak sawit dari sabut kelapa sawit menjadi minyak goreng

secara umum melalui beberapa tahap, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi.

Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan

yang diduga mengandung minyak atau lemak. Pemurnian (refining) minyak

goreng meliputi tahapan netralisasi atau pemisahan asam lemak bebas

(deasidifikasi), pemucatan (bleaching) dan penghilangan bau (deodorisasi). Tahap

terakhir yaitu fraksinasi, yang merupakan proses pemisahan fraksi cair (olein) dan

fraksi padat (stearin) dari minyak (Ketaren 2005).

Page 9: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Minyak sawit mentah (CPO) terdiri dari komponen gliserida dan non-

gliserida. Trigliserida dalam minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan

tidak jenuh. Asam lemak jenuh meliputi asam miristat (C14:0), asam palmitat

(C16:0), dan asam stearat (C18:0), sedangkan asam lemak tidak jenuhnya

meliputi asam oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2), dan asam linolenat (C18:3).

Dari asam-asam lemak tersebut yang dominan adalah asam palmitat dan asam

oleat dengan konsentrasi masing-masing mencapai 50,46% dan 40,35%. Asam-

asam lemak dalam minyak sawit juga dapat dibedakan menjadi asam lemak

esensial dan asam lemak non-esensial. Asam lemak esensial adalah asam lemak

yang tidak dapat disintesis dalam tubuh, yakni linoleat (LA) dan linolenat (LNA),

sedangkan asam lemak yang dapat disintesis oleh tubuh disebut asam lemak non-

esensial. Dengan demikian, minyak sawit didominasi oleh asam lemak non-

esensial dan hanya mengandung asam lemak esensial dalam jumlah kecil (6-9 %

LA dan 0,21 % LNA) (Winarno 1999). Perbandingan asam lemak dan lipid

beberapa minyak nabati diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi asam lemak dan lipid beberapa minyak nabati

Komponen dalam

Minyak

Minyak

Sawit(a)

Minyak

Olive(b)

Minyak

Canola(c)

Minyak

Rapeseed(a)

Asam Lemak (%) • Palmitat • Oleat

• Linoleat Lipid (mg/dL)

• TC

• LDL-C

• HDL-C

• Rasio L/H

11,4 13,7 3,3

187 123 49

2,51

5,1 18,9 3,4

179 132 31 4,3

3,9 16,9 6,4

173 95 48

1,98

7,3 16,4 3,9

186 123 49

2,51

Sumber : (a) Sundram et al. (1997) (b) Choudhury et al. (1995) (c) Sundram et al. (1995)

Keterangan : TC (total cholesterol), LDL (low density lipoprotein), HDL (high density lipoprotein).

Non-gliserida yang terkandung di dalam minyak sawit diantaranya asam

lemak bebas, cemaran logam, air, dan komponen minor. Komponen minor di

dalam minyak sawit mentah yaitu karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol,

fosfolipid, skualen dan tripterpenil, dan hidrokarbon alifatik (Nagendran et al.

2000). Minyak sawit mentah mengandung lebih kurang 1 % komponen minor.

Kandungan karotenoid dan tokoferol yang tinggi merupakan keunggulan minyak

sawit kasar dibandingkan minyak nabati lainnya, kandungan karotenoid di dalam

sawit berkisar antara 500 – 700 µg/g dan tokoferol dan tokotrienol berkisar antara

600 – 1000 µg/g (Choo 1994). Komponen kimia dalam beberapa minyak nabati

diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Komponen kimia beberapa minyak nabati

Komponen dalam Minyak

Minyak Sawit

Minyak Kelapa

Minyak Jagung

Minyak Kedelai

Karotenoid (ppm) Vitamin E (ppm)

• tokoferol

• tokotrienol Asam Lemak (%)

• jenuh

• tidak jenuh Fitosterol (ppm)

200-800

642 530

50 49 18

-

11 25

94 5,9 14

-

782 -

16 83 50

-

958 -

14 85 28

Sumber : Winarno (1999)

Komponen lain yang kadarnya relatif rendah dalam minyak sawit adalah

sterol dengan kadar sekitar 300 ppm. Kadar sterol dalam minyak sawit terdiri atas,

sitosterol, campesterol, stigmasterol, dan kolesterol dalam jumlah sedikit. Dalam

CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit kasar, kadar sterol berkisar antara 360-

620 ppm, sedangkan kadar kolesterol yang terkandung hanya sekitar 10 ppm saja,

atau sebesar 0,001 % dari CPO. Sehingga, jelas bahwa persentase kadar kolesterol

dalam minyak sawit sangat kecil. Dengan demikian, isu yang menyatakan bahwa

minyak sawit berbahaya untuk kesehatan dalam kaitannya dengan kandungan

kolesterol yang tinggi, tidak dapat dibuktikan. Bahkan, dari hasil penelitian

Page 10: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

dinyatakan bahwa kandungan kolesterol dalam satu butir telur setara dengan

kolesterol dalam 29 liter minyak sawit (Winarno 1999). Perbandingan kadar

kolesterol berbagai minyak pangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan kolesterol beberapa minyak nabati dan lemak daging

Jenis Minyak Kisaran Kadar Kolesterol (ppm)

Rata-rata (ppm)

Keterangan

Minyak sawit Minyak kedelai Minyak raoe Minyak jagung Mentega Lemak daging

12-19 20-35 25-30 10-95

1.400-3.200 800-1.400

16,00 28,00

- 57,00 3.150 1.100

Bebas Bebas Bebas Bebas Tinggi Tinggi

Sumber : Winarno (1999)

Menurut Bernardini (1983), wujud minyak dan lemak tergantung komposisi

asam lemak penyusunnya. Minyak yang berwujud padat pada suhu kamar karena

banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang

mempunyai titik cair tinggi pada suhu kamar. Minyak kelapa sawit adalah lemak

semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap. Komposisi asam lemak

minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi asam lemak minyak kelapa Sawit

Asam Lemak Atom C Komposisi(%)

Asam Miristat Asam Palmitat Asam Stearat Asam Oleat Asam Linoleat

C14:0 C16:0 C18:0 C18:1 C18:2

0,8 42,0 5,1 42,0 10,0

Sumber: Kritchevsky 2000

B. Minyak Sawit Merah

Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui

proses pemucatan (bleaching) dengan tujuan mempertahankan kandungan

karotenoidnya. Pemucatan (bleaching) menghilangkan sebagian besar bahan

pewarna tak terlarut atau bersifat koloid yang memberi warna pada minyak

(Nagendran et al. 2000). Menurut Helena (2003), sekitar 80 % karotenoid hilang

selama proses bleaching. Sedangkan menurut Ketaren (2005), arang aktif

(bleaching agent) sebesar 0,1 – 0,2 % dari berat minyak dapat menyerap zat

warna sebanyak 95 - 97 % dari total zat warna yang terdapat pada minyak sawit

kasar.

Minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600-1000 ppm.

Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit terdiri dari α-karoten +36,2%, β-

karoten +54,4%, τ-karoten +3,3%, likopen +3,8%, dan santofil +2,2% (Naibaho

1990). Menurut Sukarjo et al. (1991), sebanyak kurang lebih 800 ppm tokoferol

terdapat dalam minyak sawit. Senyawa tokoferol dalam minyak sawit merupakan

campuran dari α-tokoferol 20%, α-tokotrienol 25%, τ-tokotrienol 45%, dan δ-

tokotrienol 10%. Kelompok senyawa tokoferol ini tidak hanya penting karena

peranannya sebagai antioksidan alami tetapi secara fisiologis juga aktif sebagai

vitamin, yaitu vitamin E. Sedangkan menurut Kritchevsky (2000), kadar

karotenoid pada minyak sawit merah yaitu sebesar 550 ppm (sebanyak 375 ppm

adalah β-karoten), dan kadar tokoferol sebesar 468 ppm.

Karotenoid memberikan karakteristik warna orange – merah pada minyak

sawit. Karotenoid, khususnya α-karoten dan β-karoten merupakan prekursor

vitamin A di dalam tubuh (Nagendran et al. 2000). Minyak sawit yang berwarna

merah dapat digunakan untuk menanggulangi defisiensi vitamin A karena

kandungan β-karotennya (Muhilal 1991). Selain itu, dapat digunakan untuk

mencegah penyakit jantung koroner dan penyakit kanker, serta mengganti sel-sel

yang telah rusak (Iwasaki dan Murakoshi 1992).

Minyak sawit merah komersial biasanya merupakan fraksi olein minyak

sawit mentah. Minyak sawit merah fraksi olein diperoleh dengan memisahkan

fraksi olein dari fraksi stearin melalui peningkatan suhu hingga 70oC dan

penurunan suhu secara perlahan-lahan hingga suhu kamar sambil diagitasi

Page 11: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

(diaduk) (Weiss 1983). Setelah difraksinasi, minyak sawit merah ini terpisah

menjadi dua fraksi yaitu olein (cair) dan stearin (padat). Menurut Choo et al.

(1989), minyak sawit merah fraksi olein mengandung karotenoid sebesar 680-760

ppm dan minyak sawit merah fraksi stearin ternyata masih memiliki kandungan

karotenoid yang cukup tinggi, yaitu sebesar 380-540 ppm. Sehingga fraksi stearin

juga bisa dimanfaatkan sebagai minyak makan. Karakteristik kualitas minyak

sawit mentah dan olein minyak sawit merah diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik kualitas minyak sawit mentah dan olein minyak sawit merah Sampel ALB BP Karoten Tokoferol Fe P (%) (mekv/kg) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm)

Minyak sawit mentah 3,53 2,32 643 869 - - Olein minyak sawit 3,53 0,44 514 864 - -

dg pemurnian Olein sawit merah 0,04 0,10 513 707 1,6 n.d. RBD minyak sawit 0,04 0,10 Nil 561 1,6 n.d.

Sumber : Choo et al. (1993)

Keterangan: ALB (asam lemak bebas), BP (bilangan peroksida)

Minyak sawit merah kini mulai dikembangkan seiring dengan semakin

disadarinya peran penting karotenoid bagi kesehatan manusia. Minyak sawit

merah (MSM) saat ini telah dikembangkan di Malaysia sebagai produk baru.

Sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum ada minyak sawit merah yang

dijual secara komersial. Namun, penelitian tentang minyak sawit merah kini telah

banyak dilakukan di Indonesia. Salah satunya yaitu oleh Pusat Penelitian Kelapa

Sawit (PPKS) Medan. Proses optimasi produksi olein minyak sawit merah telah

dilakukan oleh Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007), dan Puspitasari (2008).

Perbandingan karakteristik minyak sawit merah diperlihatkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik minyak sawit merah Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007), dan Puspitasari (2008)

Parameter Sirajjudin (2003)

Mas’ud (2007)

Puspitasari (2008)

Asam Lemak Bebas (%) 0,02 0,17 0,16

Kadar Air (%, b/b) Bil.Peroksida (meq/kg MSM) Bil.Iod(gI2/kgMSM) Bil.Penyabunan (mgKOH/gMSM) Total Karotenoid (ppm)

0,01 0,86 55 197 650

0,07 5,9 45,8 193,8 492

0,002 5,8 45,6

19,3 533

Sirajjudin (2003) melakukan proses deasidifikasi menggunakan larutan

natrium karbonat 10%. Mas’ud (2007) melakukan optimasi proses deasidifikasi

dan melaporkan bahwa proses deasidifikasi menggunakan NaOH 11,1%, suhu

proses 60oC, dan lama proses 25 menit adalah kondisi deasidifikasi yang paling

optimal. Sedangkan Puspitasari (2008) melakukan penelitian optimasi proses

deasidifikasi dengan kombinasi dua perlakuan yaitu waktu dan kecepatan

pengadukan serta melaporkan bahwa lama proses 20 menit dan kecepatan

pengadukan 60 rpm adalah kondisi deasidifikasi yang optimal.

C. Fraksinasi Minyak Sawit

Minyak sawit terdiri dari fraksi olein dan fraksi stearin. Stearin merupakan

fraksi yang lebih solid (padat), fraksi ini merupakan co-product yang diperoleh

dari minyak sawit bersama-sama dengan olein. Stearin memiliki slip melting point

(titik leleh) pada kisaran 46-56oC, sedangkan olein pada kisaran 13-23oC. Hal ini

menunjukkan bahwa stearin yang memiliki slip melting point yang lebih tinggi

akan berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris 1994).

Minyak sawit berbentuk semipadat pada suhu 25oC. Minyak sawit yang

disimpan di tempat dingin pada suhu 5-7oC dapat terpisah menjadi fraksi padat

(stearin) dan fraksi cair (olein). Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan fraksi

stearin dan olein berdasarkan titik beku kedua fraksi tersebut. Menurut Pantzaris

(1994), Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi cair (olein) dan fraksi

padat (stearin) dari minyak dengan winterisasi, yaitu proses pemisahan bagian

gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah dengan

cara pendinginan (chilling) hingga suhu 5 – 7 oC.

Menurut Choo et al. (1994), fraksinasi minyak kelapa sawit menghasilkan

olein sebesar 70-80%. Fraksi olein berwarna merah sedangkan fraksi stearin

Page 12: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

berwarna kuning pucat. Warna merah pada olein disebabkan kandungan

karotenoid yang terlarut didalamnya sedangkan fraksi stearin hanya sedikit

mengandung karotenoid. Kandungan karotenoid dalam stearin minyak sawit

merah yaitu berkisar antara 380-540 ppm (Choo 1994). Pada Tabel 8

diperlihatkan kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit.

Tabel 8 Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit

Fraksi Minyak Sawit Total Karotenoid (ppm)

Minyak Sawit Mentah Olein Minyak Sawit Stearin Minyak Sawit Minyak Sisa dari Serat Minyak Pengepresan Kedua

630 – 700 680 – 760 380 – 540

4000 – 6000 1800 – 2400

Sumber: Choo et al. (1989)

Olein merupakan triasilgliserol yang bertitik cair rendah dan mengandung

asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan stearin. Olein

dan stearin mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda dan merupakan

campuran dari berbagai asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Komponen asam

lemak terbanyak pada olein adalah asam oleat (39,8-43,9%), sedangkan pada

stearin adalah asam palmitat (55,2%) (Beare-Roger et al. 2001). Komposisi asam

lemak pada olein dan stearin dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Komposisi asam lemak olein dan stearin kelapa sawit

Asam Lemak Atom C Komposisi (%) Olein

Komposisi (%) Stearin

Laurat Miristat Palmitat Stearat Oleat Linoleat Linolenat Arakhidonat

C12:0 C14:0 C16:0 C18:0 C18:1 C18:2 C18:3 C20:0

0,1 - 0,5 0,9 - 1,4

38,2 - 49,2 3,7 – 4,8

39,8 - 43,9 10,4 – 13,4

- -

0,1 1,3 55,2 5,3 29,5 8,0 0,2 0,3

Komponen lain 0,1-0,6 Sumber: Beare-Roger et al. (2001)

D. Karotenoid

Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat

dalam bahan-bahan nabati. Sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau

kuning biasanya banyak mengandung karoten. Tubuh manusia mempunyai

kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A. Dalam

tanaman terdapat beberapa jenis karoten, namun yang lebih banyak ditemui

adalah α-, β-, dan γ- karoten, mungkin juga terdapat kriptoxantin (Winarno 1997).

Sumber provitamin A terkaya di alam adalah minyak sawit merah yaitu

dengan aktifitas vitamin A sebesar 30.000 µg retinol ekivalen /100 g porsi yang

dapat dimakan (Patterson 1983). Sedangkan menurut Nagendran (2000),

provitamin A pada minyak sawit merah jumlahnya equivalen dengan 15 kali

provitamin A pada wortel dan 300 kali provitamin A pada tomat. Kandungan

karotenoid pada beberapa pangan nabati dapat dilihat pada Tabel 10.

Provitamin A yang memiliki aktivitas vitamin A yang paling tinggi adalah

β-karoten. Aktivitas provitamin A dinyatakan dalam Retinol Equivalen (RE, 1 RE

= 1 µg retinol = 6 µg β-karoten = 12 µg provitamin A dari karoten lain). β-karoten

dikonversi di dalam tubuh menjadi vitamin A diatur dengan proses metabolik.

Toksisitas dan hipervitaminosis tidak akan terjadi walaupun mengkonsumsi

minyak sawit merah secara terus menerus, karena penyerapan dan konversi β-

karoten menjadi vitamin A juga akan berkurang seiring dengan meningkatnya

asupan β-karoten setiap hari (dietary intake) (Nagendran 2000).

Menurut Combs (1992), karoten dalam minyak sawit mentah terdapat

dalam bentuk bebas dan dalam minyak yang merupakan medium pelarutnya.

Sedangkan di dalam sayuran dan buah-buahan, karoten biasanya membentuk

kompleks dengan protein atau teresterifikasi dengan asam lemak sehingga bersifat

lebih stabil dibandingkan dengan karoten minyak sawit mentah. Sehingga

karotenoid di dalam minyak sawit merah lebih mudah diserap oleh tubuh.

Page 13: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Tabel 10 Kandungan karotenoid pada beberapa pangan nabati

Jenis tanaman Kandungan Karotenoid RE/100g

Minyak sawit merah Wortel Daun sayur-sayuran Aprikot Tomat Pisang Air jeruk

30.000 2.000 685 250 100 30 8

Sumber: Choo 1994

β-karoten mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi

tubuh antara lain untuk menanggulangi kebutaan karena xeropthalmia,

meningkatkan imunitas tubuh, membantu diferensiasi sel-sel epitel, pertumbuhan

dan reproduksi. Selain itu karoten juga memiliki anktivitas antioksidan untuk

mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini dan

mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. Di dalam tubuh, karoten akan

dikonversi menjadi vitamin A. Persentase β-karoten yang dikonversi menjadi

vitamin A sekitar 60-70% (Bender 2006).

Karotenoida dapat digolongkan atas 4 golongan (Bauernfeind et al., 1981),

yaitu karotenoida hidrokarbon C40H56, santofil, yaitu karoten yang mengandung

oksigen dan hidroksil, ester xantofil, dan asam karotenoida yaitu karoten yang

mengandung gugus karboksil. Karotenoid yang memiliki aktivitas vitamin A yang

utama yaitu α-, β-, γ-karoten dan β- kriptoksantin (Bender 2006). Struktur dasar

karotenoida hidrokarbon terdiri dari ikatan hidrokarbon tidak jenuh yang dibentuk

oleh 40 atom C atau mengandung 8 unit isopren dan 11 ikatan rangkap yang

terkonjugasi. Menurut Sahidin et al. (2000) 11 ikatan rangkap yang terkonjugasi

inilah yang menjadikan β-karoten sebagai antioksidan alami dan dapat

dimanfaatkan sebagai anti kanker. Namun, adanya ikatan ganda juga

menyebabkan karotenoida peka terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoida akan

lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan

mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan

ganda (Iwasaki dan Murakoshi 1992). Struktur β- karoten dapat dilihat pada

Gambar 2.

β- karoten

Gambar 2 Struktur β-karoten (Fennema 1996).

Karotenoid yang umum dikenal sebagai sumber vitamin A adalah β-

karoten (100%), α-karoten (53%), dan τ- karoten. Bentuk trans dari karoten

memiliki derajat aktifitas vitamin A yang lebih tinggi dibandingkan dengan

bentuk cis (Iwasaki dan Murakoshi 1992).

Karotenoid ditemukan pada beberapa varietas minyak kelapa sawit yaitu

sebanyak 0,2 %, yang akan memberikan karakteristik merah orange. Pigmen ini

bersifat labil terhadap panas dan jumlahnya menurun secara drastis pada suhu

sekitar 180-220oC. Akan tetapi, menurut Bauernfeind (1981), karotenoid stabil

terhadap panas pada kondisi O2 yang minimal, sehingga hanya terjadi sedikit

penurunan kadar karotenoid minyak yang dipanaskan sampai suhu 150oC di

bawah tekanan rendah (vakum). Selain sebagai pigmen dan antioksidan,

karotenoid khususnya β-karoten juga berperan sebagai provitamin A. Karotenoid

ini akan tetap stabil selama kurang lebih 9 bulan di dalam minyak sawit merah

jika disimpan pada suhu 30oC dan akan stabil lebih dari 1 tahun jika disimpan

pada suhu 10oC (Choo 1993).

Senyawa β-karoten dapat terdegradasi oleh panas akan menghasilkan

senyawa-senyawa yang mudah dan tidak mudah menguap yang umumnya

mempunyai ukuran (berat molekul) lebih rendah dari β-karoten. Dari sekitar 19

senyawa mudah menguap yang terbentuk terdapat 6 senyawa utama, yaitu 2-metil

heksana, 3-metil heksana, n-heptana, siklo-oktanon, toluene, dan (orto, meta, atau

para) xilena (Sahidin et al. 2000).

Page 14: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

E. Tokoferol (Vitamin E)

Vitamin E adalah antioksidan paling banyak ditemukan pada minyak

nabati. Isomer vitamin E yang paling penting yaitu tokoferol dan tokotrienol.

Keduanya merupakan antioksidan yang berkontribusi dalam stabilitas minyak

sawit. Ada empat homolog tokoferol yaitu α-, β-, τ-, dan δ-tokoferol. Ada pula

empat analog tokotrienol dengan struktur kimia dasar yang sama, tetapi

mempunyai perbedaan jumlah dan posisi gugus metil yang terikat pada cincin

kromanolnya. Tokoferol dan tokotrienol yang memiliki aktivitas vitamin E

tertinggi yaitu α-tokoferol dan γ-tokotrienol (Sundram 2001).

Total tokoferol yang terkandung di dalam minyak sawit merah sangat

tinggi, yaitu sekitar 717.8 – 817.5 mg/kg olein dan 451.0 – 479.9 mg/kg stearin

(Al-Saqer et al. 2004). Menurut Berger (1988) minyak sawit merah fraksi olein

mengandung sekitar 800-1000 ppm tokoferol dan tokotrienol. Komposisi

tokotrienol lebih besar dari tokoferol yaitu sebesar 70% dari total vitamin E,

sedangkan tokoferol hanya sekitar 30% (Al-Saqer 2004). Komposisi utama

tokoferol dan tokotrienol dalam minyak sawit meliputi 44% τ-tokotrienol, 22% α-

tokoferol, dan 12% δ-tokotrienol, sisanya berupa α-, dan β-tokotrienol dan β-, τ-,

dan δ-tokoferol (Berger 1988). Komposisi vitamin E pada minyak sawit menurut

Choo (1996) diperlihatkan pada Tabel 11.

Tabel 11 Komposisi vitamin E pada minyak sawit

Sumber: Choo (1996)

Menurut Berger (1988), 75% tokoferol alami tetap bertahan dalam

minyak sawit setelah pemanasan selama 25 jam pada suhu 180oC, artinya

tokoferol tahan terhadap suhu tinggi atau pemanasan. Dan menurut Nagendran

Komposisi Vitamin E (%) Sampel α – T α – T3 γ – T3 δ – T3

Total vitamin E (ppm)

Minyak sawit mentah

Minyak sawit merah

komersial (olein)

RBD minyak sawit

21

19

25

24

29

29

43

41

36

11

10

10

600 – 1000

717 – 863

515 – 800

(2000), tokoferol dan tokotrienol merupakan isomer dari vitamin E yang

berpotensi sebagai antioksidan dan memberi stabilitas oksidatif pada minyak

sawit. Walaupun minyak sawit relatif tahan terhadap kerusakan oksidatif karena

kandungan asam lemak tidak jenuh tinggi, kehilangan tokoferol tetap harus dijaga

seminimal mungkin. Proses deodorisasi dengan uap dan distilasi asam lemak

bebas menyebabkan kehilangan tokoferol sebesar 15-57%. Pada proses fraksinasi,

sebagian besar tokoferol akan tertinggal dalam fraksi cair atau fraksi olein (Goh et

al. 1985).

Vitamin E, khususnya α-tokoferol, memiliki fungsi antioksidan yang

sangat penting di dalam membran sel dan memiliki aktivitas biologis yang sangat

tinggi (Che Man et al. 2005). Sedangkan keuntungan dan kegunaan tokotrienol

menurut Winarno (1999) yaitu, (a) Mampu menekan produksi kolesterol dalam

hati sehingga manurunkan kadar kolesterol darah, (b) Mengurangi kecenderungan

dapat menggumpal, (c) Memberi perlindungan terhadap kanker tertentu, dan (d)

Bekerja sebagai antioksidan sehingga mampu membasmi oksigen radikal bebas

penyebab proses penuaan.

F. Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses

oksidasi (Schuler 1990). Antioksidan secara umum didefinisikan sebagai senyawa

yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam

arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya

reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochar dan Rossell 1990).

Proses oksidasi lipid terjadi dalam tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan

terminasi. Reaksi inisiasi terjadi ketika lemak tidak jenuh berinteraksi dengan

oksigen membentuk radikal bebas. Radikal bebas tersebut akan berlanjut

mengalami reaksi berantai membentuk radikal bebas-radikal bebas lain dalam

tahap reaksi propagasi. Selanjutnya dalam reaksi terminasi, radikal bebas yang

bersifat sangat reaktif akan membentuk ikatan yang stabil bila bereaksi dengan

Page 15: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

senyawa radikal lain (Jadhav et al. 1996). Ketiga tahap reaksi oksidasi lipid

tersebut adalah sebagai berikut:

Tahap reaksi inisiasi : RH R* + H*

ROOH RO* + HO*

ROOH RO* + ROO* + H2O

Tahap reaksi propagasi : R* + O2 ROO*

ROO* + RH ROOH + R*

Tahap reaksi terminasi : R* + R* R-R

R* + ROO* ROOR

ROO* + ROO* ROOR + O2

Antioksidan memiliki dua fungsi yaitu sebagai antioksidan primer dan

antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu molekul yang dapat

memberikan atom hidrogen secara cepat kepada radikal lipid sehingga radikal

yang terbentuk lebih stabil daripada radikal lipidnya atau diubah menjadi produk

lain yang lebih stabil. Zat-zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam

seperti tokoferol, polifenol, lesitin, fosfatida, dan asam askorbat serta antioksidan

buatan seperti butylated hydroxyanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene

(BHT). Sedangkan antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah

kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergi (Winarno 1997).

Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai

tahapan oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen,

menangkap singlet oksigen, mencegah tahap inisiasi reaksi rantai melalui

penangkapan radikal hidroksil, mengikat ion logam katalisator, dekomposisi

produk utama menjadi senyawa non radikal dan memutus reaksi rantai untuk

mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat.

Penggunaan antioksidan dalam produk pangan sangat bervariasi. Aktivitas

antioksidan dalam produk pangan dipengaruhi oleh suhu, komposisi makanan,

struktur produk dan keberadaan oksigen (Gordon 2001). Peran antioksidan bagi

kesehatan terutama adalah dalam mengatasi implikasi reaksi oksidasi dalam tubuh

yang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penuaan (Nelson

et al. 2003). Konsumsi formula antioksidan yang mengandung antioksidan beta

karoten, vitamin E, dan selenium organik setiap hari terbukti menggurangi resiko

terkena kanker lambung (turun sampai dengan 21%), kanker esofagus resikonya

turun sampai 4%, dan penurunan tingkat kematian dari penyebab lainnya sampai

9% (Setright 1993).

Minyak sawit merah merupakan salah satu minyak nabati yang memiliki

aktivitas antioksidan yang tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan

karotenoid dan tokoferolnya. Farombi dan Britton (1998) menyatakan bahwa

aktivitas antioksidan minyak sawit disebabkan oleh kandungan senyawa aktif

yaitu karotenoid dan tokoferol. Karotenoid dan tokoferol bersinergi dalam

mencegah oksidasi pada minyak sawit.

Untuk mengukur suatu aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan

beberapa cara. Prinsip pengukuran ini adalah dengan cara mereaksikan senyawa

antioksidan dengan senyawa radikal. Salah satunya yaitu dengan metode DPPH.

Pengujian antioksidan dengan metode ini merupakan pengujian secara kolorimetri

berdasarkan warna. Warna yang terbentuk berasal dari hasil reaksi antara radikal

bebas DPPH dengan antioksidan. Reaksi yang terjadi adalah DPPH* + AH

DPPH-H + A*. DPPH* dalam bentuk radikal memberikan absorpsi yang

maksimum pada panjang gelombang 517 nm. Setelah direduksi oleh antioksidan,

maka terbentuk senyawa non-radikal yang berwarna kuning pucat (Mello et al.

2005).

+ AH + A*

DPPH (ungu) DPPH tereduksi (kuning pucat)

Gambar 3 Reaksi penangkapan DPPH oleh antioksidan

(Molyneux 2004).

Page 16: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

G. Deodorisasi Minyak Sawit

Deodorisasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan

untuk menghilangkan bau dan rasa (flavor) yang tidak enak dalam minyak.

Prinsip dari proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam

keadaan hampa udara atau vakum. Proses deodorisasi dilakukan dengan cara

memompakan minyak ke dalam ketel deodorisasi. Minyak tersebut dipanaskan

pada suhu 200-250oC pada tekanan 1 atmosfer (gauge) dan selanjutnya dilakukan

pada tekanan rendah (lebih kurang 10 mmHg) sambil dialiri dengan uap panas

selama 4-6 jam, hal ini bertujuan untuk mengangkut senyawa yang dapat

menguap (Ketaren 2005).

Menurut Bernardini (1983), deodorisasi dengan sistem batch biasanya

dilakukan pada suhu 180oC sampai 200oC tergantung pada jenis minyak atau

lemak yang dideodorisasi, selama 5 sampai 12 jam pada tekanan 10-20 Torr.

Sedangkan menurut Henon et. al. (1997) dalam proses pemurnian minyak,

deodorisasi biasa dilakukan selama 1-4 jam pada suhu tinggi (180 sampai 260oC)

dan tekanan rendah.

Senyawa yang menimbulkan flavor dalam minyak terdiri dari dua

golongan yaitu, a) flavor alami dan b) flavor yang dihasilkan dari kerusakan

minyak. Flavor alamiah yaitu flavor yang secara alami terdapat dalam bahan yang

mengandung minyak dan ikut terekstrak pada proses pemisahan minyak dari

bahan yang mengandung minyak. Senyawa tersebut terdiri dari hidrokarbon tidak

jenuh, pigmen karotenoid, terpene, sterol, dan tokoferol. Flavor yang dihasilkan

dari kerusakan minyak biasanya merupakan hasil degradasi trigliserida dalam

minyak, yang menghasilkan asam lemak bebas, aldehid, dan keton, dikarbonil,

alkohol, dan sebagainya. Bau tengik dan rasa getir mulai dapat dirasakan jika

komponen tersebut terdapat dalam minyak dengan jumlah lebih dari 0,1% dari

berat minyak (Ketaren 2005).

Proses deodorisasi menghilangkan komponen residu yang tertinggal

dalam minyak setelah pemurnian seperti, komponen penyebab bau dan rasa,

sterol, pigmen dan menghancurkan peroksida sehingga meningkatkan daya tahan

lemak terhadap oksidasi. Pemisahan asam lemak bebas (ALB) juga berlangsung

pada tahap ini. Aplikasi suhu tinggi dan tekanan yang rendah akan mengakibatkan

ALB menguap dan bersifat volatil sehingga dapat dipisahkan dari minyak

(trigliserida) yang kurang volatil. Kondisi proses deodorisasi sangat menentukan

kualitas minyak dan lemak yang dihasilkan. Kondisi proses utama yang

mempengaruhi mutu hasil deodorisasi yaitu suhu dan tekanan deodorisasi, lama

deodorisasi, banyaknya steam yang diperlukan serta bahan dan peralatan

deodorisasi (Bernardini, 1983).

Proses deodorisasi pada minyak sawit merah telah diteliti oleh Wulandari

(2000). Proses deodorisasi ini dilakukan pada suhu 180oC selama 20 menit, dan

menghasilkan produk minyak sawit merah dengan kadar karotenoid 249 ppm dan

asam lemak bebas 0,2 %. Siahaan et al. (2003) melakukan proses optimasi

deodorisasi minyak sawit merah dan melaporkan bahwa deodorisasi dengan suhu

160oC, lama proses deodorisasi 120 menit, dan tekanan 15 cmHg adalah kondisi

yang optimal. Produk yang dihasilkan adalah minyak sawit merah dengan

kandungan karoten 518 ppm dan asam lemak bebas 0,171 %.

Page 17: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan- bahan yang digunakan adalah minyak sawit merah fraksi olein

dan stearin, air, alkohol 95%, heksana, NaOH, indikator PP, indikator pati,

metanol, DPPH 1 mM, KI jenuh, Na2S2O3 0.01N, buffer asetat 0.1 M (pH

5.5), standar asam askorbat, bipiridin, FeSO3, standar tokoferol, Natrium

tiosulfat, asam asetat, dan kloroform.

Alat-alat yang digunakan antara lain gelas piala, hot plate, desikator,

oven vakum, spektrofotometer UV-VIS, timbangan, erlenmeyer, penangas

air, titrimeter, tabung reaksi, dan peralatan gelas.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu 1) Karakterisasi olein dan stearin

minyak sawit merah 2) Pengaruh waktu deodorisasi olein dan stearin minyak

sawit merah, dan 3) Aplikasi olein dan stearin terdeodorisasi sebagai medium

penggorengan tempe dan ubi jalar.

1. Karakterisasi olein dan stearin minyak sawit merah

Analisis olein dan stearin minyak sawit merah dilakukan untuk

mengetahui karakteristik olein dan stearin minyak sawit merah, dengan

menentukan kadar asam lemak bebas, kadar air, bilangan peroksida, kadar

karotenoid awal, dan kadar tokoferol awal.

2. Pengaruh waktu deodorisasi olein dan stearin minyak sawit merah

Proses deodorisasi dilakukan dengan memasukkan minyak ke dalam

alat deodorisasi (deodorizer) minyak dan lemak, dalam penelitian ini

digunakan vaccuum evaporator. Deodorisasi dilakukan pada suhu 100oC,

dengan tekanan 60 cmHg vakum, dengan tujuh variasi waktu (0, 1, 2, 3, 4, 5,

dan 6 jam). Produk hasil deodorisasi dianalisa kadar air, kadar asam lemak

bebas, kadar peroksida, total karotenoid, total tokoferol, dan aktivitas

antioksidan.

3. Aplikasi minyak terdeodorisasi sebagai medium penggorengan

Olein dan stearin minyak sawit merah yang telah dideodorisasi selama

6 jam, diaplikasikan sebagai medium penggorengan. Dalam penelitian ini olein

dan stearin minyak sawit merah yang telah dideodorisasi digunakan untuk

menggoreng tempe dan ubi jalar. Olein dan stearin ini digunakan sampai

sepuluh kali penggorengan tanpa ditambah dengan yang baru. Olein dan stearin

yang telah digunakan untuk menggoreng, serta produk tempe dan ubi hasil

penggorengan ke 0, 1, 3, dan 10 dianalisa kadar air, kadar lemak, karotenoid

total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidannya.

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Faktor perlakuan pada tahap pertama penelitian ini berupa waktu

deodorisasi sebanyak 6 waktu, rancangan percobaan yang digunakan adalah

rancangan acak lengkap. Model matematika tersebut adalah :

i = 1, 2, ....., t dan j = 1, 2, ....., r

X ij = Respon percobaan terhadap pengaruh waktu pengadukan pada

taraf ke-i pada ulangan ke-j

µ = rata-rata umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

= µi- µ

εij = pengaruh kesalahan percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

(5%)

Pengujian dilakukan dengan menggunakan program SPSS one-way

analysis of variance (ANOVA) dengan p<0.05 dan jika terbukti ada perbedaan

yang signifikan, maka untuk mengetahui kelompok yang berbeda dilanjutkan

dengan uji Duncan.

X ij = µ + ττττi + εij

Page 18: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

D. METODE ANALISIS

1. Karotenoid Total (PORIM 1995)

Minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 0,1 gram ke dalam labu

takar 25 ml, kemudian sampel dilarutkan dengan hexan sampai tanda tera,

dengan cara dikocok hingga benar-benar homogen. Kemudian diukur

absorbansinya pada 446 nm.

Karotenoid total = 25 x absorbansi x 383 100 x bobot sampel (g)

2. Tokoferol Total (Nielsen 2003)

Sebanyak 200+10 mg contoh ditimbang dengan tepat dan

dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml

toluen untuk melarutkan contoh. Ditambahkan 3.5 ml larutan 2,2-bipiridin

0.7 % (b/v) dan 0.5 ml FeCl3.6H2O 0.2 % (b/v). Setelah itu, ditepatkan

dengan etanol 95 % sampai volume total 10 ml. Kemudian didiamkan

selama 1 menit dalam ruang gelap, diukur absorbansinya dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Larutan blanko (tanpa

contoh) dibuat seperti prosedur tersebut.

Tokoferol total (µg/g) = [C] W Dimana : [C] = konsentrasi tokoferol dari kurva standar (µg) W = berat contoh (g)

Pembuatan kurva standar Tokoferol

Sebanyak 50 mg tokoferol standar ditimbang dan dilarutkan dalam

50 ml toluen. Larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam labu takar

50 ml. Kemudian ditambahkan toluen hingga tanda tera. Konsentrasi

larutan standar tokoferol ini adalah 40 µg/ml.

Larutan tokoferol standar 40 µg/ml dipipet sebanyak 0.5, 1.0, 2.0,

3.0, 4.0, dan 5.0 ml ke dalam labu takar 10 ml. Ditambahkan 3.5 ml

larutan 2,2-bipiridin 0.7 % (b/v) dan 0.5 ml FeCl3.6H2O 0.2 % (b/v) ke

dalam masing-masing labu takar. Dan ditepatkan dengan etanol 95%

sampai volume total 10 ml, digoyang-goyang hingga homogen.

Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520

nm. Kemudian dibuat plot kurva standar dan persamaan regresi liniernya.

3. Asam Lemak Bebas, Metode Titrimetri (AOAC 1995)

Minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 2 gram di dalam

erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambah 50 ml alkohol netral 95% dan

dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Larutan

ini kemudian dititer dengan larutan standar NaOH 0,1 N dengan indikator

PP 1%, sampai tepat berwarna merah muda, setelah itu dihitung jumlah

miligram NaOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak dalam

gram minyak atau lemak. Asam lemak bebas dinyatakan dalam persen

asam lemak, dihitung sampai dua desimal dengan menggunakan rumus :

Kadar asam lemak bebas (%) = M x V x T 10 x m

Keterangan :

M = berat molekul asam lemak bebas (286 untuk asam oleat)

V = volume NaOH untuk titrasi (ml)

T = normalitas larutan NaOH

m = bobot contoh (gram)

4. Kadar Peroksida (AOAC 1995)

Minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian

dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 30 ml pelarut

(60% asam asetat glasial : 40% kloroform) kemudian dikocok sampai

larut. Setelah larut ditambahkan 0,5 ml KI jenuh dan dikocok selama 1

Page 19: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

menit lalu didiamkan dalam ruang gelap selama 15 menit. Selanjutnya

ditambahkan 2 tetes indikator pati 1 % sebagai indikator dan dititrasi

dengan Natrium tiosulfat 0,01 N sampai warna biru hilang. Penetapan

blanko dengan cara yang sama hanya tidak menggunakan sampel.

Perhitungan bilangan peroksida menggunakan rumus sebagai berikut :

Bilangan Peroksida = (V1-V0) x N x 1000 (mekv / 1000 g ) m

Keterangan :

V1 = Volume larutan natrium tiosulfat untuk minyak (ml)

V0 = Volume larutan natrium tiosulfat untuk minyak (ml)

N = Normalitas larutan standar natrium tiosulfat

m = bobot minyak (gram)

5. Aktivitas Antioksidan, Metode DPPH (Pradono et al. 2006)

Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode radikal

DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil radical scavenging). BHT

digunakan sebagai bahan pembanding ekstrak sampel. Secara spesifik,

metode pengukuran dapat dilihat pada Gambar 4.

Asam askorbat digunakan sebagai standar pembanding terhadap

aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh minyak sawit merah. Oleh karena

itu, aktivitas antioksidan MSM akan dihitung berdasarkan kesetaraannya

dengan aktivitas antioksidan asam askorbat yang dinyatakan dalam ppm

AEAC (Ascorbic acid Equivalen Atioxidant Capacity).

Dicampur 2 ml larutan buffer asetat (pH 5.5),

3.75 ml metanol, dan 200 µl DPPH 3 mM dalam metanol

Divorteks larutan campuran

Ditambah 50 µl laruten sampel atau larutan standar antioksidan

Diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit

Diukur A sampel dengan spektrofotometer pada λ = 517nm

Gambar 4 Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Pradono et al. 2006).

6. Kadar Air, metode oven (AOAC 1995)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1

jam dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5

gram sampel dimasukkan dalam cawan, dan cawan beserta isi dikeringkan

di dalam oven vakum minimal 6 jam. Setelah selesai cawan dipindahkan

ke desikator. Setelah dingin bobot cawan ditimbang bersama sampel.

Kemudian dikeringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot

yang tetap. Perhitungan kadar air (% bobot basah) menggunakan rumus :

(g air / 100 g bahan) = m-(m2-m1) x 100

M

Keterangan :

m = bobot awal sampel sebelum dikeringkan (g)

m1 = bobot cawan kosong (g)

m2 = bobot sampel + cawan sesudah dikeringkan (g)

Page 20: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

7. Kadar Lemak

Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama sekitar

15 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Sebanyak 1-2 gram contoh dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring

yang dialasi kapas, setelah itu disumbat dengan kapas lagi. Kemudian

dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak.

Lemak dalam contoh diekstrak dengan heksana selama + 6 jam. Setelah

itu, heksana disuling dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering

pada suhu 105oC. Kemudian didinginkan pada desikator dan ditimbang.

Perhitungan kadar lemak bobot basah menggunakan rumus:

Kadar lemak (g/100 g bahan basah) = W1-W2 x 100 W0

Keterangan: W0 = Bobot contoh dalam gram (g)

W1 = Bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)

W2 = Bobot labu lemak kosong

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK KIMIA OLEIN DAN STEARIN MINYAK SAWIT

MERAH SEBELUM DEODORISASI

Olein dan stearin minyak sawit merah yang digunakan dalam proses

deodorisasi merupakan produk akhir dari penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari

(2008) yang telah mengalami penyimpanan lebih dari satu bulan pada suhu kamar.

Olein dan stearin ini telah mengalami netralisasi yaitu salah satu proses pemurnian

minyak yang bertujuan memisahkan asam lemak bebas yang ada dalam minyak

dengan cara mereaksikannya dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk

sabun yang tidak larut (Ketaren 2005). Akan tetapi, olein dan stearin ini masih

menghasilkan bau yang cukup kuat sehingga harus dihilangkan dalam proses

deodorisasi. Parameter yang relevan untuk mengukur keberhasilan deodorisasi yaitu

kadar asam lemak bebas dan peroksida. Karakteristik olein dan stearin minyak sawit

merah sebelum deodorisasi dibandingkan dengan olein hasil penelitian Puspitasari

(2008) disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Perbandingan karakteristik kimia olein dan stearin MSM sebelum deodorisasi dan olein MSM hasil penelitian Puspitasari (2008)

Penelitian Karakteristik Kimia

Olein Stearin

Puspitasari (2008)

Kadar asam lemak bebas (%)

Bilangan peroksida (mekv/kg)

Kadar air (%)

Karotenoid total (ppm)

Tokoferol total (ppm)

Aktivitas antioksidan (AEAC)

0,696

7,640

0,144

494,070

962,931

406,400

0,607

8,930

0,319

221,870

468,966

184,067

0,16

5,8

0,002

533

-

844,556

Karakteristik kimia olein minyak sawit merah yang dihasilkan dari penelitian

Puspitasari (2008), berbeda dengan karakteristik kimia dalam penelitian ini.

Peningkatan kadar asam lemak bebas dan peroksida diduga disebabkan adanya reaksi

hidrolisis yang terjadi karena adanya kandungan air pada minyak (Jatmika et al.

Page 21: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

1996). Selain itu, hal ini juga diduga karena olein yang digunakan sebagai bahan baku

penelitian ini dikemas dalam botol plastik dan telah mengalami penyimpanan lebih

dari 3 bulan pada suhu kamar dan dalam kondisi yang lembab sebelum dianalisa.

Sehingga terjadi oksidasi minyak oleh oksigen, yang diduga disebabkan oleh lebih

banyaknya oksigen terlarut dalam minyak yang disimpan dalam kemasan botol

plastik. Oksigen lebih besar kemampuannya menembus botol plastik dibandingkan

botol gelas. Hal ini sesuai dengan penelitian Jatmika et al. (1996). Oksigen yang

menembus botol plastik selanjutnya akan menyerang ikatan rangkap asam lemak

tidak jenuh menyebabkan senyawa penyebab ketengikan (Ketaren 2005). Selain itu,

perbedaan ini kemungkinan dikarenakan kekurangtelitian pada saat analisis, sehingga

bilangan peroksida pada penelitian ini lebih tinggi.

B. PROSES DEODORISASI OLEIN DAN STEARIN MINYAK SAWIT M ERAH

Proses deodorisasi yang dilakukan selama 6 jam pada olein dan stearin

berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida,

kadar air, tokoferol, dan aktivitas antioksidan. Dan tidak berpengaruh nyata terhadap

karotenoid total. Dalam penelitian ini analisis pada stearin hanya dilakukan sebelum

deodorisasi dan setelah 6 jam deodorisasi, karena degradasi asam lemak bebas,

peroksida, kadar air, karotenoid, tokoferol, dan aktivitas antioksidan antara olein dan

stearin adalah sama.

1. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Asam Lemak Bebas Olein dan

Stearin Minyak Sawit Merah

Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 3) waktu proses deodorisasi

berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar asam lemak bebas olein dan stearin

minyak sawit merah (p = 0,000). Uji lanjut Duncan (Tabel 13 dan Gambar 5)

menunjukkan kadar asam lemak bebas olein dan stearin setelah deodorisasi

berbeda dengan sebelum deodorisasi. Waktu deodorisasi 1 jam pada olein

menunjukkan kadar asam lemak bebas yang berbeda dengan 2 jam, 4 jam, dan 6

jam.

Tabel 13 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar ALB olein dan stearin minyak sawit merah

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata.

Gambar 5 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan kadar ALB olein dan stearin minyak sawit merah.

Semakin lama waktu deodorisasi, kadar asam lemak bebas semakin kecil.

Gambar 5 memperlihatkan adanya pola asam lemak bebas yang cenderung

menurun dengan bertambahnya waktu deodorisasi. Sedangkan jumlah asam

lemak bebas olein sebelum deodorisasi sebesar 0,696 %. Pada stearin minyak

sawit merah juga menunjukkan penurunan asam lemak bebas setelah

dideodorisasi selama 6 jam. Kadar asam lemak bebas pada stearin minyak sawit

Asam lemak bebas (%) Waktu deodorisasi Olein Stearin

0 jam

1 jam

2 jam

3 jam

4 jam

5 jam

6 jam

0,63600a

0,59933a

0,50967b

0,46967b

0,35233c

0,26300d

0,25833d

0,60700a

0,30600b

Page 22: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

merah sebelum dideodorisasi adalah 0,607 % dan setelah dideodorisasi selama 6

jam menjadi 0,306 %.

Penurunan asam lemak bebas ini dikarenakan asam lemak bebas

terdistilasi selama deodorisasi berlangsung. Dalam penelitian ini proses

deodorisasi dilakukan dengan menggunakan alat vaccum evaporator. Dalam

proses deodorisasi pompa vakum dihidupkan dan uap dialirkan ke dalam alat

dengan tekanan 60 cmHg vakum. Dengan adanya tekanan ini maka asam lemak

bebas dan bau akan menguap dan masuk ke puncak alat, selanjutnya akan dihisap

oleh pompa vakum (Siahaan et al. 2003).

Hasil penelitian Haryanto (2000) dan Siahaan et al. (2003) juga

menunjukkan adanya pengaruh antara suhu dan waktu deodorisasi terhadap kadar

asam lemak bebas. Hal ini menunjukkan keberhasilan proses deodorisasi, karena

kadar asam lemak bebas merupakan salah satu parameter penting untuk

mengetahui keberhasilan proses deodorisasi dan merupakan salah satu indikator

dalam kerusakan minyak. Menurut Siahaan et al. (2003) karena banyak

komponen yang tidak diinginkan dalam minyak yang memiliki tekanan uap dalam

kisaran yang sama dengan asam lemak bebas, maka kandungan asam lemak bebas

merupakan salah satu ukuran keberhasilan deodorisasi.

Asam lemak bebas dalam minyak tidak dikehendaki karena degradasi

asam lemak bebas tersebut menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Jumlah

asam-asam lemak bebas yang semakin meningkat merupakan tanda dari adanya

proses ketengikan dalam bahan pangan. Asam-asam lemak bebas ini dihasilkan

dari proses hidrolisis karena terdapatnya sejumlah air dalam lemak atau minyak

(Bernardini 1983).

2. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Bilangan Peroksida Olein dan

Stearin Minyak Sawit Merah

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa waktu

deodorisasi berpengaruh nyata terhadap penurunan bilangan peroksida olein dan

stearin minyak sawit merah (p = 0,002). Uji lanjut Duncan (Tabel 14 dan Gambar

6) menunjukkan bilangan peroksida olein dan stearin setelah deodorisasi berbeda

dengan sebelum deodorisasi. Waktu deodorisasi 1 jam pada olein berbeda nyata

dengan 4 jam dan 6 jam. Hal ini berarti deodorisasi yang dilakukan selama 6 jam

telah mengurangi bilangan peroksida pada olein dan stearin minyak sawit merah.

Bilangan peroksida sebelum dideodorisasi yaitu 7,64 meq/kg pada olein dan 8,93

meq/kg pada stearin, setelah dideodorisasi selama 6 jam bilangan peroksida turun

menjadi 5,63 meq/kg pada olein dan 5,32 meq/kg pada stearin.

Tabel 14 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap bilangan peroksida olein dan stearin minyak sawit merah

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata.

Gambar 6 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan bilangan peroksida olein

dan stearin minyak sawit merah.

Bilangan peroksida (meq/kg) Waktu deodorisasi Olein Stearin

0 jam

1 jam

2 jam

3 jam

4 jam

5 jam

6 jam

7,63667a

7,62000a

7,27000a

6,62000ab

5,96667bc

5,63333bc

5,31333d

8,9300a

5,3200b

Page 23: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Menurut Hamn dan Min (1994) penurunan peroksida pada proses

deodorisasi dikarenakan peroksida terdekomposisi oleh panas menjadi komponen

volatil yang mempunyai berat molekul yang rendah. Hasil penelitian ini

memperlihatkan bahwa semakin lama waktu deodorisasi maka semakin kecil

bilangan peroksida, yang menunjukkan semakin efektifnya penurunan peroksida

dalam proses deodorisasi.

Bilangan peroksida menunjukkan terjadinya suatu reaksi oksidasi yang

terjadi pada minyak atau lemak yang dipanaskan dan adanya kontak minyak

dengan udara. Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat

kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat

oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida (Shahidi 1997).

3. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Karotenoid Total Olein dan Stearin

Minyak Sawit Merah

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa

waktu deodorisasi tidak berpengaruh nyata terhadap karotenoid total olein dan

stearin minyak sawit merah (p = 0,335). Tetapi kadar karotenoid cenderung

mengalami penurunan setelah deodorisasi selama 6 jam. Dari hasil pengukuran,

nilai karotenoid total pada olein dan stearin minyak sawit merah mengalami

penurunan setelah dideodorisasi selama 6 jam. Kandungan karotenoid olein dan

stearin minyak sawit merah berturut-turut sebelum dideodorisasi sebesar 494,070

ppm dan 221,870 ppm dan setelah dideodorisasi selama 6 jam menjadi 458,600

ppm dan 218,370 ppm.

Penurunan karotenoid disebabkan lamanya pemanasan sehingga karotenoid

terdegradasi dan jumlahnya menurun, semakin tinggi suhu dan semakin lama

waktu deodorisasi mengakibatkan degradasi karotenoid semakin banyak. Hal ini

karena struktur beta karoten mempunyai 11 ikatan rangkap sehingga mudah

terdegradasi oleh panas. Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid peka

terhadap oksidasi (Iwasaki dan Murakoshi 1992). Hal yang sama juga dilaporkan

oleh Rianto (1995), Hastinah (1997), dan Siahaan et al. (2003) yang menggunakan

sistem model minyak sawit merah yang menunjukkan adanya interaksi nyata

antara suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap penurunan kandungan

karotenoid total.

Akan tetapi penurunan karotenoid dalam penelitian ini sangat kecil

jumlahnya, hal ini dikarenakan dalam proses deodorisasi menggunakan tekanan

vakum. Karotenoid bersifat labil terhadap panas akan tetapi, menurut Bauernfeind

(1981), karotenoid stabil terhadap panas pada kondisi O2 yang minimal, sehingga

hanya terjadi sedikit penurunan kadar karotenoid minyak yang dipanaskan sampai

suhu 100oC di bawah tekanan rendah (vakum).

Kadar karotenoid setelah deodorisasi selama 6 jam pada olein dan stearin

minyak sawit merah yaitu 458,600 ppm (µg/gram minyak) dan 218,370 ppm

(µg/gram minyak). Apabila kita mengkonsumsinya sebagai minyak makan, maka

satu sendok makan yang beratnya sekitar 5 gram, maka karotenoid yang masuk ke

tubuh yaitu sekitar 2.293,00 µg olein dan 1.091,85 µg stearin. Kebutuhan gizi rata-

rata vitamin A yang dianjurkan per orang per hari yaitu sekitar 600 µg RE/hari

(setara dengan 3.600 µg karoten sawit merah) untuk orang dewasa, sedangkan

untuk anak-anak yaitu sekitar 300 µg RE/hari (setara dengan 1.800 µg karoten

minyak sawit merah) (FAO 2001). Sehingga 1½ sendok makan olein minyak sawit

merah dapat memenuhi kebutuhan vitamin A orang dewasa dan ¾ sendok makan

olein cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin A anak-anak.

4. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Tokoferol Total Olein dan Stearin

Minyak Sawit Merah

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa

waktu deodorisasi berpengaruh nyata terhadap tokoferol total olein dan stearin

minyak sawit merah (p = 0,000). Uji lanjut Duncan (Tabel 15 dan Gambar 7)

menunjukkan bahwa olein dan stearin setelah deodorisasi berbeda kadar

tokoferolnya dengan sebelum deodorisasi. Tokoferol total pada olein dan stearin

sebelum deodorisasi lebih tinggi daripada setelah deodorisasi. Tokoferol total

menunjukkan jumlah yang menurun dengan bertambahnya waktu deodorisasi.

Page 24: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Tabel 15 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak

berbeda nyata.

Gambar 7 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah.

Kadar tokoferol pada olein dan stearin sebelum deodorisasi sebesar

962,931 ppm dan 468,966 ppm sedangkan setelah deodorisasi 6 jam menjadi

843,966 ppm dan 401,723 ppm. Penurunan kadar tokoferol selama deodorisasi

disebabkan karena tokoferol terdegradasi oleh panas. Siahaan et al. (2003)

Tokoferol total (ppm) Waktu deodorisasi Olein Stearin

0 jam

1 jam

2 jam

3 jam

4 jam

5 jam

6 jam

962,93100a

937,06900ab

930,17250b

898,27600c

884,48300cd

865,51700de

843,96550e

468,966a

401,723b

melaporkan hal yang sama bahwa adanya pengaruh pemanasan terhadap

penurunan tokoferol. Namun, kadar tokoferol ini masih menunjukkan jumlah

yang cukup tinggi yaitu 843,966 ppm dan 401,723 ppm pada olein dan stearin.

Selain provitamin A, minyak sawit juga merupakan salah satu sumber

terkaya tokoferol (vitamin E). Kadar vitamin E di dalam minyak sawit kira-kira

sebanding dengan yang terdapat dalam minyak jagung dan kedelai. Kadar

vitamin E dalam minyak sawit dapat mencapai 1000 ppm. Dalam hal ini vitamin

E berfungsi sebagai scavenger radikal bebas dalam tubuh manusia (Winarno

1999).

Tokoferol (vitamin E) merupakan salah satu antioksidan yang sangat

penting. Tokoferol ini merupakan salah satu antioksidan yang efektif dalam lemak

dan minyak yang dikandung pada makanan, karena tokoferol merupakan

scavenger peroksi radikal untuk membentuk produk yang relatif stabil (Fang &

Wada 1993). Menurut Che Man et al. (2005), Vitamin E, khususnya α-tokoferol,

memiliki fungsi antioksidan yang sangat penting di dalam membran sel dan

memiliki aktivitas biologis yang sangat tinggi.

Kebutuhan tubuh akan vitamin E pada setiap orang berbeda-beda.

Kebutuhan vitamin E yang dianjurkan menurut RDA (Recommended Dietary

Allowence) bagi orang dewasa berkisar antara 2,6 – 15,4 mg/hari dengan rata-rata

7,4 mg/hari. Kadar tokoferol (vitamin E) pada olein dan stearin yang telah

dideodorisasi yaitu 843,966 ppm (µg/g minyak) dan 401,723 ppm (µg/g minyak).

Hal ini berarti satu sendok makan olein yang beratnya sekitar 5 gram,

mengandung 4.219,830 µg atau setara dengan 4,220 mg vitamin E. Sedangkan

satu sendok stearin mengandung 2.008,615 µg atau setara dengan 2,009 mg

vitamin E. Sehingga dapat disimpulkan bahwa satu sendok makan olein minyak

sawit merah dapat memenuhi 57 % atau ½ dari kebutuhan vitamin E pada orang

dewasa dan satu sendok stearin dapat memenuhi kebutuhan 27,15 % vitamin E.

5. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Aktivitas Antioksidan Olein dan

Stearin Minyak Sawit Merah

Page 25: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa waktu

deodorisasi berpengaruh nyata terhadap penurunan aktivitas antioksidan olein dan

stearin minyak sawit merah (p = 0,000). Uji lanjut Duncan (Tabel 16 dan Gambar

8) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan olein dan stearin setelah deodorisasi

berbeda dengan sebelum deodorisasi. Waktu deodorisasi 1 jam pada olein berbeda

nyata dengan 3 jam, 4 jam, 5 jam, dan 6 jam.

Nilai aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah

mengalami penurunan setelah deodorisasi selama 6 jam. Aktivitas antioksidan

olein dan stearin sebelum deodorisasi yaitu 409,733 AEAC dan 183,067 AEAC.

Setelah deodorisasi nilai aktivitas antioksidan pada olein dan stearin menurun

menjadi 294,567 AEAC dan 135,734 AEAC. Penurunan tersebut terjadi karena

adanya komponen antioksidan yang terdegradasi oleh panas, seperti karotenoid dan

tokoferol yang menurun jumlahnya.

Tabel 16 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata.

Aktivitas antioksidan (AOAC) Waktu deodorisasi Olein Stearin

0 jam

1 jam

2 jam

3 jam

4 jam

5 jam

6 jam

406,40000a

387,06650b

384,40000b

360,90000c

341,40000d

319,73350e

294,56650f

184,067a

135,734b

Gambar 8 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah.

Farombi dan Britton (1998) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan

minyak sawit disebabkan oleh kandungan senyawa aktif yaitu karotenoid dan

tokoferol. Hal ini dinyatakan berdasarkan penelitiannya yang mengukur aktivitas

antioksidan minyak sawit kasar dalam menetralkan senyawa radikal phospatidyl

cholin hydroperoxide (PCOOH). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa nilai

aktivitas antioksidan minyak sawit disebabkan oleh antioksidan dari semua

komponen aktif yang ada pada minyak sawit yaitu karotenoid dan tokoferol.

Antioksidan terdapat secara alamiah dalam lemak nabati. Ada dua macam

antioksidan, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Contoh

antioksidan primer diantaranya tokoferol, karotenoid, lesitin, fosfatida, sesamol,

gosipol dan asam askorbat. Sedangkan antioksidan sekunder contohnya adalah

asam organik seperti asam sitrat (Winarno 1997).

Walaupun demikian, aktivitas antioksidan olein dan stearin terdeodorisasi

masih menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Nilai aktivitas antioksidan 293,733

AEAC pada olein berarti olein memiliki kapasitas antioksidan setara dengan

kapasitas antioksidan asam askorbat konsentrasi 293,733 ppm. Dan nilai 136,400

AEAC pada stearin berarti stearin memiliki kapasitas antioksidan setara dengan

kapasitas antioksidan asam askorbat konsentrasi 136,400 ppm.

Page 26: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Dwiyanti (1997) melaporkan hal yang sama mengenai pengaruh

pemanasan terhadap aktivitas antioksidan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

aktivitas antioksidan pada minyak yang dipanaskan pada suhu 160oC selama 60,

90, dan 120 menit menalami penurunan menjadi 16,86%, 22,04%, dan 19,03% dari

besarnya aktivitas antioksidan awal. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh waktu

pemanasan terhadap aktivitas antioksidan.

Pengukuran aktivitas antioksidan diukur dengan metode penangkapan

radikal bebas stabil DPPH. Pengukuran aktivitas antioksidan metode ini

menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna

ungu tua (deep violet) terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517

nm. Menurut Molyneux (2004), suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas

antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya

untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPP Hidrazin, ditandai dengan semakin

hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat).

Asam askorbat (Vitamin C) digunakan sebagai standar pengukuran

aktivitas antioksidan dalam penelitian ini. Kemampuan aktivitas asam askorbat

dalam berbagai konsentrasi untuk menangkap radikal bebas stabil DPPH dipetakan

dalam kurva standar asam askorbat. Dari kurva tersebut kemudian diperoleh

persamaan regresi. Persamaan regresi ini selanjutnya digunakan untuk mengetahui

aktivitas antioksidan sampel (olein dan stearin minyak sawit merah terdeodorisasi)

yang disetarakan dengan aktivitas asam askorbat (donor atom hidrogen) dalam

menangkap radikal bebas stabil DPPH. Sehingga hasil akhir pengukuran aktivitas

antioksidan sampel dinyatakan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent

Antioxidant Capacity).

6. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Kadar Air Olein dan Stearin Minyak

sawit Merah

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa waktu

deodorisasi berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar air olein dan stearin

minyak sawit merah (p = 0,043). Uji lanjut Duncan (Tabel 17 dan Gambar 9)

menunjukkan bahwa kadar air pada olein dan stearin sebelum deodorisasi berbeda

nyata dengan kadar air setelah deodorisasi.

Tabel 17 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar air olein dan stearin minyak sawit merah

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak

berbeda nyata.

Gambar 9 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan kadar air olein dan stearin minyak sawit merah.

Kadar air olein dan stearin mengalami penurunan setelah dideodorisasi

selama 6 jam. Kadar air awal olein yaitu 0,144% dan kadar air awal stearin

Kadar air (%) Waktu deodorisasi Olein Stearin

0 jam

1 jam

2 jam

3 jam

4 jam

5 jam

6 jam

0,14450a

0,11100ab

0,09800b

0,09350b

0,09150b

0,08800b

0,08350b

0,320a

0,123b

Page 27: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

0,319%, setelah deodorisasi kadar air pada olein dan stearin menjadi 0,082% dan

0,121%. Hal ini terjadi karena adanya penguapan air disebabkan pemanasan. Suhu

deodorisasi yang digunakan sama dengan titik didih air yaitu 100oC sehingga

terjadi penguapan. Menurut Winarno (1997), bila suhu air meningkat, jumlah rata-

rata molekul air dalam kerumunan molekul air menurun dan ikatan hidrogen putus

dan terbentuk lagi secara cepat. Bila air dipanaskan lebih tinggi lagi sehingga

molekul-molekul air bergerak demikian cepat, beberapa molekul dapat melarikan

diri dari permukaan dan menjadi gas.

Penurunan kadar air setelah deodorisasi juga dilaporkan oleh Sahidin et al.

(2003). Sahidin et al. (2003) melakukan optimasi deodorisasi olein pada beberapa

kombinasi suhu dan waktu. Kadar air hasil optimasinya yaitu 0,009%, lebih

rendah dari kadar air pada penelitian ini yaitu sebesar 0,082%. Namun, kadar air

hasil penelitian ini masih di bawah kadar air maksimum yang disyaratkan oleh

SNI 01-3741-2002 yaitu 0,3% untuk minyak goreng. Hal ini menunjukkan

kualitas olein dan stearin sesuai dengan standar untuk minyak goreng.

Kadar air merupakan salah satu parameter mutu minyak sawit yang

mempengaruhi keasaman. Kandungan air pada minyak yang terlalu besar akan

mempercepat kerusakan minyak akibat hidrolisis sehingga terjadi peningkatan

asam lemak bebas (ALB) (Ketaren 2005). Kandungan air juga ikut menentukan

daya tahan bahan makanan. Kandungan air yang tinggi dalam bahan

menyebabkan daya tahan bahan rendah. Untuk memperpanjang daya tahan suatu

bahan, sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan berbagai cara

tergantung dari jenis bahan tersebut (Winarno 1997).

Berdasarkan hasil pengaruh waktu deodorisasi terhadap karakteristik

kimia olein dan stearin di atas, maka hasil deodorisasi 6 jam digunakan untuk uji

selanjutnya yaitu sebagai medium penggorengan tempe dan ubi jalar.

Karakteristik kimia olein dan stearin hasil deodorisasi 6 jam disajikan pada Tabel

18.

Tabel 18 Karakteristik kimia olein dan stearin MSM hasil deodorisasi 6 jam

C. PERUBAHAN KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN MINYAK SA WIT

MERAH TERDEODORISASI SETELAH PENGGORENGAN

Olein dan stearin yang telah dideodorisasi selama 6 jam diaplikasikan sebagai

medium penggorengan untuk tempe dan ubi jalar putih. Tempe dan ubi jalar putih

dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa tempe dan ubi mudah diperoleh dan dikenal

oleh masyarakat. Tempe mewakili produk pangan yang mudah menyerap minyak

sedangkan ubi mewakili produk pangan yang sedikit menyerap minyak. Kemudian

olein dan stearin yang telah dipakai untuk menggoreng, yaitu setelah penggorengan

ke-1, ke-3, dan ke-10 dianalisa. Analisa yang dilakukan terhadap olein dan stearin

tersebut yaitu kadar air, karotenoid total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan.

Secara keseluruhan karakteristik olein dan stearin setelah penggorengan disajikan

pada Tabel 19.

Karakteristik Kimia Olein Stearin

Kadar asam lemak bebas (%)

Bilangan peroksida (mekv/kg)

Kadar air (%)

Karotenoid total (ppm)

Tokoferol total (ppm)

Aktivitas antioksidan (AEAC)

0,258

5,310

0,082

458,600

843,966

294,587

0,306

5,320

0,123

218,370

401,723

135,734

Page 28: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Tabel 19 Karakteristik kimia olein dan stearin MSM setelah penggorengan

Penggorengan ke- Karakteristik Kimia Jenis

MSM 0 1 3 10

Kadar air (%) Karotenoid total (ppm) Tokoferol total (ppm) Aktivitas antioksidan (AEAC)

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

0,083

0,123

458,600

221,870

843,966

401,723

51,528

27,179

0,040

0,056

330,260

187,630

743,908

304,443

42,821

21,231

0,031

0,045

220,440

116,550

646,571

273,732

19,744

12,564

0,016

0,037

84,690

49,050

419,453

67,518

8,667

6,615

1. Kadar Air

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan berpengaruh

nyata terhadap kadar air olein dan stearin minyak sawit merah (p = 0,004) dan uji

lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar air olein dan stearin yang digunakan

sebagai medium penggorengan berbeda nyata dengan kadar air olein dan stearin

sebelum dilakukan penggorengan (Lampiran 9). Kadar air olein dan stearin

setelah dilakukan penggorengan lebih rendah daripada sebelum dilakukan

penggorengan (Tabel 19). Hubungan antara ulangan penggorengan dengan kadar

air olein dan stearin disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 menunjukkan terjadinya penurunan kadar air pada olein

maupun stearin setelah penggorengan, mulai dari penggorengan ke-1 hingga

penggorengan ke-10. Kadar air olein awal yaitu sebesar 0,083 %, setelah

penggorengan ke-1 turun menjadi 0,040 %, setelah penggorengan ke-3 dan ke-10

menjadi 0,031 % dan 0,016 %. Sedangkan pada stearin kadar air mula-mula

sebesar 0,123 %, setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 terus mengalami

penurunan yaitu berturut-turut sebesar 0.056 %, 0.045 %, dan 0.037 % (Lampiran

9). Terjadinya penurunan kadar air ini disebabkan adanya penguapan air yang

terkandung di dalam minyak karena dipanaskan secara terus menerus.

Gambar 10 Hubungan antara ulangan penggorengan dengan kadar air olein dan stearin minyak sawit merah.

Kadar air merupakan salah satu parameter yang menentukan daya tahan

suatu bahan makanan. Kandungan air yang tinggi dalam bahan menyebabkan daya

tahan bahan rendah. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air

dalam bahan harus dihilangkan dengan berbagai cara tergantung dari jenis bahan

(Winarno 1997). Kadar air yang semakin rendah pada olein dan stearin setelah

dilakukan penggorengan, menunjukkan bahwa olein dan stearin semakin tahan

terhadap hidrolisis.

2. Karotenoid Total

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan

memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan karotenoid total pada olein dan

stearin (p = 0,000) dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa olein maupun stearin

setelah dilakukan penggorengan berbeda karotenoid totalnya dengan olein dan

stearin sebelum dilakukan penggorengan (Lampiran 10). Kadar karotenoid semakin

menurun dengan bertambahnya ulangan penggorengan (Tabel 19). Hubungan

antara ulangan penggorengan dengan karotenoid total olein dan stearin disajikan

pada Gamber 11.

Page 29: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Gambar 11 Hubungan antara ulangan penggorengan dengan kandungan karotenoid olein dan stearin minyak sawit merah.

Karotenoid total mula-mula pada olein adalah sebesar 458,60 ppm, setelah

penggorengan pertama karotenoid total turun menjadi 330,26 ppm. Setelah

penggorengan ke-3 dan ke-10 karotenoid total menjadi 220,44 ppm dan 84,69 ppm.

Pada stearin karotenoid mula-mula sebesar 221,87 ppm setelah penggorengan

pertama karotenoid total turun menjadi 187,63 ppm. Dan setelah penggorengan ke-

tiga dan ke-sepuluh menjadi 116,55 ppm dan 49,05 ppm. Kecepatan rusaknya

oksidasi karotenoid oleh panas meningkat dengan bertambahnya waktu

penggorengan. Akan tetapi, nilai ini menunjukkan bahwa pada olein dan stearin

minyak sawit merah yang telah dipakai untuk menggoreng hingga 10 kali ternyata

masih mengandung banyak karotenoid.

Nurdini (1997) menggunakan minyak sawit merah untuk medium

penggorangan kerupuk udang. Minyak sawit merah digunakan untuk menggoreng

sampai frekuensi ke-50 tanpa diganti atau ditambahkan. Hasil analisisnya

menunjukkan terjadinya penurunan karotenoid total pada minyak setelah dilakukan

penggorengan yang berulang. Kehilangan karotenoid total disebabkan karena

terjadinya kerusakan oleh panas atau terdegradasi. Degradasi β-karoten oleh panas

akan menghasilkan senyawa-senyawa yang mudah dan tidak mudah menguap

(Sahidin et a/. 2000).

3. Tokoferol Total

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan

memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan tokoferol total pada olein

maupun stearin (p = 0,000) dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa baik olein

maupun stearin setelah dilakukan penggorengan memperlihatkan kadar tokoferol

yang berbeda dengan olein dan stearin sebelum dilakukan penggorengan

(Lampiran 11). Kadar tokoferol semakin menurun dengan bertambahnya ulangan

penggorengan (Tabel 19). Hubungan antara ulangan penggorengan dengan

tokoferol total olein dan stearin disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Hubungan antara ulangan penggorengan dengan tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah.

Kadar tokoferol total pada olein maupun stearin menunjukkan terjadinya

penurunan jumlah setelah mengalami penggorengan hingga 10 kali. Tokoferol

awal pada olein dan stearin minyak sawit merah yaitu sebesar 843,966 ppm dan

401,723 ppm. Setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 pada olein berturut-

turut menjadi 743,908 ppm, 646,571 ppm, dan 419,453 ppm. Sedangkan pada

Page 30: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

stearin berturut-turut setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 yaitu 304,443

ppm, 273,732 ppm, dan 67,518 ppm.

Pemanasan secara berulang dan terus menerus hingga sepuluh kali

menyebabkan terjadinya degradasi tokoferol, sehingga terjadi penurunan

tokoferol total pada olein dan stearin minyak sawit merah. Akan tetapi, jumlah

tokoferol yang bertahan di dalam minyak masih cukup tinggi. Menurut Berger

(1988), tokoferol tahan terhadap pemanasan hingga suhu 180oC. Sehingga total

tokoferol pada olein dan stearin minyak sawit merah jumlahnya masih tinggi

walaupun telah dilakukan penggorengan hingga sepuluh kali.

4. Aktivitas Antioksidan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan

berpengaruh nyata (p = 0,000) terhadap penurunan aktivitas antioksidan olein dan

stearin dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa olein dan stearin sebelum

dilakukan penggorengan berbeda dengan olein dan stearin setelah penggorengan

(Lampiran 12). Aktivitas antioksidan setelah dilakukan penggorengan lebih

rendah daripada sebelum penggorengan (Tabel 19). Aktivitas antioksidan semakin

menurun dengan bertambahnya ulangan penggorengan. Hubungan antara ulangan

penggorengan dengan aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah

disajikan pada Gambar 13.

Aktivitas antioksidan sebelum dilakukan penggorengan yaitu sebesar

294,567 AEAC pada olein dan sebesar 135,734 AEAC pada stearin. Setelah

penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 pada aktivitas antioksidan pada olein yaitu

sebesar 244,734 AEAC, 94,733 AEAC, dan 22,733 AEAC. Sedangkan aktivitas

antioksidan pada stearin setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 yaitu sebesar

104,400 AEAC, 48,067 AEAC, dan 9,400 AEAC.

Pemanasan yang berulang-ulang menyebabkan aktivitas antioksidan pada

olein dan stearin menurun. Hal ini juga seperti yang diungkapkan oleh Gordon

(2001) yang menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dalam produk pangan

dipengaruhi oleh suhu, komposisi makanan, struktur produk dan keberadaan

oksigen. Selain itu, penurunan aktivitas antioksidan juga disebabkan adanya

penurunan total karotenoid dan tokoferol. Penurunan karotenoid dan tokoferol

berkorelasi positif terhadap penurunan aktivitas antioksidan. Seperti yang

dilaporkan oleh Farombi dan Britton (1999) bahwa nilai aktivitas antioksidan

minyak sawit disebabkan oleh antioksidan dari semua komponen aktif yang ada

pada minyak sawit yaitu karotenoid dan tokoferol. Tokoferol bersama karotenoid

akan bersinergi dalam melakukan aktivitas antioksidannya.

Gambar 13 Hubungan antara ulangan penggorengan dengan aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah.

D. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KIMIA TEMPE DAN UBI SETELAH

PENGGORENGAN

Tempe dan ubi setelah digoreng dengan olein maupun stearin hasil deodorisasi 6

jam kemudian dianalisa kadar air, kadar lemak, karotenoid total, tokoferol total, dan

aktivitas antioksidan. Karakteristik kimia tempe dan ubi setelah penggorengan

disajikan pada Tabel 20.

Page 31: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Tabel 20 Karakteristik kimia tempe dan ubi setelah penggorengan

Penggorengan ke- Karakteristik Kimia Jenis

Produk

Jenis

MSM 0 1 3 10

Kadar air (%) Kadar lemak (%) Karotenoid total (ppm) Tokoferol total (ppm) Aktivitas antioksidan (AEAC)

Tempe

Ubi

Tempe

Ubi

Tempe

Ubi

Tempe

Ubi

Tempe

Ubi

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Stearin

Olein

Sterin

63,419

63,419 68,49

68,449 29,373

29,373 2,210

2,210 6,379

6,379 0,323

0,323 7,698

7,698 -

- 13,400

13,400 8,223

8,223

21,811

28,126

30,343

38,379

55,927

51,399

13,556

11,960

198,249

153,556

47,249

24,969

442,277

177,544 100,157

37,361 53,333

37,026 50,769

35,385

20,896

30,262

24,577

26,388

59,024

50,365

13,244

12,181 103,520

80,673 21,828

13,058 402,504

156,347 82,157

37,361 39,179

31,180 36,718

25,385

24,966

20,656

37,251

34,898

57,896

55,409

10,852

10,484

40,009

29,183

5,764

3,949

271,873

96,026

46,461

7,520

23,846

20,769

21,282

20,256

1. Kadar Air Tempe dan Ubi Jalar

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan

olein maupun stearin berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar air tempe dan

ubi (p = 0,000) dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar air tempe dan

ubi sebelum digoreng berbeda dengan tempe dan ubi setelah digoreng

menggunakan olein maupun stearin minyak sawit merah (Lampiran 13). Kadar air

tempe dan ubi setelah digoreng lebih rendah daripada sebelum digoreng dan

menunjukkan penurunan setelah digoreng (Tabel 20). Hubungan antara ulangan

penggorengan minyak dengan kadar air tempe dan ubi disajikan pada Gambar 14

dan 15.

Kadar air tempe sebelum penggorengan sebesar 63,420 % (b/b) sedangkan

kadar air ubi sebelum penggorengan adalah 68,443 % (b/b). Setelah digoreng baik

dengan olein maupun dengan stearin minyak sawit merah, kadar air pada tempe

berkisar antara 20 – 30%. Sedangkan kadar air pada ubi setelah digoreng dengan

olein maupun stearin minyak sawit merah berkisar antara 20 – 40 %.

Penurunan kadar air ini disebabkan oleh penguapan air dari tempe dan ubi

ketika mengalami proses penggorengan, dimana suhu penggorengan jauh di atas

titik didih air. Air dari bahan yang digoreng keluar, sebaliknya minyak terserap

masuk ke dalam bahan yang digoreng.

Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nurdini (1997) dan Jatmiko dan

Guritno (1997). Nurdini (1997) menggunakan minyak sawit merah untuk medium

penggorengan kerupuk udang. Kadar air kerupuk udang mengalami penurunan

yang tajam setelah digoreng. Sedangkan Jatmiko dan Guritno (1997) menggunakan

minyak sawit merah untuk medium penggorengan tahu dan telur. Kadar air pada

tahu dan telur juga menunjukkan penurunan setelah digoreng. Kadar air tahu

setelah digoreng 365,2% lebih besar daripada telur yaitu 124,4%. Menurut Jatmiko

dan Guritno (1997) perbedaan kadar air pada produk setelah penggorengan diduga

karena dipengaruhi oleh porositas produk pangan yang bersangkutan.

Analisis kadar air dilakukan terhadap olein dan stearin karena kadar air

berpengaruh terhadap penyerapan minyak tempe dan ubi jalar yang selanjutnya

berpengaruh terhadap penyerapan karotenoid dan tokoferol. Air pada pada tempe

dan ubi akan keluar pada saat digoreng dan digantikan dengan minyak yang

terserap ke dalam produk. Sedangkan minyak merupakan medium pelarut

karotenoid dan tokoferol.

Page 32: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

0

20

40

60

80

Kad

ar a

ir (%

)

0 1 3 10

Frekuensi Penggorengan

Kadar Air Tempe

Digoreng dg oleinDigoreng dg stearin

Gambar 14 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar air

tempe.

Gambar 15 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar air ubi jalar.

2. Kadar Lemak Tempe dan Ubi Jalar

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan

olein maupun dengan stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata

terhadap kadar lemak tempe dan ubi (p = 0,000) dan uji lanjut Duncan

menunjukkan bahwa kadar lemak tempe dan ubi baik yang digoreng dengan olein

maupun stearin yang digunakan pada penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berbeda

dengan kadar lemak tempe dan ubi sebelum digoreng (Lampiran 14). Kadar

lemak menunjukkan peningkatan setelah tempe maupun ubi digoreng (Tabel 20).

Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak tempe dan

ubi disajikan pada Gambar 16 dan 17.

Gambar 16 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak tempe.

Gambar 17 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak

ubi jalar.

Kadar lemak pada tempe setelah digoreng dengan olein maupun stearin

minyak sawit merah berkisar antara 50 – 60 %. Sedangkan kadar lemak pada ubi

jalar setelah digoreng dengan olein maupun stearin minyak sawit merah yaitu

Page 33: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

berkisar antara 10 – 15 %. Sebagaimana perubahan kadar air, kenaikan kadar

lemak ini juga disebabkan oleh pertukaran massa selama proses penggorengan.

Lemak atau minyak merupakan medium pelarut karotenoid dan tokoferol,

sehingga kadar lemak akan berpengaruh terhadap penyerapan karotenoid dan

tokoferol pada produk setelah digoreng. Semakin banyak minyak yang terserap

maka akan semakin tinggi karotenoid dan tokoferolnya. Ubi jalar menyerap

minyak yang lebih sedikit sehingga kadar lemaknya lebih rendah daripada tempe

setelah digoreng. Hal ini disebabkan adanya perbedaan porositas pada tempe dan

ubi jalar sehingga penyerapan minyak pada keduanya juga berbeda. Selain itu,

kadar lemak awal pada ubi jalar juga jauh lebih sedikit daripada tempe.

Nurdini (1997) mengungkapkan bahwa kadar lemak kerupuk udang

meningkat tajam setelah mengalami penggorengan. Jatmiko dan Guritno (1997)

juga mengungkapkan hal yang sama terhadap kadar lemak tahu dan telur. Kadar

lemak telur lebih besar daripada kadar lemak tahu setelah dilakukan penggorengan.

Kadar lemak tahu setelah digoreng sebesar 11,25 % sedangkan kadar lemak telur

sebesar 56,88%. Hal ini menurut Jatmiko dan Guritno (1997) disebabkan

perbedaan porositas pada tahu dan telur sehingga penyerapan minyak pada

keduanya memiliki perbedaan.

3. Karotenoid Total Tempe dan Ubi Jalar

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan

olein maupun stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata terhadap

peningkatan karotenoid total tempe dan ubi (p = 0,000). Hasil analisis

memperlihatkan bahwa terjadinya penyerapan karotenoid pada tempe dan ubi

jalar yang digoreng baik dengan olein maupun dengan stearin minyak sawit

merah (Tabel 20). Akan tetapi, setelah minyak dipakai berulang jumlah

karotenoid yang diserap oleh tempe maupun ubi jalar mengalami penurunan. Uji

lanjut Duncan menunjukkan bahwa karotenoid total tempe dan ubi sebelum

digoreng berbeda dengan karotenoid tempe dan ubi setelah digoreng (Lampiran

15). Karotenoid setelah penggorengan ke-1 lebih tinggi dari penggorengan ke-3

dan penggorengan ke-3 lebih tinggi dari penggorengan ke-10. Hubungan antara

ulangan penggorengan dengan karotenoid total tempe dan ubi disajikan pada

Gambar 18 dan 19.

Karotenoid total pada tempe sebelum digoreng dengan olein maupun

stearin minyak sawit merah, sebesar 6,379 ppm. Setelah digoreng dengan olein

maupun stearin minyak sawit merah karotenoid total pada tempe mengalami

peningkatan. Karotenoid tempe yang digoreng dengan olein minyak sawit merah

setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berturut-turut sebesar 198,249 ppm,

103,520 ppm, dan 40,009 ppm. Sedangkan yang digoreng dengan stearin minyak

sawit merah setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berturut-turut sebesar

153,556 ppm, 80,673 ppm, dan 29,183 ppm.

Sedangkan karotenoid total pada ubi jalar setelah penggorengan ke-1, ke-

3, dan ke-10 dengan olein minyak sawit merah berturut-turut yaitu 47,249 ppm,

21,828 ppm, dan 5,764 ppm. Dan pada ubi yang digoreng dengan stearin setelah

penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 yaitu sebesar 24,969 ppm, 13,058 ppm, dan

3,949 ppm. Karotenoid total awal ubi jalar sebesar 0,323 ppm.

0

50100

150200

250300350

400

Kar

ote

no

id T

ota

l (p

pm

)

0 1 3 10

Frekuensi Penggorengan

Karotenoid Total Tempe

Digoreng dg Olein

Digoreng dg Stearin

Gambar 18 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan karotenoid total pada tempe.

Page 34: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

0

10

20

30

40

50

Ka

rote

noid

To

tal (

ppm

)

0 1 3 10

Frekuensi Penggorengan

Total Karotenoid Ubi Jalar

Digoreng dg OleinDigoreng dg Stearin

Gambar 19 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan total karotenoid pada ubi jalar putih.

Perbedaan jumlah karotenoid pada tempe dan ubi jalar setelah

penggorengan baik yang digoreng dengan olein maupun yang digoreng dengan

stearin minyak sawit merah, disebabkan adanya perbedaan kadar karotenoid awal.

Selain itu, juga dipengaruhi oleh kadar lemak masing-masing produk karena

karotenoid larut dalam lemak.

Tahu dan telur yang digoreng dengan minyak sawit merah (hasil penelitian

Jatmika dan Guritno (1997) juga mengalami peningkatan jumlah karotenoid. Tahu

yang digoreng dengan minyak sawit merah mempunyai kadar karotenoid sebesar

5,15 ppm. Pada telur, penyerapan karoten ternyata lebih besar dibandingkan tahu.

Telur yang digoreng dengan minyak sawit merah memiliki kandungan karoten

sebesar 34,8 ppm. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan minyak yang terserap

pada tahu dan telur. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nurdini (1997) terhadap

kadar karotenoid pada kerupuk udang. Kadar karotenoid pada kerupuk udang

mengalami peningkatan setelah digoreng dengan minyak sawit merah. Total

karotenoid kerupuk pada suhu 165oC lebih tinggi daripada pada suhu 155oC.

Menurut Nurdini (1997), hal ini dipengaruhi oleh kandungan minyak yang terdapat

pada kerupuk dimana semakin besar minyak yang terserap ke dalam kerupuk,

semakin tinggi kandungan karotenoid per gram kerupuknya.

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, karotenoid pada tempe

goreng dan ubi goreng pada frekuensi penggorengan pertama yaitu sebesar 198,249

ppm (µg/gram tempe) dan 47,249 ppm (µg/gram ubi). Apabila kita mengkonsumsi

satu potong tempe atau ubi tersebut yang beratnya kira-kira 10 gram per potong,

maka karoten yang masuk ke tubuh sebesar 1.982,49 µg dan 472,249 µg.

Kebutuhan gizi rata-rata vitamin A yang dianjurkan per orang per hari

untuk anak-anak sekitar 300 µg/hari, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 600

µg/hari (FAO 2001). Nilai 1 RE setara dengan 6 µg karoten, sehingga kebutuhan

rata-rata vitamin A untuk anak-anak setara dengan 1.800 µg karoten dan untuk

orang dewasa setara dengan 3.600 µg karoten.

Nilai satu potong tempe dan ubi yang digoreng dengan olein minyak sawit

merah setelah penggorengan pertama sekitar 1.982,49 µg dan 472,49 µg. Nilai satu

potong tempe yang digoreng dengan olein minyak sawit merah setelah

penggorengan pertama telah memenuhi setengah dari kebutuhan vitamin A per hari

bagi orang dewasa, sedangkan nilai satu potong ubi telah memenuhi ¼ kebutuhan

vitamin A per hari bagi anak-anak. Nilai ini setara dengan sekitar 480 gram wortel.

Menurut Nagendran (2000), provitamin A pada minyak sawit merah jumlahnya

equivalen dengan 15 kali provitamin A pada wortel dan 300 kali provitamin A

pada tomat.

4. Tokoferol Total Tempe dan Ubi Jalar

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan

olein maupun dengan stearin minyak sawit merah berpengaruh nyata terhadap

tokoferol total tempe dan ubi (p = 0,000). Tempe dan ubi mengalami peningkatan

kadar tokoferol setelah digoreng dengan olein maupun dengan stearin minyak

sawit merah (Tabel 20). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tempe dan ubi

baik yang digoreng dengan olein maupun dengan stearin yang digunakan pada

penggorengan ke-1 memperlihatkan kandungan tokoferol berbeda dengan bahan

sebelum digoreng (Lampiran 16). Tokoferol total pada tempe dan ubi yang

digoreng lebih tinggi dari bahan sebelum digoreng. Hubungan antara ulangan

Page 35: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

penggorengan minyak dengan tokoferol total tempe dan ubi disajikan pada

Gambar 20 dan 21.

Tempe mentah memiliki kandungan tokoferol (vitamin E) yang cukup

tinggi yaitu sebesar 46,136 ppm, sedangkan ubi jalar memiliki kandungan

tokoferol yang sangat kecil bahkan tidak terdeteksi pada uji total tokoferol dalam

penelitian ini. Total tokoferol pada tempe setelah digoreng dengan olein minyak

sawit merah setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 yaitu 442,277 ppm,

402,505 ppm, dan 271,873 ppm. Setelah digoreng dengan stearin minyak sawit

merah yaitu berturut-turut sebesar 177,544 ppm, 156,347 ppm, dan 96,026 ppm.

Sedangkan pada ubi jalar tokoferol total setelah digoreng dengan olein dan stearin

minyak sawit merah setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berturut-turut

sebesar 100,157 ppm dan 37,361 ppm, 82,599 ppm dan 33,390 ppm, dan 46,461

ppm dan 7,520 ppm.

Seperti halnya vitamin A, tokoferol (vitamin E) juga merupakan

antioksidan. Vitamin E membantu menstabilkan membran sel, mengatur reaksi

oksidasi dan melindungi vitamin A. Dalam peranannya sebagai anti oksidan,

vitamin E mempunyai pengaruh besar terhadap sel, seperti sel darah merah dan

sel darah putih yang melewati paru-paru (Bender 2006).

0

100

200

300

400

500

To

kofe

rol T

ota

l (p

pm

)

0 1 3 10

Frekuensi Penggorengan

Tokoferol Total Tempe

Digoreng dg OleinDigoreng dg Stearin

Gambar 20 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan total tokoferol pada tempe.

0

20

40

60

80

100

120

To

kofe

rol T

ota

l (p

pm

)

0 1 3 10

Frekuensi Penggorengan

Tokoferol Total Ubi Jalar

Digoreng dg Olein

Digoreng dg Stearin

Gambar 21 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan total tokoferol pada ubi jalar.

Kebutuhan vitamin E yang dianjurkan menurut RDA (Recommended

Dietary Allowence) bagi orang dewasa yaitu berkisar antara 2,6 – 15,4 mg/hari

dengan rata-rata 7,4 mg/hari. Kadar tokoferol pada tempe dan ubi jalar yang

digoreng dengan olein minyak sawit merah setelah penggorengan pertama yaitu

sebesar 442,277 ppm (µg/gram tempe) dan 100,157 ppm (µg/gram ubi). Satu

potong tempe dan ubi goreng tersebut yang beratnya sekitar 10 g, mengandung

4,423 mg dan 1,0 mg tokoferol (vitamin E). Hal ini, berarti satu potong tempe

goreng tersebut dapat memenuhi sekitar 59 % kebutuhan vitamin E per hari untuk

orang dewasa. Sedangkan satu potong ubi goreng dapat memenuhi sekitar 13,5 %

kebutuhan vitamin E per hari untuk orang dewasa.

5. Aktivitas Antioksidan Tempe dan Ubi Jalar

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan

olein maupun stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata terhadap

aktivitas antioksidan tempe dan ubi (p = 0,000). Uji lanjut Duncan menunjukkan

bahwa tempe dan ubi baik yang digoreng dengan olein maupun stearin yang

digunakan pada penggorengan ke-1 memperlihatkan aktivitas antioksidan berbeda

dengan bahan sebelum digoreng (Lampiran 17). Aktivitas antioksidan tempe dan

ubi setelah penggorengan ke-1 lebih tinggi dari penggorengan ke-3 dan ke-10, dan

Page 36: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

penggorengan ke-3 lebih tinggi dari penggorengan ke-10 (Tabel 20). Hubungan

antara ulangan penggorengan dengan aktivitas antioksidan tempe dan ubi

disajikan pada Gambar 22 dan 23.

Aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi jalar sebelum digoreng dengan

olein dan stearin minyak sawit merah yaitu sebesar 45,733 AEAC dan 13,400

AEAC setelah digoreng dengan olein minyak sawit merah setelah penggorengan

ke-1, ke-3, dan ke-10 nilai aktivitas antioksidan pada tempe berturut-turut yaitu

313,067 AEAC, 221,067 AEAC, dan 121,399 AEAC. Setelah digoreng dengan

stearin minyak sawit merah setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berturut-

turut sebesar 207,067 AEAC, 169,067 AEAC, dan 101,400 AEAC. Sedangkan

aktivitas antioksidan pada ubi jalar setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10

yang digoreng dengan olein minyak sawit merah yaitu 296,399 AEAC, 205,733

AEAC, dan 104,733 AEAC. Dan setelah digoreng dengan stearin minyak sawit

merah yaitu, 196,399 AEAC, 131,400 AEAC, dan 98,067 AEAC.

Aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi jalar putih ini mengalami

peningkatan setelah digoreng dengan olein maupun stearin minyak sawit merah.

Semakin banyak pengulangan penggorengan, semakin rendah aktivitas

antioksidan. Kadar aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi berbanding lurus

dengan penyerapan karotenoid dan tokoferolnya. Karena aktivitas antioksidan

minyak sawit merah berasal dari karotenoid dan tokoferol. Menurut Razak (2000)

tokoferol bersama karotenoid akan bersinergi dalam melakukan aktivitas

antioksidannya. Karotenoid membantu tokoferol dengan cara mengikat oksigen.

Karotenoid dalam olein minyak sawit merah bersama tokotrienol juga mempunyai

khasiat anti kanker. Kedua komponen ini bertindak secara sinergi untuk memberi

perlindungan jangka panjang kepada tubuh.

Konsumsi formula antioksidan yang mengandung antioksidan beta

karoten, vitamin E, dan selenium organik setiap hari terbukti menggurangi resiko

terkena kanker lambung (turun sampai dengan 21%), kanker esofagus resikonya

turun sampai 4%, dan penurunan tingkat kematian dari penyebab lainnya sampai

9% (Setright 1993).

0

50

100

150

200

250

300

350

Akt

ivit

as A

nti

oks

idan

(A

EA

C)

0 1 3 10

Frekuensi Penggorengan

Aktivitas Antioksidan Tempe

Digoreng dg Olein

Digoreng dg Stearin

Gambar 22 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan aktivitas antioksidan pada tempe.

0

50

100

150

200

250

300

Akt

ivita

s A

ntio

ksid

an

(AE

AC

)

0 1 3 10

Frekuensi Penggorengan

Aktivitas Antioksidan Ubi Jalar

Digoreng dg Olein

Digoreng dg Stearin

Gambar 23 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan aktivitas antioksidan pada ubi jalar.

Page 37: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Asam lemak bebas, bilangan peroksida, karotenoid total, tokoferol total, dan

aktivitas antioksidan menurun seiring dengan meningkatnya waktu deodorisasi.

Tetapi penurunan karotenoid dan tokoferol ini sangat kecil. Deodorisasi selama 6 jam

pada suhu 100oC dan tekanan 60 cmHg vakum pada olein dan stearin minyak sawit

merah cukup baik dalam meminimalkan kehilangan karotenoid dan tokoferol serta

cukup baik dalam menurunkan kadar asam lemak bebas, peroksida, dan kadar air.

Setelah digunakan dalam penggorengan hingga penggorengan ke-10

menunjukkan terjadinya penurunan karotenoid total, tokoferol, kadar air, serta

aktivitas antioksidan olein dan stearin seiring dengan bertambahnya frekuensi

penggorengan. Hasil analisis pada tempe dan ubi jalar menunjukkan peningkatan

kadar lemak, karotenoid total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan. Hal ini

menunjukkan bahwa adanya penyerapan karotenoid dan tokoferol pada tempe dan ubi

jalar. Walaupun olein dan stearin telah digunakan untuk menggoreng hingga 10 kali,

karotenoid dan tokoferol total yang diserap oleh tempe dan ubi jalar masih tinggi.

Penyerapan karotenoid dan tokoferol pada tempe lebih tinggi daripada ubi

jalar. Kandungan karotenoid dan tokoferol awal mempengaruhi kadar karotenoid dan

tokoferol akhir pada produk setelah penggorengan. Penyerapan tertinggi terjadi

setelah penggorengan ke-1 baik yang digoreng dengan olein maupun dengan stearin.

Penyerapan semakin menurun seiring dengan bertambahnya frekuensi penggorengan.

Walaupun olein dan stearin telah digunakan untuk menggoreng hingga 10 kali,

karotenoid dan tokoferol total yang diserap oleh tempe dan ubi jalar masih tinggi.

B. Saran

Analisis pada olein dan stearin minyak sawit merah ini hanya mengukur

kehilangan karotenoid dan tokoferol yang diserap pada produk yang digoreng,

sehingga perlu diuji lebih lanjut mengenai hasil degradasi komponen minor terutama

karotenoid dan tokoferol pada olein dan stearin setelah digoreng. Serta perlu adanya

kajian mengenai pengaruh komponen tersebut di dalam tubuh.

Selama penyimpanan asam lemak bebas pada olein minyak sawit merah

semakin meningkat. Sehingga perlu kajian tentang penyimpanan dan kemasan yang

baik untuk produk tersebut.

Page 38: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist. Washington DC.

Al-Saqer JM, Shidu JS, Al-Hooti SN, Al-Amiri HA, Al-Othman A, Al-Haji L, Ahmed N, Mansour IB, and Minal J. 2004. Developing Functional Foods Using Red Palm Olein. IV. Tocopherols and Tocotrienols. Food Chemistry 85: 579-583. Elsevier Applied Science. Malaysia.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, dan Budiyanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.

Bauernfeind JC, Adams CR, and Marusich WL. 1981. Carotenes and Vitamin A Precursors in Animal Feed di dalam Carotenoids as Colorants and Vitamin A Precursors (Bauernfeind, J. C., ed). Academic Press Inc., New York. Hal 564 – 590.

Beare-Rogers J, Dieffenbacher A, and Holm JV. 2001. Lexion of Lipid Nutrition. Journal Pure and Applied Chemistry 73(4): 658-744.

Bender DA. 2006. Nutritional Biochemistry of the Vitamins. Second Edition. Academic Press Inc., London.

Bernadini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Publishing House, Roma.

Berger KG. 1988. A Layman’s Glossary of Oils and Fats. No : 9. Institut Penyelidikan Minyak dan Kelapa Sawit Malaysia, Kuala Lumpur.

Che Man YB, Ammawath W, and Mirghani MES. 2005. Determining Alpha-Tocoferol in Refined Bleached and Deodorized Palm Olein by Fourier Transform Infrared Spectroscopy. Food Chemistry 90:323-327.

Choo YM, Ma AN, and Basiron Y. 1993. Red Palm Oil: A Potential Source of Dietary Carotenes. 2:5-54

___________. 1994. Palm Oil Carotenoids. Journal Food and Nutrition Bulletin 15(2): 130-136.

___________. 1996. Antioxidants in Red Palm Oil. Malaysian Oil Science and Technology, 5:15-16

Choudhury N, Tan L, and Truswell AS. 1995. Comparison of Palm Olein and Olive Oil: Effects on Plasma Lipids and Vitamin E in Young Adults. Journal of Nutrition 61:1043-1051.

Combs GF. 1992. The Vitamins Fundamental Aspect in Nutrition and Health. Academik press Inc., New York.

Dwiyanti RR. 1996. Mempelajari Ketahanan Panas Ekstrak Antioksidan Daun Sirih (Piper betle Linn.). Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.

Fang X and Wada S. 1993. Enhancing the Antioxidant Effect of Alpha-tocopherol with Rosemary in Inhibiting Catalyzed Oxidation Caused by Fe2+ and Hemoprotein. Food Research International 26:405-411.

Farombi EO and Britton G. 1998. Antioxidant Activity of Palm Oil Carotenes in Organic Solution : Effects and Chemical Reactivity. Food Chemistry 64:513-321. Elsevier Applied Science.

Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York.

GAPKI. Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia. 2008. Palm Oil Stats. http://www.gapkiconference.org. [12 November 2008]. Goh SH, Choo YM, and Ong SH. 1985. Minor Constituents of Palm Oil. JAOCS, 62 (2) :

237 – 240.

Gordon MH. 2001. Measuring Antioxidants Activity. Di dalam: Antioxidants in Foods. In Pokorny J, Yanishlei N, and Gordon MH (eds.). Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England.

Hamn TS and Min DB. 1994. Method to Assey Quality and Stability of Oils and Fat Containing Food. AOAC Press Champaign, Illinois.

Haryanto WNL. 2000. Pengaruh Suhu dan Waktu Deodorisasi Lemak Tengkawang (Shorea spp.) Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Lemak Yang Dihasilkan. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.

Hastinah T. 1997. Kinetika Degradasi Termal β-Karoten dalam Minyak Sawit. Skripsi

Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor. Helena BR. 2003. Pengawasan Mutu Dalam Proses Pemurnian Minyak Sawit Kasar di

PT. Sinar Meadow Internasional Indonesia Jakarta. Laporan Magang. Program Studi Supervisor Jaminan Mutu Pangan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

Page 39: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Henon G, Kemeny ZS, Recseg K, Zwobada F, and Kovari K. 1997. Degradation of α-linoleic Acid During Heating. Dalam: Prince LH. (ed). Journal of the American Oil Chemists’ Society, Champaign 74(12): 1615.

Iwasaki R and Murakoshi M. 1992. Palm Oil Yields Carotene for World Market. Inform 3 (2) : 210 – 217.

Jadhav SJ, Nimbalkar SS, Kulkarni AD, and Madhavi DL. 1996. Lipid Oxidation in Biological and Food Systems. Dalam : Madhavi DL, Deshpande SS and Salunkhe DK. Food Antioxidants : Technological, Toxicological and Healt Perspectives. Marcel Dekker, Inc. New York.

Jatmika A dan Guritno P. 1997. Sifat Fisiko Kimia Minyak Goreng Sawit Merah dan Minyak Goreng Sawit Biasa. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5(2):127-138.

Ketaren S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. UI- Press, Jakarta.

Kochar SP dan Rossell B. 1990. Detection Estimation And Evaluation of Antioxidants in Food System. Dalam: Hudson BJF (ed.). Food Antioxidants. Elsevier Applied Science. London.

Kritchevsky D. 2000. Impact of Red Palm Oil on Human Nutrition and Health. Food and Nutrition Bulletin 21(2). The United Nation University.

MAPI. Masyarakat Perkelapaan Indonesia. 2006. Teknologi Minyak Kelapa. http://www.dekindo.com. [17 Januari 2009)

Mas’ud F. 2007. Optimasi Proses Deasidifikasi untuk Meminimalkan Kerusakan

Karotenoid dalam Pemurnian Minyak Sawit (Elaeis gueneensis, Jacq.). Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Mello LD, Alves AA, Macedo DV, and Kubota LT. 2005. Peroxides-based Biosensor as a Tool for Fast evaluation of Antioxidant capacity of Tea. Food Chemistry (92):515-519.

Molyneux P. 2004. The Use of The Stable Free Radical Diphenil Picryl-Hydrazyl (DPPH) for Estimate Antioxidant Activity. Journal Science and Technology 26(2):211-219.

Muchtadi TR. 1992. Karakterisasi Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit (Elaeis guineensis, JACQ) Dalam Rangka Optimasi Proses Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Provitamin A. Disertasi, Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muhilal. 1991. Minyak Sawit Suatu Produk Nabati Untuk Penanggulangan Atherosklerosis dan Penundaan Proses Penuaan. Prosiding Seminar Nilai Tambah Minyak Kelapa Sawit Untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan. Jakarta.

Nagendran B, Unnithan UR, Choo YM, and Sundram K. 2000. Characteristics of Red Palm Oil Alpha-Carotene and Vitamin E- Rich Refined Oil for Food Uses. Food and Nutrition Bulletin 21:2.

Naibaho PM. 1990. Penggunaan Minyak Sawit Sebagai Sumber Provitamin A dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Minyak Sawit. Pusat Penelitian Perkebunan Medan, Medan.

Nelson JL, Bernstein PS, Schmidt MC, Von Tress MS, and Askew EW. 2003. Dietary Modification And Moderate Antioxidant Supplementation Differently Affect Serum Carotenoids, Antioxidants Level And Markers of Oxidative Stress in Older Humans. J Nutr 133:3117-3123.

Nurdini MD. 1997. Mempelajari Perubahan Fisiko Kimia Minyak Sawit Merah untuk Penggorengan Kerupuk Udang dan Analisis Mutu Produk Goreng yang Dihasilkan. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.

Patterson HBW. 1983. Hydrogenation of Fats and Oils. Elsevier Applied Science. London.

Ping BTY and May CY. 2000. Valuable Phytonutrients in Commercial Red Palm Oil. Palm Oil Development, 32, 20-25.

PORIM. 1995. PORIM Test Methods. Palm Oil Reseach Institute of Malaysia. Ministry of Primary Industries, Malaysia.

Puspitasari DA. 2008. Optimasi Proses Produksi dan Karakterisasi Produk Serta Pendugaan Umur Simpan Olein Minyak Sawit Merah. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta IPB. Bogor.

Razak RA. 2002. Karotenoid Sawit Bantu Tingkat Kesihatan. Artikel Majlis Minyak Sawit Malaysia. http://www.google.com/minyak_sawit. [3 Maret 2008].

Rianto D. 1995. Sifat Fisiko-Kimia dan Stabilitas Panas Minyak Sawit Merah. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.

Sahidin, Sabirin M, dan Eka N. 2000. Degradasi β-karoten dari Minyak Sawit Mentah Oleh Panas. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 8(1):39-49.

Schuler P. 1990. Natural Antioxidant Exploited Commercially. Dalam: Hudson, BJF, editor. Food Antioxidants. London: Elsevier Applied Science.

Setright R. 1993. Get Well Ive Longer, The Antioxidant Connection. Spunarp Pty, Glenmore Park, Australia,1-21.

Page 40: SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis ... Aplikasi minyak terdeodorisasi

Shahidi FWUN. 1997. Measurement of Lipid Oxidation And Evaluation of Antioxidant Activity. Dalam: Shahidi, editor. Natural Antioxidant: Chemistry, Health Effect, And Application. AOCS Press Champaign Illionis.

Siahaan D, Sinaga J, dan Tumanggor A. 2003. Pengembangan Deodorizer dan Proses Deodorisasi Skala Bench Berbahan Baku Olein Sawit Kasar. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit Medan 11(2): 95-106.

Sirajjudin S. 2003. Sintesis Minyak Beryodium Kaya β-karoten dari Minyak Sawit Merah dan Efikasinya Terhadap Pencegahan Defisiensi Iodium. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2002. Minyak Goreng. Badan Standarisasi Nasional.

Jakarta. (SNI 01-3741-2002). Sukarjo, Mangoen SM, Muhilal, dan Subagyo T. 1991. Peningkatan nilai tambah minyak

sawit melalui pengembangan industri hilir. Prosiding seminar nilai tambah minyak kelapa sawit untuk peningkatan derajat kesehatan. Jakarta, Indonesia, 6 September.

Sundram K, Hayes KC, and Siru OH. 1995. Both Dietary 18:2 and 16:0 may be Required to Improve The Serum LDL/HDL Cholesterol Ratio in Normocholesterolemic Men. J Nutr Biochem 4: 179-187.

K, Anishah I, Hayes KC, Jeyamalar R, and Pathmanathan R. 1997. Tans

(Elaidic) Fatty Acids Adversely Impact Lipoprotein Profile Relative to Specific Saturated Fatty Acids in Humans. J Nutr 127: 514S-520S.

________. 2001. Palm Oil: Chemistry and Nutrition Updates. Malaysian Palm Oil Board.

Kuala Lumpur, Malaysia. Wardi. 2008. Pengembangan Produk Minyak Sawit Merah (MSM) dan Introduksi

Pemasarannya. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta IPB. Bogor.

Weiss TJ. 1983. Food Oils and Their Uses. AVI Publishing. Co. Connecticut.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

________. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB. Bogor.

Wulandari OV. 2000. Pemanfaatan Minyak Sawit untuk Produksi Emulsi Kaya Beta-Karoten Sebagai Suplemen Vitamin A. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.