skripsi diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi .../analisis... · harus mengulang...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS PENGARUH PERENCANAAN STRATEGIS FORMAL PADA KINERJA
DENGAN VARIABEL MODERASI GEJOLAK LINGKUNGAN DAN UKURAN
ORGANISASI (Studi pada Industri Mebel di Kabupaten Jepara)
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi
Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh
DESY MAYASARI NIM. F0206005
\
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
1st : I dedicated toهللا ensure lead me until
this far
2nd: I dedicated this masterpiece to my beloved Mom, you are the best mother in the whole world. Strongest women I ever met, true leader, best
supporter whether I am up and down, thank you for everything and for always accompanied me in
everywhere. It’s honor for me have mother like mama. Mom, I love you so much
3rd: My Father. For trust, dedication, patience, knowledge. Although papa already passed away, I can still use knowledge which you have ever teach
to me, forever
v
MOTTO
People have to struggle to get what they want but can not found fighters with no mistakes and failures —Johann Wolfgang
Von Goethe.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Alloh SWT, Tuhan Seru Sekalian Alam, atas segala
rahmat dan rahim yang selalu dikaruniakan. Semoga kita termasuk
hambaNya yang senantiasa selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah
Dia berikan dan bersabar ketika menghadapi cobaan. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
yang telah memberi suri tauladan kepada umat manusia. Semoga kita
termasuk umat yang selalu menjaga sunnah-sunnah beliau. Atas rahmat
dan ridho Alloh SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“ANALISIS PENGARUH PERENCANAAN STRATEGIS FORMAL PADA
KINERJA DENGAN VARIABEL MODERASI GEJOLAK LINGKUNGAN
DAN UKURAN ORGANISASI (Studi pada Industri Mebel di Kabupaten
Jepara)” dengan baik guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Penulis memperoleh banyak sekali arahan, bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com, Ak. selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
vii
2. Dra. Endang Suhari, M.Si., selaku Ketua Jurusan Manajemen FE
UNS. Terima kasih telah memberi kemudahan selama ini pada
peneliti.
3. Reza Rahardian, SE, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Manajemen
FE UNS serta pembimbing yang luar biasa suportif dan solutif.
Terima kasih telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pemikiran,
serta mengarahkan, memberi inspirasi, motivasi, kritik, dan saran,
sehingga peneliti memperoleh hasil yang terbaik. Peneliti sangat
beruntung memiliki pembimbing seperti bapak.
4. Ibu Suprapti dan Bapak Imam terima kasih atas bimbingan, didikan,
kasih sayang, kepercayaan, harapan, dukungan, perhatian.
5. Mbak Lia untuk dukungan yang tidak pernah berhenti, Mba Manda
untuk statistik yang ternyata menyenangkan, di luar perkiraan
penulis.
6. Dr. Mugi Harsono, M.Si, atas kesempatan dan kepercayaan yang
diberikan selama ini. Sungguh sebuah keberuntungan ketika peneliti
harus mengulang pelajaran metodologi penelitian, sehingga peneliti
benar-benar paham dalam metodologi penelitian, peneliti berharap
ilmu ini akan bermanfaat untuk semua orang.
7. Wisnu Untoro, SE, M.Si., atas waktu dan perhatian yang diberikan
kepada peneliti, serta membantu memilih perencanaan strategis
formal sebagai tema dalam skripsi, membantu peneliti memahami
jurnal lebih dalam.
viii
8. Muh. Juan Suamtoro, SE, M.Si., atas bantuan yang luar biasa,
sehingga percepatan nilai dapat terlaksana.
9. Seluruh Dosen Manajemen, atas ilmu yang selama ini diberikan
kepada peneliti. Peneliti sekaligus meminta maaf apabila telah
melakukan kesalahan yang disengaja ataupun tidak disengaja selama
4 tahun menempuh ilmu.
10. Nur Arya, Septiari, Nur Maf, Ayum, Anas, Ani, De Rizal, De afif,
Mbak Mu & Mas Wardi, mbak Ninok & keluarga terima kasih atas
dukungan yang tidak pernah berhenti.
11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga Alloh
SWT membalas kebaikan kalian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki kekurangan. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang berguna
dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.
Surakarta, Maret 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………. I
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………. iv
HALAMAN MOTTO……………………………………………………. v
KATA PENGANTAR…………………………………………………… vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL……………………………………………………….. xiii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. xvi
ABSTRACT…………………………………………………………….. xvii
HALAMAN ABSTRAK………………………………………………… xviii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………............... 12
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………… 13
D. Manfaat Penelitian………………………………………………….. 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar teori…………………………………………………………... 15
1. Perencanaan Strategis Formal………………………………….. 15
2. Kinerja…………………………………………………………... 28
x
3. Gejolak Lingkungan …………………………………………… 30
4. Ukuran Organisasi……………………………………………… 33
B. Perumusan Hipotesis………………………………………………... 37
1. Perencanaan Strategis Formal-Kinerja…………………............. 37
2. Perencanaan Strategis Formal-Gejolak Lingkungan…………… 40
3. Perencanaan Strategis Formal-Ukuran Perusahaan…………….. 43
C. Kerangka Penelitian………………………………………………… 44
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian………………………………................................ 47
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling………………………........ 47
C. Sumber dan Jenis data……………………………………………… 48
D. Metode Pengumpulan………………………………………............ 49
E. Instrumen Penelitian………………………………………............... 49
F. Definisi Operasional ……………………………..………………… 50
1. Variabel Terikat (Y): Kinerja Perusahaan……………………… 50
2. Variabel Bebas (X): Perencanaan Strategis Formal…………….. 52
3. Variabel Moderasi………………………………………………. 52
a. Variabel Moderasi (M1): Gejolak Lingkungan …………….. 53
b. Variabel Moderasi (M2): Ukuran Perusahan………………... 53
G. Pengukuran Variabel………………………………………………... 54
H. Metode Analisis Data……………………………………………….. 54
1. Deskriptif Statistik……………………………………………… 55
2. Pengujian Instrumen Penelitian………………………………… 55
xi
a. Validitas………………………………………...................... 55
b. Reliabilitas…………………………………………….......... 56
3. Uji Asumsi Klasik………………………………………………. 57
a. Multikolinier………………………………………………... 58
b. Heteroskedastisitas………………………………………….. 59
c. Normalitas…………………………....................................... 60
4. Pengujian Hipotesis ……………………………………………. 60
a. Ordinary Least Square……………………………………… 60
b. Moderated Regression Analysis (MRA)…………………… 62
BAB IV. ANALISIS DATA DAN DISKUSI
A. Deskripsi Sampel Penelitian………………………………………... 68
B. Deskripsi Responden……………………………………………….. 71
C. Analisis Instrumen Penelitian ……………………………………… 74
1. Uji Validitas…………………………………………………….. 74
2. Uji Reliabilitas………………………………….......................... 80
3. Analisis Deskriptif Statistik…………………………………….. 82
4. Uji Asumsi Klasik……………………………………………… 85
a. Multikolinier………………………………………………... 86
b. Heteroskedastisitas………………………………………….. 88
c. Normalitas…………………………………………………... 94
D. Pengujian Hipotesis………………………………………………… 97
1. Hipotesis 1: Pengaruh Perencanaan Strategis Formal-Kinerja…. 98
2. Hipotesis 2: Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada
xii
Kinerja dengan Variabel Moderasi Gejolak Lingkungan ……… 104
3. Hipotesis 3: Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada
Kinerja dengan Variabel Moderasi Ukuran Organisasi ………...
109
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan…………………………………………………………. 114
B. Implikasi……………………………………………………………. 115
C. Keterbatasan………………………………………………………… 116
D. Saran………………………………………………………………... 117
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II.2 Pemetaan Riset Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja 39
Tabel IV.1 Jenis Usaha Mebel di Kabupaten Jepara 69
Tabel IV.2 Jabaran Responden dalam Organisasi 71
Tabel IV.3 Jenis Usaha Perusahaan 72
Tabel IV.4 Gender Responden 72
Tabel IV.5 Bentuk Organisasi Perusahaan 73
Tabel IV.6 Jumlah Karyawan Perusahaan 73
Tabel IV.7 Usia Organisasi 74
Tabel IV.8 Hasil Uji Validitas Korelasi Pearson Variabel Kinerja
(PERF) 75
Tabel IV.9 Hasil Uji Validitas Pertama Korelasi Pearson Variabel
Perencanaan Strategis Formal (FSP)
77
Tabel IV.10 Hasil Uji Validitas Kedua Korelasi Pearson Variabel
Perencanaan Strategis Formal (FSP)
78
Tabel IV.11 Hasil Uji Validitas Pertama Korelasi Pearson Variabel
Gejolak Lingkungan (TURB)
79
Tabel IV.12 Hasil Uji Validitas Kedua Korelasi Pearson Variabel
Gejolak Lingkungan (TURB)
80
xiv
Tabel IV.13 Hasil Uji reliabilitas Variabel Kinerja, Perencanaan
Strategis, dan Gejolak Lingkungan
81
Tabel IV.14 Statistik Deskriptif Perencanaan Strategis Formal, Kinerja,
Ukuran Organisasi, Gejolak Lingkungan, dan Variabel
Interaksi
82
Tabel IV.15 Hasil Uji Multikolinier Pengaruh Perencanaan Strategis
Formal-Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan
dan Ukuran Organisasi
87
Tabel IV.16 Hasil Uji Glejser Pengaruh Perencanaan Strategis Formal
pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan dan
Ukuran Organisasi-Regresi Tahap I
89
Tabel IV.17 Hasil Uji Glejser Pengaruh Perencanaan Strategis Formal
pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan dan
Ukuran Organisasi-Regresi Tahap II
90
Tabel IV.18 Hasil Uji White Pengaruh Perencanaan Strategis Formal
pada Kinerja dengan Moderasi Ukuran Organisasi-Regresi
Tahap II
90
Tabel IV.19 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Perencanaan
Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak
Lingkungan dan Ukuran Organisasi-Tahap I
95
Tabel IV.20 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Perencanaan
Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak
Lingkungan dan Ukuran Organisasi-Tahap II
95
xv
Tabel IV.21 Hasil Regresi Sederhana Pengaruh Perencanaan Strategis
Formal pada Kinerja
98
Tabel IV.22 Hasil Independent Samples Test Variabel Kinerja pada
Perusahaan besar dan Perusahaan Kecil 99
Tabel IV.23 Hasil Independent Samples Test Variabel Perencanaan
Strategis Formal pada Perusahaan besar dan Perusahaan
Kecil
103
Tabel IV.24 Hasil Hierarchical Regression Pengaruh Perencanaan
Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak
Lingkungan
105
Tabel IV.25 Hasil Hierarchical Regression Pengaruh Perencanaan
Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Ukuran
Organisasi
110
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II. 1 Kerangka Pemikiran 45
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the influence of formal strategic planning on organization’s performance with moderating variable of turbulence and organizations’s size in furniture industry in Jepara Regency.
The population of this research is furniture industry in Jepara Regency. This research was done on Mulyoharjo and Keling sub-district. Fourthy companies became samples in this research. The analysis used in this research is simple regression and moderated regression analysis or hierarchical regression.
The result shows that the formal strategic planning is not influence to the company’s performance, hoewever, the test result shows the moderating effect of formal strategic planning. Turbulence and organizations’s size are proven to moderate the influence of formal strategi planning-performance.
The research limitations are related to the sampling, the measurement of performance, and the time of research which done at the global crisis. The value of this research is related to the research setting. The former research was related to the developed country, however this research took the different cultural perspective, that is new industrial country.
Keywords: Formal strategic planning, organization performance, turbulence, organization size, Jepara Regeny
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh perencanaan
strategis formal pada kinerja organisasi dengan variabel moderasi perencanaan strategis formal dan ukuran organisasi pada industri mebel Kabupaten Jepara.
Populasi dalam penelitian ini adalah industri mebel di Kabupaten Jepara. Penelitian dilakukan di Kecamatan Mulyoharjo dan Kecamatan
xix
Keling. Empat puluh perusahaan menjadi sampel dalam penelitian ini. Alat analisis yang digunakan adalah regresi sederhana dan moderated regression analysis atau hierarchical regression.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan strategis formal tidak berpengaruh pada kinerja perusahaan, namun hasil pengujian menunjukkan adanya dampak moderasi pada pengaruh perencanaan strategis formal-kinerja. Gejolak lingkungan dan ukuran organisasi terbukti memoderasi pengaruh perencanaan strategis formal-kinerja.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pada pemilihan responden, pemilihan pengukuran kinerja, dan waktu penelitian yang bertepatan dengan krisis global. Nilai dalam penelitian ini adalah pada setting penelitian. Penelitian terdahulu masih berfokus pada negara maju, dalam penelitian ini, diambil perspektif budaya yang berbeda, yaitu negara industri baru.
Kata kunci : Perencanaan Strategis Formal, Kinerja Organisasi, Gejolak Lingkungan, Ukuran Organisasi, Jepara.
xx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Strategi sebagai sebuah kata, memiliki usia kata yang lebih tua dari istilah
manajemen. Strategi berasal dari bahasa Yunani “strategos”. Kata strategos
berasal dari kata “stratos” yang berarti militer dan “ag” yang berarti
memimpin, pemaknaan ini menunjukkan bahwa strategi pada awalnya lebih
dekat dengan bidang manajemen dari pada dalam bisnis (Triton, 2007).
Manajemen strategi adalah nama yang diberikan bagi tantangan yang
terpenting, tersulit, dan tersembunyi yang banyak dihadapi organisasi swasta
dan umum, yaitu meletakkan dasar bagi sukses hari esok, sambil bersaing
menang di pasar hari ini (Fahey dan Randal, 1996).
Sejak awal kelahiran manajemen strategi, bermunculan banyak pendapat
mengenai definisi strategi. Pada tahun 1987, Mintzberg menyatakan bahwa
definisi strategi dibagi menjadi 5 macam, yaitu perencanaan (plan), pola
(pattern), posisi (position), pandangan (perspective), dan cara (ploy).
Aliran dari strategi sendiri dibagi menjadi sepuluh oleh Mitzberg dkk.
(1998), yaitu design school (strategi sebagai proses konsep), planning school
(strategi sebagai proses formal), positioning school (strategi sebagai proses
analitis), entrepreneurial school (strategi sebagai proses visionari), cognitive
school (strategi sebagai mental), learning school (strategi sebagai proses
emergent), power school (strategi sebagai proses negosiasi), cultural school
xxi
(strategi sebagai proses bersama), environment school (strategi sebagai proses
reaktif), dan configuration school (strategi sebagai proses transformasi).
Design school meyakini bahwa formasi strategi adalah untuk mencapai
keselarasan antara kekuatan internal dan kekurangan, serta ancaman luar
dengan kesempatan. Manajemen senior memformulasikan strategi yang jelas,
singkat, dan unik dalam proses mempertimbangkan strategi, semua orang
diharapkan dapat mengimplementasikan strategi ini. Aliran ini mendominasi
proses strategi sampai akhir tahun 1970. Planning school berkembang seiring
dengan design school, namun pada pertengahan 1970, planning school
mendominasi definisi strategi. Planning school meyakini bahwa proses
pembuatan strategi harus formal dengan langkah yang jelas, digambarkan
dengan checklist, dan didukung dengan teknik (khususnya jika berhubungan
dengan tujuan, anggaran, program, dan rencana operasi). Dalam hal ini, staff
manajer mengganti peran manajer senior. Positioning school mendominasi
pandangan mengenai strategi pada tahun 1980. Strategi ini mirip dengan
strategi Sun Tzu pada tahun 400 sebelum masehi. Menurut pandangan aliran
ini, perencana adalah analist.
Entrepreneurial school hampir seperti design school, aliran ini
memusatkan proses perencanaan pada chief executive. Perbedaan antara aliran
ini dengan design school dan planning school adalah aliran ini terpancang
bahwa proses merupakan intuisi misterius yang menggeser strategi dari bentuk
pasti, rencana, maupun memposisikan visi yang salah. Cognitive school
dikenal khususnya pada tahun 1980an dan sampai saat ini, penelitian masih
xxii
berkembang mengenai bias kognitif dan kognitif sebagai proses informasi,
pemetaan struktur pengetahuan, dan konsep pencapaian. Cabang baru dari
aliran ini lebih mengadosi pandangan interpretative atau constructivist dalam
proses strategi yang berarti kognisi digunakan untuk membangun strategi
sebagai intepretasi kreatif dari pada peta realitas sederhana.
Learning school berpandangan bahwa strategi merupakan proses
“emergent”, strategi dapat ditemukan di luar organisasi yang seringkali
disebut formulasi dan implementasi. Power school cukup berbeda dengan
aliran yang lain dalam hal pembuatan strategi berdasarkan kekuatan. Dua
orientasi berbeda terlihat dalam aliran ini, yaitu micro power yang
berpandangan bahwa perkembangan strategi dalam organisasi sebagai politik
yang penting—sebuah proses yang melibatkan penawaran, bujukan, dan
konfrontasi di antara pelaku yang memiliki kekuatan. Macro power
berpandangan bahwa organisasi adalah persatuan yang menggunakan
kekuatan di atas yang lain dan di antara partner dalam aliansi, joint venture,
dan hubungan network lainnya untuk menegosiasikan “strategi bersama”
sesuai kepentingan masing-masing. Cultural school menitikberatkan pada
kepentingan pribadi dan fragmentasi, yang kemudian fokus bergeser pada
kepentingan umum dan integrasi—formasi strategi sebagai proses sosial yang
mendasarkan pada budaya. Environment school berhak menerima perhatian
dalam memberikan gambaran yang jelas akan permintaan lingkungan, dalam
kategori ini, Mintzberg mengatakan bahwa teori kontingensi dipertimbangkan
di mana respon yang diharapkan organisasi dalam menghadapi kondisi
xxiii
lingkungan tertentu dan ekologi populasi yang mencatat beberapa keterbatasan
fatal pada pilihan strategis. Selain itu, terdapat teori institusi yang
menitikberatkan pada tekanan yang dihadapi organisasi yang mungkin
menjadi campuran dari cognitive dan power school. Configuration school
memiliki pandangan yang lebih luas dan integratif. Salah satu sisi dalam aliran
ini lebih akademis dan deskriptif, melihat organisasi sebagai konfigurasi—
kelompok yang terkoordinasi dan di sisi lain lebih prescriptive dan
berorientasi praktisioner. Kedua perbedaan antara literatur dan praktek saling
melengkapi satu sama lain.
Mintzberg dkk. (1999) membagi kesepuluh aliran strategi di atas menjadi
tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok prescriptive. Kelompok
ini lebih menekankan mengenai bagaimana sebuah strategi seharusnya
diformulasikan dari pada mengimplementasikan. Tiga aliran yang menjadi
bagian dalam kelompok ini adalah design school, planning school, positioning
school. Kelompok kedua dikembangkan sekitar tahun 1960an. Kelompok
kedua terdiri dari 6 aliran, yaitu entrepreneurial school, cognitive school,
learning school, power school, cultural school, environment school. Keenam
aliran ini sepaham bahwa mempertimbangkan aspek khusus dari proses
pembentukan strategi dan melaksanakan strategi, serta kurang menekankan
pada perilaku strategis yang ideal. Kelompok terakhir hanya terdiri dari satu
aliran, yaitu configuration school. Sekalipun hanya terdiri dari atas satu aliran,
kelompok ini merupakan integrasi dari ke sembilan aliran lain.
xxiv
Penelitian ini menitikberatkan pada aliran strategi planning school.
Planning school—di mana strategi sebagai proses formal, telah dibahas dalam
puluhan literatur, namun hasilnya masih belum konsisten. Penelitian mengenai
perencanaan strategis pertama kali dilakukan oleh Thune dan House pada
tahun 1970. Setelah hampir 4 dekade, perdebatan masih berlangsung akibat
hasil penelitian yang tidak konsisten (Falshaw, 2006; Gleister dkk., 2007;
Shammari dan Hussein, 2008).
Perencanaan formal dipopulerkan pertama kali oleh Ansoff pada tahun
1950 dan seketika itu, perencanaan strategis formal menjadi booming. Pada
saat itu, Ansoff menyatakan bahwa beberapa perusahaan besar seperti General
Electrics, IBM, yang dikeluarkan Texas Instrumen of the Business World
melakukan perencanaan strategis formal. Berawal dari fenomena manajemen
tersebut, Thune dan House pada tahun 1970 melakukan penelitian terhadap
perusahaan yang menggunakan perencanaan strategis formal dan perusahaan
tanpa perencanaan strategis. Penelitian Thune dan House kemudian diklaim
sebagai literatur pertama yang membahas perbandingan antara kinerja pada
perusahaan dengan perencanaan strategis formal dan tidak memakai
perencanaan strategis formal. Sejak penelitian Thune dan House, puluhan
literatur lahir dan kemudian pada awal tahun 1980, perencanaan strategis yang
sistematis dengan pendekatan formal pada formulasi strategi, mendapat
serangan bertubi-tubi dari sarjana manajemen (Grant, 2003). Setelah 20 tahun,
peneliti masih memperdebatkan ketidakkonsistenan konstruk dan adanya
keterbatasan metodologi (Boyd dan Elliot, 1998).
xxv
Leontiades dan Tezel (1980) menyatakan bahwa manajemen strategis telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan strategis.
Rumelt dkk. (1994) mengatakan bahwa sejarah awal dari manajemen strategis
menunjukkan adanya ketertarikan yang luar biasa besar terhadap
“perencanaan” dan walaupun ketertarikan tersebut terbukti berumur pendek,
antusiasme terhadap perencanaan masih mendominasi manajemen strategis
pada akhir 1960an dan awal 1970an sebagai fenomena manajemen yang
umum dan sebagai konsekuensinya, usaha untuk mengatur masyarakat dan
publikasi manajemen strategis menjadi terfokus pada perencanaan, kemudian
pada tahun 1969, The Academy of Management memilih bentuk divisi
profesional untuk mengembangkan ketertarikan bidang tertentu anggotanya,
salah satu dari divisi yang dibentuk pada tahun 1971 adalah “Kebijakan
Publik dan Divisi Strategi” yang pada awalnya bernama “Kebijakan Bisnis
dan Divisi Perencanaan”, perubahan nama merupakan cerminan dari makin
berpengaruhnya konsep strategi dan berkurangnya konsep perencanaan.
Definisi dari perencanaan strategis sangat bervariasi. Tapinos dkk. pada
tahun 2005 menyatakan bahwa perencanaan strategis adalah serangkaian
proses yang diambil dalam rangka mengembangkan jangkauan strategis yang
berkontribusi pada pencapaian arah organisasi. Harrison (1995)
mendefinisikan perencanaan strategis menjadi beberapa, yaitu:
1. Perencanaan strategis adalah sesuatu yang berfokus pada keputusan yang memiliki pengaruh lama dan sulit dibalik, berhubungan dengan peristiwa yang akan terjadi dari keputusan yang diambil sekarang, perencanaan strategis juga dilihat sebagai jalan alternatif dari tindakan yang memberi arah masa depan dan ketika pilihan dijatuhkan di antara alternatif yang ada, maka menjadi dasar dari pengambilan keputusan sekarang.
xxvi
2. Proses menentukan di awal mengenai jenis usaha perencanaan apa yang diambil dan ketika keputusan telah diambil, siapa yang akan melakukannya? Dan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap hasil yang dicapai?
Proses perencanaan strategis terbagi menjadi 3 komponen utama, yaitu;
formulasi, implementasi, dan pengendalian (Hopkins dan Hopkins, 1997).
Perencanaan strategis umumnya digunakan sebagai proses manajemen,
dilakukan oleh manajer perusahaan swasta mupun sektor publik untuk
menentukan alokasi sumber daya dalam rangka mengembangkan keuangan
dan kinerja organisasi (Disney dan Jennings, 2006). Disney dan Jennings
mencatat bahwa dalam perkembangannya, praktisioner perencanaan mulai
mempertimbangkan faktor-faktor penting dalam mendesain proses
perencanaan strategis, hal ini bertujuan untuk memperoleh konsistensi pada
proses perencanaan dalam konteks strategi yang lebih luas, perubahan,
organisasi, dan lingkungan.
Saat ini, telah banyak penelitian empiris mengenai pengaruh perencanaan
strategis formal dengan kinerja organisasi, investigasi terhadap perencanaan
strategis formal sendiri telah berlangsung selama 30 tahun dan hasil yang
diperoleh masih belum konsisten (Gleister dkk., 2007; Shammari dan Hussein,
2007). Kesalahan kerap terjadi akibat kesalahan pengukuran dan masalah
konseptual (Shrader dkk., 1989). Selain itu, kinerja organisasi umumnya
diukur dengan indikator keuangan, hal tersebut dikritik karena dianggap
membatasi kemampuan peneliti dalam menginvestigasi dampak perencanaan
strategis formal-kinerja (Shammari dan Hussein, 2007).
xxvii
Perkembangan selanjutnya dalam literatur ini adalah mulai diperhitungkan
gejolak lingkungan dan ukuran organisasi sebagai faktor lain yang
mempengaruhi hubungan perencanaan strategis formal-kinerja. Lindsay dan
Rues (1980) menyatakan bahwa derajat fleksibilitas proses perencanaan
jangka panjang berhubungan langsung dengan kompleksitas lingkungan dalam
perusahaan besar, namun berdampak terbalik pada usaha kecil. Sayangnya
masih sedikit penelitian empiris yang menguji pengaruh perencanaan strategis
formal-kinerja dalam usaha kecil (Robinson dan Pearce II, 1982). Penelitian
lain mengenai hubungan gejolak lingkungan dalam pengaruh perencanaan
strategis-kinerja juga menimbulkan perdebatan, di mana semakin bergejolak
lingkungan, maka pengaruh perencanaan strategis yang semakin formal
terhadap kinerja akan semakin baik (Ansoff, 1991). Pada penelitian
Disney dan Jennis (2006) serta Grant (2003) dinyatakan bahwa semakin
bergolak lingkungan maka perencanaan strategis akan semakin fleksibel.
Hal lain yang tidak luput dari kritikan adalah setting penelitian (Falshaw
dkk., 2006; Gleister, 2007; Koufopoulus, 2005). Penelitian empiris terhadap
perencanaan strategis formal-kinerja umumnya dilakukan di negara maju,
terutama dilakukan di USA. Dari 29 penelitian, belum terdapat penelitian
empiris yang berasal dari negara berkembang dan negara industri baru
(Falshaw dkk., 2006; Glaister dkk., 2007). Penelitian empiris mengenai
perencanaan strategis formal-kinerja biasanya berfokus pada negara industri,
termasuk USA, UK, Kanada, Australia, dan Jepang, yang berarti seringkali
xxviii
menghasilkan framework dan model yang tidak dibutuhkan jika akan
diaplikasikan dalam negara berkembang (Koufopoulos dkk, 2005).
Beberapa studi dilakukan di luar konteks USA, namun hasilnya masih
belum konsisten (Shammari dan Hussein, 2007). Terdapat perbedaan dalam
perencanaan strategis akibat pengaruh ikatan suatu negara dan budaya negara
tersebut (Falshaw dkk., 2006). Walaupun prinsip perencanaan strategis
bersifat universal dan sering kali dalam proses perencanaan strategis, budaya
hanya memiliki pengaruh langsung yang kecil bahkan terkadang pengaruhnya
tidak langsung, namun budaya terbukti memoderasi hubungan perencanaan-
kinerja (Hoffman, 2007). Mintzberg (1999), menjelaskan bahwa budaya
menjadi masalah utama dalam literatur penelitian di Amerika Serikat segera
setelah dampak manajemen Jepang sangat disadari pada tahun 1980an. Dalam
perkembangannya, perhatian budaya berkembang pada formasi strategi.
Penelitian pertama yang dianggap berjasa dalam merintis penelitian mengenai
peran budaya dalam manajemen adalah Swedia pada tahun 1970an.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan fakta empiris pengaruh
perencanaan strategis formal terhadap kinerja di negara industri baru atau
emerging country. World Bank dalam emerging market database (1993)
menyatakan bahwa Indonesia telah menjadi emerging country. Negara-
negara yang tergabung dalam emerging country berdasarkan emerging
market database adalah Argentina, Banglades, Brazil, Cile, Colombia, Costa
Rika, Cote d-Ivoire, Mesir, Yunani, India, Indonesia, Jamaika, Jordania,
Kenya, Korea, Kuwait, Malaysia, Meksiko, Moroko, Nigeria, Pakistan, Peru,
xxix
Philipina, Portugal, Sri Langka, Taiwan (Cina), Thailand, Trinidad dan
Tobago, Turki, Uruguay, Venezuela, Zimbabwe. Enam belas tahun
kemudian, tepat pada tahun 2009, World Bank telah menempatkan Indonesia
sebagai five largest emerging markets bersama dengan Cina, India, Rusia,
Brasil (Henneberry, 2009). Emerging countries merupakan negara yang telah
merestruktur ekonomi bersama pasar—membatasi orientasi dan dalam proses
menawarkan kesempatan perdagangan yang sehat, transfer teknologi, dan
foreign direct investment. Salah satu daerah yang representatif dengan sifat
emerging country adalah Kabupaten Jepara. Indikator emerging country
sesuai dengan ciri-ciri industri di Jepara. Kabupaten Jepara telah menerapkan
kesempatan perdagangan yang sehat sejak lama. Transfer teknologi
dikembangkan melalui pendidikan formal oleh pemerintah Kabupaten Jepara.
Sekolah Menengah Industri Kerajinan (sekarang SMK) adalah salah satu
lembaga pendidikan formal yang menyiapkan pengrajin terdidik dan terlatih
di Jepara. Peserta didik dilatih secara khusus untuk menjadi tenaga terampil
didukung pengetahuan seni rupa yang memadai. Selain itu, juga terdapat
Akademi Teknologi Industri Kayu, sekarang STTDNU (Sekolah Tinggi
Teknologi Desain Kayu) yang sekarang telah berkembang menjadi salah satu
fakultas dari universitas di Jepara (Gustami, 2010), dan terakhir, foreign
direct investment di Kabupaten Jepara berkontribusi terhadap PDRB sebesar
18,70 % pada tahun 1993 menjadi 30,07 % pada tahun 1998, Jumlah
keseluruhan industri furniture dan alat kelengkapannya terutama yang terbuat
dari kayu tahun 1997 adalah 1115 unit dengan total investasi sebesar
xxx
Rp. 2095,6 milyar. Jika diperinci lagi atas investasinya, maka 175 unit
merupakan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan 55 unit adalah
penanaman modal asing (PMA), sisanya dimiliki oleh jenis investasi lainnya
(Efendi dan Dwiprabowo, 2007). Pada periode 1 Januari sampai Desember
1999, total investasi asing sebesar Rp. 37.172.500.000,- (Jeparakab, 2010).
Kertajaya (1998) menjelaskan sistem industri di Kabupaten Jepara dibagi
menjadi beberapa cluster industri. Cikal bakal industri tersebut sudah muncul
sejak ratusan tahun yang lalu sehingga pemusatan industri dilakukan secara
geografis dengan industri pendukung yang kita kenal sebagai klaster (cluster)
industri. Apabila dilihat dari segi omset maupun jumlah tenaga kerja yang
terserap di dalamnya, Jepara merupakan klaster terbesar di Indonesia.
Pada 2008, Indonesia menjadi negara dengan peringkat GDP no. 7 di
negara Asia-Pasifik, peringkat 19 diantara 179 negara versi IMF, 2009, dan
peringkat 19 dari 192 negara versi world bank, 2009. Dinas perindustrian
mencatat bahwa industri pengolahan kayu menempati peringkat kedelapan
dalam kontribusi pada PDB tahun 2008 secara nasional (Dinas Perindustrian,
2009). Total kontribusi industri pengolahan kayu sebesar 0,98% dari total
PDB. Satu daerah yang memiliki kontribusi cukup besar atas pencapaian
industri pengolahan kayu adalah Kabupaten Jepara. Rhoda dkk. (2005)
menyatakan bahwa sudah lama Kabupaten Jepara dikenal sebagai sentra
ukiran kayu dan karena reputasinya tersebut, kegiatan yang berkaitan dengan
produksi kayu semakin berpusat di Kabupaten Jepara. Industri tersebut telah
menciptakan fokus bagi kegiatan dan industri tambahan. Berdasarkan pada
xxxi
besarnya pengaruh industri mebel, baik pada tingkat lokal, nasional, dan
internasional, industri mebel telah dipelajari dengan penekanan lebih pada
mikro dan makro ekonomi, namun kurang dipelajari dari segi organisasi.
Penelitian ini akan ditujukan untuk memperkaya literatur sekaligus
memberikan bukti empiris mengenai pengaruh perencanaan strategis formal-
kinerja yang selama ini masih menjadi perdebatan berbagai pihak serta
menindaklanjuti dampak perencanaan strategis formal-kinerja di negara
industri maju. Studi ini dilakukan dalam rangka memperbaiki
ketidakseimbangan dengan menguji hubungan antara perencanaan strategis
formal-kinerja pada konteks negara industri baru (Glaister dkk., 2007).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengambil judul, “Analisis
Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja dengan Variabel
Moderasi Gejolak Lingkungan dan Ukuran Organisasi, Studi pada Industri
Mebel di Kabupaten Jepara”.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian adalah:
1. Apakah perencanaan strategis formal berpengaruh positif pada kinerja
perusahaan?
2. Apakah pengaruh positif perencanaan strategis formal pada kinerja
perusahaan lebih besar pada lingkungan yang bergejolak dari pada
lingkungan yang tenang?
xxxii
3. Apakah pengaruh positif perencanaan strategis formal pada kinerja
perusahaan lebih besar pada perusahaan besar dari pada perusahaan kecil?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menemukan bukti empiris mengenai pengaruh perencanaan
strategis pada kinerja perusahaan.
2. Untuk menemukan bukti empiris mengenai peranan pergolakan
lingkungan dalam memoderasi pengaruh perencanaan strategis formal
pada kinerja.
3. Untuk menemukan bukti empiris mengenai peranan ukuran perusahaan
dalam memoderasi pengaruh perencanaan strategis formal pada kinerja.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi manajemen dapat digunakan untuk mengetahui keuntungan
mengaplikasikan perencanaan strategis formal bagi perusahaannya. Jika
memang perusahaan memperoleh keuntungan dari perencanaan, sistem
dapat dikembangkan.
2. Bagi pemerintah akan bermanfaat sebagai pertimbangan dalam
menetapkan peraturan kebijakan berkaitan dengan lingkungan yang tidak
pasti.
3. Bagi investor dapat digunakan sebagai acuan penilaian investasi. Apabila
terbukti bahwa perencanaan strategis memiliki pengaruh terhadap kinerja
perusahaan, investor dapat menilai apakah akan menginvestasikan pada
perusahaan kecil atau perusahaan besar.
xxxiii
4. Bagi peneliti sebagai bahan kajian untuk penelitian yang telah ada dan
sebagai pengembangan literatur serta memberikan bukti empiris.
xxxiv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
Berikut adalah teori mengenai perencanaan strategis formal, kinerja,
ukuran organisasi, dan gejolak lingkungan.
1. Perencanaan Strategis Formal
Definisi dari perencanaan strategis formal sangat bervariasi. Peneliti
mendefinisikan perencanaan strategis formal sebagai perencanaan jangka
panjang tertulis (Sharder dkk., 1989), setidaknya memiliki durasi 3 tahun
(Kudla, 1980; Rhyne, 1986; Brews dan Hunt, 1999; Grant, 2003). Selang
waktu diperlukan sebelum dampak kinerja dari strategi atau strategi baru
dibuat. Penyeragaman definisi mutlak diperlukan karena
ketidakkonsistenan definisi menjadi salah satu penyebab masalah yang
kerap ditemukan dalam penelitian empiris pada perencanaan
strategis-kinerja (Orpen, 1985).
Perencanaan pertama kali ditemukan pada tahun 1950an dan 1960an.
Sejak ditemukan, perencanaan strategis telah menjadi mekanisme penting
organisasi dalam adaptasi dan integrasi (Koufopoulus dkk., 2005). Dalam
perkembangannya, perencanaan kemudian dibagi menjadi 2, yaitu
perencanaan jangka panjang dan perencanaan jangka pendek. Perencanaan
jangka panjang saat ini digunakan secara luas di perusahaan, sama halnya
xxxv
perencanaan strategis yang memiliki jangka lebih pendek yang juga telah
diterima secara luas (Ansoff, 1980).
Berdasarkan fakta, perencanaan strategis telah banyak diadosi,
dikembangkan, dan dikritik (Mintzberg, 1994). Sejak tahun 1980an,
perencanaan strategis dengan pendekatan formal dan sistematik mendapat
serangan bertubi-tubi dari sarjana manajemen (Grant, 2003), kritikan
utamanya ditujukan pada fondasi teori dari perencanaan strategis
(Mintzberg, 2004). Dalam perencanaan strategis, hal yang kerap kali
menjadi perdebatan adalah mengenai “Perlukah perencanaan strategis
diformalkan?” (Tapinos dkk., 2005). Mintzberg (1994) menyatakan bahwa
perencanaan strategis yang diformalkan hanya akan membatasi kemampuan
manajer dalam berfikir strategis.
Ansoff (1979) dalam Ansoff (1987) menyatakan bahwa perusahaan
harus dipandu dengan strategi yang komprehensif dan ekplisit yang
terencana secara sistematis dan dilakukan secara kooperatif, model ini
dilakukan oleh perusahaan yang terkelola dengan kuat dan komprehensif
yang selalu mencoba mengantisipasi dari pada mencoba untuk bereaksi
terhadap ancaman dan kesempatan dari lingkungan, cara ini dilakukan
dengan proses perencanaan strategis yang sangat sistematis dalam
organisasi, hal ini berdasarkan observasi terhadap dua perusahaan raksasa
pada tahun 1950an, yaitu General Electrics, IBM, yang dikeluarkan Texas
Instrumen of the Business World.
xxxvi
Pada tahun 1960an, organisasi sangat mengharapkan perencanaan
karena era stabil tahun 1950an telah hilang, kemudian pada tahun 1970an
mereka diberitahu perbandingan stabil pada tahun 1960 (Mintzberg, 1993).
“Generasi pertama dari perencanaan” menyatakan bahwa perencanaan
berarti perusahaan memilih penilaian yang paling mungkin dan diagnosis
terhadap lingkungan di masa yang akan datang, diagnosis biasanya berupa
kelemahan dan kelebihan, pada generasi ini, strategi yang terbaik
merupakan gabungan antara lingkungan dengan perusahaan
(Glueck, 1972). Bryson dalam Triton (2007) menyatakan bahwa aliran
dalam perencanaan strategis dibagi menjadi 9, yaitu:
a. Model Kebijakan Harvard
Model ini memiliki pengaruh cukup besar dalam pengembangan model
perencanaan strategis lainnya. Model ini kerap disebut sebagai model
Harvard. Model ini bertujuan yang menekankan pada kemampuan
perusahaan untuk mengembangkan kesesuaian sebagai entitas bisnis
terhadap lingkungannya.
b. Sistem Perencanaan Strategis
Model ini lebih menekankan pada aspek sistem, nama lain model ini
adalah model sistemik. Model ini dapat dikenali dari sistemasi atas
formulasi dan implementasi keputusan penting dalam organisasi, yang
berkonsekuensi munculnya jaringan lintas tingkat maupun fungsi dalam
perusahaan.
xxxvii
c. Model Manajemen Stakeholder
Model ini disebut demikian karena lebih memperhatikan stakeholder.
Model ini kerap disebut model stakeholder. Strategi ini dapat dipahami
sebagai cara perusahaan untuk berhubungan untuk membangun
jembatan dengan stakeholder dan strategi perusahaan hanya efektif
apabila strategi perusahaan memuaskan kebutuhan berbagai kelompok.
d. Pendekatan Isi Metode Portfolio
Model ini menitikberatkan pada portfolio. Pendekatan ini lebih banyak
menggunakan kriteria ekonomi dan sangat minim menggunakan
kriteria-kriteria lain seperti sosial dan ekonomi untuk diterapkan dalam
model portfolio.
e. Analisis Kompetitif
Model ini berasumsi bahwa strategi khusus bagi strategi unit bisnis
tertentu sangat mungkin mencapai keberhasilan dan dapat memprediksi
tingkat umum laba seluruh industri.
f. Model Isu Strategis
Model ini menitikberatkan pada proses, yaitu menekankan pada
manajemen atas perhatian terhadap pengenalan dan pemecahan isu-isu
strategis.
g. Strategi Proses Negoisasi
Model ini tidak terlalu menekankan proses, namun lebih memusatkan
perhatiannya pada konteks.
xxxviii
h. Inkrementalisme Logis
Pendekatan ini merupakan pendekatan proses yang sebetulnya
merupakan perpaduan dari formulasi dan implementasi strategi.
i. Kerangka Inovasi
Model ini memiliki beberapa keuntungan pada aspek keleluasaan dan
kreativitas, inovasi, serta pengembangan produk baru maupun pasar
baru yang lebih memberikan jaminan hidup untuk kelangsungan
perusahaan.
Lebih lanjut, Glueck (1972) menyatakan bahwa kemudian perencanaan
strategis lebih dikenal dengan manajemen strategis. Dalam perencanaan
strategis, terdapat 4 kelompok yang memiliki wewenang untuk membuat
rencana strategis, mereka adalah:
a. Top Manajer sebagai Pembuat Strategi
Top manajer adalah eksekutif puncak dalam perusahaan yang
bertanggung jawab untuk kelangsungan dan kesuksesan perusahaan.
Top manajer kerap disebut CEO (Chief Executive Officer), CEO
bertanggung jawab dalam menjelaskan bisnis perusahaan, menemukan
produk terbaik atau kesempatan pasar yang dapat digunakan dengan
sumber daya perusahaan. CEO harus membuat konsep strategi
dan kemudian memulai serta menjaga proses manajemen strategis,
yaitu formulasi, implementasi, dan pengendalian
(Hopkins dan Hopkins, 1997).
xxxix
b. Direktur yang Bertugas Meninjau Ulang Hasil Strategi
Wewenang legal tertinggi dalam bisnis adalah direktur. Diretur
memiliki tugas untuk memastikan kesinambungan manajemen
(mengganti atau mempensiunkan manajer yang tidak efektif); menjaga
pemakaian sumber daya pemegang saham, memastikan bahwa manajer
memakai tindakan yang bijaksana sehubungan dengan tujuan
perusahaan; menyetujui keputusan keuangan dan operasional manajer;
mewakili perusahaan dalam pertemuan dengan perusahaan lain dan
masyarakat; menjaga, memperbaiki, dan menyelenggarakan Anggaran
Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
c. Staff Perencana Perusahaan
Staff yang mendampingi top manajer dalam hal membantu dan
mengimplementasikan strategi. Perencana perusahaan adalah staff
khusus yang dilatih sehingga memiliki keahlian dalam teknik
manajemen strategis, staff membantu memberikan nasehat yang
mendorong bagi perusahaan.
d. Konsultan
Konsultan terkadang dibayar perusahaan sebagai tambahan
perencana atau melakukan pekerjaan perencanaan perusahaan, namun
mereka bukan staff perencana. Pengaruh terakhir yang signifikan
terhadap CEO adalah konsultan strategis. Banyak konsultan yang
menawarkan nasehat dalam bidang perencanaan strategis. Bersama
xl
dengan departemen perencanaan strategis dan eksekutif mereka,
konsultan bertindak sebagai pemberi nasehat.
Breaker dan Pearson (1986), berpendapat bahwa terdapat 4 level dalam
perencanaan strategis. Ketiga level tersebut adalah:
a. Structured Strategic Planning (SSP)
Structured strategic planning memiliki ciri-ciri: formal, tertulis,
perencanaan jangka panjang yang meliputi proses utama yang
menentukan fokus ketertarikan di luar organisasi, harapan dari
ketertarikan dominan dalam organisasi, informasi tentang kinerja
sepanjang waktu, analisis lingkungan, dan menentukan kekuatan serta
kelemahan perusahaan serta feedbacknya. Structured strategic
planning berada pada kisaran waktu 3-15 tahun.
b. Structured Operational Planning (SOP)
Structured operational planning adalah anggaran operasi jangka
pendek tertulis dan rencana aksi untuk periode fiskal saat ini. Ciri khas
rencana aksi termasuk kendali dasar output seperti kuota produksi,
keterbatasan biaya, dan persyaratan personal.
c. Intuitive Plans (IP)
Intuitive plans adalah perencanaan informal yang dikembangkan
dan diimplementasikan berdasarkan intuisi dan pengalaman dari
pemilik perusahaan perencanaan ini tidak tertulis dan disimpan dalam
memori pemilik perusahaan. Umumnya berjangka waktu pendek, tidak
xli
lebih dari satu tahun. Perencanaan ini sangat tergantung tujuan pemilik
dan keadaan lingkungan perusahaan saat ini.
d. Unstructured Plans (UP)
Tidak terdapat perencanaan terstruktur yang dapat diukur dalam
perusahaan.
Grant (2003) menyatakan bahwa terdapat tahapan dalam proses
perencanaan, yaitu:
a. Pedoman Perencanaan
Pedoman perencaan merupakan starting point untuk siklus
perencanaan tahunan yang diumumkan perusahaan di induk
perusahaan dan menjadi asumsi yang digunakan bisnis dalam
menyiapkan perencanaan strategis tingkat bisnis, pedoman ini
dibandingkan antara dua elemen, eksternal dan internal. Lingkungan
eksternal meliputi permintaan, penawaran, harga, dan margin.
Lingkungan internal adalah elemen manajemen perusahaan yang
menetapkan pernyataan prioritas, harapan, dan pedoman.
b. Kerangka Perencanaan Bisnis
Kerangka perencanaan bisnis diformulasikan dari bawah ke atas
(bottom-up).
c. Diskusi dengan Perusahaan
Ketika kerangka perencanaan bisnis diberikan untuk induk
perusahaan, maka dilakukan analisis awal oleh staff perencanaan
xlii
perusahaan, pertemuan dilakukan antara manajemen divisional senior
dan general manager senior dalam perusahaan.
d. Perbaikan Perencanaan Bisnis
Kerangka perencanaan bisnis yang telah ada akan diperbaiki
berdasarkan hasil dari pertemuan.
e. Dana untuk Operasional dan Modal Tahunan
Proses perencanaan strategis berhubungan dekat dengan proses
pendanaan tahunan.
f. Persetujuan Umum
Merupakan akhir dari formalitas formulasi perencanaan strategis
yang disetujui menjadi perencanaan bisnis dan korporasi oleh direktur.
g. Target Kinerja
Dalam rencana bisnis korporasi dan bisnis, terdapat target
keuangan dan strategis yang akan dicapai.
h. Penilaian Kinerja
Perencana strategis menyiapkan dasar penilaian tingkat korporasi
dari kinerja tingkat bisnis.
Koufopoulus dkk. (2005) mengidentifikasi 6 dimensi dalam
perencanaan strategis. Enam dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Formalitas (Formality) dan Kelengkapan (Completeness)
Dimensi pertama dari studi ini adalah memastikan analisis
formalitas perencanaan yang telah diusulkan sebagai salah satu sifat
penting yang paling menonjol dalam aktivitas perencanaan. Tercatat
xliii
bahwa formalitas melibatkan prosedur sistematis jelas yang digunakan
untuk menghimpun komitmen dan keterlibatan stakeholder yang
memiliki pengaruh terhadap perencanaan (Pearce dkk., 1987).
Dimensi kelengkapan berfokus pada 5 langkah manajemen
strategis dan perencanaan yang telah didukung literatur deskriptif.
Langkah ini berhubungan dengan keberadaan pernyataan misi, sejauh
perusahaan melibatkan analisis internal dan eksternal, pendekatan
diberikan untuk menetapkan tujuan dan strategi maupun sejumlah
masalah implementasi, misalnya penetapan ukuran kinerja dan adanya
prosedur korektif. Beberapa penulis memakai kata “canggih” dalam
menggambarkan langkah di atas.
b. Orientasi Internal (Internal Orientation) dan Orientasi Eksternal
(External Orientation).
Duncan (1972) menggambarkan lingkungan internal dan eksternal
sebagai berikut:
Lingkungan internal adalah faktor sosial dan fisik yang relevan dalam batas organisasi atau unit keputusan spesifik yang diambil langsung sebagai pertimbangan dalam perilaku mengambil keputusan dari individu dalam sistem. Lingkungan eksternal adalah faktor sosial dan relevan di luar batas organisasi atau unit keputusan khusus yang diambil langsung sebagai pertimbangan.
Studi sebelumnya menyebut langkah ini sebagai “audit situasi” atau
“penilaian”.
Lingkungan eksternal dapat diterima dalam 2 lapisan, “task
environment” dan “general environment”. Task environment meliputi
suplier, pelanggan, dan pesaing (berpengaruh terhadap operasional
xliv
organisasi). General environment berhubungan dengan perubahan
politik, ekonomi, sosial, dan teknologi. Lingkungan eksternal adalah
bagian penting karena menciptakan baik kesempatan maupun ancaman
dalam organisasi dan telah menunjukkan dampak luas terhadap proses
dalam perusahaan, baik struktur dan pengambilan keputusan
manajerial.
c. Partisipasi CEO dalam Perencanaan (CEO’s Involvement)
Literatur yang relevan secara tegas menekankan bahwa tanpa
dukungan yang kuat dari CEO, perencanaan tidak akan berjalan. Untuk
itu, sangat penting dalam sistem perencanaan yang berhasil untuk
memiliki dukungan aktif sebagai kemungkinan awal dalam rangka
mencapai perencanaan yang akurat dan dapat diimplementasikan.
d. Tanggung Jawab dan Sentralisasi Perencanaan (Planning
Responsibility and Centralisation)
Dimensi tanggung jawab tingkat perencanaan dari setiap level
manajemen yang diharapkan diidentifikasi melalui sentralisasi dari
proses perencanaan CEO. Kulkalis (1991) berpendapat bahwa dalam
lingkungan yang kompleks, top manajemen memegang tanggung
jawab yang lebih dalam perencanaan strategis sedangkan pada
lingkungan yang relatif sederhana, staff perencana memiliki tingkat
partisipasi yang lebih tinggi. Tekanan kompetitif yang terdapat pada
lingkungan, memerlukan keterlibatan CEO yang lebih besar dalam
proses perencanaan dibandingkan top manajer atau manajer lini.
xlv
Keterlibatan manajemen lini memungkinkan organisasi lebih efisien
pada tekanan yang kompetitif, sementara keterlibatan CEO dan top
manajemen menjamin kendali pada arah organisasi
e. Horizon Waktu (Planning Horizon)
Hal yang sangat penting dari dimensi perencanaan adalah waktu.
Waktu adalah salah satu dimensi perencanaan yang tidak pernah
didiskusikan. Pengertian perencanaan adalah bagian khusus dari zona
waktu masa depan yang tentu saja menjadi dasar yang biasanya
dikenal sebagai periode perencanaan atau horizon perencanaan dalam
organisasi.
Horizon perencanaan memberikan alokasi dasar dari sumber daya
perusahaan dan koordinasi perencanaan jangka panjang dan jangka
pendek. Terdapat banyak perbedaan opini dalam literatur mengenai
jangka waktu untuk horizon waktu jangka panjang, di mana beberapa
ahli berpendapat di lingkungan yang lebih kompleks, perencanaan
strategis harus memiliki horizon waktu yang lebih pendek. Lindsay
dan Rue (1980) menyatakan bahwa dalam lingkungan yang sangat
kompetitif akan lebih sulit dalam mengadopsi horizon waktu jangka
panjang. Di lingkungan yang tidak bergejolak akan lebih mungkin
menentukan horizon waktu jangka panjang karena aksi kompetitor dan
perubahan market share akan lebih mudah diprediksi. Setidaknya
terdapat 6 faktor organisasi yang penting dalam menentukan horizon
xlvi
waktu sesuai kebutuhan organisasi untuk merencanakan masa depan
berdasarkan Harrison (1995):
1) Siklus hidup produk (product life cycle).
2) Perubahan teknologi (technological change).
3) Lead time.
4) Nilai sekarang (present value).
5) Siklus hidup organisasi (organization life cycle).
6) Validitas dari kerangka perencanaan (validity of planning
premises).
Horizon waktu berhubungan kuat dengan baik kemampuan dan
kesediaan top manajemen dalam menyusun batas sementara sejak
individu mengoperasikan dalam konteks batas rasional. Keterbatasan
faktor yang ada dalam konteks ini adalah cognitive limitations, risk
avoidance, time constrain, imperfect information, dan cost constrain.
f. Frekuensi Peninjauan Rencana (The Frequency of Reviewing the
Plans)
Di antara perencana, telah dikenal perencanaan tertulis “written”,
dan ditulis ulang “rewritten”. Penetapan kinerja perusahaan terhadap
rencana memerlukan beberapa bentuk proses peninjauan yang
memungkinkan manajemen untuk mengevaluasi kemajuan atas
pencapaian tujuan.
xlvii
2. Kinerja
Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau
tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Wikipedia, 2009).
Kinerja organisasi telah menjadi komponen penting dalam penelitian
empiris dalam bidang kebijakan bisnis, selain itu kinerja ini biasanya
dipakai peneliti dalam menginvestigasi fenomena organisasi, seperti
struktur organisasi, strategi organisasi, dan perencanaan
(Dess dan Robinson, 1984). Dess dan Robinson menambahkan bahwa
penelitian yang mencangkup kinerja organisasi harus menunjukkan 2
masalah utama, yaitu (1) memilih konseptual framework yang
mendefinisikan kinerja organisasi dan (2) keakuratan identifikasi,
ketersediaan pengukuran dalam kinerja organisasi.
Phillip dan Calantone (1994) menyatakan kebanyakan peneliti
sepakat bahwa kinerja adalah salah satu variabel dependen
yang paling penting dalam mempelajari perencanaan strategis karena
kinerja adalah tingkat di mana merupakan wujud dari pencapaian
sasaran dan tujuan Slater dan Ken (1991) menambahkan bahwa
pengukuran kinerja telah menjadi topik yang hangat, khususnya jika
berhubungan dengan pengukuran ekonomi dan efisiensi proses
manufaktur. Metode untuk mengukur kinerja dalam fungsi keuangan
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu survey aktivitas,
interview, kuesioner, observasi, dan skema aliran pekerjaan. Dasar
xlviii
memilih pengukuran kinerja tersebut berdasarkan pertimbangan
tertentu, yaitu:
a. Relevansi
Pengukuran harus dipilih karena secara langsung relevan dengan
topik yang dibahas.
b. Ketersediaan
Kriteria kunci dalam pengukuran kinerja adalah ketersediaan data
yang tepat.
c. Perbandingan
Tujuan dari pengukuran kinerja adalah analisis perbandingan.
Sangat penting bahwa pengukuran kinerja harus dapat dibandingkan
dari waktu ke waktu.
d. Mudah Diinterpretasikan
Hanya pengukuran yang dapat dan siap diinterpretasikan yang dapat
digunakan.
Pengukuran kinerja sering membutuhkan banyak waktu, selain itu
seringkali banyak hal yang tidak penting dimasukkan sebagai
pengukuran, namun jika telah diperoleh pengukuran yang tepat maka
hasilnya dapat digunakan oleh siapapun, kapanpun, dan tentu saja
menjadi sangat kuat.
Dasar dari pengukuran kinerja dibagi menjadi 2, yaitu pengukuran
subyektif dan obyektif (Brews dan Hunt, 1999). Kriteria obyektif
adalah sales growth (baik penjualan kotor maupun penjualan bersih),
xlix
growth in net income, return on assets/sales, abnormal stockholder
return, dividend per share or earning pershare, atau total return to
investor.
Kriteria subyektif meliputi:
a. Rating responden atas efektifitas sistem perencanaan.
b. Rating responden atas perbandingan seluruh perusahaan dalam
industri.
c. Persepsi responden atas current profitability, growth/share, future
positioning, quality, dan social responsiveness.
Tidak ada salah satu kriteria atau serangkaian kriteria yang
mendominasi, di mana variabel yang diambil biasanya mencerminkan
pilihan peneliti.
3. Gejolak Lingkungan
Lingkungan telah dianggap sebagai variabel penting dalam
menguji hubungan strategi-kinerja (Prescot, 1986 dalam
Dess dkk., 1990). Daftar dari beberapa konsep yang paling penting dan
dimensi empiris dari lingkungan adalah ketidakstabilan lingkungan atau
gejolak lingkungan (Dess dkk., 1990). Mautinho dan Philips (2002)
menyatakan bahwa gejolak dalam lingkungan eksternal, persaingan
pasar, pelanggan yang makin cerdas menyebabkan organisasi semakin
butuh menilai ulang strategi bersaing mereka.
Gejolak sendiri selalu berhubungan dengan kondisi pasokan yang
tidak pasti serta interaksi yang tidak dapat diprediksi dengan berbagai
l
pemain pasar (Ottensen and Gronhaug, 2004). Menurut
Ottensen and Gronhaug, gejolak dibagi menjadi 2 tipe. Tipe pertama
dijelaskan sebagai pemain pasar, seperti perusahaan manufaktur,
berbagai jenis pemasok dan pelanggan tergantung dalam interaksi satu
sama lain untuk memperoleh saran, informasi, status, bahan, dan
sumber finansial yang dibutuhkan untuk beroperasi secara efektif.
Interaksi semacam ini memberikan informasi berkala dan relevan,
namun mengubah aktivitas manajemen dan juga time consuming sebab
setiap pemain pasar memiliki kebutuhan dan tujuan mereka sendiri,
sehingga sulit memperoleh titik temu di semua pemain. Dalam tipe ini,
aktivitas dan fokus perusahaan, termasuk kemampuan untuk bertindak
proaktif, akan bersifat kaku.
Tipe kedua adalah dipisahkan dari orientasi pasar. Gejolak
berhubungan dengan “keadaan dasar". Hal ini terkadang memberikan
masalah terhadap pemuasan kebutuhan dan keinginan pelanggan
dengan membatasi jumlah produksi, kualitas produk yang ditawarkan,
dan kemampuan untuk mengirimkan atau distribusi barang.
Gejolak lingkungan merujuk pada sejumlah perubahan dan
kompleksitas dalam lingkungan perusahaan. Semakin besar jumlah
perubahan faktor lingkungan, meliputi: teknologi, peraturan
pemerintah, dan atau sejumlah besar faktor lingkungan yang harus
dipertimbangkan (Planningskill, 2009). Ketidakpastian lingkungan
diindikasikan sebagai kemungkinan meramalkan kondisi dalam
li
lingkungan organisasi, di samping organisasi diharapkan merespon
lingkungan dalam cara yang relatif konsisten dari waktu ke waktu
(Miles dan Snow, 1978).
Organisasi terkadang melihat lingkungan sebagai sesuatu yang
bergejolak dan kompleks sehingga menggunakan solusi manajerial
yang lebih sederhana dan stabil dalam mengejar kondisi yang belum
dikenal, sedangkan lainnya tidak melihat organisasi sebagai sesuatu
yang bergejolak atau kompleks, perbedaan pandangan ini membuat
respon manajerial terhadap organisasi menjadi berbeda-beda
(Ashmos dkk., 2000). Dalam penelitian Davis dkk. (1991) gejolak
lingkungan terdiri dari 3 hal, yaitu perubahan teknologi, persaingan
perusahaan dalam industri, dan tingkat pertumbuhan industri.
Gejolak lingkungan kerap dijadikan sebagai variabel moderasi
karena berdasarkan pertimbangan tertentu, gejolak lingkungan adalah
salah satu faktor yang paling mempengaruhi integrasi perusahaan dalam
proses distribusi-produksi. Gejolak lingkungan terdiri dari perubahan
struktur industri dan persaingan, perkembangan teknologi, dan
perubahan sistem komunikasi dan transportasi yang meningkatkan
globalisasi sehingga meningkatkan potensi gejolak lingkungan
(Stonebraker dan Liao, 2004). Praktisioner harus menerima konsistensi
perencanaan dengan mempertimbangkan proses perencanaan yang lebih
luas, perubahan lingkungan, organisasi, dan konteks strategi
(Jenings dan Disney, 2002).
lii
Sebagai pihak yang kurang setuju adanya perencanaan, Minzberg
(1993), menyatakan bahwa obsesi atas kendali mengarahkan pada
beberapa perilaku ingin tahu, tidak ada lagi yang disebut tindakan
perencanaan yang disebut “gejolak lingkungan”. Literatur perencanaan
telah membuat kehebohan yang sangat lama mengenai gejolak.
Fakta bahwa lingkungan bervariasi di seluruh sektor dan terjadi
terus-menerus menyebabkan beberapa organisasi seringkali mengalami
gangguan yang parah, sedang lainnya merasakan lingkungan yang stabil
(Mintzberg, 1994). Lebih jauh Mintzberg menyatakan bahwa untuk
mengumumkan lingkungan mengalami gejolak yang permanen, sama
dengan menyatakan lingkungan secara permanen stabil, karena
sesungguhnya lingkungan akan selalu berubah di beberapa dimensi dan
tetap stabil di dimensi lain, sangat jarang semua dimensi berubah di
waktu yang sama.
Indonesia merupakan salah satu negara industri baru atau emerging
country. Perlu adanya pengembangan atas pengetahuan yang ada saat
ini mengenai sistem perencanaan strategis di negara transisi, yang
menghadapi ketidakpastian dan gejolak lingkungan yang lebih besar
(Koufopoulus, 2002).
4. Ukuran Organisasi
Saat ini banyak definisi perusahaan kecil dan menengah (SMEs)
yang diterima dan klasifikasinya bermacam-macam dari industri dan
negara (Atkins dan Lowe, 1997 dalam O’Regan dan Ghobadian, 2004).
liii
Sama halnya dengan definisi perencanaan strategis yang masih belum
pasti, definisi umum ukuran perusahaan juga kerap dikritik. Kritikan
pertama datang dari laporan Bolton (1971) dan Curran (1976). Tiga
puluh tahun kemudian, masalah menyangkut definisi ukuran organisasi
masih belum dapat dipecahkan (O’Regan dan Ghobadian, 2004).
Setiap negara memiliki cara yang berbeda dalam menentukan
ukuran organisasi, misalnya di USA, usaha kecil adalah perusahaan
yang memiliki penjualan tahunan sebesar $ 5 juta
(Bracker dan Pearson, 1986), sedangkan di Indonesia, terdapat beberapa
cara untuk menentukan ukuran organisasi; pertama dengan besaran
modal, kedua dengan banyaknya pekerja (BPS, 2009).
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM
berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha mikro adalah entitas usaha
dengan tenaga kerja 1-4 orang. Usaha kecil merupakan entitas usaha
yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 sampai 19 orang, sedangkan usaha
menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20
sampai 99 orang, dan terakhir adalah usaha besar yang merupakan
entitas usaha dengan tenaga kerja lebih dari 99.
Definisi UKM yang akan dipakai dalam penelitian adalah definisi
UKM berdasarkan BPS, sebab definisi tersebut sesuai dengan dasar
yang dipakai mengenai penentuan ukuran perusahaan pada penelitian
terdahulu (Falshaw dkk., 2006; Gleister dkk., 2007).
liv
Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan jumlah pekerja di
perusahaan tersebut. Terdiri dari 1 item pertanyaan untuk menjawab
jumlah pekerja dalam organisasi. 1-4 orang merupakan perusahaan
mikro, 5-19 orang merupakan perusahaan kecil, 20-99 orang merupakan
perusahaan menengah, lebih dari 99 orang merupakan perusahaan besar
(BPS, 2009).
Ukuran perusahaan merupakan faktor penting dalam kinerja
perusahaan, walaupun perhatian terhadap pengaruh sifat perusahaan
dengan kinerja perusahaan telah banyak, namun studi mengenai
dampak ukuran perusahaan hampir tidak ada (Wincent, 2005).
Ukuran dan struktur perusahaan berhubungan dengan signifikansi
ekonomi dari kualitas program dan kinerja. Perusahaan kecil dan
menengah serta perusahaan besar memiliki beberapa keuntungan dan
kerugian dalam mengimplementasikan program kualitas, penyebabnya
adalah perbedaan struktur, ukuran, dan budaya organisasi
(Rodchua, 2009).
Perusahaan besar dan kecil dibedakan dalam beberapa kriteria,
yaitu:
a. Struktur
Perusahaan besar biasanya sangat terstruktur, di bawah prosedur
formal di semua aktivitas, sedangkan perusahaan kecil dan menegah
memiliki struktur organisasi yang tidak begitu kompleks. Salah satu
kunci perbedaan adalah struktur dan ukuran perusahaan. Kedua
lv
ukuran memiliki kelemahan dan kelebihan dalam
mengimplementasikan sistem kualitas. Perusahaan besar tidak dapat
meningkatkan kulitas produk atau jasa dan proses, kecuali jika
pemasok atau pemasok tingkat dua juga berkembang menjadi
tingkat yang lebih besar (Rodchua, 2009).
b. Prosedur dan Proses
Karena tingginya tingkat standarisasi dan formalisasi,
perusahaan besar memiliki banyak aktivitas dan operasional yang
bedasarkan aturan formal dan prosedural. Berbeda dengan
perusahaan kecil dan menegah, yang dioperasikan oleh manajer
tunggal, sedikit divisi fungsional, serta memiliki proses yang
fleksibel dan mudah beradaptasi.
c. Perilaku, Orang, dan Hubungan
Umumnya disadari bahwa ukuran mempengaruhi perilaku
organisasi. Perusahaan besar umumnya sangat birokratis dan untuk
itu, perusahaan besar sangat tergantung pada formalisasi perilaku
dalam mencapai koordinasi.
Top manajemen perusahaan kecil cenderung mensentralkan
perencanaan di bawah kondisi yang kurang menguntungkan dan
lebih mempercayai penilaian mereka sendiri, berbeda dengan
perusahaan besar yang cenderung lebih terbuka terhadap informasi
yang bersumber dari mana saja (Lindsay and Rue, 1980).
lvi
B. Perumusan Hipotesis
Landasan teori dalam penelitian ini adalah:
1. Perencanaan Strategis Formal-Kinerja
Thune dan House, 1970, melakukan studi terhadap 38 perusahaan
dalam 6 industri yang kerap dijadikan referensi dalam banyak literatur
penelitian, Thune dan House mengukur kinerja menggunakan indikator
pertumbuhan penjualan, harga saham, EPS, ROE, dan Return on Total
Capital, hasil yang diperoleh adalah perencana formal lebih sukses dari
pada perencana informal dalam industri obat, kimia, dan mesin, sedangkan
untuk industri makanan, minyak, dan baja tidak ditemukan adanya
hubungan yang signifikan pada perencanaan strategis formal-kinerja. Sejak
saat itu, penelitian empiris mengenai perencanaan strategis formal-kinerja
semakin banyak, namun hasil penelitian lebih ambigu dari pada penelitian
Thune dan House sehingga menimbulkan perdebatan selama 30 tahun
(Falshaw dkk., 2006).
Hopkins dan Hopkins (1997) bahwa terdapat hubungan positif dan
langsung antara perencanaan strategis dengan kinerja dalam bisnis
perbankan. Mereka menyatakan bahwa seringkali hasil studi mengenai
antara perencanaan strategis-kinerja masih kacau karena peneliti kerap kali
mengabaikan aspek penting (manajerial, lingkungan, ukuran, dan struktur
organisasi) dalam hubungan tersebut.
lvii
Gleister dkk. (2007) menyatakan bahwa hasil literatur terdahulu
mengenai perencanaan strategis formal dan kinerja sebagian besar FSP-
Kinerja dibagi menjadi 4 dan disajikan dalam tabel II.1.
Greenley (1994) menjelaskan lebih jauh review terhadap 29 studi
dengan mengklasifikasi studi ini ke dalam 3 kelompok. Kelompok pertama,
terdapat 6 studi yang mana peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara perencanan strategis dengan kinerja perusahaan
(Rhenman, 1973; Rue and Fulmer, 1973, 1974; Grinyer and Norburn, 1975;
Kallman and Shapiro, 1978; Kudla, 1980, Leontiades and Tezel, 1980;
Robinson and Pearce, 1983; Fredrickson and Mitchell, 1984; and
Whitehead and Gup, 1985) . Kelompok kedua, terdapat 12 studi yang
mendukung hubungan antara perencanaan strategis dengan kinerja
organisasi (Ansoff dkk., 1970; Eastlack and McDonald, 1970; Guth, 1972;
Burt, 1978; Klein, 1981; Sapp and Seiler, 1981; Fredrickson, 1984;
Robinson dkk., 1984; Welch, 1984; Bracker and Pearson, 1986; Pearce
dkk., 1987; dan Robinson and Pearce, 1988). Kelompok ketiga terdapat 9
studi yang menyimpulkan bahwa perusahaan dengan perencanaan strategis
berkinerja lebih dari perusahaan tanpa perencanaan strategis (Gershefski,
1970; Thune and House, 1970; Herold, 1972; Karger and Malik, 1975;
Wood and LaForge, 1979; Robinson, 1982; Ackelsberg and Arlow, 1985;
and Rhyne, 1986, 1987).
lviii
Gleister dkk. (2006) secara kronologis mengamati hasil-hasil studi
perencanaan strategis formal-kinerja pada periode 1970-2006. Beberapa di
antaranya secara garis besar dikemukakan sebagai berikut.
Tabel 2.1 Pemetaan Riset Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja
NAMA JUMLAH REVIEW KESIMPULAN Amstrong (1982)
12 studi Amstrong menyimpulkan bahwa studi mendukung manfaat perencanaan strategis formal, namun masalah serius dalam research ditemukan, hanya sedikit kesimpulan yang dapat diambil mengenai bagaimana dan kapan membuat rencana .
Pearce (1987) 18 studi Pearce menyatakan bahwa dukungan empiris dampak FSP, “tidak konsisten dan kontradiktif” dan hanya hubungan yang lemah antara FSP-kinerja keuangan.
Boys (1991) terhadap 29 studi meta analisis dari studi Acklesberg dan Arlow (1985); Bracker dkk. (1988); Bracker dan Perason (1986); Capon dkk. (1994); Dyson dan Foster (1982); Fredicson dan Mitchell (1984); Ginter dkk. (1985); Grinyer dkk. (1986); Javidan, (1984); Kukalis (1991); Leontiades dan Tezel (1980); Lindsay dan Rue (1980); Miller (1987); Miller dkk. (1988); Odom dan Boxx (1988); Pearce dkk. (1987); Powell (1992a); Powell (1992b); Priem dkk. (1995); Ramanujam dan Ventrakraman (19); Ramanujam dkk. (1986); Rhyne (1985); Robinson dan Pearce (1983); Sgortell dan Zajac (1990); Sinha (1990); Veliyath dan Shortell (1993); Ventrakraman dan Ramanujam (1987); Welch (1984).
Boys menyatakan bahwa dampak keseluruhan dari perencanaan dengan kinerja sangat lemah.
Greenley (1994)
29 studi Greenley menyatakan bahwa ada keseimbangan dukungan bukti antara FSP-Kinerja, namun banyak kelemahan metodologi yang menantang kesimpulan. Kesimpulan ini tidak termasuk penilaian dari kekakuan metodologi dari hasil ini, dia berpendapat, bahwa terdapat banyak kelemahan metodologi, yang menantang kesimpulan awal.
Sumber: Gleister dkk., 2006.
lix
Berdasarkan banyaknya perbedaan bukti empiris, penelitian akan
menggunakan Hipotesis replikasi dari penelitian Gleister dkk. (2007), yaitu:
Hipotesis 1:
Perencanaan strategis berpengaruh positif pada kinerja perusahaan.
2. Perencanaan Strategis Formal-Gejolak Lingkungan
Peningkatan perubahan pada lingkungan bisnis menyebabkan
perencanaan strategis yang sistematis semakin sulit, perubahan yang cepat
membutuhkan strategi yang fleksibel dan kreatif, yang oleh Hammel,
kadang-kadang dihubungkan dengan perencanaan strategis formal
(Grant, 2003).
Pada kuartal terahir abad 20, makro ekonomi tidak seimbang, tarif tukar
mata uang berfluktuasi sangat cepat, revolusi mikroelektronik, transisi dari
stabilitas ekonomi pasca perang menjadi negara industri dan sejak saat itu,
peramalan ekonomi serta pasar yang biasanya menjadi fondasi perencanaan
strategis menjadi tidak mampu memperkirakan permintaan, harga, tarif
tukar mata uang, tingkat bunga sehingga hal tersebut meningkatkan
tantangan perusahaan dalam merencanakan (Grant, 2003). Perusahaan telah
mengembangkan sejumlah besar respon sistematis dalam menghadapi
tantangan gejolak lingkungan (Ansoff, 1980). Ketika digunakan sebagai
proses alokasi sumber daya, proses perencanaan strategis
mempertimbangkan sejumlah peran organisasi, termasuk kemungkinan
untuk merespon perubahan lingkungan (Jennings dan Disney, 2006).
Kebutuhan akan perencanaan dalam pelaksanaan organisasi bisnis dalam
lx
lingkungan yang kompleks telah diterima secara luas
(Leontiades dan Tezel, 1980). Miller dan Cardinal (1994) menyatakan
bahwa tujuan utama perencanaan strategis adalah untuk meningkatkan
proses berfikir adaptif atau berfikir mengenai bagaimana memperoleh dan
menjaga keserasian atau penyesuaian antara perusahaan-lingkungan.
Phillips dan Calantone (1994) menyatakan bahwa tujuan utama dari
perencanaan adalah memandu organisasi sehingga dalam menyesuaikan
dengan lingkungan atau organisasi diharapkan dapat mengantisipasi
perubahan lingkungan secara akurat sehingga memperlihatkan tingkat
kinerja yang lebih baik.
Gejolak lingkungan memiliki dampak terhadap sistem perencanaan
strategis formal (Grant, 2003) dalam hal redistribusi kewenangan
pengambilan keputusan perencanaan strategis, di mana gejolak lingkungan
mendorong desentralisasi dari kewenangan pengambilan keputusan yang
biasanya tingkat perusahaan, menjadi tingkat bisnis. Dampak lainnya
adalah gejolak lingkungan menjadikan perencanaan strategis makin pendek
waktunya karena perencanaan strategis memerlukan prediksi, semakin tidak
pasti lingkungan makin memperpendek rentang waktu perencanaan
strategis (Lindsay dan Rue, 1980) dan dampak terakhir adalah
berkurangnya formalitas dari proses perencanaan, dalam teori
organisasional, menyatakan bahwa lingkungan eksternal yang kurang stabil
diasosiasikan dengan kurangnya birokrasi dan pegambilan keputusan
semakin fleksibel (Burns dan Stalker, 1961).
lxi
Alasan utama mengapa gejolak lingkungan harus diperhitungkan adalah
bahwa dalam perusahaan menghadapi gejolak yang tinggi dan harus
mengandalkan sejumlah besar perencanaan strategis untuk menghadapi
tantangan, ketidakpastian kondisi, sedangkan eksekutif di perusahaan
dengan gejolak lingkungan yang rendah membutuhkan sedikit perencanaan
strategis (Ansoff, 1991). Jennis dan Disney (2006) menyatakan bahwa
sistem perencanaan dalam lingkungan yang kompleks lebih fleksibel dan
rencana ditinjau ulang lebih sering dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa peningkatan formalitas dalam
sistem perencanaan organisasi akan meningkat seiring peningkatan ukuran
dan gejolak lingkungan (Amstrong, 1982; Shrader dkk., 1984;
Falshaw dkk., 2005). Hasil penelitian lain, bisa saja berkebalikan
(Mintzberg, 1994) di mana peningkatan gejolak lingkungan dapat
mengurangi ketergantungan atas sistem perencanaan yang formal dan
menambah ketergantungan pada pengalaman dan sistem informal yang lain.
Grant (2003) juga menambahkan bahwa tidak banyak pengujian
mengenai pengaruh gejolak lingkungan pada hubungan perencanaan bisnis
formal-kinerja, maka peneliti mengambil hipotesis 2, sesuai dengan
hipotesis yang dinyatakan Glaister dkk. (2006), yaitu:
Hipotesis 2:
Pengaruh perencanaan strategis formal pada kinerja perusahaan lebih
besar pada lingkungan yang bergejolak dari pada lingkungan yang
tenang.
lxii
3. Perencanaan Strategis Formal-Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan mewakili sumber daya organisasi, memiliki
hubungan penting dengan perencanaan karena formulasi dan
implementasinya dalam strategi memerlukan sumber daya yang terbatas
(Temtime, 2002). Dalam penelitiannya, Temtine menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran perusahaan dengan
kinerja, semakin meningkatnya ukuran perusahaan dari kecil menjadi
sedang, perusahaan akan semakin melakukan pendekatan pada perencanaan
strategis terhadap masalah dan aktivitas terkait. Secara rasional, bahwa
peningkatan ukuran berarti meningkatkan sumber daya, investasi, dan
keahlian, yang mana hal-hal tersebut berdampak langsung terhadap
perilaku merencanakan dalam perusahaan.
Perusahaan besar dan kecil memperoleh keuntungan dari perencanaan
strategis. Perusahaan besar kelihatannya memperoleh keuntungan yang
lebih dari pada perencanaan strategis. Perusahaan besar memperoleh
keuntungan yang sangat besar, karena tidak hanya dari berfikir adaptif, tapi
juga integrasi dan pengendalian, sedangkan perusahaan kecil dapat
memperoleh keuntungan yang besar dari berfikir adaptif, namun
kemungkinan dalam hal integrasi dan pengendalian sedikit kurang dari
pada perusahaan besar (Miller dan Cardinal, 1994).
Hopkins dan Hopkins (1997) menyatakan bahwa ukuran perusahaan
berdampak langsung terhadap kinerja organisasi, namun lemah.
lxiii
Robinson dan Pearce (1983) menyatakan bahwa pengaruh ukuran
organisasi terhadap kinerja adalah samar-samar. Studi yang mereka
lakukan menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kinerja yang signifikan
antara perusahaan kecil yang memiliki perencanaan formal dan tidak
memiliki perencanaan formal. Shrader dkk. (1989) menyatakan bahwa
bisnis kecil lebih menghadapi peningkatan ketidakpastian lingkungan.
Lebih jauh lagi, Patterson dalam Shrader dkk. (1989) menyatakan bahwa
mengelola bisnis kecil pada waktu terjadi gejolak menjadi lebih menantang
karena bisnis kecil harus menyesuaikan dengan keterbatasan keuangan dan
sumber daya manusia dalam merespon perubahan lingkungan. Berdasarkan
permasalahan di atas, penelitian memakai hipotesis ketiga yang merupakan
hipotesis replikasi penelitian Glaister dkk. Hipotesis ketiga adalah sebagai
berikut:
Hipotesis 3:
Pengaruh positif perencanaan strategis formal pada kinerja
perusahaan lebih besar pada perusahaan besar dari pada perusahaan
kecil.
C. kerangka Penelitian
kerangka penelitian adalah representasi dari konsep hubungan antar
konstruk. Jenis tujuan dari model penelitian ini sama seperti kebanyakan
literatur terdahulu mengenai perencanaan strategis formal-kinerja yaitu, model
preskriptif atau normatif. Sebuah model yang menyajikan sesuatu sebagai
lxiv
output yaitu rekomendasi kebijakan (Ferdinand, 2006). Model merupakan
replikasi dari penelitian Gleister dkk. (2007).
Sumber: Gleister dkk., 2007
GAMBAR II.1
kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran di atas merupakan penyempurnaan dari penelitian
Falshaw dkk. pada tahun 2006. Dalam penelitian Falshaw dkk., gejolak
lingkungan dan ukuran perusahaan memediasi pengaruh perencanaan strategis
formal pada kinerja perusahaan. Hasil berdasarkan pengujian adalah
perencanaan strategis formal tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perusahaan. Saran yang diberikan Falshaw dkk. adalah mengganti model,
terdapat kemungkinan bahwa model yang digunakan kurang tepat.
Kemudian oleh Totuglu dkk. (2007) yang merupakan rekan Falshaw dalam
penelitian sebelumnya melakukan penyempurnaan terhadap model penelitan
yang dilakukan Falshaw tahun 2006 sebagai tindak lanjut atas kekurangan
penelitian sebelumnya. Gleister, Totuglu, Dincer, Demirbag, dan Zaim
· Gejolak Lingkungan (TURB) · Ukuran perusahaan (SIZE)
Kinerja perusahaan
(PERF)
Perencanaan strategis formal (FSP)
lxv
mencoba mengganti model penelitian menjadi seperti figure II.1. Pada
penelitian sebelumnya, gejolak lingkungan dan ukuran organisasi merupakan
variabel mediasi, dalam penelitian Gleister dkk., variabel gejolak lingkungan
dan ukuran organisasi menjadi variabel moderator.
Tujuan penelitian ini untuk memberikan bukti baru dalam penelitian
perencanaan strategis-kinerja, serta menggali kelemahan berdasarkan penelitian
terdahulu, di mana permasalahan utama selama 20 tahun masih
memperdebatkan ketidakkonsistenan konstruk dan adanya keterbatasan
metodologi (Greenly, 1994; Boyd dan Elliot, 1998). Analisis dalam penelitian
ini memakai hierarchical regression analysis untuk memberikan gambaran
berbeda dari studi Gleister serta sekaligus sebagai respon dalam memberikan
analisis yang berbeda. Pengembangan analisis sangat diperlukan untuk
memperoleh metode analisis yang tepat dalam penelitian perencanaan
strategis-kinerja.
lxvi
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian dalam penelitian ini meliputi tujuan, unit analisis, jenis
data. Tujuan studi dalam penelitian ini adalah pengujian hipotesis. Studi
dengan tujuan pengujian hipotesis umumnya menjelaskan fenomena dalam
bentuk hubungan antar variabel (Sekaran, 2006). Penelitian ini ditujukan
untuk menambah bukti empiris mengenai pengaruh perencanaan strategis
formal pada kinerja setelah sekian lama hasil penelitian masih belum
konsisten. Tujuan lain dari penelitian ini adalah memberikan bukti baru di
negara emerging country dengan memasukkan aspek relevan seperti variabel
gejolak lingkungan dan ukuran organisasi.
Unit analisis penelitian adalah perusahaan. Jenis data yang digunakan
adalah data cross-sectional (data seksi silang). Sebuah studi yang dilakukan di
mana data dikumpulkan dalam satu waktu untuk menjawab pertanyaan, studi
seperti itu disebut one shot study atau cross-sectional study (Sekaran, 2003).
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
Populasi (population) mengacu pada keseluruhan kelompok orang,
kejadian, atau minat yang ingin peneliti investigasi. Populasi dalam penelitian
adalah seluruh industri mebel di Kabupaten Jepara.
Sample adalah bagian dari populasi dan terdiri atas sejumlah anggota yang
dipilih dalam populasi (Sekaran, 2006). Jumlah kecukupan sampel sesuai
dengan besaran sampel dalam penelitian multivariate (termasuk yang
lxvii
menggunakan analisis regresi multivariate), besarnya sampel ditentukan
sebanyak 25 kali variabel independen, jika dalam penelitian terdapat 3
variabel independen, berarti data minimal 3x25 (Ferdinand, 2006). Penjelasan
lain mengenai jumlah data minimal dalam penelitian multivariate datang dari
Sekaran. Dalam penelitian multivariate (termasuk dalam analisis regresi
berganda) ukuran sampel sebaiknya beberapa kali (lebih disukai 10 kali atau
lebih) lebih besar dari jumlah variabel dalam studi (Roscoe, 1975 dalam
Sekaran, 2006). Penelitian akan memakai batas minimal ukuran sample 10
kali variabel independen, yaitu 30 sample. Sampel dalam penelitian ini berupa
beberapa perusahaan mebel di Kabupaten Jepara.
Teknik sampling menggunakan nonprobability sampel. Nonprobability
memiliki keunggulan murah, digunakan jika tidak terdapat sampling frame,
dan dipakai jika populasi menyebar sangat luas, sehingga cluster sampling
tidak efisien (Ferdinand, 2006). Dalam penelitian ini akan dipakai convenience
sampling. Ferdinand menjelaskan bahwa dalam memilih sampel, peneliti tidak
mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja.
Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau
kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis
menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive
sample (man-on-the-street).
C. Sumber dan Jenis Data
Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden penelitian
melalui wawancara dan kuesioner di lapangan. Data primer yang dipakai
lxviii
adalah kuesioner. Kuesioner digunakan untuk mengetahui perencanaan
strategis formal, kinerja, gejolak lingkungan, dan ukuran perusahaan.
Data Sekunder, yaitu data yang mengacu pada informasi yang
dikumpulkan oleh seseorang dan bukan peneliti yang melakukan studi
mutakhir (Sekaran, 2006). Dalam penelitian ini, peneliti memerlukan data
sekunder untuk memperoleh jumlah pasti total industri mebel di Jepara. Data
yang dibutuhkan berasal dari BPS dalam situs Kabupaten Jepara.
D. Metode Pengumpulan
Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah kuesioner. Kuesioner
adalah suatu teknik pengumpulan data primer yang dilakukan dengan cara
memberikan seperangkat pertanyaan atau pertanyaan tertulis pada responden
individu (Hartono, 2007). Sekaran (2006) menyatakan bahwa kuesioner
adalah daftar pertanyaan tertulis yang telah dirumuskan sebelumnya yang akan
responden jawab. Dalam penelitian ini, kuesioner akan diberikan secara
pribadi (self-administrated survey).
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah kuesioner.
Penelitian Falshaw dkk. (2006) dan Gleister dkk. (2007) sebagai sumber
penelitian. Kedua penelitian menggunakan kuesioner yang sama, perbedaan
terletak pada model penelitian yang dibangun. Kuesioner dibagi menjadi 4
bagian. Bagian pertama untuk mengetahui apakah perusahaan memiliki
perencanaan strategis formal, bagian ini terdiri dari 12 item pertanyaan.
Bagian kedua adalah untuk mengetahui pengaruh gejolak lingkungan sebagai
lxix
moderator, bagian ini terdiri dari 5 item pertanyaan. Bagian ketiga adalah
pengukuran kinerja, pengukuran kinerja dibagi menjadi 5 item pertanyaan.
Bagian terakhir adalah bentuk pertanyaan terbuka mengenai banyak karyawan
untuk menentukan ukuran organisasi.
Instrumen pada awalnya diterjemahkan oleh peneliti, kolega, dan ahli
bahasa. Usaha ini ditujukan ketika kuesioner disebarkan, pembaca tidak
mengalami kesulitan dalam penafsiran kalimat kuesioner.
F. Definisi Operasional
Pengukuran terhadap variabel yang akan digunakan dalam
penelitian ini merupakan pengukuran dari peneliti terdahulu
(Falshaw dkk., 2006 dan Gleister dkk., 2007 ), yaitu:
1. Variabel Terikat (Y): Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan diukur dengan pengukuran subyektif (Brews dan
Hunt, 1999; Falshaw dkk., 2006; Glaister dkk., 2007). Karena
kebanyakan obyek penelitian ini adalah perusahaan kecil, maka
pengukuran finansial akan sulit dilakukan, sebab kinerja organisasi kecil
bergantung pada seberapa baik manajemen dapat menggunakan
perencanaan (Schollahammer dan Kuriloff, 1979 dalam Dess dan
Robinson, 1984).
Dess dan Robinson (1984) menjelaskan bahwa pengukuran kinerja
dengan menawarkan jawaban, “sukses/gagal” dapat digunakan untuk
mengukur kinerja sebab:
lxx
a. Untuk mengakses data kinerja pada perusahaan perseorangan
terkadang sangat kaku, pemilik sangat sensitif mengenai sesuatu yang
berhubungan dengan data kinerja.
b. Menginvestigasi perusahaan kecil seringkali berbenturan dengan
ketidaktersediaan pengukuran kinerja obyektif, terdapat resiko yang
besar dalam prosedur akuntansi karena tidak baku sehingga
menimbulkan multi tafsir.
Walaupun menggunakan pengukuran obyektif, terbukti pengukuran
obyektif berhubungan positif dengan pengukuran subyektif dalam ROA,
sales growth, dan terakhir hubungan antara ROA-sales growth
(Dess dan Robinson, 1984)
Pengukuran kinerja yang dipakai adalah pengukuran kinerja yang
dipakai Falshaw dkk., 2006 dan Glaister dkk. 2007. Responden akan
ditanya mengenai kinerja bisnis 3 tahun terakhir dibandingkan pesaing
utama dengan menggunakan 5 poin skala likert .
Pertanyaan yang akan ditanyakan adalah kinerja selama 3 tahun ini,
hal yang ditekankan adalah peningkatan keuntungan dari pada pesaing,
peningkatan penjualan dari pada pesaing, peningkatan marketshare dari
pada pesaing, peningkatan penjualan setelah pajak dari pada pesaing, dan
keseluruhan kinerja dari pada pesaing.
lxxi
2. Variabel Bebas (X1): Perencanaan Strategis Formal
Pada penelitian terdahulu, perencanaan strategis formal diukur dengan
skala nominal, “memiliki/tidak memiliki perencanaan strategis formal”,
namun dalam penelitian ini, akan diukur beberapa indikator sebagai
tindak lanjut atas kritik terhadap pengukuran perencanaan strategis
formal. Pengukuran formalitas perencanaan ini tidak didesain untuk
mendeteksi adanya perbedaan dalam sistem perencanaan formal,
kuesioner ini hanya memperluas formalitas sistem perencanaan
(Falshaw dkk., 2006). Pengukuran multi-item untuk proses perencanaan
yang dikembangkan dari Gluck dkk. (1982) dalam Falshaw (2006) dan
Gleister (2007) Dua belas item pertanyaan akan ditanyakan seputar
derajat formalisasi perusahaan. Kedua belas item pertanyaan yaitu
penjadwalan review, pegadaan review, formalitas presentasi, pengambilan
keputusan, jumlah rencana, jenis diskusi, kemajuan review, jenis
pertanggungjawaban, jenis keterangan, prosedur perencanaan.
3. Variabel Moderasi
Variabel moderasi (moderating variable) adalah variabel yang
mempunyai pengaruh ketergantungan (contingent effect) yang kuat
dengan hubungan variabel terikat dan variabel bebas, kehadiran variabel
moderator akan mengubah hubungan awal antara variabel bebas dan
variabel terikat (Sekaran, 2006). Menurut Ferdinand (2006), variabel
moderator adalah hubungan atau dampak dari hubungan variabel
independen dengan variabel dependen, bila dampaknya memperkuat,
lxxii
maka disebut, “amplying effect” dan jika memperlemah disebut
“moderating effect”.
a. Variabel Moderasi (M1): Gejolak Lingkungan
Gejolak lingkungan diukur menggunakan pengukuran Miller dan
Droge. pengukuran ini merefleksikan tingkat perubahan dan
tidakpastian pasar dan teknologi. Lima item pertanyaan yang akan
ditanyakan adalah mengenai praktek pemasaran, tingkat kadaluarsa
barang/jasa yang tinggi, tindakan kompetitor, selera konsumen, dan
teknologi produksi.
b. Variabel Moderasi (M2): Ukuran Perusahaan
Bentuk umum dari variabel moderasi yang banyak dipakai untuk
riset adalah bentuk variabel dami (dummy variable). Variabel ini
memiliki nilai antara 1 atau 0. Ukuran perusahaan dapat diukur
dengan beberapa cara, namun dalam penelitian ini diukur
menggunakan jumlah pekerja full-time dalam perusahaan
(Wincent, 2005), kemudian berdasarkan hasil pembagian tersebut,
untuk jumlah pekerja 1-19 bernilai 0, dan jumlah pekerja lebih dari 20
orang bernilai 1. Pembagian ukuran perusahaan ke dalam dummy
variable sesuai dengan penelitian terdahulu
(Gleister dkk., 2007; Falshaw dkk., 2006). Dalam penelitian ini,
pengklasifikasian perusahaan hanya dibagi menjadi 2, perusahaan
besar dan kecil. Seperti dalam definisi BPS yang menyatakan bahwa
lxxiii
1-4 orang merupakan perusahaan mikro, 5-19 orang merupakan
perusahaan kecil, 20-99 orang merupakan perusahaan menengah,
lebih dari 99 orang merupakan perusahaan besar (BPS, 2009).
Definisi ukuran perusahaan dari BPS kemudian disesuaian dengan
menyederhanakan ukuran organisasi menjadi 2, perusahaan kecil
(terdiri dari perusahaan mikro dan kecil), dan perusahaan besar
(terdiri atas perusahaan sedang dan besar).
G. Pengukuran Variabel
Responden akan ditanya mengenai Perencanaan strategis formal, kinerja,
dan gejolak lingkungan dengan 5 poin skala likert, yaitu:
1 = Sangat Setuju
2 = Setuju
3 = Netral
4 = Tidak Setuju
5 = Sangat Tidak Setuju
Ukuran organisasi akan diukur menggunakan dummy variable. Perusahaan
dengan jumlah pekerja antara 1-19 dengan kode 0 dan perusahaan dengan
jumlah tenaga kerja lebih dari 19 orang diberi kode 1.
H. Metode Analisis Data
Metode analisis data meliputi deskriptif statistik, pengujian instrumen
penelitian, uji asumsi klasik, dan pengujian hipotesis.
lxxiv
1. Deskriptif Statistik
Tujuan dari statistik deskriptif adalah memberikan deskripsi dari
distribusi dan perilaku sampel (Iriawan dan Astuti, 2006). Hartono (2005)
menyatakan bahwa statistik deskriptif terdiri atas nilai frekuensi, ukuran
tendency sentral (mean), ukuran sebaran (range, deviasi standar,
variance, jarak interkuartil), dan ukuran bentuk (skweness dan kurtosis).
Dalam penelitian ini, deskriptif statistik digunakan untuk memberikan
ringkasan sederhana tentang sample dan ukuran pada variabel
perencanaan strategis formal, kinerja, gejolak lingkungan, ukuran
organisasi, variabel interaksi perencanaan strategis formal dan gejolak
lingkungan, dan variabel interaksi perencanaan strategis formal dan
ukuran organisasi. Alat bantu statistik yang digunakan adalah SPSS versi
17.0.
2. Pengujian Instrumen Penelitian
Pengukuran instrumen penelitian meliputi uji validitas dan reliabilitas.
a. Validitas
Validitas yang dipakai adalah validitas konstruk (construct
validity) yang diukur menggunakan Pearson product moment. Dalam
pengujian validitas konstruk, koefisien korelasi Pearson product
moment (ρ atau r) digunakan sebagai batas valid atau tidaknya sebuah
item pertanyaan. Validitas konstruk menunjukkan seberapa baik hasil-
hasil yang diperoleh dari penggunaan suatu pengukur sesuai dengan
teori yang digunakan untuk mendefinisikan suatu konstruk
lxxv
(Hartono, 2007). Prosedur empiris yang biasanya digunakan untuk
mengukur validitas construct adalah korelasi dan analisis faktor.
Tidak terdapat satu prosedur yang menyediakan keterangan yang
cukup untuk mengukur validitas konstruk dan bukti biasanya
dihimpun melalui pemakaian berulang dari instrumen (Long dkk.,
1991). Validitas dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan
teknik korelasi melalui koefisien korelasi produk momen. Alasan
pemilihan validitas konstrak karena suatu kuesioner yang baik harus
dapat mengukur dengan jelas kerangka dari penelitian yang akan
dilakukan, sehingga mampu menjelaskan dan mengukur kerangka
konsep variabel. Formula dari Pearson product moment adalah
sebagai berikut:
Kriteria signifikan apabila p-value < 0,05. Apabila hasil dari uji
validitas menunjukkan hasil tidak signifikan, p-value > 0,05 maka
penanganan dapat dilakukan dengan 2 cara, mengeluarkan item
pertanyaan tersebut atau pengambilan data kuesioner untuk atribut
tersebut harus diulang kembali. Dalam penelitian ini, item pertanyaan
yang tidak valid akan dikeluarkan.
lxxvi
b. Reliabilitas
Uji reliabilitas merupakan pengujian untuk menunjukkan sejauh
mana pengukuran tersebut tanpa bias (bebas kesalahan—error free)
dan karena itu menjamin pengukuran yang konsisten lintas waktu dan
lintas beragam item dalam instrumen, dengan kata lain, keandalan
suatu pengukuran adalah indikasi mengenai stabilitas dan konsistensi
di mana instrumen mengukur konsep dan membantu menilai
ketepatan sebuah pengukuran (Sekaran, 2006).
Uji reabilitas menggunakan koefisien alfa cronbach. Apabila
dianggap buruk jika kurang dari 0,6. Nilai antara 0,6 sampai 0,8
diterima, sedangkan nilai lebih dari 0,8 dianggap baik
(Sekaran, 2006).
3. Uji Asumsi Klasik
Karena penelitian ini menggunakan hierarchical regression yang
merupakan bagian dari multiple regression, maka uji asumsi klasik
mutlak diperlukan untuk mendeteksi permasalahan secara statistik yang
dapat mengganggu model sehingga dapat menyesatkan kesimpulan yang
diambil dari persamaan. Otokorelasi (autocorrelation) merupakan
pelanggaran asumsi klasik yang menyatakan bahwa dalam pengamatan
yang berbeda, tidak terdapat korelasi antar error term. Otokorelasi sering
terjadi pada data yang bersifat time-series dan karena penelitian ini
menggunakan data cross-section, maka tidak diperlukan uji autokorelasi
lxxvii
(Sarwoko, 2007). Uji asumsi klasik yang dipakai meliputi multikolinier,
heteroskedastisitas, dan normalitas data.
a. Multikolinier
Multikolinier adalah kondisi di mana korelasi di antara variabel
independen sangat tinggi (Ghozali, 2005). Patrick (2007) berpendapat
bahwa multikolinier adalah sebuah masalah karena mengubah nilai
koefisien regresi. Multikolinier dapat menyebabkan model prediktif
menjadi tidak stabil.
Multikolinier dapat diidentifikasi dengan uji statistik tolerance
dan variance inflation factor (VIF) pada setiap variabel independen.
Uji statistik tolerance dan VIF mengukur tingkat multikolinier di
antara variabel independen (Iriawan dan Astuti, 2006). Tolerance
mengukur kekuatan hubungan linier di antara variabel independen
(Patrik, 2007). Nilai tolerance berada di antara 0.0 dan 1.0
(Ghozali, 2005). VIF juga mengidentifikasi multikolinier dengan
mengukur hubungan linier antara variabel independen (Ghozali,
2005). Tidak ada aturan baku untuk nilai VIF, namun Stevens (1992)
dan Sarwoko (2007) menyarankan agar nilai VIF lebih besar dari
10.0 dalam mengindikasi kemungkinan multikolinier. VIF
dirumuskan sebagai berikut:
Di mana merupakan koefisien determinasi. Rumus Tolerance
sebagai berikut:
lxxviii
Dalam penelitian ini hanya akan digunakan uji VIF, batas nilai
VIF adalah 10, jika nilai VIF lebih dari 10, berarti menunjukkan
adanya multikolinier.
b. Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah varian
dalam semua observasi pada model regresi tidak sama.
(Ghozali, 2005). Terdapat beberapa cara untuk mendeteksi
keberadaan heteroskedastisitas. Penulis memakai uji scatterplot
graph dan Glejser test untuk menguji adanya heteroskedastisitas.
Glejser test meregresi nilai absolut residu dalam variabel
independen (Gujarati, 2003). Heteroskedastisitas terjadi jika
variabel independen memiliki nilai signifikan (Ghozali, 2005).
Sementara itu, scatterplot graph menunjukkan adanya
heteroskedastisitas, jika titik-titik menyebar secara acak sejajar garis
Y (Ghozali, 2005). Hasil uji heteroskedastisitas dengan Glejster test
dapat dilihat berdasarkan nilai F dan t, apabila p-value uji F dan t
tidak signifikan, berarti tidak terjadi heteroskedastisitas. Hal ini
terbalik dengan pengujian hipotesis, di mana hipotesis diterima
apabila nilai p-value uji F dan t signifikan.
lxxix
c. Normalitas
Normalitas data dapat diuji dengan menggunakan grafik
histogram dan one sample Kolmogorov-Smirnov. Kriteria dari
normalitas berdasarkan one sample Kolmogorov-Smirnov
menggunakan p-value pada tingkat signifikansi 5% (Ghozali, 2005).
Data akan terdistribusi normal jika p-value bernilai >0,05
(Trihendradi, 2007).
Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual
terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah
memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Jadi, uji
normalitas bukan dilakukan pada masing-masing variabel tetapi
pada nilai residualnya. Sering terjadi kesalahan yang jamak yaitu
bahwa uji normalitas dilakukan pada masing-masing variabel. Hal
ini tidak dilarang tetapi model regresi memerlukan normalitas pada
nilai residualnya bukan pada masing-masing variabel penelitian.
4. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan 2 pengujian.
Untuk hipotesis pertama digunakan uji regresi sederhana (ordinary least
square) dan untuk hipotesis kedua dan ketiga digunakan uji hierarchal
regression.
a. Ordinary Least Square
Uji Regresi Sederhana (Ordinary least Square)
lxxx
Analisis regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antar variabel (Nachrowi dan Usman, 2008).
1) t-test
t-test digunakan untuk menguji signifikansi setiap
variabel independen terhadap variabel dependen
(Iriawan dan Astuti 2006) atau untuk menguji apakah koefisien
regresi signifikan atau tidak (Nachrowi dan Usman, 2008).
Trihendradi (2007) mengatakan bahwa one sample t-test dipakai
untuk menguji beda rata-rata sample dengan nilai hipotesis.
Variabel independen dikatakan signifikan terhadap variabel
dependen jika p-value kurang dari tingkat signifikan 5%
(Hartono, 2005). Fungsi t-test dalam penelitian adalah
menentukan apakah hipotesis didukung atau tidak didukung.
2) F-Test
F-test digunakan untuk menguji tingkat signifikansi model
(Iriawan dan Astuti, 2006). Variabel independen signifikan
terhadap variabel dependen jika p-value kurang dari tingkat
signifikan 5% (Hartono, 2005).
lxxxi
3) Determination Coefficient (R2)
Nachrowi dan Usman (2006) menyatakan bahwa uji-t
merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah
koefisien regresi signifikan atau tidak, uji lain yang dipakai
adalah R2 (Goodness of Fit). R2 adalah pengujian apakah model
regresi terestimasi dengan baik atau tidak. Ukuran ini
mencerminkan seberapa besar variasi dari regressand (Y) dapat
diterangkan regressor (X). R2 berada antara nilai 0-1, sehingga
jika R2 bernilai 1, maka variasi Y dapat diterangkan X, secara
sempurna, 100%.
R2 dirumuskan berdasarkan langkah-langkah dibawah ini:
(catatan: merupakan estimasi dari Y)
Y- =
= )2
=
(TSS) (ESS) (RSS)
Keterangan:
TSS: Total Sum of Square
ESS: explained of Sum Squared
lxxxii
RSS: Residual of Sum Squared
R2=
b. Moderated Regression Analysist (MRA)
Penelitian ini menggunakan teknik regresi berganda untuk
menganalisis data. Sekaran (2003) menyatakan bahwa moderated
regression analysis atau kerap disebut hierarchical regression
dilakukan untuk menguji dampak simultan dari beberapa variabel
independen pada variabel dependen.
Hair dkk. (1998) menjelaskan bahwa dampak moderator terjadi
ketika variabel moderasi, selaku variabel independen kedua,
mengubah bentuk hubungan antara variabel independen yang lain
dengan variabel dependen. Hal ini dikenal juga sebagai dampak
interaksi dan hal ini sama seperti bentuk interaksi yang ditemukan
dalam analisis variance dan analisis multivariate dari variance.
Dampak moderasi tersebut disajikan dalam multiple regression
dengan bentuk sama seperti polynominal yang digambarkan pada
dampak nonlinier. Bentuk moderator adalah variabel campuran yang
dibentuk dari perkalian X1 dengan moderator X2, kemudian
dimasukkan dalam persamaan regresi, faktanya bahwa bentuk
nonlinier dapat dilihat sebagai bentuk interaksi, dimana variabel
independen memoderasi variabel independen sendiri.
Hipotesis kedua dan ketiga diuji dengan menggunakan
hierarchical regression. Hierarchical regression merupakan bagian
lxxxiii
dari multiple regression. Hierarchical regression atau analisis regresi
berjenjang adalah pengujian efek moderasi dan efek utama dalam
sebuah model (Hartono, 2006).
Bentuk persamaan sebagai berikut:
Y = Variabel Dependen
= Intercep
= Pengaruh Linier dari
b1Mo = Pengaruh Linier dari
= Pengaruh Moderator dari dan
Untuk mengukur apakah pengaruh moderator signifikan,
pertama-tama peneliti harus mengukur persamaan asli (yang tidak
dimoderasi) dan kemudian mengestimasi hubungan moderasi, jika
perubahan R2 signifikan secara statistik, maka pengaruh moderasi
juga signifikan. Selain itu, efek moderasi juga dapat dilihat dari
signifikansi koefisien (Hair dkk., 1998). Hierarchical regression
dilakukan dua kali, yaitu tahap pertama, masukkan seluruh variabel
independen dan variabel dependen dalam pengujian. Tahap kedua,
lxxxiv
masukkan variabel independen yang akan diuji. Karena seluruh
variabel yang dimasukkan secara otomatis teranalisis, maka sampai
tahap ini berhenti, untuk dilihat hasilnya (Harsono, 2002).
Hierarchical regression terdiri dari dua tahap, namun didukung atau
tidak didukungnya hipotesis berdasarkan regresi tahap 2, sedangkan
regresi tahap 1 hanya dipakai untuk menghitung R2, dengan kata lain,
hipotesis tidak tergantung pada hasil uji F regresi tahap pertama.
Dalam menguji hipotesis kedua, persamaan akan menjadi sebagai
berikut:
PERF = Kinerja Perusahaan
, = Koefisien Regresi
= Perencanaan Strategis Formal
= Gejolak Lingkungan
= Kesalahan Residu
Dalam menguji hipotesis ketiga, persamaannya adalah sebagai
berikut:
PERF = Kinerja Organisasi
, = Koefisien Regresi
lxxxv
= Perencanaan Strategis Formal
= Ukuran Organisasi
= Kesalahan Residu
1) T-test
Uji-t digunakan untuk menguji signifikansi setiap
variabel independen terhadap variabel dependen
(Iriawan dan Astuti 2006) atau untuk menguji apakah
koefisien regresi signifikan atau tidak
(Nachrowi dan Usman, 2008). Trihendradi (2007)
mengatakan bahwa one sample t-test dipakai untuk menguji
beda rata-rata sample dengan nilai hipotesis. Variabel
independen dikatakan signifikan terhadap variabel
dependen jika p-value kurang dari tingkat signifikan 5%
(Hartono, 2005). Dalam penelitian ini, t-test tidak dipakai
sebagai dasar didukung atau tidak didukungnya hipotesis,
sebab walaupun uji-t memiliki manfaat yang sangat besar
untuk menguji hipotesis koefisien regresi secara individual,
namun uji t tidak dapat digunakan untuk menguji hipotesis
lebih dari satu koefisien (Sarwoko, 2007).
2) F-Test
F-test digunakan untuk menguji tingkat signifikansi
variabel independen terhadap variabel dependen (Iriawan
dan Astuti, 2006). Variabel independen signifikan terhadap
lxxxvi
variabel dependen jika p-value kurang dari tingkat
signifikan 5 % (Hartono, 2005). Uji F akan dipakai untuk
menentukan didukung atau tidak didukungnya hipotesis 2
dan 3. Uji F memberikan pengujian hipotesis secara formal.
3) Determination Coefficient (R2)
Nachrowi dan Usman (2006) menyatakan bahwa uji t
merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengetahui
apakah koefisien regresi signifikan atau tidak, uji lain yang
dipakai adalah R2 (Goodness of Fit). R2 adalah pengujian
apakah model regresi terestimasi dengan baik atau tidak.
Ukuran ini mencerminkan seberapa besar variasi dari
regressand (Y) dapat diterangkan regressor (X). R2 berada
antara nilai 0-1, sehingga jika R2 bernilai 1, maka variasi Y
dapat diterangkan X, secara sempurna, 100%.
R2 dirumuskan berdasarkan langkah-langkah dibawah ini:
(catatan: merupakan estimasi dari Y)
Y- =
= )2
lxxxvii
=
(RSS) (TSS) (ESS)
Keterangan:
TSS: Total Sum of Square
ESS: explained of Sum Squared
RSS: Residual of Sum Squared
R2=
BAB IV
ANALISIS DATA DAN DISKUSI
Penelitian ini menguji pengaruh perencanaan strategis formal pada kinerja
perusahaan dengan variabel moderasi gejolak lingkungan dan ukuran perusahaan
pada industri mebel di Kabupaten Jepara. Empat puluh perusahaan telah dipilih
sebagai sample pada penelitian ini. Bab ini akan memberikan detail mengenai
deskripsi data, pengujian hipotesis, dan analisis. Analisis data menggunakan
hierarchical regression menggunakan alat bantu statistik SPSS versi 17.0.
A. Deskripsi Sampel Penelitian
Data situs Kabupaten Jepara menyatakan Kabupaten Jepara memiliki luas
wilayah 100.413.189 hektar atau 1.004,13 km2. Daerah ini berbatasan dengan
Kabupaten Demak di sisi selatan, Kabupaten Pati dan Kudus di sebelah
timur, dan Laut Jawa di sebelah utara dan barat.
lxxxviii
Dalam situsnya, Kabupaten Jepara menyatakan tingginya kontribusi
sektor pengolahan kayu dalam pengembangan perekonomian daerah terhadap
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya, pada akhir tahun 2008, kontribusi sektor industri pengolahan
kayu terhadap PDRB tetap yang terbesar (27% atas dasar harga berlaku),
berikutnya adalah sektor pertanian (21,87%), sektor perdagangan, hotel, dan
restoran (20,94 %), sektor jasa (10%), dan sektor-sektor lain.
Indikasi lainnya adalah jumlah unit usaha dan ketersediaan lapangan kerja
yang terlihat dari besarnya serapan tenaga kerja ke sektor tersebut. Saat ini,
sektor industri pengolahan telah menjadi sandaran utama bagi masyarakat
Jepara yang saat ini berjumlah 1.090.000 jiwa. Berikut beberapa jenis usaha
yang berkembang di Jepara yang berkaitan dengan industri pengolahan kayu,
sampai dengan akhir tahun 2008. Usaha mebel Jepara terbagi menjadi
beberapa usaha, yaitu bengkel, ruang pamer, tempat penimbunan kayu, unit
penggergajian, jasa pengiriman, gudang, dan toko perlengkapan mebel.
Tabel IV.1 Jenis Usaha Mebel di Kabupaten Jepara
Ukuran Perusahaan
Bengkel Ruang Pamer
Tempat Penimbunan
Kayu
Tempat Penggergajian
kayu Gudang Toko
Perlengkapan
Unit Kecil 12.202 1.250 763 158 210 82 Unit Menengah 435 230 133 74 219 18 Unit Besar 126 68 57 37 146 82 Total 12.763 1.548 953 269 575 109
Sumber: Roda, 2007
Industri furniture dan ukir kayu merupakan ikon Jepara, yang kemudian
menghadirkan jati diri “Jepara Kota Ukir”. Puncak kejayaan industri terjadi
pada tahun 1999, saat Indonesia diguncang oleh krisis moneter. Hal senada
lxxxix
diperkuat oleh pernyataan responden. Responden menjelaskan bahwa ketika
terjadi krisis moneter, harga rupiah melemah hingga mencapai Rp. 15.000,00
dan buyer asing segera merespon dengan membeli banyak furniture, jika
sebelum krisis moneter, $1 dapat digunakan untuk membeli 1 item barang,
ketika krisis moneter $1 dapat digunakan untuk membeli 3-4 item barang.
Penggerak usaha mebel di Jepara umumnya adalah Penanam Modal
dalam Negeri (PMDN), namun tidak sedikit Penanam Modal Asing (PMA).
Lebih lanjut, beberapa responden menambahkan bahwa PMA saat ini tidak
lagi banyak, karena pernah terjadi demo besar-besaran menolak PMA. PMA
kerap dituding sebagai perusak harga hingga menyebabkan harga mebel turun
drastis. Walaupun tidak sepenuhnya salah, namun akibat hengkangnya PMA
dan krisis global, perusahaan-perusahaan mebel di Jepara mulai banyak
mengalami kerugian. Hengkangnya PMA menyebabkan berkurangnya
pesanan buyer asing karena mereka beralih ke Cina. Menurut pengakuan
responden, PMA paling banyak berasal dari Korea Selatan.
Sampai akhir tahun 2008, tercatat 259 perusahaan di Jepara telah
melakukan ekspor ke 111 negara dengan nilai mencapai $ 109,886 juta. Dana
tersebut masih di bawah nilai ekspor ketika industri mebel Jepara berada di
puncak kejayaan seperti tahun 1997-1998. Ketika itu, nilai ekspor dari Jepara
mencapai $ 200 juta. Beberapa upaya ditempuh agar produk Jepara tidak
dipatenkan pihak lain, Kabupaten Jepara melakukan pematenan terhadap 99
jenis motif ukir Jepara. Perkembangan nilai ekspor Kabupaten Jepara dari
tahun 2005 hingga tahun 2007, terus-menerus mengalami penurunan. Nilai
xc
ekspor Kabupaten Jepara tahun 2007 mencapai $ 104,146 juta. Hasil tahun
2007 mengalami penurunan sebesar 12,55% dari nilai ekspor tahun 2006
yang mencapai $ 119, 097 juta (jeparakab.go.id, 2009).
Data terakhir tahun 2008 dari situs Kabupaten Jepara menyatakan total
jumlah unit usaha dalam furniture dan kayu 3.821 unit, menyerap tenaga
kerja sebesar 50.668 orang, dan menghasilkan 2,667 juta buah/set dengan
nilai produksi sebesar Rp. 1,2 triliun dengan nilai investasi tertanam sebesar
Rp. 164 miliar. Dalam industri kerajinan kayu, total jumlah unit usaha dalam
kerajinan kayu 157 unit, menyerap tenaga kerja sebesar 1.095 orang, dan
menghasilkan 418.737 juta buah/set dengan nilai produksi sebesar
Rp. 3.349.900.000,00. Pada industri kerajinan rotan, data menyatakan
investasi yang tertanam di industri ini terus meningkat hingga mencapai Rp.
107,7 juta pada akhir 2008. Sebanyak 352 unit usaha yang ada mampu
menyerap tenaga kerja sebanyak 2.468 orang. Mereka menghasilkan 2 juta
buah/set produk dengan nilai Rp. 3,2 miliar. Konsentrasi industri ini berada
di Kecamatan Welahan, tepatnya di Desa Sidigede dan Telukwetan.
B. Deskripsi Responden
Deskripsi responden meliputi jabatan responden, jenis usaha responden,
bentuk organisasi responden, jumlah karyawan, usia organisasi, dan gender
responden. Tabel di bawah akan menjelaskan lebih jauh mengenai hasil
survey di Kabupaten Jepara.
1. Jabatan
xci
Jabatan dalam survey ini meliputi pemilik perusahaan, eksekutif
perusahaan, dan staff perusahaan.
Tabel VI.2 Jabatan Responden dalam Organisasi
Jabatan dalam Organisasi Jumlah Persentase
Pemilik Perusahaan 31 Responden 77,5% Eksekutif Perusahaan 6 Responden 15%
Staff Perusahaan 3 Responden 7,5%
Total 40 Responden 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Survey menunjukkan bahwa mayoritas responden yang menjawab
kuesioner menduduki jabatan pemilik perusahaan (77,5%) dari total
responden, kemudian diikuti eksekutif perusahaan (15%), dan staff
perusahaan (7,5%).
2. Jenis Usaha
Berdasarkan Jenis usaha, perusahaan diklasifikasikan menjadi usaha
dagang, jasa, dan manufaktur.
Tabel IV.3 Jenis Usaha Perusahaan
Jenis Usaha Jumlah Persentase Manufaktur 23 Perusahaan 57,5% Dagang 14 Perusahaan 35%
Jasa Total
3 Perusahaan 40 Perusahaan
7,5% 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Jenis usaha manufaktur menjadi responden terbanyak (57,5%), diikuti
jenis usaha dagang (35%), dan terakhir, jenis usaha jasa (7,5%).
3. Gender
Gender meliputi perempuan (female) dan laki-laki (male).
Tabel IV.4 Gender Responden
xcii
Gender Jumlah Persentase Female 8 Responden 20% male 32 Responden 80%
Total 40 Responden 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Tingkat partisipasi responden mayoritas adalah laki-laki (80%) dan
diikuti gender perempuan (20%).
4. Bentuk Organisasi
Bentuk organisasi dibagi menjadi 5, meliputi perseorangan, CV, PT,
Koperasi, Firma.
Tabel IV.5 Bentuk Organisasi Perusahaan
Bentuk Organisasi Jumlah Persentase Perseorangan 28 Perusahaan 70% CV 9 Perusahaan 22,5%
PT 2 Perusahaan 5%
Koperasi 1 Perusahaan 2,5%
firma - 0%
Total 40 Perusahaan 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Bentuk Berdasarkan survey diperoleh bahwa perusahaan
perseorangan merupakan partisipan terbanyak (70%), urutan kedua adalah
CV (22,5%), kemudian PT (5%), dan terakhir koperasi (2,5%). Tidak
terdapat bentuk perusahaan firma dalam survey.
5. Jumlah Karyawan
Jumlah karyawan terdiri dari jumlah 1-4 orang, 5-19 orang, 20-99,
dan lebih dari 99 orang.
xciii
Tabel IV.6 Jumlah Karyawan Perusahaan
Jumlah Karyawan Jumlah Persentase 1-4 2 Perusahaan 5% 5-19 19 Perusahaan 47,5%
20-99 14 Perusahaan 35%
Ø 99 5 Perusahaan 12,5% Total 40 Perusahaan 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Jumlah karyawan digunakan untuk menentukan ukuran organisasi.
Mayoritas responden adalah perusahaan kecil (47,5%), disusul
perusahaan sedang (35%), perusahaan besar (12,5%), dan terakhir adalah
perusahaan mikro (5%).
6. Usia Organisasi
Usia organisasi dibagi menjadi kurang dari 3 tahun dan lebih dari tiga
tahun. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan mengenai horizon waktu
perencanaan strategis formal terhadap kinerja perusahaan.
Tabel IV.7 Usia Organisasi
Range Usia Perusahaan Jumlah Persentase
Kurang dari 3 Tahun 2 Perusahaan 5% Lebih dari 3 tahun 38 Perusahaan 95% Total 40 Perusahaan 100%
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Usia perusahaan digunakan untuk mengetahui kedewasaan organisasi.
Perusahaan dengan usia lebih dari 3 tahun merupakan mayoritas
responden (95%) dan diikuti perusahaan berusia kurang dari tiga tahun
(5%).
xciv
C. Analisis Instrumen Penelitian
Analisis instrumen penelitian meliputi uji validitas, uji reliabilitas, uji
asumsi klasik, dan analisis deskriptif statistik.
1. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana
ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi
ukurnya. Uji validitas dalam penelitian ini memakai Pearson product
moment. Validitas dilakukan terhadap variabel perencanaan strategis
formal, gejolak lingkungan, dan kinerja. Variabel ukuran organisasi
tidak diuji karena merupakan variabel dummy, sedangkan untuk
variabel interaksi perencanaan strategis formal dengan gejolak
lingkungan dan variabel interaksi perencanaan strategis formal
dengan ukuran organisasi tidak diuji validitas karena variabel
tersebut telah diuji validitas secara pribadi sebelum diinteraksi.
Teknik korelasi yang digunakan adalah Pearson product
moment, di mana instrumen dikatakan valid apabila nilai koefisien
korelasinya (p-value < ), di mana α = 5%.
a. Uji Validitas Variabel Kinerja (PERF)
Uji validitas terhadap variabel kinerja meliputi 5 item
pertanyaan. Kelima item pertanyaan meliputi peningkatan
keuntungan dari pada pesaing, peningkatan volume penjualan dari
pada pesaing, peningkatan market share, penjualan setelah pajak,
dan keseluruhan kinerja keuangan dibanding pesaing utama.
xcv
Dengan menggunakan Pearson produk momen, hasil pengujian
validitas dapat dilihat dalam Tabel IV.8.
Tabel IV.8 Hasil Uji Validitas Korelasi Pearson
Variabel Kinerja (PERF)
Total Validitas
Pearson Correlation 0,793** PERF1
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,937** PERF2
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,789** PERF3
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,831** PERF4
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,883** PERF5
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Dapat disimpulkan, berdasarkan dari uji validitas Pearson,
seluruh item pertanyaan valid di mana p-value < =0,01, yang
berarti tingkat kepercayaan uji validitas ini mencapai 99%. Hasil
ini melebihi batas tingkat kepercayaan yang dipakai dalam
penelitian sebesar 95% ( =0,05).
b. Uji Validitas Variabel Perencanaan Strategis Formal (FSP)
Uji validitas pada variabel perencanaan strategis formal
meliputi 12 item pertanyaan. Kedua belas item meliputi:
pemeriksaan kebutuhan, waktu pemeriksaan, presentasi
perencanaan strategis, pengambilan keputusan, jumlah halaman
pada laporan perencanaan, jenis dialog dalam pembuatan rencana
strategis, alternatif keputusan, penekanan perencanaan strategis,
pemeriksaan kemajuan perencanaan strategis,
xcvi
pertanggungjawaban atas keputusan perencanaan, dasar
penyusunan, prosedur perencanaan. Hasil uji validitas Pearson
produk momen dapat dilihat dalam Tabel IV.9. Hasil dari uji
validitas atas item pertanyaan perencanaan strategis formal,
diperoleh bahwa item pertanyaan 1, 2, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, dan 12
valid di mana p-value < =0,01, yang berarti tingkat kepercayaan
uji validitas ini mencapai 99%.
xcvii
Tabel IV.9 Hasil Uji Validitas Pertama Korelasi Pearson Variabel Perencanaan Strategis Formal (FSP)
Total Validitas
Pearson Correlation 0,709**
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
FSP 1
N 40
Pearson Correlation 0,656**
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
FSP 2
N 40
Pearson Correlation 0,690**
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
FSP 3
N 40
Pearson Correlation 0,727**
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
FSP 4
N 40
Pearson Correlation 0,557**
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
FSP 5
N 40
Pearson Correlation 0,286
Sig. (2-tailed) 0,074 TIDAK VALID
FSP 6
N 40
Pearson Correlation 0,129
Sig. (2-tailed) 0,426 TIDAK VALID
FSP 7
N 40
Pearson Correlation 0,444**
Sig. (2-tailed) 0,004 VALID
FSP 8
N 40
Pearson Correlation 0,860**
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
FSP 9
N 40
Pearson Correlation 0,845**
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
FSP 10
N 40
Pearson Correlation 0,659**
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
FSP 11
N 40
Pearson Correlation 0,512**
Sig. (2-tailed) 0,001 VALID
FSP 12
N 40
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
xcviii
Hasil ini melebihi batas tingkat kepercayaan yang dipakai
dalam penelitian sebesar 95% ( = 0,05). Item pertanyaan 6 dan 7
tidak valid dengan p-value > = 0,05, sesuai dalam keterangan
mengenai item pertanyaan yang tidak valid akan dikeluarkan dari
variabel, maka item pertanyaan 6 dan 7 dikeluarkan dari variabel.
Langkah selanjutnya adalah mengulang kembali uji validitas tanpa
item pertanyaan 6 dan 7.
Tabel IV.10 Hasil Uji Validitas Kedua Korelasi Pearson
Variabel Perencanaan Strategis Formal (FSP)
Total Valid
Pearson Correlation 0,704** q1
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,686** q2
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,720** q3
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,719** q4
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,623** q5
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,468** q8
Sig. (2-tailed) 0,002 VALID
Pearson Correlation 0,853** q9
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,867** q10
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,624** q11
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,515** q12
Sig. (2-tailed) 0,001 VALID
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Tabel IV.10 merupakan hasil uji validitas kedua tanpa item
pertanyaan 6 dan 7. Hasil perhitungan korelasi Pearson
berdasarkan dari uji validitas Pearson, item pertanyaan 1, 2, 3, 4,
xcix
5, 8, 9, 10, 11, 12 valid di mana p-value < =0,01, yang berarti
tingkat kepercayaan uji validitas ini mencapai 99%. Hasil ini
melebihi batas tingkat kepercayaan yang dipakai dalam penelitian
sebesar 95% ( =0,05).
c. Uji Validitas Variabel Gejolak Lingkungan (TURB)
Pengujian variable gejolak lingkungan meliputi 5 item
pertanyaan, yaitu perubahan praktek pemasaran, perubahan desain
barang atau jasa, prediksi langkah pesaing, prediksi selera
konsumen, kemapanan teknologi produksi, atau layanan jasa.
Tabel IV.11 Hasil Uji Validitas Pertama
Korelasi Pearson Variabel Gejolak Lingkungan (TURB)
Total Valid
Pearson Correlation 0,128 TURB1
Sig. (2-tailed) 0,430 TIDAK VALID
Pearson Correlation 0,404** TURB2
Sig. (2-tailed) 0,010 VALID
Pearson Correlation 0,708** TURB3
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,666** TURB4
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,559** TURB5
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Berdasarkan hasil dari uji korelasi Pearson, diperoleh hasil
bahwa item pertanyaan 2, 3, 4, 5 valid dengan tingkat signifikansi
1%. Tingkat kepercayaan hasil uji validitas mencapai 99%. Item
pertanyaan 1 tidak valid, sehingga dikeluarkan dari variabel.
Tabel IV.12
c
Hasil Uji Validitas Kedua korelasi Pearson Variabel Gejolak Lingkungan (TURB)
Total Valid
Pearson Correlation 0,370* TURB2
Sig. (2-tailed) 0,019 VALID
Pearson Correlation 0,798** TURB3
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,752** TURB4
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Pearson Correlation 0,545** TURB5
Sig. (2-tailed) 0,000 VALID
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Setelah item pertanyaan 1 dikeluarkan dari variable, dilakukan
perhitungan ulang. Hasil perhitungan validitas adalah variabel 3,
4, 5 valid dengan tingkat signifikansi 1% dan item pertanyaan 2
valid pada tingkat signifikansi 5%.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi dari
serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur. Reliabilitas
adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah
dilakukan berulang-ulang terhadap subyek dan dalam kondisi yang
sama. Penelitian dianggap andal bila memberikan hasil yang
konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa diandalkan bila
pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda
(Wikipedia, 2010).
Tabel IV.13
ci
Hasil Uji Reliabilitas Variabel Kinerja, Perencanaan Strategis, dan Gejolak Lingkungan
Variabel Cronbach’s Alpha N of Items hubungan
Variabel PERF Variabel FSP
Variabel TURB
0,816 0,766 0,741
6 11 5
Kuat cukup cukup
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
a. Uji Realibilitas Kinerja Perusahaan
Uji realibilitas alfa Cronbach menunjukkan bahwa variabel
kinerja perusahaan (PERF) reliabel dengan nilai 0,816. Hasil ini
mengindikasi bahwa pengukuran variabel kinerja perusahaan
terbebas dari bias (error free).
b. Uji Reliabilitas Perencanaan Strategis Formal (FSP)
Uji realibilitas alfa Cronbach menunjukkan bahwa variabel
perencanaan strategis formal (FSP) reliabel dengan nilai 0,766.
Hasil uji reliabilitas ini meningkatkan konsistensi pengukuran
perencanaan strategis formal terhadap waktu dan berbagai item
pada instrumen.
c. Uji Reliabilitas Gejolak Lingkungan (TURB)
Uji realibilitas alfa Cronbach menunjukkan bahwa variabel
gejolak lingkungan (TURB) reliabel dengan nilai 0,741. Dengan
kata lain, variabel gejolak lingkungan stabil dan konsisten yang
mana instrumen mengukur konsep dan membantu menilai kualitas
pengukuran gejolak lingkungan.
cii
3. Analisis deskriptif Statistik
Analisis deskriptif meliputi jumlah responden, range, minimum,
maksimum, rata-rata, standar deviasi, varian, skewness, kurtosis.
Tabel IV.14 Statistik Deskriptif Perencanaan Strategis Formal, Kinerja, Ukuran Organisasi, Gejolak
Lingkungan, dan Variabel Interaksi
N Range Minimum Maximum Mean
Std. Deviation Variance Skewness Kurtosis
Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic Statistic Statistic
Std. Error Statistic
Std. Error
FSP 40 3.60 1,00 4,60 2,4000 0,10724 0,67823 0,460 0,811 0,374 1,779 0,733
PERF 40 3,00 1,60 4,60 2,6450 0,11197 0,70818 0,502 0,939 0,374 1,334 0,733
TURB SIZE
40 40
3,25 1,00
1,50 0,00
4,75 1,00
3,1063 0,5250
0,12464 0,0799
0,78831 0,50574
0,621 0,256
-0,522 -0,104
0,374 0,374
-0,208 -2,097
0,733 0,733
FSPXTURB
40 12,70 2,25 14,95 7,3919 0,41725 2,63892 6,964 0,573 0,374 0,864 0,733
FSPXSIZE 40 4,6 0,0 4,6 1,433 0,2318 1,4663 2,150 0,270 0,374 -1,460 0,733
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Dalam Tabel IV.13 menjelaskan mengenai statistik diskriptif.
Total responden yang diuji adalah 40 orang. Karakter dari data akan
disajikan pada penjelasan di bawah:
a. Variabel perencanaan strategis formal memiliki range atau
selisih nilai terbesar dengan nilai terkecil (nilai maksimum – nilai
minimum) sebesar 3,6 (4,6 – 1,0 = 3,6). Rata-rata 2,4
menyatakan bahwa rata-rata pengujian berada di bawah rata-rata
statistik (2,4 < 2,5), yang berarti mengindikasi bahwa
implementasi perencanaan strategis rendah, dengan standard
error of mean (SEM) 0,107. Standard error of mean tidak sama
dengan standar deviasi, standard error of mean mengukur
seakurat apa mean dari populasi, dengan memperhitungkan baik
standar deviasi maupun populasi. Selain itu nilai standard error
ciii
of mean akan selalu lebih kecil dari standar deviasi. Standar
deviasi mengukur rata-rata penyimpangan masing-masing item
data terhadap nilai yang diharapkan, di mana nilai yang
diharapkan adalah nilai mean. Standar deviasi variabel
perencanaan strategis formal sebesar 0,678. Suatu rata-rata
mewakili data atau observasi yang ada, tergantung dari seberapa
besar deviasinya. Hubungan antara rata-rata dan standar deviasi
ini sangat penting terutama untuk menguji apakah nilai rata-rata
yang diperoleh masuk akal. Nilai sebuah deviasi standar
dianggap besar apabila standar deviasi (SD) = 0,3 + mean
(Kuncoro, 2000). Dengan kata lain, SD dianggap besar jika
bernilai 2,7 (0,3 + 2,4 = 2,7). Dalam perhitungan ini, nilai SD
0,678 < 2,7, sehingga standar deviasi dinyatakan normal.
Variance merupakan kuadrat dari SD. Beberapa peneliti
menyarankan untuk tidak menunjukkan variance dalam
penelitiannya karena unit data tidak mungkin dipertimbangkan,
namun hal berbeda terjadi pada ahli matematika yang lebih suka
menggunakan varian sebagai dasar ANOVA. Variance dalam
penelitian ini sebesar 0,460. Pengukuran bentuk dalam statistik
deskriptif ini adalah skewness dan kurtosis. P-value adalah
pengukur penyimpangan distribusi data dari bentuk simetrisnya.
Nilai skewness adalah 0,811. Karena skewness bernilai positif
maka distribusi menceng kekanan. Kurtosis adalah pengukur
civ
ketinggian atau kerataan dari distribusi data dengan nilai kurtosis
adalah 1,799.
b. Variabel PERF merupakan variabel kinerja perusahaan
menunjukkan angka statistik untuk mean 2,645 dengan standart
error mean sebesar 0,111. Range data 3 (4,6 – 1,6). Rata-rata
sebesar 2,645 yang berarti variabel kinerja berada di atas rata-rata
(2,645 > 2.5). Standar deviasi sebesar 0,708 dan variance sebesar
0,502. Skewnes sebesar 0,939 atau menceng ke kanan dan
kurtosis 1,334.
c. Variabel TURB merupakan variabel gejolak lingkungan. Mean
sebesar 3,106 dengan standart error mean sebesar 0,124. Range
data 3,25 (4,75 – 1,5). Standar deviasi sebesar 0,788 dan
variance sebesar 0,621. Skewnes sebesar 0,522 atau menceng ke
kanan dan kurtosis -5,2.
d. Variabel SIZE merupakan variabel ukuran organisasi. Hasil
pengukuran menunjukkan angka statistik range data 1 (1 – 0).
Rata-rata sebesar 0,525 yang berarti variabel SIZE berada di atas
rata-rata dengan standard error mean sebesar 0,079. Standar
deviasi sebesar 0,505 dan variance sebesar 0,256. Skewnes
sebesar -0,104 atau menceng ke kiri dan kurtosis -2,097.
e. Variabel FSPXTURB merupakan variabel interaksi antara
variabel kinerja dengan variabel gejolak lingkungan. Statistik
deskriptif menunjukkan mean 7,391 dengan standart error mean
cv
sebesar 0,417. Range data 12,70 (14,95 – 2,25). Standar deviasi
sebesar 2,638 dan variance sebesar 6,964. Skewnes sebesar 0,573
atau menceng ke kanan dan kurtosis 0,864.
f. Variabel FSPXSIZE merupakan variabel interaksi antara
perencanaan strategis formal dan ukuran perusahaan. Hasil
pengukuran menunjukkan angka statistik untuk mean 1,433
dengan standart error mean sebesar 0,231. Range data 4,6 (4,6 –
0,0). Standar deviasi sebesar 1,466 dan variance sebesar 2,150,
Skewnes sebesar 0,270 atau menceng ke kanan dan kurtosis -
1,460.
4. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik meliputi multikolinier, heteroskedastisitas, dan
normalitas. Uji ini penting, sebab tanpa dilakukan uji asumsi klasik
pada regresi berganda, kesimpulan dari persamaan regresi yang dibuat
dapat menyesatkan, sekalipun semua hipotesis diterima (Nachrowi
dan Usman, 2008). Multikolinier akan diuji pada hipotesis 1, hipotesis
2 regresi 1, dan hipotesis 3 regresi 1. Heteroskedastisitas dan
normalitas akan diuji pada hipotesis 1, hipotesis 2 regresi 1 dan 2, dan
hipotesis 3 regresi 1 dan 2. Pentingnya pengujian heteroskedastisitas
dan normalitas dilakukan pada regresi 1 dan 2 pada hipotesis 2 dan 3
karena model yang baik harus terbebas dari heteroskedastisitas dan
data harus normal sekalipun pada regresi 1 pada hipotesis 2 dan 3
hanya digunakan untuk mencari R2. Apabila R2 yang diperoleh tinggi
cvi
namun tidak memenuhi uji asumsi klasik, maka model masih bias,
sehingga tidak memberikan gambaran yang riil.
a. Multikolinier
Multikolinier merupakan kendala dalam hierarchical
regression. Akibat jika terjadi multikolinier adalah hasil estimasi
tetap tidak bias, varian dan standard error meningkat, hasil
estimasi menjadi peka terhadap perubahan spesifikasi, kecocokan
data dan estimasi variabel yang tidak kolinier tidak terpengaruh
dengan multikolinier, dan terakhir nilai t akan turun
(Sarwoko, 2007). Dalam hierarchical regression hampir dipastikan
bahwa variabel interaksi menyebabkan adanya multikolinier
(Hair dkk., 1998). Untuk itu, uji multikolinier hanya diberlakukan
pada regresi pertama pada hipotesis 1, 2, dan 3. Untuk regresi
kedua pada hipotesis kedua dan ketiga tidak akan diuji
multikolinier, karena dipastikan dampak dari variabel interaksi
menyebabkan multikolinier.
cvii
Tabel IV.15 Hasil Uji Multikolinier Pengaruh Perencanaan
Strategis-Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan dan Ukuran Organisasi
HIPOTESIS VIF
HIPOTESIS 1 VIF
(Constant) 1
FSP 1,000
HIPOTESIS 2 VIF
(Constant)
FSP 1,015
1
TURB 1,015
HIPOTESIS 3 VIF
(Constant)
FSP 1,362
1
SIZE 1,362
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Tabel IV.15 merupakan tabel hasil uji multikolinier. Adanya
multikolinier diindikasikan dengan nilai VIF. Jika nilai VIF lebih
dari 10, maka terdapat multikolinier dalam model. Multikolinier
menjadi penting sebab adanya multikolinier dapat menyebabkan
intepretasi tidak benar karena terdapat hubungan linier antara
variabel bebas (Nachrowi dan Usman, 2008).
1) Hipotesis 1
Uji VIF pada hipotesis 1 sebesar 1,00. VIFhitung < VIFtabel,
maka tidak terjadi multikolinier dalam pengaruh perencanaan
strategis formal pada kinerja. Walaupun multikolinier biasanya
ditemukan pada regresi berganda, namun tidak menutup
kemungkinan ditemukan multikolinier dalam regresi sederhana
(Nachrowi dan Usman, 2008), oleh karena itu, hipotesis
pertama juga diuji multikolinier.
cviii
2) Hipotesis 2
Uji VIF pada hipotesis 2 sebesar 1,015. Karena VIFhitung <
VIFtabel, maka tidak terjadi multikolinier dalam pengaruh
perencanaan strategis formal pada kinerja dengan moderasi
gejolak lingkungan. Tidak terdapat korelasi antara variabel
perencanaan strategis formal dengan gejolak lingkungan. Pada
dasarnya, semakin tinggi korelasi antar variabel perencanaan
strategis dan gejolak lingkungan dalam persamaan regresi,
semakin sulit memperoleh koefisien yang akurat dalam model.
3) Hipotesis 3
Uji VIF pada hipotesis 3 sebesar 1,362. VIFhitung < VIFtabel,
maka tidak terjadi multikolinier dalam pengaruh perencanaan
strategis formal pada kinerja dengan moderasi ukuran
organisasi. Seperti halnya dengan hipotesis 1 dan 2, variabel
perencanaan strategis dan ukuran perusahaan tidak saling
berkorelasi. Apabila variabel perencanaan strategis dan ukuran
organisasi mengalami multikolinier, maka kedua variabel
tersebut akan bergerak persis seirama sehingga tidak ada
harapan membedakan dampak antara keduanya.
b. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas diuji dengan menggunakan Glejser test.
Uji ini melibatkan uji F dan uji-t. Persamaan regresi dinyatakan
bebas dari heteroskedastisitas apabila uji F dan uji-t tidak
cix
signifikan. Heteroskedastisitas menjadi penting dalam penelitian
ini karena heteroskedastisitas banyak terjadi pada data cross-
sectional (Nachrowi dan Usman, 2008). Jika nilai variasi semakin
besar seiring dengan bertambahnya nilai variabel bebas dan
variabel terikat, mengindikasi bahwa variasi data tidak konstan
dan menyebabkan model tidak konsisten.
Tabel IV.16 Hasil Uji Glejser Pengaruh Perencanaan Strategis
Formal pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan dan Ukuran Organisasi-Regresi Tahap I
HIPOTESIS Sum of Squares df Mean Square F Sig.F
t-test
Sig. t
HIPOTESIS 1
Regression
0,000 1 0,000 0,002 0,962a
Residual 7,847 38 0,206
1
Total FSP
7,847 39
0,048
0,962
HIPOTESIS 2
Regression 0,357 2 0,178 1,016 0,372a
Residual 6,496 37 0,176
1
Total FSP TURB
6,853 39
0,316 1,418
0,754 0,165
HIPOTESIS 3
Regression 0,165 2 0,083 0,398 0,674a
Residual 7,670 37 0,207
1
Total FSP SIZE
7,835 39
-0,297 0,874
0,768 0,388
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
cx
Tabel IV.17 Hasil Uji Glejser Pengaruh Perencanaan Strategis
Formal pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan dan Ukuran Organisasi-Regresi Tahap II
HIPOTESIS 2 Sum of Squares df Mean Square F Sig.
t Sig. t
HIPOTESIS 2
Regression
0,643 3 0,214 1,262 0,302a
Residual 6,118 36 0,170
1
Total FSP TURB FSPXTURB
6,762 39
-1,275 -1,045 1,409
0,210 0,303 0,167
HIPOTESIS 3
Regression
1,007 3 0,336 3,141 0,037a
Residual 3,849 36 0,107
1
Total FSP SIZE FSPXSIZE
4,856 39
0,683 2,465 -1,975
0,499 0,019 1,156
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Tabel IV.18 Hasil Uji White Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Ukuran
Organisasiasi-Regresi Tahap II
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the
Estimate
1 0,439a 0,192 0,125 2,34817634
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
1) Hipotesis 1
Berdasarkan uji heterokedastisitas, nilai Fhitung sebesar
0,002 dengan p-value = 0,962 > , sehingga hasil
cxi
uji F tidak signifikan. Heteroskedastisitas tidak terjadi
apabila hasil uji F tidak signifikan. Nilai thitung variabel
perencanaan strategis formal sebesar 0,048 dan p-value
0,962 (p-value = 0,962 > ), uji t tidak signifikan.
Baik hasil uji-t maupun uji F, tidak menunjukkan adanya
heteroskedastisitas.
Tidak adanya heteroskedastisitas diintepretasikan
bahwa model telah konstan, maka jika nilai variabel
perencanaan strategis dan kinerja organisasi bertambah,
nilai taksiran varian akan konstan, sehingga persamaan
regresi dapat dipercaya.
2) Hipotesis 2
Regresi 1 pada hipotesis 2 menunjukan nilai Fhitung
sebesar 1,016 dengan p-value = 0,372 > , sehingga
uji F tidak signifikan. Heteroskedastisitas tidak terjadi
apabila uji F tidak signifikan. Nilai thitung menunjukkan
bahwa variabel perencanaan strategis formal sebesar 0,316
dan p-value 0,754 (p-value = 0,754 > ). Nilai thitung
variabel gejolak lingkungan sebesar 1,418 dan p-value
0,165 (p-value = 0,165 > ), hasil uji t tidak
signifikan. Baik uji-t maupun uji F, tidak menunjukkan
adanya heteroskedastisitas.
cxii
Regresi 2 pada hipotesis 2 berdasarkan uji
heterokedastisitas menghasilkan nilai Fhitung sebesar 1,262
dengan p-value = 0,302 > , sehingga uji F tidak
signifikan. Heteroskedastisitas tidak terjadi apabila uji F
tidak signifikan. Nilai thitung variabel perencanaan strategis
formal sebesar -1,275 dan p-value 0,210 (p-value = 0,210 >
). Nilai thitung variabel gejolak lingkungan setelah
diuji adalah -1,045 dan p-value 0,303 (p-value = 0,303 >
). Nilai thitung variabel interaksi perencanaan
strategis dan gejolak lingkungan setelah diuji adalah 1,409
dan p-value 0,167 (p-value = 0,167 > ). Uji t
tidak signifikan. Baik uji-t maupun uji F, tidak
menunjukkan adanya heteroskedastisitas.
Dengan tidak adanya heteroskedastisitas berarti jika
nilai variabel gejolak lingkungan, perencanaan strategis
formal, dan kinerja perusahaan bertambah, maka taksiran
variannya konstan. Dampak dari konstannya varian dalam
model persamaan regresi adalah taksiran standard error
tidak akan bertambah sehingga interval kepercayaan tidak
menjadi besar.
3) Hipotesis 3
Regresi 1 pada hipotesis 3 menunjukan nilai Fhitung
sebesar 0,674 dengan p-value = 0,398 > , sehingga
cxiii
uji F tidak signifikan. Heteroskedastisitas tidak terjadi
apabila uji F tidak signifikan. Nilai thitung variabel
perencanaan strategis formal sebesar -0,297 dan p-value
0,768 (p-value = 0,768 > ). Nilai thitung variabel
ukuran organisasi bernilai 0,874 dan p-value 0,388 (p-value
= 0,388 > ), uji t tidak signifikan. Baik uji-t
maupun uji F, tidak menunjukkan adanya
heteroskedastisitas.
Uji heterokedastisitas regresi 2 pada hipotesis 3, nilai
Fhitung sebesar 3,141 dengan p-value = 0,037 < ,
sehingga uji F signifikan. Heteroskedastisitas terjadi
apabila uji F tidak signifikan, sehingga pengujian hipotesis
3 tahap 2 mengalami hetteroskedastisitas. Nilai thitung
variabel perencanaan strategis formal sebesar 0,683 dan p-
value 0,499 (p-value = 0,499 > ). Nilai thitung
variabel ukuran organisasi adalah 2,465 dan p-value 0,019
(p-value = 0,019 < ). Nilai thitung variabel interaksi
perencanaan strategis dan ukuran organisasi setelah diuji
adalah -1,975 dan p-value 1,156 (p-value = 1,156 >
).
Uji-t pada variabel ukuran organisasi signifikan,
namun hasil uji F pada variabel perencanaan strategis
formal dan variabel interaksi perencanaan strategis formal
cxiv
dengan ukuran organisasi menunjukkan adanya
heteroskedastisitas. Hasil dari uji heteroskedastisitas bahwa
variabel kinerja organisasi, perencanaan strategis, dan
ukuran organisasi memiliki persamaan regresi yang kurang
akurat karena memiliki variance yang tidak konstan.
Masalah heteroskedastisitas tidak akan berpengaruh
terhadap persamaan regresi 2 hiptesis 3, karena
penyembuhan untuk heteroskedastisitas adalah dengan
mentransformasikan variabel menjadi log, sedangkan
variabel dummy tidak dapat di log adapun cara
penyembuhan lain adalah dengan menambah data (Gujarati,
2003). Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas akan
dilakukan uji White dengan meregres residu kuadrat (U2t)
dengan variabel ukuran organisasi, perencanaan strategis
formal, dan interaksi ukuran organisasi dan perencanaan
strategis. Persamaan dinyatakan bebas dari
heteroskedastisitas jika χ2hitung < χ2
tabel. χ2hitung = n x R2.
Berdasarkan hasil dari uji White, nilai χ2hitung = 6,6. Nilai
χ2tabel =11,0705. Sehingga χ2
hitung < χ2tabel (6,6<11,0705).
Hasil uji White menyatakan bahwa hipotesis 3 regresi 2
tidak mengalami heteroskedastisitas.
c. Normalitas
cxv
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui data
terdistribusi normal. Data yang memiliki distribusi normal
berarti memiliki sebaran yang normal sehingga dapat
digunakan untuk mewakili populasi.
Konsep dasar dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov
adalah dengan membandingkan distribusi data (yang akan
diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Distribusi
normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke
dalam bentuk z-score dan diasumsikan normal. Uji
kolmogorov-Smirnov adalah uji beda antara data yang diuji
normalitasnya dengan data normal baku.
Tabel IV. 19 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov pengaruh Perencanaan
Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan dan Ukuran Organisasi-Tahap I
HIPOTESIS Pengujian Normalitas Unstandardized Residual
HIPOTESIS 1 Kolmogorov-Smirnov Z 0,930
REGRESI 1 Asymp. Sig. (2-tailed)
0,352
HIPOTESIS 2 0,824
REGRESI 1 0,505
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
HIPOTESIS 3 Kolmogorov-Smirnov Z 0,608
REGRESI 1 Asymp. Sig. (2-tailed) 0,854
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Tabel IV. 20 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov pengaruh Perencanaan
Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan dan Ukuran Organisasi-Tahap II
HIPOTESIS Pengujian Normalitas Unstandardized Residual
HIPOTESIS 2 Kolmogorov-Smirnov Z 0,865
REGRESI 2 0,443
Asymp. Sig. (2-tailed)
HIPOTESIS 3 Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
0,744
cxvi
REGRESI 2 0,638
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Pada model regresi tujuan pengujian normalitas adalah
untuk menguji apakah variabel pengganggu atau residual
memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t
dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti
distribusi normal.
1) Hipotesis 1
Hasil dari uji normalitas pada hipotesis 1, diperoleh
nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,930 dan signifikansi
0,352 (p-value = 0,352 > α = 0,05) yang berarti uji
Kolmogorov-Smirnov tidak signifikan, sehingga data
normal. Data yang diuji tidak berbeda dengan data normal
baku atau dengan kata lain, sampel yang diambil mewakili
populasi.
2) Hipotesis 2
Hasil dari uji normalitas pada hipotesis 2 regresi 1,
diperoleh nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,824 dan
signifikansi 0,505 (p-value = 0,505 > α = 0,05) yang berarti
uji Kolmogorov-Smirnov tidak signifikan dan data
dinyatakan normal.
Uji normalitas regresi 2 untuk hipotesis 2 diperoleh
nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,865 dan signifikansi
cxvii
0,443 (p-value = 0,443 > α = 0,05) yang berarti uji
Kolmogorov-Smirnov tidak signifikan, sehingga data
normal.
Hipotesis 2 memiliki data yang terdistribusi normal,
sehingga sampel yang diambil mewakili populasi. Hasil uji
normalitas ini dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut.
Penelitian ini menggunakan multiple regression, sehingga
uji normalitas dilakukan pada setiap persamaan regresi pada
niai residunya.
3) Hipotesis 3
Hasil dari uji normalitas pada hipotesis 3, diperoleh
nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,608 dan signifikansi
0,854 (p-value = 0,854 > α = 0,05) yang berarti uji
Kolmogorov-Smirnov tidak signifikan, sehingga data
normal.
Uji normalitas regresi kedua untuk hipotesis 3 diperoleh
nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,744 dan signifikansi
0,638 (p-value = 0,638 > α = 0,05) yang berarti uji
Kolmogorov-Smirnov tidak signifikan. Sehingga data
terdistribusi normal. Sampel dalam penelitian ini mewakili
populasi.
D. Pengujian Hipotesis
cxviii
Pengujian hipotesis akan dilakukan pada hipotesis 1, 2, dan 3. Untuk
hipotesis pertama akan diuji dengan menggunakan regresi sederhana,
kemudian hipotesis kedua dan ketiga akan diuji menggunakan moderated
regression analysis (MRA) atau hierarchical regression yang merupakan
bagian dari regresi berganda. Pengujian hipotesis meliputi nilai R, R2,
adjusted R 2, standard error of estimate, nilai Fhitung, signifikansi F, nilai
thitung, dan signifikansi t.
Khusus untuk hipotesis 2 dan 3 akan dilakukan 2 kali persamaan regresi,
untuk memperoleh selisih R2. Selisih R2 ini berguna untuk melihat variabel
moderasi memiliki dampak terhadap perencanaan strategis-kinerja.
1. Hipotesis 1: Pengaruh Perencanaan Strategis Formal-Kinerja
Tabel IV.20 merupakan hasil dari pengujian hipotesis 1. Dalam Tabel
IV.20 menyajikan nilai R, R2, adjusted R 2, standard error of estimate,
nilai Fhitung, signifikansi F, nilai thitung, dan signifikansi t.
Tabel IV.21 Hasil Regresi Sederhana
Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate F Sig. F t
Sig. t
1 Constant FSP
0,035a 0,001 -0,025 0,71699 0,047 0,829a 6,480
-0,217
0,000 0,829
Sumber: Data Primer yang diolah, 2010
cxix
Nilai Fhitung sebesar 0,047 dengan p–value 0,829 > α = 0,05. Hasil
uji F menyatakan bahwa model tidak signifikan. Selain uji F, berdasarkan
uji t, nilai thitung variabel perencanaan strategis formal bernilai -0,217 dan
p-value = 0,829 > α = 0,05. Hasil uji-t dan F menyatakan bahwa
hipotesis satu tidak didukung. Dapat disimpulkan bahwa perencanaan
strategis formal tidak berpengaruh terhadap kinerja.
Hasil dari ukuran goodness of fit (R2) diperoleh nilai 0,001 atau
0,1% yang berarti variabel perencanaan strategis formal hanya mampu
menjelaskan variabel kinerja sebesar 0,1%, sedangkan 99,9% dijelaskan
dari luar model. Angka R2 yang sangat kecil membuktikan landasan teori
yang dipakai kurang tepat (Sarwoko, 2007).
Adjusted R2 merupakan cara terbaik untuk mengukur kecocokan
data dengan garis estimasi, sebab R2 selalu bertambah besar jika variabel
penjelas bertambah. Adjusted R2 menunjukkan nilai -0,25 atau sangat
kecil. Adjusted R2 bernilai negatif sama saja dengan bernilai 0, artinya
variabel perencanaan strategis formal tidak mampu menjelaskan variabel
kinerja (Sarwoko, 2007; Ghozali, 2009).
Dalam rangka menguji signifikasi beda rata-rata dua kelompok,
dilakukan uji-t (Independent-Sample T test) pada variabel perencanaan
strategis formal dan variabel kinerja. Hasil uji-t dapat dilihat pada tabel
IV.22
Tabel IV.22 Hasil Independent Samples Test
Variabel Kinerja pada Perusahaan Besar dan Kecil
cxx
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Equal variances assumed 0,327 0,571 1,617 38 perf
Equal variances not assumed 1,615 37,301
Dalam menjalankan survey, cluster industri yang diteliti adalah
Kecamatan Keling dan Kecamatan Mulyoharjo. Mayoritas usaha di
kawasan tersebut adalah perusahaan kecil dan menengah yang tidak
begitu memformalkan perencanaan strategis. Berdasarkan hasil
wawancara terhadap 30 perusahaan, hampir tidak ada yang menjawab
pertanyaan pada skala 5, rata-rata responden menjawab pada skala 1-3.
Hanya 10 perusahaan yang menjawab antara range 1-5. Responden
menjelaskan, mereka tidak begitu menekankan formalitas perencanaan.
Perencanaan hanya seputar pencatatan atas kebutuhan produksi dan
jumlah pesanan. Karena itu, rata-rata jawaban responden masih dibawah
rata-rata statistik. Kurangnya perhatian terhadap perencanaan strategis
berkorelasi terhadap tingkat pendidikan responden.
Mengacu kepada kriteria Ditjen Bangdes, tingkat pendidikan
penduduk di Kecamatan Keling termasuk sedang, yaitu sekitar 51,44%
penduduknya telah tamat sekolah dasar. Jumlah tamatan SD ternyata
lebih besar dari jumlah penduduk tamatan SMP ke atas. Salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya fasilitas pendidikan tingkat SMP ke
atas di Kecamatan Keling, kecuali sekolah tingkat dasar yang terdiri atas
3 buah SD dan sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Penduduk tamatan SD yang
ingin melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan di atasnya (SMP)
cxxi
terdekat terpaksa harus menempuh jarak lebih kurang 10 kilometer, oleh
karena itu, hanya sedikit penduduk yang berhasil menamatkan sekolah
sampai SMA dan Perguruan Tinggi, karena rata-rata penduduk hanya
tamatan SD (Sugiyarto, 2007). Beberapa responden bahkan tidak dapat
membaca, dengan kata lain, secara makro industri mebel di Jepara
berdampak besar terhadap Kabupaten Jepara, namun secara mikro, masih
kecil dampaknya terhadap pengrajin. Kesimpulan yang diambil adalah
kuesioner mengenai variabel perencanaan strategis formal kurang sesuai
untuk diterapkan dalam industri mebel di Kabupaten Jepara, sebagai
perbandingan, penelitian asli oleh Glaister dkk. (2007), mengambil
responden perusahaan yang terdaftar dalam bursa saham Istanbul.
Beberapa studi empiris memberikan hasil yang serupa mengenai
nilai dari perencanaan strategis formal di mana tidak terdapat pengaruh
antara perencanaan strategis formal dengan kinerja. Penelitian ini
menguatkan beberapa penelitian mengenai perencanaan strategis formal-
kinerja. Penelitian milik Milton dan Tezel (1980); Kudla (1980); Pearce
dan Robinson (1987); Philips dan Calantone (1994);
Falshaw dkk. (2006); memperoleh bukti bahwa tidak terdapat pengaruh
antara perencanaan strategis formal dengan kinerja. Hasil penelitian
Falshaw dkk. (2006), menyatakan bahwa dalam rangka memahami
hubungan perencanaan dan kinerja adalah dengan cara menggabungkan
variabel kontekstual dan menggunakan berbagai indikator pengukuran
dari proses perencanaan berdasarkan argumen pada desain sistem
cxxii
perencanaan yang efektif. Ketidakhadiran pengaruh antara perencanaan
strategis dengan kinerja keuangan bisa jadi berarti terdapat hubungan
antara variabel kontekstual yang berbeda dengan yang diasumsikan dalam
penelitian ini. Hal ini dapat juga berarti bahwa dimensi sistem
perencanaan selama ini yang diterima dalam proses pengukuran
perencanaan formal tidak penting untuk menjelaskan kinerja.
Tapinos dkk. (2005) menegaskan bahwa tidak banyak penelitian
yang menjelaskan mengenai dampak pengukuran kinerja terhadap design,
pengembangan, dan implementasi perencanaan strategis. Tapinos
memperkuat argumen pengaruh perencanaan strategis pada kinerja
perusahaan dengan menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja
berperan penting dalam menjelaskan strategi dalam tindakan. Pengukuran
kinerja perusahaan berpengaruh signifikan terhadap proses perencanaan
strategis dalam menunjang pencapaian tujuan organisasi, namun tidak
berdampak signifikan jika diadopsi sebagai faktor kesuksesan strategi
atau jika dijadikan sebagai dasar kesuksesan sebuah proses. Oleh karena
itu, dampak yang tidak signifikan dari pengukuran kinerja dalam area
yang terdeteksi mungkin bukanlah hasil dari ketidakmampuan
pengukuran kinerja, melainkan kelemahan dalam implementasinya. Hal
ini mungkin disebabkan dari fakta bahwa faktor yang menentukan
kesuksesan pengukuran kinerja membutuhkan komitmen, usaha, dan
alokasi sumber daya di semua level organisasi.
cxxiii
Tabel IV.23 Hasil Independent Samples Test
Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja
t-test for Equality of Means
Sig. (2-tailed) Mean Difference
Std. Error Difference
Equal variances assumed 0,001 -0,69173 0,18638 fsp
Equal variances not assumed 0,001 -0,69173 0,18247
Indikator untuk mengukur kinerja dilakukan dengan mengukur
kualitas, kepuasan pelanggan, kinerja keuangan, dan pendidikan serta
penelitian (Hospital, 1991). Marc dkk. (2010) berpendapat bahwa
terdapat 10 kunci daftar praktek bisnis yang berhubungan dengan kinerja,
yaitu manajemen aset (program pembaharuan dan penggantian kondisi
penilaian program, kemanfaatan sistem informasi manajemen, dan
manajemen fasilitas), program peningkatan modal atau manajemen
program (proses peningkatan modal, dukungan teknisi), pelayanan
pelanggan (program pelayanan pelanggan), manajemen keuangan (proses
penganggaran, dukungan pembelian, akuntansi, keuangan, dan program
biaya), sumber daya manusia (manajemen kinerja dan program training),
administrasi (program legal, bantuan administratif, pencatatan),
perawatan (inspeksi, program perawatan korektif, program perawatan
pencegahan, pemakaian peralatan/kendaraan), operasi (raw supply
cxxiv
management), penyesuaian peraturan (ijin, pelaporan kualitas), keamanan
(program keamanan).
Hal yang menarik dalam perencanaan strategis formal-kinerja
adalah beberapa penelitian mengungkap konstruk yang berbeda dari yang
digunakan dalam penelitian ini dalam mengukur perencanaan strategis,
mulai dari proses dan nilai perencanaan strategis (Boyd dan Elliot, 1998),
efek psikologi dalam perumusan perencanaan strategis
(Jenis dan Disney, 2006), ketepatan pengukuran perencanaan strategis
(Dincer dkk., 2006), praktek perencanaan (Leontiades dan Tezel, 1980),
dan pengukuran model perencanaan (Desai, 2000).
Dapat pula berarti yang dibutuhkan dalam pengaruh perencanaan
strategis formal pada kinerja bukanlah studi kuantitatif, melainkan studi
kualitatif. Visser dkk. (2010) melakukan studi kualitatif terhadap
hubungan perencanaan strategis-kinerja dan menemukan bukti bahwa
tidak satupun perusahaan melaporkan upaya formalisasi menjadi
indikator pengukuran keberhasilan skenario perencanaan. Responden
melaporkan bahwa hal ini disebabkan oleh kesulitan dalam mengukur
kualitatif dan kuantitatif dan karena alat pengukur penilaian standar tidak
tersedia untuk jenis intervensi strategis. Skenario perencanaan umumnya
dianggap sebagai intervensi yang efektif dengan kontribusi positif pada
kinerja perusahaan. Lebih rinci peserta mengungkapkan bahwa teknik
perencanaan berguna dalam mengekplorasi lingkungan bisnis dan resiko
cxxv
di masa mendatang, mengisolasi trend, memahami kekuatan
interdependen dan mempertimbangkan implikasi keputusan strategis.
2. Hipotesis 2: Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja
dengan Variabel Moderasi Gejolak Lingkungan
Tabel IV.21 merupakan hasil dari pengujian hipotesis 2. Dalam
tabel tersebut disajikan nilai R, R2, adjusted R 2, standard error of
estimate, nilai Fhitung, signifikansi F, nilai thitung, dan signifikansi t.
Hipotesis 2 akan dilakukan dalam 2 kali regresi. Regresi pertama
ditujukan untuk memperoleh nilai R2. Dalam moderated regression
analysis (MRA), variabel interaksi merupakan variabel moderasi
(Hair dkk., 1998; Hartono, 2005; Ghozali, 2009). Oleh karena itu,
hipotesis diterima apabila uji F pada regresi kedua signifikan,
sedangkan fungsi selisih R2 pada regresi kedua dan regresi pertama
adalah untuk mengetahui dampak moderasi dengan variabel
independen dan variabel dependen, bila dampaknya memperkuat, maka
disebut, “amplying effect” dan jika memperlemah disebut “moderating
effect” (Ferdinand, 2006).
Tabel IV.24 Hasil Hierarchical Regression
Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Gejolak Lingkungan
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the
Estimate F Sig. F t
Sig. t
cxxvi
1 Constant FSP TURB 1 Constant FSP TURB FSPXTURB
0,506a
0,512
0,256
0,262
0,216
0,201
0,62698
0,63311
6,377
4,265
0,004a
0,011
2,014- 0,185 3,563
1,186 -0,485 0,349 0,536
0,051 0,854 0,001
0,243 0,631 0,729 0,595
Sumber: Data Primer yang diolah, 2010 a. Pengukuran R2 pada Regresi Pertama
Persamaan hipotesis 2 regresi pertama adalah sebagai berikut:
Nilai Fhitung sebesar 6,377 dengan p–value 0,004 < α = 0,05.
Hasil uji F menyatakan bahwa model diterima. Selain uji F,
berdasarkan uji-t, nilai thitung variabel perencanaan strategis formal
adalah 0,185 dan p-value = 0,854 > α = 0,05. Nilai thitung variabel
gejolak lingkungan sebesar 3,563 dan p-value = 0,001 < α = 0,05.
Uji-t variabel perencanaan strategis formal tidak signifikan dan uji-
t variabel gejolak lingkungan signifikan. Hasil uji F menyatakan
bahwa model diterima.
Hasil dari ukuran goodness of fit (R2) diperoleh nilai 0,256
atau 25,6% yang berarti variabel perencanaan strategis formal dan
gejolak lingkungan hanya mampu menjelaskan variabel kinerja
sebesar 25,6%, sedangkan 74,4% dijelaskan faktor di luar model.
Karena hipotesis 2 melibatkan lebih dari 1 variabel
independen, sehingga penggunaan adjusted R2 lebih baik dalam
melihat seberapa baik model dibandingkan hanya R2. Adjusted R2
cxxvii
menunjukkan nilai 0,216 artinya variabel perencanaan strategis
formal dan gejolak lingkungan hanya mampu menjelaskan variabel
kinerja sebesar 21,6%.
b. Regresi 2 pada Hipotesis 2
Persamaan regresi kedua pada hipotesis 2 adalah sebagai berikut:
Nilai Fhitung sebesar 4,265 dengan p–value 0,011 < α = 0,05.
Hasil uji F menyatakan bahwa model diterima. Selain uji F,
berdasarkan uji-t, nilai thitung variabel perencanaan strategis formal
sebesar 0,485 dan p-value = 0,631 > α = 0,05. Nilai thitung variabel
gejolak lingkungan sebesar 0,349 dan p-value = 0,729 > α = 0,05.
nilai thitung variabel interaksi perencanaan strategis formal dengan
gejolak lingkungan bernilai 0,536 dan p-value = 0,595 > α = 0,05.
Untuk uji-t variabel perencanaan strategis formal, gejolak
lingkungan, variabel interaksi perencanaan strategis formal dengan
gejolak lingkungan tidak signifikan.
Hasil dari ukuran goodness of fit (R2) diperoleh nilai 0,262
atau 26,2% yang berarti variabel perencanaan strategis formal dan
gejolak lingkungan hanya mampu menjelaskan variabel kinerja
sebesar 26,2%. Untuk melihat adanya dampak variabel moderasi,
maka selisih R2 regresi 2 dan regresi pertama dihitung
(0,262-0,256 = 0,006) dan menghasilkan nilai 0,006. Dapat
disimpulkan bahwa variabel gejolak lingkungan terbukti
cxxviii
memoderasi pengaruh perencanaan strategis formal terhadap
kinerja perusahaan. Hipotesis 2 didukung.
Karena hipotesis 2 melibatkan lebih dari 1 variabel
independen, sehingga penggunaan adjusted R2 lebih baik dalam
melihat seberapa baik model dibandingkan hanya R2. Adjusted R2
menunjukkan nilai 0,201 artinya variabel perencanaan strategis
formal, gejolak lingkungan, dan variabel interaksi perencanaan
strategis formal dengan gejolak lingkungan hanya mampu
menjelaskan variabel kinerja sebesar 20,1%.
Hasil pengujian hipotesis 2 disimpulkan bahwa dalam
lingkungan yang bergejolak, perencanaan strategis formal
berpengaruh pada kinerja. Pada lingkungan yang bergejolak,
perencanaan strategis yang semakin formal akan semakin
berpengaruh pada kinerja Hal tersebut tidak berlaku pada
lingkungan yang tenang. Perencanaan strategis formal tidak
berpengaruh pada kinerja di lingkungan yang tenang.
Dalam konteks negara Indonesia sebagai emerging country,
Indonesia menghadapi gejolak lingkungan yang lebih dari pada
negara maju. Dalam industri mebel Jepara, dampak gejolak
lingkungan sangat terasa. Responden menyatakan bahwa sejak
awal 2007 atau masa-masa awal krisis global sampai sekarang,
jumlah perusahaan mebel berkurang 50%, walaupun perlu
dilakukan survey untuk kebenaran pernyataan ini, namun hampir
cxxix
40 responden menyatakan hal yang sama. Perencanaan strategis
mungkin lebih berguna di lingkungan yang bergejolak dari pada
lingkungan yang tenang. Dapat dikatakan bahwa perusahaan mebel
Jepara akan cenderung menerima perencanaan strategis yang lebih
formal dalam lingkungan bisnis yang cenderung bergejolak, yang
mereka anggap akan berdampak pada kinerja positif perusahaan.
Manajer dalam lingkungan yang bergejolak merasa bahwa proses
mengamalkan perencanaan strategis akan bermanfaat, bahkan jika
mereka memiliki sedikit keyakinan pada hasil review perencanaan.
Penelitian ini memperkuat bukti dari penelitian Lindsay dan Rue
(1980) Amstrong (1982); Shrader dkk. (1984); Boyd (1991).
Kompleksitas dan ketidakstabilan lingkungan merupakan penyebab
perusahaan mengadopsi perencanaan strategis yang lebih formal.
(Miller dan Cardinal, 1994; Gleister dkk., 2007).
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Hopkins dan Hopkins (1997), di mana gejolak lingkungan tidak
dianggap sebagai faktor yang berpengaruh terhadap perencanaan
strategis-kinerja. Pernyataan tersebut diperkuat Mitzberg, bahwa
peningkatan gejolak lingkungan hanya akan menggiring pada
pengurangan ketergantungan akan sistem perencanaan strategis dan
penguatan ketergantungan pada sistem yang semakin informal,
dengan kata lain sistem perencanaan strategis akan semakin tidak
formal dengan seiring peningkatan gejolak lingkungan.
cxxx
3. Hipotesis 3: Pengaruh Perencanaan Strategis Formal-Kinerja
dengan Variabel Moderasi Ukuran Organisasi
Hipotesis 3 akan diuji dalam 2 kali perhitungan. Hasil perhitungan
terdapat dalam Tabel IV.22. Seperti dalam pengujian hipotesis 2,
prosedur pengujian hipotesis 3 akan sama seperti prosedur pengujian
hipotesis 2, yaitu dilakukan dalam 2 kali regresi. Regresi pertama
ditujukan untuk memperoleh nilai R2. Dalam moderated regression
analysis (MRA), variabel interaksi merupakan dampak moderasi
(Hair dkk., 1998; Hartono, 2005; Ghozali, 2009). Oleh karena itu,
hipotesis didukung apabila uji F pada regresi kedua signifikan,
sedangkan fungsi selisih R2 pada regresi kedua dan regresi pertama
adalah untuk mengetahui dampak moderasi dengan variabel
independen dan variabel dependen, bila dampaknya memperkuat, maka
disebut, “amplying effect” dan jika memperlemah disebut “moderating
effect” (Ferdinand, 2006).
Tabel IV.25 Hasil Hierarchical Regression
Pengaruh Perencanaan Strategis Formal pada Kinerja dengan Moderasi Ukuran Organisasi
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate F Sig. F t
Sig. t
1 Constant FSP SIZE 1 Constant FSP SIZE FSPXSIZE
0,277
0,579a
0,077
0,335
0,027
0,280
0,69855
0,60101
1,541
6,049
0,228
00,002a
2,014 0,185 3,563
0,743 3,619 3,088 -3,740
0,051 0,854 0,001
0,462 0,001 0,004 0,001
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
cxxxi
a. Perhitungan R2 pada regresi 1
Persamaan hipotesis 3 regresi pertama adalah sebagai berikut:
Tabel IV.22 merupakan hasil dari pengujian hipotesis 3. Nilai
Fhitung sebesar 1,541 dengan p–value 0,228 > α = 0,05. Hasil uji F
menyatakan bahwa model diterima. Selain uji F, berdasarkan uji-t,
nilai thitung variabel perencanaan strategis formal adalah 0,185 dan
p-value = 0,584 > α = 0,05. Nilai thitung variabel ukuran organisasi
bernilai 3,563 dan p-value = 0,001 < α = 0,05. Untuk uji-t
variabel perencanaan strategis formal dan ukuran organisasi tidak
signifikan.
Hasil dari pengujian regresi pertama pada hipotesis 3
diperoleh ukuran goodness of fit (R2) sebesar 0,077 yang berarti
variabel perencanaan strategis formal dan ukuran organisasi hanya
mampu menjelaskan variabel kinerja sebesar 7,7%.
Adjusted R2 menunjukkan nilai 0,027 artinya variabel
perencanaan strategis formal dan ukuran perusahaan hanya
mampu menjelaskan variabel kinerja sebesar 2,7%.
b. Regresi 2 pada Hipotesis 2
Persamaan hipotesis 3 regresi kedua adalah sebagai berikut:
Tabel IV.22 merupakan hasil dari pengujian regresi 2 pada
hipotesis 3. Nilai Fhitung sebesar 6.049 dengan p–value 0,002 < α
cxxxii
= 0,05. Hasil uji F menyatakan bahwa model di terima. Selain uji
F, berdasarkan uji-t, nilai thitung variabel perencanaan strategis
formal sebesar 3,619 dan p-value = 0,001 < α = 0,05. Nilai thitung
variabel ukuran organisasi bernilai 3,088 dan p-value = 0,004 < α
= 0,05. Nilai thitung variabel interaksi perencanaan strategis formal
dengan ukuran organisasi sebesar -3,740 dan p-value = 0,001 < α
= 0,05. Hasil uji-t variabel perencanaan strategis formal dan
ukuran organisasi signifikan.
Hasil dari ukuran goodness of fit (R2) diperoleh nilai 0,335
atau 33,5% yang berarti variabel perencanaan strategis formal,
ukuran organisasi, dan variabel interaksi perencanaan strategis
formal dengan ukuran organisasi hanya mampu menjelaskan
variabel kinerja sebesar 33,5%. Untuk mengetahui ukuran
organisasi memoderasi pengaruh perencanaan strategis formal
dengan kinerja, maka dilihat selisih R2 = 0,261 (0,335-0,077).
Selisih R2 cukup besar, yaitu 26,1%, sehingga dampak moderasi
disebut amplying effect.
Karena hipotesis 3 melibatkan lebih dari 1 variabel
independen, sehingga penggunaan adjusted R2 lebih baik dalam
melihat seberapa baik model dibandingkan hanya R2. Adjusted R2
menunjukkan nilai 0,280 artinya variabel perencanaan strategis
formal dan gejolak lingkungan hanya mampu menjelaskan
variabel kinerja sebesar 28%. Dapat disimpulkan bahwa ukuran
cxxxiii
perusahaan memoderasi pengaruh perencanaan strategis formal
dengan kinerja perusahaan
. Stonehouse dan Pemberton (2002) melalui penelitiannya
menyatakan bahwa hubungan statistik antara ukuran organisasi
dengan keberadaan perencanaan yang terstuktur terletak pada
semakin besar ukuran perusahaan, semakin formal perencanaan
strategisnya. Hanya sedikit bagian dari perencanaan yang
dikerahkan oleh organisasi kecil dan menengah, walaupun bukti
mengarah pada kecenderungan perusahaan besar membuat
pendekatan yang lebih terstruktur pada perencanaan strategis.
Berbeda dengan hasil penelitian, riset Robinson dan Pearce
(1987) menyatakan bahwa perusahaan kecil tidak mempraktekkan
perencanaan strategis karena perusahaan kecil tidak memiliki baik
staff atau waktu untuk melaksanakan perencanaan strategis. Hal
ini bukan berarti bahwa perencanaan strategis kurang bermanfaat
untuk perusahaan kecil. Sepertinya perusahaan kecil tidak
memperoleh keuntungan dari perencanaan strategis karena
perusahaan kecil tidak memiliki waktu atau upaya untuk
memformulasikan perencanaan strategis. Shrader dkk. (1989),
dalam risetnya juga tidak menemukan adanya hubungan yang
signifikan ukuran perusahaan terhadap perencanaan strategis-
kinerja.
cxxxiv
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian ini akan dibahas mengenai kesimpulan, implikasi,
keterbatasan dan saran untuk penelitian selanjutnya.
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti mengenai
pengaruh perencanaan strategis formal terhadap kinerja dengan variabel
moderasi gejolak lingkungan dan ukuran organisasi pada industri mebel di
Kabupaten Jepara. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
terletak pada setting penelitian sebagai nilai tambah pada penelitian ini.
Penelitian perencanaan strategis formal umumnya berpusat pada negara-
negara maju, khususnya dalam konteks Amerika Serikat. Dalam penelitian
ini disuguhkan sebuah perspektif budaya yang berbeda dari penelitian
terdahulu, yaitu dalam konteks negara industri baru.
1. Hasil dari statistik deskriptif menyatakan bahwa dari 6 variabel yang
diuji (perencanaan strategis formal, kinerja perusahaan, gejolak
lingkungan, ukuran organisasi, variabel interaksi perencanaan strategis
cxxxv
formal dan gejolak lingkungan, serta variabel interaksi perencanaan
strategis formal dan ukuran organisasi), hanya variabel perencanaan
strategis formal saja yang bernilai di bawah rata-rata. Nilai di bawah
rata-rata mengindikasi bahwa perencanaan strategis formal kurang
dipraktekkan dalam industri mebel Jepara. Variabel kinerja
perusahaan, gejolak lingkungan, ukuran organisasi, variabel interaksi
perencanaan strategis formal dan gejolak lingkungan, serta variabel
interaksi perencanaan strategis formal dan ukuran organisasi bernilai di
atas rata-rata.
2. Hasil dari pengujian hipotesis pertama adalah bahwa perencanaan
strategis formal tidak berpengaruh pada kinerja. Hasil ini dapat terjadi
karena faktor pemilihan responden yang kurang tepat, sistem
pengukuran variabel kinerja kurang tepat, atau karena kinerja tidak
hanya ditentukan oleh variabel perencanaan strategis formal.
3. Hasil pengujian hipotesis kedua menggunakan hierarchical regression
menyatakan bahwa gejolak lingkungan memoderasi pengaruh
perencanaan strategis formal pada kinerja namun lemah. Semakin
bergejolak lingkungan, semakin formal perencanaan strategis sehingga
berpengaruh positif terhadap kinerja.
4. Hasil pengujian hipotesis ketiga menggunakan hierarchical regression
menyatakan bahwa ukuran perusahaan memoderasi pengaruh
perencanaan strategis formal pada kinerja cukup kuat. Semakin besar
cxxxvi
ukuran perusahaan, semakin formal perencanaan strategisnya sehingga
berdampak positif terhadap kinerja.
B. Implikasi
Berikut adalah implikasi dari penelitian yang berhubungan dengan
perencanaan strategis-kinerja:
1. Dalam lingkungan yang bergejolak, perusahaan perlu lebih
memformalkan perencanaan strategis.
2. Formalisasi perencanaan strategis tergantung pada ukuran perusahaan.
Seiring dengan peningkatan ukuran organisasi, implementasi
perencanaan strategis semakin berdampak positif terhadap kinerja.
C. Keterbatasan
Penelitian ini sarat dengan keterbatasan, perbaikan dibutuhkan
untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih komprehensif. Berikut
adalah keterbatasan yang dirasa perlu untuk diperhatikan agar penelitian
selanjutnya lebih baik:
1. Robinson (1980) menyatakan bahwa pengembangan teori perencanaan
strategis berdasarkan perusahaan besar tidak tepat jika diterapkan
dalam perusahaan kecil, sedangkan penelitian terdahulu gagal
mengembangkan dan mengoperasionalkan prosedur untuk
mengkategori proses perencanaan strategis dalam perusahaan kecil dan
menengah. Penelitian ini mereplikasi penelitian Gleister dkk. (2007) di
mana kuesioner diujikan pada responden yang telah terdaftar pada
bursa, sedangkan penelitian ini ditujukan pada mayoritas perusahaan
cxxxvii
kecil dan menengah yang tidak terdaftar di BEI, terdapat
ketidaksesuaian antara kuesioner dengan responden.
2. Hampir semua perusahaan mempunyai satu atau lebih perusahaan
mitra, dengan kata lain, perusahaan di Jepara sangat terkait satu sama
lain, namun umumnya tidak melalui kepemilikan atau usaha patungan,
melainkan dengan cara lain seperti ikatan bisnis murni
(Roda dkk., 2007). Kuesioner dalam mengukur kinerja perusahaan,
penelitian menggunakan patokan pesaing utama dan karena hal
tersebut bertolak belakang dengan sistem bisnis Jepara, maka
responden sering merasa terganggu, beberapa merasa tersinggung, dan
hanya dua orang yang dengan senang hati menjawab. Resiko jawaban
tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
3. Karena data bersifat cross-sectional sehingga tidak begitu baik dalam
memberikan gambaran yang sesungguhnya, apalagi dengan adanya
krisis global menyebabkan jawaban responden terpengaruh suasana
krisis, bukan kondisi normal.
D. Saran
Beberapa saran untuk penelitian selanjutnya mengenai perencanaan
strategis formal-kinerja adalah:
1. Penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan terhadap
perusahaan yang telah terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia, karena
item pertanyaan dalam perencanaan strategis formal lebih sesuai
diterapkan dalam perusahaan besar yang telah terdaftar dalam BEI.
cxxxviii
2. Menambah penilaian terhadap kinerja, dari kinerja subyektif menjadi
kinerja subyektif dan keuangan agar didapatkan sebuah penilaian
kinerja yang andal. Pengukuran yang hanya melandaskan pada kinerja
keuangan berdasarkan pencatatan masa lalu perusahaan tidak cukup
andal jika dipakai untuk memantau strategi perusahaan, sehingga
dibutuhkan pengukuran yang juga mampu menangkap potensi
pengukuran kinerja di masa depan dengan cara mengkombinasikan
dengan pengukuran kinerja subyektif (Chakravarthy, 1986).
3. Untuk memberikan gambaran yang lebih comprehensive, perlu
dilakukan pengambilan data panel dalam penelitian selanjutnya.
Dengan menggabungkan data cross-section dan data time series, maka
data panel memberikan data yang lebih informatif, bervariasi, rendah
tingkat kolinieritas antar variabel, lebih besar degree of freedom, dan
lebih efisien (Ghozali, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
cxxxix
Ansoff, Igor H. 1980. Strategic Issue Management. Strategic Management Journal. Vol. 1 (2): 131-148.
Ansoff, Igor H. 1987. The Emerging Paradigm of Strategic Behaviour. Strategic Management Journal. Vol. 8(6): 501-515.
Ansoff, Igor H. 1991. Critique of Henry Mintzberg’s the design School: Reconsidering the Basic Premises of Strategic Management. Strategic Management Journal. Vol. 12 (6): 449-461.
Ashmos, Donde p., Duchon, Dennis, and McDaniel, Ruuben R. Jr. 2000. Organization Responses to Complevity: the Effect on Organizational Performance. Journal of Organizational Change. Vol. 13 (6): 577-594.
Boyd, Brian K. dan Elliot, Elke K. 1997. A Measurement Model Strategic Planning. Strategic Management Journal. Vol. 19 (2): 181-192.
Bracker, J.S. and Pearson, J.N. 1986. Planning and Financial Performance of Small, Mature firms, Strategic Management Journal. Vol. 7 (6): 503-22.
Brews, Peter J. and Hunt, Michelle R. 1999. Learning to Plan and Planning to Learn: Resolving the Planning School/Learning School Debate. Strategic Management Journal. Vol. 20 (10): 889-913.
Burns dan Stalker G. M. 1961. The Management of Innovation. Tavistock: London
Chakravarthy, B.S. 1986. Measuring strategic performance. Strategic Management Journal, Vol. 7 (5): 437-58.
Davis, Duane, et al. 1991. Perceives Environment Turbulence and Its effect on Selected Entrepreneurship, Marketing, and Organizational Characteristics in Industrial Firms. Journal of Academy Marketing Science. vol. 19.(1): 43-51.
Desai, B Ashay. 2000. Does Strategic Planning Create Value? The Stock Market’s Believe. Management decision .Vol 38 (10): .685-693.
Dess, G.G. and Robinson, R.B. 1984. Measuring organizational performance in the absence of objective measures: the case of the privately-held firm and conglomerate business unit. Strategic Management Journal, Vol. 5 (3): 265-73.
Dess, G., Gregory, Ireland R. D. dan Hitt, M. A. 1990. Industri effects and Strategic Management Research. Journal of Management. Vol. 16 (1): 7-27.
cxl
Dincer, Omer, Totuglu, E., and GLaister, Keith W. 2006. The Strategic Planning Process: Evidence from Turkish Firms. Management research News. Vol. 29 (4): 206-219.
Duncan, R. B. 1972. Characteristics of Organizational Environment and Perceived Environmental Uncertainty. Administrative Science Quanterly. Vol. 17: 313-327.
Elbana, Said. 2008. Planning and Participation as Determinants of Strategic Planning Effectiveness. Management Decision. Vol. 46 (5): 779-796
Fahey, Liam dan Randall, Robert M. 1996. The Portable MBA Strategi. Jakarta: Binarupa Aksara.
Falshaw, J. Richard, Gleister. Keith W., and Totuglu, Ekreem. 2006. Evidence on Formal Strategic Planning and Company Performance. Management Decision. Vol. 44 (1): 9-30.
Ferdinand, Augusty. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Semarang: BP UNDIP
Ghozali. I. 2005. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: UNDIP.
Ghozali. I. 2009. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: UNDIP.
Glasiter, Keith W., Dincer, Omer., Tatoglu, Ekrem., Demirbag, Mehmet., and Zail, Selim. 2007. A Causal Analysis of Formal Strategic Planning and Firm Performance, Evidence from Emerging Country. Journal of Management Decision, Vol. 46 (3): 365-391.
Glueck, William F. 1970. Business Policy and Strategic Management. USA: McGraw-Hill, Inc.
Grant, Robert M. 2003. Strategic Planning in a turbulent Envirionment: evidence from the Oil Majors. Strategic Management Journal. Vol. 24 (6): 491-517.
Gooptu, Sudarshan. 1993. Portofolio Investment Flows to Emerging Markets. International Economic Departement: World Bank.
Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics 4th Edition. New York: Mc. Graw-Hill.
Hair, J.F. Anderson, R. E, Tatham R. L. & Black W. C . 1998. Multivariate Data Analysis, 8th edition. Singapore: Simon & Schuster Asia Pte, Ltd.
Harrison, Frank E. 1995. Strategic Planning Maturities. Management decision. Vol. 33 (2): 48-55.
cxli
Henneberry, Shinda. http://www.choicesmagazine.org/magazine/issue.php. Diakses tanggal 25-05-2009.
Hoffman, Richard C. 2007. The Strategic Planning Process and Performance Relationship: Does Culture Matter? Journal of Business Strategies. Vol. 24(1): 27-48.
Hopkins Wllie E. and Hopkins Shirley A. 1996. Strategic Planning and Financial Performance Relathionship in Banks: A Causal Examination. Strategic Management Journal. Vol. 18 (8): 635-651.
Iriawan, N dan S. P. Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Andi Offset.
Jennings, David. Disney J. J. (2006). Designing the Strategic Planning Process: Does Phychological Type Matter. Management Decision. Vol. 44. (5): 598-614.
Kertajaya. 1998. Potensi Perdagangan di Jepara. http://www.jeparakab.go.id /index.php/2007092742/Potensi/Perdagangan/Perdagangan.jpr.Diakses tanggal 18 oktober 2009
Kincaid, David, G. 1994. Measuring Performing n Facility Management. Facilities. Vol. 12 (6): 17-20.
Kudla, Ronald J. 1980. The Effect of Strategic Planning on Common Stock Returns. Academy of Management Journals. Vol. 23 (1): 5-20.
Koufopoulos, D. N., Lagoudis, I. N. and Pastra, A. 2005. Planning practices in the Greek Ocean Shipping Industry. European Business Review. Vol. 17 (2): 151-76.
Koufopoulos, D. N. 2002. Executives Predisposition for Planning in an Emerging Country Environment. Management Decision, Vol. 17 (2): 151-76.
Leontiades, Milton and Tezel, Ahmet. 1980. Planning Perception and Planning Result. Strategic Management Journal. Vol. 40 (6): 584-595.
Lindsay, William M. and Rue, Leslie W. 1980. Impact of the Organization Environment on the Long-Range Planning Process: A Contingency View. Academy of Management Jornal. Vol 23 (3): 385-404.
Lindsay, William M., Boulton, William R., Franklin Stephen G. and Rue, Leslie W. 1980. Strategic Planning: Determining the Impact of Environmental Characteristics and Uncertainty. Academy of Management Jornal. Vol 23 (3): 385-404.
cxlii
Longan, Thomas J. dkk. (1991). Completing Dissertations in the Behavioral Sciences and Education. San Fransisko: Jossey-Bass Publishers
Marc Watch P., Immigan, Rishi, and Garrison, Seith W. 2010. Improvement Through Performance Measurement. American Water Works Assocoation Journal. Vol 102 (1): 40-44.
Miller, C.C. and Cardinal, L.B. 1994. Strategic planning and firm performance: a synthesis of More Than Two Decades of Research. Academy of Management Journal, Vol. 37 (6): 1649-1665.
Mintzberg, Henry. 1987. The Strategy Concept 1: Five Ps for Strategy.” California Management Review. Vol. 30 (1): 11-24.
Mintzberg, Henry. 1987. The Pitfalls of Strategic Planning. California Management Review. Vol. 36 (1): 32-47.
Mintzberg, Henry. 1994. That’s Not “Turbulence”, Chicken Little, It’s Really Opportunity. Planning Review. Vol. 22 (6): 7-9.
Mintzberg, Henry. 1996. Replay to Michael Goold. California Management Review. Vol. 38 (4): 96-99.
Mintzberg, Henry. (1999). Reflecting on Strategy Process. Sloan Management Review. Spring: 21-30.
Mintzberg, Henry et al. 1999. Strategy Safari: Guided Through the Wild of Strategic Management . New York, The Free Press.
Nachrowi, Nachrowi Djalal. 2008. Penggunaaan Teknik Ekonometri. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ottesen, Geir G. and Gronhaoug, Kjell. 2002. Exploring the Dynamics Market Orientation in Turbulent Environemnts: a Case Atudy. European Journal Marketing. Vol. 38. (8): 956-973.
Orpen, Christoper. 1985. The Effects of Long Range Planning on Small business Performance: a Further Examination. Journal of Small Business Management. Vol 23 (1):16-23.
Orlikoff, James E., and Totten, Mary K. 2006. Strategic Planning,: Maximizing the Broad’s Impact. Trustee. Vol. 59. (7): 1-7.
O’Regan, Nicholas, and Ghobadian, Abby. 2002. Formal Strategic Planning, The Key to Effective Business Process Management? Business Process Management Journal. Vol. 8 (1): 416-429.
cxliii
Pearce, J.A. II. and Robinson, R.B. Jr. 1987. The Impact of Formalized Strategic Planning on Financial Performance in Small Organizations. Academy of Management Review. Vol. 4 ( 3): 658-75.
Pearce, J.A. II, Freeman, E.B. and Robinson, R.B. Jr. 1987. The Tenuous Link between Formal Strategic Planning and Financial Performance, Academy of Management Review. Vol. 12 ( 4): 658-75.
Pearce, J.A. II, Robbins, D. Keith and Robinson, R.B. Jr. 1987. The Impact of Grand Strategy and Planning Formality on Financial Performance. Strategic Management Journal. Vol. 8 ( 2): 125-134.
Philips, Paul A., and Moutinho, luiz. 1999. Measuring Strategic Planning Effectiveness in Hotels. International Journal of Contemporary Hospitality Management. Vol. 11 (7): 349-359.
Philips, Paul A., and Moutinho, luiz. 1999. The Impact of Strategic Planning on the Competitiveness, Performance and effectiveness of Bank Branches: a Neural Network Analysis. International Journal of Bank Marketing. Vol. 20 ( 3): 102-110.
Philips, Paul A. 2000. The Strategic Planning/Finance Interface: Does Sophistication Really Matter? Management Decision. Vol. 38 (8): 541-549
Phillips, Lisa A., and Calantone, Roger. 1994. The Relationship Between Environment Hostility, Planning and performance. International Journal of Retail & Distribution Management. Vol. 22 (8): 13-24.
Rhyne, Lawrence C. 1986. The Relationship of Strategic Planning to Financial Performance. Strategic Management Journal. Vol. 7 (5): 423-36.
Robinson, Richard b. and Pearce II John A. 1983. Impact of Formalized Strategic Planning on Financial Performance in Small Organization. Strategic Management Journal. Vol. 4 (207): 197-207.
Rodchua, Suhansa. 2009. Comparative Analysis of Quality Costs and Organization Sizes in the Manufacturing Environment. The Quality Management Journal. Vo. 16 (2): 34-43
Sarwoko. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jogjakarta: Andi.
Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business: metode penelitian untuk bisnis, jilid 1, edisi 4. Jakarta: Salemba Empat.
Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business, metode penelitian untuk bisnis, jilid 2, edisi 4. Jakarta: Salemba Empat.
cxliv
Sekaran, Uma. 2003. Research Methods for Business: a Skill Building Approach, Fourth Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Shammari, Hussam A. and Hussein, Raef T. 2007. Strategic Planning-Firm Performance Linkage: Empirical Investigation From Emergent Market Perspective. Advances in Competition Research. Vol. 15 (1 & 2): 15-26.
Shrader, Charles B., Mulford Charkes R., dan Blackburn, Virginia L. 1989. Strategic and Operational Planning, Uncertainty, and Performance in Small Firms. Journal of Small Business Management. Vol. 27 (4): 45-60.
Slater, ken. 1991. Performance Measurement in Finance Function. Management Accounting. Vol. 69 (5): 32-35.
Stonebraker, Peter W., and Liao, Jianwen. 2004. Environment Turbulence, Strategic Orientation. International Journal of Operations & Production Management. Vol. 24 (10): 1037-1057.
Stonehouse, George and Pemberton, Jonathan. 2002. Strategic Planning in SMEs – some empirical findings. Management Decision. Vol. 40 (9). pp. 853-861.
Sugiyarto. 2007. Perubahan Pandangan Bekerja Masyarakat Nelayan Desa Ujung watu, Jepara. pp. 1-11.
Tapinos, E., Dyson RG., and Meadows M. 2005. The Impact of Performance Measurement in strategic Planning. International Journal of Pruductivity and Performance management. Vol. 54 (5): 370-381.
Temtine, Z. T. 2003. Linking Environmental scanning to total Quality Management through Business Planning. Journal of management Development. Vol. 23 (3): 219-233.
Thune, S.S. and House, R.J. 1970. Where long-range planning pays off: findings of a survey of formal and informal planners. Business Horizons, Vol. 13 (4): 81-7.
Trihendradi. 2007. Langkah Mudah menguasai Statistik menggunakan SPSS 15. Jogjakarta: Andi.
Triton P. B. 2007. Manajemen Strategis, Terapan Perusahaan dan Bisnis. Yogyakarta: Tugu
Venkatraman, N. and Ramanujam, Vasudevan. 1986. Measurement of Business Economic Performance: An Examination of Method Convergence. Journal of Management. 11(4): 801-814.
cxlv
Visser, Maarten P. and Chermack. Thomas J. 2009. Perceptions of Relationship between Scenario Planning and Firm Performance: A Qualitative Study. Strategic Management Journal. Vol. 41 (iss. 9): 581.
Wincent, Joakim. 2005. Does Size Matter? A Study of Firm Behavior and Outcomes in Strategic SME Network. Journal of Small Business and Enterprose Development. Vol. 12. (3): 437-453.
Roda. 2007. Daftar Perusahaan Mebel di Jepara. http://www.ziddu.com /download/4331652/DirectoryofJeparaFurnitureCompany.pdf.html. Diakses tanggal 25-5-2009.
. 2009. Definisi Usaha Kecil. id.wikipedia.org/wiki/Usaha_Kecil? Diakses tanggal 25-5-2009.
. 2009. Industri Mebel di Jepara. www.jeparakab.go.id. Diakses tanggal 14-02-2010
. 2009. Definisi Kinerja. http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja. Diakses tanggal 08-06-2009
. 2009. Definisi Kinerja .http://planningskills.com/glossary/30.php. Diakses tanggal 18-06-2009
. 2009. Indonesia dalam Emerging Market. http://www.iffina-indonesia. com/2009/content.php?go=media-news&show=1&news_id=1052, Diakses tanggal 18 oktober 2009
. 2009. Hasil Total Ekspor Indonesia. http://www.depperin.go.id/Ind/ Statistik/exim/e_kmd_31.pdf Diakses tanggal 18 oktober 2009